untuk Gerrit Singgih, guru dan teman berpikir kami
Pdt. Prof. Dr. (h.c.) Emanuel Gerrit Singgih, Ph.D
Kata Pengantar Buku kumpulan tulisan ini sebenarnya kami persiapkan sebagai sebuah ‘kado’ bagi Pdt. Prof. E.G. Singgih, Ph.D pada ulang tahunnya yang ke 60, tahun 2009 yang lalu. Ada beberapa alumni Fak. Theologia yang menyarankan untuk membuat sebuah buku sebagai ‘kado’ bagi Prof. E.G. Singgih, dan mengelola penerbitannya buku tersebut terlepas dari Fakultas Theologia Univ. Kristen Duta Wacana sebagai lembaga. Kami menyambut baik usulan itu, kemudian membentuk tim kecil yang terdiri dari Pdt. Robert Setio, Ph.D, Pdt. Paulus S. Widjaja, Ph.D dan Pdt. Wahju S. Wibowo, M.A., M.Hum dan mulai merencanakan penerbitan buku ini, namun dalam perjalanan selanjutnya ada berbagai kesulitan dan beberapa pertimbangan yang menyebabkan akhirnya buku ini terlambat penerbitannya dari waktu yang sudah direncanakan sebelumnya. Bahkan Pdt. Prof. E.G. Singgih, Ph.D sendiri akhirnya tahu mengenai rencana ini, padahal kami mencoba menyembunyikannya. Beliau kemudian ikut menyarankan untuk menunda pemberian ‘kadonya’ karena beberapa pertimbangan. Pada awalnya ada dua tema besar yang mengemuka, yaitu tema tafsir Perjanjian Lama, karena itu adalah bidang utama Pdt. Prof. E.G. Singgih, Ph.D dan tema ‘Kontekstualisasi’. Namun kami akhirnya memutuskan untuk memilih tema ‘Kontekstualisasi’, karena tema ini sekaligus mencakup teks Alkitab maupun konteks pengalaman kekinian. Pemilihan tema ini sekaligus menyiratkan pergumulan dan arah berteologi dari Prof. E.G. Singgih, Ph.D., yang ketika menafsir Alkitab selalu tidak lupa untuk melibatkan beragam konteks dalam pertimbangannya. Edisi revisi buku ‘Dari Israel ke Asia’yang terbit pertengahan tahun 2012, merupakan tanda bahwa pergulatan itu tidak pernah selesai digumulinya. Namun pada saat yang sama tema ini juga relevan bagi Duta Wacana. Kebetulan tahun 2012, Duta Wacana akan merayakan ulang tahun emasnya. Maka kami akhirnya sepakat untuk menunda penerbitan buku ini hingga tahun 2012 bertepatan dengan Jubileum 50 tahun Duta Wacana. Para pendiri Duta Wacana sudah dengan sadar mendirikan institusi pendidikan teologi ini dengan menekankan pentingnya kesadaran akan konteks i
Indonesia. Untuk itu, walau pada awalnya dimaksudkan sebagai ‘kado’ bagi ulang tahun ke 60 Pdt. Prof. E.G. Singgih, Ph.D, namun karena ulang tahunnya itu sendiri sudah lewat tiga tahun, biarlah buku ini menjadi sebuah penghargaan atas usahanya untuk terus mengembangkan teologi yang kontekstual, dan pada saat yang sama memberi sarana bagi Duta Wacana untuk merefleksikan perjalanannya selama 50 tahun bergumul dalam konteks. Maka, jadilah buku ini diterbitkan sebagai refleksi atas kontekstualisasi teologi di Indonesia yang sangat ditekankan oleh Duta Wacana dan, yang seperti sudah banyak diketahui orang, sangat lekat dengan karya-karya dan pemikiran-pemikiran Pdt. Prof. E.G. Singgih, Ph.D. Kami mengucapkan terima kasih kepada teman-teman alumni yang sudah berkenan membantu penerbitan buku ini, juga kepada para sahabat yang sudah menyisihkan waktu untuk menyumbangkan tulisan dalam buku ini. Sekaligus mohon maaf kepada para penyumbang tulisan yang telah memasukkan tulisannya jauh sebelum waktu terbitnya. Terimakasih pula kepada Sdr. Wuri Ajeng yang berkenan membantu menyiapkan bentuk akhir buku ini. Akhirul kalam, kami mengucapkan selamat membaca dan berefleksi atas pijar-pijar pemikiran yang ada.
Editor: Robert Setio Wahju S. Wibowo Paulus S. Widjaja
ii
Daftar Isi
Pengantar....................................................................................
i
Daftar Isi………………………………………………………. iii Pendahuluan (Robert Setio).......................................................
1
Bagian I
Metode Kontekstualisasi E. Gerrit Singgih 1. Iman, Politik dan Agama-Agama: Dialog Kritis dengan Pikiran Pdt. Prof. Dr. E. Gerrit Singgih (Bernard Adeney-Risakotta)…………………………… 19 2. Emanuel Gerrit Singgih: Teolog Kontekstual (J.B. Banawiratma) …………………………………… 39
Bagian II Kontekstualisasi Masa Kini 1. Peran (Oto)Biografi dan Buku Harian dalam Teologi Kontekstual Indonesia berdasarkan Pandangan James McClendon (Alle Hoekema)……………………………………….. 53 2. The Practical – Theological Spiral Revisited from Social to Discursive Analysis (Frans Wijsen)……………………………………….... 73 3. Kontekstualisasi, Poskolonialisme dan Hibriditas (Robert Setio)…………………………………………. 93 4. Teologi Kontekstual sebagai Transformasi Ganda (Wahju S. Wibowo)…………………………………… 115
iii
Bagian III Teks dan Konteks 1. Diutus ke Seluruh Dunia (Agustinus Gianto)……………………………………. 137 2. Towards an Indonesian Old Testament Theology: A Dialogue between Christoph Barth’s Old Testament Theology and Works by Indonesian Old Testament Scholars (Agustinus Setiawidi)…………………………………. 155 Bagian IV Teologi Politik 1. Deklarasi Barmen dan Maknanya Masa Kini (A.A Yewangoe)………………………………………. 169 2. Dari Pendeta Caleg sampai Roma 13: Beberapa Catatan Mengenai Partisipasi Politik Kristen di Indonesia (Zakaria Ngelow)………………………………………183 3. Wacana Pluralitas dan Demokrasi dalam Pemikiran Teologis Kontemporer Protestanisme Indonesia (Julianus Mojau)……………………………………... 207 Bagian V Teologi Estetika 1. “Only Literature Can Perform The Miracle of Reconciliation” Aesthetic Agency in Post Conflict Situations in Korea and Germany (Volker Kuester)……………………………………… 229 2. Gereja Maria Assumpta Klaten: Sebuah Usaha Kontekstualisasi (Mgr. L. I. Suharyo)……………………………………. 241 3. Dead Poets Society, Proyek Peradaban, dan Pencarian Diri (Paulus S. Widjaja)………………………………….... 253
iv
Bagian VI Dialog dengan Islam 1. Pergulatan Gereja Kristen Pasundan di Tengah Masyarakat Jawa Barat: Sebuah Catatan Reflektif (Supriatno)…………………………………………… 271 2. Komisi Hubungan Antarumat (Kaum) sebagai Simpul Dialog Versi Greja Kristen Jawi Wetan (Suwignyo)……………………………………………. 299 Bagian VII
Dialog Dengan Alam dan Kaum Pinggiran 1. Ecological Crisis and Its Challenges to Christian Higher Education in Asia (Huang Po Ho)……………………………………….. 317 2. Mlipir Jalan Pinggiran: Mencari Wajah Agama (Kristen) di Antara Wajah-Wajah yang Terpinggirkan (Anna Marsiana)……………………………………... 341
v
Pendahuluan Robert Setio Judul buku ini: “Teks dan Konteks yang Tiada Bertepi” memperlihatkan kemungkinan-kemungkinan berikut: 1. Teks yang biasanya dimengerti sebagai Alkitab dan Konteks yang dimengerti sebagai pembacanya terlibat dalam sebuah hubungan yang intens sedemikian rupa sehingga batas antar keduanya menjadi kabur, tidak lagi jelas tepiannya. 2. Teks dan Konteks pada dirinya sendiri, pada kemasingmasingannya sudah berada dalam keadaan tidak bertepi. Alkitab – sekalipun sudah dibatasi secara dogmatis (kanon), secara literer (sebuah narasi, kumpulan narasi, sebuah puisi, sebuah kitab), dan secara historis (terikat oleh ruang dan waktu yang spesifik) – adalah sekumpulan tulisan, sekumpulan gagasan, sekumpulan teologi (itulah arti nama Alkitab dalam Bahasa Yunani: ta biblia, kitab-kitab, jamak bukan tunggal) yang membuatnya seperti realitas tak bertepi. Pembaca yang meliputi para pengguna Alkitab mulai dari bentuk ketika masih belum menjadi satu, bahkan ketika masih merupakan sebuah gagasan lepas yang belum dituliskan, hingga sekarang, ketika kanon Alkitab telah berusia lebih daripada 1600 tahun (mengacu pada Vulgata), terdiri dari banyak orang, banyak kelompok, banyak komunitas, banyak gereja dan banyak mashab pemikiran. 3. Munculnya semacam amalgamasi ketika Teks dan Konteks dipertemukan, juga membuktikan tiada tepian antara keduanya dan sekaligus tiada tepian antara amalgamasi yang satu dengan amalgamasi lainnya. 4. Tetapi kata-kata “tiada bertepi” bersifat paradoks, di satu pihak mengarah ke realitas yang sudah disebutkan pada poin 1-3 di atas; di pihak lain, mengingatkan bahwa yang disebut tepi itu masih ada. Tiada bertepi berarti pertama-tama ada tepi, baru kemudian gerakan dinamis yang membuat tepi itu menjadi kabur. Seperti orang yang melihat gambar bergaris-garis yang sampai sekian lama berubah
1
menjadi bentuk yang bukan lagi garis-garis. Tetapi garis itu bukan tidak ada. Garis itu tetap ada, tepi itu sebenarnya tetap ada. Perjumpaan antara Teks dan Konteks memungkinkan kelahiran realitas yang majemuk. Perjumpaan antara Teks dan Konteks terkadang membentuk gerakan “bola liar” yang dapat mengenai siapa saja, titik yang mana saja, tetapi hanya untuk sementara karena “bola” itu masih akan terus bergerak ke segala arah yang mungkin. Kontekstualisasi teologi, setidaknya di tangan orang-orang yang tekun berimajinasi seperti Gerrit Singgih, menjadi seperti “bola liar” tadi, bergerak ke segala arah sejauh konteks memungkinkan dan menyentuh segala perkara sejauh masuk akal. Kedudukan sebagai teolog tidak membuat orang seperti Gerrit kehilangan kebebasan untuk menyapa berbagai bidang yang bukan teologi. Paradigma keilmuan (Barat) yang memilah-milah dan akhirnya terpilah-pilah tanpa ampun seperti mengalami dekonstruksi dalam pikiran Gerrit. Hasilnya bukan sebuah ilmu baru seperti makhluk yang terdiri dari banyak muka, namun gerakan sana-sini di antara ilmu-ilmu yang masih tetap duduk manis dalam koridor masing-masing. Paradigma keilmuan yang sudah terlanjur dibakukan dan diuniversalkan bukannya mau diubah, karena bukan itu makna dari dekonstruksi, namun diganggu-ganggu (teasing) atau kalau mau lebih serius (begitu kesan orang tentang Gerrit), kebakuan paradigma keilmuan itu dibenturkan dengan aksioma-aksiomanya sendiri. Lalu menjadi terbuka bahwa kekokohan sebuah ilmu sebenarnya dibangun di atas gundukan pasir yang rapuh. Gerrit memang teolog (di tengah omniscientnya itu), ketika membicarakan ilmu-ilmu bukan teologi iapun masih berbicara sebagai seorang teolog. Mungkin justru karena teologi adalah ilmunya maka ia mampu berbicara tentang ilmu-ilmu lainnya. Teologi, setidaknya dalam diri Gerrit, adalah ilmu fundamental. Mirip atau sama dengan filsafat yang juga sangat digemari oleh Gerrit. Di atasnya ilmu-ilmu dibicarakan dan dibangun secara hakiki. Di dalamnya pijar-pijar keilmuan diamati terus menerus. Teologi menyediakan teropong prismatik untuk melihat keindahan dunia ilmu.
2
Tetapi teologi juga adalah sebuah ilmu. Ia adalah salah satu dari sekian banyak ilmu lainnya. Maka teologi tidak hanya digunakan sebagai perspektif untuk menganalisa ilmu-ilmu lain, namun juga perlu dijadikan sasaran analisa. Gerrit adalah salah seorang dari sedikit teolog yang bersedia membedah ilmu teologi, ilmunya sendiri. Membedah di sini lebih baik diartikan sebagai membuka lebar termasuk borok-borok yang ada di dalamnya, jika ada. Di tangan Gerrit, teologi bukanlah ilmu yang perlu diselubungi oleh mitos-mitos keistimewaan yang membuatnya tidak bisa dikritisir. Kritik terhadap teologi dapat datang baik dari dalam maupun dari luar dirinya, dari ilmu-ilmu lain, bahkan dari yang oleh para ilmuwan dikategorikan bukan ilmu seperti kearifan-kearifan lokal. Gerrit tak segan untuk mengakui kehebatan kearifan lokal sedemikian rupa sehingga kearifan lokal itu diangkat kedudukannya menjadi setara dengan ilmu bahkan dalam kancah wacana agama, kearifan lokal itu juga disebut sebagai agama, bukan lagi kepercayaan. Di balik pemberian identitas agama ini ada sebuah motivasi mulia yaitu agar agama-agama besar termasuk Kekristenan bersedia membuka diri dan belajar dari agama lokal. Belajar kepada agama lokal masih merupakan hal yang sulit dilakukan, kalau tidak mau dibilang tidak mungkin dilakukan oleh agama-agama besar termasuk Kekristenan. Tabiat kolonial masih sangat melekat pada agama-agama besar itu sehingga mereka enggan untuk belajar kepada agama yang dianggap lebih kecil dan kurang meyakinkan. Maka, Gerrit tidak putus-putusnya mendorong agamaagama besar, terutama agamanya sendiri, Kristen, untuk mau belajar kepada agama lokal. Dorongan ini bisa jadi disalahpahami sebagai keraguan akan kebenaran agama sendiri. Tetapi akan lebih tepat jika memahami maksud Gerrit sebagai koreksi terhadap sikap-sikap arogan dari agama-agama besar. Arogansi yang termasuk di dalamnya memutlakkan kebenaran sendiri. Tetapi tidak hanya sebatas itu saja. Arogansi itu juga adalah tentang perasaan lebih besar, perasaan lebih berkuasa dan perasaan sebagai pemenang. Perasaan ini membuat para pemeluk agama-agama besar tidak lagi dapat menghargai agama lokal, menganggap agama lokal itu sepele dan bahkan tidak pantas disebut agama. Bagi Gerrit adanya perasaan-
3
perasaan seperti itu adalah bukti bahwa agama-agama besar itu kurang percaya diri. Mereka justru merasa lemah dan dalam perasaan lemah itu ingin menindas yang lain supaya nampak kuat. Bagaimana mungkin Gerrit berpikir seperti itu? Kalau dia adalah seorang etikus yang berpijak pada norma-norma hak-hak azasi manusia yang seringkali dianggap universal dan tidak mewakili salah satu agama (mungkin juga tidak mewakili agama apapun, selain kemanusiaan), maka orang akan mengatakan bahwa pembelaan Gerrit kepada agama-agama lokal itu pasti didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan semata. Tetapi Gerrit adalah seorang teolog (meskipun pernah mengajar kuliah etika, namun etika dalam ranah teologi). Maka, dasar berpikirnya mestinya bersumber pada teologi. Bila dimengerti demikian, barulah kita memperoleh pencerahan tentang bagaimana teologi telah mendorong Gerrit untuk membuka diri terhadap agama-agama lokal. Bukan hanya agama lokal saja, namun semua yang oleh masyarakat ditempatkan pada posisi pinggiran, di antaranya, perempuan, kaum disable, kaum Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender (LGBT), orang-orang miskin, para buruh, korbankorban kekerasan militer dan politik, korban-korban kekerasan institusi keagamaan (termasuk Gereja), korban-korban kapitalisme global, pendeknya, semua orang yang diperlakukan semena-mena oleh mereka yang memiliki kekuatan besar dan kekuasaan. Gerrit sangat sensitif terhadap nasib mereka. Teologi telah membuatnya menjadi begitu. Mengapa? Karena dalam perenungan Gerrit, Allah adalah Allah yang solider terhadap mereka yang teraniaya. Allah yang rela menderita bersama dan demi kaum pinggiran. Allah telah memindahkan tempat kaum pinggiran ke tengah. Yang semula di pinggir, dialihkanNya ke posisi sentral. Mungkin semua orang Kristen juga berpikir seperti itu dan percaya kepada Yesus yang menderita dan mati bagi umat manusia. Tetapi, bagi Gerrit pemahaman itu tidak berhenti pada sesuatu yang normatif saja. Pemahaman itu terus berlanjut pada tindakan-tindakan etis, pada aksi-aksi nyata, tidak saja di ruang-ruang kuliah, tetapi sampai ke gubuk-gubuk reot di kampung-kampung kumuh (Gerrit juga aktif dalam advokasi masyarakat terutama ketika masih mengepalai unit
4
Lembaga Pelayanan teologianya.
Masyarakat
UKDW).
Hidupnya
adalah
Hal lainnya lagi adalah pemahaman mengenai siapa manusia yang kepadanya Allah bersolider itu? Bagi Gerrit manusia bersifat menyeluruh. Manusia adalah seluruh umat manusia dari segala abad dan tempat, tanpa membeda-bedakan latarbelakang etnis, suku, ras, agama dan golongan. Bukan berarti seluruh umat manusia hendak dipandang sebagai satu kesatuan yang meniadakan perbedaan. Bagi Gerrit perbedaan itu harus dihargai (lagi, tidak hanya secara normatif dan retorika belaka), karena manusia itu memang beragam. Keragaman tidak boleh diabaikan dan dihisap ke dalam sebuah ide kemanusiaan yang universal, sebab universalitas itu mau dibuat seperti apapun pasti mewakili sebagian saja (parsial) dan tidak akan dapat mewakili keseluruhan. Keholistikan manusia juga berarti keluasan yang ada pada diri seseorang. Di sini, keterlibatan Gerrit dalam bidang pastoral perlu disebutkan. Pastoral bagi Gerrit bukan pertama-tama tindakan praktis pendampingan orang yang sedang bermasalah, meskipun Gerrit sangat sensitif dan bersedia duduk berlama-lama hanya untuk mendengarkan keluhan orang yang sedang bermasalah (berlawanan dengan kesan dingin dari penampilannya). Pastoral adalah soal melihat seseorang dalam keseluruhan keberadaannya (H. Clinebell) yang multi-dimensi itu. Maka, kesejahteraan seseorang tidak boleh dilihat sepenggal-sepenggal. Misalnya, bila kesejahteraan itu hanya dipahami dalam dimensi rohani saja, apalagi yang rohani ini dipersempit menjadi urusan hidup sesudah kematian saja. Orang yang kelihatannya beres dalam urusan surga, belum tentu beres dalam urusan dunia. Maka kesejahteraan holistik tidak bisa ditawartawar lagi jika kita tidak ingin terjebak dalam kesalahpahaman tentang seseorang. Pastoral akhirnya bersifat menyeluruh dan mau tidak mau harus dikerjakan bersama-sama oleh seluruh Gereja, bahkan oleh seluruh masyarakat. Kesejahteraan sosial menjadi dimensi yang tidak boleh dianggap sepele dalam rangka menghadirkan kesejahteraan individual.
5
Ciri berpikir yang holistik itu juga nampak ketika Gerrit berbicara mengenai pendidikan teologi, dunia yang dihidupinya hampir sepanjang masa pelayanannya sebagai pendeta (yang masih belum selesai itu). Gerrit tidak ingin pendidikan teologi dipilah-pilah menjadi bagian yang akademik (intelektual), spiritual dan kependetaan (ministerial). Pendidikan teologi perlu mengintegrasikan ke-3 aspek itu ke dalam dirinya. Pikirannya ini perlu direnungkan oleh sekolah-sekolah teologi yang nampaknya semakin tidak berdaya untuk menahan kehendak “pasar” agar hanya memproduksi lulusan yang siap pakai. Lulusan teologi terkesan hanya dilihat sebagai komoditi saja, sehingga istilah “siap pakai” dikenakan kepadanya. Perlakuan sebagai komoditi itu kemudian melahirkan sikap yang tidak mau tahu: jika lulusan itu dianggap tidak siap pakai akan dibuang begitu saja, tanpa mau tahu apakah yang akan terjadi pada mereka pasca pembuangan itu. Sekolah teologi yang “menyerah” kepada kemauan pasar pada akhirnya mencurahkan segenap energi untuk “mencetak” lulusan yang siap pakai yang berarti siap untuk berkotbah dengan baik, siap untuk melakukan perkunjungan dengan rajin, siap untuk membuat liturgi ibadah dan mengisinya dengan baik (bisa menyanyi dengan merdu) dan akhirnya, bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan administrasi di kantor gereja. Sekolah yang tidak mampu menghasilkan lulusan dengan kriteria demikian, akan ditinggalkan oleh pasar yang tidak lain adalah gereja-gereja. Gereja-gereja tidak akan segan-segan untuk melirik sekolah-sekolah lain yang dapat menyediakan stok yang cocok untuk mereka. Pendidikan teologi yang holistik memang tidak boleh mengecilkan arti kesiapan lulusan dalam menjalankan tugas-tugas kegerejaan. Tetapi juga tidak boleh hanya mengurusi soal-soal praktis seperti itu saja. Kedua aspek lainnya yaitu intelektual dan spiritual harus juga diperhatikan. Akhirnya, keseimbangan antara ke-3 aspek atau pilar itu harus mampu dijaga oleh sebuah sekolah teologi. Kurikulum sekolah teologi akan mencerminkan keseimbangan tersebut dengan memberikan porsi yang seimbang bagi ke-3nya. Keluasan teologi yang terlihat dalam karya-karya Gerrit sungguh seperti lautan yang tak bertepi. Tulisan-tulisan dari para kolega yang
6
di antaranya adalah mantan muridnya dalam buku ini dapat mencerminkan keluasan tersebut. Tetapi harus diakui tulisan-tulisan ini masih tetap terasa lebih kecil cakupannya daripada cakupan karya-karya Gerrit sendiri. Buku-buku Gerrit yang banyak itu jauh lebih kaya ide daripada yang disajikan oleh tulisan-tulisan ini. Salah satu yang jelas terlihat kurang adalah tulisan mengenai hubungan Sains (Ilmu Pengetahuan) dan Agama. Harapan pada seorang kolega untuk mengisi bidang ini akhirnya tidak terpenuhi oleh karena kesibukannya. Kesibukan pula yang membuat para penyumbang tulisan ini tidak dapat berbuat banyak untuk menyeimbangkan tulisan mereka. Maka, pembaca akan mendapati semacam ketidakseimbangan penampilan tiap tulisan. Ada yang cukup lengkap catatan rujukannya, ada yang sedikit dan ada yang malah tidak ada sama sekali catatan rujukannya. Tetapi kami berharap agar pembaca tetap dapat memperoleh lontaran-lontaran pemikiran yang bernas, menggelitik dan berbobot. Dengan catatan itu, kami ingin persilakan pembaca menikmati tulisan-tulisan yang coba kami kelompokkan sebagai berikut: Metode Kontekstualisasi E. Gerrit Singgih Setiap teolog pasti bekerja dengan sebuah cara. Gerrit tidak terkecuali. Cara itu lalu menjadi ciri khasnya. Bernard AdeneyRisakotta dan Banawiratma berusaha menggambarkan cara Gerrit dalam menjalankan teologi kontekstualnya. Mereka juga mencoba mendaftar isu-isu apa saja yang menjadi ketertarikan Gerrit. Membaca kedua tulisan sahabat lama, sekaligus dekat, dari Gerrit ini kita akan dibantu untuk melihat benang merah dan mungkin juga inti dari pemikiran-pemikiran Gerrit. Tetapi sebagai sahabat mereka tidak hanya ingin mendeskripsikan saja pikiran Gerrit. Mereka juga memberikan apresiasi termasuk dengan cara melontarkan kritik. Bernie lebih menggigit dalam soal kritik ini. Bana, di pihak lain, nyaris tidak menampakkan kritiknya, ciri khas orang Jawa mungkin, tetapi pada bagian akhir tulisannya kita bisa mendapati semacam kritik yaitu ketika ia mendeskripsikan Gerrit sebagai orang yang berusaha untuk seimbang, di tengah, namun terkadang condong ke kiri atau ke kanan, juga. Bana, lalu memilih untuk menamai gejala
7
pemikiran Gerrit sebagai sebuah percakapan. Bernie mengenali sikap “ketengah-tengahan” Gerrit itu bersumber dari kerendahanhatinya. Gerrit tidak pernah menolak secara total sebuah pandangan meskipun bukan berarti dia akan mengikutinya. Gerrit juga tidak akan menerima secara total sebuah pandangan tanpa kritik termasuk pandangan dari kelompok dimana dia berada di dalamnya. Kontekstualisasi Masa Kini Sementara itu, Alle Hoekema, Frans Wijsen, Robert Setio dan Wahju S. Wibowo menulis tentang berbagai model dan isu mutakhir mengenai kontekstualisasi. Alle Hoekema, berdasarkan pendapat James McClendon, mengusulkan agar teolog-teolog Indonesia lebih berani menampilkan pengalaman hidupnya sendiri (otobiografi) sebagai sumber laku teologi. Usulan ini menantang oleh karena model semacam ini seringkali dianggap kurang serius dalam dunia teologi. Tetapi Alle Hoekema yang pernah bekerja di Indonesia sebagai pendeta Mennonite, termasuk sebagai dosen di sebuah sekolah teologi Mennonite, cukup optimis bahwa model ini lebih cocok dengan konteks budaya orang Indonesia. Frans Wijsen yang bersama dengan para koleganya di Nijmegen telah dengan baik sekali mengembangkan teologi empiris, menawarkan sebuah kombinasi antara sosiologi dan teologi dalam mengamati fenomena empiris yang dalam hal ini adalah kehidupan kelompok agama. Artikel ini memperkenalkan Analisa Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis) yang relatif belum banyak dikenal oleh para peneliti agama dan teolog di Indonesia. Hal penting lain dari artikel ini adalah bagaimana teologi yang cenderung direduksi menjadi sekadar soal keyakinan (confessional) dapat direkatkan dengan ilmu-ilmu sosial yang membuatnya menjadi ilmiah juga. Robert Setio menulis tentang kesulitan yang dihadapi oleh para promotor kontekstualisasi di Indonesia ketika hendak mengajak Gereja dan umat Kristiani menghargai budaya yang diwarisi dari nenek moyang sendiri. Kesulitan itu menurut Robert kiranya memperlihatkan kolonialisme yang masih terus berlangsung hingga sekarang. Jika demikian, Robert mengusulkan agar pendekatan yang
8
dikotomis (Barat vs. Timur) diganti dengan pendekatan yang menerima hibriditas gereja-gereja di Indonesia. Kemudian kita menyesuaikan diri dengan kondisi yang hibrid tersebut. Bagi Robert, tindakan ini merupakan sebuah perlawanan politis terhadap globalisasi yang hendak menelan hibriditas ke dalam sebuah kesamaan. Wahju Wibowo juga melihat kesulitan yang sama andaikata kontekstualisasi hendak dipahami sebagai sebuah proses satu arah yaitu mengganti produk budaya Barat dengan produk budaya daerah. Wahju lebih memilih untuk menempatkan kontekstualisasi sebagai sebuah ketegangan yang dialogis dan transformatif antara sesuatu yang dari luar dan dari dalam, dari masa lalu dan masa kini, dari tradisi dan berbagai kebaruan yang ditemui dalam perjalanan tradisi itu. Teologi bagi Wahju adalah sebuah proses yang terus bergulir. Karena itu yang dibutuhkan adalah kreatifitas, bukan konservatisme. Di tengah proses yang dinamai oleh Waju dengan “double transformation” itu, perubahan-perubahan mesti terjadi termasuk perubahan dari diri sendiri. Teks dan Konteks Pada bagian ini, 2 orang kolega yang mengampu bidang Biblika memberikan sumbagan pemikiran yang masih lekat dengan tema kontekstualisasi. Agustinus Gianto, S.J., yang terkenal di kalangan ahli Biblika dunia, memaparkan perbandingan pemberitaan pengutusan para murid oleh Yesus dalam Injil-injil Sinoptik. Perbandingan tersebut membuahkan pemahaman yang khas dari masing-masing Injil mengenai perintah yang sering disebut dengan Perintah Agung (the Great Commission) tersebut. Tetapi Romo Gianto dengan baik memperlihatkan bagaimana masing-masing Injil berupaya untuk mendorong para pengikut Yesus agar berani mengarungi keluasan dunia, berani menjumpai siapa saja yang masih asing, bertemu dengan para liyan. Pertemuan dengan beragam orang itu akan membuahkan pemahaman yang lebih lengkap tentang manusia dan pada saat yang sama juga membawa pemahaman yang lebih baik tentang Allah. Romo Gianto seakan berpesan agar orang tidak
9
merasa sudah menemukan Allah dengan apa yang ada pada dirinya, karena yang ada pada dirinya itu masih sangat terbatas. Pembaca akan menemukan bahwa pesan ini sejalan dengan judul dan isi buku yang beragam ini. Agustinus Setiawidi menulis mengenai karya-karya para ahli Perjanjian Lama Indonesia. Bagi Agus, buku karangan Christoph Barth, Theologia Perjanjian Lama yang dilengkapi dan kemudian juga direvisi oleh istrinya, Marie-Claire Barth-Frommel, itu, memiliki pengaruh yang besar bagi para teolog Perjanjian Lama Indonesia. Di pihak lain, para teolog PL Indonesia itu juga terlibat secara aktif dalam upaya-upaya kontekstualisasi yang dinampakkan oleh diikutsertakannya berbagai produk budaya daerah dalam karyakarya mereka. Karya Barth sendiri tidak menampakkan hal tersebut. Sehingga wajar jika diharapkan terjadinya suatu dialog yang kritis antara para teolog PL tersebut dengan Barth. Tetapi Agus belum melihat dialog kritis semacam itu. Yang dilihatnya justru semacam peng-copy-an saja dari pendapat-pendapat Barth. Analisa kritis dari Agus ini merupakan tantangan bagi para teolog PL Indonesia yang harus dijawab dengan serius. Teologi Politik Andreas Yewangoe, Zakaria J. Ngelow dan Julianus Mojau mengangkat keterlibatan Gereja dalam urusan politik (pengaturan negara). Andreas Yewangoe membahas Deklarasi Barmen yaitu sebuah deklarasi dari sekelompok orang Kristen Jerman yang mengaku dirinya sebagai “Gereja yang Mengaku” (die bekennde Kirche). Deklarasi yang ditandatangani, di antaranya oleh Karl Barth, pada tahun 1934 itu menyatakan pembangakan secara terangterangan terhadap pemerintahan Nazi di bawah pimpinan Hitler. Keberanian “Gereja yang Mengaku” tersebut sangat luar biasa oleh karena pada masa itu kekuasaan Hitler sangat besar dan didukung oleh gereja-gereja dan rakyat Jerman pada umumnya. Sehingga Deklarasi Barmen patut dijadikan monumen pengingat akan bagaimana Gereja harus bersikap dalam membela kebenaran dan menyatakan kehendak Tuhan. Motivasi Yewangoe menuliskan hal ini adalah memberi semangat agar gereja-gereja di Indonesia meneladani keberanian para pendukung Deklarasi Barmen itu dalam
10
konteks Indonesia sendiri. Meskipun dengan rendah hati Ketua PGI ini mengakui bahwa gereja-gereja di Indonesia belum memperlihatkan keberanian yang diharapkan itu. Zakaria Ngelow menulis dengan latarbelakang semakin banyaknya pendeta yang terjun ke dalam dunia politik praktis. Keputusan untuk pindah bidang tersebut seringkali terjadi begitu saja tanpa didasari oleh pemikiran yang mendalam dan bahkan terkesan hanya mencari keuntungan material saja. Maka, Ngelow berkenan menawarkan gagasan-gagasannya mengenai dasar-dasar teologi politik yang meliputi dasar etis, biblika, dogma dan analisa kondisi sosial-politik di Indonesia. Pada akhirnya Ngelow mendorong agar sikap politik Gereja mengikuti pandangan para Reformator (Luther dan Calvin) yang memisahkan Gereja dan Negara agar keduanya dapat menjalankan tugas panggilan masing-masing tanpa saling mencampuri. Tetapi pada saat yang sama, Gereja juga perlu menjadi kawan sekerja yang kritis terhadap lembaga-lembaga negara. Meskipun Ngelow tidak terlalu eksplisit, ada baiknya disebutkan di sini bahwa sikap kritis Gereja itu sudah menjadi kebutuhan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi saat ini, melihat semakin merajalelanya korupsi oleh para aparat negara dan partai politik. Julianus Mojau membuat tinjauan kritis terhadap pemikiran para teolog Kristen Protestan Indonesia, terutama setelah 1998 (zaman Reformasi). Pertanyaan analitis yang diajukan Mojau adalah apakah pemikiran para teolog tersebut telah selaras dengan semangat pluralitas dan demokrasi yang seharusnya terjadi di zaman pasca Orde Baru ini, atau, jangan-jangan pemikiran mereka masih mengikuti gaya Orde Baru yang sekalipun berbicara soal kebhinekaan (pluralitas) dan demokrasi namun sebenarnya semu. Semangat pluralitas dan wacana demokrasi yang dipropagandakan oleh rezim Orde Baru bersifat monistis-hegemonik dimana segala sesuatunya dihisap ke dalam politik identitas yang tunggal, yang tidak memberi ruang pada keberlainan. Sebagai alternatifnya, Mojau mengajukan pemikiran tentang pluralitas dan demokrasi yang bersifat etis-emansipatoris yang menurutnya dapat ditemukan pada, salah satunya, Gerrit Singgih. Mojau juga mengajak pembaca memikirkan kembali bingkai NKRI yang oleh para teolog Indonesia
11
sudah diterima sebagai keniscayaan. Atas dasar paham Calvinis mengenai kedaulatan Allah, menurut Mojau, keberadaan NKRI perlu dipertanyakan kembali. Mungkin situasi buruk yang banyak dialami oleh warga negara di Indonesia bagian timur menjadi pencetus ide yang terkesan menggugat keotomatisan NKRI itu. Teologi Estetika Di bagian ini Volker Kuester, yang lama mengajar di Protestant Theological University Kampen, Belanda dan sekarang baru saja pindah ke Mainz, Jerman, mengajukan karya 2 novelis dari Jerman dan Korea yang mengangkat tema rekonsiliasi. Kedua penulis novel itu memiliki kemiripan karena mereka sama-sama hidup di negara yang pernah dikuasai oleh penguasa fasis (Nazi di Jerman dan penguasaan Jepang di Korea), juga yang negaranya terbagi menjadi 2 karena perbedaan ideologis (Korea masih begitu hingga sekarang). Tema rekonsiliasi menjadi penting di kedua negara itu. Tetapi menariknya dalam hal ini adalah bagaimana karya sastera dapat berperan dalam rekonsiliasi sosial. Tidak kalah menariknya adalah bagaimana teologi dapat terlibat dalam proses yang terkesan sekuler ini dengan memberikan interpretasinya. Tema seperti rekonsiliasi itu adalah tema yang ada dalam teologi dan dalam khasanah teologi pula tema rekonsiliasi adalah sebuah tema yang penting. Maka perjumpaan antara teologi dan dunia sastra yang sekuler dimungkinkan. Kuester adalah teolog yang selama ini sudah dikenal memiliki ketertarikan yang besar pada dunia seni. Baginya seni tidak sekadar membantunya dalam berteologi, namun memiliki teologi di dalam dirinya yang harus diperhatikan oleh para teolog. Mgr. I. Suharyo yang dalam suatu masa pernah mengajar PB di Duta Wacana, membuat kajian atas seni bangunan Gereja Maria Assumpta di Klaten yang dibangun oleh alm. Y.B. Mangunwijaya, Pr. Gedung Gereja yang dibangun pasca Konsili Vatikan II itu dengan gamblang memperlihatkan pemikiran kontekstual yang mendalam. Tidak saja gedung itu berbicara tentang budaya Jawa, ia juga berbicara tentang keramahan sosial. Bentuknya sangat sederhana, jauh dari kesan megah, menonjol dan triumfalis dan lebih mencerminkan sifat punakawan yang ada untuk melayani. Gereja itu menghadap ke segala arah yang membuatnya kelihatan menyambut
12
orang-orang yang datang dari berbagai arah. Kontekstualisasi yang dipesankan oleh gedung Gereja ini adalah kemenyatuan dengan masyarakat sekitar. Tulisan ini kiranya memberikan inspirasi yang baik mengenai bagaimana sebuah gedung Gereja seharusnya dibuat. Kenyataan yang semakin banyak ditemui dewasa ini adalah gedunggedung Gereja yang berdiri menjulang ke langit dan terkesan mewah sehingga nampak kontras dengan lingkungannya, apalagi jika lingkungannya adalah perumahan sederhana bahkan kumuh. Paulus S. Widjaja mengangkat tema kontekstualisasi dengan cara membahas film “Dead Poets Society”. Film ini bagi Paulus menggambarkan 2 macam peradaban yang kontras: (1) peradaban yang mengandalkan keteraturan, kedisiplinan, ketertiban yang dimungkinkan oleh adanya kontrol dan otoritas yang kuat; (2) peradaban yang diwakili oleh tokoh utama film ini, Mr. Keating, yaitu yang percaya pada kebebasan berekspresi dari setiap individu sesuai dengan keberadaan masing-masing yang dijamin oleh adanya kemandirian dalam berpikir dan menjadi diri sendiri. Paulus melihat bahwa pada akhirnya tidak ada peradaban yang tanpa masalah. Peradaban yang mengandalkan pada kebebasan individu itupun akhirnya membuahkan rasa kesepian akibat terasingkannya individu dari masyarakatnya. Oleh karena itu pesannya adalah agar proyek peradaban diarahkan pada muara penciptaan yang peduli dan memberi kehidupan. Karya tulis Paulus ini menunjukkan sekali lagi bahwa teologi mampu memberikan kontribusinya dalam urusan seni. Dialog dengan Islam Karya Supriatno dan Suwignyo merefleksikan sisi lain yang juga sangat diminati oleh Gerrit yaitu dialog antaragama, khususnya antara Kristen dan Islam. Kedua kolega ini memberikan contohcontoh konkrit tentang bagaimana relasi Kristen-Islam dipraktikkan di lapangan. Supriatno melaporkan relasi Kristen-Islam di Jawa Barat, khususnya yang melibatkan gereja dimana ia melayani, Gereja Kristen Pasundan (GKP). Konteks masyarakat Jawa Barat sudah lama dikenali sebagai yang sangat kental keIslamannya. Oleh orang-orang seperti Hendrik Kraemer, keadaan tersebut dikeluhkan karena
13
menyulitkan pekabaran Injil. Tetapi Supriatno mencoba mengapresiasi keadaan tersebut dan menunjukkan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Pekabaran Injil seringkali tidak memedulikan nilai-nilai luhur dari suatu masyarakat dan terlalu bersemangat untuk menggantikannya dengan nilai-nilai keKristenan. Sikap semena-mena ini tidak saja terjadi di zaman kolonial dahulu, namun masih juga terjadi sampai sekarang. Arogansi orang-orang Kristen yang hanya ingin memperlihatkan kejayaannya tanpa peduli perasaan orang Islam masih sering terlihat di lapangan. Reaksi keras dari orang Islam terhadap arogansi itu seakan patut dimaklumi, meskipun itu menyulitkan semua orang Kristen yang sebenarnya tidak semua setuju dengan sikap kaumnya yang arogan itu tadi. Di tengah itu, gerakan dialog antaragama juga terjadi. Gerakan ini membawa warna lain dalam kehidupan masyarakat Sunda dengan memberikan harapan akan dimungkinkannya suatu kehidupan bersama yang damai dan saling belajar. Suwignyo yang melayani di Institut Pendidikan Theologia Balewiyata, Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) merefleksikan pengalaman Gerejanya dalam mengelola program dialog KristenIslam di Jawa Timur. Kegiatan ini sudah berlangsung sejak menjelang kejatuhan rezim Orde Baru dan semakin serius ketika terjadi kerusuhan di Situbondo (1996). Dialog dengan sengaja dikedepankan karena cara ini dianggap paling ideal dalam menanggapi isu-isu yang membenturkan Islam dan Kristen. Tetapi dialog yang dimaksudkan di sini bukanlah sekadar dialog mengenai agama saja, apalagi jika dialog itu dikemas secara diskursifintelektual. Karena pengalaman hidup bersama antar umat Islam dan Kristen yang sudah berlangsung sejak zaman nenek moyang dahulu, maka dialog sudah tidak lagi merupakan barang baru. Persoalannya tinggal bagaimana mengembangkan hidup bersama itu. Tekanan pada hidup bersama ini membuat dialog menjadi seluas segala hal yang tersangkut dalam kehidupan bersama dalam konteks Jawa Timur. Masukan dari pengalaman lapangan ini sangat berharga untuk mecerahkan pikiran baik mereka yang belum yakin akan pentingnya dialog maupun mereka yang mendukung dialog namun hanya sebatas pembicaraan dari kelompok elit agama saja.
14
Dialog dengan Alam dan Kaum Pinggiran Tulisan Huang Po Ho, seorang teolog Asia yang terkenal asal Taiwan, menjadi pelengkap yang sangat berarti bagi buku ini, meskipun tulisan ini hanya satu-satunya dalam topik yang sama: ekologi. Huang berbicara dalam konteks pendidikan tinggi Kristen di Asia yang nampak masih kurang menunjukkan kepedulian terhadap krisis lingkungan yang sudah sangat parah itu. Perguruan tinggiperguruan tinggi Kristen di Asia masih belum menyajikan kurikulum yang sensitif terhadap masalah ekologi. Mungkin saja para pengelolanya sudah tahu dan banyak mendengar masalah ekologi itu, tetapi untuk membuatnya menjadi bagian dari pengajaran di sekolahsekolah mereka nampaknya masih perlu dorongan yang lebih kuat. Tulisan Huang ini dimaskudkan untuk memberikan dorongan semacam itu. Yang menarik di sini adalah Huang berbicara sebagai seorang teolog, bukan seorang ahli lingkungan atau yang bidangnya memang ekologi. Kesiapan dan kesigapan Huang ini kembali menunjukkan bahwa teolog tidak pernah mau dibatasi untuk hanya mengurusi hal-hal yang secara tradisional diurusi oleh teologi. Bagi Huang yang dikenal aktif dalam mempromosikan teologi kontekstual Asia, pembahasan ekologi dari perspektif teologi itu juga membuktikan komitmennya terhadap persoalan-persoalan yang konkrit di Asia. Huang, dengan kata lain, tidak mau terbelenggu oleh tradisi berteologi (Barat) yang cenderung berangkat dari dogma atau Alkitab dan baru menyentuh realita pada tahap kemudian. Huang membalik paradigma ini dengan terlebih dahulu mengangkat pengalaman di lapangan dan melakukan refleksi teologis atasnya pada tahap kemudian. Kontribusi Huang bagi buku ini sekaligus mengingatkan akan perhatian dari Gerrit terhadap bencana alam yang nampak dalam karya-karya mutakhirnya. Belum banyak teolog yang mencurahkan perhatian pada bencana alam yang merupakan fenomena umum di Indonesia dan Asia pada kurun waktu 10 tahun terakhir. Kurangnya perhatian dari para teolog itu bisa jadi membuktikan masih terkungkungnya teologi pada antroposentrisme sebagaimana yang disebutkan oleh Huang. Kalau benar demikian, maka teologi harus memberanikan dirinya untuk keluar dari paradigma yang tidak akan banyak membantu kita dalam menanggapi fenomena bencana alam.
15
Teologi perlu memasuki sebuah paradigma yang lebih ekosentris atau kosmosentris atau setidaknya, kosmo-antroposentris. Apapun pilihannya, yang jelas antroposentrisme yang sudah dituruntemurunkan sejak kelahiran teologi, perlu diubah. Anna Marsiana yang sekarang menjabat sebagai Direktur Asian Women’s Resource Centre for Culture and Theology, membawa pengalaman lapangan yang menarik dalam tulisannya. Sebagai orang yang lama berjuang untuk mendampingi dan menyuarakan suara kaum pinggiran, Anna paham betul apa yang menjadi pergumulan kaum pinggiran itu. Mereka harus berjuang keras untuk menyatakan eksistensi dirinya. Kaum perempuan adalah salah satu yang berada di posisi tersebut (setidaknya dalam konteks Asia). Tetapi Anna juga menemukan kelompok lain seperti Lesbian Gay Bisexual dan Transgender (LGBT) yang nasibnya setali tiga uang, bahkan lebih buruk lagi. Agama yang menjanjikan pertolongan kepada orangorang yang teraniaya, ternyata justru ikut-ikutan memelihara struktur sosial dan budaya yang tidak adil. Tetapi, andaikata agama hendak berubah, sebenarnya banyak potensi yang dimilikinya untuk dapat menolong kaum pinggiran tersebut. Sebelum itu, langkah pertama yang perlu diambil adalah mendengar. Bukan hanya mendengar, tetapi juga belajar. Agama tidak dapat mengklaim bahwa ia sudah tahu apa yang dirasakan kaum pinggiran. Maka, dengan penuh kerendahanhati agama perlu membuka diri terhadap pengalaman dan perasaan kaum pinggiran itu. Sebagai seorang teolog perempuan Indonesia, Anna tidak sekadar bergerak untuk mendampingi kaum pinggiran saja, namun selalu merefleksikan pengalamannya itu secara teologis. Di sini kembali teologi dipertemukan dengan persoalan nyata yang ada di masyarakat. Berteologi menjadi kegiatan yang tidak dilakukan di ruang hampa, di sebuah kamar belajar yang tertutup dan sunyi, di sebuah perpustakaan yang dipenuhi buku-buku, atau di sebuah Gereja dimana lagu-lagu, bacaan-bacaan kitab suci dan doa-doa dilantunkan dalam kekhidmatan, namun di tengah hiruk pikuk kehidupan nyata yang penuh dengan tekanan. Teologi, bagi orang-orang seperti Anna, bukanlah ilmu kaum elitis, tetapi kaum marginal, kalau saja yang seperti itu dapat diakui sebagai ilmu.
16
Perubahan yang terjadi sebagai konsekuensi dari perjumpaanperjumpaan antara teologi dengan ilmu-ilmu lain dan dengan isu-isu sosial maupun ekologis, dan dengan kaum pinggiran adalah sebuah keniscayaan. Kontekstualisasi membuahkan perjumpaan-perjumpaan yang semakin lama semakin sering dan meluas itu. Itu berarti, kontekstualisasi telah mendorong perubahan-perubahn dalam teologi. Bukan sebuah perubahan demi perubahan itu sendiri tentu saja, namun perubahan sebagai wujud kerendahan hati untuk mau belajar dan diajar oleh siapapun di luar dirinya. Kerendahan hati itu tidak boleh disamakan dengan kerendahan diri, apalagi jika suatu saat nasib teologi di Indonesia akan tersisih seperti yang sudah terjadi di negara-negara Barat, namun sebagai tanda kepercayaan diri. Lebih utama lagi itu semua adalah tanda bahwa teologi masih tetap berpegang pada komitmen melayani sesama. Sebuah komitmen yang bagi para teolog konfesional dipandang mendasar karena berangkat dari penghayatan akan tugas panggilan ilahi dan dalam kerangka meneladani Yesus, Sang Pelayan manusia.
17
Bagian I
MODEL KONTEKSTUALISASI E. GERRIT SINGGIH
Bernard Adeney-Risakotta J.B. Banawiratma
Iman, Politik dan Agama-Agama: Dialog Kritis dengan Pikiran Pdt. Prof. Dr. E. Gerrit Singgih Bernard Adeney-Risakotta*
A. Pendahuluan Bapak Prof. Dr. Pdt. Emanuel Gerrit Singgih adalah guru dan sahabat saya. Dulu Pak Gerrit pernah memarahi saya ketika saya menyapanya sebagai Pak Gerrit. Soalnya dia mau menyapa saya dengan nama “Bernie” saja dan merasa kurang enak kalau saya memakai gelar “Pak Gerrit.” Apa lagi Pak Gerrit adalah orang sederhana (meskipun pikirannya mendalam), dan lebih senang disapa sebagai sahabat yang setara daripada dengan tanda formalitas hirarkis. Supaya tidak dimarahi, saya berusaha menyapa Pak Gerrit sebagai Gerrit saja, tetapi “Pak” masih muncul sewaktu-waktu. Bagaimanapun, Pak Gerrit selalu ada dalam hati saya sebagai Bapak. Maaf Pak, anak-anak Pak Gerrit banyak, di seluruh Indonesia. Saya tidak pernah membaca tulisan Pak Gerrit atau mendengar pikirannya tanpa belajar sesuatu yang baru. Cukup lama Pak Gerrit juga adalah bos saya secara struktural, baik sebagai Dekan Fakultas Teologi maupun sebagai Direktur Pascasarjana Theologi. Jadi saya harus taat kepadanya, kecuali tidak setuju. Syukur, ketidaksetujuannya diizinkan! Malah mungkin Gerrit paling senang ketidaksetujuan saya. Kami menjadi sehabat oleh karena selalu bisa tukar pikiran secara terbuka dan mendalam meskipun kadang-kadang kurang setuju satu sama lain. Saya agak bangga ketika Pak Gerrit bilang bahwa saya yang paling banyak mengeritik tulisannya secara konstruktif. Menurut pendapat saya, kritik yang membangun (constructive criticsim) adalah tanda hormat paling besar yang bisa diberi kepada seorang cendikiawan oleh karena merangsang pikirannya menjadi lebih mendalam lagi. Kritik yang membangun
*
Profesor Teologi di Fakultas Theologia, UKDW dan ICRS, Yogyakarta.
19
tidak berarti kritik yang selalu negatif tetapi termasuk critical appreciation atas hal-hal yang sangat menolong kita. Tulisan ini mengkaji secara kritis, tujuh hal yang paling berharga dalam tulisan Pak Gerrit tentang politik dan agama. Artikel ini berusaha menonjolkan ciri-ciri tulisan Pak Gerrit yang bisa menjadi teladan bagi kita semua. Meskipun tidak gampang, tulisan ini juga berusaha memperlihatkan beberapa hal yang menurut pendapat saya kurang kuat pada tulisan Pak Gerrit. Sering kali hal-hal yang paling berharga dalam pikiran kita juga mengandung kelemahan atau halhal yang juga patut dikritisi. Diharapkan usaha mengeritik pikiran Pak Gerrit, baik secara positif maupun negatif akan memunculkan pertanyaan-pertanyaan tentang hal-hal yang masih dalam agenda kita sebagai umat beragama di Indonesia. Terima kasih kepada Fakultas Theologi di Universitas Kristen Duta Wacana yang mengundang saya memberi sumbangan untuk buku ini, bukan saja karena saya senang ikut memberi penghormatan kepada Pak Gerrit, tetapi karena saya juga belajar lagi dari kesempatan membaca kembali tulisan-tulisan Pak Gerrit tentang iman dan politik. B. Kajian Kritis: Iman dan Politik dalam Tulisan Pdt. Prof. E. Gerrit Singgih 1. Menulis sebagai Teolog untuk Gereja, bukan sebagai Ahli Politik Salah satu kekuatan Pak Gerrit adalah dia menulis tentang politik sebagai teolog dan tidak menempatkan diri sebagai ahli politik. Seringkali, ketika teolog atau pakar agama menulis tentang politik mereka menempatkan diri sebagai ahli politik. Tulisannya agak membosankan karena terlalu sederhana. Politik adalah bidang yang rumit dan berbeda jauh dari pendekatan yang sederhana atau pendekatan normatif saja. Politik adalah seni tentang bagaimana mencari keseimbangan di antara kelompok-kelompok yang memegang pandangan-pandangan, kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai yang berbeda satu sama lain. Politik adalah seni mencari kebijaksanaan yang mungkin bisa berhasil (the art of the possible), dalam dunia politik yang penuh dengan pihak-pihak berkuasa yang
20
bersaing satu sama lain. Kalau teolog atau ahli etika sosial menulis tentang politik, mereka cenderung berkhotbah tentang yang ideal dan sempurna, seolah-olah bahasa normatif sudah cukup untuk menyelesaikan semua masalah politik. Reinhold Niebuhr pernah berkata bahwa teolog-teolog Kristen sering berpikir seolah-olah kalau semua orang saling mengasihi satu sama lain, semua masalah politik akan hilang.1 Namun masalah utama dalam politik adalah kebanyakan orang yang tidak mengasihi satu sama lain, atau paling sedikit, tidak mengasihi yang lain seperti diri sendiri! Sayangnya, khotbah yang indah tidak akan menghilangkan masalah ini. Lebih dari itu, seandainya seseorang mengasihi orang lain, tidak berarti mereka akan punya pandangan, kepentingan atau nilai yang sama. Politik adalah cara mencari kesepakatan (kompromi) di antara pihak yang berbeda pendapat, tentang kebijakan yang terbaik dalam kondisi yang rumit. Mungkin saling menghormati lebih penting daripada saling mengasihi. Hal yang paling pokok dalam politik adalah bagaimana membangun struktur kekuasaan yang adil, khususnya bagi orang yang lemah. Hal ini jauh lebih sulit daripada mengajak semua orang untuk mengasihi dan menolong satu sama lain. Bagaimana Pak Gerrit mengatasi masalah ini? Pertama, Pak Gerrit tidak berusaha menulis seperti ahli politik melainkan sebagai teolog. Tulisannya tidak diarahkan kepada pemerintah atau ahli politik, melainkan kepada gereja dan umat Kristen. Pak Gerrit memanggil gereja untuk terlibat dalam masalah politik, yaitu dalam masalahmasalah masyarakat yang terkait dengan politik tanpa berasumsi bahwa umat Kristen punya pengetahuan khusus tentang kebijakan politik yang paling efektif untuk mengatasi semua masalah. Sebagai teolog, Pak Gerrit menulis tentang teologi konteksual Indonesia yang relevan bagi politik di Indonesia. Relevansinya bukan bagaimana cara praktis untuk mengatasi semua masalah, melainkan bagaimana Gereja Indonesia seharusnya bersikap terhadap masalah-masalah politik. Kedua, Pak Gerrit tidak mengajak Gereja untuk mencari kekuasaan politik. Banyak masalah politik di Indonesia, khususnya yang
21
melibatkan umat Kristen dalam konflik dengan umat beragama lain, tidak muncul karena Kristen tidak berkuasa melainkan karena umat Kristen bersaing dengan umat lain untuk mendapatkan kekuasaan. Persoalan politik yang pokok bagi Gereja bukan bagaimana mendapat kekuasaan dan bukan pula bagaimana memakai kekuasaan kalau sudah memperolehnya (top down approach). Persoalan pokok bagi Gereja adalah bagaimana menghadapi persoalan politik yang terkait dengan hubungan pihak yang berkuasa dengan pihak yang lemah. Gereja dipanggil untuk menjadi terang kepada masyarakat. Menurut tulisan Pak Gerrit, Gereja Indonesia seharusnya selalu berpihak kepada mereka yang lemah. Ketiga, Pak Gerrit menekankan bahwa Gereja seharusnya selalu memperhatikan orang miskin, orang tertindas, korban bencana, korban kekerasaan dan pelanggaran HAM. Pihak yang lemah dan tertindas termasuk kaum perempuan, kaum terpinggir dan bahkan termasuk lingkungan hidup (alam). Gereja tidak selalu tahu kebijakan politik yang paling baik untuk melindungi orang lemah, tetapi Gereja selalu dipanggil untuk menolong mereka dan menekan penguasa supaya mereka dilindungi. Seandainya Pak Gerrit berusaha menulis sebagai ahli politik, mungkin hasilnya kurang maksimal. Tetapi karena dia menulis sebagai teolog, tulisannya tidak pernah terlalu sederhana atau naïve. Teologinya sangat relevan bagi politik. Namun, saya kira tulisan Pak Gerrit bisa menjadi lebih tajam kalau lebih memperhatikan masalah ketidakadilan struktural. Pak Gerrit lebih berfokus kepada sikap pemimpin agama dan umat Kristen daripada kepada sistem dan struktur politik, ekonomi, sosial, militer, budaya dan institusi agama. Memang Pak Gerrit bukan ahli ilmu sosial dan lebih baik dia menjadi teolog yang brilian daripada ilmuan sosial yang hanya lumayan. Pak Gerrit sudah sangat berani menulis lintas disiplin akademik dan memperlihatkan wawasan yang luas. 2. Kewibawaan Kritik dari Tokoh Kristen yang Mengasihi Gereja Meskipun Pak Gerrit seringkali sangat tajam dan terus terang dalam kritiknya terhadap Gereja, beliau tidak pernah menjauhi Gereja.
22
Kritik Pak Gerrit adalah kritik dengan motivasi kasih sayang. Berbeda dari teolog yang mengambil jarak dari Gereja seolah-olah mereka lebih baik dan sudah memisahkan diri dari Gereja, Pak Gerrit selalu menulis sebagai pendeta yang sangat terlibat dalam kehidupan Gereja. Pak Gerrit menulis kepada semua umat Kristen (termasuk Katolik), bukan hanya kepada gereja sendiri (GPIB). Dia menulis sebagai bagian dari Gereja di Indonesia. Pak Gerrit menulis kepada keluarga sendiri. Oleh karena itu, kritiknya jauh lebih berwibawa dibandingkan tulisan dari orang yang membenci (atau setengah membenci) Gereja. Dalam hal ini, Pak Gerrit sadar bahwa dia adalah bagian dari tradisi kritik diri (self-criticism) Gereja yang sudah kuno. Artinya, kritik politiknya bukan terutama kepada mereka yang di luar Gereja melainkan kepada keluarga umat beragama Kristen sendiri. Pendekatan ini termasuk dalam arti “suara nabi”. Suara nabi tidak saja kepada penguasa yang lain (the Other), melainkan kepada komunitas dan umat sendiri. Tentu saja, kritik Pak Gerrit, dalam tadisi kenabian, juga diarahkan kepada penguasa-penguasa yang tidak bertanggungjawab dari umatnya sendiri. Tetapi kritik Pak Gerrit selalu lebih tajam kepada komunitas sendiri dibandingkan komunitas lain. Ketajaman kritiknya berasal dari cinta kasih. Dalam semua tulisannya, cinta kasih Pak Gerrit terhadap Gereja sangat nampak. Cinta kasihnya yang membuat kritiknya tajam. Pendekatan seperti ini tidak bisa disalahkan. Pak Gerrit luar biasa produktif dan layak menjadi Professor dan Doktor Honorarium Causa dari Belanda karena baik kualitas maupun kuantitas tulisannya. Namun saya sedikit menyesal kalau tulisan Pak Gerrit tidak banyak dibaca di luar lingkungan gereja. Memang tulisantulisan bahasa Inggrisnya dibaca sampai di luar negeri. Tetapi kebanyakan tulisannya dalam bahasa Indonesia dan agak terbatas kepada umat Kristen di Indonesia. Mengingat kebanyakan orang Indonesia yang beragama Islam, saya rindu Pak Gerrit menulis lebih banyak bagi masyarakat luas. Pasar pembaca masih agak kecil di Indonesia dan kalau hanya dibaca oleh pembaca umat Kristen, maka pasarnya terlalu sempit. Padahal banyak tulisan Pak Gerrit sangat relevan kepada umat beragama lain.
23
Persoalan ini tidak mudah diatasi oleh karena pendekatan Pak Gerrit sebagai ahli Alkitab. Tentu saja pembaca yang bukan beragama Kristen tidak mungkin terlalu tertarik kepada tulisan yang selalu dimulai dari kitab suci agama Kristen. Namun kita berharap Tuhan memberi banyak tahun lagi yang produktif untuk proses penulisan Pak Gerrit. Dengan demikian mungkin Pak Gerrit akan menulis lebih banyak yang diarahkan kepada masyarakat umum. Mungkin melalui proses mengajar di Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS-Yogya), bersama para ahli-ahli Al Qur’an, Pak Gerrit akan berani memakai pendekatan teks yang lintas agama. 3. Prioritas kepada Kemanusiaan di atas Kepentingan Gereja Meskipun Pak Gerrit biasanya menulis untuk umat Kristen, tidak berarti kepentingan Gereja menjadi prioritas pertama dalam tulisannya. Memang Pak Gerrit mengasihi Gereja tetapi dia lebih mengasihi masyarakat Indonesia. Menurut Pak Gerrit, Tuhan memanggil Gereja untuk meninggikan kepentingan masyarakat Indonesia di atas kepentingan umat beragama Kristen. Mungkin ini salah satu maksud dari ayat yang berbunyi, “Siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya.”2 Pak Gerrit tidak lihat Gereja sebagai penyelamat bangsa Indonesia. Hanya Tuhan bisa menyelamatkan Indonesia. Lagi pula, dia tidak memandang umat beragama lain sebagai musuh Gereja. Prof. Gerrit terbiasa mengajar dan berkhotbah dalam lingkungan Kristen.3 Oleh karena itu, beliau biasanya mengarahkan pikirannya kepada Gereja. Tetapi itu tidak berarti berfokus kepada kepentingan Gereja melainkan kepada visi dan misi Gereja sebagai jalur berkat Tuhan kepada seluruh umat manusia. Oleh karena itu, Pak Gerrit menegaskan bahwa satu-satunya tanda identitas Kristen adalah salib. Salib adalah tanda penderitaan Yesus Kristus yang ditafsirkan sebagai penderitaan bagi seluruh manusia. Orang Kristen dipanggil untuk menderita dengan orang tertindas tanpa memandang suku, ras atau agamanya. Tanda agama Kristen (salib), tidak dimaksudkan untuk memisahkan orang Kristen dari orang dari umat beragama lain, melainkan untuk menegaskan solidaritas orang Kristen dengan semua orang yang menderita. Menurut Pak Gerrit, dengan tanda salib, tidak ada “in group” dan
24
“out group”. Murid Yesus dipanggil untuk melayani semua tanpa pandang bulu. Hal ini bukan hanya teori bagi Pak Gerrit. Dia mempraktekkan hal ini dalam hidup sehari-hari di mana dia bersahabat dengan orang lintas agama dan mendampingi orang kecil dan besar dari semua kalangan. Dasar teologis untuk pandangan ini adalah penafsiran Amanat Agung (Great Commission)4 melalui kaca mata Perintah Agung untuk mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri.5 Misi paling mulia bagi warga Kristus adalah mengasihi sesama, khususnya yang menderita. Pada pandangan Pak Gerrit, prioritas kasih atas ideologi atau doktrin Kristen tidak berarti orang Kristen tidak usah bersaksi tentang kasih Tuhan dalam Yesus Kristus atau membaptiskan murid dalam nama Yesus. Akan tetapi, prioritasnya adalah kasih terhadap sesama dengan kesadaran bahwa tidak semua yang menyebutnya “Kristen” adalah murid Yesus. Sebaliknya, menurut Matius 256, tidak semua yang mengikuti jalan Yesus mengenal nama Kristus. Dengan demikian, bersaksi kepada seluruh dunia tidak disamakan dengan Kristenisasi. Dari pandangan ini, tidak ada ketegangan di antara mengasihi Gereja dan mengasihi dunia. Hal yang paling baik bagi Gereja adalah tidak berfokus kepada kepentingan atau kekuasaan Gereja melainkan berfokus kepada kebutuhan dunia. Sama seperti tidak ada ketegangan di antara mengasihi Tuhan dan mengasihi dunia, kalau kita mengasihi manusia, maka itu menjadi cara terbaik untuk mengasihi baik Tuhan maupun Gerejanya. Saya sangat setuju dengan pandangan Pak Gerrit ini oleh karena itu sesuai dengan hakekat Injil, yaitu anugerah Allah kepada semua orang. Persoalan penghakiman terakhir bukan tangungjawab kita melainkan tanggungjawab Tuhan. Memang kita diselamatkan melalui iman dan anugerah Tuhan melalui kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Tetapi kita tidak pernah tahu siapa yang akan diselamatkan, atau iman seperti apa yang akan dihitung atau sejauh mana anugerah Tuhan bisa merangkul orang yang belum kenal Kristus. Kita diberitahu bahwa iman tanpa perbuatan adalah mati.7 Kalau ada perbuatan baik, bukan perbuatannya yang menyelamatkan
25
melainkan Tuhan yang akan tahu macam apa imannya yang dibelakang perbuatan tersebut. Pak Gerrit menulis bahwa dengan tanda salib tidak ada “in-group” dan “out-group”. Kalau dimaksudkan adalah bahwa murid-murid Yesus dipanggil melayani semua orang yang menderita dan tidak hanya orang dari umat sendiri, saya setuju. Namun cara mengucapkan ini agak problematis menurut pendapat saya. Di satu pihak, tanda salib bukan tanda universal yang bisa diterima oleh semua umat, melainkan tanda penderitaan Yesus Kristus yang khas Kristen. Pemakaian salib adalah tanda bahwa ini adalah orang atau tempat yang Kristen dan bukan umat lain. Seandainya seseorang meletakkan salib di atas mesjid, maka segera akan ada kerusuhan! Selama sejarah gereja, salib sering dipakai sebagai tanda perang gereja terhadap musuh gereja, termasuk Perang Salib (Crusades). Meskipun saya sangat setuju kalau Pak Gerrit mau menafsirkan kembali tanda Salib sebagai tanda kasih universal dan bukan tanda perang. Namun, tandanya sendiri bukan tanda universal melainkan tanda Kristen. Kalau kita ajak umat lain untuk merangkul salib sebagai tanda universal, kiranya sangat tidak bijaksana. Mungkin Pak Gerrit akan setuju dengan hal ini, tetapi perlu dijelaskan lagi. Saya juga sedikit keberatan dengan tulisan yang menyatakan bahwa dengan salib tidak ada “in-group” dan “out-group”. Dari pendekatan sosiologis, semua orang punya in-group dan out-group. Semua tanpa kecuali. Kalau tidak ada in-group dan out-group, berarti tidak ada solidaritas khusus karena semua orang sama. Hal seperti ini tidak realistis dan mengingatkan saya tentang lelucon yang menyebut: “I love humanity; it’s people I hate.” (Saya mengasihi umat manusia, tetapi membenci rakyat atau orang-orangnya). Kalau orang tidak mengasihi “in-groupnya” secara khusus, apakah mungkin dia bisa mengasihi “orang luar”? Apakah ada kasih universal kalau tidak ada kasih partikular yang berfokus secara khusus kepada orang yang paling dekat? Selalu akan ada in-group yang termasuk, keluarga, tetangga-tetangga, suku, umat beragama, kelas sosial/pendidikan dlsb. Memang kita dipanggil untuk mengasihi orang dari out-group, termasuk orang asing, orang yang diabaikan, orang yang menderita, bahkan musuh. Tetapi kalau kita mengasihi orang yang di luar in-
26
group kita (seperti cerita orang Samaria yang baik hati), itu tidak menghapus perbedaan di antara in-group dan out-group. Kita masih akan merasa lebih enak bersama orang yang agak mirip dengan kita. Tanda salib tidak menghapus in-group dan out-group melainkan melampauinya. 4. Metodologi Dialektis dan Naratif Salah satu alasan kenapa tulisan-tulisan Pak Gerrit tentang iman dan politik tidak terkesan sederhana (simplistic), dan jarang terlalu menggurui (moralistic), adalah karena metodologinya yang dialektis. Dialektika berarti berjuang untuk sekaligus memegang dua hal yang kelihatannya bertentangan satu sama lain. Tulisan Pak Gerrit jarang disampaikan sebagai sustained and consistent, abstract, theoretical argument. Artinya Pak Gerrit jarang memakai teori linear (satu garis), yang logis, abstrak, sederhana dan jelas. Dunia manusia, apalagi dunia politik, jarang sederhana dan konsisten. Oleh karena itu, tulisan Pak Gerrit sering melompat-lompat: dari teks Alkitab, ke cerita rakyat, ke masalah sosial masyarakat, ke teologi Asia, ke karya seni, ke pakar teologi Eropa, ke surat kabar hari ini dllsb. Metode seperti ini, kalau dilakukan oleh pemikir muda yang belum ahli, tidak hanya membingungkan tetapi terkesan tidak disiplin dan kurang bertanggungjawab. Pada tulisan seperti itu tidak ada garis merah yang secara jelas mengikat semua unsur yang dibahas. Namun metode seperti ini sangat kuat dalam tangan guru besar (master) seperti Pak Gerrit. Meskipun melompat-lompat, pikiran Pak Gerrit sangat logis dan jelas. Semua hal dikaitkan satu sama lain lewat analogi. Cerita-cerita yang lokal dan partikular diikat satu sama lain melalui semacam grand narrative yang implisit. Tulisan Pak Gerrit selalu menarik karena banyak cerita. Ceritanya yang memberi nuansa dan kompleksitas kepada analisanya. Cerita-ceritanya menjangkarkan ide pencerahan dan prinsip universal ke dalam pengalaman orang-orang dan komunitas yang nyata. Itu tidak berarti semua hal akan dengan mudah disatukan dalam satu sistem logis. Salah satu kekuatan tulisan Pak Gerrit adalah tidak memaksa semua hal harus disesuaikan dengan teologi sistematis tertentu. Memang Pak Gerrit sadar bahwa pikirannya adalah dalam
27
sungai tradisi Calvinis Kristen dan dipengaruhi oleh teologi Asia dan Amerika Latin. Namun dia tidak merasa terpaksa setuju dengan Calvin atau teolog siapapun yang lain kecuali (mungkin!), Yesus Kristus. Metodologi dialektis Pak Gerrit memungkinkan hal-hal yang sangat sempit dibahas tetapi dikaitkan dengan implikasi yang sangat luas. Sesuatu yang sangat partikular, misalnya konsep umat terpilih pada umat tertentu dalam konteksnya ribuan tahun yang lalu, dikaitkan dengan persoalan identitas beragama pada masa kini di Indonesia. Lagi pula, hal yang sangat lokal di Indonesia, seperti hubungan gereja-gereja di Indonesia dengan suku dan etnisitas, dijelaskan dengan cara yang relevan dengan dinamika pergumulan identitas beragama di seluruh dunia. Metode dialektika seperti ini diperkuat oleh pengalaman Pak Gerrit yang sangat luas. Sebagai teolog kritis Asia, Pak Gerrit berakar dalam konteks Indonesia tetapi juga dipengaruhi oleh pendidikannya di Eropa dan pengalaman berdialog dengan teolog-teolog di Asia dan Amerika. Oleh karena itu, pemikiran Pak Gerrit bukan ciptaan sendiri ex nihilo, melainkan hasil dari dialog selama puluhan tahun dengan pakar-pakar teologi dari seluruh dunia. Saya sulit mengeritik metodologi dialektika tersebut oleh karena sangat cocok dengan pendekatan saya sendiri. Namun saya berusaha. Satu hal yang kadang-kadang kurang memuaskan adalah tipologi “teologi Asia” yang berlawan dengan “teologi Barat”. Tipologi ini tidak ekstrim dalam pikiran Pak Gerrit dan biasanya dipakai sebagai tipe-tipe ideal yang dibahas secara dialektis. Tetapi kadang-kadang murid-murid Pak Gerrit menyederhanakan dan reify tipologi tersebut seolah-olah tipologi Timur-Barat adalah kategori diskriptif abadi. Lebih parah lagi kalau mereka merasa tidak perlu belajar teologi Barat oleh karena a priori tidak relevan di Indonesia. Mungkin mereka menyangka ada benturan peradaban (Clash of Civilizations) Timur-Barat yang primorial dan abadi. Salah satu penyebab wajar atas pikiran seperti ini adalah pengaruh poskolonialisme yang berusaha menjauhi teologi Kristen Indonesia dari teologi penjajah Barat.
28
Namun, bagaimana artinya itu, teologi Asia (atau Timur), yang bertentangan dengan teologi Barat? Kadang-kadang teologi Timur dijadikan sama dengan teologi yang disukai oleh penulis Indonesia dan teologi Barat dianggap semua teologi yang tidak disetujui. Tetapi segala macam teologi Kristen berada baik di Timur maupun di Barat. Pada kalangan teolog yang liberal, maka teologi fundamentalis, injili, karismatik atau pentakosta adalah teologi Barat, sedangkan teologi ekumenis, teologi pembebasan, teologi konteksual atau teologi sinkretis adalah teologi Asia. Sebaliknya, pada kalangan teolog yang konservatif, teologi liberal, ekumenis, pluralis dan teologi pembebasan adalah penyakit yang diimpor dari Barat! Memang banyak ide, termasuk ide buruk, diimpor dari Barat. Tetapi kita tidak bisa menerima atau menolak ide hanya oleh karena asalnya dari Barat atau Timur. Pada tulisan dialektis Pak Gerrit, satu tema yang paling menonjol adalah teologi yang relevan pada konteks Indonesia. Teologi konteks Indonesia bukan teologi yang dibersihkan dari warisan tradisi teologi dari luar negeri, melainkan teologi yang kritis dan tidak menerima begitu saja tradisi atau ide teologi dari mana pun tanpa bertanya tentang relevansinya dalam konteks Indonesia. Pak Gerrit memakai hermenutika kecurigaan (hermeneutics of suspicion), yang menyadari bahwa teologi tidak hanya selalu terkait dengan konteks dan pertanyaan yang berasal dari situasi riil, tetapi juga bahwa teologi selalu terkait dengan ideologi, termasuk ideologi politik dan ideologi gender. Teologi yang berasal dari Korea, Jerman, Sri Lanka, Skotlandia, Cina, Amerika Utara, Jepang, Afrika, India, Amerika Latin ataupun Indonesia seharusnya dikaji secara kritis. Pak Gerrit siap belajar dari teologi manapun dan tidak membekukan polarisasi Timur - Barat. Dia juga kurang setuju dengan polarisasi Eropa-Amerika, seolah-olah gereja ekumenis berasal dari Eropa dan gereja karismatik dari Amerika. Secara dialektis beliau mendialogkan ide-ide dari seluruh dunia dengan kenyataan sosial di Indonesia. Keterbukaan Pak Gerrit untuk belajar dari aliran-aliran teologi yang tidak disetujui terlihat pada suatu saat ketika sebagian dari temanteman teolog ekumenis kami, sedang mengeluh tentang pengaruh
29
aliran karismatik/pentakostal di Indonesia. Mereka menyatakan bahwa itu teologi impor dari Amerika yang menyesatkan dan sama sekali tidak konteksual di Indonesia. Dengan senyum kecil yang khas, Pak Gerrit membisik kepada saya, “Mungkin kita cemburu karena mereka bertumbuh cepat. Apakah mungkin aliran karismatis tersebut lebih konteksual di Indonesia dibandingkan dengan gereja ekumenis kita? Mereka masih percaya kepada roh-roh, dunia gaib dan mujizat-mujizat, seperti kebanyakan orang Indonesia, sedangkan gereja ekumenis sudah menjadi terlalu rasional seperti gereja reformir Belanda.” Maksud dari cerita ini bukan bahwa Pak Gerrit setuju dengan teologi gereja karismatik, melainkan bahwa, dengan pikiran dialektisnya, Pak Gerrit terbuka kepada ide-ide baru dan tidak terjebak dalam stereotip-stereotip yang mungkin dipengaruhi oleh kecurigaan ataupun ketakutan. Pikiran dialektis tidak hanya menerima atau menolak ide-ide tertentu, melainkan mendialogkannya dengan pendekatan lain. 5. Ahli Biblika yang tidak berhenti dengan Alkitab Tidak dapat diragukan bahwa Pak Gerrit adalah terutama ahli Alkitab. Hampir semua tulisan Pak Gerrit dimulai dengan teks Alkitab, bisasanya Perjanjian Lama. Mahasiswa-mahasiswa Pak Gerrit tidak salah kalau menganggap pendekatan Pak Gerrit berakar dalam metodologi historis-kritis. Pendekatannya tidak naïve melainkan kritis tentang proses sejarah dan konteks sosio-ekonomipolitik yang mempengaruhi teks-teks yang kita baca. Saya sendiri tidak selalu setuju dengan pendekatan ini karena kecenderungan lebih memperhatikan spekulasi para ahli biblika daripada bergumul dengan isi teks yang kita terima. Meskipun metodologi historis kritis sangat berharga dan saya juga memakainya, namun makna teks yang diterima sebagai Kitab Suci (yang sudah menjadi kanon) lebih berwibawa dibandingkan spekulasi ahli Alkitab yang sering dipengaruhi oleh rasionalisme Barat. Ahli Biblika Barat, seperti Rudolf Bultmann atau “Jesus Seminar”, memakai pendekatan yang meragukan segala sesuatu dalam Alkitab, kecuali itu bisa dibuktikan melalui cara rasionalempiris mereka. Menurut pemahaman saya, lebih sesuai dengan iman Kristen kalau kita menerima teks apa adanya kecuali bisa dibuktikan
30
salah melalui metode rasional-empiris. Dengan kata lain, burden of proof seharusnya dibebankan kepada orang yang mau rekonstruksi teksnya dan konteksnya daripada sebaliknya. Kita tidak perlu naif atau dicap Fundamentalis kalau menerima teksnya pada bentuk kanonnya, asal kita terbuka kepada bukti kuat bahwa rekonstruksi teks lebih menerangkan makna dalam teks daripada bentuk kanonnya. Memang banyak teks Alkitab adalah hasil proses redaksi selama ratusan tahun dan konteks penulisnya tidak mesti sama dengan konteks ceritanya. Salah satu kekuatan, Pak Gerrit adalah tidak pernah melupakan isi teksnya. Pendekatan historis-kritisnya tidak dipakai sebagai alat untuk menghancurkan wibawa teksnya melainkan sebagai alat untuk mencari makna yang sebenarnya dalam konteks kunonya, baik konteks cerita maupun konteks penulis/redaktornya. Lebih dari itu, Pak Gerrit selalu mencari makna teks yang bisa menerangkan konteks kita masa kini. Sebagai contoh, salah satu mahasiswa pernah ingin menulis tesis tentang teks tertentu yang paling ekstrim bertentangan dengan tujuan tesisnya. Caranya adalah dengan kritik historis yang menempatkan teksnya dalam konteks sangat berbeda dari cerita Alkitab, dengan asumsi bahwa teksnya hanya adalah alat ideologi untuk membenarkan penguasa ratusan tahun sesudah cerita teksnya. Dengan demikian teksnya menjadi semacam contoh cerita negatif (jahat) yang membuktikan makna terbalik dari maksud teksnya. Siapa tahu apabila penafsiran teks itu benar atau salah. Tetapi Pak Gerrit dan saya memberi nasehat yang sama kepada mahasiswanya: Kenapa tidak memilih teks yang jauh lebih jelas mendukung pendapat teologi mahasiswanya, daripada teks yang sebenarnya terbalik dari teologi tersebut? Metodologi dialektis berarti kita bisa belajar dari berbagai tema dalam Alkitab yang terkait dengan konteks-konteks yang berubah-ubah selama ribuan tahun. Kita tidak perlu memaksa teks menyatakan yang terbalik dari makna yang sebenarnya atau menghancurkan teks yang kurang sesuai dengan pemahaman kita sekarang.
31
Saya menduga bahwa metodologi yang paling kuat dalam tulisan Pak Gerrit adalah pendekatan naratif. Cerita-cerita Alkitab dipakai untuk menafsirkan cerita-cerita masa kini. Alat historis-kritis dipakai untuk menerangkan cerita-cerita kitab suci supaya menjadi lebih jelas dan relevan terhadap isu-isu modern. Berbeda dari pakar-pakar tertentu, Pak Gerrit tidak pernah berhenti dengan tafsiran teks-teks kuno melainkan memakai ceritanya sebagai alat penafsiran terhadap persoalan politik modern. Misalnya, Pak Gerrit memakai cerita tentang konflik di antara nabi Yeremia dan rakyat Yehuda tentang Bait Suci untuk mengkaji bagaimana kita sekarang ini, seperti rakyat Yehuda ribuan tahun yang lalu, cenderung mengganti Tuhan yang Suci dengan tanda atau simbol suci yang dibuat sendiri.8 Akibatnya, kita menyembah kepada buatan diri sendiri dan kepada institusi agama kita daripada menaati Tuhan yang menuntut keadilan dan kasih sayang kepada orang yang tertindas dan menderita. Metodologi Tafsir Pak Gerrit menjembatani jarak yang sering terjadi di antara umat Kristen yang Konservatif/Injili/Pentakosta dan umat Kristen yang Liberal/ Ekumenis/Kritis. Seperti seorang Kristen yang saleh, Pak Gerrit menghormati teksnya dan berjuang untuk mengerti maknanya yang paling akurat. Pak Gerrit selalu memperhatikan makna dan aplikasinya kepada hidup sehari-hari kita sekarang, termasuk hidup politik. Sekaligus, seperti teolog Liberal, Pak Gerrit tidak mendekati teksnya secara naïve seolah-olah maknanya langsung jelas (self-interpreting). Pak Gerrit menghormati bidang akademik studi Biblika yang memakai pendekatan kritis rasional untuk menggali makna yang kurang tampak pada bacaan dangkal. Pendekatan Pak Gerrit memungkinkan seseorang membaca Kitab Suci dengan akal budi sehat, tanpa kehilangan iman yang mendalam. 6. Pengkajian tentang Budaya Indonesia Sebagai ahli Biblika yang prihatin dengan persoalan politik, Pak Gerrit tidak pernah melupakan budaya. Mungkin keahlihannya sesudah Biblika lebih mengarah kepada antropologi daripada ilmu politik. Pada zaman ini kita sangat membutuhkan pakar yang mampu berpikir secara interdisipliner. Memang Pak Gerrit berpikir secara interdisipliner, tetapi biasanya berpikir tentang budaya sebagai teolog. Ini berbeda daripada sebaliknya: berpikir tentang teologi
32
sebagai antropolog. Pendekatannya terhadap budaya Indonesia adalah positif. Pak Gerrit biasanya mulai dengan prasangka positif bahwa budaya lokal Indonesia adalah baik. Namun pendekatan positif terhadap budaya Indonesia masih kritis dan dilengkapi dengan pandangan pragmatis yang menghasilkan pertanyaan pokok: Apakah budaya dan ritual agama lokal membangun solidaritas, keprihatinan terhadap kaum lemah dan bela rasa satu sama lain, atau sebaliknya, mendukung kekuasaan status quo yang cenderung menindas kaum lemah?9 Pak Gerrit, tidak cenderung menilai budaya berdasarkan apakah adatnya sesuai dengan ajaran Kristus atau dogma Gereja, melainkan dengan fungsi politik budaya tersebut. Dengan demikian, pikiran Pak Gerrit tentang budaya adalah pikiran politik. Pertanyaannya tentang dua hal yang pokok: Bagaimana fungsi budaya dalam kekuasaan setempat? Apakah ekspresi budayanya otentik? Kiranya kalau ritual budaya lokal adalah otentik (bukan sandiwara untuk turis), dan berguna untuk membangun solidaritas, Pak Gerrit memandangnya secara positif. Pertanyaan dogmatis misalnya, “apakah seorang Kristen boleh kesurupan untuk berkomunikasi dengan leluhur?”, tidak muncul. Kiranya pada saat ini, prasangka positif tentang budaya lokal dibutuhkan untuk melawan prasangka negatif-curiga yang keterlaluan dari para misionaris Barat. Sebagian dari proses membangun teologi konteksual yang menetapkan identitas Kristen yang terpisah dari budaya Barat adalah menghargai budaya lokal dan mencari hubungan di antara budaya lokal dan ajaran Kristus. Kedewasaan Pak Gerrit dilihat dari pertanyaan kritis terhadap budaya lokal: apakah itu menindas atau tidak? Saya sendiri setuju dengan pendekatan positif terhadap budaya lokal dan kurang setuju dengan pendekatan curiga yang selalu menilai praktek adat lokal dari pandangan dogmatis teologis. Dengan demikian saya setuju dengan kritiknya terhadap misionaris asing yang memakai budaya dan teologi Barat mereka sebagai ukuran kritis (critical standard) terhadap budaya dan adat lokal. Misalnya, upacara adat yang menghormati leluhur atau nenek moyang yang mendirikan desanya tidak harus ditafsirkan sebagai berhala. Mungkinkah rakyat - yang percaya bahwa banyak roh nenek moyang
33
masih berada di tengah kita dan mempengaruhi hidup sehari-hari kita - itu lebih dekat dengan dunia Palestina pada masa Yesus Kristus dibandingkan dengan dunia misionaris Barat? Namun, saya sedikit ragu-ragu apabila penilaian adat lokal menjadi terlalu pragmatis, etis dan politis. Apakah kita tidak boleh menilai adat lokal dari pandangan teologi dan dogmatis juga? Memang Pak Gerrit kritis terhadap budaya kalau praktek-prakteknya menindas kaum yang lemah, tetapi ini hal yang rumit. Siapa yang menilai? Apakah penilaian etis terhadap praktek lokal seperti poligami, membungkus kaki perempuan (foot binding) atau persembahan kepada Ratu Kidul, juga memerlukan refleksi teologis? Saya kira penilaian etis tentang apabila sesuatu adalah adil atau menindas selalu terkait dengan prasangka dan pandangan dunia yang tidak bisa dilepaskan dari pertanyaan teologis tentang apa yang riil dan benar.10 Saya setuju dengan Pak Gerrit yang menilai legenda dan mitos dari makna etisnya yang mendalam, daripada dari pertanyaan empiris. Namun saya kira penilaian etisnya tidak bisa dilepaskan dari pandangan dunia yang juga mengandung pertanyaan filosofis/teologis tentang apa yang benar (truth question). 7. Kesadaran tentang Minoritas tanpa “Minority Complex” Salah satu masalah Gereja di Indonesia adalah “minority complex”, yaitu sikap psikologis bahwa umat Kristen adalah bagian kecil dari masyarakat Indonesia yang dikelilingi oleh umat Islam yang sangat besar. Perasaan minoritas bisa menimbulkan rasa takut oleh karena kesadaran bahwa umat lain sangat berkuasa dan tidak tentu senang dengan keberadaan umat Kristen di tengah-tengah mereka. Perasaan seperti ini bukan tidak beralasan oleh karena memang umat Kristen kecil dan tidak jarang mengalami diskriminasi. Pada tempat tertentu di Indonesia umat Islam bertekad tidak mengizinkan umat selain Islam tinggal di sana. Kadang-kadang gereja diserang dan/atau tidak diizinkan membangun tempat beribadah. Masih juga ada pengalaman traumatis dari masa transisi, masa Reformasi sesudah Presiden Soeharto dilengserkan dan terjadi kerusuhan masal yang pada tempat tertentu menuju perang saudara di mana umat Muslim dan umat Kristen saling menyerang.
34
Sikap psikologi umat Kristen sebagai kaum minoritas yang tertindas menimbulkan beberapa masalah. Sikap takut menguatkan perpisahan satu umat dengan yang lainnya. Sikap takut membuat orang bodoh. Orang takut lebih mungkin memusuhi pihak yang ditakuti. Ketakutan membuat orang menjauhi satu sama lain. Secara ironis ketakutan bisa menimbulkan tindakan-tindakan yang ditakuti, yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Sikap minoritas dan rasa tertindas menimbulkan kecurigaan yang berlebihan. Akibatnya, stereotipstereotip negatif terhadap “mereka” digeneralisir sampai semua orang dari umat lain dipandang negatif. Orang-orang dengan sikap minoritas tertindas merasa tidak berdaya, tidak berkuasa. Terkadang mereka berjuang keras untuk memiliki kekuasaan politik dengan asumsi kalau mereka menjadi berkuasa mereka akan aman. Mereka menghitung seberapa aman umatnya dari seberapa warga Kristen yang menjadi Menteri, atau Gubernur atau penguasa lain. Kalau mereka merasa tertekan, mereka balik menekan kembali. Hasilnya bisa terjadi perang. Salah satu ciri yang indah dalam tulisan Pak Gerrit adalah bahwa dia tidak pernah memberi tanda “minority complex”. Sikap keterbukaan Pak Gerrit kepada umat lain cukup luar biasa oleh karena dia pendeta GPIB yang melayani dan bertugas seumur hidup dalam lingkungan institusi-institusi Kristen. Sikap politik Pak Gerrit terhadap umat Islam adalah bahwa mereka adalah mitra Gereja dalam misinya melawan ketidakadilan, kekerasan, korupsi, kerusakan lingkungan, dlsb. Misi Gereja di Indonesia tidak bisa dilaksanakan tanpa bekerja sama dengan umat Islam. Umat Islam sangat besar di Indonesia, lebih dari 200 juta orang, dan masalah-masalah sosial tidak mungkin dihadapi oleh Gereja sendirian. Pak Gerrit sadar bahwa Gereja adalah minoritas kecil dan umat Islam berkuasa dalam negara tercinta ini. Tetapi Pak Gerrit juga sadar bahwa umat Islam, sama seperti umat Kristen, tidak monolitik. Islam di Indonesia sangat beraneka ragam. Oleh karena itu, maka sikap bahwa umat Kristen harus melawan umat Islam adalah salah. Mayoritas dari umat Islam tidak memusuhi Gereja melainkan menghormati umat Kristen dan juga memperjuangkan hubungan lintas agama yang harmonis dan adil. Itu sebabnya Pak Gerrit punya
35
kesadaran bahwa umat Kristen adalah minoritas tetapi tidak harus bersikap “minority complex”. Kesadaran gereja sebagai minoritas berarti kita harus rendah hati dan tidak memaksa agenda Kristen yang kalau kurang disetujui oleh mayoritas. Tetapi kerendahhatian tidak sama dengan takut atau tidak berdaya. Umat Kristen juga besar, sekitar 25 juta orang yang beragama Kristen. Umat bisa menjadi “creative minority” yang juga memberi kontribusi kepada masyarakat luas. Pak Gerrit sadar tentang keterbatasan Gereja yang tidak mungkin menjadi “penyelamat” Indonesia, apalagi kalau bermusuhan dengan umat Islam. Misi Gereja termasuk rekonsiliasi, perdamaian, keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Rekonsiliasi dibutuhkan, baik satu sama lain dan juga dengan Tuhan. Dengan demikian Gereja dipanggil bersaksi atas kasih Tuhan dalam Yesus Kristus. Kesaksian tersebut, menurut Pak Gerrit, harus berani tetapi tidak sama dengan Kristenisasi. C. Kesimpulan: Kebajikan seorang Guru Pak Gerrit sering kali kritis, berani dan tajam dalam analisisnya, baik terhadap umat Kristen maupun kepada umat lain yang menginjakinjak hak asasi manusia golongan yang lemah. Tetapi Pak Gerrit juga nampak rendah hati dan tidak triumfalistik. Kesadaran tentang keterbatasan manusia berarti tidak cepat menghakimi orang lain. Pak Gerrit tidak hanya berkhotbah tentang sikap-sikap yang baik tetapi juga menghayatinya dan menjalankannya secara konsekuen. Seperti semua orang, Pak Gerrit bukan orang sempurna dan tidak pernah merasa seperti pahlawan. Saya teringat kutipan dari George MacDonald yang kurang lebih berbunyi: Seseorang yang mau menjadi pahlawan sulit menjadi manusia yang sejati. Tetapi seseorang yang mau menjalankan tugasnya sudah menjadi manusia yang sungguh-sungguh.11 Pak Gerrit sudah puluhan tahun setia menjalankan tugasnya. Satu ciri dari seseorang yang bijaksana dan sadar tentang kenyataan minoritas tanpa perasaan rendah diri adalah sebuah pengharapan. Tulisan Pak Gerrit selalu mengandung pengharapan. Makin tajam kritiknya terhadap Gereja, masyarakat Indonesia, teks Alkitab atau
36
neokolonialis Barat, makin jelas kebajikan pengharapan nampak. Pengharapan tidak sama dengan optimisme. Kadang-kadang saya kira Pak Gerrit merasa pesimis tentang kemungkinan akan terjadinya perubahan yang diharapkan. Mungkin karena itu salah satu bagian Alkitab yang paling disukai adalah Pengkhotbah yang di dalamnya ada ayat yang berbunyi, “Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi; tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari.”12 Pengharapan tidak sama dengan optimisme karena optimisme adalah emosi yang bisa muncul atau hilang tergantung situasinya. Optimisme juga tergantung prediksi yang tidak pernah pasti. Tidak ada orang yang tahu masa depan. Perasaan optimisme atau pesimisme sangat dipengaruhi oleh tipe kepribadian seseorang, misalnya apakah dia melankolis atau sanguin. Tetapi harapan adalah anugerah dan kebajikan (virtue), yang diberi oleh Tuhan dan dibangun melalui latihan dan pengalaman. Pengharapan berarti seseorang masih siap berjuang untuk masa depan yang lebih baik. Pengharapan bukan kebalikan dari keputusasaan melainkan kebalikan dari sinisisme. Pengharapan memungkinkan seseorang tetap berjuang meskipun dia pesimis terhadap masa depan. Pengharapan berakar kepada iman yang percaya bahwa Tuhan masih berdaulat. Dunia ini tidak ditinggalkan oleh Tuhan dan kita masih bisa berharap pada masa depan meskipun hari ini nampak sangat gelap.
37
Endnote 1
Reinhold Niebuhr, Christianity and Power Politics (New York: Charles Scribner’s Sons, 1940), h. 14. 2 Markus 8:35. Bandingkan Matius 10:39; Lukas 17:33; Yohanes12:25. 3 Gerrit Singgih juga mengajar dalam lingkungan Katolik (misalnya Universitas Sanata Dharma) dan Muslim (misalnya Universitas Gadjah Mada dan ICRS-Yogya), namun tugas pokoknya di Fakultas Teologi, Universitas Kristen Duta Wacana. 4 Matius 28:19-20. “...pergilah, jadikanlah semua bangsa muridku... dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu.” 5 Matius 22:37-39. “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu... dan hukum kedua yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” 6 Matius 25:31-46. Inilah kisah Yesus tentang Penghakiman Terakhir di mana orang dinilai bukan apabila mereka kenal Yesus, melainkan dari perbuatannya terhadap orang lemah. “Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan...” (ayat 35) 7 Lihat Surat I Yohannes 1-5. 8 Emanuel Gerrit Singgih, Iman dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), h. 107-125. 9 Ibid., h. 75. 10 Lihat Bernard Adeney-Risakotta, “Iman dan Adat” (unpublished paper, 2004). Bandingkan H. Richard Niebuhr, Christ and Culture (New York: Harper & Brothers, 1951) 11 George MacDonald Anthology, edited by C. S. Lewis. Bahasa Inggrisnya: “He who would be a hero is scarcely a man, but he who would be but a doer of his work is sure of his manhood.” 12 Pengkhotbah 1:9.
38
Emanuel Gerrit Singgih: Teolog Kontekstual J.B. Banawiratma Sudah sejak lama Pak Gerrit menerbitkan tulisan dari usahanya berteologi kontekstual (1982). Beberapa studi mengenai Emanuel Gerrit Singgih kita temukan antara lain dalam bentuk tinjauan buku (Hauw 2002), artikel (Drewes 2005), skripsi (Bungin 2009) maupun disertasi (Mojau 2005). Tulisan berikut ini tidak akan membahas karyanya maupun studi yang sudah dilakukan mengenai karyanya, melainkan lebih merupakan sebagian dari catatan perjalanan bersama dia. Pertemuan saya dengan Pak Gerrit yang pertama terjadi pada waktu kami bersama-sama belajar bahasa Yunani di Sekolah Tinggi Theologia Duta Wacana Yogyakarta tahun 1973. Pertemuan itu berkembang menjadi pertemanan, persahabatan dan kolega sampai sekarang ini. Di sini saya ingin menceriterakan salah satu hal yang saya alami dan saya lihat dalam perjalanan bersama Pak Gerrit sebagai teolog kontekstual. Pernah dalam suatu seminar kami bersama-sama diundang, dan di situ Pak Gerrit mengatakan agar lain kali kalau mengundang Bono jangan mengundang Gerrit, karena kami sama saja, jadi diskusinya kurang ramai. Dengan mengingat kata-kata itu saya sedikit kuatir jangan-jangan apa yang saya katakan mengenai Pak Gerrit merupakan ceritera diri saya sendiri. Meskipun demikian saya akan mencoba untuk sejauh mungkin mengambil distansi dari diri saya dan sedekat mungkin melihat yang ada pada Pak Gerrit. Berteologi kontekstual selalu terjadi dalam konteks. Salah satu cara menentukan konteks adalah siapa yang disapa oleh teologi itu. David Tracy (1991:3-46) misalnya melihat teologi sebagai percakapan publik. Publik yang disapa adalah masyarakat, dunia akademis, dan Gereja (bdk. Schreiter 2001:60-63). Tentulah tiga konteks ini saling berhubungan, namun pembedaan tiga audiens itu dapat membantu
Profesor Teologi di Fakultas Theologia, UKDW, Yogyakarta.
39
untuk melihat sumbangan Pak Gerrit dalam teologi kontekstual, yang berhubungan dengan dunia akademis, Gereja dan masyarakat. 1. Dalam Konteks Dunia Akademis Hanya 2 tahun Pak Gerrit bekerja sebagai Pendeta Jemaat. Sesudah itu hampir 25 tahun dia bekerja di dunia akademis, dalam jabatan strutural sebagai Dekan Fakulas Theologia, sebagai Direktur Pasca Sarjana dan sebagai teolog, yang mengajar, meneliti dan menulis serta menyumbangkan keahliannya dalam masyarakat. Selain berkegiatan di Fakultas Theologia Universitas Kristen Duta Wacana, Pak Gerrit juga terlibat pada usaha-usaha pembaharuan kurikulum teologi melalui PERSETIA (Perhimpunan Sekolah Theologia di Indonesia) dan SEAGST (South East Asian Graduate School of Theology). Dengan demikian dalam bebagai level dia ikut menentukan orientasi teologi macam apakah yang perlu dikembangkan secara akademis. Pada tahun 2005 Pak Gerrit mengucapkan Pidato pengukuhan Guru Besar Ilmu Teologi dengan judul “Ex Nihilo Nihil Fit: Sebuah Tafsiran Kejadian 1:1-3” (terbit dalam Singgih 2009:206-249). Di situ dia menyapa dunia akademis tafsir Perjanjian Lama sekaligus teologi sistematik untuk memikirkan ulang ajaran yang biasanya dikatakan mengenai creatio ex nihilo (penciptaan dari ketiadaan). Ex nihilo nihil fit (dari ketiadaan tidak suatupun terjadi/tercipta) mencerahkan pemikiran mengenai makna iman akan kedaulatan Allah, akan kaos, dan akan hati manusia serta akan kejahatan. Pidato ini jelas ditujukan kepada kalangan akademis. Hal itu tampak dari cara mempertanggungjawabkan tafsiran antara lain dengan menelusuri teks asli Alkitab dan banyak berdiskusi dengan para penafsir lain. Dengan sikap yang sama Pak Gerrit menafsirkan kitab Pengkhotbah (Singgih 2001) dan mengambil sikap kritis terhadap “struktur pemikiran teologis dominan yang telah membekukan iman dan tidak memberi kesempatan sedikit pun pada pemikiran teologis yang bersifat alternatif” (2001:230). Sikap kritis terhadap hasil-hasil tafsir beserta refleksinya ini memperlihatkan Pak Gerrit sebagai teolog professional yang mau terus-menerus memberikan kontribusi
40
terhadap perkembangan dunia akademis teologi. Dalam tradisi Kristen Roma Katolik misalnya, tanpa pemikiran-pemikiran kritis dunia akademis teologis tidak bisa dibayangkan akan terjadi pembaharuan yang tercetus dalam konsili Vatikan II (1962-1965). Dunia akademis yang disapa Pak Gerrit tidak berhenti pada dunia tafsir dan teologi, melainkan juga ilmu-ilmu lain. Oleh karena itu Pak Gerrit memandang penting untuk terlibat dalam kelompok studi dan diskusi para dosen yang berkumpul dalam “Masyarakat Yogyakarta untuk Agama dan Ilmu”. Dunia akademis ilmu teologi tidak terpisah dari ilmu-ilmu lain, termasuk ilmu eksakta. Dengan kata lain dunia pergumulan di bidang tafsir dan teologi dijalankan secara lintas bidang dan lintas ilmu. Tidak mengherankan kalau dia sebagai ahli tafsir Alkitab pernah juga mengampu mata kuliah filsafat dan kewarganegaraan, menggumuli masalah-masalah sosial dari perspektif teologi. 2. Dalam Konteks Gereja Apa yang digumuli dalam konteks akademis bermakna juga bagi Gereja dengan menggumuli masalah-masalah sehubungan dengan kenyataan dan orientasi Gereja sekarang ini. Rasanya tepat sekali interpretasi Pak Drewes (2005:121), bahwa Dalam konteks gereja di Indonesia menjadi jelas bahwa Singgih memilih (senada dengan Kohelet!) suatu posisi kritis terhadap ortodoksi tradisional dan terhadap formalisme penghayatan agama banyak (atau kebayakan?) orang.
Ortodoksi atau ajaran yang benar berbentuk rumus yang dirumuskan oleh orang atau komunitas tertentu pada tempat dan waktu tertentu. Dengan kata lain, rumusan ajaran itu selalu kontekstual. Maka orang yang secara kaku hanya berpegang pada rumus sebenarnya berada dalam arah yang tidak ortodoks. Misalnya sola scriptura dirumuskan oleh Martin Luther dan gerakan Reformasi awal dalam konteks kritik terhadap praktek hidup Gereja yang sangat memprihatinkan, terutama para pemimpin Gereja, yang sebenarnya sudah cukup lama direaksi oleh bermacam-macam kritik dan usaha perbaikan. Kritik terhadap praktek hidup Gereja itu menyangkut juga praktek berteologi skolastiknya yang kurang relevan lagi. Kalau kemudian sola scriptura dilepaskan dari konteksnya dan dipegang sebagai
41
rumusan kaku, dapat saja dihayati dalam praktek misi sebagai legitimasi untuk membabat semua kebudayaan yang menjadi alamat pemberitaan Injil dengan alasan bahwa semua itu tidak sesuai dengan Alkitab. Kesetiaan terhadap ortodoksi menuntut kesadaran kontekstual dan diskusi inter-kontekstual. Tidak mengherankan kalau Bevans (2002:1-26) mengatakan bahwa teologi kontekstual merupakan sebuah imperatif teologis. Penghayatan ortodoksi yang berhenti pada rumusan mudah menjadi satu dengan formalisme, yaitu praktek hidup yang secara formal sesuai dengan rumus atau aturan. Penghayatan iman dan agama yang mendalam memerlukan kesadaran dan pergumulan kontekstual. Orang yang mengaku ortodoks karena berpegang pada rumus secara kaku dan mempersalahkan orang lain karena menggunakan rumusan baru (yang kontekstual) sebenarnya tidak berada dalam ortodoksi, melainkan dalam arah formalisme (hanya bentuknya saja) atau verbalisme (hanya rumusan kata-kata saja). Secara menarik Pak Gerrit menggumuli teks-teks dalam konteks sekarang ini. Pada pergumulan itu terasa bahwa teks Perjanjian Lama bukanlah Firman Allah di luar konteks. Konteks dimengertinya dalam dua arti. Dalam arti sempit diartikan sebagai teks yang mendahului atau menyusuli suatu teks atau perikop. Dalam arti luas konteks “adalah latar belakang, wawasan-wawasan mengenai pandangan hidup fundamental masyarakat, baik yang tradisional maupun yang modern” (2002:38). Jadi kon-teks dimengerti sebagai teks dan sebagai masyarakat yang menyertai. Jemaat di sini sekarang ini mendengarkan Firman Allah melalui teks Alkitab, melalui dialog secara kritis terus menerus dengan orang dan komunitas yang melahirkan teks-teks. Dalam hal ini seperti Kwok Pui-lan, Pak Gerrit memperlakukan Alkitab Ibrani sebagai suatu “sumber religius umat manusia yang penting untuk menyinari kemampuan manusia untuk mencintai, untuk berjuang, untuk bertobat dan untuk bersorak dalam kegembiraan” (1995: 89). Berdialog dengan sumber religius itu manusia masa kini dibantu untuk mendengarkan Frman Allah. Dari situ penafsir mendapatkan makna yang mendalam secara kontekstual, agar suara Firman Allah didengarkan dan menyegarkan penghayatan iman Gereja.
42
Sebagai teolog Gereja tidak mungkin tidak menyampaikan visi mengenai Kristus yang menjadi dasar hidup Gereja. Kristus macam apa? Julianus Mojau menggambarkan dengan tepat, bagi Pak Gerrit dalam konteks Gereja sekarang ini, “Yesus Kristus adalah MesiasHamba yang mendasari identitas kekristenan” (Mojau 2004: 370). Tafsirannya terhadap Markus 1 – 3 misalnya memperlihatkan hal ini. Sikap seperti sikap Yesus yang mendahulukan si lemah dan si buruk rupa memang tidak sesuai dengan kecenderungan masyarakat di dalam zaman manapun: masyarakat selalu cenderung mendahulukan yang kuat dan elok. Maka pelayanan yang benar adalah pelayanan yang melawan kecenderungan mendahulukan yang kuat dan elok, dan sikap seorang pelayan yang benar adalah seperti sikap Yesus tersebut” (2006:6).
Pastilah hubungan Pak Gerrit sebagai teolog dengan Gereja sebagai konteksnya paling jelas dan langsung terjadi pada waktu berkotbah maupun berceramah pada pertemuan-pertemuan gerejani. Di situ lagi dan lagi disampaikan undangan terhadap jemaat-jemaat untuk hidup mengikuti Mesias-Hamba sebagai hamba Allah (Ebed Yahweh, Abdullah). 3. Dalam Konteks Masyarakat Keterlibatan Pak Gerrit dalam masyarakat secara langsung terjadi terutama sewaktu dia menjadi Ketua Pusat Pengabdian pada Masyarakat dari Fakultas Theologia UKDW. Namun perlu diingat bahwa, kategori dunia akademis, Gereja, dan masyarakat bukanlah kategori-kategori terpisah-pisah. Apa yang diusahakan secara akademis diharapkan berguna bagi Gereja. Teologi dan Gereja mempercakapkan masalah-masalah masyarakat dan mendorong gerakan yang menggulirkan perubahan yang diperlukan. Pak Gerrit mempercakapkan masalah-masalah masyarakat yang membutuhkan perhatian, seperti masalah kemiskinan, ketidakadilan (termasuk ketidakadilan jender), penderitaan, ekologi, hubungan antar umat beragama, dan hak asasi manusia. Sebagai anggota komunitas Ecumenical Association of Third World Theologians (EATWOT) dapat diduga bahwa teologi Pak Gerrit mengandung dimensi liberatif, feminis, dan ekologis.
43
Julianus Mojau (2004) melalui pendekatan kritik ideologi, dengan tepat tidak memasukkan Pak Gerrit dalam kategori teolog sosial modernisme, melainkan ke dalam kelompok teolog sosial liberatif (210-235) dan ke dalam teolog sosial pluralis (360-377). Sebagai teolog sosial liberatif Pak Gerrit mengembangkan pemikiran mengenai Gereja sebagai komunitas iman Hamba Tuhan yang membebaskan. Komunitas ini menghayati spiritualitas liberatif dan mengembangkan solidaritas yang liberatif-rekonsiliatif. Sebagai teolog sosial pluralis Pak Gerrit mengangkat gagasan komunitas iman umat pilihan sebagai minoritas kreatif, yang rendah hati dan dialogis, yang mendasarkan hidupnya pada Yesus Kristus MesiasHamba. Spiritualitas liberatif tidak hanya berhubungan dengan aksi atau praktek pembebasan, melainkan mengandung unsur kontemplatif. Praxis adalah aksi dan kontemplasi. Pak Gerrit menimba unsur kontemplatif ini terutama dari komunitas kontemplatif ekumenis yang didirikan oleh seorang Pembaharu Calvinisme, yaitu Frère Roger Schutz di Taizé, Perancis. Komunitas ini juga telah menjadi inspirasi bagi para aktivis muda yang berdatangan dari seluruh penjuru dunia. Kepedulian kontekstual sehubungan dengan audiens masyarakat di Indonesia bagi Pak Gerrit berarti juga “menghayati iman Kristen dalam rangka hidup bersama umat Islam” (2001b:158-161). Penghayatan semacam itu juga dirasakan oleh para mahasiswa Islam yang suatu saat berani minta kepada Pak Gerrit untuk mengadakan acara buka puasa. Dalam konteks hidup bersama dengan umat Islam ini Pak Gerrit mengajak untuk meninggalkan teologi yang monokristosentrik, yang menghilangkan Bapa dan Roh Kudus. Pola berteologi kita semestinya Trinitaris-Teosentrik, di mana Teosentrisme dapat berdampingan dengan Kristosentrisme dan Pneumatosentrisme. Barangkali kita bisa menghindari penggunaan sentrisme-sentrisme itu dengan mengatakan bahwa pola teologi kita adalah monotheistrinitaris. Saya sendiri pernah (1994, 1997) membuat tulisan kecil
44
mengenai hal ini, dengan mengusahakan teologi dan penghayatan iman yang tidak berpangkal pada ungkapan dalam bentuk kata benda “Dogma, Trinitas, Unitas”, melainkan bergerak dengan pola kata sifat “Alkitabiah, Monotheis, Trinitaris”. Berteologi, dengan demikian, tidak digambarkan dengan membuat rumusan-rumusan jelas logis matematis mengenai pokok-pokok iman, melainkan lebih dekat dengan pekerjaan seniman yang imaginatif dan kreatif. Bukan saja pandangan yang dikritik Pak Gerrit (Singgih 2001:162) tentang “Allah adalah Yesus”, melainkan juga gambaran bahwa “Allah Bapa = (+) Allah Anak = (+) Allah Roh Kudus = 1 (satu)”, tidak dapat dipertanggungjawabkan secara teologis-alkitabiah dan juga kurang membantu penghayatan iman dan doa umat. Tradisi kristiani tidak pernah membicarakan Bapa, Anak dan Roh Kudus sebagai pengajaran mengenai dua atau tiga Allah, melainkan mengenai Allah Mahaesa (monotheis), mengenai Allahnya Abraham. Sebutan-sebutan yang dikenakan pada Yesus oleh tradisi kristiani sering menimbulkan pertanyaan mengenai keesaan Allah, tidak hanya dari kalangan luar Gereja, melainkan juga dari kalangan Gereja sendiri. Perumusan dogma mengenai Trinitas mengungkapkan pemahaman Gereja mengenai satu Allah (monotheis) berdasarkan pengalaman akan peristiwa Yesus, suatu pengungkapan iman kontekstual yang terjadi dalam perjumpaan dengan konteks Hellenis waktu itu. Yang diungkapkan dalam dogma itu adalah kesaksian iman Alkitab, yakni iman akan satu Allah, dengan mengikuti atau menempuh Jalan Yesus Kristus, dalam daya kekuatan Roh Kudus yang bekerja dalam manusia dan dunia. Yesus merupakan mediasi antara manusia dan Allah. Mediasi itu benar-benar menghubungkan kalau menyentuh manusia (manusiawi) dan menyentuh Allah (ilahi). Salah satu sebutan untuk mediasi itu adalah Firman Allah, yang dalam tradisi Kristiani menunjuk Yesus dan dalam tradisi Islam menunjuk AlQur’an. Dengan menggunakan paradigma mediasi (Firman Allah) yang bersifat ilahi sekaligus manusiawi itu, iman Kristiani akan Allah Tritunggal, (1) Bapa - (2) Yesus/Anak - (3) Roh Kudus, dapat disejajarkan dengan iman Islam: (1) Allah, (2) AlQur’an dan (3) Daya kekuatan Allah yang yang hadir dan bekerja dalam manusia dan dunia. Penyejajaran ini tidak bermaksud menyamakan. Pastilah bahwa bagi jemaat Kristiani Yesus tidak bisa disamakan dengan AlQur’an, dan bagi umat Islam AlQur’an
45
tidak bisa disamakan dengan Yesus. Di sini saya juga tidak bermaksud untuk membandingkan isi dari setiap unsur iman, melainkan untuk memperlihatkan pengalaman hubungan manusia dengan Allah melalui mediasi yang manusiawi sekaligus ilahi. Dengan demikian saya harap umat Kristiani dapat mengkomunikasikan imannya yang monotheis sekaligus trinitaris secara lebih dapat dimengerti. Sekaligus diharapkan juga bahwa pemahaman ini dapat lebih membantu jemaat dalam hidup doa. “Kami berdoa kepada Allah (Bapa), dalam (daya kekuatan) Roh Kudus, dengan perantaraan (mediasi) Yesus”. Kiranya diagram berikut ini memperjelas pertimbangan-pertimbangan ini. ALLAH Yang Maharahim, penuh bela rasa dan belas kasih Yang Mahakuasa dan Mahabesar
(Yesus)
FIRMAN ALLAH (AlQur’an) (Dabar, Logos, Kalimah)
MANUSIA mendengarkan, mengucapkan dan mengikuti Firman Allah oleh DAYA KEKUATAN ALLAH DALAM MANUSIA DAN DUNIA Apa yang saya kemukakaan ini sejalan dengan apa yang dikatakan Pak Gerrit: Yesus adalah jalan, tetapi dengan demikian Ia bukanlah tujuan terutama, sebab Ia adalah jalan menuju sang Bapa, seperti yang disaksikan oleh Injil Yohanes. Penghayatan terhadap sesembahan kita yang bersifat Teosentrik merupakan penemuan kembali (rediscovery) Teosentrisme yang terdapat dalam dasar-dasar iman kita sendiri” (2001:161)
46
Paradigma mediasi rupanya juga lebih sesuai dengan pengembangan dialog teologis dalam kerangka paradigma holistik. Semuanya mempunyai peran dalam keseluruhan, satu sama lain saling memperkaya, namun tidak bisa dikatakan semua sama saja. Dari yang berbeda-beda itu terdapat titik temu. Tidak semua dianggap sebagai sama-sama benar, namun yang kurang atau tidak benar di tengahtengah sejarah ini mempunyai peran dalam transformasi, dalam gerak pembebasan menyeluruh menuju kepenuhan utuh dari semuanya (makna kaos?). Kristologi dapat berkembang menuju refleksi yang liberatif, kosmik-holistik. 4. Teolog Kontekstual Macam Apa? Setelah melihat ketiga audiens di atas, kita bisa bertanya teolog kontekstual macam apakah Pak Gerrit itu. Salah satu cara untuk menggambarkan adalah dengan melihat macam-macam model teologi kontekstual yang ada, misalnya sebagaimana sudah dideskripsikan oleh Stephen B. Bevans (2002). 4.1. Model-model: Cara mempertemukan pengalaman pengalaman masa lampau
masa
kini
dan
Dalam edisi kedua dari bukunya Model-model Teologi Kontekstual (2002), Bevans memahami teologi kontekstual sebagai ihwal yang secara sungguh-sungguh mengindahkan dua hal: pengalaman masa lampau (yang terekam dalam Kitab Suci dan diwariskan serta dipertahankan dalam tradisi), dan pengalaman masa kini, yakni konteks (pengalaman individual dan sosial, kebudayaan sekular atau religius, lokasi sosial serta perubahan sosial) (Bevans 2002:xxi).
Bevans menggunakan istilah “model” tidak dalam arti gambarangambaran simbolis seperti diunakan oleh Ian G. Barbour, Avery Dulles, dan Sallie McFague, melainkan dalam arti model-model operasional yang menyangkut metode teologis. Setiap model menampilkan suatu cara berteologi tertentu, dengan konteks tertentu serta titik tolak teologis khas dan pengandaian-pengandaian teologis yang khas pula. (Bevans 2002:58).
47
Sebuah model – dalam arti yang paling sering digunakan dalam teologi – adalah apa yang disebut sebagai model teoretis. Ia adalah sebuah “kasus” yang berguna untuk menyederhanakan sebuah realitas yang majemuk lagi rumit, dan walaupun penyederhanaan semacam itu tidak secara penuh menangkap realitas tersebut, namun ia sungguh-sungguh menghasilkan pengetahuan yang benar tentangnya. Model-model teoretis bisa saja bersifat eksklusif atau paradigmatik, atau inklusif, deskriptif, atau komplementer (Bevans 2002:57).
Ada model apa saja? Bevans menyebut 6 model, yakni model budaya tandingan, model terjemahan, model sintesis, model praxis, model transendental, dan model antropologis. Model-model sebagaimana digunakan oleh Bevans adalah model-model teoretis yang bersifat inklusif atau deskriptif. Model-model teologi kontekstual merupakan cara berfikir yang lebih jelas mengenai interaksi antara pesan Injil dengan kenyataan hidup aktual masa kini atau konteks. Kesaksian tradisional masa lampau dihargai sekaligus perubahan sosial ditanggapi. Itulah sumbangan darti model-model. Kekurangan dari penggunaan model-model ini sudah diuraikan juga oleh Bevans, yang memberikan penelaian kritis secara positif maupun negatif terhadap setiap model. Setiap model selalu terbatas dan tidak mungkin menampung segala yang ada pada pemikiran teologis seseorang. Model sebagai cara berfikir dan cara berteologi yang satu dalam hal tertentu bisa sejalan dengan yang lain. Misalnya saja dalam model Bevans itu tradisi profetik dimasukkan ke dalam model praxis dan model budaya tandingan. Juga anggapan bahwa Alkitab dan tradisi dikondisikan secara kultural dimasukkan ke dalam model antropologis, model praxis, dan model sintesis. Masalah yang perlu diperhatikan dalam upaya berteologi kontekstual adalah hubungan antara yang partikular dan yang universal. Teologi kontekstual tidak mengaplikasikan rumusan universal dalam konteks partikular, melainkan menggumuli masalah lokal (partikular) dalam keterbukaan dialog dengan semua orang (universal) dengan harapan pada gilirannya mempunyai makna bagi komunitas lokal (partikular) maupun bagi semua orang (universal). Teologi kontekstual yang
48
mempunyai horison universal tidak bisa meninggalkaan dialog dengan komunitas masa lampau dan masa kini, dengan komunitas lintas Gereja maupun lintas Agama. Teolog seperti itu hidup dalam sensus fidelium (rasa umat beriman), dan dengan demikian tidak mengclaim sebagai yang paling benar secara tertutup. Sikap Pak Gerrit yang terbuka dalam dialog dengan warisan-warisan masa lampau dan dengan kenyataan masa kini kelihatan misalnya dalam refleksinya sehubungan dengan ajaran Calvin. Terhadap warisan Calvin ini saya mau mengusulkan penambahan ide umat terpilih yang melayani dunia. Atau dengan kata lain, menjalankan ajaran Calvin tetapi dengan menyorotinya di bawah terang pesan hamba Tuhan di dalam Kitab Yesaya.”… “Sebab di dalam Kitab Yesaya kita melihat bagaimana ideal yang mau dikejar itu diperjuangkan dalam relasi dengan orang lain, dengan dunia dan bukan hanya bagi diri sendiri (2000b:141).
4.2. Model Sintesis? Pada awal semester 2009 Pak Gerrit menulis pengantar PA yang mengambil bahan Nehemia 1:5-11. Nehemia berhasil membangun tembok perlindungan bagi Yerusalem. Terhadap “teologi tembok” Nehemia, dia mengatakan: Yang ditunggu-tunggu oleh banyak orang pada masa kini di zaman pergaulan antar agama di Indonesia adalah sebuah “teologi jembatan”. Tetapi saya mengerti bahwa bukan hanya pada zaman Nehemia, tetapi juga pada masa kini orang masih sangat mengidentikkan tembok dengan identitas, sehingga kalau yang diinginkan tetap tembok, ya sudah, apa boleh buat, tetapi buatlah “teologi tembok terbuka”, atau “tembok bolong (dikit)”, supaya tetap ada komunikasi religious yang wajar dengan yang lain.
Bagi Pak Gerrit tafsir berarti eksegese dan hermeneutik (2009:ix). Hal itu berarti bahwa penafsir menempatkan teks dalam konteks masa lalu (eksegese) sekaligus menempatkan teks dalam konteks masa kini (hermeneutik). Usaha menempatkan teks seperti itu tidak dijalankan tanpa dialog dengan konteks-konteks lain, baik dari dunia ketiga maupun dari dunia pertama. Sehubungan dengan ini penggambaran model sintesis dari Bevans (2002b:93) memang dapat dikenakan pada Pak Gerrit.
49
Pengalaman masa lalu - Alkitab - Tradisi
-
Pengalaman masa kini (Konteks) Pengalaman (personal, komunal) Kebudayaan (sekular, religius) Lokasi sosial Perubahan sosial
Konteks dan bentuk pemikiran lain, dll. Meskipun rupanya model sintesis dalam kategori Bevans itu paling dekat untuk menggambarkan teologi kontekstual Pak Gerrit, namun sekali lagi perlu diingat bahwa Bevans menggunakan model ini secara inklusif dan deskriptif. Yang jelas dapat diinklusikan dalam teologi Pak Gerrit adalah penggunaan dasar Alkitab dari tradisi profetis yang juga menandai model praxis dan model budaya tandingan. Hal ini juga jelas juga kalau dilihat dari teologinya dengan dimensi liberasi dan dimensi konfrontasi (di samping dimensi konfirmasi) yang ada terhadap budaya. Spiritualitas profetis Pak Gerrit juga akan mengintegrasikan interpretasi terhadap tradisi profetik yang dapat dipertanggungjawabkan dari gerakan karismatik. Ada pepatah, in medio stat virtus, keutamaan berada di tengahtengah. Orang ekstrem kanan dan ekstrem kiri kurang cocok dengan diskursus Pak Gerrit, karena harus melewati dialog sana-sini dan akhirnya bermuara pada pandangan seimbang yang dirasa kurang tegas. Orang ekstrem tengah (istilah Mangunwijaya) juga kurang cocok, karena Pak Gerrit tidak berdiri di tengah secara beku dan kaku. Suatu saat dia memang condong ke kanan atau condong ke kiri. Lalu siapa yang cocok? Siapa saja yang mau bercakap-cakap dan berusaha untuk lebih memajukan kemanusiaan, yang mau lebih mengembangkan pengalaman religius, dan yang mau lebih dekat mengikuti dan meniru Yesus. Itulah Emanuel Gerrit Singgih, sahabat dan kolega yang saya kenal. Selamat Hari Ulang Tahun dengan rasa syukur atas berkah melimpah.
50
Daftar Kepustakaan Banawiratma, J.B. 1994 "Kristologi Kontekstual". Dlm. Orientasi Baru. No. 8: 233-241. 1997 “Kristologi dan Ilmu Agama-agama”. Dlm. Teologi Lintas Ilmu. Menguji Omongan Agama (= Orientasi Baru No. 10): 57-68. Bevans, Stephen B. 2002 Model-model Teologi Kontekstual. Maumere: Penerbit Ledalero. Aslinya: 2005 (cetakan ke-5 dari edisi kedua 2002, edisi pertama 1992). Models of Contextual Theology Maryknoll, NY: Orbis Books. Bungin, Raymon Rombe 2009 Telaah atas Upaya Emanuel Gerrit Singgih Menyusun Tafsiran Alkitab Yang Kontekstual Indonesia dalam Buku Tafsiran Kitab Pengkhotbah, Yogyakarta: Fakultas Theologia, UKDW. Drewes, B.F. 2005 “Kitab Pengkhotbah, Dua Tafsiran Kontekstual”, dalam Forum Biblika 17: 109-125. Hauw, Andreas 2002 “Tinjauan buku Hidup di Bawah Bayang-bayang Maut. Sebuah Tafsir Kitab Pengkhotbah”, dalam Forum Biblika 15: 76-77. Kwok Pui-lan 1995 Discovering the Bible in the Non-Biblical World. Maryknoll, NY: Orbis Books. Mojau, Julianus 2004 The Indonesian Protestant Christian Social Theology during the New Order (ca. 1970s-1990s); A Critical Study of Christian-Muslim Relations in Indonesia. Yogyakarta (Faculty of the South East Asia Graduate School of Theology): 210-235, 360377. Schreiter, Robert
51
2001
Rancang Bangun Teologi Lokal. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Aslinya 1985 Constructing Local Theology. Maryknoll, NY: Orbis Books. Singgih, Emanuel Gerrit 1982 Dari Israel ke Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2000a Berteologi dalam Konteks. Pemikiran-pemikiran mengenai Kontekstualisasi di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2000b Iman dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2001 Hidup di Bawah Bayang-bayang Maut: Sebuah Tafsir Kitab Pengkhotbah. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2002 Teologi Kontekstual di Asia. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. 2006 “Imitatio Jesu: Penggambaran Yesus di dalam Markus 1-3 sebagai Pembaharu Agama dan Masyarakat”, dalam Gema Teologi. Vol 30 no. 2:111. 2009 Dua Konteks. Tafsir-tafsir Perjanjian Lama sebagai Respons atas Perjalanan Reformasi di Indonesia. Jakarta: BPKGunung Mulia. Tracy, David 1991 The Analogical Imagination. Christian Theology and the Culture of Pluralism. New York: Crossroad.
52
Bagian II
KONTEKSTUALISASI MASA KINI
Alle Hoekema Frans Wijsen Robert Setio Wahju S. Wibowo
Peran (Oto)Biografi dan Buku Harian dalam Teologi Kontekstual Indonesia Berdasarkan Pandangan James McClendon Alle Hoekema
Riwayat hidup, otobiografi, surat-surat dan buku harian pribadi bisa dianggap sebagai suatu bagian dari narasi dalam arti luas. Bagi teologi kontekstual narasi itu merupakan salah satu sumber utama. Hal itu tidak hanya nyata dalam teologia pastoral dan teologia Alkitab, melainkan juga didalam sejarah gereja, missiologia dan sistematika.1 Dalam sumbangan ini kami minta perhatian untuk peran ego-dokumen, seperti riwayat hidup atau biografi (termasuk otobiografi dan lain-lainnya) bagi teologia kontekstual. Karangan ini terdiri dari dua bagian. Dalam bagian pertama kami ingin menerangkan usaha sistematis James McClendon untuk mengutamakan „Biography as Theology‟, sedangkan dalam bagian berikut kami melukiskan situasi biografi-biografi di kalangan Kristen di Asia dan secara khusus di Indonesia. Akhirnya kami memberi beberapa saran.
Teologi James McClendon James Wm. McClendon (1924-2000) lahir di Louisiana, USA, sebagai anak dari seorang ayah yang Metodis dan ibu yang Baptis (dalam hal itu Southern Baptist yang cukup konservatip). Dia memanggil diri „baptis‟, dengan huruf b kecil. Artinya: untuk dia istilah „baptis‟ adalah jauh lebih luas daripada suatu gereja Baptis saja. Menurut McClendon, di samping gereja Roma Katolik dan gereja yang berazas Calvin dan Luther ada golongan gereja-gereja ketiga, yaitu semua free church, artinya Mennonite, Metodis,
Profesor Emeritus dalam bidang Misiologi di Vrije Universiteit, Amsterdam.
53
Episcopalians, Baptis dan lain lain. McClendon mengaku bahwa dia sangat dipengaruhi oleh John Howard Yoder (1927-1997), khususnya bukunya The Politics of Jesus (1972, 1994). Dalam buku itu Yoder, seorang teolog Mennonite, antara lain berusaha menerangkan bahwa etika Perjanjian Baru, teristimewa etika Khotbah dibukit (Mattius 5-7) tidak merupakan cita-cita eskatologis yang tak mungkin diwujudkan sekarang, melainkan suatu etika yang bisa dilaksanakan oleh jemaat Kristen masa kini. McClendon menganggap Yoder dan juga Stanley Hauerwas sebagai teologteolog narratif; itu terutama benar dalam buku-buku kecil tulisan John Yoder, seperti What would you do? A Serious Answer to a Standard Question (1983). Di dalam buku itu Yoder berusaha membuktikan realita etika tanpa menggunakan kekerasan, dengan menjelaskan contoh-contoh Leo Tolstoy, Henry Hodgkin, Joan Baez, Dale Brown dan lain-lain. Mereka semuanya berusaha untuk hidup tanpa kekerasan dalam situasi dimana pada umumnya jawaban standar dibenarkan, yaitu: „perang yang adil‟. Teologi McClendon menarik perhatian karena dua hal. Pertama-tama karena dia menekankan peran biografi sebagai bagian integral dalam suatu teologi sistematis. Artinya, potret biografis dari sejumlah tokoh (baik teolog maupun awam) memainkan peran dalam tulisannya. Dan yang kedua, teologi sistematisnya dibagikan tiga jilid tetapi mulai dengan Ethics, Etika (1986), baru kemudian Doctrine, Iman dan akhirnya Witness, kesaksian.2 Jilid terakhir itu selesai beberapa bulan sebelum dia meninggal dunia. Sebelumnya dia sudah menulis buku pertama, yaitu Biography as Theology: How Life Stories can Remake Today’s Theology (1974).3 Di dalam Biography as Theology McClendon melukiskan sketsa biografis antara lain dari Dag Hammerskjǿld, mantan Sekretaris Jendral dari Persekutuan Bangsa-Bangsa; Martin Luther King, pelopor emansipasi kaum kulit hitam di Amerika Serikat; Clarence Jordan (1912-1969), seorang petani dan ahli bahasa Yunani Perjanjian Baru, yang menjadi pendiri dari „Koinonia Farm‟, suatu kommunitas kecil tapi berpengaruh di Southwest Georgia, dan penerjemah Perjanjian Baru dalam bahasa sehari-hari;4 dan Charles Ives (1874-1954), komponis musik klasik penting yang baru setelah
54
dia meninggal dihargai sebagai „American Original‟ yang menggunakan musik rakyat dalam komposisinya. Duabelas tahun kemudian setiap bagian utama dari Ethics disertai biografi seseorang tokoh: Sarah dan Jonathan Edwards; Dietrich Bonhoeffer; dan Dorothy Day. Di dalam volume 2 (Doctrine) dan 3 (Witness) dia menggunakan metode yang sedikit berlainan; namun, riwayat kehidupan tokoh-tokoh penting juga memainkan peran penting dalam jilid-jilid itu. Alasan-alasan untuk memberi perhatian untuk biografi dan narasi pada umumnya Mengapa McClendon begitu tertarik pada riwayat hidup, khususnya dalam jilid tentang etika dalam teologia sistematisnya? Ada tiga alasan yang bisa disebut. a) Pertama-tama, zaman Pencerahan, masa jaya rasionalisme dalam sejarah filsafat dan kebudayaan Eropa pada abad ke-18, kurang menghargai narasi. „In the course of the Enlightenment there had been a consistant attempt to de-narrativize the content of religion‟, demikianlah McClendon dalam suatu wawancara dengan Ched Meyers.5 Pikiran zaman Pencerahan secara sangat dalam mempengaruhi filsafat idealisme, ilmu sejarah dan teologia Jerman dan Belanda. Maka yang dianggap penting ialah: gagasan-gagasan dan bayangan-bayangan, pikiran-pikiran rasional – bukan experience atau pengalaman manusiawi (itu justru ditekankan sebagai reaksi dalam zaman Romantik). Itu berarti bahwa ilmu sejarah hanya menggunakan sumber-sumber tertulis seperti arsip-arsip, dan arah ilmu sejarah ditentukan oleh gagasan filsafat. „History stood in need of being enlightened by philosophy‟.6 Itulah sebabnya dalam teologia dunia Barat kita tidak bertemu dengan bagian-bagian naratif. Teolog terkenal Swiss Karl Barth, misalnya, menulis beberapa monografi tentang tokoh-tokoh teologia dan filsafat (seperti David Friedrich Strauss, Immanuel Kant, dan juga Mozart)7 tapi di dalamnya dia hanya menitikberatkan peran teologis, gerejani atau kebudayaan mereka, bukan kehidupan, susah-payah mereka atau pengalaman mereka. Alasannya, dalam teologia Karl Barth yang perlu diperhatikan ialah Firman Allah sebagai penyataan Allah yang tegak lurus dari atas („senkrecht von oben‟), dan semua pengalaman
55
pribadi manusia seolah-olah mengesampingkan dan mengotori penyataan Allah itu. Itulah yang menjadi nyata dalam perdebatannya dengan Emil Brunner: „Nein‟, yaitu: Tidak! terhadap setiap titik pertemuan dengan Allah yang berasal dari fihak manusia. Maka karena itu di dalam daftar istilah-istilah di belakang Dogmatika Gereja (13 jilid tebal antara 1932-1967) kata „biografi‟ hanya muncul sesekali saja! Di jilid III/4 Barth menulis, bahwa manusia sebenarnya tidak bisa mengenal keseluruhan masa lalunya – hanya Allah yang menguasai sejarah: Maka karena itu, setiap biografi dan secara khusus otobiografi, harus dianggap sebagai suatu usaha yang perlu dipertanyakan, karena praasumsinya ialah bahwa sesorang bisa duduk di suatu kursi untuk menengok kedidupan seorang lain atau kehidupannya sendiri secara kronologis, membandingkan tahap-tahapnya satu dengan yang lain, dan bisa menilai dan memahami perkembanganperkembangannya.8
Demikian pula teolog-teolog lain pada masa itu. Gagasan-gagasan mereka dianggap penting tetapi kehidupan pribadi diri mereka, atau teman-teman mereka dan konteks sosial mereka rupanya tidak dianggap penting –karena tak pernah bisa direkonstruksikan secara murni dan objektip oleh manusia. Sebaliknya, menurut kami, (oto-)biografi dan pengalaman hidup justru sangat penting untuk mengerti konteks dan latar belakang teolog-teolog dan orang-orang Kristen pada umumnya. Kami teringat bahwa selama studi kami sendiri di Universitas Amsterdam (dalam tahun enampuluhan abad yang lalu) dosen-dosen kami sama sekali tidak memperhatikan kehidupan dari tokoh-tokoh yang teologinya dianggap berarti. Padahal, misalnya, para teolog Jerman dalam abad keduapuluh semuanya mengambil sikap tertentu dalam perang dunia II, terhadap nasionalisme dan rasisme rezim Jerman Nazi. Ada yang seperti Dietrich Bonhoeffer mengikuti sikap Bekennende Kirche, gereja bebas dan non-resmi yang menuruti azas-azas gerejani di dalam pengakuan iman Barmer Thesen (1934) dan memisahkan diri dari Deutsche Christen („Kristen Jerman‟). Sebaliknya ada juga yang mengikuti Deutsche Christen yang taat pada politik Nazi. Contohnya ialah Gerhard Kittel (1888-1948), penyunting Theological
56
Dictionary of the New Testament, yang selama masa Nazi (19331945) paling tidak bersikap lemah dan anti-Yahudi.9 Apa artinya sikap nasionalistisnya yang anti-yudais untuk teologianya, misalnya untuk pandangannya terhadap Yesus sebagai orang Yahudi? Perhatian untuk teologia dan sejarah naratif (termasuk oral history) baru tumbuh lagi didalam tahun delapanpuluhan di USA, antara lain karena black history dan black theology menekankan jenis sejarah dan teologia itu. Sumber-sumber untuk menggali black history adalah sumber-sumber lisan, kesaksian-kesaksian pribadi, nyanyiannyanyian dan sebagainya. Sebenarnya gerakan black history menjadi bagian dari gerakan pembebasan (antara lain liberation theology) yang menaruh perhatian besar sejak tahun-tahun tujuhpuluhan. b) Menurut McClendon, alasan kedua untuk menitikberatkan biografi ialah hal berikut. Dia berasal dari gereja Baptis yang latar belakangnya dissenter church yang bersifat agak anti-intelektual, sama seperti gereja-gereja Mennonite di USA. Bukan pikiran yang sangat mendalam dan indah, yang abstrak dan tak terikat dengan zaman, tapi teladan kehidupan seorang Kristen yang dianggap berarti. Gereja-gereja itu lebih dipengaruhi oleh revivalisme daripada oleh puritanisme seperti di dalam Calvinisme. Sikap itu menjelaskan mengapa jarang sekali aliran Baptis (dan pada umumnya dissenter) menulis teologi sistematis! Mula-mula mereka mungkin agak malu, karena aliran lain (gereja-gereja Katolik, Calvinis, Luther) punya sistematika yang bagus – seperti gereja-gereja di dunia Asia dan Afrika pada permulaan merasa agak malu, karena hanya memiliki teologi fragmentaris, yang malah disebut beggarly theology oleh Albert Widjaja dalam tahun tujuhpuluhan abad ke duapuluh. Toh, lama-lama gereja-gereja dissenter mulai sadar bahwa mereka boleh merasa bangga karena sifat itu sehingga mereka mulai membela dan menerangkan posisi teologis tersendiri. Karena itu McClendon merasa berhutang pada John Howard Yoder, yang untuk pertama kali dalam sejarah free church menulis suatu buku sistematis-Alkitabiah, sesuai dengan posisi dan tradisi baptis dan anabaptis itu. Dalam „Prolegomena‟ teologia sistematisnya, yang sebenarnya menjadi pembelaan mengapa dia mulai karangannya
57
dengan suatu jilid tentang Etika, McClendon menunjuk pada kronikel-kronikel abad enambelas seperti Martyrs’ Mirror („Cermin para martir‟ yang mati syahid), di mana puluhan kesaksian tercatat, baik surat-surat keluar dari penjara maupun penyataan-penyataan dan kesaksian-kesaksian di hadapan pengadilan, yang semuanya ditulis oleh mereka yang dihukum mati oleh pemerintah Katolik maupun Protestan karena mereka dianggap termasuk „sekte‟ Anabaptis.10 Selain itu McClendon menunjuk pula pada black history di USA, misalnya buku-buku nyanyian sebagai sumber di mana pengalaman iman dicerminkan dan kepada kehidupan/biografi tokoh-tokoh tertentu. c) Akhirnya alasan ketiga, menurut McClendon, ialah bahwa menurut tradisi free church, The baptist vision reminds us that the narrative the Bible reflects, the story of Israel, of Jesus, and of the church, is intimately related to the narrative we ourselves live. Thus that vision functions as a hermeneutic that relates our experience to the Scriptures, showing how the two are joined.11
Itu berarti: apa yang ditulis dalam Perjanjian Lama tentang para nabi dan Israel dan dalam Perjanjian Baru tentang diri Yesus dan gereja muda, langsung ada kaitan dengan kita sekarang. Etika eskatologis yang diwujudkan para murid Yesus dan jemaat pertama, juga berlaku untuk jemaat sekarang.12 Sikap itu terhadap eskatologi ikut menentukan nisbah antara etika dan biografi. Kehidupan eskatologis menjadi nyata dalam kehidupan orang-orang Kristen yang patut menjadi teladan. Karena itu, jilid 2 dari Systematic Theology McClendon, Doctrine, dimulai dengan suatu pasal tentang eskatologi! Gereja dalam segala zaman termasuk zaman kita (seharusnya) mencerminkan kehidupan eskatologis. Dengan sendirinya tradisi itu mengimplikasikan pula suatu eklesiologi dan Kristologi yang lain dibandingkan gereja-gereja Katolik dan Calvinis. Dalam eklesiologi tentu ada ruang untuk suatu pengakuan iman bersama, namun yang lebih penting ialah menuruti teladan mata rantai saksi-saksi iman yang mendirikan dan memelihara jemaat sebelumnya. Dan Kristologi tidak hanya
58
menitikberatkan kesengsaraan dan kebangkitan Kristus sebagai wakil manusia supaya manusia yang berdosa bisa selamat, melainkan juga teladan Yesus sebagai guru, nabi dan ahli penyembuh. Itulah sebabnya John Howard Yoder pernah mengusulkan supaya dirancang suatu Yesulogi baru untuk menggantikan Kristologi klasik.13 Prioritas untuk Etik Mengapa McClendon mulai teologi sistematisnya dengan Etika? Definisi teologi yang diberikan olehnya ialah: The discovery, understanding, and transformation of the convictions of a convictional community, including the discovery and critical revision of their relation to one another and to whatever else there is.
Teologi adalah penjelajahan, pengertian dan transformasi keyakinan („conviction‟, iman) dari suatu persekutuan (gereja) yang berdasar pada keyakinan itu, termasuk penjelajahan dan revisi kritis dari nisbah keyakinan-keyakinan itu. Yang menjadi subjek berteologi ialah jemaat, gereja, persekutuan tersebut – termasuk narasinya dan biografinya. Sasaran teologi ialah menggali, mengerti, dan sejauh perlu merevisi keyakinan itu. Istilah „keyakinan‟ boleh diinterpretir lebih luas daripada: dogma. Cara hidup adalah bagian dari „keyakinan‟ itu juga! Maka karena itu dia mulai dengan etika: in order to reflect on this vision [of the baptist church] we have to acknowledge the rich resources for theology in the narrative common life of that vision, and the appropriate point of departure for reflection is theological ethics.14
Jadi: teologi berhubungan dengan seluruh kehidupan gereja/jemaat („narrative common life‟). Oleh karena itu, teologi mulai dengan etika. Etika didefinisikan McClendon sebagai theories of morality, that is, a conduct or a way of life; accordingly, “Christian ethics” will refer to theories of the Christian way of life (Ethics, 47).
59
dan, over against the modern focus on decisions as the essence of morality I will emphasize instead the story-formed or narrative share of the shared life of the Christian churc‟ (Ethics, 47, 48).
Yang penting ialah antara lain (lihat Ethics, 28): hidup sesuai dengan wewenang Alkitab („humble acceptance of the authority of Scripture for both faith and practice‟) menjadi saksi dari Injil Tuhan (‟the responsibility to witness to Christ – and accept the suffering that witness entails‟) Kebebasan untuk menyembah Allah sesuai hati nurani tanpa keterlibatan pemerintah atau kuasa masyarakat lain („the God-given freedom to respond to God without the intervention of the state or other powers‟ di dalam suatu „intentional community‟) Discipleship („life transformed into service by the lordship of Jesus Christ‟) Komunitas („sharing together in a storied life of obedient service to and with Christ‟). Semua hal itu diringkas oleh McClendon sebagai berikut: The vision can be expressed as a hermeneutical motto, which is shared awareness of the present Christian community as the primitive community and the eschatological community. In other words, the church now is the primitive church and the church on the day of judgment is the church now; the obedience and liberty of the followers of Jesus of Nazareth is our liberty, our obedience.15
Artinya, Ethics dalam interpretasi McClendon tidak merupakan „decisionisme‟ atau ilmu mengambil keputusan-keputusan, melainkan, sesuai dengan contoh Bunyan dalam Pilgrim’s Progress („Perjalanan seorang musafir‟), „a Christian life where vision and community and hope converge in the disciples way‟ (Ethics, 62). Di dalam Ethicsnya, McClendon menyinggung tiga benang yang terjalin ke dalam satu tali16, yaitu tiga segi kehidupan seorang Kristen, yang hanya boleh dan bisa diterima sebagai kesatuan:
60
a) Wilayah kehidupan organis, penciptaan alam: kepribadian manusia dan kehidupan dengan tubuh, termasuk eros, etika cinta seksuil. Dalam bagian ini dia memasukkan suatu biografi dari Sara dan Jonathan Edwards (1703-1758), seorang pengkhotbah revivalis yang termasyur. Hanya, McClendon secara khusus menekankan di sini hubungan antara teologi Edwards dan kehidupan mereka sebagai pasangan suami-isteri. Menurut kami, gnostik kurang memperhatikan kehidupan organis ini, demikian pula barangkali gereja-gereja Anabaptis. b) Wilayah dunia sosial: etika sosial. Di sini diberi tempat kepada Dietrich Bonhoeffer. Ada dua hal yang dibicarakan McClendon disini. Pertama-tama, mengapa akhirnya Bonhoeffer tidak jadi pergi ke Ghandi di India, dan kemudian, mengapa akhirnya Bonhoeffer setuju menggunakan kekerasan padahal sebelumnya, dalam bukunya Nachfolge („Discipleship‟), dia mengambil posisi prinsipiil untuk tidak berdaya. McClendon tidak memberi penilaian tentang perubahan sikap Bonhoeffer dan ternyata memasukkan dia dalam wilayah dunia sosial. Namun, bagian Ethicsnya ini diakhiri dengan suatu uraian tentang „the politics of forgiveness‟. Mungkin individualisme protestan, paling tidak di Eropa dan Amerika Serikat pada masa lampau, melalaikan benang kedua ini. c) Wilayah hidup sebagai manusia yang dibangkitkan, yaitu kehidupan eskatologis. Jemaat Kristen telah menjadi saksi kebangkitan Yesus dari antara orang mati dan hidup didalam dunia baru itu! Biografi Dorothy Day (1897-1980) dicontohkan di sini: seorang aktivis katolik selama masa cold war dalam tahun limapuluhan, yang sangat dicurigai FBI karena dia berpolitik sosialis (bukan komunis!). Namun kemudian Dorothy Day menekankan Kerajaan Allah dengan sikap pasifis dan menjadi pendiri gerakan The Catholic Worker yang mementingkan „hospitality‟ dan mengurus banyak wisma keramahtamahan untuk tunawisma. Pasal terakhir dalam bagian Ethics ini berjudul: „A Future for Peace?‟ Barangkali kita bisa menyimpulkan bahwa gereja katolik melalaikan wilayah kehidupan eskatologis ini.
61
Tentu contoh-contoh biografis di atas bisa diberdebatkan, demikian pula wilayah di mana mereka ditempatkan. Bonhoeffer, misalnya, bisa diberi tempat juga dalam wilayah hidup ketiga dan Dorothy Day dalam wilayah dunia sosial. Dan kita harus mengakui bahwa cakrawala McClendon terbatas pada dunia barat! Namun demikian prinsipnya, yaitu kepentingan konteks biografis dan otobiografis dan nisbahnya dengan prioritas etika dalam teologi sistematika, artinya, prioritas untuk orthopraxis, kami dukung secara penuh. Peran Biografi dalam Teologi Kontekstual Biografi-biografi dan egodokumen lainnya menyediakan suatu latar belakang penting, baik untuk menanggap sejarah gereja, maupun untuk pengertian dan arah teologi dalam salah satu konteks. Memoirs (1973) yang ditulis Willem Adolf Visser ‟t Hooft, mantan sekretaris jendral dari Dewan Gereja-Gereja se Dunia, sangat membantu kita untuk mengerti sejarah DGD itu dalam konteks-konteks politik dan agama sebelum, selama dan sesudah perang dunia II. Dan – contoh yang sangat berlainan – otobiografi yang dihasilkan Charles Christano, mantan ketua Gereja Kristen Muria Indonesia, sebagai „sumber daya manusia‟ memberi keterangan yang berharga untuk mengerti perjalanan spiritual pribadinya maupun perkembangan gerejanya, biarpun otobiografi tersebut secara khusus membicarakan masa muda dan masa studinya saja.17 Bahkan, (oto-) biografi dari tokoh-tokoh lokal atau anggota-anggota gereja biasa bisa menolong generasi berikut untuk mengerti motif-motif mereka dan visi mereka. Lantas, melalui ego-dokumen-dokumen kita mengerti bahwa setiap teolog dan dengan demikian teologinya dipengaruhi oleh konteks politik, sosial, budaya. Seperti dijelaskan di atas, para teolog Jerman dipengaruhi oleh rasionalisme, oleh gagasan-gagasan filsafat idealisme, oleh Marxisme, juga oleh pengalaman-pengalaman politik selama perang dunia I, perang dunia II, perpecahan negara Jerman antara 1945-1989 karena komunisme di Rusia dan negara-negara satelitnya. Teolog-teolog Amerika Serikat dipengaruhi oleh akibatakibat perang kemerdekaan dalam abad kedelapanbelas, di mana akhirnya negara itu menjadi negara Amerika Serikat; kemudian juga oleh perjuangan orang-orang hitam, bekas budak, untuk mendapat tempat yang sewajarnya (black theology); dan akhirnya oleh trauma
62
perang Vietnam dalam tahun tujuhpuluhan abad keduapuluh. Para teolog di Indonesia dipengaruhi oleh zaman kolonialisme; kemudian oleh era kemerdekaan dengan semangat kesatuan, termasuk semangat ekumenis, yaitu kesatuan gereja-gereja; kemudian oleh suasana sekitar 1965 dan orde baru sesudah itu; lantas oleh perhatian baru pada kebudayaan daerah dan perhatian politis regional; dan belakangan ini oleh makin kuatnya agama Islam di negeri Indonesia ini. Demikian pula teolog-teolog di negara-negara lain. Tiga Contoh Pentingnya Konteks dalam Teologi Di samping itu, setiap teolog juga dipengaruhi oleh latar belakang pribadinya. Secara singkat kami menyebut tiga contoh. Pertama-tama Karl Barth, yang namanya sudah disebut di atas. Kita harus bertanya sampai di mana dia dipengaruhi oleh kebangsaannya sebagai seorang Swis: suatu negeri yang tidak pernah dimasukkan dalam perang, dan di mana tak ada kemungkinan untuk menolak kewajiban militer. Apakah latar belakang itu mempengaruhi sikapnya terhadap perang sebagai suatu hal yang boleh disetujui dalam Grenzfall, yaitu situasi kasus yang sangat serius?18 Berhubung dengan riwayat hidupnya pribadi, selama puluhan tahun Barth ada relasi intim dengan sekretarisnya, nona Charlotte von Kirschbaum. Itu menimbulkan pertanyaan sampai di mana kenyataan itu mempengaruhi posisi teologisnya dan etisnya tentang pernikahan? Contoh lain ialah Bonhoeffer. Didalam biografi Bonhoeffer yang ditulis temannya Eberhard Bethge, dijelaskan bahwa keinginan Bonhoeffer untuk pergi ke India untuk menemui Gandhi di negeri India dan belajar dari Gandhi sebenarnya berasal dari „suatu campuran rasa ingin tahu dan sikap skeptis‟ terhadap gereja-gereja di dunia Barat.19 Menurut Betghe, Barth dan teman-teman lain dari Bonhoeffer, alasan-alasan tersebut sebenarnya kurang tepat. Sebab, menurut Barth dalam suatu surat kepada Bonhoeffer bulan Oktober 1936, apa gunanya seseorang Kristen belajar „salah satu tekhnik rohani‟ dari orang non-kristen seperti Gandhi atau „teman-teman Allah‟ lainnya di Asia? Sebaliknya, kami yakin bahwa kita harus menyayangi bahwa Bonhoeffer tidak pergi ke India! Barangkali teologinya dan etikanya kemudian hari berbeda dari apa yang akhirnya terjadi. Ada faktor kontekstual lain dalam hidup Bonhoeffer
63
yang penting juga. Iparnya Gerhard Leibholz, suami dari adik perempuan kembar Sabine, berasal dari bangsa Yahudi, sehingga semasa pemerintah kaum Nazi dia dikejar dan akhir 1938 terpaksa beremigrasi ke Inggris.20 Hal itu pasti mempengaruhi sikap teologis Bonhoeffer dalam perjuangan anti-Hitler. Contoh terakhir diberi Gerrit Singgih. Dalam jurnal dan meditasi yang disusun beliau selama dia seorang mahasiswa teologi di Yogyakarta, tahun 1976-198021, kita belajar banyak tentang pergumulan pribadi seorang muda dan faktor-faktor teologis yang kemudian hari tetap mempengaruhi beliau: Augustinus, Franciscus; gerakan ekumenis; spiritualitas Taizé, dan keadaan gereja Indonesia yang kurang berkontekstualisasi: Banyak orang Kristen di Indonesia tidak hidup dalam dunia nyata dimana mereka berada. Seakan-akan mereka hidup terpotong dari kehidupan kebudayaan bangsa. Secara harfiah hal itu kelihatan dalam ketergantungan banyak orang Kristen dan lembaga-lembaga Kristen pada bantuan luar negeri dan segala pola-pola luar negeri, sampai-sampai cara hidupnya. Kita tidak hidup dalam „darah‟ sendiri. Kita lebih senang di infus terus dengan „darah‟ asing. 22
Akhirnya perlu kami menitikberatkan bahwa justru di Asia dan Afrika ego-dokumen-dokumen menolong kita untuk menggali, menyimpan dan menganalisa cerita-cerita yang hingga kini tersembunyi. Saya yakin, bahwa justru narasi-narasi „kecil‟ akhirnya akan dianggap hal penting, lebih-lebih kalau „oral biographical history‟ dimasukkan didalamnya. Jadi: yang dibutuhkan ialah biograf-biograf yang mewawancarai tokoh-tokoh maupun orang kristen biasa (laki-laki dán perempuan!) tentang kehidupannya dan dibandingkan dengan peran mereka dalam gereja dan/atau teologi. Perhatian untuk Biografi Teologis di Afrika dan Asia Sejak 1995 di Afrika ada projek www.dacb.org : Dictionary of African Christian Biography. Tujuannya, menurut project officer dr. Jonathan Bonk, ialah „recording the untold stories of African Christians who have transformed Africa and the Christian world.‟ Artinya, catatan biografis secara lisan juga akan dimuat. Hingga kini kamus biografis tersebut yang diterbitkan sebagai CD-Rom dengan
64
update baru setiap tahun, memuat kira-kira 3100 tokoh-tokoh gereja di Afrika dari semua bagian benua tersebut dan semua abad.23 Harus diakui bahwa kebanyakan biografi di dalam kamus ini bersifat catatan bio-data yang singkat dan belum cukup berwarna. Namun, sebagai suatu permulaan kamus itu, yang terus diperluas, sangat penting. Hal itu juga berlaku untuk jilid-jilid serupa yang diterbitkan di Asia. Mulai 1987 Scott Sunquist (Trinity Theological College Singapore) telah menjadi editor of A Dictionary of Asian Christianity, yang memuat 1260 lemmata, diantaranya sejumlah biografi singkat.24 Dan John C. England dibantu banyak kawan lain telah menyusun tiga jilid Asian Christian Theologies. 25 Walaupun jilid-jilid tersebut terutama bersifat bibliografis, namun dimuat juga ringkasan biografis dari banyak teolog (dan awam) Asia, termasuk Indonesia. Dari India, misalnya, diberi perhatian kepada paling tidak seratus teolog! Akhirnya kami bisa menyebut Gerald H. Anderson ed. Biographical Dictionary of Christian Missions.26 Di dalamnya kita juga menemukan sejumlah lemmata tentang penginjil dan teolog atau tokoh Indonesia. Semua jilid di atas tentu hanya bisa memberi informasi singkat. Karena itu, disamping buku-buku itu kita sungguh-sungguh membutuhkan oto-biografi, buku-buku harian, jilid-jilid dengan surat-surat dan biografi-biografi lengkap, yang didalamnya sedapat mungkin secara kritis (bukan hagiografis!) dan dengan keterbukaan untuk konteks dan narasi diberi keterangan tentang peran tokoh tersebut. Situasi di Indonesia Selain contoh-contoh yang diberi diatas, di Indonesia memang ada beberapa biografi dari tokoh-tokoh Kristen, walaupun belum banyak. Pada waktu itu zending sudah menerbitkan (dalam bahasa Belanda) potret dari misalnya: Papa I. Woentoe oleh A.C. Kruyt dan bagianbagian dari buku-buku harian tulisan Asa Kiman dan Iskaq (penginjil-penginjil yang bekerja sama dengan W. Hoezoo di
65
Semarang) dan guru-guru H. Kolondam dan A. Kaligis (oleh A.C. Kruyt). Sayangnya, buku-buku harian itu belum memberi banyak informasi tentang konteks pribadi dari penulis-penulis. Mulai zaman kemerdekaan, ada misalnya biografi singkat dari Paulus Tosari yang ditulis oleh Mardja Sir (1967); ada juga monografi bagus tentang Sisingamangaradja, tokoh nasionalis di Sumatera Utara yang keluarganya menjadi Kristen, oleh W.B. Sidjabat (1982); ditambah hasil penelitian tentang kehidupan dan teologi kontekstual dari Kyai Sadrach oleh Sutarman S. Partonadi (1988). Aristides Katoppo dkk menerbitkan Ds. W.J. Rumambi: Setelah Fajar Merekah (1994) dan contoh lain ialah Patmono S. K. dkk, Radius Prawiro: Kiprah, Peran dan Pemikiran (1998). Disertasi Benny Giay tentang Zakheus Pakage di Irian Jaya (1995) sebenarnya merupakan kategori tersendiri. Di dalam studi kontekstual itu, kehidupan Zakheus langsung dikaitkan dengan kehidupan sukunya dalam dunia politik, etnis dan religius yang kompleks. Gereja Kristen Jawa sedang menerbitkan suatu seri „biografi tokoh GKJ‟, di mana hingga sekarang diterbitkan lima jilid; empat diantaranya ditulis oleh Sigit Heru Soekotjo (tentang Kyai pendhita Den Bei Wirjo, pendeta pertama di Tlepok dan Kutoarjo; guru injil wanita Soetirah di Magelang; Brotosemedi Wirjotenojo; dan Nathanael Daldjoeni); satu lagi adalah biografi simpatik tentang pendeta Josaphat Darmohatmodjo, ditulis anaknya, Eko Trimodoroempoko.27 Disamping itu ada cukup banyak buku kenangan (Festschrifte) di mana diberi biodata atau biografi singkat juga, seperti misalnya Terbit sepucuk Taruk. Teologi Kehidupan. 60 Tahun Dr. Liem Khiem Yang (1993); J. Lekahena dkk, Bersaksi dan melayani untuk Mempersatukan. Buku Peringatan HUT ke-75 Pdt. D.J. Lumenta (1993); Robbert P. Borrong dkk, Berakar di dalam Dia dan Dibangun di atas Dia. 80 Tahun Prof.dr. P.D. Lauihamallo (1998) (walaupun dalam jilid tersebut hampir tak ada informasi tentang bapak Peter Latuihamallo sendiri!); dan akhirnya Struggling in Hope/Bergumul dalam Pengharapan, buku penghargaan untuk pdt.
66
Eka Darmaputera almarhum (1999) dan Penabur Benih Mazhab Teologi: Menuju Manusia Baru (2000), buku penghargaan untuk almarhum dr. Harun Hadiwijono, dengan bagian biografis sebesar l.k. 50 halaman. Syukurlah diterbitkan juga buku penghargaan untuk tokoh-tokoh wanita seperti Ibu Augustina (Tine) Fransz28 dan belakangan ini Ibu Pdt. Augustina Lumentut yang perannya dan kehidupannya dibukukan dalam Yuberlian Padele dkk (eds), Augustina Lumentut: Sosok Kemanusiaan sebagai Ekspresi Rahmat Allah (2007). Tidak ada banyak contoh dari otobiografi, biarpun buku T.B. Simatupang, Laporan dari Banaran, Kisah Pengalaman Seorang Prajurit selama Perang Kemerdekaan (cetakan pertama 1959) ada unsur-unsur otobiografis.29 Sebagai contoh otobiografi murni perlu disebut disini riwayat hidup Pendeta R.Tasdik (diterbitkan sekitar 1996), dengan bagian otobiografis yang cukup panjang dan terbuka, diawali dengan pengantar oleh Gerrit Singgih di mana dia memperingatkan para pembaca bahwa: Faktor objektivitas seperti yang diharapkan dalam dokumendokumen resmi tidak terlalu diperhatikan, sebab sudut pandang orang yang mendokumentasikan hidupnya sendiri itu sangat penting, dan juga bahwa akhir-akhir ini diakui lagi bahwa kebenaran tidak hanya dicapai dengan mengejar objektivitas yang dingin semata-mata, melainkan melalui interaksi di antara apa yang objektif dan apa yang subjektif. 30
Interaksi tersebut menjadi sangat nyata dalam tulisan Robert Setio didalam Festschrift ini, dimana dia secara terbuka dan jujur menerangkan kesulitan yang dialami seorang Kristen Tionghoa di Indonesia dan berusaha untuk menganalisa dan merefleksikan situasi itu secara teologis. Sebagai bukti peran penting anggota-anggota gereja biasa dalam aspek sejarah gereja ini, akhirnya kami menyebut disini suatu otobiografi seorang anggota GKMI di Jepara, Catatan Pribadi Partawiguna, dicetak untuk kalangan sendiri (Semarang, 1996). Dari catatan-catatan itu kami belajar banyak tentang keadaan hidup orang Tionghoa di masa perang dan tahun-tahun pertama setelah Indonesia
67
merdeka; tentang perkembangan jemaat GKMI Jepara; pengalaman pribadi dan gerejani sebagai akibat kerusuhan G-30-S; dan tentang konflik-konflik dalam tubuh GKMI akibat timbulnya gerakan kharismatik dalam gereja itu. Dengan demikian naskah itu merupakan penambahan yang berharga pada penelitian sejarah dan perkembangan teologis di dalam GKMI sendiri. Pasti ada naskahnaskah lain yang serupa dengan catatan pribadi pak Partawiguna tersebut! Contoh-contoh di atas tentu tidak lengkap. Masih ada banyak pelopor gereja yang biografinya belum disusun. Sepengetahuan kami belum ada, misalnya, biografi lengkap Sutan Todung Gunung Mulia (pelopor ekumenis, ilmuwan, penyusun ensiklopedi); Johannes Leimena (padahal ada beberapa wawancara yang terbuka dengan beliau); dan Ibu pendeta Ny. Dharma-Angkouw, apalagi catatan biografis tokoh-tokoh regional yang penting. Sayangnya, kami sama sekali tidak tahu-menahu tentang terbitan surat-surat seseorang atau koréspondensi antar tokoh teologi atau tokoh gereja. Mungkin juga belum ada kebiasaan untuk menyimpan dan mengatur surat-surat dan catatan-catatan pribadi untuk suatu arsip. Saran-saran Kami tidak mengetahui sampai di mana faktor-faktor kebudayaan main peran dalam sikap mengambil jarak dalam hal menulis biografi atau juga otobiografi. Seringkali segi-segi gelap dan segi-segi yang (terlalu) pribadi dalam kehidupan si tokoh tersebut kurang dinyatakan, demikian pula nisbah kritis dengan orang-orang lain. Dan biografi, otobiografi dan laporan-laporan dari wawancarawawancara dengan anggota gereja biasa masih sangat kurang, padahal itu merupakan sumber utama dari oral history, misalnya mengenai suasana gerejani sekitar zaman kemerdekaan dan periode pahit G-30-S dan sesudahnya, dll. Sebagai akhirulkalam kami mengucapkan tiga impian sebagai berikut. Pertama-tama boleh diharapkan supaya kemungkinan untuk mulai teologi sistematik dengan Etika (jadi, dengan orthopraxis) seperti dilakukan James McClendon akan dipertimbangkan di
68
Indonesia secara serius. Apakah paradigma itu bisa dilaksanakan dan bagaimana konsekuensinya untuk kontekstualisai teologi? Kemudian kami sangat mengharap supaya baik gereja-gereja dan fakultas-fakultas teologi akan merangsang penulisan biografi dan otobiografi, termasuk cerita-cerita tentang kehidupan sehari-hari dan anekdot (kehidupan gereja juga berakar pada lelucon), sebagai usaha untuk menerangkan nisbah antara teologi atau jenis kepemimpinan seseorang dan konteks di mana dia dibesarkan, belajar, bekerja, bergereja dan bermasyarakat. Yang penting bukan „biografi resmi‟ atau „biografi objektif‟, tapi justru dokumen-dokumen hidup yang bisa menginspirasikan dan mengharukan para pembaca. Dengan demikian kita mudah-mudahan juga mulai mengerti kepentingan etika seseorang, sebagai manusia otentik dengan kekuatannya dan kelemahannya, dan mengerti lebih jelas mengapa seorang tertentu menjadi teladan bagi gereja dan masyarakat atau juga, mengapa dia gagal. Dalam hubungan yang lebih lebar, pengumpulan dan penerbitan surat-surat (dan surat-menyurat) dan dokumen-dokumen pribadi, ditambah sumber-sumber sejarah lisan (oral history seperti wawancara-wawancara yang direkam) semuanya berharga serta merupakan desideratum (keinginan) teologi kontekstual pula. Akhirnya, rupanya dikalangan gereja-gereja di negeri Tiongkok dan di India sudah ada usaha untuk mengumpulkan data-data guna suatu biographical dictionary. Mudah-mudahan gereja-gereja dan fakultasfakultas teologi di Indonesia merasa terdorong juga untuk mendirikan suatu panitia yang tugasnya adalah menyusun kamus biografi tokoh-tokoh Kristen di Indonesia!
69
Endnote 1
Lihat misalnya ‘Teologia Narasi’ sebagai tema Majalah Gema Duta Wacana 41, th. 1991. 2 James Wm. McClendon, Ethics: Systematic Theology, Volume I, Nashville: Abington Press, 1986; Doctrine: Systematic Theology, Volume 2, Nashville: Abington Press, 1994; Witness: Systematic Theology, Volume 3, Nashville: Abington Press, 2000. 3 James Wm. McClendon, Biography as Theology: How Life Stories can Remake Today’s Theology, Nashville: Abington Press, 1974. 4 Selain itu dia juga menjadi pendiri dari organisasi Habitat for Humanity. 5 Ched Meyers, ‘Embodying the ”Great Story”. An interview with James W. McClendon’, in The Witness Magazine, Volume 83/12, December 2000 – lihat juga www.thewitness.org/archive/dec2000/mcclendon.html 6 1 Lihat Paul Thompson, The Voice of the Past. Oral History, 1978 dan 19882 1992 , p. 29. 7 Kadang-kadang monografi itu diterbitkan secara terpisah, atau dijadikan bagian dari Church Dogmatics. 8 Karl Barth, Kirchliche Dogmatik III/4. Die Lehre von der Schöpfung, Zollikon-Zürich: Evangelischer Verlag A.G., 1951, 698. 9 Lihat misalnya Eberhard Röhm and Jörg Thierfelder, Juden-ChristenDeutsche, Band I: 1933-1935, Stuttgart: Calwer Verlag, 1990, 167-173. 10 Kumpulan kesaksian para martir Anabaptis itu untuk pertama kali diterbitkan pada thn. 1562 dengan judul Het Offer des Heeren (Korban Tuhan), kemudian diperluas sebagai Martelaarsspiegel dalam tahun 1660 dan 1685. Buku terakhir itu kemudian diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan sampai sekarang sangat dihargai dalam kalangan Mennonite. 11 James McClendon, Ethics, 38. 12 Salah satu ayat Alkitab yang sangat mempengaruhi McClendon ialah Kisah Rasul-Rasul 2:16 di 0mana sikap para rasul pada hari Pentekosta – tidak mabuk, melainkan dipenuhi Roh Kudus – oleh Petrus langsung dikaitkan dengan nubuat nabi Joël: ‘Akan terjadi pada hari-hari terakhir bahwa Aku akan mencurahkan RohKu ke atas semua manusia, demikianlah Firman Allah’. Itu berarti, zaman terakhir adalah sekarang. Dalam kata-kata McClendon: ‘This is that’. 13 John Howard Yoder, ”Jezus belijden in de zending”, dalam Wereld en Zending 25/3, 1996, 13-21. Tema nomor W&Z tersebut adalah ”Kristologi dalam konteks”. 14 McClendon, Ethics, 27.
70
15
McClendon, Ethics, 31. Bandingkan Pengkhotbah 4:12: ‘Tali tiga lembar tak mudah diputuskan’. 17 Charles Christano, Rahmat-Mu Berlimpah. Otobiografi, s.l., s.a. [1999] 18 Lihat John Howard Yoder, Karl Barth and the Problem of War, Nashville, Tenn.: Abington Press, 1970. 19 Eberhard Bethge, Dietrich Bonhoeffer. Eine Biographie, München: Chr. Kaiser Verlag, 1967, 468-470. Pada tahun 2000 biografi tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. 20 Bethge, op.cit., 711-712. 21 E.G. Singgih, Masuk ke Dalam Hidup. Jurnal dan Meditasi Seorang Mahasiswa Teologi, Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2000. 22 Singgih, op.cit., 34 (catatan dari 23 Februari 1977). 23 Lihat www.dacb.org dan Jonathan J. Bonk, ‘Ecclesiastical Cartography and the Invisible Continent’ dalam Afe Adogame, Roswith Gerloff dan Klaus Hock (eds), Christianity in Africa and the African Diaspora. The Appropriation of a Scattered Heritage, London/New York: Continuum, 2008, 20-32. 24 Scott W. Sunquist, David Wu Chu Sing, and John Chew Hiang Chea (eds), A Dictionary of Asian Christianity, Grand Rapids: Eerdmans, 2001, 1017 pp. 25 John C. England dll (eds), Asian Christian Theologies: A Research Guide to Authors, Movements, and Sources. Vol. 1: Overview from the Seventh to the Twentieth Centuries; South Asia, AustralAsia (pp. xlv, 679); vol. 2: Southeast Asia (pp. xlix, 684); vol. 3: Northeast Asia (pp. xlvii, 768), Delhi: ISPCK; Quezon City: Claretian Publishers; Maryknoll, N.Y.: Orbis Books, 2002-4. 26 Gerald H. Anderson (ed), Biographical Dictionary of Christian Missions, New York: Macmillan Reference, 1998. xxviii + 845 pp. 27 Semua jilid tersebut diterbitkan Taman Pustaka Kristen dan Lembaga Studi & Pengembangan gereja-Gereja kristen Jawa, Yogyakarta/Salatiga, 2010. 28 Fridolin Ukur dkk (penerbit), Pelaku Wacana: peringatan asta darsa warsa Mr. Augustine Leonore Fransz, 20 Agustus 1987, Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan PGI, 1987. 29 Lihat juga Tahi Bonar Simatupang, Gelebte Theologie in Indonesien. Zur gesellschaftlichen Verantwortung der Christen, Göttingen: Vandenhoeck & Ruprecht, 1992, dengan suatu biografi singkat oleh Olaf Schumann, h. 1525. 16
71
30
Pdt. E.G. Singgih Ph.D., ‘Manusia sebagai dokumen hidup: Pengantar ke dalam autobiografi Pdt. R. Tasdik’, dalam Tim Penyusun, Percikan Riwayat Hidup Pengabdian Pendeta R. Tasdik, Yogyakarta: Nafiri, s.a. [sekitar 1996], 15-25.
72
The Practical – Theological Spiral Revisited From Social to Discursive Analysis Frans Wijsen
Shortly after I defended and published my doctoral dissertation in 1994 (translated into Bahasa Indonesia and published in 2010 as Buah-buah Roh) I was invited to participate in a team of Dutch scholars which was to set up a post-graduate (S2) program in practical theology at the Universitas Kristen Duta Wacana in Yogyakarta. My first visit to Yogyakarta was in 1995. I then met Gerrit Singgih for the first time. My contribution to the program was to introduce and supervise internships together with the staff of the Pusat Pastoral. For this purpose I used the method that I had developed in my doctoral dissertation, namely the so called pastoral circle, later renamed the practical – theological spiral, rooted in the see – judge – act method of the Catholic social action movement and later developed in Latin American liberation theology comprising four steps: observation, interpretation, evaluation, and innovation. For the first and second step I used a specific way of conducting social-scientific research, namely ethnographic semantics of James Spradley (1979, 1980). My lecture notes were published by the Pusat Pastoral (Wijsen 1999). Later Spradley‟s books were translated into Bahasa Indonesia. These books reflected a shift which I framed, in harmony with John Beattie (1982: xi), as a shift from ”functional” to ”cognitive” anthropology. It defined culture in a cognitive way as the shared knowledge that people used to interpret experience and to generate behavior. It was concerned with the use of concepts, categories and classifications (or cognitions) in human practices.
Profesor Teologi Antarbudaya (Intercultural Theology) di Faculty of Philosophy, Theology and Religious Studies, Radboud University, Nijmegen
73
Spradley (1979: 99) assumed that cultural meaning systems were encoded in symbols; that language was the primary symbol system that encoded cultural meanings; that the meaning of a symbol was its relationship to other symbols in a particular culture; and that the task of the ethnographer was to discover the semantic relationships among the cultural symbols. The relational theory of meaning, characteristic of structuralism, was obvious. This was the way I myself was trained for conducting fieldwork in Tanzania, where newcomers to the field were prepared in so called Language and Inculturation centers in Kipalapala and Musoma, starting from the assumption: to learn a culture is to learn its language. Looking back at this period it is safe to say that I shared the assumption of the ”golden age of American anthropology” (Hannerz 1992: 12), summarized in Malinowski‟s definition of the aim of ethnography, quoted by Spradley (1979: 3), “to grasp the native‟s point of view”. It assumed that a ”native‟s point of view” exists, and that the researcher has access to it in objective ways. But the questions are: Who is this native? And what is the researcher‟s contribution to the generation of data? In harmony with multi-dimensional model of meaning of Victor Turner (1967: 50-52), namely the exegetical, the positional and the operational meaning, the third level of my analysis looked at how the meaning-systems were used by the participants. And although I was critical of pure structuralism, seeing it in harmony with Pierre Bourdieu (1990) as formal and a-historical, I did not yet take into account the dialectical relationship between the symbol-system and its users, or the reproduction and transformation of the symbolsystem through its use. This has become the main focus of my later research, as indicated in the new foreword to the Indonesian translation of my doctoral dissertation (Wijsen 2010: 3-5). When I edited a volume commemorating twenty-five years using the pastoral circle (Wijsen, Meja, Henriot 2005), Gerrit Singgih (2005) wrote a contribution to it entitled Punishment and Liberation. How
74
the Pastoral Circle Transforms our Theologies. In this contribution Singgih linked social analysis and cultural analysis to reflect on tacit assumptions underlying his own and his students‟ theologies. It clearly shows our common concern. The aim of the present contribution is to elaborate on the above mentioned shift from functional to cognitive anthropology, and to introduce a different way of looking at theology and ”science” of religion, both in terms of their object and in terms of methods, which can serve as the second step in the practical-theological spiral. For the sake of clarity I do not go into the complexities of the relation between theology and science of religion; it suffices to say that in the practical – theological spiral they are combined in an inter-disciplinary way; steps one and two are social scientific, steps three and four are theological. In my view, theology and science of religion do not have different objects or methods, but different views of science. Science of religion has an empirical view of science, operating from methodical agnosticism; theology has a hermeneutic view of science, operating from methodical conversion (Cox 1998: 93-96). 1. Discursive Study of Religion Malinowski‟s definition of the aim of ethnography expressed clearly the positivistic mode of thinking in the social sciences of his time. Phenomenology in Dutch science of religion shared the same positivistic mode. In the spirit of Husserl, phenomenologists wanted to go back to the ”things as they are in themselves” (Flood 1999: 2933). Phenomenology of Religion From its very beginning as an academic discipline (Cornelius Tiele in The Netherlands competes with Max Müller in the United Kingdom for being the ”founding father” of science of religion), roughly between the First and the Second World War (of course, there were scholars of religion before this period) the dominant way of practicing ”science” of religion was phenomenological.
75
Phenomenology was a reaction against the influence of Darwin‟s evolution theory in other disciplines (Tylor, Frazer, Marett). After the so called ”intellectualism”, which saw religion basically as a logical error, functionalism saw religion as an epiphenomenon of something else, society and economy (e.g. Durkheim), or biology and mind (e.g. Freud). Instead, phenomenology wanted to do justice to religion as it was in itself, sui generis. It borrowed a framework from philosophy, based on the Enlightenment distinction between the thing as it is in itself and ”its appearance in the mind”. More or less inspired by Husserl‟s ”return to the things themselves”, the Dutch phenomenologist of religion, Gerardus Van der Leeuw‟s used three analytic concepts in his Religion in Manifestation and Essence (1973). First, epoche or bracketing, i.e. suspension of all judgments concerning the objective world. Second, empathy; through bracketing we are able to enter into the life of the other. Third, eidetic reduction, i.e. to grasp the essence of a religious manifestation and grouping together (typology) phenomena which share the same essence. By doing so, phenomenology wanted to acquire objective knowledge of religion, the belief of the believers, or in terms of Malinowski‟s ideal of ethnography, ”the native‟s point of view”. Even Clifford Geertz‟s definition of religion as system of symbols was phenomenological because he saw the symbol system as existing independently of actors. For this reason, Talil Asad (1983) accused Geertz (1973) of being a theologian more than an anthropologist. Post-colonial and Post-modern Critique From a post-colonial and post-modern perspective the phenomenological approach is problematic for ontological and epistemological reasons. The first is the objectivist understanding of ”religion”. Phenomenologists claim that there is ”something” outside there, sui generis. It exists independent of the scholar and it appears to him/her in his/her experience. The second is the positivist
76
understanding of ”science”. By bracketing our preconceptions, it is possible to see reality as it is in itself, in a neutral or objective way. But post-colonial and post-modern critics say that religion does not ”exist”, at least not in the way phenomenologists thought that it existed. Religion is a Western construct, that was used for polemical purposes in the Reformation and was rooted in the Enlightenment distinction between the thing as it is in itself and it appearance in the mind. Moreover, there is no neutral or objective knowledge. Science does not describe something out there but constitutes (at least partly) the thing that is described (Bourdieu 1990). Jonathan (not to be confused with Wilfred Cantwell) Smith (1982) said, ”There is no data for religion. Religion is solely the creation of the scholar‟s study. It is created for the scholar‟s analytic purposes by his imaginative acts of comparison and generalization. Religion has no existence apart from the academy.” From a post-colonial perspective it is added that knowledge of religion is constituted by power. The concept of religion is a European invention that was used to oppress other people‟s beliefs. Hinduism is a clear example, but also the Indonesian concept of agama (Smith 1963: 59, 249-250). From Phenomenological to Discursive Study of Religion In order to overcome the pitfalls of phenomenology scholars of religion go into two directions, social sciences and humanities. A social science approach gives a definition of the research object (the reality that is studied, in our case: religion), translates it in operational terms that can be observed (values, characteristics, properties) and measured by quantitative methods that produce – in most cases – statistical results. The problem is that after more than 100 years of its existence science of religion has not been able to come up with a generally accepted definition of its object: religion. And this is exactly where discursive study of religion starts. Human practices and artifacts are not religious because of some intrinsic values or primordial properties that can be measured by objective criteria. Human practices and artifacts are religious because believers place them in a narrative
77
context or a speech community. This is why people outside this speech community do not recognize them as religious. And this is why the boundary between what is considered to be religious and not religious shifted in history. We can give many examples to show that the boundaries between belief and unbelief, or between religion and superstition, are not fixed but fluid. For Catholics, Marian devotion is religion, for Protestants it is idolatry. For Muslims associated with NU, going to the shrines of the saints is religion; for Muslims associated with Muhammadiyah this practice is superstition. For discursive study of religion the object of study is not religion, because religion does not ”exist”, at least not in the way phenomenologists thought that it existed, but the discourses about religion, or why and how religion is constituted through discourse (McCutcheon 2007). 2. Bourdieu’s Theory of Practice The dominant social science approach does not solve the pitfalls of phenomenology as it shares the objectivist view of religion and positivistic view of science (Flood 1999). Thus I looked for an alternative framework and found it in Bourdieu‟s theory of practice. This also explains why I put ”science” of religion in inverted commas. According to Bourdieu, ”science” of religion and social science in general is not an ”exact” science in the same was as natural sciences. Pierre Bourdieu’s Life History It is good to place Bourdieu‟s theory of practice in the context of his life history, in harmony with his own principle of self-reflexivity. Theories do not come „from heaven‟. Bourdieu studied philosophy in Paris in the early 1950s. In those days the dominant trend in philosophy was Jean Paul Sartre‟s existentialism which stressed people‟s freedom to determine their own destiny. After his studies Bourdieu was sent to Algeria where he served as a soldier in the colonial war. There he experienced that existentialism was too individualistic and that people‟s freedom was bounded by
78
power relations. He converted from philosophy to sociology; and from existentialism to Marxism. After his military service he worked at the University of Algiers where he conducted large-scale statistical research. But he became suspicious about the exactitude of the „exact‟ sciences. The social reality in a country such as Algeria was too complex to be grasped in clear-cut categories. He became interested in Weber‟s interpretative approach. But he went with Weber beyond Weber (Bourdieu 1991b). In the early 1960 Bourdieu moved back to France where he met a new fashion: Claude Levy Strauss‟s structuralism. But here again, Bourdieu was not satisfied with structuralism. According to him it was a-historical and de-contextual. And it did not take into account the social position of the researchers and their own contributions to the production of their research material. Bourdieu (1990) always stressed self-reflexivity of the researchers. Bourdieu‟s life project can be seen as an attempt to bridge the polarities between subjectivism and objectivism. His work can be situated in the center of two axes with two poles. First, there is the actor versus structure polarity. Second, there is the polarity between surface structures of society (functionalism) and deep structures of the mind (structuralism). According to Bourdieu, subjectivists (e.g. Max Weber) reduce social reality to the interpretation of the actors. They postulate continuity between reality and experience of reality. On the other hand, objectivists claim that the experience of the actors does not represent ”real” reality; they postulate a discontinuity between reality and experience of reality. The ”real” reality is in behind reality, in the structures of the mind (e.g. Claude Lévy-Strauss) or in the structures of society (e.g. Karl Marx). Pierre Bourdieu’s Theory of Practice Bourdieu is interested in the dialectic relation between what is in the mind (concepts, classifications) and the structure of society (social positions, social relations). He sees the society as a pluralistic space
79
of more or less autonomous fields (or ”markets”) where groups of actors struggle to meet their interests (or make ”profit”) using various resources (or ”capital”), in collaboration or in competition with each other. Thus almost always there is inclusion and exclusion at the same time Bourdieu‟s key concept is ”habitus”. The habitus is a set of dispositions which incline agents to act and react in certain ways. Dispositions are inculcated, structured, durable, generative, embodied. The habitus gives people a practical sense (”sense pratique”), a feeling for what they should or should not do. Therefore he disagrees with Habermas who says that practice is rational. People act and react on the basis of a practical sense or feeling. Particular practices are not the product of the habitus as such, but of the relationship between the ”habitus” on the one hand and the social context, ”field” or ”market”, on the other. A field or market is a structured space of positions. And the positions are determined by the different kinds of recourses or ”capital”: economic, social, or cultural capital. A ”field” or ”market” is always the site of struggles in which individuals seek to maintain or transform the distribution of the forms of capital specific to it. The individuals who participate in these struggles may have different aims, but they share in common some fundamental presuppositions. They must believe in the game they are playing; e.g. they know how to do business, politics. Although Bourdieu borrows the concepts ”market”, ”profit” and ”capital” from the language of economics, in his vocabulary these terms are not ”economic” in the narrow sense of the word. Though practices may not be governed by a strictly economic logic (they may not be oriented towards financial gain) - some even may be illogical in a strict economic sense - they may have a logic that is economic in a broader sense of the word: the maximization of some kind of capital, e.g. cultural or symbolic capital, or some kind of ”profit”, e.g. honour or prestige.
80
Bourdieu assumes a link between actions and interests. While he rejects that interests are always narrowly economic, they never cease to comply with an economic logic. This is the basic assumption about human action, Bourdieu‟s theory of practice. People do not ”invest” in activities if there is no return, if they are not ”profitable” in one way or another. This is a heuristic principle. It calls upon the researcher to explore the interests that are at stake in the practices which take place in certain fields. What the interests are can only be determined through a careful empirical and historical inquiry. The fact that some actions appear to be des-interested (in a narrow economic sense) does not mean that they are interest-free. Bourdieu‟s approach requires a systematic reconstruction of the field within which religious speech is produced and reproduced and its relation to the broader social space: a rigorous analysis of the social positions of the speakers, the social relations between them and the specific interests they might have. The problem of structuralism is that its analyses remain too internal. They fail to take into account the socio-historical conditions within which the object of analysis is produced and reproduced. The problem with Marxists, on the other hand, is that they reduce the object of study to socio-economic processes. Here again, Bourdieu stresses the dialectic relation between the two. Pierre Bourdieu’s Notion of ‘Identity’ Bourdieu‟s concept of ”habitus” brings us to another concept that is crucial to our research, namely ”identity” (Bourdieu 1991a: 220-228). The confusion about the concept ”identity”, whether ”identities” are to be understood in the sense of ”essentialism” or ”constructivism”, stems in part from the fact that one tends to forget that cognitive classifications are always subordinated to practical functions and oriented towards the production of social effects. In most cases identities are not based on ”intrinsic values” that could serve as objective criteria, but they are the products of our classification. Therefore, they are not ”natural” or ”primordial”
81
but ”social” or ”circumstantial” realities. Human practices or beliefs are not ”religious” because of intrinsic values but because believers classify them as religious. And as we already noted, the boundary between religious and not religious shifted during history (Asad 1983). But, identities can be used strategically according to the material but also the symbolic interests of those who bear them. Identity (ethnic, social, or religious) is a resource or ”capital” by which people or groups of people try to serve their own interests, this is to gain material (financial) or symbolic (prestige) ”profit”. Thus there is a strategic or functional essentialism. There are very few criteria capable of founding ”natural” classifications separated by ”natural” frontiers. The frontiers are always arbitrary or circumstantial, the product of a ”vision” and thereby of a ”di-vison” of the world. Thus, identity discourse is a performative discourse which aims to impose a new definition of the frontiers. Bourdieu is inspired by the religious field in two ways. First, he takes the notion of performative language from the liturgy. The sacrament is what it is because believers say that it is what it is. But, contrary to speech act theory, Bourdieu said that speech is not by itself performative, but by the authority of the speaker, who addresses real life issues, and who is recognized as an authority by the listeners. Second, defining the frontiers of a region, culture identity is a religious act, dividing interior and exterior, sacred and profane, clean and unclean, indigenous and foreign. According to Bourdieu the main function of religion was to formulate visions of the world and thereby sanctify di-visions, and thus consecrate social reality; a function which in the modern situation has been taken over by the state. These practical classifications do not describe ”realities” out there but to a large extent they contribute to the production of what they apparently describe.
82
Once again, one can avoid the alternative of ”objectivism” versus ”subjectivism” by taking into account that ”reality” is the site of a permanent struggle to define ”reality”, and that classifications produce differences as much as they are produced by them. From here one can understand Bourdieu‟s critique of ”exact” science. Scientific classifications contribute to the production of what they apparently describe. Sociologists did not discover ”social classes” but they created them by their classification. Anthropologists did not discover ”ethnic groups” but they created them. By naming ethnic groups the colonial administrators created them, in most cases to serve their divide-and-rule policies. In the same way we can say: scholars of religion did not discover ”religions” but they created them, again in many cases to oppress them. ”Agama” in Indonesia can serve as example (Smith 1963: 59, 249-250) 3. Critical Discourse Analysis Bourdieu (1991a) did not translate his theory of symbolic power of language into research methods. Critical or socio-cognitive discourse analysts have taken up his spirit and developed conceptual and technical frameworks for research (Jørgensen & Phillips 2002). Although Norman Fairclough (1992, 2011) only seldom refers to Bourdieu, he combined critical theory (macro sociology) with linguistic analysis and micro sociology. Fairclough (1992: 71-72) starts with the following assumptions. First, discourse is a practice just as any other practice. The only difference with other practices is its linguistic form. Second, there is a dialectic relation between discourse (the discursive) and reality (the nondiscursive). Third, the relation between discourse and reality is mediated through discursive practice. Thus, discursive practice is crucial in linking language and reality, texts and context. With other qualitative research methods (e.g. content analysis, conversation analysis) critical discourse analysts are interested in participants‟ perspectives. But, unlike these other approaches they are not interested in participants‟ perspectives as such. They are interested in how the perspectives of the participants are linked to
83
their social positions, and more particularly, in their interests to reproduce or transform the societal order (Fairclough 1992: 65). Critical discourse analysts distinguish different dimensions of one and the same practice or level of analysis: the individual (micro) dimension; the institutional (mezzo) dimension; and the societal (macro) dimension (Fairclough 1992: 69). For example, the interactions between teachers and pupils, doctors and patients, or parents and children (micro level) are not only related to images of what specific institutions such as school, hospital and family are (mezzo level), but also to processes in the wider society (macro level) such as democratisation or commercialization (Fairclough 1992: 6566, 200-224). These examples also show different units of analysis: the cognitive or ideational (i.e. images) unit and the social or interpersonal units (i.e. subject positions and social relations); and these units go together. The same applies to interactions between husband and wife in marriage, employers and employees in labour organisations, shop attendants and customers in super markets, politicians and electorate in election campaigns, civil servants and citizens in a municipality. This way of looking at social positions in specific fields can easily be translated to studies of interactions between lay people and clerics in the religious field (Bourdieu 1991b), between preachers and their audiences, between catechists and catechumens, or between militant and moderate believers (Wijsen & Cholil 2012). Whereas radical post-structuralists tend to assume that discourse positions the speakers, and discursive psychologists tend to assume that speakers position themselves through discourse, Fairclough (1992: 65) and other critical discourse analysts assume that it is both. Speakers position themselves but they are also positioned by the discourse. It is assumed that the relation between the discursive (text) and the non-discursive (context) is a dialectical one. But how does one go about it? In harmony with the three assumptions mentioned above, critical discourse analysts distinguish three stages in which they use various methods of analysis. These
84
methods are given different names. Fairclough (1992) speaks about the analysis of linguistic practice, the analysis of discursive practice, and the analysis of social practice. Alternative names are the analysis of text, interaction, and context (Fairclough 2001: 21), or simply description, interpretation and explanation (Fairclough 2001: 21-22; 1992: 199). Description As was said above, according to critical discourse analysts, discourse is a practice just as any other practice. The only difference with other practices is its linguistic form (Fairclough 1992: 71). Language use is not only a way of saying things; it is a way of doing things. In other words, language use is a ”speech act”. Thus the first method is description, or the analysis of the linguistic features of the text. At this stage, Fairclough (1992: 73-78) suggests various tools, e.g. grammar, vocabulary, cohesion and structure. In harmony with linguistic anthropologists (Fabian 2001), Fairclough (1992: 185-186) says that it ”is sometimes useful for analytic purposes to focus upon a single word” and that ”there are certain culturally salient ‟keywords‟ which are worth focussing on in social research”. This is what ”ethnography of speaking” called ”names for things”, and discursive psychologists ”identity labels” (Antaki & Widdicombe 1998). Wierzbicka (2006: 680), for example, studied the shift in the use of the word ”dialogue”. She hypothesizes that the word ”dialogue” was first used in the context of negotiations between East and West during the Cold War era, and shifted to other fields, e.g. inter-religious or inter-faith dialogue as proposed at the Second Vatican Council and at the World Council of Churches during the late 1960s. Words are not neutral. They carry a hidden, ideological or political agenda. For example, it does make a difference whether we speak about Palestine ”terrorists” or ”freedom fighters” (Fairclough 1992: 75; McCutcheon 2007: 66). And, it does make a difference whether scholars of religion speak about ”religious studies” or ”science of religion”. These terms are not neutral but ideological. There is an
85
overlap with the third stage where we look at the ideological function of language use. Words are ideological when they fix meaning. This is standardization or naturalization of text. Often the meanings of words are taken for granted, and thereby become common sense. The fixed meaning is an effect of a power struggle (Fairclough 2001: 27, 73; Fairclough 1992: 77-81), a closure of the multiplicity of meanings. Therefore it is useful to ”focus on alternative wordings and their political and ideological significance” (Fairclough 1992: 77; see also 190). ”The full account of the variability of a word … would require comparison [italics are mine] of meaning systems” (Fairclough 2001: 78). This is what Van Dijk (2008: 107) calls ”discourse variations, in different situations”. Fairclough (2001: 78) speaks in terms of the relational theory of meaning. The meaning of a single word depends on semantic relations such as similarity, contrast, overlap, and inclusion. Thus, ”it is useful to compare [italics are mine] the wording of particular domains” (Fairclough 1992: 193). Constant comparative analysis (Strauss & Corbin 1998) is used to find alternative wordings and the possible socio-cognitive effects of their use. Interpretation According to critical discourse analysts, linguistic practice and social practice are mediated through discursive practice. The discursive practice (i.e. interaction) is crucial as the dialectic relation between linguistic practice (i.e. text) and social practice (i.e. context) is based on it (Fairclough 1992: 72, 80). This stage makes materialist models different from other, e.g. cognitivist or mentalist models of discourse analysis (Blommaert & Verschueren 1998: 26-27). Through the discursive practice, language use and social reality are linked. Consequently, the second stage is interpretation, or the analysis of the production, distribution and consumption of text (Fairclough 1992: 71, 86). Here again, Fairclough (1992: 78-86) proposes various tools. Also discourse styles and genres come in. Inter-discursivity is what Foucault calls the ”order of discourse”. This refers to
86
hegemony of certain discourses over other discourses. For example, political and economic discourse rules over cultural and religious discourse (e.g. Habermas), or the other way round (e.g. Huntington). When participants produce (communicate) or consume (interpret) text and talk they draw upon ”mental maps” (Fairclough 1992: 82), their ”cognitive apparatus” (Fairclough 2001: 133), ”members‟ resources” (Fairclough 2001: 20, 118) or ”mental models” (Van Dijk 2008: 75) stored as texts in their long-term memory (Fairclough 2001: 8-9, 20, 118). For example, participants may refer to narratives about 12th century Christian crusades, about 15th century Western imperialism, or about 19th century Arab slave trade. These resources are cognitive in the sense that they are in people‟s heads; they are social in the sense that they are socially constructed and have social effects (Fairclough 2001: 19-20). Recipients can only make sense of (or understand) texts if they can relate them to texts which they already have in their heads. Distribution of text takes place through discourse genres in specific fields with social relations and subject positions. ”A genre implies not only a particular text type, but also particular processes of producing, distributing and consuming texts”, says Fairclough (1992: 126). As was noted above, class room communication is a specific genre (Fairclough 1992: 232) or discourse type (Fairclough 2001: 24-25, 122). It positions the teacher as teacher and the student as student. The actors in class-room communication cannot change their positions but they can fulfill them in different ways. In the same way, a medical interview implies interaction between doctor and patient; buying things involves interaction between customer and shop assistant; an election campaign involves interaction between politicians and electorate, and so on (Fairclough 1992: 124-130). These interactions (text) take place in concrete contexts such as hospital, school, family, municipality, neighbourhood or society at large (Fairclough 1992: 69). They shape them and are shaped by them.
87
Explanation Critical discourse analysts moreover assume that there is a dialectic relation between language use and social reality. What participants say is shaped by and shapes social structures, either by reproducing them or transforming them (Fairclough 1992: 72). Discourses ”can be expected [italics are mine] to have long-term effects [italics are mine] on the knowledge and beliefs, social relationships, and social identities of an institution or society”, says Fairclough (2001: 62). For example, the school system presupposes a specific discourse type (e.g. lecture or seminar) and specific social relations (e.g. authoritarian or democratic) and subject positions (e.g. teacher and pupil). The social system of school determines to a large extent the discourse. By using it, teachers and pupils reproduce the school system without change, or they transform it (Fairclough 2001: 31-32). For example, teachers and pupils may reproduce a hierarchical relation, or develop an egalitarian relation. By taking the positions the participants become teacher or pupil. So reproduction may serve conservation or transformation of the existing order. It is not only rigid but also creative (Fairclough 2001: 24, 32). The third stage is explanation; this is the analysis of the sociocognitive effects of the text. Also at this stage Fairclough (1992: 8696) mentions a variety of tools. In our research we focus on hegemony and ideology, and we notice the overlap with he first stage where we spoke about alternative wordings and their ideological significances. By analysing social practice, discourse analysis becomes a form of ideology critique. Unlike Foucault, who holds that there is no reality beyond discourse, at least, that scholars do not have access to it and thus lack instruments to assess what is ”true” or ”un-true”, Fairclough (1992: 58) is convinced that ideology critique is possible. Against Foucault‟s determinism, he places a dialectic relation between discourse and reality. Fairclough (1992: 64-65) speaks about effects at three levels: knowledge or belief, social identities and social relations. In other words, language constitutes ”identities”, ”relations” and ”ideas”
88
(Fairclough 2001: 62, 93-94). These are the ideational and interpersonal (identity in relation) effects of language use. Fairclough (1992: 65) is particularly interested in social change, i.e. whether language use reproduces or transforms the societal order. Ideology is fixation of meaning so that social reality appears to be natural, and thus taken for granted. When participants continue to say that ”women are weak”, or ”blacks are inferior”, sexism and racism are reproduced. Or, in our disciplines, when scholars of religion say that religious studies is ”science of religion”, they reduce the diversity and complexity of this field of study to exact science. Conclusion and Discussion Some theologians may argue that this way of looking at religion is ”scientific” and not ”theological”. Here again I would argue that these theologians reduce the meaning of theology to one form of theology, namely confessional or ecclesiastical theology, whereas there is also a tradition of ”scientific” theology (Flood 1999: 20-25). This is why I find the distinction between ”methodical agnosticism” and ”methodical conversion” so important (Cox 1998: 93-96). Methodical conversion can become or can be based on ”confessional conversion”. But within the academic language game or speech community conversion should remain methodical. Looking back at my own development it is clear that ”discursive” (critical or socio-cognitive) analysis fits the emancipation aim of the practical – theological spiral better than old-style ”social” analysis, as it focuses on power. It has implications for the first stage of the practical-theological spiral, namely the way the interviewer puts questions. In harmony with Ludwig Witgenstein it is better not to ask for the meaning of words, but ask how words are used, as the meaning of words is their use. Thus the researcher should ask: How do you describe? What words do you use? But interview technique goes beyond the focus of this article which focused on the second stage of the practical-theological spiral only. In this stage we advocated a shift from ”social” (focus the surface structures of society) over ”cultural” (focus on shared meaning-systems) to ”discursive” (analysis of discursive practices) analysis.
89
References Antaki, C., S. Widdicombe (eds.). (1998). Identities in Talk. London - Thousand Oaks: Sage. Asad, T. (1983). Anthropological Conception of Religions. Reflections on Geertz, in: Man 18, 237-259. Beattie, J. (1982). Other Cultures: Aims, Methods, and Achievemenst in Social Anthropology. London - Henley: Routledge and Kegan Paul. Blommaert, J., J. Verschueren. (1998). Debating Diversity: Analysing the Discourse of Tolerance. London - New York: Routledge. Bourdieu, P. (1990). In Other Words: Essays Towards Reflexive Sociology. Stanford, CA: Stanford University Press. Bourdieu, P. (1991a). Language and Symbolic Power. Cambridge: Polity Press. _____________. (1991b). ”Genesis and Structure of the Religious Field”. In C. Calhoun (ed.). Comparative Social Research. Vol. 13. London: JAI Press. Cox, J. (1998). Rational Ancestors: Scientific Rationality and African Indigenous Religions. Cardiff: Cardiff Academic Press. Fabian, J. (1986). Language and Colonial Power: The Appropriation of Swahili in The Former Belgian Congo, 1880-1938. New York: Cambridge University Press. Fairclough, N. (1992). Discourse and Social Change. Cambridge: Polity Press. _______________. (2001). Language and Power. London – New York: Longman. Flood, G. (1999). Beyond Phenomenology: Rethinking The Study of Religion. London - New York: Cassell. Geertz, C. (1973). The Interpretation of Cultures. London: Fontana Press. Hannerz, U. (1992). Cultural Complexity: Studies in the Social Organization of Meaning. New York: Columbia University Press. Jørgensen, M., L. Phillips (2002). Discourse Analysis as Theory and Method. London: Sage. McCutcheon, R. (2007). Studying Religion: An introduction. London – Oakville: Equinox, 2007. Singgih, G. (2005). ”Punishment and Liberation”. In F. Wijsen, P. Henriot, R. Mejia (eds.). The Pastoral Circle Revisited. Maryknoll – New York: Orbis Books.
90
Smith, J. (1982). Imagining Religion: From Babylon to Jonestown. Chicago: University of Chicago Press. Smith, W. (1963). The Meaning and End of Religion: A New Approach to the Religious Traditions of Mankind. New York: New American Library. Spradley, J. (1979). The Ethnographic Interview. New York: Holt, Rinehart and Winston. Spradley, J. (1980). Participant Observation. New York: Holt, Rinehart and Winston. Strauss, G. and J. Corbin (1998). Basics of Qualitative Research: Grounded Theory, Procedures, and Techniques. Newbury Park: Sage. Turner, V. (1967). The Forest of Symbols: Aspects of Ndembu Ritual. Ithaca: Cornell University Press. Van der Leeuw, G. (1973). Religion in Essence and Manifestation: A Study in Phenomenology. London: Goerge Allen & Unwin, Ltd. Van Dijk, T. (2008). Discourse and Context: A Sociocognitive Approach. Cambridge: Cambridge University Press. Wierzbicka, A. (2006). ”The Concept of ‟Dialogue‟ in Crosslinguistic and Cross-cultural Perspective”. Discourse Studies 8/5. Pp 675-703. Wijsen, F., P. Henriot, R. Mejia (eds.). (2005). The Pastoral Circle Revisited. A Critical Quest for Truth and Transformation. Maryknoll – New York: Orbis Books. Wijsen, F. (1999). Lingkaran Pastoral dalam Pendidikan Pelayanan. Seri Pastoral 296. Yogyakarta: Pusat Pastoral. Wijsen F. (2010). Buah Buah Roh: Menjalankan Riset Sosial Partisipatif di Belahan Dunia Selatan. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Wijsen, F. and S. Cholil (2012). ”I come from a Pancasila Family”. Muslims and Christians in Indonesia. Paper presented at the Indonesian – Dutch Consortium Meeting. Kaliurang, 25-30 March 2012.
91
Kontekstualisasi, Poskolonialisme dan Hibriditas Robert Setio
The temptation to convert difference into heresy often flows from the effort to conceal uncertainties in one’s faith or identity, projecting them onto others as evils. (William E. Connolly)
Pendahuluan Kemunculan wacana kontekstualisasi teologi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kesadaran tentang perlunya memberikan ruang yang lebih besar kepada berbagai wujud kearifan lokal, baik itu warisan budaya dari masa silam maupun pergulatan masyarakat di masa sekarang. Tanpa sebuah kesengajaan untuk memunculkan kearifan dan pergumulan yang berasal dari konteks lokal tersebut, teologi di Indonesia sulit untuk berkembang. Setidaknya, teologi di Indonesia tidak akan pernah menjadi mandiri dan selalu bergantung kepada teologi di Eropa atau di Barat. Kebergantungan tersebut hanya akan membuat teologi di Indonesia merupakan sebuah peniruan saja terhadap teologi Barat. Harus terlebih dahulu diakui bahwa teologi di Indonesia sampai dengan sekarang masih memperlihatkan ketergantungan kepada teologi Barat. Berakhirnya masa kolonialisme Belanda di tahun 1945, tidak secara otomatis mengakhiri dominasi teologi yang diperkenalkan oleh para misionaris dan gereja Belanda di zaman kolonial dahulu. Gereja-gereja di Indonesia masih tetap dengan setia memelihara teologi yang diwarisi dari Belanda dahulu. Tanda yang paling mencolok adalah belum adanya sebuah teologi yang khas Indonesia. Di samping tentu saja masih dipakainya teologi yang diwarisi dari Belanda, baik dalam arti yang konkrit seperti hasil-hasil pemikiran teologi tertentu, maupun dalam arti yang lebih luas yaitu menyangkut metode dalam berteologi. Upaya kontekstualisasi teologi yang meskipun belum terlalu lama, namun tidak terlalu sebentar juga, yaitu mulai tahun 1980an - bahkan
Dosen Perjanjian Pertama di Fakultas Theologia, UKDW, Yogyakarta.
93
sudah terjadi pada masa-masa sebelum itu jika upaya-upaya pemribumian gereja yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Kekristenan daerah seperti Kyai Sadrach, Coolen dan Anthing diperhitungkan nampaknya masih belum mampu mengubah keadaan secara sungguh-sungguh. Teolog-teolog yang gigih memperjuangkan kontekstualisasi masih perlu berjuang lebih keras lagi agar suara mereka benar-benar didengar oleh gereja. Walaupun harus diakatakan bahwa hasil jerih payah mereka bukan tidak ada sama sekali. Tulisan-tulisan yang dibuat oleh para mahasiswa di sekolahsekolah teologi yang diajar oleh para teolog itu memperlihatkan cukup besarnya minat untuk melakukan kontekstualisasi teologi. Skripsi (S-1), tesis (S-2) maupun disertasi (S-3) yang dibuat dengan tema-tema kontekstualisasi semakin bertambah jumlahnya dari tahun ke tahun. Tetapi seberapapun besarnya jumlah tulisan-tulisan yang mengangkat tema kontekstualisasi itu, masih tetap lebih kecil dibandingkan dengan tulisan-tulisan yang tidak bertema kontekstualisasi. 1 Para mahasiswa yang menulis tugas akhir dengan kerangka kontekstualisasi seringkali pula dibayangi oleh rasa takut bahwa apa yang ditulisnya itu menyalahi kebiasaan yang ada di gerejanya. Mereka juga khawatir jika tulisan mereka dibaca oleh pendeta atau pejabat gereja akan menjadi alasan untuk tidak menerima mereka di gereja karena dianggap melawan arus. Kalaupun pada akhirnya tulisan itu jadi dibuat, seberapa jauh pikiran-pikiran dalam tulisan itu akan mampu diterapkan di jemaat masih menjadi pertanyaan besar. Tidak sedikit mahasiswa yang berhasil membuat tulisan yang baik mengenai kontekstualisasi teologi, ketika sudah terjun di jemaat justru kembali kepada pola berpikir lama yang sama sekali tidak peka terhadap kontekstualisasi. Pendek kata, gereja-gereja di Indonesia belum memperlihatkan semangat untuk melakukan kontekstualisasi yang berarti pula ide-ide kontekstualisasi belum meresap ke dalam kehidupan gereja dan baru berputar-putar di dunia kampus saja. Kurangnya penerimaan gereja terhadap kontekstualisasi memunculkan pertanyaan, mengapa jika kontekstualisasi itu penting, gereja-gereja di Indonesia belum nampak bersemangat melakukannya? Para teolog kontekstual seperti E. Gerrit Singgih
94
memberi alasan tentang pentingnya kontekstualisasi dengan menghubungkannya dengan persoalan keadilan (E.G. Singgih, 1982). Dominasi teologi Barat membawa akibat kepada rendahnya apresiasi terhadap pemikiran-pemikiran lokal. Kondisi ini sangat tidak adil. Seharusnya pemikiran atau budaya lokal diangkat dan dijadikan dasar untuk berteologi. Tetapi, seruan atau tuntutan keadilan ini nampaknya ditanggapi dengan dingin oleh gereja-gereja di Indonesia. Berarti gereja-gereja tidak melihat adanya masalah ketidakadilan itu. Tampak di sini perbedaan persepsi antara teolog penganjur kontekstualisasi dengan gereja mengenai terjadinya ketidakadilan ini. Tulisan ini akan mencoba menyoroti perbedaan persepsi tersebut. Langkah pertama yang akan dilakukan adalah memahami gejala yang terjadi pada gereja-gereja di Indonesia yang nampak tetap setia menjalankan teologi Barat. Gejala ini akan dibicarakan dengan memakai perspektif poskolonialisme.2 Langkah kedua adalah menyoroti sikap para teolog. Sikap yang dalam hemat penulis seringkali bersifat dikotomis itu justru menimbulkan dilema. Jika gereja-gereja di Indonesia diajak untuk melihat dirinya sebagai gereja Indonesia yang bukan Barat, maka reaksi yang timbul justru sebaliknya, mereka malah senang jika dipersamakan dengan orang Barat. Mungkin kesenangan diidentikkan dengan orang Barat ini dapat dianggap sekadar sebagai gaya-gayaan saja. Tetapi bisa juga dan sangat mungkin apa yang terjadi dalam sendi-sendi pokok kehidupan gereja di Indonesia sudah sangat dipengaruhi oleh Barat, kalau tidak mau dibilang sudah identik dengan Barat. Jika begitu, tidak mungkin meminta gereja-gereja di Indonesia memberi ruang yang lebih besar kepada unsur lokal. Mereka sudah menjadi sangat Barat dan sulit mendekatkan dirinya dengan kebudayaan lokal. Itulah yang kiranya menjelaskan mengapa gereja-gereja di Indonesia tidak dapat diyakinkan akan pentingnya kontekstualisasi. Maka, harus ada pilihan lain selain yang menuntut gereja-gereja di Indonesia untuk lebih mencerminkan konteks budaya lokal. Pilihan lain itu adalah yang tidak mengkontraskan antara Barat dan Timur (Indonesia). Tidak menempatkan Barat dan Timur secara dikotomis, melainkan menerimanya sebagai percampuran, sebagai hibriditas. Itulah yang akan diusahakan oleh penulis.
95
Poskolonialisme dan Kekristenan Daniel von Allmen menengarai adanya 3 macam kebuntuan (impasse) dalam sejarah perkembangan teologi kontekstual yaitu, “(1) a colonial mindset that regards the theological products of "third" world theologies as more contextually bound than "mainline" theologies (the problem of paternalism); (2) the difficulties associated with giving room to the insights and constructive developments of particular contexts while maintaining a commitment to the central tenets of the Christian faith (the problem of heresy); and (3) the tendency to view contextualization simply as a syncretistic blending of the Christian faith with some pre-existing set of beliefs (the problem of syncretism). (1) cara berpikir kolonial yang menganggap teologi dunia “ketiga” lebih terikat pada konteks ketimbang teologi “arus utama” (masalah paternalisme); (2) kesulitan-kesulitan yang berhubungan dengan pemberian kesempatan bagi masukan dan perkembangan konstruktif yang berasal dari konteks tertentu dengan tetap mempertahankan ajaran pokok dari iman Kristen (masalah bidat); (3) kecenderungan untuk melihat kontekstualisasi hanya sebagai percampuran sikretistis dari iman Kristen dengan kepercayaan-kepercayaan lama (masalah sinkretisme)”3 Masalah pertama yaitu paternalisme dapat dikatakan sebagai sumber dari kedua masalah yang lain. Paternalisme yang dimaksudkan oleh von Allmen tidak lain adalah penempatan teologi Barat sebagai “pater” bagi teologi-teologi yang dikembangkan di dunia lain yang bukan Barat. Alasan yang diberikan untuk pengistimewaan tersebut adalah bahwa hanya teologi Baratlah yang bersifat universal. Karena universal, maka semua orang harus mengikuti teologi Barat. Teologi bukan Barat tidak dapat dijadikan patokan karena tidak seuniversal teologi Barat. Pengalaman Andraos, seorang dosen teologi dari Amerika Latin berikut ini dapat mencerminkan apa yang terjadi, “…I can say that in almost all the courses I took as a student in a variety of educational institutions, cultural contexts, and countries, and in the courses I taught, there is a hierarchy of systems and sources of knowledge, with the Western perspectives at the top of the pyramid, that is consistently affirmed in subtle, and sometimes unsubtle ways, as universal. (…Saya dapat mengatakan bahwa dalam hampir semua
96
kelas yang saya ikuti sebagai mahasiswa di berbagai lembaga pendidikan, di berbagai konteks budaya dan negara dan juga dalam kelas-kelas yang saya ajar sendiri, di sana selalu ada sistem hirarkhi yang juga berkenaan dengan sumber pengetahuan dimana perspektif Barat selalu menduduki puncak piramida, ini kemudian dikonfirmasi secara halus dan tidak halus sebagai sesuatu yang universal)”4 Temuan Andraos tidak hanya benar di kelas-kelas pendidikan teologi, namun meluas hingga ke gereja-gereja yang menjadi tempat dimana para lulusan sekolah teologi itu bekerja. Baik sekolah teologi maupun gereja menerima begitu saja penempatan perspektif Barat pada puncak piramida itu. Dampaknya bagi perspektif lain yang bukan Barat adalah penempatan yang lebih rendah. Mengutip Walter Mignolo, Andraos menyebut gejala ini dengan “the colonial difference”. Di sini segala sesuatu yang bukan dari Barat dianggap asing, tidak pas dan tidak dapat diperhitungkan. Gejala ini tidak selalu nampak dengan jelas, namun tetap terasa pengaruhnya dalam semua segi kehidupan. Edward Said mengatakan, A whole range of people in the so-called Western or metropolitan world, as well as their counterparts in the Third or formerly colonized world, share a sense that the era of high or classical imperialism, which came to a climax in what the historian Eric Hobsbawm has so interestingly described as “the age of empire” and more or less formally ended with the dismantling of the great colonial structures after World War Two, has in one way or another continued to exert considerable cultural influence in the present. (Segala bangsa yang berada di dunia Barat atau metropolitan, termasuk padanannya di dunia ketiga atau dunia bekas jajahan, memiliki pemikiran yang sama tentang era imperialisme klasik yang mencapai puncaknya dalam apa yang oleh sejarahwan Eric Hobsbawm digambarkan secara menarik sebagai “abad kekaisaran” dan yang kurang lebih berakhir secara resmi bersamaan dengan dilucutinya struktur kolonial pada Perand Dunia Kedua, telah dengan satu dan lain cara melangsungkan pengaruh budayanya sampai dengan sekarang). 5
Berakhirnya masa kolonialisme pada Perang Dunia Kedua menurut Said tidak berarti berakhirnya pengaruh bangsa-bangsa kolonial dalam kehidupan bangsa-bangsa bekas jajahannya. Dalam hal budaya pengaruh tersebut paling dapat dirasakan. Dalam kaitan
97
dengan teologi, pengaruh itu membuat teologi Barat menjadi penentu. Penilaian benar / tidaknya, baik / buruknya teologi yang dikembangkan di dunia bukan Barat diukur menurut teologi yang dikembangkan di Barat. Semakin persis dengan teologi Barat akan dinilai semakin baik. Padahal dunia bukan Barat memiliki kekayaannya sendiri. Bila teologi Barat yang harus diikuti maka tidak ada pilihan lain selain mengesampingkan kekayaan yang sebenarnya sudah lama sekali diturun-temurunkan. Teologi Barat akhirnya menyingkirkan warisan budaya lokal. Penyikiran ini seringkali dilakukan dengan cara-cara yang keras seperti dengan menuduh bahwa unsur lokal itu tidak sesuai dengan iman Kristen atau sesat (poin 2 dari von Allmen). Tuduhan semacam ini pastilah menimbulkan ketakutan. Orang menjadi takut bahwa dirinya sudah mengikuti jalan yang tidak benar. Maka, orang lalu menempuh jalan untuk menjauhkan diri dari kebiasaan-kebiasaan orangtua atau nenek moyangnya sendiri. Kekristenan memang masuk ke Indonesia lewat orang-orang Barat. Tetapi kenyataan historis ini kemudian diangkat menjadi sesuatu yang universal, seperti yang juga dikatakan oleh Andraos dan von Allmen tadi. Posisi tersebut kemudian berlanjut dengan penempatan Kekristenan sebagai struktur super yang berada di atas budaya. Kekristenan itu dipandang sebagai agama yang diturunkan dari surga. Sedang budaya dipandang hanya merupakan hasil karya manusia yang tingkatnya lebih rendah. Kaum Calvinis akan menjelaskan bahwa agama itu soal wahyu yang datangnya langsung dari Tuhan, sedang budaya adalah buah karya manusia semata. Dengan demikian agama harus mencerahkan budaya. Agama harus membenarkan apa yang salah dari budaya. Budaya cenderung keliru, agama sebagai wujud wahyu tidak mungkin keliru. Maka, tidak mungkin agama bersatu dengan budaya. Agama, ya, agama; budaya, ya, budaya. Padahal jika orang mau menyadari dan menerimanya, Kekristenan tidak bisa dilepaskan dari tangan manusia dan bahkan harus dikatakan sebagai ciptaan manusia, bagian dari budaya itu sendiri. Manusia itulah yang memahami Tuhan sedemikian rupa sehingga akhirnya melahirkan agama, melahirkan Kekristenan. Tentu saja
98
mereka yang melaksanakan olah religius ini meyakini akan keterlibatan Tuhan. Wajar juga jika mereka memberikan argumentasi dogmatis bahwa Tuhanlah yang mengawali proses perenungan tersebut melalui sebuah inspirasi atau wahyu. Tanpa mengecilkan keyakinan dogmatis tersebut, Kekristenan pada akhirnya tidak dapat melepaskan dirinya dari ekspresi-ekspresi budaya yang berasal dari manusia juga. Ajaran Kristen tentang inkarnasi sebenarnya mendukung penerimaan terhadap wujud kemanusiawian Kekristenan itu. Dalam pemahaman inkarnasi, Tuhan digambarkan telah merelakan diriNya untuk menjadi sama dengan manusia. Bahkan lebih rendah daripada manusia yaitu dengan menjadi hamba dan berkorban di atas kayu salib (kenosis). Pengambilan wujud manusia yang dilakukan oleh Tuhan ini menandaskan penerimaan Tuhan terhadap hal ikhwal manusia. Tuhan menghargai kemanusiaan, bukan menolak atau merendahkannya. Kekristenan yang mendasarkan diri pada pemahaman ini seharusnya mengikuti apa yang dilakukan oleh Tuhan yaitu menerima segala sesuatu yang datangnya dari manusia. Bahkan merayakan kemanusiaan itu sebagai alasan mengapa Tuhan berkarya di dunia ini. Jika Kekristenan telah dapat diterima sebagai produk manusia, masih ada persoalan lain yang harus ditangani yaitu persoalan siapa manusia yang dimaksud itu. Tadi sudah disebut-sebut bahwa Kekristenan yang diperkenalkan di Indonesia berasal dari Barat. Memang Kekristenan yang dibawa oleh orang-orang Barat ke Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Sejarah itu dimulai dari Yudaisme dan kemudian dunia Graeko-Romawi di masa gerejagereja perdana. Dengan sedikit perkecualian dapat dikatakan bahwa Kekristenan merupakan produk dari kebudayaan Yahudi dan Graeko-Romawi. Setelah Kekaisaran Roma menjadi Kristen dan Kekristenan dijadikan agama negara, pengaruh kebudayaan GraekoRomawi lebih mendominasi Kekristenan. Dari sanalah kebudayaan Barat bertumbuh dan berkembang. Jadi hubungan antara kebudayaan Barat dan Kekristenan memang sudah terjadi sejak masa awal Kekristenan dan menjadi makin kuat pada masa-masa sesudah Kristen menjadi agama negara di masa Kekaisaran Romawi. Tidak
99
mengherankan jika orang sulit membedakan Kekristenan dari kebudayaan Barat. Sebenarnya tidak perlu juga keduanya dipisahkan. Yang justru diperlukan adalah mengakuinya saja. Kekristenan harus diakui sebagai produk kebudayaan Barat. Kalau kenyataan ini sudah diakui, tindakan selanjutnya adalah melihat dan mengakui kesubyektifannya, kesementaraannya, sebagai sesuatu yang terikat secara historis. Sebagai sebuah agama yang berada dan lahir dari dalam kandungan budaya, Kekristenan tidak netral. Ia berada dalam lingkaran sebuah kebudayaan tertentu, dalam hal ini kebudayaan Barat. Kalau begitu, ia tidak dapat diklaim sebagai sesuatu yang universal, karena tidak ada sebuah kebudayaan yang universal. Kebudayaan berada dalam sebuah konteks tertentu yang membuatnya terbatas pada konteksnya. Mengutip kata-kata inspiratif dari filsuf Pragmatis, Richard Rorty, demikian: Truth cannot be out there – cannot exist independently of the human mind – because sentences cannot so exist, or be out there. The world is out there, but descriptions of the world are not. Only descriptions of the world can be true or false. The world on its own – unaided by the describing activities of human beings – cannot. (Kebenaran tidak dapat berada di luar sana – tidak dapat berada di luar pikiran manusia – karena kalimat-kalimat tidak dapat ada di luar sana. Dunia memang ada di luar sana, namun penggambaran-penggambarannya tidak demikian. Hanya penggambaran mengenai dunia dapat disebut salah atau benar. Dunia pada dirinya sendiri – tanpa pertolongan usaha-usaha pendeskripsiannya – tidak mungkin ada.) 6
Karena sifatnya yang bergantung pada pemikiran manusia, pada upaya yang dibuat oleh manusia maka sebagaimana penggambaran dunia dalam perkataan Rorty tersebut, Kekristenan pun tidak mungkin terlepas dari faktor kemanusiaan yang bersifat sementara atau istilah Rorty “contingency”. Bila Kekristenan ditempatkan sebagai sebuah produk budaya, sudah selayaknyalah jika ia mengikuti budaya di mana dia berada. Meskipun secara historis Kekristenan bukan berasal dari budaya yang ada di Indonesia, namun ketika ia masuk ke dalam kebudayaan Indonesia, seharusnya ia menjadi bagian dari dan ditentukan oleh
100
kebudayaan-kebudayaan (jamak) yang ada di Indonesia. Artinya, kebudayaan-kebudayaan yang ada di Indonesia harusnya menjadi “tanah” dimana Kekristenan bertumbuh dan berkembang. Kebudayaan-kebudayaan yang ada di Indonesia yang dimaksud di sini adalah semua warisan nenek moyang sudah sudah diturunkan dari generasi ke generasi. Warisan nenek moyang tersebut itulah yang menjadi tempat persemaian Kekristenan. Maka, sikap yang merendahkan, apalagi memusuhi kearifan lokal yang diwarisi dari nenek moyang jelas tidak dapat diterima. Kebuntuan kedua dan ketiga dari kontekstualisasi sebagaimana ditengarai oleh von Allmen di atas memperlihatkan sikap yang seharusnya tidak boleh ada itu. Kita sering mendengar orang yang ketika menjadi Kristen lalu berusaha menyingkirkan semua kebiasaan lama yang diwariskan oleh nenek moyangnya. Penyingkiran tradisi sendiri itu dilakukan dengan semangat menjaga kemurnian Kekristenannya. Kalau ada orang Kristen yang masih memelihara tradisi nenek moyang, orang itu akan dianggap sesat. Semua kebiasaan lama harus dibuang dan diganti dengan kebiasaan baru yang diberikan oleh Kekristenan. Tidak sedikit orang yang merasakan suatu dilema yang besar antara mempertahankan tradisi lamanya yang masih sangat dijunjung tinggi dengan desakan untuk menyingkirkannya sebagai orang Kristen. Terkadang lahir kompromi diam-diam. Tradisi lama masih dijalankan tetapi di luar gereja. Pihak gereja juga mendiamkan saja praktik-praktik tersebut sejauh tidak dimasukkan ke dalam gereja. Tetapi bagi pihak-pihak tertentu, kompromi diam-diam ini tetap tidak dapat diterima. Tradisi lama harus sama sekali dihapuskan. Sampai sekarang hubungan antara Kekristenan dengan budaya setempat masih banyak diwarnai suasana permusuhan. Maka dengan menyesal harus dikatakan bahwa meskipun Kekristenan telah berada sekian puluh bahkan ratus tahun di Indonesia, ia belum dapat menjadi bagian dari kebudayaan setempat. Kontekstualisasi masih belum sungguh-sungguh menampakkan hasilnya. Masalah ini nampaknya murni tentang kebudayaan, namun sebenarnya menyimpan persoalan yang lebih besar lagi yakni kekuasaan. Sebenarnya sikap berpolemik dengan kebudayaan sekitar sudah ada sejak awal Kekristenan (Luke Timothy Johnson, 2009). Jika Injil-injil banyak berisi polemik antara Yesus (mewakili
101
Kekristenan) dan pemimpin serta orang-orang Yahudi, surat-surat Paulus memperlihatkan polemik lainnya yaitu dengan penganut kepercayaan Yunani-Romawi. Kedua macam polemik tersebut mempunyai maksud yang sama yaitu mempersalahkan agama-agama yang sudah ada terlebih dahulu, agama-agama yang telah dianut oleh masyarakat ketika Kekristenan datang. Ketika berpolemik dengan orang-orang Yahudi, Yesus mewakili ide pembaruan terhadap Yudaisme. Semangat pembaruan ini semakin lama semakin mengerucut pada pemisahan yang menjadi jelas dalam pemikiran Paulus. Sejak itu, Kekristenan menempatkan dirinya sebagai agama yang berbeda dari Yudaisme. Mungkin Paulus tidak pernah membayangkan bahwa ide-idenya di kemudian hari membuahkan sikap yang jauh lebih tegas bahkan penuh dengan kekerasan terhadap Yudaisme dan orang-orang Yahudi daripada yang dipikirkannya sendiri. Tetapi itulah yang terjadi ketika Kekristenan menjadi agama negara, agama Kekaisaran Romawi. Pembedaan Kristen dan Yudaisme menjadi alasan untuk menundukkan orang-orang Yahudi, memaksa mereka untuk pindah agama menjadi Kristen dan menyiksa mereka jika mereka membangkang. Pada zaman modern, kita semua tahu bagaimana akibat penaklukan itu ketika digunakan oleh Nazi di bawah kepemimpinan Hitler untuk membasmi orang-orang Yahudi di Jerman dan wilayah Eropa lainnya. Tragedi ini mengingatkan kita tentang akibat yang fatal yang dapat ditimbulkan oleh sebuah polemik agama. Pembedaan dari agama lain yang dilakukan dengan semangat polemik ketika dibarengi dengan kekuasaan akan membuahkan pemusnahan agama yang berbeda itu. “The colonial difference” tidak sekadar menjadi persoalan budaya yang abstrak, namun dapat sewaktu-waktu berubah menjadi sebuah tindakan fisik berupa pemusnahan terhadap yang berbeda itu. Polemik lain yang terjadi pada masa Kekristenan awal adalah dengan agama Yunani-Romawi. Senjata yang digunakan Paulus untuk menyerang agama Yunani-Romawi adalah kepercayaan monoteistik yang diwarisi dari Yudaisme. Dalam hal ini, agama Yunani-Romawi diserang karena politeistis. Wacana anti politeisme itu ternyata terus berlanjut sampai dengan sekarang. Tanpa mau tahu tahu apa yang dialami dan dirasakan oleh penganut agama politeistis itu, Kekristenan sudah langsung menuduh bahwa kepercayaan semacam
102
itu tidak masuk akal. Pandangan yang sama juga dimiliki oleh Islam dan tentu saja Yudaisme sebagai agama yang menjadi cikal bakal dari Kekristenan dan Islam. Serangan terhadap agama-agama politeistis sudah ada pada literatur-literatur kenabian. Para nabi mengkritik agama Babel, Mesir dan bangsa-bangsa bukan Israel karena mereka percaya kepada dewa-dewi. Di pihak lain, Israel digambarkan sebagai penganut Tuhan yang esa yaitu Yahweh. Kepercayaan monoteistik ini tidak sekadar dibedakan dan dikontraskan dengan politeisme, namun juga melahirkan sebuah sikap yang intoleran. Monoteisme melahirkan tuntutan yang absolut untuk mengikuti dirinya. Sikap absolutis ini sangat lekat dengan kekerasan (Regina M. Schwartz, 1997). Dalam sejarah, agamaagama monoteistik memiliki catatan yang buruk sebagai pelaku kekerasan. Konflik antaragama yang terjadi dewasa ini menambah panjang catatan tentang kekerasan oleh agama-agama monoteistik. Di Indonesia, konflik antaragama tidak saja terjadi antara sesama agama monoteistik (Kristen-Islam), namun juga antara agama monoteistik dengan agama-agama lokal. Agama-agama suku yang usianya sudah sangat tua dan sudah lebih dahulu ada sebelum masuknya Islam dan Kristen seringkali menjadi target kekerasan dari pemeluk Islam dan Kristen. Kalaupun tidak secara fisik, para penganut agama suku itu sering ditekan, tidak diberi keleluasaan untuk beribadah dan dijadikan sasaran proselitisasi. Pendeknya, agama-agama suku harus hilang dan digantikan dengan agamaagama monoteistik. Pandangan mengenai agama sukupun sangat negatif. Agama suku dipandang penuh dengan tahyul, irrasional, terbelakang (pra-modern) dan barbar. Kekristenan mewarisi pandangan negatif ini dari para pendahulunya yang ide-idenya nampak dalam surat-surat Paulus. Ironisnya, Paulus sendiri sangat dipengaruhi baik oleh Yudaisme maupun peradaban YunaniRomawi. Jadi aneh jika Kekristenan hidup dalam sebuah dunia yang membentuk dirinya namun kemudian memusuhi dunia itu. Tetapi bila kita mengaitkannya dengan kekuasaan, keanehan itu menjadi wajar. Kekuasaan memungkinkan Kekristenan yang sebenarnya hidup dalam alam Yahudi dan Yunani-Romawi justru memusuhi orang dan kebudayaan Yahudi dan Yunani-Romawi itu.
103
Poskolonialisme menantang Kekristenan untuk melihat ke dalam dirinya dan menemukan roh kolonialisme yang sejatinya adalah hasrat kekuasaan totalitarian yang ingin menghisap segala yang berbeda untuk dipersamakan dengan dirinya baik secara halus melalui pengaruh budaya maupun dengan jalan kekerasan. Selain itu, poskolonialisme juga mendesak Kekristenan untuk bersedia menerima budaya lain, yang dalam hal ini berarti budaya lokal di Indonesia, secara setara dengan budaya Barat. Dalam kaitan dengan teologi, itu berarti teologi yang berangkat dari konteks setempat diberi kebebasan untuk berekspresi tanpa dicurigai sebagai yang lawan. Karena selama ini teologi Barat mendominasi teologi di Indonesia maka langkah yang harus diambil sekarang adalah mengangkat sebanyak mungkin kemungkinan yang berasal dari pergumulan lokal dan menggantungkan (setidaknya untuk sementara) teologi yang dari Barat. Tentu saja strategi ini hanya berupa bayangan di atas kertas. Di lapangan, pemisahan itu mungkin tidak bisa dilakukan secara tajam. Tetapi sekalipun begitu orang masih dapat menemukan mana yang berasal dari unsur lokal dan mana yang diimpor dari Barat. Maka, bukan hal yang sulit untuk mengangkat unsur lokal tersebut seandainya ada kemauan. Usul-usul tersebut sebenarnya bukan baru saja dimunculkan. Kesamaan dengan upaya-upaya kontekstualisasi tidak perlu dipungkiri. Tetapi poskolonialisme ingin melangkah lebih jauh daripada kontekstualisasi atau lebih tepatnya kontekstualisasi sebelum mengalami sentuhan poskolonialisme. Yang menandakan langkah yang lebih jauh itu adalah pengaitan tuntutan agar budaya kontekstual diangkat dengan isu kolonialisme. Pengaitan itu membawa dampak pada dilihatnya masalah ini sebagai masalah politik. Malah politik yang berbalut dengan nafsu berkuasa. Kontekstualisasi dalam perspektif poskolonialisme menjadi semacam sebuah perlawanan terhadap politik totalitarianisme yang tak segansegan menggunakan jalan kekerasan. Praktik dari pemahaman poskolonialisme itu sudah penulis coba jalankan dalam kelas-kelas hermeneutik Alkitab.7 Dengan menggunakan penafsiran lintas teks dan budaya, penulis mengajak mahasiswa untuk mempertemukan teks maupun hasil budaya lokal
104
dengan teks Alkitab. Prinsipnya adalah bahwa pemahaman dapat diperoleh dari mana saja, tidak terbatas dari teks Alkitab saja. Pertemuan antar teks atau budaya itu juga memungkinkan sebuah dialog yang tidak hanya bersifat konfirmatif (meneguhkan), namun juga bersifat konfrontatif, termasuk konfrontasi terhadap kandungan yang terdapat dalam Alkitab. Bentuk praktik lain yang penulis usahakan adalah memulai pemahaman akan teks Alkitab dari pikiran mahasiswa. Dengan sengaja informasi mengenai pendapat para ahli dikesampingkan. Mahasiswa diberi kebebasan untuk menuangkan pikirannya sendiri atas teks Alkitab yang dibacanya. Pikiran itu kemudian dianalisa dan sengaja diposisikan sebagai sumber pengetahuan. Pesannya di sini adalah bahwa sumber pengetahuan itu tidak hanya bisa datang dari para ahli saja, namun juga dari pengalaman sendiri. Memang pengetahuan yang berasal dari pengalaman sendiri itu tidak otomatis berarti benar-benar lepas dari pendapat para ahli. Sebab, sudah disebutkan sebelumnya bahwa Kekristenan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh Kekristenan Barat. Dari pengaruh itu, besar kemungkinan ide-ide para ahli yang notabene orang Barat menelusup masuk, mempengaruhi pikiran para mahasiswa. Jadi kesempatan yang diberikan oleh mahasiswa untuk mengutarakan pikirannya sendiri itu belum tentu benar-benar menyuarakan pikiran yang lain daripada yang dimiliki para ahli yang orang Barat itu. Tetapi tanda-tanda adanya pikiran sendiri yang belum dipengaruhi pemikiran Barat masih tetap dapat ditemui. Paling tidak, proses ini akan memberikan kepercayaan diri yang lebih besar kepada para mahasiswa. Melalui praktik tersebut penulis bermaksud membalik paradigma akademik. Bagi penulis keharusan untuk belajar dari para ahli adalah sebuah bentuk kolonialisme. Orang bisa belajar dari siapa saja, termasuk dari pengalamannya sendiri. Belajar dari para ahli bukanlah sebuah keharusan meskipun tidak boleh dipersalahkan juga. Para ahli memiliki metodenya sendiri dalam membangun pengetahuan. Termasuk dalam menetapkan sumber mana yang dipercayainya. Metode itu sekalipun sah tidak seharusnya dimutlakkan. Para mahasiswa seharusnya diberi kebebasan untuk menentukan metode pembelajarannya sendiri. Kedudukan para ahli hanyalah sejauh sebagai konsultan, yang tidak harus dituruti segala sesuatunya. Jadi,
105
baik dalam soal metode mendapatkan pengetahuan maupun dalam menetapkan sumber pengetahuan setiap orang harus diberi kesempatan yang sama. Di sini tidak ada pihak yang ditempatkan lebih tinggi, lebih berwibawa atau lebih benar. Kebenaran hanya bisa diterima jika orang setuju terhadap cara mencapainya. Tetapi tidak ada sebuah cara yang universal. Karena itu tidak ada yang boleh mengklaim bahwa caranya universal. Manusia Hibrid Amin Maalouf, seorang Lebanon yang hijrah ke Perancis seringkali menerima pertanyaan apakah dia merasa lebih Lebanon atau Perancis? Pertanyaan yang cukup wajar ini mendorong Maalouf untuk berefleksi lebih dalam mengenai dirinya hingga dia menemukan bahwa “I haven’t got several identities: I’ve got just one, made up of many components in a mixture that is unique to me, just as other people’s identity is unique to them as individuals. (Aku tidak mempunyai sekian identitas: Aku hanya punya satu, terdiri dari banyak komponen dalam suatu percampuran yang unik bagi diriku, sama seperti identitas orang lain yang juga unik bagi mereka sebagai indvidu.)”8 Kesaksian Maalouf ini menarik. Biasanya ketika orang bicara tentang keunikan dirinya yang akan disodorkan adalah bukti-bukti yang membuatnya nampak berbeda dari orang lain. Keunikan adalah kekhususan yang dimiliki seseorang, yang tidak dimiliki orang lain. Tetapi bagi Maalouf keunikan adalah justru percampuran dari apa-apa yang dimiliki orang lain. Unik, dengan kata lain, adalah hal yang membuat Maalouf terhubung dengan orang-orang lain yang keberadaannya juga ada pada dirinya. Ia adalah Perancis sebagaimana orang Perancis lainnya. Ia juga adalah Lebanon sebagaimana orang Lebanon lainnya. Maalouf sebenarnya berbicara mengenai identitas. Lagi-lagi kita mendapati pemahaman yang tidak biasa. Ketika berbicara mengenai identitas, orang cenderung untuk membuat garis pemisah antara dirinya dengan yang lain, antara kelompok dimana dia tergabung dengan kelompok lainnya. Misalnya saja identitas suku, bangsa, juga agama. Identitas memperjelas dengan jalan mengontraskan perbedaan. Suku Jawa dibedakan dari suku Bugis, agama Islam dibedakan dari agama Kristen dan seterusnya. Tetapi, bagi Maalouf
106
konstruksi identitas seperti itu tidak berlaku bagi dirinya. Konstruksi semacam itu justru akan membuat dirinya terlihat setengah-setengah atau tidak jelas. Tidak Lebanon, tetapi juga tidak Perancis. Maalouf menolak penggambaran tersebut dan memberikan penggambaran yang lain yaitu bahwa sekalipun di dalam dirinya ada beragam identitas namun ia melihat dirinya sebagai orang yang hanya memiliki satu identitas saja. Maalouf bukannya menolak kepelbagaian dalam dirinya. Tetapi yang ditolaknya adalah jika kepelbagaian itu hendak dilihat secara terpisah-pisah. Ia ingin menyatukan kepelbagaian itu dalam sebuah identitas. Identitas yang satu namun hibrid.9 Dari sisi psikologi sosial, Bernice Lott mengamati gejala yang umum terjadi di berbagai tempat di dunia dewasa ini yaitu bahwa, “each of us is a multicultural human being (setiap kita adalah manusia multibudaya)”.10 Diskursus multibudaya (multiculturalism) yang pada umumnya dikenakan kepada sebuah bangsa atau masyarakat, ternyata juga dapat dikenakan kepada pribadi. Itu berarti, gejala multibudaya tidak hanya berhenti pada taraf kelompok (bangsa, masyarakat, komunitas), namun merambah hingga ke taraf individu. Setiap orang yang hidup dalam konteks heterogen akan mengalami heterogenitas itu dalam dirinya. Andaikan pemahaman ini kita bawa ke konteks Indonesia yang heterogen maka setiap penduduk negeri ini sebenarnya adalah orang yang multibudaya, orang yang hibrid. Karena heterogenitas di Indonesia tidak hanya berupa budaya dalam arti spesifik, namun juga agama, maka multibudaya yang merupakan keberadaan setiap orang itu terdiri dari unsur agama pula. Berarti setiap orang di negeri ini adalah orang yang multiagama. Persoalan dari manusia multibudaya adalah bagaimana ia mampu menempatkan kepelbagaian itu agar pada akhirnya kepelbagaian itu dapat menolong dirinya untuk mencapai suatu kehidupan yang lebih baik. Sebab, kondisi multibudaya tidak hanya untuk diterima sebagai sebuah “pemberian” (ascribed), namun juga sebuah kesempatan yang harus disikapi dengan aktif. Multibudaya perlu dipandang sebagai sebuah pilihan yang diputuskan dengan perhitungan yang masak. Perhitungan tersebut tidak bisa dilakukan secara keterwakilan sebagaimana yang terjadi di zaman Orde Baru.
107
Ketika itu kebhinnekaan bangsa jelas-jelas diakui dan ditanamkan dalam kesadaran setiap warga negara. Tetapi kebhinnekaan tersebut tidak memerlukan keterlibatan dari warga negara, baik dalam arti sebuah kelompok (masyarakat, komunitas, organisasi), apalagi dalam arti individual. Akhirnya, meskipun semua orang tahu bahwa Indonesia adalah bangsa yang bhineka, namun pengertian kebhinekaan itu masih merupakan sesuatu yang asing. Pengertian itu lebih merupakan doktrin yang dibuat oleh pemerintah yang harus diterima begitu saja oleh warga negara. Belum lagi pada waktu itu kebhinekaan hanya dijadikan sebuah jalan masuk menuju kepada keika-an. Tekanan yang lebih besar diberikan oleh pemerintah kepada ke-ika-an itu di bawah jargon “kesatuan dan persatuan” yang berulangkali diperdengarkan kepada masyarakat. Akibatnya, orang hanya mengerti kebhinekaan itu sedikit saja atau sambil lalu saja untuk kemudian diarahkan kepada ide kesatuan. Maka, ketika sekarang kita membicarakan multibudaya, kita perlu menyadari perbedaannya dengan konsep-konsep “bhinneka tunggal ika” yang diajarkan oleh pemerintahan Orde Baru dulu. Perbedaan itu terdapat pada tidak diletakannya agenda kesatuan di depan, meskipun bukan sama sekali ditolak juga. Kesatuan tidak ingin dijadikan asumsi yang mendahului keragaman. Kesatuan juga tidak dijadikan pengarah bagi keragaman yang seringkali berakhir dengan kesegaraman itu. Perbedaan lainnya adalah pada partisipasi setiap kelompok, bahkan setiap individu dalam menyikapi keragaman yang ada. Sehingga kondisi multibudaya tidak dijadikan sebagai sebuah nasib yang tidak bisa diubah melainkan sebuah pilihan yang dengan sengaja dibuat dan dijalani. Partisipasi aktif dari setiap orang akan membuat multibudaya terus menerus bergerak, terus menerus mengalami koreksi dan penyesuaian. Kondisi masyarakat yang telah memasuki era globalisasi yang ditandai dengan keajegan perjumpaan antarkelompok dan antarindividu yang berbeda, baik oleh karena migrasi penduduk maupun karena akses ke media teknologi informasi (internet, telpon, telpon genggam, media sosial) yang semakin terbuka, menambah kecairan arti dari multibudaya itu. Perubahan-perubahan yang terjadi
108
dalam waktu singkat dan tidak jarang bersifat frontal – seperti yang terjadi di dunia maya – bahkan membuat pengertian budaya menjadi jauh lebih cair. Kalau dahulu kita mudah mengasosiakan budaya dengan kedaerahan, sekarang batas-batas kedaerahan itu semakin kabur kecuali dalam konteks ritus atau ketika diadakan pagelaran kesenian yang seringkali dikaitkan dengan pariwisata. Kemunculan budaya daerah dalam konteks ritual dan pariwisata itu bisa jadi tidak mencerminkan keadaan sehari-hari. Dalam kesehariannya masyarakat tidak mengenakan atribut-atribut budaya seperti yang dikenakan pada upacara-upacara dan pagelaran kesenian daerah. Kesenjangan antara kondisi sehari-hari dan saat-saat tertentu dimana budaya daerah ditampilkan, semakin lama semakin melebar. Tandanya adalah semakin sedikitnya generasi muda yang memahami dan peduli pada budaya daerahnya seiring dengan semakin canggihnya tingkat kemodernan mereka. Usaha-usaha kontekstualisasi pada masa sekarang sudah tidak lagi bisa seperti ketika ia baru pertama kali dimunculkan. Kecairan atau hibriditas budaya yang semakin nyata dewasa ini tidak mungkin lagi membuat kontekstualisasi dimengerti sebagai usaha untuk memunculkan sebuah budaya lokal di tengah himpinan sebuah budaya yang dominan (Barat). Bukan karena budaya lokal atau daerah itu sudah sirna, namun karena mereka yang hidup di daerah yang cukup terpencil sekalipun sudah mengenal bahkan menjalankan budaya-budaya lain yang bukan berasal dari daerahnya. Oleh sebab itu, membicarakan budaya dari sebuah masyarakat perlu dilandasi oleh kesediaan untuk terbuka terhadap berbagai budaya yang ada dalam kehidupan masyarakat itu. Masyarakat yang multibudaya perlu dilihat sebagai masyarakat yang multibudaya, bukan dengan pandangan yang masih monobudaya. Pandangan monobudaya digunakan oleh pemerintahan Orde Baru untuk menekan perbedaan yang kala itu ditabukan atau hanya diperbolehkan terlihat secara superfisial saja. Perbedaan menjadi tabu oleh karena berpotensi menimbulkan pembangkangan terhadap pemerintah, bukan seperti alasan yang diberikan pemerintah yaitu agar tidak timbul perpecahan. Paranoia terhadap perpecahan sengaja dipupuk agar rakyat takut. Tetapi hasil dari ketakutan itu bukanlah
109
kerekatan hubungan horisontal, melainkan ketundukan kepada pemerintah. Konflik-konflik sosial yang terjadi pasca Orde Baru membuktikan bahwa masyarakat tidak pernah merasa takut pecah kongsi. Mereka juga tidak pernah merasakan kerekatan sebagaimana yang nampaknya saja diperlihatkan. Tetapi masyarakat tidak dapat dipersalahkan karena itu. Mereka adalah korban politik pemerintah. Konflik-konflik antaretnis dan antaragama atau malah antarkelompok agama yang marak terjadi akhir-akhir ini mesti dilihat dalam terang politik Orde Baru yang masih sangat membekas hingga sekarang. Konflik-konflik tersebut sebagaimana penulis sebut di atas adalah ekspresi ketidaktahuan masyarakat tentang bagaimana mereka seharusnya bersikap di tengah heterogenitas yang ada. Di pihak lain, kita dapat pula membacanya sebagai gejala kekecewaan masyarakat terhadap kegagalan angan-angan monodubaya yang digembargemborkan pemerintah. Masyarakat sudah terlanjur meyakini bahwa mereka hidup dalam sebuah keadaan yang monobudaya. Tetapi kemudian mereka sadar bahwa keadaan tersebut tidak nyata. Karena itu mereka kecewa dan melampiaskan kekecewaannya lewat kekerasan terhadap kelompok yang berbeda. Mitos monobudaya telah menipu masyarakat dan menimbulkan kekecewaan ketika mitos itu dibongkar. Kecenderungan etnosentrisme sebagaimana yang ditengarai oleh diantaranya E. Gerrit Singgih, tidak lepas dari mitos monobudaya yang dalam kasus ini justru ingin dipegang erat-erat oleh masyarakat. Masyarakat enggan menghadapi kenyataan bahwa mereka sebenarnya adalah multibudaya. Hibriditas bukannya diterima dengan rela, namun justru dianggap sebagai momok yang harus disingkirkan. Etnosentrisme adalah wujud kemunafikan masyarakat yang tidak ingin berdamai dengan kenyataan hibriditas dirinya. Tetapi momok hibriditas nampaknya lebih dirasa mengancam oleh para pengendali globalisasi. Sebagaimana sudah sering dikatakan, globalisasi bersifat mendua. Di satu pihak ia menghasilkan hibriditas, di pihak lain ia mengancam hibriditas yaitu ketika seluruh umat manusia di dunia ingin dijadikan sama. Gejala totalitarian sudah nampak jelas dengan kesamaan-kesamaan yang semakin banyak
110
ditemui di seluruh dunia. Pusat-pusat pertokoan (mall) hampir semuanya sama di seluruh dunia, baik dari segi fisiknya maupun isinya. Mode pakaian, rambut dan berbagai macam asesoris juga demikian halnya. Bahasa Inggris juga semakin lama semakin mendominasi dunia dan mampu menggeser bahasa-bahasa lainnya. Globalisasi yang didorong oleh roh kapitalisme baru telah menggerogoti heterogenitas. Maka, hibriditas akan dipandang sebagai batu sandungan. Penafikan terhadap hibriditas menjadi fenomena politik dunia akhirakhir ini. Para politikus yang menjanjikan monobudaya justru mendapat tempat di hati banyak orang, meskipun kita belum tahu sampai kapan itu akan terjadi. Di negara-negara maju, isu imigran yang membawa budaya dan agama asing ditanggapi dengan cara tegas. Undang-undang yang mencegah gelombang imigrasi memasuki negara-negara tersebut diterbitkan. Rumor hitam mengenai para imigran disebarluaskan. Islam dipandang sebagai agama pendatang dan dinilai tidak cocok dengan budaya Barat. Sebaliknya, di negara-negara yang penduduknya mayoritas Islam, kecurigaan dan ketidaksukaan terhadap Barat dan Kekristenan yang dianggap sebagai representasi Barat juga semakin meningkat. Di negara-negara sekitar Sungai Mekong, eskalasi Budhisme yang eksklusif juga semakin terasa. Intoleransi kepada penganut agama minoritas nampaknya menjadi sikap dari semua agama ketika ia berada dalam posisi mayoritas. Dunia nampaknya memasuki situasi permusuhan yang baru pasca Perang Dingin. Permusuhan itu bukan pertama-tama antaragama, bukan pula antaretnis, tetapi antar mereka yang bersedia menerima dan hidup dalam kondisi multibudaya dengan mereka yang hanya mau hidup secara monobudaya. Hibriditas menjadi bulan-bulanan di segala bidang dan di seluruh pelosok dunia. Penutup Kontekstualisasi telah memasuki babak baru seiring dengan tibanya zaman multibudaya. Tetapi seperti juga pada zaman kolonial dan poskolonial yang ditandai dengan perlawanan (terhadap hegemoni Barat), sekarang pun kontekstualisasi harus berada dalam sebuah perlawanan. Perlawanan itu adalah terhadap suatu sisi dari
111
globalisasi yang ingin menelan heterogenitas. Globalisasi yang mengajarkan sebuah ideologi monobudaya dan menebarkannya ke segala penjuru dunia. Ideologi multibudaya yang sebenarnya memperoleh daya dorongnya dari globalisasi juga, seakan berada dalam status kritis. Sudah sewajarnya kontekstualisasi berperan untuk menyelamatkan ideologi multibudaya dari himpitan ideologi monobudaya. Alasan untuk berharap pada peran kontekstualisasi tersebut adalah bahwa semakin orang membuka diri kepada konteksnya, semakin terlihat olehnya akan hibriditas dirinya. Sebaliknya, semakin orang mengabaikan konteksnya dan mengarahkan diri ke pemandangan global, yang nampak olehnya justru kesamaan-kesamaan yang mengajarkannya hanya tentang satu hal yakni monobudaya. Globalisasi dalam hal ini merupakan kontras dari kontekstualisasi. Tetapi ada pesan yang penting untuk disampaikan juga mengenai kontekstualisasi yaitu agar ia tidak justru memperkuat ideologi monobudaya. Pesan ini penting karena bukan tidak mungkin kontekstualisasi dianggap sebagai upaya untuk mengembalikan kemurnian sebuah budaya. Anggapan ini akan menempatkan kontekstualisasi pada posisi yang sama dengan globalisasi tadi yaitu sebagai penjamin kelangsungan monobudaya yang konkritnya adalah etnosentrisme. Maka, seperti juga globalisasi, tidak semua pemahaman mengenai kontekstualisasi dapat mendukung ideologi multibudaya. Terhadap kontekstualisasi yang demikian, kita juga harus bersikap kritis.
112
Daftar Pustaka Alessandrini, Anthony C. (ed.) 1999, Frantz Fanon, Critical Perspectives, London-New York: Routledge Andraos, Michel E. 2012 “Engaging Diversity in Teaching Religion and Theology: An Intercultural, De-colonial Epistemic Perspective” dalam Jurnal Teaching Theology and Religion, Vol.15, Issue 1, January 2012 Connolly, William E. 1991 Identity\Difference, Democratic Negotiations of Political Paradox, Minneapolis- London: Univ. of Minnesota Press Cortez, Marc. 2005 “Creation and Context: A Theological Framework for Contextual Theology”, dalam Westminster Theological Journal 67 (2005): 347 Fanon, Frantz. 1965 A Dying Colonialism, trans., New York: Grove Press Maalouf, Amin. 2000 In the Name of Identity, trans., New York: Penguin Books Said, Edward W. 1994 Culture and Imperialism, New York: Vantage Books Schwartz, Regina M. 1997 The Curse of Cain, the Violent Legacy of Monotheism, Chicago-London: Chicago U.P. Schreiter, Robert J. 2012 “Inkulturasi Kekristenan dalam Konteks Anake Budaya dan Agama” dalam Jurnal Ledalero, Wacana Iman dan Kebudayaan, Vol. 11, No. 1, Juni 2012 Setio, Robert. 2012 “Biografi sebagai Kontekstualisasi” dalam Jurnal Ledalero, Wacana Iman dan Kebudayaan, Vol. 11, No. 1, Juni 2012 Singgih, E.G. 1982 Dari Israel ke Asia, Jakarta: BPK Gunung Mulia 2000 Berteologi dalam Konteks, Yogyakarta: Penerbit Kanisius-BPK Gunung Mulia 2009 Menguak Isolasi, Menjalin Relasi, Jakarta: BPK Gunung Mulia Taylor, Charles. 1994 Multiculturalism, Examining the Politics of Recognition, Princeton-New Jersey: Princeton U.P. Johnson, Luke T. 2009 Among the Gentiles, Graeco-Roman Religion and Christianity, New Haven- London: Yale U.P.
113
Lott, Bernice. 2010 Multiculturalism and Diversity, Chichester: Wiley-Blackwell Mignolo, Walter D. 2001 “Colonial and Postcolonial Discourse: Cultural Critique or Academic Colonialism?”, © Latin American Research Review
Endnote 1
Mungkin UKDW agak berbeda dalam hal ini. Program S-2 (dan S-3 teologi yang baru saja diadakan) dengan sengaja dan jelas memakai kerangka kontekstualisasi yang berimbas pada karya-karya tulis mahasiswanya. 2 Sebelumnya, E.G. Singgih pernah mencobanya juga. Lihat: “Potret Misi Gereja di Indonesia dalam Kerangka Kritik Postmodern terhadap Modernitas” dalam Menguak Isolasi, Menjalin Relasi, 2009 3 Dikutip dari artikel Marc Cortez, “Creation and Context: A Theological Framework for Contextual Theology”, dalam Westminster Theological Journal 67 (2005): 347 4 Michel Elias Andraos, “Engaging Diversity in Teaching Religion and Theology: An Intercultural, De-colonial Epistemic Perspective” dalam Jurnal Teaching Theology and Religion, Vol. 15, Issue 1, January 2012, h. 7 5 Edward W. Said, Culture and Imperialism, 1994, h. 7 6 Richard Rorty, Contingency, irony, and solidarity, Cambridge: Cambridge U.P., 1989, h.5. 7 Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Robert Schreiter bahwa perspektif poskolonialisme sudah lebih dahulu digunakan dalam studi biblika ketimbang bidang teologi lainnya. Untuk membuktikannya ia menunjuk karya-karya Sugirtharajah dan Fernando Sergovia. Lihat artikelnya, “Inkulturasi Kekristenan dalam Konteks Anake Budaya dan Agama” dalam Jurnal Ledalero, Wacana Iman dan Kebudayaan, Vol. 11, No. 1, Juni 2012, h.115 8 Amin Maalouf, In the Name of Identity, 2000, h. 2 9 Penulis pernah menuliskan hal yang senada dalam artikel “Biografi sebagai Kontekstualisasi” dalam Jurnal Ledalero, Wacana Iman dan Kebudayaan, Vol. 11, No. 1, Juni 2012 10 Bernice Lott, Multiculturalism and Diversity, Chichester: Wiley-Blackwell, 2010, h. 1
114
Teologi Kontekstual sebagai Transformasi Ganda Wahju S. Wibowo1
Pendahuluan Abad 20 ditandai dengan perkembangan menarik dalam bidang teologi, yaitu menguatnya apa yang disebut sebagai „teologi kontekstual‟ (contextual theology). Sebenarnya istilah „teologi‟ sendiri secara implisit mengandung makna kontekstual karena tidak mungkin ada teologi tanpa konteks. Teologi berangkat dari sebuah pengalaman kehadiran Allah dalam konteks kehidupan manusia, dan „isi‟ pengalaman yang merupakan „iman‟ akan Allah diungkapkan dengan bahasa sejauh bahasa tersebut bisa mengungkapkannya. Secara khusus menguatnya desakan untuk menggunakan istilah „teologi kontekstual‟ muncul karena teologi yang pada dirinya sendiri sudah kontekstual karena berangkat dari partikularitas tertentu kemudian dimengerti sebagai yang bersifat universal dan konteks lain dipaksa menerima teologi tersebut. Atau dengan kata lain ada masalah tentang universalitas dan partikularitas. Isi iman yang diungkapkan melalui bahasa sebagai media pengungkap diidentikkan sehingga setiap konteks yang kepadanya isi iman itu diwartakan harus mau menerima baik isi iman maupun bahasa pengungkap isi iman itu. Sebagai contoh istilah tentang Trinitas sebagai satu „substansi‟ dengan tiga „persona‟. Istilah „substansi‟ dan „persona‟ berasal dari pengalaman manusia Barat dalam memahami keberadaan diri melalui konteksnya. Usaha memahami keberadaan diri itu kemudian diungkapkan dengan bahasa yang bisa dimengerti oleh mereka. Nah, semuanya itu kemudian dianggap absolutuniversal, dan ketika dibawa keluar Eropa, bukan tidak mungkin istilah „substansi‟ atau „persona‟ mempunyai makna yang berbeda, atau bahkan tidak dimengerti sama sekali. Untuk itu Jürgen Moltmann mengemukakan bahwa “Teologi adalah permasalahan seluruh umat Allah”, dan karena itu “Persepsi dari 1
Dosen Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana
115
lokus teologi berbeda dalam setiap kerangka hermeneutik dan kesadaran politisnya”1. Moltmann menyadari bahwa manusia selalu berbeda, padahal pengalaman itulah yang akan membawa pada sebuah tataran refleksi tertentu. Jika pengalaman berbeda dalam mempersepsi Allah, dunia, manusia dan alam semesta maka tentu refleksinyapun bisa jadi amat berbeda. Lokus teologi sebagai tempat di mana kegiatan berteologi itu muncul dan berkembang, bukan hanya berfungsi sekedar sebagai wadah kegiatan berteologi sekaligus berperan memberi „isi‟ terhadap refleksi teologis itu. Nah, biasanya urusan „isi‟ teologi menjadi sedikit rumit karena „isi‟ itu bukan hanya melibatkan pengalaman lokalitas kita, tetapi juga melibatkan pengalaman lokalitas orang-orang di sekitar Yesus dan jemaat mulamula ketika Alkitab ditulis sehingga banyak orang mencari gampangnya saja dengan memahami teologi kontekstual sebagai sekedar mengganti „cangkang‟. Pada suatu kali saya menghadiri kebaktian berbahasa Sunda di kota Bandung. Apa yang berbeda dengan kebaktian yang berbahasa Indonesia? Yang berbeda hanya bahasanya saja! Bahasa yang dipakai adalah bahasa Sunda. Liturginya adalah liturgy Calvin yang dibawa oleh para missionaries, lagu-lagunya adalah lagu-lagu barat buatan abad 17-18 yang diterjemahkan ke bahasa Sunda, cara dan pakaiannyapun masih sama, yang berbeda benar-benar hanya bahasa saja. Sekitar tahun 1990-an, seorang dosen dari Belanda datang ke Yogya sebagai tenaga pengajar tamu. Ketika beliau mengikuti kebaktian di salah satu gereja di Yogyakarta, beliau terpesona dengan liturgy itu karena gereja tersebut memakai liturgy peninggalan Belanda. Padahal liturgy gereja itu nyaris sama dengan liturgy gereja-gereja mainstream di Indonesia. Bukankah liturgy menyangkut pengertian tentang sebuah “kehidupan” yang hendak dirayakan dan makna yang dihidupi? Kehidupan seseorang atau kelompok orang dengan udara yang pada saat itu ia hirup, air yang ia minum dan matahari yang menyinari tubuhnya. Pendeknya liturgy menyangkut kehidupan, itulah yang sebenarnya harus dinyatakan dalam sebuah kebaktian. Bukan soal perubahan bahasa. Bahasa mencerminkan pola pikir dan cara orang menangkap realita. Hanya menterjemahkan bisa jadi hanya mengambil alih pola pikir dan cara orang lain menangkap realitas, bukan mengembangkan pola pikir dan realita yang dihadapi sendiri. Apakah yang dilakukan itu salah? Tentu tidak ada yang salah 116
ketika gereja menggunakan liturgy yang berasal dari abad-abad sebelumnya. Bagaimanapun apa yang dilakukan merupakan bagian dari sebuah upaya untuk menghadirkan makna kebaktian dalam diri seseorang secara khusus. Tetapi berteologi tidak cukup hanya seperti itu. Seseorang harus berani masuk lebih dalam lagi ke jati dirinya sebagai manusia dalam sebuah keberadaan tertentu. Pada titik inilah jantung dari teologi (yang selalu konteksual itu) berada. Untuk itu tulisan ini akan berisi beberapa hal yaitu: pertama penegasan kembali bahwa memang teologi selalu bersifat kontekstual; kedua, bagaimana teologi kontekstual dipahami sebagai „double transformation‟, transformasi makna yang terjadi secara ganda dan terakhir catatan penutup. Teologi: Selalu Kontekstual Perdebatan tentang perlukah ada „teologi kontekstual‟ sebenarnya sudah selesai. Hampir semua teolog sepakat bahwa memang teologi bersifat kontekstual. Nico Syukur Dister mengungkapkan bahwa teologi adalah “Refleksi ilmiah orang Kristen atas iman yang mereka hayati sebagai orang beragama kristiani”2. Ada beberapa catatan berkaitan dengan ungkapan Nico Syukur, pertama iman yang dihayati. Penghayatan akan iman merupakan bentuk hidup yang kongkret dari kepercayaan kepada Allah. Pertanyaannya adalah dari mana iman yang dihayati itu? Iman itu diwariskan melalui sejarah bermula dari sejarah Israel, kemudian sejarah gereja dan dilanjutkan melalui tradisi gereja. Warisan iman itulah yang dihidupi dalam sebuah lokalitas tertentu. Yang kedua, iman itu direfleksikan dengan keberadaan diri sendiri. Iman menjadi hidup dalam sebuah pengalaman yang berbasiskan konteks, sekaligus yang bertanggung jawab terhadap konteks tersebut. Atau jika memakai istilah Robert Schreiter: situasi membentuk bagaimana tanggapan terhadap injil sehingga iman dihayati sekongkret mungkin. Catatan kritis atas definisi Nico Syukur adalah bahwa istilah „teologi‟ masih milik ekslusif orang yang secara ilmiah mau merumuskan iman mereka. „Logos’ dalam teologi semata dipahami sebagai ungkapan propositional. Hal ini menutup kemungkinan refleksi teologi yang dilakukan kaum awam, yang berangkali tidak 117
ilmiah. Untuk itu Alister McGrath, guru besar teologi di Oxford University, dengan lugas mengatakan bahwa „teologi adalah berbicara tentang Tuhan‟.3 Ungkapan McGrath sederhana, jelas dan lugas, namun merangkum siapapun yang hendak berbicara tentang Tuhan. Tidak ada embel-embel ilmiah. Hanya saja untuk orang Kristen berteologi berarti berbicara tentang Tuhan dari perspektif Kristen yang mencakup pengalaman hidup manusia dan realitas harihari yang direfleksikan dalam konteks iman dan hubungan dengan Tuhan. Sementara itu hal „berbicara‟ bisa diungkapkan dalam berbagai bentuk salah satunya adalah seni. Sementara itu Stephen Bevans, yang bukunya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dengan tegas mengatakan bahwa tidak ada teologi yang tidak kontekstual.4 Teologi mesti kontekstual. Pendasaran Bevans bersifat filosofis yaitu bahwa dalam subyektivitas jaman modern dipahami bahwa realitas bukan hanya berada “ di luar sana”, tetapi realitas diperantarai oleh makna. Subyek-lah yang memberikan makna terhadap realitas itu, dan makna diberikan berdasarkan horison dan pemikiran tertentu. Sekedar sebagai pembanding, dalam dunia ilmu alam ada perdebatan antara ilmuwan yang mengatakan bahwa „obyektivitas‟ merupakan puncak tertinggi kesakralan ilmu pengetahuan yang tidak tergoyahkan yang dicapai dengan metode tertentu yang ketat, dengan ilmuwan yang meyakini adanya prinsip anthropic. Prinsip anthropic adalah ketika posisi subyek, manusia atau si pengamat yang menala fenomena alam menjadi penting. Dengan demikian „obyektivitas‟ kebenaran yang diyakini ada „di luar sana‟, mendapat imbangannya yaitu subyektivitas si pengamat. Dengan demikian perdebatan mengenai „makna‟ yang diberikan subyek, bukan hanya melulu kepunyaan ilmu-ilmu social dan hermeneutikanya, juga merambah ke ilmu alam yang terkenal amat ketat dalam hal metode. Dengan demikian teologi kontekstual mengandaikan kemauan dan kemampuan mempertimbangan berbagai ekpresi konteks yang muncul. Nah, ketika satu konteks „memaksa‟ konteks yang lain untuk menerimanya, maka teologi itu bersifat kontekstual hanya pada saat dimunculkan, tetapi tidak kontekstual pada konteks lain. Hal inilah yang biasanya memunculkan ketegangan. 118
Ketegangan terjadi karena adanya transisi berupa pergeseran paradigma. Kesadaran akan adanya konteks Alkitab di satu pihak dan kesadaran akan konteks diri sendiri di pihak lain, membawa pada paradigm baru seperti halnya seseorang yang baru berpindah dari bukan Kristen menjadi Kristen.5 Paradigma lama dianggap sebagai paradigma tunggal. Namun kesadaran terhadap konteks bisa dianggap sebagai „anomali‟ (memakai istilah Thomas Kuhn) dari paradigm tunggal yang tidak sensitive terhadap konteks sehingga kesadaran akan konteks mempertanyakan keberadaan paradigm tunggal itu sehingga menimbulkan krisis. Krisis inilah yang bisa dipadankan dengan istilah „ketegangan‟. Hans de Wit seorang ekseget dari Belanda mengemukakan bahwa ketegangan itu terjadi karena „perceraian‟. Jika sampai abad pertengahan terjadi „pernikahan‟ yang harmonis antara teks, konteks, dan aplikasi dengan bapa-bapa gereja sebagai „wali nikah‟ yang berhak menentukan tingkat keharmonisannya, maka awal perceraian muncul pada jaman Rennesans dan menguat sampai di Aüfklarung, di mana rasionalitas dan bukti empiris turut menentukan makna. Ketegangan pun muncul.6 Namun ada juga yang mengatakan bahwa pemisahan antara iman dan rasio yang terjadi pada jaman modern merupakan pemisahan semu, misalnya Creston Davies. Sebenarnya yang ada bukan pemisahan tetapi sebuah bentuk penghargaan terhadap apa yang sebelumnya dilupakan. Tidak pernah ada pemisahan yang sungguh-sungguh tajam antara iman dan rasio. Teologi Protestan dan Katolik, khususnya sayap liberal, mulai berhasil untuk menunjukkan bahwa pemisahan iman dan rasio merupakan pemisahan semu.7 Bagi Creston Davies, paham yang mengatakan bahwa rasio berdiri berhadapan dengan iman dan segala hal yang berbau mistik, dalam rangka mencapai sebuah rasio yang otonom dan murni, justru merupakan tahayul tersendiri.8 Yang ada adalah abad pertengahan gagal untuk menghadirkan rasio secara seimbang, sementara modernitas justru terlalu banyak menghadirkan rasio. Rupanya bagi Davies, keseimbangan yang jujur dan tulus di antara keduanya amat penting supaya teologi tetap bisa bermakna. „Jujur‟ dan „tulus‟ dalam pengertian bahwa motivasi untuk menghargai aspek iman dan rasio merupakan bagian positif dari pertanggungjawaban iman.
119
Kejujuran dan ketulusan menjadi penting karena memang pernghargaan terhadap konteks seringkali „diselimuti‟ maksud yang berbeda. Seringkali dijumpai bahwa „teologi kontekstual‟ akhirnya sekedar menjadi alat untuk penginjilan kepada mereka yang bukan Kristen. Ada pemahaman bahwa kontekstualisasi hanyalah alat supaya banyak orang tertarik menjadi Kristen.9 Menyampaikan berita injil sesuai dengan –misalnya budaya setempat- dilakukan agar orang tertarik dan akhirnya menjadi Kristen. Teologi kontekstual juga bukan sebagai „obat‟ untuk pertumbuhan gereja seperti disinyalir seorang teolog Belanda, Martien Brinkman10. Jika gereja mandeg pertumbuhannya dan pengunjung kebaktian merosot, pakailah kontekstualisasi dengan membuat kebaktian bergaya budaya local lengkap dengan music dan tari-tarian budaya, atau memakai band sebagai symbol kepedulian terhadap konteks budaya orang muda yang bergelora dan bersemangat, diharapkan dengan itu maka gereja menjadi penuh kembali. Teologi kontekstual bukanlah alat atau obat, melainkan, meminjam istilah Bevans, suatu imperative, conditio sine qua non dari teologi itu sendiri. Jika teologi kontekstual dipahami sebagai alat untuk melakukan penginjilan, maka seluruh muara orientasi hal berteologi adalah soal penginjilan. Atau jika hanya dipahami sebagai obat untuk menyelesaikan masalah pengunjung kebaktian yang sedikit, maka yang didapat bukanlah inti teologi itu sendiri. Dari sudut pengertian dan definisi, perdebatan apakah teologi bersifat kontekstual sebenarnya sudah selesai. Namun demikian perdebatan baru muncul sehubungan dengan upaya mempertautkan konteks Alkitab, sebagai pegangan utama dengan konteks jaman ini. Beberapa pandangan kaum Evangelikal membuat nisbah yang amat tajam antara pengalaman dan konteks dengan Alkitab sebagai Firman Allah untuk kemudian menihilkan peran pengalaman. Nisbah antara pengalaman dan konteks dengan Alkitab tentu harus diakui, namun tidak harus terjebak pada penihilan pengalaman. Stanley Grenz, salah seorang teolog kelompok Evangelikal yang paling maju, mencantumkan pengalaman sebagai salah satu pertimbangan, namun dengan tegas menolak jika pengalaman menjadi salah satu unsur penentu berteologi karena bisa sangat subyektif. Nilai ilahi yang terkandung dalam Alkitab pun menjadi subyektif.11 Ketegangan dua 120
konteks itu tidak dipedulikan padahal ketegangan dalam berteologi adalah hal yang wajar dan perlu. Dengan demikian sebenarnya berteologi berarti selalu berada dalam ketegangan kreatif antara makna „yang diwariskan‟ dengan makna „yang dihidupi‟ saat kini. Dengan menunjuk pada adanya ketegangan kreatif, maka teologi yang bersifat kontekstual itu tidak dapat disederhanakan menjadi hanya sekedar mengganti wujud luar kebudayaan. Lagu diterjemahkan ke bahasa daerah, baju diganti dengan baju daerah, ornamen gereja diperkaya dengan ornamen etnik. Boleh saja itu menjadi bagian dari upaya melakukan teologi yang kontekstual, namun bukan di sana letak inti teologinya. Liturgi mengandung pemahaman dan penghayatan akan kehidupan tertentu. Eksplorasi atas kehidupan lokal itulah yang hendaknya bisa dirumuskan dalam sebuah liturgi yang kontekstual. Masalahnya bukan hanya budaya tradisional seperti gamelan, petungan dll tetapi juga budaya modern dengan segala dampaknya, kapitalisme, globalisasi dll. Masalahnya juga bukan pada mencocok-cocokan mana yang sesuai dengan iman kristen dan mana yang bukan. Mencocok-cocokan bukanlah cara bijaksana upaya kontekstualisasi karena didasarkan pada semangat untuk “menyatukan semua kebenaran supaya menjadi lebih benar”. Salah satu teolog Indonesia yang konsisten berteologi dengan tetap mempertimbangkan air kehidupan yang dirasakan sehari-hari adalah E. Gerrit Singgih. Gerrit Singgih memberikan sebuah pembelajaran bahwa memang teologi senantiasa kontekstual, bahkan jikapun yang dipakai di satu tempat tertentu merupakan cangkokan teologi dari tempat lain, maka teologi itu tetaplah kontekstual; paling tidak kontekstual dari segi bagaimana teologi itu bermula. Namun demikian Gerrit Singgih mengingatkan bahwa teologi memang harus berangkat dari konteks tertentu, namun demikian teologi yang hanya memperhitungkan konteksnya sendiri bisa jadi teologi tersebut terpenjara oleh konteksnya sendiri. Untuk itu supaya tidak terpenjara dengan konteksnya sendiri, Gerrit Singgih menawarkan intertextuality.12 Intertekstualitas merupakan perjumpaan antara satu konteks dengan konteks lainnya untuk saling berdialog. Justru dengan intertekstualitas itulah teologi mendapatkan horizon yang kurang lebih lengkap. 121
Bevans mengemukakan hal yang senada dengan mengatakan bahwa teologi harus berada dalam “..mutually critical dialogue, two realities..”.13 Untuk itu bagi Bevans, kata kunci yang amat penting adalah „pengalaman‟. Pengalaman merupakan realitas yang hidup dan kongkret. Pengalaman itulah yang akan mengisi dan mengembangkan teologi. Bevans rupanya menengarai bahwa seringkali ada jurang antara teologi yang dikembangkan oleh gereja dengan pengalaman kehidupan sehari-hari. Di gereja seolah jemaat diajak melupakan pengalaman hidup yang ada di „luar tembok‟ gereja, dan menjadi seorang yang sama sekali berbeda ketika berhadapan dengan Allah. Padahal justru pengalaman hidup yang ada di „luar tembok‟ gereja itulah yang akan memberikan sebuah „isi‟ kepada teologi yang akan diberitakan dari mimbar. Dengan demikian teologi yang „kontekstual‟ selalu tertantang untuk mendialogkan diri dengan berbagai pengalaman karena justru kekayaan teologi terletak pada dialog tersebut. Namun demikian bagi Bevans unsur kritis dalam perjumpaan itu tetap harus dipertahankan. Dalam dialog itu seseorang atau sekelompok orang akan mengartikulasikan pengalamannya. Pengalamannya akan bertemu dengan pengalaman orang atau kelompok lainnya, termasuk pengalaman gereja di masa silam. Untuk itu jujur dan terbuka terhadap pengalaman menjadi sesuatu yang amat penting. Transformasi Ganda Salah satu masalah yang muncul dalam upaya berteologi adalah upaya memelihara keseimbangan antar kontinuitas dan diskontinuitas. Kontinuitas merupakan kesinambungan atau benang merah pewahyuan Allah yang terlacak melalui entah tradisi maupun Alkitab itu sendiri. Kontinuitas menjembatani bukan hanya waktu yang berbeda, tetapi juga konteks yang berbeda dalam kurun waktu yang sama sehingga melalui kontinuitas ada „common memory‟ yang bisa dialami bersama. „Common memory‟ itu bisa berbentuk ajaran, liturgy, pengakuan atau doa. Sementara diskontinuitas adalah titik perpisahan antara hal yang lama dengan yang baru, di mana yang baru sama sekali berbeda dari yang lama. Ketegangan antara kontinuitas dan diskontinuitas sudah nampak sejak kekristenan mulamula, yaitu pergumulan tentang apakah mereka masih merupakan 122
bagian dari „agama Yahudi‟ atau mereka mempunyai „agama baru‟ yang sama sekali berbeda dengan agama Yahudi. Mereka yang terlalu menekankan pada kontinuitas akan melupakan bahwa diskontinuitas juga merupakan keniscayaan. Sebagai contoh dua decade belakangan ini muncul paham Yahwism di Indonesia. Paham ini mengatakan bahwa nama Allah adalah Yahweh, sementara „Allah‟ sendiri merupakan nama dewa dalam Perjanjian Lama yang di kemudian hari dipakai oleh umat Islam. Untuk itu, orang Kristen seharusnya menyebut Allahnya dengan sebutan Yahweh dan meninggalkan sebutan „Allah‟ karena tidak sesuai dengan Alkitab. Paham Yahwism ini mau mempertahankan hanya unsur kontinuitas saja yaitu sebutan Yahweh, yang terus dipakai dalam PB oleh orang Yahudi walaupun dengan sebutan Adonai. Kontinuitas nama Allah kemudian „disebrangkan‟ ke kehidupan jaman sekarang dengan bersikukuh bahwa nama Yahweh adalah sebutan yang paling Alkitabiah, padahal dengan itu justru paham Yahwisme ini memelihara kontinuitas dengan agama Yahudi bukan kekristenan. Sementara itu mereka yang terlalu menekankan diskontinuitas dapat dijumpai dalam paham kontekstualisasi yang dengan semangat hendak memutuskan hubungan sama sekali dengan warisan ajaran teologi Barat. Masalahnya adalah dalam teologi Barat terkandung bukan hanya ajaran dengan pemikiran khas Barat, namun sekaligus terkandung pewarisan iman yang tidak bisa dianggap remeh. Teologi kontekstual tentunya harus dilakukan bukan dengan memutus hubungan dengan teologi atau ajaran yang diwariskan dari Barat padahal didalamnya ada pewarisan esensi iman yang penting, namun dengan membaharuinya. Menjadikan Alkitab sebagai sumber dan kriteria utama dalam berteologi, tidak serta merta kemudian meninggalkan konteks dan warisan tradisi Kristen, baik tradisi yang dominan ataupun tidak. Mempertimbangkan adanya aspek kontinuitas dan diskontinuitas menyebabkan teologi berada dalam keadaan „double transformation‟ atau transformasi ganda. Kebutuhan untuk melakukan transformasi iman Kristen yang didasarkan pada konteks local dan situasi khusus saat ini meningkat di Asia, Amerika Latin dan Afrika. Sebenarnya ini juga merupakan bagian dari kesadaran bahwa pemaksaan cara 123
berteologi dan isi teologi dari Barat yang harus diterima oleh dunia Asia, Amerika Latin dan Afrika merupakan bagian dari kolonialisasi. Ada suatu pandangan yang lain mengenai hubungan antara Barat dan non-Barat dan non-Barat. Kesadaran ini memunculkan kebutuhan akan makna yang baru yang dapat dimengerti pada suatu konteks tertentu. Implikasinya adalah makna yang diterima dan diwariskan oleh Barat secara perlahan harus ditafsirkan ulang atau diberi makna baru. Narasi local harus dipertimbangkan sebagai upaya untuk membangun sebuah teologi yang komprehensif sebab teologi local mempunyai maknanya sendiri, and tidak bisa dinilai atau dihakimi oleh klaim teologi Barat yang mendaku universal dan absolut. Di sinilah sebenarnya kita bisa melacak „bau‟ pengaruh postmodernisme. Makna datang dalam sebuah pengalaman, pengalaman bukanlah bersifat tambahan atas makna yang sudah sebelumnya secara obyektif ada.14 Pengalaman muncul ketika seseorang terlibat dalam dunia dengan seluruh keberadaan dirinya, dan pengalaman itu bersifat utuh, kuat dan tidak bisa dikalahkan pengalaman lain walau itu dialami lebih banyak orang. Pengalaman-pengalaman yang melingkupi dan membungkus „kata‟ dan „makna‟‟ mempengaruhi bagaimana „kata‟ dan „makna‟ dikembangkan dan digunakan. Itu berarti bahwa doktrin gereja sebagai sebentuk „makna‟ bahkan Alkitab sendiri dipengaruhi oleh konteks tertentu yang dalam kadar dan tingkatan tertentu berbeda dengan pengalaman kontemporer saat ini. Doktrin dan ajaran-ajaran iman gereja ditransformasikan kepada konteks yang baru. Akibatnya maknanya berubah. Dalam berteologi melakukan transformasi makna senantiasa bermuatan „double transformation‟ atau transformasi ganda. Martien Brinkman, seorang guru besar intercultural theology dari Belanda mengemukakan mengenai transformasi ganda sbb: Changes always appear on two sides: on the side of the concept used in a different context and on the side of its new context. This is always two-way traffic. The concept detached from its original religious context becomes a different concept in another religious context. After all, the context in which a concept is used determines its meaning to a great extent. The new context is subsequently changed in turn by the new concept that is used in its midst. …A double transformation thus takes place. A creative
124
process occurs that does not leave either side – the adopted concept and the new context – untouched.15
Dengan demikian inti kontekstualisasi adalah transformasi ganda. Kontekstualisasi senantiasa mempunyai dua konteks dan makna. Pertama adalah makna pertama yang datang dari konteks pertama; kedua, konteks yang lain sebagai tujuan dari makna yang pertama itu. Makna asli yang muncul dari konteks tertentu itu, diambil dan kemudian datang ke sebuah konteks tertentu. Konteks itu kemudian mengubah makna pertama tadi. Namun yang menarik menurut Brinkman, makna yang sudah berubah karena konteks baru itu, ternyata juga mampu mengubah konteksnya sendiri. Dengan demikian transformasi ganda kemudian terjadi. Contoh yang dikemukakan adalah tentang nama „Allah‟ dalam Perjanjian Lama. Seperti kita bersama ketahui konsep Allah (El) dalam Perjanjian Lama kemudian bertemu dengan sebuah konteks pengalaman kongkret Israel tentang Allah yang berbeda dengan pengalaman bangsa-bangsa lain sekaligus berbeda dengan sebuhan „El‟ yang untuk kurun waktu tertentu menjadi bagian dari masyarakat Barat Daya Kuno. Konsep „El‟ dengan pengalaman kongkret Israel tentang Allah bertemu dan melahirkan sebuah keyakinan spesifik tentang Allah yang berbeda dengan bangsa lainnya. Kemudian Israel menyebutnya dengan Yahweh, namun „El‟ sendiri tidak hilang. Justru dengan itu terjadi sintesis yang memperkaya kepercayaan Israel. Kepercayaan Israel kemudian mengatakan bahwa Allah adalah personal, demikian juga sifat hubungan dengan Allah adalah personal. Kemudian konsep penciptaan merupakan bagian indah tentang sintesis ini, yaitu bahwa dengan menggunakan tradisi penciptaan yang sudah ada, Isrel menghubungan kisah itu dengan kepercayaan khasnya kepada Yahweh. Kepercayaan bahwa Yahweh adalah pencipta langit dan bumi kemudian melahirkan sejumlah implikasi etis-sosial bagi Israel. Ini merupakan bagian dari perubahan dalam bidang etis-sosial, jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa di sekitar Israel jaman itu yang kepercayaannya kepada allah terbatas membawa perubahan kultis saja. Sementara itu Colin Gunton menyatakan bahwa sangat sulit untuk mempertahankan kontinuitas dengan pemahaman abad-abad 125
sebelumnya kecuali entah dengan cara bagaimana kekristenan pada jaman ini bisa mengafirmasi istilah dan makna yang berasal dari jaman lalu walau barangkali kita tidak harus menggunakan dan mengerti dengan cara yang sama.16 Untuk itu kritik ditujukan pertama kali pada makna dan istilah yang tidak sesuai dan bisa diterima pada jaman sekarang. Untuk itu bagi Gunton bertanggung jawab terhadap konteks dilakukan bukan dengan cara menolak atau mengafirmasi begitu saja namun dengan kritis mengikuti dan terlibat dalam perkembangannya, baik dari dalam konteks itu sendiri maupun dari luar.17 Rupanya bagi Gunton konteks datang dan pergi silih berganti, ada yang muncul namun ada yang tenggelam. Untuk itu baginya penting untuk tetap melihat makna yang terus menerus muncul. Bagi Brinkman sendiri ketika makna itu terus menerus menghadapi perubahan konteks maka aka nada pertukaran timbal balik yang justru memperkaya makna, namun sekaligus menyadarkan orang bahwa dengan transformasi ganda seseorang berada dalam situasi „in-between‟ terus menerus.18 Situasi „in-between‟ berarti makna yang lama tetap dibawa sementara makna yang baru sedang muncul dan terus berkembang. Merry Kolimon, seorang teolog perempuan dari Kupang, dalam disertasinya dengan jujur mengemukakan bahwa ketika berteologi orang Kristen Timor hidup 19dalam konteks particular yang membuat mereka menjadi Timor, namun pada saat yang sama mereka menghidupi juga tradisi dan doktrin yang diajarkan gereja.20 Kolimon dengan jujur mencoba mengemukakan bahwa bagaimanapun kekristenan di Timor ada dalam konteks lokal Timor sebagai nafas hidup mereka, namun pada saat yang sama warisan kekristenan Barat yang dibawa ke Timor tidak mungkin dihilangkan. Warisan itu sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka juga. Lalu Kolimon mencoba melakukan refleksi teologi kontekstual berangkat dari narasi Perjanjian Baru bahwa Yesus adalah seorang penyembuh dengan konteks kultural tradisi penyembuhan dalam masyarakat Meto di Timor. Dalam proses itu ada dua hal yang sekaligus dilakukan bersama, yaitu konfrontasi dan konfirmasi. Situasi „in-between‟ memperlihatkan bagaimana konfrontasi dan konfirmasi terjadi. Konfrontasi berarti memperhadapkan dua makna dan konteks yang berbeda secara 126
langsung. Konfrontasi bisa berakhir pada suatu konfirmasi, sebuah penerimaan. Atau tetap terus bergerak dalam ketegangan yang seimbang sebagai bagian dari kreativitas iman. Dalam proses transformasi ganda yang di dalamnya terdapat pertukaran makna yang akhirnya membuat makna baru, sebuah catatan penting di kemukakan oleh Charles Kraft, yaitu bahwa komunikasi menjadi salah satu factor penting. Makna tidak akan dapat ditangkap dengan sempurna ketika rentang waktu di antara komunitas saat makna itu dibuat dan komunitas iman saat ini terlalu jauh. Untuk itu kesesuaian mengenai lambang yang dipakai menjadi penting. Aristarkhus Sukarto, dalam disertasi yang dibuat tahun 1990, mengemukakan bahwa perjamuan kudus merupakan sebuah lambang penting yang terus digunakan sebagai bagian dari ekpresi iman komunitas Kristen selama berabad-abad. Sukarto mengemukakan bahwa komunitas Kristen berhasil menjaga perjamuan kudus sebagai salah satu lambang utama dalam penghayatan keselamatan dari Kristus. Namun karena makna tidak dapat ditangkap dengan sempurna karena rentang waktu yang amat jauh, maka makna perjamuan kudus bisa berbeda antara apa yang dihayati sekarang dengan ketika lambang itu muncul di komunitas Kristen perdana. Untuk itu mengembangkan makna yang terdapat dalam setiap lambang yang disepakati sebagai bagian dari ekspresi dan pengalaman iman menjadi sah. Namun pada saat yang sama berkaitan dengan perjamuan kudus, Marianne Katoppo dengan tegas mengatakan bahwa perjamuan kudus tidak bisa hanya dirayakan di gereja karena teologi perjamuan kudus adalah teologi yang mengutus seseorang untuk hadir dalam keprihatinan sesamanya. Ini adalah inti perjamuan yang walaupun maknanya bergeser, tapi tidak boleh lepas dari inti terdalam undangan perjamuan kudus. Jika perjamuan kudus adalah sebuah perayaan suka cita, kegembiraan dan kekeluargaan, maka orang yang merayakannya seharusnya datang dengan penuh sukacita dan kegembiraan sebagaimana yang biasa terjadi dalam perjamuan makan di Indonesia, atau di Indonesia Timur. Orang datang ke perjamuan makan memenuhi undangan sahabatnya dengan perasaan gembira. Mereka makan dan nimum bersama dan kesukacitaan. 127
Namun tentunya hal itu tidak berhenti disana karena sebagai konteks perjamuan itu bukan berada di dalam gedung gereja dengan keketatan ritual dan aturan namun berada dalam konteks social ekonomi dari masyarakat di mana gereja berada. Perjamuan kudus dibawa bukan sekedar pada tataran ritual, namun pada konteks di mana kekristenan itu berada. Transformasi Ganda: Ketegangan Kreatif Upaya Berteologi Upaya berteologi senantiasa menimbulkan ketegangan. Bagaimana tidak, jika sebuah pemahaman yang sudah mapan, kemudian dipertanyakan karena perkembangan konteks yang ada. Kreativitas sebuah gereja atau „sekelompok pendeta‟ bukanlah pada banyaknya buku aturan yang dihasilkan namun pada proses membuat buku aturan tersebut dan proses membawa aturan tersebut pada realita nyata di lapangan. Jika meminjam istilah Gadamer tentang pertemuan dua horizon dalam proses hermeneutic, maka „double transformation‟ berarti bertemunya dua makna yang akan menghasilkan makna baru dan pada akhirnya mengubah dua makna pertama. Cara berteologi seperti itu menandakan bahwa dalam berteologi memang ada ketegangan kreatif yang merangsang teologi untuk terus berkembang. Namun persis pada titik itulah muncul kegelisahan karena seolaholah fundamen „iman‟ menjadi runtuh dan tidak berdasar. Namun apakah benar bahwa fundamen iman menjadi runtuh karena hidup dalam ketegangan kontekstual? Justru iman yang tidak pernah gelisah patut dipertanyakan. Kegelisahan membuat iman menjadi hidup dan berada dalam tegangan kreatif. Memang ada semacam paradox dalam ungkapan ini, karena bukankah iman seharusnya menjadi pegangan yang kuat dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan? Muriel Orevillo-Montenegro seorang teolog feminis dari Filipina mengemukakan dengan terus terang: Poverty has always been my shadow….. I began to question the relevance of the faith I had inherited in the midst of hunger and poverty... It was lunchtime...We sat around table- my younger siblings, my mother and me. All we had were two pieces of boiled breadfruit and some salted fish for dipping. Somebody said the prayer for meal. The last sentence struck me: “for all
128
these we pray in the name of our Lord and saviour, Jesus Christ. Amen”. ...I stared at the mud floor, my eyes burned with tears. Saviour? Jesus Christ? What does it mean? Why are we poor? Why can‟t Jesus Christ save us from poverty and hunger? Why are some people so rich...?21
Dalam kegelisahan itulah iman menampakkan bentuk dan bergerak keluar menuju arah yang barangkali sulit untuk ditebak. Bagi Montenegro kegelisahan itu bergerak keluar dari dalam dirinya dalam bentuk sebuah „perlawanan‟ terhadap teologi yang konservatif-tradisional dan mencoba menjelajahi pemahaman yang berbeda. Dengan kegelisahan seperti itu, iman selalu bergerak dengan aktif. Dalam catatan Bevans, justru ketegangan seperti yang dialami oleh Montenegro memperkaya wawasan teologi Kristen sekaligus membuka wawasan teologi Barat, bahkan kalau perlu mengembangkan dan memperkaya teologi Barat itu sendiri. Pada titik inilah kontribusi gereja Asia, Afrika, Amerika Latin menjedi menentukan. Gereja yang hadir dalam sebuah konteks multi kultur mempunyai potensi untuk bergerak secara kreatif, kerena perjumpaan konteks antar kultur bisa menjadi pemicu kreativitas berteologi. Apalagi ketika kreativitas berteologi tidak hanya dilakukan oleh orang yang mempunyai bekal teologi akademis, namun dilakukan oleh siapa saja dalam kehidupan gereja. Bahkan pemahaman ini bisa ditarik lebih luas, bukan hanya gereja, tetapi juga orang beragama lain dalam penghayatan mereka kepada Allah. Perjumpaan itu tentu sangat menarik. Keshub Chunder Sen (1838-1884), seorang Hindu dari India, malah mengingatkan orang Kristen India pada untuk menghayati iman mereka terhadap Yesus dalam konteks pengalaman mereka sebagai orang Asia. Chundar Sen mengatakan: It seems that Christ has come to us as an Englishman, with English manners and customs about him, with the temper and spirit of an Englishman in him… Is not Christ‟s native land nearer to India than England? Are not Jesus and his apostles and immediate followers more akin to Indian nationality than
129
Englishmen? Why should we, then, travel to a distant country like England in order to get truths which are found much nearer to our homes? Go to the rising sun in the East, not to the setting sun in the West, if you wish to see Christ in the plenitude of His Glory.22
Sementar itu Pratap Chandra Mozoomdar (1840-1905) seorang Hindu lainnya menggambarkan ketegangan lainnya demikian: He is an elaborately learned man, versed in all the principles of theology. His doctrine is historical, exclusive, arbitrary, opposed to the ordinary instincts and natural commonsense of humankind...He continually talks of blood and fire and hell. He hurls invectives at other men‟s faith, however truly and consciously held. All self-sacrifice, which he does not understand, is delusion to him.... All scriptures all false which have grown up outside of his dispensation, climate and nationality... He is tolerated only because he carries with him the imperial prestige of a conquering race. 23
Mozoomdar melihat perjumpaan antara Yesus dengan pengalaman India seharusnya membawa kebaikan bagi orang-orang India itu sendiri, termasuk tradisi yang mereka hidupi. Yang menarik adalah baik Chundar Sen maupun Mozoomdar beragama Hindu, namun mereka bisa merasakan ketegangan ketika figure Yesus di bawa ke India oloeh missionaris Inggris, bertemu dengan pengalaman India dan bertemu dengan pemahaman mereka atas figure Yesus sendiri. Mereka berteologi ketika mereka „bertemu‟ dengan Yesus dan membawanya dalam pengalaman hidup orang India. Dengan demikian dalam konteks tertentu ketegangan itu melibatkan bukan hanya orang Kristen itu sendiri, tetapi juga konteks di sekitarnya. Ketegangan inilah yang secara kreatif ditanggapi oleh teolog Kristen India seperti M.M. Thomas, Stanley Samartha dan V. Chakkarai . Ketegangan yang ada dalam transformasi ganda merupakan ketegangan yang selalu mencari keseimbangan. Namun demikian selalu ada kemungkinan bahwa ketika keseimbangan tercapai, ketegangan akan muncul lagi karena ada konteks dan pengalaman baru yang datang. Gerrit Singgih sendiri secara mengemukakan ketegangan berteologi, khususnya pokok tentang Yesus. Ada 130
ketegangan untuk menghadirkan „Yesus iman‟ dengan „Yesus historis‟.24 „Yesus iman‟ adalah penghayatan akan Yesus yang penekanannya dominan pada aspek kepercayaan tentang keilahian Yesus. Dalam konteks kekristenan awal tentu hal itu amat penting. Namun demikian cerita perjalanan hidup Yesus sendiri yang terdapat dalam Alkitab membawa pada pemahaman yang baru yaitu tentang „Yesus historis‟, yaitu Yesus yang secara „asli‟ diberitakan dalam Alkitab tanpa polesan „iman‟. Perkembangan „Yesus historis‟ tentu merupakan perkembangan baru sejak dua abad yang lalu mengikuti kaidah ilmu yang menekankan fakta. Bagi Gerrit Singgih ketegangan muncul ketika dalam konteks kemajemukan agama di Indonesia, orang Kristen terlalu menekankan keilahian Yesus. Sementara memberikan penekanan kepada „Yesus historis‟ dianggap sebagai pengkhianatan terhadap iman Kristen. Untuk itu menurut Gerrit Singgih kedua aspek tersebut secara seimbang harus diperhatikan, tetapi justru disinilah terletak ketegangan itu. Gerrit Singgih mengatakan demikian: Keseimbangan itu jugalah yang seharusnya menjadi dambaan kita dalam mengembangkan suatu gambaran Kristologi yang kontekstual. Kalau dulunya kita terlalu berat sebelah menekankan keilahian Yesus, tetapi sekarang kita tidak perlu menuju pada ekstrim yang lain yaitu terlalu berat sebelah menekankan keinsanian Kristus. Tetapi itu tetap berarti bahwa pada masa kini, kita berbicara lebih banyak tentang keinsanian Yesus, supaya justru dengan demikian keseimbangan tersebut justru dapat tercapai.25
Ketegangan yang muncul dalam berteologi bisa memunculkan sebuah teologi yang kreatif, berguna dan relevan. Ketegangan itu adalah ketegangan yang setia kepada iman dan kepada perubahan. Dengan itulah gereja terus berkarya di dunia dan menjawab tantangan yang ada. Penutup Teologi kontekstual merupakan upaya berteologi dengan melibatkan seluruh persepsi keimanan yang kita miliki, baik Alkitab, tradisi, maupun konteks dan lokalitas yang kita hidupi. Berteologi kontekstual berarti, meminjam istilah Aloysius Pieris, „dibaptis‟ 131
dalam lokalitas di mana kita berada, baik itu pluralitas agama, kemiskinan maupun perkembangan modernitas yang mendesak untuk memikirkan ulang makna yang selama ini kita hayati. Dalam „baptisan‟ itu ada sebuah makna baru yang digumuli dalam sebuah ketegangan yang kreatif. Prof. E. Gerrit Singgih rupanya „dibaptis‟ dalam lokalitas seperti itu, dan dalam ketegangan kreatif menghayati „baptisan‟ itu Prof. Emanuel Gerrit Singgih membaktikan hidupnya.
132
Pustaka Bevans, Stephen, Models of Contextual Theology, Revised and expanded edition, New York:Orbis Books, 2002. Bevans, Stephen, What Has Contextual Theology to Offer to the Church of the 21st century, diunduh dari :http://www.cmsuk.org/DesktopModules/Bring2mind/DMX/Download.aspx?D MXModule=410&Command=Core_Download&language=enUS&EntryId=2390&PortalId=2&TabId=81 diunduh 08 Sept 2012. Brinkman, Martien, Non Western Jesus: Jesus as Bodhisattva, Avatara, Guru, Prophet, Ancestor or Healer?, London:Equinox, 2009. Davies, Creston, “Introduction: Holy Saturdar or Ressurection Sunday? Staging and Unlikely Debate”, in The Monstrosity of Christ, Paradox or Dialectic, Debate Between Slavoj Zizek and John Milbank, (Ed. Creston Davies), Massachusetts:MIT, 2009 de Wit, Hans, „Exegesis and Contextuality: Happy Marriage, Divorce or Living (apart) Together‟, dlm. Hans de Wit & Gerald O‟West (eds), African and European Readers of the Bible in Dialogue, Leiden:Brill, 2008; South Africa:Cluster Publication, 2009. Dister, Nico Syukur, Pengantar Teologi, Kanisius:Yogyakarta, 1991. Grenz, Stanley, Revisioning Evangelical Theology: A Fresh Agenda for the Twentieth Century, Intervarsity Press, 1993. Gunton, Colin, Yesterday and Today, a Study of Continuities in Christology, London:Darton, Longman & Todd Ltd, 1983 Katoppo, Marianne, Compassionate and Free, an Asian Woman’s Theology, Geneve:WCC, 1979 Kolimon, Merry, A Theology of Empowerment, Reflection from a West Timorese Feminist Perspective, Zurich:Lit Verlag, 2008. Kraft, Charles, Christianity in Culture: A Study in Dynamic Biblical Theologizing in Cross Cultural Perspective, Maryknoll:Orbis Books, 1979. McGrath, Alister, Theology the Basic, MA:Blackwell, 2004. Moltmann, Jürgen, Experience in Theology, Minneapolis:Fortress, 2000. 133
Mozoomdar, Pratap Chandra, “The Oriental Christ”, in The Significance of Jesus Christ in Asia, Hans Staffner (ed.), Anand:Gujarat Sahitya Prakash, 1985. Orevillo-Montenegro, Muriel, The Jesus of Asian Women, Maryknoll: Orbis Books, 2006 Singgih, E. Gerrit, “Hidup Kristiani dalam Masyarakat Keagamaan yang Bersifat Majemuk”, in Meretas Jalan Teologi Agamaagama di Indonesia, Theologia Religionum, Tim Balitbang PGI (ed.), Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2007. Singgih, E. Gerrit, Mengantisipasi Masa Depan, Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2004. Stiver, Dan, Theology After Ricoeur, New Direction in Hermeneutical Theology, Louisville:Westminter John Knox Press, 2001. Sugirtharajah , Asian Faces of Jesus, Maryknoll, London: Orbis Books, 1993.
134
Endnote 1
Jürgen Moltmann, Experience in Theology, Minneapolis:Fortress, 2000, p.3,11 2 Nico Syukur Dister, Pengantar Teologi, Kanisius:Yogyakarta, 1991, p.35 3 Alister McGrath, Theology the Basic, MA:Blackwell, 2004, p. xiii. 4 Bevans juga mengemukakan enam model teologi kontekstual yaitu model penerjemahan, model anthropologis, model praxis, model sintetik, model trancendental dan model countercultural (Lih. Stephen Bevans, Models of Contextual Theology, Revised and expanded edition, New York:Orbis Books, 2002) 5 Charles Kraft, Christianity in Culture: A Study in Dynamic Biblical Theologizing in Cross Cultural Perspective, Maryknoll:Orbis Books, 1979, p. 5. 6 Hans de Wit, ‘Exegesis and Contextuality: Happy Marriage, Divorce or Living (apart) Together’, dlm. Hans de Wit & Gerald O’West (eds), African and European Readers of the Bible in Dialogue, Leiden;Brill, 2008; South Africa:Cluster Publication, 2009, pp. 7-8. 7 Creston Davies, “Introduction: Holy Saturday or Ressurection Sunday? Staging and Unlikely Debate”, in. The Monstrosity of Christ, Paradox or Dialectic, Debate Between Slavoj Zizek and John Milbank, (Ed. Creston Davies), Massachusetts:MIT, 2009, p. 4. 8 Ibid., h. 5. 9 Salah satu contohnya adalah Y. Tomatala dalam bukunya Teologi Kontekstual mengatakan “dengan demikian bab-bab yang diuraikan di depan yang menyentuh studi manusia/anthropologi kebudayaan ditujukan untuk menolong orang Kristen/gereja Kristen untuk ‘menyeberangkan Injil’ dengan tepat kepada sasaran (manusia lain dalam konteks.*…+ Teologi kontekstualisasi yang absah menekankan bahwa apabila Tuhan telah menetapkan untuk menggunakan budaya manusia sebagai wahana dan sarana penyataan diriNya, maka budaya manusia haruslah dihargai untuk dipelajari guna memperoleh petunjuk bagaimana sepatutnya menyebrangkan Injil kepada sekelompok orang melalui budaya mereka” (lihat Tomatala, Teologi Kontekstual, Gandum Mas:Malang, 1993, h.93) 10 Martien Brinkman, Non Western Jesus: Jesus as Bodhisattva, Avatara, Guru, Prophet, Ancestor or Healer?, London:Equinox, 2009, p.34. 11 Lih. Stanley Grenz, Revisioning Evangelical Theology: A Fresh Agenda for the Twentieth Century, Intervarsity Press, 1993, p. 91. 12 E.Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan, Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2004, p. 91.
135
13
Stehen Bevans, What Has Contextual Theology to Offer to the Church of st the 21 century, diunduh dari http://www.cmsuk.org/DesktopModules/Bring2mind/DMX/Download.aspx?DMXModule=4 10&Command=Core_Download&language=enUS&EntryId=2390&PortalId=2&TabId=81, p. 7, 08 Sept 2012. 14 Dan Stiver, Theology After Ricoeur, New Direction in Hermeneutical Theology, Louisville:Westminter John Knox Press, 2001, p. 11. 15 Martien Brinkman, The Non-Western Jesus, p. 20. Di sini Brinkman lebih memilih untuk menggunakan istilah inkulturasi daripada kontekstualisasi. 16 Colin Gunton, Yesterday and Today, a Study of Continuities in Christology, London:Darton, Longman & Todd Ltd, 1983, p. 5. 17 Ibid., p. 3. 18 Martien Brinkman, The Non-Western Jesus, p. 247. 19 Marianne Katoppo, Compassionate and Free, an Asian Woman’s Theology, Geneve:WCC, 1979, pp. 81-83. 20 Lih. Merry Kolimon, A Theology of Empowerment, Reflection from a West Timorese Feminist Perspective, Zurich:Lit Verlag, 2008. 21 Muriel Orevillo, The Jesus of Asian Women, Maryknoll: Orbis Books, 2006, p. 4-5. 22 Keshub Chundar Sen, dikutip oleh Sugirtharajah , Asian Faces of Jesus, Maryknoll, London: Orbis Books, 1993, p. 11. Dalam edisi terjemahan bahasa Indonesia diberi judul “Wajah Yesus di Asia”, 2007, diterjemahkan Ioanes Rahmat, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993, p. 11. 23 Pratap Chandra Mozoomdar, “The Oriental Christ”, in The Significance of Jesus Christ in Asia, Hans Staffner (ed.), Anand:Gujarat Sahitya Prakash, 1985, p. 78. 24 E. Gerrit Singgih, “Hidup Kristiani dalam Masyarakat Keagamaan yang Bersifat Majemuk”, in Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia, Theologia Religionum, Tim Balitbang PGI (ed.), Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2007, p. 114. 25 Ibid., p. 115.
136
Bagian III
TEKS DAN KONTEKS
Agustinus Gianto Agustinus Setiawidi
Diutus ke Seluruh Dunia Agustinus Gianto S.J.
Ditegaskan pada bagian akhir Injil Markus, sebelum terangkat ke surga Yesus menugaskan para murid untuk pergi ke seluruh dunia membawakan Kabar Gembira kepada semua mahluk (Mrk. 16:1520). Penugasan yang sama terungkap dalam Mat. 28:16-20; Luk. 24:46-53. Namun demikian, masing-masing Injil memiliki tekanan yang berbeda-beda. Markus menyebut agar “Kabar Gembira” diwartakan kepada siapa saja, sedangkan Matius mengutarakannya dalam wujud “mengajar dan membaptis” sedangkan Lukas berpusat pada ajakan “bertobat” guna memperoleh “pengampunan dosa”. Pengertian-pengertian ini amat berperan dalam kehidupan iman para pengikut Yesus pada awal pertumbuhan mereka. Bagaimana memahaminya dalam konteks masyarakat dan zaman yang lain? Karangan ini mengupas pertanyaan ini dalam upaya ikut meramaikan ruang pemikiran teologi pewartaan kontekstual yang telah dibuka dan diluaskan oleh Gerrit. Juga diolah kembali pembicaraan penulis mengenai ketiga petikan Injil tadi (Dahsyat! [Yogyakarta: Kanisius 2007] hal. 1-6; LangkahNya...Langkahku! [Yogyakarta: Kanisius] hal 28-34; Membarui Wajah Manusia [Yogyakarta: Kanisius 2006] hal 159-164) yang pernah ditanggapi oleh Gerrit dalam acara bedah buku di Yogyakarta pada tahun 2007. Beberapa amatannya mengenai hermeneutika ketika itu akan bergema dalam pembicaraan ini. Kabar Gembira bagi Semua Makhluk Dalam Mrk. 16:15-20 terdapat tiga pokok. Yang pertama ialah penugasan bagi para murid agar pergi ke seluruh dunia mengabarkan Kabar Gembira kepada semua ciptaan sehingga mereka yang menerimanya akan memperoleh keselamatan, sedangkan yang menolak akan dihukum (ayat 15-16). Kedua, ditegaskan bahwa para murid akan disertai tanda-tanda hebat: mampu mengusir setan, berbicara bahasa-bahasa baru, bisa memegang ular, tak mempan racun, bisa menyembuhkan dengan menumpangkan tangan di atas
Profesor Filologi Semit dan Linguistik pada Pontificium Institutum Biblicum, Roma. 137
orang sakit. Pokok ketiga menggambarkan bagaimana Yesus diangkat ke surga dan duduk di kanan Allah. Begitulah para murid yang berangkat memberitakan Injil ke seluruh penjuru dunia diteguhkan dengan tanda-tanda yang dibekalkan kepada mereka oleh Dia yang kini ada di surga. Sebelum mengupas tiga unsur itu lebih jauh, baiklah dicatat bahwa Injil Markus sebenarnya berakhir pada Mrk. 16:8 yang menyebutkan bagaimana para perempuan yang baru saja mendapat penampakan di makam Yesus (ayat 5-7) lari dan tidak mengatakan apa-apa kepada siapa pun sebab mereka gentar. Sesudah itu ada tambahan bahwa mereka akhirnya juga menyampaikan kepada Petrus dkk. pesan tokoh berjubah putih yang mereka lihat di kubur. Juga diceritakan bahwa Yesus sendiri dengan para murid mengabarkan berita kudus itu (berita kebangkitan) dari Timur ke Barat. Kedua kalimat yang ditambahkan setelah ayat 8 tadi disebut para ahli sebagai “penutupan ringkas” dari Injil Markus. Kiranya dahulu ada penyunting naskah Injil Markus beranggapan bahwa ayat 8 terasa terpenggal. Sulit pula dimengerti bila Injil berakhir dengan berita mengenai ketakutan para saksi pertama. Maka dijelaskan bagaimanapun juga akhirnya mereka memperoleh keberanian menyampaikan pengalaman mereka kepada para rasul. Para rasul sendiri kemudian memberitakan peristiwa kebangkitan dengan disertai dia yang bangkit sendiri. Dalam terbitan modern Injil Markus, didapati pula ayat 9-20 yang lazim disebut sebagai “penutupan lengkap”. Jadi Injil Markus memiliki dua penutupan. Penutupan lengkap ini menceritakan beberapa kali Yesus menampakkan diri sebelum ia naik ke surga. Mula-mula kepada Maria Magdalena, ayat 9-11 (yang mengingatkan pada Yoh. 20:11-18), lalu kepada dua orang murid ketika ada dalam perjalanan ke luar kota, ayat 12-13 (seperti kisah dua murid di Emaus Luk. 24:13-35), dan akhirnya kepada kesebelas murid ketika sedang makan sambil mencela ketidakpercayaan mereka akan berita orang yang telah melihatnya sesudah bangkit, ayat 14 (mirip Luk. 24:41 dst. ketika Yesus minta diberi makan agar jangan dikira jadi-jadian atau proyeksi pikiran mereka sendiri). Sesudah itu, ayat 15-20, yang sedang dibicarakan di sini, ia memberi penugasan memberitakan warta gembira ke semua makhluk (senada dengan Mat. 28:19, bdk. 138
Kis. 1:8). Beberapa rujukan ke Injil lain di atas menunjukkan bahwa “penutupan lengkap” ini dikarang atas dasar sumber-sumber yang sebenarnya baru ditulis beberapa waktu setelah Markus sendiri menyelesaikan karangannya. Bila penutupan ringkas dimaksud menghaluskan akhir sebuah karangan, penutupan lengkap tadi memberi gambaran mengenai kegiatan komunitas para pengikut Yesus awal. Kedua-duanya diterima sebagai bagian Injil Markus dalam Alkitab sejak daftar kitab-kitab kanonik itu mulai stabil, yakni pada abad ke-4. Jadi tidak lagi dipersoalkan kewibawaan bagian penutupan Injil Markus. Bagaimana membuat penafsiran yang sesuai dengan kenyataan bahwa teks itu berasal dari zaman setelah teks Markus sendiri selesai? Pembicaraan berikut berusaha menjawab pertanyaan ini. Sebelum terangkat ke surga, Yesus menugaskan para murid untuk pergi ke mana saja di dunia ini untuk mengumumkan kabar yang memberi kelegaan batin, Kabar Gembira, Injil, kepada seluruh ciptaan. Para murid diajak menemukan ruang hidup yang makin luas. Lebih luas daripada cakrawala kehidupan mereka sendiri hingga saat itu, yakni sebagai bagian dari komunitas agama Yahudi di tanah asal mereka. Itulah arti pergi ke seluruh dunia. Bukan hanya wilayah atau negeri jauh yang mesti dijadikan tujuan misi. Jauh lebih kaya dan dapat terus disesuaikan dengan keadaan zaman, bahkan sampai sekarang. Orang didorong menemukan bentuk-bentuk baru dalam kehidupan di masyarakat, entah itu cara-cara berpikir yang baru, entah itu pendalaman rohani yang hingga kini belum dijelajahi dengan baik. Itulah kiranya inti perintah pergi ke segala penjuru dunia tadi. Mereka diajak menemukan lorong-lorong baru dalam berpikir, mendapatkan kenyataan-kenyataan yang kini makin menggambarkan jalannya kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat. Perintah itu juga mengandung kesadaran baru akan martabat manusia yang mesti dikembangkan para murid. Kemajuan sarana komunikasi adalah tempat yang perlu didatangi menurut semangat perintah tadi. Semuanya itu perlu didekati, ditemukan – bukan dijauhi, didiamkan, apalagi dianggap tidak perlu dimengerti. Wilayah-wilayah itu masih 139
menantikan Kabar Gembira. Dan dalam hubungan inilah Kabar Gembira akan menjadi makin konkret menanggapi kebutuhan tiap tempat dan tiap zaman. Tadi dalam analisis teks ditunjukkan bagian ini tidak termasuk yang disusun Markus sendiri, walaupun menjadi bagian utuh dari Injil Markus dalam bentuk kanoniknya. Justru di situlah nilainya. Dijumpai pemikiran yang mendalami lebih lanjut mengenai siapa Yesus yang bangkit itu. Di situ termuat pengertian orang beriman yang membaca kembali karya Yesus di dunia ini dalam diri mereka. Untuk apa menemukan macam-macam realitas baru itu? Menurut Mrk 16:15 juga, semua yang ada di situ ialah “makhluk” (dati bahasa Yunani ktisis) dengan kata lain, hasil karya ciptaan Yang Maha Kuasa. Ciptaan, entah manusia, entah lingkungan, entah jagat batin, itulah yang berhak menerima Kabar Gembira. Kabar ini dibawakan Yesus sendiri sejak awal, yakni bahwa Allah itu Allah yang penuh perhatian dan kini semakin ingin mendekat ke ciptaan-Nya sendiri, kendati ciptaan itu boleh jadi menjauh dari-Nya. Ia mendekat, merujukkan diri kembali. Dan bila ini terjadi, di situlah terbangun Kerajaan Allah – kehadiran Yang Ilahi di dunia ini. Maka orangorang diajak Yesus untuk mengarahkan diri ke kenyataan ini (itulah makna “bertobat”) dan dengan demikian dapat menerima Kabar Gembira yang telah diumumkan dalam pembukaan Injil Markus (Mrk. 1:15). Bila wilayah-wilayah yang didatangi murid tadi wujudnya bukan hanya negeri asing, tanah baru (yang mungkin kini tak ada lagi), melainkan juga dimensi-dimensi kehidupan baru seperti dijelaskan di atas, maka pewartaan Kabar Gembira ini juga tetap akan menghadirkan Yang Ilahi di mana dan kapan saja. Pemberitaan Injil dapat dan haruslah melebarkan dimensi kehidupan sehingga ada ruang bagi Yang Ilahi di dalam pelbagai dimensi baru yang didatangi para murid. Ini namanya ikut membuat ciptaan makin dekat dengan kehendak-Nya ketika menciptakan semua, yakni baik adanya. Tak mengherankan bila dikatakan, dalam gaya bicara waktu itu, yang percaya akan “selamat” sedangkan yang menolak akan kena “hukuman”. Kalimat seperti itu tidak perlu dipahami sebagai 140
ancaman karena memang bukan dimaksud sebagai ancaman, melainkan sebagai jaminan. Bila diterima dan dikuti, warta mengenai hadirnya Yang Ilahi di dunia ini menjadi wujud keselamatan. Keterbelahan dunia dan masyarakat yang makin dirasakan belakangan ini menjadi tantangan bagi para murid untuk menyajikan alternatif: Kerajaan Allah sudah ada, tinggal diterima. Tentunya orang mesti pandai-pandai membahasakan dan menampilkannya dengan cara yang bisa dicerna orang sekarang. Pelbagai tanda yang menyertai para murid dalam ayat 17-18 itu memakai cara bicara yang kerap dipakai orang zaman dulu. Tujuannya mengatakan bahwa keadaan yang kelihatannya berbahaya sebenarnya bisa diatasi. Para murid pada zaman ini diajak menemukan semangat yang sama dengan tanda-tanda yang ditulis di sana, walaupun tidak perlu sama bentuknya. Apa misalnya? Macammacam. Salah satunya ialah tidak perlu merasa dihantui oleh risiko. Terkadang mereka yang berani menghadapi risiko biasanya orang yang sukses. Ada juga ajakan agar berusaha menyampaikan iman dengan cara yang komunikatif dan mudah diterima. Bukankah ini yang dimaksud dengan berbicara bahasa-bahasa baru? Bahkan ular, lambang penggoda, tidak akan berhasil mengalahkan murid yang berani pergi menemukan wilayah-wilayah baru. Begitu seterusnya. Racun tidak akan mencelakan lagi – bukan maksudnya murid akan belajar ilmu kebal. Tak ada yang lebih meleset dari pemahaman seperti itu. Racun ialah kekuatan perusak hidup yang tak selalu kelihatan, yang perlu diwaspadai dan dipunahkan dayanya. Juga penyakit, yang bila dikenali justru menggarisbawahi harapan orang akan kesembuhan, akan pertolongan, dan akan perhatian. Begitulah para murid zaman kini yang mencoba mengaktualkan perintah dan memahami tanda-tanda itu akan juga melihat Yesus terangkat ke surga dan duduk di kanan Allah (ayat 19) Artinya, akan melihat Yesus mencapai kebesarannya. Dan inilah sumber kekuatan yang menyertai perjalanan menemukan pelbagai dimensi kehidupan yang baru dan mengenali tanda-tanda kekuatan kehadiran ilahi yang menyertai mereka (ayat 20) dan yang menyertai para murid pada zaman ini juga. 141
Sudut Pandang Matius Kejadian yang sama diberitakan dengan cara berbeda dalam Mat. 28:16-20. Matius mengisahkan, pada waktu itu para murid sudah tiba di Galilea mengikuti petunjuk Yesus lewat Maria Magdalena dan Maria yang lain bahwa di sana murid-murid akan melihat dia (ayat 10). Yesus sendiri telah mendahului mereka. Di sana ia menyampaikan dua hal kepada mereka. Pertama yaitu bahwa kepadanya telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi, dan kedua karena kini ia akan memberi pengutusan baru kepada para murid. Begitulah di wilayah utara, tempat asal Yesus mulai berkarya, yakni Galilea, di sebuah bukit yang ditunjukkan sang Guru, mereka kembali melihat Yesus dan mengenali kebesarannya. Mereka pun sujud kepadanya. Kepada mereka ia menegaskan bahwa semua kuasa di surga dan di bumi telah diberikan kepadanya (ayat 18); sehingga tak perlu lagi ada keragu-raguan (terungkap pada akhir ayat 17). Para murid diminta menjadikan semua bangsa muridnya dan membaptis mereka dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus (ayat 19-20a). Ia juga berjanji menyertai mereka hingga akhir zaman. Guna memahami petikan Matius ini baik diingat bahwa Injil Matius bermaksud menampilkan Yesus sebagai tokoh Musa yang dulu membawakan hukum-hukum dari Allah sendiri kepada umat. Tetapi berbeda dengan Musa, Injil Matius menggambarkan Yesus mengajar di sebuah bukit yang dapat didekati orang banyak (Mat. 5-7, khususnya Mat. 5:1-2), tidak dari puncak gunung yang tak terjangkau dan diliputi awan-awan tebal seperti Musa dahulu. Bukit tempat Yesus mengajar menampilkan suasana lega, tidak mencekam. Para murid dapat memandanginya, berbeda dengan Musa dulu yang wajahnya sedemikian menyilaukan. Tempat pemberian hukum kini bukan lagi sebuah wilayah keramat yang terpisah dari masyarakat luas dan kehidupan sehari-hari. Bukan lagi di padang gurun, bukan lagi di puncak Sinai. Tidak pula berpusat di Yerusalem dan Bait Allah. Hukum baru ini tersedia bagi siapa saja. Injil Matius mengutarakannya dengan menyebut “Galilea” (Mat. 28:16), yakni wilayah persimpangan macam-macam orang bisa bertemu. Yang disampaikan bukan lagi seperangkat aturan dan hukum, melainkan 142
ajaran kehidupan, kesahajaan, serta keluguan batin, karena Kerajaan Allah berdiam dalam kesahajaan dan keluguan seperti itu. Ini semua terkemas dalam pengajaran Yesus di bukit dalam Mat. 5-7. Kini pada akhir Injil Matius, para murid diminta agar membuat ajaran tadi lebih dikenal lebih banyak orang lagi. Akan didalami hal ini lebih lanjut nanti. Ketika melihat Yesus di bukit di Galilea tadi, ada di antara para murid yang segera mengenalinya, tapi ada pula yang ragu-ragu apakah dia itu sama dengan Dia yang mereka kenal sejak lama. Yesus kemudian berkata bahwa kepadanya telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi (Mat. 28:18). Baiklah didalami terlebih dahulu perihal kuasa di surga dan di bumi, yang mengingatkan kita kepada penglihatan Daniel yang menyebutkan datangnya sosok yang berwujud manusia (“mirip Anak Manusia”) menghadap Allah yang Abadi (“Yang Lanjut Usia”) untuk menerima kuasa dan kemuliaan (Dan. 7:13-14) Dalam penglihatan Daniel itu tampillah sosok yang seperti manusia datang menghadap Yang Lanjut Usia untuk memperoleh kuasa daripada-Nya. Dan kekuasaan ini ditegaskan tak akan ada akhirnya. Bagaimana menafsirkan gambaran ini? Sering sosok itu diterapkan kepada seorang Mesias yang akan datang. Pendapat ini tidak banyak berguna. Hanya membuai harapan. Sering juga dipandang sebagai kejayaan kaum beriman. Tetapi penjelasan ini juga tidak banyak membantu, malah kurang cocok dengan kehidupan beragama yang sejati yang tidak mencari kejayaan, melainkan terarah pada sikap bersujud. Penglihatan Daniel tadi sebetulnya menggambarkan kemanusiaan yang baru. Yakni kemanusiaan yang mengarahkan dirinya kepada Yang Ilahi. Kemanusiaan yang berkembang dalam hubungan dengan Dia yang memberi kuasa atas jagat ini. Itulah yang telah diperoleh kembali oleh Yesus dengan salib dan kebangkitannya, dan itulah yang kini dibagikan kepada umat manusia. Yesus membuat kemanusiaan baru dalam penglihatan Daniel tadi menjadi kenyataan. Di dalam dirinya, Yang Ilahi dapat tampil dengan leluasa, bukan hanya di surga, tapi juga di bumi. Juga tidak 143
ada lagi tempat di surga atau di bumi yang menjadi terlarang bagi kemanusiaan karena semuanya diciptakan bagi kemanusiaan baru ini. Bukan berarti ruang leluasa itu dapat dipakai begitu saja. Keleluasaan membawa serta tanggung jawab menjaga kelestarian. Justru kemanusiaan yang terbuka ini ialah yang ikut mengembangkan jagat sehingga menjadi tempat Yang Ilahi dimuliakan. Kini murid-murid mengalami kenyataan yang diungkapkan ayat itu dan mengerti bahwa mereka dapat ikut hidup dalam dua kawasan. Mereka tetap berada di muka bumi, walaupun mereka juga murid dari Dia yang kini telah memasuki keabadian dan tetap berhubungan dengan Dia. Kenyataan ini akan terus berlangsung bila mereka mau berbagi keberuntungan tadi dengan banyak orang lain yang belum sempat menjadi murid Yesus semasa hidupnya. Di situlah letak perintah yang diberikan Yesus ketika mengutus murid-muridnya kepada siapa saja. Para murid bersama para perempuan yang sudah mendapati Dia yang telah bangkit (Mat. 28:9) disebutkan “menyembah” Yesus di Galilea itu (Mat. 28:17). Yang dimaksud Matius dengan “menyembah” ialah mengakui kebesaran yang sungguh meski tidak langsung tampak. Kebesaran ini bisa dialami dan diselami. Kemampuan manusia menyadari kehadiran yang sakral, yang keramat, yang bukan hanya dari dunia ini menjadi jalan mengenali Dia yang sudah bangkit dan kini akan sepenuhnya memasuki kebesaran-Nya. Bagi Matius, kemampuan serta kepekaan “menyembah” ini membawa hidup baru dalam diri para murid. Kristus yang telah bangkit itu akan naik ke surga dan memasuki kemuliaannya. Berarti Ia tidak akan terlihat lagi di bumi. Tetapi mereka yang mau “menyembah”-nya akan tetap dapat melihatnya. Mereka bahkan akan membuatnya terlihat bagi orang lain. Bagi mereka, kata-kata bahwa ia mendapat kuasa di surga dan di bumi makin nyata. Murid-murid, siapa saja, diperbolehkan menjadi tempat Dia yang bangkit itu bisa menampakkan kuasanya di bumi – dengan cara yang tak terbayangkan sebelumnya. Ini Kabar Gembira yang disampaikan Matius pada akhir Injilnya! 144
Dalam Mat. 28:17b disebutkan ada beberapa orang yang ragu-ragu. Maksudnya, tidak begitu yakin bahwa yang mereka dapati dan mereka lihat di gunung, di Galilea itu adalah Yesus yang sudah bangkit. Dalam hati kecil mereka tentunya bertanya, benarkah demikian? Mengapa sesederhana ini, mengapa tidak menggetarkan, mengapa tidak membuat orang takluk langsung? Juga, mengapa tidak memberi kemuliaan besar kepada mereka yang telah setia mengikutinya dari suatu tempat ke tempat lain? Terhadap keraguan ini, Yesus hanyalah memberi penegasan iman: yang dibawakannNya ke dunia ini ialah kemanusiaan yang tertebus, kemanusiaan baru, yang terbuka bagi kehadiran ilahi. Dan itulah kuasa atas surga dan bumi. Menjadi muridnya berarti ambil bagian dalam kemanusiaan yang tertebus ini. Bila demikian para murid boleh yakin akan tetap disertai guru mereka hingga akhir zaman, hingga saat kemanusiaan yang tertebus itu menjadi kenyataan di bumi dan di surga seutuhnya. Kata-kata ini menjadi bekal hidup bagi siapa saja yang mau mengikuti Yesus. Kata-kata Yesus dalam Mat. 28:19 “…pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku…” tidak perlu ditafsirkan sebagai perintah untuk “menobatkan” semua bangsa menjadi murid-Nya. Dengan bahasa yang lebih mudah dipahami, perintah itu dapat dirumuskan kembali demikian: “Kalian pergilah ke berbagai tempat dan jumpailah macam-macam orang; perlakukanlah mereka itu sebagai muridku!” Jadi tekanan bukan pada membuat bangsa-bangsa menjadi murid Yesus dengan menurunkan ilmu atau pengetahuan kepada mereka, yang diminta Yesus ialah agar para murid tadi bersikap mau menganggap siapa saja yang akan mereka jumpai nanti sebagai sesama murid. Pernyataan ini amat berani. Di situ terungkap kepercayaan besar. Bagaimana penjelasannya? Wafat dan kebangkitan Yesus telah mengubah jagat ini secara menyeluruh, sehingga siapa saja, pernah bertemu atau tidak dengan Yesus, pernah mendengar atau belum tentang-Nya, pada dasarnya sudah menjadi bagian dari ciptaan baru, menjadi kemanusiaan baru. Dalam bahasa Injil – mereka sudah menjadi murid Yesus sendiri. Dan murid-murid yang mengikuti-Nya dari suatu tempat ke tempat lain dulu, diminta menganggap semua orang yang mereka jumpai nanti sebagai sesama murid. Tak ada ruang lagi bagi mereka untuk berbangga-bangga. 145
Mereka tidak lebih dekat, tidak lebih baik, tidak lebih memiliki ajaran yang benar. Semua orang ialah murid-Nya dan para murid pertama justru diminta memperlakukan mereka seperti diri mereka sendiri. Dan yang memang merasa dekat hendaknya memperlakukan orang lain yang belum pernah mendengar tentang Yesus sebagai yang sama-sama telah mendapat pengajaran batin dari Yesus sendiri! Apakah tafsiran ini tidak berseberangan dengan ciri misioner komunitas kristiani? Sama sekali tidak. Pemahaman ini justru menunjukkan betapa luhurnya pengutusan para murid. Mereka diminta memperlakukan semua orang sebagai sesama, bahkan sesama murid. Mereka dapat saling belajar tentang kekayaan masingmasing. Baru demikian para murid akan memenuhi keinginannya. Inilah yang membuat iman tidak berlawanan dengan kebudayaan. Justru iman dapat berkembang dalam kebudayaan yang berbedabeda. Bila begitu, kemanusiaan dapat menjadi kemanusiaan yang dapat didiami keilahian seperti dalam kehidupan Yesus sendiri. Di sinilah terdapat ruang amat leluasa bagi sebuah teologi kontekstual. Pengutusan tidak perlu diartikan sebagai penugasan membagi-bagikan kebenaran kepada mereka yang dianggap berada dalam ketidaktahuan. Sebaliknyalah, para murid itu baru boleh disebut menjadi utusan yang sungguh bila membiarkan diri diperkaya oleh “para bangsa” – oleh orang-orang yang mereka datangi. Para murid diutus ke berbagai tempat dan di semua tempat itulah mereka akan menemukan orang-orang lain yang memiliki pelbagai pengalaman mengenai Yang Ilahi. Dalam Mat. 28:19 juga ditemukan perintah “..dan baptislah mereka dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus!” Orang diajak mengenal adanya pengasal hidup (Bapa), dan yang menjalankannya sebaikbaiknya (Putra), serta yang melangsungkan dan menjaganya (Roh Kudus). Menginisiasikan orang ke dalam hidup komunitas Gereja – membaptis – ialah sebuah cara untuk menandai niat untuk mendalami serta menghayati perintah tadi. Ada pelbagai cara lain dalam hidup bersama sebagai murid Yesus. Kehidupan Gereja pada abad-abad pertama justru menunjukkan kenyataan ini. Orang dari 146
kalangan Yahudi diajak terbuka menerima orang dari kalangan Yunani. Inilah kekayaan pengutusan para murid. Dalam konteks hubungan antar iman, sering ada perdebatan seputar paham Tritunggal. Dalam menjelaskan pokok iman ini, akan membantu bila diperlihatkan juga paham mana yang tidak cocok dengan penghayatan iman yang nyata dalam Gereja. Yang bukan ajaran iman yang sungguh ialah gagasan “tri-teisme”, adanya tiga sesembahan. Ada dua pendapat lain yang tidak terlalu kentara ketidaksesuaiannya dengan penghayatan iman. Salah satunya ialah yang mengatakan bahwa Putra dan Roh Kudus itu diciptakan oleh Bapa, atau semacam perpanjangan dari Allah yang satu – pendapat ini biasanya disebut “subordinasionisme” karena membawahkan kedua pribadi pada salah satu. Ada pula penjelasan yang mengatakan bahwa Tritunggal hanyalah sekadar tiga bentuk atau cara Allah tampil bagi manusia dan bukan sungguh pribadi ilahi. Pendapat ini sering disebut “modalisme”. Termasuk di sini pendapat bahwa ketiganya hanya kiasan mengenai sifat-sifat ilahi belaka. Iman yang nyata tidak berdasarkan gagasan-gagasan tadi, melainkan menerima keilahian sebagai yang esa dan mengalaminya sebagai yang merahimi kehidupan, melaksanakannya, dan menjaganya. Inilah iman akan Tritunggal yang menghidupi Gereja sepanjang zaman. Ada sebuah masalah yang menyangkut pengutusan kepada siapa saja tadi. Dalam Mat. 10:5-6 disebutkan, “Jangan engkau menyimpang ke jalan bangsa lain atau masuk ke dalam kota orang Samaria, melainkan pergilah ke domba-domba yang hilang dari umat Israel.” (Mat. 10:5-6). Jadi di situ ditegaskan para murid diutus hanya kepada orang Yahudi saja. Tapi pada Mat. 28:19 diceritakan Yesus mengutus murid-muridnya untuk menjadikan semua bangsa murid Yesus dan membaptis mereka. Begini penjelasannya. Tadi dalam Mat. 10:5-6 murid-murid ditugasi sang guru yang waktu itu berjalan dari kota ke kota. Tapi pada akhir Injil para murid berada bersama dengan Yesus yang telah bangkit. Ia kini sudah masuk dalam kawasan yang lebih luas, bahkan melingkupi surga juga. Sebelum menugasi murid-murid pergi ke semua bangsa, ia sendiri mengatakan, “Kepadaku telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi.” (Mat. 28:18). Keberadaannya kini mengatasi ruang dan 147
waktu. Murid-murid diminta agar membuat kebangkitan menjadi berarti bagi siapa saja. Diterima atau tidak soal lain. Tidak juga digariskan caranya begini atau begitu. Mesti dicari dan dikembangkan. Semua hal mengenai Yesus harus dapat disampaikan kepada mereka yang tadinya tak masuk hitungan Pemahaman Injil Lukas Injil Lukas mengutarakan kedua peristiwa yang dibicarakan hingga kini dengan gambaran yang lain. Dalam Luk. 24:46-53 dikisahkan pengutusan para murid setelah mereka memahami warta Kitab Suci mengenai kemesiasan Yesus (ayat 46-49) dilanjutkan dengan kisah kenaikan Yesus ke surga setelah memberkati para murid (ayat 5053). Guna memahami ayat 46-49 marilah kita melihat konteksnya, yakni ayat 45, “Lalu ia membuka pikiran mereka, sehingga mereka mengerti Kitab Suci”. Yang dimaksud ialah warta seluruh Kitab Suci mengenai dirinya. Hal ini diungkapkan dalam ayat 44 sebagai “Taurat Musa, nabi-nabi, dan kitab Mazmur”. Seperti diutarakan dalam ayat 46, ia menjadi Mesias Tuhan yang benar lewat penderitaan dan kebangkitannya. Ditegaskan kemudian dalam ayat 47 bahwa murid-murid diminta ikut meluruskan pendapat orang mengenai dia dan wartanya (“mewartakan tobat”) agar orang mendapat “pengampunan dosa” dalam nama dia yang telah bangkit itu. Pikiran murid-murid kini diterangi sehingga mereka mengerti itu semua. Kejadian ini juga dialami oleh kedua orang murid yang sedang ada dalam perjalanan ke Emaus. Mereka mendapat penjelasan mengenai Kitab Suci tentang Yesus (Luk. 24:27) dari Yesus yang telah bangkit sendiri meskipun waktu itu mereka belum menyadarinya. Kini, dalam ayat 46 dst. murid-murid sudah tahu siapa yang menjelaskan. Mereka telah berjumpa dengan dia yang bangkit itu (Luk. 24:36-44). Bagaimanapun juga di dalam kedua peristiwa ini para murid akhirnya sama-sama mendapatkan kekuatan untuk mulai menyampaikan pengalaman berjumpa dengan dia yang telah lama diberitakan dalam Kitab Suci. Kedua murid dari kisah Emaus itu segera bergegas ke Yerusalem (Luk. 24:33) memberitahu para murid lain. Kini para murid yang lain juga memperoleh dorongan untuk mewartakan tentang dia mulai dari Yerusalem (ayat 148
47). Perjumpaan dengan Yesus yang telah bangkit itu memberi kekuatan serta gairah. Apa itu “bersaksi” mengenai dia? Kesaksian perlu dipahami dalam kaitan dengan peristiwa kenaikan Yesus ke surga. Ia yang bangkit itu dikatakan berpisah dari murid-muridnya dan terangkat ke surga (Luk. 24:51). Dalam Kis. 1:1-11 nanti ditampilkan peristiwa yang sama. Pada ayat 10-11 disebutkan bahwa dua orang yang berpakaian putih mengatakan kepada murid-murid bahwa Yesus akan datang kembali dengan cara seperti yang mereka lihat ketika Ia naik ke surga. Maksudnya, Dia yang kini telah memasuki dunia ilahi itu satu ketika nanti akan datang kembali dengan cara yang sama. Dan tenggang waktu antara kenaikan dan kedatangan-Nya kembali ialah kesempatan panjang bagi para murid di mana saja dan kapan saja untuk belajar mengenali kehadiran-Nya di dunia dan mengabarkanNya. Orang banyak akan makin mengerti kehadiran-Nya. Bila ini terjadi maka dapat dikatakan Ia datang kembali. Boleh dikatakan bahwa kedatangan-Nya kembali itu sejalan dengan bertumbuhnya pengertian manusia akan kehadiran-Nya. Tugas para murid ialah mewartakan kehadiran ini dan membuat banyak orang memahami serta menghormati kehadiran ini. Dalam banyak hal boleh dikatakan bahwa orang yang percaya akan Dia ikut membuat-Nya datang kembali dengan cara sama seperti para murid dulu melihat Ia terangkat ke surga dan menerima pengutusan dari-Nya. Kedatangan kembali Dia yang telah bangkit itu juga diutarakan di dalam Injil Markus dengan perspektif ke belakang, ke masa ketika Yesus masih ada di antara para murid. Dalam Mrk. 13:24-32 diungkapkan dua pokok: pertama mengenai “zaman edan” yang mendahului kedatangan-Nya kembali (ayat 24-27), dan kedua, imbauan untuk menengarai kapan saat itu tiba (ayat 28-32). Muridmurid yang masih mengenal Yesus dari dekat mewartakan bahwa Ia telah bangkit dari kematian dan naik ke surga dan kini menyiapkan tempat bagi mereka. Ia akan datang kembali dengan mulia dan orang-orang yang percaya kepada-Nya akan ikut serta dalam kebesaran-Nya. Saat itu seluruh alam semesta akan menyaksikan peristiwa ini. Yang paling membuat generasi pertama murid-murid ini bergairah ialah kebangkitan-Nya. Karena itu, pewartaan Injil yang 149
paling awal ialah “Tuhan telah bangkit!” Semua hal lain, termasuk kedatangan-Nya kembali, ialah kelanjutan peristiwa itu. Namun demikian, bagi murid-murid dari generasi yang tidak mengenal Yesus sendiri, kebangkitan-Nya sudah jadi hal yang diandaikan. Minat mereka lebih terarah pada kedatangan-Nya kembali. Di situlah letak daya tarik komunitas awal ini. Seluruh Injil Markus ditulis bagi kalangan mereka. Kepada mereka diperkenalkan siapa Yesus yang akan datang kembali itu lewat ingatan akan hal-hal yang diajarkan dan dilakukan-Nya semasa hidup-Nya. Kedatangan-Nya kembali nanti dikontraskan dengan suasana yang menggelisahkan – suasana zaman edan. Markus menggambarkan kedatangan kembali Yesus dalam kemuliaan-Nya dengan menghubungkannya dengan kitab Daniel 7:13-14, yakni tokoh Anak Manusia yang datang menghadap Allah untuk memperoleh anugerah kuasa atas seluruh alam semesta. Dalam Kitab Daniel, kedatangan Anak Manusia ini terjadi segera sesudah Allah memunahkan kekuatan-kekuatan jahat yang mengungkung alam semesta. Zaman yang dikuasai kekuatan kacau – zaman edan – itu kini digantikan dengan zaman Anak Manusia. Siapakah Anak Manusia dalam Daniel itu? Tafsiran bisa bermacammacam. Namun demikian, bila dicermati, Anak Manusia di situ dipakai melukiskan kemanusiaan baru yang hidup merdeka di hadapan Allah. Di situlah kebesarannya. Bila diterapkan kepada Yesus, kedatangan-Nya kembali mewujudkan kemanusiaan yang baru ini. Baiklah ditengok gambaran hubungan dunia ilahi dan dunia manusia dengan memakai gagasan dalam Kitab Suci sendiri. Dalam Kej. 11:1-9 diceritakan manusia yang tadinya saling mengerti dan bersatu itu akhirnya terpecah-belah karena tidak dapat saling mengerti lagi. Ini sebetulnya kisah untuk menjelaskan secara teologis asal usul kemerosotan, perpecahan dan permusuhan di antara umat manusia. Diceritakan manusia mulai berambisi memasuki wilayah Yang Ilahi tanpa menghormati kekeramatan-Nya. Mereka bermaksud membangun kota dengan menara yang puncaknya menembus ke langit (Kej. 11:4) – tempat kediaman Yang Ilahi, wilayah yang keramat itu. Manusia ingin “membuat nama bagi diri sendiri agar jangan sampai terserak ke seluruh bumi”, maksudnya menjadi seperti Sang Nama Ilahi itu. Apa yang terjadi? Tuhan malah membiarkan 150
mereka tercerai berai ke seluruh bumi dan tidak saling mengerti lagi sehingga rencana mereka membangun kota dengan menara tadi gagal. Wilayah yang keramat tidak bisa dijadikan tempat berkiprah. Kesembronoan seperti itu malah menjauhkan mereka dari yang mereka inginkan. Bukan khayal belaka bila kenaikan Yesus ke surga ini dimengerti sebagai kebalikan kisah menara Babel tadi. Kenaikan Yesus ke surga ialah kemanusiaan yang diterima utuh oleh Tuhan. Kemanusiaan kini bahkan diangkat menjadi bagian dari Yang Ilahi sendiri. Ia juga yang menyatukan kemanusiaan. Dalam hal ini tidak ada upaya kemaruk menyamai Yang Ilahi. Ia berani mengakui diri sebagai manusia lewat penderitaan dan wafatnya itu. Ia menunjukkan kemanusiaan yang tidak meninggikan diri sampai ke awan-awan. Dan justru dengan demikian Ia dibangkitkan. Ia menjadi menara kemanusiaan yang puncaknya betul-betul mencapai langit. Kenaikannya ke surga ini juga nanti bahkan diikuti kedatangan Roh Kudus yang membuat orang dari pelbagai bahasa dan bangsa dapat saling mengerti kembali. Dalam banyak arti kenaikan Yesus ke surga mengingatkan pada kehadiran Yang Ilahi di dalam kemanusiaan. Injil Lukas berakhir dengan berita bahwa para murid senantiasa berada di Bait Allah memuliakan Tuhan (Luk. 24:53). Bait Allah juga menjadi tempat awal Injil ini. Di situlah Zakharia menerima pemberitaan akan kelahiran Yohanes Pembaptis ketika bertugas menjalankan ibadat. Ketika Zakharia mempertanyakan bagaimana ia dapat percaya semua itu, malaikat Gabriel membuatnya gagu. Meskipun Injil Lukas tidak menyebutkannya, dalam keadaan ini jelas Zakharia tidak dapat mengucapkan kata-kata berkat yang menjadi bagian ibadat di Bait Allah. Pada akhir Injil Lukas disebutkan Yesus mengangkat tangan dan memberkati murid-muridnya (Luk. 24:5051). Dengan ini kiranya Lukas hendak mengingatkan orang akan berkat imam dalam Im. 9:22. Hal yang tidak dapat dilakukan oleh Zakharia kini dilakukan oleh Yesus yang sedang terangkat ke surga. Berarti ibadat di Bait Allah kini telah utuh kembali. Dan bukan itu saja. Kini batas-batas antara yang keramat dan yang duniawi telah dibuka kembali. Ia memberkati murid-murid ketika ia terangkat ke surga. Ingat juga bahwa pada saat ia wafat di salib. tirai Bait Allah 151
yang memisahkan tempat yang paling kudus dengan bagian lain koyak terbuka (Luk. 23:45). Wafatnya menandai rujuknya kembali keilahian dengan kemanusiaan. Dan Lukas maju lebih jauh lagi. Kini Yesus menjadi berkat bagi seluruh kemanusiaan. Artinya, Yang Ilahi tidak lagi jauh dari kemanusiaan. Yesus yang naik ke surga itu bukan seperti menara Babel yang mendatangkan kutuk, melainkan yang mendatangkan berkat. Inilah yang diminta agar dipersaksikan para murid kepada semua bangsa. Pertobatan mulai dengan mengakui bahwa Yang Ilahi dapat hadir di antara manusia. Ini juga memungkinkan pengampunan dosa yang diperbuat manusia dalam kisah menara Babel dulu. Menurut berita yang terdapat pada awal Kisah Para Rasul, dikatakan bahwa Yesus berulang-ulang selama 40 hari menampakkan diri kepada para murid dan berbicara mengenai Kerajaan Allah (Kis. 1:3). Tetapi pada akhir Injil Lukas tidak ada tenggang waktu antara kebangkitan dan kenaikan Yesus ke surga. Padahal kedua kesaksian ini ditulis oleh pengarang yang sama. Tenggang waktu 40 hari itu ungkapan yang dipakai untuk menyebut masa yang cukup lama untuk mengalami perubahan pikiran. Sekaligus ini cara untuk mengatakan Yesus benar-benar tetap menyertai mereka setelah ia wafat dan bangkit dan semua ajaran mengenai Kerajaan Allah yang diberikannya semasa hidupnya tetap berlaku. Selain itu dikatakan Yesus melarang mereka meninggalkan Yerusalem sebelum Roh Kudus datang (Kis. 1:4). Di manakah kejadian kenaikan Yesus? Matius menyebut di Galilea, Markus penutupan ringkas tidak menyebut jelas-jelas di mana, namun ruparupanya kejadiannya di dekat Yerusalem. Dalam Kis. 1:4 nama kota ini dieja dalam teks Yunani sebagai “Hierosolyma”, bukan “Ierousaleem”. Dalam tulisan Lukas diketahui bahwa yang pertama itu merujuk ke wahana Yerusalem dan penghuni yang mau menerima kehadiran Yesus, sedangkan yang kedua menggambarkan kota yang menolaknya. Maka bila para murid diminta agar tidak meninggalkan “Hierosolyma” artinya mereka diharapkan bertekun dulu di dalam lingkungan yang menerima Yesus sambil menantikan kedatangan Roh Kudus yang bakal membuat mereka nanti mampu bersaksi kepada mereka yang memusuhi Yesus, yang disebut dengan nama 152
“Ierousaleem” (Kis 1:8). Dalam Luk. 24:47 disebutkan murid-murid diutus menyampaikan berita pertobatan dan pengampunan dosa kepada semua bangsa “mulai dari Ierousaleem”, mulai dari lingkungan yang kurang mengakui kehadiran Yesus. Memang bila dieja demikian, kota ini ditampilkan sebagai tempat yang menolak kehadiran utusan Yang Mahakuasa ini, bahkan memperlakukannya dengan buruk. Kota seperti ini kota kezaliman yang akan runtuh dan diganti dengan Hierosolyma, tempat Yesus akan dimuliakan, kota kedamaian. Bandingkan dengan penulisan nama kota ini sebagai Ierousaleem dalam 9:51; Hierosolyma dalam 13:22, di Ierousaleem 17:11, dan kemudian Hierosolyma 19:28. Penutup Tugas menyampaikan Kabar Gembira kepada semua orang di segala zaman membuka ruang seluas-luasnya bagi kreativitas manusia untuk menemukan dan mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan sendiri sehingga selalu terbaharui. Sisi penting dari kemanusiaan ini ialah keterbukaannya pada dimensi keilahian. Semakin mendekat ke sana. semakin kemanusiaan menemukan kebesarannya. Teologi pewartaan yang dilandaskan pada pandangan seperti ini akan semakin kontekstual, semakin membumi dan tetap setia pada sumbernya, yakni penugasan para murid pertama untuk pergi ke seluruh dunia membawakan warta yang memberi kelegaan.
153
Towards an Indonesian Old Testament Theology: A Dialogue between Christoph Barth’s Old Testament Theology and works by Indonesian Old Testament Scholars Agustinus Setiawidi
1. Introduction In the academic studies of the Old Testament (“OT”) in Indonesia, Christoph Barth (1917-1986) has played a significant role. He taught at several theological seminaries in Indonesia. He also wrote a lengthy textbook of OT Theology in Indonesian: Theologia Perjanjian Lama (TPL) in four volumes,1 which were published in Indonesia between 1970 and 1989.2 To date, this work by Barth constitutes the most complete OT theology reference which Indonesian students have at their disposal in their own language. The eleventh printing of the first volume, in 2006, strongly suggests that this work is still in great demand.3 Barth maintains that his desire and goal is to challenge Indonesian churches to read, interpret and understand the OT in their own contexts.4 The aim of this article is to offer a survey of Indonesian works on OT theology (spanning the years 1973 to 2010) which are in dialogue with Barth’s work. The first part will discuss the general approach of these works to the issue of contextualisation (a main concern of Barth’s). The second will look briefly at how these works interact with Barth’s TPL and to find out whether the former simply depend on the latter or they go beyond it.
Dosen Perjanjian Lama di STT Jakarta
155
2. Contextualization in the works5 by Indonesian OT Scholars 2.1 The Context and Contextualization Most of the Indonesian works involved in the dialogue with Barth’s TPL are the outcomes of work done under the South East Asia Graduate School of Theology (SEAGST), a theological institution established in 1996 under the auspices of the Association of Theological Education in South East Asia (ATESEA). Since SEAGST specifically aims to assist the intellectual and spiritual development of Asian theologians and to contribute to the emergence of contextual and Asia-oriented theology, one would expect works from this institution to focus on the development of Asian contextual theology. One of the challenges to promoting contextual theologies in Indonesia is defining the context itself.6 Geographically, Indonesia could be considered a subcontinent.7 Any attempt to present Indonesia in international discussions usually seek only ”to give the general idea of the country”. Going into the details would require one to refer specifically to a certain region, tribe, culture or island.8 My research reveals that the Indonesian OT scholars take both national and local contexts into account. The national concerns usually have to do with matters like social injustice, religious tolerance and national development.9 The local contexts, on the other hand, tend to focus on traditional values which are evaluated in light of biblical theology.10 Some pieces of research, particularly those done under the auspices of SEAGST, extend the discussion to apply to Asia as a whole, underlining the common values shared throughout the continent.11 Although the works by the Indonesian OT scholars involved in the dialogue with Barth’s TPL by and large represent attempts to contextualize biblical theology in Indonesia, none of them are deliberate about what contextualization actually is. Their main concern is how the biblical texts are able to help Indonesian Christians live in their pluralistic contexts. To review some of them, Singgih attempts to interpret the concept of tōhû wābōhû in the context of the national reformation which took place after Soeharto’s fall from power.12
156
Utilizing a narrative approach, Sumakul evaluates the way the OT writers look at the holy places and proposes a different approach to the sacred places in Minahasa.13 Karman attempts to relate the theme of Promised Land and the Israeli-Palestinian issue to the problems of injustice in relation to the holding of land in Indonesia today.14 Seeking to learn lessons from King Josiah’s failure, Soewardji’s thesis focuses on exploring models of leadership available in the Indonesian context. He finds in the OT support for the bottom-up model he proposes.15 Hutapea,16 Ludji,17 Telnoni18 and Nara Lulu,19 on their part, attempt to relate the prophetic voice to the socio-economic problems in their respective contexts. We might conclude that contextualization in all of these works represents a general attempt to translate biblical messages into the Indonesian pluralistic contexts. 2.2 The Methodology My research reveals that in general the works by Indonesian scholars are composed of two main parts. The first is an exploration of selected biblical texts, consisting of an exposition of their historical backgrounds, and engagement in textual criticism and exegesis. By and large, this part is made up of an overview of the current scholarly discussion on the various texts. This often lays the foundation for the theological views presented in the second part of the research. This first part of the work of Indonesian OT scholars generally shows a great deal of dependency upon available resources, such as commentaries, dictionaries, and other related materials.20 In the second part of these works, we observe attempts by the Indonesian scholars to explore their respective contexts, both national and local, and then evaluate them in the light of the biblical theology constructed in the previous part. It is generally assumed that the OT sources involved in the research offer immediate help in coping with the contextual problems identified. In other words, most of these works use the OT to interpret the Indonesian pluralistic context, and not the other way around.21 This becomes obvious when we compare the two main parts in most of these works and discover that they are disproportionate in length. The first part is usually treated extensively, while the second, the so-called “contextualization” of the passage, is briefly presented.
157
We therefore see that the efforts to contextualize OT theology in the works of Indonesian scholars (including those done under the auspices of SEAGST) by and large utilise the simple method of translating the biblical message into Indonesian contexts. They apply what Bevans proposes as a “translation model”.22 Some characteristics of this model are obviously present in these works: e.g. the difference between the biblical context and the Indonesian context is often not seriously taken into account, the biblical message is seen to have a priority over local cultures, and the “contextualization” in the second part of these works is frequently brief and straightforward.23 3. The Dialogue between Barth’s TPL and Indonesian OT Works We look next at the dialogue between Barth’s TPL and Indonesian works on the OT. Does this dialogue reveal the development of an authentic OT theology by Indonesian scholars as a direct or indirect result of a critical response to the OT theology offered by Barth? The dialogue itself takes place on topics encapsulated under the nine themes in Barth’s textbook: God created heaven and earth (Creation), chose the Fathers of Israel (the Patriarchs), delivered Israel from Egypt (the Exodus), led His people through the Wilderness (the Wandering), revealed Himself at Sinai (the Law), granted Israel the land of Canaan (the Promised Land), raised up kings in Israel (the Messiah), chose Jerusalem (the election of Zion), and sent His prophets (the Prophets). Out of these nine themes, the acts of delivering Israel from Egypt (the Exodus) and granting Israel the land of Canaan (the Promised Land) have become the focal points of the OT theology Barth offers to the Indonesian context. To start, we underline the influence that Barth’s TPL has had on the works by Indonesian OT scholars. There are numerous significant references to his textbook in their works.24 Yet, in general, Barth’s TPL is referred to throughout these works without substantial critical evaluation. Barth’s TPL has had the strongest influence in the works of Silitonga25 and Sumakul.26 The thesis of Silitonga even confirms and strengthens Barth’s theology of Creation, suggesting that it is secondary in OT theology. As regards methodology, Silitonga ap-
158
plies the juxtaposition Barth uses in his TPL, highlighting the distinctiveness of the faith of the Israelites as compared to that of neighboring nations. Meanwhile, Sumakul applies Barth’s description of the Israelite approach to Canaanite holy places, in order to evaluate the existence of sacred places in Minahasa. A critical reaction to Barth’s Creation theology appears in Karman’s work, particularly with regards to the priority of Creation. Karman argues against Barth that the study of creation should be the priority in OT theology since this is the first act of God.27 Within the themes of Exodus and the “Granting of the Land”, Karman offers a theology that challenges the common view among Indonesian Christians concerning the relation between the church and the modern state of Israel. While by and large they support the policies of the state of Israel, Karman argues that such relation between the church and the state of Israel does not theologically exist at all. He also goes even further to relate the modern Israeli-Palestinian conflict to current problems of justice and land in Indonesia.28 On the theme of “the Law”, I Nyoman Murah has written a thesis proposing that in searching for identity amidst religiously pluralistic Indonesia, Christians should not follow the biblical example of Israel blindly.29 To some extent this is critical of Barth’s challenge to the Indonesian church, which stresses the importance of the distinctiveness of God’s people. Silitonga’s thesis, on the other hand, suggests that such distinctiveness was being maintained by the Batak Christians. Turning to the theme of leadership, Soewardji observes the reformation of Josiah and criticizes the elite-oriented leadership pattern that might impede the goal of national development in Indonesia. He explores models of leadership available in the Indonesian context which support the bottom-up type he proposes.30 To a large extent his theological view affirms Barth’s suggestion that leaders in both the political and Church sphere have become critically involved in national development. These tend to model themselves after the good kings in the OT, who strive for peace through wise, simple and realistic politics.
159
Looking at the theme of “the Prophets”, we observe that the works of Hutapea, Ludji and Nara Lulu promote the prophetic voice which strives for social welfare and justice in their respective contexts. This puts their works on the same wavelength as Barth’s TPL. However, the work by Telnoni promotes a different kind of prophetic message. Instead of speaking about the prophetic voice of social, economic and political justice, he argues that the hardship itself, specifically the poverty and underdevelopment in Timor, constitutes the real challenge to those called to minister the Word of God.31 In other words, Telnoni argues that the prophetic voice includes endurance particularly for those serving as ministers in poor and remote areas. Turning finally to the Indonesian works focusing on Wisdom Literature, we find some critical responses to Barth’s TPL which is excluded from his OT theology. Sitompul attempts to demonstrate the similarity between the hortatory words in the book of Proverbs and that of the Batak Toba people.32 Pohan suggests that the church read the book to meditate on human life under the sun.33 Singgih deliberately uses the Indonesian context and his own personal experiences to interpret and understand the book of Qohelet and its message.34 Sinulingga Bangun attempts to make a comparison between biblical wisdom and local wisdom, particularly among the Batak Karo people.35 Mawene’s work is exceptional since it strongly suggests that local wisdom be taken seriously in developing contextual biblical theology in Indonesia.36 His research is an attempt to prove that local wisdom has to be taken into account in contextual theology in Papua. It is justifiable to conclude that his work is the most critical reaction to Barth’s TPL which excludes human wisdom from OT theology. We might conclude that except for the topic of Creation in Karman’s OT theology, the theme of Divine Law in I Nyoman Murah’s thesis, and the emphasis on local wisdom in Mawene’s work, we do not notice any aspects of these Indonesian works which are critical of Barth’s theology. In general, we find that references to Barth’s TPL in these works are copious, but they are hardly followed by any critical remarks. It would therefore be hasty to conclude from the dialogue between Barth’s TPL and works by Indonesian OT scholars
160
that Indonesian OT theology is essentially different from the “traditional” theology represented by Barth’s textbook. 4. Towards an Indonesian OT Theology My research has attempted to provide a general picture of OT theology in Indonesia and has suggested that during the last forty years Indonesian OT theology has been taking its shape. Judging from the fact that the most critical part of the dialogue from Indonesian scholars is involving the local wisdom, which is absent in Barth’s TPL, the research proposes that Indonesian OT theology be a biblical theology constructed by local contexts throughout its regions. It involves and respects all elements of local cultures and its people, putting their views in critical dialogue with biblical messages while applying available approaches, methods, and models. We close this contribution with a proposition that the future shape of Indonesian OT theology depends much on how the proposals we have offered are seriously taken into account. Personal Write-up Agustinus Setiawidi was born in 1968 in Jakarta, Indonesia. From 1984 to 1985, he studied at the Academy of Interior Design in Jakarta and worked for a number of interior design consultants. He studied theology at the Jakarta Theological Seminary from 1987 to 1993. After a short period of working at the Indonesian Bible Society in 1997, he joined the faculty of the Jakarta Theological Seminary teaching Old Testament studies and Biblical Hebrew. From 2001 to 2003 he studied Biblical Exegesis and Semitic Languages and wrote a thesis on the Book of Jonah at Leiden University, the Netherlands, obtaining his Master of Arts in Religious Studies. He has since then been teaching Old Testament and Biblical Hebrew at the Jakarta Theological Seminary. In 2007 he started his doctoral research in Old Testament theology at the Protestant Theological University (PThU), in Kampen, the Netherlands, and accomplished it in 2011. BIBLIOGRAPHY General Literature
161
Aritonang, J.S., and Karel Steenbrink, eds. A History of Christianity in Indonesia. Leiden, Boston: Brill, 2008. Bevans, S.B. Models of Contextual Theology. Revised and Expanded Edition. Maryknoll: Orbis Books, 2002. Chambert-Loir, H., and Anthony Reid, eds. The Potent Dead – Ancestors, Saints and Heroes in Contemporary Indonesia. New South Wales-Honolulu: Allen & Unwin-University of Hawaií Press, 2002. Kim, Sebastian C.H., ed. Christian Theology in Asia. Cambridge: Cambridge Univ. Press, 2008. Parrat, John, ed. An Introduction to Third World Theologies. Cambridge: Cambridge Univ. Press, 2006. Pears, A. Doing Contextual Theology. London and New York: Routledge, 2010. Perdue, L.G. Reconstructing Old Testament Theology: After the Collapse of History. Minneapolis: Fortress Press, 2005. Sugirtharajah, R.S. Postcolonial Criticism and Biblical Interpretation. Oxford-NewYork: Oxford Univ. Press, 2002. West, G.O. Contextual Bible Study. Pietermaritzburg: Cluster Publications, 1993. _______. The Academy of the Poor: Towards a Dialogical Reading of the Bible. Pietermaritzburg: Cluster Publications, 1999. _______. Biblical Hermeneutics of Liberation: Models of Reading the Bible in the South African Context. Pietermaritzburg/ Maryknoll, N.Y.: Cluster Publications/Orbis Books, 1995. Works by Christoph Barth C. Barth. Theologia Perjanjian Lama 1. Jakarta: BPK GM, 1st print 1970; 11th print 2006. _____. Theologia Perjanjian Lama 2. Jakarta: BPK GM, 1st print 1982, 9th print 2003. _____. Theologia Perjanjian Lama 3. Jakarta: BPK GM. 1st print 1986, 8th print 2005. Barth, C., and Marie-Claire Barth, M.C. Theologia Perjanjian Lama 4. Jakarta: BPK GM, 1st print 1986, 8th print 2005. _____. God With Us – A Theological Introduction to the Old Testament. Edited by Geoffrey.W. Bromiley. Grand Rapids, Michigan, 1991.
162
Works by Indonesian OT scholars Hutapea, V.N. The Relevance of the Call and Critique of the Prophets on Social Justice – A Main Approach from the Old Testament compare with Consideration from Islam, Buddhist and Some Modern Philosophies (thes. SEAGST), Pematang Siantar, 1977. Ihromi. ʽamm ʽānî wādāl nach dem Propheten Zephania. diss. Mainz, 1972. Karman, Y. Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama – Dari Kanon sampai Doa, Jakarta: BPK GM, 2004 ______. Necromantic Aspects in 1 Samuel 28:3-25 in Relation to the Apparition of Samuel – An Exegetical Study (diss.), Leuven, 2004. Ludji, B. The Socio-Economical Aspects in the Proclamation of the 8th century B.C. Prophets – An Exegetical Description on Several Prophecies of Amos, Isaiah, and Micah and Its Relevance to the Proclamation and Service of the Christian Church of Sumba .diss. SEAGST. Jakarta, 1996. Mawene, M.T. Relation between Torah of the Lord and Wisdom Teaching in the Book of Proverbs 1-9. diss. SEAGST. Yogyakarta, 2007. Merentek-Abram, E.S. Joseph Narrative in Genesis 37-50 as a Model of Narrative Theology in the Old Testament. diss. SEAGST. Jakarta, 1996. Murah, Nyoman. The Function of Torah within the Identity of Israel. thes. SEAGST. Jakarta, 1980. Nara Lulu, B. Shalom in the Old Testament – An Exegetical Approach to Isaiah 8:23-9:6 and Its Relevance to the Ministry of Gereja Masehi Injii di Timor (GMIT). thes. Jakarta, 2007. Pohan, E.P. All is Vanity? A Research on Semantic Meaning of the Word ‘Hevel’ in the Book of Qohelet in Search of Comprehending the Exact Thought and Teaching of Qohelet. thes. Jakarta, 1998. Ruku, W.F. Reading of the Fifth Commandment Contextually (Exodus 20:12) – An Indonesian-Atoni Meto Contextual Hermeneutics. thes. Amsterdam, 2008.
163
Runtu-Lumi, A. The Old Testament and Its Influence in the Christian Evangelical Church in Minahasa. thes. SEAGST. Tomohon, 1992. Santoso, S. The Deuteronomy Codex (Deut. 12:1-26:15) as Prophetic Teaching. thes. SEAGST. Yogyakarta, 1994. Silitonga, A. The Comprehension of Work (melāʽkāh) in the Old Testament. thes. SEAGST. Pematang Siantar, 1973. Singgih, E.G. Dari Israel ke Asia, Jakarta: BPK GM, 1982. _____. Hidup di Bawah Bayang-bayang Maut – Sebuah Tafsir Kitab Pengkhotbah, Jakarta: BPK GM, 2001. _____. Doing Theology in Indonesia – Sketches for an Indonesian Contextual Theology, Manila: ATESEA, 2003. ______. Ex Nihilo Nihil Fit: Interpretation on Genesis 1:1-3. Oration. Yogyakarta, 2005. Sinulingga Bangun, R. The Valorous Wife and Personified Wisdom Compared – Prov. 31:10-31; 1:20-33; 8:1-21; 32-36; 9:1-6. diss. SEAGST. Singapore, 2007. Sitompul, A.A. Weisheitliche Mahnsprüche und prophetische Mahnrede im Alten Testament, auf dem Hintergrund der Mahnungen im Leben der Tobabatak auf Sumatra. diss. Mainz, 1967. Soewardji, T. The Reformation of Josiah. thes. SEAGST. Jakarta, 1982. Sumakul, H.A. Old Testament Sources on Holy Places in Canaan and Their Signifance in the Light of Doing Theology Particularly in Minahasa. thes. SEAGST. Minahasa, 1992. Tampubolon, R.O.M. Social Justice in the Laws of the Pentateuch. diss. SEAGST. Jakarta, 1999. Telnoni, J.A. bn-’dm – The Image of Prophet According to Ezekiel’s Calling (2:1-3:11). diss. SEAGST. Jakarta, 1997.
164
Endnote 1
Since cancer has prevented Barth from finishing his work, the very last prophets in the fourth volume (i.e., Nahum, Habakkuk and Zephaniah, and from Haggai to the end) were posthumously written by his wife. 2 In an abridged form it appeared in English in 1991 under the title God with Us: A Theological Introduction to the Old Testament. 3 The ninth printing of the second volume appeared in 2003, while in 2005 the third and the fourth volumes saw their eighth and seventh printing respectively. 4 Barth, TPL 1, 8 5 See Bibliography. 6 Cf. S.B. Bevans, Models of Contextual Theology, Revised and Expanded Edition (Maryknoll: Orbis Books, 2002), 90. 7 The term usually refers to India. It is not an exaggeration, however, to assign it to Indonesia since the latter is a huge country consisting of more than thirteen thousands islands. It is a great religious, socio-economic, ethno-cultural and political melting pot. While the official language is Bahasa Indonesia (an amalgam of several languages based mostly on Malay), more than seven hundred vernacular languages and dialects are still spoken today. See Raymond G. Gordon, Jr. (ed.), Ethnologue: Languages of the th World, 15 edition (Dallas, Tex.: SIL International, 2005). 8 Some recent research by Indonesian theologians focus specifically on a local region of the country, e.g., W.F. Ruku, Reading of the Fifth Commandment Contextually (Exodus 20:12) – An Indonesian-Atoni Meto Contextual Hermeneutics. thes. (Amsterdam: Vrije Universiteit, 2008), and C. Gunawan, The Bible through Javanese Eyes – Tracing and Examining Contextual Theology in Christian Art. thes. (Kampen: Protestantse Theologische Universiteit, 2007). 9 These national concerns are dealt with in works like Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama – Dari Kanon sampai Doa (Jakarta: BPK GM, 2004), 18-37, 76-104; Singgih, Ex Nihilo Nihil Fit: Interpretation on Genesis 1:1-3. Oration. (Yogyakarta: Duta Wacana University, 2005); MerentekAbram, Joseph Narrative in Genesis 37-50 as a Model of Narrative Theology in the OT. diss. (Jakarta: SEAGST, 1996); Hutapea, The Relevance of the Call and Critique of the Prophets on Social Justice – A Main Approach from the Old Testament compare with Consideration from Islam, Buddhist and Some Modern Philosophies. thes. (Pematang Siantar: SEAGST, 1977); Soewardji, The Reformation of Josiah. thes. (Jakarta: SEAGST, 1982).
165
10
The local contexts are prominent in the works by Silitonga from North e Sumatera, The Comprehension of Work (m lāʽkāh) in the Old Testament. thes. (Pematang Siantar: SEAGST, 1973); Sumakul from North Sulawesi, Old Testament Sources on Holy Places in Canaan and Their Significance in the Light of Doing Theology Particularly in Minahasa. thes. (Minahasa: SEAGST, 1992); Nyoman Murah from Bali, The Function of Torah within the Identity of Israel. thes. (Jakarta: SEAGST, 1980); Ludji from Sumba, The Socioth Economical Aspects in the Proclamation of the 8 century B.C. Prophets – An Exegetical Description on Several Prophecies of Amos, Isaiah, and Micah and Its Relevance to the Proclamation and Service of the Christian Church of Sumba. diss. (Jakarta: SEAGST, 1996); Ruku from Timor, Reading of the Fifth Commandment Contextually (Exodus 20:12) – An Indonesian-Atoni Meto Contextual Hermeneutics. thes. (Amsterdam: Vrije Universiteit, 2008); Telnoni from Timor, bn-’dm – The Image of Prophet According to Ezekiel’s Calling (2:1-3:11). diss. (Jakarta: SEAGST, 1997); Nara Lulu from Timor, Shalom in the Old Testament – An Exegetical Approach to Isaiah 8:23-9:6 and Its Relevance to the Ministry of Gereja Masehi Injii di Timor (GMIT). thes. (Jakarta: Jakarta Theological Seminary, 2007). 11 These include the theses by Nyoman Murah, The Function of Torah within the Identity of Israel, and Soewardji, The Reformation of Josiah. 12 Singgih, Ex Nihilo Nihil Fit, 35-37. 13 Sumakul, Old Testament Sources on Holy Places in Canaan, 110-155. 14 Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama, 102-103. 15 Soewardji, The Reformation of Josiah, 206-231. 16 Hutapea, The Relevance of the Call and Critique of the Prophets on Social Justice, 85-108. 17 th Ludji, The Socio-Economical Aspects in the Proclamation of the 8 century B.C. Prophets, 385-416. 18 Telnoni, bn-’dm, 262-341. 19 Nara Lulu, Shalom in the Old Testament, 216-252. 20 However, we have an exception in the work of Singgih. The exegetical section of his oration demonstrates his independence in presenting his own view following his critical overview of scholarly discussions: Singgih, Ex Nihilo Nihil Fit, 14-33. 21 Cf. M. Getui, K. Holter & V. Zinkuratire (eds.), Interpreting the Old Testament in Africa: Papers from the International Symposium on Africa and the Old Testament in Nairobi, October 1999 (NY: Peter Lang, 2001), 75-130. Besides using the OT to interpret Africa, some papers of the symposium
166
use the African context to interpret the OT. Thus, for instance, S. Githuku uses African taboos on counting to interpret David’s census (2 Sam 24:110) as a sin (113-8); J. Muutuki uses the Kamba culture of Kenya to interpret OT covenants (125-9). Such an approach has not yet been applied in the works by Indonesian OT scholars we survey here. 22 S.B. Bevans, Models of Contextual Theology, 37-53. 23 Cf. A. Pears, Doing Contextual Theology (London & NY: Routledge, 2010), 24-5. An exception is the work by Ruku which involves a dialogue between scholarly reading and ordinary reading of the Bible as an approach towards offering a contextual theology of honoring one’s parents among Atoni Meto Christians in Timor. In his research, Ruku takes his local context seriously into account by doing extensive field research. His work proposes that both professional and ordinary readers of the Bible can learn from each other. Overall, in Ruku’s works the Atoni Meto culture is respected, valued and evaluated in the light of Christian faith: Ruku, Reading of the Fifth Commandment Contextually (Exodus 20:12), 21-41. 24 One exception might be Singgih’s oration, Ex Nihilo Nihil Fit: Interpretation on Genesis 1:1-3. 25 e Silitonga, The Comprehension of Work (m lāʽkāh) in the Old Testament, 110-111. 26 Sumakul, Old Testament Sources on Holy Places in Canaan, 110-122. 27 Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama, 27. 28 Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama, 102-103. 29 I Nyoman Murah, The Function of Torah within the Identity of Israel, 153154. 30 Soewardji, The Reformation of Josiah, 217-231. 31 Telnoni, bn-’dm, 321ff. 32 Sitompul, Weisheitliche Mahnsprüche und prophetische Mahnrede im Alten Testament, auf dem Hintergrund der Mahnungen im Leben der Tobabatak auf Sumatra. diss. (Mainz: Johannes Gutenberg- Universität Mainz, 1967), 18-26ff. 33 Pohan, All is Vanity? A Research on Semantic Meaning of the Word ‘Hevel’ in the Book of Qohelet in Search of Comprehending the Exact Thought and Teaching of Qohelet. thes. (Jakarta: Jakarta Theological Seminary, 1998), 292-293. 34 Singgih, Hidup di Bawah Bayang-bayang Maut – Sebuah Tafsir Kitab Pengkhotbah (Jakarta: BPK GM, 2001), 90-91, 178, 180.
167
35
Sinulingga Bangun, The Valorous Wife and Personified Wisdom Compared – Prov. 31:10-31; 1:20-33; 8:1-21; 32-36; 9:1-6. diss. (Singapore: SEAGST, 2007), 224-234, 291-293ff. 36 Mawene, Relation between Torah of the Lord and Wisdom Teaching in the Book of Proverbs 1-9. diss. (Yogyakarta: SEAGST, 2007), 242-243.
168
Bagian IV
TEOLOGI POLITIK
A.A. Yewangoe Zakaria Ngelow Julianus Mojau
Deklarasi Barmen dan Maknanya Masa Kini Andreas A. Yewangoe
I. Teks Naskah Deklarasi Pada kunjungan saya ke Jerman, November 2011 lalu, saya diberikan naskah “asli” Deklarasi Barmen (Die Barmer Theologische Erklaerung von 1934). Asli dalam arti copy resmi dari aslinya (Faksimile des Originals). Di dalamnya masih terlihat coretancoretan tangan Karl Barth, salah seorang penandatangan deklarasi tersebut. Misalnya dalam butir 3, aslinya tertulis, “..die christliche Kirche ist die Gemeinde von Suendern..” dicoret oleh Barth dan diganti dengan “..die christliche Kirche ist die Gemeinde von Bruedern..” Selain itu ada juga perbaikan kecil-kecilan, seperti misalnya, der Deutsch Evangelischen Kirche, ditambahkan akhiran en, sehingga menjadi der Deutschen E.K. Deklarasi itu ditandatangani oleh Hans Asmussen (1898-1968), yang pada 1933 diberhentikan sebagai Pendeta (Pastor) di Flesburg dan pada 1934 dipaksa pensiun. Pada tahun 1935 ia menjadi pemimpin Sekolah Tinggi Teologi Gereja Berlin (der Kirchlichen Hochschule Berlin), 1945-1948 menjadi Presiden dari Kirchenkanzlei der EKD, dan pada 1948-1955 menjadi Propst von Kiel (Dean dari Kiel). Penandatangan kedua adalah, Karl Barth (1886-1986), pada waktu itu (1934) Guru Besar Teologi di Bonn, pada 1935-1961, Guru Besar di Basel. Penandatangan ketiga, Joachim Beckmann (1901-1987), pada 1934 Pendeta (Pastor) di Duesseldorf, pada 1958, Praeses (Ketua Gereja) di Rheinland. Penandatangan keempat adalah Eduard Putz (19071990), pada waktu itu (1934) Asisten Konsultan di Dewan Gereja Bavaria di Munich, pada 1935-1954 pendeta di Fuerth, 1954-1972, Dean di Erlangan. Penandatangan kelima adalah Hermanus Obendieck (1894-1954), pada 1934 Pendeta di Jemaat Reformed di Barmen-Gemarker dan Lektor dari SekolahTinggi Teologi di
Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI)
169
Elberfeld, 1945-1954, Guru Besar Sekolah Tinggi Teologi (Kirchlichen Hochschule) di Wuppertal. Konteks historis dideklarasikannya Deklarasi penting ini rasanya sudah banyak ditulis. Pada perayaan 75 tahun Deklarasi Barmen tahun 2009 lalu, Rudolf Weth menyifatkan dokumen ini sebagai “the most significant event in 20th century Protestant history.”1 Di bawah ini dikemukakan secara singkat beberapa hal. Dokumen ini sampai sekarang dilihat sebagai sebuah dokumen penting dan mendasar mengenai iman Kristen. Sampai sekarang juga merupakan bagian penting dari banyak tata-gereja di gereja-gereja Jerman. Dokumen ini secara terang-terangan menolak dominasi Adolf Hitler dan partai Nazinya di Jerman yang menguasai semua bidang, sampai-sampai juga masuk ke dalam gereja. Sebagaimana diketahui di era Hitler sebagai Kanselir Jerman itu, hampir semua orang berkiblat kepadanya. Pengaruh partai Nazi terasa di mana-mana. Orang Jerman yang merasa dirinya sebagai ras terpilih (Aria) juga merasa unggul atas siapa pun (Deutschland Ueber Alles!). Gereja-gereja pun melihat diri mereka sebagai “Orang Kristen Jerman” (Die Deutsch Christenen). Pengaruh partai Nazi yang sangat besar itu bahkan ingin mengubah bukan saja tata gereja, melainkan juga pengakuan iman gereja. Untunglah tidak semua orang berpihak kepada ide absurd Nazi ini. Sekelompok orang Kristen lainnya membentuk yang disebut “Gereja Yang Mengaku” (die bekennde Kirche). Pada akhir dari sidang sinode pertama gereja ini pada 31 Mei 1934, di Barmen dideklarasikanlah deklarasi ini yang belakangan dikenal sebagai “Deklarasi Barmen”. Deklarasi itu ditegaskan sekali lagi pada sidang sinode II yang diselenggarakan pada 19-20 Okober 1934 di Dahlem. Menurut catatan notula, Deklarasi itu disetujui secara unanim, yang artinya tidak ada yang menentang atau abstain. II. Isi Deklarasi Barmen Sebelum menyampaikan enam butir deklarasi, terdahulu Sidang Sinode menegaskan bahwa dasar dari gereja-gereja reformasi di Jerman (der Deutschen Evangelischen Kirche)2 adalah Injil Yesus Kristus, sebagaimana disaksikan di dalam Alkitab, dan diikrarkan dalam Pengakuan gereja reformasi. Penegasan itu disampaikan dalam sidang Sinode yang diselenggarakan pada 29-31 Mei 1934 di 170
Barmen. Sidang Sinode itu dihadiri oleh wakil-wakil dari gereja Lutheran, Reformed, Gereja-gereja Bersatu (United Churches), dan seterusnya. Sesudah penegasan ini, disusul kemudian dengan penyampaian enam butir deklarasi. Setiap butir didahului dengan kutipan-kutipan Alkitab, dengan penjelasan singkat seperlunya. Sesudah itu dinyatakan penolakan terhadap yang disebut ajaran palsu.3 Butir 1 mengutip Yohanes 14: 6 dan Yohanes 10:1,9. “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya siapa yang masuk ke dalam kandang domba dengan tidak melalui pintu, tetapi dengan memanjat tembok, ia adalah seorang pencuri dan seorang perampok.” “Akulah pintu; barang siapa masuk melalui Aku, ia akan selamat dan ia akan masuk dan keluar dan menemukan padang rumput.” Yesus Kristus, sebagaimana Ia menyatakan kepada kita di dalam Kitab Suci, Ialah satu-satunya Firman Allah yang harus kita dengar, percayai dan taati, baik selama kita hidup mau pun sesudah meninggal. Kita menolak ajaran palsu yang seakan-akan gereja dapat dan mau mengakui sebagai sumber pemberitaannya, terlepas, dan di samping dari Firman Allah, demikian juga (kita menolak) peristiwa-peristiwa dan kekuasaan-kekuasaan, tokoh-tokoh dan kebenaran-kebenaran lain, sebagai penyingkapan Allah. Butir 2: “Tetapi oleh Dia kamu berada dalam Kristus Yesus, yang oleh Allah telah menjadi hikmat bagi kita. Ia membenarkan dan menguduskan dan menebus kita.” (I Kor. 1:30). Sebagaimana Yesus Kristus adalah jaminan Allah bagi pengampunan dosa-dosa kita, demikian juga dalam cara dan dengan kesungguhan yang sama ia juga adalah klaim agung Allah atas seluruh hidup kita. Melalui Dia, kepada kita dianugerahkan kebebasan yang menceriakan dari hurufhuruf mati dunia ini guna suatu pelayanan yang bebas dan penuh syukur kepada ciptaan-Nya. Kita menolak ajaran palsu, seakan-akan ada wilayah di dalam kehidupan kita yang bukan milik Yesus Kristus, melainkan wilayah tuan-tuan lain di mana kita tidak membutuhkan pembenaran dan pengudusan melalui Dia. 171
Butir 3: “Tetapi dengan berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala. Dari pada-Nyalah seluruh tubuh,-yang rapi tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya….” (Ef.4:15,16). Gereja Kristen adalah jemaat dari saudara-saudara yang di dalamnya Yesus Kristus bertindak pada saat ini sebagai Tuhan di dalam Firman dan Sakramen melalui Roh Kudus. Sebagai gereja yang terdiri dari orang-orang berdosa yang diampuni, ia harus menyatakan kepada dunia yang berdosa ini, dengan iman dan ketaatannya, dengan beritanya demikian juga dengan tata/aturannya, bahwa ia [gereja] hanyalah semata-mata milik-Nya, dan mau hidup dari penghiburan-Nya serta pembinaan-Nya sambil menanti-nantikan kedatangan Tuhan Kita menolak ajaran palsu, seakan-akan gereja diizinkan untuk meninggalkan bentuk pemberitaan dan aturan-aturannya guna kenikmatannya sendiri dan mengubahnya melalui perubahanperubahan dengan memberlakukan keyakinan-keyakinan ideologis dan politik. Butir 4: “Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu..” (Mat. 20:25,26). Berbagai jabatan dalam gereja tidaklah dimaksudkan bagi terjadinya penguasaan yang satu terhadap yang lainnya; sebaliknya, mereka ada untuk menjalankan pelayanan yang dipercayakan dan diperintahkan kepada seluruh jemaat. Kita menolak ajaran palsu, seakan-akan gereja, terlepas dari pelayanan ini, dapat dan diizinkan memberikan dirinya sendiri, atau diizinkan untuk diberikan kepadanya, pemimpin-pemimpin khusus dengan kuasa yang memerintah. Butir 5: “Hormatilah semua orang, kasihilah saudara-saudaramu, takutlah akan Allah, hormatilah raja.” (I Ptr.2:17).
172
Alkitab memberitahukan kepada kita bahwa, di dalam dunia yang belum ditebus di mana gereja juga ada, oleh penunjukan ilahi, negara mempunyai tugas untuk menghadirkan keadilan dan perdamaian. [Ia memenuhi tugas ini] dengan cara-cara ancaman dan menerapkan kekuatan, sesuai dengan ukuran pengadilan dan kesanggupan manusia. Gereja mengakui manfaat dari penunjukan ilahi ini di dalam ucapan syukur dan ketakziman di hadapan-Nya. Ini mengingatkan kepada Kerajaan Allah, perintah dan keadilan Allah, dan karena itu tanggungjawab diminta baik dari pemerintah mau pun yang diperintah. Ia memercayai dan menaati kuasa Firman yang dengannya Allah memelihara segala sesuatu. Kita menolak ajaran palsu, seakan-akan negara, melampaui dan di atas tugas-tugas/kewajiban-kewajiban akan dan dapat menjadi satusatunya aturan yang [bersifat] totalitarian dari kehidupan manusia, dan dengan demikian juga menggenapi tugas/pelayanan gereja. Kita menolak ajaran palsu, seakan-akan gereja, melampaui dan di atas tugas-tugasnya yang khusus, akan dan dapat melayakkan watak, tugas, dan martabat negara, dan, sebagai demikian ia [gereja] dengan sendirinya juga menjadi organ negara. Butir 6: “Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (Mt.28”20) … “tetapi Firman Allah tidak terbelenggu..” ( 2 Tim.2:9). Tugas gereja, yang di atasnya kemerdekaannya didasarkan, terdiri dari menyampaikan amanat tentang anugerah bebas dari Allah kepada semua orang sebagai wakil Kristus, dan dengan melayani Firman dan karya Kristus sendiri melalui pemberitaan dan sakramen (baptisan dan perjamuan kudus). Kita menolak ajaran palsu, seakan-akan gereja di dalam kesombongan manusiawinya dapat menempatkan Firman dan karya Tuhan di dalam pelayanan dari suatu kehendak, maksud-maksud, dan rencana-rencana yang dipilih secara sewenang-wenang. III. Makna Deklarasi Barmen Masa Kini Pertanyaan penting yang patut diajukan adalah, masihkah Deklarasi ini bermakna bagi gereja-gereja masa kini, baik dalam perjumpaan di antara sesama (gereja) sendiri, dengan kaum Yahudi dan dalam relasinya dengan negara. Pertanyaan ini pertama-tama diajukan 173
kepada gereja-gereja di Jerman, dan sesudah itu kita juga berusaha mencari maknanya bagi gereja-gereja di Indonesia. Bagi gerejagereja di Jerman, pertanyaan ini relevan. Sebagaimana kita ketahui, dewasa ini Jerman (dan Eropa pada umumnya) sedang dilanda oleh proses sekularisasi yang cukup deras. Ini menyebabkan pengaruh gereja makin lama makin mengecil. Relasi di antara gereja-gereja memang terlihat mengalami kemajuan, tetapi tidak sedikit pula kendala-kendala yang dihadapi. Khususnya dengan Gereja Katolik Roma, setelah diterbitkannya Surat Edaran “Dominus Jesus” (2000) oleh Vatikan di mana gereja-gereja Reformasi cenderung tidak diakui sebagai “gereja saudara” (sister churches), memang ikut memengaruhi hubungan itu. Di bidang politik, mungkin sekali nilai-nilai kristiani secara subtil masih terasa, tetapi tentu saja tidak lagi dirumuskan secara eksplisit. Maka pantaslah juga kita berbicara mengenai kurangnya pengaruh gereja di bidang politik. Paus Benediktus XVI berkali-kali menyerukan Eropa kembali kepada nlai-nilai “asli” yang pernah membesarkannya. Nilai-nilai yang dmaksudkannya adalah nilai-nilai kristiani. Dalam perkunjungannya ke Jerman tahun lalu (2011), kembali ia menyerukan agar masyarakat Jerman menemukan kembali nilai-nilai yang selama ini terkesan ditinggalkan. Jadi masihkah “Barmen” mempunyai makna masa kini? Rudolf Weth, yang sudah kita kutip di atas secara meyakinkan menjawab, bahwa bahkan sesudah 75 tahun4 deklarasi ini masih bisa berfungsi sebagai sebuah pengakuan yang mempersatukan dan membebaskan bagi umat Kristen secara keseluruhan.5 Dengan mengutip ucapan Karl Barth, “Barmen” adalah panggilan untuk terus maju6, Weth mencatat beberapa hal yang patut diperhatikan oleh gereja-gereja, bukan saja di Jerman tetapi juga di seluruh dunia. Bagi EKD7, Deklarasi ini bermanfaat guna memperbaharui kembali Konstitusinya. Dalam Konstitusi EKD tahun 1992 secara jelas dirujuk “Deklarasi Barmen” dalam Artikel 1 para 3 yang didahului oleh paragraf 2 yang terkesan anggun: “ Persekutuan-persekutuan gerejawi sebagaimana didefenisikan di dalam Persetujuan Gerejagereja Reformasi di Eropa (Persetujuan Leunberg) berada di antara gereja-gereja anggota. Gereja Reformasi di Jerman dengan demikian mendorong gereja-gereja anggotanya untuk bertumbuh bersama di 174
dalam kesaksian dan pelayanan Kristen bersama sesuai dengan penugasan yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan Yesus Kristus.” Dengan rumusan ini, kata Weth, jelas “Barmen” memberi sumbangan berharga bagi berbagai upaya kesatuan gereja-gereja. Kesatuan gereja-gereja yang dimaksud bukan saja di antara gerejagereja dengan latar belakang reformasi, melainkan juga dengan Gereja Katolik Roma. Yang terakhir ini perlu disinggung, karena, sebagaimana telah disinyalir di atas, baru saja Vatikan mengeluarkan dokumen “Dominus Jesus” yang cenderung menolak mengakui gereja-gereja Protestan sebagai “gereja-gereja saudara” (sister churches). Terhadap penolakan itu EKD dengan segala daya dan ketekunan menegaskan: “Kami [adalah] Protestan dan ekumenis.”8 Maka EKD didorong untuk terus memelopori gerakan oikumene di dalam negerinya sendiri. “Barmen” itu juga dilihat sebagai sebuah pembelaan bagi dilaksanakannya terus dialog dengan Gereja Katolik Roma. Dialog itu mesti dilanjutkan “on the basis of binding reassurance about what has already been achieved.”9 Deklarasi Barmen juga secara benar mengacu kepada “semangat baru di dalam dialog oikumenis”, dengan kesadaran bahwa orang-orang Kristen dari berbagai tradisi konfesional kekristenan yang berbeda-beda diikat bersama di dalam iman. Semangat baru itu, demikian ditegaskan tetap hidup pada saat ini. Bagaimanakah secara praktis deklarasi itu diangkat dalam aksi bersama di antara gereja-gereja, khususnya dengan Gereja Katolik Roma? Weth mencatat “Barmen” Butir 6, yang dilihat sebagai inspirasi bagaimana secara bersama-sama menghadapi Jerman dan Eropa yang makin terperosok ke dalam proses sekularisasi. Diacu di situ, The Apostolic Exhortation dari Paus Paulus VI berjudul, Evangelii nuntiandi (1974) yang mengingatkan kembali kepada Deklarasi Barmen mengenai pokok yang sama. Mengenai dokumen “Dominus Jesus” yang menekankan kepada Pertuanan Yesus, dilihat sebagai yang mempunyai kaitan erat dengan “Barmen” butir 1 (“Yesus Kristus sebagaimana disaksikan oleh Alkitab, adalah satu-satunya Firman Allah….”) Sejarah interpretasi dari “Barmen” butir 1, menurut Weth memperlihatkan banyak katakata kunci yang menarik dalam dialog Reformasi-Katolik: pemahaman akan Sola Scriptura dan resistensi kaum 175
fundamentalisme, hal kesentralan Kristus dan ajaran mengenai Trinitas, pemahaman mengenai Penyataan, eksklusivisme dan inklusivisme dalam kaitan dengan “Israel”, dan juga dalam dialog dengan “iman yang lain”, khususnya Islam. Dalam kaitan itu muncul juga pertanyaan-pertanyaan krusial dalam dialog Kristen-Katolik: Bagaimanakah Kristologi dan ekklesiologi terkait satu sama lain? Bagaimanakah keunikan dan keuniversalan keselamatan diacukan dalam satu nafas kepada Kristus dan kepada “gereja” –sebagaimana nampak dalam sub-judul “Dominus Jesus”– Hanya Yesus Kristus saja Tuhan. Adakah acuan-acuan terhadap Yesus diteruskan kepada gereja, pelayanannya dan para pejabatnya? Demikianlah sejumlah kemungkinan dan pertanyaan dalam kaitan dengan relasi di antara gereja-gereja, di mana “Barmen” dilihat sebagai yang masih mampu memberikan makna. Dalam kaitan dengan kaum Yahudi, Walter Lang menulis sebuah artikel berjudul, “The Importance of the Barmen Declaration for the Congregation in Wuppertal-Barmen Today”10 Secara khusus disoroti di sini relasi jemaat Gemarker dengan Sinagoge Bergish yang bertetangga. Kedua gedung ibadah ini berada dalam satu halaman, sehingga lagu-lagu dan puji-pujian dari kedua komunitas bertetangga itu dengan mudahnya didengarkan oleh keduanya. Gemarker juga adalah tempat di mana deklarasi itu ditandatangani. Yang menarik, bahwa dalam Deklarasi itu tidak ada satu katapun yang secara khusus mengacu kepada penderitaan yang dialami kaum Yahudi selama masa pemerintahan Hitler itu. Karl Barth, salah seorang penanda tangan Deklarasi itu belakangan mengaku, itulah dosa karena persoalan Yahudi tidak diambil sebagai isu yang menentukan bagi perjuangan gereja (Kirchenkampf), atau setidaktidaknya tidak mengatakan hal itu secara terbuka.11 Eberhard Bethge mengakui, itulah “the missing thesis” di dalam Deklarasi Barmen. 12 Walaupun demikian, “Barmen” bisa merupakan dasar bagi: ”keberanian untuk masuk ke dalam perjumpaan dengan Yahudi”. Itulah suatu akta perjumpaan (an act of encounter) pada pihak mereka yang dipanggil oleh Kristus sebagai pewaris “Barmen 1934”, dengan mereka yang dikonfrontasikan dan kepada siapa kita memikul beban kesalahan yang berat. Suatu akta perjumpaan antara 176
mereka yang secara menyedihkan terbagi-bagi dalam pertengkaran mengenai Perintah Pertama, tetapi mereka yang, bahkan diikat bersama oleh pemberian dan tugas dari perintah itu, dan mau untuk tetap seperti itu, atau sekali lagi menjadi seperti itu.13 Apa yang dimaksud dengan perjumpaan tersebut? Seorang penatua perempuan dari Jemaat Gemarker mengatakan: “Di Wuppertal kami hidup dalam perumahan yang sama dengan tetangga Yahudi kami.” Alhasil, tentu saja terjadi kontak antar-tetangga, di mana pada setiap pagi sama-sama mengucapkan “Shalom” dan seterusnya. Menghirup suasana kehidupan umat Yahudi berlangsung di sekitar gereja Gemarker. Pada akhirnya orang menjadi biasa dengan kehidupan Yahudi. Tetapi perjumpaan juga mencakupi kebersamaan di dalam perayaan. Dalam kehidupan sehari-hari, orang Kristen menyadari adanya masa-masa raya dan perayaan-perayaan tetangga Yahudi. Bahkan setiap orang diundang berbakti di dalam Sinagoge. Orang Kristen pun menghadiri kebaktian-kebaktian di dalam Sinagoge tersebut pada Jumat malam guna menyambut Sabat. Itu juga berarti, bahwa dalam perjumpaan itu mau tidak mau ikut dibahas juga berbagai kebijakan negara Israel masa kini dalam kaitannya dengan Palestina. Tidak semua orang Yahudi sepakat dengan kebijakan Negara Israel tersebut. Banyak juga yang sangat bersifat kritis. Tetapi dalam kaitan dengan Yesus, tetap ada perbedaan pandangan. Tetangga Yahudi berkata: “Anda, orang-orang Kristen percaya bahwa Mesias telah datang dalam pribadi Yesus Kristus. Kami, orang Yahudi yakin bahwa Mesias masih akan datang, dan bila Ia tiba, kita akan melihat siapa yang benar di antara kita.” Kendati perbedaan-perbedaan ini, terlihat bahwa berbagai pendekatan dilakukan. Dalam pandangan Lang, “Barmen” memberikan sumbangan dalam percakapan-percakapan itu. Adakah makna “Barmen” bagi dunia? Menurut Weth, ada. Ia mengacu kepada butir-butir 2 dan 5 dari Deklarasi tersebut. Kedua butir ini memperlihatkan, bahwa “Barmen” memang menyumbang bagi adanya petunjuk di dalam menangani berbagai pertanyaan mendasar yang memengaruhi kehidupan kita masa kini, seperti perdamaian, keadilan dan keutuhan ciptaan. Pengaruhnya juga bisa 177
dirasakan dalam merumuskan kembali kesaksian gereja di dalam masyarakat yang makin lama makin majemuk sekarang ini. Menarik juga bahwa kedua orang ini tidak secara spesifik membahas mengenai makna “Barmen” dalam hubungan dengan negara. Kita tidak tahu alasannya. Mungkin dianggap taken for granted, bahwa gereja dan negara pada saat ini di Jerman dipandang sebagai dua entitas yang terpisah (de scheiding van kerk en staat). Butir 5 misalnya, sangat jelas merumuskan penolakan gereja terhadap negara yang berpretensi seakan-akan ia dapat memasuki seluruh bidang kehidupan manusia. Demikian juga penolakan terhadap kecenderungan gereja yang mau diperalat oleh negara. Di era Hitler itu memang jelas sekali bagaimana partainya mempergunakan gereja guna mencapai tujuannya. Emosi umat, bahwa orang Yahudi bertanggungjawab atas kematian Yesus dieksploitasi habis-habisan guna memperkuat alasan memusnahkan orang-orang Yahudi. Kita teringat akan Endloesung Programm, di mana penyelesaian terakhir terhadap kaum Yahudi adalah pemusnahan total. Holocaust sekarang ini telah menjadi sejarah. Bahaya yang dihadapi gereja adalah, apabila ia tidak mampu mengambil jarak terhadap kekuasaan, maka dengan sangat mudah diperalat. Itulah sumbangan “Barmen” terhadap pemakaian kekuasaan yang layak bagi kemanusiaan. IV. “Barmen” Dan Gereja-gereja di Indonesia Adakah pengaruh “Barmen” bagi gereja-gereja di Indonesia? Kendati tidak secara langsung, saya yakin pasti “roh” Barmen ikut memengaruhi berbagai pemahaman dan rumusan pengakuan iman dan sikap gereja-gereja di Indonesia. Mungkin saja nama “Barmen” tidak dikenal luas, tetapi jiwa deklarasi itu bisa dengan mudah dilihat. Marilah kita menyimak rumusan tentang “Gereja” dalam dokumen “Pemahaman Bersama Iman Kristen” (PBIK).14 Dalam bagian itu ditegaskan bahwa Roh Kuduslah yang menghimpun umatNya dari segala bangsa, suku, kaum, dan bahasa, ke dalam suatu persekutuan yaitu gereja, yang di dalamnya Kristus adalah Tuhan dan Kepala (Ef.4:3-16) (par.18). Dari rumusan ini saja sudah jelas penolakan terhadap faham yang mengidentikkan gereja dengan bangsa dan suku tertentu, lebih-lebih lagi guna melegitimasi keunggulan bangsa dan suku tersebut sebagaimana dilakukan oleh “Orang Kristen Jerman” (die Deutsche Christen). Maka sumber 178
pemberitaan gereja, bukanlah dirinya sendiri, melainkan Allah. Dokumen PBIK itu selanjutnya menegaskan, bahwa “Roh Kuduslah yang telah memberi kuasa kepada gereja dan mengutusnya ke dalam dunia untuk menjadi saksi, memberitakan Injil Kerajaan Allah, kepada segala makhluk di semua tempat dan di sepanjang masa.” Maka penolakan terhadap ajaran sesat sebagaimana dirumuskan dalam butir 1 “Barmen”, adalah juga penolakan dari gereja-gereja di Indonesia. Dalam paragraf 19 PBIK dijelaskan dengan sangat terang peranan gereja yang ada di tengah-tengah dunia ini sebagai arakarakan umat Allah, yang terus bergerak menuju kepenuhan hidup di dalam Kerajaan Allah (Flp.3:12-14). Gereja-gereja di Indonesia sedari mula menyadari, bahwa gerakan oikumenis bukanlah sekadar sebuah gerakan guna memenuhi tujuan-tujuan praktis, melainkan secara substansial mau memenuhi tuntutan kepenuhan hidup di dalam Kerajaan Allah. Keprihatinan dari gereja-gereja di Jerman sekarang ini bagi terwujudnya keesaan gereja, sebagaimana digambarkan di atas, secara sangat jelas pula dikemukakan dalam paragraf ini sebagai arak-arakan bersama. Artinya tidak ada gereja yang mengklaim dirinya sebagai lebih hebat dari gereja lainnya. Lebih-lebih lagi kecenderungan surat edaran “Dominus Jesus” yang enggan mengakui gereja-gereja reformasi sebagai “gereja saudara” tidak dirasakan dalam Dokumen Keesaan Gereja ini. Dalam kaitan dengan relasi terhadap negara, gereja-gereja di Indonesia sepakat dengan “Barmen” yang memahami negara sebagai lembaga yang ditunjuk dan dipercayakan Tuhan untuk menyelenggarakan keadilan dan perdamaian sebagaimana dirumuskan dalam butir 5. PBIK paragraf 21 menegaskan pengakuan gereja kepada negara sebagai alat dalam tangan Tuhan yang bertujuan untuk mengemban fungsi dan otoritas untuk menyejahterakan manusia dan memelihara ciptaan Allah. Maka karena itu gereja dan negara harus bahu-membahu dalam mengusahakan penegakan keadilan dan mengusahakan kesejahteraan seluruh rakyat serta keutuhan ciptaan. Dokumen PBIK ini juga dengan tegas menyatakan, bahwa gereja adalah otonom. Artinya gereja mengemban fungsi dan otoritas yang bebas dari pengaruh negara. Sebaliknya gereja tidak berhak mengatur kehidupan negara oleh karena negara mempunyai fungsi tersendiri 179
dalam menjalankan panggilannya di dunia (Rm.13:16-17; 1 Ptr. 2:13-14). Dalam hal ini dokumen PBIK ini sepakat dengan penolakan “Barmen” terhadap ajaran sesat yang melihat seolah-olah negara boleh saja memasuki segala bidang kehidupan secara totalitarian, di mana tugas-tugas gereja dikerjakan juga oleh negara. Demikian juga gereja-gereja di Indonesia sepakat dengan penolakan “Barmen” terhadap pengidentikkan fungsi-fungsi gereja dengan negara, sebagaimana ditegaskan dalam butir 5. Selanjutnya dokumen PBIK menegaskan, bahwa gereja dan negara masing-masing mempunyai tugas panggilannya yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab untuk kebaikan seluruh manusia bahkan seluruh ciptaan. Pemahaman tentang relasi gereja dan negara ini digemakan kembali dalam dokumen “Pokok-Pokok Tugas Panggilan Bersama” (PTPB).15 Umat Tuhan difahami sebagai yang ditempatkan Tuhan di bumi, dan secara khusus di dalam sebuah masyarakat dan/atau negara untuk hidup bersama dan bergaul dengan sesama warga masyarakat/warganegara. Maka kepada umat Tuhan diserukan untuk berdoa bagi ”kota” dan ikut mengusahakan kesejahteraan umat Tuhan (Yer.29:7) (par.99). Tentang ideologi Pancasila, dokumen PTPB memahaminya sebagai anugerah Tuhan kepada bangsa Indonesia yang di atasnya negara dan bangsa Indonesia didirikan. Sebagai demikian, ideologi Pancasila tidak boleh didewa-dewakan seperti dalam kasus Jerman Hitler yang mendewa-dewakan ideologi Nazisme. Demikianlah beberapa cuplikan dari dokumen-dokumen keesaan gereja di Indonesia yang sedikit-banyaknya dipengaruhi atau setidak-tidaknya sama dengan “Barmen”. Dalam Konsultasi Teologi PGI yang diselenggarakan dalam akhir Oktober hingga permulaan November 2011 lalu, ada juga ide untuk merumuskan semacam Status Confessionis setelah mempertimbangkan berbagai persoalan yang dihadapi bangsa, negara dan gereja-gereja kita dewasa ini. Khususnya dalam relasi gereja dan negara, yang secara kasat-mata tidak terlalu menguntungkan seperti misalnya terungkap dalam penutupan gedung-gedung ibadah di mana-mana, dan perbuatan korupsi yang makin merajalela, maka pentingnya Status Confessionis itu makin 180
dirasakan. Konsultasi itu belum berhasil merumuskan Status Confessionis dimaksud. Tetapi dalam Sidang Majelis Lengkap Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (MPL-PGI) yang diselenggarakan di Melanguane, Talaud, akhir Januari 2012 lalu, berhasil dirumuskan “Pernyataan Perang Gereja Terhadap Korupsi”. Dalam dokumen itu tegas dikatakan, bahwa korupsi adalah dosa yang tidak mungkin ditolerir oleh gereja. Maka adalah panggilan umat Kristen (warga gereja) untuk meyatakan perang terhadapnya. Dalam “Pesan Paskah PGI” tahun 2012 dengan sengaja perang terhadap korupsi itu ditegaskan sekali lagi. Justru dalam kaitan dengan Paskah yang merupakan ”pengakuan”Allah terhadap kehidupan, maka semua yang menghalangi kehidupan harus ditolak. Dalam pandangan gereja, korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) adalah kejahatan terhadap kehidupan. Maka penolakan terhadap korupsi adalah keharusan, bahkan panggilan. Pernyataan gereja-gereja di Indonesia itu mungkin belum sama persis dengan Deklarasi Barmen dalam intensitasnya. Namun demikian, gereja-gereja di Indonesia bertekad untuk hidup, bercerita dan bersaksi sebagai gereja, apapun konsekuensinya di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang sedang berubah cepat ini. V. Penutup Tulisan ini dibuat sebagai penghormatan terhadap Prof. Dr. Gerrit Singgih. Beliau adalah seorang teolog Indonesia yang terkemuka, yang pikiran-pikirannya, langsung atau tidak langsung ikut memengaruhi kehidupan dan sikap gereja-gereja dan warga gereja di Indonesia di dalam menghayati imannya dan berinteraksi dengan dunia sekitarnya. Bertahun-tahun ia berkutat di dunia pendidikan teologi, suatu tempat paling strategis mempersiapkan para pemimpin gereja-gereja masa depan. Maka melalui tulisan ini saya menyampaikan ucapan “Selamat!” kepada Pak Gerrit Singgih. Kita tetap mengharapkan pemikiran-pemikiran beliau di masa-masa mendatang ini. Tuhan memberkati!
181
Endnote 1
Rudolf Weth, “The Barmen Theological Declaration-a Christian Confession of Faith for the New Ecumenical Century”, dalam The Ecumenical Review, WCC, July 2009 2 Di Jerman, yang disebut “Evangelische Kirche” adalah gereja-gereja reformasi, guna membedakannya dengan Gereja Katolik Roma. Bukan “evangelical” sebagai sebuah aliran gereja yang berasal dari Amerika Serikat. Guna mengacu kepada yang terakhir ini, dipakai istilah “Evangelikal”. 3 Butir-butir ini dikutip langsung dari naskah “asli” tersebut, Die Barmer Theologische Erklaerung von 1934, Faksimile des Originals im Landeskirchlichen Archiv Bielefeld, Evangelische Kirche von Westfalen, Bielefeld, 2001. Penjelasan mengenai Deklarasi Barmen ini bisa juga dibaca dalam Diarmaid MacCulloch, A History of Christianity, The First Three Thousand Years, (Penguin Book, Great Britain,2009), pp. 943 ff. 4 Artikel itu ditulis pada 2009. 5 Weth, op.cit., h. 192 6 Kutipan itu diambil Weth dari Barth, “Barmen”, dalam Rohkraemer (2004), h. 172 7 Evangelische Kirche in Deutschland, persekutuan gereja-gereja reformasi terbesar di Jerman. 8 Dikutip dari EKD Statement, “Eins in Christus, Kirchen unterwegs zu mehr Gemeinschaft”, hlm. 26; Weth, op.cit., p.194. Ketika saya menghadiri Sidang Sinode EKD von Westfalen di Bielfeld dalam bulan November 2011 lalu, suasanan itu sangat terasa dalam Pidato Praeses Buss. Sidang Sinode itu juga dihadiri oleh Uskup setempat yang mewakili Gereja Katolik Roma di Jerman. 9 Wet, op.cit h.197 10 Dalam, The Ecumenical Review, July 2009, h. 203-212. 11 Ibid, h. 204 12 Walter Lang mengutip di sini Eberhard Bethge (1986), “Barmen und die Juden-eine nicht gechriebene These?” Dalam H.-U.Stephan (ed.), Das eine Wort fuer alle, Barmen 1934-1984: Eine Dokumentation, Neukirchen Vluyn, Neukirchener, pp. 114-133, hlm. 115. 13 Bethge, op.cit. h. 133 14 PGI, Dokumen Keesaan Gereja Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (2009-2014),( Jakarta, 2010), h. 112-117. 15 DKG, ibid, h. 87-88.
182
Dari Pendeta Caleg sampai Roma 13: Beberapa Catatan mengenai Partisipasi Politik Kristen di Indonesia Zakaria J. Ngelow*
Pada Pemilihan Umum (Pemilu) legislatif di Indonesia cukup banyak pendeta dari berbagai gereja yang ikut menjadi calon legislator (caleg) untuk tingkat pusat (DPR RI) atau provinsi (DPRD I) atau kabupaten (DPRD II), dan juga calon DPD (Dewan Perwakilan Daerah) dari berbagai provinsi. Mereka itu berjuang melalui berbagai partai politik, termasuk dua partai politik Kristen, Partai Damai Sejahtera (PDS) dan Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI). PKDI adalah gabungan dari sejumlah partai politik Kristen. Dari hasil-hasil yang dibeberkan di media massa, mulai jelas bahwa mereka tidak mendapat dukungan kuat dari masyarakat (Kristen). Namun, terlepas dari berhasil atau gagal, fenomena banyaknya pendeta yang terjun ke dunia politik perlu dicermati oleh para pimpinan gereja sebagi bagian dari kewajiban membaca tanda-tanda zaman. Keikutsertaan para pendeta dalam percaturan politik kekuasaan (sering disebut ”politik praktis”) ditanggapi berbeda oleh gerejagereja. Ada gereja yang sama sekali menutup pintu bagi para pendetanya untuk bergiat dalam politik; kalau memilih berpolitik, harus berhenti jadi pendeta. Ada pula yang lebih lunak: Pendeta yang ikut menjadi caleg harus cuti terlebih dulu; kalau berhasil, baru diberhentikan dari jabatan sebagai pendeta, tetapi kalau tidak berhasil, kembali sebagai pelayan gereja. Ada pula gereja yang ”mengutus” para pendeta sebagai caleg untuk pelayanan di bidang politik. Dalam sejarah partai politik di Indonesia memang sejak semula para pendeta turut dalam percaturan politik. Pdt. B. Probowinoto mendirikan Partai Kristen Indonesia (Parkindo) pada tahun 1945. Selain alasan umum bahwa politik adalah bidang *
Doktor Sejarah Gereja, anggota Majelis Pengerja Harian PGI 183
pelayanan gereja, berbagai alasan diajukan oleh para pendeta yang berpolitik, misalnya kebutuhan partisipasi yang terkait dengan kelangkaan sumber daya manusia setempat, dan hanya pendeta yang agak memenuhi syarat masuk dalam percaturan politik kekuasaan setempat. Memang ada caleg yang dengan terus terang membandingkan jaminan hidup dalam gereja yang kecil dengan besarnya gaji dan penghasilan seorang anggota dewan. Di sini dapat diajukan beberapa pertimbangan mengenai keterlibatan pendeta dalam politik kekuasaan. Pertama, politik kekuasaan terkait dengan suatu partai politik, yang mempunyai kewenangan mengatur anggotanya, baik dalam kebijakan praktis maupun prinsip-prinsip ideologis. Oleh sebab itu, sebaiknya pendeta yang bergiat di bidang politik itu secara penuh meninggalkan status kependetaannya dalam arti tidak lagi berada di bawah pengaturan gereja, supaya dia tidak mengabdi kepada dua tuan (Mat. 6:24). Bersama dengan itu, ia juga menanggalkan semua atribut dan simbol-simbol kependetaan, yakni gelar dan pakaian pendeta. Spirit kependetaan sebagai hamba Allah yang melayani dan memperjuangkan keadilan akan tetap melekat dalam pelayanan politiknya sebagai seorang Kristen.1 Prinsip-Prinsip Pelayanan Politik Penolakan pendeta aktif dalam politik kekuasaan bukan penolakan kepada keterlibatan gereja dalam aktivitas politik. Gereja wajib mendampingi warga jemaat dalam memahami dan menentukan pilihan politik yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, gereja tidak dapat mengikatkan dirinya pada salah satu partai politik. Akan tetapi, gereja perlu melakukan pembinaan di kalangan warga gereja untuk dapat bergiat dalam politik kekuasaan dengan visi atau prinsipprinsip Kristen. Maka, gereja juga perlu mengembangkan prinsipprinsip teologis pelayanannya di bidang politik. Berikut suatu contoh.2 Beberapa prinsip: ● Fungsi negara sebagai kelembagaan politik adalah wujud pemeliharaan Allah; karena itu, pemerintah bertanggung jawab menegakkan keadilan (dengan membela yang lemah), mewujudkan kesejahteraan, dan menjaga perdamaian. Dalam hal itulah 184
pemerintah diakui sebagai hamba Allah (Rm. 13); namun, jika sebaliknya, pemerintah sewenang-wenang, menindas dan tidak menegakkan keadilan, maka pemerintah adalah anti-Kristus (Why. 13). Dalam hal ini hubungan negara dan gereja adalah kemitraan yang setara di hadapan Allah. ● Karena manusia adalah gambar dan rupa Allah (Kej. 1:26 dyb.), maka Gereja menentang setiap bentuk diskriminasi dalam masyarakat (ras, gender, sosial, dan sebagainya). ● Sebagaimana para nabi (Natan, Hosea, Amos, Yesaya, dan lainlain), Gereja berkewajiban menyatakan suara kenabian (protes) terhadap pemerintah jika pemerintah mengabaikan tanggung jawabnya terhadap semua unsur masyarakat, bukan hanya terhadap orang Kristen. ● Pengajaran Tuhan Yesus mengenai, "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah." (Mat. 22:21; Mrk. 12: 17; Luk. 20:25) bermakna ketaatan kepada Allah mendahului ketaatan kepada pemerintah (bnd. Kis. 5:29, ”Kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia.”) ● Sesuai tugasnya untuk menampakkan tanda-tanda Kerajaan Allah, Gereja wajib (ikut serta) menegakkan keadilan, mengupayakan kesejahteraan, dan menjaga perdamaian, serta memelihara kelestarian lingkungan alam. Dalam kaitan itu, Gereja menolak semua bentuk penggunaan kekerasan. ● Gereja dipanggil dan diutus untuk menyatakan Injil Kerajaan Allah kepada semua orang. Oleh karena itu, pelayanan politik gereja tertuju pada semua orang, tidak eksklusif untuk kalangan warga gereja. Dalam hal ini ”politik gereja” adalah semua upaya gereja mewujudkan keadilan, kesejahteraan, dan perdamaian bagi semua ciptaan. Bentuk-bentuk penerapan praktis: ● Menyatakan suara kenabian kepada penguasa yang tidak menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya. Tentu saja dalam hal ini cara/bentuk penyampaian dilakukan dengan cara yang tidak melanggar baik etika Kristen maupun hukum yang berlaku. Wujud kenabian yang sering berperan dalam politik demokratis adalah 185
advokasi, baik advokasi kebijakan, advokasi anggaran, maupun advokasi tentang kasus-kasus masalah sosial tertentu. ● Menyampaikan amanat penggembalaan (surat pastoral) kepada warga jemaat menyangkut kenyataan atau kegiatan politik tertentu. ● Pendidikan politik: membina warga jemaat dalam berbagai aspek politik sehingga warga jemaat dapat berpartisipasi dengan benar dalam perkembangan politik; terutama perhatian pada pembinaan pemuda/mahasiswa Kristen, khususnya kepemimpinan, etika, dan wawasan sosial Kristen. Penting untuk menanamkan nilai-nilai utama kader Kristen: menjunjung keadilan, jujur, berkomitmen, berani berkorban, menjunjung kesetaraan, cinta damai (anti kekerasan), peduli lingkungan, dan sebagainya. ● Mendorong jemaat-jemaat untuk mengembangkan hubungan dan kerja sama sosial yang baik dengan masyarakat non-Kristen dalam lingkungan masing-masing. Dialog dalam berbagai bentuk dan tingkatan dengan semua pihak perlu diupayakan. Dalam kaitan itu perlu pula mengembangkan informasi yang lengkap mengenai berbagai perkembangan baik pada lingkup lokal, nasional, maupun global. ● Gereja perlu memanfaatkan lembaga-lembaga pelayanan sosial dalam lingkungannya untuk mengembangkan jaringan kerja sama dengan semua pihak demi kesejahteraan bersama. ● Warga gereja mempunyai hak dan kebebasan untuk aktif dalam partai politik. Akan tetapi, Gereja tidak boleh memihak salah satu partai politik (termasuk partai politik Kristen) atau mendukung calon-calon legislatif (termasuk warga gereja) yang diajukan partai politik mana pun dalam pemilihan umum. Gereja juga tidak mencari perwakilan khusus seperti pada masa Orde Baru; dalam sebuah demokrasi yang pluralistis prinsip perwakilan mencakup semua warga dalam suatu daerah pemilihan, bukan berdasarkan agama atau etnisitas. ● Gereja wajib memberi penyuluhan mengenai politik dan partai politik; tetapi gedung Gereja dan pertemuan ibadah gerejawi tidak boleh menjadi sarana kampanye suatu partai politik atau (para) calon legislatifnya. ● Gereja menolak money politics dan semua bentuk kecurangan dalam percaturan politik. Gereja tidak boleh menerima sumbangan 186
dari suatu partai politik atau calonnya jika merupakan cara halus ”membeli suara” warga gereja. Politik Tanpa Partai? Dewasa ini sering pula muncul wacana politik ”kepentingan Kristen” atau ”kepentingan Gereja” yang dikampanyekan para aktivis politik Kristen. Wacana ini perlu ditanggapi secara kritis. Pertama-tama, pelayanan politik gereja bukan untuk memperjuangkan ”kepentingan Kristen”, melainkan pelayanan untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Kalau ada kepentingan Kristen, itu adalah keadilan dan kesejahteraan bagi semua orang, yang terjalin dengan kepentingan bersama seluruh warga masyarakat. ”Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu” (Yer 29: 7). Yang kedua, dalam konteks kenyataan jumlah minoritas umat Kristen Indonesia, pelayanan Kristen di bidang politik tidak tepat dilakukan dengan strategi minoritas memperjuangkan kepentingan minoritas. Sebab, sekalipun semua orang Kristen mendukung partai politik Kristen, jelas tidak akan mampu membereskan persoalan-persoalan seperti halangan dalam pembangunan gedung gereja, konflik antar komunitas, jaminan kebebasan penginjilan, dan sebagainya. Kepentingan keadilan, kesejahteraan, kebebasan beragama, dan hakhak asasi lainnya adalah kepentingan seluruh masyarakat, yang perlu diperjuangkan untuk dan oleh seluruh masyarakat. Hanya dalam kebersamaan tujuan perjuangan dapat dicapai. Maka, prinsipnya adalah ”bersama-sama memperjuangkan masa depan bersama”; bukan masing-masing memperjuangkan kepentingan sendiri atau masing-masing memperjuangkan kepentingan bersama. Jelas pula bahwa perjuangan untuk memajukan masyarakat tidak diselenggarakan hanya melalui lembaga politik kekuasaan. Orang atau lembaga Kristen dapat berjuang di luar arena politik kekuasaan. Politik ”kepentingan Kristen” berasal dari pendekatan politik neoKalvinis Abraham Kuyper (1830-1920), teolog, politikus, dan negarawan Belanda.3 Dalam konteks sosial-politik Belanda masa itu, Kuyper mendorong supaya setiap kelompok membangun bentengbentengnya masing-masing untuk bersaing menjadi yang unggul 187
dalam menentukan nasib keseluruhan masyarakat. Untuk itu, masing-masing kelompok perlu mempunyai atau mengembangkan berbagai fasilitas bagi keunggulan kelompoknya: partai politik sendiri, media massa sendiri, universitas sendiri, dan seterusnya. Berbeda dengan itu adalah gagasan politik Kristen P.J. Hoedemaker (1839-1910), teolog yang menolak isolasi Kristen dalam lingkaran sosial tersendiri dan mendorong kehadiran kesaksian Kristen dalam semua bidang dan institusi sosial. Tidak perlu ada partai politik Kristen tersendiri atau universitas Kristen tersendiri. Perbedaan kedua aliran politik ini dapat diumpamakan Kuyper memilih menjadi terang yang menarik orang dari kegelapan ke dalam lingkaran cahayanya (sentripetal), sedangkan Hoedemaker sebagai garam yang larut dan menggarami dunianya (sentrifugal). Hal lain yang cukup mencolok dalam politik Kristen di Indonesia adalah pergeseran komunitas pendukungnya, dari kalangan oikumenis ke kalangan Injili. Kalangan yang dahulu menganggap aktivitas politik itu kotor justru cukup serius berpolitik. Ada sinyalemen bahwa gejala ini terhubung dengan perkembangan tertentu di Amerika Serikat, yakni menguatnya ideologi politik Kristen kalangan ”Neokonservatif” dan ”Fundamentalis”, yang mencapai puncaknya dalam ideologi Bush. Perlu penelitian yang lebih saksama untuk menyimpulkan apakah ada pengaruh langsung perkembangan di Amerika itu dengan menguatnya semangat berpolitik kalangan Injili di Indonesia.4 Dari segi pembentukan partai politik, banyaknya orang Kristen yang aktif dalam dunia politik memang sangat menonjol sejak reformasi nasional dan tumbangnya kekuasaan Soeharto pada tahun 1998. Sebagaimana diketahui, sebelum Soeharto di masa Orde Baru melebur partai-partai politik menjadi PPP, Golkar, dan PDI, terdapat satu partai Kristen (Protestan) dan satu partai Katolik. Memasuki reformasi, pada pemilu 1999 didirikan sejumlah partai politik Kristen, namun hanya Partai Kristen Nasional Indonesia (KRISNA) dan Partai Demokrasi Kasih Bangsa (PDKB), serta Partai Katolik Demokrat (PKD) yang memenuhi syarat untuk dapat mengikuti Pemilihan Umum tahun 1999. Pada Pemilu tahun 2004 hanya Partai Damai Sejahtera (PDS) yang bisa ikut. Pada Pemilu bulan April 188
2009, selain Partai Damai Sejahtera (PDS), sejumlah partai Kristen berhimpun di dalam Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI). Hasil perhitungan cepat memperlihatkan minimnya perolehan suara kedua partai Kristen itu: PKDI kurang dari 1% dan PDS kurang dari 2%. Dalam sejarah Pemilu di Indonesia, perolehan suara partai politik Kristen memang kecil, sebagaimana ditunjukkan dalam suatu data sebagai berikut:5 Tahun 1955 1971 Tahun 1999
Tahun 2004
PARKINDO 1.003.326 2,66% 733.359 1,34%
Partai Katolik 770.740 2,04% 603.740 1,10%
Krisna 369.719
PKD 216.675
PDKB 550.740
% 2,14
Nasional 113.125.750
PDS 2,424,319
Nasional 37.785.299 54.669.509 Nasional 105.786.661
Data ini menunjukkan bahwa umat Kristen Indonesia umumnya tidak antusias mendukung partai politik Kristen. Dukungan masyarakat bagi suatu partai politik sangat penting walaupun ada orang yang berpendapat bahwa bukan jumlah wakil rakayat di parlemen (yang mencerminkan dukungan masyarakat) yang penting dalam politik, melainkan substansi kebenaran yang diperjuangkan.6 Dalam sistem politik modern, bagaimanapun, idealisme politik tidak bisa dimenangkan tanpa dukungan yang luas. Lagi pula, dalam dunia politik, siapa yang menentukan apa ”kebenaran” itu? Dalam meninjau sejarah politik Kristen di Indonesia Martin Lukito Sinaga menarik dua pelajaran: Pertama, penyempitan ekspresi politik ke dalam partai politik selain hanya menghasilkan suara minoritas juga terbukti mendorong kelembaman (inertia) umat Kristen sendiri. Ia memiliki akar konservatif dan eksklusif di masa kolonial, dan 189
ekspresi partai dari situasi sedemikian akan hanya menyuburkan isolasinya. Kedua, tabiat minoritas yang cenderung menumpang ke dalam struktur kekuasaan yang ada malah pada gilirannya akan menanamkan bukan hanya mentalitas status quo, tetapi juga ketiadaan daya terobos di era transisi menuju demokrasi saat ini. Kalau sering dikatakan bahwa transisi Indonesia ini mengalami musim kemarau yang panjang, maka tepat juga kalau dikatakan ekspresi politik umat Kristen di dalam proses itu pun berada dalam suasana kering kerontang.
Ia selanjutnya mengajukan alternatif: Kalau memang politik Kristen itu sebaiknya tanpa partai minoritas, maka paling tidak ia bisa bergerak leluasa di ruang lain, yaitu ruang civil society. Sehingga memang politik Kristen kini dapat secara konsisten meluas, dan ia masuk dalam arus baru politik kewargaan itu: suatu politics of influence di mana Kekristenan tidak lagi dilihat sebagai sumber kuasa di kotak suara, tetapi sebagai inspirasi perubahan masyarakat dengan pengorganisasian rakyat sebagai fokusnya. 7
Dalam model partisipasi para tokoh Alkitab, anjuran Martin Sinaga ini sesuai dengan model partisipasi Musa atau Elia. Mereka tidak memilih masuk dalam lingkaran pusat kekuasaan (bnd. Yusuf di Mesir dan Daniel di Babilonia), melainkan terjun ke dalam masyarakat, mendampingi dan memberdayakan rakyat marginal, sebagaimana juga kemudian dilakukan Yesus dalam pelayanan-Nya di Galilea dan tempat-tempat lain.8 Sayangnya, banyak orang tergoda pada kekuasaan. Ayat-ayat Kepatuhan Politik Evaluasi sejarah ini juga diajukan Pdt. Emanuel Gerrit Singgih dengan mengkritik sikap politik gereja masa lalu, yakni strategi menempatkan orang dalam struktur kekuasaan pemerintah, berlindung pada penguasa (wujud dari minority complex), dan ”memperjuangkan kepentingan Kristen termasuk kepentingan gerejagereja dan persekutuan-persekutuan saja”.9 Berlindung pada penguasa didukung pemahaman mengenai pemerintah sebagai hamba Allah (Rm. 13:1-7). Di bagian lain Pdt. Singgih menyebutkan alasan-alasan mengapa gereja tidak menanggapi reformasi nasional 190
Indonesia 1998. Pertama-tama, gereja menunggu peristiwa itu selesai baru akan menilai apakah peristiwa itu kehendak Tuhan. Yang sudah dipegang adalah mendukung Orde Baru karena dianggap sesuai dengan kehendak Tuhan. ”Maka yang dibuat oleh kebanyakan gereja-gereja Kristen adalah seminar demi seminar untuk memonitor apakah reformasi sudah selesai apa belum ...” Alasan kedua, ”pengandalan yang berlebihan terhadap Roma 13". Ketaatan terhadap pemerintah dalam Roma 13 dipahami sebagai ketaatan mutlak. Ketaatan mutlak kepada pemerintah sudah sejak zaman penjajahan dan terus terbawa hingga kini, termasuk dukungan terhadap kebijakan pemerintah dan negara. Reformasi dianggap sebagai perlawanan terhadap pemerintah. Yang ketiga, pemahaman terhadap ”orang lain”, dalam hal ini terutama umat Islam. Ada perbedaan pandangan antara ”orang lain” dan ”sesama”. ”Sesama” adalah orang yang satu iman, satu gereja, satu suku, dan sebagainya. Sementara itu, ”orang lain” adalah orang yang berbeda dengan kita entah itu agamanya, sukunya, dan sebagainya. Padahal Yesus melalui perumpamaan ”Orang Samaria yang Murah Hati” dalam Lukas 10 mengajarkan bahwa sesama manusia itu adalah orang lain bahkan musuh.10 Mengenai alasan yang pertama, yang dapat dirumuskan sebagai lemahnya kemampuan gereja membaca tanda-tanda zaman, mungkin masalah pokoknya adalah lemahnya kecendekiaan Kristen Indonesia, baik dalam arti keterbatasan mutu sumber daya manusia maupun pelembagaannya. Para cendekia Kristen tidak terhubung dengan gereja, kalau pun ada yang berusaha mencermati berbagai perkembangan aktual dalam kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Institusi gereja maupun perguruan tinggi Kristen atau lembaga-lembaga lainnya tidak mengembangkan pusat-pusat studi kemasyarakatan yang mampu memberi informasi yang akurat kepada para pimpinan dan warga gereja. Di pihaknya, para pemimpin dan warga gereja tidak mampu menanggapi secara kritis perkembangan yang berlaku. Yang berkembang justru berbagai mitos menyesatkan, khususnya tentang ancaman bagi umat Kristen, yang kadang-kadang 191
dibenarkan dengan menunjuk pada sejumlah fakta yang tidak sungguh-sungguh dimengerti secara mendalam. Untuk alasan kedua, gereja perlu mengembangkan suatu ”tafsir tandingan” terhadap tafsir tradisional dominan Roma 13, misalnya tafsir pascakolonial, sebagaimana diusulkan Pdt. Singgih. Alasan yang ketiga berkaitan dengan pengembangan theologia religionum di kampus-kampus teologi yang dibarengi praksis dialog antariman pada berbagai tingkat di dalam masyarakat, sebagaimana sudah berkembang sejak hampir dua dekade terakhir.11 Dari ketiga alasan di atas, sinyalemen Pdt. Singgih mengenai ”pengandalan berlebihan terhadap Roma 13" perlu mendapat perhatian khusus, karena sebagai acuan alkitabiah kuat pengaruhnya dan sampai pada pembentukan pandangan dan sikap di kalangan warga jemaat. Suatu upaya serius melakukan dekonstruksi terhadap pemahaman tradisional perikop ”Kepatuhan kepada Pemerintah” (Rm. 13: 1-7) perlu dilakukan bersama dari berbagai disiplin teologi, khususnya Biblika Perjanjian Baru. Liem Khiem Yang, ahli biblika senior, mencatat mengenai perikop yang dianggap sisipan ini dalam hubungan dengan ketakutan dan ketaatan terhadap pemerintah. Tidak perlu takut karena pemerintah adalah hamba Allah, dan ketaatan tidaklah mutlak. Liem menghubungkan ketaatan membayar pajak dalam ayat-ayat 6 dan 7 dengan sabda Yesus mengenai membayar pajak kepada kaisar (Mrk. 12:13-17; Mat. 22:15-22; Luk. 20:20-26) yang disimpulkannya bahwa kuasa dan wewenang pemerintah tidaklah mutlak. Ada batas ketaatan kepada pemerintah. Dalam bagian surat-surat Paulus lainnya jelas Rasul Paulus tidak memutlakkan kuasa pemerintah: penguasapenguasa dunia akan ditiadakan (1 Kor. 2:6); pada akhirnya ”dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi dan segala lidah mengaku: ’Yesus Kristus adalah Tuhan,’ bagi kemuliaan Allah, Bapa!” (Flp. 2:10-11).12 Juga, para ahli yang menyetujui bahwa perikop itu asli dari Paulus menyadari bahwa isinya bertentangan dengan pandangan 192
Paulus dalam teks-teks yang lain: mengenai dunia yang terpisah dari Allah (2 Kor. 4:4; Gal. 1:4; 1 Kor. 7:31); dunia yang segera berlalu (Rm. 13:11-13); penguasa atau pemerintah yang melawan Allah (1 Kor. 2:6-8). Penafsir lain mempersoalkan kata Yunani tetagme,nai (tetagmenai dari kata kerja tasso, dalam ayat 1, yang dapat berarti menentukan, menempatkan, mengatur, menata, dan sebagainya). Pengertian kata ini diletakkan dalam rangka penataan Allah atas ciptaan, di mana pemerintah dimaksudkan berfungsi mewujudkan pemeliharaan. Ini berhubungan dengan pandangan yang dipopulerkan Martin Luther mengenai kelembagaan tiga penataan Allah atas ciptaan dan manusia: perkawinan dalam rangka tatanan penciptaan dan kelanjutan keturunan; negara untuk tatanan pemeliharaan demi ketertiban dan kedamaian; dan gereja dalam tatanan penyelamatan.13 Pemerintah atau negara tidak secara khusus, melainkan secara umum, dilembagakan Allah untuk pemeliharaan kehidupan dengan menjaga perdamaian dan kesejahteraan dengan kekuasaan hukum dan keadilan. Demikian pula kata Yunani u`potasse,sqw (dari u`pota,ssw hupotasso) yang diterjemahkan ”takluk” bukanlah dalam arti ketaatan membuta. Penting menilai dengan suara hati apakah pemerintah yang ada layak dianggap sebagai hamba Allah, sebagaimana tersirat dalam ayat 5. Langkah yang disebut jalan tengah (middle step) ini adalah alternatif terhadap ketaatan membuta maupun penolakan sama sekali terhadap pemerintah. Dalam ayat 4 terdapat kata ma,cairan yang menunjuk pada pedang pendek, semacam belati atau bayonet, yang dipakai untuk pertarungan jarak dekat. Ada yang berpendapat bahwa ungkapan ”pemerintah menyandang pedang” menunjuk pada fungsi pengamanan dalam tugas kepolisian, bukan persenjataan untuk fungsi militer.14 Demikian pandangan John Howard Yoder, teolog Menonit termasyhur dari Amerika, yang mengampanyekan pasifisme atau nir-kekerasan yang merupakan salah satu ciri khas tradisi Gereja Menonit. Dia menempatkan Roma 13:1-7 dalam kesatuan kedua pasal, 12 dan 13 dan mengembangkan pandangan kontroversial 193
mengenai revolutionary subordination. Yoder berpendapat bahwa imbauan Paulus untuk menaati aturan-aturan keluarga (household code) (Kol. 3:18–4:1; Ef. 5:21–6:9; Tit. 2:1-10; 1 Ptr. 2:18–3:7) yang menuntut ketaatan dari para hamba dan istri, bukan sekadar suatu kepatuhan terhadap kearifan konvensional, melainkan untuk menggerus kredibilitas aturan-aturan itu dengan mendorong kerelaan menaatinya berdasar asumsi bahwa bagaimanapun tananan sosial dan politik yang menyangga aturan-aturan itu sudah akan berakhir. Harapannya supaya para suami dan istri menyesuaikan diri dengan penampilan standar patriarkat berdasar pada asumsi bahwa patriarki telah kehilangan daya cengkeramnya atas identitas sosial para suami dan istri karena mereka telah menjadi satu dalam Kristus – ”tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan” (Gal 3:28).15 Akan tetapi, pada kenyataan sejarahnya, pandangan patriarki tidak hanya terus bertahan, malahan juga diperkuat oleh ajaran gereja selama berabad-abad. Apakah petunjuk Paulus untuk taat kepada pemerintah dalam Roma 13 juga dalam kerangka revolutionary subordination menurut Yoder itu? Entahlah. Namun, jelas pendekatan itu tidak mengubah apa-apa. Diperlukan pemahaman yang lebih kritis, yang mampu secara meyakinkan memberikan penafsiran baru yang tidak meletakkan gereja dalam hubungan subordinasi terhadap pemerintah. Nasihat untuk tunduk kepada penguasa, atau mendoakan mereka muncul juga dalam surat-surat Pastoral (Tit. 3:1, 1 Tim. 2:1-4); juga surat Petrus (1Ptr. 2:13-17) mengemukakan istilah-istilah yang sama. Dalam wacana hubungan gereja dengan negara/pemerintah, upaya mengimbangi penekanan berlebihan terhadap Roma 13:1-7 diperhadapkan pada Wahyu 13 (dan Wahyu 18). Pada umumnya Kitab Wahyu dihubungkan dengan penghambatan yang dialami gereja yang di bawah pemerintahan Kekaisaran Romawi, khususnya kekejaman Kaisar Nero dan mungkin pula Kaisar Domitianus. Wahyu 13 sering dihubungkan dengan pemerintahan Kaisar Nero (64-68, 42 bulan sesuai Why. 13: 5). Kitab ini memperlihatkan kritik yang tajam terhadap pemerintah yang menindas, yang digambarkan sebagai si binatang yang keluar dari lautan (ayat 1) atau si binatang 194
yang keluar dari dalam bumi (ayat 11); dan dalam pasal 18 digambarkan sebagai Babel yang dihancurkan. Namun, karena Wahyu diungkapkan dalam bahasa apokaliptik, daya saing atau daya tandingnya terhadap wacana Roma 13:1-7 tidak memadai. Lagi pula kritik Wahyu terhadap penguasa jarang dikemukakan sebagai wacana tandingan terhadap kepatuhan kepada pemerintah.16 Petunjuk alkitabiah lainnya yang dirujuk dalam hubungan gereja dan negara adalah jawaban Yesus kepada mereka yang mencobai Dia menyangkut pajak kepada kaisar, ”Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah" (Mat. 22:21). Dihubungkan dengan sabda Yesus terhadap Pilatus dalam Yohanes 18:36 (”Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini; ...”), ayat ini sering diartikan bahwa aktivitas agama terpisah dari aktivitas politik duniawi. Pemahaman ini dianut dalam pemisahan negara dan gereja. Akan tetapi, ada pula yang memahaminya bahwa Yesus mengehendaki para pengikutNya untuk cermat membedakan apa kewajiban mereka kepada kaisar dan kepada Allah, sambil memperhatikan firman Allah dalam Kisah Para Rasul 5:29 (”Kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia).17 Dalam konteksnya, pertanyaan itu memancing untuk menemukan alasan mempersalahkan Yesus; sebab jawaban ”ya” berarti mengkhianati kepentingan masyarakat, jawaban ”tidak” adalah melawan pemerintah. Akan tetapi, jawaban cerdas Yesus dengan mengajukan prinsip kepemilikan menghindar dari umpan jahat kaum Farisi dan Herodian itu. Sebagai pemuka agama mereka tahu bahwa gambar kaisar ada pada koin Romawi, tetapi gambar Allah ada dalam diri manusia, maka kalau uang adalah milik kaisar, tetapi hidup manusia adalah milik Allah. Rujukan Alkitab masih dapat diperluas dengan membahas banyak acuan, juga dari Perjanjian Lama. Di sini cukuplah menyebut tradisi profetik para nabi Perjanjian Lama, bahwa gereja wajib menyatakan suara kenabian, yakni protes terhadap ketidakadilan atau kesewenang-wenangan penguasa, sebagaimana dilakukan nabi-nabi Elia, Hosea, Amos, dan Mikha, yang kemudian diteruskan dalam Perjanjian Baru oleh Yohanes Pembaptis, Yesus, dan Paulus. Fungsi penguasa dapat dirangkum dari Mazmur 72, yakni panggilan untuk 195
”memberi keadilan kepada orang-orang yang tertindas dari bangsa itu, menolong orang-orang miskin, tetapi meremukkan pemeraspemeras!” (ay. 4). Rasul Paulus dan Politik Romawi Masalah politik, negara, dan gereja mengemuka pada aras internasional dengan munculnya wacana imperial ideology akibat sepak terjang politik luar negeri Amerika Serikat, American exceptionalism, dan menguatnya apa yang disebut globalisasi pada beberapa dekade terakhir. Salah satu respons terhadap perkembangan itu adalah studi mengenai sikap Rasul Paulus terhadap Kekaisaran Romawi. Maka, dewasa ini studi mengenai pandangan Paulus terhadap dunia politik, dan khususnya terhadap Kekaisaran Romawi, makin berkembang, bahkan ada kelompok pakar yang menyebut diri ”Paul and Politic Group”. Salah satu buku penting diedit oleh Richard A. Horsley, berjudul Paul and Empire.18 N.T. Wright memberi rangkuman berikut: Bukti-bukti kini tersedia, termasuk dari epigrafi dan arkeologi, memperlihatkan bahwa kultus kaisar bukan sekadar salah satu di antara banyak agama dalam dunia Romawi. Sudah pada zaman Paulus ia telah menjadi kultus dominan di banyak wilayah kekaisaran, terutama di mana Paulus bergiat, dan menjadi alat yang dengannya orang Romawi mampu mengelola dan mengontrol wilayah yang demikian luas di bawah kekuasannya. Siapa memerlukan tentara kalau mereka punya ibadah? Demikianlah buku ini mengundang kita mendekati apa yang disebut teologi Paulus untuk menemukan di dalamnya bukan sekadar beberapa implikasi sosial atau politik, yang akan disimpan sebagai bab-bab penutup dari suatu buku teologi tebal, melainkan suatu tantangan utama terhadap kultus dan ideologi kekaisaran yang merupakan udara yang Paulus dan para pengikutnya hirup sehari-hari. Karya penginjilannya (di sini saya merangkum dengan cara saya sendiri apa yang saya anggap intisari buku ini) harus dipahami bukan sekadar tentang seorang penginjil keliling yang menawarkan kepada orang-olang lain suatu pengalaman keagamaan yang baru, melainkan sebagai seorang duta dari seorang raja yang sedang menunggu, membentuk kelompok-kelompok jaringan persekutuan orang-orang yang setia pada sang raja itu, dan mengatur kehidupan 196
mereka sesuai kisahnya, simbol-simbolnya, dan praksisnya, serta pemikiran mereka sesuai kebenarannya. Ini hanya dapat ditafsirkan sebagai suatu counter-imperial yang mendalam, suatu subversi terhadap keseluruhan hukum Kekaisaran Romawi. Dan ada cukup banyak bukti bahwa Paulus memang maksudkan untuk dipahami demikian, dan bahwa ketika dia berakhir di penjara sebagai akibat aktivitasnya itu, dia menganggapnya sebagai tanda bahwa dia telah melakukan tugasnya dengan baik. Studi atas sikap Paulus terhadap Kekaisaran Romawi memperlihatkan bahwa kritik Paulus terhadap kaisar dan kekaisarannya kokoh berdiri di dalam warisan Yahudi. Kekuatan dan pendorong utama penolakannya terhadap kekaisaran diungkapkan dalam Kristologi yang sangat tinggi (Flp. 3:20 dyb. didasarkan pada Flp. 2:5-11): Yesus itulah Kyrios (sesuai pemaknaan Septuaginta) — dan bukan Kaisar. Dengan mengedepankan hakikat kekaisaran Yesus, terkandung suatu eklesiologi yang kokoh, yakni persekutuan tersebar dan sering tak teratur dari para pengikut Yesus sebagai Tuhan yang membentuk koloni di pinggiran kekaisaran. Dari sudut pandang kaisar, mereka merupakan kelompok-kelompok kecil subversif, namun dalam pandangan Yahudi mereka adalah buah sulung masa depan kemuliaan Allah. Dalam pada itu, Rasul Paulus menentang kekafiran, khususnya kultus kaisar, namun dia juga seorang pengritik tajam Yudaisme non-mesianik.19
Dari sejumlah sumber mengenai wacana ”Paul and Politic”, kita dapat mencatat beberapa kesimpulan berikut: (1) Rasul Paulus berhadapan dengan Kekaisaran Romawi, yang selain mengembangkan strategi militer-politik, juga mengekspoitasi agama untuk memperkuat kekuasaannya atas bangsa-bangsa yang dikuasainya, dalam bentuk kultus pengilahian dan penyembahan para kaisar Romawi. Ungkapan-ungkapan Kristen seperti ”Kerajaan”, ”Injil”, ”Anak Allah”, ”Tuhan”, dan ”Juruselamat” adalah ungkapan yang sebelumnya lazim dalam kultus penyembahan kaisar Romawi. Rakyat didesak untuk ”beriman” kepada kurios (Tuhan) mereka, sang kaisar, yang akan menjaminkan keamanan dan meningkatkan kekayaan. ”Dalam dunia Kekaisaran Romawi, injil adalah kabar baik tentang Kaisar yang telah menegakkan perdamaian dan keamanan bagi dunia”.20 (2) Dengan memakai ungkapan-ungkapan kekaisaran itu, Rasul Paulus memperhadapkan suatu injil anti-Kekaisaran Romawi yang bertolak dari keyakinan apokaliptiknya mengenai 197
Kristus: penyaliban dan kebangkitan serta parousia Kristus adalah puncak-puncak peristiwa tampilnya Kristus sebagai Sang Penguasa semesta (bnd. 1 Kor 15:24-28; Flp. 3:20-21).21 Barangkali pertentangan paling jelas antara injil kekaisaran dengan injil Paulus adalah ”teologi” mereka dalam hubungan dengan politik. Ideologi kekaisaran menekankan bahwa Yupiter dan dewa-dewa telah menyerahkan kekuasaan kepada Kaisar Agustus. Bertentangan dengan itu, Paulus menegaskan bahwa Kristus kini memerintah di surga, dan setelah ”membinasakan segala pemerintahan, kekuasaan dan kekuatan” akan menyerahkan kerajaan kepada Allah Bapa, ”supaya Allah menjadi semua di dalam semua” (1 Kor. 15:24,28). Sayangnya, teks-teks deutero-Paulus kemudian merohanikan bahasa Paulus. Neill Elliott merangkum teologi apokaliptik Paulus, ”Dalam salib, Allah telah membatalkan kearifan dari dunia ini dan dari penguasa dunia ini. Selanjutnya, karena Dia yang disalibkan oleh penguasa dunia telah dibangkitkan dari antara orang mati, para penguasa itu dengan jelas menandai diri mereka sendiri sebagai yang akan hancur oleh kebinasaan (1 Kor. 2:6-8; 15:51-58). Akibatnya adalah orang Kristen tidak lagi diwajibkan pada pola dunia ini yang akan segera berlalu (1 Kor. 7:31), tetapi dipanggil untuk menaati Allah yang telah memilih yang lemah, mereka ”yang tanpa peringkat atau kedudukan dalam dunia, yang tidak ada apa-apanya, untuk menumbangkan tatanan yang ada” (1 Kor. 1:28). Teologi apokaliptik ini berpusat pada usaha mempertahankan tujuan purbakala Allah bagi umat perjanjian-Nya, dan melalui mereka untuk pembebasan seluruh ciptaan. Pertanyaan-pertanyaan pada inti teologi Paulus bukanlah berpusat pada bagaimana pribadi yang hancur nuraninya dapat diselamatkan, atau bagaimana suatu gerakan yang melingkup baik bangsa-bangsa lain maupun orang Yahudi dilegitimasi. Pertanyaan-pertanyaannya sama dengan pertanyaan-pertanyaan ”para rekan apokalipsisnya”: Bagaimana keadilan Allah diwujudkan dalam dunia yang didominasi kuasa-kuasa yang jahat? (3) Khusus Roma 13:1-7, Neil Elliott mencatat beberapa hal: (a) Pernyataan Paulus mengenai pemerintah-pemerintah sebagai hambahamba Allah hanyalah dimaksudkan memusatkan perhatian pendengar mencermati ”kebaikan”, dan dengan itu ”mencegah warga ekklesia berbuat onar di jalanan”. Upaya mengangkat pendapat ini menjadi ”doktrin mengenai negara” tidak muncul dari tulisan Paulus, 198
tetapi dari kepentingan-kepentingan politik tertentu para penafsir. Dengan cara itu, mengutip E. Kasemann, ”teks itu telah dipakai salah selama seribu tahun untuk kepentingan-kepentingan teori politik”. (b) Dalam kaitan situasi masa itu, perhatian Paulus berisi nasihat supaya orang Kristen jangan menimbulkan huru-hara, dengan belajar dari pengusiran orang-orang Yahudi dari Roma karena ketidaktaatan kepada penguasa (oleh Claudius tahun 49), termasuk dalam urusan pajak. Bersama dengan itu – dikaitkan dengan pandangannya mengenai orang Yahudi dan non-Yahudi dalam pasal-pasal lainnya – Paulus mencegah orang-orang Kristen Roma dari sikap dan ideologi anti-Yahudi yang telah mereka lalui, suatu jalan yang akan lebih melibatkan mereka dalam meng-kambing hitam-kan orang Yahudi sebagaimana telah tampak dalam kebudayaan Romawi. (c) Dengan membandingkan dengan kearifan dan kehati-hatian dalam menghadapi penguasa yang dikembangkan Philo dari Aleksandria, dapat dipahami catatan bersayap untuk hormat dan takut kepada penguasa (Rm. 13:7): bahwa sekalipun penjajah Roma bukan penguasa ideal, kebaikannya dihormati dengan nurani, namun ditakuti kekejamannya. Warisan Reformasi Pandangan dan cara Kristen berpolitik di Indonesia tentu terhubung dengan tradisi yang diwarisi dari sejarahnya. Oleh karena itu, khusus kalangan Protestan, penting menengok ke masa Reformasi Gereja pada abad ke-16 di Eropa. Dengan dukungan pemerintah, Reformasi Luther berakhir dengan munculnya Gereja Lutheran, yang mempertahankan kaitan gereja dengan negara. Calvin sempat membentuk semacam teokrasi di Jenewa. Kemudian kedua tradisi Protestan ini berkembang membentuk pola hubungan baru dan juga menyesuaikan diri dengan prinsip pemisahan gereja dan negara dalam dunia modern. Menurut Martin Luther, peran pemerintah hanyalah untuk menjaga perdamaian dalam masyarakat; tidak berurusan dengan pemaksaan hukum-hukum agama. Perumusan Luther atas parameter pemerintahan sipil merupakan langkah monumental dalam perkembangan pemisahan gereja dan negara. Dia menyokong pembedaan yang jelas atas kedua bidang yang berbeda, sipil dan rohani, yang dikenal sebagai doktrin dua kerajaan. Bidang sipil berurusan dengan kehidupan fisik manusia dalam masyarakat 199
ketika berinteraksi dengan sesamanya, di mana manusia tunduk pada pemerintahan manusiawi. Bidang rohani berkaitan dengan jiwa manusia, yang adalah abadi, yang hanya tunduk kepada Allah. Luther merumuskan doktrin dua kerajaan itu bahwa Allah telah menetapkan kedua pemerintahan: yang rohani, yang dengannya – oleh Roh Kudus di bawah Kristus – membuat orang Kristen dan orang saleh; dan yang sekuler, yang mengendalikan orang yang tak Kristen dan orang jahat sedemikian bahwa mereka menjaga keamanan lahiriah. Hukum-hukum pemerintah duniawi tidak boleh melampaui kehidupan dan milik serta apa yang lahiriah dalam dunia. Untuk jiwa manusia, Allah tidak mengizinkan siapa pun memerintah, kecuali Allah sendiri. Maka, ketika pemerintah duniawi bermaksud menyusun aturan-aturan rohani, ia melanggar batas pemerintahan Allah, dan hanya akan salah kaprah serta merusak jiwa manusia. Luther juga mendorong pembangkangan sipil terhadap setiap pemerintah yang melanggar batas pemisah antara yang sipil dan yang suci: Kita tunduk kepada pemerintah dan melakukan apa yang diperintahkannya, sejauh tidak mengikat nurani kita, tetapi hanya mengatur hal-hal yang lahiriah. Namun, jika ia merambah ke wilayah rohani dan memaksakan yang bertentangan dengan hati nurani, kita tidak boleh sama sekali menaatinya, bahkan lebih baik dihukum mati. Calvin menggemakan ajaran dua kerajaan dari Luther. Ada dua pemerintah: yang satu religius yang dengannya hati nurani dilatih pada kesalehan dan penyembahan Ilahi; yang lain sipil, yang dengannya setiap orang, sebagai manusia dan warga negara, diajar dalam kewajiban-kewajiban yang mengikat untuk dilakukan.22 Dalam penjelasan Calvin atas Kisah Para Rasul 4:19-20 dikemukakan bahwa kita hanya menaati para pejabat dengan persyaratan bahwa mereka tidak menjauhkan kita dari ketaatan kepada Allah. Dalam tafsirannya atas sabda Yesus dalam Injil Markus untuk memberi kepada kaisar apa yang kaisar punya dan kepada Allah yang Allah punya – dan atas imbauan untuk takut kepada Allah dan hormati raja (1 Ptr.) – Calvin menegaskan bahwa ketaatan kepada pemerintah selalu disertai ibadah dan takut kepada Allah; penguasa tidak dapat ditaati kalau ketaatan itu sudah 200
melanggar kehendak Allah. Mengenai Roma 13, Calvin memahami bahwa pemerintah sipil diberikan Allah untuk mencegah kehancuran karena dosa manusia. Meskipun membatasi, pemerintah adalah suatu lembaga yang bermanfaat bagi masyarakat, dan bahwa sekalipun buruk dan korup, tetap lebih baik ada pemerintah daripada anarki. Dalam hubungan itu, Calvin juga menyatakan bahwa adalah kewajiban pemerintah untuk mendukung agama dan kesusilaan masyarakat.23 Dalam Institutio edisi tahun 1536, Calvin menyinggung mengenai pemerintah yang berlaku sebagai tiran. Terhadap pemerintah yang demikian Calvin mendorong para pejabat yang lebih rendah untuk menggulingkan penguasa yang jahat, namun dengan cara revolusi yang damai dan bertahap (4:20, 29, 30, 31).24 Dasar pemahaman Calvin mengenai pemerintah dan kekuasaan bersifat ”teosentrik”: Allah adalah dasar dan sumber kekuasaan. Abraham Kuyper merangkum pandangan teosentrik Calvin menyangkut kekuasaan dalam tiga prinsip: (1) Hanya Allah saja, tak pernah ada makhluk lain, mempunyai hak-hak kedaulatan atas nasib suatu bangsa, karena Allah sendiri yang menciptakannya, memeliharanya dengan kemahakuasaanNya, dan memerintah mereka dengan ketetapanketetapan-Nya. (2) Dalam bidang politik, dosa telah memutuskan pemerintahan langsung Allah, dan karena itu pelaksanaan kekuasaan, untuk tujuan pemerintahan, telah diberikan kepada manusia, sebagai kekuatan perbaikan. (3) Dalam bentuk mana pun kekuasaan ini mengungkapkan diri, manusia tidak pernah mempunyai kekuasaan atas sesamanya manusia, selain kekuasaan yang diturunkan kepadanya dari keagungan Allah.25
Doktrin teologi keselamatan Calvinisme dirangkum dalam bahasa Inggris dengan akronim terkenal ”TULIP”.26 Suatu rangkuman yang juga memakai akronim TULIP untuk prinsip-prinsip politik Calvinisme dirumuskan sebagai berikut:27 Theonomy (Hukum Ilahi): pemahaman hukum secara teonomis, baik secara subjektif maupun objektif. Subjektif dalam hal ”Firman Allah memerintah melalui nurani para pemegang kekuasaan” 201
(Kuyper); objektif dalam bentuk undang-undang yang ditetapkan dengan bertolak dari prinsip-prinsip alkitabiah. Uncompromised Principles (Prinsip-prinsip Tak Berkompromi): politik Injili harus berprinsip, jangan pragmatis. Hal ini terkait dengan konsep hukum secara teonomis. Limited Sovereignty (Kedaulatan yang Terbatas): suatu politik Injili harus membatasi kedaulatan negara dengan memproklamasikan kedaulatan mutlak Allah dan mengakui kedaulatan dalam lingkup individu (kebebasan kehendak?). Identification with Christian Heritage (Identifikasi dengan Warisan Kristen): suatu politik Injili harus mewujudkan secara nyata hubungan yang dapat dibuktikan dalam sejarah antara Kekristenan Reformatoris dengan kebebasan. Plan for Action (Rencana Kegiatan): suatu politik Injili harus mempersiapkan suatu strategi komprehensif untuk mencapai tujuannya di semua gugus. Kaum Injili menyadari sedang berperang dengan semua pandangan total dunia yang menentang, dan pertempuran harus dilakukan pada setiap bidang kehidupan. 28
202
Endnote 1
Berbeda dengan Katolik Roma, dalam doktrin jabatan gerejawi, kependetaan di kalangan Protestan tidak bersifat character indelebilis (melekat seumur hidup). Kependetaan terkait dengan panggilan di dalam gereja. Ketika seseorang meninggalkan pelayanan langsung dalam gereja, maka seharusnya kependetaannya gugur. 2 Dikutip dari suatu naskah yang dipersiapkan oleh Yayasan Oase Intim bersama Pimpinan Gereja Protestan Sulawesi Tenggara (GEPSULTRA), Maret 2009. 3 Jim Skillen, ”Kuyper And Neocalvinist Political Questions”, dalam http://kuyperian.blogspot.com/2004/11/kuyper-and-neocalvinistpolitical.html, Irving Hexham, dan ”Christian Politics according to Abraham Kuyper”, dalam http://www.ucalgary.ca/~nurelweb/papers/irving/kuyperp.html. 4 Untuk perkembangan di Amerika Serikat, lih. Richard M. Daulay, Amerika Vs Irak: Bahaya Politisasi Agama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009). 5 Indra Jaya Rajagukguk, ”Perolehan Suara Parpol Kristen dari Pemilu ke Pemilu” dalam http://ijrsh.files.wordpress.com/2008/06/perolehan-suara-parpol-kristianidi-tiap-pemilu.pdf. 6 Prinsip ini sering dihubungkan dengan idealisme creative minority, mengikuti pandangan filsafat sejarah Arnold J. Toynbee (1889-1975). 7 Martin Lukito Sinaga, ”Jalan Baru Politik Kristen di Indonesia”, dalam http://www.suarapembaruan.com/News/2004/04/03/index.html. 8 Zakaria J. Ngelow, ”Partisipasi Umat Kristen Indonesia di Bidang Politik”, dalam http://www.oaseonline.org/artikel/ngelow-partisipasi.pdf. 9 Emanuel Gerrit Singgih, Iman dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), hlm. 29 dst. 10 Lih. Ibid., hlm. 8-25. 11 Dari pihak teolog Kristen Indonesia, penting menyebut jasa almarhum Dr. Th. Sumartana di bidang dialog antariman ini. Untuk perkembangan umum dalam theologia religionum dewasa ini, lih. disertasi Keith Edward Johnson, ”A ’Trinitarian’ Theology of Religions? An Augustinian Assessment of Several Recent Proposals” (Duke University, 2007) dalam http://dukespace.lib.duke.edu/dspace/bitstream/10161/190/1/D_Johnson _Keith_a_052007.pdf; Emmanuel M. Mosoeu, ”The Uniqueness of Jesus of Nazareth and the Future of the Human Race” (University of the Free State, 2004); Enoch Wan memberikan tabel-tabel rangkuman dan perbandingan berbagai pandangan berbeda dalam ”Defending or Defrauding the Faith: a 203
Pradigmatic Comparison of the ’Theology of Religions’ of Hendrik Kraemer and John Hick” (Global Mission, 2007) dalam http://www.paultimothy.net/pub/gm/defending_defrauding_faith_2007.pdf. 12 Lih. Liem Khiem Yang, ”Masalah Hubungan antara Gereja dan Negara dalam Perspektif Alkitab”, dalam Robert P. Borrong et. al. (eds), Berakar di dalam Dia & Dibangun di atas Dia: 80 tahun Prof. Dr. Latuihamallo (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998), hlm. 64 dst. 13 Lih. Risto Saarinen, ”Ethics in Luther’s Theology: The Three Orders”, dalam www.ltsg.edu/ltsg-images/revartpdf/Saarinen1.pdf. 14 ”The Politics of Jesus: Reviewed by Agorom Dik”, dalam http://propheticinitiatives.blogspot.com/2009/02/politics-of-jesusreviewed-by-agorom.html. 15 Gerald Biesecker-Mast, ”Revolutionary Subordination as Nonviolent Performance: Notes Toward an Exhilic Rhetoric” (May 26-28, 2004) dalam [http://www.bluffton.edu/~mastg/Revolutionary%20Subordination%20as %20Nonviolent%20Performance.htm]; Nathan Hobby and James Patton, ”The Politics of Jesus: Jesus Had Radical Social Ethics and So Should His Followers: A Simplified Summary of John H. Yoder's Classic Book”, dalam [http://www.geocities.com/savageparade/poj?200913]. 16 Tan Soo Inn, ”Between Romans 13 and Revelation 13”, dalam http://theagora.blogspot.com/2007/11/between-romans-13-andrevelation-13.html; “The Beast (Bible)” http://en.wikipedia.org/wiki/The_Beast_(Bible). 17 ”Render unto Caesar”, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Render_unto_Caesar. 18 Richard A. Horsley (ed.), Paul and Empire: Religion and Power in Roman Imperial Society (Trinity Press International, 1997). 19 Lih. N.T. Wright, ”Paul's Gospel and Caesar's Empire”, dalam [ttp://www.ctinquiry.org/publications/wright.htm; Jeremy Punt, ”Paul and Postcolonial Hermeneutics: Marginality and/in Early Biblical Interpretation”, dalam http://www.westmont.edu/~fisk/paulandscripture/PuntPaulAndPostcoloni al.pdf. 20 John Dart mengutip dari Richard A. Horsley, lih. John Dart, ”Jesus and Paul Versus the Empire”, dalam http://www.religiononline.org/showarticle.asp?title=3190. 21 Lih. Neil Elliott, ”The Anti-Imperial Message of the Cross”, dalam Horsley, hlm. 140 dst. 204
22
”Doctrine of the Two Kingdoms”, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Doctrine_of_the_two_kingdoms. 23 Michael Dewalt, ”Calvin’s Political Theology in Other Works”, dalam http://calvin500blog.org/2008/10/21/calvin%E2%80%99s-politicaltheology-in-other-works-2. 24 Michael Dewalt, ”Calvin’s Institutes: Blueprint for Civil Government”, dalam http://calvin500blog.org/2008/10/09/calvin%E2%80%99s-institutesblueprint-for-civil-government. 25 Dikutip dari Abraham Kuyper, Stone Lectures on Calvinism, hlm. 108 oleh Jordan Huff, ”Kuyper on Calvinism and Politics”, dalam http://sacramentalpiety.wordpress.com/2008/11/17/kuyper-on-calvinismand-politics/, juga David Whall, ”Calvin’s Institutes: Blueprint for Civil Government”, dalam http://calvin500blog.org/2008/10/09/calvin%E2%80%99s-institutesblueprint-for-civil-government. 26 (T)otal Depravity, (U)nconditional Election, (L)imited Atonement, (I)rresistible Grace, (P)erseverance of the Saints. http://en.wikipedia.org/wiki/Calvinism. 27 Abraham Kuyper, America, Francis Schaeffer, Liberty, Politics, Religion. http://headymusings.wordpress.com/2007/12/09/the-five-points-ofpolitics/ Rangkuman lain yang juga dalam lima poin ajaran Calvinis di bidang politik, DARCL: (D)epravity as a perennial human variable to be accommodated; (A)ccountability for leaders provided via a collegium; (R)epublicanism as the preferred form of government; (C)onstitutionalism needed to restrain both the rulers and the ruled; and (L)imited government, beginning with the family, as foundational. Michael Dewalt, “Calvin’s Thought Disseminated Through his Political Disciples”, dalam http://calvin500blog.org/2008/10/27/calvin%E2%80%99s-thoughtdisseminated-through-his-political-disciples. 28 Mengacu pada ungkapan termasyhur dari Abraham Kuyper, ”There is not a square inch in the whole domain of human existence over which Christ, who is sovereign over all, does not cry: ”Mine!”
205
Wacana Pluralitas dan Demokrasi dalam Pemikiran Teologis Kontemporer Protestanisme Indonesia (Sebuah Telaah Kritis) Julianus Mojau
1. Pengantar Sebagai salah seorang mantan mahasiswa dari Emanuel Gerrit Singgih, saya dengan senang hati menerima permintaan panitia untuk menyumbangkan sebuah tulisan (karangan) dalam penghormatan baginya. Seperti nyata dari judulnya, karangan ini ingin memetakan pemikiran-pemikiran teologis kontemporer kalangan Kristen Protestan Indonesia dalam kaitannya dengan pengembangan wacana pluralitas dan demokrasi. Adapun pemetaan ini akan dilakukan sebagai sebuah ”pemetaan-kritis” mengenai pemikiran-pemikiran teologis kontemporer kalangan Kristen Protestan Indonesia itu. Terkait dengan usaha ini, saya ingin memberikan tiga catatan pengantar sebagai berikut. Pertama, pemetaan ini akan menjadikan tahun 1998 sebagai acuan pembuka kurun waktu. Pilihan ini diambil berdasarkan pertimbangan bahwa tahun 1998 ”mengakhiri suatu kesadaran hidup” bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di bawah kekuasaan hegemonik rezim Orde Baru dan sekaligus ”membuka kesadaran baru hidup” bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam sejarah Indonesia pasca tahun 1945. Pembatasan acuan kurun waktu ini sudah dengan sendirinya membatasi tulisan ini yang hanya akan memuat pemikiran-pemikiran teologis Protestan yang ditulis sejak
Karangan ini merupakan pengembangan dari makalah saya dalam seminar ”Mengkritisi Peran Protestantisme dalam Proses Menyejarah di Indonesia” dalam rangka hari ulang tahun Gereja Protestan di Indonesia (GPI) ke-400 di Ambon, 25-26 Februari 2005. Rektor Universitas Halmahera
207
tahun 1998. Tentu saja pembatasan ini tidak menafikan kontinuitas dengan pemikiran teologis Protestan yang ditulis sebelumnya. Kita, misalnya, tidak mungkin menyangkal bahwa sejumlah teolog dan pemikir Kristen Protestan yang memainkan peranan penting sebelum tahun 1998 masih memberi sumbangan pemikiran dan bahkan boleh dikatakan masih sangat berpengaruh dalam periode pasca keruntuhan kekuasaan hegemonik rezim Orde Baru itu. Sekalipun demikian, kita perlu membatasi diri dan mengandaikan bahwa karangan-karangan teologis sebelum tahun 1998 telah menjadi pengetahuan umum di kalangan kita. Kedua, pemetaan ini hanya akan berfokus pada karangan-karangan teologis yang berkaitan dengan pengembangan wacana pluralitas dan demokrasi di Indonesia pasca kekuasaan hegemonik rezim Orde Baru. Catatan ini tidak mengandaikan bahwa selama kekuasaan hegemonik rezim Orde Baru tidak ada wacana pluralitas dan demokrasi. Kita semua masih ingat bahwa selama periode rezim Orde Baru ada juga wacana mengenai pluralitas dan demokrasi. Namun, seperti kita sama-sama mengalaminya (sebagai bagian dari proses reformasi hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara), bahwa sejak tahun 1998 arah pengembangan wacana pluralitas dan demokrasi lebih pada upaya melampaui semangat pluralitas kebangsaan ”monistis” dan semangat hidup berdemokrasi khas demokrasi Pancasila. Pertanyaan kita ialah apakah pemikiranpemikiran teologis kalangan Kristen Protestan Indonesia juga sungguh-sungguh mencerminkan arah baru wacana pluralitas dan demokrasi itu? Pertanyaan ini penting. Sebab, sebagian pemikiran teologis kalangan Kristen Protestan – khususnya model teologi sosial yang saya kategorikan sebagai ”teologi sosial modernisme” – lebih searah dengan semangat pluralitas politik identitas kebangsaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang monistis dan wacana demokrasi dengan atribut Pancasila.1 Ketiga, kalangan Kristen Protestan dalam tulisan ini lebih menunjuk kepada Gereja-gereja Kristen Protestan – yang dalam sebutan para sejarawan kalangan Protestan disebut Gereja-gereja arus utama – sebagaimana tergabung dalam wadah oikumenis Persekutuan Gerejagereja di Indonesia (PGI).2 Oleh karena itu, pemikiran-pemikiran
208
teologis sebagaimana dirumuskan dalam dokumen-dokumen PGI dan sejumlah pemikiran teologis perorangan dibaca sebagai satu kesatuan. Sejauh dokumen-dokumen PGI dan sejumlah karangan teologis sosial perorangan terlihat bahwa pemikiran-pemikiran teologis kontemporer Protestantisme Indonesia yang berkaitan dengan wacana pluralitas dan demokrasi dapat kita kategorikan ke dalam dua model teologi sosial Kristen Protestan, yaitu teologi sosial politik identitas kebangsaan Indonesia NKRI sebagai lanjutan dari teologi politik kalangan Kristen Protestan sebelum tahun 1998 dan arah dasar teologi sosial emansipatoris kerakyatan. Kedua model teologi sosial ini memiliki karakter pluralis dan demokratis yang berbeda. 2. Kelanjutan Teologi Sosial Politik Identitas Kebangsaan NKRI Sejauh dokumen-dokumen PGI mencatat, kita akan bertemu dengan ”komitmen teologis sosial” kalangan Kristen Protestan Indonesia yang sangat menekankan ”politik identitas kebangsaan Indonesia NKRI”. Sejak pembentukan PGI (yang pada waktu pembentukannya diberi nama Dewan Gereja-gereja di Indonesia/DGI) pada tahun 1950 komitmen teologis sosial ini tidak diragukan lagi. Maka, tidak heran apabila pada Konferensi Gereja dan Masyarakat IV (KGM-IV) tahun 1984 di Bali, ketika membicarakan tentang hubungan sila ketiga Pancasila dengan rasa identitas kebangsaan Indonesia, diusulkanlah pengembangan ”teologi kebangsaan” itu. Apa yang dikatakan dengan teologi kebangsaan ini ialah pentingnya aspek teologis politik identitas kebangsaan NKRI.3 Sampai sekarang, teologi sosial ini masih cukup nyata dalam dokumen-dokumen PGI dan karangan-karangan perorangan. 2.1 Kesadaran Teologis Pluralis Politik Identitas Kebangsaan NKRI Pak Gerrit mensinyalir bahwa perhatian kalangan Kristen Protestan terhadap wacana pluralitas atau kemajemukan, khususnya mengenai kemajemukan agama, barulah dimulai sekitar tahun 1980-an dan secara mencolok tahun 1990-an.4 Saya kira, sekalipun tidak menyebutkan secara tersurat, Pak Gerrit dalam hal ini ingin menunjuk kepada kegiatan reguler Balitbang DGI/PGI, yang oleh inisiatif Olaf Schumaan, lembaga dalam struktur DGI/PGI ini
209
mengadakan Seminar Agama- Agama (SAA) secara reguler sejak tahun 1981.5 Hal ini tidak lantas berarti bahwa sebelumnya kalangan Kristen Protestan tidak memiliki kesadaran pluralis sama sekali. Dari dokumen-dokumen DGI/PGI sejak awal dan bahkan jauh sebelum DGI/PGI didirikan kalangan Kristen Protestan sulit menyangkal kemajemukan, seperti kemajemukan budaya, bahasa, dan agama serta ideologi sebagai ”realisme ekososial” Gereja-gereja Protestan Indonesia. Oleh karena itu, tidak mungkin juga pemikiranpemikiran teologis kalangan Kristen Protestan Indonesia tidak berinteraksi dengan realisme ekososialnya itu.6 Dokumen Pokokpokok Tugas Panggilan Bersama (PTPB) PGI hasil Sidang Raya (SR) XI tahun 1989 di Surabaya, misalnya, mencatat kesadaran itu: Sadar akan kehadiran gereja di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk, yang sama-sama bertanggung jawab dalam pelaksanaan pembangunan, maka gereja-gereja terpanggil terus-menerus untuk mengembangkan kerja sama dengan golongan-golongan lain dalam masyarakat, termasuk golongan-golongan agama lain. Hal ini sesuai pula dengan dasar dan jiwa Negara Pancasila.7
Yang menarik dari kutipan di atas ialah bahwa kesadaran pluralis itu dihayati sebagai pewujudan politik identitas kebangsaan Negara Pancasila. Sambil merujuk pada teks Alkitab seperti 1 Korintus 9:1923 dan Kolose 3:1, dokumen PTPB hasil Sidang Raya XII tahun 1994 di Jayapura secara jelas menggarisbawahi kesadaran pluralis khas politik identitas kebangsaan NKRI itu.8 Kita juga masih membaca kesadaran teologis pluralis ini setelah berakhirnya kekuasaan hegemonik rezim Orde Baru. Kita, misalnya, menyebutkan dokumen PGI mengenai ”Pesan Paskah Persekutuan Gereja-gereja Di Indonesia Tahun 1999” dan dua Pesan Sidang Majelis Pekerja Lengkap PGI (tahun 1998 dan 1999).9 Kalau kita memeriksa DKG (Dokumen Keesaan Gereja) 2000, maka dokumen itu juga mencatat hal serupa.10 Teologi sosial pluralis ini selalu menggarisbawahi keyakinan teologis Paulus dalam Galatia 3:28. Sekalipun selalu disangkal, namun sesungguhnya teologi sosial pluralis ini sebenarnya mempromosikan semacam ”uniformisme” secara tidak disadari.11
210
Sebab, dalam praktiknya perbedaan agama, suku, dan ras, selalu dilihat sebagai ancaman terhadap kehidupan kebersesamaan kita. Apa yang dikatakan oleh Eka Darmaputera ketika mengulas subtema SR XIII PGI di Palangkaraya tahun 2000 ”Bersama-sama Memperkukuh Persatuan, Kesatuan dan Moralitas Bangsa, Menegakkan Hukum, Keadilan dan Kebenaran, Memelihara Keutuhan Ciptaan Berdasarkan Kasih dalam Memasuki Abad ke-21” mencerminkan penilaian saya ini. Eka menulis: Ketika subtema kita berbicara mengenai ”bersama-sama” dan ”persatuan dan kesatuan bangsa”, ia hendak mengingatkan kita semua akan kecenderungan serta potensi perpecahan, disintegrasi, segregasi (pemisah-misahan), diskriminasi (pembeda-bedaan), dan sebagainya, yang sungguh akan memecah belah kita dengan kita.12
Saya kira pilihan sikap sosial pluralis kalangan Kristen Protestan Indonesia ini dapat dimengerti. Sebab, bagi kalangan Kristen Protestan Indonesia, kehidupan kenegaraan dan kebangsaan Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 adalah bentuk kenegaraan dan kebangsaan Indonesia yang final. Apa pun harganya, bagi kalangan Kristen Protestan Indonesia, identitas negara kebangsaan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 adalah harga mati! Maka, tidak heran apabila Konsultasi Nasional Gereja dan Politik tahun 2003 yang berlangsung di tengah-tengah wacana mengenai ”otonomi daerah (otda)” sebagai ”arah baru artikulasi politik identitas negara kebangsaan Indonesia” tidak bisa lain, kecuali meneruskan logika kesadaran pluralis politik identitas kebangsaan berdasarkan Pancasila dan Batang Tubuh UUD 1945, sebuah model kehidupan kenegaraan yang integralistik-monistis.13 Saya melihat bahwa pilihan sikap sosial pluralis kalangan Kristen Protestan Indonesia ini dibangun di atas dua argumentasi pokok. Pertama, para pemimpin dan pemikir kalangan Kristen Protestan Indonesia masa kini masih tetap pada keyakinan teologis mereka bahwa negara kebangsaan Indonesia yang diumumkan secara politis pada tahun 1945 dilihat sebagai momentum historis dan politis yang mengandung ”karya penyelamatan Allah” yang memberi kepada rakyat Indonesia identitas kemanusiaan supaya memiliki harkat dan martabat setara dengan bangsa-bangsa lain.14 Kita, misalnya,
211
menemukan keyakinan teologis seperti ini dari karangankarangan para teolog Kristen Protestan, seperti A.A. Yewangoe15 dan Sutarno16 pada akhir tahun 1990-an serta John A. Titaley yang menekankan kembali keyakinan teologis tentang pentingnya kesadaran sosial pluralis politik identitas kebangsaan NKRI itu pada awal abad ke-21 ini.17 Kedua, para penganjur teologi sosial pluralis ini percaya bahwa politik identitas kebangsaan khas NKRI adalah politik identitas non-diskriminatif. Mereka berkeyakinan bahwa kemajemukan suku, agama, dan ras dapat dijamin. Apa yang ditekankan oleh para teolog ini juga dengan gigih pernah diperjuangkan oleh para teolog Protestan modernisme, seperti O. Notohamidjojo, T.B. Simatupang, P.D. Latuihamallo, S.A.E. Nababan, dan Eka Darmaputera sejak tahun 1970-an sampai dengan awal tahun 1990-an.18 2.2 Kesadaran Teologis Demokratis yang Pancasilais Kalangan Kristen Protestan Indonesia sebagaimana nyata dalam dokumen-dokumen PGI menggarisbawahi bahwa pembangunan sebagai proses modernisasi bangsa Indonesia tidak akan berhasil tanpa proses demokratisasi. Oleh karena itu, demikian keyakinan kalangan Kristen Protestan, demokrasi merupakan ”prasyarat dasar” untuk kemajuan dan keberhasilan pembangunan sebagai proses modernisasi. Kita, misalnya, dapat membaca hal itu dalam pesan KGM V tahun 1989, sebagai berikut: … oleh karena hanya dengan sistem politik yang demokratis dan efektif dapat kita bersama-sama untuk membangun masa depan bersama menuju tinggal landas. Banyak negara berkembang gagal untuk mencapai tinggal landas, oleh karena mereka tidak berhasil untuk membangun sistem politik yang demokratis dan efektif.19
Dalam konteks kekuasaan rezim Orde Baru yang semakin hegemonik – sambil menggarisbawahi kuasa pembaruan dan transformatif Roh Kudus dan menekankan pentingnya peranan agama yang membebaskan – KGM VI (1993) berpesan kepada umat Protestan Indonesia supaya ikut mendorong berkembangnya demokrasi politik, demokrasi ekonomi, dan demokrasi kebudayaan. Akan tetapi, demokrasi di sini haruslah ”demokrasi Pancasila”.
212
Kalangan Kristen Protestan yakin bahwa demokrasi Pancasila sebagaimana ditekankan oleh rezim Orde Baru dipandangnya sebagai demokrasi alternatif yang paling prospektif. Sebab, seperti nyata dari dokumen KGM VI tahun 1993, demokrasi Pancasila akan mampu mengantarkan pembangunan nasional ke arah tinggal landas tanpa harus jatuh ke dalam bahaya sikap individualistis ideologi kapitalisme dan sikap yang menyangkal hak-hak perorangan sebagaimana ditekankan oleh ideologi komunisme.20 Keyakinan itulah yang membuat KGM V menganjurkan agar Gerejagereja di lingkungan PGI harus menjadikan demokrasi Pancasila sebagai bagian dari pelayanan gereja dengan memasukan hal itu ke dalam program pembinaan warga gereja.21 Apa yang mau dicapai dengan hal itu ialah membentuk masyarakat Indonesia menjadi – yang oleh Eka Darmaputera disebut – ”masyarakat Pancasila”. Kalangan Kristen Protestan yakin bahwa kuasa pembaruan dan transformasi Roh Kuduslah yang memberi kekuatan kepada mereka untuk membangun masyarakat Pancasila yang bersatu, adil, berdaulat, dan beradab.22 Dengan keyakinan teologis seperti itulah, ketika tiba gelombang Gerakan Reformasi yang dimulai dengan demonstrasi-demonstrasi menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 1997 dan kebangkitan Islam politik yang makin terang-terangan, kalangan Kristen Protestan tetap pada pendirian awalnya. Mereka tetap berpendapat bahwa demokrasi Pancasilalah yang dapat mengatasi krisis politik yang dialami oleh Indonesia menjelang Pemilu itu.23 Kita masih membaca keyakinan kokoh ini paling tidak sampai dengan dokumen ”Pertimbangan MP PGI” yang disampaikan oleh Majelis Pertimbangan PGI periode 1994-1999/2000 kepada SR XIII tahun 2000 di Palangkaraya tentang wacana civil society sebagai bagian dari wacana demokratisasi.24 Kuatnya keyakinan kalangan Kristen Protestan tentang keunggulan demokrasi Pancasila itu tidak bisa dilepaskan dari komitmen sosial politis untuk mengembangkan ”teologi kebangsaan” sebagaimana disinggung di atas. Seperti telah ditekankan di atas, teologi kebangsaan yang dianjurkan itu adalah untuk memelihara identitas kebangsaan NKRI. Maka, gagasan demokrasi Pancasila juga tidak lebih dari upaya untuk memperkokoh politik identitas kebangsaan
213
NKRI itu; terutama sekali terkait dengan perjuangan penegakkan ”syariat Islam” di Indonesia oleh sebagian kalangan Islam politik. Saya kira apa yang diperjuangkan oleh John A. Titaley dalam berbagai artikelnya sangat terkait dengan masalah ini.25 A.A. Yewangoe dalam beberapa artikelnya juga memberi kesan kuat bahwa tanpa harus mengembel-embeli demokrasi dengan Pancasila, namun tetap menegaskan bahwa ”tidak perlu lagi merumuskan kembali ideologi negara NKRI” sebagaimana dikehendaki oleh sebagian kalangan Islam politik di Indonesia. Yang penting, demikian tegas Yewangoe, ialah ”komitmen baru” pada nilai-nilai Pancasila yang telah diselewengkan selama Orde Lama dan Orde Baru.26 3. Arah Dasar Teologi Sosial Emansipatoris Kerakyatan Saya telah memperlihatkan di atas bahwa pemikiran-pemikiran teologis kalangan Kristen Protestan Indonesia setelah tahun 1998 masih melanjutkan kesadaran teologis pluralis dan demokratis khas ideologi politik identitas kebangsaan NKRI. Itu tidak lantas berarti bahwa ”acuan konteks” berteologi kalangan Kristen Protestan Indonesia berkaitan dengan pluralitas dan demokrasi di Indonesia ”hanya mengacu” pada identitas kebangsaan Indonesia yang bersifat ideologis sebagaimana dirumuskan dalam politik identitas kebangsaan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Setelah tahun 1998, baik dokumen-dokumen PGI maupun karangan perorangan, memperlihatkan ”acuan baru konteks” berteologi yang melahirkan arah baru pemikiran teologis Kristen Protestan berkaitan dengan wacana pluralitas dan demokrasi di Indonesia. 3.1 Kesadaran Teologis Pluralis Etis-Emansipatoris Sejak tahun 1998 kesadaran teologis kalangan Kristen Protestan sebagaimana terartikulasi dalam dokumen-dokumen PGI tidak banyak mengalami kemajuan dari karakter pluralis politik identitas kebangsaan NKRI di atas.27 Sekalipun demikian, saya melihat ada arah perkembangan baru yang diperkembangkan oleh sejumlah teolog/pemikir Kristen Protestan yang selama ini aktif dengan SAA. Saya ingin menyebutkan dua teolog/pemikir di sini: Th. Sumartana dan Emanuel Gerrit Singgih. Saya menyebutkan kedua teolog/pemikir kalangan Protestan ini tanpa bermaksud mengecilkan
214
yang lainnya. Akan tetapi, saya tidak memiliki pilihan lain kecuali memilih kedua teolog/pemikir ini, karena sejauh pengamatan saya, mereka cukup produktif dalam menghasilkan sejumlah artikel dengan tema tentang pluralitas. Selain itu, harus diakui bahwa Sumartana, salah seorang pendiri Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi (Demos), dalam berbagai artikelnya tentang pluralitas mencoba menerobos wacana pluralitas logika politik identitas kebangsaan NKRI dan ”memberi arah baru” tentang wacana pluralisme di Indonesia. Sementara itu, Pak Gerrit mengusung arah baru wacana pluralitas itu dengan ”gagasan-gagasan teologis” yang memiliki daya penyadaran yang prospektif. Sumartana dalam artikelnya Theologia Religionum (1999) menggarisbawahi bahwa pluralisme pada masa lampau yang menekankan kerukunan dan ko-eksistensi serta keserasian hidup dari berbagai kelompok (agama) di masyarakat mulai ditinggalkan. Sebab, menurut Sumartana, pluralisme seperti ini memiliki corak kepelbagaian yang bersifat pasif. Dalam masyarakat di mana makin meningkatnya kesadaran emansipatoris diperlukan pluralisme yang bisa memberi ruang kepada setiap kelompok masyarakat untuk eksis dan berkembang sesuai dengan identitasnya. Sumartana menulis, Pluralisme masa lampau menuntut suatu respons kerukunan, koeksistensi, dan keserasian hidup dari kelompok-kelompok agama (dan etnis?-pen.) di masyarakat. Corak kepelbagaian itu bersifat pasif, kalau kita mendatanginya kita baru mengalaminya; akan tetapi pluralisme sekarang ini bersifat sangat aktif, kalau kita tidak mempedulikannya, maka kita akan digilasnya. Pluralisme di masa sekarang terjadi karena tiap-tiap kelompok itu sudah mengalami emansipasi sedemikian rupa sehingga setiap bagian itu sudah melakukan emansipasi bersama, dan tampil bersama secara setara. Tidak ada orang bisa bilang bahwa suatu pihak tak punya hak untuk tampil … biasa dikatakan bahwa pluralisme jenis sekarang ini tampil bersama dengan kesadaran emansipatoris dari setiap kelompok yang ada di masyarakat. 28
Tanpa menyebutkan secara terang-terangan, di sini Sumartana mengagumi struktur dasar kesadaran pascamodern dan pascakolonial. Kritik Sumartana terhadap politik SARA pemerintah
215
kolonial dan rezim hegemonik Orde Baru dalam dua artikel tentang pluralitas tahun 2001 mencerminkan pandangannya tentang pentingnya arah baru wacana pluralitas di Indonesia.29 Menurut Sumartana, untuk arah wacana pluralitas seperti ini diperlukan pemikiran-pemikiran teologis yang melampaui pemikiran-pemikiran teologis Karl Barth dan H. Kraemer, yang dinilainya sebagai sumber dari sikap eksklusivisme.30 Di sini, Sumartana menawarkan perlunya dialog dan kerja sama antaragama yang ditopang oleh pemikiranpemikiran teologis yang mampu memproteksi martabat manusia. Dalam hal ini, Sumartana sangat menganjurkan perlunya memikirkan kembali secara menyeluruh pemikiran teologis. Apa yang diperjuangkan oleh Sumartana ialah perlunya kesadaran teologis pluralis etis-emansipatoris. Sayang sekali apa yang pernah dirintisnya dalam sebuah artikel teologis Kristen tahun 1997 dengan tema ”Kristologi Liberatif” tidak dikembangkannya lebih lanjut.31 Pak Gerrit juga searah dengan Sumartana dalam hal wacana tentang pluralitas di Indonesia. Memang Pak Gerrit tidak secara eksplisit menggarisbawahi pentingnya kesadaran teologis pluralis etisemansipatoris. Namun, jika kita memperhatikan apa yang diartikulasikan oleh Pak Gerrit sejak tahun 1998, maka kita akan melihat di situ bahwa Pak Gerrit sebenarnya sependapat dengan Sumartana, bahwa wacana pluralitas haruslah bertolak dari kesadaran etis-emansipatoris berbagai kelompok dan golongan di masyarakat. Selain itu, saya juga melihat bahwa kedua teolog/pemikir Kristen Protestan ini selalu menempatkan wacana pluralitas sebagai bagian dari upaya meretas kebuntuan hubungan Islam-Kristen di Indonesia. Keduanya melihat bahwa wacana kemajemukaan agama adalah jalan keluar yang paling arif untuk meretas kebuntuan hubungan IslamKristen di Indonesia.32 Juga, Pak Gerrit – seperti halnya Sumartana pada awal tahun 1992 – sangat menekankan kesadaran kebangsaankerakyatan yang dibedakan dari kesadaran kebangsaan-elitis. Itulah sebabnya Pak Gerrit juga sangat kritis terhadap wacana kesadaran oikumenis di kalangan Gereja-gereja Protestan di Indonesia dan wacana kesadaraan kebangsaan yang mengabaikan etnisitas sebagai realisme pluralitas di Indonesia.33 Dalam kaitan dengan wacana pluralitas itu, Pak Gerrit sangat menggarisbawahi tema teologis ”Penciptaan” dan ”Pneumatologi” sebagai sumber inspirasi
216
mengembangkan sikap sosial pluralis, tanpa harus mengabaikan sama sekali ”Kristologi”.34 3.2 Kesadaran Teologis Demokratis ”Kerakyatan” KGM VII PGI tahun 1998 dapat dikatakan sebagai Konferensi Gereja dan Masyarakat yang mencerminkan pemikiran-pemikiran teologis progresif di kalangan Kristen Protestan berkaitan dengan wacana demokrasi di Indonesia. Seperti lazimnya, konferensi ini dilaksanakan untuk persiapan SR XIII di Palangkaraya tahun 2000. KGM ini menggarisbawahi pentingnya proses demokratisasi di Indonesia sebagai bentuk penegakan HAM. Juga, konferensi ini membicarakan tentang hubungan proses demokratisasi di Indonesia dengan wacana masyarakat sipil (civil society). 35 A.A. Yewangoe, salah seorang Ketua MPH-PGI periode 2000-2005 (dan menjabat Ketua Umum PGI 2004-2009 dan 2009-2014), dalam sebuah artikel menyambut SR XIV PGI tahun 2004 merumuskan hubungan proses demokratisasi dengan wacana civil society sebagai cita-cita jangka panjang gerakan reformasi di Indonesia dan meminta Gereja-gereja di Indonesia agar memberi perhatiannya: Sebagaimana kita mahfum, cita-cita jangka panjang gerakan reformasi di Indonesia adalah, agar terwujud-nyata civil society (masyarakat berkeadaban) di negeri ini. Ialah sebuah masyarakat yang kuat, yang makin dewasa dalam bertindak dan berperilaku, tidak emosional dan menggebu-gebu kosong. Sebagai demikian, proses demokratisasi menjadi sangat penting. Demokrasi yang kuat akan menciptakan keseimbangan antara masyarakat dan negara, di mana interaksi kasih (love), kuasa (power) dan keadilan (justice) akan terjadi. Gereja-gereja di Indonesia diserukan ikut mendorong terciptanya masyarakat tersebut bersama-sama dengan berbagai elemen bangsa lainnya.36
Apa yang diingatkan oleh Yewangoe di atas telah menjadi pilihan sikap teologis sosial Gereja-gereja Protestan di Indonesia sejak SR XIII di Palangkaraya tahun 2000. Dalam DKG 2000, khusus tentang agenda kedua dalam rangka mewujudkan visi PGI 2005, kita membaca tentang hubungan proses demokratisasi dengan civil society, sebagai berikut:
217
… gereja menjadi partisipan yang signifikan memperkuat civil society di Indonesia sebagai prasyarat terciptanya demokrasi di segala bidang, dan demokrasi sebagai jaminan teratasinya kekerasan serta pencegahan terjadinya kekerasan yang tidak perlu.37
Jauh sebelum dan sesudah SR XIII kita juga dapat menyumpai sejumlah artikel yang dihasilkan teolog/pemikir kalangan Kristen Protestan yang mencoba menghubungkan wacana demokrasi dengan civil society itu. Di sini saya ingin menyebut nama-nama seperti Emanuel Gerrit Singgih, Zakaria J. Ngelow, dan Martin Lukito Sinaga. Ketiga teolog/pemikir ini, demikian dalam pengamatan saya, yang mencoba mengartikulasi wacana demokrasi dan civil society secara teologis. Menurut Pak Gerrit, untuk mendorong wacana demokrasi berkembang dengan baik, perlu sekali advokasi bagi pemberdayaan rakyat kecil dan miskin agar mereka dapat menjadi subjek dalam hidup ini.38 Sayang sekali, demikian penilaian Pak Gerrit, selama ini (baca: selama rezim Orde Baru), Gereja-gereja justru mengabaikan hal itu. Komunikasi dengan rakyat pun tidak dilakukan, apalagi mengakui kedaulatan rakyat. Gereja-gereja Kristen Protestan selama ini lebih suka melakukan komunikasi atau kontak dengan mereka yang kuat dan berkuasa.39 Kita harus, demikian tegas Pak Gerrit, menghentikan cara berpikir ini. Sebab, sejarah bangsa Indonesia telah membuktikan bahwa asumsi kita ini keliru. Sebab, kehidupan sosial politik yang demokratis hanya dapat dibangun di atas penghargaan terhadap kedaulatan rakyat itu sendiri. Maka, masalah kedaulatan rakyat dan demokrasi adalah masalah keseimbangan kekuasaan antara negara dan rakyat. Dalam rangka menjaga keseimbangan itu, Gereja dan persekutuan Kristen selalu harus memilih berada di pihak yang lemah dan miskin, dan bukan berkolaborasi dengan mereka yang kaya dan berkuasa untuk menindas yang miskin dan lemah, apa pun dalihnya, termasuk alasan negara Islam. Dalam keyakinan seperti ini pulalah Pak Gerrit tidak segan-segan mengusulkan agar Gereja-gereja dan persekutuan Kristen — tentu saja dalam rangka pemberdayaan kedaulatan rakyat — menjadikan diri ”solider” dengan mereka yang miskin dan lemah
218
di dalam masyarakat. Solidaritas Gereja dan persekutuan Kristen dengan mereka yang miskin dan lemah di dalam masyarakat adalah juga salah satu bentuk pengambilan jarak (distansi) oleh Gereja berhadapan dengan pemerintah. Pak Gerrit menulis hal ini: Di dalam suatu situasi di mana pemerintah menjadi demikian mutlak, seragam dan hegemonik, gereja dan persekutuan terpanggil untuk menjaga jarak (distansi), sehingga kehidupan iman tidak tercemar. Kuasa di dalam masyarakat mempunyai daya tarik yang mempesonakan. Satu-satunya cara untuk melawan pesona itu adalah dengan sungguh-sungguh menyatakan solidaritas pada mereka yang lemah, yang ditempatkan di luar struktur. Atau dengan kata lain, daripada bergabung dengan struktur dominan, dari segi kejernihan iman, lebih baik bergabung dengan struktur yang non-dominan. Kalau pada masa depan tidak ada struktur yang mutlak, seragam dan hegemonik, itu malah bagus. Kita lalu bisa hidup dalam keseimbangan kekuasaan. 40
Searah dengan apa yang dikemukakan oleh Pak Gerrit di atas, Zakaria J. Ngelow – sambil mengacu pada pola hidup jemaat Kristen Mula-mula baik sebagaimana kita baca dalam Kisah Para Rasul (misalnya Kis. 2:47; 4:18-20; 6:1-6) maupun dalam Surat Paulus kepada Jemaat di Roma (Rm. 12:4-8; 1Kor. 12) serta mengikuti analisis Konrad Raiser – mencatat bahwa sekalipun ciri-ciri komunitas Kristen Mula-mula itu bukanlah civil society, tetapi mengandung unsur-unsur penting bagi pengembangan civil society, khususnya sikap kemandirian dan jarak kritis-profetis terhadap kekuasaan.41 Akan tetapi, demikian tegas Ngelow, peranan ini hanya mungkin apabila Gereja-gereja dan persekutuan-persekutuan Kristen (dalam bentuk ormas-ormas Kristen) memiliki tiga upaya dasar di dalam kehidupannya, yaitu: (a) menghidupkan kemandirian spiritualitas dan sikap kritis-profetis Gereja Mula-mula terhadap kekuasaan dalam persekutuan dan organisasi-organisasi Kristen; (b) kemandirian organisasi-organisasi Kristen dengan para pemimpin yang berwawasan sehingga tidak gampang terkooptasi oleh kekuasaan; dan (c) pengembangan intelektual Kristen dalam kualitas kader maupun dalam jelajah pemikiran sehingga mampu mengartikulasi berbagai perubahan di dalam masyarakat.42
219
Masih searah dengan Pak Gerrit dan Ngelow tadi, Martin Lukito Sinaga pun mencoba mengartikulasikan wacana civil society sebagai sebuah gerakan advokasi rakyat kecil yang termarginalisasi oleh hegemoni kekuasaan negara. Maka, sambil mendukung gagasan eklesiologi Bonhoeffer tentang ”Gereja bagi orang lain” dan Gereja diandaikan sebagai suatu persekutuan ”terselubung” di dalam tata kehidupan masyarakat yang pada suatu saat ia harus keluar menampakkan tanggung jawabnya dan menegakkan kebenaran dan keadilan serta membela kaum lemah, Sinaga menggarisbawahi agar Gereja harus berani melawan kekerasan sosial dan pemujaan kekuasaan, apa pun risikonya. Dalam pengertian Gereja seperti inilah, demikian lanjut Sinaga, kita boleh berbicara mengenai ”misi” umat Kristen di Indonesia, yaitu pengembangan masyarakat sipil (kosakata lain dari pengembangan ”kewarganegaraan yang bertanggung jawab” Leimena) untuk menjadikan orang-orang Kristen sebagai warga negara yang bertanggung jawab dan kreatif di dalam masyarakat.43 Tampaknya, Sinaga cukup menyadari bahwa gagasan eklesiologis Bonhoeffer tentang ”Gereja bagi orang lain” tidaklah cukup menjadi dasar untuk berbicara tentang respons Kristen terhadap wacana masyarakat sipil. Sebab, wacana masyarakat sipil juga mengandaikan adanya otonomi subjek yang lain itu. Apalagi wacana masyarakat sipil itu ”tidak lahir dari dalam kandungan Gereja sendiri”, tetapi justru ”dari dalam kandungan proses kehidupan masyarakat umumnya yang mengambil bentuk dalam gerakan-gerakan sosial baru”. Maka, demikian Sinaga mencatatnya, Gereja harus menemukan kembali masyarakatnya dan ia harus tumbuh sebagai bagian organik dari masyarakat itu sendiri. Akan tetapi, Gereja hanya akan menemukan masyarakatnya apabila Gereja mencari inspirasi dengan apa yang berkembang sekarang sebagai ”Gerakan Sosial Baru (New Social Movement)” yang di dalamnya civil society menjadi mekanisme utamanya.44 Apa yang mau ditegaskan oleh Pak Gerrit, Ngelow, dan Sinaga ialah bahwa Gereja harus mengalami realitas sosial di mana masyarakat menjadi subjek dan bersama-sama merumuskan arah-arah transformasi sosial. Di sini ketiga teolog/pemikir ini berusaha untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran teologis sebagai – apa yang disebut oleh Hotman M. Siahaan – ”refleksi reproduksi kekuatan
220
rakyat” dan ”bukan refleksi reproduksi kekuasaan negara”.45 Singkatnya, mereka ingin menggarisbawahi bahwa Gereja perlu menjadi kekuatan sosial transformatif dalam solidaritasnya dengan masyarakat yang selalu dimarginalisasi oleh kekuasaan hegemonik untuk mengembangkan suatu kultur penentang, budaya alternatif yang dijiwai oleh semangat hidup bersama yang komunikatif, dialogis, dan demokratis. Pertanyaannya adalah apakah wacana civil society sebagai arah baru hidup berdemokrasi di Indonesia sungguhsungguh menggantikan wacana demokrasi Pancasila? Kalau kita membaca dokumen PGI sebagaimana dirumuskan dalam DKG 2000 hasil SR XIII di Palangkaraya dan juga DKG hasil Sidang Raya XIV di Bogor, tampaknya tidak ada perubahan substantif. Wacana civil society dalam dokumen itu masih dipengaruhi oleh mentalitas politik identitas kebangsaan NKRI yang integralistik itu.46 4. Penutup: Beberapa Catatan Evaluatif Saya ingin mengakhiri pemetaan-kritis ini dengan beberapa catatan evaluatif sebagai berikut. Pertama, pemetaan di atas memperlihatkan bahwa sejak tahun 1998 dokumen-dokumen PGI dan karangankarangan perorangan di kalangan Kristen Protestan Indonesia mengambil acuan konteks berteologi yang berbeda. Perbedaan acuan konteks berteologi itu menghasilkan karakter pluralis dan demokratis yang berbeda pula. Kita melihat bahwa teologi sosial pluralis nondiskriminatif yang dikembangkan oleh Gereja-gereja di Indonesia dan sejumlah teolog yang mengacu kepada konteks ideologi negara mengandung di dalam dirinya ”penolakan” terhadap keberadaan ”yang lain” (the other) dengan jalan meleburkan ”keberlainan” (the otherness) menjadi ketunggalan monistis. Contoh yang paling konkret dari teologi sosial non-diskriminatif monistis ini adalah teologi sosial Eka Darmaputera sebagaimana nyata dari promosinya mengenai ”ke-bhineka tunggal ika-an” pada tahun 1980-an dan awal tahun 1990-an. Apa yang dipromosikan oleh Eka mengenai ”masyarakat Pancasila” dalam semangat NKRI itu tidak lebih dari politik identitas nasional yang hegemonik itu.47 Maka, dalam konteks kemajemukan suku-bangsa Indonesia dan makin kuatnya tuntutan perlunya ”reposisi” politik identitas kebangsaan Indonesia dengan adanya kesadaraan politik identitas kewargaan multikultural, pengembangan teologi sosial pluralis non-diskriminatif yang
221
melampaui (beyond) teologi sosial pluralis non-diskriminatif berdasarkan politik identitas kebangsaan NKRI adalah sebuah keharusan. Pengembangan teologi sosial pluralis non-diskriminatif yang berkarakter multikultural dan yang melampaui logika politik identitas kebangsaan NKRI yang berwatak integralistik dapat menjadi sumbangan kalangan Kristen Protestan Indonesia kontemporer kepada wacana pluralitas dalam konteks Indonesia masa kini.48 Kita juga perlu bertanya di sini apakah wacana demokrasi dapat berkembang dengan baik dalam semangat politik identitas kebangsaan NKRI ala Batang Tubuh UUD 1945? Kedua, saya melihat bahwa wacana pluralitas yang menekankan pendekatan etis-emansipatoris sebagaimana ditekankan oleh Sumartana dan Pak Gerrit adalah wacana pluralitas yang dapat mendorong arah baru untuk hidup di Indonesia melampaui kesadaran teologis pluralis politik identitas kebangsaan NKRI yang memiliki logika selalu meniadakan ”orang lain” (the other). Jika wacana pluralitas ini dikembangkan, respons terhadap berbagai tuntutanemansipatoris kedaerahan seperti kasus Aceh dan Papua tidak perlu membawa pertumpahan darah di mana harkat dan martabat manusia direndahkan. Saya berpendapat bahwa di sini kalangan Kristen Protestan perlu sekali merenungkan gagasan teologis emansipatoris sebagaimana ditekankan oleh Calvin tentang ”kedaulatan Allah” sebagai ”kritik” terhadap kedaulatan negara yang merendahkan harkat dan martabat manusia. Saya kira kalangan Protestan Indonesia belum cukup menekankan kedaulatan Allah sebagai kritik terhadap kedaulatan NKRI. Memang, ketika Pak Gerrit berbicara tentang sumbangan kalangan Kristen terhadap wacana dan penegakkan civil society sebagai pengimbang kekuasaan negara, beliau pernah mencoba mengartikulasikan tema teologis kedaulatan Allah dalam tradisi Calvinis itu. Namun, sejauh saya memahaminya, itu dilakukannya bukan sebagai ”kritik” terhadap politik identitas kebangsaan Indonesia NKRI yang hegemonik itu.49 Apakah ini disebabkan kedaulatan Allah di kalangan Kristen Protestan Indonesia selama ini lebih ditekankan sejajar dengan kedaulatan NKRI berdasarkan perspektif historiografi Indonesia yang lebih mencerminkan kesadaran historis mentalitas kolonial Kerajaan Mataram? Kalau begitu, dapatkah sejarah Indonesia ditulis kembali?
222
Apakah sumbangan kalangan Kristen Protestan? Mudah-mudahan materi-materi mengenai penentuan arah masa depan Protestantisme Indonesia akan menolong kita melihat perspektif lain mengenai sejarah Indonesia, yaitu sejarah yang lebih menghargai pluralitas aspirasi politik identitas etnisitas dan kedaerahan tanpa harus jatuh ke dalam bahaya etnosentrisme dan regionalisme yang mengancam harkat dan martabat manusia. Ketiga, kelihatannya apa yang digagas oleh Pak Gerrit, Ngelow, dan Sinaga serta sejumlah teolog Protestan lainnya tentang wacana civil society sebagai penguatan proses demokratisasi di Indonesia adalah sebuah langkah yang menjanjikan. Pertanyaan ialah apakah mereka cukup menyadari bahwa menggagas wacana civil society sebagai penguatan proses demokratisasi di mana kedaulatan rakyat dalam masyarakat majemuk bisa berjalan baik ”tanpa mendekonstruksi mentalitas politik identitas kebangsaan NKRI yang integralistik” itu? Pertanyaan ini perlu direnungkan lebih jauh oleh kalangan Kristen Protestan Indonesia yang memiliki warisan tradisi teologis cukup kritis terhadap segala bentuk deifikasi, termasuk kehidupan kenegaraan dan kebangsaan itu sendiri! Saya kira apa yang digarisbawahi oleh Pak Gerrit ketika membahas lima sikap Kristen terhadap kebudayaan ala Richard Niebuhr, Pak Gerrit dalam kerangka penghargaan terhadap HAM, mengingatkan kita agar memberi tempat kepada aspirasi-aspirasi daerah di Indonesia Timur (dan daerah lain?—pen.).50 Apakah di sini Pak Gerrit juga ingin mempertimbangkan historiografi Indonesia yang lebih menghargai daerah-daerah itu untuk tampil dengan segala dinamika kesejarahannya dan identitas kebangsaannya yang selama ini tidak berjalan karena adanya politik identitas kebangsaan NKRI yang hegemonik oleh pihak pemerintah pusat? Saya berpendapat bahwa kalangan Kristen Protestan Indonesia yang memiliki ”tradisi teologis-kritis dan emansipatoris” yang menjunjung tinggi semangat demokratis sebagaimana nyata dalam ajaran Protestan tentang ”Imamat Am Orang Percaya” perlu dikembangkan lebih lanjut. Saya kira ajaran ini dapat menyumbangkan aspek penting pada wacana demokrasi di Indonesia. Sayang sekali ajaran ini belum begitu dikembangkan sebagai dasar teologi sosial transformatif yang
223
mampu mendorong proses emansipasi rakyat dalam keseluruhan proses demokratisasi menuju civil society yang kuat!
Endnote 1
Bnd. Julianus Mojau, ”Teologi Sosial Kristen Protestan Selama Orde Baru (Sekitar Tahun 1970-1990-an) - Telaah Kritis dalam Hubungannya dengan Islam Indonesia” (Yogyakarta: SEAGST/UKDW, Disertasi, 2004), h. 30-159. Juga Julianus Mojau, ”Model-model Teologi Sosial Kristen Protestan sekitar 1970-1990-an: Sebuah Sketsa Umum yang Bersifat Kritis”, dalam Jurnal Teologi Proklamasi, Edisi No. 3/Th.2/Februari 2003, h. 9-17. 2 Tentu saja kategori ini tidak lagi memadai karena sekarang ini keanggotaan PGI sudah lintas denominasi, termasuk kalangan Protestan yang dulu disebut bukan arus utama (seperti Pentakosta). 3 Lih. ”Harapan dan Keprihatinan Bangsa dan Negara Memasuki Akhir Abad XX: Panggilan Kita dalam Pembangunan sebagai Pengamalan Pancasila”. Laporan Nasional Gereja dan Masyarakat IV, Bali 24-25 Agustus 1984 (Jakarta: DGI, 1984), h. 75-80. 4 Lih. E.G. Singgih, Iman dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), h.154. 5 Sejarah singkat lembaga ini dan kegiatan SAA dapat dilihat dalam Jan S. Aritonang dkk., Gereja di Abad 21 - Konsiliasi untuk Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan. Buku Peringatan 50 tahun PGI (Jakarta: Balitbang PGI, 2000), h. 185-197. 6 Studi Alle Hoekema cukup memperlihatkan hal itu. Lih. Alle Hoekema, Berpikir dalam Keseimbangan yang Dinamis: Sejarah Lahirnya Teologi Protestan Nasional di Indonesia (sekitar 1860-1960) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997). 7 Memasuki Masa Depan Bersama - Lima Dokumen Keesaan Gereja-gereja di Indonesia: Keputusan Sidang Raya X DGI, 21-31 Oktober 1984, Karang Panjang, Ambon, Maluku (Jakarta: BPK Gunung Mulia – bekerja sama dengan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, 1986), h. 33-34. Tulis miring dari penulis.
224
8
Lih. Lima Dokumen Keesaan Gereja Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (LDKG – PGI) : Keputusan Sidang Raya XII PGI, Jayapura, 21-30 Oktober 1994 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), h. 41. 9 Lih. Weinata Sairin (ed.), Pemilu, GBHN dan Visi Sosial Kemasyarakatan: Perspektif Gereja-gereja di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998), h. 400-407 dan Weinata Sairin (ed.), Pesan-pesan Kenabian di Pusaran Zaman: Dokumen Terpilih PGI Seputar Reformasi dan Isu Sosial Kemasyarakatan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), h. 318-326. 10 Lih. Dokumen Keesaan Gereja (DKG) 2000 (Jakarta: PGI, 2001), h. 63 (butir 2). 11 Julianus Mojau, “Teologi Politik Diskriminatif”, h. 6. 12 Eka Darmaputera, ”Bersama-sama Memperkukuh Persatuan, Kesatuan dan Moralitas Bangsa, Menegakkan Hukum, Keadilan dan Kebenaran, Memelihara Keutuhan Ciptaan Berdasarkan Kasih dalam Memasuki Abad ke-21”, dalam Carilah Tuhan, Maka Kamu Akan Hidup. Bahan Pemahaman Alkitab dan Pekan Doa Menyongsong SR XIII PGI, Maret 2000 Palangkaraya - Kalimantan Tengah (Jakarta: PGI, tt), h.21. 13 Lih. Pesan Konsultasi Nasional Gereja dan Politik – PGI, Akademi Leimena, dan PARKINDO, Pondok Remaja PGI Cipayung, 18-22 Agustus 2003. Dimuat dalam Dari Palangkaraya ke Jakarta: Perjalanan Pelayanan PGI 2000-2004 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), h. 252-253. 14 Lih. Dokumen Keesaan Gereja (DKG) 2000, h. 27 (butir 3). 15 Lih. artikel-artikelnya yang dihimpun dalam antologinya berjudul: Iman, Agama dan Masyarakat dalam Negara Pancasila (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002). 16 Lih. artikel-artikelnya dalam antologinya berjudul Di dalam Dunia, Tetapi Bukan dari Dunia: Pemikiran Teologis tentang Pergumulan Gereja dalam Masyarakat Indonesia yang Majemuk (Jakarta/Salatiga: BPK Gunung Mulia/Satya Wacana University Press, 2004). Sayang sekali antologi ini tidak memberi keterangan sumber asli karangan-karangan yang dimuatnya. Akan tetapi, saya yakin bahwa sebagian besar karangan ini ditulis sekitar tahun 1990-an. 17 Lih. John A. Titaley, ”Menuju Teologi Agama-agama yang Kontekstual”. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Teologi di Universitas Kristen Satya Wacana (Salatiga: Fakultas Teologi UKSW, 2001). 18 Lih. Mojau, Teologi Sosial Kristen Protestan Indonesia selama Orde Baru, h. 30-159.
225
19
Alex Litaay dkk. (eds.), Visi Baru untuk Era Baru dengan Generasi Baru. Laporan Nasional Gereja dan Masyarakat V, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, 18-22 April 1989, di Wisma Kinasih, Caringin, Bogor (Jakarta: Akademi Leimena, 1989), h. 19-20. Tulis miring penekanan dari penulis. 20 Bnd. F. Ukur dkk. (eds.), Membangun Masyarakat Pancasila yang Bersatu, Adil, Berdaulat, dan Beradab. Laporan Konperensi Gereja dan Masyarakat VI Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, 4-8 Agustus 1993 di Pusat Konferensi Kinasih Cemerlang, Caringin, Bogor (Jakarta: Akademi Leimena, 1994), h. 67-79; 175-178. 21 Litaay dkk. (eds.), Visi Baru untuk Era Baru dengan Generasi Baru, h.52. 22 Lih. Ukur dkk. (eds.), Membangun Masyarakat Pancasila yang Bersatu, Adil, Berdaulat, dan Beradab, h. 176. 23 Lih. dokumen ”Panggilan dan Tanggung Jawab Memasuki Masa Depan Bersama - Refleksi Umat Kristen Indonesia dalam Rangka Merayakan Paskah dan Menyongsong Pemilihan Umum 1997”. Dimuat dalam Sairin (peny.), Pemilu, GBHN dan Visi Sosial Kemasyarakatan, h. 400-419. 24 Sebagaimana dikutip dalam Aritonang dkk., Gereja Di Abad 21, h. 311312. Sekalipun dengan formulasi yang lebih dipengaruhi oleh wacana civil society, keyakinan kokoh ini masih kita baca dalam Dokumen Keesaan Gereja (DKG) 2000 hasil SR XIII di Palangkaraya. Lih. Dokumen Keesaan Gereja (DKG) 2000, h. 48-64. 25 Lih. artikelnya ”Konstitusi Madinah dan Konstitusi Indonesia”, dalam Setia, No.1/Tahun 1999, h.3-26 dan ”Gagasan Pemberlakuan Syariat Islam di Indonesia dan Konsekuensinya bagi Kelanjutan Kehidupan Berbangsa”, dalam John Titaley dkk. (eds.), Gagasan Pemberlakuan Syariat Islam: Urgensi dan Konsekuensinya (Jakarta: Komunitas NISITA, 2003), h. 49-58. 26 Lih. artikelnya “PGI di Tengah-Tengah Arus Reformasi dan Perumusan Kembali Ideologi Negara”, makalah yang disampaikan pada Konsultasi PERSETIA ”PGI Memasuki Abad XXI”, 25 Oktober 1999 di Yogyakarta. Dimuat dalam Setia, No.1/Tahun 2000, h. 1-13 dan ”Demokrasi Indonesia”. Makalah pada Seminar Indonesian Calvin Society, Jakarta, 4-11 Juli 2000, 15 h. Dengan cara memahami secara berbeda, kalangan Kristen Indonesia, baik Protestan arus utama dan bukan arus utama maupun Katolik tetap berpendirian bahwa ”Syariat Islam” tidak dapat menggantikan Pancasila. Lih. karangan-karangan, seperti Zakaria J. Ngelow, Suharyo, Yakub B. Susabda, Nico Gara, dan Yosua K. Bili yang dalam Gagasan Pemberlakuan Syariat Islam: Urgensi dan Konsekuensinya, h. 171-212. Mereka umumnya,
226
dengan asumsi dasar NKRI adalah bentuk negara kebangsaan yang final, berpendapat bahwa Pancasila memiliki nilai-nilai universal nondiskriminatif. 27 Bnd. Dokumen Keesaan Gereja (DKG) 2000, h. 63. 28 Dimuat dalam Tim Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-Agama di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), h. 19. 29 Lih. artikelnya ”Pluralisme Agama di tengah Krisis Orde Baru”, dalam Th. Sumartana dkk., Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia (Yogyakarta: Institut DIAN/Interfidei, 2001), h. 89-97) dan ”Dari Konfrontai ke Dialog (Beberapa Aspek Landasan Historis-Theologis Hubungan AntarEtnis dan Agama di Indonesia)”, dalam ibid., h. 99-105. 30 Lih. artikelnya yang dimuat dalam catatan kaki nomor 29 di atas, h. 2830. 31 Lih. Th. Sumartana, ”Pemikiran Kembali Kristologi untuk Menyongsong Dialog Kristen-Islam di Indonesia”, dalam Jurnal Penuntun, Vol. 4, No. 13, 1997/1998, h. 31-44. 32 Lih. artikelnya ”Hidup Kristiani dalam Masyarakat Keagamaan yang Bersifat Majemuk”, dalam Tim Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-Agama di Indonesia, h. 100-121 dan juga bukunya Iman dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia, h. 153-177. 33 Lih. artikelnya ”Etnisitas, Kebangsaan, dan Gereja: Pergumulan Kristen di Indonesia pada Awal Abad ke-21”, dalam Emanuel Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium III (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), h.124-157. 34 Mengantisipasi Masa Depan, h. 305-313; bnd. Iman dan Politik., h. 174177. 35 Lih. J. Garang (ed.), Carilah Tuhan, Maka Kamu Akan Hidup. Laporan Konferensi Gereja dan Masyarakat VII PGI, 29 September s/d 4 Oktober 1998, di Pusat Konferensi Kilang Kinasih Cemerlang, Caringin, Bogor (Jakarta: Akademi Leimena, 1999). 36 A.A. Yewangoe, “Gereja-gereja Menyongsong SR XIV PGI”, dalam Harian Suara Pembaruan, 26 November 2004. 37 Dokumen Keesaan Gereja 2000, h. 92. 38 Singgih, Iman dan Politik, h. 54-55. 39 Ibid., h. 51. 40 Ibid., h. 36. Cetak miring adalah penekanan dari penulis. 41 Zakaria J. Ngelow, ”Gereja dan Masyarakat Madani di Indonesia”, dalam Setia, No.1/Tahun 1999, h. 35-36. Untuk alasan inilah Ngelow menolak
227
politik Kristen model Yusuf-Daniel dan lebih memilih politik model MusaElia. Lih. artikelnya yang disampaikan pada Konsultasi Gereja dan Politik yang diselenggarakan oleh PGI, Agustus 2003. Dimuat dalam Gomar Gultom (ed.), Menggapai Gereja Inklusif. Bunga Rampai Penghargaan atas Pengabdian Pdt. Dr. JR. Hutauruk (Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 2004), h. 173-190. 42 ”Gereja dan Masyarakat Madani di Indonesia”, dalam Setia: Jurnal Teologi Persetia, No.1/Tahun 1999, h. 37-39. 43 Martin Lukito Sinaga, ”Membangun Suatu Masyarakat Sipil Indonesia: Belajar dari Abdurrahman Wahid dan Dietrich Bonhoeffer", dalam Penuntun, Vol. 4, No. 13, 1997/1998, h. 67-72 (69-71). 44 Martin L. Sinaga, ”Civil Society dan Masyarakat Madani: Tantangan bagi Teologi Sosial Gereja-gereja di Indonesia”, dalam Penuntun, Vol. 5, No. 17, 2000, h. 64. 45 Lih. Hotman M. Siahaan, ”Institusi Gereja dan Pemberdayaan Masyarakat Warga”, dalam Sairin (peny.), Visi Gereja Memasuki Milenium Baru, h. 33-37. 46 Lih. Dokumen Keesaan Gereja 2000, h. h. 47 (butir 8.2) dan h. 51 (butir 5). 47 Mojau, Teologi Sosial Kristen Protestan., h. 121-122. 48 Bnd. Julianus Mojau, ”Politik Allah, Politik Pemberdayaan - Menggagas Beberapa Agenda Teologi Politik Kontekstual dalam Konteks Pembangunan Daerah Maluku Utara”. Orasi pada Acara Dies Natalis STT GMIH Tobelo ke37, tanggal 28 Januari 2005, di Kampus STT GMIH Tobelo - Desa Wari Tobelo, Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara; h. 6-7; 11-13. 49 Lih. Singgih, Mengantisipasi Masa Depan, h. 167-174. 50 Bnd. Singgih, Iman dan Politik, h. 71-72.
228
Bagian V
TEOLOGI ESTETIKA
Volker Kuester Mgr. L. Suharyo Paulus S. Widjaja
“Only Literature Can Perform The Miracle of Reconciliation“ Aesthetic Agency in Post Conflict Situations in Korea and Germany Prof. Dr. Volker Küster
During the interviews for the nomination of the members of the South African Truth and Reconciliation Commission the colored writer Adam Small (*1936) 1 , one of the candidates himself, postulated: „Only literature can perform the miracle of reconciliation“ 2 . He thereby reconstitutes the dialectic between ethics and esthetics. I tend to rid Small’s controversial statement of its exclusivism and at the same time extend it to the artistic production at large. The modified thesis then reads as follows: ,Art can anticipate the miracle of reconciliation and serve as a catalyst in societal transformation processes‘. In a similar direction points the living sculpture that the artist duo Elmgreen & Dragset directed for the exhibition „Made in Germany“ in the Sprengel Museum Hannover. Close to the entrance in one of the exhibition halls a young actor dressed in every day clothes stands on a platform silently handing out little cards to the visitors on which one could read: Have you come here for forgiveness. Whoever accepted the card was first of all confronted with him or herself. It evoked the question about possible personal guilt. At the same time this declares the exhibition space and with it the arts a chapel resp. cathedral of reconciliation.3 The hypothesis formulated above shall be tested in what follows by a close reading of the works of two writers from Germany and South Korea, Uwe Timm and Hwang Sok-Yong. Both are interested in themes like guilt and reconciliation in the societal transformation Profesor Teologi Antarbudaya (Intercultural Theology) di Kampen Theological University dan Mainz University 229
processes of their countries. The esthetic question is interwoven with a theological one: in how far can secular art be interpreted theologically or to put it the other way round, in how far can theological language illumine secular circumstances. Christian vocabulary like forgiveness, reconciliation or grace for instance has made its inroads into resolving secular transformation processes.4 In spite of all cultural differences Germany and Korea are connected through their recent historical experiences. Both countries were divided after the end of World War II. Yet while the Germans were perpetrators, the Koreans were victims. Their hopes for freedom and independence after being released from the yoke of Japanese colonialism were distorted by the upcoming east-west conflict. Korea was divided along the 38. Parallel. 1950-53 a bloody civil war spread throughout the country. The iron curtain was woven much denser than in Germany. While the Germans were allowed to have certain contacts across the border even after the construction of the wall, Koreans were even forbidden to write letters. Only the historic meeting of the two Kim’s, South Korea’s president Kim Dae-Jung (1997-2002) and his North Korean counterpart Kim Young-Il (19942011) in 2000 resulted in a gradual opening. Germany experienced a fascist (1933-45) and in the east of the divided country also a communist dictatorship (1945-89). In Korea Japanese colonialism (1905/10-45) was followed in the South by an autocratic phase (1945-60) and a number of military governments (1961-88), interrupted only by a short democratic intermezzo. In the North immediately a communist regime established itself. South Koreans were interested observers of German reunification and learned their lessons for the envisioned reunification of their own country. The writer Uwe Timm is one of the most prolific representatives of the so called generation ’68.5 Born 1940 in the middle of World War Two, he later should deal in his books with the legacy of the Nazi epoch as well as with the consequences of imperialism and colonialism 6 . The learned furrier regarded it as his duty to first disencumber the fur shop of his father, before he could acquire the 230
university entrance diploma by second-chance education and start to study philosophy. He thereby single-mindedly followed his goal to devote his life to writing. In „My brother as an example“ (Am Beispiel meines Bruders) published in 2003 Timm addresses questions of guilt and conscience with regard to the years of the Nazi dictatorship from the perspective of the involvement of his own family. The formulistic summing up of the parents for what happened was the blow of fate, a fate, one could not influence. To have lost the boy and the home, was one of the sentences, with that they eluded themselves to think more deeply about the reasons. They thought to have contributed with this suffering their share to common atonement. Everything was horrible because they have become victimized themselves, victims of an inexplicable collective fate. It were daemonic forces that operated either beyond history or were part of human nature. In any case they were catastrophic and inevitable. Decisions one only could comply with. One felt treaded unjust by fate.7
In long flashbacks Timm dissects the life of his parents, searching for their conscience. While his father, according to Timm‘s observation, tries to avoid the question of guilt and relativizes it8, his mother at least allows it to be asked9. With the help of a fragmentary war diary the writer tries to get an impression of his 16 years older brother, who fell in Russia (1943). The book therefore in a sense becomes a requiem.10 The notes of the brother close with the words: „Herewith I end my diary, because I regard it as senseless, to take account of such cruel things as they sometimes happen.“ I have opened and read this passage time and again while I was writing – it was as if a ray of light was falling into darkness. How did this insight evolve? My brother mentions the death of two comrades and the loss of his home. Both events were dating back for quite some time. Could it be that in the meantime something has happened during his service, something horrible, that eludes this form of writing? His notes could not comprise the suffering, neither that of the others nor one’s own. It is the lack of any compassion – even in regard to oneself. The repetition made the futile even trivial. Does this insight, that one cannot take account of these cruel things, also comprise the foes and victims, the Russian soldiers and civilians? The Jews? The diary does not contain any anti-Semitic statements or stereotypes, like in the army post of other soldiers: 231
Untermenschen, dirt, vermin, the bluntness of the Russians. Yet one can also not find a sentence that shows something like compassion, no insinuation of criticizing the circumstances is to be detected, nothing that would explain a sudden conversion. The notes neither reveal someone who acts on conviction nor burgeoning resistance. They show – and that is what is terrifying – a partial blindness, only the normal is recorded. Even more surprising this sentence and the interstice between the last but one entry the journey continues and the insight, not to be able any more to write about such horrible things. There is the wish, my wish, that this interstice stands for a no, for the non-servo, that marks the beginning of the revoke of obedience and asks for more courage, than is necessary to blast breaches for the attacking tanks. That would be the courage that leads into separation, and into the pride and pain of the lonesome. 11
Timm gives word to his dismay of the banality of evil and the involvement of his own family. In a theologically drenched language he reveals, what still waits to be dealt with.12 Similar to Timm Korean writer Hwang Sok-Yong is also a chronicler of the recent history of his divided country. His novels have an autobiographic touch as well. Born 1943 in Manchuria, his family fled to the South during the days of the division of the country. He is tackling these experiences in his early book „The story of Mr. Han“.13 In his novel cycle „Chang Kilsan“ (1974-1984), originally published in sequel in a daily newspaper (Hanguk Ilbo) Hwang reconstructs Korean history from the perspective of the Minjung, the poor, oppressed Korean people. The main character Chang Kilsang is a kind of Korean Robin Hood. The core of the composition is formed by two legends „The falcon of Changsam Cap“ and „Chongbul Dong“. In 1989 Hwang travels to the North of the divided country to establish contacts with the writers’ organization there. Upon his return from exile in Berlin and New York in 1993 he is sentenced to imprisonment because of an alleged violation of the national security law. After the election of Kim Dae-Jung as president (1998) Hwang is released from prison with other political prisoners.
232
In his novel „The Guest“14 Hwang describes the massacres among North Korean civilians due to the conflicts between Christians and communists in the commotion of the Korean war (1950-53). He also focuses on the fate of two brothers, both Christians, who have been haunted by the ghosts of the past all their lives. The novel is composed in the form of a shamanist ritual (Chinogwi-kut) comprising twelve parts, that is supposed to guide the souls of the deceased safely into the hereafter. The author himself writes: I hope that this kind of personal kut, can contribute to heal the scars of war that are still visible on the Korean peninsula, 15 the ghosts of cold war find rest and a new century of reconciliation and cooperation may begin.16
The younger one of the two brothers Ryu Yosop goes on a trip to his home country in his old days. Shortly before his departure his brother Yohan dies. As a ghost he accompanies him on his journey into the past. Gradually the events are reconstructed in all their brutality. Not only the two brothers but also their relatives left behind and the ghosts of the victims raise their voices. When Yosop visits an uncle, from his mother’s side, Ahn Song-Man, called Some, it comes to a catharsis in a big witching hour. The other spirits also got up from their places along the wall without any sound and began to disappear in the darkness, pending like cloth widths in the wind. From afar a voice said: The killers and the killed, they all come together again in the other world. Then it was Yohan, who said to his brother: ‚Finally I am at home, and finally I can get rid of all the hate and anger, that has been in me for so long, and I don’t have to stray around in dark foreign territory. Take care, you two.‛ All the ghosts had left. Silence prevailed. Gradually the darkness disappeared, outside the window the silhouettes of the mountains emerged in front of the brightening sky. Nobody was in the room besides Yosop and his uncle. Uncle Some said: ‚Those, who had to leave, have gone, now those who are still here have to start anew to live. We have to clean this maculated country from its dirt, don’t you think so?‘ Yosop folded his hands and started to recite by heart a passage from the bible [Koh 3,8-11].17 233
Besides the division of the country (1945), that resulted in a devastating civil war (1950-53) and the preceding Japanese colonialism (1905/10-45) the period of the military dictatorship in the South (1961-88) and the still prevailing communist dictatorship in the North is the third traumatic experience of the Korean people, that waits to be coped with. In his novel “The far away Garden“18 Hwang Sok-Yong describes the difficult way of the political prisoner Oh Hyunuh back to freedom, for which he once fought. This fictive character stands exemplary for the experience of Hwang and many other South Koreans, who were imprisoned and tortured because of their peaceful engagement for democratization and reunification. With the help of the letters and diaries of his fiancé Han Yunhi, who died of cancer while he was imprisoned Oh opens up the lost years for himself and at the same time remembers the past. This becomes symbolically visible in a double portrait that she painted of him and herself. Several times it is mentioned in the book. Only after being released from prison our protagonist has to hear from his sister that Yunhi has died. She hands her letters that did not reach him in prison, over to Hyunuh. All that rests him is the memory of the months they shared in a hut in Galmoe, a village close to Kwangju. The teacher Han, daughter of a communist herself, has offered him, the politically haunted a place to hide from the police. In her last letter to him she writes: After leaving Galmoe I once painted your young face. Later I draw my own self which has grown old on the margins. Suddenly you looked, as if you were my son. [...] You had a life in there and I had one outside. Even though our days were quite hard, we should reconcile with them (44).
Homeless as he is Hyunuh starts out on a journey into their common past. In the small hut – that Yunhi bought before her death, to leave behind at least a place for her lover and that still is maintained by their former landlady – he finds her diaries and the painting: I draw forth one of the paintings and put it on the empty easel. Two faces were depicted on the picture – one big, the other small. The left one was mine. On the picture I was wearing a blue-white checkered, short-sleeved shirt. It was my last summer in freedom. In those days 234
everybody was wearing long hair. My hair was also covering the collar. Around the eyes a dark shadow was drawn; the cavernous cheeks seemed to express my suffering. The background was painted in a dark red basic tint, the China blue painted at right angle, emphasized the sad mood even more. The lattice window pasted with paper next to my face was covered with grey color by Yunhi and then – that’s how she described it in her letter to me – she has drawn her own portrait upon it. Only now I saw the face of her last years. She has painted over it several times with crude and broad strokes. Her hair was partly grey and the eyes were only painted in black, so that one could hardly detect the expression behind them. The cheeks themselves were painted over with different colors. She was no young woman anymore. Still her peculiar smile, that one could hardly asses, was clearly recognizable on the fine contours of her lips. She looked at me quiescently with this smile, that I loved so much. A young man, thirty two years of age and a woman in her forties were looking at me (76f).
Through Yunhi’s notes Hyunuh also gets to know about their daughter, who was raised by her sister. Besides the hut in Galmoe she is the only connection that lasted between the two lovers: „While I was convinced, that nothing remained of her, Yunhi has in fact left this child behind“ (173). The end of the book leaves open, whether the father succeeds in establishing a lasting relationship with his in the meantime 17 years old daughter. From Galmoe he seems in any case to have already taken his leave, with a last look at the painting. Now I am looking again at my young face that Yunhi left behind in Galmoe. [...] In the period between the middle of July until beginning of August, when she painted that image most of the time dominated tight silence between us. Still we always were very close to each other. Sometimes she was smiling so strangely, and all the time she seemed as if she wanted to say something. If I recall this now, she did not look alone at me, but together with the child. At the place were originally the lattice window was, she painted her face. Her distinctive cheekbones, the crinkles around her eyes and her hair that started to turn grey, made her look lonely. Her eyes however attested to a deep inner peace, just like her warm smile. The young man of thirty-two and the woman above her forties seemed to look out of the picture into the real world. Standing behind me, she loomed over my shoulder. In what direction did the path lead that my 235
young, passionate I had chosen – and that she should see over my shoulder only much later with her own eyes (238f)?
In his novel „The friend and the stranger“19 Uwe Timm also deals with his experience of the student movement, when he recalls his friendship with Benno Ohnesorg, who was killed by policeman KarlHeinz Kurras during the demonstrations against the state visit of the shah of Persia Reza Pachlevi 20 in 1967. His death triggered in a certain sense the German student movement21 that turned against the ongoing western imperialism in the third world as well as the repression of the German Nazi past. Timm had lost contact with the friend of his youth many years before. He hears about his death through the radio while he is studying in Paris. It cost the writer decennia until he was able to compose this requiem on the fellow of the long gone days of his youth. Again the image of a man and a woman – this time a photo – has a central function for remembering the past. He has made a difference – as victim. The photo that shows him lying on the ground that could be seen in all newspapers, that was reprinted time and again, that I saw in Paris. This young woman bend over him, holding his head, the blood on the ground, this photo has caused outrage, like only pictures can do. [...] The photo, that shows him lying on the ground dying, accumulates Christian motives. This woman, in a festive black cape, leaving the arms free. She kneels next to him; her gaze is directed upwards to the right. The association is obvious: a religious icon. Does she talk to somebody? Does she ask for something? This picture shows the situation of sacrifice. Also the despair in regard to the powerlessness over against the factual, the violence, the death, all that transformed the existing, pent up reluctance in the will to act. The time was as we say ripe. In order for such thunderstorms to happen, a special occasion is necessary, a special person, a special image that anchored in consciousness that loads the cognition with emotion that on its part lightens analytically acquired knowledge. 22
Timm, who identifies himself as an agnostic, reveals the religious connotations of this icon of the generation ‛68. He refers to the pieta and talks about sacrifice in recollection of the traditional interpretation of the death of Jesus Christ on the cross: „the sacrificial death, a death that spares others to die“23. 236
There is a big risk that after the overthrow of dictatorships or the end of bloody civil wars those forces get their way, that want to suppress and make forgotten the horror about the deeds and return to normal as soon as possible. The perpetrators often escape from punishment for this feigned new beginning, while the victims are left alone with their traumas. Theologically Johann Baptist Metz sees here a structural parallel in Christianity. The „soteriological circle“ makes „that the church is always more at ease with the guilty perpetrators than with the innocent victims“.24 An aesthetic search for traces of human suffering as it has been carried out here on literary territory is trying to counteract these tendencies. Metz repeated polemic against an esthetization of intellectual discourses including theology, seems to me still to be oriented on the classical identification of esthetics and beauty.25 I am applying a much broader concept of esthetics that comprises the perception of the ugly and the evil, as well as the suffering of the victims. In the strenuous reconstruction of the relation between esthetics and ethics is not about an esthetization of suffering in terms of its appraisal but about its disclosure, coping with and preservation of memory. This is theologically in line with Metz’ program of Memoria Passionis. At least five themes are reoccurring in this regard: the resistance against forgetting, the wish to understand what has happened, the expectation, that the perpetrators show penitence, the question if amnesty or grace should be granted and the necessity to pay reparations to the victims. In the course of secularization God’s countenance has been disguised in western culture. At the same time her representatives often deny her origin in Christian religion and iconography. Theologians therefore have to uncover painstakingly the traces of God in contemporary culture. Therefore an esthetic turn is necessary in theology. Late modern hermeneutics locates the reader in the text. A Christian reader therefore can also interpret a secular text from a religious perspective. The text may however not be misappropriated. The respect for the autonomy of the work of art commands to keep the necessary distance. Good literature will never be exhausted in one 237
interpretation, but evoke in interaction with her readers a number of meanings. At the same time it sets the limits of its interpretation itself, it does not allow just any. Adam Small seems to pave the way for artists and theologians to enter into a fruitful dialogue for both sides. This allows an interstitial or Third Space to open up, in which one can negotiate between art and theology.26 Theological and religious language can then serve to illumine secular circumstances, similar the secular language of art can contain theological content. In this process artists can become in a sense theologians and theologians become artists.
238
Endnote 1
Small, who was closely associated with the Black Consciousness Movement, is the most prolific representative of the coloreds of the South African Cape Province. 2 Quoted in Antjie Krog, Country of my Skull, London 1999, 26. 3 Cf. Made in Germany. Kurzführer / Short Guide, Hannover 2007, 98. For a more extensive treatment cf. Volker Küster, Gott/Terror. Ein Diptychon, Frankfurt a.M. 2009. 4 Cf. John W. de Gruchy, Reconciliation. Restoring Justice, Minneapolis 2002. 5 6 Cf. his early roman a clef Uwe Timm, Heißer Sommer, München 2007 6 *1974+ and it’s ironic reverberation in Uwe Timm, Rot, München 2006 [2001]. 6 Cf. Uwe Timm, Morenga, München 1978. 7 3 Uwe Timm, Am Beispiel meines Bruders, München 2005 , 87f. 8 Timm, Am Beispiel, 130; Martin Hielscher, Uwe Timm, München 2007 talks about “the Prussian German nationalistic and conservative middleclass values of the father” (cf. ibid., 29). 9 Timm, Am Beispiel, 129. 10 Hielscher, Timm 177 compares the composition of the book with a fugue. Four times the death of a family member is described, father, mother and the two older siblings, brother and sister. 11 Timm, Am Beispiel, 147f. 12 “Only if something is articulated, resistance can emerge” (ibid., 129). 13 Hwang Sok-Yong, Die Geschichte des Herrn Han, München 2005 [Kor. 1972]. 14 Hwang Sok-Yong, Der Gast, München 2007. 15 Theologically a similar language game can be found in Dietrich Bonhoeffer, Ethik, Munich 1992, 125-136 esp. 133-136. For Bonhoeffer justification can only take place within the church “for the nations there is only the scarification of guilt and the return to order, law and peace.” Cf. Magdalene L. Frettlöh, “Der Mensch heißt Mensch, weil er ... vergibt”? Philosophisch-politische und anthropologische Vergebungsdiskurse im Licht der fünften Vaterunserbitte, in: “Wie? Auch wir vergeben unseren Schuldigern?” Jabboq 5, ed. by Jürgen Ebach et. al., Gütersloh 2004, 179215, 186. 16 Hwang, Nachwort [Postscript], in: Der Gast, 294-297, 297. 17 Hwang, Der Gast, 285. 239
18
Hwang Sok-Yong, Der ferne Garten, München 2005; page references in the text. 19 Uwe Timm, Der Freund und der Fremde, Köln 2005. 20 Mohammed Reza Pahlavi who came to power in 1941 after his father had resigned established a pro-western anti-communist regime, what guaranteed him the support of the US. Cf. Bahmãn Nirumand, Persien, Modell eines Entwicklungslandes oder Die Diktatur der Freien Welt, Hamburg 1967, a popular book in the student movement that was also found in the bequest of Benno Ohnesorg. 21 The self-immolation of worker Chun Tae-Il (1971) protesting against the inhuman working conditions in the textile industry had a similar function for the South Korean student movement. 22 Timm, Der Freund, 117f. 23 Ibid., 113. 24 Johann Baptist Metz, Memoria Passionis. Ein provozierendes Gedächtnis in pluralistischer Gesellschaft, Freiburg i.Br. 2006, 57. 25 Cf. ibid., 18f., 105 und 138. 26 Cf. Volker Küster, Who, with whom, about what? Exploring the Landscape of Inter-religious Dialogue, in: Exchange 33, 2004, 73-92.
240
Gereja Maria Assumpta Klaten: Sebuah Usaha Kontekstualisasi Mgr. Ignatius Suharyo
Pengantar Dalam buku berjudul Dari Israel ke Asia yang diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia pada tahun 1982, E.G. Singgih antara lain menulis, ”Akhirnya orang akan tahu bahwa bentuk arsitektur suatu bangunan, apalagi yang berupa sebuah bangunan peribadatan, adalah hasil pemikiran yang dalam …. Artinya orang tidak akan begitu saja mengganti model ’gereja ayam’ dengan misalnya gereja berbentuk pendopo, tanpa mendalami seluk-beluk pemahaman di belakang kedua model itu.” Dalam rangka ikut mengisi buku penghormatan (festschrift) bagi E.G. Singgih, saya akan menceritakan kembali ceramah yang diberikan oleh almarhum Y.B. Mangunwijaya pada peringatan dua puluh lima tahun gedung Gereja Maria Assumpta Klaten (tahun 1983) yang selesai beliau bangun pada tahun 1968. Yang dikatakan oleh E.G. Singgih dalam kutipan di atas kiranya mendapat jawabannya dalam arsitektur gereja ini. Gereja pasca Konsili Vatikan II Gereja Klaten dibangun sesudah Konsili Vatikan II. Oleh karena itu, gedung gereja ini harus mengekspresikan sebaik mungkin Gereja pasca Vatikan II juga. Inilah yang dikehendaki oleh Bapak Uskup Agung Semarang Justinus Kardinal Darmojuwono. Oleh karena itu, Gereja Maria Assumpta dirancang dalam konsep Gereja sebagai ”paguyuban akrab orang beriman” yang serba sederhana, walaupun ini sulit mengingat bangunan gereja yang diminta cukup besar. Selain itu, lokasi gereja tidak luas dan dapat dikatakan memang terjepit di dalam kampung, bahkan dengan lorong kampung yang berbelok antara gereja lama dan SD Kanisius. Ide paguyuban yang
Sekarang adalah Uskup Agung Jakarta
241
tidak sombong, tetapi berjiwa rendah hati, pelayan, punokawan bagi rakyat Indonesia, tampak dari bagian muka gereja baru (yang menghadap ke jalan raya) yang sengaja dibuat tidak menonjol. Sebetulnya, Gereja Maria Assumpta ini tidak mempunyai sisi muka atau sisi belakang. Gereja memperlihatkan wajahnya ke segala arah. Sesuai dengan panggilan arahnya, gereja ini menghadap baik ke jalan raya, ke lapangan SD, ke kampung, maupun ke pastoran: menghadap ke diri gereja intern sendiri (pastoran), ke masyarakat luas yang dinamis (jalan raya), teristimewa ke anak-anak dan generasi muda penerus (SD Kanisius) dan ke tetangga lingkungan (selatan ke kampung). Kesan dari jalan raya tidak triumphant, provokatif, tetapi penuh rasa rendah hati selaku punokawan atau lebih relevan sebagai Bunda Maria yang menghadap ke segala putra-putrinya di semua kiblat papat, menawarkan kasih sayangnya dengan segala kesederhanaannya yang manis. Oleh karena itu, bentuk dan susunan dasar seluruh arsitektur gereja ini tidak jantan bergaya hebat terhadap masyarakat, tetapi bersifat dan bersuasana feminin, penuh keibuan. Konsep Rumah Jawa Sesuai dengan filsafat Jawa tentang rumah, pada hakikatnya Gereja Maria Assumpta Klaten ini bukanlah gedhong dalam arti Barat. Rumah dalam filsafat Jawa adalah halaman, pelataran, bahkan kebun. Di dalam halaman itu ada payung-payung, yang terungkap oleh yang disebut pendhopo. Bagian yang disebut dalem di belakangnya, secara prinsip adalah payung juga, tetapi karena menyimpan harta pusaka berharga, ditutup oleh dinding-dinding, meski dinding lepas. Gebyog dan dinding-dinding rumah Jawa selalu mudah dilepas praktis bila ada keperluan pesta besar. Rumah Jawa adalah seluruh kompleks halaman seisinya. Masuk ke halaman sudah masuk ke dalam rumah seseorang. Hal ini sangat tampak pada istana-istana Yogyakarta-Solo, namun juga pada gagasan rumah Jawa asli yang berpintu gerbang regol. Rumah Jawa asli tradisional bukan milik si penghuninya, melainkan milik Dewi Sri, yang dipercayai tinggal di dalam dalem atau petanen (dari kata ”tani”, tepatnya Sang Tani ialah Dewi Sri), dengan senthong tengahnya yang keramat, tempat semayam Dewi Sri yang
242
disimbolkan oleh balai tidur Sang Dewi dan senthong mempelai baru di sampingnya tempat pembuahan pertama pengantin baru sebagai partisipasi dalam misteri kesuburan mistik adikodrati menurut kepercayaan Jawa. Dalam dalem disimpan juga panenan pertama sebagai persembahan, juga harta pusaka keluarga. Maka, di dalam dalem ini pun upacara-upacara suci diadakan, seperti pernikahan, atau sujud berdoa, meditasi. Infrastruktur Jawa tersebut sangat berharga dan sangat pantas ”dibaptis” sebagai dasar struktur liturgis bangunan gereja. Penghuni rumah dalam kepercayaan Jawa hanya ngenger, maka tinggal di gandhok. Pastoran adalah gandhok dalam kompleks Gereja Maria Assumpta ini. Yang berdiam dalam gereja adalah Tuhan. Tentulah Tuhan hadir di mana-mana, tetapi manusia membutuhkan bahasa lambang untuk menghayati sesuatu yang dalam maknanya. Antara dalem dan pendhopo terdapat seketeng (Belanda: schutting) atau pringgitan (dari kata ringgit, wayang). Pringgitan ini memisahkan bagian pedhopo (=pihak luar, profan) dan dalem (pihak dalam, keramat, suci). Kalau ada pagelaran wayang kulit, para tamu agung duduk di dalam dalem menikmati wayang kulit yang tampak sebagai bayangan-bayangan (= dunia sakral), sedangkan rakyat duduk di bagian pendhopo (= dunia profan), melihat wayang kulit dalam wujud wadaknya saja, belum dalam pemaknaan mistiknya selaku bayangan, wayang. Rumah Tuhan dan Rumah Manusia Dalam pemahaman pasca Konsili Vatikan II, ”Rumah Tuhan” adalah sekaligus rumah manusia. Maka, gereja Klaten tidak teramat keras dalam pembagian dalem mistik suci dan pendhopo profan. Namun, perpindahan psikologis sangat diperhatikan agar jangan mengejutkan atau serba mendadak dari dunia khalayak ramai yang bersifat duniawi ke bagian dalam gereja yang sakral. Oleh karena itu, dari seluruh struktur dan bentuk dasar makro tampaklah bahwa bangunan Gereja Maria Assumpta terbagi dalam dua bagian pokok. Pertama, bagian yang melambangkan Rumah Tuhan (dalem), ialah bangsal besar yang tergelar di bawah soko-soko guru. Kedua, rumah manusia, yakni bangsal yang beratap lebih
243
rendah di sebelah utara, yang dibatasi oleh talang tengah dan sokosoko pendukungnya dari bagian dalem. Ruang yang lebih rendah atapnya ini dimaksudkan juga untuk misalnya pengajaran agama, instruksi atau pembinaan rohani, latihan koor, rapat Dewan Paroki dan sidang-sidang perhimpunan-perhimpunan yang bersangkut paut dengan hidup kegerejaan, atau keperluan-keperluan lain. Bagian di bawah atap rendah ini semartabat dengan pendhopo dalam rumah Jawa atau Siti Hinggil dalam istana kesultanan, yakni tempat pertemuan antara raja atau penghuni rumah (dalem yang keramat atau intim) dengan anggota masyarakat atau dunia luar. Dulu di antara bagian dalem dan pendhopo dalam Gereja Maria Assumpta ini ada semacam seketeng atau pringgitan, terbuat dari bambu tutul, sehingga dalam situasi sehari-hari bagian dalem terpisah secara visual dari bagian pendhopo. Dengan demikian, umat dapat mengadakan rapat, latihan koor, mengobrol, bahkan bersenda gurau, dan sebagainya tanpa ada perasaan ”memprofanasi” bagian dalem. Demikianlah diekspresikan rumah manusia yang berpadu dengan bagian gereja sesungguhnya, Rumah Tuhan, dalem. Tentu saja dalam menerjemahkan prinsip dalem dan pendhopo atau unsur-unsur lain rumah Jawa Kuno ke dalam arsitektur modern kita tidak mungkin membuat paralel yang serba konsekuen kaku. Bagaimanapun juga kita membuat gereja untuk generasi modern sekarang, bukan untuk orang-orang masa lampau. Akan tetapi, arsitektur modern pun dapat belajar dan memanfaatkan hikmah dan bahasa lambang yang berharga dan indah dari nenek moyang, kendati dalam bahasa dan bahan-bahan bangunan yang modern. Siti Hinggil Konsekuen bertolak dari konsepsi Jawa mengenai rumah sebagai kampung halaman, maka lantai gereja dibuat tidak dengan bahan tegel yang mengilap (simbol istana), tetapi dengan batu-batu beton kasar seperti blok-blok beton halaman, karena tempat pertemuan Tuhan dan manusia dalam tradisi Alkitab hampir tidak pernah terjadi dalam istana, tetapi di alam terbuka (siti = tanah, hinggil = tinggi). Bapa Abraham, Yakub, Musa, Daud, Khotbah di Bukit, peristiwa Gunung Tabor, Golgota, kenaikan Yesus ke surga, semua bertempat
244
pada siti yang berkat kehadiran Tuhan bermartabat hinggil. Memang gereja dalam penghayatan pasca Vatikan II bukan istana, melainkan lokasi rakyat, paguyuban, khususnya demi si dina lembah miskin. Bangunan gereja Klaten pada dasarnya hanyalah payung. Struktur dasar gereja yang berilham pada budaya Jawa sangat sejajar dengan budaya Israel yang dapat kita lihat dalam Alkitab. Bait Allah di Yerusalem dibangun juga pada suatu siti hinggil. Halaman paling luas sebetulnya masih semacam alun-alun, di mana sembarang orang asing pun boleh lalu lalang karena itu disebut halaman ”kaum kafir”. Hanya umat Israel diizinkan melewati pintu gerbang utama masuk ke halaman dalam dari Bait Yerusalem. Namun, tetaplah orang tidak langsung masuk ke dalam Pedaleman Suci (= Bait Allah), tetapi ke dalam suatu halaman, pelataran lain lagi, yang disebut ”halaman kaum perempuan”, karena dulu kaum perempuan hanya boleh hadir sampai di sini, tidak boleh masuk ke dalam wilayah Bait Suci. Bait Suci sendiri dengan pelatarannya terdiri dari yang disebut Yang Suci dan Yang Mahasuci. Hanya para imam yang boleh masuk ke dalam Yang Mahasuci. Bila kita masuk dari jalan besar ke wilayah Gereja Maria Assumpta, orang juga masuk dulu ke dalam suatu halaman muka yang tidak akan disebut secara diskriminatif sebagai halamam kaum kafir, tetapi mungkin halaman Adam. Baru di depan pastoran kita masuk lewat pintu gerbang utama yang mungkin dapat disebut secara alkitabiah sebagai gerbang Abraham ke dalam suatu pelataran dalam yang jelas tidak akan kita sebut halaman kaum perempuan karena kita hidup dalam alam Perjanjian Baru. Barangkali ada maknanya disebut dengan ”Halaman Miryam” yang menjadi ibu Israel Baru, yakni Gereja. Maka, cocoklah apabila tempat ini dipakai untuk menghormati Bunda Maria. Urut-urutan masuk ke dalam gereja tersebut di atas adalah usaha agar secara psikologis umat disiapkan secara bertahap, berpindah dari dunia ramai tidak langsung serta-merta masuk ke dalam bagian suci dari gereja, tetapi lewat ruang-ruang atau halaman-halaman antara lebih dahulu. Tentulah ini tidak selalu mungkin. Nyatanya gereja Klaten juga punya pintu-pintu lain, dari timur masuk langsung ke dalam bagian pendhopo dan dari selatan kita masuk langsung dari
245
belakang juga ke dalam dalem. Namun, paling tidak ada satu bagian yang mengandung makna khusus dan sebetulnya suatu jenis katekese juga dalam bentuk arsitektur tentang sejarah keselamatan. Keterbukaan budaya rumah Jawa dan keterbukaan Gereja Maria Assumpta menandai ciri-ciri Gereja pasca Konsili Vatikan II yang ingin terbuka berdialog dengan masyarakat dan penganut agamaagama lain. Keterbukaan pastoral tersebut terungkap juga oleh dinding-dinding bagian timur yang hanya gebyog papan-papan. Altar dan panti imam pun tidak dapat ditempatkan di poros seperti dalam prinsip gereja model Barat dulu yang simetris. Sentral tidak harus di tengah, tetapi dalam fokus. Tentulah letak panti imam di gereja Klaten tidak sangat ideal, tetapi dipaksa oleh situasi dan kondisi setempat. Altar harus tampak dari halaman sekolah dan dari ruang-ruang pastoran yang dimaksud sebagai ruangan para eyang dan para sepuh yang tidak kuat dengan angin-dingin. Gereja dan Masyarakat Seperti dalam rumah Jawa, Gereja Maria Assumpta mempunyai soko guru-soko guru, tetapi tidak empat. Cukuplah dua, sebagai lambang dari tugas dan program Gereja yang terungkap oleh Konsili Vatikan II: Gereja dan masyarakat. Soko guru yang sebelah barat diberi tanda gambar lambang Bapak Kardinal Darmojuwono, pemrakarsa utama gereja ini, sebagai personifikasi dari soko penugasan Gereja. Sementara itu, soko guru yang di sebelah timur diberi lambang Garuda, bukan Garuda lambang negara yang resmi, melainkan Garuda yang non-formal atau soko tugas demi masyarakat dengan Pancasila selaku asas. Tiap soko guru terdiri atas tiga tiang yang menyadarkan kita kembali kepada Tritunggal Kudus yang menopang seluruh alam semesta. Atap besar yang ditopang oleh dua soko guru tersebut selaku konstruksi tidak mempunyai kuda-kuda, tetapi berprinsip konstruksi tenda, yang ingin mengingatkan kita kepada tenda penyimpan batubatu perjanjian antara Tuhan dengan Israel di Sinai yang diarak selama bangsa Israel mengembara di padang gurun, sampai akhirnya diletakkan dalam Bait Yerusalem yang dibangun oleh Raja Salomo, disimpan dalam bagian yang disebut ”tabernakel”, artinya tenda.
246
Tabernakel Yang sekarang kita sebut dengan tabernakel mengacu pada tabernakel Israel tersebut, namun dalam konteks Perjanjian Baru, menyimpan roti Ekaristi yang sudah dikonsekrasi untuk pada waktunya dibagikan kepada yang sakit, yang tidak dapat hadir dalam Ekaristi, atau demi keperluan-keperluan lain di luar ibadat Ekaristi. Tabernakel gereja Klaten diletakkan dalam ruang khusus yang lebih tersembunyi, artinya lebih keramat. Ruang gereja besar, tempat umat merayakan Ekaristi, terlalu besar dan luas, dan di luar kebaktian Ekaristi sering dipakai untuk keperluan lain yang kurang memungkinkan suasana yang keramat tenang atau teduh mistik. Maka, demi penghormatan yang lebih wajar tabernakel, tempat penyimpanan hosti suci, diletakkan dalam ruangan yang bersuasana lebih terpingit sakral, mungkin lebih mistik lebih angker, dalam suatu luwangan. Luwangan ini juga khas Klaten atau Jawa Tengah bagian selatan. Dulu orang-orang Jawa, tidak terkecuali orang-orang Katolik pertama di daerah Klaten, suka bertapa-brata. Untuk itu, sering mereka bepantang dan berpuasa di dalam suatu luwangan atau lubang di tanah yang mereka gali di dalam rumah. Di situ mereka bertapa-brata untuk waktu tertentu. Ide luwangan tersebut diinkulturasikan ke dalam gereja Klaten ini; dan memang di dalam luwangan di mana tabernakel ditempatkan, para umat Klaten sering berdoa, bernovena atau bermeditasi secara pribadi atau berkelompok di hadapan tabernakel. Bentuk tabernakel sendiri berupa suatu tugu dengan gambar api menyala, mengacu kepada perdu yang menyala di padang pasir, tempat Yahwe menampakkan diri-Nya kepada Musa dan memanggilnya untuk membebaskan bangsa Israel dari Mesir. Api adalah lambang Roh Kudus, yang membakar segala noda dan dosa kita dan yang menyalakan semangat kristiani dan gelora kerasulan serba baru untuk membebaskan manusia dari belenggu-belenggu dosa dan segala struktur masyarakat, adat istiadat serta segala hal yang serba membelenggu dan memiskinkan manusia.
247
Ruang Rekonsiliasi Tapa-brata dalam konsep Katolik tidak bermaksud mencari harta, kekuasaan, atau kenikmatan, tetapi untuk mengikis segala dosa dan noda manusia berkat rahmat Tuhan. Maka, sudah tepat jugalah apabila di dekat luwangan tersebut ruang-ruang rekonsiliasi atau ruang-ruang perukunan kembali (= pengakuan dosa) ditempatkan. Ruang rekonsilisasi dalam alam pasca Vatikan II dan penghayatan kristiani yang lebih asli sebenarnya bukan ruang yang gelap sempit seram muram menakutkan, melainkan suatu tempat penuh kegembiraan dan kebahagiaan. Ruang rekonsiliasi justru harus menyinarkan ekspresi yang lapang dan lega, menggembirakan, penuh syukur atas kemahabaikan Tuhan yang selalu mengampuni orang berdosa dan menolong yang lemah. Oleh karena itu, dalam rancangan asli Gereja Maria Assumpta, ruang rekonsiliasi ditata sebagai ruang bicara biasa dengan meja bertaplak meriah, bahkan dengan bejana bunga agar tampak suasana gembira. Di situ baik umat maupun imamnya menghayati rahmat Allah yang Maha Pengampun dan Mahabaik. Bagi orang Kristen, Allah bukan polisi yang seram kejam menuntut denda belaka, melainkan Bapa Maha Penyayang. Peristiwa sakramen perukunan kembali dan begitu juga suasana arsitektur kamar rekonsiliasi adalah peristiwa membahagiakan yang merupakan bagian penting dari Injil, yaitu warta gembira. Altar Pusat perayaan Ekaristi, terutama bagian kedua, adalah altar. Di sekitar altar umat berkumpul untuk memperingati wafat Kristus, memuliakan kebangkitan-Nya, dan bersama-sama menantikan kedatangan-Nya kembali. Di panti imam ada tiga kursi bagi uskup, imam, dan diakon tertahbis, serta mengitari altar di sisi barang ada bangku setengah melengkung yang dimaksudkan untuk para pemuka umat. Dalam liturgi yang baik semestinya para pemuka umat pun terintegrasi aktif ke dalam peristiwa Ekaristi. Pada bangku inilah mereka duduk selaku wakil formal dari umat, khususnya pada upacara Kamis Putih, ketika 12 wakil umat yang melambangkan para rasul dicuci kakinya, mengikuti teladan Yesus.
248
Altar Gereja Maria Assumpta ini dibuat dari segala macam potongan kayu bahan bangunan gereja yang tersisa dan tercecer. Sisa-sisa bahan ini dihimpun menjadi altar yang berbentuk seni, melambangkan tumpukan kayu, tempat Bapa Abraham menempatkan putra tersayang Ishak untuk dikorbankan, seperti yang diperintahkan oleh Yahwe. Sementara itu, altar sebetulnya adalah meja peristiwa bersantap bersama, bukan monumen. Altar yang ada di gereja ini menyimpan pesan pewartaanya sendiri: Dibentuk dari sisa-sisa kayu sebagai lambang sikap Tuhan yang Mahabaik, yang tidak pernah mencampakkan manusia, kendati ibarat sudah menjadi sampah atau limbah yang hanya layak dibuang atau dibakar. Sisa-sisa kayu pembangunan yang dikomposisi menjadi altar gereja Klaten ini diharapkan merupakan simbol dan peringatan kepada kita bahwa kita pun jangan suka membuang sisa-sisa barang atau makanan. Barangbarang, apalagi manusia, yang menurut aggapan kita sudah tidak berguna, ternyata dengan cinta kasih dan ketekunan yang sabar, seperti kayu sisa-sisa tadi, dapat menjadi altar gereja. Demikian pun pada salah satu lubang soko guru dipasang penutup terali yang terbuat dari sisa-sisa begel-begel besi beton yang tersisa tidak terpakai lagi, dan yang dikomposisi menjadi sesuatu yang sangat berguna dalam gereja. Segala sesuatu selalu menjadi komponen baru demi suatu sintesis yang baru pula. Langenswara Dalam gereja-gereja yang lama ada yang disebut koor, tempat para penyanyi yang terlatih mementaskan lagu-lagu kegerejaan. Dalam penghayatan liturgi pasca Konsili Vatikan II, dengan definisi Gereja sebagai umat Allah yang mengembara, fungsi koor sudah tidak utama lagi. Hendaklah selalu diingat, bahwa menyanyi dalam gereja bukanlah pementasan seni suara, tetapi suatu pernyataan penuh ciptarasa-karsa manusiawi dari dan oleh seluruh umat untuk memuji Tuhan serta alam ciptaaan-Nya. Dalam ruang Gereja Maria Assumpta ini, di manakah letak penyanyi koor? Jelas tidak di tempat yang utama. Maka, sebaiknya letaknya adalah di tempat yang tidak penting. Di sana pun perangkat gemelan
249
dapat diletakkan. Dalam bagian gereja ini latihan-latihan koor dapat diadakan tanpa mengganggu kesakralan gereja bagian dalam. Segala yang tidak bersifat keramat, dalam rumah Jawa pun tidak dilakukan dalam dalem, tetapi dalam pendhopo. Ini soal kebudayaan, jadi sangat menyangkut perasaan dan intuisi. Sebetulnya, koor apalagi gamelan terdengar lebih merdu bila suaranya datang agak jauh, sayup-sayup. Di dalam istana Jawa pun gamelan diletakkan agak di belakang, atau di tempat yang tidak terlalu mencolok. Warna-warna, Busana, dan Hiasan Liturgi Oleh karena gereja dalam simbol dirasakan sebagai ”Ibunda”, maka perwarnaannya pun tidak boleh sembarangan. Warna biru adalah warna feminin dan keibuan. Demikian warna putih sangat serasi. Hanya dinding panti imam dan lambang-lambang api pada tiangtiang beton mendapat warna merah menyala, sebagai kontras dan simbolisasi juga dari Roh Allah yang menjadi pengilham dan peneguh hidup kita. Gedung gereja baru hidup apabila sedang dimanfaatkan dalam liturgi. Oleh karena itu, dari segi arsitektur, busana liturgis pun merupakan bagian integral dengan arsitektur gereja dalam peristiwa liturgi suci. Maka, busana liturgis para pelaku utama khususnya para pelayanan misa perlu mendapat desain yang selaras. Selaras artinya anggun dan sederhana. Kita ingat kepada peringatan Yesus yang mengomentari busana kaum Parisi yang serba gombyokan. Liturgi adalah suatu pernyataan budi mulia umat yang sederhana penuh rendah hati menghadap Allah yang Mahaagung. Akhir Kata Bangunan gereja barulah hidup apabila sebagian besar dari 24 jam sehari dipakai dan dihadiri oleh umat, khususnya oleh anak-anak dan generasi muda. Gereja sudah berjasa dengan tepat apabila hanya berfungsi liturgis satu kali dalam seminggu. Namun, alangkah baiknya apabila banyak kegiatan di luar ibadat dapat menyemarakkan gereja. Latihan koor, persekutuan doa, sidang serta perbincangan serius atau bahkan gelak tawa remaja pun dapat membuat bangunan gereja hidup dan membuat kerasan serta
250
membahagiakan, karena mampu menjadi wahana aktivitas dan energi-energi penuh vitalitas dari semua umat Allah. Dengan demikian, benar terungkaplah pemahaman dan penghayatan keterpaduan Rumah Tuhan dan rumah manusia, Gereja dan masyakarat. Bapak E.G. Singgih, selamat mensyukuri anugerah kehidupan yang sekaligus adalah panggilan dan perutusan.
251
Dead Poets Society, Proyek Peradaban dan Pencarian Diri Paulus S. Widjaja
EGS, Teologi, dan Seni Siapapun juga yang mengenal sosok Emmanuel Gerrit Singgih (lebih dikenal di antara para mahasiswa, kolega dosen, dan teman-teman dekatnya sebagai “EGS”), tentu setuju bahwa EGS adalah sedikit dari teolog Indonesia yang serba bisa. Hal ini terbukti, misalnya, setiap kali Fakultas Teologi UKDW mengalami kesulitan menemukan dosen untuk mengampu sebuah mata kuliah, maka EGS senantiasa bisa diandalkan untuk mengisi kekosongan tersebut; nyaris untuk mata kuliah apapun juga. Dalam keluasan pengetahuan dan wacananya itulah EGS juga dikenal sebagai teolog yang mempunyai perhatian besar pada keterkaitan antara teologi dan seni. Beliau adalah sedikit dari dosen teologi yang mempunyai keprihatinan dan komitmen untuk menyelamatkan lukisan-lukisan dari para pelukis terkenal yang seringkali tergeletak begitu saja di gudang kampus, dan memajangnya di dinding Fakultas Teologi. Bahkan minat beliau pada teologi dan seni juga dapat dilihat pada kerja keras beliau untuk menciptakan dan sekaligus mengampu satu mata kuliah baru di Program Pasca Sarjana Teologi UKDW bertajuk “Teologi, Spiritualitas, dan Seni.” Banyak mahasiswa yang memberi apresiasi pada mata kuliah ini sebagai mata kuliah yang sungguh inspiratif dan memberi pencerahan pada diri mereka. Dalam kaitan dengan hal yang terakhir inilah maka tulisan ini dibuat. Tulisan ini dimaksudkan sebagai sebuah penghargaan atas passion EGS untuk memberi inspirasi kepada kita semua bahwa teologi bukanlah semata-mata proyek olah nalar, tapi juga olah rasa. Keduanya tidak boleh dipisahkan. Tulisan ini tentu saja tidak sebanding dengan kualitas pengetahuan dan wawasan EGS dalam
Ketua Program Pasca Sarjana Teologi dan Dosen Etika di Fakultas Theologia, UKDW, Yogyakarta. Ketua Sinode GKMI.
253
mengaitkan teologi dan seni. Tapi inilah sebuah upaya, betapapun terbatasnya, untuk mengingatkan kita semua bahwa teologi dan seni memang sungguh sangat terkait satu dengan yang lain. Teologi bukanlah sesuatu yang hanya bisa dipelajari dan digumuli melalui kegiatan-kegiatan seperti menafsir Alkitab, membaca buku-buku teologi, diskusi atau seminar ilmiah, dan sejenisnya, tapi juga dengan menikmati lukisan-lukisan dan foto-foto indah, termasuk dengan menonton film di bioskop atau TV. Berangkat dari kesadaran itulah maka dalam tulisan ini akan diulas film Dead Poets Society (selanjutnya disebut DPS), sebuah mahakarya1 besutan sutradara Peter Weir dan dibintangi oleh aktor serba bisa Robin Williams. DPS ditayangkan pertama kali pada tahun 1989. Mengambil setting tahun 1959, film ini mengisahkan tentang konflik yang terjadi di antara dua proyek (upaya pencarian) peradaban di sebuah sekolah konservatif-aristokratik, Welton Academy, yang terletak di Vermont, Amerika Serikat. Proyek peradaban jenis pertama diwakili oleh para pimpinan sekolah dan orang tua murid Welton Academy (selanjutnya disebut kelompok Welton). Sedangkan proyek peradaban jenis kedua diwakili oleh Mr. Keating, seorang guru baru di Welton Academy, dan sekelompok muridnya yang tergabung dalam klub sastra rahasia, Dead Poets Society (selanjutnya disebut kelompok Keating). Meskipun di sanasini DPS tampak seolah ingin menampilkan konflik yang terjadi di antara dua proyek peradaban ini sebagai konflik antara modernitas dan posmodernitas, namun tidak selamanya film ini menampilkannya demikian. Oleh karena itu lebih baik konflik yang ditampilkan sekedar disebut sebagai konflik di antara dua proyek peradaban. Peradaban, Kontrol, Dan Otoritas Dari sejak awal film posisi kelompok Welton terkait proyek peradaban sudah jelas terlihat melalui motto sekolah yang tersulam indah pada bendera-bendera Welton Academy, yaitu “tradisi, kehormatan, disiplin, dan kesempurnaan.” Keempat gatra ini selanjutnya diklaim oleh kepala sekolah Welton Academy, Gale Nolan, sebagai empat tiang kehidupan. Melalui introduksi ini kelompok Welton ingin menekankan keyakinannya bahwa manusia hanya bisa menjadi beradab jika hidupnya terkendali dan terstruktur;
254
menghidupi tradisi dengan penuh kedisiplinan dan kesempurnaan demi mencapai kehormatan. Kelompok ini percaya bahwa hanya proyek peradaban seperti itulah yang akan membawa manusia menemukan dirinya yang sejati. Secara simbolis proyek peradaban kelompok Welton ini ditampilkan berulangkali di film melalui tayangan bangunan kapel batu yang kokoh dengan menara yang menjulang tinggi dihiasi jam dinding berukuran besar. Bangunan tersebut secara dramatis melambangkan proyek peradaban yang dingin, kaku, pongah, tertutup, dan ingin menekankan otoritas, sentralisasi, serta rencana statis. Keberadaan jam dinding berukuran besar di menara kapel yang berdentang pada waktu-waktu tertentu, menegaskan adanya kontrol, hukum dan aturan, determinasi, ketepatan, pola pikir linear, dan disiplin yang dibangga-banggakan dalam proyek peradaban ini. Bahkan tangga menuju kantor kepala sekolah Welton Academy juga dihiasi jam dinding. Keberadaan jam-jam dinding ini tak pelak lagi mencerminkan orientasi pada waktu. Waktu dipahami sebagai alat kontrol yang rigid atas kehidupan manusia, sehingga kehidupan lebih ditentukan oleh jam dan kalender, bukannya musim dan hari. Jam dinding juga mencerminkan kehidupan yang terstruktur dan terencana; sebuah determinasi atas masa depan. Semua ini memang merupakan karakteristik organisasi sosial dalam proyek peradaban yang sangat menekankan kemapanan dan sentralisasi, bersifat otoritarian dan birokratis di mana ada kontrol dan hirarkhi yang kuat, dan dipenuhi oleh berbagai kebijakan dan prosedur. Dalam organisasi sosial semacam itu, relasi antar manusia hadir dalam struktur piramid dan penuh dengan ketertutupan. Bukan kebetulan bahwa semua proses pembelajaran di Welton Academy terjadi di dalam ruang kelas yang tertutup. Organisasi sosial tersebut juga biasanya reaksioner, semua hal dimaksudkan untuk melayani lembaga, dan dibangun di atas romantisme masa lalu. Menarik untuk mencermati bahwa gambar pertama yang muncul di awal film DPS adalah bendera Welton Academy bersulamkan tulisan “tradisi.” Murid-murid Welton Academy juga pada umumnya adalah orangorang yang orang tuanya atau sanak saudaranya sudah terlebih
255
dahulu bersekolah di sana. terputus.
Tradisi harus berlanjut, tidak boleh
Karakteristik proyek peradaban semacam ini diungkapkan dalam berbagai adegan oleh kelompok Welton. Ketaatan pada prosedur dan situasi yang teratur begitu rapi dalam upacara pembukaan tahun ajaran baru di Welton Academy di awal film menunjukkan karakteristik proyek peradaban ini terkait dengan kekuasaan dan pentingnya pusat kontrol. Gaya kepemimpinan yang berorientasi pada otoritas birokratik dan kontrol, sanksi dan prosedur legal, serta bersifat rasional berulangkali ditampilkan dalam film. Hal ini juga tampak jelas dalam adegan ketika ayah Neil Perry, salah seorang murid Welton Academy, memerintahkan anaknya untuk membatalkan aktifitas ekstra kurikuler yang diambilnya, tanpa bertanya apa yang anaknya rasakan dan pikirkan. Inilah demonstrasi kuasa, otoritas, dan kontrol. Di belakang proyek peradaban semacam ini ada keyakinan kuat bahwa manusia hanya bisa menjadi beradab melalui pengoperasian kontrol dan otoritas, melalui kepatuhan mutlak pada kebijakan dan prosedur, melalui disiplin. Jadi, semakin seseorang bersedia mematuhi peraturan dalam komunitas dan masyarakat serta hidup di bawah kontrol otoritas yang berkuasa di atasnya, maka ia pun akan menjadi semakin beradab. Pendekatan terhadap peradaban bersifat top-down, dari atas ke bawah. Manusia tidak dilihat sebagai pribadipribadi yang memiliki keinginan dan tujuan sendiri, tapi semata-mata sebagai objek-objek yang harus mengikuti jalur yang telah ditetapkan oleh otoritas yang berkuasa. Aspek lain dari proyek peradaban ini ditunjukkan dalam DPS melalui guru Bahasa dan guru Kimia yang menyuruh para muridnya sekedar menghafal dan mengulangi apa yang mereka katakan. Demikian pula halnya dengan guru Geometri yang menekankan pentingnya presisi, ketepatan. Sikap semacam ini menunjukkan pemikiran dasar abad Pencerahan yang melihat hukum-hukum mekanika sebagai norma yang bersifat sangat menentukan, deterministik. Perhitungan mekanistis dan kontrol merupakan aspek utama dalam hubungan dengan dunia dan menjadi paradigma dominan. Kerapian, keteraturan, ketepatan perkiraan, dan
256
rasionalitas menjadi faktor-faktor mendasar dalam kehidupan manusia. Segala sesuatu bersifat normatif. Menarik juga untuk memperhatikan bahwa olah raga yang menjadi kebanggaan Welton Academy adalah olah raga dayung beregu yang memang membutuhkan presisi dan keteraturan. Bahkan ayah Neil Perry juga digambarkan dalam film sebagai seorang yang senantiasa meletakkan sandalnya di tempat yang sama, dan ia pun memberi hadiah ulang tahun yang sama kepada anaknya setiap tahun. Proyek peradaban semacam ini tentu saja bukannya tanpa risiko. Pandangan yang mekanistis atas realita dunia mau tidak mau akan menekankan pentingnya ketertiban yang tercipta dari tata masyarakat yang hierarkhis. Berangkat dari keinginan untuk mengontrol lingkungan, sikap ini pun perlahan-lahan akan berubah menjadi keinginan untuk mengontrol orang-orang lain juga. Hal ini, pada gilirannya, menciptakan “aggressive realism” yang merupakan akibat langsung dari upaya to grasp the infinite, irreducible complexities of the world as a unified and homogenous reality . . . . [In this effort] the very complex heterogeneity of the world have been dissolved or repressed into a totalizing vision of the world. Such a vision is inherently violent because it necessarily excludes not just elements of reality that don‟t fit, but any person or group who sees things 2 differently.
Tidak mengherankan jika dalam film, Mr. Keating, sebagai guru yang mengajar dengan cara berbeda dan memiliki pemahaman yang berbeda tentang peradaban, segera dituduh telah melakukan “unorthodox teaching,” dan oleh karenanya dipandang sebagai musuh yang harus disingkirkan. Dari titik ini berkembanglah ketegangan antara kelompok Welton yang ingin mengontrol segala sesuatu dengan otoritas yang dimiliki oleh para penguasa, melawan Mr. Keating dan murid-muridnya yang menginginkan kebebasan dari segala bentuk belenggu dan kontrol penguasa. Peradaban, Otonomi dan Kebebasan Mr. Keating dan murid-muridnya dalam film ini merepresentasikan orang-orang yang mencari kebebasan berpikir dan proyek peradaban
257
untuk menjadi manusia otonom, mandiri. Hasrat ini dilambangkan dalam film oleh burung-burung yang terbang bebas di padang terbuka, sebagai lawan dari kapel batu dengan menara dan jam dinding. Bukan tanpa alasan bahwa beberapa kali dalam film ini kedua simbol peradaban, kapel batu dan jam dinding di satu pihak dan burung-burung yang terbang bebas di padang terbuka di lain pihak, ditampilkan silih berganti satu setelah yang lain. Simbol ini secara tepat menggambarkan nilai-nilai yang dicari dan diperjuangkan dalam proyek peradaban ini, seperti kebebasan, keterbukaan, fleksibilitas, kehangatan, desentralisasi, perencanaan yang dinamis, kreatifitas, pola pikir non-linear, dan dekonstruksi. Jika diletakkan dalam terminologi filsafat, proyek peradaban kelompok Welton merujuk pada realisme Rene Descartes, yang mencari landasan rasional yang pasti dan absolut untuk ilmu pengetahuan alam, sebagai satu sistem kebenaran yang bersifat total dan mencakup segalanya. Realisme Descartes ini kemudian dikombinasikan dengan konsep otonomi manusia Francis Bacon yang memandang pengetahuan sebagai alat yang sangat menentukan untuk mengontrol alam dan memperbaiki kondisi manusia. Di pihak lain, proyek peradaban kelompok Keating mencerminkan pemikiran Richard Rorty yang menolak idealisme Cartesian, tapi pada saat yang sama meradikalisasi otonomi Baconian.3 Penolakan idealisme Cartesian tentang sistem kebenaran yang bersifat total dan radikalisasi konsep Baconian tentang otonomi manusia digambarkan dengan bagus dalam DPS melalui upaya Mr. Keating mengguncang murid-muridnya untuk ke luar dari jalan pikir lama dengan menggunakan pendekatan-pendekatan yang kreatif. Mr. Keating bahkan tidak pernah menggunakan setting yang bersifat partikular-deterministik dalam pendekatannya untuk mendorong murid-muridnya menjadi manusia otonom yang sejati. Proses belajar mengajar bisa terjadi di dalam ruang kelas yang tertutup maupun di halaman terbuka. Apa yang dilakukan Mr. Keating dengan jelas menunjukkan keinginan untuk terbebas dari segala macam belenggu, baik belenggu metode maupun belenggu ruang.
258
Dalam salah satu adegan, Mr. Keating membawa murid-muridnya ke luar dari ruang kelas dan berjalan menuju selasar di mana foto-foto dan berbagai piala yang pernah didapat oleh murid-murid Welton Academy dipajang. Foto-foto dan piala-piala tersebut merujuk pada kehormatan yang telah diraih oleh Welton Academy dalam tradisi dan sejarah hidupnya. Namun Mr. Keating mengatakan kepada murid-muridnya, "Carpe diem. Seize the day, boys. Make your lives extraordinary." Inilah pesan yang menurut Mr. Keating diinginkan para pendahulu Welton Academy untuk didengar muridmurid Welton Academy sekarang. “Semua orang akan mati,” Mr. Keating memperingatkan murid-muridnya, “dan oleh karena itu pertanyaan kritisnya adalah: „Apakah mereka menunggu terlalu lama untuk melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan dalam hidup mereka?‟” Itu sebabnya Mr. Keating mendorong murid-muridnya untuk “menghisap ke luar sumsum kehidupan.” Filosofi semacam ini menunjukkan radikalisasi konsep Baconian tentang manusia otonom. Dalam filofosi ini ada keyakinan kuat akan kekuatan pikiran manusia, yang di bawah arahan metode-metode radikal dalam pengamatan, pengalaman, dan refleksi, bisa membawa manusia pada kebenaran yang dibutuhkan untuk bimbingan hidup. Dalam proyek peradaban ini ada mimpi untuk menjadi homo autonomous yang sejati, seorang pribadi yang memiliki norma sendiri dan menguasai bukan hanya nasibnya sendiri, tetapi juga nasib dunia. Ini adalah sejenis kemanusiaan di mana, “man becomes a law (nomos) unto himself (autos)” (Middleton and Walsh:48). Filosofi ini mengganti dunia geosentris dengan dunia anthroposentris di mana sebuah ego yang terpusat pada diri sendiri berada dalam proses mengonstruksi dan merekonstruksi pusat dirinya, identitasnya, dan tempatnya di dunia, secara terus menerus. Proyek peradaban ini ditunjukkan secara dramatis dalam adegan di mana Mr. Keating meminta murid-muridnya untuk merobek bagian pendahuluan sebuah buku bacaan wajib yang mencoba memberi instruksi kepada para pembacanya tentang bagaimana mengevaluasi puisi secara objektif dengan berlandaskan pada perhitungan matematis. Bukan hanya itu, ia juga meminta murid-muridnya untuk berdiri di atas meja guru agar dapat melihat sekeliling mereka
259
dengan cara berbeda. Mr. Keating berkata kepada murid-muridnya yang tercengang, “once we feel that we know something, we must see it in different way . . . we must try regardless it seems silly or wrong.” Ini adalah sebuah upaya dekonstruksionisme yang berusaha melucuti pemujaan manusia dan mencemooh penglihatan manusia akan realitas dalam upaya untuk membuka ruang positif bagi “the free play of difference.”4 Mr. Keating menantang murid-muridnya untuk menjadi manusia-manusia otonom yang berani melihat dan memahami sendiri realitas dunia, terlepas dari kontrol orang lain, meskipun cara mereka melihat dan memahami realitas dunia tersebut berbeda dari orang-orang lainnya, dan bahkan tampak sangat aneh. Keyakinan ini ditunjukkan lebih lanjut dalam film ketika Mr. Keating mendorong murid-muridnya untuk melakukan sendiri berbagai hal dalam kehidupan mereka dan tidak hanya mengikuti begitu saja apa yang orang lain perintahkan kepada mereka. Dalam salah satu adegan, Mr. Keating mengajak murid-muridnya untuk berjalan dalam lingkaran teratur di halaman sekolah, dan segera murid-murid itupun dengan sangat antusias berjalan teratur dalam lingkaran yang tercipta. Melalui peristiwa tersebut Mr. Keating menunjukkan kepada murid-muridnya betapa mudahnya mereka terjebak dalam jerat konformitas. Ketika seseorang melakukan sesuatu, maka orang-orang lain segera mengikutinya begitu saja tanpa pemikiran kritis. Inilah bahaya konformitas. Dalam adegan yang lain ketika Todd Anderson, teman sekamar Neil Perry, enggan menciptakan puisi sendiri, Mr. Keating menutup mata Todd dan memintanya untuk menciptakan puisi dengan mata tertutup. Ini adalah sebuah tindakan simbolis yang menggambarkan jalan dalam proyek peradaban untuk menjadi manusia otonom. Di sini manusia didorong untuk memusatkan perhatian pada dirinya sendiri dan menutup mata dari semua yang terjadi di sekelilingnya, untuk mengabaikan dunia. Hanya dengan demikianlah maka seseorang bisa mengungkapkan dirinya sendiri, dan menjadi manusia yang beradab. “Bahkan Allah tercipta ketika kita membaca puisi,” kata Mr. Keating kepada murid-muridnya. Di sini ia ingin menunjukkan kekuatan manusia otonom yang dapat memusatkan
260
perhatian pada dirinya sendiri sembari mengabaikan sekelilingnya, dan dengan demikian mampu mencipta, bahkan menciptakan Allah. Mr. Keating lebih lanjut menggambarkan situasi dunia modern seperti rangkaian kereta api yang tak terputus dari orang-orang tak beriman, rangkaian kota berisi orang-orang bodoh. Jawaban atas persoalan tersebut, menurut Mr. Keating, adalah bahwa kita berada di sini, “That life exists, and identity; that the powerful play goes on and you may contribute a verse.” Mr. Keating sekali lagi menekankan pentingnya manusia-manusia otonom yang mampu mencipta dan mengontribusikan bait mereka sendiri kepada dunia. “What will your verse be?” adalah pertanyaan krusial yang harus dijawab oleh setiap orang. Dalam benak Mr. Keating tampak jelas bahwa hidup yang terstruktur dan terkontrol, sebagaimana yang ditekankan oleh Welton Academy dalam proyek peradabannya, adalah sesuatu yang berbahaya dan tidak akan membawa manusia kepada peradaban yang sejati. Peradaban yang sejati menurut Mr. Keating adalah peradaban yang membuat manusia menjadi manusia yang merdeka. Ketika seorang rekan guru menggugat metode pengajaran Mr. Keating, “Kamu seharusnya tidak mendorong mereka menjadi artis-artis,” maka Mr. Keating menjawab, “Aku tidak melakukan itu. Aku mengajar mereka menjadi pemikir-pemikir merdeka.” Mr. Keating menegaskan bahwa ia bermaksud melindungi murid-muridnya dari bahaya konformitas. Demikian pula ketika dikonfrontasi oleh kepala sekolah karena “unorthodox teaching methods,” Mr. Keating sambil bergurau mengatakan bahwa ia mengira pendidikan bertujuan “to free men‟s minds.” Dalam percakapan ini terlihat bahwa Mr. Keating berjuang untuk menciptakan manusia-manusia otonom yang merdeka dari semua belenggu; manusia-manusia yang mampu meraih sendiri hidup mereka dan berdiri di atas kaki mereka sendiri serta memahami realita dunia dengan cara sebagaimana mereka inginkan. Dalam sebuah adegan, Mr. Keating meminta murid-muridnya untuk menulis cita-cita mereka, dan hasilnya menunjukkan bahwa mereka benar-benar ingin menjadi manusia-manusia otonom. Seorang murid
261
bercita-cita menjadi “pelaut [yang mengarungi] dunia,” sementara seorang murid yang lain ingin menjadi “penguasa hidup, bukan budak,” dan murid yang lain lagi bahkan bercita-cita “menjadi Allah.” Adegan ini menunjukkan bahwa murid-murid tersebut mencoba mengungkapkan penolakan dan pemberontakan mereka terhadap proyek peradaban yang selama ini diberlakukan di Welton Academy di mana mereka selalu dikontrol oleh otoritas yang berkuasa, dan oleh karenanya mereka ingin bisa mengontrol hidup mereka sendiri. Pengaruh filosofi manusia merdeka ini terlihat lebih lanjut di antara murid-murid Mr. Keating yang menghidupkan kembali klub sastra rahasia, the “Dead Poets Society,” dengan tujuan untuk menjadi “jiwa-jiwa yang bebas.” Adegan pembentukan klub rahasia yang mengadakan pertemuan di gua inipun sangat menarik. Murid-murid ini berlari dalam kegelapan dengan masing-masing membawa lampu senter di tangannya. Adegan simbolis ini menunjukkan keyakinan bahwa manusia harus mencari jalannya sendiri dalam kegelapan dengan lampu penerangnya masing-masing dalam rangka menjadi manusia beradab dan menemukan dirinya yang sejati. Hal ini berbeda dari adegan di awal film di mana masing-masing murid memang memegang lilinnya sendiri-sendiri, namun mereka mendapatkan api untuk lilin mereka dari sang kepala sekolah. Sebagai akibat dari penemuan manusia sejati yang merdeka ini, rekonstruksi identitas diri pun terjadi. Charles Dalton, anggota klub DPS, bahkan mengganti namanya menjadi Nuwanda untuk melambangkan rekonstruksi identitas dirinya. Neil Perry, yang biasanya takut menentang keinginan ayahnya, sekarang berubah menjadi seorang yang mempunyai keberanian mengejar keinginannya sendiri untuk menjadi artis, tidak peduli bahwa ayahnya sangat menentang hal itu. Di akhir film, murid-murid ini juga berani berdiri di atas meja mereka masing-masing untuk mengungkapkan penghargaan mereka terhadap Mr. Keating. Mereka tidak lagi berdiri di atas meja Mr. Keating sebagaimana mereka lakukan dahulu, tapi di atas meja mereka masing-masing untuk melambangkan penemuan diri mereka yang sejati dan kemampuan mereka menjadi manusia merdeka yang sesungguhnya, manusia yang otonom.
262
Klimaks Proyek Peradaban Dalam rangka menjadi manusia yang beradab, Mr. Keating mengajar murid-muridnya tentang pentingnya emosi sebagai serangan balik terhadap rasionalitas sebagaimana ditekankan dalam proyek peradaban kelompok Welton. Ia berkata kepada murid-muridnya, We don‟t read and write poetry because it‟s cute. We read and write poetry because we are members of the human race. And the human race is filled with passion . . . . Medicine, law, business, engineering, these are noble pursuits and necessary to sustain life. But poetry, beauty, romance, love, these are what we stay alive for
Pernyataan yang terdengar seperti pernyataan Immanuel Kant ini merupakan serangan balik terhadap proyek peradaban Barat, dan biasanya dihubungkan dengan wilayah estetika yang menekankan dimensi subjektif, emosional, dan kreatif dari manusia. Dalam katakata Mr. Keating, saat ini ada “perang yang sedang berlangsung” dan “korbannya bisa jadi hati dan jiwamu.” Terkait dengan perang inilah maka DPS mencapai titik klimaksnya dalam tragedi yang terjadi pada diri Neil Perry. Ia memutuskan, sebagai manusia otonom, untuk mengakhiri hidupnya sendiri setelah ayahnya menentang keinginannya untuk menjadi artis teater. Aksi bunuh diri Neil ini secara ironis menggambarkan kebangkrutan “free thinking,” yang dipromosikan oleh kelompok Keating, justru karena proyek peradaban itu tidak berakar dalam relasi antar manusia, dan tidak memiliki tujuan lain dalam hidup kecuali “meraih hari untuk dirimu sendiri.” Aksi bunuh diri Neil pada hakikatnya adalah sebuah tindakan yang sangat menentukan dari seorang manusia yang berkomitmen untuk melakukan segala sesuatu untuk dirinya sendiri. Inilah yang oleh Alkitab disebut sebagai dosa pertama manusia, yaitu keinginan untuk menjadi manusia otonom (Kej. 3) yang ironisnya senantiasa berujung pada kematian. Menarik juga untuk memperhatikan bahwa aksi bunuh diri Neil digambarkan dalam adegan yang penuh dengan lambang-lambang yang menggambarkan kematian Kristus (bertelanjang dada, memakai mahkota daun, tangan terentang seperti tersalib, serta kepala jatuh lunglai). Tampaknya ada kesengajaan untuk menganalogikan kematian Neil dengan kematian Kristus. Keduanya mati sebagai manusia-manusia otonom yang
263
menentukan nasib mereka sendiri dan dengan penuh kesadaran memilih kematian sebagai seorang manusia merdeka. Tapi sebenarnya ada perbedaan besar di antara kedua kematian tersebut. Neil memilih mati demi memuaskan nafsunya sendiri, sementara Yesus memilih mati demi umat manusia. Dengan catatan ini maka kita bisa melihat bahwa proyek peradaban yang dipromosikan oleh Mr. Keating adalah sebuah proyek peradaban yang menciptakan manusia-manusia otonom yang tidak memiliki tujuan, selain daripada pemujaan-diri dan pengungkapandiri sendiri. Penekanan pada “lakukan segala sesuatu untuk dirimu sendiri” membuat manusia-manusia otonom ini hidup tanpa visi untuk membangun kesejahteraan bersama atau melayani yang lain. Proyek peradaban ini tidak memiliki konteks komunal sama sekali. Di sini kita melihat bahaya dari otonomi manusia justru karena otonomi tersebut “purely self-referential.”5 Keyakinan ini ironisnya juga didemonstrasikan oleh Cameron, seorang murid Mr. Keating, yang memelopori pengkhianatan atas diri Mr. Keating dan mengkambing-hitamkannya atas kematian Neil Perry. Cameron setuju untuk berkolaborasi dengan pimpinan sekolah guna melawan Mr. Keating, dan berkata kepada teman-temannya, “kita tidak dapat menyelamatkan Mr. Keating, tapi kita dapat menyelamatkan diri kita sendiri.” Kata-kata ini merupakan ungkapan dari seorang manusia otonom yang tidak memiliki konteks komunal dan tidak memiliki tujuan lain dalam hidupnya selain daripada menyelamatkan dirinya sendiri. Kesimpulan Dari film ini kita bisa belajar bahwa kedua pihak yang bertarung sebenarnya telah menjadi korban dari proyek peradaban mereka sendiri. Kelompok Welton telah menjadi korban dari proyek peradaban mereka yang menekankan perlunya kontrol dan kehidupan yang terstruktur. Dalam cara berpikir mereka, peradaban dan diri yang sejati hanya dapat ditemukan ketika manusia mampu merengkuh sistem kebenaran yang bersifat total melalui kehidupan yang terkontrol dan terstruktur. Ini adalah pendekatan top-down dari proyek peradaban. Ironisnya, alih-alih peradaban dan diri yang sejati, yang tercipta dari proyek ini adalah penindasan dan manusia
264
dalam belenggu. Terhadap proyek peradaban semacam ini maka aksi bunuh diri Neil menjadi tanggapan yang sangat sinis. Aksi bunuh diri tersebut menunjukkan bahwa tidak peduli seberapa keras pihakpihak yang berkuasa berusaha untuk mengontrol kehidupan orangorang lain, mereka pada akhirnya toh ternyata tidak punya kuasa untuk menentukan hidup orang lain. Neil tetap mempunyai kuasa penuh atas hidupnya sendiri; bukan guru-guru sekolahnya, bukan pula ayahnya. Proyek peradaban kelompok Welton pada hakikatnya juga mencerminkan sikap kepatuhan buta terhadap otoritas yang berkuasa, di dalam mana manusia tidak berani bertanggung-jawab sendiri dan menyerahkan tanggung-jawab tersebut sepenuhnya pada si pemberi perintah. Kepatuhan buta semacam itu sangat berbahaya karena orang yang hanya melakukan saja apa yang diperintahkan kepadanya, pada akhirnya juga akan melakukan perintah iblis.6 Di masa lalu dan juga di masa kini banyak orang yang mengesampingkan kehendak pribadinya dan sekedar menjalankan saja tugas dan perintah yang diberikan oleh otoritas berkuasa. Dengan melakukan hal itu maka orang-orang ini tidak menyadari bahwa “ketertundukan dan pengorbanan-diri [mereka] dapat diekspolitasi untuk tujuan-tujuan jahat.” Mereka tidak menyadari pentingnya aksi yang bebas dan bertanggung-jawab.7 Tanggungjawab adalah, “a total response of the whole man to the whole of reality.”8 Oleh karena itu, “the responsible man is the subject, the agent.”9 Di pihak lain, kelompok Keating juga telah menjadi korban dari proyek peradaban mereka yang menekankan kebebasan berpikir dan otonomi manusia guna mencapai peradaban dan menemukan diri mereka yang sejati. Dalam cara berpikir mereka, peradaban dan diri yang sejati hanya dapat ditemukan ketika manusia mampu merengkuh dan menentukan jalan hidup mereka sendiri sebagai manusia merdeka. Ironisnya, alih-alih peradaban dan diri yang sejati, apa yang tercipta tidak lebih dari manusia anomi dan otonom yang tidak memiliki konteks komunal. Aksi bunuh diri Neil juga menjadi ungkapan tragis dari proyek peradaban ini sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya.
265
Robert Bellah dkk. dalam karya monumental mereka, Habits of the Heart, pernah mengingatkan akan bahaya dari apa yang mereka sebut sebagai “expressive individualism.” Jenis individualisme ini merupakan perkembangan dari individualisme utilitarian di masa lalu. Perbedaan di antara keduanya terletak dalam hal bahwa individualisme ekspresif tidak lagi mendorong manusia untuk mendapatkan semua hal di dunia bagi dirinya dan memobilisasi orang-orang lain untuk kepentingan dirinya, melainkan agar setiap manusia memaksimalkan kebaikan dari pengalaman batinnya sendiri.10 “I feel good” adalah motto dari filosofi ini dan kebebasan dipahami sebagai “freedom to express oneself, against all constraints and conventions.”11 Kebahagiaan diri sendiri dengan demikian menjadi tolok ukur utama dan satu-satunya bagi keberhasilan seseorang dalam hidup. Dalam individualism ini manusia didorong untuk tidak perlu merasa risau dengan bagaimana orang lain melihat dirinya selama ia merasa puas dengan dirinya sendiri. Rasa diri berharga yang dihasilkan dari kesejahteraan pribadi yang bersifat subjektif jauh lebih penting daripada keuntungan-keuntungan lainnya di dunia ini.12 Manusia perlu menjadi, “Just The Way You Are.” Inilah yang dipandang sebagai kunci kebahagiaan hidup. Manusia tidak perlu melihat ke luar dirinya sendiri untuk bisa menjadi bahagia. Dalam pola pikir semacam ini, penjelasan tentang realita dunia semata-mata merupakan persoalan perasaan dan sentimen pribadi belaka. Ini adalah masalah estetika yang dilandaskan pada subjektifitas pribadi.13 Manusia mungkin masih membutuhkan ikatan-ikatan sosial, tapi ikatan-ikatan ini dipahami sebagai pilihan pribadi, tanpa ada kewajiban atau komitmen sosial yang lebih luas.14 Hubunganhubungan antar manusia secara kontraktual dilandaskan semata-mata pada minat orang-orang yang bersangkutan. Proyek peradaban semacam ini bukannya tanpa risiko. Dalam upaya menjadi manusia otonom, manusia ternyata jatuh dalam “glorious, but terrifying, isolation.”15 Kondisi semacam ini membuat manusia merasa terancam dan kesepian, tanpa ada integrasi dalam level apapun juga di masyarakat.16 Itu sebabnya masyarakat modern menyaksikan “crisis of civic membership” yang membuat pribadi-
266
pribadi teralienasi dari masyarakat luas. Hal ini pada gilirannya mengakibatkan runtuhnya modal sosial dan atau ekologi sosial yang seharusnya mengikat manusia bersama-sama di tengah-tengah ancaman terhadap identitas pribadi.17 Dengan kata lain, manusia otonom yang dicari-cari oleh banyak orang sebagaimana direpresentasikan oleh kelompok DPS pada hakikatnya merupakan manusia teralienasi. Benar adanya bahwa dalam proyek peradaban ini masih ada bentukbentuk hubungan sosial di tengah-tengah alienasi yang terjadi. Tapi jenis hubungan sosial yang dikembangkan oleh pribadi-pribadi yang teralienasi ini pada hakikatnya adalah hubungan yang individualistis karena lebih merupakan kelompok gaya hidup daripada sebuah komunitas yang sejati. Di sini gaya hidup seseorang dipahami sebagai ungkapan dari kehidupan pribadinya yang tidak ada sangkut pautnya dengan hal-hal lain, termasuk dunia kerja seseorang, selain kenikmatan dan konsumsi. Di bawah gaya hidup ini ada keinginan untuk menyatukan “those who are socially, economically, or culturally similar, and one of its chief aims is the enjoyment of being with those who „share one‟s lifestyle‟.” Hubungan sosial semacam ini menjunjung tinggi narcisisme keserupaan. Dari sinilah kemudian tercipta “lifestyle enclaves” yang sangat segmental. Disebut segmental karena relasi yang tercipta hanya terkait dengan salah satu segmen dalam kehidupan seseorang saja. Kelompok tersebut juga segmental secara sosial karena hanya mencakup pribadi-pribadi dengan gaya hidup yang sama, tidak semua anggota masyarakat.18 Kelompok-kelompok masyarakat seperti kelompok-kelompok hobby dan bahkan kelompok-kelompok agama yang bersifat radikal juga bisa digolongkan dalam kelompok semacam ini. Karena pencarian manusia otonom ternyata telah membawa manusia ke dalam alienasi, maka manusia pun kemudian menjadi manusia yang gelisah. Pencarian manusia otonom terbukti hanyalah khayalan belaka karena manusia nyatanya tidak pernah menjadi benar-benar bebas. Pencarian ini ironis karena “where we think we are most free, we are most coerced by the dominant beliefs of our own culture. For it is a powerful cultural fiction that we not only can, but must, make
267
up our deepest beliefs in the isolation of our private selves.”19 Inilah yang membuat manusia menjadi gelisah. Lebih lanjut, kegelisahan serupa juga dapat ditemukan dalam paradoks antara otonomi dan konformitas. Di satu pihak, setiap manusia ingin bersandar pada dirinya sendiri tanpa kekangan atau pengawasan orang lain. Namun di pihak lain, ketika manusia tidak lagi bisa bersandar pada tradisi atau otoritas yang ada, maka ia akan mencari orang lain untuk mengonfirmasi penilaiannya. Dengan demikian manusia terbelah oleh keinginan untuk menjadi otonom dan bersandar pada diri sendiri, dan kesadaran bahwa hidup tidak mempunyai makna kecuali dibagi dengan orang-orang lain dalam komunitas.20 Dengan catatan ini maka kita bisa menyimpulkan bahwa peradaban memang dimaksudkan untuk mengajar manusia berpikir, tapi pada saat yang sama juga menginspirasi visi bahwa manusia adalah mitrapencipta bersama dengan Allah dan pelayan-pelayanNya di dalam dunia milikNya. Proyek peradaban adalah sebuah proyek untuk mengajar manusia lebih daripada sekedar “menghisap sumsum kehidupan,” tapi memperlengkapi manusia untuk hidup di dunia, sebuah dunia relasi yang membutuhkan penyembuhan. Peradaban bukanlah proyek tentang “melakukan segala sesuatu dengan dan untuk diri sendiri,” tapi tentang belajar mengasihi orang lain dan hidup adil dalam komunitas manusia. Mungkin tulisan ini belum memetakan proyek peradaban yang seharusnya terjadi dengan jelas dan lugas. Namun inilah retorika a la EGS, yang dengan kerendahan hati senantiasa menjawab pertanyaan dengan pertanyaan, bukan dengan jawaban; sebuah dinamika tesis dan antitesis Hegelian tanpa sintesis. Retorika semacam ini akan mendorong kita semua untuk berpikir kritis; tidak hanya mengikuti saja apa yang dikatakan orang lain, meskipun dengan tetap menautkan diri kita pada komunitas yang kita hidupi. Hanya dengan demikianlah maka kita akan senantiasa berada dalam upaya pencarian peradaban yang dialogal; bersama-sama dengan
268
sesama saudara seiman dan bahkan juga dengan orang-orang yang berkepercayaan lain. Seize the day, and embrace the others.
Endnote 1
Kehebatan DPS terbukti dengan berbagai macam penghargaan yang diterimanya. Di ajang Academy Awards (USA) memenangkan penghargaan Best Original Screenplay (Tom Schulman) dan berbagai nominasi untuk Best Actor in a Leading Role (Robin Williams), Director (Peter Weir), Best Picture (Steven Haft, Paul Junger Witt and Tony Thomas, Producers). Di ajang BAFTA Awards (UK) 1989 memenangkan penghargaan Best Film, Best Original Film Score (Maurice Jarre) dan berbagai nominasi untuk Best Actor in a Leading Role (Robin Williams), Best Achievement in Direction (Peter Weir), Best Editing (William Anderson), Best Original Screenplay (Tom Schulman). Di ajang César Awards (France) memenangkan penghargaan Best Foreign Film. Di ajang David di Donatello Awards (Italy) memenangkan penghargaan Best Foreign Film. Di ajang Directors Guild of America (USA) mendapat nominasi untuk Outstanding Directorial Achievement in Motion Pictures (Peter Weir). Di ajang Golden Globe Awards (USA) mendapat nominasi untuk Best Performance by an Actor in a Motion Picture – Drama (Robin Williams), Best Director – Motion Picture (Peter Weir), Best Motion Picture – Drama, Best Screenplay – Motion Picture (Tom Schulman). Di ajang Writers Guild of America (USA) mendapat nominasi untuk Best Screenplay – Original (Tom Schulman). 2 J. Richard Middleton and Brian J. Walsh, Truth Is Stranger Than It Used to Be: Biblical Faith in a Postmodern Age (Downers Grove: Intervarsity Press, 1995), 34-35. 3 Ibid., 41, 48. 4 Ibid., 36. 5 David J. Bosch, Believing In The Future: Toward a Missiology of Western Culture, Christian Mission and Modern Culture (Valley Forge: Trinity Press International, 1995), 22. 6 Dietrich Bonhoeffer, Letters and Papers from Prison, enlarged and first paperback edition, ed. Eberhard Bethge (SCM Press, 1953; New York: Collier Books, Macmillan, 1972), 5. 7 Ibid., 6.
269
8
Dietrich Bonhoeffer, Ethics, trans. Neville Horton Smith, first Touchstone edition (New York: Simon & Schuster, 1995), 254. 9 Ibid., 221. 10 Robert Bellah et al. Habits of the Heart: Individualism and Commitment in American Life. First California paperback edition (Berkeley: University of California Press, 1996), 104. 11 Ibid., 34. 12 Ibid., 134. 13 Ibid., 46. 14 Ibid., 107. 15 Ibid., 6. 16 Ibid., 284-285. 17 Ibid., xi, xvi. Bellah dkk. mendefinisikan “civic membership” sebagai “interseksi kritis antara identitas personal dengan identitas sosial,” sedangkan istilah “modal sosial” dikutip dari Robert Putnam untuk merujuk pada “berbagai perangkat organisasi sosial, seperti jejaring-jejaring, norma-norma, dan kepercayaan yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan-keuntungan mutual.” Larry L. Rasmussen, Moral Fragments & Moral Community: A Proposal for Church in Society (Minneapolis: Fortress Press, 1993), 37, mengatakan bahwa manusia yang teralienasi “meluluhkan bukan hanya komunitas-komunitas tradisional yang akrab tapi rasa tentang kebaikan bersama dan kehidupan publik itu sendiri.” Dalam kata-kata John Dewey sebagaimana dikutip Rasmussen, ibid., 39, yang muncul sekarang ini adalah “masyarakat-tanpa-komunitas.” 18 Bellah et al., Habits, 72. 19 Ibid., 65. 20 Ibid., 147-148, 150-151.
270
Bagian VI
DIALOG DENGAN ISLAM
Supriatno Suwignyo
Pergulatan Gereja Kristen Pasundan di Tengah Masyarakat Jawa Barat: Sebuah Catatan Reflektif * Supriatno*
Pendahuluan Tempat, peran dan cara pandang Gereja atas masyarakatnya terefleksikan melalui pemahaman misiologisnya. Aristarkhus Sukarto mengkonstatasi, pemahaman misiologis Gereja-gereja tidak bergeming setelah melewati kurun waktu dua abad. Menurutnya, Gereja-gereja belum beranjak dari pemahaman misiologis abad ke19. Cirinya adalah: Pertama, Gereja memandang dirinya sebagai umat yang terpilih (yang paling baik) untuk membawa manusia pada pengenalan Allah Tritunggal dengan cara menjadikan mereka Kristen. Kedua, Gereja yang memproklamasikan Injil secara verbal kepada orang yang belum mengenal Tuhan Yesus yang mendatangkan pertobatan (menjadi Kristen) dipandang telah menjalankan Amanat Agung (Mat. 28:19-20). Ketiga, kehadirannya untuk mewujudkan komunitas yang disebut Gereja adalah hal yang penting atau merupakan identitas misi itu sendiri1. Pemahaman misiologis Gereja tersebut sangat kental dipengaruhi semangat superioritas orang Kristen di Amerika Utara dan Eropa Barat pada abad ke-19, dengan berangkat dari corak berpikir yang dikotomis. Mereka mengklaim wilayah mereka adalah Corpus Christianum (wilayah Kristiani) yang serba terang dan positif, sedangkan daerah-daerah lain di dunia ini adalah Corpus Infidelium (wilayah kafir) yang serba gelap dan negatif.2 *Pelayanan GKP meliputi 3 propinsi: Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten. Jargon yang dipakai untuk 3 propinsi itu ialah Jawa bagian Barat. Tulisan ini hanya berfokus pada propinsi Jawa Barat. ** Ketua Umum Gereja Kristen Pasundan, aktif dalam forum ekumene dan hubungan antaragama.
271
Dari penghayatan pemahaman misiologis demikian, maka parameter untuk mengukur Gereja yang misioner adalah statistik pertambahan warga Gereja. Terjadinya konversi penganut agama tertentu beralih ke Kristen, menjadi ukuran yang dipakai untuk menentukan dan menilai statis atau dinamisnya sebuah Gereja. Gereja yang dinamis bilamana terus mampu mendulang jiwa-jiwa baru. Seiring dengan itu, di kalangan Orang Kristen mencuatlah perasaan betapa berdosa dirinya, ketika tetangganya, rekan kerjanya, atau saudara sedarahnya belum bertobat sesuai versinya, menjadi Kristen atau warga Gereja. Dengan tidak mengkristenkan penganut agama lain, orang Kristen menganggap secara individual telah gagal menunaikan misi Gerejanya. Indonesia adalah majemuk. Ungkapan Bhineka Tunggal Ika memeteraikan pengakuan positif bangsa ini atas keanekaragaman orientasi keagamaan dalam masyarakat3. Sementara itu, kini, tengah tumbuh kesadaran global atas pluralitas, yakni terkait kebutuhan pengembangan relasi dan dialog di antara umat berbagai agama. Hal tersebut tidak bisa dipisahkan dengan terjadinya mobilitas sosial besar-besaran yang menghasilkan kehidupan antar umat berbeda agama saling hidup berdampingan. Pertanyaannya, apakah pemahaman misi Gereja di atas memberikan kontribusi pada kehidupan bersama yang diwarnai rasa respek satu sama lain? Ataukah konsep itu justru menjadi sumber ketegangan dan ketakutan umat lain atas Gereja? Bagaimanakah pengalaman aktual di Jawa Barat, dengan fakta kekristenan kerap ditolak, dimusuhi dan dicurigai? Kekristenan diposisikan menjadi entitas yang akan merenggut anggota komunitas penganut agama lain. Kekeristenan menjadi simbol ancaman. Gedung Gereja dipersepsikan secara generik sebagai pangkalan berangkat untuk menaklukkan penganut agama lain. Dengan demikian, di kalangan umat tertentu gereja merupakan bahaya laten dan potensial atas kelangsungan eksistensi mereka. Bagaimanakah Gereja merumuskan misiologinya agar Gereja baik institusi maupun orang Kristen perorangan tidaklah dimaknai sebagai entitas yang menakutkan? Langkah apakah agar konstelasi relasi Gereja dengan masyarakat tidak lagi tetap diwarnai suasana kecurigaan, miskomunikasi dan prasangka yang kental?
272
Tulisan ini berupaya melihat kiprah Gereja di tengah masyarakatnya, yang beranjak dari telaah dan penggalan pengalaman yang dilihat serta dialami oleh penulis sebagai seorang pendeta di lingkungan Gereja Kristen Pasundan (GKP). Bagaimana agar pada satu sisi Gereja tetap setia pada misi yang diembannya di tengah dunia, pada sisi lain, Gereja menghargai konteks masyarakat plural, khususnya masyarakat Jawa Barat. Lanskap Sosial-keagamaan Masyarakat Jawa Barat Mayoritas masyarakat Jawa Barat adalah etnis Sunda dan pemeluk agama Islam. Pertautan Islam dengan masyarakat Sunda berlangsung sejak abad ke-19. Jika orang berbicara mengenai masyarakat Sunda, maka salah satu cirinya adalah Islam4. Tali temali antara Islam dan ke-Sunda-an telah melewati rentang waktu panjang. Kesadaran itu, kemudian dipertahankan dan dikukuhkan ulang dalam musyawarah masyarakat Sunda pada tahun 1967, yang menyatakan manunggalnya antara Sunda dan Islam5. Islam telah berhasil melakukan integrasi sosial ke orang Sunda melalui berbagai „pintu‟ strategis. Pertama, Islam telah merembes ke stratifikasi sosial orang Sunda, dari lapisan terbawah sampai ke atas, baik masyarakat agraris maupun urban, sehingga Islam menguasai batin orang Sunda. Kedua, Islam telah masuk jauh ke relung-relung institusional, antara lain: di bidang hukum (misalnya hukum waris), arsitektur bangunan dan kesusasteraan Sunda. Ketiga, Islam telah menjadi agama yang bersifat komunal, dan telah menyatu dengan sistem dan struktur sosial. Islam telah sampai pada taraf proses akulturasi budaya yang efektif6. Orang Sunda dikategorikan orang yang ramah, santun, tutur katanya halus, rendah hati, bersifat komunal, dan tidak ambisius serta menggunakan tingkatan bahasa dalam berinteraksi dengan teman bicaranya sesuai usia dan posisi sosial. Dalam naskah Sunda Kuno, Amanat dari Galunggung, ditanamkan nasehat agar orang Sunda memelihara kerukunan dalam berperilaku agar tidak membunuh orang yang tidak berdosa, tidak memarahi yang tidak bersalah, tidak boleh bertengkar, bersama-sama menciptakan tindakan mulia dan bijaksana dalam bersikap. Salah satu ungkapan dalam bahasa Sunda ada nasehat, “ulah paluhur-luhur nantung, ulah pagede-gede
273
kahayang”, terjemahan secara bebas, “jangan ingin paling tinggi untuk berdiri, jangan pula mempunyai keinginan yang paling besar”. Gamblang sudah, Orang Sunda memiliki kepribadian menghindari konflik, tidak ambisius, tidak menyukai friksi dan sangat mengutamakan kehidupan penuh kekeluargaan. Postur kepribadian orang Sunda seperti itu, sangat dipengaruhi kultus harmoni yang dihayati orang Sunda. Selain itu, tanah Sunda mempunyai rekam jejak sebagai wilayah yang diminati menjadi tujuan untuk menetap dan menikah berbagai suku dan berbagai bangsa. Mereka dapat diterima untuk mengintegrasikan dirinya ke lingkungan masyarakat dan kultur orang Sunda. Bahkan, beberapa orang diakui sebagai tokoh Sunda karena mereka dinilai telah menghayati dan mempergunakan nilai-nilai budaya Sunda, meskipun mereka bukanlah keturunan “murni” orang Sunda. Itu menandakan betapa inklusifnya orang Sunda atas kehadiran para pendatang dan terbuka atas keragaman.7 Dalam hal keagamaan, masyarakat Sunda sangat patuh menjalankan kewajiban agamanya; salat lima waktu, berpuasa, naik haji, dll. Di rumah-rumah keluarga kelas menengah atau berbagai restoran di sepanjang jalan utama di wilayah Jawa Barat, pada umumnya mempunyai tajug, atau mesjid kecil untuk sembahyang. Emmanuel Gerrit Singgih mengungkapkan keheranannya, bagaimana bisa Hendrik Kraemer menyebut tanah Sunda sebagai “nova zembla spiritual”, untuk mengumpamakan bagaikan wilayah yang secara spiritual tandus dan kosong. Padahal, sejak dulu penduduk tanah Sunda sebagian besar beragama Islam dan sangat menghayati keagamaannya. Menurutnya, paling tidak ada dua kemungkinan, pertama, Islam bagi Kraemer tidak memiliki dimensi spiritual ( menurut Gerrit tidak benar!). Atau, tanah Sunda disebut demikian oleh karena sekian lamanya pekerjaan Pekabaran Injil (Zending) bagaikan menabur di atas batu-batuan sehingga benih yang ditaburkan terjepit dan mati: tidak ada hati yang terbuka dan menyebabkan orang-orang Islam berpindah agama ke Kristen.8 Seiring bergulirnya era otonomi daerah, kita dapat menilik wajah lain masyarakat Jawa Barat. Otonomi Daerah menciptakan dinamika
274
politik lokal yang memberi ruang lahirnya perda-perda bernuansa keagamaan. Beberapa daerah tingkat II di Jawa Barat menerapkan beberapa kewajiban agama dijadikan peraturan formal dalam wilayah publik9. Penerapan peraturan daerah bernuansa agama di beberapa daerah tingkat kabupaten dan kota itu, ditengarai mengandung praktek ketidaksetaraan dan segregasi atas warga masyarakat di ruang publik, dengan operator formalnya adalah instrumen pemerintahan dan negara. Keputusan politik lokal demikian, ternyata bak gayung bersambut dengan pandangan beberapa pemimpin agama. Ada kesamaan aspirasi atau chemistry antara birokrat, politisi dan pemimpin agama. Terlihat dari dukungan tinggi dari para pimpinan pesantren atas terbitnya peraturan daerah bernuansa agama. Suatu penelitian terhadap para pemimpin pesantren di Indramayu, Cirebon, Majalengka, Ciamis dan Pangandaran tentang “Agama sebagai Potensi Konflik”, memberikan data menarik. Sebanyak 58 % para pemimpin pesantren menyatakan setuju bahwa umat Islam perlu terus-menerus memperjuangkan Piagam Jakarta agar dimasukkan ke dalam konstitusi Indonesia. Dan 89 % pemimpin pesantren menyatakan setuju bahwa beberapa peraturan daerah bernuansa syari‟at. Tingginya dukungan ini karena mereka menilai bahwa, peraturan daerah itu bisa memperbaiki moral bangsa dan secara tidak langsung bisa mendekatkan Indonesia menjadi negara Islam10. Respon Atas Kekeristenan Terdapat pandangan, secara historis titik benturan keagamaan antara Islam-Kristen bertolak dari pemahaman sempit agenda da‟wa (Islam) dan misi (Kristen) masing-masing, dan itu berlanjut hingga kini11. Di kalangan komunitas muslim merasakan kegelisahan kolektif berkenaan dengan kehadiran Gereja di wilayah-wilayah Jawa Barat, yang tadinya bersifat homogen dari aspek keagamaan. Terutama berdirinya gedung gereja di permukiman-permukiman baru dan sekitar daerah industri. Fenomena ini diinterpretasi tidak dari kaca mata sosiologis, di mana mobilitas masyarakat membutuhkan sarana ibadah. Di mata mereka pemahaman yang terbentuk bahwa terdapat praktek kehidupan Gereja yang mengancam eksistensi umatnya. Kehadiran gedung Gereja itu dipahami merupakan buah dari
275
berbagai upaya dan strategi Gereja melakukan kristenisasi. Dalam kasus di Bekasi, sebuah lembaga bernama International Crisis Group dalam penelitiannya membenarkan asumsi demikian. Laporan ini menyatakan adanya korelasi antara agresivitas umat kristen injili melakukan konversi dan lahirnya ketegangan relasi Kristen Muslim12. Untuk itu, kita bisa memahami belakangan ini di berbagai kota Jawa Barat tumbuh berbagai organisasi taktis yang merupakan aliansi dari berbagai organisasi massa Islam. Mereka mempunyai persepsi dan opini kuat bahwa Gereja pengusung utama gerakan kristenisasi. Di Bandung dan sekitarnya, beberapa Jemaat GKP mengalami intimidasi fisik dan psikologis dari aliansi bernama AGAP. Sedangkan gedung gerejanya dirusak, ditutup dan sampai kini tidak dapat dipergunakan untuk beribadah oleh mereka. Tuduhan utama mereka yaitu, GKP melakukan kristenisasi dengan menjanjikan pemberian uang berjumlah jutaan rupiah. Dalam kasus Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan (AGAP), sisipan kata “Anti Pemurtadan”, itu menunjukkan penegasan misi gerakan yang hendak dilawannya, yaitu membentengi terjadinya peralihan agama lantaran gerakan kekeristenan.13 Kegelisahan mereka mengkristal dalam bentuk aksiaksi ofensif dan anarkis. Dalam rangka membendung apa yang mereka sebut “pemurtadan”, AGAP melakukan eskalasi pelarangan beribadah, perusakan dan penutupan gedung gereja yang begitu tinggi dan sistematik.14 Dalam horizon lebih luas, Gereja menghadapi kebijakan dan perilaku aparat yang tidak menghargai hak hidup dan kebebasan beragama komunitas Kristen dan kelompok keagamaan yang lain. Aparat pemerintah mulai dari level Desa/Kelurahan sampai Walikota/Bupati menempati ranking teratas sebagai pelaku pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan di Jawa Barat. Rujukan paling aktual adalah kasus GKI Taman Yasmin, Bogor. Walikota memperlihatkan arogansi pemimpin daerah yang menafikan hak beragama warganya yang dilindungi oleh konstitusi. Seperti diketahui Walikota dengan sewenang-wenang membatalkan IMB gedung gereja yang telah ada, dan tetap tidak bergeming dengan keputusannya walaupun kasus itu telah dibawa ke ranah hukum
276
sampai ke level Mahkamah Agung, dengan keputusan Mahkamah Agung membatalkan kebijakan walikota tersebut. Selanjutnya, kita akan makin terpana dengan laporan hasil kerja Jaringan Kerja Pemantauan dan Advokasi Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (JaKer PAKB2),15 yang melakukan pemantauan dan advokasi atas isu kebebasan beragama dan berkeyakinan di Jawa Barat. Laporannya memberikan gambaran mengenai kasus-kasus pelanggaran beragama dan berkeyakinan yang terjadi di Jawa Barat, meliputi seluruh daerah tingkat II di Jawa Barat selama tahun 20002008.16 Merunut Ulang Problematik Relasi Gereja dengan Masyarakatnya Menghadapi kondisi obyektif demikian, maka Gereja perlu melihat ulang (re-view) corak teologinya dan memetakan posisi dirinya di tengah masyarakat beserta problematik yang dihadapinya. Penting Gereja bercermin diri. Menurut hemat penulis, paling tidak terdapat dua gugusan besar problematik yang disikapi dengan hikmat oleh Gereja. Pertama, Problematik eksternal, yaitu adanya pemahaman bias masyarakat atas kekeristenan, termasuk mencakup pemahaman mereka terhadap Gereja. Belum lagi Gereja berhasil menghapuskan beban stigma sebagai agama asing yang berkaitan erat dengan sejarah kolonialisme, kekeristenan disebut agama walanda (agama Belanda). Gereja masih menghadapi pemeluk agama lain yang mengenal dengan memadai atas kekristenan (religion illiteracy). Justru Gereja menciptakan beban kontemporer yang baru. Denominasi Gereja tertentu marak menyelenggarakan aktivitas keagamaan yang sadar atau tidak sadar makin melanggengkan opini dan persepsi bahwa kekeristenan melekat erat dengan elemen asing. Kegiatan gerejawi, seperti: KKR atau seminar-seminar yang melibatkan pembicara atau pengkotbah terbang dari luar negeri, terutama Amerika Serikat. Di Bandung pada 2002 sebuah KKR dengan menamakan diri Festival Budaya mendapat reaksi keras dari para pemimpin umat Islam. Semua itu berdampak dalam jangka panjang makin melanggengkan image di kalangan masyarakat, bahwa benarlah kekeristenan adalah „barang asing‟ (ex-import). Kekeristenan sadar atau tidak mengidentikkan dirinya dengan
277
Amerika. Gereja melakukan tindakan kekeliruan mengidentifikasi! Akibat menabur kekeliruan ganda, maka menuai beban ganda pula. Problematik internal, masih terdapat pemahaman teologi dan perilaku Gereja atau orang Kristen yang bias atas agama lain. Dengan mudah kita bisa menemukan jejak warisan teologi dan asuhan pola relasi tradisional Gereja dengan masyarakatnya. Di sanasini ditemukan format relasi yang menganggap dirinya lebih baik, lebih benar, lebih suci dan lebih spiritualitas ketimbang yang lain. Dalam format kekeristenan yang diprihatinkan bersama saat kini adalah kalangan fundamentalisme Kristen. Kita masih mengingat dengan kuat Anggota parlemen Belanda, Geertz Wilders dengan membuat kartun Nabi Mohammad, Pastor Terry Jones, dengan himbauan tak waras membakar kita suci Al-Qur‟an, dan paling akhir Anders Behring yang mengebom kantor kabinet pemerintah Norwaygia. Gagasan dan aksi mereka yang intoleran dan melecehkan simbol-simbol dan keyakinan agama lain serta fasilitas publik meresahkan kita. Semuanya mencerminkan aksi dan gagasan yang asimetris dengan kekristenan yang mengajarkan kebajikan dan rasa hormat kepada pihak lain. Kita melihat dari tindakan mereka adanya kegelisahan dan ketidaksiapan sikap keagamaan kalangan fundamentalis atas kemajemukan. Agenda Utama Ke Depan Dalam rangka menjalankan misi Gereja dengan bertumpu pada fondasi relasi yang konstruktif, tanpa abai memperhatikan pengalaman selama ini dengan berbagai dinamika di dalamnya. Paling tidak menurut penulis ada lima (5) agenda besar dan utama ke depan, yang harus terus-menerus dipahami betul dan kemudian bersama-sama menjadi arah kegiatan Gereja di tengah masyarakat Jawa Barat, yaitu: Teologi Orang Lain sebagai Sesama; penghargaan nilai lokalitas; hubungan dengan Muslim; penguatan bidang pelayanan sosial dan dialog. 1. Menjadi Gereja Bagi sesama Berangkat dari pemahaman Gereja adalah komunitas yang telah diperdamaikan dengan Allah di dalam Kristus Yesus. Maka, corak atau paradigma kehidupan Gereja adalah pembawa damai
278
(peacemaker). Orientasi Gereja mengarah kepada upaya memproteksi keluhuran manusia dan memberi peluang manusia mengaktualisasikan martabat kemanusiaannya. Gereja menjadi komunitas yang menghayati dan menghargai kehidupan penuh damai. Kita terpanggil untuk menetapkan posisi dan sikap pendirian Gereja di tengah masyarakatnya seperti itu. Kita menginginkan Gereja menjadi agen perdamaian, dan sebaliknya tidak mau menjadi pencipta atau penambah beban sosial yang melahirkan kecurigaan, prasangka yang berhimpitan dengan kelelahan dan luka batin. Inilah titik tolak Gereja mengartikulasikan perdamaian secara konkrit, dan selanjutnya menjadi agen yang gigih mempromosikannya menjadi lanskap kehidupan bersama. Dan itu dimungkinkan, bilamana opsi utama misi Gereja didarmabaktikan sungguh-sungguh bagi sesamanya. Meminjam istilah William Barclay, sesama adalah orang lain namun amat berarti (significant other). Orang lain (the other) tidak didefinisikan sebagai liyan yang bersifat marjinal dan rendah. Begitu kita menyebut orang lain sebagai sesama, maka mengartikan orang lain itu sosok subyek setara yang dicintai dan sebagai pihak yang diterima. Orang lain yang dilabeli sesama mempunyai konotasi teologis positif yang penuh respek. Makna terdalam dari sebutan itu menuntun Gereja mengingat kembali untuk memperlakukan orang lain dengan penuh kerendahan hati. Di sini sangat dibutuhkan revitalisasi nilai dan semangat perendahan diri (kenosis) seperti yang dilakukan Kristus (lih. Fil 2:6-8) untuk menjelmakan wacana dan praksis Gereja Bagi Sesama. Sungguh penting juga kita mengacu pada tindak pengorbanan Kristus, karena penghayatan atas pengorbanan-Nya akan menjadikan arena aktivitas Gereja melampaui komunitasnya sendiri. Mengapa? Menurut pandangan Choan-seng Song mengenai pengorbanan Kristus, sesungguhnya makna salib merupakan simbolisasi pergulatan Allah melawan sentralisasi kuasa keselamatan kasih Allah di dalam satu bangsa dan satu agama. Sesungguhnya kematian Yesus di salib merupakan penyangkalan mendasar atas upaya keagamaan dan politik yang hendak mengkonsentrasikan kuasa Allah hanya pada komunitas, ras dan bangsa tertentu saja.
279
Menurutnya, Allah melakukan perjanjian dengan segala bangsa, tidak hanya Israel. Allah terlibat dalam sejarah segala bangsa, tidak hanya semata-mata sejarah kekeristenan.17 Selain hal di atas, pemahaman prinsipial tentang sesama makin kokoh dengan menyerap perumpamaan Tuhan Yesus tentang Orang Samaria yang murah hati (Luk 10:25-37). Gereja diingatkan agar jargon “menjadi sesama” juga harus melekat menjadi bentuk nilai yang dihayati Gereja. Gereja tidak hanya “bagi” sesama, melainkan juga “menjadi” sesama. Dengan Gereja menjadi sesama bagi orang lain maka kita menangkap pesan utama supaya kita mempunyai kesiapan berempati dan berkorban dengan orang yang tengah didera pergumulan dan kesulitan, melalui wujud solidaritas sosial yang nyata. Dari perumpamaan ini kita diperkaya bahwa akar dari moralitas dapat ditemukan dalam empati. Lebih jauh perumpamaan Orang Samaria menyingkapkan wawasan kita bahwa sesama adalah orang yang telah mampu mengatasi kebencian yang telah diwariskan dari generasi ke generasi secara kultural, dan meretas relasi baru dengan menunjukkan belas kasihan serta menjadi sesama sejati bagi orang Yahudi, yang dididik merendahkannya. Di mata Yesus Orang Samaria termasuk dalam sasaran karunia Allah yang inklusif. Yesus mengajak Ahli Taurat memahami Allah dengan benar, dalam hal ini Allah yang mempunyai kasih inklusif. Perumpamaan orang Samaria ini mengajarkan, sejatinya praktek kebaikan dan belas kasihan mematahkan rintangan prasangka.18 Begitu juga, Kita bisa menyerap makna substantif sesama di dalam Matius 22:37-40. Kita menemukan bahwa hukum kasih menempatkan sesama merupakan sasaran cinta kasih kita, paralel dengan yang harus kita lakukan kepada Allah. Ini berarti, sesama ditempatkan pada level terhormat. Semua yang diutarakan tadi, mengindikasikan bahwa betapa luhur dan mulianya posisi sesama di mata orang Kristen. Emmanuel Gerit Singgih menilai perwujudan kasih yang bersifat utuh menyeluruh (holistik) kepada sesama merupakan Amanat Agung Tuhan Yesus bagi orang Kristen.19
280
Mengacu pada landasan teologis di atas, pilihan Gereja menjadi Gereja Bagi Sesama, memampukan Gereja mengemas interaksinya dengan nilai-nilai: inklusif, menghargai yang lain dengan kerendahan hati, kesediaan bersigap diri bersolider dan mampu memutus warisan sikap non-apresiatif atas sesama yang berbeda agama. Selama ini, racikan antara faktor sosiologis dan perkembangan teologis sangat menentukan wajah Gereja. Pengenalan perubahan konstelasi kehidupan sosial keagamaan yang berkembang saat ini dan kesadaran konteks beserta pengalaman pahit-manis yang melatarbelakanginya, harus menjadikan Gereja belajar dan mengoreksi diri. 2. Penghargaan Nilai Lokalitas Gereja Kristen Pasundan bukan Gereja suku, meski demikian merupakan Gereja yang mengapresiasi orang Sunda dan kulturnya. Nilai lokalitas yang mengitari Gereja Kristen Pasundan dan seluruh bagiannya sebenarnya tidak hanya orang Sunda beserta kulturnya. 20 Namun sebagian besar Jemaat GKP berada di wilayah Jawa Barat maka kultur dominan yang menyekitari GKP adalah kultur Sunda. Terlebih lagi, beberapa Jemaat GKP berada di tengah-tengah kampung Kristen, dan warga GKP yang Orang Sunda tidak bisa dipisahkan dengan kampung Kristen21. Warga GKP tersebut pernah mengalami fase isolasi ketat dengan budaya lokalnya. Selama menjalani fase itu kampung-kampung Kristen dilukiskan menjadi lingkungan sunyi senyap di malam hari. Wayang dan bentuk seni lain menjadi hal asing dan ditabukan22. Anggota Gereja sungguhsungguh tercabut dari akar budayanya. Hal itu terjadi tidak terlepas dari semangat jaman pada waktu itu, dan tentu saja termasuk format teologi yang di belakangnya ( backmind ), seperti aturan Gereja yang tertung dalam Tata Gereja waktu itu. Dalam hal ini, terjadi apriori negatif atas budaya lokal beserta dengan berbagai perwujudannya, sehingga dicegah kemungkinan hubungan positif antara agama kristen dan tradisi atau budaya lokal. Kekeristenan vis a vis budaya lokal. ketika ditelisik, ternyata akar permasalahannya terletak pada kuatnya superioritas bangsa Eropah. Mereka mempunyai rasa harga diri berlebihan, sehingga
281
menyebabkan sikap antipati terhadap pandangan-pandangan dan cara-cara hidup bangsa-bangsa lain.23 Dengan perhargaan atas nilai lokalitas, Gereja akan mengukuhkan identitasnya yang berakar pada nilai konteksnya, sekaligus Gereja dipertautkan dengan masyarakatnya. Dalam skenario lebih mendasar, Gereja patut mempertimbangkan pandangan Emmanuel Gerrit Singgih, yaitu Gereja melakukan konfirmasi dan transformasi budaya. Gereja bisa memilah nilai-nilai budaya Sunda yang dapat diakomodasi menjadi nilai yang dihayati warganya, seiring dengan itu mampu mengidentifikasi nilai-nilai yang harus dibaharui sesuai karakteristik nilai-nilai dan ajaran Gereja. Dengan melakukan konfirmasi dan transformasi, aura kebudayaan Sunda memancar kuat di kalangan Warga Gereja. Selama ini sebenarnya, sejak masa zending GKP telah merintis upaya penghargaan atas nilai kultur kesundaan. Penerjemahan Alkitab dalam bahasa Sunda, kumpulan nyanyian dalam bahasa Sunda, tulisan tentang kekeristenan dalam bahasa Sunda, kotbah bahasa Sunda, demikian juga masuknya seni Sunda dalam kebaktian-kebaktian khusus, seperti ibadah penahbisan pendeta. Di beberapa Jemaat GKP rutin setiap tahun menyelenggarakan acara syukur panen tahunan, sebagai bentuk perayaan yang mengafirmasikan tradisi dan nilai kultural agraris menjadi bagian kehidupan Jemaat. Bahkan, beberapa warga GKP dikenal sebagai penggiat kebudayaan yang tangguh dan mumpuni baik di tengah-tengah komunitas Gereja maupun masyarakat. Semua itu, membuktikan keinginan, upaya dan pencapaian GKP membumikan pesan-pesan keagamaan dalam jantung terdalam masyarakat yang diwarnai budaya Sunda. Oleh karena itu, Gereja patut terus-menerus melestarikan dan mengembangkan komunikasi berbasis nilai kulturalnya. Dalam bingkai lain budaya tidak melulu ditempatkan sebagai instrumen untuk memperkenalkan Gereja dan misinya, melainkan budaya itu sendiri hendaknya menjadi ekspresi otentik mengenai identitas kekeristenan atau Gereja. Dengan demikian, masyarakat melihat bahasa agama, simbol, liturgi, maupun pola interaksi Gereja mengindahkan dan benar-benar berwarnakan kekayaan kulturalnya. Masalahnya, terdapat kendala internal GKP sebagai Gereja. GKP
282
bukan Gereja suku, yang khusus untuk orang Sunda, melainkan Gereja wilayah yang terbuka bagi siapapun dengan latar belakang budaya masing-masing. Oleh karena itu, warga dan pemimpinnya lebih kental semangat multikultural ketimbang monokultural. Dalam diri GKP terdapat etnis Batak, Ambon, Minahasa, dll, dengan identitas serta kekayaan kulturalnya. Tidak mudah menyelaraskan kesadaran atas nilai lokalitas berjalan seiring sejalan dengan sikap tanggap atas nilai-nilai multikultural serta budaya yang tercipta akibat perkembangan globalisasi. Di sini GKP patut mempunyai strategi kebudayaan yang jelas, terarah dan efektif agar GKP dan misinya mampu menempatkan diri di tengah persimpangan budaya ini. 3. Penguatan Misi Gereja dalam Bidang Pelayanan Sosial Gereja tidak bisa dipisahkan dengan karya sosialnya. Pelayanan sosial yang telah mapan di lingkungan Gereja adalah bidang pendidikan dan kesehatan. Secara tradisional Gereja melekat dengan pelayanan bidang pendidikan dan kesehatan. Th Sumartana melihat bidang pelayanan Gereja yang berkaitan dengan pendidikan dan kesehatan menghubungkan lebih dekat antara Gereja dan sesama. Kekeristenan mengalami kemajuan pesat ketika pesan-pesan keagamaan dapat diterjemahkan dalam metode-metode zending modern dalam bentuk kegiatan-kegiatan sosial yang secara langsung mampu menjawab harapan-harapan dari sebuah masyarakat. Keberhasilan zending tak bisa dipikirkan lepas dari seberapa jauh pesan-pesan mereka mampu menjawab problematik pokok yang dihadapi rakyat banyak. Tanpa pelayanan sosial yang sungguhsungguh dari zending ke masyarakat luas, mungkin agama kristen akan dengan mudah dilupakan sebagai peninggalan spiritualitas Barat yang tak relevan.24 Di lingkungan GKP, pelayanan sosial menjadi jembatan yang menjadikan Gereja melakukan kontak dengan masyarakat sehingga dua entitas yakni Gereja dengan masyarakat menjadi familiar satu sama lain. Sepenggal contoh sejarah dalam pelayanan kesehatan, yaitu rumah sakit sebagai bentuk pelayanan Gereja dalam bidang kesehatan, dinilai telah menjawab kebutuhan masyarakat. Sebagai gambaran statistik, pada tahun 1899, di RS Cideres ( kini menjadi
283
milik pemerintah) 8000 pasien datang berobat. Ini luar biasa. Bandingkan dengan jumlah warga jemaat GKP Cideres waktu itu, hanya 100 jiwa. Jumlah ini menggambarkan animo masyarakat yang begitu tinggi atas bentuk pelayanan Gereja.25 Untuk perbandingan, berdasarkan tilikan sejarah, di Jawa Tengah pelayanan sosial Gereja di bidang medis mengundang apresiasi dan pujian. Menurut Kartini, tokoh emansipasi, orang Jawa mempunyai simpati besar atas karya misi Kristen. Mereka tertarik dengan hal-hal yang berkaitan dengan karya, usaha dan kehidupan orang kristen dengan karakter mulianya. Pelayanan Gereja menjadikan hidup lebih indah dan mulia atas umat manusia. Kartini memuji, sekaligus mengkritik. Pujian disertai kritik ini berkenaan dengan upayanya menjaga keharmonisan suasana masyarakat Jawa. Kartini mengajak agar misi Kristen itu tidak dibauri dengan tujuan peralihan penganutan agama ke lingkungan agama Kristen. Seharusnya misi ini berbasiskan cinta kasih untuk melakukan kebaikan bagi masyarakat Jawa. Karena itu, dia keberatan usaha misi yang disertai bendera agama dan bertujuan kristenisasi masyarakat Muslim. Dalam pendidikan juga ia menghargai upaya misi ini mematangkan masyarakat secara mental dan intelektual. Hanya, menurutnya, jangan sampai karya misi di bidang pendidikan merupakan sikap ketidakjujuran gereja, manakala pendidikan dimanfaatkan untuk “ mengail di air keruh”. Karya misi semestinya lebih menekankan cinta kasih dan belas kasihan Allah, ketimbang penyebaran doktrin keagamaan.26 Karya misi di bidang pendidikan dan medis mendapat sambutan positif, tetapi ketika pelayanan di bidang itu berubah menjadi alat untuk terjadinya konversi agama, masyarakat memperlihatkan sikap keberatannya. Jadi, kedua bidang pelayanan ini memungkinkan terjembataninya relasi gereja dengan masyarakat, namun ketika pelayanan itu dibubuhi kepentingan penyebaran agama maka melahirkan reaksi ketidaksenangan masyarakat. Kini, problematik kehidupan masyarakat makin kompleks, sehingga dibutuhkan kecerdasan membaca tantangan dan kebutuhan zaman serta komitmen keterlibatan Gereja. Gereja tidak cukup hanya berpartisipasi dalam pencerdasan bangsa dan menciptakan
284
masyarakat sehat. Varian problematik kontemporer yang melukai martabat kemanusiaan makin beragam, sebagian di antaranya yang bisa disebut: kekerasan, kemiskinan struktural, traficking, ekses globalisasi, neo-liberalisme dan perusakan lingkungan. Isu-isu tersebut menjadi isu yang mempertemukan Gereja dengan eksponen civil society. Civil society merupakan masyarakat baru yang terbuka, toleran dengan didirikan di atas pilar sistem hidup modern, dengan menjunjung tinggi penghargaan individu dengan nilai religius dan kultural yang dibawanya27. Keberadaan Gereja berada di luar pusaran civil society akan menjadikan Gereja teralienasi dari problem riil kontemporer masyarakatnya. Emmanuel Gerrit Singgih mengingatkan, bahwa orang-orang Kristen mempunyai kesalahapahaman atasnya sehingga lama sekali tidak ikut dalam wacana civil society28. Keperdulian Gereja dengan problem kontemporer dapat menjadi peluang Gereja merekatkan hubungan dengan wacana dan penggiat civil society. Dengan demikian, pelayanan sosial menjadi titik jumpa dengan berbagai elemen civil society, yang mempunyai common platform membangun masyarakat yang mengedepankan kesetaraan, keadilan dan kesejahteraan. Selama ini, Flatform ini yang ikut memberi semangat dan bingkai kerja-kerja lintas iman dan kerjasama kolaboratif GKP dengan mitra lain dapat berlangsung. 4. Relasi dengan Islam Dalam rangka menempatkan posisi Gereja lebih tepat dan memiliki persepsi yang akurat, kebutuhan yang tidak dapat ditunda adalah Gereja memerlukan pendidikan dan wacana agama lain, khususnya Islam. Gereja harus menjadi komunitas melek pengetahuan agama lain (religion litteracy). Dari situ bisa diharapkan Gereja akan mampu membangun relasi konstruktif dengan kaum Muslim yang bersifat pro-eksistensi. Banyak warga GKP tidak menyadari betapa luas spektrum keislaman29. Memori kolektif orang Kristen tentang kaum Muslim adalah, mereka memiliki obsesi tak kunjung surut untuk menjadikan Islam baik institusional maupun teologis sebagai fondasi formal dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara kita. Dalam kaitan Islam
285
di tengah ranah (domain) politik, Gereja memiliki kecemasan tersendiri beranjak dari sejak upaya menjadikan Islam berada pada jantung konstitusi. Memori kolektif tersebut makin kental, dengan munculnya produk politik dalam bentuk berbagai perundangundangan dan peraturan daerah bernuansa agama belakangan ini. Entitas Islam tidak tunggal. Benar memang, dalam tubuh komunitas muslim terdapat kelompok yang menginginkan Islam menjadi kekuatan politis yang berambisi mengisi posisi-posisi kunci dalam kekuasaan, supaya dengan itu, ketentuan dalam agamanya menjadi hukum positif dalam bentuk undang-undang atau ketentuan legalformal. Dalam hal ini identifikasi kita akan mengarah kepada kelompok yang secara ideologis menginginkan Islam menjadi ideologi negara. Tetapi spektrum Islam itu variatif. Terdapat juga kelompok yang hanya mendompleng kekuatan Islam untuk menarik keuntungan buat kepentingan jangka pendek pribadi dan kelompok elitnya. Kelompok ini lebih bersifat pragmatis, ketimbang berorientasi ideologis. Mereka cenderung memenuhi syahwat kekuasaan, di balik obsesi perjuangan agar nilai-nilai dan syariah Islam diformalisasikan dalam bentuk perundangan-undangan dan peraturan yang berlaku. Kelompok yang mempunyai cita-cita, aspirasi dan gerakan di atas, atau kelompok yang sering disebut Islam politik, mengalami pasang surut. Dalam peta makronya, relasi antara Islam dan negara pernah mengalami periode yang diwarnai sikap ketidakpercayaan dan hubungan antagonistik satu sama lain. Kaum muslim merasa mengalami beraneka kepahitan sebagai bentuk perlakuan Negara atasnya (pelarangan pemakaian jilbab di kantor, sekolah dan ruang publik; banyak aktivis Islam dipenjarakan, politisi muslim dipinggirkan, dll). Pendeknya, kaum muslim merasa politisi Muslim dan ulamanya dimarjinalisasi dari panggung politik nasional. Dan negara telah memangkas dukungan akar rumput tradisional kepada elit keagamaannya.30 Saat itu, rezim Soeharto dengan Orde Barunya memang memberlakukan kebijakan yang mengisolasi konstitusi dan kebijakan politiknya ekstra ketat dari penetrasi cita-cita politik Islam. Memasuki 1990-an, barulah Soeharto membuka babak baru dengan
286
lebih akomodatif. Akibatnya, terjadi pergeseran relasi antara Islam dan negara, Soeharto memberi peluang kelompok Islam menempati posisi strategis melalui islamisasi kabinet, militer dan birokrasi pemerintahan melalui jalur ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia). Efek sebaliknya, strategi Soeharto ini berimbas pada marjinalisasi secara sistematis ke militer, kelompok minoritas dan juga kelompok Islam arus utama, seperti NU.31 Perkembangan kemudian yang terjadi, mahasiswa sebagai aktor utama berhasil menjungkalkan Soeharto dan rezim Orde Baru yang otoritarian sehingga melahirkan era reformasi. Suatu era yang mengencangkan sendi-sendi demokratisasi. Impak kelahirannya, tidak hanya memperkuat keutuhan nasional dengan pengindahan dan penghormatan atas supremasi hukum, tetapi juga menggulirkan demokratisasi yang membuka ruang partisipasi, bahkan eforia kebebasan dengan berakibat memicu timbulnya kembali ikatanikatan lokal dan primordial, yang mengancam sendi-sendi kebangsaan.32 Dalam kaitan relasi Islam dan negara memunculkan dua pola utama. Pertama, memungkinkan kaum muslim masuk dalam politik arus utama. Kedua, era reformasi memberi ruang untuk kebangkitan Islam militan. Reformasi yang disambut antusias karena membuka ruang demokrasi lebih terbuka lebar-lebar, simultan juga menyediakan Muslim militan dengan platform konstitusional untuk berfungsi secara bebas seperti organisasi civil society yang lain, di mana mereka sebelumnya beroperasi secara klandestin.33 Selain adanya kelompok tadi di atas, patut kami mengemukakan adanya kelompok-kelompok dan lapisan pemikir muda Islam yang mempunyai pemikiran keagamaan yang mengedepankan nilai-nilai substansif Islam, seperti prinsip: keadilan (al-adl), kesamaan (almusawah), dan musyawarah atau demokrasi (syura) untuk direalisasikan dalam kehidupan masyarakat tanpa harus mengubah Islam menjadi dasar negara. Kelompok ini menolak jika idiom-idiom dan simbol-simbol Islam digunakan dalam keberadaan hukum publik karena bisa menyinggung hak perorangan dan kelompok pihak lain34. Mereka sangat mendasarkan pemahaman dan praktek keagamaannya pada semangat rahmat dan spiritual yang terbuka, yang menolak mengkafirkan dan menganggap murtad pihak-pihak lain yang
287
berbeda, serta menolak ukuran kebenaran pemahaman keagamaan dengan cara ideologis dan politis.35 Keislaman yang terakhir ini, menurut Robert W. Hefener memberikan kontribusi tak ternilai bagi politik global sebab demokrasi bisa beresonansi dengan nilai-nilai Islam terdalam36. Tentu tidak mudah menjalin relasi Kristen-Islam di tengah riuhnya konstelasi keagamaan, termasuk kontestasi berbagai kepentingan yang ingin mewarnai kehidupan masyarakat dengan konsep dan ide masing-masing. Terlebih situasi makin rumit dengan hadirnya tantangan baru, terutama berkaitan dengan merebaknya watak radikalitas di kalangan Islam. Tindak-tanduk kalangan ini menciptakan kompleksitas yang makin menyulitkan hubungan antara Gereja dan Islam. Setara Institute dalam laporan tahunannya menyatakan, kelompok ini dengan berbagai nama (FPI, Garis, Tholiban, Geram, FUI, FUUI, LP3SI, AGAP, GAPAS dan FAPB) telah ambil bagian dalam mempromosikan pandangan dan sikap intoleran terhadap golongan lain. Mereka menggalang orang untuk melakukan dan mendukung aksi-aksi yang mencerminkan pandangan dan sikapnya37. Mengacu pandangan Jamhari dan Jajang Jahroni, kelompok radikal Islam mempunyai pandangan yang salah satunya menempatkan Kristen merupakan lawan Islam dan dunia Islam38. Mereka mempunyai persepsi atas ketidakdilan tata kehidupan politik global maupun nasional, yang mana mereka kekristenan menjadi bagian di dalamnya yang ikut memberi kontribusi praktek ketidakadilan.Dengan kata lain, kelompok ini dengan berbagai kiprahnya menjadi kekuatan potensial penghambat tumbuhnya kehidupan bersama yang penuh respek antara Kristen dan Islam. Gerakan radikalitas bisa merampas kerinduan tata kehidupan bersama masyarakat plural, yang diwarnai kesediaan membangun kehidupan bersama yang penuh toleran dan harmonis. Dengan deskripsi di atas, Gereja-gereja dituntut makin merapatkan kesenjangan relasinya dengan Islam. GKP telah dan terus berupaya membangun hubungan yang solid dengan kalangan Muslim yang terbuka dan moderat39. Sedangkan derajad relasi GKP dengan kelompok radikal GKP lebih bersifat memberikan klarifikasi pada forum tertentu mengenai pemahaman distorsif yang mereka miliki.
288
Pengalaman memperlihatkan betapa tidak mudahnya berdialog dengan mereka yang mengedepankan prasangka, pendekatan fisikal dan percakapan bersifat monolog. Meski demikian, perjumpaan dengan kelompok radikal dengan dijiwai semangat keterbukaan dan kejujuran harus menjadi agenda Gereja. 5. Dialog sebagai Pilihan Terbaik Dialog berimpitan erat dengan kesadaran pluralitas. Gereja yang menghayati hakikat dirinya dalam kemajemukan tidak bisa tidak dialog bukan sekedar aktivitas suplemen melainkan bersifat imperatif. Ketika Gereja-gereja dan GKP telah menapaki jalan dialog dengan agama-agama lain, hal itu menandakan Gereja tengah masuk dalam bentuk affirmative action atas konteks pluralitas, yakni meretas jalan dialog untuk mengekspresikan esensi kekeristenan dengan memposisikan dan melihat agama lain dengan penganutnya sebagai mitra dialog setara.Sedangkan Gereja yang berdialog adalah Gereja yang bersedia mendengar, belajar dan menyerap pengalaman estetika, etika dan spiritualitas agama-agama lain, yang kelak mengubah cara Gereja memandang diri sendiri dan agama lain. Selain itu, dari dialog kita menemukan titik temu nilai, visi kehidupan dan komitmen nilai bersama yang bisa meletakkan fondasi untuk kehidupan bersama, serta membagikan nilai dasar yang dimiliki masing-masing. Dan ini sekali-kali bukan modus sinkretik. Karena tidak ada sama sekali desain untuk mencampuradukan setiap agama untuk menghasilkan sebuah bentuk keagamaan tertentu. Pertanyaannya, siapkah kita? Jelas tidak mudah menjadi Gereja mau melalui proses seperti itu. Mengapa? Di kalangan Gereja masih ditemui format teologi yang bersifat dikotomis, kitamereka. Kita benar-mereka salah. Kita terang-mereka gelap. Langgam kehidupan Gereja terbiasa mengajar kebenaran untuk orang lain (teacher complex), bukan belajar kebenaran dari yang lain. Gereja telah hadir berabad-abad di tengah masyarakat yang majemuk, meski demikian kita tidak memiliki tradisi dialog agama dengan pijakan preseden historis dan empiris yang panjang dan kokoh. Dialog merupakan modus keagamaan yang relatif baru diintrodusir. Kekristenan yang tiba di tanah ibu pertiwi ini, merupakan entitas yang hidup dan berkembang di sekitar postur
289
peradaban Barat, yang kuat dengan sensasi rivalitas dan triumpalistik atas agama lain. Tapi hal itu tidak boleh menjadi alasan menghentikan niat dialog menjadi agenda yang diinternalisasi dalam identitas Gereja. Dialog itu makin mengarifkan pemimpin dan warga Gereja memandang keperbedaan. Paling tidak, dialog menawarkan terbentuknya corak relasi baru, yang merupakan pergeseran dari paradigma relasi tradisional. Kita beralih dari paradigma relasi tradisional kekeristenan dengan agama lain, yang kental bermotif evangelisasi dan konversi40. Tantangan ke lingkungan Gereja sendiri, bagaimana meyakinkan dirinya bahwa sebenarnya dialog tidak menyangkali integritas keimanan atau menghindar diri dari Gereja yang misioner. Memang, parameter misioner atau tidaknya kehidupan Gereja bukan diukur dari bertambah atau tidaknya statistik warganya. Melainkan Gereja merumuskan format misiologisnya dalam wujud memberi buah karya kebajikan kristiani untuk sesama dalam konteks realitas yang plural. GKP sendiri mendefinisikan kemisionerannya sebagai berikut : “…ikut serta dalam karya Allah di dunia, dengan memberlakukan kasih, sukacita, kebenaran, keadilan dan damai sejahtera sebagai perwujudan tubuh Kristus…”41. Dan Rapat Kerja GKP 2011 memutuskan, “GKP terpanggil untuk terus mengembangkan teologi kontekstual yang terbuka terhadap Yang Lain dengan kearifan lokal yang ada sambil tetap menjaga jati dirinya sebagai Gereja Yesus Kristus”. Formula ini mengamanatkan bahwa dunialah arena utama kiprah Gereja. Allah bekerja di sana, dan tidak dikavling hanya dalam komunitas gereja. Gereja dipanggil masuk ke dunia dengan mengoperasionalkan nilai prinsipial kekeristenan. GKP tidak menganut, melestarikan dan mengembangkan pemahaman misologis abad ke-19 seperti yang diprihatinkan Aristarchus Sukarto. Dialog harus mendapat topangan teologi, oleh karena itu dialog tidak dapat dipisahkan dengan pluralisme. Tanpa pluralisme dialog kehilangan pijakan dan akan mudah goyah. pluralisme mengalaskan pandangan positif terhadap agama-agama lain, karena mengasumsikan setiap agama merekam pengalaman dengan Allah yang absolut (ultimate truth). Setiap pengalaman agama mempunyai
290
keunikan masing-masing, dan pengalaman religiusitas masingmasing itu tidak bisa mengklaim yang paling ungggul, sempurna dan eksklusif. Berangkat dari pemahaman demikian, pluralisme melahirkan pengakuan setiap agama tidak sama. Unik. Meski demikian tidak menegasikan dan merendahkan keberadaan agama di luar dirinya42. Dengan demikian, pluralisme menjadi tulang punggung untuk menjembatani ketidaktahuan dan kesalahpahaman timbal balik43. Pada sisi lain, menjadi bantahan atas tuduhan dan stigma bahwa dialog dan pluralisme secara spiritual dan moral melenceng dari kemisioneran Gereja. Dialog tidak vis a vis dengan Gereja yang misioner. Dialog sebagai format aktivitas keagamaan, baik sebagai wacana maupun praksis harus terus bergulir, sebab memungkinkan menghadirkan atmosfir setiap agama menyuguhkan potensi terbaiknya bagi kebersamaan dan kemanusiaan dalam masyarakat majemuk. Keprihatinan yang masih menggayut, dialog dinilai masih bersifat sporadis dan sangat elitis. Masih sedikit Jemaat-jemaat mengagendakan dialog sebagai programnya. Tidak sedikit pemimpin Gereja memperlihatkan kekurangsiapan berdialog. Apalagi, kalau pimpinan Gereja dan warganya masih terbelenggu teologi yang berwawasan misiologis seperti yang dikonstatasi Aristarchus di atas. Dalam pengamatan penulis, Gereja-gereja termasuk GKP berada dalam proses transisi, di satu sisi berupaya melepaskan diri dari pola relasi tradisional, pada sisi lain, belum sepenuhnya pola relasi dialogikal menjadi pola mapan dalam menjalankan tugas misionernya. Penutup Prof DR Emmanuel Gerrit Singgih adalah Guru yang setia dengan tugasnya, dan figur yang mencintai pengabdiannya. Teologi yang dibangunnya saya yakin bagaikan cahaya mercu suar, menuntun Gereja dan para muridnya yang bertebaran di seantero nusantara (juga luar negeri!), dalam menggeluti keseharian pelayanan mengabdi di berbagai bidang tugas. Hingga kini, saya secara pribadi bersyukur dan bangga menjadi muridnya, dan menimba pemikiran teologi dari sumur pemikirannya yang tak kenal kering. Ketika harus
291
menanggapi isu-isu baru di tengah masyarakat, really excited menyikapinya dengan tuntunan lewat buku-buku Guru sendiri! Tulisan ini merupakan artikulasi rasa hormat, bangga dan syukur yang dipersembahkan bagi Pak Gerrit. Berisi refleksi dan opini personal berangkat dari sepenggal pengalaman sebagai pendeta Gereja Kristen Pasundan, dan bersifat ajakan agar Gereja selalu berupaya menjadi Gereja yang otentik. Sekaligus Gereja tanpa lelah mau membaharui format teologi dan kehadirannya dalam menjalankan tugas hakikinya di tengah konteks yang terus berubah, dengan tetap setia pada karakter dasarnya sebagai Gereja, dan kuat berpijak pada akar nilai-nilai kulturalnya. Dengan semua itu, niscaya Gereja mampu menjadi entitas yang mentransformasi nilai di sekitarnya dan sahabat buat sesamanya.
292
Endnote 1
Lih. Aristarchus Sukarto, “Komunitas Rekonsiliatif” ( Penuntun, Vo.4 No13, 1997/1998,), hal.24. 2 Emanuel Gerrit Singgih, Bergereja, Berteologi dan Bermasyarakat ( Jogjakarta, TPK, 1997) hal. 158 3 Nurcholis Madjid, Indonesia Kita (Jakarta, Universitas Paramadina,2003), hal.78. 4 Ayatrohaedi, Bahasa Sunda di Daerah Cirebon (Jakarta, Balai Pustaka,1996), hal.96. 5 Ibid, hal.98. 6 Supriatno, Ziarah di Kompleks makam Sunan Gunung Jati Cirebon: Suatu Studi Mengenai Kepercayaan Kepada Wali dalam islam, Jogjakarta, Tesis Magister Teologia, UKDW, 2001, hal.133-134. 7 Ayip Rosidi, Manusia Sunda, (Jakarta:Idayu Press, 1984) 11-13. 8 Gerrit Singgih, Israel Akan Menjadi Nomor Tiga…: Refleksi Teologis Mengenai Keberadaan Orang Kristen di Indonesia Berdasarkan Yesaya 19:18-25, dalam suntingan Pokja Penyusunan Buku Peringatan HUT ke-65 GKP, Merenda Potensi-Mandiri dalam Misi (Bandung, Sinode GKP,1999), hal. 251-252. 9 Beberapa di antaranya: Cianjur, Tasikmalaya, Garut. Lebih lengkap lih. Supriatno, Menyikapi Peraturan Daerah Bernuansa Agama di Jawa Barat (Jakarta, BPK-GM, 2009), hal.197-218. 10 Malindo Institute, For Social Research and Islamic Development, 2008, hal. 30-31. 11 Zainul Kamal, dkk. Interfaith Theology, Responses of Progressive Indonesian Muslims (Jakarta, ICIP,2006), hal.130 12 Lih. International Crisis Group, Indonesia: “Christianisation” and Intolerance, Asia Briefing No 114, Jakarta/Brussels, 24 November 2010. 13 Jemaat GKP tersebut adalah: GKP Dayeuhkolot ( dirusak dan ditutup), GKP Ketapang (ditutup dan dirusak) dan Pos Kebaktian Cimuncang (dirusak, dibakar dan ditutup). Aksi ini dilakukan dengan anggapan bahwa keberadaan gedung gereja liar dan telah mengkristenkan anggota masyarakat di sekitarnya. Berbagai aliansi itu adalah: AGAP (Bandung), Gerakan Reformis Islam (Cirebon, Cianjur), Forum Umat Islam (Bekasi). Aliansi itu mengklaim didukung Front pembela Islam (FPI), Barisan Pemuda Persis, Hizbul Tahir, Forum Ulama Umat Islam (FUUI), dll. 14 Survey yang dilakukan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Wilayah Jawa Barat, tahun 2005 menunjukkan intensitas penutupan dan perusakan
293
gedung gereja pada tahun-tahun itu mencapai 25 buah. Sebelum dan sesudah tahun-tahun itu, secara sporadis tindakan penutupan dan perusakan gedung gereja itu terjadi, disertai intimidasi dan pelecehan bernuansa agama. Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan didirikan pada 26 April 2005 (Bandung dan sekitarnya), 15 Jaringan Kerja ini terdiri dari 6 lembaga : Sinode Gereja Kristen Pasundan, LBH Bandung, PBHI Jawa Barat, Desantara-Jakarta, Jaringan Intelektual Muda Muhamaddiyah (JIMM), Fahmina-Cirebon. 16 Beberapa catatan dapat diangkat. Pertama, grafik pelanggaran atas kebebasan beragama dan berkeyakinan di Jawa Barat tidak cenderung menurun, malah memperlihatkan gerak fluktuatif. Tahun 2005, 2007 dan 2008 menunjukkan tahun-tahun tertinggi terjadinya berbagai jenis pelanggaran. Kedua, pelaku pelanggaran terbanyak berasal dari aparatur negara dan perangkat desa/kelurahan, camat, aparat kepolisian dan Bupati/Walikota. Ketiga, jenis tindakan intoleransi dan diskriminasi yang tertinggi meliputi: pelarangan kegiatan keagamaan, pernyataan tokoh yang destruktif, perusakan tempat ibadah dan ancaman penutupan tempat ibadah. Keempat, kota-kota yang paling mendapat ‘raport merah’ yaitu: kabupaten Bekasi, kabupaten Bandung dan kabupaten Kuningan. Kelima, jenis hak-hak yang paling banyak dilanggar, yaitu: hak untuk berkumpul, hak untuk beribadah, hak atas perlindungan hukum, dan hak atas rasa aman 17 C.S. Song, The Compassionate God, (New York, Orchidbook, 1982) hal.72-73. 18 Dhyanchand Carr, Jesus’ Attitude toward People of Other Faiths (Hongkong, CTC Bulletin, Vol.XIX. No.3), hal.18. 19 Gerrit Singgih, Bergereja, Berteologhi dan Bermasyarakat (Jogjakarta, TPK, 1997), hal. 157. 20 Wilayah pelayanan GKP mencakup 3 propinsi, yaitu: DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat, dengan disertai kekhasan nilai kultural masing-masing. 21 Istilah Kampung Kristen muncul dari strategi Zending untuk memproteksi orang-orang Sunda yang mendapat tekanan sosial dari masyarakat sekitarnya. Lalu mendirikan pemukiman yang menampung orang Sunda Kristen tersebut. Kampung-kampung Kristen di lingkungan GKP adalah: Pengharepan-Cikembar, Palalangon-Cianjur, Cideres-Majalengka, Rehoboth-Tamiyang, Indramayu. 22 Dalam aturan Gereja yang disebut “Dina Parkumpulan Orang Karesten di Pasundan, Pasal 69, tahun 1917”,Papagon Gareja (Tata Gereja), tahun
294
1934, Pasal 73, disebutkan bahwa orang Kristen tidak diperkenankan sebagai Anggota Gereja menonton wayang, nanggap ronggeng atau doger. Tata Gereja, tahun 1956, Pasal X c, tidak boleh mengadakan pertunjukan, tontonan dsb, yang tidak sesuai dengan kekeristenan. 23 Lih. Gerald D. Gort, Sinkretisme dan Dialog, Berbagai Persepsi Orang Kristen Dalam Sejarah dan pada Awal Kegiatan Ekumenis (Jakarta, Peninjau, 1990) hal.41. 24 Th Sumartana, Sarikat Islam dan Zending, dlm. Suntingan Eka Darmaputera, Konteks Berteologi di Indonesia (Jakarta; PGI, 1988) hal.135. 25 Th. van den end, Sumber-sumber Zending (Jakarta, BPK-GM, 2006) hal. 18 & 792. 26 Th, Sumartana, Mission At the Crossroad ( Jakarta, BPK-GM, 1991) hal. 277-2778 27 Martin Sinaga, Pembentukan Civil Society dalam Masyarakat Modern: Tantangan Kontemporer dalam Dialog Antar-umat Beragama, dlm Agama Dalam Dialog (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2003) hal.296-297. 28 Emmanuel Gerrit Singgih, Menguak Isolasi, Menjalin Relasi (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2009), hal.190. 29 Penulis kerap memfasilitasi akademisi dan pemimpin pesantren memberikan ceramah di gedung gereja dan institusi Kristen di berbagai kota (Cirebon, Bandung, Jakarta, Sukabumi). Hasilnya memberikan dampak ganda yang positif, baik bagi Gereja maupun penceramah itu sendiri. Yang diperoleh sering berupa pengguguran gambaran bias Islam yang dimiliki sebelumnya, dan juga meretas suasana psikologis yang baru. Artinya melek agama lain bisa membangun wawasan dan silaturahmi yang baru. 30 Bakhtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam ( Jogjakarta, Galang,2003). 31 Dicky Sofjan, Why Muslims Participate in Jihada, An Empirical Survey on Islamic Religiousity in Indonesia and Iran (Bandung, Mizan, 2006) hal. 128129. 32 Samsudin Haris, Kompas, 12 Juni 2008. 33 Dicky Sofjan, Why Muslims Participate In Jihad, An Empirical Survey On Islamic Religiosity In Indonesia and Iran ( Bandung, Mizan, 2006), hal. 133134. 34 M. Imdadun Rahmat, Jalan Alternatif Syariat Islam (Jakarta, Tashwirul Afkar, Edisi No.12 Tahun 2002), hal 5. 35 KH Abdurrahman Wahid, Ilusi Negara Islam, Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia (Jakarta, Wahid’s Institute, dll, 2009) hal. 21-22.
295
36
Robert W. Hefner, Islam Pasar keadilan, Artikulasi Lokal, Kapitalisme, dan Demokrasi (Jogjakarta, LKiS, 2000), hal..xxv. 37 SETARA Institute, Radikalisme Agama di Jabodetabek dan Jawa Barat, Implikasinya terhadap Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, (Jakarta, 2011), hal.165. 38 Pertama, menunjukkan mentalitas “perang salib”. dunia Barat, khususnya Amerika Serikat, melakukan neo-kolonialisme. Kedua, Mengupayakan penegakan hukum Islam di dalam kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik sebagai prasyarat komunitas Muslim dapat benar-benar tunduk kepada Allah. Ketiga, tidak percaya kepada lembagalembaga pemerintah dalam rangka menanggulangi ‘penyakit sosial’ masyarakat, yang mereka identifikasi sebagai ‘maksiat’ dan ‘kemungkaran’. Keempat, Jihad, yang dimaknai usaha fisik untuk memerangi musuh-musuh Islam, mendapat tempat terhormat untuk menegakkan agama sebagai lambang supremasi kebenaran Tuhan di dunia. Kelima, dipengaruhi konflik di Palestina dan isu kristenisasi, mereka menganggap Kristen dan kaum Yahudi memiliki kesatuan tujuan melakukan konspirasi melawan Islam dan dunia Islam. Lih. Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta;Rajawali Press, 2004) hal. 6-8. Paham radikal juga senang melihat masa-masa lalu, ketika umat Islam berjaya dan ingin kembali kejayaan Islam di bidang ekonomi, social, budaya dan ilmu pengetahuan. Kejayaan masa lalu ingin dijadikan jawaban atas permasalahan sekrang akibat terjadinya krisis kehidupan. Tetapi kurang berpijak pada kenyataan yang ada pada saat ini. 39 Berbagai kegiatan lintas iman GKP: penerbitan Buletin Lintas Iman dwibulanan “Bianglala”, Studi Intensif Kristen Islam, Seminar, Lokakarya dengan isu-isu kontemporer, penguatan forum lintas iman yang sudah ada di Jawa Barat (Cirebon, Bandung, Sukabumi), aksi sosial bersama, perayaan bersama hari besar keagamaan (Natal dan lebaran) dll. 40 Di GKP penentuan Hari Pekabaran Injil, tanggal 12 Juli, bertitiktolak pada momen orang Sunda yang pertamakali menjadi Kristen. 41 Tata Gereja dan Peraturan Pelaksanaan Tata Gereja (Bandung Sinode GKP, 2007) hal.4. 42 Wilfred Cantwentwell Smith, “The Church in a Religously Plural World”, dlm. Richard J. Plantinga, Christianity and Plurality (Oxford, Blackwell Publisher, 1999), hal.314-315. 3 hal utama yang harus dilampaui kekeristenan dalam membangun relasi dengan agama lain, yaitu: problem intelektual, moral dan teologis. 1) Dunia modern menjadikan komunitas
296
dan tradisi beragam agama tidak lagi terpisah dan tidak saling mengenal. Komunitas dan tradisi agama-agama saling bertemu dan berpenetrasi, dengan medan pergulatan problem yang sama. Implikasinya bisa terjadi konflik baik yang kelihatan maupun tersembunyi. Perlu ditumbuhkan sikap kooperatif bersama di kalangan agama-agama bahwa hal itu sebagai bersifat imperatif moral. 2) serius mengartikan hidup, kematian Kristus di atas kayu salib dan kemenangan-Nya adalah perwujudan kebenaran yang final. Pada aras moral, menjadikan kekeristenan memikul tugas melakukan rekonsiliasi, kesatuan, harmoni dan persekutuan. Sekat-sekat penghalang didobrak, jurang yang menganga dijembatani dan setiap orang adalah sesama, sahabat yang dicintai Allah sebagaimana yang dilakukanNya kepada kita. 3), merumuskan konsep dan mengkonstruk doktrin yang rendah hati. Gereja mempertimbangkan untuk mengkritisi doktrin yang mencerminkan arogansi kekeristenan. 43 Raimundo Panikkar menguraikan 3 sikap: eksklusivisme, inklusivisme dan pluralisme, lih. Dialog Intra Religius, (Jogjakarta, Kanisius, 1994), hal. 18-34.
297
Komisi Hubungan Antarumat (Kaum) sebagai Simpul Dialog Versi Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Suwignyo* Pengantar Tulisan tentang dialog ini adalah bingkisan buat penghormatan Pak Gerrit dari bumi Jawa Timur. Kecuali secara intensif dipergumulkan di Jawa Timur, topik dialog – saya rasa – merupakan salah satu topik yang mendapat perhatian khusus dari Pak Gerrit. Banyak tulisan dalam ruang lingkup dialog telah ditulis oleh Pak Gerrit; bukan karena ikut-ikutan bahwa dialog sedang trendi belakangan ini seperti kebanyakan karya tulis tentang dialog. Atau, karena sedang marak, di mana-mana dibentuk lembaga baru dari yang bersifat sangat formal sampai forum-forum keumatan non-formal di bawah payung besar dialog. Institusi-institusi dialog pun banyak didirikan di banyak tempat. Bukan alasan seperti itu, melainkan sejak tahun 1980-an Pak Gerrit secara konseptual telah mencanangkan ”proyek akademis” besarnya, yakni berteologi kontekstual di Asia. Buku Dari Israel ke Asia menjadi saksinya. Dari fokus berteologi konteks Asia tersebut Pak Gerrit membangun banyak ”batu bata” dialog yang serba kuat dan bagus bertolak baik dari perspektif tafsir Kitab Suci maupun filsafat yang kental. Sebagai landasan teologis khas Asia, tesis teolog dari Sri Lanka, Aloysius Pieris, dijadikan titik pijak membaca konteks Asia. Konteks berteologi di Asia mestilah memperhitungkan dua hal utama, yakni *
Doktor Teologi, Pendeta GKJW di Institut Pendidikan Teologia Balewiyata, Malang
299
kemiskinan dan keanekaragaman agama. Pada kemudian hari, dari perkelanaan yang berbeda, dengan konteks Amerika Latin, Paul Knitter mengidentifikasi konteks serupa dengan konteks Asia-nya Pieris, dengan istilah ”mereka yang menderita” dan ”mereka yang beragama” (seperti dalam buku karya Paul Knitter berjudul Satu Bumi Banyak Agama). Pak Gerrit bertolak dari dua asumsi itu pula. Hanya versi Protestannya coba lebih ditonjolkan. Jadi, kalau kedua nama tadi lebih ”Katolik”, Pak Gerrit menjadi representasi ”Protestan”. Dari pena Pak Gerrit bangunan teologi kontekstual di Asia kian diperjelas sosoknya, terutama dari sisi pandang seorang Protestan dan Indonesia – demikian sering ditegaskan oleh Pak Gerrit. Sekilas Sejarah Kaum Bingkisan ulang tahun yang dikirim dari bumi Jawa Timur diberi judul ”Komisi Hubungan Antarumat (Kaum) sebagai Simpul Dialog Versi Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW)”. Kaum atau Komisi Hubungan Antarumat ada di Jawa Timur di Greja Kristen Jawi Wetan. Akan tetapi, istilah ”simpul dialog” adalah apresiasi saya sendiri terhadap entitas baru tersebut. Motif dari pembuatan istilah baru dalam tulisan ini sebenarnya lebih berorientasi pada penegasan secara internal. Maksudnya, yang ingin dikedepankan, yaitu Kaum adalah sebuah prestasi baru GKJW dalam perjalanan sejarahnya, terutama sejarah hubungan antarumat yang digalang oleh hampir seluruh warga GKJW dalam dinamika pelayanannya. Sebagaimana Pieris menyebut ”sosialisme religius”, demikianlah GKJW memulai mewujudkan gerak langkahnya melalui Kaum. Terlalu dini memang mengidentifikasi Kaum sebagai salah satu bentuk dari ”sosialisme religius”, sebuah konsep transformasi sosialreligius yang menyapa kenyataan kemiskinan dan keragaman agama di Asia. Sebab, gerakan Kaum masih terbatas pada upaya gereja memberi perhatian khusus pada dinamika berdialog lintas agama. Pintu masuk Kaum adalah dialog lintas agama; masuk melalui konteks keanekaragaman dari ”mereka yang beragama”. Bahwa di sana-sini kumpulan orang-orang berbeda-beda agama mengurus agenda ”bakti sosial” dari yang paling karitatif sampai dengan yang reformatif atau transformatif, sebagaimana akan dijelaskan berikut,
300
Kaum hadir pula dan berurusan dengan agenda kemiskinan, ”mereka yang menderita”. Akan tetapi, format kebersamaan lintas agama masih terlalu cair untuk disebut ”sosialisme religius” versi Pieris. Dalam tulisan ini tinggallah diasumsikan bahwa ”sosialisme religius” Pieris merupakan model penanganan dua agenda atas dua konteks utama Asia. Kaum pada umumnya belum sekental itu; barulah sampai pada tahap perkenalan. Adalah beberapa orang warga GKJW yang berjiwa pionir ikut serta menggalang gerakan dan pengorganisasian warga masyarakat, bersifat lintas agama; kegiatannya pemberdayaan ekonomi dan pemberdayaan kesadaran berdemokrasi. Pionir tersebut secara formal dan struktural menjadi pengurus Kaum. Artinya, kegiatannya di back up oleh gereja. Namun, dalam hubungan kerja sama dengan pihak-pihak lain, dia berkapasitas sebagai pribadi. Antara pribadi dan organisasi tidak dapat diidentifikasi secara persis. Meskipun orang mengenalnya sebagai orang GKJW, kehadirannya lebih diapresiasi sebagai seorang bernama si A, si B, atau si C. Dengan kata lain, GKJW hadir sebagai pribadi-pribadi, bukan institusi. Orang di luar GKJW kurang peduli seberapa besar atau kecil kewenangan struktural seorang ”representatif” GKJW, bahkan untuk ”level” sinodal sekalipun. Yang dikenal orang adalah komitmen seseorang dalam ikut serta mendinamiskan gerakan kebersamaan lintas agama. Sangat jarang aspek struktural diperhitungkan. Kalau diperhitungkan pun, ia hanya diperhitungkan sebagai semacam simpul efektif dalam berkomunikasi, menyebarluaskan ide-ide dan agenda-agenda lintas agama yang membutuhkan pengerahan banyak orang. Kendati bersifat cair-cair saja, kami merasa penting untuk menyebutkan, bahwa Kaum adalah embrio dari ”sosialisme religius” versi Jawa Timur. Dengan dan melalui Kaum, GKJW menyentuh isu gereja dan masyarakat secara sadar dan berkesinambungan. Untuk sekadar meyakinkan diri sendiri, bahwa kami sedang berada di jalur yang tepat: dengan Kaum, konteks keragaman disentuh. Dengan Kaum pula dikerjakan ”proyek” kesejahteraan dan keadilan sosial, sejauh konteks lokal tertentu memang memanggil kami untuk merambah di jalan itu. Kaum siap mengerjakan keduanya; bukan
301
terutama disebabkan oleh kemampuan dan kehebatan Kaum, melainkan karena semata-mata panggilan konteks lokal yang real. Kaum tidak pertama-tama menyusun sebuah rencana transformasi sosial secara besar-besaran dengan strategi begini atau begitu. Paling jauh hanya disadari bahwa keanekaragaman agama penting untuk diperhatikan. Sebab, pengalaman menunjukkan bahwa agama yang telah terkotak-kotak secara politis akibat kebijakan politik, bahwa setiap orang harus beragama, masuk ke masjid, ke gereja, ke pura, atau ke wihara, telah memungkinkan orang mengeruhkan keberagamaan dengan aneka agenda politik sektarian yang mengacaukan kehidupan kerukunan warga masyarakat. Kesadaran ini ada. Bukan hanya Kaum menyadarinya, setiap orang yang aktif dalam hubungan lintas agama pun menyadarinya. Kaum terpanggil justru untuk melestarikan dan berdamai dengan keanekaragaman. Perbedaan suku, ras, agama, atau antargolongan adalah berkah. Kesadaran akan keragaman demikian itulah menjadi titik tolak Kaum dalam berkiprah. Begitu pun ketika Kaum terlibat dalam upaya pemberdayaan masyarakat demi kesejahteraan dan keadilan sosial. Orang-orang yang bukan pemimpin agama, yang dengannya Kaum menjalin hubungan kerja sama yang harmonis, berpikir lebih praktis, yang berhubungan dengan kebutuhan real sehari-hari mereka. Ruang untuk berusaha, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarga terasa sesak dan terbatas bagi mereka yang hidup pas-pasan atau kurang dari itu. Keprihatinan mereka yang sangat mendesak seperti itu sulit dihindari. Apalah artinya bicara panjang-lebar tentang ajaran agama satu berbeda atau serupa dengan ajaran agama lainnya bagi mereka yang serba ragu-ragu menjawab pergumulan ”apakah hari ini kami bisa makan”. Sampai di sana, Kaum yang sesuai dengan namanya hanya mengurusi dialog lintas agama, didorong untuk mengurusi dialog antarumat yang berbeda-beda agama; dan umat yang dimaksud adalah orang kebanyakan yang hidup susah. Itulah urusan real. Tidak bertolak dari rancangan transformasi besar, kemudian berbondongbondong menerapkannya untuk konteks tertentu. Sebaliknya, bertolak dari konteks orang yang hidup dengan susah payah, Kaum
302
terbawa untuk berbuat sesuatu terkait dengan transformasi sosial. Keprihatinan sosial membawa Kaum ke arah transformasi sosial. Transformasi sosial – sebuah istilah yang hampir pasti bersifat teknis akademis, dan itu bukanlah istilah orang kebanyakan. Sebab, kalau keluhan kesesakan dan keterbatasan ruang berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup bukanlah sungguh-sungguh keluhan yang perlu dilontarkan oleh warga masyarakat untuk mendapat pertolongan. Mereka sendiri bukan terutama tipe ”peminta-minta pertolongan”. Mereka adalah pejuang kehidupan yang gigih. Akan tetapi, ada terasa sesuatu yang tidak tampak, namun terasakan daya desaknya, yang tidak sanggup mereka atasi. Oleh karena itu, mereka mengeluh. Mereka membutuhkan sesuatu yang cukup kuat untuk bertahan hidup, syukurlah bisa memperkembangkannya. Untuk itu, dibutuhkan sejumlah kerangka teoretis. Di sanalah Kaum mencoba untuk memerankan diri sebagai kawan yang baik, mencarikan referensi, mencarikan narasumber, mengajak berdialog antara narasumber dan warga masyarakat. Pada bagian berikut, hal ini akan diurai lebih lanjut. Adapun pada bagian ini, cukuplah disebutkan kalau Pak Gerrit mengidentifikasi kegiatan live in dari studi intensif Kristen dan Islam di GKJW sebagai sebuah langkah bercorak ”Basic Human Communities” [dapat dibaca dalam E.G. Singgih, ”Gereja Diaspora dan Basic Human Communities”, dalam A. Suharja, S.J., (ed.), Tinjauan Kritis atas Gereja Diaspora Romo Mangunwijaya (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 109-110.], maka terlebih lagi Kaum. Secara historis, Kaum dilahirkan setelah kami mengalami proses dialog yang cukup panjang. Laboratoriumnya adalah Institut Pendidikan Theologia Balewiyata. Berbagai kegiatan di bawah payung dialog antarumat berbeda-beda agama diselenggarakan di Institut Pendidikan Theologia Balewiyata. Ide-ide disemaikan. Nanti, pada saat ”roh” dialog menjadi gerakan-gerakan, Kaum sebagai motor utamanya. Sejak studi agama-agama diintroduksikan pada era awal tahun 1980an di Institut Pendidikan Theologia Balewiyata, topik dialog secara berkesinambungan dikawal begitu rupa, sampai dengan
303
diselenggarakan seminar internasional pada tahun 1991 bertajuk ”Pro Eksistensi”, yang ditimba dari ”guru” dialog Hans Kung. ”Dimatangkan” oleh sebuah proses sosial tahun 1996, yang ditandai dengan kerusuhan, pembakaran sejumlah gedung gereja di Surabaya dan Situbondo, dialog kian diperkuat di Jawa Timur. Sejumlah forum dialog, baik yang bersifat keumatan maupun antarpemimpin umat, digalang di Institut Pendidikan Theologia Balewiyata, dan diteruskan oleh Kaum. Dengan demikian, sejarah Kaum itu sendiri secara ringkas setidaknya terbagi dalam lima periode. Pertama, periode penyemaian ide dan mendorong gerakan. Penyemaian dilakukan di dalam forum-forum studi, dari studi-studi singkat sampai studi intensif selama sekitar sebulan. Di dalam studi-studi tentang dialog, aneka pengalaman disistematisasikan dan direfleksikan sedemikian rupa sehingga peserta studi tercerahkan, bahwa dialog merupakan bagian dari upaya berteologi yang real dalam konteks Indonesia. Kelebihan dari studi-studi yang kami selenggarakan adalah pendekatannya. Dari pendekatan kognitif sampai dengan afektif serta rancangan-rancangan tindak lanjut dituntaskan di dalam proses studi. Pendalaman dari sisi ”ilmu murni” seperti ”apakah trinitas” sampai dengan ”ilmu terapan” seperti ”bagaimana merancang masyarakat komunikatif ala Habermas” dilakukan di dalam studi intensif yang kami selenggarakan. Ditambah dengan upaya-upaya menciptakan perjumpaan secara langsung dengan manusianya, yang berbeda-beda agama dan berbeda penghayatan serta laku hidup, yang dihidupi secara real di dalam sebuah komunitas, maka sisi afeksi dapat disentuh selama proses studi. Demikianlah, ide dan semangat dialog disemaikan oleh GKJW. Secara teknis, penyemaian dilakukan oleh Institut Pendidikan Theologia Balewiyata. Kedua, periode pergerakan. Prinsipnya, kami menyebar ide tentang dialog lintas (pemeluk) agama. Secara sadar, barangsiapa telah terinspirasi pergerakan dialogis, mereka melibatkan diri dalam berbagai upaya menggalang kerukunan di mana pun dengan cara apa pun. Sementara kami sendiri, di pusat, di kantor Majelis Agung GKJW melibatkan diri di dalam berbagai forum hubungan
304
antarumat. Kawan-kawan yang aktif melibatkan diri dalam berbagai forum, yang tersebar di berbagai daerah, kami kontak secara relatif periodik. Maksudnya, untuk membangun kehendak dan menguatkannya, agar ruang-ruang tak bertuan, antara kotak-kotak agama dan kotak masyarakat, yang potensial untuk diacak-acak untuk berbagai kepentingan, dapat makin dipersempit. Apa yang marak disebut ”provokasi” seputar tahun 1998 coba dipersempit ruang geraknya dengan gerakan alternatif berupa gerakan dialog. Secara internal, penyebaran ide dan semangat ”pergerakan” bersifat pribadi-pribadi. Artinya, apabila seseorang berkesempatan terlibat di dalam forum pengambilan keputusan di gereja, misalnya, diharapkan terlahir sejumlah keputusan gerejawi yang secara sadar mencanangkan program dialog. Atau, bisa jadi istilah ”dialog” tidak muncul. Setidaknya, semangat dialogis terwujud berupa program atau kebijakan gerejawi. Dengan demikian, ide dan semangat dialogis dapat dikawal secara berkesinambungan dan sistematis. Atau, sekiranya seseorang, karena pergaulannya yang luas, berhasil menggalang atau terlibat di dalam penggalangan forum-forum kerukunan antarumat berbeda-beda agama, diupayakan melibatkan diri dengan sungguh-sungguh. Pada tahap-tahap awal, keterlibatan semacam itu bersifat sukarela. Sejumlah waktu dan fasilitas lain ditanggung sendiri-sendiri. Malahan, dalam keadaan sedikit ekstrem, dengan masih dibayang-bayangi fobia terhadap politik hegemoni gaya Orde Baru, sejumlah kawan menyatakan ”tidak” sama sekali terhadap bantuan dana dari pihak pemerintah. Biarlah gerakan keumatan, kerakyatan, tetap menjadi gerakan sukarela yang bersifat cair. Dalam hal demikian, segala sesuatu dipenuhi sendiri-sendiri. Pengorbanan berasal dari kantong masing-masing. Semua dilakukan dalam rangka penyebaran ide dan semangat dialog. Salah satu bentuk penyebaran ide dan semangat dialog yang kami tempuh secara khusus dan bersifat struktural gerejawi adalah mengintroduksikan dibentuknya komisi baru, yang khusus menangani dan mengawal pelaksanaan dialog.
305
Ketiga, pengorganisasian. Komisi yang menangani secara khusus urusan dialog tidak dimaksudkan untuk menggantikan peran yang telah berlangung baik. Sebaliknya, komisi dimaksudkan untuk makin menggiatkan, menganekaragamkan, dan menggandakan aneka kesempatan untuk melibatkan semakin banyak orang di dalam kegiatan bersemangatkan dialog. Pada lingkup sinodal, di Majelis Agung GKJW dibentuk mula-mula Kelompok Kerja Hubungan Antarumat, disingkat PAU (Pokja – Kelompok Kerja Antar Umat). PAU dibentuk pada tahun 2001 oleh Pelayan Harian Majelis Agung GKJW. Empat orang diberi Surat Keputusan (SK) untuk mengawal perjalanan dialog berskala Jawa Timur. PAU menjadi representasi GKJW untuk urusan dialog antarumat berbeda-beda agama/keyakinan. Dorongan utama dilahirkannya PAU adalah kian maraknya dialog yang diselenggarakan oleh orang-orang. Banyak undangan tertuju kepada GKJW, spesifiknya Majelis Agung GKJW. Sebab, banyak orang mengenal bahwa GKJW mempunyai perhatian khusus dalam menggalang kerukunan di dalam masyarakat. Sedemikian banyak undangan kepada kami. Kesempatan untuk melibatkan diri dalam penyebarluasan ide dan semangat dialog pun makin terbuka. PAU bertugas untuk menghadiri dan terlibat dalam berbagai pertemuan dialogis dari skala lokal sampai skala nasional. PAU, dalam proses melibatkan diri tersebut, mengajak kawan-kawan lama dan kawan-kawan baru untuk turut hadir dalam berbagai forum. Warga jemaat GKJW terdekat dengan tempat pertemuan diajak. Kawan-kawan dari jemaat terdekat diajak terlibat dalam proses dialog. Topiknya bermacam-macam. Orang yang diajak juga bermacam-macam. Kawan di jemaat bersangkutan memilih orang yang rela menjadi relawan dan mempunyai perhatian di bidangbidang yang terkait dengan topik yang hendak diperbincangkan. Atau, bisa juga, orang yang sama menghadiri bermacam-macam topik di dalam forum dialog. Sedikit demi sedikit, melibatkan kawan-kawan baru. Kunjungan hari raya, misalnya. Ini bukan bersifat forum keumatan. PAU melakukan kunjungan hari raya ke pondok-pondok pesantren. Pondok pesantren yang pernah ditinggali beberapa orang, live in, saat studi intensif Kristen Islam, dikunjungi pada saat Hari Raya Idul
306
Fitri. Kawan-kawan yang tinggal di jemaat yang berdekatan dengan pondok pesantren diajak serta berkunjung. Sekali dua kali dilakukan kunjungan bersama. Kawan-kawan yang sama akan diajak lagi untuk menghadiri agenda dialog lainnya yang diselenggarakan oleh pondok pesantren yang juga mengundang PAU di pondok pesantren. Prinsipnya adalah PAU terlibat. PAU juga mengajak kawan-kawan ikut serta terlibat. Orientasinya bersifat lokal. Untuk memperkuat masyarakat lokal, warga jemaat GKJW di suatu wilayah diajak untuk terlibat, berkenalan dan meneruskan perkenalan pada konteks lokal. Keempat, introduksi Kaum. Setelah PAU bekerja kurang lebih empat tahun, akhirnya ada prakarsa untuk menggulirkan ide penanganan khusus bidang dialog di jemaat-jemaat. Kami sudah mempunyai sejumlah kawan yang tersebar di berbagai jemaat. Artinya, dapat dipastikan, bahwa ide dan semangat dialog akan dapat dikembangkan oleh kawan-kawan yang telah kami ajak menjalin kontak dengan pihak-pihak di luar gereja. Tradisi di GKJW, kecuali sidang Majelis Agung, sekali setahun, Majelis Daerah atau klasis bersidang dua kali setahun. Dalam persidangan Majelis Daerah, Majelis Agung mengirimkan sejumlah informasi dan bahan permenungan, di samping hadir pula perwakilan Majelis Agung di dalam Sidang-sidang Majelis Daerah. Informasi ditulis oleh tiap Dewan Pembinaan di Majelis Agung. Salah satu dokumen berasal dari PAU. Dengan mekanisme itu, PAU menggulirkan ide dan semangat dialog melalui mekanisme struktural kepada Sidang Majelis Daerah. Agar ide dan semangat dialog yang telah digalang dengan berbagai pihak di luar gereja dapat dipelihara dan dilestarikan, maka perlulah membentuk wadah baru yang menangani khusus dinamika hubungan antarumat yang makin hari makin marak. Rupanya, ide dan semangat yang digulirkan tersebut ”tertangkap” oleh kawan-kawan dari jemaat, yang telah beberapa kali bersamasama terlibat di dalam proses dialog di berbagai kesempatan, yang kebetulan menjadi anggota Majelis Daerah. Ide tersebut didiskusikan lebih lanjut di dalam sidang seksi. Pada gilirannya, ide tersebut
307
dijadikan salah satu keputusan dalam sidang pleno. Penting dibentuk komisi khusus untuk menangani dialog antarumat beragama. Sementara itu, selang bulan, PAU menggulirkan ide yang sama kepada Sidang Majelis Agung. Di dalam forum pengambilan keputusan tahunan yang ”tertinggi” di GKJW itu digulirkan ide tentang kemungkinan dibentuknya komisi khusus yang menangani dan mengembangkan dialog, dari lingkup Majelis Agung sampai lingkup Majelis Jemaat. Dengan cara itu, ide dan semangat dialog didukung, dilestarikan, dan dijalankan secara sistematis oleh GKJW. Pada tahun 2005 telah muncul Program Kegiatan Tahunan yang ditangani oleh Komisi Hubungan Antarumat di Majelis Agung. Komisi itu bernama Komisi Hubungan Antarmat Beragama, disingkat Kaum-ma. Kelima, tahap koordinasi. Di beberapa Majelis Daerah telah dibentuk Kaum. Di antaranya, malah, Pelayan Harian Majelis Daerah sendiri secara langsung menangani pelaksanaan agenda-agenda Kaum-Daerah. Mengapa demikian? Rupanya, Majelis Daerah tertentu memandang bahwa agenda-agenda Kaum, atau dialog lintas keyakinan merupakan agenda yang krusial sehingga dibutuhkan orang-orang bijak tertentu untuk menanganinya. Sebagian besar lainnya, begitu Kaum terbentuk, Kaum langsung menangani sendiri pelaksanaan program-program yang telah digariskan oleh persidangan. Baik lingkup Majelis Jemaat, Majelis Daerah, maupun lingkup Majelis Agung telah melakukan program dialog masingmasing. Pada gilirannya, serangkaian koordinasi pun dilakukan. Sebagai badan baru, langkah-langkah penyesuaian yang kurang harmonis masih dijumpai. Belum semua bagian mempunyai kesiapan yang seimbang dari segi dana maupun tenaga. Ide dan semangat dialog yang mendasar juga masih terus harus disosialisasikan dan dilatihkan agar mencapai tahap penghayatan. Akan tetapi, sebagaimana badanbadan lain di dalam tubuh GKJW, apa yang disebut Rapat Koordinasi dan Rapat Kerja merupakan mekanisme struktural dalam rangka mengembangkan sesuatu agenda – begitu pun agenda dialog.
308
Yang pasti, secara khusus, perihal dialog telah dimasukkan ke dalam rencana strategis berskala enam tahunan. Memang, belum sejak awal pencanangan rencana strategis jangka panjang. Per tahun 1985, dialog dimasukkan ke dalamnya. Ide dan semangat dialog dikembangkan oleh GKJW dalam perjalanan berdinamika menuju tujuan jangka panjangnya, yang berjangka tiga puluh tahun. Dengan kata lain, dialog yang diemban oleh Kaum merupakan tonggak sejarah yang baru sejak GKJW mencanangkan rencana strategis jangka panjangnya pada tahun 1985 lalu. Kaum dalam Bingkai Diskursus Teologi Kembali pada pokok ”Basic Human Communities” yang telah disinggung sekilas sebelumnya. Secara mendasar, apa yang disebut Basic Human Communities, yang diintroduksikan oleh Aloysius Pieris, yang juga dikembangkan oleh Pak Gerrit, merupakan sebuah strategi bertransformasi sosial, menanggulangi kemiskinan struktural yang masif. Dasarnya adalah religiositas: Menggantikan sikap ”bakti” kepada mamon dengan sikap bakti kepada Allah, secara bersama-sama, baik orang-orang religius maupun orang-orang berlatar belakang berbagai ideologi. Transformasi sosial demikian itu merupakan proses berteologi yang hidup. Basis pergerakannya bersifat komunitas: sekelompok kecil, orang-orang berkomitmen. Kalau dalam konteks Amerika Latin, proses berteologi demikian itu dilakukan berdasarkan nilai-nilai Kekristenan, karena warga masyarakat sebagian terbesar menganut Kekristenan. Di Asia, nilainilai yang dijadikan basis pergerakan adalah kemanusiaan. Kurang lebih, kemanusiaan diasumsikan sebagai ”agama-bersama” di Asia yang beragam agama dan ideologinya [dapat dilihat dalam Aloysius Pieris, Bertologi dalam Konteks Asia, terj. (Yogyakarta: Kanisius, 1996)]. Kemiskinan secara masif persisnya merupakan masalah akut di Asia. Manusia miskin secara masif itu pula yang nyaris menjadikan manusia seperti ”bukan” manusia. Hanya sekadar bertahan hidup tidaklah mudah. Memperkembangkan kehidupan lebih tidak mudah lagi. Kalau berhasil pun, masih ada lagi satu tantangan: Apakah perjuangan membebaskan diri dari kemiskinan yang masif dianggap berhasil pada saat orang sudah menjadi kaya, mapan, nyaman
309
hidupnya. Apakah kondisi tersebut bukan tetap saja berada dalam ruang lingkup kekuasaan Mamon? Demikian pertanyaan-pertanyaan Pieris. Untuk tidak terjebak oleh kekuasaan Mamon, maka adalah baik bahwa transformasi sosial yang digalang orang, dilakukan sebagai laku berteologi. Artinya, tetaplah manusia berbakti kepada Tuhan Allah, pencipta, penyelamat hidup dunia sampai di kekekalan. Proses menuju keadilan sosial, istilah lain untuk per”saudara-saudari”an, ditempuh dengan semangat kebersamaan. Baik orang beragama maupun orang tidak beragama sekalipun, yang hanya hidup dari ideologinya, bisa bekerja sama sebagai sesama manusia. Kecenderungan untuk menjadi mapan dan ekstrem selalu dimungkinkan untuk dikritisi justru oleh adanya keragaman agama dan ideologi. Apakah kaitannya dengan dialog? Jelaslah kiranya bahwa dialog – meminjam – definisi Pak Gerrit, esensinya adalah ”perjumpaan” (encounter). Orang berlatar belakang apa saja dapat berjumpa sebagai sesama manusia. Syukurlah perjumpaan itu bersifat intensif. Bentuk teknisnya adalah berkomunitas, bersama-sama mempergumulkan hal-hal terkait dengan kehidupan, bersama-sama pula memperkembangkan kehidupan makin manusiawi, makin harmonis supaya terhindar dari pemberlakuan hukum rimba, hanya yang besar dan kuat yang berhak hidup. Untuk menggalang interaksi dialogis masih harus memperhitungkan dengan cermat konteks ketidakadilan sosial yang berkembang dewasa ini. Konteks realnya, kehidupan bersama tidak terlalu harmonis. Persisnya, tidak seimbang, alias tidak adil. Catatan statistik yang biasanya dipergunakan untuk menggambarkan ketidakadilan, secara global, adalah angka 20:80. Maksudnya, 20% penduduk bumi menikmati 80% sumber daya; sebaliknya, 80% penduduk bumi menikmati 20% sumber daya [dapat dilihat dalam Ulrich Duchrow, Mengubah Kapitalisme Dunia: Tinjauan SejarahAlkitabiah bagi Aksi Politis, terj. (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1998)].
310
Statistik terbaru menyebutkan angka lebih rinci yang kian tidak menggembirakan. Majalah Basis edisi Maret–April 2009 menyebutkan bukan 20%, melainkan 15% penduduk dunia menguasai jauh lebih banyak ketimbang tahun 1990-an. Dari 15% warga dunia, yang adalah penguasa sumber daya, 5%-nya menguasai 71% harta dunia. Dengan kata lain, konteks di mana dialog dikembangkan adalah kesenjangan. Satu pihak tidak berjumpa dengan pihak lain, khususnya pihak penguasa sumber daya yang makmur tidak berjumpa dengan pihak yang mengalami kelangkaan sumber daya. Secara prinsip-struktural, mereka tidak menjadi sesama, mereka tidak sama dalam keberuntungan hidup. Bahwa kemanusiaan yang hendak diperjuangkan adalah kemanusiaan yang adil. Kalau dilambangkan angka, kiranya angka yang adil adalah berkisar 50:50, dialog sebagai perjumpaan antarmanusia sebagai sesama berurusan dengan keadilan, menciptakan tata hubungan yang adil, yang setara. Makin menjangkau banyak ranah kehidupan yang adil, makin baik. Titik tolak percakapan tentang keadilan, dalam konteks ini, harus diakui, adalah titik tolak ekonomi-praktis, perihal mengakses sumber daya demi kelangsungan hidup. Persoalan mendesak di Asia bukanlah semata-mata menjadi ”miskin di hadapan Allah”, melainkan benar-benar miskin, dan masif. Kelangkaan akses terhadap sumber daya penjamin kelangsungan hidup bagi banyak orang benar-benar menciptakan korban. Bahkan di Indonesia yang adalah ”tanah sorga”, ”berkolam susu”, ”kail dan jala dapat menghidupi”, ada orang mati karena busung lapar. Ada pula anak sekolah terpaksa bunuh diri gara-gara tidak sanggup lagi bersekolah, tidak bisa membayar uang sekolah. Sementara para wakil rakyat berebut besaran gaji sampai puluhan juta. Krisis kemanusiaan atau krisis kesesamaan, kesederajatan dalam mengakses sumber daya pelestari kehidupan merupakan tantangan paling nyata. Bagi Kaum, misalnya, Kaum Majelis Agung, krisis tersebut coba didekati dengan melakukan pelatihan beternak sapi
311
secara berkelompok lintas agama. Pelatihan dilakukan di sebuah jemaat GKJW yang telah berpengalaman membentuk komunitas peternak sapi jenis unggul di antara sesama warga GKJW. Selama pelatihan, baik orang Kristen maupun Muslim tinggal di gedung gereja beberapa hari. Di sela-sela pelatihan pada malam hari diadakan percakapan dengan orang-orang, tetangga di sekitar gedung gereja sedemikian rupa sehingga di tempat pelatihan yang terdiri atas komunitas Kristen ”terpaksa” bertemu juga dengan tetangga Muslim di gedung gereja, berbincang tentang segala macam teknis penggemukan sapi. Dengan penataan yang sangat khas, sekelompok peternak di desa Kucur, Sengkaling, Kabupaten Malang, menjadi kelompok peternak alternatif didampingi oleh Forum Komunikasi Antarumat Beragama Kota Malang, di dalamnya, adalah sejumlah orang anggota Kaum Majelis Agung GKJW. Demikianlah sekadar menyebut contoh, bahwa di balik ”sekadar” beternak sapi, orang berbicara tentang networking baik pada ranah produksi, promosi, intervensi pasar lokal alternatif, maupun bagaimana sekelompok orang muda sebaiknya memilih seorang kepada desa yang benar-benar berpihak pada pergerakan pemberdayaan masyarakat. Sebuah Alternatif Seorang kawan sampai pada satu hipotesis bahwa berurusan dengan umat, yang bukan pemimpin agama, diskursus yang utama bukanlah antarumat beragama. Diskursus antarumat beragama itu diasumsikan sudah ada sejak zaman kuno. Mereka tahu bagaimana dan mengapa hidup rukun yang dinamis sebab mereka mau bergotong-royong, bahkan gotong royong menjadi jiwa mereka. Demikian juga Bung Karno menegaskan di dalam Sidang BPUPKI, saat pidato lahirnya Pancasila, 1 Juni. Mereka tidak terlalu membutuhkan istilah ”antarumat beragama”. Yang lebih ekstrem lagi, kata ”si-kawan”, justru istilah ”antarumat beragama” itu sendiri mengotak-ngotakkan. Orang desa diundang hadir ke balai desa. Topik tertentu dibahas, ditambahi ”dalam rangka kerukunan antarumat beragama”. Ironis! Orang-orang desa masuk ke dalam gedung, langsung berkelompok.
312
Muslim, seperti otomatis, duduk bersama dengan Muslim. Orang Kristen, juga seperti otomatis, duduk bersama, bergerombol bersama dengan orang-orang Kristen. Niatnya rukun, nyatanya justru memilah-milah orang berdasar agama formalnya. Itulah potret dari umat. Oleh karena itu, alih-alih menyebut ”antarumat beragama”, sejauh berurusan dengan umat, ”orang awam” dalam hal agama secara syariah ataupun secara sufistik, berjumpa sebagai sesama manusia yang sedang bernasib serupa, yang berkerinduan untuk mengubah nasib dan mimpi buruk semata-mata dan terus-menerus menjadi korban peminggiran merupakan topik yang jauh lebih memberdayakan. Untuk sampai pada hipotesis tersebut, gereja, dalam diri Kaum, bergaul begitu akrab dengan kawan-kawan, tetangga-tetangga, dan sanak famili handai taulan dari agama apa pun dan ideologi apa pun. Berbincang bersama, menumbuhkan citra diri bersama, berjuang bersama, menjalin relasi atau membentuk jaringan makin luas, juga secara bersama-sama. Dengan demikian, pola dasar persaingan yang bertolak dari filsafat individualistis dipatahkan sejak awal melalui proses kebersamaan. Bagi GKJW, simbol dari seluruh proses kebersamaan adalah ”proeksistensi”. Hubungan antarmanusia seyogyanya sampai pada tahap saling peduli, bahu-membahu, tidak membiarkan kelemahan kawan menjadi alasan baginya untuk tersingkirkan. Tidak bisa lagi mengembangkan tata hubungan yang ignorant, bahkan tidak tahu ada orang berbeda dari dirinya di sebelah rumahnya. Demikian pula berhubungan secara apologetis – tahu ada kawan lain yang berbeda, teapi diriku sendiri pastilah yang paling unggul dalam segala hal – juga tidak memadai. Apalagi keunggulan yang dipaksakan untuk diakui oleh pihak lain. Itu masih jauh dari puncak pro-eksistensi. Sementara itu, sikap tenggang rasa, menghargai, dan tidak saling mengganggu, atau secara positif disebut bertoleransi, memberi kesempatan orang lain untuk bereksistensi sebagaimana keyakinannya, itu pun masih selangkah di belakang, sebelum mencapai pro-eksistensi
313
Penutup Seluruh pergulatan lahir-batin GKJW ber-pro-eksistensi secara intensif dikawal secara langsung oleh Kaum. Mungkin terlalu berat beban ditumpukan kepada satu komisi. Akan tetapi, cara kerja berjaringan dan melibatkan setiap orang di dalam konteks lokal yang sedang mendinamiskan dirinya merupakan cara kerja berbasis kebersamaan yang sangat signifikan. Dengan cara kerja Kaum seperti itu, secara prinsip tidak akan ada seorang warga GKJW pun terkecualikan dari tugas dan panggilan hidup secara rukun, damai, dinamis, lintas agama, dan lintas ideologi. Gerakan itu memang bersifat cair, tidak mengental secara organisatoris struktural. Sebab, konteks real GKJW mengajarkan bahwa peran seorang demi seorang adalah peran yang diharapkan oleh masyarakat Jawa Timur. Orang bisa akrab. Organisasi belum serta-merta mengakrabkan, lebih dari sekadar memory of understanding. Meski organisasi perlu, untuk menjamin kelestarian gerak langkah sejumlah besar orang, namun gerakan pribadi, berjumpa dengan pribadi lain, berakrab ria sebagai sesama arek Jawa Timur, justru merupakan pendekatan alamiah yang efektif dalam berdialog. Kaum masih merupakan embrio bagi sebuah gerakan yang disebut Pak Gerrit sebagai Basic Human Community. Masih serba kecil, serba cair, serba beragam format; ada Kaum yang masih berkutat urusan agama formal semata. Ada Kaum di konteks lokal yang lain memadukan antara urusan agama formal dan agenda transformasi sosial. Ada pula Kaum yang jauh lebih banyak memberi perhatian pada pemberdayaan masyarakat, dengan sesekali mempertimbangkan komposisi pemeluk agama-agama dalam melibatkan orang-orang dalam gerak kebersamaan. Ringkasnya, terlalu beragam dan terlalu cair mengidentifikasi Kaum sebagai sebagai Basic Human Community. Setidaknya, sebagai embrio, bolehlah Kaum disebut embrio Basic Human Community. Karakter hendak selalu bersamasama dan hendak berkembang serentak di GKJW kiranya, selama ini, lebih merupakan pilihan taktis; pilihan pada mementingkan dinamika umat.
314
Lokalitas menjadi salah satu faktor yang sangat diperhitungkan. Kalau umat Kristen bersama umat beragama dan berideologi lainnya pada aras lokal dapat berdinamika begitu rupa mewujudkan semangat dan pola hubungan saling menghargai, saling memberi kesempatan untuk bertumbuh dan berkembang, maka hampir tidak ada lagi hal lebih penting lain yang patut diperjuangkan. Hubungan dijiwai dengan semangat menjadi sesama, berjuang bersama bertolak dari kemampuan lokal. Kalau tata hubungan seperti itu bisa disebut ”sosialisme religus”, ya, baiklah. Semoga!
315
Bagian VII
DIALOG DENGAN ALAM DAN KAUM PINGGIRAN
Huang Po Ho Anna Marsiana
Ecological Crisis and Its Challenges to Christian Higher Education in Asia Dr. Huang Po Ho
Our colleagues in Duta Wacana University have planned to publish a festschrift in honor to Prof. Gerrit Singgih, my very dear friend and theological comrade in the journey of doing contextual theologies in Asia in the occasion to celebrate its 50th anniversary of the university. I feel privileged to be invited to give a small contribution as a token to express my congratulation and commend to the important achievements that Gerrit has done for Asian theologies and theological education, not only in Indonesia but also in Asia and beyond. With this small input I wish Gerrit healthy and happiness while he continues to engage himself in this blessed mission of contextual theologies. Introduction: ―Sustainability,‖ the theme is a popular concept and a wide-ranging term that can be applied to almost every aspect of life, not only to the human species but also to the rest of God’s creation. Human over-population of the planet is causing steady degradation of the Earth’s ecosystems, leading to imbalances in natural cycles and
This paper was first delivered as keynote speech to the Biennial
Conference and 18th General Assembly of the Association of Christian Universities and Colleges in Asia (ACUCA) at Nov. 1-3, 2010 in the Keimyung University, Korea.
Vice president and Professor of Theology, Chang Jung Christian University, Taiwan. Dean of Programme for Theology and Cultures in Asia (PTCA). Co-moderator of CATS and Moderator of AFTE. 317
resulting in negative impacts on both humans and other living organisms. Paul Hawken has commented that, "sustainability is about stabilizing the currently disruptive relationship between earth’s two most complex systems—human culture and the living world.‖ 1 Literally speaking, sustainability means the capacity to endure. According to current usage, when the term is applied to ecology, it refers to the ability of biological systems to remain diverse and productive; when applied to human populations, it refers to the potential for long-term maintenance of well being, which in turn depends on the maintenance of the natural world and natural resources.2
In its 1987 report to the United Nations, the Brundtland
Commission3 defined sustainable development as ―development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs.‖4 However, more than thirty years have passed since the establishment of the Brundtland Commission. Despite the many subsequent studies, reports, meetings and other efforts sponsored by the United Nations, as
well
as
by
regional
and
national
governmental
and
non-governmental organizations, deterioration of natural ecosystems and cycles continues to accelerate. Global climate change is one example: in recent years, global warming has resulted in an array of disturbing phenomena, from an increase in the incidence of extreme weather, local climate change, retreat and disappearance of glaciers, oxygen depletion in seawater and rises in sea level. In addition to the headline-making natural disasters, these phenomena are producing impacts on food supply, water resources and human health. 318
Sustainability, therefore, is not a topic merely of academic interest but rather one that directly concerns the survival of our own species and that of many others. However, attempts to respond to pressing environmental issues such as global warming have intensified the conflict of economic interests between developed and developing countries. The so-called ―Earth Summit,‖ convened in Rio de Janeiro in 1992, and the series of similar meetings that have followed annually 5 have made very little progress toward reaching a consensus that would permit a unified response to these issues. Despite the acrimonious debate fueled by the vested interests of the nations involved, the goal of a sustainable world remains a crucial one for the human species, not just to save it from extinction, but also to restore its relationship with the rest of creation. The nature of what that relationship should be leads in turn to a reflection on the nature of humanity and human spirituality. This presentation, which is developed out of an educational concern to nurture global citizens through Christian higher education, will focus on the Christian understanding of the relationship between humans and ecology and on Christian initiatives for the redemption of God’s creation. The presentation will be divided into two parts: in the first part, I will discuss Christian impacts on ecological issues from a theological point of view; in the second part, I will focus on the mission and responsibilities of Christian higher education as it responds to the ecological crises confronting the world today.
319
Christian Religion: A Root of Ecological Crisis? Max Weber (1864 – 1920), a German religious sociologist and political economist, argued that ascetic Protestantism was one of the major ―elective affinities‖ that determined the rise of capitalism. In his book, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism,6 Weber theorized that capitalism in northern Europe evolved because the Protestant ethic proposed by John Calvin induced people to engage enthusiastically in work in the secular world, causing them to develop business enterprises, to engage in trade, and eventually to accumulate wealth for investment. He concluded that the Protestant ethic was a force behind an unplanned, uncoordinated mass action that influenced the development of capitalism7. Even though Weber rejected deterministic approaches and considered the Calvinist ethic to be only one of a number of factors that led to the development of capitalism, his work led to the widespread recognition of the potential impact that religion can have on economic and political structures. The Protestant work ethic articulated by Calvin considered all work, regardless of type or position, to be entrusted by God as a means by which humans glorify God.
A willingness to work hard has
traditionally been regarded as a positive human virtue.
However,
when this trait is connected to the capitalist habit of accumulating wealth for investment, it becomes linked to the negative human expressions associated with the capitalist market system, such as egocentrism, competition, greed, materialism, and ecological exploitation. Although it was not Weber’s intent to associate directly 320
the Protestant ethic with negative aspects of the market system, his analysis of the relationship between Protestant values and the economic systems that they tend to promote raise thought-provoking questions for Christians (particularly those of us who come from Calvinist traditions) and impel us to engage in self-critical reflection. Weber is not the only scholar who has discerned a relationship between worldviews growing out
of
Christianity and the
development of socioeconomic structures that are now in an adversarial relationship with the environment. More recently, Lynn Townsend White, Jr. (1907-1987), professor of medieval history at Princeton, Stanford, and UCLA, has argued that traditional Judeo-Christian theology is fundamentally exploitative of the natural world. According to White, ―the mentality of the Industrial Revolution, that the earth was a resource for human consumption, was much older than the actuality of machinery, and has its roots in medieval Christianity and attitudes towards nature.‖
8
White
suggested that orthodox Christianity tends to foster an exploitative view of nature because: 1) the Bible asserts man's dominion over nature and establishes a trend of anthropocentrism, and 2) Christianity makes a distinction between humans (formed in God's image) and the rest of creation, which has no "soul" or "reason" and is thus inferior.9 The Anthropocentric Tradition of Christian Theology While the conclusions of Weber and White regarding the role of the Christian religion in the development of modern capitalist economic 321
structures and the process of world industrialization do not necessarily apply to the whole spectrum of Christianity, they nevertheless reflect the modern trend to regard Christianity as having arisen from an anthropocentric perspective that later developed into a Euro-andocentric (European- and male-centered) ideology. Although the theological foundation of the Christian religion is the Triune God as creator of the universe, its doctrine of soteriology, which is based on the incarnation, crucifixion, and resurrection of Jesus Christ, the God-man figure, perceived through the Jewish historical background and in the context of the early church, has been directed exclusively towards the human species. The doctrinal arguments regarding sin (and original sin), salvation (redemption), and consummation (Kingdom of God, heaven and hell), for instance, are all overwhelmingly concentrated on human destiny. The creed formulated by the first ecumenical council in Nicaea, for instance, bases its confession on a Christology that is exclusively associated with human creation. The second paragraph of the Nicene Creed reads: We believe in one Lord, Jesus Christ, the only Son of God, eternally begotten of the Father, God from God, light from light, true God from true God, begotten, not made, of one Being with the Father; 322
through him all things were made. For us and for our salvation he came down from heaven, was incarnate of the Holy Spirit and the Virgin Mary and became truly human. For our sake he was crucified under Pontius Pilate; he suffered death and was buried. On the third day he rose again in accordance with the Scriptures; he ascended into heaven and is seated at the right hand of the Father. He will come again in glory to judge the living and the dead, and his kingdom will have no end.10 According to church historians, the first ecumenical council in Nicaea was convened by Roman Emperor Constantine, for the purpose of solidifying his empire through the unity of bishops and churches. The creed produced by this council, thus focused on the most divisive issue among the early church bishops, i.e., Christology.11 The creed, veering decisively away from a holistic view of creation, specified the human race as the sole target of the salvation accomplished by the incarnation, crucifixion and resurrection of Jesus. The anthropocentric view of Christian faith therefore became a hermeneutic principle for the Christian interpretation of Scripture and Christian traditions.12 Accompanying the anthropocentric worldview of Christianity was a 323
dualism that developed under the influences of Hellenic philosophy; it separated not only Creator God and his/her creation, but also separated humans and the rest of God’s creation. Unfortunately, it was subsequently manipulated as a tool to categorize human relationships on the basis of gender, class, race, and even hierarchical socio-political status, and thus legitimize and sustain the corruptive power of domination and exploitation in human history. Attempts to Recapture Christian Tradition Whether Christian religion is by nature anthropocentric and whether the creation order proposed by Christian Scripture must be interpreted as a hierarchical domination of human beings over the rest of creation are questions open to debate. The theological conclusions of Weber and White were based on their correlation of observed economic phenomena with a specific Christian ethic (Weber), and of ecological degradation produced by technological development with its proposed roots in the Judeo-Christian view of nature (White). Though not without controversy, such writings have rightly highlighted the magnitude of the impact that Christian values have already had on the global environment. The intention of Lynn White was to suggest that the ecological crisis is fundamentally a spiritual crisis; in recent years he has been joined by other religious scholars who have made similar assertions. For instance, Seyyed Hossein Nasr, an Iranian professor of Islamic studies, argues that, ―the environmental crisis is fundamentally a crisis of values.‖13 If, as Tillich suggested, religion is the nature of cultures 14 that shapes human values, religion is thus implicated in the human determination 324
over ecological and environmental issues. From a Christian perspective, in order to remedy human wrongdoing towards nature, it is necessary to ―recapture‖ Christian tradition and the interpretation of Christian Scripture. The analyses of Weber and White have elicited numerous responses over the years; although these responses are varied, they can be classified into three categories of response: 1) complete agreement with the analysis, 2) dialogical interaction with these viewpoints through ―recapture‖ of Christian tradition, 3) defense of the Christian faith by refutation of the positions taken by its critics. Different proposals have been made to deal with the criticisms of Christianity’s role in the development of the present ecological crisis. Some have appealed to the wisdom of tribal peoples as well as Eastern cultures and religions traditionally regarded as more eco-friendly, while others have attempted to recapture Christian tradition through the re-reading and re-interpretation of Christian Scripture and doctrines. Lynn White himself suggests adopting St. Francis of Assisi as a model for the establishment of a "democracy" of creation in which all creatures are respected and man's rule over creation is delimited.15 Christian efforts to respond to ecological issues by a recapturing of Christian tradition have been significant. The creation stories that are considered to be the foundation of the Christian understanding of ecological and social order have been re-read and re-interpreted, and the concept of ―stewardship‖ has been proposed as a substitute for the traditional notion of human ―domination‖ over the rest of 325
creation. Such reinterpretations often rely on insights gained from the second creation story in Genesis to balance the traditional understanding of the first creation story. 16 However, others have suggested that the role of ―steward‖ is a relic of hierarchical feudalistic society that should be abandoned in favor of models of co-existence and partnership between the human species and the rest of creation. In addition to the efforts to re-examine Christian Scripture in order to gain new insights, efforts are also being made to explore the formation of Christian doctrines in relation to their context and background. New theologies developed for modern, post-modern, and post-colonial contexts, including contextual theologies from the Third World, are all examples of the theological struggle to comprehend adequately the relevance of Christian doctrines and values for this particular period of human history. A paradigm shift from a ―theology of salvation‖ to a ―theology of creation‖17 has also been proposed as a means of responding to the ecological crises confronting the modern world. The Role of Christian Higher Education in Responding to Ecological Crisis What then should the role of Christian higher education be in response to the ecological crises facing our world today? As previously argued, ecological crisis is fundamentally a spiritual crisis. In other words, it is a dysfunction of human spirituality that has led to the unrestrained exploitation and destruction of ecosystems. 326
Recovery of a proper relationship between humans and the rest of God’s creation is thus the key to preserving a full and harmonious universe. It is in this area of restoration that Christian education is suggested to have a distinctive role and mission. Education can be considered to be a process of transformation. According to Wikipedia, education in its broadest sense ―is any act or experience that has a formative effect on the mind, character or physical ability of an individual. In its technical sense, education is the process by which society deliberately transmits its accumulated knowledge, skills and values from one generation to another.‖ 18 Based on this understanding of the nature of education, the mission of higher education is therefore to prepare students for leadership in society by means of research, instruction, and service. In today’s world of globalization, higher education is considered very important to national economies, both as a significant industry in its own right and as a source of trained and educated personnel for the rest of the economy19. According to a statement issued by the 1982 United Nations World Conference on Higher Education Partners, ―At no time in human history is the welfare of nations so closely linked to the quality and outreach of their higher education system and institutions.‖20 With this awareness of the crucial role played by the institutions and systems of higher education in the welfare of our nations and people as well as the future of our planet, our meeting here as member universities and colleges of ACUCA is inevitably challenged by the 327
crises confronting our respective nations, the Asia-Pacific region and the world as a whole. These challenges, to highlight just a few, include the eradication of poverty, the establishment of justice, the attainment of peaceful coexistence of nations and peoples, and of course,
the
achievement
of
sustainable
development
and
eco-justice. 21 Because ACUCA is a community of Christian institutions of higher education, we may be able to identify our distinctive contribution to education by our common struggles to respond to these challenges, by our solidarity and by our collective wisdom. Christian Presence in the Higher Education System In recent years, the global ecological crisis has drawn intense attention and concern from the academic world and communities of higher education. Many research projects and academic curricula have been proposed and designed to address the urgent issues of sustainability. We must ask ourselves, however, whether there is a distinctive contribution that Christians can make with regard to this critical educational goal that would add to or go beyond what is already being done in secular higher education systems. There are a range of opinions on this. In a speech delivered at Abilene Christian University and entitled ―Christian Academe vs. Christians in Academe,‖ Kenneth C. Elzinga, the Robert C. Taylor Professor of Economics at the University of Virginia proposed that Christian higher education should be characterized by differences from secular higher education in three main areas: differences in teaching, differences in credentialing, and differences in mentoring. 22 An 328
alternative model for Christian higher education has been proposed by the United Board for Christian Higher Education in Asia (UBCHEA), a long-time educational partner of ACUCA. The UB has advocated the concept of ―Christian Presence‖ and adopted as its mission the enhancement of higher education in Asia through its Christian commitments. 23 In contrast to Elzinga, UBCHEA has taken an inclusive position towards religious pluralism in higher education. In the preamble of its position paper, UBCHEA describes itself as ―a Christian organization motivated by a commitment to Christian values, expressed through its venerable tradition of Christian higher education in Asia. Such expression takes place primarily, though not exclusively, through Christian institutions of higher education. The United Board refers to this expression of Christian values in higher education as Christian presence.24 The position paper goes on further to explain: The work of the United Board embraces a rich variety of situations across Asia, where Christians are a minority. Given this situation, the expression of Christian presence attempts to be sensitive to the wider social, religious, and cultural contexts. Therefore … Christian values are articulated broadly as humane values that engage people of other faiths and of no religious faith, drawing a response from them that reflects their rich religious and cultural traditions….Christian presence is developed and implemented through encouraging collaboration and research among Asian institutions on vital issues in Asia. Such collaborative research and action empowers Asian leadership in higher
329
education to address structures of injustice, to promote human community, and to care of the environment.25
Although the United Board has taken an inclusive position with its open-ended interpretation of the concept of ―Christian presence,‖ it implicitly yet unmistakably affirms that Christian higher education possesses additional features relative to general higher education: Christian higher education is the fostering of value-based leadership in administrators, faculty, and students, who will serve and contribute to understanding and justice in their societies. It is education that is also accessible to the less advantaged. Christian higher education is not exclusively by and for Christians, but is committed to Christian values: liberal and humane education; education of the whole person; moral development of students and faculty..., it is education that addresses social, human, and environmental issues… Christian higher education nurtures not only the formation of Christian students, but also the formation of students of other religious and cultural backgrounds, to understand their own religious tradition as well as the religious traditions of others. 26
From the widely divergent positions of the evangelical and ecumenical theological camps regarding the mission of institutions bearing the name ―Christian,‖ it is easy to focus on the significant differences between them. Yet, despite these differences, most of all who are involved in Christian education agree that it has distinctive features. There is no consensus, however, on what these features are. 330
To some degree, I suppose this is the real situation of an
association such as ACUCA. By highlighting this phenomenon and the nature of our association, I am proposing that, as an association of institutes of Christian higher education, although we are not necessarily in agreement about the interpretation of the concept of ―Christian presence‖ in higher education, we do agree that Christian faith can supply ―distinctive surpluses‖ relative to higher education in general. The many topics and themes tackled during our different levels of meetings and in our research are attempts to explore our common understanding and commitment and represent some of the distinctive qualities of Christian higher education. Christian
Initiatives
for
Sustainability
through
Higher
Education Based on the preceding discussion of the nature of Christian higher education and its potential contribution in responding to the global ecological crisis, I propose the following initiatives as a starting point for discussion and further development for us as leaders in Christian higher education. I am not attempting to give an exhaustive list of all the possible initiatives; neither am I trying to suggest that these are the only ways to accomplish our mission regarding ecological issues: 1)
Advocacy
of
eco-justice
education
as
an
essential
component of higher education. As mentioned previously, ecological issues have come to the forefront of attention in academic communities around the world.
As a result, an unprecedented
amount of academic research is being conducted on environmental 331
topics, and an
increasing number
of
activities
promoting
environmental protection and concern for global ecosystems are taking place on university campuses. However, many of these efforts are still being carried out in isolation; there is a tremendous need for coordination and unified action. Christian universities and colleges, which have their roots in a common faith that recognizes divine purpose and beauty in creation, can act in unison to initiate an advocacy that stresses eco-justice and incorporates it into the quality assurance criteria of higher education. Such advocacy might also contribute to our common goal of promoting Christian presence within the higher education system. We may take the current state of higher education in Taiwan as an example. A sharp decline in the birthrate over recent years has reduced student populations and created a financial crisis that threatens the survival of all universities. The distorted accreditation system that reduces institutions of higher education to nothing more than highly developed manufacturing units, existing solely for the creation of profit and serving merely to prepare students for their sale on the job market, has worsened the situation. The highly controlled educational policies implemented by the government give very little space for Christian universities and colleges to re-define and implement the Christian characteristics of their education. To some degree, this situation also explains why the all the discussions of sustainability on university campuses have accomplished relatively little. A strong international Christian advocacy of specific criteria for educational excellence might strengthen the position of individual 332
Christian institutions to take creative initiatives that depart from societal norms. 2)
Commitment of research and instructional capabilities to
further explore and clarify, from a Christian perspective, the relationship between humans and the rest of creation. The ecological crisis has been suggested to be at least in part a spiritual crisis, and the traditional Christian worldview has been suggested as one of its roots. There have been a variety of efforts to recapture the Biblical message and Christian traditions in order to manifest Christian support for ecological protection. To date, however, these efforts have mostly been the work of individual theologians and have only rarely been formatted as ecclesial confessions, let alone incorporated into the agenda of higher education. I do not mean to suggest that all Christian universities should establish their own divinity schools; they should, however, form policies to promote interdisciplinary academic research by Christian faculty members to explore the issue of the interdependence between the human species and the rest of creation.
These policies should also encourage
dialogue between Christian faculty members and colleagues from other living religious traditions and ideologies that will be constructive to the harmonious coexistence of the future inhabitants of the earth. 3)
Implementation of Christian ethics for ecological justice at
all levels of administration, teaching and research activities. Christian ethics must be expanded, on the basis of Christian devotion 333
to the wholeness of God’s creation, to put high value on behaviors that promote eco-friendly environments, sustainable lifestyles, and a spirit of eco-justice. Christian concern for ecological harmony should be viewed as yielding a range of positive outcomes—physical, mental and spiritual—that institutions and individuals assist in shaping and achieving. As previously mentioned, the developed world presently considers the earth as a resource to be exploited and an object for economic development. Even so-called environmental advocates in the academic world have an approach toward nature and creation that is largely anthropocentric. The popular articulation of sustainable development in the academic community is concerned, by and large, with the well-being of humans. In other words, as long as the resources of nature are sufficient to sustain human needs, or even wants, no attention will be paid to issues of eco-justice. To some degree, this lack of regard for eco-justice also underlies the confrontation between developed and developing countries over environmental issues. In the context of eco-justice, sustainability is an ethical issue that invites human beings to redefine their role within the totality of God’s creation. Only through this kind of radical redefinition of the human role in relation to the whole of creation can awareness be generated for the need to live simply and humbly in harmony with the rest of creation. 4)
Reevaluation of existing curricula and research projects
from perspectives of ecological concern. We ought to seek ways of 334
increasing the impact and effectiveness of our education with regard to global ecology, not just by increasing the number of courses related to environmental issues, but as far as possible to require that ecological concerns be dealt with and reflected upon in all courses. 5)
Encouragement
of
individual
faculty
members
and
researchers to engage in academic activities and development of technologies that contribute to the goals of environmental protection and energy conservation. Students can also be encouraged to take up research topics in this area. 6)
Last but not least, implementation of a holistic education
that includes a spiritual dimension and is concerned not only with isolated human existence, but also with peaceful, harmonious interaction with the whole of creation. In so doing, ecological issues can be integrated into every aspect of student life and learning. Redeeming God’s Creation through Christian Healing and Reconciling Ministries Although Christians form a minority in most Asian countries, their contributions have not been limited by their small numbers. Instead, Christians have played a significant role in the modernization of many Asian countries. In this post-modern world, however, the Christian community is facing critical challenges. If the Christian minority is going to continue to make positive contributions to society, it should, in addition to persisting in its prophetic role, 335
explore more deeply the truths of God necessary to confront the challenges of this present hour. In so doing, Christian institutions of higher education, which provide freedom to study and research all dimensions of life, should carefully consider how they can best nurture the next generation to be even more faithful to the Creator and to the whole of creation. The nurturing and transforming nature of education, viewed from its creative function, can also be understood as a process of healing, which is theologically synonymous with the concept of redemption. The ecological education we are proposing to build, one that will lead to the creation of a harmonious oikos, is derived from the Christian value of reconciliation. Thus, we as Christian educators can take part in the redemptive work of God through our efforts to bring reconciliation to God’s creation by active participation in the educational process of healing. (end)
336
Endnotes 1
Paul Hawken, Blessed Unrest: How the Largest Movement in the World
Came into Being and Why No One Saw It Coming (New York: Viking, 2007), p. 172. 2
Daniel W. Bromley, "sustainability," The New Palgrave Dictionary of
Economics,
2nd
Edition
(2008).
Cited
from
http://en.wikipedia.org/wiki/Sustainability, Sept. 15, 2010. 3
The Brundtland Commission, formally known as the World Commission
on Environment and Development (WCED), was first convened by the United Nations in 1983 and published its report, “Our Common Future,” in 1987. 4
United Nations General Assembly (1987) Report of the World
Commission on Environment and Development: Our Common Future. Cited from http://en.wikipedia.org/wiki/Sustainability Sept. 15, 2010 5. Since the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) went into force, the parties have been meeting annually in Conferences of the Parties (COP) to assess progress in dealing with climate change, and beginning in the mid-1990s, to negotiate the Kyoto Protocol to establish legally binding obligations for the reduction of greenhouse gas emissions by developed nations. From 2005, the Conferences have met in conjunction with Meetings of Parties of the Kyoto Protocol (MOP), and parties can participate in Protocol-related meetings as observers. 6
Max Weber began his writing of this book in 1904 and 1905 first as a
series of essays. The original edition was in German; the book was translated
into
English
for
the
first
time
in
1930.
See
http://en.wikipedia.org/wiki/The Protestant Ethic and the Spirit of 337
Capitalism 2010,09,01 7
See http://en.wikipedia.org/wiki/The Protestant Ethic and the Spirit of
Capitalism, 2010, 09, 04 8
http://en.wikipedia.org/wiki/Lynn_Townsend_White,_Jr.
9
Ibid.,
10
This version is taken from “English Language Liturgical Commission”
cited from http://www. creeds.net /ancient/nicene.htm, Sept. 20, 2010 11
Christology is the second person of the triune God, while the first and
third person were not crucial debating issues in the early church, the second person (Christology) has been occupied the main concern of Christian theology, thus the holistic creation was paid no enough attention in the history of Christian theology. 12
The anthropocentric view of Christian soteriology was not begun from
Nicene Creed, but existed as early as Christian Community was formed. Apostle Creed for instance has implicitly taken the same position. 13
http://en.wikipedia.org/wiki/Religion_and_ecology
14
Paul Tillich suggested that Culture is the form of religion and religion is
the nature of cultures. 15
See: http://en.wikipedia.org/wiki/Lynn_Townsend_White,_Jr., Sept. 29,
2010 16
The second creation story, found in Genesis 2. 4b-25, is considered the
earlier version, possibly dating back to the time of Solomon and belonging to the so-called J document, while the first creation story in Genesis 1. 1-2.4a is considered to be part of the P document, written during the exile period. 17
See Huang Po Ho, A Paradigm Shift of Theology and the Holistic
338
Redemption to God’s Creation, unpublished paper, presented to CCA-BIT sponsered “National Theological Workshop in Thailand 2010” held in ‘Bangkok, sept. 6-10, 2010. 18
See: http://en.wikipedia.org/wiki/Education, Sept. 19, 2010
19
Ibid.,
20
See: http://www.unesco.org/en/higher-education/, Sept. 20, 2010
21
The primary argument of ecojustice is that the natural world must be
included in an evaluation of ethics or morality.
Supporters of ecojustice
hold that all living things have some intrinsic value, and humans must take this into account in order to act ethically. 22
Kenneth C. Elzinga, Christian Academe vs. Christians in Academe,
Centennial University Address at Abilene Christian University, See: http://www.insidehighered.com/views/2005/09/30/elzinga 23
The mission statement of UB read:“The United Board for Christian
Higher Education in Asia works to support a Christian presence in academic communities in Asia”. While in an overview elaborated in the front page of its website, it states: “The United Board works with a dynamic network of universities and colleges to enhance Christian presence in higher education in Asia. See: http://www.unitedboard. org/programs.asp, Sept. 20, 2010 24
Christian Presence in Asian Christian Higher Education: A Position Paper.
Paper unpublished. 25
Ibid.,
26
Ibid.,
339
Mlipir Jalan Pinggiran: Mencari Wajah Agama (Kristen) di Antara Wajah-Wajah yang Terpinggirkan Anna Marsiana Pengantar Sebagai lulusan sarjana teologi dengan gelar Sarjana Sains dari Fakultas Teologia – UKDW, saya harus mengatakan bahwa saya belajar makna berteologi yang sesungguhnya bukan dari kampus, melainkan dari lapangan. Adalah komunitas petani di Gunung Kidul yang pertama kali mengajarkan kepada saya apa artinya berteologi yang sesungguhnya, sekaligus mempertanyakan diri sendiri dan studi-studi formal teologi yang sedang saya geluti waktu itu. Adalah mata kuliah Gereja Masyarakat, yang diampu oleh E.Gerrit Singgih (selanjutnya EGS), yang pertama kali membawa saya berkenalan dengan komunitas Kristen yang mayoritas adalah petani di Gunung Kidul. Mengalami hidup bersama mereka selama beberapa minggu dalam mata kuliah Gereja Masyarakat tersebut membawa saya kepada keputusan untuk mengisi waktu luang saya dengan bergabung dengan pelayanan LPM di Gunung Kidul, dan belajar berteologi secara lebih nyata. Mengambil air dengan ember plastik dari kedalaman gua dimana untuk sampai di atas harus mlipir bibir gua yang terjal, dan ketika sampai di atas, air tinggal tersisa 1/3 ember pada pagi hari; atau melihat beberapa masyarakat harus mandi bersama dengan sapi-sapi mereka di kubangan air berwana kehijauan pada siang-sore hari, dan malam harinya berjalan kaki dengan obor di tangan, lagi-lagi mlipir, Koordinator Asian Women’s Resource Centre for Culturen and Theology (AWRC), Jl. Banteng Utama 38, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta.
341
merayapi tajamnya batu-batu karang di telapak kaki, menembus gelapnya malam untuk persekutuan PA di malam harinya, adalah sebuah pengalaman teologis yang tanpa saya sadari telah menentukan pilihan hidup berteologi saya selanjutnya. Pengalaman yang membawa saya belok arah dari cita-cita awal masuk fakultas teologi. Ada dua hal yang sangat berkesan dan ingin menjadi penekanan saya dalam tulisan ini, hal mlipir yang merupakan suatu realitas sosial yang memiliki dimensi sosial-kultural yang sangat dalam dalam Bahasa Jawa, (bahkan juga politis kalau kita lihat dalam konteks pemerintahan Suharto pada waktu itu), dan diskonektifitas antara aktifitas keagamaan (baca: gerejawi) dengan realitas sosial yang saya lihat dan alami. Saya sengaja tidak menerjemahkan kata mlipir ini ke dalam Bahasa Indonesia, karena saya tidak menemukan padanan yang tepat yang dapat memenuhi nila rasa yang saya temukan dalam Bahasa Jawa. Tadinya saya mau memakai kata “menyusuri” tetapi tidak jadi karena kata “menyusuri” tidak langsung berasosiasi dengan pinggiran. Dalam Bahasa Jawa, ketika orang mendengar kata mlipir, maka pendengar segera tahu bahwa orang tersebut berjalan menyusur pinggiran (bisa tebing jurang, pinggir jalan, atau sekedar tepian teras, atau tepian sebuah ruang), dan mengindikasikan kehati-hatian ketika menyusurinya. Hati-hati supaya tidak terpeleset ke jurang, supaya tidak terantuk tajamnya batu, atau supaya tidak ketahuan karena sebenarnya itu sesuatu kegiatan yang terlarang. Misal dalam kalimat “saya pun berjalan mlipir ke meja makan, supaya tidak ketahuan oleh bapak”. Artinya saya berjalan hati-hati, mungkin mengambil jalan melingkari dinding rumah, agar tidak langsung tertangkap mata oleh bapak saya. Dalam pemahaman nilai rasa seperti itulah saya memutuskan untuk tetap memakai kata aslinya dalam bahasa Jawa. Dengan menggunakan kata mlipir maka saya juga hendak menghadirkan realitas pinggiran dimana masyarakat yang hidup di situ, teruatama yang saya akan angkat cerita dan refleksikan dalam tulisan ini sebagian besar dalam hidup mereka
342
harus benar-benar banyak melipir baik secara harifiah maupun secara realitas sosiologis, politis, dan teologis. Suatu realitas yang membuat saya mau tidak mau harus menggugat wajah agama secara umum dan agama Kristen secara khusus di negeri ini. Hal kedua yang dari pengalaman saya di atas yang begitu lekat di hidup saya, masih terkait dengan pilihan kata mlipir di atas. Begitu lekatnya sampai pada saat itu juga membuat saya menentukan pilihan perjalanan hidup saya adalah, diskonektifitas yang mencolok antara aktifitas gerejawi: Kebaktian Minggu dan Persekutuan Pemahaman Alkitab (PA) dengan realitas hidup sehari-hari. Realitas sehari-hari terwakili dalam 2 kegiatan yang saya sebutkan di atas, minimnya fasilitas sumber air, padahal bukan tidak ada sumber air. Bahkan untuk sekedar pemenuhan kebutuhan sehari-hari saja sulit, apalagi untuk menghidupi lahan pertanian dan ternak peliharaan mereka. Dengan kondisi hidup seperti itu, taraf hidup adalah masih pada taraf survival. Dalam pengamatan kasat mata, langsung terlihat bahwa yang terjadi bukanlah sebuah kondisi miskin karena tidak ada sumberdaya, namun karena dibiarkan termiskinkan, atau malah memang dimiskinkan. Begitu mencoloknya kondisi ini di mata saya. Namun isi kotbah minggu dan PA-PA yang saya ikuti sama sekali tidak menyentuh akar persoalan, bahkan cenderung meninabobokan jemaat. Misalnya memberikan penghiburan-penghiburan rohani mengenai janji-janji keselamatan di dalam Kristus, dst. Himbauanhimbauan untuk bertahan dalam kerasnya hidup, namun tidak melakukan apa-apa secara sosial-struktural. Padahal pendeta menerima jaminan hidup dari persembahan jemaat (yang hidupnya dimiskinkan oleh sistem tadi). Begitu lekatnya pengalaman tersebut sampai saat itu juga saya tahu, dan mengambil keputusan, kemana setelah lulusan kuliah. Karena tulisan ini berangkat dari perjalanan pinggiran dan perjumpaan saya dengan kehidupan pinggiran maka tidak bisa dipungkiri bahwa pendekatan saya lebih ke sosiologis daripada teologis. Tanpa bermaksud untuk mengikuti teori Durkheim sama sekali, saya membatasi gugatan saya atas fungsi sosial agama ke dalam 3 fungsi yang diperkenalkan oleh Durkheim yang sudah cukup dikenal: social cohesion, social control, purpose of life.1 Lepas dari isi dan maksud dari teori yang dikemukakan Durkheim
343
mengenai tiga (3) fungsi sosial agama seperti di atas, menurut saya, 3 fungsi sosial agama seperti di atas cukup relevan untuk dibahas dalam konteks Indonesia. Sekaligus semata-mata untuk membatasi agar saya tidak melebar kemana-mana. Komunitas Pinggiran dan Jalan-Jalan Pinggiran Sebenarnya sulit untuk mencari representasi komunitas pinggiran di negeri ini, karena begitu banyaknya bopeng sosial, baik yang merupakan warisan masa rejim otoritarian Suharto (1966-1998), maupun era yang masih membawa nama cita-cita gerakan penumbangan Suharto pada waktu itu, Reformasi (1998-sekarang). Tulisan saya ini tidak dimaksudkan sebagai suatu representasi obyektif, namun sebaliknya sangat subyektif, baik dari pemilihan representasi subyek maupun dari refleksi analisis, sangat subyektif dari pengalaman dan sudut pandang penulis. Karena titik berangkat saya adalah petani Gunung Kidul, maka awal perjalanan saya selepas dari kampus adalah komunitas termiskinkan di pedesaan, baik yang di Jawa, seperti di sekitar Kedung Ombo, Wonigiri, Klaten dan sekitarnya, sampai dengan pedalaman Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nias, dan Aceh. Perjalanan yang sering membuat saya terperangah karena seringkali keterpelosokan masyarakat yang saya kunjungi ini jauh dari batas bisa dimengerti. Sebuah tingkat keterpelosakan yang sudah manjadi lingkaran setan kemiskinan: karena terpelosok mereka miskin atau karena miskin mereka semakin terpelosok. Karenanya kelompok ini mempunyai kontribusi yang sangat tinggi dalam refleksi dan gugatan saya terhadap agama secara umum dan Agama Kristen dan Gereja secara khusus. Perjumpaan saya dengan kaum termiskinkan di pedesaan, membawa saya pada penemuan dan kesadaran baru bahwa dari mereka yang termiskinkan tsb, perempuan telah menjadi kaum yang paling termiskinkan. Dalam banyak hal ketimpangan itu sangat mencolok. Begitu mencoloknya sampai saya yakin, tidak dibutuhkan teori analisis gender yang njlimet untuk mampu melihat ketimpangan tsb. Maka dalam perjalanan berikutnya saya lebih fokus kepada
344
komunitas perempuan, dan pengalaman perjumpaan dengan kaum perempuan juga menyumbang porsi yang besar dalam gugatan saya atas agama. Akhirnya, ketika saya menuliskan refleksi ini, perjalanan mlipir saya sampai pada perjumpaan berikutnya, yaitu bahwa dari antara kaum perempuan tsb, masih ada kaum perempuan yang karena orientasi seksual yang berbeda, beserta dengan kelompok gender lain, menjadi kelompok yang jauh lebih terpinggirkan. Dan lagi-lagi, perjumpaan ini memiliki kontribusi yang juga sangat besar dalam saya berefleksi mengenai agama. Hal itu membawa saya untuk mengangkat potret komunitas LGBTQ, dimana saya dalam 2 tahun terakhir terlibat dalam perjalanan mlipir bersama. Dan dalam perjalanan mlipir bersama dengan saudara-saudara di pelosok Nias, Aceh, Kalimantan, atau pulau-pulau kecil di Sulawesi Tenggara, Maluku, sampai kemudian kembali lagi ke Jogja, tenyata lebih banyak menemukan gugatan daripada jawaban atas wajah agama dan Tuhan yang diperkenalkan dan dihidupkan dan juga dihidupi di antara mereka. Dari Nias Menggugat Peran Transformatif Sosial Gereja Sebelas (11) desa yang menjadi wilayah pelayanan kami ketika saya bekerja di Hilswerk der Evangelischen Kirchen Scweiz (HEKS) hanyalah sedikit dari ribuan desa dengan kondisi yang nyaris sama yang tersebar di Nias dan kepulauannya. Untuk bisa mengunjungi desa-desanya, maka kami harus mlipir hutan dan rawa, dimana lumpur akan menarik kaki kami sampai sampai sebatas pinggang, dan terasa berat mengangkatnya. Meskipun kalau saya melihat orang asli di desa tersebut,dengan beban seberat 50kg di atas kepala mereka, mereka terlihat seperti tanpa beban melangkah di atas jalan rata.2 Kalau tidak menelusuri rawa, maka kami harus menelusuri sungai dengan jukung, dimana pengamatan cuaca yang tepat akan sangat menentukan. Ada waktu dimana karena hujan berhari-hari untuk sampai ke tepian rawa saja sudah tidak mungkin, maka kami haru ambil jalan putar, mengelilingi seperempat pulau, dimana karena tidak adanya jalan, maka monil atau sepeda motor harus mlipir menyusuri pantai, dan tantangannya adalah titik-titik
345
pertemuan hilir sungai dengan garis pantai. Lagi-lagi jadwal pasang surut yang akan menentukan lamanya perjalanan kami. Atau ke desa lain lagi, harus mlipir bibir pantai, kalau salah perhitungan jam, maka kita bisa terhenti di titik-titik temu sungai dan pantai, karena ternyata gelombang pasang yang tinggi, kendaraan tak mungkin lewat. Jika salah mengamati, alih-alih sampai ke desa tujuan, kita bisa diseret langsung ke Samudera Hindia karena air pasang tinggi yang masuk ke hilir sungai.3 Bagi saya, keterpelosokan sebagian besar wilayah berpenduduk di pulau ini sudah di luar batas kemanusiaan, sekaligus sulit dibayangkan kalau hanya lewat tulisan pendek seperti ini.4 Di 10 dari 11 wilayah yang kami layani tesebut 95-100% penduduknya beragama Kristen dan Katolik. Sekalipun saya menikah dengan orang Nias dan melakukan penelitian untuk thesis S2 saya di Nias, saya masih belum sepenuhnya mengenal kultur sosial-budaya Nias secara utuh. Dengan mempertimbangan kondisi geografis dan demografis di atas, saya memiliki harapan yang sangat tinggi akan “sikap hidup Kristen” yang akan saya lihat dan alami ketika tinggal di sana. Yang saya maksud dengan “sikap hidup Kristen”5 di sini adalah sikap hidup yang selama ini sangat lekat dengan agama Kristen, yang dipercaya merupakan teladan maupun ajaran Yesus. Sikap kasih, belaskasih, pengorbanan, solidaritas-bela rasa kepada yang kecil, sakit, dst. Dengan kata lain, dengan kondisi keterpelosokan mereka, yang membuat mereka mau tak mau hanya hidup dan berinteraksi dengan mereka yang tinggal di sekitar, ditambah dengan nilai-nilai kekeristenan yang mereka sudah pelajari sejak kecil maka saya berharap bahwa situasi masyarakat menjadi sangat damai, tenteram, penuh kasih, dimana semua saling tersenyum dan menyapa tetangga mereka, dimana berbagi adalah suatu kebiasaan yang mentradisi. Pendek kata saya berharap bahwa nila-nilai kekristenan yang saya sebutkan di atas menjelma dalam kehidupan sehari-hari. Sampai saat ini saya masih meyakini bahwa harapan saya itu bukanlah harapan yang muluk-muluk. Tentu saja saya sadar bahwa agama Kristen tidak hadir dalam ruang kosong. Saya sadar bahwa di sana ada banyak tarik menarik, ekonomi, sosial, politik, yang hadir dan tarik menarik lewat berbagai
346
media. Media yang terlihat sangat kuat tentu saja adalah budaya, baik yang bersifat warisan nilai, keyakinan, kebiasaan yang diturunkan melalui praktek sehari-hari, maupun yang dilembagakan melalui lembaga adat. Alih-alih melihat sikap hidup yang saling berbagi, penuh welas asih, saling menopang, yang saya lihat adalah sebaliknya. Berada di tengah-tengah mereka secara konstan selama lima tahun membuat saya tidak asing lagi melihat pemandangan atau mendengar orang bercerita: Ladangnya yang tinggal menunggu panen tiba-tiba sudah habis dibakar orang Penggilingan padi milik kelompok sudah rusak karena part yang dicuri Rumah penggilingan padi yang sebenarnya sangat menolong seluruh warga kampung itu tiba-tiba sudah habis dibakar, hanya karena ada perselisihan saudara. Tiap hari pekan/pasaran (biasanya hari Sabtu), hampir pasti terjadi perkelahian antar klan baik perkelaian berseri (tidak selesai pada hari pekan tsb, bersambung di hari pekan yang akan datang) maupun perkelahian baru. Perkelahian yang cukup serius, perkelahian hebat, karena melibatkan senjata tajam, hanya karena perkara-perkara yang menurut kategori orang luar seperti saya adalah perkara sepele. Karenanya saya tidak terkejut ketika dalam sebuah pelatihan ketrampilan hidup yang kami adakan, seorang bapak bertanya dengan sungguh-sungguh: “Bagaimana caranya agar kami bisa membasmi virus SOS alias Sedih lihat Orang Senang, Senang lihat Orang Susah”. Pertanyaan tersebut ternyata bukan hanya milik bapak itu seorang, melainkan juga ditanyakan oleh banyak orang lain di pelatihan-
347
pelatihan kami yang lain, atau pun dalam percakapan sehari-hari ketika saya tinggal bersama mereka. (Sebuah tanda bahwa transformasi sedang terjadi.) Bagaimana Anda harus memahami pertanyaan tersebut, di tengah konteks masyarakat yang 95-100% beragama Kristen. Dimana setiap hari Minggu gedung gereja selalu penuh dipadati oleh anggota jemaat. Dimana setiap hari minggu, orang merasa berdosa kalau pergi ke ladang atau membuka warung, bahkan ketika itu dilakukan sepulang dari gereja. Dimana setiap keluarga mengawali dan menutup harinya dengan kebaktian keluarga.6 Apa yang salah di sini? Sistem tatanan sosial di Nias sudah 100% mengadopsi tatanan sosial formal dengan sistem RT & Kepala Desa (di Desa) di mana sistem klan tidak lagi masuk di dalamnya. Namun demikian dapat dilihat bahwa clanship atau kehidupan yang berbasis klan masih sangat kuat dihidupi. Dalam pengamatan saya, sampai saya meninggalkan Nias pada tahun 2009,7 kehidupan berbasis klan masih lebih banyak mendominasi dibanding tatanan hidup yang berbasis nilai agama/kekristenan atau pun juga berbasis sistem tatatan pemerintahan formal. Dalam pengamatan saya, perkembangan banyak sinode di Nias tidak lepas dari kuatnya pengaruh relasi berbasis klan ini. Perselisihan berbasis klan biasanya akan berkelanjutan dan meluas, dimana gereja maupun struktur sosial formal tidak bisa menyelesaikan.8 Nampak bahwa Gereja telah gagal menerjemahkan pesan-pesan dan nilai-nilainya kepada jemaatnya. Gereja dalam hal ini di konteks masyarakat Nias, dan lebih tepatnya di 10 desa yang kami layani, telah gagal melakukan perannya dalam mentransformasi masyarakat yang notabene adalah jemaatnya sendiri. Namun apa yang saya lihat di Nias ini sama sekali bukan khas Nias! Karena apa yang saya lihat di Nias ini juga terjadi di wilayahwilayah pelosok yang kebetulan merupakan kantong-kantong Kristen di Indonesia, seperti di wilayah lain di Sumatera Utara atau juga di Indonesia bagian Timur. Peperangan antara suku di Papua, misalnya adalah sebuah kondisi yang mirip, dimana klan masih lebih berperan dibanding agama. Kita bisa bayangkan kondisi yang ada ketika seorang polisi diwawancarai wartawan mengatakan bahwa
348
“peperangan ini akan berhenti (hanya) ketika jumlah warga yang terbunuh sudah imbang di kedua belah pihak”. Kita tahu bawah Papua adalah kantong kekristenan yang besar di Indonesia.9 Dan ketika harus saya tarik lebih luas lagi dalam refleksi saya akan wajah agama di Indonesia, sepertinya, lagi-lagi apa yang saya amati di Nias, dan juga di Papua, itu ternyata tidak ada yang unik dan spesial. Menggugat Wajah Agama Sebagai Pengikat Solidaritas (Social Cohesion) Mengutip Emile Durkheim, yang percaya bahwa pada hakikatnya agama berfungsi sebagai sumber dan pembentuk solidaritas. Sekalipun ikatan solidaritas di sini lebih bersifat mekanis. Karena agama adalah suatu pranata yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk mengikat individu menjadi satu-kesatuan melalui pembentukan sistem kepercayaan dan ritus. Yesus bukan hanya mengajar namun juga mencontohkan bagaimana bersolidaritas dan berbela rasa. Teladan dan ajaran Yesus mengenai kasih dan bela rasa, menurut saya lebih luas dari teori Durkheim. Meskipun pada awalnya terasa sangat kental dengan keyahudiannya, namun kitab Injil mencatat bahwa pada akhirnya sikap bela rasaYesus jelas melampaui keyahudiannya.10 Demikian pula kalau kita lihat dari ajaran-Nya, kita mendapatkan perintah yang terkenal, yaitu agar mengasihi Tuhan dengan sepenuh hati dan akal budi, dan mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri (Mat.22:37-40). Dan ketika ditanya siapakah yang dimaksud dengan sesama di sini, maka Yesus sangat konsisten, dimana sesama tidak dibatasi oleh kesamaan keyakinan dan ritual yang disebut agama (Lk.10:25-37). Dan saya sangat mengimani keteladanan Yesus tsb. Dalam perspektif keteladanan Yesus seperti di atas, maka gereja telah gagal mentransfer sikap bela rasa dalam hidup jemaat. Bahkan ketika kita mengenakan definisi fungsi sosial agama menurut Durkheim, yaitu sebagai pengikat solidaritas mekanis. Pada kasus di atas, yang sekali lagi bukan merupakan kasus unik di Indonesia, agama, dalam hal ini agama Kristen, sama sekali tidak berhasil menampilkan wajahnya sebagai pengikat solidaritas sosial. Bahkan pada tataran yang paling rendah, yang sifatnya mekanis, terbatas
349
dalam kelompok pemilik kesepakatan sederet keyanikan dan ritual tsb (baca agama, khususnya Agama Kristen). Dalam skala yang lebih luas sebenarnya Durkheim percaya bahwa seiring dengan kemajuan jaman dimana masyarakat semakin heterogen, maka batas-batas tersebut pun akan mengendor dan mencari titik temunya. Dan kalau saya harus menarik konteks Nias ke dalam konteks yang lebih luas, bukan hanya konteks gereja di kantong-kantong Kristen di Indonesia, melainkan dalam konteks agama di Indonesia, maka gugatan di atas sangat valid untuk dilayangkan. Apa yang kita lihat hampir di setiap sudut negeri ini, agama, khususnya agama-agama besar, justru menjadi institusi sosial yang paling sulit mencair dan mengendorkan batas-batasnya. Tanpa bermaksud menegasikan realitas politisasi agama di manamana, apa yang terjadi dengan konflik di Ambon (Islam-Kristen), Madura (Shiah-Sunni), Tasikmala (Islam arus utama – Ahmadiah), Temanggung (penyerangan dari kelompok Islam kepada kelompok Budhisme), agama di negeri ini telah gagal menampilkan wajahnya sebagai kohesi sosial. Sebaliknya agama lebih menjadi sumber konflik. Dan pada kenyataannya, sepanjang sejarahnya agama lebih menunjukkan wajahnya sebagai sumber konflik daripada sumber pengikat solidaritas. Agama justru sering menjadi sumber konflik, karena klaim kebenaran permanen yang berbeda dari kelompok (agama) yang satu dengan agama yang lainnya, bahkan dari satu agama yang berbeda mazhab/aliran/tafsir. Menggugat Peran Agama sebagai Kontrol Sosial ( Social Control) Dalam pengalaman saya hilir mudik bersama dengan komunitas yang dapat dikatergorikan sebagai komunitas pinggiran: komunitas miskin, perempuan, LGBTQ, maka tidak bisa tidak saya harus mengamini bahwa agama adalah instrumen kontrol sosial yang paling kuat otoritasnya. Sayangnya peran kontrol sosial agama justru memunculkan wajah yang sangat kontradiktif. Pada satu sisi tentu kita berharap dan menyerukan agar agama penjadi instrumen penyeimbang kekuatan politik kekuasaan. Karena di situlah kita akan melihat agama memainkan perannya sebagai
350
kontrol sosial, dalam arti menjaga moral-sosial para pemimpin negeri, agar tetap berpihak kepada masyarakat. Namun nampaknya hal sebaliknya yang lebih kita lihat di lapangan. Agama secara langsung atau tidak langsung, disengaja atau tidak, lebih menjadi alat kontrol sosial di tangan penguasa. Kembali kepada kisah komunitas yang kami layani di Nias, dalam kondisi serba terbatas, nampaknya sulit bagi gereja-gereja di Nias, sama seperti di wilayah kantong Kristen yang lain, untuk tidak berkolaborasi dengan pemerintah daerah. Minimal berharap mendapatkan kucuran APBD untuk kegiatan sidang sinode.11 Mungkin masih lumayan kalau gereja mengakses dana APBD untuk program-program pemberdayaan masyarakat yang notabene adalah jemaatnya. Sayangnya dana yang diserap dari pemerintah daerah biasanya untuk perayaan-perayaan gerejawi (natal, paskah, pesta paduan suara, KKR) atau institusional (sidang sinode). Diskonektifitas yang saya lihat 19-20 tahun yang lalu di Gunung Kidul ternyata masih berlanjut di Nias dan di tempat-tempat lain, sampai hari ini. Realitas sosial yang mereka hadapi adalah kemiskinan, keterisolasian, tidak adanya akses ke pendidikan dan kesehatan. Dan semua itu adalah realitas politik pemiskinan. Namun topik-topik yang dianggap menarik dan menjadi topik dalam banyak pertemuan persekutuan (kebaktian lingkungan, kebaktian keluarga, persekituan PA, dll) adalah topik-topik mengenai yang transenden. Topik-topik tentang kemahakuasaan Tuhan dan bagaimana kita harus menyenangkan hati Tuhan menjadi topik yang laris. Saya tidak lagi menyalahkan 100% pendeta dan pelayan jemaat yang memberikan kotbah-kotbah atau PA yang dengan tema-tema yang saya anggap terputus dari realitas sebagaimana yang saya katakan dalam pengantar. Apa boleh buat, ada penjual karena memang banyak pembelinya. Dengan kata lain, masyarakat sendiri memang lebih menyukai kotbah-kotbah yang bersifat penghiburan, kotbahkotbah yang mengingatkan mereka sebagai pendosa, dan ajakanajakan untuk “menyenangkan hati Tuhan” yang menurut saya justru mengalienasi mereka dari hidup. Secara psikologis saya mengerti bahwa kesulitan hidup yang sudah menjadi bagian yang nyaris intrinsik membuat orang ingin tidak ingin membicarakannya. Sama
351
halnya kadang-kadang saya tidak ingin lagi melihat saluran berita seperti Metro TV atau – apalagi yang sangat bias seperti TV One – setelah seharian bergulat dengan isu-isu sosial yang membuat saya lelah sampai di rumah. Maka saya pun lebih memilih menonton acara ringan, seperti film kartun Tom & Jerry. Namun bukankah panggilan gereja adalah untuk mendidik dan bukan untuk menyenangkan hati jemaatnya? Bukankah tugas gereja adalah untuk mendampingi umatnya di tengah-tengah realitas hidupnya dan bukan sebaliknya, mengalieanasi mereka dari realitas dan hidup itu sendiri? Saya pun mulai bertanya, andai tidak ada lembaga gereja atau pun lembaga agama lain yang menawarkan topik-topik transenden seperti itu, apakah mereka juga akan mengalienasi diri dari realitas? Contoh lain adalah ketika berbicara mengenai ketimpangan gender yang menimpa perempuan. Seperti saya sampaikan dalam pengantar di atas, menurut pengalaman saya, ketimpangan gender yang terjadi di masyarakat adalah sebuah fakta tak terbantahkan. Karenanya kalau kita mau membuka mata, kita tidak perlu teori analisis gender, analisis data terpilah yang berbelit, untuk sampai pada kesimpulan bahwa perempuan adalah korban ketidakadilan gender. Terkait dengan fakta tersebut, dalam bagian ini saya hendak menyampaikan bahwa adalah lebih mudah mengajak orang yang tidak begitu kuat beragama (not so religious) untuk melihat fakta ketidakadilan gender yang terjadi di tengah masyarakat, dibanding dengan orang yang beragamanya kuat. Lebih mudah berbicara mengenai bagaimana kita harus mengupayakan keadilan gender di tengah masyarakat yang jauh dari pengaruh agama daripada kepada kaum agamis. Kali ini bukan hanya terjadi di lingkungan gereja/ agama Kristen, melainkan juga di agama lain, Islam. Dua orang peserta mainstreaming gender dalam organisasi dan masyarakat di Kendari sangat marah, namun sekaligus bingung bagaimana bereaksi. Pada satu sisi sebagai pegiat sosial dia tidak bisa menolak kenyataan mengenai ketimpangan gender yang terjadi. Pada sisi lain, dia merasa tidak mungkin harus mengubah semua itu karena agama yang dia pelajari mengajarkan yang sebaliknya tentang perempuan dan relasi laki-laki – perempuan. Sebaliknya, tidak jarang, kaum perempuan sendiri yang mati-matian ingin mempertahankan apa yang mereka lihat sudah menjadi tradisi yang bias gender tersebut
352
karena mereka takut melanggar apa yang mereka yakini adalah sabda ilahi. Seorang pendeta perempuan di Siantar misalnya, dengan suara yang lantang mengatakan kepada saya bahwa “apa pun situasi dan kondisi perempuan saat ini, saya tetap akan mengamini dan setia pada kata Firman Tuhan, bahwa istri harus tunduk kepada suami, walau seperti apa suaminya, karena begitulah perintah Tuhan”.12 Harapan saya untuk melihat Gereja dan agama secara umum untuk melakukan peran kontrol sosial masih jauh api dari panggang. Melihat wajah agama dari pinggiran seperti ini membuat saya sulit untuk tidak terdengar seperti pengikut Karl Marx. Sulit untuk tidak melihat bahwa agama berkontribusi besar dalam mempertahankan tatanan sosial yang tidak adil, bias gender, bias kapitalisme, dan tentu saja bias heteronormatif. Alih-alih menjadi kontrol sosial dalam arti luas, sebagai penyeimbang kekuatan poitik kekuasaan, disadari atau tidak, agama justru lebih sering menjadi alat kontrol sosial dari penguasa. Dalam hal ini saya teringat akan pernyataan Ulil Abshar Abdalla yang menulis surat terbuka kepada seseorang yang disebutnya sebagai sahabatnya. Surat tersebut dimuat dalam media dan jejaring sosial pada bulan September 2007. 13 Dalam surat terbukanya tersebut Ulil mengajukan beberapa pertanyaan sederhana, tetapi sangat kritis, seperti: betulkah kehidupan manusia bisa teratur hanya dengan agama? Apakah kehidupan manusia tidak mungkin dibuat begitu rupa menjadi tertib dengan hukum-hukum dan peraturan yang mereka buat sendiri berdasarkan akal, pengalaman, dan tahap kematangan mental-intelektual mereka sendiri? Apakah jalan satusatunya menjadi manusia bermoral dan etis hanya melalui agama? Apakah moralitas yang berasal dari sumber di luar agama sama sekali tak bisa menjadi landasan untuk mengatur kehidupan manusia? Dalam suratnya Ulil memang lebih menujukan pertanyaannya kepada umat Islam yang menurutnya sering berpikir sempit tentang agama. Dalam konteks tulisan ini, pertanyaan Ulil juga sangat relevan ditanyakan kepada gereja. Apakah kehadiran gereja masih bisa dikatakan relevan ketika tidak banyak gereja yang mampu menjadi
353
penyeimbang kekuatan politik kekuasaan? Apakah kehadiran gereja masih relevan ketika gereja tidak mampu menjadi alat kontrol bagi kekuasaan. Dan apakah kehadiran gereja masih relevan, jika gerejagereja di daerah kantong-kantong Kristen, selalu berharap turunnya dana APBD untuk sidang sinode mereka? Dan saya sepemahaman dengan Ulil bahwa pada akhirnya sesungguhnya gereja & agama Kristen bersama dengan agama-agama besar di negeri ini harus mulai merendahkan dirinya, karena dalam kenyataanya, ada banyak institusi sosial lain yang sepertinya justru lebih berkemampuan melakukan peran pendewasaan umat manusia dan peran pembentuk sikap moral and etis yang jauh lebih efektif. Menggugat Peran Spiritual Agama, Sebagai Pemberi Makna Hidup (Provide Meaning and Purpose) Kalau tidak ada agama, dari mana kita memperoleh makna dan tujuan hidup? Itu pertanyaan retoris yang paling sering diajukan kaum agamis. Dulu pertanyaan itu terdengar wajar di telinga saya. Namun semuanya berubah ketika saya mulai mondar-mandir mlipiri jalan yang menjadi wilayah peziarahan kawan-kawan komunitas LGBTQ. Makna hidup seperti apa yang Anda dapat ketika Anda terlahir sebagai waria (wanita-pria sebutan yang paling netral untuk mereka yang terlahir dalam fisik laki-laki namun mengidentifikasi diri sebagai perempuan), atau dalam bahasa Jawa wandu yang lebih inklusif, baik laki-laki yang merasa diri perempuan maupun perempuan yang merasa diri laki-laki. Agama sebagai pemilik otoritas terbesar dalam hidup Anda tidak mengakui dan menolak keberadaan Anda. Tamara14, menceritakan dalam sharing kelompok “aku & tubuhku”dalam Young Queer Faith and Sexuality Camp 15 bagaimana dia harus bergumul mencari sendirian tentang siapa dirinya. Karena dia lahir dari keluarga Muslim taat di Lampung, dimana pendidikan luar sekolah yang diketahui orangtuanya untuk dirinya hanyalah kelompok pengajian. Tamara pun tumbuh sebagai anak laki-laki yang setiap sore belajar mengaji dan belajar ilmu agama Islam di kelompok pengajian, sampai ketika dia tidak bisa
354
berkompromi lagi dengan apa yang dia terima sebagai ajaran suci dengan apa yang dia rasakan dengan tubuhnya. “Yang ada hanyalah rasa bingung, malu, hina”, demikian saya kutip Tamara. Maka tanpa menunggu lulus SMP, dia pun lari ke jalanan. Tamara yang kini berusia 26 tahun, masih tetap bergumul mengenai identitas diri. Tamara datang ke camp dengan identitas perempuan, dengan make up lengkap, rok mini, dan rambut panjang palsu yang membuat wajahnya terlihat feminin dan manis. Namun pada hari kedua, saya kehilangan Tamara. Ternyata dia berubah menjadi Ary, tanpa wig, tanpa make up, dengan T-shirt dan celana jeans, mencoba tampil macho. Karena dia mendengar dari peserta lain yang agamanya dinilai kuat, mengatakan bahwa bagaimana pun dalam Islam hanya diakui 2 jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. Karenanya kita harus memilih satu dari keduanya. Meskipun di akhir camp dia bahagia untuk kembali menjadi Tamara, saya yakin pergumulan itu tidak berakhir ketika dia kembali ke Lampung. Kisah yang mirip diceritakan oleh Melly, juga bukan nama sebenarnya, seorang perempuan Kristen Ambon-Sunda, yang mengatakan kepada saya bahwa selama lebih dari 25 tahun setiap malam dia berdoa agar besok pagi ketika bangun tidur, dia sudah berubah menjadi cowok. Dia baru berhenti berdoa ketika dia menemukan komunitas queer yang memiliki pergumulan yang sama. Dan dia menyatakan memilih berhenti pergi ke gereja. Atau kisah Yuen, juga bukan nama sebenarnya, seorang mahasiswa yang sedang cuti studi, beragama Kristen, beretnis Tionghoa, dari Surabaya. Yuen terpaksa menolak diangkat menjadi anggota Majelis Jemaat, karena meskipun dia tahu dia sangat layak untuk itu, dia merasa orientasi seksualnya sebagai lesbian, membuatnya tidak layak menjadi pelayan Tuhan. Dia pun selalu harus pulang dengan kebingungan bagaimana harus menjawab pertanyaan-pertanyaan sederhana dari maminya: - Mengapa menolak menjadi anggota majelis jemaat sedangkan dia sudah memulai jenjang dengan lurus: Ketua Komisi Remaja, Ketua Komisi Pemuda dengan prestasi bagus, maka jenjang berikutnya adalah anggota Majelis Jemaat.16
355
-
Mengapa dia selalu menolak kalau ada cowok yang naksir dia? Mengapa dia sekarang cenderung menghindari kawankawan di gerejanya
Dan mereka tidak sendiri. Dua pertiga dari 51 peserta dan 15 panita dan relawan Camp yang saya fasilitasi ini memiliki kisah dan pertanyaan yang sama dengan Tamara, Melly, dan Yuen di atas. Makna hidup seperti apa yang bisa mereka dapatkan dari agama? Spiritualitas macam apa yang bisa mereka harapkan dari agama mereka? Pada sebuah sesi di hari ke-4 dalam topik agama dan tafsir-tafsir queer, seorang peserta, Roy, juga bukan nama sebenarnya, bertanya kepada pemakalah dari tafsir Islam: Apakah kita boleh beristirahat dalam beragama? Karena saya sudah lelah dan benar-benar merasa tidak nyaman dengan agama saya sendiri.
Roy adalah seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi Islam yang cukup bonafid, dan anak seorang pemilik pesantren yang cukup dikenal dan dihormati di kotanya. Maka pertanyaan retoris kaum agamis di atas menjadi terdengar getir di telinga saya, dan saya yakin juga di telinga dan hati kawan-kawan di komunitas LGBTQ. Dalam pertanyaan retoris di atas terdengar mengandung arogansi. Di sini bisa ditafsirkan agama merasa menjadi satu-satunya institusi yang mampu atau paling mampu memberikan makna hidup dan tujuan hidup. Sedangkan dalam kenyataannya, saudara-saudara kita yang ada di jalan komunitas LGBTQ merasa agama justru membuat mereka terhilang dan tersesat, jauh, teralienasi dari diri mereka sendiri. Keteralienasian diri dan keterpecahan itu begitu dalam, bahkan ketika mereka tahu mereka tidak diterima oleh komunitas agama mereka. Lima orang peserta camp kami keluar dari sesi tafsir agama Islam atas isu gender & homoseksualitas. Ketika saya mencoba
356
bicara dari hati ke hati, maka kira-kira ringkasan yang bisa saya dapatkan adalah sebagai berikut: kami tahu, karena orientasi seksual kami, kami tidak di terima di komunitas agama kami, tetapi tolong jangan memberikan tafsir agama yang berbeda, karena kami tidak mau menjadi sesat...
Menjadi orang yang diidentifikasikan tersesat oleh agama adalah sesuatu yang menakutkan. Itu karena agama, termasuk agama Kristen, menanamkan otoritasnya dengan menakut-nakuti kita, misalnya dengan murka Tuhan dan neraka. Belum lagi adanya fenomena kelompok garis keras agama yang cenderung menghakimi sendiri secara membabi buta mereka yang dianggap sesat. Maka menjadi sesat adalah cap yang benar-benar menakutkan. Namun tidak semua perjalanan mlipir kawan-kawan kita di komunitas LGBTQ ini membawa mereka pada posisi di atas. Ada yang memutuskan bahwa ibarat selimut, agama dan ajaran agama yang mereka anut selama ini sudah tidak mampu lagi menyelimuti mereka. Mereka telah bertumbuh semakin besar, namun selimut mereka tetap kecil. Setelah sekian lama mencoba berselimut dengan posisi badan yang dicoba dipaskan dengan kapasitas selimut, tiba saatnya mereka buang selimut lama, dan mencari selimut baru yang lebih memadai. Sekalipun begitu, hampir semua peserta dan relawan yang ada pada posisi ini merasa belum ada selimut baru yang memadai. Jadilah mereka mengembara mencari selimut baru tsb. Sebagian sudah siap jika tidak menemukan, dan akan menjahit selimut mereka sendiri, sebagian masih berharap satu dari selimut yang ada di pasaran bisa pas untuk mereka. Catatan Penutup Saya sadar tulisan ini tidak menyediakan jawaban. Saya yakin tugas kita memang tidak menyediakan jawaban. Bahkan saya juga mulai yakin bahwa tugas agama bukan lagi menyediakan jawaban, melainkan untuk mengantar umatnya menjadi lebih berani menemukan dirinya di tengah kompleksitas hidup yang semakin berbelit ini; berani mentransformasikan nilai-nilai – dari manapun sumbernya – yang sudah tidak relevan lagi bagi kompleksitas hidup saat ini; berani berdiri sejajar dengan institusi sosial yang lain untuk
357
bergandengan tangan melakukan kontrol sosial. Tentu saja jika agama mau merendahkan diri. Kembali kepada konteks Nias, kekristenan yang sudah berabad-abad hidup di Nias gagal melakukan peran transformasi sosialnya. Namun organisasi non profit, baik lokal maupun internasional telah menunjukkan bahwa mereka lebih mampu melakukan transformasi sosial di Nias hanya dalam waktu tujuh (7) tahun. Hal ini karena organisasi-organisasi ini tidak mengajak mereka menjauh dari realitas namun sebaliknya mendekatinya dan menghadapinya dan kemudian mengubahnya. Perjumpaan masyarakat Nias dengan berbagai jenis orang dari berbagai jenis bangsa, yang 90% tidak berbicara mengenai yang transenden itulah yang mentransformasikan masyarakat Nias dalam banyak aspek. Dalam perspektif ini, tidak bisa tidak saya harus mengajak gereja, agama Kristen, dan agama secara umum, untuk benar-benar berbesar hati menerima kritik ini. Tentu sebagian dari pembaca akan mengatakan: agama dan NGO/LSM kan memang memiliki peran yang berbeda, biarlah masing-masing menjalankan perannya. Saya tak hendak menyangkali perbedaan peran tersebut. Yang saya mau sampaikan di sini adalah kesiapan agama untuk duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan institusi sosial lain yang ada dan terbuka kepada perubahan peran. Dalam posisi saya sebagai Koordinator AWRC, salah satu pekerjaan saya adalah melakukan editing untuk jurnal teologi feminis kami, in God’s image. Saya pun memiliki kesempatan untuk membaca berbagai tulisan teologis yang bisa dianggap progresif. Dan kesimpulan sementara saya, sampai saat ini bahkan perspektif teologis yang progresif tersebut masih punya kecenderungan untuk mencari pembenaran-pembenaran di dalam Akitab atau juga tradisitradisi yang diakui agama (Kristen Protestan dan Katolik). Sekalipun para teolog feminis sudah mulai melakukan refleksi teologisnya dari pengalaman perempuan dan pengalaman feminisnya, namun masih banyak yang kembali kepada mencari jawaban persoalan hidupnya pada Alkitab.
358
Sebagai contoh misalnya, dalam rangka mencari pembenaran orientasi seksual sebagai lesbian, maka ada upaya menafsirkan bahwa relasi Naomi & Ruth sesungguhnya bukanlah relasi solidaritas biasa antara dua perempuan, atau kesetiaan seorang menantu perempuan kepada ibu mertuanya, melainkan sebuah relasi seksual. Dengan kata lain, bahwa Ruth dan Naomi adalah pasangan lesbian. Saya sama sekali tidak punya keberatan jika Ruth dan Naomi adalah pasangan lesbian. Namun yang menjadi keberatan saya adalah jika kecenderungan semacam ini kita teruskan, maka meminjam bahasa kawan-kawan dari komunitas LGBTQ di atas, sepertinya kita hanya akan terus tarik-menarik pojok-pojok selimut agar pas di badan kita. Kita takut melihat kenyataan bahwa kompleksitas kehidupan saat ini sudah jauh melampaui kompleksitas konteks Alkitab dan kitab-kitab agama pada waktu itu. Bagi saya, hal itu juga mencerminkan ketidaksiapan kita untuk memperlakukan sumber-sumber di luar agama Kristen dan atau di luar agama sebagai yang memiliki kesamaan status dan nilai dengan perangkat yang ada dalam tradisi agama. Saya ingin menutup catatan penutup ini dengan menggambarkan permainan “sepur-sepuran” (kereta-keretaan) yang kami mainkan. Permainan ini sangat sederhana, namun sangat dalam maknanya. Dalam bentuk lingkaran kami pun berjalan keliling sambil menyanyikan: “Naik kereta api, tut-tut-tut, siapa hendak turut.....dst” Semuanya bergembira. Sampai ketika fasilitator menyuruh peserta untuk bertukar sepatu/sandal dengan orang yang tepat berada di belakang masing-masing, dan melanjutkan putaran permainan. Bisa dibayangkan keriuhan yang terjadi. Karena di sana ada Baktiar yang besar dan macho mendapat sepatu hak tinggi yang mungil miliki Titik, ada Titik yang mungil mendapat sepatu super besar dari Andika, yang ketika dipakai jalan tertinggal terus saking besarnya, dst. Permainan sederhana tersebut ternyata memiliki dampak besar bagi peserta. Orang disadarkan bahwa ternyata tidak pernah nyaman jika kita harus berjalan dengan sepatu/sandal orang lain yang tidak pas di kaki kita. Dampak yang lebih jauh lagi adalah pengalaman kecil tersebut ternyata justru memanggil peserta untuk mencoba
359
merasakan lebih banyak pengalaman berjalan dengan sepatu yang lain lagi, karena ternyata pengalaman itu memperkaya mereka. Dari pinggiran, saya melihat bahwa panggilan semua orang beragama saat ini adalah untuk keluar dari rumah kenyamanan (agamanya), berjumpa dengan orang lain, dan mencoba merasakan bagaimana berjalan dengan mengenakan sepatu mereka. Dalam perspektif mengenakan sepatu orang lain itu saya kembali kepada kuliah Gereja Masyarakat (Germas) yang sekarang sudah berganti menjadi Teologi Sosial yang waktu itu diampu oleh EGS. Mata Kuliah Germas telah mengantarkan saya bagaimana berjalan tanpa alas kaki di antara batu-batu terjal, dan pengalaman itu telah mengantar saya secara sadar pada pilihan berteologi saya. Karenanya, menurut saya, mata kuliah tsb. hendaknya dipertahankan. Saya bersyukur dan berterimakasih karena pengalaman tak terlupakan dari Germas itu telah mengantar saya pada perjumpaan yang kaya dengan komunitas yang sangat beragam. Dan kami pun berkesempatan melakukan peziarahan melalui jalan mlipir ini.
360
Endnote 1
Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life, (Oxford University Press: 2001) 2 Sebagai pembanding, saya yang jalan tanpa beban di pundak terpaksa dibantu seorang gadis kecil 9 tahun yang membawa sekarung beras di atas kepalanya. Dengan riang dan ringan dia mengulurkan tangannya menarik badan saya yang terasa seperti sekarung pasir jatuh ke dalam air. 3 Nama desa ini adalah Desa Luaha Muzöi, Luaha artinya muara karena desa ini terletak di ujung muara sungai Muzöi yang bermuara langsung ke Samudera Hindia, dimana karena salah perhitungan waktu penulis pernah terseret masuk ke arus Samudera Hindia dan berlomba kecepatan ketrampilan membuang air dari jukung dengan serangan ombak samudera. 4 Misalnya sebuah desa bernama Tumula di Nias Tengah, yang jaraknya hanya .50km dari kota Gunung Sitoli, sampai dengan tahun 2008, baru bisa dicapai setelah, naik sepeda motor selama 1,5 jam dari kota Gunung Sitoli, kemudian berjalan kaki selama 1,5-3 jam mlipir dan menyebrangi rawa lumpur sebatas pinggang orang dewasa. Dan kalau hari pekan/pasar, maka rawa tsb pun terasa makin meluas karena dilewati oleh ratusan orang memanggul beban 25-50kg pulang pergi. Atau bila hujan beberapa hari berturut-turut, jalan utama menjadi licin, maka perjalanan harus melingkari pulau melalui Nias Utara, dengan jarak 90km yang harus ditempuh dengan sepeda motor 3-4,5 jam, dengan catatan tidak terhalang air pasang naik. Kondisi ini adalah kondisi sebelum masa pemulihan pasca gempa tsunami 2004 dan gempa bumi Maret 2005. Begitu sulitnya dibayangkan keterpelosokan wilahay-wilahay tersebut tergambar dari seorang kawan dari Switzerland menyatakan bahwa dia sudah membaca di setiap laporan saya mengenai tingkat keterpelosokan wilayah-wilayah kerja kami, namun tetap tidak membayangkan bahwa benar-benar sebegitu terpelosoknya (remote), sampai ketika dia harus mengalami sendiri dalam kunjungan ke Nias bersama saya. (Bagi yang berminat membaca lebih jauh, silahkan lihat El.Anna Marsiana, “Building Back a better Community: Transforming Disaster into Opportunity” in Ethic in Action, Vol.3.no.3, June 2009) 5 Frase “sikap hidup Kristen” saya letakkan di antara tanda kutip karena secara pribadi saya percaya bahwa apa yang akan saya sampaikan selanjutnya hanyalah hal sederhana yang seharusnya menjadi sikap hidup semua manusia supaya mereka bisa disebut manusia.
361
6
Suasana Kristen sangat kuat terasa, dimana setiap hari antara pukul 05.30-06.30 bisa dipastikan Anda akan mendengar nyanyian puji-pujian dari balik setiap rumah di sekeliling Anda, dan hal yang sama akan terulang pada malam hari, sebelum makan malam atau sebelum tidur, antara pukul 19.00 atau 21.00. 7 Selain Menikah dengan orang Nias, penulis juga melakukan peneilitan untuk thesis S2, Journey from Böligana’a to Holiana’a: Feminist Theological Reflections from an Indonesian Woman Perspective, dan kemudian selama lima (5) tahun secara konstan tinggal (lebih tepatnya mondar-mandir dengan rata-rata 9 bulan/tahun) di Nias, 2004-2009. 8 Sebagai salah satu buktinya, Gereja Protestan di Nias, berkembang dari satu yaitu BNKP, menjadi banyak (ONKP, AMIN, BNKPI, BKPN) hampir semua diawali dari perselisihan berbasis klan, atau perselisihan gerejawi yang kemudian berubah menjadi perselisihan klan. Lihat juga tulisan saya, Conflict Transformation: Some Challenges for Theological Schools yang saya presentasikan di depan peserta perayaan Jubilee 50 tahun ATESEA di Singapura, tahun 2007. Paper dapat diakses di www.marciayard.blogspot.com. 9 Ibid 10 Karena saya bukan ahli biblis, saya tidak akan membahas ayat-ayat Alkitab. Namun kisah percakapan Yesus dengan perempuan Sirofenisia di Injil Markus (Mk.7:24-29) cukup memberi referensi jelas mengenai misi Kristus yang melampaui bangsa Yahudi. 11 Fenomena ini bukan hanya khas terjadi di Nias, melainkan juga saya lihat di Tomohon, Ambon, Papua, dan daerah-daerah kantong agama Kristen yang lain di Indonesia. Bukan hanya peristiwa sidang sinode melainkan juga kegiatan besar lain seperti PESPARAWI, konggres-konggres seperti konggres Nasional PERUATI ke-3 di Ambon, bulan Agustus 2011 yang lalu. 12 Pernyataan seorang peserta Kursus Feologi Feminis, yang diadakan oleh PERUATI Medan Sumut kerjasama dengan AWRC, 29-30 April, 2012, di STT Siantar, Sumatera Utara. 13 Ulil Abshar-Abdalla, Surat terbuka kepada seorang kawan (Hamid): Hidup bisa teratur hanya dengan agama? —diposkan di media dan jejaring sosial, September 7, 2008 14 Nama samaran 15 Camp lintas agama, gender, dan orientasi seksual yang diadakan oleh YIFOS bersama dengan AWRC, 10-14 April 2012, dengan peserta 51 orang
362
muda lintas gender (perempuan, laki-laki, waria), orientasi seksual (hetero, bi, dan homo/gay-lesbian), serta queer. 16 Di Gerejanya ada tradisi bahwa seorang Ketua Komisi Remaja jka kemudian mulus meniti jenjang menjadi Ketua Komisi Pemuda, maka dia layak dan otomatis akan diangkat menjadi anggota Majelis Jemaat.
363