KAJIAN PEMODELAN SUPPLY CHAIN MANAGEMENT Deny Utomo Jurusan Teknik Informatika – STT Nurul Jadid Paiton Abstrak Supply chain adalah suatu jaringan fasilitas dan saluran distribusi yang meliputi pengadaan dari bahan baku, produksi, perakitan dan pengiriman produk atau melayani kepada pelanggan. Supply Chain Management sebagai manajemen rantai pasokan atau manajemen organisasi yang saling berkaitan dan saling berintegrasi satu sama lain baik dengan konsumen maupun pemasok dalam suatu proses untuk menghasilkan nilai produk dan jasa bagi konsumen Tujuan utama memodelkan proses supply chain management adalah untuk meningkatkan efisiensi operasional, profitabilitas, dan kemampuan berkompetisi dari perusahaan dan termasuk juga mitra supply chain. Pengembangan model sistem supply chain management diharapkan dapat mengumpulkan informasi dari sistem yang dipelajari, terutama untuk mengidentifikasi isu kunci yang ingin dipecahkan dan menentukan elemenelemen yang tercakup didalamnya.
Kata Kunci : Supply Chain Management, Pemodelan
I. Supply Chain Supply chain, yang kadang disebut sebagai jejaring logistik (logistics network), terdiri dari para pemasok (suppliers), pusat-pusat manufaktur, warehouses, pusat-pusat distribusi, dan penjual retail dimana bahan baku, work-inprocess dan produk jadi mengalir dari satu fasilitas ke fasilitas yang lain (Lin et al., 2006). Sebuah supply chain dikembangkan, karena keinginan satu atau beberapa pihak yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung untuk memenuhi keinginan permintaan dari para konsumen dan merupakan kesatuan yang saling membutuhkan dengan cara kerja sama (Hult et al., 2007). Supply chain dapat terdiri tidak hanya manufaktur atau produsen dan supplier, tetapi termasuk juga material para penyalur, fasilitas produksi, pusat distribusi dan pelanggan (Fox et al., 2000). Supply chain adalah suatu jaringan fasilitas dan saluran distribusi yang meliputi pengadaan dari bahan baku, produksi, perakitan dan pengiriman produk atau melayani kepada pelanggan (Bansod and Borade, 2007). Sedangkan Whang dan Cheung (2004) mendefinisikan supply chain sebagai proses terintegrasi yang didalamnya terdapat beberapa pelaku bisnis manajemen rantai pasokan sebagai integrasi berbagai aktifitas untuk memperbaiki hubungan antar perusahaan untuk mencapai keunggulan kompetitif. Chan et al. (2003) dalam Olugu and Wong (2009) mendefinisikan supply chain sebagai suatu gabungan menyertakan para penyalur, ke arah muara pelanggan dan sejumlah besar logistik melayani supplier untuk memanfaatkan kemampuan mereka dalam rangka menciptakan nilai pada konsumen akhir. Supply chain telah dipercaya oleh tenaga ahli sebagai faktor kunci dalam untuk mengurangi biaya dan
23
inventori, memperpendek waktu kirim, meningkatkan fleksibilitas, dan kecepatan dalam pengenalan produk baru (Maloni and Benton, 1997). Begitu juga pemilihan mitra dan perencanaan distribusi / produksi merupakan faktor yang penting bagi efisiensi dan efektifitas dalam supply chain (Meade et al.,1997; Talluri et al., 1999). Keputusan sampai di mana aktivitas produksi bisa dilakukan tanpa menunggu permintaan definitif dari pelanggan merupakan keputusan yang sangat penting bagi suatu supply chain dan akan secara langsung berpengaruh terhadap kemampuannya untuk menciptakan efisiensi fisik maupun kecepatannya untuk merespon pasar (Mason dan Towill, 1999). Mengurangi waktu tunggu pelanggan untuk mendapatkan produk, juga akan meningkatkan efisiensi dalam supply chain (Matthews dan Syed, 2004). Pada dasarnya jaringan supply chain merupakan hasil dari beberapa keputusan strategis berikut. Pertama adalah keputusan tentang lokasi fasilitas produksi dan gudang dan keputusan tentang pembelian (di mana akan membeli bahan baku). Kedua adalah keputusan outsourcing, yakni akan mengerjakan sendiri suatu kegiatan tertentu atau mensubkontrakkan ke pihak lain. Ketiga adalah keputusan tentang aliran produk atau barang pada fasilitas-fasilitas fisik tersebut. Masing-masing keputusan tersebut tentunya didasari oleh banyak pertimbangan seperti kondisi ekonomi, sosial, kemanan, politik, budaya, dan lingkungan (MacCarthy and Atthirawong, 2003). Di sisi lain, supply chain yang ingin berkompetisi atas dasar harga biasanya serta akan mencari tempat-tempat yang murah untuk lokasi operasi mereka karena secara otomatis struktur biaya produksinya murah (Bolisani and Scarco, 1996), sehingga konfigurasi supply chain tersebut tentu saja tergantung juga pada karakteristik produk dan model distribusinya (DuBois dkk., 1993). Model distribusi dan produksi yang efisien dan efektif pada supply chain merupakan faktor kunci kepuasan pelanggan (Sha and Che, 2006). Klasifikasi supply chain dibedakan menjadi tiga kategori yaitu, lean supply chain, agile supply chain dan hybrid supply chain (Vonderembse et al., 2006). Lean supply chain menitikberatkan pada upaya memenuhi permintaan konsumen pada harga terendah dengan cara meminimalkan biaya, agile supply chain menitikberatkan pada upaya merespon permintaan perusahaan secara cepat dan hybrid merupakan kombinasi lean dan agile supply chain (Power et al., 2001). II. Supply Chain Management Supply chain management (SCM) pertama kali dikemukakan oleh Oliver & Weber pada tahun 1982 (Lambert et al. 1998). Kalau supply chain adalah jaringan fisiknya, yakni perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam mengelola bahan baku, memproduksi barang, dan menginformasikan aliran bahan baku ke supplier, dan mengirimkannya ke pemakai akhir (Thomas and Griffin, 1996), SCM adalah metode, alat, atau pendekataan pengelolaanya. Sedangkan Williamson et al. (2004) mendefinisikan SCM sebagai manajemen rantai pasokan atau manajemen organisasi yang saling berkaitan dan saling berintegrasi satu sama lain baik dengan konsumen maupun pemasok dalam suatu proses untuk menghasilkan nilai produk dan jasa bagi konsumen. Perusahaan juga memerlukan integrasi dalam rantai pasokannya. Lebih lanjut dalam praktek SCM membangun integrasi, koordinasi, dan kerjasama antara fungsi dalam organisasi dan keseluruhan rantai pasokan. Ini berarti bahwa
24
SCM membutuhkan integrasi internal (intraorganisasional). Pengertian di atas dapat dikatakan bahwa integrative supply chain terdiri dari Integrasi internal (integrasi lintas fungsional pada batas-batas dalam satu perusahaan), yang dicerminkan oleh tingkat aktivitas fungsi logistik di mana saling berhubungan dengan lingkup fungsi yang lain dalam hubungannya dengan keseluruhan rantai pasokan, yang secara konsisten terus meningkat dari beberapa perusahaan yang dikelompokkan dalam pengaturan jaringan (Gimenez & Ventura, 2003). Sasaran hasil SCM adalah disain, operasi dan pemeliharaan dari rantai nilai terintegrasi, agar mencukupi keinginan konsumen secara efisien dengan memaksimalkan layanan pelanggan (Hewitt, 1994) SCM juga dapat duraikan sebagai suatu integrator di antara para penyalur, perusahaan, distributor dan pelanggan yang menggunakan alat tertentu (Childerhouse et al., 2002; Huang et al., 2003). SCM harus melibatkan koordinasi dan manajemen suatu jaringan yang kompleks tentang aktivitas pengembangan dari produk jadi hingga terakhir pemakai atau pelanggan (Hervani et al., 2005). Namun perlu ditekankan bahwa SCM menghendaki pendekatan atau metode yang terintegrasi dengan dasar semangat kolaborasi. Karena perusahaan-perusahaan yang berada pada suatu supply chain pada intinya ingin memuaskan konsumen akhir yang sama, mereka harus bekerjasama untuk membuat produk yang murah, mengirimkannya tepat waktu, dan dengan kualitas yang bagus. Hanya dengan kerjasama antara elemen-elemen pada supply chain tujuan tersebut akan bisa dicapai. Oleh karena itu, cukup tepat kalau banyak orang mengatakan bahwa persaingan dewasa ini bukan lagi antara satu perusahaan dengan perusahaan yang lain, tetapi antara supply chain yang satu dengan supply chain yang lain (D’Amours et al., 1999). III. Modeling (Pemodelan) Modeling (pemodelan) diartikan sebagai suatu gugus pembuatan model (Eriyatno, 2003). Pramudya (1989) mendefinisikan model adalah suatu abstraksi dari keadaan sesungguhnya atau merupakan pernyataan sistem nyata untuk memudahkan pengkajian suatu sistem. Sejalan dengan pernyataan tersebut Muahammadi et al. (2001) menyatakan bahwa model adalah suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses. Dalam pelaksanaan pendekatan sistem, pengembangan model merupakan hal yang sangat penting yang akan menentukan keberhasilan dalam mempelajari sistem secara keseluruhan. Disamping itu, pengembangan model diperlukan guna menemukan peubahpeubah penting dan tepat serta hubungan antar peubah dalam sistem yang dikaji. Menurut Winardi (1989), model adalah suatu gambaran abstrak dari sistem dunia nyata dalam hal-hal tertentu. Model tersebut memperlihatkan hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat. Suatu model yang baik akan menggambarkan dengan baik segi tertentu yang penting dari perilaku dunia nyata . Dalam membangun suatu model harus dimulai dari konsep yang paling sederhana dengan cara mendefinisikan permasalahan secara hati-hati serta menggunakan analisis sensitivitas untuk membantu menentukan rincian model. Selanjutnya untuk penyempurnaan dilakukan dengan menambahkan variable secara gradual sehingga diperoleh model yang logis dan dapat mepresentasikan keadaan yang sebenarnya. Model yang dibangun haruslah merupakan gambaran yang sahih dari sistem yang nyata, realistik dan informatif. Model yang tidak sahih akan memberikan hasil
25
simulasi yang sangat menyimpang dari kenyataan yang ada, sehingga akan memberikan informasi yang tidak tepat. Model yang dianggap baik apabila model dapat menggambarkan semua hal yang penting dari dunia nyata dalam sistem tersebut. Lebih lanjut Pramudya (1989) menyatakan bahwa ada empat keuntungan penggunaan model dalam penelitian dengan menggunakan pendekatan sistem yaitu: (1) memungkinkan melakukan penelitian yang bersifat lintas sektoral dengan ruang lingkup yang luas, (2) dapat melakukan eksperimentasi terhadap sistem tanpa mengganggu (memberikan perlakuan) tertentu terhadap sistem, (3) mampu menentukan tujuan aktivitas pengelolaan dan perbaikan terhadap sistem yang diteliti, dan (4) dapat dipakai untuk menduga (meramal) perilaku dan keadaan sistem pada masa yang akan datang. Penggunaan model sistem dinamis merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan masalah yang kompleks dalam pendekatan sistem (Winardi, 1989; Muhammadi et al., 2001). Langkah pertama dalam menyusun model system dinamis adalah menentukan struktur model yang akan memberikan bentuk dan sekaligus memberi ciri yang mempengaruhi perilaku sistem. Perilaku system tersebut dibentuk oleh kombinasi perilaku simpal causal-loop (sebab-akibat) yang menyusun struktur model. Semua perilaku model dapat disederhanakan menjadi struktur dasar yaitu mekanisme dari masukan, proses, keluaran, dan umpan balik. Mekanisme tersebut akan berkerja menurut perubahan waktu atau bersifat dinamis yang dapat diamati perilakunya dalam bentuk unjuk kerja (level) dari suatu model sistem dinamis. Menurut Muahammadi et al. (2001) dan Eriyatno (2003), model dikelompokkan menjadi 3 jenis yaitu: (1) model ikonik (model fisik) yaitu model yang mempunyai bentuk fisik sama dengan barang yang ditirukan, meskipun skalanya dapat diperbesar atau diperkecil, (2) model analog (model diagramatik) yaitu model suatu proses atau sifat, model ini sifatnya lebih sederhana dan sering dipakai pada situasi khusus, seperti pada proses pengendalian mutu industri, dan (3) model simbolik (model matematik) yaitu model yang menggunakan simbolsimbol matematika. Untuk memahami struktur dan perilaku sistem, yang akan membantu dalam pembentukan model dinamik kuantitatif digunakan causal-loop diagram (diagram lingkar sebab-akibat) dan flow chart diagram (diagram alir). Pada system dinamis, diagram sebab akibat ini akan digunakan sebagai dasar untuk membuat diagram alir yang akan disimulasikan dengan menggunakan program powersim. Program ini dapat memberikan gambaran tentang perilaku sistem, sehingga dengan simulasi dapat ditentukan alternatif terbaik dari sistem yang dibangun. Selanjutnya dilakukan analisis untuk mendapatkan kesimpulan dan kebijakan apa yang harus dilakukan untuk mengantisipasi atau mengubah perilaku sistem yang terjadi. Kinerja pada model dinamis ditentukan oleh kekhususan dan struktur dari model yang dibangun. Melalui simulasi akan didapatkan perilaku dari suatu gejala atau proses yang terjadi dalam sistem yang dikaji, sehingga dapat dilakukan analisis dan peramalan perilaku dari gejala atau proses tersebut di masa depan. Empat tahapan dalam melakukan simulasi model (Muhammadi et al., 2001), yaitu:
26
(a) Penyusunan konsep, pada tahap ini dilakukan identifikasi unsur-unsur yang berperan dalam menimbulkan gejala atau proses. Dari unsur-unsur dan keterkaitannya dapat disusun gagasan atau konsep mengenai gejala (proses) yang akan terjadi (b) Pembuatan model, gagasan atau konsep yang dihasilkan pada tahap pertama selanjutnya dirumuskan sebagai model yang berbentuk uraian, gambar atau rumus, (c) Simulasi model; pada model kuantitatif, simulasi dilakukan dengan memasukkan data ke dalam model, sedangkan pada model kualitatif, simulasi dilakukan dengan menelusuri dan melakukan analisis hubungan sebab akibat antar variabel dengan memasukkan data atau informasi yang dikumpulkan untuk memahami perilaku gejala atau proses model. (d) Validasi hasil simulasi; validasi bertujuan untuk mengetahui kesesuaian antara hasil simulasi dengan gejala atau proses yang ditirukan. Model dapat dinyatakan baik jika kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap gejala atau proses yang terjadi di dunia nyata relatif kecil. IV. Pemodelan Supply Chain Pengembangan atau penyederhanaan sebuah model seharusnya didahului oleh penentuan tujuan atau visi yang akan dicapai dengan pengembangan model tersebut. Thomas and Charpentier (2005) menyarankan penyederhanaan model akan memberikan manfaat besar bagi perusahaan, terutama pada solusi analitis yang layak dan simulasi yang bersifat dinamis pada komponen utama supply chain (Brooks and Tobias, 2000). Suparno (2004) menyatakan bahwa tanpa mengetahui komponen utama dari sebuah supply chain yang harus dikelola, seseorang tidak akan dapat membangun tujuan supply chain, yang pada akan kesulitan dalam mengembangkan pengukuran kinerja yang sesuai yang dapat dijadikan target dan benchmark oleh para mitra supply chain. Hal ini disebabkan sebuah ukuran kinerja akan menentukan outcome yang diharapkan dari sebuah model supply chain, sehingga penentuan tujuan merupakan langkah awal dari pemodelan supply chain. Ada beberapa motivasi yang dapat melatar belakangi pengembangan model supply chain, antara lain pelayanan konsumen dan profitabilitas. Yang pertama, pelayanan konsumen dapat mencakup ketersediaan produk dan waktu respon terhadap permintaan konsumen. Model supply chain seharusnya dapat menggambarkan pengukuran kinerja pelayanan seperti: inventory days of supply, order fill rate, dan order accuracy rate. Waktu respon (response time) merupakan indikator penting dari fleksibilitas supply chain. Contoh dari waktu respon antara lain: time-to-market, on-time delivery, order proccessing time, cash-to-cash cycle time dan downtime. Yang kedua adalah profitabilitas. Profitabilitas dari sebuah supply chain adalah total keuntungan yang diterima secara bersama oleh seluruh anggota supply chain, sehingga tujuan manajemen supply chain mencakup manajemen aliran barang dan informasi antar anggota dalam supply chain unfuk memaksimumkan total profitability. Profitabilitas dapat ditingkatkan dengan jalan meningkatkan penjualan, pangsa pasar, produktivitas tenaga keria, dan sekaligus mengurangi pengeluaran, produk cacat, dan peningkatan efisiensi penggunaan semua sumber daya dari seluruh elemen supply chain (Suparno, 2004).
27
Sebuah supply chain dapat dipandang sebagai sebuah sistem terintegrasi yang mensinkronisasikan suatu rangkaian proses bisnis yang saling terkait dalam rangka untuk (Min dan Zhou,2002): Pengadaan bahan baku dan part Transformasi bahan baku dan part menjadi produk jadi dengan proses nilai tambah (added value) Pendistribusian produk yang dihasilkan kepada pedagang atau konsumen Melaksanakan pertukaran informasi antar berbagai elemen business yang terkait dalam supply chain (Supplier, manufaktur, distributor penyedia fasilitas logistik, dan pedagang) Tujuan utamanya memodelkan proses bisnis supply chain adalah untuk meningkatkan efisiensi operasional, profitabilitas, dan kemampuan berkompetisi dari perusahaan dan termasuk juga mitra supply chain (Min dan Zhou, 2002). Dengan pengembangan model sistem supply chain diharapkan. manajemen dapat mengumpulkan informasi dari sistem yang dipelajari, terutama untuk mengidentifikasi isu kunci yang ingin dipecahkan dengan model supply chain dan menentukan elernen-elemen yang tercakup dalam model supply chain Masalah yang termasuk dalam keputusan strategik antara lain adalah keputusan lokasi dan alokasi, perencanaan demand, Perencanaan kanal distribusi, new product development, seleksi supplier dan information technology dan lain-lain. Keputusan taktis antara lain akan terkait dengan masalah-masalah system pengendalian persediaan, koordinasi produksi dan distribusi, material handling, pemilihan peralatan dan sebagainya. Sedangkan untuk kegiatan operasional antara lain akan mencakup penjadwalan tenaga keria, routing dan scheduling & packaging. Huan dkk. (2004) membuat pengelompokan riset manajemen supply chain. Riset manajemen supply chain dikelompokkan menjadi tiga kategori: (1) operasional, (2) perancangan dan (3) strategi. 1. Operasional supply chain banyak dikaitkan dengan bagaimana aktivitas sehari-hari dari elemen supply chain seperti misahrya, sistem manufaktur, sistem distribusi dilakukan dalam melayani konsumen sekaligus mencapai profitabilitas yang optimal. 2. Perancangan supply chain difokuskan bagaimana mengevaluasi dan membuat perkiraan kinerja suatu alternatif konfigurasi supply chain yang telah dirancang dalam keputusan strategis yang dilakukan manajer tingkat atas. 3. Keputusan strategik yang ditakukan oleh manajemen puncak dengan tujuan mengembangkan konfigurasi supply chain yang dapat meningkatkan daya saing, mengevaluasi alternatif konfigurasi supply chain dan kemitraan. Pengembangan model sistem manufaktur dan supply chain dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki paling sedikit satu aspek dari dimensi kompetitif, atau paling tidak mengevaluasi kinerjanya dan mencari cara untuk memperbaikinya. Telah disampaikan dimuka bahwa dimensi kompetitif sistem manufaktur dapat diadopsi pada proses bisnis supply chain. Sehingga para banyak peneliti yang memusatkan perhatian dan penelitiannya pada masalah tersebut. Saat ini manajemen supply chain dipandang sebagai salah satu komponen utama dari strategi kompetitif untuk meningkatkan produktivitas dan profitabilitas
28
organisasi. Penelitian tentang manajemen supply chain telah banyak dilakukan dengan berbagai ragam tujuan, antara lain untuk memahami berbagai aspek dari manajemen supply chain yang pada gilirannya informasi tentang supply chain tersebut dapat dipakai untuk meningkatkan kinerja supply chain. Supply chain yang responsif adalah sebuah supply chain yang mempunyai kemampuan antara lain: dapat menjawab demand konsumen yang besarnya bervariasi, dapat menghasilkan lead time yang lebih singkat, dapat menangani sejumlah besar variasi produk, mampu membangun dan mempunyai inovasi produk yang tinggi, dan dapat melayani konsumen dengan tingkat pelayanan yang tinggi (Bansod and Borade, 2007). Peneliti dan praktisi telah banyak memfokuskan perhatianrrya pada disain, analisis dan pengukuran kinerja supply chain yang dipandang sebagai satu kesatuan (Beamon, 1998). Dalam penelitian sistem manufaktur, konsep supply chain tumbuh dari model persediaan multi-echelon dua tahap. Sehingga pada awalnya banyak penelitian dilakukan tntuk disain dan analisis sistem dua echelon. Walaupun agak sedikit berbeda Beamon (1998) dan Min dan Zhou (2002) mendeskripsikan bahwa sebuah supply chain terdiri dari dua bisnis proses utama yang terintegrasi, yaitu inbound logistics dan outbound logistics. Lebih lanjut Min dan Zhou (2002) membuat klasifikasi model supply chain menjadi empat kategori: (1) model deterministik, (2) probabilistik, (3) hibrid, dan (4) IT-driven Sedangkan pendekatan pemodelan menurut Beamon (1998) dapat dibagi menjadi empat kategori. Empat kategori tersebut adalah: model analitik deterministic, model Stokastik (Tzafestas & Kapsiotis, 1994), model ekonomi (Christy & Grout, 1994), dan model simulasi (Towill, 1991). Dalam tulisan akan dipakai pengelompokan berdasarkan modifikasi dari yang diberikan oleh Min dan Zhou, dan Beamon, yaitu: model deterministik/stokastik dengan alasan model deterministik yang disajikan seringkali dapat dikembangkan untuk mengakomodasi ketidakpastian, dan model hibrid dan simulasi. 1. Model deterministik/stokastik Dalam melakukan perencanaan strategis, Fandel dan Stammen (2004) mengembangkan model linier mixed integer multi produk dengan memperhatikan proses bisnis dari product life cycle. Tujuan dari pendekatan yang dilakukan adalah untuk mengoptimalkan keuntungan sesudah pajak dari sebuah perusahaan dan menetapkan program produk dan jejaring supply chain. Model yang dikembangkan oleh Fandel dan Stammen (2004) cukup kompleks, karena analsisnya yang bersifat global dengan berbagai fungsi pembatas, diantaranya pembatas kapasitas pengembangan dan proyek, pembatas kapasitas produksi, kemarnpuan supplier dan pabrik, distribusi, pembatas retail dan penjualan pembatas recycling pada pusat recycling dan batas variable. Salah satu kontribusi dari penelitian yang dilakukan Fandel dan Stammen (2004) adalah perspektif baru manajemen strategi supply chain yang memungkinkan pengambilan keputusan investasi antara produk dan pengembangan proyek. Model yang dikembangkan oleh Gunarsson dan kawan-kawan (2004) ini diaplikasikan untuk penebangan kayu di hutan Swedia yang akan dipakai sebagai bahan untuk menyediakan fasilitas pemanas (heating). Model yang dikembangkan oleh Gunarsson dan kawan-kawan (2004) adalah model program integer dengan memasukkan berbagi fungsi pembatas seperti, terminal, fasilitas pengangkutan,
29
fasilitas penggergajian, pelabuhan, dan tersedianya hutan yang akan ditebang dan ketersediaan kayu. Fungsi tujuan dari model ini, dari sudut pandang perusahaan yang memasok, adalah meminimumkan total biaya untuk memenuhi kontrak permintaan pada pabrik pemanas (heating plant) yang meliputi biaya transportasi, biaya pemotongan, harga pembelian, biaya terminal dan biaya penyimpanan. Sabri dan Beamon (2000) dalam penelitiannya mengembangkan model supply chain multi tuiuan terintegrasi untuk membuat perencanaan strategis dan operasional dari dari sebuah supply chain. Dalam penelitiannya Sabri dan Beamon mengadopsi analisis keputusan multi tujuan yang memungkinkan penggunaan system pengukuran kinerja yang mencakup biaya, pelayanan konsumen, tingkat pelayanan konsumen (fill rate), dan fleksibilitas (volume atau pengiriman). Sabri dan Beamon (2000) menyatakan bahwa system pengukuran ini membeikan pengukuran kinerja system supply chain yang lebih komprehensif dibandingkan dengan pendekatan ukuran tunggal. Lebih lanjut model ini juga dapat dikembangkan dengan memasukkan produksi, pengiriman, dan ketidapastian permintaan, dan juga pengukuran multi tujuan dari seluruh jejaring supply chain. Wang dkk. (2004) menyatakan bahwa secara umum proses pengambilan keputusan perancangan manufaktur supply chain berangkat dari perspektif sebuah perusahaan manufaktur yang berhubungan dengan para supplier, distributor, dan konsumen akhir. Wang dkk. (2004) memberikan sebuah contoh, perusahaan manufaktur yang memproduksi m macam produk dimana setiap jenis produk memerlukan n komponen utama yang di-outsource dari banyak supplier. Berdasarkan rencana produksi satu atau lebih komponen akan dibeli dari satu atau lebih supplier. Keputusan yang akan diambil oleh perusahaan tersebut adalah bagaimana memilih supplier yang terbaik untuk outsource komponen dari supplier yang ada yang memenuhi criteria pemilihan supplier yang terpilih untuk memenuhi rencana produksi. 2. Model hibrid dan simulasi Salah satu upaya untuk meningkatkan daya saing sebuah supply chain adalah mengurangi lead time atau cycle time dan mengupayakan supply chain menjadi agile. Agile supply chain dapat diartikan sebagai supply chain yang lebih responsif dan lebih fleksibel. Mason dan Towil (1999) mengadopsi paradigma pemendekan waktu siklus total (Total Cycle Time/TCT Compression) pada sebuah supply chain otomotif. Dalam penelitiannya Mason dan Towil (1999) memberikan perhatian lebih pada pengurangan lead time aliran informasi daripada aliran material. Untuk melihat pengaruh pengurangan lead time aliran material dan aliran informasi terhadap tingkat persediaan sebuah retailer dipakai metode simulasi pada sistem supply chain yang terdiri dari dua level. Prosedur yang diadopsi adalah sebagai berikut. Pertama, lead time material dikurangi dengan mengurangi lead time produksi. Yang kedua, lead time aliran informasi dikurangi dengan mekanisme pemakaian informasi bersama (sharing) yang memungkinkan supplier dari retailer mempunyai akses terhadap permintaan pasar dan mempergunakan informasi tersebut untuk mengirimkan produk ke retailer. Akhirnya, untuk mengecek konsep TCT duanya lead time aliran material dan informasi dikurangi. Perbaikan yang terjadi dibandingkan dengan supply chain tradisional. Hasil dari eksperimen ini menunjukkan bahwa walaupun perbaikan yang diperoleh secara parsial memberikan
30
hasil yang cukup signifikan tetapi konsep TCT memberikan hasil yang paling baik. Hal ini dapat dicapai karena supplier dapat merespon lebih cepat terhadap perubahan demand yang terjadi. Sehingga retailer tidak perlu mempunyai persediaan yang besar untuk menjamin kepuasan konsumen. Ada dua tuiuan yang ingin dicapai oleh Pearsson dan Olhager (2002) dalam penelitiannya. Kedua tujuan tersebut adalah, yang pertama untuk mengevaluasi alternatif rancangan supply chain dengan memperhatikan kualitas, lead time dan biaya sebagai parameter kinerja. Tujuan kedua adalah untuk meningkatkan pemahaman terhadap hubungan masing-masing parameter. Alternatif rancangan dibedakan oleh tingkatan integrasi dan sinkronisasi antara tahapan atau elemen supply chain. Pearsson dan Olhager (2002) memakai simulasi untuk mengevaluasi alternative rancangan yang dikembangkan. Yang dijadikan obyek penelitian ini adalah sebuah industri komunikasi bergerak. Untuk itu dikembangkan tiga struktur supply chain. Model pertama mendeskripsikan struktur supply chain yang lama, model kedua adalah struktur supply chain yang ada saat ini, dan yang ketiga adalah model supply chain untuk generasi yang akan datang. Input parameter yang dirubah dalam eksperimen simulasi adalah: struktur supply chain (lama, saat ini, dan generasi mendatang), tingkat kualitas yang dihasilkan. Hasil dari studi simulasi memperlihatkan ukuran kinerja individual dan terintegrasi yang dapat menggambarkan hubungan antara biaya, lead time dan kualitas. Untuk mensinkronkan dan pengintegrasian aktivitas dari berbagai elemen supply chain diperlukan koordinasi. Gunasekaran dan Ngai (2004) mengungkapkan bahwa pada saat ini banyak perusahaan berpacu untuk memperbaiki daya saing organisasi untuk dapat bersaing dalam pasar global abad 21. Perusahaan berusaha memperbaiki tingkat agilitas dengan tujuan menjadi lebih fleksibel dan responsive unfuk memenuhi perubahan permintaan pasar. Unfuk mencapai hal tersebut banyak perusahaan melakukan desentralisasi aktivitas pertambahan nilai dengan melakukan outsourcing dan mengembangkan virtual enterprise. Semua ini mengedepankan pentingnya teknologi informasi dalarn pengintegrasian perusahaan pemasok atau mitra kerja dalam sebuah supply chain. Banyak artikel yang menyajikan strategi, teknik dan teknologi untuk mendisain dan mengembangkan supply chain. Karena lokasi pemasok dapat tersebar diseluruh penjuru dunia, adalah sangat penting untuk mengintegrasikan semua aktivitas didalam dan diluar puerusahaan. Untuk ini diperlukan sebuah sistem informasi terintegrasii untuk memakai bersama (sharing) informasi dari berbagai aktivitas pertambahan nilai dalam supply chain tersebut: Teknologi informasi disini dapat dipandang sebagai sebuah sistem saraf yang sangat penting dalam manajemen supply chain. Fleksibilitas operasional dapat dipandang sebagai senjata yang penting untuk meningkatkan daya saing dalam pasar yan semakin kompleks dan turbulen. Fleksibiitas menjadi semakin relevan ketika dipakai untuk melihat supply chain yang terdiri dari jejaring perusahaan supply, manufuktur, dan pengiriman.(Christopher dan Towill, 2000). Dalam sistem manufaktur dan fleksibilitas merupakan konsep yang kompleks dan multidimensi. Secara luas fleksibilitas dapat diartikan sebagai kemampuan dari sebuah sistem untuk secara tepat dan cepat merespon perubahan yamg berasal dari luar maupun dari dalam sistem. Dalam supply chain fleksibilitas lebih ditekankan pada penilaian fleksibilitas
31
dari sistem manufaktur yang menjadi anggota atau elemen dari dari sebuah supply chain beserta semua elemen yang berhubungan dengannya untuk meng evaluasi pengaruhnya pada sistem yang utuh. Fleksibilitas supply chain menurut Garavelli (2003) ditujukan pada dua aspek utama: (1) fleksibilitas proses pada setiap lokasi pabrik supply chain yang terkait dengan jenis produk yang dapat dihasilkan pada setiap lokasi pabrik, dan (2) fleksibilitas logistik, yang berhubungan dengan strategi logistik yang berbeda yang dapat diadopsi untuk melepas produk ke pasar (fleksibilitas distribusi atau fleksibilitas hilir) atau pengadaan komponen dari pemasok (fleksibilitas pengadaan atau fleksibilitas hulu). DAFTAR PUSTAKA Bansod, S.V. and Borade, A.B. 2007. Domain of Supply Chain Management - A State of Art. Journal of Technology Management & Innovation, Vol. 2, Issue 4, pp. 109-121. Beamon, B., 1998, Supply chain design and analysis: Models and Methods, International Journal of Production Economics, 55 (3) pp. 281.-294 Bolisani, E. and Scarso, E. 1996. International Manufacturing Strategies : Experiences from Clothing Industry, International Journal of Operations and Production Management. Vol. 16, No 11, pp 71-84. Brooks, R.J. and Tobias, A.M. 2000. Simplification in the simulation of manufacturing systems, International Journal of Production Research, Vol. 38, pp. 1009-1027. Chan, F., & Qi, HJ. .2003. An innovative performance measurement method for supply chain management. Supply Chain Management: An International Journal 8 (3), pp. 209-223. Childerhouse, P. and D.R. Towill, 2002. Analysis of factors affecting real-world value stream performance. International Journal of Production Research 40, pp. 3499-3518. Christopher, M. dan Towill, D. R. 2000. Supply Chain Migration from Lean and Functional to Agile and Customized. Interrnational Journal of Supply Chain Management 4 (5), pp. 206-213 Christy, D. P., & Grout, J. R. 1994. Safeguarding supply chain relationships. International Journal of Production Economics 36, pp. 233-242. .D'Amours, S., Montreuil, B., Lefrancois., 1999 . Networked Manufacturing: The Impact of Information Sharing. International Journal of Production Economics 58, pp. 63-79 DuBois, F.L., Toyne, B., and Oliff, M.D. 1993. International Manufacturing Strategies of U.S Multinationals: A Conceptual Framework Based on A Four-Industry Study, Journal of International Business Studies, Second quarter, pp. 307-333. Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem; Apa dan Bagaimana. Centre for System Studies and Development (CSSD) Indonesia. Jakarta. Fandel, G. dan Stammen, M., 2004, A general model for extended strategic supply chain marurgement with emphasis on product life cydes including development and recyding, International Journal of Production Economics,Vol. 89, pp. 293-308
32
Fox, M.S., M. Barbyceanu and R. Teigen, 2000. Agent-oriented supply chain management. International Journal of Flexible Manufactur System 1, pp. 165-188. Garavelli, A.C., 2003, Flexibitity configuration for the supply chain management, International Journal of Production Economics, Vol. 85, pp. 141-153 Gimenez, C. & Ventura, E. 2003. Supply Chain Management as a Competitive Advantage in The Spanish Grocery Sector, Working paper no. 641, Universitat Pompeu Fabra; forthcoming in the International Journal of Logistics Management 19. Gunarsson, H., Rorurqvist, M., dan Lundgreru .2004. Supply chain modelling of forestfuel, European Journal of Operational Research, Vol. 158, pp. 103-123 Gunasekaran, A. dan Ngai, E.W.T. 2004. Information systems in supply chain integratiory. European Journal of Operational Research, Vol. 159, pp. 269-295 Hervani, A.A., M.M. Helms and J. Sarki, 2005. Performance measurement for green supply chain management. Benchmark. International Journal 12, pp. 330-353. Hewitt, F .1994. Supply Chain Redesign. The International Journal of Logistics Management, vol. 5, no. 2, pp. 1-9. Huan, S. H., Sheoran, S. K., dan Wang, G., 2004, A review and analysis of supply chain operations reference (SCOR) model, Supply Chain Management: An lnternational Journal, Vol.9 No. 1, pp. 23-29. Huang, G.Q., J.S.K. Lau and K.L. Mak, 2003. The impact of sharing production information on supply chain dynamics: A review of literature. International Journal of Production Research 41, pp. 1483-1517. Hult, G.T.M., D.J.K. Ketchen and M. Arrelti, 2007. Strategic supply chain management: Improving performance through a culture of competitiveness and knowledge development. Journal of Strategy Management 28, pp. 1035-1052. Lambert, D. M. dan Cooper, M. C. 1998. Issues in supply chain management. Journal Industrial Marketing Management 29 (1), pp. 65-83. MacCarthy, B.L. and Atthirawong, W. 2003. Factors Affecting Location Decisions in International Operations: a Delphi Study, lnternational Journal of Operations and Production Management, Vol.23, No. 7, pp. 794-818. Maloni, M.J. and Benton, W.C., 1997. Supply chain partnerships: Opportunities for operations research. European Journal of Operational Research 101, pp. 419-429. Mason-Jones, R. dan Towill, D. R. 1999. Using The Information Decoupling Point to Improve Supply Chain Performance. International Journal of Logistics Management 10 (2), pp. 13-26. Matthews, P. dan Syed, N. 2004. The Power of Postponement. Journal of Supply Chain Management Review 5, pp. 28-34. Meade L, Liles D and Sarkis J .1997. Justifying strategic alliances and partnering: a prerequisite for virtual enterprising. Omega, International Journal of Management Science 25, pp. 29-42. Min, Hokey dan Zhou, Gengui, 2002, Supply chain modelling: past, present and future, Journal Computer & lndustrial Enginering, Vol. 43, pp. 237-249
33
Muhammadi., E. Aminullah, dan B. Soesilo. 2001. Analisis Sistem Dinamis Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. UMJ Press. Jakarta. Olugu, E. U. and and K. Y. Wong. 2009. Supply Chain Performance Evaluation: Trends and Challenges. American Journal of Engineering and Applied Sciences 2 (1), pp. 202-211. Pearsson, F. dan Olhager, 2002, Performance simulation of supply chain design International Journal of Production Economics, Vol. 77, pp. 237-245 Power, D.J., Sohal, A.S., and Rahman, S. 2001. Critical success factors in agile supply chain management: An Empirical study. International Journal of Physical Distribution and Logistics 31 (4), pp. 247-265 Pramudya, B. 1989. Permodelan Sistem Pada Perencanaan Mekanisasi Dalam Kegiatan Pemanenan Tebu Untuk Industri Gula. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sabri,B .H., dan Beamon, B.M., 2000. A multi-objective approach to simultaneous strategic and operational planning in supply chain design, International Journal of Manage Science 1, pp. 581-598. Sha, D.Y. and Che, Z.H. 2006. Supply chain network design: partner selection and production/distribution planning using a systematic model. Journal of the Operational Research Society 57, pp. 52–62 Suparno, 2004. Model dan pengukuran Supply Chain. Jurnal Optima. Vol. 1, hal. 15-28 Talluri S, Baker R and Sarkis J 1999. A framework for designing efficient value chain networks. International Journal of Production Economics 62, pp. 133-144. Thomas, A. and Charpentier, P., 2005. Reducing simulation models for scheduling manufacturing facilities, European Journal of Operation Research, Vol. 161, pp. 111-125. Thomas D J, Griffin P M. 1996. Coordinated supply chain management. European Journal of Operation Research, Vol. 94, No.1, pp. 1-15. Towill, D. R. 1991. Supply chain dynamics. International Journal of Computer Integrated Manufacturing 4 (4), pp. 197–208. Tzafestas, S., & Kapsiotis, G. 1994. Coordinated control of manufacturing/supply chains using multi-Level techniques. Journal Computer Integrated Manufacturing System, 7 (3), pp. 206–212 Vonderembse, M.A., M. Uppal, S.H. Huang and Dismukes, 2006. Designing supply chains: Towards theory development. International Journal of Production Economics 100, pp. 223-238. Wang, G., Huang, S. FI., dan Dismukes, I. P., 2004, Product-driven supply chain selection using integrated multi-criteria decision making methodology, International Journal of Production Economics, Vol. 91, pp. 1-15 Whang, S. dan Cheung, W. 2004. E-Business Adoption by Travel Agencies : Prime Candidates for Mobile e-Business. International Journal of Electronic Comerce. Vol. 8 (3), pp. 43-63. Williamson, E., Harrison, D.K., Jordan, M. 2004. Information Systems Development within Supply Chain management. International Journal of Information Management 24, pp. 375-385 Winardi. 1989. Pengantar tentang Teori Sistem dan Analisis Sistem. Penerbit Mandar Maju. Bandung.
34