V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1.
Laju Perubahan Tutupan Lahan Terbangun di Kota Padang Urbanisasi ditandai dengan adanya gerakan penduduk yang berpindah
dan menetap dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan. Dengan adanya perpindahan tersebut daerah perkotaan akan mengalami peningkatan jumlah penduduk. Pertumbuhan jumlah penduduk akan ditandai dengan meningkatnya pertumbuhan perumahan dan sarana-prasarana penunjang bagi masyarakat lainnya (lahan-lahan terbangun). Berdasarkan hal tersebut, didalam peneliitian ini kegiatan urbanisasi akan menimbulkan adanya perubahan tutupan lahan alami menjadi lahan terbangun. Secara bersamaan tutupan lahan terbangun dan jumlah
penduduk
akan
memperlihatkan
bagaimana
arah
pemencaran
perkembangan wilayah Kota Padang. 5.1.1. Perubahan tutupan lahan terbangun kota Padang tahun 1994 dan 2006 Perkembangan tutupan lahan terbangun selalu mengikuti perkembangan jumlah penduduk. Berdasarkan hasil klasifikasi tutupan lahan tahun 1994 dan tahun
2006
didapatkan
informasi
penggunaan
lahan
aktual.
Informasi
penggunaan lahan dalam bentuk spasial dapat menggambarkan komposisi atau konfigurasi kondisi penggunaan lahan di suatu lokasi. Berdasarkan hasil interpretasi citra landsat TM tahun 1994, struktur tutupan lahan kota Padang tahun 1994 didominasi oleh penggunaan lahan hutan sebesar 71,07 % dari luas wilayah kota Padang. Selanjutnya berturut-turut : badan air/sawah 11,22 %, lahan terbangun 10,52 %, kebun campuran 5,13 %, semak belukar 1,39 %, dan lahan kosong 0,67 %. Sementara itu, berdasarkan hasil interpretasi citra Landsat ETM tahun 2007, struktur penggunaan lahan masih didominasi oleh hutan sebesar sebesar 70,09 % dari luas wilayah kota Padang. Selanjutnya berturut-turut : lahan terbangun 15,73 %, kebun campuran 3,30 %, semak belukar 0,67 %, sawah 9,51 %, dan lahan kosong 0,71 %. Struktur penggunaan lahan tahun 1994 dan tahun 2007 disajikan pada Tabel 17, dan sebaran spasialnya ditunjukkan pada Gambar 13 dan Gambar 14. Tutupan lahan terbangun mengalami perluasan sebesar 3.617,90 ha antara tahun 1994 – 2007. Laju pertumbuhan rata-rata tutupan lahan terbangun antara tahun 1994 – 2007 adalah yang tertinggi dibandingkan dengan tutupan lahan lainnya, yakni sebesar 3,81%. Sedangkan tutupan lahan kebun campuran mengalami pengurangan terbesar yaitu seluas 1.296,33 ha.
55
56
Tabel 17. Struktur Tutupan Lahan di Kota Padang Tahun 1994 dan 2007 Penggunaan Lahan Hutan Kebun Campuran Lahan Terbangun Semak Belukar Lahan Kosong Badan Air/Sawah
Tahun 1994 Luas % (Ha) 49392,91 71,07 3589,05 5,16 7316,83 10,53 938,56 1,35 463,89 0,67 7794,76 11,22
Tahun 2007 Luas % (Ha) 48711,12 70,09 2292,72 3,30 10929,63 15,73 464,00 0,67 490,07 0,71 6608,46 9,51
69496,00 100,00 69496,00 Jumlah Sumber: Hasil analisis data penelitian, 2010
Perubahan Luas % (Ha) -681,79 -0,002 -1296,33 -0,052 3612,80 0,071 -474,56 -0,073 26,18 0,008 -1186,30 -0,022
Laju Perubahan Rata-rata -0,11 -2,73 3,80 -4,14 0,43 -1,17
100,00
Perubahan penggunaan lahan menjadi lahan terbangun di kota Padang berdasarkan hasil interpretasi citra mengalami peningkatan antara tahun 1994 – 2007. Perubahan lahan terbangun pada umumnya berasal dari tutupan lahan semak belukar dan kebun campuran. Setelah dilakukan pemeriksaan ke lapangan lahan tutupan lahan semak belukar dan kebun campuran sangat luas di daerah yang berada pada kemiringan 0-2%, yang sebagian besar berada di kecamatan Koto Tangah. Perubahan tutupan lahan tersebut sejalan dengan pernyataan Rustiadi (2001) bahwa proses alih fungsi lahan umumnya berlangsung dari aktivitas dengan economic land rent yang lebih rendah ke aktivitas-aktivitas dengan economic land rent yang lebih tinggi. Penggunaan lahan sebagai kawasan terbangun (permukiman, perkantoran, pertokoan, dan fasilitas-fasilitas yang berbentuk bangunan lainnya) memiliki nilai economic land rent yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya. Oleh karena itu penggunaan lahan sebagai lahan terbangun akan terus meningkat luasannya. Sebaliknya penggunaan lahan hutan, sawah dan semak belukar akan terus menurun. Dengan demikian secara keseluruhan aktifitas kehidupan cenderung menuju sistem pemanfaatan sumberdaya alam dengan kapasitas daya dukung yang semakin menurun padahal dilain pihak permintaan akan sumberdaya terus meningkat akibat tekanan pertambahan penduduk dan peningkatan konsumsi perkapita.
57
Gambar 13. Peta Tutupan Lahan Kota Padang Tahun 1994
58
Gambar 14. Peta Tutupan Lahan Kota Padang Tahun 2007
59
Tabel 18. Matrik Perubahan Tutupan Lahan dari antara Tahun 1994 dan Tahun 2007 2007
Hutan
1 9 9 4
Hutan
Kebun Campuran
Lahan Kosong
Lahan Terbangun
Sawah
Semak
48711,12
532,77
18,06
106,14
21,15
3,68
Kebun Campuran Lahan Kosong Lahan Terbangun
0
1637,13
1,93
1895,23
54,77
0
0
0
463,89
0
0
0
0
0
0
7316,83
0
0
Sawah
0
0
0
1279,31
6515,44
0
Semak
0
122,83
6,19
332,12
17,10
460,31
Sumber : Hasil Analisis Matrix Citra Landsat TM 5+ tahun 1994 dan Citra Landsat ETM 7+ tahun 2007 dengan ArcView 3.3 (2010)
Tabel 19. Luas Perubahan Tutupan Lahan (ha) menjadi Lahan Terbangun di Kota Padang antara Tahun 1994 dan Tahun 2007 Perubahan Lahan Hutan menjadi Terbangun
Bgs
L.Kl
Kecamatan L.Bg P.Sl P.Tm P.Br P.Ut
Ngl
Krj
Pauh
Kt.T
1,41
11,93
17,55
2,78
0,00
0,00
0,00
0,00
3.19
23,79
48,68
6,85
1,61
58,82
26,73
183,35
Semak menjadi Terbangun
0,00
11,72
14,04
2,16
11,52
15,32
Kebun menjadi Terbangun
38,24
97,11 164,36 40,22 81,39
5,86
18,85
60,41 445,30 110,58 742,91
Sawah menjadi Terbangun
27,92
77,74 162,79 5,37 103,83 1,31
10,43
31,89 348,37 104,42 495,24
67,57
198,50 351,55 49,98 199,26 9,33
40,80 107,62 852,49 265,52 1470,18
Jumlah
Sumber
: Hasil Analisis Matrix Citra Landsat TM 5+ tahun 1994 dan Citra Landsat ETM 7+ tahun 2007 dengan ArcView 3.3 (2010)
Keterangan: Bgs (Bungus Teluk Kabung); L.Kl (Lubuk Kilangan); L.Bg (Lubuk Begalung);P.Sl (Padang Selatan); P.Tm (Padang Timur); P.Br (Padang Barat) P.Ut (Padang Utara); Ngl (Nanggalo); Krj (Kuranji); Pauh (Pauh); Kt.T (Koto Tangah)
Gambar 15. Diagram Jumlah Perubahan Tutupan Lahan menjadi lahan terbangun antara tahun 1994 - 2007
60
Kecamatan Koto Tangah mengalami perubahan tutupan lahan alami menjadi lahan terbangun terbesar yaitu seluas 1.470,18 ha. Tutupan lahan kebun campuran merupakan lahan yang paling tinggi mengalami perubahan menjadi lahan terbangun, yaitu seluas 742,91 ha, disusul secara berurutan oleh tutupan lahan sawah (495,24 ha), semak belukar (183,35) dan hutan (48,68 ha). Sedangkan kecamatan Padang Barat merupakan kecamatan paling rendah terjadi perubahan tutupan lahan, hanya seluas 9,33 ha daerah ini mengalami perubahan tutupan lahan menjadi lahan terbangun. 5.1.2. Pola Pemencaran kota Padang. Luas lahan terbangun di Kota Padang mengalami peningkatan 5,20 % dari persentase luas lahan terbangun antara tahun 1994 sampai tahun 2007, dengan laju pertumbuhan rata-rata pertahun sebesar 3,80 %. Perluasan lahan terbangun paling besar adalah di kecamatan Koto Tangah, sebesar 40,69 % dan yang paling kecil pada kecamatan Padang Barat, sebesar 0,26 %. Namun dalam pertumbuhan jumlah penduduk kecamatan Padang Barat mengalami penurunan jumlah penduduk yang cukup banyak dibandingkan dengan kecamatan lain yaitu sebesar -9,53 % dari peningkatan jumlah penduduk kota Padang secara keseluruhan antara tahun 1994 – 2007. Sedangkan di kecamatan Koto Tangah pertumbuhan luas lahan terbangun berbanding lurus dengan pertumbuhan jumlah penduduk, dengan penambahan julmlah penduduk sebesar 40,49 % dan perluasaan luas lahan terbangun sebesar 40,69 % dari total pertambahan jumlah penduduk dan perluasan lahan terbangun kota Padang. Sementara itu, laju pertumbuhan penduduk paling tinggi berada pada kecamatan Koto Tangah, sebesar 3,91 % dan yang paling rendah di kecamatan Padang Barat dengan 1,34 %. Secara keseluruhan laju perluasan lahan terbangun dan laju pertumbuhan kota padang antara tahun 1994 sampai tahun 2007 disajikan pada Tabel 20.
61
Tabel 20. Perbandingan perluasan lahan terbangun dan pertumbuhan jumlah penduduk antara tahun 1994 sampai tahun 2007 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Kecamatan
Bungus Teluk Kabung Lubuk Kilangan Lubuk Begalung Padang Selatan Padang Timur Padang Barat Padang Utara Nanggalo Kuranji Pauh Koto Tangah Jumlah
Perluasan lahan terbangun Luas (ha) % 67,57 1,87 198,50 5,49 351,55 9,73 49,98 1,38 199,26 5,52 9,33 0,26 40,80 1,13 107,62 2,98 852,49 23,60 265,52 7,35 1.470,18 40,69 3.612,80
100,00
Pertumbuhan penduduk Jiwa % 3.281 2,50 8.422 6,41 15.760 11,99 1.998 1,52 8.026 6,11 -12.524 -9,53 1.065 0,81 2.842 2,16 39.217 29,84 10.133 7,71 53.225 40,49 131.445
100,00
Sumber: Hasil analisa data, 2010
Berdasarkan data Tabel 20, terjadinya peningkatan jumlah penduduk di sebagian besar kecamatan di Kota Padang antara tahun 1994 sampai tahun 2007, kecuali di kecamatan Padang Barat (mengalami pengurangan jumlah penduduk). Kecamatan yang mengalami peningkatan paling tinggi adalah kecamatan Koto Tangah sebesar 40,49%, dan kecamatan Padang Utara mengalami peningkatan jumlah paling kecil yaitu sebesar 0,81%. Sementara itu, kecamatan Padang Barat mengalami pengurangan jumlah penduduk yang cukup tinggi yaitu sebesar -9,53%. Kecamatan Padang Barat merupakan pusat kota dari Kota Padang, karena sebagian besar pusat pemerintahan dan pusat ekonomi berada di kecamatan ini. Penurunan jumlah penduduk di kecamatan Padang Barat disebabkan karena faktor perkembangan kota. Penurunan jumlah penduduk pada kecamatan Padang Barat lebih banyak disebabkan karena semakin
tumbuhnya
pusat-pusat
pemerintahan
dan
ekonomi.
Hal
ini
menimbulkan peningkatan nilai tanah dan sewa lahan, sehingga di daerah ini lebih
diminanti
sebagai
tempat
perniagaan.
Sedangkan
untuk
tempat
pemukiman, masyarakat mencari daerah-daerah pinggir kota yang belum padat dan nilai sewa lahannya pun relatif lebih murah. Namun penurunan jumlah penduduk yang sangat tinggi tersebut juga akibat adanya permasalahan pada proses pendataan jumlah penduduk (sensus penduduk tahun 2000). Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Padang, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan metode perhitungan jumlah penduduk ketika itu.
62
Persentase Perubahan Tutupan Lahan Terbangun dan Peningkatan Jumlah Penduduk Kota Padang Per-kecamatan 50,00
40,00
Persentase
30,00
20,00
terbangun penduduk
10,00
0,00 Bungus Teluk Kabung
Lubuk Kilangan
Lubuk Begalung
Padang Selatan
Padang Timur
Padang Barat
Padang Utara
Nanggalo
Kuranji
Pauh
Koto Tangah
-10,00
Kecamatan
Gambar 16. Grafik persentase perubahan tutupan lahan terbangun dan peningkatan jumlah penduduk Kota Padang per-kecamatan antara tahun 1994 – 2007 Perluasan lahan terbangun dan pertumbuhan penduduk di kota Padang begerak kearah pinggir kota, yaitu kebagian utara Kota Padang. Hal ini terlihat dari persentase perkembangan lahan terbangun dan jumlah penduduk, kecamatan Koto Tangah lebih dari 40 % pertumbuhan penduduk maupun perluasan lahan terbangun. Sementara itu, kecamatan Kuranji hampir 30 %, sedangkan pada kecamatan lainnya tidak mencapai 10 % (perluasan lahan terbangun) dan dibawah 12 % pada pertumbuhan penduduk. Perluasan lahan terbangun dan pertumbuhan penduduk menyebabkan pertumbuhan jumlah sarana hunian, data jumlah sarana hunian/rumah dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Jumlah Sarana Hunian/Rumah dan Kepadatan Penduduk Di Kota Padang Tahun 2007 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Kecamatan
Luas 2 (km )
Jumlah Luas Lahan Jumlah Kepadatan Jumlah Rumah Terbangun penduduk Penduduk Penduduk 2 (Unit) (ha) /rumah (jiwa/km ) 292,68 234,09 4.348 23.592 5,43 696,69 495,23 9.470 42.585 4,50 996,88 104.323 3375,06 19.199 5,43 484,26 6178,17 11.186 61.967 5,54 719,01 10463,68 18.660 85.279 4,57 541,46 8586,00 10.997 60.102 5,47 741,38 9240,97 12.052 74.667 6,20 569,21 7128,00 10.596 57.523 5,43 1.606,11 117.694 2050,06 27.298 4,31 895,99 358,89 11.253 52.502 4,67 3.385,98 157.956 680,11 40.350 3,91
Bungus Tl. Kabung Lubuk Kilangan Lubuk Begalung Padang Selatan Padang Timur Padang Barat Padang Utara Nanggalo Kuranji Pauh Koto Tangah
100,78 85,99 30,91 10,03 8,15 7,00 8,08 8,07 57,41 146,29 232,25
Kota Padang
649,96 175.409
10.929,64
838.190
Sumber : Hasil Analisa Data dan BPS Kota Padang, 2010
55,45
1206,10
63
Berdasarkan luas lahan terbangun dan jumlah penduduk setiap kecamatan di kota Padang tahun 2007 terlihat bahwa kepadatan paling tinggi adalah di kecamatan Padang selatan yaitu 127,96 jiwa/km2. Sedangkan kepadatan paling kecil adalah di kecamatan Koto Tangah yaitu 46,65 jiwa/km2. sementara itu kepadatan di kecamatan Lubuk Begalung, Padang Utara, Padang Timur, Padang Barat dan kecamatan Nanggalo memiliki kepadatan penduduk lebih dari 100 jiwa per kilometer persegi. Walaupun kepadatan penduduk di kecamatan Koto Tangah merupakan yang paling rendah dibandingkan dengan kecamatan lain, namun dari segi jumlah rumah/hunian di kecamatan ini memiliki jumlah yang paling tinggi dibanding dengan kecamatan lain yaitu sebanyak 40.350 rumah. Sebanyak 28.661 rumah merupakan rumah dengan tipe permanen, 9.240 rumah adalah tipe semi permanen dan 2.449 rumah lainnya adalah bangunan tipe non permanen. Sebagian besar bangunan rumah atau hunian tipe permanen di kecamatan Koto Tangah merupakan perumahan-perumahan baru yang dibangun secara masal seperti perumnas atau perumahan KPR-BTN yang sengaja di peruntukan untuk dihuni oleh keluarga-keluarga dengan kondisi perekonomian menengah kebawah. Hal ini sejalan dengan program pemerintah daerah untuk mengantisipasi kepadatan penduduk di pusat kota. 5.2.
Karakteristik Banjir dan Zonasi Daerah Rawan Banjir di Kota Padang Proses terjadinya banjir pada daerah-daerah yang memiliki kondisi
topografi datar dan berada di tepi pantai memiliki resiko yang tinggi terhadap bencana banjir, baik itu banjir kiriman, banjir genangan maupun banjir akibat pasang air laut. 5.2.1. Karakteristik Peristiwa Banjir Kota Padang Besar kecilnya banjir disuatu daerah sangat ditentukan oleh sebab dan karakteristik banjir setempat. Karakteristik banjir setempat sangat tergantung kepada karakteristik lingkungan suatu daerah. Berdasarkan data hasil penelitian, baik dari data primer maupun data sekunder dan pengamatan dilapangan, maka penyebab banjir di daerah penelitian dapat di uraikan sebagai berikut: a. Sebab-sebab banjir Berdasarkan pengamatan, bahwa banjir disebabkan oleh dua katagori yaitu banjir akibat alami dan banjir akibat aktivitas manusia. Banjir akibat alami dipengaruhi oleh curah hujan, fisiografi, erosi dan sedimentasi, kapasitas sungai,
64
kapasitas drainase dan pengaruh air pasang. Banjir akibat aktivitas manusia disebabkan karena ulah manusia yang menyebabkan perubahan-perubahan lingkungan seperti: perubahan kawasan pemukiman di sekitar bantaran, rusak atau kurang memadainya drainase lahan, kerusakan bangunan pengendali banjir, rusaknya hutan (vegetasi alami). Kota Padang dilihat dari geomorfologinya merupakan perpaduan antara bentuk lahan pebukitan vulkanik bagian Timur, bentuk lahan aluvial bagian Tengah dan bentuk lahan marin bagian Barat. Daerah bagian Timur merupakan perbukitan vulkanik yang lebih tinggi dari daerah bagian Tengah dan Barat, sehingga daerah bentuk lahan aluvial dan marin yang dilalui oleh beberapa sungai besar seperti Batang Bungus, Batang Arau, Batang Kuranji dan Batang Air Dingin serta masih ada lagi 18 sungai kecil lainnya yang mempunyai aliran permanen sepanjang tahun, sering mengalami banjir. Apalagi Kota Padang merupakan daerah dengan iklim hujan tropis mempunyai curah hujan yang cukup tinggi rata-rata 300 mm per-bulan dengan rata-rata hari hujan 15 - 16 hari perbulan. Peristiwa banjir selalu terjadi ketika curah hujan yang tinggi dan kejadian pasang-surut air laut bertepatan waktunya. Pasang-surut di Kota Padang memiliki tipe pasang-surut ganda campuran, dalam artian dalam satu hari terjadi dua kali pasang dan dua kali mengalami surut air laut. Kejadian banjir di Kota Padang sering bertepatan dengan kejadian pasang naik, sehingga air yang akan mengalir ke laut terhambat karena bertemunya dua massa air, yaitu massa air tawar dan massa air laut ini yang sering menyebab-kan banjir. Peluang terjadinya banjir akan besar jika hujan yang sangat lebat dengan durasi yang lama terjadi ketika pasang naik. Biasanya pasang air laut akan terjadi mulai sore sampai malam hari dan tengah malam akan surut kembali. Apabila pasang sudah surut, biasanya genangan banjir pun akan surut. Banjir dengan karakteristik seperti ini sering terjadi didaerah yang dilalui oleh aliran sungai Batang Kandis dan sungai Batang Kasang. Daerah yang sering menjadi langganan banjir diantaranya adalah daerah simpang kalumpang, anak air, belakang rumah potong, dan disekitar pasar lubuk buaya. Penyebab banjir di sekitar kecamatan Koto Tangah lebih banyak disebabkan antara lain (1) karena meluapnya debit air sungai Batang Kandis, (2) bentuk sungai masih alami, mengakibatkan adanya penyempitan sungai akibat sedimentasi, semak belukar maupun tumpukan sampah, dan (3) pasang naik air
65
laut bersamaan waktunya dengan debit air puncak sungai Batang Kandis. Hal ini senanda dengan hasil penelitian Eriza (2008), bahwa sungai Batang Kandis dalam kondisi kritis karena tidak dapat lagi menampung debit banjir sehingga perlu dilakukan upaya pengendalian banjir. Berbeda dengan banjir yang terjadi pada daerah lain seperti Dadok Tunggul Hitam, Air Pacah, Alai, Siteba, Balimbing yang berada pada kawasan DAS Kuranji. Banjir di daerah ini lebih banyak disebabkan karena kekurangan sarana drainase disekitar permukiman. Sejak dulu daerah ini merupakan daerah yang cukup sering tergenang banjir karena tidak sanggupnya aliran sungai Batang Kuranji menampung debit air. Namun setelah selesai dilaksanakannya proyek Padang Flood Project tahap II akhir tahun 2001, sungai Batang Kuranji sudah mampu menampung debit aliran air puncak. Sementara itu, untuk daerah yang sering tergenang banjir seperti daerah Pauh, Parak Laweh, dan Perumnas Balimbing, daerah ini masuk kedalam kawasan DAS Batang Arau. Karakteristik banjir di daerah ini sama seperti yang terjadi di DAS Batang Kuranji. Genangan banjir umumnya terjadi akibat kurang memadainya fasilitas drainase. Masih banyak kawasan pemukiman yang memiliki drainase yang tidak sesuai dengan daya tampungnya. Meskipun ada beberapa kawasan permukiman yang sudah memiliki saluran drainase, namun pengelolaan
dan
pemeliharaan
yang
sering
terabaikan
mengakibatkan
permasalahan ketika hujan dengan intensitas yang besar terjadi. DAS Batang Arau telah beberapa kali dilakukan proyek pengendalian banjir. Dimulai dari zaman penjajahan Belanda sudah dibuat Banjir Kanal untuk mengantisipasi meluapnya sungai Batang Arau. Normalisasi dan pengerukan sedimentasi di muara sungai sudah dilakukan, pelebaran dan pembuatan tanggul pembatas sungai pun sudah dilakukan. Namun manfaat dari proyek pengendalian banjir ini belum optimal karena permasalahan drainase disekitar pemukiman yang masih kurang dan pemeliharaan yang tidak baik. Karateristik banjir di kota Padang sangat berbeda dengan karakteristik banjir di wilayah pulau Sumatera bagian timur. Karakteristik sungai yang pendek dengan aliran yang cukup deras sering menimbulkan banjir dengan waktu genangan yang relatif lebih cepat susutnya. Berdasarkan wawancara dengan penduduk yang terkena banjir, genangan banjir paling besar yang pernah terjadi setinggi leher orang dewasa (kira-kira 1,5 meter). Lama genangan tidak lebih dari satu hari, namun dalam setahun frekuensi banjir besar bisa terjadi berkali-kali.
66
b. Sejarah Banjir Kota Padang Berdasarkan data dari studi Japan International Cooperation Agency (JICA) tahun 1983 dan studi evaluasi lingkungan, tidak kurang Rp 6,5 miliar nilai harta benda lenyap setiap terjadi banjir besar di Kota Padang tahun 1972 sampai tahun 1992. Sayangnya, data tahun 1992-2002 tidak ada sehingga hal ini diyakini menjadi penyebab pemerintah kota kurang peduli dengan banjir Padang ini dan sekaligus kurang peduli dengan persoalan lingkungan dan tata ruang kota. Sejarah banjir dari tahun 1981-2006 dapat dilihat pada Tabel 22. Mencermati riwayat Kota Padang yang kini berpenduduk 838.190 (tahun 2007), menjadi langganan banjir sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda. Hal ini dimungkinkan karena Kota Padang dengan luas 695 km persegi terletak pada dataran aluvial yang terbentuk oleh tiga aliran sungai utama, yaitu Batang Arau, Batang Kuranji, dan Batang Airdingin, dengan daerah tangkapan hujan bersumber dari Gunung Bolak, Gunung Lantiak, dan Gunung Bongsu masingmasing 172 km2, 213 km2, dan 131 km2. Tabel 22. Sejarah Banjir Kota Padang Tahun 11 – 1981 12 – 1982 11 – 1986 11 – 1988 02 – 1992 06 – 1993 2001 2002 02 – 2003 04 - 2004 10 – 2005 11 – 2006
Luas Genangan (Ha) 1.444 1.281 3.450 682 780 1.309 0 0 20 137 738 600
Kerusakan Data tidak tersedia 2.280 rumah, 11.400 jiwa, Rp. 11,325 miliyar 6.141 rumah, 30.705 jiwa, Rp. 30,502 miliyar 1.214 rumah, 6.070 jiwa, Rp. 6,030 miliyar 1.388 rumah, 6.940 jiwa, Rp. 6,894 miliyar 2.330 rumah, 11.650 jiwa, Rp. 11,573 miliyar Data tidak tersedia Data tidak tersedia 300 rumah, 1.800 jiwa 550 rumah, 4100 jiwa 2.600 rumah, 12.000 jiwa 2.074 rumah, 10.000 jiwa
Sumber: DPU Kota Padang
5.2.2. Aspek geomorfologi kota Padang yang mempengaruhi terjadinya banjir Klindao (1983) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi suatu daerah memiliki kerentanan terhadap bahaya banjir adalah bentuk lahan hasil bentukan banjir, peristiwa banjir dan vegetasi penutup atau tataguna lahan. Oleh karena itu untuk melihat faktor yang mempengaruhi tingkat bahaya banjir di kota Padang, ada dua faktor penting yaitu aspek fisik (geomorfologi dan hidrologi) dan aspek manusia (perubahan tutupan lahan terbangun).
67
Berdasarkan pendekatan geomorfologi, daerah daratan kota Padang terbentuk akibat proses fluvial dan proses marin. Sesuai dengan survai lapangan, peristiwa banjir berpotensi terjadi di daerah dengan bentuk lahan fluvial dan marin tersebut. Berikut ini akan dianalisis karakteristik bentuklahan yang terbentuk akibat bentukan banjir dan berpotensi tergenang banjir dalam setahun yang meliputi aspek morfogenesa dan morfologi. a. Satuan Bentuklahan Dataran Aluvial Pantai (M2) Satuan bentuklahan dataran aluvial pantai (M2) terdiri dari bekas lagun dan lagun yang masih aktif. Daerah bekas lagun sudah banyak dipengaruhi oleh endapan dari sungai, sehingga daerah ini lebih tinggi dari daerah lagun yang masih aktif. Satuan bentuklahan tersebut mempunyai topografi datar-hampir datar dengan kemiringan lereng antara 0 – 2%. Luas satuan bentuklahan ini 1386,94 ha atau 2,00 %. Satuan bentuklahan ini terdapat menyebar dibelakang pantai Air Tawar, dibelakang pantai Pasir Sebelah dan pantai Pasir Jambak dan dibelakang pantai Bungus Teluk Kabung. b. Satuan bentuklahan Depresi Antar Beting (M3) Depresi antar beting sebagian besar terdiri rawa-rawa belakang yang terisi endapan dari sungai dan laut. Daerahnya tersebar antara Ulak Karang sampai Gunung Pangilun, Pasir Sebelah sampai Ganting, Air Tawar dan Tabing sampai Tunggul Hitam, dengan luas 738,65 ha atau 1,06%. Material penyusun terdiri dari tanah organosol dan glei humus dengan tekstur lempung berpasir. Satuan bentuklahan ini telah dikembangkan menjadi lokasi permukiman. Pengembangan satuan bentuklahan ini menjadi permukiman dilakukan dengan cara pengurungan dengan material bahan timbunan, terutama kerikil dan batu apung yang didatangkan dari Lubuk Alung dan Batang Kuranji. c. Satuan Bentuklahan Rawa Belakang (F3) Satuan bentuklahan rawa belakang didapati dibelakang tanggul alam, pola memanjang, berliku dan tidak teratur. Tekstur tanah daerah rawa belakang pada umumnya lempung liat berpasir. Drainase permukaan buruk sampai sangat buruk. Sebagian dari rawa belakang telah dibuat saluran air guna mencegah genangan air dan mengurangi bahaya banjir. Antara satuan bentuklahan kipas aluvial Batang Kuranji dan Batang Air Dingin terdapat deposit rawa belakang melebar ke timur dengan dibatasi oleh bukit yang curam. Total ketebalan dari deposit rawa belakang ini sekitar 180 meter yang ditemukan dari hasil pemboran dan lebih dari 230 meter ke arah
68
timur dari kota. Sedangkan di pusat kota, ketebalannya mencapai 300 meter (Lahmeyer International dalam Karim, 1997). Keadaan topografi satuan bentuklahan rawa belakang pada umumnya datar-hampir datar dengan kemiringan 0-3%, tinggi daerah dari permukaan laut berkisar antara 1-3 meter. Luas rawa belakang adalah 4160,82 ha atau 5,99%. d. Satuan Bentuklahan Dataran Banjir. Satuan bentuklahan ini terbentuk dari proses sedimentasi yang berulangulang setiap kali ternjadinya banjir. Dataran banjir di lokasi penelitian ini merupakan hasil endapan sungai Batang Bungus, Batang Kuranji, Batang Air Dingin dan Batang Arau. Material permukaannya tersusun dari endapan pasir sampai kerikil. Drainase daerah ini sedang, dengan jenis tanah aluvial dan tekstur tanah pasir berlempung. Keadaan topografi datar dengan kemiringan lereng antara 0-2%. Tinggi dataran banjir dari permukaan laut antara 1-2 meter. Luas daerahnya 684,30 ha atau 0,98 %. e. Satuan Bentuklahan Gosong Sungai Gosong sungai umumnya terdapat disekitar aliran Batang Kuranji, karena Batang Kuranji memiliki air yang keruh akibat hasil erosi lahan dibagian hulu. Gosong pasir ini sering ditumbuhi oleh vegetasi kelapa, namun saat ini sebagian besar gosong sungai sudah berubah menjadi kawasan pemukiman penduduk. Bentuk topografi daerahnya data sampai hampir datar, dengan kemiringan lereng 0-2% dan ketinggian dari permukaan laut berkisar antara 1-2 meter. Luas satuan bentuklahan gosong sungai 363,54 ha atau 0,52%. 5.2.3. Zonasi Daerah Rawan Banjir Kota Padang Berdasarkan Yusuf (2005), daerah rawan banjir biasanya berada di daerah-daerah dengan topografi yang datar dan berada disepanjang aliran sungai. Daerah yang berada disepanjang aliran sungai tersebut merupakan daerah-daerah yang terbentuk akibat proses fluvial yang dipengaruhi oleh genangan banjir. Penentuan daerah rawan banjir dalam penelitian ini menggunakan model MAFF-Japan. Pendekatan dalam model ini menggunakan variabel fisik yaitu spasial curah hujan, penggunaan lahan, kemiringan lereng, jenis tanah, geologi dan bentuklahan. Masing-masing variabel tersebut diberi bobot sesuai dengan pengaruhnya terhadap terjadinya banjir. Dengan menggunakan sistem informasi geografi semua variabel dilakukan proses tumpang susun sehingga didapatkan informasi spasial daerah
69
rawan banjir. Luas sebaran tingkat kerawanan kota Padang terhadap banjir dapat dilihat pada Tabel 23. Hasil dari proses tumpangsusun (Tabel 23) memperlihatkan bahwa kota Padang memiliki daerah yang rawan terhadap banjir seluas 1.979,61 ha, 8400,35 ha daerah berpotensi banjir, 10.963,68 ha daerah aman dari banjir dan 48.152,36 ha daerah yang sangat aman dari banjir. Daerah dengan kategori rawan banjir dan berpotensi banjir sebagian besar berada pada ketinggian dibawah 25 mdpl. Sementara itu, daerah aman dan sangat aman dari banjir berada pada ketinggian diatas 25 mdpl dengan kemiringan lereng yang beragam dari miring sampai sangat curam. Kecamatan yang paling luas daerah rawan banjir adalah kecamatan Koto Tangah yakni seluas 872,39 ha. Sementara itu kecamatan Lubuk Kilangan, Bungus Teluk Kabung dan kecamatan Padang Barat tidak memiliki daerah rawan. Secara spasial persebaran daerah rawan banjir disajikan pada Gambar 17. Tabel 23. Zonasi Daerah Rawan Banjir Kota Padang Kecamtan Bungus Teluk Kabung Lubuk Kilangan Lubuk Begalung Padang Selatan Padang Timur Padang Barat Padang Utara Nanggalo Kuranji Pauh Koto Tangah Jumlah
Sangat Aman
Aman
Berpotensi Banjir
Rawan Banjir
6612,50 6691,75 1415,20 702,69 0 0 0 0 1824,68 14405,63 16499,92
1099,73 1480,56 658,11 164,40 91,93 166,30 350,76 67,70 1882,04 2031,11 2971,05
654,00 243,08 807,97 245,37 673,22 379,16 427,09 559,63 1396,97 219,94 2793,92
0 0 188,19 178,58 74,34 0 60,70 250,35 351,25 3,82 872,39
48152,36
10963,68
8400,35
1979,61
Sumber: Hasil Analisis Data Penelitian, 2010
Perubahan tutupan lahan alami menjadi lahan terbangun antara tahun 1994 dan tahun 2007 di daerah yang termasuk kedalam kategori rawan banjir adalah seluas 403,26 ha, 18,99 % dari total daerah rawan banjir. Perubahan tutupan lahan tersebut terdiri dari 241,38 ha perubahan dari kebun campuran menjadi lahan terbangun dan 161,88 ha adalah tutupan lahan sawah yang berubah menjadi lahan terbangun.
70
Gambar 17.
Peta Zonasi Daerah Rawan Banjir di Kota Padang
71
5.3.
Respon Peningkatan Laju Urbanisasi Terhadap Bahaya Banjir di Kota Padang Berdasarkan analisa perubahan tutupan lahan kota Padang antara tahun
1994 dan 2007, telah terjadi penambahan jumlah luasan tutupan lahan terbangun. Setelah dilakukan tumpang susun antara data spasial perubahan tutupan lahan terbangun dan data spasial karakteristik geomorfologi, serta peta genangan banjir, terlihat adanya peningkatan luasan lahan terbangun pada daerah dengan bentuklahan bentukan banjir dan daerah yang sering tergenang oleh banjir. Menurut Yusuf (2005), tingkat bahaya banjir akan selalu di pengaruhi oleh penggunaan lahan. Banjir dikatakan sebagai bahaya, jika genangan banjir menimbulkan kerusakan dan kehilangan harta dan jiwa. Oleh karena itu peningkatan daerah terbangun dan pertumbuhan penduduk didaerah rawan terjadi genangan banjir mengakibatkan tingkat bahaya banjir semakin tinggi. Di kota Padang perluasan tutupan lahan terbangun berbanding lurus dengan laju pertumbuhan penduduk kota Padang pada rentang waktu antara tahun 1994 sampai tahun 2007. Pertumbuhan jumlah penduduk mengakibatkan kebutuhan lahan untuk dijadikan sebagai perumahan semakin meningkat. Peningkatan sarana pemukiman dan sarana penunjang lainnya. Hal ini berarti bahwa pertumbuhan pemukiman penduduk masih cendrung mengkonversi lahan alami menjadi lahan terbangun, baik untuk tempat tinggal maupun untuk kegiatan ekonomi. Berdasarkan hasil analisa data sekunder dan pengamatan dilapangan, daerah yang selalu digenangi banjir tiap tahun paling luas berada di kecamatan Koto Tangah. Secara berurutan mengikuti kecamatan Nanggalo, Kuranji, Lubuk Begalung, Bungus Teluk Kabung, Padang Utara, Padang Timur dan kecamatan Padang Barat. Tingginya luas dan frekuensi banjir di kecamatan Koto Tangah dan adanya peningkatan perkembangan wilayah terbangun di daerah tersebut mengakibatkan tingginya bahaya dan resiko banjir. Peningkatan pertumbuhan lahan terbangun di kecamatan Koto Tangah mengalami peningkatan yang sangat signifikan rentang tahun 1994 – 2007. Hal ini sesuai dengan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Padang periode 1994 – 2003 maupun RTRW periode 2004 – 2013 yang telah direvisi menjadi RTRW periode 2008 – 2025. Berdasarkan hasil wawancara dengan pemerintah daerah (BAPPEDA), Pertumbuhan wilayah pemukiman diarahkan ke
72
bagian utara, timur dan selatan kota Padang. Sebagai prioritas pertama adalah wilayah utara kota padang yaitu kecamatan Padang Utara dan Koto Tangah. Ketersediaan sumberdaya lahan yang belum termanfaatkan dan bisa dijadikan sebagai pusat pemukiman maupun fasilitas pendukung lain cukup luas. Semakin meningkatnya kebutuhan ruang untuk permukiman dan perumahan akibat meningkatnya laju pertumbuhan penduduk mengakibatkan kondisi lingkungan tidak menjadi suatu hal yang penting untuk diperhatikan. Masyarakat perkotaan ditandai dengan pola pemikiran yang materialistis, sehingga faktor yang menjadi pertimbangan dalam memilih lokasi rumah atau hunian adalah faktor biaya. Oleh sebab itu peningkatan jumlah perumahan massal seperti perumahan KPR-BTN merupakan solusi bagi masyarakat ekonomi menengah kebawah, meskipun ada beberapa masyarakat dengan keadaan ekonomi yang menengah keatas memilih bertempat tinggal di perumahan murah ini. Pada umumnya perumahan-perumahan murah ini dibangun pada lahanlahan dengan nilai ekonomi sumberdaya lahan yang rendah. Nilai sumberdaya lahan yang rendah karena berada pada daerah-daerah rawa dengan tutupan lahan kebun campuran dan semak belukar. Sebagian besar konsentrasi penyebaran lahan terbangun berada pada daerah dengan kemiringan lereng kategori datar (0 – 2%) dengan luas daerah sebesar 16.379,82 ha (23,6 %). Apabila curah hujan tinggi dan disaat bersamaan terjadi pasang naik air laut daerah ini sering dan atau berpotensi tergenang banjir. Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan peristiwa banjir di kota Padang pada umumnya merupakan tipe banjir genangan. Hanya peristiwa banjir di kecamatan Koto Tangah saja yang dapat digolongkan sebagai tipe banjir kiriman dan banjir rob karena seringkali peristiwa banjir terjadi ketika debit aliran air puncak bersamaan waktunya dengan pasang naik air laut. Tipe banjir genangan cenderung disebabkan karena permasalahan lingkungan binaan dan pengelolaan drainanse yang kurang baik. Sedangkan, tipe banjir kiriman lebih disebabkan oleh daya tampung sungai yang tidak memadai lagi serta permasalahan erosi dan sedimentasi di daerah sepanjang aliran sungai.
73
5.4.
Bentuk dan Tingkat Partisipasi Masyarakat Dalam Penanggulangan Banjir yang Berkelanjutan Upaya mengantisipasi banjir tidak terlepas dari peran stakeholder dalam
setiap kegiatan. Dari hasil survai diketahui bahwa secara umum peran stakeholder, terutama penerima dampak bencana (beneficiaries), masih terbatas dan peran pemerintah masih sangat dominan. Mencermati partisipasi masyarakat pada tahapan siklus banjir ternyata tidak dapat secara umum disamaratakan. Pada suatu tahapan tertentu partisipasinya sangat besar dan begitu dominan sementara pada tahapan lainnya sulit ditemukan dan bahkan tidak ada. Untuk itulah maka dianalisis lebih jauh untuk menemukenali jenis dan tingkat partisipasi masyarakat pada kelompokkelompok kegiatan penanggulangan banjir. Pengamatan dan wawancara pada masyarakat penerima dampak bencana dilakukan pada daerah yang selalu tergenang banjir dalam setahun yaitu kecamatan Koto Tangah. Pada tahap pra bencana, partisipasi masyarakat berupa keikutsertaan mereka dalam berbagai kegiatan, seperti sosialisasi berbagai
peraturan, membangun
atau
membersihkan
saluran drainase
lingkungan secara swadaya, memprakarsai lomba kebersihan, menjaga dan memantau kondisi lingkungan. Disamping itu aspirasi masyarakat belum dikelola dalam bentuk kelompok/organisasi kemasyarakatan, namun hanya memanfaatkan kelembagaan RT/RW. Kegiatan yang paling sering dilakukan oleh masyarakat untuk mengatasi terjadinya banjir adalah melakukan gotong royong membersihkan saluran drainase. Kegiatan seperti ini dilakukan secara sukarela yang di koordinasi oleh kelembagaan RT/RW. Partisipasi masyarakat dalam beraspirasi belum banyak ditemui dilapangan. Masyarakat yang sering dilanda banjir mengeluhkan tentang aspirasi mereka belum banyak yang ditanggapi pemerintah. Sebagian besar masyarakat yang menjadi langganan banjir di kecamatan Koto Tangah meminta pemerintah segera untuk meluruskan sungai yang berkelok-kelok memasang tanggul pada sungai yang melalui permukiman. Menurut masyarakat sungai yang berkelok dan belum dipasangi tanggul merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya banjir. Kecamatan Koto Tangah dialiri dua sungai besar yaitu sungai Batang Air Dingin dan sungai Batang Kandis. Sungai Batang Air Dingin + 1 km kearah muara telah di pasangi tanggul pembatas dan aliran yang berkelok pun sudah
74
di luruskan. Sementara itu, sungai Batang Kandis belum dilakukan upaya penanggulangan banjir melalui normalisasi sungai atau pembuatan tanggul pembatas. Menurut Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Pekerjaan Umum Kota Padang menyatakan bahwa pelaksanaa proyek penanggulangan banjir Batang Kandis baru memasuki tahap permohonan kepada pemerintah pusat. Skenario pelaksanaan proyek sudah final, hanya menunggu izin dan pendanaan dari pemerintah. Pada saat bencana, terjadi kerjasama yang baik dalam pengevakuasian korban,
pembagian
makanan,
pakaian,
dan
penyediaan
obat-obatan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden di daerah-daerah yang sering dilanda banjir yaitu kecamatan Koto Tangah, Nanggalo, dan Bungus Teluk Kabung, partisipasi masyarakat seperti ini muncul secara spontan sebagai bentuk kepedulian sosial sesama masyarakat, tanpa diupayakan pemerintah. Dengan
belum
tersedianya
peraturan
perundangan
yang
mengatur
penanggulangan banjir, maka pengaturan partisipasi masyarakat juga belum diatur. Pendanaan program penanggulangan banjir sebagian besar sangat tergantung pada pemerintah. Optimalisasi sumber pendanaan masyarakat, meskipun potensinya cukup besar, belum dikelola secara baik, melainkan hanya mencakup pembiayaan bantuan spontan yang bersifat charity dan perbaikan kecil prasarana lingkungan secara swadaya. Analisis stakeholder memberi gambaran bahwa tidak semua unsur stakeholder
(beneficiaries,
intermediaris,
dan
decision/policy
maker)
mempunyai peran dan pengaruh yang sama pada tiap tahap penanggulangan banjir.
Demikian
juga
masing-masing
karakteristik/jenis
kegiatan
penanggulangan banjir, memerlukan jenis dan tingkat partisipasi yang berbeda. Mengikuti pengelompokkan kegiatan yang diperkenalkan Bank Dunia, maka dalam penanggulangan banjir di kota Padang ditemukan tiga jenis kebijakan/kegiatan yaitu: (1) indirect benefits, direct social cost; (2) large number of beneficiaries and few social cost; (3) targeted assistance. Kegiatan berciri indirect benefits, direct social cost dikenali pada kelompok kegiatan struktural di luar badan air (of-stream structural measures) yang meliputi kegiatan-kegiatan peningkatan dan pembangunan sistem drainase, dan pembangunan prasarana retensi air (retention facilities). Kegiatan yang dicirikan dengan large number of beneficiaries and few social cost terdapat
75
pada kelompok kegiatan non-struktural jangka panjang (long term flood prevention
non-structural
measures)
yang
mencakup
kegiatan-kegiatan
pengaturan dataran banjir (floodplain), pengendalian penggunaan lahan di luar dataran banjir, kebijakan penyediaan ruang terbuka (open space reservastion), kebijakan sarana dan pelayanan umum, pedoman pengelolaan air permukaan, serta pendidikan dan informasi kepada masyarakat. Kegiatan berciri targeted assistance ditemukan pada kelompok kegiatan manajemen darurat banjir jangka pendek (short term flood emergency management) khususnya pada kegiatan-kegiatan pre-flood preparation, yang terdiri dari kegiatan pemetaan wilayah terkena banjir, penyimpanan bahan penahan banjir, antara lain karung pasir dan bronjong kawat, identifikasi lokasi dan pengaturan pemanfaatan peralatan yang diperlukan, pemeriksaan dan perawatan peralatan dan bangunan pengendali banjir, dan penentuan dan pengaturan lokasi dan barakbarak pengungsian. 1. Kelompok Kegiatan Struktural di Luar Badan Air (BP-DAS) Pada kelompok kegiatan ini, pada tahap penyusunan konsep sudah tersedia kebijakan nasional dan kebijakan daerah yang bersifat umum yang dapat dijadikan acuan penyusunan konsep pembangunan fisik di luar badan air, baik berupa undang-undang, peraturan pemerintah, maupun peraturan daerah. Pada implementasinya di lapangan, teridentifikasi cukup banyak kegiatankegiatan yang meliputi kerjasama antara pemerintah daerah dan masyarakat dalam mengidentifikasikan masalah drainase hingga penyusunan konsep partisipasi masyarakat
dalam skema pembiayaan pemeliharaan saluran
drainase. Pada tahap pembangunan/konstruksi, tidak teridentifikasi kebijakan/ perundangan yang berlaku spesifik, walaupun pada dasarnya masih dapat digunakan kebijakan umum yang sudah ada. Dalam implementasinya, tidak teridentifikasi
partisipasi
masyarakat
dalam
pelaksanaan
konstruksi
dan
umumnya dilaksanakan oleh penyedia jasa konstruksi. Meskipun dalam kebijakan/peraturan perundangan tidak ditemukan dasar yang jelas, namun partisipasi masyarakat ditemukan dalam pembiayaan tahapan operasionalisasi prasarana. Pada
tahap
monitoring
dan
evaluasi
hanya
teridentifikasi
peran
pemerintah daerah dalam melakukan monitoring dan evaluasi terhadap
76
prasarana off-stream structural measure, sedangkan partisipasi masyarakat secara langsung tidak ditemukan. 2. Kelompok Kegiatan Non-Struktural Jangka Panjang Pada kelompok kegiatan ini, pada tahap penyusunan konsep cukup banyak kebijakan nasional yang dapat diidentifikasi yang umumnya hanya menekankan pada floodplain regulation, terutama pada Rencana Umum Tata Ruang (RUTR), Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), aturan pengelolaan dan pemanfaatan sungai, dan peraturan daerah (perda) yang berkaitan dengan tata ruang dan pemanfaatan sumberdaya air. Pada tahap pengembangan konsep, belum banyak kegiatan yang dilakukan yang berkaitan dengan floodplain regulation karena umumnya masih berupa konsep yang tertuang dalam bentuk master plan pengelolaan sumberdaya air yang belum mampu dilaksanakan karena keterbatasan dana dan sumberdaya manusia. Kegiatan konsultasi publik dan penyuluhan ditemukan pada tahapan implementasi merupakan bentuk dari public information and education yang merupakan tahap lanjutan dari implementasi floodplain regulation. Monitoring dan evaluasi terhadap floodplain regulation hanya dilakukan oleh pengelola sungai dan pemda. Meskipun penduduk daerah rawan banjir, pemuka masyarakat dan agama, profesional/ahli, LSM, dan media massa dapat melakukan monitoring dan evaluasi, namun belum ada regulasi yang secara tegas mengatur hal ini. Dengan ciri kegiatan yang jumlah beneficiaries-nya banyak dengan kepentingan yang berbeda-beda serta dengan biaya sosial yang rendah tersebut, maka dalam penyusunan regulasi pemerintah yang menjadi fasilitator harus mampu menjembatani berbagai kepentingan tersebut dengan secermat mungkin mengidentifikasi stakeholder utama dan menyusun skema birokrasi yang sesuai dan efektif serta perencanaan pelaksanaan yang terintegrasi dan terkoordinasi. 3. Kelompok Kegiatan Manajemen Darurat Banjir Jangka Pendek Pada kelompok kegiatan penanganan darurat banjir terutama pada kegiatan persiapan menghadapi banjir (pre-flood prevention), pada tahap penyusunan konsep terdapat cukup banyak aspek legal yang bisa dijadikan acuan, namun belum banyak yang secara spesifik mengakomodasi partisipasi masyarakat, seperti pada tahap penyusunan konsep atau strategi penanganan ketika keadaan darurat banjir. Pada tahap pengembangan juga sudah terdapat peraturan daerah yang mengatur pengembangan peta daerah rawan banjir dan
77
penetapan daerah alternatif pengungsian korban bencana dan pengadaan sarana perhubungan di daerah yang terkena bencana. Namun demikian pada tahapan ini, di lapangan tidak teridentifikasi partisipasi masyarakat dan segala persiapan untuk menghadapi banjir dilakukan oleh instansi pemerintah. Pada tahap implementasi persiapan menghadapi banjir, partisipasi masyarakat tidak teridentifikasi secara spesifik sedangkan instansi pemerintah atau institusi pengelola sungai melakukan hampir semua kegiatan. Pada tahap terakhir dalam kelompok kegiatan ini, tidak teridentifikasi kegiatan monitoring dan evaluasi persiapan menghadapi banjir yang melibatkan masyarakat secara langsung. Dengan ciri kegiatan yang beneficiaries-nya sudah teridentifikasi secara jelas, tersebut, maka masyarakat yang secara langsung terkena bencana banjir harus mendapatkan perhatian utama. Dalam hal ini pemerintah harus memfasilitasi sehingga kelompok masyarakat ini mempunyai akses terhadap kegiatan-kegiatan yang memungkinkan mereka menghindari bencana atau paling tidak mengurangi kerugian (materi) akibat bencana banjir tersebut. Di samping itu perlunya disusun suatu kebijakan yang memprioritaskan peningkatan kapasitas sumber daya manusia kelompok masyarakat tersebut sehingga dalam perencanaan kegiatan penanggulangan bencana banjir, kelompok ini dapat menyumbangkan pemikiran mereka secara lebih. 5.5.
Pembahasan Berdasarkan hasil analisa interpretasi citra penginderaan jauh, laju
pertumbuhan lahan terbangun di Kota padang dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2007 meningkat sebesar 3,12 %. Pertumbuhan lahan terbangun tersebut berbanding lurus dengan meningkatnya laju pertumbuhan penduduk kota Padang yaitu sebesar 2,31%. Meningkatnya pertumbuhan lahan terbangun dan jumlah
penduduk
merupakan
indikator
telah
meningkatnya
urbanisasi
penduduk ke kota Padang. Urbanisasi merupakan hal yang lumrah bagi sebuah kota. Apalagi kota Padang adalah Ibukota Propinsi Sumatera Barat. Namun meningkatnya laju urbanisasi dan pemilihan tempat tinggal pada daerah-daerah yang memiliki kerentanan terhadap banjir yaitu pada daerah bentuklahan bentukan banjir mengakibatkan meningkatnya bahaya dan resiko terhadap banjir. Selama ini persoalan banjir merupakan salah satu persoalan lingkungan utama di kota
78
Padang, karena banjir merupakan salah satu bencana yang secara rutin terjadi di kota Padang. Penyebab terjadinya banjir di Kota Padang karena disebabkan antara lain oleh: (1) curah hujan tinggi; (2) pengembangan kota yang tidak terkendali, tidak sesuai tata ruang daerah, dan tidak berwawasan lingkungan sehingga menyebabkan berkurangnya daerah resapan dan penampungan air; (3) drainase kota yang tidak memadai akibat sistem drainase yang kurang tepat, kurangnya prasarana darinase, dan kurangnya pemeliharaan; (4) luapan sungai ketika hujan; (5) kerusakan lingkungan pada daerah hulu; (6) kondisi pasang air laut pada saat hujan sehingga mengakibatkan backwater; (7) berkurangnya kapasitas pengaliran sungai akibat penyempitan sungai; serta (8) kurang lancar hingga macetnya aliran sungai karena tumpukan sampah Kerugian akibat banjir yang melanda berbagai kota dan wilayah, antara lain meliputi: (1) korban manusia; (2) kehilangan harta benda; (3) kerusakan rumah penduduk; sekolah dan bangunan sosial, prasarana jalan, jembatan, bandar udara, tanggul sungai, jaringan irigasi, dan prasarana publik lainnya; (4) terganggunya transportasi, serta; (5) rusak hingga hilangnya lahan budidaya seperti sawah, tambak, dan kolam ikan. Disamping kerugian yang bersifat material, banjir juga membawa kerugian non material, antara lain kerawanan sosial,
wabah
penyakit,
menurunnyja
kenyamanan
lingkungan,
serta
menurunnya kesejahteraan masyarakat akibat kegiatan perekonomian mereka terhambat. Meningkatnya perkembangan daerah pinggir kota (ke utara dan timur) yaitu kecamatan Koto Tangah dan Kuranji menuntut setiap stekholder untuk siap siaga dalam menghadapi banjir. Permasalahan utama dalam menghadapi banjir selama ini adalah minimnya fasilitas drainase sehingga sering menimbulkan genangan ketika curah hujan yang tinggi terjadi. Meningkatnya laju perkembangan lahan terbangun dan jumlah penduduk di kecamatan Koto Tangah serta tingginya daerah rawan banjir dan berpotensi terjadi banjir mengakibatkan kerentanan terhadap bahaya banjir cukup tinggi didaerah ini. Apalagi sungai Batang Kandis belum dilakukan proyek pengendalian banjir. Kondisi sungai Batang Kandis saat ini masuk kedalam kategori sungai kritis, karena tidak sanggup menampung debit banjir. Walaupun saat ini proyek pengendalian banjir pada sungai Batang Kandis dalam proses perencanaan, permasalahan banjir di Kota Padang selama ini tidak selesai dengan adanya
79
proyek pembangunan pengendalian banjir. Saat ini sudah ada kolam retensi yang diharapkan dapat mengendalikan banjir, namun kenyataannya fungsinya belum terlihat optimal karena masih banyak terjadi genangan banjir di beberapa kawasan. Dalam rangka mengurangi dampak banjir, telah disusun berbagai kebijakan dan program penanggulangan, baik yang bersifat prevention, intervention maupun recovery. Pada tahap pra bencana dilakukan: (1) membangun, meningkatkan, memperbaiki atau normalisasi, dan memelihara sungai,
tampungan
air,
dan drainase
beserta
peralatan dan fasilitas
penunjangnya; (2) menyusun peraturan dan menertibkan daerah bantaran sungai; (3) membuat peta daerah genangan banjir; (4) sosialisasi dan pelatihan prosedur tetap penanggulangan banjir; (5) menegakkan hukum terhadap pelanggaran pengelolaan daerah aliran sungai; (6) menyediakan cadangan pangan dan sandang serta peralatan darurat banjir lainnya; (7) membuat sumur resapan; (8) pemantapan Satkorlak PBP; (9) merevisi tata ruang propinsi maupun kota secara terkoordinasi dan terintegrasi; (10) mengendalikan perkembangan lingkungan dan pengembangan daerah hulu; (11) membuat penampungan air berteknologi tinggi; (13) membangun fasilitas pengolah limbah dan sampah; (14) mereboisasi kota dan daerah hulu; (15) mendirikan Posko banjir di wilayah RT/ RW. Kebijakan dan program pada tahapan ketika terjadi bencana, berupa: (1) pemberitahuan
dini
kepada
masyarakat
tentang
kondisi
cuaca;
(2)
menempatkan petugas pada pos-pos pengamatan; (3) menyiapkan sarana penanggulangan,
termasuk
bahan
banjiran;
(4)
mengevakuasi
dan
mengungsikan penduduk ke daerah aman, sesuai yang telah direncanakan dengan memanfaatkan seluruh komponen masyarakat, TNI, Polri, Satlak PBP, Satkorlak PBP, Badan SAR Nasional (Basarnas), dan Karang Taruna; (5) memberikan bantuan pangan, pakaian, dan peralatan kebutuhan lainnya, serta pelayanan kesehatan darurat kepada korban bencana; (6) mendata lokasi dan jumlah korban bencana. Pada tahap setelah banjir, kebijakan dan program yang telah dilakukan di daerah studi umumnya masih bersifat fisik, sedangkan yang bersifat non fisik masih belum ditemui. Program dan kegiatan fisik yang telah dilakukan adalah: (1) pendataan kerusakan bangunan dan fasilitas publik; (2) memperbaiki
80
prasarana publik yang rusak; (3) pembersihan lingkungan; (4) mengajukan usulan pembiayaan program pembangunan fasilitas penanggulangan banjir. Dalam hal ketersediaan landasan hukum, pemerintah daerah (Pemda) belum mempunyai peraturan daerah (Perda) tentang penanggulangan banjir. Sementara itu pemerintah daerah hanya menggunakan surat-surat edaran dalam mengatur warga masyarakat. Upaya pemerintah daerah dalam kegiatan pengendalian banjir banyak menemui kendala, antara lain lantaran: (1) kurangnya kepedulian masyarakat menjaga lingkungan; (2) kurangnya kesadaran masyarakat mematuhi peraturan yang berlaku dan menjaga kebersihan lingkungan; (3) kurangnya partisipasi masyarakat, bahkan cenderung tergantung pada bantuan pemerintah; (4) peraturan daerah masih sangat terbatas; (5) lemahnya penegakan hukum; (6) kurangnya koordinasi antar lembaga pemerintah; (7) terbatasnya dana pemerintah.