BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Indonesia terletak pada garis 60 LU – 110 LS dan 950 BT – 1410 BT.
Dengan demikian, Indonesia terletak di daerah khatulistiwa. Letak ini menyebabkan Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Yang diketahui bahwa 17.000 pulau yang didalam wilayahnya terdapat berbagai macam jenis spesies yang unik dan endemik. Jenis-jenis hewan yang ada di Indoensia diperkirakan berjumlah sekitar 220.000 jenis yang terdiri dari atas lebih kurang 200.000 serangga (±17% fauna serangga di dunia), 4.000 jenis ikan, 2.000 jenis burung, serta 1.000 jenis reptilia dan amphibia. Salah satu yang menjadi kekayaan hayati di Indonesia adalah fauna yang memiliki beragam macam jenisnya salah satunya spesies burung yang secara ilmiah digolongkan ke dalam kelas Aves. Dimana burung atau unggas adalah anggota kelompok hewan bertulang belakang (vertebrata) yang memiliki bulu dan sayap. Jenis-jenis burung begitu bervariasi, mulai dari burung kolibri yang kecil mungil hingga burung unta, yang lebih tinggi dari orang. Diperkirakan terdapat sekitar 8.800 – 10.200 spesies burung diseluruh dunia, sekitar 1.500 jenis ditemukan di Indonesia. Saat ini di Indonesia terdapat beberapa jenis yang tergolong ke dalam spesies burung yang merupakan endemik asli Indonesia dan tidak ditemukan di daerah lain. Jenis spesies burung yang asli (hidup secara alami) di Indonesia
1
adalah 10 spesies. Sepuluh jenis burung asli Indonesia tersebut adalah sebagai berikut: Trulek Jawa (Vanellus Macropterus), Tokhtor Sumatera (Carpococcyx Viridis), Jalak Bali (Leucopsar Rothschildi), Kakatua Kecil Jambul Kuning (Cacatua Sulphurea), Merpati Hutan Perak (Columba Argentina), Perkici Buru (Charmosyna Toxopei), Celepuk Siau (Otus Siaoensis), Anis-Betet Sangihe (Colluricincla Sanghirensis), Elang Flores (Spizaetus Floris), Gagak Bangai (Corvus Unicolor)1 Hal ini terjadi sesuai dengan hasil pengamatan pada tahun 2007, di Bali setiap tahunnya 500 ekor burung diselundupkan dan diperdagangkan. Jumlah ini tidaklah sedikit dan sebagaian besar diantaranya merupakan spesies-spesies yang dilindungi seperti kakatua jambul kuning (cacatua galerita), kakatua hitam (lorius lory), dan Jalak Bali (Leucopsar Rothschildi).2 Salah satu kasusnya yaitu terjadi pada bulan Februari dan Juli 2013 dimana, disitanya 6 ekor burung Jalak Bali atas dugaan satwa tersebut akan diperdagangankan secara ilegal dan ditangkapnya seorang kewarganegaran Thailand yang akan menyelundupkan 2 ekor burung Jalak Bali, namun kejadian tersebut digagalkan oleh pihak terkait. Terlebih lagi burung Jalak Bali (Leucopsar Rothschildi) yang merupakan satwa yang dikategorikan dalam IUCN (International Union for Conservation of Nature) sebagai
satwa kritis dan berdasarkan konservasi
perdagangan
internasional bagi jasad liar CITES (Convention on International Trade in 1
Kutilang Indonesia, 2011, Daftar Appendiks CITES URL:http://www.kutilang.or.id/2011/07/04/daftar-apendiks-cites/. diakses pada tanggal 9 April 2016 17.00 wita 2 Profauna, “Profauna Indonesia, Helps Uncvering Ilegal Parrot Trade Syndycycate in Bali” URL: http://www.evana.org. Diakses pada tanggal 11 September 2015, 22.00 wita
2
Endangered Species of Wild Fauna and Flora) dimasukan dalam Appendiks I, yaitu kelompok yang terancam kepunahan dan dilarang untuk diperdagangkan. Dan saat ini perdagangan satwa yang dilindungi tidak hanya memperdagangkan secara konvensional namun, sudah memanfaatkan dunia maya. Sejumlah situs internet dijadikan tempat berdagang satwa liar, antara lain di Toko Bagus, Kaskus, dan Berniaga. Dan mereka juga mempromosikan melalui situs jejaring sosial yaitu Facebook. Namun pada kenyataannya Lembaga Profauna Indonesia mencatat perdagangan satwa dilindungi secara online mencapai 303 ekor satwa yang terdiri dari 27 spesies.3 Bisnis menguntungkan yang melibatkan banyak pihak pelaku, mulai dari perburu, penampung, tukang offset (taxidemist) hingga eksportir, yang membentuk suatu mata rantai perdagangan tersendiri. Menurut analisis WWF (Word Wildlife Found) dan TRAFFIC4 tahun 2010 nilai perdagangan tumbuhan dan satwa secara internasional (termasuk perdagangan ilegalnya) mencapai USD 170 miliar per tahun. Khusus untuk satwa yang dilindungi, nilai perdagangannya di tingkat internasional mencapai USD 30 miliar per tahun.5 Dan parahnya lagi perdagangan satwa ini tidak hanya satwa secara utuh namun, penjualan organ-organ tubuh satwa langka juga, yang berkedok petshop atau toko jual beli hewan peliharaan maupun toko barang antik. Sehingga 3
Eko Widianto, 2012, “Profauna: Perdagangan satwa liar kini online” URL: http://nasional.tempo.co/read/news/2012/12/28/206450895/profauna-perdagangan-satwa-liar-kinionline. diakses pada tanggal 1 Oktober 2015 09.25 wita 4 TRAFFIC adalah sebuah lembaga yang didirikan pada tahun 1976 dan bergerak di bidang konservasi yang bekerja sama sekretariat CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), Anggota dari TRAFFIC dipilih oleh WWF dan CITES. 5 Abidah Billah Setyowati, dkk, 2013, Konservasi Indonesia, Sebuah Potret Pengelolaan dan Kebijakan, Perpustakaan Nasional, Jakarta, h. 22.
3
perdagangan secara online inilah yang menyulitkan petugas untuk melacak pelaku perdagangan satwa langka yang terancam punah itu. Sehubungan dengan banyaknya dan tidak terkendalinya masalah-masalah perdagangan terhadap satwa langka, sebuah organisasi yaitu International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) memberikan perlindungan terhadap satwa, maka digagaslah sebuah instrumen internasional yaitu Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) yang mengatur tentang perdagangan fauna dan flora yang hampir punah. Indonesia telah mengaksesi CITES melalui Keputusan Presiden No.43 Tahun 1978 yang mengikat (enter into force) Indonesia untuk mematuhi ketentuan-ketentuan dalam CITES. Kemudian lebih komperhensif Indonesia telah menetapkan UndangUndang No.5 Tahun 1990 Tentang Konvensi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Undang-undang ini menentukan kategori atau kawasan suaka alam dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengamanan keanekaragaman satwa langka, serta ekosistemnya. Selain itu pemerintah telah menetapkan Peraturan Pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1990 yaitu Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa dimana telah ditetapkan jenis-jenis satwa dan tumbuhan yang dilindungi karena satwa tersebut memiliki nilai ekonomis yang tinggi dan jumlah persebarannya yang pada saat ini makin terancam kepunahannya,
termasuk salah satunya burung Jalak Bali. Pemerintah telah
menerbitkan pula Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 1999 Tentang Pemanfaatan
4
Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Namun sayangnya undang-undang yang ada sepertinya hanya sekedar wacana yang tidak dirasakan keberadaaanya karena faktanya perdagangan tersebut semakin liar. Mengingat pentingnya lingkungan dengan wawasan global, seperti konsep perlindungan keseimbangan ekologi (protection on ecological balance of the biosphere), keseimbangan kebijakan pembangunan ekonomi dengan perlindungan lingkungan dalam rangka daya dukung lingkungan yang berkelanjutan (sustainable development), perlindungan lingkungan untuk kepentingan general masa kini dan masa depan (imperative goal for mankind), kebijakan pemerintah yang menyeluruh (large schale policy), dan tindakan yang bersifat usaha bersama (common effort) untuk kepentingan bersama (common interest). Dimana satwa langka merupakan salah satu bagian dari lingkungan. Maka penulis tertarik membahas permasalahan tersebut dengan judul “PERLINDUNGAN HUKUM BURUNG
JALAK
BALI
MENURUT
CONVENTION
ON
INTERNATIONAL TRADE IN ENDANGERED SPECIES OF WILD FAUNA AND FLORA DAN PENERAPAN HUKUMNYA DI INDONESIA.”
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas yang telah penulis uraikan,
maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) terhadap upaya penegakan hukum perdagangan spesies di Indonesia?
5
2. Bagaimana
perlindungan
hukum
burung
Jalak
Bali
dari
perdagangan menurut Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) dan hambatan
yang
dialami
pemerintah
dalam
mengendalikan
perdagangan tersebut?
1.3
Ruang Lingkup Masalah Untuk menghindari kesimpangsiuran dari permasalahan pokok, maka
dipandang perlu adanya penegasan dan pembatasan mengenai ruang lingkup masalah yang akan dibahas guna terarahnya pembahasan dan mencegah meluasnya permasalahan. Mengingat keterbatasan kemampuan yang Penulis miliki, untuk itu pembahasan penulisan skripsi ini akan dibatasi ruang pada permasalahan yang sesuai dengan rumusan permasalahan yang diajukan yaitu: 1. Dalam permasalahan pertama, ruang lingkup permasalahannya meliputi pembahasan mengenai pengaruh pengaturan CITES secara internasional, dan pengaruh CITES secara nasional sebagai upaya penegakan hukum perdagangan spesies di Indonesia 2. Dalam permasalahan kedua, ruang lingkup permasalahannya meliputi pembahasan mengenai bentuk perlindungan hukum burung Jalak Bali dari perdagangan menurut CITES, dan hambatan yang dialami pemerintah dalam mengendalikan perdagangan tersebut.
6
1.4
Orisinalitas Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di perpustakaan Fakultas
Hukum Universitas Udayana. Penelitian tentang Perlindungan Hukum Burung Jalak Bali Menurut Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora dan Penerapan Hukumnya di Indonesia belum pernah diteliti sebelumnya. Namun, ditemukan beberapa hasil atau tulisan yang hampir memiliki landasan yang sama dengan perlindungan spesies, antara lain: No 1.
Peneliti dan Judul Penelitian
Rumusan Masalah
I Wayan Ery Yanata Utama 1. Bagaimana penerapan sanksi pidana (Unud 2012) Penerapan Sanksi
terhadap pelanggaran penangkapan dan
Pidana
perniagaan penyu hijau.
Penangkapan
dan
Perniagaan Penyu Hijau
2. Mengapa penyu hijau (Chelonia Mydas) perlu dilindungi.
2.
I
Putu
Asmara
Francesco 1. Bagaimanakah
pemanfaatan
jenis
Confessa (Unud 2012) Suatu
tumbuhan dan satwa liar yang dilakukan
Kajian Tentang Pemanfaatan
di Indonesia.
Tumbuhan dan Satwa Liar 2. Lembaga manakah yang menetapkan ditinjau dari Undang-Undang
dan
bertugas
mendokumentasikan,
No. 8 Tahun 1990 tentang
memelihara
dan
mengelola
hasil
Pemanfaatan Tumbuhan dan
pengkajian
dan
penelitian
serta
Satwa Liar
pengembangannya.
Sehingga penulis sudah memenuhi aspek dari orisinalitas penelitian, jika masih terdapat penelitian hukum yang sama, hal tersebut diluar pengetahuan dari
7
penulis, diharapkan penulisan hukum ini dapat menambahkan atau melengkapi dari sebelumnya.
1.5
Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum Adapun tujuan umum dari penulisan skripsi
ini adalah sebagai
berikut: 1. Melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pada bidang penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa. 2. Melatih mahasiswa dalam usaha menyatakan pikiran ilmiah secara tertulis. 3. Mengembangkan ilmu pengetahuan hukum. 4. Mengembangkan diri pribadi mahasiswa kedalam kehidupan masyarakat. 5. Memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana hukum. b. Tujuan Khusus Secara lebih rinci tujuan penulisan dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Untuk dapat mengurai dan menganalisis pengaruh Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora sebagai salah satu bentuk perlindungan terhadap upaya penegakan hukum perdagangan spesies di Indonesia. 2. Untuk dapat mengetahui dan memahami bentuk perlindungan hukum yang dilakukan oleh pemerintah terhadap perdagangan
8
burung Jalak Bali serta hambatan dalam mengendalikan perdagangan yang terjadi.
1.6
Manfaat Penelitian Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
berikut: a. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan menambah
ilmu
pengetahuan
dibidang
hukum
internasional,
khususnya hukum lingkungan internasional, yang saat ini masih banyak terjadi masalah yang berkaitan dengan hukum lingkungan internasional. b. Manfaat Praktis Penelitian
ini
diharapkan
dapat
berguna
bagi
upaya
untuk
mengembangkan wawasan dan pendewasaan cara berfikir serta meningkatan daya nalar terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan perlindungan spesies langka khususnya burung Jalak Bali sesuai dengan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora, pengaruhnya, penegakkan hukumnya di Indonesia serta hambatan oleh pemerintah dalam mengendalikan perdagangan yang terjadi.
9
1.7
Landasan Teoritis Penelitian ilmiah ini berpedoman pada kaidah dan norma hukum
internasional. Menurut Mochtar Kusumaatmadja hukum internasional adalah ketentuan keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata.6 Masyarakat internasional yang diatur oleh hukum internasional adalah suatu tertib hukum kordinasi dari sejumlah negara-negara yang masing-masing merdeka dan berdaulat. Sehingga, berbeda halnya dengan tertib hukum nasional (yang bersifat subordinasi), dalam tertib hukum koordinasi (hukum internasional) tidak terdapat lembaga-lembaga yang bersangkutpaut dengan hukum dan pelaksanaannya dalam hukum internasional tidak terdapat kekuasaan eksekutif, tidak terdapat lembaga legislative, tidak terdapat lembaga kehakiman (yudisial), dan tidak terdapat lembaga kepolisian.7 Dalam hubungan ini telah timbul beberapa teori atau ajaran yang mencoba memberikan landasan pemikiran tentang mengikatnya hukum internasional, yaitu: 1. Mazhab/Ajaran Hukum Alam Menurut Mazhab Hukum Alam, hukum internasional mengikat karena ia adalah bagian dari “hukum alam” yang diterapkan dalam kehidupan bangsabangsa. Negara-negara tunduk dan terikat kepada hukum internasional dalam hubungan antar negara mereka karena hukum internasional itu merupakan bagian dari hukum yang lebih tinggi, yaitu “ hukum alam”. 6
Mochtar Kusumatmadja, 1999, Pengantar Hukum Internasional, cet IX, Bina Cipta, Bandung, h.1. 7 Ibid, h. 32.
10
Kontribusi terbesar ajaran mazhab hukum lama bagi hukum internasional bahwa ia memberikan dasar-dasar bagi pembentukan hukum yang ideal. Dalam hal ini, dengan menjelaskan bahwa konsep hidup bermasyarakat internasional merupakan keharusan yang diperintahkan oleh akal budi (rasio) manusia, mahzab hukum alam sesungguhnya telah meletakkan dasar rasionalitas bagi pentingnya hidup berdampingan secara tertib dan damai antar bangsa-bangsa di dunia ini walaupun mereka memiliki asal-usul keturunan, pandangan hidup, dan nilai-nilai yang berbeda-beda. 2. Mazhab/Ajaran Hukum Positif Ada beberapa mahzab yang termasuk ke dalam kelompok Mahzab atau Ajaran Hukum Positif, yaitu: a. Mazhab/Teori Kehendak Negara8 Ajaran atau mazhab ini bertolak dari teori kedaulatan negara. Secara umum inti dari ajaran atau mahzab ini adalah sebagai berikut: oleh karena negara adalah pemegang kedaulatan, maka negara adalah juga sumber dari segala hukum. Hukum internasional itu mengikat negara-negara karena negara-negara itu atas kehendak atau kemauannya sendirilah tunduk atau mengikatkan diri kepada hukum internasional. Bagi mazhab ini, hukum internasional itu bukanlah sesuatu yang lebih tinggi dari kemauan negara (hukum nasional) tetapi merupakan bagian dari hukum nasional (c.q hukum tata negara) yang mengatur hubungan luar suatu negara (auszeres Staatsrecht).
8
Ibid, h. 35.
11
b. Mazhab/Teori Kehendak Bersama Negara-negara9 Mazhab ini berusaha untuk menutup kelemahan Mazhab/Teori Kehendak Negara sebagaimana telah dikemukan di atas. Menurut mazhab ini, hukum internasional itu mengikat bukan karena kehendak masingmaisng negara secara sendiri-sendiri melainkan karena kehendak bersama masing-masing negara itu dimana kehendak bersama ini lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan kehendak negara secara sendiri-sendiri. Dikatakan pula oleh mazhab ini bahwa, berbeda halnya dengan kehendak negara secara sendiri-sendiri, kehendak bersama ini tidak perlu dinyatakan secara tegas atau spesifik. c. Mazhab Wina10 Kelemahan-kelemahan yang melekat pada mazhab-mazhab yang meletakkan dasar kekuatan mengikat hukum internasional pada kehendak negara (yang kerap juga disebut sebagai aliaran voluntaris) melahirkan pemikiran baru yang tidak lagi meletakkan dasar mengikat hukum internasional itu pada kehendak negara melainkan pada adanya norma atau kaidah hukum yang telah ada terlebih dahulu yang terlepas dari dikehendaki atau tidak oleh negara-negara (aliran pemikiran ini kerap disebut sebagai aliran objektivist). Menurut Kelsen, ada dan mengikatnya kaidah hukum internasional didasarkan oleh ada dan mengikatnya kaidah hukum lain yang lebih tinggi. Ada dan mengikatnya kaidah hukum yang lebih tinggi lagi. Demikian 9
Ibid. Ibid, h. 36.
10
12
seterusnya hingga sampai pada puncak piramida kaidah-kaidah hukum yang dinamakan kaidah dasar (grundnorm) yang tidak lagi dapat dijelaskan secara hukum melainkan harus diterima adanya sebagai hipotessa asal (urpsungshypothese). Menurut Kelsen, kaidah dasar dari hukum internasional itu adalah prinsip atau asas pact sunt servanda. 3. Mazhab Perancis11 Suatu mahzab yang mencoba menjelaskan dasar mengikatnya hukum internasional dengan kontruksi pemikiran yang sama sekali berbeda dengan kedua mahzab sebelumnya (Mahzab Hukum Alam dan Mahzab Hukum Positif) muncul di Perancis. Karena itu, Mahzab ini dikenal sebagai Mahzab Perancis. Dalam garis besarnya. Mahzab ini meletakkan dasar mengikatnya hukum internasional – sebagaimana halnya bidang hukum lainnya – pada faktor-faktor yang mereka namakan “fakta-fakta kemasyarakatan” (fait social), yaitu berupa faktor-faktor biologis, sosial, dan sejarah kehidupan manusia. Artinya, dasar mengikatnya hukum internasional itu dapat dikembalikan kepada sifat alami manusia sebagai makhluk sosial yang senantiasa memiliki harsat untuk hidup bergabung dengan manusia lain dan kebutuhan akan solidaritas. Kebutuhan dan naluri manusia sebagai individu itu juga dimiliki oleh negara-negara atau bangsabangsa (yang merupakan kumpulan manusia). Dengan kata lain, menurut mahzab ini, dasar mengikatnya hukum internasional itu, sebagaimana halnya dasar mengikatnya setiap hukum, terdapat dalam kenyataan sosial yaitu pada kebutuhan manusia untuk hidup bermasyarakat.
11
Ibid, h. 38.
13
Perbahasan persoalan tempat dan kedudukan hukum internasional dalam rangka hukum secara keseluruhan didasarkan atas anggapan bahwa sebagai suatu jenis atau bidnag hukum, hukum internasional merupakan bagian dari pada hukum pada umumnya. Anggapan atau pendirian demikian tidak dapat dielakkan apabila kita hendak melihat hukum internasional sebagian suatu perangkat ketentuan-ketentuan ada asas-asas yang efektif yang benar-benar hidup didalam kenyataan dan karenanya mempunyai hubungan efektif pula dengan ketentuanketentuan atau bidang-bidang hukum lainnya, diantaranya yang paling penting adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur kehidupan manusia dalam masing-masing lingkungan kebangsaan yang dikenal dengan nama hukum nasional. Di dalam hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional terdapat dua pandangan tentang hukum internasional ini yaitu pandangan yang dinamakan Voluntarisme, yang mendasarkan berlakunya hukum internasional dan bahkan persoalan ada atau tidaknya hukum internasional ini pada kemauan negara. Berdasarkan pandangan ini maka muncul paham dualisme yang melihat bahwa hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua perangkat hukum yang hidup berdampingan dan terpisah. Sedangkan pandangan objektivis yang menganggap ada dan berlakunya hukum internasional ini lepas dari kemauan negara. Berdasarkan pandangan tersebut, maka munculah paham monisme yang melihat hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua bagian dari satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia.12
12
Ibid, h.40.
14
Disamping itu terdpaat juga Teori Efektifitas Hukum, untuk menjawab permasalahan kedua dalam penelitian ini akan dipergunakan teori efektifitas pelaksanaan hukum dari Soejono Soekanto bahwa efektifitas hukum yang dimaksud, berarti mengkaji kaidah hukum yang harus memenuhi syarat, yaitu berlaku secara yuridis, berlaku secara sosiologis, dan berlaku secara filosofis. Oleh karena itu faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hukum berfungsi dalam masyarakat, yaitu (1) Faktor kaidah hukum/peraturan itu sendiri; (2) Faktor petugas/penegakan hukum; (3) Faktor sarana atau fasilitas yang digunakan oleh penegak hukum; (4) Faktor masyarakat atau Faktor kebudayaan masyarakat. Berikut ini penjelasan dari Soejono Soekanto masing-masing faktor:13 a. Faktor Hukum Secara konsepsional maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawatahan dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran ini, tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Mengenai berlakunya hukum sebagai kaidah. Hal itu diungkapan sebagai berikut: a) Kaidah hukum berlaku secara yuridis apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan. b) Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif. Artinya kaidah dimaksud dapat dipaksakan (teori 13
Soejono Soekanto, 2004, Sosiologi Suatu Pengantar, RajaGrafindo Persada, Jakarta,
h. 8.
15
kekuasaan) atau kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan dari masyarakat. c) Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.14 Kalau dikaji lebih dalam agar hukum itu berfungsi maka setiap kaidah hukum harus memenuhi ketiga macam unsur diatas, sebab apabila tidak: (1) Bila kaidah hukum hanya berlaku secara yuridis, ada kemungkinan kaidah itu merupakan kaidah mati; (2) Kalau hanya berlaku secara sosiologis dalam arti teori kekuasaan, maka kaidah itu menjadi aturan pemaksa; (3) Apabila hanya berlaku secara filosofis, kemungkinannya kaidah
itu
hanya
merupakan
hukum
yang
dicita-citakan
(ius
contituendum). Berdasarkan penjelasan diatas, tampak betapa rumitnya persoalan efektifitas hukum di Indonesia. Oleh karena itu suatu kaidah hukum atau peraturan tertulis benar-benar berfungsi, senantiasa dapat dikembalikan pada empat faktor yang telah disebutkan. b. Faktor Penegak Hukum Pengertian dari istilah “penegakan hukum” demikian luas karena mancakup baik secara langsung maupun secara tidak langsung dalam hal penegakan hukum. Menurut Soeono Soekanto bahwa: Penegak hukum pada kalangan yang secara langsung berkecimpung dalam bidang penegakan hukum tidak hanya mencakup “law enforcement” akan
14
Ibid, h. 11-67.
16
tetapi pula “peace maintenance” kalangan itu mereka yang bertugas di bidang-bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan dan pemasyarakatan.15 Oleh karena itu yang dimaksud penegak hukum atau orang yang bertugas menerapkan hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas, sebab menyangkut petugas strata atas, menegah dan bawah. Artinya didalam melaksanakan tugas-tugas penerapan hukum petugas seyogianya harus memiliki suatu pedoman diantaranya peraturan tertulis tertentu yang mencakup ruang lingkup tugas-tugasnya. Didalam hal penegakkan hukum dimaksud, kemungkinan petugas penegak hukum menghadapi hal-hal sebagai berikut: a) Sampai sejauh mana petugas terikat dari peraturan-peraturan yang ada? b) Sampai batas-batas mana petugas berkenaan memberikan kebijakan? c) Teladan macam apakah yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada masyarakat? d) Sampai
sejauh
manakah
derajat
sinkronisasi
penugasan-
penugasan yang diberikan kepada para petugas sehingga memberikan batas-batas yang tegas pada wewenangnya?16 c. Faktor Sarana/Fasilitas
15
Ibid, h.13. H. Abdulmanan, 2005, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana Pressnada Media, Jakarta, h. 98. 16
17
Fasilitas/sarana amat penting untuk mengefektifkan suatu aturan tertentu. Ruang lingkup sarana dimaksud terutama sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Misalnya, bila tidak ada kertas dan karbon yang cukup serta mesin ketik yang cukup baik, bagaimana petugas dapat membuat berita acara mengenai suatu kejahatan. Bagaimana polisi dapat bekerja dengan baik apabila tidak dilengkapi dengan kendaraan dan alatalat komunikasi yang proporsional. Kalau peralatan dimaksud sudah ada, faktor-faktor pemeliharaannya juga memegang peran yang sangat penting. Memang sering terjadi bahwa suatu peraturan yang semula bertujuan untuk memperlancar proses, malahan mengakibatkan terjadi kemacetan. Mungkin ada baiknya ketika hendak menerapkan suatu peraturan secara resmi ataupun memberikan tugas kepada petugas, dipikirkan mengenai fasilitas-fasilitas yang berpatokan kepada: (1) apa yang sudah ada, dipelihara terus agar setiap saat berfungsi; (2) apa yang belum ada, perlu diadakan dengan memperhitungkan jangka waktu pengadaannya; (3) apa yang kurang, perlu dilengkapi; (4) apa yang telah rusak, diperbaiki atau diganti, (5) apa yang macet, dilancarkan; (6) apa yang telah mundur, ditingkatkan. d. Faktor Masyarakat Salah satu faktor yang mengefektifkan suatu peraturan adalah warga masyarakat. Yang dimaksud ini adalah kesadaran untuk mematuhi suatu peraturan perundang-undangan, yang kerap disebut derajat kepatuhan. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa derajat kepatuhan masyarakat
18
terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. Adanya asumsi yang menyatakan bahwa apabila semakin besar peran sarana pengendalian sosial selain hukum seperti agama dan adat istiadat, semakin kecil peran hukum, seperti hanya peraturan yang mengatur tentang spesies langka mempunyai peran yang sangat besar terhadap pelanggaran/perdagangan spesies langka. Oleh karena itu, hukum tidak dapat dipaksakan keberlakuannya didalam segala hal, selama masih ada sarana lain yang ampuh. Hukum hendaknya dipergunakan pada tingkat yang terakhir bila sarana lainnya tidak mampu lagi untuk mengatasi masalah. Terkait dengan hal tersebut perlu diungkapan hal-hal yang berkaitan dengan kesadaran masyarakat terhadap hukum, yaitu (1) Penyuluhan hukum yang teratur; (2) Pemberian teladan yang baik dari petugas dalam hal kepatuhan terhadap hukum dan respek terhadap hukum; (3) Pelembagaan yang terencana dan terarah. e. Faktor Kebudayaan Masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau non materiil. Sebagai suatu sistem (atau subsistem dari sistem kemasyarakatan), maka hukum mencakup struktur, substansi, dan kebudayaan. Struktur mencakup wadah atau bentuk dari sistem tersebut. Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsikonsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (dihindari). Nilai-nilai tersebut, lazimnya
19
merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus diserasikan. Pasangan nilai yang berperannan dalam hukum adalah sebagai berikut: 1) Nilai ketertiban dan nilai ketentraman 2) Nilai jasmaniah/kebendaan dan nilai rohaniah/keakhlakan 3) Nilai
kelanggengan/konservatisme
dan
nilai
kebaruan/
inovasitisme Pasangan nilai ketertiban dan ketentraman sebenarnya sejajar dengan nilai kepentingan umum dan kepentingan pribadi. Hal ini berarti bahwa didalam hukum publik nilai ketentraman boleh diabaikan, sedangkan didalam hukum perdata nilai ketertiban sama sekali tidak diperhatikan. Pasangan nilai ketertiban dan ketentraman, merupakan pasangannilai yang bersifat universal; mungkin keserasiannya berbeda menurut keadaan masingmasing kebudayaan, dimana pasangan nilai tadi diterapkan. Perdagangan internasional merupakan perdagangan yang melibatkan antar negara di dunia saling bertemu, menembus lintas batas negara masing-masing untuk membuat suatu jalur serta jaringan-jaringan di bidang perdagangan yang ada. Selain itu perdagangan internasional dapat dikatakan sebagai pemersatu negara-negara di dunia, disebut demikian karena adanya fakor perbedaan yang menjadi latar belakang dari masing-masing negara. Perbedaan disini dalam arti bahwa setiap negara mempunyai karakteristik berbeda-beda yang menjadi unsur dari suatu negara tersebut, misalnya perbedaan dari segi sumber daya alam, iklim,
20
geografi, demografi, struktur ekonomi dan juga struktur sosial. Masing-masing karakteristik tersebut tentunya menyebabkan adanya suatu keunggulan tertentu, serta disisi lain juga memiliki kekurangan.17 Prinsip-prinsip dasar (fundamental principles) yang dikenal dalam hukum perdagangan internsional oleh sarjana hukum perdagangan internasional, yaitu Profesor Aleksander Goldstajn, diantaranya adalah: a. Prinsip dasar kebebasan berkontrak Merupakan prinsip universal dalam hukum perdagangan internasional. Kebebasan tersebut mencakup bidang hukum yang cukup luas, meliputi kebebasan untuk melakukan jenis-jenis kontrak yang para pihak sepakati, termasuk pula kebebasan untuk memilih forum penyelesaian sengketa dagangnya, serta kebebasan untuk memillih hukum yang akan berlaku terhadap kontrak, dan lain. Kebebasan ini sudah barang tentu tidak boleh bertentang dengan UU, kepentingan umum, kesusilaan, kesopanan, dan lain-lain persyaratan yang ditetapkan oleh masing-masing sistem hukum. b. Prinsip Pact Sunt Servanda Adalah prinsip yang mensyaratkan bahwa kesepakatan atau kontrak yang telah ditandatangani harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya (dengan itikad baik). Prinsip ini pun sifatnya universal. Setiap sistem hukum didunia menghormati prinsip ini. c. Prinsip Dasar Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase 17
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis Transaksi Bisnis Internasional (Eksport-Import) Cetakan Ketiga, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 1.
21
Arbitrase dalam perdagangan internasionala adalah forum penyelesaian sengketa yang semakin umum digunakan. Klausul arbitrase sudah semakin banyak dicantumkan dalam kontrak-kontrak dagang. Oleh karena itulah, prinsip ketiga ini memang relevan. Goldstajn menguraikan kelebihan dan alasan mengapa penggunakaan arbitrase ini dijadikan prinsip dasar dalam hukum perdagangan internasional adalah sebagai berikut: “moreover to the extent that the settlement of differences is referred to arbritration, a uniform legal order is being created. Arbitration tribunals often apply criteria other that those applied in courts. Arbitrations appear more ready to interpret rules freely taking into account customs, usage and business practice. Further, the fact that the enforcement of foreign arbitral awards is generally more easy that the enforcement of foreign court decisions is conducive to a preference for arbitrations.” d. Prinsip Dasar Kebebasan Komunikasi (Navigasi) Prinsip dasar yang dikenal dalam hukum ekonomi internasional, yaitu prinsip kebebasan untuk berkomunikasi (dalam pengertian luas, termasuk di dalamnya kebebasan bernavigasi). Komunikasi atau navigasi adalah kebebasan para pihak untuk berkomunikasi untuk keperluan dagang dengan siapa pun juga dengan melalui berbagai sarana navigasi atau komunikasi, baik darat, laut, udara, atau melalui sarana elektronik. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (16) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, “Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung
22
atau tidak langsung terhadap fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku lingkungan hidup.” Perdagangan hewan juga merupakan salah satu cara yang dilakukan manusia sebagai bagian dari perusakan lingkungan hidup. Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya mengatakan “Satwa Liar adalah semua binatang yang hidup di darat, dan/atau di air, dan/atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia.”18 Pengertian perjanjian internasional dalam pengertian umum dan luas perjanjian internasional yang dalam bahasa Indonesia disebut juga persetujuan, traktat, ataupun konvensi adalah:19 “Kata sepakat antara dua atau lebih subjek hukum internasional mengenai suatu objek atau masalah tertentu dengan maksud untuk membentuk hubungan hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional.” Demikian pula dari bagian hukum perjanjian internasional Konvensi Wina 1969 Pasal 2b menyatakan20: Aksesi didefinisikan sebagai tindakan internasional dimana suatu negara menyatakan kesediaannya atau melahirkan persetujuan untuk diikat oleh suatu perjanjian internasional. Karena itu aksesi tidak berlaku surut melainkan baru mengikat sejak penandatanganan aksesi. Indonesia merupakan 18
Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 19 I Wayan Parthiana, 2002, Hukum Perjanjian Internasional, CV Mandar Maju, Bandung, h. 12. 20 Konvensi Wina Tahun 1969 Psal 2b terjemahan bahasa Indonesia.
23
salah satu negara didunia yang mengaksesi Konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa langka spesies terancam punah atau CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). Aksesi tersebut terwujud dengan membentuk UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya melalui Keppres No. 43 Tahun 1978 tentang aksesi CITES. Mengingat negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum maka untuk terwujudnya upaya penyelamatan dan perlindungan terhadap satwa yang dilindungi perlu dilakukan penegakkan hukum secara tegas dengan membentuk tim terpadu yang terdiri dari instansi terkait. Selain penegakkan hukum secara nasional Indonesia juga bisa berpartisipasi dalam penegakkan hukum secara internasional. Salah satunya sumber hukum internasional adalah perjanjian internasional.
1.8
Metode Penelitian Penelitian
merupakan
suatu
pokok
dalam
pengembangan
ilmu
pengetahuan maupun teknologi, hal ini disebabkan karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan konsisten.21 Untuk dapat dinyatakan sebagai skripsi maka diperlukan suatu metodologi yang tentunya bertujuan untuk mengadakan pendekatan atau penyelidikan ilmiah yang bersahaja. Adapun metodologi penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 21
Soejono Soekanto, dan Sri Mamuji, 2003, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT . Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.1.
24
a. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini termasuk ke dalam penelitian normatif. Menurut Peter Mahmud Marzuki penelitian normatif adalah suatu proses untuk menemukan suatu aturan doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi untuk menghasilkan argumentasi, teori, dan konsep baru dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.22 b. Jenis Pendekatan Dalam penelitian hukum terdapat beberapa jenis pendekatan, antara lain: 1. Pendekatan Kasus (The Case Approach) 2. Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach) 3. Pendekatan Fakta (The Fact Approach) 4. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual Approach) 5. Pendekatan Frasa (words & Pharase Approach) 6. Pendekatan Sejarah (Historical Approach) Adapun pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah: 1. Pendekatan Kasus (The Case Approach), yang dilakukan dengan menelaah kasus-kasus yang secara khusus berkaitan dengan perdagangan spesies langka khususnya burung Jalak 22
Mukti Fajar ND dan Yulianti Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, h.34.
25
Bali untuk mendapatkan informasi tambahan terkait dengan penelitian. Hal ini dapat dilihat dari kasus ditangkapnya orang Thailand
yang
bermukim
di
Indonesia
melakukan
penyelundupan dua burung Jalak Bali ke Thailand dengan menggunakan pesawat China Airlines melalui bandara Sukarno Hatta Jakarta. Dimana penangkapan ini dilakukan oleh Polisi Daerah Jakarta dan petugas PHKA (Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam) Departemen Kehutanan dengan dibantu oleh Profauna Indonesia. Sampai berita ini diturunkan, pengadilan masih memproses kelanjutan dari kasus tersebut. 2. Pendekatan Fakta (The Fact Approach), yang dilakukan dengan menelaah dan mengkaji fakta-fakta yang terjadi dalam suatu masalah. Serta digunakan untuk mengetahui fakta-fakta yang terjadi dalam peningkatan jumlah perdagangan ilegal spesies langka khususnya burung Jalak Bali. Dimana tidak hanya perdagangan melalui pasar-pasar hewan namun juga sudah merambah dunia maya melalui situs-situs online. 3. Pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach), yang dilakukan dengan menelaah undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.23 Sesuai dengan peraturan yang digunakan diantaranya UndangUndang No. 32 tahun 1990 tentang Perlindungan dan 23
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 39.
26
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, Keppres No.43 Tahun 1978 Tentang Aksesi CITES, Peraturan Menteri Kehutanan No. P.02/Menhut-II/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam, Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar, Peraturan Menteri Kehutanan No. P.447/Kpts-II/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan/Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar, Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora, Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 c. Bahan Hukum Suatu penelitian normatif itu sumber bahannya adalah bahan sekunder yaitu bahan yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan dan hukum, yang merupakan hasil penelitian dan pengolaan orang lain, yang sudah tersedia dalam bentuk buku-buku atau dokumen yang
27
biasanya disediakan di perpustakaan atau milik pribadi.24 Maka berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini akan dipergunakan sumber bahan hukum sebagai berikut: 1. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang otoritas (autoritatif), yaitu merupakan hasil tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk itu dan berisfat mengikat.25 Bahan hukum yang digunakan diwujudkan dalam: Konvensi Perdagangan Internasional tumbuhan dan satwa langka spesies terancam punah, perundang-undangan, dan hukum internasional. 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.26 Bahan hukum sekunder dalam skripsi ini terdiri dari buku literatur, jurnal hukum, skripsi, dan internet, pendapat para sarjana . 3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus (kamus bahasa Indonesia, black temporary dictionary), dan ensiklopedia.27 d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
24
Hilman Hadikusuma, 1995, Metode Pembaharuan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, h. 65. 25 Zainuddin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h.47. 26 Amirrudin dan Zainal Asikin, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.119 27 Ibid.
28
Dalam usulan penelitian ini teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah teknik studi kepustakaan atau dokumentasi (Documentary Studies). Studi dokumen adalah suatu langkah awal dari setiap penelitian hukum, baik normatif
maupun sosiologis.28
Pengumpulan bahan-bahan hukum dalam penulisan skripsi ini diperoleh melalui: 1. Pengumpulan bahan hukum primer dilakukan dengan cara mengumpulkan perundang-undangan atau konvensi-konvensi internasional yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini. 2. Pengumpulan bahan hukum sekunder dilakukan dengan cara mengumpulkan literatur, penelitian kepustakaan, membaca, melihat, mendengarkan maupun, sekarang banyak dilakukan penelusuran bahan hukum melalui media internet yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas.29
e. Teknik Analisis Dalam menganalisis bahan-bahan hukum yang telah diperoleh penulis, teknik pengelolaan bahan hukum yaitu setelah bahan hukum terkumpul kemudian dianalisis menggunakan teknik deskripsi yaitu dengan memaparkan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder apa
28
Ibid, h. 68. Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Op.cit, h. 153.
29
29
adanya.30 Bahan hukum primer dan sekunder yang terkumpul selanjutnya diberikan penilaian (evaluasi), kemudian dilakukan interpretasi hukum dan selajutnya diajukan argumentasi. Argumentasi disini dilakukan oleh penulis untuk memberikan penilaian mengenai benar atau salah maupun apa yang seharusnya menurutnya hukum terhadap fakta atau peristiwa hukum dari hasil penelitian. Dan hal ini tidak menimbulkan kontradiksi antara bahan hukum yang satu dengan bahan hukum yang lain. Teknik lainnya yang penulis gunakan dengan teknik analisis, yaitu pemaparan secara detail dari penjelasan yang didapat pada tahap sebeumnya yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini sehingga keseluruhannya membentuk satu kesatuan yang saling berhubungan secara logis.31
30 31
Rony Hanitijo, 1991, Metode Penelitian Hukum Cetakan II, Ghalia Indo, Jakarta, h. 93. Ibid
30