UU Minerba: Perubahan Krusial, Aneka Pertanyaan Oleh: Robert Endi Jaweng Manajer Hubungan Eksternal KPPOD Selama lebih dari empat dasawarsa, kerangka regulasi dan kebijakan pertambangan umum di negeri ini diatur berdasarkan UU No.11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. Melewati rangkaian pembahasan yang alot sejak Juni 2005, pada tanggal 16 Desember 2008 lalu DPR dan Pemerintah akhirnya menyetujui perubahannya yang diikuti pengesahan oleh Presiden tanggal 12 Januri 2009: UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Melihat jumlah klausul pengaturan maupun muatan substansinya, produk legislasi yang populer dikenal sebagai UU Minerba ini jelas terhitung kompleks. Aneka isu krusial terkandung dalam 175 pasal yang ada. KPPOD Brief pada edisi ini hendak meninjau secara umum substansi perubahan yang ada, dengan tambahan perhatian khusus pada sudut tinjauan desentralisasi. I. Haluan Baru UU No.4/2009: menggelar perubahan, menyisakan pertanyaan. Dinamika lingkungan yang berubah, termasuk diterapkannya otonomi daerah, merupakan konteks yang melatari lahirnya sejumlah artikel perubahan dalam UU Minerba yang baru. UU No.11/1967 sulit terus dipertahankan sebagai kerangka dasar kebijakan pertambangan, yang terbukti sering dilanggar baik pada substansi yuridis maupun di ranah pelaksanaannya. Guna memudahkan perbandingan kedua UU yang ada dan melihat sisi perubahan yang terkandung dalam UU baru, berikut ditampilkan sari kutipannya.
Tabel 1: Perbandingan UU No.11/1967 dan UU No.4/2009 Materi Pokok
UU No.11 Tahun 1967
UU No.4 Tahun 2009
1. Judul
Ketentuan2 Pokok Pertambangan
Pertambangan Mineral dan Batubara
2. Prinsip Hak Penguasaan Negara (HPN)
Penguasaan bahan galian diselenggarakan Negara (psl. 1)
● Penguasaan minerba oleh Negara, diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau Pemda (psl.4) ● Pemerintah dan DPR menetapkan kebijakan pengutamaan minerba bagi kepentingan nasional (psl.5)
3. Penggolongan/ Pengelompokan
Penggolongan bahan galian: strategis, vital, non strategis-non vital (psl.3)
● Pengelompokan usaha pertambangan: mineral dan batubara ● Penggolongan tambang mineral: radioaktif, logam, bukan logam, batuan (psl.34)
4. Kewenangan Pengelolaan
● Bahan galian strategis (gol.A) dan vital (gol.B) oleh Pemerintah ● Bahan galian non strategis-non vital oleh Pemda I/Propinsi (psl.4)
● 21 kewenangan berada di tangan pusat ● 14 kewenangan berada di tangan propinsi ● 12 kewenangan berada di tangan kabupaten/kota (psl. 6-8)
5. Wilayah Pertambangan
Secara terinci tidak diatur, kecuali bahwa usaha pertambangan tidak berlokasi di tempat suci, kuburan, bangunan, dll (psl.16 ayat 3)
● Wilayah pertambangan adalah bagian dari tata ruang nasional, ditetapkan pemerintah setelah koordinasi dgn Pemda dan konsultasi dgn DPR (psl.10) ● Wilayah pertambangan tdd: wilayah usaha pertambangan/WUP, wilayah pertambangan rakyat/WPR dan wilayah pencadangan nasional/ WPN (psl.14-33)
6. Legalitas Usaha
Rezim kontrak (psl.10,15), berupa: ● Kontrak karya/KK ● Kuasa pertambangan/KP ● Surat ijin pertambangan daerah/SIPD ● Surat ijin pertambangan rakyat/SIPR
Rezim perijinan (psl. 35), berupa: ● Ijin usaha pertambangan/IUP ● Ijin pertambangan rakyat/IPR ● Ijin usaha pertambangan khusus/IUPK
7. Tahapan Usaha
Enam tahapan, berkonsekuensi pada adanya 6 jenis kuasa pertambangan: penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan & pemurnian, pengangkutan, penjualan (psl.14)
Dua tahapan, berkonsekuensi pada adanya 2 tingkatan perijinan: ● Eksplorasi, meliputi: penyeldikan umum, eskplorasi, studi kelayakan. ● Operasi produksi, meliputi: konstruksi, penambangan, pengolahan & pemurnian, pengangkutan & penjualan (psl.36)
8. Klasifikasi Investor & Jenis Legalitas Usaha
● Investor domestik (PMDN), berupa: KP, SIPD, PKP2B ● Investor asing (PMA), berupa: KK, PKP2B
● IUP bagi badan usaha (PMA/PMDN), koperasi, perseorangan (psl.38) ● IPR bagi penduduk lokal, koperasi (psl.67) ● IUPK bagi badan usaha berbadan hukum Indonesia, dengan prioritas bagi BUMN/D (psl.75)
2
9. Kewajiban Pelaku Usaha
● Kewajiban keuangan bagi negara h KP sesuai aturan berlaku: iuran tetap & royalti (merujuk PP No.45/2003 ttg PNBP DESDM) h KK/PKP2B sesuai kontrak, yakni KK: iuran tetap & royalti, PKP2B: iuran tetap & DHPB (merujuk Keppres No.75/1996 ttg Ketentuan PKP2B) ● Minimalnya bahkan tak diaturnya kewajiban soal lingkungan, kemitraan dgn pelaku usaha lokal, pemanfaatan tenaga kerja setempat, program pengembangan masyarakat
● Kewajiban keuangan bagi negara: pajak dan PNBP. Tambahan utk IUPK: pembayaran 10% keuntungan bersih. ● Pemeliharaan lingkungan: konservasi, reklamasi (psl.96-100). ● Kepentingan nasional: pengolahan dan pemurnian di dalam negeri (psl.103-104) ● Pemanfaatan tenaga kerja setempat, partisipasi pengusaha lokal pada tahap produksi, program pegembangan masyarakat (psl.106-108) ● Penggunaan perusahan jasa pertam-bangan lokal dan/atau nasional (psl.124)
10. Pembinaan & Pengawasan
Pengawasan terpusat di tangan pemerintah atas pemegang KK, KP, PKP2B
● Pusat: terhadap propinsi dan kab/kota terkait penyelenggaraan pengelolaan pertambangan dilakukan oleh pusat ● Pusat, propinsi, kab/kota sesuai kewenangan: terhadap pemegang IUP dilakukan ● Kab/kota: terhadap IPR (psl.139-142)
11. Ketentuan Peralihan (terkait status hukum investasi existing)
Psl 35: semua hak pertambangan dan KP perusahaan Negara, swasta, badan lain atau perseorangan berdasarkan peraturan yang ada sebelum saat berlakunya UU ini, tetap dijalankan sampai sejauh masa berlakunya, kecuali ada penetapan lain menurut PP yang dikeluarkan berdasarkan UU ini.
Psl. 169: pada saat UU ini mulai berlaku ● a. KK dan PKP2B yang telah ada sebelum berlakunya UU ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian. ● b. Ketentuan yang tercantum dalam pasal KK dan PKP2B dimaksud disesuaikan selambatlambatnya 1 tahun sejak UU ini diundangkan, kecuali mengenai penerimaan negara.
Dari sejumlah substansi perubahan di atas, tampak bahwa UU No.04/2009 berusaha menggariskan arah baru kebijakan pertambangan yang mengakomodir prinsip kepentingan nasional (national interest), kemanfaatan untuk masyarakat, jaminan berusaha, desentralisasi pengelolaan, dan good mining practices. Dari sejumlah prinsip ini, dalam terjemahannya di tingkat konstruksi pasal-pasal terdapat beberapa point maju, meski disertai cukup banyaknya pula klausul yang masih membutuhkan klarifikasi.
Implikasi hukum perubahan rezim dalam UU yang baru ini mengembalikan asas HPN pada posisi pas secara ketatanegaraan, seperti terlihat dalam matriks berikut.
Menguatnya hak penguasaan Negara (HPN), termasuk penguasaan SDA. Pemerintah menyelenggarakan asas tersebut lewat kewenangan mengatur, mengurus, mengawas pengelolaan usaha tambang. Untuk itu, dimulai dengan perubahan rezim kontrak menjadi rezim perijinan. Dalam rezim kontrak, sebagaimana diterapkan selama ini, posisi pemerintah tidak saja mendua sebagai regulator dan pihak berkontrak, tetapi secara mendasar juga merendahkan posisi negara selevel kontraktor. 3
Tabel 2: Perbandingan Rezim Perijinan & Rezim Kontrak Subyek
Rezim Perijinan
Rezim Kontrak/Perjanjian
Hubungan hukum
Bersifat perdata
Penerapan hukum
Bersifat publik, instrumen hukum administrasi negara Oleh pemerintah
Pilihan hukum
Tidak berlaku pilihan hukum
Berlaku pilihan hukum
Akibat hukum
Sepihak
Kesepakatan dua belah pihak
Penyelesaian sengketa
PTUN
Arbitrase
Kepastian hukum
Lebih terjamin
Kesepakatan dua pihak
Hak dan kewajiban
Hak/kewajiban Pemerintah lebih besar Peraturan perundang-undangan
Hak/kewajiban relatif setara antar pihak Kontrak/perjanjian itu sendiri
Sumber hukum
Wilayah pertambangan (WP) menjadi dasar kebijakan perijinan. Pemerintah setelah koordinasi dengan Pemda dan konsultasi dengan DPR menetapkan WP dan klasifikasi WUP, WPN dan WPR. Semua perijinan disesuaikan dengan perwilayahan dan peruntukannya, sehingga mengendalikan pemerintah dalam pemberian ijin dan meminimalisasi tumpang tindih antar-ijin pertambangan. Perwilayahan tersebut juga disinkronkan dengan tata ruang nasional agar menjamin kepastian berusaha tanpa dihantui lagi dengan perubahan fungsi wilayah yang ada menjadi kawasan konservasi, taman nasional, atau tumpang-tindih lahan hutan lindung. Dalam penyusunan WP ini, keberhasilan ditentukan efektivitas koordinasi horisontal, terutama dengan Departemen PU dan Departemen Kehutanan, maupun vertikal dengan pihak Pemda. Menyiapkan wilayah pencadangan nasional (WPN). Pemerintah bersama DPR menetapkan cadangan wilayah pertambangan sebagai kawasan khusus untuk tujuan-tujuan strategis. Kegunaanya adalah: peruntukan bagi generasi masa mendatang (konservasi lahan tambang) maupun fungsi berjaga-jaga untuk kepentingan nasional (memenuhi kebutuhan domestik yang mendesak) melalui instrumen usaha pertambangan khusus (IUPK). Terkait adanya ketentuan batas maksimal luasan wilayah usaha pertambangan, hemat saya kategori wilayah
Oleh kedua belah pihak
pencadangan ini juga bisa bersumber dari hasil penyesuaian atas WUP yang melebihi ukuran yang ditetapkan tersebut. Memperhitungkan kapasitas minerba nasional. Pemerintah setelah berkonsultasi dengan DPR menetapkan kebijakan pengendalian produksi. Laju produksi, termasuk di daerah, akan disesuaikan dengan kekuatan dan kebutuhan yang ada. Pengendalian tersebut diharapkan bisa mengerem pemberian ijin agar menjadi lebih terukur, tidak lagi sekedar mengejar peningkatan penerimaan negara (iuran, royalti, DHPB, dll) dari hasil pertambangan. Untuk itu, jelas urgen keberadaan sistem informasi akurat-terpadu mengenai neraca cadangan mineral dan batubara secara nasional. Arsitektur perijinan lebih sederhana dan transparan, namun juga problematik. Kalau sebelumnya, kita mengenal banyak jenis kuasa pertambangan seturut banyaknya tahapan usaha pertambangan, kini diringkas menjadi dua macam perijinan: ijin usaha eksplorasi dan operasi produksi. Ijin operasi produksi dijamin sebagai kelanjutan dari usaha eksplorasi, sejauh terpenuhinya persyaratan lingkungan (Amdal) dan studi kelayakan. Para pelaku usaha, baik domestik maupun asing, juga berkesempatan sama dalam memproses perijinan karena adanya mekanisme lelang terbuka atas wilayah usaha.
4
Masalah yang terkait dengan perijinan ini menyangkut jangka waktu berlaku dan batas luasan lahan yang diijinkan. Ijin usaha (IUP), misalnya. Jangka waktu pada tahapan eksplorasi antara 3-8 tahun (tanpa perpanjangan) dan pada tahapan produksi antara 5-20 tahun (bisa diperpanjang). Hal ini tak saja cenderung mengabaikan sifat long term dalam operasi industri pertambangan, tetapi juga jauh dari kurang jika mengacu pada jangka waktu hak usaha (HGU) dalam UU No.25/2007 yakni 95 tahun dengan diperpanjang di muka selama 60 tahun dan diperbarui selama 35 tahun (yang dalam putusan judicial review MK dikembalikan ke ketentuan UU No.5/1960, yakni 35 tahun dan dapat diperpanjang 25 tahun sehingga total 60 tahun). Permasalahan lain terkait batas luasan lahan. Mineral non-logam, misalnya, pemegang IUP eskplorasi mendapatkan WIUP maksimal 25 ribu Ha, sementara di tahapan produksi 5 ribu Ha. Sementara untuk batubara, pemegang IUP eskplorasi mendapatkan WIUP maksimal 50 ribu Ha, sementara di tahapan produksi 15 ribu Ha. Bagi daerah yang selama ini luasan KP-nya kecil (berkisar 1.000 Ha), batas minimum 5.000 tersebut jelas menjadi masalah. Ini sama masalahnya, namun terkait batas maksimal, bagi BUMN yang luas KP dan PKP2B-nya selama ini bisa menembus ratusan ribu Ha, atau PMA yang memiliki wilayah KK mencakup 3 propinsi (PT. Inco di Sulawesi). Bagaimana menyesuaikan berbagai kenyataan tersebut dengan ketentuan dalam UU baru ini, dan bila terjadi penyesuaian, ke mana (status kepemilikan) hasil potongan wilayah tersebut diberikan? Mewajibkan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Tak diragukan, Indonesia merupakan negara berlimpah sumber daya alam, termasuk mineral dan batubara. Namun industriindustri tambang kita masih sebatas industri tahap pemula: menambang dan menjual komoditi bahan
galian mentah (ore), konsentrat, dll. Amat sedikit yang beranjak ke tingkat lanjut (hilir): mengekstrak dan memurnikannya guna menghasilkan nilai tambah lebih, bahkan diikuti mata rantai ke manufaktur agar memberikan multiplier effects yang signifikan. Maka, negara ini hanya menjadi pemain pinggiran dalam rantai nilai pengolahan tambang di dunia, dan yang kita peroleh dari kekayaan alam itu lebih sebatas berupa royalti, iuran, pajak dan hasil sewa. Kewajiban ini pada gilirannya diharapkan pula bisa mengendalikan Pusat/Pemda untuk tak asal memberikan perijinan tanpa memperhitungkan kemampuan calon investor dalam fase pengolahan dan pemurnian nantinya-seperti membangun smelter/refinery. Dengan demikian, kebijakan perijinan harus bersifat terintegrasi dengan kebutuhan wajib pengolahan dan pemurnian. Di sisi lain, PR lanjutan yang perlu diatur dalam PP adalah ihwal level batasan pengolahan dimaksud dan jalan keluar bagi perusahaan yang tak memiliki kapasitas pengolahan, di mana keduanya amat dipengaruhi oleh fisibilitas suatu investasi pengolahan. Lalu juga soal menyikapi perusahaan yang sudah terikat kontrak jangka panjang pengiriman bahan tambang mentah dengan industri di luar negeri. Mengatur ulang fungsi jasa pertambangan (kontraktor). Rasionalisasi fungsi jasa pertambangan yang lebih pada peran konsultasi, perencanaan, pelaksanaan dan pengujian, namun tidak lagi pekerjaan operasional seperti eksploitasi dan penambangan diharapkan bisa menghindarkan praktik sleeping owners (IUP kertas), di mana pemegang ijin hanya mengurus eskplorasi dan pemasaran, sementara kegiatan inti diserahkan kepada jasa bantuan. Melihat fakta: sebagian terbesar fungsi eksploitasi dan pengolahan justru dikerjakan jasa pertambangan, ketentuan ini pasti menyulitkan perusahaan domestik yang masih lemah kapasitas. Dibutuhkan pula pengawasan kuat pemerintah agar tidak terjadi manipulasi di 5
lapangan. Selain itu, ketakjelasan yang perlu diklarifikasi lebih lanjut (dalam PP) adalah klausul larangan (kecuali seijin Menteri ESDM) penggunaan anak perusahaan/afiliasi. Ketentuan ini memang bisa menghindari praktik transfer pricing seperti praktik mark up harga produksi dari anak perusahaan dan “pengemplangan” pajak yang mempengaruhi penerimaan negara. Namun perlu diatur, misalnya, batas (besaran/prosentase) kepemilikan saham untuk dikategorikan sebagai perusahaan terafiliasi. Terkait batas kepemilikan saham ini juga adalah kewajiban jasa perusahaan tambang lokal/nasional. Jika mengacu definisi PMA dalam UU No.25/2007 bahwa perusahaan yang terdapat kepemilikan saham pihak asing disebut PMA maka akan banyak kontraktor/jasa pertambangan yang terancam “nganggur” karena adanya penyertaan modal asing, sementara perusahaan murni PMDN juga berkapasitas lemah. Status hukum KK & PKP2B exisiting dan fungsi aturan peralihan. Fungsi aturan peralihan adalah menjaga kekosongan hukum (rechtvacuum) dan menjamin kepastian hukum. Karena perbuatan hukum yang sudah ada tidak akan mengikuti hukum yang belum diadakan (non-retroactive), sementara peraturan hukum yang menjadi dasarnya pun sudah dinyatakan tak berlaku lagi maka di sanalah relevansi keberadan antar peralihan. Dalam dasar pandang itu, hemat saya bunyi psl.169 (a) benar adanya: “KK dan PKP2B yang telah ada sebelum berlakunya UU ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/ perjanjian”, dan karenanya harus ditolak bunyi huruf b: “Ketentuan yang tercantum dalam pasal KK dan PKP2B dimaksud disesuaikan selambat-lambatnya 1 tahun sejak UU ini diundangkan”. Masalah krusial dalam pasal ini sesungguhnya terkait dengan tidak diaturnya KP, SIPD dan SIPR existing, seperti halnya KK dan PKP2B. Bagaimana kemudian status hukumnya? Apakah
menggunakan teori analogi hukum bahwa status KP, SIPD dan SIPR diperlakukan sama dengan KK dan PKP2B, atau bahkan merevisi UU ini untuk ditambahkan KP pada psl.169 (a)? Atau mengikuti penafsiran pemerintah bahwa KP, SIPD dan SIPR otomatis dikonversi menjadi IUP, yang dari aspek prinsip berarti secara sim sala bim rezim kontrak berubah menjadi rezim perijinan dan dari aspek substansi memperlakukan isi klausul (seperti batas luas WP) dalam KP, SIPD dan SIPR sama dengan IUP? Apa pun alternatif yang dipilih, penyelesaian masalah ini tidak bisa diatur dalam tingkatan PP karena terdapatnya materi hukum baru di dalamnya. Divestasi. Pasal 112 UU Minerba menetapkan “setelah 5 tahun berproduksi, badan usaha pemegang IUP dan IUPK yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham pada Pemerintah, pemda, BUMN/D, atau badan usaha swasta nasional”. Klausul ini kontroversial karena dianggap sebagai nasionalisasi halus (silent take over), sesuatu yang tak sejalan dengan UU No.25/2007 (psl.7). Apalagi, batasan kepemilikan saham sebuah PMA tidak terumuskan eksplisit dalam UU Penanaman Modal tersebut. Di level praktis, batasan waktu yang amat singkat menyulitkan perusahaan tambang yang beroperasi long term (memperoleh keuntungan setelah belasan tahun) dan mendapatkan pinjaman modal dari kreditor karena tak adanya jaminan akan mencapai hasil untung dalam kurun waktu lima tahun tersebut. Kewajiban bagi kehidupan lingkar tambang. Masalah eksternalitas (lingkungan), masyarakat setempat dan pengembangan ekonomi mendapat pengaturan lebih eksplisit dibanding sebelumnya. Selain mewajibkan Pemda menyusun program pengembangan wilayah dan masyarakat sekitar tambang, pelaku usaha juga 6
berkewajiban menyiapkan dokumen Amdal, program pasca tambang dan jaminan reklamasi, konservasi lingkungan hidup, pengembangan masyarakat (program CSR, Psl. 74 UU No.40/2007 tentang PT) sebagai bagian kelengkapan pengurusan ijin (terutama tahap operasi produksi). Selain itu, bagi kemanfaatan ekonomi daerah, diatur pula pemakaian tenaga kerja setempat, partisipasi pengusaha lokal pada tahap produksi, dan yang lebih luas lagi adanya ijin bagi pertambangan rakyat. Namun masalah lain di sini bahwa kepentingan warga lingkar tambang tidaklah semata manfaat sosial-ekonomi yang mereka peroleh, tetapi juga hak politik mereka (partisipasi) untuk ikut memutuskan perlutidaknya suatu investasi tambang jika hal itu mengancam sumber-sumber penghidupan mereka, termasuk masyarakat adat yang memiliki hak ulayat. Dalam kebijakan pembangunan dikenal prinsip free and prior inform consent, yakni hak masyarakat setempat untuk memperoleh informasi rencana proyek pertambangan dan lalu tanpa tekanan menyatakan sikapnya. Prinsip semacam ini patut dihitung pemerintah dan calon investor karena pengaruh keberadaan dan pilihan sikap warga lokal di kemudian hari.
Sementara Dati II (Kab/Kotamadya) tak mendapat tempat. Selain ihwal kewenangan pengadministrasian, aspek lain menyangkut dana bagi hasil (transfer fiskal). Dari hasil pemungutan berupa iuran tetap (landrent), iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi (royalti), rasio pembagian antara pusat dan daerah adalah 30%:70% (Tahun 1992, lewat PP No.79/1992, rasio ini berubah menjadi 20% untuk pusat dan meningkat 80% untuk daerah). Mendagri berkewenangan mengatur pembagian bagian daerah antara propinsi dan kabupaten/kotamadya, yang dalam pelaksanaannya lebih memberat ke pihak propinsi. Rezim desentralisasi. Diintrodusirnya kebijakan otonomi daerah yang berlandas pada UU No.22 & 25 Thn 1999 berimplikasi pada perubahan rezim pengaturan sektor pertambangan. Meski UU No.11/1967 yang berkarakter sentralistik tak diganti, namun di level aturan lebih rendah dilakukan “penyesuaian” dengan arus desentralisasi, melalui revisi PP No.32/1969 menjadi PP No.75/2001. Di sini, seperti juga diatur KepMen ESDM No.1453K/29/MEM/2000, domain pemrosesan dan kewenangan penandatanganan KP, KK dan
II. Desentralisasi Pertambangan A. Jejak Daerah dalam UU No.11/1967:
satu aturan, tiga rezim pertambangan.
Rezim sentralisasi. Konteks sosio-politik akhir 1960-an mendorong arah kebijakan pertambangan masa itu bertendensi sentralistis. Termasuk dalam menafsir hak penguasaan negara (HPN) atas bahan galian (mineral right) dan penyelenggaraan penguasaan pertam-bangan (mining right). UU No.11/1967 dan PP No.32/1969 menegaskan: usaha pertambangan bahan galian strategis (gol. A) dan vital (gol. B) berdasarkan Kuasa Pertambangan (KP) dari Mentamben. Propinsi mengatur pengusahaan bahan galian non-strategis dan non-vital (gol. C) berupa SIPD, memperoleh penyerahan urusan Ijin Pertambangan Rakyat/IPR dan bahan galian tertentu dalam golongan B.
PKP2B tak lagi dimonopoli pemerintah pusat. Bahkan bagian kewenangan pusat pun tak bersifat eksklusif, tapi terlebih dulu mendengarkan pendapat dari Kepala Daerah di mana wilayah pertambangan berlokasi. Ihwal dana bagi hasil landrent dan royalti, PP No.75/2001 tidak lagi merumuskan skema pembagian antar pusat-daerah, lantaran penetapannya sudah dituangkan dalam aturan lain: UU No.25/1999 dan PP No.104/2000. Di sini, porsi pembagian pusat-daerah seperti sediakala (PP 7
No.79/1992: 20% pusat dan 80% daerah), namun sudah jelas rincian peruntukan bagian daerah, yakni 16% bagi propinsi, 32 % bagi kabupaten/kota penghasil, dan 32% bagi kabupaten/kota lain dalam propinsi tersebut. Skema demikian dipertahankan hingga hari ini, meski paket regulasinya sudah berganti, yakni UU No.33/2004 dan PP No.55/2005. Resentralisasi parsial. Rezim desentralisasi tak bertahan lama, suatu arus balik terjadi dalam skala terbatas pada KK dan PKP2B dalam rangka PMA (KepMen ESDM No.1614/2004). Di sini antar level pemerintahan berbagi tugas dalam tahapan proses: pemberian persetujuan prinsip, ijin penyelidikan pendahuluan, dan perundingan dengan pemohon dilakukan pusat, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya. Namun pada akhirnya, semua kontrak/ perjanjian karya hanya memiliki satu
pintu pengesahan: pusat, berupa persetujuan oleh Presiden dan penandatanganan oleh Menteri ESDM. Sementara Gubernur atau Bupati/Walikota sebatas berfungsi sebagai saksi. B. Desentralisasi dalam UU No.4/2009:
langkah maju, namun penuh tantangan.
Sebagian ruang bagi peran daerah (propinsi dan kab/ kota) dalam UU No.4/2009 sudah teridentifikasi dalam sejumlah point pada bagian I di atas, namun dalam sub-bagian ini secara khusus dilihat aspek pembagian kewenangan antar-pemerintahan. Secara umum, jika merujuk UUD ’45 dan UU No.32/2004 yang menjadi pedomaan dalam UU No.4/2009, arsitektur umum pembagian kewenangan pertambangan dalam sistem pemerintahan RI hari ini dapat ditunjukan seperti gambar berikut ini.
8
Mengalir dari pedoman di atas, UU Minerba menggariskan kewenangan eksklusif pusat dalam hal: (a) penetapan kebijakan nasional, (b) pembuatan peraturan perundang-undangan, (c) penetapan standard, pedoman dan kriteria, (d) penetapan sistem perijinan pertambangan minerba nasional, (e) penetapan wilayah pertambangan setelah berkoordinasi dengan Pemda dan berkonsultasi dengan DPR. Di luar itu, jenis-jenis kewenangan (terutama ihwal perijinan) antar pusat, propinsi dan kab/kota bersubtansi sama dan hanya berbeda dalam skala cakupan wilayah: Pemda kab/kota dalam kab/kota tersebut dan wilayah laut sampai 4 mil, Pemda propinsi untuk wilayah lintas kab/kota dan wilayah laut sampai 4-12 mil, serta Pusat untuk wilayah lintas propinsi dan wilayah laut lebih dari 12 mil dari garis pantai. Pembagian semacam ini juga sesuai dengan garis PP No.38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan. Tabel 3: Kewenangan Pengelolaan Minerba
Kewenangan Pusat
Kewenangan Provinsi
Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan yang berada pada lintas wilayah provinsi dan/atau wilayah laut lebih dan 12 mil dari garis pantai
Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan pada lintas wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4 mil sampai dengan 12 mil
Pemberian IUP dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR), pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan di wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 mil
Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan yang lokasi penambangannya berada pada lintas wilayah provinsi dan/atau wilayah laut lebih dan 12 mil dari garis pantai
Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang kegiatannya berada pada lintas wilayah kabupaten/ kota dan/atau wilayah laut 4 mil sampai dengan 12 mil
Pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang kegiatannya berada di wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 mil
Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang berdampak lingkungan langsung lintas provinsi dan/atau dalam wilayah laut lebih dari 12 mil dan garis pantai
Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan yang berdampak lingkungan langsung lintas kabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4 mil sampai dengan 12 mil
Kewenangan Kab/Kota
Hemat saya, dari aspek desentralisasi kewenangan pengelolaan minerba, substansi UU No.4/2009 sudah relatif memadai dan memberikan kejelasan pengaturan. Yang menjadi tantangan ke depan adalah kapasitas pelaksanaan Pemda (seperti kemampuan pembuatan neraca cadangan minerba di wilayah yurisdiksinya, pembuatan sistem informasi geologi, dll), koordinasi lintas sektoral (horisontal) dan antar-level pemerintahan (vertikal), dan seterusnya. Selain itu, di luar masalah desentralisasi, berbagai pertanyaan dan catatan permasalahan umum di atas membutuhkan tindak lanjut segera dari pemerintah pusat, terutama dalam menyiapkan sejumlah Peraturan Pemerintah (PP) dan mengantisipasi kemungkinan adanya gugatan uji materiil atas UU Minerba ini ke Mahkamah Konstitusi. - o0o -
9