http://www.ahmadiyyamosques.info/2012/01/bait‐ut‐toheed‐cotonou‐benin.html
Susunan Redaksi SINAR ISLAM Penasehat H. Abdul Basit Pemimpin Umum Mahmud Mubarik Ahmad
Pemimpin Redaksi Fazal Muhammad
Redaktur Pelaksana Sukma Fadhal Ahmad
Muhammad Robiul Hakim Distribusi Amiruddin Nouval
Penerbit
Jln. Tawakal Ujung Raya No. 7 Jakarta Barat 11440
[email protected] ISSN 2355-1135
Daftar Isi: Dari Redaksi Islam Tidak Warisi Tradisi Sambut Bulan Suci Ramadhan 4 Tafsir Quran 6 Kutipan Hadits 7 Sajian Utama Ramadhan Hebat 10 Terjemah Buku Masih Mau’ud a.s. Alaamatul Muqarrabiin Bagian 4 25 Sabda-sabda Masih Mau’ud a.s. Malfuzat 34 Menjawab Tuduhan Jawaban Atas Tuduhan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. Didukung dan Dibesarkan Inggris 38 Artikel Bencana Alam atau Hukuman Ilahi 40 Petir 54
Bagi para pembaca SINAR ISLAM yang ingin mengirimkan naskah essai, opini, tinjauan buku, ataupun surat pembaca dapat dikirim melalui surat ke alamat redaksi di
Jln. Tawakal Ujung Raya No.7 Jakarta Barat 11440 atau ke alamat Email:
[email protected] Cover depan: Camel on Desert (sumber: https://www.google.com/search?q=camel+on+desert) Cover halaman 2: Gedung Jamiah Ahmadiyah di Halsemere, Surrey, Inggris
DARI REDAKSI
Islam Tidak Warisi Tradisi Sambut Bulan Suci Ramadhan Bulan suci Ramadhan akan datang sebentar lagi. Biasanya di beberapa daerah di Indonesia, atau bahkan di beberapa negara Muslim, akan ada berbagai upacara atau tradisi penyambutan Bulan Suci Ramadhan. Di Semarang ada Dugderan, sebuah pesta rakyat untuk menyambut bulan puasa yang biasanya diadakan seminggu atau 2 minggu sebelum puasa; di Jawa Barat ada Munggah (Munggahan atau Mungguhan), yaitu berkumpulnya sanak-saudara, tetangga, dan kerabat lainnya untuk menyambut puasa, biasanya dalam tradisi itu mereka makan bersama-sama; di Boyolali ada tradisi Padusa dan di Padang ada tradisi Balimau, yaitu mandi bersama yang bertujuan untuk mensucikan diri menjelang hari puasa. Di masyarakat Betawi ada tradisi bersih-bersih rumah dan kuburan dalam menyambur Ramadhan dan masih banyak tradisi menyambut puasa lainnya yang ada di tanah air. Di negara-negara yang memiliki penduduk Islam juga terdapat berbagai tradisi menyambut bulan suci Ramadhan. Di India, dalam menyambut bulan puasa para pria ramai-ramai menggunakan kohl (sejenis celak mata); di Bosnia, warga Muslim di sana akan mandi bersama di sebuah gua yang terletak di Kladanj, 50 km dari Sarajevo; bahkan di Arab Saudi sendiri ada tradisi untuk menyambut Ramadhan, yaitu menyalakan sebuah meriam yang diberinama ‘Meriam Ramadhan’. Diberinama
4
Meriam Ramadhan, karena meriam ini hanya dikeluarkan saat bulan Ramadhan dan di tempatkan di sebuah bukit yang bernama Bukit Meriam. Adapun di harihari biasa, meriam ini ditempatkan di sebuh tempat di kawasan Aziziyah. Di negara Muslim lainnya, varian tradisi menyambut bulan suci Ramadhan itu tidak terhitung banyaknya. Namun dari sekian banyak tradisi menyambut Ramadhan itu, tidak ada satu pun yang benar-benar mewarisi budaya asli Islam, yang pernah diperagakan oleh Nabi Suci Muhammad s.a.w. Memang ada tradisi menyambut bulan puasa yang baru-baru ini sedang dikembangkan oleh para aktivis Muslim, yang terrasa lebih islami, yaitu tradisi maaf-memaafkan menjelang bulan Ramadhan, baik secara langsung maupun via sms atau jejaring sosial lainnya. Dasar dari tradisi ini adalah sebuah riwayat Hadits dari Abu Hurairah r.a., sebagai berikut: Dari Abu Hurairah: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam naik mimbar lalu bersabda: “Amin, Amin, Amin”. Para sahabat bertanya: “Kenapa engkau berkata demikian, wahai Rasulullah?” Kemudian beliau bersabda, “Baru saja Jibril berkata kepadaku: ‘Allah melaknat seorang hamba yang melewati Ramadhan tanpa mendapatkan ampunan’, maka kukatakan, ‘Amin’, kemudian Jibril berkata lagi, ‘Allah melaknat seorang hamba yang mengetahui kedua orang tuanya masih hidup, namun tidak membuatnya masuk Jannah (karena tidak berbakti kepada mereka berdua)’,
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
maka aku berkata: ‘Amin’. Kemudian Jibril berkata lagi. ‘Allah melaknat seorang hambar yang tidak bershalawat ketika disebut namamu’, maka kukatakan, ‘Amin”.” (Hadits ini dishahihkan oleh Al Mundziri di At Targhib Wat Tarhib [2/114, 406, 407, 3/295], juga oleh Adz Dzahabi dalam Al Madzhab [4/1682], dihasankan oleh Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid [8/142], juga oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Al Qaulul Badi‘ [212], juga oleh Al Albani di Shahih At Targhib [1679]) Tapi ternyata argument ini tidak diakui oleh hampir sebagian besar ulama. Alasannya, karena Hadits tersebut sama sekali tidak berhubungan dengan Ramadhan. Dan tidak bisa menjadi dasar untuk menciptakan tradisi baru dalam Islam dalam menyambut Ramadhan. Para ulama berpendapat bahwa maaf -memaafkan dalam Islam bukanlah sebuah tradisi, melainkan sebuah cabang dari pengamalan ibadah. Sesuai dengan firman-Nya: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (QS Al-A'raf: 200) “Orang-orang yang menafkahkan, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orangorang yang menahan amarahnya dan memaafkan orang. Allah menyukai orangorang yang berbuat kebajikan.” (QS Ali Imran: 135) Sejarah mencatat, Nabi Suci Muhammad s.a.w. tidak pernah mewarisi satu pun tradisi dalam menyambut bulan suci Ramadhan. Tradisi-tradisi menyambut bulan suci Ramadhan yang saat ini semakin masiv dan variatif bukan warisan Islam era Rasulullah s.a.w. Bahkan ternyata tradisi-tradisi yang saat ini meriah dirayakan itu sulit dicari sumber asli keabsahannya. Ada
yang berpendapat bahwa itu adalah tradisi yang muncul tiga ratus tahunan setelah Rasulullah s.a.w. wafat, dan merupakan campuran tradisi lokal dengan tradisi Islam atau dengan kata lain tradisi lokal yang diislamisasi. Seandainya kita tetap menginginkan sebuah tradisi islami dalam menyambut bulan suci Ramadhan, sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w. mungkin hanya puasa di bulan Sya’ban, seperti yang diriwayatkan oleh oleh Ahmad, Abu Daud, Nasa’I, dan Ibnu Majah: “Dari Ummu Salamah r.a. berkata: ”Aku tidak melihat Rasulullah s.a.w. berpuasa dua bulan secara berurutan kecuali beliau melanjutkan bulan Sya’ban dengan Ramadhan." Dalam riwayat Abu Daud (dikatakan): "Sesungguhnya Nabi s.a.w. tidak pernah berpuasa sebulan penuh dalam setahun kecuali pada bulan Sya’ban dilanjutkan ke Ramadhan." (Dishahihkan oleh Al-Albany dalam shahih Abu Daud, no. 2048) Dalam HR. Muslim, dari Abu Salamah, dia berkata: “saya bertanya kepada Aisyah ra.a. tentang puasanya Nabi s.a.w. beliau r.a. menjawab: "Beliau [Nabi s.a.w.] biasanya berpuasa sampai kami mengatakan sungguh telah berpuasa (terus). Dan beliau berbuka sampai kami mengatakan sungguh beliau telah berbuka. Dan aku tidak melihat beliau berpuasa yang lebih banyak dibandingkan pada bulan Sya’ban. Biasanya beliau berpuasa pada bulan Sya’ban semuanya, dan biasanya beliau berpuasa pada bulan sya’ban kecuali sedikit”." (HR. Muslim) Selain puasa di bulan Syab’an ini, tidak ada satu pun upacara atau tradisi lain yang dicontohkan oleh Nabi Suci Muhammad s.a.w. Red [][]
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
5
Tafsir Quran
Surah Al-Fatihah Nama dari surah yang amat ringkas ini yang terletak pada permulaan Qur’an Karim adalah Fatihatul Kitab yang diringkaskan menjadi Suratul Fatihah. Orang-orang yang berbahasa Urdu selanjutnya mengadop dari bahasa Farsi menjadikannya Surah Fatihah. Surah Fatihah dan namanya tersebut di dalam hadits: Nama ini diriwayatkan dari Rasulullah s.a.w. terdapat di dalam Hadits Tirmizi : ِ صا ِم اء ِب َفات َِح ِة َ َعنْ ُع َبا َد ِة ْب ِن َ ص َلو َة لِ َمنْ َل ْم َي ْق َر َ َس َّل َم َقال َ ال َ صلى ﷲُ َع َل ْي ِه َو َ ى ِ ت َع ِن ال َّن ِب -(ال ِك َتاب )ترمزى ابواب الصلوة ماجاء انه الصلوة االّ بفاتحة الكتاب yakni shalat yang di dalamnya tidak dibaca surah Fatihah bukanlah sholat. Riwayat dari sahabat ini dalam lafaz ini-pula diriwayatkan di dalam kitab Hadits Muslim Kitabush-Sholat bab wujubu qiro’atul Fatihah. Sembilan (9) Nama Surah Fatihah: Surah ini mempunyai beberapa nama, diantaranya yang mashur yang diambil dari Qur’an Karim dan dari Hadits Rasulullah s.a.w. adalah sebagai yang tersebut di bawah ini: 1. Suratush-sholat, Hadhrat Abu Huraerah r.a. berkata Rasul Karim s.a.w bersabda: “Allah Ta’ala berfirman; ’ َصلَو َة َب ْينِى َو َبين َ س ْمتُ ال َ َق )ِِص َف ْي ِن )مسلم بابوجوب قراءة الفاتحه فٮكل ّ ركعة ْ َع ْبدى نriwayat inilah yang telah disalin oleh ibnu Jarir dari Jabir ibnu Abdullah r.a. (cetakan Mesir jld I halaman 66). Aku membagi sholat(yakni surah Fatihah) antara Aku dan hamba-hamba-Ku setengahsetengah. Yakni di separuh surah sifat Ilahiyah dan separuh lagi doa hak manusia. 2. Suratul hamd, di dalam hadits Abu Dawud ada riwayat dari Hadhrat Abu Huraerah r.a.: سول ُ ﷲِ صلى ﷲ عليه وسلّم الحمد ْ َقال َ َر َ ُ س ْب ُع ال َمثانِى َّ أم الق ْرآن و ا ُ ُم ال ِك َتب َوالyakni nama lain dari suratul hamd adalah umul Qur’an dan umul kitab dan juga sab’ul matsaani. (Abu Dawud kitabush-sholat bab Fatihatul kitab). 3. Ummul Qur’an 4. Al Qur’anul Azhim 5. Sab’ul Matsaani. Tiga nama ini juga adalah nama surah ini. Di dalam Musnad Imam Ahmad bin Hambal ada riwayat dari Abu
6
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
Tafsir Quran
6. 7.
8.
9.
Huraerah r.a. bahwa Nabi Karim Saw bersabda: “ ھ َِي أ ُم القُ ْرآن َو العظِ ْيم َ ُالس ْب ُع ال َم َثانِى َوھ َِي القُ ْرآن َ ھ َِيYakni-surah Fatihah disebut juga Ummul Qur’an dan as-Sab’ul matsaani dan juga Al-Quranul Azhiim (jilid II halaman 448). Lafaz sab’ul matsaani pun digunakan di dalam Qur’an Karim. Dia berfirman: َولَ َقدْ اَ َت ْي َنا َك (6س ْب ًعا ِّمنَ ال َم َثانِى )الحجرع َ ini adalah nama yang ada di dalam Qur’an. Umul Kitab, nama ini tersebut di dalam hadits Abu Dawud yang diriwayatkan oleh Hadhrat Abu Huraerah r.a. dan telah tersebut di atas pada nomor 2. Asy-syifa, nama ini diriwayatkan dari Hadhrat Abu Said Hudriyi r.a. Beliau berkata: سلَّم َفات َِح ُة َ صلى ﷲ ُ َعلَ ْي ِه َو َ ِس ْول ُ ﷲ ُ َقال َ َر ِ ال ِك َتاsurah Fatihah menyembuhkan setiap ٍب شِ َفا ٌء مِنْ ُكل ِّ دَاء penyakit. (Darimi) Baihaki juga di dalam Syu’bil Iman mera wikan riwayat ini. Tetapi lafaz; ‘min kulli da’in’ digan ti dengan lafaz; ‘sammin’ yang artinya penawar setiap racun. Ar-ruqiyah, yakni surah jampi-jampi (jimat). Nama ini juga diriwayat kan oleh Hadhrat Abu Said al-Hudriyi r.a. yang ditulis di dalam Musnad Ahmad bin Hambal dan Bukhori. (Bukhori Fadhail Qur’an bab Fatihatul Kitab dan Musnad Ahmad bin Hambal jld 3) .Seseorang menceritakan kepada Rasulullah s.a.w. bahwa ada orang dipatuk ular, saya bacakan surah Fatihah lalu saya tiupkan kepada lukanya, maka ia sembuh. Atas cerita itu Rasulullah s.a.w. Bersabda: َما ُيدْ ِر َك ِا َّن َھا ُر ْق َي ٌة “bagaimana kamu tahu bahwa ini adalah surah jampi-jampi?” sahabat tersebut menjawab, ‘Yaa Rasulallah itulah keyakinan yang ada di dalam hati saya.’ Suratul Kanz, Baihaki meriwayatkan dari Hadhrat Anas ra : اب َو َقا َل َ َِّع ِن ال َّن ِبي َ ﷲ اَعْ َطانِى فِ ْي َما َمنَّ ِب ِه َعلَىَّ َفات َِح َة ال ِك َت َ َّصلَى ﷲُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َقا َل اِن ٌ ْ ُ ُ ( ِى َكنزمِنْ كن ْو ِز َعرْ شِ ى )فتح البيان ص َ ھ 19
Yakni : Rasul Karim s.a.w. bersabda bahwa nikmat yang Allah Ta’ala berikan kepadaku satu diantaranya juga adalah Fatihatul kitab, dan Allah Ta’ala berfirman kepadaku bahwa ini adalah salah satu hazanah dari antara hazanah arasy-Ku. Nama Fatihah sebelumnya sudah saya jelaskan. Maka 9 namanama tersebut dari Qur’an dan hadits telah terbukti. Selain itu ada lagi nama-nama lain yang diriwayatkan oleh sahabah. Imam Suyuthi r.h. telah menghitung dan mencatatnya hingga
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
7
Tafsir Quran 25 nama-nama. Allamah Qurtubi menulisnya sebanyak 12 namanama. Tetapi bukti nama-nama tsb dikarenakan dari Qur’an dan hadits saya tidak menemukannya maka saya tidak membahasnya. Kabar ghaib perihal surah Fatihah di dalam kitab-kitab terdahulu: Nama Fatihah yang telah diberikan kepada surah ini mempunyai keistimewaan, yaitu nama ini ada tersebut di dalam kitab-kitab terdahulu sebagai kabar ghaib. Buktinya di dalam Muka Syifat bab 10 ayat 2 tertulis “Dan di tangannya ada sebuah kitab kecil yang terbuka dan kaki kirinya dipijakkannya ke laut dan kaki kanannya ke darat, dan dengan suara keras bagai singa mengaung ia berteriak. Ketika ia berteriak maka ketujuh guruhpun membunyikan suaranya masing-masing.” Nama surah ini dan jumlah ayatnya tercantum sebagai kabar ghaib. (Penerjemah karena tidak mengetahui asal hakikat kabar ghaib itu lafaz bahasa Ibrani “fatuhah” diterjemahkannya dengan “kitab kecil yang terbuka” padahal fatuhah itu adalah Fatihah nama surah itu.) Di dalam kabar ghaib ini ada tersebut 7 suara guruh, maksudnya adalah 7 ayat Surah ini. Para pengarang Kristen sepakat mengakui bahwa kasyaf yang tersebut di atas adalah kabar ghaib tentang kedatangan Al-Masih kedua kali. Ini memang benar. Dari kata-kata kabar ghaib itu nyata bahwa sampai zaman kedatangan Al-Masih itu surah ini masih tertutup. Yakni penjelasannya yang luas akan terbuka di zaman Masih Mau’ud. Buktinya tertulis di dalam Mukasyifat bahwa Nabi itu diseru oleh satu suara langit yang berbunyi: “Meteraikan saja barang yang telah dikatakan oleh ketujuh guruh itu, dan jangan menuliskan nya ”. (bab 10 ayat 4). Rasul Karim Saw-pun memberi nama surah-surah: Maksud saya menyebutkan nama surah Fatihah secara rinci ialah hendak menerangkan bahwa semua nama surah ini adalah dari Yang Mulia Rasulullah s.a.w. Dan sebagaimana ternyata dari sebagian nama surah Fatihah, beliau s.a.w. pun memberi nama itu ialah dengan mendapat ilham dari Allah Ta’ala. Maksud saya yang kedua menyebutkan nama-nama tersebut adalah untuk menunjukkan bahwa maksud dan tujuan surah Fatihah itu sangat luas. Dalam sembilan nama ini sebenarnya ada sepuluh materi yang diterangkan oleh surah Fatihah. Dia adalah Fatihatul kitab yakni diperintahkan untuk meletakannya dipermulaan sekali dalam Qur’an Karim. Kedua, dia ada lah kunci dari tujuan-tujuan ayat Qur’an, karena dengan perantaraannya maksud-maksud Qur’an Karim akan terbuka. Fazal M [][]
8
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
Kutipan Hadits
Hadits Tentang Larangan Meminta Jabatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasihatkan kepada Abdurrahman bin Samurah r.a : ْ َفإِ َّن َك إِنْ أ ُ ْعطِ ْي َت َھا َعنْ َغ ْي ِر َم ْسأَلَ ٍة أ ُ ِع ْنتَ َعلَ ْي َھا َوإِن،ار َة َ الَ َت ْسأَل ُ ْاإلِ َم،س ُم َر َة َ َالر ْح َم ِن ْبن َّ َيا َع ْب َد َ أ ُ ْعطِ ْي َت َھا َعنْ َم ْسألَ ٍة ُو ِك ْلتَ إِ َل ْي َھا ”Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena jika engkau diberi tanpa memintanya niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah Ta'ala dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun jika diserahkan kepadamu karena permintaanmu niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong).” (HR. Bukhari dalam Shahih-nya no. 7146 dan no. 7147, HR.Muslim dalam Shahih-nya no. 1652)
Masih berkaitan dengan permasalahan di atas, juga didapatkan riwayat dari Abu Dzar al-Ghifari Radhiyallahu anhu. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku sebagai pemimpin?” Mendengar permintaanku tersebut, beliau menepuk pundakku seraya bersabda: إِالَّ َمنْ أَ َخ َذھَا بِ َح ِّق َھا َوأَدَّى الَّذِي،ي َو َندَا َم ٌة ٌ ف َوإِ َّن َھا أَ َما َن ٌة َوإِ َّن َھا َي ْو َم ا ْلقِ َيا َم ِة خ ِْز ٌ ض ِع ْي َ إِ َّن َك،َيا أَ َبا َذ ٍّر َعلَ ْي ِه فِ ْي َھا ”Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah sementara kepemimpinan itu adalah amanat. Dan nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut.” (Shahih, HR. Muslim no. 1825)
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
9
Sajian | utama
Ramadhan Hebat Penulis: Abu Jibriel Pendahuluan Ramadan (bahasa Arab:;رمضان transliterasi: Ramadhan) adalah bulan kesembilan dalam penanggalan Hijriyah. Bulan Suci Ramadhan disebut juga Bulan Puasa, karena pada bulan ini umat Islam melakukan puasa sebulan penuh. Sepanjang bulan ini pemeluk agama Islam, selain berpuasa, juga melakukan serangkaian aktivitas keagamaan lainnya termasuk di dalamnya shalat Tarawih, memperbanyak membaca Al-Quran dan kemudian mengakhirinya dengan membayar Zakat Fitrah. Arti Kata Ramadhan Ramadhan berasal dari akar kata Arab ‘ramidha’ atau ‘arramadh’ yang berati panas terik matahari yang intens dan kering, terutama menerpa tanah. Dari akar yang sama ada ramdhaa, pasir terjemur, dan pepatah terkenal: "Kal Mustajeer Minar Ramadhaa binnar" - untuk melompat keluar dari penggorengan ke dalam api. Makna Kata ‘Ramadh’ Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad 10
a.s., Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Imam Mahdi dan Al Masih yang Dijanjikan, menjelaskan tentang arti kata ‘ramadh’. Beliau a.s. menulis: “Ramadh artinya panas matahari. Di dalam Ramadhan dikarenakan manusia bersabar dari makan, minum, dan kelezatan jasmaniah lainnya, ia menimbulkan suatu panas dan gejolak terhadap perintah-perintah Allah Ta’ala, dengan menyatunya panas dan suhu tinggi rohaniah maupun jasmaniah, terjadilah Ramadhan.” (Al-Hakam, jilid 5, no. 27, tanggal 24 Juli 1901; Malfuzat, jilid 1, hal. 209-210). Ramadh pun berarti, sesuatu yang darinya batu bisa menjadi panas. Ada pun pada sudut pandang rohaniah, yang dimaksud Ramadh, menurut Hadhrat Ahmad a.s., adalah minat, kecendrungan tinggi serta panas diniyah. Sejarah kata Ramadhan Kata Ramadhan adalah istilah asli Islam, sedangkan nama sebelumnya adalah ‘Natiq’ (Fath ul Qadir oleh Muhammad Ibn Ali asy Syaukani). Pada tahun kedua tanggal 10
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
Sajian | utama
Siklus peredaran bulan (Photo; Istimewa)
bulan Sya’ban dalam kalender Qomariyah (tahun 625 M) setelah Nabi Muhammad s.a.w. dan umat Islam Hijrah dari Mekkah ke Madinah, wahyu yang berisi perintah puasa, tata caranya, dan penyebutan nama bulan Ramadhan diturunkan oleh Allah Ta’ala kepada Rasulullah s.a.w. Perintah berpuasa bagi umat Islam tertuang dalam Al Quran Surah Al-Baqarah ayat 184, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, puasa diwajibkan atas kamu sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, supaya kamu terpelihara” Sedangkan kata Ramadhan terdapat pada ayat selanjutnya, ayat 186: “Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya Al Quran diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia dan keterangan-keterangan yang nyata mengenai petunjuk dan Furqan.”
Dua puluh hari setelah wahyu itu turun, pada awal bulan selanjutnya, yaitu bulan Natiq, puasa pertama dilakukan oleh umat Islam hingga sebulan penuh. Pendapat Para Ahli Bahasa Tentang Asal Kata Ramadhan Para ahli bahasa berpendapat bahwa nama Ramadhan sudah ada sebelum Islam muncul. Menurut mereka keduabelas bulan yang digunakan oleh umat Islam dalam kalender Qomariyah itu keseluruhannya merupakan warisan peradaban Arab kuno yang dipengaruhi oleh peradaban Babylonia. Mereka menjelaskan, bangsa Babylonia ribuan tahun yang lalu sudah berhasil menciptakan pola penanggalan yang berdasar pada dua siklus peredaran benda langit sekaligus (Luni Solar Calender), yaitu bulan (Qomariyah) dan matahari (Syamsiah). Bulan
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
11
Sajian | utama kesembilan dalam pola penanggalan itu selalu jatuh pada musim panas yang sangat menyengat. Sejak pagi hingga petang batu-batu gunung dan pasir gurun terpanggang oleh sengatan matahari musim panas yang waktu siangnya lebih panjang daripada waktu malamnya. Di malam hari panas di bebatuan dan pasir sedikit reda, tapi sebelum dingin betul sudah berjumpa dengan pagi hari. Demikian terjadi berulang -ulang, sehingga setelah beberapa pekan terjadi akumulasi panas yang menghanguskan. Hari-hari itu disebut bulan Ramadhan, bulan dengan panas yang menghanguskan. Saat bangsa Babylonia berhasil menguasai kawasan Jazirah Arab, pola penanggalan mereka telah diadopsi oleh bangsa-bangsa yang ada di Jazirah Arab, bahkan hingga saat Islam lahir di sana. Sementar a pendapat lain menyebut, nama-nama bulan Qomariyah yang sekarang berlaku dipercayai telah mengakar sejak abad ke-5 Masehi. Diberitakan bahwa orang pertama yang menetapkan nama-nama tersebut adalah Ka’ab bin Murrah, kakek b u y u t k e l i m a d ar i N a b i Muhammad s.a.w. Ada lima bulan yang namanya diambil dari kondisi musim bulan tersebut (Rabiul Awwal, Rabiul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, dan Ramadhan). Rabiul Awal dan Akhir diambil dari kata ‘rabi’‘ yang berarti ‘bersemi’, karena penamaannya bertepatan dengan 12
musim semi. Jumadil Awal dan Akhir diambil dari kata “jamad” yang berarti “beku”, karena penamaan bulan tersebut bertepatan dengan saat musim dingin di mana air membeku. Sementara Ramadhan diambil dari kata “ramdha” yang mengandung arti “sangat panas” karena bertepatan dengan musim panas. Disebutkan juga beberapa ahli astronomi Arab lainnya juga berhasil menciptakan pola penanggalan yang berdasarkan pada peredaran bulan versi mereka sendiri-sendiri. ‘Ramadhan’ Istilah Asli Islam Pendapat para ahli itu sama sekali salah dan tidak memiliki dasar yang kuat. Para ulama sepakat bahwa kata ‘ramadhan’ yang terdapat dalam Al Baqarah:186 adalah Kalamullah yang pertama kali menggunakan kata ‘ramadhan’ untuk merujuk pada nama bulan yang di dalamnya ada perintah untuk melakukan ibadah puasa. Pendapat inipun didukung oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s., Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Imam Mahdi, dan Al Masih yang Dijanjikan. Beliau a.s. menulis: “Para ahli bahasa mengatakan, dikarenakan [bulan] ini datang pada musim panas maka ia dikatakan Ramadhan. Menurut saya hal itu tidak benar. Sebab [bulan suci] ini tidak khusus untuk [bangsa] Arab.” (Al-Hakam, jilid 5, no. 27, tanggal 24 Juli 1901; Malfuzat, jilid 1,
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
Sajian | utama hal. 209-210) Sejarah mencatat, setelah Islam muncul dan membentuk peradaban baru di Jazirah Arab, kalender Islam, Hijriyah, tercipta. Kalender Hijriyah diciptakan saat Hadhrat Umar bin Khattab r.a menjadi Khalifah. Di tahun ketiga beliau menjabat sebagai Khalifah, beliau mendapat sepucuk surat dari Abu Musa al-Asy’ari r.a., yang saat itu menjabat sebagai gubernur untuk daerah Bashrah, Irak. Dalam surat itu, Abu Musa mengatakan: “Telah datang kepada kami beberapa surat dari Amirul Mukminin, sementara kami tidak tahu kapan kami harus menindaklanjutinya. Kami telah mempelajari satu surat yang ditulis pada bulan Sya’ban. Kami tidak tahu, surat itu Sya’ban tahun ini ataukah tahun kemarin.” Kemudian Hadhrat Umar r.a. mengumpulkan para sahabat, beliau berkata kepada mereka: “Tetapkan tahun untuk masyarakat, yang bisa mereka jadikan acuan.” Dari sekian banyak para sahabat Nabi yang berkumpul, ada yang usul untuk menggunakan acuan tahun bangsa Romawi. Namun usulan ini dibantah, karena tahun Romawi sudah terlalu tua. Perhitungan tahun Romawi sudah dibuat sejak zaman Dzul Qarnain (Mahdhu ash-Shawab, 1:316, dinukil dari Fashlul Khithab fi Sirati Ibnul Khatthab, Dr. Ali Muhammad ashShalabi, 1:150) Kemudian disebutkan oleh alHakim dalam Al-Mustadrak, dari
Said bin al-Musayib, beliau menceritakan: Hadhrat Umar bin Khattab mengumpulkan kaum Muhajirin dan Anshar, beliau bertanya: “Mulai kapan kita menulis tahun?” Kemudian Hadhrat Ali bin Abi Thalib mengusulkan: “Kita tetapkan sejak Rasulullah s.a.w. hijrah, meninggalkan negeri syirik.” Maksud Hadhrat Ali adalah ketika Nabi Besar Muhammad s.a.w. hijrah dari Makkah ke Madinah. Kemudian Hadhrat Umar menetapkan tahun peristiwa terjadinya Hijrah itu sebagai tahun per tam a (Al-Mustadrak dan dishahihkan oleh adz-Dzahabi). Mengapa bukan tahun kelahiran Nabi s.a.w yang menjadi acuan? Jawabannya disebutkan oleh alHafidz Ibnu Hajar sebagai berikut: “Para sahabat yang diajak musyawarah oleh Hadhrat Umar bin Khatthab, mereka menyimpulkan bahwa kejadian yang bisa dijadikan acuan tahun dalam kalender ada empat: tahun kelahiran Nabi s.a.w., tahun ketika diutus sebagai rasul, tahun ketika hijrah, dan tahun ketika beliau wafat. Namun ternyata, pada tahun kelahiran Nabi dan tahun ketika beliau diutus, tidak lepas dari perdebatan dalam penentuan tahun peristiwa itu. Mereka juga menolak jika tahun kematian sebagai acuannya, karena ini akan menimbulkan kesedihan bagi kaum Muslimin. Sehingga yang tersisa adalah tahun hijrah beliau (Fathul Bari, 7:268).
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
13
Tabel Macam‐macam Kalender Bangsa Arab Kalender Sebelum Kalender Sebelum Kalender Tsamud Islam Islam Kalender Setelah No. (menurut Al‐Azdi) (menurut Al‐Bairuni) (menurut Al‐Mas’udi) Islam 1 2 3 4 5
Mujab Mujir Murid Mulzim Mashdar
6 7 8 9 10 11 12
Hawbar Hubal Muha Dimar Dabir Haifal Musbil
Al‐Mu’tamir Najir Khawwan Shuwan/Bushon Hantam/Hanin/ Runna Zuba Al‐Asham Adil Nafiq/Nathil/Natiq Waghil/Waghl Hawa’/Rannah Burk
Abu Zinad mengatakan: “Hadhrat Umar bermusyawarah dalam menentukan tahun untuk kalender Islam. Mereka sepakat mengacu pada peristiwa hijrah (Mahdzus Shawab, 1:317, dinukil dari Fashlul Khithab fi Sirati Ibnul Khatthab, Dr. Ali Muhammad ashShalabi, 1:150). Karena hitungan tahun dalam kalender Islam mengacu kepada hijrah Nabi selanjutnya kalender ini dinamakan kalender Hijriah. Setelah mereka sepakat, perhitungan tahun mengacu pada tahun hijrah Nabi Muhammad s.a.w., selanjutnya mereka bermusyawarah, bulan apakah yang dijadikan sebagai bulan pertama? Pada musyawarah tersebut, Hadhrat Utsman bin Affan mengusulkan agar bulan pertama 14
Natiq Tsaqil Thaliq Najir Simah
Muharram Shafar Rabi’ul Awal Rabi’ul Akhir Jumadil Ula
Amnah Ahlak Kusa’ Zahir Burth Harf Na’as
Jumadil Akhir Rajab Sya’ban Ramadhan Syawal Dzulqa’dah Dzulhijjah
dalam kalender Hijriah adalah Muharam. Selanjutnya disepakati untuk bulan kesembilannya adalah bulan Ramadhan. Saat Islam menyebar ke seluruh dunia, ternyata diketahui kondisi iklim dan musim di berbagai belahan dunia itu berbeda-beda. Saat di tanah Arab sedang musim panas, justru di wilayah lain sedang musim hujan yang deras, begitu pula sebaliknya. Dalam konteks ini pendapat yang mengatakan bahwa nama bulan Ramadhan yang mengacu pada musim panas di Jazirah Arab tidak relevan. Jadi benar apa yang dikatakan oleh Hadhrat Ahmad a.s. bahwa bulan Ramadhan ini tidak khusus untuk orang Arab, tapi berlaku juga untuk umat Islam lainnya yang berada di berbagai belahan dunia dan berlaku
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
Sajian | utama disepanjang zaman. Di samping itu, pemahaman tentang 'panas'nya Ramadhan menjadi metaphoric (kiasan) lebih diterima daripada kata ‘ramadhan’ yang mengacu pada musim panas di Jazirah Arab. Ramadhan secara kiasan mengandung makna (1) Puasa di bulan ini menimbulkan panas yang disebabkan oleh rasa haus (2) beribadah di bulan ini, membakar habis bekas-bekas dosa manusia dan (3) karena ibadah-ibadah di bulan itu, menimbulkan dalam hati manusia kehangatan cinta kepada Khalik-nya dan kepada sesama manusia. Keagungan Bulan Suci Ramadhan Hadhrat Ahmad a.s. berpendapat bahwa keagungan bulan suci Ramadhan terrangkum dalam surat Al-Baqarah ayat 186, yang artinya: “Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya Al-Quran diturunkan.” Malam di bulan Ramadhan ketika Al-Quran diturunkan kepada Nabi Besar Muhammad s.a.w. disebut dengan Lailatul Qadr (AlQadr:2) atau Lailatul Mubarakah (Ad -Dhukan:4). Menurut hadits-hadits shahih, ‘Lailatul Qadr’ pada umumnya jatuh pada 10 malam terakhir bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya Al-Quran diwahyukan; lebih tepat lagi pada malam ke-24 Ramadhan (Musnad Ahmad ibn Hanbal oleh Imam Abu Abdullah Ahmad ibn Hanbal dan Tafsir Quran oleh
Imam Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir Thabari) Khalifah Islam Ahmadiyah yang Kedua, Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a. mengomentari ayat 186 surat AlBaqarah sebagai berikut: ”tanggal 24 Ramadhan Rasulullah s.a.w. menerima wahyu pertama AlQuran (Tafsir Quran oleh Imam Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir Thabari); dan seluruh wahyu diperdengarkan ulang tiap-tiap tahun kepada Rasulullah s.a.w. oleh Malaikat Jibril dalam bulan Ramadhan pula. Kebiasaan itu terus dilakukan hingga tahun terakhir hayat Rasulullah s.a.w., pada saat Al-Quran diulangi kepada beliau dua kali oleh Malaikat Jibril di bulan Ramadhan itu (Shahih Bukhari, oleh Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail Bukhari). Jadi, dari segi yang lain dapat juga dikatakan bahwa seluruh Al Quran telah diwahyukan dalam bulan Ramadhan.” Hadhrat Ahmad a.s. menulis tentang keagungan Ramadahan sebagai berikut: “Dari [ayat] ‘Syahruramadhanallazi unziila fiihil quran’ tampak keagungan bulan Ramadhan. Para sufi menuliskan bahwa bulan ini sangat baik untuk Tanwirul Qulub (penyinaran kalbu). Di dalamnya banyak sekali terjadi Mukassyafaat (pemandanganpemandangan kasyaf). Shalat mengakibatkan Tazkiya e Nafs (pensucian jiwa), sedangkan puasa mengakibatkan Tajalli e Qulub. Yang dimaksud Tazkiya e Nafs
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
15
Sajian | utama
adalah berhasil melampaui [tahap] dorongan-dorongan Nafsu Amarah. Sedangkan yang dimaksud Tajalli e Qulub adalah Mukasyafaat di mana orang Mukmin menyaksikan Allah Ta’ala. Itulah yang diisyaratkan di dalam ‘unziilafiihil quran’. Tidak diragukan lagi bahwa pahala puasa sangat agung. Akan tetapi penyakit-penyakit serta ambisi-ambisi manusia membuat manusia luput dari nikmat ini.” (Al-Hakam, 10 Desember 1902) Puasa Ramadhan Ahli Fiqih mendefinisikan puasa sebagai cara beribadah dengan menahan diri dari makan dan minum, dan berhubungan badan dalam jangka waktu tertentu, yaitu sejak waktu fajar hingga terbenamnya matahari, serta dengan syarat-syarat tertentu. Dalam Islam dikenal beberapa jenis puasa, diantaranya: puasa tiga hari di 16 16
setiap pertengahan bulan (tanggal 13,14, dan 15), puasa Senin-Kamis, Puasa Nabi Daud (puasa yang selang seling satu hari-satu hari antara puasa dan tidak), puasa Ramadhan dan lainlain. Dalam pandangan keagamaan yang lebih tinggi, puasa memiliki maksud dan tujuan untuk mencapai kesucian jiwa. Hadhrat Ahmad a.s. berpendapat, “Puasa bukanlah sekedar [ibadah] di mana manusia menahan lapar dan dahaga. Melainkan, dia memiliki hakikat serta pengaruh yang dapat diketahui melalui pengalaman. Di dalam fitrat manusia terdapat [ketentuan] bahwa semakin sedikit dia makan maka sedemikian itu pula akan terjadi tazkiya e nafs (daya pensucian jiwa), dan potensi atau kekuatan kasyfiyah pun bertambah. Maksud Allah Ta’ala dari hal itu adalah kurangi satu makanan [jasmaniyah] dan tingkatkanlah
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
Sajian | utama [makanan] lainnya [makanan rohaniyah]. Orang-orang yang berpuasa hendaknya senantiasa memperhatikan bahwa hal itu bukanlah berarti supaya [menahan] lapar [saja]. Melainkan mereka itu hendaknya sibuk dalam berzikir kepada Allah Ta’ala, sehingga memperoleh tabattul dan inqita. Jadi, yang dimaksud dengan puasa adalah supaya manusia meninggalkan satu makanan yang hanya memberikan kelangsungan hidup bagi tubuh dan meraih makanan kedua yang dapat memberikan ketentraman dan kekenyangan bagi ruh. Dan orangorang yang berpuasa semata-mata demi Allah Ta’ala, serta bukan sebagai suatu adat kebiasaan, mereka itu hendaknya terus sibuk dalam sanjungan, tasbih dan tahlil kepada Allah Ta’ala, yang mana dari itu mereka akan memperoleh makanan kedua.” (Al-Hakam jilid 11, no. 2-11, tanggal17 Januari 1907; Malfuzat, jilid 9, hal. 122-123) Di banding puasa-puasa lainnya, puasa di bulan suci Ramadhan memiliki berbagai keistimewaan. Keistimewaan ini bukan terletak pada kebiasaan atau tradisi mulia yang selalu diulang di setiap tahunnya, namun terletak pada hari-hari khusus turunnya berkat-berkat dari Allah Ta’ala. Bahkan Allah Ta’ala sendiri menyatakan bahwa bagi orang yang berpuasa dengan benar pahalanya adalah Allah Ta’ala sendiri. Maka oleh sebab itu, Nabi Besar Muhammad s.a.w. memanfaatkan
moment istimewa di bulan Ramadhan itu dengan berpuasa, memperbanyak shalat sunnah, berzikir, membaca Al-Quran, beramal shaleh, hingga melakukan I’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Faedah Rohani Puasa Ramadhan Di dalam bulan suci Ramadhan pelajaran taqwa itu diperoleh sedemikian rupa, di mana kebutuhan-kebutuhan penting yang mendesak untuk kelangsungan hidup maupun untuk keturunan ditahan. Untuk kelangsungan hidup, makan dan minum adalah hal-hal yang sangat vital. Dan untuk kelangsungan keturunan, berhubungan badan dengan istri adalah suatu hal yang penting. Akan tetapi di dalam bulan Ramadhan, kebutuhan-kebutuhan tersebut terpaksa harus ditinggalkan demi keridhaan Allah Ta’ala. Selama menjalani puasa di bulan suci Ramadhan, Allah Ta’ala mengajarkan bahwa apabila manusia terbiasa meninggalkan keinginankeinginan maupun kebutuhankebutuhan yang sangat penting seperti itu, maka betapa akan menjadi mudahnya bagi manusia untuk meninggalkan hal-hal yang tidak penting. Biarpun bagi seseorang itu ada kemudahan dan ketersediaan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan bagi hidupnya, namun selama berpuasa, dia akan berusaha sekuat tenaga untuk menghindari semua kebutuhan yang vital itu. Hal ini disebabkan karena selama berpuasa
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
17
Sajian | utama seseorang memiliki keyakinan yang sangat kuat, yaitu ingin membuat Allah Ta’ala ridho dan takut akan kemarahan-Nya. Oleh karenanya, puasa dapat menimbulkan ketenangan batin dan ketentraman diri. Efek dari kondisikondisi itu adalah munculnya Qurub Ilahi yang kemudian menghantarkan manusia menjadi manusia yang bertakwa. Hadhrat Khalifatul Masih II, Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a. menulis dalam Tafsir Kabir, jilid 2, halaman 375, sebagai berikut: “Tatkala manusia meninggalkan makan dan minum demi Allah Ta’ala, maka artinya bahwa dia, demi Allah Ta’ala, siap untuk mati di jalan-Nya. Dan tatkala manusia meninggalkan hubungan khusus dengan istrinya, hal itu menyatakan kesiapannya untuk mengorbankan juga anak-anak keturunannya demi Allah Ta’ala. Dan tatkala ia memperlihatkan kedua contoh tersebut di dalam puasa, maka dia menjadi berhak atas liqa atau perjumpaan dengan Allah Ta’ala. Dan akibat tegaknya hubungan dengan Allah Ta’ala serta menguatnya [potensi] kerohaniannya, maka orang itu selamanya akan terpelihara dari kesesatan. Puasa Ramadhan adalah Mi’raj Ibadah Pada hakikatnya puasa Ramadhan adalah Mi’raj dari ibadahibadah. Puasa Ramadhan adalah paling mulia dari sekalian ibadah. Di dalamnya menyatu seluruh 18
ibadah. Segenap ibadah mencapai puncaknya dan menjelma di dalam bentuk puasa. Di atasnya hanyalah kedudukan ibadah Haji. Setelah haji, adalah ibadah puasa. Semua ibadah lainnya merupakan pengikut dari kedua ibadah ini. Tidak ada satu indra pun yang tidak terpengaruh oleh puasa. Setiap indra menjadi terkendali. Setiap keinginan manusiawi menjadi terikat oleh suatu ketentuan atau batasan. Sebab, secara murni manusia melakukan pengorbanan secara total di hadapan Allah Ta’ala. Pintu-pintu neraka pada hakekatnya adalah pintu-pintu panca indra manusia itu sendiri. Apabila indra menjadi liar, maka dosa akan lahir. Melalui pintu indra itulah manusia masuk ke dalam neraka. Jadi, yang dimaksud tertutupnya pintu neraka selama bulan Ramdhan artinya adalah orangorang Mukmin, mengendalikan panca indra mereka sendiri dari segala perbuatan yang bisa membawanya ke neraka. Puasa di bulan Ramadhan juga merupakan jaminan bagi kesebelas bulan lainnya dalam satu tahun. Bulan Ramadhan datang untuk mengajarkan adab atau tata krama dalam menjalani hidup pada kesebelas bulan lainnya. Membiasakan diri membaca AlQuran, berzikir ilahi, berdoa, memenuhi hak-hak, membiasakan diri lidah bersih dari segala dusta, berkata benar dan bersih, berkata lurus, hanya bisa diperoleh melalui puasa.
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
Pada hakikatnya puasa Ramadhan adalah Mi’raj dari ibadah-ibadah. Puasa Ramadhan adalah paling mulia dari sekalian ibadah. Di dalamnya menyatu seluruh ibadah. Segenap ibadah mencapai puncaknya dan menjelma di dalam bentuk puasa.
Puasa Pra dan Non-Islam Perintah berpuasa bagi umat Islam tertuang dalam Al Quran Surah Al-Baqarah ayat 184, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, puasa diwajibkan atasmu sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelummu, supaya kamu terpelihara” Puasa, sebagai peraturan agama, dalam bentuk atau dengan perincian bagaimana pun terdapat dalam tiaptiap agama. Oleh kebanyakan agama, pada kebudayaan yang tarafnya rendah, pertengahan atau lebih tinggi sekalipun puasa itu umunya diwajibkan. Sesuai dengan keterangan Al Quran, Surah Al-Bakarah:184 di atas, bangsa-bangsa dan agama lain pun mengenal amalan puasa. Berikut diantaranya:
India Dalam sejarah bangsa India terdapat amalan puasa yang mempunyai pelbagai maksud, diantaranya sebagai persembahan kepada bulan yang mereka puja. Penganut kepercayaan ini, selain mempersembahkan makanan, minuman dan susu, mereka juga berpuasa selama setengah bulan dan berbuka ketika bulan mengambang pada waktu malam (purnama). Selain itu ada juga puasa yang bertujuan untuk melepaskan diri dari penderitaan akidah Tanasukh atau reinkarnasi dan melebur dengan tuhan mereka yang disebut sebagai Brahma untuk tujuan akhir mencapai kebahagiaan sejati. Seseorang tidak akan sampai kepada Brahma kecuali apabila dia sudah sampai kepada hakikat dan melepaskan diri dari segala macam ikatan kebendaan. Dengan itu kehidupan secara zuhud amat terkenal di kalangan bangsa India. Dalam konteks ini mereka akan berpuasa selama 14 hari tanpa memakan makanan sedikitpun, namun mereka tetap dibolehkan untuk minum selama masa tersebut. Dalam keyakinan yang disebut Tanasukh ini, roh seseorang itu tidak akan mati selama-lamanya, tetapi ia akan berpindah dari satu jasad ke jasad yang lain atau akan berpindah ke jasad binatang, biasanya ia akan berpindah dari yang baik kepada yang lebih buruk. Sepanjang masa perpindahan ini mereka akan tersiksa, mereka harus sanggup untuk melepaskan diri dari ikatan
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
19
Sajian | utama keduniaan dan berpuasa sehingga mereka bisa melebur dengan tuhan mereka Brahma ataupun menamatkan hidup mereka supaya mereka terlepas dari Tanasukh. Kepercayaan ini menyebabkan masyarakat pada masa India purba berpuasa atau mengkuburkan diri di bawah tanah semasa mereka berpuasa. Ketika kepercayaan Budha lahir di India, ternyata amalan puasa masih tetap ada. Bahkan Sang Budha Sidartha Gautama sendiri telah mengamalkan cara hidup berpuasa selama 6 tahun. Dalam peraturan selanjutnya, para pengikut Budha diharuskan berpuasa 4 hari dalam masa sebulan, yaitu pada hari pertama atau awal bulan, hari kesembilan, kelima belas dan hari kedua puluh dua. Tujuan amalan ini ialah untuk sampai kepada hakikat atau mencapai kebahagiaan sejati atau navarna. Tiongkok dan Jepang Ketika agama Budha berkembang di Tiongkok dan Jepang, maka amalan puasa dilakukan pula oleh mereka. Di Tiongkok, agama Budha menjadi agama rasmi negara pada masa pemerintahan Fu Tse (58 - 71M.). Sementara di Jepang, agama Budha masuk ke sana pertengahan abad ke6 M, dan menjadi agama negara di Jepang. Parsi Para ahli sejarah menyimpulkan, dari bukti bahasa, budaya, dan acara keagamaan, bangsa Parsi adalah 20
berketurunan campuran IndiaEropa. Dikatakan sejak abad ke-14 SM, Parsi merupakan sebuah negara yang menganut agama Hindu Kuno. Buktinya, di kalangan bangsa Parsi banyak nama yang diduga merupakan serapan dari budaya India, seperti misalnya; Andra, Matra, Faruna, dan Vida. Kesemuanya merupakan namanama tuhan dalam kepercayaan agama Hindu. Selain itu, dalam tata cara amalan ibadah pun sedikit banyak memiliki kemiripan, diantaranya pengorbanan, puasa dan lain-lain. Selanjutnya dalam perkembangan bangsa Parsi, pada abad ke-5 SM, bangsa Parsi mulai menerima pengaruh agama Yahudi. Pengaruh ini terlihat pada beberapa acara keagamaan orang-orang Yahudi seperti sembahyang dan puasa. Hasil percampuran pelbagai kepercayaan di kalangan bangsa Parsi itu, didapati mereka mempunyai program puasa seperti berikut: 1. Berpuasa selama 7 hari pada tiap bulan. 2. Berpuasa selama 2 hari berturut-turut tan pa berbuka apabila bulan purnama. 3. B e r p u a s a s e l a m a 2 hari berturut-turut tanpa berbuka apabila terbit anak bulan. 4. Berpuasa selama 2 hari apabila bulan perpindah kepada garisan jaddi.
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
Sajian | utama 5. Berpuasa pula selama 30 hari dan berbuka pada ketika matahari jatuh apabila iaberpindah pada garisan dalwu. 6. Berpuasa pada h ari Minggu dan Senin untuk memberi penghormatan kepada matahari dan bulan. Mesir Purba Puasa di kalangan orang-orang Mesir purba dilakukan sebagai penghormatan kepada rumah ibadah atau kuil. Seseorang yang mewaqafkan diri untuk mengurus rumah ibadat, terlebih dahulu berpuasa selama 2 hari tanpa m e m ak an m ak an a n , n am u n dibolehkan untuk meminum. Kadang-kadang puasa itu berlanjut hingga 42 hari lamanya. Amalan puasa pun dilakukan oleh mereka ketika malapetaka, seperti banjir besar, terjadi. Puasa seperti ini mereka lakukan selama empat hari, yang dilaksanakan beberapa hari setelah petaka itu berlalu. Di samping itu mereka pun akan melakukan puasa jika terjadi peristiwa yang menyedihkan lainnya, misalnya terjadi kematian atau pun jika lembu suci sesembahan mereka mati. Lamanya puasa ditentukan oleh pemuka agama mereka. Yunani dan Romawi Di Yunani, puasa dilakukan bertujuan untuk menghilangkan malapetaka yang diakibatkan oleh bencana alam. Dengan berpuasa
diharapkan kesusahan akibat bencana itu segera hilang. Di samping bertujuan untuk menghilangkan malapetaka, bangsa Yunani pun melakukan puasa sebagai rasa syukur karena telah terlepas dari kesusahan; telah lahirnya undang-undang baru; dan memohon untuk mendapat kemenangan di dalam peperangan. Khusus puasa untuk memperoleh kemenangan dalam peperangan, mereka berpuasa selama 10 hari lamanya. Di Roma, rakyat negara ini sangat percaya dengan kekuatan puasa. Mereka yakin seorang yang berpuasa akan mampu membunuh ular raja kobra hanya dengan ludahnya. Yahudi Bangsa Yahudi adalah pengikut syariat Nabi Musa a.s. Sebelum menerima kitab Taurat, Nabi Musa a.s. berpuasa selama 40 hari di bukit Sinai. Tetapi orang-orang Yahudi menganggapnya sebagai puasa khusus Nabi Musa a.s. Adapun sebagian ulama Muslim berpendapat bahwa Nabi Musa a.s. berpuasa 40 hari ini tanpa diselangi sama sekali dengan berbuka. Terdapat 19 hari-hari perayaan agama Yahudi sepanjang tahun yang dimulai dengan amalan puasa, namun yang menjadi puasa wajib hanya sehari saja, yaitu pada hari Ghufran (pengampunan). Mereka berpendapat hanya itu saja puasa wajib yang dikenakan atas mereka. Ada pun puasa-puasa lain adalah puasa tambahan yang dilakukan
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
21
Sajian | utama beberapa kali, yang tidak tersusun. Puasa Ghufran itu dilakukan pada satu perempat jam sebelum matahari tenggelam hari kesembilan, bulan Tashri, yaitu awal tahun Ibri (tahun Yahudi), hingga satu perempat jam setelah matahari tenggelam pada hari ke sepuluh (selama sekira 25 jam lamanya). Selama itu mereka berpuasa dengan tanpa makan, minum, dan melakukan hubungan badan. Ada pun tentang puasa-puasa lainnya yang terdapat dalam amalan ibadah puasa agama Yahudi di antaranya; 1. Puasa 7 hari untuk merayakan Hari Fash, yaitu hari terlepasnya bangsa Israel dari buruan tentara Firaun yang mengejar mereka hingga Laut Merah. Mereka berhasil lolos berkat kepemimpinan Nabi Musa a.s. 2. Puasa Forim, yaitu puasa selama tiga hari untuk merayakan terlepasnya bangsa Israel dari pembantaian etnik yang dilakukan Raja Parsi yang bernama Haman. 3. Puasa untuk memperingati peristiwa dibakarnya sebuah sinagog di Mesir yang dibakar oleh ahli agama negara itu di bawah pengaruh Parsi. Nasrani Al-Quran menyebut orang Nasrani dan Yahudi sebagai Ahli Kitab. Dalam amalan ibadahnya pun keduanya tidaklah jauh 22
berbeda, termasuk dalam berpuasa. Secara garis besar Nasrani terbagi kepada tiga mazhab atau aliran besar, yaitu Katholik, Othordok dan Protestan. Ketiganya memiliki cara amalan puasa yang sebagiannya berbeda satu sama lain. Katholik, dalam tradisinya umat Katolik melakukan amalan puasa saat akan menyambut Natal. Mereka berpuasa dimulai pada p e r te ng ahan m al a m h i ng g a pertengahan siang keesokan harinya. Pada masa berpuasa, mereka dilarang makan dan minum. Puasa ini disebut dengan Puasa Besar. Dalam peraturannya, yang dibolehkan berpuasa itu adalah laki-laki yang telah berusia 15 tahun hingga 60 tahun, dan perempuan yang berusia 15 hingga 55 tahun. Gereja Katolik hanya mengakui puasa ini sebagai amalan puasanya, sedangkan puasa lain sama sekali tidak diaku. Mereka beralasan puasa -puasa lain itu tidak terdapat dalam Injil. Selain berpuasa, mereka melakukan pantangan untuk memakan daging, telur, dan meminum susu pada hari Rabu dan Jumaat pada setiap minggu. Othordok, mazhab ini memiliki amalan puasa yang jauh berbeda dengan Katolik. Puasa yang dilakukan mereka adalah dengan menahan diri dari makan makanan dalam masa yang tertentu. Waktu pelaksanaannya hanya ditentukan oleh pendeta dari mazhab mereka, yang mempunyai hak berbuat
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
Sajian | utama demikian. Dalam mazhab ini, Puasa Besar dianggap sebagai puasa yang paling penting, masanya selama 50 hari dan berakhir pada saat hari Raya Kiamat. Mereka juga berpuasa selama 40 hari yang dinamakan Puasa Kelahiran, dimulai pada tanggal 25 November dan berakhir pada tanggal 6 Januari, Yaitu sebelum berlangsung hari Raya Kelahiran/Natal. Pihak gereja mazhab ini juga turut berpuasa pada hari Rabu dan Jum’at, dan puasa selang-seling satu hari yang dinamakan dengan Puasa Rasul-rasul. Selain dari itu, pengikut mazhab ini juga berpuasa selama 15 hari, yang disebut puasa Mariyam, yang mulai pada awal bulan Masri (bulan dalam kalender Nasrani Othordok). Protestan, dalam mazhab ini puasa sama sekali tidak diwajibkan dan tidak pula diperintahkan. Alasannya karena hal itu tidak terdapat dalam Al-Kitab. Akibatnya, amalan puasa dalam mazhab ini mengikuti selera masing -masing umatnya. Berbeda dengan Katolik, Protestan tidak menentukan masa untuk berpuasa dan ia juga tidak menentukan umur seseorang untuk berpuasa, malah segala-galanya diserahkan kepada pilihan atau kemauan pengikutnya, bila mereka ingin berpuasa dibebaskan dan jika pun tidak, tidak apa-apa. Namun dalam prakteknya ditemukan ada yang menggantikan amalan puasa dengan
memberhentikan makan makanan yang disuka, atau menguangkan harga makanan yang biasa dimakan yang kemudian diberikan kepada fakir miskin. Bangsa Arab Pra-Islam Sebelum kedatangan Islam, di kawasan Arab sudah ada komunitas keagamaan yang terdiri dari massa agama Hanif yang dibawa oleh Nabi Ibrahima a.s., agama Yahudi, Nasrani, Brahma, Sabi'ah, penyembah berhala, Majusi, dan penganut animisme. Oleh karenanya amalan puasa sudah tidak asing lagi, atau sekurangk u r an g n y a m e r e k a t e l a h terpengaruh oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani yang hidup bersama-sama mereka. Disebutkan, pada orangorang Arab Quraish, khususnya Quraish Makkah, berpuasa pada hari `Ashura' sebagai penebus dosa mereka. Namun ada pendapat lain yang mengatakan, puasa Ashura itu adalah puasa untuk mengambil berkah saat penutup kain Ka’bah dipasang. Puasa Ashura dilaksanakan setiap tanggal 10 Muharram. Di masa awal Islam, sebelum perintah puasa Ramadhan turun pada tahun ke-15 masa Ken ab i an , pu as a Ash ur a diwajibka atas umat Islam. Terdapat beberapa buah Hadits yang berkenaan dengan puasa Ashura di antaranya Hadits riwayat Hadhrat Aishah r.a. yang menyebut, Rasulullah
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
23
Sajian | utama Muhammad s.a.w telah memerintahkan supaya menunaikan puasa Ashura, tetapi setelah diwajibkannya puasa di bulan Ramadhan seorang Muslim dibebaskan untuk berpuasa Asyura atau pun tidak. [][] Kesimpulan: 1. Ramadhan berasal dari akar kata Arab ‘ramidha’ atau ‘arramadh’ yang berati panas terik matahari yang intens dan kering, terutama menerpa tanah. 2. Ramadhan adalah istilah asli dalam agama Islam 3. Kesalahan yang sudah menyebar, menyebutkan bahwa Ramadhan adalah nama bulan warisan zaman Arab kuno, bahkan zaman peradaban Babylonia. 4. Ramadhan menjadi agung karena di bulan itu Allah Ta’ala menurunkan AlQuran untuk pedoman hidup manusia. 5. Dalam bulan Ramadhan Allah Ta’ala telah membuka selebarlebarnya pintu berkah. 6. Puasa di bulan Ramadhan adalah Mi’raj bagi ibadahibadah lainnya. Daftar Pustaka: 1. A l - Q u r a n dan Terjemahannya, Departemen Agama 24
2.
3.
4. 5. 6.
7. 8. 9. 10. 11.
Republik Indonesia, Tahun 1995 Al-Quran, Terjemah dan Tafsir Singkat, oleh Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a. Al-Quran dan Terjemahannya, oleh Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Quran, tahun 2008 Fiqih Wanita, oleh Syakil Kamil Muhammad Uwaidah Fiqih Ahmadiyah, oleh Jemaat Ahmadiyah Indonesia, tahun 1997 Malfuzat, Kutipan Sabdasabda Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. Imam Mahdi & Masih Mau’ud, MI tahun 1997 http://id.wikipedia.org/ wiki/Ramadan http://id.wikipedia.org/ wiki/Kalender_komariah http://id.wikipedia.org/ wiki/Puasa http://id.wikipedia.org/ wiki/Kalender_Hijriyah h t t p : / / www.republik a.co.id/ berita/ramadhan/shaumala-rasulullahsaw/13/07/01/mp97h1mengenang-puasa-umatterdahulu Abu Jibriel Pemerhati Sosial Tinggal di Bogor
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
Buku ini merupakan salah satu bagian dari buku karya Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. yang berjudul Tadzkiratusy Syahadatain yang diterbitkan di Qadian pada tanggal 14 Desember 1903 M
Bagian Ke‐4
Penterjemah: Abdul Karim Mun’im
Sesungguhnya aku dengan karunia Allah termasuk waliyullah, apakah kalian tidak mengenal dan mengetahui? Aku datang kepada kalian disertai tanda-tanda yang nyata, apakah kalian tidak melihat? Apakah matahari dan bulan tidak mengalami gerhana? Tidakkah unta -unta muda di semua negeri ditinggalkan, bagaimana keadaan kalian, tidakkah kalian merenungkan itu? Keterangan-keterangan dari Tuhan Yang Maha Rahman sudah datang, dan telah turun bukti dariNya, maka kesangsian mana lagi yang menggelisahkan hati, atau alasan apa lagi yang tersisa di sisi kalian, Hai orang-orang yang berkeberatan? Tidakkah tha’un tersebar luas dan banyak kematian? Dusta dan kefasikan tersebar serta kaum musyrik menjadi berkuasa. Terdapat revolusi dan perubahan hebat di dunia, apa-apa yang kalian nantinantikan sudah zahir, lalu apa yang terjadi dengan kalian, kalian tidak memperbaiki anggapan dan melampau batas? Hai manusia, mengapa kalian datang di hadapan Allah dan Juru Damai-Nya, jika kalian takut? Apakah ini ketakwaan kalian, bahwa kalian telah mengkafirkanku dan kalian tidak benar-benar mencari tahu, kalian tidak bertanya dengan hati yang tulus tapi jika kalian ditanya mengenai diri kalian, kalian menggebu-gebu? Apakah kalian merasa keberatan 26
bahwa Allah mengutusku di permulaan abad dan memilihku untuk menjadi mujaddid, pembaharu agama Allah untuk mengadakan perbaikan dan untuk membungkam kaum yang melewati batas dalam menjadikan Isa sebagai Tuhan dan aku akan memecahkan salib, yang mereka puja-puja serta mereka sembah? Apakah sangkalan-sangkalan Tuhan-ku dalam wahyu-Nya telah membuat kalian marah? Seperti itulah kemarahan Yahudi sebelum ini, maka bagaimana dengan kalian, tidakkah mengambil pelajaran? Hai, manusia sesungguhnya aku adalah Al-Masih yang datang pada zamannya, turun dari langit dengan buktinya, memperlihatkan kepada kalian tanda-tanda Allah yang ada pada kalian, ada pada dirinya dan ada pada penolong-penolongnya. Zaman memberikan kesaksian untuknya dengan bahasanya dan Allah memberikan kesaksian untuknya dalam Quran-Nya, maka dengan perkataan mana lagi kalian akan beriman selain kesaksian Allah dan keterangan-Nya? Tidakkah Dia bersabar dan berlaku lembut, supaya kalian takut kepada Allah dan hari Perjumpaan? Dan agar kalian takut kepada hari yang akan melelehkan kulit-kulit dengan api-Nya? Tidakkah kalian merenungkan tanda-tanda Allah? Kesaksian mana lagi yang lebih besar daripada Quran-Nya? Apakah kalian tidak melihat se-
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
Terjemah Buku Masih Mau’ud as.: Alaamaatul
Muqarabiin
sungguhnya aku dari Allah dan kalian menolak aku, maka bagaimana bisa kalian memperoleh bagian dari perlindungan-Nya? Tidakkah kalian baca riwayat-riwayat Yahudi. Bagaimana mereka telah dibuat menjadi kera-kera. Apakah pada kalian tidak terdapat dalihdalih seperti yang biasa kalian kemukakan? Kasihanilah diri kalian
mereka akan dikembalikan. Celakalah orang-orang yang tidak bisa membedakan antara orang benar dan pendusta, mereka tidak akan bisa membeda-bedakan. Mereka tidak dapat mengenali para shaadiq (orang-orang benar) dari mukamuka mereka, dan mereka tidak mempunyai firasat yang tajam. Mereka tidak bisa merasai kalimat-
“Sesungguhnya aku dengan karunia Allah termasuk waliyullah, apakah kalian tidak mengenal dan mengetahui? Aku datang kepada kalian disertai tanda-tanda yang nyata, apakah kalian tidak melihat? Apakah matahari dan bulan tidak mengalami gerhana? Tidakkah unta-unta muda di semua negeri ditinggalkan, bagaimana keadaan kalian, tidakkah kalian merenungkan itu?” sendiri, sejauh mana kalian akan memberanikan diri? Janganlah kalian berperang melawan Allah, Hai orang-orang jahil! Apa yang terjadi dengan kalian, kalian tidak ingat kematian kalian dan tidak merasa takut? Sesungguhnya kecemburuan yang dilancarkan kepadaku dan kalian tentang, itu adalah petir. Tidak akan dapat ditolak siksaannya dari kaum yang berbuat dosa. Sesungguhnya Dia mendengar apa yang kalian ucapkan mengenainya dan Dia melihat bisikan rahasia kalian dan Dia melihat setiap kali kalian membuat suatu rencana. Segera orang-orang zalim akan tahu ke tempat kembali yang mana
kalimat itu dan tidak dapat mengambil manfaat dari tanda-tanda itu. Allah telah memberi tutupan kepada hati mereka, maka mereka tidak dapat memahami. Hai manusia, mengapa kalian terburu-buru dalam mengafirkan aku, apa yang terjadi dengan kalian? Kalian tidak menempuhi jalan sebagai orang-orang yang bertakwa, kalian bicara tak karuan dan kalian tidak berlaku tenang dan teguh. Apa yang terjadi dengan kalian, kalian tidak menyelidiki dengan seksama Hikayat mengenai Isa dalam Firman Allah ‘Azza wa Jalla “… maka setelah Engkau mewafatkan aku …” ataukah kalian tidak akan wafat dan akan dijadikan hidup lama? Atau-
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
27
Terjemah Buku Masih Mau’ud as.: Alaamaatul
Muqarabiin
kah kalian pernah melihat Isa ketika beliau naik ke langit, maka kalian katakan, ‘Bagaimana bisa kami meninggalkan apa yang kami lihat dan sesungguhnya kami menyaksikan itu.’ Celakalah kamu, mengapa kalian menyesatkan segolongan orangorang tanpa ilmu dan kalian tidak merasa takut terhadap Dia yang kepada-Nya kalian akan dikembalikan? Kalian bersikukuh dengan dusta dan kalian mengetahui bahwa kalian sedang berbohong, lalu atas kebohongan itu kalian berlaku lancang. Sekiranya aku tidak dibangkitkan kepada kalian, tentu kalian tidak akan dimaafkan, akan tetapi tidak tersisa lagi alasan pada kalian setelahnya Allah mengutusku, maka bagaimana keadaan kalian yang tidak merasa takut? Buruk sekali apa yang kalian perbuat terhadap hukum-hukum dari Allah dan buruk sekali apa-apa yang kalian reka-reka itu. Aduhai sayang seribu sayang untuk kalian, kalian tidak mengenali zaman, kalian tidak memikirkan apa-apa yang disabdakan para nabi. Allah telah mengaruniai kalian dengan tanda-tanda dari sisi-Nya, mengapa kalian tidak memperhatikannya, pura-pura tuli dan pura-pura buta, maka jadilah kalian orang-orang yang mati. Kalian tidak meninggalkan secuil pun kesesatan kalian bahkan kalian bersikukuh atas itu. Sesungguhnya Allah telah menerangkan kepada kalian masa untuk Masih-Nya dan tiada tertinggal dalil-dalilnya pun.
“Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah [ketika itu] orang-orang yang lemah.” Apa yang terjadi dengan kalian, kalian tidak memahami dan memberikan perhatian terhadap rahasia ini? Bukankah abad ini adalah abad badar [abad ke-empat belas] apa yang terjadi dengan kalian, kalian tidak dapat mengukur dan mempertimbangkan ayat-ayat Allah dengan sebenar-benarnya serta tidak pula mengambil manfaat? Orang-orang bodoh berkata : ‘Bagaimana bisa kami mengikuti orang asing dan bagaimana mungkin kami akan meninggalkan golongan yang banyak? Seorang Nabi datang hanyalah dari antara orangorang asing dan kemuliaan itu datang dari antara kesesatan. Perhatikanlah, bagaimana kami akan menyingkirkan keraguan-keraguan dan bagaimana bisa mereka itu pura -pura buta. Sesungguhnya mereka telah lupa suatu hari mereka akan kembali kepada-Nya sendiri sendiri lalu akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa-apa yang telah mereka perbuat. Apa yang yang terjadi dengan mereka, mereka tidak mengenali Musa, Isa dan Nabi kita yang paling mulia, bagaimana mereka [Musa, Isa dan Muhammad] telah diutus dalam keadaan dianggap aneh dan asing pada permulaan mereka, lalu segolongan orang-orang saleh bergabung dengan mereka. Semuanya membenarkan dan menerima, mereka beriman kepada orang yang asing dan men-
28
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
Terjemah Buku Masih Mau’ud as.: Alaamaatul
Muqarabiin
inggalkan kelompok besar mereka, jika tidak ia dijadikan untuk jahanam. Maka celakalah bagi mereka yang meninggalkan utusan pada zamannya, mereka itulah orangorang yang menyeleweng dan Nabi kita SAW menyebutnya : [ فيج أعوج -- [ و أشأمfaij a’waj wa asy’am – Kelompok orang-orang yang menyimpang dan celaka. Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya mereka bukan dari golonganku dan aku bukan dari antara mereka’ – maka mereka itu adalah orang-orang yang menyimpang sebagaimana yang terdahulu. Apabila seorang Hakam dari Tuhan datang kepada mereka, mereka mencukil matanya dan menjadikan telinga mereka tuli, mereka tidak menanyakan mengenai Hakam itu dan jadilah mereka seperti orang yang bisu.
Dan sesungguhnya Allah telah mengutus aku pada awal abad ini, dikarenakan Dia melihat Islam berada pada lubang-lubang penyelewangan. Dia melihat Islam seperti tanah yang tidak baik atau seperti tanaman yang rusak dan busuk akarnya atau seperti daging yang berbau busuk dan hampir-hampir ia seperti pohon yang baunya busuk. Dia melihat orang-orang nasrani menyesatkan ahlul haq [kelompok yang haq] dan dijadikan menjadi nasrani. Mereka mencaci maki Nabi kita dengan aniaya dan penuh dusta dan mereka tidak menghentikannya. Dia melihat ulama, pada diri mereka tidak terdapat kekuatan untuk membungkam dan menghentikan itu, tidak pula fashahatul kalaam – dan mereka ragu dan tidak yakin dengan perkataan mereka sendiri karena mereka tidak diberikan kekuatan berkata-kata dengan bimbingan ruh dari Allah dan tidak pula mereka itu diberikan kefasihan, tetapi yang akan didapati pada mereka itu adalah pembelaan diri dan mereka sendiri tidak mengerti apa yang mereka katakan. Itu disebabkan mereka durhaka dan tidak taat kepada Tuhan mereka, karena ucapan mereka tidak sesuai dengan perbuatan juga karena mereka berlaku riya. Dan ketika aku datang kepada mereka , mereka berpaling dan berkata : “Ia seorang pendusta” atau “Ia gila.” Aku tidak datang pada mereka melainkan pada saat mereka lupa akan amal-amal saleh dan dari amal-amal saleh, mereka mengesampingkan tumbuhan yang
“Hai manusia, mengapa kalian terburu-buru dalam mengafirkan aku, apa yang terjadi dengan kalian? Kalian tidak menempuhi jalan sebagai orang-orang yang bertakwa, kalian bicara tak karuan dan kalian tidak berlaku tenang dan teguh.”
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
29
harum baunya dan bangga dengan pohon yang berbau busuk. Aku telah memberikan berbagai risalah kepada mereka yang di dalamnya ada ayat-ayat yang terang supaya mereka dapat berpikir. Tiada lain jawaban mereka hanyalah perolokolokan dan ejekan, mereka mendustakan ayat-ayat Allah padahal mereka mengetahui. Mereka berkata : “Ia hanya mengada-ada dan bangsa lain membantunya untuk itu.” Sebagian mereka mengatakan : “Ia seorang atheis, tidak beriman kepada Allah,” maka bacalah, Hai orang yang bisa melihat, apa-apa yang telah kami tulis dan telah kami publikasikan, lalu perhatikan, bagaimana bisa mereka bicara tidak karuan. “Sesungguhnya telinga, mata dan hati semuanya akan dimintai pertangungjawabannya.” maka celakalah bagi mereka pada hari mereka akan bertemu dengan Allah dan diminta pertanggung jawaban. Siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang mengada-adakan perkataan dusta terhadap Allah atau mendustakan tanda-tanda-Nya, sesungguhnya orang-orang zalim tidak akan bersuara. Mereka berkata : “Engkau tidak datang dengan membawa bukti dan kekuatan dari sisi Allah,” tetapi tidak mempunyai mata yang dengan itu mereka dapat melihat, hati yang dengan itu mereka dapat memahami serta telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar. Mereka itu hanyalah seperti seekor ternak yang pergi 30
“Apabila dibacakan kepada mereka mengenai apa-apa yang telah Allah turunkan, segera mereka akan mengatakan, ‘itu bohong’ dan mereka akan mencaci habis -habisan. Engkau akan melihat mereka itu bangkai pada malam hari dan hantu pada siang hari, mereka haus terhadap urusan dunianya dan lengah dari Akhirat.” merumput ke tempat pengembalaannya, mereka akan kebingungan lepas kendali dan berputar-putar. Mereka menulis risalah-risalah supaya dapat menyembunyikan kebenaran, dan sesungguhnya kami telah mengikat tangan mereka, maka apa yang akan mereka tulis. Sesungguhnya aku telah mengadakan ikatan persumpahan dengan mereka dan aku katakan : “Majulah kalian bertanding denganku, jika memang kalian itu benar,” maka mereka diam pada tempat mereka, mereka tidak keluar seakan-akan bumi telah mengurung mereka dan seolah-olah mereka itu adalah orang -orang yang kehilangan sesuatu. Lalu aku bangun untuk mereka pada malam-malam yang beberkat dan mendoakan mereka pada jam-
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
Terjemah Buku Masih Mau’ud as.: Alaamaatul
Muqarabiin
jam malam supaya mereka dikasihani. Allah tidak akan menerima taubat kepada seseorang kecuali terhadap kaum yang benar-benar menyesali dirinya. Dari antara mereka terdapat kaum yang melanggar, dan dari antaranya juga ada yang seperti sesuatu yang berada di tengahtengah dan tidak berada pada jalan yang terang. Mereka tidak menelusuri jalan. Siapa yang mendekat kepada Allah satu jengkal, Dia akan mendekat kepadanya satu hasta akan tetapi orang-orang zalim tidak mengarahkan perhatiannya. Mereka memutus jalinan serta ikatan Allah dan mereka condong kepada dunia. Keadaan yang dingin secara tibatiba menimpa mereka, maka mereka terperangkap dingin dan setiap saat mereka merasa ngilu tulangtulangnya karena kedinginan. Mereka telah meracuni dan mengotori orang saleh dengan apa-apa yang merusak, mereka telah mencela kemuliaan iman dan mereka mengabaikannya. Apabila dikatakan kepada mereka “Sesungguhnya Allah sudah berdiri tegak bagi kalian dan mengirimkan Thaun,” mereka berkata : “Penyakit itu akan datang dan pergi, dan kematian tidak akan merenggut kami.” Perhatikan, bagaimana bisa mereka diberi peringatan, lalu perhatikan lagi bagaimana bisa mereka pura-pura terserang kantuk. Mereka akan melihat kematian itu dan mereka tidak akan diberi nasehat. Engkau lihat mereka berketetapan hati dengan keindahan-keindahan dunia dan mereka tidak akan
merasa puas. Apabila dibacakan kepada mereka mengenai apa-apa yang telah Allah turunkan, segera mereka akan mengatakan itu bohong dan mereka akan mencaci habishabisan. Engkau akan melihat mereka itu bangkai pada malam hari dan hantu pada siang hari, mereka haus terhadap urusan dunianya dan lengah dari Akhirat. Bala bencana zaman tidak akan meninggalkan mereka, lalu seiring dengan itu mereka akan tidak akan mengarahkan perhatian. Dan apabila kepada mereka dikemukakan kalam-kalam haq, mereka mendengarnya akan tetapi mereka tidak akan berselera seakan-akan sedang sakit. Mereka tidak suka apa-apa yang mereka dengar dan mencela apa-apa yang dibacakan. Mereka akan mengetahui bahwa mereka itu akan jadi mayat, lalu mereka purapura lengah dan tidak tahu. Mereka menangisi dunia seperti orang yang kabur penglihatan matanya tetapi mereka lengah dari Akhirat. Setan menampakkan indah kepada mereka kesenangan-kesenangan mereka, maka mereka condong kepadanya, maka Allah menjadikan amal-amal mereka itu sia-sia, mencabut harta benda mereka dan mereka dilaknat sedangkan mereka tidak mengetahui. Mereka akan memilih waduk yang telah bercampur lumpur dan berubah rasanya dan meninggalkan samudera yang tidak keruh, itu karena mereka kehilangan semangat, maka mereka akan merasa puas dengan yang pal-
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
31
Terjemah Buku Masih Mau’ud as.: Alaamaatul
Muqarabiin
ing dekat dan paling rendah. Mereka meninggalkan satu warna utuh, yang tidak terdapat bercak padanya, tetapi mereka memilih yang belang. Mereka berada di antara matahari dan bayangan, mereka tidak meninggalkan tempattempat duduknya setan dan mereka tidak mau berhenti. Upaya mereka sekuat tenaga supaya pintu-pintu dunia terbuka untuk mereka dan di dunia mereka diberikan setiap buah dari buah-buahnya dunia dan mereka akan diberikan makan itu. Mereka mengkafirkan aku dan aku tidak mengerti atas dasar apa mereka mengafirkan aku. Kami menyumpahi mereka supaya mereka mengatakan apa yang mereka sembunyikan. Mereka tidak mengucapkan satu kata pun, keluarganya pun sudah diintimidasi dan ditakut-takuti, mereka tidak biasa seiring sejalan. Mereka mengira masa turunnya AlMasih seperti unta yang besar kandungannya dan tak kuasa bangun. Mereka melihat syarat-syarat itu sudah zahir lalu mereka tidak waspada. Tidakkah bulan dan matahati telah mengalami gerhana, dan itu gerhana terjadi pada bulan ramadhan? Tidakkah kalian perhatikan, bagaimana beban-beban bumi zahir, mesin bergerak, kapalkapal laut membelah air, jiwa-jiwa dipasangkan, unta-unta ditinggalkan dan tandu-tandu pada punggung hewan tunggangan akan diganti dan apa pun yang kalian inginkan telah zahir. Sesungguhnya Marham Isa
adalah satu tanda nyata terhadap kewafatannya. Bagaimana dengan kalian ini, tidak merenungkan tanda ini dan mengambil manfaat darinya. Sesungguhnya persamaan Al Masih AlMau’ud itu sama seperti Dzulqarnain [Zulkarnain] dan kepada beliaulah AlQuran mengisyaratkan, andai saja kalian mau merenung. Sesungguhnya akulah yang cerdik seperti Dzulqarnain. Bumi semuanya dengan dipasangkannya jiwa-jiwa akan dikumpulkan untukku. Maka aku telah menyempurnakan perjalananku dan aku terus-menerus menginjakkan kedua kaki ini. Tidak ada wisata dalam Islam, dan tidak pula bepergian tanpa mengunjungi Mekah dan Madinah. Maka perjalanan itu dikaruniakan kepadaku dengan cara ini dari Tuhan bumi dan langit. Aku mendapati dalam perjalananku dua kaum yang saling bertolak belakang. Satu kaum disimabahi matahari dan wajah mereka dibuat hangus oleh panas terik, maka mereka kembali dengan membawa kegagalan. Satu kaum yang lainnya pada keadaan sangat dingin dan sumber mata airnya bercampur dengan lumpur, mereka kehilangan sumber mata air. Itu misal mereka yang mengatakan : “Sesungguhnya kami adalah orang-orang Muslim,” dan mereka tidak mempunyai bagian matahari Islam. Mereka akan membakari tubuh mereka tanpa guna dan mereka akan menghanguskan mukanya dengan panasnya. Dan misal mereka yang tidak memiliki sinar matahari Tau-
32
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
hid dan menjadikan Isa sebagai Tuhan dan menggantikan orang mati dengan Dia yang Maha Hidup, mereka mengira bahwa kepadanyalah mereka mencari hajatnya. Ini adalah dua misal bagi kaum yang menjadikan diri mereka seperti sisi-sisi yang saling berjauhan. Tidak bermanfaat sinar matahari tanpa muka-muka yang dipanaskan dengan panasnya, maka mereka menjadi binasa. Permisalan bagi kaum yang melarikan diri dari sinarnya, maka mereka telah dirampas dan mereka berjalan dalam kegelapan. Sesungguhnya aku memahami Dzulqarnain dari tahun-tahun Hijriah dan dan begitu pun dari tahun-tahun Masehi. Setiap tahun mereka menghitung dengan itu. Karena itu aku dinamai Dzulqarnain pada Kitabullah. Sesungguhnya dalam hal demikian itu terdapat tanda bagi kaum yang mau merenung. Aku tidak datang melainkan pada saat Yajuj dan Majuj berkuasa pada masa itu dan mereka dari setiap tempat akan mempunyai keturunan. Maka diutuslah aku untuk melindungi orang-orang Muslim dari cengkeraman mereka dengan tanda-tanda yang nyata dan doa -doa yang menarik malaikat ke bumi dari langit supaya aku dapat menciptakan pertahanan bagi kaum yang menyerahkan diri. Segala puji kepunyaan Allah yang telah mengirimkan hambanya pada masanya dan menurunkannya dari langit ketika terjadinya kerusakan zaman dan keterasingannya.
Aku tidak datang melainkan pada saat Yajuj dan Majuj berkuasa pada masa itu dan mereka dari setiap tempat akan mempunyai keturunan. Maka diutuslah aku untuk melindungi orangorang Muslim dari cengkeraman mereka dengan tandatanda yang nyata dan doadoa yang menarik malaikat ke bumi dari langit supaya aku dapat menciptakan pertahanan bagi kaum yang menyerahkan diri. Maka apakah dari antara kalian ada orang yang dapat mencegah qadhaNya dan merobohkan bangunanNya? Maha Suci Dia dan Maha Luhur dari apa-apa yang mereka sangkakan. Kalian akan mengafirkkan aku dan kalian hanya berlaku aniaya pada diri kalian sendiri. Sesungguhnya aku mempercayakan perkaraku kepada Allah, maka segera kalian akan mengetahui.
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
Bersambung
33
Pentingnya Keselarasan Ucapan dan Perbuatan ”Rasa takut terhadap Allah Ta’ala terletak di dalam hal-hal berikut ini, yaitu supaya manusia melihat sejauh mana kesesuaian antara ucapan dan perbuatannya. Lalu jika dia mendapatkan ketidaksesuaian antara ucapan dan perbuatannya maka pahamilah bahwa dia akan menjadi sasaran murka Tuhan. Hati yang tidak suci, betapa pun sucinya kata-kata yang ia ucapkan, di pandangan Tuhan hati yang seperti itu tidak mempunyai nilai apa-apa, bahkan karenanya kemurkaan Tuhan akan bergejolak. Jadi, Jemaat-ku harus memahami, bahwa mereka telah datang kepadaku, untuk ditaburi benih, yang karenanya mereka akan menjadi pohon-pohon yang berbuah.
Nah, setiap orang harus menelaah dirinya sendiri; bagaimana keadaan di dalam dirinya? dan bagaimana keadaan batinnya? Seandainya Jemaat kita pun seperti itu, semoga
Malfuzat adalah kompilasi dari sabda‐sabda Imam Mahdi dan Al Masih Yang Dijanjikan, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. dari tahun 1891 sampai 1908. Sabda‐sabda itu dikumpulkan oleh tiga orang Ahmadi, yaitu Maulana Abdul Karim, Mufti Muhammad Shadiq dan Syekh Yaqub Ali Irfani. Mereka mengumpulkan sabda‐sabda itu, baik bersumber dari diri mereka sendiri atau pun dari para Ahmadi lainnya yang pernah bergaul dengan Hadhrat Imam Mahdi a.s. Pada tahun 1940 hingga 1947, Maulana Jalaluddin Syam melakukan penjilidan terhadap sabda‐sabda tersebut. Hasilnya terkumpullah sebanyak 10 jilid buku. Di masa kekhalifahan Khalifah ke IV, Hadhrat Mirza Tahir Ahmad r.h. Malfuzat dijilid ulang dan dirampingkan menjadi 5 jilid. Kutipan‐kutipan Malfuzat yang diterbitkan SINAR ISLAM adalah Malfuzat yang telah dijilid menjadi 5 jilid. 34
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
Malfuzat Tuhan tidak menjadikannya demikian, yakni di lidahnya lain dan di dalam hatinya ternyata lain lagi, maka kita akan berakhir dengan tidak baik. Kalau Allah Ta’ala melihat bahwa suatu jemaat yang hatinya kosong mengeluarkan pernyataanpernyataan di lidahnya, maka Dia adalah Al-Ghanī (Maha Cukup) dan tidak akan mempedulikannya. Sudah turun kabar gaib tentang kemenangan di medan Badar. Berbagai harapan untuk menang pun ada, namun demikian Yang Mulia Rasulullah s.a.w. tetap berdoa sambil menangis-nangis. Hadhrat Abu Bakar Shiddiq r.a. mengatakan, bahwa janji kemenangan sudah ada, maka untuk apa lagi memohon dengan merintih sendu? Yang Mulia Rasulullah s.a.w. menjawab bahwa, “Zat (Allah) itu Al-Ghanī (Mahacukup), yakni mungkin saja terdapat syarat-syarat yang terselubung di dalam janji Ilahi tersebut”. (Malfuzat, jld I, hlm 11, Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).
Tanda-tanda Orang Bertakwa “Jadi, hendaknya harus senantiasa dilihat sampai di manakah kita telah meraih kemajuan dalam hal ketakwaan dan kesucian, standarnya adalah Al-Quran. Dari sekian tanda-tanda orang mutaki (bertakwa), Allah Ta’ala
juga menetapkan sebuah tanda, yaitu Allah Ta’ala membebaskan orang bertakwa itu dari ke-makruhan (hal-hal yang dibenci-Nya), lalu memberikan kecukupan pada orang itu untuk pekerjaan-pekerjaannya, sebagaimana Dia berfirman: “Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, Dia akan membuat baginya suatu jalan keluar, dan Dia akan memberikan rezeki kepadanya dari arah yang tidak pernah disangkanya” AthThalaq: 3-4. Yakni, orang yang takut kepada Allah Ta’ala, dalam setiap musibah Allah Ta’ala akan membukakan jalan keikhlasan untuknya, dan Dia akan menciptakan sarana-sarana penghasilan (nafkah) bagi orang itu yang tidak pernah terbayangkan olehnya. Yakni, ini pun merupakan sebuah tanda orang yang mutaki, bahwa Allah Ta'ala tidak menjadikan orang mutaki itu butuh akan keperluan-keperluan yang tak bermanfaat. Misalnya, seorang tukang warung beranggapan bahwa tanpa berkata dusta maka pekerjaannya tidak akan jalan, oleh karena itulah dia tidak berhenti dari berkata dusta. Dan untuk berdusta dia menzahirkan alasan−-alasan keterpaksaan. Akan tetapi hal itu sama-sekali tidak benar. Allah Ta'ala sendiri yang menjadi Pelindung bagi orang mutaki, dan Dia menghindarkannya dari kondisi yang seperti itu. Orang-orang yang menciptakan suasana keterpaksaan atas dasar halhal yang bertentangan dengan ke-
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
35
Malfuzat benaran, ingatlah, kalau seseorang telah meninggalkan Allah Ta’ala, maka Allah Ta’ala pun meninggalkannya. Kalau Sang Maha Pemurah (Ar-Rahmān) telah meninggalkan seseorang maka pasti setan akan menjalin hubungan dengannya. Janganlah beranggapan bahwa Allah Ta’ala itu lemah. Dia memiliki kekuatan yang sangat besar. Kalau kalian bertawakkal (bertumpu) pada-Nya mengenai suatu hal, maka pasti Dia menolong kalian: “Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Dia memadai baginya” Ath-Thalaq : 4 Akan tetapi, orang-orang yang pertama kali dituju oleh ayat-ayat ini adalah orang-orang yang beragama, yang seluruh perhatian (pemikiran) mereka hanyalah untuk hal-hal keagamaan, sedangkan masalah-masalah duniawi mereka serahkan kepada Tuhan. Itulah sebabnya Allah Ta’ala mententramkan mereka bahwa, “Aku berserta kalian.” Ringkasnya, salah satu dari berkat-berkat ketakwaan adalah bahwa Allah Ta'ala menganugerahkan keikhlasan kepada orang mutaki terhadap musibah-musibah yang merupakan penghalang bagi hal-hal keagamaan. Allah Ta’ala secara khusus memberikan rezeki kepada orang mutaki. Demikian pula halnya Allah Ta’ala secara khusus memberikan rezeki kepada orang mutaki. Di sini saya akan menyinggung rezeki-rezeki makrifat (ilmu). 36
Rasulullah s.a.w. memperoleh rezeki ruhaniah (makrifat-makrifat) sedemikian rupa, sehingga beliau unggul atas semuanya. Walau pun Yang Mulia Rasulullah s.a.w. seorang ummī (butahuruf), beliau harus melawan seluruh alam, di mana di dalamnya terdapat ahli kitab, filsuf, orang-orang yang mempunyai selera ilmiah tinggi, serta para cerdikpandai, akan tetapi beliau s.a.w. telah memperoleh rezeki ruhani sedemikian rupa, sehingga beliau unggul atas semuanya dan telah membuktikan kesalahan-kesalahan mereka. Itulah rezeki ruhani yang tidak ada bandingannya. Mengenai orang mutaki (bertakwa) di tempat lain ada dikatakan: “Sesungguhnya wali-wali-Nya hanyalah orang-orang yang bertakwa” AlAnfāl : 35 Yakni, sahabat-sahabat Allah Ta’ala itu adalah orang-orang yang bertakwa. Jadi, betapa hebatnya nikmat ini, bahwa dengan kesusahan yang sedikit saja pun dapat dikatakan sebagai orang yang memperoleh kedekatan dengan Tuhan. Zaman sekarang ini betapa pengecutnya. Kalau ada penguasa atau pejabat yang mengatakan kepada seseorang, ‘Engkau adalah sahabatku’, atau memberikan kursi kepadanya serta menghormatinya, maka orang itu akan bangga dan menyombongkan diri ke manamana. Oleh karena itu betapa mulianya derajat orang orang yang telah dikatakan sebagai wali (sahabat) oleh Allah Ta'ala. Allah Ta’ala ber-
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
Malfuzat janji melalui lidah Rasu Mulia s.a.w. sebagaimana tercantum di dalam sebuah Hadits Bukhari: Lā yazālu yataqarrabu ‘abdī binnawāfi hattā uhibbahū, fa-idzā ahbabtuhū kuntu sam’ahul- ladzī yasma’-u bihī wa basharahul- ladzī yubshiru bihī wa yadahul- latī yabtisyu bihā wa rijlahul- latī yamsyi bihā, wa la-in sa'alanī la-ataituhu wa la-in ista’adzani la-u’idzunahū. Yakni, “Allah Ta’ala berfirman bahwa, ‘Sahabatku menciptakan kedekatan terhadap−Ku melalui nafal-nafal, sehingga apabila Aku telah mencintainya Aku menjadi telinganya yang dengannya ia mendengar dan menjadi matanya yang dengannya ia melihat, dan menjadi tangannya yang dengannya ia memegang (memukul), dan menadi kakinya yang dengannya ia berjalan, dan jika ia memohon niscaya aku berikan, dan jika ia meminta perlindungan niscaya aku melindunginya.’” (Malfuzat, jld I, hlm 12-13,Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).
lunasi utang atau membalas kebaikan dengan kebaikan. Selain fardu-fardu tersebut, bersamaan dengan setiap kebaikan yang melebihi haknya, misalnya, sebagai balasan suatu kebaikan, selain memberikan satu kebaikan, juga melakukan kebaikan lainnya, ini adalah nafal-nafal. Ini merupakan penggenap dan penyempurna fardu-fardu. Di dalam hadits-hadits tersebut diterangkan bahwa untuk penyempurnaan fardu-fardu diniyyah (keagamaan) para waliullah selalu melalui nafal-nafal. Misalnya, selain zakat mereka pun memberikan sedekah-sedekah. Allah Ta’ala akan menjadi wali (sahabat) orang-orang yang demikian. Allah Ta’ala berfirman, bahwa persahabatan dengan adalah sedemikian rupa sampaisampai, “Aku menjadi lidahnya yang dengannya ia berbicara.” (Malfuzat, jld I, hlm 13-14 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).
Dua Bagian Kebaikan-kebaikan Manusia “Kebaikan-kebaikan yang dilakukan oleh manusia terdiri dari dua bagian. Yang pertama adalah fardufardu (wajib). dan kedua adalah nafal-nafal (tambahan atau sunat). Fardu-fardu adalah yang telah diwajibkan atas manusia. Misalnya meSINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
37
Jawaban Atas Tuduhan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad Didukung dan Dibesarkan Inggris KLARIFIKASI TERHADAP ‘KESESATAN AHMADIYAH’ DAN PLAGIATOR Karya: Ahmad Sulaeman dan Ekky
Para anti-Ahmadiyah melakukan tuduhan dengan menyatakan bahwa pada tahun 1884 Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. mulai didukung dan dibesarkan penjajah Inggris sebagai penghargaan kepadanya yang telah setia membantu Inggris. Jawaban: 1. Kita mengetahui, pemerintah Inggris dengan rakyatnya itu rata-rata memeluk agama Kristen, yang menganggap Nabi Isa a.s. sebagai tuhan, atau menganggap Nabi Isa a.s. itu anak Tuhan. Menurut mereka; Yesus (tuhan) hidup di langit, sampai sekarang duduk di sebelah kanan Allah. (Markus 16:19; Lukas 22:69; Kisah Para Rasul 7:55)
38
Sedangkan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. dengan lantang menyatakan yaitu: A. Nabi Isa Al-Masih ibnu Maryam adalah manusia biasa yang diangkat Allah menjadi Rasul. Seperti Rasul lainnya, bukan anak Allah dan bukan juga Tuhan. B. Isa Al-Masih Israili itu, tidak hidup di langit tetapi beliau hidup sampai usia 120 tahun dan saat ini sudah wafat dan dimakamkan di SrinagarKashmir, India. C. Yang akan datang di Akhir Zaman, bukan Al-Masih bin Maryam Israili, melainkan Al-Masih bin Maryam Muhammadi, seorang pengikut Agama Islam, umat Nabi Muhammad s.a.w. 2. Dengan alasan di atas, kiranya sudah cukup bagi penuduh untuk berpikir ulang, bahwa mustahil Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. dimanjakan oleh oemerintah Inggris. Di mana akal sehat jika Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. diangkat pemerintah Inggris sebagai wali, Imam Mahdi, atau kaki tangannya; sementara pendirian beliau justru bertolak belakang dengan mereka. Bahkan, beliau dengan jelas menganggap bansga Inggris sebagai Dajjal, karena mereka menjadi sumber terganggunya ketentraman dan kesejahteraan bangsa-bangsa di dunia. Pemerintah Inggris sendiri mengetahui adanya anggapan seperti itu dari pihak Ahmadiyah. (lihat, Djawaban terhadap Tuduha
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
Menjawab | Tuduhan Usang, SADKAR; Ahmadiyah dan Inggris, Abdul HayeeHP, Djemaat Ahmadiyah Tjabang Bandung, 1969)
Pada tahun 1885, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. menyatakan diri sebagai Mujaddid (Pembaharu). Atas pengakuan ini para anti-Ahmadiyah membuat tuduhan bahwa pernyataan itu hanya berisi kepalsuan belaka. Jawaban: Pengakuan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. sebagai Mujaddid adalah penyempurnaan sabda Rasulullah s.a.w., tentang janji Allah Ta’ala yang akan mengutus Mujaddid, setiap seratus tahun sekali. “Abu Hurairah meriwayatkan, Rasulullah s.a.w. bersabda: ‘Sesungguhnya Allah Yang Maha Perkasa akan mengutus di dalam umat ini (Mujaddid-mujaddid) pada setiap permulaan seratus tahun, yang akan memperbaharui agama-Nya’.” (Abu Daud, juz 2, hal. 240; Misykat, hal. 25, Kitabul Ilmi) Sebagai bukti kesempurnaan sabda Rasulullah s.a.w. tersebut, kami sebutkan nama Mujaddid dalam Islam sepanjang 14 abad, sebagai berikut: 1. Abad I : Umar bin Abdul Aziz r.a. 2. Abad II : Imam asySyafii dan Imam Ahmad bin Hanbal 3. Abad III : Imam Abu Syarah dan Abu Hasan AlAsyari 4. Abad IV : Imam Abu Ubaidillah dan Imam Qadi Abu Bakar 5. Abad V : Imam AlGhazali 6. Abad VI : Syekh Abdul Qadir Al-Jailani
7. Abad VII : Abu Taimiyah dan Kwajah Mu’inuddin 8. Abad VIII : Ibnu Hajar Al-Asqalani dan Salih bin Umar 9. Abad IX : Sayyid Ahmad Jonpuri 10. Abad X : Imam AsSuyuthi 11. Abad XI : Syekh Ahmad Sirhind Ali Alfi Tsani 12. Abad XII : Syeikh Waliullah Ad-Dahlawi 13. Abad XIII : Sayyid Ahmad Barelvi 14. Abad XIV : Imam Mahdi (Hujaj-al-Kiramah, Nawab Shidiq Hasan Khan, Bhapal, India: Mathba Syah Jahan, tanpa tahun) Pengakuan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. sebagai Mujaddid, bukan atas dasar keinginan sendiri, melainkan atas dasar perintah Allah Ta’ala. Pengakuan beliau dilakukan atas dasar ru’ya, yang diterima pada tahun 1882: “Pada waktu yang sama, aku melihat dalam mimpi, suatu upaya sedang dilakukan untuk mencari seorang yang akan menghidupkan kembali agama. Seorang muncul di hadapanku dan menunjuk kepadaku, seraya berkata; ‘Inilah orang yang mencintai Rasulullah’.” Maksudnya ialah bahwa syarat utama untuk penugasan itu ialah kecintaan kepada Nabi Muhammad s.a.w. dan bahwa aku memenuhi syarat itu.” (Barahin-e-Ahmadiyyah, bag. 4, hal. 503, sub catatan kaki; Ruhani Khaza’in, vol. 1, hal. 598, sub catatan kaki 3; Tadzkirah, 2nd English Edition, hal. 55) [][]
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
39
BENCANA ALAM atau HUKUMAN ILAHI ?
BENCANA ALAM atau HUKUMAN ILAHI ? Penulis: Hadhrat Mirza Tahir Ahmad
Bagian: I
Pengantar Bencana-bencana alam yang terjadi pada kehidupan manusia dan kadangkadang masih terjadi pada tempattempat yang tak berpenghuni bukan merupakan berita baru. Kemalangan yang menyebabkan kerugian jiwa yang mendadak dan tak diharapkan atau penderitaan atau mengakibatkan kerugian dalam ekonomi. Gempa bumi, letusan gunung berapi, gelombang pasang, kehilangan, topan dan badai merupakan pembunuh-pembunuh terbesar. Lebih sedikit kematian yang disebabkan oleh kecelakaan pesawat terbang, kapal ferry dan kereta api tapi perhatian umum yang luas pada umumnya mengaitkan itu dengan kesalahan manusia atau beberapa sarana keselamatan yang tidak bekerja. Enam tahun sebelum terpilih menjabat Khilafat Jemaat Ahmadiyah dalam Islam, Hadhrat Mirza Tahir Ahmad r.h. menulis serangkaian tulisan dalam Bahasa Urdu yang diterbitkan tahun 1976 oleh Majalah “AlFurqan”, Rabwah (Pakistan). Seperti tulisan-tulisan beliau lainnya, bahasan ini tetap abadi dan sangat relefan. Dengan izin penulis, Hadhrat
Khalifatul Masih IV, Hadhrat Mirza Tahir Ahmad r.h.
Mirza Tahir Ahmad r.a., terjemah Bahasa Inggris dari tulisan ini dilakukan oleh Mansur Ahmad Syah yang secara pribadi menerima tanggung jawab atas kesalah-pahaman dalam kekurangan penerjemahan, yang telah diterbitkan dalam The Review of Religion. Artikel ini juga diterbitkan dalam Majalah “Ahmadiyya Gazette” Kanada, April-Juli 1994. Artikel dalam Bahasa Urdu juga telah diterbitkan
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
41
BENCANA ALAM atau HUKUMAN ILAHI ? lagi dalam Al-Fazal International London tertanggal 11 Februari 1994. Terjemahan ini diambil dari versi Bahasa Inggris, untuk kepuasan para pembaca silakan merujuk dari Bahasa Urdu dalam literatur-literatur tersebut di atas. Bagian I Sejak zaman azali (dahulu kala) manusia sudah sering kali terusik dengan pertanyaan apakah bencanabencana alam itu mempunyai hubungan dengan kemurkaan Tuhan? Ada dua pemikiran ilmiah yang muncul: Satu pemikiran ilmiah berpendapat bahwa semua musibah dan bencana besar merupakan hasil dari hukum alam. Bancana-bencana itu tak mempunyai hubungan dengan amal baik atau buruk dari manusia, tidak pula bencana-bencana ini mempunyai hubungan dengan penolakan manusia terhadap nabi yang diutus Tuhan. Sebaliknya, para pengikut dari berbagai agama di seluruh dunia selalu memercayai bahwa bila saja bencanabencana terjadi dengan ciri khas luar biasa, itu bukan merupakan gejala alam dan bahkan masuk pada bidang yang melampaui batas normal. Diakui, tidak semua agama, kepercayaan dan keyakinan ini menampilkan ajaran Tuhan Yang Satu, Maha Kuasa, Maha Besar sebagaimana yang dikemukakan oleh Islam. Walaupun demikian, para pengikut agama-agama semacam itu pada umumnya sepakat dengan cara dan metode mereka sendiri yang unik, bahwa satu tahap dengan suatu hikmah [tertentu] sedang menampakkan dirinya dalam bencana-bencana semacam itu. Bagi sebagian orang,
42
bahwa mungkin dewa matahari, atau dewa angin, atau dewa gunung, atau dewi lautan. Tapi bahkan agamaagama itu yang menisbahkan sifatsifat Ilahi pada suatu kilasan khayal, tetap menganggap kemalangankemalangan sedang turun dari langit atau letusan dari bawah bumi sebenarnya merupakan kejadian supernatural (mistik). Walaupun tentu ada perbedaan-perbedaan dalam rinciannya, agama-agama yang dari antaranya mempunyai konsep Keesaan Tuhan masih timbul [keyakinan], pada umumnya bahwa bencana-bencana alam merupakan satu tanda kemurkaan Ilahi. Yang paling menonjol dari antara agama-agama ini adalah Islam, disusul oleh Yahudi dan kemudian Kristen yang secara bersamaan percaya pada Keesaan Tuhan dan juga Trinitas. Seperti yang terlihat, ini mempunyai teka-teki yang rumit. Orangorang sekarang telah memahami lebih dalam pada rahasia-rahasia alam yang sebelumnya tak diketahui. Dia telah mengadakan penelitian atas sebab dan akibat dari bencana-bencana ini – bagaimana, di mana dan mengapa bencana-bencana ini terjadi. Dia secara bertahap telah mulai menyingkirkan selubung misteri dan dongeng yang menutupi rahasia-rahasia semesta. Bagi orang-orang yang tak percaya dan penganut ajaran agama, masalah ini kini telah menjadi lebih penting bagi kedua pihak dari pada sebelumnya. Ini bahkan lebih relevan dan bernilai pertimbangan yang sungguhsungguh oleh para pengikut agamaagama sebab banyak air yang telah mengalir di bawah jembatan.
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
BENCANA ALAM atau HUKUMAN ILAHI ? Sebagian dunia lainnya yang sampai sekarang diam-diam telah menjadi pengamat gejala alam lahiriah, hari ini mempunyai kekuatan dengan kenyataan-kenyataan yang tak terbantahkan. Penemuan sesudah penelitian dan percobaan yang sungguhsungguh, kenyataan-kenyataan ini mengungkapkan bahwa bencanabencana alam terjadi sebagai hasil dari sebab-sebab alami. Di sana tak ada campur tangan Ilahi dalam kejadiankejadian semacam itu. Ini menyisihkan para pengikut dari berbagai agama dari pijakan yang sebelum itu mereka berdiri di atasnya. Mereka tidak dapat menghasilkan suatu bukti untuk menyokong pandangan mereka bahwa bencana-bencana itu bagaimanapun disebabkan oleh Wujud Yang Maha Tinggi. Pandangan bahwa gejala alam yang kita lihat dalam berbagai macam kemalangan tak diragukan lagi adalah berhubungan dengan kemurkaan Tuhan telah mulai disegarkan kembali oleh Jemaat Ahmadiyah dengan keyakinan kuat. Oleh sebab itu, merupakan keharusan bagi Jemaat Ahmadiyah bahwa para peneliti dan penyelidiknya hendaknya memeriksa masalah ini dari semua segi. Mereka seharusnya tidak membatasi patokan mereka dalam hal ini belaka, melainkan hendaknya menyajikan bukti segar yang masuk akal dari penemuan -penemuan mereka sendiri dalam menyokong segi pandang mereka supaya mereka boleh memberikan jawaban secara memuaskan terhadap derajat yang lebih tinggi dari dalil manusiawi dan intelektual yang unggul hari ini. Orang yang menentang kita pada
hari ini adalah jauh lebih unggul dalam ilmu pengetahuan duniawi dari pada pendahulunya pada seribu hingga lima juta tahun yang lampau. Tak ada dalil keagamaan yang masuk akal tidak pula teriakan segi pandang seseorang dari puncak-puncak atap yang pernah [terjadi] seperti himbauan bagi manusia modern. Maka pada tahap ini adalah timbulnya perang baru antara [paham] beragama dan tak beragama dalam medan ini juga. Pertentangan-pertentangan kecil pada hari ini menunjukkan penaklukan yang penuh permusuhan atas kekuatan-kekuatan keagamaan dan kemenangan puncak bagi atheisme (paham tak ber-Tuhan). Sungguh, kemenangan ini tampaknya kembali bersuara sehingga [orang] yang telah terkesan dengan dalil-dalil atheisme (pada tahun 1976 – Red), satu bagian besar dari masyarakat Muslim telah melompat ke dalam rangkaian [golongan] yang melepaskan tangan dari pemikiran campur tangan Ilahi. Ternyata, ketika petir menghantam orang yang berduka cita di jalanjalan dengan terpaksa menyatakannya sebagai suatu musibah dari Ilahi. Ketika wabah menggantung seperti pedang Damokles di atas kepala mereka, selama beberapa hari mereka dengan bersemangat memanjat menara-menara untuk menyerukan shalat atau mungkin mengutarakan kata-kata pemohonan ampun atau berdo’a dan kembali kepada Allah Ta’ala. Namun meskipun ada pengakuan tak terucap akan peringatan dari Tuhan, tak ada tanda perubahan yang bermakna terjadi dalam kehidupan mereka.
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
43
Perhatian sementara yang mereka berikan kepada Tuhan berlalu dari hati dan pikiran mereka seperti seorang pengembara – kini engkau melihat mereka, kini engkau tidak [melihat]. Mereka tak pernah meluangkan pikiran pada pendakwaan yang dinyatakan dalam Kitab Suci Al -Quran bahwa hukuman-hukuman Ilahi ini tidak hanya berhubungan dengan amal-amal buruk melainkan juga karena penolakan terhadap nabinabi pilihan Tuhan. Nyatanya, pendakwaan Al-Quran ini berkembang sedemikian jauh sehingga menyatakan bahwa tanpa memandang pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan manusia, tak ada hukuman yang menimpa manusia hingga waktu yang tepat ketika Tuhan telah mengutus rasul atau nabi-Nya kepada orang-orang
44
seperti itu dan bahwa rasul atau nabi itu telah memperingatkan dan menegur orang-orang dan mengajak mereka kepada kebaikan bagi mereka di masa mendatang. Jemaat Ahmadiyah, yang menganut prinsip Al-Quran Suci yang tersebut dahulu, secara teratur mengalami perwujudan (penggenapan) ajaran ini hari demi hari dalam menyampaikan tanggapan. Para Ahmadi sering kali mendapatkan kesempatan untuk mengubah pandanganpandangan tentang masalah ini dengan kawan-kawan dan rekan-rekan mereka yang bersedia menerima konsep bencana-bencana biasa dan menggolongkannya sebagai hukuman (azab) Ilahi. Tapi kawan-kawan dan rekan-rekan ini tak pernah bersedia untuk melangkah lebih lanjut pada satu tahap dan mengakui bahwa sebelum kemalangan-kemalangan yang mengerikan ini terjadi, Allah Ta’ala pasti telah mengutus seorang nabi dari antara para pengikut Nabi Suci Muhammad s.a.w. Beliau adalah pemberi kabar suka dan peringatan pada zaman ini. Para Ahmadi sering kali terpaksa menerima perolokan yang ditujukan kepada mereka oleh rekan-rekan mereka dari keyakinan lain. Sebuah tuduhan dibuat bahwa tiap-tiap kemalangan yang menimpa dunia dianggap oleh para Ahmadi sebagai bukti kebenaran pendakwaan dari Pendiri Jemaat mereka, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad. Maka para penentang menuduh, “Jika ada gempa bumi di Chili atau getaran di China dengan skala Richter tinggi; apakah bangunan -bangunan di Italia, Turki atau Iran hancur menjadi puing atau kota-kota
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
BENCANA ALAM atau HUKUMAN ILAHI ? Hazara dan Mardan merasakan kiamat; apakah hujan yang sangat lebat atau ada musim kekeringan; apakah ada badai atau topan yang sangat keras atau angin rebut atau cuaca menjadi sangat panas dan sangat lembab; pendeknya, bagaimanapun kejadian itu terjadi atau dalam bentuk apa bencana itu terjadi, tanpa aturan atau alasan, orang-orang kalian akan cepat mengajukan hal-hal ini sebagai bukti kebenaran Mirza kalian lebih jauh”. Betapa mengada-ada dan berolokoloknya alasan yang tak seorang pun di bumi dapat terima hari ini. Mendengar hal ini, sebagian Ahmadi kebingungan dan mulai ragu-ragu. Selain itu, sejak zaman azali (dahulu kala), dunia telah mengalami banyak bencana. Bagaimana kemudian kita sebagai Ahmadi dapat mengajukan bencana-bencana alam semacam itu sebagai bukti kebenaran Hadhrat Masih Mau’ud(a.s.)? Satu hal membawa ke hal yang lain. Pemikiran-pemikiran kita dengan cepat berpacu ke sumber ketentraman lainnya. Kami mulai mencari sebab yang nyata mengapa Al-Quran Suci secara jelas menyebutkan berbagai bencana alam sebagai tanda-tanda kebenaran nabi-nabi Tuhan. Mengapa Al-Quran Suci penuh dengan contohcontoh kehancuran satu kaum sesudah kaum lain yang telah menolak nabi-nabi pilihan Tuhan yang Dia utus kepada mereka? Tuhan hanya menyelamatkan orang-orang yang beriman. Mengapa, misalnya, AlQuran Suci menarik dalil yang sama dalam mendukung Penghulu Para Nabi, Nabi Suci pembawa Islams.a.w.? Al-Quran Suci memperingatkan
manusia bahwa jika mereka menolak Penghulu para nabi ini, maka kemalangan-kemalangan yang ditimpakan kepada orang-orang yang dahulu menolak para nabi yang derajatnya lebih rendah dari pada Rasulullah s.a.w. dalam pandangan Tuhan juga akan menimpa orang-orang kafir itu. Nasib mereka bahkan akan lebih malang dari pada orang-orang yang menolak para nabi terdahulu. Oleh sebab itu, hukuman-hukuman semacam itu akan membuktikan kebenaran Nabi Suci s.a.w. ini. Sesudah mempertimbangkan masalah yang berhubungan ini, orang tidak lagi terbatas pada ajaran Ahmadiyah, tapi pemikiranpemikiran orang beralih pada prinsip dasar hukuman Ilahi yang lebih luas dan lebih tinggi. Apa prinsip ini? Apakah merupakan hak bagi suatu agama untuk mendakwakan bahwa karena penolakan terhadap nabi Tuhan, bencana-bencana dunia merupakan tanda pasti dari hukuman Tuhan? Dengan kata lain, haruskah kita mengibaskan jari Tuhan pada setiap bencana? Sesudah catatan-catatan pengantar ini penekanan makna dari masalah yang sedang timbul, saya kini akan coba, sejauh mungkin, untuk menyoroti berbagai segi dari masalah ini dengan harapan akan mendorong perenungan lebih lanjut oleh saudarasaudara seagama saya. Segi Pandang Ahmadiyah Para Ahmadi mendasarkan pandangan-pandangan mereka sepenuhnya dan satu-satunya atas ajaranajaran Kitab Suci Al-Quran dan menetapkan segala segi permasalahan ini
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
45
pada landasan Al-Quran Suci. Segi pandang Ahmadiyah yang saya maksudkan bahwa titik pandang yang, menurut Jemaat Ahmadiyah, mewakili segi pandang Islam hakiki, tanpa memandang apakah golongan Muslim lain sepakat atau tidak. Dengan itu semoga, untuk menghindarkan keraguan dalam suatu masalah dengan orang yang tidak percaya, berikut ini adalah ciri khas penting dari segi pandang Ahmadiyah yang hendaknya selalu diingat: 1. Para Ahmadi sesaat pun tidak membantah kenyataan bahwa bencana-bencana, kemalangankemalangan serta gempa-gempa bumi dan lain-lain, terjadi karena sebabsebab alami dan bahwa kejadiannya benar-benar sesuai dengan hukumhukum alam. Menurut para Ahmadi, Tuhannya agama adalah juga Tuhannya alam dan semesta ini. Hukum -hukum yang kita tetapkan sebagai hukum-hukum alam, bekerja di bawah sifat-sifat Tuhan yang sempurna dalam ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Tuhan. Walaupun penelitian yang rinci dan teliti hingga sekarang telah mengungkapkan banyak hal dari rahasia-rahasia yang terungkap kepada manusia, penelitian -penelitian ini merupakan [langkah] awal untuk mengakui secara terbuka bahwa mereka telah menggores pada permukaan belaka dan bahwa lebih banyak lagi yang tertinggal untuk dikaji. Tak ada segi yang dapat ditetapkan sebagai landasan pertama. Masing-masing penyebab tampaknya merupakan satu hasil dari sebab yang lain. Seperti kotak China, membuka yang satu membawa kepada kotak yang lain, dan dengan demikian satu
46
“Jemaat Ahmadiyah tidak menganggap hukum-hukum alam itu berdiri sendiri atau terpisah dari hukumhukum agama. Keduanya merupakan bagian dan kesatuan dari hukum-hukum Tuhan” akibat membawa pada sebab yang lain. Sejauh hubungannya dengan pencapaian akal manusia, mata rantai sebab dan akibat ini adalah tak menentu siapa yang mengetahui dari mana itu berawal dan di mana itu akan berakhir? Ketika kita merenungkan ajaranajaran Kitab Suci Al-Quran, kita menjumpai bahwa Allah Ta’ala adalah Awal (yakni, melalui Dia segala penciptaan bermula) dan Akhir (yakni, kepada Dia semua akan kembali). Dia merupakan Sumber dan Keamanan, sebagai Muslim, kita secara teratur membaca dzikir kepada Allah Ta’ala berikut ini: Kita adalah milik Allah dan kepada-Nya kita akan kembali. Dalam membaca ini, kita pada dasarnya menegaskan ajaran yang tersebut dahulu. Dengan dasar prinsip-prinsip ini, Jemaat Ahmadiyah tidak menganggap hukum-hukum alam itu berdiri sendiri atau terpisah dari hukumhukum agama. Keduanya merupakan bagian dan kesatuan dari hukumhukum Tuhan. Oleh sebab itu, pengakuan bahwa perubahan-perubahan alam jasmani disebabkan oleh [gejala] alam, sama sekali tidak bertentangan dengan penerimaan bahwa seluruh
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
BENCANA ALAM atau HUKUMAN ILAHI ? hukum alam berjalan di bawah kekuasaan dan kendali Tuhan serta dalam hukum-hukum yang Dia tetapkan dan takdirkan dan bahwa Allah Ta’ala merupakan Sumber dari segala sumber kekuatan dan kekuasaan yang dimunculkan atau digunakan pada waktunya masing-masing dalam perubahan atau transformasi alami. 2. Meskipun mendasarkan keyakinan bahwa kemalangan-kemalangan dan bencana-bencana merupakan tindakan Tuhan dan atas KehendakNya, Jemaat Ahmadiyah tidak mempercayai bahwa masing-masing dan setiap peristiwa alam, bencana, kekacauan atau perubahan-perubahan yang lebih buruk merupakan cermin dari azab atau hukuman Ilahi. Kegagalan untuk memahami kebenaran masalah yang sedemikian penting, [maka] seorang atheis dengan tanpa kecuali akan mencoba untuk membantah dan berkeberatan. Hingga satu tingkat [tertentu], keberatankeberatannya dapat dipahami. Tapi jika seseorang membuat-buat pandangan dan pendapat pribadinya dan melontarkannya dalam bidang agama, mereka akan dibingungkan dengan pertentangan-pertentangan dan anggapan-anggapan palsu dari orang itu. Agama tak akan dapat mempertahankan dirinya. Ideologi-ideologi non agama kemudian akan mendapatkan tempatnya pada hari [ketika] membuktikan kelemahan dalam dalildalil yang dikemukakan oleh agama dalam bertahan terhadap pandanganpandangan dari orang-orang semacam itu. Para penentang akan mendakwakan bahwa suatu agama yang berdasarkan pada dongeng yang tak ilmiah dan tak masuk akal semacam
itu adalah sepenuhnya kosong dari kebenaran dan tak dapat diterima seluruhnya. Dalil akal menetapkan bahwa agama yang seperti itu terlepas dari tangan. Ini merupakan kesukaran besar yang ajaran Kristen terpaksa hadapi selama masa kebangkitan (renaissance). Pendeta sibuk mengemukakan pandangan-pandangan kaku dan ketinggalan zaman yang tak punya jejak dalam ajaran-ajaran yang diwahyukan Ilahi. Kesimpulankesimpulan mereka adalah berdasarkan pada dongeng-dongeng yang diselewengkan dalam Alkitab (Bible) atau dugaan-dugaan dan salah tafsir yang didasarkan pada ajaran-ajaran Perjanjian Lama. Ketika penelitian fisika, penemuan-penemuan ilmu pengetahuan dan ilmu pengalaman terbuka bagi orang-orang, dan khususnya orang-orang Eropa bahwa penemuanpenemuan mereka bertentangan dengan ideologi Kristen, mereka secara alami menyimpulkan bahwa ajaran Kristen adalah palsu dan upacara belaka. Akibatnya, mereka mulai meninggalkan ajaran Kristen. Mereka memberontak terhadap ajaran Kristen secara terbuka ataupun mengambil jarak darinya - jika tidak dengan kata -kata, maka paling tidak dengan perbuatan. Satu masyarakat yang lebih bebas dan berpaham kebendaan mulai berkembang di Eropa. Ia melepaskan dirinya dari ikatan ajaran Kristen. Kesenjangan itu kini lebih terlihat – dalam setiap hal kebendaan, masyarakat ini bebas dari Gereja. Kaum Muslimin, dan khususnya para Ahmadi, mempunyai kewajiban moral untuk belajar dari pengalaman ini. Dalam mengejar tujuan mereka
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
47
BENCANA ALAM atau HUKUMAN ILAHI ? untuk menegakkan keunggulan agama mereka, mereka jangan pernah melepaskan bimbingannya. Mereka wajib mengamalkan kepedulian dan ketekunan yang layak dan jika agama mereka tidak membuat pendakwaan, mereka jangan menisbahkannya pada agama mereka. Satu hal yang sangat jelas dari ajaran-ajaran Al-Quran Suci, Sunnah Nabi Suci Muhammads.a.w., serta dari tulisan-tulisan Hadhrat Masih Mau’ud(a.s.). Itu adalah bahwa Islam tidak mendakwakan di tempat mana pun bahwa semua bencana alam dan musibah alam merupakan hukuman (azab) Ilahi. Ketika pada banyak kejadian tertentu bertepatan dengan pendakwaan bahwa kadang-kadang Allah Ta’ala menghubungkan (menggunakan) hukum jasmani dan alam untuk menimpakan hukuman kepada kekuatan-kekuatan (kekuasaan) duniawi yang bukan hanya menentang gerakan agama dan keruhanian, tapi juga telah memanfaatkan segala kekuatan dan sumber daya kebendaan mereka untuk menghapuskan agama yang baru timbul dan sedang berkembang. Bila saja doktrin-doktrin keagamaan bertabrakan dengan filsafat-filsafat atheis atau musyrik dan kekuatan-kekuatan atheis bangkit menentang secara terbuka untuk menghapuskan agama yang baru muncul itu hingga puncaknya, maka dalam keadaan semacam itu, menurut Kitab Suci AlQuran, hukum-hukum alam digunakan untuk mengalahkan kekuatan orang-orang kafir. Adalah pada saatsaat ini bahwa kita melihat hukumhukum Tuhan secara kiasan berperan sebagai pencuri untuk menangkap
48
pencuri. Dengan kata lain, bagi orangorang yang menolak adanya Wujud Yang Maha Kuasa dan memegang [keyakinan] mereka yang tak dapat dipertanggung jawabkan, bagi mereka hubungan timbal-balik benda-benda duniawi itu sendiri ditetapkan sebagai sebuah lubang bagi kemusnahan dan kehancuran mereka. Dalam istilah keagamaan, ini diistilahkan sebagai hukuman Ilahi bagi mereka. Ketika ini terjadi, tak ada kejelasan antara hukuman dari Tuhan dan apakah itu telah terjadi disebabkan oleh hukum alam. Ambillah, sebagai misal, tenggelamnya Fir’aun dengan semua pengikutnya di perairan Mesir. Selama bertahun-tahun yang tak terhitung, gelombang-gelombang mengosongkan airnya ke dalam laut dua kali sehari. Tuhan mengetahui berapa banyak hewan dan manusia pra sejarah atau dalam hal ini orang-orang berperadaban kuno Mesir yang disapu oleh kisaran air itu dan orang-orang sekarang yang bangkit dan jatuh dalam gelombang itu atau berapa banyak yang tak diketahui atau tak terlacak tenggelam karena kecelakaan navigasi atau hilang di kedalaman perairan Nil. Namun, tidak Al-Quran Suci, tidak pula kitab-kitab agama lain, menetapkan musibah-musibah seperti itu sebagai hukuman Ilahi. Siklus hukum alam tetap bergerak dan mengulangi jalannya. Suatu kejadian yang fatal tak dapat disebut sebagai hukuman Ilahi tidak pula Islam membuat pendakwaan semacam itu. Dalam beberapa kejadian, bagaimanapun, yang kita akan uji kemudian dengan lebih mendalam, ge-
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
BENCANA ALAM atau HUKUMAN ILAHI ? jala-gejala alam mempunyai satu ciri khusus yang dikenal dalam istilah keagamaan sebagai azab Ilahi. Gejala ini termasuk bukti-bukti yang demikian jelas dan tampak dalam mendukung yang darinya bahkan seorang atheis (tak ber-Tuhan) yang melihatnya dengan tak berat sebelah pun, akal dan dalil itu saja akan memaksanya untuk mengakui bahwa di dalamnya ada kejadian khusus (yang agama menyebutnya azab Ilahi) suatu kekuatan luar biasa yang telah secara positif melakukannya. Itulah keistimewaan ini yang membedakannya dari bencana alam dan laju gilingan bencana dan meletakkannya dalam dunianya sendiri. Marilah kita menguji dengan lebih rinci bencana yang menimpa Fir’aun agar maksud saya menjadi lebih jelas. Satu contoh yang tidak tersebut dalam kitab suci lain adalah keistimewaan wahyu Al-Quran Suci. Ia memberi-tahukan kita bahwa pada waktu ‘tenggelamnya’ itu, Fir’aun menyatakan keimanan pada Tuhannya Bani Israil dan memohon keselamatan. Tuhan menjawab: Maka pada hari ini Kami selamatkan badan engkau [saja] agar engkau menjadi tanda bagi orang -orang yang datang sesudah engkau. (QS 10:93) Percakapan pribadi antara orang yang sedang tenggelam dan Tuhannya ini tak ada pendakwaan [pada kitab lain] selain Al-Quran Suci. Pada lahirnya, ia tak dapat dibuktikan secara akal sehat untuk menghilangkan keraguan tidak pula untuk masalah itu dapat dipahami oleh manusia selama tiga setengah millennium tahun yang lalu tapi hanya Tuhan yang mengetahui ‘keinginan orang
yang mau mati’ itu berupa dialog antara Fir’aun yang akan tenggelam dan Penciptanya. Bagi seorang atheis, percakapan ini tak lebih dari pada pemikiran yang jelas antara Fir’aun dan dewa tertentu. Tapi ketika kita mengujinya, pikiran kita seketika teringat dengan pendakwaan kedua yang dibuat dalam Al-Quran Suci. Menurut pendakwaan ini, tenggelamnya Fir’aun bukan kebetulan belaka tapi sesuai dengan Kehendak Ilahi. Itu merupakan hukuman karena penolakan terhadap Musa (a.s.) serta karena penentangan dan pembangkangan Fir’aun sendiri, sebegitu banyak sehingga ketika Fir’aun berpikir bahwa dia akan mati, dia bertobat kepada Tuhannya Bani Israil. Maka, menurut Al-Quran Suci, dia mengatakan: Saya beriman bahwa tak ada Tuhan kecuali Tuhan yang diimani Bani Israil, dan saya berserah diri kepada-Nya. (10:91) Pengakuan ini menunjukkan kenyataan bahwa pada waktu permohonannya, Fir’aun tidak meninggalkan keraguan apa pun mengenai Tuhan yang dia rujuk dan dari-Nya dia memohon keinginannya waktu sedang tenggelam. Fir’aun memohon penangguhan pada saat-saat akhir kepada Tuhan yang diimani Bani Israil. Itu akan tampak bahwa pada waktu itu kematian sedang dia hadapi, Fir’aun sangat diliputi ketakutan sehingga dia mengakui kekalahan totalnya dengan istilah-istilah yang paling nyata. Lebih lanjut, dia tidak ingin meninggalkan keraguan bahwa dia mempunyai rasa sombong, takabur atau kebesaran diri dalam dirinya dan bahwa dia juga mengimani Tuhan yang Bani Israil sembah.
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
49
BENCANA ALAM atau HUKUMAN ILAHI ? Menurut percakapan ini seperti yang dikemukakan dalam Kitab Suci Al-Quran, tak dapat ada bayangan keraguan yang tertinggal bahwa Fir’aun mempunyai pengertian yang salah mengenai adanya hukuman Tuhan alih-alih tenggelam karena kecelakaan. Pendapat yang berlawanan dengan sudut pandang Ahmadiyah dinyatakan di atas, tanggapan Tuhan pada permohonan Fir’aun yang sedang tenggelam menyajikan satu persoalan tanda yang penting. Itu bukanlah pendakwaan kosong. Sesungguhnya, setiap kata dari percakapan itu di dalamnya mengungkapkan jawaban Tuhan berlaku sebagai bukti yang tak dapat dibantah dalam mendukung segi pandang Ahmadiyah. Walaupun semuanya berlangsung sesuai dengan jalannya hukum alam, kejadian ini telah ditetapkan berbeda dengan ribuan kejadian lain yang serupa dan dikemukakan dengan cara yang khas. Demi mendapatkan kejelasan, alih -alih mengemukakan terjemahan belaka, kami akan menyajikan penjelasan atas tanggapan Tuhan itu. Tampak dikatakan kepada Fir’aun bahwa karena engkau tidak percaya pada perlindungan ruhanimu, telah dengan terus-menerus menolak segala tanda yang ditunjukkan kepadamu, dan telah membuang setiap kesempatan yang dengannya ruhani engkau boleh diselamatkan, maka hari ini tak ada persoalan keselamatan ruhani engkau. Ya! Engkau mempunyai hak untuk meminta badan engkau diselamatkan. Maka, hari ini, Kami akan mengabulkan keinginanmu dengan menyelamatkan hanya badan jasmani engkau dan akan menjaga jasad engkau
50
untuk masa mendatang. Kami melakukan ini sebagai contoh bagi generasi-generasi mendatang dan supaya jasad engkau mungkin menjadi sumber [pelajaran] bagi yang lain untuk mendapatkan keselamatan bagi ruhani mereka. Jawaban yang menarik ini bukan merupakan pendakwaan kosong tapi penuh dengan bukti-bukti dari dalildalilnya sendiri. Ketika Nabi Suci Muhammad s.a.w. mengabarkan kepada manusia tentang dialog yang disebutkan dalam Al-Quran ini, sebagian orang tentu mengetahui bahwa Fir’aun tenggelam di beting sungai Nil. Tapi tak ada kitab suci terdahulu tidak pula catatan sejarah yang bahkan menyebutkan bahwa jasad Fir’aun diselamatkan yang akan menyediakan bukti bagi generasi-generasi mendatang. Allah Ta’ala menyebabkan Rasulullah s.a.w. untuk mendakwakan bahwa Tuhan telah berjanji kepada Fir’aun bahwa jasadnya tidak hanya akan diselamatkan tapi disimpan untuk masa mendatang agar manusia boleh mengambil pelajaran darinya. Selama masa Nabi Suci Muhammad s.a.w. tak seorang pun yang mengetahui sesuatu pun tentang jasad Fir’aun. Oleh sebab itu, jika pendakwaan yang luar biasa ini benar, tak ada manusia di bumi ini yang dapat membuat pendakwaan semacam itu kecuali Allah Ta’ala yang memberikan kabar kepada beliau mengenainya. Sebaliknya, kalau pendakwaan ini dibuat dan diadakan sendiri, pendakwa itu akan terbukti palsu dan dalam hal ini Nabi Sucis.a.w. pembawa Islam, akan sepenuhnya tak masuk akal. Jika pada masa para sahabat
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
BENCANA ALAM atau HUKUMAN ILAHI ? Nabi Suci Muhammad s.a.w. dikenakan dengan masalah ini dan ditanya sehubungan dengan perkara wahyu yang telah disebutkan terdahulu di mana jasad Fir’aun disimpan atau bagaimana ia disimpan atau bagaimana kejadian ini dikemukakan sebagai peringatan bagi manusia, tak mungkin seorang pun dapat mengajukan tantangan dan memberikan tanggapan yang memuaskan tanpa bimbingan Ilahi. Seorang penanya mempunyai pertanyaan yang sama pada banyak generasi sesudah itu akan gagal untuk menemukan jawaban yang masuk akal. Apakah itu seorang Muslim di abad pertama, atau Muslim abad kedua, ketiga, keempat atau kelima tak ada yang mampu menjawab pertanyaan ini, sedemikian rupa hingga abad keempatbelas Islam terbitlah bulan yang selama kedatangannya sarana-sarana untuk kemenangan Islam tersedia. Dalam abad keempatbelas Islam, itu bukan Muslim melainkan orang Kristen ahli kepurba kalaan Mesir, menemukan dan mengenali jasad Fir’aun yang tersimpan (Merneptah menurut Hadhrat Khalifatul Masih II (r.a.) – Red) yang telah mengalami hukuman tenggelam yang menghinakan dalam mendukung Musa s.a.w.. Demi menyediakan kesaksian yang meyakinkan bagi percakapan rahasia itu dan kebenaran Kitab Suci Al-Quran, jasad Fir’aun yang tersimpan hari ini mengemukakan pelajaran moral bagi umat manusia. Satu ciri khas yang menonjol dari peristiwa bersejarah ini adalah bahwa tenggelamnya Fir’aun merupakan keunikan jika dibandingkan dengan ratusan ribu kejadian tenggelam di
perairan Mesir kuno. Kejadian yang satu ini disebut sebagai hukuman Ilahi sedangkan kejadian-kejadian lain yang tak terhitung banyaknya itu digolongkan sebagai kecelakaan dan bencana [biasa]. 3. Prinsip ketiga dari segi pandang Ahmadiyah adalah bahwa hasil reaksi dan perubahan dari bekerjanya hukum-hukum alam hanya dapat digolongkan sebagai campur tangan Ilahi ketika kejadian-kejadian itu menunjukkan ciri-ciri khas tertentu yang dikenal dan memenuhi syaratsyarat tertentu. Dengan tiadanya ciriciri khas semacam itu atau gagal memenuhi syarat-syarat semacam itu, [maka] perubahan, pengaruh atau rekasi itu tidak dapat disebut sebagai hukuman Ilahi. 4. Semua bencana alam atau kemalangan pada zamannya semacam itu, yang dalam bahasa keagamaan diistilahkan sebagai azab atau hukuman, harus mengemukakan suatu tujuan atau maksud penting yang kita akan uji kemudian. Jika bertentangan dengan ini, walaupun kejadian-kejadian alam yang rutin dan bahkan bencanabencana yang menyebabkan pengaruh atau kemalangan dalam lingkup luas, jelas tidak mengemukakan tujuan yang berhubungan atau berkaitan dengan agama. 5. Merupakan bukti dari Kitab Suci Al-Quran bahwa masing-masing pengaruh yang berbeda atau setiap jenis bencana alam atau azab yang terjadi melalui gejala alam atau bekerjanya hukum alam mempunyai suatu hubungan yang ditetapkan sebagai sarana-sarana hukuman Ilahi selama bertahun-tahun dan mungkin juga digunakan pada masa mendatang. Be-
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
51
BENCANA ALAM atau HUKUMAN ILAHI ? gitu pula, sebagai hasil dari amal-amal buruk yang sedang menelan tatanan masyarakat atau sebagai akibat banyaknya pelanggaran, dan amal-amal jahat, kerusuhan, berkembangnya ketidak tenangan atau bahkan peperangan mungkin juga dalam contohcontoh khusus ditetapkan sebagai sarana-sarana hukuman Ilahi. Dengan melihat prinsip-prinsip yang disebutkan terdahulu, satu hal tampak dengan jelas. Tak akan ada perbedaan mengenai masalah ini antara filsafat Islam yang dikemukakan oleh Ahmadiyah dan pandangan-pandangan orang atheis, pada bagian ini. Bagaimanapun, dunia atheis menempatkan kepercayaannya pada sebab dan akibat dari hukumhukum alam belaka. Islam, sebaliknya, ketika menyetujui gejala alam, mempunyai sesuatu yang ditambahkan padanya. Islam mengakui bahwa tak ada keraguan bahwa semua bencana dan kemalangan ini disebabkan oleh hukum alam. Sungguh, alam semesta ciptaan Tuhan dan keseimbangan yang sempurna di dalamnya menyajikan nilai-nilai baik bahwa begitulah adanya. Tapi masalahnya tidak berhenti di sana. Menurut tujuan dan maksud yang mulia dari agama-agama, kadang-kadang saranasarana alami ini digunakan. Diri kita sendiri telah diciptakan Tuhan dan terikat pada hukum-hukum-Nya. Ketika ini menjadi masalahnya, maka hukum-hukum ini dapat juga digunakan untuk bertindak sebagai penghukum atau peringatan melalui pengaruh alaminya. Akibat-akibat ini disebut hukuman (azab) Ilahi. Adalah jelas dari kajian Kitab Suci Al-Quran bahwa hukum-hukum alam
52
kadang-kadang secara khusus bertindak menjadi Kehendak Allah Ta’ala dan bahwa bila saja ini terjadi, perubahan-perubahan yang dibuat oleh hukum alam itu membawa pada perbaikan atau keadaan lebih baik bagi suatu bangsa atau kaum dan mereka mendapatkan beberapa manfaat luar biasa darinya. Ketika Nabi Nuh s.a.w. memperingatkan kaum beliau akan bencana yang menanti mereka, pada waktu yang sama, beliau menjanjikan kepada mereka anugrah-anugrah kekayaan, anak-anak dan kebunkebun yang diberikan Tuhan jika mereka kembali kepada Tuhan. Beliau berusaha untuk membujuk mereka bahwa dari pada membuat Tuhan murka dan membuat hukum-hukum alam jadi musuh mereka, mereka hendaknya membuat Tuhan ridha, menjadikan hukum-hukum alam sebagai penolong mereka dan bersatu dengannya demi manfaat mereka. Dalam Surah Nuh, masalah ini telah disajikan dengan sangat jelas. Filsafat Islam tentang hukuman dan ganjaran menjadi sangat jelas. Dunia sebagian besar mengetahui bahwa banjir besar berlaku sebagai hukuman bagi kaum Nabi Nuh s.a.w. tapi pada umumnya melalaikan kenyataan yang dikemukakan dalam Al-Quran Suci bahwa hujan juga dapat merupakan berkat Ilahi bagi kaum itu. Dalam beberapa keadaan, itu telah ditakdirkan bahwa tanah yang padanya kaum Nuh s.a.w. bermukim akan dilanda hujan terus-menerus. Masalah apakah hujan ini berlaku sebagai sumber keberkatan atau azab terletak di tangan kaum Nuh(a.s.) sendiri. Nabi Nuh(a.s.) menyatakan: Maka aku mengatakan
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
BENCANA ALAM atau HUKUMAN ILAHI ? kepada mereka, “Mohonlah ampun kepada Tuhan kalian, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepada kalian dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anak kalian, dan mengadakan untuk kalian kebun-kebun dan mengadakan [pula di dalamnya] untuk kalian sungaisungai. Mengapa kalian tidak percaya akan kebesaran Allah?” (QS 71:11-13) Kini anda lihat betapa menariknya masalah ini telah disajikan. Tak ada bantahan yang dapat diajukan terhadapnya. Awan-awan yang ada di atas dapat ditujukan terhadapnya. Awanawan yang telah ada di atas dalam waktu lama menjadi berat dengan butir-butir air dapat turun sebagai azab atau dapat berlaku sebagai ganjaran. Jika sebagai ganjaran, maka dalam kata-kata Nabi Nuh s.a.w., dan tak ada keraguan bahwa itu adalah wahyu dari langit, ia dapat berupa hujan yang turun bertahap dan berhenti, dan mulai lagi. Alih-alih banjir besar, hujan itu akan masuk ke sungaisungai, lereng-lereng dan terusanterusan serta tanah pengairan. Kaum Nuh s.a.w. akan dikaruniai kekayaan dan anak-anak keturunan mereka akan dapat perbaikan ekonomi yang hebat. Sayang sekali! Mereka memilih pilihan yang salah. Penolakan mereka mengakibatkan banjir besar yang sedemikian luas yang dikenal di seluruh dunia. Sedangkan masalah air, itu mungkin bukan sepenuhnya tidak tepat untuk menyebutkan manfaatmanfaatnya yang dengan air itu selama zaman Musa s.a.w. melayani kehendak-kehendak Ilahi. Kita telah mengetahui betapa air menjadi sum-
ber azab Ilahi bagi Fir’aun dan para pengikutnya ketika air itu meliputi mereka, dan meskipun mereka semua kuat dan pandai, mereka tak tertolong. Satu contoh betapa air memberikan manfaat yang baik juga ada pada zaman Musa s.a.w.. Air yang telah menenggelamkan Fir’aun dan para pengikutnya itu membawa seorang bayi lemah yang masih menyusui dalam kotak atau keranjang kayu dari tempat yang sangat berbahaya ke tempat yang aman dan selamat. Alihalih mati, ia terjaga kehidupannya. Masing-masing dari dua kejadian ini menunjukkan dua kejadian alam dalam gerakannya. Tapi air dari Mesir kuno yang tak dapat menenggelamkan seorang bayi lemah yang tumbuh menjadi utusan Tuhan yang besar, menyapu penentang besar dan berkuasa dari nabi ini. Ada banyak hal yang dapat direnungkan dari kejadian-kejadian ini bagi pikiranpikiran yang tak berat sebelah. [][]
Bersambung Penterjemah: Muharim Awwaluddin Sumber: Ahmadiyya Gazette Canada, April 1994, hal. 4-11.
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
53
Penulis: Cyrus Quwwah Pendahuluan Petir merupakan salah satu pemandangan paling indah di alam ini. Petir juga dikenal sebagai salah satu fenomena alam paling mematikan bagi manusia. Dengan suhu lebih panas dari permukaan matahari dan gelombang kejut yang dihasilkannya, petir merupakan fenomena yang mengagumkan. Dibalik kekuatan yang mengagumkan, petir menghadirkan sebuah misteri bagi manusia? Bagaimana dia bekerja? Muatan Positif dan Negatif Sebelum membahas tentang petir, ada baiknya kita mengenal dulu tentang fenomena mikroskopis dalam sebuah atom. Elektron dan proton merupakan penyusun dari atom. Hanya elektron saja yang dapat bergerak bebas sedangkan proton terikat pada inti atom. Perpindahan elektron ke atom lain membuat atom ada yang disebut bermuatan positif dan negatif. Atom yang kehilangan elektronnya disebut atom bermuatan negatif dan atom yang kelebihan elektron disebut atom bermuatan positif. Apabila atom muatan positif dan negatif didekatkan maka elektron yang berlebih akan bergerak mengisi kekosongan elektron pada atom lainnya. Mereka memilki sifat saling menyeimbangkan. Gerakan ini dapat dilihat oleh mata telanjang yang dikenal
54
Gambar 1. Elektron dan Proton dalam sebuah atom
sebagai loncatan listrik. Semakin besar perbedaan jumlah muatan maka akan semakin jelas penampakan loncatan listrik tersebut. Seperti saat anda memasukkan atau melepaskan colokan listrik dan pada pemantik korek gas. Apabila atom selalu menyeimbangkan muatannya, mengapa tetap saja masih ada muatan positif dan negatif? Hal ini disebabkan salah satunya karena pengaruh gesekan benda-benda. Gesekan ini menghasilkan energi panas yang membuat elektron bisa terlepas
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
P E T I R dari atomnya. Sedikit cerita, pada zaman dahulu seorang pesulap berhasil mempraktekkan trik perpindahan muatan elektron ini untuk memperlihatkan suatu keajaiban didepan penontonnya. Triknya yaitu dengan menggosokkan tangannya pada sebuah mesin kaca yang berputar (hauksbee’s electrical machine) dan kemudian mendekatkan ujung jarinya ke sebuah obor kecil. Tiba-tiba obor kecil itu menyala seolah-olah dari tangannya keluar api. Padahal trik diatas hanyalah dipicu oleh loncatan listrik. Awan Petir
Gambar 2. Awan Comulun‐ imbus
Petir sebenarnya sebuah loncatan listrik yang sangat panjang, lebih dari satu kilometer. Petir biasanya terjadi antara awan dan bumi, awan dan awan lainnya, dan didalam awan sendiri. Awan comulunimbus merupakan awan penyebab terjadinya petir. Pada waktu hujan, awan comulunimbus mendominasi jenis awan diatmosfer. Awan ini sangat besar dengan tinggi awan 2 km-16 km. Tidak ada yang tahu pasti mengenai timbulnya muatan negatif pada bagian bawah awan comulunimbus. Namun beberapa peneliti mengungkapkan kejadiannya seperti berikut. Air yang mendapatkan sinar
matahari akan menguap dan bergerak ke atas dalam bentuk uap air. Semakin ke atas suhu akan semakin dingin. Pada posisi tertentu uap air ini akan berubah menjadi embun air ataupun kristal es. Peristiwa ini dikenal sebagai kondensasi. Kristal es dan embun air yang berkumpul di atmosfer inilah yang membentuk awan. Karena proses penguapan dan kondensasi berlanjut, maka embun air yang masih bergerak ke atas akan menumbuk kristal es yang bergerak kebawah. Pada proses tumbukan ini, elektron dari embun air yang bergerak keatas akan berpindah ke kristal es. Akibatnya embun air menjadi bermuatan positif dan kristal es bermuatan negatif. Selanjutnya dalam awan terbentuk sekumpulan muatan positif dibagian atas dan muatan negatif dibagian bawah. Medan Listrik Apabila terdapat pemisahan muatan dalam awan, maka didalam awan akan terbentuk medan listrik. Medan ini timbul dari sifat saling mempengaruhi muatan. Suatu daerah yang memiliki kemampuan listrik. Tidak terlihat namun bisa dirasakan. Seperti api bisa menimbulkan medan api disekitarnya.. Semakin kuat medan listrik maka semakin rentan terjadinya loncatan listrik yang besar. Udara mampu menahan medan listrik rata-rata 30 kV/cm. Artinya udara mampu menahan perbedaan 30000 Volt dalam jarak 1 cm. Dari angka ini dapat dibayangkan seberapa besar tegangan yang dibutuhkan petir untuk menembus ribuan meter jalur udara. Muatan negatif dalam jumlah yang sangat banyak berkumpul di bagian bawah awan mempengaruhi komposisi muatan pada bumi. Walaupun awalnya
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
55
P E T I R bumi bermuatan netral, suatu saat permukaan bumi akan bermuatan positif. Ini disebabkan pengaruh tarikan muatan negatif dari awan. Bumi akan menjadi muatan positif raksasa. Akibatnya terbentuklah medan listrik yang sangat kuat antara bumi dan awan. Medan listrik yang sangat kuat ini menyebabkan elektron pada molekul udara yang awalnya terikat dekat pada inti atomnya menjadi terpisah jauh dari atomnya sendiri. Ini disebut fenomena ionisasi atom. Atom-atom udara menjadi ion positif dan elektronnya menjadi lebih bebas bergerak. Udara yang
Gam‐ bar 3. Proses sambaran petir awan ke bumi
terionisasi ini dikenal sebagai plasma. Plasma ini akan menjadi jalur petir menuju ke bumi. Terbentuknya Jalur Petir Apabila udara yang memisahkannya sudah tidak kuat menahan medan listrik antara awan dan bumi maka elektron dari awan mulai menjulur kebawah. Lidah petir awal mulai terbentuk dan selanjutnya lidah ini mencari jalur-jalur termudah untuk menembus udara. Karena udara tidak tersusun secara merata akibat adanya debu atau sejenisnya maka jalur-jalur tersebut akan bercabang-cabang. Disisi lain, muatan positif yang berada dipermukaan bumi akan berkonsentrasi atau berkumpul dibagian paling tinggi dari bumi. Biasanya pada gedung-gedung, tiang lis-
56
trik, pohon, dsb. Ketika lidah petir dari awan hampir mendekati bumi, muatan positif dari bumi akan keluar keatas. Muatan positif membentuk jalur ke atas untuk berusaha terhubung dengan lidah petir dari atas. Pada saat terhubung, jalur listrik terbentuk sempurna antara awan dan bumi. Sejumlah besar elektron akan turun dari awan ke bumi dengan sangat cepat. Kemudian disusul dengan naiknya muatan positif ke atas awan. Fenomena ini terus berulang sehingga terlihat petir itu berkedip-kedip. Sebuah petir memilki kekuatan sebesar 200 juta volt, arus listrik hingga 90 ribu Ampere, daya hingga 8 milyar watt, dengan durasi 8 mikro sekon. Sebagai perbandingan sebuah rumah biasanya dipasang pada tegangan 220 Volt, yang mengalir arus 10 Ampere, dengan daya 1300 watt. Guntur Bunyi guntur yang kita dengar adalah efek dari sambaran petir. Suhu dari petir sendiri sekitar 27000 0 Celcius, 6 kali lebih panas dari suhu permukaan matahari. Saat udara merasakan panas sebesar itu maka volumenya akan mengembang. Karena durasi sambaran petir begitu singkat, udara kembali menjadi dingin. Volume udara pun kembali mengecil dengan tiba-tiba. Akibat perubahan volume mendadak muncullah gelombang kejut yang bersumber dari jalur sambaran petir. Gelombang ini sangat berbahaya dalam jarak dekat karena energinya sangat besar. Buktinya terlihat dari jendela-jendela rumah yang bergetar saat guntur terjadi. Dalam jarak yang dekat, guntur ini bisa menghancurkan bangunan. Hal yang sama terjadi pada ledakan nuklir. Yang menyebabkan
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
kerusakan terbesar sebenarnya adalah dari gelombang kejutnya yang bergerak begitu cepat. Fungsi Petir Dalam tahap ini kita sudah cukup mengerti apa petir itu dan bagaimana dia terbentuk. Namun fungsinya seperti apa bagi manusia? Pada tahun 2007, sebuah perusahaan energy alternative Alternate Energy Holdings Inc. (AEHI) mencoba mendesain sebuah sistem yang mampu menciptakan petir buatan. Dihasilkan bahwa petir buatan tersebut mampu menyalakan lampu bohlam 60 watt selama 20 menit. Namun pada faktanya sebuah petir memiliki energi yang sangat kecil. Petir mungkin kuat menyalakan jutaan lampu bohlam namun jutaan tersebut hanya menyala sementara saja. Ini disebabkan petir bekerja dengan sangat cepat. Tantangan terberat untuk mengumpulkan energi petir juga pada ketidakpastian dimana dan kapan petir itu tepatnya menyambar. Kegunaan petir hingga sekarang belum banyak diketahui secara pasti. Fenomena tersebut hanyalah sebuah penyeimbangan muatan. Namun beberapa studi memberikan spekulasi bahwa petir memainkan peranan yang penting dalam kehidupan awal dibumi. Pada tahun 1953, Stanley Miller dan Harold Urey, di Universitas Chicago melakukan sebuah eksperimen untuk menentukan proses kimia yang pada akhirnya menyebabkan pada kehidupan dibumi. Dasar percobaan ini memanfaatkan hipotesis Oparin yang mengasumsikan bahwa beberapa bahan organik dapat dibuat dari bahan anorganik. Dengan menggunakan campuran
Gambar 5.
air, metana, ammonia, dan hydrogen Eksperimen dalam tabung kaca, miller dan Urey Miller‐Urey meniru efek dari petir pada campurannya menggunakan elektroda. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa sebanyak 15% karbon dari campuran itu membentuk senyawa organik, sementara 2% dari karbon membentuk asam amino, elemen yang penting dalam penyusun kehidupan. Petir adalah sebuah fenomena listrik, penyeimbangan muatan, dan sebuah cahaya yang berkilau terang. Revolusi dunia digital membuat manusia semakin menyadari kegunaan listrik itu sendiri. Namun misteri petir, perwujudan listrik terbesar dibumi ini masih belum terkuak dengan jelas. Manusia hingga kini belum mampu menciptakan alat untuk menyamai kekuatan petir itu sendiri. Makna Petir dalam Al Quran Dalam Al Quran pada surah AlBaqarah ayat 16-19 diterangkan mengenai petir yang terkait dengan perilaku orang munafik. Allah swt berfirman: “Perumpamaan mereka (orang munafik) seperti orang-orang yang menyalakan api, setelah menerangi
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
57
P E T I R sekelilingnya, Allah melenyapkan cahaya mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu, dan buta, sehingga mereka tidak dapat kembali, atau seperti (orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit, yang disertai kegelapan, petir, dan kilat. Mereka menyumbat telinga mereka dengan jari-jarinya, menghindari suara petir itu karena takut mati. Allah meliputi orang-orang yang kafir. Hampir saja kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali menyinari, mereka berjalan dibawah sinar itu dan apabila gelap menerpa mereka, mereka berhenti. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia hilangkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sungguh Allah Mahakuasa atas segala sesuatu”. Didalam surah Ar-Ra’d ayat 11 Allah swt berfirman: “Dialah yang memperlihatkan kilat kepadamu, yang menimbulkan ketakutan dan harapan, dan Dia menjadikannya mendung". Lalu apa kaitan petir tersebut dengan Al Quran? Pada surah Ar-Ra’d petir dianggap dapat menghadirkan ketakutan dan harapan. Bagi orang munafik, mereka melihat petir hanya sekedar ancaman ketakutan bagi dirinya. Mereka berada dalam ketakutan, berada diantara buruk dan baik. Sesuai dengan kondisi mereka yang selalu berpura-pura percaya atau setia kepada agama tetapi sebenarnya dalam hatinya tidak. Namun bagi orang yang beriman, mereka melihat sisi lain dari petir itu sendiri yaitu sebuah cahaya, Nur yang membawa harapan. Seperti listrik yang membawa harapan bagi kemajuan manusia. [][] Sumber: Al Quran, Terjemahan dan
58
Singkat, Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Bakshi U.A, Bakshi M.V. Protection and Swithgear. Tibor Horvath. “Understanding Lightning & Lightning Protection Systems Horvath. www.BBC.com/ Shock and Awe The Story of Electricity http://science.howstuffworks.com/ nature/natural-disasters/ lightning4.htm http://www.google.com/imgres? imgurl=http%3A%2F% 2Foasis4.netfirms. http://ebooks.cambridge.org/ chapter http://science.howstuffworks.com/ nature/natural-disasters/ lightning4.htm http://en.wikipedia.org/wiki/ Harvesting_lightning_energy http://en.wikipedia.org/wiki/ Paleolight Penulis adalah Pengurus MKAI Cabang Bandung Tengah, Mahasiswa ITB, Jurusan Elektro.
Tafsir
SINAR ISLAM | Volume 1, Edisi 4, Ihsan 1393 / Juni 2014
INTI AJARAN ISLAM Bagian Pertama Ekstrak dari Tulisan, Pidato, Pengumuman, dan Wacana Masih Mau’ud dan Imam Mahdi, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. Pendiri Jemaat Ahmadiyah Indonesia XL + 497 halaman; 15.5 x 23 cm Penterjemah Bahasa Indonesia: A. Q. Khalid Penyelaras Bahasa: Ekky O. Sabandi Design & Lay Out: Dadang Sumarta, S.Pd.I Penterjemah Bahasa Inggris: Choudry Muhammad Zafrullah Khan Edisi 1: 1979, the London Mosque Edisi 2: 2004, Islam International Publications Limited Edisi 3: 2007, Islam International Publications Limited Revisi Munawar Ahmad Sa’eed Judul Asli: The Essence of Islam Volume I Islam International Publications Ltd Islamabad, Tilford-Surrey, UK. ISBN: 185372-765-2 Edisi Pertama, 2014 Penerbit: Neratja Press Email:
[email protected] ISBN: 978-602-14539-5-7 Buku ini merupakan bagian pertama dari rangkaian terjemahan versi bahasa Indonesia berupa Ekstrak dari Tulisan, Pidato, Pengumuman, dan Wacana Masih Mau’ud dan Imam Mahdi, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. dari Qadian Pendiri Jemaat Muslim Ahmadiyah (185-1908) Dengan sabda-sabda Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. sendiri, buku ini membahas empat topic yang sangat penting, yaitu: 1) Islam, Agama yang benar dan hidup 2) Allah, Yang Maha Tinggi 3) Nabi Muhammad s.a.w. 4) Kitab Suci Al-Quran [][]
JEMAAT AHMADIYAH Jemaat Ahmadiyah adalah gerakan dalam Islam yang didirikan oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. pada tahun 1889 (1306 H). Jemaat Ahmadiyah bukanlah agama baru. Jemaat Ahmadiyah adalah jamaah Muslim. Syahadat Ahmadiyah adalah:
أشھد أن ال إله إال ﷲ وأشھد أن محمدا رسول ﷲ Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. lahir pada tahun 1835 di Qadian, India dan wafat pada tahun 1908. Berdasarkan wahyu dan perin‐ tah dari Allah Ta’ala, beliau a.s. adalah Al‐Masih Yang Dijanjikan dan Imam Mahdi, yang telah dikabarkan oleh Nabi Besar Muhammad s.a.w. akan datang di Akhir Zaman. Beliau a.s. berpangkat Nabi dan Rasul tetapi tidak membawa syariat baru. Tu‐ gas beliau a.s. adalah untuk menghidupkan agama dan menegakan Syariat Islam. Setelah Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. wafat, kepemimpinan dalam Jemaat Ahmadiyah dilanjutkan dengan berdirinya khilafat, sesuai dengan Sunnah Islam. Khalifah pertama dalam Jemaat Muslim Ahmadiyah adalah Hadhrat Hafiz Al‐ Hajj Hakim Nuruddin r.a. (1908‐1914). Kedua Hadhrat Al‐Hajj Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad (1914‐1965). Mengenai Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a. ini Hadhrat Imam Mahdi a.s. sering menerima wah yu yang mengabar‐ kan bahwa beliau akan memegang peranan penting dalam perkembangan Islam. Dan terbukti, Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a. memegang jabatan Khalifah Muslim Ahmadiyah selama 51 tahun. Dalam masa jabatan kekhalifahan beliau inilah Jemaat Muslim Ahmadiyah menyebar ke seluruh pelosok dunia. Khalifah ketiga adalah Hadhrat Hafiz Mirza Nasir Ahmad r.a. (1965‐1982). Khali‐ fah keempat adalah Hadhrat Mirza Tahir Ahmad r.h. (1982‐2003) dan Khalifah ke‐ lima adalah Hadhrat Mirza Masroor Ahmad a.t.b.a. (2003– sampai sekarang). Jemaat Ahmadiyah Indonesia adalah bagian dari Jemaat Muslim Ahmadiyah Internasional yang berpusat di Qadian, India, lalu pada tahun 1947 pindah ke Rab‐ wah, Pakistan, dan sejak tahun 1984 hingga kini berpusat sementara di London, Inggris. Jemaat Ahmadiyah Indonesia didirikan pada tahun 1925 dan telah diakui seba‐ gai badan hukum dengan ketetapan Menteri Kehakiman Republik Indonesia tang‐ gal 13 Maret 1953 No. J.A. 5/23/13. Kebenaran pendakwaan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. sebagai Imam Ma‐ hdi dan Al‐Masih Yang Dijanjikan dapat diuji dengan ajaran Al‐Quran dan Hadits‐ hadits Nabi Besar Muhammad s.a.w. Jika penyelidikan demikian tidak memberikan kepuasan batin, maka dapat diminta petunjuk langsung dari Allah Ta’ala dengan jalan shalat Istikharah yang dilakukan dengan hati yang khusu dan Ikhlas. [][]