Resensi Buku ISSN: 0852-8489
Kerangkeng Besi di Era Demokratisasi Total Penulis: Adam Bagaskara Dipublikasikan oleh: LabSosio, Pusat Kajian Sosiologi FISIP-UI Diterima: Desember 2015; Disetujui: Desember 2015
MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi, diterbitkan oleh LabSosio, Pusat Kajian Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia. Jurnal ini menjadi media informasi dan komunikasi dalam rangka pengembangan sosiologi di Indonesia. Redaksi MASYARAKAT mengundang para sosiolog, peminat sosiologi dan para mahasiswa untuk berdiskusi dan menulis secara bebas dan kreatif demi pengembangan sosiologi di Indonesia. Untuk kriteria dan panduan penulisan artikel maupun resensi buku, silahkan kunjungi tautan berikut: www.journal.ui.ac.id/mjs Untuk mengutip artikel ini (ASA Style): Bagaskara, Adam. 2015. “Kerangkeng Besi di Era Demokratisasi Total.” MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi, 20(1):99-102.
SK Dirjen Dikti Akreditasi Jurnal No. 80/DIKTI/Kep/2012
Resensi
Kerangkeng Besi di Era Birokratisasi Total Adam Bagaskara Program Studi Sosiologi, FISIP Universitas Indonesia Email:
[email protected]
Graeber, David. 2015. The Utopia of Rules: On Technology, Stupidity, and the Secret Joy of Bureaucracy. Brooklyn: Melville House. 261 halaman The Utopia of Rules merupakan upaya Graeber—melalui kumpulan esai—untuk menghadirkan kritik terhadap birokrasi yang mungkin diajukan oleh seorang kiri. Kritik terhadap birokrasi menjadi suatu hal mendesak untuk diajukan di era—yang Graeber konseptualisasikan sebagai—total bureaucratization. Total bureaucratization merupakan era ketika peleburan antara yang privat dan publik terjadi bersamaan dengan merajalelanya peraturan serta regulasi yang dimapankan dengan tujuan utama untuk mengekstraksi kekayaan dalam wujud profit. Profit kemudian dicapai melalui mekanisme deregulasi. Contoh terdekat dari total bureaucratization dapat kita lihat dari bagaimana deregulasi dipraktikkan di ranah pendidikan tinggi. Dimapankannya Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) seperti yang terjadi pada Universitas Indonesia di tahun 2000 kemudian direformasi pada tahun 2010 sebagai Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH) berdampak pada pemotongan subsidi bagi penyelenggaraan pendidikan. Pemotongan subsidi tersebut kemudian berimplikasi pada praktik penyelenggaraan pendidikan di mana (PTN BH) harus menjamin penyelenggaraannya secara mandiri. Penyelenggaraan pendidikan secara ”mandiri” ini berarti PTN BH harus mengekstrak profit dari berbagai sumber untuk menjamin kelangsungannya. Kelas Khusus Internasional (KKI) serta Program Sarjana Paralel menjadi wadah melalui mana profit diperoleh. Ketika diskursus neoliberalisme secara umum dipahami sebagai dilonggarkannya intervensi pemerintah terhadap kinerja pasar, Graeber tidak menerima logika tersebut begitu saja. Baginya, ketika pemerintah melonggarkan intervensinya terhadap pasar, tidak berarti peran
10 0 |
ADA M BAGASK AR A
pemerintah menjadi tidak ada. Pemerintah justru turut menjadi aktor di dalam pasar itu sendiri. Graeber jelas menentang praktik tersebut. Paradoks yang terjadi ketika kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mereduksi intervensi pemerintah dalam ranah ekonomi—yang digerakkan oleh pasar—justru pada akhirnya mengacu pada lebih banyaknya jumlah regulasi, lebih banyaknya birokrat serta polisi merupakan manifestasi dari apa yang Graeber konseptualisasi sebagai The Iron Law of Liberalism. Apa yang Graeber rujuk sebagai polisi tidak dapat dimaknai sekadar sebagai aparat keamanan berseragam yang bekerja di bawah kekuasaan pemerintah pusat—sebagaimana kata tersebut dimaknai secara umum di Indonesia. Akan tetapi, polisi merupakan wujud dari segala aparat yang bertindak secara opresif di bawah kekuasaan dan kepentingan pemerintah dan pasar yang telah melebur. Graeber meyakini bahwa meningkatnya praktik birokrasi melalui peleburan pemerintahan dan pasar turut disertai dengan meningkatknya praktik kekerasan. Kekerasan yang dirujuk Graeber bukan sama sekali suatu bentuk kekerasan yang mewakili metafora tertentu. Kekerasan yang ia rujuk memiliki makna sesederhana seperti tindakan pemukulan yang dilakukan seseorang terhadap orang lainnya. Penganiayaan dan pembunuhan terhadap dua petani di Lumajang yang menentang intrusi pasar ke wilayahnya pada September 2015 bisa menjadi contoh dari bagaimana polisi diutilisasi demi mendukung praktik total bureaucratization melalui cara kekerasan. Penganiayaan dan pembunuhan yang dilakukan oleh preman melalui instruksi aparat desa menunjukkan bagaimana pemerintah lokal dan pasar melebur demi mencapai kepentingannya. Melalui kekerasan fisik, preman menjadi polisi yang bertindak secara represif dan opresif terhadap masyarakat yang mengganggu kepentingan pemerintah dan pasar yang telah melebur. Structural stupidity adalah konsep yang digunakan Graeber dalam menjelaskan kebodohan dari para birokrat dalam memaksakan praktik birokrasi ketika seluruh masyarakat sudah terjebak di dalam apa yang Weber konseptualisasi sebagai iron cage. Kebodohan yang dimanifestasikan dalam praktik birokrasi ini dialami secara langsung oleh Graeber ketika ibunya sakit di tahun 2006. Rumitnya proses birokrasi yang harus Graeber jalani untuk mendapatkan pinjaman berakhir pada kematian sang ibu sebelum pinjaman—yang baru bisa didapatkan setelah melalui mekanisme yang terlampau rumit—yang didapatkan dari pihak layanan publik turun. M A S YA R A K AT: Ju rna l Sosiolog i Vol. 20, No. 1, Ja nu a ri 2015:99-102
KER ANGKENG BESI
| 101
Birokrasi yang seharusnya meregulasi praktik institusi justru menjadi pengekang bagi praktiknya sendiri. Birokrasi yang secara ideal seharusnya dapat menjamin layanan kesehatan yang efektif dan efisien justru menjadi penghambat dari pencapaian layanan kesehatan yang efektif dan efisien. Impersonalitas dari praktik birokrasi dalam layanan publik justru menjadi sesuatu hal yang tidak memanusiakan. Tulisan Graeber secara tidak langsung bisa jadi merupakan suatu tantangan bagi modernitas—yang bertumpu pada efektivitas dan efisiensi—bahwa modernitas hanya sebuah mitos. Namun, di tengah keterjebakan masyarakat di dalam kerangkeng birokrasi, mengapa praktik darinya tidak dipertanyakan? Mengapa pendamping dari pasien kritis masih tunduk pada instruksi pengisian data dari pasien kritis yang didampinginya sebagai pemenuhan prasyarat yang harus dipenuhi sebelum pasien kritis yang didampinginya dapat ditindak secara lanjut? Mungkin pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan melihat keterbiasaan masyarakat terhadapnya, di mana Graeber menjelaskan bahwa bureaucracy has become the water in which we swim. Praktik birokrasi dalam kehidupan sehari-hari seolah telah memberikan kita insang untuk membiasakan diri kita agar dapat hidup dan tidak merasa sesak untuk bernafas di kedalaman samudera birokrasi. Tersusunnya buku Graeber dari beberapa esai menjadikannya tidak memiliki satu proposisi yang dapat mewakili keseluruhan isi buku. Namun, jelas bahwa Graeber menghadirkan suatu kritik terhadap birokrasi dari sudut pandang seorang kiri—secara spesifik ia dikenal sebagai seorang neoanarkis. Neoanarkisme menekankan bahwa opresi serta pengekangan terhadap kehidupan manusia tidak lagi dilakukan oleh negara, melainkan disebabkan oleh praktik kapitalisme global. The Utopia of Rules jelas menunjukkan sikap Graeber sebagai seorang neoanarkis melalui penentangannya terhadap peleburan pemerintah dengan pasar di bawah sistem pasar bebas yang justru menyebabkan meningkatnya kekangan negara terhadap praktik kehidupan masyarakat. Pada akhirnya, apakah Graeber mengajukan suatu proposisi baru melalui The Utopia of Rules? Graeber mungkin saja hanya melakukan repetisi terhadap penggunaan konsep iron cage yang telah dicetuskan oleh Weber. Namun, setidaknya Graeber menunjukkan bahwa kebebalan masyarakat dalam mempraktikkan birokrasi—ketika masyarakat tersebut jelas sudah terkurung di dalam praktik birokrasi itu sendiri—memiliki konsekuensi berupa bencana yang nyata. The Utopia of M A S YA R A K AT: Ju rna l Sosiolog i Vol. 20, No. 1, Ja nu a ri 2015:99-102
102 |
ADA M BAGASK AR A
Rules bisa menjadi suatu penegasan terhadap sikap seorang kiri dalam memandang birokrasi. Di satu sisi, Weber memercayai bahwa birokrasi merupakan cara yang efisien dan paling rasional untuk menciptakan keteraturan masyarakat, tetapi di sisi lain ia melihat bahwa praktik dari birokrasi bisa berakhir pada suatu keterjebakan. Melalui The Utopia of Rules, setidaknya Graeber menegaskan bahwa praktik birokrasi—khususnya ketika logika kekuasaan pemerintah dan pasar melebur—hanya akan berakhir pada terjadinya bencana.
M A S YA R A K AT: Ju rna l Sosiolog i Vol. 20, No. 1, Ja nu a ri 2015:99-102