KONSEP PENDIDIKAN PERSPEKTIF IBNU MASKAWAIH (Telaah Terhadap Pendidikan Remaja dan Anak-anak Khususnya)
Bahan Diskusi dalam Seminar Intern Fakultas Tarbiyah Tentang Pendidikan Islam Progresif Rabu, 7 Mei 2003
Oleh : Fitroh Hayati, S.Ag.
Panitia Seminar Intern
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG TAHUN AKADEMIK 2002-2003
KONSEP PENDIDIKAN PERSPEKTIF IBNU MASKAWAIH (Telaah Terhadap Pendidikan Remaja dan Anak-anak Khususnya) Fitroh Hayati*)
PENDAHULUAN Ibnu maskawaih adalah seorang yang sangat karismatik. Abu Hayyan melukiskan secara garis besar sifat-sifat kepribadiannya, bahwa cara beliau bertutur kata sangat lembut, gampang dicerna, mengandung makna-makna sangat mashur dan sangat hatihati. Karya-karyanya sangat banyak sekali meliputi berbagai bidang ilmu. Diantara karyanya adalah Tajarib Al-Umam, Ta`qub Al-Himam, Thaharat Al-Nafs, Adab Al-`Arab wa Al-Firs, Al-Fawz Al-Ashgar fi Ushul Al-Dinayat, Al-Fawz Al-Akbar (dalam bidang Etika) Kitab Al-Siasat, Mukhtar Al-Asy`ar, Nadim Al-Farid, Nuzhat Namah `Alaiy, Jawidan Khird, Tartib Al-Sa`adat (dalam bidang etika, ditulis dengan menggunakan bahasa Persia), Al-Adwiyah Al-Mufridah (tentang obat-obatan yang bermanfaat dalam bidang kedokteran), Al-Asyribah (mengenai minuman). Kendati disiplin ilmunya meliputi ilmu kedoteran, bahasa, sejarah dan filsafat, tetapi beliau lebih popular sebagai filsuf akhlak (al-falsafah al`amaliyyah) daripada filsuf ketuhanan (al-falsafah al-nazhariyyah al-Illahiyyah). Agaknya ini dimotivasi oleh situasi masyarakat yang kacau di masanya, sebagai akibat minuman keras, perzinahan, hidup glomour, dan lain-lain. Salah satu buku tentang akhlak/moral yang dikarang oleh beliau adalah Tahzib alAkhlak. Buku ini banyak merujuk pada karya-karya para filosof kalsik, seperti Aristoteles, Zeno, Galen, dan filosof-filosof lain yang menulis buku tentang etika. Di dalam buku tersebut beliau mengemukakan enam topik mengenai etika. Diantaranya tentang prinsi-prinsip etika, karakter dan kehalusan budi bahasa, kebaikan dan kebahagiaan, keadilan, cinta dan persahabatan dan kesehatan jiwa. Adapun yang menjadi pembahasan pada makalah ini adalah tentang Pendidikan remaja dan anak-anak khususnya yang merupakan bagian dari topik kehalusan budi bahasa.
karakter dan
PEMBAHASAN A. Riwayat Hidup Ibnu Maskawaih Nama lengkapnya adalah Abu Ali Al-Khozin Ahmad Ibnu Muhammad Bin Ya`kub lebih dikenal dengan nama Ibnu Maskawaih. Lahir di Ray pada sekitar tahun 320 Hijri, menetap di Isfahan, dan meninggal dunia di kota ini pada tahun 421 Hijri bertepatan dengan tahun 1030 Masehi. Menekuni bidang kimia, filsafat dan logika untuk masa yang cukup lama. Kemudian menonjol dalam bidang sastra, sejarah dan kepengarangan. Pengaruhnya sangat besar sekali di Ray. Beliau terkenal dengan julukan Al-Khazin (Pustakawan), karena dipercaya untuk menangani buku-buku Ibnu Al~Amid dan `Adhua Al-Daulah bin Suwaihi. Disini ia mendapat kesempatan untuk memanfaatkan perpustakaan istana selama hampir tujuh tahun, sehingga besar kemungkinan disinilah beliau mempelajari filsafat Yunani dari buku-buku yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Setelah itu beliau mengkhususkan diri mengabdi pada Baha` Al-Daulah AlBuwaihi yang memberikan kedudukan tinggi sangat karismatik. Ibnu Maskawaih dikenal sebagai seorang tokoh filsafat Ethika Islam Teoritis yang kemudian dikembangkan oleh Al Ghazali yang menciptakan Etika Islam Praktis (Akhlak Amaliyah).
B. POKOK-POKOK PIKIRAN FILSAFAT IBNU MASKAWAIH Sebagaimana filosof Islam lainnya, Ibnu Maskawaih juga dipengaruhi oleh
Plato,
Ariestoteles
dan
Galieneus.
Ibnu
Maskawaih
berusaha
mengkompromikan antara pendapat Plato, Ariestoteles dan Galieneus dengan ajaran-ajaran Islam. Ibnu Maskawaih juga merintis jalan baru yang boleh dikatakan berbeda dengan jalan yang ditempuh orang di dalam mempelajari filsafat. Untuk mencapai filsafat orang tidak harus memulai dengan mempelajari ilmu Mantiq (Logika) dan Ilmu Pengetahuan lainnya. Tetapi tinjauan filsafatnya lebih mengutamakan
jiwa/phsychologi. Oleh karena itu dia lebih dikenal sebagai perintis fisafat akhlak dalam Islam. C. FILSAFAT AKHLAK/MORAL Menurut Ibnu Maskawaih, moral atau akhlak adalah suatu sikap mental (halun li al nafs) yangm mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa berfikir dan pertimbangan. Sikap mental ini terbagi dua; ada yang berasal dari watak dan ada pula yang berasal dari kebiasaan dan latihan. Dengan demikian, sangat penting menegakkan akhlak yang benar dan sehat. Sebab dengan landasan yang begitu akan melahirkan perbuatan-perbuatan baik tanpa kesulitan. Akhlak terpuji sebagai manisfestasi dari watak tidak banyak dijumpai. Yang terbanyak dijumpai di kalangan manusia adalah mereka yang memiliki sifat-sifat kurang terpuji (asyrar) karena watak. Karena itu kebiasaan atau latihanlatihan dan pendidikan dapat membantu seseorang untuk memiliki sifat-sifat terpuji tersebut, sebaliknya juga akan membawa orang kepada sifat-sifat tercela. Ibnu Maskawaih menolak pendapat sebagaian pemikir Yunani yang mengatakan akhlak yang berasal dari watak tidak mungkin berubah. Ibnu Maskawai menegaskan bahwa
akhlak itu dapat berubah
terutama melalui pendidikan.
Dengan demikian, dijumpai di tengah masyarakat ada orang yang memiliki akhlak yang dekat kepada malaikat dan ada pula yang lebih dekat kepada hewan. Pemikiran seperti ini sejalan dengan ajaran Islam. Al-Qur`an dan hadits sendiri mengatakan secara gamlang bahwa kedatangan Nabi Muhammad adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Hal ini terlihat dari salah satu tujuan melakukan ibadah adalah untuk pembentukan watak yang pada gilirannya akan memperbaiki tingkah laku masyarakat dan pribadi muslim. Bahkan akhlak sering dijadikan ukuran sebagai keberhasilan seseorang dalam mengamalkan ajaran Islam yang dianutnya.
D. PENDIDIKAN REMAJA DAN ANAK-ANAK KHUSUSNYA Akhlak merupakan suatu keadaan jiwa. Keadaan ini menyebabkan jiwa bertindak tanpa dipikir atau dipertimbangkan secara mendalam. Keadaan ini ada dua jenis. Yang pertama, alamiah dan bertolak dari watak. Misalnya ada orang
yang merasa ketakutan lantaran mendengar suatu berita. Yang kedua, tercipta melalui kebiasaan dan latihan. Pada mulanya keadaan ini terjadi karena dipertimbangkan dan dipikirkan, namun kemudian melalui praktik terus menerus, menjadi akhlak. Tingkatan manusia dalam menerima tatanan moral yang baik
yang
disebut akhlak banyak sekali. Kita dapat saksikan perbedaan-perbedaan ini, khususnya pada anak-anak. Karena akhlak mereka muncul sejak awal pertumbuhan mereka. Kekuatan yang tampak
pertama kali pada diri manusia, ketika untuk
pertama kalinya manusia dibentuk, adalah suatu kekuatan yang membawa manusia menyukai makanan, yang menjadikan dia bertahan hidup. Hal itu terlihat melalui nalurinya sejak dini untuk mereguk air susu dari sumbernya, yaitu dari payudara ibunya tanpa diajari. Bersamaan dengan ini, dia lalu memiliki kekuatan untuk memintanya melalui suara, yang merupakan sarananya dan tanda untuk memperlihatkan kesenangan atau kesedihan. Kekuatan ini lalu berkembang. Dan menyebabkannya
terus
menghendaki
perkembangan
kekuatan
itu
dan
menggunakannya dalam mendapatkan bermacam-macam kesenangan. Setelah ini terjadi lagi pada dirinya satu kekuatan lain yang digunakannya untuk memuaskan kesenangan itu melalu organ-organ yang terbentuk pada dirinya, dan ini diikuti kecenderungan
untuk
melakukan
perbuatan-perbuatan
yang
memberikan
kesenangan tersebut. Setelah itu, melalui pancaindera, terjadi pada dirinya kekuatan imajinasi, dan dia mulai menginginkan gambaran-gambaran yang terbentuk dalam kekuatan imajinasi itu. Kemudian muncul padanya kekuatan amarah, yang dengan kekuatan ini dia mencoba menolak apa-apa yang menyakitkannya, dan menyingkirkan apa saja yang dapat menghalanginya untuk memperoleh sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya. Kalau dia sanggup membalas apa yang menyakitinya itu, dia akan segera membalasnya. Kalu tidak, dia akan mencari pertolongan orang lain atau meminta bantuan orang tuanya dengan cara merengek atau menangis.
Setelah ini terjadi berangsur-angsur dalam dirinya kecenderungan untuk melihat tingkah laku yang khas manusia, hingga sampailah dia pada kesempurnaannya dalam hal ini. Pada tahap inilah dia disebut makhluk berakal. Kekuatan-kekuatan ini sangat banyak jumlahnya, dan sebagian penting bagi keberadaan sebagian lainnya, sampai seseorang pada titik akhir, yakni keinginan manusia sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh manusia. Ciri pertama kekuatan yang terjadi pada diri manusia ini adalah perasaan malu, yakni satu kondisi dimana dia merasa takut kalau-kalau berbuat buruk. Oleh sebab itu, menurut hemat kami, tanda yang pertama ada pada anak kecil, dan sekaligus tanda bahwa dia mempunyai akal pikiran, adalah rasa malu. Rasa malu ini menunjukkan bahwa dia telah mulai mengetahui apa-apa yang buruk. Lalu dia akan berusaha menghindari dan bahkan khawatir kalau-kalau dia terperosok ke dalam keburukan tersebut. Kalau anda lihat anak kecil, lalu anda dapati dia malu-malu, dengan kepalanya ditundukkan ke bawah, takut dan tak berani menatap wajah anda, maka itulah bukti pertama bahwa dirinya telah mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Rasa malunya itu tak lain adalah pengekangan diri yang terjadi lantaran khawatir kalau-kalau ada keburukan yang bakal tampak dari dirinya. Ini pada gilirannya tak lebih daripada memilih yang baik dan menjauhi yang buruk melalui penilaian dan nalarnya. Jiwa seperti ini siap menerima pendidikan dan cocok untuk dipupuk, serta tak boleh diabaikan atau dibiarkan bergaul dengan orang yang berakhlak buruk yang bakal merusak jiwanya. Pujilah dia di hadapannya sekiranya tampak dari dirinya perilaku yang baik. Sebaliknya buat agar dia risih terhadap sesuatu yang tercela, yang muncul dari dirinya. Salahkan bila dia makan, minum, dan berpakaian berlebihan, hendaknya dia mendengar pujian bila dapat menahan diri, celalah bila rakus terhadap makanan khususnya dan kenikmatan-kenikmatan jasmani lainnya pada umumya. Setelah itu dia harus dididik agar dapat memperhatikan orang lain dalam hal makanan dan agar puasa dengan yang wajar dan sederhana.
1. Pakaian Anak harus diberitahu bahwa orang yang paling cocok dengan pakian yang warna warni penuh aksesoris hanya perempuan yang berhias demi tampil baik dan menarik di depan laki-laki dan di mata pelayan laki-laki dan perempuan. Sesungguhnya warna pakian yang paing baik untuk orang terhormat adalah putih atau yang serupa dengan itu, sehingga tampak seperti layaknya orang yang mulia. Sejak awal pertumbuhannya, kebanyakkan perbuatannya buruk, seperti berbohong, atau mengatakan apa yang dia sendiri belum pernah mendengar atau melihat, mencuri, mengadu domba, berkelahi, membangga-banggakan sesuatu yang paling berguna buat dirinya atau apa saja yang dipakainya. Dari situlah harus kita terapkan akhlak yang baik, sunnah Rasulullah saw. Pendidikan yang baik, hingga dia dapat berubah, dari kondisi di atas ke kondisi yang lebih baik lagi. Suruh dia meng hapal tradisi-tradisi yang bai dan syair-syair yang bias membuatnya terbiasa melakukan akhlak terpuji, hingga dengan menghapal, belajar, dan membahasnya dapat terpatri pada dirinya. Upayakan supaya dia jangan sekali-sekali memilih syair-syair cengeng, murahan yang cuma melontarkan kata-kata buaian yang melalaikan, dan jangan sampai mengenal penulis-penulisnya dan ungkapan-ungkapan palsu yang oleh penulisnya ditampilkan seakan itu suatu bentuk keangunan dan kemuliaan. Karena syair seperti itu bakal merusak jiwa anak dan remaja. Hormati dan pujilah sekiranya dia menunjukkan moral dan perilaku yang baik. Jika perbuatannya bertolak belakang maka janganlah cerca dia.Juga jangan katakan terus terang padanya bahwa dia telah melakukan perbuatan buruk. Purapuralah tidak memperhatikannya, seolah-olah dia tidak sengaja melakukan hal itu atau katakan saja sebetulnya hal itu bukan kehendaknya. Ini khususnya diperlukan bila anak menutup-nutupinya atau bersikeras menyembunyikan dari mata umum apa yang telah dilakukannya itu. Kalupun kemudian dia melakukannya lagi, maka diam-diam celalah, tunjukkan betapa fatal apa yang telah dia lakukan itu, dan peringatkan agar tidak melakukannya lagi. Karena kalau kita terbiasa mencela dan membeberkan kesalahannya secara terang-terangan, maka secara tidak langsung
kita
telah
menyeretnya
menyudutkannya
untuk
dalam
keburukan.
mengulangi
lagi
Tanpa
perbuatan
sengaja
kita
telah
buruk
yang
telah
dilakukannya. Akibatnya dia tidak mau lagi mengindahkan nasehat dan cercaan kita karena memanjakan kesenangan buruk. Sementara kesenangan buruk banyak jumlahnya.
2. Akhlak di meja makan dan akhlak lainnya. Mendidik jiwa harus dimulai dengan membentuk sikap makan yang baik. Pertama-tama harus ditegaskan bahwa tujuan makan adalah demi kesehatan, bukan demi kenikmatan semata-mata, dan bahwa seluruh makanan yang diciptakan dan disediakan untuk kita semata-mata agar badan kita sehat dan demi kelangsungan hidup kita. Makanan harus dianggap obat, yang menyembuhkan rasa lapar dan nyeri yang diakibatkan lapar. Dengan demikian, dia akan merasa puas dengan makan sekedarnya. Bila dia duduk bersama orang lain, dia bukan yang pertama makan, atau terus menerus memperhatikan bermacam-macam makanan tetapi akan puas dengan makanan di dekatnya. Latihlah supaya dia membiasakan diri memberi orang lain makanan yang ada di dekatnya walaupun itu lebih disukainya. Didiklah agar dia menekan hawa nafsunya, hingga dia puas dengan makanan yang sedikit dan rendah nilainya sekalipun, dan kadang-kadang makan roti kering saja. Sikap seperti ini jika dimiliki orang miskin terpuji tetapi bahkan lebih terpuji bila diperlihatkan oleh orang kaya. Jauhi arak dan jenis-jenis minuman yang memabukkan, karena arak dan sejenisnya ini
sangat berbahaya bagi kesehatan tubuh. Juga membuat
peminumnya cepat marah, ceroboh, senang berbuat buruk. cegahlah anak jangan sampai dia berada di antara orang-orang yang suka mabuk minuman keras. Biarkan dia berada diantara banyak orang soleh dan mulia. Hal ini dimaksudkan agar dia tidak mendengar perkataan keji dan melihat perbuatan rendah mereka. Biasakan anak untuk sering berjalan, bergerak, menunggang kuda dan olahraga. Jangan boleh dia membanggakan harta orang tuanya, makanannya, sandangnya dan lainnya. Jangan boleh sombong dan keras hati. Akan tetapi, upayakan dia agar menundukkan kepalanya pada setiap orang dan menghormati mereka yang
bergaul dengannya. Kalau seorang anak memiliki kehormatan atau kekuasaan, yang berasal dari keluarganya, jangan boleh dia membuat marah orang lain, menindas teman-temannya, menginjak-injak harga diri kawan-kawannya, atau menganggap bahwa harta tetangganya dapat seenaknya diambil dan dikuasainya, dimana dan kapan saja. Biasakan dia untuk diam, untuk tidak banyak bicara, dan hanya menjawab pertanyaan. Kalau bersama-sama orang yang lebih dewasa, hendaknya dia mendengarkan kata-katanya, dan tetap diam saja di hadapannya. Dia tidak boleh berbicara kotor, hina, sumpah serapah, menuduh yang bukan-bukan, dan bicara tidak senonoh. Biasakan dia dengan kata-kata yang baik dan anggun, bermanis muka bila bertemu dengan orang lain. Coba usahakan dia belajar melayani diri sendiri, gurunya, atau orang lain yang lebih dewasa dari dia. 3. Manfaat mendidik anak-anak Sikap baik yang telah disebutkan di atas sangat bermanfaat bagi anakanak, juga bagi orang dewasa. Bagi anak kecil hal ini lebih bermanfaat. Karena sikap yang seperti ini mendidik anak untuk cinta pada kebajikan dan kemuliaan serta untuk tumbuh berkembang dengan kebajikan dan kemuliaan tersebut. Akibatnya dia mudah menjauhi kehinaan dan keburukan, dan mudah mengikuti ajaran filsafat dan apa yang digariskan oleh syariat agama dan sunnah. Dia akan terbiasa mengekang diri dari rayuan hawa nafsunya yang senantiasa menggodanya, serta biasa menjaga diri agar tidak hanyut oleh kenikmatan, atau banyak memikirkannya. Sikap yang baik ini akan membawanya kederajat filsafat yang tinggi, sekaligus memandunya menuju martabat tinggi, seperti dekat kepada Allah Ta`ala dan dekat dengan para malaikat, dan juga memperoleh kondisi yang baik di dunia, hidup sejahtera, memperoleh nama baik, sedikit musuh, banyak dipuji, dan banyak orang yang ingin bersahabat dengannya, khususnya dengan mereka yang soleh.Jika anak telah melampaui derajat ini dan memahami tujuan hidup manusia berikut akibat-akibat perbuatannya, maka dia akan memahami bahwa tujuan akhir dari apa yang diinginkan manusia-seperti harta, budak, kendaraan, kuda dan lain sebagainya- adalah mendapatkan kesejeahteraan tubuh, menjaga kesehatan tubuh, dan menjaga keseimbangannnya untuk waktu tertentu,
menjaga agar tidak kena penyakit atau mati mendadak, memperoleh karunia Allah SWT, dan bersiap sedia menyongsong akhirat dan kehidupan kekal. Anak juga akan sadar bahwa kenikmatan-kenikmatan jasmani pada hakikatnya adalah keterlepasan dari penderitaan dan kelelahan. Kalau anak tahu hal tersebut di atas, dan tahu kebenarannya, dan terbiasa dengan hal tersebut melalui praktek yang terus menerus, maka latihlah mereka dengan praktek-praktek yang membangkitkan panas bawaan, menjaga kesehatan, menghilangkan rasa malas, mengikis kebodohan, membangkitkan semangat dan jiwa. Cara-cara mendidik anak yang telah disebutkan di atas adalah cara yang tepat dan terpuji dalam mendidik anak-anak.Jika anak tumbuh dewasa dengan cara atau bentuk pendidikan yang bertolak belakang dengan cara pendidikan yang disebut di atas, maka tidak bias diharapkan lagi untuk berhasil dan janganlah berharap untuk dapat meluruskannya. Karena jiwa berpikirnya telah menjadi budak jiwa binatang dan jiwa amarahnya, dan sibuk berupaya memuaskan hawa nafsunya. Karena mustahil mendisiplinkan hewan buas yang tidak tanggap terhadap pelatihan, demkian pula tidak mungkin dapat mendidik orang yang sudah tumbuh berkembang dengn cara ini, yang terbiasa dengan cara ini, kecuali dia menyadari kejinya perilakunya, menyalahkannya, berniat untuk melepaskan diri darinya dan bertobat. Orang seperti ini biasa diharapkan dapat meninggalkan akhlak rendah menuju akhlak mulia, setapak demi setapak, dengan bertobat, bergaul dengan orang-orang baik dan arif dan menekuni filsafat.
E. TELAAH TERHADAP
PEMIKIRAN IBNU MASKAWAIH TENTANG
PENDIDIKAN REMAJA DAN ANAK-ANAK KHUSUSNYA
1. Pendidikan Moral Bila kita menyimak konsep Ibnu Maskawaih tentang pendidikan remaja dan anak-anak khususnya yang telah dikemukakan di atas, maka kita dapat melihat bagaimana beliau sangat mengagungkan moral diatas pendidikan yang lainnya. Menurut beliau pendidikan yang harus pertama diajarkan pada anak sejak dini adalah
pendidikan moral. Karena dengan moral anak dapat mempelajari benar dan salah. Tanggung jawab pendidikan moral anak yang pertama-tama adalah orang tua. Hal ini senada dengan sabda Nabi saw. : “Muliakanlah anak-anak kalian dan didiklah mereka dengan budi pekerti yang baik.” Menururt beliau dikatakan anak itu sudah mempunyai akal pikiran adalah jika anak itu sudah mempunyai perasaan malu. Dikatakan bahwa rasa malu adalah pengekangan diri yang terjadi lantaran khawatir kalau-kalau ada keburukan yang bakal tampak dari dirinya. Pada awal pertumbuhan anak, perbuatan buruk yang sering muncul adalah; berbohong, mencuri, mengadu domba, berkelahi . Pada masa ini anak sudah dapat membedakan mana yang buruk dan mana yang baik, sehingga pada masa ini adalah masa yang tepat anak untuk diberikan pendidikan. Hal ini senada dengan pandangan Abdullah Nasih Ulwan yang mengatakan bahwa Pendidikan yang utama menurut pandangan Islam pada tahapan pertama bergantung pada kekuatan perhatian dan pengawasan, maka selayaknyalah para ayah, ibu, pengajar dan orang yang bertanggung jawab terhadap masalah pendidikan dan moral untuk menghindarkan anak-anak dari empat gejala berikut ini. Sebab, hal itu merupakan perbuatan terburuk, moral terendah dan sifat yang terhina. Gejala-gejala itu adalah : 1. Gejala suka berbohong 2. Gejala suka mencuri 3. Gejala suka mencela dan mencemooh 4. Gejala kenakalan dan penyimpangan. Untuk itu, maka para orang tua dan pendidik diharuskan menanamkan akidah agar selalu mengingat dan takut kepada Allah di dalam jiwa anak-anak, menjelaskan akibat-akibat
negatif
yang
disebabkan
oleh
pencurian,
penipuan
dan
penghianatan. Juga menerangkan tentang janji Allah yang akan diberikan kepada orang-orang jahat dan durhaka, seperti tempat kembali yang sangat buruk dan siksa yang sangat pedih pada hari kiamat. (Abdullah Nasih Ulwan : 1981). Menurut Elizabeth B.Hurlock (1992) Sebelum masa kanak-kanak berakhir, anak diharapkan mengembangkan skala nilai dan hati nurani untuk membimbing mereka bila harus mengambil keputusan moral. Pokok pertama yang penting dalam pelajaran moral ialah belajar apa yang diharapkan kelompok
dari anggotanya. Pokok kedua adalah pengembangan hati nurani sebagai kendala internal bagi perilaku individu. Sebab menurut tradisi, anak dilahirkan dengan hati nurani atau kemampuan untuk mengetahui apa yang benar dan yang salah. Pokok ketiga adalah pengembangan rasa bersalah dan rasa malu.
Setelah anak
mengembangkan hati nurani, hati nurani mereka dibawa dan digunakan sebagai pedoman perilaku. Bila perilaku anak tidak memenuhi standar yang ditetapkan hati nurani, anak merasa bersalah, malu atau kedua-duanya. Zakiah Derajat berpendapat bahwa jika berbicara tentang moral maka tidak akan terlepas dari berbicara tentang agama. Menurutnya, sesungguhnya peretumbuhan kesadaran moral pada anak menyebabkan agama anak-anak mendapatkan lapangan baru (moral) maka bertambah pula perhatiannya terhadap nasehat-nasehat agama dan kitab suci baginya tidak lagi merupakan kumpulan undang-undang yang adil, yang dengan itu Allah menghukum dan mengatur dunia guna menunjuki kita pada kebaikan. Surga dan neraka bukan lagi kepercayaan yang merupakan macam-macam hal dari hayalan, akan tetapi telah merupakan keharusan moral, yang dibutuhkan oleh anak, guna mengekang dirinya dari kesalahan-kesalahan dan mengimbangi kekurangan yang terasa olehnya dan ia merasapula perlunya keadilan Tuhan. Demikian halnya dengan para paedogog dan sosiolog Barat dan bangsabangsa lainnya sangat menaruh perhatian akan adanya pertalian yang erat antara iman dengan moral dan akidah dengan perbuatamn. Sehingga mereka mengeluarkan berbagai petunjuk, pendapat dan arah pandangan yang mengatakan bahwa ketentraman, perbaikan dan moral itu tidak akan tercipta tanpa adanya din dan iman kepada Allah swt. Dari uraian di atas jelaslah bahwa jika berbicara tentang moral, maka tidak akan terlepas dari pembicaraan tentang agama. Karena batasan moral bukan saja yang terjadi dalam lingkunga masyarakat saja akan tetapi tolak ukur dari moral itu adalah agama. Dalam hal ini apa yang dibolehkan oleh agama dan apa yang dilarang oleh agama.
2. Masalah Pakaian dan Adab di Meja Makanan
Menurut Ibnu Maskawaih, anak hendaknya diajarkan untuk membiasakan diri menggunakan pakaian dengan warna yang tidak mencolok terutama warna putih. Karena jika seseorang menggunakan warna putih atau yang serupa dengan itu akan tampak seperti orang mulia. Hal ini menggambarkan kesederhanaan. Islam sangat menganjurkan untuk hidup sederhana. Kesederhanaan itu meliputi semua aspek kehidupan. Ada satu riwayat yang dikeluarkan oleh imam Ahmad dikatakan : “Tinggalkanlah bersenang-senang dan pakian orang `ajam (selain orang Islam)”. Maksud bersenang-senang adalah berlebihan dalam kesenangan, kelezatan, dan selalu berada di dalam kenikmatan dan kemewahan. Pakian dan asesoris yang berwarna-warni hanya cocok untuk wanita yang suka berhias agar dapat menarik perhatian kaum lelaki. Hal ini senada dengan sabda Nabi saw. Yang mengatakan bahwa : beliau melarang mamakai satu macam pakian yang ada padanya sutra dan kain yang dicelup kuning (HR. Muslim). Hadits ini menggambarkan bahwa Rasululah saw. Melarang orang menggunakan pakian yang berwarna mencolok, karena warna mnecolok itu menggambarkan bahwa orang yang menggunakannya meminta perhatian kepada orang lain(mencari perhatian). Menurut Elizabeth B. Hurlock, minat anak terhadap pakian berbeda dari minat remaja dan orang dewasa. Akibatnya, aspek pakian yang penting berbeda pula. Contohnya, corak mode dan kepantasan sangat penting bagi remaja dan orang dewasa, namun sama sekali tidak penting bagi anak-anak. Sebaliknya ornamen dan warna yang menarik perhatian penting bagi anak-anak, tetapi relatif tidak penting bagi orang dewasa, kecuali warna-warna itu sedang mode. Walaupun aspek pakian yang menjadi focus perhatian bervariasi menurut usia dan kelompok anak, beberapa aspek dapat dianggap sebagai aspek yang secara umum diminati anak, terlepas dari usia, jenis kelamin dan factor lainya. Jika melihat dari pendapat Ibnu Maskawaih tentang pakain masih sangat terlalu umum. Beliau hanya menyoroti dari segi warnanya saja tanpa ada penjelasan tentang mode/model yang dibolehkan atau yang tidak dibolehkan. Ibnu Maskawaih menjelaskan bahwa mendidik jiwa harus dimulai dengan membentuk sikap makan yang baik. Menurut beliau tujuan dari makan adalah
demi kesehatan bukan demi kenikmatan semata-mata. Tujuan diciptakan makanan adalah agar tubuh kita menjadi sehat dan kita dapat melangsungkan hidup kita. Hal ini senada dengan sabda Rasulullah saw. : “Tidak ada orang yang lebih jahat dari pada orang yang memadatkan perutnya dengan makanan. Cukup bagi seorang anak Adam memakan beberapa suap makanan saja buat menguatkan tubuhnya. Jika dia perlu makan, isilah sepertiga perutnya dengan makanan, sepertiganya lagi dengan air, dan yang sepertiganya lagi untuk udara”. (HR. Tirmidzi.) Makanan harus dianggap obat yang menyembuhkan dari rasa lapar, karena dianggap obat, maka hendaknya tidak boleh berlebih lebihan atau sebagi pemuas hawa nafsu Beliau juga mengatakan bahwa jika kita sedang makan bersama maka janganlah yang pertama makan, atau terus menerus memperhatikan makanan, akan tetapi akan puas dengan makanan di dekatnya. Hal ini senada dengan sabda Nabi saw. Dari Umar bin Abi Salamah, ia bekata : Telah bersabda Rasulullah saw. : “Hai anak muda ! sebutlah nama Allah dan makanlah dengan tangan kanan-mu, dan makanlah dari yang dekat kepadamu.” (Muttafaq ~alaihi). Menurut B. Simanjuntak dan II. Pasaribu (1984) Untuk melindungi anak dari bahaya perlu mengerti tingkat-tingkat perkembangan psikhologis dan physiologis; kedua-duanya mempunyai antar hubungan yang tak dapat dipecahkan. Makanan, keamanan physik, ketentraman, adalah kebutuhan yang pertama dari anak pada waktu lahir. Karena bagi anak makanan dan kasih sayang itu sama pentingnya, maka pengalaman yang menyakitkan dan tak memuaskan dalam hubungan pemberian makan, akan mengakibatkan gangguan-gangguan kelakuan maupun sifat dalam hidup kemudian. Dari uraian di atas tentang adab di meja makan, Ibnu Maskawaih juga menguraikan bagaimana bahayanya jika orang menuruti hawa nafsunya dalam hal makanan. Bahkan beliau juga berpendapat bahwa anak jangan diberi makan berat pada waktu siang hari hal ini akan menyebabkan anak menjadi malas, mengantuk dan otaknya menjadi lamban. Hal seperti ini jika diberlakukan pada zaman ini
akan terasa berat, karena pada siang hari justru anak sedang membutuhkan kalori yang sangat banyak dimana anak masih beraktivitas. Pendidikan moral adalah pendidikan mengenai dasar-dasar moral dan keputusan perangai, tabiat yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak sejak masa analisa hingga ia menjadi seorang mukallaf, pemuda yang mengarungi lautan kehidupan. (Abdullah Nasih Ulwan, 1981). Jika sejak masa kanak-kanak, anak mulai dikenalkan dengan dasar-dasar moral, anak berkembang berlandaskan iman kepada Allah, maka anak dapat mengetahui nilai baik dan buruk. Jika anak sudah mengetahui nilai baik dan buruk, maka anak akan dapat menerima setiap keutamaan dan kemuliaan, sehingga anak dapat berakhlak mulia.
KESIMPULAN Pendidikan moral/etika yang dibahas dalam makalah ini hanya ditinjau dari segi pendidikan remaja dan anak-anaka khususnya. Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Ibnu Maskawaih berpendapat bahwa dikatakan anak itu sudah berakal adalah jika anak itu sudah memiliki rasa malu. Rasa malu itu tidak lain adalah pengekangan diri yang terjadi lantaran khawatir kalau-kalau ada keburukan yang bakal tampak pada dirinya. Nilai baik dan buruk itu sesuai dengan penilaian nalarnya. Pada masa inilah anak siap utnuk mendapatkan pendidikan. 2. Ibnu Maskawaih memberikan bimbingan kepada generasi muda
dan
menuntun mereka kepada kehidupan yang berpijak pada nilai-nilai akhlak yang luhur serta menghimbau mereka untuk selalu melakukan perbuatan yang bermanfaat agar mereka tidak tersesat dan umur mereka tidak disia-siakan.
Wallahu a`lam bi ash-shawaab
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyatul `L-Aulad fi `l Islam, Penerjemah Saifullah Kamalie & Hery Noer Ali, Pedoman Pendidikan Anak Dalam Islam, Bandung : Asy-Syifa`, 1988 B. Simanjuntak & I.I. Pasaribu, Pengantar Psikologi Perkembangan, Bandung: Tarsito, 1984. Elizabeth B. Hurlock, Child Development sixth edition, Penerjemah Meitasari Tjandrasa, Perkembangan Anak edisi keenam, Jakarta : Erlangga, 1992. Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999 Ibnu Hajar `Al-Asqalani, Bulughul-Maram, Penerjemah A. Hasan, Bandung : Diponegoro, 1984 Ibnu Maskawaih, Tahdzib al-Akhlak, Penerjemah Helmi Hidayat, Menuju Kesempurnaan Akhlak, Bandung : Mizan, 1994. Muslim Ishak, Tokoh-tokoh Filsafat Islam Dari Barat dan Spanyol, Surabaya : Bina Ilmu, 1980. Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta : Bulan Bintang, 1990.
*) Artikel dipublikasikan di jurnal Ta’dib: Jurnal Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah UNISBA, Volume 4 Nomor 1 Tahun 2005 – ISSN 1411-8173