Prolog
Dulu, di selatan pulau Kalimantan, terdapat daerah yang memiliki kesimbangan ekosistem kehidupan. Dimana, seluruh masyarakat, tidak hanya manusia, hidup berdampingan, selaras, dan harmoni. Di negeri itu terdapat ribuan sungai yang meliak-liuk dan menyusuri setiap sudut ramai dan pedalaman region. Dengan sungai itu, masyarakatnya menggantungkan hidupnya. Ikan di sunga-sungai itu berlimpah ruah. Untuk mencari ikan dengan jumlah banyak, kita cukup bermodal bambu, kail dan nilon, serta cacing atau anak serangga sbagai umpannya. Buminya subur. Pelbagai macam tumbuhan hidup subur. Semua orangpun bebas untuk mengambilnya. Berbagai macam satwa liar yang beraneka ragam menambah indah dan betapa memesona negeri seribu sungai. Ada bekantan, ada 1
urang hutan, ada berbagai macam jenis burung, ikan, kupu-kupu, serangga, dan banyak lagi yang lainnya. Masyarakatnya ramah. Mereka hidup di atas rumah-rumah panggung yang tak jauh dari aliran sugai. Perjalanan mereka dari tempat yang satu ke tempat yang lain di lakukan dengan jukung melalui anak-anak sungai yang menghubungkan. Selain berdagang, masyarakatnya juga hidup bertani dan berternak Hadangan, itik, ayam, dan ikan. Hampir setiap daerah terpencil di negeri seribu sungai menjalani kehidupan mereka secara seragam. Kekayaan alam mejadikan masyarakatnya hidup tentram, nyaman, dan berkecukupan. Karena itulah terjalin kekeluargaan yang erat. Bahkan, rumah tetangga yang jaraknya dua kilo dari tetangga yang lain masih bisa saling mengenal, bukti masyarakatnya yang begitu akrab. Tidak hanya itu.... masyarakat di sana juga sangat kental dengan budaya relijius. Hampir setiap anak lima tahunan sudah mahir membaca al-qur’an. Masyarakat yang mendiami tanah seribu sungai itu memang terkenal dengan islamnya yang kental hingga ke sepenjuru negeri. Banyak para qari terlahir dari tanah tersebut. Banyak juga para ulama yang kecil dan besar dari tanah seribu sungai. Aduhai, betapa menawannya tanah itu…. ***
2
Malang, 2008. Pagi yang tak begitu cerah. Ini adalah minggu kedua aku berada di tanah orang, kota Malang. Suasana baru ditemani iklim dingin yang cukup extreme menjadikan aku yang terbiasa hidup di tanah dengan terik matahari panas manggantang menjadi sangat malas untuk melakukan apapun. Di tengah serangan cuaca yang hampir membuat badanku beku itu, entah mengapa aku jadi rindu akan kampung halamanku, negeri seribu sungai. Tanah yang bagiku sangat bersahabat dan membesarkan jiwa raga ini dengan kekayaan alamnya yang melimpah ruah. Tidak seperti di sini. Tanah Jawa, daerah yang barangkali memang relatif lebih maju dari tanah Kalimantan ini rasanya tidak seramah tanahku sendiri. Di tanah seribu sungai, ikan melimpah ruah (meskipun itu hanya cerita di masa lalu). Di sini, semua hal dihargai, maksudku kita harus membayarnya. Tempat memancing di sini jauh dan susah. Kangkung gratis tidak ada. Apalagi Kalakai, makanan favoritku, jangan pernah harap ada. Meski demikian, tapi taraf hidup di sini lebih rendah. Dengan uang lima ratus ribu perbulan, kala itu, kita masih bisa hidup dengan wajar. Di kalimantan, apalah arti uang lima ratus ribu. Semuanya mahal. Tapi,.... ah, tetap saja aku lebih mencintai tanah kelahiranku. Gumamku dalam hati sembari menatap megahnya gunung putri tidur yang tengah disinari bias cahaya sang surya pagi kala itu.
3
“Tanah seribu sungai…” Hatiku kembali berbisik. Sungguh mengangumkan. Meski nama itu tak sama mengagumkannya dengan apa yang sejatinya terjadi saat ini. Negeri seribu sungai hanya gelar yang masih melekat tanpa kenyataan yang benar-benar masih berlaku. Saat ini aku tak yakin sungai di Kalimantan Selatan masih ribuan. Mungkin sudah menjadi wacana yang sangat basi kalau aku berucap banyak sungai yang sudah tergerus dan beralih fungsi menjadi berbagai macam hal; pertokoan, ruko, warung, bahkan ada yang ditutup untuk membuat halaman perkarangan rumah. Tapi, ya, meski sudah menjadi wacana basi, aku ingin mengingatnya dan mengingatkannya. Warga di kampungku itu entah tidak tahu atau tidak mau tahu, suka sekali bersikap seakan apa yang mereka lakukan adalah sesuatu yang biasa. Mereka tidak menyadari bahwa yang mereka lakukan adalah penghancuran kearifan lokal yang telah ada dan dilestarikan oleh nenek moyang di masa lalu. Dan hari ini, aku, adik-adikku, dan anak cucuku, tak kan pernah tahu betapa indah tanahku ini, DULU… Negeri seribu sungai,.... Negeri yang seharusnya terhampar banyak sungai yang meliak-liuk membelah setiap sudut negeri dan menjadikannya khazanah budaya yang arif dan mengesankan. Negeri yang menyimpan berjuta intan berlian, yang tidak semata intan dalam bentuk 4
sesungguhnya, tetapi juga segala kekayaan budaya yang sempat terwarisi. Pasar terapung, jukung, unjun, hancau, tumbak, banjur, lukah, ringgi, dan segala sesuatu yang sangat akrab bagi masyarakatnya, kini telah lama tergerus oleh arus modernisasi yang berbudaya kurang arif. Tulisan ini adalah ukiran sebagai penyemangat dan penghibur diri saja bahwa, aku pernah memiliki rumah yang begitu ramah, kaya, indah, mengagumkan, dan juga sangat mengesankan,... meski itu hanya ....DULU… Sehingga,... jika aku nanti ingin pulang, maka aku bisa menjawab sebuah pertanyaan demikian, “Kamu serius kembali ke kampung halamanmu?, kenapa?”. “Ya, aku akan pulang... karena aku punya rumah yang ramah, kaya, indah, mengagumkan, dan juga sangat mengesankan….”. Hafiez Sofyani
5
Chapter 1 Sungai Kuin
Photo by: Randy Rakhmadany Gerimis di subuh yang gelap memang selalu menghantarkan kelembutan yang menyelimuti diri di setiap peraduan. Setiap insan yang berteduh di rumah-rumah yang atapnya rumbia1, pasti perasaannya sama, bunyi rintik-rintik butiran hujan yang jatuh ke atas atap yang terbuat dari rumbia itu terdengar seolah alunan nada suara nan merdu dan terus mengalun sendu. Merambat pelan, menidurkan mereka ke dalam mimpi-mimpi indah yang membuai.
1
Daun Sagu
6
Jika dilihat dengan seksama, di bantaran sepanjang negeri seribu sungai ini, memang tak ada satupun rumah yang beratapkan genteng seperti rumah-rumah umumnya di daerah jawa. Rumahrumah di sini pula mayoritas dibuat dari kayu, bukan bata. Ini ada kaitannya dengan letak rumah-rumah orang sini yang persis berada di atas sungai. Mungkin jika rumah di atas sungai itu dibangun dengan menggunakan beton, pastilah rumah-rumah itu cepat ambruk karena diterjang ombak sungai yang besar dan kencang. Dari sini, di atas kasur butut tempat ku berbaring dan sudah setengah sadar dari keterlelapan, suara gemericit burung Tatapaian mulai terdengar berirama. Seperti hari-hari biasanya, burung-burung yang selalu terbang bergerombol itu sudah mulai sibuk mencari makannya di sepanjang anak sungai yang membentang di penjuru negeri seribu sungai. Dan karena tak ada ayam jago yang biasanya berteriak membangunkan orang-orang tiap subuh menjelang, aku selalu mengandalkan kawanan burung yang terbang mencari makan itu untuk menjadi alarm alam yang membangunkanku dari tidur. Tak lama, mataku mulai terbuka, meski rasanya masih begitu berat. Dengan setengah sadar, aku mengucek keduanya, lalu turun dari tempat tidur dan membuka jendela rumah. Dari depan jendela rumahku yang langsung berhadapan dengan sungai ini, nampak arus beriak air sungai sudah tak lagi pasang. Ombaknya syahdu diiringi rintik kecil yang jatuh menetes di sepermukaan beriak sungai yang 7
terus mendayu pelan. Biasanya, memang jika hujan turun lebat, air sungai akan menampakkan kengeriannya untuk dilalui para pejukung2 dari daerah manapun. Tapi, kini sepertinya kengerian itu sudah berlalu karena hujan telah berganti gerimis kecil dan arus sudah tenang. Fajar sudah menyingsing. Rupanya aku terlalu lelap tidur hingga tak sadar kalau subuh sudah berlalu. Aku menatap satu dua orang yang tengah lalu lalang berjukung di tengah sungai. Mataku mengiringi alur jukung mereka. Aku ragu hari ini, apakah akan labuh3 atau tidak seperti para pejukung itu. Aku merasa sangat malas hari ini. Beberapa saat aku termenung sambil terus mempertahankan pandanganku ke arah orang-orang yang tengah mengayuh jukung. Suasana memandangi orang-orang yang tengah lalu lalang dengan jukung-jukung di depan jendela kamarku yang memang langsung berhadapan dengan sungai besar kampung Kuin Banjarmasin ini selalu menjadi saat-saat terfavoritku. Aku termenung selang beberapa saat menikmati indahnya pemandangan di depan sana. Dan, tek… Air dari atap rumahku yang bocor menetes tiba-tiba dan mengenai batang hidungku. Aku tersentak. Aku belum salat subuh. Segera aku turun menuju batang4 untuk mengambil wudhu. Tak sengaja ku lihat di batang seberang sana seorang Pedayung sampan kecil (Jukung=sampan kecil, Bahasa Banjar) Turun untuk mendayung jukung 4 Tempat berdiri di pinggir sungai untuk melakukan aktivitas seperti mencuci, mandi, dsb. 2 3
8
bocah seumuranku nampak sudah rapi dengan seragam sekolahnya. Itu Amad, teman sejati dan juga satu kelas denganku di Madrasah Ibtidaiyah desa Kuin, Banjarmasin Utara. “Ucaaaii… Nyawa kada sakulah kah?.5” Teriak Amad dari seberang sana sambil mencuci sebuah piring yang ada di kedua tangannya. Ia pasti baru saja sarapan. Aku mencoba menggerak-gerakkan lensa mataku yang masih kabur karna baru bangun. Ia nampak melambai-lambaikan tangannya ke arahku. Aku ingin menjawab pertanyaan Amad tapi kuurungkan. Aku tidak ingin bilang kalau hari ini aku tidak masuk sekolah. Bukan karena aku malas. Tapi, itu karena Abah dan umma sedang berada di rumah nenekku di Banua Anyar, sehingga hari ini aku yang menggantikan pekerjaan Abah. Artinya, aku terpaksa tak bisa sekolah hari ini. Bila Amad tahu aku tak sekolah, ia pun pasti enggan untuk turun ke sekolah. Entah karena ia memang pada sejatinya malas, ataukah karena begitu ia loyalnya kepadaku sehingga jika aku begini maka ia juga begini, jika aku begitu iapun pastilah begitu. Entahlah. “Kada Sakulahkah?6.” Teriaknya untuk kedua kalinya. Ia pula nampak sudah selesai mencuci piringnya.
5 6
Ucaaaai, kamu tidak pergi ke sekolah, ya? Tidak pergi ke sekolah ya?
9
Aku tak bisa lagi diam. Sepertinya Amad sudah mulai jengkel. “Sakulah ay...7” jawabku sekenanya. Terserahlah apakah aku berkata dusta atau apa. Apakah Amad marah dengan kebohonganku atau bagaimana. Ini demi kebaikannya, pikirku. Aku segera beranjak dari pandangannya dan berlari untuk mengejar salat subuhku yang sudah sangat terlambat. *** Namaku adalah Husairi. Tapi orang-orang kampung Kuin sampai ke daerah kampung Alalak lebih kenal aku dengan panggilan “Ucai”. Mungkin itu nama panggilanku waktu kecil, namun masih melekat hingga aku sudah menginjak kelas enam Madrasah Ibtidaiyah ini. Kehidupanku sama dengan semua masyarakat bantaran sungai besar Kuin ini. Kalau tidak berdagang di pasar terapung, maka aku dan abah biasanya bekerja sebagai pengangkat kayu di pabrik kayu Haji Undas yang tak begitu jauh dari rumahku. Sedang umma, ia sibuk megurus rumah dan berjualan kue di pasar. Ya, meski sejatinya aku lebih menyukai sekolah, karena memang itu kewajiban utama generasi muda negeri ini, tapi mau bagaimana lagi, dengan keadaan ekonomi yang begitu menjepit, aku terpaksa membantu Abah dan umma untuk bekerja. Aku memiliki seorang adik perempuan, nama panggilannya “Ijah”, ia baru berumur dua tahun. 7
Aku sekolah kok
10
Bagiku panggilan “Ijah” itu terdengar sangat kurang enak ditelinga siapapun. Padahal nama lengkapnya sangat bagus, Siti Khadijah. Memang orang sini sangat suka memanggil nama orang lain dengan menambah huruf “I” di depan namanya, dan adikku Ijah adalah salah satu korban dari kebiasaan itu. Sebagai contoh Nurhayati dipanggil “Inur”, Khadijah menjadi “Ijah”, Hafsah menjadi “Ihaf”, dan seterusnya. Meski sekarang aku menilai itu kurang baik, tapi mungkin itu sudah menjadi peninggalan nenek moyang dulu kala dan hingga sekarang masyarakat masih mempertahankannya atau mungkin sudah terbiasa dan tak menganggapnya sebagai masalah. Selesai salat, aku mengintip ke jalan depan lewat lobang kecil dari pintu rumahku. Aku harus meamastikan bahwa Amad sudah berangkat ke sekolah. Setelah yakin, aku lekas turun ke bawah rumah untuk pergi lalu menaiki jukung. Aku segera mengayuhnya cepat-cepat. Hari ini aku harus ikut bekerja untuk mengangkat kayu ke dalam truk di pabrik kayu Haji Undas. Aku khawatir, jika pekerjaan ini tidak ku lakukan, abah pasti kembali marah. Subuh kemarin aku tak ikut berjualan di pasar terapung karena aku harus ke rumah Iril untuk belajar. Sungguh aku tak menduga, sepulangnya dari rumah Iril itu, akupun dipukuli habis-habisan. Rasanya, tak ada seorang anakpun yang orang tuanya marah melihat anaknya rajin belajar, kecuali abahku. Aku tak tau apa alasan beliau membenci aku yang lebih mengutamakan belajar ketimbang berdagang. Pernah suatu hari aku pergi ke rumah 11
salah seorang teman sekelasku Iriel untuk mengerjakan PR dari Bu Rahmah, guru matematika di sekolahku. Mau bagaimana lagi, aku tak punya buku sama sekali di rumah sehingga untuk bisa mengerjakan tugas itu aku harus ke rumah temanku yang punya buku. Dan betapa anehnya, sepulang dari rumah Iriel itu, aku dimarahi abah habis-habisan karena lebih mengutamakan mengerjakan tugas sekolah ketimbang membantu umma berdagang di pasar. Tapi syukur kala itu abah tidak sampai memukuliku. Pernah jua aku membawa buku ke rumah dan membacanya sambil ber-jukung8. Niat hatiku adalah belajar sembari menikmati arus sungai Kuin nan menghanyutkan. Tapi, ketika Abah tau akan hal itu, beliau marah-marah, meski tak sampai memukuliku. Dia bilang “ BELAJAR ITU DI SEKOLAH. DI RUMAH ITU BEKERJA, BANTU ORANG TUA...!!!.” Dengan nada membentak. Dan di saat seperti itu yang kuharapakan hanya satu, pembelaan dari umma9 atas diriku karena aku menganggap umma sedikit lebih memiliki rasa peduli pendidikan ketimbang Abah. Dan aku pikir kala itu, umma pasti membelaku. Tapi ternyata dugaanku itu salah. Beliau hanya diam. Beliau takut dengan kemarahan Abah. Dan lambat laun, baru aku mengerti bahwa sebenarnya umma juga tak memiliki dukungan sedikitpun akan pendidikanku. Itu terbukti beberapa hari setelahnya, aku menemukan beberapa lembar kertas buku yang aku pinjam dari Iriel nampak 8 9
Naik sampan kecil Ibu
12
sobek satu-satu karena beliau gunakan sebagai pembungkus kacang untuk dijual di pasar. “Masya Allah..” Aku bingung harus bersikap bagaimana lagi. Aku tak mengerti mengapa kedua orang tuaku seperti itu. Mungkin karena Abah dan umma adalah pasangan suami-istri yang hanya lulusan SD. Abahku sering bilang “Gak usah sekolah tinggi-tinggi, sama saja, sekarang cari kerja susah. Amang10-mu Aras itu lulus kuliah, tapi pekerjaannya sama saja, nganggur. Melamar di sana tak diterima orang, di sini tak diterima orang. Akhirnya menganggur dan tak karuan.”. Apa yang abah katakan tentang Amang Aras memang benar. Tapi menurutku Amang Aras itu pengecualian. Ia memang kuliah, tapi tak pernah kulihat ia serius. Pekerjaannya hanya bermain dan berkumpul dengan teman sebayanya. Kadang aku lihat ia sering mabuk dan pergi malam-malam. Katanya “ke diskotik biar GAUL”. Kadang, aku merasa iri dengan teman-teman sebayaku. Mungkin hanya aku yang merasa hidup dalam kurungan seperti ini. Tak ada dukungan sama sekali, baik moral, apalagi materi, untuk meraih citacitaku yang ingin memperbaiki tanah tercintaku ini dari kesemrawutan. Aku iri dengan Amad yang selalu diantar abahnya ke sekolah. Temanku yang lain, Ihda yang 10
Paman
13
setiap bulan selalu terlihat dengan seragam putih barunya, ia adalah temanku yang memang dari golongan orang kaya di desaku. Idrus yang begitu semangatnya ingin melanjutkan sekolahnya ke MTsN Banjarmasin, salah satu sekolah favorit bagi orang Banjarmasin, apalagi orang desa seperti kami. Kadang aku berfikir “Yaaaa, mungkin inilah garis hidup. Mungkin aku adalah segelintir orang yang memang dimunculkan di dunia ini dengan sebuah takdir sebagai penonton. Hanya bisa berdiri, melihat kesuksesan orang lain, dan aku hanya mendapat peran sebagai pengangum. Melihat angkasa luas, dan berfikir seolah-olah bumi ini hanyalah sebatas rumah, sungai Kuin, dan pabrik kayu HajiUndas. Meski aku tahu bahwa bumi ini begitu luas, dan aku ingin sekali melihat apa yang sebenarnya terjadi di luar sana. ***
14
Chapter 2 Pasar Terapung
Photo by: Randy Rakhmadany Subuh yang hening. Suara burung Tatapaian yang tiap pagi itu kembali membangunkanku dengan alunan nyanyiannya yang sangat bersahabat. Suara adzan sudah berkumandang dari pucuk masjid Sultan Suriyansyah yang sayup-sayup terdengar. Masjid tertua peninggalan Sultan Banjar pertama yang memeluk Islam itu memang begitu berkesan bagiku. Dari atas kasur tipis, aku bisa mendengar beriak air dari dayung-dayung Jukung11 para pedagang yang ramai menyelinap diam-diam menuju
11
Sampan (Bahasa Banjar)
15
pasar terapung. Sesaat lamanya, aku terperanjat. Seperti biasanya Abah akan mencabut bulu kakiku supaya aku terbangun dan bergegas salat, lalu mengambil beberapa tangguk12 buah di tempat Julak13 Adus, dan kemudian menjualnya ke pasar Terapung. Seusai salat subuh, aku langsung meluncur dan membaur bersama pedagang pasar terapung yang lain, sambil beramai-ramai mengitari setiap dapur rumah yang berujung pada batang banyu14, tempat mereka semua beraktivitas disubuh ini. Mungkin bagi segenap orang kota, pemandangan dimana ada orang mandi, mencuci pakaian, buang air, dan menyikat gigi di satu tempat yang sama adalah hal yang terkesan sangat tradisional-bila tidak mau dibilang primitif. Tapi, inilah memang adanya. Di zaman sekarang ini, nyatanya pemandangan seperti itu masih ada dan membudaya di pinggiran sungai Kuin. Kuamati benar-benar, rupanya hanya aku dan Amad yang masih tergolong ‘bocah’ di antara kumpulan para pedagang pasar terapung yang kerut kulitnya sudah tak karuan itu. Kadang aku berpikir, ‘mungkin pasar ini sudah waktunya untuk punah’. Dari pemandangan ini saja, aku sudah bisa menyimpulkan bahwa tak ada lagi kehendak kaum muda untuk berprofesi sama seperti orang tua mereka, menjadi pedayung yang berdagang di pasar terapung. Para orang tua yang berdagang di pasar Alat tradisional warga Banjar untuk mencari ikan Kakak Bapak, sebutan untuk orang yang lebih tua dari orang tua kita 14 Pijakan yang terbuat dari kayu 12 13
16
terapung itupun pastilah sama pemikirannya, tak ingin anak-anak mereka memiliki nasib sama seperti mereka. Pasti mereka menginginkan kehidupan yang lebih baik. Kalau bisa jadi PNS, kenapa tetap menjadi pedagang di pasar terapung?. Ucap Julak Adus yang putranya kini jadi pegawai pemda Provinsi Kalsel15. Dan selanjutnya, aku yakin, lambat laun semua orang di sini pasti berpikiran sama dengan Julak Adus. Ditambah lagi pemerintah provinsi yang tidak memiliki dukungan kongkrit atas budaya lama ini. Hanya bisa memberikan semangat lewat perkataan manis tanpa ada bantuan yang riil. Semua pasti hanya bisa menunggu untuk melihat budaya Banjar muara ini hilang ditelan zaman. “Sumalam napa kada ka sini maambil buah?, nyawa kada bajualan kah?16.” Tanya Julak Adus kepadaku sambil membenarkan letak kaca mata yang sudah tak sesuai dengan nilai plus matanya itu. Lelaki tua itu memang selalu tampak akrab dengan putih saat aku menemuinya. Sebelum menjawab, aku membalas perhatian Jual dengan sebaris senyum kaku. “Inggih julak ay. Samalam wadah H. Undas, ulun ma-angkut kayu. Di suruh Abah pang. Sidin pas ka wadah Kayi di Banua Anyar, jadi kada kawa
Singkatan Kalimantan Selatan Kemarin kok tidak ke sini untuk mengambil buah, kamu tidak berjualan ya? 15 16
17
bagawi samalam tu. Ulun ay nang manggantiakan 17” jawabku polos. Kali ini Julak Adus hanya mengangguk sambil tersenyum. Entah mengapa, aku selalu merasa senang kala Julak Adus mengajakku bicara. Apalagi kalau sudah bicara tentang sekolah. Di dunia ini, bagiku hanya beliau yang selalu menyemangati aku untuk selalu belajar dan pergi ke sekolah. Ia memang orang yang sangat peduli dan mengerti tentang arti penting pendidikan. Kadang di saar aku butuh motivasi untuk menghadap ujian, Julak Adus lah yang kerap memberiku semangat. Bukan keluargaku sendiri. Selesai memasukkan buah sawo, rambutan, kapul, pisang, dan kasturi ke dalam jukung, Julak Adus memberikanku sebuah buku dan uang 10.000an kertas kepadaku. Dengan senyumnya yang khas, Julak Adus bilang, ”Jangan kada turun sakulah lah..18” Sebuah kalimat yang sebenarnya ingin aku dengar dari abah dan ummaku sendiri. Julak Adus memang orang yang selalu ingin setiap anak kecil di desa ini tumbuh dan dewasa dengan pendidikan yang mapan. Selain sebagai pedagang buah yang cukup sukses, beliau juga berprofesi sebagai guru non-formal di Taman Pendidikan Al-qur’an (TPA) desa Kuin ini. Mudah-
Iya Julak. Kemarin ke tempat H. Undas, saya mengangkut kayu. Di suruh oleh Bapak saya. Beliau kemarin lagi ke tempat Kakek di desa Banua Anyar, jadi tidak bisa bekerja kemarin. Sehingga saya yang menggantikan beliau. 18 Jangan tidak masuk ke sekolah ya? 17
18
mudahan saja ia selalu diberikan kemudahan oleh Allah, do’aku. Siapa lagi kalau bukan beliau yang menyemangati aku dan bocah-bocah generasi muda tanah ini untuk belajar dan berpikir maju?. Kebanyakan orang di kampung ini nampak sudah sangat sibuk dengan urusan perut masing-masing. Sehingga, mereka sudah lalai dengan lingkungan dan keberlanjutan generasi muda tanah mereka sendiri. Urusan pendidikan sepenuhnya di serahkan kepada pihak sekolah. Padahal, sekolahpun kadang juga tidak mampu menjamin anak-anak mereka menjadi diri yang baik, jika di lingkungan keluarga sendiri hal itu tidak dicanangkan. Itulah desaku. Sekolah adalah sebuah kata formal yang kudu dijalankan karena rasa gengsi dan malu jika tidak mengikutinya. Bukan dalam rangka mendidik generasi penerus untuk membangun tanah ini di masa mendatang. Dan dengan bergegas, aku cepat-cepat mengarungi pasar agar tak ketinggalan bagian rezeki hari ini. Aku harus cepat. Sebab, pasar terapung biasanya sudah sepi jika matahari telah terbit, kurang lebih sekitar pukul 8.00 pagi. Kalau lamban, aku bakal tak dapat apa-apa hari ini. Padahal aku harus selesai menjual semua buah hingga jam 7.00 pagi. Selanjutnya aku harus ke sekolah. Meski matahari belum terlihat di ufuk timur sana, kulihat pasar nampak sudah ramai. Aku mengayuh jukung dengan cepat. Seluruh tenaga ku 19
kerahkan. Aku berupaya mendayung dengan cepat dan menyalip beberapa pekjukung lainnya. Dan, praaakk…!!, tiba-tiba dayung jukungku yang terbuat dari kayu itu patah. Aku menepuk keningku seketika. “Bah ay… Aku tak bawa dayung cadangan.!!!”. Aku pasti terlambat datang ke sekolah hari ini. Aku lekas mendayung dengan tangan menuju tepi sungai untuk mencari sesuatu yang bisa digunakan sebagai dayung, dan melanjutkan tujuanku menuju pasar terapung. Dan apa yang ada dalam benakku terjadi. Hari ini aku pasti datang terlambat lagi ke sekolah. Sebenarnya, aku merasa tak enak dengan kebiasaanku yang selalu telat masuk sekolah. Rasanya hampir setiap hari aku dimarahi oleh guruguru yang sudah menganggap kalau kebiasaanku itu keterlaluan. Ada juga yang kadang hanya menasihati, “itu pasti guru yang bijak” pikirku dalam benak. Jika banyak guru yang marah, maka itu wajar karena aku selalu datang terlambat ke sekolah. Dan juga karena aku tak pernah bilang kepada guru-guru itu bahwa aku harus ke pasar terapung terlebih dahulu untuk berjualan sebelum ke sekolah. Jadi, para guru hanya tahu kalau aku datang terlambat yang mungkin karena aku bangun kesiangan atau karena alasan malas. Untungnya pak Rahmadi, kepala sekolah MI di desaku itu tak pernah marah kepadaku 20
akan kebiasaan jelekku itu. Entah beliau memang mengerti keadaanku, atau mungkin memang beliau acuh saja dengan masalah anak bandel yang suka telat seperti diriku? Entahlah. Yang pasti, dimatanya aku memiliki predikat baik, yakni tak pernah absen sekolah meski selalu datang terlambat. Kecuali jika aku jatuh sakit. *** Jam dinding tua yang tergantung tak berdaya di kamarku itu seakan berteriak-teriak kepadaku bahwa sekarang sudah jam 8.00 pagi. Seolah ia memperingatkan bahwa aku sudah terlambat. Aku harus buru-buru berangkat ke sekolah. Hari ini mau tak mau aku harus menyiapkan kupingku untuk mendengar omelan panas dari Ibu Juhriyah, guru kewarganegaraan di sekolah. Tanpa buang-buang waktu, aku segera berlari. Aku tak memedulikan sedikitpun sepatuku yang dari kemarin sudah menganga, seolah menagih jatah makannya. Sesampainya di sekolah, tepat dugaanku, Ibu Juhriyah sudah berdiri tegap di depan kelas dengan penggaris berukuran satu meter bermerk ‘Butterfly’ tertancap di tangannya. Wajahnya nampak tak bersahabat. Perasaanku tak nyaman. Dan belum sempat aku bersuara meminta maaf, ia sudah sibuk dengan do’a-do’a yang ia panjatkan sebagai hadiah kepadaku. Do’a yang menurutku bermakna menjatuhkan dan mengatakan bahwa aku siswa yang 21
tak baik meski nilai sekolahku tergolong masih cukup bagus. Bagus menurutku. Dengan bentakkannya yang khas, Aku terpaksa harus mengitari halaman sekolah yang tak begitu lebar, tapi cukup melelahkan untuk diarungi sebanyak dua puluh kali putaran. Keringatku pun bercucuran. Padahal aku baru berlari sepuluh putaran. Sepatuku yang sedari tadi sudah menganga semakin melebarkan ungapan mulutnya. Beberapa saat, terdengar langkah kaki yang tengah berlari dari belakangku. Rupanya ada seseorang siswa selain diriku yang juga dihukum untuk berlari mengitari halaman sekolah. Amad. Rupanya bocah itu sahabat samping rumahku sendiri. Aku baru ingat kalau dia hari ini juga terlambat karena berjualan di pasar terapung bersamaku subuh tadi. Keringatnya nampak juga bercucuran. Mentari di atas sana seolah ikut menghakimi kami, dua bocah yang bagi Ibu Juhriyah tidak menghargai waktu. Dengan polosnya, Amad tersenyum sambil mempercepat langkah larinya mendahulu lariku. Tanpa ia berucappun aku bisa faham, ia ingin adu cepat denganku. Aku membalas senyumnya, isyarat bahwa dengan senang hati aku ladeni keinginannya. “Amun disungai, nyawa bujur pank laju mangayuh jukung pada unda. Tapi amun bukah, unda kada handak kalah tu pank wan nyawa..19” Amad Kalau di sungai, kamu memang lebih cepat mendayung sampan dari pada aku, tapi kalau berlari, aku tidak mau kalah darimu. 19
22
berteriak kepadaku sambil mengatur-ngatur hembusan nafasnya yang sudah mulai terengah. Meski dengan nafas terengah, rasanya teriakan Amad barusan benar-benar membuat jantungku bergetar. Aku mempercepat lariku. Semangat yang muncul dan berkobar dari hati Amad terasa menyengat dan menyatu hingga merasuk ke dalam hatiku. Hukuman ini harus aku jalani tanpa mencaricari alasan untuk lari dari kesalahan. Aku mempercepat lariku tanpa peduli sepatuku yang semakin mirip buaya kelaparan. Amad melepas sepatunya. Ia berlari sekencang-kencangnya. Keringatnya semakin bercucuran deras. Kami terus beradu dengan semangat. Hingga kami bahkan sudah lupa berapa kali kami telah mengitari lapangan sekolah. Tapi tawa lepas Amad terus menggema disela deru nafasnya yang kian terengah, di sela kejengkelan seorang guru yang dari tadi merasa aneh melihat kedua tingkah polah kami yang seolah merasa begitu bahagia ketika mendapatkan pengadilan. ***
23
Chapter 3 Maunjun Haruan Matahari kian terik. Namun pasti sebentar lagi hujan turun. Aku bisa mengatakan begitu karena memang selama tujuh hari belakangan ini aku selalu mengamati cuaca. Dan memang Kalimantan belakangan ini selalu di rundung terik yang begitu menyengat. Tapi ketika jam sudah menunjukkan waktu sore, hujan lebat selalu datang menerjang sepenjuru pulau ini. Alam sudah semakin tak terkendali, tak tertebak sesuai bulan kalender. Pasti kasian sekali orang-orang di daerah gambut (daerah pertanian di Kalimantan Selatan) yang sudah tak bisa lagi berharap pada musim. Tahun lalu pertanian yang sudah hampir panen di sana di landa banjir. Kasian sekali masyarakatnya. Apa benar ini pertanda Tuhan sudah mulai murka melihat tingkah manusia, atau alam yang sudah enggan bersahabat dengan kita?, sebagaimana kata musisi Ebet G. Ade?” Tanyaku dalam batin. Mungkin bisa aku katakan memang seperti itu. Allah sudah marah dan alampun ikut marah. Dan itu tidak lain adalah ulah tangan manusia sendiri. Tak usah jauh-jauh. Di sekitar rumahku saja, manusia seolah makhluk yang tak bisa di atur. Sudah berkalikali pak RT meminta untuk tanggap lingkungan dengan seruan berhenti membuang sampah ke sungai, dan buanglah sampah pada tempatnya, tapi tak pernah dihiraukan. Jadi wajar bila sekarang sungai-sungai di daerah Banjar ini begitu kotor dan 24
menjadi sarang penyakit. Itu karena memang hampir semua orang Banjar memiliki cara berpikir yang sama. “Buang saja sampah ke sungai, toh nanti sampahsampah itu akan larut dibawa air hingga ke laut”. Padahal, sampah-sampah itu tersendat di sekitar rumah-rumah warga yang berdiri di atas sungai, yang akhirnya sampah itu menumpuk menjadi sarang penyakit dan sumber bau. Belum lagi sampah yang dibuang kadang tak terpikirkan sebelumnya. Kalau yang dibuang sisa-sisa makanan, mungkin itu akan hilang seiring pembusukan yang terjadi. Tapi kali ini berbeda. Sampah yang dibuang di sungai adalah sampahsampah besar yang mengalami waktu peleraian yang lama seperti plastik, karung, bahkan kasur, boneka, baju, bahkan bangkai sofa, bangkai kucing, ayam yang sudah mati dan masih banyak lagi. Aku pun sempat geleng-geleng kepala melihat sampah-sampah itu. Selain karena sungai yang tersendat oleh tumpukan sampah, banjir juga terjadi karena sungaisungai yang dulunya berperan sebagai pengatur aliran arus air kini semakin sedikit. Itu tak lain adalah karena ulah tangan masyarakatnya sendiri yang merubah fungsi sungai menjadi pekarangan, ada yang dibangun ruko, warung, dan lain sebagainya. Kadang, aku benar-benar menyesalkan hal itu. Tapi apa daya, aku hanya bocah kecil di desa Kuin yang tak punya alasan untuk didengar oleh masyarakat meski apa yang aku katakan adalah 25
sebuah kebenaran dan kebaikan. Itulah manusia. Apalagi manusia negeri ini hanya menurut kepada omongan orang yang lebih tua atau dituakan. Sehingga omongan orang meski benar tapi dari kalangan bukan siapa-siapa akan di abaikan. Padahal seingatku, kata Jualak Adus nabi pernah bersabda; jangan melihat siapa yang mengatakan (suatu kebaikan), tetapi lihat dan fahami apa yang dikatakan orang itu. Faham ketokohan. Itulah pola pikir kebanyakan masyarakat di tanah ini. Bahkan itu juga merasuk ke dalam pola beragama dan menuntut ilmu masyarakat. Kini orang-orang lebih mengutamakan memeroleh karamah dari seorang tokoh agama ketika pergi menimba ilmu ke tempat sang tokoh, sehingga dengan demikian mereka yakin akan termasuk orang yang masuk syurga, ketimbang pergi ke tempat sang tokoh agama untuk menimba ilmu sungguh-sungguh lalu mengamalkannya dikemudian hari. Bahkan di sekolahan-sekolahan pun juga begitu. Lembaga pendidikan kini seolah menjadi lembaga yang tak terdidik. Kenapa? Mungkin karena orang memandang pendidikan hanya sebagai formalitas. Ya, sebuah formalitas untuk memeroleh sebuah angka nilai, yang katanya, itu menujukkan prestasi seseorang. Jadi wajar bila orang berlombalomba memeroleh angka yang tinggi meski esensi dari pendidikan itu tak tercapai. Itulah yang terjadi di negeri ini.
26
Di sekitar Kuin dan Alalak, aku berani mengatakan tak ada satu sekolah pun yang bebas dari sampah?. Bilapun ada, paling hanya ada satu dua sekolah, dan itu pasti bukan sekolahku. Jika memandangi sekolah tuaku yang kini hanya tinggal susunan kayu lapuk itu, sepertinya bangunan itu lebih mirip gudang padi yang tiap tahun di isi ratusan karung padi yang baru di panen daripada mirip tempat untuk menimba ilmu dan memperluas wawasan. Di sekitaran sekolah bertaburan ampasampas padi yang disebabkan oleh ulah warga sekitar sekolah yang tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada pihak sekolah, mereka semena-mena menggunakan halaman sekolah untuk tempat menjemur dan menggiling padi. Tak ada yang mengamalkan sama sekali tentang slogan “Bersih pangkal sehat” atau jargon kaum muslimin “Kebersihan itu sebagian dari Iman”. Sederhana tapi penuh makna. Mungkin juga itulah mungkin yang dikatakan Julak Adus kepadaku dan kawan-kawan di TPA. “Suatu negeri tidak akan bisa maju, kalau penduduknya berpengetahuan tetapi enggan mengamalkan pengetahuannya itu.” “Cai, turun..!!” Suara Abah seketika menyadarkan aku yang sejak tadi tengah termenung memikirkan nasib negeri ini. Tanpa sadar, rupanya kami sudah sampai di tujuan.
27
Hari ini adalah hari pertama libur sekolah. Dan hari ini pula Abah mengajakku pergi maunjun20 di daerah handil21 halabio, kecamatan Gambut, Kabupaten Banjar. Banjar merupakan negeri seribu sungai yang memiliki banyak sungai besar maupun sungai kecil yang orang Banjar sebut sebagai anak sungai. Jadi memang sangat beralasan bila sebagian besar masyarakatnya gemar sekali memancing. Abah adalah salah satu dari penggila unjun itu. Kadang kala, bila hasrat maunjunnya itu sedang tinggi-tingginya, tak jarang Abah pergi maunjun hingga satu, dua, bahkan tiga bulan lamanya hingga tak pulang-pulang. Mungkin orang luar Banjar pasti akan terkejut tentang hal itu. Tapi, memang begitu adanya. Biasanya abah berangkat maunjun dengan kawankawannya, Amang22 Sani, Amang Jufri, Amang Sa’an, dan teman-temannya yang lain. Dan sepertinya hal itu menurun pula padaku. Aku juga sangat senang maunjun. Setidaknya itu bisa menjadi selingan di tengah rutinitasku yang setiap hari berjualan di pasar terapung. Aku dan abah sama-sama suka maunjun. Ya, seperti kata pepatah, Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Aku dan abah sama-sama suka maunjun. Itu kalau buahnya tak jatuh ke sungai dan hanyut dibawa air”, ujarku mengkritisi pepatah itu, karena aku merasa memiliki banyak perbedaan dengan abah.
Memancing Daerah desa di Banjar yang banyak memiliki anak sungai 22 Paman 20 21
28
“Inggih Bah. Di sini kah kita maunjun?.” Balasku sambil turun dari motor hondal Astrea Prima tahun 80-an kebanggaan abah. “I’ih…” balas abah singkat, dan lalu kembali mengisap rokok yang sejak di perjalanan tadi bercokol dimulutnya. Tanpa dikomando, aku langsung menyiapkan semua perlengkapan unjunku. Kulihat abah juga mulai sibuk dengan hal yang sama denganku. Setelah memasang mata kail dan nilon23, aku mengambil anak katak yang tadi sempat kubeli bersama abah di pasar Gambut dari balik ladung24 yang kubawa. Anak katak sungai itulah yang nantinya dijadikan umpan ikan Haruan25. Sebelum aku kaitkan di mata kail, katak itu ku jentik keras-keras dengan jari kecilku agar mati terlebih dahulu. “Malang sekali nasibmu wahai katak..” bisikku setengah kasian dengan katak itu. “Tapi aku harus melakukannya katak. Kalau tidak nanti aku makan pakai lauk apa??” bisikku membenarkan apa yang tengah aku lakukan. Setelah selesai, aku melemparkan pandanganku ke sekitar, mencari tempat yang strategis untuk menaruh unjunku. Rupanya ada banyak orang maunjun di sekitarku. Mereka nampak tengah berdiri di ujung titian yang terbuat dari batang Tali pancing Tas tradisional yang biasanya dibawa untuk memancing 25 Ikan Gabus 23 24
29
kelapa. Semuanya fokus berdiri tegap sambil menggoyang-goyangkan ujung unjun mereka. Ku lihat abah sudah selesai dengan unjun, mata kail, dan katak sungai kecil yang tertancap mantap di mata kail miliknya. Sejurus ia berjalan ke tempat yang ia anggap strategis. Setelah menghembuskan kepulan asap rokok dari mulutnya, abah menunjukkan jari tengahnya ke suatu tempat, memberikan isyarat kepadaku agar aku maunjun di anak sungai yang nampak semak di seberang sana. Tanpa bertanya aku langsung menuruti perintahnya. Abah berjalan mencari tempat yang lain. Sebenarnya, ini adalah kali pertama aku maunjun Haruan. Biasanya aku hanya maunjun ikan Biawan, Sapat, dan Papuyu. Cara maunjun ketiga ikan itu cukup mudah. Tinggal taruh umpan berupa anak serangga atau cacing tanah di mata kail, lalu unjun diletakkan dan diamkan beberapa saat di tempat yang kira-kira ikan itu berada. Kalau umpan dimakan, tinggal tarik, dan dapat. Tapi, maunjun Haruan perlu teknik yang berbeda. Selain umpan yang digunakan berbeda, unjun juga tidak diletakkan begitu saja. Unjun harus digoyang-goyangkan sambil berjalan agar umpan berupa katak kecil itu terlihat seperti tengah berenang di sungai. Haruan adalah ikan yang pintar, ia tidak akan memakan umpan yang hanya diam, karena ia tidak mau memakan katak yang sudah mati”
30
Abah menjelaskan itu kepadaku saat kami diperjalanan tadi. Selain itu, Unjun dan nilon Haruan harus panjang. Itu agar ketika kita maunjun ikan itu, keberadaan kita tidak diketahui oleh ikan yang pintar itu. Bila ikan itu tahu, maka ia enggan memakan umpan yang kita taruh. Bagiku ini benar-benar seperti tantangan adu pintar antara aku dengan ikan Haruan. Nyuuussssh…. Nilon unjunku aku lemparkan jauh-jauh. Aku menggoyang-goyangkan unjunku sambil menjalankan katak sungai kecil yang kini jadi umpan ikan Haruan itu pelan-pelan. Aku melakukannya berulang-ulang. Beberapa orang yang juga nampak sibuk dengan hal yang sama sepertiku, berkali-kali menarik unjunnya karena umpannya sudah dimakan. Aku lihat abah sudah dua kali menarik umpannya dan berhasil dapat dua ekor Haruan yang cukup besar. Aku terus berusaha. Aku mencoba sabar meski aku sudah mulai jengkel. Matahari pas di atas ubunubunku. Topi purun yang aku gunakan untuk munutupi kepala rasanya seperti sia-sia saja. Ditambah lagi kejengkelanku yang sudah berdiri satu jam tapi tidak memperoleh hasil apa-apa semakin membuat otakku panas. Beberapa kali aku lihat abah menarik unjunnya yang disambar ikan Haruan. Wajah abah nampak begitu bersemangat. Ia menoleh ke arahku. Tanpa bicara aku tahu dia bertanya aku sudah dapat berapa ekor. Aku hanya menggelengkan kepalaku lesu. Aku masih belum dapat seekorpun. 31
Sudah tiga jam waktu berlalu, dan aku masih belum mendapatkan ikan barang satupun. Dari tempatku berdiri terdengar adzan yang tengah berkumandang. Entah dari masjid yang berada dimana. Awan hitam mulai datang seolah memerintahkan orang-orang yang tengah maunjun untuk berhenti dan mendirikan salat dzuhur sebentar. Dan seketika hujanpun turun. Hatiku yang tadinya terasa jengkel sedikit terhibur karena dugaanku tepat, hari ini pasti hujan. Sebuah prediksi yang sebenarnya tak penting setelah ku pikir ulang. Abah berlari menuju sebuah gubuk kosong. Aku berlari mengikuti langkahnya setelah merapikan peralatan unjunku, ladung, tas kecil berisi mata kail, gunting, silet, dan peralatan lainnya. “Kadada kulihan lalu kah nyawa , Cai?26” Tanya abah sambil menoleh ke dalam isi ladungku. “Kadada lalu Bah ay… Ngalih sakalinya maunjun harun ni lah..27” Wajahku lesu. Aku mengeluh sambil menggelengkan kepalaku. “Nyawa kayapa garang maunjunnya28?” balas Abah sambil menyalakan rokok kretek yang tak bisa lepas darinya.
Kamu tidak memeroleh barang seekorpun ya, Cai? Tidak dapat satupun, Bah. Ternyata memancing ikan Haruan itu susah sekali, ya? 28 Memangnya kamu mancingnya bagaimana? 26 27
32
“Ya, nang kaya pian padahi tadi pank..29” balasku yang merasa apa yang kulakukan sudah sesuai dengan apa yang abah sarankan. Aku menoleh ke ladung abah. Ada lebih dari delapa ekor ikan Haruan. Aku merasa sedikit senang. Abahku rupanya memang sangat piawai dalam hal unjun-maunjun30. “Kaina mun hudah taduh, kita maunjun pulang. Kaina kupadahi caranya. Palingan nyawa ni salah caranya makanya kada sing dapatan. Kita bataduh ka rumah urang sakalian umpat sumbahyang dahulu gen..” Ucap abah sambil mengajakku berlari keluar dari pondok dan berteduh di pelataran rumah warga. Ia mengganti bajunya karena ingin numpang salat di rumah itu. Di daerah Handil Halabio ini masyarakatnya memang sangat ramah. Jadi kita tak usah segansegan jika ingin numpang salat, buang air, dan minta minum, itu kata Abah. Aku mengiktui langkah kaki Abah. Kami salat berdua, berjamaah. Setelah hujan reda, Abah dan aku kembali mengganti baju dengan pakaian yang khusus kami pakai saat maunjun. Kali ini Abah yang memasangkan umpan ke mata kailku. Ia memasang dengan cekatan sambil menjelaskan semua ditel cara memasang umpan katak itu kepadaku. Aku mendengarkan dengan seksama. 29 30
Ya, seperti apa yang anda katakan tadi. Pancing-memancing
33
Setelah semua selesai, Abah mengajakku ke tempat yang berbeda dari pertama kali kami maunjun tadi. Beberapa orang yang juga datang untuk maunjun jua mulai bergerak ke titian rezeki mereka masingmasing. Suasana desa ini setelah diguyur hujan begitu memesona. Udaranya sejuk tanpa polusi. Air sungainya jernih meski beberapa ada yang Nampak begitu semak. Aku berjalan mengikuti langkah kaki Abah sambil membawa ladung dan peralatanku. Aku menoleh kawanan itik yang setelah hujan reda tadi tengah asik bermain sambil mencari ikan. Aku memerhatikan induk itik yang berenang diiringi kawanan anak-anaknya, mengagumkan. Kaki itik-itik kecil itu terlihat jelas di air sungai yang begitu jernih. beberapa kawanan anak kecil mungkin seumuranku tengah asik balumba31 di sekitar anak sungai yang jernih dan agak lebar dari anak sungai yang lain. Mata hari kembali bernisar. Rona cahaya yang menerpa bintik-bintik embun bekas hujan barusan terihat seperti butiran mutiara yang tengah berkilau dilempar ke langit luas. Rasanya hatiku begitu bahagia diajak Abah ke tempat yang menawan ini. “Cai, nyawa malihat lah padang sabat nang pina rabah tuh?” tangan Abah menunjuk ke semak yang nampak seperti jalan setapak. “Inggih…” aku mengangguk pelan sambil menatap serius ke arah yang Abah tunjuk.
31
berenang
34
“Nah, ngitu tu jalan Haruan. Tu lain manusia yang maulah, tapi Haruan. Jadi nyawa cubai ha unjuni di situ, mamatuk tu kaina..”32 Abah menyerahkan Unjun Haruan kepadaku dan lalu menjauh dariku. Tanpa aku sadar ia memerhatikan aku yang kini tengah sibuk dengan unjunku. Dan tak lama berselang, Haaaappp,,, aku berhasil menarik unjunku dengan iwak Haruan yang cukup besar mengait di mata kailku. Aku menoleh kea rah Abah. Ia mengacungkan jempolnya sambil tersenyum bersama rokok yang masih mengasap di mulutnya. Aku mulai bersemangat. Aku melepas ikan itu lalu memasang katak sungai kembali ke kailku sebagaimana yang diajarkan Abah barusan. Aku kembali menaruh mata kailku di tempat-tempat yang nampak seperti jalan setapa, tempat ikan Haruan senang berenang. Dan haaaap, beberapa kali aku berhasil mendapatkannya. Dan tanpa terasa waktu hampir petang. Ladungku mulai dipenuhi beberapa ikan Haruan. Ada tiga belas ekor. Umpanku habis. Aku berjalan ke tempat Abah. Aku lihat ia jua sudah mulai menyudahi kesibukannya hari ini. Matahari senja semakin memesona. Meski sejak tadi pagi kami berada di sini, tapi rasanya aku masih belum merasa letih. Melihat kumpulan Haruan yang ada diladungku itu rasanya benar-benar membangkitkan semangatku. Man jadda wa jadda, siapa berusaha pasti akan memetik Nah, itu adalah jalan dari ikan haruan. Itu bukan buatan manusia, tapi buatan Haruan. Jadi kamu coba pancing di sekitar situ, nanti pasti umpanmu akan dimakan. 32
35
hasilnya. Tapi harus dengan cara yang cerdas” Pikirku mendapatkan pelajaran baru. Seiring perginya orang-orang yang tadi juga tengah asik maunjun, aku dan Abah turut mengikuti langkah mereka meninggalkan desa Handil Halabio. Abah mengambil motornya di halaman rumah warga, tempat ia menitipkan motornya tadi. Aku naik dan duduk dibelakang. Aku dan Abah bergegas pulang. Hari makin petang. Matahari sudah nampak kejinggajinggan. Motor yang kami naiki melaju beriring dengan kawanan burung Tatapaian yang jua pulang menuju kediaman mereka. ***
36
Chapter 4 Lomba Tilawatil Qur’an Matahari sudah merangkak turun dari ufuk. Sebagaimana biasa, selain adzan subuh, di desa ini selalu aku yang menjadi muadzin di masjid Sultan Suriansyah. Sepertinya orang-orang tua kini sudah enggan mengumandangkan adzan di masjid desaku. Entah mereka terlalu sibuk atau memang urat leher mereka yang sudah tak sanggup lagi untuk berteriak nyaring-nyaring di michrophone masjid, aku juga tak tahu, yang jelas akhir-akhir ini tak seorangpun dari golongan tua yang mau datang ke masjid paling awal. Semuanya takut jika datang pertama harus mengumandangkan adzan. Hal ini terjadi semenjak meninggalnya H. Ali, ta’mir sekaligus muadzin tetap masjid ini. Akupun berdiri seorang diri di dalam masjid, tepat di depan mimbar kayu Ulin33 tua berwarna hitam gelap. Sebuah michropohone sudah menancap kencang di genggamanku. Dengan gerilya aku lantangkan benar-benar suara melengking dari tenggorokanku, membahana. Menembus senja kuning hingga dikejauhan sana. Aku benar-benar ingin meluapkan perasaan gelisahku tentang nasib malang masjid ini yang mulai sepi dikunjungi setiap jamaah. Entah dikunjungi dalam rangka menengok kembali silam sejarah berdirinya masjid tertua di tanah Kalimantan ini, atau berkunjung dalam rangka 33
Kayu Besi
37
memakmurkan masjid dalam sembah sujud para hamba yang bermukim tak jauh dari masjid. Aku tak peduli apa kata orang. Aku berteriak sekeras-kerasnya hingga tak sedikitpun terdengar seperti orang yang tengah adzan. Melainkan lebih mirip seorang bocah yang sedang meneriaki seruan “kebakaran”. Itu kata ibuku yang pernah beberapa kali menegurku, silam. Dan tak lama, beberapa ketukan langkah kaki terdengar menapaki lantai kayu masjid Sultan Syuriansyah yang sudah tak cekat. Aku melirik sedikit ke belakang. Julak Adus. Itu artinya orang yang akan jadi imam salat maghrib sudah datang. Aku merasa puas karena teriakanku menuai hasil. Setidaknya ada seorang Julak Adus yang kini mau mendatangi masjid ini. Walau kadang kedatangannya hanya untuk sekedar menegurku yang telah adzan dengan cara tak wajar. Beberapa orang ikut mengiringi langkah Julak Adus. Tanpa menunggu terlalu lama, aku langsung megumandangkan iqomat. Sejurs, salat khsyukpun didirikan. Tak lama dari usai salat, listrik padam seketika. Suasana langsung berubah menjadi gelap gulita. Gemerlap bintang nan jauh di langit sana kini mulai tampak sedikit lebih terang. Mungkin karena kegelapana yang kini hadir menyelimuti desa secara keseluruhan. Dengan inisiatifnya yang selalu cemerlang, Amad yang juga selalu hadir salat maghrib di masjid desa, datang dengan lentera kecilnya. Entah kenapa aku selalu salut melihat semangat sahabat kecilku 38
itu. Ia tak ingin barang sekalipun ketinggalan untuk belajar mengaji kepada Julak Adus. “Ucai… ayooo..??!” Ajak Amad yang datang kepadaku sambil menenteng Al-qur’an besar di tangan kanannya yang bahkan lebih besar dari badan mungilnya. Aku lihat sarung yang ia kenakanpun hampir melorot. Ia tak bisa membenarkannya karena tangan kirinya harus memegang sebuah lampu teplok kecil. Dengan kebandelan yang kumiliki, aku tarik saja sarungnya. Tinggallah Amad dengan celana dalamnya. Semua mata langsung tertuju kepada Amad yang sudah terlanjur tak bisa berbuat apa-apa. Semuanya terbahak melihat Amad yang terjahili oleh kenakalanku. Cepat-cepat Amad menaruh lampu dan Qur’an di tangannya lalu membenarkan sarungnya. Wajahnya malu, tapi ikut tertawa. Beberapa saat kemudian tiba-tiba telingaku terasa ngilu. Rupanya tangan Julak Adus yang menancap di telingaku dan memutarnya dengan cukup kencang. “Ampun Julak, ampuuun.. ampuun..” teriakku mengiba. Kini semua mata tertuju kepadaku dengan tawa yang membahana. Ku lihat wajah Amad nampak puas dan menertawakanku dengan kencangnya, seolah membalas apa yang aku lakukan barusan kepadanya. “Huusss. Bahinipan… Bagian nyawa ni aur bagaya haja. Bujur-bujur di masjid, daham bagayaan 39
ja tarus.”34 Ucap Julak Adus, raut mukanya datar. Semua langsung terdiam. Suasana seketika menjadi hening. Di masjid ini, sehabis salat maghrib kami memang rutin mengadakan belajar memba Al-Qur’an bersama, berenam. Aku, Amad, Hadri, Unuy, Anshar, dan Udin. Siapa lagi kalau bukan julak Adus yang mengajari kami. Bagiku, julak Adus tidak hanya seorang bos untuk kulakan buah, tetapi juga guru yang selalu memberikan nasihat bijaknya saat diperlukan. Dan hari ini, sebagaimana biasa, aku selalu ditunjuk julak Adus untuk memulai mengaji. Itu karena bagi beliau aku adalah murid yang paling pandai membaca al-quran. Aku juga diajar berbeda dari anak-anak yang lain. Jika yang lain hanya belajar mengaji dan tajwid, maka aku jua diajarkan bagaimana seni melagukan Al-qur’an dengan baik. Kali ini, entah kenapa beliau ingin aku membacanya dengan tilawah. Biasanya, karena dihadapan anak-anak lain, aku hanya disuruh mengaji dengan bacaan biasa, tanpa nada khusus. Dengan pelan aku mulai membaca. Disuasana hening, gelap gulita, dan hanya bertemankan dua buah lampu teplok di tengah ruang masjid tua ini, aku merasa ayat demi ayat yang kubawakan begitu Huusss… diam. Kalian ini sukanya bercanda. Di masjid itu harus khusyuk, jangan bercanda terus. 34
40
menyentuh hati bagi siapa saja yang mendengarnya. Bahkan aku yang membawakan ayat itu seolah tak merasa dan tak percaya bahwa itu suaraku sendiri. Usai mebaca beberapa ayat, tiba-tiba tangan seseorang menepuk bahu kananku dari belakang. Hampir saja aku melompat karena kupikir itu setan dari alam ghaib yang mau menarikku ke alamnya. Setelah aku berbalik, ternyata itu adalah guruku sendiri di MI, Pak Riduan. Rupanya kedatangannya dari kampungnya, desa Alalak, memang sengaja untuk mencariku. Ia bilang tadi ia mencari aku di sekolah, tapi tak bertemu. Sore tadi ia juga sempat mampir kerumahku tapi aku sedang di rumah H. Undas, bekerja. Dan malam ini, beliau sengaja datang ke desa Kuin untuk menemuiku di masjid ini, karena beliau tahu aku selalu belajar mengaji di sini sehabis salat maghrib. Setelah bercerita bahwa akan ada lomba antar siswa MI untuk memperingati pekan Rajabiyah, bulan isra’ mi’raj, beliau memintaku untuk ikut mewakili sekolah dalam acara yang diadakan se-kotamadya Banjarmasin itu. Aku diminta ikut lomba tilwatil qur’an. Tapi, rasanya aku tak yakin. Aku belum berpengalaman dengan acara seperti itu. Namun, Pak Riduan berusaha memaksaku dengan alasan “supaya memiliki pengalaman, makanya ikut.”.
41
Aku menoleh wajah julak Adus. Ia hanya mengangguk sambil tersenyum. Bagiku itu bukan jawaban atas pertanyaanku. Dengan bimbang, akhirnya aku terima juga permintaan pak Riduan. Beliau memintaku untuk berlatih rutin setiap hari, sebelum lomba akan dilaksanakan minggu depan. Kulihat Amad begitu antusias menyemangatiku. Tapi, aku sendiri tak yakin dengan hal ini. Aku tak menargetkan apa-apa. Bagiku, menang dan kalah bukan apa-apa. *** Selama seminggu ini, Amad masih terus setia menyemangatiku. Ia selalu berkata kepada untuk yakin bahwa aku pasti menang. Padahal, bahkan hingga hari ini aku tak pernah sekalipun berlatih secara intensif. Padahal acara tinggal dua hari besok. Aku tak sempat. Aku tak ada waktu untuk berlatih. Subuh hari aku harus berjualan di pasar terapung. Dari pagi sampai siang aku harus sekolah. Dan sore, aku di pabrik kayu H. Undas untuk bekerja sama Abah. Maghrib aku harus belajar mengaji. Setelah itu aku harus membantu umma memasak dan menjaga adikku. Waktuku sudah habis untuk semua aktivitas rutinku.
42
“Yakin manang, Cai.. yakinlah nyawa35 tu..” ucap Amad kepadaku bersemangat. *** Dan pagi sudah menyingsing. Aku bangun lebih awal dari biasanya. Bukan karena aku sangat bersemangat. Tapi karena semalaman tadi aku tak bisa tidur. Hari ini acara yang ditunggu-tunggu banyak orang, tapi yang begitu tak kusukai sudah tiba, pekan rajabiyah MI dan MTs se-kotamadya Banjarmasin. Berbeda dari hari biasanya, hari ini aku dijemput pak Riduan dengan sepeda motor tua kebanggaannya di rumahku, dan lalu langsung menuju masjid raya sabilal Muhatadin, tempat acara diadakan. Ummaku nampak bingung dengan tanda tanya besar di benaknya melihat aku yang dijemput ke rumah oleh pak Riduan. Itu karena aku memang tak bercerita kalau akan ikut lomba hari ini. Suasana di tempat lomba sangat ramai. Tapi bagiku begitu sepi. Aku tak memiliki kenalan seorangpun di sini. Pak Riduan yang tadi datang bersamaku jua tak tahu kemana perginya. Ia hanya menunjukkan bahwa tempat lombaku di ruangan sebelah Barat, dekat stasiun radio Sabilal Muhtadin. Dan bila namaku sudah dipanggil, maka aku harus
35
Kamu
43
langsung maju untuk tampil di panggung yang disediakan, ucapnya lalu pergi entah kemana. Waktu terus berputar. Hari semakin siang. Namaku masih belum dipanggil. Dan Pak Riduan masih belum datang. Hingga saat ini aku tak melihat seorangpun yang ku kenal, bahkan rombongan dari sekolahku sendiri. “Apa mungkin aku adalah perwakilan satu-satunya dari sekolahku di acara yang tak kuketahui ini?, hanya tahu namanya, Pekan Rajabiyah MI dan MTs se-kotamdya Banjarmasin”. Bahkan tak seorangpun memedulikanku yang tengah sepi di dalam keramaian ini. Aku seperti orang tersesat dan tak tahu harus berbuat apa. Dan setelah nafasku seolah sudah diujung ubun-ubun, akhirnya; “Peserta selanjutnya, Muhammad Khusairi dai MI Kuin dipersilakan naik ke atas panggung..” ucap MC pembawa acara. Mendengar namaku dipanggil, akupun bersegera memasang peci hitam yang dari tadi aku gunakan sebagai kipas, karena udara siang ini begitu terik menyengat. Aku bergegas berlari ke atas panggung. Aku tak peduli semua mata yang menatapku dengan heran. Mungkin heran melihat aku yang kumal ini datang darimana dan dari sekolah mana, bahkan tanpa seorang pendamping. Hanya selembar kartu peserta yang meyakinkan panitia bahwa aku juga merupakan peserta acara ini. 44
Setelah sampai dipanggung, aku berduduk dan menenangkan diri sesaat. Aku mencoba mengatur nafasku yang terengah-engah agar tenang. Seetelah tenang, dengan didahului salam kepada seluruh hadirin, aku mulai membuka bacaanku dengan ta’awudz serak, pelan, dan meyakinkan. Ku pandangi semua mata hadirin yang kini tengah terkesima. Dalam hati aku berucap “Horeee, aku berhasil membuat mereka semua terdiam.” Aku terus melanjutkan dengan tenang. Aku mencoba menghayati dengan perlahan. Beberapa bait ayat kulalui dengan penuh kekhidmatan. Dan setelah semua ayat selesai kubawakan, aku menutup kembali pertunjukkan dengan salam. Sesaat lamanya, semua mata masih terdiam. Aku turun dari panggung dan langsung melarikan diri dari keramaian. Beberapa sudut ku datangi untuk menemukan sosok pak Riduan. Dan akhirnya beliau kutemukan dikerumunan para peserta lomba pidato. Rupanya dari tadi ia ada di situ untuk mendampingi Zulkifli, teman sekelasku yang juga mewakili sekolahku dalam lomba pidato. Rupanya sehabis mengantarku ke masjid, pak Riduan kembali ke sekolah untuk menjemput Zulkifli, karena tak ada guru lain yang mau mengatarkan Zulkifli ke acara ini. Entah mengapa, aku tak tahu alasannya. Padahal di sekolah masih ada guru lain yang juga memiliki kendaraan. 45
Hanya saja, aku bisa berkesimpulan, mungkin guru lain tak begitu mendukung dengan keikutsertaan kami dalam acara ini. Aku dapat cerita dari Zul bahwa ide untuk ikut serta dalam lomba inipun sebenarnya adalah ide pak Riduan sendiri, tanpa dukungan dari guru lain. Zul bilang guru lain tak seorangpun yang mendukung dengan tindakan. Mereka hanya mendukung dengan perkataan saja. Bahkan ada yang meremehkan bahwa sekolah kami pasti kalah oleh sekolah lain yang lebih maju. Kasian sekali pak Riduan. Tapi, bagiku yang penting, kami sudah berusaha dengan semampu kami. Akhirnya, selesai lomba kamipun diantar pulang ke rumah secara bergantian. Pertama pak Riduan mengantar Zul ke rumahnya. Setelah itu beliau kembali ke masjid Sabilal, tempat pekan Rajabiyah diadakan untuk menjemput dan mengantarku ke rumah. ***
46
Chapter 5 Kapuhunan Terik mentari serasa benar-benar menyengat kulit siang ini. Dikejauhan sana, semua benda seperti meleleh akibat fatamorgana yang muncul di atas aspal jalanan yang tengah terpanggang. Langkah cepat kaki seorang bocah yang sedang berlari entah kemana mau menuju itu seolah tak memedulikan panasnya matahari di atas sana. Wajah bocah itu nyaris seutuhnya dipenuhi peluh keringat yang menyeruai. Amad. Bocah itulah yang tengah berlari sampai terengah-engah. Wajahnya nyaris pucat. Tapi senyum dimulutnya mengisyaratkan kalau dia punya kabar baik hari ini. Setelah mengetuk pintu rumahku yang tengah terbuka sebagai formalitas etika, Amad masuk tanpa pamit. Umma yang tengah memasak di dapur juga tak menggubris Amad yang masuk ke rumahku tanpa salam. Itu karena Amad memang sudah sangat akrab dengan keluarga kami. Ia duduk tepat disampingku. Nafasnya terengah-engah. Bau keringatnya seperti ban bekas yang baru saja hangus terbakar. Ia hanya tersenyum sambil menatapku yang tengah sakit sejak tiga hari ini. “Cai.. Nyawa juara Cai ay. Nyawa manang… Nyawa manang lomba samalam. Nyawa Juara satu.
47
Cai ay…36” ucapnya berteriak-teriak sambil menggoyang-goyangkan badanku yang lemas tak berdaya. Amad juga bilang kalau Zul meraih juara tiga. Berita baik. Tapi aku tak bisa mengekspresikan kegembiraanku di tengah sakit yang mendera ini. Aku hanya bisa membalas kabar baik dengan tersenyum kaku, tanpa suara. Air liur ku pahit. Bibirku ngilu dan kering. Aku tak bisa berkata-kata. Sudah tiga hari ini aku terkulai lemah. Kata Julak Ulay, tabib tradisional di desaku, aku kapuhunan37 karena tiga hari yang lalu aku berjalan di dekat kuburan, di ujung desa, saat senja dan tanpa permisi. Sebagai masyarakat yang masih tergolong tradisional, aku dan keluarga sangat memercayai argumentasi dari julak Ulay itu. Sampai sekarang, orang Banjar yang tergolong masih tradisionalis meyakini bahwa ketika seseorang berjalan di suatu waktu atau tempat yang ditunggui oleh makhluk halus dan berbuat hal yang tidak menyenangkan atau lupa permisi, maka orang itu segera akan jatuh sakit karena katulahan38 sehingga akhirnya kapuhunan. Amad berlalari ke dapur, menemui umma. Ia bercerita kalau kemarin aku ikut lomba dan menang. Ummaku setengah heran. Itu karena aku tak pernah cerita tentang lomba itu.
Cai.. kamu juara Cai. Kamu menang lomba kemarin. Kamu juara satu, Cai… 37 Mitos orang banjar =sakit karena menolak pemberian atau karena kesambet makhluk halus 38 kualat 36
48
Aku tak yakin, tapi wajah umma menampakkan rasa bahagianya. Ia berhenti sejenak dari kesibukkannya. Ia menghampiriku dengan senyum dinginnya dan lalu mengelus keningku lembut. Beberapa saat, Amad baru sadar kalu aku tengah sakit. Wajahnya yang tadi begitu cerah kini menjadi murung. Samar-samar kudengar ia bertanya kepada ummaku tentang keadaanku. Umma hanya bilang singkat bahwa aku kapuhunan karena dirawa urang halus39. Semakin lama, suara mereka semakin samar. Penglihatanku rasanya semakin kabur. Sedetik, dua detik, tiga detik, dan detik terus berlalu…. Penglihatanku semakin terasa aneh, cerah, gelap,cerah, dan kembali gelap. Beberapa waktu, akupun tak tau apa yang tengah terjadi. *** Mataku terbuka. Situasi dan ruangan bagitu terasa asing. Tak pernah sebelumnya ada selimut putih di tempat tidurku. Sejenak menyimak, aku baru sadar, ini rumah sakit. Di sampingku Nampak umma yang tengah tertidur sambil menungguiku yang rupanya sempat tak sadarkan diri. Beberapa waktu kemudian, umma terbangun. Ia bilang, kemarin aku pingsan di tempat tidur tak 39
Kesambet makhluk ghaib
49
lama sedari kedatangan Amad ke rumah. Yang aku heran, ada angin apa umma membawaku ke rumah sakit. Aku memang sering terserang sakit, korengan, meriang, gatal, dan penyakit kampung lainnya. Tapi, tak pernah sekalipun aku pernah dibawa ke rumah sakit. Biasanya Cuma dibawa ke tabib kampung, Julak Ulay, atau paling hebat sekali ke puskesmas desa. Itu juga dengan surat rujukan keluarga kurang mampu dari kepala desa. “Kenapa sekarang aku dibawa ke rumah sakit?, memangnya umma punya uang untuk membayar biaya rumah sakit?. Atau penyakitku sangat parah hingga harus dibawa ke rumah sakit?” gumamku dalam hati. Beberapa saat, ku lihat pak Riduan masuk dari balik pintu diiringi beberapa temanku, Amad, Zulkifli, dan beberapa teman sekelsaku yang lain. Dari pembicaraan pak Riduan dan umma, akupun mengerti bahwa keberadaanku di rumah sakit ini atas tanggungan Kepala sekolahku, pak Rahmadi. Bibirku masih terasa ngilu. Tulang rahangku serasa keram bercampur sakit. Bahkan sekedar membuka mulut untuk makanpun aku tak sanggup. Samar-samar ku dengar, umma minta kepada pak Riduan agar aku segera dibawa pulang saja. Ia tak ingin merepotkan pak Rahmadi yang telah bersedia menanggung biaya perawatanku. Kulihat wajah Abah yang baru saja datang dari apotek rumah sakit utnuk menebus obat nampak mengisyaratkan bahwa ia 50
merasa tak nyaman karena aku sakit. Tak nyaman hati karena keluarga kami jadi merepotkan pak Rahmadi. Setelah negosiasi yang cukup lama, akhirnya aku dipulangkan dan diantar dengan mobil oleh pihak rumah sakit. Sebelum pulang tadi pak Riduan menyempatkan bilang selamat kepadaku. Ia bilang piala dan sertifikat lomba sudah ia serahkan kepada umma. Aku hanya mengangguk. Aku masih belum bisa membuka mulutku untuk bicara. Hari sudah malam. Keadaanku sudah terasa lebih baik. Di tengah dingin malam yang menyelimuti, tak terasa air mataku menetes dengan sendirinya. Entah karena apa. Aku tak tahu. Apa karena keharuanku dengan guru-guru dan teman-temanku, atau karena keberhasilanku dilomba itu, atau karena keadaan keluargaku yang miskin ini hingga aku rawan merepotkan orang lain. Entahlah... semuanya campur aduk rasanya. ***
51
Chapter 6 Hilang Sudah satu minggu aku tak masuk sekolah. Tadi pagi pak Riduan datang ke rumah untuk menemui orang tuaku. Rupanya setelah satu minggu aku tak hadir, baru pihak sekolah sadar tentang ketidak hadiranku. Semenjak aku mulai pulih dari sakit, kini giliran abah yang jatuh sakit. Tak jauh beda denganku, kata Julak Ulay, dia juga kapuhunan karena membuang makanan di tempat yang tidak seharusnya. Antara percaya dan tidak dengan takhayul lama keturunan nenek moyangku itu, secara perlahan pikiranku terasa menerima begitu saja fenomena itu. Itu karena aku jua pernah merasakan sakit yang tergolong aneh seperti itu. Tak penting apakah benar atau itu hanya takhayul semata, yang jelas imbasnya adalah aku harus bekerja ekstra di pabrik kayu H. Undas dan berdagang buah dari subuh sampai pagi di pasar terapung. Dan siangnya aku harus berjualan kue di pasar Alalak bersama umma karena abah saat ini tak bisa pergi bekerja. Mau tak mau aku harus meliburkan sekolahku. Umma juga melarangku membaca buku saat membantunya di warung. Walau begitu, aku selalu berusaha mencuri-curi kesempatan untuk membaca buku sekolah. 52
“Ucai napa kada tulak ka sakulah? Sudah samingguan ha pulang?40” Tanya pak Riduan saat bertemu denganku di warung umma, di pasar Alalak. Kehadiran pak Riduan itu aku benar-benar aku harapkan. Itu supaya aku ada alasan untuk berangkat sekolah. Tapi sayang, wajah umma menjadikan aku sedikit kecewa. Ia bilang aku harus membantunya di warung Alalak untuk berjualan. Menurutnya menolong orang tua itu lebih utama daripada sekolah. Aku tak begitu mengerti tentang prioritas, apakah aku harus sekolah atau membantu orang tua. Yang aku selalu tahu, aku harus berbakti kepada kedua orang tuaku, “karena surga dibawah telapk kaki umma” Dan itu ujar pak Riduan sendiri di sekolah. “Meski harus mengorbankan cita-citaku...” bisikku dalam hati menyikapi keadaan, kecewa. Entahlah yang mana yang benar. Yang jelas, abah sakit, dan aku harus menolong umma untuk dapat duit dan bisa membawa abah ke dokter. Kulihat wajah pak Riduan sedikit kecewa. Tapi, ia tak mungkin berdebat dengan umma. Aku tahu pak Riduan tak berani dengan umma. Aslinya bukan kepada umma, tapi ia takut sama abah. Itu karena ia pernah dimarahi abah saat mengajakku berkunjung
40
Ucai kenapa tidak ke sekolah? Sudah satu minggu pula?
53
ke perpustakaan daerah yang menyebabkan aku harus pulang sore dan tak bisa membantu pekerjaan umma di rumah. Mungkin kalimat umma “membantu orang tua itu lebih utama daripada sekolah” itu adalah kalimat abah yang dijiplaknya. Aku tahu itu karena pertama kalinya aku mendengar kalimat itu keluar dari mulut abah saat marah kepada pak Riduan. “UCAII..!!!??? JANGAN LUPA BELI ES BATU DI ACIL JUMI…!!” teriak umma dari warung kepadaku yang tengah berdiri di depan warung julak Ami untuk membeli gula. Aku bergegas menyelipkan buku sekolahku di balik baju agar tak kelihatan umma dan ia tak marah kepadaku. Sejatinya, umma bukanlah orang yang pemarah. Meski aku merasa ia juga bukan orang yang ramah. Tapi semenjak abah sakit, ia jadi terlihat lebih sensitif. Dan tiba-tiba, sepeda phoenix tua dengan bannya yang besar menghalangi langkahku. Pengendaranya seorang bocah, Amad. “Kanapa nyawa kada ka sakulahan samingguan nih?.41” tanya Amad padaku. Kakinya membenarkan kuda-kudanya di pedal sepeda besarnya. 41
Kenapa kamu gak ke sekolah selama satu minggu ini?
54
“Aku mandangani ummaku badagang. Kanapa garang?42” Balasku sambil menahan silau mentari yang datang dari belakang wajah Amad. “Nyawa dicarii pak Rahmadi.43” Jawabnya. Aku menoleh ke tempat lain. Aku merasa bersalah. Tapi aku juga merasa senang karena ternyata ada yang memerhatikan aku yang tak masuk ke sekolah sudah beberap hari ini. Aku masih diam, tak tahu harus menjawab apa. “Aku handak nukar nyiur dahulu lah...?!44“ Sambungnya dan lalu pergi dari hadapanku. Aku hanya mengangguk, dan masih diam. Aku tahu sebenarnya Amad mengerti kenapa aku tak masuk sekolah selama seminggu ini. Pertanyaannya tadi kupikir hanya basa-basi untuk mengingatkan aku bahwa sebenarnya aku memiliki kewajiban sebagai seorang generasi muda negeri ini, yakni sekolah. Hatiku jadi bergetar. Rasanya aku ingin minta izin kepada umma untuk kembali masuk ke sekolah besok. “Masalah Abah?” bisik nuraniku yang lain tibatiba. Aku tidak tega mebiarkan umma bekerja sendiri di pasar. Dan aku tak rela jika aku tak membantu umma. Aku takut pikiran abah akan semakin terbebani.
Aku membantu ibuku berdagang. Kenapa memangnya? Kamu dicari pak Rahmadi 44 Aku mau beli kelapa dulu ya..?! 42 43
55
Dan.... Aku dapat sebuah pemikiran. Aku mempercepat langkah kakiku, dan lalu berlalri menyusul Amad. Aku ingin bilang kepadanya kalau aku ingin gantian masuk sekolah dengannya. Jadi hari ini aku sekolah, dan Amad yang membantu umma. Besoknya aku membantu umma dan Amad yang ke sekolah. Setelah bertemu dengannya, ia sepakat dengan alasan, aku tak boleh memberitahukannya kepada orang tua Amad. Aku segera bilang kepada umma rencanaku. Dan dengan segenap bujukanku juga Amad, akhirnya ia mau jua memberi izin. Aku dan Amad bertatapan. Ia tersenyum dan mengangkat tangannya kepadaku, memberikan isyarat untuk kompak45. Aku langsung faham dan menyambutnya dengan semangat. Senja sudah menguning. Arus sungai Alalak dan Kuin mulai melambat. Binar mentari tertampak mengkilau jingga di permukaan arus sungai. Haripun kini semakin menuju gelap. Sebentar lagi mahgrib tiba. Aku mendayung sepeda bersama umma. Aku mendayung sepedaku sedikit lebih kencang mendahului umma. Aku harus segera sampai rumah lebih dulu. “Aku harus mandi, dan segera berangkat ke masjid untuk belajar mengaji kepada julak Adus..” ucap batinku. 45
Tos (anak muda)
56
***
57
Chapter 7 Piala Hari ini adalah hari kelima belas semenjak abah sakit. Tapi tak ada tanda-tanda sedikitpun beliau bakal sembuh. Kami juga tak berani membawanya ke rumah sakit agar mendapatkan perawatan yang lebih baik. Selain karena kami tak punya biaya, abah juga akan marah jika dirinya di bawa ke rumah sakit. Itu karena ia sangat benci dengan yang namanya Rumah Sakit. Entah apa lasannya, aku tak tahu. Selama seminggu ini aku menjalani sekolahku secara rahasia. Strateginya berubah. Agenda selangseling masuk ke sekolah dan membantu umma di pasar bersama Amad dibatalkan. Itu karena kakaknya Amad, Rukayah bersedia membantu umma untuk berjualan di pasar. Maka aku dan Amad bisa sekolah dari senin sampai sabtu. Tapi tetap, tanpa sepengtahuan abah. “Alhamdulillah.. Akhirnya umma mendukung sekolahku.. ”Gumamku sambil berdiri di atas batang, menatap langit cerah pagi ini. Dari sini, batang rumahku, Ku lihat Amad yang tengah berdiri di batang rumahnya melambailambaikan tangannnya kepadaku sambil menggosok gigi. Busa pasta gigi nampak berceceran hingga ke tangan dan bajunya. 58
Aku ikut melambaikan tangan sambil tersenyum, menggosok gigi pula. Dan lalu, aku turun dari rumah dengan segera tanpa mengenakan pakaian sekolah, biar abah tak tahu kalau akau pergi ke sekolah. Ia tahunya aku membantu umma berjualan di pasar. Nanti di masjid Sultan Suriansyah baru ku ganti bajuku dengan seragam sekolah. Entah kenapa, beberapa hari ini aku senang sekali melihat piala juara satu lomba tilawtil Qur’an yang ditaruh umma dilemari kecil tua ruang tamu rumah. Mungkin sengaja ditaruh umma di sana untuk memperlihatkan rasa banggaannya kepada tamu yang masuk ke rumah kami. Aku tersenyum sendiri. Baru beberapa hari ini aku sadar bahwa ternyata aku punya kebisaan dan kebanggaan. Ya, tilawatil qur’an. Hanya saja, hari ini rasanya berbeda. Benda yang membuat aku selalu tersenyum kala menatapnya itu kini sudah tak ada. Umma bilang kemarin piala itu ia jual ke tukang loak untuk menambah kekurangan duit beli obat abah. Aku hanya merasa aneh. “Kok ada tukang loak mau membeli piala dari umma?.” Dan aku juga merasa aneh, “Kok umma menjual piala, bukti kebanggan yang pernah aku torehkan?. Bukankah itu sesuatu yang berharga bagiku? Apa umma tak menghargaiku atau ia tak cukup faham untuk memikirkannya?” ucapku dalam benak. Saat ku tanyakan, umma hanya bilang “Apalah artinya piala, nanti kamu malah jadi sombong. Yang 59
penting kamu bisa ngaji..” ucapnya singkat tanpa mau dikritisi. Aku memang tak punya kewenangan untuk mengkritisi umma. Tapi memang kadang apa kata umma ada benarnya. “Biarlah, yang penting mudahan abah lekas sehat” pikirku melupakan piala itu. “Nyawa kada makan dahulu kah, Cai?46” Tanya umma melihat aku yang buru-buru turun dari rumah. “Kada ma ay. Ulun basangu nasi wan iwak karing nih.. kaina makan di sakulahan haja gen..47” jawabku sekenanya. Dan beberapa saat, aku baru sadar kalau tengah keceplosan bilang “Kaina makan di sakulahan haja gen.48” Aku menatap umma. Wajahnya berubah seolah memberi isyarat kalau ia takut sebuah rahasia terbongkar dan diketahui oleh abah. Untungnya abah masih tertidur saat itu, dan aku selamat. Aku lekaslekas turun dari rumah. Mungkin, jika abah tau aku tak membantu umma, dan apapun itu alasanya, ia pasti akan marah besar. Dan jika ia sehat, maka aku akan dipukulnya habis-habisan.
Kamu tidak makan dulu ya, cai? Tidak Bu. Saya bawa nasi dan ikan asin kok. Nanti dimakan di pas sekolah saja. 48 Nanti dimakan di sekolah saja. 46 47
60
Aku tak mau ambil risiko. Aku takut nanti abah bangun dan ternyata ia mendengar ucapanku barusan. Segera aku mengambil sepatu bututku dan berlari menuju masjid Sultan. Dan seorang bocah nampak ikut berlari membuntutiku. Rupanya sejak tadi ia sudah berdiri di depan rumahku untuk menungguku berangkat ke sekolah. Amad, dengan gayanya yang khas ia berkata padaku “Balajuan kah kita ka sakulahan...??49” dengan alisnya yang mengangkat. Senyumnya mengembang. “Ayooo...” jawabku lantang seraya membalas senyumnya. Dan dua bocah liar pun terus berlari dengan semangat yang berapi-api, demi sebuah harpaan, demi sebuah pendidikan, demi sebuah masa depan. *** Ujian akhir tinggal satu bulan lagi. Semua anak-anak sekolah SD atau MI yang sudah kelas enam pasti memiliki perasaan yang sama, gugup dan cemas. Beberapa temanku yang memang dari keluarga mampu sudah mulai sibuk dengan ikut bimbingan belajar. Tapi tidak bagi aku dan Amad. Bagi kami yang memang dari keluarga tidak mampu, mana mungkin ikut bimbingan belajar di lembaga-lembaga bimbel. Tapi yang uniknya adalah, entah kenapa aku tak
49
Berani lari adu cepat sampai ke sekolah?
61
merasa sedikitpun gugup bakal tidak lulus ujian akhir Negara. Begitu pula Amad. Entah karena alasan apa ia tidak pernah barang sekalipun menampakkan sedikitpun wajah gugupnya. Bahkan saat ditanya tentang UAN, Amad hanya bilang “Tabila garang UANnya?50”. Dan ketika aku bilang tinggal sebulan lagi, dia malah menjawab “Bah hay, masih lawas banar lagi..51” Meski begitu, mungkin jika melihat dari aspek cara berpikir keluarga kami yang hampir sama, Amad mungkin beranggapan UAN ini tak penting. Sebab, orang tua kami hampir memiliki pemikiran yang sama. Habis lulus MI ini kami harus bekerja membantu mereka. “Kada usah gen sakulah tinggitinggi… Amun sama haja jua, mancari gawian wahini jua ngalih52..” ucapan yang selalu abah katakan kepadaku. Bagiku, pernyataan abah yang seperti itu sangat wajar. Sebab, abah sendiri memang hanya lulusan SD, jadi mungkin cara berpikirnya memang tersetting seperti itu. Tapi, aku harus siap dalam menghadapi UAN ini. Meski kadang agak sedikit pesimis, sebenarnya aku ingin melanjutkan sekolahku. Aku pesimis, sebab aku tak punya cukup uang untuk melanjutkan Memangnya kapan UANnya? Alahay, masih lama rupanya.. 52 Susah (Banjar) 50 51
62
sekolah. Ditambah lagi aku punya orang tua yang memiliki pandangan bahwa sekolah itu cukup sampai MI saja. Tamat MI harus cari duit. “Ya Allah, bukakanlah pintu hati abah untuk mengerti keinginanku ini..” bisikku dalam hati. *** Dan hari terus berganti. Sudah tiga minggu berjalan. Aku masih merasa belum siap untuk menghadapi Ujian Negara. Tapi, tak mungkin untuk mengundur waktu agar aku bisa lebih lama menyiapkan diri. Sejauh ini, aku hanya bisa membaca semua materi yang telah dipelajari lewat buku tulisku sendiri dan membaca buku di perpustakaan sekolah, meski buku-buku yang kubaca itu sudah tidak zamani lagi, tidak up to date kalau kata orang kuliahan. ”Apa pihak sekolah tidak memerhatikan tentang buku-buku yang ada di perpustakaan sekolah?, atau tidak mengetahui kalau buku yang ada itu adalah buku-buku tua, Pak?” Tanyaku kepada pak Riduan tempo lalu. Pak Riduan hanya bilang kalau sekolah memang tak punya cukup dana untuk memperbaharui koleksi perpustakaan, sedang bantuan dari pemerintah hanya pada sekolah-sekolah tertentu. “Tidak sampai ke sekolah kita” ungkapnya.
63
Dan silih berganti waktupun menghantarkan kami pada ujian Negara yang selama ini digugupkan semua siswa kelas enam semua sekolah, kecuali aku dan Amad. Rasanya aku bahkan tak merasakan perbedaan UAN ini dengan ujian-ujian lain yang pernah aku tempuh. Yang kupikirkan saat ini hanya apakah aku bisa melanjutkan sekolahku atau tidak. Saat kutanya kepada Amad, “Nyawa manarusakan sakulah kamana pulang imbah ini?53”. Amad malah bilang dengan polosnya “Tasarah abahku haja, Cai ay..54”. Dan aku hanya bisa menggelengkan kepala mendengar jawaban polos darinya. Aku tak faham apa yang tengah ia pikirkan. Yang jelas, bahkan wajahnya tidak menampakkan kegugupan atas UAN yang akan kami hadapi selama seminggu ini. Tapi aku yakin, sebenarnya Amad sudah mempersiapkan dirinya untuk hari penentu kelulusan kami ini. Aku yakin, karena aku sangat mengenal sosok Amad yang selalu semangat untuk belajar, dan bersemangat untuk meraih mimpinya. Ya, sama sepertiku yang ingin meraih mimpiku hingga menjadi seorang sarjana. “Amaaad… Amaaad… Kita pasti bisa meraih mimpi itu…“ Bisikku dalam hati, tersenyum. 53 54
Kamu melanjutkan sekolah dimana setelah lulus ini? Terserah sama bapakku saja, Cai
64
***
65
Chapter 8 Surat Nasib Hari ini hatiku terasa berdebar. Tanganku serasa lunglai untuk digerakkan. Saat aku mengangkat tas bututku yang seleweran dengan bekas-bekas jahitannya yang kini sudah mulai hancur berhamburan, rasanya tanganku bergetar. Kakiku kesemutan. Jantungku berdegup kencang. Entah mengapa hari ini aku merasa tak yakin dengan diriku sendiri. Meski begitu, aku harus menghadapinya. Menghadapi kenyataan bahwa hari ini adalah pengumuman UAN yang diadakan serentak di seluruh Indonesia. Serentak katanya, tapi tetap saja waktunya berbeda antar sekolah, pikirku mengkritisi dan menganggap pendapatku itu yang paling benar. Jam dinding itu seolah memandangi aku yang tengah terpaku menatapnya sejak satu jam yang lalu. Aku kaku. Ummaku berteriak dari batang sambil mengebaskan pakaian basah yang tengah ia cuci. “Kanapa nyawa baungutan di situ haja?. Lajui tulak. Hari ini pangumuman lulus kalu? 55” Suaranya cukup jelas ku dengar karena jarak antara batang dan rumah ku yang sangat kecil ini cukup dekat.
Kenapa kamu berdiam diri saja di sana? Cepat berangkat. Bukannya hari ini pengumuman kelulusan? 55
66
Aku masih diam tanpa menoleh dan tanpa menyahut pertanyaannya. Bagiku, ini adalah pembuktian. Jika aku lulus, maka aku punya alasan untuk melanjutkan pendidikanku ke sekolah impianku, MTsN Banjarmasin. Jika tidak, maka Abah pasti semakin membenarkan alasannya untuk tidak menyekolahkan aku ke jenjang yang lebih tinggi. Dan jerih payahku selama ini akan sia-sia. Yang paling parah aku tak punya masa depan. Aku akan selamanya menjadi pedagang buah di pasar terapung. Selamanya menjadi kuli. Dan selamanya takkan pernah meraih cita-citaku yang terlanjur ku tuliskan tinggi-tinggi di ujung langit Borneo56 ini. Dan,,,, pintu rumahku terbuka. Aku yang masih memandangi jam dinding dan membelakangi pintu rumah segera menoleh. Amad. Sahabatku itu dengan polah polosnya mencokolkan kepalanya, menengak-nengok dari balik pintu rumahku sambil bingung memandangi aku yang terpaku. Tatapannya konyol. Ia seolah orang yang tak punya beban hidup sebesar biji zarahpun. Dengan lugunya dia berucap kepadaku “Lajui tulakan, Cai. Hari ini kita balulusan kalu di sakulahan… Jadi sungsung bulikan. Aku handak balumba di parak jukung ganal, parak rumah Anur”57.
Borneo=Kalimantan Cepat berangkat, Cai. Hari ini kita bakal ada acara kelulusan di sekolah… Jadi pasti cepat pulangnya. Aku mau berenang di dekat Jukung besar, di dekat rumah Anur. 56 57
67
Tanpa sadar, dari baris bibirku terumbar senyum. Entahlah, aku jua tak tau kenapa. Yang pasti, aku merasa selalu ikut bersemangat acap kali memandangi wajah sahabatku yang penuh semangat itu. Dengan isyarat tangannya, Amad mengajakku segera berangkat. Aku ke dapur. Setelah berpamitan sama umma, aku dan Amad berlalri menyisiri jalanan aspal desa untuk berangkat ke sekolah. Aku masih gugup. Jantungku belum stabil berdetak. Dari tadi ku pandangi wajah Amad yang nampak masih dengan riang candanya. “ Nyawa lulus ni kamana?58” Tanya Amad sambil menghentikan langkah kakinya. Tanganya seolah mencari sesuatu dari balik sepatu bututnya. Ia mengeluarkan beberapa kerikil kecil yang sejak tadi berada di dalam sepatu, mengganggu jalannya. “Kada tahu..59” balasku pesimis. Aku menunduk sambil mensejajarkan langkahku dengannya. Tak sengaja kulihat sepatu bututku yang sudah dijahit itu kembali menganga lebar. Benakku merasa heran. Aku tak tahu entah karena habis makan apa sehingga Amad bertanya hal demikian. Tidak biasanya ia membicarakan tentang masa depan. Yang ku kenal, Amad adalah bocah yang menjalani hidup apa adanya. Tak neko-neko. Cukup menjalani hidup seadanya, itu prinsip hidupnya yang ku tahu untuk Amad yang ku kenal. 58 59
Kamu sehabis lulus ini melanjutkan sekolah kemana? Tidak tahu
68
“Ay?. Nyawa kada disuruhakan abah nyawa kah handak sakulah kamana?60” balasnya. Amad melanjutkan langkah kakinya. Aku mengiringi dengan kembali heran akan pertanyaan keduanya. Sekali lagi ia membuatku bertanya-tanya. “Amad tadi pagi makan apa? Kok hal yang ia bicarakan tidak seperti biasanya.” Pikirku sambil menatapnya heran dan menggaruk-garuk kepalaku yang sebenarnya tak gatal. “Jadi sakulah kamana?61” Ucap Amad kedua kalinya sambil menyenggolkan tangannya kepadaku yang sejenak terdiam. “Eh…” Aku tersentak seperti orang bodoh. “Aku handak sakulah ka Tsanawiyah Banjarmasin, Mad ay. Tapi kada tahu lagi. Mun dibulihakan jadi. Mun kada dibulihakan ya kada kawa ay. Lawan jua mun ada duitnya. Mun kadada ya kada kawa ay…”62 balasku sambil terus melangkahkan kaki dan menendang botol aqua kosong yang bergeletak sembarangan di jalanan. Ku toleh, Amad terdiam. Ia hanya mengangguk sambil tetap menfokuskan pandangannya ke depan.
Lho? Apa kamu tidak disuruh oleh abahmu untuk melanjutkan sekolah kemana? 61 Jadi, mau sekolah kemana? 62 Aku ingin sekolah ke MTs Banjarmasin, Mad. Itupun kalau diizinkan. Kalau diizinkan ya aku lanjut, kalau tidak ya mau bagaimana lagi. Tapi itupun kalau ada uang. Kalau tidak ada, ya tidak jadi. 6060
69
Wajahnya seolah memikirkan sesuatu untuk membantu keinginanku. “Nyawa pang, Mad? Manyambung kamana Nyawa nih pinanya?63” ucapku balik bertanya. Aku ingin tahu apakah Amad yang selama ini ku kenal easy going64 itu memiliki visi dan misi masa depan. Apalagi hari ini tak biasanya ia bicara tentang sebuah rencana masa depan. “Unda kah, Cai..?” Ia malah balik bertanya. “I ih… Mbah pang siapa lagi?65.” Balasku setengah jengkel karena pertanyaanku dibalasnya dengan pertanyaan pula. “Unda handak ka Tsanawiyah Banjarmasin Hahahahaha…” balasnya tertawa terbahak tanpa memedulikan orang yang tengah lalu lalang bersepeda memandang ke arahnya. jua66.
“??????” benakku dipenuhi tanda Tanya. Apa yang ia tertawakan? Bukankah tidak ada yang lucu dari pembicaraan ini?” Pikirku bertanyatanya. Aku mencoba mengingat-ingat dari awal semua yang kami bicarakan. Dan bagiku, tak ada yang lucu. Lantas kenapa dia tertawa begitu kerasnya?” benakku kembali bertanya kepada batinku sendiri. Kalau kamu? Akan melanjutkan kemana rencananya? santai 65 Iya. Memangnya siapa lagi? 66 Aku ingin ke MTs Banjarmasin juga. 63 64
70
“Mad.. kanapa nyawa tatawa-tawa kaitu?67” ucapku penasaran sambil menyenggolnya dengan siku sebelah kiriku. Amad menoleh. Ia berusaha menghentikan tawanya, namun masih cekikikan. Aku menggeleng heran. “Amad sudah GILA” Pikirku. “Kada ay…68 “ Balasnya yang mempercepat langkah kakinya dengan tergesak-gesak. Aku mengikuti langkahnya yang mulai melaju. Amad berlari, aku ikut berlari. Aku masih penasaran kenapa ia tertawa terbahak-bahak seperti itu. Apa ia menertawakanku? Apa ia menertawakan ketidak yakinanku? Apa ia menertawakan dirinya yang penuh keyakinan bakal bisa melanjutkan sekolahnya ke MTs yang selama ini kami inginkan?... *** TENNNGGG….TEENNGG..TEEENNGG..!! Lonceng sekolah meneriaki Aku dan Amad yang hampir saja terlambat masuk ke sekolah. Ku lihat semua siswa dan siswi MI Kuin mulai masuk ke dalam kelas berdesakan, terburu-buru. Tidak seperti biasanya, kawan-kawan seperjuanganku itu hanya akan masuk bila ada guru yang mau masuk ke kelas untuk mengajar. Mereka masuk dengan malas meski lonceng telah berbunyi. Tapi tidak hari ini. Maklum saja, itu karena hari ini adalah hari yang menentukan. Hari yang menjelaskan apakah kami akan tetap
67 68
Kenapa kamu tertawa seperti itu? Tidak ada apa-apa
71
tinggal di sekolah ini untuk satu tahun ke depan, ataukah kami boleh melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Perasaan gugupku entah mengapa kembali muncul. Aku tak yakin dengan diriku sendiri. selama ini aku tidak belajar dengan sungguh-sungguh. Aku sibuk mengurus jualanku dan membantu umma di pasar. Jua merawat Abah yang sebulan lalu sempat jatuh sakit. Apa mungkin aku lulus?Apa mungkin aku bisa melanjutkan sekolahku ke Tsanawiyah Banjarmasin, sekolah yang aku cita-citakan?, padahal aku tak melalui ujian negara ini dengan baik. Ditengah aku yang tertegun sesaat, seseorang menepuk bahuku. Lagi-lagi Amad. Ia duduk di sampingku dengan senyumnya yang ringan tanpa beban itu. Senyum yang bagiku semakin menambah rasa gugup. “Amaaad.. Amaaad… Dasar manusia kada ba beban lalu nyawa nih Mad, ay..69” ucapku dalam hati. *** Ibu Rahmah berjalan pelan ke tengah kelas. Ia berdiri tegap di depan papan tulis sambil membenarkan kaca mata bahari kala70 dengan frame71 yang sudah bengkok, miliknya. Matanya melotot tajam mengawasi ke penjuru kelas. Semua siswa terdiam hening. Bukan hanya karena mereka gugup dengan hasil UAN yang sebentar lagi akan Amaaad..Amaaad, kamu memang orang tanpa beban. Tua 71 bingkai 69 70
72
diumumkan. Melainkan mereka terdiam karena orang yang saat ini tengah berdiri de hadapan kami semua adalah, Ibu Rahmah. Guru Bahasa Indonesia berbadan gemuk itu memang guru yang paling kami takuti di sekolah. Bicaranya tajam, pedas. Omelannya tak satupun dari kami yang betah mendengarkannya. Kabur atau mengiyakan saja ucapan beliau adalah jalan terbaik. Itu prinsip semua siswa yang ada di sini bila sudah berhadapan dengan kemarahan beliau. Paradoks72 memang, seorang bernama Rahmah yang artinya kasih sayang, tapi memiliki sifat sangat pemarah. Ini memang hal lucu yang kerap terjadi. Di Banjarmasin, rasanya aku sering sekali menemui fenomena paradoks sebuah nama dengan sifat si pemilik nama. Ibu Rahmah hanya salah satunya. Di kampung kami ada seorang pemuda bernama Saleh. Tapi bulan lalu ia harus masuk penjara karena kasus pencurian sepeda motor. Ada juga Ramadhan, tapi setiap bulan puasa tiba, tak pernah barang sekali orang itu puasa. Yang terakhir si Sabar. Tapi kalau bermasalah sedikit saja dengan orang itu, urusannya bakal panjang karena saking pendendamnya dia. Kadang aku heran sendiri dan tak jarang cekikikan kalau ingat fenomena itu. bagi orang di Banjarmasin, itu terjadi karena ‘katinggian harakat’ atau si pemilik nama terlalu berat menyandang nama itu sehingga apa yang diharapkan dari sebuah nama jadi tak terkabul dan malah sebaliknya. Hampir mirip memang dengan fenomena di jawa, dimana jika ada anak kecil yang sering sakit maka biasanya orang tua sang anak 72
Berkebalikan dengan kenyataan
73
akan mengganti nama anaknya, karena nama sebelumnya di anggap tidak bagus dan membawa keburukan. Dengan digantinya nama diharapkan sang anak tidak lagi sakit-sakitan dan akan bernasib lebih baik. Ibu Rahmah masih bercokol di depan papan tulis. Matanya mengitari setiap wajah gugup dari kami satu persatu. Dan kini, matanya tepat mengarah kepadaku. Dengan dipenuhi kegugupan ditambah lagi dengan tatapan beliau yang super tak mengenakkan itu, benar-benar membuat diriku terpojokkan oleh keadaan. Aku semakin menenggelamkan badanku di baju seragam sekolahku yang memang kebesaran. Baju sekolah pemberian julak Sulai yang dulunya milik putranya, Ramlan yang sudah lulus SMA. Kurasakan siku kanan Amad yang duduk di sebelahku menyenggol-nyenggol siku kiriku beberapa kali, pelan, sambil berusaha agar yang ia lakukan tak ketahuan oleh Bu Rahmah. Aku menoleh ke arahnya diam-diam. Wajahnya memberikan sebuah isyarat yang aku tak fahami. Aku menggeleng, lalu membuang pandanganku ke balik pintu kelas yang terbuka, memantau suasana halaman sekolah yang tengah sepi. Hari ini hanya anak kelas enam yang masuk ke sekolah. “Hari ini…” Ucap Bu Rahmah dramatis dengan suaranya yang besar membahana di kelas yang sangat sempit untuk siswa sejumlah dua puluhan orang ini. Aku mendengarkan dengan seksama. Aku tak ingin setiap ucapannya terlewatkan barang satu 74
perkataanpun. Ku rasakan semua teman-temanku yang ada di ruang kelas juga mngkiaskan sikap yang sama. Semuanya antusias menunggu ucapan selanjutnya yang akan keluar dari bibir ibu Rahmah. “Kalian akan mengetahui hasil UAN yang kita selenggerakan beberapa minggu yang lalu. Kalian akan mengetahui apakah kalian LULUS atau TIDAK.” Suaranya kembali terhenti. Ia menatap ke semua mata yang ada di dalam ruangan itu dengan dingin. Dan tak terkecuali aku. Entah mengapa, ketika matanya menatap ke arahku, tulang kakiku terasa kaku, mati rasa. Aku menunduk. Perasaanku semakin kacau. Aku menelan air liurku sendiri yang terasa kering. Ku rasakan kaki Amad menginjak kakiku. Rupanya ia sadar, perasaanku tengah terkalahkan oleh tatapan Bu Rahmah. “Dan di sekolah kita, ada lima orang yang tidak LULUS UAN dan harus mengulang sampai ikut kembali di UAN tahun depan.” Semua mata tertunduk. Suasana hening. Suara teriakan mesin motor yang lewat di jalan samping sekolah kami terasa meneriaki kami dengan makian dan ancaman akan masa depan yang kelam. Mata ibu Rahmah kembali mengitari semua mata murid di dalam ruang kelas enam yang tengah galau itu. Dan tek, tatapan beliau berhenti tepat di wajahku. Firasatku, jangan-jangan aku yang tak lulus. Apakah aku TIDAK LULUS? Apakah aku harus 75
mengulang UAN tahun depan? Itu artinya aku akan belajar bersama anak kelas lima yang tahun depan naik kelas enam. Atau opsi lain, abah pasti akan semakin beranggapan bahwa sekolahku gagal dan aku akan disuruh berhenti sekolah untuk membantunya bekerja di pabrik kayu H. Undas, SELAMANYA… ya selamanya mungkin. Setidaknya selama pabrik itu masih berdiri. Ibu Rahmah berjalan ke meja guru yang berada di sudut kiri ruang kelas. Suara “Ngeeek” dari kursi tua yang mencoba menahan berat badan dari guru berbadan tidak langsing itu terasa seakan mencemooh kehadirian kami semua, di sini, saat ini. Ibu Rahmah membagikan sebuah amplop yang ia bilang berisi surat kelulusan-bagi mereka yang lulus tentunya- dan daftar siswa yang lulus, secara satu persatu. Murid yang menerimanya ia minta langsung keluar dari ruang kelas dan pulang. Satu persatu nama dipanggil. Satu persatu semuanya meninggalkan ruang kelas yang terasa semakin sepi. Beberapa nama sudah di panggil, tapi bukan aku. Hatiku berdegup penuh penasaran. Dari bangku tua yang aku duduki saat ini, ku lihat wajahwajah ceria dari kawan-kawanku menyeruai usai membuka amplop. “Mereka pasti lulus” Pikirku yang masih dilanda penasaran. “Ahmad Rijali”nama Amadpun sudah dipanggil ibu Rahmah. Amad menoleh ke arahku dengan senyum yang tanpa beban itu. Ia melangkah pelan, 76
pergi meninggalkan aku bersama tiga orang anak yang lain, yang sama-sama tengah gundah dengan nasibnya masing-masing. “Ahmad Husairi” Ibu Rahmah memanggil namaku sambil membetulkan letak kaca mata tua yang framenya sudah bengkok itu. Sontak perasaanku semakin campur aduk. Penasaranku semakin naik, memuncak berada di ujung perasaanku. Dengan tanganku yang kelu aku menerima amplop berisi vonis nasibku di masa depan itu dari tangan ibu Rahmah, dan lalu berlari kabur dari ruang pengadilan itu tanpa sopan santun dimatanya. Aku bahkan tak mengucap salam dan mencium tangan beliau terlebih dahulu sebelum meninggalkannya, di atas singgasana tua tempatnya berduduk. Cepat-cepat aku berlari tanpa memedulikan teman-temanku yang mengekspresikan kebahagian mereka karena telah berhasil lulus. Sekilas aku lihat Amad. Wajahnya polos tanpa ada indikasi di lulus atau tidak. Ia menatap ke arahku sambil tersenyum mengibas-ngibaskan surat kelulusan di tangannya. “Amad, ia pasti lulus” Pikirku. Sesampai di depan rumah, aku membuka pintu dengan tergesak-gesak dan lalu masuk tanpa salam. Nafasku terengah-engah. Sepi. Tak ada siapapun di rumah. Abah pasti sedang di pabrik kayu H. Undas, umma pasti di pasar, dan Ijah, adikku pasti di titipkan di rumah nenek di Kuin Hulu. Aku membuka tas 77
tuaku dan mengambil surat nasibku yang tadi sempat ku selipkan di dalam lembaran buku, di dalam tas. Setelah ku keluarkan dari selipan buku, surat itu ku letakkan di atas lantai kayu rumah begitu saja. Aku terduduk sambil memandangi surat nasib yang masih belum ku buka itu. Aku sendiri masih belum tahu nasib kelulusanku. Penentu masa depan sekolahku. Aku memandangi surat itu beberapa saat lamanya sebelum akhirnya terpaksa aku harus membukanya. Dengan pelan aku membuka amplop surat takdir itu. Tanganku sedikit bergetar. Aku gugup disertai deru jantung yang terus mendegup. Dan sreeet… aku baca dengan jelas dua kata bercetak tebal, dua kata yang tak pernah aku inginkan. “TIDAK LULUS”….!!!. Tanganku sekita lunglai. Kakiku terasa ngilu. Badanku lesu tanpa tenaga. Aku yang tadinya tengah duduk seketika terkulai jatuh, terbaring di atas lantai begitu saja. Bulir hangat air mataku terasa berjalan pelan hingga ke pipi. Pikiranku kosong seketika. Aku tak kuasa untuk tak mengisakkan tangis. Aku adalah bocah kecil yang tak cukup tegar untuk menghadapi kenyataan ini. Akupun terdiam beberapa saat lamanya. Dan setelah waktu terasa berjalan kembali, tiba-tiba dilangit-langit benakku tergambar saat tadi pagi aku berjalan bersama Amad menuju sekolah, suasana tegangnya kelas, dan saat aku melihat wajah 78
Amad yang tersenyum dan aku yakin ia lulus. Aku teringat Amad yang tadi pagi terbahak-bahak tanpa alasan. “Apa ini yang Amad tertawakan?” Pikirku mengira-ngira. “Apa Amad sudah tahu bahwa ini yang akan terjadi? Ia tahu kalau aku bakal tidak lulus? Apakah Amad menertawakan kebodohanku?” Pikiranku mengawang-ngawang ditemani air mata yang terus mengucur. Ditengah kesedihan itu, pintu rumahku terbuka. Aku yang terkapar dengan wajah menghadap pintu seketika berusaha bangkit dari posisi semula. Aku mengusap air mataku. Dan rupanya abah sudah datang dari pabrik kayu H. Undas. Ia memang selalu datang jika jam sudah menunjukkan angka 12.00. Kesedihanku seketika semakin bertambah. Alasan abah untuk tidak melanjutkan sekolahku ke Tsnawiyah bertambah yakin sudah. Abah berjalan masuk dan berdiri tepat di hadapanku. Badannya yang dipenuhi keringat dan bau menyengat karena beberapa jam disengat oleh panasnya matahari menambah kesan seramnya. Ia diam. Matanya menatap ke arahku dengan heran. Ia melepas topi purun73nya sambil mengambil secarik kertas yang sempat basah karena terkena air mata dari tanganku.
Jenis jerami yang bisa diolah menjadi kerahinan tangan seperti abkul, topi, tas, dll 73
79
Sejurus ia melihat dan membaca surat itu. Meski abah tak begitu pandai hitung-menghitung, tapi abah cukup lancar membaca tulisan yang ada di surat itu. Aku terdiam menunggu makian dari kemarahan abah. Ia masih diam. Aku juga ikut terdiam. Kami sesaat lamanya terdiam. Abah menoleh, menatap tajam ke arahku. Aku hanya bisa melihatnya sekilas. Aku tak cukup berani untuk menatap matanya yang pasti marah mendapati anak laki-lakinya yang tidak lulus UAN. Aku mengumpulkan seluruh kekuatanku untuk menahan jikalau abah akan memukulku dengan kepalan tangannya yang keras. Dan lama aku menunggu pukulan itu, abah malah berlalu dan berjalan ke dapur mengambil air minum sambil meletakkan surat itu di atas lemari tua yang ada di ruang tamu begitu saja. Aku memberanikan diri untuk menengadah dan menoleh ke arahnya. Aku lihat dari pintu dapur rumahku yang tengah terbuka, sosok abah tengah memegang segelas air putih tanpa memedulikan aku yang tengah sedih dengan nasibku ini. Aku mencoba memberanikan diri untuk mengucapkan sesuatu kepadanya, tapi aku ragu. Aku sudah untung ia tak marah. Aku takut jika aku berkata sesuatu malah akan menjadikan ia marah kepadaku.
80
“Kada tapahurup lah surat nyawa tuh lawan kawan nyawa?74” tanya abah usai menghabiskan segelas air dengan satu tegukan. “Pun Bah?75” balasku yang tak begitu mendengar apa yang ia katakan. “Surat nyawa tu kada tapahuruplah lawan kawan nyawa?. Coba ja itihi, tulisannya tu napa jadi Ahmad Husaini, maka ngaran nyawa Ahmad Husairi?76” balasnya sambil berjalan ke arahku dan lalu menyerahkan surat nasib itu kembali ke tanganku. “Hah…?” Aku tertegun kaget. Benakku langsung bermanuver dengan pertanyaan baru akibat ucapan abah barusan. “Apa aku salah baca barusan?”. Cepat-cepat kubuka kembali surat itu dan kubaca langsung ke bagian nama siswa. Ya, benar kata Abah. Seharusnya ini surat untuk temanku yang namanya hampir sama denganku, Ahmad Husaini. Cepat-cepat aku berlari ke luar rumah sambil membawa surat nasib itu di tangan kananku tanpa memedulikan abah yang kali ini sudah tengah duduk di atas kursi kayu teras depan rumah sambil mengipas-kipaskan topi purunnya ke badan. Aku berlari secepat tenaga. Kudapati Amad yang tengah berjalan berlawanan arah denganku Apa suratmu itu tidak tertukar dengan punya temanmu? Iya bah? 76 Apa suratmu itu tidak tertukar dengan punya temanmu? Coba kamu lihat, tulisannya itu kenapa Ahmad Husaini, bukankah namamu Ahmad Husairi? 7474 75
81
masih dengan seragam sekolahnya. Wajahnya nampak heran melihat aku yang terlihat begitu terburu-buru. “Kanapa, Cai? Handak kamana?77” ucapnya berteriak sambil membiarkan aku berlalu dari hadapannya. “Ka Sakulahan78..” balasku sambil terus lari tak peduli dengan semua mata yang menatap ke arahku. Sesampai di sekolah, cepat-cepat aku menemui ibu Rahmah. Wajahnya setengah kaget kepadaku yang datang kehadapannya dengan terengah-engah dan peluh yang bercucuran. Ibu Rahmah mengambil kacamatanya dari meja dan mengenakannya. Wajahnya bingung. Aku meraih tangan beliau dan lalu menciumnya. Mudah-mudahan beliau tidak marah dan akan bersikap baik karena tangannya ku cium sebagai tanda penghormatan seorang murid kepada guru, pikirku. “kanapa nyawa, Cai?” ucapnya masih dengan penasaran melihatku yang terengah-engah. Aku mencoba menenangkan detak jantungku. Aku berusaha mengatur nafasku dan menyapu peluhku yang terus bercucuran. “Ulun…79” nafasku masih tak stabil. ”Ulun handak bapadah, surat nih..80” aku kembali menarik Ada apa,Cai? Mau kemana? Ke sekolah 79 Saya (bahasa halus Banjar) 80 Saya mau bilang, tentang surat ini… 77 78
82
nafas sambil berusaha bicara “Su.. Surat nih kada tahurup lah lawan surat Husaini, Bu?81” tanyaku yang masih mencoba mengendalikan diri. Ibu Rahmah mengernyitkan dahinya. “Surat nang wadah ulun nih kada tahurup lah wan Husaini Bu?. Nih, tulisan ngarannya Husaini, ngaran ulun Husairi Kalo, Bu?82” Ucapku menjelaskan dengan nafasku yang sudah mulai teratur sambil menyerahkan surat itu kepada ibu Rahmah. Ia diam sambil membaca isi surat itu. “Ooo… Ibu salah. Iih bujur ini gasa Husaini. Tahurup kah sakalinya? Ibu kada maitihi.83” Ucapnya sambil membolak balik surat itu. Aku menghela nafas panjang. Ucapan ibu Rahmah barusan benar-benar membuat perasaanku lebih tenang. Dan tak lama dari pembicaraan itu, seseorang yang aku tunggu-tunggu itupun datang dari balik pintu kantor sekolah. Rupanya ia juga menyadari kejanggalan ini. Sosok itu adalah Husaini. Ia datang dengan dihantui rasa gugup. Aku bisa merasakannya dari langkah kakinya yang bergetar. Hatiku langsung mengekspresikan rasa kasihanku kepada teman sejawatku itu. Aku sudah tahu tentang kelulusan Husaini. Dan pikirku berbalik, Husaini juga sudah tahu hasil kelulusan tentang
Apa surat ini tidak tertukar dengan surat Husaini, Bu? Surat yang ada pada saya ini apa tidak tertukar dengan surat yang ada di Husaini. Ini, tulisan namanya Husaini, sedangkan nama saya Husairi. 83 Ooo.. Ibu salah. iya benar ini untuk Husaini. Rupanya tertukar ya, Ibu tidak tahu.. 81 82
83
diriku. Aku kembali gugup. “Jangan-jangan aku memang tidak lulus” bisik firasatku berprasangka. “Jangan-jangan Husai datang ke sini bukan karena ia sadar surat kami tertukar, tapi karena surat itu berisi perkataan TIDAK LULUS, sehingga ia datang kesini untuk menuangkan kekecewaannya”. Negative tinking84-ku kembali muncul. Husai berjalan bisu. Mulutnya diam. Tangannya menyerahkan sebuah surat kepadaku. Hatiku sedikit lega kembali. Berarti ia memang menyadari bahwa surat kami tertukar. Cepat-cepat aku membuka surat itu dan,….. Air mataku menetes. Degupan jantungku merendah. Aku menarik nafas panjang untuk meluapkan keredaan perasaanku yang beberapa jam lalu rasanya mendidih hingga ke otak. “LULUS…” aku menunduk, menenangkan perasaanku. “Alhamdulillah….” Bisikku pelan. Sesaat, ku pandangi leka-lekat wajah Husaini yang pucat pasi. Ibu Rahmah yang ku kenal galak berdiri memegangi pundaknya. Beliau mencoba membesarkan bocah bermata indah itu. Aku tak tahu lagi apa yang ada di hatiku. Aku menunduk. Aku bisa merasakan apa yang ada di hati Husaini saat ini, SEDIH. Mataku mulai berat dengan bening-bening hangat yang berpaksaan keluar daritempatnya. Aku dan Husaini terdiam. Ku tatap ia yang kini nampak 84
Berpikiran buruk
84
tertunduk sambil sesekali menyapu air mata dengan lengannya yang gelap itu. Dengan kesedihannya, bocah yang selalu tersenyum itu meninggalkan aku dan ibu Rahmah dari ruang kantor guru tanpa sedikitpun tersenyum. Ia pasti sangat sedih. Aku bisa merasakan perasaannya. Aku berjalan lesu mengikuti langkah Husaini keluar dari ruang pengadilan itu. Aku menatap langit yang begitu cerah hari itu. “Adakah masa depan Husaini akan secerah hari ini?”Pikirku iba dengan nasib kawan seperjuanganku yang tengah terkalahkan oleh sebuah keputusan negeri ini. Keputusan yang menurutku tak cukup adil. Keputusan yang mengabaikan jerih payahnya selama enam tahun mengenyam pendidikan di sekolah ini. Jerih payah yang begitu berat ia jalani. Aku teringat ketika ia menjadi tenaga buruh demi menghidupi adik-adiknya, karena bapaknya telah meninggal dua tahun yang lalu. Sedang pada kondisi itu, ia juga harus menjalani kewajibannya sebagai seorang siswa, penerus bangsa, generasi muda negeri ini. Meski ketidak lulusan ini tak menimpaku, aku kecewa dengan keadaan ini. Semua pengorbanan bocah pinggiran seperti kami rupanya tak ada nilai dimata negeri ini. Adilkah kelulusan sekolah yang hanya ditentukan oleh nilai diatas kertas dari ujian yang hanya kami tempuh selama kurang lebih seminggu itu?. Adilkah jika negara yang menentukan siapa yang layak lulus dan tidak?, padahal aku yakin orang yang menentukan kelulusan itu tak pernah bertemu dengan kami. Tak pernah tahu seperti apa kami. Lalu 85
dari mana ia tahu kami pantas lulus atau tidak?. Lalu adilkah jika standar kelulusan itu disama-ratakan di sepenjuru negeri ini?. Mana mungkin kami bisa bersaing dengan target yang sama dengan mereka yang sekolah di sekolah yang memiliki fasilitas lebih, sedang sekolah kami tidak memiliki banyak fasilitas untuk menunjang belajar. Meskipun aku tidak memahami ini sepenuhnya, tapi aku benar-benar merasa semua ini tidak adil. Aku menganggap kelulusan yang diputuskan dengan nilai di atas kertas itu adalah sebuah kezaliman. Pencapaian keberhasilan belajar harusnya tidak dilihat dari situ. Mereka yang menjadi guru-guru kamilah yang menurutku pantas menentukan si A lulus dan si B tidak lulus, Batinku memprotes. Aku berjalan dengan luapan emosi atas ibaku kepada sahabatku, Husaini. Hari yang begitu terik itu tak aku hiraukan. Tatapan batinku tentang sebuah masa depan itu rasanya tak lagi terpikirkan. Aku hanya membayangkan satu hal, “Bagaimana nasih Husaini kemudian?”. Bagiku, bocah malang itu adalah satu dari banyak siswa yang menjadi korban dari sebuah ketidak adilan. ***
86
Chapter 9 Ujian Masuk MTsN Banjarmasin Ujian Masuk MTsN Banjarmasin tinggal sehari besok. Aku sudah mengerahkan seluruh tenagaku dan semangatku untuk menyiapkan hari yang sangat penting bagi hidupku itu. aku sudah pinjam bukubuku latihan soal dari Uji, kawanku yang saat ini duduk di bangku kelas satu MTsN Banjarmasin. Uji juga tak lupa senantiasa memberikan semangat kepadaku untuk terus maju. Namun, masalahnya sekarang adalah, aku tidak punya alat transportasi untuk menuju MTsN Banjarmasin yang notabene jaraknya cukup jauh dari tempat tinggalku, kurang lebih lima kilometer. Apalagi ujian masuk itu dimulai jam setengah delapan pagi. Aku jadi bingung harus berangkat ke sana naik apa, sebab sepeda yang ada di rumahku di pakai umma dan abah untuk pergi bekerja. Abah besok harus pergi lebih awal ke pabrik kayu Haji Undas karena besok ada angkutan kayu yang cukup banyak di pabrik itu. Aku tak mungkin minta antar beliau. Pasalnya aku mendaftar sekolah di MTsN Banjarmasin tanpa sepengetahuan umma dan abah. Untuk membayar uang pendaftaran aku menggunakan tabunganku sendiri. aku takut kalau abah tahu ia akan marah. Sebab, setelah aku lulus MI Kuin, abah tak pernah membicarakan septah katapun tentang yang namanya melanjutkan sekolah. Itu semakin meyakinkanku kalau beliau memang tak memiliki keinginan aku melanjutkan pendidikan ke 87
jenjang yang lebih mapan. Sedang umma, ia bilang hari ini ia sibuk dengan warungnya di pasar Alalak. Jadi ia pasti perlu sepeda itu untuk ke sana kemari membeli bahan-bahan tertentu untuk warung. Tak mungkin aku meminjam sepedanya. Tapi aku tak kehabisan akal. Sebuah ide baik hinggap di kepalaku. Aku pinjam sepeda Amad saja. Tak ada cara lain. Meski jaraknya cukup jauh, tapi ini demi masa depanku. Aku tak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Urusan nanti aku diterima di sekolah, itu urusan belakagan. Yang penting aku ikut ujian masuk dulu. Siapa tahu abah berubah pikiran dan mau membiayai sekolahku nanti, pikirku mencoba berbaik sangka. Sejurus aku pergi ke rumah Amad. Sayang, ibunya bilang kalau Amad lagi di pasar Kuin untuk membeli kebutuhan dapur. Aku putuskan untuk menunggunya. Sudah satu jam berlalu, akhirnya sosok yang aku tunggu-tunggu itu muncul juga. Alhamdulillah ia mau meminjamkan aku sepedanya dengan senang hati.
*** Tepat keesokan harinya. Ayam belum berkokok dan burung Tatapaian-pun belum bangkit dari peraduan mereka. Hari ini aku bangun lebih awal dari hari biasanya. Aku sudah bangun sebelum adzan shubuh berkumandang. Aku pergi ke batang, mengambil wudhu dan mendirikan tahajjud. Aku 88
bermunajad mudahan hari ini mendapat pertolongan dari Allah SWT. setelah yakin dengan peralatan tulis dan nomor peserta ujian yang sudah aku peroleh dari panitia penyelenggara tiga hari yang lalu, aku segera mengenakan baju agak baru yang dibelikan umma setahun yang lalu, saat hari raya Iedul Fitri. Aku berdandan dengan rapi di depan cermin yang nampak sudah sangat kabur di kamarku. Tak lama, akupun sudah siap. Setelah makan pagi dengan nasi putih, ikan asin dan sedikit campuran teh hangat yang menjadi kuah makan, aku langsung ke rumah Amad untuk meminjam sepedanya. Umma dan abah nampak kaget melihat aku yang sudah rapi di saat mereka baru bangun. Setelah mencium kedua tangan mereka tanpa berucap mauk kemana, aku langsung meluncur menuju MTsN Banjarmasin. Aku mengayuh cepat-cepat sepeda phoenix yang besarnya lebih besar dari badanku itu. Aku tak punya jam tangan. Tapi aku yakin ini sudah jam tujuh pagi. Aku terus mengayuh sepeda sekuat tenaga. Peluh keringat berkucuran dari wajahku. Aku baru tahu rupanya jarak dari rumahku menuju MTsN Banjarmasin cukup jauh dan menguras tenaga jika dilalui dengan menaiki sepeda seperti ini. Jalanan kota Banjarmasin mulai ramai. Satu dua polisi lantas mulai bersiap di setiap simpang jalan yang biasanya sering macet. Aku terus dengan sepedaku tanpa memedulikan kawanan polisi itu.
89
Dan, tuuussss… sepeda bocor. Perasaanku langsung tak karuan. Aku gugup jika harus terlambat datang ke tempat ujian. Aku yakin akan kehilangan kesempatanku. Tanpa pikir panjang, aku langsung menuntun sepeda Amad dengan berlari. Di pagi seperti ini tak satupun tukang tambal ban yang sudah buka. Perjalanan masih satu kilometer. Tak ada cara lain, aku harus membawa sepeda itu dengan berlari. Sepeda itu tak mungkin aku tunggangi, sebab nanti velegnya pasti rusak. Peluhku semakin berkucuran. Aku lebih mirip orang yang baru saja diguyur hujan daripada orang yang mau berangkat ke ujian masuk MTsN Banjarmasin. Bau keringatku yang tak sedap mulai tercium di hidungku sendiri. Aku tak peduli. Mau bagaimana lagi, aku memang tak biasa pakai pewangi badan. Beberapa meter lagi aku sampai. Nafasku sudah sangat terengah. Tenagaku sudah hampir habis. Bunyi bel terdengar sudah berbunyi. Aku cepatcepat memasuki pintu gerbang MTsN Banjarmasin tanpa memedulikan satpam berkumis tebal yang mengamatiku sejak tadi dari kejauhan. “Handak tes ujian masuk kah ikam, Nang? Lajui hudah masukan..85” ucap pak satpam. “Inggih Pak ay..” balasku seadanya. Aku tak begitu mendengar apa yang barusan ia ucapkan.
85
Mau ikut ujian masuk ya kamu, Nak? Ayo segera, kelas sudah masuk.
90
Aku segera menaruh sepeda Amad di parkiran sekolah. Di sampingku nampak seorang bapak dengan seragam khas pegawai negeri yang sepertinya jua baru saja datang dan memarkir motornya di samping aku memarkir sepeda. “Nang, ini parkir guru. Parkir murid di sana..” ucapnya sambil menunjukkan telunjuk kanannya ke parkir yang berada di seberang sana, tanpa sedikitpun ekspresi ramah dan kasihan dengan aku yang telah dipenuhi keringat bau. Akupun langsung memindah parkir sepedaku. “Di saat-saat begini sempat-sempatnya aku harus mengalami hal seperti ini.” BMulutku menggerutu. Setelah menaruh sepeda, aku langsung berlari dengan pasti ke ruangan yang sudah dipenuhi oleh peserta. Ketika aku memasuki ruang dimana ujian dilaksanakan, aku terkejut, ternyata peserta yang ikut ujian cukup banyak. Perasaanku sempat minder. Apalagi dari penampilan mereka, nampak sekali kalau mereka anak-anak dari keluarga berada. Berbaju rapi, siswanya berrambut hitam mengkilau, wangi. Sedang diriku, lusuh, hitam, berkeringat, plus beraroma menyengat seperti ban yang hangus terbakar. Dari meja pengawas ujian, seorang perempuan muda berkerudung rapi menghampiri aku yang masih terengah. Beliau menanyaiku.
91
“Ading umpat ujian masuk, kah?86” ucapnya. Aku tersentak. Seketika aku menganggukkan kepalaku untuk menjawab pertanyaan ibu cantik berkerudung rapi itu. “Sini, mana nomor ujian masuknya?” pintanya ramah disertai sebesit senyum. Aku segera merogoh isi tasku dan menyerahkan nomor ujianku kepada si ibu guru. “Oooo, ini di ruang sebelah.” Ucapnya. Aku langsungpun mohon diri. Aku berlari menuju ruangan sebelah sambil menggelengkan kepalaku. “Caaai Cai…. sempat-sempatnya mengalami peristiwa konyol seperti ini…” gumamku yag sudah menyia-nyiakan sepuluh menit berhargaku. Setelah memeroleh tempat duduk, aku mencoba menenangkan diri. Mengatur nafas dan mengatur posisi duduk yang paling nyaman. Setelah mendapatkan lembar soal dan lembar jawaban, aku langsung mulai menjawab. Beberapa menit berlalu. Aku lupa berdo’a. aku berhenti sejenak untuk berdo’a dan lalu langsung melanjutkan pekerjaanku. Rasanya habis berdo’a barusan hatiku terasa lebih tenang dari sebelumnya. Ujian masuk MTsN Banjarmasin rasanya sedikit lebih ringan dan santai dari UAN. Mungkin 86
Adik ikut ujian masuk, ya?
92
karena aku tidak merasakan tekanan dan ancaman ketidak lulusan. Toh kalau aku tidak lulus aku bisa mendaftar di sekolah lain. Meski tidak di sekolah favorit, aku bisa tetap melanjutkan sekolahku, pikirku. Dua jam sudah berlalu. Alhamdulillah soal-soal ujian bisa aku jawab dengan baik. Setidaknya aku memiliki keyakinan jawabanku benar delapan puluh persen. Selesai ujian mata pelajaran B. Indonesia, ujian dilanjutkan dengan ujian B. Inggris dan selanjutnya matematika yang diadakan setelah ISHOMA87. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Ujian di selang sebentar untuk salat dan makan. Setelah salat dzuhur, aku menyantap Ardat88 yang sudah kusiapkan sebelum shubuh tadi sambil kembali mempelajari soal-soal latihan matematika. Tak lama berselang, peserta ujian disuruh masuk untuk mengikuti ujian terakhir, ujian matematika. Semuanya dilakukan dalam waktu satu hari. Berbeda dengan di sekolah lain, rasanya ujian masuk di MTsN Banjarmasin sedikit berbeda. Barangkali pihak sekolah memang benar-benar menyaring calon siswanya se-selektif mungkin. Setelah semua ujian selesai, aku segera menuju pulang. Aku mengambil sepeda terlebih dahulu di parkiran sekolah. Sesampai di parkiran, aku baru ingat kalau sepeda Amad sedang bocor. Aku harus 87 88
Singkatan dari Istirahat, Sholat, Makan Singkong goreng
93
mencari tukang tambal terlebih dahulu. Aku kembali menuntun sepeda itu sambil berjalan hingga bertemu dengan tukang tambal ban yang rupanya tak jauh dari sekolah MTsN Banjarmasin. Tapi, satu hal yang kini jadi masalah baru adalah, aku tak punya uang barang se-persenpun. Dengan wajah malu, aku bicara sejujurnya dengan tukang tambal itu. Untungnya tukang tambal ban itu sangat baik. Tidak hanya mau menambalkan sepedaku dengan gratis, ia juga memberiku nasi bungkus dan minum. Aku sangat berterima kasih dengan pak tua tukang tambal yang hanya mengenakan baju kaos dalaman itu. Ia menanyaiku “datang darimana?”. Akupun menceritakan bahwa aku sedang ikut ujian masuk di MTsN Banjarmasin. Aku menceritakan semua yang aku alami selama seharian ini kepada pak tua itu. Meski fokus dengan pekerjaannya, ia mendengarkan ceritaku dengan seksama. Selesai menambalkan ban sepedaku, ia berpesan agar aku bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Ia bilang aku tidak boleh hanya mencari nilai bagus di atas kertas semata, lalu bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi di sekolah yang unggulan atau terfavorit. Melainkan, aku harus menuntut ilmu dengan disertai keikhlasan hati dan niat untuk mengamlkan ilmu yang kuperoleh demi untuk kemaslahatan. Entah belajar darimana, tapi apa yang disampaikan pak Tua itu sangat benar. Dengan sistem pendidikan seperti sekarang ini, banyak sekali siswa-siswi sekolah yang memiliki nilai 94
bagus tapi tidak sebanding dengan ilmu yang mereka miliki. Atau banyak yang memiliki pengetahuan, tapi pengetahuan yang mereka miliki hanya sebatas pengetahuan semata, tidak diamalkan dan memberikan kontribusi kepada kemaslahatan bangsa. Lihat saja, orang-orang sekarang lebih mementingkan nilai yang bagus. Karenanya, sekarang banyak berdiri lembaga bimbingan belajar yang tujuannya secara tersirat adalah untuk meningkatkan nilai belajar siswa. Sehingga, dengan nilai bagus itu mereka bisa diterima di sekolah favorit yang diidamidamkan. Peran gurupun tak lagi sebagai pembina, pendidik, dan pembangun karakter murid. Melainkan menjadi tenaga teknikal yang tujuannya secara tidak langsung mengarah kepada bisnis dengan profit atau keuntungan sebagai orientasinya. Aku mendengarkan semua yang disampaikan pak tua si tukang tambal ban itu dengan seksama. Dari wajah dan pakaian yang ia kenakan, rasanya apa yang ia sampaikan itu tergolong dalam tema yang cukup berat bagiku yang baru lulus MI ini. Aku tak mengira kalau orang tua itu memiliki pandangan yang cukup kritis tentang pendidikan. Setelah mengucapkan terima kasih, aku segera menaiki sepeda dan mengayuhnya menuju pulang. “Mudah-mudahan apa yang kulakukan hari ini benarbenar dengan niat keikhlasan” bisikku dalam hati. Hari sudah mulai gelap. Aku bahkan belum sempat salat ashar. Aku harus segera sampai ke 95
rumah sebelum maghrib. Aku mengayuh sepedaku sekuat tenaga untuk mencapai kecepatan maksimal. Aku berpacu dengan waktu dan sepeda motor-sepeda motor yang satu persatu membalapku dari belakang. Bismillah, semoga esok lebih baik, “Amiiiiiiiien…..” teriakku sekeras-kerasnya. ***
96
Chapter 10 Sebuah Berita Tepat sepulu hari setelah aku mengikuti ujian masuk MTsN Banjarmasin. Hari ini adalah pengumuman penentuan dari ikhtiarku untuk bisa melanjutkan sekolah lagi apa tidak. Saking bersemangatnya, hari ini aku bangun lebih awal dari biasanya. Usai salat shubuh, aku membantu umma mengurus Ijah, adikku. Aku memandikannya dan menyuapinya makan. Setelah itu aku membantu umma untuk menyiapkan makan pagi. Kuharap dengan membantu orang tua, aku akan mendapatkan keberuntungan hari ini. Ya, aku meyakini apa yang julak Adus selalu sampaikan, ridho tuhan itu terletak apada ridho kedua orang tua. Hari ini aku tak ada jadwal untuk berdagang ke pasar terapung. Rencananya aku berangkat ke sekolah MTsN banjarmasin Kuin untuk melihat pengumuman pukul 09.00 pagi ini. Kali ini aku tak perlu pinjam sepeda Amad lagi karena hari ini umma tidak berjualan di pasar Kuin. Karenanya aku bisa memakai sepeda Umma untuk pergi ke MTsN Banjarmasin nanti. Kulihat matahari masih belum tinggi. Jam masih menunjukkan pukul 07.00. Aku masih sempat untuk membantu umma manapas89
89
mencuci
97
semua pakaian umma, abah, ading90, dan punyaku sendiri yang sudah batat91. Tak sengaja aku melihat Amad di seberang sana dengan pakaian baru kebanggaannya. Ia tak seperti biasa yang sering kulihat. Ia tak lagi mengenakan seragam putih hijau, seragam sekolah khas MI Ar-Rahman Kuin. Hari ini ia sudah mengenakan kemeja putih polos dengan celana biru panjang. Di lengan kanan kemejanya yang nampak masih cemerlang itu, pasti ia baru beli, meski samar aku sangat mengenali logo itu, logo pondok pesantren Raudatus Shalihin. Pesantren itu memang salah satu yang terkenal di Kalimantan. Memang Amad sempat bilang bahwa orang tuanya ingin sekali ia masuk pesantren seusai lulus dari MI Ar-rahman. Dan rupanya Amad memenuhi kehendak kedua orang tuanya itu. Amad melambaikan tangannya kepadaku sambil tersenyum girang di seberang sana. Hari ini adalah hari pertama ia masuk pesantren yang ada di kota Banjarbaru itu. Dan itu artinya untuk selang waktu yang lama, aku tidak akan bertemu dengan sahabatku itu. Mentari merangkak kian naik. Aku sudah menyelesaikan semua cucianku. Setelah menjemur semuanya, aku segera mandi dan mengganti pakaian. Sejurus aku berangkat menuju kota Banjarmasin. Setelah kurang lebih empat puluh menit mengayuh 90 91
adik Bau dan kotor
98
sepeda, akupun sampai di sekolah favorit warga Banjarmasin yang rupanya kini sudah nampak ramai oleh kedatangan para calon murid. Kulihat beberapa wajah yang lalu lalang, tapi tak satupun ada yang aku kenal. Aku berjalan menuju pos satpam di sekolah, menanyakan apakah hasil tes masuk sudah keluar. Bapak satpam berkumis lebat yang aku temui di pos satpam sekolah itu bilang kalau pengumuman sudah di tempel di Mading sekolah, sebelah timur Perpustakaan. Sejurus aku berjalan cepat menuju lokasi yang dikatakan pak satpam. Hampir semua anak seusiaku, yang aku yakini pasti calon murid di sekolah ini, datang bersama orang tua-orang tua mereka. Hanya aku yang datang ke sini dan berjalan sendiri seperti anak hilang. Raut muka anak-anak yang berjalan dari Mading sekolah menyiratkan hasil dari ujian masuk. Ada yang berwajah riang gembira, ada juga berwajah sedih, murung. Bahkan ada yang mengamuk. Aku berani bertaruh, pasti nama anak itu tidak tercantum di papan pengumuman. Ia pasti tak lulus. Sejurus aku meyatu bersama gerombolan calon murid dan orang tua mereka untuk berlomba menemukan nama masing-masing di papan pengumuman. Dan betapa senangnya aku hari ini mendapati namaku terpampang jelas di papan pengumuman, Ahmad Husairi, aku diterima di sekolah yang sangat aku favoritkan ini.
99
Dengan hati dipenuhi bahagia, aku berjalan menuju pulang. Sepanjang jalan, yang aku lakukan hanya tersenyum sambil bernyanyi kegirangan. Sesekali aku menatap ke langit luas sambil terus mengayuh sepedaku dan lalu tertawa sendiri. Orang lain yang melihat tingkahku kala itu pasti akan memasang wajah heran. Aku seperti orang gila bersepda yang bicara sendiri dan tertawa sendiri. “Adakah ini pertanda sebuah mimpi bisa terwujud?” Pikirku. Perlahan awan mendung mulai berjalan beriring menyelimuti setiap sudut langit Banjarmasin. Aku segera mempercepat laju sepedaku. Rintik air mulai jatuh satu persatu dengan perlahan. Aku mengayuh sekuat tenaga karena rumah sudah tak jauh lagi. Sesampainya di rumah, pikiranku hanya tertuju pada satu hal, jemuranku harus segera aku selamatkan. Dan beberapa saat setelah semua jemuran aku ambil dari tempatnya, hujan seketika menerjang setiap rumah beratap daun rumbia92 yang berjejer di sepanjang sungai Kuin-Alalak. Tak lama dari hujan yang lebat itu berita buruk itupun datang kepada aku dan juga keluargaku. Seseorang mengetuk pintu rumah dengan kencang dan tergesak-gesak. Setelah aku membuka pintu, baru aku tahu sosok yang tengah melakukannya, Paman Jailani, orang tua Hadri, teman sekampungku. 92
Ppohon sagu
100
Badannya nampak jumus93. Rupanya ia tak memakai payung, ia kehujanan. Namun, aku masih bingung kenapa ia langsung memeluk diriku dengan begitu eratnya. Sampai-sampai aku susah sekali untuk bernafas. Meski samar karena tertutupi segenap air hujan yang membasahi wajahnya, ku lihat paman Jailani meneteskan air mata. “Ucai sabar laaah..” bisiknya kepadaku dengan terus memeluk aku yang masih bingung dengan apa yang sebenarnya tengah terjadi. Dari dapur, ummaku datang menghampiri aku dan paman Jailani yang masih berdiri di teras rumah. “Napa Abahnya Hadri?94” tanya umma yang jua nampak bingung melihat Paman Jailani yang tengah memeluk diriku. Aku menatap wajah paman Jailani yang hitam jumus itu. Ia terlihat nampak lebih sendu dari biasanya. Ia tak seperti paman Jailani yang aku kenal. “Ummanya Ucai, abahnya Ucai tadi di rumpak urang ba trak pas di jalan tol ampah tambus ka Lianganggang. Ini abahnya Ucainya masih di rumah sakit Ulin. Pinanya hudah diusahakan duktur pang. Tapi ya pinanya sudah kahandak Allah ta’ala. Abahnya Ucai kada kawa ditulungi lagi. Sidin maninggal..95” Paman Basah kuyup Ada apa Bapaknya Amad (Paman Jailani)? 95 Ibunya Ucai, abahnya Ucai tadi di tabrak seseorang dengan naik truk pas di jalan tol menuju jalan tambus ke Liang-anggang. Saat ini abahnya Ucai masih di rumah sakit Ulin. Sepertinya sudah diusahakan dokter. Tapi 93 94
101
Jailani menjelaskan dengan sedikit terisak. Suaranya bergetar karena hampir tak kuasa menyampaikan kabar buruk itu. Mataku seketika langsung terbelalak. Aku melapaskan diri dari pelukan Paman Jailani dan langsung menatap ke arah umma. Aku lihat umma sudah tergeletak tak sadarkan diri di tempat ia berdiri barusan. Ia pingsan, shok karena mendengar kabar suaminya telah dipanggil oleh yang Maha Kuasa. Aku sendiri jua sempat tak percaya abah akan meninggal dengan cara seperti ini, di saat keluargaku sangat membutuhkan orang yang menjadi pegangan menopang kehidupan keluarga. Secepat ini pula. Aku langsung teringat adikku Ijah yang masih kecil. Kasian, ia harus ditinggal pergi abahnya di saat usianya baru menginjak umur tiga tahun. Aku dan Paman Jailani segera mengangkat umma ke tempat tidur. Tak sengaja aku menatap wajah tanpa dosa Ijah yang tengah tertidur pulas. Tanpa sadar air mataku menetes seketika. Ini adalah salah satu ujian terberat yang harus aku hadapi. Perasaan bahagia karena lulus ujian masuk MTsN Banjarmasin tak lagi aku hiraukan. Sesuatu yang lebih penting telah menghampiriku hingga semua yang lain terabaikan. Terbesit satu dugaan, “Mungkin Tuhan memang sudah mengatur hidupku tidak melanjutkan sekolah agar aku bisa menjadi pengganti abah sebagai tulang punggung keluarga.” Pikirku. sepertinya sudah kahandak Allah ta’ala. Abahnya Ucai tidak bisa di tolong lagi. Beliau maninggal..
102
Hujan di luar sana masih sangat lebat. Aku masih ditemani Paman Jailani dan ummanya Amad, acil96 Jannah yang juga datang ke rumah sesaat setelah Umma pingsan. Barangkali beliau juga seudah mendapat kabar kepergian abahku. Sejak ia datang tadi, acil Jannah duduk disampingku dan terus membelai rambutku dengan lembut dan penuh kehangatan. Aku merasa ia mencoba menghibur diriku yang tengah terpojokkan oleh semua ujian yang aku hadapi. Tak lama, jenazah abahpun sudah sampai di antar ke rumah. Umma masih belum sadarkan diri. Jenazah abah di rebahkan di ruangan yang menjadi ruang tamu rumahku. Perabot-perabot rumah seperti kursi tamu dan benda-benda lainnya segera di sampingkan supaya orang-orang yang datang melayat bisa masuk. Selang waktu beberapa menit umma mulai siuman. Entah mengapa adingku Ijah terbangun dan langsung menangis. Sejurus setelah bangun dari pingsannya, umma menghampiri jenazah abah dan menangisinya sekuat-kuatnya. Walau bagaimanapun bawelnya, umma adalah perempuan yang sangat halus hatinya. Beberapa orang yang melayat termasuk Paman Idris, abah dari sahabatku Amad, yang datang seusai mengantar Amad ke pesantren di banjarbaru, dan acil Jannah, umma dari Amad segera menghampiri ummaku yang nampak begitu histeris.
96
Tante
103
Mereka semua mencoba menenangkan perasaan umma. Aku jadi teringat pagi tadi aku mencium tangan abah sebelum berangkat ke MTsN Banjarmasin dan ia juga akan berangkat ke pekerjaannya. Rupanya itu adalah hari terakhir aku bertemu dengan abah dalam keadaan hidup. Kini abah terbujur kaku di pembaringan. Entah, apapun yang sudah abah lakukan, meski kadang aku merasa jengkel dengan sikapnya yang tak pernah mendukung dengan pendidikanku, ia tetaplah abahku, orang tua kandungku. Dan yang pasti, hari ini adalah janji beliau dengan yang Maha Kuasa untuk bertemu kembali. Aku hanya bisa mendo’akan semoga saja kebaikan yang telah ia lakukan diterima di sisi-Nya dan semua kekhilafannya diampunkan oleh Yang Maha Kuasa. Amien. Innalillah wainna ilaihi raji’uun….. ***
104
Chapter 11 Keputusan Umma Dua minggu semenjak kepergian abah. Kini pekerjaan abah di pabrik kayu H. Undas sepenuhnya aku yang menggantikan. Saat ini aku adalah orang termuda yang menjadi pegawai tetap Haji Undas. Mau bagaimana lagi, ini demi umma dan Ijah, adikku yang masih kecil. Kini aku harus menjadi tulang punggung keluargaku menggantikan abah. Itu artinya aku tidak jadi melanjutkan sekolahku meski sudah diterima di sekolah impianku, MTsN Banjarmasin. Jika melihat wajah tak berdosa Ijah yang harus ditinggalkan orang tuanya diusia yang sangat dini, aku tak kuasa untuk tidak meneteskan air mataku. Kasian sekali bocah lucu yang masih tak mengerti bahwa abahnya telah tiada itu. Namun, hal itu justru menjadikan aku lebih bersemangat untuk melakukan semua kerja kerasku. Waktu sudah sore. Hari ini tak seperti biasanya. Di tengah musim hujan, hari ini Banjarmasin begitu cerah. Ku lihat di teras depan rumah ada sandal sesorang yang tak ku kenal. “Ada tamu” pikirku. Aku melangkah masuk dengan mengucap salam. Tiga orang yang ada di dalam rumah menjawab salamku. Nampak di ruang tamu rumah umma bersama ijah di gendongan tangannya, paman Hadri (abah Amad), dan seorang lelaki seumuran almarhum abah, lelaki yang tak ku kenal. Alisnya tebal. 105
Kumisnya mirip dengan abah, dan rambutnya sedikit arut-arutan. Dari tampilannya, orang itu sepertinya mengalami stress yang cukup berat. Umma memanggilku untuk duduk bersua dengan mereka berempat. Majlis itu terasa begitu dingin. Wajah lelaki tak ku kenal itu nampak lesu. Dari mulutnya terucap beribu kata maaf dan ampun kepada umma dan aku. Setelah mendengarkan beberapa saat pembicaraan itu, aku mengerti, pemuda itu adalah pelaku penabrakan abah. Ia minta maaf karena baru bisa datang ke rumah untuk meminta ridha setelah dua minggu lamanya, sejak peristiwa itu. Ia harus berurusan dengan kantor polisi terlebih dahulu. Entah mengapa, melihat wajah pemuda itu aku bukannya marah, tapi malah iba. Dari gelagat dan nada bicaranya ia memang benar-benar tulus meminta maaf. Akupun tak sedikitpun menyimpan dendam padanya. “Pian kada usah minta maaf, paman ay.97” Ucapku sendu. Umma dan paman Jailani sontak menoleh ke arahku. “Amun umur sudah hampai ya kayapa lagi am kita ni, ya kada kawa ai mamaksa. Tapi, cobalah pian
97
Anda tidak usah minta maaf, Paman.
106
lihati ading ulun nang masih halus hanyar bisa bajalan tu, kasian inya..98” Sambungku sambil menunduk. “Ayuha. Insya Allah paman hakun ja manggantiakan abah ikam maungkusi ading ikam, wan ikam jua mun handak sakulah lagi, wan mahidupi kaluarga ikam ni Tung ay99.” Balas paman yang aku masih tak mengenali namanya itu. Aku masih menunduk, tak membalas ucapannya. “Paman Sahran ni baniat handak manggantiakan abah nyawa atawa mangawini umma nyawa Cai ay. Nyawa hakun lah mun umma nyawa kawin pulang? Kasian sidin mun saurangan bacari. Ading nyawa masih halus si Ijah, nyawa handak sakulah jua. Pas kabujuran sidin balu jua. Kayapa Nak, hakun hajakah nyawa kaitu?100” ucap Paman Hadri mewakili ucapan lelaki yang ia sebut “paman Sahran” itu. Mendengar penjelasan paman Hadri aku langsung menoleh ke arah umma. Aku tak habis pikir jika umma mau menikah lagi, bahkan dengan lelaki pelaku tabrakan yang menyebabkan abah meninggal Kalau umur sudah sampai pada waktu yang ditentukan, ya mau bagaimana lagi. Kita tidak bisa memaksa. Tapi, cobalah anda lihat adik saya yang masih kecil dan baru bisa berjalan itu, kasian dia.. 99 Baiklah. Insya Allah paman mau manggantiakan bapakmu untuk menanggung hidup adikmu, dan kamu yang juga ingin sekolah lagi lagi, dan menghidupi keluargamu ini, Nak 100 Paman Hadri ini berniat ingin menggantikan abahmu atau mengawini ibumu, Cai. Apa kamu mau jikalau ibumu menikah lagi? Kasian beliau kalau berusaha sendirian. Adikmu masih si Ijah masih kecil. Kamu juga ingin sekolah. Kebetulan beliau juga duda. Bagaimana Nak, maukah kau jika seperti itu? 98
107
pula. Meski aku tak ada dendam, aku sulit untuk percaya. Aku menatap wajah umma untuk merasakan perasaan beliau lewat ikatan bathin yang aku yakin miliki dengan beliau. Wajah umma nampak mambari maras101. Mungkin yang ia pikir saat ini adalah masa depan Ijah dan aku. Aku menatap wajah Ijah. Wajah gadis kecil yang cantik itu tersenyum kepadaku polos. Wajahnya begitu cerah dan bahagia meski ia tak faham dengan pembicaraan ini. Tapi, aku merasa tak mungkin jika harus tinggal dengan abah tiri. Aku tak terbiasa. Aku harus membuat sebuah keputusan sebagai seorang laki-laki. “Lamun umma handak kawin pulang, ayuha. Tapi ulun kada umpat sarumah. Kadanya ulun kada hakun atawa muar wan paman Hadri. Tapi ulun asa kada nyaman banarai badiam sarumah wan paman Hadri nang sabujurnya urang nang marumpak abah. Ulun handak badiam di rumah Kai haja paman Jailani ay..102” ujarku. “Nyawa kada bulih muar wan urang Tung ay. Sidin ni kada singhaja jua marampak abah nyawa103.” Paman hadri membalas ucapanku. Tangannya membelai kepalaku, pelan. Kasian/iba Kalau ingin menikah lagi,baiklah. Tapi saya tidak ingin tinggal satu rumah . bukannya saya tidak mau atau benci dengan paman Hadri. Tapi saya hanya merasa tidak nyaman jika tinggal satu rumah dengan paman Hadri, orang yang sebenarnya menabrak abah. Saya ingin tinggal di rumah Kake saja, Paman. 103 Kamu tidak boleh benci dengan orang lain, Nak. Beliau juga tidak sengaja menabrak abahmu itu. 101 102
108
“Ulun kada muar atawa sarik wan sidin. Tapi ulun kada handak mambarati tanggungjawab sidin mun harus maungkusi umma, ading Ijah wan ulun. Ulun handak bausaha saurang haja. Jadi ulun handak umpat wadah Kai bagana di handil Durian, di Gambut. Mun ulun dibulihakan, ayuha jua ulun mambulihakan umma kawin pulang wan paman Hadri.104” Balasku. Paman Sahran hanya diam seribu bahasa. Paman Hadri menghela nafas panjangnya. Aku tak tahu entah apa yang ia sedang pikirkan. Umma menatapku sambil membelai kepalaku dengan kasih sayangnya yang begitu hangat aku rasakan. “Jangan mangalihi Kai tapinya lah. Nyawa harus mandangani sidin bagawian, bahuma wan manjagai hayam di sana...105” ucap umma. Suaranya parau, haru. Matanya berkaca-kaca. “Inggih ma ay..106” balasku menunduk. Aku tak kuasa menahan air mataku untuk menetes. Umma memelukku dan mencium kepalaku hangat. Paman Sahran mendekat dan membelai kepalaku dengan begitu lembut. Entah kenapa aku merasakan hangatnya kasih sayang seorang abah Saya tidak benci atau marah kepada beliau. Tapi saya tidak ingin memberatkan tanggungjawab beliau jika harus menanggung beban hidup ibu, adik Ijah dan saya. Saya ingin berusaha sendiri. Jadi saya ingin ikut tinggal bersama Kakek di handil Durian, di Gambut. Kalau saya diizinkan,baiklah saya juga akan mengizinkan jika ibu menikah lagi dengan paman Hadri. 105 Jangan merepotkan kakek ya. Kamu harus membantu beliau bekerja, bertani, dan beternak ayam di sana. 106 Iya bu. 104
109
dari belai lembut tangan beliau. Pembicaraan itu berakhir dengan pamitnya paman Hadri dan Paman Sahran. Kini hanya tinggal aku, umma dan Ijah yang tak mengerti apa-apa tentang semuanya di rumahku tersayang ini. Malam itu, umma berbicara banyak hal kepadaku tentang pertemuannya dengan almarhum abah dan menceritakan mengapa abah berwatak sangat keras. Ia juga menceritakan awal kisah cinta antara dia dan abah. Dari raut wajahnya saat bercerita, aku dapat melihat isyarat bahwa ia sangat mencintai abah meski abah memiliki watak yang keras dan kadang terkesan kolot. Ia bilang, meski abah pemarah dan kadang terkesan tak dewasa dalam menyikapi banyak hal, tapi abah adalah orang yang penuh tanggungjawab dan penolong. Aku mendengarkan cerita umma dengan hati yang penuh senang. Senang karena melihat umma yang kini mulai tersenyum kembali. Aku faham, ia harus melakukan pernikahan ini demi masa depan Ijah dan aku. Meski ia hanya tamatan SD, tapi ia orang yang sangat ingin melihat aku dan Ijah sukses dan melampaui dirinya. Umma memeluk aku dan Ijah sambil terus bercerita. Semenjak kepergian abah, aku selalu tidur bersamanya dan jua adingku tersayang, Ijah. Tanpa sadar aku tertidur di pelukan umma selagi ia terus bercerita. Aku, lagi-lagi meneteskan air mata. Aku sayang abah dan umma. 110
***
111
Chapter 12 Bahuma Riuh angin menerpa langkahku yang tengah berjalan di atas galangan107 ladang. Semerbak wangi padi yang mulai menguning terasa begitu bersahaja merasuk di setiap lubang hidungku. Aku berhenti berjalan. Aku berdiri di atas galangan ladang sambil membentangkankan tangan, menikmati setiap terpaan ramah angin kemarau. Aku mempernyaring siulanku dan membuatnya lebih berirama. Orang Banjar meyakini untuk memanggil angin supaya datang berhembus maka kita harus bersiul dengan nyaring dan bagus. Dari tempatku tegak berdiri, aku dapat melihat sekawanan burung halang pipit108 yang terbang statis melawan angin. Elang putih itu terbang masingmasing, seakan mereka ingin mengatakan bahwa hidup mereka hanya mereka yang menentukan, tanpa harus mengekor pada kehidupan orang lain. Mereka memiliki jati diri yang tegas, bukan sang peniru ataupun hamba si pengikut. Tadi pagi, kakek menaikkan kalayangan dandang109 sebelum benar-benar turun untuk Sebuah lahan pembatas antara satu ladang dengan ladang yang lain (bahasa Banjar) 108 Jenis elang yang mampu terbang di tempat. Orang banjar juga sering menyebutnya burung raja angin 109 Layang-layang berukuran besar 107
112
memanen padi di ladang. Aku baru mengerti, layangan itu sengaja kakek naikkan agar ia mengtahui keadaan cuaca hari ini. Apabila layangan dandang itu terbang dengan tidak karuan, itu artinya angin sedang maulak110, dan itu artinya biasanya hujan akan segera turun. Meski tak selalu benar, tetapi keakuratan ramalan kalayangan dandang itu cukup membantu. Setelah beberapa saat, aku segera menyusul kakek turun ke ladang. Sudah tiga bulan lamanya aku ikut kakek di desa handil Durian ini. Aku sempat berpikir, melihat namanya, maka di desa ini tentu banyak sekali pohon durian. Aku gembira karena aku sangat suka yang namanya durian. Tapi setelah aku menetap di sini selama tiga bulanan, tak satupun ku temui pohon durian di desa ini. Ujar kakek, nama Handil Durian itu diambil karena dulu sebelum daerah ini menjadi desa Handil Durian, ada pohon durian tumbang diterpa angin kencang dan menghalangi jalan setapak warga. Akhirnya pohon itu mengganggu warga yang ingin pergi ke pasar Kindai Limpuar. Itu karena jalan setapak itu memang jalan satu-satunya yang digunakan warga untuk menuju pasar. Akhirnya dengan bergotong-royong, warga memotong pohon durian tumbang itu dengan mandau. Dan jadilah nama desa ini Handil Durian. Handil artinya gang atau jalan setapak yang kiri kanannya adalah rawa. Sedangkan durian diambil dari kata Durian rabah atau durian tumbang.
110
Tidak stabil
113
Setelah beberapa saat, aku sudah siap dengan ranggaman111, balik112, dan tanggui113 yang menutupi kepalaku agar tak tersengat sengatan sinar matahari. Setelah mengolesi wajahku dengan pupur basah114 yang tebal, aku segera menuai padi yang sudah menguning. Rasanya seharian penuh berada di ladang kakek ini membuat badanku gatal. Setiap malam aku harus membuang Tungau yang hinggap di badanku. Sekarang pekerjaanku adalah membantu kakek di rumahnya. Setiap hari, sebelum fajar menyingsing, kakek biasanya sudah membangunkanku untuk mendirikan salat tahajjud. Setelah itu aku mencuci pakaian dan memasak nasi dan air. Setiap matahari mulai merangkak naik, aku segera ke kandang untuk memberi makan ayam, bebek, dan juga kambing piaraan kakek. Sedang kakek biasanya memasak nasi dan ikan untuk makan kami berdua. Setelah makan pagi, kami berdua segera turun ke sawah untuk bertani. Sudah lama kakek tinggal di rumah sendiri, mungkin sekitar dua belas tahun sudah. Terakhir ada orang yang menemaninya tinggal di rumah adalah saat ummaku masih bujang. Ketika ia menikah dengan almarhum abah, umma dibawa abah untuk tinggal di desa Kuin, dan kakekpun terpaksa tinggal Alat panen tradisional khas petani tanah Banjar Sejenis wadah yang berbentuk seperti ember yang terbuat dari purun (tumbuhan khas Banjar yang biasa dijadikan anyaman) 113 Topi yang biasa dibawa orang Banjar untuk bertani di sawah. Bentuknya seperti payung namun tidak memiliki tangkai. 114 Bedak dingin tradisional khas Banjar 111 112
114
sendirian. Nenekku sudah lama meninggal, sekitar lima belas tahun yang lalu, sebelum umma menikah. Meski kakek sudah tua, tapi semangatnya untuk terus bekerja masih terus berkobar. Beliau pernah menasihatiku seperti ini, “Amun ikam kaina hudah tuha bagawi, jangan suah tapikir handak pinsiun bagawi.115” Ucapnya. Mendengar perkataanya itu aku balik bertanya. “Kanapa garang, Kai? Amun pagawai nagri tuh hampai umur anam puluhan haja bagawinya mbah tu pinsiun. Mau kada mau paksa ai pinsiun Kai ay.116” balasku. “Maksud kai tu kada kaitu pang Cu ai. Maksud kai, bujur haja mun ikam kaina bagawi jada pagawai ada pinsiunnya. Tapi nintu kadanya baarti ikam harus ampih bagawi. Mun awak masih bigas, pikiran masih tagas haja, mun kawa bagawi, ya bagawi. Allah ta’ala hudah mambariakan nikmat bigas wan tagas, ya dipakai ay. Ya kalo Cu? Mangarti lah nang jar Kai nih ikam Cu?” Kakek menjelaskan kepdaku dengan penuh semangat. Aku mengangguk. Aku mengerti maksud ucapan kakek. Itu artinya, meski suatu saat kita sudah menyelesaikan masa karir di dunia kerja, itu bukan berarti menghentikan kita untuk terus berkarya. Kakek adalah sosok yang mandiri. Kalau kamu nanti sudah tua bekerja, jangan pernah untuk berpikir ingin pensiun kerja. 116 Memangnya kenapa, Keki? Kalau pegawai negeri bekerjanya Cuma sampai umur enam puluh tahun dan setelah itu akan pensiun. Mau tidak mau maka ya harus pensiun, Kek 115
115
Dimataku, beliau seperti elang. Beliau tak pernah menyusahkan dan ingin menyusahkan orang lain sedikitpun. Meski sudah berusia lebih enam puluh tahun, untuk menopang hidupnya ia bekerja dengan mandiri. Aku sangat salut dengan hidup kakek. Matahari semakin terik. Aku menghadapkan badanku ke arah timur mata angin, lalu mengangkat kedua tanganku tegak ke atas. Bayangan matahari sudah menandakan sekitar pukul dua siang. Dari jalan setapak handil durian, beberapa kawanan pemuda dan pemudi nampak melintas lalu. Ada beberapa anak mengenakan seragam putih abu-abu dan ada yang mengenakan seragam putih biru. Mereka para siswa MAN Martapura dan MTsN Gambut yang sedang bersepeda menuju pulang. Satu di antara mereka berhenti di bawah pohon pisang yang berjejer dan nampak terlihat mengganti seragam sekolahnya dengan pakaian yang biasa digunakan orang untuk turun ke sawah. Anak itu berjalan menuju pondok untuk mengambil tanggui, ranggaman dan balik. Ia berjalan ke arahku. Aku menunggunya dengan tersenyum. Aku bisa melihat sorot matanya yang tajam tapi wajahnya tetap ramah. Ia datang kepadaku dan menyodorkan tangannya. “Aku Rasyid, Rasyid Khairuzzaman. Siapa ngaran ikam? Cucu Kai Ibur kah?” ucapnya tanpa basa-basi. Aku segera menyambut tangannya dengan disertai senyum. Aku membalas ucapannya. 116
“Aku Ucai, Ahmada Husairi. Iih, aku cucunya Kai Ibur”. Balasku. Sudah tiga bulan aku tinggal di sini, rasanya aku tak pernah bertemu dengan bocah yang mengenalkan dirinya Rasyid itu di desa ini. Setelah berkenalan, ia berjalan menjauh dari hadapanku. Ia turun ke ladang di sebelah barat untuk ikut serta memanen padi milik kakek. Tadi pagi kakek memang sempat bilang kepadaku kalau akan ada seorang anak yang datang membantu kami, tapi anak itu datang siang hari karena pagi ia harus sekolah. Rupanya bocah yang dimaksud kakek itu Rasyid. Aku segera berjalan melanjutkan tugasku. ***
Setelah menyelesaikan bagian ladang yang harus aku panen, sejenak aku berhenti dan mengistirahatkan badanku di pondok kecil yang dibuat kakek di tengah ladang. Dari pucuk masjid Al-Muhajirin desa Malintang baru yang berjarak sekitar satu kilometer dari ladang kakek, terdengar lantunan ayat suci Al-Qur’an yang tengah berkumandang. Itu artinya sebentar lagi watu ashar tiba. Kakek dan pemuda yang mengenalkan dirinya ‘Rasyid’ itu sejurus menyudahi pekerjaannya. Mereka berdua turut bersua denganku untuk mengistirahatkan raga yang keletihan karena hampir seharian kakek bergulat di tengah ladang. 117
Aku mengambil air putih yang ku bawa di sebuah cerek alumunium tua dari rumah, lalu menyerahkannya kepada kakek dan Rasyid. Aku yakin mereka berdua pasti sangat kehausan. Dengan ditemani angin sepoy dan terik mentari yang menimbulkan fatamorgana di atas ladang padi yang menguning itu, kakek menceritakan tentang Rasyid kepadaku. Kakek bilang kalau Rasyid itu adalah anak julak Basun. Dia adalah pemuda dari desa sebelah, desa muara Durian, sekitar satu kilometer dari desa kami. Setiap sehabis shubuh, Rasyid biasanya menjajakan jualannya, kue amparan tatak sampai ke desa Handil Durian. Tapi karena ini musim panen padi, maka ia tak menjajakan kuenya lagi, sebab pagi sebelum berangkat ke sekolah, ia menjadi tenaga upahan untuk memanen padi warga yang memerlukan bantuan tenaga kerja. Dagangannya biasanya ia titipkan di warung pagi-warung shubuhyang ada di sekitar desa Handil Durian dan Muara Durian. “Nah, sabujurnya hari ini gen imbah maatar jualannya ka sabarataan warung shubuh gasan diandaki, inya hudah sampat mahumai pahumaan sapalih. Marganya inya musti sakulah pank, makanya Rasyid tulak dahulu ka sakulahan. Hanyar imbah inya bulik sakulah, inya manarusakan gawiannya gasan mangganii kita..117” Ucap Kakek menjelaskan. Rasyid Nah, sebenarnya hari inipun sehabis mengantar jualannya ke semua warung pagi untuk dititipkan, ia sudah sempat memanen beberapa ladang. 117
118
hanya diam sambil mengipas-ngipaskan helai lembar daun pisang ke badannya. Setelah angin sepoy kembali datang bertamu, ia menghentikan kipasannya. Mendengar cerita kakek itu, aku menjadi sangat kagum dengan pemuda yang sepertinya masih seumuran denganku itu. Matanya tajam. Raut mukanya sedikit berkerut, meski sejatinya ia masih tergolong bocah yang masih muda. Kulit tangannya hitam legam. Bau badannyapun seperti bau kulit yang terbakar panas, hangit118. “Ikam sakulah119 dimana, Syid?” tanyaku membuka wacana. Rasanya hatiku ingin sekali akrab dengan pejuang kecil itu. “Eh..” Dan bocah berambut agak ikal itu tersentak mendengar ucapanku barusan. Suaranya terdengar sedikit serak, parau. “Sakulah dimana? Neh Ucai batakun120 jar..” ucap Kakek menimpali. “Ooo.. ulun121 sakulah di Tsnawiyah Gambut.” Balasnya singkat. Wajahnya seolah tengah memikirkan sesuatu. “Kalas barapa hudah?122” sambungku. Karena ia harus sekolah, maka Rasyid pergi dulu ke sekolah, baru ketika ia pulang sekolah ia melanjutkan pekerjaannya untuk membantu kita. 118 hangus 119 Kamu sekolah 120 bertanya 121 saya
119
“Hanyar kalas satu. Ikam pang sakulah dimana jua?123” balasnya menanyaiku. Wajahnya tersenyum. Sepertinya ia berusaha bersikap seramah mungkin kepadaku, orang yang baru dikenalnya. Aku tersenyum mendengar pertanyaan Rasyid. Sebenarnya aku malu untuk menjawabnya. Dengan malu aku mengaku kalau aku tak sekolah, “Aku kada124 sakulah lagi..” balasku dengan nada pelan. Aku menoleh ke arah kakek, beliau hanya diam. Bocah itu seketika menoleh ke arah Kakek dengan mimik heran. “Kada handak lagi sakulah atawa kadada duit gasan sakulah? Sayangnya? Tapi SD lulus ay kalu?. Jaka sakulah. Nyaman kawa bagawi ka situ ka mari kaina125” balasnya serius sambil menatap ke arahku. “Alhamdulillah sumalam sampat lulus umpat ujian masuk Tsanawiyah di banjar. Tapi kada jadi sakulah. Handak manggini’i Kai ja di sini126.” Balasku. Sejatinya aku malu mengatakannya. Rasyid pasti mengira aku anak yang bodoh. Tapi entah kenapa aku tak kuasa untuk tidak menjawab pertanyaan Rasyid.
Sekarang kelas berapa? Baru kelas satu. Kamu sendiri sekolah dimana? 124 tidak 125 Tidak ingin sekolah lagi apa tidak punya uang untuk sekolah?. Sayang sekali? Tapi SD lulus kan? Mending sekolah saja. Biar enak nanti bisa kerja kesana kemari. 126 Alhamdulillah kemarinsempat lulus waktu ikut ujian masuk MTsN Banjarmasin. Tapi tidak jadi sekolah. Saya ingin membantu Kakek di sini. 122
123123
120
“Mun kaitu sakulah ha tahun kaina. Mun tahun ini, hudah kada kawa lagi pank. Pandaptaran hudah tutup. Sakulah ja di Tsanawiyah Gambut. SPP-nya murah haja. Ya kalo, Kai?127” Rasyid menoleh ke arah Kakek. Wajah Kakek sempat sedikit kaget. Ia mengangguk sambil tersenyum. Mungkin ia tersenyum karena melihat persahabatan yang tumbuh antara aku dan Rasyid. “Tapi, mun ulun sakulah kaina, sampat juakah lagi kaubar mandangani Kai di rumah?128” tanyaku kepada Kakek. Kakek tersenyum. “Nang panting ikam sakulah ha dahulu, Cu ay.129” Balas kakek sambil membelai kepalaku dan Rasyid. Hari ini, pertemuanku dengan si pejuang kecil itu benar-benar menjadi sebuah barokah kepadaku. Rasyid, adalah bocah yang datang dengan segenap semangatnya untuk bertarung melawan hidup. Menaklukkan setiap rintangan kehidupan. Bocah sekecil itu, rupanya menanggung beban yang tak bisa kupandang ringan. Ia harus bekerja demi hidup dan pendidikannya. Rupanya di dunia ini masih ada orang yang bergulat dengan ujian berat melebihi beratnya ujian yang aku hadapi. Rasyid Khairuzzaman, bocah
Kalau begitu sekolah saja tahun depan. Kalau tahun ini sudah tidak bisa. Sebab pendaftaran sudah ditutup. Sekolah saja di Tsanawiyah Gambut. SPPnya juga murah. Ya kan, Kek? 128 Tapi, kalau nanti saya sekolah, apa sempat membantu kakek di rumah? 129 Yang penting kamu sekolah dulu cucuku. 127
121
yang setiap tingkah lakunya adalah sebuah perjuangan dengan keikhlasan. ***
122
Chapter 13 Persahabatan
Photo by: Randy Rakhmadany Semenjak pertemuanku dengan bocah bernama Rasyid itu, aku jadi lebih giat menjalani hari-hariku. Anak laki-laki dengan sorot mata tajam itu benarbenar menjadi inspirasi hidup bagiku. Langkah kakinya lebar dan cepat, seolah tak sedikitpun ingin membuang-buang waktunya. Semenjak dari aku menjalin persahabatan dengannya, aku baru tahu kalau ia sebenarnya bukan anak laki-laki kandung dari julak Basun. Ia adalah anak pingitan. Julak 123
Basun sejatinya adalah bujang lapuk yang menginginkan sekali seorang anak. Dan Rasyid, merupaka anak laki-laki yang dipindahtanganankan oleh keluarganya untuk di asuh julak Basun. Aku dengar Rasyid memiliki saudara kembar, namanya Rasyid Ridha, di panggil Ridha. Ibu kandung mereka berdua meninggal kala melahirkan dua bocah kembar itu. Karena abah kandung Rasyid saat itu sedang bangkrut dan tak sanggup untuk membesarkan kedua buah hatinya, maka terpaksa ia harus mengorbankan salah satu dari anaknya untuk diminta-asuhkan kepada orang lain, dan anak itu adalah Rasyid Khairuzzaman. Orang yang sejak tadi aku perhatikan kegigihannya dari sini, pondok kecil tempatku sejenak melepas lelah. Hari sudah tanghari130. Matahari berada tepat di atas ubun-ubun. Suara adzan tak lama berkumandang dari corong Toa masjid al-Muhajirin desa Muara Durian. Aku datang lebih dulu ke pondok untuk beristirahat. Menyiapkan makan siang dan menggelar sajadah untuk salat dzuhur berjamaah bersama Rasyid. Badanku sudah bersih. Tadi aku sempatkan untuk mandi terlebih dahulu di sumur tua dekat deretan pohon pisang yang ada di sebelah timur ladang kakek. Jaraknya sekitar seratus meter dari pondok. Dari jauh, wajah bocah yang saat ini berada di tengah-tengah ladang padi itu tak sedikitpun menampakkan kelelahannya. Semangatnya benar130
Tengah hari
124
benar besar. Tekadnya kuat, sekuat baja. Setelah mendengar lafadz hayya ‘alasshalah131, Rasyid nampak menghentikan pekerjaannya. Ia sejurus beranjak menuju pondok. Setelah minum beberapa tegukan, ia berjalan menuju sumur untuk membersihkan badan. Hari ini, Kamis, seperti biasa kakek pergi ke pasar untuk menjual beberapa ternak ayamnya yang sudah besar. Jadi beliau tak ikut berladang bersama kami. Beberapa saat, Rasyid kembali dan duduk bersamaku. Diam-diam aku mencoba melihat dalamdalam goresan raut wajah kesatria kecil itu. Sorot matanya menatap jauh kedepan, tajam dan penuh akan visi. Dari sorot itu aku seolah melihat sebuah mimpi besar yang ia cita-citakan. Riuh angin menerbangkan rambut hitamnya yang hampir gondrong. Aku merasa senang hari ini bisa seharian berladang dengannya. Itu karena hari ini tanggal merah, hari libur. Biasanya ia baru membantu aku dan kakek di ladang kalau ia sudah pulang dari sekolah, sekitar jam dua siang. Sejenak kami melaksanakan salat dzuhur berjamaah. Ia ku suruh menjadi imam. Usai salat, kami menyantap nasi putih dan ikan asin bakar yang sengaja ku siapkan sebelum berangkat ke ladang sebagai bekal dari rumah. Aku memerhatikan Rasyid yang makan dengan begitu lahapnya. Bocah sekurus itu rupanya memiliki nafsu makan yang sangat besar. Ia bahkan minta tambah dua piring banyaknya. Aku senang ia makan 131
Mari kita salat
125
dengan lahap. Wajar, itu karena ia melakukan hal yang begitu berat setiap harinya. Aku tersenyum. Rasyid menoleh ke arahku dengan wajah herannya. Aku berusaha membuang wajahku dengan menatap kawanan burung Cawik yang terbang mencari makan mereka. “Ikam handak jadi apa Syid mun ganal kaina?132” tanyaku. Entah kenapa tiba-tiba saja aku jadi ingin tahu cita-cita bocah pekerja keras itu. Ia menoleh ke wajahku. Tatapannya sedikit mengisyaratkan rasa herannya. “Aku?” balasnya balik menanya, sambil mengunyah nasi yang masih penuh dimulutnya. “I’ih... ikam ni pinanya baisi cita-cita nang harat Balasku sambil menyuap nasi ke dalam mulut. pang.133”
“Aku kada handak jadi napa-napa..134” balasnya. Matanya fokus kepada piring yang ada dihadapannya. “Mmm....” balasku tak puas. Aku tak percaya ia tak memiliki visi yang baik. Dimataku, ia pasti mencita-citakan sebuah masa depan yang lebih baik. Itu aku rasakan saat ia yang sangat bersemangat menyuruhku untuk melanjutkan sekolahku yang sempat terbengkalai. Aku yakin ia adalah orang yang memiliki visi yang sama denganku, yaitu menuntut Kamu bercita-cita ingin jadi apa kalau besar nanti, Syid? Iya.. orang sepertimu sepertinya memiliki cita-cita yang besar. 134 Aku tidak ingin jadi siapa-siapa. 132 133
126
ilmu sampai jenjang tertinggi. Kalau bisa aku ingin jadi profesor. Profesor teknik pengairan. Itu karena aku merasa sistem pengairan Banjar yang dulu sempat menjadi buah bibir dunia, Banjar kota seribu sungai, kini dirusak oleh penduduk negerinya sendiri. Dan aku ingin mengembalikan kasanah kearifan lokal nini muyang urang bahari135 itu. Meski, sepertinya untuk menjadikan kembali Banjar si negeri seribu sungai itu sangat sulit. Tapi setidaknya aku ingin berusaha agar masalah perairan kampung halamanku ini tidak semakin hancur dan kacau. “Aku handak jadi profesor...136” balas Rasyid. Ia lalu diam. Aku menoleh seketika mendengar ungkapan hati dari Rasyid barusan. Ia menatap mataku dengan sorot mata tajam itu. “Aku handak jadi profesor. Tapi...” ucapannya terputus. “Tapi apa, Syid?” balasku cepat, penasaran. “Tapi aku kadada duit gasan sakulah ka kuliah. Ini haja aku sakulah di ungkusi kulawarga H. Salim. Aku kada tahu kaina aku kawa sakulah atawa kada ka Madrasah Aliyah di gambut. Jangankan kawa jadi
135 136
Nenek moyang zaman dulu Aku ingin jadi profesor
127
profesor, sakulah Madrasah Aliyah haja aku masih kada tahu...137” jawabnya lugas. Aku tak bisa berucap apapun. Aku merasa bahwa diriku adalah anak kecil yang tak lebih pintar daripada Rasyid, sehingga aku segan untuk mengutarakan apapun untuknya. Apalagi jika aku memandang diriku sendiri, aku hanya seorang bocah yang tak lulus UAN dan putus sekolah. “Apa aku pantas memberikan nasihat baik kepada bocah itu?” Gumamku. Rasyid menatapku dan lalu tersenyum. “Ikam pank, handak jadi apa jua, Cai?138” balasnya balik bertanya. Aku menatap Rasyid. Ia tersenyum untuk ke sekian kalinya. Aku tak bisa untuk tak membalas senyum yang begitu penuh ketulusan itu. Senyum seorang bocah perkasa yang berjuang demi kelangsungan hidupnya dengan penuh semangat. “Aku handak jadi profesor.” Jawabku. Ia tersenyum gemilang. Aku menjadi heran, kenapa Rasyid tiba-tiba mengembangkan senyumnya mendengar cita-cita yang barusan aku utarakan. “Profesor? Ikam kada umpat-umpatan kalu wan aku? Bujuran kah ikam handak jadi profesor?139” tanya Tapi aku tidak punya uang untuk bisa sampai sekolah ke tingkat kuliah. Ini saja aku sekolah dibiayai keluwarga H. Salim. Aku tidak tahu nanti aku bisa sekolah atau tidak ke Madrasah Aliyah di gambut. Jangankanbisa jadi profesor, bisa sekolah Madrasah Aliyah saja aku masih tidak tahu... 138 Kalau kamu, bercita-cita ingin jadi apa, Cai? 137
128
Rasyid kepadaku bersemangat. Ia menghentikan sejenak makannya. Aku ikut tersenyum. Aku mengangguk. “Amun kaitu, ikam harus bujuran manarusakan sakulah ikam. Kada mungkin kalu ikam jadi profesor amun ampih sakulah? Ya kada?140” Ucapnya lantang penuh semangat. “Tapi... “ aku pesimis. Rasyid menatap wajah ku, heran. “Tapi apa?” balasnya, penasaran. Tangannya memegang pundakku tak sabar. “Tapi aku kada pintar kayak ikam pang Syid ay. Kawa juakah aku jadi profesor?141” balasku pesimis. Aku teringat surat keterangan kelulusan yang aku terima dengan tulisan jelas menandakan aku ‘TIDAK LULUS’. Rasyid kembali mengembangkan senyumnya. tahu lah kisah Ibnu hajar al-asqhalani?” tanya Rasyid kepadaku. Aku menggelengkan kepala. Rasyid cepat-cepat menyelesaikan makannya. Setelah minum beberapa tegukan, ia menyudahi makan siangnya. “Ikam142
Profesor? Kamu tidk ikut-ikutan dengan aku kan? Serius kamu ingin jadi profesor? 140 Kalau begitu, kamu harus sungguh-sungguh melanjutkan sekolahmu. Tidak mungkin kan jika kamu ingin jadi profesor sedangkan kamu berhenti sekolah? Ya tidak? 141 Tapi aku bukan orang yang pintar sepertimu. Apa mungkin aku bisa jadi profesor? 142 kamu 139
129
Rasyid membenarkan duduknya dan lalu bercerita. “Ibnu Hajar itu ulama. Sidin urang arab. Sidin tu mahafal al-qur’an wan balajar ilmu agama pas hudah tuha. Balajar kasitu kamari tatap buntat kada sing pintaran. Imbah itu pah haratan sidin handak ampih balajar, putus asa hudah, sidin malihat batu hirang ganal nang di titiki ulihnya banyu. Satitik, dua titik, tiga titik. Pah diparaki sidin, kalihatan sakalinya batu ngitu tadi baluwang, Cai ay. Nah, nyawa tahu kada maksud kisah tu?143” tanya Rasyid kepadaku membuat aku semakin tertarik dengan kisah yang barusan ia bawakan. Aku tak pernah mendengar cerita itu sebelumnya, dan aku tak faham sedikitpun maksud dari kisah itu. Aku menggelengkan kepalaku dengan wajah tak tahu. Rasyid tersenyum. Ia semakin bersemangat. “Naaaah, itu artinya, nang ngarannya manuntut ilmu tu ya kaya banyu nang manitiki batu itu tadi pang. Tunggal dikitaaan hulu. Batu haja nang karas imbah di titiki banyu tunggal titikan kawa haja baluwang. Apalagi utak kita nih. Amun di titiki ulih ilmu tunggal dikitan, kawa haja jua masuk ka utak, nang artinya kawa haja jua pintar. Pak Habibi tu sama haja makannya wan kita pada nasi wan iwak ha jua. Buya Ibnu Hajar itu adalah seorang ulama. Beliau dari bangsa Arab. Beliau dulu menghafal al-qur’an dan belajar ilmu agama ketika sudah tua. Balajar ke sana ke mari tetap bodoh dan tidak faham akan yang dipelajarinya. Setelah itu ketika beliau ingin berhenti balajar, putus asa, beliau melihat sebuah batu hitam besar yang di tetesi oleh air. Setitik, dua titik, tiga titik. Setelah didekati oleh beliau, terlihatlah bahwa ternyata batu itu tadi sudah berlubang, Cai. Nah, kamu tahu tidak maksud dari kasah itu? 143
130
Hamka, Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, guru sakumpul, siapakah nang ikam sambati ngarannya, mun urang Indonesia ya makannya sama haja jua wan kita pada nasi wan iwak. Lalu kanapa kita kada yakin kita kawa pintar jua kaya bubuhan sidin ngitu?. Sidin haja kawa pintar, maka kita gen kawa ay jua. Asal hakun balajar rancak. Bausaha bujur-bujur lawan kada bulih manyarah. Haram manyarah tu Cai ay. Amun bajuang tu Waja sampai ka puting.144” Rasyid menjelaskan panjang lebar dengan semangat dan tekad membara yang tergambar dimatanya. Mendengar cerita Rasyid barusan, entah mengapa semangat dalam hatiku turut ikut berkobar. Apa yang diutarakan bocah sekecil itu benar-benar penuh makna. Ya, batu yang keras saja bisa berlubang ketika di tetesi oleh air yang lembut secara terus menerus apalagi pengetahuan yang coba kita fahami. Meskipun harus beberapa kali mempelajari, tapi suatu saat kita pasti akan menguasainya jua jika terus berusaha. Kini semangatku menyulut. Api keyakinan merasuk ke dalam jiwaku. Aku yakin, aku Naaaah, itu artinya, yang namanya manuntut ilmu itu ya seperti air yang manetesi batu itu tadi. Sedikit demi sedikit. Batu yang karas saja setelah ditetesi air sedikit demi sedikit akhirnya juga bisa berlubang. Apalagi otak kita ini. Kalau ditetesi oleh ilmu sedikit demi sedikit, pasti bisa masuk ke otak, yang artinya bisa kok kita pintar. Pak Habibi itu makannya sama dengan kita, ya sama-sama makan nasi dan ikan. Buya Hamka, Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, guru Sakumpul, siapa saja yang kamu sebut namanya, kalau itu orang Indonesia ya makannya sama saja dengan kita ya makan nasi dan ikan. Lalu kenapa kita tidak yakin kita bisa pintar seperti mereka-mereka itu?. Beliau yang makan nasi itu saja bisa pintar, maka kita juga pasti bisa. Asal mau terus belajar. sungguh-sungguh dan tidak boleh menyerah. Haram menyerah tu, Cai. Kalau berjuang itu Waja sampai ka puting (harus sampai akhir). 144
131
bisa mencapai cita-cita untuk menjadi orang yang ahli di bidang teknik pengairan. Matahari mulai merangkak turun dari ufuk. Setelah sore, aku dan Rasyid kembali kerumah dengan menaiki sepeda Rasyid berdua. ***
Pendaftaran siswa baru tahun ini sudah kian dekat. Alhamdulillah sekolah Tsanawiyah Negeri di gambut mau menerima siswanya yang sudah mengalami jeda waktu sekolah dari MI ke MTsN sepertiku. Setelah mengikuti tes tulis, baca al-Qur’an dan wawancara, akupun secara resmi diterima sebagai siswa di sekolah yang berjarak sekitar enam kilometer dari desaku kakek, desa Handil Durian. Masalah selanjutnya adalah, aku tak memiliki seragam sekolah. Dengan malu aku mengungkapkannya kepada kakek. Aku bilang aku tak punya uang untuk membeli pakaian seragam sekolah putih biru dan seragam pramuka. Dan alhamdulillah, rupanya kakek sudah menyiapakan segalanya. Seminggu yang lalu, ketika aku pergi untuk memancing, diam-diam kakek pergi ke pasar untuk membelikan seragam sekolah dan buku tulis untukku. Pantas saja lumbung padi yang ada di belakang rumah sedikit berkurang. Rupanya kakek rela menjual beberapa karung padi miliknya untuk membiayai sekolahku. Dan semenjak itu, aku tercatat sebagai murid MTsN Gambut kelas 1D. Ini 132
kesempatan keduaku untuk terus melanjutkan sekolah. Dan ini, adalah lembaran baru bagi hidupku untuk menyongsong masa depan. Aku, harus berhasil. ***
133
Chapter 14 Siswi brilian, Zanariah Dan ini adalah hari dimana aku sudah bisa melangkah gagah dengan seragam putih biru kebanggaanku. Sudah lebih seminggu aku menghabiskan separuh hariku di sekolah. Segala pekerjaan yang biasanya ku lakukan di pagi hari, seperti memberi makan ternak dan membersihkan ladang, kini aku kerjakan tepat usai salat shubuh, sebelum berangkat ke sekolah. Sorenya biasanya aku memancing dan memasak atau mencuci pakaianku dan kakek. Dan seperti biasa, hari ini tak lupa aku membawa sekresek kacang goreng sebagaimana kebiasaanku saat MI dulu. Ya, sambil sekolah sambil mencari rejeki dengan berjualan kacang goreng kepada siswa dan siswi di sekolah. Berbeda dengan sekolah-sekolah tergolong maju yang ada di perkotaan, di sekolahku yang masih tergolong daerah kurang maju ini, berjualan kacang sambil menjajakannya kepada siswa dan siswi di sekolah masih diperbolehkan. Bahkan aku berani menawarkannya kepada gur-guruku. Tak ada sedikitpun rasa malu yang aku rasakan. Lonceng sekolah sudah berdentang. Seluruh kawanan siswa kelas dua yang sejak tadi asik bermain sepak bola di halaman sekolah berlarian membentuk barisan per kelas masing-masing sambil menghadap 134
lurus ke tiang bendera di halaman sekolah. Aku tahu kenapa para siswa itu terlihat begitu disiplin. Itu karena ada sosok yang ditakuti oleh mereka. Sosok yang baru saja memukul badan lonceng tadi keraskeras lalu berdiri di atas mimbar yang biasa digunakan untuk upacara, sambil menatap sinis dengan sorot mata tajam dan kumis hitamnya yang mengelebat. Pak Zulfikar. Salah seorang guru yang sangat ditakuti oleh murid sini. Dengan wibawanya, tanpa harus berucappun seluruh siswa yang berlaga bak prajurit langsung mengerti perintah komadannya. Para siswa yang tadi tidak bermain bola di lapangan nampak berduyun-duyun turun ke lapangan. Hari ini adalah hari senin, hari dimana upacara pagi selalu menjadi kewajiban rutin dari sekolah ini. Dan seperti biasa, setiap senin akan diumumkan semua hal berkaitan dengan kemajuan sekolah. Hari itu, di bagian akhir upacara seorang gadis dengan perawakan kurus dan rupa sangat biasa di panggil ke depan. “Zanariah” nama gadis biasa itu. Matanya lugu. Bahasa tubuhnya menggambarkan kalau ia orang tak punya. Tapi predikat yang disandangnya, yang kala itu diucapkan dengan begitu semangat oleh bapak kepala sekolah membuat jantungku berdegup kencang. “Peraih juara I lomba sains tingkat SMP/MTs se provonsi Kalimantan Selatan”. Ketika namanya disebut barusan, gadis yang kata kawan-kawan duduk di kelas dua itu hanya menunduk malu sambil menyerahkan piala yang diraihnya kepada kepala sekolah. Di sekolah ini, 135
setiap siswa dan siswi yang berhasil memeroleh juara atau penghargaan dalam acara tertentu, akan diberi kehormatan untuk tampil menyerahkan hasil upayanya berupa piala kepada pihak sekolah melalui kepala sekolah pada upacara senin diadakan. Menurut pak Zulfikar, itu sebagai bukti penghargaan sekolah kepada siswa yang bersangkutan dan memicu kepada siswa lain untuk berlomba-lomba mengharumkan nama sekolah. Aku terpukau. Keringat yang keluar dari peleheranku karena terpaan mentari pagi yang cerah serasa tak terhiraukan lagi. Aku kagum sekaligus bangga. Dalam hati aku berazzam “Suatu saat, akulah orang yang ada di depan sana dan menyerahkan sebuah piala kebanggaan untuk sekolahku”. Dan suatu saat nanti semua akan menyebut “Ahmad Khusairi sebagai juara I lomba tingkat provinsi Kalimantan Selatan di ajang tertentu” Bisikku dalam hati. Bibirku menyungging senyum geli. Aku tertawa sendiri meski semua orang yang saat ini ada di lapangan upacara tak ada seorangpun yang tahu apa yang tengah aku tertawakan. Aku menoleh ke tempat Rasyid berdiri, di deretan wajah siswa kelas 2A. wajahnya nampak tenang. “Rupanya Rasyid bukan siswa paling brilian di sekolah ini” pikirku. Tapi meski begitu, kesuksesannya tidak kalah bagus dengan Zanariah yang kini ada di depan sana. Bocah laki-laki kurus hitam itu adalah motivatorku. Pejuang tanpa kenal kata menyerah. Dan lelaki bertanggungjawab ketika tanggungjawab itu sejatinya masih belum harus 136
di sandarkan dipundaknya. Ia ada untuk hidup dan menghidupi orang lain. Rasyid, Zanariah, Amad, mereka adalah inspirasiku. *** Semenjak hari itu, aku sangat bergirah untuk terus menimba ilmu. Semangat mencari cahaya ilmu seaakan tak terbendung. Setiap hari aku tak pernah menyiakan waktu untuk hal yang tak berguna. Separuh hariku kuhabiskan di sekolah dan perpusatakaan sekolah. Ditemani teman sejatiku yang kala itu memeiliki kebiasaan yang sama denganku, menjadi kutu buku diperpustakaan sekolah dan mencari rejeki jika telah balik ke rumah. Dia adalah Rasyid. Semangat perjuangan yang tumbuh kala itu membuat aku begitu menikmati keletihan raga dalam asa kerja keras. Semangat yang terus menggebu itu membuncahkan sebuah harapan akan sebuah cita dimasa depan. Yang perlahan, aku mencoba menorehkannya dengan tinta keringat dan air mata. Masa aku harus bergelut dengan ambisi dan mimpi. Masa perjuangan. ***
137
Chapter 15 Lomba cerdas cermat tingkat provinsi.
Matahari kian dimasa teriknya. Aku lihat jam tanganku sudah menunjukkan pukul Sembilan pagi. Aku dan seluruh siswa yang mengikuti lomba cerdas cermat Se-Provinsi Kalsel masih berjemur di bawah terik sang surya. Ini gara-gara budaya jam karet yang menyebabkan upacara pembukaan lomba jadi telat hingga satu jam. Acara yang semestinya dimulai jam tujuh pagi, akhirnya dimulai jam delapan pagi karena harus menunggu pembesar yang membuka acara datang terlebih dahulu. Ini benar-benar hal yang paling aku benci. Keringatku sudah mulai berjalan geli dari pelipis hingga ke pipi. Aku memain-mainkan kakiku di tanah sambil menggambar sesuatu secara abstrak. Aku sudah bosan mendengarkan pidato pembukaan yang cukup panjang oleh panitia. Aku lihat Rasyid dan Zanariah fokus dengan buku saku kecil ditangan mereka. Beberapa siswa peserta lomba yang mengikuti upacara itu juga sibuk dengan buku-buku bacaan mereka. Hanya aku yang sepertinya tak memiliki persiapan. Aku menatap minder ke arah mereka. Selesai upacara pembukaan, aku segera mencari tempat teduh dan mengambil botol minuman yang ada di dalam tas. Tanpa lupa membaca bismillah, aku segera menyelesaikan beberapa tegukkan untuk membahasi tenggorokanku yang sudah terasa sangat 138
kering. Beberapa saat, Zanariah dan Rasyid sudah berdiri di hadapanku. Rasyid memberikan isyarat untuk menuju ruang lomba. Lomba cerdas cermat ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu lomba individu dan tim. Setelah Zanariah dan Rasyid selesai mengikuti lomba individu, kini gilaran aku ikut beraksi bersama mereka dalam lomba antar tim. Dilomba ini tim yang ikut ada lima belas dan itu dari lima belas sekolah yang berbeda. Sejak tadi yang aku lihat pemandangannya seragam. Hampir semua siswa yang ikut lomba itu membawa buku kemana-mana dan membacanya disetiap ada selang waktu sedikit apapun. Kutatap setiap wajah mereka. Semuanya hampir serupa, “potongan kutu buku” pikirku mengomentari setiap anak yang nampak menyendiri dan terlihat agak culun dengan kacamata yang menempel di wajah mereka. Rasanya hanya aku yang sejak datang pagi tadi tak pernah barang sekalipun memegang sebuah buku. Aku malah bertanya kepada diriku sendiri, aku siap atau tidak?. Ya, setidaknya aku sudah mempersiapkan semuanya beberapa hari yang lalu sebelum lomba ini diselenggarakan. Hingga saat ini, yang kupikir hanyalah alasan kenapa sekolah mempercaya aku untuk masuk di tim ini dan ikut lomba bersama Rasyid dan Zanariah. Memang Rasyid dan Zanariah adalah dua siswa yang memiliki intelektualitas yang mapan. Dan jika aku punya sepuluh jempol, maka aku akan kasihkan sepuluh jempol itu untuk mereka. Tapi aku?. Aku tak punya spesialisasi apa-apa. Bahkan aku merasa di sekolah 139
masih banyak siswa yang meskipun tidak sebrilian Zanariah, tapi setidaknya lebih baik daripada aku. Aku menggaruk-garuk kepalaku yang sebenarnya tak sedang gatal. Lomba dimulai. Lomba pertama adalah babak penyisihan untuk menuju babak selanjutnya, yakni babak semifinal. Setiap penyisihan diwakili lima tim dan akan diambil tim peringkat pertama dan kedua. Soal yang disajikan adalah pilihan ganda dan esay. Penilaian akan dilakukan oleh juri hari ini dan akan diumumkan besok. Dan betapa tak diduganya, tim kami lolos untuk melaju ke babak semifinal. Dibabak semifinal peraturannya agak berbeda. Format lombanya seperti yang sering diadakan di tv, yakni setiap kelompok akan mengambil setiap amplop yang berisi pertanyaan. Dan setiap tim harus menjawab semua pertanyaan yang ada di amplop itu dengan benar. Jika salah maka skor dikurangi, dan jika pas, maka skor tidak bertambah ataupun berkurang. Akan tetapi, pertanyaan yang pas itu akan diajukan kepada kelompok lain. Dan jika kelompok lain itu menjawab dengan benar, maka nilainya akan bertambah. Jika salah, maka juga akan berkurang. Satu hal yang selalu ku kagumi dari Zanariah dan Rasyid. Setiap mereka menghadapi setiap pertanyaan yang muncul, mereka selalu tenang. Berebda sekali denganku. Bahkan bukannya konsentrasi untuk menjawab pertanyaan yang diberikan panitia, aku justru asik memerhatikan setiap gerak-gerik Rasyid dan Zanariah yang terlihat 140
begitu fokus seolah tak sabar ingin melahap semua pertanyaan dan menjawab semua pertanyaan itu dari panitia. Dan aku, hanya tertegun dengan kekagumanku akan dua brilian itu. Benar-benar karena keberuntungan semata. Rasanya, aku tak banyak, bahkan bisa dikatakan tidak ada sedikitpun andil bagian dalam tim ini untuk menjawab pertanyaan yang dilemparkan panitia. Beberapa menit yang lalu, dari total lima belas soal yang ditanyakan, aku hanya berhasil menjawab satu pertanyaan yang sejatinya aku sangat yakin Zanariah dan Rasyid juga kontestan yang lain pasti juga tahu betul jawabannya. Hanya karena menang cepat memencet bel, akhirnya aku yang menjawabnya. Pertanyaan terakhir. Sang juri mulai menjelaskan perturannya. Benar-benar unik. Setiap tim diminta untuk mempertaruhkan skor yang telah mereka kumpulkan minimal 30 nilai. Jika pertanyaan kelompok benar, maka nilai 30 yang ditaruhkan itu akan menjadi tambahan nilai bagi tim. Tapi bila salah, maka nilai tim akan di kurangi sejumlah nilai yang ditaruhkan. Dahiku mengernyit seketika. Rasyid dan Zanariah nampak bertatapan. Mungkin apa yang mereka pikirkan saat ini tak beda denganku. Sejak kapan ada lomba cerdas cermat yang memiliki format seperti perjudian ini?. Batinku menanya. Ku lihat beberapa orang dewasa berpakaian seragam dinas nampak memasang wajah bingung. Mungkin memikirkan hal yang sama denganku. Tapi apalah 141
daya, ini sudah menjadi ketentuan panitia dan tak mungkin protes dilakukan disaat lomba tengah berlangsung. Aku melihat ke papan nilai sementara. Kelompokku mendapat nilai 120. Jika kami menaruhkan nilai 40, maka jika benar total skor menjadi 160 dan bila salah maka akan menjadi 80, karena dikurangi 40 poin. Aku lihat dari papan nilai kelompok A memiliki total nilai lebih tinggi dari kami, 150. Kelompok B memeroleh 90 poin. Kami berada di tengah-tengah. Dari selentingan orang-orang, SMP Favorit kota Banjarbaru dan MTsN Banjarmasin sudah memastikan diri untuk menuju babak final yang dilaksanakan besok. Rasyid menggamit tanganku sambil berbisik “Pasang poin barapa kita nih?” ujarnya.Aku tersentak. Bisa-bisanya ia menanyaiku. Padahal, saat ini Rasyid adalah ketua tim kami yang setiap keputusan selalu kami percayakan kepadanya. Tapi di saat seperti ini, dia masih memerhatikan bocah tanpa reputasi dan partisipasi ini untuk memberikannya masukan. “Barapa Cai, lakasi?145” ucapnya sambil menggamit tanganku untuk kedua kalinya. Aku tertegun. Setelah memejam sambil menghening sejenak, “Bismillah..” aku mengambil spidol di tangan kanan Rasyid dan menulis angka 40 di papan pengajuan poin yang ditaruhkan. Agak ragu antara berjudi dan apalah, aku tak tahu. Yang pasti, 145
Berapa Cai, Cepa..?
142
dengan Bismillah, aku percaya hal spektakuler biasanya akan terjadi. Sekilas ku dapati wajah Rasyid dan Zanariah yang melongo melihat sikapku barusan. “Napa buhannya?146” tanyaku bingung menatap kedua bocah yang sejak tadi bersamaku itu. Sontak Rasyid dan Zanariah menggeleng sambil tersenyum payau. Detik bergulir pelan. Nafas Rasyid benar-benar terasa berkoar deras dari bilik telingaku. Aku menatap wajah yang tengah berkonsentrasi dari Rasyid dan Zanariah. Keduanya nampak serius. Pertanyaan di lemparkan. Semua tim diminta menuliskan jawaban mereka dalam kurun waktu tiga menit pada sebuah kertas jawaban yang diberikan panitia kepada masing-masing tim. Setelah itu kertas jawaban akan diserahkan kepada juri, dan lalu juri yang lain akan menjelaskan jawaban yang benar dari pertanyaan itu. Setelah itu baru perhitungan skor dan pengumuman skor akhir dilakukan. Panitia kembali membacakan soal sejarah lokal yang tadi sudah dibacakan. Dengan sigap juri memaparkan runtutan jawaban dari soal tersebut secara kronolog. Aku bahkan tak tahu apa yang ditulis Rasyid di atas kertas jawaban. Hari ini aku benarbenar tak ada kontribusi apapun. Aku malu dengan diriku sendiri. Namun, dari rona wajah Rasyid dan Zanariah, sepertinya kami mendapat pertanda bahwa kali ini jawaban kami benar. Meski tak begitu yakin, 146
Ada apa teman-teman?
143
etah mengapa perasaanku langsug merasa kegirangan. Tiba-tiba Rasyid menatap ke arahku dengan wajah berubah pasi. Aku faham, jika kelompok B yang mempertaruhkan semua nilainya, 90 poin itu jawabannya benar, maka poin mereka akan menjadi 180. Sedangkan kelompok A yang kini memiliki 150 dan jawaban mereka juga benar, maka dengan poin yang meraka pertaruhkan sebanyak 50 poin akan memeroleh angka poin tertinggi, 200 poin. Dan meski tim kami juga benar, nilai kami hanya 160 poin. Dan bahkan menjadi tim dengan nilai terendah. Jantungku langsung berdegup kencang. Aku mencoba menatap wajah kedua tim yang menjadi kompetitor kami untuk merebut tiket final. Ku lihat wajah mereka nampak tetap tenang, bahkan seolah memberikan pertanda kalau mereka benar. Aku jadi merasa rendah sendiri. Aku merasa benar-benar semakin tak berguna. “Berikut hasil keputusan juri dari pertanyaan penentuan tadi.” Ucap salah seorang MC yang sudah hampir satu jam lebih memandu babak semifinal lomba cerdas cermat ini. “Kelompok A, dikarenakan salah dalam menyebutkan tokoh yang berperang melawan Belanda di desa Kuin carucuk, maka kami memutuskan bahwa jawaban mereka salah.” ucap Juri lomba. Seketika semua anggota kelompok A nampak lesu.
144
“Begitu juga kelompok B. Dikarenakan kesalahan yang hampir sama, maka jawabannya kami nyatakan salah. dan Hanya regu C, yang rupanya mampu menjawab serta menjelaskan jawabannya dengan sangat runtut dan jelas. Sehingga jawaban untuk regu C kami anggap benar. Dan total nilai akhir adalah…..” “Yeeee…..” Ungkapku berteriak membuat MC yang tengah berbicara terdiam sesaat. Semua mata sontak tertuju kepadaku. Aku tertegun dan terdiam sambil menenggelamkan diriku dibalik seragamku yang sedikit kebesaran. “Total poin dari semua tim adalah; tim A memeroleh niliai poin akhir 100. Tim B memeroleh poin akhir 0, dan Tim C, memeroleh poin akhir 160. Sehingga yang berhak melaju ke babak final adalah Tim C. Selamat kepada tim C…” ungkap Juri yang nampak melemparkan senyumnya kepadaku. Seketika aku memeluk Rasyid dan menepuk bahunya dengan penuh kebanggaan. Benar-benar lomba yang menegangkan dan sedikit aneh, menurutku. Itu karena sesi terkahir tadi aku merasa tak sependapat dengan keputusan juri yang membuat sistem lomba seperti taruhan itu. “Lomba apa-apaan ini?” teriak salah seorang penonton lomba yang mengenakan seragam dinas. “Mana ada lomba kayak judi seperti ini??” ungkapnya dipenuhi amarah. Suaranya tinggi membentak. 145
“Iya… kita tidak usah lagi ikut lomba seperti ini..” ungkap salah seorang anggota dari kelompok A yang masih duduk di kursi-meja lomba. Semua orang terdiam dan semua mata tertuju kepada mereka. Meski aku tak kenal, aku yakin mereka adalah guru dan murid yang merasa dirugikan oleh akibat sistem lomba yang dirancang sedemikian. Meski tim kami yang menang, tapi aku meresa tak sedikitpun ada kebanggan karenanya. Entah karena aku merasa ini hanya kebetulan, atau memang karena aku kasihan dengan tim yang tadinya berada di ujung gerbang final, karena sudah meraih skor tertinggi, namun bayangan piala mereka runtuh karena taruhan mereka yang meleset dan akhirnya kalah, aku tak tahu. Suasana ruangan kelas yang di setting sebagai tempat lomba sempat tegang. Namun, seketika kembali kondusif setelah kawanan guru dan murid itu menghilang dari pandangan semua orang yang ada di ruangan itu. Satu hal yang kini terbesit dalam benakku. Meski sepele dan kupikir masih belum bisa dikatakan sebagai kontribusi yang sangat berarti, tapi rangkaian kata “Bismillah” yang ku baiatkan sebelum menaruhkan harapan kami kepada kekuasaan Tuhan benar-benar membawa hal spektakuler… Wallah, La haula wala kuwwata illa billah.. ***
146
147
Chapter 16 Maaf Semua kontestan nampak sibuk dengan tim mereka masing-masing. Hari ini adalah final semua lomba, baik individu maupun antar tim. Dua jam yang lalu final lomba individu sudah di mulai. Tak satupun dari Rasyid dan Zanariah yang ikut masuk ke ruang lomba antar individu. Rasanya tak perlu menanyai mereka. Aku sudah tahu, mereka belum beruntung untuk bisa masuk babak final lomba antar individu itu. Tapi setidaknya, aku bersyukur karena kami bisa masuk final di kategori antar tim. Rasyid dan Zanariah nampak berjalan mendekatiku. Tapi, seketika aku berlari menjauh dari mereka. perutku terasa sakit tiba-tiba. Aku berusaha segera menemukani papan bertuliskan WC atau TOILET atau sejenisnya. Dan sejurus, akhirnya ku temukan jua. Ku dapati jam dinding besar di sekolah ini sudah menujukkan pukul 8.45am. Itu artinya lima belas menit lagi final lomba antar tim akan di mulai di aula sekolah. Setelah selesai dengan hajatku, aku segera berlari menuju aula sekolah. Sial, di sekolah yang cukup besar ini sempat-sempatnya aku tersesat untuk mencari aula sekolah yang bangunannya begitu besar itu. Dan tiba-tiba, aku menemukan sesuatu yang mencurigakan. Ku dapati dua orang berseragam berbeda nampak memasuki sebuah ruang kosong. Seorang murid berseragam putih biru sepertiku, dan 148
orang dewasa berpakaian seragam dinas yang tak begitu jelas. Diam-diam, aku mengikuti langkah mereka. Sepertinya mereka tak menyadari keberadaanku. Aku melirik ke arah jam tanganku, waktu final tinggal lima menit. Dengan cekatan, aku mengendap-ngendap agar kedua orang itu tak menyadari keberadaanku dan mengintip apa yang mereka lakukan dari balik ruangan kosong itu. Aku masih tak yakin dengan apa yang baru saja kulihat, apa ini sebuah kecurangan bermodus jual beli soal atau apa. Yang jelas, orang dewasa berpakaian seragam dinas berwarna cream kecoklatan itu nampak memberikan sebuah kertas kepada si murid dengan cepat. Dan tak perlu waktu lama, kedua orang itu beranjak dan berjalan menuju ke luar ruangan. Seketika akupun cepat-cepat berlari menyelematkan diri agar mereka tak menaruh curiga kepadaku. ***
Babak Final di mulai. Pesertanya adalah MTs Banjarmasin, SMP Banjarbaru dan sekolahku yang tak begitu terkenal, MTsN Gambut. Ku tatap semua wajah peserta lomba, Rasyid, Zanariah, dan keenam peserta dari sekolah dari dua kotamadya itu. Semuanya nampak serius penuh keyakinan. Dari bangku tim A yang diwakili SMP Banjarbaru, ku nampaki wajah bocah seumuranku yang tadi ku lihat melakukan transaksi dengan seorang pria dewasa 149
berpakaian dinas berwarna cream kecoklatan. Wajahnya nampak tenang dengan senyum sedikit mengejek dan memandang remeh kepada tim lain. Aku mencoba diam dan tenang. Aku tak bisa menentukan dan memutuskan bahwa tim itu telah curang. Aku masih belum memiliki bukti tentang apa yang ku lihat beberapa menit yang lalu. Semuanya masih berupa kecurigaan. Aku tak boleh gegabah. Keringat dingin mengucur dari pelipis hingga pipiku. Degup jantungku berdetak semakin kencang. Dibenakku, aku semakin tak sabar ingin mengeluarkan apa yang tersimpan di balik saku celananya. Lombapun dimulai dengan pengundian ampolop berisi pertanyaan seperti saat penyisihan. Semua tim berhasil menjawab dengan benar semua pertanyaan. Wajah bocah laki-laki mencurigakan itu semakin menunjukkan polahnya. Ia menatap setiap peserta, termasuk aku dengan tatapan menremehkan. Aku semakin tak sabar. Lomba dilanjutkan dengan babak rebutan. Di babak ini, hampir setiap kali pertanyaan yang dilemparkan kepada para tim peserta lomba tak satupun yang dapat tim kami jawab. Kelompokku kalah cepat. Bocah menjengkelkan itu selalu paling cepat memencet tombol bel untuk meyakinkan juri bahwa dialah siswa paling cerdas yang berhak menjawab pertanyaan itu. Aku kembali menatap 150
wajah bocah itu. Senyumnya benar-benar arogan. Aku sudah tak kuat dengan kecurigaanku. “Juri yang terhormat…??!!” ucapku meninggi. Aku sudah tak kuasa menahan gejolak ambisiku untuk mempermalukan bocah itu di hadapan seluruh orang yang ada di aula ini. Sang juri pembaca soalpun tiba-tiba terdiam. Suasana menghening. Semua tertegun dan sorotan mata mereka menatap seluruhnya ke arah ku. Aku mulai gugup. Dengan secercah keberanian dan harapanku, aku mencoba bersuara. “Tim SMP Banjarbaru itu curang. Mereka sudah mengetahui soal dan jawaban yang akan di pertanyakan oleh panitia….” Ucapku setengah ragu. Semua yang ada di ruangan itu, juri, peserta lomba, dan para penonton langsung bereaksi dengan suarasuara yang tak jelas aku dengar. Suasana sempat ribut. Tapi, entah mengapa kini muncul perasaan khawatir jika tuduhanku itu salah kini menghujam batinku. Seketika Rasyid dan Zanariah menatap ke arah ku, tajam. Semua orang memasang mata terbelalak. Dan aku, hanya berharap apa yang ku ucapkan dan yang ku lihat beberapa menit sebelum acara lomba itu di mulai adalah benar. Mereka curang dalam perlombaan ini.
151
“Kalo benar mereka curang, mana buktinya?” Ucap salah seorang Juri. Aku menoleh ke sekililing. Berharap menemukan seseorang yang tadi menyerahkan selembar kertas yang aku yakin berupa soal dan jawaban babak final lomba ini. Semua wajah ku pandangi. Sial, yang ku ingat hanya satu, orang itu mengenakan kemeja seragam dinas berwarna cream kecoklatan. Aku sendiri tak begitu melihat jelas wajahnya. Beberapa juri masih berbisik. Keringat panas dingin tiba-tiba saja mengulir di pelipis hingga pipiku. Setelah beberapa saat melalui pemeriksaan akhirnya juripun memutuskan. Karena tidak ada bukti terkait hal yang telah dituduhkan, maka kelompokku dinyatakan didiskualifikasi oleh juri lomba. Kami diminta keluar dari meja peserta lomba final karena telah melayangkan tuduhan tidak benar. Aku tertegun, terdiam, tak percaya. Aku tak kuasa menahan sesak di dada. Kepalaku serasa beku. Ku coba menoleh ke arah dua temanku yang rupanya sejak tadi memandangiku. Keduanya nampak bisu. Kami bertiga terdiam sesaat. Tangan Rasyid segera memegang tanganku dan tangan Zanariah. Kami keluar dari ruangan dan segera pulang menuju rumah. Sepanjang jalan aku merasa sangat bersalah. Kenapa aku harus melontarkan tuduhan itu. Padahal kami sudah berada di ujung jalan. Seandainya aku 152
tidak gegabah melayangkan tuduhan itu, maka meskipun kami kalah, toh kami akan memeroleh predikat ketiga. Masih mendapat sedikit kehormatan. Aku merasa apa yang kulakukan itu sangat salah. Aku merasa sangat bersalah kepada Rasyid, Zanariah dan tentunya kepada sekolahku. Itu karena selain membawa nama sendiri, kami datang membawa nama sekolah kami di lomba itu. Dan setelah ini, aku yakin sekolahku menjadi tercoreng dan masuk catatan hitam oleh panitia lomba yang diadakan tahunan ini. Dan mungkin, aku akan dikeluarkan dari sekolah karena sudah mempermalukan sekolah. Rasanya kini aku sudah tak memiliki asa. Harapan yang ada di hadapan mata Rasyid, Zanariah dan sekolahku rasanya hancur berkeping karena ulahku, karena keegoisanku. Anganku mengangkat piala di depan khalayak upacara senin dan menyerahkannya kepada kepala sekolah itupun sirna. Akupun kini mulai merasa sudah sepantasnya mendapatkan sanksi sosial sebagai seorang pecundang, hina. ***
153
Dan angin meriuh, menyemburkan berjuta penghinaan tepat di wajahku. Aku bisa merasa setiap tatapan mata siswa di sekolahku semuanya menunjukkan satu rasa yang sama, pengucilan. Yah, rasanya di negeri ini sudah biasa jika setiap pejuang yang pergi berperang tanpa membawa hasil apalagi membawa sesuatu yang memalukan tentu mendapatkan penghinaan. Samalah mungkin seperti para pendukung timnas sepakbola Indonesia yang begitu mengharum-harumkan para pemain tim nasional sepakbola Indonesia ketika menang dan menghina-hina mereka ketika kalah. Padahal kalah di putaran final pula. Itupun karena sebuah kecurangan. Seakan perjuangan timnas ketika berupaya melaju ke babak final itu bukan suatu hal yang perlu diberi apresiasi. Rasanya setiap manusia di dunia ini hanya sedikit yang mau menelisik suatu kejadian dengan sorot mata yang lebih bersih dan berpemikiran. Tapi untuk kasus diriku, mungkin lingkungan berpikir bahwa memang sudah sewajarnya bocah ceroboh dan egois ini menyandang sebuah sanksi sosial hingga akan meninggalkan sekolah ini pada akhirnya. Entah karena aku lulus, jika lulus, ataupun karena sebentar lagi kepala sekolah akan memberikanku surat pemulangan alias pengeluaran dari sekolah. Apapun itu, aku sudah berusaha untuk mempersiapakan diri. Semenjak hari itu, aku sudah tak lagi melihat Rasyid duduk di kursinya. Zanariah bilang ia sudah tak pernah lagi terlihat masuk ke sekolah. Perasaan 154
bersalahku kembali mencuat. Apa mungkin itu karena rasa kecewanya kepadaku?. Pikirku. Sepulang sekolah aku langsung berkunjung ke rumahnya. Kosong dan sepi. Sepertinya tak ada seorangpun di dalam rumahnya. Seorang nenek tua keluar dari balik pintu kayu lapuk tua dari rumah sebelah dan mengatakan kepadaku kalau empu rumah sudah seminggu pergi ke Kandangan147. Ia bilang Julak Basun sakit sehingga ia ingin putranya Rasyid membawanya pulang ke kampung halamannya di Hulu Sungai Selatan. Aku merunduk sambil mengucap sebuah kata lirih, “Maaf…”, dan pulang dengan semangat yang sudah tak bersisa. Bersambung… ***
147
Sebuah daerah di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan
155
Chapter 17 Nostalgia
Photo by: Randy Rakhmadany Langit masih kelam. Dari atas jukung besar yang tengah melaju di atas ombak-ombak sendu sungai Kuin, pancaran sinar mentari yang biasa merambat dari ufuk timur sana masih belum terlihat. Tapi para warga yang tinggal di sepanjang bantaran sungai di negeri seribu sungai ini mulai mengayuh 156
jukung-jukung mereka mengarah tujuan yang sama, pasar terapung. Alunan ombak sungai yang menggoyanggoyangkan kapal adalah nostalgia lama yang benarbenar aku nikmati. Di luar sana, hujan rintik datang. Binar cahaya lampu yang ada di pinggir jalanan bisa kulihat begitu menawannya dari atas sungai ini. Hari ini, tepat dua puluh tahun dari masa kecilku, saat aku masih bergelut dengan profesi yang sama dengan mereka yang tengah sibuk lalu lalang mengayuh jukung. Ya, dulu aku adalah satu dari mereka, si anak sungai yang berdagang di pasar terapung. Tapi, seiring roda kehidupan yang terus berputar, kini masa itu telah berlalu. Kehadiranku di sini, di kampung halamanku tercinta ini, kini menjadi agenda rutinku tiap tahun. Itu karena aku sudah tak lagi menetap di Kalimantan. Seakarang aku bekerja menjadi salah satu teknisi kapal di pelabuhan kota Batam, Kepulauan Riau. Dua hari yang lalu, tepat saat Hari Raya Iedul fithri, aku bersyukur bisa kembali merasakan nikmatnya kebersamaan bersama keluarga tercinta di Banjarmasin. Hanya saat libur Lebaran ini aku bisa pulang. Selebihnya waktuku ku habiskan di pelabuhan pelayaran Batam. Jejak rentang hidup ternyata menghalaukanku menjadi seorang mekanik kapal bukan Profesor, sebagaimana yang aku cita-citakan dulu. Kita memang tidak tahu apa yang akan dilakukan tuhan 157
kepadaku meski kita sudah menyusun rencana sematang mungkin. Itulah yang ku alami sekarang. Aku yang dulu ingin menjadi penyelamat sistm perairan tanah seribu sungai, kini malah menjadi mekanik kapal dan menikah dengan seorang perempuan berdarah Melayu yang tinggal di Riau. Wanita yang sangat baik hatinya, Sarah. Meski demikian aku cukup bersyukur dengan semua yang aku miliki saat ini. Aku merasa kini hidupku relatif lebih baik dari pada dulu. Meskipun akhirnya aku harus berpisah dengan keluargaku di Banjar. Yang terpenting adalah aku ingin terus berusaha sampai titik darah penghabisan untuk menyongsong mimpiku yang pernah aku tautkan bersama Rasyid di pondok kecil tengah ladang kakekku yang kini sudah almarhum. Tiba-tiba saja aku teringat bocah laki-laki yang gigih itu. Rasanya aku rindu sekali dengannya. Sudah hampir dua puluh tahun kami berpisah. Semenjak ia menghilang ketika masih duduk dibangku kelas tiga Tsanawiyah pasca aku menghancurkan impiannya mengangkat piala di sebuah lomba tingkat provinsi. Saat itu aku masih ingat, aku duduk di kelas dua Tsanawiyah kala itu. Tapi, lambat laun ku dengar, rupanya ia pergi ke kampung halamannya di Kandangan untuk merawat julak Basun yang kala itu sakit keras. Entah bagaimana kabar anak itu dan dimana sekarang ia berada?, aku tak mengetahuinya. Tentu ia juga sudah dewasa seperti aku. Yang aku dengar dari teman sejawat dulu, kini ia tinggal di Banjarbaru. Ada pula yang bilang kalau ia menikah 158
dengan putri Kiai Pondok pesantren Darul Hijrah Cindai Alus. Jikalau itu benar, lusa aku ingin menemuinya di pondok pesantren. Aku sangat rindu dengannya. Aku juga ingin minta maaf kepadanya tentang lomba itu. Karena sebelum ia menghilang aku belum simpat mengatakan kata “maaf” itu kepadanya. Rasyid, aku bahkan sudah lupa dengan wajahnya. Yang ku ingat darinya hanya sorot matanya yang tajam dan goresan raut wajahnya yang kasar. Matahari kian merangkak dengan perlahan memenuhi pandangan setiap mata di ufuk timur sana. Dan akhirnya sang surya itupun menyapa kami yang saat ini masih berada di dalam kelotok148 bersama penumpang yang lain. Aku menatap ke sepanjang pinggiran sungai Kuin. Jam-jam segini pemandangan khas kampong halamanku ini mulai terlihat. Para bocah-bocah kecil yang ingin pergi ke sekolah mulai turun ke batang untuk mandi. Ibu-ibu rumah tangganya sibuk memasak dan mencuci pakaian. Dan para bapak sudah mulai turun ke pengaduan rezeki mereka masing-masing. Aku tersenyum sendiri melihat pemandangan itu. aku teringat masa kecilku dulu. Dan tiba-tiba saja aku jua teringat Amad, sahabat kecil sebelah rumahku. Hampir satu minggu aku berada di Kuin tanpa pernah melihat Amad sekalipun di kampong. Ketika ku temui di rumahnya tepat saat Hari Raya kemarin, ia jua taka da. Rumah itu kosong tak berpenghuni. Kata ibuku, keluarga paman Idris itu sudah pindah lima tahun yang lalu ke 148
Perahu bermesin (getek)
159
Bati-bati. Sekarang keluarga itu membuka rumah makan di sana, ujar ummaku. Jika mengenang masa kecilku, rasanya aku benar-benar terharu, bahkan ingin meneteskan air mata saja rasanya. Sebuah perjuangan tanpa henti yang ku torehkan dengan tinta keringat kerja keras. Aku bangga dengan diriku sendiri. “Yah, anak-anak kecil tu nak mandi, ye?”. Dalam lamunanku, suara Sarah yang kental dengan logat melayunya itu membangunkanku dari nostalgia masa lalu. Istriku itu menatap jauh ke pinggiran sungai Kuin yang di sekitarnya banyak anak kecil yang bertelanjang bulat, mandi dengan gembiranya. Di sana jua nampak beberapa ibu-ibu rumah tangga yang hanya berpakaian tapih bahalai sedang mencuci pakaian. “Iye.. mereka tu ‘nak siap-siap berangkat sekolah..” balasku tersenyum. Istriku itu mengangguk dengan senyum manisnya sambil terus menampaki pemandangan yang baginya tentu sangat asing. “Yah, Zulaikha jue ‘nak pengen ikot mandi dengan mereka tu...” sahut seorang gadis kecil nan lucu polos. Gadis berusia tiga tahun itu adalah putri kesayanganku, buah pernikahanku dengan Sarah, namanya Zulaikha. Malaikat kecil itu menunjuknunjuk ke seberang sana dengan tertawa girang di gendongan Sarah.
160
“Nanti saje lah, sayang..? nanti kita ‘nak ke kolam renang saje..” Balasku sambil membelai kepala Lekha, gemas. “Berarti Ayah dulu macam tu juga, ke?” sahut Sarah. Wajahnya penasaran. “Iye, Dek… namanya jue orang Banjar Kuala149. Ya hampir semuanye lah hidupnya macem tu di bantaran sungai Kuin ini, Dek..” Balasku menjelaskan. Sarah hanya membalas ucapanku itu dengan tersenyum dan mengangguk. Tak berapa lama seorang pelayan yang bekerja di jukung besar yang sejatinya warung pagi itu datang menghampiri kami sambil meyerahkan du gelas teh hangat dan beberapa kue tradisional khas Banjar. Wajah Sarah menampakkan sebuah keheranan. Aku yakin ia belum pernah melihat sebelumnya apa yang saat ini ia lihat. “Naaah, ini namanya untuk’, pais, bingka, sunduk lawang, dan yang terakhir ini kesukaan ayah, wadai150 ruti pisang.” Ucapku menjelaskan sambil menujuk kue yang ada di piring itu satu-satu. “Namanya lucu-lucu kali ye..” sahut Sarah sambil tersenyum mengeluarkan sebelah lesung pipinya. Orang Banjar muara yang tempat tinggal mereka berdekatan dengan sungai 150 kue 149
161
Aku benar-benar menikmati nostalgia lama ini. Dengan penuh kenikmatan, aku menyeruput teh hangat yang baru saja dibawakan oleh pelayan jukung. Rasanya benar-benar luar biasa. Almarhum abah pernah bilang, orang yang pernah meminum air dari tanah Banjar, pasti orang itu satu saat akan kembali ke Banjar dan merindukannya. Barangkali ada benarnya juga ucapan abah itu. Rasanya jika aku tak pulang ke Banjar saat lebaran tiba, aku merasa ada yang kurang dalam hidupku. Aku jadi rindu abah. Dalam diam, sejenak aku menghaturkan do’a yang aku hadiahkan untuk beliau yang sudah berada di alam sana. Aku semakin rindu masa kecilku. Masa kecil yang penuh haru dan air mata itu. Mentari semakin merangkak naik. Kawanan burung Tatapaian yang biasa keluar di pagi hari, kini mulai menampakkan gerombolan mereka. Aku semakin terpesona dengan indahnya kampung halamanku ini. Sedari tadi Sarah terus menanyaiku tentang hal-hal yang ia masih asing dengannya. Tentang kehidupa orang Banjar dan tentang segala hal yang ada di sini. Aku menjelaskannya dengan seksama dengan perasaan kagum yang ikut menyertainya. Ternyata jika diceritakan, barulah aku menyadari bahwa tanah ini benar-benar menyimpan berjuta khazanah budaya yang luar biasa. Kelotok terus melaju melanjutkan perjalanannya setelah beberapa lama singgah di pasar terapung. Kali ini kami menuju soto Bang Amad yang terkenal di kota Banjarmasin, yang berada di daerah 162
Banua Anyar, dekat rumah keluarga almarhum Abahku. Kami ingin sekalian bersilaturrahim ke sana. Awak kelotok151 menambah kecepatan. Kelotokpun meluncur seketika. Aku masih terus menikmati masa silam itu sambil menatap wajah manis putri dan istriku. Hari ini adalah hari dimana masa lalu itu menjadi sejarah. Dan hari ini adalah kenangan untuk hari yang akan datang. Semoga semuanya menjadi pelajaran dan selalu menjadi cerita manis, untuk dikenang. Oleh : Ahmad Husairi
Selesai…. ***
151
Perahu Getek
163
Tentang Penulis… Hafiez Sofyani Lahir di Desa Muara Durian (sekarang bernama Desa Malintang Baru) Kecamatan Gambut, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Masa kecilnya dihabiskan dengan bermain, turun ke sawah, berenang, memancing, dan mencari ikan. Ia merupakan alumni dari Jurusan S1 Akuntansi di salah satu perguruan tinggi di Malang dan juga alumni jurusan S2 Akuntansi salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta. Selagi kuliah, ia aktif sebagai penulis majalah kampus, peneliti, asisten laboratorium Akuntansi, dan aktivis mahasiswa Kalsel di Malang. Sebelum menulis novel “Kakamban Habang”, ia pernah meluncurkan Novel berjudul “Bulan Sabit di Langit Burniau” pada tahun 2012 dan muncul dengan nama pena Hafiez ‘Aliyatul Anwar. Saat ini ia bekerja sebagai dosen program studi akuntansi di salah satu perguruan tinggi yang ada di Yogyakarta. Kontak kepada penulis dapat dilakukan via E_mail:
[email protected].
164