V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Komposisi Jenis dan Struktur Vegetasi -
Ekosistem Leuser sangat kaya akan jenis turnbuhan, sehingga ekosisitem ini dianggap dapat mewakili seluruh ekosistem yang ada di pulau Sumatera. Taman Nasional Gunung Leuser wilayah Sikundur (Langkat) dan Cagar Alam Serbajadi (Aceh Timur) dan sekitarnya adalah sebagian dari ekosisitem Leuser yang merupakan habitat alami gajah surnatera dan tergolong hutan dataran rendah. Baik hutan di kawasan SikundurLingkat maupun di kawasan Cagar Alam Serbajadi dan sekitarnya, sulit sekali ditemukan kondisi hutan yang masih asli. Hal ini disebabkan, dahulu kawasan SikundurlLangkat merupakan areal konsesi (HPH)
PT. Raja Garuda Mas.
Bahkan sampai sekarangpun masih sering dijumpai
penebangan liar dalam skala kecil atau besar di kawasan hutan ini maupun di kawasan Cagar Alam Serbajadi dan sekitarnya, mengingat kayu-kayu yang ada di kawasan tersebut adalah kayu yang bernilai ekonomis tinggi dan berukuran besar. Dari hasii analisis vegetasi di lokasi studi Aras Napal (kompleks hutan Sikundur) diperoleh 70 jenis tumbuhan pada lokasi I (didapat dari 6 petak contoh) yang terdiri atas 22 jenis tumbuhan bawah, 16 jenis tingkat semai, 32 jenis tingkat pancang serta 2 dan 6 jenis masing-masing tingkat tiang dan pohon. Pada lokasi II ditemukan 115 jenis tumbuhan (didapat dari 7 petak contoh) yang komposisinya adalah: 27 jenis tumbuhan bawah, 47 jenis tingkat semai, 20 jenis tingkat pancang, 10 jenis tingkat tiang dan tingkat pohon 17 jenis. Sedangkan komposisi jenis di lokasi
I11 secara berurutan dari tumbuhan bawah, tingkat semai sarnpai tingkat pohon adalah
24,49, 45,20 dan 4 1, yang secara keseluruhan terbentuk dari 161jenis (didapat dari 11 petak contoh). Di lokasi studi ini hanya diiemukan tipe komunitas vegetasi semak belukar, hutan sekunder muda dan hutan sekunder tua. Masih di wilayah hutan Sikundur - Besitang, 2 (dm) lokasi studi lainnya yang dipilih terletak lebih kurang 16 km ke arab selatan di sekitar sungai Sei Badak (cabang sungai Besitang) adalah tipe komunitas hutan sekunder Lubuk Jelutung (lokasi IV) dan hutan primer Sei Badak (lokasi V).
Hasil analisis vegetasi di
komunitas vegetasi hutan sekunder dijumpai 110jenis tumbuhan yang terdapat dalam 10 petak contoh, yaitu: 25 jenis tumbuhan bawah, 26 jenis tumbuhan pada tingkat semai, 25 jenis tumbuhan tingkat pancang, 9 jenis tumbuhan ditemukan pada tingkat tiang, dan 30 jenis tumbuhan tingkat pohon. Sedangkan di hutan primer ditemukan 248 jenis tumbuhan pada 13 petak contoh dengan perincian : 26 jenis turnbuhan bawah, pada tingkat semai terdapat 53 jenis, tingkat pancang 105 jenis, sedangkan untuk tingkat tiang dan pohon masing-masing 40 dan 47 jenis. Rincian jenis tumbuhan untuk tiap tingkat vegetasi dapat dilihat pada table 4. Tabel 4. Jumlah jenis tumbuhan tiap tingkat vegetasi pada seluruh lokasi studi di Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat
1 Tumbuhan Bawah
1 Semai (seedlind
1
22
27
1
24
1
25
1
26
1 1 6
1 4 7
1 4 9
1 2 6
1 5 3
I
I
I
I
I
Tiang (r~oles)
1
I
6
20
10
2 I
Pohon (tree)
(
/
/
I
I
17
9
41
30
,
/
40
47
1 1
Hasil analisis vegetasi yang dilakukan di areal hutan kawasan Cagar Alam Serbajadi dan sekitarnya (Aceh Timur) ditemukan 89 jenis tumbuhan di lokasi VI (Alur Kumbar), 71 jenis turnbuhan di lokasi VII (Ranto Panjang), dan Alur Keriang -
(lokasi VIII dan IX)masing-masing dijurnpai 73 dan 106 jenis turnbuhan; yang komposisinya dapat dilihat pada table 5. Tabel 5. Jurnlahjenis tumbuhan tiap tingkat vegetasi pada seluruh lokasi studi di Kecarnatan Serbajadi, Kabupaten Aceh Timur
Dari seluruh lokasi pengamatan, ternyata lokasi V mempunyai jumlah jenis terbanyak ( 248 jenis ), kemudian berikutnya adalah lokasi III yang memiliki 161 jenis tumbuhan.
Hal ini mengingat di lokasi tersebut berturut-turut adalah
representative dari hutan primer dan hutan sekunder tua, yang memang lebih banyak
memiliki j enis tumbuhan dibandingkan dengan iokasi lain yang mewakili tipe hutan sekunder muda. Pada gambar 6 ditunjukkan bahwa jumlah jenis tertinggi yang terdapat pada lokasi V adalah pada tingkat pancang, baru kemudian tingkat semai, pohon, dan yang memiliki jumlah jenis terkecil pada lokasi ini adalah jenis tumbuhan bawah. Sedangkan pada lokasi IX kecenderungannya hampir sama dengan lokasi V.
8
.
=-n..
-
L
8
-
-
-
8 --8
-
- :-2
,.
L 7 -
. '
-
.7
-
,;'
i=
..
..
-
8
8 - - -
8 -
Jumlah jenis tumbahan b a d di semua lokasi ratit-rata hampir sama, banya
jwda lokasi VIII jenis ini paling banyak terdapat dibamhgkan dengan tmgkat
L.
+
~ c . - C ~ ~lainnya. v e ~ i~umlahjenis tumbuban pa& tingkat semai tertinggi dimiliki oleh l h i V yaitu sebanyak 53 jenis, kerndim adalah lokasi III dan IT yang memiliki 49
dan 47 jenis. Lokasi IV dan IX masing-masing mempunyai 26 jenis tumbuhan pads tingkat semai, sedangkan lokasi VI terdapat 21 jenis, lokasi VII dan Vm terdapat 19
jenis. Ldrasi I j d a h jenis pada tingkat sernainya terkecil.
Gambar 5. Histogramjumlah jenis tumbuhan yang ditemukan pada setiap lokasi studi. T
--
+ = . .= "
-
- -
-
8
'k-
: -
C-""'l %-tb. T-~*Z :,:::*,-J-
-
-
- - L i + ' -
-
d,
lokasi I (hanya 6 jenis).
Selanjutnya pada tingkat tiang, jumlah jenis tertinggi
terdapat pada lokasi V (40 jenis), kemudian lokasi IX yang memiliki 24 jenis, lokasi III dengan 20 jenis, lokasi VI, VII, VIII mempunyai jumlah jenis yang sama pada tingkat ini yaitu 13jenis, sedangkan lokasi I hanya memiliki 2 jenis. Dilihat dari Indeks Nilai Penting (INP), yaitu indeks yang menggambarkan dominansi suatu jenis tumbuhan, menunjukkan bahwa berhuut-turut untuk lokasi 1 sampai IX,jenis dominan untuk vegetasi turnbuhan bawah adalah: Carex fragrans, Selaginella sp. (lokasi 11, IV, VI dan VII), Cynodon dactylon, , Kopi-kopi, Aglaeonema pictum, dan jenis L4 (tidak teridentifikasi). Tingkat semai didominasi
oleh Melastom polyantum, jenis Ar dan jenis A1 (tidak teridentifikasi), Leea aquota, Pavetta multrflora, Cyrtandra sandei, Psychotria montana, jenis A-19 (tak
teridentifikasi) dan Phaneara Jinlaysoniana. Tingkat pancang didominasi oleh Melastoma sp., Sungkai, Dillenia excelsa, Ryparosa javanica, Dipterocarpus baudii, Microdesmis caseariaefolia, Cyrtandra sandei, Leea indica, dan Rinorea anguifera;
sedangkan jenis-jenis yang mendominasi pada tingkat tiang adalah: Pellacalyx axillaris, Macaranga sp., tiga urat ,Aglaia tomentosa, Teijsmanniodendron sp., Jerik
Jambu, Clerodendrum sp., Geunsiu hexandra, dan Glochidion obscurum. Pada tingkat pohon, jenis-jenis tumbuhan yang mempunyai INP tertinggi adalah Garcinia purvrflora, Macarangu sp. 1, Shoreu sp. Pterospermum javanicum, Dipterocurpu.~ buudii, Endo.spermum maluecense, Phoebe lanceolata, Rampah, dan Custanopsc,~ argenleu. Secara lengkap jenis dominan ini dapat dilihat pa& lampiran 1.
Beberapa jenis tumbuhan bawah seperti Curexfiagrans dan Cynodon dactylon merupakan jenis dominan pada lokasi I dan 111 adalah tumbuhan pakan gajah dari
jenis rumput-rumput pendek (short grasses). Jenis tumbuhan pakan lain yang juga dominan adalah Dillenia excelsa, Macaranga sp., Pterospermum javanicum, Endospermurn malaecense, dan Rampah merupakan twnbuhan pakan yang mempunyai nilai penting tertinggi pada tingkat pancang, tiang dan pohon di beberapa lokasi. Hal ini menunjukkan bahwa habitat ini cukup potensial menyediakan sumber pakan bagi gajah. Keanekaragaman jenis tumbuhan tertinggi untuk vegetasi turnbuhan bawah dimiliki oleh lokasi 11 dengan indeks keanekaragaman sebesar 4,147; sedangkan lokasi IV, VIII dan M mempunyai nilai yang relatif sama (sekitar 3,6) dan yang indeks keanekaragamannya terkecil adalah lokasi VI. Untuk tingkat semai, lokasi 111,
V, VIII clan M mempunyai keanekaragaman jenis yang hampir sama yang ditunjukkan dengan nilai indeks sekitar 4, sedangkan untuk tingkat pancang dimiliki oleh lokasi V (H
=
6,528) dan lokasi JII (H = 5,188). Lokasi V juga mempunyai
keanekaragaman paling tin@ untuk tingkat vegetasi tiang dan pohon, yaitu sebesar 5,164 dan 5,296; setelah itu nilai tertinggi berikutnya ada pada lokasi IX untuk tingkat tiang (H = 4,438) dan untuk tingkat pohon ada pada lokasi 111 (H = 4,912). Dari nilai ini juga terlihat bahwa indeks keanekaragaman terkecil untuk tingkat pancang adalah lokasi IV; sedangkan untuk tingkat tiang dan pohon adalah lokasi I. Dari indeks keanekaragaman yang diperoleh, terlihat bahwa secara umum (kecuali vegetasi tumbuhan bawah, sedangkan untuk tingkat semai pada urutan ke 3) lokasi V mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan lokasi lainnya, tetapi keanekaragaman jenis pada lokasi IX ternyata memiliki nilai yang relatif seragam pada semua tingkat vegetasi. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa lokasi V dan IX merupakan ekosistem yang lebih stabil. Hal ini terjadi karena ekuitabilitas (equitabilityl kedua lokasi tersebut lebih besar, dengan kata lain bahwa kelimpahan populasi jenis-jenis yang ada pada satu lokasi relatif sama. Tabel 6. Indeks keanekaragaman jenis tiap tingkat vegetasi pada seluruh lokasi studi
Nilai keanekaragaman jenis flora yang tinggi dari berbagai tingkat vegetasi diduga berbanding lurus dengan keanekaragaman fungsinya sebagai habitat gajah. Lokasi-lokasi yang tinggi keanekaragaman jenis tumbuhan pada tingkat tumbuhan bawah, semai dan pancang; fungsi habitat utarnanya sebagai tempat mencari rnakan karena menurut Eltringham (1982) gajah lebih banyak mengkonsumsi tumbuhan pakan pada tingkat itu. Sedangkan yang keanekaragaman jenisnya tinggi pada tingkat tiang dan
pohon, berfungsi sebagai pelindung (cover), antara lain sebagai tempat berlindung, beristirahat dan menjalin hubungan sosial. Dari data yang diperoleh terlihat bahwa lokasi studi yang mempunyai indeks keseragaman tertinggi pada tingkat pohon adalah lokasi VII dan I1 ,dengan nilai yang
hampir sama yaitu 03976 dan 0,975; sedarl$kaa yeng derendah adalah l o h i LU dengau nilai J = 0,917. Pada tiugbf tiang, indeks keseragirman tertinggi adalab
lokasi I clan II (dengan nilai I), sedangkan yang ter-
dengan nilai indeks 0,862
adalah pada lolcasi W. Indeks keseragmm tertinggi pada tingkat pmcaag terW pada lokasi ll (J
= 0,979)
dan yang terendah edalah lolrasi N ( J = 0,707). Pada
tingkat semai lokasi IT mempunyai indeks -an
yang terendah ( 34,688).
sedangan yang terthggi ditrmjnkkan oleh lokasi VIII dengan nilai 0,982. Lokasi II
mempMyai nilai indeks kesemgaman tertinggi uatuk vegetasi tumbuhan bawd dibandingkan lokasi lainnya yaitu J
= 0.872;
dm ytmg terendah adalah lokasi VI
den= indeks J besamya 0.314. lndeks keseragaman ini b e r w cxat dengan kelimpolhanjenis tumbuh ymg terdapt pada suata komunitas. Bila jumlah individu jenis nnnbuhan di dalam satu kom~mitaspenyebanmy lebih merata, dalam arti tidak ada kesenjangan dalam keh-ya,
dikatakan komunitas itn iebih smgam dan mem&
indeks
keseragaman maksimum. Rendahnya indeks keseragaman untuk vegetasi tumbuhan bawah di lokasi VI, dikarenakan jenis Selaginella sp. yang kelimpahannya sangat tinggi dibandingkanjenis tumbuhan bawah lainnya. Tabel 7. Indeks keseragaman jenis tumbuhan tiap tingkat vegetasi pada seluruh Iokasi studi
Untuk melihat struktur tegakan, dapat dilihat dari kerapatan pohon dan pola penyebaran menurut kelas diameternya. Pola penyebaran kerapatan menurut kelas diameter ini dapat menggambarkan kondisi ekosistem hutan yang bersangkutan. Hasil perhitungan kerapatan menurut kelas diameter untuk setiap lokasi studi dapat dilihat pada Tabel 8, dan kurva penyebaran kerapatannya pada Gambar 9. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa secara keseluruhan, kerapatan pohon yang berdiameter kurang dari 10 cm sangat tinggi. Kerapatan tertinggi terdapat pada lokasi I dengan kerapatan 4932 pohodha, disusul oleh lokasi V dengan kerapatan 3876 pohonha dan lokasi IX dengan kerapatan 3680 pohon/ha. Sedangkan kerapatan terendah untuk pohon berdiameter kurang dari 10 cm adalah pada lokasi 11.
Gambar 8. Histogram indeks keseragam8njeais tunibuhan tiap tinvegetasi di selurwh lokasi stpdi. Lokasi I yang tergolong tipe vegetssi semak bel*
me&
kenpatan 67
p o h o h MtUk kelas diameter 10-20 cm. Tidak seperti lokasi studi lainnya, pada tipe vegetasi semak belukar kerapatan pohon yang berdiameter 10-20 em dan 20-30 cm sangat rendah dan tidak terdapat pohon yang berdiameter lebih dari 40 un.
Disini hanya terdapat dm jenis pohon pads tingkat tiang ( Y i ~ asp. dan Pe11ncolyx
.
axilIaru) daa 6 jenis pada tingkat pohon yang didominasi oleh Garctntapantiflora Lokasi II k e c a h m g m strulrtur tegakamya hampir sanza dengan tipe v-.i lainnya yang dikategorikan sebagai hutan sekuader yang masih muda, seperti pada lokasi Vm. Pada lokasi II tingkat kerapatamya lebih rendah pula kelas diameter
kurang dari lOcm mpai 40 cm,dibamhgh lokasi Vm; tetapi pada lokasi VIII tidak diternukan pohon yang berdiameta lebih besar dari 40 cm, sedangkan pada lokasi II terdapat 8 batang pohon yang berdiameter 40 - 50 cm dan 8 pohon dengan diameter lebih dari 50 cm pada luasan 1 hektar*jenis dominannya adalah jenis Tampu (Macarmgasp.) yang dikenal sebagai tumbuhan pioner.
Tabel 8. Kempam p o h o h m a m t kelas diameter
Lokasi III yang dikategorikan sebagai hutan sekunder tua memiliki kempatm pohon yang I m d h e t e r kbih dari 40cm paiingtinggi&baud@ lokasi studi lain4y1, yaitu 46 p o h o h untuk kelas diameter 30-40cm, 54 pohoniha untuk ke1w 40-50cm
clan 42 pohon/ha untuk pohon dengan kelas diameter lebih dari 50 cm. Namun untuk kelas diameter 20-30cm hanya 83 pohonlha, lebih rendah dari lokasi IX yang mempunyai kerapatan 123 pohonlha; sedangkan untuk kelas diameter yang lebih kecil (10-20cm) lokasi III tennasuk rendah tingkat kerapatannya. Pada lokasi IX hanya ditemukan 5 batang pohon yang berdiameter 40-50cm dan tidak ditemukan pohon yang diameternya lebih dari 50cm pada luasan 1 hektarnya. Lokasi V yang terletak di cabang sungai Besitang-Sei Badak dapat digolongkan sebagai hutan primer, mempunyai tingkat kerapatan tertinggi untuk kelas diameter 10-20cm, yaitu 431 pohonka; sedangkan untuk kelas diameter 3040cm lokasi V dan JX menunjukkan tingkat kerapatan yang sama,hanya 35 pohonka jauh lebih rendah daripada lokasi 111. Tidak sama halnya dengan lokasi 111, pada lokasi V kerapatan pohon yang berdiameter di atas 40 cm sangat rendah, hanya 29 pohonfha. Kondisi demikian tercipta diduga karena terjadinya rurnpang, apalagi pada komunitas hutan primer kelimpahan liana tinggi. Beban liana yang berat akan meningkatkan laju kematian (tumbang) pohon yang dibebani, yang seringkali membuat pohon lain yang terikat dengannya ikut tumbang. Fenomena ini sering dijumpai di hutan hujan tropis ( Deshmukh,1992). Dari gambar 9(A) terlihat bahwa lokasi I tidak membentuk kurva J terbalik, karena tingginya tingkat kerapatan pada kelas diameter < 1Ocm sebaliknya pada kelas diameter lainnya kerapatannya sangat rendah, pada diameter lebih dari 40 cm kerapatannya 0.
Sebaliknya lokasi V
kerapatan kelas diameternya cenderung
menyebar normal sehingga membentuk kurva J terbalik, sedangkan lokasi lainnya
juga cenderung tidak normal. Pada gambar 9(B), kenormalan kurva terlihat pada lokasi IX dan VII, sedangkan lokasi VI dan VIII kerapatan pohon menurut kelas diameternya menyebar tidak normal sehingga rnembent.uk kurva yang tidak normal. Dari komposisi jenis tumbuhan pada tiap tingkat vegetasi, dapat dilihat bahwa masing-masing lokasi mempunyai struktur kualitatif yang berbeda.
Lokasi I
(komunitas semak belukar) menyediakan banyak tumbuhan sumber pakan dari jenis rumput pendek (short grasses), semak dan herba serta beberapa jenis pakan kesukaan gajah (seperti: gelagah, rotan dan bambu) berfimgsi sebagai lokasi makan, terutama
pada awal musim hujan dimana akan tumbuh rumput-rumput yang baru dan segar. Gajah menggunakan lokasi I hanya untuk aktivitas makan, ha1 ini sehubungan dengan kehadiran jenis turnbuhan pada tingkat tiang dan pohon yang sangat jarang, yang kurang mendukung fungsi habitat lainnya. Sedangkan lokasi I1 yang mempunyai struktur kualitatif vegetasi agak berbeda dengan lokasi I dipakai dalam aktivitas makan dan istirahat, mengingat adanya tumbuhan pakan dan terdapatnya tempat yang memungkinkan gajah dapat beristirahat (terlihat dari tanda yang ditinggalkan berupa bekas tindihan tubuh gajah)
.
Komunitas hutan sekunder tua yang diwakili oleh
lokasi I11 dan IX, mempunyai struktur kualitatif vegetasi yang dapat dikatakan memenuhi beberapa fungsi habitat, yaitu sebagai lokasi makan, beristirahat dan berlindung; karena terdapatnya jenis-jenis tumbuhan pakan kesukaan (seperti: jenisjenis palern dan rotan) serta kerapatan tumbuhan pada tingkat tiang dan pohon yang cukup tinggi, pohon-pohon dengan diameter besar dan bertajuk cukup rapat yang memungkinkannya sebagai naungan.
Pohon-pohon yang digunakan untuk
menggosok-gosokkan badan gajah sesudah aktivitas berkubang (rubbing trees) juga
terdapat di lokasi III, terlihat dari bekasltanda lumpur yang menempel pada batang pohon (bekas gosokan badan gajah). Hal ini menunjukkan bahwa kubangan gajah terdapat di sekitar lokasi ini. Lokasi IV, VI, WI dan VIII mempunyai struktur kualitatif vegetasi yang hampir sama dengan komposisi jenis tumbuhan pada semua tingkat vegetasi yang juga hampir sama; diduga mempunyai fungsi habitat yang sama, yaitu sebagai tempat mencari makan dan beristirahat di siang hari. Hanya pada lokasi IV keanekaragaman jenis tumbuhan pakannya lebih tinggi. Pada saat penelitian berlangsung di lokasi IV banyak dijumpai bekaslsisa pakan yang baru saja dikonsumsi oleh gajah (masih segar) seperti kulit batang Ficus lepzcurpa, daun dan batang Calopogonlum mucunoides, buah Dillenia sp. serta batang dari berbagai jenis rotan (Cullurnus spp.,). Struktur kualitatif vegetasi lokasi V yang mewakili komunitas hutan primer berbeda dengan lokasi-lokasi lainnya, bercirikan dengan lantai hutan yang relatif berslh, mempunyai pohon-pohon dengan tinggi lebih dari 35 meter dan berdiameter besar serta bertajuk rapat. Meskipun keanekaragaman jenis tumbuhan bawah dan vegetasi tingkat semai pada lokasi ini lebih rendah dibandingkan lokasi lainnya, yang menunjukkan tingkat pakan gajah yang rendah pada tingkat vegetasi tersebut, lokasi ini cukup banyak menyediakan
tumbuhan pakan dari jenis daun-daunan yang
menurut Ishwaran (1983) disukai gajah (lihat lampiran 4) dan jenis pakan kesukaan
lainnya dari jenis-jenis palem dan rotan yang ketersediaannya cukup melimpah. Dengan kondisi habitat yang dernikian, memungkinkan komunitas hutan ini berfungsi dalam mendukung berbagai aktivitas kelompok gajah, seperti makan, istirahat, berlindung, serta menjalin hubungan sosial.
5.2. Analisis Keanekaragaman Tipe Komunitas Vegetasi 5.2.1. Kemiripanl Kesamaan Komunitas
Pengamatan menyebar di sembilan lokasi yang dianggap dapat mewakili sebagian dari habitat gajah di Ekosisitem Leuser. Kesembilan lokasi pengamatan tersebut mempunyai kondisi vegetasi yang relatif berbeda. Lokasi I merupakan tipe vegetasi semak belukar, dengan kondisi tajuk yang terbuka karena hanya terdapat beberapa tumbuhan pada tingkat tiang dan pohon. Lokasi 11, N,VI, VII dan VIII dapat digolongkan pada tipe vegetasi hutan sekunder muda. Sedangkan lokasi III dan
IX merupakan hutan sekunder tua, sementara lokasi V adalah hutan primer. Terbentuknya vegetasi semak belukar merupakan akibat
gangguan terhadap
ekosistem hutan yang berlangsung cukup lama, mengingat adanya kegatan logging di masa lalu dan kemudian disusul dengan penggunaan lahan untuk areal perkebunan terutama di daerah pinggiran sungai yang berlangsung sampai sekarang. Keanekaragaman tipe komunitas vegetasi habitat gajah di lokasi penelitian dapat dianalisis dengan membandingkan indeks kesamaan komunitas antara komunitas-komunitas yang diamati. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa ternyata secara umurn tipe komunitas vegetasi habitat gajah di lokasi penelitian bisa dikatakan tidak sama. Hal ini dapat dilihat dari nilai indeks yang dihasilkan untuk semua tingkat vegetasi hanya ada satu indeks yang mempunyai nilai lebih dari 46% untuk tumbuhan bawah. Menurut Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974) indeks kesamaan komunitas (Jaccard) antara 25 - 50%
menunjukkan bahwa komunitas yang
dibandingkan merupakan bagian dari asosiasi vegetasi yang sama. Nilai tersebut diukur berdasarkan kehadiran jenis dalam suatu komunitas.
Dari data terlihat bahwa pada
tumbuhan bawah lokasi I ternyata tidak
mempunyai kemiripan sedikitpun dengan lokasi IV (IS = O), atau dengan kata lain jenis-jenis yang ada di lokasi I tidak terdapat di lokasi IV dan sebaliknya demikian. -
Derajat kesamaan komunitas terbesar pada tumbuhan bawah dimiliki oleh lokasi VI dan VII dengan nilai 46.61%. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa lokasi VI dan VII mempunyai kemiripan pada vegetasi tumbuhan bawah. Pada vegetasi tingkat sernai lokasi II &an V mempunyai indeks kesamaan komunitas paling besar (13,05%) dibandingkan pasangan lokasi lain.
Bahkan
pasangan lokasi I&IV, I&VI, II&VI, III&VII, N&V, IVdZVII, IV&E dan V&VI mempunyai indeks kesamaan komunitas sebesar 0% atau indeks ketidaksamaan loo%, sehingga pada tingkat ini tidak terdapt kemiripan vegetasi antar semua lokasi. Pada tingkat pancang
indeks kesamaan komunitas secara keseluruhan rendah,
dengan nilai indeks berkisar 5% hanya dimiliki oleh 4 pasangan lokasi, bahkan ada 10 pasangan lokasi yang mempunyai indeks 0%. Dengan demikian pada tingkat pancang tidak ada kemiripan pada semua lokasi. Lokasi VII&VIII memiliki tingkat kesamaan tertinggi pada vegetasi tingkat tiang, yaitu sebesar 20,51%; sedang pasangan lokasi VIII dan VI hanya sebesar 14,99% masih lebih besar dibandingkan pasangan lokasi lainnya. Pada vegetasi tingkat tiang derajat kesamaan komunitasnya secara umum paling rendah, ditunjukkan dari nilai indeks ketidaksamaan yang pada 25 pasangan lokasi besarnya 100%. Indeks kesamaan komunitas tertinggi pada vegetasi tingkat pohon sebesar 19,91% dimiliki oleh lokasi I&VI, sedang untuk lokasi VIII&IV dan IX&VIII
masing-masing sebesar 16,95% dan 11,62%. Hal ini menunjukkan bahwa pada vegetasi tingkat pohon untuk semua lokasi tidak ditemukan kesamaan. Jadi menurut standar dari Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974) dapat disirnpulkan berdasarkan -
indeks kesamaan komunitas yang diperoleh bahwa kesamaan komunitas hanya terlihat pada lokasi W&VIpada vegetasi tumbuhan bawah, sedangkan pada tingkat vegetasi lainnya tidak terlihat adanya kesamaan. Jadi secara umum dapat dikatakan bahwa dari indeks kesamaan komunitas, kesembilan lokasi contoh yang dianalisis sebagai representasi dari habitat gajah menunjukkan adanya keanekaragarnan (diversityl antara komunitas-komunitas yang diteliti. Hal ini sangat menguntungkan bagi kelompok populasi gajah mengingat daerah jelajah gajah yang sangat luas menuntut adanya keanekaragaman tipe vegetasikomunitas turnbuhan yang marnpu menghadirkan berbagai jenis turnbuhan yang dapat memenuhi kebutuhan dasar bagi gajah setiap musim (sepanjang tahun). 5.2.2. Ordinasi Komunitas
Dari hasil ordinasi komunitas yang pengaturannya berdasarkan indeks ketidaksamaan komunitas, diperoleh hasil seperti diperlihatkan pada Gambar 1OA10E. Pada vegetasi tumbuhan bawah, jenis-jenis yang terdapat pada lokasi VI mempunyai kemiripan dengan yang terdapat pada lokasi VII. Demikian juga dengan lokasi I1 dan I11 serta lokasi VIII dan IX yang letaknya di dalam grafik berdekatan. Hal ini diduga karena pengambilan lokasi contoh tersebut di lapangan berdekatan, sehingga memungkinkan kondisi lingkungan yang mirip dalam menentukan kehadiran jenis.
Sedangkan lokasi I dan V tidak mempunyai kemiripan dengan
lokasilainnya (Gambar 1OA). Bila dilihat dari tipe vegetasinya, lokasi I dan V
mempunyai karakteristik yang berbeda dengan lokasi lainnya. Lokasi I didominasi oleh kehadiran rurnput-rumputan karena kondisi tajuknya yang terbuka, sebaliknya lokasi V yang merupakan hutan primer, menentukan kehadiran jenis turnbuhan bawah clan semai yang berbeda karena kondisi tajuk yang rapat. Dengan demikian struktur floristik pada lokasi I dan V sangat tidak mirip dengan lokasi lainnya, dan merupakan komunitas yang berdiri sendiri. Hasil ordinasi pada vegetasi tingkat semai (Gambar IOB) menunjukkan bahwa lokasi 11, IV, VIII, dan IX berbeda satu sama lain dan berbeda dengan lokasi lainnya. Ini terlihat dari letak keempat lokasi tersebut dalam grafik yang menyebar berjauhan. Lokasi yang letaknya berdekatan, karena mempunyai beberapa jenis tumbuhan yang hampir sama adalah lokasi I11 dengan VI, VII dengan I dan V.
I
1 j
Grafik Odmasi Tumbuhan Bawah
"
Lokasi 1 X Lokasi 4 f Lokasi 7
40w%m160 Lokasi 2 X Lokasi 5 Lokasi 8
-
LaSi'[ @ Lokasi 6
-Lokasi 9
I
-1
Gambar 10A. Grafik ordinasi tumbuhan bawah untuk semua lokasi studi. Grafik ordinasi vegetasi tingkat pancang seperti terlihat pada gambar 10C menunjukkan bahwa ada beberapa lokasi yang mempunyai persamaan jenis
tumbuhan pada tingkat pancang, meslupun prosentasenya sangat kecil, sedangkan lokasi yang berjauhan dalam grafik sama sekali tidak mempunyai persamaan jenis. Gambar 10D adalah grafik ordinasi vegetasi tingkat tiang yang menunjukkan bahwa lokasi VII dan VIII mempunyai kesamaan struktur pada tingkat vegetasi ini, demikian juga dengan lokasi V, VI, IX, 111, dan IV yang letaknya di dalam grafik berdekatan diduga mempunyai kondisi lingkungan yang hampir sama. Sedangkan lokasi I dan I1 yang merupakan komunitas semak belukar dan hutan sekunder muda pada tingkat vegetasi ini merupakan komunitas vegetasi yang berdiri sendiri, karena kondisi lingkungan yang berbeda dengan lokasi lainnya.
I
Grafik Ordinasi Vegetasi Tingkat Sernai
+Lokasi 1 X Lokasi 4
Lokasi 2 X Lokasi 5
-
Lokasi 9
Gambar 10B. Grafik ordinasi vegetasi tingkat semai untuk semua lokasi studi. Dari grafik ordinasi pada garnbar 10E menunjukkan
pola penyebaran
komunitas pada vegetasi tingkat pohon, letak lokasi I, VI, V, 111 dan I1 saling berdekatan sedangkan 4 lokasi lainnya menyebar berjauhan. Ini menunjukkan bahwa
pada lokasi yang b e r d e b di d a b grafik mempuuyai jenis-jenis tumbdm yang
sama pada tingkat vegetasi ini. Bila memjnk dari in*
ketidaksamaan komunitas mark
vegetasi, bngkat kesamaan dari komunitas-komuniitas cwtoh
Semua
tingkat
mum sangat
kecil sekali (sawgt berbeda), h g k a u dari hasil ordinasi Mihat pada grafik poia
penyebaran beberapa komuaitas sangat dekat sehmgga dapat disimpulkau bahwa
her- ordinasi komuaitas-komuniitas tertentu mempunyai bmiripan stmkhd (terlihat dati jarak pada @k
yang begitu dekat). Nwm seteiah dilakukaa uji
b l a s i dan uji t student (a= 0.05) dari penyebaran Iromunitas tersebut pada grafik menmjukkan bahwa ada korelasi Bntara penyebaran komunitas (jar&) dengan nilai ID antar lokasi (Lampimu &b,d dan e), sedangkan untuk vegetasi tiagkat panoaag
tidak ads korelesi.
k ordinasi vegetasi tinglrat pancang untuk semm loalrsi studi.
Gambar 10C. M
5.3. Karakteristik Lokasi Aktivitas
5.3.1. Lokasi Makan Kelompok populasi gajah mengembara di wilayah jelajahnya untuk memenuhi - kebutuhan
pakan kelompoknya. Dengan postur tubuh yang besar, herbivora ini tentu
membutuhkan jumlah
pakan
yang
pengembaraannya gajah selalu mencari
besar
pula.
pakan
Karenanya, sepanjang
dan memakan apa saja yang
disukainya. Pengembaraan yang cukup panjang dan mencakup wilayah yang cukup luas, menjadikan gajah memakan jenis-jenis turnbuhan yang beranekaragam, dan variasi jenis tumbuhannya seperti: rotan, palem, rumput, semak belukar, liana, sampai tumbuhan berkayu; hingga variasi bagian-man yang dimakannya seperti: daun, buah, ranting, batang, kulit, umbut, bahkan akarnya. Mengingat keanekaragaman tumbuhan sumber pakan gajah dan wilayah jelajah yang cukup has, bisa dikatakan bahwa lokasi aktivitas makan gajah juga bervariasi dari tipe vegetasi semak belukar sampai hutan primer. Jadi tidak ada karakteristik yang khusus dari lokasi makannya. Hanya bila dilihat dari sumber pakan yang tersedia baik keanekaragaman dan kelimpahannya di suatu tempat, gajah akan melakukan aktivitas yang lebih intensif di lokasi yang mempunyai potensi pakan yang lebih besar. Dalam ha1 ini aktivitas makan gajah biasanya berhubungan dengan musim yang akan berpengaruh pada kelimpahan pakan di suatu tempat. Pada tipe vegetasi semak belukar yang cenderung didominasi oleh jenis-jenis rumput, semak dan herba; berdasarkan laporan dari penduduk dan pawang gajah, biasanya aktivitas makan lebih intensif dilakukan pada awal musim hujan dimana akan lebih banyak tersedia rumput-rumput segar. Sedangkan pada tipe vegetasi hutan lainnya yang
banyak menyediakan daun-daunan dan jenis-jenis rotan akan lebih intensif digunakan pada musim kemarau. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian tentang gajah di India yang dilaporkan oleh Sukumar (1985). Biasanya aktivitas makan dilakukan dengan mencabut, mematahkan, dan mengupas; bahkan untuk mendapatkan buah-buahan menurut Legowo (1994) kadang-kadang gajah menubruk batang pohon besar agar buahnya terguncang dan j atuh. 5.3.2. Lokasi Istirahat
Pada saat penelitian berlangsung hanya ditemukan 2 lokasi yang diduga merupakan tempat istirahat. Hal ini terlihat dari jejaMtanda yang ditinggalkan berupa tumbuh-tumbuhan yang rebah dan layu bekas tertindih tubuh gajah (posisi tubuh gajah yang sedang beristirahat, tubuhnya rebah tertumpu pada satu sisi). Lokasi ini dijumpai di hutan sekunder muda (lokasi 11) yang mempunyai beberapa pohon yang bertajuk cukup rindang dan hutan sekunder tua (lokasi 111) yang mempunyai jenisjenis pohon dengan tinggi rata-rata berkisar antara 10 hingga 35 meter dan tajuknya rapat, lantai hutannya relatif bersih dan topografinya relatif datar. Gajah menyukai tempat-tempat yang teduh untuk beristirahat di siang hari, setelah aktivitas makan, yang dinaungi pohon-pohon yang bertajuk agak rapat karena gajah sumatera tidak tahan terhadap sengatan sinar matahari langsung di siang hari dibandingkan dengan gajah afrika (Leckagul and McNelly,1977).
Diagram profil lokasi yang diduga
sebagai tempat istirahat dapat digambarkan seperti pada Gambar 1 1.
5.3.3. Lokasi Berkubang Berkubang merupakan aktivitas yang sering dilakukan oleh kelompok gajah di siang hari, terutama untuk mendmginkan suhu tubuhnya yang panas. -
Lokasi
berkubang biasanya dekat dengan sumber air. Pada saat penelitian berlangsung hanya dijumpai 2 lokasi yang diduga bekas kubangan gajah yang sudah lama ditinggalkan. Ukuran kubangan yang ditemukan tidak begitu jelas karena sudah kering dan tertutup serasah. Sedihtnya jumIah kubangan yang dijumpai diduga berhubungan dengan letak habitat gajah yang hkelilingi banyak sumber air seperti alur dan sungai yang tidak pernah kering, sehingga gajah lebih sering menggunakan sungai maupun alur untuk berendam. Kondisi vegetasi di sekitar lokasi yang diduga sebagai tempat berkubang agak terbuka (bertajuk jarang) hingga sedang. Jenis-jenis pohon di lokasi tersebut besar dan tinggi dengan kulit batang yang kasar, digunakan oleh gajah sebagai tempat untuk menggosok-gosokkan badannya setelah selesai berkubang, yang biasa disebut rubbzng trees. Tanda yang ditinggalkan pada pohon itu berupa lumpur kering yang menempel di batang pohon yang tingginya diperlurakan sama dengan punggung gajah, yaitu sekitar 2 meter. Diagram profil vegetasi di sekitar lokasi yang diduga sebagai tempat berkubang dapat dilihat pada Gambar 12. 5.4. Tumbuhan Pakan
Gajah adalah herbivora yang pakannya bersumber pada tumbuh-tumbuhan yang meliputi: daun, batang dan kulit batang, umbi, umbut, akar, dan buah. Di habitat alaminya gajah menjelajah hutan dalam area yang sangat luas untuk memenuhi
Tinggi (m)
Keterangan: A. Phoebe grarldis B. Pentaceae polyanha C . Baccaurea paw flora D. Endospermurn rnaiaccense E. Tabernaemontanasp. F . Aporosa qz/adriIoc~/laris G. Milletia atropzirpzirea H . Pternandra galeata I . Ixonanthes icosandra K. Guioa diplopetala L. Shorea atri~le~-vosa M . Glochidion rubrum Q. Kameng Landok (tt) R. Bak Geunci (tt)
Galnbar 1 1. Diagram Profil Vegetasi di Lokasi Istirahat
kebutuhan pakan kelompoknya, mengingat ukuran tubuhnya yang besar yang membutuhkan makanan lebih banyak dibandingkan herbivora lainnya. Pakan alarni gajah mempunyai kamkteristik tersendiri. Menurut laporan Sukumar (1985), meskipun gajah India adalah pemakan segala jenis tumbuhan namun ada beberapa ordo yang paling sering dikonsumsinya (sebanyak 68% dari jenis turnbuhan yang tercatat sebagai pakannya), adalah dari ordo Malvales ( dari suku Malvaceae, Sterculiaceae, dan Tilliaceae), lalu dari suku Legurninoceae, Palmae, Cyperaceae d m Graminae. Di lokasi penelitian dijumpai 55 jenis surnber pakan gajah yang masuk ke dalam petak contoh, dan ada beberapa lainnya berada di luar petak contoh. Jenisjenis tersebut termasuk ke dalam lebih dari 20 suku, dan beberapa suku diantaranya adalah: a. Poaceae dan Cyperaceae. Jenis-jenis rumput pakan Gajah yang ditemukan di lokasi penelitian adalah dari suku Cyperaceae adalah rumput kerisan (Carex fragrans), sedangkan yang lainnya adalah dari suku Poaceae, yaitu
Cynodon I~actylon,Sporobulus diander, Pennisetum
purpureum, Eleusine indica, Axonopus compressus, Setaria palmlfoliu, Imperata cylindrica, Polytrias praemorsa, Brachiuria muticu, Brachiuriu reptans, dan Saccharum spontaneum. Meskipun gajah memakan hampir semua jenis rumput (menurut informasi yang diperoleh), namun jenis rumput yang sangat disukai gajah adalah jenis rumput yang besar seperti gelagah (Saccharum spontaneum). Jenis ini banyak dijumpai di pinggir hutan sepanjang tepi sungai, terutama di lokasi pengamatan Aras Napal
(Besitang) yang mewakili tipe vegetasi semak belukar clan hutan sekunder muda. b. Palmae.
sangat
Seperti halnya kelapa aenis tanaman perkebunan), gajah juga menyukai
turnbuhan
(Johannesteijsmannia
sejenisnya.
altifons)
(Johannesteijsrnannia sp.)
dan
Palem Palem
Sang Datuk Sang
Minyak
adalah pakan yang disukai Gajah terutama
bagian daun dan batangnya. Johannesteijsmannia altlfions berdaun lebar
dan berbentuk lipatan-lipatan (seperti halnya palem payung) termasuk tumbuhan yang dilindun~mengingat hsaran penyebarannya sempit. Daunnya dapat digunakan sebagai atap nunah, karena lebar dan cukup kuat. Dua jenis Palem Sang di atas banyak terdapat di kawasan hutan Aras Napal (lokasi I1 dan 111) dan Sikundur, sedangkan di lokasi penelitian lainnya, tidak ditemukan. Selain palem sang, jenis lain dari suku Palmae adalah aren (Arenga sp.) yang bagian umbutnya menjadi santapan gajah. c. Arecaceae.
Jenis pakan dari suku ini bagian batangnya merupakan
makanan yang paling disukai gajah. Jenis tumbuhan ini batangnya berduri seperti: rotan (Callurnus sp.j, salak hutan (Salaccca ufini:nlsj,Kumbar dan palas duri (Licuula spinosu). Penyebaran jenis tumbuhan dari suku ini cukup merata (hampir di semua lokasi pengamatan), terutaina dari genus
Cullurnus Cjenis-jenis rotan) yang diperkirakan ada 6 jenis rotan. Selama penelitian berlangsung banyak dijumpai sisa-sisa batang rotan bekas dimakan gajah.
Keterangan: A. Phoebe gro,rdis 8.Pentaceae polyanha C Baccatlrea parvrfora D Endospermum malaccense E. Tahernaemontana sp F Aporosa q t ~ a d r i l o c t ~ l ~G. s Milletia atroptrrpurea H . Pternandra galeata I . lxonanthes icosandra J . Litsea mappacea 0 . Cantikan (tt) P. Jambu Kura-kura (tt) Q. Kameng Landok (tt) R. Bak Geunci (tt) S. Cengal T. Pulai U. Merbo asan
Gambar 12. Diagram Profil Vegetasi di Lokasi Berkubang
d. Moraceae. Turnbuhan dari suku ini yang ditemukan di lokasi penelitian
sebagai pakan gajah diantaranya adalah jenis Ficus lepicarpa dan Ficus asperiuscula yang oleh gajah tumbuhan ini dipilih bagian buah dan kulit batangnya. Pada saat penelitian berlangsung, ditemukan jejak bekas pakan gajah yang baru saja ditinggalkan berupa batang pohon ara (Ficus sp.) yang terkupas kulitnya. Penulis menduga bahwa gajah memakan bagian kulit batang jenis tumbuhan ini. Masih dari suku yang sama, yaitu Arthocarpus elasticus dan Arthocarpus komendo, buahnya sangat disukai gajah.
e. Euphorbiaceae.
Kulit batang dari suku ini, yaitu jenis Mallotus
paniculatus dan Macaranga sp. sering dijumpai terkupas dari batangnya. Diduga gajah hanya memakan bagian kulit batang dari jenis-jenis ini. Macaranga sp. merupakan jenis tumbuhan dominan untuk tingkat pohon
dan tiang pada lokasi 11. f. Mimosaceae. Batang dari tumbuhan M~mosapudica dan Mimosa pigra
yang berduri dipilih oleh gajah untuk menjadi santapannya. Sisa-sisa dari tumbuhan jenis ini banyak ditemukan berserakan di antara jejak kaki gajah di atas pasir di pinggir sungai. Jenis lain dari suku ini adalah Pithecellob~um elliptlcum (jengkol utan) dan Pithecellobium jeringa (jering),
yang menurut informasi yang diperoleh: akar dan kulit
batarlgnya dimakan oleh gajah. g. Zingiberaceae.
Jenis-jenis tumbuhan dari suku ini dipilih oleh gajah
bagian umbinya untuk dilnakan (berdasarkan informasi), diantaranya
adalah
Amomum foetus (bili), Elasteriospermum tapos (tepos), dan
Nicolaia speciosa (kecombrang). Jenis-jenis ini membentuk rumpun yang
cukup padat, sehingga di beberapa tempat kadang menjadi dominan. -
h. Dilleniaceae.
Buah dari Dillenia sp. (mampre) yang berasa asam dan
kelat (sepat) sangat disukai gajah.
Bekas sisa makanannya banyak
ditemukan di lokasi pengamatan I11 dan IV, bahkan di lokasi III merupakan tumbuhan dengan INP tertinggi untuk tingkat pancang. Buahnya berbentuk bulat, berwarna hijau rnuda sampai hijau kekuningan, kulitnya tebal dan berserat. Tumbuhan jenis ini dijumpai pada tingkat pohon dengan batang yang coklat kemerahan menyerupai warna batu bat.. i. Musaceae. Beragam jenis pisang hutan (Musa spp.) dijumpai di hampir
seluruh lokasi penelitian, namun kelimpahan terbanyak ditemukan di lokasi Alur Keriang (lokasi VIII dan IX).Buah dan pelepah pisang hutan merupakan pakan kesukaan gajah.
j. Jenis-jenis Liana. Ada beberapa jenis liana yang sangat disukai bagian batangnya oleh gajah, antara lain akar daging (tidak teridentifikasi) dan Phaneara finlayson~ana. Jenis- jenis ini banyak ditemukan di tipe
vegetasi hutan sekunder tua dan hutan primer, dan selama pengamatan berlangsung banyak dijurnpai bekaslsisanya. Secara keseluruhan penyebaran tumbuhan pakan gajah hampir merata di setiap tipe vegetasi, namun berdasarkan jenisnya pada tiap tipe vegetasi umumnya menghadirkan jenis-jenis tumbuhan yang relatif berbeda. Jadi setiap jenis tumbuhan
pakan penyebarannya mengelompok, kecuali jenis-jenis rotan (Callamus spp.) yang menyebar merata. Dari tipe vegetasi yang ada, pada vegetasi semak belukar terdapat sumber pakan gajah yang keanekaragaman dan kelimpahannya lebih tinggi dibandingkan pada tipe vegetasi lainnya. Data menunjukkan bahwa pada lokasi I (vegetasi semak belukar) terdapat 28 jenis tumbuhan pakan gajah, sedang pada lokasi IV terdapat 16 jenis clan lokasi lainnya hanya berkisar antara 7 sarnpai 11 jenis. Dengan demikian keanekaragarnanjenis maksimum tertinggi juga pada lokasi I yaitu sebesar 4.807 dan lokasi IV sebesar 4, sedangkan lokasi lainnya di bawah nilai 4 (Tabel 9). Meskipun lokasi I memiliki ketersediaan clan keanekaragarnan jenis tumbuhan pakan yang lebih tinggi dibandingkan lokasi pengamatan lainnya, namun jenis-jenis yang ada pada umurnnya berupa rumput-rumput pendek (short grasses) yang kurang disukai oleh gajah. Menurut laporan dari Sukurnar (1985) gajah India memakan rumput pendek hanya selama musim hujan, dimana ketinggian rurnput tersebut dapat mencapai setengah meter dan mulai berbunga Selain jenis rumput pendek, di lokasi I dijumpai juga jenis rumput panjangtinggi (tall grasses) seperti gelagah (Saccharurn spontaneum) yang sangat disukai oleh gajah dan ketersediaannya melimpah. Beberapa jenis rotan (Callamus spp.), bambu (Bclmbusa spp.) dan pandan (Pandanus spp.) juga terdapat di lokasi I dan merupakan pakan kesukaan gajah. Tulnbuhan pada tingkat pancang, tiang dan pohon yang diketahui juga merupakan pakan gajah (menurut Sukumar (1985) di India dan Ishwarsln (1983) di Sri Lanka) yang terdapat di sini adalah Mallotus paniculatus, Croton caudatus, dan Vitex sp.
Tabel 9. Data jenis tumbuhan pakan tiap lokasi studi
I
VIII
7
2.81
1.4
IX
9
3.17
1.87
Selain rumput, gajah juga membutuhkan jenis pakan lain seperti daun-daunan
dari tumbuhan yang lebih tingg, semakherba, maupun batang pohon (Eltringham, 1982). Variasi pakan tersebut biasanya bergantung pada musim yang berpengaruh terhadap ketersediaan pakan di habitat alaminya. Jenis-jenis rumput dan herba biasanya banyak dikonsumsi pada musim hujan, dimana jenis-jenisnya melimpah. Sedangkan pada musim kemarau gajah lebih menyukai daun-daunan yang lebih segar, sementara rumput biasanya mengering. Sukumar (1985) mengatakan bahwa gajah memilih jenis rumput panjang (tall grasses) berhubungan dengan kesukaannya pada tahap tertentu perturnbuhan rumput tersebut. Gajah sangat menyukai rumput panjang pada awal musim hujan dimana bermunculan rumput baru fresh grass) karena mengandung karbohidrat yang mudah dipecahkan dan kandungan serat dan silikanya rendah. Sedangkan kandungan nutrisi rumput tua (mature grass) berlaku sebaliknya. Selanjutnya dikatakan bahwa gajah mempunyai strategi pemilihan musim dalam menentukan konsumsi antara rumput
dan daun-daunan yang sangat terkait dengan kandungan protein tumbuhan. Selama musim kering tingkat protein rurnput turun di bawah 2.5%. Sebaliknya pada daund a m n mempunyai kandungan protein yang tinggi pada musim kering ( 8 - 10% pada Malvales dan 10 sampai 20% pada Legurninoceae), sehingga pada musim kering gajah lebih menyukai dam-daunan. Gajah di daerah kering bagian timur Sri Langka memiliki lebih banyak variasi pakan dari jenis-jenis daun-daunan (browse). Banyak jenis-jenis daun-daunan yang penting sebagai pakan gajah berdasarkan hasil penelitian Iswaran (1983) terdapat di lokasi penelitian. Jenis-jenis tersebut se-an
besar dijumpai Q lokasi V yang
merupakan hutan primer dan daftarnya dapat dilihat di Larnpiran 4. Mengenai alasan gajah memakan kulit pohon belum diketahui sepenuhnya, tapi perilaku tersebut diduga berhubungan dengan kekurangan asam lemak essensial pada asupan makanannya (McCollough, 1973), juga mineral-mineral tertentu seperti: mangan (Mn), besi (Fe) dan tembaga (Cu) yang banyak terkandung dalam kulit pohon (Dougall et al, 1964), juga natrium (Na) (Naomi,1980) dan kalsiurn (Ca) (Croze, 1974).
Berdasarkan hasil penelitian, kulit pohon yang terlihat
bekas
dimakan (terkelupas) oleh gajah adalah dari jenis Mallotus paniculatus, Macaranga spp, P~ltlzecellobiumellrptlcum, Plthecellobium jeringu, dan Ficus spp.
Gajah sangat menyukai tumbuhan yang berdaun kasar dan batang yang berduri, seperti jenis-jenis rotan dan palem. Ini terlihat dari tingkat kerusakan pada jenis tumbuhan dan jejakhekas pada tempat aktivitas makannya.
Jenis-jenis rotan dan
palem banyak terdapat di tipe hutan sekunder tua dan hutan primer dan merupakan sumber pakan dominan bagi gajah di lokasi 111, IV, V, VI, VII, dan IX. Ternyata
menurut laporan Olivier (1978) jenis-jenis palem juga merupakan pakan dominan gajah di hutan hujan tropis Malaysia. Ananthasubrahmaniam (1980) menambahkan, kesukaan gajah terhadap jenis-jenis palem karena kandungan cobalt yang tinggi pada jenis tersebut. Variasi jenis pakan di beberapa tipe vegetasi habitat gajah, secara proporsional berdasarkan kerapatan per hektar dapat dilihat pada Gambar 13.
Dari Gambar 13 dapat dilihat pada tipe vegetasi hutan primer clan hutan sekunder tua, tumbuhan pakan gajah didominasi oleh jenis palem dan rotan yang memang kelimpahannya sangat tingg di tipe vegetasi dimaksud. Lain halnya dengan hutan sekunder yang menyediakan pakan bagi gajah lebih dominan dari jenis-jenis herba dibandingkan dengan jenis lainnya. Sedangkan tipe vegetasi semak belukar yang mempunyai banyak jenis nunput, sebagian besar pakan gajah berasal dari jenisjenis rumput dan herba, sedangjenis lainnya tingkat kehadirannya sangat kecil. Hasil pengamatan di lapangan dan hasil perhitungan indeks nilai penting pada analisis vegetasi, menunjukkan bahwa tumbuhan surnber pakan gajah yang terdapat/termasuk ke dalam petak contoh sebagian mempunyai Indeks Nilai Penting yang tinggi, seperti: Curex fragruns (INP
=
39.75) adalah jenis dominan untuk
tumbuhan bawah di lokasi I; Mucaranga sp. (INP
=
102.13 dan 7 1.5) merupakan
jenis dominan untuk tingkat tiang dan pohon di lokasi 11; sedangkan di lokasi 111 tumbuhan pakan gajah dan jenis dominan untuk tumbuhan bawah adalah Cynodon dactylon (INP = 65.15). Selain itu masih ada jenis pakan gajah yang tidak terrnasuk ke dalam petak contoh, ydng secara umum kelimpahannya sangat tinggi seperti: jenisjenis rotan (Callamus spp.} dan bennacam-macam pisang hutan (Musa spp.}. Hal ini dikarenakan jenis rotan dan pisang umumnya membentuk rumpun yang sangat
banyak dan menempati area yang cukup luas, dikhawatirkan pengambilan contohnya tidak memenuhi konsep ketenvakilan. sekunder tua
hutan plmer
1
/ Oherba
O
r
u
!
!
1
bpohon & liana .palem
hutan sekunder
0 rumput
& rotan 0 h e q
Semak Belukar
I1 1
Oherba
Urumput
1
1
I
Gambar 13. Diagram kue variasi jenis pakan gajah pada beberapa tipe vegetasi: B. Hutan sekunder tua A. Hutan primer D. Semak belukar. C. Hutan sekunder muda Berdasarkan paparan di atas dan mengingat cukup meratanya penyebaran tumbuhan sumber pakan secara urnum (bukan penyebaran jenis) di setiap tipe vegetasi dapat dikemukakan bahwa potensi tumbuhan pakan di habitat gajah di sebagian unit habitat, dalam ha1 ini kawasan hutan Besitang-Sikundurkangkatdan Cagar Alam Serbajadi dan sekitarnya (Aceh Timur) cukup memadai dan potensial dalam mendukung kehidupan populasi gajah yang ada. Selain itu keanekaragaman
tipekomunitas vegetasi yang menghadukan jenis tumbuhan pakan yang beranelcaragam pula, memugkinkan gajah untuk memenuhi semua unsur yang dibutuhkan tubuh dalarn suplai makanannya. Kesimpulan ini masih bersifat kualitatif berhubung &lam penelitian ini tidak dilakukan pendugaan biomas dan nilai produkti9itas pakan gajah. Akan halnya kelompok populasi gajah sering mengganggu pemukiman dan kebun penduduk, ini berkaitan dengan terpotongnya jalur jelajah gajah karena konversi habitat dan penanaman tanarnan (perkebunan) yang atralctif yang ternyata sangat disukai gajah.
5.5. Sumber Garam-garam Mineral (Salt Licks) Gajah membutuhkan garam-garam mineral yang diperlukan dalam proses metabolisme tubuhnya dan melancarkan proses pencernaan makanan. Untuk memperoleh garam-garam mineral tersebut mereka mengunjungi tempat-tempat tertentu yang disebut sebagai salt licks. Berdasarkan jejak kaki gajah yang dijumpai selarna penelitian berlangsung, ada beberapa lokasi yang diduga sebagai tempat mengasin, yaitu di tebing-tebing sungai dan alur-alur kecil di dalarn hutan, juga di lantai hutan. Jejaknya terlihat dari kaisan-
kaisan pada tanah (dengan kaki maupun belalai gajah) yang diduga mengandung unsur-unsur mineral seperti: pospor (P), natrium (Na), calsium (Ca), dan magnesium (Mg). Kandungan mineral yang terdapat pada salt licks, dianalisis di Laboratorium Analisis Tanah Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Aspek yang diukur adalah tingkatlnilai keasaman tanah dan unsur-unsur mineral yang dibutuhkan gajah dalam proses metabolisme, yang hasilnya dapat dilihat pada Lampiran 7.
Dari nilai pH yang diperoleh memperlihatkan bahwa tanah yang berada di kawasan hutan Aras Napal lebih asam dibandingkan yang ada di lokasi lainnya. Hal ini berhubungan dengan perbedaan jenis tanah di lokasi studi. Tanah di kawasan Aras Napal dengan pH rata-rata 5 mempunyai kandungan mineral pospor (P), kalsium (Ca) dan magnesium (Mg) yang lebih kecil dibandingkan tanah di kawasan hutan lainnya (pH rata-rata 6).
Tetapi tidak demikian halnya dengan kandungan
natrium (Na) yang rata-rata di semua lokasi pengambilan contoh tanah, kandungan mineral ini hampir sama, hanya di beberapa lokasi menunjukkan angka yang lebih tingg. Lokasi dimaksud adalah 2 bekas kubangan gajah di Aras Napal yang secara geografis terletak pada 03" 57' 46.2" LU / 98" 05' 11.0" BT dan 03" 58' 03.7" LU / 98" 04' 13.7" BT yang mempunyai kandungan mineral Na sebesar 0.60 me1100g dan 0.69 me1100g; dan 2 lokasi di kawasan hutan Serbajadi yang kandungan Na- nya paling tinggi yaitu 1.33 me1100g (Alur Kumbar) dan 1.23 me/100g (Alur Keriang). Pada 2 lokasi yang disebutkan terakhir contoh tanah diambil di tebing sungai. Gajah, seperti halnya satwaliar lainnya, membutuhkan tambahan mineralmineral tertentu untuk membantu proses metabolisme tubuhnya. Unsur pospor ternyata sangat penting, dan biasanya satwaliar yang kekurangan unsur ini, dapat mempengaruhi daya reproduksinya (Bailey, 1984) dan dibutuhkan untuk proses fermentasi karbohidrat (Durand and Kawashima, 1980).
Unsur Ca dan Mg
dibutuhkan untuk pembentukan dan kekuatan tulang dan gigi. Kedua unsur ini saling melengkapi, dan biasanya terkandung dalam tanah unsur Ca lebih tinggi dibandingkan Mg.
Dari hasil analisis gerombol (Muster) &ngan jarak eukliden yang melibatkan tiga peubah yaitu Natrium, Calsiurn, dan Magnesium yang terkandung dalarn salt Irch di semua lokasi studi didapat 5 gerombol (Garnbar 14). Gerombol 1 terdiri atas
17 lokasi contoh yang sebagian besar terletak di Aras Napal, mempunyai kandungan mineral yang rata-rata lebih rendah dibandingkan gerombol lainnya. Lokasi dengan kandungan Na yang cukup tinggi membentuk 2 gerombol, masing-masing gerombol 2 yang ternyata adalah 2 lokasi (1 1 dan 12) bekas kubangan gajah di Aras Napal dan
gerombol 5 adalah lokasi contoh yang terletak di tebing sungai: Alur Kumbar (lokasi 21) clan Alur Keriang (lokasi 28). Lokasi 16 membentuk gerombol sendiri dengan nilai Ca dan Mg tertinggi.
Pada
semua contoh tanah yang dapat dianalisis
kandungan phospornya, terdapat 5 lokasi yang mempunyai kandungan phospor yang cukup tinggi yaitu 3 lokasi di sekitar Lubuk Pete dan Lubuk Jelutung (kawasan hutan Sekundur) dan 2 lokasi lainnya di Alur Keriang (kawasan hutan Serbajadi).
Jarak
Gambar 14. Dendogram hasil anal isis gerombol untuk salf licks di semua lokasi contoh.
Bila dilihat dari kandungan mineralnya dapat dikemukakan di sini bahwa habitat gajah di wilayah SikundurBesitang dan selutarnya, kawasan hutan Lubuk Pete dan Lubuk Jelutung (03" 52' 34.9"LU / 98" 02' 4 0 . 9 BT) lebih potensial &lam menyediakan salt licks dibandingkan Aras Napal. Sedangkan pada kawasan hutan Serbajadi, yang mempunyai potensi salt licks yang cukup baik adalah daerah tepian Alur Kwnbar (di dalam kawasan Cagar Alam) dan Alur Keriang (di luar kawasan) (Lampiran 11 dan 12). 5.6. Sumber Air Bagi gajah air merupakan kebutuhan vital, yang harus tersedia di habitatnya, bukan hanya sebagai sumber air minum dan berperan dalam sistem pencernaan makanan tapi juga sebagai faktor kesejahteraan: digunakan untuk mandi, berendam dan berkubang juga untuk membina hubungan sosial antar sesama kelompoknya. Namun menurut Eltringharn (1982) dari hasil penelitiannya di Uganda dikatakan bahwa populasi gajah di sana tidak begitu tergantung dengan air.
Bila tidak
menemukan air bebas dari sungai dan sumber air lainnya, gajah di sana cukup mendapatkan air dari tumbuhan pakan yang banyak mengandung air, dan tahan untuk tidak minum dalam jangka waktu yang cukup lama. Dikatakan lagi gajah tidak terlalu memilih kualitas air yang dibutuhkan.
Hal ini
berhubungan dengan
kemampuan adaptasi gajah afrika terhadap kondisi iklim di Afrika. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, pada kawasan hutan yang digunakan gajah sebagai habitatnya, sumber air yang tersedia bagi populasi gajah cukup memadai mengingat adanya sungai-sungai besar dan alur-alur yang mengalir melintasi kawasan hutan dan tidak pernah kering, diantaranya: Sungai Besitang, Sei
Badak, Sei Pinang, sungai Sikundur Besar dan Sikundur kecil yang terdapat di Kabupaten Langkat, dan sungai Serbajadi, alur Keriang dan alur Kumbar di Kabupaten Aceh Timur. Melihat cukup banyaknya surnber air yang ditemukan, dapat dikemukakan bahwa potensi air yang tersedia di ekosistem ini dapat mencukupi dan mendukung kehidupan populasi gajah yang berada di habitat ini. 5.7. Kesesuaian Habitat Bagi Kelestarian Populasi Gajah
Gajah Sumatera sebagai mamalia besar membutuhkan daerah jelajah yang sangat luas untuk aktivitas harian kelompoknya, seperti mencari makan dan minum. Selain itu gajah juga membutuhkan ruang untuk beristirahat, mengembangkan hubungan sosial, dan berkembang biak. Untuk itu dibutuhkan suatu kondisi habitat yang sesuai untuk mendukung kehidupannya. Menurut Alikodra (1990) faktor yang menentukan daya dukung habitat adalah faktor kesejahteraan yang mencakup aspek kebutuhan dasar satwa (seperti makan, minurn, dan cover) serta aspek kualitas dan kuantitas habitat. Dengan demikian habitat yang sesuai bagi gajah adalah suatu habitat yang mencakup kawasan hutan yang luas, mampu menyediakan berbagai jenis tumbuhan pakan yang dapat memenuhi kebutuhan pakannya, terdapat sumber air yang tidak pernah kering, dan menyediakan ruang dengan segala karakteristik vegetasi maupun fisiknya yang dapat mendukung aktivitas istirahat, sosial, mandi dan berkubang serta berkembang biak. Beberapa tipe vegetasi yang terdapat dalam habitat gajah dengan segala karakteristiknya merupakan komponen habitat. Masing-masing komponen tersebut mempunyai peranlfungsi dalam mendukung kehidupan gajah di habitatnya. Atau dengan kata lain tiap tipe vegetasi berperan dalam meningkatkan daya dukung
habitat. Jalur jelajah gajah dari waktu ke waktu, dari satu tipe vegetasi ke tipe vegetasi lainnya biasanya bergantung musim dan kebutuhan pakan kelompok populasi gajah, sedangkan jalur jelajah intensifnya adalah pada daerah pertemuan antara beberapa tipe vegetasi yang disebut sebagai edge efect (Leopold, 1933) sedangkan Alikodra (1990) menyebutnya sebagai covey. Pada daerah ini biasanya terdapat semua komponen habitat yang dibutuhkan gajah seperti berbagai jenis sumber pakan termasuk air, tempat berkubang, tempat mengasin, tempat beristirahat, dan tempat menjalin hubungan sosial. Daerah pertemuan (covey) tersebut akan optimal bila terdapat berbagai tipe vegetasi yang menyediakan semua kebutuhan gajah termasuk kehadiran berbagai cover. Dengan demikian keberagaman tipe vegetasi sebagai komponen habitat gajah adalah kondisi yang hams dipertahankan, mengingat hubungan satu tipe vegetasi dengan tipe vegetasi lainnya sangat erat dalam meningkatkan daya dukung habitat. Hilangnya satu komponen habitat, terutarna komponen yang mempunyai fungsi spesifik, akan menurunkan daya dukung habitat. Dari pengamatan dan pengukuran yang dilakukan menunjukkan bahwa potensi lokasi penelitian sebagai habitat secara kualitatif cukup tinggi dalam menyediakan kebutuhan dasar bagi kelompok populasi gajah, mengingat keanekaragaman jenis dan kelimpahan tumbuhan sumber pakan di lokasi penelitian cukup tinggi, demikian juga halnya dengan sumber air yang tersedia melimpah dan terdapatnya cover berupa telr~patberkubang, beristirahat clan mengasin. Namun dari segi has, habitat gajah di kawasan hutan Sikundur-Besitang yang luasnya hanya 250 km2 menurut laporan terakhir dihuni oleh lebih dari 100 ekor gajah.
Padahal menurut perkiraan
Santiapillai (1987) seekor gajah membutuhkan ruang seluas 680 hektar, sedangkan Olivier (1978) memperkirakan antara 370
-
830 hektar. Dengan demikian luas
habitat yang hanya 250 krn2 atau hanya 250 hektar per ekor masih jauh dan perhraan luas idealnya.
Demikian juga halnya dengan kawasan Cagar Alam
Serbajadi yang luasnya hanya 300 hektar diperkiraan memiliki populasi gajah 50 ekor, tentu saja sangat tidak ideal. Sempitnya habitat alami yang dilindungi ini memicu konflik antara gajah dengan manusia. Sebenarnya masalah mendasar munculnya konflik antara manusia dengan gajah bersumber pada tidak adanya perencanaan tata ruang yang terpadu antara sektorsektor yang terkait dan lemahnya kekuatan hukum yang menyangkut status kawasan, sehingga terjadi perambahan hutan karena aktivitas manusia yang pada akhirnya berakibat pada pengurangan luas habitat alarni gajah.
Hal ini bisa dipahami
mengingat mata pencaharian penduduk di sekitar lokasi penelitian adalah selain sebagai petani (baik peladang berpindah maupun petani menetap), mereka juga sebagai penebang liar.