V.
Bab V Kajian Kinerja Supply Chain Proyek Bangunan Gedung
Kajian ini dimaksudkan untuk mencari gambaran kinerja supply chain dari masing-masing pola supply chain yang telah teridentifikasi terhadap implementasi dari konsep-konsep lean construction. Pengkajian dilakukan dengan mengacu pada indikator-indikator pengukuran kinerja supply chain dan konsep lean construction. V.1
Indikator Pengukuran Kinerja Supply Chain
Pada pengukuran kinerja supply chain ini digunakan indikator-indikator pengukuran kinerja yang dikembangkan dalam penelitian Wirahadikusumah (2007) sebagaimana terlihat pada Tabel II.5. Namun dari hasil pengumpulan data di lapangan ternyata dari beberapa indikator yang diajukan dengan model penilaian yang telah direkomendasikan memerlukan beberapa penyesuaian. Penyesuaian yang dilakukan terutama terhadap rumus penilaian kuantitaf dari indikator-6 yaitu waktu tenggang (lead time) antara pemesanan (order) dan pengiriman (deliver) dan indikator-8 yaitu inventory material. Untuk indikator-6 semua rumus penilaian yang direkomendasikan adalah
∑ order − deliver , dengan rumus penilaian tersebut dirasa tidak sesuai dan tidak akan memberikan gambaran terhadap penilaian kinerja yang diharapkan. Untuk itu dilakukan penyesuaian terhadap rumus tersebut dengan menggunakan persamaan
# (actual lead time − exp ected lead time > 0) x 100.% Dengan menggunakan ∑ keda tan gan material
persamaan ini diharapkan akan dapat diperoleh gambaran kinerja yang diharapkan. Terkait dengan indikator-8, semula tidak direkomendasikan suatu rumus penilaian tertentu, namun sejalan dengan analisis data yang dilakukan terjadi penyesuaian dengan menggunakan persamaan
Volume material di gudang x 100% . Secara Volume total material yang dibeli
85
86
terperinci indikator-indikator beserta rumus penilaian yang akan digunakan disajikan pada Tabel V.1. Tabel V.1 Jenis indikator dan rumus penilaian kuantitatif 1.
Indikator Intensitas perubahan/revisi terhadap rencana kerja
2.
Intensitas kendala selama pelaksanaan pekerjaan
3.
Intensitas rapat koordinasi antar pihak yang terlibat Intensitas defect pekerjaan Kinerja supplier dalam memenuhi jadwal pengiriman material Waktu tenggang (lead time) antara pemesanan (order) dan pengiriman (deliver) Intensitas kejadian reject material
4. 5.
6.
7. 8.
Rumus penilaian kuantitatif
Inventory material
9.
Keikutsertaan subkontraktor di dalam perencanaan pelaksanaan 10. Intensitas complaints dari owner kepada kontraktor & dari kontraktor kepada supplier
V.2
Kinerja Supply Chain Proyek Studi Kasus
Pengukuran terhadap kinerja supply chain proyek studi kasus dilakukan dengan menggunakan 10 (sepuluh) indikator sebagaimana terlihat pada Tabel II.5. Pengukuran dilakukan terhadap lingkup pekerjaan finishing arsitektur dengan sub pekerjaan yang ditinjau adalah pekerjaan dinding bata ringan, pekerjaan plafond, pekerjaan pemasangan keramik dan pekerjaan mekanikal dan elektrikal. Terhadap pengadaan material dilakukan pengamatan terhadap material bata ringan, bata merah, plafond, keramik dan material M/E. Waktu
87
pengambilan data di lapangan dibatasi hanya antara bulan April 2007 sampai dengan bulan Oktober 2007. Untuk keempat proyek studi kasus hasil pengukuran kinerja terhadap data yang diperoleh disajikan pada Tabel V.2 berikut. Tabel V.2 Kinerja Supply Chain Proyek Studi Kasus
No.
Indikator
1
Jumlah perubahan/revisi rencana kerja
2 3a 3b 3c
Intensitas constraint selama pelaksanaan pekerjaan Intensitas rapat rutin mingguan koordinasi intern Intensitas rapat rutin mingguan koordinasi ekstern Intensitas rutin mingguan antara manajemen di proyek dengan kantor pusat
Proyek Proyek A C Kontraktor X Pola-1 Pola-4 Pemerintah Swasta
Proyek Proyek B D Kontraktor Y Pola-2 Pola-4 Pemerintah Swasta
59 kali
12 kali
48 kali
52 kali
43 kali
8 kali
35 kali
42 kali
28 kali
20 kali
28 kali
28 kali
28 kali
20 kali
28 kali
56 kali
28 kali
20 kali
28 kali
28 kali
3d
Intensitas rapat koordinasi khusus
15 kali
2 kali
4 kali
8 kali
4
Intensitas defect pekerjaan
< 2%
< 2%
< 2%
< 2%
100%
100%
100%
100%
0%
0%
0%
0%
< 2%
< 2%
< 2%
< 2%
< 10 %
< 10 %
5% - 10%
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
15 kali
25 kali
44 kali
33 kali
1 kali
2 kali
2 kali
3 kali
5 6
Kinerja supplier dalam memenuhi jadwal pengiriman Waktu tenggang (lead time) antara pemesanan (order) dan pengiriman (deliver)
7
Intensitas kejadian reject material
8
Inventory material
9 10a 10b
Keikutsertaan subkontraktor di dalam perencanaan pelaksanaan Intensitas complaint dari ownerkontraktor Intensitas complaint dari kontraktorsupplier
5% 10% Tidak ada
Secara detail kajian yang dilakukan terhadap aktivitas supply chain pada proyekproyek studi kasus berdasarkan indikator-indikator sebagaimana disajikan pada tabel di atas adalah sebagai berikut :
88
V.2.1. Indikator-1 : Jumlah perubahan/ revisi terhadap rencana kerja
Change Order atau Variation Order adalah suatu persetujuan tertulis untuk memodifikasi, menambah atau perubahan lain pada pekerjaan yang telah diatur dalam kontrak pada saat pembukaan penawaran dengan catatan bahwa perubahan tersebut masih termasuk dalam lingkup proyek awal (Fisk, 1995). Perubahan yang dimaksud dapat berupa perubahan harga kontrak, jadwal pembayaran, jadwal penyelesaian proyek atau perubahan pada gambar dan spesifikasi. Change order dapat muncul karena berbagai sebab, beberapa diantaranya adalah : desain yang cacat atau tidak lengkap, perubahan permintaan, kondisi lapangan yang tidak diketahui, bahasa kontrak yang tidak jelas dan perintah percepatan (Gilbreath, 1992) Dari Tabel V.2 terlihat bahwa pada keempat proyek studi kasus, sangat sering terjadi revisi terhadap rencana kerja, baik itu proyek yang merupakan proyek pemerintah maupun proyek milik swasta. Salah satu alasan sering terjadinya perubahan adalah tidak sempurnanya hasil desain yang dilakukan oleh konsultan perencana, mengingat waktu perencanaan yang sangat singkat sehingga hasil desain tidak maksimal dan masih memerlukan penambahan dan perubahan terhadap hasil desain yang akan dilaksanakan. Selain itu juga ada kecenderungan yang dilakukan pemilik untuk membuat perubahan terhadap desain yang telah ada. Hal ini semakin besar terlihat pada proyek milik swasta dimana pihak owner terus melakukan perubahan-perubahan dan penyesuaian terhadap desain pekerjaan sehingga sering terjadi perubahan pekerjaan (variation order) terutama jika terkait dengan pendanaan yang ada. Perubahan yang dilakukan oleh owner ini secara tidak langsung dapat saja mengganggu aliran pelaksanaan pekerjaan secara keseluruhan, sehingga kemungkinan terjadi keterlambatan penyelesaian proyek secara keseluruhan. Namun sebagai konsekuensi dari perubahan ini, juga dilakukan penyesuaian terhadap nilai pekerjaan dan waktu pelaksanaan pekerjaan.
89
Pada proyek A walaupun pemilik bangunan adalah pemerintah namun terlihat banyak terjadinya perubahan (variation order), perubahan yang terjadi antara lain disebabkan karena tidak lengkapnya hasil desain yang dilakukan konsultan perencana sehingga tidak mampu mengakomodir seluruh kebutuhan pemilik, selain itu juga terjadi penyesuaian desain atas keinginan pengguna (tenant) dalam hal ini dokter-dokter yang akan memanfaatkan ruang-ruang pada gedung yang akan dipakai meliputi perubahan peruntukan ruangan serta perubahan spesifikasi material. Segala perubahan dituangkan dalam suatu addendum kontrak. Selama masa pelaksanaan untuk proyek A terjadi 1 kali addendum terhadap waktu dan biaya pelaksanaan. Perubahan terhadap rencana kerja juga banyak terjadi pada proyek B, walaupun karakteristik proyek ini sama dengan proyek A yaitu proyek pemerintah, namun pemilik proyek juga melakukan banyak perubahan dan penyesuaian desain yang semula tidak terakomodir pada tahap desain mengingat waktu desain yang sangat singkat, sehingga dapat dikatakan proyek berjalan secara simultan dengan penyempurnaan desain. Sedangkan pada proyek C dan D dengan owner pihak swasta, perubahan yang terjadi dituangkan dalam suatu berita acara yang nantinya akan dilakukan addendum terhadap kontrak awal pekerjaan. Karena proyek swasta lebih longgar dalam regulasinya, maka terkadang perubahan-perubahan yang terjadi tidak dituangkan dalam suatu surat perjanjian addendum tetapi cukup dengan suatu berita acara yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. V.2.2. Indikator-2 : Intensitas constraint yang terjadi selama pelaksanaan pekerjaan Keterlibatan banyak pihak menyebabkan banyaknya constraint (kendala) yang terjadi dan dapat mengganggu kelancaran flow pekerjaan, seperti ketersediaan sumber daya, desain gambar yang belum selesai, shop drawing dan material yang belum disetujui dan belum selesainya kegiatan downstream. Dari hasil wawancara dengan pihak manajemen pada keempat proyek studi kasus diketahui bahwa
90
kontraktor melakukan pencatatan dan analisis terhadap constraint yang terjadi selama pelaksanaan pekerjaan, dan memberikan perhatian yang besar terhadap kendala-kendala apa saja yang dapat mengganggu flow pekerjaan. Baik kendala yang mungkin disebabkan oleh proses produksi di internal kontraktor sendiri, maupun kendala yang bisa disebabkan oleh pihak di luar kontraktor seperti owner dan konsultan pengawas. Untuk kendala yang disebabkan oleh proses produksi di internal kontraktor sendiri, pemecahaannya didiskusikan dalam rapat rutin intern kontraktor, dan hasilnya didokumentasikan dalam risalah rapat serta disampaikan pada pihakpihak yang terkait dengan permasalahan tersebut. Sementara untuk kendala yang disebabkan oleh pihak diluar kontraktor, maka pemecahannya didiskusikan dalam rapat rutin ekstern, dan hasilnya juga didokumentasikan dalam risalah rapat. Untuk kejadian khusus yang memerlukan penanganan segera dari pihak-pihak pengambil keputusan dilakukan melalui rapat khusus yang bersifat insidentil, sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Pada setiap rapat yang dilakukan harus dihadiri oleh orang yang mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan sehingga segala sesuatu yang akan dibahas akan dapat dengan segera diputuskan. Kendala pada proyek A antara lain : banyaknya perubahan desain yang terjadi dikarenakan perubahan peruntukan ruangan, jenis material yang digunakan, keinginan penggunaan yang tidak terakomodir oleh konsultan perencana, keterlambatan dari owner dalam memutuskan jenis material yang diajukan oleh kontraktor, keterlambatan pekerjaan yang dilakukan oleh subkontraktor. Kendala pada proyek B antara lain : waktu pelaksanaan design sangat singkat sehingga kontraktor menerima gambar design tidak lengkap, sebagai akibatnya penyempurnaan design dilakukan sejalan dengan pelaksanaan pekerjaan di lapangan dan hal ini menyebabkan agak terlambatnya progres kemajuan pekerjaan lapangan. Akibat tidak sempurnya desain maka banyak terjadi variation order hal ini menyebabkan timbulnya masalah baru yaitu ketidaksamaan persepsi terhadap penambahan/perubahan pekerjaan yang dikaitkan dengan waktu, dimana
91
dengan adanya penambahan/ perubahan akan diikuti dengan berarti penambahan waktu yang terkait dengan proses produksi yang dilakukan, baik itu pemesanan material, pendatangan material ke lokasi sampai dengan proses pemasangan. Selama ini persepsi yang ada di pihak pemilik bahwa penambahan pekerjaan hanya dilihat secara linear, artinya jika penambahan untuk pekerjaan tersebut secara finansial mempunyai besaran 10 % dari nilai kontrak artinya penambahan waktu juga akan dilinearkan sesuai dengan waktu pelaksanaan, sedangkan penambahan pekerjaan yang dilakukan terkait dengan pemakaian material yang harus didatangkan dari luar negeri. Untuk proses pendatangan material tersebut dengan segala prosedurnya akan memakan waktu yang lebih lama dari nilai finansial dan asumsi dari pihak pemilik. Selain itu terdapat pula kendala akibat persetujuan owner terhadap usulan material dari kontraktor yang sering terlambat diterima oleh kontraktor, juga terdapat kendala dengan produktivitas kerja dari subkontraktor terutama terkait dengan keterlambatan kedatangan material dan jumlah tenaga kerja yang tidak mencukupi di lapangan. Kendala pada proyek C dan D secara umum sama, antara lain : banyaknya perubahan terhadap desain akibat keinginan pemilik yang tidak terakomodir pada tahap desain, perubahan peruntukan desain yang ada, keterlambatan penunjukan
nominated subcontractor dan nominated supplier, keterlambatan persetujuan owner terhadap usulan material dari kontraktor, perubahan desain pekerjaan, keterlambatan yang dilakukan subkontraktor dan nominated subcontractor, keterlambatan penyelesaian pekerjaan unit defect list baik yang disebabkan oleh pelaksanaan pekerjaan kontraktor, subkontraktor atau nominated subcontractor. V.2.3. Indikator-3 : Intensitas rapat koordinasi antar pihak yang terlibat Penyebarluasan informasi tentang hasil analisa proses produksi di proyek konstruksi akan meningkatkan pemahaman semua pihak yang terlibat dalam proses produksi tentang kondisi proyek, sehingga diharapkan secara bersamasama akan lebih meningkatkan kinerjanya.
92
Dari hasil studi kasus diketahui bahwa penyebarluasan informasi tentang hasil analisa kemajuan pekerjaan yang dilakukan oleh bagian engineering dilakukan dalam rapat rutin yang dilaksanakan setiap minggu di proyek konstruksi. Selain dalam rapat rutin tersebut, jika terjadi permasalahan yang membutuhkan analisa yang mendalam, maka akan dilakukan analisa secara detail dan hasilnya akan diberikan kepada semua pihak yang terkait. Hasil analisa tersebut dituangkan dalam media kertas. Tetapi jika permasalahan tersebut bersifat signifikan dan semua orang harus mengetahuinya, maka hasil analisa tersebut akan ditempel di papan pengumuman. Analisa terhadap permasalahan tersebut hanya diberikan kepada pihak-pihak yang terkait dalam struktur organisasi intern kontraktor. Sedangkan pemberian informasi ke pihak mandor dan subkontraktor lebih ditekankan melalui forum rapat rutin antara kontraktor dengan mandor dan subkontraktor. Forum yang digunakan dalam pengambilan keputusan adalah rapat rutin yang selalu diadakan di proyek konstruksi. Rapat rutin tersebut berbeda-beda tingkatannya sesuai dengan personil yang menghadirinya. Adapun jenis rapat rutin yang selalu diadakan berkaitan dengan proses produksi, yaitu: a. Rapat rutin mingguan intern kontraktor Rapat rutin intern kontraktor terdiri dari rapat harian, rapat mingguan, dan rapat bulanan.
Rapat harian dilakukan setiap hari antara staf personil di
bagian operasi lapangan. Rapat mingguan dilakukan setiap minggu dan di hadiri oleh staf personil di bidang engineering, operasi, dan keuangan. b. Rapat rutin mingguan ekstern Merupakan rapat rutin yang dilaksanakan di proyek konstruksi antara kontraktor, owner, subkontraktor, Nominated subcontractor dan konsultan pengawas, dilaksanakan setiap minggu.
93
c. Rapat rutin antara manajemen di proyek dengan kantor pusat Merupakan rapat rutin antara pihak manajemen di proyek konstruksi dengan pihak manajemen kantor pusat, dilaksanakan setiap minggu. d. Rapat koordinasi khusus Merupakan rapat yang dilakukan manakala terjadi permasalahan yang harus segera dicarikan solusi penyelesaiannya. Rapat bersifat insidentil dan melibatkan hanya pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan yang akan di bahas. Selain itu koordinasi juga dilakukan dengan surat menyurat, komunikasi lisan melalui telepon dan memorandum. Dari Tabel V.2 terlihat bahwa ada perbedaan intensitas antara rapat rutin mingguan ekstern yang dilakukan pada masing-masing proyek. Hal ini disebabkan keterlibatan banyak pihak di mana tidak hanya subkontraktor akan tetapi juga terdapat nominated subcontractor menyebabkan intensitas rapat yang diadakan lebih banyak, karena kontraktor tidak hanya mengadakan rapat dengan pihak subkontraktor tapi juga dengan pihak nominated subcontractor. V.2.4. Indikator-4 : Intensitas defect pekerjaan Pada pengumpulan data di lapangan terkait dengan rumus pengukuran untuk indikator ini sebagaimana direkomendasikan ternyata sulit untuk pengaplikasian dengan data yang ada, karena kontraktor tidak melakukan pencatatan terhadap kegagalan dalam pelaksanaan inspeksi, tetapi hanya melakukan pencatatan terhadap jenis-jenis defect yang terjadi. Untuk itu pengukuran hanya dilakukan terhadap intensitas defect yang terjadi. Terhadap defect yang terjadi, kontraktor juga melakukan pencatatan (list of
defect), untuk kemudian dilakukan perbaikan. Namun demikian pada pelaksanaan setiap pekerjaan direncanakan sedemikian rupa dan pada masa pelaksanaan dilakukan pengawasan secara terpadu antara pelaksana dan konsultan pengawas
94
serta perwakilan pemilik. Hal ini dilakukan untuk mengurangi terjadinya cacatcacat selama masa pelaksanaan pekerjaan. Dengan demikian hasil pelaksanaan akan sesuai dengan perencanaan yang dilakukan. Sehingga keseluruhan subkontraktor berhasil memenuhi mutu pekerjaan yang disyaratkan. Jikapun terjadi kesalahan pada pelaksanaan maka akan dilakukan pencacatan (list
of defect) terhadap cacat-cacat yang terjadi untuk kemudian dilakukan perbaikan secara bersamaan, namun jika cacat yang terjadi bersifat penting karena jika tidak segera diperbaiki akan mengganggu aktifitas pekerjaan yang mengikutinya maka akan menjadi prioritas penanganan. Terdapat perbedaan sistem pencacatan defect antara satu proyek dengan proyek lainnya, di mana pada proyek A dan C tidak dilakukan pencacatan secara terstruktur, perbaikan terhadap defect dilakukan berdasarkan memo lapangan yang merupakan hasil inspeksi antara konsultan pengawas dengan personil Quality
Control proyek. Sedangkan pada proyek B dan D pencacatan dilakukan setiap hari untuk kemudian direkap secara mingguan dan dilakukan perbaikan. Inspeksi yang dilakukan oleh kontraktor X dilakukan dengan melibatkan pihak konsultan MK, dan subkontraktor. Kriteria inspeksi yang dilakukan oleh kontraktor X antara lain : •
Tidak berfungsi
•
Area yang tidak menggunakan
•
Perlu perbaikan/ pengulangan
•
Belum diuji fungsi
•
Berfungsi baik/ kondisi baik
V.2.5. Indikator-5 : Kinerja supplier dalam memenuhi jadwal pengiriman material Perusahaan kontraktor X telah menerapkan sistem pengadaan material yang strategis secara tersentralisasi, dimana pengadaan ini dikoordinir oleh suatu divisi pengadaan. Material atau barang dan jasa yang dibutuhkan dalam proyek
95
konstruksi berkisar dari material atau jasa yang rutin hingga material atau jasa yang membutuhkan tingkat spesialisasi yang tinggi, yang hanya dapat diberikan oleh individu dengan pengalaman yang memadai. Dalam spektrum tersebut, maka masing-masing material dan jasa memiliki tingkat kepentingan yang berbeda, sehingga juga menuntut hubungan antara kontraktor dengan penyedia material atau jasa tersebut dalam bentuk hubungan yang berbeda. Dalam pengelolaan proyeknya, kontraktor X melakukan strategi pembelian secara terpadu terhadap beberapa material atau jasa yang dianggap strategis. Pembelian ini dilakukan dalam bentuk kontrak payung, yang tidak secara spesifik mengacu pada proyek tertentu. Adapun yang termasuk dalam material atau jasa strategis adalah material atau jasa yang dibutuhkan oleh setiap proyek dengan volume kebutuhan yang cukup besar. Dalam praktek yang sudah dilakukan oleh kontraktor X, pengadaan besi beton merupakan bagian dari pengadaan jenis ini dalam tonase tertentu, dan juga mulai menjajagi untuk melakukan hal yang sama pada pengadaan material berulang lainnya seperti wiremesh, paku dan bendrat, dan hebel. Sedangkan pada kontraktor Y, walaupun belum ada suatu divisi khusus yang menangani masalah pengadaan, tetapi telah menerapkan sistem
pengadaan
material secara terpadu juga. Di mana untuk beberapa material yang dianggap strategis telah dilakukan perencanaan terhadap prediksi kebutuhan proyek dalam kurun waktu tertentu, biasanya 6 (enam) bulanan, sehingga dilakukan pengadaan secara terpadu untuk pembelian dengan volume yang besar. Pada awal pelaksanaan pekerjaan telah dilakukan perencanaan material yang akan digunakan yang disesuaikan dengan rencana kerja keseluruhan. Pihak supplier dalam pengiriman material mengacu pada schedul yang telah disampaikan oleh pihak kontraktor. Jika ternyata pekerjaan di lapangan mengalami perubahan maka pihak kontraktor berkewajiban untuk memberitahukan pihak supplier tentang perubahan yang terjadi.
96
Prosedur pengadaan material dimulai dengan penyampaian Surat Permintaan Pembelian dari pelaksana di lapangan kepada bagian logistik dengan mengetahui site manager. Kemudian pihak logistik akan mengeluarkan Surat Pembelian Material (Purchase Order) kepada pihak supplier dengan mencantumkan jadwal penerimaan material di site dan jadwal pemakaian material. Berdasarkan analisa yang dilakukan terlihat bahwa untuk proyek ini diperoleh bahwa kinerja supplier dalam memenuhi permintaan pesanan material dari kontraktor utama sangat baik di mana tidak pernah terjadi keterlambatan penerimaan material di lapangan untuk pekerjaan yang langsung ditangani oleh kontraktor utama dengan material yang pengadaannya langsung dilakukan oleh pihak kontraktor. Hal ini dimungkinkan dengan sistem kontrak payung yang telah diterapkan
oleh
perusahaan
terhadap
beberapa
material
strategis
yang
pengirimannya dilakukan berdasarkan schedule yang disampaikan pada awal pekerjaan. Untuk material yang di supplied by owner (SBO), pernah terjadi keterlambatan pengiriman material yang disebabkan karena supplier tidak mau mengirimkan material ke lapangan akibat pembayaran belum dilakukan oleh owner terhadap progres yang telah lalu. Namun secara keseluruhan keterlambatan ini tidak mengganggu terhadap pelaksanaan pekerjaan di lapangan. V.2.6. Indikator-6 : Waktu tenggang (lead time) antara pemesanan (order) dan pengiriman (deliver) Pemesanan material dilakukan berdasarkan skedul pemakaian material di lapangan, sehingga tidak terjadi waktu tenggang yang panjang terhadap kedatangan material. Proses pemesanan material dilakukan paling lambat 2 hari menjelang jadwal pemakaian material di lapangan, hal ini di lakukan untuk menghindari inventory material yang menumpuk di gudang. Begitu pula terhadap material yang di supplied by owner, pemesanan dilakukan dengan mengacu pada skedul pemakaian material yang diketahui oleh owner.
97
V.2.7. Indikator-7 : Intensitas kejadian reject material Pemesanan material yang dilakukan dengan menggunakan sistem terpadu dimana kualitas material yang didatangkan telah ditentukan terlebih dahulu sehingga jumlah material yang dikembalikan karena tidak sesuai dengan spesifikasi atau cacat dalam pengiriman berdasarkan hasil wawancara di lapangan < 2 %. Pada saat kedatangan material di lapangan dilakukan pengecekan kualitas material sesuai tidak dengan spesifikasi yang diminta, jika ternyata ada material yang tidak sesuai dengan spesifikasi akan langsung dikembalikan. Pemeriksaan dilakukan oleh bagian logistik dengan mengetahui site manager. Seiring dengan pemeriksaan material ini juga dilakukan evaluasi terhadap kinerja dari supplier, sebagai bahan masukkan bagi evaluasi secara keseluruhan. Sehingga material yang tidak dapat diterima karena cacat atau tidak sesuai dengan speksifikasi dapat langsung diketahui dan segera dikembalikan ke supplier yang bersangkutan untuk dilakukan pengiriman ulang material tersebut. Hal ini dilakukan untuk menghindari penumpukan material di gudang. Pada proyek C reject material yang terjadi disebabkan perubahan desain yang dilakukan owner, sehingga material yang telah didatangkan ke lokasi pekerjaan tidak sesuai dengan spesifikasi yang baru. Material tersebut kemudian dikembalikan ke supplier untuk dilakukan pengiriman ulang sesuai dengan desain yang baru. Sedangkan pada proyek D reject material yang pernah dilakukan akibat kesalahan dari supplier melakukan perhitungan pasokan materialnya sehigga terjadi kelebihan pengiriman dari jumlah pemesanan material dari proyek. V.2.8. Indikator 8 : Inventory material Dengan sistem supply material yang dilakukan sesuai dengan jadwal pekerjaan yang telah disampaikan, maka material hanya akan berada di gudang untuk beberapa hari saja sehingga tidak terjadi inventory atau penumpukan material di
98
gudang. Pengelolaan inventory di gudang sudah dilakukan secara optimal sehingga tidak terjadi penumpukan material yang dapat menimbulkan penambahan biaya (meminimalisir waste). Pada proyek-proyek yang dikelola oleh kontraktor X, dilakukan suatu pencacatan terhadap sediaan material di gudang secara rutin setiap hari oleh petugas gudang. Untuk selanjutnya dilakukan opname persediaan material di gudang pada akhir bulan yang dilakukan oleh bagian logistic dengan melibatkan manajemen proyek, di mana pada saat ini kondisi stock material yang ada di gudang sebesar < 10 % nilai pembelian material bulan berjalan. Hal ini dilakukan agar tidak mengganggu aliran cash flow proyek. Sedangkan pada kontraktor Y sediaan material di gudang pada akhir bulan berjalan berkisar antara 5%- 10% nilai pembelian yang dilakukan. Namun kedua ketentuan yang telah ditetapkan pada kedua kontraktor tersebut bukanlah merupakan suatu angka pasti yang tidak dapat dirubah. Besaran nilai inventory di gudang juga ditentukan berdasarkan material yang akan disimpan di gudang tersebut. Pada proyek A, B dan C, dengan memperhatikan kondisi lalu lintas dan aktifitas lingkungan sekitar, maka biasanya pengiriman material dilakukan pada malam hari. Selain untuk menghindari kemacetan lalu lintas, juga adanya peraturan yang membatasi tonase kendaraan yang dapat melalui jalan-jalan tertentu pada siang hari. Sedangkan pada proyek D, pasokan material dilakukan pada siang hari, mengingat lokasi proyek yang bukan berada pada daerah yang ramai. Pada kontraktor X, telah diberlakukan kebijakan untuk material yang merupakan sisa dari pekerjaan di lapangan dilakukan pemilahan. Untuk besi tulangan material yang tersisa akan dikumpulkan untuk kemudian dilakukan pengumpulan secara menyeluruh dari semua proyek yang sedang ditangani oleh perusahaan pada suatu tempat dan selanjutnya akan dilakukan proses daur ulang dengan melibatkan
supplier yang bersangkutan. Selain itu juga dilakukan optimalisasi perhitungan
99
kebutuhan material untuk pelaksanaan pekerjaan di lapangan, sehingga dapat mengurangi sisa material yang mungkin terjadi. Untuk material yang di supplied by owner kontraktor hanya melakukan pencatatan pada saat kedatangan material di lapangan dengan mengikut-sertakan perwakilan dari owner, subkontraktor yang akan menggunakan material tersebut. Untuk selanjutnya material tersebut diserahkan pada subkontraktor yang akan menggunakannya dengan segala pencacatan dan penyimpanan menjadi tanggung jawab dari subkontraktor yang bersangkutan. Material yang tidak sesuai dengan spesifikasi atau cacat pada saat pengiriman akan langsung dikembalikan kepada
supplier yang bersangkutan. V.2.9. Indikator 9 : Keikutsertaan subkontraktor di dalam perencanaan pelaksanaan Pada keempat proyek studi kasus tidak ditemukan keterlibatan subkontraktor dalam proses perencanaan pelaksanaan pekerjaan di lapangan. Hal ini menggambarkan bahwa proses perencanaan terhadap produksi yang akan dilakukan menjadi tanggung jawab kontraktor utama, sedangkan subkontraktor dan nominated subcontractor diberi kewenangan penuh untuk mengatur rencana kerjanya masing-masing dengan mengacu pada rencana kerja yang telah dipersiapkan oleh kontraktor utama. Jadi tidak ada suatu perencanaan terpadu yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat terhadap keseluruhan operasional di lapangan. V.2.10. Indikator-10 : Intensitas compliant dari owner-kontraktor dan kontraktor-supplier Kesesuaian mutu antar hasil pekerjaan yang dilakukan oleh kontraktor dengan mutu yang diharapkan oleh owner merupakan suatu hal yang sangat penting. Ketidaksesuaian mutu ini akan menimbulkan terjadi complaint dari owner terhadap kinerja dari kontraktor. Penanganan yang cepat terhadap komplain dari konsumen (customer complaint) merupakan salah satu cara untuk meningkatkan
100
kepuasan konsumen (customer satisfaction) terhadap kinerja kontraktor di proyek konstruksi. Penanganan terhadap customer complaint sangat terkait dengan kebijakan mutu yang ditetapkan kantor pusat dalam pelaksanaan proses produksi di proyek konstruksi. Dari hasil studi kasus di proyek konstruksi diketahui bahwa setiap kontraktor memberikan perhatian terhadap penanganan customer complaint, hal ini terlihat dengan adanya personil intern kontraktor yang bertugas sebagai Quality Control, yang salah satu tugasnya adalah mengawasi jalannya proses produksi agar produk yang dihasilkan adalah produk yang berkualitas dan sesuai dengan keinginan owner. Bahkan pada salah satu kontraktor yang menjadi studi kasus, diketahui mempunyai suatu kebijakan dan sasaran mutu yang berkaitan dengan penanganan
customer complaint yang harus dilakukan oleh proyek konstruksi. Kebijakan tersebut adalah semua permintaan/ keluhan pelanggan eksternal harus direspon dalam waktu satu hari kerja.
Complaint di sini dibagi menjadi dua, yaitu complaint dari owner terhadap kontraktor utama selaku koordinator pekerjaan, baik itu menyangkut pekerjaan yang dilakukan oleh kontraktor utama maupun pekerjaan yang dilakukan oleh subkontraktor yang berada dibawah koodinator kontraktor utama, dan complaint yang disampaikan oleh kontraktor utama terhadap supplier material. Complaint yang disampaikan owner terutama terhadap pelaksanaan pekerjaan di lapangan menyangkut antara lain mutu pekerjaan yang dilaksanakan oleh tidak sesuai dengan standard mutu yang telah ditetapkan, keterlambatan penyelesaian pekerjaan oleh subkontraktor atau nominated subcontractor terkait dengan kekurangan tenaga kerja dan material di lapangan. Selain itu owner juga menyampaikan complaint yang disampaikan pihak ketiga, antara lain kebisingan akibat pekerjaan lembur yang dilakukan kontraktor pada malam hari sehingga mengganggu ketenteraman lingkungan sekitar, kerusakan bangunan yang berada di samping lokasi proyek akibat aktifitas pekerjaan kontraktor, serta kebersihan dan kerapihan lingkungan kerja.
101
V.3
Perbedaan Nilai Indikator Kinerja Supply Chain Proyek
Mengacu pada Tabel V.2, sebagai rekapitulasi hasil pengukuran kinerja supply
chain keempat proyek studi kasus, terlihat bahwa terdapat beberapa perbedaan nilai indikator kinerja supply chain dari keempat proyek studi kasus antara lain : 1.
Intensitas perubahan/revisi terhadap rencana kerja
2.
Intensitas constraint selama pelaksanaan pekerjaan
3.
Intensitas rapat koordinasi antar pihak yang terlibat
4.
Inventory material
5.
Intensitas complaints dari owner kepada kontraktor
Perbedaan nilai indikator yang terjadi pada masing-masing proyek studi kasus kemungkinan disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut : Perbedaan pola supply chain Berdasarkan hasil pengumpulan data diperoleh tiga pola
supply chain
dari
proyek studi kasus yang mendekati pada pola supply chain yang telah ada, yaitu pola-1 jaringan SC, pola-2 jaringan SC dan pola-4 jaringan SC, sebagaimana terlihat pada Tabel V.3 berikut. Tabel V.3 Pola supply chain proyek studi kasus Kontraktor
Proyek
Pola Supply chain
X
Proyek A – Proyek Pembangunan Gedung Fasilitas Rumah Sakit, Jakarta
Pola-1
Proyek C – Proyek Pembangunan Gedung Apartemen, Jakarta
Pola-4
Proyek B – Proyek Gedung Perkantoran, Jakarta Proyek D – Proyek Pembangunan Kompleks Apartemen, Jakarta
Pola-2
Y
Pola-4
Pada proyek A dengan pola-1 dan proyek B pola-2, seluruh subkontraktor yang ada berada dibawah koordinasi kontraktor utama, walaupun pada proyek B terdapat nominated subcontractor. Hal ini akan lebih mempermudah mekanisme yang dilakukan mengingat jalur koordinasi yang diperlukan tidak terlalu panjang
102
walaupun banyak pihak yang terlibat dalam proses operasi di lapangan dan berada pada satu mata rantai atau pimpinan dari keseluruhan supply chain yang ada. Sedangkan pada dua proyek yang mempunyai pola-4 dengan praktek pembagian pekerjaan kepada pihak-pihak lain selain kontraktor utama, terdapat perbedaan mekanisme koordinasi yang dilakukan dengan pihak nominated subcontractor (NSC) oleh kontraktor utama. Pada proyek C, owner memberlakukan sistem koordinasi secara sebagian terhadap lingkup tanggungjawab dari NSC, di mana kontraktor utama hanya menerima fee koordinasi jauh lebih kecil dari besaran nilai fee yang selama ini dilakukan oleh owner. Dengan demikian tanggungjawab yang dibebankan pada kontraktor X selaku kontraktor utama hanya bersifat koordinasi masalah pelaksanaan pekerjaan di lapangan. Sedangkan pada proyek D, owner melakukan pembagian pekerjaan terhadap beberapa kontraktor dengan melakukan proses pengadaan sampai dengan pengawasan tersendiri di bawah koordinasi konsultan manajemen konstruksi. Sehingga kontraktor Y yang bertindak selaku kontraktor utama tidak dibebankan tanggungjawab dalam konteks koordinasi pada pelaksanaan pekerjaan di lapangan. Kontraktor Y hanya bertindak bertanggungjawab dalam mengadakan fasilitas kerja bagi para kontraktor lain dan subkontraktor, di mana fasilitas yang disediakan tersebut nantinya akan dikompensasikan secara finansial terhadap para kontraktor lain, subkontraktor dan nominated subcontractor berdasarkan kesepakatan bersama terhadap besaran nilainya. Hal ini ditenggarai dilakukan owner sebagai usaha untuk melakukan penghematan secara finansial, dengan anggapan tidak adanya fee koordinasi yang diberikan pada kontraktor utama akan lebih menghemat. Dengan tinjauan terhadap jenis pekerjaan yang sama yaitu pekerjaan arsitektur dan pekerjaan M/E dalam periode pengamatan data untuk waktu yang sama terlihat perbedaan nilai indikator-indikator antara proyek A, B, C dan D. Hal ini ditenggarai terkait dengan perbedaan pola supply chain pada masing-masing
103
proyek, yaitu pola-1 untuk proyek A dengan pola kontrak umum dan tidak ada keterlibatan owner dalam menentukan pihak-pihak yang terlibat, pola-2 untuk proyek B dengan pola kontrak umum tetapi ada keterlibatan owner dalam menentukan pihak-pihak yang terlibat dan melakukan pengadaan beberapa material yang dibutuhkan, serta pola-4 untuk
proyek C dan D dengan pola
kontrak terpisah dan terdapatnya nominated subcontractor serta adanya hubungan langsung antara owner dengan supplier. Dimana dengan adanya perbedaan pola
supply chain pada setiap proyek juga akan berpengaruh pada banyaknya pihakpihak yang akan terlibat dalam pelaksanaan pekerjaan di lapangan dan kompleksitas proyek secara keseluruhan. Ketidaksetaraan proyek studi kasus Berdasarkan Tabel IV.8 terlihat bahwa dari keempat proyek studi kasus terjadi ketidaksetaraan yang mencolok terhadap kompleksitas proyek, baik itu dari jenis kontrak yang digunakan, waktu pelaksanaan pekerjaan, pemilik bangunan, besaran nilai pekerjaan, luasan bangunan, lingkup pekerjaan dan jumlah pihak yang terlibat dalam proses pelaksanaan pekerjaan, baik subkontraktor, supplier maupun nominated subcontractor. Ketidaksetaraan ini ditenggarai akan dapat mengakibatkan
pengukuran
yang
dilakukan
akan
menghasilkan
suatu
perbandingan yang tidak linear antara satu proyek dengan proyek lainnya. Sebagai konsekuensi dari ketidaksetaraan ini maka gambaran yang diperoleh terhadap kinerja dari masing-masing pola yang ada tidak akan dapat memberikan suatu rekomendasi yang valid terhadap efektifitas dan efisiensi dari supply chain yang dimaksud. Namun ketidaksetaraan ini mungkin akan dapat diperkecil dengan melakukan pengamatan secara kontinyu selama umur proyek sehingga akan dapat diperoleh gambaran yang lebih akurat. Walaupun belum secara keseluruhan dapat dilakukan perbandingan untuk mendapatkan gambaran kinerja yang paling efektif.
104
Perbedaan kompleksitas proyek Praktek pemecahan kontrak pekerjaan menjadi paket-paket pekerjaan kecil yang biasa dilakukan oleh owner seperti terlihat pada pola-4 mengakibatkan banyak pihak yang akan terlibat dalam proses pelaksanaan pekerjaan di lapangan. Keterlibatan banyak pihak dalam konteks pola-1 dan pola-2 dimana pihak-pihak yang terlibat berada di bawah koordinasi kontraktor utama berbeda dengan konteks pola-4 dimana pihak-pihak yang terlibat berada di bawah koordinasi owner yang diwakili oleh konsultan manajemen konstruksi. Pada pola-1 dan pola-2 terlihat kompleksitas organisasi proyek yang lebih sederhana, walaupun banyak pihak yang terlibat, namun sistem koordinasi yang berada di tangan kontraktor utama lebih menyederhanakan mekanisme koordinasi yang diperlukan. Seluruh tanggung jawab yang menyangkut pelaksanaan di lapangan baik itu metoda pelaksanaan maupun kualitas hasil pekerjaan menjadi tanggungjawab kontraktor utama. Sementara pada pola-4 dengan pemecahan kontrak yang dilakukan owner sehingga banyak melibatkan pihak-pihak yang saling terpisah dalam proses produksi dan masing-masing kontraktor berkoordinasi langsung dengan owner melalui konsultan manajemen konstruksi bahkan kadang-kadang koordinasi langsung dilakukan oleh owner tanpa melibatkan peran konsultan manajemen konstruksi yang ada. Hal ini tentu akan menimbulkan berbagai permasalahan baik yang menyangkut koordinasi antar pihak, kesalahpahaman dalam proses produksi dan hal-hal lainnya. Pada dasarnya kompleksitas organisasi proyek dan pola supply chain ini sebagian besar ditentukan oleh kompleksitas proyek yaitu nilai kontrak, jumlah lantai, volume kerja, teknologi. Semakin besar proyek maka kompleksitas proyek juga akan semakin besar dan sebagai konsekuensinya dibutuhkan tingkat koordinasi tertentu antar pihak yang terkait.
105
Kompleksitas supply chain
sangat terkait dengan kompleksitas dari proyek
konstruksi di mana supply chain tersebut terbentuk. Kompleksitas struktur supply
chain sangat berpengaruh dalam pengelolaan supply chain tersebut. Keterlibatan banyak pihak dalam suatu supply chain akan memberikan peluang timbulnya berbagai konflik kepentingan antara pihak-pihak yang membentuk mata rantai jaringan tersebut. Selain itu ketidakpastian juga merupakan suatu tantangan yang harus dihadapi dalam pengelolaan supply chain. Peran konsultan manajemen konstruksi Dalam praktek yang dilakukan selama ini, dengan penempatan konsultan manajemen konstruksi sebagai perpanjangan tangan owner dan sebagai media komunikasi dan koordinasi antar pihak yang terlibat baik untuk proyek dengan pola-1, pola-2 dan pola-4 diharapkan mampu memperkecil konflik kepentingan yang dapat terjadi akibat banyaknya pihak yang terkait dalam pelaksanaan produksi di lapangan. Namun pada kenyataan di lapangan dari keempat proyek studi kasus, tiga di antaranya merasakan bahwa peran yang diharapkan dari konsultan manajemen konstruksi tidak terlalu dirasakan dampaknya terhadap proses koordinasi antar pihak. Hal ini ditenggarai sebagai akibat kurangnya pemahaman konsultan yang bersangkutan terhadap tugas dan kewajibannya, di sisi lain keterbatasan wewenang yang diberikan owner kepada konsultan tersebut. Konsultan manajemen konstruksi pada kasus proyek swasta hanya berwenang melakukan koordinasi terhadap kelancaran proses produksi di lapangan. Sementara secara keuangan langsung ditangani oleh owner. Jadi jika ternyata dalam pelaksanaan pekerjaan, owner terlambat melaksanakan kewajibannya membayar pihak-pihak yang berikatan kontrak dengannya dan menimbulkan akibat tidak lancarnya pelaksanaan pekerjaan, pihak konsultan manajemen konstruksi tidak dapat berbuat banyak selain hanya melaporkan permasalahan yang terjadi.
106
Lingkup kajian dan waktu pengambilan data Pada keempat proyek studi kasus, pengkajian yang dilakukan hanya terfokus pada pekerjaan tertentu, yaitu pekerjaan finishing arsitektur dan M/E dengan kurun waktu pengukuran yang telah dibatasi. Hal ini dimaksudkan untuk menselaraskan ketersediaan data pada masing-masing proyek mengingat tahapan pelaksanaan yang sedang dikerjakan dari keempat proyek adalah tahapan pekerjaan finishing. Selain itu juga bertujuan untuk mengurangi pengaruh kompleksitas proyek terhadap kinerja supply chain, terutama dalam hal kebutuhan koordinasi. Pada awalnya diharapkan dengan adanya pembatasan terhadap lingkup kajian dan waktu pengambilan data telah cukup untuk mewakili seluruh kegiatan proyek. Namun ternyata dari hasil analisis yang dilakukan terlihat bahwa terdapat beberapa kekurangan dari hasil pengukuran yang dilakukan dan hal ini mungkin terjadi akibat hal tersebut. Sebagai contoh, pada indikator-3 yaitu intensitas rapat koordinasi antar pihak, pada kasus proyek A dan B data yang dapat dikumpulkan hanya berupa intensitas rapat koordinasi umum untuk membahas semua permasalahan yang menyangkut pelaksanaan pekerjaan pada periode waktu kajian dilakukan, bukan rapat koordinasi yang dilakukan khusus untuk membahas pekerjaan finishing arsitektur dan M/E saja. Berbeda dengan kasus pada proyek C dan D, di mana kontraktor telah melakukan pemisahan terhadap dokumen-dokumen pelaksanaan di lapangan sesuai dengan kontrak yang sedang dilakukan, begitu pula terhadap aktifitasaktifitas pelaksanaan di lapangan. Hal ini terkait dengan pemisahan antara kontrak pekerjaan struktur dengan kontrak pekerjaan finishing arsitektur. Pemisahan ini sangat mempermudah proses pengumpulan data yang dibutuhkan. Secara umum dapat dikatakan bahwa perbedaan indikator intensitas rapat koordinasi antara proyek A, dan B masih belum memberikan kesimpulan yang signifikan. Perlu dilakukan penelaahan secara mendalam terhadap intensitas rapat koordinasi yang hanya terkait dengan pelaksaanaan pekerjaan Arsitektur dan M/E
107
untuk melihat pengaruh pola supply chain terhadap indikator intensitas rapat koordinasi ini. Selain itu pada kasus proyek C, ternyata untuk batasan waktu yang telah ditetapkan ternyata tidak terpenuhi. Data yang dikumpulkan hanya untuk kurun waktu bulan Juli 2007 sampai degan Oktober 2007 sedangkan pada proyek lain dilakukan untuk bulan April 2007 sampai dengan Oktober 2007. Hal ini dikarenakan waktu dimulainya kontrak pekerjaan arsitektur adalah akhir bulan Juni 2007.
Perbedaan waktu pengambilan data secara tidak langsung akan
mempengaruhi hasil pengukuran yang dilakukan. Karakteristik pemilik proyek Selain itu, karakteristik pemilik proyek, di mana proyek A dan B merupakan proyek pemerintah sedangkan untuk
proyek C dan D milik swasta, juga
memberikan kontribusi kepada perbedaan nilai indikator-indikator kinerja supply
chain untuk keempat pola supply chain yang dikaji pada studi kasus ini. Pemerintah pada dasarnya memiliki peraturan-peraturan tertentu yang lebih pasti dan tuntutan akuntabilitas yang tinggi. Hal ini menyebabkan kontraktor akan lebih mempunyai peluang untuk meningkatkan performance kerjanya. Karena peraturan yang jelas akan memberikan keleluasaan bagi kontraktor untuk melakukan pekerjaannya. Dengan kata lain, proyek yang ditangani oleh pemerintah akan lebih terbuka dengan segala perubahan yang terjadi, seperti misalnya terjadi penambahan item pekerjaan yang semula tidak ada di kontrak, maka akan dilakukan negosiasi harga yang baru. Kemungkinan perubahan nilai kontrak dari nilai kontrak awal sering terjadi, selama hal tersebut masih dalam batasan maksimal 10 % dari nilai kontrak awal. Sebaliknya pemilik swasta cenderung memiliki prinsip yang mengedepankan pencapaian keinginan dan kebutuhannya serta menomorduakan prosedur dan akuntabilitas, selama keinginan dapat dipenuhi dengan sumber daya yang
108
dimilikinya. Selain itu pemilik swasta sangat terikat dengan kondisi pendanaan yang ada sehingga kadang-kadang hasil design yang semula telah disetujui dapat dilakukan perubahan. Di samping itu, terkait dengan strategi pemasarannya, pemilik swasta cenderung melakukan pemecahan kontrak menjadi beberapa paket untuk mendapatkan penghematan-penghematan dalam jangka waktu pendek tanpa melihat efek jangka panjang yang mungkin terjadi. Perbedaan karakteristik ini menimbulkan terjadinya perbedaan kebutuhan perubahan rancangan pada saat pelaksanaan berjalan, implementasi pekerjaan rancangan dan pelaksanan proyek yang simultan (fast tract), pasokan khusus pada material dan pekerjaan yang diinginkan, serta prosedur administrasi proyek. Hal tersebut terlihat mencolok pada proyek C dan D yang pemiliknya swasta, yaitu terdapatnya banyak perubahan/ revisi yang diminta pada rencana kerja, banyaknya
complaint
dari
pemilik,
serta
banyaknya
kendala
yang
menyebabkan
keterlambatan seperti pada proses persetujuan material, pemilihan supplier khusus, dan saat pembayaran. Pada proyek pemerintah, jumlah revisi akan sangat diminimalkan dengan adanya batasan rancangan harus matang sebelum dilakukan pelelangan serta batasan pekerjaan tambah kurang. Selain itu, kinerja pemerintah akan dilihat pula pada sejauhmana pemilik proyek mematuhi kewajiban pembayaran. Pengecualian terlihat pada proyek B, walaupun proyek milik pemerintah, ternyata banyak terjadi revisi terhadap rencana kerja yang dikarenakan terlalu singkatnya waktu perencanaan sehingga hasil perencanaan tidak mampu mengakomodir seluruh kebutuhan di lapangan. Sebagai konsekuensinya terjadinya penyesuaian terhadap kebutuhan lapangan dengan dengan hasil desain. Namun hal ini sangat disadari oleh pihak owner, sehingga memberikan kelonggaran bagi kontraktor baik dari waktu pelaksanaan maupun penambahan biaya yang diakibatkan dari terjadinya perubahan tersebut. Praktek seperti ini hampir sama dengan praktek yang dilakukan oleh pihak swasta. Selain itu pada beberapa hal di atas sebaliknya sangat longgar terjadi pada proyek swasta.
109
Kebijakan perusahaan Dalam melaksanakan proses produksinya, masing-masing perusahaan mempunyai kebijakan dan arahan manajemen tersendiri. Terlebih lagi kedua perusahaan responden merupakan kontraktor BUMN yang telah berpengalaman dalam melaksanakan proses bisnisnya. Telah adanya suatu standarisasi terhadap tahapantahapan yang harus dilakukan di lapangan merupakan salah satu peluang untuk meningkatkan efisiensi proses produksinya. Selain itu pada pelaksanaan pekerjaan di lapangan sangat terkait dengan pola pengelolaan yang diterapkan oleh masing-masing tim manajemen yang akan mengelola proyek tersebut, selain kebijakan umum yang diberlakukan oleh perusahaan. Masing-masing project manager atau kepala lapangan mempunyai kewenangan penuh dalam mengelola proyek yang dipimpinnya dan bertindak sebagai pimpinan dari supply chain proyek yang bersangkutan. Karena pada suatu supply chain sangat diperlukan keberadaan seorang pimpinan sebagai fokus dalam koordinasi dan sebagai pengambil kebijakan dalam supply chain -nya. Hal ini secara tidak langsung akan mempengaruhi kinerja dari proyek secara keseluruhan dan supply chain yang terlibat secara khusus. Berdasarkan hasil analisis terhadap proyek studi kasus terlihat bahwa masingmasing proyek mempunyai kebijakan sendiri dalam mengelola supply chain -nya. Terlihat perbedaan terhadap pendekatan metoda pengelolaan yang dilakukan oleh masing-masing pemimpin supply chain
walaupun proyek tersebut berada di
bawah payung perusahaan yang sama. Dari keempat proyek studi terlihat bahwa masing-masing tim manajemen melakukan pola pengelolaan yang berbeda. Hal ini juga terkait dengan kemampuan dan gaya kepemimpinan dari project manager dan kepala lapangan dalam melakukan pengelolaan pelaksanaan pekerjaan di lapangan yang secara tidak langsung juga mempengaruhi setiap mata rantai dari
supply chain yang dibentuk. Terutama sekali terhadap kinerja dari masing-masing pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pekerjaan secara menyeluruh.
110
Sebagai contoh terkait dengan pengelolaan manajemen inventory, pada keempat proyek studi kasus tidak terdapat suatu acuan yang pasti terhadap material yang harus tersimpan di gudang pada akhir bulan berjalan. Sehingga hanya memberlakukan acuan yang menurut pengelola logistik dari proyek tersebut tidak akan mengganggu kelancaran cash flow proyek secara tidak langsung akibat dari penumpukan material di gudang tersebut. Namun dari kedua perusahaan konstruksi terlihat walaupun tidak terlalu sama, namun batasan terhadap maksimal sediaan material yang harus ada digudang relatif sama. Penilaian terhadap kinerja dari subkontraktor, nominated subkontraktor dan supplier Terkait dengan penilaian terhadap kinerja dari nominated subcontractor dan
supplier pada proyek bukan merupakan wewenang dari kontraktor utama. Karena tidak ada ikatan apapun terkait dengan kewajiban dari kontraktor utama untuk melakukan penilaian kinerja dari nominated subcontractor dan supplier yang secara langsung berikatan kontrak dengan pihak owner. Kontraktor hanya ikut pada proses penerimaan material dan memberikan laporan hasilnya ke owner. Demikian pula terhadap kesalahan yang dilakukan oleh NSC yang terkait dengan mutu. Sedangkan untuk subkontraktor dan supplier yang berikatan kontrak dengan kontraktor utama dan merupakan rekanan perusahaan, secara administrasi selama masa pelaksanaan pekerjaan kedua kontraktor melakukan evaluasi kinerja terhadap masing-masing subkontraktor dan supplier tersebut. Penilaian dilakukan sebagai bahan pertimbangan bagi perusahaan dalam melakukan proses kerjasama dengan para vendor. Mekanisme evaluasi kinerja ini merupakan mekanisme rutin yang dilakukan oleh kontraktor, sehingga seolah-olah hanya kinerja penyedia barang dan atau jasa saja yang dinilai. Padahal banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya permasalahan kinerja dari penyedia barang dan atau jasa, yang tidak hanya datang dari keterbatasan penyedia barang dan atau jasa itu sendiri, tapi juga dari kontraktor
111
sendiri. Salah satu contoh adalah mengenai keterlambatan pembayaran dari kontraktor kepada penyedia barang dan atau jasanya. Menurut studi yang dilakukan oleh Hinze (1993) dalam studinya mengenai hubungan kontraktor dan subkontraktornya, terdapat kecenderungan kontraktor untuk melakukan penundaan pembayaran, atau melakukan praktek membayar bila sudah dibayar oleh owner (pay if paid), dimana hal ini tidak dilengkapi dengan mekanisme akses informasi kepada pihak yang terkait, apakah pembayaran tersebut sudah dilakukan atau belum, mengingat bahwa pihak tersebut tidak memiliki
hubungan
kontrak
dengan
owner.
Masing-masing
kontraktor
mempunyai kriteria penilaian dan persyaratan kelulusan dari evaluasi yang dilakukan. Pada akhir pelaksanaan pekerjaanya, penyedia barang atau jasa akan mendapat rekomendasi dari kontraktor. Referensi ini akan menambah pengalaman subkontraktor atau supplier tersebut untuk digunakan pada proses seleksi pada proyek-proyek lainnya. Namun jika dari proses evaluasi tersebut dinilai tidak baik, maka penyedia barang atau jasa tersebut akan mendapat peringatan, dan harus melakukan perbaikan kinerja berupa mengejar keterlambatan pekerjaan dari target yang sudah ditentukan. Dalam kasus yang terjadi pada penyedia jasa pelaksanaan pekerjaan, ketidaklulusan bisa muncul dari hasil kinerja yang tidak memenuhi syarat sehingga harus dilakukan perbaikan-perbaikan tertentu, hingga pekerjaan tersebut sesuai dengan ketentuan yang ada. V.4
Kinerja Supply Chain dan Implementasi Konsep Lean Construction
Terkait dengan tujuan implementasi konsep lean construction, maka berdasarkan hasil pengukuran terhadap kinerja supply chain keempat proyek studi kasus diperoleh temuan antara lain :
112
V.4.1. Kinerja supply chain proyek terhadap implementasi konsep produksi sebagai proses konversi (conversion) Pengelolaan conversion di industri konstruksi diharapkan dapat meningkatkan efektifitas pelaksanaan proses produksi di proyek konstruksi dapat berjalan dengan baik. Indikator-indikator kinerja supply chain yang terkait dengan konsep produksi sebagai proses konversi adalah intensitas defect pekerjaan, kinerja
supplier dalam memenuhi jadwal pengiriman material, intensitas terjadinya reject material, keikutsertaan subkontraktor di dalam perencanaan pelaksanaan. Keterkaitan antara indikator dengan konsep conversion disajikan pada Gambar V.1 berikut.
Gambar V.1
Keterkaitan indikator kinerja supply chain
dengan konsep
conversion (Sumber : Wirahadikusumah, 2007) Secara garis besar hasil pengukuran kinerja supply chain masing-masing proyek studi kasus terhadap konsep conversion disajikan pada Tabel V.4 berikut.
113
Tabel V.4 Kinerja Supply Chain Proyek Studi Kasus terhadap Konsep
Conversion
No.
Indikator
Proyek Proyek A C Kontraktor X Pola-1 Pola-4 Pemerintah Swasta
Proyek Proyek B D Kontraktor Y Pola-2 Pola-4 Pemerintah Swasta
4
Intensitas defect pekerjaan
< 2%
< 2%
< 2%
< 2%
5
Kinerja supplier dalam memenuhi jadwal pengiriman
100%
100%
100%
100%
7
Intensitas kejadian reject material
< 2%
< 2%
< 2%
< 2%
9
Keikutsertaan subkontraktor di dalam perencanaan pelaksanaan
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Dari Tabel V.4 di atas terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai kinerja proyek studi kasus untuk indikator-indikator yang mengarah kepada pencapaian konsep produksi sebagai suatu kegiatan conversion. Hal ini dimungkinkan mengingat kedua kontraktor pelaksanaan merupakan perusahaan kontraktor BUMN yang telah berpengalaman dalam menangani berbagai proyek bangunan gedung sehingga kontraktor sangat konsisten dalam melaksanakan prosedur pelaksanaan konstruksi di lapangan meskipun proyek tersebut memiliki kompleksitas dan lingkungan yang berbeda. Sehingga pemahaman terhadap pencapaian konsep produksi sebagai suatu kegiatan conversion telah menjadi suatu pemahaman yang baik bagi kedua kontraktor. Selain itu kedua kontraktor juga mempunyai sertifikat ISO dan sertifikat lainnya dari pihak yang berwenang, dimana Standard Operation Procedure (SOP) yang diterapkan di proyek konstruksi merupakan penjabaran dari sertifikat-sertifikat yang dipunyai oleh perusahaan. SOP ini tidak hanya mengatur tentang bagaimana pihak manajemen di proyek konstruksi mengatur dan mengendalikan proyek konstruksi, tetapi juga mengatur tentang proses suatu pekerjaan di lapangan harus dilakukan. Pada umumnya hal-hal yang diatur meliputi pengetesan, metode pengerjaannya, pemasangannya dan kualitas (mutu) yang diinginkan. Jadi standard ISO mengandung maksud bahwa seluruh pekerjaan di lapangan harus
114
dapat ditelusuri dalam bentuk record data yang dibuat secara tertib dan benar. Terlihat bahwa kedua perusahaan sangat memahami core bisnis-nya dan telah terselenggaranya Standard Operating Procedure (SOP) dari masing-masing kegiatan hingga ke tingkat proyek di lapangan. Hubungan kerjasama jangka panjang (partnering) antar pihak Hasil temuan pada keempat proyek studi kasus menunjukkan telah biasanya kedua kontraktor pelaksana konstruksi dalam melaksanakan proses bisnisnya dan pandangan produksi konstruksi sebagai proses konversi merupakan suatu hal yang umum diterapkan di lapangan. Demikian pula dengan hubungan dalam supply
chain -nya telah mulai mendapatkan perhatian yang lebih. Hal ini terlihat di mana pada kedua perusahaan konstruksi telah mulai menerapkan konsep partnering sebagai salah satu usaha memperlancar arus pasokan material yang dianggap strategis dalam proses produksi dan memperoleh hasil pekerjaan sesuai dengan standar mutu yang telah digariskan perusahaan dengan melakukan kerjasama dengan pihak-pihak yang telah terseleksi. Pada kedua perusahaan responden telah terlihat adanya ikatan hubungan kerjasama untuk jangka waktu tertentu sebagaimana yang diusulkan oleh Ohnuma et al. (2000) sebagai salah satu upaya mengelola supply chain, yaitu konsep
partnering. Konsep ini merupakan suatu komitmen jangka panjang yang memberikan manfaat bagi semua pihak yang bersepakat berupa peningkatan efisiensi dari sumber daya yang dimiliki. Dasar dari partnering adalah kepercayaan (trust) dan kejujuran (honesty). Penggunaan strategi kemitraan (partnering) ini perlu dilakukan, karena dengan strategi ini akan terbentuk suatu tanggungjawab bersama antara pihak-pihak yang terkait (terikat dalam dalam suatu kerjasama), untuk dapat mengembangkan produknya secara terus-menerus, meningkatkan kualitas dengan melakukan berbagai inovasi yang dapat mendukung ke arah yang lebih baik, mengurangi waste serta melakukan perbaikan secara terus-menerus (continuous improvement).
115
Perusahaan telah melakukan perubahan terhadap struktur manajemennya menjadi lebih datar (flat), dengan fokus yang lebih besar pada kebutuhan customer dan pada tim kerja, termasuk kemitraan (partnership) dengan perusahaan lain. Perusahaan mengeluarkan fungsi-fungsi yang bukan merupakan fungsi intinya (non-core function) kepada perusahaan lain yang lebih kecil. Pendapat itu menunjukkan bahwa konsep partnering ini bisa diterapkan sebagai pola hubungan antara perusahaan besar dan perusahaan kecil. Sampai saat ini, kemitraan dipahami sebagai kumpulan dari proses-proses kolaboratif, yang menekankan pentingnya tujuan umum. Dasar dari kemitraan adalah kepercayaan yang tinggi antar organisasi dan adanya tujuan satu sama lain yang saling menguntungkan antar pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Kemitraan berarti satu proses manajemen yang membantu perencanaan strategis untuk meningkatkan efisiensi dari perusahaan-perusahaan, dan membentuk satu team sebagai sasaran utama (Barlow et al. 1997). Kumaraswammy (2000), kemudian membedakan partnering ke dalam dua bentuk yang didasarkan pada durasi dari kerja sama yang dilakukan, yaitu project
partnering dan strategic partnering. Project partnering adalah hubungan yang terjadi dalam satu proyek tertentu saja, sementara strategic partnering adalah hubungan yang terjadi dalam jangka panjang dan melibatkan lebih dari satu proyek konstruksi. Pada kedua perusahaan kontraktor terlihat telah adanya upaya untuk melakukan kerjasama dengan pihak ketiga dalam proses pelaksanaan pekerjaan di lapangan. Kerjasama yang diterapkan akan berbeda antara satu penyedia jasa dengan penyedia jasa lainnya. Seperti misalnya untuk supplier material yang bersifat bahan utama dalam proyek konstruksi bangunan gedung, maka akan dilakukan kerjasama yang bersifat strategic partnering untuk kurun waktu tertentu. Sedangkan untuk material-material yang khusus hanya dipakai pada proyekproyek tertentu saja akan dilakukan bentuk kerjasama yang bersifat project
116
partnering. Namun ikatan kerjasama ini tetap mengutamakan pihak ketiga yang telah masuk dalam daftar rekanan perusahaan. Sistem pengadaan material strategis Sistem pengadaan terhadap material strategis dilakukan secara terpusat. Sistem pengadaan ini dikoordinir oleh suatu divisi pengadaan. Material atau barang dan jasa yang dibutuhkan dalam proyek konstruksi berkisar dari material atau jasa yang rutin hingga material atau jasa yang membutuhkan tingkat spesialisasi yang tinggi, yang hanya dapat diberikan oleh individu dengan pengalaman yang memadai. Dalam spektrum tersebut, maka masing-masing material dan jasa memiliki tingkat kepentingan yang berbeda, sehingga juga menuntut hubungan antara kontraktor dengan penyedia material atau jasa tersebut dalam bentuk hubungan yang berbeda pula. Menurut Maylor (2003) terdapat dua pendekatan dalam melakukan pengadaan material dalam suatu proyek – sentralisasi dan desentralisasi. Memusatkan pengadaan berarti semua pengadaan yang diperlukan oleh proyek-proyek dari suatu kontraktor dilakukan oleh satu organisasi pengadaan di kantor pusat. Dengan demikian kantor pusat memiliki kontrol bagi semua kebutuhan bisnisnya. Terdapat keuntungan dalam memusatkan pengadaan ini, yaitu bentuk organisasi pengadaan yang lebih efisien, dapat melakukan standarisasi dalam prosedur pengadaan, dapat melakukan pengadaan secara terpadu pada material utama, serta dapat melakukan pemanfaatan material dan manajemen persediaan material secara lebih baik. Pengadaan secara desentralisasi merupakan pengadaan yang dilakukan oleh organisasi proyek, dengan kewenangan pengadaan pada manajer proyek. Keuntungan dari pengadaan secara desentralisasi adalah proses pengadaan yang lebih cepat dapat terjadi dengan kontak langsung antara penjual dan pembeli. Untuk itu dibutuhkan penguasaan mengenai penyedia barang dan atau jasa setempat.
117
Adapun dalam pelaksanaannya divisi pengadaan melakukan perhitungan terhadap kebutuhan material yang akan digunakan pada proyek-proyek yang dilaksanakan dalam satu tahun anggaran. Untuk kemudian dilakukan prosedur standar yang telah ditetapkan dalam proses pengadaan supplier. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembelian material adalah: Kuantitas barang dan atau jasa yang dibeli, yang dilakukan berdasarkan skedul penggunaan bahan. Pembelian material dalam jumlah besar akan mempengaruhi besaran potongan harga yang diperoleh, sehingga melakukan pembelian dalam jumlah besar lebih menarik. Hal ini menjadi pertimbangan kontraktor dalam melakukan pembelian untuk beberapa proyek (multiple project). Kualitas material yang dibeli, dapat diteliti melalui percobaan pengiriman material, melihat reputasi perusahaan melalui informasi dan referensi yang dapat dikumpulkan, serta melalui sertifikasi yang dimiliki oleh penyedia barang dan atau jasa tersebut. Harga, mencapai suatu kesepakatan pembelian pada harga yang tepat merupakan tantangannya. Dalam suatu organisasi proyek hal ini memerlukan pembinaan hubungan jangka panjang antara kontraktor sebagai pembeli (buyer) dengan
supplier sebagai penjual material. Supplier terbaik belum tentu supplier yang memberikan harga terendah. Waktu, kemampuan untuk memenuhi skedul pengiriman material merupakan pertimbangan penting dalam pembelian material. Dalam proses ini, supplier juga memerlukan proses yang memakan waktu, apalagi jika material tersebut berasal dari luar negeri, yang memerlukan waktu yang berarti mulai dari dikeluarkannya surat pesanan, hingga pengiriman ke site. Dengan demikian, perencanaan pengadaan yang meliputi identifikasi kebutuhan material yang diperlukan beserta karakteristiknya, volume dan jadwal pemakaian, akan menentukan kapan pembelian ini harus dilakukan.
118
Supplier. Untuk mendapatkan supplier yang tepat merupakan issue yang penting dalam konstruksi. Pengembangan proses pemilihan pemasok sudah dilakukan antara lain oleh Syachrani (2004), yang mencoba mengembangkan model pemilihan pemasok dalam konteks konstruksi. Kebutuhan material dalam konstruksi yang sangat beragam, mulai dari pembelian material dengan volume yang besar yang memungkinkan terjadinya hubungan antara kontraktor dengan penyedia material pada tingkat produsen, hingga kebutuhan material dalam volume yang kecil yang cukup dilakukan dengan pembelian sederhana pada tingkat pengecer. Dengan demikian, maka metoda yang dapat dilakukan untuk pembelian berbagai material yang dibutuhkan dalam suatu proyek konstruksi beragam tergantung pada karakteristik materialnya. Material mana saja yang paling berpengaruh terhadap biaya proyek, merupakan informasi yang penting bagi manajer untuk memberikan perhatian lebih pada item-item tertentu. Collaborative design Dari beberapa indikator pengukuran ternyata terdapat satu indikator yang tidak memiliki nilai karena indikator tersebut terlihat tidak aplikatif pada proyek-proyek studi kasus, yaitu indikator-9 keikutsertaan sub-kontraktor dan supplier pada
proses perencanaan pekerjaan. Hal ini dikarenakan kontraktor belum mengetahui konsep dan manfaat dari keikutsertaan subkontraktor dan supplier pada proses perencanaan pekerjaan ini yang lebih dikenal dengan istilah collaborative design. Sehingga suatu perencanaan terpadu dan antisipatif belum umum dilakukan dan belum menjadi suatu kebutuhan serta belum dipahami kepentingannya dalam memastikan kualitas dan kuantitas ketercapaian tujuan suatu proses produksi. Hal ini akan menimbulkan suatu ketidakefisienan sebagaimana dikatakan oleh Nicolini et al. (2001), ketidakefisienan (inefisiensi) akan terjadi apabila sistem koordinasi terpusat menjadi pilihan dalam mengelola fragmentasi dalam suatu
supply chain konstruksi. Oleh karena itu untuk memberikan fasilitas dalam pembagian informasi, Nicolini menyarankan menggunakan sistem cluster (kluster), yaitu sebuah organisasi temporer terdiri atas perencana (tim desain) dan
119
supplier untuk mendukung kolaborasi intensif antara berbagai disiplin. Desain kluster ini dianggap dapat meminimalkan interface, sehingga dapat memfasilitasi tranparansi dalam komunikasi. Selain itu, kontraktor dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam proses produksi suatu konstruksi harus sudah mulai menerapkan terminologi collaborative design, yang menurut Bogus et al. (2000) tim perencana dalam suatu perencanaan proyek harus diperluas. Sehingga pada tahap perencanaan tidak hanya terbatas hanya tanggungjawab konsultan perencana saja, akan tertapi juga ikut terlibat kontraktor, sub kontraktor, dan supplier material. Meskipun jika hal ini dipraktekkan di lapangan akan menimbulkan kesulitan dalam hal, namun dengan bantuan teknologi informasi yang lebih canggih hambatan ini dapat diatasi. V.4.2. Kinerja supply chain proyek terhadap implementasi konsep aliran (flow) dalam produksi Upaya pengelolaan flow dalam pelaksanaan produksi antara lain dapat dilakukan dengan meningkatkan sistem perencanaan dan pengendalian proyek. Mengacu pada konsep ini terdapat beberapa indikator kinerja supply chain yang terkait dengan usaha penciptaan aliran dalam produksi konstruksi terdapat 7 (tujuh) indikator kinerja, yaitu intensitas perubahan/ revisi terhadap rencana kerja,
intensitas constraint selama pelaksanaan pekerjaan, intensitas rapat koordinasi antar pihak yang terlibat, kinerja supplier dalam memenuhi jadwal pengiriman material , waktu tenggang (lead-time) antara pemesanan (order) dan pengiriman (deliver),intensitas kejadian reject material, dan inventory material. Keterkaitan antara indikator dengan konsep flow disajikan pada Gambar V.4. Sedangkan garis besar hasil pengukuran kinerja supply chain masing-masing proyek studi kasus terhadap konsep flow disajikan pada Tabel V.5. Dari indikator-indikator tersebut, terlihat ada 5 indikator yang berbeda antara proyek A, B, C dan D, yaitu indikator jumlah revisi pekerjaan, intensitas kendala,
intensitas rapat koordinasi, dan
inventory material. Berdasarkan hasil
pengukuran kinerja yang dilakukan terlihat telah ada usaha-usaha yang dilakukan
120
oleh kedua kontraktor dalam menerapkan konsep aliran (flow) dalam produksi pada pelaksanaan pekerjaan di lapangan. Terutama terkait dengan kelancaran pasokan material yang merupakan kebutuhan utama pada pelaksanaan pekerjaan di lapangan.
Gambar V.2
Keterkaitan indikator kinerja supply chain dengan konsep flow (Sumber : Wirahadikusumah, 2007)
Kelancaran pasokan material dilakukan dengan melakukan pemesanan yang baik dengan lead time yang cukup, sehingga supplier dapat melakukan pemenuhan jadwal pengiriman material dengan baik. Hal ini dimungkinkan dengan penerapan sistem kontrak payung terhadap beberapa material strategis, sehingga kontraktor dapat memastikan kualitas material yang didatangkan oleh supplier ke lokasi pekerjaan adalah material dengan kualitas nomor satu sehingga tidak ada material yang rejected dan jika pun ada reject yang dilakukan hanya terbatas pada
121
kesalahan supplier dalam mengirim material dan perubahan jenis material yang digunakan, di mana hal tersebut bukan merupakan kesalahan dari pihak supplier dan tidak dapat digolongkan sebagai rejected material tetapi hanya bersifat return. Tabel V.5 Kinerja Supply Chain Proyek Studi Kasus terhadap Konsep Flow
No.
Indikator
1
Jumlah perubahan/revisi rencana kerja
2 3a 3b 3c 3d
Intensitas constraint selama pelaksanaan pekerjaan Intensitas rapat rutin mingguan koordinasi intern Intensitas rapat rutin mingguan koordinasi ekstern Intensitas rutin mingguan antara manajemen di proyek dengan kantor pusat Intensitas rapat koordinasi khusus
7
Kinerja supplier dalam memenuhi jadwal pengiriman Waktu tenggang (lead time) antara pemesanan (order) dan pengiriman (deliver) Intensitas kejadian reject material
8
Inventory material
5 6
Proyek Proyek A C Kontraktor X Pola-1 Pola-4 Pemerintah Swasta
Proyek Proyek B D Kontraktor Y Pola-2 Pola-4 Pemerintah Swasta
59 kali
12 kali
48 kali
52 kali
43 kali
8 kali
35 kali
42 kali
28 kali
20 kali
28 kali
28 kali
28 kali
20 kali
28 kali
56 kali
28 kali
20 kali
28 kali
28 kali
15 kali
2 kali
4 kali
8 kali
100%
100%
100%
100%
0%
0%
0%
0%
< 2%
< 2%
< 2%
< 10 %
< 10 %
5% - 10%
< 2% 5% 10%
Manajemen inventory Selain itu kedua kontraktor juga telah melakukan optimalisasi inventory melalui upaya pengelolaan gudang dengan suatu manajemen yang cukup baik. Setiap kedatangan material sebelum masuk gudang akan dilakukan pemeriksaan dan pencacatan. Begitu pula terhadap pengeluaran material dari gudang, selalu dilakukan pencacatan. Pencacatan terhadap sisa material setiap hari dilakukan pada akhir jam kerja, dan ini dilakukan setiap hari oleh petugas gudang. Pada setiap akhir bulan dilakukan opname bersama terhadap ketersediaan material dan diharapkan material yang tersimpan di gudang pada saat akhir bulan berkisar
122
antar 5% - 10% dari nilai pembelian yang dilakukan pada bulan berjalan. Hal ini mengingat tidak adanya suatu standar yang pasti terhadap sediaan material yang harus tersimpan di gudang mengingat karakteristik industri konstruksi yang unik. Selain itu ketetapan tentang persediaan material ini merupakan kebijakan masingmasing manajemen proyek, tergantung pada jenis material yang akan disimpan. Disisi lain, kedua kontraktor juga telah melakukan upaya pengelolaan terhadap material sisa dari pelaksanaan pekerjaan di lapangan, dimana diupayakan untuk melakukan perhitungan kebutuhan material secara maksimal untuk meminimalkan sisa material yang tentu saja akan merugikan perusahaan. Namun jika pun ternyata terdapat material sisa yang tidak mungkin untuk dihindari, seperti sisa pengecoran beton, potongan-potongan besi, keramik akan dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan permasalahan yang baru. V.4.3. Kinerja supply chain proyek terhadap implementasi konsep produksi sebagai penciptaan nilai (value) Prinsip dasar dari semua tahapan dalam proses produksi suatu produk konstruksi adalah penciptaan value yang sesuai keinginan konsumen (memberikan kepuasan terhadap konsumen). Value merupakan nilai yang ditentukan oleh konsumen yang merupakan kebutuhan yang harus diterima secara spesifik sesuai dengan spesifikasi, waktu, tempat dan biaya yang telah ditentukan. Proses penciptaan value ini sangat didukung dengan proses conversion dan flow tersebut diatas. Sejalan dengan penerapan konsep proses produksi sebagai suatu proses penciptaan value dari produsen kepada customernya terlihat ada dua indikator, yaitu
intensitas defect pekerjaan dan intensitas complaints dari owner kepada kontrakor dan dari kontraktor kepada supplier. Keterkaitan antara indikator dengan konsep value disajikan pada Gambar V.5 berikut.
123
Gambar V.3
Keterkaitan indikator kinerja supply chain dengan konsep value (Sumber : Wirahadikusumah, 2007)
Secara garis besar hasil pengukuran kinerja supply chain masing-masing proyek studi kasus terhadap konsep value disajikan pada Tabel V.6 berikut. Tabel V.6 Kinerja Supply Chain Proyek Studi Kasus terhadap Konsep Value
No.
4 10a 10b
Indikator
Proyek Proyek A C Kontraktor X Pola-1 Pola-4 Pemerintah Swasta
Intensitas defect pekerjaan Intensitas complaint dari ownerkontraktor Intensitas complaint dari kontraktorsupplier
Proyek Proyek B D Kontraktor Y Pola-2 Pola-4 Pemerintah Swasta
< 2%
< 2%
< 2%
< 2%
15 kali
25 kali
44 kali
33 kali
1 kali
2 kali
2 kali
3 kali
Dari kedua indikator terlihat bahwa kegiatan pengendalian pekerjaan defect (pekerjaan yang tidak sesuai secara kualitas dan kuantitas) telah biasa dilakukan dengan baik oleh kedua kontraktor, setiap defect yang ditemukan dalam pelaksanaan pemeriksaan terhadap hasil pekerjaan akan langsung ditangani. Penanganan terhadap defect yang terjadi terlihat berbeda pada masing-masing proyek dan hal ini terkait juga dengan kebijakan dari manajemen proyek sendiri maupun dari pemilik. Pada proyek pemerintah, biasa pencacatan defect melalui pemeriksaan secara terpadu dilakukan pada saat akan melakukan serah terima pekerjaan, sedangkan selama proses pelaksanaan pekerjaan pencacatan defect hanya dilakukan secara intern kontraktor.
124
Begitu
pula
dengan
customer
satisfaction,
kedua
kontraktor
sangat
memperhatikan aspek ini, terutama penanganan terhadap complain yang disampaikan owner. Ini terlihat dengan adanya personil intern kontraktor yang bertugas sebagai Quality Control, yang salah satu tugasnya adalah mengawasi jalannya proses produksi agar produk yang dihasilkan adalah produk yang berkualitas dan sesuai dengan keinginan owner. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman kontraktor terhadap definisi value yang harus disampaikan kepada pemilik hanya terbatas pada nilai kesesuaian hasil kerja dengan spesifikasi dan volume kerja yang tercantum di dalam kontrak kerja. Namun, nilai-nilai lain yang mencakup seluruh aspek dalam sistem produksi dan persepsi konsumen terhadap value yang diinginkan seharusnya juga diidentifikasi dari awal, diantisipasi, serta disampaikan kepada pemilik tidak mendapatkan perhatian dengan sebagaimana mestinya dalam konsep lean construction. Hal ini tentunya akan mengurangi tingkat kepuasan customer terhadap delivery yang dilakukan oleh kontraktor. Kebutuhan akan identifikasi nilai-nilai yang harus disampaikan kepada pemilik dari awal dan disepakati adalah nyata. Namun demikian, hal ini akan sulit dilakukan sejalan dengan meningkatnya kompleksitas proyek, pola supply chain yang ada, karakteristik pemilik, serta implementasi yang simultan. Pada proyek studi kasus terlihat bahwa tidak tercapainya value yang sesuai dengan yang diinginkan masih sering terjadi, hal ini tercermin dari masih banyaknya complaints yang terjadi dari pihak owner terhadap pihak kontraktor maupun dari pihak kontraktor terhadap supplier. Namun demikian complaint yang disampaikan bukanlah sesuatu patokan bahwa kinerja dari supply chain yang ada tidak baik. Hal ini merupakan suatu hal yang lumrah terutama terkait dengan karakteristik proyek konstruksi bangunan gedung yang unik dengan keterlibatan banyak pihak dalam proses produksinya.
125
V.5
Kinerja Supply Chain dan Upaya Meminimalkan Waste
Salah satu tujuan dari penerapan konstruksi ramping adalah meminimalkan waste (pemborosan) yang selama ini sering terjadi dalam pelaksanaan produksi di lapangan. Adapun kategori dari waste tersebut adalah: 1.
Overproduction: kategori waste ini dihasilkan karena ketidaksesuaian/ kelebihan produksi dari rencana yang telah ditetapkan.
2.
Inventory: produk akhir, semi-finished product, atau sumberdaya yang terdapat dalam gudang yang tidak memberikan tambahan nilai dikategorikan dalam kategori waste ini. Waste dalam ketegori ini biasanya menimbulkan tambahan biaya untuk
sistem produksi baik berupa tempat, uang, dan
membutuhkan tambahan peralatan dan orang. 3.
Repair/rejects: merupakan produk yang tidak sesuai dengan yang diharapkan, biasanya membutuhkan biaya tambahan untuk memperbaikinya kembali.
4.
Motion: perpindahan aktifitas yang tidak memberikan tambahan nilai merupakan aktifitas yang tidak produktif dan termasuk dalam kategori waste.
5.
Transport: meskipun kadangkala aktifitas ini merupakan hal penting dalam proses produksi, namun perpindahan material dan produk yang tidak memberikan tambahan value tetap dikategorikan sebagai waste.
6.
Processing: waste dihasilkan dalam proses produksi ketika sistem perencanaan tidak efisien dan kinerja sistem produksi tidak bisa mencapai perencanaan yang telah ditentukan.
7.
Waiting: waste ini dihasilkan karena adanya bagian-bagian dalam proses produksi mengalami delay dari schedule yang direncanakan, sehingga aktifitas yang ada sesudahnya mengalami delay juga
126
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di lapangan pada keempat proyek studi kasus terlihat telah mulai adanya usaha-usaha yang dilakukan kedua kontraktor dalam meminimalisir waste yang terjadi, antara lain : •
Mengusahakan pengelolaan inventory secara optimal dengan memperkecil material yang tersimpan di gudang dengan cara mengupayakan pemesanan material sesuai dengan kebutuhan material di lapangan dengan melakukan perhitungan yang maksimal terhadap kebutuhan material.
•
Memperkecil jumlah material reject dengan melakukan pemesanan material dengan kualitas nomor satu serta bentuk ikatan kerjasama dengan supplier untuk menjamin kualitas material dan kelancaran pasokan material tersebut ke lapangan.
•
Melakukan perencanaan dan perhitungan terhadap kebutuhan material di lapangan secara seksama sehingga diperoleh nilai kebutuhan yang maksimal dengan sisa material yang seminimal mungkin. Selain itu juga dilakukan upaya pemanfaatan material sisa pekerjaan seperti beton menjadi suatu bentuk yang dapat digunakan misalnya dijadikan kanstin beton.
•
Selain itu juga dilakukan upaya daur ulang dari sisa material yang digunakan di lapangan seperti sisa dari potongan besi tulangan, dimana kontraktor mengadakan ikatan kontrak dengan supplier yang bersangkutan untuk melakukan daur ulang dari sisa material besi tersebut.
•
Memperkecil waktu tunggu (delay) antara pekerjaan yang satu dengan pekerjaan
yang
lainnya
dengan
cara
melakukan
perencanaan
dan
pengendalian pelaksanaan pekerjaan secara matang dan selalu melakukan up date rencana kerja tersebut. V.6
Rangkuman
Terkait dengan pengertian umum dari kinerja supply chain yaitu semua aktivitas pemenuhan permintaan customer yang dinyatakan secara kuantitatif dengan
127
tujuan pengukuran kinerja yang dilakukan untuk mengurangi biaya-biaya, memenuhi customer satisfication, meningkatkan keuntungan, mengetahui posisi
supply chain saat ini relatif terhadap kompetitor maupun terhadap tujuan yang hendak dicapai serta berguna sebagai dasar untuk menentukan arah perbaikan berkelanjutan. Jika dihubungkan dengan konsep-konsep lean construction yaitu
conversion, flow, dan value, prinsip-prinsip yang lebih mendekati pada pengertian tersebut adalah prinsip conversion dan value, sementara prinsip dari flow lebih bersifat pendukung dalam melakukan pengukuran kinerja supply chain. Berdasarkan uraian pada subbab-subbab terdahulu, terlihat dari keempat proyek studi kasus bahwa secara garis besar usaha-usaha yang telah dilakukan kedua kontraktor dalam pelaksanaan proses produksinya telah mengacu pada konsep
lean construction sebagai bagian dari konsep pengelolaan supply chain di tingkat proyek. Jika dilihat kinerja dari masing-masing supply chain
proyek, maka
terlihat kinerja dari supply chain proyek kecenderungan relatif lebih baik terhadap pemahaman dan penerapan yang telah dilakukan di lapangan terhadap aspekaspek dari konsep conversion pada tahap pelaksanaan. Sedangkan untuk implementasi dari konsep flow dan konsep value masih memerlukan suatu pemahaman dan perhatian yang lebih baik lagi terhadap pelaksanaan pekerjaan di lapangan.
Hal ini sejalan dengan hasil temuan
penelitian yang dilakukan oleh Roza, H.A. (2006), yang menyimpulkan bahwa tingkat kesiapan kontraktor Indonesia menuju konstruksi ramping masuk pada kategori agak kuat yang tercermin dari nilai kesiapan sebesar 81,67 %. Nilai kesiapan ini mempunyai makna bahwa pada umumnya kontraktor besar di Indonesia telah melakukan kegiatan pengelolaan proses produksi di proyek konstruksi dengan cukup baik, tetapi masih lemah dari segi prinsip-prinsip aplikatif konstruksi ramping. Jika ditelusuri lebih dalam sampai ke aktivitas yang harus dilakukan untuk membuat flow proses produksi menjadi lancar, maka masih terdapat banyak kelemahan yang menyangkut record data dan pencatatan terhadap proses produksi
128
yang direncanakan, proses produksi yang dilaksanakan, hasil yang diperoleh dari kegiatan produksi tersebut, serta pengukuran terhadap kinerja proses produksi tersebut. Sehingga kontraktor tidak bisa dengan cepat mengetahui jika terjadi variabilitas dalam proses produksi. Padahal jika variabilitas ini bisa dikendalikan dan diminimalkan, maka flow proses produksi bisa menjadi lebih lancar. Tidak adanya suatu patokan (benchmark) terhadap hasil pengukuran kinerja dari setiap proyek studi kasus menyebabkan pembahasan yang dilakukan hanya terbatas pada prosedur pengelolaan supply chain dan segala permasalahan yang terkait dengan hubungan antara pihak yang terlibat dalam proses produksi di lapangan pada setiap pola supply chain yang ada. Pembahasan yang dilakukan terasa masih sangat dangkal untuk dapat menggambarkan kinerja dari suatu
supply chain terkait dengan implementasi konsep-konsep lean construction. Secara keseluruhan, rekomendasi yang dapat diberikan sebagai hasil dari penelitian ini hanya berupa gambaran umum kinerja dari beberapa pola supply
chain yang telah teridentifikasi terutama yang terkait dengan metode pengelolaan hubungan antar pihak yang terlibat dalam jaringan supply chain tersebut. Keterbatasan-keterbatasan yang terjadi mengakibatkan tidak dapatnya dilakukan perbandingan yang linear terhadap keempat proyek studi kasus dengan harapan akan tercapainya pengkajian terhadap pola yang akan memberikan kinerja yang paling optimal dalam upaya pengelolaan pihak-pihak yang terlibat dalam supply
chain proyek konstruksi bangunan gedung dalam rangka implementasi prinsipprinsip konstruksi ramping.