ASESMEN OTENTIK DALAM RANGKA KTSP Suatu Upaya Pemberdayaan Guru dan Siswa
IT
G
L NA S H A IO NE A
UNIV DEPA ER R S
NDIDIKA N PE N ME PENDIDIKA NA TE AS N S
U NDI
KSHA
OLEH A.A. ISTRI N. MARHAENI
Makalah Disampaikan pada Pelatihan KTSP bagi Guru SMP/MTs di Kabupaten Tabanan Tanggal 10-14 September 2007
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA 2007
1
ASESMEN BERBASIS KELAS DALAM KTSP1
Oleh: AAIN. Marhaeni
1. PENDAHULUAN Implementasi KTSP pada semua jenjang pendidikan sejak tahun ajaran 2007/2008 ini menuntut berbagai perubahan pada praktik pembelajaran dan asesmen; yang pada dasarnya diharapkan berorientasi pada pencapaian kompetensi. Untuk mengukur kompetensi secara baik, harus digunakan cara-cara pengukuran yang tepat. Ciri-ciri penilaian dalam KTSP adalah belajar tuntas, otentik, berkesinambungan, berdasarkan acuan kriteria, dan menggunakan berbagai teknik dan instrumen. PP No. 19 Tahun 2005 mengamanatkan penilaian dilakukan oleh pendidik, satuan pendidikan, dan pemerintah. Oleh sebab itu, sangat penting bagi guru untuk memahami dan dapat melakukan praktik penilaian/asesmen yang sesuai dengan tuntutan KTSP. Penilaian dalam KTSP adalah Asesmen Berbasis Kelas (ABK), yaitu asesmen yang dilakukan secara terpadu dengan kegiatan belajar mengajar. ABK seringkali juga disebut asesmen berbasis kompetensi maupun asesmen otentik
2. ASESMEN OTENTIK Asesmen yang relevan adalah jenis-jenis asesmen yang gayut dengan ciri peserta didik aktif membangun pengetahuan, hingga terbentuk kompetensi seperti yang ditetapkan dalam SKL, SK, KD, maupun indikator. Jenis-jenis asesmen berbasis kompetensi meliputi asesmen portofolio, kinerja, esai, projek, dan evaluasi diri. Tes-tes objektif sebaiknya dihindari karena jenis tes tersebut merupakan imposed target by the tester with only one single answer. Tes objektif tidak memberi kesempatan peserta didik menemukan jawaban atas persoalan yang dihadapi dengan caranya sendiri, tetapi dipaksa dengan hanya sedikit pilihan tanpa boleh mengambil pilihan diluar pilihan yang diberikan. Secara garis besar, asesmen otentik memiliki sifat-sifat (1) berbasis kompetensi yaitu asesmen yang mampu memantau kompetensi seseorang. Asesmen otentik pada dasarnya adalah asesmen kinerja, yaitu suatu unjuk kerja yang ditunjukkan sebagai akibat dari suatu proses belajar yang komprehensif. Kompetensi adalah atribut individu peserta didik, oleh
1
Disampaikan pada Pelatihan KTSP bagi Guru SMP/MTs di Kabupaten Tabanan, September 2007.
2
karena itu asesmen berbasis kompetensi bersifat (2) individual. Kompetensi tidak dapat disamaratakan pada semua orang, tetapi bersifat personal. Karena itu, asesmen harus dapat mengungkapkan seoptimal mungkin kelebihan setiap individu, dan juga kekurangannya (untuk bisa dilakukan perbaikan); (3) berpusat pada peserta didik karena direncanakan, dilakukan, dan dinilai oleh guru dengan melibatkan secara optimal peserta didik sendiri; Asesmen otentik bersifat tak terstruktur dan open-ended, dalam arti, percepatan penyelesaian tugas-tugas otentik tidak bersifat uniformed dan klasikal, juga kinerja yang dihasilkan tidak harus sama antar individu di suatu kelompok. Untuk memastikan bahwa yang diases tersebut benar-benar adalah kompetensi riil individu (peserta didik) tersebut, maka asesmen harus dilakukan secara (4) otentik (nyata, riil seperti kehidupan sehari-hari) dan sesuai dengan proses pembelajaran yang dilakukan, sehingga asesmen otentik berlangsung secara (5) terintegrasi dengan proses pembelajaran. Asesmen otentik bersifat (6) on-going atau berkelanjutan, oleh karena itu asesmen harus dilakukan secara langsung pada saat proses belajar mengajar berlangsung, dimana dapat terpantau roses dan produk belajar. Dengan demikian, asesmen otentik memiliki sifat berpusat pada peserta didik, terintegrasi dengan pembelajaran, otentik, berkelanjutan, dan individual. Sifat asesmen otentik yang komprehensif juga dapat membentuk unsur-unsur metakognisi dalam diri peserta didik seperti risk-taking, kreatif, mengembangkan kemampuan berfikir tingkat tinggi dan divergen, tanggungjawab terhadap tugas dan karya, dan rasa kepemilikan (ownership).
a. Asesmen Kinerja Asesmen kinerja adalah suatu prosedur yang menggunakan berbagai bentuk tugastugas untuk memperoleh informasi tentang apa dan sejauhmana yang telah dilakukan dalam suatu program. Pemantauan didasarkan pada kinerja (performance) yang ditunjukkan dalam menyelesaikan suatu tugas atau permasalahan yang diberikan. Hasil yang diperoleh merupakan suatu hasil dari unjuk kerja tersebut. Asesmen kinerja adalah penelusuran produk dalam proses. Artinya, hasil-hasil kerja yang ditunjukkan dalam proses pelaksanaan program itu digunakan sebagai basis untuk dilakukan suatu pemantauan mengenai perkembangan dari satu pencapaian program tersebut. Terdapat tiga komponen utama dalam asesmen kinerja, yaitu tugas kinerja (performance task), rubrik performansi (performance rubrics), dan cara penilaian (scoring guide). Tugas kinerja adalah suatu tugas yang berisi topik, standar tugas, deskripsi tugas, 3
dan kondisi penyelesaian tugas. Rubrik performansi merupakan suatu rubrik yang berisi komponen-komponen suatu performansi ideal, dan deskriptor dari setiap komponen tersebut. Cara penilaian kinerja ada tiga, yaitu (1) holistic scoring, yaitu pemberian skor berdasarkan impresi penilai secara umum terhadap kualitas performansi; (2) analytic scoring, yaitu pemberian skor terhadap aspek-aspek yang berkontribusi terhadap suatu performansi; dan (3) primary traits scoring, yaitu pemberian skor berdasarkan beberapa unsur dominan dari suatu performansi.
b. Evaluasi Diri Menurut Rolheiser dan Ross (2005) evaluasi diri adalah suatu cara untuk melihat kedalam diri sendiri. Melalui evaluasi diri peserta didik dapat melihat kelebihan maupun kekurangannya, untuk selanjutnya kekurangan ini menjadi tujuan perbaikan (improvement goal). Dengan demikian, peserta didik lebih bertanggungjawab terhadap proses dan pencapaian tujuan belajarnya. Salvia dan Ysseldike (1996) menekankan bahwa refleksi dan evaluasi diri merupakan cara untuk menumbuhkan rasa kepemilikan (ownership), yaitu timbul suatu pemahaman bahwa apa yang dilakukan dan dihasilkan peserta didik tersebut memang merupakan hal yang berguna bagi diri dan kehidupannya. Rolheiser dan Ross (2005) mengajukan suatu model teoretik untuk menunjukkan kontribusi evaluasi diri terhadap pencapaian tujuan. Model tersebut menekankan bahwa, ketika mengevaluasi sendiri performansinya, peserta didik terdorong untuk menetapkan tujuan yang lebih tinggi (goals). Untuk itu, peserta didik harus melakukan usaha yang lebih keras (effort). Kombinasi dari goals dan effort ini menentukan prestasi (achievement); selanjutnya prestasi ini berakibat pada penilaian terhadap diri (self-judgment) melalui kontemplasi seperti pertanyaan, ‘Apakah tujuanku telah tercapai’? Akibatnya timbul reaksi (self-reaction) seperti ‘Apa yang aku rasakan dari prestasi ini?’ Goals, effort, achievement, self-judgment, dan self-reaction dapat terpadu untuk membentuk kepercayaan diri (self-confidence) yang positif. Kedua penulis menekankan bahwa sesungguhnya, evaluasi diri adalah kombinasi dari komponen self-judgment dan selfreaction dalam model di atas. Model tersebut digambarkan dalam bagan berikut.
4
(1) Goals
(2) Effort (3) Achievement
Self-se S Self- (4) Self-judgment evaluation Self- (5) Self-reaction evaluation (6) elf-evaluation Self-confidence
Selfevaluation
Evaluasi diri adalah suatu unsur metakognisi yang sangat berperan dalam proses
seseevaluati belajar. Oleh karena itu, agar evaluasi dapat berjalan dengan efektif, Rolheiser dan Ross onuntuk melakukannya. Kedua peneliti mengajukan menyarankan agar peserta didik dilatih empat langkah dalam berlatih melakukan evaluasi diri, yaitu: (1) libatkan semua komponen dalam menentukan kriteria penilaian, (2) pastikan semua peserta didik tahu bagaimana caranya menggunakan kriteria tersebut untuk menilai kinerjanya, (3) berikan umpan balik pada mereka berdasarkan hasil evaluasi dirinya, dan (4) arahkan mereka untuk mengembangkan sendiri tujuan dan rencana kerja berikutnya. Untuk langkah pertama, yaitu menentukan kriteria penilaian. Pengajar mengajak peserta didik bersama-sama menetapkan kriteria penilaian. Pertemuan dalam bentuk sosialisasi tujuan pembelajaran dan curah pendapat sangat tepat dilakukan. Kriteria ini dilengkapi dengan bagaimana cara mencapainya. Dengan kata lain, kriteria penilaian adalah produknya, sedangkan proses mencapai kriteria tersebut dipantau dengan menggunakan ceklis evaluasi diri. Cara mengembangkan kriteria penilaian sama dengan mengembangkan rubrik penilaian dalam asesmen kinerja. Ceklis evaluasi diri dikembangkan berdasarkan hakikat tujuan tersebut dan bagaimana mencapainya.
5
c. Esai (Tes) esai menghendaki peserta didik untuk mengorganisasikan, merumuskan, dan mengemukakan sendiri jawabannya. Ini berarti peserta didik tidak memilih jawaban, akan tetapi memberikan jawaban dengan kata-katanya sendiri secara bebas. Tes esai dapat digolongkan menjadi dua bentuk, yaitu tes esai jawaban terbuka (extended-response) dan jawaban terbatas (restricted-response) dan hal ini tergantung pada kebebasan yang diberikan kepada peserta didik untuk mengorganisasikan atau menyusun ide-idenya dan menuliskan jawabannya. Pada tes esai bentuk jawaban terbuka atau jawaban luas, peserta didik mendemonstrasikan kecakapannya untuk: (1) menyebutkan pengetahuan faktual, (2) menilai pengetahuan faktualnya, (3) menyusun ide-idenya, dan (4) mengemukakan idenya secara logis dan koheren. Sedangkan pada tes esai jawaban terbatas atau terstruktur, peserta didik lebih dibatasi pada bentuk dan ruang lingkup jawabannya, karena secara khusus dinyatakan konteks jawaban yang harus diberikan oleh peserta didik. Esai terbuka/tak terstruktur merupakan bentuk asesmen otentik. Tes esai memiliki potensi untuk mengukur hasil belajar pada tingkatan yang lebih tinggi atau kompleks. Butir tes esai memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menyusun,
menganalisis,
dan
mensintesiskan
ide-ide,
dan
peserta
didik
harus
mengembangkan sendiri buah pikirannya serta menuliskannya dalam bentuk yang tersusun atau terorganisasi. Kelemahan esai adalah berkaitan dengan penskoran. Ketidakkonsistenan pembaca merupakan penyebab kurang objektifnya dalam memberikan skor dan terbatasnya reliabilitas tes. Namun hal ini dapat diminimalkan melalui penggunaan rubrik penilaian, dan penilai ganda (inter-rater).
d. Asesmen Portofolio Portofolio adalah sekumpulan artefak (bukti karya/kegiatan/data) sebagai bukti (evidence) yang menunjukkan perkembangan dan pencapaian suatu program. Penggunaan portofolio dalam kegiatan evaluasi sebenarnya sudah lama dilakukan, terutama dalam pendidikan bahasa. Belakangan ini, dengan adanya orientasi kurikulum yang berbasis kompetensi, asesmen portofolio menjadi primadona dalam asesmen berbasis kelas. Perlu dipahami bahwa sebuah portofolio (biasanya ditaruh dalam folder) bukan semata-mata kumpulan bukti yang tidak bermakna. Portofolio harus disusun berdasarkan tujuannya. Wyatt dan Looper (2002) menyebutkan, berdasarkan tujuannya sebuah portofolio dapat berupa developmental portfolio, bestwork portfolio, dan showcase portfolio. Developmental portfolio disusun demikian rupa sesuai dengan langkah-langkah 6
kronologis perkembangan yang terjadi. Oleh karena itu, pencatatan mengenai kapan suatu artefak dihasilkan menjadi sangat penting, sehingga perkembangan program tersebut dapat dilihat dengan jelas. Bestwork portfolio adalah portofolio karya terbaik. Karya terbaik diseleksi sendiri oleh pemilik portofolio dan diberikan alasannya. Karya terbaik dapat lebih dari satu. Showcase portfolio adalah portofolio yang lebih digunakan untuk tujuan pajangan, sebagai hasil dari suatu kinerja tertentu. Bagaimanakah asesmen portofolio membantu memantau pencapaian target kompetensi? Asesmen portofolio adalah suatu pendekatan asesmen yang komprehensif karena: (1) dapat mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotor secara bersama-sama, (2) berorientasi baik pada proses maupun produk belajar, dan (3) dapat memfasilitasi kepentingan dan kemajuan peserta didik secara individual. Dengan demikian, asesmen portofolio merupakan suatu pendekatan asesmen yang sangat tepat untuk menjawab tantangan KBK. Asesmen portofolio mengandung tiga elemen pokok yaitu: (1) sampel karya peserta didik, (2) evaluasi diri, dan (3) kriteria penilaian yang jelas dan terbuka. (1) Karya Karya peserta didik menunjukkan perkembangan belajarnya dari waktu ke waktu. Sampel tersebut dapat berupa tulisan/karangan, audio atau video, laporan, problem matematika, maupun eksperimen.
Isi dari sampel tersebut disusun secara sistematis
tergantung pada tujuan pembelajaran, preferensi pengajar, maupun preferensi peserta didik. Asesmen portoflolio menilai proses maupun hasil. Oleh karena itu proses dan hasil sama pentingnya. Meskipun asesmen ini bersifat berkelanjutan, yang berarti proses mendapatkan porsi penilaian yang besar (bandingkan dengan asesmen konvensional yang hanya menilai hasil belajar) tetapi kualitas hasil sangat penting. Dan memang, penilaian proses yang dilakukan tersebut sesungguhnya memberi kesempatan peserta didik mencapai produk yang sebaik-baiknya. Isi folder adalah berbagai produk yang dihasilkan oleh peserta didik, baik yang berupa bahan/draf maupun karya (terbaik), dan disebut entri (entry). Sumber informasi dapat diperoleh dari tes maupun non-tes (dengan tes objektif diupayakan minimal). Bahan non-tes antara lain karya (artefak), rekaman, draf, kinerja, dan lain-lain yang dapat menunjukkan perkembangan peserta didik sebagai peserta didik. Catatan dan bahan evaluasi-diri juga merupakan bagian dalam folder.
7
(2) Evaluasi Diri dalam Asesmen Portofolio O’Malley dan Valdez Pierce (1994) bahkan mengatakan bahwa ‘self-assessment is the key to portfolio’. Hal ini disebabkan karena melalui evaluasi diri peserta didik dapat membangun pengetahuannya serta merencanakan dan memantau perkembangannya apakah rute yang ditempuhnya telah sesuai. Melalui evaluasi diri peserta didik dapat melihat kelebihan maupun kekurangannya, untuk selanjutnya kekurangan ini menjadi tujuan perbaikan (improvement goal). Dengan demikian peserta didik lebih bertanggungjawab terhadap proses belajarnya dan pencapaian tujuan belajarnya. Evaluasi diri dalam asesmen portofolio persis sama dengan evaluasi diri yang dibahas dalam bagian b. di atas. Memang, asesmen portofolio adalah asesmen otentik yang paling komprehensif dalam khasanah asesmen otentik karena melibatkan jenis-jenis asesmen yang lain seperti asesmen kinerja dan esai (lihat lampiran: contoh implementasi asesmen portofolio).
(3) Kriteria Penilaian yang Jelas dan Terbuka Bila pada jenis-jenis asesmen konvensional kriteria penilaian menjadi ‘rahasia’ pengajar atau pun tester, dalam asesmen portofolio justru harus disosialisasikan kepada peserta didik secara jelas. Kriteria tersebut dalam hal ini mencakup prosedur dan standar penilaian. Para ahli menganjurkan bahwa sistem dan standar asesmen tersebut ditetapkan bersama-sama dengan peserta didik, atau paling tidak diumumkan secara jelas. Rubrik penilaian yang digunakan pengajar untuk menilai kinerja peserta didik.
e. Projek Projek, atau seringkali disebut pendekatan projek (project approach) adalah investigasi mendalam mengenai suatu topik nyata. Dalam projek, siswa mendapat kesempatan mengaplikasikan keterampilannya. Pelaksanaan projek dapat dianalogikan dengan sebuah cerita, yaitu memiliki fase awal, pertengahan, dan akhir projek. Berikut ini diberikan contoh suatu asesmen projek dengan tugas projek berupa pertunjukan drama.
8
Fase awal: Guru memberikan tugas projek pada siswa, sebagai berikut.
Tugas Projek : Pertunjukan Drama Petunjuk
:
- Pilihlah salahsatu drama karya Putu Wijaya - Setiap kelompok terdiri dari 5 – 10 orang siswa - Pertunjukan akan dilakukan pada tanggal 16 Agustus 2007 di auditorium sekolah - Lama waktu pertunjukan adalah satu jam untuk setiap kelompok, karena itu naskah dapat dimodifikasi tanpa meninggalkan pesan aslinya.
Fase Pengembangan; Siswa mencari bahan, memodifikasi naskah, berdiskusi dengan ahli, berlatih secara terbimbing maupun mandiri.
Fase Akhir: siswa menampilkan hasil kerja mereka, yaitu berupa petunjukan drama.
3. MODEL IMPLEMENTASI ASESMEN OTENTIK Berikut ini adalah modifikasi dari model asesmen portofolio oleh Moya dan O’Malley (1994). Model tersebut (Portfolio Assessment Model) disesuaikan dengan tiga komponen pembelajaran, yaitu Perencanaan, Pelaksanaan, dan Analisis dan Pelaporan.
(a). Perencanaan Asesmen Otentik (1) Menentukan tujuan dan fokus (standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator pencapaian kompetensi, domain (kognitif, afektif, psikomotor) yang diases) (2) Merencanakan isi asesmen otentik yang meliputi: pemilihan prosedur asesmen, menentukan isi/topik, dan menetapkan frekuensi dan waktu dilakukannya asesmen. (3) Mendesain cara menganalisis data, yaitu dengan menetapkan: standar atau kriteria penilaian, menetapkan cara memadukan hasil penilaian dari berbagai sumber (misalnya dari kinerja, portofolio, evaluasi diri, tes. Dan lain-lain), dan menetapkan waktu analisis. (4) Merencanakan langkah-langkah kegiatan asesmen (terpadu dalam pembelajaran, ada kegiatan pemberian umpan balik, penilaian proses, penilaian produk) (5) Menentukan prosedur pengujian keakuratan informasi, yaitu menetapkan cara mengetahui validitas informasi dan reliabilitas penilaian. 9
(b). Implementasi Asesmen Otentik (1) Mengumumkan tujuan dan fokus pembelajaran kepada siswa. (2) Menyepakati prosedur asesmen yang digunakan serta kriteria penilaiannya. (3) Mendiskusikan cara-cara yang perlu dilakukan untuk mencapai hasil maksimal. (4) Melaksanakan kegiatan asesmen sesuai dengan perencanaan dan kesepakatan bersama (pengumpulan data) (5) Memberikan umpan balik
(c). Analisis dan pelaporan (1) Menganalisis data yang telah dikumpulkan (3) Memadukan hasil analisis dari berbagai data yang didapat (4) Menerapkan kriteria penilaian akhir (5) Melaporkan hasil asesmen Asesmen portofolio merupakan jenis asesmen otentik paling komprehensif karena dalam mencakup berbagai jenis asesmen otentik lainnya dan juga tes objektif. Semua hasil asesmen tersebut, jika diatur secara sistematis mulai dari tujuan asesmen (berdasarkan KD dan indikator), serta mengikuti langkah-langkah implementasi seperti yang disebutkan di atas, dan mengandung ketiga elemen pokok asesmen portofolio (karya, kriteria penilaian, dan evaluasi diri), maka sudah merupakan praktik asesmen portofolio. Jadi, semua jenis asesmen yang telah dibahas di atas, dapat dilakukan secara sendiri-sendiri (seperti kinerja, projek); dapat pula masing-masing asesmen tersebut merupakan bagian dari suatu portofolio. Suatu saran, bila Anda akan melakukan asesmen otentik, maka lakukanlah secara kecil-kecilan dulu, misalnya asesmen kinerja untuk satu KD, misalnya dalam pelajaran Bahasa Indonesia, yaitu KD untuk keterampilan Menulis. Contoh lain, untuk suatu materi tertentu dalam pelajaran IPA, misalnya materi Sistem Tata Surya, dengan menggunakan asesmen Projek. Yang penting, siapkan dengan baik model implementasi seperti tersebut di atas. Pada awalnya memang sulit dan butuh waktu. Hal ini wajar karena Anda mencoba suatu hal baru. Memulai apapun yang baru pastilah terasa sulit. Namun, lambat laun, Anda akan terbiasa dengan asesmen otentik, dan juga akan menyadari bahwa banyak alat asesmen yang Anda gunakan sebelumnya, dapat digunakan lagi berikutnya, misalnya, kriteria penilaian. Dengan demikian, pekerjaan Anda akan semakin mudah. Karena itu, biasakanlah menyimpan alat-alat asesmen yang Anda gunakan. 10
4. BEBERAPA PERTANYAAN DALAM LINGKUP IMPLEMENTASI ASESMEN OTENTIK a. Bagaimana caranya/strategi melakukan asesmen otentik dalam kelas besar dan waktu yang terbatas? Dari pengalaman dan pengamatan saya selama ini, masalah ukuran kelas memang menjadi salahsatu kendala dalam implementasi asesmen otentik. Namun, ada rencana yang tertuang dalam Standar Proses Pendidikan (belum terbit sebagai Permen) bahwa ukuran kelas di SD nantinya adalah 30 orang, lebih kecil dari umumnya ukuran kelas sekarang. Disamping itu, saya melihat para guru belum terampil betul dalam menyelenggarakan pembelajaran terpadu. Dalam pelajaran Bahasa Indonesia, misalnya, guru memisahkan pembelajaran Membaca dengan Menulis, padahal materinya sama, yaitu tentang Ringkasan. Mestinya, sebuah naskah ringkasan yang digunakan dalam kegiatan membaca secara langsung merupakan model/contoh untuk melatih siswa menulis ringkasan. Dengan cara ini, pembelajaran dan asesmen dapat efisien dalam waktu, dan tetap bermakna.
b. Apa asesmen otentik sesuai dengan cara evaluasi dalam UN? Dilihat dari pendekatan evaluasi yang dilakukan UN selama ini, yaitu dengan menggunakan tes objektif, maka secara langsung cara-cara asesmen otentik tidak sesuai dengan UN. Namun, perlu dicermati beberapa hal berikut: (i) asesmen otentik adalah amanat KTSP yang harus dilakukan, (ii) dengan berlakunya KTSP, diharapkan pendekatan evaluasi UN yang terjadi selama ini dapat dievaluasi dan ditingkatkan relevansinya dengan kurikulum yang berlaku, (iii) sebenarnya, asesmen otentik bila dilakukan dengan baik, benar-benar dapat membangun kompetensi. Bila siswa sudah kompeten, maka jenis evaluasi apapun yang dipakai pasti dapat diselesaikan dengan baik, (iv) guru masih bisa menggunakan tes-tes objektif untuk KD yang relevan diukur dengan cara tersebut, misalnya dalam mengukur aspek kognitif tingkat rendah. Namun perlu dihindari penggunaan tes objektif secara berlebihan karena selain kemampuannya mengukur tingkat kompetensi sangat rendah, juga dapat menimbulkan ketergantungan (over-reliance); jangan sampai siswa tidak bisa mengerjakan soal selain soal-soal objektif. Jangan pula sampai terjadi persepsi, bila mengerjakan tes objektif baru namanya ujian, baru serius mengerjakan tugas. Perlu pula diingat bahwa terdapat kombinasi untuk ujian nasional dan ujian sekolah, dimana untuk ujian sekolah dilakukan melalui tes kinerja.
11
c. Apakah semua KD harus diases dengan asesmen otentik? Sudah disinggung di atas, hendaknya guru menyesuaikan jenis asesmen yang digunakan dengan target kompetensi seperti yang dijabarkan dalam indikator pencapaian. Bila indikator pencapaian berkisar di tataran konsep, maka tes objektif dapat digunakan. Namun, mengingat validitas yang tinggi pada asesmen otentik untuk mengukur kompetensi, maka sudah saatnya para guru mengurangi penggunaan tes objektif. Sebagai saran, gunakan perbandingan 80:20 untuk asesmen otentik dan tes objektif.
d. Bagaimana dengan masalah subjektivitas penilaian? Isu subjektivitas terutama dalam penilaian pembelajaran yang bersifat terbuka dan berpusat pada peserta didik seperti asesmen otentik seringkali menjadi perdebatan. Ada pihak yang mengatakan bahwa hasil penilaian terhadap tugas, projek, portofolio, dan sebagainya, rentan dari segi validitas dan reliabilitas penilaian. Bagaimana mungkin, menurut pendapat ini, membandingkan dua peserta didik dari portofolio masing-masing, sementara portofolio mereka berisi hal-hal yang berbeda. KTSP adalah upaya untuk meningkatkan kinerja dan pemberdayaan peserta didik. Untuk tujuan ini, sangatlah sulit bila dilakukan dengan menggunakan tes-tes objektif (yang sama untuk semua peserta didik). Dan, perlu disadari bahwa pendidikan bukanlah untuk membandingkan satu peserta didik dengan yang lainnya, melainkan bertujuan untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas tinggi, dengan kata lain, seorang peserta didik yang berhasil bukanlah karena dia mampu ‘mengalahkan’ saingan-saingannya, melainkan karena dia memiliki kompetensi yang tinggi dan dapat diandalkannya untuk menyongsong masa depannya. Namun demikian, subjektivitas dalam diri penilai sendiri tidak dapat dihindarkan dalam asesmen non-tes. Suatu contoh, seorang guru yang terlalu banyak mengoreksi karangan cepat merasa lelah sehingga tidak cermat lagi dalam membaca tulisan peserta didik, akibatnya, tidak terjadi konsistensi penilaian. Hal-hal lain seperti impresi awal dapat pula menyebabkan penilaian tidak konsisten sehingga menimbulkan ketidakadilan bagi peserta didik. Ada dua cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi subjektivitas penilaian. Pertama, penilaian inter-rater, yaitu lebih dari satu orang memberikan penilaian terhadap naskah yang sama. Kedua, adalah dengan menetapkan benchmark, yaitu sampel kinerja yang berfungsi sebagai standar yang dipakai untuk menilai sampel kinerja lainnya
12
5. PENUTUP Pembelajaran dan asesmen berbasis kompetensi sudah menjadi keharusan bagi kita untuk
melakukannya
mengingat
kelebihan-kelebihan
yang
dimiliki,
yang
jauh
meninggalkan pembelajaran tradisional yang lebih berpusat pada guru. Untuk itu, kesediaan untuk mencoba sambil melakukan inovasi terhadap praktik pembelajaran yang kita lakukan perlu terus dipupuk. Sekalian kita berbicara evaluasi diri, mari kita mulai mencoba mengevaluasi praktik pembelajaran yang kita lakukan selama ini, melihat kelebihan dan kekurangannya; dan daripadanya kita melakukan perbaikan-perbaikan. Semoga makalah singkat ini dapat menjadi inspirasi bagi kita semua untuk selalu meningkatkan kualitas pembelajaran yang kita lakukan, dalam rangka ikut mendukung upaya-upaya peningkatkan kualitas pendidikan kita.
REFERENSI Buchori, M. (2000). Pendidikan Antisipatoris. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Marhaeni, A.A.I.N. (2005). Pengaruh Asesmen Portofolio dan Motivasi Berprestasi terhadap Kemampuan Menulis Bahasa Inggris (disertasi tak dipublikasikan), Jakarta: Universitas Negeri Jakarta. Marhaeni, A. A. I. N. (2006). Menggunakan Asesmen Otentik dalam Pembelajaran. Makalah disampaikan dalam pelatihan pembelajaran bagi Guru Guru SMA Negeri 1 Denpasar tanggal 19 Agustus 2006 Nitko A.J. (1996). Educational Assessment of Students, 2nd Ed. Columbus Ohio : Prentice Hall. O’Malley, J.M. & Valdez Pierce, L. (1996). Authentic Assessment for English Language Learners. New York: Addison-Wesley Publishing Company. Popham, W.J. (1995). Classroom Assessment, What Teachers Need to Know. Boston: Allyn and Bacon. Salvia, J. & Ysseldyke, J.E. (1996). Assessment. 6th Edition. Boston: Houghton Mifflin Company. Rolheiser, C. & Ross, J. A. (2005) Student Self-Evaluation: What Research Says and What Practice Shows. Internet download. Wyaatt III, R.L. & Looper, S. (1999). So You Have to Have A Portfolio, a Teacher’s Guide to Preparation and Presentation. California: Corwin Press Inc.
13