1
UPACARA KATHINA DALAM AGAMA BUDDHA (Studi Kasus Pada Vihara Buddha Metta Arama Menteng Jakarta)
Oleh
MA’MUN NIM. 0032118712
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1428 H/2007 M
2
UPACARA KATHINA DALAM AGAMA BUDDHA (Studi Kasus Pada Vihara Buddha Metta Arama Menteng Jakarta)
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar Sarjana Teologi Islam
Oleh
Ma’mun NIM. 0032118712 Di bawah Bimbingan Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. H. Roswen Dja’far NIP. 150 022 782
Dra. Hj. Hermawati, M.A NIP. 150 227 408
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1428 H/2007 M
3
KATA PENGANTAR
ﺑﺴﻢ اﷲ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﻴﻢ Segala puja dan puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt. yang telah memberikan kekuatan iman dan Islam, taufiq, hidayah serta inayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Baginda Nabi Besar Muhammad Saw. yang telah memberikan cahaya dan fatwa kepada seluruh ummatnya hingga akhir zaman. Syukur dengan mengucap al-hamdulillah, dan dengan usaha maksimal dan tekad yang bulat serta dorongan yang kuat dari saudara-saudaraku tercinta dan kedua orang tua, akhirnya penulisan skripsi ini dapat penulis selesaikan, walaupun tentunya hambatan dan rintangan senantiasa menanti silih berganti. Atas izin Allah Swt. semua kesulitan dan hambatan dapat diatasi, sehingga hasil usaha dan jerih payah ini dapat disajikan sebagaimana yang ada di hadapan pembaca. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini belum mencapai ukuran sempurna. Untuk itu sumbangsih dan pemikiran, kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan. Disadari sepenuhnya dengan kerendahan hati, bahwa penulisan skripsi ini tidak terlepas dari berbagai pihak yang turut membantu dengan rela berpartisipasi dalam membantu proses penulisan skripsi ini dari awal hingga selesai, maka sudah sepantasnya penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Dr. M. Amin Nurdin, MA, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat beserta staf dan Bapak Drs. H. Roswen Dja’far, sebagai pembimbing I
4
dan Dra. Hj. Hermawati, M.A sebagai pembimbing II atas kebijaksanaannya dalam memberikan tugas kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 2. Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan fakultas Ushuluddin dan Filsafat jurusan Perbandingan Agama yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Pimpinan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta staf yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk memanfaatkan dan meminjam buku-buku yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini. 4. Bapak Suddhi Citto, selaku Bhante/Bikkhu Vihara Buddha Metta Arama Menteng, Jakarta yang telah memberikan data dan kontribusinya dalam rangka penyelesaian skripsi ini. 5. Kakak dan adik-adikku tercinta Hendar & Ali serta teman-teman satu perjuangan seperti Topan & Bezho yang telah membantu penulis dalam memberikan semangat dan motivasinya demi terselesaikannya skripsi ini. 6. Ayah dan Ibunda tercinta (Bapak Marhadi dan Umi Sunaiyah) yang senantiasa berusaha dan berdoa serta mendidik penulis dengan penuh tanggungjawab dan selalu memberikan bantuan baik moril maupun materil. 7. Sanak famili dan handai taulan serta rekan mahasiswa fakultas Ushuluddin dan Filsafat, khususnya jurusan Perbandingan Agama angkatan 2000 dan semua pihak yang telah memberikan bantuan dengan suka rela dalam penyelesaian skripsi ini.
5
Walaupun demikian, banyaknya pihak yang telah berjasa dalam penyelesaian skripsi ini, bukan berarti kepada mereka pertanggungjawaban dibebankan, akan tetapi penulislah yang bertanggung jawab sepenuhnya, baik yang menyangkut kekhilafan maupun kekurangan-kekurangannya. Akhirnya hanya kepada Allah Swt. penulis serahkan segalanya, semoga jasa dan bantuan semua pihak yang diberikan kepada penulis menjadi pemberat timbangan amal kebaikan di akhirat kelak. Mudah-mudahan usaha kecil penulis melalui tulisan ini dapat membawa manfaat, baik bagi penulis sendiri maupun bagi pembaca pada umumnya. Amin ya rabb al-‘alamin.
01 Pebruari 2007 M Jakarta, 13 Muharram 1428 H Penulis
6
DAFTAR ISI Halaman Judul i ........................................................... KATA PENGANTAR iv ..................................................................... DAFTAR ISI PENDAHLUAN : BAB I A. Latar Belakang Masalah ...............................................................1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...........................................5 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .................................................6 D. Metodologi Penelitian ..................................................................7 E. Sistematika Penyusunan ...............................................................8 RUANG LINGKUP PERAYAAN KATHINA : BAB II A. Pengertian Kathina .......................................................................10 B. Sejarah Timbulnya Kathina ..........................................................13 C. Manfaat Perayaan Kathina ...........................................................18 D. Persembahan Dana Dalam Kathina ..............................................23 VIHARA BUDDHA - METTA ARAMA MENTENG - JAKARTA :BAB III A. Sejarah Singkat Vihara Buddha Metta Arama .............................29 B. Peran dan Fungsi Vihara Buddha Metta Arama ..........................31 C. Aktivitas Dalam Vihara Buddha Metta Arama ............................35 D. Arti Simbol Dalam Vihara Buddha Metta Arama .......................39
PELAKSANAAN UPACARA KATHINA DI VIHARA : BAB IV
7
BUDDHA METTA ARAMA MENTENG JAKARTA A. Persiapan Upacara Kathina ..........................................................46 B. Tata Cara Upacara Kathina ..........................................................49 C. Tujuan Upacara Kathina ..............................................................52 D. Kandungan Makna Dalam Upacara Kathina ................................55 E. Analisa Kritis ...............................................................................61 PENUTUP : BAB V A. Kesimpulan ..................................................................................67 B. Saran-saran ...................................................................................68 71 ................................................. DAFTAR ISTILAH BUDDHA 72 ........................................................... DAFTAR PUSTAKA 74 ...................................................... LAMPIRAN-LAMPIRAN
8
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan manusia, religi merupakan unsur yang teramat penting. Hal ini disebabkan karena religi telah mengambil tempat yang teramat besar dalam jiwa manusia. Kurft mengatakan bahwa kepercayaan adalah urusan hati, menyita seluruh hidup, berakar dalam jiwa manusia sebagai keseluruhan dengan segala ungkapan yang banyak seginya.1 Dengan kepercayaan yang dimiliki, manusia menjawab pertanyaan yang timbul sebagai akibat dari berbagai pengalaman yang tidak dapat dimengerti, pengalaman yang timbul dalam konfrontasi dengan alam dan dalam kehidupan pribadi dan sekitarnya. Pertanyaan-pertanyaan yang timbul dan terkadang tidak dapat dijawab misalnya adalah masalah upacara yang berkaitan erat dengan kepercayaan manusia. Kepercayaan bagi manusia menjadi suatu pegangan dalam meyakini sebuah upacara yang sifatnya mungkin bisa dikatakan supranatural yang berada di luar batas pemikirannya. Suparlan mengatakan bahwa kepercayaan merupakan suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan dalam suatu masyarakat dalam menginterpretasi atau memberi respon terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai sesuatu yang gaib dan suci.2 Pandangan
1
A.C. Kruyt, Keluarga Dari Agama Suku Masuk ke Agama Kristen, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1976), h. 76 2 Ronald Robert (ed), Agama; Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, (Jakarta : Rajawali Press, 1988), h. v - vi
9
terhadap adanya suatu dunia yang gaib dan suci yang sifatnya supranatural itu adalah sesuatu yang universal dalam setiap kepercayaan yang dimiliki manusia yang selanjutnya kepercayaan ini dapat diwujudkan dalam bentuk berbagai aktivitas upacara. Aktivitas dan tindakan religius tersebut yang diperagakan pada suatu upacara merupakan usaha manusia untuk berkomunikasi dengan Tuhan, dewadewa dan penghuni-penghuni dunia gaib lainnya. Tindakan-tindakan religius itu sendiri memang cenderung bersifat simbolis, sehingga dalam upacara itu dipahami dengan simbol-simbol. Hal tersebut pada dasarnya menguatkan dan membuat suatu kepercayaan menjadi nyata. Dalam hal ini C. Greetz mengemukakan pendapatnya sebagai berikut : Agama adalah suatu sistem simbol yang berlaku untuk menetapkan suasana-suasana hati dan motivasi-motivasi yang kuat dan tahan lama dalam diri manusia, dengan merumuskan konsep-konsep tentang suatu tatanan umum, eksistensi dan membungkus konsep-konsep itu dengan aura faktualitas, sehingga suasana-suasana hati dan motivasi-motivasi itu tampak nyata.3 Upacara dengan segala perlengkapannya senantiasa mewujudkan emosi keagamaan yang menjadi perhatian anggota masyarakat. Penyelenggaraan upacara, selain berfungsi komunikatif juga dapat mensosialisasikan norma-norma dan nilai-nilai yang diajarkan oleh sistem kepercayaan. Sosialisasi memang dapat ditempuh dengan berbagai cara, tetapi upacara bersama adalah suatu cara yang mempercepat terjadinya sosialisasi. Hal ini bukan saja menampilkan materi dan tahap-tahap upacara, melainkan terkandung di dalamnya ungkapan-ungkapan
3
C. Greezt, Kebudayaan dan Agama, (Yogyakarta : Kanisius, 1992), h. 5
10
emosional yang merangsang terciptanya kekokohan norma dan nilai yang bersifat kohesif pada anggota masyarakat. Masyarakat Indonesia yang bersifat bhinneka terdiri dari berbagai suku yang tersebar di seluruh nusantara pada hakekatnya adalah eka atau satu adanya. Demikian pula agama-agama yang hidup dan berkembang di Indonesia bersifat bhineka yang terdiri dari agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Katholik, Hindu, Konghuchu dan Buddha serta setiap agama mempunyai kitab suci yang berbedabeda. Walaupun agama tersebut tidak mungkin dapat dipersatukan, namun sebagai bangsa yang besar, seluruh umat beragama dapat dipersatukan di bawah landasan hukum Pancasila. Salah satu agama yang hidup dan berkembang di Indonesia serta berada di bawah landasan hukum Pancasila adalah agama Buddha. Agama Buddha merupakan salah satu agama yang hidup dan berkembang di Indonesia. Agama ini terdiri dari beberapa aliran yang terorganisir dalam majelis-majelis serta Sangha yang tergabung dalam perwalian umat Buddha Indonesia (WALUBI). Ada tiga aspek yang menjadi kerangka dasar dari ajaran agama Buddha yaitu aspek Bakti, Saddha dan Sila. Mengenai aspek bakti, setiap aliran dalam agama Buddha memiliki perbedaan dalam hal cara pelaksanaan upacara kebaktian. Akan tetapi ada juga persamaan dan keseragaman pada saat mereka mengadakan upacara kebaktian tersebut. Aspek bakti ini terbagi ke dalam dua bagian yaitu :4 Tata kebaktian menurut agama Buddha terdiri atas kebaktian umum yang dihadiri oleh Bhikkhu Sangha, kebaktian umum yang tidak dihadiri oleh Bhikkhu 4
Tim Penyusun Paritta Suci dan Penuntun Kebaktian dan Upacara, (Jakarta : Departemen Agama RI, 1998), h. 1 - 2
11
Sangha, kebaktian pembukaan pendidikan agama Buddha dan kebaktian penutupan pendidikan agama Buddha. Sedangkan upacara menurut agama Buddha terdiri dari upacara suci waisak, upacara asaddha, upacara magha puja, upacara perkawinan, upacara kematian dan upacara kathina.5 Tidak dapat dipungkiri bahwa memang setiap agama memiliki perayaan dan upacara keagamaan. Demikian pula dengan umat Buddha, memiliki berbagai upacara keagamaan berikut tata caranya yang wajib dilaksanakan untuk memohon kepada Tuhan agar senantiasa memberikan tuntunan, perlindungan dan kesejahteraan, baik lahir maupun batin. Oleh sebab itu, dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan, umat Buddha melaksanakan upacara kebaktian dan berbagai upacara lainnya dengan tujuan untuk dapat meningkatkan kehidupannya dalam melaksanakan sembahyang yang sudah seharusnya dilaksanakan oleh seluruh umat Buddha di manapun mereka berada. Salah satu upacara yang tidak kalah pentingnya bagi kalangan umat Buddha adalah upacara kathina. Dari beberapa kebaktian agama Buddha, upacara kathina6 merupakan salah satu upacara penting dalam agama Buddha. Upacara ini dimaksudkan untuk menghormati dan merenungi sifat-sifat Sang Buddha. Para umat Buddha diharapkan dapat saling asih, saling asuh dan saling asah, demi solidaritas dan kelangsungan agama Buddha – Sasana. Di samping itu, upacara kathina mendorong seorang Bhikkhu menjadi bhikkhu yang baik dan taat pada Vinaya
5
Suwarno T., Buddha Dharma Mahayana, (Jakarta : Majelis Agama Buddha Indonesia, 1999), h. 15 6 Upacara kathina merupakan upacara pemberian jubah kepada Sangha. Lihat Warta Visudha, No. 4, Edisi Oktober 1990, h. 3
12
serta mendorong umat yang baik serta taat pada sila. Hal ini sesuai dengan sabda Sang Buddha : “Engkaulah yang harus mengingatkan dan memeriksa dirimu sendiri. Oh Bhikkhu, bila engkau dapat menjaga dirimu sendiri dan selalu sadar, maka engkau akan hidup dalam kebahagiaan”.7 Demikian sabda Sang Buddha yang tentunya sangat berkaitan dengan perayaan kathina. Adapun yang mendorong penulis untuk mengangkat ke permukaan tentang masalah ini dilandasi oleh beberapa hal yaitu : 1. Perayaan kathina merupakan praktek kehidupan beragama Buddha, yakni melaksanakan kewajiban umat terhadap Sangha. Para rahib Buddha tidak mengucilkan diri, namun mengabdikan diri kepada masyarakat luas. 2. Upacara kathina memiliki keunikan tersendiri, bahwa upacara ini tidak dapat diselenggarakan tanpa kehadiran bhikhu. 3. Sejauh pengamatan penulis, masalah ini belum pernah dibahas oleh mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Jurusan Perbandingan Agama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Berangkat dari pola pikir di atas, penulis merasa tertarik untuk menuangkan sebuah obsesi yang terdapat dalam diri penulis yang kemudian diwujudkan dalam bentuk skripsi yang diberi judul : “UPACARA KATHINA DALAM AGAMA BUDDHA (Studi Kasus pada Vihara Buddha Metta Arama Menteng-Jakarta)”. Topik ini menarik untuk dikaji, karena implikasinya sangat
7
Herman S. Endro, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Budhis 1996 – 2026, (Jakarta : Yayasan Dhammadiepa Arama, 1997), Cet. ke-1, h. 29
13
luas sehingga dapat dijadikan gambaran bagi umat lain untuk mengeluarkan dana dalam melakukan kebajikan/jasa sepanjang hayatnya. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Upacara kathina yang menjadi pembahasan utama dalam karya ilmiah ini adalah salah satu rangkaian upacara yang dilaksanakan oleh umat Buddha. Banyak hal yang dapat diangkat dalam persoalan ini seperti ajaran Kitab Suci Agama Buddha, pengetahuan umat Buddha dan pengaruh agama Buddha terhadap perayaan upacara kathina. Agar dapat memberikan fokus masalah, maka pembahasan skripsi ini dibatasi hanya pada upacara kathina dalam agama Buddha dengan rumusan permasalahannya yaitu : Bagaimana proses pelaksanaan upacara kathina dalam agama Buddha khususnya di vihara Buddha Metta Arama Jakarta, dengan batasan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana proses pelaksanaan upacara kathina dalam agama Buddha ? 2. Sarana apa saja yang dapat digunakan dalam upacara kathina pada agama Buddha ? 3. Maksud dan Tujuan apa yang hendak dicapai dalam upacara kathina ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan Sejalan dengan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah serta manfaat penulisan, maka penulisan skripsi ini memiliki tujuan sebagai berikut : 1. Memperoleh gambaran tentang proses pelaksanaan upacara kathina dalam agama Buddha pada vihara Metta Arama Menteng Jakarta.
14
2. Memperoleh gambaran tentang maksud dan tujuan pelaksanaan upacara kathina dalam agama Buddha pada vihara Metta Arama Menteng Jakarta. 3. Memenuhi sebagian persyaratan akademis untuk mencapai gelar kesarjanaan di bidang agama Islam pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat jurusan Perbadingan Agama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun kegunaan dari penulisan skripsi ini dapat digambarkan sebagai berikut : 1. Manfaat akademis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi perkembangan khazanah keilmuan Islam dan dapat memberikan penjelasan tentang proses pelaksanaan upacara kathina dalam agama Buddha. 2. Manfaat praktis Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi berupa bahan bacaan berbentuk karya ilmiah di lingkungan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat jurusan Perbandingan Agama.
D. Metodologi Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yakni penelitian tentang hubungan fenomena sosial tertentu dengan menganalisa dan menginterpretasikan melalui data yang ada.8 Pengumpulan data dalam rangka pembahasan skripsi ini diperoleh
8
Penelitian ini memiliki dua tujuan, pertama untuk pengukuran yang cermat terhadap fenomena sosial tertentu dengan mengembangkan konsep dan menghimpun fakta, tetapi tidak
15
melalui studi kepustakaan atau library research dan field research atau penelitian lapangan. Pengumpulan data-data skripsi yang diperoleh melalui studi kepustakaan, penulis mengambil sumber dari buku-buku, makalah, majalah dan surat kabar yang berhubungan erat dengan tema skripsi ini. Kemudian untuk memperoleh data lapangan, penulis melakukan observasi dan wawancara dengan cara mendatangi obyek yang diteliti seperti gambaran umum lokasi penelitian dan kondisi Vihara Buddha Metta Arama Menteng Jakarta untuk mendapatkan data serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan dalam penelitian ini. Pada metode ini, penulis menggunakan dua teknik yaitu : a. Observasi, penulis mengadakan pengamatan langsung ke Vihara Buddha Metta Arama Menteng Jakarta untuk memperoleh data yang akurat tentang gejala, peristiwa dan kondisi aktual yang terjadi pada masa sekarang yang sudah barang tentu berkaitan erat dengan masalah upacara kathina. b. Wawancara, penulis mengadakan tanya jawab dengan Bhikkhu Vihara Buddha Metta Arama Menteng Jakarta untuk memperoleh data yang dibutuhkan dan dianggap akurat. Sedangkan teknik penulisan skripsi ini berpedoman kepada buku “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta” yang diterbitkan oleh PT. Hikmat Syahid Indah Jakarta akan mewarnai seluruh bentuk penulisan skripsi ini.
melakukan pengujian hipotesa. Kedua, untuk memprediksi fenomena sosial tertentu. Lihat Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi, Metodologi Penelitian Survey, (Jakarta : LP3ES, 1999), Cet. ke1, h. 4
16
E. Sistematika Penyusunan Untuk memudahkan pembahasan skripsi ini secara keseluruhan, maka diperlukan suatu sistematika penyusunan. Adapun sistematika penyusunan yang dimaksud adalah seperti yang akan diuraikan di bawah ini. Bab I menguraikan tentang pokok-pokok pikiran yang tertuang dalam pembahasan skripsi ini yang terdiri atas latar belakang masalah yang tujuannya untuk memberikan alasan yang jelas tentang pemilihan judul, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penulisan, metodologi penelitian yang dipergunakan dalam rangka memudahkan penulisan dan sistematika penyusunan dipergunakan untuk memberikan penjelasan secara garis besar mengenai pembahasan yang akan diuraikan dalam skripsi ini. Bab II berisikan tentang ruang lingkup perayaan kathina yang pembahasannya meliputi pengertian kathina, sejarah timbulnya kathina, manfaat perayaan kathina dan persembahan dana dalam kathina. Bab III menguraikan tentang kondisi Vihara Buddha Metta Arama Menteng Jakarta yang pembahasannya meliputi sejarah singkat Vihara Buddha Metta Arama, peran dan fungsi Vihara Buddha Metta Arama, aktivitas dalam Vihara Buddha Metta Arama serta arti simbol dalam Vihara Buddha Metta Arama. Bab IV membahas inti persoalan yang diperbincangkan dalam skripsi ini, yaitu masalah proses pelaksanaan upacara kathina di Vihara Buddha Metta Arama Menteng Jakarta yang pembahasannya meliputi persiapan upacara kathina, tata
17
cara upacara kathina, tujuan upacara kathina dan kandungan makna dalam upacara kathina dan analisa kritis. Bab V merupakan bab penutup dari skripsi ini, di dalamnya memuat beberapa kesimpulan dan saran-saran yang merupakan kristalisasi dari uraianuraian bab-bab terdahulu yang kemudian diakhiri oleh daftar kepustakaan dan lampiran-lampiran.
18
BAB II RUANG LINGKUP PERAYAAN KATHINA
A. Pengertian Kathina Kathina berasal dari bahasa Pali/Sansekerta. Menurut S. Wojowasito, kathina merupakan kata sifat yang berarti keras, kuat dan kokoh.9 Sementara itu Suddhi Citto mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kathina adalah kain katun untuk bahan jubah, karena pada masa silam, para bhikkhu membuat jubahnya dari kain-kain bekas jika tidak menerima pemberian dari umat.10 Dengan demikian kathina adalah upacara keagamaan di lingkungan umat Buddha, merupakan hari dana yang biasanya dilangsungkan setiap bulan purnama pada bulan Oktober.11 Masa kathina dimulai satu hari setelah hari purnama pada bulan Oktober sampai dengan hari purnama bulan November. Salah satu hari dalam batas waktu satu bulan tersebut dapat dipilih untuk penyelenggaraan upacara. Dibalik persembahan jubah, upacara kathina tidak semata-mata merupakan suatu bentuk peringatan. Perayaan kathina adalah praktek kehidupan beragama Buddha, yakni melaksanakan kewajiban umat terhadap Sangha. Para rahib Buddha tidak mengucilkan diri, namun mengabdikan diri kepada
9
h. 131
S. Wojowasito, Kamus Kawi – Indonesia, (Bandung : CV. Pangarang, tth), Cet. ke-1,
10
Suddhi Citto, Samanera Vihara Buddha Metta Arama Menteng Jakarta, Wawancara Pribadi, Jakarta 29 Maret 2006 11 Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 2000), Cet. ke-2, h. 457
19
masyarakat luas. Umat mempersembahkan dana kepada mereka.12 Tidak ada upacara kathina tanpa persembahan dana. Istilah Bulan Dana bagi umat Buddha tentu tidak asing lagi, karena di dalam agama Buddha juga terdapat bulan dana tetapi tidak menggunakan istilah Bulan Dana umat Buddha atau Bulan Berdana Bagi Umat Buddha atau dengan istilah yang lainnya. Masa satu bulan yang merupakan bulan dana tersebut dikenal dengan istilah masa atau bulan kathina.13 Bulan kathina selalu hadir antara bulan Oktober dan bulan November, yakni setelah berakhirnya masa vassa. Masa ini merupakan yang tepat bagi umat Buddha memberikan dana kepada para bhikkhu yang telah menjalankan masa vassa. Sang Buddha memberikan izin kepada para bhikkhu untuk mencari kain/bahan jubah baru, untuk mengganti jubah yang lama yang telah robek.14 Kalau dibayangkan kehidupan di zaman Sang Buddha, tentu tidak sama dengan kehidupan di zaman sekarang. Dalam kitab-kitab suci diceritakan bagaimana kehidupan pada zaman Sang Buddha. Ada orang yang kaya raya, ada raja yang menjadi sponsor atau menopang kehidupan para bhikkhu, dan masih banyak lagi yang lainnya. Tentu tidak semua bhikkhu hidup dari bantuan orang kaya atau raja yang memerintah.15 Para bhikkhu yang hidup di daerah yang makmur, yang didukung oleh orang kaya atau raja, tidak akan merasakan kesulitan untuk mendapatkan empat
12
K. Wijaya Mukti, Berebut Kerja Berebut Surga, (Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan, 2003), Cet. ke-2, h. 16 13 Dhana Putra, “Bulan Dana, Bulan Kathina”, Warta Visudha, No. 4, Edisi Oktober 1990, h. 3 14 Dhana Putra, “Bulan Dana, Bulan Kathina” Warta Visudha, Oktober 1990, h. 4 15 Dhana Putra, “Bulan Dana, Bulan Kathina” Warta Visudha, Oktober 1990, h. 5
20
kebutuhan pokok yang berupa jubah, makanan, tempat tinggal dan obat-obatan. Nampaknya umat Buddha pada zaman Sang Buddha selalu menyediakan empat kebutuhan pokok dengan baik, tetapi untuk jubah para bhikkhu umumnya mengumpulkan kain bekas pembungkus mayat yang dikenal dengan nama amsukula. Kain-kain tersebut dikumpulkan dan dijahit menurut ketentuan yang ada, menjadi jubah. Pembuatan jubah ini biasanya dilakukan pada masa kathina, dan untuk mewarnai diperlukan alat berupa bingkai untuk membentangkan jubah tersebut. Bingkai inilah yang kemudian dikenal dengan istilah kathina.16 Masa kathina merupakan satu kurun yang paling baik bagi umat Buddha untuk mempraktekkan perbuatan baik, terutama dengan cara berdana. Ladang yang paling baik untuk berdana adalah Sangha. Dalam Paritta Sanghanussatti dinyatakan bahwa lapangan untuk menanam jasa, yang tiada taranya di alam semesta, dan lain sebagainya merupakan tempat yang cukup baik untuk berdana.17
Dalam masa satu bulan tersebut, umat memilih satu hari tertentu untuk merayakan upacara kathina. Pemilihan hari tersebut tentu sangat bergantung pada umat itu sendiri, di samping kesediaan para bhikkhu yang akan menghadiri upacara kathina yang diadakan.18 Dari uraian-uraian tentang definisi kathina, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kathina pada dasarnya suatu upacara keagamaan di lingkungan
16
Dhana Putra, “Bulan Dana, Bulan Kathina”, Warta Visudha, Oktober 1990, h. 3 Dhana Putra, ,”Bulan Dana, Bulan Kathina”, Warta Visudha, h. 4 18 Dhana Putra, “Bulan Dana, Bulan Kathina”, Warta Visudha, h. 3 17
21
umat Buddha dengan cara memberikan dana kepada Sangha dan dilaksanakan pada setiap bulan purnama yang jatuh pada bulan Oktober.
B. Sejarah Timbulnya Kathina Hari raya kathina juga bisa disebut hari raya persembahan dana kepada Arya Sangha, yang terdiri dari para bhikksu dan bhiksuni. Hari raya yang diperingati dan dirayakan setelah para bhiksu dan bhiksuni berada pada masa vassa atau istirahat pada musim hujan selama tiga bulan ini memiliki makna yang dalam, yang wajib direnungkan oleh umat Buddha. Dalam masa vassa tersebut para bhiksu tidak berkelana, tetapi berdiam di satu tempat untuk membina diri guna meningkatkan kemajuan batin. Masa vassa
ditetapkan
Sang
Buddha
setelah
mendengar
masukan,
yang
mempertanyakan mengapa para siswa Sang Buddha pergi berkelana pada musim hujan di mana saat itu banyak tunas baru yang tumbuh, sehingga tunas-tunas tersebut banyak yang terinjak dan mati. Dari laporan ini, akhirnya ditetapkanlah masa vassa.19 Alasan lain adalah karena ketika para bhiksu ingin menyampaikan hormat kepada Sang Buddha, beliau melihat pakaian yang mereka kenakan telah rusak. Oleh karena itu, beliau menganjurkan kepada umat Buddha yang mampu untuk memberikan persembahan jubah kepada Sangha sekurang-kurangnya sekali dalam satu tahun, dan waktu yang paling tepat untuk memberikan persembahan
19
Warta WALUBI, Edisi November 2003, h. 16
22
tersebut adalah setelah masa vassa,20 karena setelah melatih diri, para bhiksu memiliki batin yang lebih tinggi kualitasnya, sehingga dapat diharapkan menjadi ladang yang subur untuk menanam jasa. Selain merupakan saat yang sangat tepat dan amat baik untuk berdana, bulan kathina juga merupakan saat yang indah bagi semua umat Buddha untuk mendengarkan khotbah dharma dari Sangha yang membina secara intensif, sehingga merupakan berkat rohani yang menyegarkan batin.21 Umat Buddha biasa memberikan persembahan kepada para bhiksu dan bhiksuni, baik berupa bahan untuk jubah, obat-obatan, barang-barang keperluan sehari-hari maupun uang dengan tujuan agar mereka dapat memenuhi kebutuhankebutuhannya. Pemberian semacam ini biasanya mereka lakukan pada hari raya kathina. Adapun sejarah timbulnya kathina ini mengacu kepada peraturan kebhikkhuan yang mengharuskan para bhikkhu untuk menetap di suatu tempat selama musim hujan atau masa vassa. Selama masa itu, mereka tidak berkelana seperti biasanya. Hal ini dapat dilihat pada masa sejarah timbulnya kathina di India misalnya.22 Pada masa kehidupan Sang Buddha masyarakat mulai menanam sayur mayur dan tanaman lainnya, di ladang mereka pada awal musim hujan. Karena itu, mereka merasa khawatir kalau tanaman mereka yang mulai tumbuh subur itu akan terinjak-injak oleh kaki para bhikkhu yang berkelana. Mereka lalu meminta kepada Sang Buddha agar para bhikkhu tidak berkelana selama musim hujan.
20
Masa vassa adalah masa istirahat bagi para bhikkhu untuk tidak melakukan perjalanan. Lihat Warta Walubi, Edisi November 2003 21 Warta WALUBI, November 2003, h. 17 22 Buddha Cakkha, 1990, h. 32
23
Permohonan mereka pun dikabulkan oleh Sang Buddha dengan menetapkan aturan bahwa setiap bhikkhu harus menetap di satu tempat selama musim hujan atau yang lebih dikenal dengan istilah masa vassa.23 Masa vassa berlangsung selama tiga bulan terhitung sejak hari pertama setelah purnama Sidhi bulan Asadha.24 Dalam masa vassa ini para bhikkhu berusaha mendalami ajaran sang Buddha yang lebih sungguh-sungguh, melatih diri dengan sila dan Samadhi, serta meminta bimbingan dari bhikkhu-bhikkhu yang lebih senior.25 Akhir dari masa vassa ini ditandai dengan hari pavarana. Hari pavarana adalah hari uposatha istimewa, karena pada hari uposatha ini para bhikkhu tidak membacakan peraturan kebhikkhuan sebagaimana biasanya. Pada hari ini, para bhikkhu saling introspeksi, yang telah melakukan kesalahan, mengakui kekeliruannya kepada bhikkhu yang lebih senior dan saling maaf memaafkan, serta saling memberikan nasehat agar kelak menjadi lebih baik lagi.26 Setelah hari pavarana, tibalah masa kathina. Masa kathina ini berlangsung selama satu bulan. Para bhikkhu boleh mencari kain-kain untuk bahan jubah, karena pada masa silam para bhikkhu membuat jubahnya dari kainkain bekas jika tidak menerima pemberian dari umat. Untuk itulah, pada masa kathina ini umat Buddha mempersembahkan kain-kain untuk jubah serta berbagai keperluan pokok lainnya sebelum para bhikkhu mulai berkelana kembali.27
23
“Tahukkah Anda Apakah Kathina itu?”, Buddha Cakkha, 1990, h. 31 Asadha menurut umat Buddha adalah bulan November dan pada bulan ini biasanya turun hujan. Lihat Herman S. Endro, Hari Raya umat Buddha dan Kalender Buddhis, h. 20 25 Herman, Endro, Hari Raya umat Buddha dan Kalender Buddhis, h. 21 26 Herman, Endro, Hari Raya umat Buddha dan Kalender Buddhis, h. 22 27 Herman, Endro, Hari Raya umat Buddha dan Kalender Buddhis, h. 20 24
24
Ada satu hal yang penting dalam masa kathina ini, yaitu persembahan jubah kathina. Meskipun jubah atau kain bisa dipersembahkan hampir setiap saat kepada para bhikkhu atau Sangha, namun jubah yang dipersembahkan itu hanyalah jubah biasa, bukan jubah kathina. Agar bisa disebut sebagai jubah kathina, maka harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :28 Jubah itu dipersembahkan pada masa kathina. Jubah itu diterima oleh minimal 5 orang bhikkhu yang menetap bersama-sama di suatu tempat yang sama. Para bhikkhu tersebut semuanya menjalani masa vassa dengan baik dan lengkap. Jubah atau kain jubah itu diperoleh dengan cara yang sah, bukan dengan jalan meminta, meminjam, mengambil milik orang lain, dan lain sebagainya. Kain jubah tersebut dicuci, dipotong, dijahit dan dicelup selama tidak lebih dari satu hari. Sebelum matahari terbit kembali, jubah tersebut harus sudah siap pakai, dan Sangha yang menerima persembahan kathina akan melakukan Sangha Kamma, bermusyawarah untuk menentukan siapa di antara mereka yang berhak untuk mengenakan jubah kathina tersebut. Semua bhikkhu yang mengikuti upacara persembahan jubah kathina ini akan memperoleh lima hak istimewa sampai selesai musim dingin atau sampai empat bulan setelah masa kathina, yaitu : 1. Para bhikkhu boleh meninggalkan vihara tanpa pamit. 2. Para bhikkhu boleh pergi tanpa harus membawa tiga perangkat jubah secara lengkap.
28
Herman, Hari Raya umat Buddha dan Kalender Buddhis, h. 32
25
3. Para bhikkhu boleh makan secara berkelompok tanpa melakukan pelanggaran vinaya. 4. Para bhikkhu boleh menyimpan jubah ekstra atau jubah tambahan tanpa batas waktu. 5. Para bhikkhu bisa memperpanjang masa kathina sampai akhir musim dingin.29 Dengan demikian proses lahirnya kathina ini sangat berkaitan dengan erat kondisi musim pada suatu negara misalnya India. Selama musim hujan, biasanya berbagai jenis tanaman akan tumbuh subur. Oleh karena itu masyarakat mulai menanam beberapa jenis tanaman yang biasa dikonsumsi oleh mereka setiap hari pada awal musim hujan. Namun terdapat kekhawatiran yang sangat berlebihan pada diri masyarakat bahwa tanamannya itu akan terinjak-injak oleh kaki para bhikkhu yang berkelana. Mereka lalu memohon kepada Sang Buddha agar para bhikkhu tidak berkelana selama musim hujan. Akhirnya permintaan mereka dikabulkan oleh Sang Buddha dengan cara menetapkan aturan bahwa setiap bhikkhu harus menetap di satu tempat selama musim hujan yang kemudian istilah Buddha dikenal sebagai masa vassa.30 Pendapat lain mengatakan bahwa selesai masa vassa yang lamanya tiga bulan, rombongan para bhikkhu akhirnya meneruskan perjalanan ke Savathi walaupun hujan terus turun, jalan tergenang air dan para bhikkhu akhirnya tiba di vihara Jetavana. Kemudian Sang Buddha melihat dan memperhatikan para bhikkhu jubahnya sudah mulai rusak, lalu Sang Buddha mengizinkan untuk membuat jubah baru sebagai pengganti jubah lama. Setelah Sang Buddha
29
Buddha Cakkha,, 1990, h. 31 Oka Diputra, Pedoman Penerangan Agama Buddha, (Jakarta: Dharma Nusantara Bahagia, 1986), h. 20 30
26
mengizinkan pembuatan jubah berarti membuat kesempatan bagi umat untuk berdana kain jubah dan barang kebutuhan sehari-hari para bhikkhu. Sejak peristiwa itu dimulailah kathina dana. Demikian proses sejarah timbulnya kathina yang menurut kepercayaan umat Buddha merupakan bulan dan kesempatan yang amat baik untuk memberikan dana kepada para bhikkhu.31
C. Manfaat Perayaan Kathina Perayaan kathina merupakan tradisi dari zaman Sang Buddha, di mana suatu ketika Sang Buddha bersemayam di vihara Jetavana, di kota Savathi, waktu itu ada para bhikkhu di kota Patheyya yang berjumlah 30 orang bertekad melatih meditasi untuk menemani Sang Buddha, tetapi di tengah perjalanan sudah mulai musim hujan. Jadi dengan terpaksa rombongan para bhikkhu tersebut bervassa di kota Sakeyya yang jaraknya tinggal 6 Yojana dari kota Savathi. Selesai masa vassa yang lamanya tiga bulan akhirnya meneruskan perjalanan ke Savathi walaupun hujan terus turun dan jalan tergenang air. Para bhikkhu akhirnya tiba di vihara Jetavana. Kemudian Sang Buddha melihat dan memperhatikan para bhikkhu jubahnya sudah mulai rusak, lalu Sang Buddha mengizinkan untuk membuat jubah baru sebagai pengganti jubah yang lama. Setelah Sang Buddha mengizinkan pembuatan jubah berarti membuat kesempatan bagi umat untuk
31
Oka, Pedoman Penerangan Agama Buddha, h. 21
27
berdana kain jubah dan barang kebutuhan barang sehari-hari para bhikku. Sejak peristiwa itu dimulailah kathina dana.32 Berdasarkan pada peristiwa kathina dana inilah, maka kemudian setiap tahun para bhikkhu diwajibkan untuk melaksanakan vassa di suatu tempat selama tiga bulan, dan menurut kitab Vinaya Pitaka bagi bhikkhu yang tidak melaksanakan vassa dianggap telah melanggar vinaya.33 Salah satu tujuan vassa adalah untuk memberi kesempatan kepada para bhikkhu agar dapat mengkonsentrasikan pikiran mereka pada pengembangan diri baik dalam hal meditasi maupun dalam dhamma. Hal ini sangat penting, sebab selain pada masa vassa ini maka sepanjang tahun para bhikkhu sangat sibuk dengan tugas-tugas rutin, sehingga mereka seringkali tidak mempunyai kesempatan untuk menambah pengetahuan dan mengembangkan diri masingmasing.34 Umat yang berdiam di sekitar tempat vassa para bhikkhu juga selain akan mendapatkan banyak manfaat, juga bisa merayakan hari kathina. Hari kathina yang oleh umat Buddha dirayakan sekali dalam satu tahun memang bukan sekedar perayaan biasa. Hari kathina tidak bisa disamakan dengan hari raya Budhis lainnya. Karena pada hari kathina umat Buddha secara langsung mengamalkan ajaran Sang Buddha, yaitu berdana. Namun, di samping itu masih
32
Herman S. Endro, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis 1996 – 2026, (Jakarta : Yayasan Dhammadiepa Arama, 1997), Cet. ke-1, h. 29 33 Adi Suhardi Heryanto, “Hari Kathina dan Manfaatnya”, Buddha Cakkhu, Edisi November 1988, h. 10 34 A. S. Heryanto, “Hari Kathina dan Manfaatnya”, Buddha Cakkha, November 1988, h. 10
28
banyak manfaat yang dapat diperoleh bagi umat sehubungan dengan perayaan hari kathina. Bagi umat Buddha, perayaan kathina memiliki banyak manfaat di antaranya adalah sebagai berikut : 1. Mendapat banyak kesempatan untuk mendengar khotbah dhamma Seperti diketahui bahwa saat ini jumlah vihara dan cetiya35 yang ada di Indonesia cukup banyak, sedangkan jumlah bhikkhu yang ada belum memadai, sehingga banyak umat pada vihara-vihara dan cetiya-cetiya tertentu yang jarang mendapat kesempatan untuk mendengar khotbah dari para bhikkhu, terutama bagi umat di daerah-daerah. Dengan adanya bhikkhu yang melaksanakan vassa di tempat mereka, berarti banyak umat yang mendapatkan kesempatan untuk mendengarkan khotbah dhamma. 2.
Mendapat peluang untuk berdana
“Bagi vihara atau cetiya yang jarang mendapat kunjungan para bhikkhu akan sedikit pula mempunyai peluang untuk berdana kepada bhikkhu Sangha. Jika terdapat bhikkhu yang melaksanakan masa vassanya di sana, maka selama kurang lebih tiga bulan para umat yang berada di sekitar tempat vassa mempunyai kesempatan untuk berdana, baik berupa dana makanan, obatobatan maupun kebutuhan-kebutuhan lainnya”. 3. Mendapat peluang untuk melatih diri dalam hal Sila dan Bakti
35
Cetiya adalah nama lain bagi vihara Buddha.
29
Dengan adanya bhikkhu yang berdiam di daerahnya selama masa vassa, maka umat yang ada di sana mendapat banyak kesempatan untuk berlatih diri dan meminta bimbingan sila dan sekaligus mempraktekkan bakti mereka kepada bhikkhu Sangha. 4. Mendapat peluang untuk memperoleh bimbingan langsung dari para bhikkhu Dengan adanya bhikkhu yang melaksanakan masa vassa di suatu vihara atau cetiya, maka para umat akan mendapatkan bimbingan langsung dari para bhikkhu, sehingga hal yang tidak diketahui mengenai Buddha Dhamma ataupun keragu-raguan para umat dapat langsung terjawab. Di samping itu, para umat juga akan mendapat bimbingan langsung dalam hal Buddha Dhamma dan latihan meditasi, serta nasehat-nasehat atau saran-saran untuk mengatasi masalah-masalah yang ada. 5. Mendorong dan memberi semangat kepada para umat untuk lebih giat belajar dhamma. Dengan adanya bhikkhu di dekat para umat, maka mereka akan bersemangat dan rajin mengikuti kebaktian dan belajar dhamma. 6. Memberi peluang untuk menumbuhkan suasana religius dalam keluarga Dengan adanya bhikkhu di sekitar tempat tinggal umat Buddha, maka para umat dapat menumbuhkan suasana religius dalam keluarga masingmasing dengan cara mengajak keluarga mengunjungi para bhikkhu, mengajak keluarga untuk berdana kepada para bhikkhu, mengajak keluarga untuk mengikuti setiap kebaktian dan kegiatan-kegiatan vihara atau cetiya, dan lain sebagainya. 7. Mendapat peluang untuk mengembangkan diri
30
Dengan hadirnya bhikkhu di sekitar umat Buddha selama masa vassa, maka umat yang akan mendapat peluang untuk melatih dan mengembangkan diri masing-masing dengan cara mencontoh hal-hal yang baik dari kehidupan para bhikkhu seperti hidup sederhana, mudah dirawat dan sedikit kebutuhannya, bersemangat, teguh dalam hal vinaya atau sila, rajin untuk mengembangkan diri, melatih kesabaran dan hidup penuh dengan cinta kasih serta sayang kepada semua makhluk. 8. Memupuk karma baik Dengan melakukan dana kepada bhikkhu Sangha, rajin mengikuti kebaktian dan secara kontinyu berlatih meditasi, maka berarti umat Buddha telah memupuk karma baik. 9. Membantu menjaga kelestarian Buddha Dhamma Dengan memperhatikan dan melengkapi kebutuhan-kebutuhan bhikkhu Sangha berarti umat Buddha telah membantu menjaga kelestarian Buddha Dhamma di dunia ini. Setelah masa vassa berakhir, maka para umat yang ada di sekitar tempat vassa para bhikkhu diberi kesempatan untuk menyatakan rasa terima kasih mereka atas bimbingan, pengarahan serta bantuan dan pengabdian yang telah diberikan para bhikkhu dengan cara berdana keperluan-keperluan para bhikkhu seperti jubah-jubah, obat-obatan, makanan, dan lain sebagainya. Kesadaran umat Buddha untuk berdana selama bulan kathina cukup besar dan terus meningkat dari tahun ke tahun, namun sayangnya pada hari-hari biasa setelah lewat hari kathina, banyak umat yang melupakan hal berdana ini,
31
sehingga pernah terjadi pengurus sebuah vihara terpaksa memesan nasi catering untuk para bhikkhu karena tidak setiap hari ada umat yang berdana makanan, padahal cukup banyak umat Buddha yang tinggal di sekitar tempat tersebut. Dengan demikian, perayaan kathina seharusnya dijadikan momen yang paling untuk mengintrospeksi diri, jangan sampai kejadian seperti ini terulang kembali. Kenyataan yang ionis ini seharusnya tidak sampai terjadi jika para umat yang ada dapat menyadari dan mau memperhatikan hal-hal yang tampak kecil namun cukup penting ini. Untuk mengatasi hal tersebut perlu ditingkatkan pengarahan dan penerangan yang cukup intensif oleh para tokoh dan Pandita Buddhis, agar dapat menggerakkan hati dan kesadaran para umat untuk lebih sering berdana makanan dan mau memperhatikan kebutuhan-kebutuhan para bhikkhu, demi untuk kelestarian Buddha Sasana di dunia ini.36
D. Persembahan Dana Dalam Kathina Berdana adalah hal yang banyak dilakukan oleh masyarakat beragama. Semua agama mengajarkan pada ummatnya untuk berdana. Dalam agama Buddha pun diajarkan tentang berdana. Sang Buddha sering menjelaskan dana dalam berbagai kesempatan kepada siswa-siswa dan para bhikkhu serta kepada umat awam sebagai salah satu dari perbuatan baik. Beliau menjelaskan bahwa dana adalah suatu pemberian yang ikhlas tanpa mengharapkan imbalan. Dana juga merupakan pelepasan sebagian miliki umat kepada makhluk lain tanpa ada pamrih 36
Adi Suhardi, “Hari Kathina dan Manfaatnya”, Buddha Cakkha, November 1988, h.
11
32
apapun. Hal ini dijelaskan oleh Sang Buddha guna menangkal berbagai anggapan dari kelompok lain bahwa ajaran Sang Buddha sama dengan ajaran mereka.37 Kelompok-kelompok lain pada zaman Sang Buddha dahulu juga mengajarkan tentang dana, tetapi disertai dengan persembahan kepada dewadewa agar mereka memberikan keselamatan dan kesejahteraan kepada ummatnya. Inilah contoh dana yang disertai dengan harapan-harapan. Sedangkan dalam ajaran Buddha dana adalah salah satu dari sepuluh perbuatan baik yang merupakan suatu pemberian, derma, atau pelepasan sebagian milik umat itu sendiri kepada makhluk lain tanpa menginginkan imbalan. Bila umat berdana pasti ada pahalanya, karena hal ini sesuai dengan kerja hukum kamma bahwa segala perbuatan pasti ada akibatnya. Sang Buddha juga menjelaskan bahwa jika dana yang diberikan disertai dengan suatu harapan-harapan akan mengurangi buah atau pahala berdana itu sendiri.38 Dari gambaran di atas tampak bahwa umat Buddha meyakini bahwa perbuatan baik itu adalah usaha untuk kemandirian manusia itu sendiri, dalam arti bahwa manusia tidak bergantung kepada dewa-dewa atau Tuhan menurut keyakinan para umat Buddha. Sang Buddha sebagai guru para dewa dan manusia mengajarkan kepada para siswa-Nya untuk selalu gemar berdana. Sang Buddha menerangkan bahwa ketika beliau menjadi bodhisatta, beliau selalu berusaha menyempurnakan dasa paramita yang salah satunya adalah berdana. Dalam sepuluh paramita, dana merupakan urutan yang pertama dan sering dilakukan oleh bodhisatta.39 Dalam kesempurnaan paramita, seorang bodhisatta menyempurnakan dana paramita dalam tiga tingkatan. Pertama dana paramita yaitu kesempurnaan dari dana biasa (materi), kedua upadana paramita yaitu kesempurnaan-
37
“Berdana, Menyempurnakan Paramita”, Buddha Cakkha, No. 03. Vol. XVII, 1995, h.
12
38
Adi Suhardi, “Hari Kathina dan Manfaatnya”, Buddha Cakkha, November 1988, h.13 Adi Suhardi, “Hari Kathina dan Manfaatnya”, Buddha Cakkha, November 1988, h.13
39
33
kesempurnaan dekat (memberikan anggota badan), dan ketiga adalah paramatha dana paramita yaitu kesempurnaan mutlak (memberikan kehidupannya untuk makhluk lain). Dengan usaha yang gigih dalam menyempurnakan dana paramatha dan juga paramita yang lain akhirnya beliau mencapai penerangan kesempurnaan.40 Untuk mencapai tujuan akhir, beliau tidak hanya memberikan materi atau barang tetapi juga anggota tubuhnya, bahkan mengorbankan kehidupannya sendiri. Hal ini beliau lakukan untuk mengikis nafsu keserakahan yang bersemayam dalam batinnya. Sebagai manusia biasa yang diliputi dosa dan keserakahan, gemar berdana adalah salah satu cara mengikis nafsu di atas. Walaupun dana yang diberikan sebatas materi dan bentuk dana lainnya.41 Selain dana tersebut, masih ada lagi dana mulia lainnya yaitu kathina dana. Kathina dana berbeda dengan lainnya. Berdana pada bhikkhu tidak berarti melakukan kathina dana, tetapi berdana kepada bhikkhu Sangha yang telah menjalankan vassa merupakan kathina dana.42 Para bhikkhu selama musim vassa sepanjang tiga bulan menetap di suatu tempat untuk belajar dan praktek dhamma. Mereka mengembangkan perbuatan baik, melatih sila dan bermeditasi. Ibarat sepetak sawah yang sedang diolah agar menjadi subur, demikianlah para bhikkhu bervassa. Sangha akhirnya pun dikenal sebagai ladang subur untuk menanam jasa. Maka ketika tiba hari
40
Buddha Cakkha, No. 3, Vol. XVII, 1995, h. 11 Buddha Cakkha, No. 03. Vol. XVII, 1995, h. 12 42 Buddha Cakkha, No. 03. Vol. XVII, 1995, h. 14 41
34
kathina, umat Buddha dapat menabur benih di ladang yang subur sehingga dapat memetik hasil yang melimpah ruah.43 Kathina merupakan kesempatan yang paling baik bagi umat untuk berdana. Berdana pada Sangha di bulan kathina berarti memberikan sumber kebahagiaan bagi umat, karena mendapat kesempatan berdana pada Sangha dan sumber kebahagiaan para bhikkhu, karena mereka dapat memberikan kesempatan bagi umat untuk berbuat baik. Kedua kamma pahala inilah yang dapat melestarikan dhamma baik oleh para bhikkhu maupun oleh umat.44 Bertambahnya pengertian umat akan arti pentingnya berdana terutama kathina dana, telah mendorong mereka untuk melaksanakan perayaan kathina, sehingga perayaan kathina dilakukan di vihara-vihara atau di cetiya-cetiya di berbagai daerah. Tidak jarang satu kota yang memiliki beberapa vihara mengadakan perayaan kathina beberapa kali.45 Adapun dana yang dapat umat berikan berupa empat kebutuhan pokok yaitu jubah, atau bahan jubah, makanan, tempat tinggal dan obat-obatan. Empat kebutuhan pokok tersebut merupakan kebutuhan bagi semua orang. Memberikan kebutuhan berupa tempat tinggal bukan berarti membawa rumah BTN atau rumah dengan sistem knok down yang kini sedang populer itu. Tempat tinggal yang di
43
“Kemanakah Dana Kathina Anda?”, Buddha Cakkha, No. 3, Vol. XVII, 1995, h. 11 “Kemanakah Dana Kathina Anda?”, Buddha Cakkha, No. 3, Vol. XVII, 1995, h. 11 45 Buddha Cakkha, No. 03. Vol. XVII, 1995, h. 12 44
35
sini berarti kuti46 yang ada di vihara, yang merupakan sumbangan umat ketika dalam pembangunannya.47 Di samping itu, umat juga memberikan keperluan yang lainnya seperti sabun, sikat gigi, handuk, pasta gigi dan benda-benda lainnya. Banyaknya dana yang diberikan kepada para bhikkhu tergantung kepada pribadi masing-masing, tergantung kepada kerelaan, dan faktor-faktor lainnya yang ada dalam benak umat masing-masing.48 Akibat banyaknya umat Buddha yang merayakan kathina, vihara-vihara yang cukup besar dan terkenal menjadi supermarket. Sabun, pasta gigi, sikat gigi, handuk, kain putih, dan lain sebagainya sangat banyak. Tentu saja tidak semuanya digunakan oleh para bhikkhu. Akhirnya dana tersebut disalurkan kembali kepada umat yang memerlukan di daerah atau diserahkan ke panti asuhan dan dalam beberapa tahun terakhir ini, umat Buddha lebih senang memberikan uang. Hal ini disebabkan karena umat tidak tahu apa yang dibutuhkan oleh para bhikkhu dan dengan uang itu tentu bisa dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan yang ada. Dana yang akan dipersembahkan pada saat kathina bukan hanya untuk bhikkhu tertentu saja atau kepada bhikkhu yang disenangi atau kepada bhikkhu yang sering memberikan khotbah dhamma di vihara. Dana tersebut dipersembahkan kepada Sangha,49 bukan kepada pribadi bhikkhu yang hadir dalam perayaan tersebut.50
46
Kuti adalah tempat tinggal para bhikkhu dan samanera yang berada di sekitar vihara Dhana Putra, “Bulan Dana, Bulan Kathina”,Warta Visudhi, Oktober 1990, h. 4 48 Dhana Putra, “Bulan Dana, Bulan Kathina”, Warta Visudhi, Oktober 1990, h. 6 49 Sangha adalah pemimpin tertinggi yang ada dalam agama Buddha 50 Dhana Putra, “Bulan Dana, Bulan Kathina”, Warta Visudhi, Oktober 1990, h. 8 47
36
Berdasarkan keterangan diperoleh keterangan bahwa tampak dengan jelas adanya perubahan pemikiran dalam Budhisme, bukan nilai pahala atau balasan dari Tuhan, namun kepentingan dan kebutuhan manusia dalam hal ini para penganut agama Buddha dan para bhikkhunya. Dari perayaan kathina yang dilakukan di berbagai daerah, khususnya di Indonesia para bhikkhu menerima dana kathina. Persembahan dana itu dapat berupa empat kebutuhan pokok yaitu sandang, pangan, papan dan obat-obatan. Selain itu seorang bhikkhu dapat menerima dana materi berupa uang. Dengan demikian persembahan dana dalam kathina merupakan persembahan umat berupa bahan jubah atau jubah, di samping dana-dana lainnya yang merupakan empat kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan dan obat-obatan.
37
BAB III VIHARA BUDDHA METTA ARAMA MENTENG JAKARTA
A. Sejarah Singkat Vihara Buddha Metta Arama Lahirnya vihara Buddha Metta Arama ini dipelopori oleh seorang pengusaha kaya raya yang memang memiliki kepekaan sosial yang tinggi terhadap perkembangan agama Buddha di Indonesia. Beliau ini tidak segan-segan untuk memberikan sebagian hartanya guna mengembangkan agama Buddha di Indonesia. Pengusaha kaya raya tersebut yang peduli terhadap perkembangan agama Buddha di Indonesia belakangan ini kerap kali dikenal dengan sebutan Dra. Sri Hartati Murdaya. Dra. Sri Hartati Murdaya adalah seorang pengusaha terkenal beserta suaminya memiliki rumah mewah yang beralamat di jalan Lembang Terusan D59 Jakarta dengan luas tanah sekitar 250 m2 bermaksud menghadiahkan rumah tersebut untuk dijadikan vihara Buddha Metta Arama. Pengambilan nama vihara ini berawal dari pemikiran beliau tentang adanya vihara di dalam rumah. Oleh karena letak vihara ini di dalam rumah, maka beliau namakan arama yang kini resmi dinyatakan dengan sebutan vihara Buddha Metta Arama. Vihara Buddha Metta Arama ini kemudian diresmikan menjadi tempat ibadah pada tanggal 15 September 1997. 51 Dra. Sri Hartati Murdaya pada awalnya adalah seorang penganut agama Buddha yang taat, namun karena banyaknya permasalahan yang ia hadapi
51
Wawancara Pribadi dengan Suddhi Citto, Jakarta, tanggal 29 Maret 2006.
38
terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan masalah kehidupan dunia, maka akhirnya ia mengalami kehampaan spriritual yang mengakibatkan dirinya tidak lagi berpedoman kepada ajaran Sang Buddha dalam setiap tingkah lakunya dan cenderung meninggalkan pesan-pesan Buddha yang mengajarkan tentang hidup sederhana. Mungkin hal inilah yang kemudian ia sebut sebagai kehampaan spiritual.52 Berlatar belakang dari kehampaan spiritual inilah kemudian ia menghadihakan rumahnya untuk dijadikan vihara sebagai bentuk kepeduliannya kepada para bhikkhu dan sekaligus menemukan jalannya sesuai dengan ajaranajaran Buddha yang selama ini ia tinggalkan dan campakkan. Kerelaan Sri Hartati Murdaya untuk memberikan rumahnya agar dijadikan sebagai vihara ini terbukti dengan banyaknya fasilitas rumah yang seharusnya ia pergunakan untuk kepentingan bisnis, kini ia digunakan untuk kebutuhan dan kepentingan vihara. Berkat kemurahan hati beliau dan sebagai penganut agama Buddha yang taat, maka sekarang ini telah berdiri sebuah vihara di tengah-tengah perumahan mewah yang diberi nama Vihara Buddha Metta Arama. Vihara ini terletak di jalan Lembang Terusan D59, Telp. (021) 331961 Jakarta 10310 – Indonesia. Kini Vihara Buddha Metta Arama Menteng Jakarta ini dihuni oleh 5 orang bhikkhu dan 4 orang samanera. Semua kebutuhan pokok bhikkhu dan 4 orang samanera ini seperti sandang, pangan, papan dan obat-obatan ditanggung oleh seorang pengusaha terkenal bernama Dra. Sri Hartati Murdaya. Dengan demikian tugas para bhikkhu dan siswanya saat ini hanyalah mengajarkan pesan-
52
Wawancara Pribadi dengan Suddhi Citto.
39
pesan Buddha dan tidak perlu memikirkan tentang hal-hal yang berkaitan dengan urusan dunia, karena urusan dunia telah ada yang mengaturnya. Untuk menjaga kelestarian agama Buddha ini, diperlukan para bhikkhu yang memiliki kualitas keilmuan tentang agama Buddha. Sedangkan untuk menghasilkan para bhikkhu yang berkualitas dibutuhkan dana yang tidak sedikit dalam memenuhi kebutuhan para bhikkhu. Oleh sebab itu, dibutuhkan donaturdonatur terutama di kalangan umat Buddha untuk menopang kehidupan para bhikkhu. Saat ini mungkin umat Buddha sangat mengharapkan donator-donatur yang memiliki kepekaan terhadap perkembangan agama Buddha seperti sosok Dra. Sri Hartati Murdaya. Di samping sebagai donatur yang memiliki kepekaan terhadap perkembangan agama Buddha, beliau juga merupakan salah satu pejabat dari organisasi WALUBI.
B. Peran dan Fungsi Vihara Buddha Metta Arama Bagi umat Buddha, vihara memegang peranan yang sangat penting dalam rangka melanjutkan estafeta ajaran Buddha. Di samping digunakan sebagai sarana pengajaran agama Buddha, vihara juga merupakan tempat para bhikkhu yang memang mengabdikan seluruh kehidupannya untuk kepentingan ajaran Buddha. Dahulu sebelum dikenal vihara, tempat tinggal para bhikkhu adalah goagoa, di bawah pohon, di kuburan, di atas bukit, di tumpukan jerami dan di tempat penduduk yang menyediakan tempat untuk menginap. Setelah banyak orang yang mendengarkan ajaran Sang Buddha dan berlindung kepada Sang Tri Ratna mereka
40
bermaksud untuk memberikan tempat tinggal bagi para bhikkhu yang layak. Sang Buddha kemudian memperbolehkan umat berdana vihara.53 Pada mulanya umat Buddha belum memiliki vihara secara khusus. Gagasan membangun sebuah vihara pertama kali dilakukan oleh raja Bimbisara dari kerajaan Rajagaha. Suatu ketika setelah raja Bimbisara mendengarkan ajaran Sang Buddha dan mencapai sottapati atau tingkatan kesucian pertama, maka beliau memberikan persembahkan kepada Sang Buddha dan para bhikkhu.54 Atas pemberian tersebut, kemudian Sang Buddha memberikan persyaratan sebagai berikut : 1. Tempat tersebut tidak jauh, dekat dan ada jalan untuk dilalui. 2. Tidak terlalu banyak suara pada siang hari dan malam hari. 3. Tempat tersebut tidak banyak gangguan serangga, angin, terik matahari dan pohon menjalar. 4. Orang yang tinggal di sekitarnya mudah memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal dan obat-obatan sebagai penyembuhan bagi orang sakit. 5. Di tempat tersebut ada bhikkhu yang lebih senior yang mempunyai pengetahuan tentang kitab suci. Dengan semakin banyak penganut ajaran Sang Buddha, maka vihara bukan hanya sebagai tempat singgah para bhikkhu, tetapi juga digunakan oleh para upasakha dan upashika untuk belajar dhamma. Pada hari-hari uposhata umat Buddha datang ke vihara untuk mendengarkan dhamma, menjalankan attha sila dan melatih meditasi.
53
Wawancara Pribadi dengan Suddhi Citto. Wawancara Pribadi dengan Suddhi Citto.
54
41
Pada saat ini umat Buddha, terutama di Indonesia datang ke vihara untuk melakukan puja bakti, umat juga mengadakan berbagai kegiatan lain yang sesuai dengan dhamma di vihara. Dengan demikian vihara adalah sebagai tempat singgah atau tempat tinggal bagi para bhikkhu dan sebagai sarana ibadah umat Buddha. Sedangkan bila ditinjau dari fungsinya, vihara memiliki fungsi sebagai berikut : 1. Tempat tinggal para bhikkhu dan samanera 2. Tempat pendidikan putra dan putri bangsa, agar menjadi warga masyarakat yang berguna, khususnya penganut Buddhisme. 3. Tempat yang memberikan rasa aman bagi semua umat Buddha. 4. Tempat pendidikan moral, sopan santun dan kebudayaan. 5. Tempat menyebarkan dhamma. 6. Tempat menunjukkan jalan kebebasan. 7. Tempat latihan meditasi dalam usaha merealisasikan cita-cita kehidupan suci. 8. Tempat kegiatan sosial keagamaan. 55 Bila ditinjau dari aspek fungsi dalam memenuhi kebutuhan batin, maka pada umumnya vihara dikelompokkan menjadi empat bagian yaitu Brahmana vihara, Dibba vihara, Dhamma vihara dan Arya vihara. Brahma vihara terdiri dari metta, karuna, mudita dan upekha. Metta berarti cinta kasih yang tanpa batas atau universal. Mencintai siapa saja tanpa ingin memiliki atau melekat kepadanya. Mencintai semua makhluk tanpa memandang latar belakang orang atau makhluk itu. Dengan adanya metta berarti manusia tidak memiliki perasaan dendam atau benci kepada siapapun.
55
Wawancara Pribadi dengan Suddhi Citto.
42
Sementara itu karuna berarti belas kasihan kepada semua makhluk yang membutuhkan pertolongan. Sedangkan mudita berarti empati kepada kebahagiaan atau penderitaan orang lain. Empati adalah perasaan yang merasakan penderitaan atau kebahagiaan orang lain seperti dialami oleh diri sendiri. Adapun upekha berarti keseimbangan batin, selaras, bebas dari keresahan dan kegelisahan. Kelompok kedua adalah Dibba vihara. Kelompok vihara ini terdiri atas hiri dan ottapa. Hiri berarti perasaan malu, yaitu malu untuk melakukan hal-hal yang tidak baik. Sedangkan ottapa berarti perasaan takut, yaitu takut akan akibat yang timbul dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik.56 Kelompok ketiga adalah Dhamma vihara. Kelompok ini terdiri dari subba papassa akaranami, kusalassu pasompada, socitta panyodapanam dan etam Buddhana Sasanam. Subba papassa akaranami berarti jangan berbuat jahat kemudian kusalassu pasompada berarti berusaha untuk menambah kebaikan, selanjutnya sacitta panyodapanam berarti sucikan hati dan pikiran dan etam Buddhana sananam berarti inilah ajaran para Buddha. Kelompok keempat adalah Arya vihara. Kelompok vihara ini terdiri atas sila, samadhi dan panna. Sila berarti latihan kedisiplinan untuk melakukan perbuatan baik yang tidak merugikan orang atau makhluk lain. Adapun samadhi berarti pengembangan batin untuk mencapai ketenangan dan pandangan terang. Sedangkan panna berarti kebijaksanaan yang timbul sebagai reaksi dari pelaksanaan samadhi.57 Sebagai tempat tinggal bhikkhu dan tempat ibadah umat Buddha, maka biasanya vihara terdiri dari beberapa bangunan, dan setiap bangunan biasanya 56
Wawancara Pribadi dengan Suddhi Citto. Wawancara Pribadi dengan Suddhi Citto.
57
43
memiliki fungsi tersendiri. Banyaknya bangunan sangat bergantung kepada kemampuan umat Buddha yang mendirikan vihara tersebut. Seperti biasa pekerjaan membangun vihara ini dilakukan secara gotong royong oleh para umat yang memiliki keyakinan kepada Sang Triatna.58 Dengan demikian adanya Vihara Buddha Metta Arama ini, diharapkan selain dapat berfungsi sebagai tempat tinggal para bhikkhu dan tempat ibadah umat Buddha, juga dapat berfungsi sebagai sarana pendidikan dan latihan umat, demi lestarinya ajaran Buddha. Secara geografis Vihara Buddha Metta Arama ini terletak di jalan Lembang Terusan D59 Menteng Kode Pos 10310 Jakarta – Indonesia.
C. Aktivitas Dalam Vihara Buddha Metta Arama Secara garis besar kegiatan yang dilaksanakan di Vihara Buddha Metta Arama dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok yaitu kegiatan keagamaan, pendidikan keagamaan dan kegiatan sosial keagamaan.59 Aktivitas keagamaan ini terdiri dari kegiatan rutin, kegiatan berkala dan kegiatan khusus. Kegiatan rutin adalah kegiatan yang dilaksanakan berulangulang dalam jangka panjang. Kegiatan yang dilakukan secara rutin oleh umat Buddha ialah kebaktian satu minggu sekali. Kebaktian ini dalam bentuk puja bakti dengan membaca paritta, meditasi, permohonan Pancasila bila dihadiri oleh bhikkhu dan mendengarkan dhamma. Rangkaian puja bakti ini bisa dilakukan di seluruh vihara agama Buddha.
58
Bhikkhu Subalaratano dan Samanera Uttamo, Bakti atau Puja, (Jakarta : Sangha Theravada Indonesia, tth), h. 16 - 17 59 Wawancara Pribadi dengan Suddhi Citto.
44
Aktivitas selanjutnya yang termasuk dalam kategori kegiatan keagamaan adalah kegiatan berkala. Kegiatan berkala adalah kegiatan yang dilakukan berulang-ulang pada waktu tertentu dan beraturan. Kegiatan yang dilakukan berulang-ulang seperti memperingati hari raya Tri waisak, asadha, kathina dan magha puja. Hari raya waisak misalnya dirayakan secara nasional dan besarbesaran yang bertempat di candi Borobudur. Kemudian aktivitas yang termasuk dalam kategori kegiatan keagamaan adalah kegiatan khusus. Kegiatan keagamaan yang dilakukan secara khusus yaitu pabbajja dan upasampada. Pabbajja berarti meninggalkan rumah memasuki kehidupan yang tidak berumah tangga. Orang yang telah mengikuti pabbajja disebut sebagai samanera atau calon bhikkhu. Sedangkan orang yang telah sampai pada tingkat upasampada disebut sebagai bhikkhu.60 Selain kegiatan keagamaan yang dilaksanakan di Vihara Buddha Metta Arama, juga terdapat kegiatan pendidikan keagamaan. Aktivitas pendidikan keagamaan ini terdiri atas kelas dhamma, sekolah pada hari minggu dan belajar kesenian. Dalam ajaran Buddha, pendidikan keagamaan yang pertama dikenal dalam ajaran ini adalah kelas dhamma.61 Untuk mengetahui ajaran Sang Buddha, umat Buddha tidak cukup hanya mendengarkan dhamma dasana yang diadakan satu kali dalam satu minggu. Pada sisi lain untuk mengerti ajaran Sang Buddha adalah dengan cara mengikuti kelas dhamma. Dalam acara seperti ini siswa dapat menanyakan dhamma yang belum dimengerti. Hal ini sangat baik bagi siswa pemula yang sedang belajar dhamma,
60
Wawancara Pribadi dengan Suddhi Citto. Wawancara Pribadi dengan Suddhi Citto.
61
45
karena dapat menanyakan secara langsung tentang dhamma yang belum ia ketahui. Sedikitnya terdapat lima manfaat yang dapat diperoleh ketika seseorang mendengarkan dhamma yaitu assutim sunati, sutam pariyodapeti, kankham viharti, ditthim ujum karoti dan cittamassa pasidati. Assutim sunati berarti mendengarkan sesuatu yang belum pernah didengar dan belajar mengetahui sesuatu yang belum pernah diketahui. Sementara itu sutam pariyodapeti berarti sesuatu yang pernah didengar dan dilaksanakan dengan tekun untuk mendapatkan kenyataan. Adapun kankham viharti berarti melenyapkan keraguan, segala sesuatu yang ragu dapat dilenyapkan. Kemudian ditthim ujum karoti berarti pandangan yang benar dan cittamassa pasidati berarti pikirannya bersih.62 Setelah siswa menyadari akan manfaat belajar dhamma, maka banyak siswa yang semakin tertarik untuk mengikuti dhamma kelas. Hal ini merupakan aktivitas yang banyak dilakukan oleh vihara Buddha Metta Arama Menteng Jakarta. Aktivitas pendidikan keagamaan lainnya dapat dilakukan melalui sekolah minggu. Sekolah pada hari minggu merupakan pendidikan pengenalan Buddha Dhamma kepada anak. Pada hari minggu vihara mengadakan sekolah minggu untuk anak-anak. Buddha Dhamma perlu diajarkan kepada anak-anak.63 Pengenalan Buddha Dhamma kepada anak-anak sebaiknya dilakukan sejak dini. Dengan demikian pribadi anak terbentuk dengan baik karena dhamma merupakan landasan pembentukan pribadi yang baik. Buddha Dhamma disampaikan kepada anak dalam bentuk cerita, nyanyian ataupun praktek langsung dalam hal tata cara kebaktian.
62
Pandit Jinaratha Kaharuddin, Kamus Buddha Dharma, (Jakarta : Tri Sattra Budhist Centre, 1994), h. 71 - 72 63 Kaharuddin, Kamus Buddha Dharma, h. 73
46
Kemudian kegiatan pendidikan keagamaan dapat juga dilakukan melalui kesenian. Kesenian merupakan curahan hati bagi seseorang yang berjiwa seni melalui lantunan sebuah lagu misalnya, dan seseorang dapat menuangkan buah pikirannya. Banyak umat Buddha yang berjiwa seni, mereka akan merasa lebih mudah menuangkan dhamma lewat karya seninya dari pada harus menuangkan dhamma dengan metode lainnya. Kesenian tersebut dapat berupa lukisan, misalnya lukisan kelahiran Pangeran Sidharta sampai Sang Buddha Parinibbana. Bentuk kesenian lainnya yang dapat digunakan dalam menggambarkan ajaran Sang Buddha dapat dilakukan dengan cara tarian, nyanyian, drama, dan lain sebagainya. Orang yang berjiwa seni dapat membantu menanamkan Buddha Dhamma kepada umat Buddha melalui jalur karya seninya.64 Selanjutnya aktivitas yang biasa dilaksanakan oleh Vihara Buddha Metta Arama adalah kegiatan sosial keagamaan. Aksi sosial adalah salah satu kegiatan dalam bentuk dana. Adapun dana yang diberikan dapat berupa uang, makanan, pakaian, donor darah, dan lain sebagainya. Setelah dana ini terkumpul, kemudian disalurkan melalui seksi sosial ke tempat-tempat yang membutuhkan. Kegiatan sosial seperti ini dapat dilaksanakan di setiap vihara, termasuk Vihara Buddha Metta Arama. Dengan melakukan kegiatan sosial, maka umat Buddha secara tidak langsung telah melaksanakan salah satu ajaran Sang Buddha. Ada dua macam aksi sosial yang pernah dilaksanakan di Vihara Buddha Metta Arama yaitu donor darah dan dana materi.65 Aksi sosial pada Vihara Buddha Metta Arama ini yang utama adalah donor darah. Donor darah 64
Wawancara Pribadi dengan Suddhi Citto. Wawancara Pribadi dengan Suddhi Citto.
65
47
diselenggarakan tiga bulan sekali, tepatnya pada saat menjelang hari raya agama Buddha. Aksi sosial seperti ini banyak diminati umat, karena acaranya diselenggarakan di vihara yang berarti umat dapat berpartisipasi secara langsung. Demikian aktivitas-aktivitas dalam Vihara Buddha Metta Arama Menteng Jakarta. Secara garis besar aktivitas-aktivitas yang diselenggarakan di Vihara Buddha Metta Arama ini dapat diklasifikikasikan kepada tiga golongan yaitu kegiatan keagamaan, pendidikan keagamaan dan kegiatan sosial keagamaan yang kesemuanya itu diselenggarakan dengan salah satu tujuan untuk menjaga kelestarian ajaran Sang Buddha.
D. Arti Simbol Dalam Vihara Buddha Metta Arama Simbol-simbol yang terdapat pada Vihara Buddha Metta Arama dimaksudkan untuk mengingatkan umat Buddha pada ajaran Sang Buddha, umat Buddha merenungkan Buddha dan ajarannya melalui simbol-simbol yang sesuai. Adapun simbol yang digunakan pada Vihara Buddha Metta Arama antara lain rupang, stupa, cakkha dan simbol-simbol yang terdapat pada altar. Arti simbol dalam Vihara Buddha Metta Arama ini akan diuraikan sebagai berikut :66 1. Rupang Banyak orang beranggapan bahwa penganut agama Buddha adalah penyembah berhala. Mereka berpikir bahwa di depan Buddharupang umat Buddha menyembah Buddharupang dan meminta-minta segala sesuatu yang 66
Wawancara Pribadi dengan Suddhi Citto.
48
dikehendakinya. Hal ini tidaklah sesuai dengan apa yang sesungguhnya dilakukan oleh umat Buddha di hadapan Buddharupang. Dalam melakukan puja kepada Sang Buddha sesuai dengan ajarannya, Buddharupang adalah melambangkan kehadiran Sang Buddha. Buddharupang yang menjadi lambang perwujudan Sang Buddha bukan semata-mata berhala yang disembah begitu saja, namun umat Buddha menghormatinya karena Buddharupang memiliki makna filosofi yang dalam bagi mereka.67 Buddharupang sebagai lambang pemujaan tidak hanya dipuja sebagai sosok kepribadian Sang Buddha yang sangat mulia, melainkan juga karena perjuangan dan ajaran beliau yang dapat membebaskan manusia dari penderitaan. Meskipun Buddharupang hanya terbuat dari kayu, batu, perunggu atau emas, umat Buddha tetap menghormatinya dengan cara merangkapkan kedua tangan di depan dada atau bersujud di hadapan Buddharupang. Rasa bakti yang dilakukan di hadapan Buddharupang didasarkan atas rasa terima kasih kepada guru junjungan yang juga merupakan awal atau pintu dalam memperoleh kebenaran atau paling tidak melakukan kamma baik. Atas jasajasa beliau manusia dapat bebas dari penderitaan, menuju kebahagiaan dan kebebasan.68 Di sini tampak bahwa umat Buddha membutuhkan wajah sang Buddha Gautama di dalam bakti persembahan, bukan wajah Tuhan, kecuali jika Sang Buddha Gautama dianggap Tuhan. 67
Dwiyanti, Fungsi Vihara bagi Umat Buddha, (Jakarta : Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda, 1997), h. 19 68 Dwiyanti, Fungsi Vihara bagi Umat Buddha, h. 6
49
Rupang biasanya diletakkan di setiap bangunan vihara. Hal ini berguna agar umat dapat mengetahui bahwa rupang merupakan simbol yang sering digunakan dalam agama Buddha. 2. Stupa Stupa adalah suatu monumen yang didirikan sebagai tempat untuk penempatan abu jenazah atau benda peninggalan dari orang suci atau raja sejagat. Stupa sebagai tempat penyimpanan abu jenazah atau benda peninggalan telah ada sejak pada masa Sang Buddha, dan stupa seperti ini telah dijadikan sebagai obyek penghormatan.69 Puja bakti maupun penghormatan pada stupa adalah suatu sikap mental dengan tujuan merenungkan dan selalu ingat akan perbuatan atau prilaku baik yang telah dilakukan oleh pemilik peninggalan tersebut yang ada dalam stupa, agar umat Buddha dapat meneladaninya. Inilah makna dari penghormatan pada stupa tersebut. Adapun stupa yang ada di Vihara Buddha Metta Arama adalah stupa dalam bentuk kecil dan diletakkan di altar. Arti simbol dari stupa ini adalah agar umat Buddha dapat menjadi contoh teladan bagi umat Buddha lain khususnya, dan di luar umat Buddha pada umumnya. 3. Cakkha Kata cakkha berasal dari baha Pali yang berarti roda. Setelah Sang Buddha mencapai penerangan sempurna, beliau menerangkan dhamma kepada lima orang pertapa. Penerangan dhamma yang pertama kali ini disebut 69
Coeneles Wowor, Pedoman Agama Buddha, (Jakarta : CV. Pelita Nursatama Lestari, 2003), h. 4 - 5
50
dhammacakkha pavattana sutta atau pemutaran roda dhamma. Sang Buddha mengumpamakan dhamma yang telah beliau terangkan sebagai roda. Dengan berputarnya roda dhamma dimaksudkan agar semua makhluk yang hendak berbuat dengan dhamma akan bebas dari penderitaan. Dari pemutaran roda dhamma tersebut, maka cakkha menjadi salah satu dari simbol yang ada dalam agama Buddha. Ada bermacam-macam cakkha yang digunakan dalam delapan jalan utama adalah dengan delapan jari-jari. Bagaikan sebuah roda dengan porosnya di tengahnya dari jari-jari saling terkait antara satu dengan yang lainnya. Demikian juga, jalan mulia berunsur delapan merupakan salah satu jalan yang tidak dapat dipisahkan dan saling berkaitan. Selain cakkha dengan delapan jari-jari yang digunakan dalam agama Buddha juga ada cakkha dengan dua belas jari-jari. Kebua belas jarijari ini menunjukkan ciri pengetahuan yang terdapat dalam empat kenyataan mulia.70 Simbol-simbol lainnya yang berhubungan dengan ajaran Buddha biasanya diletakkan di altar. Ada lima persembahkan di altar sebagai simbolsimbol seperti lampu penerangan, dupa, bunga dan air. Pada altar terdapat beberapa simbol yang dapat dijadikan sarana penghubung bagi ajaran Buddha. Salah satu simbol tersebut adalah lampu penerangan.71 Dalam melaksanakan puja di depan altar, Sang Buddha sering menggunakan lampu penerangan. Lampu ini melambangkan cahaya yang
70
Dwiyanti, Fungsi Vihara Bagi Umat Buddha, h. 24 -25 Dwiyanti, Fungsi Vihara Bagi Umat Buddha, h. 25
71
51
memerangi kegelapan. Ruang yang semula gelap gulita, dapat menjadi terang dengan cahaya lampu. Demikian juga dhamma dapat memerangi batin yang gelap menuju penerangan sempurna. Pada saat ini lampu sering digunakan untuk penerangan. Demi menerangi kegelapan, lilin rela mengorbankan dirinya habis terbakar. Demikian juga dengan manusia, hendaknya ia berbuat baik membantu sesamanya tanpa mengharapkan imbalan. Kemudian simbol lainnya yang ada di altar adalah dupa. Jika memaki ruangan yang ada dupanya, maka akan mencium bau harum semberbak yang membuat terpukau untuk tinggal pada ruangan tersebut. Di dalam vihara biasanya ada bau harum dari dupa yang ditancapkan di tempat khusus di altar. Demikian dengan Vihara Buddha Metta Arama Menteng Jakarta. Dupa dalam hal ini, melambangkan harumnya kebajikan yang dilakukan oleh siapa saja. Namun bau harumnya dupa tidak dapat melawan arah angin, dan bau harumnya kebajikan atau nama baik dapat melawan arah angin. Demikian seperti disebutkan dalam kitab dhammapada.72 Dengan adanya dupa ini melambangkan bahwa harum juga nama Sang Buddha, karena beliau penemu jalan kebenaran. Hal inilah yang patut direnungkan dengan obyek dupa yang ada. Selanjutnya simbol lain yang tidak kalah pentingnya yang ada di altar adalah bunga. Bunga adalah lambang kelemahan dan bunga biasanya cepat layu. Pada saat dipetik dan dipersembahkan di altar Sang Buddha, bunga 72
Dhammadipa, Kitab Suci Dhammapada, (Jakarta : Yayasan Dhammadipa), h. 29
52
tampak segar dan baunya harum membuat altar kelihatan indah dan agung. Setelah beberapa hari bunga tersebut akan menjadi layu dan berguguran. Seperti halnya bunga, manusia juga mengalami proses kehidupan yang terus berubah tanpa henti yaitu lahir, anak, remaja, tua, sakit dan mati. Setelah manusia dilahirkan, ia akan tumbuh menjadi dewasa, kelihatan cantik atau tampan, namun lama kelamaan ia menjadi tua dan sakit-sakitan lalu akhirnya mati. Untuk itu, setiap manusia hendaknya berusaha menyadari bahwa semua yang ada pada dirinya selalu mengalami perubahan. Manusia selalu cengkram oleh proses yang terus menerus dalam kehidupan ini selama manusia tersebut masih memiliki kegelapan batin. Demikian seperti disebutkan dalam kitab Paritta Suci Agama Buddha.73 Proses perubahan seperti inilah yang perlu direnungkan dengan mengambil obyek bunga sebagai simbolnya. Seperti halnya bunga, demikianlah perubahan hidup yang terjadi pada manusia tidak akan kekal selamanya. Simbol selanjutnya yang terdapat di altar adalah air. Air dalam agama Buddha melambangkan kerendahan hati, karena air memiliki sifat-sifat seperti dapat membersihkan noda-noda, dapat memberikan tenaga hidup kepada makhluk-makhluk, dapat menyesuaikan diri dengan semua keadaan, selalu mencari tempat yang rendah dan air kelihatannya lemah, akan tetapi suatu saat air akan menjadi tenaga yang sangat besar.74
73
Paritta Suci, (Jakarta : Dhammadipa Arama, 1983), h. 37 Dhammadipa, Kitab Suci Dhammapada, h. 30
74
53
Selain itu, air juga melambangkan kesucian. Oleh karena itu, manusia hendaknya memiliki sifat seperti air. Sifat air yang dapat membersihkan kotoran dan dapat memberikan arti tersendiri dalam kehidupan manusia. Bagaikan air, manusia juga dapat membersihkan dirinya sendiri dari segala kotoran batin dengan cara melaksanakan meditasi menurut ajaran Buddha. Demikian makna dan arti simbol-simbol yang terdapat baik pada bangunan maupun altar Vihara Buddha Metta Arama Menteng Jakarta. Dengan simbol-simbol tersebut, umat Buddha diharapkan dapat menjadikan simbolsimbol tersebut sebagai bahan pemikiran bagi mereka yang hendak mencapai derajat kesucian melalui ajaran Sang Buddha yang dikenal dengan istilah meditasi.
54
BAB IV PELAKSANAAN UPACARA KATHINA DI VIHARA BUDDHA METTA ARAMA
A. Persiapan Upacara Kathina Upacara kathina didasarkan pada kitab suci agama Buddha yang mengajarkan ummatnya untuk memberikan sebagian hartanya kepada Sangha. Untuk itu dalam upacara kathina diperlukan persiapan. Persiapan upacara kathina berawal dari rapat Sangha yang diadakan setiap empat bulan sekali di berbagai vihara di Indonesia termasuk vihara Buddha Metta Arama Menteng Jakarta. Dua kali rapat pimpinan dan satu kali rapat persamuan Sangha. Dari rapat pimpinan yang dihadiri oleh ketua Sangha, wakil dan sekretaris, ditentukan jadwal bhikkhu-bhikkhu yang bervassa di Indonesia. Selain rapat pimpinan juga menetapkan tanggal perayaan kathina di vihara-vihara
55
tempat para bhikkhu yang akan hadir dalam perayaan kathina di vihara-vihara tersebut.75 Vihara atau cetiya manapun dapat dijadikan tempat bervassa bagi para bhikkhu dan samanera. Tetapi vihara itu harus memenuhi beberapa kriteria, di antaranya berdasarkan kesediaan atau permintaan para bhikkhu. Selain permintaan dari bhikkhu dapat juga berdasarkan permintaan umat atau tempat tersebut membutuhkan pembinaan dari bhikkhu terutama yang menyangkut perayaan kathina.76 Proses selanjutnya dalam persiapan upacara kathina ialah bahwa umat harus mempersiapkan dana untuk diberikan kepada para bhikkhu yang dalam istilah Buddha disebut pindapatra. Pindapatra adalah cara yang dilakukan oleh para bhikkhu untuk memperoleh dana atau memberikan makanan dari umat Buddha. Dengan memberikan dana pindapatra ini umat Buddha dapat membantu anggota Sangha dalam menjalankan sila dan sekaligus mengamalkannya.77 Pemberian makanan ini jangan disalahartikan bahwa bhikkhu meminta makanan kepada umat, sebab dalam vinaya bhikkhu tidak boleh mengucapkan kata-kata meminta, tetapi orang yang mengikrarkan diri selaku umat Buddha secara ikhlas mendanakan makanan demi kelangsungan hidup para bhikkhu, agar terus membina kemajuan batinnya dan mengabdi bagi kebahagiaan semua
75
“Lika-Liku Kathina di Indonesia, Bulan Kathina Masa Panen Para Bhikkhu”, Buddha Cakkha, No. 3, Vol. XVII, 1995, h. 17 - 18 76 Buddha Cakkha, No. 3, Vol. XVII, 1995, h. 17 77 “Tradisi Pindapatra Pada Bulan Kathina”, Majalah Budhis Indonesia Edisi Ke-29, Desember 1994, h. 31
56
makhluk.78 Pembinaan kemajuan batin ini tidak akan dapat dilaksanakan oleh para bhikkhu tanpa adanya bantuan dana. Dengan perayaan kathina para bhikkhu memberikan kesempatan kepada umat untuk menanam kamma baik di ladang subur. Para bhikkhu akan menerima dana yang diberikan oleh umat, baik berupa uang maupun empat macam kebutuhan seorang bhikkhu.79 Keempat macam kebutuhan itu adalah civara dana, pemberian berupa jubah, pindapatra dana yaitu pemberian dana makanan kepada bhikkhu, kemudian bhesajja dana ialah pemberian obat-obatan kepada bhikkhu, dan terakhir senasana dana yaitu pemberian tempat tinggal atau kuti kepada bhikkhu. Dengan istilah lain dapat dikatakan umat dapat berdana sandang, pangan, papan dan obatobatan.80 Dari kebutuhan para bhikkhu ini, maka kebutuhan obat-obatanlah yang menonjol dalam kathina dana di Indonesia. Obat-obatan ini baik berupa odol, sabun mandi, bahkan kadang obat pembersih kepala, dan bentuk-bentuk yang lebih mengarah ke modernisasi yang di antaranya adalah jam hitung, kaset, tape, dan lain-lain yang kesemuanya itu menunjukkan hal yang berlebihan dalam segi kuantitas. Jelas semua ini tidak akan terkonsumsi oleh para bhikkhu yang berjumlah kecil.81 Pada setiap perayaan kathina di vihara manapun, dana yang diberikan oleh umat selalu dikumpulkan oleh pengurus vihara setempat termasuk pada
78
Majalah Budhis Indonesia, Edisi ke-29, Desember 1994, h. 32 Buddha Cakkha, No. 3, Vol. XVII, 1995, h. 18 80 Buddha Cakkha, No. 3, Vol. XVII, 1995, h. 19 81 Buddha Cakkha, No. 3, Vol. XVII, 1995, h. 19 79
57
Vihara Buddha Metta Arama. Dari dana yang diperoleh sebesar 50% akan diserahkan kepada Sangha dan 50% lainnya akan digunakan sebagai biaya operasional vihara dan kegiatan sosial lainnya.82 Dengan demikian persiapan yang perlu dilakukan pada upacara kathina adalah perlengkapan jubah. Dana yang dipersembahkan adalah bahan jubah atau jubah, di samping dana-dana yang lainnya kepada Sangha. Upacara ini dapat berlangsung walaupun hanya dihadiri oleh seorang bhikkhu yang mewakili Sangha.83 Dari uraian di atas akhirnya dapat dipahami bahwa hal-hal yang perlu dipersiapkan oleh umat pada upacara kathina adalah jubah atau bahan jubah dan berbagai keperluan bhikkhu yang dikenal dengan istilah empat kebutuhan pokok bhikkhu yaitu sandang, pangan, papan dan obat-obatan. Tanpa adanya kriteria seperti yang disebutkan di atas seperti sandang, papan, pangan, obat-obatan dan terutama jubah atau bahan jubah, maka upacara tersebut tidak dapat dikatakan sebagai upacara kathina.
B. Tata Upacara Kathina Upacara-upacara baik yang bersifat keagamaan, kemasyarakatan maupun kenegaraan pada dasarnya merupakan cetusan hati nurani manusia terhadap suatu kondisi, zaman, alam, suasana, selera dan cara berpikir pelakunya dalam menyikapi upacara tersebut. Demikian juga halnya dengan upacara kathina.
82
Wawancara Pribadi dengan Suddhi Citto. Wawancara Pribadi dengan Suddhi Citto, Jakarta, tanggal 29 Maret 2006
83
58
Upacara kathina biasanya dihadiri oleh 4 atau 5 orang bhikkhu yang mewakili Sangha, dan persembahan yang dapat diberikan adalah berupa jubah atau bahan jubah. Salah satu dari tiga pilihan tersebut dapat dilakukan pada masa kathina. Dengan demikian, manusia selaku umat Buddha telah berusaha untuk melaksanakan perbuatan baik melalui berdana. Walaupun persembahan atau dana yang diberikan tidak banyak, pikiran yang menyertai persembahan tersebut akan memberikan pengaruh yang sangat besar pada akibatnya. Persembahan yang diberikan sebaiknya disertai dengan kehendak yang baik pada saat sebelum memberi, pada saat memberi dan pada saat sesudah memberi, maka buahnya lebih besar dari pada mereka yang memberi dengan tujuan atau niat yang kurang baik.84 Upacara kathina yang sebenarnya dalam arti yang sesuai dengan vinaya adalah upacara persembahan jubah dan pembuatan jubah kathina. Upacara ini hanya dapat berlangsung jika pada masa vassa berdiam lima orang bhikkhu di satu vihara. Jika kurang dari lima bhikkhu, maka umat tidak melaksanakan upacara kathina yang sebenarnya itu.85 Oleh sebab itu agar upacara ini memiliki manfaat yang sebesar-besarnya, maka upacara kathina harus dilakukan dengan benar dan sungguh-sungguh serta sesuai dengan tata cara upacara kathina. Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam upacara kathina adalah mengerti akan makna upacara yang sebenarnya, karena upacara ini semata-mata hanya untuk memupuk sifat-sifat baik masing-
84
Dhana Putra, “Bulan Dana, Bulan Kathina”, Warta Visudhi, No. 4, Edisi Oktober
1990, h. 5
85
Dhana Putra, “Bulan Dana, Bulan Kathina”, Warta Visudhi, Edisi Oktober 1990, h. 6
59
masing individu, bukan karena peraturan yang mengikat pada upacara yang bersangkutan.86 Upacara kathina di suatu vihara baru dapat dilangsungkan secara benar, bila di vihara tersebut terdapat paling sedikit empat orang bhikkhu, tidak termasuk samanera, yang telah melakukan tekad bervassa di vihara tersebut selama 90 hari secara sempurna.87 Dengan demikian upacara yang dilakukan di Vihara Buddha Metta Arama Menteng Jakarta ini sudah dianggap benar, karena di vihara ini terdapat empat orang bhikkhu yang telah melakukan tekad untuk bervassa lebih dari 90 hari secara sempurna.88 Sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih umat kepada para bhikkhu yang bervassa di Vihara Buddha Metta Arama, maka dipersembahkannya kepada Sangha, sebuah kain untuk dipotong dan dijahit menjadi jubah, yang kemudian disebut sebagai jubah kathina.89 Sementara sarana yang digunakan dalam upacara kathina adalah berupa kain putih, kemudian dicelup dengan warna kuning lalu dipotong dan dijahit, sehingga dapat menjadi jubah dan siap dipersembahkan kepada Sangha. Adapun tata cara pelaksanaan upacara kathina seperti disebutkan dalam vinaya adalah sebagai berikut : 1. Adalah hak Sangha untuk menentukan apakah upacara kathina dilaksanakan atau tidak. 2. Bila dikehendaki, maka dipilih seorang bhikkhu untuk menerima persembahan kain untuk dibuat jubah dari umat. 86
Wawancara Pribadi dengan Suddhi Citto. Herman S. Endro, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Budhis 1996 – 2026, (Jakarta : Yayasan Dhammadipa Arama, 1997), Cet. ke-1, h. 27 88 Wawancara Pribadi dengan Suddhi Citto. 89 Herman S. Endro, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis, h. 28 87
60
3. Kain putih persembahan, dalam suatu prosedur formalitas pada hari kathina, oleh Sangha diserahkan pada bhikkhu terpilih untuk diukur, dipotong dan dijahit sesuai vinaya dan menjadi jubah. Proses ini dengan sendirinya dibantu oleh para bhikkhu lainnya. Sesudah selesai, jubah putih tersebut dicuci, dicelup warna kuning dan dikeringkan. Semua prosedur ini harus dilakukan dalam satu hari, dari pagi hingga petang. 4. Jubah-jubah tersebut setelah selesai dikerjakan siap dibagi oleh Sangha, dalam suatu upacara pada seseorang yang berhak menerimanya. Hanya para bhikkhu yang bervassa di vihara tersebut yang berhak atas jubah kathina. 5. Pada malam harinya, bhikkhu terpilih dengan mengenakan jubah kathina menempati dampar dan kemudian berkhotbah serta berterima kasih kepada para umat atas dukungannya pada Sangha.90 Dengan tata cara demikian dan jubah yang diberikan umat lebih mempunyai arti tersendiri. Perlu diketahui, jubah kathina ini hanya ada satu, dan keseluruhan proses mulai dari pembuatan sampai upacara perayaan, pembuatan jubah hanya boleh berlangsung dalam satu hari saja. Lewat dari satu hari, jubah tersebut batal, dan tidak dapat dipakai sebagai jubah kathina.91 Bila rangkaian upacara kathina sesuai dengan prosedur seperti yang telah dipaparkan di atas, maka proses upacara kathina dapat dianggap selesai. Dengan demikian tata upacara kathina yang selama ini dilaksanakan di Vihara Buddha Metta Arama telah dianggap sah, karena memenuhi persyaratan dan sesuai dengan vinaya ajaran Buddha.
C. Tujuan Upacara Kathina Secara umum tujuan upacara dalam agama Buddha senantiasa dimaksudkan untuk menghormati dan merenungi sifat-sifat luhur Sang Buddha.
90
Herman S. Endro, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis, h. 29 Herman S. Endro, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis, h. 30
91
61
Sifat-sifat luhur Sang Buddha disebut pula paramitha. Ada enam sifat luhur yang disebut Sadha paramitha yaitu :92 1. Dana paramitha adalah suatu sifat luhur yang senantiasa mendorong umat untuk beramal, berkorban untuk kepentingan orang lain terutama orang yang menderita. 2. Sila paramitha adalah suatu sifat luhur yang senantiasa mendorong seseorang untuk berbuat baik. 3. Virya paramitha adalah suatu sifat luhur yang senantiasa mendorong seseorang agar selalu semangat dan aktif berkarya, bekerja dan belajar. 4. Khusanti paramitha adalah suatu sifat luhur yang senantiasa mendorong seseorang agar tenang dan sabar dalam menghadapi segala masalah dan tantangan. 5. Dhayana paramitha adalah suatu sifat luhur yang senantiasa mendorong seseorang untuk mengheningkan cipta dan bermeditasi. 6. Prajna paramitha adalah suatu sifat luhur dari kebijaksanaan sempurna yang memberikan jalan untuk melenyapkan keserakahan. 7. Memperkuat keyakinan yang dalam ajaran Buddha disebut dengan istilah sadha. Sadha disebut juga panca sadha yang terdiri atas keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, keyakinan terhadap para Bodhisattva dan para Buddha, keyakinan terhadap hukum kesunyatan, keyakinan terhadap kitab suci dan keyakinan terhadap Nibbana.93 8. Membina tempat keadaan batin luhur atau istilah lainnya adalah brahmavihara. Brahmavihara ini meliputi metta, karuna, mudita dan upekha. 9. Mengulangi dan merenungkan kembali khotbah-khotbah Sang Buddha. Dengan upacara kathina diharapkan umat Buddha dapat mempraktekkan ajaran yang telah dipaparkan oleh Sang Buddha dalam kehidupan seharihari serta mengamalkannya kepada semua makhluk. 10. Melakukan anumodana, yaitu membagi perbuatan baik kepada makhluk lain.94 Jika ditinjau dari fenomena kebudayaan, maka tujuan upacara kathina merupakan pewarisan nilai-nilai atau norma-norma melalui proses sosialisasi. Upacara kathina merupakan serangkaian aktivitas-aktivitas yang berorientasi kepada pemberian dana serta memberikan kesadaran terhadap pendukung upacara tentang nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian upacara 92
Oka, Diputra, Dharma Nidya, (Jakarta : Dharma Nusantara Bahagia, 1986), Jilid I, h.
18
93
Oka Diputra, Pedoman Penerangan Agama Buddha, (Jakarta : Dharma Nusantara Bahagia, 1986), h. 19 94 Majelis Pandita Buddha Indonesia, Pedoman Penghayatan dan Pembabaran Agama Buddha di Indonesia, (Jakarta : Yayasan Dhammadipa Arama, 1979), h. 45
62
kathina yang diadakan setiap tahun sekali merupakan wadah sosialisasi dan keagamaan bagi masyarakat pendukung acara tersebut. Nuansa upacara kathina ini sangat lekat dengan persembahan dana. Upacara kathina merefleksikan adanya kepedulian sosial, yaitu berupa pemberian dana kepada masyarakat yang kurang mampu, dan dalam hal ini sifat-sifat luhur Sang Buddha. Selain menghormati dan merenungi sifat-sifat luhur Sang Buddha, upacara kathina memiliki tujuan yang sangat spesifik yaitu : Pertama, agar umat bisa memperlemah kemelekatan terhadap harta dunia, sehingga penderitaan umat dapat dikurangi jika seseorang sering berdana, maka ia dapat mengkondisikan kebahagiaan bagi dirinya sendiri, baik untuk masa depan maupun untuk kehidupan yang akan datang. Seringnya berdana akan berdampak positif, orang yang akan terhindar dari kemiskinan yang sangat menyakitkan.95 Kedua, supaya orang-orang pantas menerima pemberian mendapatkan apa yang patut mereka terima, begitulah orang-orang yang patut menerima pertolongan. Orang-orang yang patut menerima pemberian antara lain bhiksu dan bhiksuni, samanera dan pandita yang memiliki sila yang terpuji. Sedangkan orang-orang yang patut mendapatkan pertolongan antara lain fakir miskin, yatim piatu, orang cacat yang tidak mampu bekerja dan orang-orang jompo. Sebagai
95
Kathina Hari Bakti Umat Buddha Kepada Sangha, WARTA WALUBI, Edisi November
2003, h. 17
63
umat Buddha yang baik, orang harus taat pada apa yang diajarkan oleh Sang Buddha.96 Jika orang tidak terbiasa untuk berdana, memang harus diakui bahwa hal ini sukar untuk dilakukan. Namun dengan adanya kesadaran untuk memperlemah sifat kemelekatan dan keakuan, orang dapat memaksa diri untuk berdana. Memang, pertama kali dan kedua kali memberi dana, ia merasa keberatan. Jika merasa berat hati, bolehlah orang itu memberi sedikit terlebih dahulu. Asal perbuatan ini diulang-ulang sambil terus meningkatkan jumlahnya walaupun sedikit demi sedikit, maka rasa berat hati itu akan terbiasa berdana dalam jumlah yang lumayan. Jika hal ini menjadi kenyataan, maka hatinya akan merasakan kelegaan dan kelonggaran. Ia akan semakin jauh dari kecemasan, kegelisahan dan berbagai siksaan batin yang berhubungan dengan kemelekatan akan materi.97 Seperti dipaparkan di atas bahwa pada hari raya kathina, umat Buddha selayaknya berdana kepada Arya Sangha. Hal ini perlu disadari sebagai suatu hal yang wajar, dan jangan sekali-kali menerimanya sebagai suatu beban yang memberatkan hati. Hal ini disebabkan para bhikkhu dan bhiksuni mengemban tugas luhur, baik sebagai penyebar Buddha Dharma maupun pembina umat. Dengan demikian sebagai umat Buddha yang baik, maka seseorang wajib membalasnya dengan menyokong dan memperhatikan kebutuhan pokok para
96
Kathina Hari Bakti Umat Buddha Kepada Sangha, WARTA WALUBI, Edisi November
2003, h. 18
97
Wawancara Pribadi dengan Suddhi Citto, Jakarta, tanggal 29 Maret 2006
64
bhiksu dan bhiksuni, sehingga di antara para bhikkhu dan umat terjalin hubungan timbal balik yang baik dan selaras dengan dharma.98 Dengan demikian tujuan upacara kathina adalah terjalinnya hubungan timbal balik antara bhikkhu dan umat dengan cara melepaskan diri dari sifat kemelekatan. Adapun salah satu cara yang baik untuk mengikis kemelekatan ini ialah dengan membiasakan diri berdana kathina.
D. Kandungan Makna Dalam Upacara Kathina Kandungan makna dalam upacara kathina secara simbolik yang dilakukan oleh umat Buddha biasanya dilambangkan dengan banyaknya berdan kepada Sangha. Berdana ini jelas memiliki moral yang baik dan dapat menahan nafsu inderanya serta mempunyai pengendalian diri adalah adalah timbunan harta yang baik. Harta tersebut dapat diperoleh dengan cara berbuat kebajikan kepada Cetiya-Cetiya atau kepada Sangha, kepada orang lain atau para tamu, kepada kedua orang tua atau kepada orang yang lebih tua. Inilah harta yang disimpan paling sempurna, tidak mungkin hilang, tidak mungkin ditinggalkan walaupun suatu saat akan meninggal, namun ia tetap akan membawanya. Upacara kathina selalu identik dengan dana yang berbentuk materi. Dibalik pemberian dana materil itu ada satu makna hakiki yang perlu dipahami, yaitu pelepasan diri dari sifat kemelekatan. Sang Buddha mengajarkan bahwa kemelekatan dalam segala bentuknya terutama kepada hal-hal yang bersifat duniawi mendatangkan penderitaan. 98
Wawancara Pribadi dengan Suddhi Citto.
65
Penderitaan yang timbul sebagai akibat dari kemelekatan itu seringkali sangat menyakitkan. Oleh sebab itu sebagai makhluk yang mendambakan kebahagiaan, maka seseorang harus belajar untuk membebaskan diri dari kemelekatan. Memang harus diakui hal ini sangat sukar untuk dilakukan, apalagi bagi orang yang hidup pada zaman di mana godaan kesukaran dunia begitu gila dan bertubi-tubi. Betapa sukarnya orang membebaskan diri dari kemelekatan. Namun, kenyataan tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk bersikap pesimistis. Asal orang itu memiliki tekad yang kuat, maka ia bisa memperlemah dan mengikis sifat kemelekatan yang ada dalam dirinya, tentu saja secara bertahap. Adapun salah satu metode yang dianggap paling baik untuk mengikis kemelakatan ini adalah dengan cara membiasakan diri untuk berdana. Sang Buddha mengajarkan umat untuk berdana, termasuk pula berdana materi.99 Menurut Ir. Fudi Kumaroputra, berdana adalah belajar melepas. Dengan belajar melepas, kemelekatan terhadap materi menjadi berkurang, sehingga bila seseorang kehilangan materi, ia tidak menjadi gelisah dan merasa sangat kehilangan.100 Berdana juga dapat menimbun perbuatan baik, karena menimbun perbuatan baik dengan berdana merupakan cara yang paling mudah. Perbuatan baik yang dilakukan dengan berdana pasti membuahkan hasil.101 Dengan demikian bentuk pelepasan dana dari sifat kemelekatan materi merupakan kandungan makna dalam upacara kathina.
99
Kathina Hari Bakti Umat Buddha Kepada Sangha, WARTA WALUBI, h. 17 Fuad Kumaroputra, “Jangan Berdana Untuk Mencari Nama”, Buddha Cakkhu, No. 3, Vol. XVII, 1995, h. 23 101 Kumaroputra, “Jangan Berdana Untuk Mencari Nama”, Buddha Cakkhu, h. 24 100
66
Pada saat menjelang upacara kathina dana, umat akan mencari dan mengumpulkan dana berupa kain putih, uang atau kebutuhan pokok para bhikkhu yang lain. Setelah itu umat akan datang ke salah satu vihara untuk menyampaikan maksud mereka, yaitu mengadakan kathina dana di vihara tersebut. Pihak vihara akan menentukan apakah akan menerima upacara tersebut atau tidak. Khusus vihara yang dilindungi pemerintah tidak menerima dana kathina dari pihak luar, bila menerima maka tidak disebut kathina, melainkan pamsukula dana.102 Apabila suatu permohonan telah diterima maka akan ditentukan tanggal dan harinya dan kemudian disiapkan segala sesuatunya. Tepat pada hari yang telah ditentukan umat bersama-sama mengadakan pawai kathina. Mereka membawa barang-barang yang ada di daerah tersebut.103 Uniknya, sepanjang perjalanan diiringi suasana kendang, ketipung dan alat musik lainnya, mereka menari-nari dan menyanyi. Mereka merasa bahagia atas perbuatan baik yang mereka lakukan. Hal ini menunjukkan bahwa mereka berdana secara sukarela, dengan melepaskan harta bendanya untuk keperluan orang lain. Hal ini membuat suasana pawai menjadi semarak dan sangat menarik. Sepanjang perjalanan orang-orang yang menyaksikan pun turut merasakan kebahagiaan mereka, sehingga terkadang mereka ikut serta bergabung untuk berdana. Dengan demikian acara pawai ini sangat bermanfaat untuk menggugah hati orang-orang yang menyaksikan agar sadar dan mau berdana. Jadi tidak
102
Berdana di Thailand, Buddha Cakkhu, No. 3, Vol. XVII, 1995, h. 15 Berdana di Thailand, Buddha Cakkhu, h. 16
103
67
sekedar hura-hura.104 Dengan demikian melepaskan harta benda untuk kepentingan orang lain merupakan kandungan makna dari upacara kathina. Pada akhir kathina umat akan mengadakan siripada puja secara besarbesaran. Siripada puja adalah upacara untuk menghormati tapak kaki suci Sang Buddha. Upacara ini disertai dengan pembacaan Siripada Gatha sambil memegang bunga teratai dari kertas, lilin dan dupa. Kemudian dilanjutkan dengan menebarkan teratai berisikan lilin dan dupa tersebut di sungai atau danau.105 Jadi apapun nama dan bentuk upacara dalam agama Buddha pada akhirnya akan bermuara pada kekayaan materi, terutama pada upacara kathina yang memang memiliki kandungan makna agar ummatnya rela melepaskan sebagian kekayaannya untuk kepentingan orang lain. Kekayaan yang dimiliki tidak dapat dinikmati untuk selama-lamanya, karena pada suatu saat akan berakhir pula. Hal ini bukan pandangan yang pesimis atau sumpahan, tetapi suatu kenyataan dari ketidakkekalan.106 Berakhirnya sesuatu hal bukan sepenuhnya disalahkan pada faktor nasib buruk atau kegagalan manajemen perusahaan misalnya, menurut hukum sebab dan akibat sebagian besar disebabkan oleh keborosan, tidak menghargai dan tidak menyayangi serta terlalu menghambur-hamburkan harta. Sang Buddha pernah bersabda : “kekayaan tidak sepenuhnya dikuasai oleh satu orang, tetapi dimiliki
104
Berdana di Thailand, Buddha Cakkhu, h. 17 Berdana di Thailand, Buddha Cakkhu, h. 19 106 Beribu-ribu Orang Memberi, Beribu-ribu Orang Memperoleh Kebajikan, Majalah Buddhis Indonesia Edisi ke-29, Desember 1994, h. 36 105
68
oleh lima faktor keadaan antara lain api, air, perampok, disita pemerintah dan anak yang tidak berbakti”.107 Walaupun orang itu memiliki kekayaan yang berlimpah ruah apabila malapetaka melanda kebakaran misalnya, dengan sekejap mata rumah yang indah dan bagus berubah menjadi puing-puing debu dan bila angin topan datang melanda barang-barang rusak diterpa angin, begitu pula bila bencana banjir, harta benda dan rumah-rumah hanyut terbawa bahkan mungkin nyawa pemiliknya juga bisa terancam dan tidak bisa diselamatkan.108 Demikianlah yang disebut dengan kekayaan yang tidak luput dari jangkauan lima faktor keadaan. Suatu contoh keadaan di mana seseorang yang kikir di dalam kehidupannya, ia sangat irit dan sederhana, semua kekayaan yang terkumpul dari hasil keringat, sedikit demi sedikit kemudian dibelikan emas dan disimpan di bawah tanah, ketika ketidakkekalan datang melanda ia tidak sempat menolong hartanya.109 Bagi mereka yang memahami arti kekayaan yang diberikan kepada keturunannya bukan berupa warisan harta benda, tambang emas, kebun yang luas, dan lain sebagainya. Tetapi yang diwariskan adalah budi luhur, etika dan moral, keterampilan serta kepribadian yang baik. Memberikan kesempatan kepada anakanaknya untuk memperoleh pendidikan yang baik. Mendidik anaknya menjadi manusia yang memiliki pandangan serta pendapat yang benar. Cara yang praktis
107
Beribu-ribu Orang Memberi, Beribu-ribu Orang Memperoleh Kebajikan, Majalah Buddhis Indonesia, Desember 1994, h. 37 108 Beribu-ribu Orang Memberi, Beribu-ribu Orang Memperoleh Kebajikan, Majalah Buddhis Indonesia, h. 39 109 Beribu-ribu Orang Memberi, Beribu-ribu Orang Memperoleh Kebajikan, Majalah Buddhis Indonesia, h. 40
69
mempergunakan keuangan yaitu sewaktu irit harus irit dan pada waktu perlu digunakan haruslah dipergunakan. Kekayaan tidak dimiliki selama-lamanya.110 Di dalam sutra tercatat, kekayaan yang berlimpah ruah tidak dapat dibawa mati, hanya karma yang ikut serta. Kebajikan selalu dibalas dengan kebajikan dan keburukan akan memperoleh buah yang buruk. Oleh sebab itu, pergunakanlah kekayaan pada hal yang pantas dan benar, berdana pada hal yang benar, diperoleh dan dikembalikan pula pada masyarakat, misalnya dipergunakan untuk keperluan bakti sosial.111 Hal ini disebabkan karena salah satu kandung makna dalam upacara kathina adalah memiliki kepedulian sosial, yaitu dengan cara meringankan beban penderitaan orang lain, terutama pada saat krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Pada masa krisis ekonomi dan moneter yang sangat menyakitkan seperti yang terjadi saat ini, banyak umat Buddha yang dililit kemiskinan yang sangat menyesakkan dada. Sekitar 20% dari saudara-saudara umat Buddha sangat kekurangan pangan dan sandang, bahkan telah ada beberapa orang dari mereka yang mati kelaparan. Sebagai umat Buddha yang baik, tentu saja tidak boleh berdiam saja dan bersikap masa bodoh. Umat Buddha harus memperhatikan nasib mereka dan memperdulikannya. Jika umat Buddha mampu, maka umat tersebut wajib memberikan bantuan kepada mereka. Walaupun tidak dapat mengentaskan mereka dari kemiskinannya, tetapi dengan memberikan bantuan kepada mereka,
110
Beribu-ribu Orang Memberi, Beribu-ribu Orang Memperoleh Kebajikan, Majalah Buddhis Indonesia, h. 37 111 Beribu-ribu Orang Memberi, Beribu-ribu Orang Memperoleh Kebajikan, Majalah Buddhis Indonesia, h. 38
70
umat Buddha dapat meringankan mereka dari penderitaan yang sedang dialaminya. Aksi-aksi sosial umat Buddha di berbagai tempat dalam wujud pemberian sembako dan pakaian layak pakai sungguh patut dihargai dan dilestarikan, karena dengan pemberian dana tersebut, umat Buddha telah berpartisipasi dalam rangka meringankan penderitaan saudara-saudaranya. Dengan melakukan hal itu, mereka telah mempraktekkan ajaran cinta kasih. Meskipun demikian, janganlah umat Buddha merasa puas dan bangga, karena mereka harus terus berusaha untuk meningkatkan kualitas metta atau cinta kasih yang tanpa batas dan karuna atau belas kasihan yang terdapat dapat dalam diri umat Buddha. Inilah sesungguhnya makna yang terkandung dalam upacara kathina.
E. Analisa Kritis Pembahasan tentang analisa kritis ini dapat diklasifikasikan ke dalam dua golongan yakni secara internal dan eksternal. Secara internal, analisa kritis dalam pelaksanaan upacara kathina ini dapat memberikan motivasi kepada setiap individu untuk berdana tanpa mengharapkan imbalan. Sedangkan secara eksternal, analisa kritis dalam perayaan upacara kathina adalah dapat menimbulkan rasa kepedulian sosial, yaitu dengan cara meringankan beban penderitaan orang lain melali pemberian dana. Berdana merupakan hal yang banyak dilakukan oleh masyarakat beragama. Semua agama mengajarkan kepada ummatnya untuk berdana.
71
Demikian pula halnya dengan agama Buddha, agama ini mengajarkan tentang cara-cara berdana. Sang Buddha menjelaskan bahwa dana adalah suatu pemberian yang ikhlas tanpa mengharapkan imbalan. Dana juga merupakan pelepasan sebagian milik umat kepada makhluk lain tanpa adanya pamrih. Hal ini perlu dijelaskan oleh umat Buddha guna menangkal berbagai anggapan dari kelompok lain bahwa ajaran Buddha sama dengan ajaran agama lainnya. Salah satu tujuan berdana dalam agama Buddha adalah menebarkan kasih sayang. Dengan melakukan dana kathina, maka mereka telah mempraktekkan ajaran cinta kasih yang dalam agama Buddha dikenal dengan istilah metta atau cinta kasih yang tanpa batas dan karuna atau belas kasihan yang terdapat dalam diri umat Buddha. Oleh sebab itu menurut Buddha, semua agama hendaknya mengemban misi perdamaian dalam menyebarkan agamanya. Cinta, damai dan sejahtera bukanlah milik kelompok tertentu, tetapi milik semua orang merealisasikan agama dalam kehidupan baik itu di lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat, karena agama adalah perekat kemanusiaan. Jika manusia dalam beragama hanya sebatas tradisi, budaya, ritual dan hanya berhenti pada kepuasan intelektual semata, maka tidak ada perubahan. Gambaran yang nyata terjadi pada kehidupan sekarang ini, hanya demi ego banyak orang melakukan tindakan yang tidak berprikemanusiaan. Penyimpangan moralitas hampir terjadi setiap saat dan mereka sangat bangga dengan apa yang dilakukannya.112 Tragedi kemanusiaan melanda dunia ini, perang terjadi di manamana, aksi teror dilakukan tanpa berpikir akan ada banyak korban yang tidak berdosa mati sia-sia. 112
Bhikkhu Abhayanando, “Cinta Damai dan Sejahtera”, Majalah Dhammacakka, No. 30, Vol. IX, 2003, h. 13
72
Tragedi demi tragedi seharusnya dapat menyadarkan manusia sebagai umat beragama untuk menciptakan cinta, perdamaian dan kesejahteraan. jika hal ini masih saja terjadi, maka manusia tidak dapat merealisasikan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Agama mengajak penganutnya untuk merubah pola pikir yang menuju ke arah kebaikan. Agama yang direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari akan membawa kepada tingkat kualitas batin yang sempurna yang tentunya perjuangan ke arah itu tidak secara cepat tetapi secara bertahap. Jika manusia sudah memahami ajaran agama secara benar dan merealisasikan agama dalam kehidupan dan menghilangkan motivasi-motivasi yang tidak baik dalam beragama, nantinya diharapkan akan sampai pada pemahaman agama yang benar dan mempunyai kepekaan atas penderitaan umat manusia. Adanya kepekaan terhadap kemanusiaan sebagai awal perwujudan cinta kasih. Kemajuan zaman yang tidak diimbangi dengan sumber daya manusia baik mental maupun spiritual akan membahayakan kehidupan ini. Orang berlombalobam dalam mendapatkan materi, jabatan dan kemewahan duniawi lainnya.113 Manusia melegalkan semua cara dalam pencapaian kebahagiaan dan kebutuhannya, karena manusia tidak pernah terpuaskan oleh semua yang telah ia peroleh. Manusia mencari sesuatu yang tidak ada atau menginginkan lebih atas apa yang ia peroleh sebelumnya. Hal ini menjadikan manusia melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari jalur agama seperti meniup, mencuri, 113
“Berapakah harga kasih sayang?”, Suara Bodhidharma, Vol. 5, No. 2, Edisi 11 Maret
2002. h. 15
73
korupsi dan melakukan hal-hal yang tidak bermoral lainnya dapat merugikan orang lain. Moral mengajarkan seseorang menjadi orang saleh, bertingkah laku sesuai dengan norma-norma masyarakat, sehingga tidak menimbulkan tekanantekanan pada diri sendiri dan orang lain. Namun sekalipun seseorang sudah bermoral, ia masih belum bebas dari tekanan-tekanan kekotoran batin. Ajaran Buddha mendalami lebih jauh akan hal ini, tujuannya langsung untuk menghentikan atau menghilangkan penderitaan menuju kebahagiaan sejati.114 Kekotoran-kekotoran ini sesungguhnya merupakan penyakit hati manusia. Penyakit mental ini jauh lebih berbahaya dibanding penyakit fisik. Lihatlah manusia-manusia yang diktator, mereka adalah orang-orang yang sehat secara fisik. Penyakit mereka memang kasat mata, oleh karena itu sangat berbahaya bila bersarang dalam diri manusia atau penguasa yang zalim. Sang Buddha menganjurkan agar mengalahkan musuh yang bersarang dalam diri manusia. Dalam hal ini Sang Buddha mengatakan “walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam beribu kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri”.115 Sang Buddha menasehati agar manusia memilih jalan yang agung dalam menangani keberingasan yaitu dengan cinta kasih, kemurahan hati, penuh maaf dan berdana. Obat peneduh dalam bentuk cinta kasih dan seringnya memberikan
114
Buddha Bhikkhu, “Hakikat Kehidupan”, Majalah Jalan Tengah, 1991, Cet. ke-1, h. 1 Dhammapada, Buddha Cakkha, h. 103
115
74
dana yang diikuti pemberian yang tulus merupakan cara satu-satunya untuk dapat menenangkan sikap permusuhan terhadap orang lain. Bila dilihat kondisi sekarang ini, sepertinya manusia tidak lagi memiliki hati nurani. Mereka melakukan perbuatan yang tanpa disadari atau memang mereka sadari telah menyakiti orang lain demi tercapainya keinginan mereka. Rasa egoisme dan rasa keangkuhan telah menutupi hati mereka, sehingga mereka tidak mempunyai sedikit rasa belas kasihan dan enggan mengulurkan tangan untuk membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan. Memberikan dana kathina yang diajarkan oleh Sang Buddha dapat menjadikan seseorang memiliki pengertian akan sifat kasih sayang secara universal, tanpa membedakan kasta, ras atau agama karena hanya dengan perasaan seperti ini orang dapat menghilangkan sifat egois yang menyebabkan manusia saling berselisih, meniup, bertengkar dan melakukan hal-hal yang buruk lainnya. Bila manusia telah memahami bahwa bukan hanya dia saja yang mengalami kesukaran hidup, orang lain pun mengalami penderitaan yang sama, maka pandangan seperti ini dapat memperbesar tekad dan kemampuan seseorang untuk mengatasi kesukaran. Dengan demikian setiap kesukaran baru dapat dilihat sebagai suatu kesempatan berharga untuk mengembangkan batinnya, sehingga secara berangsur-angsur dapat memiliki perasaan kasih dan sayang, yang berarti bahwa ia dapat mengembangkan perasaan simpati yang tulus untuk penderitaan orang lain.116
116
Tenzin Gyatso Dalai Lama XIV, Belas Kasih dan Pribadi, (Jakarta : Yayasan Dian Dharma, 2000), h. 5
75
Dunia kini lebih membutuhkan dana sebagai jawaban atas permasalahan dan kekacauan yang pernah terjadi. Pemberian dana yang diwujudkan melalui aktivitas keagamaan dapat memberikan solusi bagi kehidupan manusia. Dana kathina merupakan esensi jiwa dan spirit bagi manusia, karena jiwa yang hidup adalah jiwa yang saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Inilah sisi manusia yang paling dalam. Tanpa adanya kucuran dana, manusia mungkin akan mengalami kering kerontang seperti yang dapat dilihat pada orang yang mudah sekali mengutuk orang lain. Berdana kathina merupakan bentuk kasih sayang manusia terhadap manusia lainnya. Berdana kathina seperti yang telah diajarkan oleh Buddha adalah cara berdana yang tidak pandang bulu, tanpa membedakan agama, suku bangsa, dan kedudukan seseorang, baik atau jahat, teman atau lawan. Karena bagi mereka memberikan dana kepada seseorang yang tidak ia sukai, itulah kesempatan bagi dia untuk mempraktekkan ajaran Buddha. Berdana kathina yang diajarkan Buddha adalah mengasihi seseorang atau apa saja dengan tidak melekat pada seseorang atau benda apa saja. Mengasihi tanpa keinginan untuk memiliki karena dalam tingkat yang tertinggi tidak ada pemilik dan yang dimiliki. Berdana merupakan perbuatan yang dapat meringankan beban orang lain dengan cara memberikan sebagian harta kepada orang membutuhkannya. Dengan demikian bila semua orang telah memahami dan menerapkan kembali prinsip-prinsip berdana dalam kehidupan sehari-hari, maka hal ini merupakan solusi yang paling baik dalam menghadapi penyakit-penyakit rohani,
76
kegelisahan jiwa yang banyak dialami oleh manusia modern belakangan ini. Hal seperti ini merupakan kandungan makna dari upacara kathina.
77
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari uraian, penjelasan dan analisa di atas sebagai hasil dari penelitian yang berkenaan dengan upacara kathina dalam agama Buddha, maka sebagai upaya mengakhiri pembahasan skripsi ini, penulis mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Proses pelaksanaan upacara kathina dalam agama Buddha dimulai dari penyerahan jubah yang dipimpin oleh bhikkhu Sangha. Kain bahan jubah yang berwarna putih diserahkan kepada bhikkhu Sangha. Setelah menerima kain jubah, bhikkhu Sangha akan mengadakan pembagian tugas untuk membuat jubah kathina. Kain jubah tersebut kemudian dipotong-potong menurut ukuran dalam vinaya. Kemudian dijahit menjadi jubah. Setelah jadi jubah akan dicelup dalam zat pewarna jubah, dan kemudian dikeringkan. Sesudah kering, Sangha akan mengadakan upacara pembagian jubah. Seorang bhikkhu yang akan menerima jubah kathina diumumkan dalam sidang Sangha setelah melalui kesepakatan bersama. Selanjutnya bhikkhu yang berhak menerima jubah kathina akan melepaskan jubah lamanya dan memakai jubah baru, yaitu jubah kathina. 2. Adapun sarana yang digunakan dalam upacara kathina pada agama Buddha adalah dana. Pada saat menjelang upacara kathina dana, umat akan mencari
78
dan mengumpulkan dana yang berupa kain putih, uang atau kebutuhan pokok para bhikkhu yang lain. Setelah itu umat akan datang ke salah satu vihara untuk menyampaikan maksud mereka mengadakan kathina dana di vihara tersebut. Pihak vihara akan menentukan apakah akan menerima dana tersebut atau tidak. Jika suatu permohonan telah diterima, maka akan ditentukan tanggal berikut harinya dan kemudian disiapkan segala sesuatunya. 3. Sedangkan tujuan yang hendak dicapai dalam upacara kathina yang lebih spesifik adalah pertama, agar manusia bisa memperlemah kemelekatan terhadap harta duniawi, sehingga penderitaan akibat terlalu mencintai harta akan dapat dikurangi dengan cara berdana. Jika ia sering berdana, maka ia mengkondisikan kebahagiaan bagi dirinya sendiri, baik untuk masa depan maupun masa yang akan datang. Kedua, supaya orang-orang yang pantas menerima pembertian mendapatkan apa yang patut mereka terima, begitu pula orang-orang yang patut menerima pertolongan. Orang-orang yang patut menerima pemberian antara lain adalah bhikkhu dan bhikkuni, samanera dan pandita yang memiliki sila terpuji. Sedangkan orang-orang yang patut mendapatkan pertolongan antara lain adalah fakir miskin, yatim piatu, orang cacat yang tidak mampu bekerja, dan orang-orang jompo.
B. Saran-saran Dari hasil studi dan penela’ahan tentang observasi yang tertuang dalam skripsi ini, kiranya tidak berlebihan jika penulis mengemukakan saran-saran sebagai berikut :
79
1. Berdana adalah hal yang banyak dilakukan oleh masyarakat beragama. Semua agama mengajarkan pada ummatnya untuk berdana. Agar dana yang diberikan mendapat tempat di sisi Tuhan Yang Maha Esa, hendaknya masyarakat yang memberikan dana harus dijiwai dengan rasa ikhlas tanpa mengharapkan imbalan. 2. Upacara kathina yang sebenarnya dalam arti yang sesuai dengan vinaya adalah upacara persembahan bahan jubah dan pembuatan jubah kathina. Upacara ini hanya dapat berlangsung jika pada masa vassa berdiam lima orang bhikkhu di satu vihara. Jika kurang dari lima bhikkhu, maka umat tidak bisa melaksanakan upacara kathina yang sebenarnya itu. Oleh sebab itu pihak bhikkhu hendaknya memberikan dispensi kepada umat yang hendak menjalankan upacara kathina. 3. Salah satu tujuan vassa adalah memberi kesempatan kepada para bhikkhu agar dapat mengkonsentrasikan pikiran mereka pada pengembangan diri baik dalam hal meditasi maupun dhamma. Agar pikiran para bhikkhu ini tetap berkonsentrasi pada pengembangan diri baik dalam hal meditasi maupun dhamma, maka umat Buddha hendaknya memenuhi kebutuhan pokok mereka seperti sandang, papan, pangan dan obat-obatan. 4. Hari raya kathina tidak bisa disamakan dengan hari raya Buddhist lainnya, karena pada hari kathina ini umat secara langsung mengamalkan ajaran Sang Buddha yaitu dengan cara berdana. Agar dana yang dipersembahkan ini memiliki manfaat, maka umat Buddha hendaknya menyalurkan dana tersebut kepada orang-orang yang membutuhkannya demi kelangsungan hidup mereka.
80
5. Upacara kathina sangat identik dengan pemberian dana material. Dibalik pemberian dana material itu terdapat satu makna hakiki yang perlu dipahami, yaitu berupa pelepasan diri dari sifat kemelakatan. Oleh karena itu, umat Buddha hendaknya mengaplikasikan ajaran pelepasan diri dari sifat kemelakatan ini dalam kehidupan sehari-hari.
81
DAFTAR ISTILAH BUDDHA
: Seorang Sangha yang sudah suci
Arya Sangha
: Orang yang melakukan kebaikan
Bodhisttva
: Vihara kecil
Cetiya
: Sepuluh perbuatan baik
Dasa Paramitha
: Ajaran
Dhamma
: Kebajikan
Jasa
: Sebuah perbuatan, baik negative maupun positif
Kamma
: Tempat tinggal para Bhikkhu
Kutti
: Mengingat perbuatan masa lalu
Paramatha
: Pengakuan terhadap kesalahan
Pavarana
: Penghormatan terhadap Sangha Paritta Sanghanusatti : Seseorang yang suci yang sudah meninggal
Parinibbana
: Pembawa penerangan yang sempurna
Sang Buddha
: Sebuah keyakinan
Saddha
: Calon Bhikkhu
Samanera
: Sebuah persaudaraan / perkumpulan para Bhikkhu
Sangha
: Sebuah kota yang ada di India
Savathi
: Fasilitas yang ada di vihara
Sasana
: Alam kesucian
Sattopati
: Peraturan untuk umat
Sila
: Mengulang kembali sila
Uposatha
82
: Peraturan untuk para Bhikkhu
Vinaya
83
DAFTAR PUSTAKA
Buddha Cakkha, No. 3, Volume XVII, 1995 Dhammadipa, Kitab Suci Dhammadipa, Jakarta : Yayasan Dhammadipa, tth. Diputra, Oka, Pedoman Agama Buddha Untuk Umat, Jakarta : Aryasurya Candra, 1997 ------------------, Dharma Nidya, Jakarta : Dharma Nusantara Bahagia, 1986, Jilid I ------------------, Pedoman Penerangan Agama Buddha, Jakarta : Dharma Nusantara Bahagia, 1986 Dwiyanti, Fungsi Vihara Bagi Umat Buddha, Jakarta : Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda, 1997 Greezt, C., Kebudayaan dan Agama, Yogyakarta : Kanisius, 1992 Jinartha Kaharudin, Pandit, Kamus Buddha Dharma, Jakarta : Tri Sattra Buddhist Centre, 1994 Kruyt, A.C., Keluarga Dari Agama Suku Masuk Ke Agama Kristen, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1976 M. Dagun, Save, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, Jakarta : Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 2000, Cet. ke-2 Majalah Buddhist Indonesia Edisi ke-29, Desember 1994 Majelis Pandita Buddha Indonesia, Pedoman Penghayatan dan Pembabaran Agama Buddha di Indonesia, Jakarta : Yayasan Dhammadipa Arama, 1979 Mukti, K Wijaya, Berebut Kerja Berebut Surga, Jakarta : Yayasan Dharma Pembangunan, 2003, Cet. ke-2
84
Paritta Suci, Jakarta : Dhammadipa Arama, 1983 Putra, Dana, “Bulan Dana, Bulan Kathina”, Warta Visudha, No. 4, Edisi Oktober 1990 Robert, Ronald, (ed), Agama; Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, Jakarta : Rajawali Press, 1988 S. Endro, Herman, Hari Raya Buddha dan Kalender Buddhist 1996 – 2026, Jakarta : Yayasan Dhammadipa Arama, 1997 Singarimbun, Masri, et.all., Metodologi Penelitan Survey, Jakarta : LP3ES, 1999, Cet. ke-1 Subalaranto, et.all., Bakti Atau Puja, Yogyakarta : Sangha Theravada Indonesia, tth. Suhardi Heryanto, Adi, “Hari Kathina dan Manfaatnya”, Buddha Cakkhu, Edisi November 1988 Tim Penyusun Paritta Suci dan Penuntun Kebaktian dan Upacara, Jakarta : Departeman Agama RI, 1988 WARTA WALUBI, Edisi November 2003 Wawancara Pribadi dengan Suddhi Citto, Jakarta, tanggal 29 Maret 2006 Wojowasito, S., Kamus Kaw–Indonesia, Bandung : CV. Pangarang, tth. Cet. ke-1 Wowor, Coeneles, Pedoman Agama Buddha untuk Kehidupan, Jakarta : CV. Pelita Nursatama Lestari, 2003
85
HASIL WAWANCARA TENTANG UPACARA KATHINA DALAM AGAMA BUDDHA DI VIHARA BUDDHA METTA ARAMA MENTENG – JAKARTA
: Suddhi Citto
Responden
: Bhante
Jabatan
: Rabu, 29 Maret 2006 Hari/Tanggal : 14.00 WIB
Jam
: Vihara Buddha Metta Arama
Tempat
Jl. Lembang Terusan D59 Menteng – Jakarta Pusat
Pertanyaan dan Jawaban : Mohon bhante jelaskan secara singkat tentang latar belakang
:
Tanya
:
Jawab
:
Tanya
:
Jawab
berdirinya Vihara Buddha Metta Arama ini ? Vihara
Buddha
Metta
Arama
pada
awal
berdirinya
dilatarbelakangi oleh kehampaan spiritual yang dialami oleh Dra. Sri Hartati Murdaya, selaku pemilik rumah, padahal beliau ini adalah seorang penganut Buddha yang taat, namun karena sebagai manusia biasa beliau menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan ini, sehingga ia sempat meninggalkan pesan-pesan Buddha yang mengajarkan tentang hidup sederhana. Berangkat dari pola pikir seperti inilah kemudian beliau menghadiahkan rumah berikut isinya untuk dijadikan vihara sebagai bakti beliau kepada ajaran/dhamma Buddha. Sejauh mana pemahaman bhante tentang upacara kathina ? Sepanjang pengetahuan saya upacara kathina itu selalu identik dengan masalah dana, yaitu memberikan dana kepada Sangha. Dana yang dapat kita persembahkan adalah bahan jubah atau
86
jubah, di samping dana-dana yang lainnya kepada Sangha. Upacara ini dapat berlangsung walaupun hanya dihadiri oleh seorang bhikkhu yang mewakili Sangha. Menurut bhante, bagaimana proses pelaksanaan upacara kathina
:
Tanya
:
Jawab
:
Tanya
:
Jawab
Simbol apa yang dapat digunakan dalam upacara kathina ?
:
Tanya
Pada dasarnya upacara kathina tidak menggunakan simbol, namun
:
Jawab
Kapan timbulnya sejarah upacara kathina ?
:
Tanya
Agama Buddha merupakan agama yang berkembang di beberapa
:
Jawab
ini ? Pelaksanaan upacara kathina selalu diawali dengan cara mengumpulkan dana. Pada saat menjelang upacara kathina dana, umat akan mencari dan mengumpulkan dana berupa kain putih, uang atau kebutuhan pokok para bhikkhu yang lain. Setelah itu umat akan datang ke salah satu vihara untuk menyampaikan maksud mereka, mengadakan kathina dana di vihara tersebut. Pihak vihara akan menentukan apakah akan menerima dana tersebut atau tidak. Tujuan apa yang hendak dicapai dalam upacara kathina ? Secara umum tujuan upacara kathina dalam agama Buddha senantiasa dimaksudkan untuk menghormati dan merenungi sifatsifat luhur Sang Buddha. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam upacara kathina adalah agar umat bisa memperlemah kemelekatan terhadap harta dunia, sehingga penderitaan umat dapat dikurangi jika umat sering berdana, baik untuk masa depan maupun untuk kehidupan yang akan datang.
yang dimaksud simbol di sini mungkin dana atau jubah. Dengan demikian simbol yang digunakan dalam upacara kathina adalah jubah atau bahan jubah, karena pada saat pelaksanaan upacara kathina umat memberikan jubah atau bahan jubah kepada para bhikkhu yang bervassa di vihara tersebut.
negara termasuk India. Pada masa kehidupan Sang Buddha,
87
masyarakat India mulai menanam sayur mayur dan tanaman lainnya di ladang mereka pada awal musim hujan. Karena itu, mereka merasa khawatir kalau tanaman mereka yang mulai tumbuh subur itu akan terinjak oleh kaki para bhikkhu yang berkelana. Mereka lalu meminta kepada Sang Buddha agar para bhikkhu tidak berkelana selama musim hujan. Permohonan mereka pun dikabulkan oleh Sang Buddha dengan menetapkan aturan bahwa setiap bhikkhu harus menetap di suatu tempat selama musim hujan atau yang lebih dikenal dengan istilah masa vassa. Demikian sejarah timbulnya upacara kathina. Siapakah yang seharusnya menjadi pemimpin dalam upacara
:
Tanya
:
Jawab
:
Tanya
:
Jawab
:
Tanya
:
Jawab
kathina? Selain memberikan dana, umat pada upacara kathina juga memberikan jubah atau bahan jubah. Khusus acara penyerahan jubah ini dipimpin oleh bhikkhu Sangha. Kain bahan jubah yang berwarna putih diserahkan kepada bhikkhu Sangha. Setelah menerima kain jubah, bhikkhu Sangha akan mengadakan pembagian tugas untuk membuat jubah kathina. Mohon bapak jelaskan tentang pengertian kathina ? Mungkin dalam pengertian kathina ini saya hanya dapat memberikan definisinya secara sederhana saja, namun dalam pengertian yang luas tentang kathina ini harus ditanyakan langsung kepada para pakarnya. Adapun pengertian kathina secara sederhana berasal dari kain katun, karena pada zaman dahulu para bhikkhu membuat jubahnya dari kain-kain bekas jika tidak menerima pemberian dari umat. Bagaimana prinsip vihara Buddha Metta Arama dalam menyikapi upacara kathina ? Hari raya kathina tidak bisa disamakan dengan hari raya Buddhist lainnya. Karena pada hari raya kathina kita secara langsung mengamalkan ajaran Sang Buddha yaitu cara berdana. Oleh
88
karena itu upacara kathina ini harus disikapi dengan penuh hikmah untuk merenungi sifat-sifat luhur Buddha yang telah rela mengorbankan dirinya untuk membebaskan penderitaan umat. Sarana apa saja yang dapat dipergunakan dalam upacara kathina ?
:
Tanya
Dalam setiap upacara memang selalu membutuhkan sarana. Tanpa
:
Jawab
:
Tanya
:
Jawab
:
Tanya
:
Jawab
:
Tanya
:
Jawab
adanya sarana, suatu upacara tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Adapun sarana yang digunakan dalam upacara kathina adalah dana dan jubah atau bahan jubah. Tanpa adanya dana dan jubah, upacara kathina tidak mungkin dapat dilaksanakan, karena hal yang penting dalam upacara kathina adalah adanya jubah dan dana yang nantinya akan dipersembahkan kepada para bhikkhu yang bervassa. Makna apa yang terkandung dalam upacara kathina ? Salah satu unsur yang dapat kita persembahkan dalam upacara kathina adalah pemberian dana kepada Sangha. Dibalik pemberian dana materil itu adalah satu makna hakiki yang perlu kita pahami, yaitu pelepasan diri dari sifat kemelekatan. Hal ini sesuai dengan ajaran Sang Buddha yang mengajarkan bahwa kemelekatan dalam segala bentuknya terutama pada hal-hal yang bersifat duniawi akan mendatangkan penderitaan. Kapan waktu yang paling tepat untuk melaksanakan upacara kathina ? Sesuai dengan petunjuk Sang Buddha bahwa waktu yang paling tepat untuk melaksanakan upacara kathina adalah bulan Oktober. Hari kathina juga biasanya bertepatan dengan hari Sangha, yang diperingati dan dirayakan pada bulan kathina yang biasanya jatuh pada bulan Oktober. Bagaimana konsep persembahkan dana dalam upacara kathina ? Berdana adalah hal yang banyak dilakukan oleh masyarakat beragama. Semua agama mengajarkan ummatnya untuk berdana. Demikian
pula
halnya
dengan
agama
Buddha.
Konsep
89
persembahan dana dalam upacara kathina dipahami sebagai upaya pelestarian dhamma. Pada setiap perayaan kathina di vihara manapun, dana yang diberikan oleh umat selalu dikumpulkan oleh pengurus vihara setempat. Dari dana yang diperoleh sebesar 50% akan disalurkan kepada Sangha dan 50% lainnya akan digunakan untuk biaya operasional vihara dan kegiatan sosial lainnya. Persiapan apa saja yang harus dilakukan dalam upacara kathina ? Selain dana, hal yang perlu dipersiapkan dalam upacara kathina
:
Tanya
:
Jawab
:
Tanya
:
Jawab
adalah jubah. Kain jubah tersebut akan dipotong-potong menurut ukuran vinaya. Kemudian dijahit menjadi jubah. Setelah jadi, jubah akan dicelup dalam zat pewarna jubah, dan kemudian dikeringkan. Setelah kering, Sangha akan mengadakan upacara pembagian jubah. Seorang bhikkhu yang akan menerima jubah kathina diumumkan dalam sidang Sangha setelah melalui kesepakatan bersama. Selanjutnya bhikkhu yang berhak menerima jubah kathina akan melepaskan jubah lamanya, dan memakai jubah yang baru, yaitu jubah kathina. Kendala apa saja yang dapat menghambat proses jalannya upacara kathina ? Hampir tidak ada hambatan dalam proses jalannya upacara kathina. Namun ada satu kendala yang terkadang dapat menghambat proses jalannya upacara kathina yaitu terbatasnya jumlah bhikkhu. Terbatasnya jumlah bhikkhu, terutama di Indonesia menyebabkan upacara kathina yang dilaksanakan oleh umat Buddha hanya dihadiri oleh satu atau dua orang bhikkhu saja. Walaupun demikian upacara kathina tetap berlangsung di vihara-vihara dan para bhikkhu akan tetap berusaha untuk hadir dalam perayaan tersebut. Akan tetapi satu hal yang perlu diketahui bahwa upacara kathina yang sebenarnya dalam arti yang sesuai dengan vinaya adalah upacara persembahan jubah dan pembuatan jubah kathina. Upacara ini hanya dapat berlangsung jika pada
90
masa vassa berdiam lima orang bhikkhu di vihara yang bersangkutan. Jika kurang dari lima bhikkhu, maka umat tidak bisa melaksanakan upacara kathina yang sebenarnya itu.
Jakarta, 29 Maret 2006 Yang diwawancarai
(Suddhi Citto)
Yang mewawancarai
(Ma’mun)
91
92