Urgensi Kriminalisasi Cyberbullying di Indonesia Scientia Afifah Taibah (0806343172)
Fenomena cyberbullying merupakan fenomena yang sedang marak terjadi di beberapa negara di dunia, termasuk salah satunya adalah Indonesia. Dampak buruk yang ditimbulkannya terhadap anak-anak dan remaja menjadikan cyberbullying tidak bisa diremehkan keberadaannya. Dengan menggunakan metode penelitian dalam bentuk yuridis normatif dan bersifat eksploratoris, penelitian ini mencoba menggali bagaimana dampak buruk cyberbullying terhadap perkembangan anak-anak di Indonesia dan bagaimana hukum dapat menyikapinya. Adapun undang-undang yang relevan dengan topik ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Pornografi dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa sampai saat ini cyberbullying belum memperlihatkan dampak buruk bagi anak di Indonesia, sehingga penanganannya sejauh mungkin dilakukan dengan upaya nonpenal yang melibatkan pemerintah, orang tua, guru, anak-anak dan masyarakat, namun tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan upaya penal sebagai bentuk preventif.
Kata kunci: cyberbullying, anak-anak, kriminalisasi.
Pendahuluan Setiap manusia melewati fase anak-anak sebagai sebuah bagian dari perkembangan biologis maupun psikologisnya. Sayangnya, tidak setiap manusia melewati fase anak-anak tersebut dengan aman dan tenteram. Ada hal-hal yang menyebabkan fase anak-anak tersebut menjadi terganggu, baik dari lingkungan internal di dalam keluarga, maupun lingkungan eksternal tempat di mana seorang
Urgensi kriminalisas..., Scientia Afifah Taibah, FH UI, 2013
anak bergaul dengan teman-teman sebayanya. Di dalam lingkungan eksternal tersebut, perilaku menyimpang yang sering terjadi di kalangan anak-anak dapat ditemui beragam bentuknya, salah satunya adalah bullying. Secara definitif, bullying adalah sebuah situasi di mana terjadi penyalahgunaan kekuatan/kekuasaan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap orang lain. Pihak yang kuat di sini tidak hanya berarti kuat dalam ukuran fisik, tetapi juga kuat secara mental. Satu hal yang perlu diperhatikan bukan sekadar tindakan yang dilakukan, tetapi dampak yang dirasakan oleh korban. Sementara itu, dalam penelitian tentang bullying yang dilakukan oleh Clementia Ardianti pada tahun 2009, salah seorang mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata, Bandung, disebutkan definisi tentang bullying yang dimuat dalam Bullying at School, yaitu merupakan kondisi ketika seseorang secara berulang untuk beberapa waktu tertentu mengalami atau mendapatkan perlakuan negatif dari seseorang atau beberapa orang. Perlakuan negatif bisa dilakukan lewat kata-kata (secara verbal) misalnya dengan cara mengancam, mencela, mengusik atau memanggil nama dengan sebutan hinan. 1 Michele Elliot, direktur Kidscape, sebuah lembaga swadaya masyarakat di Amerika Serikat yang peduli terhadap isu bullying, membagi bullying ke dalam lima jenis, yakni bullying verbal, bullying fisik, bullying diam, bullying emosional, dan cyberbullying. Salah satu jenis bullying yang marak akhir-akhir ini dan mendapat perhatian publik adalah cyberbullying, yakni bullying yang dilakukan melalui telepon seluler, pesan pendek, email dan website untuk menyerang orang lain. Hal tersebut salah satunya dipicu oleh perkembangan teknologi dan informasi yang sangat cepat di berbagai belahan bumi. Saat ini, terdapat 1,4 miliar sistem yang terkoneksi oleh internet di dunia, termasuk di dalamnya Indonesia, dengan sekitar 30 juta sambungan internet 2. Jumlah yang besar tersebut menyebabkan terjadinya
1
Clementia Ardianti, Identifikasi Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Bullying. (Skripsi Universitas Katolik Soegijapranata, 2009 ), hlm. 10. 2
http://lifestyle.kompasiana.com/urban/2011/04/19/cyber-bullying/, diakses pada tanggal 29 Juli 2012.
Urgensi kriminalisas..., Scientia Afifah Taibah, FH UI, 2013
pelipatgandaan dan penyebaran arus informasi ke berbagai belahan bumi. Dengan perkembangan teknologi tersebut, bullying yang awalnya hanya terjadi di dunia nyata juga turut terjadi di dunia maya. Menurut The National Crime Prevention Council, sebuah lembaga nonprofit di Amerika Serikat yang bergerak di bidang pencegahan kejahatan, cyberbullying didefinisikan sebagai sebuah kondisi ketika internet, handphone, dan perangkat lain digunakan untuk mengirim sebuah pesan atau gambar yang ditujukan untuk melukai atau membuat malu orang lain. 3 Sementara Sameer Hinduja dan Justin W. Patchin mendefinisikan cyberbullying sebuah tindakan merugikan atau mengganggu, berisi nada ancaman atau penghinaan, yang dilakukan oleh anak-anak atau remaja, secara disengaja dan berulang-ulang melalui komputer, handphone, dan barang elektronik lainnya. 4 Definisi lain yang lebih sempit diungkapkan oleh sebuah lembaga internasional yang peduli pada cyberbullying, Stop Cyberbullying 5, yakni bahwa cyberbullying adalah ketika sekelompok anak (di bawah umur 18 tahun) sengaja mengintimidasi, menyinggung, mengancam atau mempermalukan anak lain atau sekelompok anak-anak khususnya melalui penggunaan teknologi informasi. 6 Cyberbullying dianggap valid bila pelaku dan korban berusia di bawah 18 tahun dan secara hukum belum dianggap dewasa. Bila salah satu pihak yang terlibat (atau keduanya) sudah berusia di atas 18 tahun, maka kasus yang terjadi akan dikategorikan sebagai cybercrime atau cyberstalking (sering juga disebut cyberharassment).7 Untuk pembahasan ke depan, definisi cyberbullying yang akan digunakan adalah yang berkaitan dengan anak-anak sebagai pelaku maupun korbannya.
3
Ibid.
4
Sameer Hinduja dan Justin W. Patchin, Bullying, Cyberbullying, dan Suicide, Archives of Suicide Research,(London: Routledge, 2010), hlm. 208 5
Lembaga tersebut dapat diakses melalui www.stopcyebrbullying.org.
6
http://www.stopcyberbullying.org/what_is_cyberbullying_exactly.html, diakses pada tanggal 29 Juli 2012. 7
http://cyberbullyingpunyakita.blogspot.com/2012_05_01_archive.html, diakses pada tanggal 7 Agustus 2012.
Urgensi kriminalisas..., Scientia Afifah Taibah, FH UI, 2013
Menurut Nancy Willard, direktur eksekutif dari the Center for Safe and Responsible Internet Use di Amerika Serikat, terdapat tujuh kategori dalam cyberbullying yang lazim terjadi8: 1. Kategori paling umum terjadi adalah pelecehan (harassment). Pelecehan terjadi ketika pelaku cyberbullying mengirim pesan-pesan kasar, mengancam atau menyerang orang lain, mengunggahnya dalam website publik atau mengunggah video di situs umum seperti Youtube. 2. Kebencian (flaming) yang terjadi ketika percakapan online meningkat menjadi saling bantah dengan menggunakan bahasa yang kasar. 3. Fitnah (denigration). Cyberbullying jenis ini terjadi ketika seorang pelaku cyberbullying mengunggah komentar-komentar negatif dan menghina korban yang dapat membahayakan reputasi korban. 4. Melakukan pelecehan terhadap seseorang dengan menggunakan identitas palsu (impersonation). 5. Ketika suatu informasi yang benar tentang korban diunggah sementara si korban sendiri tidak pernah menghendaki informasi ini tersebar dan dipublikasikan secara online, ini disebut outing. 6. Ketika seseorang sengaja mengeksklusifkan orang lain dari kelompok sosial online maka korban dapat merasa terasing dan ditolak. Ini merupakan salah satu kategori yang paling halus dan sering terjadi. 7. Ketika seorang pelaku membuat suatu hubungan yang tidak disukai dengan seseorang yang online sehingga membuat takut atau mengancam hidup korban, ini disebut cyberstalking. Pada bullying di dunia nyata, tampak jelas ada perbedaan kekuatan dan kekuasaan yang menyebabkan bullying tersebut terjadi. Lazimnya, yang lebih kuat melakukan kekerasan atau pelecehan terhadap korban yang lemah. Sementara
dalam kasus-kasus cyberbullying, kekuasaan justru terletak pada
anonimitas yang menyebabkan identitas pelaku cyberbullying menjadi lebih sulit untuk dilacak.
8
Nancy Willard, “Educator’s Guide to Cyberbullying and Cyberthreats” http://new.csriu.org/cyberbully/docs/cbcteducator.pdf, diakses pada tanggal 4 Desember 2012.
Urgensi kriminalisas..., Scientia Afifah Taibah, FH UI, 2013
Status pelaku yang anonim ini yang menjadikan cyberbullying menjadi sangat berbahaya. Hal tersebut dikarenakan korban cyberbullying menjadi menebak-nebak mana di antara teman-temannya yang menjadikannya sebagai sasaran cyberbullying. Meskipun terdapat kemungkinan seluruh kelas terlibat dalam tindakan cyberbullying tersebut. Untuk korban cyberbullying, datang ke sekolah dengan ancaman dari penjahat yang tidak diketahui identitasnya seperti terjebak di sebuah pulau yang tidak diketahui jalan keluarnya. Dalam konteks ini, dunia maya berubah menjadi sebuah wilayah di mana tidak ada aturan dan peradaban. Satu hal lain yang patut disadari bersama adalah bahwa dunia maya adalah dunia di mana anak-anak dengan canggihnya dapat bermain komputer dan berinteraksi dengan teknologi, tetapi seringkali tidak diiringi dengan kematangan psikologis dan kendali sosial yang baik untuk mengarahkan perilaku mereka. Cyberbullying lazimnya diawali dari aktivitas trolling atau meninggalkan pesan bernada kasar, ejekan, hingga merendahkan di profil seseorang di sebuah media sosial, seperti Facebook atau Twitter. 9 Terdapat empat hal yang membuat cyberbullying berbeda dengan bullying “face to face” yang lazimnya terjadi di sekolah atau dunia nyata:10 1. Siswa yang merupakan korban tidak memiliki tempat untuk sembunyi, dan dapat dijadikan target kapanpun dan di manapun selama ia terkoneksi dengan dunia internet. 2. Cyberbullying dapat melibatkan penonton yang banyak (misalnya dalam klip video di internet) 3. Siswa yang menjadi pelaku cyberbullying relatif terlindungi oleh kontak atau akun yang tidak jelas identitasnya
(anonim), yang dapat
menyelematkan mereka dari hukuman. 4. Pelaku cyberbullying tidak selalu melihat respon korban, suatu hal yang menyebabkan kepuasan dapat timbul terus menerus dari sisi pelaku. Hal tersebut berbeda dengan bullying konvensional yang menjadikan pelaku
9
http://teknologi.kompasiana.com/internet/2012/06/05/anak-anak-dan-remaja-sangatrentan-mendapat-cyberbullying/, diakses pada tanggal 29 Juli 2012. 10
http://silmya.wordpress.com/2011/12/29/cyberbullying-are-u/, diakses pada tanggal 29
Juli 2012.
Urgensi kriminalisas..., Scientia Afifah Taibah, FH UI, 2013
maupun korban dapat saling bertatap muka sehingga peluang timbulnya rasa simpati melihat respon korban dapat menghentikan tindakan bullying yang dilakukan oleh pelaku. Kesadaran bahwa perilaku cyberbullying berbahaya bagi anak-anak ternyata cukup besar dimiliki oleh para orang tua di beberapa negara di dunia, khususnya Indonesia. Lebih dari 18.000 para orang tua di 24 negara yang disurvei oleh lembaga riset internasional Ipsos, orang Indonesia memiliki tingkat kepedulian paling tinggi terhadap terjadinya pelecehan terhadap anak atau yang kita sebut dengan cyberbullying. 11 Data Ipsos pada tahun 2012 menyebutkan bahwa terdapat sekitar 91 % orang tua asal Indonesia yang memiliki kepedulian terhadap cyberbullying, disusul Australia 87 %, Polandia 83 %, Swedia 82 %, Amerika Serikat Serikat 82 %, dan Jerman sebanyak 81 %. Kelompok negara-negara itu dianggap memiliki tingkat kepedulian tinggi terhadap perilaku cyberbullying yang menimpa anakanak. 12 Data tersebut menunjukkan bahwa cyberbullying merupakan fenomena yang cukup mendapatkan perhatian dari orang tua sehingga keberadaannya tidak dapat diremehkan lagi. Sementara itu, penelitian di Finlandia pada tahun 2010,
yang
mengikutsertakan sekitar 2.215 remaja Finlandia berusia 13 sampai 16 tahun menyebutkan bahwa secara keseluruhan, sebanyak 4,8 % dari mereka mengaku merupakan korban cyberbullying, 7,4 % pelaku cyberbullying, dan 5,4 % di antaranya merupakan pelaku sekaligus korban. 13 Salah satu contoh kasus cyberbullying di Twitter adalah yang terjadi pada seorang gadis SMP berinisial MS pada tahun 2010. Nama MS menjadi trending topic sampai berbulan-bulan karena tindakannya yang mengundang kontroversi. Awalnya MS mengomentari sebuah akun Twitter yang dianggapnya memberikan
11
http://www.antaranews.com/berita/292626/orang-indonesia-paling-pedulicyberbullying, diakses pada tanggal 3 Agustus 2012. 12
Ibid.
13
“Jauhkan Anak dari Cyberbullying” http://daeng.student.umm.ac.id/download-aspdf/umm_blog_article_53.pdf, diakses pada tanggal 3 September 2012.
Urgensi kriminalisas..., Scientia Afifah Taibah, FH UI, 2013
informasi tidak berguna. Kemudian ditanggapi oleh para follower14 (pengikut) yang lain, sehingga terjadilah debat dan saling mengejek dengan pelajar yang bersekolah di salah satu SMA Negeri di Indonesia. Peristiwa tersebut kemudian berbuntut pada pelabrakan MS oleh senior yang berasal dari sekolah yang sama dan dilakukan di sekolahnya sendiri. Kemudian MS dituntut untuk membuat surat permintaan maaf kepada pihak SMA Negeri maupun sekolah swasta tempat MS bersekolah.15 Sementara itu di luar negeri, baru-baru ini terjadi sebuah kasus yang cukup fenomenal terkait cyberbullying. Amanda Todd, gadis berusia lima belas tahun, bunuh diri pada 10 Oktober 2012 akibat merasa depresi menjadi korban penghinaan di dunia maya. Cyberbullying yang dialami Amanda tergolong sangat berat, salah satunya dapat dilihat dari jangka waktunya, yakni berlangsung selama 3 tahun dan berimbas pada kekerasan fisik yang dilakukan Amanda terhadap dirinya sendiri. 16 Cyberbullying dialaminya sejak tahun 2009 sampai tahun 2012 setelah seorang pria menjebaknya untuk bertelanjang dada di webcam. Tidak lama kemudian foto tersebut beredar meluas di berbagai situs di internet. Akibatnya, Amanda menjadi korban ejekan di dunia maya dan nyata, terutama sekolahnya. Bahkan, depresi membuatnya jadi pecandu obat dan alkohol. Akhir cerita dari cyberbullying yang dialami Amanda tersebut adalah berupa tindakan bunuh diri yang dilakukan Amanda. Amanda merasa frustasi karena penguntit sudah mengirim foto-foto Amanda yang tidak berbusana tersebut ke sekolah barunya. Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa cyberbullying memiliki dampak buruk dan berkonsekuensi serius. Sebagai contoh, korban cyberbullying memiliki harga diri rendah, peningkatan keinginan bunuh diri, dan berbagai tanggapan emosional, keinginan untuk membalas tetapi takut, frustrasi, marah, dan
14
Follower merupakan istilah bagi akun di Twitter yang mengikuti update akun milik seseorang lainnya di Twitter. 15
http://news.detik.com/read/2010/02/19/150802/1302899/10/pro-kontra-marsha-saphiradi-twitter, diakses pada tanggal 26 Oktober 2012. 16
http://ictwatch.com/internetsehat/2012/10/17/cyberbully-3-tahun-berakhir-bunuh-diri/, diakses pada tanggal 26 Oktober 2012.
Urgensi kriminalisas..., Scientia Afifah Taibah, FH UI, 2013
depresi. 17 Di samping itu, korban cyberbullying melaporkan bahwa dirinya mengalami perilaku dan emosional tak menentu, susah konsentrasi, serta masalah bergaul dengan teman-temannya seusai mengalami cyberbullying. Para korban juga mengaku lebih sering menderita sakit kepala, nyeri perut berulang, dan sulit tidur. Bahkan, satu dari empat orang merasa tidak aman di sekolah. 18 Keberadaan cyberbullying juga berkaitan dengan maraknya kejahatan teknologi informasi (cybercrime). Istilah cybercrime saat ini merujuk pada suatu tindakan kejahatan yang berhubungan dengan dunia maya (cyberspace) dan tindakan kejahatan yang menggunakan komputer.19 Sebagian ahli menyamakan antara kedua hal tersebut, namun ada pula yang membedakannya. Di samping itu, terdapat beberapa definisi mengenai kejahatan komputer atau penyalahgunaan komputer, salah satunya adalah yang didefinisikan oleh Departemen Kehakiman Amerika Serikat, yaitu bahwa penyalahgunaan komputer dibagi atas dua bidang utama. Pertama adalah penggunaan komputer sebagai alat untuk melakukan kejahatan, contoh kasusnya adalah pencurian. Kemudian yang kedua adalah komputer tersebut merupakan objek atau sasaran dari tindak kejahatan tersebut, contohnya adalah sabotase komputer sehingga tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. 20 Menurut Andi Hamzah dalam bukunya Aspek-aspek Pidana di Bidang Komputer, sebagaimana yang dikutip oleh Edmon Makarim, kejahatan komputer adalah segala aktivitas tidak sah yang memanfaatkan komputer untuk tindak pidana. Sekecil apapun dampak atau akibat yang ditimbulkan dari penggunaan komputer secara tidak sah atau illegal merupakan suatu kejahatan. 21
17
http://abangkafi.blogspot.com/2011/10/efek-berbahaya-dari-cyber-bully.html, diakses pada tanggal 27 Agustus 2012. 18
http://daeng.student.umm.ac.id/download-as-pdf/umm_blog_article_53.pdf, diakses pada tanggal 3 September 2012. 19
Dikdik. M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom. Cyber Law: Aspek Hukum Teknologi Informasi. (Bandung: Refika Aditama, 2005), hlm. 7. 20
Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, cet 1 (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 394. 21
Ibid, hlm. 395.
Urgensi kriminalisas..., Scientia Afifah Taibah, FH UI, 2013
Dalam penelitian kali ini, penulis hendak mengetahui bagaimana hukum yang ada di Indonesia mengatur tindakan cyberbullying, serta melindungi anakanak dari cyberbullying, baik sebagai korban maupun sebagai pelaku. Hal ini disebabkan sebagaimana pelecehan dan penganiayaan psikis yang selama ini terjadi di dunia nyata, cyberbullying juga memiliki dampak yang tidak sepele terhadap anak-anak dan masyarakat Indonesia. Dengan demikian, melihat fenomena tersebut, penulis menganggap bahwa topik ini perlu diangkat. Adapun landasan hukum yang akan diulas adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, serta perbandingannya dengan Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Undang-Undang Pornografi. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pengaturan yang relevan dengan cyberbullying terdapat dalam Pasal 310 tentang penghinaan. Sementara itu dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, pengaturan tentang kekerasan dan diskriminasi terhadap anak terdapat pada Pasal 77 dan Pasal 80. Dalam Undang-Undang Informasi dan Teknologi, pengaturan tentang hal tersebut dapat digolongkan ke dalam BAB VII tentang Perbuatan yang Dilarang, lebih khusus lagi dalam Pasal 27 ayat (1) dan (3). Dalam pasal 27 ayat (1) diatur tentang larangan untuk mendistribusikan dan/atau mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, sementara dalam ayat (3) terdapat larangan untuk mendistribusikan dan/atau mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Adapun dalam UndangUndanng Pornografi, penulis menggunakan Pasal 37 jo. Pasal 29 tentang larangan untuk melibatkan anak dalam hal memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan,
menyebarluaskan,
menyiarkan,
mengimpor,
mengekspor,
menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi. Analisis Pengaturan Cyberbullying Dalam Undang-Undang Di Indonesia Di Indonesia, terdapat beberapa aturan yang sudah berlaku sejak lama dan secara substansi dapat digunakan untuk menuntut pelaku cyberbullying. Aturan tersebut
Urgensi kriminalisas..., Scientia Afifah Taibah, FH UI, 2013
adalah KUHP, Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Pornografi dan Undang-Undang Informasi dan Teknologi. Berdasarkan perbandingan beberapa undang-undang yang berlaku secara nasional, dapat disimpulkan bahwa belum ada aturan terkait cyberbullying di Indonesia yang secara menyeluruh terdapat dalam satu peraturan. Peraturan yang sudah ada tersebut pun masih belum secara spesifik membahas mengenai bentukbentuk cyberbullying seperti apa. Kriminalisasi Cyberbullying Adapun dalam menganalisis apakah perbuatan cyberbullying merupakan sebuah kejahatan dan patut dihukum atau tidak, penulis akan menggunakan teori kriminalisasi untuk menentukan apakah perbuatan tersebut termasuk ke dalam kejahatan atau bukan dan teori pemidanaan untuk melihat apakah perbuatan tersebut perlu dijatuhkan pidana. Di samping itu, sebagai bahan analisis, penulis juga akan mencoba melakukan perbandingan dengan fenomena cyberbullying di negara-negara lain yang juga memiliki peraturan terkait cyberbullying. Kriminalisasi
merupakan objek studi hukum pidana materiil
yang
membahas penentuan suatu perbuatan sebagai tindak pidana (perbuatan pidana atau kejahatan) serta diancam dengan sanksi pidana tertentu.22 Dalam hal ini, perbuatan tercela yang sebelumnya tidak digolongkan sebagai perbuatan terlarang dijustifikasi sebagai tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana. Selain itu, menurut Soerjono Soekanto, kriminalisasi merupakan tindakan atau penetapan penguasa mengenai perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh masyarakat atau golongan-golongan masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang dapat dipidana menjadi perbuatan pidana atau membuat suatu perbuatan menjadi perbuatan kriminal dan karena itu dapat dipidana oleh pemerintah dengan cara kerja atas namanya. 23
22
Salman Luthan, “Asas dan Kriteria Kriminalisasi”, Jurnal Hukum No. 1 Vol. 16 (Januari 2009), hlm. 1. 23
Ibid.
Urgensi kriminalisas..., Scientia Afifah Taibah, FH UI, 2013
Di samping itu, pengertian kriminalisasi dapat pula dilihat dari perspektif nilai. Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan kriminalisasi adalah perubahan nilai yang menyebabkan sejumlah perbuatan yang sebelumnya merupakan perbuatan yang tidak tercela dan tidak dituntut pidana, berubah menjadi perbuatan yang dipandang tercela dan perlu dipidana. Pengertian kriminalisasi tersebut menjelaskan bahwa ruang lingkup kriminalisasi terbatas pada penetapan suatu perbuatan sebagai tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana. Berbeda dengan pengertian tersebut, Paul Cornill mengungkapkan bahwa pengertian kriminalisasi tidak terbatas pada penetapan suatu perbuatan sebagai tindak pidana dan dapat dipidana, tetapi juga termasuk penambahan (peningkatan) sanksi pidana terhadap tindak pidana yang sudah ada.24 Dalam konteks kriminalisasi, asas diartikan sebagai konsepsi-konsepsi dasar, norma-norma etis, dan prinsip-prinsip hukum yang menuntun pembentukan norma-norma hukum pidana melalui pembuatan peraturan perundang-undangan pidana. Ada tiga asas kriminalisasi yang perlu diperhatikan pembentuk undangundang dalam menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana beserta ancaman sanksi pidananya, yakni: (1) asas legalitas; (2) asas subsidiaritas, dan (3) asas persamaan/kesamaan.25 Menurut Sudarto, Bassiouni, dan Muladi, pada prinsipnya konsep tentang ukuran/kriteria kriminalisasi dapat dikategorikan ke dalam empat persoalan, yaitu pencapaian tujuan hukum pidana, penetapan perbuatan yang tidak dikehendaki, perbandingan antara sarana dan hasil, dan kemampuan badan penegak hukum. 26 Pembahasan tentang kriminalisasi juga tidak akan terlepas dari pembahasan tentang definisi kejahatan. Jean-Paul Brodeur dan Genevieve Ouellet menuturkan bahwa terdapat dua aspek yang harus dijawab ketika kita bertanya, 24
Ibid.
25
Ibid., hlm. 6
26
Heni Siswanto, Analisis Ukuran Kriminalisasi Terhadap Tindak Pidana Kesusilaan Dalam Rencana Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP), Jurnal Supremasi Hukum, (Januari 2006), hlm. 36, http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/111063340.pdf,
Urgensi kriminalisas..., Scientia Afifah Taibah, FH UI, 2013
“apa itu kejahatan?”. Dua aspek tersebut adalah, pertama, apa yang sebetulnya dicari: definisi lengkap atau teori yang lebih komprehensif? Kedua, apakah kita mengkriminalisasikan perbuatan/fakta yang sudah ada (yang sudah bisa dideskripsikan) atau hendak meletakkan dasar normatif untuk kriminalisasi di masa yang akan datang? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Jean-Paul Brodeur dan Genevieve Ouellet menjabarkan melalui beberapa pendekatan a. Definisi atau teori Seseorang dapat menjawab apa itu “kejahatan” dengan membuat definisi dari kejahatan atau dengan merancang teori yang dihasilkan dari berbagai aspek terkait. Definisi adalah sekumpulan kata-kata yang bisa disubstitusikan dalam proses pencarian makna sebuah kata. Definisi pada umumnya hanya sebatas sebuah kalimat pendek. Menurut George W. Keeton dan George Schwarzenberger, beberapa abad sebelum tahun 1955 kejahatan masih bisa didefinisikan. Namun seiring dengan perkembangan konsep kejahatan yang semakin rumit, maka diperlukan pondasi epistemologi yang lebih matang.27 Definisi dibagi lagi menjadi dua bagian, yaitu definisi faktual dan definisi normatif. Terkait definisi kejahatan J.M. van Bammelen berpendapat bahwa kejahatan adalah setiap kelakuan yang menimbulkan kegoncangan sedemikian besar dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak mencela dan mengadakan perlawanan terhadap kelakuan tersebut dengan jalan menjatuhkan dengan sengaja suatu nestapa (penderitaan) terhadap pelaku perbuatan itu (pembalasan). 28 Berdasarkan teori kriminalisasi di atas, dapat disimpulkan bahwa sejatinya sebuah tindakan dapat dianggap sebagai sebuah kejahatan tidak hanya dilihat dari apakah tindakan tersebut sudah diatur dalam hukum atau tidak. Ada aspek lain yang juga harus diperhatikan, yaitu apakah perbuatan tersebut sejalan dengan
27
Harjo Winoto, Kriminalisasi Kartel di Indonesia, (Skripsi Universitas Indonesia, 2010)
28
Muhammad Anugrah, Pengertian Kriminologi dan Ruang Lingkup Kriminologi., http://blog.djarumbeasiswaplus.org/muhanugrah/2011/01/18/pengertian-kriminologi-dan-ruanglingkup-kriminologi/, diakses pada tanggal 20 Desember 2012
Urgensi kriminalisas..., Scientia Afifah Taibah, FH UI, 2013
nilai-nilai yang berkembang di masyarakat atau tidak, dan apakah efek yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut menimbulkan rasa sakit (harm) atau kegoncangan di masyarakat atau tidak. Dengan demikian, perbuatan-perbuatan baru yang sebelumnya tidak ada atau belum diatur dalam peraturan perundangundangan memiliki kemungkinan untuk dianggap sebagai sebuah kejahatan ketika efek negatifnya sangat besar terhadap masyarakat. Untuk menggolongkan cyberbullying sebagai sebuah kejahatan, penulis mencoba menggunakan teori kriminalisasi yang telah dijabarkan di atas. Penulis berpendapat bahwa cyberbullying dapat digolongkan sebagai suatu kejahatan karena dampak yang ditimbulkannya dapat mengakibatkan gangguan yang tidak sepele. Hal tersebut sejalan dengan pendapat J.M van Bammelen yang mendefinisikan
kejahatan
sebagai
setiap
kelakuan
yang
menimbulkan
kegoncangan sedemikian besar dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak mencela dan mengadakan perlawanan terhadap kelakuan tersebut. Sebagaimana yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya, cyberbullying yang terjadi dengan tingkat keseriusan yang tinggi dapat mengakibatkan seorang korban merasa tidak berguna, rendah diri, bahkan sampai bunuh diri. Dengan menggunakan pendekatan definisi normatif yang mengambil satu langkah mundur untuk menggali alasan dikriminalisasinya sebuah perbuatan, cyberbullying juga dapat dikatakan sebagai sebuah kejahatan karena merusak nilai susila yang berkembang di masyarakat. Hal ini sejalan dengan definisi klasik dan mendasar tentang kejahatan, yaitu ketika suatu perbuatan menimbulkan rasa sakit (harm) dan kerusakan (damage) kepada orang lain. Teori Pemidanaan Sebagai bahan analisis penulis untuk mengulas apakah suatu perbuatan memang harus benar-benar dianggap sebagai suatu tindak pidana dan patut dijatuhi hukuman, penulis mencoba menguraikan dengan teori pemidanaan. Teori pemidanaan erat kaitannya dengan pengertian subjectief straftrecht (ius puniendi) dan objectief straftrecht (ius punale). Subjectief straftrecht berarti hak atau kewenangan untuk menentukan dan menjatuhkan pidana terhadap pelaku
Urgensi kriminalisas..., Scientia Afifah Taibah, FH UI, 2013
kejahatan, sementara objectief straftrecht adalah peraturan hukum positif yang berlaku di daerah setempat. Dari dua pengertian tersebut dapat dirumuskan tiga teori dasar tentang hak mempidana, yang kemudian disebut pula dengan teoriteori pemidanaan (dasar-dasar pembenaran dan tujuan pemidanaan) 29: 1. Negativisme 2. Teori Absout atau Mutlak 3. Teori relatif atau nisbi Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori ini pun sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory). Dasar pembenar pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan quia peccatum est (karena orang membuat kejahatan) melainkan ne peccatum (supaya orang jangan melakukan kejahatan). Dengan demikian, pidana selalu memberikan perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan atas perbuatan yang tidak hukum. Selain itu Roeslan Saleh mengatakan bahwa pidana mengandung hal – hal lain, yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan, dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat.30 Jika ditinjau dari teori pemidanaan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa suatu perbuatan dapat dianggap sebagai sebuah kejahatan dan dapat dihukum adalah ketika penghukuman tersebut dititikberatkan pada sifat preventif. Diharapkan dengan hukuman tersebut, dampak buruk yang ditimbulkan dapat dicegah dan dengan demikian menimbulkan efek ketenangan kepada masyarakat. Di sisi lain, maksud preventif tersebut juga harus diimbangi dengan melihat konsep dasar bahwa hukum pidana merupakan ultimum remedium¸ sehingga baru dapat diterapkan ketika cara-cara pengendalian sosial lain tidak efektif lagi digunakan. 29
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hlm. 23 30
Ibid.
Urgensi kriminalisas..., Scientia Afifah Taibah, FH UI, 2013
Berdasarkan beberapa teori kriminalisasi dan pemidanaan di atas, penulis mencoba merumuskan seberapa jauh tindakan cyberbullying dapat dikatakan sebagai sebuah kejahatan sehingga patut dikriminalisasi, serta bagaimana instrumen hukum dapat mencegah fenomena tersebut agar tidak terus berkembang. Proses analisis tersebut memiliki kaitan yang cukup erat dengan tujuan hukum untuk menciptakan ketertiban sosial dan keadilan. Dua tujuan tersebut berpeluang akan terhambat dengan adanya perkembangan zaman yang terus melaju dan akan menciptakan jenis-jenis kejahatan jenis baru dengan anakanak dan remaja sebagai pelaku utamanya. Adapun jika dikaitkan dengan fenomena cyberbullying, penulis berpendapat bahwa penjatuhan pidana terhadap tindakan cyberbullying adalah memungkinkan
untuk
dilakukan
sebagai
bentuk
perlindungan
terhadap
masyarakat karena efek jera yang ditimbulkannya. Tujuan hukum pidana dalam teori utilitarian menekankan sifat pidana yang melihat ke muka (prospektif), yakni bahwa penjatuhan pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat. Dengan penjatuhan pidana terhadap pelaku cyberbullying, perilaku cyberbullying yang memiliki efek buruk terhadap anak-anak dan remaja dapat dicegah dan diminimalisir keberadaannya. Penjatuhan pidana tersebut tentu memperhatikan aspek-aspek penting lainnya, utamanya karakteristik hukum pidana sebagai ultimum remedium, yakni digunakan sebagai sarana terakhir untuk memperbaiki tingkah laku manusia, serta memberikan tekanan psikologis agar masyarakat tidak melakukan kejahatan. Selama tindakan dan upaya nonpenal dapat dilakukan secara efektif oleh orang tua, guru, dan anak-anak maupun remaja itu sendiri, maka penjatuhan pidana bukan merupakan pilihan yang tepat untuk diambil. Adapun jika ditilik dari kriteria umum kriminalisasi yang ditetapkan oleh Simposium Pembaruan Hukum Pidana Nasional, ada dua aspek yang harus diperhatikan, yaitu terkait biaya yang dibutuhkan untuk membuat perundangundangan cyberbullying dan beban yang akan ditimbulkan kepada aparat penegak hukum. Di tengah maraknya persoalan hukum di negeri ini, memunculkan isu dan
Urgensi kriminalisas..., Scientia Afifah Taibah, FH UI, 2013
wacana pembuatan undang-undang untuk mencegah fenomena cyberbullying belum menjadi prioritas karena dampak yang ditimbulkannya belum secara nyata banyak dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Upaya Nonpenal dalam Penanganan Cyberbullying Pembahasan tentang upaya penanganan suatu kejahatan tidak hanya meliputi upaya penal, tetapi juga nonpenal. Hal tersebut berkaitan dengan konsep mendasar bahwa hukum pidana merupakan ultimum remedium, yang hanya dapat diterapkan apabila cara-cara lain tidak dapat efektif lagi dilakukan. Upaya nonpenal tersebut dilakukan dengan tujuan memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu yang memiliki kaitan dengan kejahatan tersebut, dalam hal ini cyberbullying. G. Peter Hoefnagels menyebutnya dengan istilah “politik kriminal”, yang ruang lingkupnya adalah sebagai berikut 31: a. Penerapan hukum pidana (criminal law application) b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment) c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan melalui media massa. Dari tiga poin di atas, yang termasuk ke dalam upaya penal adalah poin (a), sementara poin (b) dan (c) termasuk ke dalam upaya nonpenal. Secara umum, perbedaan antara upaya penal dan nonpenal dapat dilihat dari sifatnya yang berbeda.
Upaya
penal
lebih
menitikberatkan
pada
sifat
“repressive”
(penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur
nonpenal
lebih
menitikberatkan
pada
sifat
“preventive”(pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi. 32 Dengan demikian, apabila kita berfokus pada upaya nonpenal dalam penanganan suatu kejahatan, maka sasaran utama yang harus diperhatikan adalah faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif tersebut antara lain adalah kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Dengan 31
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 45 32
Ibid., hlm. 46
Urgensi kriminalisas..., Scientia Afifah Taibah, FH UI, 2013
demikian, jika dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan global, maka upaya-upaya nonpenal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal. 33 Upaya nonpenal tersebut dapat dilakukan oleh pemerintah maupun warga negara. Dalam penelitian kali ini, penulis hanya akan mengupas upaya nonpenal apa saja yang dapat dilakukan oleh warga negara baik oleh orang tua, remaja, anak-anak, guru di sekolah, maupun masyarakat itu sendiri. Kesimpulan A. Cyberbullying sebagai tindak pidana yang diatur dalam KUHP, UndangUndang Informasi dan Tranksaksi Elektronik, Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-undang Pornografi. Berdasarkan analisis yang telah penulis uraikan pada BAB 3 dan 4, penulis dapat menyimpulkan bahwa cyberbullying dapat digolongkan ke dalam tindak pidana yang diatur dalam peraturan yang ada di Indonesia. Hal tersebut dapat penulis simpulkan setelah menganalisis definisi kejahatan, teori pemidanaan dan kriminalisasi yang mengarah pada rumusan bahwa suatu perbuatan dapat digolongkan sebagai sebuah kejahatan tidak hanya dilihat dari terdapat atau tidaknya perbuatan tersebut diatur dalam undang-undang, tetapi juga dari dampak buruk dan kerugian yang dirasakan oleh masyarakat. Sementara peraturan di Indonesia yang relevan dengan cyberbullying adalah KUHP, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, UndangUndang Perlindungan Anak dan Undang-Undak Pornografi. Kesimpulan tersebut berangkat dari definisi cyberbullying yang secara umum dapat didefinisikan sebagai sebuah tindakan merugikan atau mengganggu, berisi nada ancaman atau penghinaan, yang dilakukan oleh anak-anak atau remaja, secara disengaja dan berulang-ulang melalui komputer, handphone, dan barang elektronik lainnya. Jenis dan metode cyberbullying yang dilakukan pun beragam, tetapi pada umumnya yang marak terjadi di Indonesia adalah dalam bentuk flaming
33
Ibid.
Urgensi kriminalisas..., Scientia Afifah Taibah, FH UI, 2013
(pertengkaran) dan harassment (pelecehan) melalui dunia media sosial, seperti Facebook dan Twitter. Namun di antara keempat undang-undang tersebut, belum ada yang secara khusus membahas secara spesifik tindakan cyberbullying dan hukuman yang tepat untuk dijatuhkan jika pelaku diproses melalui jalur hukum. Beberapa pasal yang relevan dan memenuhi semua unsur yang lazimnya terdapat pada tindakan cyberbullying adalah Pasal 27 ayat (1) dan (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal tersebut dapat dikenakan karena mengatur persebaran informasi dan dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan kesusilaan, dua hal yang seringkali dijadikan senjata utama oleh pelaku cyberbullying untuk menyerang korbannya. Dengan demikian, jika di kemudian hari fenomena cyberbullying semakin marak dan undang-undang yang sudah ada sebelumnya tidak dapat menjadi dasar tuntutan bagi korban, maka tidak menutup peluang untuk dibuat undang-undang baru yang lebih spesifik mengatur tentang cyberbullying. b. Kriminalisasi perbuatan cyberbullying dipandang dari sisi ketertiban hukum dan perkembangan anak serta pendidikan. Adapun jika ditinjau dari sisi ketertiban hukum, perkembangan anak serta pendidikan, penulis menyimpulkan bahwa sampai saat ini belum diperlukan adanya kriminalisasi terhadap perbuatan cyberbuulying. Hal tersebut berkaitan dengan saran penulis untuk melakukan penanganan cyberbullying melalui dua cara, yakni penanganan melalui upaya non penal dan upaya penal. Upaya nonpenal dilakukan untuk melakukan pencegahan semaksimal mungkin dalam bentuk optimalisasi peran guru, orang tua dan masyarakat dalam menyikapi cyberbullying. Sementara jika dilihat dari aspek penal, walaupun saat ini belum dinilai mendesak untuk memiliki undang-undang khusus dan menjatuhkan sanksi pidana bagi pelaku cyberbullying, namun ada baiknya hal ini dapat dipersiapkan dengan tetap mengingat pelaku dan korban cyberbullying adalah anak-anak. Hal tersebut berpengaruh pada bentuk tindakan atau hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelaku, yakni yang tetap memperhatikan kepentingan anak.
Urgensi kriminalisas..., Scientia Afifah Taibah, FH UI, 2013
Saran Beranjak dari kesimpulan di atas, penulis menyarankan agar pihak-pihak yang berkaitan dapat mengoptimalkan upaya nonpenal dalam penanganan cyberbullying. Tidak hanya dari sisi pemerintah, tetapi juga dari sisi warga negara yang terbagi ke dalam beberapa peran, yakni dari masyarakat secara umum, orang tua, guru, maupun anak-anak dan remaja itu sendiri. Dari sisi pemerintah, ada baiknya kebijakan dan kampanye yang berkaitan dengan internet sehat dapat digiatkan kembali. Sementara dari orang tua, perhatian terhadap anak-anak diharapkan dapat dioptimalkan sehingga anak-anak tidak terlalu berkutat dengan dunia maya dan peluang-peluang terjadinya tindak kekerasan di dunia maya dapat diminimalisir. Sementara dari guru, penanaman nilai-nilai moral di sekolah diharapkan dapat ditingkatkan karena akan sangat efektif untuk mencegah anak melakukan cyberbullying. Terakhir, dari sisi anakanak maupun remaja yang secara intensif berinteraksi dengan internet ada baiknya tidak lekas bereaksi jika ada serangan cyberbullying dan melaporkan kepada orang tua, guru, atau orang dewasa lainnya. Upaya nonpenal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mencegah cyberbullying terjadi. Adapun jika di kemudian hari dibutuhkan undang-undang khusus tentang cyberbullying sebagai salah satu bentuk penanganan melalui upaya penal, penulis menyarankan agar rumusan yang mencantumkan perihal perbuatan apa yang tergolong ke dalam cyberbullying dibuat bersifat spesifik. Hal tersebut dimaksudkan agar tidak terjadi kerancuan dengan rumusan tentang penghinaan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Daftar Pustaka BUKU Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011.
Urgensi kriminalisas..., Scientia Afifah Taibah, FH UI, 2013
Bunga Rampai Kriminologi: Dari Kejahatan dan Penyimpangan, Usaha Pengendalian, Sampai Renungan Teoretis. Departemen Kriminologi Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010.
Dikdik. M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom. Cyber Law: Aspek Hukum Teknologi Informasi. Bandung: Refika Aditama, 2005.
ECPAT Indonesia, Memperkuat Hukum Penanganan Eksploitasi Seksual Anak. Medan: Restu Printing Indonesia, 2008.
Elliot, Michele. Bullying, London: Bookmark Ltd, 2005. Hamzah, Andi dan Siti Rahayu. Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia. Jakarta: Akademi Pressindo, 1983.
Hinduja, Sameer dan Justin W. Patchin, Bullying, Cyberbullying, dan Suicide, Archives of Suicide Research. London: Routledge, 2010.
Kowalski, Robin M. Et al. Cyberbullying: Bullying in the Digital Age.USA: Blackwell Publishing, 2008.
Lamintang, P.A.F. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997.
Makarim, Edmon. Kompilasi Hukum Telematika, cet. 1. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003.
Marpaung,
Leden. Tindak Pidana Terhadap Kehormatan.
Jakarta: PT
RajaGrafindo, 1997.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana. Penerbit Alumni, 1992.
Urgensi kriminalisas..., Scientia Afifah Taibah, FH UI, 2013
Bandung:
Muncie, John. Youth and Crime: A Critical Introduction. London: SAGE Publications Ltd, 1999.
Prodjodikoro, Wirjono. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: Refika Aditama, 2008.
Shariff, Shaheen dan Dianne L. Hoff, Cyberbullying: Clarifying Legal Boundaries for School Supervision in Cyberspace, Canada: International Journal of Cyber Criminology, 2007. Sirait, Arist Merdeka. Menjaga dan Melindungi Anak, Jakarta: Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia, 2011.
Soesilo, R. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentarkomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1993.
SKRIPSI, TESIS, DISERTASI/PENELITIAN Ardianti, Clementia. “ Identifikasi Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Bullying”. Skripsi Universitas Katolik Soegijapranata. Jakarta, 2009. Winoto, Harjo. “Kriminalisasi Kartel di Indonesia.” Skripsi Universitas Indonesia. Jakarta, 2010. Peneliti Komisi Hukum Nasional. “Tinjauan Tentang Tindak Pidana Terhadap Kebebasan Menyampaikan Pendapat Dalam RKUHP.” Hasil penelitian Peneliti Komisi Hukum Nasional. Jakarta, 2008.
JURNAL Campbell, Marilyn Des Butler, Sally Kift, “Cyber Bullying In Schools and the Law: Is There an Effective Means of Addressing the Power Imbalance?,” eLaw Journal: Murdoch University Electronic Journal of Law, (2009).
Urgensi kriminalisas..., Scientia Afifah Taibah, FH UI, 2013
Luthan, Salman .“Asas dan Kriteria Kriminalisasi”, Jurnal Hukum No. 1 Vol. 16 (Januari 2009), hlm. 1. Sarwirini. “Kekerasan Terhadap Murid Dalam Kasus Bullying”, Jurnal Yustika, (Desember 2009). Siswanto, Heni. “Analisis Ukuran Kriminalisasi Terhadap Tindak Pidana Kesusilaan Dalam Rencana Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP),” Jurnal Supremasi Hukum, (Januari 2006), hlm. 36, http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/111063340.pdf. Virginia King, Alison “Constitutionality of CyberbullyingLaws: Keeping the Online Playground Safe for Both Teens and Free Speech” Vanderbilt Law Review (2010).
ARTIKEL DAN INTERNET “Anak-Anak
dan
Remaja
Sangat
Rentan
Mendapat
Cyberbullying”
http://teknologi.kompasiana.com/internet/2012/06/05/anak-anak-danremaja-sangat-rentan-mendapat-cyberbullying/, diakses pada tanggal 29 Juli 2012. “Cara
Pembuktian
Cybercime
Menurut
Hukum
Indonesia”,
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl3077/cara-pembuktian-cybercrime-menurut-hukum-indonesia, diakses pada tangggal 26 Oktober 2012. “Cyberbullying”,http://lifestyle.kompasiana.com/urban/2011/04/19/cyberbullying /, diakses pada tanggal 29 Juli 2012. “Cyberbullying
3
Tahun
Berakhir
Bunuh
Diri”
http://ictwatch.com/internetsehat/2012/10/17/cyberbully-3-tahun-berakhirbunuh-diri/, diakses pada tanggal 26 Oktober 2012.
Urgensi kriminalisas..., Scientia Afifah Taibah, FH UI, 2013
“Efek Berbahaya Dari Cyberbully”, http://abangkafi.blogspot.com/2011/10/efekberbahaya-dari-cyber-bully.html, diakses pada tanggal 27 Agustus 2012. “Inilah
Twit
Kontroversial
Marsha
Saphira”
http://www.tempo.co/read/news/2010/02/17/072226585/Inilah-TwitKontroversial-Marsha-Saphira, diakses pada tanggal 26 Oktober 2012. “Jauhkan Anak dari Cyberbullying” http://daeng.student.umm.ac.id/download-aspdf/umm_blog_article_53.pdf, diakses pada tanggal 3 September 2012. “Kasus Bullying, 9 Siswa SMA Don Bosco Pondok Indah Diperiksa Polisi” http://news.detik.com/read/2012/07/30/104312/1978003/10/kasusbullying-9-siswa-sma-don-bosco-pondok-indah-diperiksa-polisi,
diakses
pada tanggal 3 Desember 2012. “Kasus
Bullying
SMA
Don
Bosco
Damai”,
Berakhir
http://jakarta.okezone.com/read/2012/08/07/500/674581/kasus-bullyingsma-don-bosco-berakhir-damai, diakses pada tanggal 3 Desember 2012. “Kekerasan Mental Pada Anak-Anak Bahayanya Seperti Kekerasan Fisik”, http://health.detik.com/read/2012/08/01/102854/1980133/1301/kekerasanmental-pada-anak-anak-bahayanya-seperti-kekerasan-fisik, diakses pada tanggal 3 September 2012. “Orang
Indonesia
Paling
Peduli
Cyberbullying”.
http://www.antaranews.com/berita/292626/orang-indonesia-paling-pedulicyberbullying, diakses pada tanggal 3 Agustus 2012. “Pro
Kontra
Marsha
Saphira
di
Twitter”
http://news.detik.com/read/2010/02/19/150802/1302899/10/pro-kontramarsha-saphira-di-twitter, diakses pada tanggal 26 Oktober 2012. “Saat
Bully
Menjadi
Hiburan,
Di
Mana
Etikanya”
http://www.acerid.com/2011/11/saat-bully-menjadi-hiburan-di-manaetikanya/, diakses pada tanggal 27 Agustus 2012.
Urgensi kriminalisas..., Scientia Afifah Taibah, FH UI, 2013
“Sejarah
KUHP
di
Indonesia”,
http://indonesiatanahpusaka.blogspot.com/2012/07/sejarah-kuhp-diindonesia.html, diakses pada tanggal 10 Desember 2012. “What
is
Cyberbullying
Exactly”,
http://www.stopcyberbullying.org/what_is_cyberbullying_exactly.html, diakses pada tanggal 29 Juli 2012. Brodeur, Jean-Paul dan Genevieve Ouellet, “What is Crime? A Secular Answer”. http://www.ubcpress.ca/books/pdf/chapters/whatisacrime/whatcrime.pdf Bryan
“Pondering
Tan,
Cyberbullying
Legislation
In
Singapore”,
http://www.zdnet.com/pondering-cyberbullying-legislation-in-singapore2062304153/, diakses pada tanggal 13 Desember 2012. http://daeng.student.umm.ac.id/download-as-pdf/umm_blog_article_53.pdf, diakses pada tanggal 3 September 2012. http://www.gugustugastrafficking.org/index.php?option=com_content&view=arti cle&id=48:ancaman-kekerasan&catid=117:pengertian&Itemid=142, diakses pada tanggal 8 Januari 2013. http://www.gugustugastrafficking.org/index.php?option=com_content&view=cate gory&layout=blog&id=117&Itemid=142, diakses pada tanggal 8 Januari 2013. http://cyberbullyingpunyakita.blogspot.com/2012_05_01_archive.html,
diakses
pada tanggal 7 Agustus 2012. Melissa Chua, “China, Singapore, Top Charts For Cyberbullying Among Youths”,
http://security.networksasia.net/content/china-singapore-top-
charts-cyberbullying-among-youths, diakses 15 Desember 2012. Muhammad
Anugrah,
“Pengertian
Kriminologi
dan
Ruang
Lingkup
Kriminologi”,http://blog.djarumbeasiswaplus.org/muhanugrah/2011/01/18 /pengertian-kriminologi-dan-ruang-lingkup-kriminologi/, tanggal 20 Desember 2012.
Urgensi kriminalisas..., Scientia Afifah Taibah, FH UI, 2013
diakses
pada
Nancy Willard, “Educator’s Guide to Cyberbullying and Cyberthreats” http://new.csriu.org/cyberbully/docs/cbcteducator.pdf,
diakses
pada
tanggal 4 Desember 2012. Satria
Romi
Wahono,
“Analisa
UU
http://romisatriawahono.net/2008/04/24/analisa-uu-ite/,
diakses
ITE”, pada
tanggal 24 Oktober 2012. Sharon
See,
“Tighter
Laws
Against
Cyberbullying?”,
http://www.channelnewsasia.com/stories/singaporelocalnews/view/121273 9/1/.html, diakses tanggal 13 Desember 2012. “Cyberbullying,
Silmya,
Are
You?”
http://silmya.wordpress.com/2011/12/29/cyberbullying-are-u/,
diakses
pada tanggal 29 Juli 2012. Sri
Handayani,
Kriminalisasi
dan
Dekriminialisasi,
http://handayaniputribungsu.wordpress.com/2012/11/16/hukum-pidana/
,
diakses pada tanggal 9 Desember 2012.
PERATURAN Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Woman, http://www.un.org/womenwatch/daw/cedaw/text/econvention.htm#article1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik pasal 27 ayat (1) dan (3) jo. Pasal 45 jo. Pasal 52
Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
Urgensi kriminalisas..., Scientia Afifah Taibah, FH UI, 2013