JURNAL EQUALITY, Vol. 10 No. 2 Agustus 2005
URGENSI PENGATURAN PRINSIP KEHATI-HATIAN (PRUDENT BANKING PRINCIPLE) DALAM PENGELOLAAN BANK T. Darwini Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Abstract: That in legal system of Indonesia banking, customer is let alone with out predictable and reasonable legal protection, and the same is true also to bankers. Therefore, the most common problem complained continuously is the absence of the lack of legal protection to customers when they relate to bank, and also if government (Indonesian Bank) liquidated. Kata Kunci: Sistem, Hukum, Perbankan, Perlindungan
Pembangunan nasional memerlukan sumber pendanaan yang tidak kecil guna mencapai sasarannya: pertumbuhan ekonomi, pendapatan perkapita, kesempatan kerja, distribusi pendapatan, dan lain-lain. Sasaran ini terus diupayakan untuk ditingkatkan kualitasnya dari waktu ke waktu. Untuk itu upaya memperbaiki dan memperkuat sektor keuangan khususnya industri perbankan menjadi sangat penting. Sektor perbankan memiliki peran yang sangat vital, antara lain sebagai pengatur urat nadi perekonomian nasional (Lovett, 1997). Bank merupakan lembaga keuangan yang memberi jasa keuangan yang paling lengkap. Usaha keuangan yang dilakukan di samping menyalurkan dana atau memberi pinjaman (kredit) juga melakukan usaha menghimpun dana dari masyarakat luas dalam bentuk simpanan. Kemudian usaha bank lainnya memberikan jasa-jasa keuangan yang mendukung dan memperlancar kegiatan, memberikan pinjaman dengan kegiatan menghimpun dana (Kasmir, 2003). Lancarnya aliran uang sangat diperlukan untuk mendukung kegiatan ekonomi. Dengan demikian, kondisi sektor perbankan yang sehat dan kuat penting menjadi sasaran akhir dari kebijakan disektor perbankan. Peran sektor perbankan dalam pembangunan juga dapat dilihat pada fungsinya sebagai alat transmisi kebijakan moneter. Di samping itu, perbankan merupakan alat yang sangat vital dalam menyelenggarakan transaksi pembayaran, baik nasional maupun internasional. Mengingat pentingnya fungsi ini, maka upaya menjaga kepercayaan masyarakat (Presentiantono & Juwana, 1998) terhadap perbankan menjadi bagian yang sangat penting untuk dilakukan. Bisnis perbankan merupakan bisnis yang penuh risiko, di samping menjanjikan keuntungan yang besar jika dikelola secara baik dan prudent. Dikatakan sebagai bisnis penuh risiko (full risk business) karena aktivitasnya sebagian besar mengandalkan dana titipan masyarakat, baik dalam bentuk tabungan, giro maupun deposito. Besarnya peran yang diemban oleh sektor perbankan, bukan berarti membuka kran sebebas-bebasnya bagi siapa saja untuk mendirikan, mengelola ataupun menjalankan bisnis perbankan tanpa didukung atau di back-up dengan aturan perbankan yang baik dan sehat. Pemerintah melalui otoritas keuangan dan perbankan berwenang menetapkan aturan dan bertanggung jawab melakukan pengawasan terhadap jalannya usaha dan aktivitas perbankan. Oleh karenanya, kebijakan pemerintah disektor perbankan harus diarahkan pada upaya mewujudkan perbankan yang,sehat, kuat dan kokoh. Hal ini mengingat kebijakan di bidang perbankan ini tidak lagi semata-mata memegang peranan penting dalam pengembangan infrastruktur keuangan dalam rangka mengatasi kesenjangan antara tabungan dan investasi tetapi juga berperan penting dalam memelihara kestabilan ekonomi makro melalui keterkaitannya dengan efektivitas kebijakan moneter (Syabirin, 2001). Pemerintah telah cukup mencurahkan perhatian pada penyempurnaan peraturan-peraturan hukum di bidang perbankan. Mulai dari undang -undang hingga peraturan yang sifatnya teknis sudah cukup tersedia. Bahkan peraturan yang berhubungan dengan prinsip kehati-hatian tidak cukup untuk dijadikan ukuran bahwa perbankan nasional lepas dari segala permasalahan. Buktinya sebagian besar bank-bank nasional (khususnya bank swasta) merupakan bank bermasalah, yang satu persatu masuk kandang Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), bahkan lebih tragis lagi beberapa bank swasta nasional terpaksa dilikuidasi pada masa awal krisis ekonomi dan keuangan melanda Indonesia.(Iljas, 2000). Salah satu faktor yang membuat sistem perbankan nasional keropos adalah akibat perilaku para pengelola dan pemilik yang mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam berusaha. Di samping faktor penunjang lain yakni lemahnya pengawasan dari Bank Indonesia (BI). Pelaksanaan prinsip kehati-hatian merupakan hal penting guna mewujudkan sistem perbankan yang sehat, kuat dan kokoh. Krisis perbankan yang melanda Indonesia sepanjang tahun 1997 hingga saat ini menunjukkan betapa lemahnya komitmen untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian dikalangan pelaku bisnis perbankan. Berdasarkan pengalaman tersebut, dan pengalaman beberapa negara lain, tampaknya kegiatan perbankan tidak bisa seluruhnya diserahkan kepada mekanisme pasar, karena kenyataannya pasar selalu mampu membetulkan dirinya sendiri (self correcting) bila terjadi sesuatu di luar dugaan (Supraptomo, 1997). Oleh karena itu, dukungan kontrol terhadap aktivitas perbankan oleh BI dengan kewajiban melaksanakan prinsip kehati-hatian merupakan solusi terbaik dalam rangka menjaga dan mempertahankan eksistensi 75
T. Darwini: Urgensi Pengaturan Prinsip Kehati-hatian …
perbankan, yang pada akhirnya akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada industri perbankan itu sendiri. Dari latar belakang tersebut di atas, dapat dikemukakan beberapa permasalahan: Pertama, bagaimana kondisi perbankan Indonesia saat ini, apakah mencerminkan pelaksanaan prinsip kehati-hatian sebagai faktor utama dan menentukan dalam menjaga eksistensi kepercayaan masyarakat ?; kedua, mengingat pentingnya prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan bank, apakah hal ini mendapat pengaturan di dalam UU No.10 Tahun 1998 tentang perubahan UU No.7 Tahun 1992 tentang perbankan ?; dan ketiga, mengingat UU No.10 Tahun 1998 juga mengakomodasi kehadiran perbankan dengan prinsip syariah, apakah dalam sistem perbankan syariah (yang aturan dasarnya mengacu pada ketentuan syariah Islam) memuat prinsip-prinsip kehati-hatian yang dimaksud ? KONDISI PERBANKAN INDONESIA SAAT INI Mengetahui secara lengkap kondisi perbankan Indonesia saat ini tidak bisa tidak kembali mencermati perkembangan yang terjadi pada masa munculnya kebijakan-kebijakan (deregulasi) di bidang perbankan yang dikeluarkan oleh pemerintah, terutama sekali ketika dikeluarkannya paket deregulasi pada tanggal 27 Oktober 1988. Paket deregulasi sektor perbankan Oktober 1988 (Pakto '88), merupakan paket deregulasi yang sangat kontroversial sepanjang sejarah perbankan Indonesia. Walau sebelumnya pemerintah pernah mengeluarkan kebijakan yang sama bulan Juni 1983, yang merupakan tonggak pendorong meningkatnya peranan perbankan dalam upaya mengerahkan dana masyarakat. Pakto ’88 dikatakan kontroversial karena pada paket tersebut pemerintah memberikan kemudahan bagi siapa saja untuk mendirikan bank-bank umum baru dengan hanya bermodalkan 10 milyar rupiah, kemudahan membuka kantor cabang serta kemudahan izin untuk merubah status bank menjadi bank devisa (Asikin, 1997). Pada sisi positif, pakto '88 di samping bertambahnya jumlah bank, kehadirannya telah memacu jumlah dan nilai transaksi perdagangan, dan pada akhirnya meningkat pula jumlah dan nilai transaksi perbankan dan keuangan. Namun pada sisi negatif, persaingan antara pemilik dan pengelola bank pun turut meningkat. Di samping itu, upaya pembajakan manajer-manajer bank serta iming-iming hadiah kepada nasabah juga mengalami peningkatan yang mengkhawatirkan. Pada akhirnya pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian pun seolah-olah sebagai sesuatu hal biasa, seperti pelanggaran batas maksimum pemberian kredit (legal lending limit) yang disalurkan baik kepada nasabah debitor perorangan maupun kepada debitor dalam kelompok (group) usaha bank yang bersangkutan. Menurut Fuady, perkembangan perbankan setelah pakto '88 sangat pesat tetapi kurang terkontrol, sehingga menimbulkan berbagai masalah dalam praktek, dan pengabaian sama sekali prudent banking principle. Akibatnya pada sekitar tahun 1991, Bank Duta terancam bangkrut karena banyak rugi dalam permainan valas. Hal yang sama juga terjadi pada Bank Umum Majapahit karena kejahatan yang dilakukan oleh pimpinan sekaligus pemiliknya dan beberapa bank lain yang hampir terganggu likuiditasnya tetapi dapat diselamatkan dengan beberapa cara serta yang paling monumental adalah dilikuidasinya Bank Summa (Fuady, 1999). Untuk penyempurnaan pakto '88, dikeluarkan paket 2 Maret 1989 yang antara lain memuat ketentuanketentuan penilaian kesehatan bank hasil merger, komponen modal untuk perhitungan capital equacy ratio lebih diperjelas, ketentuan legal lending limit dan memberi kesempatan pada bank untuk melakukan penyertaan dana pada lembaga-lembaga lain serta memberikan kredit investasi jangka menengah dan jangka panjang (Tobing. 2002). Pengaturan substansi prinsip kehati-hatian (CAR, dan BMPK) dalam paket 25 Maret 1989 dianggap masih "setengah mati", karena tidak memberi arti signifikan bagi upaya meredam efek-efek negatif atas munculnya pakto'88. Menyadari hal itu, untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional, pemerintah mengeluarkan kebijakan baru yang terkenal dengan paket Februari (pakfeb). Paket Februari ini menyangkup kecukupan modal (CAR), pembatasan pemberian kredit yang tidak didukung oleh dana masyarakat (LDR), persyaratan kepemilikan dan kepengurusan, ketentuan legal lending limit dan pembentukan cadangan untuk menutupi risiko. Meski dinilai banyak kalangan terlambat, pakfeb ternyata mampu mencegah pertumbuhan bank dan ekspansi kredit yang cenderung tidak terkendali. Dengan kata lain, ketentuan tersebut memaksa bank untuk mengurangi ekspansinya, sehingga keuntungan bank tidak dapat lagi dipergunakan untuk membuka cabang baru, melainkan digunakan untuk menyetor modal. Biaya lain juga harus diperhitungkan untuk memenuhi ketentuan CAR 8 %. Secara perlahan pakfeb ’91 sedikit membawa pengaruh. Bank-bank mulai sibuk konsolidasi untuk memenuhi ketentuan modal agar posisi CAR mencapai 8 % pada akhir 1993, LDR maksimum 110 %, dan ketentuan penyaluran kredit dalam bentuk kredit usaha kecil 20 %. Khusus persoalan pemenuhan CAR 8 %, namun angka rata-rata CAR pada banyak bank masih di bawah 7 %. Keadaan ini dengan sendirinya juga menimbulkan kekhawatiran baru terhambatnya kegiatan perekonomian yang selanjutnya akan semakin mempersulit perbankan sendiri. Untuk melonggarkan ruang gerak perbankan dalam menyalurkan kredit, BI kemudian memberi keluwesan kepada bank untuk memiliki CAR 5 % pada akhir Maret 1992. Dengan demikian kegiatan ekonomi akan lebih bergairah, tetapi pada sisi lain muncul persoalan membengkaknya kembali kredit macet (Ibid, 2002). Kredit macet sempat menghantui perbankan nasional, mencapai klimaksnya setelah Gubernur BI mengumumkan secara resmi dalam pertemuan BI-DPR pada bulan Mei 1993. Meskipun angka-angka diseputar besarnya kredit macet tersebut bervariasi, tetapi besarnya kredit macet sudah menggambarkan bahwa posisi perbankan nasional mengalami kelesuan dan ini akan menjadi ancaman serius terhadap sektor rill. Ada sejumlah faktor penyebab membengkaknya kredit macet: (1) Perbankan umumnya kurang hati-hati dalam memberikan pinjaman dalam tahun76
JURNAL EQUALITY, Vol. 10 No. 2 Agustus 2005
tahun boom investasi (sejak keluarnya Pakto '88). (2) Pelanggaran terhadap ketentuan batas maksimum pemberian kredit (legal lending limit) yang disyaratkan Pakfeb '91. (3) Pengaruh kebijaksanaan uang ketat, sehingga menurunkan kemampuan perusahaan nasabah bank untuk membayar pinjaman (Ibid, 2002). Hingga saat ini, kondisi perbankan nasional masih sangat rapuh dan rawan kredit bermasalah (non-performing loan). Fenomena negatif spread (selisih antara pendapatan bunga dan biaya bunga), terutama akibat tingginya suku bunga dan gejolak nilai tukar rupiah, masih terus mengancam permodalan bank, dan hal ini bisa memicu krisis atau rekapitalisasi bank jilid dua. Fungsi intermediasi juga belum berjalan, tercermin dari masih rendahnya rasio antara kredit yang disalurkan dengan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang dihimpun perbankan (loan to deposit ratio/LDR). Menurut Dradjad H.Wibowo, untuk mempercepat pulihnya proses intermediasi, BI harus berani mengurangi jumlah bank secara radikal, melakukan percepatan restrukturisasi kredit, baik yang ada diperbankan maupun di BPPN, dan mempercepat penyelesaian persoalan hukum, khususnya berkaitan dengan proses kepailitan di pengadilan niaga. Gambaran di atas setidaknya memberikan pemahaman bahwa krisis ekonomi, keuangan dan perbankan yang terjadi sejak tahun 1997 hingga saat ini tidaklah akibat perilaku investor asing. Kalaupun itu ada, hanyalah pemicu api yang memang sudah membara. Kondisi ekonomi, keuangan dan perbankan Indonesia sebelum itu sebagaimana digambarkan di atas sangatlah tidak stabil. Swasta-swasta besar berlomba ekspansi tetapi tidak mengindahkan etika dan kaidah bisnis. Untuk sektor perbankan khususnya, pelaku bisnis perbankan cenderung mengabaikan atau melanggar prinsip-prinsip berusaha yang baik dan sehat sebagaimana telah ditetapkan baik dalam UU Perbankan maupun di dalam peraturan-peraturan di bawahnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kondisi perbankan Indonesia hingga saat ini mencerminkan betapa buruk dan rendahnya komitmen untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian dikalangan pelaku bisnis perbankan, di samping lemahnya kontrol (pengawasan) dari pemerintah melalui Bank Indonesia. Saat ini BI tengah melakukan penyempurnaan sistem pengawasan bank, dari sistem compliance (kepatuhan pada regulasi) menjadi pengawasan risiko (risk based supervision). Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui permasalahan bank sejak dini. Selama ini BI melakukan pengawasan reaktif, yakni berdasarkan peraturan saja (compliance), sehingga jika ada permasalahan di sebuah bank, baru akan diketahui kemudian. Penyempurnaan fungsi pengawasan ini merupakan salah satu agenda pemerintah dalam rangka pemulihan ekonomi melalui kebijakan (pemberdayaan) perbankan. Upaya pemberdayaan dimaksud meliputi empat aspek, yakni rekapitalisasi bank-bank, restrukturisasi kredit perbankan, pengembangan infrastruktur perbankan, dan penyempurnaan pelaksanaan fungsi pengawasan bank (Syabirin, 2001) PENGATURAN PRUDENT BANKING PRINCIPLE DALAM UU PERBANKAN Prinsip kehati-hatian (prudent banking principle) adalah suatu asas atau prinsip yang menyatakan bahwa dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib bersikap hati-hati (prudent) dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan padanya. Hal ini disebutkan dalam pasal 2 UU Nomor 10 Tahun 1998 sebagai perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Ada satu pasal dalam UU Perbankan yang secara eksplisit mengandung substasi prinsip kehati-hatian, yakni pasal 29 ayat (2), (3) dan (4) UU Nomor 10 Tahun 1998. Pasal 29: (1) Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuidasi, rentabilitas, solvabilitas dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha, bank wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian. (2) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank. (3) Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyedikan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank. Jika memperhatikan judul Bab V UU Perbankan (terdiri dari pasal 29 s/d pasal 37B), maka pasal 29 merupakan pasal yang termasuk dalam ruang lingkup pembinaan dan pengawasan bank. Lebih khusus lagi menurut Anwar Nasution, ketentuan prudent banking termasuk dalam ruang lingkup pembinaan bank dalam arti sempit (Nasution, 1997). Sebenarnya pengaturan prinsip kehati-hatian ini ternyata termaktub juga pada bagian pasal sebelumnya, seperti pasal 8, 10 dan 11 UU Perbankan. Pasal 8: "Dalam memberikan kredit, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitor untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan." Pasal 10: " Bank Umum dilarang: (a) Melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf b dan huruf c; (b) Melakukan usaha perasuransian; (c) Melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dan pasal 7. Pasal 11: (1) Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga, atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada peminjam atau sekelompok peminjam yang terkait, termasuk kepada perusahaanperusahaan dalam kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan. (2) Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh melebihi 30 % (tiga puluh perseratus) dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga atau hal 77
T. Darwini: Urgensi Pengaturan Prinsip Kehati-hatian …
lain yang serupa, yang dapat dilakukan bank kepada: Pemegang saham yang memiliki 10 % (sepuluh perseratus) atau lebih dari modal disetor bank; anggota dewan komisaris; anggota direksi; keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c; pejabat bank lainnya ; dan perusahaan-perusahaan yang didalamnya terdapat kepentingan dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e. Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak boleh melebihi 10 % (sepuluh perseratus) dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh BI. Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank dilarang melampaui batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah sebagaimana diatur dalam ayat (1), (2), (3), dan (4). Apa yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian, oleh UU Perbankan sama sekali tidak jelas, baik pada bagian ketentuan maupun dalam penjelasannya. UU Perbankan hanya menyebutkan istilah dan ruang lingkupnya saja sebagaimana dijelaskan dalam pasal 29 ayat (2), (3), dan (4) di atas. Dalam bagian akhir ayat (2) misalnya disebutkan bahwasanya bank wajib menjalankan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Dalam pengertian, bank wajib untuk tetap senantiasa memelihara tingkat kesehatan bank, kecukupan modal, kualitas asset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank. Apa saja yang dimaksud dengan aspek lain itu dijelaskan. Dalam pada itu, dalam rangka mendukung atau menjamin terlaksananya proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian, bank wajib memiliki dan menerapkan sistem pengawasan intern dalam bentuk self regulation. Anwar menyebutkan bahwa ruang lingkup aturan prudent banking (pembinaan dalam arti sempit) meliputi persyaratan modal awal maupun rasio modal terhadap kemungkinan risiko yang dihadapinya, BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit), rasio pinjaman terhadap deposito (LDR) maupun posisi luar negeri (NOP), rasio cadangan minimum, cadangan penghapusan aktiva produktif (kredit macet), transparansi pembukuan berdasarkan standarisasi akuntansi serta audit. Hal menarik dalam ketentuan prinsip kehati-hatian bank ini adalah adanya kewajiban bagi bank menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank, sebagaimana dijelaskan dalam ayat (4) pasal 29 di atas. Penyediaan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian nasabah dimaksudkan agar akses untuk memperoleh informasi perihal kegiatan usaha dan kondisi bank menjadi lebih terbuka yang sekaligus menjamin adanya transparansi dalam dunia perbankan, Infomasi tersebut dapat memuat keadaan bank termasuk kecukupan modal, dan kualitas aset. Apabila informasi tersebut telah tersedia atau disediakan, bank dianggap telah melaksanakan ketentuan ini. Informasi tersebut perlu diberikan dalam hal bank bertindak sebagai perantara penempatan dana dari nasabah atau pembelian/penjualan Surat Berharga untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya. Walaupun ketentuan ini terkesan berlebihan, tetapi ketentuan ini menunjukkan bahwa bank benar-benar memiliki tanggungjawab terhadap para nasabahnya. Hal ini penting bagi bank dalam rangka menjaga hubungan baik dan berkelanjutan dengan nasabahnya. Sebab, jika sekali nasabah dirugikan akibatnya nasabah selamanya tidak akan percaya kepada bank bersangkutan. Hal ini juga relevan dengan konsep hubungan antara bank dan nasabahnya, yang bukan hanya sekedar hubungan debitor-kreditor semata, melainkan lebih dari itu sebagai hubungan kepercayaan (fiduciary relationship). Dalam sejarah perbankan Indonesia, ketentuan prudent banking pernah diatur secara khusus dalam beberapa Paket Deregulasi Februari, misalnya Paket Deregulasi 25 Maret 1989 dan Paket Deregulasi Februari 1991, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Salah satu tujuan atau tugas yang diemban Paket Februari 1991 misalnya, berupaya mengatur pembatasan dan pemberatan persyaratan permodalan minimum 8 % dari kekayaan. Yang diharapkan dari paket itu adalah adanya peningkatan kualitas perbankan Indonesia. Kewajiban bank-bank memenuhi aturan penilaian kesehatan dalam paket deregulasi di atas, tampaknya tidak bisa menghindari kesan sebagai produk aturan yang diwarnai trauma atas terjadinya kasus collapsnya beberapa bank umum nasional, seperti Bank Perbankan Asia, Bank Duta dan Bank Umum Majapahit. Pengaturan prudent banking saat ini sudah cukup banyak, bahkan sudah seringkali dilakukan revisi atau pergantian, baik setelah lahirnya UU No.7 Tahun 1992 maupun ketika pemerintah mengundangkan UU No.10 Tahun 1998. Regulasi tersebut sebagian besar dalam bentuk Surat Edaran dan SK Direksi Bank Indonesia, peraturan-peraturan yang ada terus-menerus mendapat perubahan seperti: (1) SK BI 30/11/KEP/DIR/1997, tentang Tata Cara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank. (2) SK BI 30/12/KEP/DIR/1997, tentang Tata Cara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Perkreditan Rakyat. (3) SK BI 30/46/KEP/DIR/1997, tentang Pembatasan Pemberian Kredit oleh Bank Umum untuk Pembiayaan Pengadaan dan atau Pengolahan Tanah. (4) SE BI 31/16/UPPB/1998 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum. (4) SK BI 31/177/KEP/DIR tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum. (5) SE BI 31/17/UPPB/1998 tentang Posisi Netto Bank Umum. (6) SE BI 31/18/UPPB/1998 tentang Pemantauan Likuiditas Bank Umum. (7) SK BI 31/179/KEP/DIR tentang Pemantauan Likuiditas Bank Umum. (8) SK BI 31/148/KEP/DIR/1998 tentang Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif. (9) SK BI 31/147/KEP/DIR/1998 tentang Kualitas Aktiva Produktif. (10) SK BI 331/178/KEP/DIR/1998 tentang Posisi Devisa Netto Bank Umum. (11) Peraturan BI 2/16/PBI/2000 tentang Perubahan SK Direksi BI 31/177/KEP/DIR/1998 tentang batas maksimum pemberian kredit. (12) Peraturan BI 2/6/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemeriksaan Bank. (13) Peraturan BI 2/11/PBI/2000 tentang Penetapan Status Bank dan Penyerahan Bank kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional. (14)Peraturan BI 3/21/PBI/2001 tentang kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank. (15) Peraturan BI 3/22/PBI/2001 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank. (16) Peraturan BI 5/13/PBI/2003 tentang Posisi Devisa Netto Bank Umum. (17) 78
JURNAL EQUALITY, Vol. 10 No. 2 Agustus 2005
Peraturan BI 5/12/PBI/2003 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dengan Memperhitungkan Risiko Pasar. (18) Peraturan BI 5/10/PBI/2003 tentang Prinsip Kehati-Hatian dalam Kegiatan Penyertaan Modal. (19) Peraturan BI 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum. (20) Peraturan BI 5/12/PBI/2005 tentang Kewajiban Penyedian Modal Minimum Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah. (21) Peraturan BI 7/10/PBI/2005 tentang Laporan Harian Bank Umum. (22) Peraturan BI 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengadaan Nasabah. (23) Peraturan BI 7/4/PBI/2005 tentang Prinsip Kehati-Hatian dalam Aktivitas Sekuritas Aset bagi Bank Umum. (24) Peraturan BI 7/2/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum. (25) SE BI 7/14/DPNP/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum dan Lampiran. (26) SE BI 7/13/DPBS/2005 tentang Laporan Bulanan Bank Perkresitan Rakyat Syariah. (27) SE BI 7/9/DPNP/2005 tentang Sistem Informasi Debitan dan Lampiran. (28) SE BI 7/3/DPNP/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum dan Lampiran. Sebagaimana halnya bank-bank di negara-negara maju dan berkembang lainnya, dalam kaitannya dengan pemenuhan standar kesehatan bank, mengikuti ketentuan Bassel International Standart (BIS). Dalam rangka pemenuhan kondisi perbankan di Indonesia, BI telah menyepakati 25 aturan BIS. Sampai saat ini baru 12 aturan BIS yang siap diterapkan di Indonesia. Diantaranya ketentuan CAR 8 %, dan NPL/Non Performing (kredit macet) 5 % yang harus segera dipenuhi bank-bank sebelum akhir 2001. Ketentuan BIS tersebut dalam garis besarnya merupakan prinsip dasar pengawasan pembinaan dan pengawasan bank yang efektif, yang telah disetujui untuk diterapkan di Indonesia melalui agreement yang dilakukan oleh BI dengan IMF, 25 butir ketentuan adalah sebagai berikut Mempunyai wewenang, tanggung jawab dan tujuan yang jelas, bersifat independent dan memiliki sumber daya yang cukup, kegiatan yang diizinkan, kriteria perizinan, otoritas untuk mengkaji dan menolak usul, otoritas untuk menetapkan kriteria ketentuan kehati-hatian (prudential), kecukupan modal, standar kredit dan monitoring, kebijakan dan prosedur evaluasi terhadap kualitas aset, sistem informasi manajemen bank, ketentuan pinjaman terkait (BMPK), monitoring terhadap risiko, memiliki sistem yang memadai untuk memantau situasi pasar, mempunyai prosedur pengendalian risiko manajemen yang komprehensif, sistem pengendalian internal, meningkatkan kode etik profesional metode pengawasan bank, meliputi off site dan on site, senantiasa melakukan hubungan dengan manajemen bank, mempunyai teknik untuk melakukan analisis data/laporan, mempunyai independensi, mampu melakukan pengawasan secara konsolidasi informasi perbankan, seluruh bank diharuskan memiliki sistem pencatatan yang lengkap dan akurat, pengawasan diharuskan mempunyai alat ukur yang cukup dan mampu melakukan perbaikan serta melakukan tindakan aturan dan kerjasama pengawasan internasional, menerapkan praktik pengawasan konsolidasi, melakukan kerjasama antar pengawas, dan menerapkan standar yang sama antara bank lokal dengan bank asing. Pembinaan dan pengawasan yang berlandaskan kepada ketentuan BIS tersebut, layak diimplementasikan tidak hanya terhadap perbankan, tetapi juga lembaga keuangan non-bank. Hal ini relevan dipertimbangkan mengingat empiris historis di Indonesia memperlihatkan cukup banyak kasus perbankan dan kegiatan lembaga keuangan non-bank. Pengaturan Prudent Banking Principle dalam Sistem Perbankan Syariah Salah satu jenis bank yang dikenal di Indonesia dilihat dari sistem atau tata cara operasionalnya adalah Bank Islam, yang lebih populer dengan sebutan Bank Syariah. Bank Syariah ini merupakan lembaga keuangan yang usaha pokoknya (sebagaimana halnya dengan Bank Konvensional) menarik dan memberikan kredit (pembiayaan) dan jasajasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip-prinsip Syariah Islam.(Sumitro, 1997). Prinsip Syariah, dalam pasal 1 butir 13 UU Perbankan dijelaskan sebagai aturan perjanjian berdasarkan Hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk menyimpan dan atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang disesuaikan dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina). Ketentuan di atas, yang penting digaris bawahi adalah redaksi atau pernyataan "aturan perjanjian berdasarkan Hukum Islam". Hukum Islam mengatur secara lengkap mengenai prinsip-prinsip muamalat umumnya dan perjanjian khususnya. Saat ini sebagian dari prinsip-prinsip tersebut sudah terkonkretisasi dalam beberapa produk bank, baik produk pengerahan dana maupun produk pembiayaan sebagaimana telah dikemukakan di atas. Produk-produk Bank Syariah tersebut merupakan produk pilihan yang dirancang secara prudent yang di dalamnya juga mengandung prinsipprinsip perlindungan bagi nasabahnya. Secara historis, produk-produk tersebut sudah dipraktekkan dalam dunia perniagaan dimasa Nabi dan Sahabat-sahabatnya. Di samping produk-produk utama tersebut, saat ini juga telah muncul beragam produk lain yang dalam pengembangannya diawasi oleh Dewan Syariah Nasional yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sebenarnya banyak ketentuan didalam Hukum Islam yang bermuatan prinsip-prinsip kehatihatian atau prinsip berusaha yang beretika Islami yang mau tidak mau juga harus diadopsi dan diterapkan dalam praktek perbankan syariah, sesuai dengan komitmen awal seperti diatur dalam pasal 1 butir 13 UU Perbankan. Ketentuan tersebut antara diatur dalam QS.5: 49 dan Hadist Riwayat Ath Thabrani, yang artinya sebagai berikut: "Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka (menurut apa yang diturunkan Allah) dan janganlah kamu menuruti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. (QS.5: 49)" 79
T. Darwini: Urgensi Pengaturan Prinsip Kehati-hatian …
"Sikap hati-hati itu datangnya dari Allah, sebaliknya sikap ceroboh itu datangnya dari setan" (HR. Ath Thabrani). Prinsip-prinsip tersebut akan semakin sempurna jika dalam prakteknya berbarengan dengan prinsip-prinsip berusaha sebagaimana dituntun oleh Qur'an dan Sunnah Nabi. Apabila prinsip-prinsip ini dijalankan, maka risiko yang bersifat merugikan, baik kepada bank itu sendiri maupun terhadap para nasabahnya. Implementasi ketentuan (prinsip-prinsip) tersebut secara konsisten akan membawa dan atau menjamin eksistensi bank, yang pada akhirnya akan semakin kuat dan kokoh. Prinsip-prinsip berusaha (yang beretika Islam) dimaksud antara lain: (a) Prinsip pelarangan riba (bunga), sering juga dikonotasikan sebagai prinsip bagi hasil, (QS.ar-Ruum: 39; QS.an-Nisaa' ; 160-161; QS. Ali-Imran; 130; dan QS.Al-Baqorah: 275-279). (b) Prinsip itikad baik dan kejujuran (QS. Al'Araf:33;QS.Huud:84 dan QS. Al Muthaffin: 1-3). (c) Prinsip keseimbangan/keadilan (QS. Asy Syuara':183; QS. Al-Isra':29; QS. Meskipun Bank Syariah itu dapat bersifat universal banking, namun mereka tidak akan dapat menghindar dari keharusan memilih segmen pasar tertentu. Pemilihan itu tidak saja ditentukan oleh adanya potensi pasar yang dapat mereka jangkau, tetapi juga dipengaruhi oleh masing-masing bank, seperti permodalan, kapasitas sumber daya manusia (SDM), sistem dan tekhnologi yang mereka miliki dan sebagainya. Bank Syariah wajib memiliki sistem organisasi, sistem administrasi dan manajemen yang baik, serta sumber daya insani yang berakhlak baik (siddiq), amanah, dan fathanah (profesional). (Arifin, 2000) Bank wajib melakukan analisa dan penilaian yang terus menerus mengenai sektor ekonomi, segmen pasar, kegiatan usaha dan nasabah yang berisiko tinggi. Paling tidak bank harus menghindari melakukan kegiatan pembiayaan dan investasi pada: (a) Usaha yang tidak sesuai dengan prinsip syariah; (b) Usaha yang bersifat spekulatif (maisir) dan mengandung ketidakpastian yang tinggi (gharar); Usaha yang tidak mempunyai informasi keuangan yang memadai; (c) Bidang usaha yang memerlukan keahlian khusus, sedang aparat bank tidak memiliki keahlian atau menguasai bidang usaha tersebut; (d) Pengusaha yang bermasalah. Jika dilakukan perbandingaan, maka perbankan syariah akan lebih safe dan terjamin kemampuan berusahanya karena operasional bank ini di bingkai oleh ketentuan-ketentuan dan atau syariah. Retriksi-retriksi syariah sebagai dasar operasionalnya sekaligus merupakan dan menjadi prudential regulation (prinsip kehati-hatian) bagi bank syariah. Dengan demikian, tujuan diberlakukannya prinsip kehati-hatian tidak lain adalah agar bank selalu dalam keadaan sehat. Dengan kata lain agar selalu dalam keadaan likuid dan solvet. Diberlakukannya prinsip kehati-hatian diharapkan kadar kepercayaan masyarakat terhadap perbankan tetap tinggi sehingga masyarakat bersedia dan tidak ragu-ragu menyimpan dananya di bank. Prinsip kehati-hatian ini harus dijalankan oleh bank, bukan hanya karena dihubungkan dengan kewajiban agar bank tidak merugikan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank dan masyarakat (melalui penyaluran kredit bank), melainkan juga berkaitan erat dengan sistem moneter yang menyangkut kepentingan semua anggota masyarakat, (bukan semata-mata nasabah penyimpan).(Sjahdeni, 1993) KESIMPULAN Bahwa kondisi perbankan nasional saat ini masih sangat rapuh dan rawan kredit bermasalah (non-performing loan). Fenomena negatif spread, terutama akibat tingginya suku bunga dan gejolak nilai tukar rupiah, masih terus mengancam permodalan bank, dan hal ini disebabkan karena perilaku para pemilik dan pengelola bank yang cenderung mengabaikan prinsip kehati-hatian (prudent banking regulation) dalam berusaha, di samping kontrol yang lemah dari Bank Indonesia. Bahwa UU Perbankan telah mengatur adanya prinsip kehati-hatian, terutama hal tersebut tercantum dalam pasal 29 ayat (2), (3) dan (4), jo pasal 8, 10, dan 11 UU No.10 Tahun 1998. Kemudian hal itu diperjelas secara sempurna didalam beberapa peraturan pelaksananya. Prinsip kehati-hatian tidak hanya diatur di dalam UU Perbankan dan peraturan pelaksananya. Secara khusus hal tersebut juga ditemukan dalam Hukum Islam sebagai landasan hukum operasional bank dengan prinsip syariah. DAFTAR PUSTAKA A Lovett, Wiliam. 1997. Banking and Financial Institutions Law. Westpublishing Co.USA Arifin, Zainul. 2000. Mekanisme Kerja Perbankan Syariah dan Permasalahannya, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 11. Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis. Jakarta. Asikin, Zainal. 1997. Pokok-pokok Perbankan di Indonesia. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Fuady, Munir. 1999. Hukum Perbankan Modern. PT Citra Aditya Bakti. Bandung Perbankan Masih Rapuh, Selasa 5 Maret 2002, dalam http://www.kompas.com Iljas, Achjar. 2000. BLBI dan Penyelamatan Sistem Perbankan. Media 31 Januari 2000 (Opini). Juwana, Hikmahanto. 1998. Analisa Ekonomi atas Hukum Perbankan. Jurnal Hukum dan Pembangunan, Edisi Nomor 1 - 3 Tahun XXVIII Januari - Juni 1998 80
JURNAL EQUALITY, Vol. 10 No. 2 Agustus 2005
Kasmir. 2003. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Muchtar,Darmiyanti. 1991. Biang Keladi Kredit Macet: Dilema Perbankan Indonesia, Majalah Bank dan Manajemen Edisi Juli/Agustus. Nasution,Anwar.1997. Pokok-pokok Pikiran tentang Pembinaan dan Pengawasan Perbankan dalam Rangka Pemantapan Kepercayaan kepada Masyarakat Terhadap Industri Perbankan, Makalah disampaikan pada Seminar tentang Pertanggung Jawaban Bank Terhadap Nasabah. Departemen Kehakiman, BPHN. Hotel Jakarta. Sabirin, Syahril. Kebijakan Moneter dan Perbankan dalam Mendukung Pembangunan Nasional, dalam http://www.publikasiBI.com ________________ 1996. BI Sebagai Penggerak Utama Reformasi Peraturan Perundang-undangan. Pidato Ilmiah dalam Rangka Penerimaan Jabatan Guru Besar Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum UNAIR Surabaya. Sjahdeini Remy, Sutan. 1993. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Perjanjian Kredit Bank di Indonesia. Institute Bankir Indonesia. Jakarta. ________________ 2001. Upaya Keluar dari Ekonomi dan Moneter. Orasi Ilmiah disampaikan pada acara Wisuda Sarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat, Padang. Sumitro, Warkum. 1997. Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Supraptomo,Heru. 1997. Analisis Ekonomi Terhadap Hukum Perbankan. Jurnal Hukum Bisnis, Volume 1/1997. Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis. Jakarta. Tobing,Elwin. 2002. Asal Mula Krisis. dalam view feb1.htm Usman, Rachmadi. 2001. Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Susidarto, Reposisi Pengawasan Bank, dalam http://www.kompas.com
81