Hikayat Para Auliya
Uwais Al-Qarani Uwais bin Amir al Qarani lahir di desa terpencil bernama Qaran di wilayah kota Nejed, Yaman. Kelahirannya tidak diketahui kapan waktunya, hanya saja diriwayatkan bahwa Uwais masih seusia remaja pada saat pertama kali mendengar kabar dari para kafilah dagang kotanya tentang keberadaan Rasulullah Muhammad SAW di negeri Makkah dengan ajaran Iman laa ilaha illallah-nya. Uwais dikabarkan pula berusia kurang lebih 30-an tahun, ketika ia berniat menemui Nabi Muhammad, setelah ia mendengar kemenangan pasukan islam pada peristiwa pendudukan Makkah (Futuhat Makkah). Meski kerap menangis karena dibakar kerinduan untuk bertemu Nabi, hidupnya sendiri pada awalnya diabdikan sepenuhnya pada sang Ibu. Tidak terdapat waktu yang pasti kapan meninggalnya, namun menurut satu riwayat Uwais meninggal pada tahun 39 Hijriah (657 Masehi) beberapa saat setelah ia kembali dari peperangan melawan bangsa Romawi akibat penyakit yang dideritanya. Jenazahnya ditemukan menggeletak begitu saja di pinggiran hilir sungai Tigris.
“ Nafas Ar-Rahman berhembus dari negeri Yaman,” Demikian kata Nabi kepada Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib; “Kalian berdua akan bertemu dengannya. Seorang pemuda dari Qaran. Ia memiliki tanda bulatan putih di dada dan kedua telapak tangan yang bukan berasal dari penyakit. Setelah hari kiamat, ia akan memberi syafaat kepada umatku sebanyak kawanan domba yang dimiliki Rabbah dan Mudhar. Jika kalian berdua bertemu dengannya, sampaikanlah salamku dan katakan padanya tolong do’akan umatku.”1 Umar bin Khattab diriwayatkan baru teringat pesan Nabi tersebut pada masa ia menjabat sebagai Khalifah; Hal ini terjadi karena Umar sendiri tidak pernah berani pergi jauh-jauh meninggalkan dua pribadi yang paling dihormatinya selama keduanya masih hidup, yakni Muhammad SAW dan Abubakar AshHadits ini diriwayatkan oleh Abu Umamah dari Umar bin Khattab dengan sanad hasan (baik). 1
1
Hikayat Para Auliya
Shiddiq. Hanya saja, yang menjadi soal sebenarnya ialah, siapakah pemilik dari keluarbiasaan tersebut? Orang yang digelari Nabi pemilik dari nafas Allah Ar-Rahman itu?
*** Uwais, adalah seorang anak yatim yang dari kecil hingga besarnya berada di bawah asuhan ibunya yang merupakan seorang pemeluk agama Ibrahim. Keseharian dirinya dan ibunya yang tak lepas dari kemiskinan, membuatnya terpencil. Hal ini mengingat tak sedikit dari para kerabatnya sekalipun teriwayatkan tidak mengakui ia dan ibunya sebagai saudara. Oleh karena itulah ia tumbuh menjadi pribadi yang tidak pernah mau lepas dan tidak pernah bisa melepas ibunya. Baginya, sang Ibu adalah harta satu-satunya. Dalam satu riwayat disebutkan, bahwa sejak beranjak remaja Uwais telah mulai menggendong Ibunya kemanapun ia pergi. Memunguti tamar jatuh yang merupakan pencahariannya untuk kemudian ditukarkannya dengan gandum di pasar, semuanya dilakukan sambil menggendong sang Ibu yang pada saat itu memang menderita penyakit yang membuat ibunya tidak dapat berjalan. Gendongan ini baru selesai setelah pulang dari Pasar dimana uwais harus memasak gandum dan menyiapkan air bagi sang Ibu. Kebiasaan menggendong yang terus menerus dilakukannya setiap hari di lain sisi menyebabkan tubuh Uwais tidak tumbuh sewajarnya. Ia bertubuh pendek dan pepal. Pernah suatu waktu ibunya iba dan berkata, “Uwais, pergilah. Pungutilah tamar-tamar itu tanpa harus menggendong Ibu.” Uwais malah tertegun, menatapi dan meratapi ibunya, lalu sambil menangis ia terbata-bata menolak keinginan sang Ibu, “tidak mungkin Ibu, dengan siapa ibu disini..? Bagaimana bila ibu memerlukan sesuatu..? Dan siapa pula yang mengajak ibu berbincang-bincang?” Begitulah, sepanjang hidup ibunya banyak yang tak pernah dilakukan Uwais. Tak pernah tidak menggendong Ibunya, tak pernah bergaul dengan sesamanya, tak pernah tidur sebelum Ibunya tidur dan selalu bangun sebelum ibunya bangun, tak pernah ke luar rumah, dan hanya berbincang.., berbincang sampai sang Ibu terlelap..., 2
Hikayat Para Auliya
Namun.., Diluar anugerah atas pengabdian penuhnya terhadap sang Ibu, lewat berbincang itulah, hidayah pengetahuan dan jiwa keTuhanannya tumbuh meraksasa. Dari sang Ibu, sebagaimana penganut agama Ibrahim, diterimanya ajaran tentang iman akan Tuhan yang Satu, tak terkecuali tentang iman akan datangnya seorang Nabi penutup yang akan menyempurnakan segala kabar dan ajar Ketuhanan. Perbincangan yang usai dengan lelapnya sang Ibu tersebut, kemudian senantiasa bersambung pada permenungan sendiri yang lebih dalam dan berhenti hanya apabila badan penatnya telah benar-benar membuatnya terkantuk. Di dalam gubuknya, di beranda, atau di manapun di sekitar rumahnya, Uwais dianggap oleh para tetangganya sebagai orang gila yang kerjanya hanya termenung; kadang tersenyum, dan kadang menangis dalam permenungannya tersebut. *** Lalu, kabar gembira dan menyedihkan itu datanglah. Kepala Uwais seperti menggelegar manakala ia memunguti tamar, lewat di hadapannya kafilah-kafilah pedagang dari negerinya yang telah melawat ke negeri Mekah sambil riuh membincangkan tentang munculnya seseorang bernama Muhammad yang mengaku sebagai Nabi utusan Allah. Tanpa sadar, sambil membopong ibunya, ia mengikuti gerak langkah para kafilah yang menuntun untanya untuk mendengar sepenuhnya pembicaraan lebih lanjut mereka tentang ajaran Muhammad tersebut. Jiwanya terbakar seketika. Baginya perbincangan yang didengarnya dari para kafilah bahwa Muhammad itu mengajarkan Allah sebagai Tuhan yang Satu telah cukup menyatakan bahwa Nabi yang ditunggu telah datang. Badannya bergetar.., dan sang Ibu menyadarinya. “Temuilah dia anakku, tinggalkanlah Ibu,” pintanya. Uwais terhenyak dan diriwayatkan berdiam seribu bahasa tanpa memberikan jawaban apapun atas pernyataan ibunya. Hari demi hari berlanjut, dan sejak didengarnya kabar tentang Muhammad itulah, Uwais berubah menjadi kian murung. Ibunya kerap melihat mata Uwais sembab. Ia merasakan hangusnya jiwa sang anak dilanda kerinduan untuk bertemu Sang Nabi. Namun 3
Hikayat Para Auliya
bagaimanapun juga, ia mengetahui bahwa jiwa sang anak begitu mencintai dan mengkhawatirkan dirinya. Baginya Uwais terlampau pengasih dan lemah lembut sehingga tak mungkin bisa meninggalkannya meski ia sendiri telah bosan menyuruhnya pergi.
PERJALANAN UWAIS KE MEKAH Beberapa saat setelah ibunya meninggal, dikabarkan bahwa Uwais mengurung diri di kamarnya dan hanya keluar pada saat dia mau dalam waktu yang tidak tentu, yakni untuk sekedar mengambil tamar jatuh. Bahkan dikabarkan pula pernah selama 40 hari Uwais tak terlihat keluar dari rumahnya. Ia tak pernah keluar lama, karena perutnya mulai terbiasa memakan tamar busuk. Jika didapatinya, tamar-tamar jatuh yang masih muda, barulah Uwais pergi ke Pasar untuk menukarnya dengan tamar-tamar busuk. Ia tak pernah lagi menukarnya dengan gandum. Baginya memasak merupakan penghamburan waktu bagi tafakur permenungannya. Saat yang ditunggu-tunggu itu, tibalah jua. Kembali pada saat ia memunguti tamar, ia mendengar peristiwa Futuhat Makkah, pasukan Islam telah merebut kota Mekah dan Islam telah dianut oleh hampir semua penduduk di sana. Maka, Uwais pun bersuka cita dan bersiapsiap untuk melihat dan menunggu berangkatnya para kafilah dagang dari kotanya yang akan menuju ke Mekah. Ia berniat berjalan kaki mengikuti arah jalan para kafilah. Akhirnya dari Negeri Yaman berangkatlah Uwais. Dikabarkan bahwa setiap Uwais tertinggal jauh, atau, ditinggalkan oleh para kafilah dalam perjalanannya maka ia tinggal menggelandang di situ dan bersabar menunggu lewatnya kafilah berikutnya. Setelah bertahun berjalan kaki dengan cara seperti demikian dan hanya dibekali semangat baja dari cinta dan rindu yang luar biasa untuk bertemu Nabi Muhammad SAW sampailah Uwais ke Negeri Mekah2. Tanpa menghiraukan letihnya, ia bergegas menghampiri sekumpulan orang di pinggiran luar lingkungan Ka’bah untuk menanyakan dimana ia dapat bertemu Sang Nabi. Namun..,
2
Uwais dikabarkan tiba di Mekah pada masa pemerintahan Umar bin Khattab. 4
Hikayat Para Auliya
Kedatangannya itu hanyalah untuk menerima sebuah petaka pahit bagi hatinya, “Nabi yang dicinta telah tiada….” ; Uwais jatuh terduduk, meraung-raung, dan terus melolong-lolong bagai anjing. Dibekap hati yang masygul dan begitu terpukul, berhari-hari Uwais menggelandang sambil menangis dan meratap, hingga akhirnya lagi-lagi, di tanah yang baru ia kunjungi ia dicap penduduk sekitaran Mekah, Ka’bah khususnya, sebagai orang gila. Diriwayatkan kemudian bahwa Uwais menetap beberapa saat di Mekah. Menangkap segala tatacara dan syariat yang diajarkan Nabi dari penduduk di sekitarnya. Riwayat lebih lanjut menyebutkan bahwasanya dengan pakaiannya yang compang-camping, yang kadang ditambalnya dengan sobekan kain dari tempat sampah, ia kemudian dianggap sebagai orang gila buangan kafilah pedagang Yaman. Ia seringkali menjadi sumber cemoohan dan lemparan batu bukan saja oleh anak-anak kecil, tetapi juga pemilik satu lingkungan atau rumah yang tidak mau lingkungannya didekati oleh orang seperti dia. Oleh karena itulah Uwais seringkali memunguti bukan hanya tamar tetapi juga kerikil-kerikil. Ia menawarkan kerikil tersebut kepada setiap orang yang suka melemparinya baik anak maupun dewasa sambil berkata, “Wahai saudaraku, jika haruslah engkau melempariku, maka lempari aku dengan kerikil kecil ini saja. Jika kau gunakan batu yang besar, aku takut itu mengenai tumitku dan membuatnya berdarah pada saat waktu shalat telah datang, sedangkan aku juga tidak mendapatkan air untuk berwudhu. Haruskah luka itu kubalut dengan debu tayamum?” PERTEMUAN DENGAN UMAR BIN KHATTAB & ALI BIN ABI THALIB Di waktu senggang tampuk pemerintahannya di Madinah, sudah menjadi kebiasaan bagi Umar bin Khattab untuk bermenung dan tidur berleha-leha di bawah sebuah pohon kurma dengan berbantalkan sebuah batu3. Disitu, ia bukan saja mengingati dirinya di hadapan Allah sebagai hamba, tetapi juga memikirkan tanggung Dalam riwayat, telah menjadi terkenal bahwa istana pemerintahan Umar adalah padang pasir, singgasananya sebuah batu, naungannya pohon kurma, dan baju kebesarannya adalah jubah bertambal. Kisah Yahudi Mesir yang mengadu ketidak adilan kepada Umar, pun terjadi disitu. 3
5
Hikayat Para Auliya
jawabnya yang terbebani untuk tinggal sebagai pemimpin umat islam pada saat itu. Bahkan dikabarkan, tak jarang Sang Singa Padang Pasir tersebut terlihat di tempat itu dalam keadaan menangis mencucurkan air mata; baginya hidup terasa lebih berat semenjak tiadanya dua karib yang paling ia hormati dalam hidupnya, yakni Muhammad Rasulullah dan Abubakar Ash Shidiq4. Sepeninggalannya Rasulullah, Umar masih sedikit merasa lebih tenang mengingat segala keluh kesah dan benak tanya dari ketakutannya yang luar biasa terhadap Allah, masih bisa ia sampai tumpahkan kepada Abubakar; sahabatnya yang digelari Rasulullah sebagai “Ash Shidiq”5. Namun sejak Abubakar pun menyusul pergi meninggalkannya, ia kerap merasa terasing, bahkan selalu ingin bersegera menyusul keduanya. Pada saat mengingat kedua karibnya itulah, Umar teringat amanat tentang pemilik dari nafas Ar-Rahman, seorang pemuda dari Qaran. Umar bergegas mencari Ali bin Abi Thalib dan mengajaknya menunaikan amanat Rasulullah untuk menyampaikan salam kepadanya. Hal lain di luar itu, Umar pun berharap bahwa manusia suci dari Qaran tersebut dapat menjadi manusia baru yang dapat menampung dan menjawab segala kesedihannya dihadapan Tuhan. Mengingat ia dan Ali bin Abi Thalib disebutkan Rasulullah akan bertemu dengannya. Pikir Umar, pertemuan dengan nafas ArRahman itu tidak mungkin jauh atau keluar jauh-jauh dari lingkungan Baitullah Mekah Al Mukaromah. Ditunjang pertimbangan bahwa perdagangan antar negeri pada waktu itu dilakukan di Mekah, dan bukan di Madinah, dimana diantaranya pasti terdapat kafilah-kafilah Yaman, maka Umar dan Ali bin Abi Thalib pun berangkat kesana.
Ingat cerita Umar hilang kesadaran dan mencabut pedangnya saat mengetahui Rasulullah meninggal dunia. Ia berniat memenggal siapapun yang berani mengatakan Rasulullah meninggal. Kesadarannya baru pulih saat yang berbicara dihadapannya adalah Abubakar. 4
Gelar Ash Shidiq, sebenarnya merupakan gelar yang telah sejak jaman jahiliyah diberikan oleh masyarakat Quraisy: Terdapat dua gelar terhormat pada masa itu yang diberikan kepada dua orang yang kebetulan merupakan sahabat karib. “Al Amin” untuk Muhammad, dan “Ash Shidiq” untuk Abubakar yang gelar ini kemudian digenapkan Rasulullah pada masa Islam untuk menunjuk bahwa Abubakar merupakan sebenar-benarnya orang dari golongan Shidiqin. 5
6
Hikayat Para Auliya
*** Lalu sampailah pada saatnya, Gegar dan keriuhan, seketika sirna dan berubah menjadi diam yang bergeletaran. Para kafilah dagang seantero negeri seketika beringsut mundur dan membubarkan diri dari aktifitas perdagangan mereka di pasar kota Mekah saat itu manakala mengetahui Amirul Mukminin, Sang Singa Padang Pasir6 yang ditakuti dan disegani itu tiba-tiba berada di tengah-tengah mereka. Lebih-lebih lagi, disampingnya berdiri pula “Pedang Allah” Ali bin Abi Thalib yang di pinggangnya terselip Zulfikar; pedang bermata dua milik Rasulullah yang diberikan dan digunakan Ali dalam setiap pertempuran 7. Setelah semua berbaris rapih, maka Umar pun berteriak, “Siapa yang tidak mengetahui sesuatu tentang negeri Yaman, atau tidak bersaudara dengan orang Yaman, atau tidak sedikitpun mengetahui seseorang yang berasal dari Yaman, keluar dari barisan!” Para pedagang Mesir, Persia, dll. segera memisahkan diri sehingga hanya tersisa kafilah dagang Yaman dan beberapa kelompok masyarakat Mekah sendiri yang memang berkaitan. “Siapa yang sesuai sebelumnya namun tidak mengetahui atau tidak sempat mendengar tentang tempat atau seseorang yang berasal dari Qaran, keluar dari barisan!” Pada jaman kafir Quraisy terdapat dua nama Umar yang amat ditakuti baik karena perangai maupun kemampuannya dalam berperang, yakni Umar dari keluarga Abu Lahab yang lebih dikenal dengan nama Abu Jahal, dan Umar dari kelu-arga Khattab. Nabi pernah meminta kepada Allah, agar islam dikuatkan dengan salah satu dari dua Umar. Lalu hidayah Allah diturunkan kepada Umar dari keluarga Khattab dimana diceritakan bahwa ia masuk Islam dengan mendatangi Nabi di rumah pengajian Arqam bin Abil Arqam. Akibat citra buruknya sebagai Singa Padang Pasir itu, di hadapan Nabi, ia sempat dihadang hunusan pedang Hamzah bin Abu Muththalib sang Singa Allah karena khawatir akan keselamatan Nabi, padahal Umar kesitu untuk bersyahadat. 6
Sebagai catatan: dari riwayat Khalid Muhammad Khalid, disebutkan bahwa di setiap medan pertempuran, tak satupun dari pasukan Quraisy pernah berani berhadapan langsung baik dengan Rasulullah maupun dengan Abu Qufahah (Abu-bakar). Di Badar juga Uhud pasukan Quraisy yang menyerang seibarat air bah, disebutkan seperti mengalir menye-rabut begitu saja ke kiri maupun ke kanan jika yang berdiri di hadapan mereka adalah Rasulullah atau Abubakar. Meski dilanda ketakutan, mereka lebih baik berhadapan dengan raja-raja perang islam saat itu; Hamzah Singa Allah, Umar, maupun Ali bin Abi Thalib. (Hal ini ditafsirkan sebagai kondisi serba segan mengingat hampir kebanyakan kaum Quraisy secara nuraniah mengetahui dan tak dapat menolak bahwa manusia yang akan diperanginya itu; Rasulullah, juga Abu bakar, merupakan manusia yang telah dikenal kebaikan dan kebenarannya di hadapan mereka sejak jaman jahiliyah) 7
7
Hikayat Para Auliya
Tersisa kemudian beberapa kelompok dari Qaran dan juga dari kota Mekah Sendiri. Lalu Umar dan Ali menghampiri mereka: “Adakah hai orang-orang dari Qaran satu orang diantara kalian, atau yang berasal dari kampung kalian, yang datang kesini bukan untuk berdagang?” Semua anggota kafilah Yaman dari Qaran menggelenggelengkan kepalanya. “Tolong ingatlah kembali baik-baik, adakah dia itu?” Setelah beberapa saat, seorang budak dari kafilah Yaman memajukan langkahnya. “Ada ya Amirul Mukminin, namun hamba sendiri tak tahu dimana rimbanya ia saat ini, dan apakah pula perlunya engkau bertemu dengannya” ucap budak tersebut. “Siapakah dia?” tanya Umar. “Hamba mengenalnya bernama Uwais, di kampung kami ia dikenal sebagai orang gila dan tak satupun dari kami menganggap keberadaannya. Namun sempat suatu hari ia memaksa ikut kepada kafilah kami. Meski Tuan-tuan hamba melarangnya, hamba sempat menaruh kasihan karena niatannya ikut tak lain untuk bertemu Rasululah. Akhirnya hamba menyuruh ia mengikuti saja dari belakang. Namun itupun kemudian ia hilang tertinggal” “Sebetulnyakah engkau tak tahu lagi ia ada dimana?” “Hamba sempat berpapasan beberapa kali di padang pasir dengannya baik dalam perjalanan pulang maupun pergi kembali kesini. Namun itupun dalam jarak berbulan-bulan yang mana Amirul Mukminin sendiri mungkin mengetahui berapa bulan lamanya satu kali perjalanan kami pulang pergi kesini. Terakhir hamba sudah tak melihatnya lagi ada di jalur perjalanan” Umar terdiam, namun para tuan dari kafilah Yaman seperti teringatkan dan menambahkan keterangan, “Jika Amirul Mukminin maksud adalah pemuda itu, bukan kami tidak menganggap keberadaannya, namun kondisi dirinya sendiri yang tak waras begitu rupa. Untuk apakah engkau mencari pemuda yang sepanjang perjalanan hanya meracau kesana kemari, kadang menangis dan kadang tertawa sendiri? Ia bertubuh pendek pepal, dan pada saat kami beristirahat kerap ia yang menjaga jarak dari kami itu terlihat memunguti tamar atau kurma busuk lalu ia santap sambil menangis.” 8
Hikayat Para Auliya
Mendengar keterangan demikian, seseorang dari sebagian kelompok masyarakat Mekah yang tidak keluar dari barisan maju ke hadapan Umar, dan berkata, “Jika ciri-cirinya seperti itu kami mengetahuinya Ya Amirul Mukminin. Ia berada di tepi padang pasir di balik Bukit Ararat. Kami mengetahuinya dari Qaran mengingat beberapa bulan sebelumnya ia tiba disini dengan berjalan kaki jauh di belakang para pedagang Qaran. Setibanya disini ia kesana kemari menanyakan keberadaan Rasulullah, namun pergi menangis begitu mengetahui beliau telah tiada. Anak-anak kami bahkan sering melemparinya dengan batu karena jika ia datang ke mari ke Baitullah pada waktu shalat ia datang sambil terus menangis dan kadang tertawa-tawa sehingga mengganggu yang lainnya.” Kepada budak dari kafilah Yaman dan orang yang baru saja memberi keterangan Umar bertanya, ”Adakah dari kalian sempat melihat adanya tanda putih di kedua telapak tangannya?” “Penyakit itu sempat kami lihat, ya Amirul Mukminin,” jawab mereka. “Jika begitu antarkanlah kami, sampai batas tepi padang pasirnya saja dimana dia berada,” timpal Umar. Namun dengan memberanikan diri seorang wakil kafilah dari Qaran Yaman berbicara, “Demi Allah, ya Amirul Mukminin. Tidaklah kami saksikan orang yang lebih dungu, lebih liar, lebih gila, dan lebih hina daripada Uwais itu. Dan Bukankah telah anda dengar sendiri bahwa penduduk sekitar sinipun kerap melemparinya?” Wajah Sang Singa Padang Pasir memerah, dengan nada sedikit keras ia menimpalinya, “Demi Allah pula, tidaklah kalian dengar apa yang aku dengar dari Rasulullah tentang dia?! Bahwa dia begini.., dan begitu?!” Mendengar Umar menyampaikan perkataan Rasulullah tersebut tercenganglah kumpulan orang-orang disitu. Namun kemudian Umar meredakannya, “Baik sudahlah, teruskan kembali perniagaan kalian, dan ikutlah seorang dua orang dari kalian untuk mengantar kami sampai batas tepi sebagaimana aku maksudkan tadi.” Maka pergilah Umar dan Ali bin Abi Thalib ke tempat dimana Uwais berada dengan diantar orang dua orang pemuda bernama Hatim bin Hayyan dan Haram bin Haiban. Kedua pemuda itu disuruh Umar untuk kembali setelah sampai di tepi padang. (Tanpa sepengetahuan Umar maupun Ali, keduanya menyelinap dan 9
Hikayat Para Auliya
menguntit ke balik sebuah batu besar di dekat Uwais berada untuk mengetahui gerangan yang terjadi) *** Di tepi padang pasir dibalik Bukit Ararat, Umar dan Ali bin Abi Thalib tengah berdiri menunggu sesosok tubuh pendek pepal berpakaian dekil amat tebal akibat tambalan-tambalan yang tengah melakukan shalat. Baik Umar maupun Ali menatapinya sedemikian rupa sampai sosok bernama Uwais tersebut mengucapkan salam shalat. “Assalamu ‘alaik,” ujar Umar. “Wa ‘alaikum salam.” Uwais berdiri menatapi kedua sosok di depannya dan lantas membuka bilah jubah pada bagian dadanya dan menunjukkan kedua telapak tangannya sambil berkata, “Tanda-tanda putih inikah yang perlu kalian lihat sebagai ketetapan?” Umar dan Ali terhenyak, namun tersenyum dalam gembira haru: Gembira, karena amanat Rasulullah atas manusia yang dicari akhirnya dapat ditunaikan. Dan Haru menghiba, lantaran sosok pemilik nafas Ar-Rahman tersebut betul sebagaimana yang digambarkan penduduk, Uwais sama sekali lebih mirip gelandangan tak waras. Akan tetapi keduanya lantas bergegas memeluk tubuh Uwais. “Salam dari Rasulullah untukmu, ya Uwais,” sampai Umar kepadanya sesuai amanat Rasulullah. Jiwa teramat rindu yang dipenjara kokohnya langit tanpa perjumpaan jasmaniah itu tersentak, lantas memekik. Urat-urat dari bilik-bilik darahnya terpacu menggelora. Tenggorokannya menegang dan tersekat, lalu memusatlah dorongan itu pada cairan bola matanya yang seakan-akan jika tanpa kokohnya kelopak dapat mencokel keluar bola mata itu sendiri. Tubuh dari diri yang seumur hidup dan dayanya menanti dan mencari Rasulullah itu bergetar. Bah pada mata kalbunya menyedak-nyedak. Uwais terkapar dan jatuh tak sadarkan diri begitu mendengar Umar menyampaikan salam Rasulullah kepadanya. Hal itu dikabarkan terjadi sampai tiga kali, dimana Uwais siuman dimana itu pula ia menangis tersedu-sedu dan kembali jatuh pingsan8. Hal ini ibarat Musa as., berapa kali ia menggigil dan terjengkang pada saat Allah menampakkan diri di Bukit Thursina, meski itu dalam bentuk hijab/tabir pohon api? – Setelah menerima 10 perintah, karena enggan berpisah Musa meracau, “Ya Allah, 8
10
Hikayat Para Auliya
Dalam tangisnya sebelum tak sadarkan diri, senantiasa terdengar ia mendesah terpatah-patah, “aku terima…, salammu…, wahai Rasulullah…, aku terima..” Pada siuman kali yang ketiga, barulah Uwais tersadar sepenuhnya akan sosok dua sahabat Rasululllah yang tengah menungguinya. “Ruhku mengenal ruhnya, hai Umar dan Ali. Ruh kami saling mengenal satu sama lain. Jasad kalian mengalami hidup bersamanya, tapi ruh kalian tidak mengenalnya. Sebaliknya, akupun baru kali ini menerima ucapan jasadiah dari Rasulullah melalui mulut kalian. Sungguh sayang kalian, tak kah kalian ingat bagaimana Rasulullah itu?! Bagaimana bisa kalian tak menangis” tukas Uwais berlinang airmata. Baik Umar maupun Ali demi melihat Uwais dan mengingat Rasulullah, keduanya menangis tersedu. Pada saat semuanya mereda, keduanya berkata, “berilah kami nasihatmu, wahai Uwais.” “Aku hidup pada pagi seakan tak akan pernah menemui petang, dan aku hidup pada petang seakan tak akan pernah menemui pagi. Saudara-Saudaraku, takutlah dalam cinta9 kepada Allah. Pertemuan denganNya dalam shalat10 (washlat; kelekatan) adalah kebahagian. Maka akan kecewalah aku, dan jadikanlah juga kalian begitu, jika sampai terlepas dari shalat.” “Nasihat engkau akan kami camkan, namun selanjutnya ikutlah kami ke Madinah. Tak layak orang seperti engkau berada dalam dimanakah (setelah ini) aku harus mencariMu? Seiring sirnanya tabir, Musa mendengar suara; “Carilah Aku, pada jiwa-jiwa yang remuk.” Kondisi psikologis yang umum mengena pada setiap Pencinta, termasuk Cinta Ilahiah, adalah pertama, Ketakutan, yakni takut tidak mendapatkan cinta dari Yang Dicinta. Kedua, ketidaksabaran, yakni keinginan tak tertahan untuk bersegera bertemu dengan Yang Dicinta; dengan kata lain, Pada pagi tak ingin ada (sampai pada) petang. 9
Masdar (rasa bahasa/makna) dari kata shalat berkaitan dengan kata washlat yang berarti lekat atau pelekatan. De-ngan demikian pengertian shalat menunjuk pada suatu kondisi sikap iman yang lekat; manifestasi fisik atau perwujud-annya dalam syariat bisa berbentuk sembahyang 5 waktu, puasa, dzikir, sidqah dll. –Ayat “Innashalata tanha ‘anil fahsya i wal munkar” memiliki pengertian sebenarnya; “Sesungguhnya pelekatan mencegah dari perbuatan keji dan munkar”; yakni sebuah jaminan bahwa siapapun yang lekat (pada Allah), ia tak akan keji dan munkar. Intinya, kata shalat tidak dapat disederhanakan artinya sebagai sembahyang 5 waktu belaka sehubungan sembahyang sendiri merupakan salah satu bentuk manifestasi, sebuah wujud ritual saja dari hakiki pengertian shalat. 10
11
Hikayat Para Auliya
keadaan sebegini rupa, lebih-lebih di Madinah, kekhalifahan dan umat mungkin membutuhkan engkau,” Ajak Umar dan Ali. “Jika bukanlah kehendak Allah, perbincangan kita pun mengandung suatu fitnah bagiku. Tidakkah kalian dengar Qudsi dari Rasulullah bahwa Allah sajalah yang perlu dikenal. Aku tak ingin dikenal, dan aku adalah milik Tuhanku. Tak bisa aku mengikuti ajakan kalian, karena beginilah adanya keadaanku, pun dari kehendakNya juga11,” jawab Uwais. Umar dan Ali tak sanggup menolak sampai akhirnya Umar berkata, “Jika do’akanlah kami, ya Uwais.” “Semoga Allah membalas segala jerih dan jasa-jasa yang telah kalian berikan seluruhnya kepada umat Islam.” “Terima kasih. Dan terakhir, Ya uwais,” tukas Umar, “sesuai Amanat Rasulullah, tolong do’akanlah umatnya.” “Itu sudah, dan selalu, aku lakukan, “ jawab Uwais. *** Akhirnya Umar dan Ali berpamitan. Keduanya memberikan masing-masing sekantung kecil berisi dinar12 yang dikatakan mereka kepada Uwais sebagai hadiah13 yang selain dari rasa cinta dan hormat mereka kepada Uwais, juga agar Uwais dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Menerima kantung-kantung Dinar tersebut, Uwais menggelenggelengkan kepalanya dengan wajah yang kelihatan tidak suka. “Celaka kalian berdua! Adakah kalian melihatku sebagai orang yang kekurangan?! Ketahuilah, beberapa tamar busuk yang Kondisi kejiwaan untuk menerima keadaan sebagaimana adanya (Qana’ah) seperti ini termanifestasi lebih kuat dalam cerita Rabi’ah al Adawiyyah, yakni ketika ia mengalami sakit dan didatangkanlah oleh para sahabatnya seorang tabib untuk mengobatinya. Saat itu Rabi’ah bertanya pada si tabib, “dari siapakah berasalnya sakit yang kuderita ini , wahai tabib.”—Si Tabib menjawab, “Tentu saja dari Allah, wahai Rabi’ah”. Saat itu dengan nada meninggi Rabi’ah berkata, “Jika begitu, pergilah engkau menjauh dari mukaku! Aku tidak ada dalam urusan untuk menolak apapun yang diberikan oleh Cintaku itu.” 11
Dinar adalah pecahan mata uang yang lebih tinggi dari dirham. 1 dinar sepadan dengan uang sebanyak 100 dirham. Sedang satu dirham kala itu cukup untuk membeli gandum ataupun roti jadi yang dapat mengenyangkan perut. 12
Salah satu ciri kenabian, juga para manusia suci, adalah mereka tak mau menerima sidqah. Mereka hanya bisa (jika mereka mau) menerima hadiah. Baik Umar maupun Ali mengetahui hal itu. 13
12
Hikayat Para Auliya
dijatuhkan Allah dari pohon yang diciptakanNya itu dan beberapa cercahan kain dari tempat sampah, sebetulnya lebih dari cukup bagiku untuk menutupi hajat keduniaanku. Itupun seakan-akan begitu mengganggu hidupku. Karena itulah aku selalu menangis saat tibanya aku harus makan, itupun sambil menggerutu pada perutku; “Wahai nafsu yang lemah, makanlah tamar busuk ini!”. Sekarang, ambillah kembali dinar-dinar ini, dan gunakanlah bagi hajat kalian sendiri, atau berikan saja kepada umat yang memerlukannya.” Baik Umar maupun Ali tersungkur dihadapan Uwais sambil bercucuran airmata. Uwais memeluk keduanya. Berbicara beberapa waktu dan menyuruh keduanya pamit dan bersegera kembali kepada umat di Madinah. (Konon dikabarkan bahwa pada saat itu Uwais mengatakan bahwa ia tak akan bertemu lagi dengan keduanya. Kepada Umar dikatakannya pula bahwa esok petang bagi Umar akan datang tidak berapa lama karena itu Umar haruslah mempersiapkannya. Sementara kepada Ali, meski tak akan bertemu dengannya lagi, dikatakan bahwa ia akan berada di belakang Ali di kemudian hari)14. PERTEMUAN DENGAN HARAM BIN HAIBAN Sesaat keberangkatan Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib dari hadapan Uwais Al Qarani. Haram bin Haiban dan Hatim bin Hayyan menyaksikan bahwa Uwais kembali melakukan shalat. Sungguh, sepanjang percakapan Uwais dengan Umar dan Ali, keduanya merasakan kegemparan luar biasa dalam hati mereka. Mereka pun bergegas kembali ke Mekah. Di perjalanan Haram bin Haiban bersikeras untuk mengabarkan keadaan yang dilihatnya tersebut kepada penduduk disana dengan alasan haruslah penduduk Mekah meminta maaf atas perbuatannya terhadap Uwais. Sementara Hatim bin Hayyan sebaliknya bertekad menyimpan cerita tersebut sampai ia meninggal atau sampai diketahuinya dengan mata kepalanya sendiri bahwa Uwais al Qarani telah meninggal dunia, sehubungan ia mendengar dalam percakapan tersebut bahwa dengan Tuhannya, Uwais hanya ingin menyendiri dan tak ingin dikenal. Hatim bin Hayyan diceritakan sempat melihat Uwais di tengah-tengah bala tentara Ali bin Abi Thalib dalam peperangan Shiffin melawan pasukan Muawiyyah. 14
13
Hikayat Para Auliya
Sesampainya di pinggiran kota Mekah menurut Haram bin Haiban, Hatim bin Hayyan tetap memilih tutup mulut dan segera pergi ke rumahnya. Sementara ia, meski sama mendengar percakapan tersebut, tak sanggup menahan liputan perasaan bersalah dalam hatinya atas perlakuan penduduk Mekah. Oleh karena itu ia meneruskan langkahnya menuju ke tangah kota. Ia lalu mengabarkan begini dan begitu kepada penduduk di sekitarnya yang serta merta menjadi kaget begitu mendengar kejadian yang dilihatnya. Hanya saja, setelah penduduk Mekah berbondong dengan Haram bin Haiban untuk menemui Uwais, ternyata Uwais sendiri sudah tak diketemukan lagi berada di sana. *** Sejak peristiwa itu Haram bin Haiban memutuskan melakukan perjalanan untuk mencari keberadan Uwais dimanapun; menanyakan kabar dan ciri-cirinya kepada setiap orang yang ditemuinya di setiap kota. Ia bermaksud lebih jauh untuk belajar dari kekasih Allah tersebut. Akan tetapi, sampai akhirnya ia tiba di Kufah; setelah Nejd, Hejaz, dll., tetap saja tak satupun orang mengetahui, lebih-lebih mengenal, keberadaan Uwais. Haram bin Haiban mulai mulai dihinggapi rasa kesendirian dan putus asa. Pada saat tibanya waktu shalat yang berbarengan dengan datangnya keinginan untuk membuang hajat, dalam keputusasaannya Haram bin Haiban tergerak untuk menuju ke sungai el-Furat yang dilihatnya tak seberapa jauh dari tempat ia duduk bersendirian. Ia pun melangkahkan kakinya. Namun sesampainya di pinggiran sungai, hasrat atas hajat tersebut tiba-tiba sirna begitu saja saat dilihatnya sosok yang ia hafal betul dan terus dicarinya selama ini. Tampak di matanya Uwais sedang mengambil air wudhu. Haram bin Haiban tak dapat lagi menahan tangis kegembiraanya, dimana tangis itu sendiri lantas berubah menjadi tangis yang disebabkan sedih pedih melihat kondisi Uwais sendiri yang telah makin tak karuan dan benar-benar tak memperdulikan keberadaan diri bagian luarnya. Jubah Uwais terlihat telah semakin menebal akibat tambalan yang bertumpuk disana-sini. Membungkus tubuh yang pendek pepal 14
Hikayat Para Auliya
ditambah rambut dan jenggot panjang tebal dengan kulit yang juga tebal dan kasar. Harim bin Haiban seperti melihat orang gila yang menyeramkan, sehingga cucur airmatanya tak kunjung dapat ia hentikan. “Wahai Uwais, sampai beginikah keadaanmu?” ratap Harim bin Haiban setibanya ia berlari ke hadapan Uwais. Uwais hanya berdiri menengok sekejap kepada Haram bin Haiban. Ia tak bergerak mengucap salam, juga tak menggerakkan tangannya untuk berjabat, melainkan lantas berbalik dan menunaikan shalat. “Selesai shalat dimana aku bersegera bermakmum padanya, Uwais berbalik, namun tetap tidak mau berjabatan tangan meski aku menyodorkan tanganku untuk menjabatinya. Menghadapiku yang terus menatapinya dengan menangis, ia malah ikut-ikutan menangis,” –Demikian tutur Haram bin Haiban. Lantas, tiba-tiba saja disela tangisnya. “Hai, Haram bin Haiban. Siapakah yang menunjukkan engkau datang ke tempatku ini?” tanya Uwais tiba-tiba. “Allah,” jawab Haram bin Haiban. “Laa ilaha illallah, Maha Suci Allah yang jika berjanji pasti dilaksanakannya,” ucap Uwais. Haram bin Haiban tak sampai kuasa untuk tidak bertanya satu hal pada Uwais. “Darimana engkau mengetahui namaku dan juga bapakku. Bukankah aku belum pernah berada di hadapanmu selain hari ini?” tanyanya. Uwais menjawab, “Diberitahukan kepadaku atas hal itu dari Yang Maha Tahu dan Maha Mengerti. Ruhku mengenal ruhmu. Ketahuilah bahwa sesungguhnya setiap ruh itu mempunyai mata jiwa seperti juga jiwa dalam tubuh, dan sesungguhnya ruh orang mukmin itu mengenal satu sama lain. Mereka berkasih-kasihan dalam ruhillah, kenal mengenal dan bercakap-cakap, meski tak pernah bertemu badan dengan badan. Begitulah Ruhku mengenal ruh Muhammad, sebagaimana percakapan yang engkau kuping waktu itu.” Haram bin Haiban kembali terhenyak heran.
15
Hikayat Para Auliya
“Jika begitu, ucapkanlah satu hadits Rasulullah dalam percakapanmu dengannya itu yang dapat aku dengar dan camkan bagi hidupku.” “Hai, anak Haiban,” tukas Uwais. “Aku tak suka akan hal ini. Yakni aku membuka pintu diriku di hadapanmu. Cukup bagimu kenyataannya saja, bahwa engkau tahu aku tak pernah bertemu dengan Rasulullah dan aku tidak pernah mempunyai teman yang pernah bersama Rasulullah. Carilah saja mereka (sahabat-sahabat Rasulullah yang masih hidup) jika engkau memerlukan hadits, aku tak mau melihat diriku menjadi muhaddits, atau mufti, ataupun qadli. Itulah maka aku menolak ajakan Umar. Sungguh pada diriku banyak kesibukan, jauh dari manusia.” Haram bin Haiban tertegun, namun lantas berucap, “Maka pintakan rahmat Allah bagiku dengan segala macam pinta, dan nasihati dan wasiati aku dengan wasiat yang dapat aku hafal seumur hidupku, wasiat dari engkau, ya Uwais.” Uwais berdiri, menarik tangan Haram bin Haiban dan membasuhkan air sungai el-Furat kepada kedua tangan Haram bin Haiban sambil membaca kalimat ta’udz dan Surat Ad-Dukhan ayat 38-42. Namun sesaat selesainya, tiba-tiba saja tenggorokan Uwais seperti memekik. Ia menangis memegangi kuat-kuat pundak Haram bin Haiban. “Wahai Haram, bapakmu Haiban sudah meninggal, dan itupun dekat kepada engkau” ujar Uwais kepada Haram bin Haiban. Sesaat, Uwais memekik kembali, “Dan Umar bin Khattab.., Wahai Umar..I Wahai Umar..!” Haram bin Haiban berdiri dan berusaha menyadarkan Uwais, “Wahai Uwais sadarlah…, Bapakku dan juga Amirul Mukminin Umar bin Khattab masih hidup sekarang ini !”15 Pekik racauan Uwais atas Umar terhenti. Ia menatap Haram bin Haiban seberapa saat. “Inilah wasiatku, jaga dan camkanlah wahai Haram bin Haiban!, Pelihara dan seksamalah engkau atas Kitab Allah dan perjalanan orang-orang salih. Dan seperti kukatakan, kematian juga mendekati Haram bin Haiban menuturkan bahwa tak terbersit sepanjang perjalanannya pulang untuk menanyakan pada orang-orang tentang keadaan Umar bin Khattab sehubungan pikirannya dipenuhi ingatan kepada Uwais. Akan tetapi setibanya di Mekah didapatinya bahwa Bapaknya memang telah meninggal dunia, begitupun Umar. 15
16
Hikayat Para Auliya
engkau, maka simpanlah mati itu dalam hati engkau setiap saat dan jangan bercerai daripadanya !” Sebelum Haram bin Haiban tergerak balas berkata, Uwais kemudian mengakhiri tuturannya. “Sekarang, aku mengucapkan selamat tinggal kepada engkau. Janganlah engkau mencariku lagi karena aku lebih suka bersendirian. Sungguh cintamu kepadaku di jalan Allah telah aku simpan pada hatiku. Engkau berjalan kesana kemari mencariku karena Allah, dan akhirnya mengunjungiku juga karena Allah. Aku telah meminta kepada Allah tentang engkau wahai Haram bin Haiban. Yakni, bahwa di hari akhir nanti engkau berada di atas tanggunganku di hadapan Allah. Assalamu ‘alaik.” Seperti seorang anak, Haram bin Haiban saat itu terus memegangi tangan Uwais, meraung-raung dan memaksa untuk ikut kemanapun Uwais pergi. Namun Uwais melepas tangan Haram dan membiarkan Haram hanya sanggup diam menatapi langkah kepergiannya. Sejak itu Haram bin Haiban, tak pernah menyaksikan ataupun bertemu lagi dengan Uwais Al Qarani. RIWAYAT HATIM BIN HAYYAN Seusai peristiwa pertemuan Umar bin Khattab dan Ali Bin Abi Thalib dengan Uwais Al Qarani yang disaksikannya dengan Haram bin Haiban, Hatim bin Hayyan seperti menerima kenyataan yang bukan saja membuat hatinya tersayat tetapi juga mengakibatkan pikirannya tak mau berhenti memberontak. Haq ul Haq, hakiki dari kebenaran itu sendiri kemudian menjadi tujuan utama yang dicari olehnya. Diceritakan bahwa setelah peristiwa percakapan uwais dengan umar dan Ali, Hatim bin Hayyan kemudian menjadi seorang pengelana yang belajar kesana kemari dari setiap sahabat Rasululullah yang masih ada, bahkan juga dari banyak guru diluar para sahabat namun mengenyam penuh kehidupan dan dididikan para sahabat Rasulullah (tabi’in). Disebutkan pula bahwa saat terjadi perang Shiffin, di tengahtengah pasukan pembela Ali bin Abi Thalib, Hatim bin Hayyan yang saat itu juga tergerak untuk berada di pihak Ali sempat melihat Uwais al Qarani. Ia bergegas menghampirinya. Namun sebelum 17
Hikayat Para Auliya
sempat ia mengucapkan salam, dilihatnya Uwais menengok melemparkan senyum sambil berkata: “Terima kasih wahai Hatim bin Hayyan bahwa engkau telah bersedia untuk menjaga kesendirianku. Rahmat dan berkah Allah bagimu. Sungguh, aku selalu mengingatmu dan engkau berada dalam pintaku kepada Allah. Jadikan aku dalam pintamu,” katanya. Hatim bin Hayyan kemudian mengucapkan salam. Akan tetapi, tiba-tiba riuh pertempuran mulai terdengar di pasukan depan. Sambil tetap menengok kepada Hatim dan bersiap bergerak maju, Uwais berkata, “Selamat tinggal Hatim!, Engkau akan menemukan aku lagi, sebagaimana engkau menemukanku disini, tanpa disangkasangka!” Hatim bin Hayyan meriwayatkan bahwa sejak kejadian perang Shiffin itu ia tak pernah menemukan lagi di mana Uwais al Qarani berada, meski ia berharap bertemu dengannya dalam waktu tak sesebentar saat Shiffin tersebut. Pada suatu ketika, saat itu Hatim bin Hayyan dalam pengelanaannya berhenti dan berniat bersuci di Sungai Tigris, ia melihat sesosok tubuh menggeletak tak bergerak. Begitu dihampirinya, bergetarlah hatinya melihat kenyataan bahwa sosok yang sudah tidak bernyawa itu tak lain dari, Uwais al Qarani, manusia yang telah menggugah hatinya untuk menumbuhkan cinta sepenuhnya terhadap Allah. Hatim bin Hayyan menangis meraung-raung sambil terus memeluki tubuh tersebut. Baginya menjadi luar biasa menyayat menyaksikan pemilik nafas Ar-Rahman itu meninggal dalam keadaan seperti bangkai binatang saja. Dan meski diakuinya, kezuhudan Uwais ia ikuti, namun kezuhudan Uwais benar-benar telah berada pada tingkat paling keterlaluan. Ia, lalu hanya bisa teringat satu hadits Rasululluah tentang sahabat Abu Dzar al Ghiffari pada saat yang bersangkutan menyatakan dirinya memeluk Islam; “Wahai Abu Dzar, datang sendirian, dan akan pergi sendirian.” Rupanya, begitu jugalah Uwais al Qarani!; Manusia yang sendirian; dan Hatim menemukannya lagi, sebagaimana yang dikatakan Uwais sendiri; tanpa disangka-sangka! --Sambil terus tak
18
Hikayat Para Auliya
bisa menahan amarah tangisnya, Hatim menguburkan jenasahnya disitu16. Dan…,
bin
Hayyan
lantas
Rajawali para Pencinta itu telah kembali kepada Yang Dicintainya.17 Yaa ayyuhannafsul muthma’innah irji’i ila robbikum, rodhiyatan mardhiyat. Wahai jiwa yang tenang kembalilah kepada Tuhanmu, dengan ridho dan diridhoi.
Makam dari Uwais al Qarani tak pernah diketemukan, sehubungan dimungkinkan dengan susut dan kikisnya daerah pinggiran sungai akibat erosi oleh arus air sungai: Hal mana ditambah dengan tak adanya tradisi pada jaman islam permulaan untuk memuliakan sebuah makam (kecuali makam Rasulullah), lebih-lebih untuk membuatnya permanen sebagaimana tradisi islam sekarang. 16
Pada saat tradisi Tarekat berkembang menjadi formal di abad ke 7-8 Hijriah (Abad ke 13 – 14 Masehi) dengan tumbuhnya aliran tarekat Qadariyah, Naqsyabandiah, Syadziliyah, Sattariyah, hingga ke Chistiyah di wilayah Turki dan Granada Spanyol. Predikat Uwaisiyah (menunjuk nama Uwais al Qarani) masih tetap digunakan untuk menunjuk seorang Hamba Allah yang telah sampai ke tingkat ma’rifatullah dengan sendirinya tanpa melalui guru atau siapapun. Uwaisiyah terimplementasi dalam katakata yang menjadi sohor di kalangan sufi; “Aku mengenal Dia melalui Dia”, atau, “Aku mengenal Allah melalui Allah” . -- Hal lain, sebagai sebuah nama, nama Uwais, Uwes, Uwaysi kadang masih diberikan untuk menjadi nama seorang bayi khususnya di beberapa daerah pedalaman yang masih lekat dengan tradisi presantren. Uwes; termasuk juga nama yang lazim ditemukan di beberapa wilayah Priangan. 17
19
Hikayat Para Auliya
Hasan al Bashri Hasan bin Abil Hasan al Bashri lahir di Bashrah 21 H/642 M. Putera seorang budak dari Maisan, dan kemudian menjadi mitra dari sekretaris Nabi Muhammad SAW, Zaid bin Tsabit. Ia tumbuh berkembang sebagai seorang pemuda cerdas pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, sehingga selain memperoleh pelajaran dari pengajian Ali bin Abi Thalib, ia sempat bertemu juga dengan 70 sahabat peserta perang Badar dan menarik pelajaran dari semua mereka. Dikisahkan bahwa Ali bin Abi Thalib sendiri (Khulafaur Rasyidin ke 4) di pengajiannya sempat memberkati dan memuji akan kecerdasan dan daya paham Hasan al Bashri. Ia meninggal tahun 110 H/728 M di kota Basrah yang pada saat itu merupakan pusat dari Kekuasaan Islam sesudah Baghdad.
PERTAUBATAN Pada Mulanya Hasan dari Bashrah adalah seorang pedagang batu permata, karena itu ia dijuluki Hasan si pedagang mutiara. Hasan mempunyai hubungan dagang dengan Bizantium, karena itu ia berkepentingan dengan para menteri dan jendral Kaisar. Dalam sebuah peristiwa ketika bepergian ke Bizantium, Hasan mengunjungi Perdana Mentri dan mereka berbincang-bincang beberapa saat, “Jika engkau suka, kita akan pergi ke suatu tempat”, si mentri mengajak Hasan. “Terserah kepadamu”, jawab Hasan, “kemanapun aku menurut.” Si mentri memerintahkan agar disediakan seekor kuda untuk Hasan. Setelah itu berangkatlah mereka menuju padang pasir. Sesampainya di tempat tujuan, Hasan melihat sebuah tenda yang terbuat dari brokat Bizantium, diikat dengan tali sutera dan dipancang dengan tiang emas di atas tanah. Hasan berdiri di kejauhan. Tak berapa lama kemudian muncullah sepasukan tentara perkasa dengan perlengkapan perang yang sempurna. Mereka lalu mengelilingi tenda itu menggumankan beberapa patah kata kemudian pergi. Setelah itu muncul pula para filosof dan cerdik pandai yang hampir empat ratus orang jumlahnya. Mereka lalu mengelilingi tenda itu menggumankan beberapa patah kata 20
Hikayat Para Auliya
kemudian berlalu dari tempat itu. Datang lagi tiga ratus orang-orang tua yang arif bijaksana dan berjanggut putih, mereka menghampiri dan mengelilingi tenda itu menggumankan beberapa patah kata kemudian berlalu. Akhirnya datang pula lebih dari dua ratus perawan cantik masing-masing mengusung nampan penuh dengan emas, perak dan batu permata. Mereka lalu mengelilingi tenda itu menggumankan beberapa patah kata kemudian meninggalkannya. Hasan mengisahkan betapa ia sangat heran menyaksikan kejadiankejadian itu dan bertanya pada dirinya sendiri, apakah artinya semuanya itu? “Ketika kami meninggalkan tempat itu”, Hasan meneruskan kisahnya, “aku bertanya kepada si perdana menteri perihal kejadian tersebut. Perdana menteri kemudian bercerita bahwa dahulu Kaisar mempunyai seorang putera yang tampan, menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan dan tak terkalahkan di arena kegagah perkasaan. Kaisar sangat sayang kepada puteranya itu. Tanpa terduga-duga si pemuda jatuh sakit. Semua tabib paling ahlipun tidak mampu menyembuhkan penyakitnya. Akhirnya si pemuda putera mahkota itu meninggal dan dikuburkan dibawah naungan tenda tersebut. Setiap tahun orang-orang datang berziarah ke kuburannya.” ….Sepasukan tentara yang mula-mula mengelilingi tenda tersebut berkata : “Wahai putera mahkota, seandainya malapetaka yang menimpamu ini terjadi di medan pertempuran, kami semua akan mengorbankan jiwa raga kami untuk menyelamatkanmu. Tetapi malapetaka yang menimpamu ini datang dari Dia yang tak sanggup kami perangi dan tak dapat kami tantang.” Setelah berucap seperti itu merekapun berlalu dari tempat itu. Kemudian tibalah giliran para filosof dan cerdik pandai. Mereka berkata : “Malapetaka yang menimpa dirimu ini datang dari Dia yang tidak dapat kami lawan dengan ilmu pengetahuan, filsafat dan dengan tipu muslihat. Karena semua filosof yang ada di bumi ini tidak berdaya menghadapi-Nya dan semua cerdik pandai hanya orang-orang dungu dihadapan-Nya. Jika tidak demikian halnya, kami telah berusaha dengan mengajukan dalih-dalih yang tidak dapat dibantah oleh siapapun juga di alam semesta ini.” Setelah berucap demikian para filosof dan cerdik pandai itupun berlalu dari tempat tersebut. 21
Hikayat Para Auliya
Selanjutnya orang-orang tua yang mulia tampil seraya berkata : “Wahai putera mahkota, seandainya malapetaka yang menimpa dirimu ini dapat dicegah oleh campur tangan orang-orang tua, niscaya kami telah mencegahnya dengan doa-doa dan kerendahan hati, dan pastilah kami tak akan meninggalkan engkau seorang diri di tempat ini. Tetapi malapetaka yang ditimpakan kepadamu datang dari Dia yang sedikitpun tak dapat dicegah oleh campur tangan manusia-manusia yang lemah.” Setelah kata-kata ini mereka ucapkan mereka pun berlalu. Kemudian dara-dara cantik dengan nampan-nampan berisi emas dan batu permata datang menghampiri, mengelilingi tenda itu dan berkata: “wahai putera Kaisar, seandainya malapetaka yang menimpamu ini bisa ditebus dengan kekayaan dan kecantikan, niscaya kami merelakan diri dan harta kekayaan kami yang banyak ini untuk menebusmu dan tidak kami tinggalkan engkau ditempat ini. Namun malapetaka ini ditimpakan oleh Dia yang tidak dapat dipengaruhi oleh harta kekayaan dan kecantikan.” Setelah kata-kata ini mereka ucapkan, merekapun meninggalkan tempat itu. Terakhir sekali Kaisar beserta para menterinya tampil, masuk ke dalam tenda dan berkata : “Wahai biji mata dan pelita hati ayahanda! Wahai buah hati ayahanda! Apakah yang dapat dilakukan oleh ayahanda ini? Ayahanda telah mendatangkan sepasukan tentara yang perkasa, para filosof dan cerdik pandai, para pawang dan penasehat, dara-dara yang cantik jelita, harta benda dan segala macam barang-barang berharga. Dan ayahanda sendiri pun telah datang. Jika semua ini ada faedahnya, maka ayahanda pasti melakukan segala sesuatu yang dapat ayahanda lakukan. Tetapi malapetaka ini telah ditimpakan kepadamu oleh Dia yang tidak dapat dilawan oleh ayahanda beserta segala aparat, pasukan, pengawal, harta benda dan barang-barang berharga ini. Semoga engkau mendapat kesejahteraan, selamat tinggal sampai tahun yang akan datang.” Kata-kata ini diucapkan sang Kaisar kemudian ia berlalu dari tempat itu. Pengisahan si menteri ini sangat menggugah hati Hasan. Ia tidak dapat melawan dorongan hatinya. Dengan segera ia bersiap-siap
22
Hikayat Para Auliya
untuk kembali ke negerinya. Sesampainya di kota Bashrah ia bersumpah tidak akan tertawa lagi di atas dunia ini sebelum mengetahui dengan pasti bagaimana nasib yang akan dihadapinya nanti. Semenjak itu, ia mulai melakukan segala macam kebaktian dan disiplin diri dalam pemurnian tauhid 18 yang tak dapat ditandingi oleh siapapun pada masa hidupnya. Ketekunan, perilaku zuhud dan wara’ yang ditunjang dengan kecerdasan pemahamannya bukan saja melahirkan citra dirinya yang menjulang sebagai wujud dari kebajikan wara’ dan dunia penahanan nafsu, tetapi juga pada akhirnya membuat ia menjadi seorang yang kerap didatangi orangorang lainnya untuk belajar. Hanya saja berbeda dengan para sufi mutaakhirin yang bertumpu secara idealistis ke dalam fokus cinta mistis kepada Allah, Hasan cenderung merupakan seorang yang realiatis. Ia tidak melakukan uzlah (tafakur pengasingan diri), hidup secara sosial dan senantiasa mengkritisi masyarakatnya. Hal mana ini pula yang menggiringnya senantiasa berhadapan dengan pihak penguasa saat itu, yakni dinasti Umayah atau kelompok Muawiyah yang telah menumbangkan Ali bin Abi Thalib ra. Sesuai sejarahnya, pada jaman dinasti Umayah inilah kekhalifahan islam mulai gencar melakukan penaklukan-penaklukan dimana dari mulai lembah sungai Indus India sampai Jiblartar dan Spanyol bisa dikuasai. Disinilah, Hasan mulai melihat kecenderungan umat yang telah menjadi bersemangat dalam penaklukan saja, perolehan ghonimah, pengumpulan kekayaan dan barang duniawi sehingga dari mulai pihak penguasa sampai lingkup umat melupakan firman Allah dalam Qur’an (Surat 55:26); “Semua yang ada di bumi akan binasa.” Hasan mulai kerap berkata-kata; “O anak Adam, kau akan mati sendirian, masuk ke kubur sendirian dan akan dibangkitkan sendirian, dan sendirian pulalah nanti kau menerima perhitungan. Mengapa harus begitu mempedulikan dunia yang akan lenyap ini?” Pemurnian tauhid adalah proses pemahaman dan pendalaman ke arah pembentukan keyakinan yang berujung pada itikad sepenuhnya dalam bentuk syahadat. Hakiki syahadat sendiri berarti penyaksian hati (iman ilmu) atas adanya Satu Kekuasaan Dibalik Semua. Dalam syariat fiqh, syahadat ini ditetapkan sebagai ucapan lafadz 2 kalimat; Asyhadu an Laa ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah. 18
23
Hikayat Para Auliya
Ketika konsistensinya memperoleh respons dari kekuasaan dimana sering Hasan dikejar-kejar para tentara Muawiyyah, barulah terjadi perubahan dimana dalam kedukaan dan kekhawatirannya yang amat sangat yang seolah-olah neraka diciptakan hanya untuknya, ia mulai berpikir untuk menjaga kelanjutan ilmu melalui majelis tersendiri. Dengan meniru pengajian Arqam bin Abi Arqam pada jaman Nabi, untuk hal-hal khusus dan dalam berkaitan hakikat, ia membuat semacam pertemuan dan pengajaran tersembunyi bahkan permukiman bagi orang-orang yang suka bertapa (bertafakur, berkontemplasi). Melalui pertemuan inilah kemudian lahir beberapa orang ternama di jamannya seperti Abu ‘Amr, Habib al Ajami dan terutama Abdul Wahid Ibnu Zayd yang melaluinya teladan-teladan Hasan menebar harum hingga negeri Siria. KISAH DENGAN ABU ‘AMR Pada suatu hari, ketika Abu ‘Amr, seorang ahli tafsir terkemuka sedang mengajarkan Al-Qur’an, tak disangka-sangka datanglah seorang pemuda tampan ikut mendengar pembahas-annya. Abu ‘Amr terpesona memandang si pemuda dan secara mendadak lupalah ia akansetiap kata dan huruf dalam Al-Qur’an. Ia sangat menyesal dan gelisah karena perbuatannya itu. Dalam keadaan seperti ini pergilah ia mengunjungi Hasan dari Bashrah untuk mengadukan kemasygulan hatinya itu. “Guru”, Abu ‘Amr berkata sambil menangis dengan sedih, “Begitulah kejadiannya. Setiap kata dan huruf Al-Qur’an telah hilang dari ingatanku.” Hasan begitu terharu mendengar keadaan Abu ‘Amr. “Sekarang ini adalah musim haji”, Hasan berkata kepadanya. “Pergilah ke Tanah Suci dan tunaikanlah ibadah haji. Sesudah itu pergilah ke Masjid Khaif. Disana engkau akan bertemu dengan seorang tua. Jangan engkau langsung menegurnya tetapi tunggulah sampai keasyikannya beribadah selesai. Setelah itu barulah engkau memohonkan agar ia mau berdoa untukmu.” Abu ‘Amr menuruti petuah hasan. Di pojok ruangan Masjid Khaif Abu ‘Amr melihat seorang tua yang patut dimuliakan dan beberapa orang yang duduk mengelilingi dirinya. Beberapa saat kemudian masuklah seorang lelaki yang berpakaian putih bersih. Orang-orang itu memberi jalan kepadanya, mengucapkan salam dan setelah itu 24
Hikayat Para Auliya
mereka pun berbincang-bincang dengan dia. Ketika waktu shalat telah tiba, lelaki tersebut meminta diri untuk meninggalkan tempat itu. Tidak berapa lama kemudian yang lain-lainnya pun pergi pula, sehingga yang tinggal di tempat itu hanyalah si orang tua tadi. Abu ‘Amr menghampirinya dan mengucapkan salam. “Dengan nama Allah, tolonglah diriku ini,” Abu ‘Amr berkata sambil menangis. Kemudian menerangkan duka cita yang menimpa dirinya. Si orangtua sangat prihatin mendengar penuturan Abu ‘Amr tersebut, lalu menengadahkan kepala dan berdoa. “Belum lagi ia merendahkan kepalanya”, Abu ‘Amr mengisahkan, “semua kata dan huruf Al-Qur’an telah dapat ku ingat kembali. Aku bersujud didepannya karena begitu syukurnya.” “Siapakah yang telah menyuruh dirimu untuk menghadap kepadaku?”, orang tua itu bertanya kepada Abu ‘Amr. “Hasan dari Bashrah”, jawab Abu ‘Amr. “jika seseorang telah mempunyai imam seperti Hasan”, lelaki tua tersebut berkomentar, “mengapakah ia memerlukan imam yang lain? Tapi baiklah, Hasan telah menunjukan siapa diriku ini dan kini akan kutunjukan siapakah dia sebenarnya. Ia telah membuka selubung diriku dan kini kubuka pula selubung19 dirinya.” Kemudian orang tua itu meneruskan, “Lelaki yang berjubah putih tadi, yang datang kesini setelah waktu shalat Ashar, dan yang terlebih dahulu meninggalkan tempat ini serta dihormati orang-orang lain tadi, ia adalah Hasan. Setiap hari setelah melakukan shalat Ashar di Selubung; cadar atau Hijab : Dalam konteks ma’rifat diartikan sebagai sesuatu yang menghalangi atau penghalang pada cara pandang dan penilaian manusia terhadap segala sesuatu yang akhirnya menyebabkan berhentinya kemajuan baik pengetahuan maupun iman. Kebiasaan manusia untuk melakukan penilaian melalui aspek luaran saja merupakan contoh ringan dimana seorang berpakaian kumal dan berwajah seram cenderung dinilai begitu saja sebagai “orang jahat”, sebaliknya seorang berpeci atau berserban lantas juga dinilai sebagai “orang baik”. Hijab iman kebanyakan muncul dan terbentuk akibat kejumudan dan pendewaan syariat hukum. Seseorang shalat dengan mengingat raka’at dan rukun-rukun, bersedekah dengan mengingat pahala dan surga, membaca qur’an dengan mengingat tajwij dan kefasihan lafadz; Atau dengan kata lain, shalat dengan menyembah hukum shalat, sedekah dengan menyembah pahala sedekah, sampai akhirnya semua bentuk laku peribadatan tak satupun ditujukan untuk menyembah Allah. Itulah Hijab Iman; Sebuah Syirik khafi belaka sebagaimana firman; “Tidakkah engkau lihat manusia-manusia yang menyembah tuhan selain Aku, yakni nafsu-nafsu dirinya?” :Penyembahan terhadap nafsu syariat dan kebenaran dirinya itulah. Hijab lain menurut Junayd al Baghdadi, selain nafsu berlebih kepada hukum syariat serta surga dan neraka, adalah kesukaan dan keinginan murid pada karomat-karomat kesaktian atau fadilah-fadilah. 19
25
Hikayat Para Auliya
Bashrah ia berkunjung ke sini, berbincang-bincang bersamaku, dan kembali lagi ke Bashrah untuk Shalat Maghrib di sana. Jika seseorang telah mempunyai imam seperti Hasan, mengapa ia masih merasa perlu memohonkan doa dari diriku ini?”. KISAH SIMEON PENYEMBAH API Hasan mempunyai seorang tetangga yang bernama Simeon, seorang penyembah api. Suatu hari Simeon jatuh sakit dan ajalnya hampir tiba. Sahabat-sahabat meminta agar Hasan sudi mengunjunginya. Akhirnya Hasan pun pergi mendapatkan Simeon yang terbaring di atas tempat tidur dan badannya telah kelam karena api dan asap. “Takutlah kepada Allah,” Hasan menasehatkan, “Engkau telah menyia-nyiakan seluruh usiamu di tengah-tengah api dan asap.” “Ada tiga hal yang mencegahku untuk menjadi seorang muslim”, jawab Simeon penyembah api. “Yang pertama adalah kenyataan bahwa walaupun kalian membenci keduniawian, tetapi siang dan malam kalian mengejar harta kekayaan. Yang kedua, kalian mengatakan bahwa mati adalah suatu kenyataan yang harus dihadapi, namun kalian tidak bersiap-siap untuk menghadapinya. Yang ketiga, kalian mengatakan bahwa wajah Allah akan terlihat, namun hingga saat ini kalian melakukan segala sesuatu yang tidak diridhai-Nya.” “Inilah ucapan manusia-manusia yang sungguh-sungguh mengetahui’ jawab Hasan. “Jika orang-orang Muslim berbuat seperti yang engkau katakan, apa pulakah yang hendak engkau katakan? Mereka mengakui keesaan Allah sedangkan engkau menyembah api selama tujuh puluh tahun, dan aku tidak pernah berbuat seperti itu20. Jika kita sama-sama terseret kedalam neraka, api akan membakar dirimu dan diriku, tetapi jika diizinkan Allah, api tidak akan berani menghanguskan sehelai rambut pun pada tubuhku. Hal ini karena Api diciptakan Allah dan segala ciptaan-Nya tunduk kepada perintah-Nya. Walaupun engkau menyembah api selama tujuh puluh tahun, marilah kita bersama-sama menaruh tangan kita ke dalam api agar engkau dapat menyaksikan sendiri betapa api itu sesungguhnya tak berdaya dan betapa Allah itu Maha Kuasa.” Ucapan itu dimaksudkan agar Simeon tidak menggeneralisir ajaran islam sebagai buruk. Berbagai keburukan yang dilakukan umat sebenarnya menunjuk pada umat dan cara pemahamannya, bukan pada ajarannya sendiri . 20
26
Hikayat Para Auliya
Setelah berkata demikian Hasan memasukan tangannya ke dalam api. Namun sedikitpun ia tidak cidera atau terbakar. Menyaksikan hal ini Simeon terheran-heran. Fajar pengetahuan terlihat olehnya. “Selama tujuh puluh tahun aku telah menyembah api” mengeluh Simeon, “kini hanya dengan satu atau dua helaan nafas saja yang tersisa, apakah yang harus aku lakukan?” “Jadilah seorang Muslim”, jawab Hasan. “Jika engkau memberiku sebuah jaminan tertulis bahwa Allah tidak akan menghukum diriku”, kata Simeon, “barulah aku menjadi Muslim. Tanpa jaminan itu aku tidak sudi memeluk agama Islam.” Hasan segera membuat surat jaminan. “Kini susullah orang-orang yang jujur di kota Bashrah untuk memberikan kesaksian mereka di atas surat jaminan tersebut. Simeon mencucurkan air mata dan menyatakan dirinya sebagai seorang Muslim. Kepada Hasan ia menyampaikan wasiatnya terakhir, “Setelah aku mati, mandikanlah aku dengan tanganmu sendiri, kuburkanlah aku dan selipkan surat jaminan ini di tanganku. Surat ini akan menjadi bukti bahwa aku adalah seorang Muslim.” Setelah mengucapkan demikian ia mengucap dua kalimah syahadat dan menghembuskan nafasnya yang terakhir. Mereka memandikan jenazah Simeon, menshalatkannya dan menguburkannya dengan sebuah surat jaminan di tangannya. Malam harinya Hasan pergi tidur sambil merenungi apa yang telah dilakukannya itu. “Bagaimana aku dapat menolong seseorang yang sedang tenggelam sedang aku sendiri dalam keadaan serupa. Aku sendiri tidak dapat menentukan nasib ku, tetapi mengapa aku berani memastikan apa yang dilakukan oleh Allah?” Dengan pikiran-pikiran seperti inilah Hasan terlena. Ia bermimpi bertemu dengan Simeon, wajah Simeon cerah dan bercahaya seperti sebuah pelita; di kepalanya terlihat sebuah mahkota. Ia mengenakan sebuah jubah yang indah dan sedang berjalan-jalan di taman surgawi. “Bagaimanakah keadaanmu Simeon?” tanya Hasan kepadanya. “Mengapakah engkau bertanya padahal kau menyaksikan sendiri?’ jawab Simeon. “Allah yang Maha Besar dengan segala kemurahan-Nya telah menghampirkan diriku kepada-Nya dan telah memperlihatkan wajah-Nya kepadaku. Karunia yang dilimpahkan27
Hikayat Para Auliya
Nya kepadaku melebihi segala kata-kata. Engkau telah memberiku sebuah surat jaminan, terimalah kembali surat jaminan ini karena aku tidak membutuhkannya lagi.” Ketika Hasan terbangun ia mendapatkan surat jaminan itu telah berada di tangannya. “Ya Allah”, Hasan berseru, “aku menyadari bahwa segala sesuatu yang Engkau lakukan adalah tanpa sebab kecuali karena kemurahan-Mu semata. Siapakah yang akan tersesat di pintu-Mu? Engkau telah mengizinkan seorang yang telah menyembah api tujuh puluh tahun lamanya menghampiri-Mu, semata-mata karena sebuah ucapan. Betapakah Engkau akan menolak seseorang yang telah beriman selama tujuh puluh tahun?”
28
Hikayat Para Auliya
Habib Al Ajami Habib bin Muhammad al-‘Ajami al-Bashri, seorang Persia yang menetap di Bashrah, adalah seorang ahli Hadits terkenal yang mewariskan haditshadits dari Hasan al-Bashri, Ibnu Sirin dan tokoh-tokoh terpercaya lainnya. Pertaubatannya dari kehidupan yang ugal-ugalan dan berfoya-foya adalah karena dalil-dalil yang dikemukakan oleh Hasan dengan sedemikian fasihnya. Habib al-‘Ajami sering mengikuti pengajaran-pengajaran yang disampaikan oleh Hasan sehingga akhirnya ia menjadi salah seorang sahabat beliau yang paling akrab.
RIWAYAT PERTAUBATAN Semula Habib adalah seorang yang kaya raya dan suka membungakan uang. Ia tinggal di kota Bashrah, dan setiap hari berkeliling kota untuk menagih piutang-piutangnya. Jika tidak memperoleh angsuran dari langganan-langganannya maka ia akan menuntut uang ganti rugi dengan dalih alas sepatunya yang menjadi aus di perjalanan. Dengan cara seperti inilah Habib menutupi biaya hidupnya sehari-hari. Pada suatu hari Habib pergi ke rumah seorang yang berhutang kepadanya. Namun yang hendak ditemuinya sedang tak ada di rumah. Maka Habib meminta ganti rugi kepada isteri orang tersebut. “Suamiku tak ada di rumah”, isteri orang yang berhutang itu berkata kepadanya, “aku tak mempunyai sesuatu pun untuk diberikan kepadamu tetapi kami ada menyembelih seekor domba dan lehernya masih tersisa, jika engkau suka akan kuberikan kepadamu.” “Bolehlah si lintah darat menjawab. Ia berpikir bahwa setidaknya ia dapat mengambil leher domba tersebut dan membawanya pulang. “Masaklah!”. “Aku tak mempunyai roti dan minyak”, si wanita menjawab. “Baiklah”, si lintah darat menjawab, “aku akan mengambil roti dan minyak, tapi untuk semua itu engkau harus membayar ganti rugi pula.” Lalu ia pun pergi mengabil roti dan minyak. Kemudian si wanita segera memasaknya di dalam belanga. Setelah masak dan hendak di tuangkan ke dalam mangkuk, seorang pengemis datang mengetuk pintu.
29
Hikayat Para Auliya
“Jika yang kami miliki kami berikan kepadamu”, Habib mendamprat si pengemis, “engkau tidak akan menjadi kaya, tetapi kami sendiri akan menjadi miskin.” Si pengemis yang kecewa memohon kepada si wanita agar ia sudi memberi sekedar makanan kepadanya. Si wanita segera membu-ka tutup belanga, ternyata semuanya telah berubah menjadi darah hitam. Melihat ini wajah si wanita menjadi pucat pasi. Segera ia mendapatkan Habib dan menarik lengannya untuk memperlihatkan isi belanga itu kepadanya. “Saksikanlah apa yang telah menimpa diri kita karena ribamu yang terkutuk dan hardikanmu kepada si pengemis!.” Si wanita menangis, “apakah yang akan terjadi atas diri kita di atas dunia ini? Apa pula di akhirat nanti!.” Melihat kejadian ini dada Habib terbakar oleh api penyesalan. Penyesalan yang tidak akan mereda seumur hidupnya. “Wahai wanita! Aku menyesalkan segala perbuatan yang telah aku lakukan!.” *** Keesokan harinya Habib berangkat pula untuk menemui orangorang yang berpiutang kepadanya. Kebetulan sekali hari itu adalah hari Jumat dan anak-anak bermain di jalanan. Ketika melihat Habib, mereka berteriak-teriak: “Lihat, Habib lintah darat sedang menuju kemari, ayo kita lari, kalau tidak niscaya debu-debu tubuhnya akan menempel di tubuh kita dan kita akan terkutuk pula sepertu dia!” Seruan-seruan ini sangat melukai hati Habib. Kemudian ia pergi ke gedung pertemuan dan disana terdengarlah olehnya ucapanucapan itu bagai menusuk-nusuk jantungnya sehingga akhirya ia jatuh terkulai. Habib bertaubat kepada Allah dari segala perbuatan yang telah dilakukannya, setelah menyadari apa sebenarnya yang terjadi, Hasan al-Bashri datang memapahnya dan menghibur hatinya. Ketika Habib meninggalkan tempat pertemuan itu seseorang yang berhutang kepadanya melihatnya, dan mencoba untuk menghindari dirinya. “Jangan lari” Habib berkata. “Di waktu yang sudah-sudah engkaulah yang menghindari diriku, tetapi sejak saat ini akulah yang harus menghindari dirimu.” 30
Hikayat Para Auliya
Habib meneruskan perjalanannya, anak-anak tadi masih juga bermain-main di jalan. Melihat Habib, mereka segera berteriak: “Lihat Habib yang telah bertaubat sedang menuju kemari. Ayolah kita lari! Jika tidak, niscaya debu-debu di tubuh kita akan menempel di tubuhnya sedang kita adalah orang-orang yang telah berdosa kepada Allah.” “Ya Allah ya Tuhanku!”, seru Habib. “Baru saja aku membuat perdamaian dengan-Mu, dan Engkau telah menabuh genderanggenderang di dalam hati manusia untuk diriku dan telah mengumandangkan namaku di dalam keharuman.” Kemudian Habib membuat sebuah pengumuman yang berbunyi: “Kepada siapa saja yang menginginkan harta benda milik Habib, datanglah dan ambilah!” Orang-orang datang berbondong-bondong. Habib memberikan segala harta kekayaannya kepada mereka dan akhirnya ia tak mempunyai sesuatu pun juga. Namun masih ada seseorang yang datang untuk meminta, kepada orang ini Habib memberikan cadar isterinya sendiri. Kemudian datang pula seorang lagi dan kepadanya Habib memberikan pakaian yang sedang dikenakannya, sehingga tubuhnya terbuka. Dan kemudian ia pergi menyepi ke sebuah pertapaan di pinggir sungai Euphrat, dan di sana ia membaktikan diri untuk beribadah kepada Allah. Siang malam ia belajar di bawah bimbingan Hasan namun betapa pun juga ia tidak dapat menghapal Al-Qur’an, dan karena itulah ia dijuluki ‘ajami atau si orang barbar. Waktu berlalu, Habib sudah benar-benar dalam keadaan papa, tetapi isterinya masih tetap menuntut biaya rumah tangga kepadanya. Maka pergilah Habib meninggal-kan rumahnya menuju tempat pertapaan untuk melakukan kebaktiannya kepada Allah dan apabila malam tiba barulah ia pulang. “Dimana sebenarnya engkau bekerja sehingga tak ada sesuatu pun yang engkau bawa pulang?” isterinya mendesak. “Aku bekerja pada seseorang yang sangat Pemurah”, jawab Habib. “Sedemikian Pemurahnya Ia sehingga aku malu meminta sesu-atu kepada-Nya, apabila saatnya nanti pasti ia akan memberi, karena seperti katanya sendiri: ’Sepuluh hari sekali aku akan membayar upah mu’.” Demikianlah setiap hari Habib pergi ke pertapaannya untuk beribadah kepada Allah. Pada waktu shalat Dzuhur di hari yang ke 31
Hikayat Para Auliya
sepuluh, sebuah pikiran mengusik hatinya. “Apakah yang akan ku bawa pulang malam nanti? Apakah yang harus kukatakan kepada isteriku?.” Lama ia termenung di dalam pernungannya itu. Tanpa sepengetahuannya Allah yang Maha Besar telah mengutus pesuruhpesuruh-Nya ke rumah Habib. Yang seorang membawakan gandum sepemikulan keledai, yang lainnya membawaa seekor domba yang telah dikuliti, dan yang terakhir membawa minyak, madu, rempahrempah dan bumbu-bumbu. Semua itu mereka pikul disertai seorang pemuda gagah yang membawa sebuah kantong berisi 300 dirham perak. Sesampainya di rumah Habib si pemuda mengetuk pintu. “Apakah maksud kalian datang kemari?”, tanya isteri Habib setelah membuka pintu. “Majikan kami telah menyuruh kami untuk mengantarkan barang-barang ini”, pemuda gagah itu menjawab, “sampaikanlah kepada Habib: ‘Bila engkau melipatgandakan jerih payahmu maka Kami akan melipatgandakan upahmu’.” Setelah berkata demikian merekapun berlalu. Setelah mata hari terbenam Habib berjalan pulang. Ia merasa malu dan sedih. Ketika hampir sampai ke rumah, terciumlah olehnya bau roti dan masakan-masakan. Dengan berlari isterinya datang menyambut, menghapus keringat di wajahnya dan bersikap lembut kepadanya, sesuatu yang tak pernah dilakukannya di waktu yang sudah-sudah. “Wahai suamiku”, si isteri berkata, “majikanmu adalah seseorang yang sangat baik dan pengasih. Lihatlah segala sesuatu yang telah dikirimkannya kemari melalui seorang pemuda yang gagah dan tampan. Pemuda itu berpesan: ‘Bila Habib pulang, katakanlah kepadanya, bila engkau melipatgandakan jerih payah-mu maka Kami akan melipatgandakan upahmu’.” Habib terheran-heran. “Sungguh menakjubkan! Baru sepuluh hari aku beker-ja, sudah sedemikian banyak imbalan yang dilimpahkan-Nya kepadaku, apa pulakah yang akan dilimpahkan-Nya nanti?” Sejak saat itu Habib memalingkan wajahnya dari segala urusan dunia dan membaktikan dirinya untuk Allah semata-mata. KEAJAIBAN-KEAJAIBAN HABIB 32
Hikayat Para Auliya
Pada suatu hari seorang wanita tua datang kepada Habib, merebahkan dirinya di depan Habib dengan sangat memelas hati. “Aku mempunyai seorang putera yang telah lama pergi meninggalkanku. Aku tidak sanggup lebih lama lagi terpisah daripadanya, berdoalah kepada Allah”, mohonnya kepada Habib. “Semoga berkat doamu, Allah mengembalikan puteraku itu kepadaku.” “Adakah engkau mempunyai uang?”, tanya Habib kepada wanita tua itu. “Aku mempunyai dua dirham”, jawabnya. “Berikanlah uang tersebut kepada orang-orang miskin!.” Kemudian Habib membaca sebuah doa lalu ia berkata kepada wanita itu: “Pulanglah, puteramu telah kembali.” Belum lagi wanita itu sampai ke rumah, dilihatnya sang putera telah ada dan sedang menantikannya. “Wahai! Anakku telah kembali!”, wanita itu berseru. Kemudian dibawanya puteranya itu menghadap Habib. “Apakah yang telah engkau alami?”, tanya Habib kepada putera wanita itu. “Aku sedang berada di Kirmani, guruku menyuruhku membeli daging. Ketika daging itu telah kubeli dan aku hendak pulang ke guruku, tiba-tiba bertiuplah angin kencang, tubuhku terbawa terbang dan terdengar olehku sebuah suara yang berkata: ‘Wahai angin, demi doa Habib dan dua dirham yang telah disedekahkan kepada orang-orang miskin, pulangkanlah ia ke rumahnya sendiri’.” *** Pada tanggal 8 Zulhijjah, Habib kelihatan di kota Bashrah dan pada keesokan harinya di Padang Arafah. Di waktu yang lain, bencana kelaparan melanda kota Bashrah. Karena itu, dengan berhutang Habib membeli banyak bahan-bahan pangan dan membagikannya kepada orang-orang miskin. Setiap hari Habib menggulung kantong uangnya dan menaruhnya di bawah lantai. Apabila para pedagang datang untuk menagih hutang, barulah kantong itu dikeluarkannya. Sungguh ajaib, ternyata kantong itu sudah penuh dengan kepingan-kepingan dirham. Dari situ dilunasinya semua hutang-hutangnya.
33
Hikayat Para Auliya
*** Rumah Habib terletak di sebuah persimpangan jalan di kota Bashrah. Ia mempunyai sebuah mantel bulu yang selalu dipakainya baik di musim panas maupun di musim dingin. Sekaliperistiwa, ketika Habib hendak bersuci, mantel itu dilepaskannya dan dengan seenaknya dilemparkannya ke atas tanah. Tidak berapa lama kemudian Hasan al-Bashri lewat di tempat itu. Melihat mantel Habib yang terletak di atas jalan, ia berguman: “Dasar Habib seorang Barbar, tak perduli berapa harga mantel bulu ini! Mantel yang seperti ini tidak boleh dibiarkan saja di tempat ini, bisa-bisa hilang nanti.” Hasan berdiri di tempat itu untuk menjaga mantel tersebut. Tidak lama kemudian Habib pun kembali. “Wahai imam kaum Muslimin”, Habib menegur Hasan setelah memberi salam kepadanya, “mengapakah engkau berdiri di sini?” “Tahukah engkau bahwa mantel seperti ini tidak boleh ditinggalkan di tempat begini? Bisa-bisa hilang. Katakan, kepada siapakah engkau menitipkan mantel ini?” “Kutitipkan kepada Dia, yang selanjutnya menitipkannya kepadamu”, jawab Habib. Pada suatu hari Hasan berkunjung ke rumah Habib. Kepadanya Habib menyuguhkan dua potong roti gandum dan sedikit garam. Hasan sudah bersiap-siap hendak menyantap hidangan itu, tetapi seorang pengemis datang dan Habib menyerahkan kedua potong roti beserta garam itu kepadanya. Hasan terheran-heran lalu ia berkata: “Habib, engkau memang seorang manusia budiman. Tetapi alangkah baiknya seandainya engkau memiliki sedikit pengetahuan. Engkau mengambil roti yang telah engkau suguhkan ke ujung hidung tamu lalu memberikan semuanya kepada seorang pengemis. Seharusnya engkau memberikan sebagian kepada si pengemis dan sebagian lagi kepada tamumu.” Habib tidak memberikan jawaban. Tidak lama kemudian seorang budak datang sambil menjunjung sebuah nampan. Di atas nampan tersebut ada daging domba panggang, penganan yang manis-manis dan uang lima ratus dirham perak. Si budak menyerahkan nampan tersebut ke hadapan Habib.
34
Hikayat Para Auliya
Kemudian habib membagi-bagikan uang tersebut kepada orangorang miskin dan menempatkan nampan tersebut di samping Hasan. Ketika Hasan mengenyam daging panggang itu, Habib berkata kepadanya: “Guru, engkau adalah seorang manusia budiman, tetapi alngkah baiknya seandainya engkau memiliki sedikit keyakinan. Pengetahuan harus disertai dengan keyakinan. *** Pada suatu hari ketika perwira-perwira Hajjaj mencari-cari Hasan, ia sedang bersembunyi di dalam pertapaan Habib. “Apakah engkau melihat Hasan pada hari ini?” tanya mereka kepada Habib. “Ya, aku melihatnya”, jawab Habib. “Di manakah Hasan pada saat ini?” “Di dalam pertapaan ini.” Para perwira tersebut memasuki pertapaan Habib dan mengadakan penggeledahan, namun amereka tidak berhasil menemukan Hasan. “Tujuh kali tubuhku tersentuh oleh mereka.” Hasan mengisahkan, “namun mereka tidak melihat diriku.” Ketika hendak meninggalkan pertapaan itu Hasan mencela Habib: “Habib, engkau adalah seorang murid yang tidak berbakti kepada guru. Engkau telah menunjukan tempat persembunyianku.” “Guru, karena aku berterus terang itulah engkau dapat selamat. Jika tadi aku berdusta, niscaya kita berdua sama-sama tertangkap.” “Ayat-ayat apakah yang telah engkau bacakan sehingga mereka tidak melihat diriku?”, tanya Hasan. “Aku membaca Ayat Kursi sepuluh kali, Rasul beriman sepuluh kali, dan Katakanlah, Allah itu Esa sepuluh kali. Setelah itu aku berkata: ‘Ya Allah, telah kutitipkan Hasan kepada-Mu dan oleh karena itu jagalah dia’.” *** Suatu ketika Hasan ingin pergi ke suatu tempat. Ia lalu menyusuri tebing-tebing di pinggir sungai Tigris sambil merenungrenung. Tiba-tiba Habib muncul di tempat itu. “Imam mengapakah engkau berada di sini?”, Habib bertanya. “Aku ingin pergi ke suatu tempat namun perahu belum juga tiba”, jawab Hasan. 35
Hikayat Para Auliya
“Guru apakah yang telah terjadi terhadap dirimu? Aku telah mempelajari segala hal kuketahui dari dirimu. Buanglah rasa iri kepada orang-orang lain dari dalam dadamu. Tutuplah matamu dari kesenangan-kesenangan dunia. Sadarilah bahwa penderitaan adalah sebuah karunia yang sangat berharga dan sadarilah bahwa segala urusan berpulang kepada Allah semata-mata. Setelah itu turunlah dan berja-lanlah di atas air.” Selesai berkata demikian Habib menginjakan kaki ke permukaan air dan meninggalkan tempat itu. Melihat kejadian ini, Hasan merasa pusing dan jatuh pingsan. Ketika ia siuman orang-orang bertanya kepadanya: “Wahai imam kaum Muslimin, apakah yang telah aterjadi terhadap dirimu?” “Baru saja muridku Habib mencela diriku; setelah itu ia berjalan di atas air dan meninggalkan diriku sedang aku tidak dapat berbuat apa-apa. Jika di akhirat nanti sebuah suara menyerukan: ‘Laluilah jalan yang berada di atas api yang menyala-nyala’ sedang hatiku masih lemah seperti sekarang ini, apakah dayaku?” Di kemudian hari Hasan bertanya kepada Habib: “Habib, bagaimanakah engkau mendapatkan kesaktian-kesaktianmu itu?” Habib menjawab: “Dengan memutihkan hati sementara engkau menghitamkan kertas.” Hasan berkata: “Pengetahuanku tidak memberi manfaat kepada diriku sendiri, tetapi kepada orang lain.”
36
Hikayat Para Auliya
Malik Bin Dinar Malik bin Dinar al-Sami. Putera seorang budak Persia dari Sijistan (Kabul) dan menjadi murid Hasan al-Bashri. Ia terhitung sebagai ahli Hadits Shahih dan merawikan Hadits dari tokoh-tokoh kepercayaan di masa lampau seperti Anas bin Malik dan Ibnu Sirin. Malik bin Dinar adalah seorang kaligrafer Al-Qur’an yang terkenal. Ia meninggal sekitar tahun 130 H/748 M
PERTAUBATAN Tentang pertaubatan Malik bin Dinar, kisahnya adalah sebagai berikut. Ia adalah lelaki yang sangat tampan, gemar bersenangsenang dan memiliki harta kekayaan yang berlimpah-limpah. Malik tinggal di Damaskus dimana golongan Mu’awiyah telah membangun sebuah mesjid yang besar dan mewah. Malik ingin sekali diangkat menjadi pengurus mesjid tersebut. Maka pergilah ia ke mesjid itu. Di pojok ruangan mesjid itu dibentangkannya sajadahnya dan di situlah ia selama setahun terus-menerus melakukan ibadah sambil berharap agar setiap orang melihatnya sedang melakukan shalat. “Alangkah munafiknya engkau ini”, ia selalu berkata kepada dirinya sendiri. Setahun telah berlalu. Apabila hari telah malam, seperti biasa Malik keluar dari mesjid itu dan pergi bersenang-senang. Pada suatu malam ketika ia sedang asyik menikmati musik di kala semua teman-temannya telah tertidur, tiba-tiba dari kecapi yang sedang dimainkannya terdengar sebuah suara: “Malik, mengapakah engkau belum juga bertaubat?” Mendengar kata-kata tersebut Malik tersentak. Disertai hati yang menggeletar letar, ia permainannya. Kecapi yang dipegangnya ia amati dengan dengan seksama, namun suara itu tetap saja keluar. Jiwa Malik luluh lantak. Ia segera melemparkan kecapi tersebut. Sambil menangis terisak-isak Malik berlari ke mesjid. “Selama setahun penuh aku telah menyembah Allah secara munafik”, ia berkata kepada dirinya sendiri. “Bukankah lebih baik jika aku menyembah Allah dengan sepenuh hati? Aku malu. Apakah yang harus kulakukan? Seandainya orang-orang hendak mengangkatku sebagai pengurus mesjid, aku tidak mau menerimanya.” Ia bertekad dan berkhusyuk kepada Allah. Pada malam itulah pertama kalinya shalat dengan penuh keikhlasan. 37
Hikayat Para Auliya
Keesokan harinya seperti biasa, orang-orang berkumpul di depan mesjid. “Hai, lihatlah dinding mesjid telah retak-retak”, mereka berseru. “Kita harus mengangkat seorang pengawas untuk memperbaiki mesjid ini.” Maka mereka bersepakat bahwa yang paling tepat menjadi pengawas mesjid ini adalah Malik. Segera mereka mendatangi Malik yang ketika itu sedang shalat. Dengan sabar mereka menunggu Malik menyelesaikan shalatnya. “Kami datang untuk memintamu agar sudi menerima pengangkatan kami ini”, mereka berkata. “Ya Allah”, seru Malik, “setahun penuh aku menyembah-Mu secara munafik dan tak seorang pun yang memandang diriku. Kini setelah diberikan jiwaku kepada-Mu dan bertekad bahwa aku tidak menginginkan pengangkatan atas diriku, Engkau menyuruh dua puluh orang menghadapku untuk mengalungkan tugas tersebut ke leherku. Demi kebesaran-Mu, aku tidak menginginkan pengangkatan atas diriku ini.” Malik berlari meninggalkan mesjid itu kemudian menyibukan diri beribadah kepada Allah, dan menjalani hidup prihatin serta penuh disiplin. Ia menjadi seorang yang terhormat dan saleh. Ketika seorang hartawan kota Bashrah meninggal dunia dan ia meninggalkan seorang puteri yang cantik, si puteri mendatangi Tsabit al-Bunani untuk memohon pertolongan. “Aku ingin menjadi isteri Malik”, katanya, “sehingga ia dapat menolongku di dalam mematuhi perintah-perintah Allah.” Keinginan dara ini disampakan Tsabit kepada Malik. “Aku telah menjatuhkan thalaq kepada dunia”, jawab Malik. “Wanita itu adalah milik dunia yang telah ku thalaq, karena itu aku tidak dapat menikahinya.” IHWAL NAMA MALIK BIN DINAR Malik bin Dinar kemudian menumpang sebuah perahu. Setelah berada di tengah lautan awak-awak perahu meminta: “ Bayarlah ongkos perjalananmu!.” “Aku tak mempunyai uang”, jawab Malik Awak-awak perahu memukulinya hingga ia pingsan. Ketika Malik siuman, mereka meminta lagi: “ Bayarlah ongkos perjalanan mu!”. 38
Hikayat Para Auliya
“Aku tak mempunyai uang”, jawab Malik sekali lagi, dan untuk yang kedua kalinya mereka memukulinya hingga pingsan. Ketika Malik siuman kembali maka untuk ketiga kalinya mereka mendesak. “ Bayarlah ongkos perjalanan mu!”. “Aku tak mempunyai uang. “Marilah kita pegang kedua kakinya dan kita lemparkan dia ke laut”, pelaut-pelaut tersebut berseru. Saat itu juga semua ikan di laut mendongakkan kepala mereka ke permukaan air dan masing-masing membawa dua keping dinar emas di mulutnya. Malik menjulurkan tangan, dari mulut seekor ikan diambilnya dua dinar dan uang itu diberikannya kepada awak-awak perahu. Melihat kejadian ini pelaut-pelaut tersebut segera berlutut. Dengan berjalan di atas air, Malik kemudian meninggalkan perahu tersebut. Inilah penyebab mengapa ia dinamakan Malik bin Dinar. Sejak peristiwa itu nama Malik bin Dinar menjadi masyhur. Namun demi menjaga ketauhidannya, Malik akhirnya pergi melakukan uzlah21. Ia dikabarkan baru kembali dari padang pasir ke lingkungan masyarakat, setelah orang-orang mulai lupa dan tidak lagi membicarakan dirinya. Atau, mungkin Malik sendiri telah sampai pada ketetapan hati untuk menjaga kesunyian dirinya di tengah keramaian, sebagaimana atsar yang mengatakan, “dalam uzlah, tiada siapapun kecuali aku dan Tuhanku.” MALIK DAN TETANGGANYA YANG UGAL-UGALAN. Ada seorang pemuda tetangga Malik, tingkah lakunya sangat berandal dan mengganggu ketentraman. Malik sering terganggu oleh tingkah laku si pemuda berandal ini, namun dengan sabar ia menunggu agar ada orang lain yang tampil untuk menegur si pemuda tersebut. Tetapi orang-orang datang menghadap Malik dengan keluhan-keluhan merekater hadap si pemuda. Maka pergilah Malik menghadap si pemuda itu dan ia meminta agar merubah tingkah lakunya. Dengan bandel dan seenaknya si pemuda menjawab: Uzlah berarti perbuatan mengasingkan diri untuk bertafakur. Proses ini dianggap sebagai kewajiban kerohanian pertama dalam mencari kebenaran, hal mana diteladankan Rasulullah dengan bertafakur di Gua Hira 21
39
Hikayat Para Auliya
“Aku adalah kesayangan sultan dan tidak seorang pun yang dapat melarang atau mencegahku untuk berbuat sekehendak hatiku.” “Aku akan mengadu kepada sultan”, Malik mengancam.” Sultan tidak akan mencela diriku”, jawab si pemuda. “Apa pun yang kulakukan, sultan akan menyukainya.” “Baiklah, jika sultan tidak dapat berbuat apa-apa”, Malik meneruskan ancamannya, “Aku akan mengadu kepada Yang Maha Pengasih”, sambil menunjuk ke atas. “Allah?”, jawab si pemuda. “Ia terlampau Pengasih untuk menghukum diriku ini.” Jawaban ini mebuat Malik bungkam, ia tak dapat mengatakan apa-apa. Si pemuda ditinggalkannya. Beberapa hari berlalu dan tingkah si pemuda benar-benar telah melampaui batas. Sekali lagi Malik pergi untuk menegur si pemuda, tetapi di tengah perjalanan Malik mendengar sebuah seruan yangditujukan kepadanya: “Jangan engkau sentuh sahabat-Ku itu!” Masih dalam keadaan terkejut dan gemetar Malik menjumpai si pemuda. Melihat kedatangan Malik , si pemuda menyentak: “Apa pulakah yang telah terjadi sehingga engkau datang kesini untuk kedua kalinya?” Malik menjawab: “Kali ini aku datang bukan untuk mencela tingkah lakumu. Aku datang semata-mata untuk menyampaikan kepadamu bahwa aku telah mendengar seruan yang mengatakan; “Jangan engkau sentuh sahabat-Ku itu!” Si pemuda berseru: “Wahai! Kalau begitu halnya, maka gedungku ini akan kujadikan sebagai tempat untuk beribadah kepada-Nya. Aku tidak peduli lagi dengan semua kekayaanku ini.” Setelah berkata demikian ia pun pergi dan meninggalkan segala sesuatu yang dimilikinya dan mememulai pengembaraan di atas dunia ini. Malik mengisahkan bahwa beberapa lama kemudian di kota Mekkah ia bersua dengan pemuda tersebut dalam keadaan terluntalunta menjelang akhir hayatnya. Malik lantas memeluk-nya. “Ia adalah Sahabatku..,” si pemuda berkata dengan terengahengah. “Aku akan mene-mui Sahabatku.” Setelah berkata demikian ia lalu menghembuskan nafasnya yang terakhir di pangkuan Malik. 40
Hikayat Para Auliya
MALIK DAN HIDUP BERPANTANGNYA Telah bertahun-tahun bibir Malik tidak dilewati makanan yang manis maupun yang asam. Setiap malam ia pergi ke tukang roti dan membeli dua potong roti untuk membuka puasanya. Kadang-kadang roti yang dibelinya itu masih terasa hangat; dan ini menghibur hatinya dan dianggapnya sebagai perangsang selera. Pada suatu hari Malik jatuh sakit dan ia sangat ingin memakan daging. Sepuluh hari lamanya keinginan itu dapat ditindasnya. Sewaktu ia tidak dapat bertahan lebih lama lagi, maka pergilah ia ke toko makanan untuk membeli dua tiga potong kaki domba dan menyembunyikan kaki domba tersebut di lengan bajunya. Si pemilik toko menyuruh seorang pelayannya membuntuti Malik untuk meyelidiki apa yang hendak dilakukannya. Tidak beberapa lama kemudian si pelayan kembali dengan air mata berlinang. Si pelayan memberikan laporannya: “Dari sini ia pergi ke sebuah tempat yang sepi. Di tempat itu dikeluarkannya kaki-kaki domba itu, diciumnya dan ia berkata kepada dirinya sendiri: ‘Hai nafsuku, lebih daripada ini bukanlah hakmu!.’ Kemudian diberikannya roti dan kaki-kaki domba tersebut kepada seorang pengemis. Kemudian ia berkata pula kepada dirinya sendiri: “Wahai jasmani yang lemah, jangan kau sangka bahwa aku menyakitimu karena benci kepadamu. Hal ini kulakukan agar pada hari Berbangkit nanti, engkau tidak dibakar di dalam api neraka. Bersabarlah beberapa hari lagi, karena pada saat itu godaan ini mungkin telah berhenti dan engkau akan mendapatkan kebahagian yang abadi.” *** Pada suatu ketika Malik berkata: “Aku tidak mengerti apakah maksudnya ucapan: ‘bila seseorang tidak memakan daging selama empat puluh hari maka kecerdasan akalnya akan berkurang! Aku sendiri tidak pernah makan daging selama dua puluh tahun, kian lama kecerdasan akalku makin bertambah juga.” *** Selama empat puluh tahun Malik tinggal di kota Bashrah dan selama itu pula ia tidak pernah memakan buah korma yang segar. 41
Hikayat Para Auliya
Apabila musim korma tiba, ia berkata: “Wahai penduduk kota Bashrah, saksikanlah bahwa perutku tidak menjadi kempis karena tidak memakan buah korma dan betapa perut kalian tidak gembung karena setiap hari memakan buah korma.” Namun setelah empat puluh tahun lamanya, batinnya diserang kegelisahan. Betapapun usahanya namun keinginannya untuk memakan buah korma segar tidak dapat ditindasnya lagi. Akhirnya setelah beberapa hari berlalu, keinginan tersebut kian menjadi-jadi walaupun tak pernah dikabulkannya, dan Malik akhirnya tak berdaya untuk menolak desakan nafsu itu. Aku tidak mau memakan buah korma”, ia menyangkal keinginannya sendiri. “Lebih baik aku dibunuh atau mati.” Malam itu terdengarlah suara yang berkata: “Engkau harus memakan beberapa buah korma. Bebaskan jasmanimu dari kungkungan.” Mendengar suara ini jasmaninya yang merasa memperoleh kesempatan itu mulai mejerit-jerit. “Jika engkau menginginkan buah kurma”, Malik menyentak, “berpuasalah terus menerus selama satu minggu dan shalatlah sepanjang malam dan berpuasalah setiap hari. Setelah itu ia pergi ke pasar, membeli beberapa buah korma, kemudian pergi ke masjid untuk memakan buah-buah korma tersebut di sana. Tetapi dari loteng sebuah rumah, seorang bocah berseru” “Ayah! Seorang Yahudi membeli korma dan hendak memakannya di dalam mesjid.” “Apa pula yang hendak dilakukan Yahudi itu di dalam mesjid?” si ayah menggerutu dan bergegas untuk melihat siapakah Yahudi yang dimaksudkan anaknya itu. Tetapi begitu melihat Malik, ia lantas berlutut. “Apakah artinya kata-kata yang diucapkan anak itu?”, Malik mendesak. “Maafkanlah ia guru”, si ayah memohon, “Ia masih anak-anak dan tidak mengerti. Di sekitar sini banyak orang-orang Yahudi. Kami selalu berpuasa dan anak-anak kami menyaksikan betapa orangorang Yahudi makan di siang hari. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa setiap orang yang makan di siang hari adalah seorang Yahudi. Apa-apa yang telah diucapkannya, adalah karena kebodohannya. Maafkanlah dia.” 42
Hikayat Para Auliya
Mendengar penjelasan tersebut Malik sangat menyesal. Ia menyadari bahwa anak itu telah didorong Allah untuk mengucapkan kata-kata itu. “Ya Allah”, seru Malik, “sebuah pun belum sempat aku makan dan Engkau menyebutku Yahudi melalui lidah seorang anak yang tak berdosa. Seandainya korma-korma itu sempat termakan olehku niscaya Engkau akan menyatakan diriku sebagai seorang kafir. Demi kebesaran-Mu aku bersumpah tidak akan memakan buah korma untuk selama-lamanya. *** Dalam kisah lain disebutkan bahwa keberpantangannya terhadap daging dan makanan manis hampir kikis manakala manakala Malik berjalan di pasar dan melihat buah Tin yang ranum dan masak. Nafsunya tak dapat lagi ia tahan. Malik mencopot sandalnya, menghampiri dan menyodorkan sandal tersebut kepada si pedagang seraya berkata, “Berikanlah beberapa buah tin sebagai gantinya.” Si pedagang mengamati sandal yang disodorkan Malik dan berkata, “Sandal itu tidak mencukupi bagiku untuk memberimu satupun buah tin” Maka berlalulah Malik. Ia bersyukur karena nafsunya tidak menemukan jalan untuk merusak sumpahnya dalam berpantang di jalan kezuhudan. Hatinya yang menyirat berkata, “Wahai nafsu, teguh dan bersabarlah hingga hari pertemuan denganNya kelak.” Bersamaan dengan berlalunya Malik, seseorang menghampiri si pedagang seraya berseru kepadanya, “Tidakkah engkau mengenal siapa orang barusan?!” “Tidak,” jawab si pedagang. “Dia, Malik bin Dinar,” terang si orang tersebut. Si pedagang terperanjat. Dia lantas bersegera mengisi sebuah nampan dengan buah tin penuh, mengangkatnya dan menaruhnya ke pundak budak yang ia miliki.22 Terperanjatnya si pedagang merupakan hal yang lazim terjadi dimana dalam tahap pengabdian dan pencarian hakiki, umumnya kalangan ma’rifat yang disebut sebagai sufi kebanyakan melakukan uzlah (pengasingan diri); sebagaimana juga dilakukan Nabi di Gua Hira. Hal ini menjadikan banyak yang mengetahui mereka dari berbagai peristiwa masyhur dan cerita dari mulut ke mulut, tanpa pernah mengetahui wajahnya. 22
43
Hikayat Para Auliya
“Kejarlah dia! Kalau ia mau menerimanya, maka kamu menjadi merdeka seketika,” ujarnya pada si budak. Maka tergopoh, larilah si budak mengejar Malik bin Dinar; “Tuan terimalah nampan ini pembrian dari tuan saya.” Malik menolaknya, namun si budak memohon, “Terimalah Tuan, karena dibalik ini terdapat kemerdekaanku.” “Jika di nampan ini terdapat kemerdekaanmu, di nampan ini pula terdapat siksaku,” jawab Malik bin Dinar.23 Budak itu terus membujuk Malik, sampai akhirnya Malik berkata, “Aku bersumpah tidak akan menjual Allah dengan namaku 24, dan aku tak akan memakan buah tin sampai hari kiamat!” Si budak akhirnya kembali kepada tuannya si pedagang. (Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa Malik menerimanya demi kemerdekaan si budak, namun ia tidak memakannya, melainkan membawanya untuk dibagikan kepada gelandangan-gelandangan di sudut-sudut kota Basrah) *** Pada saat menjelang sakaratul maut, Malik bin Dinar ditimpa sakit panas. Ia menginginkan semangkuk madu dan susu untuk dicampur dengan roti tawar yang telah menjadi makanannya seharihari. Seorang sahabatnya lalu membawakannya ke hadapan Malik. Nampan berisi madu dan susu itu diterimanya. Ia memegangnya dan terus mengamatinya. Beberapa saat kemudian Malik berkata kepada dirinya sendiri. “Wahai nafsu, engkau telah menahan diri selama empat puluh tahun, dan umurmu tinggal sesaat lagi, bersabarlah.” Nampan itu dibuangnya keluar, lalu tak berapa lama, Malikpun wafat.
Siksa karena pengingkaran terhadap janji dimana sumpah Malik berpantang dipandang-nya merupakan sebuah janji kepada Allah 23
Disini Malik menyiratkan bahwa keengganannya menerima nampan karena pemberian si pedagang dikarenakan mengetahui namanya, bukan karena ikhlas. (Bagaimana jika seorang pengemis yang memintanya? Akankah si pedagang mau memberinya?) 24
44
Hikayat Para Auliya
45
Hikayat Para Auliya
Rabiah Al Adawiyah Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyah, berasal dari keluarga miskin. Dari kecil ia tinggal di Bashrah. Di kota ini namanya sangat harum sebagai seorang manusia suci dan seorang pengkhotbah. Dia sangat dihormati oleh orangorang saleh semasanya. Mengenai kematiannya ada berbagai pendapat, tahun 135 H/752 M atau 185 H/801 M, namun mengingat ia sempat berinteraksi dengan Hasan al Bashri dan juga Sufyan Ats-Tsauri maka tahun 135 H/752 M merupakan tahun wafat yang lebih mendekati kebenaran.
Rabi’ah al-Adawiyah yang seumur hidupnya tidak pernah menikah, dianggap mempunyai saham yang besar dalam memperkenalkan cinta Allah kedalam mistisme Islam. Orang-orang mengatakan bahwa ia dikuburkan di dekat kota Jerusalem. Jika seseorang bertanya: “Mengapa engkau mensejajarkan Rabi’ah dengan kaum lelaki?”, maka jawabanku adalah bahwa Nabi sendiri pernah berkata: “Sesungguhnya Allah tidak memandang rupa kamu” dan yang menjadi masalah bukanlah bentuk, tetapi niat seperti yang dikatakan Nabi, “Manusia-manusia akan dimuliakan sesuai dengan niat di dalam hati mereka.” Selanjutnya, apabila kita boleh menerima dua pertiga ajaran agama dari ‘Aisyah, maka sudah tentu kita boleh pula menerima petunjuk-petunjuk dari pelayan pribadinya itu. Apabila seorang perempuan berubah menjadi “seorang lelaki” pada jalan Allah, maka ia adalah sejajar dengan kaum lelaki dan kita tidak dapat menyebutnya sebagai seorang perempuan lagi. (Sufyan Ats-Tsauri)
RABI’AH LAHIR DAN MASA KANAK-KANAKNYA Pada malam Ra’biah dilahirkan ke atas dunia, tidak ada sesuatu barang berharga yang dapat ditemukan di dalam rumah orang tuanya, karena ayahnya adalah seorang yang sangat miskin. Si ayah bahkan tak mempunyai minyak barang setetespun untuk memoles pusar puterinya itu. Mereka tidak mempunyai lampu dan tidak mempunyai kain untuk menyelimuti Ra’biah. Si ayah telah memperoleh tiga orang puteri dan Rabi’ah adalah puterinya yang keempat. Itulah sebabnya mengapa ia dinamakan Rabi’ah. 46
Hikayat Para Auliya
“Pergilah kepada tetangga kita si anu dan mintalah sedikit minyak sehingga kita dapat menyalakan lampu” isterinya berkata kepadanya. Tetapi si suami telah bersumpah bahwa ia tidak akan meminta sesuatu jua pun dari manusia lain. Maka pergilah ia, pura-pura menyentuhkan tangannya ke pintu rumah tetangga tersebut lalu kembali lagi ke rumahnya. “Mereka tidak mau membukakan pintu” ia melaporkan kepada isterinya sesampainya di rumah. Isterinya yang malang menangis sedih. Dalam keadaan yang serba memprihatinkan itu si suami hanya dapat menekurkan kepala ke atas lututnya dan terlena. Di dalam tidurnya ia bermimpi melihat Nabi. Nabi membujuknya: “Janganlah engkau bersedih, karena bayi perempuan yang baru dilahirkan itu adalah ratu kaum wanita dan akan menjadi penengah bagi 70 ribu orang diantara kaumku.” Kemudian Nabi meneruskan; “Besok, pergilah engkau menghadap ‘Isa az-Zadan, Gubernur Bashrah. Di atas sehelai kertas, tuliskan kata-kata berikut ini: ‘Setiap malam engkau mengirimkan shalawat seratus kali kepadaku, dan setiap malam Jumat empat ratus kali. Kemarin adalah malam Jumat tetapi engkau lupa melakukannya. Sebagai penebus kelalaian mu itu berikanlah kepada orang ini empat ratus dinar yang telah engkau peroleh secara halal’.” Ketika terjaga dari tidurnya ayah Rabi’ah mengucurkan air mata. Ia pun bangkit dan menulis seperti yang dipesankan Nabi kepadanya dan mengirimkannya kepada gubernur melalui pengurus rumah tangga istana. “Berikanlah dua ribu dinar kepada orang-orang miskin”, gubernur memberikan perintah setelah membaca surat tersebut, “sebagai tanda syukur karena Nabi masih ingat kepadaku. Kemudian berikan empat ratus dinar kepada si syaikh dan katakan kepadanya: ‘Aku harap engkau datang kepadaku sehingga aku dapat melihat wajahmu. Namun tidaklah pantas bagi seorang seperti kamu untuk datang menghadapku. Lebih baik seandainya akulah yang datang dan menyeka pintu rumahmu dengan janggutku ini. Walaupun demikian, demi Allah aku bermohon kepadamu, apapun yang engkau butuhkan katakanlah kepadaku’.”
47
Hikayat Para Auliya
Ayah Rabi’ah menerima uang emas tersebut dan membeli sesuatu yang dirasa perlu. Ketika Rabi’ah BeRanjak besar, sedang ayah bundanya telah meninggal dunia, bencana kelaparan melanda kota Bashrah, dan ia terpisah dari kakak-kakak perempuannya. Suatu hari ketika Rabi’ah keluar rumah, ia terlihat oleh seorang penjahat yang segera menangkapnya kemudian menjualnya dengan harga enam dirham. Orang yang membeli dirinya menyuruh Rabi’ah mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang berat. Pada suatu hari ketika ia berjalan-jalan, seseorang yang tak dikenal datang menghampirinya. Rabi’ah melarikan diri, tiba-tiba ia jatuh tergelincir sehingga tangannya terkilir. Rabi’ah menangis sambil mengantuk-antukan kepalanya ke atas tanah: “Ya Allah, aku adalah seorang asing di negeri ini, tidak mempunyai ayah bunda, seorang tawanan yang tak berdaya, sedang tanganku cidera. Namun semua itu tidak membuatku bersedih hati. Satu-satunya yang kuharapkan adalah dapat memenuhi kehendak-Mu dan mengetahui apakah Engkau berkenan atau tidak.” “Rabi’ah, janganlah engkau berduka”, sebuah suara berkata kepadanya. “Esok lusa engkau akan dimuliakan sehingga malaikatmalaikat iri kepadamu.” Rabi’ah kembali ke rumah tuannya. Di siang hari ia terus berpuasa dan mengabdi kepada Allah, sedang di malah hari ia berdoa kepada Allah sambil terus bediri sepanjang malam. Pada suatu malam tuannya terjaga dari tidur, dan lewat jendela terlihatlah olehnya Rabi’ah sedang bersujud berdoa kepada Allah. “Ya Allah, Engkau tau bahwa hasrat hatiku adalah untuk memenuhi perintah-Mu dan mengabdi kepada-Mu. Jika aku dapat mengubah nasib diriku ini, niscaya aku tidak akan beristirahat barang sebentar pun dari mengabdi kepada-Mu. Tetapi Engkau telah menyerahkan diriku ke bawah kekuasaan seorang hamba-Mu.” Demikianlah kata-kata yang diucapkan Rabi’ah di dalam doanya itu. Dengan mata kepalanya sendiri si majikan menyak-sikan betapa sebuah lentera tanpa rantai tergantung di atas kepala Rabi’ah sedang cahayanya menerangi seluruh rumah. Menyaksikan peristiwa ini, ia merasa takut. Ia lalu beranjak ke kamar tidurnya dan duduk
48
Hikayat Para Auliya
merenung hingga fajar tiba. Ketika hari telah terang ia memanggil Rabi’ah, bersi-kap lembut kepadanya kemudian membebaskannya. “Izinkanlah aku pergi”, Rabi’ah berkata. Tuannya memberikan izin, Rabi’ah meninggalkan rumah tuannya menuju padang pasir mengadakan perjalanan menuju sebuah pertapaan di mana ia untuk beberapa lama membaktikan diri kepada Allah. Kemudian ia berniat untuk melaksanakan ibadah haji, Maka berangkatlah ia menempuh padang pasir kembali. Barang-barang miliknya dibuntalnya di atas punggung keledai. Tetapi begitu sampai di tengah-tengah padang pasir, keledai itu mati. “Biarlah kami yang membawa barang-barangmu”, lelaki-lelaki di dalam rombongan itu menawarkan jasa mereka. “Tidak! Teruskanlah perjalan kalian”, jawab Rabi’ah. “Bukan tujuanku untuk menjadi beban kalian.” Rombongan itu meneruskan perjalanan dan meninggalkan Rabi’ah seorang diri. “Ya Allah”, Rabi’ah berseru sambil menengadahkan kepala. “Demikianlah caranya raja-raja memperlakukan seorang wanita yang tak berdaya di tempat yang masih asing baginya?. Engkau telah memanggilku ke rumah-Mu, tetapi di tengah perjalanan Engkau mem-bunuh keledaiku dan meninggalkanku sebatangkara di tengah-tengah padang pasir ini.” Belum lagi Rabi’ah selesai dengan kata-katanya ini, tanpa diduga-duga keledai itu bergerak berdiri. Rabi’ah meletakan barangbarangnya ke atas punggung binatang itu dan melanjutkan perjalanannya. (Tokoh yang meriwayatkan kisah ini mengatakan bahwa tidak berapa lama setelah peristiwa itu, ia melihat keledai itu sedang dijual orang di pasar). Beberapa hari lamanya Rabi’ah meneruskan perjalanannya menempuh padang pasir, sebelum ia berhenti, ia berseru kepada Allah: “Ya Allah, aku sudah letih. Ke arah manakah yang harus kutuju? Aku ini adalah hanya segumpal tanah sedang rumah-Mu terbuat dari batu. Ya Allah, aku bermohon kepada diri-Mu, tunjukanlah diri-Mu.” Allah berkata ke dalam hati sanubari Rabi’ah: “Rabi’ah, engkau sedang berada di atas sumber kehidupan delapan belas ribu dunia. Tidakkah engkau ingat betapa Musa telah bermohon untuk melihat 49
Hikayat Para Auliya
wajah-Ku dan gunung-gunung terpecah-pecah menjadi empat puluh keping?. Karena itu merasa cukuplah engkau dengan nama-Ku saja!” CERITA-CERITA MENGENAI DIRI RABI’AH Pada suatu malam ketika Rabi’ah sedang shalat di sebuah pertapaan, ia merasa sangat letih sehingga ia jatuh tertidur. Sedemikian nyenyak tidurnya sehingga ketika matanya berdarah tertusuk alang-alang dari tikar yang ditidurinya, ia sama sekali tidak menyadarinya. Seorang maling masuk menyelinap ke dalam pertapaan itu dan mengambil cadar Rabi’ah. Ketika hendak menyingkir dari tempat itu didapatinya bahwa jalan keluar telah tertutup. Dilepaskannya cadar itu dan ditinggalkannya tempat itu dan ternyata jalan keluar telah terbuka kembali. Cadar Rabi’ah diambilnya lagi, tetapi jalan keluar tertutup kembali. Sekali lagi dilepaskannyalah cadar itu. Tujuh kali perbuatan seperti itu diulanginya. Kemudian terdengarlah olehnya sebuah suara dari pojok pertapaan itu. “Hai manusia, tiada guna engkau mencoba-coba.” “Sudah bertahun-tahun Rabi’ah mengabdi kepada Kami. Syaithan sendiri tidak berani datang menghampirinya. Tetapi betapakah seorang maling memiliki keberanian hendak mencuri cadarnya? Pergilah dari sini hai manusia jahanam! Tiada gunanya engkau mencoba-coba lagi. Jika seorang Sahabat sedang tertidur maka Sang Sahabat bangun untuk berjaga-jaga.” *** Dua orang pemuka agama datang mengunjungi Rabi’ah dan keduanya merasa lapar. “Mudah-mudahan Rabi’ah akan menyuguhkan makanan kepada kita”, mereka berkata. “Makanan yang disuguhkan Rabi’ah pasti diperolehnya secara halal.” Ketika mereka duduk, di depan mereka telah terhampar serbet dan diantaranya ada dua potong roti. Melihat hal ini mereka sangat gembira. Tetapi saat itu pula seorang pengemis datang dan Rabi’ah memberikan kedua potong roti tersebut kepadanya. Kedua pemuka agama itu sangat kecewa, namun mereka tidak berkata apa-apa. Tak berapa lama kemudian masuklah seorang pelayan wanita memba-wakan beberapa buah roti yang masih panas.
50
Hikayat Para Auliya
“Majikanku telah menyuruhku untuk mengantarkan roti-roti ini kepadamu”, si pelayan menjelaskan. Rabi’ah menghitung roti-roti tersebut. Semua berjumlah delapan belas buah. “Mungkin sekali roti-roti ini bukan untukku”, Rabi’ah berkata. Si pelayan berusaha meyakinkan Rabi’ah namun percuma saja. Akhirnya roti-roti itu dibawanya kembali. Sebenarnya yang telah terjadi adalah bahwa pelayan itu telah mengambil dua potong untuk dirinya sendiri. Kepada nyonya majikannya ia meminta dua potong roti lagi kemudian kembali ke tempat Rabi’ah. Roti-roti itu dihitung oleh Rabi’ah, ternyata semuanya ada dua puluh buah dan setelah itu barulah ia mau menerimanya. “Roti-roti ini memang telah dikirimkan majikanmu untukku”, kata Rabi’ah. Kemudian Rabi’ah menyuguhkan roti-roti tersebut kepada kedua tamunya tadi. Keduanya makan namun masih dalam keadaan terheran-heran. “Apakah rahasia dibalik semua ini?”, mereka bertanya kepada Rabi’ah. “Kami ingin memakan rotimu sendiri tetapi engkau memberi-kannya kepada seorang pengemis. Kemudian engkau mengatakan kepada si pelayan tadi bahwa kedelapan belas roti itu bukanlah dimaksudkan untukmu. Tetapi kemudian ketika semuanya berjumlah dua puluh buah barulah engkau mau menerimanya.” Rabi’ah menjawab: “Sewaktu kalian datang, aku tahu bahwa kalian sedang lapar. Aku berkata kepada diriku sendiri, betapa aku tega menyuguhkan dua potong roti kepada dua orang pemuka yang terhormat? Itulah sebabnya mengapa ketika si pengemis tadi datang, aku segera memberikan dua potong roti itu kepadanya dan berkata kepada Allah Yang Maha Besar, ‘Ya Allah, Engkau telah berjanji bahwa Engkau akan memberikan ganjaran sepuluh kali lipat dan janji-Mu itu kupegang teguh. Kini telah ku sedekahkan dua potong roti untuk menyenangkan hati-Mu, semoga Engkau berkenan untuk memberikan dua puluh potong sebagai imbalannya.’ Ketika kedelapan belas potong roti itu diantarkan kepadaku, tahulah aku bahwa sebagian daripadanya telah dicuri atau roti-roti itu bukan untuk disampaikan kepadaku.” *** 51
Hikayat Para Auliya
Pada suatu hari pelayan wanita Rabi’ah hendak mamasak sup bawang karena telah beberapa lamanya mereka tidak memasak sup bawang. Si pelayan berkata kepada Rabi’ah: “Aku hendak meminta bawang kepada tetangga sebelah.” Tetapi Rabi’ah mencegah: “Telah emapat puluh tahun aku berjanji kepada Allah tidak akan meminta sesuatupun keculai kepada-Nya. Lupakanlah bawang itu.” Segera setelah Rabi’ah berkata demikian, seekor burung meluncur dari angkasa, membawa bawang yang telah dikupas di paruhnya, lalu menjatuhkannya kedalam belanga. Menyaksikan peristiwa itu Rabi’ah berkata: “Aku takut jika semua ini adalah semacam tipu muslihat.” Rabi’ah tidak mau menyentuh sup bawang tersebut. Hanya roti sajalah yang dimakannya. *** Pada suatu hari Rabi’ah berjalan ke atas gunung. Segera ia dikerumuni oleh kawanan rusa, kambing hutan, ibeks (sebangsa kambing hutan yang bertanduk panjang) dan keledai-keledai liar. Binatang-binatang ini menatap Rabi’ah dan hendak menghampirinya. Tanpa disangka-sangka Hasan al-Bashri datang pula ke tempat itu. Begitu melihat Rabi’ah segera ia menghampirinya. Tetapi setelah melihat kedatangan Hasan, binatang-binatang tadi lari ketakutan dan meninggalkan Rabi’ah. Hal ini membuat Hasan kecewa. “Mengapakah binatang-binatang itu menghindari diriku sedang mereka begitu jinak terhadapmu?”, Hasan bertanya kepada Rabi’ah. “Apakah yang telah engkau makan pada hari ini?”, Rabi’ah balik bertanya. “Sup bawang.” “Engkau telah memakan lemak binatang-binatang itu. Tidak mengherankan jika mereka lari ketakutan melihat dirimu.” *** Di hari lain, ketika Rabi’ah lewat di depan rumah Hasan. Saat itu Hasan termenung di jendela, ia sedang menangis dan air matanya menetes jatuh mengenai pakaian Rabi’ah. Mula-mula Rabi’ah mengira hujan turun, tetapi setelah ia menengadah ke atas dan 52
Hikayat Para Auliya
melihat Hasan, sadarlah ia bahwa yang jatuh menetes itu adalah air mata Hasan. “Guru, menangis adalah pertanda kelesuan spiritual”, ia berkata kepada Hasan. “tahanlah air matamu. Jika tidak, di dalam dirimu akan menggelora samudera sehingga engkau tidak dapat mencari dirimu sendiri kecuali kepada seorang Raja Yang Maha Perkasa.” Teguran itu tidak enak didengar Hasan, namun ia tetap menahan diri. Di belakang hari ia bertemu dengan Rabi’ah di tepi sebuah danau. Hasan menghamparkan sajadahnya di atas air dan berkata kepada Rabi’ah, “Rabi’ah, marilah kita melakukan shalat sunat dua rakaat di atas air!.” Rabi’ah menjawab: “Hasan jika engkau mempertontonkan kesaktian-kesaktianmu di tempat ramai ini, maka kesaktiankesaktian itu haruslah yang tidak dimiliki orang-orang lain.” Sesudah berkata Rabi’ah melemparkan sajadahnya ke udara, kemudian ia melompat ke atasnya dan berseru kepada Hasan: “naiklah kemari Hasan, agar orang-orang dapat menyaksikan kita.” Hasan yang belum mencapai kepandaian seperti itu tidak dapat berkata apa-apa. Kemudian Rabi’ah mencoba menghiburnya dan berkata: “Hasan, yang engkau lakukan tadi dapat pula dilakukan oleh seekor ikan dan yang kulakukan tadi dapat pula dilakukan oleh seekor lalat. Yang terpenting bukanlah keahlian-keahlian seperti itu. Kita harus mengabdikan diri kepada Hal-hal Yang Terpenting itu.” *** Pada suatu malam Hasan beserta tiga orang sahabatnya berkunjung ke rumah Rabi’ah. Tetapi rumah itu gelap, tida berlampu. Mereka senang sekali seandainya pada malam itu ada lampu. Maka Rabi’ah meniup jari tangannya. Sepanjang malam itu hingga fajar, jari tangan Rabi’ah memancarkan cahaya terang benderang bagaikan lentera dan mereka duduk di dalam benderangnya. Jika ada seseorang bertanya: “Bagaimanakah hal seperti itu bisa terjadi?”, maka jawabanku adalah : “persoalannya adalah sama dengan tangan Musa.” Jika ia kemudian menyangkal: “Tetapi Musa adalah seorang Nabi!”, maka jawabanku: “Barang siapa yang mengikuti jejak Nabi akan mendapatkan sepercik kenabian, seperti 53
Hikayat Para Auliya
yang pernah dikatakan Nabi Muhammad sendiri, ‘Barang siapa yang menolak harta benda yang tidak diperoleh secara halal, walaupun harganya satu sen, sesungguhnya ia telah mencapai suatu tingkat kenabian’. Nabi Muhammad juga pernah berkata, ‘Sebuah mimpi yang benar adalah seperempat puluh dari kenabian’.” *** Pada suatu ketika Rabi’ah mengirimkan sepotong lilin, sebuah jarum dan sehelai rambut kepada Hasan, dengan pesan: “Hendaklah engkau seperti sepotong lilin, senantiasa menerangi dunia walaupun dirinya sendiri terbakar. Hendaklah engkau seperti sebuah jarum, senantiasa berbakti walaupun tidak memiliki apa-apa. Apabila kedua hal itu telah engkau lakukan, maka bagimu seribu tahun hanyalah seperti sehelai rambut ini.” “Apakah engkau menghendaki agar kita menikah?” tanya Hasan kepada Rabi’ah. “Tali pernikahan hanyalah untuk orang-orang yang memiliki keakuan. Di sini keakuan telah sirna, telah menjadi tiada dan hanya ada melalui Dia. Aku adalah milik-Nya. Aku hidup di bawah naunganNya. Engkau harus melamar diriku kepada-Nya, bukan langsung kepada diriku sendiri.” “Bagaimanakah engkau telah menemukan rahasia ini, Rabi’ah?”, tanya Hasan. “Aku lepaskan segala sesuatu yang telah ku peroleh kepadaNya”, jawab Rabi’ah. “Bagaimanakah engkau telah dapat mengenal-Nya?” “Hasan, engkau lebih suka bertanya, tetapi aku lebih suka menghayati”, jawab Rabi’ah. *** Suatu hari Rabi’ah bertemu dengan seorang yang kepalanya dibalut. “Mengapakah engkau membalut kepalamu?”, tanya Rabi’ah. “Karena aku merasa pusing”, jawab lelaki itu. “Berapakah umurmu?”, Rabi’ah bertanya lagi. "Tiga puluh tahun”, jawabnya. “Apakah engkau banyak menderita sakit dan merasa susah di dalam hidupmu?” 54
Hikayat Para Auliya
“Tidak”, jawabnya lagi. “Selama tiga puluh tahun engkau menikmati hidup yang sehat, engkau tidak pernah mengenakan selubung kesyukuran, tetapi baru malam ini saja kepalamu merasa pusing, engkau telah mengenakan selubung keluh kesah”, kata Rabi’ah. *** Suatu ketika Rabi’ah menyerahkan uang empat dirham kepada seorang lelaki. “Belikanlah kepadaku sebuah selimut”, kata Rabi’ah, “karena aku tidak mempunyai pakaian lagi.” Lelaki itupun pergi, tetapi tidak lama kemudian ia kembali dan bertanya kepada Rabi’ah: “Selimut berwarna apakah yang harus ku beli?’ “Apakah peduliku dengan warna?!” Rabi’ah berkata, “kembalikan uang itu padaku!.” Diambilnya keempat buah dirham perak itu dan dilemparkannya ke sungai Tigris. *** Suatu hari di musim semi, Rabi’ah memasuki tempat tinggalnya. Kemudian melongok ke luar karena pelayannya berseru: “Ibu, keluarlah dan saksikanlah apa yang telah dilakukan Sang Pencipta.” “Lebih baik engkaulah yang masuk kemari”, Rabi’ah menjawab, “dan saksikanlah Sang Pencipta itu sendiri. Aku sedemikian asik menatap Sang Pencipta sehingga apakah peduliku lagi terhadap ciptaan-ciptaan-Nya.” *** Beberapa orang datang mengunjungi Rabi’ah dan menyaksikan betapa ia sedang memotong sekerat daging dengan giginya. “Apakah engkau tidak mempunyai pisau untuk memotong daging itu?”, mereka bertanya. “Aku tak pernah menyimpan pisau di dalam rumah ini karena takut terluka”, jawab Rabi’ah. ***
55
Hikayat Para Auliya
Rabi’ah berpuasa seminggu penuh. Selama berpuasa ia tidak makan dan tidak tidur. Setiap malam ia tekun melaksanakan shalat dan berdoa. Lapar yang dirasakannya sudah tidak tertahankan lagi. Seorang tamu masuk ke rumah Rabi’ah membawa semangkuk makanan. Rabi’ah menerima makanan itu. Kemudian ia pergi mengambil lampu. Ketika ia kembali ternyata seekor kucing telah menumpahkan isi mangkuk itu. “Akan kuambilkan kendi air dan aku akan berbuka puasa”, Rabi’ah berkata. Ketika ia kembali dengan sekendi air ternyata lampu telah padam. Ia hendak meminum air kendi itu di dalam kegelapan, tetapi kendi itu terlepas dari tangannya dan jatuh, pecah berantakan. Rabi’ah meratap dan mengeluh sedemikian menyayat hati seolaholah sebagian rumahnya telah dimakan api. Rabi’ah menangis: “Ya Allah, apakah yang telah Engkau perbuat terhadap hamba-Mu yang tak berdaya ini?” “Berhati-hatilah Rabi’ah”, sebuah seruan terdengar di telinganya, “jangan engkau sampai mengharapkan bahwa Aku akan menganugerahkan semua kenikmatan dunia kepadamu sehingga pengabdianmu kepada-Ku terhapus dari dalam hatimu. Pengabdian kepada-Ku dan kenikmatan-kenikmatan dunia tidak dapat dipadukan di dalam satu hati. Rabi’ah engkau menginginkan suatu hal sedang Aku menginginkan hal yang lain. Hasrat-Ku dan hasratmu tidak dapat dipadukan di dalam satu hati.” Setelah mendengar celaan ini, Rabi’ah mengisahkan, “kulepaskan hatiku dari dunia dan ku buang segala hasrat dari dalam hatiku sehingga selama tiga puluh tahun yang terakhir ini, apabila melakukan shalat, maka aku menganggapnya sebagai shalatku yang terakhir.” *** Beberapa orang mengunjungi Rabi’ah untuk mengujinya. Mereka ingin memergoki Rabi’ah mengucapkan kata-kata yang tidak dipikirkannya terlebih dahulu. “Segala macam kebajikan telah dibagi-bagikan kepada kepala kaum lelaki”, mereka berkata. “Mahkota kenabian telah ditaruh di kepala kaum lelaki. Sabuk kebangsawanan telah diikatkan di
56
Hikayat Para Auliya
pinggang kaum lelaki. Tidak ada seorang perempuan pun yang telah diangkat Allah menjadi Nabi.” “Semua itu memang benar”, jawab Rabi’ah. “Tetapi egoisme, memuja diri sendiri dan ucapan ‘Bukanlah aku Tuhanmu Yang Maha Tinggi?’ tidak pernah membersit di dalam dada perempuan. Dan tidak ada seorang perempuan pun yang banci. Semua itu adalah bagian kaum lelaki.” *** Ketika Rabi’ah menderita sakit yang gawat. Kepadanya ditanyakan apakah penyebab penyakitnya itu. “Aku telah menatap surga”, jawab Rabi’ah, “dan Allah telah menghukum diriku.” Kemudian Hasan al-Bashri datang untuk mengunjungi Rabi’ah. “Aku mendapatkan salah seorang di antara pemuka-pemuka kota Bashrah berdiri di pintu pertapaan Rabi’ah. Ia hendak memberikan sekantong emas kepada Rabi’ah dan ia menangis”, Hasan mengisahkan. “Aku bertanya kepadanya: ‘Mengapakah engkau menangis?’. ‘Aku menangis karena wanita suci zaman ini’, jawabnya. ‘Karena jika berkah kehadirannya tak ada lagi, celakalah umat manusia. Aku telah membawakan uang sekedar untuk biaya perawatannya’, ia melanjutkan, ‘tetapi aku kuatir kalau-kalau Rabi’ah tak mau menerimanya. Bujuklah Rabi’ah agar ia mau menerima uang ini’.” Maka masuklah Hasan ke dalam pertapaan Rabi’ah dan membujuknya untuk mau menerima uang itu. Rabi’ah menatap Hasan dan berkata, “Dia telah menafkahi orang-orang yang menghujah-Nya. Apakah Dia tidak akan menafkahi orang-orang yang mencintai-Nya? Sejak aku mengenal-Nya, aku telah berpaling dari dunia ciptaan-Nya. Aku tidak tahu apakah kekayaan seseorang itu halal atau tidak, maka betapakah aku dapat menerima pemberiannya? Pernah aku menjahit pakaian yang robek dengan diterangi lampu dunia. Beberapa saat hatiku lengah tetapi akhirnya akupun sadar. Pakaian itu kurobek kembali pada bagian-bagian yang telah kujahit itu dan hatiku enjadi lega. Mintalah kepadanya agar dia tak membuat hatiku lengah lagi.” *** 57
Hikayat Para Auliya
Abdul Wahid Amir mengisahkan bahwa ia bersama Sufyan atsTsauri mengunjungi ketika Rabi’ah ketika sakit, tetapi karena menyeganinya mereka tidak berani menegurnya atau menyapa Rabi’ah. “Engkaulah yang berkata”, kataku kepada Sufyan. “Jika engkau berdoa”, Sufyan berkata kepada Rabi’ah, “niscaya penderitaanmu akan hilang.” Rabi’ah menjawab: “Tidak tahukah engkau siapa yang menghendaki aku menderita seperti ini? Bukankah Allah?” “Ya”, jawab Sufyan membenarkan. “Betapa mungkin, engkau mengetahui hal ini, menyuruhku untuk memohonkan hal yang bertentangan dengan kehendak-Nya? Bukankah tidak baik apabila kita menentang Sahabat kita sendiri?” “Apakah yang engkau inginkan, Rabi’ah?”, Sufyan bertanya pula. “Shofyan engkau adalah seorang yang terpelajar! Tetapi mengapakah engkau bertanya ‘Apakah yang engkau inginkan?’. Demi kebesaran Allah”, Rabi’ah berkata tandas, “telah dua belas tahun lamanya aku menginginkan buah korma segar. Engkau tentu tahu bahwa di kota Bashrah buah korma sangat murah harganya, tetapi hingga saat ini aku tidak pernah memakannya. Aku ini hanyalah hamba-Nya dan apakah hak seorang hamba untuk menginginkan sesuatu sedang Allah tidak menginginkannya, maka kafirlah aku. Engkau harus menginginkan segala sesuatu yamg diinginkan-Nya semata-mata agar engkau dapat menaadi hambaNya yang sejati. Tetapi lain lagi persoalannya jika Tuhan sendiri memberikannya.” Sufyan terdiam. Kemudian ia berkata kepada Rabi’ah: “Karena aku tak dapat bicara mengenai dirimu, maka engkaulah yang berbicara mengenai diriku.” “Engkau adalah manusia yang baik kecuali dalam satu hal: engkau mencintai dunia. Engkaupun suka membacakan haditshadits25.” Yang terakhir ini dikatakan Rabi’ah dengan maksud bahwa membacakan hadits-hadits tersebut adalah perbuatan yang mulia. “Telah aku ambil sumsum-sumsum Al-Qur’an, dan aku lemparkan tulang-tulangnya buat para qadli” –Ungkapan ini menunjuk pada kondisi keagamaan yang pada saat itu saja telah mulai cenderung berprioritas pada zhahiriyah. Lebih cenderung menghafal ketimbang menghayati dan mendalami isi, baik Al25
Qur’an maupun Al-hadits.
58
Hikayat Para Auliya
Sufyan sangat tergugah hatinya dan berseru: “Ya Allah, kasihanilah aku!” Tetapi Rabi’ah mencela: “Tidak malukah engkau mengharap-kan kasih Allah sedang engkau sendiri tidak mengasihi-Nya?” *** Malik bin Dinar berkisah sebagai berikut: Aku mengunjungi Rabi’ah. Kusaksikan dia menggunakan gayung pecah untuk minum dan bersuci, sebuah tikar dan sebuah batu bata yang kadangkadang dipergunakannya sebagai bantal. Menyaksikan semua itu hatiku menjadi sedih. “Aku mempunyai teman-teman yang kaya”, aku berkata kepada Rabi’ah. “Jika engkau menghendaki sesuatu akan kumintakan kepada mereka.” “Malik, engkau telah melakukan kesalahan yang besar”, jawab Rabi’ah. “Bukankah yang menafkahi aku dan yang menafkahi mereka adalah satu?” “Ya”, jawabku. “Apakah yang menafkahi orang-orang miskin itu lupa kepada orang-orang miskin karena kemiskinan mereka? Dan apakah Dia ingat kepada orang-orang kaya karena kekayaan mereka?”, tanya Rabi’ah. “Tidak”, jawabku. “Jadi”, Rabi’ah meneruskan, “karena Dia mengetahui keadaanku, bagaimanakah aku harus mengingatkan-Nya? Beginilah yang dikehendaki-Nya, dan aku menghendaki seperti yang dikehendaki-Nya.” *** Seorang cendekia terkemuka di kota Bashrah mengunjungi Rabi’ah yang terbaring sakit. Sambil duduk di sisi tempat tidur Rabi’ah ia mencaci maki dunia. Rabi’ah berkata kepadanya: “Sesungguhnya engkau sangat mencintai dunia ini. Jika engkau tidak mencintai dunia tentu engkau tidak akan menyebut-nyebutnya berulang kali seperti ini. Seorang pembelilah yang senantiasa mencela barang-barang yang hendak dibelinya. Jika engkau tidak merasa berkepentingan dengan dunia ini tentulah engkau tidak akan memuji-muji atau memburuk59
Hikayat Para Auliya
burukannya. Engkau menyebut-nyebut dunia ini seperti kata sebuah peribahasa, ‘barang siapa mencintai sesuatu hal maka ia sering menyebut-nyebutnya.” *** Ketika tiba saatnya Rabi’ah untuk meninggalkan dunia fana ini, orang-orang yang menungguinya meninggalkan kamarnya dan menutup pintu kamar dari luar. Setelah itu mereka mendengar suara yang berkata: “Wahai jiwa yang damai, kembalilah kepada Tuhanmu dengan berbahagia.” Beberapa saat kemudian tak ada lagi suara yang terdengar dari kamar Rabi’ah. Mereka lalu membuka pintu kamar itu dan mendapatkan Rabi’ah telah berpulang. Setelah Rabi’ah meninggal dunia, ada yang bertemu dengannya dalam sebuah mimpi, kepadanya ditanyakan, “Bagaimanakah engkau menghadapi Munkar dan Nakir?.” Rabi’ah menjawab: “Kedua malaikat itu datang kepadaku dan bertanya: ‘Siapakah Tuhanmu?’. Aku menjawab: Pergilah kepada Tuhanmu dan katakan kepada-Nya: ‘Diantara beribu-ribu mahluk yang ada, janganlah Engkau melupakan seorang wanita tua yang lemah. Aku hanya memiliki Engkau di dunia yang luas, tidak pernah lupa kepada-Mu, tetapi mengapakah Engkau mengirimkan utusan sekedar menanyakan ‘Siapakah Tuhanmu’ kepadaku?’.”
DOA-DOA RABI’AH : “Ya Allah.., apapun yang Engkau karuniakan kepadaku di dunia ini, berikanlah kepada musuh-musuh-Mu, dan apapun yang akan Engkau karuniakan kepadaku di akhirat nanti, berikanlah kepada sahabatsahabat-Mu, karena Engkau sendiri cukuplah bagiku.” “Ya Allah.., jika aku menyembah-Mu karena aku takut kepada neraka,
60
Hikayat Para Auliya
bakarlah aku di dalam neraka; dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga, campakkanlah aku dari dalam surga; tetapi jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu yang abadi kepadaku.” “Ya Allah.., semua jerih payahku dan semua hasratku diantara segala kesenangan-kesenangan dunia ini adalah untuk mengingat Engkau. Dan di akhirat nanti, di antara segala kesenangan akhirat, adalah untuk berjumpa dengan-Mu. Begitulah halnya dengan diriku, seperti yang telah ku katakan. Kini, perbuatlah seperti yang Engkau kehendaki.”
61
Hikayat Para Auliya
Ibrahim bin Adham Abu Ishaq Ibrahim bin Adham lahir di Balkh 26, Persia. Ia keturunan dari para bangsawan Arab yang menjadi penakluk wilayah kerajaan Balkh yang sebelumnya menjadi pusat kebudayaan agama Budha dengan biara besarnya yang bernama Naubahar. Tumbuh besar dalam lingkungan istana kerajaan yang serba mapan, Ibrahim segera menjadi raja negeri Balkh di usia relatif muda sehubungan meninggalnya sang ayah yang merupakan raja saat itu. Di tengah kekuasaannya, ia pergi begitu saja meninggalkan kerajaan. Berjalan kaki menuju Merw, Nishapur, Yordania, Syria, Jerusalem hingga akhirnya menuju kota Makkah. Ibrahim meninggal tahun 164 H/782 M. di Persia.
“Dialah pemegang kunci-kunci pengetahuan Ilahiah pada jamannya” (Abu Qasim Junayd Al Baghdadi) KISAH PERTAUBATAN Ibrahim adalah raja Balkh dengan wilayah kekuasaan yang cukup besar (saat ini kurang lebih di bentangan Persia TimurAfganistan-Pakistan). Kemanapun ia pergi, empat puluh pedang emas dan empat puluh panji-panji dan tongkat kebesaran dari emas diusung oleh sepasukan pengawal di depan dan di belakangnya. Hanya saja, pada suatu suatu malam saat ia akan tertidur, didengarnya langit-langit kamar berderak derik seolah-olah ada orang yang sedang berjalan di atas atap kamarnya. Ibrahim terjaga dan berseru, “Siapakah itu?!” “Seorang sahabat,” terdengar sebuah sahutan dari atap, “Untaku hilang, dan aku sedang mencarinya di atas atap.” “Goblok! Engkau hendak mencari unta di atas atap?!” seru Ibrahim.
Wilayah pusat politik di Khurasan, dan menjadi kerajaan Tukharistan (Turkmenistan). Ditaklukan oleh Al-ahnaf bin Qais tahun 653 M. Kota ini kemudian dimusnahkan Jengish Khan tahun 1220 M. 26
62
Hikayat Para Auliya
“Wahai manusia lalai..!,” suara itu balas menyeru, “Apakah engkaupun akan mencari Allah dengan berpakaian sutera dan tidur di atas ranjang emas?!” Kata-kata itu menggetarkan hati Ibrahim. Semalaman ia menjadi sangat gundah, gelisah dan tak sekejap-pun matanya bisa ia pejamkan. Esok harinya Ibrahim mengumpulkan semua menterimenterinya di balairung kerajaan. Ia duduk di singgasananya guna menceritakan dan membahas kejadian semalam. Namun sebelum percakapan dimulai, tiba-tiba masuklah seorang laki-laki dengan wajah yang amat menyeramkan. Sedemikian menyeramkannya sehingga tak seorangpun berani melihat wajahnya, apalagi bertanya siapa namanya. Akhirnya, Ibrahimlah yang berkata : “Apa yang engkau inginkan datang kesini?” “Aku baru saja sampai di persinggahan ini”, jawabnya. “Ini bukan persinggahan, ini istanaku! Engkau sudah gila?!” hardik Ibrahim. “Siapa pemilik istana ini sebelumnya?” tanya lelaki itu. “Ayahku”, jawab Ibrahim. “Sebelum ayahmu?” “Kakekku.” “Sebelum kakekmu?” “Ayah dari kakekku.” “Sebelum ayah dari kakekmu?” “Kakek dari kakekku” “Kemana mereka semua sekarang?” “Mereka semua telah tiada, mereka sudah mati,” terang Ibrahim. “Jika begitu, bukankah aku benar bahwa ini adalah tempat persinggahan? Yang dimasuki seseorang lalu ditinggalkan, kemudian dimasuki dan ditinggalkan lagi?” Setelah berkata begitu, si lelaki itu; yang sesungguhnya adalah Khidir a.s., pergi dan menghilang begitu saja meninggalkan Ibrahim yang terdiam membisu. Pertemuan tidak jadi dilakukan karenanya, dan hati Ibrahim kian dihantui kegelisahan. Malam berganti malam, atap kamar Ibrahim tetap saja berderakderik. Dan Ibrahim pun karenanya tak juga bisa terpejam. Sampai 63
Hikayat Para Auliya
pada suatu hari Ibrahim sudah tidak tahan lagi dan berteriak lantang kepada pengwalnya, “Persiapkan kudaku! Aku hendak pergi berburu. Aku tak tahu apa yang akan terjadi lagi menimpaku belakangan ini. Ya Allah, kapan ini berakhir?” Kuda dan rombongan pengawalnya telah siap. Ibrahim menunggangi kudanya hingga di tengah angin segar perjalanan ia lamat-lamat terkantuk. Namun belumlah sempat ia sampai ke titik tidur, di dengarnya sebuah seruan keras berulang, “Hai!, Bangunlah!” Pura-pura tidak mendengar dan marah, Ibrahim menghentak dan memacu kudanya. Kuda itu terus dipacu sampai suara itu ia harapkan tak lagi ia dengar. Namun suara itu tetap mengikuti dan membuat Ibrahim makin kehilangan kendali untuk terus memacu kudanya jauh meninggalkan rombongan pengawalnya. Akhirnya, suara itu membahana sangat keras, “Bangun dan berhentilah!, atau kucambuk!” Ibrahim tak dapat lagi mengendalikan dirinya. Ia berhenti melihat seekor rusa dan mencabut anak panah di punggungnya. Namun rusa itu pun menoleh kepada Ibrahim dan seolah rusa ini berkata kepadanya, “Untuk inikah engkau diciptakan, hai Ibrahim?” Mendengarnya Ibrahim semakin tidak karuan. Anak panahnya tiba-tiba juga mengeluarkan suara yang sama. Sambil menggigil Ibrahim lantas mengerudungkan jubah kebesarannya. Namun begitu jubahnya ditutupkan ke kepalanya, setiap sisi jubah juga mengeluarkan suara yang sama sehingga sampai Ibrahim pada akhirnya lemas lunglai menelungkup di atas kudanya dan mencucurkan air mata. Seluruh tubuh, jubah kebesaran tak terkecuali kudanya basah oleh cucuran air mata tanpa henti. Ia tunduk tak berdaya, baginya panggilan itu sudahlah amat jelas. Maka Ibrahim turun memohon ampun dan bertaubat, lalu melepas bebas kudanya pergi entah kemana. Dan mulailah ia berjalan kaki. Pada saat melintasi sebuah padang yang tak jauh daripadanya, dilihatnya seorang penggembala yang setelah didekati dan diamatinya ternyata merupakan salah seorang hamba sahaya yang
64
Hikayat Para Auliya
sedang menggembala domba-domba milik Ibrahim sendiri. Ibrahim kemudian melepas baju, jubah, pedang dan mahkota kerajaannya untuk ditukar dengan baju yang dipakai si penggembala. Kepadanya Ibrahim memberikan domba-domba tersebut, sekaligus memerdekakannya dari status hamba sahaya. Menurut atsar pada saat itu di alam malakut, para malaikat saling berkata-kata satu sama lain, “Lihatlah Ibrahim, ia telah melepaskan jubah keduniaannya yang hina untuk diganti dengan jubah kepapaan yang megah.” Dengan berjalan kaki, Ibrahim mengelana melalui gununggunung dan padang sambil terus meratapi dosanya 27, hingga sampailah ia di Merw. Disana dilihatnya seorang lelaki terpeleset dari jembatan sehingga pastilah ia akan tewas terbawa arus sungai. Demi melihatnya Ibrahim tersentak berseru, “Ya Allah, selamatkanlah dia!” Seketika itu juga tubuh lelaki itu berhenti dan seperti mengapung. Orang-orang di sekitar situ terheran-heran dan lantas menarik tubuh lelaki tersebut kembali ke atas jembatan. Mereka menengok ke arah Ibrahim sambil bertanya-tanya, “Manusia macam apakah dia itu?” Mengabaikan keheranan orang-orang, Ibrahim melewati tempat itu dan melanjutkan perjalanannya hingga ke Nishapur. Disana dicarinya sebuah tempat terpencil dimana ia dapat dengan tekun mengabdi kepada Allah. Ia akhirnya menemukan sebuah gua (yang kemudian hari menjadi amat masyhur di Nishapur) dengan tiga ruang di dalamnya. Ibrahim menyendiri di gua tersebut selama sembilan tahun. Yakni 3 tahun untuk setiap masing ruang. Setiap hari kamis, Ibrahim memanjat keluar dari gua untuk mengumpulkan kayu bakar. Keesokan harinya ia pergi ke pasar untuk menjualnya. Setelah shalat jumat, ia pergi membeli roti dengan uang yang ia peroleh dari kayu bakar. Separuh daripada rotinya, ia berikan kepada para pengemis, sedang separuhnya sebagai bekal pembuka puasanya sehari-hari. Demikian itulah yang diketahui orang-orang atas apa yang dilakukan Ibrahim setiap Dosa, yang diratapi Ibrahim sebagaimana umumnya diratapi kaum sufi, adalah dosa karena tidak mengingat Allah dengan ketulusan ikhlasan dan kecintaan. Dimana dia dahulu shalat, puasa, zakat, berdoa lebih banyak mengingati dan karenanya seperti menyembah rukun, menyembah pahala, menyembah keuntungan, bukan menyembah Allah. 27
65
Hikayat Para Auliya
pekan. Selebihnya, tak seorangpun tahu apa yang sebenarnya ia lakukan di dalam gua tersebut baik siang maupun malam, karena menurut mereka hanya manusia yang luar biasa berani saja yang mau tinggal dan masuk ke gua tersebut. Pada suatu malam di musim salju, Ibrahim tengah berada di ruang gua permenungannya. Malam itu udara sangat dingin dan untuk bersuci Ibrahim harus memecahkan es. Badannya menggigil, namun ia tetap melak-sanakannya; bersuci, shalat dan berdzikir hingga di tengah malam ia hampir mati kedinginan. Saat itu teringatlah ia pada perapian dan kayu bakar. Maka berdirilah ia ke ruang tempat ia menaruh kayu bakar. Ketika ia meraba-rabakan tangannya ke tanah mencari kayu bakar, dirasakannya tanah tersebut demikian halus seperti tumpukan kulit yang empuk dan hangat. Ibrahim akhirnya merebahkan diri di atas tanah seperti tumpukan kulit yang hangat tersebut, dan tertidur di situ. Setelah hari mulai terang, Ibrahim terjaga dan badannya telah hangat. Tetapi segera itu pulalah ia sadar, bahwa tumpukan kulit hangat yang ditidurinya itu tak lain dari seekor ular yang amat besar dengan matanya yang merah darah. Ibrahim panik dan berser, “Ya Allah, Engkau mengirimnya dalam bentuk yang hangat, tetapi sekarang terlihatlah bentuknya yang mengerikan. Aku tak kuat menyaksikannya.” Ular itu lantas bergerak pergi meninggalkan gua setelah dua tiga kali kepalanya bersujud di hadapan Ibrahim.
IBRAHIM PERGI KE MEKKAH Ketika keberadaan diri dan perbuatannya ia dengar di setiap pekan semakin meluas menjadi bahan perbincangan orang-orang. Ibrahim meninggalkan gua Nishapur tersebut dan berjalan kaki dengan tujuan menuju ke Mekkah. Di tengah perjalanannya di padang pasir ia bertemu dengan sesorang yang mengajarkannya tentang Nama Yang Teragung dari
66
Hikayat Para Auliya
Allah. Dengan Nama Yang Teragung, Ibrahim menyeru Allah, hingga akhirnya hadirlah ke hadapannya Khidir as. “Ibrahim”, kata Khidir as., “Saudaraku Daud as. Lah yang mengajarkan Nama Yang teragung dari Allah tersebut kepadamu.” Khidir as. kemudian mengajarkan ini dan itu kepada Ibrahim, sehingga atas izin Allah, Khidirlah28 manusia yang sesungguhnya sejak dari pertama menyelamatkan Ibrahim.untuk ingat kepada Allah. Setelah itu Ibrahim melanjutkan kembali perjalanannya, dimana ia menceritakan : “Setibanya di Dzatul Irq, kudapati tujuh puluh orang berjubah kain perca menggeletak mati. Darah mengalir dari hidung dan telinga mereka. Aku mengitari mereka dan kudapati satu orang diantaranya ternyat masih hidup.” “Anak muda apakah gerangan yang terjadi” tanyaku kepadanya. “Wahai anak Adam”, jawabnya padaku, “beradalah di dekat air dan tempat shalat. Janganlah menjauh agar engkau tidak dihukum, tetapi jangan pula terlalu dekat agar kau tidak celaka. Tidak seorangpun boleh bersikap terlampau berani di hadapan Sultan. Takutilah Sahabat29 yang membantai para peziarah tanah suci seakan-akan mereka itu orang kafir. Kami adalah rombongan peziarah itu, yang menembus padang pasir dengan berpasrah kepada Allah dan berjanti tak akan mengucapkan sepatah katapun dan memikirkan apapaun kecuali Allah. Setelah kami mengarungi padang pasir hingga akhirnya sampailah ke tempat ini. Khidir as. datang menemui kami, kami mengucapkan salam kepadanya dan Khidir membalas salam kami. Kami sangat bergembira atas kehadirannya sehingga kami berkata, “Alhamdulillah, sesungguhnya perjalanan kita telah diridhoi Allah. Yang mencari telah mene-mukan Yang Dicari, karena bukankah Khidir manusia suci itu telah datang menyambut kita.” Tapi sesaat itu juga berserulah sebuah suara : “Kalian pendusta dan berpura-pura! Demikiankah kata-kata dan janji Manusia yang mencari unta di atas genting ruang tidur Ibrahim dan sosok menyeramkan yang hadir di ruang pertemuan kerajaan Ibrahim, adalah Khidir as. 28
Kata “Sultan” atau “Sahabat” menunjuk pada Allah SWT., sementara kalimat bergaris bawah untuk mengingatkan Ibrahim pada kalam Allah : “Tiada yang merasa aman dari rencana Allah kecuali orang-orang yang merugi (Al-A’raf : 99). Yakni untuk senantiasa tunduk pada kehendak Allah, tidak cepat puas dan menghindarkan rasa aman dalam diri meskipun Ibrahim telah mulai menempuh jalan para muqarabin, mengingat tak sedikit para nabi meninggal terbunuh meski dijamin bahwa mereka pasti orang-orang yang baik dan benar. 29
67
Hikayat Para Auliya
kalian dahulu?! Kalian lupa kepada-Ku dan memuliakan yang lain 30. Binasalah kalian! Aku tak akan membuat perdamaian dengan kalian sebelum nyawa kalian Kucabut sebagai pembalasan dan sebelum darah kalian semua kutumpahkan dengan kemurkaan!” –Manusiamanusia yang engkau saksikan disini adalah korban dari pembalasan itu. Maka wahai Ibrahim, berhati-hatilah! Engkau memiliki ambisi yang sama. Berhati-hatilah, atau jika tidak, menyingkirlah jauhjauh!”31 “Setelah berkata begitu, ia pun menghembuskan nafasnya yang terakhir. Dan aku menjadi gentar mendengar kisah tersebut.” Terhitung selama empat belas tahun Ibrahim berjalan kaki dari Nishapur-Khurasan ke Mekkah, dan selama itu pulalah ia menyeru dan merendahkan diri di hadapan Allah. Ketika sampai di tepian kota Mekkah, para sesepuh kota Mekkah (yang mendengar kabar sejak lama dari orang-orang Nishapur-Khurasan tentang keberadaan dirinya) mendengar kedatangannya. Mereka keluar kota beriringiring untuk menyambutnya. Pada saat itu lewatlah seiringan kafilah dagang yang tak seorangpun di dalamnya mengenal dirinya. Ibrahim menyelinap ke dalam rombongan. Lalu ketika terlihat di kejauhan rombongan iringan kota Mekkah, Ibrahim mendahului rombongan kafilah dan menghampiri para sesepuh Mekkah yang ber-jalan di barisan depan. Pada saat itu kecuali sekedar namanya yang masyhur, tak seorangpun mengenal wajahnya.
30
Yakni memuliakan Khidir dan diri sendiri.
Kehati-hatian dalam sikap hati merupakan syarat penting dalam penghambaan terhadap Allah. Ia merupakan faktor penjaga dari ‘ujub (takjub diri), ketakaburan dan kesombongan. Manakala sebuah ibadat atau sebuah penampakan kebenaran diterima, maka terpedayalah ia ketika memandang dirinya telah luhur, telah berilmu, atau telah sampai. Allah tidak dapat dipersekutukan dengan menyembah diri sendiri; merasa alim, merasa saleh, merasa tahu dan berilmu. Al-Ghazali menerangkan, “Dosa apapun yang lahir dari nafsu keinginan dapatlah kiranya (diharapkan) diampuni, namun apapun yang lahir dari kesombongan (yakni, menyembah diri sendiri) tak bisa diharapkan untuk diampuni.” Kemusyrik-an (jika tak segera henti dan bertaubat) merupakan dosa tak terampuni. Sama seperti dosa iblis, ia menyembah berhala kemuliaan dirinya, dan tak mau bersujud pada Adam (ketiadaan). 31
68
Hikayat Para Auliya
Para sesepuh berkata, “Minggir!, Lihatlah rombongan Ibrahim bin Adham sampai. Kami bersama para sesepuh hadir di sini untuk menyambutnya.” “Apa yang kalian inginkan dari si bid’ah itu?!” tukas Ibrahim ketus. Mereka meringkus Ibrahim sambil menghardik, “Para sesepuh tanah suci ini sendiri menyambut kedatangannya, sementara engkau menyebutnya si bid’ah!” “Ya benar! Aku katankan, ia seorang bid’ah!” timpal Ibrahim Mereka lalu memukulinya dan melemparkannya. Manakala kemudian diketahui bahwa dalam rombongan itu tidak seorangpun bernama Ibrahim bin Adham, para sesepuh meninggalkannya begitu saja. Ibrahim lantas berkata pada dirinya sendiri, “Hai! Engkau pernah berharap agar sesepuh tanah suci mengakuimu dan menyambut kedatanganmu! Bukankah engkau telah memperoleh beberapa pukulan mereka?! Alhamdulillah, aku persaksikan bahwa engkau telah memperoleh (hukuman)32 atas apa yang engkau inginkan!33 Ibrahim kemudian menetap di kota Mekkah. Ia selalu dikelilingi oleh orang-orang yang kemudian menjadi sahabatnya, dan memperoleh nafkah dengan memeras keringat sebagai tukang kayu atau pemecah batu. PERTEMUAN DENGAN PUTERANYA Ketika pergi dari kerajaannya di Balkh, Ibrahim meninggalkan seorang putera yang masih menyusui. Suatu hari ketika puteranya beranjak dewasa ia menanyakan perihal ayahnya kepada ibunya. “Ayahmu telah hilang”, jelas sang ibu. Sejalan waktu berlalu dalam mencari pekabaran tentang ayahnya, tibalah musim haji. Di kerajaannya si putera membuat pengumuman bahwa barang siapa berniat ibadat haji diminta supaya berkumpul dan berangkat bersama. Empat ribu orang kemudian berkumpul memenuhi panggilan tersebut. Si putera lalu memberikan biaya makan dan unta selama Menghukum dirinya sendiri atas dorongan nafsu keinginan supaya diakui dan dimuliakan orang-orang. 32
Hanya saja namanya justru semakin masyhur di kota Mekkah akibat peristiwa itu. Namun Ibrahim sendiri tidak memperdulikannya 33
69
Hikayat Para Auliya
perjalanan kepada mereka, sedang ia sendiri memimpin rombongan itu menuju kota Mekkah. Dalam hati ia berharap semoga dengan begitu Allah dapat mendengar pintanya dan mempertemukannya dengan sang ayah. Setibanya di Mekkah, di dekat pintu Masjidil Haram, mereka bertemu dengan serombongan orang yang mengenakan jubah kain perca. “Apakah kalian mengenal seorang bernama Ibrahim bin Adham,” hampir si putera pada mereka. “O, Ibrahim bin Adham. Ia sahabat kami. Ia sedang mencari makanan untuk kami,” jawab mereka. Si putera kemudian meminta mereka untuk sudi mengantarkannya ke tempat Ibrahim saat itu. Mereka membawanya ke bagian kota Mekkah yang dihuni oleh orang-orang miskin. Di sana dilihatnya betapa ayahnya bertelanjang kaki dan tanpa penutup kepala sedang memikul kayu bakar. Air matanya berlinang, namun ia berupaya untuk mengendalikan dirinya. Ia lalu membuntuti ayahnya sampai ke pasar. Sesampainya di sana ia dengar si ayah mulai berteriak-teriak: “Siapakah yang suka membeli barang hal dengan barang yang halal?” Seorang tukang roti menyahutinya. Lalu menukar kayu bakar tersebut dengan memberikan roti kepada kepada Ibrahim. Roti itu dibawanya untuk diberikan kepada sahabat-sahabatnya. Si Putera berpikir-pikir dengan penuh kekhawatiran; “Jika kukatakan padanya siapa aku, niscaya dia akan melarikan diri”. Oleh karena itu ia pun pulang ke arah rombongan untuk meminta nasehat ibunya bagaimana cara terbaik untuk mengajak ayahnya pulang. Si ibu menasehatkan agar ia bersabar sampai hari pelaksanaan haji itu sendiri dimulai. Ketika hari pelaksanaan haji dimulai, sang anak berangkat beserta rombongannya dari tenda-tenda mereka menuju kota Mekkah. Ibrahim sedang duduk-duduk diantaranya para sahabatnya. “Hari ini diantara jamaah-jamaah haji banyak terdapat perempuan dan anak-anak muda. Jagalah mata kalian”, demikian nasehat Ibrahim kepada mereka. Para jamaah memasuki kota Mekkah dan melakukan thawaf mengelilingi Ka’bah. Ibrahim dan para sahabatnya melakukan hal yang sama. Di tengah putaran thawaf seorang pemuda tampan 70
Hikayat Para Auliya
menghampiri Ibrahim. Ibrahim terkesima melihat dan memandanginya. Para sahabatnya melihat kejadian tersebut, namun menahan diri sampai selesai dilakukannya thawaf. “Semoga Allah mengampunimu”, tegur mereka kepada Ibrahim. “Engkau telah menasehati kami agar menjaga mata kami, tetapi engkau sendiri terpesona memandang seorang pemuda tampan.” “Jadi kalian menyaksikan perbuatanku?” “Ya, kami menyaksikannnya”, jawab mereka. “Ketika aku pergi dari Balkh”, jelas Ibrahim, “aku meninggalkan seorang anak yang masih menyusui. Demi melihatnya, aku yakin bahwa pemuda tadi itu adalah anakku sendiri.” *** Keseokan harinya, tanpa sepengetahuan Ibrahim, salah seorang sahabatnya pergi dan mencari perkemahan jamaah dari Balkh. Diantara semua kemah itu, terdapat sebuah kemah dari kain brokat. Dari pintunya yang terbuka terlihat sebuah mahligai dimana di atas mahligai tersebut duduk si pemuda tampan yang dipandang Ibrahim tengah membaca Al-qur’an sambil menangis. Sahabat Ibrahim tersebut meminta izin masuk. “Dari manakah engkau datang?” tanyanya kepada si pemuda. “Dari Balkh”, jawab si pemuda. “Putera siapakah engkau?” Si pemuda menutup wajahnya, lalu tersedak-sedak menangis. “Sampai kemarin sebelum datang ke Mekkah ini aku belum pernah melihat wajah ayahku”, katanya sambil memindahkan al-qur’an yang dibacanya. “Walaupun demikian aku belum merasa pasti bahwa dia adalah ayahku atau bukan. Aku khawatir jika kukatakan kepadanya siapa aku sebenarnya, ia akan menghindarkan dirinya kembali kepada kami. Ayahku adalah Ibrahim bin Adham, raja dari kerajaan Balkh.” Setelah mengetahui keadaannya demikian, sahabat Ibrahim membawa si pemuda, berikut ibunya untuk bertemu dengan
71
Hikayat Para Auliya
Ibrahim. Ketika mereka sampai, Ibrahim sedang duduk bersama sahabat lainnya di pojok Yamani (salah satu sudut kota Mekkah). Dari kejauhan Ibrahim telah melihat kedatangan sahabatnya beserta si pemuda dan ibunya. Begitu melihat Ibrahim, si ibu menjerit-jerit dan tidak dapat mengendalikan dirinya. “Inilah ayahmu!, Inilah ayahmu!”, teriaknya kepada si pemuda. Semuanya gempar. Semua yang berada disitu termasuk sahabat-sahabat Ibrahim menitikkan air mata. Begitu si pemuda dapat menguasai dirinya, ia mengucapkan salam kepada ayahnya. Ibrahim menjawab salam anaknya, lalu merangkulnya erat. “Agama apakah yang engkau anut, anakku?” tanya Ibrahim. “Islam”, jawab anaknya. “Alhamdulillah”, ucap Ibrahim,”Dapatkah engkau membaca alqur’an?” “Ya.” “Alahamdulillah. Apakah engkau sudah mendalami agama ini?” “Sudah.” “Jika begitu, tenanglah diri ayah”, ucap Ibrahim sambil melepas rangkulan kepada anaknya dan berpamit hendak pergi. Namun si anak tak mau melepas rangkulannya kepada Ibrahim, sementara sang ibu, yakni istri Ibrahim meraung keras-keras. Ibrahim kelihatan bimbang, wajahnya menengadah ke atas dan berseru: “Ya Allah, harus bagaimanakah aku? Selamatkanlah diriku ini.” Seketika itu juga, si anak (entah karena sedih pedih yang sangat) menemui ajalnya34. “Wahai? Apakah gerangan yang terjadi?”, sahabat-sahabatnya bertanya. “Ketika aku merangkulnya”, Ibrahim menerang-kan,”Timbullah kecintaan kuta kepada anakku, dan sebuah suara berseru kepadaku: “Engkau mengatakan bahwa engkau mencintai Aku, tetapi nyatanya engkau mencintai seseorang lain disamping Aku. Engkau telah Hal ini kembali ditegaskan, sebaiknya ditafsirkan bahwa pada saat itu telah terjadi kondisi emosional yang melewat batas (ekstase) pada diri si anak karena kerinduan, kegembiaraan dan kesedihan yang amat bersangatan. Kondisi luar sadar emotif ini dalam keseharian bisa dilihat dalam contoh ketika seorang ibu mendengar anak/suaminya meninggal dunia, ia terjengkang pingsan. Contoh lain, adalah riwayat meninggalnya 15 orang jamaah di hari pertama lalu 7 orang di hari kedua di dalam majelis ketika Syaikh Junayd al Baghdadi berceramah tentang mahabbah. 34
72
Hikayat Para Auliya
menasehati sahabat-sahabatmu agar tidak memandang sesuatu selain Aku. Tetapi hatimu sendiri telah tertarik kepada wanita dan pemuda itu!” Mendengar kata-kata itu maka akupun berdoa 35 , “Ya Allah Yang Maha Besar, selamatkanlah diriku ini! Anak ini akan merenggut seluruh perhatianku sehingga aku tak tahu lagi bagaimana aku akan bisa mencintaiMu. Cabutlah nyawaku, atau anakku, jika Engkau berkehen-dak!”36 Dan kematian anakku itu adalah jawabanNya37. CERITA-CERITA TENTANG IBRAHIM BIN ADHAM Suatu hari Ibrahim menyaksikan seorang pengemis sedang meratapi nasibnya. Ibrahim menghampirinya dan berkata, “Aku menduga bahwa engkau membeli pekerjaan yang kau lalukan ini dengan harga yang murah bahkan gratis.” “Apakah menurutmu pekerjaan sebagai pengemis (fakir) ini diperjual belikan?!” tanya si pengemis heran. “Sudah barang tentu.” Tukas Ibrahim, “Aku membeli kefakiranku ini dengan kerajaan Balkh dan aku masih tetap merasa sangat beruntung melakukannya. Maka apalagi engkau yang membelinya dengan gratis.” *** Sahl bin Ibrahim bercerita : Suatu hari ketika aku melakukan perjalanan dengan Ibrahim bin Adham, aku jatuh sakit. Ibrahim mencopot semua kantung perbekalan yang ada di atas punggung seekor keledai yang kami bawa, menaikkanku ke atasnya dan memanggul semua kantung. Ia kemudian menuntunku di atas keledai yang tak lain dari keledainya sendiri menuju ke pasar. Ia menjual semua barang perbekalan, dan Sebuah teguran karena kondisi emotif Ibrahim yang menguat membuatnya sesaat lupa akan Allah, dimana dalam hatinya saat itu hanya ada anak dan istrinya. Padahal kecintaan semestinya harus ada dalam keadaan senantiasa sadar (sahw), dimana cinta itu disadari tak harus larut mempengaruhi, tidak melebihi, harus berada dibawah dan sekedar wujud manifestasi dari kecintaan terhadap Allah, seperti cinta sadar Nabi kepada Allah dan kepada umatnya. 35
36
Berdoa karena perasaan bersalah atas kecintaan yang seharusnya.
Sisi lain dari meninggalnya sang anak, saat itu dipandang sebagai sebuah pilihan sejarah. Soal kenapa bukan Ibra-him yang meninggal mengingat bahwa saat itu Ibrahim merupakan seorang pemegang obor pengetahuan Ketuhanan. Maka apabila ia yang meninggal, niscaya obor pengetahuan tersebut akan padam dan mengalami titik henti. 37
73
Hikayat Para Auliya
dari hasilnya setelah mencari tempat istirahat, ia gunakan untuk merawat diriku. Pada saat berapa lama setelah itu, di tengah sakitku, aku memohon sesuatu yang aku inginkan untuk kiranya menawarkan rasa sakitku. Ibrahim kembali ke pasar membawa keledainya dan memenuhi semua keinginanku. Setelah aku merasakan sedikit kesembuhan dan sanggup melanjutkan perjalanan, aku bertanya kepadanya, “Wahai Ibrahim, dimana keledaimu?” “Telah aku jual”, jawab Ibrahim. “Lalu apa tungganganku?” tanyaku. “Saudaraku,” jawab Ibrahim, “naiklah ke punggungku.” Kemudian ia mengangkat tubuhku ke atas punggungnya dan menggendongku terus sampai aku sembuh benar, yakni di persinggahan/kota yang ketiga dari tempat aku sakit itu. *** Suatu hari Ibrahim berjalan meninggalkan perkampungan, melewati pekuburan kaum muslimin lalu menuju tepian padang pasir. Namun dari arah berlawanan dari kejauhan datanglah ke hadapannya seorang tentara. Dari kudanya ia bertanya, “Hai, siapakah engkau?” “Aku seorang hamba (budak)”, jawab Ibrahim. “Dimana perkampungamu?” Ibrahim menunjukkan tangannya ke arah pekuburan. “Engkau memperolok-olok aku!”, hardik si tentara. “Perkampunganku memang benar, itulah dia kuburan”, tegas Ibrahim. Tentara itu marah, lalu memukulkan gagang hulu cambuknya ke kepala Ibrahim hingga luka berdarah. Lalu ia mengalungkan talinya ke leher Ibrahim, meminta ditunjukkan ke mana orang perkampungan orang-orang dan lantas menyeret Ibrahim ke arah tersebut setelah Ibrahim menunjukkannya. Begitu tiba di perkampungan seputar Ka’bah, teman-teman Ibrahim menghampirinya seraya bertanya, “Ada apakah gerangan?” Si tentara berbicara, “Siapa sebenarnya orang gila ini! Saya datang dari jauh..., (lalu si tentara menerangkan kejadiannya begini dan begitu, berikut ia menerangkan bahwa ia datang untuk 74
Hikayat Para Auliya
menemui Ibrahim bin Adham untuk meminta nasihatnya dan juga berkahnya) Teman-teman Ibrahim menjawab, “Demi Allah! Orang yang engkau kalungi cambuk dan engkau seret ini, inilah Ibrahim bin Adham!” Mendengar jawaban tersebut, merah pucatlah wajah si tentara. Ia melompat dari kudanya, lantas menciumi kedua tangan dan kaki Ibrahim seraya tak henti-hentinya mengucap permohonan agar dimaafkan. Dan Ibrahim pun mengangguk mengisyaratkan permaafan. Setelah itu si tentara memberanikan diri bertanya kepada Ibrahim, “lalu mengapa engkau menjawab aku adalah seorang hamba (budak)?” “Engkau tidak bertanya siapa namaku, serta siapakah sebenarnya orang yang bukan hamba”, jawab Ibrahim. “Lantas kenapa pula engkau menunjuk pekuburan ketika kutanya perkampungan?” “Engkau bertanya dimana perkampunganmu? – Perkampunganku itulah dia kuburan. Sedang perkampungan orangorang ya disini”, jawab Ibrahim lagi sambil lantas mendoakan si tentara, “Semoga engkau memperoleh berkah dan surga dari Allah.” Teman-teman Ibrahim menyela, mungkin demi melihat kening Ibrahim yang luka berdarah, “Bagaimana bisa engkau begitu? Bukankah dia menganiayamu?” Ibrahim menjawab, “Aku tahu ketika aku dipukul, aku mendapat pahala atas apa yang ia perbuat kepadaku. Lalu apakah baik seseorang yang telah mendapat pahala memintakan yang sebaliknya bagi orang yang telah memberi kebaikan tersebut?” Teman-teman Ibrahim serempak berkata, “Demi Allah! Inilah Ibrahim bin Adham!” *** Suatu hari di pinggiran sungai, Ibrahim tengah duduk menjahit jubah tuanya. Jarumnya terjatuh ke dalam sungai. Seorang yang
75
Hikayat Para Auliya
tengah memperhatikannya jatuh iba dan memnghampirinya sambil berta-nya, “Engkau telah meninggalkan sebuah kerajaan yang jaya demi semua ini, tetapi apakah yang telah engkau peroleh sebagai imbalan?” Sambil menunjuk ke arah sungai Ibrahim berkata, “Kembalikan jarumku!” Ribuan ikan besar seketika mendongakkan kepalanya ke atas permukaan sungai. Masing-masing menjepit sebuah jarum emas berkilauan di mulutnya. Kepada ikan-ikan tersebut kembali Ibrahim ber-kata, “Yang aku inginkan adalah jarumku!” Seekor ikan kecil muncul keluar dengan menjepit jarum milik Ibrahim dimulutnya dan meng-hampirkannya ke tepian sungai. Ibrahim lantas mengambilnya. “Jarum ini adalah salah satu diantara imbalan-imbalan yang aku terima karena meninggalkan kerjaan Balkh. Yang lain-lainnya belum engkau ketahui38”, kata Ibrahim kepada orang tersebut. *** Ibrahim pergi ke sebuah sumur untuk mengambil air wudhu. Timba diturunkannya ke dalam sumur dan ketika dia angkat ternyata timba tersebut penuh dengan kepingan emas. Ibrahim lantas membuangnya ke dalam sumur. Timba diturunkannya kembali, namun begitu ditarik dilihatnya bahwa timba itu penuh dengan mutiara dan permata. Sambil menurunkannya lagi Ibrahim sambil berseru : “Ya Allah, aku tahu bahwa Engkau Maha Kuasa. Tetapi Engkaupun tahu bahwa aku tidak mem-butuhkannya. Berilah aku air untuk bersuci!” *** Seseorang bertanya kepada Ibrahim, “Sejak engkau menempuh jalan kehidupan seperti ini, pernahkah engkau merasakan kebahagiaan?” “Sudah berkali-kali”, jawab Ibrahim. Yang Ibrahim tunjukkan dari kejadian ini adalah tidak sepantasnya orang (atau umat) melakukan penilaian terhadap orang lainnya hanya berdasarkan melihat aspek lahiriah saja. Seseorang yang berdasar luarannya dinilai sebagai fakir atau miskin papa tak perlu dianggap lebih hina dari seorang raja. 38
76
Hikayat Para Auliya
“Pada suatu hari aku sedang berada di atas kapal. Aku mengenakan pakaian lusuh dan rambutku belum kucukur. Aku sedang mengalami ekstase spiritual, namun tak seorangpun mengetahuinya. Mereka menertawai dan memperolok-olokku39. Di atas kapal itu ada seorang badut penghibur. Setiap kali ia menghampiriku, ia menjambak rambutku dan menampar tengkukku. Pada saat itulah aku mera-sakan keinginanku telah tercapai 40. Ketika aku dihinakan seperti demikian itulah, aku merasa bahagia.” Tiba-tiba tanpa terduga, terjadilah badai yang menghadirkan gelombang-gelombang raksasa. Karena takut perahu akan tenggelam dalam ombang-ambingannya, Nakhoda kapal berteriak, “salah seorang dari penumpang harus dilemparkan agar perahu menjadi lebih ringan!”. Mereka kemudian mering-kus tubuhku. Ketika mereka mengangkat tubuhku untuk dilemparkan, mendadak gelombang berhenti dan aku dilepasjatuhkan kembali begitu saja. Saat mereka meringkusku itulah, aku merasakan kebaha-giaan. Dalam peristiwa lain, aku pergi ke sebuah mesjid untuk tidur di sana. Namun orang-orang tidak mengizinkanku, sementara aku sendiri merasakan amat letih dan lemahnya akibat lapar dan perjalanan. Setelah masuk, saat itu aku sudah tak sanggup lagi untuk berdiri. Orang-orang menyeretku. Mesjid itu memiliki tiga anak Dalam kondisi ekstase dimana kehusyuan telah mencapai tingkat tertinggi, seseorang mencapai fana dalam penger-tian hilangnya kesadaran atas diri sendiri dalam ingat sepenuhnya kepada Allah. Pada saat seorang hamba mencapai titik ini, kerap terjadi syathot (ucapan reaksional dari luapan hati yang amat kuat, bersifat luar nalar sehingga lebih mirip ucapan orang gila) serta gerakan-gerakan tubuh diluar kontrol. Dalam tarekat maulawi (Jalaluddin Rumi) seorang sufi di puncak dzikir, tubuhnya berputar terus menerus seperti gasing. Dalam tarekat syattariyyah, pada saat dzikir La ilaha illallah-nya mencapai puncak kerinduan, seorang murid akhirnya hanya dapat melolong-lolong seperti serigala dengan urat-urat menyembul di batang lehernya dan air mata bercucuran. Pada tarekat Qadariyah/Naqsabandiyah, para murid yang telah khusyu berdzikir duduk dengan tubuh bergerak ke sana kemari. Akan halnya syathot , ucapan-ucapan ini seringkali menggiring si pengucap ke tiang gantungan, seperti Syekh Siti Jenar yang ketika dzikirnya mem-bumbung puncak cinta dan rasa kedekatan mengelaurkan ucapan, “Manunggaling Kawulo Gusti”. Atau Manshur al Hallaj yang mengucap, “Ana al Haqq”. Ucapan yang reaksional ini sebetulnya tak beda atau bisa dipadankan dengan ucapan seseorang yang dilanda asmara sehingga ketika ia ingat sang kekasih dalam hatinya, ia berucap, “Kau dan aku satu” atau berucap “Engkaulah aku”. Demikian pula Ibrahim bin Adham, ia masih sadar akan perlakuan orang-orang terhadapnya, namun hatinya yang dikuasai gelora rindu ilahiah membuat ia tak lagi peduli sehingga dari bibirnya meluap ucapan bolakbalik, “Hai Engkau, ini Aku!” “Hai Aku, ini Engkau!” 39
Keinginan untuk menjadi hina, mengingat pada dasarnya manusia adalah hina dan harus menghinakan dirinya di hadapan Allah. 40
77
Hikayat Para Auliya
tangga di pintu keluarnya. Setiap kali membentur anak tangga tersebut, kepalaku mengeluarkan darah. Sewaktu mencapai anak tangga ketiga dan mereka melempar tubuhku, pada saat iutlah misteri alam semesta terbuka bagiku. Aku berkata dalam hatiku, “Mengapa mesjid ini tidak memiliki anak tangga yang lebih banyak, sehingga dengannya akan bertambah pulalah kebahagiaanku.” “Dalam saat lain ketika aku mengalami ekstase, seorang anak menghampiri dan mengencingiku. Akupun merasa berbahagia.” “Suatu ketika aku memakai mantel bulu. Mantel itu penuh dengan tuma yang tanpa ampun mengganyang tubuhku. Seketika aku teringat akan pakaian bagus yang tersimpan di belakang, namun hatiku berseru: “Mengapa? Apakah semua itu menyakitkanmu?” Pada saat itulah aku merasakan bahwa keinginanku telah tercapai. Setiap kali tuma-tuma itu menggigitku, aku merasa bahagia” *** Ibrahim berkisah : Suatu hari aku membeli seorang hamba (budak). Aku bertanya kepadanya “Siapakah namamu?” “Panggilan yang tuan berikan padaku”, jawabnya. “Apakah yang engkau makan?” “Makanan apapun yang tuan berikan untuk kumakan.” “Pakaian apa yang engkau inginkan?” “Pakaian yang tuan berikan untuk kukenakan.” “Apakah yang dapat engkau kerjakan?” “Pekerjaan yang tuan perintahkan kepadaku.” “Apakah yang engkau inginkan dariku?” “Adakah hak seorang hamba untuk menginginkan?” jawabnya sambil balik bertanya. Mendengar jawaban-jawabannya, seketika aku berbicara pada diriku sendiri : “O, celakalah engkau hai Ibrahim! Seumur hidup engkau mengaku sebagai seorang hamba (kepada Allah). Kini, kau dengar dan ketahuilah bagaimana seharusnya engkau menjadi seorang hamba!” Sedemikian lamanya aku menangis sehingga aku tak sadarkan diri.
78
Hikayat Para Auliya
*** Ditengah pencaharianku mencari kayu atau membelah batu, seseorang menawariku pekerjaan untuk menjaga kebun buahbuahannya. Aku menerimanya, hingga sampailah suatu hari si pemilik kebun tersebut datang bersinggah dan berkata kepadaku, “Tolong ambilkanlah bagiku beberapa buah delima yang manis rasanya”. Maka aku memetik beberapa dan memberikan buah itu kepadanya, namun ternyata buahnya masam. “Aku meminta buah yang manis! Bawakan lagi!”, pintanya. Lalu kupetik dan kubawakan padanya delima sepinggan penuh, namun semua itu masam juga rasanya sehingga si pemilik kebun berseru : “Masya Allah, telah sedemikian lama engkau bekerja mengurusi kebun ini, namun engkau tidak bisa membedakan mana buah delima yang masak?!” “Aku bertugas menjaga dan mengurusi kebunmu, namun bagaimana aku tahu mana buah delima yang masak karena aku tak pernah mencicipinya”, jawabku. Si pemilik kebun menatapiku seberapa lama sampai akhirnya berkata, “Dengan keteguhan hati yang seperti demikian adanya, maka aku berani menaruh sangka bahwa engkau adalah Ibrahim bin Adham!” Mendengar kata-kata tersebut, aku segera meninggalkan tempat itu.
DOA IBRAHIM BIN ADHAM (Diriwayat para sahabatnya, Ibrahim kerap lirih menangis sambil berdoa dengan doa pinta yang terdengar selalu sama); yakni : “Ya Allah.., Engkau tahu surga tak layak bagiku walau seberat helai sayap agas sekalipun. Jika Engkau lindungi diriku, Engkau cintai diriku, Kau mudahkan aku bersamaMu dan menaatiMu. Maka karuniakanlah surgaMu kepada orang-orang yang Engkau kehendaki. Aku tak membutuhkan surgaMu, karena hanyalah Engkau yang aku kehendaki.” 79
Hikayat Para Auliya
Dawud ath-Tha’i Abu Sulaiman Dawud bin Nashir Ath-Tha’i lahir di Kufah. Terkenal karena kepandaian dan permenungannya. Ia kerap menyendiri. Menulis beragam buku, yang semuanya kemudian ia buang ke sungai Euphrat. Ia tinggal di sebuah rumah yang menyusul ambruk setelah dimakamkan. Ia meninggal pada tahun 165 H/783 M.
“ Berpuasalah dari dunia dan berbukalah pada hari kematian. Larilah dari manusia seperti engkau lari dari singa ” KISAH PERTAUBATAN Adalah Dawud ath Tha’i, semenjak kecilnya merupakan seorang anak yang murung, kerap ter-menung seolah hatinya dicekam duka41. Ia tumbuh beranjak dewasa dengan kecenderungan seperti itu dan senantiasa menghindari bergaul dengan sesamanya, maupun dengan yang seusianya. Pada suatu hari ia lewat melangkah ke sebuah rumah yang tengah berkabung ditinggal mati seorang Bapak. Seorang wanita dari dalam rumah, tanpa Dawud sendiri tahu apakah ia isteri atau anak dari si almarhum, mengharu bergetar-getar melantunkan sebuah syair : Wahai, Saat menampak ujian pipimu yang sebelah manakah yang mulai kendur? dan saat menitik airmata matamu yang manakah yang mulai mengabur? Langkah Dawud tersentak berhenti, ia melarut diam dalam dengar syair berulang-ulang seibarat ribuan jarum yang terus Selain sebagai anugerah kecenderungan Dawud dari Allah untuk berkontemplasi atau bertafakur, hal ini boleh jadi merupakan akibat duka dari meninggalnya sang ayah pada saat ia kecil itu. 41
80
Hikayat Para Auliya
menusuki jagat relung dalam dadanya. Tubuhnya menggontai, bergeletaran, dan melimbung lantas terbang ke angkasa mendung penuh cengkram kepedihan. Dengan mata meredup di kungkungan penjara lapisan kaca-kaca di bawah payung alis nan mengerut luruh, ia alihkan langkah kakinya menuju ke rumah Imam Abu Hanifah. “Apakah gerangan kemalangan yang menimpa engkau?” tanya Abu hanifah kepada Dawud sesampainya Dawud bersimpuh ke pangkuannya. Dawud lantas mengisahkan hidup dan pengalamannya barusan dengan diakhiri sampaian kepada Imam, “Dunia ini tidak dapat menarik hatiku lagi. Sesuatu telah terjadi dan menyeruak dalam diriku. Sesuatu yang aku tak dapat mengerti, yang tak dapat dijelaskan oleh buku-buku ataupun keterangan-keterangan para ahli.” “Jika begitu, hindarkanlah manusia-manusia lain,” saran Abu Hanifah. Dawud melakukan pertaubatan, lalu ditunjang kecenderungannya sejak kecil, ia berpaling dari manusia-manusia dan mengunci diri di dalam rumahnya selama setahun penuh. Dan tepat di satu tahun itu, Abu Hanifah datang mengunjunginya. Dan berkata menasehati Dawud : “Wahai Dawud anakku, bukanlah begitu caranya engkau berpaling42 dengan bersembunyi di dalam rumah tanpa mengucap sepatah katapun pada orang lain. Yang harus engkau adalah masuk ke dalam majelis dan duduk-duduk di kaki para imam dengan diam mendengarkan ajaran-ajaran mulia yang mereka sampaikan dan perbincangkan. Lalu tanpa mengucap sepatah katapun, camkan dan tafakuri. Dengan berbuat begitu engkau akan lebih memahami masalah-masalah yang mereka perbincangkan ketimbang mereka sendiri.” Setelah menyadari maksud dari perkataan Abu Hanifah, maka Dawud selama satu penuh tahun pula bersimpuh duduk-duduk ke serba majelis mendengarkan wejangan dan perbincangan para imam tanpa berkata-kata sedikitpun, hingga akhirnya terbuka baginya rahasia-rahasia pengetahuan yang membuat dirinya kian keras dalam pengabdian dan ketaatan terhadap Allah. Dalam mana Berpaling yang dimaksudkan adalah mensunyikan hati (berkhalwat) dari keterikatan terhadap manusia dan keduniaan. Bukan ber-uzlah mengasingkan diri. 42
81
Hikayat Para Auliya
mengingat kejadian tersebut, Dawud pernah berseloroh, “Ketekunanku setahun mendengar dan menahan lidah adalah jauh lebih berat dibanding aku harus bekerja keras mencari nafkah selama tiga puluh tahun.” Setelah itu, Dawud mulai rajin menulis buku-buku, menyimpan keterangan-keterangan dan membuat ulasan-ulasan, sampai pada akhirnya ia bertemu dengan Habib Ar-Ra’i yang kemudian membimbingnya ke dalam ma’rifat dan lalu menempatkannya di jalan (maqamat) tawakal. Disitu jiwa kedisplinan Dawud kian mencapai titik keteguhan. Ia membuang semua buku, keterangan dan ulasan-ulasan yang dia buat ke sungai Euphrat. Semenjak itulah nama Dawud kian disegani dan dihormati. CERITA-CERITA TENTANG DAWUD Setelah Dawud dewasa, sang ibu menyerahkan warisan tetinggal bapak Dawud sebanyak dua puluh dinar serta sebuah rumah. Uang itu disimpannya, dan setiap satu tahun ia gunakan satu dinar untuk membiayai hajat kebutuhan hidupnya. Beberapa syaikh, demi mengetahui kenyataan tersebut mencela perbuatan Dawud. “Di atas jalan ini, kita seharusnya memberi, bukan menabung untuk diri sendiri.” Ujar mereka kepada Dawud. “Dengan uang tersebut aku dapat menjaga ketenangan diriku. Uang itu kupinta kepada Allah untuk cukup bagi diriku sampai aku menemui ajalku. Dan aku yakin Allah mengabulkannya.” “Dua puluh dinar sampai tua ajalmu?” kata para Syaikh. “Ya,” jawab Dawud. Pada akhirnya, para syaikh melihat kenyataan bahwa Dawud meninggal di tahun kedua puluh semenjak Dawud menerima warisan sebesar dua puluh dinar. Yakni satu dinar untuk satu tahun. *** Dengan satu dinar untuk satu tahun, Dawud menjalani kehidupan dengan amat prihatin sehing-ga untuk satu hari daud hanya bisa menjatahkan satu roti yang telah kering. Ia mencelupkan roti itu ke bukan ke dalam sup atau air susu, melainkan ke dalam air putih. Ia selalu memakannya dengan perlahan-lahan seakan ia syukur nikmati hidangan itu. Ia sempat berkata, “Antara kucelupkan roti ke dalam dengan kumasukkan roti itu ke dalam mulutku, aku
82
Hikayat Para Auliya
masih sempat membaca limapuluh ayat al-Qur’an. Jadi tak harus kusia-siakan hidupku dalam saatnya aku makan.” Namun, tak setiap hari roti kering itu dimakan Dawud. Abu Bakr bin Iyasy meriwayatkan, bahwa pada suatu saat ia masuk ke kamar Dawud. Disitu ia melihat Dawud menangis sambil memegang roti kering di tangannya. Maka ia pun bertanya, “Apakah yang terjadi gerangan, Dawud?” “Aku hendak memakan roti ini, tetapi selalu saja hatiku bertanya-tanya apakah roti ini halal atau tidak. Dan aku tak tahu.” Kalau sudah begitu maka roti kering itu didiamkan Dawud, atau dicampakkannya. *** Orang-orang seringkali bertanya kepada Dawud, “Wahai Dawud, mengapakah engkau tidak menikah?” “Aku tidak ingin mendustai seorang perempuan yang beriman,” jawab Dawud. “Mengapakah demikian?” “Andaikan aku melamar seorang perempuan, hal ini berarti aku sanggup menafkahinya. Tetapi aku tidak sanggup melakukan dua hal sekaligus secara bersamaan, sehingga aku harus memilih antara agama dan dunia. Bukankah dengan begini berarti ada kemungkinan bagiku untuk mendustainya, yakni begitu aku memilih agama.” “Baiklah, tetapi setidaknya engkau perlu menyisir janggutmu”, kata mereka. “Oh, hal itu berarti aku sempat berlalai-lalai”, jawab Dawud. *** Pada suatu malam di bulan purnama, Dawud naik ke atas loteng rumahnya, lalu menatap langit. Ia terlena menatapi keindahan langit dari daya cipta Allah Yang Maha Besar, sehingga ia menangis begitu rupa sampai tak sadarkan diri. Ia kemudian terjatuh ke loteng rumah tetangganya. Si tetangga yang mendengar suara gaduh di atap rumahnya mengira ada seorang maling. Ia mengambil sebilah pedang dan naik memburu ke atas. Tetapi begitu ternyata yang dilihatnya di situ adalah Dawud Ath-Tha’i, segeralah ia meraih Dawud untuk berdiri.
83
Hikayat Para Auliya
“Wahai Dawud, siapakah yang menjerumuskanmu sampai jatuh kesini?” “Entahlah,” Dawud menggeleng-gelengkan kepalanya, “Aku tak sadar. Akupun tak habis pikir kenapa aku ada disini.” *** Khalifah Harun ar-Rasyid suatu saat meminta pada menterinya Abu yusuf supaya ia bisa mengantarnya menemui Dawud at Tha’i. Maka mereka kemudian pergi menyambangi Dawud, tetapi Dawud tidak memperkenankan mereka masuk. Akhirnya Abu Yusuf pergi menuju rumah ibu Dawud dan menceritakan perihalnya dan meminta ibu Dawud mau membujuk Dawud agar mau menerima sambangan Khalifah. “Wahai Dawud, terimalah mereka sebagai tetamumu”, bujuk ibu Dawud setibanya di rumah Dawud. “Wahai ibu, apakah urusannya aku dengan penduduk-penduduk dunia dan orang-orang berdosa?” jawab Dawud dari dalam rumahnya. “Hai Dawud! Demi hakku yang telah menyusuimu, aku meminta kepadamu, izinkan mereka masuk!”, desak ibunya dengan keras. Terdengar di balik pintu Dawud berdoa, “Ya Allah, Engkau telah berkata : ‘Patuhilah ibumu, karena keridhaannya adalah keridhaanKu’. Jika tidaklah demikian, Ya Allah, apa peduliku terhadap mereka?” Akhirnya Dawud membuka pintu dan bersedia menerima mereka. Keduanya kemudian menerima pengajaran dari Dawud, dan Khalifah menangis tersedu-sedu. Lantas sampai akhirnya mereka berpamit pulang ke istana, Khalifah Harun ar-Rasyid meletakkan kepingan uang emas sambil berkata kepada Dawud, “Uang ini adalah uang halal.” Dawud mencegahnya, “Ambil kembali uang itu. Aku tidak memerlukannya. Telah kumiliki sebuah rumah dan beberapa dinar sebagai warisan dari Bapakku, dan aku telah bermohon kepada Allah jika uang itu habis agar Allah mencabut nyawaku, sehingga aku tidak akan membutuhkan bantuan dari seorang manusiapun. Aku berkeyakinan bahwa Allah telah mengabulkan permohonanku itu.” *** 84
Hikayat Para Auliya
Pada suatu saat di hari kematiannya, terlihat Dawud begitu bergegas-gegas melangkahkan kakinya untuk shalat ke Mesjid. “Hai Dawud, kenapa engkau begitu tergesa-gesa seperti itu?” tanya beberapa orang. “Pasukan di gerbang kota saat ini sedang menanti-nanti kedatanganku”, jawab Dawud. “Pasukan siapa?” tanya mereka. “Penghuni-penghuni kubur”, jawab Dawud. *** Rumah warisan yang dimiliki Dawud, selain uang sebesar dua puluh dinar, adalah rumah yang cukup besar dengan banyak kamarkamar di dalamnya. Ia menempati salah satu kamar diantaranya, dan apabila kamarnya telah melapuk hancur, ia pindah ke kamar lain yang masih utuh. “Mengapa tak kau perbaiki kamar itu?” seseorang bertanya kepada Dawud. “Aku telah berjanji kepada Allah untuk tidak akan memperbaiki dunia ini”, jawab Dawud. Di saat lain ketika seorang sahabatnya berkunjung, dilihatnya atap kamar Dawud telah lapuk. Ia berkata kepada Dawud, “Dawud, Atap kamarmu telah lapuk, sebentar lagi pastilah ambruk.” “Entahlah, selain pertama kali aku masuk kamar, aku tak pernah memperhatikannya lagi”, jawab Dawud, sehingga kemudian mengajak temannya untuk berpindah mencari kamar lain yang masih utuh. Saat uang warisan yang diterimanya sebesar dua puluh dinar telah habis persediaan di peng-hujung habisnya tahun ke dua puluh, semua kamar telah ambruk. Lalu Dawud pindah ke serambi rumahnya. Di serambi itulah, Dawud menghembuskan nafas terakhirnya menemui sang Pencipta, sebagai sebu-ah bukti pula Allah telah mengabulkan permohonannya bahwa apabila semua bekal dunianya telah habis ia berkeinginan Allah mencabut nyawanya. Saat keranda dan jasad Dawud diangkat, lalu mulai diiringkan untuk dimakamkan, tiba-tiba serambi rumah Dawud menyusul ambruk. Kematian Dawud, diiringi pilu kematian sang serambi.
85
Hikayat Para Auliya
DOA DAWUD Diriwayatkan, apabila tengah malam tiba, kadang kerap terdengar suara Dawud yang lirih tertahan berdoa kepada Allah43 : “Ya Tuhanku.., kesedihanku dalam merindu dan menghadapMu telah menghapus kesedihan-kesedihan duniaku dan memisahkanku dari orang-orang yang tidur.”
Para sufi biasanya cenderung melakukan dzikir khafi (halus, pelan, atau bahkan tidak bersuara) terkecuali pada saat dorongan rasa hati dari dzikirnya dirinya meluap menguat sehingga sampai pada titik tak tertahan. Ia bisa tiba-tiba, di bawah pengaruh gelombang perasaannya berdzikir menangis, bicara keras, berteriak, bahkan mengucap keakuan ilahiah, seperti Subhani, Ana al Haqq, Kawulo Gusti, dll. 43
86
Hikayat Para Auliya
Fudzail bin Iyadh Abu ‘Ali al-Fudzail bin ‘Iyadz at-Talaqani lahir di Khurasan. Diriwayatkan bahwa sewaktu masih mudanya, Fudzail adalah seorang raja penyamun yang menguasai kota Abiward, Merv dan Sarakhs. Setelah bertaubat, Fudzail pergi ke Kufah kemudian ke Mekah, dimana ia tinggal beberapa tahun lamanya hingga wafatnya pada tahun 187 H/803 M. Nama Fudzail cukup terkenal sebagai seorang ahli hadits, dan keberaniannya mengkhotbah Khalifah Harun ar-Rasyid sering diperbincangkan orang.
“ Kalau malam tiba, aku merasa bahagia karena sendirian bersama Tuhan, dan kala pagi tiba jiwaku tertekan karena aku benci melihat orang-orang memasuki dan mengganggu kesendirianku itu ” FUDZAIL PEMBEGAL DAN KISAH PERTAUBATANNYA Sewaktu masih remaja Fudzail mendirikan kemah di tengahtengah padang pasir. Yaitu di antara Merv dan Baward. Jubahnya terbuat dari bahan kasar, topinya terbuat dari bulu domba, dan dilehernya senantiasa tergantung sebuah tasbih. Fudzail mempunyai banyak teman yang semuanya terdiri dari para pencuri dan pembegal. Siang dan malam mereka merampok, membunuh dan membawa hasil rampasan mereka kepada Fudzail karena ia adalah kepala mereka. Fudzail mengambil segala sesuatu yang disukainya, sesudah itu membagi-bagikan lebihan harta rampasan tersebut kepada semua sahabatnya. Ia selalu tanggap tentang sesuatu dan tak pernah alpa dari pertemuan-pertemuan mereka. Setiap anggota baru yang sekali saja tidak menghadiri pertemuan, Fudzail akan mengeluarkannya dari kelompok mereka. Suatu hari sebuah kafilah yang besar melewati daerah mereka. Fudzail dan sahabat-sahabatnya telah menanti-nantikan kedatangan kafilah tersebut. Di dalam rombongan ada seorang lelaki yang pernah mendengar desas-desus mengenai para perampok itu. Ketika ia melihat kawanan perampok itu dari kejauhan, ia pun berpikir,
87
Hikayat Para Auliya
begaimanakah ia harus menyembunyikan sekantong emas yang dimilikinya. “Kantong emas ini akan ku sembunyikan”, ia berkata dalam hati. “Dengan demikian jika para perampok membegal rombongan ini, aku masih mempunyai modal untuk diandalkan.” Ia menyimpang dari jalan raya. Kemudian ia melihat sebuah kemah dan di dekat kemah itu ada seseorang yang wajah dan pakaiannya tampak seperti seorang pertapa. Maka kantong emas itu pun lalau dititipkannya kepada orang itu yang sebenarnya adalah Fudzail sendiri. “Taruhlah kantong mu di pojok kemahku”, Fudzail berkata kepadanya. Lelaki itu melakukan seperti yang dikatakan Fudzail. Kemudian ia kembali ke rombongannya, tetapi ternyata mereka telah dibegal oleh kawanan Fudzail. Semua barang bawaan mereka telah dirampas sedang kaki dan tangan mereka diikat. Lelaki itu melepaskan ikatan sahabat-sahabat seperjalanannya. Setelah mengumpulkan harta benda mereka yang masih tersisa, menyingkirlah mereka dari tempat kejadian itu. Ia melihat Fudzail sedang berkerumun dengan kawanan perampok dan membagibagikan hasil rampasan mereka. “Celaka, ternyata aku menitipkan kantong emasku kepada seorang maling”, lelaki itu mengeluh. Tetapi Fudzail yang dari kejauhan melihatnya, memanggilnya dan ia pun datang menghampiri. “Apakah yang engkau kehendaki”, lelaki itu bertanya kepada Fudzail. “Ambilah barangmu dari tempat tadi dan setelah itu tinggalkanlah tempat ini.” Lelaki itu segera berlari ke kemah Fudzail, mengambil kantong emas dan meninggalkan tempat itu. Dengan keheran-heranan teman-teman Fudzail berkata: “Dari seluruh kafilah itu kita tidak mendapatkan satu dirhampun dalam bentuk tunai, tetapi mengapa engkau mengembalikan sepuluh ribu dirham itu kepadanya?” Fudzail menjawab: “Ia telah mempercayaiku seperti aku mempercayai Allah akan menerima taubatku nanti. Aku hargai kepercayaannya itu agar Allah menghargai kepercayaanku pula.”
88
Hikayat Para Auliya
Pada hari yang lain mereka membegal kafilah pula dan merampas harta benda mereka. Ketika kawanan Fudzail sedang makan, seorang anggota kafilah itu datang menghampiri mereka dan bertanya: “Siapakah pemimpin kalian?” Kawanan perampok itu menjawab: “Ia tidak di sini. Ia sedang shalat di balik pohon yang terletak di pinggir sungai itu.” “Tetapi sekarang ini belum waktunya untuk shalat”, lelaki itu berkata. “Ia sedang melakukan shalat sunat”, seorang diantara pembegal-pembegal itu menjelaskan. “Dan ia tidak makan bersama-sama dengan kalian?”, lelaki itu melanjutkan. “Ia sedang berpuasa”, jawab salah seorang. “Tetapi sekarang ini bukan bulan Ramadhan?” “ Ia sedang berpuasa sunat.” Dengan sangat heran lelaki tadi menghampiri Fudzail yang sedang khusuk di dalam shalatnya. Setelah selesai berkatalah ia kepada Fudzail: “Ada sebuah peribahasa yang mengatakan, hal-hal yang bertentangan tidak dapat disatukan. Bagaimanakah mungkin seseorang berpuasa, merampok, shalat dan membunuh orang Muslim pada waktu yang bersamaan?.” “Apakah engkau memahami Al-Qur’an?, Fudzail bertanya. “Ya”, jawab lelaki itu. “Tidakkah Allah Yang Maha Kuasa berkata; ”Orang-orang lain telah mengakui dosa-dosa mereka dan mencampuradukan perbuatan-perbuatan yang baik dengan perbuatan-perbuatan aniaya?”44 Lelaki itu terdiam tidak dapat berkata apa-apa. Orang-orang mengatakan bahwa pada dasarnya Fudzail adalah seorang yang berjiwa satria dan berhati mulia. Apabila di dalam sebuah kafilah terdapat seorang wanita, maka barang-barang wanita itu tidak akan diusiknya. Begitu pula harta benda orang miskin tidak Ucapan dimaksudkan sebagai protes atas begitu mudahnya dan tidak sakralnya lagi sebuah pengakuan dosa. Insakralitas taubat, hal mana terlihat pada tindakan yang tetap mencampurk adukkan perbuatan baik dengan buruk. Kenapa lelaki itu hanya menuding pada perbuatan dosa yang kelihatan sebagaimana dilakukan Fudzail sebagai seorang penyamun? Tidak kepada para pelaku kemunafikan, keserakahan duniawi, jual menjual agama dari para penguasa dan para ulama, mengingat pengaruh perilaku daripadanya yang mengena pada orang banyak. 44
89
Hikayat Para Auliya
akan dirampas Fudzail. Untuk setiap korbannya, ia selalu meninggalkan sebagaian dari harta bendanya yang dirampas. Sebenarnya semua kecenderungan Fudzail tertuju kepada perbuatan yang baik. Pada awal petualangannya Fudzail tergila-gila kepada seorang gadis. Fudzail selalu menghadi-ahkan hasil rampasannya kepada wanita kekasihnya itu. Karena mabuk asmara, Fudzail sering memanjat dinding rumah si wanita tanpa peduli keadaan cuaca yang bagaimanapun juga. Sementara berbuat demikian, ia selalu menangis. Suatu malam ketika ia sedang memanjat rumah kekasihnya itu, lewatlah sebuah kafilah dan diantara mereka ada yang sedang membacakan ayat-ayat Al-Qur’an. Terdengarlah oleh Fudzail ayat yang berbunyi: “Belum tibakah saatnya hati orang-orang yang percaya merendah untuk mengingat Allah?” Ayat ini bagaikan anak panah menembus jantung Fudzail, seolah tantangan yang berseru kepadanya: “Wahai Fudzail, berapa lama lagikah engkau akan membegal para kafilah? Telah tiba saatnya kami akan membegalmu!” Fudzail terjatuh dan berseru: “memang telah tiba saatnya dan hampir terlambat!” Fudzail merasa bingung dan malu. Ia berlari ke arah sebuah puing. Ternyata di situ sedang berkemah sebuah kafilah. Mereka berkata: “Marilah kita melanjutkan perjalanan”, tetapi salah seorang diantara mereka mencegah: “Tidak mungkin, Fudzail sedang menanti dan akan menghadang kita.” Mendengar pembicaraan mereka itu Fudzail berseru: “Berita gembira! Fudzail telah bertaubat!.” Setelah berseru demikian ia pun pergi. Sepanjang hari ia berjalan sambil menangis. Hal ini sangat menggembirakan orangorang yang membenci dirinya. Kepada setiap orang diantara sahabat-sahabatnya, Fudzail meminta agar janji setia diantara mereka dihapuskan. Akhirnya hanya tersisa seorang Yahudi di Baward. Fudzail meminta agar janji setia diantara mereka berdua dihapuskan namun si Yahudi tidak mau dibujuk.
90
Hikayat Para Auliya
“Sekarang kita dapat memperolok-olokan pengikut Muhammad”, si Yahudi berbisik kepada teman-temannya sambil tergelak-gelak. “Jika engkau menginginkan aku untuk menghapus janji setia yang telah kita ikrarkan itu, maka ratakanlah bukit itu”, si Yahudi berkata kepada Fudzail sambil menunjuk ke arah sebuah bukit pasir. Bukit itu tidak mungkin akan dapat dipindahkan oleh seorang manusia, kecuali untuk waktu yang sangat lama. Fudzail yang malang mulai mencangkul bukit itu sedikit demi sedkit, tetapi bagaimanakah tugas itu dapat terselesaikan? Pada suatu pagi, ketika Fudzail sangat letih, sekonyong-konyong datanglah angin kencang yang meniup bukit pasir tersebut hingga rata, si Yahudi yang merasa sangat takjub itu berkata kepada Fudzail: “Sesungguhnya aku telah bersumpah, bahwa aku tidak akan menghapuskan janji setia kita sebelum engkau memberikan uang kepadaku. Oleh karena itu masuklah ke dalam rumahku, ambil segenggam uang emas yang terletak di bawah permadani dan berikan kepadaku. Dengan demikian sumpahku akan terpenuhi dan janji setia diantara kita dapat dihapuskan.” Fudzail masuk ke dalam rumah si Yahudi. Sesungguhnya si Yahudi telah menaruh gumpalan-gumpalan tanah ke bawah permadani itu. Tetapi ketika Fudzail meraba ke bawah permadani itu dan menarik tangannya keluar, ternyata yang diperolehnya adalah segenggam penuh dinar emas. Dinar-dinar emas itu diserahkannya kepada si orang Yahudi. “Islamkanlah aku!”, si Yahudi berkata kepada Fudzail. Fudzail mengislamkannya dan jadilah ia seorang Muslim. Kemudian si Yahudi berkata kepada Fudzail: “Tahukah engkau mengapa aku mau menjadi seorang Muslim? Hingga sesaat lalu aku ragu, yang manakah agama yang benar. Aku pernah membaca di dalam Taurat: ‘Jika seorang benar-benar bertaubat, kemudian menaruh tangannya ke atas tanah, maka tanah itu akan berubah menjadi emas.’ Sesungguhnya ke bawah permadani tadi telah kutaruhkan tanah untuk membuktikan taubatmu. Dan ketika tanah itu berubah menjadi emas ketika tersentuh oleh tanganmu, tahulah aku bahwa engkau telah benar-benar bertaubat dan bahwa agamamu adalah agama yang benar.” 91
Hikayat Para Auliya
*** Fudzail memohon kepada seseorang: “Demi Allah, ikatlah kaki dan tanganku, kemudian bawalah aku ke hadapan sultan agar ia mengadili aku karena berbagai kejahatan yang pernah aku lakukan.” Orang itu memenuhi permohonan Fudzail. Ketika sultan melihat Fudzail, terlihat olehnya tanda-tanda manusia berbudi pada diri Fudzail. “Aku tidak dapat mengadilinya”, sultan berkata. Kemudian ia memerintahkan agar Fudzail diantarkan pulang dengan segala hormat. Ketika sampai di rumahnya Fudzail mengeluarkan tangisan yang keras. “Dengarlah Fudzail yang sedang berteriak-teriak itu! Mungkin ia sedang disiksa”, orang-orang berkata. “memang benar aku sedang disiksa!”, Fudzail menjawab. “Apamukah yang dipukuli?”, mereka bertanya. “Batinku!”, jawab Fudzail. Kemudian Fudzail menjumpai isterinya. “Isteriku”, katanya, “aku akan pergi ke rumah Allah. Jika engkau suka, engkau akan ku bebaskan.” Tetapi isterinya menjawab: “Aku tidak mau berpisah dari sisimu. Kemanapun engkau pergi aku akan menyertaimu.” Maka berangkatlah mereka ke Mekah. Allah Yang Maha Kuasa telah menggampangkan perjalanan mereka. Di kota Mekah mereka tinggal di dekat Ka’bah dan dapat bertemu dengan beberapa orang suci. Untuk beberapa lama Fudzail bergaul rapat dan memperoleh pelajaran dari Imam Abu Hanifah sampai akhirnya terbukalah kesempatan baginya untuk berkhotbah. Selang beberapa lama nama Fudzail pun menjadi buah bibir. Namun seiring kemasyhurannya itu, ia mulai menutup diri, hingga akhirnya ia pergi ke Baghdad, pusat kekuasaan Islam pada saat itu. Disana, namanya tetap dikenal, hanya saja tak ada yang dilakukannya selain berkumpul bersama orang-orang yang dianggapnya memiliki pengetahuan. Ia tak lagi berkhotbah. FUDZAIL DENGAN SULTAN HARUN AR-RASYID
92
Hikayat Para Auliya
Pada suatu malam, Sultan Harun Ar-Rasyid memanggil Fazl Barmesid, salah seorang pengawal kesayangannya. “Malam ini bawalh aku kepada seseorang yang dapat menunjukkan kepadaku siapakah sebenarnya aku ini. Aku telah jemu dengan kebesaran dan kebanggaan,” ujarnya pada Fazl. Fazl membawa sultan ke rumah Sufyan bin Uyainah 45. Mereka mengetuk pintu dan dari dalam rumahnya Sufyan Uyainah menyahut. “Siapakah itu?” “Amirul Mukminin,” jawab Fazl. Sufyan berkata, “Mengapakah sultan sudi menyusahkan diri? Mengapa tidak dikabarkan saja kepadaku sehingga aku dapat datang menghadap.” Mendengar jawaban itu sultan berkata kepada Fazl, “Orang ini bukan yang aku cari. Ia, pun menjilatku seperti yang lainnya.” Mendengar kata-kata Sultan, Sufyan keluar dari dalam rumah dan menjawab, “Jika begitu, Fudzail bin Iyadh adalah orang yang Sultan cari. Pergilah kepadanya.” Setibanya di depan rumah Fudzail, Fazl kembali mengetuk pintu. “Siapakah itu?,” sahut Fudzail. “Amirul mukminin, aku mengantarnya kemari,” kata Fazl. “Apakah urusannya denganku, dan apa urusanku dengan dia?” tanya Fudzail dari dalam rumah. “Bukankah suatu kewajiban untuk mematuhi penguasa?!” sela Fazl. “Pergilah! Jangan kalian menggangguku!,” seru Fudzail. “Perlukah aku mendobrak pintumu dengan kekuasaanku, atau atas perintah Sultan?!” Fazl mulai naik pitam. “Tidak ada yang disebut kekuasaan! Jika engkau mendobrak masuk, maka engkau tahu apa yang engkau lakukan!” jawab Fudzail. Saat Fazl bersiap mendobrak pintu, Sultan Harun Ar-Rasyid berkata, “Baiklah Fudzail, perkenankan aku masuk sebagai seorang saudara muslim dan bukan sebagai penguasa.” Fudzail meniup lampu dan membukakan pintu sehingga Sultan masuk ke dalam rumahnya dalam keadaan gelap, sekedar cahaya
45
Salah seorang perawi hadits terkenal 93
Hikayat Para Auliya
bulan yang masuk melalui pintu. Ia menerima sodoran tangan Sultan untuk berjabat. “Betapa halus dan lembutnya tangan ini, tak adakah pekerjaan bagi tanganmu?! Semoga tanganmu ini terhindar dari api neraka!.” Atas perkataan Fudzail tersebut Sultan merasa malu, dan mulai meneteskan air mata. “Katakanlah sesuatu kepada”, Sultan memohon “Leluhurmu, paman dari Nabi Muhammad 46 pernah meminta kepada beliau, “Ya Rasulullah, jadikanlah aku pemimpin bagi sebagian umat manusia.” Nabi menjawab, “Paman, untuk sesaat aku telah mengangkat dirimu menjadi pemimpin bagi dirimu sendiri.” Dengan jawaban ini, dimaksudkan bahwa sesaat mematuhi Allah, adalah lebih baik daripada seribu tahun dipatuhi umat manusia. Kemudian Nabi juga menambahkan; “Kepemimpinan akan menjadi sumber penyesalan pada hari berbangkit nanti.” Sultan menghela nafasnya, “Lanjutkanlah” “Saat Umar bin Abdul Aziz pertama kali berkuasa, ia memanggil Salim bin Abdullah, Raja’ bin Hayat dan Muhammad Ka’ab. Umar berkata pada mereka, “Hatiku gundah atas cobaan (kekuasaan) ini, apakah yang harus aku lakukan?” Mereka menjawab, “Jika engkau ingin terlepas dari hukuman Allah, pandanglah setiap muslim lanjut usia sebagai ayahmu, setiap muslim seusia sebagai saudaramu, setiap muslim remaja dan anakanak sebagai putera-puteramu. Perlakukanlah mereka sebagai ayahmu, saudaramu, putera-puteramu. Berhati-hatilah dan tunaikanlah yang haq, karena pada hari nanti Allah akan meminta pertanggungjawabanmu, apakah engkau telah berlaku adil atau tidak. Apabila ada seorang perempuan uzur tertidur dengan perut lapar, camkanlah! Ia kelak akan menarik pakaianmu dan memberikan kesaksian yang akan memberatkanmu di hadapan Allah.” Sultan Harun ar Rasyid menangis sedemikian getirnya sehingga tampak limbung dan akan jatuh pingsan. Melihat ini Fazl Bermesid si pengawal menghardik Fudzail, “Cukup! Engkau bisa-bisa membunuh pemimpin kaum muslimin!”
46
Abbas bin Abdul Muthalib 94
Hikayat Para Auliya
Fudzail membalas dengan keras,”Diam engkau Haman! Orangorang seperti engkaulah yang menjerumus-kannya. Apakah dengan begini engkau hendak mengatakan aku melakukan pembunuhan?!” Lirih terisak Sultan berbicara sambil memandang Fazl, “Dia menyebutmu Haman.., itu berarti ia menyamakan aku dengan Fir’aun.” Sultan terus terisak hingga sampai pada titik heningnya. Lama kemudian baru ia berkata kepada Fudzail, “Apakah engkau memiliki hutang yang belum engkau lunasi?” “Ya!,” jawab Fudzail, “Hutang kepatuhan kepada Allah. Seandainya Ia memaksaku untuk melunasinya, sungguh celakalah aku ini.” “Maksudku hutang kepada manusia,” sambung Sultan. “Aku bersyukur kepada Allah yang telah melimpahkan karunia sedemikian banyaknya sehingga tidak ada keluh kesah yang perlu aku sampaikan kepada hamba-hambanya.” Sultan kemudian menaruh sebuah kantung berisi seribu dinar di hadapan Fudzail sambil berkata, “Ini adalah uang halal yang diwariskan ibuku.” Melihat begitu Fudzail berkata, “Wahai pemimpin kaum muslimin, nasehat-nasehat yang kusampaikan rupanya tidak berfaedah sama sekali bagimu. Engkau telah memulai lagi sebuah kesalahan dan kezhaliman.” “Kesalahan apa yang aku lakukan?” Sultan terheran-heran. “Aku menyerumu ke jalan keselamatan, sementara engkau memberiku godaan, bukankah ini kesalahan? Seharusnya berikanlah uang itu kepada yang berhak. Engkau malah memberikannya kepada orang yang tidak pantas. Percuma saja aku berkata-kata,” cela Fudzail. Setelah berkata begitu Fudzail mengambil kantung dinar emas tersebut dan melemparkannya keluar pintu sambil berkata, “Keluarlah dari sini, sudah cukup kalian menggangguku!” Sultan kemudia keluar bersama Fazl. Kepada Fazl ia berkata, “Benar-benar manusia hebat! Hai Fazl, sesungguhnya Fudzail lah raja dari umat manusia saat ini dan bukannya aku, namun dunia ini terlampau kecil dalam pandangan dirinya.” CERITA-CERITA FUDZAIL 95
Hikayat Para Auliya
Pada suatu hari Fudzail memangku seorang anak berumur empat tahun. Tanpa sengaja bibir Fudzail menyentuh pipi sang anak pada saat memangkunya. “Apakah ayah mencintai aku?”, tanya si anak. “Ya!” jawab Fudzail sambil menunjukkan wajah tulus dan gembira. “Apakah ayah juga mencintai Allah?” “Ya. Tentu saja,” jawab Fudzail lagi. “Lalu berapa hati yang dimiliki ayah? Dapatkah ayah mencintai dua hal dalam satu hati?” Fudzail tersentak keras. Sadarlah ia bahwa yang berkata-kata itu bukanlah si anak itu sendiri, tetapi merupakan sebuah petunjuk dari Allah. Fudzail melepas si anak dari pangkuannya. Lantas terus menerus ia memukuli kepalanya sendiri sekuat tenaga sambil mulutnya tak henti-hentinya meringis memohon ampun kepada Allah. *** Selama tiga puluh tahun orang-orang tak pernah melihat Fudzail tersenyum kecuali ketika puteranya meninggal dunia. Seseorang bertanya kepadanya : “Guru, mengapakah engkau tersenyum-senyum pada saat seperti begini?” “Aku menyadari bahwa Allah menghendaki anakku mati. Aku tersenyum karena melihat bahwa kehendak-Nya telah terlaksana.” *** Fudzail mempunyai dua orang anak perempuan. Menjelang akhir hayatnya ia berwasiat kepada istrinya : “Apabila aku mati, bawalah anak-anak kita ke Gunung Abu Qubais. Di sana tengadahkanlah wajahmu dan berdoa kepada Allah: “Ya Allah, Fudzail menyuruhku menyampaikan pesan-pesannya kepada-Mu; Ketika aku hidup, kedua anak tak berdaya ini telah kulindungi dengan sebaik-baiknya. Tetapi setelah Engkau mengurungku di dalam kubur, kuserahkan mereka kembali kepadaMu.”
96
Hikayat Para Auliya
Setelah Fudzail dikebumikan, istrinya pergi ke gunung Abu Qubais dengan membawa kedua anak perempuannya. Kemudian ia berdoa kepada Allah sambil menangis dan meratap. Pada saat itu kebetulan berlalu seorang pangeran dari negeri Yaman beserta kedua putera dan iring-iring pengawal di sekelilingnya. Menyaksikan mereka menangis dan meratap, sang pangeran bertanya : “Gerangan kemalangan apakah yang menimpa kalian?” Istri Fudzail kemudian menerangkan keadaan mereka. Kemudian si pangeran berkata : “Jika kedua puterimu kuambil untuk kedua puteraku ini dan untuk masing-masingnya kuberikan sepuluh ribu dinar sebagai mas kawinnya, apakah engkau cukup merasa puas?”
“Ya”, jawab istri Fudzail. Akhirnya, segeralah kesemuanya diboyong sang pangeran ke negeri Yaman.
97
Hikayat Para Auliya
Ma’ruf al Karkhi Abu Mahfuzh Ma’ruf bin Firuz al Karkhi, putera seorang penganut agam Kristen. Lahir di perbatasan Persia, namun kemudian lama tinggal di Baghdad sampai dengan meninggalnya. Ia merupakan maula dari Imam Ali bin Musa ar Ridha. Orang-orang mengenalnya sebagai seorang yang memiliki kekuatan doa. Makamnya di Baghdad banyak dikunjungi orang dan kerap disebut sebagai “obat mujarab”. Ma’ruf meninggal di Baghdad tahun 200 H/815 M.
“ Tidak! Tuhan itu adalah Tuhan Yang Esa “ KEISLAMAN MA’RUF AL KARKHI Sebagai seorang penganut Kristen, setelah melihat Ma’ruf mulai berangkat besar, kedua orang tua Ma’ruf memasukkan Ma’ruf ke sebuah sekolah kependetaan. Setelah belajar berbagai doktrin, dan pada saatnya masuk ke dalam doktrin teologi, guru pendetanya berkata mengajarkan : “Tuhan adalah yang ketiga dari yang bertiga.” Ma’ruf kecil mengernyitkan dahinya dan membantah, “Tidak! Tuhan itu adalah Tuhan Yang Esa.” Si guru pendeta marah besar dan merenggut Ma’ruf dan memukuli badannya sebagai hukuman sambil berulang menyuruh Ma’ruf mencabut kesalahan keyakinannya yang disebutnya merupakan dosa besar. Namun Ma’ruf tetap mempertahankan bantahannya, sampai si guru akhirnya melepaskannya dan memperbolehkannya pulang. Pada suatu hari, mungkin atas laporan si guru. Kepala sekolah biara memanggilnya dan mem-pertanyakan kepadanya tentang soal keyakinan dan bantahan tersebut. Ma’ruf, dengan nurani kebocahannya yang bahkan belum berangkat remaja, tetap saja merasa yakin bahwa Tuhan itu Satu dan tidak mungkin ada banyak. Akhirnya ia dipukul habis-habisan sehingga saking sakit dan takutnya, Ma’ruf melarikan diri dan tak seorangpun tahu kemana perginya. Perihal perginya Ma’ruf yang entah kemana, berikut soal keyakinannya, membuat kedua orang tuanya amat bersedih hati sehingga keduanya berkata kepada orang-orang saat mereka 98
Hikayat Para Auliya
mencari kesana kemari, “Asalkan dia mau pulang, agama apapun yang dia anut sungguh akan kami ikuti.” Sementara itu, Ma’ruf terus berjalan mengikuti kemana saja kakinya mau melangkah. Pikirnya, ia takut para pendeta pengajar membuntutinya, sampai akhirnya ia melihat seseorang yang begitu dimuliakan orang-orang lainnya pada saat dia memberi nasehat di sebuah mesjid. Ma’ruf menghampiri majelis itu, mendengarkannya, dan tetap berdiri sampai pendengar-pendengar majelis bubar dan tinggallah si orang tersebut. Kepadanya, Ma’ruf memohon untuk belajar tentang apa yang tadi dibicarakannya dalam majelis. Orang itu, yang tak lain adalah Imam Ali bin Musa Ar-Ridha 47, menaruh iba. Lalu membawa Ma’ruf ke dalam perjalanannya untuk pulang dan tinggal bersamanya, mendidik dan membimbingnya ke dalam keislaman. Di situ di Baghdad Ma’ruf tumbuh dengan mawas dan menitipkan dirinya, bahkan ia memposisikan dirinya lebih sebagai seorang maula atau hamba sahaya yang setiap saat juga melayani kebutuhan-kebutuhan Imam Ali bin Musa ar-Ridha. Ketika sampailah tiba waktu Ma’ruf merasa dewasa dan tak kuat lagi menahan rindu kepada kedua orang tuanya. Ma’ruf berpamitan kepada Imam Ali bin Musa, lalu bergegas pulang untuk menemui mereka. Diriwayatkan bahwa Ma’ruf tiba ke tempat asalnya di perbatasan Baghdad-Persia pada saat hari menuju malam. Ia bergegas mengetuk pintu rumah kedua orangtuanya itu yang dilihatnya belum banyak mengalami perubahan. “Siapakah itu?” tanya suara dari dalam yang Ma’ruf kenal sebagai suara Bapaknya. “Anakmu, Ma’ruf,” jawab Ma’ruf. “Ma’ruf?! Benarkah?” jawab suara itu terdengar menjadi kembar berikut suara ibunya. “Demi Allah, benarlah aku Ma’ruf anak kalian.” Lalu terdengar suara tetangisan di dalam rumah namun pintu belum terbuka. Di tengah sela isak, di balik pintu, kedua orang tua Ma’ruf bertanya, “Anakku, apakah agama yang engkau anut?” “Islam,” jawab Ma’ruf yakin. Salah seorang cicit Ali bin Abi Thalib ra. yang ditempatkan oleh para penganut Syiah sebagai salah satu dari sembilan imam mereka. 47
99
Hikayat Para Auliya
Sedetik kemudian membukalah pintu dan kedua orang tua Ma’ruf menghambur dengan wajah penuh baluh tangis. Memeluki, menciumi Ma’ruf si anak hilangnya, dengan lantas berkata, “Wahai Ma’ruf anakku, bawalah kami ke dalam agamamu.” Semenjak itulah kemudian Ma’ruf tinggal bersama kedua orang tuanya. Namun, selang beberapa tahun kemudian, sejalan kehausannya ruhaninya untuk mendalami agama dan demi mendengar kian pesatnya perkembangan ilmu keislaman di pusat pemerintahan islam saat itu, yakni di kota Baghdad, maka Ma’ruf kemudian (dengan berizin48) kembali pergi ke Baghdad, dan tinggal di Karkhi. Sebuah wilayah pedesaan di bagian barat kota Baghdad. Disana dia kerap menuju kota dan mengikuti majelis Dawud AthTha’i dan mendapatkan bim-bingannya. Berbekal ketaatan, ketabahan dan kekerasan disiplin yang dimilikinya, semeninggalnya sang guru, yakni Dawud Ath-Tha’i, nama Ma’ruf mulai menjadi masyhur di kota Baghdad. Ia kemudian dikenal sebagai seorang guru dengan karamat pada kekuatan doanya yang makbul. CERITA-CERITA TENTANG MA’RUF Pada suatu hari Ma’ruf bersama para sahabat dan muridmuridnya. Mereka bertemu dengan serombongan anak muda yang berjalan ke tujuan yang sama. Sepanjang perjalanan para pemuda itu memetik kecapi mereka, memutar dan meminum botol-botol anggur mereka, berbicara kasar dan bertingkah laku amat memuakkan. Para murid dan sahabat mendesaknya, “Guru, mintalah kepada Allah Yang Maha Besar untuk membenamkan mereka semua agar bumi ini bersih dari kelakuan mereka yang menjijikkan itu.” Ma’ruf berhenti, sementara rombongan pemuda berandal terus berjalan. “Tengadahkan tangan kalian,” kata Ma’ruf kepada para sahabat dan muridnya untuk kemudian dia berdoa: “Ya Allah, karena Engkau telah memberi mereka kebahagiaan di dunia ini, maka berikanlah pula kepada mereka kebahagiaan di akhirat nanti.”
Terdapat beragam versi kemungkinan di sini. Yakni yang pertama bahwa kedua orang tua Ma’ruf telah wafat kemu-dian ia pergi ke Baghdad. Yang kedua, Ma’ruf berizin kepada kedua orang tuanya, atau membawa kedua orang tuanya dari Persia ke kota Baghdad. 48
100
Hikayat Para Auliya
Para sahabat dan murid terheran-heran bertanya, “Guru, kami tak mengerti rahasia yang terkandung di balik doamu itu?” Ma’ruf menjawab, “Dia yang kepadaNya aku berdoa tadi, mengetahui rahasianya. Tunggulah sebentar, sesaat nanti juga akan terbuka.” Maka kemudian Ma’ruf bersama murid dan para sahabatnya melanjutkan perjalanan hingga tampaklah sungai Tigris dimana di dermaganya kelihatan rombongan pemuda tadi tengah dalam keadaan yang sama, dengan botol-botol anggur dan kecapikecapinya. Ketika sampailah langkah Ma’ruf ke hadapan mereka, demi melihat Ma’ruf, tiba-tiba mereka tumpah dan pecahkan botol-botol anggur dan lalu kecapi-kecapi mereka. Dengan tubuh gemetaran mereka semua bersimpuh menjatuhkan diri di hadapan Ma’ruf dan bertaubat. Kepada para sahabat dan muridanya Ma’ruf berkata, “Kalian saksikan bukan? Betapa kehendak kalian telah dikabulkan tanpa membenamkan dan mencelakan seorangpun jua.” *** Muhammad bin Manshur al Tusi bercerita : Pada suatu hari aku melihat sebuah goresan bekas luka di kening Ma’ruf. Sebagai teman aku heran dan merasa perlu bertanyatanya kepada Ma’ruf: “Kulihat di keningmu sebuah goresan bekas luka yang kemarin aku tak melihatnya, kenapakah gerangan itu?” “Sudahlah, jangan kau terlalu menghiraukan segala sesuatu yang bukan merupakan urusanmu. Tanyakanlah saja hal-hal yang mungkin bisa bermanfaat bagi dirimu,” jawab Ma’ruf. Karena tak puas atas jawabannya ditambah sebagai teman aku merasakan diri perlu tahu dimana mungkin saja ada yang berbuat jahat kepadanya, aku berkata mendesak Ma’ruf, “Demi hak Allah yang kita sembah, jelaskanlah padaku!” Maka Ma’ruf berkata, “Tadi malam aku berdoa kepada Allah semoga aku dapat ke Mekkah dan berthawaf mengelilingi Ka’bah. Doaku itu terkabul. Tiba-tiba aku berada di depan Ka’bah. Inilah pertama kalinya aku disitu. Maka dengan amat girang aku berthawaf dan lalu melakukan shalat. Saat selesainya aku kehausan, akupun teringat sumur zamzam. Aku kesana untuk minum. Namun, saking 101
Hikayat Para Auliya
gem-bira dan girangnya aku disitu, aku terpeleset dan kepalaku membentur pinggiran sumur.” Setelah mendengar jawaban Ma’ruf seperti itu aku barulah aku merasa puas dan memuji Allah atas kasihNya kepada Ma’ruf dengan kekuatan doanya. *** Di dalam sebuah mesjid di pinggiran sungai Tigris, Ma’ruf merasakan batal wudhu. Maka al-Qur’an dan sajadahnya ia tinggalkan demi berjalan keluar dan melangkah ke sungai Tigris untuk bersuci. Saat Ma’ruf melangkah kembali dari bersuci, dilihatnya seorang wanita tua masuk ke dalam mesjid, mengambil dan membawa kabur sajadah serta al-Qur’an milik Ma’ruf. Ma’ruf kemudian mengejarnya sampai si perempuan tua itu tersusul dan dapat ia hadang. Sambil menundukkan kepala menghindar dari melihat wajah si perempuan agar tidak membuat-nya malu dan merasa bersalah, Ma’ruf bertanya kepada si perempuan, “Apakah engkau bisa membaca al-Qur’an atau mempunyai seorang anak yang dapat membaca al-Qur’an?” “Tidak,” jawab si perempuan. “Kalau begitu, kembalikanlah al-Qur’an itu kepadaku, sementara sajadahnya biarlah untukmu.” Perempuan itu terheran-heran dengan kemurahan hati Ma’ruf yang sebelumnya dia kira akan menangkap dan membawanya ke tentara kerajaan. Maka baik al-Qur’an maupun sajadah, kemudian ia serahkan kembali kepada Ma’ruf. Namun Ma’ruf mendesak, “Tidak, ambillah sajadah ini. Sajadah ini adalah hakmu yang halal.” Sambil membawa sajadah tersebut. Si perempuan tua itu bergegas meninggalkan tempat dengan perasaan tak habis pikir. *** Ma’ruf mempunyai seorang paman yang merupakan seorang gubernur di sebuah kota di Persia. Saat sang paman berkunjung dan tiba di sebuah padang pinggiran Baghdad, dilihatnya Ma’ruf sedang duduk memakan roti. Di hadapannya duduk pula seekor anjing. 102
Hikayat Para Auliya
Secara bergantian roti itu disobek Ma’ruf satu ke mulutnya satu ke mulut anjing tersebut, sampai roti itu habis. Demi melihat pemandangan seperti itu, sang paman berseru : “Hai Ma’ruf! Tidak malukah engkau makan bersama-sama dengan seekor anjing?!” “Justru karena rasa malulah aku melakukannya, paman. Baikkah seseorang memiliki makanan tanpa berbagi dengan mahluk-mahluk disampingnya yang miskin dan tidak memiliki?” jawab Ma’ruf dengan lantas berkata menunjuk, “Kemarilah paman, dan lihatlah burung yang sedang terbang itu.” Si paman mendekati Ma’ruf dan menengadah ke arah burung yang sedang terbang melintas, jauh tinggi di atas mereka. Lalu Ma’ruf memanggil burung tersebut. Tiba-tiba saja si burung menukik dan hinggap ke lengan Ma’ruf. Di atas lengan Ma’ruf, si burung merundukkan kepala dan ditutupinya kepala itu dengan kedua sayapnya. “Lihatlah paman, jika seseorang senantiasa malu terhadap Allah, maka segala sesuatu akan malu terhadap dirinya.” Mendengar kata-kata Ma’ruf serta melihat kejadian tersebut. Sang paman terdiam dan tak bisa berkata apa-apa. *** Sari as-Saqhati bercerita : Pada saat hari raya aku melihat guruku, Ma’ruf al Karkhi tengah memunguti biji-biji kurma. “Guru, untuk apakah biji-biji kurma itu engkau ambil?” tanyaku kepadanya. Beliau menjawab, “Lihatlah anak kecil itu, tadi aku melihatnya sedang menangis. Aku bertanya kepadanya: ‘Anakku, apakah yang engkau tangiskan?’ Ia menjawab: ‘Di hari raya ini, sementara anakanak lain memakai baju-baju baru dan bersuka cita sambil memakan kacang, aku tidak memiliki apapun. Aku cuma seorang anak yatim piatu’. Maka biji-biji kurma ini kukumpulkan untuk aku jual. Kelak hasilnya akan aku belikan kacang untuk dia agar ia bisa bersuka cita.” “Guru, serahkanlah soal ini kepadaku dan tak usahlah engkau bersusah payah,” kataku.
103
Hikayat Para Auliya
Lalu kudekati anak itu dan kubawa ia seiring langkahku pulang sementara kurasakan bahwa beliau terus menatapiku berjalan dengan si anak. Sesampainya di rumah kuberikan kepadanya pakaian dan kubelikan ia kacang. Kemudian kuhi-bur dia dan kubesarkan hatinya. Seketika itu juga terlihatlah oleh cahaya yang terang benderang dari lubuk hatiku, dan aku merasa amat berbahagia. *** Suatu hari saat Ma’ruf berkunjung kembali ke rumah Imam Ali bin Musa ar Ridha, tiba-tiba orang-orang Syi’ah mendobrak pintu dan menyerang Ma’ruf hingga tulang-tulang rusuknya patah. Ma’ruf menggeletak dalam keadaan amat mengkhawatirkan. Ketika tubuh Ma’ruf telah dibawa dan sampai ke rumahnya, Sari as-Saqhati berkata kepadanya, “Guru, sampaikanlah wasiatmu.” Maka Ma’ruf berkata, “Apabila aku mati, lepaskanlah pakaianku dan sedekahkanlah. Aku ingin meninggalkan dunia ini dalam keadaan seperti aku dilahirkan dari rahim ibuku.” *** Akibat jiwa perikemanusiaan, keramahan dan kerendahan hatinya dalam bergaul dengan siapapun yang sedemikian harumnya, hampir semua pihak baik Yahudi, Kristen, maupun Islam mengakui Ma’ruf sebagai bagian daripada mereka pada saat Ma’ruf meninggal dunia. Semuanya bersikeras merasa berhak memakamkannya. Sampai datanglah pelayan Ma’ruf dan berkata kepada mereka, “Guru pernah berpesan kepadaku bahwa seandainya beliau meninggal, jika ada suatu kaum yang bisa mengangkat jenazah beliau dengan kerandanya, maka itu menunjukkan bahwa beliau merupakan bagian dari kaum tersebut.” Pada saat tampil orang-orang Kristen, mereka tidak sanggup untuk mengangkatnya. Demikian pula dengan orang-orang Yahudi. Barulah pada saat orang-orang muslim mengangkatnya keranda dengan jenazah Ma’ruf di dalamnya dapat diangkat. Maka lantas jenazah itu dishalatkan dan dikebumikan oleh orang-orang Muslim. *** Sari as-Saqhati menceritakan : 104
Hikayat Para Auliya
Setelah Ma’ruf meninggal dunia, dalam suatu mimpi aku melihatnya. Ma’ruf seolah-olah sedang berdiri di bawah arasy. Matanya terbuka lebar tak berkedip sedikitpun seperti tampak takjub dan terkesima. Kemudian terdengar seruan kepada para malaikat di alam malakut. “Siapakah orang ini?” “Ya Allah, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Tahu,” jawab para malaikat. “Dia adalah Ma’ruf. Ia terkesima dan terpesona karena cinta kasihKu. Hanya dengan memandangKu sajalah ia dapat tersadarkan kembali. Hanya dengan menemuiKu sajalah ia dapat menemukan dirinya kembali.”
105
Hikayat Para Auliya
Bisyr al-Hafi Abu Nashr Bisyr al-Hafi lahir di kota Merv. Setelah bertaubat dari kehidupannya yang penuh foya-foya, Bisyr pindah ke Baghdad untuk menuntut ilmu Qur’an dan Hadits. Akan tetapi pendidikan formal tersebut kemudian juga ditinggalkannya untuk kemudian memilih hidup sebagai seorang gelandangan. Nama al-Hafi merupakan julukan yang diberikan oleh penduduk kota Baghdad kepadanya yang berarti si telanjang kaki. Ia hidup satu jaman dengan imam fikih terkemuka, Ahmad bin Hanbal. Bisyr meninggal tahun 227 H/841 M.
“Tetapi tentang urusan Allah, ia lebih mengenalNya daripada aku “ Imam Ahmad bin Hanbal 49 sangat sering mengunjungi Bisyr. Ia begitu mempercayai kata-kata Bisyr, sehingga murid-muridnya mencela sikapnya tersebut : “Wahai guru, pada jaman ini tak satupun orang yang dapat menandingi engkau di bidang ilmu kalam, hadits, hukum-hukum dan setiap cabang ilmu pengetahuan. Tetapi kenapa engkau setiap saat senantiasa mengunjungi gelandangan zindiq (sesat) itu, pantaskah perbuatan engkau itu?” “Mengenai setiap bidang yang kalian sebutkan tadi, memang benar aku lebih ahli daripada Bisyr”, jawab Imam Ahmad bin Hanbal, “Tetapi untuk urusan Allah, ia jauh lebih mengenalNya daripada aku. Aku sering meminta kepadanya: “Wahai Bisyr.., ceritakanlah kepadaku mengenai Tuhanku.” KISAH PERTAUBATAN Bisyr adalah seorang pemuda berandalan. Saat menetap di Baghdad, hampir setiap malam ia habiskan waktunya untuk berfoyafoya dan mabuk-mabukan. Suatu hari dalam keadaan pulang pagi dan masih mabuk, di tengah jalan ditemukannya secarik kertas bertuliskan basmalah: “Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”. Terhuyung-huyung diambilnya kertas tersebut. Ia Yakni Imam Hambali, satu dari empat imam mazhab fikih terkemuka selain Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi), Imam Malik bin Anas (Imam Maliki) dan Imam Muhammad bin Idris (Imam Syafi’i). 49
106
Hikayat Para Auliya
lalu membeli minyak mawar dan dipercikinya kertas itu dengan minyak tersebut lalu dicium dan dimuliakannya. Kertas itu kemudian dengan hati-hati disimpan di tempat bersih di dalam rumahnya. Malam harinya, seorang ulama suci bermimpi. Dalam mimpi itu ia diperintahkan Allah untuk berkata kepada Bisyr: “Engkau telah mengharumkan NamaKu, maka telah Kuharumkan pula namamu. Engkau telah menyucikan NamaKu, maka telah Kusucikan pula namamu. Engkau telah memuliakan NamaKu, maka telah Kumuliakan pula namamu. Demi KebesaranKu, nicscaya kuharumkan namamu, di dunia dan di akhirat.” Si ulama tersentak bangun. “Bisyr adalah pemuda berandal, mungkin aku bermimpi yang salah” begitu pikirnya. Ia lalu pergi bersuci, melakukan shalat, kemudian tidur kembali. Namun tetap saja ia mendapat mimpi yang sama dengan perintah yang sama pula. Ia ulangi perbuatannya itu sampai yang ketiga kali, namun tetap saja demikian juga. Keesokan harinya, pergilah ia mencari Bisyr. Dari beberapa orang ia memperoleh keterangan bahwa Bisyr sedang berada di rumah temannya si fulan yang tengah mengadakan pesta anggur. Maka pergilah ia kesana dan bertanya pada seseorang di halaman rumah. “Apakah Bisyr ada disini?” Orang tersebut masuk ke dalam rumah untuk sebentar kemudian kembali dan menjawab,”Ya ada disini, tetapi ia sedang dalam keadaan mabuk dan lemah tak berdaya.” “Tolong katakan kepada Bisyr, ada pesan penting yang hendak kusampaikan kepadanya.” Orang itu bergegas kembali ke dalam hingga datanglah Bisyr menghampiri si ulama seraya bertanya, “Pesan dari siapa?” “Dari Allah!”, jawabnya tegas. “Aduhai?!”, Bisyr berseru kaget dan tidak percaya. Ia mengernyitkan dahinya menatapi si pembawa pesan. Lambat laun demi melihat wajahnya nan suci bersih, hati Bisyr tergetar. Matanya mengharu dan berucap, “Wahai, pesan apakah itu? Untuk mencela atau untuk menghukumku?” “Bukan, melainkan memujimu, menghargaimu”, jawab si ulama yang kemudian menceritakan kejadian mimpinya yang berulangulang pada Bisyr. 107
Hikayat Para Auliya
Bisyr lantas menangis menyedak-nyedak, “Wahai, tunggulah disini sebentar, aku akan pamit kepada teman-temanku dahulu.” Kepada teman-temannya Bisyr berkata, “Sahabat-sahabat, aku telah dipanggil. Karena itu harus kutinggalkan tempat ini. Selamat tinggal! Kalian tak akan pernah melihatku lagi dalam keadaan seperti begini!” Semenjak itulah, tingkah laku Bisyr berubah menjadi orang yang sedemikian saleh sehingga diandaikan tak seorangpun di kota Baghdad pada saat itu yang tidak merasakan kedamaian ilahi menyen-tuh hatinya apabila namanya disebutkan. Bisyr telah memilih jalan penyangkalan diri50. Sedemikian asyik dan larutnya ia menghadapkan ingatan dirinya kepada Allah sampai kemanapun ia tak pernah lagi perduli bahwa kakinya tidak beralaskan sesuatupun. Inilah sebabnya ia kemudian dijuluki al-Hafi, nyeker atau telanjang kaki. Apabila ditanyakan kepadanya, “Mengapa engkau tak pernah memakai alas kaki?” Jawabnya, “Ketika aku berdamai dengan Allah, saat itu aku sedang tidak menggunakan alas kaki sehingga sejak saat itulah aku malu untuk memakai alas kaki. Apalagi bukankah Allah Yang Maha Besar telah berkata : “Telah kuciptakan bumi sebagai permadani (hamparan) bagimu.” Maka pantaskah bagiku apabila aku memakai sepatu di atas permadani buatan Sang Raja?” KISAH-KISAH BISYR Selama empat puluh tahun Bisyr hidup menggelandang 51. Selama itu pula ia menginginkan daging panggang, namun tak pernah ia mempunyai uang untuk membelinya. Bertahun-tahun pula ia menginginkan makan kacang, tetapi tak pernah satu butir Al-Malamatiyah, pencelaan atau penghinaan diri. Adalah tahap dimana seorang abid dalam upaya menjaga situasi batiniahnya dari dorongan nafsu bawah sadar, menyegaja diri dengan tampil sebaliknya. Banyak sufi yang diriwayatkan kerap berdiam diri di pinggiran jalan sambil memegang botol minuman keras (khomru, padahal berisi air putih biasa), hal mana dimaksudkan agar orang tidak memandang dirinya sebagai orang baik melainkan sebaliknya. Tak sedikit pula sufi memilih hidup zuhud dan menggelandang. Kesemuanya dapat memelihara diri dari ‘ujub, sombong dan takabur. 50
Menggelandang sampai dengan meninggalnya. Rumah yang dimilikinya, hanya ia tinggali sekali-sekali tanpa pernah ia urusi. Sifat sekali-sekali tersebut amat kondisional, yakni hanya apabila ia sakit. Itu dilakukannya agar ia tidak mere-potkan orang lain, atau gelandangan-gelandangan lain di sekelilingnya. 51
108
Hikayat Para Auliya
kacangpun yang pernah masuk ke mulutnya. Sepanjang hidupnya Bisyr minum dari saluran-saluran air yang ada di kota Baghdad, tetapi tak pernah ia minum dari saluran yang ada pemiliknya. *** Salah seorang tokoh suci Baghdad saat itu (boleh jadi Imam Ahmad bin Hanbal), bercerita: Suatu hari aku ingin bertemu Bisyr. Cuaca saat itu sangat dingin sekali. Namun ketika aku berjalan dan menemukannya, kulihat Bisyr tidak memakai pakaian atasnya dan tubuhnya menggigil kedinginan. “Abu Nashr”, tegurku kepadanya, “di tengah cuaca dingin seperti ini, orang-orang melapis pakaian mereka. Namun kenapa engkau malah melepaskannya?” Sambil gigi-gigi mulutnya gemeletuk kedinginan, Bisyr menjawab, “Wahai, aku teringat kepada orang-orang miskin, namun aku tidak memiliki uang untuk menolong dingin mereka, oleh karena itulah aku begini untuk turut merasakan penderitaan mereka.” *** Bisyr berkisah : Suatu malam aku bermimpi bertemu Ali bin Abi Thalib ra. Aku berkata kepadanya, “Berilah aku petuahmu.” Ali menjawab, “Alangkah baiknya belas kasih orang-orang kaya kepada orang-orang miskin yang semata-mata dilakukannya untuk mendapatkan keridhaan Allah Yang Maha Pengasih. Namun yang alangkah lebih baik lagi daripadanya, adalah keengganan orangorang miskin untuk menerima pemberian orang-orang kaya karena percaya akan kemurahan Sang Pencipta alam semesta. *** Seorang lelaki datang kepada meminta nasehat kepada Bisyr : “Aku mempunyai dua ribu dirham yang kuperoleh secara halal. Aku ingin pergi menunaikan ibadah haji.” “Jika engkau ingin menyenangkan Allah”, jawab Bisyr, “maka lunasilah hutang seseorang, atau berikanlah uang tersebut untuk menghidupi anak-anak yatim atau kepada seseorang yang membutuhkan pertolongan. Kelapangan yang engkau berikan
109
Hikayat Para Auliya
kepada jiwa seorang muslim lebih disukai Allah daripada seribu kali engkau menunaikan ibadah haji.” “Meski begitu, aku lebih suka untuk menunaikan ibadah haji”, lelaki itu menegaskan. “Ya, karena meskipun kelihatannya halal, engkau memperolehnya dengan keinginan nafsumu. Oleh karena itulah engkau tidak akan puas sebelum menghabiskannya dengan caracara yang tidak benar52” jawab Bisyr. *** Dalam suatu majelis dimana orang kerap menarik pelajaran dari Bisyr, seseorang menyelanya: “Wahai Abu Nashr, engkau tak pernah mau menerima pemberian orang lain demi kemuliaan. Jika engkau memang melakukan penyangkalan diri dan memalingkan wajahmu dari dunia ini, maka teri-malah pemberian orang-orang kepadamu agar engkau tidak dipandang mulia. Lalu secara sembunyi-sem-bunyi berikanlah pemberian-pemberian tersebut kepada orang-orang miskin. Setelah itu janganlah engkau goyah dengan kepasrahanmu pada kepada Allah dan terimalah nafkahmu dari alam gaib.” Beberapa pendengar setia yang selama ini selalu mengikuti nasehat-nasehat Bisyr terlihat terkesan akan ucapan orang tersebut. Bagi mereka berpura-pura menerima pemberian merupakan juga bentuk penyangkalan diri. “Camkanlah!”, jawab Bisyr, “Orang miskin itu terbagi atas tiga golongan..” “Golongan pertama, adalah orang miskin yang tidak pernah meminta-minta dan apabila diberi-kan kepadanya sesuatu, ia menolaknya. Inilah orang-orang yang telah menyerahkan jiwanya kepada Allah,” “Golongan kedua, adalah orang miskin yang tidak pernah meminta-minta, tetapi apabila diberi-kan kepadanya sesuatu, ia masih mau menerimanya tanpa ia sendiri mengharapkannya. Inilah orang tawazun (yang berada di tengah),” Dengan itu Bisyr menegaskan bahwa nafsu dapat mendorong apapun termasuk dalam hal cara beragama seorang hamba. Ketika sebuah kebenaran itawarkan untuk dipilih, nafsu memelencengkan manusia untuk lebih memilih sesuatu yang kelihatan, memilih dogma syariat. Meskipun diakui pilihan selainnya sebenarnya lebih mulia dan bermanfaat. 52
110
Hikayat Para Auliya
“Golongan ketiga, adalah orang miskin yang tidak pernah meminta-minta namun dengan sabar menanti pemberian orang lain sesuai dengan kesanggupannya serta namun menolak godaangodaan hawa nafsu,” “Diluar tiga golongan tersebut”, lanjut Bisyr, “tidaklah dapat disebut orang miskin, melainkan tak lebih dari orang kufur 53. (Maka haruskah aku masuk ke golongan kufur?)” Mendengar penjelasan tersebut baik si penyela maupun pendengar setianya merasa puas. *** Bilal Al-Khawwash bercerita : Saya pernah berada di padang sahara. Tiba-tiba seorang lelaki muncul dan berjalan menemaniku. Saya heran, siapakah gerangan laki-laki ini. Tidak berapa lama, saya diilhami bahwa dia adalah Khidir as. Maka saya pun bertanya kepadanya, “Demi Haqq ul Haqq, siapakah anda sebenarnya?” “Aku saudaramu, Khidir,” jawabnya. “Bagaimana pendapatmu tentang Imam Syafi’I rahimahullah?” tanyaku kemudian “Dia termasuk golongan para pemelihara agama.” “Dan bagaimana tentang Imam Ahmad bin Hanbal?” “Dia termasuk golongan shiddiqin.” “Lalu, bagaimana pula dengan Bisyr al Harits al Hafi?” “Belum ada orang yang sepertinya, dan tidak akan ada lagi sesudahnya.” *** Bisyr berkisah : Suatu malam aku bermimpi bertemu Rasulullah. Beliau berkata kepadaku, “Bisyr, tahukah engkau kenapa Allah memili engkau
Si miskin yang mau menerima apapun, atau Si cukup bahkan si kaya yang terus didorong hawa nafsunya menyukai dan mengharap-harapkan rejeki tidak dimasukkan Bisyr ke dalam kategori miskin keadaan, tetapi dimasukkan olehnya sebagai miskin hati atau orang kufur. Dalam konteks ini, ketika Bisyr menyerahkan jubahnya kepada seorang peminta-minta dan pada saat bersamaan seorang saudagar kaya hanya pongah dan diam saja sebagai perbandingannya, maka dapat disimpulkan disini bahwa Bisyr orang yang lebih kaya dari si kaya tersebut. 53
111
Hikayat Para Auliya
diantara orang-orang yang sejaman denganmu? Dan tahukah engkau mengapa Allah memuliakanmu?” “Aku tidak tahu, ya Rasulullah”, jawabku. “Itu karena engkau mengikuti sunahku, memuliakan orangorang saleh, memberi nasehat yang baik kepada saudarasaudaramu dan mencintai aku dan keluargaku. Karena itulah Allah telah mengangkatmu ke dalam golongan orang-orang yang saleh.” *** Saat Bisyr terbaring sakit menjelang ajalnya. Seseorang datang kepadanya mengeluhkan ten-tang nasibnya yang tengah malang. Bisyr bangun dan melepas jubahnya, dan memberikannya kepada orang tersebut. Ia kemudian mengenakan sebuah pakaian yang ia pinjam dari temannya. Dengan pakaian pinjaman itulah, Bisyr kemudian menghembuskan nafasnya yang terakhir. *** Pada hari kemeninggalan tersebut, seorang laki-laki melihat keledai yang ditungganginya membuang kotoran di atas jalan. Seketika ia tersentak, dan berserulah ia kepada orang-orang banyak: “Wahai orang-orang! Bisyr telah tiada!” Mendengar seruan itu, meski penuh tanda tanya, bergegaslah orang-orang pergi ke rumah Bisyr untuk mnyelidikinya. Ternyata benarlah apa yang diserukan si penunggang keledai tersebut. Sehingga akhirnya mereka berduka cita dan mengurusi pemakaman Bisyr. Ketika kemudian ditanyakan pada laki-laki tersebut perihal bagaimana tiba-tiba ia bisa tahu bahwa Bisyr telah meninggal dunia, Ia menjawab : “Selama Bisyr masih ada, jejalanan kota Baghdad selalu bersih karena tak pernah aku lihat di atasnya terdapat kotoran keledai ataupun kuda. Namun demi melihat keledaiku membuang kotorannya ke jalanan, sebuah kenyataan pasti telah terjadi dan tahulah aku bahwa itu pasti karena Bisyr telah tiada54.”
Hal ini merupakan karamat Allah, dimana diriwayatkan semenjak Bisyr bertaubat dan menanggalkan alas kakinya ke manapun ia pergi, tak pernah satu binatang pun baik tunggangan atau peliharaan yang berani membuang kotorannya di sepanjang jejalanan kota Baghdad. 54
112
Hikayat Para Auliya
113