Upaya Konservasi dan Pengelolaan Habitat Penyu Laut melalui Pengembangan Ekowisata Berbasis Masyarakat Wahyu Prihanta1, Amir Syarifuddin 2, Ach. Muhib Zainuri3 1
Pendidikan Biologi, 2Kehutanan, 3Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah Malang, 3Politeknik Negeri Malang 1
[email protected],
[email protected],
[email protected] 1, 2
Abstrak
Terdapat tujuh spesies penyu laut di dunia, enam di antaranya ada di Indonesia dan empat spesies yaitu penyu hijau (Chelonia mydas), penyu blimbing (Dermochelys imbricate), penyu sisik (Eretmochelys imbricate) dan penyu abu-abu (Lepidochelys olivaceae) diketahui bertelur di Pantai Taman, Kecamatan Ngadirojo, Kabupaten Pacitan. Setiap jenis penyu diklasifikasikan sebagai terancam, terancam punah, dan sangat terancam punah. Ancaman terhadap penyu laut meliputi 1) perburuan yang sangat intensif karna nilai ekonomi telur, daging dan cangkangnya, 2) pembangunan pantai yang berakibat hilangnya habitat bertelur penyu, 3) lalu-lintas kapal, 4) adanya serangan beberapa pemangsa, dan 5) perubahan iklim. Upaya untuk menjaga agar keberadaan penyu laut tetap berlangsung telah dilakukan di Pantai Taman, antara lain: menjaga pantai tempat penyu bertelur, membuat daerah penetasan telur buatan dan membuat kolam pembesaran tukik sebelum dilepaskan kembali ke lautan. Upaya konservasi penyu terbilang sukses dengan kegiatan ekowisata sebagai penunjang dananya. Kata-kata kunci : penyu laut, terancam, konservasi, ekowisata, daerah peneluran. Abstract There are seven species of the sea turtles in the world, six of them exist in Indonesia and four of them, known that are Chelonia mydas, Dermochelys imbricate, Eretmochelys imbricate and Lepidochelys olivaceae lay eggs in Taman Beach, subdistrict of Ngadirojo, regency of Pacitan. Every sea turtle species is classified as either vulnerable, threatened, or endangered. Threats to sea turtles include 1) intensive hunting due to the economic value of their eggs, meats and shells, 2) coastal development which leads to loss of nesting habitat, 3) boat traffic, 4) facing attack by a variety of predators, and 5) climate change. Attempts to ensure the continued existence of these sea turtles had been carried out in Taman Beach, comprising: nesting beach protection, artificial incubation and rearing their juvenils in the beach before releasing them to the ocean. The conservation of sea turtle had been succesfull with ecotourism as supporting its fund. Keywords : sea turtle, endangered, conservation, ecotourism, nesting beaches. PENDAHULUAN Penyu merupakan kelompok hewan purba saat ini dalam kondisi semakin mendekati kepunahan. Hal ini disebabkan karena sebagian orang menganggap penyu adalah salah satu hewan laut yang memiliki banyak kelebihan. Selain tempurungnya yang dapat digunakan untuk cenderamata, dagingnya dikonsumsi karena dianggap berkhasiat untuk obat dan ramuan kecantikan. Meski sudah ada PP No. 7 tahun 1999 tentang “Pelestarian Jenis Tumbuhan dan Satwa” - yang melindungi semua jenis penyu; perburuan terhadap hewan yang berjalan lamban ini terus berlanjut. Untuk mencegah kepunahan penyu, terutama penyu belimbing, telah dilakukan beberapa upaya untuk melindungi tempat bertelur penyu. Keberadaan penyu perlu dilindungi, hal ini dikarenakan: a) Penyu merupakan peninggalan hewan purba yang telah mendekati kepunahan; b) Perkem-bangbiakan penyu sangat lambat, namun mampu hidup ratusan tahun, hanya sekitar 1 dari 1000 telur yang dihasilkan berhasil hidup dewasa, c) Penyu dapat dikembangkan sebagai aset wisata sehingga akan mendatangkan keuntungan langsung melalui penjualan tiket
I.
68
SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk
maupun keuntungan tidak langsung, seperti halnya akan dibelinya suvenir wisata. Pengembangan wisata akan mampu menjadi daya tarik wisata asing mengingat penyu merupakan hewan langka tingkat dunia; dan (4) bagi pemerintah daerah perlindungan penyu akan meningkatkan image nasional maupun internasional di bidang konservasi. Pantai Taman di Desa Hadiwarno Kec. Ngadirojo Kab. Pacitan memiliki keindahan laut dan sumberdaya alam yang cukup besar. Berdasarkan pengamatan pada rentang 10 tahun terakhir, terdapat 4 jenis penyu yang ditemukan mendarat di sepanjang Pantai Pacitan yaitu penyu hijau (Chelonia mydas), penyu blimbing (Dermochelys imbricate), penyu sisik (Eretmochelys imbricate) dan penyu abu-abu (Lepidochelys olivaceae). Selama ini pariwisata dikelola dengan mengandalkan keindahan pantai yang ada, belum dilakukan pengem-bangan wisata dari sumber daya kelautan yang lain. Pengembangan konservasi penyu sangat mungkin diunggulkan, karena satwa penyu merupakan satwa langka dunia sehingga perlindungan penyu akan sangat mungkin dapat menggaet perhatian dunia internasional. II. SUMBER INSPIRASI
RPJMD Kab. Pacitan 2011-2016, menetapkan visi: “terwujudnya masyarakat pacitan yang sejahtera”.[1] Misi ke-4 dan ke-5 yang ditetapkan Pemkab Pacitan untuk mencapai visi tersebut adalah: Meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi yang bertumpu pada potensi unggulan dan Pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan dalam rangka pemenuhan kebutu-han dasar. Strategi pembangunan Kab. Pacitan yang relevan dengan pelaksanaan Pengabdian Kepada Masyarakat (PPM) skim Ipteks bagi Wilayah (IbW) diimplementasikan melalui arah kebijakan: Mewujud-kan pengelolaan sumberdaya alam yang berwawasan lingkungan, meliputi: peningkatan konservasi di kawa-san budidaya, pemantapan kawasan lindung, dan peningkatan kesadaran masyarakat untuk mencintai lingkungan. Pengembangan sektor pariwisata di Kab. Pacitan (gbr. 1) dibagi ke dalam 4 kawasan pengembangan pariwisata (KPP), di mana KPP C, meliputi Kec. Kebonagung, Kec. Tulakan, Kec. Ngadirojo, dan Kec. Sudimoro. Wisata andalan adalah wisata pantai (pantai Taman dan pantai Desa Sidomulyo).[2]
Gambar 1. Peta rencana KPP Kabupaten Pacitan Perlindungan penyu di Pantai Taman Desa Hadiwarno, Kec. Ngadirojo, Kab. Pacitan dirasa mendesak sebab: 1) Pembangunan PLTU di Kec. Sudimoro telah memusnahkan lokasi pantai untuk peneluran, sehingga saat ini ada peningkatan signifikan penyu bertelur di Pantai Taman; dan 2) Faktor lain yang mendukung pengembangan wisata konservasi penyu adalah dengan adanya pengembangan Jalur Lintas Selatan atau JLS (Banyuwangi hingga Yogyakarta) merupakan jalur wisatawan Bali ke Yogyakarta (gbr. 2). Jika kegiatan konservasi penyu untuk wisata di Pantai Taman Desa Hadiwarno, Kec. Ngadirojo ini terealisasi, akan menjadikan embrio pengembangan wisata bahari di Kab. Pacitan.
Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016
69
Gambar 2. Perpindahan lokasi penyu bertelur Paradigma konservasi modern saat ini tidak hanya menekankan pada fungsi perlindungan (konservasi), namun harus menyentuh juga manfaat ekonomi dan sosial. Untuk itu konservasi penyu diharapkan akan dapat meningkatkan perekonomian warga dengan dikembangkannya konsep ekowisata pada kegiatan PPM skim IbW dengan tema konservasi dan ekowisata di Kec. Ngadirojo, Kab. Pacitan ini. Tiga poin penting pada pengembangan ekowisata berbasis masyarakat adalah: 1) Melakukan perlindungan penyu sebagai aset wisata; 2) Pembangunan kawasan ekowisata yang sebagian hasilnya untuk konservasi; dan 3) Pengem-bangan ekowisata bersama masyarakat baik perencanaan, pelaksanaan, modal dan sharing hasil sehingga masyarakat akan ikut berkembang secara ekonomi dan sosial, selanjutnya akan merasa ikut memiliki sehingga semakin kuat kesadaran terhadap konservasi penyu. A. Pantai Taman sebagai Lokasi Konservasi
Sifat fisik wilayah Pantai Selatan Jawa umumnya memiliki kontur yang curam. Kondisi topografi berupa kombinasi antara dataran rendah (pantai), bukit dan pegunungan. Pantai taman yang terletak di Pantai Selatan Jawa sudah sejak lama dikenal sebagai tempat peneluran penyu dapat dikatakan termasuk jenis pantai berpasir halus. Pantai berpasir dicirikan oleh ukuran butiran sedimen halus dan memiliki tingkat bahan organik yang tinggi. Pantai ini banyak dipengaruhi oleh pasang surut yang mengaduk sedimen secara periodik. Interaksi organisme dengan sedimen dan pengaruh evaporasi perairan sangat tinggi di lingkungannya. Faktor fisik yang berperan penting mengatur kehidupan di pantai berpasir adalah gerakan ombak. Gerakan ombak mempengaruhi ukuran partikel dan pergerakan substrat di pantai. Gerakan ombak di Pantai Taman pada umumnya kecil dikarenakan adanya sejumlah palung laut. Hal ini ditandai dengan ukuran partikel pasirnya yang halus. Pengaruh ukuran partikel terhadap organisme yang hidup pada pantai berpasir halus adalah pada penyebaran dan kelimpahannya. Butiran pasir yang halus mempunyai retensi air yang mampu menampung lebih banyak air di atas dan memudahkan organisme untuk menggali. Gerakan ombak dapat pula mengakibatkan partikel-partikel pasir atau kerikil menjadi tidak stabil sehingga partikel-partikel substrat akan terangkut, teraduk, dan terdeposit kembali. Karena kondisi di lapisan permukaan sedimen yang terus menerus bergerak, maka hanya sedikit organisme yang mempunyai kemampuan untuk menetap secara permanen sehingga inilah yang menyebabkan pantai seperti terlihat tandus. Adanya spesies penyu yang mendiami Pantai Taman (gbr. 3) karena masih seimbangnya rantai makanan. Mulai dari adanya padang lamun sebagai penyedia makanan bagi detritus sampai penyu hijau sebagai konsumen utama. Meskipun letak padang lamun di Pantai Taman tidak berdekatan dikarenakan kontur pantai yang curam tetapi suplai makanan untuk penyu hijau terpenuhi. Hal ini dibuktikan dengan masih adanya penyu yang bertelur di daerah ini. Hal ini didasarkan pada pola hidup penyu yang hanya mendarat di pantai yang berpasir halus kaya akan nutrient untuk tempat menetaskan telurnya. Keadaan ini kemudian didukung oleh kondisi pantai yang berhubungan langsung dengan Samudera Hindia yang memudahkan penyu bermigrasi.
70
SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk
Gambar 3. Penyu Belimbing di Pantai Taman B. Tahapan Konservasi Penyu di Pantai Taman
Berbagai macam penyu di Pantai Taman dikenal dengan nama lokal oleh masyarakat setempat yaitu penyu pasiran, pasiran kebu dan lain-lain. Pengamatan secara ilmiah dilakukan oleh Tim IbW antara 2001 hingga 2013. Hasilnya, ada 4 jenis penyu (dari 7 jenis penyu dunia) yang pernah mendarat di Pantai Taman, Desa Hadiwarno, Kec. Ngadirojo, Kab. Pacitan, yaitu: penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu abu-abu (Lepidochelys olivacea), penyu hijau (Chelonia mydas), dan penyu blimbing (Dermochelys coriacea). Pengamatan etnozoologi penyu di Pantai Taman oleh tim IbW pada 2005 menunjukkan bahwa penyu oleh masyarakat dianggap ikan sehingga ditangkap dan diperjualbelikan secara bebas. Beberapa masyarakat pernah mendengar tentang perlindungan penyu (sea turtle rescue) namun tidak pernah ada penindakan oleh pihak berwenang di Pantai Taman. Masyarakat juga mengenal mitos tentang penyu sebagai hewan yang memiliki nilai mistis (malati), sehingga tidak semua orang berani menyembelihnya. Pada Desember 2013, Tim IbW mengadakan sosialisasi program konservasi penyu untuk wisata pada masyarakat Dusun Taman. Pada saat itu disepakati pembentukan kelompok masyarakat penyelamat penyu untuk wisata (KMP2W), yang kemudian berubah nama menjadi Kelompok Masyarakat Konservasi Penyu untuk Wisata (KMKPW) “Taman Ria” (gbr. 4). Selanjutnya dilakukan kampanye perlindungan penyu di sekolah dan masyarakat oleh tim IbW. Dukungan dari Pemda ditunjukkan dengan sering hadirnya Bupati Pacitan ke lokasi konservasi penyu Pantai Taman. Dukungan Desa Hadiwarno diwujudkan dengan diserahkannya lahan negara seluas 10 ha untuk pengem-bangan kawasan konservasi penyu (Perdes No.7 Tahun 2012). Tahap berikutnya disepakati bersama arah pengembangan konservasi penyu untuk ekowisata. Pada tahap ini mulailah dibangun flying fox terpanjang di Indonesia sepanjang 475 m untuk pembiayaan konservasi penyu dan kampanye konservasi penyu di Pantai Taman. Seluruh aktifitas pengembangan konservasi penyu disepakati dalam kerangka besar dengan nama “Konservasi Penyu melalui Pengem-bangan Ekowisata Berbasis Masyarakat di Desa Hadiwarno Kec. Ngadirojo Kab. Pacitan”.
Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016
71
Gambar 4. KMKPW di Pantai Taman `Tiga poin penting pengembangan ekowisata berbasis masyarakat adalah: 1) Melakukan perlindungan penyu sebagai aset wisata; 2) Pembangunan kawasan ekowi-sata yang sebagian hasilnya untuk kegiatan konservasi; dan 3) Pengembangan ekowisata bersama masyarakat baik perencanaan, pelaksanaan, modal dan sharing hasil sehingga masyarakat akan ikut berkembang secara ekonomi dan sosial, selanjutnya akan merasa ikut memiliki sehingga semakin kuat kesadaran terhadap konservasi penyu. III. METODE KEGIATAN
Saat ini kesadaran akan konservasi penyu mulai meningkat. Terbitnya UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan dan PP No. 60 tahun 2007 tentang Konserva-si Sumberdaya Ikan membawa nuansa baru dalam pengelolaan konservasi penyu. Perdes No.7 Desa Hadiwarno Tahun 2012 dikeluarkan untuk mencegah kepunahan penyu Pantai Taman yang ditetapkan sebagai wilayah konservasi. Akan tetapi pemberian status perlindungan saja jelas tidak cukup untuk memulihkan atau setidaknya mempertahankan populasi penyu. Pengelolaan konservasi yang komprehensif, sistematis dan terukur mestinya segera dilaksanakan, diantaranya dengan cara memberikan pengetahuan teknis tentang pengelolaan konservasi penyu bagi pihakpihak terkait khususnya bagi masyarakat di Pantai Taman. Tujuan konservasi adalah untuk memberikan penge-tahuan dan pemahaman kepada masyarakat tentang kehidupan penyu dan hal-hal yang terkait dengan keberadaan penyu. Oleh karena itu, tim IbW telah melakukan beberapa kegiatan antara lain sebagai berikut. o Pendidikan Masyarakat Berupa kegiatan penyuluhan yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman tentang penyu secara lengkap meliputi aspek biologi, ekologi serta upaya-upaya pengelolaan dan konservasinya (gbr. 5).
Gambar 5. Pendidikan konservasi penyu o Difusi Ipteks Kegiatan yang telah dilakukan adalah 1) Pembuatan daerah penetasan telur (hatcheries), 2) Pembuatan kolam pembesaran tukik (gbr. 6), dan 3) Pengem-bangan fasilitas wisata konservasi penyu terpadu.
72
SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk
Gambar 6. Kolam pembesaran tukik o Pelatihan Kegiatan berupa teknik pengelolaan konservasi penyu (gbr. 7), antara lain: a) teknis pemantauan penyu bertelur dan penetasan telur secara alami, b) teknis penangkaran (mulai dari kegiatan pemindahan telur, penetasan semi alami, pemeliharaan tukik hingga pelepasan tukik), c) teknik monitoring atau pemantauan penyu (meliputi pemantauan terhadap telur dan sarang telur, tukik dan penyu yang bertelur), d) teknik pembinaan habitat (meliputi teknik pembinaan habitat alami dan teknis pembinaan habitat semi alami), dan e) teknik pengelolaan wisata berbasis penyu.
Gambar 7. Penetasan tukik di area konservasi A. Pembuatan Daerah Penetasan Telur
Pembuatan daerah penetasan telur (hatcheries) dilakukan di daerah supratidal (gbr. 8). Hal ini dilakukan untuk menghindari sapuan (flushing) air laut pada siklus hari-hari bulan mati atau bulan purnama agar suhu sarang buatan tetap stabil. Kestabilan suhu sarang merupakan faktor penentu keberhasilan penetasan telur dengan harapan terjadi tingkat penetasan telur yang tinggi (high of hatching rates). Di samping itu, lama antara peneluran yang satu dengan peneluran berikutnya (interval peneluran) dipengaruhi oleh suhu air laut. Semakin tinggi suhu air laut, maka interval peneluran cenderung makin pendek. Sebaliknya semakin rendah suhu air laut, maka interval peneluran cenderung makin panjang.
Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016
73
Gambar 8. Tempat penetasan telur Pembuatan tempat penetasan telur penyu sudah dengan memperhatikan faktor pertumbuhan embrio yang sangat dipengaruhi oleh suhu. Embrio akan tumbuh optimal pada kisaran suhu antara 24–33 oC, dan akan mati apabila di luar kisaran suhu tersebut. Kondisi lingkungan yang sangat mempengaruhi pertumbuhan embrio sampai penetasan, adalah sebagai berikut.[3] o Suhu pasir. Semakin tinggi suhu pasir, maka telur akan lebih cepat menetas. Pengamatan terhadap telur penyu hijau yang ditempatkan pada suhu pasir berbeda menunjukkan bahwa telur yang terdapat pada suhu pasir 32 oC menetas dalam waktu 50 hari, sedangkan telur pada suhu pasir 24 oC menetas dalam waktu lebih dari 80 hari. o Kandungan air dalam pasir. Diameter telur sangat dipengaruhi oleh kandungan air dalam pasir. Makin banyak penyerapan air oleh telur dari pasir menyebabkan pertumbuhan embrio makin besar yang berakibat diameter telur menjadi bertambah besar. Sebaliknya, pasir yang kering akan menyerap air dari telur karena kandungan garam dalam pasir lebih tinggi. Akibatnya embrio dalam telur tidak akan berkembang dan mati. o Kandungan oksigen. Oksigen sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan embrio. Air hujan yang menyerap ke dalam sarang ternyata dapat menghalangi penyerapan oksigen oleh telur, akibatnya embrio akan mati. Embrio dalam telur akan tumbuh menjadi tukik yang mirip dengan induknya. Masa inkubasi yang dilewati kurang lebih 2 bulan. Identifikasi tukik berdasarkan bentuk luar (morfologi) setiap jenis (terdiri dari 4 jenis penyu yang dijumpai di Pantai Taman dari 7 jenis yang ada di dunia) ditunjukkan pada Tabel 1. TABEL 1. CIRI MORFOLOGI TUKIK No. Jenis Penyu 1 Penyu sisik (Eretmochelys imbri-cata) 2 Penyu hijau (Che-lonia mydas) 3 Penyu abuabu (Lepidochelys olivacea) 4 Penyu blimbing (Dermochelys coriacea)
74
Ciri-Ciri Morfologi Memiliki 4 pasang sisik lateral “lateral scute”, karapas berbentuk genteng. Karapas melebar, berwarna kehitaman Karapas mirip dengan tukik Chelonia mydas tetapi bentuk-nya memanjang Karapas berbentuk buah belimbing dan berwarna hitam
SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk
B. Pembuatan Kolam Pembesaran Tukik
Setelah menetas tukik seharusnya secara mandiri dibebaskan untuk menuju ke laut. Tetapi kadangkala diperlukan penyelamatan tukik yang masih lemah, karena pada saat di laut tukik akan berenang atau terombang-ambing dibawa arus laut sehingga dapat dengan mudah dimangsa predator. Penyelamatan tukik dilakukan dalam kolam pembesaran tukik (gbr. 5). Tukik dari hatcheries diperlihara dalam bak-bak budidaya sampai mencapai ukuran tertentu (berumur 2–3 bulan). Langkah-langkah pembesaran tukik adalah sebagai berikut.[4] o Setelah telur penyu menetas, tukik-tukik dipindah-kan ke kolam pembesaran yang berbentuk persegi panjang terbuat dari keramik. Ketingian air dalam bak pemeliharaan dibuat berkisar antara 5–10 cm, mengingat tukik yang baru menetas tidak mampu menyelam. Suhu air yang cocok untuk tukik adalah sekitar 25 oC. o Selama pemeliharaan tukik diberi makan secara rutin dan jika ada yang sakit dipisahkan agar tidak menular kepada tukik yang lain. Pemberian pakan tukik dilakukan dalam wadah bak dilapisi plastik dalam ukuran besar. Langkah-langkah pemberian pakan adalah sebagai berikut. − Jenis pakan yang digunakan adalah ebi (udang kering/geragu) dan sesekali diberi pakan daging ikan cacah. Sesekali dapat diberikan sayuran seperti selada atau kol. Umumnya tukik belum mau makan 2 – 3 hari setelah penetasan. Nafsu makan tukik sangat besar pada umur lebih dari 1 tahun, akan tetapi jangan terus diberi makan. − Pakan diberikan 2 kali sehari sebanyak 10-20% dari berat tubuh tukik dengan cara menyebarkan secara merata. Waktu pemberian pakan adalah pagi dan sore hari. o Kondisi air dalam kolam pemeliharaan harus sering diperhatikan, baik kuantitas maupun kualitasnya. − Air dalam bak pemeliharaan dapat kotor akibat dari sisa-sisa makanan atau kotoran tukik. Air yang kotor dapat menimbulkan berbagai penyakit yang biasa menyerang bagian mata dan kulit tukik. − Lakukan pergantian air sebanyak 2 kali dalam sehari sesudah waktu makan. Air dalam bak pemeliharaan harus selalu mengalir atau gunakan alat penyaring ke dalam pipa air bak pemeliharaan. o Perawatan tukik. Tukik-tukik di dalam kolam pemeliharaan seringkali saling gigit sehingga terluka. Pisahkan dan pindahkan segera tukik yang terluka ke kolam karantina. Bersihkan lukanya dengan larutan KMnO4 (kalium permanganat) di kolam kolam karantina. C. Pembangunan Fasilitas Wisata Konservasi
Pengembangan fasilitas wisata konservasi penyu terpadu oleh tim IbW dilakukan setelah pelaksanaan kegiatan konservasi sudah berjalan. Kegiatan pengem-bangan fasilitas wisata yang sudah dilakukan adalah sebagai berikut. o Pembangunan pusat informasi penyu. Bangunan ini digunakan sebagai kantor, gudang, dan ruang pertemuan (gbr. 9). Gedung berfungsi sebagai pusat informasi kawasan wisata terpadu. Gedung dilengkapi pagar kawasan wisata konservasi terpadu, gerbang kawasan konservasi, jalan penghubung antar wahana (gbr. 6) dan kolam renang air tawar sekaligus berfungsi sebagai penyedia air untuk mengairi tanaman Arboretum plasmanutfah.
Gambar 9. Gedung pusat informasi penyu
Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016
75
o Pembangunan flying fox terpanjang nasional 367 m. Desain pengelolaan konservasi penyu yang baik membutuhkan adanya dukungan infrastruktur yang ekstensif, pembinaan kapasitas dan pembiayaan yang tinggi. Pembangunan flying fox (gbr. 10) ber-fungsi untuk menarik wisatawan datang berkunjung sekaligus membantu upaya konservasi dan untuk kampanye konservasi penyu secara nasional maupun internasional.
Gambar 10. Uji coba flying fox di Pantai Taman IV. KARYA UTAMA
Untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi kondisi Desa Hadiwarno dengan Pantai Tamannya sebagai areal konservasi dan ekowisata, digunakan beberapa kriteria. Beberapa kriteria tersebut berupa: 1) Penilaian terhadap penetapan ekowisata di Pantai Taman, dan 2) Bagai-mana konsep pengelolaan ekowisata berbasis penyu dengan tetap memperhatikan perlindungan terha-dap kelestarian lingkungan, dampak negatif minimum, kon-tribusi terhadap ekonomi lokal, dan pemberdayaan masyarakat setempat. Berdasarkan hasil observasi yang menggunakan kriteria tersebut diperoleh hasil sebagai berikut. A. Ekowisata di Pantai Taman
Ekowisata adalah perjalanan dan kunjungan ke ling-kungan alam yang relatif masih asli, yang dilakukan secara bertanggungjawab, untuk menikmati dan meng-hargai alam dengan segala bentuk budaya yang menyertainya, yang mendukung konservasi, memiliki dampak yang rendah dan keterlibatan sosioekonomi masyarakat setempat yang bermanfaat.[5] Dalam kegiatan ekowisata terkandung unsur-unsur kepedulian, tanggungjawab dan komitmen terhadap kelestarian lingkungan dan kesejahteraan penduduk setempat. Ekowisata merupakan upaya untuk memaksimalkan dan sekaligus melestarikan potensi sumbersumber alam dan budaya untuk dijadikan sebagai sumber pendapatan yang berkesinambungan. Jabaran indikator mengenai kegiatan ekowisata di Pantai Taman tersebut dapat ditentukan dengan dipenuhinya prinsip-prinsip pengembangan ekowisata. Berdasarkan hasil pemetaan diperoleh keadaan sebagai berikut yang memenuhi kaidah prinsip ekowisata. o Konservasi. Beberapa kegiatan yang dilakukan meliputi: 1) Teknis pemantauan penyu bertelur dan penetasan telur secara alami, 2) Teknis penangkaran (mulai dari kegiatan pemindahan telur, penetasan semi alami, pemeliharaan tukik hingga pelepasan tukik), 3) teknik monitoring atau pemantauan penyu (meliputi pemantauan terhadap telur dan sarang telur, tukik dan penyu yang bertelur), 4) teknik pembinaan habitat (meliputi teknik pembinaan habitat alami dan teknis pembinaan habitat semi alami), dan 5) Teknik pengelolaan wisata berbasis penyu. Beberapa bentuk konservasi tidak merusak sumber daya alam itu sendiri, tidak menimbulkan dampak negatif dan ramah lingkungan. Hasil pemanfaatan tersebut telah dapat dijadikan sumber dana untuk membiayai upaya konservasi, mendukung pemanfaatan sumber daya lokal secara lestari serta meningkatkan daya dorong yang sangat besar bagi pihak swasta untuk berperan serta dalam program konservasi dan mendukung upaya pengawetan jenis. o Pendidikan. Kegiatan ekowisata berbasis penyu telah meningkatkan kesadaran masyarakat dan merubah perilaku masyarakat tentang perlunya upaya konservasi penyu dan menjaga sumber daya alam hayati dan keanekaragamannya. o Ekonomi. Kegiatan ekowisata di Pantai Taman telah dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi pengelola kawasan, penyelenggara ekowisata dan masyarakat setempat, memacu pembangunan wilayah, baik di tingkat lokal, regional maupun nasional serta menjamin kesinambungan usaha. Dalam skala besar
76
SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk
dampak ekonomi secara luas juga telah dirasakan oleh Kab. Pacitan melalui kawasan pengembangan pariwisata (KPP). o Peran aktif masyarakat. Peran aktif masyarakat dilakukan dengan membangun hubungan kemitraan dengan masyarakat setempat di antaranya dengan pelibatan masyarakat sekitar kawasan sejak proses perencanaan hingga tahap pelaksanaan serta monitoring dan evaluasi, menggugah prakarsa dan aspirasi masyarakat setempat untuk pengembangan ekowisata, memperhatikan kearifan tradisional dan kekhasan daerah setempat agar tidak terjadi benturan kepentingan dengan kondisi sosial budaya setempat serta menyediakan peluang usaha dan kesempatan kerja semaksimal mungkin bagi masyarakat sekitar kawasan. o Wisata. Yang tak kalah penting dari prinsip pengem-bangan ekowisata adalah kegiatan wisata itu sendiri. Dengan menyediakan informasi yang akurat tentang potensi kawasan, kenyamanan dan keamanan bagi pengunjung sehingga akan memberikan kesempatan pengunjung menikmati pengalaman wisata dalam lokasi yang mempunyai fungsi konservasi serta memahami etika berwisata dan ikut berpartisipasi dalam pelestarian lingkungan (gbr. 11).
Gambar 11. Wisata pelepasan tukik di Pantai Taman B. Konsep Pengelolaan Ekowisata Berbasis Penyu
Teknis pengelolaan ekowisata berbasis penyu telah dilakukan sesuai dengan bentuk wisata yang sangat erat dengan prinsip konservasi. Dengan demikian ekowisata yang dibangun sangat tepat dan berdayaguna dalam mempertahankan keutuhan dan keaslian ekosistem di areal yang masih alami dan ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Hal yang telah dilakukan adalah sebagai berikut. o Desain tata ruang area (gbr. 12) telah dibuat dan mendukung dijadikan objek ekowisata berbasis penyu. Beberapa ruang yang ada adalah kantor pusat informasi penyu, lokasi peneluran, lokasi penetasan semi alami, lokasi pemeliharaan tukik, dan lokasi pelepasan tukik. Desain tata ruang telah dibuat dengan memperhatikan upaya perlindungan pantai peneluran terhadap jenis predator dan gangguan lain yang khas di lokasi Pantai Taman. Telah dibuat oleh tim IbW kegiatan pemantauan sarang dan penetasan telurtelurnya untuk menduga prosentase telur-telur yang hilang akibat faktor alamiah dan manusia.
Gambar 12. Denah tata ruang kawasan konservasi penyu o Konstruksi daerah wisata berbasis penyu sesuai dengan desain tata ruang yang telah disusun, termasuk penanaman vegetasi-vegetasi yang sesuai dengan habitat penyu (gbr. 13). Secara umum, vegetasi dari daerah pantai ke arah daratan adalah: 1) Tanaman pioneer, 2) Zonasi jenis-jenis tanaman yang terdiri dari Hibiscus tiliaceus, Gynura procum-bens, dan lainnya, 3) Zonasi jenis-jenis tanaman seperti Hernandia peltata, Terminalia catappa, Cycas rumphii, dan lainnya, 4) Zonasi terdalam dari forma-si hutan pantai Callophyllum inophyllum, Canavalia ensiformis, Cynodon dactylon, dan lainnya.
Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016
77
Gambar 13. Penanam bibit di kawasan konservasi penyu o Menggabungkan paket wisata berbasis penyu dengan paket-paket wisata yang ada di sekitar kawasan. Hal ini dimaksudkan agar destinasi wisata selalu didatangi wisatawan. Kehadiran ekowisatawan ke Pantai Taman memberikan peluang bagi penduduk setempat untuk mendapatkan penghasilan alternatif dengan menjadi pemandu wisata, porter, membuka homestay, pondok ekowisata (ecolodge), warung dan usahausaha lain yang berkaitan dengan ekowisata, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan mereka atau meningkatkan kualitas hidup penduduk lokal baik secara materi, spiritual, kultural maupun intelektual. o Pengembangan ekowisata berbasis penyu di Pantai Taman masih tetap memperhatikan kondisi dan kenyamanan bagi penyu untuk bertelur, mengingat sifat penyu yang sangat sensitif terhadap gangguan cahaya, suara, dan habitat. V. ULASAN KARYA
Upaya konservasi penyu merupakan program yang sangat penting dan mendesak untuk melindungi dan menyelamatkan populasi penyu, terutama di Indonesia karena terdapat 6 dari 7 spesies penyu yang masih ada di dunia saat ini. Pantai Taman di Desa Hadiwarno Kec. Ngadirojo Kab. Pacitan didiami 4 dari 6 spesies penyu di Indonesia. Guna mendukung keberhasilan dan keberlanjutan upaya pengelolaan konservasi penyu, tim IbW telah membangun beberapa fasilitas yang mendu-kung upaya konservasi dan keberlanjutan program melalui kegiatan ekowisata. Upaya konservasi penyu tak akan pernah cukup jika hanya dilakukan di lokasi peneluran saja, karena penyu adalah satwa bermigrasi (gbr. 14). Penyu yang telah mencapai usia dewasa di suatu ruaya peneluran (fora-ging ground) akan bermigrasi ke lokasi perkawinan dan pantai peneluran (breeding and nesting migration). Setelah mengeluarkan semua telurnya, penyu betina akan kembali bermigrasi ke ruaya pakannya masing-masing (post-nesting migration). Demikian pula halnya dengan penyu jantan, yang akan bermigrasi kembali ke ruaya pakannya setelah selesai melakukan perkawinan.
Gambar 14. Siklus hidup penyu
78
SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk
Pengetahuan tentang jalur migrasi penyu yang dipe-roleh dengan penerapan teknik penelusuran mengguna-kan satelit telemetri menunjukkan luasnya cakupan jalur migrasi penyu. Dengan memperhatikan siklus hidup penyu mengharuskan adanya: 1) Konsep teknis konservasi penyu di daerah migrasi, 2) Teknis patroli penyu, 3) Teknis pembinaan habitat, baik habitat alami maupun semi alami, dan 4) Pengaturan yang meliputi daratan dan pantai, wilayah perairan pesisir (hingga 12 mil laut), zona ekonomi ekslusif sampai di lautan lepas. Sifat-sifat migrasinya yang cenderung lintas negara menuntut adanya pengaturan bilateral dan regional. Kompleksitas dampak sosial-ekonomi yang muncul pada setiap keputusan pengelolaannya memandatkan adanya partisipasi aktif dan progresif dari berbagai pihak. VI. KESIMPULAN
Hubungan antara manusia dan penyu telah berlangsung sejak manusia menghuni kawasan pesisir dan mengarungi berbagai samudera. Di beberapa tempat, masyarakat memanfaatkan penyu baik daging maupun telurnya sebagai sumber protein hewani. Pemanfaatan ini, di samping karena faktor alam, menjadi sebab penurunan populasinya di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Hal ini kemudian menyebabkan semua jenis penyu yang masih tersisa dibatasi perdagangannya bahkan dimasukkan ke dalam red list oleh CITES. Karena populasinya yang terancam, konservasi penyu menjadi kegiatan yang mendesak dilakukan. Dalam melakukan tindak konservasi, keberadaan habitat, populasi penyu dan masyarakat sekitar akan saling berkaitan sehingga harus diperhitungkan selain pengetahuan mengenai penyu itu sendiri. Informasi biologi penyu, misalnya demografi, tingkah laku, dan fisiologi penyu merupakan perangkat penting dalam mengembangkan strategi pengelolaan konservasi penyu yang dilakukan di Pantai Taman, Desa Hadiwarno, Kec. Ngadirojo, Pacitan. Kegiatan ini merupakan tindakan nyata yang dibutuhkan dalam melakukan pengelolaan konservasi penyu yang komprehensif, sistematis dan terukur. Karena program IbW ini akan dilaksanakan 3 tahun, maka tinggkat capaian tim IbW di kec. Ngadirojo, Kab. Pacitan sekitar 35% (atau 100% untuk tahun I). Tim IbW akan mengembangkan beberapa fasilitas lain yang lebih memperkuat citra kawasan sebagai lokasi konservasi penyu dan kawasan wisata. VII. DAMPAK DAN MANFAAT KEGIATAN
Implementasi konsep konservasi dan pengelolaan habitat penyu laut melalui pengembangan ekowisata berbasis masyarakat dinilai sangat efektif. Kegiatan ini dapat mengenalkan serta memberi peluang sebesarbesarnya kepada masyarakat untuk memahami esensi konservasi dipadu dengan ekowisata serta menikmati hasil dari kepariwisataan tersebut. Bagi daerah seperti halnya desa Hadiwarno yang memiliki karakteristik dan keunikan keragaman flora, fauna dan geologi, konsep ini sangatlah bermanfaat. Manfaat kegiatan bagi masyarakat adalah sebagai berikut. o Konservasi penyu akan meningkatkan image positif dan peran konservasi pemerintah di percaturan nasional, regional maupun internasional. o Meningkatkan peran masyarakat dalam konservasi penyu sebagai kekayaan keanekaragaman hayati dunia. o Meningkatkan pendapatan masyarakat dari tiket langsung maupun multiplayer effect dari kegiatan ekowisata (jasa pemanduan, souvenir maupun perdagangan lainnya). o Mengembangkan kegiatan ekowisata berbasis konservasi penyu untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. o Keberadaan pantai Taman sebagai kawasan konservasi dan ekowisata di Desa Hadiwarno, telah dapat memberi kontribusi nyata bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan ekonomi lokal. Hal ini dilakukan melalui kolaborasi tiga pelaku dalam industri pariwisata, yaitu: destinasi wisata, wisatawan, dan masyarakat lokal bisa diintegrasikan secara maksimal dalam industri pariwisata. o Informasi mengenai sumberdaya alam terutama keragaman flora, fauna dan geologi yang terdapat di desa wilayah IbW dapat diketahui masyarakat luas. Hal ini bisa menawarkan kesatuan nilai berwisata bagi wisatawan yang terintegrasi antara keseimba-ngan menikmati keindahan alam dan upaya melestarikannya.
Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016
79
VIII. DAFTAR PUSTAKA
[1] Pemerintah Kabupaten Pacitan, 2011, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2011 – 2016, Peraturan Daerah Kabupaten Pacitan No. 11 Tahun 2011. [2] Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Pacitan, 2009, Rencana Perwilayahan Kawasan Pengembangan Pariwisata Kabupaten Pacitan. [3] Dermawan, Agus; Nuitja, I Nyoman, Soedharma, Dedi, 2009, Pedoman Teknis Pengelolaan Konservasi Penyu, Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, Dirjen Kelautan, Pesisir dan PulauPulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan RI. [4] Adnyana, I.B. Windia dan Hitipeuw, Creusa, 2009, Panduan Melakukan Pemantauan Populasi Penyu di Pantai Peneluran di Indonesia, WWF-Indonesia. [5] Nuryanti, Wiendu, 1993, Concept, Perspective and Chalenges in Ecotourism, makalah pada Konferensi Internasional mengenal Pariwisata Budaya, Gadjah Mada University Press, Yogjakarta.
80
SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk