VOLUME VI | NO.46/JUNI 2011
UU Tentang Mata Uang
Mampu Memberikan Landasan Hukum yang Kokoh dalam Pengelolaan dan Pengendalian Rupiah
ISSN 1907-6320
UU Tentang Mata Uang Memperkuat Rupiah
MEDIA KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN Vol. VI No. 46/Juni/2011
MEDIA KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN Vol. VI No. 46/Juni/2011
dari lapangan banteng
Memang Selayaknya Pemerintah Tanda Tangan Mata Uang
S
egera sesudah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 diumumkan, Pemerintah Republik Indonesia memandang perlu untuk mengeluarkan uang sendiri. Uang tersebut, bagi Pemerintah tidak sekedar sebagai alat pembayaran semata-mata, tetapi juga berfungsi sebagai lambang utama suatu negara merdeka, serta sebagai alat untuk memperkenalkan diri kepada khalayak umum. Pada saat itu beredar mata uang pendudukan Jepang. Oleh karenanya dibutuhkan mata uang sendiri, digunakan oleh rakyat Indonesia dari masa ke masa sebagai alat pertukaran dan pembayaran yang sah. Maka pada tanggal 30 Oktober 1946, Pemerintah Indonesia merdeka menyatakan hari tersebut adalah hari bersejarah bagi bangsa Indonesia sebagai tanggal beredarnya Oeang Repoeblik Indonesia (ORI). Mengacu pada sejarah ORI tersebut memang Pemerintah layak membubuhkan tanda tangan mata uang, walaupun dimulai pada 17 Agustus 2014 sesuai amanat UU Tentang Mata Uang yang memang baru pertama kali disahkan DPR. Keikutsertaan Pemerintah menandatangani uang kertas sejalan dengan pertimbangan bahwa mata uang merupakan simbol kenegaraan dan alat pembayaran yang sah sebagaimana diriwayatkan di atas. Namun dalam pengelolaan rupiah, mulai dari perencanaan, pencetakan, pengeluaran, pengedaran, pencabutan, penarikan serta pemusnahan, dilakukan bersama dengan Bank Indonesia. UU juga mengharuskan setiap transaksi di daerah perbatasan seperti Batam, Bintan, Nunukan, dan Atambua harus menggunakan mata uang rupiah. Pengaturan mata uang dalam UU tersendiri menjadi pelindung ketertiban, kesehatan, serta keselamatan dan keamanan
Transparansi Informasi Kebijakan Fiskal Redaksi menerima sumbangan tulisan atau artikel yang sesuai dengan misi penerbitan. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi. Bagi tulisan atau artikel yang dimuat akan mendapatkan imbalan sepantasnya.
bertransaksi, mengingat uang dapat memfasilitasi dan memotivasi semua aktivitas ekonomi yang berkaitan dengan konsumsi, produksi, tukar-menukar, dan distribusi. Uang memungkinkan konsumen memaksimalkan kepuasannya dan menjadi tolok ukur intensitas keinginan dan kegunaan komoditas bagi konsumen. Uang membantu bekerjanya mekanisme harga dan melancarkan berfungsinya sistem perekonomian. Selain itu, pengaturan mata uang memberikan dasar hukum yang kuat bagi lembaga tersebut dalam mengatur penggunaan uang sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender). Untuk pencapaian sasaran mengenai kelancaran dan ketersediaan uang yang efisien perlu ditetapkan jumlah uang yang diperlukan dalam perekonomian. Dalam hal ini jumlah uang yang diedarkan harus disesuaikan dengan kebutuhan perekonomian. Di samping itu yang tidak kalah pentingnya adalah mata uang kita harus selalu perkasa terhadap valuta asing. Artinya daya beli dan daya tukar mata uang rupiah bisa bersaing, bahkan sebaiknya harus menjadi tuan di negara sendiri. Tidak boleh ada lagi kawasan perdagangan di tanah air yang mematok harga berdasarkan mata uang asing. Fenomena ini kerap terjadi di beberapa tempat di mana bila rupiah terapresiasi, harga barang ikut naik. Giliran terdepresiasi, harga barang juga naik. Kita juga tidak mau bila rupiah hanya “laku” sampai Cengkareng (bandara), tetapi juga mampu bertengger di kawasan regional dengan nilai yang proporsional. Ini tentu tidak bergantung pada nilai rupiah saja melainkan juga harus didukung oleh kebanggaan kita dalam memegang dan menyimpan rupiah. Redaksi
Diterbitkan oleh: Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan Pelindung: Menkeu RI Agus DW Martowardojo. Ketua Pengarah: Sekjen Kemenkeu Mulia P. Nasution. Pemimpin Umum/Penanggung Jawab: Kabiro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu Yudi Pramadi. Pemimpin Redaksi: Eddy M. Effendi. Redaktur Pelaksana: Sundari. Dewan Redaksi: Sasi Atiningsih, Agung Ardhianto. Tim Redaksi: Zainal Sutanto, Rahmat Widiana, Faisal, Rizwan Pribhakti, Zachrony, Bikner L. Tobing, Nico Aditia, Rezha Sahhilny, Irma Kesuma Dewi, Yani Astuti, Bagus Wijaya, Langgeng Wahyu P, Ari R Kuncoro, Iin Kurniati, Amelia Safitri, Dwinanda Ardhi. Sekretariat: Eva Lisbeth, Hesti Sulistiowati, Indri Maria, Lili Marini T, Novita A. H, Sularno, Hilman Ibrahim. Desain Grafis dan Layout: Wardah Adina, Dewi Rusmayanti, Basuki Rahmat. Alamat Redaksi: Gedung Djuanda (Gedung E) Lantai 12, Jl. Dr. Wahidin No. 1, Jakarta Telp : (021) 3849605, 3449230 pst. 6328. e-mail:
[email protected] website: http://www.depkeu.go.id
MEDIA KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN Vol. VI No. 46/Juni/2011
daftar isi REVIEW 32
L A P O R A N U TA M A 5
UU Tentang Mata Uang Mampu Memberikan Landasan Hukum yang Kokoh dalam Pengelolaan dan Pengendalian Rupiah
LAPORAN UTAMA 6 UU Tentang Mata Uang Memberikan Kepastian Hukum Bagi Bangsadan Negara 9 UU Tentang Mata Uang Memperkuat Rupiah 11 Pentingnya Poltical Will dalam Implementasi UU Tentang Mata Uang 13 Presiden Direktur INDEF, Mohamad Fadhil Hasan: “UU Tentang Mata Uang Penting Bagi Kebijakan Moneter yang Lebih Baik, Kuat dan Stabil” TOKOH 15 PROFIL 17
Pentingnya Perencanaan Keuangan
Mendorong Semangat Investasi Pemerintah
LINTAS 20 20 21
Review Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri No. 213/PMK.07/2010 dan Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Tahapan Persiapan Pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan Sebagai Pajak Daerah
ENGLISH CORNER 35 Fiscal Decentralization and Its Challenge for Indonesia
PERISTIWA Islamic Development Bank Group Day Peluncuran MP3EI Menkeu Lantik Eselon II Kemenkeu
REPORTASE 22 DJP Raih Penghargaan The Best Contact Center Indonesia 2011 INFO KEBIJAKAN 23 Pembelian 7% Saham Newmont oleh Pemerintah Clear dalam Dimensi Hukum ARTIKEL 27 Kepentingan Negara Adalah Kepentingan Masyarakat 30 Pemerintah Layak Beli Saham Divestasi PT NNT
MEDIA KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN Vol. VI No. 46/Juni/2011
RENUNGAN 37 Biaya Sosial Versus Biaya Gengsi RESENSI 38 Pustaka Populer CELENGAN 39 Muhammad Farhan Dukung Perkembangan Dunia Pendidikan Indonesia
laporan utama
UU Tentang Mata Uang Mampu Memberikan Landasan Hukum yang Kokoh dalam Pengelolaan dan Pengendalian Rupiah Mata Uang sebagai salah satu simbol kedaulatan negara harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga negara Indonesia. Mata Uang juga diperlukan sebagai alat pembayaran yang sah dalam kegiatan perekonomian nasional dan internasional guna mewujudkan kesejahteraaan sosial.
S
elama ini, pengaturan tentang macam dan harga Mata Uang yang diamanatkan dalam Pasal 23B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 belum diatur dengan undang-undang tersendiri. Aturan mengenai Mata Uang tersebar dalam berbagai aturan perundangundangan, yakni: (i) UU Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 6 Tahun 2009; dan (ii) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Mencermati perkembangan tersebut, Pemerintah mendukung pembentukan Undang-Undang tentang Mata Uang sebagai amanat UUD Tahun 1945. Setelah melalui proses panjang, RUU Tentang Mata Uang akhirnya disahkan menjadi Undang-Undang melalui Rapat Paripurna DPR-RI pada tanggal 31 Mei 2011 dan saat ini masih dalam proses penomoran dan penandatanganan oleh Presiden. Secara garis besar RUU tentang Mata Uang meliputi: (i) Ketentuan Umum; (ii) Macam dan Harga; (iii) Ciri, Desain, dan Bahan Rupiah; (iv) Pengelolaan Rupiah; (v) Penggunaan; (vi) Penukaran Rupiah; (vii) Larangan; (viii) Pemberantasan Rupiah Palsu;
(ix) Pemeriksaan Tindak Pidana terhadap Rupiah; (x) Ketentuan Pidana; (xi) Ketentuan Peralihan; dan (xii) Ketentuan Penutup.
Substansi krusial dalam RUU Tentang Mata Uang Sejalan dengan semangat kebersamaan, Dewan Komisi XI DPR-RI bersama Pemerintah bertekad untuk menyelesaikan RUU tentang Mata Uang, maka hasil pembahasan disepakati bersama terhadap substansi krusial dalam RUU tentang Mata Uang, antara lain: 1. Pemerintah turut sebagai pihak yang menandatangani uang kertas rupiah bersama dengan pihak Bank Indonesia, yang akan diberlakukan, dikeluarkan dan diedarkan tanggal 17 Agustus 2014. 2. Perencanaan dan penentuan jumlah uang yang dicetak dilakukan oleh Bank Indonesia berkoordinasi dengan Pemerintah. 3. Pemusnahan rupiah dilakukan oleh Bank Indonesia berkoordinasi dengan Pemerintah. 4. Pencetakan rupiah dilaksanakan oleh BUMN dan dalam hal BUMN tidak sanggup melaksanakannya, maka Pencetakan rupiah dilaksanakan oleh
5.
6.
7.
8.
BUMN bekerja sama dengan lembaga lain yang ditunjuk melalui proses yang jelas, transparan, dan akuntabel serta menguntungkan negara. Pemberantansan rupiah palsu dilakukan oleh badan yang mengoordinasikan pemberantasan rupiah palsu. Dilakukan audit secara periodik terhadap pelaksanaan pencetakan, pengeluaran, dan pemusnahan rupiah oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Setiap transaksi keuangan di wilayah Republik Indonesia dilakukan dengan menggunakan mata uang rupiah. Perubahan harga rupiah diatur dengan undang-undang tersendiri dan selama perubahan harga rupiah belum diundangkan, maka perubahan harga rupiah tidak dapat dilaksanakan.
Semoga upaya yang dilakukan bersama antara DPR-RI dan Pemerintah menjadikan Undang-Undang tentang Mata Uang mampu memberikan landasan hukum yang kokoh dalam pengelolaan dan pengendalian rupiah di masa yang akan datang serta dapat meningkatkan martabat bangsa di tingkat nasional maupun internasional. mk
MEDIA KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN Vol. VI No. 46/Juni/2011
laporan utama
UU Tentang Mata Uang Memberikan Kepastian Hukum Bagi Bangsa dan Negara
Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan, Agus Suprijanto
Prinsipnya, mata uang rupiah harus menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Oleh karena itu, kedaulatan NKRI harus dijaga dengan mengontrol atau mengendalikan penggunaan rupiah di dalam negeri. Jadi, bila ada transaksi yang menggunakan mata uang asing di dalam negeri, ada sanksi yang diatur di dalam undang-undang. Lalu sejauh mana arti penting disusunnya UU Mata Uang? Apa saja latar belakang dan pertimbangan Pemerintah dalam menyusun undang-undang ini? Berikut ulasan perbincangan Media Keuangan dengan Dirjen Perbendaharaan, Agus Suprijatno, di Gedung Prijadi Praptosuhardjo lll, Jakarta, Jumat (17/6).
MEDIA KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN Vol. VI No. 46/Juni/2011
Latar belakang penyusunan RUU Tentang Mata Uang
P
enetapan dan pengaturan Mata Uang sudah diatur dalam UUD 1945 pasal 23B yang mengamanatkan bahwa macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang. Hal ini dilakukan demi melindungi dan memberikan kepastian hukum bagi bangsa dan negara. Menurut Agus, selama 66 tahun Indonesia menggunakan UU Bank Indonesia sebagai dasar hukum pencetakan uang. Padahal yang
laporan utama
diamanatkan dalam UUD 1945 adalah UU Khusus Mata Uang. Bahkan dalam masalah penerbitan uang Republik Indonesia mulai dari perencanaan, pencetakan, pengeluaran, pengedaran kemudian penarikan, penghapusan sampai pemusnahan, sepenuhnya dilakukan oleh Bank Indonesia (BI). Hal ini karena kebijakan mata uang dianggap urusan moneter yang sepenuhnya di pegang oleh BI sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang mengatur mata uang. BI memiliki wewenang dalam menentukan seberapa besar jumlah uang yang dicetak dan diedarkan kepada masyarakat, sedangkan Pemerintah hanya menyesuaikan. Padahal menurut Agus, terkait penerbitan serta pengedaran mata uang, dampaknya tidak hanya dalam urusan moneter, tetapi juga dalam fiskal, terutama APBN. Nilai tukar, inflasi serta suku bunga ini merupakan variabel yang menentukan APBN. Adanya perubahan nilai tukar, inflasi, serta suku bunga, otomatis mengakibatkan perubahan postur APBN. Jumlah uang yang beredar mempengaruhi nilai tukar dan inflasi. Lalu Inflasi bisa mempengaruhi suku bunga. Apabila uang yang dicetak ternyata berlebih, maka bisa menimbulkan inflasi dan kenaikan suku bunga. Maka diperlukan koordinasi dengan Pemerintah dalam hal-hal yang terkait dengan fiskal. Maka dari itu, DPR melaksanakan hak inisiatifnya dengan mengusulkan penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentang Mata Uang pada Pemerintah. Kemudian, setelah DPR berkonsultasi dengan BI, disusunlah draft UU Tentang Mata Uang yang memasukkan Kementerian Keuangan sebagai wakil Pemerintah dan mencantumkannya di dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM). Sehingga, menurut Agus, penyusunan RUU Tentang Mata Uang ini intens melibatkan pihak Pemerintah. Dan keberadaan RUU Tentang Mata Uang yang merupakan amanat UUD 1945 perlu segera direalisasikan. Agus juga menjelaskan arti penting RUU Tentang Mata Uang terhadap pengelolaan dan pengendalian rupiah di masa mendatang, yakni terkait transparansi. “Kalau selama ini
dimonopoli Bank Indonesia, maka setelah ada UU Tentang Mata Uang bisa dilakukan secara transparan, ada check and balance. Kemudian, kontrolnya lebih baik dan yang lebih penting adalah pengendalian terhadap beredarnya uang palsu bisa lebih diintensifkan”, jelas Agus.
Pemisahan redenominasi dalam RUU Tentang Mata Uang Redenominasi merupakan perubahan harga mata uang suatu negara. Agus memaparkan bahwa usulan ini muncul pasca BI mengeluarkan wacana akan melakukan redenominasi pada rupiah. Redenominasi memiliki implikasi sosial dan ekonomi yang tidak sederhana dan memerlukan kecermatan dalam sosialisasi serta komunikasi pada masyarakat. Contohnya, dengar ada rencana seperti itu saja, masyarakat sudah panik. “Wah, uang saya yang satu juta hanya akan tinggal 1000. Terus kalau saya punya 1 miliar tinggal 1 juta. Tadinya miliarder menjadi jutawan”, Agus mencontohkan. Pemerintah memandang bahwa masalah ini tidak dapat selesai bila hanya disisipkan pada satu atau dua pasal di dalam RUU Tentang Mata Uang. Saat ini, BI belum memiliki konsep jelas terkait redenominasi rupiah, apakah hanya penyederhanaan penulisan angka supaya digitnya tidak terlalu panjang atau ada hal yang lain. Jika sudah ada klarifikasi mengenai redenominasi, maka baru bisa diatur dalam undang-undang tersendiri. “RUU Tentang Mata Uang hanya mengamanatkan saja, undangundang tersendiri nanti akan disusun dengan konsep yang jelas. Sehingga orang tidak meraba-raba atau menduga-duga, hingga implikasinya tidak terlalu meresahkan”, papar Agus.
Pertimbangan historis Indonesia menganut sistem perekonomian dimana bank sentral bersifat independen, artinya bank sentral bukan bagian dari Pemerintah. Ada juga sejumlah negara yang menganut sistem bank sentral sebagai bagian dari Pemerintah. Prakteknya, penandatanganan mata uang negaranegara tersebut cukup oleh Gubernur Bank Sentral sebagai wakil Pemerintah. Menurut Agus, negara dengan sistem Bank Sentral
yang independen, penandatanganan mata uang umumnya dilakukan bersama dengan Pemerintah. Maka Indonesia juga akan melakukan penandatanganan mata uang bersama antara Pemerintah dan Bank Sentral. “Oleh karena itu kita mengikuti praktek yang umum dilakukan, mata uangnya itu ditandatangani oleh Bank Sentral dan Pemerintah. Logikanya kalau Bank Sentral menjadi bagian dari Pemerintah itu untuk apa dua-duanya tanda tangan, dia juga kan Pemerintah. Karena Bank Sentral itu independen, maka kita luluskan. Nah, pertimbangan historisnya seperti itu”, ungkap Agus. Kemudian, Agus menuturkan bahwa pertimbangan lainnya adalah penyebutan RI serta penggunaan lambang negara Indonesia. Dengan terminologi seperti itu, patutnya yang menandatangani mata uang seharusnya Pemerintah sebagai negara. “BI sebagai pemegang otoritas moneter, kurang tepat menandatangani mata uang dengan adanya simbol-simbol negara. Sehingga disitu lebih tepat kalau Pemerintah atau setidaknya bersama-sama”, ujar Agus. Pertimbangan selanjutnya, yakni kedudukan uang sebagai utang BI pada masyarakat. Ada ketentuan yang menyatakan bila dalam keadaan tertentu BI mengalami keadaan dimana posisinya insolven atau bangkrut, maka Pemerintah wajib membantu. Keadaan ini memberikan justifikasi bahwa Pemerintah layak ikut serta dalam penandatanganan mata uang, sebagai bentuk jaminan pada masyarakat. Artinya menjamin bahwa mata uang itu bernilai kredibel karena tidak ada istilah kalau Pemerintah bisa bangkrut. Pemerintah bisa jatuh tapi akan disusul oleh pemerintahan berikutnya. Pemerintah juga tidak pernah bangkrut karena bisa menarik pajak dan mempunyai sumber daya alam yang melimpah.
Prosedur pengaturan rupiah Terkait prosedur peredaran rupiah baru, sosialisasi akan dilakukan melalui media massa dan penarikan seri rupiah lama akan dilakukan perlahan-lahan. Misalnya BI mengeluarkan produk seri rupiah baru, maka seri yang lama dinyatakan tidak berlaku lagi dalam tempo
MEDIA KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN Vol. VI No. 46/Juni/2011
laporan utama
tertentu. Bila sudah jatuh tempo, masyarakat sudah tidak dapat menggunakan seri rupiah lama untuk bertransaksi, namun masih boleh menukarkannya dengan rupiah baru di bank.
Check and balance Lalu, terkait check and balance, bagian-bagian yang dikoordinasikan dengan Pemerintah adalah dalam hal perencanaan. Perencanaan ini menyangkut berapa jumlah uang yang akan dikeluarkan, jenis nominal, serta koordinasi dalam pencetakan. Hal ini penting agar bisa dilakukan penghitungan terkait dampak yang akan timbul pada inflasi, suku bunga dan nilai tukar rupiah. Jadi Pemerintah dalam hal ini Badan Kebijakan Fiskal sudah memiliki antisipasi untuk mengatasi hal tersebut. “Koordinasinya bukan berarti meminta persetujuan Pemerintah, melainkan hanya dalam bentuk memberitahukan saja. Selama ini Pemerintah hanya menyesuaikan. Dengan diberitahu adanya koordinasi, Pemerintah bisa memberikan masukan”, tutur Agus. Selanjutnya dalam pencetakan rupiah, pada pasal 14 UU Tentang Mata Uang disebutkan bahwa pencetakan rupiah dilakukan oleh BI, dilaksanakan di dalam negeri dengan menunjuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai pelaksana pencetakannya. Secara implisit, Pemerintah menunjuk Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri) karena merupakan satu-satunya BUMN yang bisnisnya cetak uang. Namun dalam pelaksanaan pencetakannya, tidak menutup kesempatan BUMN bekerja sama dengan pihak lain. Misalnya kerja sama teknologi yang memungkinkan pencetakan uang yang bagus, aman dan sulit untuk dipalsukan. Kemudian, dalam masalah pemberantasan uang palsu, sebetulnya sudah ada badan yang mengawasi dan melakukan pemberantasan uang palsu, yakni Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu (Botasupal). “Undang-undang ini menguatkan Botasupal sehingga secara konstitusi dia ditetapkan sebagai badan yang diberi tugas untuk mengkoordinasikan pemberantasan rupiah palsu”, tegas Agus. Susunan keanggotaan Botasupal terdiri Bank
Indonesia, Badan Intelejen Negara, Kepolisian Negara, Kejaksaan Agung dan Kementerian Keuangan. Mereka bisa melakukan pengoperasian pemberantasan uang palsu karena memiliki akses ke BI dan tempattempat lain yang dicurigai untuk diperiksa. Setiap pemusnahan rupiah, mereka harus hadir. Dalam pengawasan rupiah, menurut Agus, nanti bentuknya disesuaikan dengan undangundang, termasuk di daerah perbatasan. Ada kesulitan dalam pengawasan transaksi langsung, namun bisa dicegah dengan pengadaan dokumen pembayaran yang harus dinyatakan dalam rupiah. Selain itu, bisa dicegah pula dengan menyediakan lebih banyak money changer baik oleh Pemerintah maupun swasta. Namun, bentuk pengawasan itu hanya bisa efektif jika nilai rupiah kuat dan dihargai oleh orang luar. Tetapi jika nilai rupiah sangat mudah berfluktuasi, bahkan mudah naik dan mudah jatuh, mereka cenderung akan menggunakan mata uang yang stabil. “Ini menjadi tugas BI untuk menjaga Purchasing Power daya beli dari rupiah yang stabil. Sehingga tanpa disuruh, mereka memilih pakai rupiah bahkan nanti dicari-cari. Nah itu kebijakan monoternya,” ungkap Agus. Dalam pelaksanaan penerapan UU Tentang Mata Uang, juga terdapat beberapa pengecualian, seperti yang disebutkan dalam pasal 21 ayat 2 UU Tentang Mata Uang. Kewajiban menggunakan rupiah tidak berlaku bagi transaksi tertentu dalam pelaksanaan APBN, penerimaan atau pemberian hibah dari atau ke luar negeri, transaksi perdagangan internasional, simpanan di bank dalam bentuk valuta asing atau transaksi pembiayaan internasional.
Single currency ASEAN Terkait dengan rencana Single Currency ASEAN, Agus pesimis dalam rencana pemberlakuan mata uang bersama ASEAN dan Asia Timur tahun 2015. Agus menjelaskan bahwa pemberlakuan Euro di negara-negara Eropa yang tingkat perekonomiannya ratarata homogen dan relatif stabil saja tidak terlalu berhasil. Bahkan Inggris tidak mau bergabung.
MEDIA KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN Vol. VI No. 46/Juni/2011
“Lalu, Jerman juga mengeluh, karena ekonomi nya terlalu kuat namun harus memakai Euro, sehingga tergerogoti oleh negara-negara lain yang lagi krisis. Jerman akhirnya menjadi penyumbang, padahal kerja sama itu harusnya saling memberi dan menerima. Jerman mengeluh karena selalu dia yang dibebani. Tapi ya, itulah implikasi dari satu unifikasi atau integrasi”, ungkap Agus. Jadi jelas, kalau sudah digabung pasti ada penyesuaian. Misalnya, negara yang tingkat perekonomiannya tinggi nanti pasti neracanya turun dan merugi, sebaliknya negara dengan tingkat perekonomian bawah neracanya akan naik dan memperolah keuntungan. Kestabilan mata uang ini dipengaruhi oleh perkonomian dari negara yang bergabung. Ada negaranegara yang sudah kerja keras sehingga ekonominya membaik, tapi ada juga negaranegara yang malas sehingga ekonominya jatuh. Seharusnya ini diberi penghargaan dengan nilai mata uangnya semakin kuat. “Bayangkan kalau di Asia, ada Vietnam, Laos, Singapura, Indonesia, Thailand, Malaysia, terus ada China, Jepang dan Korea. China uang-nya udah bagus, Renminbi, bahkan mau dijadikan alat perdagangan internasional. China juga sudah buka pasar di Hongkong, pasar Renminbi, masa iya mau bergabung dengan mata uangnya Laos yang jauh lebih rendah dan tidak stabil. Lalu nanti digabung menggunakan nama mata uang ASEAN, ini tidak adil. Ide itu bagus, tapi sepertinya mimpi kalau menurut saya,” ujar Agus.
Harapan Agus berharap bahwa proses penerbitan mata uang, mulai dari perencanaan, pencetakan, pengeluaran, pengedaran, kemudian penarikan, penghapusan, dan pemusnahan menjadi lebih transparan. Ada check and balance serta bisa dipertanggungjawabkan. Selanjutnya, ada kewajiban BPK untuk melakukan audit secara rutin terhadap proses ini ke BI. “Kalau dulu kan pasif, sekarang mereka harus aktif melakukan audit sehingga membuat kepercayaan orang terhadap mata uang kita semakin kuat. Kalau kepercayaan orang terhadap mata uang kita semakin kuat, nilai mata uang itu sendiri akan semakin stabil. Mudah-mudahan rupiah akan menjadi tuan rumah di negeri sendiri”, pungkas Agus. mk
laporan utama
UU Tentang Mata Uang Memperkuat Rupiah Pembahasan RUU Tentang Mata Uang sebenarnya sudah dimulai sejak masa kerja anggota DPR periode 2004-2009. Namun, penyelesaiannya sempat terhenti karena Pemerintah dan DPR tidak menemukan titik temu terhadap sejumlah poin krusial. Setelah melalui jalan panjang, RUU Tentang Mata Uang akhirnya disahkan menjadi Undang-Undang melalui Rapat Paripurna DPR periode 2009-2014 pada tanggal 31 Mei 2011. Beberapa waktu lalu, Media Keuangan berbincang dengan Harry Azhar Azis, anggota Komisi XI DPR sekaligus Wakil Ketua Panitia Kerja (Panja) Pembahasan RUU Tentang Mata Uang. Berikut ulasannya.
M
enurut Harry—biasa ia disapa—pembahasan RUU Tentang Mata Uang terhambat pada periode lalu karena sejumlah pasal, antara lain yang mengatur soal tanda tangan rupiah kertas, desain, dan tata cara pemusnahan, dianggap menyentuh independensi Bank Indonesia sebagai bank sentral. “Di periode ini “diperhalus” sehingga ada beberapa kata-kata koordinasi dalam pengaturan rupiah,” kata Harry. Lebih jauh ia menilai, RUU berperan penting dalam pengaturan dan pengendalian rupiah, terutama karena mata uang kita akhirnya diatur dalam sebuah undang-undang khusus. Dengan demikian, macam dan harga rupiah bisa menjadi lebih jelas. Harry juga menilai bahwa keharusan menggunakan rupiah dalam segala jenis transaksi di wilayah Indonesia, kecuali menyangkut
Wakil Ketua Panja Pembahasan RUU Mata Uang DPR RI, Harry Azhar Azis hal-hal khusus yang ditentukan oleh Undang-Undang akan memperkuat rupiah. Perusahaan asing yang melakukan pembayaran gaji dengan mata uang selain rupiah, misalnya, dengan adanya UU Tentang Mata Uang dituntut untuk melakukan penyesuaian. Sebagian pihak melihat di lapangan pengaturan terkait kewajiban penggunaan rupiah dalam transaksi dalam negeri akan sulit. Harry berharap Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan segera membuat peraturan pelaksanaan mengenai hal ini.
Tanda tangan Pemerintah Dalam kesempatan itu, Harry juga meyakinkan bahwa pembubuhan tanda tangan Menteri Keuangan mewakili Presiden pada rupiah kertas mulai tahun 2014 tidak akan mengganggu kinerja BI sebagai lembaga moneter di Indonesia.
Menurutnya, tanda tangan tersebut lebih mencerminkan simbol bahwa keberadaan uang menjadi tanggung jawab, jaminan, dan milik bersama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Apalagi ada peraturan jika modal Bank Indonesia jatuh di bawah Rp2 triliun, maka akan mendapatkan “suntikan” rupiah dari Pemerintah melalui APBN. Di samping itu, konsep kombinasi tanda tangan antara Pemerintah dan Bank Sentral tidak hanya dilakukan di Indonesia, melainkan juga oleh sejumlah negara lain. Harry meyakinkan bahwa keberadaan tanda tangan wakil Pemerintah tidak akan mempengaruhi money supply. Pengaturan mengenai itu juga tetap menjadi tugas moneter Bank Indonesia. “Menteri Keuangan tidak dapat sama sekali menolak untuk mencantumkan tanda tangannya. Bank Indonesia mengatakan harus cetak
MEDIA KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN Vol. VI No. 46/Juni/2011
laporan utama
uang, maka Menteri Keuangan harus membubuhkan tanda tangan di mata uang itu,” cetus Harry. Pasal dalam RUU yang mengatakan bahwa BI perlu berkoordinasi dengan Pemerintah dalam perencanaan, pencetakan, dan pemusnahan rupiah memang sempat menimbulkan pro dan kontra, salah satunya terkait tanda tangan Menteri Keuangan dalam mata uang rupiah kertas. Namun, Harry menjamin tak ada yang perlu dikhawatirkan BI. Aturan pengeluaran, pengedaran, pencabutan, dan penarikan rupiah akan tetap menjadi otoritas penuh Bank Indonesia, sebagai bagian dari pelaksanaan kebijakan di bidang moneter. DPR juga terus berkomitmen untuk mengawasi dan menjaga harmonisasi koordinasi antara Bank Indonesia dan Pemerintah. DPR akan senantiasa mengawasi Pemerintah dalam pelaksanaan UU dan BI dalam pengaturan kebijakan moneter. Harry menandaskan, ”Ketika uang itu terkait dengan kebijakan moneter, maka Pemerintah tidak bisa ikut campur tangan. Kalau uang itu sekadar kebutuhan fisiknya, desain, dan sejenisnya, maka Pemerintah harus mengikuti.” Namun demikian, untuk memperkuat mekanisme check and balance, BI wajib melaporkan pengelolaan rupiah secara periodik setiap tiga bulan kepada DPR. Sedangkan untuk menjamin akuntabilitas pelaksanaan pencetakan, pengeluaran, dan pemusnahan rupiah, BPK melakukan audit secara periodik, paling tidak satu kali dalam satu tahun. Setelah disahkannya RUU Tentang Mata Uang, masalah penarikan rupiah lama dan pengedaran rupiah baru sepenuhnya diserahkan kepada BI. Selama Bank Sentral itu menyatakan rupiah lama tetap berlaku, maka nilainya akan tetap dianggap sah. Ia menegaskan, ”Jadi mata uang rupiah lama itu tetap berlaku, walaupun pada saat yang berbarengan ada pencetakan mata uang baru. Jadi tidak kemudian uang yang lama sama sekali dicabut dari masyarakat.” Keberadaan RUU Tentang Mata Uang juga tidak akan memangkas kewajiban utama BI dalam menjaga stabilitas nilai
rupiah, misalnya terkait pelemahan atau penguatannya. RUU Tentang Mata Uang hanya mengatur tentang harga dan macam uang. Namun begitu, Pemerintah dan DPR sepakat bahwa perubahan harga dalam konteks redenominasi tidak akan diatur dalam RUU ini. Harry berpandangan konsep redenominasi yang pernah diwacanakan BI tidak dapat diatur hanya melalui peraturan Bank tersebut. Jika tidak disusun secara hati-hati dan melibatkan Pemerintah serta DPR, redenominasi bisa mempengaruhi stabilitas sosial
membutuhkan waktu dan proses yang panjang. Selain itu, ada beberapa hal mendasar yang perlu dipertimbangkan oleh Pemerintah sebelum mengakomodir usulan ini. Struktur ekonomi yang berbeda harus menjadi perhatian, begitu juga dengan tata cara konversi mata uang yang bersangkutan. Selain itu, mata uang tunggal juga berpengaruh terhadap kedaulatan masing-masing negara. Pun, jika inisiatif mata uang tunggal akhirnya diimplementasikan, prosesnya tetap harus melalui pembahasan di DPR.
Ketika uang itu terkait dengan kebijakan moneter, maka Pemerintah tidak bisa ikut campur tangan. Kalau uang itu sekadar kebutuhan fisiknya, desain, dan sejenisnya, maka Pemerintah harus mengikuti.
“DPR mempunyai hak untuk menerima atau menolak,” kata Harry saat disinggung kemungkinan respons dari DPR terhadap usulan penggunaan mata uang tunggal di kawasan ASEAN. Ia juga menegaskan bahwa UU Tentang Mata Uang yang ada nantinya akan tetap digunakan selama Pemerintah dan DPR belum sepakat mengenai perubahan pengaturan mata uang di Indonesia. ”Jadi tidak dapat diciptakan sendiri oleh Pemerintah,” tutur Harry.
Harapan dan politik. Harry menuturkan, ”Ketika mengubah 1000 rupiah menjadi 1 rupiah, itu mempengaruhi sosial politik, bukan stabilitas nilai rupiah saja. Kalau kebijakan itu tanpa persetujuan DPR, maka berbahaya. BI sangat bermain api di situ.” Dengan demikian, di masa mendatang konsep redenominasi harus diatur dalam UU tersendiri. Lebih jauh, dalam RUU Tentang Mata Uang Pemerintah dan DPR juga sejalan bahwa pemberantasan rupiah palsu akan dilakukan oleh sebuah badan tersendiri. Badan tersebut terdiri atas unsur Badan Intelijen Negara, Kepolisian Negara RI, Kejaksaan Agung, Kementerian Keuangan, dan BI. Peran BI sebagai penentu kriteria uang yang dianggap palsu tidak akan dicampuri.
Mata uang tunggal ASEAN Menjelang pembentukan Komunitas ASEAN 2015, muncul gagasan untuk membuat mata uang tunggal di kawasan regional. Harry menilai proses ini
MEDIA KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN Vol. VI No. 46/Juni/2011
Harry berharap RUU Tentang Mata Uang dapat diimplementasikan dengan baik di lapangan. Pengaturan macam dan harga mata uang tersendiri sebagaimana diamanatkan oleh UUD harus dapat dimaknai sebagai bentuk perlindungan dan jaminan yang diberikan oleh negara. Mengenai adanya usulan baru yang kemungkinan timbul di masa datang, Harry tak menolak. Ia menuturkan, ”Negara kita terus berkembang dan pemikiran baru tentu menyesuaikan. Apabila saatnya tiba, tentu nanti akan ada perubahan UU Tentang Mata Uang.” Sebagai penutup, Harry berpesan kepada Pemerintah dan Bank Indonesia agar dapat membuat kerangka kerja sosialisasi terkait pengesahan RUU TentangMata Uang ini. Untuk itu, ia berharap Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan mencantumkan anggaran sosialisasi UU Tentang Mata Uang di tahun 2012 mendatang. ”Harus ada anggaran sosialisasi baik di Bank Indonesia maupun Pemerintah,” pungkas Harry. mk
laporan utama
Pentingnya Poltical Will dalam Implementasi UU Tentang Mata Uang dapat membuat kebijakan ekonomi yang lebih kuat dan terarah.
Chief Economist Bank Mandiri, Destry Damayanti
Chief Economist Bank Mandiri Destry Damayanti berpandangan bahwa pengesahan RUU Tentang Mata Uang menjadi UU akan membawa sejumlah dampak positif bagi pengaturan dan pengendalian rupiah di masa mendatang. Destry menilai koordinasi antara Bank Indonesia (BI) dengan Pemerintah (dalam hal ini Kementerian Keuangan) akan semakin erat karena pengelolaan rupiah sudah berada dalam koridor payung hukum yang kuat. Positifnya, payung hukum tersebut bisa menjadi koridor dalam menentukan arah kebijakan kestabilan ekonomi masa depan yang salah satunya ditunjang oleh faktor mata uang.
U
ntuk mencapai pembangunan ekonomi yang selaras, urusan fiskal dan moneter tak bisa berjalan tanpa koordinasi yang baik antara Bank Sentral dan Pemerintah. Kewenangan otonom yang diberikan dalam rangka menjaga stabilisasi keuangan secara keseluruhan dan juga menghindari terjadinya penyalahgunaan wewenang selama ini memang sudah dijalankan BI dengan baik. Kita dapat melihat kontrol terhadap inflasi berjalan. Selain itu, tidak ditemukan masalah berarti dalam pengaturan jumlah uang beredar yang dilakukan BI. Bagi Pemerintah, keterlibatan dalam pengaturan dan pengendalian rupiah sebagaimana tercantum dalam sejumlah pasal RUU Tentang Mata Uang menjadi wujud perhatian terhadap upaya-upaya menuju stabilitas ekonomi. Sementara bagi Bank Indonesia, koordinasi dengan Pemerintah juga akan menunjukkan itikad baik bahwa Bank Sentral concern terhadap target-target ekonomi Pemerintah yang dipengaruhi oleh keberadaan rupiah. Jika pada masa lalu, jumlah rupiah yang dicetak menjadi kewenangan utuh Bank Indonesia, maka dengan adanya koordinasi, Pemerintah
Selain itu, RUU Tentang Mata Uang juga dipandang mampu mengoptimalkan fungsi check and balances antara kedua belah pihak.“Sehingga bisa tercapai tujuan ekonomi secara bersama, dimana di satu sisi mengakselerasi pertumbuhan ekonomi, tetapi di sisi lain menjaga kestabilan, yaitu inflasi yang bisa direndahkan,”kata Destry. Untuk dapat mencapai fungsi check and balances yang maksimal, diperlukan political will dari kedua belah pihak dalam implementasi RUU Tentang Mata Uang. Destry menekankan perlunya kesepahaman antara BI dan Pemerintah sebagai sebuah tim yang bergerak untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat. “Berarti pemerintah harus bisa menstimulasi, bangun ini bangun itu. Tapi untuk bisa menstimulasi itu dari sisi monetary situation-nya kan harus mendukung. Untuk itu harus ada satu koordinasi yang tepat,” lanjut Destry. Selama ini, Pemerintah terus berupaya mencapai target pertumbuhan ekonomi dan menciptakan “iklim” kondusif dengan senantiasa memperhatikan inflasi. Koordinasi yang baik antara Pemerintah dan Bank Sentral tampak dari terjaganya instrumen moneter yang digunakan BI dalam menjaga kestabilan ekonomi. Ke depan, pengesahan RUU Tentang Mata Uang yang mencatumkan beberapa keterlibatan Pemerintah bisa mencegah terdapatnya tujuan pembangunan ekonomi secara keseluruhan yang bertentangan.
Kebijakan pengelolaan SBI dan SPN Dalam pandangan Destry, yang perlu menjadi catatan adalah penggunaan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dalam mengatur jumlah uang beredar. Selama ini, jika ingin menambah jumlah uang
MEDIA KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN Vol. VI No. 46/Juni/2011
laporan utama
yang beredar, BI akan membeli SBI yang sudah outstanding. Sebaliknya, kalau BI ingin mengetatkan peredaran uang, institusi tersebut akan menjual SBI. Ke depan, dengan kebijakan pengurangan penggunaan SBI dan pengalihan pada instrumen surat berharga jangka pendek yang dikeluarkan Kementerian Keuangan berupa Surat Perbendaharaan Negara (SPN), maka koordinasi antara Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan harus lebih optimal. Misalnya BI harus tahu berapa nilai SPN yang akan dikeluarkan oleh Kemenkeu. ”Akhirnya nanti BI itu harus melakukan kebijakan moneter memakai SPN. Jadi BI juga harus punya stock nih portofolio SPN di balance sheetnya,”kata Destry. Ia juga menekankan perlunya penggunaan SPN karena keberadaan SBI outstanding sudah sangat besar. Dari situ, SBI saat ini berpotensi menjadi instrumen investment, bukan instrumen policy oleh para pelaku pasar sehingga harus dikembalikan ke fungsi awalnya.
Transaksi dalam negeri Disinggung soal kewajiban penggunaan rupiah dalam setiap transaksi di dalam negeri, Destry menilai ketentuan ini dapat lebih mengontrol peredaran valuta asing di pasaran. Destry mengambil contoh penetapan rate dengan mata uang Dolar Amerika Serikat yang marak untuk pembayaran jasa dokter, pengacara, maupun pembayaran uang sekolah. Ini akan berpengaruh terhadap kebutuhan mata uang tersebut di Indonesia.”Output nasional kita dihargai dengan Dolar menyebabkan kebutuhan Dolar menjadi semakin tinggi. Akhirnya itu juga akan memberikan tekanan kepada rupiah. Secara nasionalisme kita juga jadi enggak bangga dengan mata uang sendiri,” tutur Destry. Destry menyatakan dukungannya terhadap klausul ini dalam RUU Tentang Mata Uang. Menurutnya, ketentuan menggunakan rupiah dalam transaski dalam negeri dapat meningkatkan disiplin masyarakat. Memang menjadi tugas bersama antara Pemerintah dan BI dalam menjaga stabilitas nilai rupiah yang saat ini sudah jauh lebih baik jika dibandingkan dengan periode sebelumnya. Oleh karena itu, untuk mendukung trend stabilitas nilai rupiah,
Destry berharap masyarakat bisa benarbenar disiplin dalam menggunakan rupiah, terutama dalam transaksi-transaksi yang sifatnya memang local oriented. Menurut Destry, Pemerintah bisa memulai ajakan ini. Ia mengatakan,”Dimulai saja sama pemerintah, misalnya membayar ongkos haji dengan rupiah. Paling tidak untuk menjaga stabilitas pasar valuta asing.”
Konsep redenominasi Dalam kesempatan itu, Destry juga menyampaikan pandangannya terkait usulan pengaturan redenominasi yang awalnya diharapkan dapat dimasukkan dalam RUU Tentang Mata Uang. Pada dasarnya ia menilai konsep redenominasi bukanlah hal yang prinsip untuk saat ini. Redenominasi sebenarnya hanya mengubah angka nominal, tetapi tidak mengubah nilai riil uang. Menurutnya, yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa redenominasi perlu untuk dilakukan secara seragam. Konsep penyederhanaan nilai mata uang ini bisa menimbulkan masalah jika hanya terjadi pada sektor tertentu. Destry memaparkan,“Misalnya sektor income gaji dari 10 juta dipotong jadi 10 ribu itu monitornya gampang. Sekarang Anda bayangkan ke pasar-pasar, barang yang nilainya 25.600 mesti dipotong menjadi 25,6. Ada juga yang enggak mau. Buletkan saja deh jadi 27, 28, atau 30. Akhirnya secara riil nilai uang kita hilang.”
Dampak bagi perbankan Pengesahan RUU Tentang Mata Uang membawa dampak bagi dunia perbankan. Destry mengatakan bahwa dampak yang paling terasa adalah stabilitas pasar valuta asing menjadi lebih terjaga. Permintaannya benar-benar didasarkan pada underline transaksi. Dengan demikian transaksi internasional, seperti ekspor dan impor bisa lebih diprediksi. Di luar golongan perbankan, Destry kembali menegaskan pentingnya koordinasi antara Pemerintah dan BI dalam pengaturan dan pengendalian rupiah. Ia mengaku belum memiliki bayangan jelas bagaimana bentuk koordinasi kedua institusi di atas akan berjalan. ”Apakah harus ada satu lembaga yang bisa menetralisir? Karena pasti masingmasing punya tujuan sendiri,”tanya Destry.
MEDIA KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN Vol. VI No. 46/Juni/2011
Ia kemudian mencoba membandingkan business unit ada dalam sebuah bank. “Kita business unit macam-macam, ada yang menarik dana dan menyalurkan. Tujuannya sama, supaya performance bank bagus. Siapa yang menengahi ini? Direksi. Nah ini mungkin yang perlu dicari kemana nanti larinya,”sambung Destry lagi. Sebagai tindak lanjut bentuk koordinasi itu, Destry memandang perlunya dibentuk dewan komisioner yang beranggotakan BI, Kementerian Keuangan, dan wakil independen. Yang paling diharapkan adalah tentu saja dewan komisioner ini nantinya bisa bekerja dengan independensi yang baik dan membuat kebijakan dalam kacamata secara obyektif. Namun, di atas itu semua, Destry menekankan pentingnya political will dalam mencapai tujuan pengelolaan dan pengendalian rupiah yang harus dimiliki kedua belah pihak.
Harapan Dengan pengesahan RUU Tentang Mata Uang ini Destry berharap Pemerintah dan BI dapat lebih sering duduk bersama membahas target-target perekonomian yang ingin dicapai. Apalagi jika mengingat bahwa ke depan penggunaan SBI akan semakin berkurang dan dialihkan dengan instrumen SPN. Tentunya ini memerlukan koordinasi yang lebih efektif. Di samping itu, keterlibatan Pemerintah dalam pengaturan dan pengendalian rupiah diharapkan tidak menjadi alasan untuk memperpanjang birokrasi. Destry menuturkan,”Jangan nanti ‘Wah BI belum tanda tangan, saya enggak mau tanda tangan’. Check and balances iya, tapi jangan menempatkan masing-masing pada egonya sendiri. Harus tetap kembali kepada kepentingan bersama.” Destry juga berharap ketentuan penggunaan rupiah di dalam negeri bisa dijalankan secara konsisten sesuai yang tertera dalam ketentuan. Menurutnya, keberadaan RUU Tentang Mata Uang menjadi aturan positif untuk juga mengurangi ketergantungan kita terhadap US Dollar ataupun mata uang lainnya. “Dan tentunya juga akan membuat kita lebih pride menggunakan rupiah,” tutup Destry. mk
laporan utama
Presiden Direktur Institute for Development of Economics and Finance, Mohamad Fadhil Hasan:
“UU Tentang Mata Uang Penting Bagi Kebijakan Moneter yang Lebih Baik, Kuat dan Stabil” Undang (UU) Tentang Mata Uang tersebut, maka pemberlakuan aturannya bisa ditegakkan. Terkait dengan penegakan UU Tentang Mata Uang di daerah perbatasan, kewajiban menggunakan rupiah tidak berlaku bagi transaksi tertentu, khususnya bagi perdagangan internasional. “Maksudnya daerah-daerah perbatasan itu karena sudah menjadi special economic zone, jadi tidak sepenuhnya menggunakan mata uang kita karena itu melibatkan pihak lain, dalam artian internasional,” ungkap Fadhil.
“Pemberlakuan UU Tentang Mata Uang menjadi satu kepastian hukum, karena selama ini tidak memiliki undang-undang. Kepastian hukum mata uang terkait dalam soal identitas atau simbol suatu negara. Sedangkan pembahasan redenominasi, penting untuk dipertimbangkan dalam beberapa waktu mendatang karena masih memerlukan rencana yang matang supaya efektif.” Demikian diungkapkan Mohamad Fadhil Hasan, Presiden Direktur, Institute for Development of Economics and finance (INDEF), di Gedung GAPKI, Jakarta, Senin (20/6).
F
Mata Uang sebagai Sovereignty adhil menuturkan bahwa mata uang bukan sekedar legal tender atau sebagai bukti alat bayar tetapi sebagai kedaulatan atau sovereignty sebuah bangsa dan negara. Mata uang dapat meneguhkan eksistensi dari sebuah negara. “Misalnya Inggris yang tidak mau mata uangnya melebur menjadi Euro. Sesuai dengan perkataan Margaret Thatcher bahwa currency is a part of sovereignty, maka hingga sekarang Inggris masih menggunakan Poundsterling,” tutur Fadhil. Selain itu, mata uang juga merupakan instrument national and character building terutama bagi negara yang memacu pembangunannya. Dengan adanya Undang-
Fadhil juga mengungkapkan bahwa untuk wilayah-wilayah lain, tetap harus menggunakan mata uang rupiah sebagai bentuk identitas. Sedangkan jika diperuntukkan bagi pembayaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), disesuaikan perjanjian dengan negara kreditor, contohnya menggunakan mata uang internasional. Namun, jika suatu saat rupiah menjadi mata uang yang stabil dan kredibel serta cukup diperhitungkan, maka rupiah bisa digunakan untuk melakukan transaksi tersebut.
UU Tentang Mata Uang sebagai Dasar Hukum UU Tentang Mata Uang merupakan amanah dari UUD 1945, sehingga keberadaannya bersifat meneguhkan. Melalui undang-undang ini, kewenangan masing-masing instansi terkait diatur secara lebih jelas dan lebih spesifik. “Undang-Undang ini memberikan kepastian hukum bagi semua rakyat karena mata uang merupakan jantung perekonomian. Jadi perlu diatur sebaik-
MEDIA KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN Vol. VI No. 46/Juni/2011
laporan utama
baiknya, sebab mata uang sebagai simbol identitas dari sebuah Negara,” ujar Fadhil. Namun, keberadaan UU Tentang Mata Uang sebagai dasar hukum bukan salah satu faktor yang berpengaruh pada nilai tukar, tingkat suku bunga, investment rate, dan bahkan inflasi. Fadhil menjelaskan bahwa keberadaan undang-undang tidak berarti menyelesaikan masalah, tetapi menjadi salah satu unsur penting bagi adanya kebijakan moneter yang lebih baik, kuat dan stabil.
Koordinasi antara Pemerintah dan Bank Indonesia Dalam UU Perbankan tentang Bank Sentral disepakati bahwa pengelolaan kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) bersifat independen. Pemberlakuan UU Tentang Mata Uang pada tahun 2014, memberikan masa transisi sehingga masih ada waktu untuk melihat apa yang menjadi perhatian BI secara proporsional dan objektif. Menurut fadhil, kekhawatiran BI bahwa kewenangannya akan dipangkas pemerintah bukan berarti BI tidak mau diintervensi atau tidak mau melepaskan kewenangannya. Maka terkait pengelolaan mata uang harus dipilah mana yang termasuk domain kebijakan moneter dan mana yang bukan. Dengan kata lain, kebijakan ini bisa diistilahkan sebagai kerja sama pengaturan dengan pihak lain, tanpa mengurangi independensi BI maupun menghilangkan kewenangan BI. Karena sebelumnya, BI mengganggap pemerintah kurang memiliki kewenangan dalam pengelolaan kebijakan moneter saat itu. Lalu sekarang, penafsiran terhadap independensi berkembang lebih proporsional serta sesuai dengan dinamika perekonomian regional dan internasional. “Jadi tidak ada lembaga yang super disini. Semua kedudukannya sama dengan kewenangan masing-masing yang tidak boleh dicampuri oleh pihak lain, itu intinya check and balance,” papar Fadhil. Mengenai keikutsertaan Menteri Keuangan dalam penandatanganan rupiah kertas dalam UU Tentang Mata Uang ini, Fadhil mengatakan bahwa hal
ini bisa saja dilakukan. Namun tetap untuk masalah pengedaran, penarikan, pemusnahan merupakan kebijakan moneter BI. Meskipun demikian, dalam prakteknya tidak ada satu kebijakan yang murni dilakukan oleh sebuah lembaga. Dalam pemerintahan di suatu negara pasti ada keterlibatan, koordinasi serta konsultasi dengan pihak lain. Sebab kebijakan moneter dan fiskal merupakan bagian dari kebijakan ekonomi yang sejalan serta bersinergi.
“Pembahasan mata uang ASEAN masih terlalu dini, yang penting sekarang harus ada kebijakan ekonomi makro yang lebih sinergi dalam pengelolaan inflasi. Kalau inflasi masih tinggi, negara-negara lain tidak akan mau melakukan integrasi ekonomi.” M. Fadhil Hasan Terkait pencatatan uang pada pos utang di dalam neraca BI, Fadhil menyarankan adanya kerja sama pengelolaan utang. Misalnya BI mencatat, kemudian pemerintah yang dalam hal ini Kementerian Keuangan dan Bappenas sebagai pengelola utang. Kemudian Bappenas melakukan perencanaan lalu dilaksanakan oleh kementerian/lembaga teknis masing-masing. Sehingga dengan UU Tentang Mata Uang maka pemerintah dan BI dapat melakukan koordinasi dalam pengelolaan dan pencatatan utang.
Redenominasi rupiah Dalam beberapa tahun terakhir, ekonomi Indonesia dianggap cukup menjanjikan, memiliki prospek, dan dipresepsikan pihak luar bahwa rupiah memiliki stabilitas yang cukup baik. Tetapi disisi lain, kekuatan rupiah sendiri ditentukan oleh inflasi dan stabilitas negara. “Penguatan rupiah ternyata bukan
MEDIA KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN Vol. VI No. 46/Juni/2011
fenomena dunia, karena nilai tukar Dolar mengalami pelemahan. Tetapi posisi rupiah relatif cukup baik namun inflasi kita masih cukup tinggi dari negara lain,” jelas Fadhil. Fadhil memaparkan bahwa sejak tahun 1960 tidak pernah ada pembahasan mengenai redenominasi atau perubahan harga mata uang rupiah. Adapun yang berkembang belakangan ini, isu redenominasi sebatas pada alasan kebutuhan praktis. Namun di beberapa negara berhasil melakukan redenominasi dan terbukti alasan praktisnya juga. “Misalnya Turki yang melakukan redenominasi beberapa tahun lalu, terbukti bisa menstabilkan mata uangnya,” papar Fadhil.
Mata uang bersama ASEAN Terkait rencana pemberlakuan mata uang bersama ASEAN pada 2015, Fadhil menjelaskan bahwa single currency ASEAN bukan prioritas utama. “Pembahasan mata uang bersama masih terlalu dini, yang penting sekarang harus ada kebijakan ekonomi makro yang lebih sinergi dalam pengelolaan inflasi. Kalau inflasi masih tinggi, negara-negara lain tidak akan mau melakukan integrasi ekonomi,” jelas Fadhil. Fadhil pesimis, pembentukan ASEAN Economic Community pada 2012 memungkinkan terjadinya konflik kebijakan pemilihan inflasi. Integrasi ASEAN justru akan memberikan dampak negatif terhadap ekonomi Indonesia dan manfaatnya lebih besar dipegang negara lain. Namun intinya, saat ini Indonesia harus siap memiliki kebijakan pengendalian inflasi, kesiapan di pasar regional, terutama pengelolaan logistik, infrastruktur dan sumber daya manusia.
Harapan Fadhil mengharapkan UU Tentang Mata Uang bisa menjadi dasar hukum yang kuat dalam menggunakan rupiah sesuai fungsinya sebagai mata uang dan alat legal tender serta memberikan kejelasan peraturan dalam hal penggunaan, pencetakan, pengedaran dan penarikan. mk
tokoh
Pentingnya Perencanaan Keuangan ketika perutnya dia sudah kenyang dan sudah tidak on survival mood lagi. Dan itu bisa dilakukan oleh golongan menengah,” ungkap Wina. Dengan latar belakang pendidikan di bidang keuangan, Wina ingin mengajak golongan ini mempunyai wawasan finansial memadai sehingga tidak banyak bergantung pada uluran tangan Pemerintah. Peraih gelar Bachelor of Commerce di bidang keuangan dan pemasaran dari Curtin University of Technology, Australia itu percaya sektor keuangan bisa menjadi pondasi dasar yang kokoh. Menurut Wina, lebih dari 10% total penduduk Indonesia jelas berada di golongan menengah. Padahal sepersepuluh penduduk Indonesia tak jauh dari jumlah keseluruhan penduduk Malaysia dan Australia. “Pertanyaannya, golongan menengah kita kuat apa enggak?” tutur Wina.
Tokoh Perencanaan Keuangan, Ligwina Hananto
Ligwina Hananto memiliki misi hidup yang besar. Sebagai perencana keuangan independen, ia ingin menjadikan golongan menengah Indonesia benar-benar berdaya. Melalui buku perdananya, Untuk Indonesia yang Kuat, 100 Langkah Untuk Tidak Miskin, Ligwina memaparkan misinya itu. Beberapa waktu lalu, Wina—biasa ia disapa— menerima Media Keuangan untuk sebuah wawancara. Kami berbincang banyak soal misi hidup Wina dan industri perencana keuangan di Indonesia. Ulasannya berikut ini.
P
idato Barrack Obama yang berjudul “Change is Within Reach” pada kampanye pemilihan Presiden Amerika Serikat tahun 2008 turut menjadi pemantik lahirnya misi besar Wina. Kala itu Obama bertekad untuk menyediakan world class education dan health care system bagi seluruh rakyat Amerika Serikat.”Saya merasa harusnya kita mempunyai pemimpin yang seperti itu,” kata perempuan kelahiran Bandung, 3 Mei 1976. Pertanyaan yang kemudian timbul di benak Wina adalah, ”Apakah kita sudah siap memiliki pemimpin semacam Obama?” Dalam pandangan Wina, untuk memiliki pemimpin berkualitas, dibutuhkan rakyat yang “melek” politik. “Satu-satunya cara untuk mengajak orang peduli itu
Besarnya potensi yang dimiliki Indonesia ini lantas membuat misi Wina menjadi lebih serius. Selain menyediakan jasa perencanaan keuangan, ia juga ingin meluaskan misinya.”Lebih ke change one family at a time in 20-30 years time,” kata dia. Dari situ, pondasi ekonomi yang kuat diharapkan bisa terwujud.
Industri Perencanaan Keuangan Wina memulai karier sebagai perencana keuangan independen pada tahun 2003. Untuk mendukung pekerjaannya itu, ia mendirikan perusahaan penyedia jasa perencanaan keuangan independen bernama PT Quantum Magna Financial. Di perusahaan tersebut, Wina duduk menjadi Chief Executive Officer sejak tahun 2003 hingga saat ini. Sepanjang tahun 2003-2006, QM Financial hanya memiliki 13 klien termasuk suami Wina sendiri, Dondi Hananto. Wina sadar bahwa perencanaan keuangan tampaknya masih menjadi kebutuhan tersier bagi masyarakat Indonesia. Namun, ia terus berupaya “membumikan” pentingnya
MEDIA KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN Vol. VI No. 46/Juni/2011
tokoh
membuat perencanaan keuangan. Di lapangan, ia menemukan bahwa bukan hanya keuntungan bisnis perusahaan yang harus jadi tujuan, melainkan juga peningkatan wawasan masyarakat. ”Jadi definisi bisnis kita adalah mempromosikan financial literacy, wawasan finansial,“ tutur Ibu dari Muhammad Azra Hananto (9) dan Nadira Aisha Hananto (6) itu. Wina kemudian banyak melakukan “sosialisasi” mengenai perencanaan keuangan melalui berbagai sarana. Ia rajin menulis di berbagai media cetak seperti Cosmopolitan Magazine, Readers’ Digest Indonesia, Tabloid Kontan, Femina, dan ELLE Magazine, juga radio dan lain-lain. Selain itu, Wina aktif menjadi pembicara dalam berbagai seminar perencanaan keuangan yang diadakan oleh bank, perusahaan asuransi, Bursa Efek Indonesia, dan lain-lain. Dalam memberikan wawasan finansial kepada masyarakat, perempuan yang hobi memasak dan membaca itu tidak mau membatasi diri, hanya kepada klien perusahaannya. Jasa konsultasi, pemberian training, atau bahkan meluncurkan buku dilakukan dengan tujuan menciptakan sebanyak-banyaknya masyarakat yang berwawasan finansial baik. Wina menuturkan,”Ketika banyak orang financial literacy-nya baik, pasti ada imbal baliknya ke bisnis kita. Tapi enggak bisa kita cuma berpikir bagaimana supaya make money saja.” Prinsip itu berhasil membawa bisnis Wina berkembang. Saat ini perusahaan QM Finacial sudah memiliki lebih dari 700 klien dengan latar belakang profesi yang beragam.
Regulasi Pemerintah Di Indonesia, belum ada regulasi spesifik yang mengatur profesi perencana keuangan. Inilah yang diharapkan Wina untuk dapat disediakan segera oleh Pemerintah. Menurutnya, tanpa regulasi khusus dan pengakuan terhadap program sertifikasi profesi yang ditentukan, semua orang bisa dengan mudah mengaku sebagai perencana keuangan. “Jadi apa definisi financial planner? Di Bappepam-LK belum ada. Jadi saya sangat mengharapkan akan ada segera regulasi untuk
menghindari conflict of interest,” tutur Wina. Perempuan yang pernah menjadi dosen di Bina Nusantara Bisnis School dan IPMI Business School itu yakin bahwa jasa perencanaan keuangan yang bisa saja suatu saat akan dikeluarkan oleh bank atau perusahaan asuransi tak akan banyak berdampak pada bisnisnya. Bahkan Wina tetap bisa menangkap peluang sebagai trainer di bank atau perusahaan asuransi. Rencana pembentukkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diharapkan Wina menjadi momentum bagi Pemerintah untuk mengatur keberadaan industri perencana keuangan di Indonesia.
Tips Merencanakan Keuangan Saat ada orang yang datang untuk berkonsultasi, Wina biasanya membuka obrolan dengan pertanyaan,”Are you living the lifestyle you deserved?” Wina meyakinkan bahwa pada dasarnya perencanaan keuangan bisa dilakukan pada tiap level penghasilan. Hanya saja, banyak kasus dimana masalah keuangan biasanya disebabkan karena ketidaktahuan tentang gaya hidup yang sesuai dengan penghasilan. Dari situ, Wina akan mencoba melihat “angka”. “Numbers tidak akan bohong,” kata Wina. Bagi dia, perencanaan keuangan pada intinya adalah bagaimana bersikap jujur pada diri sendiri. Jika melalui perencanaan keuangan yang jujur seseorang sudah bisa menemukan ada di titik mana gaya hidupnya, maka hal-hal lain menjadi lebih mudah. Wina menuturkan,”Kalau sudah dapat enak deh. Bahwa saya enggak mesti bohong lagi. Saya bener kok gaya hidup saya di sini.” Finalis penghargaan Australian Alumni Award untuk kategori entrepreneurship itu memaparkan, perencanaan keuangan yang baik bisa dimulai dengan menyusun cashflow management yang tepat. Menurut Wina, berapapun penghasilan kita, paling tidak jumlah yang harus disisihkan untuk tabungan dan/atau investasi sebesar 1030% penghasilan dan jumlah cicilan utang tidak boleh lebih dari 30% penghasilan.
MEDIA KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN Vol. VI No. 46/Juni/2011
Baru setelah itu, pengeluaran rutin dan kebutuhan gaya hidup menyesuasikan dengan sisa penghasilan yang dimiliki. Bagi golongan fresh graduate yang belum banyak memiliki pengalaman bekerja, ada tiga hal yang harus dipikirkan dalam membuat perencanaan keuangan, yaitu mampu membayar tagihan dan pengeluaran rutin sendiri, mampu menyisihkan penghasilan untuk ditabung, dan ketiga membeli properti. “Fight pelan pelan di tiga itu saja. Then you have respectable life,” ungkap Wina. Dalam merencanakan keuangan, Wina juga menekankan perlunya semangat berinvestasi di pasar modal dalam negeri. Menurutnya, investasi di dalam negeri adalah salah satu wujud “bela negara”. Melalui penerbitan surat berharga dalam negeri, masyarakat menjadi sumber utama atau target pembeli yang diharapkan mampu meningkatkan iklim investasi. Produk investasi yang beredar saat ini sudah banyak “dipecah” menjadi produk-produk keuangan yang lebih terjangkau harganya sehingga bisa menyentuh lebih banyak lapisan masyarakat. Reksa dana membuka peluang masuknya lebih banyak investor “kecil” secara regular, semisal secara bulanan. Dengan demikian, pasar saham di lantai bursa kita juga bisa lebih stabil dengan terus masuknya masyarakat yang membeli reksa dana sebagai instrumen investasi dalam perencanaan keuangan mereka. Selain itu, dana yang dihimpun Pemerintah dari penjualan reksa dana ORI, Sukuk, atau obligasi dalam negeri lainnya juga bisa “berputar” di dalam negeri melalui investorinvestor individual kecil namun dengan jumlah yang sangat banyak.
Harapan Sebagai seorang perencana keuangan, salah satu harapan Wina ke depan adalah bidang perencanaan keuangan dapat menjadi jembatan untuk melahirkan lebih banyak investor-investor individual. Perencana keuangan salah satunya hadir sebagai booster untuk mengajak orang berinvestasi. mk
profil
Mendorong Semangat Investasi Pemerintah
Kepala Pusat Investasi Pemerintah, Soritaon Siregar
Pusat Investasi Pemerintah (PIP) mencuat namanya seiring dengan pembelian 7% saham divestasi PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) oleh Pemerintah Pusat. Berpegang pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah, PIP sebagai operator investasi pemerintah dapat melakukan pembelian divestasi saham. Pembelian divestasi saham PT NNT merupakan salah satu implementasi dari pembelian saham yang termasuk dalam bidang investasi dan dapat dilakukan oleh PIP. Beberapa waktu lalu, Media Keuangan berbincang dengan Kepala PIP, Soritaon Siregar, untuk mengetahui lebih dalam mengenai profil dan kinerja institusi yang tengah menjadi fokus sorotan media itu. Berikut ulasannya.
P
eran Pemerintah untuk turut melaksanakan investasi menjadi salah satu tanda keberlangsungan reformasi di bidang keuangan negara. UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung jawab Keuangan Negara menjadi payung hukum peran ini. Dalam perkembangannya, Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah. Sejalan dengan itu, Menteri Keuangan membentuk PIP melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 52/PMK.01/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pusat Investasi Pemerintah. Organisasi PIP dalam PMK tersebut dinyatakan dalam bentuk Badan Layanan Umum (BLU). Pada awalnya PIP memiliki status sebagai BLU Bertahap akibat peningkatan kinerja. Status tersebut kini telah berubah menjadi BLU Penuh. Perubahan status BLU tersebut ditetapkan oleh Menteri Keuangan melalui Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 91/KMK.05/2009 tentang Penetapan Pusat Investasi Pemerintah
MEDIA KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN Vol. VI No. 46/Juni/2011
profil
pada Departemen Keuangan sebagai Instansi Pemerintah yang menerapkan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Sebagaimana diatur dalam PP Nomor 1 Tahun 2008 dan dalam rangka check and balance pengelolaan investasi pemerintah, fungsi regulator dan operator investasi dijalankan oleh dua unit yang berbeda. Pelaksana fungsi regulator dipegang oleh Direktorat Sistem Manajemen Investasi Ditjen Perbendaharaan, sedangkan fungsi operator dilakukan oleh PIP. Dalam pelaksanaan tugasnya, PIP berada di bawah komando Menteri Keuangan dengan pembinaan teknis oleh Ditjen Perbendaharaan dan pembinaan administratif oleh Sekretariat Jenderal.
Visi, Misi, dan Nilai Inti PIP memiliki visi menjadi lembaga investasi pemerintah kelas dunia yang mengedepankan kepentingan nasional. Untuk memenuhi visi tersebut, misi menstimulasi pertumbuhan ekonomi nasional melalui investasi di berbagai sektor strategis yang memberikan imbal hasil optimal dengan risiko yang terukur pun dicanangkan. Soritaon mengungkapkan bahwa visi dan misi PIP akan dicapai dengan menjalankan lima langkah strategis. ”Pertama, kami tidak bosan-bosan mengajak SDM PIP mengubah mindset agar selalu bekerja secara professional dan berdedikasi,” ungkap Soritaon. Motto ‘PIP Mode On: Senyum, Sapa, Terima Kasih’ juga harus diimplementasikan setiap harinya dengan stakeholder. Agar visi dan misi tersebut bisa tercapai, pimpinan juga terus berupaya menempatkan SDM sesuai dengan bidang yang dikuasai serta bekerjasama dengan berbagai pihak dalam pemberdayaan dan peningkatan kompetensi pegawai. “Kami juga melakukan perubahan struktur mengikuti perkembangan kebutuhan organisasi dan iklim investasi nasional serta melengkapi standar operating procedures yang dibutuhkan,” lanjut Soritaon.
Kesungguhan PIP untuk menjadi organisasi yang kokoh juga terlihat dari lima nilai inti yang menjadi landasan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi sehari-hari. Kelima nilai tersebut meliputi integrity, continuosly improvement, creative, innovative, dan harmony. Melalui nilai integrity, PIP berkomitmen untuk melaksanakan tugasnya secara profesional dan berdedikasi sesuai dengan standar tertinggi dan perilaku etis sehingga PIP dapat dipercaya dan dapat dibanggakan. Sedangkan continuously improvement, merefleksikan komitmen PIP untuk melakukan hal dengan benar dan berusaha melakukan peningkatan kinerja secara terus menerus dengan melakukan evaluasi kinerja secara berkelanjutan untuk terus ditingkatkan dari waktu ke waktu. Soritaon menjelaskan,“Nilai creative and innovative adalah wujud keinginan PIP untuk menjalankan organisasi mengikuti perkembangan bisnis investasi nasional maupun internasional dengan mengembangkan financial engineering secara kreatif dan inovatif sesuai dengan tata kelola yang berlaku.”Terakhir, nilai harmony merupakan wujud harapan PIP untuk bekerja secara team work dan menjaga hubungan baik dengan para stakeholders. Dengan demikian,
diharapkan dapat tercipta hubungan kerja yang dinamis dan harmonis di internal maupun eksternal yang diawali dengan Senyum, Tegur Sapa, dan tidak lupa mengucapkan Terima Kasih.
Kinerja “Alhamdulillah PIP dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan terus menciptakan prestasi, perkembangan, serta perbaikan dalam business activitynya,” jawab Soritaon saat ditanya tentang kinerja PIP sejauh ini. Hal ini tercermin dalam Opini Wajar Tanpa Pengecualian atau WTP (Unqualified Opinion) dari BPK atas Laporan Keuangan PIP yang diaudit setiap tahunnya sejak PIP berdiri tahun 2007. Meskipun demikian, ia tak menampik bahwa dalam beberapa hal PIP masih menghadapi hambatan pada aspek legal dan sejumlah aspek lain. Terkait dengan investasi Pemerintah yang dilakukan PIP, PP Nomor 1 Tahun 2008 menyebutkan bahwa investasi yang dimaksud mencakup surat berharga dan investasi langsung. Surat Berharga terdiri atas pembelian saham baik listed maupun unlisted dan pembelian surat utang. Sementara itu, investasi langsung terdiri atas penyertaan modal dan pemberian pinjaman baik dengan pola
Portofolio investasi PIP dalam bidang infrastruktur s.d. April 2011 No
Mitra
Peruntukan
Nilai Pinjaman
1
PT Pembangunan Perumahan (Persero)
Bandara Kualanamu
Rp42 miliar
2
PT Hutama Karya (Persero)
Bandara Kualanamu
Rp70,6 miliar
3
PT Nindya Karya (Persero)
Bandara Kualanamu
Rp82 miliar
4
BPJT
Pengadaan Lahan untuk Tol Trans Jawa (Tahap I)
Rp590 miliar
5
BPJT
Pengadaan Lahan untuk Tol Trans Jawa (Tahap II)
Rp844 miliar
6
PT Wijaya Karya (Persero), Tbk
Pembangunan Terminal LPG Pressurized di Tanjung Sekong, Banten
Rp50 miliar
7
PT Nindya Karya (Persero)
Rehabilitasi Situ Gintung dan Proyek Pembangunan Jaringan Irigasi Batang Anai
Rp29 miliar
8
PT Nindya Karya (Persero)
Pembangunan Jalan dan Jembatan Molibagu Mamalia – Taludaa, Sulawesi Utara
Rp15 miliar
9
Pemprov Sulawesi Tenggara
Pembangunan RSUD Provinsi Type B Non Pendidikan
Rp190 miliar
MEDIA KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN Vol. VI No. 46/Juni/2011
profil
stakeholders seperti PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII), PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI), dan PT Indonesia Infrastructure Finance (PT IIF). “Lingkup investasi antara PIP dengan PT SMI memang looks alike dan itu menjadi peluang bagi kami untuk melakukan sinergi dalam melakukan pembangunan infrastruktur, terutama dengan pola Public Private Partnership (PPP),” kata Soritaon.
Soritaon Siregar Tempat dan tanggal lahir: Medan, 30 Januari 1957 | Pendidikan: Sarjana Ekonomi di Universitas Sumatera Utara, 1982 • Master of Social Science di Birmingham University, England, 1991 | Karier: Anggota Komite Investasi Pemerintah Pusat, 2007 • Direktur Sistem Manajemen Investasi DJPBN, 2008 • Kepala Pusat Investasi Pemerintah, 2010- saat ini
Public Private Partnership (PPP) maupun non-PPP. Menjawab pertanyaan yang gencar diajukan berbagai pihak, Soritaon menegaskan bahwa pembelian 7% saham divestasi PT NNT termasuk dalam pembelian saham unlisted. “Jadi, secara legal berdasarkan PP tersebut, PIP dapat melakukan jual beli saham divestasi,” tutur Soritaon. Mengingat sejarahnya, pada tahun 2008 PIP juga pernah melakukan aktivitas mandatory buyback saham-saham BUMN sebesar sekitar Rp140 miliar. Dalam menopang pelaksanaan kinerjanya, PIP menggunakan sumber dana yang berasal dari APBN, keuntungan investasi terdahulu, dana amanah (trust fund), dan juga sumber lainnya yang sah. Hingga akhir bulan April 2011, PIP memiliki total aset sebesar Rp15,4 triliun. Jumlah itu sudah termasuk pendapatan terdahulu sebesar Rp1,4 triliun. Untuk membeli 7% saham divestasi PT NNT, PIP sendiri telah mengalokasikan dana kurang lebih 15% dari total aset yang dimiliki. Fokus kegiatan PIP memang mengutamakan investasi di bidang infrastruktur, namun institusi tersebut juga dapat melakukan kegiatan investasi di bidang lainnya sesuai dengan arahan Menteri Keuangan. Saat ini,
PIP memprioritaskan pembangunan infrastruktur dasar di berbagai daerah, seperti rumah sakit, jalan, jembatan, pengairan, pasar, dan terminal yang dapat memberikan manfaat ekonomi, sosial, dan lainnya bagi masyarakat Indonesia. Alokasi pembangunan infrastruktur untuk Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA) PIP Tahun 2011 sebesar Rp10,928 triliun. PIP terus mengembangkan diri menjadi organisasi yang handal. Saat ini, pendirian anak usaha PIP dalam bidang investasi ramah lingkungan sedang memasuki tahap akhir. Selain itu, PIP juga memiliki beberapa pipeline project yang akan dibiayai melalui anak usaha tadi. Sampai dengan bulan Mei tahun 2011, terdapat 31 Pemda, 6 BUMN, dan 4 pihak swasta yang masih dianalisa kelayakannya dan juga masuk dalam pipeline project. Soritaon menjamin bahwa tidak akan terjadi persaingan antara PIP dengan lembaga keuangan lainnya, semisal perbankan. Apabila ada permohonan pinjaman/investasi yang diminati oleh perbankan, PIP tidak akan mengambilnya. Selain itu, dalam investasi di bidang infrastruktur, PIP juga akan terus menjalin kerjasama dan koordinasi dengan para
Tantangan dan harapan Sebagai organisasi yang masih terus berkembang, PIP tentu menghadapi sejumlah tantangan, baik dari internal maupun eksternal. Dari sisi internal, Soritaon menilai kompetensi SDM dalam bidang teknis investasi, seperti risk management, analisa laporan keuangan, serta kajian hukum masih perlu ditingkatkan. “So far, PIP menyiasati kekurangan kebutuhan SDM dengan mempekerjakan senior advisors dan sejumlah tenaga profesional di bidangnya,” papar Soritaon. Untuk saat ini, PIP memiliki 2 orang senior advisors di PIP yang bertugas untuk memberikan masukan di bidang public finance dan corporate finance, 2 orang tenaga profesional yang ditugaskan sebagai Kepala dan Staf Satuan Pemeriksaan Internal (SPI), 1 orang supervisor of risk management, dan 2 orang analis keuangan. Sementara itu, tantangan terbesar dari luar yang dihadapi PIP adalah perubahan iklim investasi yang setiap waktu menuntut PIP harus lebih update dan adaptif dalam menghadapi perubahan. Soritaon berharap ke depan PIP dapat menjadi Sovereign Wealth Fund (SWF) di Indonesia. Dengan begitu, tujuan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi bangsa dan negara, baik untuk generasi saat ini maupun generasi mendatang diharapkan dapat dicapai. Selain itu, Soritaon juga berharap koordinasi dengan para investor dalam dan luar negeri dapat terus ditingkatkan. “Harapan saya ke depan semua investor dalam dan luar negeri yang akan berinvestasi di Indonesia harus melakukan courtesy call ke PIP,”pungkas Soritaon. mk
MEDIA KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN Vol. VI No. 46/Juni/2011
lintas peristiwa
Islamic Development Bank Group Day Islamic Development Bank (IDB) merupakan mitra penting bagi pembangunan Indonesia, seperti tercermin dalam berbagai program dan proyek yang telah dilaksanakan di Indonesia. Demikian disampaikan Menteri Keuangan Agus DW Martowardojo saat ditemui dalam The Islamic Development Bank (IDB) Group Day and The Launching of The Member Country Partnership Strategy (MCPS) for The Republic of Indonesia di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, Rabu (11/5).
P
residen IDB Ahmed Mohamed Ali Al-Madani mengatakan, IDB berkomitmen untuk bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia melalui Strategi Kemitraan Negara-Negara Anggota MCPS untuk mencapai pertumbuhan yang seimbang dan inklusif. Dalam hal ini, Menkeu mewakili Pemerintah Indonesia menyambut baik rencana IDB untuk mengembangkan potensi regional di Indonesia. “Kami menyambut baik dari apa yang dilakukan IDB untuk pengembangan di bidang Islamic finance, kita juga hargai bantuan IDB di Indonesia,” ungkap
Menkeu. Indonesia bergabung dengan IDB sebagai salah satu pendirinya pada tahun 1975, dan merupakan anggota International Islamic Trade Finance Corporation (ITFC), Islamic Corporation for the Development of the Private Sector (ICD) dan Islamic Corporation for Insurance of Investment and Export Credits (ICIEC). IDB Group terus menjalin kemitraan dengan Indonesia dalam mengembangkan keuangan sektor swasta, pembiayaan perdagangan untuk komoditas strategis, asuransi investasi dan kredit ekspor. mk
Peluncuran MP3EI
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara resmi meluncurkan Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia atau MP3EI di Jakarta pada Jumat (27/5). Hadir dan turut menyaksikan Peluncuran MP3EI, Wakil Presiden Boediono beserta sejumlah menteri Kabinet Indonesia Bersatu, pejabat tinggi negara, para pimpinan lembaga negara, dan para pemangku kepentingan dari dunia usaha.
M
P3EI diperlukan Indonesia, mengingat masterplan akan menjadikan berbagai kebijakan dan strategi yang ditempuh menjadi lebih jelas. “Ingat, yang kita bangun ini sebuah negara. Berjangka panjang, mencakup potensi ekonomi yang besar dan luas,” tegas Presiden. Percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia, lanjut Presiden, menjadi yang terpenting. “Dengan ini kita berupaya dapat mengurangi tingkat kemiskinan dan mengurangi pengangguran,
MEDIA KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN Vol. VI No. 46/Juni/2011
sehingga kesejahteraan rakyat dapat terus meningkat,” katanya. Presiden mengingatkan, hakikat pembangunan yang sesungguhnya adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat. Ia menambahkan, kesejahteraan rakyat juga menjadi tujuan akhir dari pencanangan program percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia. Dengan telah diluncurkannya MP3EI secara resmi, maka delapan proyek yang tersebar di seluruh Indonesia secara simbolis turut diresmikan dan mulai berjalan. mk
lintas peristiwa
Menkeu Lantik Eselon II Kemenkeu
M
enteri Keuangan Agus DW Martowardojo melantik 59 pejabat eselon II di lingkungan Kementerian Keuangan, Rabu, 22 Juni 2011, di Jakarta. Para pejabat eselon II tersebut terdiri atas pegawai di lingkungan Sekretariat Jenderal 15 orang, Direktorat Jenderal Anggaran 2 orang, Direktorat Jenderal Pajak 6 orang, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai 19 orang, Direktorat Jenderal Perbendaharaan 6 orang, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara 1 orang, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan 1 orang, Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang 5 orang, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan 2 orang, dan Badan Pendidikan dan Pelatihan 2 orang. Berikut daftar nama pejabat yang dilantik. mk
NO
NAMA
DILANTIK SEBAGAI
SEKRETARIAT JENDERAL
NO
NAMA
DILANTIK SEBAGAI
27
Ir. Rahmat Subagio
Direktur Penindakan dan Penyidikan
28
Drs. Frans Rupang
Direktur Kepabeanan Internasional
29
Ir. Yusmariza, M.A.
Kepala Pusat Kepatuhan Internal Kepabeanan dan Cukai
30
Mohammad Aflah Farobi, S.Sos., M.M.
Tenaga Pengkaji Bidang Pelayanan dan Penerimaan Kepabeanan dan Cukai
31
Dr. Robert Leonard Marbun, S.IP., M.P.A.
Tenaga Pengkaji Bidang Pengawasan dan Penegakkan Hukum Kepabeanan dan Cukai
32
Ir. Harry Mulya, M.Si.
Kepala Kantor Wilayah DJBC Nanggroe Aceh Darussalam
33
Drs. Bachtiar, M.Si.
Kepala Kantor Wilayah DJBC Riau dan Sumater Barat
34
Ir. Hary Budi Wicaksono, M.Si.
Kepala Kantor Wilayah DJBC Khusus Kepulauan Riau
35
Cyrus Fidelis Sidjabat, S.H., M.P.A.
Kepala Kantor Wilayah DJBC Banten
36
Drs. Kusdirman Iskandar
Kepala Kantor Wilayah DJBC Jawa Barat
1
Sumiyati, Ak., M.F.M.
Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan
37
Drs. Supraptono
Kepala Kantor Wilayah DJBC Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta
2
Dr. Annies Said Basalamah, Ak., M.B.A.
Kepala Biro Organisasi dan Ketatalaksanaan
38
Ir. Oentarto Wibowo , M.P.A.
Kepala Kantor Wilayah DJBC Kalimantan Bagian Timur
3
Achmad Sofyan, S.H., L.L.M.
Kepala Biro Hukum
39
Heru Pambudi, S.E., L.L.M.
Kepala Kantor Wilayah DJBC Sulawesi
4
Dr. Indra Surya, S.H., L.L.M.
Kepala Biro Bantuan Hukum
40
Septia Atma, S.Sos.
5
Drs. Juni Hastoto, M.A.
Kepala Biro Sumber Daya Manusia
Kepala Kantor Wilayah DJBC Maluku, Papua, dan Papua Barat
6
Yudi Pramadi, S.E., M.B.A., M.Sc.
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi
41
Ir. Iyan Rubiyanto, M.A.
Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe A Tanjung Priok
7
Drs. Ilhamsyah, M.M.
Kepala Biro Perlengkapan
42
Kukuh Sumardono Basuki, S.E., M.Sc.
Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe B Batam
8
Dra. Sri Hartati
Kepala Pusat Sistem Informasi dan Teknologi Keuangan
DIREKTORAT JENDERAL PERBENDAHARAAN
9
Langgeng Subur, Ak., M.B.A.
Kepala Pusat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai
43
Drs. Tata Suntara, DESS
Sekretaris Direktorat Jenderal Perbendaharaan
44
Drs. Rudy Widodo, M.A.
Direktur Pengelolaan Kas Negara
45
Yuniar Yanuar Rasyid, Ak., M.M.
Direktur Akuntansi dan Pelaporan Keuangan
Rionald Silaban, S.H., L.L.M.
Kepala Pusat Analisis dan Harmonisasi Kebijakan
11
Moh. Hatta, Ak., M.B.A.
Kepala Pusat Layanan Pengadaan Secara Elektronik
46
Ir. Adijanto, M.P.A.
Tenaga Pengkaji Bidang Perbendaharaan
12
Drs. Soritaon Siregar, M.Soc.Sc.
Kepala Pusat Investasi Pemerintah
47
Drs. Hendro Baskoro, M.M.
Kepala Kantor Wilayah Ditjen PBN Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
13
Drs. Samsuar Said, M.Sc.
Sekretaris Pengadilan Pajak
48
14
Drs. Winarto Suhendro, M.M.
Wakil Sekretaris Pengadilan Pajak
Ida Bagus Gde Kartika Manuaba, S.H., M.A.
Kepala Kantor Wilayah Ditjen PBN Provinsi Maluku
15
Drs. Charmeida Tjokrosuwarno, M.A.
Tenaga Pengkaji Bidang Perencanaan Strategik
10
17
Askolani, S.E., M.A. Drs. Purwiyanto, M.A.
49
Drs. Pardiman, M.Si.
Direktur Barang Milik Negara
DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN
DIREKTORAT JENDERAL ANGGARAN 16
DIREKTORAT JENDERAL KEKAYAAN NEGARA
Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak Tenaga Pengkaji Bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak
50
Ir. Harry Gumelar, M.Sc.
Direktur Transformasi Teknologi Komunikasi dan Informasi
19
Dr. Drs. Poltak John Liberty Hutagaol, M.Ec.(Acc.)., M.Ec. (Hons.), Ak
Tenaga Pengkaji Bidang Pelayanan Perpajakan
20
Dr. Hario Damar, M.B.A.
Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta Timur
21
Drs. Otto Endy Panjaitan, M.B.A.
Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta Utara
22
Dr. Angin Prayitno Aji, M.A.
Kepala Kantor Wilayah DJP Jawa Barat II
23
Drs. Eling Budi Prayitno, M.M.
Kepala Kantor WilayahDJP Sulawesi Selatan, Barat, dan Tenggara
DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI
Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
51
Drs. Herdaru Poernomo Poerwokoesoemo
Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang
52
Bhimantara Widyajala, S.H., Ak., M.SF., CIA.
Direktur Surat Utang Negara
53
Dahlan Siamat, S.E., M.M.
Direktur Pembiayaan Syariah
54
Ayu Sukorini, S.E., M.A.
Direktur Strategi dan Portofolio Utang
55
Drs. Widjanarko, M.Soc.Sc.
Direktur Evaluasi, Akuntansi, dan Setelmen
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK 18
Drs. Mudjo Suwarno, M.A.
DIREKTORAT JENDERAL PENGELOLAAN UTANG
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN 56
Sarjito, S.E., M.B.A.
Kepala Biro Pemeriksaan dan Penyidikan
57
Ir. Sugianto, M.A.
Tenaga Pengkaji Bidang Pengembangan Kapasitas Organisasi dan Kebijakan Internasional
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN
24
Ir. Azhar Rasyidi, M.A.
Sekretaris Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
25
Drs. Nasar Salim, M.Si.
Direktur Fasilitas Kepabeanan
26
Drs. Iswan Ramdana, M.Si.
Direktur Cukai
58
Safuadi, S.T., M.Sc.
Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengembangan Sumber Daya Manusia
59
Drs. Tonny Rooswiyanto, M.Sc.
Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Umum
MEDIA KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN Vol. VI No. 46/Juni/2011
reportase
DJP Raih Penghargaan The Best Contact Center Indonesia 2011 2 sampai dengan 5 Mei 2011 tersebut memperlihatkan persaingan yang sangat ketat. Para peserta adalah orangorang terbaik di institusinya. Kring Pajak 500200, tahun ini mengirimkan 15 orang untuk mengikuti delapan kategori lomba individual yaitu kategori: The Best Supervisor, The Best Team Leader, The Best Trainer, The Best Technical Support, The Best Quality Assurance, The Best Back Office, The Best Telemarketer dan The Best Agent.
Rabu, 1 Juni 2011 lalu, Direktorat Jenderal Pajak memborong penghargaan di ajang bergengsi pada malam penghargaan The Best Contact Center Indonesia 2011 yang diselenggarakan oleh Indonesia Contact Center Association (ICCA) di Hotel Bidakara Jakarta. Malam penghargaan yang dihadiri lebih seribu orang dari kalangan praktisi Contact Center di antaranya dari Bank Central Asia, Bank Mandiri, Avaya, Infomedia, Indosat, Telkom Indonesia, Huawei, Bakrie Telecom, BRI, 168 Solution, Pertamina, PT KAI, PT AXA Mandiri, Ditjen Pajak dan lain-lain. Acara berlangsung demikian meriah dan ditunggu-tunggu oleh peserta dan hadirin untuk mendengarkan pembacaan penerima penghargaan.
A
jang penghargaan ini diadakan setiap tahun dimulai sejak tahun 2007 dengan jumlah peserta yang meningkat dari tahun ke tahun. Kring Pajak 500200 baru mulai mengikuti ajang tersebut tahun 2009 dan ketika itu meraih penghargaan sebagai Institusi Pemerintah yang pertama kali memiliki Contact Center. Tahun 2010 lalu, DJP mengirimkan empat orang untuk dua katagori dan berhasil meraih dua penghargaan, yaitu satu Platinum untuk kategori The Best Agent Inbound Below 100 Seat dan satu Silver untuk katagori The Best Supervisor. Tahun 2011, ajang The Best Contact Center Indonesia diikuti oleh lebih dari 40 perusahaan swasta ternama dan beberapa perusahaan milik pemerintah dan sekitar 250 peserta untuk katagori individual. Lomba yang diadakan mulai tanggal
MEDIA KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN Vol. VI No. 46/Juni/2011
Tahun ini Kring Pajak 500200 berhasil memboyong tujuh penghargaan individual yaitu satu Platinum (penghargaan tertinggi) sebagai The Best Quality Assurance yang diraih oleh Yosinta Suwastika, tiga Gold untuk The Best Back Office Operation oleh Adhy Putranto, The Best Inbound Agent oleh Putri Akhirina dan The Best Telemarketer (outbound agent) oleh Andy Fitriono, dua Silver sebagai The Best Agent oleh SeptianTrisetyo Adi, The Best Quality Assurance oleh Nimas Fitriana dan satu Bronze sebagai The Best Supervisor yang diraih oleh Andri Ebenhard Panangian. Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Humas N. E. Fatimah turut hadir dan menyemangati hingga acara usai. Beliau menyatakan bahwa prestasi yang sangat membanggakan ini merupakan sebuah bukti bahwa Direktorat Jenderal Pajak adalah institusi pemerintah yang concern terhadap upaya peningkatan mutu pelayanan kepada masyarakat dan selalu mengedepankan kepuasan stakeholder. Ajang ini merupakan sebuah proses pencapaian yang dilakukan dengan kerendahan hati untuk memberikan jawaban atas keluhan, pendapat dan pandangan yang disampaikan masyarakat agar Ditjen Pajak terus memperbaiki diri. Kring Pajak 500200 menjadi salah satu unit kebanggaan Ditjen Pajak untuk membangun citra institusi menjadi lebih baik. mk
info kebijakan
Pembelian 7% Saham Newmont oleh Pemerintah Clear dalam Dimensi Hukum PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT) adalah perusahaan ‘joint venture’ asing di Nusa Tenggara Barat (NTB). Demi ketertiban, pemerintah memberi pesan pengantar agar pemilik saham asing menghormati manajemen lokal. Bekerja di Indonesia berarti tamu di Indonesia. Pemegang saham asing harus menghormati karyawan-karyawati lokal dan pemegang saham lokal. Mereka juga harus menghormati regulator pemerintah pusat maupun daerah.
P
emerintah berusaha melaksanakan ketetapan negara dengan mengambil peran sebagai pemegang 7% saham Newmont. Saat ini Pemerintah Daerah telah memiliki 24% saham, dan pendiri 20% saham Newmont. Pemerintah dengan itikad baik bersamasama dengan pemegang saham nasional mengendalikan 51% saham nasional. Tujuannya, Pemerintah ingin mengelola Newmont dan meyakinkan bahwa investor asing yang ada di Newmont betul-betul bisa menjalankan kegiatan operasional secara taat asas, taat hukum, dan menjaga prinsipprinsip good governance.
Pro dan Kontra pun timbul. Alih-alih guna kepentingan daerah, masyarakat Nusa Tenggara Barat (NTB) tidak menginginkan adanya campur tangan Pemerintah Pusat. Belakangan Pemerintah Daerah meminta supaya Pemerintah Pusat bisa membantu untuk menyerahkan data-data konsentrat Newmont. Mereka ingin tahu berapa kadar emas, tembaga, dan sebagainya. Ironi. Bukankah mereka sudah memiliki saham 24%? Bukankah lokasinya ada di NTB? Dan bukankah Pemerintah Daerah punya fungsi pengawasan? Apakah fungsi pengawasan penting tadi tidak bisa dilakukan?
Bagaikan layangan singit, tarik-ulur kekisruhan Newmont seolah makin berbelit. Berbagai demonstrasi hingga sejumlah orang yang mengatasnamakan warga Nusa Tenggara Barat bahkan menggugat Menteri Keuangan dan Pusat Investasi Pemerintah ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasus diulur bikin babak belur, makin ditarik hanya menambah panik. Lantas bagaimana pandangan dari sisi hukum dunia akademis yang netral, kredibel, professional, tanpa memihak siapa yang pegang kendali atas benang layang-layang kasus Newmont? Berikut pandangan sejumlah Pakar Hukum dari Universitas Terkemuka di Indonesia.
Dekan FH Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Marsudi Triatmodjo, S.H., LL.M.:
“Kami melihat bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah dengan mengambil saham 7%, sangat menguntungkan untuk perlindungan lingkungan dari aspek hukum.” “Penjelasan kami tidak mencakup keseluruhan permasalahan hukum yang ada berkaitan dengan divestasi Newmont oleh pemerintah atau negara ini. Kami melihat bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah dengan mengambil saham 7%, sangat menguntungkan untuk perlindungan lingkungan dari aspek hukum. Pemerintah memiliki kesempatan mengajak atau meminta perusahaan untuk comply atau compliance terhadap peraturan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan. Sebagaimana kita
ketahui bersama bahwa persoalan lingkungan yang berkaitan dengan usaha pertambangan sangat riskan. Dengan demikian satu bentuk kekuatan untuk bisa melakukan upayaupaya perlindungan eksploitasi sumber daya alam mempunyai kesempatan yang sangat baik. Persoalan lingkungan menjadi persoalan utama. Dengan adanya peran pemerintah langsung di dalam perusahaan ini, kita percaya dan mempunyai peluang yang baik agar perusahaan ini bisa taat memenuhi kewajibannya terhadap persoalan lingkungan.”
MEDIA KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN Vol. VI No. 46/Juni/2011
info kebijakan
Dekan FH Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum.:
“Menteri Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara diberi salah satu kewenangan yaitu melaksanakan penyertaan atau penatausahaan investasi. “ “Kami sudah mempelajari data yang disampaikan dari Kementerian Keuangan dan menghubungkan dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Kami sangat berkeyakinan bahwa dasar hukum pemerintah untuk melakukan pembelian saham Newmont sebanyak 7%, dari aspek yuridis formal sangat kuat sekali. Memang kami tidak menemukan adanya persetujuan DPR agar pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan, melakukan tindakan itu. Dalam Undang-Undang tentang Perbendaharaan Negara pasal 7 ayat 2h, kalau kami tidak salah, bahwa memang Menteri Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara diberi salah satu kewenangan yaitu melaksanakan penyertaan atau penatausahaan investasi. Kalau dihubungkan dengan Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara juga ditegaskan bahwa Menteri Keuangan mempunyai kewenangan untuk melakukan
hal tersebut. Dasar hukum pembelian saham itu berasal dari Undang-Undang tersebut, kemudian ditindaklanjuti dengan beberapa peraturan pemerintah. Apa yang dilakukan oleh Menteri Keuangan membeli 7% saham Newmont, dari aspek hukum sudah sah dan punya dasar hukum yang kuat. Ada landasan hukum yang memang mengatur kewenangan itu. Mungkin kalau ada pandangan yang mengatakan bahwa diperlukan adanya persetujuan DPR, itu menurut kami karena adanya kesalahan di dalam menerapkan Undang-Undang yang mana harus diterapkan dalam menetapkan hal melakukan pembelian saham ini. Di dalam Undang-Undang Keuangan Negara memang ada satu kebijakan atau wewenang dari Menteri Keuangan yang memerlukan persetujuan DPR yaitu dalam hal tertentu menyelamatkan keuangan negara. Tetapi kalau investasi yang diatur dalam UndangUndang Perbendaharaan Negara tidak
diperlukan persetujuan dari DPR. Sebenarnya kami berpendapat bahwa apa yang dilakukan pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan, membeli saham Newmont sudah tepat dan benar. Banyak aspek yang harus kita lihat. Manfaat lainnya yaitu dengan keikutsertaan pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan sebagai pemegang saham Newmont, sudah tentu bisa memberikan pengawasan dalam berbagai hal. Salah satu diantaranya dalam bidang lingkungan. Dari aspek perpajakan, dengan adanya Pemerintah sebagai pemegang saham mungkin juga bisa mengontrol operasional pajak Newmont.”
Dekan FH Universitas Sriwijaya, Prof. Amzulian Rifai, S.H., LL.M., Ph.D.:
“Justru sekarang adalah saatnya bagi publik untuk tegas memberikan dukungan kepada Menteri Keuangan dalam melakukan langkah yang berani, langkah yang pasti. “
“Jika bicara masalah kajian hukum, sebetulnya sudah sangat jelas bagi kami bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah di dalam membeli saham divestasi 7% dari Newmont itu sudah sangat berdasar. Kalau saya pribadi memandang, sebetulnya apa yang dilakukan oleh Menteri Keuangan sudah menyangkut misi kepentingan negara. Bagaimana pun kita sekarang masih tergabung di dalam NKRI, artinya
pemerintah dalam hal ini Pemerintah Pusat memiliki kewajiban yang besar untuk bertanggungjawab terhadap seluruh daerah dan masyarakat Indonesia. Tidak hanya daerah dan masyarakat tertentu. Negara membutuhkan dana, kemudian negara mengamanatkan kepada Menteri Keuangan untuk membentuk Pusat Investasi Pemerintah (PIP). Kita berasumsi bahwa mereka yang duduk di dalam PIP adalah orang-orang yang profesional, memiliki kemampuan untuk melakukan profesional judgement untuk melakukan atau tidak melakukan suatu investasi. Kami yakin bahwa mereka yang duduk di PIP telah melakukan kajiankajian secara mendalam baik itu aspek bisnis maupun aspek hukum. Kesimpulan kami
MEDIA KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN Vol. VI No. 46/Juni/2011
bahwa aspek hukum tidak ada masalah. Kita justru harus memberikan dukungan kepada Pemerintah bahwa apa yang dilakukan ini adalah suatu hal yang tepat. Ini adalah untuk kepentingan bangsa dan negara. Hal yang perlu kita pertanyakan adalah apa yang dikhawatirkan bila pemerintah membeli saham 7%? Kenapa tidak khawatir atas pembelian saham-saham sebelumnya yang jauh lebih besar? Kami berpikir dari aspek hukum sudah jelas. Justru sekarang adalah saatnya bagi publik untuk tegas memberikan dukungan kepada Menteri Keuangan dalam melakukan langkah yang berani, langkah yang pasti. Hal ini adalah untuk kepentingan negara bukan untuk kepentingan pribadi, kelompok atau golongan tertentu.”
info kebijakan
Dekan FH Universitas Padjajaran, Ida Nurlinda, S.H., M.H.:
“Kementerian Keuangan, membeli 7% saham melalui PIP justru mewujudkan kedaulatan negara terhadap sumber daya alam dalam hal ini pertambangan.” bagaimana kerusakan-kerusakan di wilayahwilayah pertambangan itu sudah terjadi. Dengan masuknya investor-investor asing di dalam kegiatan-kegiatan pertambangan, menghadirkan kesulitan bagi pemerintah untuk melakukan kontrol terhadap kegiatankegiatan investor asing tersebut. Dengan demikian menurut kami bahwa masuknya pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan, membeli 7% saham melalui PIP justru mewujudkan kedaulatan negara terhadap sumber daya alam dalam hal ini pertambangan. Pemerintah bisa mengontrol pengawasan dan pengelolaan sumber daya alam agar bisa menjadi feedback sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan pada Pasal 33.
“Langkah pemerintah untuk melakukan divestasi terhadap saham Newmont ini tentu harus dilihat dari titik awal dasar konstitusi Pasal 33 ayat 3 terkait dengan hak menguasai negara terhadap sumber daya alam. Dalam hal ini konteksnya adalah sumber daya alam tambang. Dengan demikian yang paling penting tentu peran Pemerintah dalam mendivestasi 7% saham Newmont adalah untuk mewujudkan kedaulatan sumber daya tambang. Membaca dari media beberapa hari ini justru kita melihat
Terkait dengan tanggapan peran lebih Pemerintah Daerah, sebetulnya harus dilihat kalau pemerintah NTB mempunyai saham mayoritas dan hasilnya dinikmati oleh pemerintah NTB, tentu ini justru menimbulkan ketidakadilan. Bagaimanapun sumber daya alam Indonesia, kembali ke pasal 1 UPA, di sana ada hak bangsa. Hak bangsa artinya bahwa setiap kekayaan alam yang ada di Indonesia tidak hanya satu daerah-daerah tertentu saja yang menikmatinya tetapi tentu juga harus
“Terus terang kami salut dengan langkah Kementerian Keuangan dan kami berharap langkah Pemerintah memberi efek domino terhadap lembagalembaga pemerintah lain untuk concern terhadap kepentingan bangsa. Peduli terhadap kepentingan nasional dan serius memperhatikan permasalahan bangsa.” keseluruhan rakyat Indonesia. Terus terang kami salut dengan langkah Kementerian Keuangan dan kami berharap langkah Pemerintah memberi efek domino terhadap lembaga-lembaga pemerintah lain untuk concern terhadap kepentingan bangsa. Peduli terhadap kepentingan nasional dan serius memperhatikan permasalahan bangsa.”
Dekan FH Universitas Andalas, Prof. Dr. Yuliandri, S.H., M.Hum.:
“Dimensi hukumlah yang menjadi utama atau bagian utama yang musti kita lihat.” “Kita memang punya standing bahwa apa yang dilakukan oleh Pemerintah sebetulnya dari dimensi hukum sudah clear. Artinya sudah sejalan dengan apa yang diberikan kewenangan pada Pemerintah. Langkah ini kami pikir suatu terobosan yang patut kita apresiasi terhadap Pemerintah. Jika problem-problem lain muncul, tentu
musti dikoridor dengan aspek hukum. Dimensi hukumlah yang menjadi utama atau bagian utama yang musti kita lihat. Tentu pegangan kita adalah aspek hukum karena inilah marwah (amanat) yang bisa kita jaga. Kami pikir langkah ini patut kita apresiasi dan yang jelas peran yang dilakukan Kementerian Keuangan saya pikir sudah clear.”
MEDIA KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN Vol. VI No. 46/Juni/2011
info kebijakan
Dekan FH Universitas Parahayangan, Dr. Sentosa Sembiring, S.H., M.H.:
“Apa yang dilakukan oleh Pemerintah dalam menggunakan hak ketika dilakukan divestasi, sudah memiliki dasar hukum yang kuat.”
“Ketika PT Newmont Nusa Tenggara didirikan ini basisnya adalah merupakan kontrak karya. Oleh karena itu jika kita berbicara mengenai kontrak maka apa yang sudah disepakati, tentu harus dihormati oleh para
pihak yang membuat kontrak tersebut. Apabila saham Newmont dijual maka yang pertama mendapatkan hak pembelian itu adalah pihak Pemerintah. Dilihat dari konteks ini, sebenarnya dari segi posisi hukum bagi Pemerintah sudah jelas, bahwa Pemerintah mempunyai hak untuk membeli saham yang ditawarkan oleh Newmont. Hal lain yang patut didukung adalah mengapa Pemerintah berkeinginan untuk menggunakan hak. Kami melihat dari sisi hukum perusahaan bahwa dengan memiliki saham di dalam satu perusahaan, berarti mempunyai hak di dalam perusahaan tersebut sebagai organ perusahaan. Misalnya sebagai komisaris.
Dengan ada di dalam posisi komisaris, berarti mempunyai kewenangan untuk mengontrol dari kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut. Kami melihat dari segi sudut pandang hukum kontrak, apa yang dilakukan oleh Pemerintah dalam menggunakan hak ketika dilakukan divestasi, sudah memiliki dasar hukum yang kuat. Apabila sudah memiliki saham di Perusahaan tersebut, maka mempunyai kewenangan untuk bisa masuk dari segi organ Perusahaan. Dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas dimungkinkan untuk dilakukan pengawasan dalam kegiatan yang dimaksudkan tadi.”
Wakil Dekan FH Universitas Trisakti Bidang Akademik, Dhany Rahmawan:
“Perlu dilihat satu hal bahwa hukum tidak hanya melihat pada dokumen tapi juga pada tujuannya.” “Kami melihat bahwa masalah hukumnya yang disampaikan itu tidak ada masalah. Perlu dilihat satu hal bahwa hukum tidak hanya melihat pada dokumen tapi juga pada tujuannya. Dari segi tujuannya, dari aspek manfaatnya, bisa dari aspek lingkungan hidup. Dari sudut aspek manfaat terhadap pembangunan nasional, pembelian saham ini
akan memberikan manfaat untuk pemerataan pembangunan. Pemilik kewenangan untuk distribusi ke daerah adalah Pemerintah Pusat dalam hal ini Menteri Keuangan. Jika ini dilakukan maka pemerintah bisa memberi distribusi kepada pemerintah-pemerintah daerah lain yang tidak memiliki sumber daya alam. Ini akan menjadikan manfaat.”
Pembantu Dekan II Universitas Diponegoro, Untung:
“Kalau tujuannya memang untuk menyejahterakan rakyat kenapa tidak dilakukan.” “Kami meninjau dari sisi hukum lain, yaitu kajian hukum Tata Negara. Kalau kita melihat pada konstitusi kita, bangsa Indonesia sepakat bahwa Indonesia sebagai negara hukum. Hukum dijadikan sebagai panglima. Semua kebijakan yang diambil pemerintah tentunya harus berdasarkan pada hukum yang berlaku, bukan berdasarkan pada situasi politik atau perkembangan kekuatan politik saat itu. Kita bisa membayangkan andaikata negara ini dikelola berdasarkan pada situasi politik sesaat yang boleh dikatakan berubah-ubah. Tentu negara akan kacau. Dari peraturan
perundang-undangan yang ada yang sudah ditetapkan melalui Undang-Undang tentang Perbendaharaan Negara, UndangUndang tentang Keuangan Negara. Kami melihat bahwa apa yang sudah diputuskan oleh Menteri Keuangan untuk membeli saham Newmont 7% merupakan suatu langkah yang tepat. Sudah sesuai dengan hukum. Jadi bukan karena perkembangan kekuatan politik. Menteri Keuangan itu sebagai Bendahara Umum Negara, pengelola fiskal. Kami menyimpulkan bahwa untuk melaksanakan hukum tidak hanya sesuai pada aturannya saja tetapi
MEDIA KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN Vol. VI No. 46/Juni/2011
juga harus melihat pada tujuan. Kalau tujuannya memang untuk menyejahterakan rakyat kenapa tidak dilakukan.” mk
artikel
Kepentingan Negara Adalah Kepentingan Masyarakat Oleh: Hari Kuncoro
Investasi Pusat Investasi Pemerintah (PIP) atas divestasi saham PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT) sebesar tujuh persen menggelinding ke ranah perdebatan politik, yang semestinya tidak terjadi. Hal ini ditandai dengan “pembahasan” di DPR yang tidak kunjung selesai hingga “aksi massa” di Lapangan Banteng yang kerap berlangsung. Pembahasan dalam tanda kutip karena sesungguhnya yang dicari bukan kebenaran melainkan pembenaran DPR atas nama peraturan dan kekuasaan. Pun aksi massa dalam tanda kutip karena memang bukan aspirasi masyarakat melainkan aksi massa mengatasnamakan kepalsuan , sebagaimana penulis dengar langsung dari elemen masyarakat yang diatasnamakan.
B
ercermin dari sejarah, proses investasi PIP seharusnya menjadi garis pemisah antara proses perpanjangan Kontrak Karya Pertambangan pada masa lalu dan menjadi role model untuk pengelolaan industri eksraktif di masa datang. Sejarah telah mencatat bahwa proses perpanjangan kontrak karya pertambangan PT Freeport yang tanpa didahului jeda ke Pemerintah atau cerita divestasi Kaltim Prima Coal (KPC) dan Arutmin yang kurang menguntungkan bagi Indonesia secara keseluruhan. Pokok persoalan mendasar pelaksanaan penyelenggaraan Negara adalah menuju kesejahteraan bagi bangsa. Dan begitu pula bagi PIP, sebagai entitas layanan umum yang tidak terlepas dari amanat itu. Ranah perdebatan tentang investasi yang dilakukan oleh PIP tersebut sudah sepatutnya bermuara pada bagaimana investasi dapat mensejahterakan Indonesia. Kesejahteraan yang diukur dengan parameter-parameter yang jelas (apple to apple) seperti dengan membandingkan parameter-parameter divestasi NNT sebelumnya atau divestasi industri estraktif yang pernah terjadi.
Absurditas Perdebatan yang terjadi antara
Pemerintah dengan DPR, menurut hemat penulis dikelompokan pada tiga absurditas. Absurditas karena sesungguhnya perdebatan yang terjadi akan sulit mencapai titik temu. Karena pada hakikatnya, perdebatan dengan paradigma politik pada akhirnya akan bersandar pada kutub kepentingan yang berbeda. Absurditas yang pertama adalah absurditas keuangan atau bisnis. DPR menginterpretasikan bahwa setiap rencana investasi PIP harus mendapat persetujuan DPR sampai pada level menyebutkan nama perusahaan yang akan dibeli. Dewan merasa berkepentingan “atas nama rakyat” untuk mengetahui dan mengawasi setiap gerak dan langkah investasi PIP. Pendapat DPR ini mungkin tidak salah dan merupakan salah satu amanat yang diemban oleh para wakil rakyat ini. Namun demikian, konteks pengawasan DPR seharusnya tidak menimbulkan kegamangan pada praktek operasional PIP. Badan layanan umum milik Pemerintah ini ditugaskan oleh undang-undang dan perangkat hukum lainnya sebagai entitas investasi yang dapat memberikan manfaat ekonomi dan manfaat lainnya dalam setiap kegiatan investasi yang dilakukannya. Apabila kita mau melihat ke belakang,
DPR dan Pemerintah telah bersepakat bahwa dibentuknya PIP merupakan salah satu wujud peran Pemerintah dalam rangka memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945. Konsekuensi dari amanat tersebut adalah setiap kebijakan investasi yang dilaksanakan oleh PIP (day to day) adalah pada koridor kepentingan nasional dan dapat memberikan manfaat ekonomi, sosial dan lainnya. Keinginan DPR untuk mengetahui setiap rencana investasi PIP terkait dengan perusahaan yang akan dibeli, tentunya agak berlebihan. Selain nature investasi yang tidak memungkinkan bagi PIP untuk menyampaikan daftar perusahaan yang akan dibeli, momentum investasi akan hilang begitu saja akibat proses persetujuan dari DPR yang sangat memakan waktu. Dalam aspek keuangan juga tidak muncul perdebatan tentang cost benefit analysis tentang divestasi yang dilakukan oleh PIP dibandingkan dengan pembelian oleh Pemda melalui Perusahaan Multi Daerah Bersaing (MDB) yang dimiliki secara patungan oleh Pemda dan PT Multi Capital. Sumber dana Pemda untuk pembelian saham NNT oleh PT MDB bersumber dari utang Pemda (PT Daerah Maju Bersaing) kepada PT Multi Capital dengan konversi kepemilikan saham MDB sebesar 25% dari nilai divestasi saham NNT. Persoalannya adalah, manfaat (benefit) apa yang diperoleh Pemda apabila kepemilikan saham yang diperoleh dari beban utang (cost) yang pada akhirnya menegasikan manfaat ekonomi bagi daerah. Penjelasan ini kurang mendapat perhatian, apalagi tidak dijelaskan bagaimana hak Pemda tersebut
MEDIA KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN Vol. VI No. 46/Juni/2011
artikel
diperoleh, apakah secara percuma (free) atau merupakan kewajiban bagi daerah untuk mencicil dari deviden misalnya. Padahal, bila merujuk pada praktek lazim dalam investasi saham, hak opsi saham (option right) harusnya memiliki nilai (rupiah) begitu pula atas opsi Pemda dalam praktek divestasi saham NNT yang terjadi pada PT MDB. Aspek keuangan lainnya yang menurut hemat penulis perlu mengemuka ke publik adalah kepatutan suatu langkah korporasi yang dapat dilakukan terkait dengan divestasi saham NNT. Tidak pernah terungkap motif yang mendasari tindakan bisnis apa yang boleh dan apa yang akan dilakukan oleh Pemerintah atau swasta setelah melakukan pembelian divestasi salah satu perusahaan tambang terbesar di dunia ini? Seperti yang disampaikan di atas bahwa tindakan investasi pada sektor strategis dan dapat memberikan manfaat ekonomi dan sosial lainnya haruslah didasari pada motif kepentingan nasional. Andil Pemerintah melalui PIP dengan membeli saham PT NNT sebesar 7%, sebagaimana diungkapkan oleh Menteri Keuangan, adalah menempatkan Pemerintah dalam posisi pengawasan dan kontrol pelaksanaan regulasi pertambangan untuk kepentingan nasional. Namun, apabila pembelian saham semata-mata untuk memeroleh keuntungan sesaat bagi kelompok tertentu dan kemudian dijual kembali (apalagi kepada asing), tindakan itu merupakan tindakan yang sangat tidak patut.
hukum, terutama perlu tidaknya persetujuan DPR atas pembelian saham NNT oleh PIP. Landasan hukum yang digunakan oleh DPR adalah Pasal 46 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 dan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Dasar hukum pertama adalah terkait dengan pengelolaan barang milik negara berupa tanah dan bangunan dan yang berikutnya terkait dengan tindakan pemberian pinjaman dan/atau penyertaan modal negara dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional. Di satu sisi, pelaksanaan investasi Pemerintah diatur juga dengan undangundang yang sama, UU No. 17/2003 dan UU No. 1/2004. Pengelolaan investasi Pemerintah merujuk pada Pasal 41 UU No. 1/2004 yaitu investasi jangka panjang guna memeroleh manfaat ekonomi, sosial dan/atau manfaat lainnya. Lebih jauh, investasi jangka panjang tersebut dapat berupa saham, surat utang dan investasi langsung (pinjaman).
Hal lain yang juga absurd adalah adanya pembauran antara metode pencatatan atas suatu investasi oleh suatu entitas dengan nama akun di neraca. Seorang dewan ada yang berpendapat bahwa investasi PIP harus dicatat sebagai ekuiti, padahal semua investasi seharusnya dicatat sebagai aset, namun metode pencatatan dengan memilih antara metode biaya atau metode ekuiti. Pemilihan metode dilakukan sesuai prasyarat yang diatur dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) dan Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintah (PSAP).
Secara eksplisit, subjek hukum yang diatur oleh kedua pasal tersebut adalah dua hal yang diperlakukan berbeda dalam pengelolaan keuangan negara. Barang Milik Negara (BMN) yang diatur dalam Pasal 46
Pendapat lain yang juga mengaburkan perdebatan adalah adanya pernyataan yang mengatakan bahwa PIP hanya boleh berinvestasi pada surat berharga jangka pendek. Bila merujuk ke
Hakekatnya, kontrak karya usaha pertambangan seperti halnya divestasi PT NNT adalah untuk memastikan bahwa kekayaan alam Indonesia dapat memberikan manfaat bagi bangsa Indonesia. Untuk itu, kepemilikan saham sebesar 51% oleh entitas nasional, seyogyanya telah menempatkan kendali bangsa Indonesia atas manfaat yang diperoleh dari kekayaan tambang yang dikelola oleh NNT. Absurditas yang kedua adalah absurditas
adalah BMN berupa aset tanah dan/atau bangunan serta selain tanah dan/atau bangunan. Sedangkan rujukan hukum yang melandasi PIP dalam melakukan investasi pembelian saham NNT adalah pada pasal sebagaimana di atas. Dalam tata pengelolaan keuangan negara, perlakuan pengelolaan BMN dan kegiatan investasi jangka panjang dilaksanakan dengan acuan dan perlakukan yang seyogyanya berbeda pula.
sumber foto: internet
MEDIA KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN Vol. VI No. 46/Juni/2011
artikel
Peraturan pemerintah No. 71 tahun 2010 (Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintah) maupun undangundang, sebenarnya PIP/Pemerintah dapat melakukan investasi jangka pendek maupun jangka panjang atas saham. Hanya saja niat/intensitas dan perlakukannya berbeda.
berkiblat pada teori politik, trias politika, yang dikembangkan oleh filsuf asal Perancis, Montesquieu. Teori trias politika menempatkan adanya tiga kekuasaan politik agar penyelenggaraan negara dapat lebih berimbang, dapat diawasi dan ada mekanisme keseimbangan (check and balance), yaitu legislatif (DPR), eksekutif (Pemerintah) dan Yudikatif (MA).
Dalam istilah keuangan kalau untuk jangka pendek merupakan aktivitas trading tapi kalau untuk jangka panjang merupakan aktivitas investasi permanen/ non permanen. Guna pencatatan investasi jangka panjang tersebut barulah dikenal metode biaya atau ekuiti sebagaimana disebut di atas. Absurditas lainnya dalam aspek hukum adalah pemaknaan Pemerintah pada Kontrak Karya Pertambangan (KKP) oleh DPR bukan sebagai Pemerintah Pusat. Padahal KKP dimaksud ditandatangani tahun 1986 sebelum era otonomi, pun demikian dalam beberapa peraturan perundang-undangan kata Pemerintah selalu dimaknai Pemerintah Pusat, kecuali ada kata keterangan yang menyertainya. Yang terakhir adalah absurditas kekuasaan. Konsep politik negara yang dianut oleh Indonesia sedikit banyak
Dalam konsep ilmu politik modern terkait hubungan antara legislatif dan eksekutif lebih banyak ditentukan oleh seberapa besar konstelasi politik dalam institusi DPR. Keberlangsungan dalam ketatanegaraan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan pun kerap kali bersinggungan dengan konstelasi kekuasaan dan budaya politik dominan di DPR. Karenanya, pembagian dan pengaturan kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan antara DPR dan Pemerintah yang telah digariskan dalam UUD dan perangkat hukum lainnya kerap diintrepretasikan dari paradigma budaya politik. Konstelasi kekuasaan politik inilah yang kemudian lebih mewarnai forum Rapat Dengar Pendapat dalam permasalahan divestasi saham NNT oleh Pemerintah. Rapat Dengar Pendapat antara DPR dan
Pemerintah terkait dengan pembelian saham NNT seyogyanya menjadi suatu forum bagi anggota DPR untuk lebih banyak mendengar daripada memaksakan pendapat. Sebagai pelaksana investasi, Pemerintah tentu lebih mengetahui dan mahfum dengan konsekuensi kebijakan atas pembelian saham NNT. Keterangan dan pendapat Pemerintah yang disampaikan dalam forum Rapat Dengar Pendapat tentunya dapat disikapi dalam konteks ketaatan dalam penyelenggaraan ketatanegaraan. Forum Rapat Dengar Pendapat bukanlah semata sebagai mimbar politik untuk menunjukkan sikap apositif tanpa argumentasi hukum dan akal sehat. Perbedaan pendapat antara DPR dan Pemerintah dalam divestasi saham NNT bukanlah sebagai alasan pembenaran atas pemaksaan kehendak. Pendapat dan landasan hukum yang disampaikan Pemerintah hendaknya ditanggapi dengan pendekatan yang seimbang, bukan dengan pendekatan politik kekuasaan. Perbedaan pendapat antara DPR dan Pemerintah bukanlah untuk menunjukkan siapa yang lebih berkuasa, tetapi untuk menunjukkan bahwa DPR dan Pemerintah bersamasama bekerja mencari yang terbaik bagi kepentingan bangsa dan negara. DPR sebagai rumah rakyat merupakan lembaga tinggi negara dan cerminan pelaksanaan kehidupan politik yang demokratis, perlu lebih banyak mendengar dan kemudian mengaspirasikan kepentingan masyarakat yang diwakilinya. DPR merupakan harapan terakhir bagi jutaan rakyat Indonesia untuk dapat meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. DPR bukanlah representasi dari segelintir orang yang haus akan kekuasaan. Apabila absurditas yang selalu dihadirkan ke publik, maka kesejahteraan bangsa akan menjadi subordinat dan Indonesia bisa menjadi negara bangkrut. mk
Emas, salah satu hasil tambang PT NNT
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.
MEDIA KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN Vol. VI No. 46/Juni/2011
artikel
Pemerintah Layak Beli Saham Divestasi PT NNT Oleh: Peneliti Utama BKF, Makmun Syadullah
sumber foto: internet
Polemik pembelian tujuh persen saham divestasi PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT) masih terus berlangsung. Disatu sisi Menteri Keuangan tetap pada pendiriannya untuk membeli sisa saham divestasi, sedangkan di sisi lain Komisi XI DPR bersikukuh bahwa untuk membeli saham divestasi tersebut harus mendapatkan persetujuannya. Permasalahannya adalah siapakah sebaiknya yang membeli sisa saham divestasi apakah Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Barat (Pemda NTB).
M
enghadapi polemik di atas, sebaiknya DPR bijaksana dalam menyikapinya. DPR sebagai wakil rakyat tidak sepantasnya membela kelompok-kelompok tertentu, akan tetapi akan lebih bijak apabila mempertimbangkan kepentingan nasional. Perlu disampaikan bahwa sebelumnya Pemerintah
MEDIA KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN Vol. VI No. 46/Juni/2011
Pusat telah memberikan kesempatan kepada Pemda NTB untuk membeli saham divestasi PT NNT sebesar 24%. Namun fakta menunjukkan bahwa hak pembelian saham tersebut diserahkan kepada pihak swasta, yang selanjutnya saham tersebut dijadikan agunan kepada pihak asing untuk pembiayaan pembeliannya. Terdapat dugaan bahwa divestasi saham tahun 2006–2009 sebesar 24% terindikasi terjadi kerugian negara hingga mencapai Rp356,8 miliar. Divestasi saham 24% hingga saat ini masih menuai polemik dalam masyarakat NTB, bahkan beberapa
artikel
anggota DPRD Sumbawa dan DPRD Sumbawa Barat mengadukan persoalan divestasi ini melalui gugatan class action melalui Pengadilan Negeri Sumbawa Besar. Selain itu tuntutan pertangungjawaban kepada Gubernur NTB, Bupati Sumbawa Barat dan Bupati Sumbawa atas dividen yang seharusnya diterima oleh daerah juga semakin menguat. Persaingan yang kuat untuk mendapatkan mitra divestasi terjadi antara Bupati Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) dengan Gubernur NTB, berakhir dengan disepakatinya titik temu kepentingan tiga daerah ini dengan membentuk PT Daerah Maju Bersaing (PT DMB). Selanjutnya PT DMB bersepakat menggandeng PT Multicapital (PT MC) dengan kesepakatan daerah akan memperoleh saham “Golden Share” yang pengertiannya daerah tidak akan dibebani cicilan atau hutang apapun atas saham tersebut. Sebelum bersepakat dengan PT Multicapital, diduga terdapat kolusi dalam merebut saham divestasi dengan melibatkan PT Bumi Resource. Pasca putusan majelis arbitrase UNCITRAL tanggal 31 Maret 2009 dalam perkara antara Pemerintah Indonesia melawan PT NNT, PT DMB dengan PT MC menandatangani Nota Kesepakatan tentang kerjasama pembelian saham divestasi PT NNT. Dalam perjanjian bernomor 002/DMB/VII/2009 dan 005/ MC/7/2009 tanggal 11 Juli 2009 diatur tentang komposisi saham yang dimiliki oleh PT MC sebanyak 75% dan 25% untuk daerah. Nota kesepakatan ini berlaku sejak 11 Juli 2009 hingga 25 Juli 2009. Namun anehnya meskipun secara tegas pengaturan komposisi saham 75:25, dividen yang diterima oleh daerah tidak lebih dari US$4 juta. Padahal Sampai dengan akhir Desember 2011, PT MC telah menerima sedikitnya US$172,8 juta. Persoalan dividen inilah yang sampai saat ini belum bisa dipertanggungjawabkan oleh Gubernur NTB, Bupati Sumbawa dan Bupati Kabupaten Sumbawa Barat (KSB). Sesuai dengan kesepakatan tiga kepala
Keputusan Pemerintah untuk membeli saham divestasi PT NNT melalui PIP jauh lebih banyak manfaatnya daripada mudharatnya, karena dilakukan sematamata demi kepentingan nasional dan kemanfaatan dengan tujuan untuk dapat dinikmati oleh bangsa dan negara. daerah, dengan komposisi dividen yang akan diterima oleh Pemda NTB sebesar 40%, Pemda KSB 40% dan Pemda Sumbawa 20% dari total 25 dividen yang dibagikan PT MC. Hingga Januari 2011, Pemda NTB dan KSB baru menerima dividen sebesar Rp12,8 miliar dan Pemda Sumbawa sebesar Rp6,4 miliar atau sekitar US$4 juta sebelum dipotong pajak.
di bawah Kementerian Keuangan. Sebagai agent of development, PIP mempunyai tugas dan tanggungjawab atas pelaksanaan investasi Pemerintah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara. Dengan demikian, PIP merupakan lembaga yang paling tepat untuk melakukan pembelian saham divestasi tersebut.
Faktor lain yang menjadi pertimbangan agar sebaiknya saham divestasi PT NNT yang tersisa tidak diberikan adalah kondisi keuangan Pemda NTB, Pemda Sumbawa Barat dan Pemda Sumbawa. Ketiga Pemda ini kondisi keuangannya tidak memungkinkan untuk mengambil alih saham divestasi, karena lebih dari 50% pendapatan Pemda masih menggantungkan sumber keuangannya dari Pemerintah Pusat. Kondisi keuangan Pemda ini tentunya berpotensi pembelian saham divestasi akan dialihkan kembali ke pihak swasta.
Keikutsertaan Pemerintah dalam pengelolaan PT NNT akan lebih memastikan pemasukan negara melalui pembayaran royalti atas tembaga sesuai dengan PP Nomor 45 Tahun 2003. Setiap tahunnya PT NNT membayar pajak dan royalti langsung kepada pemerintah Indonesia. Sementara itu bagi Pemda NTB tidak akan dirugikan, karena sebagian besar royalti (80%) akan dikembalikan oleh Pemerintah Pusat.
Sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut di atas, keputusan Pemerintah untuk membeli saham divestasi PT NNT melalui PIP jauh lebih banyak manfaatnya daripada mudharatnya, karena dilakukan sematamata demi kepentingan nasional dan kemanfaatan dengan tujuan untuk dapat dinikmati oleh bangsa dan negara. Investasi pemerintah pusat pada PT NNT diharapkan dapat mengoptimalkan penerimaan negara dari dividen, pajak dan royalti. Di sisi lain, Pemerintah memiliki PIP yang berfungsi sebagai Sovereign Wealth Fund. PIP merupakan representasi Pemerintah Pusat yang struktur organisasinya berada
Pembelian saham divestasi PT NNT oleh Pemerintah Pusat tidak akan mengganggu alokasi anggaran Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat. Pemerintah Pusat telah memiliki dana pembelian 7% saham divestasi tanpa mengorbankan alokasi anggaran yang ada dan tidak bergantung pada pihak lain. Hal tersebut mengingat PIP merupakan representasi Pemerintah Pusat dan struktur organisasi PIP di bawah langsung Kementerian Keuangan. Sekiranya DPR berpikir makro yakni mempertimbangkan kepentingan nasional, maka tidak perlu mempersulit niat baik pemerintah. mk Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.
MEDIA KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN Vol. VI No. 46/Juni/2011
review
REVIEW PERATURAN BERSAMA MENTERI KEUANGAN DAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 213/PMK.07/2010 DAN NOMOR 58 TAHUN 2010
TENTANG TAHAPAN PERSIAPAN PENGALIHAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN SEBAGAI PAJAK DAERAH
1. Kewenangan pemungutan1 Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2)2 dialihkan dari Pemerintah ke Pemerintah Daerah mulai tanggal 1 Januari Tahun Pengalihan3. 2. Persiapan pengalihan PBB-P2 sebagai pajak daerah dilakukan dalam waktu paling lambat tanggal 31 Desember sebelum Tahun Pengalihan. 3. Persiapan Pengalihan PBB-P2. a. Tugas dan Tanggung Jawab Kementerian Keuangan. 1) Dalam rangka pengalihan kewenangan pemungutan PBB-P2, Direktorat Jenderal Pajak bertugas dan bertanggung jawab mengkompilasi: a) peraturan pelaksanaan PBB-P2 sebagai bahan acuan Pemerintah Daerah dalam menyusun Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah; b) standard operating procedure (SOP) terkait PBB-P2 sebagai bahan acuan Pemerintah Daerah dalam menyusun SOP; c) struktur, tugas, dan fungsi organisasi Direktorat Jenderal Pajak terkait pemungutan PBB-P2 sebagai bahan acuan
Pemerintah Daerah untuk merumuskan struktur organisasi dan tata kerja pemungutan PBB-P2; d) data piutang PBB-P2 beserta data pendukungnya; e) Keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) yang berlaku dalam kurun waktu 10 (sepuluh) tahun sebelum Tahun Pengalihan; f ) salinan Peta Desa/ Kelurahan, Peta Blok, dan Peta Zona Nilai Tanah dalam bentuk softcopy; g) hasil penggandaan basis data PBB-P2 sebelum Tahun Pengalihan; dan h) hasil penggandaan sistem aplikasi terkait PBB-P2 beserta source code-nya; untuk diserahkan ke Pemerintah Daerah. 2) Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan bertugas dan bertanggung jawab menggandakan hasil kompilasi sebagaimana dimaksud pada angka 1) huruf a), huruf b), dan huruf c), dan selanjutnya menyerahkan hasil kompilasi dimaksud ke Pemerintah Daerah, serta
melakukan pemantauan dan pembinaan pelaksanaan pengalihan kewenangan pemungutan PBB-P2 ke Pemerintah Daerah. 3) Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri secara bersama-sama atau sendiri-sendiri memberikan pelatihan teknis pemungutan PBB-P2 ke Pemerintah Daerah. b. Tugas dan Tanggung Jawab Kementerian Dalam Negeri 1) Sekretariat Jenderal, Direktorat Jenderal Keuangan Daerah, dan Badan Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Dalam Negeri bertugas dan bertanggung jawab untuk memfasilitasi, membina dan mengawasi Pemerintah Daerah dalam rangka pengalihan kewenangan pemungutan PBB-P2. 2) Tugas dan tanggung jawab dimaksud pada angka 1) dilakukan dalam bentuk penyiapan pedoman struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Daerah, dan pemberian bimbingan, konsultasi, pendidikan dan pelatihan teknis serta pelaksanaan supervisi dalam rangka pengalihan kewenangan pemungutan PBB-P2.
1) Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak, penentuan besarnya pajak yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak kepada wajib pajak serta pengawasan penyetorannya 2) PBB-P2 adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. 3) Tahun Pengalihan adalah tahun dialihkannya kewenangan pemungutan PBB-P2 ke Pemerintah Daerah, paling lambat tahun 2014.
MEDIA KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN Vol. VI No. 46/Juni/2011
review
sumber foto: internet
3) Penyiapan pedoman struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada angka 2) ditetapkan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri setelah berkoordinasi dengan instansi terkait lainnya. c. Tugas dan Tanggung Jawab Pemerintah Daerah 1) Dalam rangka menerima pengalihan kewenangan pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada angka 4, Pemerintah Daerah bertugas dan bertanggung jawab menyiapkan: a) sarana dan prasarana; b) struktur organisasi dan tata kerja; c) sumber daya manusia; d) Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah, dan SOP; e) kerjasama dengan
pihak terkait, antara lain, Kantor Pelayanan Pajak, perbankan, kantor pertanahan, dan Notaris/ Pejabat Pembuat Akta Tanah; dan f ) pembukaan rekening penerimaan PBB-P2 pada bank yang sehat. 2) Penyiapan sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada angka 1) huruf a), dilakukan dengan mengutamakan pemanfaatan sarana dan prasarana yang dimiliki Pemerintah Daerah. 3) Penyiapan struktur organisasi dan tata kerja sebagaimana dimaksud pada angka 1) huruf b) berpedoman pada Peraturan Menteri Dalam Negeri. 4) Dalam rangka penyiapan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada angka 1) huruf c),
Pemerintah Daerah dapat meminta bantuan ke Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri untuk melakukan bimbingan, pendidikan dan pelatihan teknis pemungutan PBB-P2. 5) Peraturan Daerah tentang PBB-P2 dan Peraturan Kepala Daerah sebagai penjabaran dan dasar pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada angka 1) huruf d) disusun dengan mempertimbangkan ketentuan peraturan pelaksanaan pemungutan PBB-P2 yang selama ini berlaku di Direktorat Jenderal Pajak serta disesuaikan dengan kebutuhan riil dan kondisi objektif sesuai kewenangan sebagai daerah otonom. 6) Pembukaan rekening PBB-P2 pada bank yang sehat sebagaimana dimaksud pada
MEDIA KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN Vol. VI No. 46/Juni/2011
review
angka 1) huruf f ) ditetapkan dengan Keputusan Kepala Daerah. 4. Tahapan Persiapan Pengalihan PBB-P2. a. Pengalihan kewenangan pemungutan PBB- hanya dapat dilakukan pada 1 Januari Tahun Pengalihan. b. Dalam hal Pemerintah Daerah memungut PBB-P2 sebelum tahun 2014, Pemerintah Daerah harus memberitahukan kepada Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri dalam jangka waktu paling lambat tanggal 30 Juni sebelum Tahun Pengalihan. c. Penyampaian pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada huruf b, dilampiri dengan Peraturan Daerah. d. Batas waktu penyelesaian persiapan pengalihan kewenangan pemungutan PBB-P2 oleh Direktorat Jenderal Pajak, yang berkaitan dengan kompilasi: 1) peraturan pelaksanaan PBB-P2, paling lambat tanggal 30 November 2010; 2) SOP terkait PBB-P2, paling lambat tanggal 30 November 2010; 3) struktur, tugas, dan fungsi organisasi Direktorat Jenderal Pajak terkait pemungutan PBB-P2, paling lambat tanggal 30 November 2010; 4) data piutang PBB-P2 beserta data pendukungnya, paling lambat tanggal 31 Januari Tahun Pengalihan; 5) Surat Keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) yang berlaku dalam kurun waktu 10 (sepuluh) tahun sebelum Tahun Pengalihan, paling lambat tanggal 31 Desember sebelum Tahun Pengalihan; 6) salinan Peta Desa/Kelurahan, Peta Blok, dan Peta Zona Nilai
e.
f.
g.
h.
Tanah dalam bentuk softcopy, paling lama 3 (tiga) bulan sebelum Tahun Pengalihan; 7) hasil penggandaan basis data PBB-P2, paling lama 3 (tiga) bulan sebelum Tahun Pengalihan; dan 8) hasil penggandaan sistem aplikasi terkait PBB-P2, paling lama 3 (tiga) bulan sebelum Tahun Pengalihan. Batas waktu penyelesaian Peraturan Menteri Dalam Negeri mengenai pedoman struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Daerah, paling lambat tanggal 30 November 2010. Batas waktu penyelesaian persiapan pengalihan kewenangan pemungutan PBB-P2 oleh Pemerintah Daerah berkaitan dengan: 1) sarana dan prasarana, paling lambat tanggal 30 November sebelum Tahun Pengalihan; 2) struktur organisasi dan tata kerja pemungutan PBB-P2, paling lambat tanggal 30 November sebelum Tahun Pengalihan; 3) sumber daya manusia, paling lambat tanggal 30 November sebelum Tahun Pengalihan; 4) Peraturan Daerah, paling lambat tanggal 30 Juni sebelum Tahun Pengalihan; 5) Peraturan Kepala Daerah, dan SOP, paling lambat tanggal 31 Oktober sebelum Tahun Pengalihan; 6) kerjasama dengan pihak terkait, paling lambat tanggal 30 November sebelum Tahun Pengalihan; dan 7) pembukaan rekening PBB-P2 pada bank yang sehat, paling lambat tanggal 31 Desember sebelum Tahun Pengalihan. Hasil kompilasi, diserahkan oleh Direktur Jenderal Pajak kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat tanggal 10 Desember 2010. Direktur Jenderal Perimbangan
MEDIA KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN Vol. VI No. 46/Juni/2011
Keuangan menyerahkan hasil kompilasi ke Pemerintah Daerah dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Keuangan Daerah, paling lambat tanggal 17 Desember 2010. i. Hasil kompilasi diserahkan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak/Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama ke Pemerintah Daerah di lingkungan kerjanya, paling lambat tanggal 31 Januari Tahun Pengalihan. j. Hasil kompilasi, diserahkan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak/Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama ke Pemerintah Daerah di lingkungan kerjanya, paling lambat tanggal 5 Januari Tahun Pengalihan. k. Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan Pemerintah Daerah melakukan sosialisasi mengenai pengalihan kewenangan pemungutan PBB-P2. 5. Pemantauan Dan Pembinaan Pemantauan dan pembinaan terhadap pelaksanaan tahapan persiapan pengalihan kewenangan pemungutan PBB-P2 dari Pemerintah ke Pemerintah Daerah dilakukan oleh Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri. 6. Usulan penghapusan piutang PBB-P2 yang disampaikan Direktur Jenderal Pajak kepada Menteri Keuangan paling lambat tanggal 31 Desember sebelum Tahun Pengalihan, penetapan penghapusan piutang PBB-P2 tersebut masih menjadi kewenangan Menteri Keuangan. 7. Pendanaan Segala biaya yang diakibatkan sehubungan dengan pelaksanaan pengalihan kewenangan pemungutan PBB-P2 yang terkait dengan Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan Pemerintah Daerah dibebankan pada anggaran masingmasing. mk
english corner
Fiscal Decentralization and Its Challenge for Indonesia Oleh: Rifa Surya*
Kenichi Ohmae in his book “The Next Global Stage” stated “the geographical and economic unit of the global economy is the region”. Ohmae also emphasized that building a strong region is important for nation for growth. Decentralization in Indonesia could be the way for the nation to become stronger, because it gives power to each local government to develop its region based on its needs.
T
he fiscal decentralization era in Indonesia offered a great opportunity to local governments to develop their region based on their needs and their ability. This opportunity never arose during new order era when the central government was very dominant to local government. The centralistic approach diminished the local governments’ creativity and initiative to develop their regions. Local governments were not given the discretion to set policies appropriate for their regions. In theory, the transfer of fiscal authority from central to local government reduces the responsibility and operation of central government in managing fiscal policy. On the other hand, the proportion of the total expenditure of the local government increases significantly. This change, directly or indirectly, has an effect on management of fiscal policy in general. If this fiscal decentralization is handled well, it has a positive impact on prosperity and public services. Conversely, if it is not managed well, fiscal decentralization causes macroeconomic instability, disparity among regions, and worsens public services.
Fiscal decentralization from theoretical point of view The scope of decentralization consists of political, administrative, and fiscal
decentralization between layers of government. Fiscal decentralization is a core aspect of decentralization. It is about assigning to the correct level of government the provision of public goods that best internalizes benefits and costs (expenditure side) and on assigning revenue sources mostly efficient among levels of governments (revenue side). If local governments want to achieve decentralized functions effectively, they must have an adequate level of revenues and have the authority to make decisions and manage expenditure. There should be budgetary autonomy to carry out the assigned responsibilities at each level of government. Besides intergovernmental transfer, the capability of local governments to create their own sources of revenue also becomes an important issue to be addressed. Decentralization may be harmful to economic development when local governments are incapable of arranging the appropriate local tax because
MEDIA KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN Vol. VI No. 46/Juni/2011
english corner
insufficient funds can hinder economics activities in their region.
regulations including those related to local taxes and retribution, and local financial management. All of this happened because at the beginning of fiscal decentralization in Indonesia, there were weaknesses in its regulation. Recently, the central government and all stakeholders have begun a process of evaluation of fiscal decentralization in order to make it more effective.
In theory, the delegation of authority to local governments could have a positive effect on their economies. There are at least two reasons to support that argument, first, it brings the local government closer to the people. Local governments will respond to local demands faster because they are directly controlled by local people. Second, argument concerns “competition” among local governments. This competition increases the responsibility of local governments to their regions, thus they provide programs that correspond to local public preferences. Fiscal decentralization has the potential to increase government efficiency and economic stimulation.
Some drawbacks appear after implementing fiscal decentralization. One of the issues is about local spending. With significant increases in local revenue, local government expenditure increases as well. However, it seems that local governments have not been able to manage this expenditure effectively. It is possible that spending occurs in the nonproductive sector, or they do not have the development planning needed to run this expenditure.
The challenge Fiscal decentralization assumes the responsiveness of the local government to the welfare of its citizens. However, skeptics question whether the local governments do, in fact, respond to the needs of the public. On the other hand, there is also argument said the functions of local sectors in developing countries are sometimes “manipulative and exploitative” instruments. In others word, the responsiveness of the local sectors only have higher effects at the higher stages of economic development. The other potential problem is that the implementation of fiscal decentralization at the local government level will noise the macroeconomic stabilization created by the central government. Furthermore, there will be the potential for corruption to occur at the local government level which probably provided better distribution rather than corruption happened in central government. The other concern is about interdependence between local governments and the central government. This could occur depending on the natural resources and economic conditions in a local area. If there are abundant potential natural resources and productive economic activities, then it is
possible for the local government to have higher own source revenues, thereby allowing the local government to control its budget. Thus, it is important for local governments to have a significant own source revenue because from a political point of view, a central transfer dictated by the central to local government could occur. This would decrease local fiscal independence because the decision about local programs could result from negotiations between the central and local governments.
What to do? Since Indonesia began to implement fiscal decentralization in 2001, the relationship between the central government and local governments has become dynamic. At a technical level, the government has tried to review many fiscal decentralization
MEDIA KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN Vol. VI No. 46/Juni/2011
Therefore, the capacity of local government is important in order to achieve a positive impact of fiscal decentralization on economic development indicators. Local governments should transform themselves from administrative bodies to economic units. Balancing local budgets is no longer the sole objective of regional economic activity. Local governments must become an instrument to reduce unemployment and stimulate economic growth. In addition, it is important to upgrade the competency, ability and knowledge of the bureaucracy at central and local government levels in order to achieve the same vision about decentralization, not only at the level of regulation but also at the level of implementation. With regard to local spending, ministries at the central level should impose the standardization of output to be achieved by local governments, thereby encouraging more efficient local government expenditure and regional economic stimulation. mk
(Personal Opinion) *Work for Ministry of Finance Directorate General for Fiscal Balance Graduated from UI - GRIPS
renungan
Biaya Sosial Versus Biaya Gengsi Sebagai orang yang hidup bermasyarakat kita tidak bisa lepas dari kewajiban untuk menolong orang lain. Sungguh, belum pernah ada cerita orang yang miskin karena gemar mengeluarkan hartanya untuk kebaikan. Tidak pernah ada cerita tentang orang susah karena gemar menolong orang lain. Jalan memberi pertolongan kepada orang lain sangat banyak caranya. Bahkan menyingkirkan batu atau duri dari jalan merupakan bentuk kebaikan. Terlebih memberikan sejumlah uang kepada orang yang membutuhkan. Hal itu adalah kebaikan utama.
S
ebagai Homo economicus tentu kita berhitung berapa sebenarnya belanja sosial yang kita keluarkan setiap periode keuangan. Periode keuangan pribadi biasanya dalam waktu satu bulan karena pada umumnya gaji diterima bulanan. Demikian dengan wirausaha yang menggaji diri mereka sendiri, mengukur prive juga seringkali bulanan. Tentu bukan tanpa alasan jika para perencana keuangan profesional menyarankan agar kita memperhatikan alokasi belanja sosial ini. Paling tidak kita menempatkannya pada rekening atau pos khusus sehingga mudah pengawasannya. Karena jika tanpa pengawasan, belanja sosial ini berdampak pada kesinambungan arus kas di rekening kita. Biaya sosial tentu berbeda dengan biaya gengsi. Jika sebelumnya seseorang menjadi pegawai biasa, maka penampilannya akan biasa saja. Baju yang dia kenakan tidak terlalu buruk dan juga tidak telalu mewah alias standar. Tapi setelah menjadi pejabat, maka akan ada biaya gengsi yang secara sadar atau tidak akan dia keluarkan. Sebagai contoh saat seseorang masih menjadi pegawai biasa, dia rela menggunakan tas
hidup sederhana seringkali mendapat godaan dari komunitas di sekitar kita.
“Sedikit orang kaya yang memiliki harta. Kebanyakan harta yang memiliki mereka.” Robert G. Ingersoll kerja yang murah atau paling tidak yang bagus kualitasnya tapi tidak terlalu mahal. Ketika dia menjadi seorang pejabat, direktur misalnya, akan ada kecondongan untuk membeli tas-tas bermerek dari luar negeri yang harganya sepuluh kali lipat daripada tas yang dulu ia pakai. Ada perasaan bahwa pejabat harus memakai tas yang mewah. Status sosial yang semakin tinggi menimbulkan implikasi pada biaya gengsi yang semakin tinggi. Risiko yang timbul juga semakin tinggi. Seperti cerita seseorang yang sengaja membeli sepatu PDH (pakaian dinas harian) seharga sepuluh kali lipat dari harga sepatu biasa sejenis. Suatu hari sepatu tersebut haknya lepas. Apa yang terjadi? Sepatu tersebut tidak memiliki nilai lagi. Orang lain akan tertawa jika sepatu itu nekat ia pakai. Hanya karena haknya lepas, nilai sepatu itu menjadi nol. Bahkan lebih baik sepatu yang biasa tadi. Terkadang keinginan ini dipicu oleh lingkungan pergaulannya. Sebuah kecenderungan manusia untuk mengikuti komunitasnya. Manusia merasa akan disingkirkan jika tidak mengikuti untuk menggunakan barangbarang yang terlalu mewah itu. Memiliki gaya
Ada dilema tersendiri yang muncul antara biaya sosial dan biaya gengsi. Contoh dilema antara biaya sosial dan biaya gengsi terjadi pada saat kondangan. Memang tidak ada kewajiban bagi kita memberikan sumbangan kepada pengantin atau kado. Akan tetapi karena niat kita untuk membantunya, itu merupakan perbuatan yang baik. Pemikiran yang umum adalah, biaya sosial harus berbanding lurus dengan status sosial. Semakin tinggi status sosial seseorang, maka semakin tinggi‘tarif’biaya sosial yang harus dikeluarkan. Jika tidak gengsi status sosial tersebut akan ‘terganggu’. Sebagai contoh sumbangan saat masih menjadi pegawai mungkin 50 ribu, saat menjadi kepala kantor 100 ribu dan saat menjadi direktur 200 ribu. Barangkali pemikiran tarif tersebut untuk memenuhi asas kepatutan dalam bermasyarakat. Namun perlu direnungkan, aturan tersebut malah seringkali membuat kita menjadi tidak ikhlas. Adat di beberapa daerah, sumbangan seperti ini dicatat sesuai dengan nominalnya. Perlu diakui, sistem akuntansi pencatatan sumbangan seperti itu bagus. Tujuan manajerial bisa tidak tepat jika selalu disertai dengan prasangka yang bukan-bukan. Misalnya ada yang memberikan sumbangan satu juta rupiah, kemudian kita berprasangka, jangan-jangan hasil korupsi. Bisa jadi pemberi sumbangan sedang ada rejeki melimpah dan menyenangkan hati yang diberinya. Atau sebaliknya, jika ada yang memberi sumbangan kurang dari‘tarif’tadi, bisa jadi dia sedang ada masalah keuangan atau kita sudah dianggap mampu. Hal yang tepat ketika suatu saat mereka butuh uluran tangan, kita dapat memberikan bantuan lebih banyak. Jadi perlu pemilahan mana saja yang masuk biaya sosial dan mana saja yang masuk biaya gengsi. Keputusan yang baik adalah menggeser pos biaya gengsi ke pos biaya sosial. Sudah menjadi kodrat bahwa manusia memiliki kebutuhan untuk saling tolong menolong (homo homini lupus). mk
MEDIA KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN Vol. VI No. 46/Juni/2011
resensi
Pustaka Populer Judul Buku: Membidik Pasar Indonesia Penulis: Rhenald Kasali Tebal: 646 halaman
B
Resensi: uku ini mengulas tentang apa dan bagaimana pasar Indonesia. Pasar makin tersegmen dan heterogen. Masing-masing segmen memiliki keinginan yang berbedabeda. Buku ini mencoba mendekati pasar dengan melakukan pola-pola segmentasi, targeting, dan positioning yang tepat, terarah, efisien, dan dapat dijangkau sehingga produk-produk yang dijual laku di Indonesia. Anda akan menemukan teknik-teknik baru segmentasi dan cara-cara melakukan positioning yang mudah, murah, dan tepat. Disusun oleh penulis yang kompeten dan ahli dalam bidangnya, Rhenald Kasali yang telah berupaya keras menyajikan buku ini dengan bahasa yang sederhana sehingga Anda mudah memahami. Buku ini layak dibaca untuk masyarakat Indonesia, terutama bagi praktisi pemasaran, periklanan, media, dan komunikasi bisnis serta mahasiswa. mk
Globalization: Governmental Accounting and International Financial Reporting Standards
A Multiplier Approach to Understanding the Macro Implications of Household Finance Yili Chien, Harold Cole, and Hanno Lustig (Review of Economic Studies, Oxford)
T
he paper examines the impact of heterogeneous trading technologies for households on asset prices and the distribution of wealth. They distinguish between passive traders who hold fixed portfolios of stocks and bonds, and active traders who adjust their portfolios to changes in expected returns. To solve the model, they derive an optimal consumption sharing rule that does not depend on the trading technology, and they derive an aggregation result for state prices. This allows us to solve for equilibrium prices and allocations without having to search for market clearing prices in each asset market separately. They show that the fraction of total wealth held by active traders, not the fraction held by all participants, is critical for asset prices because only these traders respond to variation in state prices and hence absorb the residual aggregate risk created by non-participants. They calibrate the heterogeneity in trading technologies to match the equity premium and the risk-free rate. The calibrated model reproduces the skewness and kurtosis of the wealth distribution in the data. In contrast to existing asset pricing models with heterogeneous agents, their model matches the high volatility of returns and the low volatility of the risk-free rate. mk
Adverse Selection and Convertible Bonds
Alan Robb and Susan Newberry (Socio-Economic Review, Oxford)
F
rom the early 1990s, Australia and New Zealand pioneered the application of business-style accounting practices to all government activities. Today these business-style practices are advocated for governments around the world, either via International Financial Reporting Standards or via the similar International Public Sector Accounting Standards (IPSAS). Although accounting might seem purely technical, its practices can carry with them significant constitutional and political (social) implications. Business-style accounting was not devised for governments and is not suited to provide the essential constitutional safeguards or to fulfil governments’ public accountability obligations. These points are illustrated using evidence from New Zealand before explaining that today’s IPSAS developments were led initially from New Zealand. This article urges those in other countries to consider constitutional and political implications before proceeding with this development. mk
MEDIA KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN Vol. VI No. 46/Juni/2011
Archishman Chakraborty and Bilge Yilmaz (Review of Economic Studies, Oxford)
I
nformational asymmetries between a firm and investors may lead to adverse selection in capital markets. This paper demonstrates that when the market obtains noisy information about a firm over time, this adverse selection problem can be costlessly solved by issuing callable convertible bonds with restrictive call provisions. Such securities can be designed to make the payoff to new claimholders independent of the private information of the manager. This eliminates the possibility of any dilution of equity or underinvestment and implements the symmetric information outcome in either a pooling or a separating equilibrium. The same first-best efficient outcome can also be implemented by issuing floating-price and mandatory convertibles. mk
Buku dan jurnal tersebut dapat diperoleh di Perpustakaan Kementerian Keuangan, atau dapat dilihat melalui perpustakaan online. www.perpustakaan.depkeu.go.id
celengan
Muhammad Farhan Dukung Perkembangan Dunia Pendidikan Indonesia Pemerintah telah memutuskan untuk mengalokasikan 20 persen anggaran pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahunnya untuk sektor pendidikan. Keputusan tersebut merupakan bentuk tanggung jawab pemerintah dalam memajukan dunia pendidikan serta menghormati keputusan Majelis Konstitusi tentang alokasi pendidikan minimal 20 persen dari nilai APBN. Sebagai masyarakat yang peduli dunia pendidikan, Presenter Muhammad Farhan memercayakan jumlah alokasi dana tersebut kepada pemerintah.
K
epercayaan Farhan terhadap Pemerintah tersebut, disusul harapan agar pengalokasian anggaran pendidikan itu betul-betul dipergunakan sebaik-baiknya. Bagi pria kelahiran Bogor, 20 Februari 1970 tersebut, saat ini Indonesia memiliki kualitas pendidikan yang bagus. Betapa tidak, pendidikan dasar hingga perguruan tinggi di Indonesia tersedia dalam taraf internasional. “Dari Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi bertaraf internasional ada semua di Indonesia. Dan menghasilkan lulusan terbaik,” tukasnya saat ditemui Media Keuangan beberapa waktu lalu. Menurut pria yang peduli pada autisme ini, kemajuan dunia pendidikan tak terlepas dari kesejahteraan para pendidiknya, yaitu seorang guru. “Saya kira, hal pertama yang harus dilakukan adalah bagaimana menjadikan dunia pendidikan sebagai sebuah sektor yang tidak hanya menciptakan masa depan bagi yang dididik, tetapi juga para pendidik,” ungkapnya. Dengan demikian, lanjut Farhan, Indonesia memiliki guru yang berkualitas untuk berbagai kalangan. Apabila hal tersebut terwujud, Farhan meyakini bahwa masyarakat dikalangan bawah akan lebih rela membelanjakan uangnya untuk pendidikan anak. “Ingat loh, 40 persen konsumsi orang yang pendapatannya 2 dolar perhari di Indonesia itu untuk dua hal, pulsa dan rokok. Dan 60 persennya untuk makan, tempat tinggal dan sekolah,” gumam Farhan. Situasi miris tersebut ditanggapi Farhan dengan memberi pemahaman dan pengertian bagi orang tua mengenai betapa pentingnya pendidikan bagi masa depan anak. “Apabila saya mengatakan kepada orang-orang yang kurang mampu bahwa
sumber foto: internet
anaknya akan saya sekolahkan, kebanyakan mereka tidak memberikan. Untuk itulah perlu ada pemahaman dan nilai tambah, serta pelatihan bagi anak agar setelah mereka bersekolah, mereka memiliki kemampuan untuk bekerja,” paparnya. Dengan adanya alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN tersebut, Farhan berharap, agar pendidikan berkualitas tidak hanya dapat dirasakan untuk orang-orang yang berpendapatan tinggi, namun juga bagi masyarakat yang berpenghasilan di bawah garis kemiskinan. Selain itu, Farhan berpendapat agar program beasiswa di Indonesia dapat terus berjalan dan ditujukan bagi sumber daya yang berprestasi, namun tidak memiliki biaya untuk melanjutkan pendidikannya. “Yang penting adalah, alokasi anggaran tersebut juga dapat menyentuh anak-anak pelosok yang jauh dari ibukota dan sekolah,” pungkasnya. mk
MEDIA KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN Vol. VI No. 46/Juni/2011
MEDIA KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN Vol. VI No. 46/Juni/2011