Makalah Kajian Sejarah, Pengertian, Relevansi, Karakter, dan Tokoh Cultural Studies Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Cultur Studies
Disusun Oleh : Nama
: Muh. Syarifudin Noor
NIM
: 10034100010
Mata Kuliah
: Cultur Studies
Dosen Pembimbing
: Dra. Tungal Trisukesi S.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Studi Ilmu Komunikasi
Universitas Islam Jembe Jember copyright@2013
1
Cultur Studies
Kajian Sejarah, Pengertian, Relevansi, Karakter, dan Tokoh Cultural Studies
A. Pendahuluan Sebelum menelisik persoalan dan karakteristik cultural sudies, kajian budaya, penulis hendak memaparkan sekilas tentang definisi budaya (culture) itu sendiri. Sudah banyak pakar yang mencoba menjelaskan pengertian budaya; di antaranya, sebagian berpandangan bahwa budaya adalah perilaku sosial dan sebagaian lagi melihatnya bukan sebagai perilaku tapi sebagai abstraksi dari perilaku. Di sini penulis sengaja mendasarkan pengertian budaya dari definisi yang dikemukakan oleh Sir E.B. Taylor (1832-1917) dan Raymond William (19211988). Pertama, Taylor mengemukakan bahwa “Culture is that complex whole which includes knowledge, belief, art, morals, law, customs, and other capabilities and habits acquired by man as a member of society.” Dengan pengertian ini ,bahwa budaya mencakup diri-manusia dan antar-manusia dengan segala aspek dan kompleksitasnya. Sementara itu, William, salah seorang foundingfathers of cultural studies, mengemukakan bahwa “Culture includes the organization of production, the structure of the family, the structure of institution which express or govern social relationship, the characteristics form through which members of the society communicate.” Dengan definisi ini, bahwa Williams menekankan pada struktur sosial dan hubungan komunikasi antar-manusia dalam konteks pergaulan masyarakatnya. Cultural Studies (CS) dibangun oleh permainan bahasa (language games) cultural itu sendiri. Istilah-istilah teoritis yang dikembangka dan digunakan oleh orang-orang yang menyebut karya mereka sebagai cultural studies itulah yang disebut dengan cultural studies. Cultural Studies selalu merupakan bidang penelitian multi dan post disipliner yang mengaburkan batas-batas antara dirinya dan subjek lain. Namun Cultural Studies (CS) tidak dapat didefinisikan secara sembarangan, kata Hall ada sesuatu yang diperbincangkan dalam cultural studies yang membedakan dirinya dari wilayah subjek lain. Bagi Hall yang diperbincangkan adalah hubungan Cultural Studies dengan persoalan kekuasaan dan politik, dengan kebutuhan akan perubahan dan dengan representasi atas dan ‘bagi’ kelompok-kelompok social yang terpinggirkan, khususnya kelas, gender dan ras. Dengan demikian, cultural studies adalah satu teori yang dibangun oleh pemikir yang memandang produksi pengetahuan teoritis sebagai praktik politik. Disini, pengetahuan tidak pernah menjadi fenomena netral atau objektif melainkan posisionalitas, soal dari mana orang berbicara, kepada siapa dan untuk tujuan apa. Cultural Studies merupakan suatu bangunan diskursif, yaitu jejak-jejak (atau bangunan) pemikiran, citra dan praktis, yang menyediakan cara-cara untuk berbicara, bentukbentuk pengetahuan dan tindakan yang terkait dengannya tentang topic, aktivitas social tertentu atau arena institusional dalam masyarakat. Cultural studies dibangun oleh suatu cara yang tertata di sekeliling konsep-konsep kunci, ide dan pokok perhatian. Terlebih lagi, cultural studies memiliki suatu momen ketika dia menamai dirinya, meskipun penamaan itu hanya menandai penggalan atau kilasan dari suatu proyek intelektual yang terus berubah. Banyak praktisi Cultural studies menentang pembentukan batas-batas disipliner bidang ini. Dalam konteks itu, Bennet (1998) menawarkan ‘elemen definisi’ cultural studies : 2
Cultur Studies
1. Cultural studies adalah suatu arena interdisipliner dimana perspektif dari disiplin yang berlainan secara selektif dapat diambil dalam rangka menguji hubungan antara kebudayaan dan kekuasaan. 2. Cultural studies terkait dengan semua praktik, institusi dan system klasifikasi yang tertanam dalam nilai-nilai, kepercayaan, kompetensi , rutinitas kehidupan dan bentukbentuk kebiasaan perilaku suatu masyarakat (Bennet, 1998) 3. Bentuk-bentuk kekuasaan yang dieksplorasi oleh cultural studies beragam termasuk gender, ras, kelas,kolonialisme,dll.Cultural Studies berusaha mengeksplorasi hubungan antara bentuk-bentuk kekuasaan ini dan berusaha mengembangkan cara berfikir tentang kebudayaan dan kekuasaan yang dapat dimanfaatkan oleh sejumlah agen dalam upayanya melakukan perubahan. 4. Arena institusional utama bagi cultural studies adalah perguruan tinggi dan dengan demikian cultural studies menjadi seperti disiplin akademis lain.
a. Pengertian dan Karakter Cultural Studies Berangkat dari dua pengertian budaya tersebut, penulis menegaskan bahwa cultural studies adalah suatu kajian terhadap pelbagai pola perilaku manusia baik secara ideologi, politik, ekonomi, sosial maupun budaya dengan segala aspeknya yang kompleks. Dengan kompleksitas persoalan yang dihadapinya, cultural studies bergerak dari pemahaman terhadap bidang-bidang pertanyaan interdisipliner atau posdisipliner yang berupaya mengeksplorasi produksi dan inkulkasi (penanaman) budaya atau makna dalam tiap perilaku manusia. Lantaran itulah, secara definitif, cultural studies kemudian menjadi tidak memiliki acuan yang tegas dan baku; cultural studies hanya permainan-bahasa (languagegame). Di sini, terma teoretis yang marak dan dikembangkan oleh orang-orang yang menyebut karyanya sebagai cultural studies lah yang mendasari pengertian “cultural studies”. Cultural studies tegasnya adalah formasi wacana; yaitu, sekumpulan ide, imaji, dan praktek, yang mendasari perbincangan tentang, atau perilaku yang berasosiasi dengan, suatu topik, aktivitas sosial, dan situs kelembagaan tertentu. Artinya, cultural studies didasarkan pada suatu setelan-cara dalam membincangkan, jika bukan mempersoalkan, objek-objek dan menciptakan koherensi-koherensi di antara konsep, ide, dan perhatian yang mencakup artikulasi, budaya, wacana, ideologi, identitas, budaya pop, kekuasaan, representasi dan teks. Sebagai landasan kajiannya, cultural studies secara bebas mengambil dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan semua cabang ilmu humaniora dan seni. Cultural studies menggunakan 3
Cultur Studies
teori dan metodologi dari antropologi, sosiologi, psikologi, linguistik, kritik sastra, teori seni, musikologi, filsafat, dan teori komunikasi, dan juga ilmu politik. Oleh karena itu, sifatnya yang tidak terikat pada satu disiplin dan subjek tertentu, cultural studies sering digambarkan sebagai bidang kajian yang “anti-disiplin” – a mode of inquiry that does not subscribe to the straitjacket of institutionalized disciplines. Cultural studies bukanlah sebuah disiplin. Ia merupakan suatu istilah kolektif untuk pelbagai upaya intelektual yang mencoba menelisik sejumlah persoalan kemanusiaan dan lingkungan sosialnya. Cultural studies adalah sebuah kritik terhadap suatu konstruksi, hegemoni, dan struktur. Untuk menelisik konteks kemunculannya, yaitu sebagai konsep yang tersebar dan berkembang di pelbagai situs geografis kajian budaya dan yang membentuk sejarah tradisi kajian budaya, cultural studies lahir dan bermula dari CCCS (Centre for Contemporary Cultural Studies) yang dibentuk pada tahun 1964 di Universitas Birmingham, Inggris. Simon During, dalam pengantar buku The Cultural Studies Reader (1993), menunjukkan dua jalur genealogi cultural studies. Jalur pertama adalah kelompok yang melihat kebudayaan sebagai efek hegemoni. Istilah hegemoni berasal dari Antonio Gramsci, seorang Marxis Italia. Hegemoni berarti dominasi yang berlangsung tidak dengan cara paksaan yang kasat mata melainkan dengan persetujuan (consent) dari pihak yang didominasi.
Dalam bingkai hegemoni inilah kebudayaan terletak. Sebagaimana yang diungkapkan di atas tentang pengertian budaya, kebudayaan bukan hanya ekspresi sistem nilai suatu komunitas yang mencerminkan identitas kolektif, tapi juga alat yang memungkinkan hegemoni itu berfungsi dalam sistem dominasi. Perintis jalur ini adalah Raymond Williams, ketika ia mengkritik fenomena terlepasnya “budaya” dari “masyarakat” dan terpisahnya “budaya tinggi” dari “budaya sebagai cara hidup sehari-hari”. Cultural studies jenis ini lebih menekankan pembacaan budaya sebagai tindakan kontra hegemoni, resistensi terhadap kuasa “dari atas”, dan pembelaan terhadap subkultur atau marginal. Sedangkan cultural studies jalur kedua, yang mendapat banyak pengaruh dari pemikiran postrukturalisme Perancis, terutama Michel Foucault, menggeser perhatiannya dari kontra hegemoni dan resistensi terhadap kuasa “dari atas” menuju perayaan terhadap kemajemukan satuan-satuan kecil. 4
Cultur Studies
Kebudayaan dilihat sebagai wacana pendisiplinan dan normalisasi, yang tidak tepat dihadapi dengan macro-politics karena relasi kuasa bukanlah melulu bersifat vertikal (negara versus masyarakat). Bagi Foucault, kekuasaan bersifat menyebar dan merata dalam setiap hubungan dalam masyarakat, dan karena itu hanya bisa dihadapi dengan semacam micropolitics, yang pernah dirumuskannya sebagai insurrection of the subjugated knowledges (membangkitkan pengetahuan-pengetahuan yang tertekan). Pada titik inilah cultural studies tegak berdiri. Kajian-kajian dengan label multikultural, poskolonial, feminis, gay dan lesbian, etnik dan kulit berwarna, untuk menyebut beberapa yang menonjol, adalah upaya membangkitkan pengetahuan tertekan itu. Secara historis, pada awal kemunculan Cultural Studies di Birmingham, Inggris, perang dunia kedua baru berakhir. Kesempatan pendidikan bagi bangsa Inggris tengah terbuka dan pendidikan bagi penduduk dewasa sedang digalakkan sebagai rekonstruksi pascaperang. Namun demikian, politik kelas pra-perang masih menjadi norma di tengah kondisi sosial yang cepat berubah. Selain itu, Inggris pun tengah diserbu oleh budaya pop Amerika yang membentuk kesadaran masyarakat dan menyoroti peng-kelas-an yang merupakan karakter kehidupan budaya Inggris. Teks-teks karya pendiri CCCS, Richard Hoggart, Raymond Williams, dan Stuart Hall, menegaskan wilayah kajian ini. Mereka memiliki perhatian pada bagaimana kebudayaan dipraktikkan dan dibentuk, atau bagaimana praktek-praktek kebudayaan mengarahkan masyarakat dari kelompok dan kelas yang berbeda berjuang karena dominasi kultural. Hoggart dan Williams, intelektual dengan latar belakang kelas pekerja Inggris yang mengajar pada institusi pendidikan tinggi, merayakan keotentikan budaya pop yang muncul dari kelas pekerja baru industri sebagai dampak industrialisasi dan urbanisasi rentetan dari Revolusi Industri di Inggris. Perkembangan Cultural Studies di Inggris sangat dipengaruhi oleh gerakan dan pemikiran New Left (Kiri Baru) yang muncul sebagai respon terhadap invasi Rusia pada Hungaria tahun1956. Pada masa ini, terbit jurnal New Left Review yang dipimpin oleh Stuart Hall yang banyak memuat artikel mengenai budaya populer, industri komunikasi modern, dan membahas kajian-kajian Neo-Marxis dari tokoh-tokoh seperti Louis Althusser, Georg Lukacs, Antonio Gramsci, dan sebagainya.
5
Cultur Studies
Mereka melihat bahwa hampir mustahil bagi para intelektual non-Inggris mendobrak kemapanan Kiri Inggris. Menurut Stuart Hall, inilah yang menjadi titik penting untuk memahami sejarah Kiri Baru dan cultural studies Inggris. Bukan hanya menantang ”ke-Inggris-an” Kiri Baru, para intelektual kolonial juga menekankan peran yang dimainkan kekuatan luar yang diwakilinya. Tanpa para intelektual kolonial, tak akan ada Kiri Baru Inggris, dan mungkin tak akan ada cultural studies. Namun perhatian para intelektual kolonial tersebut baru memasuki cultural studies Inggris pada tahun 1980-an. Sementara pada tahun 1970-an, cultural studies Inggris terobsesi dengan ”gaya” dan perilaku para pemuda kelas pekerja. Perilaku kelompok-kelompok seperti mods, rocker, dan punk dilihat sebagai perlawanan simbolik terhadap sistem dominan. Simbol perlawanan terlihat dari “gaya” pakaian, rambut, musik dan ritual pesta dari kelompokkelompok tersebut yang sangat tidak lazim dan asing pada saat itu. Kemudian pada masa pemerintahan Thatcher, ketika Inggris memasuki kebijakan pasar bebas dan privatisasi, masalah subkultur dan subkelompok wanita dan minoritas menjadi fokus analisis cultural studies. Seperti sebelumnya, penekanannya tetap pada ”pembacaan” tanda-tanda resistensi dan perlawanan terhadap budaya dominan. Cultural studies Inggris memiliki dua ciri khas. Pertama, selain mengenai subkultur pemuda dan program berita televisi, fokus kajiannya beragam dan orisinil. Di antaranya mengenai citra wanita, maskulinitas, dan sejarah seksualitas; bagaimana masa lalu dihadirkan di museum; bagaimana remaja perempuan bersikap di sekolah dan tempat kerja, dan bagaimana anak-anak kulit putih bereaksi pada musik reggae; politik olah raga, gender dan ketrampilan serta konstruksi sosial terhadap ilmu pengetahuan; sejarah intelektual kelas menengah, dan banyak lagi lainnya. Kedua, cultural studies Inggris selalu berdimensi politik. Kajiannya mencari penekanan nilai politis yang terlibat dalam karya intelektual. 6
Cultur Studies
Tujuannya demi memberdayakan orang-orang dengan sumber-sumber yang dimilikinya agar memahami hubungan intrinsik antara budaya dan bentuk-bentuk kekuasaan yang beragam, sehingga dapat mengembangkan strategi untuk bertahan. Sejalan dengan perkembangan cultural studies, Sardar dan van Loon (1999: 9) secara umum
mengemukakan
beberapa
karakteristiknya
yang
didasarkan
pada
sejarah
perkembangan kajian-kajian yang dilakukan selama ini tentang arah dan tujuan cultural studies itu sendiri, yaitu:
Cultural Studies bertujuan mengkaji persoalan dari sudut praktek budaya dan relasi kuasa. Targetnya adalah mengungkap bagaimana relasi kuasa mempengaruhi dan membentuk praktek-praktek budaya.
Cultural Studies bukan sekedar mengkaji budaya, seolah-olah budaya terpisah dari konteks sosial dan politik. Tujuan kajian ini memahami budaya beserta kompleksitasnya, serta menganalisis kontek sosial dan politik di mana budaya itu mengejawantah.
Cultural Studies memahami budaya dalam dua fungsi, yaitu budaya sebagai objek kajian dan sebagai lokasi atas tindakan dan kritisisme politik. Dalam hal ini, Cultural Studies bertujuan baik sebagai kegiatan intelektual maupun pragmatis.
Cultural Studies mencoba menyingkap dan mendamaikan pengotakan pengetahuan, untuk mengatasi pemisahan antara bentuk pengetahuan yang intuitif (yang berdasarkan budaya lokal) dan yang obyektif (yang universal). Cultural Studies
7
Cultur Studies
mengasumsikan suatu identitas bersama dan kepentingan bersama antara yang mengetahui dan yang diketahui, antara yang mengamati dan yang diamati. Cultural Studies setia pada evaluasi moral masyarakat modern serta garis radikal aksi politik. Cultural Studies tidak bebas nilai, melainkan pengetahuan yang berkomitmen pada rekonstruksi sosial dengan keterlibatan kritis pada politik. Tujuannya adalah untuk memahami dan mengubah struktur dominasi yang terjadi di sisi manapun, namun khususnya dalam masyarakat kapitalis industrial.
b. Relevansi Cultural Studies bagi Konteks Indonesia Dewasa Ini Sebenarnya penulis kurang setuju jika cultural studies diterjemahkan sebagai “kajian budaya”. Tegas, cultural studies memiliki karakteristik sendiri yang khas dan terasa sangat berbeda dengan nuansa lingual “kajian budaya”; di sini, dengan “kajian budaya” penulis kurang merasakan sense of critics dan hanya melulu mempersoalkan budaya yang terlepas dari konteks sosial, ekonomi, politik, dan ideologinya, sebagaimana yang diungkapkan di atas. Budaya tidak terbentuk secara alamiah, given dan menyatu dengan komunitas tertentu, melainkan selalu dikonstruksikan. Dan dalam proses konstruksi, pertarungan memperebutkan pemaknaan pun terjadi. Contoh kajian yang berhasil menolak esensialisme ini adalah buku Orientalism Edward Said yang dengan meyakinkan menunjukkan bahwa identitas Timur yang eksotis dan irasional ternyata bukanlah esensi melainkan konstruksi dan representasi Barat. Selain merupakan konstruksi sosial, budaya juga selalu bersifat hibrida. Tidak ada yang tetap dan tegas dalam identitas budaya. Juga tidak ada yang murni dan monolitik. Budaya merupakan situs bagi proses negosiasi yang tak putus-putus yang dilakukan oleh para pelaku kebudayaan itu sebagai respons terhadap kondisi kekiniannya. Dengan demikian, sebutan “Jawa”, “Islam”, “Dunia Ketiga” atau “Barat” selalu bersifat kompleks dan majemuk karena konteks mereka yang juga kompleks dan majemuk. Oleh karena itu, sebagaimana kompleksnya persoalan-persoalan cultural studies di Inggris dan Amerika, cultural studies di Indonesia juga sangat kompleks dan rumit, bahkan 8
Cultur Studies
dewasa ini. Untuk contoh kecil, mengikuti McLuhan dengan pernyataannya tentang “global village”, Indonesia secara otomatis sudah menjadi “objek kajian” yang acceptible dan reasonable bagi cultural studies. Sebab, dengan mengecilnya dunia ini lantaran pengaruh media, wilayah Indonesia juga menjadi sarat akan persoalan-persoalan kebudayan. Dengan menggunakan kacamata cultural studies, berbagai fenomena kebudayaan Indonesia pantas, jika bukan harus, untuk dikaji dan dibongkar ulang untuk melihat kembali bagaimana kontruksi-masa-lalu keindonesiaan dibangun. Melihat
konteks
kebudayaan
Indonesia,
sebagaimana
terekspresikan
dalam
penggambaran Melani Budianta yang mengutip Frederick Jameson, bahwa dalam upayanya merumuskan suatu perspektif terhadap sastra-sastra ‘dunia ketiga’ bagi ‘bangsa-bangsa yang dibentuk oleh nilai-nilai dan stereotipe-stereotipe suatu kebudayaan dunia pertama’, perlu melirik sodoran berikut ini: “Satu perbedaan penting akan langsung tampak, yaitu bahwa tak satu pun dari kebudayaan-kebudayaan [dunia ketiga] ini bisa dilahirkan sebagai sarana antropologis independen atau otonom; sebaliknya, mereka semua dalam berbagai hal terbelenggu dalam suatu pergulatan hidup-mati denga imperialisme budaya dunia pertama...” Dengan cara pandang sedemikian ini, relevansi cultural studies dalam konteks Indonesia dewasa ini menjadi tampak kentara. Yaitu, persoalan-persoalan budaya dan kebudayaan Indonesia dalam konteks kebhinekaannya perlu dan harus dikaji ulang yang bertujuan untuk melihat secara kasatmata bagaimana konstruksi identitas dan kebudayaan terbangun dan terbentuk selama ini.
c. Peran Negara dalam Konstruksi Identitas Sebagai suatu gerakan intelektual yang bertujuan membongkar segala bentuk hegemoni dan dominasi, cultural studies juga harus tidak pandang bulu dalam melihat objek kajiannya. Cultural studies berfungsi mengkonstruksi-ulang, atau melakukan upaya dekonstruksi, against anything including ourself, terhadap seluruh aspek “kemanusiaan” dan sosial dengan segala kompleksitasnya. Berbicara tentang manusia dan kemanusiaan maka persoalan identitas akan mengiringi. Ketika satu individu membangun suatu komunikasi dengan individu lain persoalan mendesak yang tidak bisa diabaikan adalah identitas.
9
Cultur Studies
Dalam cultural studies, identitas dipahami sebagai discursive-performative. Yaitu, identitas digambarkan sebagai sebuah praktek diskursus yang memainkan dan memproduksi sesuatu yang disebutkan melalui penggilan (citation) dan reiterasi norma atau konvensi. Identitas menjadi esensial dan hakiki dalam konteks ini sebab kata kunci dalam identitas adalah “produksi”. Nah, pada titik dan momen pengidentifikasian inilah muncul hegemoni, dari satu pihak kepada pihak lain. Secara lugas, satu keadaan yang disebut Antonio Gramsci dalam Selections from Political Writings 1921-1926 (1978), sebagai “hegemoni makna”, yakni proses pemaknaan yang didominasi dan melalui penguasaan kesadaran para “bawahan” oleh penguasa, menjadi tafsir (makna) tunggal yang tak boleh diganggu-gugat “keabsahan” dan “kebenaran”-nya. Di sinilah, penulis mengasumsikan bahwa negara sebagai “penguasa”, berperan dalam melakukan konstruksi identitas. Bahkan, kita dapat melihat bahwa peran negara dalam melakukan konstruksi identitas sangat kuat dan besar dengan berbagai cara. Pengidentifikasian
itu
dapat
berbentuk
pemberian
identitas
berdasarkan
kewargaannegaraan, identitas berdasarkan etnisitas (Jawa, Batak, China, Minang, dan lainlain), identitas berdasarkan agama (Islam, Kristen, Konghucu, dan lain-lain), atau bahkan identitas bangsa Indonesia itu sendiri. Bila kita membaca tulisan Leo Agustino tentang politik identitas semakin jelas terlihat bagaimana negara memainkan perannya yang sangat dominan dalam mengkonstruksi identitas suatu kelompok sosial atau etnis tertentu. Berangkat dari perspektif inilah maka cultural studies (baca: penulis) semestinya, jika bukan harus, mempertanyakan bagaimana dan apa maksud tersembunyi negara sebagai “produser identitas” atau “aktor penentu identitas” dengan memasukkan individu dan masyarakat ke dalam kotak-kotak identitas. Cultural studies semestinya melakukan rekonstruksi-ulang the way the nation-state dalam melakukan konstruksi identitas untuk melihat sejauh mana konstruksi itu dilakukan dengan menggunakan kekuatan hegemoninya. Cultural studies bahkan harus menggugat “keabsahan” dan “kebenaran” nilai-tunggal yang disematkan oleh penguasa terhadap siapa saja. Demikianlah, penulis hendak melihat apakah pelbagai identitas-bentukan itu akan mampu mendorong ke arah multikulturalisme, sebagai wacana yang dicanangkan para penjaga gawang cultural studies dan posmodernisme.
10
Cultur Studies
d. Perspektif Teoritik (Theoretical Perspectives) Berbicara tentang hegemoni negara dengan “perilaku”-nya dalam mengkonstruksi identitas, penulis melihat bahwa pendekatan teoretis yang laik adalah menggunakan pisau analisis Gramsci tentang hegemoni negara, dekonstruksi oleh Derrida, dan multikulturalisme yang dicanangkan Ali Rattansi. Pertama, dengan hegemoni, Gramsci menyatakan bahwa hegemoni adalah kekuasaan yang dicapai melalui suatu kombinasi paksaan dengan kerelaan. Mendasarkan pada sugesti Machiavellian bahwa kekuasaan bisa dicapai melalui paksaan dan tipuan, Gramsci menyatakan bahwa kelas-kelas telah berkuasa memperoleh dominasi bukan dengan kekuatan dan paksaan saja, tetapi juga dengan menciptakan subjek-subjek yang “sukarela” bersedia untuk dikuasai. Lewat hegemoni inilah negara meletakkan dasar-dasar identitas suatu individu atau kelompok. Dengan menggunakan model hegemoni dan kontrahegemoni Gramsci cultural studies berupaya menelisik kekuatan-kekuatan sosial dan kultural yang “hegemonik”, atau yang berkuasa (ruling). Kedua, dengan dekonstruksi Derrida, kita dapat membongkat bangunan yang sudah mapan, mempreteli sebuah konstruksi. hendak mencegah kesatuan, kebenaran, dan pencarian dari menutup diri. Klaim keutamaan, klaim kebenaran, dan penyeragaman adalah awal kekerasan dan kemunafikan. Dan, untuk inilah dekonstruksi menjadi penting sebab ia berupaya melakukan suatu perlawanan terhadap kekerasan, penindasan, penguasaan, dan penyingkiran. Dan, terakhir, “Multiculturalism is the common notion that describes races living in pluralistic harmony. It sees diversity as plurality of identities and as ‘a condition of human existence’. Within this pluralist framework, identity is regarded as the product of an 11
Cultur Studies
assemblage of customs, practices and meanings, an enduring heritage and a set of shared traits and experiences.” Dengan ini, kritik multikulturalisme berupaya untuk membuktikan identities merupakan bentukan hubungan kuasa (power relations). Sebab, identitas sering dijelaskan berhubungan dengan pihak luar dan sang liyan – the Others.
e. Relevansi Perspektif Teoretik Kerangka berpikir Gramscian akan penulis gunakan untuk melihat bagaimana negara lewat kekuasaannya yang hegemonik melakukan konstruksi identitas dengan cara-cara yang cenderung represif. Represif dalam arti negara sesungguhnya memaksakan suatu ideologi tertentu yang tidak bisa diganggu-gugat; “keabsahan” dan “kebenaran” nilai-tunggal. Di sinilah letak relevansi model analisis. Dalam kaitan teoretik Gramscian ini pulalah penulis hendak membaca bahwa melalui pengidentifikasian atau pengotak-kotakan identitas negara sebenarnya tengah menjalankan apa yang disebut Althusser sebagai the ideological State apparatuses (ISAs). Kemudian, penulis juga akan berupaya membongkar segala bangunan struktur ideologis tersebut dengan menggunakan cara pandang yang dekonstruktif. Penulis melihat bahwa segala bentuk pengidentifikasian yang dilakukan oleh negara adalah suatu dominasi dan kekerasan simbolik. Dengan upaya pewacanaan yang didasarkan pada Gramscian’s and Derrida’s approaches, penulis pada akhirnya hendak melakukan suatu rekonstruksi-ulang untuk menawarkan konsep multikulturalisme, sebagaimana yang dicanangkan oleh Ali Rattansi. Yaitu, upaya lokalisasi pelbagai identitas, bagaimanapun juga, seyogyanya diarahkan pada sebuah multikulturalisme yang harmonis.
12
Cultur Studies
f. Karakter Akademik Kajian Budaya Kajian budaya sebagai suatu disiplin ilmu (akademik) yang mulai berkembang di wilayah Barat (1960-an), seperti Inggris, Amerika, Eropa (kontinental), dan Australia mendasarkan suatu pengetahuan yang disesuaikan dengan konteks keadaan dan kondisi etnografi serta kebudayaan mereka. Pada tahap kelanjutannya di era awal abad 21 kajian budaya dipakai di wilayah Timur untuk meneliti dan menelaah konteks sosial di tempattempat yang jarang disentuh para praktisi kajian budaya Barat, antara lain Afrika, Asia, atau Amerika Latin. Secara institusional, kajian budaya menelurkan berbagai karya berupa bukubuku, jurnal, diktat, matakuliah bahkan jurusan di universitas-universitas. Menurut Barker, inti kajian budaya bisa dipahami sebagai kajian tentang budaya sebagai praktik-praktik pemaknaan dari representasi (Barker, 2000: 10). Teori budaya marxis yang menggali kebudayaan sebagai wilayah ideologi yang lebih banyak dijelaskan pada aliran wacana (discourse) dan praktik budaya seperti layaknya media berupa teks-teks (sosial, ekonomi, politik). Chris Barker (2000) mengakui bahwa kajian budaya tidak memiliki titik acuan yang tunggal. Selain itu, kajian budaya memang terlahir dari indung alam pemikiran strukturalis/pascastrukturalis yang multidisipliner dan teori kritis multidisipliner, terutama di Inggris dan Eropa kontinental. Artinya kajian budaya mengkomposisikan berbagai kajian teoritis disiplin ilmu lain yang dikembangkan secara lebih longgar sehingga mencakup potongan-potongan model dari teori yang sudah ada dari para pemikir strukturalis/pascastrukturalis. Sedangkan teori sosial kritis sebenarnya sudah mendahului tradisi disiplin “kajian budaya” melalui kritik ideologinya yang dikembangkan Madzhab Frankfurt. Sebuah kritik yang dimaknai dari pandangan Kantian, Hegelian, Marxian, dan Freudian. Sehubungan dengan karakter akademis, pandangan lain dari Ben Agger (2003) membedakan kajian budaya sebagai gerakan teoritis, dan kajian budaya sebagai mode analisis dan kritik budaya ateoritis yang tidak berasal dari poyek teori sosial kritis, yaitu kritik ideologi (Agger, 2003). Komposisi teoritis yang diajukan sebagai karakter akademis dalam kajian budaya mengekspresikan temuan-temuan baru dalam hal metodologi terhadap cara pemaknaan sebuah praktik-praktik kebudayaan yang lebih koheren, komprehensif, polivocality (banyak suara) dan menegasikan keobjektifan suatu klaim pengetahuan maupun bahasa. Karakter akademis kajian budaya memang sangat terkait dengan persoalan metodologi. Penteorisasian tidak hanya merujuk pada satu wacana disiplin tunggal namun banyak disiplin, maka ini pun yang disebut sebagai ciri khas kajian budaya dengan istilah polivocality. Senada dengan yang disampaikan oleh Paula Sakko (2003), kajian budaya mengambil bentuk kajian yang dicirikan dengan topik lived experience (pengalaman yang hidup), discourse (wacana), text (teks) dan social context (konteks sosial). Jadi, metodologi dalam kajian budaya ini tersusun atas wacana, pengalaman hidup, teks, dan konteks sosial dengan menggunakan analisis yang luas mengenai interaksi antara ‘yang hidup’, yang dimediasi, keberyakinan (agama), etnik, tergenderkan, serta adanya dimensi ekonomi dan politik dalam dunia jaman sekarang (modern/kapitalis). Bagi Saukko, hal yang paling fundamental dalam “kajian budaya”, pertama, ketertarikan dalam budaya yang secara radikal berbeda dari budaya yang ada (high culture to low culture/popular), kedua, analisis dengan kritis budaya yang menjadi bagian integral dari pertarungan dan budaya (teks dan konteks sosial). Hal yang harus dipenuhi dalam memandang konteks sosial adalah sensitifitas pada konteks sosial dan kepedulian pada kesejarahan. 13
Cultur Studies
Sedangkan yang menjadi bagian terpenting dari metodologi kajian budaya dan dianggap good/valid research adalah truthfulness, self-reflexivity, polivocality. Dan, menerapkan sebuah validitas dekonstruktif yang biasa digunakan oleh peneliti pascastrukturalis, yaitu postmodern excess (Baudrillard), genealogical historicity (Foucalt), dan deconstructive critique (Derrida). Pada kerangka bagan yang dibuat Saukko dalam bukunya itu, Truthfullness digambarkan dengan paradigma; ontologi, epistemologi, metapora, tujuan penelitian dan politik yang disandingkan dengan model triangulasi, prism, material semiotic dan dialogue. Self-reflexivity ditempatkan pada jalur seperti yang digunakan teori sosial kritis yang dilandaskan pada kritik ideologi dan peran atas basis kesadaran yang merepresentasikan ruang dialog dan wacana saling bertemu, mempengaruhi, mengaitkan berbagai kepentingan, pola kekuasaan serta konteks sosial dan sejarahnya. Polivocality menyematkan berbagai pandangan yang berbeda (atau suara) dengan cakupan teori-teori yang saling mengisi dan dengan mudah dapat didukung satu sama lain, meski ini membutuhkan ketelitian dalam mengkombinasikan pandangan-pandangan lain agar memberikan kesesuaian bagi karekater akademis Kajian budaya. Paradigma yang digunakan mengambil model triangulasi yang berupaya mengkombinasikan berbagai macam bahan atau metode-metode untuk melihat apakah saling menguatkan satu sama lain. Maka, kajian budaya sangat berpotensi memberikan peluang bagi suatu kajian yang baru dan menarik minat mahasiswa. Validitas (keabsahan) penelitian dalam Cultural Studies yang menuju ‘kebenaran’ (truth) maka yang dipakai adalah triangulation. Paradigms Ontology Epistemology Metaphor Goal of Politics Research Magnifying Truth Bias Triangulation Fixed reality Reflect reality glass Fluid reality Social construction Prism Conveying Pluralist Prisms of reality refracting multiple science and vision realities society Interactive Material/semiotic Prism Creating Egalitarian Material reality construction of diffracting egalitarian and science semiotic reality light realities society Interactive Material/semiotic Dialogue Dialoges Egalitarian Dialogue reality construction of between and pluralist reality multirealities science and society Sumber : Paula Saukko, Doing Research in Cultural Studies, 2003
14
Cultur Studies
g. Tokoh Cultur Studies Roland Barthes dalam Konstelasi Cultural Studies Dengan membicarakan dan mengkaji budaya pop, Storey sekaligus melakukan pemetaan langkap konseptual cultural studies secara umum meski diakuinya sendiri apa yang ditulisnya ini hanyalah sekedar pengantar atau semacam pendahuluan untuk memahami kajian budaya yang lebih menyeluruh dan mendalam. Sejumlah teori, istilah khusus, beberapa contoh analisis, tokoh -tokoh, dan hal-hal yang berkaitan dengan cultural studies dipaparkan secara ringkas. Teori-teori semacam strukturalisme, marxisme, feminisme, poststrukturalisme, feminisme, posmodernisme, poskolonialisme, kulturalisme, ideologi budaya massa, dan sejumlah teori kontemporer, lainnya disajikan dalam bukunya. Juga ada sejumlah teoretikus kontemporer yang dibicarakan, mulai dari Ferdinand de Saussure, Matthew Arnold, Richard Hoggart, Raymond Williams, E.P.Thompson, Stuart Hall, Claude Levi-Strauss, Karl Marx, Antonio Gramsci, Theodor Adorno, Louis Althusser, Laura Mulvey, Janice Radway, Ien Ang, Janice Winship, Roland Barthes, Jacques Derrida, Jacques Lacan, Michel Foucault, Edward Said, Jean- Francois Lyotard, Jean Baudrillard, Fredric Jameson, Pierre Bourdieu dan sejumlah tokoh lainnya. Objek-objek dan praktik-praktik budaya pop yang ditampilkan dalam buku ini pun beragam mulai dari seni lukis karya Andi Warhol, budaya liburan ke pantai, film serial TV seperti Dallas, film-film Hollywood seperti Dance with Wolves maupun Rambo, majalah perempuan, musik rastafarian Bob Marley, kelompok The Beatles, novel dan film Tarzan, novel-novel seperti Heart of Darkness dan Apocalypse Now, dan sejumlah objek serta praktik budaya pop lainnya. Dalam kajiannya yang cukup komprehensif tersebut, Storey menempatkan Roland Barthes dalam subtopik “Strukturalisme dan Pascastrukturalisme”. Sebuah predikat yang tidak mudah untuk dikenakan pada tokoh-tokoh semacam Barthes, Foucault, Derrida ataupun, Baudrillard, mengingat luasnya kajian yang mereka bicarakan dalam sejumlah tulisan-tulisan mereka. Apa yang dilakukan Storey juga mirip dengan sejumlah teoretisi kajian budaya lainnya yang bukunya telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, sebut saja misalnya Christ Barker, Cultural Studies, Teori dan Praktik terbitan Kreasi Wacana, 2005. Roland Barthes di Mata Pembaca Indonesia Di Indonesia, Roland Barthes seringkali dikutip pendapatnya tentang semiotika (semiologi) terutama tentang konsep pemaknaan konotatif atau yang lebih dikenal istilah second order semiotic system. Juga pernyataan Barthes tentang kematian pengarang, atau the dead of the author, seringkali dikutip dengan berbagai ketidakjelasan. Dalam hal ini, kata “author” tidak lagi mempunyai otoritas dalam memberikan interpretasi terhadap karyanya. Pembacalah yang kemudian memberikan interpretasi sesuai dengan horison harapannya. Sayangnya, kata “pengarang” dalam bahasa Indonesia tidak memiliki kedekatan dengan kata ‘otoritas’ dalam konteks penafsiran terhadap karya sastra. Oleh karena itu, menurut Barthes, meski “author” telah mati, tetapi “the writer” tidak mati setelah karya sastra itu dipublikasikan. Writer atau penulislah yang kemudian menikmati royalti dari penerbit karya sastra yang mereka jual kepada pembaca. Penulis jugalah yang kemudian namanya dibicarakan dalam sejumlah kritik atau resensi dalam sebuah media cetak. Dalam konteks ini, Barthes membedakan pengertian kata author dengan writersecara jelas. Barthes tidak hanya sering 15
Cultur Studies
disalahpahami konsep-konsepnya, tetapi juga seringkali dikategorikan sebagai seorang tokoh strukturalisme atau poststrukturalisme dan ahli semiotika. Buku-buku yang membicarakan Barthes terutama dalam bahasa Indonesia, seringkali terbatas dalam kategori-kategori tersebut. Tidak hanya itu, buku- buku berbahasa Indonesia yang khusus berbicara tentang pemikir Prancis yang lahir pada 1915 di Cherbourg, Prancis ini, tidak lebih dari hitungan jari. Sebut saja misalnya: Semiologi Roland Barthes oleh Kurniawan (2001), Barthes, Seri Pengantar Singkat edisi terjemahan tulisan Jonathan Culler (2003), dan Semiotika Negativa karya St. Sunardi (2004). Dalam edisi bahasa Indonesia, karya-karya Barthes atau pembicaraan mengenai Barthes tidak lebih banyak dibandingkan pemikir Prancis lain yang merupakan sahabat sekaligus rival intelektualitasnya, yakni Michel Foucault. Buku Barthes yang berjudul Mitologi (terjemahan dari Mythology yang diterbitkan Kreasi Wacana, 2005) muncul belakangan setelah sejumlah karya Foucault terlebih dahulu dikenal pembaca Indonesia. Kedua pemikir asal Prancis ini, bersama dua rekan lainnya, Lacan dan Claude Lévi-Strauss sering dikategorikan sebagai empat pemikir utama kontemporer asal Prancis yang tidak hanya terkenal di negerinya sendiri tetapi telah menjadi trend pemikiran dunia. Pada akhir 1960- an, mereka seringkali dicitrakan sebagai fashion strukturalis, bahkan mereka dikarikaturkan oleh Maurice Henry tengah berdiskusi di rerumputan dengan mengenakan baju rumput.Dari buku-buku di atas, hanya dua judul yang terakhir yang mengupas karya-karya Barthes secara menyeluruh. Buku Kurniawan lebih mengupas teoriteori Barthes dalam kajian semiotika. Dalam buku Culler dan St. Sunardi, tampaklah bahwa Barthes seorang pemikir yang kaya warna, tokoh penting abad XX dari Prancis. Culler bahkan menyebut Barthes sebagai manusia yang terbagi karena dia memiliki sejumlah keahlian dalam berbagai bidang, ia adalah sejarawan sastra, mitolog, ahli semiotika, strukturalis, seorang hedonis, penulis, dan manusia huruf. Profesor Modis Dari sekian kepakaran Barthes, dia juga seorang tokoh cultural studies yang pada awal 1950an, ketika kajian ini belum mapan dan seringkali dianggap remeh atau dipandang sebelah mata, telah membahas praktik-praktik budaya massa. Apa yang dilakukan Barthes dalam membicarakan praktik budaya kontemporer seperti yang terdapat dalam bukunya Mythologies pada 1957, Système de la Mode atau The Fashion System pada 1967, dan La Chambre Claire atau Camera Lucida pada1980, seringkali dianggap sebelah mata oleh kalangan intelektual lain. Hal ini juga dilakukan pula oleh Foucault. Konon, dalam proses seleksi kandidat profesor pada tahun 1975, beredar rumor sinis tentang diri Barthes di kalangan sejumlah profesor. Menurut St. Sunardi (2004:2-3), rumor tersebut menyangkut kepantasan seorang Barthes untuk menduduki kursi profesor penuh wibawa di Collège de France, karena Barthes dikenal sebagai seorang akademisi yang terlalu fashionable atau modis. Image ini memang melekat pada Barthes karena tulisan-tulisannya hanya berupa esai bukan buku-buku yang tebal dan tema yang diangkatnya pun kebanyakan seputar budaya pop. Barthes memang kemudian dikenal dengan predikat Profesor Modis.Menghadapi rumor tersebut, orang yang berada dalam posisi paling sulit yaitu Foucault. Karena posisinya di Collège de France tersebut, Foucault harus mewawancarai Barthes dan memberikan penilaian pada dewan profesor. Barthes adalah sahabat lama yang telah dikenal Foucault pada 1950-an. Dalam perjalanan waktu, persahabatan ini “retak”, berubah menjadi perang dingin. Yang tersisa adalah persaingan intelektual yang muncul dalam berbagai polemik. Masyarakat akademik pun mengetahui persaingan itu. Pada saat itu mereka “harus” bertemu, Barthes 16
Cultur Studies
datang sebagai seorang pelamar kandidat profesor baru. Foucault rupanya panik. Secara psikologis ia tidak mempunyai keberanian yang cukup untuk bertemu dan melakukan wawancara dengan “pesaing intelektualnya”. Mitos Masa Kini Apa yang dilakukan Barthes dalam analisisnya terhadap sejumlah fenomena budaya pop seperti dalam Mythologies, The Fashion System, ataupun Camera Lucida, memang tidak terkait dengan apa yang dilakukan oleh Hoggart maupun Williams di Inggris. Bahkan Barthes menulis kajian terhadap budaya massa lebih awal, yakni pada tahun 1954-1956 yang secara reguler dia tulis untuk sejumlah media yang kemudian diterbitkan menjadi buku dengan judul Mythologies; dibandingkan tulisan -tulisan Hoggart maupun Williams untuk The Birmingham Center for Contemporary Cultural Studies. Tulisan Hoggart yang berjudul The Uses of Literacy (tentang kegelisahan anak-anak muda terutama kelompok “the juke-box boys”), yang dianggap sebagai tonggak school of thought kajian budaya di Inggris, diterbitkan pada 1957. Oleh karena itu, Barthes dapat digolongkan sebagai salah satu tokoh cultural studies dari kutub pemikir Prancis selain dari Inggris yang seringkali dikutip sebagai cikal bakal berdirinya kajian budaya ini. Mythologies Buku Barthes yang berjudul Mythologies terdiri atas dua subbab, yakni: (1) “Mythologies”, dan 2)“Myth Today”. Jangan berharap kalau dalam buku ini Barthes membicarakan dan mengulas tokoh-tokoh mitologi Yunani atau Romawi seperti Zeus dan dewa-dewa Olympus lainnya, Hercules dan hero-hero lainnya, ataupun rentetan Perang Troya sebagaimana dikisahkan dalam Iliad dan Odiseus yang sangat dikenal tidak hanya oleh masyarakat Eropa tetapi juga di belahan bumi lainnya termasuk di Indonesia. Barthes sama sekali tidak menyinggung peristiwa maupun tokoh mistis dan legendaris tersebut. Pada bagian pertama buku Mythologies, Barthes mengungkapkan topik-topik kontemporer semacam dunia gulat, romantisme dalam film, anggur dan susu, irisan steak, wajah Garbo, otak Einstein, manusia Jet, masakan ornamental, novel dan anak- anak, mainan (toys), mobil Citroën, plastik, fotografi, tarian striptease, dan topik-topik pop lainnya. Sebagaimana dinyatakan dalam pengantarnya pada cetakan pertama (1957), Barthes menyatakan bahwa tulisan-tulisannya dalam buku ini merupakan sejumlah esai tentang topiktopik masa itu yang dia tulis setiap bulan untuk sejumlah media massa. Topik-topik yang menarik perhatiannya ini, tidak lain merupakan refleksi atas mitos-mitos baru masyarakat Prancis kontemporer. Lewat berbagai analisisnya tentang peristiwa-peristiwa yang ditemuinya dalam artikel surat kabar, fotografi dalam majalah mingguan, film, pertunjukan, ataupun pameran, Barthes mengungkapkan sejumlah mitos-mitos modern yang tersembunyi di balik semua hal itu. Mitos inilah yang oleh Barthes disebut sebagai second order semiotic system, yang harus diungkap signifikansinya. Mitos merupakan salah satu type of speech. Jabarannya mengenai konsep mitos-mitos masa kini sebagai kajian sistem tanda dibicarakan pada subbab yang kedua yang berjudul “Myth Today”.
17
Cultur Studies
Fashion Dalam buku The Fashion System, Barthes membicarakan panjang lebar mengenai dunia mode. Sebagaimana bukunya yang terdahulu, dalam buku ini Barthes juga membicarakan operasi strukturpenanda (signifier) mode, struktur petanda (signified)-nya, dan struktur sign atau signifikansinya. Memang kajian mode atau fashion Barthes tidak terlepas dari bidang semiotika yang selama ini dikembangkannya. Pada salah satu kesimpulannya mengenai tata busana ini, Barthes menyatakan sebagai berikut. “... in the West, fashion tends to become a mass phenomenon, precisely insofar as it is consumed by means of a mass-circulation press (whence the importance and, as it were, the autonomy of written fashion), the maturity of the system is thus adopted by mass society according to a compromise. Fashion must project the aristocratic model, the source of its prestige: this is pure fashion, but at the same time it must represent, in a euphoric manner, the world of its consumers by transforming intra-worldly functions into signs (work, sport, vacations, seasons, ceremonies): this is naturalized fashion, whose signifieds are named. Whence its ambiguous stastus: it signifies the world and signifies itself, it constructs it self here as a program of behavior, and the as a luxurious spectacle (Barthes, 1983a:292-293).” Dunia mode merupakan proyek model kaum aristokrat sebagai salah satu bentuk atau wujud pretise. Pada perkembangan berikutnya, model pakaian seseorang juga harus disesuaikan dengan fungsinya sebagai tanda, yang membedakan antara pakaian untuk kantoran, olah raga, liburan, berburu,upacara-upacara tertentu, bahkan untuk musim-musim tertentu seperti pakaian musim dingin, musim semi, musim panas ataupun musim gugur. Manusia pengguna pakaian yang mengikuti trend akan mengejar apa yang tengah menjadi simbol status kelas menengah atas. Yang tidak mengikuti arus dunia mode akan dikatakan manusia yang tidak fashionable alias ketinggalan mode. Tata busana tidak lagi menjadi sekedar pakaian tetapi juga telah menjadi mode, menjadi peragaan busana, menjadi sebuah tontonan yang memiliki prestisenya tersendiri, menjadi simbol statuskehidupan. Hal ini tidak hanya terjadi di dunia Barat saja, tetapi juga tengah melanda Indonesia. Barthes tidak salah membidik salah satu aspek ini, yakni mode, sebagai salah satu kajiannya, mengingat Parismerupakan kiblat mode dunia.
Camera Selain bicara tentang mode, Barthes juga berbicara tentang foto, khususnya tentang foto-foto dalam media massa dan iklan. Hal ini diungkapkannya dalam dua artikelnya, “The Photographic Message” pada 1961 dan “Rethoric of the Image” juga pada 1961. Lewat dua artikelnya ini, Barthes menguraikan makna- makna konotatif yang terdapat dalam sejumlah foto dalam media massa dan iklan. Foto sebagai salah satu sarana yang sanggup menghadirkan pesan secara langsung (sebagai analogon atau denotasi) dapat meyakinkan seseorang (pembaca berita atau iklan) bahwa peristiwa tersebut sudah dilihat oleh seseorang, yakni fotografer. Akan tetapi, di balik peristiwa tersebut, ternyata foto juga mengandung pesan simbolik (coded-iconic message) yang menuntut pembacanya untuk menghubungkannya dengan “pengetahuan” yang telah dimiliki sebelumnya.Di sejumlah media massa Indonesia pada tahun 1998, ketika Presiden Soeharto menandatangani LoI dengan IMF, tampak Camdesus tengah memperhatikan Soeharto yang tengah membubuhkan tanda tangan. Wakil IMF itu berdiri mengawasi dengan posisi tangan bersedekap. Sebagai analogon atau makna denotasi, foto ini hanya menyatakan telah terjadi penandatangan nota persetujuan antara RI yang diwakili Soeharto dengan IMF 18
Cultur Studies
yang diwakili Camdesus. Akan tetapi, posisi tangan Camdesus dan caranya memandang Soeharto membubuhkan tanda tangan secara konotatif memaknakan dia telah menaklukkan seorang pemimpin yang telah 32 tahun berkuasa. Contoh-contoh analisis semacam inilah yang dikemukakan Barthes dalam analisisnya tentang sejumlah foto. Salah satunya tentang seorang tentara berkulit hitam yang mengenakan seragam militerPrancis yang tengah memberikan penghormatan militer, matanya terpancang pada bendera nasional. Foto ini menjadi sampul dari majalah Paris-Match. Dalam analisisnya, Barthes menyatakan bahwa foto itu ingin menyatakan Prancis sebagai sebuah negara besar, tempat para putranya, tanpa diskriminasi warna kulit, dengan penuh setia, melayani bangsa di bawah kibaran benderanya. Foto itu merupakan konter atas para pencela kolonialisme (Culler, 2003:52). Seorang fotografer dalam memotret meringkali memperhatikan pose, objek yang dipilihnya, logo-teknik, dan juga sejumlah manipulasi demi tercapainya apa yang hendak “ditulisnya”. Hal ini seringkali ditemukan dalam sejumlah media cetak, terlebih lagi pada iklan yang lebih menekankan kekuatan foto pada aspek-aspek daya tariknya sebagai sarana persuasif yang seringkali memanfaatkan tema-tema keintiman, seks, kekhawatiran, dan idola (St. Sunardi, 2004:157- 158). Hanya dalam buku Camera Lucida, Barthes tidak memfokuskan pada foto -foto dalam media massa dan iklan tetapi memfokuskan kajiannya pada koleksi foto-foto pribadinya. Berbeda dengan pendekatannya pada dua artikelnya pada 1961 yang lebih memusatkan analisisnya pada semiotik atas foto sebagai produk budaya, dalam Camera Lucida, Barthes menyebutnya dengan pendekatan fenomenologi sinis. Dalam memandang sebuah foto, dibutuhkan sebuah pengalaman, tapi bukan sembarang pengalaman, melainkan pengalaman seseorang yang mempunyai kemampuan untuk membahasakan secara indah. Memadang foto merupakan ziarah menuju jati dirinya yang melewati tahap eksplorasi, animasi, dan afeksi. Pengalaman- pengalaman inilah yang menjadi ukuran Barthes untuk menilai kualitas foto, karena tidak setiap foto membuat kita terpaku pada satu titik (St. Sunardi, 2004:166).
19
Cultur Studies
Daftar Pustaka
20
http://tamamruji.blogspot.com/2011/11/apa-itu-cultural-studies.html http://sosbud.kompasiana.com/2010/07/21/konsep-budaya-dalam-kajian-budayacultural-studies-200323.html http://oliviadwiayu.wordpress.com/2007/01/11/cultural-studies/ http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Dian%20Swandajani,%20SS.,M.Hum./Toko h%20Cultural%20Studies%20Perancis-Roland%20Barthes.pdf
Barthes, Roland. 1983. Mythologies (translated by Annette Lavers). New York: Hill and Wang. -------------.1983a . The Fashion System (translated by Matthew Ward and Richard Howard).New York: Hill and Wang. -------------. 1981. Elements of Semiology (translated by Annete Lavers and Colin Smith). New York: Hill and Wang. Budianta, Melani. 2002. “Teori Sastra Sesudah Strukturalisme,” Bahan Pelatihan Teori dan Kritik Sastra. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Universitas Indonesia. Culler, Jonathan. 2002. Barthes, Seri Pengantar Singkat (terjemahan Ruslani). Yogyakarta: Jendela. Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthes. Magelang: Indonesiatera. Mudhofir, Ali. 2001. Kamus Filsuf Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Storey, John. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop, Memetakan Lanskap Konseptual Cultural Studies. Yogyakarta: Qalam. Sunardi, St. 2004. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Buku Baik.
Cultur Studies