UNIVERSITAS INDONESIA
PENYELESAIAN MASALAH PENENTUAN BESAR GANTI RUGI PEMBEBASAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN MELALUI KONSINYASI
TESIS
Oleh: SHINTA PRATIWI, SH 0906583466
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN DEPOK JULI 2011
Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
UNIVERSITAS INDONESIA
PENYELESAIAN MASALAH PENENTUAN BESAR GANTI RUGI PEMBEBASAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN MELALUI KONSINYASI
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan
SHINTA PRATIWI, SH 0906583466
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN DEPOK JULI 2011 i Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
HALAMAN PENGESAHAN Tesis ini diajukan oleh: SHINTA PRATIWI, S.H NPM : 0906583466 Fakultas Hukum Judul Tesis
:
PENYELESAIAN MASALAH PENENTUAN BESAR GANTI RUGI PEMBEBASAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN MALALUI KONSINYASI
Telah berhasil dipertahankan di hadapan dewan penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister kenotariatan pada program studi kenotariatan Fakultas Hukum, Universitas Indonesia
DEWAN PENGUJI :
Pembimbing : PROF. ARIE SUKANTI HUTAGALUNG. S.H., M.L.I. (
)
Penguji
: Dr. Drs.WIDODO SURYANDONO, S.H., M.H.
(
)
Penguji
: SUPARJO SUJADI, S.H., M.H.
(
)
Ditetapkan di: Depok Tanggal: 4 Juli 2011
iii Universitas Indonesia
Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
Kata Pengantar
Puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas izin dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis ini. tesis ini berjudul “Penyelesaian Masalah Penentuan Besar Ganti Rugi Pembebasan Tanah untuk Pembangunan Melalui Konsinyasi”, merupakan tesis yang diajukan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan tesis ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, baik secara moril maupun materil. Oleh karena itu dengan penuh ketulusan hati dalam kesempatan ini penulis sampaikan rasa terimakasih kepada: 1. Ibu Prof. Arie Sukanti Hutagalung, S.H., M.L.I selaku dosen pembimbing tesis ini. Terima kasih atas semua bimbingan dan kesabarannya dalam memberikan petuahpetuah untuk menyelesaikan tesis ini; 2. Bapak Dr. Widodo Suryandono, S.H, M.H. selaku ketua program Magister Kenotariatan terima kasih atas segala dukungan yang diberikan; 3. Bapak Suparjo Sujadi, S.H., M.H selaku dosen penguji dalam sidang tesis penulis, yang telah memberi masukan pada tesis ini. 4. Kedua orang tua penulis, terima kasih untuk semua cinta dan kasih sayangnya yang telah diberikan tanpa syarat. Terima kasih untuk semua pengertian dan kesabarannya. Tesis ini, penulis persembahkan kepada kalian orang tua tercinta; 5. Adik-adik tercinta yang menjadi motivator-motivator bagi penulis untuk segera menyelesaikan tesis ini. 6. Ferry, S.E yang selalu memberikan dukungan dan semangat kepada penulis. 7. Pihak perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia, terima kasih untuk semua data-datanya; 8. Staf akademik Magister Kenotariatan, terima kasih atas bantuan serta pelayanan informasi yang diberikan untuk menyelesaikan tesis ini; 9. Semua rekan mahasiswa
Notariat 2009 yang telah banyak membantu hingga
terealisasinya penulisan tesis ini. Teristimewa kepada Steveni, S.H dan Popi Oktaviani, S.H yang selalu menemani dan menjadi sahabat terbaik. iv Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
10. Semua rekan/ civitas akademika Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak yang selalu mendukung penulis.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, tetapi penulis berharap hal itu tidak mengurangi manfaat yang bisa diambil oleh pembaca dari tulisan ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak agar dalam kesempatan yang lain dapat lebih baik lagi. Atas segala hormat dan perhatian penulis meminta maaf yang sebesar besarnya apabila terdapat kesalahan atau pun halhal yang kurang sempurna di dalam penulisan ini. Akhir kata, maka penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Semoga dengan tulisan ini, bangsa Indonesia dapat semakin maju dan berkembang.
Depok, 4 Juli 2010
Penulis
v Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
ABSTRAK Nama : Shinta Pratiwi, S.H NPM : 0906583466 Judul : Penyelesaian Masalah Penentuan Besar Ganti Rugi Pembebasan Tanah Untuk Pembangunan Melalui Konsinyasi Pembangunan daerah merupakan isu yang paling sering kita temui dalam beberapa dekade kepemimpinan di Negara ini, seiring dengan bergantinya kepemimpinan pemerintahan, pembangunan daerah tetap merupakan salah satu tugas yang turun temurun ingin diwujudkan agar dapat bertahan dalam era global yang serba dinamis dan selalu berkembang demi menunjang kesejahteraan masyarakat. Untuk mewujudkan pembangunan daerah tersebut tentunya harus membutuhkan tanah yang menjadi tapak dari terciptanya suatu pembangunan, namun pada kenyataannya tanah yang tersedia seringkali tidak memadai, sehingga diperlukan tanah masyarakat guna pembangunan tersebut, yang disebut juga pengadaan tanah yang menurut undangundang dilakukan oleh pemerintah dengan memberi ganti rugi kepada masyarakat yang memegang hak atas tanah tersebut. Dalam pengadaaan tanah demi kepentingan umum inilah yang sering menimbulkan masalah penentuan ganti rugi yang dilakukan melalui konsinyasi (penitipan). Penggunaan lembaga konsinyasi merupakan salah satu cara untuk memaksa masyarakat dalam rangka pengambilan tanah masyarakat. Konsinyasi seperti diatur dalam Pasal 1404 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, merupakan opsi yang ditawarkan oleh undang-undang bagi debitur untuk melunasi piutang terhadap kreditur, dengan kondisi kreditur menolak penawaran mempayaran yang dilakukan oleh debitur, sehingga jika berpedoman pada pengertian konsinyasi pada Pasal 1404 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata kita wajib menelaah lebih jauh apakah penerapan lembaga konsinyasi memang dapat diterapkan dalam masalah penentuan ganti rugi yang belum memenuhi syarat musyawarah untuk mufakat. Karena hal tersebut lembaga konsinyasi yang diterapkan dalam hal pengadaan tanah sesungguhnya adalah suatu masalah yang karenanya peraturan harus dikaji ulang oleh pemerintah agar tidak lagi terjadi perampasan tanah masyarakat yang seolah-olah diperoleh sesuai prosedur, sehingga pemerintah diharapkan agar dapat menciptakan peraturan-peraturan yang berpihak pada rakyat sehingga kepantingan rakyat dapat terwakili. Kata Kunci: Pembebasan Tanah, Konsinyasi, Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum
vii Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
ABSTRACT Name Study Program Title
: Shinta Pratiwi, S.H : Public Notary :Settlement on Determination of Land Acquisition Compensation Problem For Development Through Consignment.
Regional development is an issue that most often come across us in decades of leadership in this country, along with turnover of leadership of government, regional development remains as one of hereditary task to be realized in order to survive in a global era that completely dynamic and evolving in order to support welfare community. To achieve such regional development, it certainly need land that became the site of development creation, but in reality the available land is often inadequate, so that community land needs to be used in the development, also called as land acquisition according to the laws made by government by giving compensation to people who hold rights of the land. This land procurement for public interest is often occuring problematic determination of compensation made through consignment (deposit). The use of consignment institute is one way to force people in order to acquisite community land. Consignment as set out in Article 1404 of Civil Act, is an option offered by the law for debtor to repay its debts toward creditors, in condition that creditors rejected the payment offered by debtor, so if guided by consignment definition at Article 1404 of Civil Act we must further examine whether the application of consignment institute can be applied in compensation determining problem that have not qualified for deliberation and consensus. Because of that, consignment institute which is applied in land acquisition matter is indeed a problem that made the rules should be reviewed by government so that community land expropriation is no longer happening that seems obtained according to procedure, so government is expected to create regulations that support people so that people’s interest can be represented.
Keywords: Land Acquisition, Consignment, Land Acquisition Problem For Development.
viii Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
DAFTAR ISI
Halaman Judul .................................................................................................................i Halaman Pernyataan Orisinalitas ....................................................................................ii Lembar Pengesahan .........................................................................................................iii Kata Pengantar.................................................................................................................iv Lembar Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah...................................................................vi Abstrak............................................................................................................................vii Daftar Isi ..........................................................................................................................ix
BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Masalah........................................................................................1
1.2.
Pokok Permasalahan............................................................................................11
1.3.
Tujuan Penelitian.................................................................................................11
1.4.
Metode Penelitian................................................................................................11
1.5.
Sistematika Penulisan..........................................................................................14
BAB II. PENYELESAIAN MASALAH PENENTUAN BESAR GANTI RUGI PEMBEBASAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN MELALUI KONSINYASI 2.1. Hak Menguasai Negara dan Fungsi Sosial Tanah...................................................15 2.2.Pengertian Pengadaan Tanah dan Prinsip Perolehan Tanah Untuk Kegiatan Pembangunan Demi Kepentingan Umum ......................................................................23 2.3.. Pengertian Kepentingan Umum..............................................................................30 2.4. Pengadaan Tanah Untuk Kegiatan Pembangunan Di Indonesia.............................37 2.4.1.Proses Pengadaan Tanah Yang Dilaksanakan Oleh Pemerintah..........................41 2.4.2.Proses Pengadaan Tanah Yang Dilaksanakan Oleh Swasta.................................43 2.5.Musyawarah-Ganti Rugi Dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum........................................................................................................45 2.6. Pengertian Konsinyasi.............................................................................................59 2.7. Masalah-Masalah Dalam Penentuan Ganti Rugi Tanah..........................................62 2.8. Penyelesaian Masalah Penentuan Ganti Rugi Tanah Menurut Pasal 10 ayat (2) Perpres No.65 tahun 2006..............................................................................................63 ix Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
BAB III. PENUTUP 3.1. Kesimpulan………………………………………………………………………...67 3.2. Saran……………………………………………………………………………….68
DAFTAR PUSTAKA
x Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
1
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Sengketa pertanahan seolah tidak pernah selesai, hal ini ditandai dengan semakin banyaknya kasus-kasus berkenaan dengan pertanahan yang semakin bermunculan terutama sengketa atas tanah yang akan dijadikan sebagai lahanlahan pembangunan, khususnya pembangunan yang dilatar belekangi oleh tujuan pembangunan daerah demi kemajuan, kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dan kepentingan umum. Tanah yang merupakan suatu aspek penting yang tidak dapat dipisahkan dari terjadinya suatu pembangunan, akan sangat dibutuhkan dalam mewujudkan suatu proyek pembangunan baik yang dilaksanakan oleh swasta maupun oleh pemerintah selalu memerlukan tanah sebagai tapak dari terwujudnya pembangunan tersebut. Karena pentingnya tanah dalam kehidupan manusia sehingga tanah dapat juga dijadikan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan hidup bangsa, karena itu tanah memiliki dua fungsi ganda yaitu sebagai social asset dan capital asset, sebagai social asset tanah merupakan sarana pengikat kesatuan sosial dikalangan masyarakat Indonesia untuk hidup dan kehidupan, sedangkan sebagai capital asset tanah merupakan faktor modal dan pembangunan.1 Pendayagunaan
tanah
bagi
kepentingan
publik
memang
telah
diisyaratkan dalam undang-undang, pada pasal 6 Undang-Undang Pokok
1
Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Umum Kepetingan Umum (Malang: Bayumedia, 2007), hal. 1
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
2
Agraria, yaitu bahwa “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Yang dalam penjelasannya berbunyi:
...Ini berarti bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanah itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat
baik
bagi
kesejahteraan
dan
kebahagiaan
yang
mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan Negara...2 Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria menunjukankan bahwa UndangUndang Pokok Agraria menggenapi amanat konstitusional sebagaimana tercantum pada pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Artinya bumi (tanah), air dan kekayaan alam hendaknya digunakan guna kemakmuran rakyat, Dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 diartikan sebagai kepentingan kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.3 Ditengah pesatnya kemajuan globalisasi praktis menuntut bangsa Indonesia untuk terus berbenah dan melaksanakan pembangunan-pembangunan guna mewujudkan harapan bangsa ini dari ketertinggalan negara-negara maju, baik di sektor industri, jasa maupun infrastruktur yang baik dan berkualitas guna mendongkrak perekonomian nasional, sehingga diperlukan tanah yang tidak sedikit untuk mewujudkan pembangunan tersebut.
2
Indonesia (a), Undang-Undang Pokok Agraria UU No. 5 Tahun 1960, TLN No.2043, penjelasan butir II (4). 3
Achmad Rubaie, Op Cit. Hal 2
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
3
Salah satu kesulitan yang dihadapi oleh pemerintah adalah terjadinya kelangkaan tanah untuk mewujudkan proyek pembangunan tersebut, karena tanah-tanah yang tersedia semakin terbatas akibat pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi. Mengingat tanah yang semakin penting artinya bagi pelaksanaan pembangunan, maka tugas pemerintah untuk menjamin tersedianya tanah bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, karena disatu pihak tanah dibutuhkan oleh masyarakat sebagai tempat tinggal ataupun tempat mata pencaharian mereka, karena kebanyakan orang indonesia memandang tanah sebagai sarana tempat tinggal dan memberikan penghidupan sehingga tanah mempunyai fungsi yang sangat penting.4 Dilain pihak tanah juga sangat diperlukan untuk pelaksanaan pembangunan daerah karena apabila tidak tersedia tanah yang cukup untuk kepentingan pembangunan , maka usaha-usaha pembangunan akan macet. 5 Dalam prakteknya seringkali tanah-tanah yang dibutuhkan untuk pembangunan tersebut telah menjadi kepunyaan pribadi masyarakat, sedangkan proyek pembangunan itu sendiri tidak dapat dialihkan ke lokasi lain atau tidak dapat ditunda-tunda karena alasan teknis dan ekonomis sehingga tanah masyarakat tersebut harus di ubah pengunaan atas tanah tersebut. Dalam rangka hak-hak rakyat, bersumber dari UUPA telah dibuat perangkat ketentuan ketentuan yang mengatur tentang bagaimana pemerintah dapat menguasai tanah yang diperlukannya apabila tanah tersebut dikuasai oleh rakyat, pada dasarnya untuk memperoleh tanah yang diperlukan tersebut haruslah ditempuh dengan cara musyawarah antara rakyat sebagai pemegang hak atas tanah, bangunan dan tanaman baserta pemerintah, pemerintah daerah maupun swasta yang memerlukan tanah tersebut sehingga tercapai bentuk dan besarnya ganti rugi yang harus diterima oleh pihak pemegang hak atas tanah.
4
Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan (a), Kewenangan Pemerintah Dibidang Pertanahan (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), hal 1 5
Abdurrahman, Aneka Masalah Hukum Dalam Pembangunan Di Indonesia (Bandung: Alumni, 1979), hal 25
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
4
Hal tersebut diatur dalam berbagai ketentuan-ketentuan seperti UU No 20 tahun 1961 Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada Diatasnya, Peraturan Pemerintah No.39 tahun 1973 tentang Acara Penetapan Ganti Rugi Oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan Dengan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda Yang Ada Diatasnya, Peraturan Menteri dalam negeri No 15 tahun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1976 tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah Oleh Pihak Swasta, Keppres No 55 tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan umum, Peraturan Presiden Republik Indonesia No.36 tahun 2005 juncto Perpres No. 65 tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, serta Peraturan Kepala Badan Pertahanan Nasional No.3 tahun 2007 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan peraturan-peraturan lainnya yang dikeluarkan oleh pemerintah. Seperti telah kita ketahui peraturan-peraturan yang telah ada belum cukup ampuh untuk menekan banyaknya kasus sengketa tanah, terutama berkaitan dengan pengadaan tanah untuk pembangunan daerah yang tidak dilakukan dengan prinsip keadilan. Rakyat sebagai pemilik tanah kadang kala harus melelan kekalahan penguasa karena hukum dinilai lebih berpihak kepada penguasa. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, pengadaan tanah bagi pembangunan daerah yang telah dihaki oleh rakyat haruslah didahului dengan pelepasan hak, secara mufakat dan sepakat rakyat berhak atas ganti rugi yang harus dibayarkan kepadanya. Namun pada kenyataannya tidak tercapainya kesepakatan antara pihak pemilik tanah dan pihak yang memerlukan tanah menyebabkan seringnya timbul sengketa tanah antara rakyat pemilik tanah bersangkutan dengan pemerintah. Perselisihan antara rakyat dan pemerintah terus terjadi berkenaan dengan lahan tanah untuk pembangunan, seperti diketahui bahwa sejak kemerdekaan, perselisihan mengenai tanah antara rakyat dan pemerintah secara
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
5
umum telah terjadi karena pandangan yang berbeda mengenai konsep Hak Atas Tanah. Perbedaan pandangan tersebut bukanlah hal yang baru karena telah terjadi sejak masa dahulu. Frekuensi perselisihan telah meningkat sehubungan dengan pertumbuhan penduduk sementara tanah relatif tetap terbatas luasnya. 6 Berdasarkan pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria No.5 tahun 1960 yang berbunyi “Untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang”. Dalam pasal ini berarti Negara menjamin rakyat yang terkena pencabutan hak ataupun pembebasan hak guna kepentingan umum agar dapat memperoleh ganti kerugian atas tanah yang dihakinya. Dengan dikeluarkannya Perpres No.35 tahun 2005 kemudian disusul Perpres No. 65 tahun 2006 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dimaksudkan untuk memberikan landasan hukum bagi pemerintah dalam menghadapi kesulitan-kesulitan yang mungkin terjadi pada saat pengadaan tanah tersebut dan memberi perlindungan hukum kepada rakyat untuk mendapat penyelesaian yang seadil-adilnya. Pada dasarnya pengadaan tanah yang diisyaratkan dalam Perpres No.65 tahun 2006 dalam bunyi pasal 1 angka 3 pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Selanjutnya dalam pasal 2 menyatakan Pengadaan Tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Pelepasan hak atas tanah yang dilakukan oleh pemilik tanah adalah syarat yang mutlak harus dipenuhi bagi pihak yang hendak mempergunakan tanah tersebut untuk pembangunan, karena pelepasan hak
6
Erman Rajagukguk, Hukum Agraria,Pola Penguasaan Tanah dan Kebutuhan Hidup, Cet.1 (Jakarta: Chandra Pratama, 1995). Hal 35.
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
6
sebagai proses awal bagi perolehan tanah oleh pihak lain yang hendak menguasai tanah untuk keperluan pembangunan.7 Sedangkan yang menjadi dasar dari pelaksanaan pengadaan tanah demi pembangunan daerah atau kepentingan umum oleh swasta bermula dari Undang-Undang No. 20 tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya, yaitu terdapat pada penjelasan umum angka 4 huruf (b) antara lain disebutkan bahwa “Tetapi biarpun demikian, ketentuan-ketentuan
Rancangan
Undang-undang
ini
tidak
menutup
kemungkinan untuk, sebagai perkecualian, mengadakan pula pencabutan hak guna pelaksanaan usaha-usaha swasta, asal usaha itu benar-benar untuk kepentingan umum dan tidak mungkin diperoleh tanah yang diperlukan melalui persetujuan dengan yang empunya. Sudah barang tentu usaha swasta tersebut rencanya harus disetujui Pemerintah dan sesuai dengan pola pembangunan nasional semesta berencana.”8 Kemudian mengenai tata cara pembebasan tanah diatur dalam PMDN No.15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah, yang pada prinsipnya cara pembebasan tanah untuk swasta sama dengan acara pembebasan tanah oleh pemerintah. Ketentuan tersebut diatur lebih lanjut didalam PMDN No. 2 Tahun 1976 tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah Oleh Pihak Swasta. Dan selanjutnya masih terdapat beberapa ketentuan pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang dilakukan oleh swasta yaitu Keppres No.55 Tahun 1993, sampai pada Perpres No. 65 Tahun 2006. Yang pada dasarnya ketentuan yang ada mengharuskan adanya musyawarah dan ganti rugi yang layak bagi pemegang hak atas tanah yang terkena pembebasan tanah.
7
Arie Sukanti Hutagalung (b) , Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah (Jakarta: Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, 2005), hal 178 8 Indonesia (b), Undang-undang tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan BendaBenda Yang Ada Diatasnya, No. 2 Tahun 1961, LN No. 1961/288, TLN NO. 2324, penjelasan angka 4 huruf (b)
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
7
Setelah melalui proses musyawarah antara kedua belah pihak maka ditetapkanlah bentuk ganti rugi yang disepakati bersama. Bentuk ganti rugi tersebut berupa:
a. Uang, dan/atau b. tanah pengganti, dan/atau c. pemukiman kembali, dan/atau d. gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c; e. bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkuan.9 Dalam pelaksanaan musyawarah antara kedua belah pihak yaitu antara masyarakat sebagai pemegang hak atas tanah dan pihak yang memerlukan tanah baik pemerintah, pemerintah daerah ataupun swasta sudah selayaknya dilakukan dengan proses saling dengar, saling menerima pendapat, sehingga tidak terjadi intimidasi ataupun pemaksaan diantara mereka, karena hubungan antara pemegang hak atas tanah sebagai pemilik tanah dengan pihak yang memerlukan tanah harus tunduk pada ketentuan dalam hukum perdata, khususnya pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur syarat sahnya suatu perjanjian, sehinga harus ada kesepakatan mengenai objek perjanjian dan harga yang diperjanjikan antara kedua belah pihak. Kesulitan pelaksanaan musyawarah antara pihak pemilik tanah dan pemerintah yang sering tidak mendapat jalan keluar antara kedua belah pihak dan penyebab paling dominan adalah karena perbedaan pemahaman mengenai penganti kerugian yang harus dibayarkan kepada pihak pemilik tanah hak tersebut yang kadang di rasakan tidak sesuai dengan harga tanah dalam tindakan jual beli, sehingga sudah sepatutnya pemberian ganti rugi tersebut harus tidak membawa dampak kerugian kepada pemegang hak atas kehilangan haknya
9
Indonesia (c), Peraturan Presiden tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Perpres No. 65 Tahun 2006 ps.13
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
8
tersebut melainkan membawa dampak pada tingkat kehidupan yang lebih baik atau minimal sama pada waktu sebelum terjadi kegiatan pembangunan.10 Rakyat yang menolak atau menentang penetapan ganti rugi sering kali harus menelan kekecewaan karena mereka tidak dapat menuntut hak mereka, rakyat kecil yang menjadi korban dari pembebasan tanah dengan dalih pembangunan daerah atau kepentingan umum dipaksa untuk menerima ganti rugi yang tidak sesuai dengan kesepakatan ataupun jauh dari yang seharusnya mereka terima, seperti contoh adalah kasus pada pemerintahan Orde Baru yaitu Kasus Kedung Ombo di Jawa Timur pada tahun 1985, yang bermula dari rencana pemerintah saat itu yang hendak membangun wadung Kedung Ombo, Pembangunan Waduk Kedung Ombo ini dibiayai USD 156 juta dari Bank Dunia, USD 25,2 juta dari Bank Exim Jepang, dan APBN, dimulai tahun 1985 sampai dengan tahun 1989. Masyarakat disekitar lokasi pembangunan pada saat itu warga tidak setuju sehingga terjadi penolakan penggusuran dan pemindahan lokasi pemukiman oleh warga karena tanahnya akan dijadikan waduk. Penolakan warga ini diakibatkan kecilnya jumlah ganti rugi yang diberikan. Rakyat mendapat teror, intimidasi dan kekerasaan fisik saat melakukan perlawanan. Namun semua perlawanan tidak memberi hasil yang berarti karena pada akhirnya Waduk Kedung Ombo diselesaikan bahkan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tahun 1991. Dari pembangunan waduk ini sebanyak 5268 keluarga kehilangan tanahnya akibat pembangunan waduk ini.11 Namun dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan dari pembangunan yang tidak dapat dipindahkan atau dialihkan secara teknis tata ruang ketempat atau lokasi lain, rakyat pemilik hak tanah tersebut tidak dapat berbuat banyak, walaupun dalam musyawarah tidak mencapai kesepakatan, dalam ketentuan pasal 10 ayat (2) Perpres No.65 tahun 2006 berbunyi:
10
Hutagalung (b), Op Cit. Hal 163
11
http://cetak.kompas.com/read/2010/09/14/03572153/empat.tenggelam.di.waduk.kedu ng.ombo, diunduh pada tanggal 4 Juli 2011.
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
9
“Apabila setelah diadakan musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai kesepakatan, panitia pengadaan tanah menetapkan besarnya ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 huruf a dan menitipkan ganti rugi uang kepada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan”12. Penitipan uang ke pengadilan negeri yang hendak diterapkan dalam pasal 10 ayat (2) tersebut tentulah sama maknanya dengan pengertian konsinyasi dalam pasal 1404 Kitab Undang Undang Hukum Perdata dengan kata lain Pemerintah mengisyaratkan apabila terjadi adanya suatu masalah dalam penentuan besarnya ganti rugi tanah antara pemegang hak atas tanah dengan pihak yang hendak mempergunakan tanah tersebut dalam hal ini pemerintah untuk menyelesaikan sengketa tanah tersebut dapat dilakukan dengan cara menerapkan lembaga konsinyasi. Penyelesaian sengketa melalui lembaga konsinyasi seperti yang diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata terdapat dalam buku ketiga Bab Ke IV tentang hapusnya perikatan, ketentuan penawaran pembayaran tunai yang diikuti oleh penyimpanan atau penitipan diatur dalam 9 pasal, dimulai dari pasal 1404 hingga pasal 1412 Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Ketentuan pasal 1404 Kitab Undang Undang Hukum Perdata mengawali pengaturan mengenai penawaran pembayaran tunai yang diikuti oleh penyimpanan atau penitipan sebagai salah satu cara hapusnya perikatan, yaitu: “jika kreditor menolak pembayaran, maka debitor dapat melakukan penawaran pembayaran tunai atas apa yang diutangnya, dan jika kreditor juga menolaknya, menitipkan uang atau barangnya kepada pengadilan. Penawaran yang demikian, diikuti dengan penitipan, membebaskan si berutang, dan berlaku baginya sebagai pembayaran, asal penawaran itu telah dilakukan dengan cara menurut undang undang; sedangkan apa yang dititipkan secara itu tetap atas tanggungan si berpiutang.”13
12
Indonesia (c), Op Cit. Ps. 10
13
Indonesia (d) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Cet. Ke- 34 (Jakarta: Pradnya Paramita, 2004) ps. 1404
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
10
Namun ternyata opsi media penyelesaian melalui konsinyasi juga dapat kita temui tidak hanya dalam lingkup perikatan saja, tetapi ternyata dalam konteks bidang pertanahan yaitu penyelesaian atas tidak tercapainya kesepakatan antara pemegang hak atas tanah dan pihak pemerintah yang membutuhkan tanah tersebut mengenai besarnya ganti rugi, sehingga dalam ketentuan dan peratutan pertanahan kita juga mengenal media konsinyasi seperti yang diatur dalam pasal 10 ayat (2) Perpres No. 65 tahun 2006, maka pemilik tanah dianggap sebagai Kreditor dan pemerintah selaku pihak yang hendak menggunakan tanah tersebut dianggap sebagai Debitor, dalam pengertian jika pemilik tanah menerima pembayaran tunai dari pihak yang membutuhkan tanah, maka pihak yang hendak menggunakan tanah tersebut dianggap telah melaksanakan kewajibannya, tetapi jka penawaran ditolak, pihak yang memerlukan tanah tersebut dapat melaksanakan prestasinya melalui penitipan atau penyimpanan di pengadilan. Penyerahan pembayaran yang dititipkan kepengadilan tanpa adanya kesepakatan yang telah terjadi sebelumnya seolah merupakan konsekuensi dari sikap rakyat yang dianggap “tidak patuh”, sehingga rakyat tidak memiliki pilihan lain selain menerima pembayaran tersebut. Berkaitan dengan konsinyasi yang didasari dari adanya hubungan perikatan antara debitur dan kreditur, apakah proses penyelesaian sengketa pertanahan melalui media konsinyasi telah tepat sasaran memenuhi syaratsyarat yang ditentukan dalam undang undang agar tindakan yang diambil bukan menjadi keuntungan satu pihak semata. Oleh karena itu dinamika penyelesaian masalah penentuan besarnya ganti rugi pertanahan melalui konsinyasi menimbulkan perhatian bagi penulis sehingga penulis tertarik untuk meneliti “Penyelesaian Masalah Penentuan Besar Ganti Rugi Pembebasan Tanah untuk Pembangunan Melalui Konsinyasi”.
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
11
1.2. POKOK PERMASALAHAN Dari latar belakang permasalahan yang disampaikan sebelumnya, maka pokok permasalahan yang dapat diambil adalah : 1. Masalah-masalah apakah yang timbul dalam pelaksanaan pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan di Indonesia? 2. Bagaimanakah lembaga konsinyasi yang dapat diterapkan dalam rangka penyelesaian masalah pembayaran ganti rugi atas pengadaan tanah untuk pembangunan? 3. Apakah lembaga konsinyasi dapat mengatasi penawaran ganti rugi yang tidak layak bagi pemilik tanah untuk pembangunan?
1.3. TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian dari penulisan ini adalah: 1. Untuk mengetahui masalah-masalah yang sering timbul dalam pelaksanaan pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan di Indonesia. 2. Untuk mengetahui media penyelesaian sengketa tanah melalui pendekatan konsinyasi yang seperti apa yang dapat diterapkan dalam penyelesaian sengketa pembebasan tanah untuk pembangunan untuk kepentingan umum. 3. Untuk mengetahui apakah lembaga konsinyasi dapat mengatasi penawaran ganti rugi yang tidak layak bagi pemilik tanah sebagai pihak yang sering dirugikan dalam pelaksanaan pengadaan tanah begi keentingan umum.
1.4. METODELOGI PENELITIAN 1.4.1. Bentuk Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan penelitian yuridis normatif, yaitu metode yang menggunakan penelitian kepustakaan. dimana dalam penelitian hukum yuridis normatif mencakup: -penelitian terhadap azas-azas hukum
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
12
-penelitian terhadap sistematika hukum -penelitian sejarah hukum -penelitian perbandngan hukum.14 Tetapi dalam tesis ini penulis hanya mengambil 2 (dua) poin di atas yaitu penelitian terhadap azas-azas hukum dan penelitian terhadap sistematika hukum.
1.4.2. Tipologi Penelitian Penelitian yang dilakukan disini bersifat eksplanatoris karena akan mengungkapkan teori-teori atau konsep-konsep yang akan dipakai untuk menganalisis
permasalahan
yang
dikemukakan
dengan
tujuan
untuk
memperdalam pengetahuan. Bentuk penelitian yang akan dipakai adalah preskriptif yaitu penelitian yang tujuannya memberikan jalan keluar atau saran untuk mengatasi permasalahan.15 Hal ini dimaksudkan agar dapat memberikan analisis yang mendalam terhadap permasalahan yang dipaparkan dalam penelitan ini, sehingga akan memperoleh jalan keluar dalam mengatasi permasalahan tersebut.
1.4.3. Jenis Data dan alat pengumpul data Sejalan dengan metode penelitian yang digunakan disini maka jenis data yang utama yang akan diambil adalah data sekunder yang menekankan pendekatan terhadap norma hukum tertulis terdiri dari peraturan perundang undangan, literatur dan dokumen-dokumen lain baik berupa tulisan yang dimuat di surat kabar, majalah yang sudah maupun belum dipublikasikan juga hasil penelitian orang lain yang mempunyai korelasi erat dengan kajian ini.
14
Soerjono soekanto, Pengantar Peneliian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1984), hal.51
15
Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005) hal.4.
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
13
1.4.4. Macam-Macam Bahan Hukum Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang bersumber dari kepustakaan, berupa bahan hukum data primer yang merupakan bahan hukum yang bersifat landasan hukum dalam penulisan ini yang digunakan adalah Undang Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960, Undang Undang No. 20 tahun 1961, Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005 juncto Peraturan Presiden No.65 tahun 2006, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 2007, sementara data sekunder terdiri dari buku, literatur dan dokumen-dokumen lain baik berupa tulisan yang dimuat disurat kabar, majalah yang sudah maupun belum dipublikasikan juga hasil penelitian yang mempunyain korelasi erat dengan kajian ini. Dan bahan hukum tersier yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan seperti kamus, bilbiografi, dsb.
1.4.5. Alat Pengumpul Data Adapun alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah dengan Studi dokumen, yaitu pengumpulan bahan-bahan atau data yang berasal dari buku, majalah, artikel ataupun dokumentasi mengenai objek penelitian juga surat kabar tentang penyelesaian masalah penentuan ganti rugi pembebasan tanah melalui konsinyasi.
1.4.6. Metode Analisis Data Metode analisis yang akan digunakan adalah metode analisis kualitatif, karena analisis yang diharapkan disini adalah untuk memahami makna dibalik data yang terkumpul, dimana data yang berasal dari hasil identifikasi masalah akan dianalisis berdasarkan konsepsi yang tersedia di bidang Hukum Tanah Nasional terutama jika dikaitkan dengan sumber hukum positif terkait.
1.4.7. Bentuk Hasil Penelitian Dalam penulisan ini, bentuk hasil penelitian adalah tipe eksplanatoris analitis dimana
dalam tujuan penelitian ini untuk menggambarkan atau
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
14
menjelaskan lebih dalam suatu gejala. Penelitian ini bersifat mempertegas hipotesa yang ada.16 Yaitu mengenai pelaksanaan penyelesaian sengketa pembebasan tanah untuk pembangunan melalui konsinyasi.
1.5.
SISTEMATIKA PENULISAN Dengan maksud mempermudah memahami penulisan tesis ini.
Sistematika penulisan diawali dengan pembahasan pada BAB I yang berupa pendahuluan di dalamnya berisi uraian latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, metodologi penelitian serta sistematika penulisan. Bab ini bertujuan untuk memudahkan pembaca memahami uraian. Selanjutnya pada BAB II akan membahas mengenai fungsi sosial tanah dan hak menguasai negara, Teori dasar pengertian kepentingan umum, sebagai dasar adanya pengadaan tanah untuk pembangunan, dilanjutkan dengan proses pengadaan tanah untuk kegiatan pembangunan di Indonesia, aneka masalah pengadaan tanah, dan analiasa penyelesaian sengketa tanah menurut Pasal 10 ayat (2) Perpres No.36 Tahun 2005 juncto Pasal 10 ayat (2) Perpres No. 65 Tahun 2006 Pada bab terakhir yaitu BAB III akan dipaparkan mengenai kesimpulan yang pada hakikatnya merupakan jawaban dari permasalahan yang ada, sedangkan saran-saran merupakan jalan keluar berupa penyempurnaan terhadap berbagai persoalan persoalan yang diteliti maupun hanya sebatas memperbaiki kelemahan yang ada.
16
Ibid.
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
15
BAB II PENYELESAIAN MASALAH PENENTUAN BESAR GANTI RUGI PEMBEBASAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN MELALUI KONSINYASI
2.1. Hak Menguasai Negara dan Fungsi Sosial Tanah A. Hak Menguasai Negara Pada tanggal 24 September 1960, Indonesia telah resmi memiliki suatu perangkat peraturan tentang pertanahan yaitu dengan diundangkannya UndangUndang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang sekaligus merevolusi peraturan-peraturan yang telah ada sebelumnya yang tunduk pada hukum perdata barat dan hukum adat. Sehingga dalam perkembangannya diharapkan tidak terjadi lagi dualisme dibidang hukum pertanahan/agraria yang selama sebelum terbentuknya UUPA. Seiring berjalannya waktu, Negara Indonesia terus membenahi perangkat hukumnya dan mengeluarkan peraturan-peraturan baru tentu sebagai konsekuensi dari Negara yang memiliki masyarakat yang yang terus berkembang dan dinamis. Bahkan Dalam rangka mengikis habis akibat-akibat kebijakan dan praktik-praktik Orde Baru, sejak pertengahan tahun 1998 diperkenalkan istilah Reformasi, yaitu meliputi bidang ekonomi, politik dan hukum. Kegiatan reformasi ini meliputi pula juga Hukum Tanah Nasional kita. Berbagai peraturan telah diterbitkan dan sedang dipersiapkan sebagai perwujudan kebijakan baru dalam melaksanakan hukum tanah nasional yang
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
16
lebih berpihak pada rakyat banyak, sesuai konsepsi, asas-asas dan ketentuanketentuan pokok yang dirumuskan dalam UUPA.17 Dalam UUPA menurut penjelasan pasal 1 juncto penjelasan umum II angka 1, yang dimaksud dengan tanah ialah permukaan bumi. Permukaan bumi dalam pasal ini sudah tentu artinya permukaan bumi yang terdapat didalam wilayah kesatuan Republik Indonesia, yang dikuasai dan dikelola oleh Bangsa Indonesia. Berdasarkan hukum konsepsi Hukum Tanah Nasional sebagaimana dinyatakan dalam pasal (1) ayat 1 UUPA, bahwa “ seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari rakyat Indonesia, yang bersatus sebagai bangsa Indonesia. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.” Pertanyaan tersebut merumuskan isi konsepsi khas Hukum Agraria Nasional Indonesia, yang dikenal sebagai konsepsi komunalistik religius, yang menegaskan hubungann kepunyaan bersama rakyat/bangsa Indonesia dengan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, yang bersifat perdata, tetapi bukan hubungan kepemilikan. Sekaligus mengandung unsur hubungan publik dalam rangka mewujudkan amanat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia 1945 sebagaimana dikemukakan di atas. Dalam rangka mewujudkan amanat itulah, maka dilimpahkan kepada Negara Republik Indonesia serangkaian kewenangan yang dirumuskan dalam pasal 2 UUPA, yang menegaskan sifat publik dan sekaligus lingkup hak menguasai dari negara yang dimaksudkan dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945.18 Mengacu pada pasal 1 UUPA maka semua tanah dalam wilayah Negara Republik Indonesia adalah tanah Bangsa Indonesia. Hal ini berarti tanah merupakan kepunyaan bersama rakyat Indonesia, dan Bangsa Indonesia 17
Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (a), Edisi 2008 (Jakarta: Djambatan 2008),
18
Harsono (a), Op.Cit. kata pengantar xxxviii
hal. 2
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
17
berdasarkan amanat sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 dimana tanah dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan pengertian tanah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sebagai berikut : 1. Permukaan bumi atau lapisan bumi yang ada di atas sekali; 2. Keadaan bumi di suatu tempat; 3. Permukaan bumi yang diberi batas; 4. Bahan-bahan dari bumi, atau bumi sebagai bahan sesuatu (pasir cadas, napal dan sebagainya).19 Dalam UUPA sedianya menetapkan dan mengatur jenjang/hierarki dari hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah nasional. Hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah adalah hak-hak yang masing-masing berisikan kewenangan, tugas/ kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu dengan bidang tanah yang dihaki.20 Hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional tetap disusun dalam tata susunan yang berjenjang sebagai berikut: a. Hak Bangsa, sebagai yang disebut dalam pasal 1 UUPA, merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dan meliputi semua tanah dalam semua wilayah negara, yang merupakan tanah bersama. hak bangsa ini dalam penjelasan umum angka II dinyatakan sebagai Hak Ulayat yang diangkat pada tingkatan paling atas, yaitu pada tingkat nasional yang meliputi semua tanah diseluruh wilayah Indonesia. b. Hak Menguasai Dari Negara, yang disebut dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, merupakan hak penguasaan atas tanah sebagai penugasan pelaksanaan Hak Bangsa yang termasuk bidang hukum publik dan meliputi semua tanah bersama bangsa Indonesia. c. Hak Ulayat masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannnya masih ada, merupakan hak penguasaan atas tanah bersama masyarakat-masyarakat hukum adat tertentu 19
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989, hal. 893.
20
Boedi Harsono (b), Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2007) hal 39.
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
18
d. Hak-hak perorangan yang memberi kewenangna untuk memakai, dalam arti menguasai, menggunakan dan/ atau mengambil manfaat tertentu dari suatu bidang tanah tertentu seperti hak-hak atas tanah (Primer), wakaf, dan hak tanggungan.21 Hak menguasai dari Negara yang bersumber pada hak bangsa melalui pernyataan dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945, hakikatnya merupakan penugasan pelaksanaan tugas kewenangan bangsa yang mengandung unsur hukum publik.22 Maka jelaslah bahwa dalam hubungannya dengan bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, selaku organisasi kekuasaan seluruh rakyat, Negara bertindak dalam kedudukannya sebagai Kuasa dan Petugas Bangsa Indonesia.23 Namun, kewenangan Negara hanya didapatkan setelah memperluas ruang tafsir pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sebagaimana yang Moh. Koesnoe tafsirkan-yang prinsipnya mengatakan bahwa segalanya adalah berada di dalam kekuasaan Negara. Kekuasaan disini ialah bahwa Negara-lah yang berwewenang menentukan bagaimana peruntukan dan bagaimana berbuat, dengan demikian tiadalah sesuatu hak yang berdiri mandiri lepas daripada hak Negara, untuk menguasai itu karena setiap hak atas bumi, air dan kekayaan alam di Indonesia adalah diletakkan dan berada di atas kekuasaan daripada Negara. Negara dengan mendasarkan pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 memungkinkan menjalankan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, yang muaranya adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.24 Lebih lanjut konsep dari hak menguasai negara pada pasal 2 ayat (2) UUPA yaitu sebagai berikut: 1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut. 21
Ibid, hal 40-41.
22
Ibid, hal 45
23
Harsono (a), Op. Cit, hal 232
24
Guna Negara, Rakyat dan Negara Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, (Jakarta: PT.Tatanusa, 2008), hal 113.
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
19
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa. 3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Kewenangan negara tersebut tentunya harus selaras dengan kebijakan nasional di bidang pertanahan sebagaimana ditetapkan dalam ketetapan MPR RI Nomor II/MPR/1998 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara yang berbunyi sebagai berikut: Penguasaan dan penataan tanah oleh negara diarahkan pemanfaatannya untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Penguasaan tanah oleh negara sesuai tujuan pemanfaatannya perlu memperhatikan kepentingan masyarakat luas dan tidak menimbulkan sengketa tanah. Penataan penggunaan tanah dilaksanakan berdasarkan rencana tata ruang wilayah untuk mewujudkan kemakmuran rakyat dengan memerhatikan hak-hak rakyat atas tanah, fungsi sosial hak atas tanah, batas maksimum kepemilikan tanah khusunya tanah pertanian termasuk berbagai upaya lain untuk mencegah pemusatan penguasaan tanah dan penelantaran tanah. Penataan dan penguasaan tanah untuk pembangunan skala besar yang mendukung upaya pembangunan nasional dan daerah dilaksanakan dengan tetap mempertimbangkan aspek politik, sosial, pertahanan keamanan, serta pelestarian lingkungan hidup. Penataan penguasaan dan penggunaan tanah melalui kegiatan redistribusi tanah atau konsolidasi tanah yang disertai pemberian kepastian hak atas tanah diarahkan untuk menunjang dan mempercepat pengembangan wilayah, penanggulangan kemiskinan, dan mencegah kesenjangan penguasaan tanah. Dengan demikian negara diberi wewenang yang sangat luas oleh UUPA mengenai pemanfaataan tanah dengan tetap mengacu pada tujuan utama untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
20
Dalam kaitannya dengan hukum positif, kewenangan Negara untuk mencabut hak milik privat atau menuntut pemakaian atas miliknya (seluruh atau sebagiannya atau untuk waktu tertentu atau selamanya) hanya dapat didasarkan pada suatu peraturan perundangan yang tegas. Konsekuensi Negara menganut rule of law adalah hukum menjadi instrument penguasa untuk mengambil tanahtanah privat untuk kepentingan umum.25 Sedangkan yang menjadi landasan bagi Negara dalam memperoleh tanah bagi kepentingan umum ada 3 unsur, yaitu26: 1. Sarana hukum privat (privatrecht) Dalam instrument hukum ini Negara bertindak dalam lapangan hukum privat, karena selain badan hukum publik dapat pula sebagai subyek badan hukum privat yang nota bene menjadi subyek hukum. Menurut Hans Kelsen negara dapat diletakkan dalam kerangka pembawa hak dan kewajiban dengan demikian dapat menjadi subyek hukum, negara tidak hanya sebagai subyek hukum tetapi juga pemilik kekuasaan kenegaraan (staatsgewalt). Negara sebagai subyek hukum sudah barang tentu juga dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang ada dalam lalu lintas hukum privat, dalam kaitannya pengadaan tanah oleh negara untuk kepentingan umum, negara dapat memperolehnya dengan cara jual beli, tukar menukar , atau cara lain yang disepakati 2. Sarana hukum publik (publiekerecht) Kaidah-kaidah hukum publik secara sederhana merupakan kaidah yang tidak ada dalam hukum privat (perdata) dan kaidah hukum pidana serta dalam hukum tata negara. Pelaksanaan kekuasaan dan/atau kewenangan negara atas rakyat hampir semuanya diatur dalam hukum publik (hukum administrasi). Kewenangan negara untuk mengambil alih tanah-tanah privat untuk kepentingan umum selain dapat menggunakan cara-cara yang dibenarkan oleh hukum publik. Cara-cara pengadaan tanah oleh negara untuk kepentingan umum, dengan menggunakan hukum public antara lain menggunakan cara 25
Ibid. hal 115-147
26
Ibid, hal. 116
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
21
nasionalisasi, “perampasan”, pengambilan (untuk kepentingan landreform) dan cara pencabutan. 3. Sarana hukum campuran (gemeenschapelijkrecht) Hukum agraria secara substansial mengatur hal-hal yang bersifat publik sekaligus merupakan aturan-aturan yang bersifat publik disatu sisi dan sifat privat pada sisi lain maka hukum agrarian dapat dikatakan sebagai hukum campuran (gemeenschapelijkrecht). Ada 3 (tiga) cara negara dalam memenuhi kebutuhan tanah guna melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum, yakni: dengan menggunakan cara biasa (agreement), dengan menggunakan lembaga pengadaan tanah (taking by voluntary), dengan menggunakan cara paksa yaitu dengan menggunakan lembaga pencabutan tanah (taking by force).
B. Fungsi Sosial Tanah Sebagai konsekuensi dari dasar-dasar konsep hak menguasai negara maka semua hak atas tanah secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa, yang merupakan hak bersama, pemegang hak atas tanah juga wajib memiliki pemahaman hukum mengenai hak atas tanah yang dihakinya. Karena apabila melihat pada pasal 6 UUPA maka semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, bahkan dalam penjelasan pasalnya ditegaskan bahwa tidak hanya hak milik yang mempunyai fungsi sosial, tetapi mencakup semua hak atas tanah. Karenanya tanah yang dihaki oleh seseorang bukan hanya mempunyai fungsi bagi yang memegang hak tersebut saja, tetapi juga bagi Bangsa Indonesia, sehingga dalam mempergunakan tanahnya bukan hanya kepentingan sipemegang hak saja tetapi juga memperhatikan kepentingan masyarakat. Demikian juga halnya dalam pelaksanaan dan perencanaan haruslah memenuhi peraturan-peraturan pemerintah dan tata cara menurut hukum yang berlaku. Dengan menggunakan tanah sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan oleh pemerintah tersebut, terpenuhilah fungsi sosialnya. Kepentingan umum harus diutamakan daripada kepentingan pribadi, sesuai dengan asas hukum yang berlaku bagi terselenggaranya kehidupan bersama dalam
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
22
masyarakat. Tetapi biarpun demikian kepentingan individu juga tidak diabaikan, karena seperti telah dikemukakan diatas, hak individu atas tanah dihormati dan dilindungi oleh hukum. Maka jika kepentingan umum menghendaki didesaknya kepentingan individu, hingga yang terakhir ini mengalami kerugian, maka kepadanya harus diberikan pengganti kerugian.27 Seperti ketentuan dalam pasal 18 UUPA yang menyatakan: “ untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang” Pemahaman inilah yang harus diketahui oleh seorang pemegang hak atas tanah mengenai kewajiban dan hak-haknya, dimana seorang pemilik hak atas tanah tidak mempunyai kewenangan mutlak untuk menggunakan hak atas tanah atau dengan sekehendak hatinya merugikan orang lain, sehingga apabila tanah tersebut diperlukan untuk kepentingan umum dan kepentingan masyarakat lebih besar, maka akan diberlakukan fungsi sosial atas tanah tersebut. Jadi, prinsip kepemilikan atas tanah yang dianut oleh UUPA adalah selain menghormati hak-hak individual juga memperhatikan kepentingan yang lebih luas dengan menentukan adanya fungsi sosial dari suatu hak atas tanah. Namun demikian negara tidak dengan serta merta dapat menguasai hak atas tanah yang telah dihaki oleh rakyatnya, karena dasar dari penguasaan tersebut haruslah jelas demi rakyat dan kepentinagn umum dan dilakukan dengan cara yang diatur oleh Undang-Undang ataupun Peraturan Pertanahan sehingga dalam pelaksanaannya berdasarkan asas keadilan. Perwujudan dasar keadilan sosial dapat kita temukan dalam pasal 11 ayat (2), 13, 15 dan pasal-pasal yang mengatur landreform, yaitu pasal 10, 7, 17 dan 53. Dalam pasal 11 ayat (2) dinyatakan bahwa dalam mengadakan kesatuan dan persatuan dibidang hukum yang mengatur pertanahan, dimana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, harus diperhatikan perbedaan dalam keaadaan masyarakat dan keperluan golongan rakyat, tetapi dengan
27
Harsono , Op Cit. hal 298
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
23
menjamin perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekonomis lemah.28 Perolehan tanah untuk alasan kepentingan umum inilah yang sering menjadi penyebab timbulnya berbagai permasalahan antara pihak pemerintah ataupun swasta dengan rakyat sebagai pemilik hak atas tanah. Proses pembebasan tanah demi pembangunan daerah sering diakhiri dengan kekecewaan dari rakyat sebagai pihak pemegang hak atas tanah yaitu masalahmasalah seperti musyawarah, eksekusi dan ganti rugi yang sempat disinggung diatas, namun dalam penulisan hukum (tesis) ini hanya dibatasi dengan persoalan penentuan besarnya ganti rugi melalui konsinyasi.
2.2. Pengertian Pengadaan Tanah dan Prinsip Perolehan Tanah Untuk Kegiatan Pembangunan Demi Kepentingan Umum Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa, dalam rangka melaksanakan proyek-proyek pembangunan, tanah merupakah salah satu sarana yang amat penting sehingga semakin meningkatnya pembangunan yang akan dilaksanakan maka semakin meningkat pula kebutuhan akan tanah, sedangkan persediaan tanah sangatlah terbatas. Tanah mempunyai fungsi sosial dimana pemanfaatannya haruslah meningkatkan kesejahteraan rakyat dan sedapat mungkin penggunaan atas tanah tersebut
dilaksanakan
tanpa
merugikan
kepentingan
masyarakat
dan
kepentingan pembangunan, oleh karenanya pelaksanaan pengadaaan tanah yang dilakukan oleh penyelenggara baik pemerintah maupun swasta haruslah terkoordinir dengan baik, karena pada prinsipnya pelaksanaan pengadaan tanah dapat dilaksanakan oleh pemerintah, badan usaha milik negara maupun swasta. Pengadaan tanah dapat diartikan sebagai proses prosedur dan tata cata untuk memperoleh tanah atau lahan baik hal itu dilakukan oleh pihak pemerintah pusat atau pemerintah daerah maupun pihak swasta.29 28
Ibid.hal. 226 Soeprapto, Undang-Undang Pokok Agraria Dalam Praktek, (Jakarta: Mitra Sari, 1986), hal. 254 29
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
24
Pengadaan tanah untuk berbagai kepentingan seringkali menimbulkan konflik atau permasalahan dalam pelaksanaannya, hal ini disebabkan oleh kesenjangan antara das Sollen
sebagaimana tertuang dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dengan das Sein berupa kenyataan yang terjadi dilapangan.30 Dalam perkembangannya, landasan hukum pengadaan tanah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri 15 Tahun 1975, yang kemudian diganti dengan Keppres Nomor 55 Tahun 1993, yang kemudian diganti dengan Perpres Nomor 36 Tahun 2005, yang kemudian dilakukan perubahan menjadi Perpres Nomor 65 Tahun 2006. Aturan-aturan inilah yang menjadi acuan bagi pihakpihak yang akan melakukan pengadaan tanah baik untuk kepentingan umum maupun untuk kepentingan swasta/ bisnis. Pelaksanaan pengadaaan tanah yang dilakukan untuk pembangunan demi kepentingan umum tentunya haruslah berdasarkan landasan-landasan hukum tersebut. Arti pengadaan tanah secara tekstual dapat kita temui dalam beberapa peraturan sebagai berikut: Dalam Keppres Nomor 55 Tahun 1993 disebutkan: Pasal 1 ayat (1) pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut. Pasal 1 ayat (2) pelepasan dan penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah. Dalam Perpres Nomor 36 Tahun 2005 disebutkan: Pasal 1 ayat (3) pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah.
30
Maria S.W. Sumardjono (a), Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya (a), (Jakarta: Kompas, 2008), hal. 100.
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
25
Pasal 1 ayat (6) pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah. Dalam Perpres Nomor 65 Tahun 2006 disebutkan: Pasal 1 angka (3) pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Pasal 2 ayat (1) pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Pasal 2 ayat (2) pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh para pihak-pihak yang bersangkutan.31 Maka dengan demikian arti pengadaan tanah mempunyai 3 unsur, yaitu: 1. Kegiatan untuk mendapatkan tanah, dalam rangka pemenuhan lahan pembangunan untuk kepantingan umum. 2. Pemberian ganti rugi kepada yang terkena kegiatan pengadaan tanah. 3. Pelepasan hubungan hukum dari pemilik tanah kepada pihak lain.32
Sedangkan untuk dapat menjalankan pelaksanaan pengadaan tanah, maka harus terlebih dahulu diketahui tata cara memperoleh tanah dimaksud, yang ketentuan-ketentuannya disusun dalam suatu sistem, yang didasarkan pada kenyataan, yaitu tentang status tanah yang tersedia apakah tanah negara atau tanah hak, dan kesediaan pemegang hak untuk menyerahkan tanahnya serta syarat yang harus dimiliki untuk pemenuhan pelaksanaan pengadaan tanah tersebut. 31
Indonesia (c), Op.cit. pasal 1
32
Mudakir Iskandar Syah, Pembebasan Tanah Untuk Pembangunan Kepentingan Umum, (Jakarta: Jala Permata Aksara,2010) hal 2
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
26
Untuk memperoleh hak atas tanah guna memenuhi kebutuhan akan pengadaan tanah, ada beberapa cara untuk mendapatkan hak atas tanah33, yaitu: a. Perjanjian dengan pemilik tanah Pihak yang memiliki tanah tidak mau melepaskan tanahnya untuk dipergunakan oleh pihak lain yang memerlukannya, maka mereka dapat mengadakan perjanjian untuk menggunakan tanahnya. b. Permohonan hak Tata cara permohonan hak atas tanah diatur dalam berbagai peraturan Menteri Agraria (PMNA/KBPN No. 3/1999) tentang pelimpahan kewenangan dan pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah negara juncto PMNA/KBPN No. 9/1999 tentang tata cara pemberian dan pembatalan hak atas negara dan hak pengelolaan. c. Pemindahan hak Tata cara pemindahan hak atas tanah diatur dalam PP No. 24/1997 tentang pendaftaran tanah. Perbuatan hukum pemindahan hak bertujuan untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain. d. Pembebasan atau Pelepasan hak atas tanah Pembebasan atau Pelepasan hak atas tanah merupakan perbuatan hukum melepaskan hubungan hukum yang semula ada antara pemegang hak dengan tanah haknya, melalui musyawarah untuk mencapai kata sepakat, dengan cara mamberi ganti rugi kepada pemegang haknya sehingga tanah yang bersangkutan berubah statusnya menjadi tanah negara. Pada hakekatnya, pembebasan tanah bila dilihat dari sudut pemegang haknya adalah sebagai suatu pelepasan hak, namun dari sudut pemerintah dapat dikatakan sebagai pembebasan tanah.34 Sesuai dengan prinsip UUPA dalam hubungan ini yang aktif adalah pemegang hak untuk menyerahkan dan melepaskan haknya, sehingga melalui suatu pernyataan yang dibuat dengan sukarela tanpa paksaan dan tekanan 33
Arie Sukanti Hutagalung (c), Serba Aneka Masalah Tanah Dalam Kegiatan Ekonomi, (Jakarta: FH UI, 2002), hal 133 34 Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Pembebasan Tanah di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1987), hal. 15-16.
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
27
melepaskan dan menyerahkan hak atas tanah yang dikuasainya kepada badan hukum atau instansi pemerintah, sehingga dengan perbuatan hukum tersebut hapuslah hak yang bersangkutan. Pengertian yang demikian inilah yang lebih dekat dengan apa yang dikehendaki dalam pasal 3 Perpres No. 36/2005 joncto Perpres No. 65/2006 yang menentukan bahwa pelepasan atau penyerahan hak atas tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah. Artinya sekalipun kepentingan umum sangat menghendaki tanah yang bersangkutan harus diambil oleh negara, tetapi hak orang yang menjadi pemegang hak harus tetap dihormati tidak boleh semaunya. Hal ini juga ditentukan bukan berarti memberi kemutlakan bagi pemegang hak dengan seenaknya berkeras tidak mau menyerahkan hak atas tanahnya, karena seperti sudah disinggung sebelumnya hak atas tanah tersebut mempunyai “fungsi sosial”. Kalau memang yang bersangkutan tidak bersedia menyerahkan dengan sukarela dan tanah yang diperlukan untuk kepentingan umum sedangkan lokasi tanah tidak dapat diganti dengan lokasi tanah lain dan musyawarah tidak dapat dilakukan lagi maka ditempuh dengan cara lain yang dikenal dengan adanya lembaga “Pencabutan Hak atas Tanah” yang diatur dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 1961 dapat digunakan namun saat ini sulit untuk dilaksanakan. Dalam pasal 18 UUPA Nomor 5 Tahun 1960, pengadaan tanah demi kepentingan umum bisa dilakukan dengan cara pencabutan hak atas tanah, sedangkan yang dimaksud dengan kepentingan umum menurut pasal ini adalah kepentingan bangsa, Negara, dan rakyat. Pencabutan hak atas tanah ini bukan semata-mata mengambil alih hak atas tanah dari hak yang dimiliki oleh individu atau golongan menjadi hak negara, akan tetapi Negara ada keharusan memberikan konsekuensi berupa ganti rugi.35 Menurut ahli hukum Boedi Harsono pencabutan tanah adalah pencabutan hak dilakukan jika diperlukan tanah untuk kepentingan umum, 35
Iskandar, Op.cit, hal 6.
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
28
sedangkan musyawarah yang telah diusahakan untuk mencapai kesepakatan bersama mengenai penyerahan tanah dan ganti ruginya tidak membawa hasil yang konkrit padahal tidak dapat mendapatkan lahan. Dalam pencabutan hak yang punya tanah tidak melakukan suatu pelanggaran atau melalaikan suatu kewajiban sehubungan dengan tanah yang dipunyainya, maka pengambilan tanah yang bersangkutan wajib disertai ganti kerugian yang layak.36 Pengadaan tanah dengan cara pencabutan hak dilakukan dalam kondisi yang sangat darurat, arti darurat ini harus didahului dengan musyawarah pada proses awal pembebasan tanah, henya saja musyawarah ini tidak menemukan kesepakatan bersama, dan apabila ternyata dalam pelaksanaan pencabutan tidak didahului dengan musyawarah maka pencabutan hak atas tanah itu dianggap cacat hukum, dan bisa dilakukan tuntutan balik terhadap pemerintah. Walaupun keadaan yang sangat mendesak pencabutan harus dilakukan, bukan berarti prosedural
bisa
diabaikan
artinya
para
pemilik
tanah
tanpa
diajak
bermusyawarah sebagai proses pembebasan.37 Namun acara pengadaan tanah melalui pencabutan hak atas tanah tersebut terkesan dilakukan dengan pemaksaan karena bisa jadi pihak pemegang hak atas tanah tidak bersedia tanah yang dihakinya tersebut diserahkan pada pelaksanaan pembangunan tersebut. Sehingga alangkah baiknya jika proses pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum terjadi dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak, dan pihak pemegang hak atas tanah yang bersangkutan terlebih dahulu melakukan pelepasan hak atas tanah yang ia hakinya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada setiap pengadaan tanah hanya dapat dilakukan dengan pemberian ganti rugi bagi pemegang hak atas tanah yang tanahnya dijadikan lahan pembangunan, selain itu dalam Perpres Nomor 36 Tahun 2005 menyebutkan bahwa juga pengadaan tanah tersebut dimungkinkan dilakukan dengan cara pencabutan atas hak tanah.
36 37
Harsono (a), Op.cit, hal 344 Iskandar, Op.cit, hal 6
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
29
Pengadaan tanah yang dilakukan dengan didahului dengan pelepasan hak atau penyerahan hak atas tanah pada dasarnya segi-segi hukum meteriil pelaksanaannya sama dengan pembebasan tanah yaitu Hukum Perdata. Dengan perkataan lain bahwa keabsahan atau ketidak absahan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah sebagai cara pengadaan tanah ditentukan ada tidaknya kesepakatan diantara kedua belah pihak yang berarti sah tidaknya perbuatan hukum yang bersangkutan, berlaku antara lain syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.38 Saat ini pelaksanaan pengadaan tanah oleh pemerintah untuk kepentingan umum diatur dalam Perpres No. 36 Tahun 2005 dan Perpres No. 65 Tahun 2006. Pembangunan untuk kepentingan umum yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki oleh pemerintah serta tidak mencari keutungan. Pelaksanaan pengadaan tanah oleh pemerintah tersebut dapat pula dipakai oleh Badan Umum Milik Negara (BUMN) dengan (a) kegiatan pembangunan tersebut dilakukan dan selanjutnya dimiliki oleh pemerintah (BUMN) yang bersangkutan; (b) tidak digunakan untuk mencari keuntungan; dan (3) bidangbidang kegiatan tersebut terbatas pada apa yang ditentukan dalam pasal 5 Perpres No. 36 Tahun 2005. Sedangkan pengadaan tanah oleh swasta diatur dalam peraturan Menteri Agraria No. 2 Tahun 1993 tentang Tata Cara Memperoleh Izin Lokasi dan Hak Atas Tanah Bagi Perusahaan Dalam Rangka Penanaman Modal yang merupakan tindak lanjut dari Keppres No. 97 Tahun 1993 tentang Tata Cara Penanaman Modal. Permohonan izin lokasi dengan dilampiri salinan Surat Persetujuan penanaman modal bagi PMDN/PMA maupun non PMDN/PMA.39
38
Boedi Harsono (c), Aspek-Aspek Yuridis Penyediaan Tanah Dalam Rangka Pembangunan Nasional (Makalah: 1990), hal. 4. 39
Biro Hukum DPU, Tinjauan Yuridis Pengadaan Tanah Untuk Pelaksanaan Jalan Tol, (Jakarta: 1996), hal. 9-10.
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
30
2.3. Pengertian Kepentingan Umum Berkaitan dengan fungsi sosial tanah yang telah dibahas sebelumnya, bahwa semua tanah yang terdapat diwilayah kesatuan Republik Indonesia memiliki fungsi sosial dimana hak individu dapat dikesampingkan demi pelaksanaan kepentingan bersama rakyat Indonesia. Pelaksanaan kepentingan bersama ini sering kita dengar dan temui dalam hal adanya pengadaan tanah guna pembangunan kepentingan umum. Tanah yang memiliki fungsi sosial dan pemanfaatannya harus dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Untuk itu perlu terus dikembangkan rencana tata ruang dan tata guna tanah secara nasional sehingga pemanfaatan tanah dapat terkoordinasi antara berbagai jenis penggunaan dengan tetap memelihara kelestarian alam dan lingkungan serta mencegah penggunaan tanah yang merugikan kepentingan masyarakat dan kepentingan pembangunan. Hal yang paling sering terjadi adalah adanya proyek yang sering dijadikan alasan untuk kepentingan umum tetapi harus mengorbankan kepentingan umum lain yang terkait dengan pemilik hak atas tanah dan lokasi pengerjaan proyek, seperti penggusuran atas pemukiman masyarakat. Sehingga defenisi dan tafsiran mengenai kepentingan umum oleh penjalan proyek dan masyarakat yang terkena/menjadi korban dari terlaksananya proyek menjadi sangat berbeda. Karena itu sudah seharusnya terdapat rumusan rinci mengenai kepentingan umum, memang sudah saatnya ada rumusan yuridisnya yang lebih pasti. Pada prinsipnya dalam melaksanakan pembangunan dan kepentingan pembangunan,
perlu
diperhatikan
faktor-faktor
penting
yang
harus
dipertimbangkan terlebih dahulu dalam pengadaan tanah untuk kebutuhan proyek-proyek pengadaan tanah untuk kebutuhan proyek-proyek pembangunan, yaitu: 1. Pengadaan tanah untuk proyek-proyek pembangunan harus memenuhi syarat rencana tata ruang dan rencana tata guna tanah. 2. Penggunaan tanah tidak boleh mengakibatkan kerusakan atau pencemaran terhadap kelestarian alam dan lingkungan.
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
31
3. Penggunaan tanah tidak boleh mengakibatkan kerugian masyarakat dan kepentingan pembangunan.40
Kata kepentingan umum dapat kita temui dalam UUPA pada pasal 18, yang dalam penjelasannya tidak dijelaskan secara rinci apa pengertian dari kepentingan umum tersebut. Sebelum adanya Keppres No. 55 Tahun 1993, belum ada defenisi yang jelas tentang kepentingan umum yang baku. Secara sederhana dapat diartikan bahwa kepentingan umum dapat saja dikatakan untuk keperluan, kebutuhan atau kepentingan orang banyak atau tujuan yang luas. Namun demikian rumusan tersebut terlalu umum dan tidak ada batasnya. Sedangkan dalam kamus besar Bahasa Indonesia susunan W.J.S Purwadarminta istilah kepentingan umum hanya diartikan sebagai kepentingan orang banyak.41 Sedangkan pendapat lain dari John Selindeho, kepentingan umum adalah termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepantingan bersama rakyat dengan memperhatikan segi-segi sosial, politik, psikologis, dan hankamnas atas dasar asas-asas pembangunan nasional dengan mengindahkan ketahanan nasional serta wawasan nusantara.42 Dalam praktek di lapangan sering timbul pertanyaan tentang apa kriteria kepentingan umum itu. Pertanyaan itu wajar timbul karena kenyataannya menjadi kabur antara kepentingan umum dalam versi proyek dengan kepentingan umum dalam versi masyarakat.43
40
I Wayan Suandra, Andi Hamzah, Hukum Pertanahan Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hal. 11-12. 41
A.A Oka Mahendra, Menguak Masalah Hukum, Demokrasi dan Pertanahan, cet.1 (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), hal. 279 42
John Salindheo, Masalah Tanah Dalam Pembangunan Cetakan Kedua (Jakarta: Sinar Grafika, 1988) hal. 40 43
Maria S.W. Sumardjono (b),”Model Penyediaan Tanah Dalam Rangka Meningkatkan Taraf Hidup Rakyat”,(makalah disampaikan pada seminar pertanahan dalam rangka tri dasawarsa UUPA,yang diselenggarakan oleh BPN,Jakarta,2-4 Oktober 1990),dikutip dari Moh Mahfud MD,pergaulatan politik dan hukum di Indonesia,cet.1,(Yogyakarta:Gama Media,1999),hal.134.
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
32
Kepentingan dalam arti luas diartikan sebagai “public benefit” sedangkan dalam arti sempit public use diartikan sebagai public accses, atau apabila publik accses tidak dimungkinkan, maka cukup “if the entire public could use the product of the facility”44 Pengertian kepentingan umum secara yuridis dapat kita temui dalam Peraturan Presiden No.36 tahun 2005 pada pasal 1 yang menjelaskan arti “kepentingan umum ialah kepentingan sebagaian besar masyarakat.”45 Sedangkan pengertian kepentingan umum yang terdapat dalam Keputusan Peresiden No.55 tahun 1993 dalam pasal 1 menjelaskan bahwa “kepentingan umum adalah kepentingan seluruh lapisan masyarakat.”46 Arti kepentingan umum yang berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 adalah kepentingan yang menyangkut sebagaian besar masyarakat, sedangkan menurut Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993, yang menyangkut seluruh lapisan masyarakat. Dari dua ketentuan tersebut akan lebih tepat yang berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 yaitu dengan kata-kata sebagian besar masyarakat, karena salah satu sarana umum itu belum tentu dapat dinikmati semua masyarakat, kata sebagaian besar ini mempunyai arti tidak semua masyarakat, akan tetapi dalam kata demi kepentingan sebagaian besar masyarakat, bisa dianggap untuk semua masyarakat, walaupun dari sebagaian besar itu pasti ada sebagian kecil masyarakatnya yang tidak bisa menikmati hasil atau manfaat dari fasilitas pembangunan kepentingan umum itu sendiri atau dengan kata lain, kepentingan umum kepentingan yang menyangkut kepentingan Negara, Bangsa, dan sebagaian besar masyarakat. Kepentingan umum adalah suatu kepentingan yang menyangkut semua lapisan masyarakat
44
Sumardjono (a), Op. cit, hal.100
45
Indonesia (d),Peraturan Presiden tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,Perpres No 36 Tahun 2005, lembaran lepas 2005,ps 1 ayat (5). 46
Indonesia (e),Keputusan Presiden tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,Perpres No 55 Tahun 1993, lembaran lepas 1993,ps 1 ayat (3).
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
33
tanpa pandang golongan, suku, agama, status sosial dan sebagainya. Berarti apa yang dikatakan kepentingan ini menyangkut hajat hidup orang banyak.47 Klasifikasi mengenai kepentingan umum terdapat dalam beberapa peraturan pertanahan yang dimulai dari Keppres No.55 Tahun 1993 yang selanjutnya diganti dengan Perpres No.36 Tahun 2005 tentang Pengadaaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang kemudian dilakukan perubahan terhadapnya menjadi Perpres No. 65 Tahun 2006, dimana pada masing-masing peraturan tersebut jenis-jenis kepentingan umum yang akan diuraikan sebagai berikut: Jenis kepentingan umum berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 sebagaimana disebutkan dalam pasal 5 sebagai berikut: a. Jalan umum, saluran pembuangan air; b. Waduk bendungan dan bangunan pengairan lainnya, termasuk saluran irigasi; c. Rumah sakit umum dan pusat-pusat kesehatan masyarakat; d. Pelabuhan atau Bandar Udara atau terminal; e. Peribadatan; f. Pendidikan atau sekolahan; g. Pasar Umum atau Pasar INPRES h. Fasilitas pemakaman umum i. Fasilitas keselamatan umum seperti antara lain tanggul, penanggulangan bahaya banjir, lahar dan benda-benda lain bencana; j. Pos dan Telekomunikasi; k. Sarana Olah Raga; l. Stasiun penyiaran radio televisi beserta sarana pendukungnya; m. Kantor Pemerintahan n. Fasilitas angkatan bersenjata Republik Indonesia. Pada perkembangannya Keppres ini dilakukan perubahan karena dianggap sudah tidak sesuai sebagai landasan hukum dalam rangka melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum, karena itu pemerintah 47
Iskandar Syah.Op.cit. Hal. 12
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
34
Indonesia pada tanggal 3 Mei 2005 mengeluarkan peraturan baru terkait pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yaitu Perpres No. 36 Tahun 2005. Berdasarkan Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, kepentingan umum diartikan sebagai kepentingan sebagian besar masyarakat.48 Ini mengandung arti bahwa dalam Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tidak ada kriteria pembatasan kepentingan umum, hal ini membuka kemungkinan pengadaan tanah oleh swasta difasilitasi oleh pemerintah, sedangkan biayanya dibebankan kepada swasta/investor.49 Pembangunan yang berwawasan kepentingan umum dijelaskan dalam pasal 5 Perpres No.36 Tahun 2005 sebagai berikut: Pembangunan kepentingan umum dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah meliputi: a. Jalan umum, jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang di bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi; b. Waduk, bendungan, bending, irigasi, dan bangunan pengairan lainnya; c. Rumah sakit umum dan pusat kesehatan masyarakat; d. Pelabuhan,Bandar udara,stasiun kereta api dan terminal; e. Peribadatan; f. Pendidikan atau sekolah; g. Pasar umum; h. Fasilitas pemakaman umum; i. Fasilitas keselamatan umum; j. Pos dan telekomunikasi; k. Sarana olahraga; l. Stasiun penyiaran radi, televise dan saran pendukungnya; 48
Indonesia (d),Op.cit ,ps 1 (5).
49
Maria S.W.Sumardjono (c), Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, (Jakarta:Penerbit Buku Kompas,2005). hal.102.
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
35
m. Kantor
pemerintah,
pemerintah
daerah,
perwakilan
Negara
asing,
Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan atau lembaga-lembaga internasional dibawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa; n. Fasilitas Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya; o. Lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan; p. Rumah susun sederhana; q. Tempat pembuangan sampah; r. Cagar alam dan cagara budaya; s. Pertamanan; t. Panti sosial; u. Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik. Sedangkan klasifikasi kepentingan umum menurut Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2005 yang dijelaskan dalam pasal 5 sebagai berikut: Pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, yang selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki oleh pemerintah atau pemerintah daerah, meliputi: a. Jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang di bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi; b. Waduk, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya; c. Pelabuhan, Bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal; d. Fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana; e. Tempat pembuangan sampah; f. Cagar alam dan cagar budaya; g. Pembangkit, tranmisi, distribusi tenaga listrik. Dalalm Perpres Nomor 65 Tahun 2006 masih mendefinisikan kepentingan umum sama dengan Perpres Nomor 36 Tahun 2005 namun ditambah dengan
ketentuan bahwa pembangunan kepentingan umum yang
dilaksanakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah yang selanjutnya dimilik
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
36
atau akan dimiliki oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Selain itu terdapat pengurangan jumlah kegiatan-kegiatan pembangunan yang dinyatakan sebgai kepentingan umum yang semula berjumlah 21 bidang kegiatan menjadi 7 bidang kegiatan. Menurut Prof. Maria S.W.Sumardjono, Perpres Nomor 65 Tahun 2006 berpotensi menimbulkan masalah antara lain pembatasan kepentingan umum dalam 2 hal, pembangunan itu dilaksanakan oleh pemerintah/pemerintah daerah, yang selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki pemerintah/pemerintah daerah. Perpres ini memperluas pembatasan kepentingan umum dengan memuat kata “atau akan” dimiliki oleh pemerintah/pemerintah daerah, serta menghapus kata “tidak digunakan untuk mencari keuntungan”. Mudah ditebak bahwa perpres ini utamanya dimaksudkan untuk menjadi landasan hukum kemitraan antara pemerintah dan swasta, khususnya dalam proyek pembangunan infrastruktur yang pendanaannya sulit dipenuhi pemerintah sendiri. Keikutsertaan swasta dapat berupa dana pengadaan tanah maupun pengusahaannya,misalnya melalui Built Operation Transfer (BOT) atau Kerja Sama Operasi (KSO), pemilikannya baru dapat dinikmati oleh pemerintah setelah berakhirnya perjanjian kerja sama operasi, umumnya setelah 30 tahun.50 Bahwa pengurangan kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum dari 21 menjadi 7 jenis menimbulkan pertanyaan, apa yang menjadi dasar pengurangan itu? Bagaimana jika pemerintah/pemerintah daerah akan membangun Puskesmas/rumah sakit umum, tempat pendidikan atau sekolah, lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan, kantor pemerintah/pemerintah daerah, pasar umum/pasar tradisional? Apakah pemerintah/pemerintah daerah harus memperoleh tanah dengan cara jual beli? Perlu direnungkan, khususnya hak untuk memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan adalah hak dasar yang dijamin UUD 1945 dan merupakan kewajiban pemerintah untuk memenuhinya. Persoalan mengenai kepentingan umum secara konsepsional memang sulit sekali untuk dirumuskan dan lebih-lebih kalau dilihat secara operasional.
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
37
Akan tetapi, dalam rangka pengambilan tanah masyarakat penegasan tentang kepentingan umum yang akan menjadi dasar dan kriterianya tentu perlu ditentukan secara tegas, sehingga pengambilan tanah-tanah dimaksud benarbenar sesuai dengan landasan hukum yang berlaku. Sehingga tidak berimplikasi pada timbulnya penafsiran yang berbeda-beda mengenai pengertian kepentingan umum.
2.4. Pengadaan Tanah Untuk Kegiatan Pembangunan Untuk daerah Di Indonesia. Dalam perkembangannya peraturan pelaksanaan pengadaaan tanah bagi pembangunan kepentingan umum terus berkembang dan diubah sesuai kebutuhan dalam memaksimalkan usaha untuk mencapai maksud dan tujuan UUPA. A. Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMND) No. 15 Tahun 1975 Tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah. Dalam PMDN No. 15 Tahun 1975 merupakan instrument hukum yang pertama memberikan kewenangan negara untuk memeperoleh tanah untuk kepentingan pembangunan dengan menggunakan cara pembebasan tanah. Konsideran pertama dalam PMDN No. 15 tahun 1975 menyebutkan: Bahwa untuk memenuhi kebutuhan akan tanah dalam usaha-usaha pembangunan, baik yang dilakukan oleh instansi/badan pemerintah maupun untuk kepentingan swasta, khususnya untuk keperluan pemerintah dirasakan perlu adanya ketentuan mengenai pembebasan dan sekaligus menentukan besarnya ganti rugi atas tanahyang diperlukan secara tertib dan seragam.51 Dalam PMDN No. 15 Tahun 1975 tidak dikenal adanya istilah pengadaan tanah melainkan pembebasan tanah. Menurut pasal 1 ayat (1) PMDN No. 15 Tahun 1975 yang dimaksud dengan pembebasan tanah adalah melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat diantara pemegang hak/ penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi. PMDN No. 15 51
Guna Negara, Op Cit. hal 159.
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
38
tahun 1975 juga mengatur pelaksanaan atau tata cara pembebasan tanah untuk kepentingan pemerintah dan pembebasan tanah untuk kepentingan swasta. Untuk pembebasan tanah bagi kepentingan pemerintah dibentuk panitia pembebasan tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 2 PMDN No. 15 tahun 1975 untuk kepentingan swasta tidak dibentuk panitia khusus, dalam hal ini pemerintah hanya mengawasi pelaksanaan pembebasan tanah tersebut antara para pihak yaitu pihak yang membutuhkan tanah dengan pihak yang mempunyai/memegang hak atas tanah yang bersangkutan. Yang kemudian untuk
mengakomodasi
kepentingan
swasta
untuk
memperoleh
tanah,
pemerintah kembali memberikan kemudahan dengan menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor. 2 Tahun 1976 tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah oleh Pihak Swasta
B. Keputusan Presiden (Keppres) No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Pengadaan tanah menjadi cara negara untuk memenuhi kebutuhan tanah guna penyelenggaraan pembangunan, maka pada saat itu lahirlah PMND No. 15/ 1975 yang kemudian dinilai banyak kalangan sebagai instrument hukum yang dalam implementasinya dijalankan secara represif dan menyengsarakan para pemilik tanah, kemudian dibuatlah instrumen hukum baru berupa Keppres No. 55/ 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Perubahan instrumen hukum tersebut disebabkan karena pelaksanaan pembebasan tanah baik yang menyangkut pengadaan tanah bagi kepentingan pembangunan untuk kepentingan umum maupun pembebasan tanah untuk kepentingan swasta selalu menimbulkan disharmoni.52 Istilah pembebasan tanah dalam PMND No. 15/ 1975 diubah menjadi pengadaan tanah dalam Keppre No. 55/ 1993. Selain itu dalam Keppres ini terdapat pengaturan dan klasifikasi mengenai kepentingan umum. Dalam pasal 2 ayat (2) dan (3) Keppres No. 55/1993 menyatakan bahwa cara pengadaan tanah ada 2 (dua) macam, yaitu pertama pelepasan atau 52
Ibid. hal 164.
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
39
penyerahan hak atas tanah, dan kedua jual beli, tukar menukar, dan cara lain yang disepakati oleh para pihak yang bersangkutan. Kedua cara tersebut termasuk kategori pengadaan tanah secara sukarela. Untuk cara yang pertama dilakukan untuk pembangunan yang dilakukan untuk kepentingan umum sebagaimana yang diatur dalam Keppres 55/1993, sedangkan cara kedua dilakukan untuk pengadaan tanah yang dilakukan untuk pengadaan tanah yang dilaksanakan selain bagi kepentingan umum. Menurut pasal 6 ayat (1) Keppres No.55/1993, menyatakan bahwa: “ pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah yang dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, sedangkan ayat (2) menyatakan bahwa “panitian pengadaan tanah” dibentuk disetiap kabupaten atau Kotamadya Tingkat II” Berdasarkan ketentuan pasal 9 Keppres No. 55/1993 pengadaan tanah bagi pelaksanaan dengan musyawarah yang bertujuan untuk mencapai kesepakatan mengenai penyerahan tanahnya dan bentuk serta besarnya imbalan. Apabila dalam musyawarah tersebut telah tercapai kesepakatan para pihak, maka pemilik tanah diberikan ganti kerugian sesuai dengan yang disepakati oleh para pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Keppres No. 55/ 1993 untuk kepentingan bangsa dan negara.
C. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2005 juncto Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Latar belakang diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 adalah banyaknya kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam Keppres No. 55/ 1993, misalnya:53 1) Tidak mampu mengatasi spekulan tanah/ percaloan (“mafia”) tanah yang telah ditetapkan sebagai lokasi pembangunan. Akibatnya biaya pembangunan menjadi mahal bahkan pembangunan menjadi terhenti.
53
Ibid. hal 168
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
40
2) Jiwa peraturannya masih bersifat sentralistik dan dijalankan secara otoriter yang pada kondisi sekarang ini pola pemerintahan sudah berubah kea rah desentralisasi yang dijalankan secara demokratis. 3) Pasca pembebasan banyak rakyat pemilik tanah yang terdegradasi kehidupan social ekonominya. 4) Struktur atau komposisi panitia pengadaan tanah yang semuanya dari pejabat pemerintah yang implementasinya tidak dapat menghilangkan keberpihakan kepada negara, dibanding kepada rakyat pemilik tanah, misalnya: •
Dalam penentuan nilai ganti rugi , terjadi pemaksaan nilai ganti rugi dengan didasarkan pada nilai pajak (NJOP) bukan didasarkan pada land value yang riil;
•
Musyawarah dijalankan tidak sebagai media untuk berunding yang sederajat, tetapi diarahkan sebagai media sosialisasi atau indoktrinasi.54
Dengan berlakunya Perpres No. 36/ 2005, ada sedikit perbedaan dalam tata cara pengadaan tanah untuk kepentingan umum, meskipun pada dasarnya sama dengan Keppres No. 55/ 1993. Menurut pasal 2 ayat (1) Perpres No.36/2005 menyatakan bahwa: Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Pada ayat (2) menyatakan bahwa: Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepantingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut Perpres No. 36/2005 bahwa khusus untuk pengadaan tanah bagi kepentingan umum yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun pemerintah daerah dilakukan dengan
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
41
cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah atau pencabutan hak atas tanah. Sedangkan pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum yang dilaksanakan oleh pemerintah ataupun pemerintah daerah, dalam hal ini dilaksanakan oleh pihak swasta maka dilaksanakan dengan jual beli, tukar menukar atau dengan cara lain yang disepakati secara sukarela dengan pihak-pihak yang bersangkutan. Hal ini berbeda dengan ketentuan yang sebelumnya yang tidak membedakan secara tegas mengeai tata cara pengadaan tanah baik untuk kepentingan umum, maupun bukan kepentingan umum yang dilaksanakan oleh pemerintah ataupun pihak swasta sehingga dalam ketentuan ini memperjelas aturan pelaksanaan dalam pengadaan tanah untuk kepentingann umum maupun swasta.
2.4.1. Pengadaan Tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan oleh pemerintah Sehubungan dengan tata cara Penguasaan Tanah yang diperlukan oleh pemerintah untuk melaksanakan pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum, ada beberapa cara yang dapat kita temui dalam Perpres No. 36/2005 juncto Perpres 65/2006, serta pada Peraturan Kepala Badan Pertanahan (KBPN) No. 3 Tahun 2007 tentang ketentuan pelaksanaan Perpres No. 36/2005 juncto Perpres No.65/2006, yang secara garis besar sebagai berikut: 1. Tahap Perencanaan Dalam tahap perencanaan ini terdapat syarat-syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi oleh pihak pemerintah selaku yang memerlukan lahan tanah tersebut seperti termuat dalam ketentuan pasal 2 ayat (1) Peraturan KBPN No.3/2007 menyatakan: “untuk memperoleh tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepenti ngan umum, instansi pemerintah yang memerlukan tanah menyusun proposal rencana pembangunan paling lambat 1 (satu) tahun sebelumnya, yang menguraikan: (a) maksud dan tujuan pembangunan, (b) letak dan lokasi pembangunan, (c) luasan tanah yang diperlukan, (d) sumber pendanaan, (e) analisis kelayakan lingkungan
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
42
perencanaan pembangunan, termasuk dampak pembangunan berikut upaya pencegahan dan pengendalian”. 2. Penetapan Lokasi Instansi pemerintah yang memerlukan tanah menagajukan permohonan penetapan lokasi kepada Bupati/Walikota atau Gubernur melalui Kepala /kantor Pertanahan. Dan apabila rencana penggunaan tanahnya telah sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang atau perencanaan ruang wilayah atau kota yang telah ada, maka izin lokasi diberikan padanya dengan diterimanya keputusan penetapan lokasi. 3. Pembentukan Panitia Pengadaan Tanah Penitia Pengadaan Tanah dibentuk oleh Bupati/Walikota atau Gubernur dan bertugas: a. mengadakan penelitian dan inventarissi atas tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan b. mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan, dan dokumen yang mendukungnya; c. menaksir dan mengusulkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan; d. memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut dalam bentuk Konsultasi publik baik melalui tatap muka, media cetak maupun media elektronik agar dapat diketahui oleh seluruh masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang hak atas tanah. e. Mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan instansi pemerintah dan atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti rugi; f. Menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti rugi kepada para pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang ada diatas tanah;
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
43
g. Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah; h. Mengadminstrasikan dan mendokumentasikan semua berkas pengadaan tanah dan menyerahkan kepada pihak yang berkompeten. Berdasarkan Perpres No. 36 Tahun 2005 juncto Perpres No. 65 Tahun 2006, pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang luasnya lebih dari 1 Ha, dilaksanakan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah yang dibentuk disetiap Kabupaten/Kotamadya dengan keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I. Sedangkan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah yang luasnya tidak lebih dari 1 Ha, dapat dilakukan langsung oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah, dengan cara jual beli atau tukar menukar atau cara lain yang disepakati oleh kedua belah pihak.
2.4.2. Pengadaan Tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan oleh swasta. Sebelum berlakunya Keppres No. 55 Tahun 1993, pengadaan tanah yang dilakukan oleh pihak swasta dapat dilaksanakan dengan pencabutan hak, seperti yang ternyata dalam penjelasan UU No. 20 Tahun 1961 angka (4) huruf b antara lain dinyatakan bahwa: “...ketentuan-ketentuan Rancangan Undang-undang ini tidak menutup kemungkinan untuk, sebagai perkecualian, mengadakan pula pencabutan hak guna pelaksanaan usaha-usaha swasta, asal usaha itu benarbenar untuk kepentingan umum dan tidak mungkin diperoleh tanah yang diperlukan melalui persetujuan dengan yang empunya. Sudah barang tentu usaha swasta tersebut rencananya harus disetujui Pemerintah dan sesuai dengan pola pembangunan nasional semesta berencana....” Dari ketentuan tersebut jelas bahwa pihak swasta pun dapat menggunakan tata cara pencbutan hak atas tanah sebagaimana diatur dalam UU No. 20 Tahun 1961 guna melaksanakan pengadaan tanah untuk suatu proyek pembangunan, namun harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. proyek- proyek yang dibangun merupakan proyek untuk kepentingan umum
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
44
b. rencana pembangunan proyek tersebut telah mendapat persetujuan dari pemerintah dan sesuai dengan pola pembangunan nasional c. tanah yang dimaksud tidak mungkin diperoleh melalui persetujuan pemilik tanah atau pemegang hak aats tanah Walaupun pada saat itu UU No. 20 Tahun 1961 memperkenankan pihak swasta, namun dalam prakteknya pihak swasta belum pernah menggunakan ketentuan dimaksud. Sulitnya persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi dan lamanya waktu yang dibutuhkan dalam proses penyelesaian suatu pencabutan hak atas tanah menyebabkan pihak swasta enggan untuk menggunakan tatacara pencabutan hak atas tanah. Dalam upaya memperoleh tanah pihak swasta biasanya menggunakan tata cara pembebasan tanah yaitu berdasarkan pasal 11 ayat (2) PMDN No. 15 Tahun 1975, pembebasan tanah untuk keperluan swasta pada asasnya harus dilakukan secara langsung antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemberian ganti rugi yang berpedoman kepada asas musyawarah. Dengan demikian pada prinsipnya acara pembebasan tanah untuk swasta ini sama dengan acara pembebasan tanah untuk kepentingan pemerintah. Perbedaannya adalah bahwa untuk kepentingan swasta tidak wajib melalui suatu panitia pembebasan tanah. Namun apabila diperlukan pihak swasta dapat pula meminta bantuan panitia pembebasan tanah. Ketentuan tersebut diatur didalam PMDN No. 2 Tahun 1976 tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah Oleh Pihak Swasta yang pasal 1 nya menyatakan: “Pembebasan tanah oleh pihak swasta untuk kepentingan pembangunan proyekproyek yang bersifat menunjang kepentingan umum dan fasilitas sosial dapat dilaksanakan menurut acara pembebasan tanah untuk kepentingan Pemerintah sebagaimana diatur dalam Bab I, II dan IV Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15/1975.” Kemudian setelah berlakunya Keppres No. 55 Tahun 1993 maka PMDN No. 2 Tahun 1976 dinyatakan tidak berlaku lagi, dan ini berarti selanjutnya menjadi pembebasan tanah untuk keperluan swasta mengacu pada ketentuan
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
45
pasal 2 ayat (2) Perpres No. 36 Tahun 2005 juncto Perpres No. 65 Tahun 2006 menyatakan “pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah atau pemerintah daerah dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan”
2.5 Musyawarah-Ganti Rugi Dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum A. Musyawarah Dalam Pengadaan Tanah Pada prinsipnya tanpa adanya proses musyawarah antara pemegang hak atas tanah dan pihak/instansi pemerintah yang memerlukan tanah, pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum tidak akan pernah terjadi atau terealisasi dalam implementasinya. Dalam proses musyawarah tentunya bertujuan menyamakan visi dan misi dari kedua belah pihak berkaitan dengan pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, dalam hal ini adalah besarnya ganti rugi yang akan dibayar kepada pemegang hak atas tanah oleh pihak yang memerlukan tanah. Arti musyawarah menurut pasal 1 ayat (5) Keppres No. 55 Tahun 1993 musyawarah adalah proses atau kegiatan saling mendengar dengan sikap saling menerima pendapat atau keinginan yang didasarkan atas kesukarelaan antara pihak pemegang hak atas tanah dan pihak yang memerlukan tanah untuk memperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian. Kemudian ditegaskan kembali pada pasal 9 yang menyatakan “pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan melalui musyawarah”. Musyawarah diselenggarakan oleh Panitia Pengadaan Tanah dan dipimpin oleh Ketua Panitia Pengadaan Tanah, dan dilakukan secara langsung antara pemegang hak atas tanah dan pihak yang memerlukan tanah. Keppres No. 55 Tahun 1993 ini bisa dikatakan tidak ada kepastian hukum, artinya tidak ada kurun waktu dalam melakukan musyawarah, atau tidak ada batas waktu, akibat dari tidak adanya batas waktu ini setiap pengadaan
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
46
tanah seringkali membutuhkan waktu yang tidak menentu, atau lebih tepat tidak ada kepastian hukum.55 Sedangkan pengertian musyawarah dalam Perpres No. 36 Tahun 2005 terdapat dalam pasal 1 ayat (10), yaitu berbunyi: “ musyawarah adalah kegiatan yang mengandung proses saling mendengar, saling memberi dan saling menerima pendapat serta keinginan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan masalah lain yang berkaitan dengan kegiatan pengadaan tanah atas dasar kesukarelaan dan kesetaraan antara pihak yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah dengan pihak yang memerlukan tanah”. Perpres No. 65 Tahun 2006 tidak memberikan defenisi maupun arti dari musyawarah, dengan demikian arti musyawarah tetap mengacu kepada peraturan yang berlaku sebelumnya (Perpres No. 36 Tahun 2005). Mekanisme musyawarah daam Perpres No. 36 Tahun 2005 secara garis besar sama dengan Keppres No. 55 Tahun 1993, yaitu ditegaskan dalam pasal 9 ayat (2) yang berbunyi bahwa musyawarah dilaksanakan oleh panitia pengadaan tanah. Dan demi menjamin kepastian hukum dalam pengadaan tanah maka musyawarah itu sendiri dibatasi selama 90 (sembilan puluh) hari kalender, terhitung sejak tanggal undangan pertama disampaikan. Sedangkan batas waktu musyawarah berdasarkan pasal 10 Perpres No. 65 Tahun 2006 selama 120 hari kalender terhitung mulai tanggal undangan pertama musyawarah pertama. Proses musyawarah diawali dengan proses pendataan kepemilikan tanah, dari mana pemilik/ pemegang hak, letak, luas dan sampai jenis kepemilikan tanah. Setelah proses dimaksud telah dianggap akurat, maka kegiatan selanjutnya adalah sosialisasi kepada para pemilik atau pemegang haka tas tanah yang akan dikenakan pembebasan. Kegiatan sosialisasi merupakan kewajiban yang dalam bidang apapun, termasuk bidang pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum. Tujuan dari sosialisasi ini untuk memberi informasi kepada para pemilik atau pemegang hak atas tanah tentang rencana
55
Mudakir, Op.cit hal 43
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
47
pemerintah untuk melaksanakan kegiatan pembangunan yang membutuhkan lahan dari tanah masyarakat.56 Proses atau kegiatan saling mendengar antara pihak pemegang hak atas tanah dan pihak yang memerlukan tanah lebih bersifat kualitatif, yakni adanya dialog interaktif secara langsung antara para pihak dengan menempatkan kedudukan yang setara atau sederajat. Namun apabila jumlah pemegang hak atas
tanah
tidak
memungkinkan
musyawarah
secara
efektif,
dibuka
kemungkinan adanya wakil-wakil yang ditunjuk diantara para pemegang hak atas tanah, yang sekaligus bertindak selaku kuasa mereka, seperti ternyata dari pasal 9 ayat (2) Perpres No. 35 Tahun 2005. Karena itu unsur-unsur yang terdapat dalam musyawarah adalah adanya unsur kesukarelaan, unsur sikap saling menerima pendapat atau keinganan yang didasarkan atas dasar kesukarelaan antara pihak pemegang hak atas tanah dan pihak yang memerlukan tanah dan selanjutnya adalah unsur perolehan kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 1 ayat (6) Perpres No. 36 Tahun 2005 yaitu: “pengadaan tanah dilakukan melalui pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah merupakan kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah”. Sedangkan unsur esensial musyawarah adalah adanya kesatuan pendapat yang mengadopsi pendirian semua kehendak para warga didalamnya. Kehendak setiap warga masyarakat merupakan bagian tidak terpisahkan dari kesatuan pendapat tersebut. Hasil musyawarah adalah adanya “kesepakatan bersama”…kesepakatan atau kata sepakat menjadi kunci dalam pengambilan keputusan penetapan ganti rugi yang harus dibayar negara dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum.57 Memperhatikan pengertian pelepasan atau penyerahan hak atas tanah tersebut seolah-olah yang aktif itu adalah pemegang hak atas tanah, yakni 56
57
Iskandar Syah, Op.cit. hal 44 Ibid. hal 215
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
48
melepaskan hubungan hukum hak atas tanah yang dikuasainya. Padahal faktanya, boleh jadi yang aktif dan harus proaktif adalah pihak yang memerlukan tanah melalui panitian pengadaan tanah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa musyawarah dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum mempunyai makna penting dalam dua hal. Pertama, menentukan dapat atau tidaknya pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan dan kedua, menentukan bentuk dan besarnya ganti rugi yang akan diterima oleh pemegang hak atas tanah. Musyawarah dalam konteks pengadaan tanah untuk kepentingan umum harus dipahami dan dikaitan dengan kesepakatan sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian sebagaimana tertuang dalam pasal 1320 Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUHPerdata). Menurut pasal 1320 KUHPerdata untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat yaitu: (1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, (2) cakap untuk membuat suatu perikatan, (3) suatu hal tertentu dan (4) suatu sebab yang halal. Dua syarat yang pertama dinamakan syarat subyektif menyangkut subyek perjanjian. Dua syarat terakhir disebut syarat obyektif karena menyangkut obyek perjanjian. Sebuah perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektif dapat dibatalkan, artinya salah satu atau para pihak dapat mengajukan permohonan bahwa perjanjian yang dibuat untuk dibatalkan. Sementara itu perjanjian yang tidak memenuhi syarat obyektif dapat dibatalkan demi hukum artinya dapat dibatalkan dengan sendirinya tanpa melalui permohonan untuk dibatalkannya suatu perjanjian.58 Unsur esensial dalam musyawawah adalah kesatuan pendapat diantara kedua belah pihak mengenai suatu persoalan. Kehendak setiap warga merupakan bagian tidak terpisahkan dari kesatuan pendapat tersebut. Hasil musyawarah adalah adanya kesepakatan bersama diantara seluruh warga pemilik tanah dan pihak yang membutuhkan tanah. Musyawarah dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai harga ganti rugi serta mekanisme pembayaran dan pelepasan hak atas tanahnya. Dalam hal musyawarah untuk 58
Rubaie,Op.cit. hal 142
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
49
mencapai kesepakatan bersama juga tidak boleh terdapat unsur penipuan, kesesatan dan atau paksaan.59 Kata sepakat sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian mengandung arti bahwa kedua belah pihak harus mempunyai kebebasan berkehendak. Para pihak tidak mendapatkan tekanan atau intimidasi dari siapapun yang mengakibatkan adanya “cacat” bagi perwujudan kehendak bebas tersebut. Pengertian sepakat adalah sebagai pernyataan kehendak yang disetujui oleh para pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan (offerte), sedangkan pihak yang menerima penerima penawaran dinamakan akseptasi (acceptasi). Sehubungan dengan syarat kesepakatan, KUHPerdata mengatur dalam pasal 1321 yaitu: “tiada kata sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.” Kekhilafan atau kesesatan dapat mengenai orangnya (error in personal) sebagai subyek hukum, kekhilafan atau kesesatan mengenai barangnya atau obyeknya (error in subatatia/objecto) sebagai obyek hukum. Dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum subyek hukumnya pemegang hak atas tanah dan pihak yang membutuhkan tanah tersebut, sedangkan kesesatan obyeknya adalah mengenai pengadaan tanah yang diperlukan untuk pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Dengan demikian tidak ada kata sepakat dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum, jika terjadi kekhilafan atau kesesatan baik mengenai orangnya (error in subatatia/objecto). Yang dimaksud dengan paksaan sesuai pasal 1324 KUHPerdata adalah: Paksaan terjadi apabila perbuatan itu sedemikian rupa sehingga dapat menakutkan orang yang berpikiran sehat apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata. Mengenai batalnya perjanjian, hal ini dapat diketahui dari ketentuan pasal 1323 KUHPerdata, yaitu sebagai berikut:
59
ibid, hal 33.
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
50
Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang membuat suatu perjnjian merupakan alasan untuk batalnya perjanjian, apabila paksaan itu dilakukan oleh seorang pihak ketiga untuk kepentingan siapa perjanjian tersebut dibuat. Hal itu dapat diketahui dari ketentuan pasal 1328 KUHPerdata yang menyatakan sebagai berikut: Penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian, apabila tipu muslihatnya yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikian rupa sehingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. Penipuan tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.60 Musyawarah dengan tujuan mencapai kesepakatan mengenai penentuan ganti rugi akhirnya menjadi forum tertinggi apabila dalam musyawarah tersebut mencapai kesepakatan bersama, dan sebaliknya kalau tidak mencapai kesepakatan, maka tujuan dari musyawarah itu sendiri tidak tercapai. Berkaitan dengan musyawarah yang tidak tercapai kata sepakat/mufakat, menurut pasal 10 Perpres No. 36 Tahun 2005 juncto Perpres No. 65 Tahun 2006, maka pihak panitia pengadaan tanah menetapkan besarnya ganti rugi dan menitipkan ganti rugi uang kepada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan. Kemudian ketentuan ini mengenai musyawarah diperjelas lagi pada Peraturan KBPN No. 3 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perprea No. 36 Tahun 2005 juncto Perpres No 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentinngan Umum, yaitu dalam paragraf 6 dengan judul musyawarah yang seluruhnya akan diuraikan sebagai berikut: Pasal 31 ayat (1) : Panitia pengadaan tanah kabupaten/ kota menetapkan tempat dan tanggal
musyawarah
dengan
mengundang
instansi
pemerintah
yang
memerlukan tanah dan para pemilik untuk musyawarah mengenai: a. rencana pembangunan untuk kepentingan umum dilokasi tersebut; 60
Ibid, hal 143-144
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
51
b. bentuk dan/atau besarnya ganti rugi; ayat (2) : undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib telah diterima instansi pemerintah yang memerlukan tanah dan para pemilik paling lambat 3 (tiga) hari sebelum tanggal pelaksanaan musyawarah ayat (3) : Musyawarah bentuk dan/atau besarnya ganti rugi berpedoman pada : a. kesepakatan para pihak; b. hasil penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30; dan c. tenggat waktu penyelesaian proyek pembangunan. Pasal 32 Ayat (1) : Musyawarah pada asasnya dilaksanakan secara langsung dan bersama-sama antara instansi pemerintah yang memerlukan tanah dengan para pemilik yang sudah terdaftar dalam Peta dan Daftar yang telah disahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24. Ayat (2): Musyawarah dipimpin oleh Ketua Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota. Ayat (3): Jika Ketua Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berhalangan, maka musyawarah dipimpin oleh Wakil Ketua. Ayat
(4) : Dalam hal tanah, dan/atau bangunan, dan/atau tanaman dan/atau
benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang diperlukan bagi pembangunan: a. menjadi obyek sengketa di pengadilan maka musyawarah dilakukan dengan para pihak yang bersengketa; b. merupakan hak bersama, musyawarah dilakukan dengan seluruh pemegang hak; c. merupakan harta benda wakaf, musyawarah dilakukan dengan pihak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang wakaf.
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
52
Pasal 33 Ayat (1) : (1) Dalam hal jumlah pemilik tidak memungkinkan terselenggaranya musyawarah secara langsung, bersama-sama dan efektif, musyawarah dapat dilaksanakan secara bertahap. Ayat (2): Dalam hal musyawarah secara langsung dan bersama-sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) atau secara bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemilik tidak dapat hadir, dapat mewakilkan kepada orang lain dengan surat kuasa notariil atau dibawah tangan yang diketahui oleh Kepala Desa/Lurah atau yang setingkat dengan itu dan Camat. Ayat (3): Penerima kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2), atas nama pemberi kuasa berwenang mengambil keputusan untuk mengajukan usul, pendapat, keinginan, dan menerima atau menolak bentuk dan/atau besarnya ganti rugi, jika dicantumkan secara tegas dalam Surat Kuasa dimaksud. Ayat (4) : Untuk melindungi para pemilik, seorang penerima kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dapat menerima kuasa dari 1 (satu) orang pemilik. Pasal 34 : Musyawarah rencana pembangunan untuk kepentingan umum di lokasi tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf a dianggap telah tercapai kesepakatan, apabila paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen), dari : a. luas tanah yang diperlukan untuk pembangunan telah diperoleh, atau b. jumlah pemilik telah menyetujui bentuk dan/atau besarnya ganti rugi. Pasal 35 Ayat (1): Dalam hal musyawarah rencana pembangunan untuk kepentingan umum di lokasi tersebut jumlahnya kurang dari 75% (tujuh puluh lima persen), maka Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota mengusulkan kepada instansi pemerintah yang memerlukan tanah untuk memindahkan ke lokasi lain.
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
53
Ayat (2): Dalam hal lokasi pembangunan tidak dapat dipindahkan ke lokasi lain sebagaimana kriteria yang dimaksud dalam Pasal 39, maka Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota melanjutkan kegiatan pengadaan tanah. Pasal 36: Pemilik tanah yang belum bersepakat mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti rugi, dan jumlahnya 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah pemilik/luas tanah, Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota mengupayakan musyawarah kembali sampai tercapai kesepakatan bentuk dan/atau besarnya ganti rugi. Pasal 37: Ayat (1) Musyawarah untuk menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti rugi dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 120 (seratus dua puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal undangan musyawarah pertama terhadap lokasi pembangunan yang tidak dapat dialihkan yang kriterianya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39.
Ayat (2) Apabila lokasi pembangunan tidak dapat dipindahkan secara teknis tata ruang, rencana pembangunan telah diperoleh persetujuan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) huruf a dan kesepakatan lokasi pembangunan telah tercapai 75% (tujuh puluh lima persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, serta jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir, maka instansi pemerintah yang memerlukan tanah menyerahkan ganti rugi kepada pemilik dan dibuatkan Berita Acara Penyerahan Ganti Rugi atau Berita Acara Penawaran Penyerahan Ganti Rugi.
Ayat (3) Apabila pemilik tetap menolak penyerahan ganti rugi atau tidak menerima penawaran penyerahan ganti rugi, maka setelah melewati 120 (seratus dua puluh) hari Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota membuat Berita Acara Penyerahan Ganti Rugi. Ayat (4) Jika pemilik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tetap menolak, maka berdasarkan Berita Acara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
54
(3), Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota memerintahkan agar instansi pemerintah yang memerlukan tanah menitipkan uang ganti rugi ke pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah bagi pelaksanaan pembangunan. Pasal 38 : Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota membuat Berita Acara Hasil Pelaksanaan Musyawarah Lokasi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan Penetapan Bentuk dan/atau Besarnya Ganti Rugi yang ditandatangani oleh seluruh anggota Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota, instansi pemerintah yang memerlukan tanah dan para pemilik. Dari uraian diatas dapat disimpulkan musyawarah yang tidak mencapai kesepakatan, maka oleh panitia pengadaan tanah ditetapkan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi tersebut, dengan memperhatikan aspirasi yang berkembang dalam musyawarah. Pemegang hak atas tanah yang tidak menerima keputusan tersebut, dapat mengajukan keberatan kepada Bupati/Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri yang kemudian menyupayakan menyelesaikannya dengann mempertimbangkan pendapat dan keinginan dari pemegang hak atas tanah atau kuasanya, untuk selanjutnya mengeluarkan keputusan yang dapat mengukuhkan atau mengubah keputusan panitia. (pasal 17 Perpres No. 36 Tahun 2005). Dalam hal adanya keberatan dari pemengang hak atas tanah atas besarnya ganti rugi, pada akhirnya pemegang hak atas tanah hanya dapat berpasrah karena proses penitipan ganti rugi akan dititipkan kepengadilan negeri, yang jika tidak masih menerima, maka mereka harus siap tanah yang mereka haki akan dilakukan pencabutan hak. Sehingga membuat keadaan yang begitu miris mengingat dalam musyawarah untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dalam pengadan tanah untuk pembangunan demi kepentingan umum harus dilakukan menurut alur yang patut, sehingga masing-masing pihak tidak merasa dirugikan atau tercapai kompromi yang memuaskan antara kedua belah pihak (win-win solution). Proses musyawarah dilakukan secara konsekuen dimana kedua pihak saling menghormati dalam keadaan sederajat. Jika musyawarah dilakukan dengan cara
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
55
seperti itu, dalam musyawarah akan berhasil meminimalkan konflik antara pemegang hak atas tanah dengan pihak yang membutuhkan tanah, sehingga dapat memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat.
B. Ganti Rugi Dalam Pengadaan Tanah Ganti rugi adalah hal yang disyaratkan bagi pemerintah sebagai pihak yang membutuhkan tanah yang harus dibayarkan kepada masyarakat selaku pihak yang menyerahkan tanah untuk dapat memperoleh tanah yang akan digunakan sebagai lahan pembangunan. Penentuan besarnya ganti rugi ditetapkan dalam musyawarah untuk mufakat yang dilakukan oleh panitia pengadaan tanah dengan pihak masyarakat yang menghaki tanah tersebut. Hal terpenting dalam penentuan ganti kerugian adalah adanya kebebasan yang merdeka untuk menentukan nilai ganti kerugian yang dikehendaki pemilik tanahdan dapat diterima oleh negara-sehingga terjadi proses musyawarah yang menuju kesepakatan (meeting of mind).61 Menurut Keppres No. 55 Tahun 1993 dalam pasal 1 ayat (7) yang dimaksud dengan ganti rugi adalah penggantian atas nilai tanah berikut bangunan, tanaman dan/atau benda-benda lain yang terkait dengan tanah sebagai akibat pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Sedangkan bentuk ganti kerugian terdapat dalam pasal 13 yang menyatakan: bentuk ganti kerugian dapat berupa (a) uang, (b) tanah pengganti, (c) pemukiman kembali, (d) gabungan dari dua atau lebih untuk ganti kerugian sebagaimana dimaksud huruf a, huruf b dan huruf c, dan (e) bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Arti ganti rugi menurut Perpres No. 36 Tahun 2005 terdapat dalam pasal 1 ayat (11) yang menyatakan ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik dan/atau non fisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman dan/atau benda-benda lain yang 61
Gunanegara, Op cit. hal 216
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
56
berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah. Sedangkan bentuk ganti rugi terdapat dalam ketentuan pasal 13 yang berbunyi: ayat (1) bentuk ganti rugi dapat berupa: (a) uang, dan/atau (b) tanah pengganti, dan/atau (c) pemukiman kembali, ayat (2) dalam hal pemegang hak atas tanah tidak menghendaki bentuk ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka dapt diberikan kompensasi berupa penyertaan modal (saham) sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Bentuk ganti kerugian dalam ketentuan Perpres No. 65 Tahun 2006 terdapat dalam pasal 13 yang menyatakan: bentuk gantu rugi dapat berupa: (a) uang, (b) tanah pengganti, (c) pemukiman kembali, dan (d) gabungan dari dua atau lebih untuk ganti kerugian sebagaimana dimaksud huruf a, huruf b dan huruf c, dan (e) bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Setelah melihat arti ganti kerugian dan bentuk kerugian dalam peraturanperaturan tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa ganti kerugian wajib diberikan bagi pemegang hak atas tanah yang tanahnya terkena/ menjadi lahan pengadaan tanah demi pembangunan untuk kepentingan umum. Bentuk dan besarnya ganti rugi ditetapkan dalam musyawarah yang telah dipaparkan sebelumnya diatas, musyawarah dalam rangka memperoleh bentuk dan besarnya ganti rugi yang dilaksanakan oleh panitia pengadaan tanah. Namun pada kenyataannya hampir semua pengambialihan hak rakyat atas sejumlah tanah telah ditetapkan nilai ganti rugi dengan cara yang dilakukan semena-mena sesuai dengan kebutuhan dan kehendk mereka sendiri, yang nilainya seringkali sangat rendah. Sehingga penetapan ganti rugi atas tanah rakyat tersebut tentunya tidak jarang melalui proses musyawarah, namun cenderung pada praktek intimidasi. Secara khusus apabila ada warga yang tidak meyetujui harga yang disodorkan oleh panitia pembebasan tanah, serta seringkali adanya rencana memindahkan penduduk ke lokasi penampungan yang telah dijanjikan ternyata tidak mendapatkan perhatian dari pihak yang terkait.
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
57
Menurut ahli hukum pertanahan Prof. Arie Sukanti Hutagalung SH. MLI, dalam praktek pembebasan tanah dilapangan sebagaimana yang seharusnya seperti diuraikan diatas justru sering timbul masalah ganti kerugian yang meliputi dua hal yang merupakan esensi dari ganti kerugian yang semestinya diterima pemegang hak atas tanah, yaitu: a. penentuan ganti rugi; b. cara pelaksanaan pembayaran ganti rugi.62 Masalah ganti rugi menjadi komponen yang paling sensitif dalam proses pengadaan tanah. Penentuaan mengenai bentuk dan bentuk dan besarnya ganti kerugian sering kali menjadi proses yang panjang, dan berlarut-larut akibat tidak adanya titik temu antara pihak-pihak yang bersangkutan. Bentuk ganti kerugian yang ditawarkan seharusnya tidak hanya ganti kerugian fisik yang hilang, tetapi juga harus menghitung ganti kerugian non fisik seperti pemulihan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang dipindahkan kelokasi baru. Sepatutnya pemberian ganti kerugian tersebut harusnya tidak membawa dampak kerugian kepada pemegang hak atas tanah yang kehilangan haknya tersebut melainkan membawa dampak pada tingkat kehidupan yang lebih baik atau minimal sama pada waktu sebelum terjadinya kegiatan pembangunan.63 Adanya pelaksaan ganti kerugian seharusnya adalah perhatian akan masa depan masyarakat yang tanahnya dijadikan lahan pembangunan, bahwa kepentingan dan masa depan mereka akan lebih baik setelah tanah mereka diambil. Karena pada prinsipnya pemegang hak atas tanah dalam batas-batas tertentu sebenarnya tidak begitu keberatan dengan pembebasan tanah yang dilakukan oleh pemerintah demi pembangunan untuk kepentingan umum. Yang diinginkan oleh rakyat adalah agar tanah-tanah mereka mendapatkan ganti rugi atau kompensasi yang adil, sehingga kondisi sosial ekonominya tidak menjadi semakin menurun, bahkan jika perlu meningkat dari sebelumnya.
62
Hutangalung (b), Op.cit, hal. 184 Sumardjono (d), tanah dalam perspektif hak ekonomi sosial budaya, (jak:kompas, 2008), hal 200 63
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
58
C. Penetapan Besarnya Ganti Rugi Penetapan besarnya ganti rugi terhadap pengadaan tanah dilakukan oleh Panitia Pengadaan Tanah sesuai dengan Perpres No. 65 Tahun 2006,sedangkan menurut Perpres No. 35 Tahun 2005 Panitia Pengadaan Tanah hanya mempunyai wewenang untuk menaksir besarnya ketetapan ganti rugi. Sebelum adanya penetapan besarnya ganti rugi, pekerjaan yang harus didahulukan adalah musyawarah antara para pihak. Berdasarkan Perpres No. 65 Tahun 2006 dasar penetapan ganti rugi adalah: 1. nilai jual objek pajak (NJOP) atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan NJOP tahun berjalan berdasarkan penilaian Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang ditunjuk oleh panitia; 2. nilai jual bangunan ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang bangunan; 3. nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang pertanian. Dengan begitu pola penetapan ganti kerugian yang dianut oleh Perpres No. 36/2005 juncto Perpres No. 65/ 2006 yang ditetapkan melalui musyawarah yang dinyatakan dengan unsur-unsur: 1) proses saling dengar dan saling menerima; 2) adanya kesukarelaan diantara para pihak; 3) harus ada kesepakatan. Ganti kerugian ditetapkan melalui proses musyawarah, tetapi bentuk dan besarnya ganti rugi dibatasi oleh pasal 15 Perpres No. 36/2005. Pembatasan yang diatur pada pasal 15 adalah adanya keharusan penggunaan NJOP sesuai rumusan ketentuan sebagai berikut: “…dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas Nilai Jual Obyek Pajak atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak Tahun berjalan berdasarkan penetapan lembaga/Tim Penilai Harga yang ditunjuk oleh panitia” Dengan demikian pola penetapan ganti rugi yang dianut Perpres No. 36/2005 Juncto Perpres No. 65/2006 adalah musyawarah yang terpandu dengan NJOP. Musyawarah jika dilakukan dengan berpedoman pada nilai nyata atau
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
59
nilai pasar maka hasilnya akan lebih realistis dan rasional karena memang itulah harga yang sebenarnya untuk dipakai dalam transaksi jual beli. Akan berbeda hasilnya apabila musyawarah diharuskan memperhatikan NJOP, maka musyawarah menjadi tidak demokratis. Bagaimanapun NJOP adalah suatu system untuk menghitung besaran pajak yang harus dibayar penikmat atau penguasa tanah, tidak selalu yang bersangkutan adalah pemilik tanah. Besaran NJOP ditetapkan sepihak oleh pemerintah tanpa harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari penikmat/penguasa/pemilik tanah. 64
2.6. Pengertian Konsinyasi Dalam Bab IV Buku III KUH Perdata menentukan secara limitatif tentang hapusnya perikatan baik yang lahir dari perjanjian, maupun yang lahir dari undang-undang. Pasal 1381 KUH Perdata menyebutkan sepuluh cara hapusnya perikatan, delapan di antaranya diatur dalam Bab IV, yaitu : a. Pembayaran. b. Penawaran pembayaran, diikuti dengan penitipan. c. Pembaharuan utang (novatie) d. Perjumpaan utang (kompensasi) e. Percampuran utang. f. Pembebasan utang. g. Musnahnya barang yang terutang. h. Kebatalan dan pembatalan perikatan. Adapun dua cara lain hapusnya perikatan yang tidak diatur dalam Bab IV adalah : a. Syarat yang membatalkan (diatur dalam bab I). b. Kadaluarsa (diatur dalam buku IV, bab 7). Konsinyasi sendiri dalam bidang pertanahan diatur dalam pasal 10 Perpres No. 65 Tahun 2006, yang menyatakan bahwa bila musyawarah dalam hal lokasi pembangunan yang tidak dapat dipindahkan atau dialihkan secara teknis ketempat lain telah dilakukan dalam waktu 120 hari dari undangan 64
Gunanegara, Op cit, hal 221
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
60
pertama dan tidak tercapai kesepakatan, maka panitia pengadaan tanah menetapkan besarnya ganti rugi dan meitipkan ganti rugi uang ke pengadilan negeri yang bersangkutan. Hal tersebut dilakukan juga bila terjadi sengketa kepemilikan setelah penetapan ganti rugi. Pengaturan mengenai konsinyasi menurut pasal 1404 adalah keadaan dimana si berpiutang menolak pembayaran, maka si berutang dapat melakukan penawaran pembayaran tunai apa yang diutangnya, dan jika si berpiutang menolaknya, menitipkan uang atau barangnya kepengadilan. Penawaran yang sedemikian, diikuti dengan penitipan, membebaskan siberutang, dan berlaku baginya pembayaran, asal penawaran itu telah dilakukan dengan cara menurut undang-undang; sedangkan apa yang dititipkan secara itu tetap aats tanggungan si berpiutang. Dari ketentuan tersebut terdapat dua tahap pelaksnaan lembaga hukum ini, yaitu: •
Pertama, penawaran pembayaran tunai saja; atau
•
Kedua, penawaran pembayaran yang diikuti dengan penyimpanan atau penitipan. Jika tahap pertama yaitu penawaran pembayaran tunai diterima oleh
kreditur, maka hapuslah perikatan karena adanya pembayaran. Tetapi jika penawaran ini ditolak, debitur menjalankan tahap kedua yaitu penyimpanan atau penitipan.65 Dalam keadaan dimana kreditur menolak pembayaran, lembaga hukum penawaran pembayaran tunai yang diikuti konsinyasi jelas merupakan opsi untuk menghapus perikatan. Dalam rumusan pasal 1404 KUHPerdata terdapat kata “dapat” yang menunjukkan bahwa lembaga hukum ini disediakan oleh undang-undang sebagai hak yang dapat digunakan atau tidak digunakan oleh debitur. Dalam kaitannya dengan pengadaan tanah, lembaga konsinyasi dipakai dalam Perpres No. 65 Tahun 2006, dengan demikian harus dikaji lagi lebih mendalam apakah penerapan lembaga ini tepat diterapkan dalam hal pengadaan 65
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1998), cet. 17, hal 1
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
61
tanah. Karena konsinyasi hanya dipakai dalam cara penyelesaian utang piutang antara seorang berutang (debitur) dan berpiutang (kreditur), sedangkan dalam pengadaan tanah yang terjadi adalah pihak pemegang hak atas tanah dan pihak yang memerlukan tanah. Konsinyasi dipilih setelah mekanisme musyawarah yang seharusnya menjadi sarana untuk mencari jalan tengah dalam menentukan besarnya ganti kerugian seringkali tidak mencapai kata sepakat. Dan karenanya dengan alasan kepentingan umum maka pemerintah melalui panitia pengadaan tanah dapat menentukan secara sepihak besarnya ganti rugi dan kemudian menitipkannya ke pengadilan negeri setempat melalui prosedur konsinyasi. Hal itulah yang kemudian menjadi permasalahan, bahwa konsinyasi yang diterapkan dalam Perpres ini berbeda dengan konsinyasi yang diatur dalam BW, dimana dalam BW konsinyasi dapat dilakukan jika sebelumnya terdapat hubungan hukum antara para pihak. Sedangkan dalam Perpres justru sebaliknya, konsinyasi diterapkan disaat kesepakatan antara para pihak tidak tercapai, tidak ada hubungan hukum sama sekali diantara para pihak tersebut. Terkait masalah konsinyasi Prof. Arie Sukanti Hutagalung, SH.MLI, menyatakan bahwa: “untuk memberi wadah lembaga konsinyasi tersebut, maka seharusnya dikonstruksikan jika tanah, bangunan, tanaman atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah dimiliki bersama-sama oleh beberapa oarang, sedangkan satu atau beberapa orang dari mereka tidak dapat ditemukan setelah ada panggilan 3 kali selanjutnya diakhiri dengan pengumuman di Kantor Kecamatan dan Kantor Kelurahan/Desa setempat, maka kompensasi yang menjadi hak orang yang tidak ditemukan tersebut diberikan dalam bentuk uang oleh pihak yang memerlukan tanah dan disimpan dalam satu rekening yang dikelola oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat setempat” Maka dari uraian-uraian penjelasan tersebut, maka penerapan konsinyasi jelas secara hukum tidak selaras dan bertentangan, atau menyalahi ketantuan sehingga tidak dibenarkan.
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
62
2.7. Masalah-Masalah Dalam Penentuan Ganti Rugi Tanah Pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum memang sering kali menimbulkan masalah yang bervariatif, salah satunya adalah masalah dalam menentukan nilai tanah dan harga tanah yang layak. Diharapkan pada saat menentukan nilai atau harga tanah tersebut dilakukan oleh Panitia Pengadaan Tanah secara obyektif, dalam arti tidak memihak salah satu pihak, baik instansi yang memerlukan tanah maupun pemegang hak atas tanah tersebut. Secara formal sudah dijelaskan oleh beberapa peraturan mengenai langkah-langkah yang harus dilakukan oleh Panitia Pengadaan Tanah dalam menentukan harga tanah, namun harga tanah yang ditetapkan oleh Panitia Pengadaan Tanah tersebut hanyalah nilai tanah dalam lingkup yang sempit, yaitu harga pasar dalam jual beli yang merupakan nilai fisik-ekonomis tanah tersebut, sedangkan faktor-faktor yang seharusnya menjadi pertimbangan dalam menentukan nilai hak atas tanah selain dari nilai fisik ekonomis semata. Faktorfaktor tersebut antara lain biaya pindah tempat, pindah pekerjaan dan segala permasalahan psikologis yang dihadapi keluarga yang terkena pembebasan tanah tersebut.66 Selanjutnya, masalah yang umum terjadi adalah tidak disepakatinya bentuk dan jenis ganti rugi tanah antara pemegang hak atas tanah dengan instansi yang memerlukan tanah. Dalam kasus tanah yang diperlukan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak dapat dipindahkan lokasinya ke tempat lain sedangkan tidak ada kesepakatan mengenai bentuk, jenis, maupun besarnya ganti rugi, maka uang ganti ruginya dititipkan ke Pengadilan Negeri setempat. Tindakan pemerintah tersebut sebagaimana yang sering dipublikasikan dalam berbagai media masa, dan bertentangan dengan hak asasi manusia. Selain itu dalam praktek pengadaan tanah sering menjadi sengketa yang berlarut-larut dan berujung pada kekalahan dari pihak masyarakat sebagai 66
Sumardjono (c), Op.cit, hal 79-80
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
63
pemengan hak atas tanah, misal Kasus Kedungombo, Kasus Rancamaya, Kasus Ganti Rugi 5 (lima) Rupiah di Way Hui Lampung Selatan.67 Secara
singkat
dapat
dikemukakan
bahwa
dalam
praktek
pelaksanaannya, pembebasan tanah tidak lain merupakan upaya bagi penguasa untuk memudahkan upaya memperoleh tanah yang diperlukan dan pada akhirnya rakyat dihadapkan pada posisi harus memilih “take it or leave it” menerima ganti rugi atau tidak sama sekali yang jelas-jelas tidak sesuai dengan asas musyawarah untuk mufakat.68
2.8. Penyelesaian Masalah Penentuan Ganti Rugi Tanah Menurut Pasal 10 ayat (2) Perpres No.65 tahun 2006 Dalam pembahasan-pembahasan sebelumnya diatas telah diketahui perolehan tanah dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Ganti kerugian dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum diberikan untuk hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah. Bentuknya dapat berupa uang, tanah pengganti, pemukiman kembali, dan/atau bentuk lain yang disetujui pihak-pihak yang bersangkutan. Dalam musyawarah menghasilkan dua kemungkinan, yaitu kesepakatan, dan kedua tidak mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian antara pemegang hak atas tanah, instansi Pemerintah yang memerlukan tanah, dan Panitia Pengadaan Tanah. Perpres No 65 Tahun 2006 mengatur lembaga penitipan uang ganti kerugian ke Pengadilan Negeri (konsinyasi), Jika masalah penentuan ganti rugi tidak tercapai dalam musyawarah sedangkan keperluan akan tanah tersebut sangat mendesak bagi instansi yang memerlukan tanah, maka dilakukan penitipan/konsinyasi uang ganti rugi ke Pengadilan Negeri setempat yaitu dalam 67
Hutagalung (a), Op.cit. hal 401
68
Ibid , hal 185
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
64
Pasal 10 ayat (2) yang berbunyi: “Apabila setelah diadakan musyawarah tidak tercapai kesepakatan, Panitia Pengadaan Tanah menetapkan besarnya ganti rugi dan menitipkan uang ganti rugi kepada Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan”. Penitipan uang ganti rugi yang ditetapkan sepihak oleh panitia pengadaan tanah atau Negara secara sepihak merupakan pengingkaran unsur esensial
dalam
mekanisme
musyawarah
yang
mengharuskan
adanya
“kesepakatan secara bulat”. Penggunaan mekanisme penitipan atau konsinyasi uang ganti kerugian apabila dilihat dalam perspektif hukum perdata juga menyimpangi hakekat konsinyasi yang menyatakan: 1)
Jika kreditur menolak pembayaran maka debitur dapat melakukan penawaran pembayaran tunai atas apa yang harus dibayarnya; jika kreditur juga menolaknya, maka debitur dapat menitipkan uang atau barangnya kepada pengadilan;
2)
Penawaran demikian, yang diikuti dengan penitipan, membebaskan debitur, dan berlaku baginya sebagai pembayaran, asal penawaran itu dilakukan menurut UU; sedangkan apa yang dititipkan secara demikian adalah atas tanggungan kreditur.69
Dengan memperhatikan pasal 1404 KUHPerdata, merupakan ketentuan yang mengatur tentang utang piutang, karena itu harus memperhatikan pasal 1405: 1. Bahwa ia dilakukan kepada seorang berpiutang atau kepada seorang yang berkuasa menerimanya untuk dia; 2. Bahwa ia dilakukan oleh seorang yang berkuasa membayar; 3. Bahwa ia mengenai semua uang pokok dan bunga yang dapat ditagih. Beserta biaya yang telah ditetapkan dan mengenai sejumlah uang untuk biaya yang belum ditetapkan dengan tidak mengurangi penetapan terkemudian;
69
Gunanegara, Op cit. hal 226
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
65
4. Bahwa ketetapan waktu telah tiba, jika itu dibuat untuk kepentingan si berpiutang; 5. Bahwa syarat dengan mana utang telah dibuat, telah terpenuhi; 6. Bahwa penawaran dilakukan ditempat, dimana menurut perjanjian pembayaran harus dilakukan, dan jika tiada suatu perjanjian khusus mengenai itu, kepada si berpiutang pribadi atau tempat tinggal yang sungguh-sungguh atau di tempat tinggal yang telah dipilihnya; 7. Bahwa penawaran itu dilakukan oleh seorang notaris atau juru sita, kedua-duanya disertai dua orang saksi.70 Lembaga konsinyasi juga diatur di Pasal 37 dan Pasal 48 Peraturan Kepala BPN No 3 Tahun 2007, yaitu uang ganti rugi dapat dititipkan ke Pengadilan Negeri (PN) yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan dalam hal : a. Yang berhak atas ganti rugi tidak diketahui keberadaannya; b. Tanah, bangunan, tanaman dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah, sedang menjadi obyek perkara di pengadilan dan belum memperoleh putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap; c. Masih dipersengketakan kepemilikannya dan belum ada kesepakatan penyelesaian dari para pihak; d. Tanah, bangunan, tanaman dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah sedang diletakkan sita oleh pihak yang berwenang; dan e. pemilik tanah tetap menolak besarnya ganti rugi yang ditawarkan oleh instansi Pemerintah yang memerlukan tanah.
Bila dikaji lebih lanjut, pelaksanaan/ penerapan pasal 10 ayat (2) Perpres No 65 Tahun 2006 oleh pemerintah atas gagalnya musyawarah tidak sepenuhnya dapat diterapkan, karena penggunaan lembaga konsinyasi baru dapat dilakukan jika pemilik tanah sebelumnya telah sepakat atas ganti rugi. Oleh karena sesuatu hal sehingga terjadi wanprestasi, atau karena seseorang dari 70
Indonesia (d), Op cit. Ps 1405
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
66
pemegang
hak
tidak
diketahui
domisilinya,
baru
uang
ganti
rugi
dikonsinyasikan ke Pengadilan. Formulasi tersebut tetap mengedepankan adanya kesepakatan dan hal itu diperbolehkan dalam hukum perdata (pasal 1404 KUHPerdata) Apabila sebelumnya sudah ada kesepakatan kemudian diingikari, berarti telah terjadi perikatan di antara kedua belah pihak. Dalam kondisi seperti itu sudah terjadi/ ada perikatan, maka penggunaan lembaga konsinyasi dapat dibenarkan. Sedangkan bila sebelumnya tidak ada kesepakatan mengenai ganti rugi yang berarti belum ada perikatan diantara kedua belah pihak, maka tidak boleh dilakukan konsinyasi. Jadi dapat disimpulkan penerapan lembaga konsinyasi
oleh
pemerintah
dapat
saja
dilakukan
ataupun
tidak
dilihat/tergantung kondisi yang sedang berlangsung.
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
67
BAB III PENUTUP
Berdasarkan uraian dan analisa yang dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, hasil penelitian ini menyimpulkan sebagai berikut: 3.1 Kesimpulan 1. Pada kenyataannya pengadaan tanah seringkali menimbulkan masalahmasalah baik dalam hal prosedur maupun dalam hal persepsi mengenai besar ganti rugi yang harus diterima oleh pihak yang melepaskan tanahnya demi kepentingan umum. 2. Lembaga konsinyasi sering diterapkan dalam hal terjadi perselisihan mengenai harga penawaran ganti rugi yang tidak layak bagi pemilik tanah untuk pembangunan dalam kondisi musyawarah yang belum mencapai kata mufakat. Sehingga dengan kata lain masyarakat selaku pemilik tanah dipaksa untuk menyetujui penetapan ganti rugi oleh panitia pengadaan tanah, karena sekalipun tidak terlaksana musyawarah mufakat, untuk alasan kepentingan umum yang tidak dapat dialihkan, mereka akan dibuat dalam kondisi harus menerima ganti rugi yang dititipkan. Sehingga lembaga konsinyasi tidak tepat diterapkan dalam rangka penyelesaian masalah pembayaran ganti rugi atas pengadaan tanah untuk pembangunan. 3. Jika dilihat dari sisi masyarakat yang tanahnya digunakan sebagai lahan pembangunan, lembaga konsinyasi tentu tidak dapat mengatasi masalah penetapan dan besarnya ganti rugi, karena pada dasarnya tidak pernah tercipta kata sepakat antara para pihak yang membutuhkan tanah dan pimilik tanah. Karena musyawarah yang belum mencapai kata mufakat, lembaga konsinyasi merupakan suatu ketidakadilan bagi masyarakat selaku pihak pemilik tanah yang melepaskan haknya 3.2. Saran Setelah penulis mengemukakan kesimpulan yang merupakan inti dari hasil penelitian yang dilakukan maka sekarang penulis mengutarakan saransaran sebagai berikut:
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
68
1.
Pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum perlu dilakukan dengan prosedur yang berlaku, tanpa melakukan intimidasi baik fisik maupun psikis kepada masyarakat selaku pemilik hak atas tanah.
2.
Musyawarah dilakukan dengan proses saling dengar, tidak menganggap pihak yang satu lebih tinggi dan berkuasa dari pihak lainnya. Dan jika Musyawarah mufakat mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi tidak tercapai, tidak tetap jika dilakukan konsinyasi namun lebih baik dilakukan pencabutan hak atas tanah sesuai Undang-Undang No. 20 Tahun 1961, dimana pemegang hak atas tanah tetap memiliki hak untuk mendapat kompensasi/ ganti rugi yang layak.
3.
Lembaga konsinyasi hanya diterapkan dalam hal, jika setelah terjadi kesepakatan (unsur-unsur konsinyasi dalam pasal 1404 KUHPerdata terpenuhi) untuk mufakat telah terlaksana dan pada saat hari pembayaran pihak penerima bayaran tidak berada ditempat, maka penitipan bisa dilakukan.
4.
Pemulihan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tanahnya menjadi lahan pembangunan harus lebih diperhatikan agar kedepannya pengadaan tanah demi pembangunan daerah tidak lagi menjadi momok yang menakutkan bagi pihak mayarakat, sehingga jika perlu kompensasi tersebut menjadi ganti untung daripada ganti rugi.
5.
Dan pada akhirnya masyarakat tentu berharap banyak pada Rancangan Undang-Undang yang saat ini latar belakang pembentukannya sedang menjadi perdebatan, agar setidaknya masyarakat tidak semakin dipersulit, karena itu kepentingan rakyat harus terwakili.
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
DAFTAR PUSTAKA I. BUKU Abdurrahman. Aneka Masalah Hukum Dalam Pembangunan Di Indonesia. Bandung: 1979. __________. Beberapa Aspek tentang Hukum Agraria. Bandung : Alumni, 1983. __________ . Masalah Pencabutan Hak Hak Atas Tanah, Pembebesan Tanah dan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996. Fauzi, Noor (Penyunting). Tanah dan Pembangunan.
Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan. 1997. Gunanegara. Rakyat dan Negara Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan. Jakarta: Tatanusa. 2008 Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang pokok Agraria, isi dan Pelaksanaannya. Jilid I. Edisi Revisi. Jakarta : Djambatan, 2008. ___________ . Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional. Jakarta: Universitas Trisakti, 2002. ___________.
Aspek-Aspek
Yuridis
Penyediaan
Tanah
Dalam
Rangka
Pembangunan Nasional Makalah: 1990 Hutagalung, Arie Sukanti Serba Aneka Masalah Tanah Dalam Kegiatan Ekonomi Suatu Kumpulan Karangan. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2002. ____________
. Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah. Jakarta:
Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia. 2005 ____________dan
Markus
Gunawan
. Kewenangan
Pemerintah
Dibidang
Pertanahan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2008 Mahendra A.A Oka, Menguak Masalah Hukum, Demokrasi dan Pertanahan, cet.1 Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996 Mamudji, Sri. et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2005.
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
Muchsin, Imam Koeswahyono, dan Soimin. Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif Sejarah. Cet. I. Bandung: PT. Refika Aditama. 2007 Muhandar. Viktimasi Kejahatan Pertanahan, Cet II, Edisi Revisi. Yogyakarta: LaksBang Pressindo. 2006. Rubaie, Achmad. Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Cetakan I. Malang: Bayumedia Publishing. 2007 Salindheo, John. Masalah Tanah Dalam Pembangunan Cetakan Kedua , Jakarta: Sinar Grafika, 1988 Sihombing, Irene Eka. Segi-Segi Hukum Tanah Nasional Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan. Cetakan Kedua, Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2009. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet. 3. Jakarta : UI Press, 1986. __________ dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat. Ed.1.cet.3. Jakarta : Rajawali Press. 1990. Soeprapto, Undang-Undang Pokok Agraria Dalam Praktek, Jakarta: Mitra Sari, 1986. Subekti. R, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1998, cet. 17 Sumardjono Maria S.W, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya, Jakarta: Kompas, 2008. _______________ .”Model Penyediaan Tanah Dalam Rangka Meningkatkan Taraf Hidup Rakyat”,(makalah disampaikan pada seminar pertanahan dalam rangka tri dasawarsa UUPA,yang diselenggarakan oleh BPN,Jakarta,2-4 Oktober 1990),dikutip dari Moh Mahfud MD,pergaulatan politik dan hukum di Indonesia,cet.1, Yogyakarta:Gama Media,1999 ______________. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Jakarta:Penerbit Buku Kompas,2005 Suandra I Wayan dan Andi Hamzah, Hukum Pertanahan Indonesia Jakarta: Rineka Cipta, 1991 Subekti. Aneka Perjanjian. Bandung: Citra Aditya Bakti. Cet. X. 1995 Subekti dan R. Tjitrosudibio Cet. Ke- 34 , Jakarta: Pradnya Paramita, 2004
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
Supriyadi. Aspek Hukum Tanah Aset Daerah. Jakarta: PT. Prestasi Pustaka Raya. 2010 Syah, Mudakir Iskandar. Pembebasan Tanah Untuk Pembangunan Kepentingan Umum. Jakarta: Jala Permata Aksara.2010
II. Artikel Hutagalung, Arie Sukanti, ”Tinjauan Kritis Terhadap Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Khususnya Menyangkut Pengertian Kepentingan Umum”. Makalah ini disampaikan pada lokakarya Pengadaan Tanah: Kebijakan dan Implementasi Perpres 36/2005 terhadap Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Infrastruktur. Jakarta, 24 Agustus 2005. __________,”Konsinyasi Dan Permasalahannya Dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum” (worldbank/data2009) __________, “Paper Consigment In Land Acquisition”. 6 September 2010. ________, “Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 Dalam Hukum Pertanahan Indonesia.” Tanggapan atas Perpres No. 36 Tahun 2005. Disampaikan dalam Seminar Nasional “Perpres No. 36 Tahun 2005 Untuk Apa dan Siapa?”, yang diselenggarakan oleh Lembaga Perlindungan Konsumen, Industri & Jasa Konstruksi Indonesia (LPKJ), Wisma Antara, Jakarta 10 Agustus 2005. ________, “Tata Cara Memperoleh Hak Atas Tanah Dalam Rangka Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan”. Dipresentasikan dalam Pendidikan Latihan Penyelesaian Konflik Pertanahan Angkatan II yang diselenggarakan oleh Departemen Dalam Negeri tanggal 22-26 April 2002. Sumardjono, Maria S.W. “Tinjauan Yuridis Keppres Nomor.55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan Pelaksanaannya”. (makalah disampaikan pada seminar nasional “pengadaan tanah untuk pembangunan (konsep hukum, permasalahan dan kebijaksanaan dalam pemecahannya), 3 Desember 1994.
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
III. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Indonesia.. Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Undang Undang No. 5 Tahun 1960, LN No. 104 Tahun 1960, TLN No. 2043.
_______. Pencabutan Hak Aatas Tanah dan Benda Benda yang Ada Di Atasnya, Undang Undang No. 20 Tahun 1961, LN No. 288 Tahun 1961, TLN No. 2324. _______. Keputusan Presiden Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Keppres No. 55 Tahun 1993 _______.
Peraturan Presiden tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Perpres No. 36 tahun 2005. ______. Peraturan Presiden tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36 tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Perpres No. 65 tahun 2006 _______. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi sehubungan dengan Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda yang ada diatasnya. PP No. 39 tahun 1973. Kitab Undang Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R. Subekti.
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997. ______, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 juncto Peraturan Presiden Nomor
36 Tahun 2005
tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 2007. Yurisprudensi Mahkamah Agung Reg. Nomor. 650. Pk. Pdt/1994 tanggal 26 Oktober 1994
IV. INTERNET
“Kasus Kedung Ombo” http://id.wikipedia.org/wiki/Kasus_Kedung_Ombo, duinduh 20 februari 2011 http://cetak.kompas.com/read/2010/09/14/03572153/empat.tenggelam.di.waduk.kedu ng.ombo http://mkn-unsri.blogspot.com/2010/07/tinjauan-yuridis-peraturan-pengadaan.html, diunduh 25 Meret 2011
Universitas Indonesia Penyelesaian masalah..., Shinta Pratiwi, FH UI, 2011.