DARI REDAKSI
MEA: DUA SISI MATA UANG
ASEAN Economic Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tidak hanya membuka arus perdagangan barang atau jasa, tetapi juga pasar tenaga kerja profesional, termasuk insinyur.
Laporan riset mutakhir dari ILO merinci bahwa pembukaan pasar tenaga kerja akan menciptakan manfaat besar, seperti peningkatan permintaan tenaga kerja profesional sebesar 41%, tenaga kerja kelas menengah sebesar 22%, dan tenaga kerja rendah sebesar 24%. Namun laporan tersebut juga memprediksi bahwa banyak perusahaan akan menemukan bahwa tenaga kerjanya kurang trampil, dengan persaingan yang semakin kompetitif. Berbagai organisasi profesi menyatakan optimismenya dalam menghadapi MEA ini. Salah satunya adalah Persatuan Advokat Indonesia. Melalui ketuanya, organisasi ini menyatakan bahwa pengacara Indonesia sudah mampu bersaing dengan pengacara dari luar negeri. Bahkan, penggunaan jasa pengacara asing, saat ini, cenderung menurun. Presiden Joko Widodo, dalam sebuah kesempatan, menyatakan bahwa Indonesia tidak perlu khawatir dengan diberlakukannya MEA. Negara dengan populasi terbesar di ASEAN ini mempunyai banyak keunggulan dibandingkan dengan negara lainnya. Suara senada juga banyak diungkapkan oleh berbagai kalangan. Namun, di tengah optimisme ini, muncul juga suara-suara yang menyatakan kekhawatiran berlakunya MEA. Adhi S. Lukman, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman
Seluruh Indonesia (Gapmmi) menyatakan kekhawatirannya ketika produk makanan dan minuman Indonesia harus bersaing dengan produk dari Thailand yang unggul dari segi kualitas, harga dan kemasan. Ia memprediksi produk Indonesia akan kalah bersaing. Kekhawatiran serupa juga diutarakan oleh Tarko Sunaryo, Ketua Institut Akuntan Publik Indonesia, yang menilai kesiapan akuntan Indonesia menghadapi persaingan dengan akuntan asing, masih rendah. Terutama kesiapan mental dan bahasa. Lalu, bagaimana dengan insinyur Indonesia? Siapkah? Kuantitas dan kualitas? Apa saja upaya yang telah dilakukan? Engineer Weekly kali ini akan menyoroti berbagai persoalan tentang MEA, sekaligus menjawab berbagai pertanyaan di atas dengan menyajikan beberapa artikel dan infografis yang akan memerkaya pemahaman kita tentang pasar tunggal di kawasan di Asia Tenggara ini, terutama dari sudut pandang insinyur dan keinsinyuran. Harapannya, tentu saja, para insinyur Indonesia dapat berperan aktif dalam pembangunan di Indonesia dan mampu bersaing dengan insinyur dari negara-negara ASEAN lainnya.
MEA bagaikan dua sisi mata uang. Di satu sisi terdapat peluang, sisi lainnya adalah tantangan. Mampukah kita, para insinyur, memanfaatkan kedua sisi tersebut? Permainan sudah dimulai. Bola di tangan kita.
Aries R. Prima Pemimpin Redaksi
1
Memasuki MEA, Masyarakat Ekonomi ASEAN Ir. Rudianto Handojo, IPM Direktur Eksekutif PII
31 Desember 2015 sudah lebih dari satu bulan kita lalui. Bukan sekadar kenangan malam tahun baru. Untuk keinsinyuran, kita berada dalam pelaksanaan atas kesepakatan ASEAN MRA-Mutual Recognition Arrangement on Engineering Services, yang telah ditandatangani bersama pada tanggal 9 Desember 2005. Kita sudah dalam satu masyarakat ekonomi ASEAN. Insinyur adalah salah satu dari 8 profesi yang dinyatakan terbuka. 7 profesi lainnya adalah arsitek, dokter, dokter gigi, perawat, akuntan, tenaga pariwisata dan surveyor. Sebelumnya, pada akhir tahun 2014 pemerintah telah mencanangkan pembangunan infrastruktur di 12 sektor sepanjang tahun 2015-2019 senilai Rp 5.519 triliun. Pada saat yang bersamaan, diperoleh informasi bahwa para insinyur di Filipina dan Thailand tekun mengikuti kursus bahasa Indonesia. Artinya mereka tertarik dan siap masuk ke Indonesia. Tentu mereka paham bahwa yang bisa berlintas batas hanya para Professional Engineer (PE) yang sudah terdaftar sebagai ACPE-R (ASEAN Charter Professional Enginer - Registered).
Kini kita memiliki penyandang IP (Insinyur Profesional) 9.000 orang. Namun IP-Madya (IPM) yang diakui setara internasional hanya sekitar 2.000. Dari Indonesia yang terdaftar ACPE-R berjumlah 569 insinyur. Namun para penyandang IPM dari PII hanya 80. Lainnya adalah pendaftar dari berbagai asosiasi profesi yang memiliki Sertifikat Keahlian (SKA) dari LPJKN. Berdasar data yang diperoleh saat CAFEO di akhir 2013, jumlah PE dari negara ASEAN berkisar dari yang terbanyak yaitu Thailand dengan 23.000 PE, Philipina 14.250 PE, Malaysia 11.170 PE, serta
Singapura 3.490 PE. Mereka sesewaktu, begitu menjadi bagian dari investor asing infrastruktur, dapat saja mendaftar sebagai ACPE-R. Jumlah PE (IPM) kita yang 2.000 jelas sedikit. Ini mungkin karena pekerjaan yang tidak memerlukan ACPE-R dirasakan masih banyak. Kekurangan jumlah insinyur yang beberapa kali dilontarkan, sedikit banyak meredam upaya ber-MEA. Padahal berapapun ACPE-R yang masuk, mereka harus didampingi pendaftar ACPE-R nasional. Pekerjaan infrastruktur bukan melulu jasa konstruksi. Bahkan sekitar 70% biaya untuk pasokan industri pendukung. SKA LPJK diperlukan untuk jasa konstruksi. Untuk industri juga diperlukan dan pasti bukan melalui LPJK. Untuk itu kita perlu fokus agar PII dapat menjadi media pelaksana pendaftaran ACPE-R untuk bukan jasa konstruksi. Bukankah klasifikasi jasa keinsinyuran CPC 8672 meliputi juga kode 86725, mengenai Layanan rekayasa perancangan untuk proses dan produksi industri? Lagipula Sistem Insinyur Profesional PII telah diakui setara di ASEAN sejak tahun 1997.
MEA adalah satu hal. Ada hal yang lain yaitu APEC. Apalagi mungkin akan ada TPP (Trans Pacific Partnership). Semua bermakna kerja sama untuk mengatasi hambatan dan tarif perdagangan. Semua diharapkan berpotensi untuk meningkatkan jumlah ekspor komoditas dan produk industri kita. Tapi bukan mustahil tukarannya adalah masuknya berbagai negara dalam sektor jasa kita, termasuk jasa keinsinyuran seperti yang telah berlangsung di MEA. Jadi diperlukan banyak insinyur, utamanya, penyandang IPM. Semoga anda akan menjadi bagian dari penyandang IPM.
2
MEA dan Insinyur Ir. Istanto Oerip Persatuan Insinyur Indonesia Meskipun pertama kali Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) disepakati oleh Pemerintah negara anggota ASEAN pada tahun 2003 di Bali, namun para pelaku usaha, termasuk para insinyur, sampai kini masih belum semuanya memahami apa sebenar kesepakatan MEA dan apa manfaat serta ancaman terhadap kehidupan profesinya. Tidak semua Insinyur menerima informasi bahwa dalam rangka memfasilitasi pergerakan SDM Insinyur lintas batas di ASEAN pada tahun 2005 telah ditandatangani kesepakatan ASEAN Mutual Recognition Arrangement (MRA) on Engineering Services, yaitu suatu kesepakatan mengenai bagaimana insinyur berwarganegara ASEAN menjadi ASEAN Chartered Professional Engineer (ACPE) sehingga dapat berkarya lintas batas negara di lingkungan ASEAN. Sudah sepuluh tahun ASEAN MRA berjalan, namun insinyur Indonesia, negara dengan populasi terbesar di ASEAN, yang telah memiliki kualifikasi ACPE masih di bawah 500 orang dari 250 juta penduduk. Masih jauh dari kebutuhan nyata untuk mampu mengelola secara baik program pembangunan nasional. Undang-Undang No. 11 tahun 2014 tentang Keinsinyuran telah diterbitkan oleh DPR bersama Pemerintah pada bulan Februari 2014. Tujuan UU tersebut jelas, yaitu (1) menjadikan keinsinyuran Indonesia berjaya, mandiri, dan berdaya saing global dan (2) insinyur Indonesia menjadi pemimpin dalam membangun republik tercinta ini karena memiliki kompetensi handal. Think Locally Act Globally. Perangkat peraturan pelaksanaan UU ini perlu segera dilengkapi, sehingga insinyur Indonesia bisa menjalankan perannya dalam menghadapi tantangan dan memanfaatkan kesempatan untuk menjadi pionir dalam
mengembangkan inovasi, dan menjadi agen pembaharu agar Indonesia mampu melepas diri dari Middle Income Trap. MEA mensyaratkan penghapusan aturan yang sebelumnya menghalangi perekrutan tenaga kerja asing, terutama tenaga kerja profesional, sehingga MEA akan lebih membuka peluang tenaga kerja asing untuk mengisi berbagai jabatan serta profesi di Indonesia yang tertutup bagi tenaga asing. Pertanyaannya apakah Insinyur Indonesia bisa bersaing dengan insinyur negara Asia Tenggara lain? PII cukup optimistis bahwa insinyur Indonesia mampu mengatasi persaingan, meskipun untuk itu PII masih perlu meningkatkan aliansi sinergik dengan seluruh pemangku kepentingan melaksanakan amanah UU. Salah satu butir amanah penting UU Keinsinyuran yaitu remunerasi. PII bersama Pemerintah harus mampu memperbaiki sistem pemberian remunerasi bagi insinyur Indonesia. Apresiasi Pemerintah dan masyarakat yang dimanifestasikan dengan remunerasi insinyur Indonesia, yang rendah dibandingkan dengan insinyur asing, menjadi penyebab beralihnya para insinyur kepada praktek bisnis non-keinsinyuran, dan ini pula yang menyebabkan anjloknya minat anak-anak bangsa untuk melanjutkan studi ke program studi (prodi) keinsinyuran, dan yang pada akhirnya Indonesia akan kekurangan tenaga insinyur dan, kekurangan ini, pasti akan diisi oleh insinyur asing. Kalau ini yang terjadi, alih-alih Indonesia akan menyerbu ASEAN dengan insinyur kompetensi globalnya dalam pasar MEA, malah menjadi warga negara kelas dua dalam masyarakat insinyur ASEAN. Semoga ini tidak terjadi. Selamat berjuang insinyur Indonesia.
3
Masyarakat Ekonomi ASEAN di Mata Insinyur ASEAN:
Kuncinya adalah Sertifikasi ASEAN Chartered Professional Engineer (ACPE) Ir. Habibie Razak
Profesi Insinyur adalah salah satu dari 8 profesi yang terkena dampak dari dibukanya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di awal tahun 2016 lalu, yang tertuang dalam Mutual Recognition Arrangements (MRA) sektor jasa keinsinyuran. Tujuan pertama dari MRA ini adalah memfasilitasi pergerakan jasa keinsinyuran professional serta sebagai sarana bertukar informasi dalam rangka mengupayakan adopsi pelaksanaan praktik terbaik pada standar dan kualifikasi keinsinyuran. Kedua, di dalam MRA ini, terdapat pendefinisian tentang apa saja yang diatur di dalam sektor jasa keinsinyuran, sehingga perlu menyeragamkan standar, ukuran, dan regulasi yang berbeda-beda di negara-negara ASEAN agar mempunyai satu ukuran yang konsisten, serta mempunyai metode dan spesialisasi yang secara bersama diterima dan bisa diterapkan oleh negaranegara ASEAN. Salah satu produk MRA untuk sektor jasa keinsinyuran ini adalah Sertifikasi ASEAN Chartered Professional Engineer (ACPE). Sertifikasi ACPE ini memberikan mobilitas yang lebih tinggi kepada para Insinyur di negara ASEAN untuk bisa bekerja di negara tetangga dengan mendapatkan pengakuan berupa kesamaan standar kompensasi dan benefit. Menurut ACPE - Coordinating Committee, mereka para pemegang sertifikasi ACPE sudah bisa memimpin tim proyek lintas negara ASEAN, baik sebagai project manager dan, bahkan, hingga tingkat project director. Syarat-syarat yang wajib dipenuhi oleh Insinyur Indonesia dan Insinyur di negara-negara ASEAN untuk bias memeroleh sertifikasi ACPE ini, antara lain, Insinyur harus mendapatkan sertifikasi Insinyur Profesional setara Madya (IPM) dari institusi profesi keinsinyuran yang diakui oleh ASEAN, dalam hal ini di bawah payung ASEAN Federation of Engineering Organization (AFEO). Syarat kedua, yakni mengisi Formulir Aplikasi ACPE yang isiannya terdiri dari surat pernyataan bahwa
Insinyur tersebut memiliki pengalaman minimum 7 tahun di bidang keinsinyuran dan di dalamnya termasuk pengalaman ekstensif minimum 2 tahun mengelola suatu proyek di mana dia memegang peranan penting seperti project manager atau pun project director. Era Masyarakat Ekonomi ASEAN ini membutuhkan perhatian besar dari pemerintah kepada para Insinyur Indonesia untuk memersiapkan diri menghadapi liberalisasi keinsinyuran. Upaya-upaya yang harus terus dilakukan oleh pemerintah antara lain: (1) Menambah jumlah Perguruan Tinggi berbasis keteknikan seperti Institut Teknologi. Sebaran perguruan tinggi berbasis keinsinyuran dan teknologi ini diharapkan tidak tersentralisasi lagi di Pulau Jawa, sisi pembangunan kawasan Timur Indonesia diharapkan mendapatkan perhatian yang lebih besar lagi sehingga terjadi distribusi insinyur yang merata yang bekerja di seluruh Indonesia. (2) Sosialisasi UU No. 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran harus terus dilanjutkan dan segera mengesahkan produk hukum turunannya, antara lain keputusan presiden dan peraturan pemerintah untuk bisa lebih memerkuat posisi Insinyur Indonesia. (3) Kebijakan pemerintah untuk tidak berorientasi pada penjualan hasil mentah atas sumberdaya alam yang diperoleh dari bumi Indonesia dengan tujuan menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih besar bagi para Insinyur Indonesia yang diharapkan menjadi pelaku utama pengembangan industri hulu, antara, dan hilir, sehingga mereka memiliki pengetahuan dan pengalaman yang mumpuni dan diharapkan bisa lebih terberdayakan di negaranya sendiri. (4) Profesi insinyur memerlukan insentif dari pemerintah terutama kepada para insinyur yang telah memeroleh sertifikat ASEAN. Sebab jika tidak ada penghargaan lebih atau insentif dari pemerintah, maka dorongan bagi insinyur untuk mengambil sertifikasi ASEAN tidak akan terwujud.
4
Pertanyaan besar buat kita, para Insinyur Indonesia, akankah mereka para Insinyur dari negara tetangga berbondong-bondong masuk ke tanah air atau justru Insinyur kita yang sudah tersertifikasi ASEAN yang akan mengisi posisi-posisi strategis proyek-proyek infrastruktur publik, pembangkit listrik, minyak dan gas di Asia Tenggara? Sebutlah, Myanmar yang saat ini sedang haus akan tenaga ahli profesional, termasuk Insinyur, untuk membangun negeri mereka yang kaya akan sumber alam, mulai dari
minyak dan gas alam, komoditas tambang dan sumber alam lainnya. Secara pribadi, saya akan dengan senang hati mencoba tantangan bekerja di Myanmar atau negara-negara berkembang lainnya dan merasakan kompensasi dan benefit yang lebih bagus dibandingkan bekerja di negeri sendiri. Mungkin seperti itulah salah satu benefit bekerja di dunia keinsinyuran dengan bekal Insinyur Profesional teregistrasi ASEAN.
MEA: ANCAMAN LAIN BAGI INDONESIA Aries R. Prima – Engineer Weekly Kekhawatiran sebagian besar warga Indonesia terhadap liberalisasi arus tenaga kerja di kawasan ASEAN adalah membanjirnya tenaga kerja asing yang menggeser peran tenaga kerja lokal di Indonesia. Tenaga kerja Indonesia, akhirnya, hanya akan mengisi posisi yang tidak diminati tenaga kerja asing. Bahkan, lebih jauh, bisa menjadi „penonton‟ di negeri sendiri. Namun, benarkah hanya ancaman ini saja yang akan dihadapi Indonesia?
terbaik, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand akan menjadi „magnet‟ yang luar biasa kuat untuk menarik tenaga kerja terbaik, termasuk para insinyur, di kawasan ASEAN. Ini juga akan menjadi ancaman nyata untuk Indonesia.
Gaji Rendah Tingkat remunerasi atau gaji rendah yang diterima para insinyur, kerap dituding sebagai biang keladi rendahnya minat generasi muda untuk meneruskan Dengan kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN pendidikan di bidang teknik atau keinsinyuran, (MEA) yang telah berlaku sejak 31 Desember 2015, bahkan banyak menyebabkan sarjana teknik tidak setiap negara ASEAN telah memersiapkan diri berminat bekerja atau berkarir di bidang melalui berbagai kebijakan dan peraturan untuk keinsinyuran. Menurut data Persatuan Insinyur melindungi tenaga kerjanya, sekaligus juga „menarik‟ Indonesia (PII), saat ini, dari 700.000 sarjana teknik tenaga kerja asing dengan kualifikasi terbaik yang di Indonesia, sebagian besar tidak berkarir di bidang dibutuhkan untuk membangun negerinya. keinsinyuran. Mereka memilih profesi lain yang memberikan tingkat penghasilan yang lebih besar. Negara-negara ASEAN dengan tingkat remunerasi
5
PII juga menyebutkan bahwa untuk menyokong industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, Indonesia masih harus menambah 1,5 juta insinyur. Ini menjadi tugas yang berat bagi perguruan tinggi dan PII, karena pertumbuhan sarjana teknik di negara dengan populasi terbesar di ASEAN ini hanya sekitar 162 per satu juta penduduk tiap tahunnya. Bandingkan dengan Malaysia yang memiliki tingkat pertumbuhan 350 sarjana teknik per satu juta penduduk tiap tahunnya. Tingkat pertumbuhan ini, bahkan lebih rendah dari Thailand dan Vietnam. Belum lagi insinyur yang teregistrasi ASEAN (ASEAN Chartered Professional Engineer). Indonesia paling minim, hanya 149 orang. Di bawah Malaysia (763 insinyur), Filipina (283 insinyur), Kamboja (261 insinyur), dan Myanmar (170 insinyur). Di era MEA ini, tidak tertutup kemungkinan, insinyur-insinyur terbaik dari Indonesia akan bekerja di negara ASEAN lainnya, terutama di negara-negara yang memberikan remunerasi atau fasilitas terbaik. Jumlah insinyur Indonesia yang bekerja di Indonesia akan semakin sedikit. Itupun hanya tinggal insinyur „kelas 2‟. Begitupun dengan insinyur asing yang bekerja di Indonesia. Era perebutan insinyur terbaik pun dimulai.
Petronas, perusahaan minyak negeri jiran, sudah memersiapkan secara matang perekrutan insinyur terbaik dari Indonesia. Salah satunya adalah dengan menawarkan gaji yang jauh lebih tinggi dari standar gaji perusahaan minyak nasional. “Petronas mau menggaji insinyur Indonesia hingga 500 juta rupiah per bulan. Pertamina tidak. Padahal Pertamina lebih besar dari Petronas,” ujar Ilen Kardania, alumni ITB, yang saat ini bekerja di Halliburton Malaysia. Ia juga menambahkan bahwa insinyur Indonesia adalah penggerak inti kemajuan Petronas selama ini. “Orang-orang (insinyur) terbaik di Indonesia diambil oleh mereka dan ditugaskan menggarap proyek dan berhasil,” pungkasnya.
Jika ingin mengambil manfaat optimal dari MEA, kiranya Indonesia harus memerbaiki sistem remunerasi yang diterima oleh para insinyur, sehingga insinyur-insinyur terbaik dari Indonesia dan negara ASEAN lainnya yang dibutuhkan, dapat bersama membangun Indonesia. Lebih jauh, penghargaan yang baik untuk profesi insinyur akan menarik minat generasi muda Indonesia untuk melanjutkan pendidikan dan berkarya di bidang keinsinyuran.
6