Pdt. Frof. Dr. (h.c.) Emanuel
Gerrit Singgih, Ph.D
Kata Pengantar Buku kumpulan tulisan ini sebenamya kami persiapkan sebagai sebuah 'kado' bagi Pdt. Prof. E.G. Singgih, Ph.D pada ulang tahunnya yang ke 60, tahun 2009 yang lalu. Ada beberapa alumni Falc Theologia yang menyarankan unhrk membuat sebuah buku sebagai 'kado' bagi Prof. E.G. Singgih, dan mengelola penerbitarmya buku tersebut terlepas dari Fakultas Theologia Univ. Kristen Duta Wacana sebagai lembaga. Kami menyambut baik usulan itu, kemudian membentuk tim kecil yang terdiri dari Pdt. Robert Setio, Ph.D, Pdt. Paulus S. Widjaja, Ph.D dan Pdt. Wahju S. Wibowo, M.A., M.Hum dan mulai merencanakan penerbitan buku ini, namun dalam pe{alanan selanjutnya ada berbagai kesulitan dan beberapa pertimbangan yang menyebabkan akhimya buku ini terlambat penerbitannya dari waktu yang sudah direncanakan sebelumnya. Bahkan Pdt. Prof. E.G. Singgih, Ph.D sendiri akhirnya tahu mengenai rencana ini, padahal kami mencoba menyembunyikannya. Beliau kemudian ikut menyarankan untuk menunda pemberian 'kadonya' karena beberapa.pertimbangan. Pada awalnya ada dua tema besar yang mengemuka, yaitu tema tafsir
Perjanjian Lama, karena itu adalah bidang utama Pdt. Prof. E.G. Singgih, Ph.D dan tema 'Kontekstualisasi'. Namun kami akhirnya memutuskan untuk memilih tema 'Kontekstualisasi', karena tema ini sekaligus mencakup teks Alkitab maupun konteks pengalaman kekinian. Pemilihan tema ini sekaligus menyiratkan pergumulan dan arah berteologi dari Prof. E.G. Singgih, Ph.D., yang ketika menafsir Alkitab selalu tidak lupa untuk melibatkan beragam konteks dalam pertimbangannya. Edisi revisi buku 'Dari Israel ke Asia'yang terbit pertengahan tahun 2O12, merupakan tanda bahwa. pergulatan itu tidak pernah selesai digumulinya. Namun pada saat yang sama tema ini juga relevan bagi Duta Wacana. Kebetulan tahun 2012, Duta Wacana akan merayakan ulang tahun emasnya. Maka kami akhirnya sepakat untuk menunda penerbitan buku ini hingga tahun 2012 bertepatan dengan Jubileum 50 tahun Duta Wacana. Para pendiri Duta Wacana sudah dengan sadar mendirikan institusi pendidikan teologi ini dengan menekankan pentingnya kesadaran akan konteks I
Indonesia. Untuk itu, walau pada awalnya dimaksudlan sebagai 'kado' bagi ulang tahun ke 60 Pdt. Prof. E.G. Singgih, Ph.D, namun karena ulang tahunnya itu sendiri sudah lewat tiga tahun, biarlah buku ini menjadi sebuah penghargaan atas usahanya untuk ierus mengembangkan teologi yang kontekstual, dan pada saat yang safiul
memberi sarana
bagi Duta Wacana untuk
mereflelsikan
50 tahun bergumul dalam konteks. Maka, jadilah buku ini diterbitkan sebagai refleksi atas kontekstualisasi perjalanannya selama
teologi di Indonesia yang sangat ditekankan oleh Duta Wacana dan, yang seperti sudah banyak diketahui orang' sangat lekat dengan karya-karya dan pemikiran-pemikiran Pdt. Prof. E G. Singgih' Ph.D.
Kami mengucapkan terima kasih kepada teman-teman alurnni yang sudah berkenan membantu penerbitan buku ini' juga kepada para sahabat yang sudah menyisihkan waktu untuk menprmbangkan tulisan dalam buku ini. Sekaligus mohon maaf kepada para penyumbang tulisan yang telah memasukkan tulisannya jauh iebelum waktu terbitnya. Terimakasih pula kepada Srlr. Wuri Ajeng yang berkenan membantu menyiapkan bentuk akhir buku ini' ekhi-l k"lu-, kami mengucapkan selamat membaca dan berefleksi atas pijar-pijar pemikiran yang ada.
Editor: Robert Setio
Wahju S. Wibowo Paulus S. Widjaja
I*i,
Da,fta,r
Pengantar........,. Daftar
Isi.........
........... iii
Pendahuluan (Robed Bagian
L
2. Bagian
1.
i
Setio)...........
1
I
Metode Kontekstualisasi E. Gerrit Singgih Iman, Politik dan Agama-Agama: Dialog Kritis dengan Pikiran Pdt. Prof. Dr. E. Gerrit Singgih (Bernard Adeney-Risakotta)................................. 1 9 Emanuel Gerrit Singgih: Teolog Kontekstual (J.8. Banawiratma) .......................................... 39
II
Konteksturlisasi Masa Kini
Peran (Oto)Biografi dan Buku Harian dalam
Teologi Kontekstual Indonesia berdasarkan Psadangan James McClendon (Alle
Hoekema)...
2.
......................
53
Theological Spiral Revisited from Social to Discursive Analysis (Frans ....................... 73
The Practical
-
Wijsen)....
3.
Kontekstualisasi, Poskolonialisme dan Hibridihs
(Robert
4.
Setio).....
......................
93
Teologi Kontekstual sebagai Transformasi Ganda (Wahju S. ......... 115
Wibowo)...........
t
Bagian I
.
2.
III
Teks dan Konteks
Diutus ke Seluruh Dunia (Agustinus Gianto). ....... .. .
.
.........
137
Towards an Indonesian Old Testament
A Dialogue between Christoph Barth's Old Testament Theology and Works by
Theology:
Indonesian Old Testament Scholars (Agustinus
Bagian
1.
2
.
IY
Setiawidi)........................................
I
55
Teologi Politik
Deklarasi Barmen dan Maknanya Masa
(A.AYewangoe)..
Kini
......................
169
Dari Pendeta Caleg sampai Roma I 3 : Beberapa Catatan Mengenai Partisipasi Politik Kdsten
di Indonesia
(ZakariaNgelow) 3.
.......................183
Wacana Pluralitas dan Demokrasi dalam Pemikiran
Teologis Kontemporer Protestanisme Indonesia (Julianus ...................... ZOj
Mojau).
Bagian I
.
V
Teologi Estetika "Only Literature Can Perform The Miracle of Reconciliation" Aesthetic Agency in Post Conflict Situations in Korea and Germany (Volker
2.
Kuester)..
.....................
229
............. .......
241
Gereja Maria Assumpta Klaten: Sebuah Usaha Kontekstualisasi
(Mgr. I.
3.
Suharyo)
Dead Poets Society, PrcyekPeradaban, dan Pencarian (Paulus S.
Diri
Itidiaja).....-.....
..... ...253
BaglanVtr
l.
Dlalog dengan Islam Pergulatan Gereja Kristen Pasundan di Tengah Masyarakat Jawe Brat Sebuah Catatan Reflehif
(Supriatno')........
2.
(Suwignyo)........
BrgianVII 1.
.....................
271
Komisi Hubungan Antaruarat (Kaum) sebagai Sinpul Dialog Vosi Grejs Kristen Javd Wetan
......................299
Dlelog Dengan AIrm drn Krum Plngglran
Ecological Crisis and Its Cballenges to Christian Higher Education in Asia
Po Ho).,. ......................317 Mlipir lalan,Pngpjran: Mencui Wajah Agama (Iftisten) di Ailara Wajah-Wajah yang (Huang
2.
Terpinggirkan (Anna
lularsiona).
......................
341
Kontekstualisasi, Poskolonialisme dan tlibriditas Robert Setio* The temptation to convert diference into heresy often Jlows
from
the effort
to conceal uncerlainties in one's faith or identily, projecting them onto others as evils. (William E. Connolly)
Pendahuluan Kemunculan wacana kontekstualisasi teologi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kesadaran tentang perlunya memberikan ruang yang lebih besar kepada berbagai wujud kearifan lokal, baik itu warisan budaya dari masa silam maupun pergulatan masyarakat di masa sekarang. Tanpa sebuah kesengajaan untuk memunculkan kearifan dan pergumulan yang berasal dari konteks lokal tersebut, teologi di Indonesia sulit untuk berkembang. Setidaknya, teologi di tndonesia tidak akan pemah menjadi mandiri dan selalu bergantung kepada teologi di Eropa atau di Barat. Kebergantungan tersebut hanya akan membuat teologi di Indonesia merupakan sebuah peniruan saja terhadap teologi Barat. Harus terlebih dahulu diakui bahwa teologi di Indonesia sampai dengan sekarang masih memperlihatkan ketergantungan kepaCa teologi Barat. Berakhimya masa kolonialisme Belanda di tahun 1945, tidak secara otomatis mengakhiri dominasi teologi yang diperkenalkan oleh para misionaris dan gereja Belanda di zaman kolonial dahulu. Gereja-gereja di Indonesia masih tetap dengan setia memelihara teologi yang diwarisi dari Belanda dahulu. Tanda yang paling mencolok adalah belum adanya sebuah teologi yang khas Indonesia. Di samping tentu saja masih dipakainya teologi yang diwarisi dari Belanda, baik dalam arti yang konkrit seperti hasil-hasil pemikiran teologi tertentu, maupun dalam arti yang lebih luas yaitu menyangkut metode dalam berteologi.
Upaya kontekstualisasi teologi yang meskipun belum terlalu lama, namun tidak terlalu sebentarjuga, yaitu mulai tahun 1980an - bahkan
'
Dosen Perjanjian Pertama di Fakultas Theologia, UKDW, Yogyakarta.
93
sudah tedadi pada masa-masa sebelum
itu jika
upaya-upaya
pemribumian gereja yang dilakukan oleh tokohtokoh Kelcistenan daerah seperti Kyai Sadrach, Coolen dan Anthing diperhitungkan -
nampaknya masih belum mampu mengubah keadaan secara sungguh-sungguh. Teolog+eolog yang gigih memperjuangkan kontekstualisasi masih perlu berjuang lebih keras lagi agar suara mereka benar-benar didengar oleh gereja. Walaupun harus diakatakan bahwa hasil jerih payah mereka bukan tidak ada sama sekali. Tulisan-tulisan yang dibuat oleh para mahasiswa di sekolahsekolah teologi yang diajar oleh para teolog itu memperlihatkan cukup besamya minat untuk melakukan kontekstualisasi teologi. Skipsi (S-l), tesis (S-2) maupun disertasi (S-3) yang dibuat dengan tema-tema kontekstualisasi semakin bertambah jumlahnya dad tahun ke tahun. Tetapi seberapapun besamya jumlah tulisan-tulisan yang mengangkat tema kontekstualisasi itu, masih tetap lebih kecil
dibandingkan dengan tulisan-tulisan
yang tidak
bertema
kontekstualisasi.
I
Para mahasiswa yang menulis hrgas akhir dengan kerangka kontekstualisasi seringkali pula dibayangi oleh rasa takut bahwa apa yang ditulisnya itu menyalahi kebiasaan yang ada di gerejanya. Mereka juga khawatir jika tulisan merbka dibaca oleh pendeta atau pejabat geleja akan menjadi alasan untuk tidak menerima mereka di gereja karena dianggap melawan arus. Kalaupun pada akhimya tulisan itu j adi dibuat, seberapa j auh pikiran-pikiran dalam tulisan itu akan mampu diterapkan di jemaat masih menjadi pertanyaan besar. Tidak sedikit mahasiswa yang berhasil membuat tulisan yang baik mengenai kontekstualisasi teologi, ketika sudah terjun di jemaat justru kembali kepada pola berpikir lama yang sama sekali tidak peka terhadap kontekstualisasi. Pendek kata, gereja-gereja di Indonesia belum memperlihatkan semangat untuk melakukan kontekstualisasi yang berarti pula ide-ide kontekstualisasi belum meresap ke dalam kehidupan gCreja dan baru berputar-putar di dtrnia
kampus saja.
Kurangnya penerimaan gereja terhadap kontekstualisasi memunculkan pertanyaan, mengapa jika kontekstualisasi itu penting, gereja-gereja
di
lndonesia belum nampak bersemangat E. Gerrit Singgih
melakukannya? Para teolog kontekstual seperti
94
memberi alasan tentang pentingnya kontekstualisasi dengan menghubungkannya dengan penoalan keadilan (E.G. Singgih, 1982). Dominasi teologi Barat membawa akibat kepada rendahnya apresiasi terhadap pemikiran-pemikiran lokal. Kondisi ini sangat tidak adil.
Seharusnya pemikiran atau budaya lokal diangkat dan dijadikan dasar untuk berteologi. Tetapi, seruan atau tuntutan keadilan ini nampaknya ditanggapi dengan dingin oleh gereja-gereja di
Indonesia. Berarti gereja-gereja tidak melihat adanya masalah itu. Tampak di sini perbedaan persepsi antara teolog penganjur kontekshralisasi dengan gereja mengenai terjadinya ketidakadilan ini.
ketidakadilan
Tulisan ini akan mencoba menyoroti perbedaan persepsi tersebut. Langkah pertama yang akan dilakukan adalah memahami gejala yang terjadi pada gereja-gereja di Indonesia yang nampak tetap setia menjalankan teologi Barat. Gejala ini^ akan dibicarakan dengan memakai perspektif poskolonialisme.' Langkah kedua adalah menyoroti sikap para teolog. Sikap yang dalam hemat penulis seringkali bersifat dikotomis if.r justru menimbulkan dilema. Jika gereja-gereja di Indonesia diajak untuk melihat dirinya sebagai gereja Indonesia yang bukan Barat, maka reaksi yang timbul justru sebaliknya, mereka malah senang jika dipersamakan dengan orang Barat. Mungkin kesenan3an diidentikkan dengan orang Barat ini dapat dianggap sekadar sebagai gaya-gayaan saja. Tetapi bisa juga dan sangat mungkin apa yang terjadi dalam sendi-sendi pokok kehidupan gereja di Indonesia sudah sangat dipengaruhi oleh Barat, kalau tidak mau dibilang sudah identik dengan Barat. Jika begitu, tidak mungkin meminta gereja-gereja di Indonesia memberi ruang yang lebih besar kepada unsur lokal. Mereka sudah menjadi sangat Barat dan sulit mendekatkan dirinya dengan kebudayaan lokal. Itulah yang kiranya menjelaskan mengapa gereja-gereja di Indonesia tidak dapat diyakinkan akdn pentingnya kontekstualisasi. Maka, irarus ada pilihan lain selain yang menuntut gereja-gere;a di lndonesia untuk lebih mencerminkan konteks budaya lokal. Pilihan lain itu adalah yang tidak mengkontraskan antara Barat dan Timur (Indonesia). Tidak menempatkan Barat dan Timur secara dikotomis, melainkan menerimanya sebagai percampuran, sebagai hibriditas. Itulah yang akan diusahakan oleh penulis. 95
Poskolonialisme dan Kekristenan Daniel von Allmen meaengarai adanya
3 macam kebuntuan (inpasse) dalam sejarah perkembangan teologi kontekstual yaitu, "(l) a colonial mindset that regards the theological products of "third" world theologies as more contextually bound than "mainline,' lheologies (the problem of patemalism); (2) the difliculties associated with giving room to the insights 4nd constructive developments of particular contexts while mainaining a commitment to the central tenets of the Christian faith (the probiem of heresy); and (3) the tendency to view contextualization simply as a s),n€retistic blending of the Christian faith with some pre-exiiting set of beliefs (the problem of syncretism). (l) cara birpikir kolonial yang menganggap teologi dunia "ketiga" lebih terikot pada konteh Iytimbang teologi "arus utama" (masalah paternalisme); (2) k"esulitan-kesulitan yang berhubungan dengan pemberian kesempatan bagt masukan dan perkembangan konsfiakti,f yang berasal dari kontel<s tertentu dengan tetap mimpertahankai ajaran pokglt dari iman Kristen (masalah bidat); (3) kecenderungan-untuk melihat kontelrstualisasi hanya sebagai percampuran sikritistis dari iman Kristen dengan kepercayaan-kepercayaan lama (masalah sinkretisme)"' Masalah pertama yaitu paternalisme dqpat dikatakan sebagai sumber dari kedua masalah yang lain. paternalisme yang dimaksudkan oleh von Allmen tidak lain adalah penempata., t"otogi Barat sebagai 'pater" bagi teologi+eologi yang dikembangkan di dunia
lain yang bukan Barat. Alasan yang diberikan untuk
pengistimewaan tersebut adalah bahwa hanya teologi Baratlah yang
bersifat universal. Karena universal, maka semua orang harus mengikuti teologi Barat. Teologi bukan Barat tidak dapat dijadikan patokan karena tidak seuniversal teologi Barat.
Pengalaman Andraos, seorang dosen teologi dari Amerika Latin berikut ini dapat mencerminkan apayang te4'adi, .....I can say that in
almost all the courses I took as a student in a variety of educational institutions, cultural contexts, and countries, and in the courses I taught, there is a hierarchy of systems and sources of knowledge, with the Westem perspectives at the top of the py.amid, that is consistently affirmed in subtle, and sometimes unsubtle ways, as universal. (-..Saya dapat mengatakan bahwa dalam hampir iemua 96
r kelas yang saya ikuti sebagai mahasiswa di berbagai lembaga pendidikan, di berbagai konteks budaya dan negara dan juga dalam kelas-kelas yang saya ajar sendiri, di sana selalu ada sistem hirarkhi yang juga berkenaan dengan sumber pengetahuan dimana perspelaif Barat selalu menduduki puncak piramida, ini kemudian dikonfirmasi secara halus dan tidak halus sebagai sesuatu yang universal)'A Temuan Andraos tidak hanya benar di kelas-kelas pendidikan teologi, namun meluas hingga ke gereja-gereja yang menjadi tempat dimana para lulusan sekolah teologi itu bekerj a. Baik sekolah teologi maupun gereja menerima begitu saja penempatan perspektif Barat pada puncak piramida itu. Dampaknya bagi perspektif lain yang bukan Barat adalah penempatan yang lebih rendah. Mengutip Walter dengan "the colonial Mignolo, Andraos menyebut gejala yang bukan dari Barat dianggap Di sini segala sesuatu difference". asing, tidak pas dan tidak dapat diperhihrngkan. Gejala ini tidak selalu nampak dengan jelas, namun tetap terasa pengaruhnya dalam semua segi kehidupan. Edward Said mengatakan,
ini
A whole range of people in the so-called Westem or metropolitan world, as well as their counterparts in the Third or formerly colonized world, share a sense that the era of high or classir:al imperialism, which came to a climax in what the historian Eric Hobsbawm has so interestingly described as 'lhe age of empire" and more or less formally ended with the dismantling of the great colonial structures after World War Two, has in one way or another continued to exert considerable cuhural influence in the prcserLt. (Segala bangsa yang berada di dunia Barat qtau
-
metropolilan, termasuk padanannya di dunio ketiga atau duni,x bekas jajahan, memiliki pemikiran yatlg samq tentang erq imperialisme klaik yang mencapai puncalotya dalam apa yang oleh sejarahwan Eric Hobsbawm digambarkan secara menarik sebagai "abad kekaisaran" dan yang kurang lebih berakhir secara resmi bersqmqan dengan dilucutinya strukl4r koloniql pada Perand Dunia Kedua, telah dengan satu dan lain cqra -melangsungkan pengat"uh budayanya sampai dengan sekarang),
5
Berakhirnya masa kolonialisme pada Perang Dunia Kedua menurut
Said tidak berarti berakhimya pengaruh bangsa-bangsa kolonial dalam kehidupan bangsa-bangsa bekas jajahannya. Dalam hal budaya pengaruh tersebut paling dapat dirasakan. Dalam kaitan 9',7
dengan teologi, penganrh ihr membuat teologi Barat menjadi penentu. Penilaian benar / tidaknya, baik / buruknya teologi yang dikembangkan di dunia bukan Barat diukur menurut teologi yang dikembangkan di Barat. Semakin persis dengan teologi Barat akan
dinilai semakin baik. Padahal dunia bukan Barat memiliki
Bila teologi Barat yang harus diikuti maka tidak ada pilihan lain selain mengesampingkan kekayaan yang kekayaannya sendiri.
sebenarnya sudah lama sekali diturun-temurunkan. Teologi Barat
akhirnya menyingkirkan warisan budaya lokal. Penlkiran ini seringkali dilakukan dengan cara-cara yang keras seperti dengan menuduh bahwa unsur lokal itu tidak sesuai dengan iman Kristen atau sesat (poin 2 dari von Allmen). Tuduhan semacam ini pastilah menimbulkan ketakutan. Orang menjadi takut bahwa dirinya sudah mengikuti jalan yang tidak benar. Maka, orang lalu menempuh jalan untuk menjauhkan diri dari kebiasaan-kebiasaan orangtua atau nenek moyangnya sendiri.
Kekristenan memang masuk ke Indonesia lewat orang-orang Barat. Tetapi kenyataan historis ini kemudian diangkat menjadi sesuatu yang universal, seperti yang juga dikatakan oleh Andraos dan von Allmen tadi. Posisi tersebut kemudian berlanjut dengan penempatan Kekistenan sebagai strulfur super yang berada di atas budaya. Kekristenan itu dipandang sebagai agama yang diturunkan dari surga. Sedang budaya dipandang hanya merupakan hasil karya manusia yang .tingkatnya lebih rendah. Kaum Calvinis akan menjelaskan bahwa agama itu soal wahlu yang datangnya langsung dari Tuhan, sedang budaya adalah buah karya manusia semata. Dengan demikian agama harus mencerabkan budaya. Agama harus membenarkan apa yang salah dad budaya. Budaya cenderung keliru, agama sebagai wujud wahyu tidak mungkin keliru. Maka, tidak mungkin agama bersatu dengan budaya. Agama, ya, agama; budaya, ya, budaya.
jika orang mau menyadari dan menerimanl,a, Kekristenan tidak bisa dilepaskan dari tangan manusia dan bahkan harus dikatakan sebagai ciptaan manusia, bagian dari budaya itu sendiri. Padahal
Manusia itulah yang memahami Tuhan sedemikian rupa sehir. akhimya melahirkan agama, melahirkan Kekdstenan. Tenl 98
mereka yang melaksanakan olah religius ini meyakini akan keterlibatan Tuhan. Wajarjuga jika mereka memberikan argumentasi dogmatis bahwa Tuhanlah yang mengawali proses perenungan tersebut melalui sebuah inspirasi atau wahyu. Tanpa mengecilkan keyakinan dogmatis tersebut, Kekristenan pada akhimya tidak dapat nelepaskan dirinya dari ekspresi-ekspresi budaya yang berasal dari manusiajuga.
Ajaran Kristen tentang inkarnasi sebenamya mendukung penerimaan terhadap wujud kemanusiawian Kekistenan itu. Dalam pemahaman
inkamasi, Tuhan digambarkan telah merelaLan diriNya untuk menjadi sama dengan manusia. Bahlan lebih rendah daripada manusia yaitu dengan menjadi hamba dan berkorban di atas kayu salib (tenosrb). Pengambilan wujud manusia yang dilakukan oleh Tuhan ini menandaskan penerimaan Tuhan terhadap hal ikhwal manusia. Tuhan menghargai kemanusiaan, bukan menolak atau merendahkannya. Kekistenan yang mendasarkan diri pada pemahaman ini seharusnya mengikuti apa yang dilakukan oleh Tuhan yaitu menerima segala sesuatu yang datangnya dari manusia. Bahkan merayakan kemanusiaan itu sebagai alasan mengapa Tuhan berkarya di dunia ini. Jika Kekistenan telah dapat diterima sebagai produk manusia, masih ada persoalan lain yang harus ditangani yaitu persoalan siapa manusia yang dimaksud itu. Tadi sudah disebut-sebut bahwa Kekristenan yang diperkenalkan di Indonesia berasal dari Barat. Memang Kekistenan yang dibawa oleh orang-orang Barat ke Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Sejarah itu dimulai dari Yudaisme dan kemudian dunia Graeko-Romawi di masa gerejagereja perdana. Dengan sedikit perkecualian dapat dikatakan bahwa
Kekristenan merupakan produk dari kebudayaan Yahudi dan Graeko-Romawi. Setelah Kekaisaran Roma menj adi Kristen dan. Kekristenan dijadikan agama negara, pengaruh kebudayaan GraekoRomawi lebih mendominasi Kekistenan. Dari sanalah kebudayaan Barat bertumbuh dan berkembang. Jadi hubungan antara kebudayaan Barat dan Kekristenan memang sudah terjadi sejak masa awal Kekistenan dan menjadi makin kuat pada masa-masa sesudah Kristen menjadi agama negara di masa Kekaisaran Romawi. Tidak
99
mengherarlkan j ika orang sulit membedakan Kekistenan dari kebudayaan Barat. Sebenarnya tidak perlujuga keduanya dipisahkan. Yang justru diperlukan adalah mengakuinya saja. Kekristenan harus diakui sebagai produk kebudayaan Barat. Kalau kenyataan ini sudah
diakui, tindakan selanjutnya adalah melihat dan
mengakui
kesubyektifannya, kesementaraannya, sebagai sesuau yang terikat secara historis. Sebagai sebuah agama yang berada dan lahir dari dalam kandungan budaya, Kekristenan tidak netral. Ia berada dalam lingkaran sebuah kebudayaan tertentu, dalam hal ini kebudayaan Barat. Kalau begitu, ia tidak dapat diklaim sebagai sesuatu yang universal, karena tidak ada sebuah kebudayaan yang universal. Kebudayaan berada dalam sebuah konteks tertentu yang membuatnya terbatas pada konteksnya. Mengutip kata-kata inspiratif dari filsuf Pragmatis, Richard Rorty, demikian:
- cannot exist independently of the human mind because sentences cannot so exist, or be out there. The world is out there, but descriptions ofthe world arc not. Only descriptions of the world can be true or false. The world on its own - unaided by the describing activities of human beings carmot. (Kebenaran tidak dapot beroda di luar sana - tidak dapat berada di luar pikiran manusid - korena kalimat-kalimat lidak dapat ada di luar sana. Dunia memang ada di luar sqna, namun penggambaran-penggambarannya tidak demikian. Hatwa penggambaran mengenai dunia dapat disebut salah atau benar. Dunia pada dirinya sendiri - tanpa pertolongan usaha-usqha pendeskripsiannya - tidak mungkin ada.) 6 Truth cannot be out there
Karena sifatnya yang bergantung pada pemikiran manusia, pada upaya yang dibuat oleh manusia maka sebagaimana penggambaran
dunia dalam perkataan Rorty tersebut, Kekristenan pun
tidak
mungkin .terlepas dari faktor kemanusiaan yang bersifat sementara atau istilah Rorty "contiugency".
Bila Kekistenan ditempatkan sebagai sebuah produk budaya, sudah selayaknyalah jika ia mengikuti budaya di mana dia berada. Meskipun secara historis Kekristenan bukan berasal dari budaya yang ada di Indonesia, namun ketika ia masuk ke dalam kebudayaan Indonesia, seharusnya ia menjadi bagian dari dan ditentukan oleh
i00
kebudayaan-kebudayaan (amak) yang ada di Indonesia. Artinya, kebudayaan-kebudayaan yang ada di lndonesia harusnya menjadi "tanah" dimana Kekristenan bernrmbuh dan berkembang. Kebudayaan-kebudayaan yang ada di Indonesia yang dimaksud di sini adalah semua warisan nenek moyang sudah sudah diturunkan dari generasi ke generasi. Warisan nenek moyang tersebut itulah yang menjadi tempat persemaian Kekistenan. Maka, sikap yang merendahkan, apalagi memusuhi kearifan lokal yang diwarisi dari
nenek moyang jelas tidak dapat diterima. Kebuntuan kedua dan ketiga dari kontekstualisasi sebagaimana ditengarai oleh von Allmen di atas memperlihatkan sikap yang seharusnya tidak boleh ada itu. Kita sering mendengar orang yang ketika menjadi Kristen lalu berusaha menyingkirkan semua kebiasaan lama yang diwariskan oleh nenek moyangnya. Penyingkiran tradisi sendiri itu dilakukan dengan semangat menjaga kemumian Kekistenannya. Kalau ada orang Kristen yang masih memelihara tradisi nenek moyang, orang itu akan dianggap sesat. Semua kebiasaarr lama harus dibuang dan
diganti dengan kebiasaan baru yang diberikan oleh Kekistenan. Tidak sedikit orang yang merasakan suatu dilema yang besar antara mempertahankan tradisi lamanya yang masih sangat dijunjung tinggi dengan desakan untuk menyingkirkannya scbagai orang K-risten. Terkadang lahir kompromi diam-diam. Tradisi lama masih dijalankan tetapi di luar gereja. Pihak gereja juga mendiamkan saja praktik-praktik tersebut sejauh tidak dimasukkan ke dalam gereja. Tetapi bagi pihak-pihak tertentu, kompromi diam-diam ini tetap tidak dapat diterima. Tradisi lama harus sama sekali dihapuskan. Sampai sekarang hubungan antara Kekristenan dengan budaya setempat masih banyak diwarnai suasana permusuhan. Maka dengan menyesal harus dikatakan bahwa meskipun Kekistenan telah berada sekian puluh bahkan ratus tahun di Indonesia, ia belum dapat menjadi bagian dari kebudayaan setempat. Konteksrualisasi masih belum sungguh-sungguh menampakkarr hasilnya.
Masalah
ini
nampaknya
mumi tentang kebudayaan.
namun
sebenamya menyimpan persoalan yang lebih besar lagi yakni kekuasaan. Sebenamya sikap berpolemik dengan kebudayaan sekitar sudah ada sejak awal Kekistenan (Luke Timothy Johnson, 2009).
Jika Injit-injil banyak berisi polemik antara Yesus (mewakili
l0l
Kekistenan) dan pemimpin .serta orang-orang yahudi, surat-surat Paulus memperlihatkan polemik lainnya yaitu dengan penganut kepercayaan Yunani-Romawi. Kedua macam polemik tersebut mempunyai maksud yang sama yaitu mempersalabkan agama-agama yang sudah ada terlebih dahulu, agama-agama yang telah dianut oleh masyarakat ketika Kekristenan datang. Ketika berpolemik dengan orang-orang Yahudi, Yesus mewakili ide pembaruan terhadap Yudaisme. Semangat pembaruan ini semakin lama semakin mengerucut pada pemisahan yang menjadi jelas dalam pemikiran Paulus. Sejak itu, Kekristenan menempatkan dirinya sebagai agama yang berbeda dari Yudaisme. Mungkin Paulus tidak pemah membayangkan bahwa ide-idenya di kemudian hari membuahkan srkap yang jauh lebih tegas bahkan penuh dengan kekerasan terhadap Yudaisme dan orang-orang Yahudi daripada yang dipikirkannya sendiri. Tetapi itulah yang terjadi ketika Kekistenan menjadi agama negara, agama Kekaisaran Romawi. Pembedaan Kr-isten dan Yudaisme menjadi alasan untuk menundukkan orang-orang yahudi, memaksa mereka untuk pindah agama menjadi Kristen dan menyiksa mereka jika mereka membangkang. Pada zaman modem, kita semua tahu bagaimana akibat penaklukan itu ketika digunakan oleh Nazi di bawah kepemimpinan Hitler untuk membasmi orang-orang yahudi di Jerman dan wilayah Eropa lainnya. Tragedi ini mengingatkan kita tentang akihat yang fatal yang dapat ditimbulkan oleh sebuah polemik agama. Pembedaan dari agama lain yang dilakukan dengan semangat polemik ketika dibarengi dengan kekuasaan akan membuahkan pemusnahan agama yang berbeda itu. .,The colonial difference" tidak sekadar menjadi persoalan budaya yang abstrak, namun dapat sewaktu-wakhr berubah menjadi sebuah tindakan fisik berupa pemusnahan terhadap yang berbeda itu.
Polemik lain yang terjadi pada masa Kekistenan awal adalah dengan
agama Yunani-Romawi. Senjata yang digtrnakan paulus untuk
menyerang agama Yunani-Romarvi adalah kepercayaan monoteistik yang diwarisi dari Yudaisme. Dalam hal ini, agama Yunani-Romawi diserang karena politeistis. Wacana anti politeisme itu temyata terus berlanjut sampai dengan sekarang. Tanpa mau tahu tahu rya yanl
dialami dan dirasakan oleh penganut agama politeistis itu, Kekristenan sudah langsung menuduh bahwa kepercayaan semacam
102
itu tidak masuk akal. Pandangan yang sama juga dimiliki oleh Islam dan tentu saja Yudaisme sebagai agama yang menjadi cikal bakat dari Kekristenan dan Islam. Serangan terhadap agama-agama
politeistis sudah ada pada literatur-literatur kenabian. Para nabi mengkitik agama Babel, Mesir dan bangsa-bangsa bukan Israel karena mereka percaya kepada dewa-dewi. Di pihak lain, Israel digambarkan sebagai penganut Tuhan yang esa yaitu Yahweh. Kepercayaan monoteistik ini tidak sekadar dibedakan dan dikontraskan dengan politeisme, namun juga melahirkan sebuah sikap yang intoleran. Monoteisme melahirkan tuntutan yang absolut unhrk mengikuti dirinya. Sikap absolutis ini sangat lekat dengan kekerasan (Regina M. Schwartz, 1997). Dalam sejarah, agamaagama monoteistik memiliki catatan yang buruk sebagai pelaku kekerasan. Konflik antaragama yang te{adi dewasa ini menambah panjang catatan tentang kekerasan oleh agama-agama monoteistik. Di Indonesia, konflik antaragama tidak saja terjadi antara sesama agama monoteistik (Kristen-Islam), namun juga antara agama monoteistik dengan agama-agama lokal. Agama-agama suku yang usianya sudah sangat tua dan sudah lebih dahulu ada sebelum masuknya Islam dan Kristen seringkali menjadi target kekerasan dari pemeluk Islam dan Kristen. Kalaupun tidak secara fisik, para penganut agama suku itu sering ditekan, tidak diberi keleluasaan untuk beriba
103
Poskolonialisne menantang Kekistenan untuk melihat ke dalam dirinya dan menemukan roh kolonialisme yang sejatinya adalah hasrat kekuasaan totalitarian yang ingin menghisap segala yang berbeda untuk dipersamakan dengan dirinya baik secara halus melalui pengaruh budaya maupun denganjalan kekerasan. Selain itu, poskolonialisme juga mendesak Kelristenan untuk bersedia menerima budaya lain, yang dalam hal ini berarti budaya lokal di Indonesia, secara setara dengan budaya Barat. Dalam kaitan dengan teologi, itu berarti teologi yang berangkat dari konteks setempat diberi kebebasan untuk berekspresi tanpa dicurigai sebagai yang lawan. Karena selama ini teologi Barat mendominasi teologi di Indonesia maka langkah yang harus diambil sekarang adalah mengangkat sebanyak mungkin kemungkinan yang berasal dari pergumulan lokal dan menggantungkan (setidaknya untuk sementara) teologi yang dari Barat. Tentu saja strategi ini hanya berupa bayangan di atas kertas. Di lapangan, pemisahan itu mungkin tidak bisa dilakukan secara tajam. Tetapi sekalipun begitu orang masih dapat menemukan mana yang berasal dari unsur lokal dan mana yang diimpor dari Barat. Maka, bukan hal yang sulit untuk mengangkat unsur lokal tersebut seandainya ada kemauan.
Usul-usul tersebut sebenamya bukan baru saja dimunculkan. Kesamaan dengan upaya-upaya kontekstualisasi tidak perlu dipungkiri. Tetapi poskolonialisme ingin melangkah lebih jauh daripada kontekstualisasi atau lebih tepatnya kontekstualisasi sebelum mengalami sentuhan poskolonialisme. Yang menandakan langkah yang lebih jauh itu adalah pengaitan tunhrtan agar budaya kontekstual diangkat dengan isu kolonialisme. Pengaitan itu membawa dampak pada dilihatnya masalah ini sebagai masalah politik. Malah politik yang berbalut dengan nafsu berkuasa. Kontekstualisasi dalam perspektif poskolonialisme menjadi semacam sebuah perlawanan terhalap politik totalitarianisme yang tak segansegan menggunakan
jalan kekerasan.
Praktik dari pemahaman poskolonialisme itu sudah penulis coba
jrlankan dalam kelas-kelas hermeneutik Atkitab.T
Dengan
menggunakan penafsiran lintas teks dan budaya, penulis mengajak mahasiswa untuk mempertemukan teks maupun hasil budaya lokal 104
F* Alkitab. Prinsipnya adalah bahwa pemahaman dapat diperoleh dari mana saja, tidak terbatas dari teks Alkitab saja. pertemuan antar teks atau budaya itu juga memungkinkan sebuah dialog yang tidak hanya bersifat konfirmatif (meneguhkan), namun dengan teks
iuga bersifat konfrontatif, termasuk konfrontasi terhadap kandungan
iang terdapat dalam Atkitab. Bentuk praktik lain yang penulis usahakan adalah memulai pemahaman akan teks
Alkitab Cari pikiran
mahasiswa. Dengan sengaja informasi mengenai pendapat para ahli
dikesampingkan. Mahasiswa diberi kebebasan untuk menuangkan pikirannya sendiri atas teks Alkitab yang dibacanya. Pikiran itu kemudian dianalisa dan sengaja diposisikan sebagai sumber pengetahuan. Pesannya di sini adalah bahwa sumber pengetahuan itu
tidak hanya bisa datang dari para ahli saja, namun juga dari pengalaman sendiri. Memang pengetahuan yang berasal dari pengalaman sendiri itu tidak otomatis berarti benar-benar lepas dari pendapat para ahli. Sebab, sudah disebutkan sebelumnya bahwa Kekistenan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh Kekistenan Barat. Dari pengaruh itu, besar kemungkinan ide-ide para ahli yang notabene orang Barat menelusup masuk, mempengaruhi pikiran para mahasiswa. Jadi kesempatan yang diberikan oleh mahasiswa untuk mengutarakan pikirannya sendiri itu belum tentu benar-benar menl,uarakan pikiran yang lain daripada yang dimiliki para ahli yang orang Barat itu. Tetapi tanda-tanda adanya pikiran sendiri yang belum dipengaruhi pemikiran Barat masih tetap dapat ditemui. Paling tidak, proses ini akan memberikan kepercayaan diri yang lebih besar kepada para mahasiswa.
Melalui praktik tersebut penulis bermaksud membalik paradigma akademik. Bagi penulis keharusan untuk belajar dari para ahli adalah sebuah bentuk kolonialisme. Orang bisa belajar dari siapa saja, termasuk dari pengalamannya sendiri. Belajar dari para ahli bukanlah sebuah keharusan meskipun tidak boleh dipersalahkan juga. Para ahli memiliki metodenya sendiri dalam membangun pengetahuan. Termasuk dalam menetapkan sumber mana yang dipercayainya. Metode itu sekalipun sah tidak seharusnya dimutlakkan. Para mahasiswa seharusnya diberi kebebasan untuk menentukan metode pembelajarannya sendiri. Kedudukan para ahli hanyalah sejauh scbagai konsultan, yang tidak harus dituruti segala sesuatunya. Jadi, 105
baik dalam soal metode mendapatkan pengetahuan maupun dalarn menetapkan sumber pengetahuan setiap orang harus diberi kesempatan yang sama. Di sini tidak ada pihak yang ditempatkan lebih tinggi, lebih berwibawa atau lebih benar. Kebenaran hanya bisa diterima jika orang setuju terhadap cara mencapainya. Tetapi tidak ada sebuah cara yang universal. Karena itu tidak ada yang boleh mengklaim bahwa caranya universal.
Manusia Hibrid Amin Maalouf seorang Lebanon yang hijrah ke Perancis seringkali menerima pertanyaan apakah dia merasa lebih Lebanon atau Perancis? Pertanyaan yang cukup wajar ini mendorong Maalouf untuk berefleksi lebih dalam mengenai dirinya hingga dia menemukan bahwa "I haven't got several identities: I've got just one, made up of many components in a mixture that is unique to me, just as other people's identity is unique to them as individuals. (l&a tidak mempunyai sekian identitas: Aku hanlta punya satu, terdb i dari banyak komponen dalam suatu percampuran yang unik bagi diriku, sama seperti identitas orang lain yang juga unik bagi mereka sebagai indvidu.)"0 Kesaksian Maalouf ini menarik. Biasanya ketika orang bicara tentang keunikan dirinya yang akan disodorkan adalah bukli-buk1i yang mcmbuahrya nampak berbeda dari orang lain. Keunikan adalah kekhususan yang dimiliki seseorang, yang tidak dimiliki orang lain. Tetapi bagi Maalouf keunikan adalah justru percampuran dari apa-apa yang dimiliki orang lain. Unik, dengan kata lain, adalah hal yang membuat Maalouf terhubung dengan orang-orang lain yang keberadaannya juga ada pada dirinya. Ia adalah Perancis sebagaimana orang Perancis lainnya. Ia juga adalah Lebanon sebagaimana orang Lebanon lainnya.
Maalouf sebenarnya berbicara mengenai identitas. Lagi-lagi kita mendapati pemahaman yang tidak biasa. Ketika berbicara inengenai identitas, orang cenderung untuk membuat garis pemisah antara dirinya dengan yang lain, antara kelompok dimana dia tergabung dengan kelompok lainnya. Misalnya saja identitas suku, bangsa, juga agama. Identitas memperjelas dengan jalan mengontraskan perbedaan. Suku Jawa dibedakan dari suku Bugis, agama Islam dibedakan dari agama Kristen dan seterusnya. Tetapi, bagi Maalouf 106
konstruksi identitas seperti itu tidak berlaku bagi dirinya. Konstruksi semacam itu justru akan membuat dirinya terlihat setengah-setengah atau tidak jelas. Tidak Lebanon, tetapi juga tidak Perancis. Maalouf menolak penggambaran tersebut dan memberikan penggambaran yang lain yaitu bahwa sekalipun di dalam dirinya ada beragam identitas namun ia melihat dirinya sebagai orang yang hanya memiliki sahl identitas saja. Maalouf bukannya menolak kepelbagaian dalam dirinya. Tetapi yang ditolaknya adalah jika kepelbagaian itu hendak dilihat secara terpisah-pisab. Ia ingin menyatukan kepelbagaian iru dalam sebuah identitas. Identitas yang satu namun hibrid.e
Dari sisi psikologi sosial, Bernice Lott mengamati gejala yang umum terjadi di berbagai tempat di dunia dewasa ini yaitu bahwa, "each of
us is a multicultural human being (setiap kita adalah manusia multibudayal".to Diskursus multibudaya (multiculturalism\ y^ng
pada umumnya dikenakan kepada sebuah bangsa atau masyarakat, temyata juga dapat dikenakan kepada pribadi. Itu berarti, gejala
multibudaya tidak hanya berhenti pada taraf kelompok (bangsa, masyarakat, komunitas), namun merambah hingga ke taraf individu. Setiap orang yang hidup dalam konteks heterogen akan mengalami heterogenitas itu dalam dirinya. Andaikan pemahaman ini kita bawa ke konteks Indonesia yang heterogen maka setiap penduduli negeri ini sebenarnya adalah orang yang multibudaya, orang yang hibrid. Karena heterogenitas di lndonesia tidak hanya berupa budaya dalam arti spesifik, namun juga agama, maka multibudaya yang merupakan kebeiadaan setiap orang itu.terdiri dari unsur agama pula. Berarti setiap orang di negeri
ini
adalah orang yang multiagama.
Persoalan dari manusia multibudaya adalah bagaimana ia mampu menempatkan kepelbagaian itu agar pada akhimya kepelbagaian iru dapat menolong dirinya untuk mencapai suatu kehidupan yang lebih baik. Sebab, kondisi multibudaya tidak hanya untuk diterima sebagai sebuah "pemberi an" (ascribed), namun juga sebuah kesempatan
yang harus disikapi dengan ahif. Multibudaya perlu dipandang sebagai sebuah pilihan yang diputuskan dengan perhitungan yang masak. Perhihrngan tersebut tidak bisa dilakukan secara keterwakilan sebagaimana yang terjadi di zaman Orde Baru.
l0?
Ketika itu kebhinnekaan bangsa jelas-jetas diakui dan ditanamkan dalam kesadaran setiap warga negara. Tetapi kebhinnekaan tersebut
tidak memerlukan keterlibatan dari warga negara, baik dalam arti sebuah kelompok (masyarakat, komunitas, organisasi), apalagi dalam
arti individual. Akhirnya, meskipun semua orang tahu bahwa Indonesia adalah bangsa yang bhineka, namun pengertian kebhinekaan itu masih merupakan sesuatu yang asing. Pengertian itu lebih merupakan dokrin yang dibuat oleh pemerintah yang harus diterima begitu saja oleh warga negara. Belum lagi pada waktu itu kebhinekaan hanya dijadikan sebuah jalan masuk menuju kepada keika-an. Tekanan yang lebih besar diberikan oleh pemerintah kepada
ke-ika-an itu di bawah jargon "kesatuan dan persatuan" yang berulangkali diperdengarkan kepada masyarakat. Akibatnya, orang hanya mengerti kebhinekaan itu sedikit saja atau sambil lalu saja untuk kemudian diarahkan kepada ide kesatuan.
Maka, ketika sekarang kita membicarakan multibudaya, kita perlu menyadari perbcdaannya dengan konsep-konsep "bhinneka tunggal ika" yang diajarkan oleh pemerintahan Orde Baru dulu. Perbedaan itu terdapat pada tidak diletakannya agenda kesatuan di depan, meskipun bukan sama sekali ditolak juga. Kesatuan tidak ingin tiijadikan asumsi yang mendahului keragaman. Kesatuan juga tidak dijadikan pengarah bagi keragaman yang seringkali berakhir dengan kesegaraman itu. Perbedaan lainnya adalah pada partisipasi setiap kelompok, bahkan setiap individu dalam menyikapi keragaman yang ada. Sehingga kondisi multibudaya tidak dijadikan sebagai sebuah nasib yang tidak bisa diubah melainkan sebuah pilihan yaug dengan sengaja dibuat dan dijalani. Partisipasi aktif dari setiap orang akan membuat multibudaya terus menerus bergerak, terus menerus mengalami koreksi dan penyesuaian.
Kondisi masyarakat yang telah memasuki era globalisasi yang ditandai dengan keajegan perjumpaan antarkelompok dan antarindividu yang berbeda, baik oleh karena migrasi penduduk maupun karena akses ke media teknologi informasi (intemet, telpon, telpon genggam, media sosial) yang semakin terbuka, menambah kecairan arti dari multibudaya itu. Perubahan-perubahan yang terjadi 108
waktu singkat dan tidak jarang bersifat frontal - seperti yang teriadi di dunia maya - bahkan membuat pengertian budaya menjadi iauh lebih cair. Kalau dahulu kita mudah mengasosiakan budaya iengan kedaerahan, sekarang batas-batas kedaerahan itu semakin kabur kecuali dalam konteks ritus atau ketika diadakan pagelaran kesenian yang seringkali dikaitkan dengan pariwisata. Kemunculan budaya daerah dalam konteks ritual dan pariwisata itu bisajadi tidak mencenninkan keadaan sehari-hari. Dalam kesehiriannya rnasyrakat tidak mengenakan atribut-atribut budaya seperti yang dikenakan pada upacara-upacara dan pagelaran kesenian daerah. Kesenjangan antara kondisi sehari-hari dan saat-saat tertenhl dimana budaya daerah ditampilkan, semakin lama semakin melebar. Tandanya adalah semakin sedikitnya generasi muda yang memahami dan peduli pada budaya daerahnya seiring dengan semakin canggihnya tingkat kemodeman mereka. Usaha-usaha kontekstualisasi pada masa sekarang sudah tidak lagi bisa seperti ketika ia baru pertama kali dimunculkan. Kecairan atau hibriditas budaya yang semakin nyata dewasa ini tidak mungkin lagi
membuat kontekstualisasi dimengerti sebagai usaha untuk memunculkan sebuah budaya lokal di tengah himpinan sebuah budaya yang dominan (Barat). Bukan karena budaya lokal atau daerah itu sudah sima, namun karena mereka yang hidup di daerah yang cukup terpencil sekalipun sudah mengenal bahkan menjalankan budaya-budaya lain yang bukan berasal dari daerahnya. Oleh sebab itu, membicarakan budaya dari sebuah masyarakat perlu dilandasi oleh kesediaan untuk terbuka terhadap berbagai budaya yang ada
dalam kehidupan masyarakat itu. Masyarakat yang multibudaya perlu dilihat sebagai masyarakat yang multibudaya, bukan dengan pandangan yang masih monobudaya.
Pandangan monobudaya digunakan oleh pemerintahan Orde Baru untuk menekan perbedaan yang kala itu ditabukan atau hanya diperbolehkan terlihat secara superfisial saja. Perbedaan menjadi tabu oleh karena berpotensi menimbulkan pembangkangan terhadap pemerintah, bukan seperti alasan yang diberikan pemerintah yaitu agar tidak timbul perpecahan. Paranoia terhadap perpecahan sengaja dipupuk agar rakyat takut. Tetapi hasil dari ketakutan itu bukanlah
109
kerekatan hubungan horisontal, melainkan ketundukan kepada pemerintah. Konflik-konflik sosial yang terjadi pasca Orde Baru membuktikan bahwa masyarakat tidak pemah merasa takut pecah kongsi. Mereka juga tidak pemah merasakan kerekatan sebagaimana yang nampaknya saja diperlihatkan. Tetapi masyarakat tidak dapat dipersalahkan karena itu. Mereka adalah korban politik pemerintah.
Konflik-konflik antaretnis
dar
aotaragama
atau
malah
antarkelompok agama yang marak terjadi akhir-akhir ini mesti dilihat dalam terang politik Orde Baru yang masih sangat membekas hingga sekarang. Konflik-konflik tersebut sebagaimana penulis sebut di atas adalah elapresi ketidaktahuan masyarakat tentang bagaimana mereka seharusnya bersikap di tengah heterogenitas yang ada. Di pihak lain, kita dapat pula membacanya sebagai gejala kekecewaan masyarakat
terhadap kegagalan angan-angan monodubaya yang digembargemborkan pemerintah. Masyarakat sudah terlanjur meyakini bahwa mereka hidup dalam sebuah keadaan yang monobudaya. Tetapi kemudian mereka sadar bahwa keadaan tersebut tidak nyata. Karena itu mereka kecewa dan melampiaskan kekecewaannya lewat kekerasan terhadap kelompok yang berbeda. Mitos monobudaya telah menipu masyarakat dan menimbulkan kekecewaan ketika mitos itu dibongkar. Kecenderungan etnosentrisme sebagaimana yang ditengarai oleh diantaranya E. Genit Singgih, tidak lepas dari mitos monobudaya yang dalam kasus ini justru ingin dipegang erat-erat oleh masyarakat.
Masyarakat enggan menghadapi kenyataan bahwa mereka sebenamya adalah multibudaya. Hibriditas bukannya diterima dengan rela, namun justru dianggap sebagai momok yang harus disingkirkan. Etnosentrisme adalah wujud kemunafikan masyarakat yang tidak ingin berdamai dengan kenyataan hibriditas dirinya.
Tetapi momok hibriditas nampaknya lebih dirasa mengaricam oleh para pengendali globalisasi. Sebagairnana sudah sering dikatakan, globalisasi bersifat mendua. Di satu pihak ia menghasilkan hibriditas, di pihak lain ia mengancam hibriditas yaitu ketika seluruh umat manusia di dunia ingin dijadikan sama. Gejala totalitarian sudah nampak jelas dengan kesamaan-kesamaan yang semakin banyak 110
F di
seluruh dunia. Pusat-pusat pertokoan (mall) hampir sama di seluruh dunia, baik dari segi fisiknya maupun semrurnya pakaian, rambut dan berbagai macam asesoris juga isinya. Mode demikian halnya. Bahasa Inggris juga semakin lama semakin mendominasi dunia dan mampu menggeser bahasa-bahasa lainnya. Globalisasi yang didorong oleh roh kapitalisme baru telah menggerogoti heterogeniias. Maka, hibriditas akan dipandang ditemui
sebagai batu sandunga:r.
Perrafikan terhadap hibriditas menjadi fenomena politik dunia akhir-
akhir ini. Para politikus yang menjanjikan monobudaya justru mendapat tempat di hati banyak orang, meskipun kita belum tahu sampai kapan itu akan terjadi. Di negara-negara maju, isu imigran yang membawa budaya dan agama asing ditanggapi dengan cara tegas. Undang-undang yang mencegah gelombang imigrasi memasuki negara-negara tersebut diterbitkan. Rumor hitam nengenai para imigran disebarluaskan. Islam dipandang sebagai agama pendatang dan dinilai tidak cocok dengan budaya Barat. Sebaliknya, di negara-negara yang penduduknya mayoritas Islam, kecurigaan dan ketidaksukaan terhadap Barat dan Kekistenan yang dianggap sebagai representasi Barat juga semakin meningkat. Di negam-negara sekitar Sungai Mekong, eskalasi Budhisme yang eksklusif juga semakin terasa. Intoleransi kepada penganut agama minoritas nampaknya menjadi sikap dari semua agama ketika ia berada dalam posisi mayoritas. Dunia nampaknya memasuki situasi permusuhan yang baru pasca Perang Dingin. Permusuhan itu bukan pertama-tama antaragama, bukan pula antaretnis, tetapi antar mereka yang bersedia menerima dan hidup dalam kondisi multibudaya dengan mereka yang hanya mau hidup secara monobudaya. Hibriditas menjadi bulan-bulanan di segala bidang dan di seluruh pelosok dunia.
Penutup Kontekstualisasi telah memasuki babak baru seiring dengan tibanya zaman multibudaya. Tetapi seperti juga pada zaman kolonial dan poskolonial yang ditandai dengan perlawanan (terhadap hegemoni Barat), sekarang pun kontekstualisasi harus berada dalam sebuah perlawanan. Perlawanan itu adalah terhadap suatu sisi dari
lll
globalisasi yang ingin menelan heterogenitas. Globalisasi yang mengajarkan sebuah ideologi mdnobudaya don menebarkannya ke
segala penjuru dunia. Ideologi multibudaya yang
sebenarnya
memperoleh daya dorongnya dari globalisasi juga, seakan berada
dalam status kritis. Sudah sewajarnya kontekstualisasi berperan untuk menyelamatkan ideologi multibudaya dari himpitan ideologi monobudaya.
Alasan untuk berharap pada peran kontekstualisasi tersebut adalah bahwa semakin orang membuka diri kepada konteksnya, semakin terlihat olehnya akan hibriditas dirinya. Sebaliknya, semakin orang mengabaikan konteksnya dan mengatahkan diri ke pemandangan global, yang nampak olehnya justru kesamaan-kesamaan yang mengajarkannya hanya tentang satu hal yakni monobudaya. Globalisasi dalam hal ini merupakan kontras dari kontekstualisasi.
Tetapi ada pesan yang penting untuk disampaikan juga mengenai kontekstualisasi yaitu agar ia tidak justru memperkuat ideologi monobudaya. Pesan ini penting karena bukan tidak mungkin kontekstualisasi dianggap sebagai upaya untuk mengembalikan kemumian sebuah budaya. Anggapan ini akan menempatkan kontekstualisasi pada posisi yang sama dengan globalisasi tadi ya!tu sebagai penjamin kelangsungan monobudaya yang konkritnya adalah etnosentrisme. Maka, seperti juga globalisasi, tidak semua pemahaman mengenai kontekstualisasi dapat mendukung ideologi multibudaya. Terhadap kontekstualisasi yang demikian, kita juga harus bersikap kritis.
ll2
F Daftar Pustakf, Alessandrini, Anthony C. (ed.) 1999, Frantz Fanon, Critical P erspectives, London-New York: Routledge Andraos, Michel E. 2012 "Engaging Diversity in Teaching Religion and Theology: An Intercultural, De-colonial Epistemic Perspective" dalam Jumal Teaching Theologt and Religion, Vol.15, Issue 1, Jantnry 2012 Connolly, William E. l99l Identity\Diference, Democratic Negotiations of Political Paradox, Minneapolis- London: Univ. of Minnesota Press Cortez, Marc. 2005 "Creation and Context: A Theological Framework for Contextual Theology", dalam Westrninster Theological Joumal67 (2005): 347 Fanon, Frantz. 1965 A Dying Colonialism, trans., New York: Grove Press
Maalouf, Amin.
2000 In the Name of ldentity,
trans., New York:
Penguin Books Said, Edward W.
1994 Culture
and Imperialism, New
York:
Vantage Books Schwartz, Regina M. 1997 The Curse of Cain, the Violent Legacy of Monotheism, Chicago-London: Chicago U.P. Schreiter, Robert J. 2012 "Inkulturasi Kekistenan dalam Konteks Anake Budaya dan Agama" dalam Jurnal Ledalero; Wacana Iman dan Kebudayaan,Yol. I l, No. l. Juni 2012 Setio, Robert. 2012 "Biografi sebagai Kontekstualisasi" dalam Jurnal Ledalero, Wacana Iman dan Kebudayaan, Vol. 11,
No.
1, Juni
2012
Singgih, E.G.
1982 2000
Dari Israel
ke Asia, Jskafta'. BPK Gunung Mulia Berteologi dalam Konteks, Yogyakarta: Penerbit Kanisius-BPK Gunung Mulia 2OO9 Menguak Isolasi, Menjalin Relasi, Jakarta: BPK Gunung Mulia Taylor, Charles. 1994 Multiculturalism, Examining the Politics of
Recognition, Princeton-New Jersey: Princeton U.P.
T.2009 Among the Gentiles, Graeco-Roman Religion and Christianity,New Haven- London: Yale U.P.
Johnson, Luke
ll3
Lott, Bernice. 2010 Multiculturalism and Diversity,
Chichester:
Wiley-Blackwell Mignolo, Walter D. 2001 "Colonial and Postcolonial Discourse: Cultural Critique or Academic Colonialism?", @ Latin American Res e arc h Review
Endnote 1
Mungkin UKDW agak berbeda dalam hal ini. Program S-2 (dan S-3 teologi
yang baru saja diadakan) dengan sengaja dan jelas memakai kerangka kontekstualisasi yang berimbas pada karya-karya tulis mahasiswanya. Sebelumnya, E.G, Singgih pernah mencobanya juga. Lihat: "Potret Misi Gereja lndonesia dalam Kerangka Kritik Postmodern terhadap Modernitas" dalam Menguok lsoldsi, Menjalin Relosi,2Oo9 3 Dikutip dari artik€l Marc Cortez, "Creation and Context: A Theological Framework for Contextual Theology", dalam Westminster Theological Journal 57 (2005): 347 n Michel. Elias Andraos, "Engaging Diversity in Teaching Religion and Theology: An lntercultural, De-colonial Epistemic Perspective" dalam Jurnal Teaching Theology and Religion,Vol. TS, lssue 1, January 2012, h. 7
t
di
s
6
Edward W. Said, Cu lture and lmperialism,lgg4,
h.7
Richard Rorty, Contingency, irony, dnd solidority, Cambridge: ,C?mbridge
u.P., 1989, h.5.
7 Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Robert Schreiter bahwa perspektif poskolonialisme sudah lebih dahulu digunakan dalam studi biblika ketimbang bidang teoloSi lainnya. Untuk membuktikannya ia menunjuk karya-karya Sugirtharajah dan Fernando Sergovia. Lih?t artikelnya, "lnkulturasi (ekristenan dalam Konteks Anake Budaya dan Agama" dalam lurnal Ledalero, Wacdno lmon don Kebudayoan, Vol. LL, No. 1, Juni 2012, h.115
sAmin
e
Maalouf, ln the Nome of tdentity,2OOO, h.2
Penulis pernah menuliskan hal yang senada dalam artikel "Biografi sebagai Kontekstualisasi" dalam lurndl Ledqlero, Wocqno lmdn dan
Kebudoyoon,Yol. 11, No. 1, iuni 2012 to Bernice LolJ, Multiculturolism and Diversity, chichester: Wiley-Blackwell, 20r.0, h. 1
tl4