BAB V PENERAPAN INDIKATOR KINERJA SUPPLY CHAIN PADA PROYEK STUDI KASUS Pada bab 4 telah coba dikembangkan 10 (sepuluh) indikator penilaian kinerja supply chain yang didasarkan atas telaah terhadap studi literatur yang terkait, pengkajian yang lebih mendalam terhadap isi dari masing-masing jenis data hasil survey, juga hasil pengkajian terhadap bagaimana kesepuluh indikator tersebut jika dikaitkan dengan prinsip-prinsip yang ada didalam konsep lean construction, agar kesepuluh indikator tersebut dapat dijadikan dasar untuk menilai efektifitas dan efisiensi dari jaringan supply chain pada proyek konstruksi bangunan gedung. Dalam bab ini akan coba dilakukan penerapan pengukuran set indikator yang telah dikembangkan tersebut pada satu proyek studi kasus. Dalam hal ini proyek yang dipilih sebagai objek studi kasus adalah proyek Y1, dengan pertimbangan proyek tersebut merupakan proyek yang memiliki ketersedian jenis data paling banyak jika dibandingkan dengan kedua proyek lainnya. Sehingga kesepuluh indikator kinerja yang dikembangkan dapat dicoba untuk diukur secara kuantitatif. Dari hasil pengukuran kemudian akan dilakukan analisa, yang diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kualitas dari masing-masing data yang telah diperoleh di dalam mendukung terhadap indikator yang dikembangkan (mendukung terhadap pencapaian konstruksi ramping). Dari hasil analisa tersebut rekomendasi perbaikan juga akan coba diberikan terhadap set indikator yang telah dikembangkan, agar jika indikator ini kemudian digunakan dalam mengkaji kinerja supply chain di proyek-proyek konstruksi maupun dalam penelitian lain, maka akan lebih memudahkan dan memungkinkan di dalam penggunaannya. Analisa masing-masing indikator untuk mengukur kinerja supply chain pada proyek studi kasus beserta berbagai keterbatasan dalam penerapannya akan coba diuraikan pada sub bab berikut. 5.1. Analisa Pengukuran Kinerja Supply Chain Pada Proyek Studi Kasus Pengukuran kinerja supply chain pada penelitian ini akan dilakukan terhadap masing-masing indikator yang telah dikembangkan pada bab 4 (empat) sebelumnya, namun hanya untuk pengukuran kualitatifnya saja. Keterangan data 87
88
yang diperlukan dan perhitungan untuk masing-masing indikator kinerja supply chain diuraikan berikut ini : 1.
Intensitas perubahan/revisi terhadap rencana kerja (Indikator 1) •
Data yang diperlukan : Rekapitulasi data Variation Order (VO) atau Change Order (CO).
•
Dari data tersebut akan dilihat intensitas terjadinya perubahan/revisi terhadap rencana kerja kontraktor yang dibuat sebagai acuan pelaksanaan di lapangan atau dengan kata lain berapa kali pekerjaan tambah kurang terjadi pada suatu kurun waktu tertentu (dalam proyek ini = 6 bulan yang merupakan waktu total pelaksanaan ).
•
Rumus yang digunakan :
•
Berdasarkan pengamatan terhadap rekapitulasi data VO dan CO di lapangan yang terjadi selama kurun waktu 6 (enam) bulan, maka diperoleh hasil bahwa telah terjadi 12 (dua belas) kali pekerjaan tambah kurang pada proyek studi kasus.
•
Analisis : Melihat tersedianya data pendukung terkait indikator ini berupa VO atau CO di lima proyek studi kasus kali ini dan sudah menjadi suatu karakteristik dalam penyelenggaraan suatu proyek konstruksi, bahwa perencanaan diawal proyek biasanya memiliki tingkat ketidakpastian (uncertainty) yang tinggi dan variabilitas juga tidak dapat diprediksi dengan baik, sehingga pada masa pelaksanaan dapat dipastikan akan seringkali terjadi penyesuaian dengan kenyataan di lapangan, maka dapat disimpulkan bahwa penerapan indikator 1 (satu) untuk mengukur kinerja supply chain pada proyek-proyek konstruksi bangunan gedung secara umum sangat mungkin untuk dilakukan.
2.
Intensitas kendala selama pelaksanaan pekerjaan (Indikator 2) •
Data yang diperlukan : data catatan berbagai kendala yang terjadi di proyek, untuk keseluruhan jenis kendala yang ada.
•
Dari data tersebut akan dilihat intensitas terjadinya kendala pada suatu kurun waktu tertentu (dalam proyek ini = 6 bulan)
•
Rumus yang digunakan :
89
•
Berdasarkan pengamatan terhadap data catatan berbagai kendala yang terjadi di proyek, untuk keseluruhan jenis kendala yang ada yang terjadi selama kurun waktu 6 (enam) bulan, maka diperoleh hasil bahwa telah terjadi 37 (tigapuluh tujuh) kali pekerjaan tambah kurang pada proyek studi kasus.
•
Analisis : Melihat tersedianya data pendukung terkait indikator ini di berupa data catatan berbagai kendala yang terjadi di proyek dan besarnya kecenderungan terjadinya kendala yang bisa mengganggu flow pekerjaan seperti ketersediaan sumberdaya, disain gambar yang belum selesai, persetujuan dari klien, belum selesainya pekerjaan yang mendahului (downstream), dan lain-lain di suatu proyek konstruksi bangunan, maka dapat disimpulkan bahwa penerapan indikator 2 (dua) untuk mengukur kinerja supply chain pada proyek-proyek konstruksi bangunan gedung secara umum juga sangat mungkin untuk dilakukan.
3.
Intensitas rapat koordinasi antar pihak yang terlibat (Indikator 3) •
Data yang diperlukan : Data risalah jenis-jenis rapat yang dilakukan selama masa pelaksanaan.
•
Dari data tersebut akan dilihat intensitas terjadinya masing-masing rapat rutin yang biasa dilakukan terjadi pada suatu kurun waktu tertentu (dalam proyek ini = 6 bulan). Teridentifikasi bahwa di proyek ini terdapat 4 (empat) jenis rapat yang biasa dilakukan, antara lain: − Rapat rutin mingguan koordinasi intern − Rapat rutin mingguan koordinasi ekstern − Rapat rutin mingguan antara manajemen di proyek dengan kantor pusat, dan − Rapat koordinasi khusus
•
Rumus yang digunakan :
•
Berdasarkan pengamatan terhadap rekapitulasi data risalah jenis-jenis rapat yang dilakukan selama kurun waktu 6 (enam) bulan pada proyek studi kasus, maka diperoleh hasil telah terjadi : − 20 kali rapat rutin mingguan koordinasi intern.
90
− 20 kali rapat rutin mingguan koordinasi ekstern − 20 kali rapat rutin mingguan antara manajemen di proyek dengan kantor pusat, dan − 2 kali koordinasi khusus. •
Analisis : Melihat tersedianya data pendukung terkait indikator ini berupa data risalah jenis-jenis rapat yang biasa dilakukan oleh proyek, di lima proyek studi kasus kali ini dan besarnya kecenderungan terjadinya rapat koordinasi sebagai suatu cara untuk mengidentifikasi permasalahan dan mencari penyebab serta solusi untuk meningkatkan sistem produksi di suatu proyek konstruksi bangunan, maka dapat disimpulkan bahwa penerapan indikator 3 (tiga) untuk mengukur kinerja supply chain pada proyek-proyek konstruksi bangunan gedung secara umum juga sangat mungkin untuk dilakukan.
4.
Intensitas defect pekerjaan (Indikator 4) •
Data yang diperlukan : Data catatan hasil pengawasan yang dilakukan proyek terkait inspeksi dan tes terhadap subkontraktor.
•
Dari data tersebut akan dilihat berapa kali (intensitas) kegagalan subkontraktor dalam melalui inspeksi dan tes yang dilakukan terhadap hasil pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya (pekerjaan lantai) pada suatu kurun waktu tertentu (dalam proyek ini = 6 bulan)
•
Rumus yang digunakan :
•
Berdasarkan pengamatan terhadap data catatan hasil pengawasan yang dilakukan proyek terkait inspeksi dan tes terhadap subkontraktor yang terjadi selama kurun waktu 6 (enam) bulan, maka diperoleh hasil bahwa telah terjadi 3 (tiga) kali kegagalan subkontraktor melalui inspeksi dan tes
yang
dilakukan
terhadap
hasil
pekerjaan
yang
menjadi
tanggungjawabnya dari 100 (seratus) kali jumlah inspeksi dan tes yang dilakukan pada proyek studi kasus, sehingga diperoleh hasil akhir sebesar 3 % untuk indikator ini.
91
•
Analisis : Melihat tersedianya data pendukung terkait indikator ini berupa data catatan hasil pengawasan yang dilakukan oleh proyek, di lima proyek studi kasus kali ini dan sudah menjadi sifat alami bahwa cacatcacat pekerjaan (ketidaksesuaian dengan instruksi kerja/spesifikasi teknis yang telah diberikan) yang dilakukan oleh pelaksana/subkontraktor pada suatu penyelenggaraan proyek konstruksi pasti terjadi, maka dapat disimpulkan bahwa penerapan indikator 4 (empat) untuk mengukur kinerja supply chain pada proyek-proyek konstruksi bangunan gedung secara umum juga sangat mungkin untuk dilakukan.
5.
Kinerja supplier dalam memenuhi jadwal pengiriman material (Indikator 5) •
Data yang diperlukan : Data Purchase Order (PO).
•
Dari data tersebut akan dilakukan pencatatan kapan kedatangan material tidak tepat waktu sesuai dengan yang telah ditentukan dan berapa jumlah total dari kedatangan material yang bersangkutan terjadi pada suatu kurun waktu tertentu (dalam proyek ini = 6 bulan)
•
Rumus yang digunakan :
•
Berdasarkan pengamatan terhadap data PO di lapangan yang terjadi selama kurun waktu 6 (enam) bulan, maka diperoleh hasil bahwa hanya terjadi 1 (satu) kali material bata shellcone datang tidak tepat waktu dari 100 kali jumlah total dari kedatangan material yang bersangkutan (bata shellcone) pada proyek studi kasus, sehingga diperoleh hasil akhir sebesar 1 % untuk indikator ini. Dengan kata lain diperoleh kesimpulan bahwa kinerja supplier dalam memenuhi jadwal pengiriman material bata shellcone untuk proyek ini adalah sebesar 99 %.
•
Analisis : Melihat tersedianya data pendukung terkait indikator ini berupa PO dan DO di lima proyek studi kasus kali ini dan sudah menjadi satu prioritas di suatu proyek konstruksi untuk mengelola aliran material dengan baik sehingga efektifitas dan efisiensi dalam pelaksanaan suatu proyek konstruksi dapat terus meningkat, maka dapat disimpulkan bahwa
92
penerapan indikator 5 (lima) untuk mengukur kinerja supply chain pada proyek-proyek konstruksi bangunan gedung secara umum juga sangat mungkin untuk dilakukan. 6.
Waktu tenggang (lead time) antara pemesanan (order) dan pengiriman (deliver) (Indikator 6) •
Data yang diperlukan : Data Purchase Order (PO) dan data monitoring kedatangan material.
•
Dari PO akan terlihat berapa lama waktu tenggang yang diberikan untuk setiap pemesanan barang. Dalam PO juga akan terlihat catatan mengenai tanggal pendatangan dan volume dari barang yang dipesan. Sedangkan dari data monitoring kedatangan material akan terlihat tanggal kedatangan dan volume material pada saat diterima di site. Dari kedua jenis data tersebut akan dilakukan pencatatan berapa lama waktu tenggang terjadi dan intensitas kedatangan material (bata shellcone) di site tidak sesuai menurut jadwal dan melewati waktu tenggang yang telah diberikan. Sehingga dapat diketahui kapan material datang tidak tepat waktu dan juga melewati waktu tenggang yang telah diberikan pada suatu kurun waktu tertentu (dalam proyek ini = 6 bulan)
•
Rumus yang digunakan :
•
Berdasarkan pengamatan data Purchase Order (PO) dan data monitoring kedatangan material di lapangan yang terjadi selama kurun waktu 6 (enam) bulan, maka diperoleh hasil bahwa telah terjadi 8 (enam) kali kedatangan material bata shellcone di site tidak sesuai menurut jadwal dan melewati waktu tenggang yang telah diberikan dari 200 kali jumlah total kedatangan material yang bersangkutan pada proyek studi kasus, sehingga diperoleh hasil akhir sebesar 4 % untuk indikator ini.
•
Analisis : Meskipun data pendukung terkait indikator ini berupa PO dan DO terdapat di lima proyek studi kasus, namun untuk data monitoring kedatangan material di lapangan hanya tersedia di satu proyek (proyek Y1), sedangkan untuk perhitungan di dalam indikator 6 (enam) ini
93
memerlukan input dari kedua data tersebut sehingga dapat disimpulkan bahwa penerapan indikator 6 (enam) untuk mengukur kinerja supply chain pada proyek-proyek konstruksi bangunan gedung belum secara umum dapat dilakukan. 7.
Intensitas kejadian reject material (Indikator 7) •
Data yang diperlukan : Data material reject.
•
Dari data tersebut akan dilakukan pencatatan berapa kali intensitas terjadinya material ditolak pada suatu kurun waktu tertentu (dalam proyek ini = 6 bulan)
•
Rumus yang digunakan :
•
Berdasarkan pengamatan terhadap Data material reject di lapangan yang terjadi selama kurun waktu 6 (enam) bulan, maka diperoleh hasil bahwa telah terjadi 8 (delapan) kali reject material bata shellcone dari 42 kali jumlah total kedatangan material yang bersangkutan pada proyek studi kasus, sehingga diperoleh hasil akhir sebesar < 2 % untuk indikator ini.
•
Analisis : Melihat tersedianya data pendukung terkait indikator ini berupa data material reject tersedia di lima proyek studi kasus kali ini, namun berdasarkan hasil wawancara dapat diketahui bahwa belum tentu data ini dimiliki oleh proyek konstruksi bangunan gedung yang lain, karenanya dapat disimpulkan bahwa penerapan indikator 7 (tujuh) untuk mengukur kinerja supply chain pada proyek-proyek konstruksi bangunan gedung hanya mungkin dilakukan jika proyek yang bersangkutan melakukan pendataan terhadap material /produk yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang diberikan atau tidak sesuai dengan yang diharapkan (material yang rusak/cacat pada saat diterima di proyek), namun hal ini biasanya jarang dilakukan terutama bagi perusahaan-perusahaan kontraktor yang selalu melakukan kontrol yang baik terhadap para suppliernya misal dengan selalu memberikan updating jadwal maupun spesifikasi terbaru terhadap para supplier, agar mereka selalu memberikan material yang selalu sesuai dengan yang diharapkan sehingga reject material tidak/ jarang terjadi.
94
8.
Inventory material (Indikator 8) •
Data yang diperlukan : Data inventory material di gudang.
•
Dari data tersebut akan dilakukan pencatatan berapa volume material (bata shellcone dan marmer) sisa menumpuk di gudang, dan berapa total volume material (bata shellcone dan marmer) yang sisanya menumpuk di gudang pada suatu kurun waktu tertentu (dalam proyek ini = 6 bulan)
•
Rumus yang digunakan :
•
Berdasarkan pengamatan terhadap Data inventory material di gudang yang terjadi selama kurun waktu 6 (enam) bulan, maka diperoleh hasil bahwa volume rata-rata dalam 1 (satu) bulan material bata shellcone sisa di gudang adalah 25-26 buah dan jumlah total volume material yang bersangkutan dibeli rata-rata dalam 1 (satu) bulan adalah 265-270 buah, sehingga diperoleh hasil akhir inventory material rata-rata dalam 1 (satu) bulan untuk material bata shellcone adalah sebesar < 10 %. Sedangkan untuk volume rata-rata dalam 1 (satu) bulan material marmer sisa di gudang adalah 20-25 buah dan jumlah total volume material yang bersangkutan dibeli rata-rata dalam 1 (satu) bulan adalah 200-210 buah, sehingga diperoleh hasil akhir inventory material rata-rata dalam 1 (satu) bulan untuk material marmer adalah sebesar < 12 % pada proyek studi kasus ini.
•
Analisis : Meskipun data pendukung terkait indikator ini berupa data inventory tersedia di lima proyek studi kasus kali ini, namun berdasarkan hasil wawancara belum tentu data ini dimiliki oleh proyek konstruksi bangunan gedung yang lain, maka dapat disimpulkan bahwa penerapan indikator 8 (delapan) untuk mengukur kinerja supply chain pada proyekproyek konstruksi bangunan gedung hanya mungkin dilakukan jika proyek yang bersangkutan melakukan pendataan terhadap inventory-nya, namun bila sistem supply material yang dilakukan di proyek bersangkutan selalu sesuai dengan jadwal pekerjaan yang telah disampaikan, sehingga mengakibatkan material hanya akan berada di gudang untuk beberapa hari saja sehingga tidak terjadi inventory atau
95
penumpukan material di gudang, maka penerapan indikator 8 (delapan) tidak mungkin untuk dilakukan. 9.
Keikutsertaan subkontraktor di dalam perencanaan pelaksanaan (Indikator 9) •
Data yang diperlukan : Catatan keikutsertaan subkontraktor dalam perencanaan pelaksanaan.
•
Penilaian yang dilakukan hanya berbentuk kualitatif saja, melalui wawancara terkait dengan objektif dari indikator ini.
•
Rumus : tidak ada
•
Hasil berdasarkan pengukuran kualitatif (pengamatan terhadap data): ada.
•
Analisis : Data pendukung terkait indikator ini berupa data catatan keikutsertaan subkontraktor di dalam perencanaan pelaksanaan hanya tersedia di satu proyek studi kasus kali ini (proyek Y1), dari situ dapat disimpulkan bahwa data ini secara umum jarang dimiliki oleh proyekproyek konstruksi bangunan gedung lainnya. Hal ini disebabkan penerapan sistem cluster (kluster), yaitu sebuah organisasi temporer terdiri atas perencana (tim desain) dan supplier untuk mendukung kolaborasi intensif antara berbagai disiplin di Indonesia masih jarang dilakukan, sehingga penerapan indikator 8 (delapan) untuk mengukur kinerja supply chain pada proyek-proyek konstruksi di Indonesia masih belum memungkinkan untuk dilakukan.
10. Intensitas complaints dari owner kepada kontraktor, dari kontraktor kepada supplier (Indikator 10) •
Data yang diperlukan : Daftar complaints yang terjadi selama masa pelaksanaan.
•
Indikator ini dikembangkan untuk mengidentifikasi ada tidaknya complaints dari owner terhadap pihak kontraktor, maupun dari kontraktor terhadap suppliernya, berkaitan dengan pekerjaan yang telah ditentukan sebelumnya sebagai sampling untuk penelitian ini. Jenis data yang mendukung terhadap penilaian kuantitatif untuk indikator ini adalah data complaints dari owner terhadap pihak kontraktor yang terjadi maupun
96
dari kontraktor terhadap suppliernya, dari data tersebut kemudian bisa diketahui berapa kali intensitas masing-masing komplain tersebut terjadi. Penilaian akan dibatasi untuk suatu kurun waktu tertentu (tidak dilakukan terhadap waktu siklus keseluruhan proyek). •
Rumus yang digunakan :
•
Berdasarkan pengamatan terhadap rekapitulasi data complaints di lapangan yang terjadi selama kurun waktu 6 (enam) bulan, maka diperoleh hasil bahwa telah terjadi 23 (dua puluh tiga) kali terjadi complaints dari owner-kontraktor dan 2 (dua) kali terjadi complaints dari kontraktor-supplier (data berasal dari satu supplier material marmer pada proyek studi kasus yang memiliki daftar complaints terbanyak).
•
Analisis : Melihat tersedianya data pendukung terkait indikator ini berupa data complaints dari owner terhadap pihak kontraktor yang terjadi maupun dari kontraktor terhadap supplier-nya di lima proyek studi kasus kali ini, maka dapat disimpulkan bahwa penerapan indikator 10 (sepuluh) untuk mengukur kinerja supply chain pada proyek-proyek konstruksi bangunan gedung secara umum juga sangat mungkin untuk dilakukan.
Untuk proyek studi kasus (proyek Y1) hasil pengukuran terhadap data yang diperoleh disajikan pada Tabel 5.1. berikut. Tabel 5.1 Kinerja Supply Chain Proyek Konstruksi Bangunan Gedung Y1 No.
Indikator
Hasil Pengukuran
1
Jumlah perubahan/revisi rencana kerja
12 kali
2
Intensitas constraint selama pelaksanaan pekerjaan
37 kali
3a
Intensitas rapat rutin mingguan koordinasi intern
20 kali
3b
Intensitas rapat rutin mingguan koordinasi ekstern
20 kali
3c
Intensitas rapat rutin mingguan antara manajemen di proyek dengan kantor pusat
20 kali
3d
Intensitas rapat koordinasi khusus
2 kali
4
Intensitas defect pekerjaan
3%
5
Kinerja supplier dalam memenuhi jadwal pengiriman
99 %
6
Waktu tenggang (lead time) antara pemesanan (order) dan pengiriman (deliver)
4%
97
No.
Hasil Pengukuran
Indikator
7
Intensitas kejadian reject material
<2%
8a
Inventory material bata shellcone
< 10 %
8b
Inventory material marmer
< 12 %
9
Keikutsertaan subkontraktor di dalam perencanaan pelaksanaan
Ada
10a
Intensitas complaints dari owner-kontraktor
23 kali
10b
Intensitas complaints dari kontraktor-supplier
2 kali
5.2.
Analisa Penerapan Indikator yang Dikembangkan
5.2.1. Bentuk Baku (Form Standar) dari Data Pendukung Berdasarkan hasil survey telah diketahui bahwa dari 14 (empat belas) jenis data terkait dengan aliran material/jasa, uang dan informasi yang dapat mendukung terhadap kelancaran produksi dan koordinasi yang baik antar pihak yang terlibat di suatu jaringan supply chain, maka 10 (sepuluh) jenis data telah tersedia di proyek studi kasus ini dan dapat diperoleh untuk kebutuhan penelitian ini. Selain itu juga diperoleh informasi bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan terkait dengan nama jenis data maupun deskripsi dari data yang dimaksud antara hasil telaah terhadap studi literatur dan hasil wawancara dengan responden. Yang ada hanya sedikit perbedaan di dalam hal pendokumentasian bentuk data, dimana terdapat tiga bentuk pendokumentasian data, yaitu bentuk baku (form standar) dari pihak perusahaan, catatan/ memo dan surat. Bentuk pendokumentasian terhadap masing-masing data pada kelima proyek studi kasus disajikan pada Tabel 5.1. berikut. Tabel 5.1. Ketersediaan Data di Proyek Studi Kasus Bentuk pendokumentasian No. 1. 2. 3. 4.
Jenis Data VO dan CO Daftar kendala Data risalah rapat Data catatan hasil pengawasan
Proyek X1
Proyek X2
Proyek Y1
Proyek Z1
Proyek Z2
F M M F
F M M F
F M M F
F F M F
F F M F
98
5.
Puchase Order (PO)
F
F
F
F
F
Bentuk pendokumentasian No. 6. 7. 8. 9.
10
Jenis Data Data monitoring kedatangan material Data material reject Data inventory material di gudang Catatan keikutsertaan subkontraktor dalam perencanaan pelaksanaan Daftar complaints yang terjadi selama masa pelaksanaan
Proyek X1
Proyek X2
Proyek Y1
Proyek Z1
Proyek Z2
-
-
F
-
-
F F
F F
F F
F F
F F
-
-
M
-
-
S
S
S
S
S
Keterangan : F
Formulir standar perusahaan
M
Memo atau catatan
S
Surat
Berdasarkan Tabel 5.1. dapat terlihat bahwa sistem pendokumentasian yang dilakukan masing-masing perusahaan berbeda-beda. Dari 8 (delapan) jenis data yang diperoleh pada proyek X1 dan X2 yang merupakan proyek milik perusahaan X, maka 5 (lima) jenis data yang telah memiliki bentuk baku (form standar) perusahaan, 2 (dua) berupa keterangan/memo dan 1 (satu) berupa surat. Jenis data yang telah memiliki bentuk baku (form standar) adalah : data Variation Order (VO) dan Change Order (CO), data catatan hasil pengawasan yang dilakukan proyek terkait inspeksi dan tes terhadap subkontraktor, data Puchase Order (PO), data material reject dan data inventory material di gudang. Untuk data daftar kendala dan risalah rapat hanya berupa keterangan/memo sedangkan data complaints yang terjadi selama masa pelaksanaan berupa surat. Pada proyek Y1 yang merupakan proyek milik perusahaan Y, dari 10 (sepuluh) jenis data yang diperoleh, maka 6 (enam) jenis data telah memiliki bentuk baku (form standar) perusahaan, 3 (tiga) berupa keterangan/memo dan 1 (satu) berupa surat. Jenis data yang telah memiliki bentuk baku (form standar) pada proyek ini antara lain : data Variation Order (VO) dan Change Order (CO), data catatan
99
hasil pengawasan yang dilakukan proyek terkait inspeksi dan tes terhadap subkontraktor, data Puchase Order (PO), data monitoring kedatangan material, data material reject dan data inventory material di gudang. Untuk data daftar kendala, risalah rapat dan catatan keikutsertaan subkontraktor dalam perencanaan pelaksanaan hanya berupa keterangan/memo sedangkan data complaints yang terjadi selama masa pelaksanaan berupa surat. Pada proyek Z1 dan Z2 yang merupakan proyek milik perusahaan Z, dari 8 (delapan) jenis data yang diperoleh, maka 6 (enam) jenis data telah memiliki bentuk baku (form standar) perusahaan, 1 (satu) berupa keterangan/memo dan 1 (satu) berupa surat. Jenis data yang telah memiliki bentuk baku (form standar) pada proyek ini antara lain : data Variation Order (VO) dan Change Order (CO), daftar kendala, data catatan hasil pengawasan yang dilakukan proyek terkait inspeksi dan tes terhadap subkontraktor, data Puchase Order (PO), data material reject dan data inventory material di gudang. Untuk data risalah rapat hanya berupa keterangan/memo sedangkan data complaints yang terjadi selama masa pelaksanaan berupa surat. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat kekurangan dari pihak kontraktor yang menjadi subyek di proyek yang menjadi studi kasus didalam mengakomodir data-data yang terkait. Seharusnya setiap jenis data telah memiliki bentuk baku (form standar). Untuk data catatan keikutsertaan subkontraktor dalam perencanaan pelaksanaan yang saat ini hanya berupa keterangan/memo dan data complaints yang terjadi selama masa pelaksanaan yang saat ini hanya berupa surat, sebaiknya juga dibakukan dalam suatu bentuk form standar oleh perusahaan. Hal ini perlu dilakukan agar dukungan data terhadap kelancaran produksi dan penciptaan koordinasi yang baik antar pihak yang terlibat dalam jaringan supply chain di proyek studi kasus ini dapat mamberikan manfaat yang maksimal, sehingga peningkatan efektifitas dan efisiensi jaringan supply chain dapat diperoleh. Selain itu dari hasil wawancara juga telah teridentifikasi beberapa jenis data lain, yang menurut pendapat responden juga dirasa terkait dengan aliran material/jasa, uang dan informasi yang dapat mendukung terhadap kelancaran produksi dan koordinasi yang baik antar pihak yang terlibat di suatu jaringan supply chain.
100
Data-data tersebut antara lain : data cash flow, invoice, term pembayaran terhadap supplier, informasi kapasitas dan status pengiriman dari supplier, data material recycle dan data material repair. Semua jenis data tersebut juga tersedia di proyek studi kasus, namun tidak diperoleh untuk kebutuhan penelitian ini karena terbentur masalah perijinan dari pihak perusahaan. Identifikasi lebih lanjut seharusnya juga dilakukan terkait datadata tersebut, untuk mengetahui apakah data-data itu juga bisa dijadikan sebagai bahan didalam pengembangan beberapa indikator tambahan selain yang saat ini telah berhasil dikembangkan pada bab IV. 5.2.2. Usulan Perbaikan Indikator Kinerja Supply Chain Yang Telah Dikembangkan Berdasarkan hasil pengembangan indikator dan analisis yang dilakukan sebelumnya, maka diperlukan beberapa perbaikan terkait dengan indikator yang telah dikembangkan. Hal ini diperlukan karena salah satu cara untuk meningkatkan kinerja supply chain di proyek-proyek konstruksi di Indonesia agar dapat menjadi lebih baik di masa yang akan datang adalah dengan merumuskan langkah perbaikan terhadap kinerja supply chain yang telah ada. Berikut ini diuraikan beberapa usulan perbaikan terhadap indikator yang telah dikambangkan dalam penelitian ini : • Didalam pengembangannya, 10 (sepuluh) indikator yang ada seharusnya dilakukan terhadap keseluruhan waktu siklus proyek (bukan terhadap kurun waktu tertentu seperti yang telah ditetapkan didalam penelitian ini), karena dengan demikian kinerja dari awal hingga akhir proyek bisa terukur dengan baik sehingga dapat dirumuskan umpan balik yang perlu diberikan agar kinerja proyek dapat terus ditingkatkan untuk menjadi lebih baik lagi di masa yang akan datang. • Pengembangan rumus yang ada juga masih kurang begitu akurat dan kurang memaksimalkan informasi yang ada dari masing-masing data yang diperoleh. Pada beberapa indikator masih bersifat terlalu kualitatif dan memerlukan
101
adanya suatu pengelompokkan misal untuk indikator 2, yaitu intensitas kendala selama pelaksanaan pekerjaan. Terkait dengan indikator tersebut seharusnya dikelompokkan kedalam beberapa jenis, misalnya saja pengukuran intensitas kendala selama pelaksanaan pekerjaan untuk jenis kendala yang menggangu pekerjaan, jenis kendala terkait persetujuan dari klien, jenis kendala terkait ketersediaan sumberdaya, dsb. • Pengembangan
indikator
juga
seharusnya
dibuat
hingga
tahapan
pengembangan model penilaian yang akan digunakan (pada penelitian ini hanya sampai tahapan pengembangan rumus yang digunakan untuk pengukuran kualitatif), sehingga jika set indikator ini diterapkan pada beberapa proyek konstruksi (khususnya bangunan gedung) pada akhirnya dapat diketahui proyek konstruksi mana yang memiliki kinerja supply chain yang paling baik. • Jika dikaitkan dengan pengaplikasian indikator kinerja supply chain terhadap satu proyek konstruksi bangunan gedung sebagai studi kasus, maka didapat satu kesimpulan bahwa pada proyek tersebut pengukuran kinerja dapat dilakukan. Hal ini terlihat dari hasil pengukuran terhadap data yang diperoleh dari proyek studi kasus yang kemudian disajikan pada Tabel 5.1. • Dalam tabel tersebut dapat dilihat bahwa telah diperoleh hasil berdasarkan pengukuran kuantitatif untuk masing-masing indikator yang dikembangkan (kecuali untuk indikator 9), yaitu “keikutsertaan subkontraktor di dalam perencanaan pelaksanaan”, karena indikator tersebut memang dikembangkan hanya berdasarkan pegukuran kualitatif saja. Hal ini mencerminkan bahwa secara keseluruhan pihak manajemen proyek (perusahaan kontraktor) pada proyek yang menjadi studi kasus telah memiliki performa yang baik dalam hal pendokumentasian data-data yang terkait dengan aliran material/jasa, uang dan informasi yang dapat mendukung terhadap kelancaran produksi dan koordinasi yang baik antar pihak yang terlibat di suatu jaringan supply chain. Sehingga penerapan 10 (sepuluh) indikator yang telah dikembangkan di proyek-proyek konstruksi bangunan secara umum juga mungkin untuk dilakukan. Tetapi hal
102
tersebut tentunya tergantung pula dari kemampuan pihak manajemen proyek (perusahaan
kontraktor)
di
masing-masing
proyek
di
dalam
mendokumentasikan data-data penting, terutama yang terkait dengan aliran material/jasa, uang dan informasi yang dapat mendukung terhadap kelancaran produksi dan koordinasi yang baik antar pihak yang terlibat di suatu jaringan supply chain. Dari 10 (sepuluh) indikator yang telah dikembangkan, hanya 3 (tiga) indikator penilaian saja yang pengaplikasiaannya terkadang sulit untuk dilakukan, ketiga indikator tersebut antara lain : 1. Indikator 7 : Intensitas kejadian reject material. Meskipun data pendukung terkait indikator ini berupa data material reject tersedia di proyek studi kasus kali ini, namun belum tentu data ini dimiliki oleh proyek konstruksi bangunan gedung yang lain, maka dapat disimpulkan bahwa penerapan indikator 7 (tujuh) pada proyek-proyek konstruksi bangunan gedung hanya mungkin dilakukan jika proyek yang bersangkutan melakukan pendataan terhadap material /produk yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang diberikan atau tidak sesuai dengan yang diharapkan (material yang rusak/cacat pada saat diterima di proyek), namun hal ini biasanya jarang dilakukan terutama bagi perusahaan-perusahaan kontraktor yang selalu melakukan kontrol yang baik terhadap para suppliernya misal dengan selalu memberikan updating jadwal maupun spesifikasi terbaru terhadap para supplier, agar mereka selalu memberikan material yang selalu sesuai dengan yang diharapkan sehingga reject material tidak/ jarang terjadi. 2. Indikator 8 : Inventory material. Meskipun data pendukung terkait indikator ini berupa data inventory tersedia di proyek studi kasus kali ini, namun belum tentu data ini dimiliki oleh proyek konstruksi bangunan gedung yang lain, maka dapat disimpulkan bahwa penerapan indikator 8 (delapan) pada proyek-proyek konstruksi bangunan gedung hanya mungkin dilakukan jika proyek yang bersangkutan melakukan pendataan terhadap inventory-nya, namun bila sistem supply material yang dilakukan di proyek bersangkutan selalu sesuai dengan jadwal pekerjaan yang
103
telah disampaikan, sehingga mengakibatkan material hanya akan berada di gudang untuk beberapa hari saja sehingga tidak terjadi inventory atau penumpukan material di gudang, maka penerapan indikator 8 (delapan) tidak mungkin untuk dilakukan. 3. Indikator 9 : Keikutsertaan subkontraktor di dalam perencanaan pelaksanaan. Meskipun data pendukung terkait indikator ini berupa data catatan keikutsertaan subkontraktor di dalam perencanaan pelaksanaan tersedia di proyek studi kasus kali ini, namun data ini secara umum jarang dimiliki oleh proyek-proyek konstruksi bangunan gedung lainnya. Hal ini disebabkan penerapan sistem cluster (kluster), yaitu sebuah organisasi temporer terdiri atas perencana (tim desain) dan supplier untuk mendukung kolaborasi intensif antara berbagai disiplin di Indonesia masih jarang dilakukan.