UNIVERSITAS INDONESIA
INVENTARISASI KAPANG ENDOFIT TUMBUHAN MANGROVE PENGHASIL SENYAWA AKTIF DAN APLIKASINYA SEBAGAI BIOINSEKTISIDA
DISERTASI
SILVA ABRAHAM 1006783195
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI BIOLOGI DEPOK JULI 2015
i inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
UNIVERSITAS INDONESIA
INVENTARISASI KAPANG ENDOFIT TUMBUHAN MANGROVE PENGHASIL SENYAWA AKTIF DAN APLIKASINYA SEBAGAI BIOINSEKTISIDA
DISERTASI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
SILVA ABRAHAM 1006783195
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI BIOLOGI DEPOK JULI 2015
ii inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
iv inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
v inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, karena hanya dengan limpahan rahmah dan hidayahNya maka penulis dapat menyelesaikan disertasi berjudul Inventarisasi Kapang Endofit Tumbuhan Mangrove Penghasil Senyawa Aktif dan Aplikasinya sebagai Bioinsektisida. Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Biologi, Program Pascasarjana, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia. Disertasi terbagi menjadi tiga makalah. Makalah pertama berjudul Identifikasi Kapang endofit Tumbuhan Mangrove Penghasil Senyawa Aktif Berpotensi sebagai Bioinsektisida. Makalah kedua berjudul Uji Aktivitas Insektisida Senyawa Aktif Kapang Endofit Tumbuhan Mangrove terhadap Larva Spodoptera litura Fabricius. Makalah ketiga berjudul Karakterisasi dan Formulasi Senyawa Aktif Lima Strain Kapang Endofit Tumbuhan Mangrove sebagai Bioinsektisida. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesarbesarnya atas semua perhatian, bantuan, dan dukungan yang telah diberikan oleh pihak-pihak yang terkait dengan penyelesaian disertasi. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada: 1. Wellyzar Sjamsuridzal, Ph.D., sebagai Promotor; Dr. Adi Basukriadi, M.Sc. dan Prof. (Riset) Dr. Suyanto Pawiroharsono, DEA., sebagai Ko-Promotor, yang telah mengarahkan, membimbing, senantiasa memberikan saran dan dukungan selama penelitian hingga selesainya disertasi ini. 2. Iman Hidayat, Ph.D., Prof. (Riset) Dr. Rosichon Ubaidillah, M.Phil., dan Ariyanti Oetari, Ph.D., yang telah bersedia meluangkan waktu sebagai penguji, memberikan saran dan masukan terhadap disertasi ini. 3. Kementrian Negara Riset dan Teknologi yang telah memberikan beasiswa program Doktor tahun 2010 sampai dengan tahun 2014. 4. Ketua Departemen Biologi dan Kepala Program Studi Pascasarjana S3, Dr. rer.nat. Yasman, M.Sc dan Dr. Abinawanto yang membantu dan memfasilitasi penyelesaian studi penulis.
vii inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
5. Dr. Luthfiralda Sjahfirdi, M.Biomed sebagai Pembimbing Akademis dan Dr. Nisyawati yang telah banyak membantu dan memberikan dorongan dalam penyelesaian studi. 6. Rekan-rekan peneliti dan perekayasa di Pusat Teknologi Bioindustri , Laboratoria Pengembangan Teknologi Industri Agro dan Biomedika (LABTIAP) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, PUSPIPTEK Serpong 7. Center of Excellence for Indigenous Biological Resources-Genome Studies (CoE IBR-GS) FMIPA UI dan rekan-rekan asisten peneliti CoE IBR-GS yang telah memfasilitasi dan membantu proses identifikasi isolat kapang. 8. Ibunda (Alm.) Surahmi dan ayahanda Abraham Zubir untuk semua kasih, ajaran, nasihat dan doa yang tidak tergantikan. 9. Suami, Dr.rer.nat. Agus Supriyono untuk semua pengertian, kesabaran, diskusi dan dukungan yang tiada henti; anak-anak terkasih Aqillah Ridha Parahita dan Akhtar Ridho Pramana untuk semua doa, kasih dan penghiburan selama lima tahun yang tidak terlupakan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai potensi kapang mangrove indigenous sebagai penghasil senyawa insektisida. Informasi tersebut diharapkan dapat meningkatkan eksplorasi senyawa aktif kapang mangrove indigenous sebagai bioinsektisida dan produk agrokimia lainnya di Indonesia. Semoga hasil penelitian yang tertuang dalam disertasi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan masyarakat Indonesia.
Depok, 7 Juli 2015
Silva Abraham
viii inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
ABSTRAK Nama : Silva Abraham Program studi : Pascasarjana Biologi Judul : Inventarisasi Kapang Endofit Tumbuhan Mangrove Penghasil Senyawa Aktif dan Aplikasinya sebagai Bioinsektisida
Penelitian mengenai eksplorasi senyawa aktif kapang endofit dari tumbuhan mangrove dan aplikasinya sebagai bioinsektisida telah dilakukan. Sebanyak 110 kapang endofit telah diperoleh dari akar, ranting, daun, dan serasah Rhizophora mucronata, Avicennia marina, dan Soneratia alba menggunakan enam jenis media dan lima jenis metode isolasi. Lima dari 110 isolat kapang endofit menunjukkan toksisitas tertinggi (menyebabkan mortalitas lebih dari 90% pada konsentrasi 80 ppm) terhadap larva Artemia salina. Kelima isolat kapang tersebut diidentifikasi berdasarkan data sequence daerah ITS rDNA dan pengamatan morfologi sebagai Emericella nidulans (BPPTCC 6035 dan BPPTCC 6038), Aspergillus flavus (BPPTCC 6036), A. tamarii (BPPTCC 6037), dan A.versicolor (BPPTCC 6039). Hasil pengujian aktivitas insektisida ekstrak etil asetat dari kultur filtrat biakan kelima strain kapang tersebut pada medium cair malt extract terhadap larva neonate dan instar III Spodoptera litura menunjukkan aktivitas sebagai racun lambung, racun kontak, attractant, racun saraf, dan menghambat perkembangan larva. Karakterisasi senyawa aktif dengan metode thin layer chromatography (TLC) yang dikombinasikan dengan beberapa reagen menunjukkan bahwa kelima ekstrak mengandung senyawa triterpenoid yang mengandung saponin; ekstrak yang dihasilkan oleh E. nidulans BPPTCC 6038 mengandung senyawa fenol; dan keempat ekstrak lain mengandung senyawa alkaloid. Formulasi dilakukan dengan menambahkan senyawa adjuvant berupa aseton sebagai pelarut, Tween 80 sebagai surfaktan, dan PEG 6000 sebagai sticker agent. Hasil pengujian aktivitas kelima formulasi terhadap larva neonate dan instar III S. litura menunjukkan bahwa seluruh formulasi memiliki aktivitas insektisida terhadap larva instar III S. litura lebih baik dibandingkan dengan kontrol positif, DeltametrinR (25 g/L).
Kata kunci: bioinsektisida, ekstrak etil asetat, formulasi, kapang endofit mangrove, Spodoptera litura.
ix inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
ABSTRACT Name Program Title
: Silva Abraham : Biology : Inventory of Active Compounds Producing Endophytic Fungi from Mangrove Plants and their Applications for Bioinsecticides
A study on the exploration of active compounds from mangrove endophytic fungi and their application as bioinsecticides was conducted. The isolation of mangrove endophytic fungi from roots, twigs, leaves, and leaf litter from Rhizophora mucronata, Avicennia marina, and Soneratia alba was conducted using a combination of six media with five isolation methods. Five of the 110 mangrove endophytic fungal isolates showed the highest toxicity (causing more than 90% larval mortality at 80 ppm) on Artemia salina larvae. Based on the DNA sequence data of the internal transcribed spacers (ITS) region of ribosomal DNA and morphological characteristics, these isolates were identified as Emericella nidulans (BPPTCC 6035 and BPPTCC 6038), Aspergillus flavus (BPPTCC 6036), A. tamarii (BPPTCC 6037), and A. versicolor (BPPTCC 6039). A bioassay on Spodoptera litura neonate and third instars larvae showed that five ethyl acetate of the five fungal filtrate extracts from malt extract broth medium exhibited attractant and insecticidal activities through stomach poisons, contact poisons, neurotoxins, and the inhibition of larval and pupal development. The chemical characterization of the five extracts using thin layer chromatography (TLC) combined with several reagents showed that the five extracts contained triterpenoid with saponin compounds, the extract from E. nidulans (BPPTCC 6038) contained phenolic compounds, and the four other extracts contained alkaloid compounds. Formulations were conducted by the addition of adjuvant: acetone as the solvent, Tween 80 as the surfactant, and PEG 6000 as the sticker agent. The insecticidal activity from five formulations on S. litura third instars larvae showed that the five formulations exhibited better insecticidal activity than DeltamethrinR (25 g/L) as the positive control.
Keywords: bioinsecticide, ethyl acetate extract, formulation, mangrove endophytic fungi, Spodoptera litura.
x inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................... HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS................................................ HALAMAN PENGESAHAN............................................................................. HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS........................................................................... KATA PENGANTAR......................................................................................... DAFTAR ISI....................................................................................................... DAFTAR GAMBAR........................................................................................... DAFTAR TABEL............................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................... ABSTRAK........................................................................................................... SUMMARY.......................................................................................................... PENGANTAR PARIPURNA.............................................................................. MAKALAH I: IDENTIFIKASI KAPANG ENDOFIT TUMBUHAN MANGROVE PENGHASIL SENYAWA AKTIF BERPOTENSI SEBAGAI BIOINSEKTISIDA .................... Abstrak.................................................................................... Pendahuluan............................................................................ Bahan dan Cara Kerja............................................................. A. Lokasi dan Waktu Penelitian....................................... B. Media........................................................................... C. Cara Kerja................................................................... 1. Lokasi Sampling dan Sampling............................. 2. Sterilisasi Permukaan Sampel................................ 3. Pembuatan Media................................................... 4. Isolasi Kapang Endofit........................................... Preservasi Isolat-isolat Kapang…………………. 5. Identifikasi Kapang................................................ 5.1. Identifikasi Berdasarkan Morfologi................ 5.2. Identifikasi Berdasarkan Data Sequence ITS rDNA............................................................... 5.3. Analisis Filogenetik......................................... 6. Fermentasi dan Ekstraksi Senyawa Aktif dari Filtrat Biakan Kapang Menggunakan Etil Asetat……….. 7. Screening Isolat Kapang Penghasil Senyawa Aktif...................................................................... 7.1. Analisis Data………………………………... 8. Analisis HPLC Ekstrak Etil Asetat dari Filtrat Biakan Kapang yang Memiliki Aktivitas Larvasida................................................................ Hasil dan Pembahasan............................................................. A. Isolasi Kapang Endofit................................................ B. Identikasi Kapang Penghasil Senyawa Aktif.............. C. Fermentasi dan Ekstraksi Senyawa Aktif dari
xi inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
i iii v vi vii ix xiv xvi xviii ix xix 1
11 11 12 16 16 17 17 17 19 20 21 22 23 23 23 24 25 25 26
27 27 27 32
Kapang Endofit Tumbuhan Mangrove........................ D. Screening Isolat Kapang Penghasil Senyawa Aktif.... E. Analisis HPLC terhadap Lima Ekstrak Aktif............. Kesimpulan dan Saran………................................................. Daftar Pustaka......................................................................... MAKALAH II: UJI AKTIVITAS INSEKTISIDA SENYAWA AKTIF KAPANG ENDOFIT TUMBUHAN MANGROVE TERHADAP LARVA Spodoptera litura Fabricius................ Abstrak.................................................................................... Pendahuluan............................................................................ Bahan dan Cara Kerja............................................................. A. Lokasi dan Waktu Penelitian....................................... B. Cara Kerja................................................................... 1. Persiapan Serangga Uji............................................... 2. Fermentasi dan Ekstraksi Senyawa Aktif dari Kapang Endofit........................................................... 3. Uji Potensi Aktivitas Insektisida................................. 3.1. Feeding Dietary Bioassay.................................... 3.2. Topical Application (Kontak Langsung)............ 3.3. Uji Kontak Tidak Langsung............................... 3.4. Choice Test.......................................................... 3.5. Pengaruh Ekstrak terhadap Perkembangan Larva................................................................... 3.6. Analisis Data…………………………………… Hasil dan Pembahasan............................................................. A. Resistensi Larva Spodoptera litura terhadap Insektisida komersial................................................... B. Pengujian Aktivitas Insektisida dengan Feeding Dietary Bioassay......................................................... C. Topical Application (Kontak Langsung) dan Uji Kontak Tidak Langsung............................................. D. Choice test................................................................... E. Pengaruh Ekstrak terhadap Perkembangan Larva…... F. Potensi Metabolit Sekunder Kapang Aspergillus dan Emericella sebagai Insektisida.................................... Kesimpulan dan Saran............................................................. Daftar Pustaka......................................................................... MAKALAH III: KARAKTERISASI DAN FORMULASI SENYAWA AKTIF LIMA STRAIN KAPANG ENDOFIT TUMBUHAN MANGROVE SEBAGAI BIOINSEKTISIDA................................................................ Abstrak.................................................................................... Pendahuluan............................................................................ Bahan dan Cara Kerja............................................................. A. Formulasi..................................................................... B. Uji Aktivitas Insektisida Formulasi............................. C. Isolasi Senyawa Aktif dengan Metoda Kromatografi Dipandu Bioassay........................................................
xii inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
40 41 48 50 52
61 61 62 67 67 67 67 69 70 70 72 72 72 73 73 74 74 75 81 85 88 91 92 94
101 101 102 107 107 109 110
D. Karakterisasi Senyawa Aktif....................................... E. Uji Daya Inhibisi terhadap Enzim Asetilkolin Esterase........................................................................ Hasil dan Pembahasan............................................................. A. Pra Formulasi; Pemilihan Adjuvant dalam Formulasi Bioinsektisida.............................................................. B. Formulasi; Stabilitas dan Efektivitas Formulasi Bioinsektida................................................................ C. Uji aktivitas Formulasi Bioinsektida terhadap Larva S. litura........................................................................ D. Karakterisasi Senyawa dan Fraksi Aktif..................... E. Aktivitas Inhibisi Bahan Aktif Bioinsektisida terhadap Enzim Asetilkolin Esterase.......................... Kesimpulan dan Saran............................................................. Daftar Pustaka......................................................................... DISKUSI PARIPURNA....................................................................................... KESIMPULAN DAN SARAN............................................................................. DAFTAR PUSTAKA............................................................................................
xiii inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
110 111 112 112 113 120 123 130 132 134 139 147 149
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman I.1. Peta lokasi Rehabilitasi Mangrove Kawasan Ekowisata Tol Prof. Dr.Sedyatmo Angke Kapuk.................................................... 18 I.2. Peta lokasi Rehabilitasi Mangrove Kawasan Ekowisata Tol Prof. Dr. Sedyatmo Angke Kapuk berdasarkan foto satelit................. 18 I.3. Lokasi sampling berdasarkan Global Positioning System (GPS)..... 18 I.4. Hasil elektroforesis produk PCR dari lima isolat kapang endofit penghasil senyawa bersifat toksik ...................................................... 32 I.5. Pohon filogenetik lima strain kapang endofit berdasarkan analisis sequence daerah ITS rDNA menggunakan metode Neighbor Joining (NJ)...................................................................................................... 34 I.6. Struktur seksual yang ditemukan pada pengamatan mikroskopik dua strain kapang E. nidulans………………………………………….... 38 I.7. Grafik dan persamaan garis dari nilai probit mortalitas terhadap log konsentrasi ekstrak etil asetat dari filtrat biakan lima strain kapang... 45 I.8. Profil HPLC ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang Aspergillus flavus BPPTCC 6036........................................................................... 48 I.9. Profil HPLC ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang Emericella nidulans BPPTCC 6035....................................................................... 49 I.10. Profil HPLC ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang Emericella nidulans BPPTCC 6038....................................................................... 49 I.11. Profil HPLC ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang Aspergillus tamarii BPPTCC 6037......................................................................... 49 I.12. Profil HPLC ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang Aspergillus versicolor BPPTCC 6039.................................................................... 50 II.1. Grafik probit mortalitas larva neonate S. litura terhadap log konsentrasi ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang..................... 76 II.2. Grafik pengaruh konsentrasi ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang E. nidulans BPPTCC 6038 terhadap mortalitas, laju pertumbuhan, dan jumlah makanan larva neonate S. litura................ 78 II.3. Grafik pengaruh konsentrasi ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang E. nidulans BPPTCC 6035 terhadap mortalitas, laju pertumbuhan dan jumlah makanan larva neonate S. litura................. 79 II.4. Grafik pengaruh konsentrasi ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang A. flavus terhadap mortalitas, laju pertumbuhan dan jumlah makanan larva neonate S. litura.......................................................... 79 II.5. Grafik pengaruh konsentrasi ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang A. tamarii terhadap mortalitas, laju pertumbuhan dan jumlah makanan larva neonate S. litura.......................................................... 80 II.6. Grafik pengaruh konsentrasi ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang A. versicolor terhadap mortalitas, laju pertumbuhan dan jumlah makanan larva neonate S. litura.............................................. 80 II.7. Grafik pengaruh aplikasi ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang secara topikal terhadap mortalitas, laju pertumbuhan dan
xiv inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
konsumsi makanan larva instar III S. litura........................................ II.8. Grafik pengaruh kontak tidak langsung ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang terhadap mortalitas, laju pertumbuhan dan konsumsi makanan larva neonate S. litura.......................................................... II.9 Grafik preferensi larva neonate S. litura terhadap lima ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang berdasarkan choice test..................... III.1. Kondisi formulasi setelah dibiarkan selama 24 jam............................ III.2. Kondisi formulasi setelah dibiarkan selama 30 hari............................ III.3. Hasil uji pelekatan formulasi pada daun setelah dibiarkan selama 24 jam....................................................................................................... III.4. Hasil fraksinasi terhadap ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang E. nidulans (BPPTCC 6038).................................................. III.5. Hasil analisis HPLC terhadap fraksi no. 6 dan panjang gelombang maksimum dari fraksi tersebut............................................................ III.6. Hasil TLC fraksi no. 6 yang menunjukkan reaksi positif saat direaksikan dengan reagen semprot..................................................... III.7. Hasil TLC fraksi no. 6 yang menunjukkan reaksi negatif saat direaksikan dengan reagen semprot..................................................... III.8. Hasil TLC lima ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang yang menunjukkan reaksi positif dan negatif saat direaksikan dengan reagen semprot..................................................................................... III.9. Hasil TLC lima ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang yang menunjukkan keberadaan gugus kromofor saat diamati pada panjang gelombang 254 nm dan gugus fluoresens saat diamati pada panjang gelombang 365 nm................................................................. III.10. Struktur kimia dari senyawa alkaloid, terpenoid, saponin, dan fenol
xv inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
82
83 86 114 114 117 124 125 126 126
127
127 129
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman I.1. Hasil isolasi kapang endofit menggunakan lima metode isolasi........ 28 I.2. Hasil isolasi kapang endofit menggunakan enam media isolasi......... 29 I.3. Kombinasi metode dan media yang digunakan untuk mengisolasi kapang endofit penghasil senyawa toksik........................................... 30 I.4. Hasil identifikasi lima isolat kapang endofit penghasil senyawa toksik berdasarkan data sequence daerah ITS rDNA dan nilai homologi terhadap spesies terdekat berdasarkan hasil pencarian BLAST............................................................................................... 33 I.5. Data sequence strain kapang yang digunakan dalam analisis filogenetik............................................................................................ 34 I.6. Hasil screening awal 110 ekstrak etil asetat dari 110 isolat kapang terhadap larva A. salina……………………………………………... 42 Toksisitas ekstrak etil asetat dari filtrat biakan lima strain kapang endofit I.7. terhadap larva A. salina....................................................................... 43 I.8. Nilai LC50 ekstrak etil asetat dari filtrat biakan lima strain kapang terhadap larva nauplii A. salina........................................................... 44 II.1. Hasil pengujian resistensi larva neonate S. litura terhadap 3 jenis insektisida komersial........................................................................... 74 II.2. Nilai LC50 ekstrak etil asetat dari filtrat biakan lima strain kapang terhadap larva neonate S. litura........................................................... 75 II.3. Pengaruh aplikasi ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang secara topikal (5 µg/2 µl) terhadap mortalitas, laju pertumbuhan dan konsumsi makanan larva instar III S. litura........................................ 82 II.4. Pengaruh kontak tidak langsung ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang terhadap mortalitas, laju pertumbuhan, dan konsumsi makanan larva neonate S. litura.......................................................... 83 II.5 Hasil choice test larva neonate S. litura terhadap lima ekstrak etil asetat dari biakan kapang................................................................... 85 II.6. Pengaruh ekstrak etil asetat dari filtrat biakan lima strain kapang terhadap perkembangan larva setelah perlakuan feeding dietary........ 88 II.7. Pengaruh ekstrak etil asetat dari filtrat biakan lima strain kapang terhadap perkembangan larva setelah perlakuan topical application 89 III.1. Hasil pengujian komposisi dan konsentrasi beberapa senyawa surfaktan dan sticker agent.................................................................. 113 III.2. Hasil pengukuran pH formulasi bioinsektisida................................... 115 III.3. Hasil pengukuran panjang gelombang maksimum formulasi bioinsektisida....................................................................................... 116 III.4. Pengaruh formulasi bioinsektisida terhadap mortalitas rata-rata larva neonate S. litura......................................................................... 120 III.5. Pengaruh formulasi bioinsektisida terhadap mortalitas rata-rata larva instar III S. litura........................................................................ 121 III.6. Hasil uji aktivitas fraksi-fraksi ekstrak E. nidulans (BPPTCC 6038) terhadap larva neonate S. litura........................................................... 124
xvi inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
III.7. III.8.
Hasil karakterisasi kimia lima ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang dan fraksi aktif dari ekstrak E. nidulans (BPPTCC 6038)..... 128 Aktivitas penghambatan lima ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang dan fraksi aktif dari ekstrak kapang E. nidulans (BPPTCC 6038) terhadap enzim asetilkolin esterase........................................... 131
xvii inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman I.1. Deskripsi kelima isolat kapang endofit berdasarkan hasil pengamatan morfologi koloni secara makroskopik dan mikroskopik............................................................................... 154 II.1. Data pengaruh konsentrasi ekstrak E. nidulans (BPPTCC 6038) terhadap probit mortalitas larva neonate S. litura............ 161 II.2. Data pengaruh konsentrasi ekstrak E. nidulans (BPPTCC 6035) terhadap probit mortalitas larva neonate S. litura........... 162 II.3. Data pengaruh konsentrasi ekstrak A. flavus terhadap probit mortalitas larva neonate S. litura............................................... 163 II.4. Data pengaruh konsentrasi ekstrak A. tamarii terhadap probit mortalitas larva neonate S. litura............................................... 164 II.5. Data pengaruh konsentrasi ekstrak A. versicolor terhadap probit mortalitas larva neonate S. litura................................... 165 II.6. Hasil uji aktivitas insektisida ekstrak etil asetat dari kultur biakan kapang Emericella nidulans (BPPTCC 6038)................ 166 II.7. Hasil uji aktivitas insektisida ekstrak etil asetat dari kultur biakan kapang Emericella nidulans (BPPTCC 6035)................ 168 II.8. Hasil uji aktivitas insektisida ekstrak etil asetat dari kultur biakan kapang Aspergillus flavus.............................................. 170 II.9. Hasil uji aktivitas insektisida ekstrak etil asetat dari kultur biakan kapang Aspergillus tamarii............................................. 171 II.10. Hasil uji aktivitas insektisida ekstrak etil asetat dari kultur biakan kapang Aspergillus versicolor........................................ 174 II.11. Kondisi perkembangan larva S. litura setelah uji feeding dietary......................................................................................... 176 II.12. Kondisi perkembangan larva S. litura setelah uji topical application.................................................................................. 180
xviii inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
: Silva Abraham Date: July 7th, 2015 : Inventory of Active Compounds Producing Endophytic Fungi from Mangrove Plants and their Applications for Bioinsecticide Promotor : Wellyzar Sjamsuridzal, Ph.D. Co Promotors : Dr. Adi Basukriadi, M.Sc. Prof. (Riset) Dr. Suyanto Pawiroharsono, DEA. Name Title
SUMMARY In agriculture, Spodoptera litura Fabricius (Lepidoptera, Noctuidae) is recognized as a serious cosmopolitan insect pest, causing drastic economic losses to crops. Spodoptera litura (armyworm; cotton worm; tobacco caterpillar) is one of the major polyphagous insects, and its host range covers over 40 plant families, containing at least 120 plant species, including 87 species of economically important crops (EPPO 1997; CABI 2015). In Indonesia, S. litura, known as ulat gerayak, is recognized as an important insect pest that causes serious damage in tobacco, soybean, chilli, maize, and vegetable crops (EPPO 1997; CABI 2015). For controlling this insect, chemical insecticides belonging to different groups, e.g., organochlorines, organophosphates, carbamates and pyrethroids, have been applied, and the continuous application may result in the development of resistance. Spodoptera litura has been reported as one of the insect pests that has developed physiological resistance on a number of known insecticides (EPPO 1997; CABI 2015). Safety and environmental issues surrounding the use of chemical insecticides have led to the development of alternative insect control measures such as bioinsecticides. Bioinsecticides may be derived from animals, plants, and microorganisms, including living organisms (natural enemies) and their products (phytochemicals, microbial products) or byproducts (semiochemicals), which can be used for the management of pests (Kumar 2012). To fullfill this need, many research activities were conducted to explore insecticidal, active compounds from natural products such as plants, bacteria, and fungi. Mangrove plants have displayed various levels of biological activities, including antibacterial, antifungal, antiplasmodial, hepatoprotective, larvicidal, and antifertility activities (Ali et al. 2014). Rhizophoraceae mangrove plants are
xix inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
used as medicinal plants in East and Southeast Asia. The study conducted by Ali et al. (2014) revealed that ethanolic extracts from the bark and stilt root of R. mucronata have significant larvicidal, as well as repellent, activities on Aedes aegypti larvae. Mangrove plants are also known as sources of endophytic fungi (Chen et al. 2011; Li et al. 2011). Mangrove endophytic fungi have been known as a source of bioactive compounds since the mangrove ecosystem has unique conditions that influence the fungal metabolite. Mangrove fungi are a group of marine-derived fungi that produce new chemical compounds (Chen et al. 2011). Mangrove-associated fungi provide a broad variety of bioactive secondary metabolites with unique structures, including alkaloids, benzopyranones, chinones, flavonoids, phenolic acids, quinones, steroids, terpenoids, tetralones, xanthones, and others (Joel and Bhimba 2013). Many researchers explore the active compounds from mangrove fungal secondary metabolites for pharmaceutical application, but their exploration for agrochemical applications is still very limited (Li et al. 2011). Since the application of fungal secondary metabolites in agrochemical is still limited, this study aimed to develop a bioinsecticide from the mangrove endophytic fungi secondary metabolites. In order to obtain bioactive compounds from mangrove endophytic fungi, 110 ethyl acetate extracts from 110 mangrove fungal isolates, which were obtained from three species of mangrove plants— Rhizophora mucronata, Sonneratia alba, and Avicennia marina—through the combination of six media and five isolation methods, were screened for their toxic activity on Artemia salina larvae, followed by screening for their insecticidal activities on S. litura larvae. The formulation and characterization of the insecticidal active extracts from mangrove fungi, which showed the highest insecticidal activities, were conducted to obtain the potential bioinsecticide candidates. The preliminary screening for toxic activity of the 110 mangrove endophytic fungal isolates was conducted by a brine shrimp (A. salina) lethality bioassay. Five ethyl acetate extracts from five culture filtrates of fungal isolates on a malt extract broth exhibited the highest toxicity on A. salina (LC50 ranging
xx inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
from 7.45 to 10.24 ppm). Four extracts were classified as highly toxic and one extract was toxic at an 80 ppm concentration. The five fungal isolates were further identified based on the sequence data of the internal transcribed spacers (ITS) region of ribosomal DNA, and the morphological characteristics were as follows: Emericella nidulans (BPPTCC 6035 and BPPTCC 6038), Aspergillus flavus (BPPTCC 6036), A. tamarii (BPPTCC 6037), and A. versicolor (BPPTCC 6039). The extracts from the five fungal strains were further tested for their insecticidal activities on S. litura larvae. The feeding dietary, topical application, indirect contact, choice test, and inhibition to acethylcholinesterase enzyme bioassays were conducted to explore the extracts’ potential as stomach poisons, contact poisons, attractants, and neurotoxins. Results showed that all fungal extracts were capable of acting as stomach poisons (LC50 ranging from 1,102.27 to 3,305.70 ppm), contact poisons (mortality ranging from 16.67 to 43.4%), attractants (larval preferences ranging from 61.67 to 73.33%), and neurotoxins (inhibition on acetylcholinesterase enzyme ranging from 40.71 to 48.94%). The effects of the five fungal extracts on the development of S. litura further resulted in a delay in the time to reach pupation (four days until more than eight days longer than the negative control), a delay in adult emergence (two days until six days longer than the negative control), and a decrease in the percentage of adult emergence (only 5.6% to 12.5% adult emergence from larvae). The extracts produced by the E. nidulans BPPTCC 6038 showed strong activities as stomach poison, contact poison, and attractant, and was chosen for further characterizations. The extract of E. nidulans BPPTCC 6038 was fractionated using column chromatography and produced seven fractions. The result from the feeding dietary bioassay on S. litura neonate larvae of those fractions exhibited fraction number six showed the highest insecticidal activity. Characterizations on the extracts of the five fungal strains and the fraction number six, using thin layer chromatography (TLC) combined with several reagents (FeCl3, anisaldehide-sulfuric acid, Dragendroff’s, vanillin, and potassium permanganate), showed that all five extracts and one active fraction contained triterpenoid and saponin compounds. The fungal extract from E. nidulans
xxi inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
BPPTCC 6038 contained a phenolic compound, and the other four fungal extracts contained alkaloid compounds. The high performance liquid chromatography (HPLC) analysis on the five fungal extracts exhibited different profiles, which indicated their differences in chemical compounds. The extracts of the five fungal strains were further formulated as bioinsecticides by the addition of adjuvant to increase the performance of the extracts as active ingredients. The acetone, Tween 80, and polyethylene glycol (PEG) 6000 were used as a solvent, surfactant, and sticker agent, respectively. The insecticidal activity from the five formulations were tested on neonate and the third instar larvae of S. litura using a feeding dietary bioassay. The results from the feeding bioassay of the five formulations on S. litura neonate larvae showed the percentage of larval mortality ranging from 46.67–65% at the sixth day, and 100% of larval mortality was accomplished after seven days of treatment. The five formulations showed 13.33–43.44% larval mortality on the S. litura third instars larvae at the sixth day, which is higher than the positive control deltamethrin 25 EC; 100% of larval mortality was accomplished from seven days until 12 days of treatment, which is a better result than what was seen in the positive control (100% larval mortality at the twe1fe day).
Keywords: bioinsecticide, endophytic fungi, formulation, insecticidal activity, mangrove plants, Spodoptera litura.
xx + 170 pp.; 31 plates; 23 table; 12 appendices. Bilb.: 222 (1925—2015).
xxii inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
PENGANTAR PARIPURNA
Hutan mangrove tersebar di sepanjang garis pantai Indonesia. Mangrove banyak terdapat di pesisir Timur Sumatra, pesisir Barat dan Timur Kalimantan, pesisir Barat dan Selatan Kepala Burung dan pesisir Selatan Papua, sepanjang pesisir Pulau Aru, beberapa daerah di pesisir Barat daya Sulawesi, dan sepanjang pesisir Utara Jawa (World Resources Institute 2000). Struktur hutan mangrove Indonesia umumnya sederhana dan didominasi oleh spesies-spesies Rhizophora sp., Avicennia sp., Sonneratia sp., Ceriops sp., Xylocarpus sp., dan Lumnitzera sp., yang dipengaruhi oleh tipe tanah, arus dan pola gelombang pasang surut (World Resources Institute 2000). Hutan mangrove Indonesia berada pada daerah dengan radiasi matahari tinggi dan memiliki kemampuan untuk mengakumulasi air tawar dari air asin sehingga menempatkan mangrove pada posisi penting untuk menghasilkan produktivitas primer yang tinggi (Sukardjo 2004). Mangrove merupakan bagian penting dalam ekosistem estuaria dan ekosistem tropis serta laboratorium alami yang menarik untuk para ahli ekologi dan biologi (Sukardjo 2004). Luas total hutan mangrove di dunia sekitar 137.760 km2 (Giri et al. 2011), sedangkan luas total hutan dunia sekitar 4 milyar hektar atau 40.000.000 km2 (FAO, 2010). Luasan mangrove dunia hanya sekitar 0,4% dari seluruh luasan hutan dunia namun memiliki diversitas yang sangat tinggi. Indonesia memiliki luas hutan mangrove sekitar 34.931km2 atau sekitar 27% dari luas seluruh hutan mangrove dunia (Sukardjo 2004; FAO 2010). Tumbuhan mangrove yang ada di dunia terdiri dari 9 ordo, 20 famili, 27 genus dan sekitar 70 spesies (Alongi 2002; FAO 2010). Menurut Alongi (2002), Indonesia memiliki lebih dari separuh total spesies tumbuhan mangrove di seluruh dunia. Sebanyak 39 spesies dari 70 spesies tumbuhan mangrove di dunia terdapat di Indonesia. Akan tetapi luas hutan mangrove di Indonesia terus menyusut. Kawasan Angke-Kapuk di Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara merupakan satu-satunya hutan mangrove yang tersisa di wilayah DKI Jakarta (Supono 2009). Kawasan tersebut merupakan salah satu kawasan konservasi di 1
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
Universitas Indonesia
2
wilayah DKI Jakarta. Kawasan mangrove Angke Kapuk mempunyai nilai khusus karena fungsinya sebagai penjaga stabilitas kawasan di sekitarnya, baik dari aspek fisik, biologi dan sosial ekonomi (Onrizal et al. 2005; Supono 2009). Kawasan tersebut juga merupakan ekosistem yang produktif dan unik di kawasan pesisir (Onrizal et al. 2005).
Tumbuhan Mangrove sebagai Habitat Kapang Tumbuhan mangrove merupakan sumber ditemukannya isolat kapang yang berasosiasi dengan bagian-bagian dari tumbuhan tersebut (Holguin et al. 2001; Zainuddin et al. 2010), dan merupakan salah satu sumber eksplorasi bagi kapang endofit (Xing et al. 2010; Xing dan Guo 2011). Endofit merupakan mikroorganisme yang hidup dalam tumbuhan pada sebagian siklus hidupnya, tanpa menimbulkan penyakit pada tumbuhan inangnya (Kusari et al. 2012). Berbagai penelitian mengenai kapang dari berbagai tumbuhan mangrove telah dilakukan. Penelitian-penelitian tersebut terutama bertujuan untuk mengkaji diversitas spesies kapang yang terdapat pada tumbuhan mangrove (Ananda dan Sridhar 2002). Komposisi dan jenis-jenis kapang pada suatu ekosistem mangrove kemungkinan berbeda dengan ekosistem mangrove di tempat lain (Jones 2000; Jones et al. 2008). Jumlah spesies kapang yang diisolasi dari mangrove bervariasi sesuai dengan jenis mangrove inang, umur tumbuhan, bagian tumbuhan yang digunakan, letak ekosistem mangrove, prosedur sampling dan metode isolasi (Jones et al. 2008). Jenis kapang yang berhasil diisolasi bervariasi, mulai dari kapang-kapang teresterial seperti Sporormiella minima, Phyllosticta sp., Colletotrichum spp. dan Cladosporium cladosporioides hingga kapang laut obligat seperti Cirrenalia pygmea, Cumulo spora-marina, Lulworthia sp., L. grandispora, Trichocladium alopallonellum, dan Zalerion maritimum (Jones et al. 2008). Mangrove juga merupakan salah satu ekosistem yang menarik untuk mengisolasi kapang entomopatogen (Vega 2008). Penelitian menggunakan serangga pada tumbuhan yang mengandung kapang entomopatogen membuktikan bahwa keberadaan kapang tersebut dapat menimbulkan aktivitas feeding Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
3
deterrence dan antibiosis terhadap serangga (Vega 2008). Aktivitas tersebut kemungkinan disebabkan oleh metabolit yang dihasilkan oleh kapang (Vega 2008). Kapang entomopatogen Cladosporium spp. dan Beauveria brongniartii berhasil diisolasi dari beberapa jenis tumbuhan mangrove seperti Avicennia officinalis, Rhizophora mucronata, dan Sonneratia caseolaris (Vega 2008). Berdasarkan informasi tersebut potensi untuk menghasilkan senyawa dengan aktivitas insektisida dimiliki oleh kapang mangrove.
Kapang Mangrove sebagai Sumber Senyawa Aktif Kapang pada tumbuhan dapat menghasilkan berbagai jenis toksin dengan aktivitas dan spektrum yang luas (Duffy et al. 2003). Toksin tersebut memiliki aktivitas terhadap berbagai mikroorganisme dan hewan. Mikotoksin yang dihasilkan oleh beberapa kapang Aspergillus, Penicillium, dan Fusarium merupakan metabolit multifungsional yang memberikan proteksi bagi kapang terhadap stres lingkungan (Duffy et al. 2003). Berdasarkan banyak penelitian, kapang yang diisolasi dari tumbuhan dapat menghasilkan senyawa yang sama dengan senyawa yang dihasilkan oleh tumbuhan inang (Pimentel et al. 2011). Eksplorasi terhadap senyawa yang dihasilkan oleh mikroorganisme endofit dimulai dengan isolasi taxol (C47H51NO14) dari kapang endofit (Pimentel et al. 2011). Taxol adalah senyawa yang diisolasi pertama kali dari batang tumbuhan Taxus brevifolia dan ditemukan juga pada tumbuhan dari famili yang sama (Pimentel et al. 2011). Tumbuhan dari famili tersebut sulit ditemukan, memiliki pertumbuhan yang lambat, serta hanya menghasilkan sedikit sekali taxol. Jumlah perolehan senyawa yang sangat sedikit menyebabkan senyawa antikanker tersebut berharga sangat mahal. Penggunaan tumbuhan Taxus sebagai sumber dari senyawa taxol tidak memungkinkan karena hanya dapat menghasilkan sedikit sekali senyawa dan bila dieksplorasi terus menerus akan menyebabkan kepunahan (Pimentel et al. 2011). Para peneliti kemudian berusaha untuk mencari sumber lain sebagai penghasil senyawa yang sama. Beberapa peneliti menemukan bahwa kapang Taxomyces andreanae dari tumbuhan Taxus ternyata juga menghasilkan taxol, hal tersebut mempelopori eksplorasi endofit dari berbagai tumbuhan (Ravindran et al. Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
4
2010; Pimentel et al. 2011). Kapang dapat dijadikan sebagai sumber penghasil senyawa aktif dalam waktu singkat dan dalam jumlah besar (Pimentel et al. 2011). Selanjutnya, dari beberapa penelitian diketahui bahwa taxol dihasilkan juga oleh beberapa genera kapang endofit yang berbeda, baik yang diisolasi dari tumbuhan Taxus maupun tumbuhan lain (Ravindran et al. 2010). Kapang-kapang tersebut antara lain adalah Taxodium distichum, Wollemia nobilis, Phyllosticta spinarum, Bartalinia robillardoides, Pestalotiopsis terminaliae, dan Botryodiplodia theobromae (Pimentel et al. 2011). Kapang pada tumbuhan mangrove telah terbukti merupakan sumber penting bagi senyawa bioaktif baru (Ravindran et al. 2010). Kapang mangrove merupakan salah satu kelompok marine fungi yang menghasilkan senyawa kimia dengan struktur baru (Chen et al. 2011). Kapang Aspergillus sp. yang diisolasi dari daun mangrove Ipomoea pes-caprae menghasilkan senyawa eksopolisakarida baru dengan aktivitas antioksidan (Chen et al. 2011). Kapang Xylaria sp. hasil isolasi dari biji tumbuhan mangrove yang belum teridentifikasi menghasilkan senyawa aktif berupa piliformic acid; ergosterol; 3α,5R,6α-trihydroxyergosta-7, 22-diene; R-glycerol monopalmitate; dan p-hydroxybenzoic acid (Gunatilaka 2006). Dua senyawa polyphenol baru yang mengandung phenolic bisabolane sesquiterpenoid berupa (S)-(+)-11-dehydrosydonic acid dan (7S,11S)-(+)-)12acetoxysydonic acid; (S)-(+)-sydonic acid; dan diorcinol diisolasi dari metabolit yang dihasilkan oleh kapang Penicillium expansum hasil isolasi dari tumbuhan mangrove Excoecaria agallocha (Lu et al. 2010). Senyawa-senyawa tersebut menunjukkan aktivitas sitotoksik terhadap cell line HL-60 dan menghambat proliferasi dari sel A549 dan HL-60 (Lu et al. 2010). Empat senyawa norsesquiterpene peroxides baru yang diberi nama talaperoxides A-D berhasil diisolasi dari metabolit kapang Talaromyces flavus yang merupakan endofit pada tumbuhan mangrove Sonneratia apetala. Senyawa-senyawa tersebut menunjukkan aktivitas sitotoksik terhadap sel kanker pada manusia berupa sel MCF-7, MDA-MB-435, HepG2, HeLa, dan PC-3 (Li et al. 2011). Kapang yang diisolasi dari berbagai sampel mangrove dari Morib, Port Dickson, Pulau Langkawi, Pulau Jarak, Pulau Lalang, dan Pulau Rumbia di Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
5
Semenanjung Malaysia menunjukkan aktivitas antimikroba dan menghasilkan metabolit sekunder aktif yang berpotensi untuk dikembangkan. Delapan puluh dua strain kapang dari 152 menunjukkan aktivitas antibakteri dan antifungi (Zainuddin et al. 2010). Li et al. (2011) memperoleh empat senyawa aktif baru dari golongan norsesquiterpene peroxides yang bersifat sitotoksik dari kapang Talaromyces flavus hasil isolasi dari tumbuhan mangrove Sonneratia apetala. Delapan senyawa baru turunan R-pyrone berhasil diperoleh dari Aspergillus niger yang diisolasi dari tumbuhan mangrove Avicennia marina (Liu et al. 2011). Senyawasenyawa tersebut memiliki aktivitas sitotoksik terhadap delapan cell lines tumor, aktivitas antibakteri dan antifungi patogen tanaman.
Potensi Metabolit Sekunder Mikroorganisme sebagai Bioinsektisida Berbagai senyawa metabolit sekunder dari kapang diketahui memiliki aktivitas terhadap serangga dan kapang patogen tanaman (Hunter 2007) . Senyawa derivatif pyrone yang dihasilkan oleh kapang Microsphaeropsis yang diisolasi dari spons menunjukkan aktivitas larvasida terhadap Artemia salina (Hunter 2007). Beberapa senyawa yang dihasilkan oleh spesies Aspergillus (A. nidulans, A. fumigatus, dan A. flavus) menunjukkan aktivitas larvasida terhadap Drosophila (Rohlfs dan Churchill 2011). Senyawa serinocyclins yang dihasilkan oleh Metarhizium robertsii menunjukkan aktivitas insektisida terhadap Spodoptera exigua (Rohlfs dan Churchill 2011). Senyawa strobilurin, suatu kelompok senyawa baru yang diisolasi dari kapang, terdiri dari strobilurin-A yang diikuti oleh strobilurin-B, C, D, dan seterusnya, diketahui memiliki aktivitas fungisida (Balba 2007). Pengembangan fungisida berbasis strobilurin menjadi awal eksplorasi dan pengembangan metabolit sekunder kapang sebagai bioinsektisida (Balba 2007). Sekitar delapan fungisida turunan strobilurin beredar di pasar dunia saat ini (Balba 2007). Dampak dari pestisida sintetik pada serangga non target dan kesehatan manusia merupakan isu yang mendapat banyak perhatian (Cisneros et al. 2002; Aiydin et al. 2006). Isu tersebut menstimulasi pengembangan senyawa baru seperti imidacloprid, oxamyl, dan cyfluthrin sebagai insektisida. SenyawaUniversitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
6
senyawa tersebut terbukti lebih mudah terurai dan memiliki toksisitas yang rendah terhadap mamalia dan aves namun memiliki aktivitas insektisida dengan spektrum yang cukup luas (Aiydin et al. 2006). Bioinsektisida atau biopestisida adalah jenis pestisida yang berasal dari materi alami seperti hewan, tumbuhan, bakteri dan mineral tertentu (United State Environmental protection Agency 2012). Bioinsektisida umumnya kurang toksik dibandingkan dengan pestisida konvensional (sintetik). Bioinsektisida hanya mempengaruhi serangga target dan organisme yang berkerabat, berlainan dengan pestisida sintetik yang memiliki spektrum luas (United State Environmental protection Agency 2012). Pestisida sintetik dapat mempengaruhi organisme lain seperti burung, serangga non target, dan mamalia (Cisneros et al. 2002). Bioinsektisida dapat terurai dengan cepat sehingga mengurangi masalah polusi yang disebabkan oleh pestisida sintetik (United State Environmental protection Agency 2012). Bioinsektisida yang berasal dari metabolit sekunder mikroorganisme antara lain adalah Spinosad. Spinosad menggunakan senyawa aktif spinosyn, produk fermentasi bakteri Saccharopolyspora spinosa yang diisolasi dari sampel tanah di Jamaika (Cisneros et al. 2002; Aiydin et al. 2006). Spinosad terdiri dari campuran senyawa aktif spinosyn A (C41H65NO10) dan D (C42H67NO10) yang termasuk dalam kelas baru dari insektisida polyketide-macrolide (Aiydin et al. 2006). Spinosad antara lain digunakan untuk mengontrol serangga lepidoptera pada tanaman kapas dan tembakau di banyak negara (Aiydin et al. 2006). Cara kerja spinosad terutama pada receptor nicotinic acetylcholine dalam synaps (Cisneros et al. 2002; Aiydin et al. 2006). Cara kerja tersebut belum sepenuhnya dipahami, namun aktivasi terus menerus pada neuron motorik menyebabkan spasmatic paralyses pada otot yang menyebabkan serangga mati karena kelelahan (Cisneros et al. 2002). Cara kerja yang unik tersebut menjadikan Spinosad tidak menimbulkan resistensi terhadap serangga (Aiydin et al. 2006). Spinosad harus terlebih dulu dicerna oleh serangga, sehingga hanya memiliki dampak kecil terhadap serangga penghisap (sucking insect) dan serangga predator non target (Cisneros et al. 2002; Aiydin et al. 2006). Spinosad Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
7
tidak memiliki efek terhadap tanaman tetapi dapat menembus jaringan daun, sehingga aktif terhadap leafminers, lalat dan lalat buah (thrips) (Aiydin et al. 2006). Spinosad dilaporkan hampir tidak toksik terhadap musuh alami serangga seperti Orius spp., Chrysopa spp., coccinelid, dan predaceous mite Phytoseiulus persimilis (Cisneros et al. 2002). Produk bioinsektisida lain yang menggunakan senyawa aktif berupa metabolit sekunder dari mikroorganisme adalah Avermectin (Abamectin). Bioinsektisida tersebut menggunakan senyawa aktif berupa avermectin A dan B yang termasuk dalam golongan senyawa kimia macrocylic lactones, hasil isolasi dari produk fermentasi bakteri Streptomyces avermitilis (Environmental and Protection Agency 2011).
Potensi Senyawa Aktif Kapang Mangrove sebagai Bioinsektisida Kapang mangrove diketahui berpotensi untuk menghasilkan senyawa aktif yang bersifat sebagai insektisida (Gunatilaka 2006). Salah satu senyawa tersebut bersifat sitotoksik terhadap serangga Helicoverpa armigera dan Sinergasilus spp. (Chen et al. 2006). Kapang mangrove penghasil senyawa tersebut diisolasi dari tumbuhan mangrove Kandelia candel yang berasal dari estuaria di Laut Cina Selatan (Chen et al. 2006). Beberapa senyawa baru seperti mycoepoxydiene, 5carboxylmellein, 5-methylmellein, dan pyrrole-2-carboxylic acid berhasil diisolasi dari media fermentasi kapang tersebut (Chen et al. 2006). Penelitian-penelitian dari bidang natural product seperti yang dilakukan oleh Bhimba et al. (2011); Huang et al. (2011); Li et al. (2011) dan Liu et al. (2011) berusaha menemukan senyawa aktif dari kapang mangrove dengan aktivitas sitotoksik terhadap berbagai jenis sel kanker. Eksplorasi kapang mangrove untuk diaplikasikan sebagai agen agrokimia terutama insektisida masih sangat terbatas. Senyawa-senyawa yang memiliki aktivitas sebagai inhibitor pada kerja enzim acetylcholinesterase merupakan salah satu kandidat bagi pengembangan insektisida berbasis neurotoksin (Wen et al. 2009; Huang et al. 2011). Delapan metabolit sekunder termasuk tiga senyawa azaphilone baru, (chermesinone A-C), tiga senyawa p-terphenyl baru (60-O-desmethylterphenyllin; 3-hydroxy-60-OUniversitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
8
desmethylterphenyllin; 300-deoxy-60-O-desmethylcandidusin B), dan dua senyawa p-terphenyl berhasil diisolasi dari media fermentasi kapang Penicillium chermesinum yang diisolasi dari mangrove (Huang et al. 2011). Senyawasenyawa tersebut menunjukkan aktivitas sebagai inhibitor terhadap acetylcholinesterase (Huang et al., 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Wen et al. (2009) juga berhasil menemukan tiga senyawa metabolit kapang mangrove yang memiliki aktivitas sebagai inhibitor terhadap acetylcholinesterase. Kapang penghasil senyawa tersebut Sporothrix sp., merupakan kapang endofit pada tumbuhan mangrove yang berasal dari Laut Cina Selatan (Wen et al. 2009). Eksplorasi senyawa dari kapang mangrove dengan aktivitas sebagai inhibitor enzim acetylcholinesterase mulai banyak dilakukan, hal tersebut mengindikasikan bahwa eksplorasi potensi kapang mangrove sebagai penghasil lead compound bagi bioinsektisida mulai berkembang.
Rumusan Masalah dan Kebaruan Penelitian Penelitian kapang mangrove di Indonesia masih terbatas pada diversitas kapang, peran kapang dalam proses dekomposisi serasah hutan mangrove, eksplorasi enzim dan potensi bioremediasi (Affandi 2002; Syarmalina 2003; Achmad dan Nurhayati 2004). Pemanfaatan senyawa aktif yang dihasilkan oleh kapang endofit tumbuhan mangrove di Indonesia masih terbatas pada aktivitas antibakteri, antifungi, antioksidan, dan agen bioremediasi (Affandi 2002; Syarmalina 2003; Achmad dan Nurhayati 2004; Prasetya 2008; Gafar 2011; Phoanda et al. 2014 ). Penelitian mengenai pemanfaatan potensi senyawa aktif kapang endofit tumbuhan mangrove sebagai bioinsektisida belum pernah dilaporkan. Aplikasi senyawa aktif yang dihasilkan oleh kapang endofit tumbuhan mangrove dalam bidang agrokimia masih sangat terbatas. Agen insektisida dengan zat aktif berupa senyawa yang dihasilkan oleh kapang endofit tumbuhan mangrove belum pernah dilaporkan. Informasi penelitian mengenai formulasi senyawa aktif kapang endofit tumbuhan mangrove sebagai bioinsektida belum pernah dipublikasikan sehingga jenis formulasi dan efektivitas formulasi Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
9
insektisida dari senyawa aktif kapang endofit tumbuhan mangrove belum diketahui. Sampai saat ini, eksplorasi, penelitian, dan pengembangan senyawa aktif kapang endofit tumbuhan mangrove sebagai bioinsektisida di Indonesia masih sangat terbatas, maka penelitian ini bertujuan mengeksplorasi potensi kapang endofit tumbuhan mangrove indigenous Indonesia sebagai sumber senyawa aktif bioinsektisida.
Makalah dalam Penelitian Penelitian dibagi menjadi tiga makalah, makalah I berjudul ―Identifikasi Kapang Endofit Tumbuhan Mangrove Penghasil Senyawa Aktif Berpotensi sebagai Bioinsektisida‖; makalah II berjudul ―Uji Aktivitas Insektisida Senyawa Aktif Kapang Endofit Tumbuhan Mangrove terhadap Larva Spodoptera litura Fabricius‖; dan makalah III berjudul ―Karakterisasi dan Formulasi Senyawa Aktif Lima Strain Kapang Endofit Tumbuhan Mangrove sebagai Bioinsektisida‖. Tujuan penelitian dalam makalah I adalah mengisolasi kapang endofit penghasil senyawa aktif dari tumbuhan mangrove, mengetahui tingkat toksisitas senyawa aktif dan melakukan identifikasi terhadap kapang penghasil senyawa aktif dengan toksisitas tertinggi. Tujuan penelitian dalam Makalah II adalah mengetahui aktivitas senyawa aktif kapang endofit tumbuhan mangrove terhadap larva S. litura. Tujuan penelitian dalam Makalah III adalah memperoleh formulasi insektisida berbahan aktif senyawa aktif kapang endofit tumbuhan mangrove, mengetahui aktivitas dari masing-masing formulasi terhadap larva S.litura serta karakter senyawa aktif.
Manfaat Penelitian Penelitian isolasi, screening, dan identifikasi kapang endofit tumbuhan mengrove penghasil senyawa aktif pada makalah I, menghasilkan isolat-isolat kapang penghasil senyawa aktif yang telah diketahui tingkat toksisitasnya terhadap larva A. salina. Isolat-isolat kapang yang terbukti menghasilkan metabolit sekunder dengan peringkat toksisitas tertinggi telah diidentifikasi, sehingga diperoleh informasi mengenai jenis kapang mangrove penghasil
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
10
senyawa aktif berpotensi sebagai insektisida. Isolat-isolat kapang tersebut selanjutnya digunakan dalam pengujian aktivitas insektisida pada Makalah II. Ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang tersebut diuji aktivitasnya terhadap larva S. litura dengan metode feeding dietary bioassay, topical application, kontak secara tidak langsung, dan choice test. Pengujian aktivitas ekstrak terhadap larva S. litura telah menghasilkan informasi mengenai aktivitas insektisida ekstrak kapang mangrove sebagai racun lambung, racun kontak, dan antifeedant, serta ekstrak yang menghasilkan aktivitas insektisida terbaik. Ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang yang menghasilkan aktivitas insektisida terbaik, digunakan dalam pengujian formulasi sebagai zat aktif bioinsektisida dalam Makalah III. Berdasarkan pengujian tersebut dihasilkan formulasi bioinsektisida berbahan aktif ekstrak kapang mangrove dan aktivitas insektisida dari masing-masing formulasi. Ekstrak dengan potensi insektisida terbaik difraksinasi dan dikarakterisasi sehingga diperoleh informasi mengenai fraksi dengan aktivitas insektisida tertinggi, dan karakteristik kimia dari ekstrak dan fraksi tersebut. Secara keseluruhan, melalui penelitian ini telah dihasilkan formulasi bioinsektisida alternatif berbasis senyawa aktif kapang mangrove yang bersifat lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan insektisida kimia.
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
Makalah I IDENTIFIKASI KAPANG ENDOFIT TUMBUHAN MANGROVE PENGHASIL SENYAWA AKTIF BERPOTENSI SEBAGAI BIOINSEKTISIDA
Silva Abraham Program Studi Biologi, Program Pascasarjana Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia
[email protected]
ABSTRACT
Mangrove fungi are known as sources of secondary metabolites of active compounds. In the search for novel, potent, fungi-derived bioactive compounds for bioinsecticide applications, crude ethyl acetate culture filtrate extracts from 110 mangrove fungal endophytes were screened for their toxicity. Those fungal endophytes were isolated from four samples, i.e., twigs, roots, leaves, and leaf litter from three mangrove plants: Rhizophora mucronata, Sonneratia alba, and Avicennia marina. Toxicity tests were performed on all extracts against brine shrimp (Artemia salina) larvae. The results showed that the extracts of five isolates exhibited the highest toxicity to brine shrimp at 50% lethal concentration (LC50) values of 7.45 to 10.24 ppm. These five fungal isolates obtained from R. mucronata were identified based on the sequence data analysis of the ITS region of rDNA as Aspergillus flavus (strain BPPTCC 6036), Emericella nidulans (strains BPPTCC 6035 and BPPTCC 6038), A. tamarii (strain BPPTCC 6037), and A. versicolor (strain BPPTCC 6039). Four extracts from four different strains (A. flavus BPPTCC6036; E. nidulans BPPTCC 6035; A. tamari BPPTCC 6037; and A. versicolor BPPTCC 6039) were classified as highly toxic and the extract from the E. nidulans BPPTCC 6038 was classified as toxic at 80 ppm concentration. The HPLC profiles of the five extracts differed, indicating variations in their chemical constituents. This study highlights the potential of the culture filtrate ethyl acetate extracts of mangrove fungal endophytes as a source of new potential bioactive compounds for bioinsecticide applications.
Keywords: mangrove endophytic fungi, ITS rDNA, ethyl acetate extracts, culture filtrate toxicity, brine shrimp lethality bioassay.
11
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
Universitas Indonesia
12
PENDAHULUAN
Tumbuhan mangrove dikenal sebagai penghasil senyawa aktif baru yang bernilai dalam bidang natural product (Zhu et al. 2011). Penggunaan daun, batang, akar, dan buah dari berbagai spesies mangrove sebagai sumber senyawa aktif dalam bidang farmasi telah banyak didokumentasikan (Ananda dan Sridhar 2002). Beberapa penelitian melaporkan bahwa ekstrak batang tumbuhan mangrove Xylocarpus moluccensis dan R. mucronata memiliki aktivitas insektisida terhadap larva S. litura (Ludyahantoro dan Tukiran 2012; Tukiran 2013). Ekstrak heksan, kloroform, dan methanol dari batang tumbuhan mangrove tersebut terbukti memiliki aktivitas sebagai racun lambung dan racun kontak (Ludyahantoro dan Tukiran 2012; Tukiran 2013). Akar, akar nafas, dan benih mangrove yang secara periodik terendam air laut merupakan habitat bagi fungi laut (Ravindran et al. 2010). Kapang bersama mikroorganisme lain berperan dalam mendegradasi daun-daun mangrove dan serasah mangrove yang merupakan pembentuk detritus (Ravindran et al. 2010). Berbagai informasi mengenai taksonomi dan ekologi dari fungi mangrove telah terkumpul selama tiga dekade terakhir (Wahab 2005; Jones et al. 2008). Sekitar 70% dari seluruh kapang mangrove yang berhasil diisolasi di dunia berasal dari wilayah tropis, sehingga daerah tropis merupakan hotspot dari kapang mangrove di dunia (Wahab 2005; Jones et al. 2008). Tumbuhan mangrove dari family Rhizophoraceae dan Sonneratiaceae merupakan sumber dari komunitas kapang endofit (Xing et al. 2010; Xing dan Guo 2011). Akibat asosiasi yang terjadi antara endofit dan tumbuhan inang maka mikroorganisme khususnya kapang endofit akan menghasilkan senyawa metabolit sekunder bersifat bioaktif yang terkadang mirip dengan senyawa yang dihasilkan oleh tumbuhan inang (Kusari et al. 2012). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kapang endofit pada mangrove merupakan sumber penting penemuan senyawa bioaktif baru dan enzim (Chen et al. 2006; Ravindran et al. 2010; Chen et al. 2011). Kapang mangrove merupakan salah satu kelompok kapang laut yang menghasilkan senyawa baru (Chen et al. 2011). Oleh karena itu, eksplorasi kapang dari tumbuhan mangrove sangat Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
13
menarik untuk dilakukan. Penelitian mengenai pemanfaatan marine derived fungi, seperti kapang yang diisolasi dari berbagai hewan dan tumbuhan laut, termasuk kapang mangrove di bidang farmasi sudah sangat banyak dilakukan, namun penelitian dalam bidang agrokimia masih sangat terbatas (Li et al. 2011). Penelitian mengenai pemanfaatan kapang laut, khususnya kapang mangrove dalam bidang agrokimia di Indonesia belum pernah dilaporkan. Penelitian mengenai kapang mangrove di Indonesia masih sangat terbatas. Penelitian tersebut mencakup studi kapang pada daun, ranting dan serasah mangrove (Rukmi 1991; Affandi 2002; dan Yunafsi 2006), aktivitas antimikroba kapang mangrove (Syarmalina 2003; Rahmawati 2011 dan Phoanda et al. 2014) dan pemanfaatan kapang mangrove sebagai agen bioremediasi (Achmad dan Nurhayati 2004; Suciatmih 2005; Gafar 2011). Kapang-kapang yang diperoleh umumnya adalah dari genus Penicillium, Aspergillus, Trichoderma, Ghiocladium, Gonatobotryum, Synchephalastrum, Fusarium, Curvularia, dan Paecilomyces (Affandi 2002; Syarmalina 2003; Achmad dan Nurhayati 2004). Kawasan mangrove Muara Angke merupakan satu-satunya kawasan mangrove yang tersisa di Jakarta, akan tetapi keberadaannya semakin terdesak dan terancam karena konversi lahan di wilayah tersebut. Kawasan mangrove Angke Kapuk pada awalnya memiliki luas sekitar 140 hektar dan saat ini tersisa hanya sekitar 70 hektar. Kawasan Angke Kapuk terdiri dari tiga bagian yaitu suaka margasatwa, hutan lindung dan kawasan rehabilitasi mangrove. Penelitian mengenai eksplorasi kapang tumbuhan mangrove pada kawasan hutan lindung dan suaka margasatwa Muara Angke telah dilaporkan oleh Syarmalina (2003), Ahmad dan Nurhayati (2004), Suciatmih (2005), dan Gaffar (2011). Akan tetapi penelitian mengenai kapang mangrove dari daerah Rehabilitasi Mangrove Kawasan Ekowisata Tol Prof. Dr. Sedyatmo belum pernah dilaporkan. Tumbuhan mangrove A. marina, R. mucronata dan S. alba yang terdapat di kawasan tersebut dipilih menjadi sumber isolasi karena jenis atau genera tumbuhan tersebut banyak dilaporkan sebagai sumber isolat kapang mangrove (Wahab 2005; Nambiar dan Raveendran 2009; Chaesprasert et al. 2010; Zhu et al. 2011). Kapang-kapang mangrove yang diisolasi dari jenis ataupun genera tumbuhan tersebut banyak yang dilaporkan menghasilkan senyawa aktif dengan Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
14
aktivitas beragam, di antaranya menunjukkan aktivitas insektisida (Luo et al. 2005; Vega et al. 2008; Swe et al. 2008; Chaesprasert et al. 2010; Bhimba et al. 2011; Liu et al. 2011). Beberapa senyawa aktif baru dengan aktivitas insektisida telah berhasil ditemukan dari kapang mangrove seperti 6-hydroxy-3 methylisochroman-5carboxylic acid, mycoepoxydiene, 5-carboxylmellein, 5-methylmellein, pyrrole-2carboxylic acid, dan 3-methylhydantoin (Chen et al. 2006). Senyawa-senyawa tersebut diisolasi dari medium fermentasi kapang mangrove dan bersifat toksik terhadap serangga Helicoverpa armigera (Huehner) dan Sinergasilus spp. Helicoverpa armigera (cotton bollworm) merupakan serangga hama yang bersifat kosmopolitan dan menyerang berbagai tanaman seperti kentang, tembakau, kacang-kacangan, jagung, dan berbagai jenis buah-buahan (Chen et al. 2006). Eksplorasi kapang mangrove sebagai penghasil bioinsektisida di Indonesia belum pernah dilaporkan. Proses identifikasi kapang di Indonesia umumnya masih menggunakan identifikasi konvensional berdasarkan karakter morfologi. Daerah ribosomal DNA (rDNA) merupakan marka genetik yang umum digunakan dalam identifikasi kapang (Guarro et al. 1999). Daerah rDNA terdiri atas daerah coding dan non-coding. Daerah coding rDNA terdiri atas gen-gen SSU, LSU, 5,8S dan 5S. Daerah non-coding yang merupakan pembatas dari daerah coding, terdiri atas internal transcribed spacer (ITS) dan external transcribed spacer (ETS). Terdapat dua ITS pada rDNA yaitu ITS 1 dan ITS 2 yang mengapit 5,8S. Non-transcribed spacer (NTS) terletak di antara setiap unit rDNA (Deak 2008). Daerah rDNA terdapat dalam jumlah banyak (multi copy) pada genom (Guarro et al. 1999). Daerah ITS rDNA fungi memiliki variasi yang rendah pada tingkatan intraspesies namun memiliki variasi yang tinggi pada tingkatan inter spesies, oleh karena itu daerah ITS rDNA dapat digunakan untuk mengidentifikasi fungi sampai tingkatan spesies (Guarro et al. 1999; Samson dan Varga 2009). Menurut Brock et al. (2009), homologi sequence daerah ITS rDNA sebesar ≥ 97% merupakan cut of point untuk penetapan batas spesies fungi. Daerah ITS rDNA dapat diamplifikasi dengan PCR menggunakan primer universal, yaitu primer forward ITS1 atau primer reverse ITS4 (White et al. Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
15
1990). Alignment terhadap sequences dilakukan dengan program Molecular Evolutionary Genetic Analysis (MEGA) versi 6.06. Sequence lalu diedit dan dibandingkan dengan sequence pada database NCBI GenBank menggunakan program pencarian homologi BLAST (Basic Local Alignment Search Tool) algorithm. Hasil BLAST berupa informasi similarity sequence ITS rDNA sampel dengan sequences ITS rDNA dari spesies kapang yang ada pada DNA database GenBank (Lu et al. 2010). Tujuan penelitian adalah mengisolasi kapang endofil pada akar, ranting, daun dan serasah tiga spesies mangrove, yaitu A. marina, R. mucronata dan S. alba yang terdapat di Rehabilitasi Mangrove Kawasan Ekowisata Tol Prof. Dr. Sedyatmo menggunakan kombinasi enam jenis media dan lima metode isolasi, untuk memperoleh jumlah isolat dan jenis spesies kapang endofit semaksimal mungkin; mengetahui peringkat toksisitas ekstrak aktif yang dihasilkan oleh setiap isolat kapang endofit dengan brine shrimp lethality bioasssy; dan melakukan identifikasi terhadap kapang endofit penghasil senyawa aktif dengan toksisitas tertinggi berdasarkan data sequence daerah ITS rDNA yang didukung dengan pengamatan morfologi. Hipotesis yang dibuktikan melalui serangkaian penelitian adalah kapang-kapang endofit yang diisolasi dari tumbuhan mangrove menghasilkan senyawa metabolit sekunder aktif bersifat toksik. Isolasi kapang endofit dilakukan menggunakan beberapa metode isolasi dan beberapa jenis media untuk memperoleh jumlah isolat dan jenis spesies sebanyak mungkin (Kossuga et al. 2012). Screening isolat kapang penghasil senyawa aktif dilakukan dengan metode brine shrimp lethality test (BSLT) menggunakan larva A. salina sebagai hewan uji. Uji toksisitas menggunakan A. salina merupakan uji awal untuk menentukan toksisitas yang dihasilkan oleh fungi, logam berat, dan senyawa pestisida (Meyer et al. 1982; Carballo et al. 2002; Manilal et al. 2009). Uchida et al. (2006) menggunakan A. salina sebagai hewan uji dalam screening awal aktivitas insektisida senyawa aktif yaequinolone yang dihasilkan oleh kapang Penicillium sp. Grzybowski et al. (2012) menggunakan A. salina sebagai uji awal untuk menentukan aktivitas insektisida beberapa ekstrak tanaman terhadap nyamuk Aedes aegypti.
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
16
Ekstrak kapang yang menunjukkan toksisitas tinggi berdasarkan uji toksisitas dan nilai 50% of lethal concentration (LC50) dipilih untuk digunakan dalam uji aktivitas insektisida terhadap larva S. litura (Makalah II). Isolat kapang endofit penghasil ekstrak tersebut diidentifikasi, dan profil senyawa ekstrak dianalisis dengan metoda High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Identifikasi isolat dilakukan secara molekuler berdasarkan data sequence daerah ITS rDNA. Pengamatan morfologi secara makroskopik, meliputi pengamatan warna, ukuran, dan bentuk koloni. Pengamatan morfologi secara mikroskopik, meliputi pengamatan warna, ukuran dan bentuk konidia, dan reproduksi seksual (askospora, askus, askokarp), dilakukan untuk mendukung deskripsi dari setiap isolat. Data yang ditampilkan pada makalah I meliputi data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif berupa informasi isolat-isolat kapang endofit penghasil senyawa aktif yang diisolasi dari tumbuhan mangrove, dan profil HPLC ekstrak aktif. Data kuantitif berupa jumlah isolat yang diperoleh dari masing-masing sampel, jenis tumbuhan mangrove, metode isolasi, media isolasi, dan data mortalitas larva A. salina yang digunakan dalam screening ekstrak aktif. Data mortalitas digunakan untuk menentukan peringkat toksisitas ekstrak dan nilai LC50 berdasarkan analisis probit. Seluruh data yang diperoleh ditampilkan dalam bentuk tabel, grafik, dan gambar.
BAHAN DAN CARA KERJA
A. Lokasi dan Waktu Penelitian Sampel batang, akar, daun, dan serasah tumbuhan mangrove diambil dari Rehabilitasi Mangrove Kawasan Ekowisata Tol Prof. Dr. Sedyatmo Angke Kapuk, Jakarta Utara pada tanggal 15 Juli 2012 pukul 09.10. Proses isolasi kapang, identifikasi, screening, dan lain-lain dilakukan di Laboratoria Pengembangan Teknologi Industri Agro dan Biomedika (LAPTIAB) – BPPT, Kawasan PUSPIPTEK (Pusat Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi), Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
17
Serpong. Proses identifikasi kapang secara molekuler dilakukan di laboratorium Center of Exellence Indigenous Biological Resources-Genome Studies (CoE IBRGS), FMIPA, Universitas Indonesia, Depok.
B. Media Media yang digunakan untuk mengisolasi kapang dari sampel tumbuhan mangrove terdiri atas medium isolasi Beauveria spp. (Meyling dan Eilenberg 2006; Meyling 2007); medium modifikasi Tubaki (Burtseva et al. 2003); medium isolasi Metarhizium spp. (Meyling 2007); medium kitin (Kang et al. 1999); medium ekstrak daun mangrove (modifikasi Delalibera et al. 2003); dan medium LC Miura’s Agar (Miura dan Kudo 1990 dalam Osono 2005). Medium yang digunakan dalam proses fermentasi untuk menghasilkan senyawa aktif dari kapang mangrove adalah malt extract broth (Samson et al. 1995). C. Cara Kerja 1.
Lokasi Samplingdan Sampling Sampel tumbuhan mangrove diperoleh dari Rehabilitasi Mangrove Kawasan
Ekowisata Tol Prof. Dr. Sedyatmo, Angke Kapuk, Jakarta dengan metode random sampling. Pada saat sampling, dilakukan pengukuran parameter lingkungan: salinitas, suhu, pH, dan penentuan titik lokasi pengambilan sampel dengan alat Global Positioning System (GPS). Sampel tumbuhan mangrove, berupa bagian akar, ranting, daun dan serasah dimasukkan ke dalam kantung plastik steril yang diberi kode sampel. Seluruh kantung plastik berisi sampel disimpan di dalam kotak pendingin berisi es dan segera di bawa ke laboratorium. Seluruh sampel yang diperoleh didokumentasikan. Lokasi Rehabilitasi Mangrove Kawasan Ekowisata Tol Prof. Dr. Sedyatmo, Angke Kapuk dan lokasi titik sampling dapat dilihat pada gambar peta berikut (gambar I.1—I.3).
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
18
Gambar I.1. Peta lokasi Rehabilitasi Mangrove Kawasan Ekowisata Tol Prof. Dr.Sedyatmo Angke Kapuk (ditunjukkan oleh tanda panah, sumber: Google maps http://maps.google.co.id/maps, diakses tanggal 18 Juni 2012).
Gambar I.2. Peta lokasi Rehabilitasi Mangrove Kawasan Ekowisata Tol Prof. Dr. Sedyatmo Angke Kapuk berdasarkan foto satelit (sumber: Google maps http://maps.google.co.id/maps, diakses tanggal 15 Juli 2012).
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
19
6.121951,106.754809
Gambar I.3. Lokasi sampling berdasarkan Global Positioning System (GPS) -6.121951,106.754809 (sumber: Google maps http://maps.google.co.id/maps, diakses tanggal 15 Juli 2012) 2.
Sterilisasi Permukaan Sampel Sampel akar, ranting, daun dan serasah tumbuhan dicuci dengan akuades steril
untuk menghilangkan kotoran yang menempel. Seluruh permukaan ranting dan akar yang akan digunakan untuk isolasi kapang endofit disterilisasi dengan etanol 70% (teknis) selama 2 menit, selanjutnya dengan larutan sodium hipoklorit 6% (Bayclin, PT. Johnson Home Hygiene Products, Jakarta, Indonesia) selama 3 menit, etanol 70% selama 1 menit, dan terakhir dicuci dengan akuades steril sebanyak tiga kali (Ananda dan Sridhar, 2002). Sterilisasi daun (daun segar dan serasah) dilakukan dengan merendam daun dalam etanol 70% selama 1 menit, diikuti dengan perendaman dalam larutan sodium hipoklorit 3 % selama 1,5 menit, dan terakhir dicuci dengan akuades steril sebanyak tiga kali (Ravindran et al. 2010). Seluruh sampel dikering anginkan dalam laminary air flow (Nuaire NU 425 400E Class II, NuAire, Inc., Plymouth, USA) dengan dibungkus kertas tisue steril selama 16 jam. Efektivitas dari proses sterilisasi diuji dengan metode Schulz et al. (1993) dengan cara menekan sampel (kurang lebih 1 cm ×1 cm ×1 cm) yang sudah disterilisasi pada permukaan medium potato dextrose agar. Inkubasi dilakukan selama 7 hari dan selama masa inkubasi dilakukan pengamatan terhadap pertumbuhan miselia. Tidak adanya pertumbuhan miselia mengindikasikan prosedur sterilisasi telah Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
20
efektif menghilangkan kapang yang terdapat pada permukaan sampel. Metode tersebut juga mengkonfirmasikan bahwa kapang yang berhasil diisolasi dari sampel berasal dari jaringan dalam segmen sampel, bukan merupakan kapang kontaminan (Schulz et al. 1993; Sun et al. 2011).
3. Pembuatan Media Media yang digunakan sebagai media isolasi dan produksi metabolit sekunder seluruh isolat kapang memiliki komposisi sebagai berikut: (1) Medium isolasi Beauveria spp. (Meyling dan Eilenberg 2006; Meyling 2007), untuk membuat 500 ml medium dibutuhkan 5 g pepton; 10 g glukosa; 6 g agar; dan air laut buatan sampai volume akhir mencapai 500 ml; (2) Medium modifikasi Tubaki (Burtseva et al. 2003), untuk 500 ml medium dibutuhkan 1 g pepton; 1 g KH2PO4; 0,5 g yeast extract; 0,5 g MgSO 4·7H2O; 0,02 g FeSO4; 2 g agar; dan air laut buatan hingga volume akhir 500 ml; (3) Medium isolasi Metarhizium spp. (Meyling 2007), untuk 500 ml medium dibutuhkan 32,5 gram Sabouraud dextrose agar; dan air laut buatan hingga volume akhir 500 ml; (4) Medium kitin (Kang et al. 1999), untuk 1 l medium dibutuhkan 0,05% MgSO4; 0,5% NaH2PO4; 2% (w/v) colloidal chitin; 10 g agar; dan air laut buatan hingga volume akhir1 l; (5) Medium ekstrak daun mangrove (modifikasi Delalibera et al. 2003): 100 g daun mangrove ditambah dengan 1000 ml akuades, dihancurkan dengan blender dan dipanaskan pada 65C selama 35 menit dan 37C selama 60 menit. Ekstrak daun disentrifugasi pada 2000 rpm selama 10 menit, dan supernatan disaring dengan membran milipore steril. Seratus mililiter ekstrak daun ditambahkan ke dalam 900 ml larutan agar steril bersuhu 65C dan diaduk hingga homogen; (6) Medium LC Miura’s Agar (Miura dan Kudo 1990 dalam Osono 2005) untuk 1 l medium dibutuhkan 1g glukosa; 0,2 g MgSO47H2O; 0,2 g KCl; 2 g NaNO3; 0,2 g yeast extract; 15 g agar; dan air laut buatan hingga volume 1 l; (7) Malt extract broth (Samson et al. 1995) terdiri atas 30 g malt extract; dan 5 g pepton; (8) Air laut buatan: 0,1 g KBr; 23,48 g NaCl; 10,61 g MgCl2 x 6 H2O; 1,47 g CaCl x 2 H2O; 0,66 g KCl; 0,04 g SrCl2 x 6 H20; 3,92 g Na2SO4; 0,19 g NaHCO3; 0,03 g H3BO3; dan 1 l akuades (Höller 1999).
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
21
Seluruh media dibuat dengan melarutkan semua bahan dalam air laut buatan hingga terlarut sempurna. Media disterilisasi dengan autoclave pada suhu 121°C dan tekanan 15 psi (1,5 atm) selama 20 menit. Sejumlah 0,05 g rose bengal (Sigma-Aldrich Pte. Ltd., St. Louis, USA) ditambahkan ke dalam setiap liter media isolasi (Ottow dan Glathe 1968). Senyawa antibiotik yang terdiri atas 0,5 ml dari 0,6 g/ml streptomycin (Kimia farma, Jakarta, Indonesia); 0,5 ml dari 0,05 g/ml tetracycline (Kimia farma, Jakarta, Indonesia); 2,5 ml dari 0,05 g/ml cyclohexamide (Sigma-Aldrich Pte. Ltd., St. Louis, USA) ditambahkan ke dalam media isolasi setelah proses sterilisasi (Meyling 2007). Bahan kimia yang digunakan merupakan produk dari Merck KGaA, Darmstadt, Germany, sedangkan media yang digunakan merupakan produk dari Merck KGaA, Darmstadt, Germany dan Oxoid Ltd., Basingstoke, Hampshire, UK.
4. Isolasi Kapang Endofit Tahapan isolasi kapang endofit adalah sebagai berikut: 1. Metode langsung Bagian-bagian kulit ranting dan akar tumbuhan mangrove dikupas kemudian dipotong dengan pisau steril hingga berukuran kurang lebih 1cm x 1 cm x 1cm (Ananda dan Sridhar 2002). Empat potongan sampel masing-masing diletakkan pada enam jenis media isolasi dalam cawan Petri. Bagian tengah sampel daun termasuk bagian tulang daun digunting dengan gunting steril, membentuk empat persegi dengan panjang sisi sekitar 1cm (Ravindran et al. 2010). Empat potongan daun masing-masing diletakkan pada enam jenis media isolasi. 2. Metode filtrasi dengan kertas saring Whatman no. 42 (ukuran pori 9 µm) Sebanyak 10 gram sampel daun, akar dan ranting masing-masing ditambah dengan 100 ml akuades steril kemudian dihaluskan dengan blender. Suspensi sampel dituang ke atas kertas saring yang diletakkan di atas corong Buchner. Proses filtrasi dilakukan menggunakan pompa vakum (Vacuubrand GMBH + CO type ME2, Wertheim, Germany). Setelah semua larutan tersaring, kertas saring diambil dan diletakkan pada permukaan media isolasi dengan permukaan yang mengandung sampel menghadap ke atas (Poyton 1980).
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
22
3. Metode filtrasi dengan membran milipore (Sartorius, Goettingen, Germany) dengan diameter pori 0,45 µm Filtrat hasil filtrasi dengan kertas saring disaring kembali dengan menggunakan membran milipore. Proses filtrasi dilakukan dengan corong Buchner yang dihubungkan dengan pompa vakum. Membran milipore kemudian diambil dan diletakkan pada permukaan media isolasi dengan permukaan membran yang mengandung sampel menghadap ke atas (Poyton 1980 dan Burtseva et al. 2003). 4. Metode penyaringan partikel (particles washing method) Sampel serasah daun dihaluskan dengan blender kemudian diayak menggunakan penyaring partikel (sieves) masing-masing berukuran 70, 100 dan 200 Mesh di bawah air mengalir selama 30 menit. Masing-masing partikel hasil penyaringan dikumpulkan dan dikering anginkan dalam laminary airflow. Setelah 24 jam, masing-masing partikel ditaburkan di permukaan medium (Torzilli et al. 2006). 5. Metode moist chamber Serasah daun diletakkan dalam container plastik steril (10 cm x 15 cm x 7 cm), dialasi dengan kitchen towel yang telah dibasahi dengan akuades steril. Selama inkubasi (sampai dengan 30 hari) dilakukan pengamatan terhadap miselia yang muncul. Miselia yang terlihat mulai tumbuh diambil dan diinokulasikan ke medium baru dalam cawan Petri (modifikasi Ananda dan Sridhar 2002). Seluruh media isolasi diinkubasi pada suhu ruang sampai terlihat miselia kapang yang tumbuh. Koloni yang tumbuh diisolasi dengan cara mengambil sedikit koloni kapang pada medium isolasi dengan jarum inokulasi, kemudian menggoreskan jarum pada media isolasi baru. Kemurnian koloni yang tumbuh diperiksa secara makroskopis dan mikroskopis. Isolat kapang yang belum murni dimurnikan kembali dengan cara yang sama.
4.1. Preservasi Isolat-Isolat Kapang Isolat-isolat kapang yang telah murni disimpan untuk penyimpanan jangka panjang (long-term preservation) dengan metode deep freezing pada suhu -80 °C, biakan kapang disimpan di dalam cryotube yang ditambahkan 10% gliserol dan 5% laktosa. Masing-masing isolat juga disimpan untuk penyimpanan jangka pendek dalam enam tabung reaksi berisi media agar miring, tiga tabung digunakan Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
23
sebagai biakan kerja (working culture) dan tiga tabung disimpan sebagai biakan induk (stock culture). Medium yang digunakan untuk penyimpanan biakan kapang adalah potato dextrose agar. Khusus untuk kapang-kapang yang menghasilkan senyawa aktif dengan aktivitas insektisida juga disimpan dalam medium selektif yang digunakan untuk mengisolasi kapang tersebut. 5. Identifikasi Kapang 5.1. Identifikasi Berdasarkan Morfologi Pengamatan morfologi koloni secara makroskopik dan mikroskopik dilakukan untuk mendukung deskripsi setiap isolat. Pengamatan makroskopik meliputi warna, tekstur, profil, dan diameter koloni, sedangkan pengamatan mikroskopik (menggunakan mikroskop Zeiss Axiostar plus, Zeiss International, Oberkochen, Germany) meliputi struktur reproduksi seksual (ascospore, ascus dan ascocarp) dan reproduksi aseksual (warna, bentuk, ukuran konidia dan conidiogenous cell). Pengamatan morfologi mengikuti petunjuk pada monograf fungi dari Domsch et al. (1980), Klich (2002), Watanabe (2002), dan Samson et al. (2004).
5.2. Identifikasi Berdasarkan Data Sequence Daerah ITS rDNA Identifikasi secara molekular dilakukan dengan menggunakan sequence dari daerah ITS ribosomal DNA. Biakan murni berumur 3 hari dalam medium potato dextrose broth yang ditambahkan dengan air laut buatan, diambil dengan jarum inokulasi dan dimasukkan ke dalam tabung mikro berukuran 1,5 ml berisi 200 µl miliQ. Ekstraksi DNA kapang dilakukan menggunakan kit PrepManTM ultra (Applied Biosystems, Foster City, CA, USA). Suspensi DNA disentrifugasi (Thermoscientific Legend Micro17 Thermo Fisher Scientific, Inc., Waltham, MA, USA) pada 13.000 rpm selama 2 menit. Supernatan dibuang dan 100 ul PrepManTm ultra ditambahkan dan dihomogenisasi dengan vortex selama 2 menit. Setelah dipanaskan dalam water bath (Grant, Grant Instruments (Cambridge) Ltd, UK) pada 95 °C selama 10 menit, suspensi DNA disentrifugasi pada 13.000 rpm selama 2 menit. Lima puluh mikro liter supernatan diambil, kemurnian dan konsentrasi DNA diukur dengan alat Nano Drop (Thermoscientific nanodrop, Thermo Fisher Scientific, Inc., Waltham, USA). Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
24
DNA yang diperoleh diamplifikasi menggunakan aparatus polymerase chain reaction (PCR; Bio-Rad MyCycler thermal cycler, Bio-Rad Laboratories, Inc., Hercules, USA) dengan primer forward ITS1 dan primer reverse ITS4 (KAPA2G Robust HotStart ReadyMix, Kapa Biosystems, Inc., Wilmington, USA). Reaksi PCR dilakukan dalam volume 25 µl, yang terdiri dari 6 μl template, masing-masing 0,5 μl primer; 12,5 μl master mix KAPA2G Robust; dan 5,5 μl nuclease free water. Siklus amplifikasi meliputi denaturasi awal pada 95 °C selama 1 menit diikuti dengan 40 siklus yang terdiri dari (i) denaturasi (94 °C selama 1 menit), (ii) annealing (60 °C selama 1 menit), dan (iii) elongasi (72 °C selama 1 menit), serta elongasi akhir pada 72 °C selama 5 menit (Michaelsen et al. 2006). Sequencing terhadap produk PCR dilakukan dengan automated capillary DNA sequencer (ABI Prism 310 Genetic analyzer, Applied Biosystems, Foster City, USA). Sequence yang dihasilkan diedit dengan program Chromas lite (Conor McCarthy, Technelysium Pty Ltd, Tewantin, Australia), kemudian dialigned dengan Multiple Sequence Comparison by Log-Expectation (MUSCLE) (Tamura et al. 2011) menggunakan program Molecular Evolutionary Genetic Analysis (MEGA) versi 6.06. Urutan basa nukleotida DNA hasil sequencing dikirimkan ke progam BLAST (Basic Local Alingnment Search Tool) pada situs GenBank (www.ncbi.nlm.nih.gov). Hasil BLAST berupa informasi similarity sequence sampel dengan sequence spesies kapang yang terdapat di DNA database GenBank. Homologi sequence lebih besar sama dengan > 97% menunjukkan cut of point sequence untuk penetapan spesies fungi (Brock et al. 2009). Data sequence ITS rDNA isolate-isolat kapang endofit yang diperoleh pada penelitian ini disimpan di GenBank (www.ncbi.nlm.nih.gov) dan mendapatkan nomor akses dari GenBank.
5.3. Analisis Filogenetik Analisis filogenetik dilakukan menggunakan program Molecular Evolutionary Genetic Analysis (MEGA) versi 6.06 dengan Multiple Sequence Comparison by Log-Expectation (MUSCLE) (Tamura et al. 2011). Konstruksi pohon filogenetik dibuat dengan metode neighbor joining (Saitou dan Nei 1987) Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
25
dengan nilai bootstrap dihitung berdasarkan 1000 pengulangan (Felsenstein1985). Jarak evolusi ditentukan berdasarkan metode Kimura 2-parameter (Kimura 1980).
6. Fermentasi dan Ekstraksi Senyawa Aktif dari Filtrat Biakan Kapang Menggunakan Etil Asetat Satu mililiter suspensi dari masing-masing 110 isolat kapang berumur tujuh hari dalam media malt extract agar (Merck KGaA, Darmstadt, Germany) diinokulasikan ke dalam 19 ml media malt extract broth dalam Erlenmeyer 100 ml. Biakan cair yang akan digunakan sebagai inokulum diinkubasi selama tujuh hari, dan ditempatkan pada rotary shaker (Heidolph Unimax 2010, Heidolph Instruments GmbH & Co., Schwabach, Germany) dengan kecepatan agitasi 65 rpm. Masing-masing inokulum ditambahkan ke dalam 180 ml media malt extract broth (Erlenmeyer 500 ml), diinkubasi selama 14 hari dengan agitasi 65 rpm (Hüners 1999; Liu et al. 2005). Setelah 14 hari, sejumlah 50 ml etil asetat (Merck KGaA, Darmstadt, Germany) ditambahkan ke dalam hasil fermentasi dan media dipisahkan dari biomassa kapang dengan penyaringan menggunakan kertas saring Whatman no. 1 (Chaeprasert et al. 2010). Seratus mililiter etil asetat ditambahkan ke dalam supernatan. Pemisahan fase etil asetat dan air dilakukan dengan corong pisah. Fase etil asetat dikumpulkan, fase air kembali diekstraksi dengan etil asetat (tiga kali) dan seluruh fase etil asetat yang diperoleh dikeringkan dengan rotavapor (Heidolph Laborta 4000-efficient, Heidolph Instruments GmbH & Co., Schwabach, Germany) hingga diperoleh ekstrak kasar (Höller 1999).
7. Screening Isolat Kapang Penghasil Senyawa Aktif Screening awal untuk menentukan ekstrak yang memiliki potensi aktivitas insektisida dilakukan dengan metode brine shrimp lethality test (BSLT), diawali dengan menetaskan satu gram telur A. salina dalam 1 l air laut buatan yang ditempatkan dalam Beaker glass. Proses penetasan berlangsung selama 24 jam pada suhu ruang dengan aerasi menggunakan pompa udara dan cahaya lampu (Carballo et al. 2002; Pagliara dan Caroppo 2011; Grzybowski et al. 2012). Sebanyak 20 larva yang baru menetas (nauplii) diambil menggunakan pipet Pasteur dan ditempatkan dalam tabung reaksi berisi 5 ml air laut buatan Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
26
yang mengandung ekstrak uji dan 10 µl dimethyl sulfoxide (DMSO; Merck KGaA, Darmstadt, Germany) yang ditambahkan untuk membantu kelarutan ekstrak (Manilal et al. 2009; Pagliara dan Caroppo 2011). Konsentrasi ekstrak yang digunakan dalam screening awal adalah 1000 ppm. Konsentrasi awal dari ekstrak kapang, organisme laut, dan tanaman yang digunakan untuk uji toksisitas adalah sebesar 1000 µg/mL atau 1000 ppm (Harwig dan Scott 1971; Mayer et al. 1982; Carballo et al. 2002; Grzybowski et al. 2012). Larutan DMSO dan etil asetat digunakan sebagai kontrol negatif (Manilal et al. 2009; Pagliara dan Caroppo 2011). Pengulangan untuk setiap perlakuan dilakukan sebanyak tiga kali. Setelah kontak dengan senyawa aktif selama 24 jam, jumlah larva yang mati pada masing-masing perlakuan dihitung. Larva dikatakan mati jika tidak bergerak setelah wadah digoyang perlahan selama 10 detik (Batista et al. 2011). Jumlah larva yang mati dari masing-masing percobaan dihitung dan setiap perhitungan memperhatikan ada tidaknya kematian larva kontrol. Kematian larva kontrol akan dikoreksi dengan faktor koreksi Abbot (Abbot 1925; Thorne et al. 1995) sebagai berikut: Koreksi mortalitas kontrol (%) = Mobs – Mkontrol x 100% 100 – Mkontrol Suatu ekstrak dikategorikan tidak toksik bila menyebabkan mortalitas 0— 9%; agak toksik bila menyebabkan mortalitas 10—49%; toksik bila menyebabkan mortalitas 50—89%; dan sangat toksik bila menyebabkan mortalitas 90—100% (Harwig dan Scott 1971). Ekstrak yang masuk dalam peringkat sangat toksik, menyebabkan mortalitas lebih dari 90%, dipilih untuk uji lanjut dengan pengurangan konsentrasi ekstrak berturut-turut dari 500, 250, hingga 125 ppm (Harwig dan Scott 1971). Ekstrak yang masih menunjukkan toksisitas tinggi kembali diuji dengan kisaran konsentrasi dari 80, 40, 20, 10, 5 hingga 2,5 ppm untuk menentukan nilai LC50.
7.1. Analisis Data One-way analysis of variance (ANOVA) digunakan untuk membandingkan nilai rata-rata mortalitas perlakuan. Uji lanjutan berupa Tukey’s Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
27
honestly significant differrence (HSD) dengan significance level α = 0,05 dilakukan jika terdapat perbedaan di antara nilai rata-rata perlakuan. Nilai persentase mortalitas lebih dulu ditransformasi dengan arcsine square-root transformation sebelum dilakukan analisis ANOVA. Penghitungan LC50 dilakukan dengan analisis regresi PROBIT (Finney 1971). Semua analisis statistik dilakukan menggunakan program IBM SPSS Statistics versi 21.
8. Analisis HPLC Ekstrak Etil Asetat dari Filtrat Biakan Kapang yang Memiliki Aktivitas Larvasida Untuk melihat profil ekstrak dengan aktivitas larvasida tertinggi dilakukan analisis menggunakan metode HPLC. Peralatan yang dipergunakan terdiri dari pompa Waters 600 (Waters Co., Milford, MA, USA) yang dilengkapi controller dan degasser serta menggunakan detektor UV Waters 2487 (Waters HPLC-UV Vis detector, Waters Co., Milford, MA, USA). Kolom HPLC yang dipakai adalah kolom C18 dengan dimensi; diameter 4,6 mm; tinggi 15 cm; dan ukuran partikel 5 µm. Jumlah sampel yang disuntikkan 20 µl, kecepatan alir eluen 1 ml/menit dengan metode gradien. Fase gerak yang digunakan terdiri dari H2O dan acetonitrile (Merck KGaA, Darmstadt, Germany) yang sebelumnya telah disaring dan dihilangkan gasnya. Mula-mula fase gerak dialirkan secara isokratis selama 3 menit dengan komposisi 85% air,15% acetonitrile, setelah itu bagian acetonitrile dinaikkan secara gradien hingga mencapai 100% selama 20 menit. Selanjutnya dielusikan dengan 100% acetonitrile secara isokratis selama 5 menit. Deteksi dilakukan pada panjang gelombang 254 nm.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Isolasi Kapang Endofit Isolasi kapang endofir dengan kombinasi enam metode isolasi dengan lima jenis media isolasi diharapkan menghasilkan jumlah isolate dan jenis kapang sebanyak-banyaknya. Pada penelitian ini, kombinasi antara metode dan media isolasi tersebut menghasilkan 110 isolat kapang dari tiga spesies tumbuhan Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
28
mangrove (R. mucronata, A. marina, dan S. alba). Berdasarkan beberapa penelitian (Höller et al. 2000; Hong et al. 2009; Kossuga et al. 2012), kombinasi beberapa metode isolasi dengan media isolasi menghasilkan jumlah isolat bakteri dan fungi yang optimum dari organisme laut seperti alga, spons, dan tumbuhan mangrove. Hasil evaluasi Kossuga et al. (2012) terhadap teknik isolasi fungi dari beberapa organisme laut mnunjukkan bahwa jumlah isolat fungi yang diperoleh dari masing-masing organisme laut tergantung pada metode isolasi dan media isolasi. Metode isolasi yang menghasilkan jumlah isolat kapang terbanyak adalah metode langsung (38 isolat), media isolasi yang menghasilkan jumlah isolat terbanyak adalah medium isolasi Beauveria spp. dan modifikasi medium Tubaki (masing-masing 21 isolat) dan spesies mangrove yang menghasilkan jumlah isolat terbanyak adalah R. mucronata. Jumlah isolat kapang yang dihasilkan dari masing-masing metode dan media isolasi dapat dilihat pada tabel I.1 dan I.2.
Tabel I.1. Hasil isolasi kapang endofit menggunakan lima metode isolasi No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
N Jenis sampel Akar R. mucronata Ranting R. mucronata Daun R. mucronata Serasah R. mucronata Akar A. marina Ranting A. marina Daun A. marina Serasah A. marina Akar S. alba Ranting S.alba Daun S.alba Serasah S.alba Total
Jumlah isolat yang diperoleh dari metode isolasi Langsung
Filtrasi (kertas saring)
Filtrasi (membran milipore)
Particles Washing
Moist Chamber
Total
3
-
5
-
-
8
6
-
-
-
-
6
1
4
10
-
-
15
-
-
-
12
4
16
6
1
-
-
3
10
6
-
-
-
-
6
5
3
2
-
-
10
-
-
-
9
2
11
4 4 3 38
1 1 1 11
1 3 21
3 24
2 5 16
8 8 4 8 110
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
29
Tabel I.2. Hasil isolasi kapang endofit menggunakan enam media isolasi No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
N Jenis sampel Akar R. mucronata Ranting R. mucronata Daun R. mucronata Serasah R. mucronata Akar A. marina Ranting A. marina Daun A. marina Serasah A. marina Akar S. alba Ranting S.alba Daun S.alba Serasah S.alba Total
Jumlah isolat yang diperoleh dari masing-masing medium M1 M2 M3 M4 M5 M6 Total 2 4 1 1 8 2 1 1 2 6 5 7 3 15 1 2 2 1 6 12 1 1 1 1 1 2 7 2 1 1 1 1 6 3 1 3 1 1 1 10 1 1 4 6 2 2 2 2 8 2 2 4 3 3 21 21 15 7 5 16 81
Keterangan: M1: medium isolasi Beauveria spp.; M2: modifikasi medium Tubaki; M3: medium isolasi Metarhizium spp.; M4: medium kitin; M5: medium ekstrak daun mangrove; M6: medium LC Miura’s Agar. Beberapa penelitian yang mengisolasi fungi dari organisme laut (Höller et al. 2000; Kossuga et al. 2012) atau tumbuhan mengrove (Naikwade et al. 2012) dan penelitian yang mengevaluasi beberapa metode untuk mengisolasi fungi laut (Kossuga et al. 2012), menunjukkan bahwa metode langsung dengan menginokulasikan fragmen organisme laut pada medium dalam cawan Petri merupakan metode yang paling baik untuk menghasilkan strain kapang dalam jumlah besar. Penelitian yang dilakukan oleh Kossuga et al. (2012) menunjukkan bahwa metode isolasi langsung dengan menggunakan fragmen organisme laut berukuran kurang lebih 1 cm3 menghasilkan 347 isolat fungi dan metode lain seperti menginokulasikan sampel organisme laut yang dihancurkan dan dihomogenkan, serta menginokulasikan hasil pengenceran dari sampel organisme laut yang dihancurkan masing-masing menghasilkan 197 dan 144 isolat fungi. Pada penelitian ini digunakan 6 jenis media isolasi untuk mengisolasi kapang dari masing-masing sampel tumbuhan mangrove. Menurut Kossuga et al. (2012), penggunaan media yang berbeda sangat bermanfaat untuk meningkatkan jumlah isolat yang berasal dari spesies yang secara taksonomi tidak berkerabat Penelitian untuk mengisolasi fungi dari 4 jenis spons dengan menggunakan 9 jenis media isolasi menghasilkan 410 strain fungi (Kossuga et al. 2012) dan penelitian lain yang melakukan isolasi fungi dari 16 jenis spons menggunakan 6 jenis media, Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
30
menghasilkan 681 strain kapang (Höller et al. 2000). Sangat disarankan untuk menggunakan media dengan komposisi yang sangat berbeda untuk meningkatkan jumlah isolat kapang (Kossuga et al. 2012). Pada penelitian ini metode isolasi particles washing dan moist chamber terbukti efektif untuk mengisolasi kapang dari serasah mangrove (tabel I.1). Menurut Torzilli et al. (2006), kedua metode tersebut memungkinkan spora kapang yang terdapat pada serasah daun yang kering untuk memperoleh kelembaban yang cukup untuk dapat bergerminasi. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa metode particles washing dan moist chamber efektif digunakan untuk mengisolasi kapang dari daun dan serasah, baik serasah daun maupun ranting (Lee dan Hyde 2002; Torzilli et al. 2006). Hasil pengujian toksisitas dengan metode brine shrimp lethality test menggunakan larva A. salina pada penelitian ini menunjukkan terdapat lima isolat kapang penghasil ekstrak dengan peringkat toksisitas tertinggi. Lima isolat kapang tersebut berhasil diisolasi dari berbagai organ tumbuhan mangrove R. mucronata dengan menggunakan kombinasi antara metode isolasi dengan jenis medium tertentu (tabel I.3). Tabel 1.3. Kombinasi metode dan media yang digunakan untuk mengisolasi kapang endofit penghasil senyawa toksik No. 1. 2. 3. 4. 5.
Isolat BPPTCC 6035 BPPTCC 6036 BPPTCC 6037 BPPTCC 6038 BPPTCC 6039
Sumber isolat Akar R. mucronata Akar R. mucronata Daun R. mucronata Daun R. mucronata Serasah R. mucronata
Media Medium isolasi Beauveria spp. Medium isolasi Metarhizium spp. Medium modifikasi Tubaki Medium isolasi Metarhizium spp. Medium LC Miura’s Agar
Metode isolasi Filtrasi dengan membran milipore Langsung Filtrasi dengan kertas saring Filtrasi dengan membran milipore Particles washing
Spesies mangrove dari famili Rhizophoraceae merupakan salah satu spesies yang paling banyak diteliti dari sisi pemanfaatan botani dan fungi yang berasosiasi (Luo et al. 2005; Bhimba et al. 2011; Bhimba et al. 2012; Elavarasi et al. 2012; Klaiklay et al. 2012; Rank et al. 2012). Berbagai penelitian membuktikan bahwa fungi yang berasosiasi dengan spesies mangrove tersebut Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
31
memiliki potensi yang besar untuk menghasilkan metabolit sekunder bersifat bioaktif (Ravindran et al. 2010; Bhimba et al. 2011; Bhimba et al. 2012; Klaiklay et al. 2012; Elavarasi et al. 2012; Joel dan Bhimba 2013). Penelitian yang dilakukan oleh Ananda dan Sridhar (2002) terhadap beberapa spesies tumbuhan mangrove menunjukkan bahwa keanekaragaman spesies kapang tertinggi diperoleh dari spesies mangrove R. mucronata. Pada penelitian ini, digunakan media dengan kandungan sumber karbon tinggi seperti medium isolasi Beauveria spp. dan medium isolasi Metharizium spp., serta media dengan kandungan sumber karbon rendah (medium modifikasi Tubaki, medium kitin, medium ekstrak daun mangrove, medium LC Miura’s agar). Modifikasi medium Tubaki dan medium isolasi Beauveria spp. menghasilkan jumlah isolat terbanyak dengan jumlah masing-masing 21 isolat untuk setiap medium. Kelima isolat kapang endofit yang menghasilkan ekstrak dengan toksistas tertinggi (tabel I.3) diperoleh baik dari media dengan sumber karbon rendah (modifiksi medium Tubaki dan medium LC Miura’s agar) maupun media dengan sumber karbon tinggi (medium isolasi Beuveria spp. dan medium isolasi Metharizium spp.). Media dengan sumber karbon rendah memungkinkan tumbuhnya kapang yang memiliki pertumbuhan lambat dan media dengan kandungan karbon tinggi biasanya didominasi oleh kapang yang tumbuh cepat (Höller 1999; Kjer et al. 2010). Kapang laut teradaptasi dengan lingkungan oligotrofik, sehingga pemakaian media dengan kandungan karbon rendah cocok untuk mengisolasi kapang laut (Raghukumar 2008). Media dengan kandungan karbon rendah umumnya berhasil mengisolasi kapang penghasil senyawa metabolit sekunder bersifat bioaktif (Kossuga et al. 2012). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa media dengan kandungan karbon rendah seperti media selulosa dan Tubaki menghasilkan jumlah isolat kapang laut yang relatif tinggi (Menezes et al. 2010; Kossuga et al. 2012). Beberapa publikasi juga melaporkan keuntungan pemakaian media dengan sumber karbon rendah seperti media berbahan dasar malt untuk mengisolasi dan menumbuhkan strain kapang laut dalam rangka menghasilkan metabolit sekunder bersifat bioaktif (Fremlin et al. 2009; Kjer et al. 2010). Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
32
Media isolasi Metarhizium spp. dan Beauveria spp. digunakan karena tujuan jangka panjang dari penelitian ini adalah menghasilkan bioinsektisida dari metabolit sekunder kapang mangrove. Pada penelitian ini kedua media tersebut menghasilkan tiga isolat kapang penghasil senyawa aktif dengan toksisitas tinggi. Menurut Vega (2008), kapang entomopatogen kemungkinan hidup pada tumbuhan sebagai endofit, dan beberapa penelitian menunjukkan bahwa kapang entamopatogen dapat menghasilkan senyawa aktif yang bersifat insektisida. Kapang entomopatogen Cladosporium spp. dan Beauveria brongniartii berhasil diisolasi dari tumbuhan mangrove Avicennia officinalis, Rhizophora mucronata, dan Sonneratia caseolaris.
B. Identifikasi Kapang Penghasil Senyawa Aktif Proses identifikasi terhadap kelima isolat kapang penghasil senyawa aktif berdasarkan daerah ITS rDNA menghasilkan sequence dengan ukuran sekitar 700 pasang basa (gambar I.4).
Gambar I.4. Hasil elektroforesis produk PCR dari lima isolat kapang endofit penghasil senyawa bersifat toksik Keterangan: (1) A. flavus; (2) E. nidulans BPPTCC 6035; (3) E. nidulans BPPTCC 6038; (4) A. versicolor; (5) A. tamari; marker 1000 base pairs. Berdasarkan persentase homologi sequence yang diperoleh dari hasil pencarian homologi dengan program BLAST terhadap sequence ITS rDNA, Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
33
kelima kapang endofit penghasil senyawa aktif dapat diidentifikasi sebagai Emericella nidulans (BPPTCC 6035 dan BPPTCC 6038), Aspergillus flavus (BPPTCC 6036), Aspergillus tamarii (BPPTCC 6037), dan Aspergillus versicolor (BPPTCC 6039). Homologi sequence kelima kapang endofit tersebut terhadap sequence kapang yang terdapat pada DNA database GenBank berkisar antara 99—100% (tabel I.4). Tabel I.4. Hasil identifikasi lima isolat kapang endofit penghasil senyawa toksik berdasarkan data sequence daerah ITS rDNA No.
Kode strain
Hasil identifikasi
No. akses Genbank
1.
BPPTCC 6035
E. nidulans
KP165432
2.
BPPTCC 6036
A.flavus
KP165433
3.
BPPTCC 6037
A. tamarii
KP165434
4.
BPPTCC 6038
E. nidulans
KP165435
5.
BPPTCC 6039
A.versicolor
KP165436
Hasil pengamatan makroskopik dan mikroskopik masing-masing isolat sesuai dengan deskripsi dari masing-masing spesies pada monograf oleh Samson et al. (2004), Klich (2002), dan dari fungal database Mycobank (http://www.mycobank.org). Deskripsi morfologi memperkuat hasil identifikasi molekuler. Hasil pengamatan makroskopik dan mikroskopik dari masing-masing spesies dapat dilihat pada lampiran I.1. Khusus untuk strain E. nidulans, saat pengamatan makroskopik dan mikroskopik ditemukan ascocarp dalam bentuk cleistothecia, ascus dan ascospore. Menurut Klich (2002) dan Samson et al. (2004), cleistothecia, ascus, dan ascospore merupakan karakteristik dari fase teleomorph dari genus Aspergillus. Analisis filogenetik berdasarkan metode Neighbor Joining (gambar I.2) menunjukkan sequence ITS rDNA kelima strain kapang berada dalam satu clade dengan sequence dari spesies yang sama dari GenBank. Nomor akses dan asal isolat dari seluruh sequence yang digunakan dalam analisis filogenetik dapat dilihat pada tabel I.5.
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
34
Gambar I.5. Pohon filogenetik lima strain kapang endofit berdasarkan analisis sequence daerah ITS rDNA menggunakan metode Neighbor Joining (NJ) Keterangan: *A. oryzae kini sudah direvisi menjadi A. flavus, namun data spesies tersebut pada GenBank belum diperbarui. Tabel I.5. Data sequence strain kapang yang digunakan dalam analisis filogenetik No.
Strain kapang
Nomor akses
1.
Aspergillus tamarii NRRL 26066
AF004932.1
2. 3. 4.
Aspergillus tamarii NRRL 20818T Aspergillus tamarii CBS 121599 Aspergillus tamarii CBS 118098
AF004929.1 KJ175443.1 KJ175442.1
5.
Aspergillus oryzae* NRRL 506T
AF459735.1
6. 7. 8. 9.
Aspergillus flavus ATCC 16883T Aspergillus flavus strain NRRL 62477 Aspergillus versicolor CBS 583.65NT Aspergillus versicolor ATCC 9577T
NR 111041.1 JX292092.1 EU076360.1 NR 131277.1
10. 11. 12.
Emericella nidulans ATCC 10074 Emericella nidulans NRRL 2395T Aspergillus nidulans ATCC 10074T
KC146354.1 AY373888.1 NR 130654.1
Sumber strain Tanah perkebunan kacang, Georgia, USA Karbon aktif Keratitis pada pria, India Onycholysis pada pria, Denmark Almond dan jagung, Portugal Cellophane, Pasifik Selatan, Rempah, Maroko Tidak diketahui Luka pada manusia, New York, USA Belgia Tanah, Argentina Belgia
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
35
Tabel I.5. (lanjutan) Data sequence strain kapang yang digunakan dalam analisis filogenetik No. Strain kapang Nomor Sumber strain akses 13.
Emericella nidulans BPPTCC 6035
KP165432
14.
Aspergillus flavus BPPTCC 6036
KP165433
15.
Aspergillus tamarii BPPTCC 6037
KP165434
16.
Emericella nidulans BPPTCC 6038
KP165435
17.
Aspergillus versicolor BPPTCC 6039
KP165436
18. 19.
Mucor fragilis CBS-236.35 Rhizomucor variabilis CBS-384T
JN206422.1 HM849679.1
Akar R. Mucronata, Indonesia Akar R. Mucronata, Indonesia Daun R. Mucronata, Indonesia Daun of R. Mucronata, Indonesia Serasah R. Mucronata, Indonesia Fungi, Tremella sp. Wajah manusia, Cina
Keterangan: ATCC: American Type Culture collection, Manassas, Virginia, USA; CBS: Centraalbureau voor Schimmelcultures, Utrecht, Belanda; NRRL: Agricultural Research Service Culture Collection, National Center for Agricultural Utilization Research, Peoria, Illinois, USA. Sequence yang diperoleh dari hasil penelitian ini ditampilkan dalam cetak tebal.*Nama spesies A. oryzae sudah direvisi menjadi A. flavus.
Aspergillus tamarii BPPTCC 6037 yang diisolasi dari daun R. mucronata monofiletik dengan empat strain A. tamarii dari GenBank, di mana salah satunya merupakan type strain. Empat strain A. tamarii dari GenBank merupakan hasil isolasi dari tanah, karbon aktif dan penyakit pada manusia. Hasil pengamatan morfologi (lampiran I.1) menunjukan karakter yang sesuai dengan deskripsi dari A. tamarii pada beberapa literatur (Mycobank- http://www.mycobank.org; Klich 2002; Samson et al. 2004). Karakter tersebut antara lain adalah diameter koloni pada medium Czapeks agar berumur 7 hari sebesar 5,2—5,5 cm, dengan permukaan koloni seperti beludru, serta konidiofor dan sporulasi yang lebat. Koloni semula berwarna kuning, berubah menjadi kehijauan dan akhirnya menjadi coklat tua (setelah berumur 14 hari). Konidiofor hyaline dan berdinding kasar. Kepala konidia bulat dengan vesicle berbentuk globose hingga sub globose, berukuran 10—36 µm, uniseriate atau biseriate. Konidia kasar, bulat, berdiameter 5—5,5 µm, berwarna kecoklatan dengan dinding bagian dalam dan luar jelas terlihat. Aspergillus flavus BPPTCC 6036 yang diisolasi akar R. mucronata monofiletik dengan dua strain A. flavus dari GenBank, dimana salah satu strain tersebut merupakan type strain untuk A. flavus. Hasil pengamatan morfologi
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
36
secara makroskopik dan mikroskopik (lampiran I.1) menunjukkan karakter yang sesuai dengan deskripsi untuk A. flavus (Mycobank- http://www.mycobank.org; Klich 2002; Samson et al. 2004). Karakter tersebut antara lain diameter koloni berumur tujuh hari pada medium Czapeks agar sebesar 3,5—4,1 cm dengan permukaan koloni seperti beludru berwarna kuning kehijauan yang kemudian berubah menjadi hijau. Konidiofor hyaline, kepala konidia bulat, vesicle sub globose berukuran 18—25 µm, uniseriate atau biseriate, dan konidia bulat berukuran 3—4 µm. Aspergillus flavus pada penelitian ini berada pada satu cluster dengan type strain dari A. oryzae. Menurut Chang dan Erlich (2010), kedua spesies tersebut disebutkan berkerabat sangat dekat, memiliki sequence genom dengan tingkat kemiripan yang tinggi. Genom dari kedua spesies kapang tersebut sama-sama berukuran 37 Mb dan sama-sama terbagi menjadi 8 kromosom. Menurut Samson dan Varga (2009), kesamaan genomik yang sangat tinggi antara A. flavus dengan A. oryzae mengindikasikan bahwa kedua spesies tersebut adalah spesies yang sama (sinonim) dan A.oryzae merupakan ekotipe dari A. flavus. Menurut Chang dan Erlich (2010), beberapa hipotesis memperkirakan bahwa A. oryzae merupakan hasil domestikasi dari A. flavus. Data taksonomi dan nomenklatur fungi terbaru yang terdapat pada Mycobank (http://www.mycobank.org) kini menyebut A. oryzae sebagai A. flavus var. oryzae. Sampai saat ini, taksonomi A. flavus dan A. oryzae selalu menjadi perdebatan. Hasil penelitian Carolis et al. (2012) terhadap spesies A. flavus dan A. oryzae berdasarkan profil whole cell protein dengan alat Matrix-assisted laser desorption ionization time-of-flight mass spectrometry ( MALDI-TOF MS) menunjukkan hal yang berlawanan. Strain-strain dari kedua spesies A. flavus dan A. oryzae berada pada cluster yang terpisah pohon filogenetik sesuai dengan type strain dari masing-masing spesies. Analisis kandungan protein dari keseluruhan sel dengan MALDI-TOF MS ternyata mampu memisahkan kedua spesies tersebut, sehingga kedua spesies tersebut tidak dapat dikatakan sebagai sinonim. Analisis filogenetik menunjukkan bahwa strain A. versicolor BPPTCC 6039 yang diisolasi dari serasah daun mangrove R. mucronata berada dalam cluster yang sama dengan dua strain A. versicolor yang berasal dari GenBank, dengan Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
37
nilai bootstrap sebesar 91%. Salah satu strain A. versicolor pada GenBank tersebut diisolasi dari luka pada manusia, dan satu strain yang tidak diketahui sumber isolatnya merupakan type strain dari spesies tersebut (tabel I.5). Hasil pengamatan morfologi (lampiran I.1) menunjukkan karakter yang sesuai dengan deskripsi untuk A. versicolor (Mycobankhttp://www.mycobank.org; Klich 2002; Samson et al. 2004). Karakter tersebut antara lain adalah diameter koloni berumur 7 hari pada medium Czapeks agar adalah 1,1—1,5 cm dengan permukaan koloni seperti beludru berwarna putih yang kemudian berubah menjadi kuning oranye dan eksudate yang tidak berwarna. Konidiofor hyaline, berdinding halus, dan agak berpigmen, seringkali berwarna hijau bercampur merah muda. Vesicle sub globose hingga elips berukuran 15—16 µm, uniseriate dan biseriete, konidia bulat berukuran 4—4,5 µm. Dua strain E. nidulans (BPPTCC 6035 dan BPPTCC 6038) yang diisolasi dari akar dan daun R. mucronata berada dalam cluster yang sama dengan dua strain E. nidulans pada GenBank, di mana salah satunya merupakan type strain dari E. Nidulans, dengan nilai bootstrap 96%. Strain E. nidulans pada GenBank tersebut merupakan hasil isolasi dari tanah (type strain). Kedua strain E. nidulans pada penelitian ini juga berada dalam cluster yang sama dengan type strain dari A. nidulans. Hal tersebut menunjukkan bahwa hasil analisis sequence DNA menunjukkan bahwa bentuk anamorph dan telemorph memiliki sequence yang identik. Pohon filogenetik dapat memperlihatkan hubungan antara anamorph dan telemorph. Emericella nidulans merupakan bentuk teleomorph dari Aspergillus nidulans. Hasil pengamatan morfologi (lampiran I.1) sesuai dengan deskripsi untuk E. nidulans yang tercantum dalam beberapa literatur (Mycobankhttp://www.mycobank.org; Klich 2002; Samson et al. 2004). Karakter yang teramati antara lain adalah diameter koloni berumur 7 hari pada medium malt extract agar adalah 6,4—7,1 cm, dengan bagian pinggir koloni berwarna putih dan bagian tengah koloni berwarna kuning kehijauan. Beberapa struktur seksual yang teramati pada kedua strain E. nidulans dapat dilihat pada gambar I.6 berikut.
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
38
Gambar I.6. Struktur seksual yang ditemukan pada pengamatan mikroskopik dua strain kapang E. nidulans (a. Kumpulan dari Hulle cells yang menyelubungi cleistotechia; b. Kumpulan cleistotechia; c. Ascocarp; d. Ascospore (insert: ascus yang terdiri dari delapan ascospore) Ascomata berupa cleistothecia terlihat secara makroskopik berupa struktur berwarna putih kekuningan yang tersebar pada permukaan koloni berumur lebih dari 4 minggu (lampiran I.1). Cleistothecia berbentuk globose hingga sub globose, berwarna merah kehitaman dengan diameter100—300 µm, dan diselimuti oleh Hulle cells yang berdiameter 5—25 µm. Ascus terdiri dari 8 spora berbentuk globose hingga sub globose. Ascospore berbentuk lenticular, berwarna merah ungu, berdinding halus dengan ujung yang runcing. Kepala konidia berwarna kuning kehijauan berbentuk columnar, biseriate, dengan vesicle globose berukuran 8—10 µm. Identifikasi hanya berdasarkan data sequence daerah ITS rDNA tidak mencukupi dalam melihat hubungan kekerabatan di antara spesies pada genus Aspergillus. Marker taksonomi berupa gen-gen lain masih diperlukan untuk menghasilkan identifikasi sampai tingkat spesies yang lebih reliable (Samson et al. 2014). Analisis filogenetik yang dibuat berdasarkan data sequence daerah 5,8S rDNA, 28S rDNA, dan RPB2 hanya berhasil membedakan spesies-spesies Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
39
Aspergillus ke dalam 3 clade (Samson et al. 2014). Penggunaan data sequence gen-gen lain seperti actin, β tubulin, calmodulin, RPB,Tsr1, dan Cct8 memperjelas dan memperkuat identitas taksonomi dari spesies Aspergillus (Varga et al. 2011; Samson et al. 2014). Aspergillus merupakan salah satu genus kapang kosmopolit yang dapat ditemukan di berbagai lingkungan dan habitat yang sangat beragam (Bok et al. 2006; Chang dan Ehrlich 2010; Gibbons dan Rokas 2013). Pada lingkungan laut dan estuaria, Aspergillus juga merupakan salah satu genus kapang yang sering berhasil diisolasi dari berbagai inang, mulai dari organisme laut hingga tumbuhan mangrove (Meenupriya dan Thangaraj 2010; Nofiani et al. 2012; Joel dan Bhimba 2013). Beberapa spesies Aspergillus seperti A. flavus, A. niger, dan A. nidulans telah berhasil diisolasi dari daun, ranting dan akar beberapa mangrove Rhizophoraceae seperti R. mucronata; R. stylosa, dan R. apiculata (Bhimba et al. 2011; Xing dan Guo 2011; Chun et al. 2013). Kapang Aspergillus dari spesies mangrove Rhizophora menghasilkan beragam metabolit sekunder bersifat bioaktif, seperti aktivitas terhadap patogen manusia dan sel kanker Hep2 dan MCF7 (Bhimba et al. 2012). Spesies kapang lain yang pernah dilaporkan berhasil diisolasi dari tumbuhan mangrove Rhizophora adalah Phomopsis spp. dari R. apiculata (Klaiklay et al. 2012); Meyerozyma guilliermondii dari daun mangrove R. mucronata (Joel dan Bhimba 2013b); Fusarium oxysporum dari R. annamalayana (Elavarasi et al. 2012); dan dua spesies Pestalotiopsis dari ranting mangrove R. apiculata dan R. mucronata (Rukachaisirikul et al. 2012). Semua spesies kapang tersebut juga dilaporkan menghasilkan metabolit sekunder dengan aktivitas yang beragam. Kapang dari genus Aspergillus juga dilaporkan berhasil diisolasi dari spesies mangrove lain seperti A. flavipes diisolasi dari bagian dalam daun Acanthus ilicifolius (Bai 2014); A. flavus diisolasi dari akar Hibiscus tiliaceus (Wang et al. 2012) dan beberapa spesies Aspergillus seperti A. niger; A. aureoles; A. candidus; A. chevalier; A. flavus; A. glaucus; A. ochraceus; dan A. smithii diisolasi dari daun Ceriops tagal yang telah membusuk (Naikwade et al. 2012).
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
40
C. Fermentasi dan Ekstraksi Senyawa Aktif dari Kapang Endofit Tumbuhan Mangrove Pada penelitian ini, metabolit sekunder dari 110 isolat kapang dihasilkan melalui proses fermentasi selama 14 hari pada suhu kamar dengan agitasi 65 rpm. Medium fermentasi adalah malt extract broth yang ditambahkan dengan air laut buatan. Faktor yang berpengaruh pada pertumbuhan kebanyakan kapang laut adalah salinitas, konsentrasi ion Na yang tinggi, kondisi nutrisi oligotrofik dan kadar oksigen yang rendah (Raghukumar 2008). Berdasarkan hal tersebut penggunaan medium dengan kandungan sumber karbon rendah seperti malt extract broth yang ditambahkan dengan air laut buatan dan agitasi 65 rpm merupakan kondisi yang sesuai untuk proses fermentasi. Medium dengan bahan dasar malt extract terbukti dapat menginduksi kapang untuk menghasilkan metabolit sekunder aktif (Kjer et al. 2010; Kossuga et al. 2012; Nofiani et al. 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Nofiani et al. (2012) menggunakan medium M2+ cair yang mengandung malt extract, yeast extract dan glukosa dalam konsentrasi sangat rendah selama empat minggu untuk menghasilkan metabolit sekunder dari kapang A. brevipes. Penelitian tersebut juga membuktikan bahwa produksi metabolit sekunder pada kapang dipengaruhi oleh nutrisi rendah, waktu inkubasi dan kondisi lingkungan yang sesuai. Medium dengan kadar glukosa tinggi cocok untuk menghasilkan metabolit sekunder dengan aktivitas anti mikroba, sedangkan untuk menghasilkan metabolit sekunder dengan aktivitas toksik dibutuhkan medium dengan kadar glukosa yang rendah (Nofiani et al. 2012). Metabolit sekunder kapang juga tidak dihasilkan sepanjang waktu, tapi umumnya dihasilkan pada fase stasioner yang dimulai pada hari ke 14 sampai 28 (Nofiani et al. 2012). Pada penelitian ini, etil asetat digunakan untuk mengekstrak metabolit sekunder dari medium cair yang akan diuji toksisitasnya terhadap A. salina. Etil asetat terbukti efektif untuk mengekstrak metabolit sekunder dari kultur cair dan menghasilkan aktivitas yang tinggi terhadap berbagai jenis organisme uji (Aly et al. 2008; Kjer et al. 2010; Tarman et al. 2011; Zhang et al. 2011). Bertolak belakang dengan ekstrak etil asetat, beberapa penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol dari miselium, serta butanol dan kloroform dari kultur cair kapang Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
41
menunjukkan aktivitas yang kurang memuaskan (Tarman et al. 2011; Joel dan Bhimba 2013a, Joel dan Bhimba 2013b). D. Screening Isolat Kapang Penghasil Senyawa Aktif Untuk meneliti toksisitas dari ekstrak etil asetat yang dihasilkan oleh 110 strain kapang endofit tumbuhan mangrove, uji toksisitas terhadap larva A. salina dipilih sebagai metode screening. Larva A. salina sangat sensitif terhadap berbagai senyawa toksik (Zhang et al. 2012). Metode pengujian tersebut sangat bermanfaat untuk melakukan uji toksistas pendahuluan dan telah banyak dimanfaatkan untuk mendeteksi toksin yang dihasilkan oleh kapang dan cyanobacteria, toksisitas ekstrak tanaman, logam berat, pestisida dan polutan organik lain (Carballo et al. 2002; Zhang et al. 2012; Magadula et al. 2012; Teixeira et al. 2012; Oloyede dan Ogunlade 2013; Tarawneh et al. 2013). Selama proses pengujian tersebut larva A. salina tidak diberi pakan. Untuk memastikan bahwa kematian larva saat bioassay disebabkan oleh senyawa uji, bukan karena kelaparan atau senyawa lain seperti etil asetat atau DMSO, maka jumlah kematian larva pada perlakuan selalu dibandingkan dengan kontrol. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa larva nauplii yang baru menetas dapat bertahan hidup sampai dengan 48 jam tanpa makanan karena masih memiliki cadangan makanan berupa yolk sac (Carballo et al. 2002). Hasil screening awal dari 110 ekstrak yang dihasilkan oleh 110 isolat kapang dapat dilihat pada tabel I.6. Penurunan konsentrasi ekstrak dari 1000 hingga 125 ppm menyebabkan penurunan jumlah ekstrak yang tergolong dalam peringkat toksisitas sangat toksik (menyebabkan mortalitas larva lebih dari 90%). Pada konsentrasi 125 ppm hanya lima ekstrak yang dihasilkan oleh lima strain kapang (E. nidulans BPPTCC 6035 dan BPPTCC 6038; A. flavus; A. tamari; dan A. versicolor) masih tergolong sangat toksik dan kelima ekstrak tersebut dipilih untuk uji lanjut. Pengujian berikutnya menurunkan konsentrasi ekstrak tersebut dari 80 hingga 2,5 ppm untuk menentukan peringkat toksisitas pada konsentrasi 80 ppm dan nilai LC50.
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
42
Tabel I.6. Hasil screening awal 110 ekstrak etil asetat dari 110 isolat kapang terhadap larva A. salina No. 1.
Konsentrasi ekstrak (ppm) 1,000
Jumlah ekstrak yang tergolong dalam peringkat sangat toksik (mortalitas > 90%)* 39
2.
500
30
3.
250
8
4.
125
5
*Peringkat toksisitas ekstrak berdasarkan Harwig dan Scott (1971)
Hasil uji lanjut yang digunakan untuk menentukan peringkat toksisitas dan nilai LC50 dari ekstrak yang dihasilkan oleh lima isolat dapat dilihat pada tabel I.7. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak yang dihasilkan oleh empat strain kapang (A. flavus; E. nidulans BPPTCC 6038; A. tamari; dan A. versicolor) tergolong sangat toksik pada konsentrasi 80 ppm dan ekstrak yang dihasilkan oleh strain E. nidulans BPPTCC 6035 tergolong toksik pada konsentrasi 80 ppm. Harwig dan Scott (1971) menggolongkan peringkat toksisitas ekstrak mikroba berdasar pada persen kematian larva A. salina. Penggolongan tersebut dibagi menjadi tidak toksik (0 sampai 9%), agak toksik (10 sampai 49%), toksik (50 sampai 89%) dan sangat toksik (90 sampai 100%).
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
43
Tabel I.7. Toksisitas ekstrak etil asetat dari filtrat biakan lima strain kapang endofit terhadap larva A. salina Strain kapang
A. flavus (BPPTCC 6036)
E.nidulans (BPPTCC 6035)
E. nidulans (BPPTCC 6038)
A. tamarii (BPPTCC 6037)
A. versicolor (BPPTCC 6039)
Konsentrasi ekstrak (ppm) 2,5 5 10 20 40 80 2,5 5 10 20 40 80 2,5 5 10 20 40 80 2,5 5 10 20 40 80 2,5 5 10 20 40 80
Persentase (%) mortalitas larva A. salina dari tiga replikasi 30 35 40 40 45 40 35 45 55 90 75 85 95 100 95 95 100 100 25 25 30 35 40 40 50 50 45 55 55 60 70 65 75 75 70 80 20 20 25 30 35 35 45 35 45 70 80 65 85 85 75 100 95 100 30 25 35 25 35 45 50 45 50 80 70 75 100 90 80 100 100 90 20 30 25 30 35 35 55 50 55 70 55 70 90 80 85 100 95 90
Persentase (%) rata-rata+SE mortalitas larva A. salina* 35,00 + 2,89a 41,67 + 1,67a 45,00 + 5.77a 83,33 + 4,41b 96,67 + 1,67bc 98,33 + 1,67c 26,67 + 1,67a 38,33 + 1,67b 48,33 + 1,67bc 56,67 + 1,67c 70,00 + 2,89d 75,00 + 2,89d 21,67 + 1,67a 33,33 + 1,67ab 41,67 + 3,33b 71,67 + 4,41c 81,67 + 3,33c 98,33 + 1,67d 30,00 + 2,89a 35,00 + 5,77a 48,33 + 1,67ab 75,00 + 2,89bc 90,00 + 5,77bcd 96,67 + 3,33d 25,00 + 2,89a 33,33 + 1,67ab 53,33 + 1,67bc 65,00 + 5,00cd 85,00 + 2,89de 95,00 + 2,89e
Peringkat toksisitas**
Agak toksik Agak toksik Agak toksik Toksik Sangat toksik Sangat toksik Agak toksik Agak toksik Agak toksik Toksik Toksik Toksik Agak toksik Agak toksik Agak toksik Toksik Toksik Sangat toksik Agak toksik Agak toksik Agak toksik Toksik Sangat toksik Sangat toksik Agak toksik Agak toksik Toksik Toksik Toksik Sangat toksik
*Rata-rata dari tiga replikasi; SE = Standar Eror; a,b,c,d,e Huruf yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan berdasarkan analisis Tukey HSD test dengan α = 0,05; **peringkat toksisitas ekstrak berdasarkan Harwig dan Scott (1971)
Hasil analisis one-way ANOVA menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi pada masing-masing ekstrak berpengaruh signifikan terhadap mortalitas rata-rata larva. Uji lanjut menggunakan Tukey’s HSD mengindikasikan perbedaan yang nyata di antara beberapa konsentrasi pada ekstrak yang sama dan perbedaan tersebut tidak sama untuk tiap-tiap ekstrak. Hal tersebut menyebabkan peringkat toksisitas yang berbeda pada masing-masing ekstrak dengan konsentrasi yang sama. Empat ekstrak yang masing-masing dihasilkan oleh E. nidulans (BPPTCC 6038), A. flavus, A. tamarii, dan
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
44
A. versicolor tergolong sangat toksik pada konsentrasi 80 ppm dan ekstrak yang dihasilkan oleh E. nidulans (BPPTCC 6035) tergolong toksik pada konsentrasi 80 ppm. Nilai LC50 dari tiap ekstrak dapat dilihat pada tabel I.8 dan grafik yang menunjukkan regresi linier dari masing-masing ekstrak dapat dilihat pada gambar I.7. Nilai LC50 dari masing-masing ekstrak yang dihasilkan oleh kelima strain kapang berkisar antara 7,45 ppm sampai dengan 10,24 ppm. Berdasarkan klasifikasi standar untuk senyawa aktif dan ekstrak tanaman yang mengklasifikasikan senyawa dan ekstrak sebagai toksik bila memiliki nilai LC50 < 1000 µg/ml atau 1000 ppm (Meyer et al. 1982), kelima ekstrak diklasifikasikan sebagai toksik.
Tabel I.8. Nilai LC50 ekstrak etil asetat dari filtrat biakan lima strain kapang terhadap larva nauplii A. salina No.
Strain
LC50 (ppm)
Persamaan garis
1.
A. flavus (BPPTCC 6036)
9,25
y= -1,2 + 1,23x
2.
E. nidulans (BPPTCC 6035)
10,24
y= -1,2 + 1,21x
3.
E. nidulans (BPPTCC 6038)
9,96
y = -144 + 1,45x
4.
A. tamarii (BPPTCC 6037)
7,45
y= -1,31 + 1,52x
5.
A. versicolor (BPPTCC 6039)
8,89
y= -1,33 + 1,41x
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
45
Gambar I.7. Grafik dan persamaan garis dari nilai probit mortalitas terhadap log konsentrasi ekstrak etil asetat dari filtrat biakan lima strain kapang (1: A. flavus; 2: E. nidulans BPPTCC 6035; 3: E. nidulans BPPTCC 6038; 4: A. tamarii; 5: A. versicolor)
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
46
Strain yang menghasilkan nilai LC50 terendah adalah A. tamarii (7,45 ppm) dan strain tersebut juga digolongkan sebagai sangat toksik berdasarkan standar Harwig dan Scott (1971). Aspergillus tamarii dilaporkan menghasilkan aflatoksin B1 dan B2, cyclopiazonic acid, fumigaclavine A dan kojic acid (Goto et al. 1996). Aflatoksin merupakan insektisida alami potensial dan strain A. tamarii penghasil aflatoksin dilaporkan merupakan hasil isolasi dari serangga atau serangga mati (Goto et al. 1996). Strain A. tamarii NRRL 428 merupakan hasil isolasi dari serangga yang tidak diidentifikasi, A. tamarii CBS 631.67 merupakan hasil isolasi dari pupa Prodenia litura dan strain A. tamarii lain dilaporkan merupakan hasil isolasi dari ulat sutra dan pupa ulat sutra Attacus ricini (Goto et al. 1996). Aspergillus versicolor BPPTCC 6039 juga menghasilkan ekstrak yang tergolong sangat toksik dengan nilai LC50 8,89 ppm. Kapang A.versicolor yang diisolasi dari organisme laut dilaporkan menghasilkan metabolit bersifat bioaktif dengan aktivitas beragam. Empat senyawa baru dari golongan sesquiterpenoid nitrobenzoyl ester berhasil diisolasi dari ekstrak organik yang terdapat pada kultur cair dan miselia A. versicolor yang diisolasi dari alga Penicillus capitatus (Belofsky et al. 1998). Senyawa metabolit yang dihasilkan oleh A. versicolor hasil isolasi dari spons Petrosia sp. menunjukkan aktivitas sitotoksik terhadap lima galur sel kanker manusia (Lee et al. 2010). Senyawa 6-O-methylaverufin yang diperoleh dari kultur A. versicolor hasil isolasi dari alga Sargassum thunbergii menunjukkan toksisitas terhadap larva A. salina dengan nilai LC50 sebesar 0,5 μg/ml atau 5 x 10-4 ppm (Miao et al. 2012). Nilai tersebut sangat kecil dibandingkan dengan nilai LC50 yang dihasilkan oleh kapang A. versicolor dalam penelitian ini. Senyawa yang diujikan pada penelitian tersebut adalah senyawa murni, sedangkan pada penelitian ini digunakan ekstrak kasar, sehingga terdapat perbedaan hasil yang sangat besar. Kapang dari genus Aspergillus memiliki gen pengkode jalur metabolisme yang sangat beragam (Dohren 2008). Masing-masing spesies dan strain Aspergillus memiliki kombinasi jalur metabolisme berbeda yang berdampak pada jenis senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan (Dohren 2008; Ahuja et al. 2012). Berdasarkan hal tersebut sangat besar kemungkinan terdapat perbedaan Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
47
pada senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh spesies-spesies dari genus Aspergillus dan bentuk teleomorph dari genus tersebut. Ekstrak etil asetat yang dihasilkan oleh dua strain E. nidulans menunjukkan perbedaan peringkat toksisitas. Metabolit sekunder yang dihasilkan oleh strain E. nidulans BPPTCC 6038 tergolong sangat toksik dengan nilai persen mortalitas 98,33% pada 80 ppm dan nilai LC50 9,956 ppm. Emericella nidulans BPPTCC 6035 menghasilkan metabolit sekunder dengan peringkat toksistas yang lebih rendah, tergolong sebagai toksik (mortalitas 75%) dan memiliki nilai LC50 yang lebih tinggi 10,240 ppm. Perbedaan tersebut kemungkinan disebabkan oleh perbedaan senyawa yang terkandung dalam kedua ekstrak. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh perbedaan substrat asal dari kedua strain. Emericella nidulans BPPTCC 6038 merupakan hasil isolasi dari daun dan E. nidulans BPPTCC 6035 merupakan hasil isolasi dari akar R. mucronata. Lingkungan dan habitat berpengaruh terhadap metabolisme kapang dalam menghasilkan metabolit sekunder (Brakhage dan Schroeckh 2011; Schulz et al. 1993). Akar tumbuhan mangrove lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi laut dibandingkan dengan daun mangrove dan hal tersebut membuat mikroflora yang mengkolonisasi kedua organ tumbuhan tersebut berbeda. Berdasarkan beberapa penelitian, Brakhage dan Schroeckh (2011) menyimpulkan bahwa mikroorganisme pada habitat alami akan berinteraksi satu sama lain dan intraksi tersebut akan sangat berpengaruh pada metabolit sekunder yang dihasilkan. Endofit harus mensintesis metabolit untuk berkompetisi dengan endofit lain dan dengan patogen untuk mempertahankan koloni di habitatnya (Schulz et al. 1993) dan berdasarkan hal tersebut metabolit yang dihasilkan umumnya menunjukkan toksisitas dan aktivitas antimikroba (Sun et al. 2011). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa strain-strain E. nidulans menghasilkan metabolit sekunder yang sangat beragam dengan aktivitas yang bervariasi. Senyawa baru, antara lain koninginin H, turunan dari polyketide, koninginin E, koninginin A, trichodermatide B, citrantifidiol, (4S,5R)-4-hydroxy5-methylfuran-2-one, derivat gliserol gingerglycolipid B, dan cerebroside flavuside B telah berhasil diisolasi dari metabolit sekunder yang dihasilkan oleh
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
48
E. nidulans (Tarawneh et al., 2013). Senyawa-senyawa tersebut memiliki aktivitas yang beragam seperti antibakteri, antimalaria, antifungi dan antileishmania (Tarawneh et al. 2013). Kapang endofit Emericella sp. yang diisolasi dari tumbuhan mangrove Aegiceras corniculatum menghasilkan enam senyawa turunan isoindolone yang diberi nama emerimidine A dan B serta emeriphenolicin A dan D, juga enam senyawa yang telah ditemukan sebelumnya yaitu aspernidine A dan B, austin, austinol, dehydroaustin, dan acetoxydehydroaustin (Zhang et al. 2011). Senyawasenyawa tersebut dilaporkan memiliki aktivitas antiviral (Zhang et al. 2011). Aspergillus nidulans, bentuk aseksual dari E. nidulans yang diisolasi dari daun mangrove R. stylosa dilaporkan menghasilkan enam senyawa turunan 4-phenyl3,4-dihydroquinolone baru dan senyawa yang mirip dengan aflaquinolone A, dan sebagian senyawa-senyawa tersebut menunjukkan aktivitas toksik terhadap A. salina dengan nilai LC50 berkisar antara 4,5 – 7,1 µM (Chun et al. 2013).
E. Analisis HPLC terhadap Lima Ekstrak Aktif Profil HPLC dari masing-masing ekstrak etil asetat yang dihasilkan oleh kelima strain kapang (gambar I.11—I.15) menunjukkan bahwa masing-masing ekstrak memiliki profil yang berbeda. Hal tersebut mengindikasikan bahwa ekstrak yang dihasilkan oleh kelima strain kapang kemungkinan merupakan senyawa yang berbeda.
Gambar I.8. Profil HPLC ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang A. flavus BPPTCC 6036
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
49
Gambar I.9. Profil HPLC ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang E. nidulans BPPTCC 6035
Gambar I.10. Profil HPLC ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang E. nidulans BPPTCC 6038
Gambar I.11. Profil HPLC ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang A. tamarii BPPTCC 6037
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
50
Gambar I.12. Profil HPLC ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang A. versicolor BPPTCC 6039 Hasil analisis HPLC terhadap ekstrak yang dihasilkan oleh dua strain E. nidulans (gambar I.12 dan I.13) menunjukkan profil yang berbeda. Ekstrak E. nidulans BPPTCC 6038 dengan peringkat toksisitas lebih tinggi memiliki jumlah peak yang lebih banyak daripada ekstrak E. nidulans BPPTCC 6035 dan tidak terdapat peak yang sama di antara kedua ekstrak tersebut. Perbedaan tersebut dapat mengindikasikan bahwa kedua strain menghasilkan metabolit sekunder yang berbeda dan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh E. nidulans BPPTCC 6038 mengandung senyawa yang lebih beragam. Perbedaan komposisi kimia akan berpengaruh pada perbedaan peringkat toksisitas (Aly et al. 2008). Ekstrak yang dihasilkan oleh A. tamarii dengan nilai LC50 terendah, memiliki satu peak yang sama dengan ekstrak E. nidulans BPPTCC 6038 (gambar I.9 dan I.10). Retention time kedua peak tersebut hampir sama, kurang lebih 12 menit, mengindikasikan jenis senyawa yang sama. Ekstrak yang dihasilkan oleh kedua strain tersebut termasuk dalam peringkat sangat toksik pada konsentrasi 80 ppm.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Lima dari 110 isolat kapang endofit tumbuhan mangrove yang berasal dari akar, daun, dan serasah tumbuhan mangrove R. mucronata terbukti menghasilkan Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
51
senyawa bersifat toksik terhadap larva uji A. salina (persentase mortalitas 75— 98,33% pada konsentrasi 80 ppm) dengan nilai LC50 berkisar antara 7,45—10,24 ppm. Identifikasi berdasarkan daerah ITS rDNA terhadap kelima strain kapang tersebut menunjukkan bahwa kelima strain merupakan anggota dari genus Aspergillus dan Emericella. Dua strain (BPPTCC 6035 dan BPTCC 6038) diidentifikasi sebagai E. nidulans, strain BPPTCC 6036 sebagai A. flavus, strain BPPTCC 6039 sebagai A. versicolor, dan , strain BPPTCC 6037 sebagai A. tamarii. Ekstrak etil asetat dari filtrat biakan (pada medium malt extract broth) kelima strain kapang tersebut memiliki profil HPLC yang berbeda, mengindikasikan senyawa metabolit sekunder yang berbeda. Satu peak yang sama pada ekstrak A.tamarii dengan E. nidulans BPPTCC 6038 mengindikasikan terdapat satu senyawa yang sama pada kedua strain tersebut.
B. Saran Perlu dilakukan identifikasi menggunakan MALDI-TOF MS, untuk memperjelas identitas taksonomi dari Aspergillus flavus BPPTCC 6036. Perlu dilakukan pengujian apakah Aspergillus flavus BPPTCC 6036 merupakan penghasil aflatoxin. Identifikasi sampai tingkatan spesies terhadap isolat-isolat yang menghasilkan ekstrak dengan tingkat toksisitas yang relatif tinggi pada konsentrasi di bawah 500 ppm perlu dilakukan untuk memperoleh identitas taksonomi isolat-isolat yang berpotensi menghasilkan senyawa aktif. Identitas taksonomi dari isolat-isolat kapang yang berpotensi menghasilkan senyawa aktif akan mempermudah penelusuran informasi untuk memprediksi golongan dan karakter senyawa aktif yang dihasilkan. Informasi mengenai golongan dan karakter senyawa aktif yang dihasilkan oleh suatu spesies kapang akan membantu penentuan proses fermentasi dan ekstraksi. Optimasi proses fermentasi perlu dilakukan dengan membandingkan beberapa jenis media, agitasi dan waktu fermentasi terhadap jumlah senyawa aktif yang dihasilkan. Optimasi proses ekstraksi perlu dilakukan dengan penggunaan beberapa jenis pelarut, berdasarkan referensi, untuk memperoleh jumlah ekstrak aktif yang optimum. Melalui optimasi proses fermentasi dan ekstraksi jumlah dari Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
52
senyawa aktif dapat ditingkatkan sehingga tingkat toksisitas ekstrak kasar juga dapat ditingkatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abbott, W.S. 1925. A method of computing the effectiveness of an insecticide. Journal of Economic Entomology 18: 265—267. Achmad & P.W. Nurhayati. 2004. Genus fungi pada tanah hutan mangrove tercemar logam berat di Muara Angke DKI Jakarta. Jurnal Manajemen Hutan Tropika 10(2): 14—21. Affandi, M. 2002. Diversitas dan visualisasi jamur yang berasosiasi dengan proses degradasi serasah di lingkungan mangrove. Laporan Penelitian JIPTUNAIR. Fakultas Matemetika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Airlangga, Surabaya: 31 hlm. Ahuja, M., Yi-Ming Chiang, Shu-Lin Chang, M.B. Praseuth, R. Entwistle, J.F. Sanchez, Hsien-Chun Lo, Hsu-Hua Yeh, B.R.Oakley1 & C.C. C. Wang. 2012. Illuminating the diversity of aromatic polyketide synthases in Aspergillus nidulans. Journal of American Chemical Society 134(19): 8212—8221. Alongi, D.M. 2002. Present state and future of the world’s mangrove forests. Environmental Conservation 29(3): 331—349. Aly, A.H., R.A. Edrada-Ebel, V. Wray, W.E.G. Muller, S. Kozytska, U. Hentschel, P. Proksch & R. Ebel. 2008. Bioactive metabolites from the endophytic fungus Ampelomyces sp. isolated from the medicinal plant Urospermum picroides. Phytochemistry 69: 1716—1725. Ananda K & K.R. Sridhar. 2002. Diversity of endophytic fungi in the roots of mangrove species on the west coast of India. Canadian Journal of Microbiology 48: 871—878. Bader, O. 2013. MALDI-TOF-MS-based species identification and typing approaches in medical mycology. Proteomics 13: 788—799. Bai, Z.Q. 2014. New phenyl derivatives from endophytic fungus Aspergillus flavipes AIL8 derived of mangrove plant Acanthus ilicifolius. Fitoterapia (in press). Batista, W.P., Í.G.P. Vieirac, A.A. Craveiroc, J.E.S.A de Manezesd, A.F.U. Carvalhoe & G.P.G. de Li. 2011. Antioxidant, larvicidal and antiacetylcholinesterase activities of cashew nut shell liquid constituents. Acta Tropica 117: 161—170. Belofsky, G.N., P.R. Jensen, M.K. Renner & W. Fenical. 1998. New cytotoxic sesquiterpenoid nitrobenzoyl esters from a marine isolate of the fungus Aspergillus versicolor. Tetrahedron 54: 1715—1724. Bhimba, B.V., D.A.A.D. Franco, J.M. Mathew, G.M. Jose, E.L. Joel & M. Thangaraj. 2012. Anticancer and antimicrobial activity of mangrove
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
53
derived fungi Hypocrea lixii VB1. Chinese Journal of Natural Medicine 10(1): 77—80. Bhimba, B.V., D.A. A. D. Franco, G.M. Jose, J.M. Mathew & E. L. Joel. 2011. Characterization of cytotoxic compound from mangrove derived fungi Irpex hydnoides VB4. Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine: 223—226. Bok J.W., D. Hoffmeister, L.A. Maggio-Hall, M. Murillo, J.D. Glasner & N.P. Keller. 2006. Genomic mining for Aspergillus natural products. Chemistry & Biology 13: 31—37. Brakhage A.A. & V. Schroeckh. 2011. Fungal secondary metabolites-strategies to activate silent gene clusters. Fungal Genetics & Biology 48: 15–22. Brock, P.M., H. Döring & M.I. Bidartondo. 2009. How to know unknown fungi: the role of a herbarium. New Phytologist 181: 719—724. Burtseva, Y.V., N.S. Verigina, V.V. Sova, M.V. Pivkin & T.N. Zvyagintseva. 2003. O-Glycosylhydrolases of marine filamentous fungi: b-1,3-Glucanases of Trichoderma aureviride. Applied Biochemistry and Microbiology 39(5): 475—481. Carballo, J.L., Z.L. Hernández-Inda, P. Pérez & M.D. García-Grávalos. 2002. A comparison between two brine shrimp assays to detect in vitro cytotoxicity in marine natural products. BMC Biotechnology 2:17—23. Carolis, E.D., B. Posteraro, C. Lass-Florl, A. Vella, A.R. Florio, R. Torelli, C. Girmenia, C. Colozza, A.M. Tortorano, M. Sanguinetti & G. Fadda. 2012. Species identification of Aspergillus, Fusarium and Mucorales with direct surface analysis by matrix-assisted laser desorption ionization time-of-flight mass spectrometry. Clinical Microbiology and Infection 18(5): 475—484. Chaeprasert, S., J. Piapukiew, A.J.S. Whalley & P. Sihanonth. 2010. Endophytic fungi from mangrove plant species of Thailand: their antimicrobial and anticancer potentials. Botanica Marina 53: 555—564. Chang, P.K. & K.C. Ehrlich. 2010. What does genetic diversity of Aspergillus flavus tell us about Aspergillus oryzae? International Journal of Food Microbiology 138: 189—199. Chen, Yin, Wenjun Mao, Hongwen Tao, Weiming Zhu, Xiaohui Qi , Yanli Chen , Hongyan Li, Chunqi Zhao, Yupin Yang, Yujiao Hou, Chunyann Wang & Na Li. 2011. Structural characterization and antioxidant properties of an exopolysaccharide produced by the mangrove endophytic fungus Aspergillus sp. Y16. Bioresource Technology 102: 8179—8184. Chen, Guangying, Yongcheng Lin, L.L.P.Vrijmoed & Wang Fun Fong. 2006. A new isochromanan from the marine endophytic fungus 1893. Chemistry of Natural Compounds 42(2): 63—72. Chun, Yan An, Ming Li Xiao, Han Luo, Shun Li Chun, Hui Wang Ming, Ming Xu Gang & Gui Wang Bin. 2013. 4-Phenyl-3,4-dihydroquinolone derivatives from Aspergillus nidulans MA-143, an endophytic fungus isolated from the mangrove plant Rhizophora stylosa. Journal of Natural Products 76(10): 1896—1901. Concepcion, G.P., J.E. Lazaro & K.D. Hyde. 2001. Screening for bioactive novel compounds. Dalam: Bio-exploitation of Filamentous Fungi (eds. S.B. Pointing & K.D. Hyde). Fungal Diversity Research Series 6, Fungal Diversity Press, Hong Kong: 93—129. Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
54
Delalibera Jr, I., A.E. Hajek & R.A. Humberb. 2003. Use of cell culture media for cultivation of the mite pathogenic fungi Neozygites tanajoae and Neozygites floridana. Journal of Invertebrate Pathology 84: 119—127. Dohren, V.H. 2009. A survey of nonribosomal peptide synthetase (NRPS) genes in Aspergillus nidulans. Fungal Genetics and Biology 46: S45—S52. Domsch, K.H., W. Gams & T.H. Anderson. 1980. Compendium of Soil Fungi. Academic Press, London: 859 hlm. Elavarasi, A., G.S. Rathna & M. Kalaiselvam. 2012. Taxol producing mangrove endophytic fungi Fusarium oxysporum from Rhizophora annamalayana. Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine: 1081—1085. Felsenstein, J. 1985. Confidence limits on phylogenies: an approach using the bootstrap. Evolution 39: 783—791. Finney, D J. 1971. Probit Analysis. 3th Ed. Cambridge University Press, London: 80 hlm. Fremlin, L.J., A.M. Piggott, E. Lacey & R.J. Capon. 2009. Cottoquinazoline A and cotteslosins A and B, metabolites from an Australian marine-derived strain of Aspergillus versicolor. Journal of Natural Products 72: 666—670. Gadir, S.A. 2012. Assessment of bioactivity of some Sudanese medicinal plants using brine shrimp (Artemia salina) lethality assay. Journal of Chemical and Pharmaceutical Research 4(12): 5145—5148. Gafar, N. 2011. Characterization of petroleum hydrocarbon decomposing fungi isolated from mangrove rhizosphere. Journal of Tropical Soils 16(11): 39— 45. Gibbons, J.G. & A. Rokas. 2013. The function and evolution of the Aspergillus genome. Trends in Microbiology 21(1): 14—22. Giri, C., E. Ochieng, L.L. Tieszen, Z. Zhu, A. Singh, T. Loveland, J. Masek & N. Duke. 2011. Status and distribution of mangrove forests of the world using earth observation satellite. Global Ecology and Biogeography 20: 154— 159. Goto T, D.T. Wicklow & Y. Ito. 1996. Aflatoxin and cyclopiazonic acid production by sclerotium-producing Aspergillus tamarii strain. Applied and Environmental Microbiology 62(11): 4036—4037. Grzybowski, A., M. Tiboni, M.A.N. da Silva, R.F. Chitolina, M. Passos, & J.D. Fontana. 2012. The combined action of phytolarvicides for the control of dengue fever vector, Aedes aegypti. Brazilian Journal of Pharmacognosy 22(3): 549—557. Harwig, J. & P.M. Scott. 1971. Brine Shrimp (Artemia salina L.) larvae as a screening system for fungal toxins. Applied Microbiology 6: 1011—1016. Höller, U., A.D. Wright, G.F. Matthee, G.M. Konig, S. Draeger, H.J. Aust & B. Schulz. 2000. Fungi from marine sponges: diversity, biological activity and secondary metabolites. Mycological Research 104(11): 1354—1365. Höller, U. 1999. Isolation, biological activity and secondary metabolite investigations of marine-derived fungi and selected host sponge. Dissertation Doctorgrades, Facultät der Technischen Universität CaroloWilhelmina zu Braunschweig: xii + 189 hlm. Hong, Kui, An Hui Gao, Qing Yi Xie, Hao Gao, Ling Zhuang, Hai Peng Lin, Hai Ping Yu, Jia Li, Xin Sheng Yao, M. Goodfellow & Ji Sheng Ruan. 2009.
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
55
Actinomycetes for marine drug discovery isolated from mangrove soils and plants in China. Marine Drugs 7: 24—44. Joel, E.L. & B.V. Bhimba. 2013a. Biological activity of secondary metabolites isolated from mangrove fungi Neurospora crassa. Journal of Environmental Biology 34: 729—732. Joel, E.L & B.V. Bhimba. 2013b. Evaluation of secondary metabolites from mangrove associated fungi Meyerozyma guilliermondii. Alexandria Journal of Medicine: 1—6. http://dx.doi.org/10.1016/j.ajme.2013.04.003. 10 Januari 2014, pk. 20.34 WIB. Jones, E.B.G., S.J. Stanley & U. Pinruan. 2008. Marine endophyte sources of new chemical natural products: a review. Botanica Marina 51: 163—170. Jones, E.B.G. 2000. Marine fungi: some factors influencing biodiversity. Fungal Diversity 4: 53—73. Jones, E.G.B., M. Tantichaereon, & K.D. Hyde. 2004. The fungal diversity. National Center for Genetic Engineering & Biotechnology. Thailand: 311 hlm. Kang, Sun Chu, Sangyu Park & Dong Gyu Lee. 1999. Purification and Characterization of a Novel Chitinase from the Entomopathogenic Fungus, Metarhizium anisopliae. Journal of Invertebrate Pathology 73: 276—281. Kimura, M. 1980. A simple method for estimating evolutionary rate of base substitutions through comparative studies of nucleotide sequences. Journal of Molecular Evolution 16:111—120. Kjer, J., A. Debbab, A.H. Aly & P. Proksch. 2010. Methods for isolation of marine-derived endophytic fungi and their bioactive secondary products. Nature Protocols 5: 479—490. Klaiklay, S, V.Rukachaisirikul, S. Phongpaichit, C. Pakawatchai, S. Saithong, J. Buatong, S. Preedanon and J. Sakayaroj. 2012. Anthraquinone derivatives from the mangrove-derived fungus Phomopsis sp.PSU-MA214. Phytochemistry Letters 5: 738—742. Klich, M.A. 2002. Identification of common Aspergillus species. First Edition. Centraalbureau voor schimmelcultures, Utrecht, The Netherlands: vi+116 hlm. Kossuga, M.H., S. Romminger, C. Xavier, M.C. Milanetto, M.Z. do Valle, E.F. Pimenta, R.P. Morais, E. de Carvalho, C.M. Mizuno, L.F.C. Coradello, V.D.M. Barroso, B. Vacondio, D.C.D. Javaroti, M.H.R. Seleghim, B.C. Cavalcanti, C. Pessoa, M.O. Moraes, B.A. Lima, R. Gonçalves, R.C.B. Santos, L.D. Sette & R.G.S. Berlinck. 2012. Evaluating methods for the isolation of marine-derived fungal strains and production of bioactive secondary metabolites. Brazilian Journal of Pharmacognosy 22(2): 257— 267. Kusari,S., C. Hertweck & and M. Spiteller. 2012. Chemical ecology of endophytic fungi: origins of secondary metabolites. Chemistry & Biology 19: 792—799. Lee, O.H.K & K.D. Hyde. 2002. Phylloplane fungi in Hong Kong mangroves: evaluation of study methods. Mycologia 94(4): 596–606. Lee, Yoon Mi, Huayue Li, Jongki Hong, Hee Young Cho, Kyung Sok Ba, Mi Ae
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
56
Kim, Dong Kyoo Kim & Jee H. Jung. 2010. Bioactive Metabolites from the Sponge-Derived Fungus Aspergillus versicolor. Arch Pharm Res. 33(2): 231—235. Li Hanxiang, Hongbo Huang, Changlun Shao, Huarong Huang, Jieyi Jiang, Xun Zhu, Yayue Liu, Lan Liu, Yongjun Lu, Mengfeng Li, Yongcheng Lin & Zhigang She. 2011. Cytotoxic Norsesquiterpene Peroxides from the Endophytic Fungus Talaromyces flavus Isolated from the Mangrove Plant Sonneratia apetala. Journal of Natural Products 74:1230—1235. Liu Dong, Xiao Ming Li, Li Meng, Chun Shun Li, Shu Shan Gao, Zhuo Shang, P. Proksch, Cai Guo Huang & Bin Gui Wang. 2011. Nigerapyrones A-H, rPyrone derivatives from the marine mangrove-derived endophytic fungus Aspergillus niger MA-132. Journal of Natural Products 74:1787—1791. Liu, J.Y., L.L. Huang, Y.H. Ye, W.X. Zou, Z.J. Guo & R.X. Tan. 2005. Antifungal and new metabolites of Myrothecium sp. Z16, a fungus associated with white croaker Argyrosomus argentatus. Journal of Applied Microbiology 100: 195—202. Ludyahantoro, A. & Tukiran. 2012. Bioinsecticide formulations of chloroform extracts of mangrove plant (Rhizophora mucronata Lamk.). UNESA Journal of Chemistry 1(1): 14—18. Luo, Wen, L.L.P. Vrijmoed & E.B.G. Jones. 2005. Screening of marine fungi for lignocellulose-degrading enzyme activities. Botanica Marina 48: 379— 386. Magadula, J.J., J.N. Otieno, R.S. Nondo, C. Kirimuhuzya, E. Kadukuli, J.A. Orodho & P. Okemo. 2012. Anti-mycobacterial and toxicity activities of some priority medicinal plants from lake Victoria Basin, Tanzania. European Journal of Medicinal Plants 2(2): 125—131. Manilal, A., S. Sujith, G. S. Kiran, J. Selvin & C. Shakir. 2009. Cytotoxic potentials of red alga, Laurencia brandenii collected from the Indian Coast. Global Journal of Pharmacology 3(2): 90—94. Meenupriya, J. & M. Thangaraj. 2010. Isolation and molecular characterization of bioactive secondary metabolites from Callyspongia spp. associated fungi. Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicines: 738—740. Menezes, C.B., R.C. Bonugli-Santos, P.B. Miqueletto, M.R.Z. Passarini, C.H.D. Silva, M.R. Justo & R.R. Leal. 2010. Microbial diversity associated with algae, ascidians and sponges from the north coast of São Paulo state, Brazil. Microbiological Research 165(6): 466—82. Meyer, B.N.F., N.R. Ferrigni, J.E. Putnam, L.B. Jacobsen, D.E .Nichols & J.L. McLaughlin. 1982. Brine Shrimp: a convenient general bioassay for active plant constituents. Planta Medica 45: 31—34. Meyling, N.V. 2007. Methods for isolation of entomopathogenic fungi from the soil environment. Laboratory manual. Department of Ecology, Faculty of Life Sciences, University of Copenhagen, Denmark: 41 hlm. Meyling, N.V. & J. Eilenberg. 2006. Isolation and characterisation of Beauveria bassiana isolates from phylloplanes of hedgerow vegetation. Mycological research 10: 188—195. Miao, Feng Ping, Xiao Dong Li, Xiang Hong Liu, R.H. Cichewicz & Nai Yun Ji. 2012. Secondary metabolites from an algicolous Aspergillus versicolor strain. Marine Drugs 10(1): 131—139. Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
57
Michaelsen, A., F. Pinzari, K. Ripka, W. Lubitz & G. Pinar. 2006. Application of molecular techniques for identification of fungal communities colonising paper material. International Biodeterioration & Biodegradation 58: 133— 141. Mycobank. 2015. Fungal databases nomenclature and species bank. International mycological association. http://www.mycobank.org. 7 Mei 2015, pk. 23.45 WIB. Naikwade, P., U. Mogle & S. Sankpal. 2012. Phyloplane mycoflora associated with mangrove plant Ceriops tagal (Perr.). Science Research Reporter 2(1): 85—87. Nambiar, G.R. & K. Raveendran. 2009. Manglicolous marine fungi on Avicennia and Rhizophora along Kerala Coast (India). Middle-East Journal of Scientific Research 4(1): 48—51. Nofiani, R., R. Brilliantoro & P. Ardiningsih. 2012. Effect of culture media and incubation time on biological activities from ethyl acetate extract of marine fungus, Aspergillus brevipes RK06. Drug Invention Today 4(6): 381—384. Oloyede, G.K. & A.O. Ogunlade. 2013. Phytochemical screening, antioxidant, antimicrobial and toxicity activities of polar and non-polar extracts of Albizia zygia (DC) Stem-Bark. Annual Review & Research in Biology 3(4): 1020—1031. Osono, T. 2005. Colonization and succession of fungi during decomposition of Swida controversa leaf litter. Mycologia 97: 589—597. Pagliara, P & C. Caroppo. 2011. Cytotoxic and antimitotic activities in aqueous extracts of eight cyanobacterial strains isolated from the marine sponge Petrosia ficiformis. Toxicon 3: 3—6. Phoanda, T.C., R. Bara, P.M. Wowor & J. Posangi. 2014. Uji efek antibakteri jamur endofit akar tumbuhan bakau (Bruguiera gymnorrhiza) terhadap bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Jurnal e-Biomedik 2(1): 1—5. http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/ebiomedik. 18 Juni 2014, pk. 22.15 WIB. Poyton, R.O. 1980. The isolation and occurrence of Hydrochlorella marina. Journal of General Microbiology 62: 189—194. Prasetya, I.E. 2008. Screening kapang xylanolitik dari lantai hutan mangrove psesisir pantai Pasir Putih Situbondo. Skripsi Sarjana Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Jember. Raghukumar, C. 2008. Marine fungal biotechnology: an ecological perspective. Fungal Diversity: 19—35. Rahmawati, I. 2011. Penelusuran Bahan Aktif Jamur Ganoderma sp. dari Ekosistem Mangrove sebagai Antijamur terhadap Aspergillus flavus dan Candida albicans. KesematJurnal. 26 Januari 2011. http://kesematindonesia.wordpress.com/2011/01/26/penelusuran-bahanbioaktif-jamur-ganoderma-sp-dari-ekosistem-mangrove-sebagai-antijamurterhadap-aspergillus-flavus-dan-candida-albicans/. 6 Maret 2011, pk. 21.30 WIB. Ravindran, C., T. Naveenan & G. R. Varatharajan. 2010. Optimization of alkaline cellulase production by the marine derived fungus Chaetomium sp. using agricultural and industrial wastes as substrates. Botanica Marina 53: 275—282.
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
58
Rukachaisirikul, V., A. Rodglin, S. Phongpaichit, J. Buatong & J. Sakayaroj. 2012. a-Pyrone and seiricuprolide derivatives from the mangrove-derived fungi Pestalotiopsis spp. PSU-MA92 and PSU-MA119. Phytochemistry Letters 5: 13—17. Rukmi. I. 1991. Jenis-jenis bakteri dan kapang yang ditemukan pada proses dekomposisi serasah tegakan mangrove di Morodemak. Laporan Penelitian, Lembaga Penelitian Universitas Diponegoro. Semarang: 42 hlm. Saitou, N. & M. Nei. 1987. The neighbor-joining method: a new method for reconstructing phylogenetic trees. Molecular Biology & Evolution 4: 406— 425. Samson, R.A., E.S. Hoekstra, J.C. Frisvad & O. Filtenborg. 1995. Introduction to food-borne fungi. Centraalbureu voor schimmelcultures, Baarn-Delft: 321 hlm. Samson, R.A., E.S. Hoekstra, J.C. Frisvad & O. Filtenborg. 2004. Introduction to food-borne fungi. Seventh Edition. Centraalbureu voor schimmelcultures, Baarn-Delft: vi+389 hlm. Samson, R.A., C.M. Visagie, J. Houbraken, S.B. Hong, V. Hubka, C.H.W. Klaassen, G. Perrone, K.A. Seifert, A. Susca, J.B. Tanney, J. Varga, S. Kocsub, G. Szigeti, T. Yaguchi & J.C. Frisvad. 2014. Phylogeny, identification and nomenclature of the genus Aspergillus. Studies in Mycology 78: 141—173. Samson, R.A. dan Varga, J. 2009. What is a species in Aspergillus? Medical Mycology 47: S13—S20. Schulz, B., U. Wanke, S. Drager & H.J. Aust. 1993. Endophytes from herbaceous plants and shrubs: effectiveness of surface sterilization methods. Mycologycal Research 97: 1447–1450. Suciatmih. 2005. Pelarut fosfat, degradasi selulosa dan preservasi koleksi jamur Halophytophthora dari areal mangrove Muara Angke Jakarta. Jurnal Biologi Indonesia 3(10): 431—438. Sukardjo. 2004. Fisheries associated with mangrove ecosystem in Indonesia: a view from a mangrove ecologist. Biotropia 23: 13—39. Sun, Zhen Liang. Zhang Ming, Zhang Ji-Fa & Feng Jing. 2011. Antifungal and cytotoxic activities of the secondary metabolites from endophytic fungus Massrison sp. Phytomedicine. 18: 859– 862. Supono, S. 2009. Model kebijakan pengembangan kawasan pantai utara Jakarta secara berkelanjutan. Disertasi Doktor. Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor: xv + 214 hlm. Swe, A., R. Jeewon, S.B. Pointing & K.D. Hyde. 2008. Taxonomy and molecular phylogeny of Arthrobotrys mangrovispora, a new marine nematode-trapping fungal species. Botanica Marina 51: 331–338. Syarmalina. 2003. Mikroba endofitik dari tanaman mangrove Avicennia sp. penghasil senyawa antimikroba. Tesis magister Biologi. FMIPA UI, Depok: xii + 64 hlm. Tamura, K., D. Peterson, N. Peterson, G. Stecher, M. Nei & S. Kumar. 2011. MEGA 5: molecular evolutionary genetics analysis using maximum likelihood, evolutionary distance and maximum parsimony methods. Molecular Biology and Evolution 28(10): 2731—2739. Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
59
Tarawneh, A.H., F. León, M.M. Radwan, L.H. Rosa & S.J. Cutler. 2013. Secondary metabolites from the fungus Emericella nidulans. Natural Prodruct Communications 8(9): 1285—1288. Tarman, K., U. Lindequist, K. Wende, A. Porzel, N. Arnold & L.A. Wessjohann. 2011. Isolation of a new natural product and cytotoxic and antimicrobial activities of extracts from fungi of Indonesian marine habitats. Marine Drugs 9: 294—306. Teixeira, M.F.S., M.S. Martins, J.C. Da Silva, L.S. Kirsch, O.C.C. Fernandes, A.L.B Carneiro, R. De Conti & N. Durán. 2012. Amazonian biodiversity: pigments from Aspergillus and Penicillium-characterizations, antibacterial activities and their toxicities. Current Trends in Biotechnology and Pharmacy 6(3): 300—311. Throne, J.E., D.K. Weaver, V. Chew & J.E. Baker. 1995. Probit analysis of correlated data: multiple observations over time at one concentration. Journal of Economic Entomology 88(5): 1510—1512. Torzilli, A.P., M. Sikaroodi, D. Chalkley & P.M. Gillevet. 2006. A comparison of fungal communities from four salt marsh plants using automated ribosomal intergenic spacer analysis (ARISA). Mycologia 98(5): 690—698. Tukiran. 2013. Bioinsecticides test of crude stem bark extracts of some meliaceous plants against Spodoptera litura. Global Journal of Biology, Agriculture & Health Sciences 3(3): 28—31. Uchida, R., R. Imasato, Y. Yamaguchi, R. Masuma, K. Shiomi, H. Tomoda & S. Omura. 2006. Yaequinolones, new insecticidal antibiotics produced by Penicillium sp. FKI-2140. I. Taxonomy, fermentation, isolation and biological activity. The Journal of antibiotics 59(10): 646—51. Varga, J., J.C. Frisvad, S. Kocsubé, B. Brankovics, B. Tóth, G. Szigeti & R.A. Samson. 2011. New and revisited species in Aspergillus section Nigri. Studies in Mycology 69: 1—17. Vega, F.E. 2008. Insect pathology and fungal endophytes. Journal of Invertebrate Pathology 98: 277—279. Vega, F.E., F. Posada, M.C. Aime, M. Pava-Ripoll, F. Infante & S.A. Rehner. 2008. Entomopathogenic fungal endophytes. Biological Control 46: 72— 82. Wahab, M.A.A. 2005. Diversity of marine fungi from Egyptian Red Sea mangroves. Botanica Marina 48: 348—355. Wang, Hui, Zhenyu Lu, Hai Jun Qu, Peipei Liu, Chengdu Miao, Tonghan Zhu, Jing Li,Kui Hong & Weiming Zhu. 2012. Antimicrobial aflatoxins from the marine-derived fungus Aspergillus flavus 092008. Archives of Pharmacal Research 35(8): 1387—1392. Watanabe, T. 2002. Pictorial Atlas of Soil and Seed Fungi. CRC Press, Florida: 486 hlm. Xing, Xiaoke & Shunxing Guo. 2011. Fungal endophyte communities in four Rhizophoraceae mangrove species on the south coast of China. Ecological Research 26: 403—409. Xing, X.K., J. Chen, M.J. Xu, W.H. Lin & S.X. Guo. 2011. Fungal endophytes associated with Sonneratia (Sonneratiaceae) mangrove plants on the south coast of China. Forest Pathology 41: 334—340.
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
60
Yunafsi. 2006. Dekomposisi serasah daun Avicennia marina oleh bakteri dan fungi pada berbagai tingkat salinitas. Disertasi Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor: xvii + 213 hlm. Zhang, Guojian, Shiwei Sun, Tianjiao Zhu, Zhenjian Lin, Jingyan Gu, Dehai Li & Qianqun Gu. 2011. Antiviral isoindolone derivatives from an endophytic fungus Emericella sp. associated with Aegiceras corniculatum. Phytochemistry 72: 1436—1442. Zhang, Yi, Jun Mu, Jinyuan Han & Xiaojie Gu. 2012. An improved brine shrimp larvae lethality microwell test method. Toxicology mechanisms and methods 22(1): 23—30. Zhu, Feng, Guangying Chen, Xin Chen, Meizhen Huang & Xueqin Wan. 2011. Aspergicin, a new antibacterial alkaloid produced by mixed fermentation of two marine-derived mangrove epiphytic fungi. Chemistry of Natural Compounds 47(5): 767—769.
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
Makalah II UJI AKTIVITAS INSEKTISIDA SENYAWA AKTIF KAPANG ENDOFIT TUMBUHAN MANGROVE TERHADAP LARVA Spodoptera litura Fabricius
Silva Abraham Program Studi Biologi, Program Pascasarjana Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia
[email protected]
ABSTRACT
Some secondary metabolites of mangrove fungi have shown insecticidal activities. The study of secondary metabolites on Indonesian mangrove fungi as insecticides is still limited. In the present study, the ethyl acetate extracts of culture filtrate from five strains of indigenous mangrove endophytic fungi (Emericella nidulans BPPTCC 6035 and BPPTCC 6038; Aspergillus flavus BPPTCC 6036; A.tamarii BPPTCC 6037; and A. versicolor BPPTCC 6039) were evaluated on Spodoptera litura neonate and third instar larvae for insecticidal activities. The feeding dietary bioassay of the extracts that demonstrated larvacidal activities on S. litura neonate larvae with 50% lethal concentration (LC50) were 2,757.87 ppm; 1,102.27 ppm; 3,305.70 ppm; 2,369.12 ppm; and 2,562.26 ppm, respectively. The topical application of the five extracts indicated the contact toxicity on S. litura third instar larvae and decreased the larval growth rate. The indirect contact of the five extracts on neonate larvae exhibited larvacidal activities. The choice test of the five extracts on S. litura neonate larvae demonstrates the attractant activities of three extracts (E. nidulans BPPTCC 6038; E. nidulans BPPTCC 6035; and A. tamarii BPPTCC 6037). Further examination after the feeding dietary bioassay and topical application exhibited the extracts’ effect in the development of S. litura larvae, i.e. decreased the growth rate, delayed the time to reach pupation, decreased the number of larvae reaching pupation, delayed adult emergence, and decreased the percentage of adult emergence. The results from all bioassays against S. litura neonate and third instar larvae showed that the ethyl acetate extracts from culture filtrate exhibited insecticidal activities and delayed the development of the larvae, indicating toxic and growth regulatory activities of the extracts toward S. litura larvae.
Keywords: ethyl acetate extracts, insecticidal activities, LC50, mangrove fungi, secondary metabolites, Spodoptera litura.
61 inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
Universitas Indonesia
62
PENDAHULUAN
Mekanisme antagonistik yang dimiliki oleh mikroorganisme telah banyak dimanfaatkan untuk mengendalikan mikroorganisme patogen tanaman (Gerhardson 2002; Duffy et al. 2003). Mikroorganisme diaplikasikan secara langsung pada tanaman untuk menghasilkan mekanisme antagonistik alami (sebagai agen biokontrol) atau secara tidak langsung melalui metabolit bersifat antagonistik yang dihasilkan (Gerhardson 2002). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kapang antagonis menghasilkan metabolit sekunder atau toksin yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme, serangga atau organisme lain (Chitwood 2002). Kapang pada tumbuhan seperti Aspergillus, Penicillium, dan Fusarium dapat menghasilkan berbagai jenis toksin dengan spektrum aktivitas yang luas (Duffy et al. 2003). Banyak metabolit sekunder kapang yang dilaporkan bersifat toksik terhadap serangga arthropoda (Duffy et al. 2003). Mekanisme biosintesis senyawa toksik oleh kapang merupakan bentuk respon perlindungan secara kimiawi terhadap serangan organisme antagonis atau mekanisme penyerangan terhadap serangga yang akan dijadikan inang atau substrat (Rohlfs & Churchill 2011). Kemampuan tersebut menjadi dasar pemanfaatan kapang sebagai insektisida. Senyawa metabolit antagonis yang terdapat di alam umumnya tidak berbahaya bagi mamalia dan mudah terdegradasi di alam (Gerhardson 2002). Contoh produk metabolit sekunder fungi yang telah beredar di pasaran adalah strobilurin. Fungisida strobilurin memicu eksplorasi mikroorganisme terutama kapang sebagai penghasil metabolit yang berguna dalam mekanisme pertahanan pada tumbuhan (Gerhardson 2002). Beberapa produk bioinsektisida berbasis metabolit sekunder kapang kini telah beredar di pasaran, antara lain adalah PFR97™ (Certis) dan Preferal™( SePro) dengan bahan aktif senyawa yang dihasilkan oleh Paecilomyces fumosoroseus (Quarles 2013). Bioinsektisida tersebut beredar di Amerika dan digunakan antara lain untuk mengontrol lalat buah (whitefly). Berbagai penelitian menunjukkan kapang yang diisolasi dari tumbuhan dapat menghasilkan senyawa yang sama dengan senyawa yang dihasilkan oleh tumbuhan inang (Pimentel et al. 2011). Produksi senyawa bioaktif oleh
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
63
mikroorganisme endofit berkaitan langsung dengan evolusi dari mikroorganisme tersebut (Pimentel et al. 2011). Sebagai respon terhadap keberadaan patogen, serangga herbivor, dan stres lingkungan, tumbuhan menghasilkan senyawa metabolit sekunder atau hormon tertentu (Bell et al. 1986; Mani dan Mauch 2005). Metabolit sekunder tersebut dihasilkan dari jalur biosintesis yang dikontrol oleh gen tertentu (Bell et al. 1986; Mani dan Mauch 2005). Evolusi antara endofit dengan inang memungkinan terjadinya ―penyisipan‖ informasi genetik dari tumbuhan inang, sehingga menyebabkan mikroorganisme tersebut lebih teradapatasi dengan tumbuhan inang dan memiliki kemampuan untuk menghasilkan senyawa yang bersifat melindungi dari organisme patogen, serangga, dan hewan herbivora (Pimentel et al. 2011). Mangrove merupakan komunitas tumbuhan yang memiliki aktivitas insektisida (Li et al. 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Li et al. (2011) menunjukkan bahwa tumbuhan mangrove X. granatum dan X. moluccensis mengandung senyawa dari golongan limnoid berupa mexicanolide dan phragmalin yang bersifat sebagai antifeedant terhadap larva serangga Brontispa longissima. Penelitian yang dilakukan oleh Tukiran (2013) menunjukkan bahwa ekstrak batang tumbuhan mangrove X. moluccensis memiliki aktivitas insektisida terhadap larva S. litura. Kapang dari ekosistem mangrove merupakan salah satu obyek eksplorasi senyawa aktif. Senyawa-senyawa tersebut umumnya menunjukkan aktivitas antikanker (Li et al. 2011). Penelitian-penelitian dari bidang natural product seperti yang dilakukan oleh Bhimba et al. (2011); Huang et al. (2011); Li et al. (2011) dan Liu et al. (2011) berusaha menemukan senyawa aktif dari kapang mangrove yang memiliki aktivitas sitotoksik terhadap berbagai jenis sel kanker. Sementara itu, eksplorasi kapang mangrove untuk diaplikasikan sebagai agen agrokimia terutama insektisida masih sangat terbatas. Penelitian yang dilakukan oleh Chen et al. (2006) dan Swe et al. (2008) menunjukkan bahwa senyawa aktif yang dihasilkan oleh kapang mangrove memiliki aktivitas terhadap serangga dan nematoda. Senyawa-senyawa yang memiliki aktivitas sebagai inhibitor pada kerja enzim acetylcholinesterase merupakan salah satu kandidat bagi pengembangan insektisida berbasis
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
64
neurotoksin (Wen et al. 2009; Huang et al. 2011). Delapan metabolit sekunder termasuk tiga senyawa azaphilone baru, tiga senyawa p-terphenyl baru, dan dua senyawa p-terphenyl berhasil diisolasi dari media fermentasi kapang Penicillium chermesinum yang diisolasi dari mangrove (Huang et al. 2011). Senyawasenyawa tersebut menunjukkan aktivitas sebagai inhibitor terhadap acetylcholinesterase (Huang et al. 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Wen et al. (2009) berhasil menemukan tiga senyawa metabolit kapang yang memiliki aktivitas sebagai inhibitor terhadap acetylcholinesterase. Kapang Sporothrix sp. penghasil senyawa tersebut merupakan kapang endofit pada tumbuhan mangrove yang terdapat di Laut Cina Selatan (Wen et al. 2009). Eksplorasi senyawa dari kapang mangrove dengan aktivitas sebagai inhibitor enzim acetylcholinesterase mulai banyak dilakukan. Mengindikasikan bahwa era penggalian potensi kapang mangrove sebagai penghasil lead compound bagi bioinsektisida mulai berkembang. Penelitian mengenai pemanfaatan senyawa aktif kapang mangrove sebagai bioinsektisida belum banyak dilakukan di dunia. Pemanfaatan senyawa aktif yang dihasilkan oleh kapang mangrove di Indonesia masih terbatas pada aktivitas antibakteri, antifungi, antioksidan, dan agen bioremediasi (Affandi 2002; Syarmalina 2003; Achmad dan Nurhayati 2004; Prasetya 2008; Gafar 2011; Phoanda et al. 2014). Penelitian mengenai pemanfaatan potensi senyawa aktif kapang mangrove Indonesia sebagai bioinsektisida belum pernah dilaporkan. Spodoptera litura adalah salah satu hama serangga yang merugikan dalam pertanian, merupakan serangga polyphagous dengan sekitar 150 spesies tumbuhan inang (Sintim et al. 2009). Spodoptera litura merupakan salah satu serangga perusak tanaman pertanian penting di Indonesia, dikenal sebagai ulat tentara, ulat grayak atau ulat kubis (Marwoto dan Suharsono 2008). Tanaman pertanian Indonesia yang paling sering diserang oleh serangga tersebut antara lain adalah kelapa, tembakau, jagung, kedelai, teh, serta sayuran seperti kubis, cabai, dan kentang (EPPO 1990). Spodoptera litura termasuk dalam kelompok sembilan hama penting pada tanaman kedelai di Indonesia (Marwoto dan Suharsono 2008). Berdasarkan hal tersebut S. litura merupakan serangga yang sering dijadikan hewan uji dalam pengujian aktivitas senyawa antifeedant (Sintim et al. 2009).
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
65
Penelitian mengenai aktivitas insektisida dari kapang mangrove yang masih sangat terbatas di dunia maupun di Indonesia mengakibatkan jenis serangga uji yang digunakan juga masih sangat terbatas. Spesies-spesies kapang mangrove indigenous yang menghasilkan senyawa aktif dengan aktivitas insektisida terhadap larva S. litura belum diketahui. Penelitian mengenai aktivitas senyawa aktif kapang mangrove terhadap larva S. litura belum pernah dilaporkan, sehingga informasi mengenai aktivitas insektisida senyawa aktif kapang mangrove terhadap S. litura sangat terbatas. Pengujian senyawa aktif dengan aktivitas insektisida dapat dilakukan dengan beberapa metode. Metode yang paling banyak digunakan adalah feeding dietary bioassay dan topical application (Zhu 2008). Metode feeding dietary bioassay mengaplikasikan senyawa yang diduga memiliki aktivitas insektisida pada campuran makanan serangga uji (Pree dan Cole 1989; Zhu 2008). Makanan yang diberikan pada serangga dapat berupa makanan buatan atau makanan alami berupa daun. Metode topical application dilakukan dengan mengoleskan senyawa aktif pada permukaan tubuh serangga uji (Zhu 2008). Pengujian senyawa aktif insektisida terhadap serangga merupakan prosedur kuantitatif yang digunakan untuk menentukan hubungan antara jumlah insektisida (dosis atau konsentrasi) dengan responnya terhadap serangga uji (Finney 1971; Zhu 2008). Pengujian tersebut antara lain dapat menentukan nilai LD50 (Lethal dosage) atau LC50 (Lethal Concentration). LD50 atau LC50 adalah dosis atau konsentrasi yang dibutuhkan oleh insektisida untuk mematikan 50% populasi serangga uji dalam kondisi tertentu (Finney 1971; Zhu 2008). Data yang harus diambil dari semua metode tersebut adalah jumlah serangga yang mati, berat badan serangga uji, dan jumlah makanan yang dikonsumsi (Zhu 2008; Sintim et al. 2009). Berat badan diperhitungkan karena toksisitas insektisida berkorelasi dengan ukuran organisme yang diekspos (Zhu 2008). Data berat badan yang dikorelasikan dengan jumlah makanan yang dikonsumsi dapat mengindikasikan sifat antifeedant yang terkandung dalam senyawa uji (Arivoli dan Tennyson 2013; Jeyasankar et al. 2014). Data jumlah kematian dianalisis dengan metode log-probit. Analisis logprobit akan mentransformasikan dosis atau konsentrasi ke dalam skala log dan %
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
66
kematian pada masing-masing dosis atau konsentrasi ke dalam unit probit (Finney 1971; Zhu 2008). Transformasi data % kematian ke dalam probit memungkinkan konversi kurva berbentuk S menjadi garis lurus. Antilogaritma dari log dosis yang berkorespondensi dengan probit 5 (50% kematian) ditetapkan sebagai LD50 atau LC50 (Finney 1971; Zhu 2008). Tujuan penelitian pada makalah II adalah mengetahui aktivitas senyawa aktif kapang endofit tumbuhan mangrove terhadap larva S. litura. Ekstrak aktif akan diperoleh dari masing-masing strain kapang melalui metode fermentasi dan ekstraksi. Fermentasi dilakukan selama 14 hari pada medium malt extract broth dengan agitasi 65 rpm. Medium cair dan biomassa hasil fermentasi dipisahkan dengan filtrasi, dan filtrat (supernatan) diekstrak dengan etil asetat. Pemisahan fraksi etil asetat dan air dilakukan dengan corong pisah. Ekstrak kasar yang diperoleh akan digunakan untuk uji aktivitas insektisida terhadap larva S. litura dengan metode feeding dietary bioassay, choice test, topical application, dan kontak secara tidak langsung. Pengujian dengan metode feeding dietary bioassay menggunakan makanan buatan yang dicampur dengan ekstrak dalam jumlah tertentu. Choice test dilakukan dengan memberikan makanan buatan yang ditambahkan dengan senyawa uji serta makanan buatan tanpa senyawa uji pada larva yang dibiarkan untuk memilih makanan mana yang lebih disukai. Pengujian dengan metode topical application dilakukan dengan meneteskan ekstrak aktif dengan konsentrasi tertentu pada larva uji. Kontak secara tidak langsung dilakukan dengan meratakan ekstrak aktif pada pemukaan botol kaca yang digunakan untuk menempatkan larva uji dalam jangka waktu tertentu. Larva yang hidup setelah perlakuan feeding dietary bioassay dan topical application terus dipelihara pada makanan buatan tanpa penambahan ekstrak aktif untuk melihat pengaruh ekstrak terhadap perkembangan larva. Data pada makalah II merupakan data kuantitatif yang meliputi jumlah larva mati, berat badan larva hidup, dan jumlah makanan yang dikonsumsi larva dari masing-masing metode pengujian ekstrak aktif. Data kuantitatif lain berupa jumlah larva yang memilih makanan yang mengandung ekstrak atau tanpa ekstrak pada choice test. Data jumlah larva yang berhasil menjadi pupa, jumlah pupa yang berhasil menjadi imago, dan lama waktu yang dibutuhkan dalam periode
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
67
larva dan pupa diperoleh dalam pengamatan lebih lanjut setelah feeding dietary bioassay dan topical application. Data kematian larva digunakan untuk menentukan nilai LC50, dianalisis menggunakan metode analisis probit dan disajikan dalam bentuk grafik dan tabel. Data berat rata-rata larva setelah perlakuan digunakan untuk menghitung laju pertumbuhan larva berdasarkan rumus (Supriyono 1997), disajikan dalam bentuk tabel dan grafik, serta dianalisis secara deskriptif. Data jumlah larva yang memilih makanan dengan penambahan ekstrak atau tanpa ekstrak digunakan untuk menentukan ada tidaknya kandungan attractant dalam ekstrak. Data jumlah larva yang berhasil menjadi pupa, imago, dan lama periode larva dan pupa digunakan untuk menentukan pengaruh ekstrak terhadap perkembangan larva.
BAHAN DAN CARA KERJA
A. Lokasi dan Waktu Penelitian Proses fermentasi, ekstraksi, uji aktivitas insektisida, dan lain-lain dilakukan di Laboratoria Pengembangan Teknologi Industri Agro dan Biomedika (LAPTIAB) – BPPT, Kawasan PUSPIPTEK (Pusat Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi), Serpong mulai bulan Juni 2012 sampai bulan Agustus 2014. B. Cara Kerja 1. Persiapan Serangga Uji Sekitar 100 larva Spodoptera litura Fabricius (Noctuidae) atau dikenal dengan ulat gerayak dikumpulkan dari tanaman cabai merah, talas liar dan jagung yang berasal dari kebun dan pekarangan penduduk yang tidak terpelihara dan tidak pernah diberi insektisida, di sekitar Bogor (Bojong, Semplak, Leuwi Liang dan Ciapus). Larva yang telah dikumpukan langsung dipindahkan ke dalam kotak-kotak (container) plastik berisi daun sawi hijau (Brassica rapa var. parachinensis L.) yang ditempatkan dalam aluminum rearing (kandang pemeliharaan dari alumunium). Kotak plastik yang digunakan berukuran 28 cm x
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
68
19 cm x 5 cm dan 35 cm x 27 cm x 7 cm dengan tutup yang diberi kain kasa. Kandang pemeliharaan yang digunakan berupa lemari alumunium berukuran tinggi 1,8 m; lebar 1 m; dan tebal 50 cm serta terbagi menjadi 4 tingkat (rak). Empat sisi kandang (sisi samping, depan, dan atas) tertutup kaca dan sisi belakang serta bawah tertutup kawat. Larva dipelihara hingga berhenti makan dan siap untuk membentuk pupa, yang ditandai oleh ukuran ulat yang mengecil dan kulit yang mengkerut. Pupa dipindahkan ke dalam wadah plastik berbentuk bulat dengan diameter 27 cm dan tinggi 32 cm yang dilapisi dengan kertas saring (Tavares et al. 2011), diberi alas kertas tisu dapur dan ditutup dengan kain. Saat kepompong berubah menjadi kupu-kupu, diberi makanan berupa 10% (w/v) air gula (Supriyono 1997; Tavares et al. 2011). Air gula ditempatkan dalam plastic cup dengan volume 100 ml yang berisi kapas. Kupu-kupu dipelihara hingga bertelur. Telur akan menempel pada kertas saring atau kain penutup. Kertas saring yang mengandung telur digunting dan dipindahkan ke dalam wadah plastik yang ditutup dengan kain dengan tenunan rapat hingga telur menetas (Supriyono 1997; Tavares et al. 2011). Larva dipindahkan ke dalam wadah plastik berisi makanan buatan. Sebagian larva neonate segera digunakan untuk uji resistensi terhadap insektisida. Komposisi dari makanan buatan (Supriyono 1997) adalah: 150 g kedelai; 3 g L-(+)-asam askorbat (teknis); 3 g nipagin (p-hidroxybenzoacidethylester; teknis); 11 g ragi roti (Fermipan, PT. Sangra Ratu Boga, Jakarta, Indonesia); 180 mg gentamisin sulfat (Oxoid Ltd., Basingstokes, Hampshire, UK) dan 1 ml larutan formaldehida (teknis). Kedelai direndam dalam 460 ml air selama 24 jam, diblender dan ditambahkan dengan bahan-bahan lain kemudian diblender lagi hingga homogen. Sejumlah 315 ml larutan agar bersuhu sekitar 60 °C, dibuat dengan melarutkan 10 g agar (Oxoid Ltd., Basingstokes, Hampshire, UK) dalam 320 ml air dan dipanaskan hingga mendidih, ditambahkan ke dalam suspensi makanan dan diaduk hingga homogen (Supriyono 1997). Makanan buatan ditempatkan dalam wadah plastik berukuran 17 cm x 12 cm x 4 cm dan dibiarkan hingga mengeras. Makanan buatan kemudian dipotong-potong hingga berukuran kurang lebih 1,5 cm x 1cm x 0,5 cm dan disimpan dalam lemari es hingga diberikan pada larva S. litura.
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
69
Uji resistensi larva S. litura terhadap insektisida dilakukan dengan mencampurkan sejumlah insektisida komersial yang biasa digunakan untuk mengendalikan S. litura pada makanan buatan (Ahmad et al. 2007; Ahmad 2008). Konsentrasi insektisida yang digunakan adalah yang direkomendasikan untuk mengendalikan serangga S. litura. Larva yang digunakan untuk uji resistensi adalah 20 larva neonate yang diberi makanan buatan dengan penambahan insektisida komersial dengan konsentrasi 0,5 ml/l selama 6 hari. Jumlah larva yang mati dihitung dan dibandingkan dengan kontrol (Ahmad et al. 2007). Larva yang digunakan sebagai kontrol adalah 20 larva neonate yang diberi makanan buatan tanpa insektisida. Pengulangan untuk perlakuan ataupun kontrol dilakukan sebanyak tiga kali. Insektisida komersial yang digunakan dalam uji resistensi terdiri dari tiga jenis, masing-masing dengan kandungan senyawa aktif berupa deltametrin 25 g/l (Decis, PT. Bayer, Jakarta, Indonesia); sipermetrin 50 g/l (Exocet; PT. Petrokimia Kayaku, Jakarta, Indonesia); dan klopirifos 200 g/l (Dursban; PT. Dow AgroSciences, Jakarta, Indonesia). Jumlah insektisida yang digunakan dalam pengujian sesuai dengan batas minimal yang tercantum pada petunjuk pemakaian untuk S. litura yaitu 0,5 ml/l. Kisaran konsentrasi yang dianjurkan dari masingmasing insektisida untuk S. litura adalah sebesar 0,5 ml/l sampai dengan 1 ml/l. Serangga yang digunakan dalam bioassay berasal dari generasi kedua hingga kelima. Setelah lima generasi dilakukan uji resistensi menggunakan insektisida komersial seperti yang dilakukan sebelumnya. Hasil uji resistensi menentukan apakah serangga generasi berikutnya masih dapat digunakan sebagai serangga uji.
2. Fermentasi dan Ekstraksi Senyawa Aktif dari Kapang Endofit Satu mililiter suspensi masing-masing strain kapang berumur tujuh hari dalam media malt extract agar (Merck KGaA, Darmstadt, Germany) diinolulasikan ke dalam 19 ml media cair malt extract broth dalam Erlenmeyer 100 ml. Biakan cair yang akan digunakan sebagai inokulum diinkubasi selama tujuh hari dan ditempatkan pada rotary shaker (Heidolph Unimax 2010, Heidolph Instruments GmbH & Co., Schwabach, Germany) dengan kecepatan agitasi 65
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
70
rpm. Masing-masing inokulum ditambahkan ke dalam 180 ml media cair malt extract broth (Erlenmeyer 500 ml), diinkubasi selama 14 hari dengan agitasi 65 rpm (Hüners 1999; Liu et al. 2005). Setelah 14 hari, media dipisahkan dari biomassa kapang dengan proses penyaringan menggunakan kertas saring Whatman no. 1 (Chaeprasert et al. 2010). Etil asetat ditambahkan ke dalam supernatan. Pemisahan fase etil asetat dan air dilakukan dengan corong pisah dan fase etil asetat dikeringkan dengan rotavapor (Rotary evaporator, Heidolph Laborta 4000-efficient, Heidolph Instruments GmbH & Co., Schwabach, Germany) hingga diperoleh ekstrak kasar (Höller 1999).
3. Uji Potensi Aktivitas Insektisida 3.1. Feeding Dietary Bioassay Uji potensi aktivitas insektisida dilakukan terhadap larva S. litura dari koloni yang dipelihara di laboratorium dengan kondisi diet terkontrol. Pengujian dengan metode feeding dietary bioassay dilakukan menggunakan 20 larva neonate. Larva dipelihara pada diet artifisial yang ditambahkan ekstrak uji dengan konsentrasi tertentu. Setelah 6 hari, larva yang tetap hidup ditimbang dan dibandingkan dengan berat larva kontrol (Supriyono 1997; Proksch et al. 2008). Masing-masing perlakuan dilakukan dalam wadah plastik (plastic cup) 100 ml yang ditutup dengan kain dan tiap pelakuan diulang sebanyak 3 kali. Makanan buatan dibuat berdasarkan formulasi dan metode yang digunakan oleh Supriyono (1997). Komposisi dari makanan buatan adalah: 150 g kedelai; 3 g L-(+)-asam askorbat; 3 g nipagin (p-hidroxybenzoacidethylester); 3 g ragi roti; dan 1 ml larutan formaldehida. Kedelai direndam dalam 460 ml air selama 24 jam, diblender dan ditambahkan dengan bahan-bahan lain. Campuran tersebut dituang ke dalam wadah dan dibekukan dalam freezer. Makanan buatan yang telah beku dikeringkan dengan freeze drier dan dihaluskan (Supriyono 1997). Sejumlah 0,735 g bubuk makanan buatan dimasukan ke dalam beaker glass 30 ml dan ditambahkan dengan sejumlah tertentu ekstrak uji yang dilarutkan dalam 1 ml pelarut organik aseton (analytical grade, Merck KGaA, Darmstadt, Germany) kemudian dihomogenkan. Konsentrasi ekstrak uji yang digunakan adalah 5 mg/ml; 4,5 mg/ml; 4 mg/ml; 3,5 mg/ml; 3 mg/ml; 2,5/ ml mg; 1,25/ml
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
71
mg; 0,625 mg/ml dan 0,3125 mg/ml. Aseton yang terdapat dalam makanan buatan dihilangkan dengan proses penguapan pada suhu kamar selama 24 jam. Makanan buatan dihaluskan dengan spatula dan ditambahkan 0,75 mg gentamisin sulfat yang dilarutkan dalam 1,41 ml air. Sejumlah 2,2 ml larutan agar panas (78 mg agar dalam 2,2 ml air) ditambahkan ke dalam campuran tersebut, dihomogenkan dan dibiarkan hingga membeku. Pelarut organik berupa aseton yang dipakai untuk melarutkan ekstrak uji digunakan sebagai kontrol. Makanan buatan tersebut digunakan sebagai feeding dietary bioassay bagi larva neonate (Supriyono 1997). Jumlah larva yang hidup dan yang mati dari masing-masing perlakuan dihitung untuk menentukan LC50 (Lethal Concentrations). Jumlah larva yang mati juga digunakan untuk menentukan persen mortalitas larva (percent larval mortality) yang dihitung dengan persamaan (Arivoli dan Tennyson 2013): Jumlah larva mati
x 100
Jumlah larva dalam perlakuan Setiap perhitungan memperhatikan ada tidaknya larva kontrol yang mengalami kematian. Kematian larva kontrol akan dikoreksi dengan faktor koreksi Abbot (Abbot 1925) sebagai berikut: Koreksi mortalitas kontrol (%) = Mobs – Mkontrol x 100% 100 – Mkontrol Dengan Mobs adalah jumlah larva yang mati pada perlakuan dan Mkontrol adalah jumlah larva yang mati pada kontrol. Laju pertumbuhan dihitung berdasarkan rumus: Berat rata-rata larva yang hidup
x 100
Berat rata-rata kontrol Berdasarkan hasil perhitungan tersebut dapat diketahui pengaruh ekstrak terhadap pertumbuhan larva. Larva yang hidup dengan berat yang kurang dari kontrol menunjukkan adanya hambatan pertumbuhan larva oleh senyawa aktif dan sebaliknya (Supriyono 1997). Berat makanan buatan yang tersisa ditimbang untuk menentukan apakah ekstrak yang terkandung dalam makanan buatan bersifat antifeedant (Carpinella et al. 2003). Ekstrak uji dikatakan sebagai antifeedant bila serangga uji hanya
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
72
makan sedikit sekali makanan yang mengandung ekstrak dibandingkan dengan kontrol (Carpinella et al. 2003). Kontrol adalah larva yang diberi makanan buatan tanpa penambahan ekstrak uji.
3.2. Topical Application (Kontak Langsung) Ekstrak yang menunjukkan aktivitas insektisida diuji lebih lanjut dengan uji kontak langsung dan tidak langsung (Supriyono 1997). Pengujian dengan metode kontak langsung (direct-topical applications) menggunakan 5 µg ekstrak yang dilarutkan dalam 2 µl aseton. Larutan diteteskan pada bagian dorsal larva instar III dengan berat sekitar 10—14 mg dan panjang 1—1,3 cm (Supriyono 1997; Cardona et al. 2007; Tithi et al. 2010; Tong et al. 2013). Larva diberi makanan buatan normal (tanpa ekstrak uji) dan ditempatkan dalam wadah plastik (plastic cup) 100 ml yang ditutup kain. Perkembangan larva dipantau selama lima hari, pada hari kelima larva yang hidup dihitung dan ditimbang (Supriyono, 1997). Jumlah larva yang digunakan pada tiap perlakuan adalah 10 larva instar III dan masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali.
3.3. Uji Kontak Tidak Langsung Pengujian dengan metode contact tidak langsung (indirect) menggunakan 5 mg ekstrak yang dilarutkan dalam 1 ml aseton (Supriyono, 1997). Masingmasing ekstrak dimasukan ke dalam tabung reaksi kaca berdiameter 1 cm dan tinggi 7 cm (luas permukaan 7,065 cm2). Tabung diputar-putar hingga ekstrak tersebar merata ke seluruh dinding botol dan dibiarkan hingga kering. Dua puluh neonate diletakkan di dalam tabung tersebut. Tabung ditutup dengan kertas tisu dan larva dibiarkan kontak dengan senyawa selama 2 jam. Pelarut aseton digunakan sebagai kontrol. Neonate kemudian diletakkan di atas makanan buatan normal dalam wadah plastik (plastic cup) 100 ml yang ditutup kain. Setelah 6 hari larva yang hidup dihitung dan ditimbang (Supriyono, 1997).
3.4. Choice test Choice test dilakukan dengan menambahkan 5 mg ekstrak uji yang dilarutkan dalam satu mililiter aseton ke dalam makanan buatan dengan komposisi
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
73
dan jumlah yang sama dengan feeding dietary bioassay. Makanan buatan dengan penambahan satu mililiter aseton digunakan sebagai kontrol. Aseton yang ditambahkan pada makanan buatan terlebih dulu diuapkan pada suhu kamar, sama dengan pengujian sebelumnya. Makanan buatan kontrol dan perlakuan dicetak dengan bentuk dan ukuran yang sama, diletakkan pada jarak yang sama dari titik tengah wadah plastik berukuran 19 cm x 12 cm x 3 cm (Supriyono 1997). Sejumlah 20 larva neonate diletakkan pada titik tengah wadah plastik dan dibiarkan memilih makanan buatan yang disediakan (Supriyono 1997). Wadah plastik ditutup dengan kain bertenunan rapat dan setelah enam hari dilakukan pengamatan terhadap larva pada masing-masing makanan buatan. Jumlah larva yang memilih makanan buatan perlakuan ataupun kontrol dihitung, baik jumlah larva yang hidup maupun yang mati. Makanan buatan yang lebih banyak dipilih larva menunjukkan adanya senyawa yang menarik larva untuk memilih dan mengkonsumsi senyawa attractant tersebut (Taranta et al. 2011). 3.5. Pengaruh Ekstrak terhadap Perkembangan Larva Setelah pengamatan pada hari keenam dan kelima, larva hidup yang tersisa dari perlakuan feeding dietary bioassay dan topical application dipindahkan dan diberi makanan buatan tanpa penambahan ekstrak. Setiap hari dilakukan pengamatan terhadap ada tidaknya larva yang mati. Larva terus dipelihara sampai berubah menjadi pupa dan imago. Jumlah larva yang berhasil menjadi pupa dan imago dari masing-masing perlakuan dihitung untuk mengetahui pengaruh masing-masing ekstrak terhadap perkembangan larva S. litura.
3.6. Analisis Data One-way analysis of variance (ANOVA) digunakan untuk membandingkan nilai rata-rata mortalitas perlakuan . Uji lanjutan berupa Tukey’s honestly significant differrence (HSD) dengan significance level α = 0,05 dilakukan jika terdapat perbedaan di antara nilai rata-rata perlakuan. Nilai persentase mortalitas lebih dulu ditransformasi dengan arcsine square-root transformation sebelum dilakukan analisis ANOVA. Penghitungan LC50 dilakukan dengan analisis regresi PROBIT (Finney 1971). Semua analisi statistik dilakukan menggunakan program IBM SPSS Statistics versi 21.
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
74
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Resistensi Larva S. litura terhadap Insektisida Komersial Hasil uji resistensi terhadap larva Spodoptera litura yang akan digunakan dalam uji aktivitas insektisida menunjukkan tidak adanya resistensi. Seluruh larva neonate yang diberi makanan buatan dengan penambahan insektisida komersial dengan senyawa aktif berupa deltametrin 25 g/l; sipermetrin 50 g/l, dan klorpirifos 200 g/l mengalami kematian setelah 24 jam. Hasil uji dengan jumlah 20 larva neonate pada tiap perlakuan dapat dilihat pada tabel II.1 berikut: Tabel II.1. Hasil pengujian resistensi larva neonate S. litura terhadap 3 jenis insektisida komersial No. 1. 2. 3. 4.
Senyawa aktif insektisida Deltametrin 25 g/l Sipermetrin 50 g/l Klorpirifos 200 g/l Kontrol
Konsentrasi (ml/l) 1 1 1 0
Jumlah larva mati Ulangan 1 20 20 20 0
Ulangan 2 20 20 20 0
Ulangan 3 20 20 20 0
Berdasarkan hasil pengujian tersebut larva S. litura dari generasi selanjutnya dapat digunakan untuk uji aktivitas insektisida. Larva S. litura yang digunakan dalam penelitian ini dikumpulkan dari kebun-kebun di sekitar rumah penduduk yang umumnya tidak terpelihara. Tanaman yang ada umumnya dibiarkan tumbuh liar, tidak diberi perlakuan insektisida, sehingga S. litura yang terdapat di sekitar kebun tersebut hampir tidak pernah kontak dengan senyawa insektisida.
B. Pengujian Aktivitas Insektisida dengan Feeding Dietary Bioassay Hasil uji feeding dietary dari lima ekstrak kapang endofit digunakan untuk menentukan nilai LC50, persen mortalitas, laju pertumbuhan, dan jumlah makanan yang dikonsumsi larva. Nilai LC50 dari masing-masing ekstrak dapat dilihat pada tabel II.2, grafik antara probit mortalitas dengan log konsentrasi dari masing-
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
75
masing ekstrak ditunjukan pada gambar II.1, dan data yang digunakan untuk melakukan penghitungan LC50 ditunjukan pada lampiran II.1 sampai dengan II.5. Tabel II.2. Nilai LC50 ekstrak etil asetat dari filtrat biakan lima strain kapang terhadap larva neonate S. litura No. 1. 2. 3. 4. 5.
Strain kapang E. nidulans (BPPTCC 6038) E. nidulans (BPPTCC 6035) A. flavus A. tamarii A. versicolor
LC50 (ppm)
Persamaan garis
R2 regresi
1102,27 2757,87 3305,70 2369,12 2562,26
y = -2,2 + 0,72x y= -15,84 + 4,6x y= -3,96 + 1,12x y= -7,75 + 2,3x y= -6,22 + 1,83x
0,99 0,93 0,91 0,99 0,96
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
76
Gambar II.1. Grafik probit mortalitas larva neonate S. litura terhadap log konsentrasi ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang (1) E. nidulans BPPTCC 6038; (2) E. nidulans BPPTCC 6035; (3) A. flavus; (4) A. tamarii; dan (5) A. versicolor.
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
77
Hasil uji aktivitas insektisida lima ekstrak kapang mangrove terhadap larva neonate S. litura menunjukkan bahwa kelima ekstrak memiliki aktivitas insektisida terhadap larva neonate S. litura. Nilai LC50 terendah sebesar 1102,27 ppm dihasilkan oleh ekstrak kapang E. nidulans BPPTCC 6038 dan LC50 tertinggi 3305,70 ppm dihasilkan oleh ekstrak kapang A. flavus (tabel II.2 ). Ekstrak yang dihasilkan oleh strain E. nidulans BPPTCC 6035 memiliki nilai LC50 yang lebih tinggi (2757,87 ppm) dibandingkan dengan strain E. nidulans BPPTCC 6038 dan menempati urutan keempat dari LC50 yang ditunjukkan oleh lima ekstrak. Nilai LC50 dari insektisida komersial dengan bahan aktif deltametrin, sipermetrin dan klopirifos terhadap larva S. litura bervariasi, antara lain tergantung pada konsentrasi bahan aktif, umur dan strain larva S. litura. Deltametrin 10,5 EC (10,5 g/l) memiliki nilai LC50 sebesar 619 µl/ml (619 ppm) terhadap larva instar II S. litura (Bhatti et al. 2013); deltametrin 2,8 EC memiliki nilai LC50 sebesar 0,01009 % (100,9 ppm) terhadap larva S. litura berumur 7 hari (Kodandaram et al. 2009); deltametrin 98% memiliki nilai LC50 sebesar 3,99 mg/l (3,99 ppm) terhadap larva instar III S. litura (Tong et al. 2013). Klorpirifos 40 EC memiliki LC50 sebesar 11 ppm terhadap larva instar II S. litura (Abbas et al. 2014); klorpirifos 48 EC memiliki nilai LC50 sebesar 17,5 sampai 261 ppm terhadap beberapa strain larva instar IV S. littoralis (El Sheikh 2012) dan klorpirifos 97,5% memiliki LC50 sebesar 4,18 mg/l (4,18 ppm) terhadap larva instar III S. litura (Tong et al. 2013). Sipermetrin 25 EC memiliki nilai LC50 sebesar 0,01050% (105 ppm) terhadap larva S. litura berumur 7 hari (Kodandaram et al. 2009); sipermetrin 10 EC memiliki nilai LC50 sebesar 13,5 sampai 341,21 ppm terhadap beberapa strain larva instar IV S. littoralis (El Sheikh 2012). Berdasarkan data di atas, nilai LC50 terendah (1102,27ppm) yang dihasilkan oleh ekstrak kapang E. nidulans BPPTCC 6038 jauh lebih tinggi dibandingkan dengan insektisida komersial berbahan aktif deltametrin yang digunakan sebagai kontrol, sipermetrin dan klorpirifos. Hal tersebut disebabkan oleh kandungan bahan aktif dalam ketiga insektisida tersebut merupakan senyawa murni, sedangkan ekstrak etil asetat kapang merupakan senyawa campuran. Nilai LC50 dari kelima ekstrak kapang tersebut kemungkinan bisa lebih rendah bila
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
78
difraksinasi, sehingga senyawa yang diujikan memiliki tingkat kemurnian yang lebih tinggi atau merupakan senyawa tunggal. Nilai LC50 yang dihasilkan oleh ekstrak kapang terhadap larva S. litura relatif sebanding dengan nilai LC50 dari metabolit sekunder polyketide yang dihasilkan oleh bakteri Streptomyces sp. Nilai LC50 dari ekstrak metabolit sekunder bakteri tersebut terhadap larva instar II S. litura adalah sebesar 645,25 ppm. Ekstrak yang diujikan relatif lebih murni karena terlebih dulu difraksinasi sehingga senyawa yang diujikan hanya terdiri dari senyawa-senyawa polyketide (Arasu et al. 2013). Grafik yang menunjukkan hubungan antara konsentrasi ekstrak terhadap mortalitas, laju pertumbuhan dan jumlah makanan yang dikonsumsi larva neonate S. litura dapat dilihat pada gambar II.2 sampai dengan II.6. Data yang digunakan dalam masing-masing grafik dapat dilihat pada lampiran II.6 sampai dengan II.10.
Konsentrasi ekstrak uji (mg/ml)
Gambar II.2. Grafik pengaruh konsentrasi ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang E. nidulans BPPTCC 6038 terhadap mortalitas, laju pertumbuhan, dan jumlah makanan larva neonate S. litura (mean tiga replikasi + SE)
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
79
Konsentrasi ekstrak uji (mg/ml)
Gambar II.3. Grafik pengaruh konsentrasi ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang E. nidulans BPPTCC 6035 terhadap mortalitas, laju pertumbuhan dan jumlah makanan larva neonate S. litura (mean tiga replikasi + SE)
Konsentrasi ekstrak uji (mg/ml)
Gambar II.4. Grafik pengaruh konsentrasi ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang A. flavus terhadap mortalitas, laju pertumbuhan dan jumlah makanan larva neonate S. litura (mean tiga replikasi + SE)
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
80
Konsentrasi ekstrak uji (mg/ml)
Gambar II.5. Grafik pengaruh konsentrasi ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang A. tamarii terhadap mortalitas, laju pertumbuhan dan jumlah makanan larva neonate S. litura (mean tiga replikasi + SE)
Konsentrasi ekstrak uji (mg/ml)
Gambar II.6. Grafik pengaruh konsentrasi ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang A. versicolor terhadap mortalitas, laju pertumbuhan dan jumlah makanan larva neonate S. litura (mean tiga replikasi + SE) Kelima grafik menunjukkan bahwa laju pertumbuhan cenderung meningat seiring dengan penurunan konsentrasi ekstrak uji. Laju pertumbuhan adalah
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
81
hubungan antara berat badan rata-rata larva hidup dari perlakuan yang dibandingkan dengan berat rata-rata kontrol. Laju pertumbuhan yang lebih rendah daripada kontrol positif mengambarkan berat badan larva uji yang lebih rendah daripada kontrol. Hal tersebut mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan larva oleh senyawa aktif yang terkandung dalam ekstrak uji (Supriyono 1997). Hampir seluruh ekstrak menunjukkan perkecualian laju pertumbuhan pada konsentrasi 1250 ppm dan 2500 ppm. Pada kedua konsentrasi tersebut laju pertumbuhan cenderung meningkat dibandingkan dengan konsentrasi yang lebih rendah. Peningkatan laju pertumbuhan berkorelasi dengan jumlah makanan habis yang juga tertinggi pada konsentrasi tersebut (selain kontrol positif). Kenaikan laju pertumbuhan mengindikasikan kandungan senyawa attractant dalam ekstrak yang memicu larva untuk makan. Keberadaan senyawa attractant dalam ekstrak kapang terlihat pada hasil dari uji choice test. Persentase makanan yang habis pada masing-masing perlakuan cenderung konstan dan tidak jauh berbeda dengan kontrol negatif. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kelima ekstrak uji tidak mengandung senyawa antifeedant. Antifeedant didefinisikan sebagai senyawa kimia yang menghambat serangga untuk makan, sehingga tidak menyebabkan kematian serangga secara langsung (Packiam dan Ignacimuthu 2012; Jeyasankar et al. 2014). Keberadaan senyawa antifeedant ditandai dengan serangga yang berada disekitar makanan tanpa mengkonsumsi makanan tersebut sehingga mati karena kelaparan, antara lain diindikasikan dengan nilai laju pertumbuhan dan jumlah konsumsi pakan yang rendah (Packiam dan Ignacimuthu 2012; Jeyasankar et al. 2014).
C.
Topical Application (Kontak Langsung) dan Uji Kontak Tidak Langsung Hasil dari topical application (kontak langsung) kelima ekstrak terhadap
larva instar III S. litura menunjukkan bahwa rata-rata larva yang mati dari masing-masing perlakuan berkisar antara 16,7% sampai dengan 43,3%. Data yang menunjukkan pengaruh topical application kelima ekstrak terhadap larva dapat dilihat pada tabel II.3 dan gambar II.7.
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
82
Tabel II.3. Pengaruh aplikasi ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang secara topikal (5 µg/2 µl) terhadap mortalitas, laju pertumbuhan dan konsumsi makanan larva instar III S. Litura Ekstrak kapang
Mortalitas (%)+SE
Laju pertumbuhan (%)+SE
Makanan habis (%)+SE
E. nidulans (BPPTCC 6038)
16,67+8,82
77,62+8,55
95,65+0,87
E. nidulans (BPPTCC 6035)
16,67+3,33
94,53+8,52
95,09+1,28
A. flavus
20,00+5,77
85,33+5,95
96,71+0,39
A. tamarii
16,67+3,33
82,76+5,46
97,82+0,86
A. versicolor
43,3+14,53
84,33+3,54
95,05+3,41
0,00
100,00+2,19
100,00+0,00
36,67+6,67
89,77+3,10
98,32+0,06
Kontrol Kontrol + (deltametrin)
Mean dari tiga replikasi + SE (Standar Eror); tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada mortalitas (P = 0,16), laju pertumbuhan (P = 0,092), dan makanan habis (P = 0,696) dengan one way Anova (α = 0,05)
Ekstrak
Gambar II.7. Grafik pengaruh aplikasi ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang secara topikal terhadap mortalitas, laju pertumbuhan dan konsumsi makanan larva instar III S. litura (mean tiga replikasi + SE) Hasil dari uji kontak secara tidak langsung kelima ekstrak etil asetat (5 mg/ml) terhadap larva neonate S. litura menunjukkan bahwa persentase rata-
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
83
rata kematian larva dari masing-masing perlakuan berkisar antara 21,7% sampai dengan 66,7%. Data yang menunjukkan hasil uji kontak tidak langsung terhadap larva S.litura dengan jumlah 20 larva neonate dalam tiap perlakuan yang diulang sebanyak 3 kali ditampilkan pada tabel II.4 dan gambar II.8.
Tabel II.4. Pengaruh kontak tidak langsung ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang terhadap mortalitas, laju pertumbuhan, dan konsumsi makanan larva neonate S. litura Mortalitas* Laju pertumbuhan* Makanan Kode ekstrak (%)+SE (%)+SE habis* (%)+SE E. nidulans (BPPTCC 6038) 66,67+4,41b 16,40+10,95a 62,67+3,99b E. nidulans (BPPTCC 6035) 21,67+7,26a 12,62+0,48a 66,82+2,62b a a A. flavus 23,33+4,41 10,09+3,03 70,07+2,53b A. tamarii 25,00+2,89a 11,99+2,50a 69,26+3,44b A. versicolor 25,00+2,89a 12,62+4,12a 68,21+2,88b Kontrol + (deltametrin) 100,00+0,00c 0,00 19,31+2,89a b Kontrol 0,00+0,00 100,00+0,00 89,02+0,97c *Rata-rata dari tiga replikasi; SE = Standar Eror; a,b,c Huruf yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan berdasarkan analisis Tukey HSD test dengan α = 0,05
E. nidulans BPPTCC 6038
Gambar II. 8. Grafik pengaruh kontak tidak langsung ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang terhadap mortalitas, laju pertumbuhan dan konsumsi makanan larva neonate S. litura (mean tiga replikasi + SE)
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
84
Senyawa aktif yang terkandung dalam ekstrak etil asetat kelima jenis kapang mangrove kemungkinan besar bersifat toksik. Hal tersebut diperkuat dengan hasil uji topical application dan uji kontak secara tidak langsung. Uji topical application digunakan untuk menunjukkan adanya aktivitas toksisitas akut (Hummelbrunner dan Isman 2001). Toksikitas tertinggi dimiliki oleh ekstrak A. versicolor yang menghasilkan nilai persentase mortalitas sebesar 43,3% melebihi nilai yang ditunjukan oleh kontrol positif. Insektisida deltametrin yang digunakan sebagai kontrol diketahui memiliki sifat sebagai racun kontak dan lambung (Johnson et al. 2010) sehingga kemungkinan senyawa yang terdapat pada kelima ekstrak kapang khususnya ekstrak A. versicolor juga memiliki sifat sebagai racun kontak. Beberapa penelitian melaporkan bahwa Aspergillus menunjukkan aktivitas sebagai racun kontak terhadap larva S. litura. Senyawa 4-(N-methyl-N-phenyl amino)-butan-2-one yang dihasilkan oleh A. gorakhpurensis menyebabkan kematian larva instar IV S. litura sebesar 50% pada konsentrasi 330,69 μg/ml (Busi et al. 2009). Senyawa kojic acid yang dihasilkan oleh A. funiculosus menyebabkan kematian larva instar IV S. litura sebesar 50% pada konsentrasi 693,52 μg/ml (Busi et al. 2014). Peringkat toksisitas akut yang ditunjukkan oleh penelitian ini lebih tinggi daripada kedua penelitian tersebut. Kedua penelitian tersebut menggunakan senyawa murni, sedangkan penelitian ini menggunakan ekstrak kasar, sehingga potensi kelima ekstrak sebagai racun kontak sangat tinggi. Uji kontak secara tidak langsung memperkuat adanya aktivitas sebagai racun kontak pada kelima ekstrak kapang. Hasil uji menunjukkan bahwa persentase mortalitas rata-rata larva dari masing-masing perlakuan berkisar antara 21,7% sampai dengan 66,7%. Persentase mortalitas larva tertinggi ditunjukan oleh ekstrak E. nidulans (BPPTCC 6038), sebesar 66,7%, menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan empat ekstrak uji lainnya (P = 0,000). Ekstrak A. versicolor yang memiliki nilai persentase kematian tertinggi terhadap larva instar III pada uji kontak langsung menempati urutan kedua. Hal tersebut mengindikasikan kemungkinan senyawa yang bersifat sebagai racun kontak dalam ekstrak A. versicolor adalah senyawa yang bersifat volatil sehingga berkurang konsentrasinya ketika dibiarkan menguap pada uji kontak secara tidak langsung.
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
85
Penelitian yang dilakukan oleh Jeleń & Grabarkiewicz-Szczesna (2005) menunjukkan bahwa beberapa senyawa volatil yang dihasilkan oleh strain Asperrgillus merupakan bagian dari senyawa ochratoxin yang bersifat toksik. Penelitian yang dilakukan oleh Hummelbrunner dan Isman (2001) menunjukkan bahwa beberapa senyawa volatil yang dihasilkan oleh tumbuhan bersifat sebagai racun kontak ketika diberikan secara topical pada larva instar IV S. litura. Beberapa penelitian menunjukkan dalam ekstrak kasar senyawa tumbuhan terdapat minor constituent yang memiliki sifat dan efek sinergis dalam toksisitas terhadap serangga (Hummelbrunner dan Isman 2001; Devanand dan Rani 2008). Makin banyak senyawa aktif yang bersifat sinergis dalam suatu ekstrak maka sifat insektisida yang dihasilkan akan semakin kuat (Hummelbrunner dan Isman 2001; Devanand dan Rani 2008). Hasil analisis HPLC terhadap kelima ekstrak kasar (Makalah I) menunjukkan bahwa kelima ekstrak merupakan campuran dari beberapa senyawa. Dalam tiap ekstrak kemungkinan terdapat satu atau beberapa senyawa yang bersifat toksik dan senyawa lain yang bersifat sinergis.
D. Choice test Hasil dari choice test menunjukkan bahwa tiga jenis makanan buatan yang mengandung tiga ekstrak uji (E. nidulans BPPTCC 6038, E. nidulans BPPTCC 6035, dan A. tamarii) lebih dipilih oleh larva neonate S. litura daripada makanan buatan tanpa penambahan ekstrak. Data yang menunjukkan jumlah larva yang memilih masing-masing makanan buatan dengan perlakuan ataupun kontrol dapat dilihat pada tabel II.5 dan gambar II.9. Tabel II.5. Hasil choice test larva neonate S. litura terhadap lima ekstrak etil asetat dari biakan kapang (5 mg/ml) No.
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Ekstrak kapang
Memilih kontrol (%)* +SE
Memilih perlakuan (%)* +SE
E. nidulans (BPPTCC 6038) E. nidulans (BPPTCC 6035) A. flavus A. tamarii A. versicolor Kontrol + (deltametrin)
26,67+4,41a (Hidup) 38,33+1,67a(Hidup) 55,00+2,89b(Hidup) 38,33+3,33a(Hidup) 61,67+ 1,67b(Hidup) 28,33+1,67a(Hidup)
73,33+4,41b(Mati) 61,67+1,67b(Mati) 45,00+2,89a(Mati) 61,67+3,33b(Mati) 38,33+1,67a(Mati) 71,67+1,67b(Mati)
*Rata-rata dari tiga replikasi; SE = Standar Eror; a,bHuruf yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan berdasarkan analisis Tukey HSD test dengan α = 0,05
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
86
Gambar II.9. Grafik preferensi larva neonate S. litura terhadap lima ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang berdasarkan choice test (mean tiga replikasi + SE) Jumlah rata-rata larva yang memilih makanan buatan dengan kandungan ekstrak E. nidulans BPPTCC 6038 adalah 73,33%, tidak berbeda nyata (P = 0,000) dengan kontrol positif deltametrin dipilih oleh 71,67% larva neonate. Kecenderungan larva neonate untuk memilih makanan buatan dengan penambahan ekstrak uji E. nidulans (BPPTCC 6038 dan BPPTCC 6035) dan A. tamarii, mengindikasikan bahwa ekstrak uji tersebut mengandung senyawa yang menarik larva untuk mendekat. Menurut Taranta et al. (2011) attractant didefinisikan sebagai senyawa non pestisida yang dapat mempengaruhi serangga dengan cara menarik serangga untuk mendekat, menyentuh, mengkonsumsi materi yang mengandung senyawa tersebut, dan menarik serangga untuk kembali pada senyawa tersebut. Attractant dapat berupa senyawa volatil seperti turunan alkanol dan alkenol, protein seperti protein hewan dan tumbuhan, karbohidrat seperti gula dan gula alkohol, serta lemak dan minyak (Taranta et al. 2011). Di alam, warna, bau, dan rasa akan menarik serangga untuk mendekat dan mengkonsumsi materi yang bersifat sebagai attractant tersebut (Harborne 2001). Pigmen karetenoid, anthocyanins, delphinidin glycosides, dan petunidin triglycoside merupakan contoh dari beberapa pigmen yang bersifat sebagai attractant pada serangga (Harborne 2001). Penelitian menunjukkan bahwa larva neonate S. litura memiliki kemampuan untuk membedakan warna. Larva neonate
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
87
cenderung memilih warna kuning dan hijau dibanding warna lain (Singh dan Saxena 2004). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa larva lepidoptera dapat membedakan spektrum warna berdasarkan panjang gelombang dengan organ visual stemmata (Singh dan Saxena 2004). Menurut Rao et al. (2009) senyawa turunan amide dan imine juga memiliki aktivitas attractant terhadap S. litura. Beberapa senyawa fluorine yang mengandung diterpenic amide dan imine yang dihasilkan oleh Pinus terbukti menarik larva S. litura untuk mendekat (Rao et al. 2009). Bau yang dihasilkan oleh senyawa-senyawa seperti benzaldehyde, methylbutanoate, amyl acetate, amyl propionate, dan methyl N-methylanthranilate dapat bersifat sebagai attractant bagi serangga (Harborne 2001). Seperti serangga lain, S. litura memiliki kemampuan untuk mengenali bau melalui odorant receptor (Zhang et al. 2013). Pada serangga odorant receptor dibedakan menjadi dua, yaitu pheromone receptors dan non-pheromone receptors yang dapat mengenali bau selain bau hormon serangga (Zhang et al. 2013). Pigmen yang dihasilkan oleh mikroorganisme dapat bersifat toksik terhadap serangga. Pigmen violacein yang dihasilkan oleh bakteri Chromobacterium violaceum terbukti bersifat toksik terhadap larva instar III S. litura dengan LC50 sebesar 392,25 ppm (Baskar dan Ignacimuthu 2012). Beberapa spesies Aspergillus diketahui menghasilkan pigmen. Aspergillus versicolor menghasilkan pigmen berwarna merah yang diidentifikasi sebagai thraquinoid pigments, versicolorin (Hamasaki et al. 1967; Jurjevic et al. 2012). Emericella nidulans menghasilkan pigmen berwarna merah kecoklatan (Velmurugan et al. 2009) dan A. tamarii menghasilkan pigmen berwarna kuningcoklat (Goto et al. 1996). Aspergillus flavus menghasilkan pigmen berwarna oranye kemerahan yang tergolong dalam kelompok senyawa anthraquinone (Joshi et al. 2003). Kapang dari genus Aspergillus dapat menghasilkan senyawa-senyawa volatil seperti 1-octen-3-ol; 3-octanone; 3-octanol; 3-methyl-1-butanol; 1-octene dan limonene; 3-methyl-1-butanol; 2-methyl-1-propanol; terpineol; 2-heptanone; 1-octen-3-ol; dimethyl disulfide; 2-hexanone; dan 3-octanone (Gao et al. 2002; Jeleń & Grabarkiewicz-Szczesna 2005). Beberapa spesies Aspergillus diketahui
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
88
menghasilkan senyawa volatil yang termasuk dalam golongan hidrokarbon, alkohol, aldehida, ester, ketone, fenol, asam, heterocyclic compounds, dan sulfo compounds (Chen et al. 2014). Senyawa-senyawa volatil diketahui dapat bersifat sebagai attactant atau deterrent bagi serangga (Kamaluddin dan Nakagawa-Izumi 2012). Berdasarkan hal-hal tersebut maka sangat besar kemungkinan kelima ekstrak yang dihasilkan oleh lima strain kapang dari genus Aspergillus menghasilkan senyawa attractant. Senyawa attractant yang dihasilkan kemungkinan berupa pigmen, metabolit sekunder yang mengandung gugus imine, amide atau senyawa lain yang bersifat aromatis atau senyawa volatil.
E. Pengaruh Ekstrak terhadap Perkembangan Larva Pemberian ekstrak secara feeding dietary berpengaruh terhadap perkembangan larva. Pengaruh ekstrak dengan konsentrasi tertinggi (5 mg/ml atau 5000 ppm) terhadap perkembangan larva S. litura dapat dilihat pada tabel II. 6.
Tabel II.6. Pengaruh ekstrak etil asetat dari filtrat biakan lima strain kapang terhadap perkembangan larva setelah perlakuan feeding dietary bioassay No.
1.
Ekstrak kapang
E. nidulans (BPPTCC
Jumlah larva yang diamati*
Periode larva (hari)
Periode pupa (hari)
Jumlah imago (%) Dari Dari larva pupa 0 0
3
> 23
0
8
23
7
12,5
100
6038) 2.
E. nidulans (BPPTCC 6035)
3.
A. flavus
8
21
8
12,5
100
4.
A. tamarii
18
21
8
5,6
50
5.
A. versicolor
17
22
0
0
0
6.
Kontrol -
20
12-17
2-5
90
100
*
larva yang diamati adalah larva yang hidup setelah perlakuan feeding dietary bioassay, dengan jumlah awal 60 larva per perlakuan. Pada kontrol positif hanya diamati 20 larva dari 60 larva yang hidup setelah perlakuan.
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
89
Setelah perlakuan feeding dietary bioassay dengan konsentrasi ekstrak yang berbeda selama 6 hari, pada hari keenam larva dipindahkan dan diberi makanan buatan yang tidak mengandung ekstrak uji. Jumlah larva yang mati dihitung setiap hari dan data (tabel II.6 dan lampiran II.11) menunjukkan bahwa jumlah larva yang mati umumnya bertambah setiap hari. Jumlah larva yang berhasil menjadi pupa sangat sedikit dibandingkan dengan kontrol negatif dan waktu yang dibutuhkan oleh larva untuk menjadi pupa lebih lama daripada kontrol negatif. Pada perlakuan dengan konsentrasi tertinggi (5000 ppm), larva mulai menjadi pupa pada hari ke 21, sedangkan pada kontrol negatif larva mulai menjadi pupa pada hari kedua belas. Periode pupa pada perlakuan paling cepat berlangsung selama 21 hari, sedangkan pada kontrol berlangsung selama 12 sampai 17 hari. Jumlah pupa yang berhasil menjadi imago pada perlakuan juga sangat sedikit, maksimal hanya sebesar 12,5%. Hal tersebut mengindikasikan bahwa senyawa aktif yang terdapat dalam ekstrak uji memiliki aktivitas mempengaruhi perkembangan larva. Pemberian ekstrak secara kontak langsung melaui topical application juga berpengaruh terhadap perkembangan larva. Pengaruh ekstrak dengan konsentrasi 5 µg/2 µl secara topical terhadap perkembangan larva S. litura dapat dilihat pada tabel II.7.
Tabel II.7. Pengaruh ekstrak etil asetat dari filtrat biakan lima strain kapang terhadap perkembangan larva setelah perlakuan topical application No.
Ekstrak kapang
Jumlah larva yang diamati *
Periode larva (hari)
Periode pupa (hari)
Jumlah imago (%) Dari larva
Dari pupa
1.
E.nidulans (BPPTCC 22 20 - >22 >11 0 0 6038) 2. E. nidulans (BPPTCC 19 20 9 – 10 21 50 6035) 3. A. flavus 17 20 9 – 10 17,6 60 4. A. tamarii 24 21 – 22 9 – 10 20,8 71,4 5. A. versicolor 16 21 – 22 10 37,5 75 6. Kontrol (+) 17 20 – 21 9 – 10 29,4 83,3 7. Kontrol (-) 30 20 - 22 6-9 96,7 100 * larva yang diamati adalah larva yang hidup setelah perlakuan topical application, dengan jumlah awal 60 larva per perlakuan. Pada kontrol positif hanya diamati 30 larva dari 60 larva yang hidup setelah perlakuan.
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
90
Setelah perlakuan topical application, mulai hari kelima larva terus dipelihara dengan makanan buatan tanpa ekstrak uji dan diamati setiap hari. Jumlah larva yang mati dan perkembangan larva dicatat (tabel II.7 dan lampiran II.12). Pada kontrol negatif dan beberapa perlakuan, larva mulai menjadi pupa pada hari kedua puluh. Jumlah larva yang berhasil menjadi imago maksimal hanya 37,5% pada perlakuan; 29,4% pada kontrol positif dan 96,7% pada kontrol negatif. Rata-rata hanya satu imago yang dihasilkan dari pupa pada masingmasing perlakukan, sedangkan pada kontrol negatif hampir semua pupa berhasil menjadi imago. Pada perlakuan dengan ekstrak yang dihasilkan oleh strain E. nidulans (BPPTCC 6038), bahkan tidak ada imago yang dihasilkan dari larva yang hidup setelah perlakuan. Waktu yang dibutuhkan dari stadium pupa hingga imago pada perlakuan juga lebih lambat dibandingkan dengan kontrol negatif. Pada kontrol negatif periode pupa berlangsung selama 6 – 9 hari, sedangkan pada perlakuan dan kontrol positif periode pupa berlangsung selama 9 – 10 hari. Penelitian yang dilakukan oleh Arasu et al. (2013) melaporkan bahwa senyawa poliketyde yang dihasilkan oleh Streptomyces sp. memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan larva S. litura dan memiliki aktivitas pupacidal terhadap serangga tersebut. Setelah perlakuan feeding dietary bioassay dengan berbagai konsentrasi senyawa polyketide, perkembangan larva menjadi lebih lambat dibandingkan dengan kontrol dan waktu yang dibutuhkan oleh pupa untuk menjadi imago juga jauh lebih lambat dibandingkan kontrol (Arasu et al. 2013). Hal yang sama terjadi pada penelitian ini, larva yang telah terekspos dengan ektrak kapang melalui makanan maupun kontak secara topikal akan memiliki waktu perkembangan yang lebih lama, masa pupa yang lebih lama dibandingkan dengan kontrol dan kegagalan pupa menjadi imago (aktivitas pupacidal). Pertumbuhan dan perkembangan pada serangga khususnya S. litura merupakan proses yang rumit. Larva yang terhambat pertumbuhannya, tidak mencapai berat badan tertentu, kemungkinan besar akan gagal berrmetamorfosis lebih lanjut menjadi pupa dan imago (Jeyasankar et al. 2010; Packiam et al. 2014). Lamanya periode larva dan periode pupa serta berhasil tidaknya pupa
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
91
menjadi imago antara lain dipengaruhi oleh berat badan larva (Cardona et al. 2007; Jeyasankar et al. 2010; Packiam et al. 2014). Banyak senyawa aktif dari alam (natural product) yang diketahui menghambat pertumbuhan larva, memperpanjang waktu larva menjadi pupa dan memperbesar jumlah abnormalitas imago S. litura (Packiam et al. 2014). Senyawa-senyawa tersebut kemungkinan mempengaruhi aktivitas juvenile hormone dan enzim ecdysone (Packiam et al. 2014). Enzim ecdysone sangat berperan dalam proses shedding pada serangga yang dikenal dengan ecdysis atau moulting (Jeyasankar et al. 2010). Ketika senyawa aktif masuk kedalam tubuh larva, aktivitas ecdysone ditekan sehingga larva gagal untuk moulting dan tetap pada stadium larva sampai akhirnya mati (Jeyasankar et al. 2010). Morfologi pada stadium larva, pupa dan imago dipengaruhi oleh hormon morfogenetik yang mengatur proses pembentukan tubuh serangga. Terjadinya kecacatan, morphological deformities, pada stadium larva, pupa, dan imago akibat pemberian suatu senyawa aktif mengindikasikan senyawa tersebut mengganggu kerja hormon serangga (Jeyasankar et al. 2010).
F. Potensi Metabolit Sekunder Kapang Aspergillus dan Emericella sebagai Insektisida Senyawa aktif yang dihasilkan oleh mikroorganisme pada umumnya bersifat toksik. Beberapa penelitian menunjukkan adanya aktivitas larvasida atau insektisida pada beberapa metabolit sekunder yang dihasilkan mikroorganisme (Matasyoh et al. 2011; Arasu et al. 2013; Bucker et al. 2013). Kapang endofit Pestalotiopsis virgulata dan Pycnoporus sanguineus menghasilkan senyawa yang bersifat larvasida terhadap larva instar III Aedes aegypti (Bucker et al. 2013). Senyawa polyketide yang dihasilkan oleh beberapa spesies Streptomyces seperti avermectin dan milbemycin dilaporkan bersifat toksik terhadap berbagai jenis serangga dan parasit (McKellar dan Benchaou 1996; Arasu et al. 2013). Spynosin yang dihasilkan oleh bakteri Saccharopolyspora spinosa juga dilaporkan bersifat toksik terhadap berbagai spesies serangga dan telah diketahui menghasilkan efek toksik, iritan, dan rapelen pada nyamuk (Romi et al. 2006; Arasu et al. 2013).
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
92
Kapang dari genus Aspergillus merupakan penghasil metabolit sekunder toksik yang produktif (Dohren 2009). Menurut Dohren (2009), genom dari Aspergillus nidulans mengandung 27 gen yang mengkode pembentukan metabolit sekunder melalui jalur nonribosomal peptide synthetase (NRPS). Sejauh ini baru 5 gen beserta jalur metabolisme pembentukan metabolit sekunder berupa peptida dan asam amino yang telah diteliti (Dohren 2009). Sekitar 26 jenis metabolit sekunder berupa peptida dan asam amino yang dihasilkan oleh A. nidulans telah teridentifikasi, di antaranya diketahui memiliki aktivitas antifungi, antibakteri, antitumor, dan sitotoksik (Dohren 2009). Genus Emericella diketahui menghasilkan sterigmatocystin, prekursor untuk pembentukan berbagai mikotoksin pada genus tersebut (Frisvad et al. 2004). Sterigmatocystin diketahui memiliki aktivitas larvasida terhadap larva instar III dari Anopheles gambiae (Matasyoh et al. 2011). Hampir semua genus Aspergillus diketahui memiliki gen polyketide synthase (PKS) yang menghasilkan senyawa-senyawa polyketide yang selanjutnya akan berperan dalam pembentukan metabolit sekunder bersifat toksik. Pada beberapa spesies Aspergillus, selain memiliki gen PKS juga memiliki gen NRPS. Ketika gen PKS berkorelasi dengan gen NRPS maka akan dihasilkan produk akhir berupa senyawa polyketide dan peptida kecil yang bersifat sangat toksik seperti alpha-cyclopiazonic acid dan alternariol (Ahuja et al. 2012). Metabolit sekunder dari golongan polyketide diketahui memiliki aktivitas larvasida terhadap H. armigera dan S. litura (Arasu et al. 2013).
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Ekstrak etil asetat yang berasal dari lima filtrat biakan kapang endofit tumbuhan mangrove terbukti bersifat toksik terhadap larva S. litura. Toksisitas tersebut dapat diamati setelah dikonsumsi maupun kontak dengan tubuh larva. Kelima ekstrak tidak menunjukkan aktivitas antifeedant, tiga ekstrak (E. nidulans BPPTCC 6038, E. nidulans BPPTCC 6035, dan A. tamarii) cenderung
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
93
menunjukkan aktivitas sebagai attractant bagi larva S. litura, dan kelima ekstrak juga menunjukkan aktivitas menghambat perkembangan larva. Berdasarkan halhal tersebut maka kelima ekstrak disimpulkan memiliki potensi sebagai insektisida. Ekstrak etil asetat dari filtrate biakan E. nidulans BPPTCC 6038 memiliki nilai LC50 terendah (1102,27 ppm) dibanding keempat ekstrak lain (2369,12— 3305,7 ppm), mengindikasikan peringkat toksisitas tertinggi. Walaupun hasil topical application menunjukkan ekstrak A. versicolor menghasilkan persentase mortalitas tertinggi (43,3%) pada uji kontak tidak langsung ekstrak E. nidulans BPPTCC 6038 menghasilkan persentase mortalitas tertinggi (66,67%). Hasil choice test menunjukkan bahwa ekstrak E. nidulans BPPTCC 6038 memililiki aktivitas sebagai attractant yang paling baik dibanding keempat ekstrak lain (preferensi larva 73,33%). Kelima ekstrak menunjukkan aktivitas menghambat perkembangan larva menjadi pupa dan imago. Aktivitas tertinggi setelah pemberian ekstrak secara oral dengan konsentrasi 5000 ppm dihasilkan oleh ekstrak E. nidulans BPPTCC 6038; periode larva lebih dari 23 hari dan tidak ada pupa serta imago yang dihasilkan) dan A. versicolor BPPTCC 6039 (periode larva 22 hari, tidak ada pupa dan imago yang dihasilkan). Aktivitas tertinggi setelah pemberian ekstrak secara topikal dengan konsentrasi 5 µg/2 µl dihasilkan oleh ekstrak E. nidulans BPPTCC 6038, dengan periode pupa lebih dari 22 hari dan tidak ada pupa dan imago yang dihasilkan. Berdasarkan hal-hal tersebut ekstrak yang dihasilkan oleh kapang E. nidulans BPPTCC 6038 memiliki potensi paling tinggi untuk dikembangkan sebagai bioinsektisida.
B. Saran Kelima ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang yang dihasilkan tidak menunjukkan aktivitas sebagai antifeedant, oleh karena itu perlu dilakukan eksplorasi terhadap potensi antifeedant dari ekstrak yang dihasilkan oleh isolatisolat kapang lain. Screening terhadap ekstrak yang memiliki potensi sebagai antifeedant dilakukan dengan feeding dietary bioassay dan choice test. Ekstrak
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
94
yang menghasilkan aktivitas antifeedant dapat ditambahkan dalam formulasi bioinsektisida untuk meningkatkan aktivitas formulasi bioinsektisida.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, N., Samiullah, S.A. Shad, M. Razaq, A. Waheed & M. Aslam. 2014. Resistance of Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae) to profenofos: relative fitness and cross resistance. Crop Protection 58: 49—54. Abbott, W.S. 1925. A method of computing the effectiveness of an insecticide. Journal of Economic Entomology 18: 265—267. Achmad & P.W. Nurhayati. 2004. Genus Fungi pada tanah hutan mangrove tercemar logam berat di Muara Angke DKI Jakarta. Jurnal Manajemen Hutan Tropika X( 2): 14—21. Affandi, M. 2002. Diversitas dan visualisasi jamur yang berasosiasi dengan proses degradasi serasah di lingkungan mangrove. Laporan Penelitian JIPTUNAIR, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Airlangga. Surabaya. Ahmad, M., M.I. Arif & M. Ahmad. 2007. Occurrence of insecticide resistance in field populations of Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae) in Pakistan. Crop Protection 26: 809—817. Ahmad, M. 2009. Observed potentiation between pyrethroid and organophosphorus insecticides for the management of Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae). Crop Protection 28: 264—268. Ahuja, M., Yi-Ming Chiang, Shu-Lin Chang, M.B. Praseuth, R. Entwistle, J.F. Sanchez, Hsien-Chun Lo, Hsu-Hua Yeh, B.R.Oakley1 & C.C. C. Wang. 2012. Illuminating the diversity of aromatic polyketide synthases in Aspergillus nidulans. Journal of American Chemical Society 134(19): 8212—8221. Arasu, M.V., N.A. Al-Dhabi, V. Saritha, V. Duraipandiyan, C. Muthukumar & S.J. Kim. 2013. Antifeedant, larvicidal and growth inhibitory bioactivities of novel polyketide metabolite isolated from Streptomyces sp. AP-123 against Helicoverpa armigera and Spodoptera litura. BMC Microbiology 13: 105—111. Arivoli, S. & S. Tennyson. 2013. Antifeedant activity, developmental indices and morphogenetic variations of plant extracts against Spodoptera litura (Fab) (Lepidoptera: Noctuidae). Journal of Entomology and Zoology Studies 1(4): 87—96. Baskar, K. & S. Ignacimuthu. 2012. Bioefficacy of violacein against Asian armyworm Spodoptera litura Fab. (Lepidoptera: Noctuidae). Journal of the Saudi Society of Agricultural Sciences 11: 73—77. Bell, J.N., T.B. Ryder, V.P.M. Wingate, J.A. Bailey & C.J. Lamb. 1986. Differential accumulation of plant defense gene transcripts in a compatible
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
95
and an incompatible plant-pathogen interaction. Molecular and Cellular Biology 6(5): 1615—1623. Bhatti, S.S., M. Ahmad, K. Yousaf & M. Naeem. 2013. Pyrethroids and new chemistry insecticides mixtures against Spodoptera litura (Noctuidae: Lepidoptera) under laboratory conditions. Asian Journal of Agriculture & Biology 1(2): 45—50. Bhimba, B.V., D.A.A.D. Franco, G.M. Jose, J.M. Mathew & E.L. Joel. 2011. Characterization of cytotoxic compound from mangrove derived fungi Irpex hydnoides VB4. Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine 223—226. Bücker, A., N.C.F. Bücker, A.Q.L. de Souza, A.M. da Gama, E. Rodrigues-Filho, F.M. da Costa, C.V. Nunez, A.C. e Silva & W.P. Tadei. 2013. Larvicidal effects of endophytic and basidiomycete fungus extracts on Aedes and Anopheles larvae (Diptera, Culicidae). Revista da Sociedade Brasileira de Medicina Tropical 46(4): 411—419. Busi, S., P. Peddikotla, S.M. Upadyayula & V. Yenamandra. 2009. Isolation and biological evaluation of two bioactive metabolites from Aspergillus gorakhpurensis. Records of Natural Products 3(3): 161—164. Busi, S., J. Rajkumari & S. Hnamte. 2014. Feeding deterrence, acute toxicity and sublethal growth effects of kojic acid isolated from Aspergillus funiculosus. The Natural Products Journal 4:18—22. Cardona, Jr.E.V., C.S. Ligat & M.P. Subang. 2007. Life history of common cutworm, Spodoptera Litura Fabricius (Noctuidae: Lepidoptera) in benguet. BSU Research Journal 56: 73—84. Carpinella, M.C., M.A.T. Defago, G. Valladares & S.A. Palacios. 2003. Antifeedant and Insecticide Properties of a Limonoid from Melia azedarach (Meliaceae) with Potential Use for Pest Management. Journal of Agriculture and Food Chemistry 51: 369—374. Chaeprasert, S., J. Piapukiew, A.J.S. Whalley & P. Sihanonth. 2010. Endophytic fungi from mangrove plant species of Thailand: their antimicrobial and anticancer potentials. Botanica Marina 53: 555—564. Chen, Guangying, Yongcheng Lin, L.L.P.Vrijmoed & Wang Fun Fong. 2006. A new isochromanan from the marine endophytic fungus 1893. Chemistry of Natural Compounds 42(2): 63—72. Chitwood, D.J. 2002. Phytochemical based strategies for nematode control. Annual Review of Phytopathology 40: 221—49. Devanand, P. & P.U. Rani. 2008. Biological potency of certain plant extracts in management of two lepidopteran pests of Ricinus communis L. Journal of Biopesticides 1(2): 170—176. Döhren, H.V. 2009. A survey of nonribosomal peptide synthetase (NRPS) genes in Aspergillus nidulans. Fungal Genetics and Biology 46: S45--S52. Duffy, B., A. Schouten & J.M. Raaijmakers. 2003. Pathogen self-defense: mechanisms to counteract microbial antagonism. Annual Review of Phytopathology 41: 501—38. El- Sheikh, T.A.A. 2012. Comparative toxicity and biochemistry of organophosphates and pyrethroid compounds on both laboratory and field strain of the cotton leafworm Spodoptera littoralis (Boisd.). Egyptian Academic Journal of Biology & Sciences 4(1): 141—151.
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
96
EPPO. 1990. Data Sheets on Quarantine Pests: Spodoptera littoralis and Spodoptera litura. CABI and EPPO for the European Union. Finney, D J. 1971. Probit Analysis. 3th Ed. Cambridge University Press, London: 80 hlm. Frisvad, J.C., R.A. Samson & J. Smedsgaard. 2004. Emericella astellata, a new producer of aflatoxin B1, B2 and sterigmatocystin. Letters in Applied Microbiology 38: 440—445. Gafar, N. 2011. Characterization of petroleum hydrocarbon decomposing fungi isolated from mangrove rhizosphere. Journal of Tropical Soil 16(11): 39—45. Gang, Chen, Xiao Hua Lin, Wei Su, Ying Long Geng, Su Ping Jian & Xiu Fang Fan. 2014. Comparison of aroma compounds in traditional fermented and inoculated douchies, a Chinese traditional fermented soybean food. Journal of Pure and Applied Microbiology 8(5): 421—431. Gao, P., F. Korley, J.Martin & B.T. Chen. 2002. Determination of unique microbial volatile organic compounds produced by five Aspergillus species commonly found in problem buildings. AIHA Journal 63(2): 135—140. Gerhardson, B. 2002. Biological substitutes for pesticides. Trends in Biotechnology 20(8): 338—343. Goto, T., D.T. Wicklow & Y. Ito. 1996. Aflatoxin and cyclopiazonic acid production by a sclerotium-producing Aspergillus tamarii strain. Applied and Environmental Microbiology 62(11): 4036—4038. Hamasaki, T., Y. Hatsuda, N. Terashima & M. Renbutsu. 1967. A red pigment from Aspergillus versicolor (Vuillemin) Tiraboschi. Agriculture Biology & Chemistry 31(12): 1513—1514. Harborne, J.B. 2001. Twenty-five years of chemical ecology. Natural Products Reprint 18: 361—379. Höller, U. 1999. Isolation, biological activity and secondary metabolite investigations of marine-derived fungi and selected host sponge. Dissertation Doctorgrades, Facultät der Technischen Universität CaroloWilhelmina zu Braunschweig : xi + 151 hlm. Hong, Tong, Qi Su, Xiaomao Zhou & Lianyang Bai. 2013. Field resistance of Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae) to organophosphates, pyrethroids, carbamates and four newer chemistry insecticides in Hunan, China. Journal of Pesticides Sciences 86: 599—609. Hong, Xia Sun, Wen Cheng Tang, Hai Chen, Wei Chen, Min Zhang, Xin Liu & Gu Ren Zhang. 2013. Food utilization and growth of cutworm Spodoptera litura Fabricius larvae exposed to nickel, and its effect on reproductive potential. Chemosphere 93: 2319—2326. Huang, Hongbo, Xiaojun Feng, Zeen Xiao, Lan Liu, Hanxiang Li, Lin Ma, Yongjun Lu, Jianhua Ju, Zhigang She & Yongcheng Lin. 2011. Azaphilones and p-terphenyls from the mangrove endophytic fungus Penicillium chermesinum (ZH4-E2) isolated from the South China Sea. Journal of Natural Products 74: 997—1002. Hummelbrunner, L.A. & Isman M.B. 2001. Acute, sublethal, antifeedant, and synergistic effects of monoterpenoid essential oil compounds on the tobacco cutworm, Spodoptera litura (Lep., Noctuidae). Journal of
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
97
Agriculture and Food Chemistry 49(2): 715—20. Hüners, A. 1999. Naturstoffscreening und bioprozeßotimierung der wirkstoffproduktion eines marinen schammassoziierten bakteriums. Dissertation Doctorgrades, Facultät der Technischen Universität CaroloWilhelmina zu Braunschweig: vi + 141. Jelen, H.H. & J.Grabarkiewicz-Szczesna. 2005. Volatile compounds of Aspergillus strains with different abilities to produce ochratoxin A. Journal of Agriculture and Food Chemistry 53(5): 1678—83. Jeyasankar, A., N. Raja & S. Ignacimuthu. 2010. Antifeedant and growth inhibitory activities of Syzygium lineare Wall (Myrtaceae) against Spodoptera litura Fab (Lepidoptera: Noctuidae). Current Research Journal of Biological Sciences 2(3): 173—177. Jeyasankar, A., S. Premalatha & K. Elumalai. 2014. Antifeedant and insecticidal activities of selected plant extracts against epilachna beetle, Henosepilachna vigintioctopunctata (Coleoptera: Coccinellidae). Advances in Entomology 2(1): 14—19. Johnson, M., B. Luukinen, K. Buhl & D. Stone. 2010. Deltamethrin technical fact sheet. National Pesticide Information Center, Oregon State University Extension Services. http://npic.orst.edu/factsheets/Deltatech.pdf. 17 hlm. 8 Maret 2012, pk. 20.30 WIB. Joshi, V.K., D. Attri, A. Bala & S. Bhushan. 2003. Microbial Pigments. Indian Journal of Biotechnology 2: 362—369. Jurjevic, Z., S.W. Peterson & B.W. Horn. 2012. Aspergillus section Versicolores: nine new species and multilocus DNA sequence based phylogeny. IMA Fungus 3(1): 59—79. Kabaru, J.M. & L. Gichia. 2001. Insecticidal activity of extracts derived from different parts of mangrove tree Rhozophora mucronata (Rhizophoraceae) Lam. againts three arthropods. African Journal of Science and Technology (AJST) Science and Engineering Series 2(2): 44—49. Kamaluddin, N.N. & A. Nakagawa-Izumi. 2012. Characterization of termite feeding deterrents from Fibroporia radiculosa (Peck) Parmasto. B.T. Forschler (ed). Proceedings of the 10th Pacific-Termite Research Group Conference. Kodandaram, M.H., A.B. Rai & T.M.S. Swamy. 2009. Effect of biorational insecticides on susceptibility of Spodoptera litura (Fab) by different bioassay techniques. Vegetables Sciences 36(2): 188—192. Li, Min Yi, Jing Zhang, Gang Feng, T. Satyanandamurty & Jun Wu. 2011. Khayasin and 2_S-methylbutanoylproceranolide: promising candidate insecticides for the control of the coconut leaf beetle, Brontispa longissima. Journal of Pesticides Science 36(1): 22—26. Li, Hanxiang, Hongbo Huang, Changlun Shao, Huarong Huang, Jieyi Jiang, Xun Zhu, Yayue Liu, Lan Liu, Yongjun Lu, Mengfeng Li, Yongcheng Lin & Zhigang She. 2011. Cytotoxic norsesquiterpene peroxides from the endophytic fungus Talaromyces flavus isolated from the mangrove plant Sonneratia apetala. Journal of Natural Products 74: 1230—1235. Liu, J.Y., L.L. Huang, Y.H. Ye, W.X. Zou, Z.J. Guo & R.X. Tan. 2005.
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
98
Antifungal and new metabolites of Myrothecium sp. Z16, a fungus associated with white croaker Argyrosomus argentatus. Journal of Applied Microbiology 100: 195—202. Marwoto & Suharsono. 2008. Strategi dan komponen teknologi pengendalian ulat grayak(Spodoptera litura Fabricius) pada tanaman kedelai. Jurnal Litbang Pertanian 27(4): 131—136. Matasyoh, J.C., B. Dittrich, A. Schueffler & H. Laatsch. 2011. Larvicidal activity of metabolites from the endophytic Podospora sp. against the malaria vector Anopheles gambiae. Parasitology Research 108: 561— 566. Mauch-Mani, B. & F. Mauch. 2005. The role of abscisic acid in plant-pathogen interactions. Current Opinion in Plant Biology 8:409–414 McKellar, Q.A. & H.A. Benchaoui. 1996. Avermectins and milbemycins. Journal of Veterinary Pharmacology and Therapeutics 19(5): 331—351. Packiam, S.M. & S. Ignacimuthu. 2012. Effect of PONNEEM# on Spodoptera litura (Fab.) and its compatibility with Trichogramma chilonis. Brazillian Archieve Journal of Biologi & Technology 5(2): 291—298. Packiam, S.M., K. Baskar & S. Ignacimuthu. 2014. Feeding deterrent and growth inhibitory activities of PONNEEM, a newly developed phytopesticidal formulation against Helicoverpa armigera (Hubner). Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine 4(suppl 1): S323--S328. Phoanda, T.C., R. Bara, P.M. Wowor & J. Posangi. 2014. Uji efek antibakteri jamur endofit akar tumbuhan bakau (Bruguiera gymnorrhiza) terhadap bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Jurnal e-Biomedik 2(1): 1—5. http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/ebiomedik. 18 Juni 2014, pk. 22.15 WIB. Pimentel, M. R., G. Molina, A. P. Dion´ısio, M. R. Marostica Junior & G.M. Pastore. 2011. The Use of endophytes to obtain bioactive compounds and their application in biotransformation process. Biotechnology Research International 2011: 1—11. Prasetya, I.E. 2008. Screening kapang xylanolitik dari lantai hutan mangrove psesisir pantai Pasir Putih Situbondo. Skripsi Sarjana Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Jember. Pree, D.J. & K.J. Cole. 1989. Comparison of leaf disc and Petri dish assays for the assessment of difocal resistance in populations of European red mite from Southtern Ontario. Canadian Entomology 121: 771—776. Proksch, P., R. Ebel, R. A. Edrada, F. Riebe, H. Liu, A. Diesel, M. Bayer, X. Li, W. Lin, V. Grebenyuk, W. E.G. Mu ller, S. Draeger, A. Zuccaro & B. Schulz. 2008. Sponge-associated fungi and their bioactive compounds: the Suberites case. Botanica Marina 51: 209—218. Quarles, W. 2013. New biopesticides for IPM and organic production. IPM Practitioner 23(8): 1—99. Rao, Xiaoping, Zhanqian Song, Zhaojiu Han & Zhikuan Jiang. 2009. Synthesis and insect attractant activity of fluorine-containing Pinus diterpenic amides and imines. Natural Products Research 23(9): 851—860. Rohlfs, M & A.C.L. Churchill. 2011. Fungal secondary metabolites as modulators of interactions with insects and other arthropods. Fungal Genetics and Biology 48: 23—34.
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
99
Romi, R., S. Proietti, M. Diluca & M. Cristofaro. 2006. Labpratory evaluation of the bioinsectide spinosad for mosquito control. Journal of the American Mosquito Control Association 22(1): 3—96. Singh, A.K. & K.N. Saxena. 2004. Attraction of larvae of the armyworm Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae) to coloured surfaces. European Journal of Entomology 101: 697—699. Lin, ShuSi, M. Yoshimoto, Ping Hiang Lyu, Huan Yi Tang & M. Arita. 2012. Phylogenomic and domain analysis of iterative polyketide synthases in Aspergillus pecies. Evolutionary Bioinformatics 8: 373–-387. Sintim, H.O., T. Tashiro & N. Motoyama. 2009. Response of the cutworm Spodoptera litura to sesame leaves or crude extracts in diet. Journal of Insect Science 9(52): 1—13. Supriyono, A. 1997. Biologische aktive Naturstoffe aus tropischen Schämmen Südostasiens. Dissertation Doctorgrades der Bayerischen JuliusMaximilians-Universität Würzburg: ix + 169. Swe, A., R. Jeewon , S.B. Pointing & K.D. Hyde. 2008. Taxonomy and molecular phylogeny of Arthrobotrys mangrovispora, a new marine nematode-trapping fungal species. Botanica Marina 51: 331—338. Syarmalina. 2003. Mikroba endofitik dari tanaman mangrove Avicennia sp. penghasil senyawa antimikroba. Tesis magister Biologi. FMIPA UI. 64 hlm. Taranta, C.,T. Levy, O. Benlahmar, M. Nolte, T. Krohl, C. Randt, T. Bork, W. Meier, C.D. Klein & T. Hehhessey. 2011. Method for controlling arthropods comprising the spot-wise application of a gel. United States Patent Application Publication No.: US 2011/0184040 A1. Tavares, W.S., I. Cruz, F. Petacci, S.S. Freitas, J. E. Serrão & J.C. Zanuncio. 2011. Insecticide activity of piperine: toxicity to eggs of Spodoptera frugiperda (Lepidoptera: Noctuidae) and Diatraea saccharalis. (Lepidoptera: Pyralidae) and phytotoxicity on several vegetables. Journal of Medicinal Plants Research 5(21): 5301—5306. Throne, J.E., D.K. Weaver, V. Chew & J.E. Baker. 1995. Probit analysis of correlated data: multiple observations over time at one concentration. Journal of Economic Entomology 88(5): 1510—1512. Tithi, D.A., M.R. Amin, S.M.A. Hossain & H.M.S. Azad. 2010. Feeding and development of Spodoptera litura larvae on different cotton varieties. Journal of Agroforestry & Environment 4(2): 113—116. Tukiran. 2013. Bioinsecticides test of crude stem bark extracts of some meliaceous plants against Spodoptera litura. Global Journal of Biology, Agriculture & Health Sciences 3(3): 28—31. Velmurugan, P., Yong Hoon Lee, C. K. Venil, P. Lakshmanaperumalsamy, JongChan Chae & Byung-Taek Oh. 2009. Effect of light on growth, intracellular and extracellular pigment production by five pigmentproducing filamentous fungi in synthetic medium. Journal of Bioscience and Bioengineering 109(4): 346—350. Wei, Hongyi, Yongping Huang & Jiawei Du. 2004. Sex pheromones and reproductive behavior of Spodoptera litura (Fabricius) moths reared from larvae treated with four insecticides. Journal of Chemical Ecology 30(7): 1457—66.
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
100
Wen, Lu, Xiaoling Cai, Fang Xu, Zhigang She, Wing Lai Chan, L.L.P. Vrijmoed, E.G.B. Jones & Yongcheng Lin. 2009. Three metabolites from the mangrove endophytic fungus Sporothrix sp. (#4335) from the South China Sea. Journal of Organic Chemistry 74(3): 1093—1098. Zhang, J., C.C. Liu, S.W. Yan, Y. Liu, M.B. Guo, S.L. Dong & G.R. Wang. 2013. An odorant receptor from the common cutworm (Spodoptera litura) exclusively tuned to the important plant volatile cis-3-Hexenyl acetate. Insect Molecular Biology 22(4): 424—32. Zhu, K.Y. 2008. Insecticide Bioassay. Dalam: Capinera, J.L., (ed). 2008. Encyclopedia of Entomology 2nd Edition; Springer, London: 1975—1976.
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
Makalah III KARAKTERISASI DAN FORMULASI SENYAWA AKTIF LIMA STRAIN KAPANG ENDOFIT TUMBUHAN MANGROVE SEBAGAI BIOINSEKTISIDA
Silva Abraham Program Studi Biologi, Program Pascasarjana Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia
[email protected] ABSTRACT The formulation and characterization of the insecticidal extracts from five strains of indigenous mangrove endophytic fungi were conducted to obtain a bioinsecticide candidate. Acetone was the best solvent for the five insecticidal extracts; polyethylene glycol 6000 at 0.05 g/ml concentration was selected as the sticker agent and Tween 80 at 0.1 ml/ml was selected as the surfactant. The five bioinsectides’ formulations exhibited good stability; there was no precipitate formed after 30 days, and there was no changes in pH and maximum wavelength of the five formulations after 14 days. The five formulations also exhibited good adherence to the leaf surface. The results from the feeding test of the five formulations on S. litura neonate larvae showed the percentage of larval mortality ranging from 46.67–65% at the sixth day and 100% of larval mortality was accomplished after seven days. The five formulations showed 13.33–43.44% larval mortality on S. litura third instars larvae at the sixth day, which is higher compared to the positive control deltamethrin 25 EC, and 100% of larval mortality was accomplished from seven days until 12 days of treatment, which is a better result than the one seen in the positive control (100% larval mortality after 12 days). The fractionation on the E. nidulans (BPPTCC 6038) extract, which showed the best insecticidal activity, produced seven fractions, and the best insecticidal activity on S. litura neonate larvae was exhibited by the fraction no. 6. The chemical characterization on the five extracts using thin layer chromatography combined with several reagents showed that all extracts contained triterpenoid and saponin compounds; four extracts (except E. nidulans BPPTCC 6038) contained alkaloid compounds; and the E. nidulans BPPTCC 6038 extract contained the phenolic compound. The active fraction from E. nidulans (BPPTCC 6038) contained triterpenoid and saponin compounds. In the acethylcholinesterase inhibition assay, the five fungal extracts showed inhibition percentages ranging between 40.71 and 48.94%, which indicated their potential as neurotoxins. Keywords: bioinsecticide, ethyl acetate extracts, formulations, mangrove fungi, Spodoptera litura. 101
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
Universitas Indonesia
102
PENDAHULUAN
Serangga hama merupakan salah satu penyebab kerugian terbesar di bidang pertanian. Sepuluh sampai tiga puluh persen berkurangnya hasil panen disebabkan oleh serangga hama (Arivoli & Tennyson 2013). Senyawa insektisida yang digunakan untuk membasmi serangga pada tanaman umumnya adalah bahan kimia anorganik dan sintetik (Pohanka 2006; Arivoli dan Tennyson 2013). Insektisida sintetik memiliki pengaruh negatif terhadap organisme non target termasuk manusia dan lingkungan. Beberapa insektisida sintetik telah terbukti kehilangan efektivitasnya terhadap serangga target dan menyebabkan resistensi (Pohanka 2006; Arivoli dan Tennyson 2013). Penggunaan insektisida sintetik dari golongan organoklorin telah dilarang di sejumlah negara dan penelitian mengenai berbagai metode alternatif untuk mengendalikan hama serangga telah dan terus dilakukan (Cisneros et al. 2002; Aiydin et al. 2006; Arivoli & Tennyson 2013). Kebutuhan akan senyawa bioinsektisida baru yang ramah lingkungan, tidak berbahaya bagi manusia dan memiliki mode of action spesifik belum terpenuhi sampai saat ini. Bioinsektisida atau biopestisida adalah jenis pestisida yang berasal dari materi alami seperti hewan, tumbuhan, bakteri, dan mineral tertentu (United State Environmental protection Agency 2012). Bioinsektisida terbagi menjadi tiga kelas, yaitu (United State Environmental protection Agency 2012) : 1. Pestisida mikrobial (microbial pesticides) yang mengandung mikroorganisme seperti bakteri, fungi atau protozoa sebagai active ingredient. Contoh dari jenis pestisida ini adalah agen-agen biokontrol seperti bakteri Bacillus thuringiensis (Bt) dan kapang Metarhizium. 2. Plant-Incorporated-Protectants (PIPs) adalah substansi pestisida yang dihasilkan oleh tumbuhan dari materi genetik yang disisipkan pada tumbuhan. Contoh dari golongan pestisida ini adalah gen pengkode protein bersifat pestisidal dari Bt.
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
103
3. Pestisida biokimia yaitu pestisida yang dapat mengontrol serangga dengan mekanisme non-toksik, umumnya mengandung senyawa dari mahluk hidup seperti feromon atau ekstrak tumbuhan. Terminologi selain dari ketiga golongan bioinsektisida di atas adalah pestisida biologis (biological pesticide). Pestisida biologis didefinisikan sebagai senyawa kimia yang berasal dari tumbuhan, fungi, bakteri atau organsime lain, yang dapat digunakan untuk mengendalikan hama serangga. Pestisida biologis mencakup semua senyawa kimia yang dihasilkan oleh mahluk hidup yang bukan merupakan hasil sintesis oleh manusia (United State Environmental protection Agency 2012). Penemuan fungisida dengan senyawa aktif strobilurin merupakan salah satu pemicu eksplorasi dan pengembangan senyawa metabolit sekunder kapang sebagai bioinsektisida (Balba 2007). Strobilurin merupakan suatu kelompok senyawa baru yang diisolasi dari fungi Strobilurus tenacellus. Nama strobilurin diambil dari penemuan strobilurin-A yang diikuti oleh strobilurin-B, C, D dan seterusnya (Balba 2007). Penemuan senyawa tersebut membuka peluang eksplorasi senyawa fungisida alami dan penemuan senyawa analog yang lebih efektif dan lebih stabil untuk diaplikasikan sebagai fungisida. Sekitar delapan fungisida turunan strobilurin beredar di pasar dunia saat ini (Balba 2007). Bionsektisida semula diproduksi oleh perusahaan-perusahaan kecil, namun kini perusahaan besar seperti Bayer, Syngenta, dan Novozymes mulai memproduksi bioinsektisida (Quarles 2013). Beberapa produk bioinsektisida hasil fermentasi dari Bacillus subtilis seperti Kodiak™, Serenade™, Serenade Garden™ dan Rhapsody™ merupakan produk dari Bayer. Strain B. subtilis yang digunakan diketahui dapat menghasilkan 30 senyawa lipopeptida yang dapat membunuh bakteri patogen tanaman (Quarles 2013). Biopestisida Taegro™ yang diproduksi oleh Novozymes (Quarles 2013) juga menggunakan produk fermentasi B. subtilis dari strain yang berbeda (var amyloliquefacians strain FZB24). Novozyme juga memproduksi bioinsektisida berbahan dasar produk fermentasi dari kapang Metarhizium anisopliae dengan merk MET52™ (Quarles 2013). Perusahaan besar yang khusus memprodusksi bioinsektisida saat ini adalah Marrone Bio Innovations yang berlokasi di California, Amerika Serikat (Quarles
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
104
2013). Produk bioinsektisida yang dipasarkan antara lain adalah Grandevo™, dengan bahan aktif produk fermentasi bakteri Chromobacterium subtsugae; OpportuneTM berbahan aktif thaxtomin, produk fermentasi bakteri Streptomyes sp.; dan bioinsektisida yang dipasarkan tahun 2014, Venerate™ dengan bahan aktif beberapa senyawa hasil fermentasi bakteri laut (Quarles 2013). Formulasi sangat berperan dalam efektivitas senyawa aktif terhadap serangga target (Hynes dan Boyetchko 2006). Formulasi dalam insektisida adalah pencampuran senyawa aktif insektisida dengan substansi lain yang non aktif. Senyawa aktif merupakan substansi yang mencegah, membunuh, atau bersifat repelan bagi serangga (National Pesticides Information Center 1999). Substansi lain yang ditambahkan dapat meningkatkan efektivitas dari senyawa aktif. Substansi tersebut dapat berupa pelarut, carrier, adjuvant atau senyawa lain (National Pesticides Information Center 1999; Hynes dan Boyetchko 2006). Pelarut merupakan cairan yang melarutkan senyawa aktif. Carrier adalah cairan atau senyawa kimia padat yang ditambahkan untuk meningkatkan delivery dari senyawa aktif. Adjuvant dapat berupa wetting agent atau stickers yang ditambahkan untuk membantu senyawa aktif melekat atau menyebar pada permukaan daun, membantu penetrasi, mengurangi foaming dan penguapan (National Pesticides Information Center 1999; Ciarlo et al. 2012). Formulasi yang berbeda dapat digunakan secara berbeda. Beberapa formulasi dapat digunakan secara langsung dan formulasi lain harus terlebih dulu dilarutkan dengan air, minyak atau larutan pembawa lain (Van Tonder 1993; National Pesticides Information Center 1999). Alasan untuk mencampurkan senyawa aktif dengan substansi lain adalah untuk membuat penanganan dan aplikasi insektisida menjadi lebih aman, mudah dan akurat (National Pesticides Information Center 1999). Karakter senyawa aktif yang akan digunakan dalam formulasi penting untuk diketahui. Karakterisasi kimia senyawa aktif yang dihasilkan oleh kapang mangrove umumnya masih terbatas pada senyawa-senyawa yang berpotensi untuk diaplikasikan dalam bidang farmasi (Xu et al. 2008; Wen et al 2009). Senyawasenyawa yang sering diteliti dan dikarakterisasi adalah senyawa yang bersifat sebagai antikanker, antioksidan, antiinflamasi, antifungi, dan antibakteri (Liu et
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
105
al. 2011; Li et al. 2011; Bhimba et al. 2011; Chen et al. 2011). Informasi mengenai karakter senyawa aktif kapang mangrove dengan aktivitas insektisida masih sangat terbatas. Karakter senyawa aktif yang dihasilkan oleh kapang mangrove dengan aktivitas insektisida terhadap S. litura belum diketahui. Salah satu karakter yang dapat menunjukkan potensi insektisida suatu senyawa adalah kemampuan untuk mengontrol atau menghambat kerja enzim serangga. Beberapa enzim serangga seperti esterase, glutation S-transferase, sitokrom P450 monooksigenase, dan asetilkolin esterase merupakan target dari beberapa senyawa aktif dalam insektisida (Emameh et al. 2014). Senyawasenyawa aktif yang menjadi inhibitor dari enzim-enzim tersebut merupakan senyawa yang bersifat insektisida. Dalam penelitian ini kemampuan senyawa aktif kelima kapang mangrove untuk menghambat kerja enzim asetilkolin esterase (inhibitor asetilkolin esterase) akan diuji untuk mengetahui karakter insektisida dari kelima senyawa tersebut. Pada umumnya senyawa inhibitor asetilkolin esterase dihasilkan oleh tumbuhan, namun penelitian-penelitian terkini menunjukkan bahwa senyawa tersebut juga dihasilkan oleh organisme laut seperti alga, spons, cyanobacteria, fitoplankton, dan fungi (Pandey et al. 2014). Kemampuan dalam menghambat kerja enzim asetilkolin esterase menandakan keberadaan golongan senyawa tertentu dan adanya gugus tertentu dalam suatu senyawa. Karakter tersebut umumnya dimiliki oleh turunan dari golongan senyawa alkaloid, terpenoid dan flavonoid (Pandey et al. 2014; Emameh et al. 2014). Deteksi keberadaan golongan senyawa-senyawa tersebut di dalam ekstrak kapang dalam penelitian ini dapat memperkuat hasil karakterisasi dari senyawa aktif yang bersifat insektisida. Aplikasi senyawa aktif yang dihasilkan oleh kapang mangrove dalam bidang agrokimia masih sangat terbatas. Agen insektisida dengan zat aktif berupa senyawa yang dihasilkan oleh kapang mangrove belum pernah dilaporkan. Informasi mengenai penelitian yang berkaitan dengan formulasi senyawa aktif kapang mangrove sebagai bioinsektida belum pernah dipublikasikan sehingga jenis formulasi dan efektivitas formulasi insektisida yang dihasilkan dari senyawa aktif kapang mangrove belum diketahui.
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
106
Tujuan penelitian pada makalah III adalah memperoleh formulasi insektisida dengan bahan aktif berupa ekstrak etil asetat yang diperoleh dari filtrat biakan dari lima strain kapang endofit tumbuhan mangrove, dan aktivitas dari masing-masing formulasi terhadap larva S.litura serta karakter senyawa aktif. Ekstrak aktif yang akan digunakan dalam formulasi terlebih dulu diuji kelarutannya pada beberapa pelarut. Formulasi dilakukan dengan melakukan optimasi (pra formulasi) terhadap jenis dan konsentrasi wetting agent (surfaktan) dan sticker agent, kemudian menambahkan ekstrak aktif yang dilarutkan dengan pelarut yang terpilih. Masing-masing formulasi yang telah dibuat diuji stabilitas dan kemampuannya untuk melekat pada daun. Kandidat formulasi diuji aktivitasnya terhadap larva S. litura dengan modifikasi metode leaf dip. Pengujian aktivitas insektisida dilakukan dengan meratakan jumlah tertentu formulasi insektisida pada daun sawi hijau (Brassica rapa var. parachinensis L.). Daun sawi hijau yang telah mengandung formulasi insektisida kemudian dijadikan sebagai makanan larva uji. Ekstrak aktif yang memiliki potensi insektisida terbaik difraksinasi dengan metode kolom kromatografi. Fraksi-fraksi yang dihasilkan diuji aktivitasnya terhadap larva S. litura. Fraksi yang menunjukkan aktivitas insektisida dianalisis dengan HPLC untuk menentukan kemurnian senyawa. Senyawa yang diperoleh kemudian dikarakterisasi dengan menggunakan metode TLC yang direaksikan dengan reagen semprot. Keberadaan golongan senyawa tertentu diindikasikan oleh timbulnya warna tertentu. Keempat ekstrak aktif lain juga dikarakterisasi dengan metode TLC yang direaksikan dengan reagen semprot. Keempat ekstrak aktif kemungkinan mengandung beberapa kelompok senyawa karena bukan merupakan senyawa tunggal. Kelima ekstrak aktif serta fraksi dari ekstrak aktif yang menunjukkan aktivitas insektisida terbaik diuji kemampuannya dalam menginhibisi kerja enzim asetilkolin esterase. Data yang ditampilkan pada makalah III berupa data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif meliputi hasil uji stabilitas dan daya pelekatan masingmasing formulasi, profil HPLC fraksi senyawa aktif dengan aktivitas insektisida
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
107
terbaik serta hasil penggolongan senyawa aktif ke dalam kelompok senyawa kimia tertentu (phenolic, alkaloid, terpenoid, dan lain-lain). Data kuantitatif meliputi komposisi dari masing-masing formulasi, berat rata-rata larva uji dan jumlah larva uji yang mati dalam uji aktivitas insektisida masing-masing formulasi serta daya hambat terhadap aktivitas enzim asetilkolin esterase. Data berat rata-rata larva uji digunakan untuk menghitung laju pertumbuhan dan data jumlah kematian larva digunakan untuk menghitung persen mortalitas guna menentukan aktivitas dari masing-masing formulasi dan fraksi senyawa aktif. Data aktivitas penghambatan terhadap enzim asetilkolin esterase membantu memprediksi cara kerja senyawa aktif sebagai insektisida, dan memperkuat hasil penggolongan senyawa ke dalam kelompok senyawa kimia tertentu. Data kualitatif dan kuantitatif disajikan dalam bentuk tabel, gambar, dan grafik.
BAHAN DAN CARA KERJA
A. Formulasi Sebelum dilakukan formulasi, lebih dulu dilakukan proses pra formulasi (tanpa penambahan senyawa aktif) untuk menentukan komposisi dan konsentrasi dari masing-masing senyawa adjuvant (pelarut, surfaktan, dan sticker agent). Senyawa yang digunakan dalam pra formulasi sebagai pelarut adalah aseton, etil asetat, dan metanol. Senyawa surfaktan adalah Tween 20 dan Tween 80, serta senyawa sticker agent adalah polyethylene glycol (PEG) 4000 dan PEG 6000. Lima ekstrak aktif yang memiliki aktivitas insektisida terbaik (berdasarkan hasil uji pada Makalah II) diuji kelarutannya pada beberapa pelarut. Pelarut yang memiliki daya kelarutan terbaik digunakan sebagai pelarut dalam formulasi. Komposisi dan konsentrasi pelarut, surfaktan dan sticker agent yang optimum dicari dengan mengubah komposisi dan perbandingan dari berbagai komponen tersebut. Kisaran konsentrasi dari pelarut, surfaktan dan agen pelekat (sticker agent) yang akan ditambahkan ke dalam ekstrak mengikuti kisaran standar sebagai berikut (Van Tonder, 1993):
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
108
Surfaktan
2—20%
Pelarut
5—49%
Sticker agent
1—5%
Air
hingga 100%
Optimasi didasarkan pada hasil uji pembentukan busa (foaming) dan daya pelekatan pada daun. Uji pembentukan busa dilakukan dengan membolak balik formulasi sebanyak 10 kali (National Pesticides Information Center 1999), jumlah busa yang terbentuk diamati dan waktu yang dibutuhkan untuk menghilangkan busa dicatat. Uji daya pelekatan pada daun dilakukan dengan mengaplikasikan masing-masing 200 µl formulasi pada permukaan abaksial dan adaksial daun sawi hijau (Brassica rapa var. parachinensis L.) berukuran 5 cm x 5 cm kemudian meratakannya dengan kuas (National Pesticides Information Center 1999). Ada tidaknya larutan yang menetes dari daun ketika daun diangkat dan dibalik, diamati dan dicatat. Setelah dibiarkan hingga 24 jam dilakukan pengamatan terhadap kering tidaknya permukaan daun. Formulasi terbaik dari proses pra formulasi dipilih untuk digunakan dalam proses formulasi. Formulasi dilakukan dengan menambahkan ektrak etil asetat yang dihasilkan oleh masing-masing strain kapang mangrove dengan konsentrasi 5 mg/ml pelarut ke dalam adjuvant yang dipilih dari proses pra formulasi. Optimasi dalam proses formulasi dilakukan dengan menguji stabilitas (kecepatan pengendapan) dan daya lekat formulasi ketika diaplikasikan pada daun. Uji stabilitas dilakukan dengan menempatkan hasil formulasi pada gelas Beaker yang diletakkan di atas meja dan dijaga agar tidak terjadi gerakan atau gangguan pada gelas tersebut. Setiap jam dilakukan pengamatan terhadap suspensi formulasi, waktu dimulainya terjadi pengendapan dicatat, formulasi yang paling cepat mengalami pengendapan dianggap tidak stabil (National Pesticides Information Center 1999). Uji pelekatan pada daun dilakukan dengan metode yang sama dengan pra formulasi. Formulasi yang paling cepat luruh dan menetes dari daun menandakan daya pelekatan yang kurang baik (National Pesticides Information Center 1999). Kelima formulasi yang mengandung lima jenis ekstrak aktif yang berbeda diukur pH (Benchtop pH meter, Mettler Toledo Int. Inc., Canada) dan panjang
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
109
gelombangnya (Waters HPLC-UV Vis detector, Waters Co., Milford, MA, USA). Pengukuran pH dilakukan untuk mengetahui tingkat keasaman dari masingmasing formulasi dan perbandingannya dengan insektisida komersial. Tingkat keasaman merupakan salah satu faktor yang menentukan aktivitas insektisida (Wang dan Liu 2007; El-Sisi et al. 2011). Pengukuran panjang gelombang dilakukan untuk menentukan kisaran spektrum warna dari formulasi yang dihasilkan. Kedua pengukuran tersebut juga dapat digunakan sebagai indikator untuk mengetahui stabilitas formulasi (National Pesticides Information Center 1999). Stabilitas formulasi akan ditentukan dengan membandingkan hasil pengukuran pada awal formulasi dengan pengukuran setelah jangka waktu tertentu.
B. Uji Aktivitas Insektisida Formulasi Formulasi yang dihasilkan diuji aktivitasnya terhadap larva neonate dan larva instar III S. litura menggunakan modifikasi metode leaf dip (Pree dan Cole 1989). Pengujian diawali dengan mengaplikasikan 200 µl formulasi (konsentrasi bahan aktif 5 mg/ml) pada kedua sisi daun sawi hijau (adaksial dan abaksial) berukuran 5 cm x 5 cm dan diratakan dengan kuas. Potongan-potongan daun yang telah diberi formulasi insektisida ditimbang dan ditempatkan dalam wadahwadah plastik (plastic cup 100 ml). Sejumlah 20 larva neonate dan larva instar III (berat 10-14 mg, panjang 11,3 cm; Cardona et al. 2007; Tithi et al. 2010) yang telah dilaparkan (pre-starved) selama 2 jam (Jeyasankar et al. 2014) masing-masing dimasukan ke dalam wadah plastik dan bagian atas wadah ditutup dengan kain kasa. Larva yang diberi pakan berupa daun sawi hijau tanpa penambahan formulasi insektisida digunakan sebagai kontrol. Perlakuan untuk larva neonate dilakukan selama 6 hari dan pada hari ke 6 dilakukan penghitungan jumlah larva yang mati, berat larva yang hidup, dan makanan yang habis. Selama perlakuan untuk larva instar III, wadah plastik serta pakan dengan penambahan formulasi bioinsektisida dan tanpa penambahan formulasi diganti setiap hari. Pengamatan untuk larva instar III dilakukan selama 2 minggu, larva yang mati dihitung, perkembangan larva diamati dan dibandingkan dengan kontrol (Pree dan Cole 1989).
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
110
C. Isolasi Senyawa Aktif dengan Metoda Kromatografi Dipandu Bioassay Isolasi senyawa aktif diawali dengan pencarian fase bergerak yang cocok (menggunakan metode Thin Layer Chromatography - TLC) yang akan digunakan pada kolom kromatografi, dengan fase diam silica gel C60F254 (Supriyono, 1997). Ekstrak etil asetat dilarutkan ke dalam 4 ml larutan (fase bergerak) yang terdiri dari etil asetat, metanol, dan air dengan perbandingan 100 : 13,3 : 10 kemudian diaplikasikan ke dalam kolom. Kolom kromatografi yang digunakan memiliki diameter 5 cm dan tinggi 50 cm. Kecepatan aliran diatur sekitar 2 sampai 3 ml dalam 5 menit. Fraksi-fraksi yang dihasilkan ditampung dalam tabung reaksi dan diuji dengan metode TLC. Fraksi yang sama dikelompokan menjadi satu dan dikeringkan dengan rotavapor. Setiap kelompok fraksi diuji aktivitasnya terhadap larva S.litura dengan metode feeding dietary bioassay menggunakan makanan buatan (Supriyono 1997). Konsentrasi masing-masing fraksi yang ditambahkan pada makanan buatan adalah 2,5 mg/ml pelarut aseton. Fraksinasi lanjutan menggunakan kolom kromatografi dengan fase diam sephadex LH20 dan fraksi bergerak metanol. Senyawa tunggal aktif yang dihasilkan diuji kemurniannya menggunakan High Performance Liquid Chromatography (HPLC) dan dikarakterisasi sifat kimianya (Supriyono, 1997).
D. Karakterisasi Senyawa Aktif Karakterisasi senyawa aktif mencakup deteksi senyawa-senyawa: phenol, triterpenoids, alkaloid, saponin dan asam lemak dengan metode thin layer chromatografi (TLC). Pengujian dilakukan menggunakan fase diam berupa alumunium sheet silica gel C60 F254 dan fase bergerak berupa etil asetat, metanol, dan air dengan perbandingan 100 : 13,3 : 10. Spot yang terbentuk direaksikan dengan reagen semprot, reaksi positif ditandai dengan munculnya warna tertentu. Hasil TLC sebelumnya diamati pada panjang gelombang 254 nm untuk mendeteksi keberadaan gugus kromofor dan 366 nm untuk mendeteksi keberadaan senyawa fluorosens. Deteksi senyawa phenol dilakukan dengan menyemprotkan reagen FeCl3 pada TLC plate. Reaksi positif yang mengindikasikan kandungan phenol ditandai dengan pembentukan warna hijau, merah ungu, biru atau hitam (Harborne 1987).
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
111
Deteksi senyawa triterpenoid dilakukan dengan mereaksikan hasil kromatografi dengan reagen semprot anisaldehid-asam sulfat. Reagen dibuat dengan melarutkan 0,5 ml anisaldehid dalam 10 ml asam asetat glasial kemudian ditambahkan dengan 85 ml metanol dan 5 ml asam sulfat. Reagen disemprotkan pada permukaan kromotogram dan dipanaskan selama 5 sampai 10 menit pada 100 °C (Oleszek et al. 2007). Munculnya spot berwarna violet hingga biru tua mengindikasikan keberadaam senyawa triterpenoid. Senyawa alkaloid dideteksi dengan menggunakan reagen Dragendroff. TLC plate lebih dulu dikembangkan dengan fase bergerak kemudian dikeringkan. TLC plate disemprot dengan reagen Dragendroff’s. Munculnya spot berwarna oranye mengindikasikan keberadaan senyawa alkaloid (Sindhu 2011). Deteksi senyawa saponin dilakukan dengan mengembangkan TLC plate pada fase bergerak kemudian dikeringkan. Plate lalu disemprot dengan vanillin 1% dan asam sulfat 5% dan dikeringkan pada suhu 110 °C selama beberapa menit. Keberadaan senyawa saponin ditandai dengan spot berwarna biru tua hingga hitam (Sindhu 2011). Untuk mendeteksi senyawa asam lemak, TLC plate dikembangkan dengan fase bergerak kemudian dikeringkan. Plate kemudian disemprot dengan larutan potassium permanganat yang dilarutkan dalam alkohol (5% w/v). Spot berwarna coklat tua mengindikasikan keberadaan senyawa asam lemak (Sindhu 2011).
E. Uji Daya Inhibisi terhadap Enzim Asetilkoline Esterase Daya inhibisi kelima ekstrak terhadap enzim asetilkolin esterase dilakukan secara in vitro dengan mereaksikan senyawa dengan enzim asetilkolin esterase, substrat, dan beberapa senyawa buffer kemudian mengukur aktivitas inhibitor dari senyawa tersebut. Pengujian dilakukan menggunakan metode Ellman assay (Ellman et al. 1961). Metode uji tersebut berdasarkan pada hidrolisis dari acetylcholine iodide oleh enzim asetilkolin esterase yang akan menghasilkan 5thio-2-nitrobenzoate anion. Anion tersebut akan membentuk kompleks dengan 5,5-dithiobis(2-nitrobenzoic acid) yang menghasilkan warna kuning. Perubahan warna akan deteksi dengan spektrofotometer (Ellman et al. 1961).
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
112
Pengujian dilakukan di dalam 96 well plate (Axygen BioScience, Inc., CA, USA) yang diisi dengan tiga jenis larutan yaitu blanko, enzim-substrat dan sampel-enzim-substrat. Larutan blanko berisi 25 µl acetylcholine iodide (AcHI) 15 mM (Sigma Chemical Co., St. Louis, MO, USA); 25 µl buffer pH 8; 75 L bovine serum albumin (BSA; Sigma Chemical Co., St. Louis, MO, USA) 0,1 % (w/v dalam buffer tris HCl pH 8) dan 125 L 5,5-dithiobis[2-nitrobenzoic acid] (DTNB; Sigma Chemical Co., St. Louis, MO, USA) 3 mM. Larutan enzim substrat terdiri 25 L AcHI 15 mM; 25 µl buffer pH 8; 50 L BSA 0,1 %; 125 L DTNB 3 mM dan 25 µl enzim asetilkolin esterase 0,28 U/ml. Larutan sampelenzim-substrat terdiri dari 25 L sampel (ekstrak uji) 100 ppm; 25 L AcHI 15 mM; 50 L BSA 0,1 %; 125 L DTNB 3 mM dan 25 L enzim asetilkolin esterase 0,28 U/ml. Setelah reaksi dibiarkan selama 30 menit, dilakukan pengukuran absorbansi menggunakan ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay) reader (Biotek Elx800, BioTek Instruments, Inc., USA) pada panjang gelombang 400 nm selama 8 menit. Aktivitas enzim (%) dan aktivitas inhibisi (%) dihitung berdasarkan rumus (Ellman et al. 1061): Inhibisi terhadap enzim (%) = 100 – aktivitas enzim (%) Aktivitas enzim (%) = 100 x V/V maksimum dengan V maksimum adalah aktivitas enzim tanpa senyawa inhibitor
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pra Formulasi: Pemilihan Adjuvant dalam Formulasi Bioinsektisida Hasil uji kelarutan ekstrak aktif pada beberapa pelarut (aseton, etil asetat dan metanol) menunjukkan bahwa aseton memiliki daya melarutkan terbaik untuk kelima ekstrak aktif. Aseton selanjutnya dipilih untuk digunakan sebagai pelarut dalam formulasi. Hasil yang diperoleh dari penentuan komposisi dan konsentrasi beberapa senyawa surfaktan dan sticker agent dapat dilihat pada tabel III.1.
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
113
Tabel III.1. Hasil pengujian komposisi dan konsentrasi beberapa senyawa surfaktan dan sticker agent No.
Aseton (ml)
PEG 4000 (g) 0
Tween 80 (ml)
1
PEG 6000 (g) 0,5
2
Tween 20 (ml) 0
1.
Hasil
2.
1
0
0,5
0
2
Foaming +++; pelekatan pada daun ++
3.
1
0,5
0
0
2
Foaming +++; pelekatan pada daun +++
4.
1
0
0,5
2
0
Foaming +++; pelekatan pada daun +
5.
1
0
0,5
0
1
Foaming +++; pelekatan pada daun ++
6.
1
0
0,5
1
0
Foaming +++; pelekatan pada daun +++
7.
1
0,5
0
1
0
Foaming ++; pelekatan pada daun ++++
8.
1
0,5
0
0
1
Foaming ++; pelekatan pada daun ++
Foaming ++++ ; pelekatan pada daun ++++
Hasil dari uji komposisi dan konsentrasi beberapa senyawa surfaktan dan sticker agent pada pra formulasi menunjukkan bahwa kombinasi dari 1 ml surfaktan Tween 80; 0,5 g sticker agent PEG 6000 dan 1 ml pelarut aseton dalam total 10 ml larutan (diperoleh dengan penambahan akuades hingga volume 10 ml) menghasilkan formulasi terbaik. Uji pembentukan busa menghasilkan busa yang tidak terlalu banyak dan busa menghilang setelah dibiarkan selama 1 jam. Hasil uji pelekatan pada daun (gambar III.3) menunjukkan bahwa tidak ada sisa larutan yang menetes dan larutan masih tetap melekat pada daun setelah didiamkan selama 24 jam, dan tetap melekat setelah 48 jam (ditunjukan dengan permukaan daun yang terlihat mengkilat). Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa adjuvant yang dipilih dan selanjutnya digunakan dalam proses formulasi akan membantu meningkatkan aktivitas formulasi bioinsektisida.
B. Formulasi: Stabilitas dan Efektivitas Formulasi Bioinsektida Formulasi bioinsektisida dibuat dengan volume akhir 10 ml (dengan penambahan akuades), berdasarkan hasil pra formulasi. Jenis dan komposisi dari bahan aktif, pelarut, surfaktan, dan sticker agent yang digunakan adalah sebagai berikut: 50 mg ekstrak etil asetat (konsentrasi akhir 5 mg/ml = 5% w/v formulasi) dalam 1 ml (10% v/v) pelarut aseton; 0,1 ml/ml (10% v/v) surfaktan Tween 80 dan 0,05 g/ml (5% w/v) sticker agent PEG 6000. Hasil uji stabilitas dari proses formulasi menunjukkan bahwa formulasi yang dihasilkan sangat stabil. Seluruh
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
114
ekstrak aktif larut sempurna dan tidak terjadi pengendapan setelah dibiarkan selama 24 jam (gambar III.1). Formulasi yang dihasilkan bahkan tidak menunjukkan adanya pengendapan setelah dibiarkan selama 1 bulan.
Gambar III.1. Kondisi formulasi setelah dibiarkan selama 24 jam Keterangan: formulasi berbahan aktif ekstrak: (a) E. nidulans BPPTCC 6038; (b) E. nidulans BPPTCC 6035; (c) A. flavus; (d) A. tamarii; (e) A. versicolor; (f) kontrol positif deltametrin.
Gambar III.2. Kondisi formulasi setelah dibiarkan selama 30 hari Keterangan: formulasi berbahan aktif ekstrak: (a) E. nidulans BPPTCC 6038; (b) E. nidulans BPPTCC 6035; (c) A. flavus; (d) A. tamarii; (e) A. versicolor; (f) kontrol positif deltametrin. Hasil pengukuran pH terhadap formulasi bioinsektisida (tabel III.2) menunjukkan bahwa kelima formulasi bioinsektisida yang dihasilkan bersifat asam. Kelima formulasi memiliki tingkat keasaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan insektisida komersial. Setelah dibiarkan selama 14 hari pH cenderung mengalami sedikit penurunan, berkisar antara 0,01 sampai dengan 0,04. Kontrol positif deltametrin juga mengalami perubahan pH sebesar 0,01.
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
115
Tabel III.2. Hasil pengukuran pH formulasi bioinsektisida No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Ekstrak aktif E. nidulans (BPPTCC 6038) E. nidulans (BPPTCC 6035) A. flavus A. tamarii A. versicolor Deltametrin 25 EC (kontrol)
pH awal 3,94 3,60 3,67 3,77 3,81 4,85
pH setelah 14 hari 3,93 3,58 3,64 3,75 3,77 4,84
Perubahan pada tingkat keasaman dapat menjadi indikator terjadinya perubahan struktur kimia yang berhubungan dengan aktivitas senyawa (Friedman dan Jurgens 2000). Perubahan yang relatif kecil pada pH setelah formulasi dibiarkan selama 14 hari mengindikasikan stabilitas dari bahan aktif formulasi bioinsektisida. Tingkat keasaman (pH) yang rendah merupakan salah satu hal yang diperhatikan pada insektisida. Insektisida yang mengandung bahan aktif dengan pH yang tinggi biasanya ditambahkan dengan acidifying agents seperti citric acid, oxalic acid, sulphonic acid, dan tartaric acid untuk menurunkan pH (El-Sisi et al. 2011). Tingkat keasaman yang rendah akan mengurangi pertumbuhan mikroba yang dapat merusak insektisida (El-Sisi et al. 2011). Senyawa aktif dengan pH rendah umumnya akan mengalami peningkatan penyerapan oleh daun akibat dari peningkatan jumlah bentuk molekul lipofilik (Wang dan Liu 2007). Hasil pengukuran pH (tabel III.2) menunjukkan bahwa kelima formulasi bioinsektisida memiliki pH yang rendah, berkisar antara 3,60 sampai 3,94; lebih rendah dari insektisida komersial deltametrin (4,85). Hal tersebut menunjukkan keunggulan dari formulasi bioinsektisida dalam penelitian ini berupa tidak diperlukannya penambahan acidifying agents untuk mencegah deteriorasi oleh mikroorganisme. Hasil pengukuran panjang gelombang maksimum formulasi bioinsektisida (tabel III.3) menunjukkan kisaran spektrum yang berbeda dari kelima formulasi. Kelima formulasi memiliki lebih dari dua panjang gelombang maksimum yang mengindikasikan keberadaan lebih dari satu senyawa yang terkandung dalam tiap ekstrak yang digunakan sebagai bahan aktif. Kontrol positif deltametrin yang mengandung bahan aktif berupa senyawa murni hanya memiliki satu panjang gelombang maksimum. Panjang gelombang maksimum dari kelima formulasi
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
116
tidak mengalami perubahan setelah formulasi dibiarkan selama 14 hari, mengindikasikan formulasi yang dihasilkan bersifat stabil.
Tabel III.3. Hasil pengukuran panjang gelombang maksimum formulasi bioinsektisida No.
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kode ekstrak aktif
E. nidulans (BPPTCC 6038) E. nidulans (BPPTCC 6035) A. flavus A. tamarii A. versicolor Deltametrin 25 EC (kontrol)
Panjang gelombang maksimum awal
Panjang gelombang maksimum setelah 14 hari
218 dan 297
218 dan 297
219; 234; 301; dan 365
219; 234; 301; dan 365
227; 240; dan 297 297 dan 394 215 dan 303 298
227; 240; dan 297 297 dan 394 215 dan 303 298
Tidak terjadinya perubahan pada panjang gelombang maksimum memperkuat hasil yang diperoleh dari pengukuran pH. Panjang gelombang maksimum yang tidak berubah mengindikasikan tidak terjadi perubahan senyawa. Tiap senyawa memiliki panjang gelombang maksimum tertentu yang dihasilkan dengan adanya struktur tertentu pada senyawa tersebut (Reusch 2013). Tidak adanya perubahan panjang gelombang pada suatu senyawa mengindikasikan tidak adanya perubahan struktur pada senyawa tersebut (Reusch 2013). Hal tersebut mendukung indikasi bahwa kelima formulasi yang dihasilkan relatif stabil. Hasil uji pelekatan formulasi pada daun (gambar III.3) menunjukkan bahwa formulasi yang dihasilkan dapat melekat dengan baik pada daun. Setelah diaplikasikan pada daun dan dibiarkan selama 24 jam, formulasi masih melekat dan tidak menetes dari daun, ditandai dengan daun yang terlihat tetap lembab dan mengkilat. Hal tersebut menunjukkan bahwa jenis dan konsentrasi adjuvant yang digunakan dalam formulasi sudah tepat.
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
117
Gambar III.3. Hasil uji pelekatan formulasi pada daun setelah dibiarkan selama 24 jam (no. 1-2, bagian abaksial daun; no. 3-4 bagian adaksial daun) Formulasi yang dapat menyebar dan melekat dengan baik pada daun (drop retention) sehingga tidak mudah tercuci oleh air merupakan persyaratan yang penting bagi produk insektisida terutama yang diaplikasikan pada permukaan daun (Jorgenson dan Young 2010). Penyebaran dan pelekatan insektisida pada daun sangat tergantung pada jenis tumbuhan dan senyawa kimia terutama adjuvant yang terkandung dalam insektisida (Wang dan Liu 2007). Adjuvant ditambahkan ke dalam produk insektisida pada saat formulasi atau pada saat aplikasi untuk meningkatkan performa dari insektisida tersebut (Fishel 2013). Pada penelitian ini, surfaktan yang digunakan dalam formulasi adalah Tween 80 (polyoxyethylene sorbitanmonooleate) dengan konsentrasi 1 ml/10 ml formulasi atau 10% (v/v). Hasil pengujian stabilitas yang menggunakan perubahan pH dan panjang gelombang maksimum sebagai indikator (tabel III.2 dan III.3) menunjukkan bahwa formulasi yang dihasilkan cukup stabil, mengindikasikan efektivitas dari Tween 80 sebagai surfaktan. Fungsi dari surfaktan antara lain adalah untuk mencegah terbentuknya endapan kristal pada droplets insektisida (Wang dan Liu 2007). Penambahan Tween 20 pada formulasi insektisida mengakibatkan pembentukan deposit bersifat amorf yang tidak mengalami pengkristalan (Wang dan Liu 2007) . Daun yang tetap terlihat lembab setelah aplikasi formulasi, bahkan setelah 24 jam, menunjukkan bahwa Tween 80 cukup efektif untuk memperlambat proses pengeringan droplets formulasi. Surfaktan yang efektif akan meningkatkan kontak antara droplets insektisida dengan permukaan daun, terutama yang memiliki lapisan lilin; dan memperlambat proses pengeringan droplets insektisida (Wang dan Liu 2007). Surfaktan akan menurunkan tegangan permukaan cairan sehingga mencegah insektisida menetes dari permukaan daun yang mengandung lapisan lilin (Byers et al. 1990).
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
118
Tween 80 merupakan surfaktan yang digolongkan sebagai surfaktan non ionik. Sifat dari surfaktan non ionik antara lain meningkatkan pelekatan pada daun (leaf retention), meningkatkan adesi pada daun, dan secara umum meningkatkan efektivitas dari senyawa aktif (Cserhati 1995). Mayoritas dari formulasi insektisida mengandung surfaktan non ionik (Cserhati 1995). Pemilihan Tween sebagai surfaktan pada penelitian ini antara lain didasarkan hasil-hasil penelitian yang menunjukkan bahwa Tween 80 dapat meningkatkan efektivitas insektisida. Penelitian yang dilakukan oleh Saberfar dan Sheikhi (2010) melaporkan bahwa Tween yang digunakan sebagai surfaktan dalam insektisida Abamectin memiliki efek sinergis terhadap insektisida tersebut. Penambahan Tween menyebabkan peningkatan efektivitas dari insektisida yang menyebabkan peningkatan mortalitas larva. Penelitian lain (Jazzari dan Hammad 2003) melaporkan bahwa aktivitas insektisida dari ekstrak daun dan buah Melia azedirachta terbukti meningkat dengan penambahan Tween-20. Peningkatan aktivitas tersebut terjadi karena Tween meningkatkan absorbsi senyawa aktif melalui kutikula berlilin dari serangga dan terhadap sel-sel parenkim dari tumbuhan inang (Jazzari dan Hammad 2003). Penelitian yang dilakukan oleh Mangan dan Moreno (2001) melaporkan bahwa Tween 60 meningkatkan toksisitas senyawa phloxine B pada lalat buah Mexico (Anastrepha ludens) melalui peningkatan mortalitas larva. Hal lain yang mendasari pemilihan Tween 80 sebagai surfaktan adalah penelitian-penelitian yang melaporkan bahwa Tween bersifat ramah lingkungan. Surfaktan non ionik secara umum lebih mudah terurai dan terdekomposisi di alam (Cserhati 1995). Menurut penelitian, mikroflora yang terdapat pada tumbuhan akuatik dapat mendekomposisi 30 sampai 40% surfaktan non ionik dalam waktu 30 hari (Cserhati 1995). Penelitian yang dilakukan oleh Ciarlo et al. (2012) menunjukkan bahwa surfaktan dari kelompok organosilikon terbukti mengganggu proses olfactory learning pada lebah madu sehingga menimbulkan Colony Collapse Disorder (CCD). Surfaktan dari kelompok non ionik tidak terlalu mempengaruhi proses olfactory learning tersebut sehingga direferensikan lebih aman dibanding dengan surfaktan organosilikon (Ciarlo et al. 2012).
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
119
Pemilihan surfaktan yang dapat berperan sebagai barrier untuk mencegah perpindahan senyawa insektisida ke lingkungan yang lebih luas bahkan hingga ke badan air menjadi salah satu prioritas dalam formulasi insektisida yang ramah lingkungan (Hernandez-Soriano et al. 2009; Gonzalez et al. 2010). Tween 80 terbukti meningkatkan desorbsi kebanyakan pestisida oleh tanah, mirip dengan senyawa eksudate sodium citrate dan oxalate yang dihasilkan oleh akar tumbuhan (Gonzalez et al. 2010; Mittona et al. 2012). Menurut Hernandez-Soriano et al.
(2007), sebagian dari Tween 80 akan diadsorbsi oleh mineral tanah dan sebagian lagi tidak. Kondisi tersebut menyebabkan Tween 80 berfungsi sebagai medium hidrofobik yang akan menahan pestisida yang bersifat hidrofobik pada tanah (Hernandez-Soriano et al. 2007). Surfaktan non ionik lain seperti TritonX-100 diadsorbsi seluruhnya oleh mineral tanah sehingga memiliki daya retensi terhadap pestisida yang kurang baik dibanding dengan Tween 80 (Mittona et al. 2012). Faktor lain yang menjadi syarat bagi surfaktan ramah lingkungan adalah efek surfaktan tersebut terhadap organisme non target. Tween 80 terbukti meningkatkan proses fermentasi pada rumen ternak (Wang et al. 2004). Di dalam rumen, Tween 80 akan meningkatkan afinitas enzim – substrat dan meningkatkan pelepasan enzim dari sel mikroorganisme akibat peningkatan permeabilitas membran (Wang et al. 2003). Di luar rumen, Tween 80 akan meningkatkan kelembaban pada daun sehingga meningkatkan kolonisasi mikroorganisme pada daun, dan jumlah peningkatan mikroorganisme pada pakan ternak akan membantu proses fermentasi pada rumen (Wang et al. 2004). Berdasarkan fakta tersebut, Tween 80 terbukti aman bila dikonsumsi oleh ternak dan hewan herbivor lainnya. Beberapa produk bioinsektisida menggunakan Tween sebagai surfaktan. Abamectin yang diklaim sebagai bioinsektisida ramah lingkungan, bersifat non toksik bagi organisme non target menggunakan Tween sebagai surfaktan. Penggunaan Tween sebagai adjuvant dalam insektisida tersebut menyebabkan rendahnya residu bioinsektisida Abamectin di biosfer (Saberfar dan Sheikhi 2010). Poly ethylene glycol (PEG) dipilih sebagai sticker agent karena senyawa polyglycol dapat berfungsi sebagai sticker dan emulsifier. Adjuvant pada beberapa insektisida komersial seperti Agaristik 400 L mengandung polyglycol
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
120
yang berfungi sebagai emulsifier sekaligus sticker agent (Dadang et al. 2009). Beberapa produk adjuvant untuk pestisida seperti Dehydol, Emulgin, dan Genapol merupakan produk yang menggunakan senyawa berbahan dasar PEG dengan konsentrasi beragam. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Genapol meningkatkan penyerapan senyawa aktif insektisida oleh daun (Cronfeld et al. 2001). PEG 400 menunjukkan tingkat penyerapan senyawa oleh daun yang hampir setara dengan Genapol dan beberapa adjuvant lainnya (Cronfeld et al. 2001).
C. Uji aktivitas Formulasi Bioinsektida terhadap Larva S. litura Hasil uji aktivitas formulasi terhadap larva neonate S. litura (tabel III.4) menunjukkan persentase mortalitas larva meningkat setiap hari dan pada hari ketujuh persentase mortalitas larva mencapai 100%. Hasil uji aktivitas formulasi terhadap larva instar III S. litura (tabel III.5) menunjukkan persentase mortalitas larva juga meningkat setiap hari. Pada hari kesembilan persentase mortalitas yang dihasilkan oleh formulasi dengan kandungan zat aktif berupa ekstrak E. nidulans (BPPTCC 6035), A. flavus, dan A. tamarii mencapai 100%. Persentase mortalitas sebesar 100% dari dua formulasi lain dihasilkan pada hari kedua belas, sama dengan yang dihasilkan oleh kontrol positif deltametrin.
Tabel III.4. Pengaruh formulasi bioinsektisida terhadap mortalitas rata-rata larva neonate S. litura Ekstrak kapang E.nidulans (BPPTCC 6038)
E.nidulans (BPPTCC 6035)
A.flavus A.tamarrii A.versicolor Kontrol + (Deltametrin) Kontrol -
Hari ke 2 65,00+7,64
Mortalitas larva rata-rata (%)+SE Hari ke 4 Hari ke 5 Hari ke 6 75,00+11,55 83,33+12,02
Hari ke7
90,00+7,64
100,00+0,00
70+5,77
85,00+5,77
100,00+0,00
63,33+4,41 70,00+5,77 78,33+4,41
81,67+4,41 80,00+2,89 93,33+6,7
100,00+0,00 100,00+0,00 100,00+0,00
100,00+0,00 100,00+0,00 100,00+0,00 100,00+0,00
100,00+0,00
46,67+11,54 53,33+15,28 51,67+1,67 46,67+4,41 65,00+5,99
0
61,67+6,00 58,33+4,41 75,00+7,64
0
0
0
0
Keterangan: Mean dari tiga replikasi + SE (Standar Eror); 20 larva per perlakuan
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
121
Tabel III.5. Pengaruh formulasi bioinsektisida terhadap mortalitas rata-rata larva instar III S. litura Mortalitas larva rata-rata (%)+SE Kode ekstrak
Hari ke 2
Hari ke 3
Hari ke 4
Hari ke 5
Hari ke 6
Hari ke7
Hari ke 8
Hari ke 9
Hari ke 11
Hari ke 12
E. nidulans (BPPTCC 6038) E. nidulans (BPPTCC 6035) A. flavus
13,33+3.33
13,33+5,8
36,68+12,02
70,00+5,77
80,00+5,77
90,00+0,00
90,00+0,00
96,67+3,33
96,67+3,33*
100,00+0,00
43,33+12,02
43,33+12,02
50,00+15,28
56,67+14,53
70,00+5,77
80,00+5,77
86,67+3,33
100,00+0,00 100,00+0,00
100,00+0,00
40,00+10,00
40,00+10,00
46,67+3,33
56,67+6,67
60,00+5,77
83,33+3,33
96,67+3,33
100,00+0,00 100,00+0,00
100,00+0,00
A. tamarii
30,00+10,00
30+10,00
36,67+8,82
53,33+12,02
76,67+6,67
100,00+0,00
100,00+0,00 100,00+0,00 100,00+0,00
100,00+0,00
A. versicolor
33,33+3,33
33,33+3,33
33,33+3,33
43,33+3,33
80,00+5,77
90,00+5,77
93,33+3,33
96,67+3,33
96,67+3,33*
100,00+0,00
Kontrol +
23,33+14,53
23,33+14,53
23,33+14,53
30,00+10,00
46,67+3,33
56,67+6,67
66,67+3,33
76,67+6,67
80,00+5,77*
100,00+0,00
Kontrol -
0
0
0
0
0
0 (Pupa)
0 (Pupa)
0
0
0
Keterangan: Mean dari tiga replikasi + SE (Standar Eror); *larva yang hidup mulai menjadi pupa tapi tidak sempurna dan mati pada hari berikutnya; kontrol + deltametrin 25 EC; 20 larva per perlakuan
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
122
Aktivitas insektisida hasil formulasi terhadap larva neonate S. litura (tabel III.4) menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan terhadap larva instar III (tabel III.5). Pada hari hari kedua, uji aktivitas formulasi terhadap larva neonate menunjukkan kisaran mortalitas sebesar 46,67% sampai 65% sedangkan terhadap larva instar III hanya sebesar 13,33% sampai 43,33%. Mortalitas sebesar 100% terhadap larva neonate dicapai pada hari ketujuh sedangkan mortalitas 100% terhadap larva instar III dicapai mulai hari ketujuh sampai hari kedua belas. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan pada tahapan larva (larval stage) yang berkorelasi dengan berat larva (Bengochea et al. 2014). Penelitian menunjukkan aktivitas insektisida komersial emamektin benzoat sangat dipengaruhi oleh umur larva uji yang berkorelasi dengan berat dan stadium larva (Bengochea et al. 2014). Larva dengan bobot yang lebih besar membutuhkan konsentrasi insektisida yang lebih tinggi untuk menyebabkan mortalitas. Hormesis, suatu fenomena ketika dosis senyawa aktif yang rendah bersifat sebagai stimulus dan dosis yang tinggi bersifat sebagai inhibitor, kemungkinan menjadi penyebab perbedaan efektivitas formulasi tersebut (Sun et al. 2013). Larva neonate dengan berat badan yang rendah hanya membutuhkan dosis bahan aktif formulasi bionsektisida yang rendah untuk dapat terekspresikan sebagai inhibitor. Larva instar III dengan berat badan yang lebih tinggi membutuhkan dosis bahan aktif bioinsektisida yang lebih tinggi untuk dapat terekspresikan sebagai inhibitor (Sun et al. 3013). Jumlah formulasi dan bahan aktif bioinsektisida yang diaplikasikan pada daun sebagai pakan larva adalah sama (200 µl formulasi dengan konsentrasi bahan aktif 5 mg/ml) untuk perlakuan terhadap larva neonate dan larva instar III. Untuk mencapai dosis yang bersifat sebagai inhibitor, larva instar III membutuhkan jumlah formulasi bioinsektisida yang lebih banyak dibandingkan dengan larva neonate. Dengan demikian, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai jumlah dosis tersebut lebih lama dibandingkan dengan yang dibutuhkan oleh larva neonate. Waktu yang dibutuhkan oleh formulasi bioinsektisida untuk menyebabkan mortalitas 100% terhadap larva neonate lebih cepat (tujuh hari) dibandingkan terhadap larva instar III (tujuh sampai dua belas hari).
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
123
Deltametrin 25 EC memiliki aktivitas insektisida yang lebih tinggi terhadap larva neonate dibandingkan dengan kelima formulasi bioinsektisida. Mortalitas sebesar 100% dicapai oleh deltametrin pada hari kedua (tabel III.4). Hasil uji terhadap larva instar III (tabel III.5) menunjukkan hasil yang berlawanan. Aktivitas kelima formulasi bioinsektisida terhadap stadium larva instar III lebih tinggi dibandingkan dengan deltametrin. Hingga hari keempat deltametrin hanya menyebabkan mortalitas larva sebesar 23,33%, sedangkan kelima formulasi bioinsektisida menyebabkan mortalitas larva sebesar 33,33 – 50%. Mortalitas sebesar 100% baru dicapai oleh deltametrin pada hari kedua belas, sedangkan beberapa formulasi bioinsektisida sudah menghasilkan 100% mortalitas pada hari kesembilan. Deltametrin adalah inseksitida dari golongan pyrethroid yang bekerja sebagai racun saraf setelah kontak atau tercerna oleh serangga (National Pesticides Information Center 1999). Aktivitas insektisida tersebut sebagai racun saraf sangat efektif terhadap larva neonate yang berukuran kecil dibandingkan dengan larva instar III. Kelima formulasi insektisida yang dihasilkan dalam penelitian ini memiliki bahan aktif dengan aktivitas insektisida yang beragam, antara lain sebagai racun lambung, racun kontak, racun saraf, dan menghambat perkembangan larva. Efek sinergis yang dihasilkan oleh berbagai aktivitas insektisida dalam bahan aktif kelima formulasi menjadi lebih efektif ketika diaplikasikan pada stadium larva yang lebih tinggi. Hal tersebut menunjukkan potensi insektisida kelima formulasi yang lebih baik dibandingkan dengan deltametrin.
D. Karakterisasi Senyawa dan Fraksi Aktif Hasil fraksinasi terhadap ekstrak yang menunjukkan aktivitas insektisida terbaik (E. nidulans BPPTCC 6038) menghasilkan tujuh fraksi (gambar III.4). Hasil uji aktivitas fraksi-fraksi ekstrak tersebut terhadap larva neonate S. litura (tabel III.6) menunjukkan persentase mortalitas tertinggi dihasilkan oleh fraksi no.6.
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
124
Gambar III.4. Hasil fraksinasi terhadap ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang E. nidulans (BPPTCC 6038)
Tabel III.6. Hasil uji aktivitas fraksi-fraksi ekstrak E. nidulans (BPPTCC 6038) terhadap larva neonate S. litura (konsentrasi 2,5 mg/ml) No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Kode fraksi
1 2 3 4 5 6 7 Kontrol Kontrol +
Mortalitas rata-rata (%)+SE 88,33+4,41a 96,67+1,67a 93,33+3,33a 96,67+1,67a 95,00+2,89a 98,33+1,67a 85,00+5,00a 0 98,33+1,67a
Berat larva rata-rata (mg) +SE 11,3+3,4ab 3,3+2,8ab 0,67+0,33ab 0,67+0,33ab 4,7+2,4ab 0,67+0,67a 21+9,8b 145,7+6,2c 0,33+0,33a
Pakan habis ratarata (g) +SE 3,99+0,07ab 3,71+0,07ab 3,57+0,09ab 3,62+0,09ab 4,39+0,17b 4,05+0,23ab 3,78+0,22ab 3,25+0,20a 3,85+0,27ab
Keterangan: kontrol + Deltametrin 25 EC; *rata-rata dari tiga replikasi; SE = Standar Eror; huruf yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan berdasarkan analisis Tukey HSD test dengan α = 0,05 a,b,c
Hasil analisis HPLC lebih lanjut terhadap fraksi no.6 menunjukkan bahwa fraksi 6 merupakan senyawa tunggal (gambar III.5), diperkuat dengan hasil
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
125
pengukuran panjang gelombang maksimum (399,57) nm yang menunjukkan satu gugus kromofor.
Gambar III.5. Hasil analisis HPLC terhadap fraksi no. 6 dan panjang gelombang maksimum dari fraksi tersebut (panjang gelombang 399,57 nm)
Hasil karakterisasi fraksi no 6 dengan metode thin layer chromatography (TLC) yang direaksikan dengan reagen semprot menunjukkan bahwa senyawa tersebut tergolong dalam kelompok senyawa triterpenoid yang mengandung saponin (gambar III.6). Keberadaan triterpenoid diperkuat dengan terdeteksinya gugus kromofor ketika diamati pada panjang gelombang 256 nm. TLC yang direaksikan dengan beberapa reagen semprot yang menandakan keberadaan senyawa lain menunjukkan reaksi negatif, dapat dilihat pada gambar III.7.
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
126
Gambar III.6. Hasil TLC fraksi no. 6 yang menunjukkan reaksi positif saat direaksikan dengan reagen semprot (1) anisaldehide; (2) vanilin dan(3) diamati pada panjang gelombang 256 nm
Gambar III.7. Hasil TLC fraksi no. 6 yang menunjukkan reaksi negatif saat direaksikan dengan reagen semprot (1) Dragendrof; (2) FeCl3 dan(3) KMnO4
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
127
Hasil karakterisasi dengan metode yang sama terhadap kelima ekstrak aktif menunjukkan kandungan senyawa-senyawa tertentu dalam setiap ekstrak, seperti terlihat pada tabel III.7. Hasil karakterisasi kelima ekstrak aktif menggunakan metode TLC yang dikombinasikan dengan reagen semprot dapat dilihat pada gambar III.8 dan deteksi keberadaan gugus kromofor serta senyawa tertentu pada kelima ekstrak ditampilkan pada gambar III.9.
Gambar III.8. Hasil TLC lima ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang yang menunjukkan reaksi positif dan negatif saat direaksikan dengan reagen semprot (1) anisaldehida; (2) Dragendrof; (3) FeCl3; (4) vanilin; (5) KMnO4.(spot 1: E. nidulans BPPTCC 6038; 2: A. versicolor; 3: A. tamarii; 4: A. flavus; 5: E.nidulans BPPTCC 6035)
Gambar III.9. Hasil TLC lima ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang yang menunjukkan keberadaan (1) gugus kromofor saat diamati pada panjang gelombang 254 nm dan (2) gugus fluoresens saat diamati pada panjang gelombang 365 nm (spot 1: E. nidulans BPPTCC 6038; 2: A. versicolor; 3: A. tamarii; 4: A. flavus; 5: E.nidulans BPPTCC 6035)
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
128
Tabel III.7. Hasil karakterisasi kimia lima ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang dan fraksi aktif dari ekstrak E. nidulans (BPPTCC 6038) No.
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Ekstrak kapang E. nidulans (BPPTCC 6038) A. versicolor A. tamarii A. flavus E. nidulans (BPPTCC 6035) Fraksi no.6 E. nidulans (BPPTCC 6038)
Kandungan senyawa Saponin
Triterpen
Alkaloid
Fenol
Asam lemak
Kromofor
Fluoresens
+
+
-
+
-
+
+
+ + + +
+ + + +
+ + + +
-
-
+ + + +
+ + + +
+
+
-
-
-
+
+
Keterangan: + : mengandung senyawa, - : tidak mengandung senyawa Hasil karakterisasi kimia ekstrak kapang (tabel III.7) menunjukkan bahwa semua ekstrak mengandung senyawa triterpenoid dan saponin. Untuk fraksi no. 6 yang merupakan senyawa tunggal, hal tersebut menunjukkan bahwa senyawa tersebut merupakan senyawa triterpenoid yang mengandung saponin. Adanya gugus kromofor pada fraksi tersebut (gambar III.6) mengindikasikan adanya karbon terkonjugasi yang merupakan ciri dari gugus triterpenoid. Kelima ekstrak lain juga mengandung senyawa triterpenoid dan saponin dengan gugus kromofor (gambar III. 8 dan gambar III. 9) yang memperkuat indikasi keberadaan senyawa tersebut. Empat ekstrak mengandung senyawa alkaloid dan hanya ekstrak dari E. nidulans (BPPTCC 6038) yang tidak mengandung alkaloid. Ekstrak E. nidulans (BPPTCC 6038) mengandung senyawa fenolik yang mengindikasikan kandungan flavonoid, diperkuat dengan adanya senyawa saponin, triterpenoid dan gugus kromofor yang merupakan bagian dari senyawa flavanoid. Struktur kimia dari senyawa-senyawa tersebut dapat dilihat pada gambar III.10 berikut:
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
129
Gambar III.10. Struktur kimia dari senyawa alkaloid, terpenoid, saponin, dan fenol Karakterisasi ekstrak kasar kapang menggunakan metode TLC yang direaksikan dengan reagen semprot terbukti cukup efektif untuk mendeteksi kandungan senyawa tertentu. Ekstrak kasar dari kapang endofit Aspergillus awamori, dengan aktivitas antioksidan, yang diisolasi dari tanaman Rauwolfia serpentine diketahui mengandung senyawa saponin, fenol, terpenoid, flavanoid dan glikosida, berdasarkan hasil reaksi dengan beberapa reagen (Nath et al. 2013). Ekstrak kasar dari E. nidulans yang diisolasi dari alga laut dilaporkan mengandung senyawa triterpenoid berdasarkan hasil analisis TLC yang direaksikan dengan reagen semprot anisaldehid (Hawas et al. 2012). Setelah difraksinasi dan dan dianalisis lebih lanjut terdapat lima senyawa triterpenoid, yaitu sterigmatocystin, emericellin, cordycepin, ergosterol peroxide, dan myristic acid. Penelitian yang dilakukan oleh Evans et al. (1985) melaporkan bahwa kapang Aspergillus nidulans menghasilkan senyawa triterpenoid yang selanjutnya diidentifikasi senbagai P-amyrin. Metabolit sekunder pada fungi umumnya terbagi menjadi empat golongan, yaitu alkaloid, non-ribosomal peptide, polyketide dan terpenoid (Kempken dan Rohlfs 2010). Beberapa penelitian melaporkan bahwa senyawa saponin, triterpenoid dan fenol merupakan golongan senyawa yang dihasilkan oleh kapang Aspergillus (Evans et al. 1985; Hawas et al. 2012; Nath et al. 2013; Rohfls 2015).
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
130
Senyawa-senyawa dari golongan terpenoid, alkaloid, flavonoid, dan fenol pada umumnya memiliki aktivitas insektisida (Thakur et al. 2013; Nath et al. 2013; Rohfls 2015). Senyawa terpenoid yang dihasilkan oleh Aspergillus nidulans diketahui memperkecil ukuran serangga Drosophila melanogaster yang mengkonsumsi metabolit sekunder tersebut (Rohfls 2015). Senyawa terpenoid merupakan hormon juvenile yang dijumpai pada serangga artropoda. Keberadaan senyawa terpenoid dalam konsentrasi tinggi menyebabkan over ekspresi hormon juvenile pada serangga sehingga menghambat pertumbuhan serangga tersebut (Rohfls 2015). Berdasarkan hal tersebut, formulasi bioinsektisida dari kelima ekstrak etil asetat yang dihasilkan dari filtrat biakan lima kapang mangrove dalam penelitian ini, memiliki beberapa mode of action yang memberi efek sinergis terhadap mortalitas larva S. litura. Selain memiliki aktivitas sebagai neurotoksin, kandungan terpenoid dalam formulasi bioinsektida, kemungkinan juga menghasilkan aktivitas menghambat pertumbuhan larva dengan peningkatan kadar hormon juvenile.
E. Aktivitas Inhibisi Bahan Aktif Bioinsektisida terhadap Enzim Asetilkolin Esterase Hasil pengujian aktivitas inhibisi terhadap enzim asetilkolin esterase menunjukkan bahwa kelima ekstrak kapang dan fraksi aktif dari ekstrak kapang E. nidulans (BPPTCC 6038) menunjukkan aktivitas inhibisi terhadap enzim asetilkolin esterase pada konsentrasi 100 ppm (table III.8). Aktivitas inhibisi terhadap enzim asetilkolin esterase yang ditunjukan oleh kelima ekstrak dan fraksi aktif berkisar antara 40,71--48,94 %. Aktivitas tertinggi dihasilkan oleh ekstrak kapang A. tamarii (48,9%), walaupun tidak berbeda nyata dengan ekstrak E. nidulans BPPTCC 6038 (47,6%). Ekstrak yang dihasilkan oleh A. tamarii, E. nidulans BPPTCC 6038, dan A. versicolor menghasilkan aktivitas inhibisi yang tinggi, sehingga memiliki potensi sebagai racun saraf.
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
131
Tabel III.8. Aktivitas penghambatan lima ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang dan fraksi aktif dari ekstrak kapang E. nidulans (BPPTCC 6038) terhadap enzim asetilkolin esterase No.
Kapang penghasil ekstrak
Aktivitas inhibisi terhadap enzim asetilkolin esterase (%; mean + SE)* 1. E. nidulans (BPPTCC 6035) 40,80 + 0,17c 2. E. nidulans (BPPTCC 6038) 47,60 + 0,57ab 3. Fraksi 6 E. nidulans (BPPTCC 6038) 45,04 + 0,57a 4. A. versicolor 46,40 + 0,15a 5. A. tamarii 48,94 + 0,49b 6. A. flavus 40,71 + 0,32c 7. Eserin (kontrol +) 96,78 + 0,33d a,b,c,d *Rata-rata dari tiga replikasi; SE = Standar Eror; Huruf yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan berdasarkan analisis Tukey HSD test dengan α = 0,05
Enzim target merupakan hal penting dalam penelitian dan pengembangan insektisida baru. Asetilkolin esterase merupakan salah satu enzim target yang penting dalam metabolisme serangga dan merupakan target dari berbagai macam racun saraf (Ye et al. 2014). Asetilkolin esterase adalah enzim yang berperan dalam terminasi transmisi impuls saraf melalui hidrolisis asetilkolin, neurotransmitter yang berberan dalam sistem saraf (Colovic et al. 2013). Inhibisi terhadap enzim tersebut akan menyebabkan akumulasi dari asetilkolin yang berakibat pada hiperstimulasi dan pada akhirnya menyebabkan kerusakan pada neurotransmisi (Colovic et al. 2013). Beberapa golongan insektisida seperti organofosfat, karbamat dan piretroid mengandung senyawa aktif yang menghambat kerja enzim asetilkolin esterase (Alout et al. 2012; Colovic et al. 2013). Esterase inhibitor dalam insekisida tersebut akan menghambat hidrolisis asetilkolin pada proses neurotransmisi serangga, menyebabkan serangga terus bergerak hingga mengalami kematian akibat kelelahan (Pang et al. 2009; Alout et al. 2012). Aktivitas inhibisi terhadap enzim asetilkolin esterase umumnya dimiliki oleh turunan dari golongan senyawa alkaloid, terpenoid dan flavonoid (Pandey et al. 2014; Emameh et al. 2014). Hasil karakterisasi kelima ekstrak dan fraksi aktif menunjukan bahwa kelima ekstrak dan fraksi aktif mengandung senyawa triterpenoid dan empat ekstrak mengandung senyawa alkaloid, yang mendukung terdeteksinya aktivitas inhibisi terhadap enzim asetilkolin esterase.
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
132
Pengembangan senyawa berpotensi sebagai inhibitor asetilkolin esterase sebagai agen insektisida dan organisme perusak lain selalu menarik untuk dilakukan (Ye et al. 2014). Pada penelitian ini, kelima ekstrak menunjukkan aktivitas yang lebih rendah daripada enam derivat senyawa indoloterpen yang dilaporkan oleh Qiao et al. (2010). Penelitian tersebut melaporkan bahwa aktivitas inhibisi terhadap enzim asetilkolin esterase yang ditunjukkan oleh enam senyawa dari kapang endofit A. flavus tersebut berkisar antara 4 – 16,4% pada konsentrasi 100 μg/mL (0,1 ppm). Perbedaan tersebut terjadi antara lain karena ekstrak yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak kasar, bukan senyawa murni. Aktivitas penghambatan yang dihasilkan dalam penelitian ini (40,71— 48,94% pada konsentrasi 100 ppm) setara dengan aktivitas penghambatan yang ditunjukan oleh insektisida komersial paration dan metomil (Li et al. 2013). Aktivitas penghambatan yang dihasilkan oleh kedua insektisida tersebut kurang lebih sebesar 50% pada konsentrasi 0,1 mg/ml atau sebesar 100 ppm (Li et al. 2013). Beberapa insektisida komersial lain seperti karbosulfan, isoprokarb dan monokrotofos menunjukkan aktivitas penghambatan yang lebih rendah, yaitu kurang dari 20% pada konsentrasi 100 ppm (Li et al. 2013). Insektisida komersial tersebut menggunakan bahan aktif berupa senyawa murni, sedangkan ekstrak etil asetat yang diuji pada panelitian ini adalah ekstrak kasar yang merupakan campuran dari banyak senyawa. Hal tersebut mengindikasikan potensi kelima formulasi bioinsektisida, sebagai racun saraf dengan efektivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa insektisida komersial.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Formulasi bioinsektisida dengan bahan aktif berupa ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang tumbuhan mangrove dihasilkan dengan komposisi 5% (w/v) bahan aktif berupa ekstrak etil asetat filtrat biakan kapang; 10% (v/v) pelarut aseton; 10% (v/v) surfaktan Tween 80 dan 5% (w/v) sticker agent PEG 6000.
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
133
Formulasi yang dihasilkan bersifat stabil, diindikasikan dengan tidak terjadinya endapan, perubahan pH, dan panjang gelombang maksimum dari formulasi yang dibiarkan selama 14 hari. Kelima formulasi menunjukkan aktivitas insektisida terhadap larva neonate (mortalitas 46,67—65% pada hari kedua dan mencapai 100% pada hari ketujuh) dan instar III S. litura (mortalitas 13,33—43,33% pada hari kedua dan mencapai 100% pada hari ketujuh sampai hari kedua belas). Untuk aktivitas terhadap larva instar III S. litura, kelima formulasi menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan kontrol positif deltametrin 25 EC (mortalitas 23,33% pada hari kedua dan mencapai 100% pada hari kedua belas). Hasil karakterisasi terhadap bahan aktif berupa ekstrak etil asetat filtrate biakan kapang menunjukkan bahwa kelima ekstrak memiliki aktivitas inhibisi terhadap enzim asetilkolin esterase yang mengindikasikan aktivitas sebagai neurotoksin. Kelima ekstrak mengandung senyawa triterpenoid dan saponin; empat ekstrak mengandung senyawa alkaloid (kecuali ekstrak E. nidulans BPPTCC 6038) dan satu ekstrak (E. nidulans BPPTCC 6038) mengandung senyawa fenol. Hasil fraksinasi terhadap ekstrak E. nidulans (BPPTCC 6038) menghasilkan 7 fraksi dan satu fraksi (nomor 6) menunjukkan aktivitas insektisida tertinggi terhadap larva neonate S. litura. Hasil karakterisasi terhadap fraksi tersebut menunjukkan bahwa fraksi tersebut mengandung senyawa triterpenoid dan saponin. Aktivitas inhibisi terhadap enzim asetilkolin esterase mendukung hasil terdeteksinya senyawa triterpenoid dan alkaloid dalam ekstrak dan fraksi aktif, karena aktivitas penghambatan terhadap enzim asetilkolin esterase umumnya dimiliki oleh senyawa turunan triterpenoid, alkaloid dan flavanoid.
B. Saran Karakterisasi dan identifikasi terhadap senyawa yang terdapat dalam lima ekstrak aktif perlu dilakukan lebih mendalam. Deteksi keberadaan aflatoxin dalam lima ekstrak perlu dilakukan untuk menjamin keamanan dari formulasi bioinsektisida saat diaplikasikan di lingkungan. Deteksi aflatoxin dilakukan dengan membandingkan profil HPLC ekstrak dengan profil HPLC senyawa standar aflatoxin. Karakterisasi dan identifikasi terhadap senyawa aktif atau
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
134
mikotoksin yang dominan dalam ekstrak dilakukan dengan fraksinasi ekstrak diikuti dengan isolasi senyawa tunggal dan analisis senyawa tunggal dengan HPLC untuk menentukan kemurnian senyawa, Mass Spectroscopy (MS) untuk menentukan berat molekul dan Nuclear Magnetic Resonance (NMR) untuk menentukan struktur senyawa . Deteksi senyawa-senyawa tertentu yang bersifat sebagai insektisida akan memperjelas mode of action dari ekstrak aktif sehingga melalui optimasi proses ekstraksi dan formulasi akan diperoleh senyawa aktif dengan aktivitas insektisida yang optimum.
DAFTAR PUSTAKA
Alout H., P. Labbe, A. Berthomieu, L. Djogbenou L & J.P. Leonetti. 2012. Novel AChE inhibitors for sustainable insecticide resistance management. PLoS ONE 7(10): e47125. doi:10.1371/journal.pone.0047125. Arivoli, S. & S. Tennyson. 2013. Antifeedant activity, developmental indices and morphogenetic variations of plant extracts against Spodoptera litura (Fab) (Lepidoptera: Noctuidae). Journal of Entomology & Zoology Studies 1: 87—96. Aydin, H. & M.O. Gurkan. 2006. The efficacy of spinosad on different strains of Spodoptera littoralis (Boisduval) (Lepidoptera: Noctuidae). Turkish Journal of Biology 30: 5—9. Bhimba, B.V., D.A.A.D. Franco, G.M. Jose, J.M. Mathew & E.L. Joel. 2011. Characterization of cytotoxic compound from mangrove derived fungi Irpex hydnoides VB4. Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine: 223—226. Bengochea, P., I. Sanchez-Ramos, R. Saelices, F. Amor, P. del Estal, E. Vinuela, A. A. A. Lopez, F. Budia & P. Medina. 2014. Is emamectin benzoate effective against the different stages of Spodoptera exigua (Hübner) (Lepidoptera, Noctuidae)? Irish Journal of Agricultural and Food Research 53: 37—49. Byers, R.E., D.H. Carbaugh & C.N. Presley. 1990. ‘Stayman’ fruit cracking as affected by surfactants, plant growth regulators, and other chemicals. Journal of the American Society for Horticultural Science 115(3): 405— 411. Cardona, Jr.E.V., C.S. Ligat & M.P. Subang. 2007. Life history of common cutworm, Spodoptera Litura Fabricius (Noctuidae: Lepidoptera) in benguet. BSU Research Journal 56: 73—84. Chen, Yin, Wenjun Mao, Hongwen Tao, Weiming Zhu, Xiaohui Qi , Yanli Chen , Hongyan Li, Chunqi Zhao, Yupin Yang, Yujiao Hou, Chunyann Wang & Na Li. 2011. Structural characterization and antioxidant properties of an
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
135
exopolysaccharide produced by the mangrove endophytic fungus Aspergillus sp. Y16. Bioresource Technology 102: 8179—8184. Ciarlo, T.J., C.A. Mullin, J.L. Frazier & D.R. Schmehl. 2012. Learning impairment in honey bees caused by agricultural spray adjuvants. PLoS ONE 7(7): e40848. doi:10.1371/journal.pone.0040848. Cisneros, J., D. Goulson, L.C. Derwent, D.I. Penagos, O.Hernandez & T. Williams. 2002. Toxic effects of spinosad on predatory insects. Biological Control 23: 156—163. Colovic, M.B, D Z. Krstic, T.D. Lazarevic-Pasti, A.M. Bondzic & V.M. Vasic. 2013. Acetylcholinesterase inhibitors: pharmacology and toxicology. Current Neuropharmacology 11: 315—335. Cronfeld, P., K. Lader & P. Baur. 2001. Classification of adjuvants and adjuvant blends by effect of cuticular penetration. Dalam: Viets, A.K., R.S., Tann & J.C. Mueninghoff. (eds). 2001. Pesticide formulations and application systems 20th vol. American society for testing and materials, Philadelphia: 81—92. Cserhati, T. 1995. Alkyl ethoxylated and alkylphenol ethoxylated nonionic surfactants: interaction with bioactive compounds and biological effects. Environmental Health Perspectives 103(4): 358—364. Dadang, E.D Fitriasari & D. Prijono. 2009. Effectiveness of two botanical insecticide formulations to two major cabbage insect pests on field application. ISSAAS Journal 15(1): 42—51. Emameh, R.Z., H. Barker, V.P. Hytonen, M.E.E. Tolvanen & S. Parkkila. 2014. Beta carbonic anhydrases: novel targets for pesticides and anti-parasitic agents in agriculture and livestock husbandry. Parasites & Vectors 7: 403. http://www.parasitesandvectors.com/content/7/1/403. 4 Pebruari 2015, pk. 19.34 WIB. Ellman, G.L., K.D. Courtney, Jr.V. Andres & R.M. Feather-Stone. 1961. A new and rapid colorimetric determination of acetylcholinesterase activity. Biotechnical Pharmacology 7: 88—95. El-Sisi, A.G., A.E.M. El-Mageed, T.F. El-Asawi & R.A. El-Sharkawy. 2011. Improvement the physico-chemical properties and efficiency of some insecticides formulation by using adjuvants against cotton leafworm Spodoptera littoralis, Boisd. Journal of Agricultural Economics and Social Sciences 8: 757—764. Evans, J.L. & M.A, Gealt. 1983. The sterols of growth and stationary phases of Aspergillus nidulans cultures. Journal of General Microbiology 131: 279—284. Fishel, F.M. 2013. Pesticide Formulations. Agronomy Department, Florida Cooperative Extension Service, Institute of Food and Agricultural Sciences, University of Florida: 13 hlm. http://edis.ifas.ufl.edu. 6 Januari 2014, pk. 21.34 WIB. Friedman, M. & H.S. Jurgens. 2000. Effect of pH on the stability of plant phenolic compounds. Journal of Agriculture & Food Chemistry 48(6): 2101—2110. Gonzalez, M., K.S.B. Miglioranza, J.E. Aizpún, F.I. Isla & Aranzazu Pena. 2010. Assessing pesticide leaching and desorption in soils with different agricultural activities from Argentina (Pampa and Patagonia).
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
136
Chemosphere 81: 351—358. Harborne, J.B. 1987. Metode fitokimia edisi kedua. Terj. dari Methods in Phytochemistry 2nd editions, oleh Padmawinata, K. & I. Soediro. ITB, Bandung: v + 213 hlm. Hawas U.W., L.T.A. El-Kassem, E.F. Ahmed & M. Emam. 2012. In-vitro bioassays on the metabolites of the fungus Emericella nidulans isolated from the Egyptian Red Sea algae. Egyptian Pharmaceutical Journal 11: 124—128. Hernandez-Soriano, C., D. Mingorance & A. Pena. 2009. Dissipation of insecticides in a Mediterranean soil in the presence of wastewater and surfactant solutions; a kinetic model approach. Water research 43: 2481—2492. Hong, Xia Sun, Wen Cheng Tang, Hai Chen, Wei Chen, Min Zhang, Xin Liu & Gu Ren Zhang. 2013. Food utilization and growth of cutworm Spodoptera litura Fabricius larvae exposed to nickel, and its effect on reproductive potential. Chemosphere 93: 2319—2326. Hynes, R.K. & S.M. Boyetchko. 2006. Research initiatives in the art and science of biopesticide formulations. Soil Biology & Biochemistry 38: 845–849. Jazzar, C. & E.A. Hammad. 2003. The efficacy of enhanced aqueous extracts of Melia azedarach leaves and fruits integrated with the Camptotylus reuteri releases against the sweet potato whitefly nymphs. Bulletin of Insectology 56(2): 269—275. Jeyasankar, A., S. Premalatha & K. Elumalai. 2014. Antifeedant and insecticidal activities of selected plant extracts against Epilachna beetle, Henosepilachna vigintioctopunctata (Coleoptera: Coccinellidae). Advances in Entomology 2(1): 14—19. Li, Jingquan, Qian Ba, Jun Yin, Songjie Wu, Fangfang Zhuan, Songci Xu, Junyang Li, J.K. Salazar, Wei Zhang & Hui Wang. 2013. Surface display of recombinant Drosophila melanogaster acetylcholinesterase for detection of organic phosphorus and carbamate pesticides. PLoS ONE 8(9): e72986. doi:10.1371/journal.pone.0072986. Jorgenson, B.C. & T.M. Young. 2010. Formulation effects and the off-target transport of pyrethroid insecticides from urban hard surfaces. Environmental Science & Technology 44(13): 4951—4957. Kempken, F. & M. Rohlfs. 2010. Fungal secondary metabolite biosynthesis a chemical defence strategy against antagonistic animals? Fungal Ecology 3:107—114. Li Hanxiang, Hongbo Huang, Changlun Shao, Huarong Huang, Jieyi Jiang, Xun Zhu, Yayue Liu, Lan Liu, Yongjun Lu, Mengfeng Li, Yongcheng Lin & Zhigang She. 2011. Cytotoxic norsesquiterpene peroxides from the endophytic fungus Talaromyces flavus isolated from the mangrove plant Sonneratia apetala. Journal of Natural Products 74: 1230–1235. Liu, Dong, Xiao Ming Li, Li Meng, Chun Shun Li, Shu Shan Gao, Zhou Shang, P. Proksch, Cai Guo Huang, & Bin Gui Wang. 2011. Nigerapyrones A-H, r-pyrone derivatives from the marine mangrove-derived endophytic fungus Aspergillus niger MA-132. Journal of Natural Products 74: 1787—1791. Mangan, R.L. & S. Moreno. 2001. Photo active dye insecticide formulations:
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
137
adjuvants increase toxicity to Mexican fruit fly (Diptera: Tephritidae). Journal of Economic Entomology 94(1): 151—156. Mittona, F.M., M. Gonzalez, A. Pena & K.S.B. Miglioranza. 2012. Effects of amendments on soil availability and phytoremediation potential of aged p,p-DDT, p,p-DDE and p,p-DDD residues by willow plants (Salix sp.). Journal of Hazardous Materials 20(3): 62—68. Nath, A., A. Chattopadhyay & S. R. Joshi. 2013. Biological activity of endophytic fungi of Rauwolfia serpentine Benth: an ethnomedicinal plant used in folk medicines in Northeast India. Proceeding of The National Academic of Sciences India Section Biological Sciences. DOI 10.1007/s40011-013-0184-8. National Pesticides Information Center (NPIC). 1999. Pesticide Formulations fact sheet. Oregon State University and the U.S. Environmental Protection Agency: 3 hlm. Oleszek, W., I. Kapusta & A. Stochmal. 2007. TLC of triterpenes (including saponins). Thin Layer Chromatography in Phytochemistry 12(10): 520— 541. Pang, Y.P, S.K. Singh, Y. Gao, T.L. Lassiter & R.K. Mishra. 2009. Selective and irreversible inhibitors of aphid acetylcholinesterases: steps toward humansafe insecticides. PLoS ONE 4(2): e4349. doi:10.1371/journal.pone.0004349. Pohanka, A. 2006. Antifungal antibiotics from potential biocontrol microorganisms. Doctoral thesis. Faculty of Natural Resources and Agricultural Sciences Department of Chemistry, Swedish University of Agricultural Sciences, Uppsala: xv + 198 hlm. Pandey, S., A. Sree, D.P. Sethi, C.G. Kumar, S. Kakollu, L. Chowdhury & S.S. Dash. 2014. A marine sponge associated strain of Bacillus subtilis and other marine bacteria can produce anticholinesterase compounds. Microbial Cell Factories 13: 24. http://www.microbialcellfactories.com/content/13/1/24. 6 Januari 2015, pk. 21.44 WIB. Pree, D.J. & K.J. Cole. 1989. Comparison of leaf disc and Petri dish assays for the assessment of difocal resistance in populations of European red mite from Southtern Ontario. Canadian Entomologist 121: 771—776. Reusch, W. 2013. Introduction to Spectroscopy. Departement of Chemistry, Michigan State University. http://www2.chemistry.msu.edu/faculty/reusch/VirtTxtJml/Spectrpy/spectr o.htm#contnt. 10 Januari 2015, pk. 21.24 WIB. Rohlfs, M. 2015. Fungal secondary metabolite dynamics in fungus grazer interactions: novel insights and unanswered questions. Frontiers in Microbiology 5: 1—5. doi:10.3389/fmicb.2014.00788. Saberfar, A. & G. Sheikhi. 2010. Effect evaluation tween surfactant that improved performance of abamectin on cucumber leafminer Liriomyza sativae Blanchard (Dip: Agromyzidae). Resistant Pest Management Newsletter 20(1): 33—37. Sindhu, C.G. 2011. Phytochemical screening of Mirabilus jalap Linn leaf extract by TLC. Research Journal of Pharmaceutical, Biological and Chemical Sciences 2(1): 521—524.
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
138
Sluder, A., S. Shah, J. Cassayre, R. Clover & P. Maienfisch. 2012. Spiroindolines identify the vesicular acetylcholine transporter as a novel target for insecticide action. PLoS ONE 7(5): e34712. doi:10.1371/journal.pone.0034712. Supriyono, A. 1997. Biologische aktive Naturstoffe aus tropischen Schämmen Südostasiens. Dissertation Doctorgrades der Bayerischen JuliusMaximilians-Universität, Würzburg: ix + 169 hlm. Tithi, D.A., M.R. Amin, S.M.A. Hossain & H.M.S. Azad. 2010. Feeding and development of Spodoptera litura larvae on different cotton varieties. Journal of Agroforestry & Environment 4(2): 113—116. United State Environmental Protection Agency. 2012. Biopesticide: what are biopesticides. http://www.epa.gov/opp00001/biopesticides/whatarebiopesticides.htm. 6 Pebruari 2013, pk. 20.33 WIB. Van Tonder, S.J. 1993. Pesticidal formulation. United State Patent No. 5: 194-264. Wang, Y., T.W. Alexander & T.A. McAllister. 2004. In vitro effects of monensin and Tween 80 on ruminal fermentation of barley grain:barley silage-based diets for beef cattle. Animal Feed Science and Technology 116: 197—209. Wang, C.J. & Z.Q. Liu. 2007. Foliar uptake of pesticides - present status and future challenge. Pesticide Biochemistry and Physiology 87: 1—8. Wen,Lu, Xiaoling Cai, Fang Xu, Zhigang She, Wing Lai Chan, L.L.P. Vrijmoed, E.G.B. Jones & Yongcheng Lin. 2009. Three metabolites from the mangrove endophytic Fungus Sporothrix sp. (#4335) from the South China Sea. Journal of Organic Chemistry 74(3): 1093—1098. Xu, Fang, Yi Zhang, Jiajun Wang, Jiyan Pang, Caihuan Huang, Xiongyu Wu, Zhigang She, L. L. P. Vrijmoed, E.B.G. Jones & Yongcheng Lin. 2008. Benzofuran derivatives from the mangrove endophytic fungus Xylaria sp. (#2508). Journal of Natural Products 71: 1251—1253. Ye, Yong Hao, Cong Li, Jun Yang, Liang Ma, Yu Xiao, Jun Hu, N.A. Rajput, Cong-Fen Gao, Ying-Ying Zhanga & Ming-HuaWang. 2014. Construction of an immobilized acetylcholinesterase column and its application in screening insecticidal constituents from Magnolia officinalis. Pesticides Managament Science. doi10.1002/ps.3908.
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
DISKUSI PARIPURNA
Sebanyak 110 isolat kapang endofit telah berhasil diisolasi dari tiga tumbuhan mangrove; Rhizophora mucronata, Avicennia marina, dan Sonneratia alba. Jumlah isolat kapang endofit yang diperoleh dari tumbuhan mangrove R. mucronata dalam penelitian ini adalah yang terbanyak (45 isolat), dibandingkan dengan dua spesies lainnya (37 isolat dari A. marina dan 28 isolat dari S. alba). Berdasarkan hasil laporan beberapa peneliti (Bhimba et al. 2011; Xing dan Guo 2011; Bhimba et al. 2012; Klaiklay et al. 2012; Elavarasi et al. 2012; Rukachaisirikul et al. 2012; Chun et al. 2013; Joel dan Bhimba 2013b), tumbuhan mangrove dari famili Rhizophoraceae merupakan substrat yang ideal untuk menemukan kapang penghasil senyawa aktif dengan aktivitas beragam. Hasil uji toksisitas dari 110 ekstrak etil asetat dari filtrat biakan 110 isolat kapang endofit terhadap larva udang Artemia salina menunjukkan bahwa lima ekstrak dari lima isolat menghasilkan toksisitas tertinggi (LC50 berkisar antara 7,45—10,24 ppm). Empat ekstrak tergolong sangat toksik dan satu ekstrak tergolong toksik pada konsentrasi 80 ppm. Berdasarkan data sequence daerah ITS rDNA, lima isolat kapang penghasil senyawa aktif tersebut diidentifikasi sebagai dua strain Emericella nidulans, Aspergillus flavus, A. tamarii, dan A. versicolor. Kelima strain tersebut diisolasi dari daun, akar dan serasah tumbuhan mangrove R. mucronata. Lima strain kapang penghasil senyawa aktif pada penelitian ini berasal dari genus anamorfik Aspergillus dan genus teleomorfiknya (Emericella). Aspergillus dan Emericella merupakan kapang yang bernilai ekonomi tinggi. Aspergillus merupakan kapang kosmopolit yang banyak digunakan dalam bidang bioteknologi untuk menghasilkan berbagai senyawa aktif seperti antibiotik, asam organik dan enzim (Samson et al. 2014). Hampir seluruh spesies dari genus Aspergillus diketahui dapat menghasilkan metabolit sekunder dari golongan polyketide yang bersifat toksik (Ahuja et al. 2012) dan memiliki aktivitas larvasida terhadap serangga Helicorvepa armigera dan Spodoptera litura (Arasu et al. 2013).
139
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
Universitas Indonesia
140
Hasil analisis HPLC terhadap ekstrak etil asetat dari filtrat biakan tiga spesies Aspergillus, dan dua strain E. nidulans tersebut memperlihatkan profil yang berbeda. Hal tersebut mengindikasikan terdapat perbedaan jenis senyawa di dalam kelima ekstrak. Emericella nidulans BPPTCC 6038 yang diisolasi dari daun dan E. nidulans BPPTCC 6035 yang diisolasi dari akar R. mucronata, menghasilkan senyawa dengan aktivitas yang berbeda terhadap A. salina. Pembentukan senyawa metabolit sekunder yang berbeda oleh spesiesspesies Aspergillus dan oleh strain berbeda dari spesies Aspergillus yang sama kemungkinan disebabkan oleh adanya ekspresi gen penyandi metabolit sekunder yang berbeda. Menurut Dohren (2008), perbedaan kondisi lingkungan asal (microhabitat) dapat menyebabkan perbedaan ekspresi gen yang berpengaruh pada perbedaan jalur metabolisme dan berakibat pada perbedaan senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan. Hasil uji aktivitas insektisida dari lima ektrak etil asetat yang dihasilkan oleh filtrat biakan lima strain kapang endofit tumbuhan mangrove (E. nidulans BPPTCC 6038; E. nidulans BPPTCC 6035; A. flavus BPPTCC 6036; A. tamarii BPPTCC 6036; dan A. versicolor BPPTCC 6036), terhadap larva serangga S. litura menunjukkan bahwa kelima ekstrak tersebut memiliki aktivitas insektisida. Kelima ekstrak memiliki aktivitas sebagai racun lambung, berdasarkan hasil feeding dietary bioassay; aktivitas sebagai racun kontak, berdasarkan hasil uji topical application dan kontak secara tidak langsung; aktivitas sebagai attractant, berdasarkan hasil choice test; dan aktivitas sebagai racun saraf, berdasarkan hasil uji inhibisi terhadap enzim asetilkolin esterase. Kelima ekstrak juga memiliki aktivitas menghambat perkembangan larva S. litura, berdasarkan uji lanjut setelah feeding dietary bioassay dan topical application. Pengamatan yang dilakukan setelah larva mengkonsumsi ekstrak melalui pemberian pakan dan kontak dengan ekstrak melalui topical application, menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil larva yang dapat berkembang hingga imago (0—12,5% setelah feeding dietary bioassay dan 17,6—29,4% setelah topical application). Jumlah larva yang berhasil mencapai periode pupa dan akhirnya menjadi imago sangat sedikit dibandingkan dengan kontrol negatif (90% setelah feeding dietary bioassay dan 96,7% setelah topical application).
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
141
Pada kontrol positif deltametrin, tidak ada larva yang bertahan hidup setelah feeding dietary bioassay sehingga tidak dihasilkan imago dan 29,4% larva berhasi menjadi imago setelah topical application. Tidak terbentuknya imago setelah feeding dietary bioassay dan topical application juga ditunjukkan oleh ekstrak yang dihasilkan oleh E. nidulans BPPTCC 6038. Dengan demikian ekstrak tersebut memiliki aktivitas dalam menghambat perkembangan larva yang lebih baik daripada deltametrin. Waktu yang dibutuhkan larva untuk mencapai periode pupa dan imago lebih lama dibandingkan dengan kontrol negatif dan setara dengan kontrol positif. Setelah perlakuan feeding dietary bioassay dan topical application periode larva berlangsung empat hingga delapan hari lebih lama dibandingkan dengan kontrol negatif dan periode pupa berlangsung selama dua sampai enam hari lebih lama dibandingkan dengan kontrol negatif. Ekstrak yang dihasilkan oleh kapang E. nidulans BPPTCC 6038 menunjukkan aktivitas relatif tinggi pada semua hasil uji. Nilai persentase mortalitas yang dihasilkan oleh ekstrak tersebut lebih konsisten (berkisar antara 52—77%) untuk semua konsentrasi yang diujikan (625—5000 ppm), dibandingkan dengan keempat ekstrak lain (kisaran mortalitas 20—100% pada konsentrasi 625—5000 ppm). Hal tersebut mengindikasikan sifat toksik yang dimiliki oleh ekstrak E. nidulans BPPTCC 6038. Ekstrak tersebut menghasilkan nilai LC50 terkecil (1102,27 ppm) pada uji aktivitas insektisida sebagai racun lambung dengan metode feeding dietary bioassay. Hasil uji kontak secara langsung menunjukkan ekstrak A. versicolor menghasilkan aktivitas tertinggi (mortalitas 43,3%) namun hasil uji kontak tidak langsung menunjukkan aktivitas yang rendah (mortalitas 25%). Sebaliknya, ekstrak E. nidulans BPPTCC 6038 menunjukkan aktivitas yang tinggi pada uji kontak secara tidak langsung (mortalitas 66,67%) walaupun menunjukkan aktivitas yang lebih rendah pada uji kontak langsung (mortalitas 16,67%). Hal tersebut mengindikasikan senyawa toksik yang dimiliki oleh A. versicolor kemungkinan bersifat volatil sehingga kurang efektif sebagai racun kontak. Dalam penelitian yang bertujuan untuk mengembangkan produk insektisida, efek
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
142
toksisitas akut yang diperlihatkan dari hasil uji kontak merupakan salah satu tolok ukur yang digunakan (Hummelbrunner dan Isman 2001). Aktivitas sebagai racun saraf juga ditunjukkan oleh ekstrak E. nidulans BPPTCC 6038, dengan nilai yang relatif tinggi (aktivitas inhibisi 47,6%), menempati tempat kedua setelah A. tamarii (aktivitas inhibisi 48,94%). Aktivitas sebagai racun saraf diketahui dari hasil uji inhibisi terhadap enzim asetilkolin esterase. Enzim asetilkolin esterase pada serangga merupakan salah satu target dari senyawa insektisida (Brakhage dan Schroeckh 2011). Kemampuan inhibisi terhadap enzim asetilkolin esterase merupakan salah satu screening yang digunakan untuk mengembangkan insektisida berbasis senyawa bahan alam (Brakhage dan Schroeckh 2011). Hasil uji choice test untuk menentukan sifat ekstrak sebagai attractant atau deterrent menunjukkan bahwa ekstrak dari E. nidulans BPPTCC 6038 memiliki sifat sebagai attractant dengan aktivitas tertinggi (preferensi larva 73,33%). Aktivitas sebagai attractant akan menunjang aktivitas sebagai racun lambung, racun saraf dan racun kontak. Kandungan senyawa attractant dalam ekstrak tersebut akan mengundang serangga untuk mendekat, melakukan kontak dengan ekstrak dan akhirnya mengkonsumsi ekstrak tersebut. Bila serangga tersebut tidak mati, maka efek jangka panjang dari ekstrak E. nidulans (BPPTCC 6038) akan bekerja dalam menghambat perkembangan larva serangga tersebut. Senyawa dengan aktivitas yang beragam akan menghasilkan efek sinergis sebagai insektisida. Hal-hal tersebut mendasari pemilihan ekstrak E. nidulans BPPTCC 6038 sebagai ekstrak yang dipelajari lebih lanjut. Hasil fraksinasi menggunakan colomn chromatoghraphy dari ekstrak tersebut menghasilkan 7 fraksi dan fraksi nomor 6 menunjukkan aktivitas tertingi sebagai insektisida (mortalitas 98,33% terhadap larva neonate S. litura) yang setara dengan kontrol positif deltametrin. Fraksi tersebut menunjukkan aktivitas sebagai racun saraf dengan nilai persen inhibisi terhadap enzim asetilkolin esterase sebesar 45,04% kurang lebih setengah dari nilai inhibisi yang ditunjukkan oleh kontrol positif eserin (96,78%) . Eksplorasi senyawa aktif pada penelitian ini tidak difokuskan terhadap mikotoksin. Senyawa metabolit sekunder dengan aktivitas insektisida yang
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
143
dieksplorasi pada penelitian ini adalah senyawa-senyawa yang bersifat stabil, larut dalam air, dapat dihasilkan melalui proses fermentasi dan ekstraksi yang sederhana, dan memiliki kemungkinan untuk disintesis. Menurut Wang dan Xu (2012; Meng et al. (2013); Chen et al. (2014), mikotoksin seperti aflatoxin yang dihasilkan oleh Aspergillus, destruxin yang dihasilkan oleh Metarhizium, beauvericin yang dihasilkan oleh Beauveria, dan cordycepin yang dihasilkan oleh Cordyceps, diketahui memiliki aktivitas insektisida. Mikotoksin umumnya merupakan senyawa polipeptida yang memiliki kelarutan rendah dalam air, bersifat intraseluler, hanya sedikit yang dieksresikan ke lingkungan, sehingga untuk mengekstraksinya dari miselia dibutuhkan perlakuan tertentu, dan merupakan senyawa polipeptida yang relatif sukar untuk disintesis (Wang dan Xu 2012; Meng et al. 2013; Chen et al. 2014). Mikotoksin umumnya diaplikasikan sebagai agen biokontrol, bukan sebagai senyawa aktif dalam insektisida (Wang dan Xu 2012). Mikotoksin lebih efiesien apabila diproduksi langsung oleh miselia kapang yang diinfeksikan ke serangga, berkaitan erat dengan faktor keamanan lingkungan karena mikotoksin umumnya berbahaya bagi manusia dan organisme lain (Wang dan Xu 2012). Environmental Protection Agency (EPA) memiliki ketentuan khusus dalam pengaplikasian mikotoksin di lingkungan (Wang dan Xu 2012). Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa kelima ekstrak mengandung senyawa triterpenoid dan saponin; empat ekstrak mengandung senyawa alkaloid (kecuali ekstrak E. nidulans BPPTCC 6038) dan satu ekstrak (E. nidulans BPPTCC 6038) mengandung senyawa fenol. Hasil karakterisasi terhadap fraksi nomor 6 dari ekstrak E. nidulans BPPTCC 6038 menunjukkan bahwa fraksi tersebut mengandung senyawa triterpenoid dan saponin. Kandungan senyawa triterpenoid dalam kelima ekstrak kemungkinan mempengaruhi perkembangan larva dengan cara mengganggu kerja hormon juvenile. Hormon juvenile pada serangga antara lain berperan dalam mengontrol perkembangan larva dan metamorfosis (Wheeler & Nijhout 2003). Hormon juvenile pada serangga merupakan senyawa sesquiterpenoid, terpen yang terdiri dari lima isopren (Wheeler & Nijhout 2003; Rohlfs 2015).
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
144
Senyawa terpenoid dan derivatnya antara lain berfungsi dalam komunikasi antar organisme. Terpenoid seringkali dijumpai pada kapang dan tumbuhan, berperan dalam mekanisme pertahanan terhadap serangga herbivor (Wheeler & Nijhout 2003). Terpenoid yang dihasilkan tumbuhan sangat beragam, seringkali identik dengan hormon juvenile pada serangga, dapat berperan sebagai agonis dan antagonis dari hormon tersebut (Wheeler & Nijhout 2003). Keberadaan senyawa terpenoid dalam konsentrasi tinggi dapat menyebabkan over ekspresi hormon juvenile sehingga menghambat pertumbuhan serangga (Rohlfs 2015). Senyawa fenolik hanya terdeteksi pada ekstrak E. nidulans BPPTCC 6038. Senyawa-senyawa volatil seperti derivat alkohol, aldehida, ester, ketone, dan fenol diketahui dapat bersifat sebagai attactant atau deterrent bagi serangga (Kamaluddin dan Nakagawa-Izumi 2012; Chen et al. 2014). Hasil karakterisasi terhadap fraksi nomor 6 dari ekstrak E. nidulans BPPTCC 6038 menunjukkan bahwa fraksi tersebut merupakan senyawa triterpenoid yang mengandung saponin. Senyawa fenol tidak terdeteksi pada fraksi tersebut, sehingga penggunaan ekstrak kasar sebagai bahan aktif dalam proses formulasi kemungkinan akan menghasilkan aktivitas yang lebih baik dibanding dengan penggunaan fraksi atau senyawa tunggal. Menurut Hummelbrunner dan Isman (2001), kandungan senyawa yang beragam dalam bioinsektisida umumnya menghasilkan efek sinergis, suatu senyawa akan menghambat pertumbuhan larva, senyawa lain akan mengganggu perkembangan larva dan berbagai efek lain yang pada akhirnya akan menyebabkan kematian pada serangga. Formulasi dilakukan dengan menambahkan senyawa adjuvant berupa pelarut (aseton), surfaktan (Tween 80) dan sticker agent (PEG 6000) pada bahan aktif berupa ekstrak etil asetat dari filtrat biakan kapang mangrove. Pada penelitian ini dihasilkan 5 formulasi bioinsektisida dari 5 ekstrak dari 5 strain kapang endofit. Hasil uji aktvitas lima formulasi terhadap larva neonate S. litura menunjukkan bahwa mortalitas sebesar 100% dicapai setelah perlakuan selama tujuh hari, sedangkan pada kontrol posistif deltametrin, mortalitas sebesar 100% dicapai setelah dua hari. Hasil uji aktivitas formulasi terhadap larva instar III
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
145
S. litura menunjukkan bahwa kelima formulasi menghasilkan 100% mortalitas pada hari ketujuh hingga hari kedua belas, sedangkan pada deltametrin 100% mortalitas dihasilkan pada hari kedua belas. Deltametrin terbukti memiliki aktivitas insektisida yang tinggi terhadap larva neonate S. litura namun tidak terhadap larva instar III S. litura. Hal tersebut mengindikasikan kelima formulasi memiliki potensi sebagai bioinsektisida yang efektif untuk mengendalikan S. litura. Kelima formulasi bioinsektisida menunjukkan aktivitas yang lebih baik dibandingkan dengan ekstrak etil asetat. Pada pengujian aktivitas insektisida lima ekstrak etil asetat terhadap larva neonate dan larva instar III S. litura, masih terdapat larva yang hidup setelah perlakuan, walaupun larva yang berhasil menjadi pupa dan imago sangat sedikit. Hasil uji aktivitas insektisida kelima formulasi terhadap larva neonate dan larva instar III S. litura menunjukkan tidak ada larva yang bertahan hidup setelah perlakuan. Berdasarkan hasil di atas, terbukti bahwa formulasi meningkatkan efektivitas bahan aktif dan jenis serta konsentrasi adjuvant yang digunakan sudah tepat. Menurut Fishel (2013) adjuvant ditambahkan ke dalam insektisida untuk meningkatkan performa dari insektisida tersebut. Penambahan adjuvant dalam formulasi bioinsektida pada penelitian ini terbukti menjaga kestabilan bahan aktif, meningkatkan adesi senyawa aktif pada permukaan daun, dan mencegah terjadinya penguapan bahan aktif. Hal tersebut memungkinkan larva S. litura melakukan kontak lebih lama dengan senyawa aktif sehingga efek senyawa aktif sebagai racun kontak dapat terealisasi dengan maksimal. Bahan aktif yang tersebar merata pada permukaan daun mengakibatkan jumlah bahan aktif yang dikonsumsi serangga menjadi optimum sehingga efektivitas dari bahan aktif terekspresi secara maksimal. Formulasi bioinsektisida yang dihasilkan pada penelitian ini terbukti efektif untuk mengendalikan serangga hama S. litura. Mode of actions yang beragam dari bahan aktif dalam formulasi, sebagai racun lambung, racun kontak, racun saraf, dan menghambat perkembangan larva akan menimbulkan efek sinergis yang memaksimalkan aktivitas dari bahan aktif. Kemampuan formulasi bioinsektisida pada penelitian ini untuk mengendalikan S. litura sebagai salah satu
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
146
serangga hama yang sulit dikendalikan, mengindikasikan potensi yang besar sebagai bioinsektisida.
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
147
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Sebanyak lima strain kapang endofit mangrove yang terdiri atas E. nidulans BPPTCC 6035, E. nidulans BPPTCC 6038, A. flavus BPPTCC 6036, A. tamarii BPPTCC 6037, dan A. versicolor BPPTCC 6039, terbukti menghasilkan ekstrak etil asetat dari filtrat biakan dengan aktivitas insektida terhadap larva neonate dan larva instar III S. litura. Kelima ekstrak memiliki aktivitas insektisida sebagai racun lambung, racun kontak, attractant, racun saraf dan menghambat perkembangan larva. Profil HPLC yang berbeda dari kelima ekstrak mengindikasikan perbedaan kandungan senyawa kimia dalam setiap ekstrak. Karakterisasi terhadap kelima ekstrak menunjukkan bahwa kelima ekstrak mengandung senyawa triterpenoid dengan kandungan saponin, ekstrak dari E. nidulans (BPPTCC 6038) mengandung senyawa fenol dan keempat ekstrak lainnya mengandung senyawa alkaloid. Kandungan senyawa aktif yang beragam dalam setiap ekstrak menyebabkan aktivitas insektisida yang berbeda dan menimbulkan efek sinergis yang meningkatkan aktivitas insektisida kelima ekstrak. Oleh karena itu, penggunaan ekstrak kasar sebagai bahan aktif dalam formulasi bioinsektisida tepat dan terbukti efektif. Hasil formulasi terhadap kelima ekstrak terbukti meningkatkan aktivitas insektisida yang dihasilkan oleh kelima ekstrak sebagai bahan aktif. Kelima formulasi memiliki aktivitas insektisida yang lebih baik (menghasilkan 100% mortalitas pada hari ketujuh hingga hari kedua belas), dibandingkan kontrol positif deltametrin (menghasilkan 100% mortalitas pada hari kedua belas) saat diujikan terhadap larva instar III S. litura. Kelima formulasi bioinsektisida juga memperlihatkan aktivitas insektisida yang lebih baik dibandingkan ketika masih berupa ekstrak. Hal tersebut terlihat dari tidak terbentuknya stadium pupa dan imago pada uji formulasi dengan konsentrasi ekstrak yang sama (5000 ppm).
147
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
Universitas Indonesia
148
B. Saran Ekstrak etil asetat yang dihasilkan oleh kelima strain kapang mangrove memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai bioinsektisida. Untuk memproduksi ekstrak aktif dalam jumlah besar dan berbiaya murah dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai teknologi fermentasi yang berbasis pemanfaatan limbah. Media malt extract broth yang digunakan dalam proses fermentasi pada penelitian ini relatif mahal jika formulasi bioinsektisida nantinya ditujukan untuk dimanfaatkan oleh petani dengan harga yang bersaing dengan insektisida kimia. Fraksinasi dan karakterisasi lebih lanjut dengan mengkombinasikan analisis MS (mass spectroscopy) dan NMR (nuclear magnetic resonance) terhadap kandungan senyawa dalam ekstrak kasar dibutuhkan untuk mengetahui dengan tepat jenis-jenis senyawa kimia penyusun ekstrak aktif. Hal tersebut dibutuhkan untuk mengetahui jenis senyawa yang menghasilkan efek insektisida tertentu, sehingga mode of action yang dihasilkan suatu senyawa jelas diketahui. Kejelasan tersebut dibutuhkan bila formulasi bioinsektisida pada penelitian ini dilanjutkan dengan menggabungkan beberapa ekstrak aktif. Formulasi yang menggabungkan beberapa ekstrak sebagai bahan aktif kemungkinan akan meningkatkan aktivitas insektisida dari formulasi.
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
149
DAFTAR PUSTAKA
Ananda, K. & K.R. Sridhar. 2002. Diversity of endophytic fungi in the roots of mangrove species on the west coast of India. Canadian Journal of Microbiology 48: 871—878. Ahuja, M., Yi-Ming Chiang, Shu-Lin Chang, M.B. Praseuth, R. Entwistle, J.F. Sanchez, Hsien-Chun Lo, Hsu-Hua Yeh, B.R.Oakley1 & C.C. C. Wang. 2012. Illuminating the diversity of aromatic polyketide synthases in Aspergillus nidulans. Journal of American Chemical Society 134(19): 8212—8221. Ali, M.S., S. Ravikumar, J.M. Beula, V. Anuradha & N. Yogananth. 2014. Insecticidal compounds from Rhizophoraceae mangrove plants for the management of dengue vector Aedes aegypti. Journal of Vector Borne Diseases 51(2): 106—14. Alongi, D.M. 2002. Present state and future of the world’s mangrove forests. Environmental Conservation 29(3): 331—349. Arasu, M.V., N.A. Al-Dhabi, V. Saritha, V. Duraipandiyan, C. Muthukumar & S.J. Kim. 2013. Antifeedant, larvicidal and growth inhibitory bioactivities of novel polyketide metabolite isolated from Streptomyces sp. AP-123 against Helicoverpa armigera and Spodoptera litura. BMC Microbiology 13: 105—111. Aydin, H. & M.O. Gurkan. 2006. The efficacy of spinosad on different strains of Spodoptera littoralis (Boisduval) (Lepidoptera: Noctuidae). Turkish Journal of Biology 30: 5—9. Balba, H. 2007. Review of strobilurin fungicide chemicals. Journal of Environmental Science and Health Part B 42: 441—451. Bhimba, B.V., D.A. A. D. Franco, G.M. Jose, J.M. Mathew & E. L. Joel. 2011. Characterization of cytotoxic compound from mangrove derived fungi Irpex hydnoides VB4. Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine: 223—226. Bhimba, B.V., D.A.A.D. Franco, J.M. Mathew, G.M. Jose, E.L. Joel & M. Thangaraj. 2012. Anticancer and antimicrobial activity of mangrove derived fungi Hypocrea lixii VB1. Chinese Journal of Natural Medicine 10(1): 77—80. Brakhage, A.A. & V. Schroeckh. 2011. Fungal secondary metabolites – strategies to activate silent gene clusters. Fungal Genetics & Biology 48:15—22. Chen, Guangying, Yongcheng Lin, L.L.P.Vrijmoed & Wang Fun Fong. 2006. A new isochromanan from the marine endophytic fungus 1893. Chemistry of Natural Compounds 42(2): 63—72. Chen, Yin, Wenjun Mao, Hongwen Tao, Weiming Zhu, Xiaohui Qi , Yanli Chen , Hongyan Li, Chunqi Zhao, Yupin Yang, Yujiao Hou, Chunyann Wang & Na Li. 2011. Structural characterization and antioxidant properties of an exopolysaccharide produced by the mangrove endophytic fungus Aspergillus sp. Y16. Bioresource Technology 102: 8179—8184.
149
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
Universitas Indonesia
150
Chen,Wen Jen, Feng Chia Hsieh, Fu Chiun Hsu, Yi Fang Tasy, Je Ruei Liu & Che Shih Ming. 2014. Characterization of an insecticidal toxin and pathogenicity of Pseudomonas taiwanensis against insects. PLoS Pathogens 10(8): e1004288. doi:10.1371/journal.ppat.1004288. Cisneros, J., D. Goulson, L.C. Derwent, D.I. Penagos, O.Hernandez, & T. Williams. 2002. Toxic effects ofsSpinosad on predatory insects. Biological Control 23: 156–163. Chun, Y.A., M.L. Xiao, L. Han L, S.L. Chun, H.W. Ming, M.X. Gang & B.W. Bin. 2013. 4-Phenyl-3,4-dihydroquinolone derivatives from Aspergillus nidulans MA-143, an endophytic fungus isolated from the mangrove plant Rhizophora stylosa. Journal of Natural Products 76(10): 1896–1901. Dohren, V.H. 2009. A survey of nonribosomal peptide synthetase (NRPS) genes in Aspergillus nidulans. Fungal Genetics and Biology 46: S45—S52. Duffy, B., A. Schouten & J.M. Raaijmakers. 2003. Pathogen self-defense: mechanisms to counteract microbial antagonism. Annual Review of Phytopathology 41: 501–38. Elavarasi, A., G.S. Rathna & M. Kalaiselvam. 2012. Taxol producing mangrove endophytic fungi Fusarium oxysporum from Rhizophora annamalayana. Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine: 1081—1085. Environmental and Protection Agency. 2011. Rules and regulations for abamectin (avermectin); pesticide tolerances. Federal Register 76(217): 69653—69659. FAO Regional Forestry Commissions. 2010. Global forest resource assessment. FAO, Rome: 333 hlm. Fishel, F.M. 2013. Pesticide Formulations. Agronomy Department, Florida Cooperative Extension Service, Institute of Food and Agricultural Sciences, University of Florida: 13 hlm. http://edis.ifas.ufl.edu. 6 Januari 2014, pk. 21.34 WIB. Chen, Gang, Xiao Hua Lin, Wei Su, Ying-Long Geng, Su-Ping Jian & Xiu-Fang Fan. 2014. Comparison of aroma compounds in traditional fermented and inoculated douchies, a Chinese traditional fermented soybean food. Journal of Pure and Applied Microbiology 8(5): 421—431. Giri, C., E. Ochieng, L.L. Tieszen, Z. Zhu, A. Singh, T. Loveland, J. Masek & N. Duke. 2011. Status and distribution of mangrove forests of the world using earth observation satellite. Global Ecology & Biogeography 20: 154–159. Gunatilaka, A.L. 2006. Natural products from plant-associated microorganisms: distribution, structural diversity, bioactivity, and implications of their occurrence. Journal of Natural Products 69: 509—526. Holguin, G., P. Vazquez & Y. Bashan. 2001. The role of sediment microorganisms in the productivity, conservation, and rehabilitation of mangrove ecosystems: an overview. Biology & Fertility of Soils 33: 265– 278. Huang, Hongbo, Xiaojun Feng, Zeen Xiao, Lan Liu, Hanxiang Li, Lin Ma, Yongjun Lu, Jianhua Ju, Zhigang She & Yongcheng Lin. 2011. Azaphilones and p-terphenyls from the mangrove endophytic fungus Penicillium chermesinum (ZH4-E2) isolated from the South China Sea. Journal of Natural Products 74: 997–1002.
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
151
Hummelbrunner, L.A. & M.B. Isman. 2001. Acute, sublethal, antifeedant, and synergistic effects of monoterpenoid essential oil compounds on the tobacco cutworm, Spodoptera litura (Lep., Noctuidae). Journal of Agriculture & Food Chemistry 49: 715—20. Hunter, C. 2007. The current chemical utility of marine and terrestrial filamentous fungi in side-chain chemistry. Current Organic Chemistry 11: 665—677. Joel, E.L & B.V. Bhimba. 2013b. Evaluation of secondary metabolites from mangrove associated fungi Meyerozyma guilliermondii. Alexandria Journal of Medicine: 1—6. http://dx.doi.org/10.1016/j.ajme.2013.04.003. 10 Januari 2014, pk. 20.34 WIB. Jones, E.B.G. 2000. Marine fungi: some factors influencing biodiversity. Fungal Diversity 4: 53—73. Jones, E.G.B., M. Tantichaereon & K.D. Hyde. 2004. The fungal diversity. National Center for Genetic Engineering & Biotechnology, Thailand: 311 hlm. Kamaluddin, N.N. & A. Nakagawa-Izumi. 2012. Characterization of termite feeding deterrents from Fibroporia radiculosa (Peck) Parmasto. B.T. Forschler (ed). Proceedings of the 10th Pacific-Termite Research Group Conference. Kempken, F. & M. Rohlfs. 2010. Fungal secondary metabolite biosynthesis a chemical defence strategy against antagonistic animals? Fungal Ecology 3:107—114. Klaiklay, S, V.Rukachaisirikul, S. Phongpaichit, C. Pakawatchai, S. Saithong, J. Buatong, S. Preedanon & J. Sakayaroj. 2012. Anthraquinone derivatives from the mangrove-derived fungus Phomopsis sp.PSU-MA214. Phytochemistry Letters 5: 738—742. Li Hanxiang, Hongbo Huang, Changlun Shao, Huarong Huang, Jieyi Jiang, Xun Zhu, Yayue Liu, Lan Liu, Yongjun Lu, Mengfeng Li, Yongcheng Lin & Zhigang She. 2011. Cytotoxic norsesquiterpene peroxides from the endophytic fungus Talaromyces flavus isolated from the mangrove plant Sonneratia apetala. Journal of Natural Products 74: 1230–1235. Liu, Dong, Xiao Ming Li, Li Meng, Chun Shun Li, Shu Shan Gao, Zhuo Shang, P. Proksch, Cai Guo Huang & Bin Gui Wang. 2011. Nigerapyrones A_H, r-pyrone derivatives from the marine mangrove-derived endophytic fungus Aspergillus niger MA-132. Journal of Natural Products 74: 1787–1791. Lu, Zhenyu, Huajie Zhu, Peng Fu, Yi Wang, Zhihua Zhang, Haipeng Lin, Peipei Liu, Yibin Zhuang, Kui Hong & Weiming Zhu. 2010. Cytotoxic polyphenols from the marine-derived fungus Penicillium expansum. Journal of Natural Products 73: 911–914. Meng, Xiang, Junjie Hu, Xiaoxia Xu, Zeqing Wang, Qiongbu Hu, Fengliang Jin & Shunxiang Re. 2013. Toxic effect of destruxin A on abnormal wing disc-like (SLAWD) in Spodoptera litura Fabricius (Lepidoptera: Noctuidae). PLoS ONE 8(2): e57213. doi:10.1371/journal.pone.0057213. Onrizal, Rugyah & Suhardjono. 2005. Flora mangrove berhabitus pohon di hutan lindung Angke-Kapuk. Biodiversitas 6(1): 34—39. Phoanda, T.C., R. Bara, P.M. Wowor & J. Posangi. 2014. Uji efek antibakteri jamur endofit akar tumbuhan bakau (Bruguiera gymnorrhiza) terhadap
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
152
bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Jurnal e-Biomedik 2(1): 1—5. http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/ebiomedik. 18 Juni 2014, pk. 22.15 WIB. Pimentel, M.R., G. Molina, A.P. Dionsio, M.R. Marostica Junior & G.M. Pastore. 2011. The Use of Endophytes to Obtain Bioactive Compounds and Their Application in Biotransformation Process. Biotechnology Research International : 1—11. Ravindran, C., T. Naveenan & G. R. Varatharajan. 2010. Optimization of alkaline cellulase production by the marine derived fungus Chaetomium sp. using agricultural and industrial wastes as substrates. Botanica Marina 53: 275-282. Rohlfs, M & A.C.L. Churchill. 2011. Fungal secondary metabolites as modulators of interactions with insects and other arthropods. Fungal Genetics and Biology 48: 23—34. Rohlfs, M. 2015. Fungal secondary metabolite dynamics in fungus grazer interactions: novel insights and unanswered questions. Frontiers in Microbiology 5: 1—5. doi:10.3389/fmicb.2014.00788. Rukachaisirikul, V., A. Rodglin, S. Phongpaichit, J. Buatong & J. Sakayaroj. 2012. a-Pyrone and seiricuprolide derivatives from the mangrove-derived fungi Pestalotiopsis spp. PSU-MA92 and PSU-MA119. Phytochemistry Letters 5: 13—17. Samson, R.A., C.M. Visagie, J. Houbraken, S.B. Hong, V. Hubka, C.H.W. Klaassen, G. Perrone, K.A. Seifert, A. Susca, J.B. Tanney, J. Varga, S. Kocsub, G. Szigeti, T. Yaguchi & J.C. Frisvad. 2014. Phylogeny, identification and nomenclature of the genus Aspergillus.Studies in Mycology 78:141—73. Sukardjo. 2004. Fisheries associated with mangrove ecosystem in Indonesia: a view from a mangrove ecologist. Biotropia 23: 13—39. Supono, S. 2009. Model kebijakan pengembangan kawasan pantai utara Jakarta secara berkelanjutan. Disertasi Doktor. Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor: xv + 214 hlm. Vega, F.E. 2008. Insect pathology and fungal endophytes. Journal of Invertebrate Pathology 98: 277—279. Wang, Qinggui & Lijian Xu. 2012. Beauvericin, a bioactive compound produced by fungi: a short review. Molecules 17: 2367—2377. Wen, Lu, Xiaoling Cai, Fang Xu, Zhigang She, Wing Lai Chan, L.L.P. Vrijmoed, E.G.B. Jones & Yongcheng Lin. 2009. Three metabolites from the mangrove endophytic fungus Sporothrix sp. (#4335) from the South China Sea. Journal of Organic Chemistry 74(3): 1093—1098. Wheeler, D.E. & H.F. Nijhout. 2003. A perspective for understanding the modes of juvenile hormone action as a lipid signaling system. BioEssays 25:994— 101. World Resources Institute. 2000. World resources 2000-2001: people and ecosystem—the fraying web of life. UNDP, Washington, DC. 400 pp. Xing, Xiaoke & Shunxing Guo. 2011. Fungal endophyte communities in four Rhizophoraceae mangrove species on the south coast of China. Ecological Research 26: 403—409.
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
153
Zainuddin, N., S.A. Alias, C.W. Lee, R. Ebel, N.A. Othman, M. R. Mukhtar & K. Awang. 2010. Antimicrobial activities of marine fungi from Malaysia. Botanica Marina 53: 507—513.
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
154
Lampiran I.1. Deskripsi kelima isolat kapang endofit berdasarkan hasil pengamatan morfologi koloni secara makroskopik dan mikroskopik Spesies Deskripsi koloni berumur 7 hari pada Morfologi koloni pada beberapa Gambaran mikroskopik beberapa media (makroskopik dan media(7 hari) mikroskopik) Medium Czapeks A. flavus Makroskopik: diameter koloni 3,5 – (BPPTCC 4,1 cm; seperti beludru bewarna kuning kehijauan yang kemudian 6036) berubah menjadi hijau, bercampur dengan aerial miselium. Mikroskopik: vesicle subglobuse berukuran 18-25 µm; uniseriate atau biseriate; konidia bulat; 5-6 µm Medium malt extract agar Makroskopik: diameter koloni lebih dari 7 cm, koloni menyebar, miselium berwarna putih, dengan konidia berwarna hijau.
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
155
Spesies
E. nidulans (BPPTCC 6038)
Deskripsi koloni berumur 7 hari pada Morfologi koloni pada beberapa beberapa media (makroskopik dan media(7 hari) mikroskopik) Medium malt extract agar (MEA) Makroskopik: (1) diameter koloni 6,5 – 7,1 cm; seperti beludru; bagian pinggir koloni berwarna putih, bagian tengah kuning tua; belakang koloni kecoklatan (umur 7 hari). (2) koloni berumur 4 minggu warna koloni hijau kecoklatan dan struktur reproduksi seksual cleistothecia (tanda panah) berwarna putih. Mikroskopik:kepala konidia kolumnar; visicle globuse berukuran 8-10 µm; biseriate; konidia kasar, bulat; 3-3.4 µm, ascospore merah keunguan berbentuk lenticular; 4-5 µm.
Gambaran mikroskopik
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
156
Spesies
Deskripsi koloni berumur 7 hari pada Morfologi koloni pada beberapa beberapa media (makroskopik dan media(7 hari) mikroskopik)
Gambaran mikroskopik
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
20 µm
157
Spesies
E.nidulans (BPPTCC 6035)
Deskripsi koloni berumur 7 hari pada Morfologi koloni pada beberapa beberapa media (makroskopik dan media(7 hari) mikroskopik) Medium MEA Makroskopik: diameter koloni 6,4 – 6,9 cm; seperti beludru; bagian pinggir koloni berwarna putih, bagian tengah hijau; belakang koloni kecoklatan Mikroskopik: visicle globuse berukuran 8-10 µm; biseriate; konidia kasar, bulat (berwarna terang); 3-3,2 µm; ascospore berwarna merah keunguan berbentuk lenticular; 3-3,5 µm.
Gambaran mikroskopik
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
158
Spesies
Deskripsi koloni berumur 7 hari pada Morfologi koloni pada beberapa beberapa media (makroskopik dan media(7 hari) mikroskopik)
Gambaran mikroskopik
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
159
Spesies
A. tamarii (BPPTCC 6037)
Deskripsi koloni berumur 7 hari pada Morfologi koloni pada beberapa beberapa media (makroskopik dan media(7 hari) mikroskopik) Medium Czapeks Makroskopik: diameter koloni 5,2 – 5,5 cm; sulcate hingga floccose dengan warna hijau olive kecoklatan; bagian belakang koloni abu-abu kekuningan. Mikroskopik: vesicle globose berukuran 30-36 µm; uniseriate dan biseriate; konidia kasar, bulat; 5 -5,5 µm
Gambaran mikroskopik
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
160
Spesies
A. versicolor (BPPTCC 6039)
Deskripsi koloni berumur 7 hari pada Morfologi koloni pada beberapa beberapa media (makroskopik dan media(7 hari) mikroskopik) Medium Czapeks Makroskopik: Diameter koloni 1,1 – 1,5 cm; seperti beludru dengan warna kuning oranye; eksudate tidak berwarna; bagian belakang koloni kecoklatan. Mikroskopik: vesicle subglobose berukuran 15-16 um; uniseriate dan biseriate; konidia bulat; 4 -4,5 um
Gambaran mikroskopik
Universitas Indonesia inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
161
Lampiran II.1. Data pengaruh konsentrasi ekstrak E. nidulans (BPPTCC 6038) terhadap probit mortalitas larva neonate S. litura Konsentrasi (ppm)
Konsentrasi (mg/ml)
log10 konsentrasi
5000
5
3, 7
Jumlah larva tiap perlakuan 20
Jumlah larva mati
Mortalitas (%)
20
100
8,09
12
60
5,25
Probit
5000
5
3, 7
20
5000
5
3, 7
20
14
70
5,52
4500
4,5
3,65
20
12
60
5,25
4500
4,5
3,65
20
14
70
5,52
15
75
5,67
4500
4,5
3,65
20
4000
4
3,6
20
12
60
5,25
4000
4
3,6
20
11
55
5,13
4000
4
3,6
20
10
50
5
3,54
20
11
55
5,13
9
45
4,87 5,13
3500
3,5
3500
3,5
3,54
20
3500
3,5
3,54
20
11
55
3000
3
3,48
20
10
50
5
3,48
20
11
55
5,13
11
55
5,13
3000
3
3000
3
3,48
20
2500
2,5
3,4
20
11
55
5,13
2500
2,5
3,4
20
11
55
5,13
13
65
5,39
2500
2,5
3,4
20
1250
1,25
3,1
20
10
50
5
1250
1,25
3,1
20
11
55
5,13
1250
1,25
3,1
20
10
50
5
2, 8
20
12
60
5,25
10
50
5 5,13
625
0,625
625
0,625
2, 8
20
625
0,625
2, 8
20
11
55
312,5
0,3125
2, 8
20
6
30
5
2, 8
20
7
35
4,61
2, 8
20
8
40
4,75
312,5 312,5
0,3125 0,3125
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
162
Lampiran II.2. Data pengaruh konsentrasi ekstrak E. nidulans (BPPTCC 6035) terhadap probit mortalitas larva neonate S. litura Konsentrasi (ppm)
Konsentrasi (mg/l)
log10 Konsentrasi
Jumlah larva per perlakuan
Jumlah larva mati
Mortalitas (%)
5000
5
3, 7
20
20
100
8,09
5000
5
3, 7
20
20
100
8,09
5000
5
3, 7
20
20
100
8,09
4500
4,5
3,65
20
18
90
6,28
4500
4,5
3,65
20
15
75
5,67
4500
4,5
3,65
20
16
80
5,84
4000
4
3,60
20
12
60
5,25
4000
4
3,60
20
13
65
5,39
4000
4
3,60
20
16
80
5,84
3500
3,5
3,54
20
15
75
5,67
3500
3,5
3,54
20
14
70
5,52
3500
3,5
3,54
20
16
80
5,84
3000
3
3,48
20
11
55
5,13
3000
3
3,48
20
9
45
4,87
3000
3
3,48
20
12
60
5,25
2500
2,5
3,4
20
10
50
5
Probit
2500
2,5
3,4
20
8
40
4,75
2500
2,5
3,4
20
7
35
4,61
1250
1,25
3,1
20
6
30
4,48
1250
1,25
3,1
20
8
40
4,75
1250
1,25
3,1
20
4
20
4,16
625
0,625
2, 8
20
4
20
4,16
625
0,625
2, 8
20
6
30
4,48
625
0,625
2, 8
20
4
20
4,16
312,5
0,3125
2, 8
20
3
15
312,5
0,3125
2, 8
20
6
30
3,96 4,48
312,5
0,3125
2, 8
20
4
20
4,16
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
163
Lampiran II.3. Data pengaruh konsentrasi ekstrak A. flavus terhadap probit mortalitas larva neonate S. litura Konsentrasi (ppm)
Konsentrasi (mg/ml)
log10 konsentrasi
Jumlah larva per perlakuan
Jumlah larva mati
Mortalitas (%)
5000
5
3, 7
20
20
100
8,09
5000
5
3, 7
20
13
65
5,39
5000
5
3, 7
20
15
75
5,67
4500
4,5
3,65
20
11
55
5,13
4500
4,5
3,65
20
13
65
5,39
4500
4,5
3,65
20
12
60
5,25
4000
4
3,60
20
11
55
5,13
4000
4
3,60
20
12
60
5,25
4000
4
3,60
20
12
60
5,25
3500
3,5
3,54
20
16
80
5,84
3500
3,5
3,54
20
10
50
5
3500
3,5
3,54
20
13
65
5,39
3000
3
3,48
20
15
75
5,67
3000
3
3,48
20
13
65
5,39
3000
3
3,48
20
8
40
4,75
2500
2,5
3,34
20
8
40
4,75
2500
2,5
3,4
20
8
40
4,75
2500
2,5
3,4
20
8
40
4,75
1250
1,25
3,4
20
5
25
4,33
1250
1,25
3,1
20
5
25
4,33
1250
1,25
3,1
20
7
35
4,61
625
0,625
2, 8
20
6
30
4,48
625
0,625
2, 8
20
2
10
3,72
625
0,625
2, 8
20
6
30
4,48
312,5
0,3125
2, 8
20
6
30
4,48
312,5
0,3125
2,45
20
3
15
312,5
0,3125
2,45
20
5
25
3,96 4,33
Probit
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
164
Lampiran II.4. Data pengaruh konsentrasi ekstrak A. tamarii terhadap probit mortalitas larva neonate S. litura Konsentrasi (ppm)
Konsentrasi (mg/ml)
log10 konsentrasi
Jumlah larva per perlakuan
Jumlah larva mati
Mortalitas (%)
5000
5
3, 7
20
15
75
5,67
5000
5
3, 7
20
12
60
5,25
5000
5
3, 7
20
15
75
5,67
4500
4
3,65
20
11
55
5,13
4500
4
3,65
20
12
60
5,25
4500
4
3,65
20
10
50
5
4000
4,5
3,60
20
13
65
5,39
4000
4,5
3,60
20
16
80
5,84
4000
4,5
3,60
20
14
70
5,52
3500
3,5
3,54
20
14
70
5,52
3500
3,5
3,54
20
12
60
5,25
3500
3,5
3,54
20
17
85
6,04
3000
3
3,48
20
12
60
5,25
3000
3
3,48
20
11
55
5,13
3000
3
3,48
20
10
50
5
2500
2,5
4
20
4
20
4,16
2500
2,5
3,4
20
5
25
4,33
2500
2,5
3,4
20
8
40
4,75
1250
1,25
3,4
20
4
20
4,16
1250
1,25
3,4
20
7
35
4,61
1250
1,25
3,4
20
7
35
4,61
625
0,625
2, 8
20
2
10
3,72
625
0,625
2, 8
20
2
10
3,72
625
0,625
2, 8
20
1
5
3,36
Probit
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
165
Lampiran II.5. Data pengaruh konsentrasi ekstrak A. versicolor terhadap probit mortalitas larva neonate S. litura Konsentrasi (ppm)
Konsentrasi (mg/ml)
log10 konsentrasi
Jumlah larva per perlakuan
Jumlah larva mati
Mortalitas (%)
5000
5
3, 7
20
17
85
6,04
5000
5
3, 7
20
16
80
5,84
5000
5
3, 7
20
10
50
4500
4,5
3,65
20
14
70
5 5,52
4500
4,5
3,65
20
14
70
5,52
4500
4,5
3,65
20
13
65
5,39
4000
4
3,6
20
11
55
5,13
4000
4
3,6
20
14
70
5,52
4000
4
3,6
20
15
75
5,67
3500
3,5
3,54
20
15
75
5,67
3500
3,5
3,54
20
13
65
5,39
3500
3,5
3,54
20
11
55
5,13
3000
3
3,48
20
10
50
5
3000
3
3,48
20
10
50
3000
3
3,48
20
12
60
5 5,25
2500
2,5
3,4
20
3
15
2500
2,5
3,4
20
5
25
3,96 4,33
2500
2,5
3,4
20
6
30
4,48
1250
1,25
3,1
20
3
15
1250
1,25
3,1
20
4
20
3,96 4,16
1250
1,25
3,1
20
6
30
4,48
625
0,625
2, 8
20
4
20
4,16
625
0,625
2, 8
20
2
10
3,72
625
0,625
2, 8
20
4
20
4,16
Probit
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
166
Lampiran II.6. Hasil uji aktivitas insektisida ekstrak etil asetat dari kultur biakan kapang E. nidulans (BPPTCC 6038) Jumlah ekstrak uji (mg)
20
Jumlah larva hidup 0
12
8
0,005
0,00063
4,053
0,875
3,178
78,4111
0,03128
2,131
Jumlah larva mati 5 5
Berat larva hidup(g)
Berat ratarata kontrol (g; b) 0,03128
Laju Pertumbuhan (a/b %) 0
Pakan awal (g)
Pakan akhir (g)
Pakan habis (g)
%Pakan habis
0
Berat rata-rata (g; a) 0
3,563
0,87
2,693
75,5824
0,03128
1,998
5
14
6
0,004
0,00067
3,895
0,863
3,032
77,8434
4,5
12
8
0,009
0,00113
0,03128
3,596
3,825
1,276
2,549
66,6405
4,5
14
6
0,007
0,00117
0,03128
3,729
4,321
1,931
2,39
55,3113
15
5
0,008
0,00160
0,03128
5,115
4,402
1,286
3,116
70,7860
4
12
8
0,015
0,00188
0,03128
5,994
4,214
1,182
3,032
71,9506
4
11
9
0,016
0,00178
0,03128
5,683
3,233
0,895
2,338
72,3167
4
10
10
0,015
0,00150
0,03128
4,795
3,311
0,893
2,418
73,0293
3,5
11
9
0,023
0,00256
0,03128
8,169
3,261
0,923
2,338
71,6958
9
11
0,024
0,00218
0,03128
6,974
3,494
1,016
2,478
70,9216
11
9
0,022
0,00244
0,03128
7,814
3,368
0,928
2,44
72,4466
3
10
10
0,027
0,00270
0,03128
8,631
4,08
0,87
3,21
78,6765
3
11
9
0,013
0,00144
0,03128
4,617
3,98
0,896
3,084
77,4874
3
11
9
0,02
0,00222
0,03128
7,104
4,035
0,872
3,163
78,3891
2,5
11
9
0,028
0,00311
0,03128
9,945
3,39
0,87
2,52
74,3363
11
9
0,048
0,00533
0,03128
17,048
4,17
0,972
3,198
76,6906
0,03128
28,313
4,5
3,5 3,5
2,5 2,5
13
7
0,062
0,00886
4,069
0,95
3,119
76,6527
1,25
10
10
0,065
0,00650
0,03128
20,778
3,39
1,104
2,286
67,4336
1,25
11
9
0,058
0,00644
0,03128
20,600
4,17
0,98
3,19
76,4988
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
167
Lampiran II.6. (lanjutan) Hasil uji aktivitas insektisida ekstrak etil asetat dari kultur biakan kapang E. nidulans (BPPTCC 6038) Jumlah ekstrak uji (mg)
10
Jumlah larva hidup 10
12
8
0,056
0,00700
3,288
1,125
2,163
65,7847
0,625
10
10
0,032
0,00320
0,03128
10,229
3,21
1,413
1,797
55,9813
0,625
11
9
0,054
0,00600
0,03128
19,180
3,422
1,538
1,884
55,0555
0,3125
6
14
0,092
0,00657
0,03128
21,006
3,454
1,518
1,936
56,0510
7
13
0,088
0,00677
0,03128
21,638
3,357
1,767
1,59
47,3637
8
12
0,072
0,00600
0,03128
19,180
3,33
1,748
1,582
47,5075
0 (Kontrol-)
0
20
0,585
0,02925
0,03128
93,500
3,752
0,633
3,119
83,1290
0 (Kontrol-)
0
20
0,655
0,03275
0,03128
104,688
3,599
0,592
3,007
83,5510
0 (Kontrol-)
0
20
0,637
0,03185
3,653
0,588
3,065
83,9036
20
0
0
0,03128 0,03128
101,811
0
0
3,393
3,012
0,381
11,2290
2 (Kontrol +)
20
0
0
0
0,03128
0
2,955
2,451
0,504
17,0558
2 (Kontrol +)
20
0
0
0
0,03128
0
3,689
2,978
0,711
19,2735
1,25 0,625
0,3125 0,3125
2 (Kontrol +)
Jumlah larva mati
Berat larva hidup(g)
Berat ratarata kontrol (g; b) 0,03128
Laju Pertumbuhan (a/b %) 16,303
Pakan awal (g)
Pakan akhir (g)
Pakan habis (g)
%Pakan habis
0,051
Berat rata-rata (g; a) 0,00510
4,069
1,122
2,947
72,4257
0,03128
22,376
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
168
Lampiran II.7. Hasil uji aktivitas insektisida ekstrak etil asetat dari kultur biakan kapang E. nidulans (BPPTCC 6035) Jumlah ekstrak uji (mg)
Jumlah larva mati
Jumlah larva hidup
5
20
5
Berat rata-rata kontrol (g; b)
Berat larva hidup(g)
Berat rata-rata (g; a)
0
0
0
0,028267
20
0
0
0
5
20
0
0
4,5
18
2
4,5
15
5
4,5
16
4
Laju Pertumbuhan (a/b %)
Pakan awal (g)
Pakan akhir (g)
Pakan habis (g)
Pakan habis (%)
0
3,108
0,902
2,206
70,9781
0,028267
0
3,462
0,9
2,562
74,0035
0
0,028267
0
2,108
0,901
1,207
57,2581
0,001
0,0005
0,028267
1,769
3,676
0,878
2,798
76,1153
0,013
0,0026
0,028267
9,198
3,04
0,789
2,251
74,0461
4
0,018
0,0045
0,028267
15,920
4,056
0,88
3,176
78,3037
12
8
0,008
0,001
0,028267
3,538
3,426
0,899
2,527
73,7595
4
13
7
0,013
0,00186
0,028267
6,570
3,784
1,011
2,773
73,2822
4
16
4
0,011
0,00275
0,028267
9,729
3,568
0,944
2,624
73,5426
3,5
15
5
0,012
0,0024
0,028267
8,490
2,387
1,282
1,105
46,2924
3,5
14
6
0,011
0,00183
0,028267
6,486
5,5
2,064
3,436
62,4727
3,5
16
4
0,01
0,0025
0,028267
8,844
5,572
1,208
4,364
78,3202
3
11
9
0,011
0,00122
0,028267
4,324
3,828
0,889
2,939
76,7764
3
9
11
0,03
0,00273
0,028267
9,648
4,11
0,93
3,18
77,3723
3
12
8
0,009
0,00113
0,028267
3,980
4,113
0,955
3,158
76,7809
2,5
10
10
0,093
0,0093
0,028267
32,901
3,54
0,956
2,584
72,9944
2,5
8
12
0,227
0,01892
0,028267
66,921
4,383
1,161
3,222
73,5113
2,5
7
13
0,256
0,01969
0,028267
69,665
4,354
1,072
3,282
75,3790
1,25
6
14
0,052
0,00371
0,028267
13,140
3,433
1,382
2,051
59,7437
1,25
8
12
0,062
0,00517
0,028267
18,278
3,435
1,19
2,245
65,3566
1,25
4
16
0,093
0,00581
0,028267
20,563
3,094
1,606
1,488
48,0931
0,625
4
16
0,087
0,00544
0,028267
19,236
3,54
1,319
2,221
62,7401 Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
169
Lampiran II.7. (lanjutan) Hasil uji aktivitas insektisida ekstrak etil asetat dari kultur biakan kapang E. nidulans (BPPTCC 6035) Jumlah ekstrak uji (mg)
Jumlah larva mati
Jumlah larva hidup
Berat larva hidup(g)
Berat rata-rata kontrol (g: b)
Berat rata-rata (g; a)
Laju Pertumbuhan (a/b %)
Pakan awal (g)
Pakan akhir (g)
Pakan habis (g)
Pakan habis (%)
0,625
6
14
0,058
0,00414
0,028267
14,656
4,383
1,014
3,369
76,8652
0,625
4
16
0,089
0,00556
0,028267
19,678
4,354
1,339
3,015
69,2467
0,3125
3
17
0,081
0,00476
0,028267
16,856
3,207
2,174
1,033
32,2108
0,3125
6
14
0,048
0,00343
0,028267
12,129
3,187
2,362
0,825
25,8864
0,3125
4
16
0,038
0,00238
0,028267
8,402
3,34
1,749
1,591
47,6347
0 (Kontrol -)
0
20
0,535
0,02675
0,028267
94,633
3,255
1,018
2,237
68,7250
0 (Kontrol -)
0
20
0,529
0,02645
0,028267
93,572
3,124
1,107
2,017
64,5647
0 (Kontrol -)
0
20
111,791 0
1,791
58,3198
3,123
2,467
0,656
21,0054
20
0 0
0,028267 0
1,28
20
0,0316 0
3,071
2 (Kontrol +)
0,632 0 0
0
0
0
3,201
2,469
0,732
22,8679
20
0
0
0
0
0
3,255
2,672
0,583
17,9109
2 (Kontrol +) 2 (Kontrol +)
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
170
Lampiran II.8. Hasil uji aktivitas insektisida ekstrak etil asetat dari kultur biakan kapang A. flavus Berat larva hidup(g)
Berat ratarata kontrol (g; b)
Jumlah ekstrak uji (mg)
Jumlah larva mati
Jumlah larva hidup
Pakan akhir (g)
Pakan habis (g)
%Pakan habis
5
20
0
0
0
0,027783
0
5
13
7
0,046
0,0066
0,027783
23,6524
4,008
0,96
3,048
76,0479
4,107
0,871
3,236
78,7923
5
15
5
0,039
0,0078
0,027783
28,0744
3,924
0,89
3,034
77,3191
4,5
11
9
0,04
0,0044
0,027783
15,9968
2,394
0,908
1,486
62,0718
4,5
13
7
0,012
0,0017
0,027783
6,1702
3,202
1,062
2,14
66,8332
4,5
12
8
0,011
0,0014
0,027783
4,9490
3,918
1,038
2,88
73,5069
4
11
4
12
9
0,005
0,0006
0,027783
1,9996
3,438
0,911
2,527
73,5020
8
0,021
0,0026
0,027783
9,4481
3,537
0,988
2,549
72,0667
4
12
8
0,018
0,0023
0,027783
8,0984
3,719
1,037
2,682
72,162
3,5
16
4
0,002
0,0005
0,027783
1,7996
5,132
1,322
3,81
74,2401
3,5
10
10
0,015
0,0015
0,027783
5,3989
5,389
1,632
3,757
69,7161
3,5
13
7
0,006
0,0009
0,027783
3,0851
4,998
1,237
3,761
75,2501
3
15
5
0,012
0,0024
0,027783
8,6383
4,167
1,024
3,143
75,4260
3
13
7
0,024
0,0034
0,027783
12,3404
4,193
1,097
3,096
73,8373
3
8
12
0,021
0,0018
0,027783
6,2987
4,069
0,908
3,161
77,6849
2,5
8
12
0,215
0,0179
0,027783
64,4871
4,534
0,823
3,711
81,8483
2,5
8
12
0,15
0,0125
0,027783
44,9910
3,957
1,075
2,882
72,8330
Berat ratarata (g; a)
Laju Pertumbuhan (a/b %)
Pakan awal (g)
2,5
8
12
0,278
0,0232
0,027783
83,3833
4,311
1,119
3,192
74,0431
1,25
5
15
0,122
0,0081
0,027783
29,2741
4,737
0,876
3,861
81,5073
1,25
5
15
0,097
0,0065
0,027783
23,2753
4,472
0,863
3,609
80,7021
1,25
7
13
0,105
0,0081
0,027783
29,0711
3,238
1,014
2,224
68,6844
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
171
Lampiran II.8. (lanjutan) Hasil uji aktivitas insektisida ekstrak etil asetat dari kultur biakan kapang A. flavus Berat ratarata kontrol (g; b)
Laju Pertumbuhan (a/b %)
0,0066
0,027783
23,6524
0,0052
0,027783
18,5963
0,071
0,0051
0,027783
14
0,058
0,0041
3
17
0,109
0,3125
5
15
0,099
0 (Kontrol -)
0
20
0 (Kontrol -)
0
20
0 (Kontrol -)
0
20
2 (Kontrol +)
20
2(Kontrol +) 2(Kontrol +)
Jumlah ekstrak uji (mg)
Jumlah larva mati
Jumlah larva hidup
Berat larva hidup(g)
Pakan akhir (g)
Pakan habis (g)
%Pakan habis
0,625
6
14
0,092
0,625
2
18
0,093
3,263
1,308
1,955
59,9142
3,164
1,697
1,467
46,3654
0,625
6
14
18,2535
3,316
1,496
1,82
54,854
0,3125
6
0,027783
14,9113
3,361
1,866
1,495
44,4808
0,3125
0,0064
0,027783
23,0777
3,341
1,591
1,75
52,3795
0,0066
0,027783
23,7552
3,268
1,94
1,328
40,6365
0,56
0,028
0,027783
100,7798
5,439
0,942
4,497
82,6806
0,57
0,0285
0,027783
102,5795
5,08
0,931
4,149
81,6732
0,537
0,0269
0,027783
96,6407
5,139
0,918
4,221
82,1366
0
0
0
0
0
5,279
3,967
1,312
24,8532
20
0
0
0
0
0
4,904
3,969
0,935
19,0661
20
0
0
0
0
0
5,345
3,972
1,373
25,6876
Berat ratarata (g; a)
Pakan awal (g)
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
172 Lampiran II.9. Hasil uji aktivitas insektisida ekstrak etil asetat dari kultur biakan kapang A. tamarii Jumlah ekstrak uji (mg)
Jumlah larva mati
Jumlah larva hidup
Berat larva hidup(g)
Berat rata-rata (g; a)
Berat ratarata kontrol (g; b)
Laju Pertumbuhan (a/b %)
Pakan awal (g)
Pakan akhir (g)
Pakan habis (g)
5
15
5
0,023
0,0046
0,0292
15,7534
3,732
0,887
2,845
5
12
8
0,058
0,0073
0,0292
24,8288
5,239
1,951
3,288
5
15
5
0,024
0,0048
0,0292
16,4384
3,697
0,88
2,817
4
11
9
0,012
0,0013
0,0292
4,5662
3,377
0,909
2,468
4
12
8
0,014
0,0018
0,0292
5,9932
3,381
0,917
2,464
4
10
10
0,017
0,0017
0,0292
5,8219
3,559
0,95
2,609
4,5
13
7
0,003
0,0004
0,0292
1,4677
3,271
0,909
2,362
4,5
16
4
0,002
0,0005
0,0292
1,7123
3,018
0,912
2,106
4,5
14
6
0,002
0,0003
0,0292
1,1416
3,652
0,921
2,731
3,5
14
6
0,005
0,0008
0,0292
2,8539
4,338
1,011
3,327
3,5
12
8
0,004
0,0005
0,0292
1,7123
4,536
1,034
3,502
3,5
17
3
0,001
0,0003
0,0292
1,1416
4,312
1,004
3,308
3
12
8
0,038
0,0048
0,0292
16,2671
4,227
1,028
3,199
3
11
9
0,03
0,0033
0,0292
11,4155
4,172
1,052
3,12
3
10
10
0,028
0,0028
0,0292
9,5890
4,154
0,944
3,21
2,5
4
16
0,12
0,0075
0,0292
25,6849
4,299
0,742
3,557
2,5
5
15
0,117
0,0078
0,0292
26,7123
4,298
0,737
3,561
2,5
8
12
0,092
0,0077
0,0292
26,2557
3,391
0,865
2,526
1,25
4
16
0,355
0,0222
0,0292
75,9846
3,838
0,908
2,93
1,25
7
13
0,183
0,0141
0,0292
48,2086
3,27
0,77
2,5
1,25
7
13
0,297
0,0228
0,0292
78,2403
4,211
0,751
3,46
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
173 Lampiran II.9. (lanjutan) Hasil uji aktivitas insektisida ekstrak etil asetat dari kultur biakan kapang A. tamarii Jumlah ekstrak uji (mg)
Jumlah larva mati
Jumlah larva hidup
Berat larva hidup(g)
Berat rata-rata (g; a)
Berat ratarata kontrol (g; b)
Laju Pertumbuhan (a/b %)
Pakan awal (g)
Pakan akhir (g)
Pakan habis (g)
0,625
2
18
0,199
0,0111
0,0292
37,8615
3,184
1,826
1,358
0,625
2
18
0,197
0,0109
0,0292
37,4810
3,226
1,735
1,491
0,625
1
19
0,105
0,0055
0,0292
18,9257
5,514
1,816
3,698
0 (Kontrol -)
0
20
0,62
0,031
0,0292
106,1644
3,586
0,85
2,736
0 (Kontrol -)
0
20
0,617
0,03085
0,0292
105,6507
4,461
0,97
3,491
0 (Kontrol -)
0
20
0,515
0,02575
0,0292
88,1849
4,376
1,01
3,366
2(Kontrol +)
20
0
0
0
0
0
3,063
2,551
0,512
2(Kontrol +)
20
0
0
0
0
0
3,13
2,443
0,687
2 (Kontrol +)
20
0
0
0
0
0
3,536
2,352
1,184
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
174
Lampiran II.10. Hasil uji aktivitas insektisida ekstrak etil asetat dari kultur biakan kapang A.versicolor Jumlah ekstrak uji (mg)
Jumlah larva mati
Jumlah larva hidup
Berat larva hidup(g)
Berat rata-rata (g; a)
Berat ratarata kontrol (g; b)
Laju Pertumbuhan (%)
Pakan awal (g)
Pakan akhir (g)
Pakan habis (g)
Pakan habis (%)
5
17
3
0,001
0,00033
0,03373
0,9881
3,303
0,929
2,374
71,8741
5
16
4
0,001
0,00025
0,03373
0,7411
3,604
0,982
2,622
72,7525
5
10
10
0,003
0,0003
0,03373
0,8893
5,293
1,617
3,676
69,4502
4,5
14
6
0,06
0,01
0,03373
29,6443
3,868
0,881
2,987
77,2234
4,5
14
6
0,055
0,00917
0,03373
27,1739
3,445
0,992
2,453
71,2046
4,5
13
7
0,075
0,01071
0,03373
31,7617
3,707
0,9
2,807
75,7216
4
11
9
0,035
0,00389
0,03373
11,5283
3,564
0,907
2,657
74,5511
4
14
6
0,02
0,00333
0,03373
9,8814
3,296
0,929
2,367
71,8143
4
15
5
0,021
0,0042
0,03373
12,4506
3,286
0,917
2,369
72,0937
3,5
15
5
0,008
0,0016
0,03373
4,7431
4,283
0,977
3,306
77,1889
3,5
13
7
0,016
0,00229
0,03373
6,7758
4,231
0,931
3,3
77,9957
3,5
11
9
0,043
0,00478
0,03373
14,1634
4,095
1,031
3,064
74,8230
3
10
10
0,06
0,006
0,03373
17,7866
4,377
1,012
3,365
76,8791
3
10
10
0,052
0,0052
0,03373
15,4150
3,89
1,01
2,88
74,0360
3
12
8
0,021
0,00263
0,03373
7,7816
4,179
1,025
3,154
75,4726
2,5
3
17
0,109
0,00641
0,03373
19,0072
4,338
1,372
2,966
68,3725
2,5
5
15
0,089
0,00593
0,03373
17,5889
4,334
1,437
2,897
66,8436
2,5
6
14
0,096
0,00686
0,03373
20,3275
4,495
1,485
3,01
66,9633
1,25
3
17
0,12
0,00706
0,03373
20,9254
3,187
1,891
1,296
40,6652
1,25
4
16
0,093
0,00581
0,03373
17,2307
3,422
2,005
1,417
41,4085
1,25
6
14
0,11
0,00786
0,03373
23,2919
3,454
1,533
1,921
55,6167
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
175
Lampiran II.10. (lanjutan) Hasil uji aktivitas insektisida ekstrak etil asetat dari kultur biakan kapang A. versicolor Jumlah ekstrak uji (mg)
Jumlah larva mati
Jumlah larva hidup
Berat larva hidup(g)
Berat rata-rata (g; a)
Berat ratarata kontrol (g; b)
Laju Pertumbuhan (%)
Pakan awal (g)
Pakan akhir (g)
Pakan habis (g)
Pakan habis (%)
0,625
4
16
0,04
0,0025
0,03373
7,4111
3,341
0,987
2,354
70,4579
0,625
2
18
0,016
0,00089
0,03373
2,6350
3,268
1,94
1,328
40,6365
0,625
4
16
0,013
0,00081
0,03373
2,4086
3,207
1,801
1,406
43,8416
0 (Kontrol -)
0
20
0,76
0,038
0,03373
112,6482
3,27
0,905
2,365
72,3242
0 (Kontrol -)
0
20
0,628
0,0314
0,03373
93,0830
3,807
0,804
3,003
78,8810
0 (Kontrol -) 2 (Kontrol +) 2 (Kontrol +) 2 (Kontrol +)
0
20
0,636
0,0318
0,03373
94,2688
3,516
0,801
2,715
77,2184
20
0
0
0
0
0
3,376
2,723
0,653
19,3424
20
0
0
0
0
0
3,998
2,897
1,101
27,5388
20
0
0
0
0
0
3,876
2,773
1,103
28,4572
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
176
Lampiran II.11. Kondisi perkembangan larva S. litura setelah uji feeding dietary No.
Kode ekstrak
1.
BPPTCC 6038
2.
Konsentrasi (mg/ml)
H7
H8
H9
H10
H11
H12
H13
H14
H15
H16
H17
H19
H18
H20
5
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
1
BPPTCC 6038
2,5
25
25
25
25
25
25
21
18
12
8
5
4
4
1
3.
BPPTCC 6038
1,25
29
29
29
29
29
23
23
23
23
21
7
4
4
1
4.
BPPTCC 6038
0,625
27
27
20
20
20
20
4
4
4
1
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
5.
BPPTCC 6038
0,3125
39
25
23
21
7
4
1
1
1
1
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
6.
BPPTCC 6035
5
8
8
8
8
8
8
8
8
8
8
8
4
4
1
7.
BPPTCC 6035
2,5
35
18
11
7
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
8.
BPPTCC 6035
1,25
26
15
12
8
7
5
3
2
0
0
0
0
0
0
9.
BPPTCC 6035
0,625
28
28
20
7
7
7
1
1
1
1
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
10.
2(P)
2(P)
2(P)
1
1
BPPTCC 6035
0,3125
24
24
20
11
4
3
2
2
2
2(1P)
2
11.
BPPTCC 6036
5
8
8
8
8
98
8
8
8
8
8
5
12.
BPPTCC 6036
2,5
36
17
16
16
15
15
12
12
6
6
2
1
1
1 (P)
13.
BPPTCC 6036
1,25
43
40
35
27
24
23
20
19
19
6
3
2
2
2
14.
BPPTCC 6036
0,625
46
40
32
32
12
11
6
5
5
3
3(2P)
3 (P)
3 (P)
3 (P)
15.
BPPTCC 6036
0,3125
46
44
38
38
22
8
5
3
2
2
2
2 (P)
2 (P)
2 (P)
16.
BPPTCC 6037
5
18
18
18
18
18
15
15
15
15
15
2
2
2
17.
BPPTCC 6037
2,5
42
37
31
23
18
14
10
10
8
6
4
0
0
18.
2
BPPTCC 6037
1,25
32
29
25
17
14
13
10
8
7
4
3
2
1
0
19.
BPPTCC 6037
0,625
55
50
42
42
17
7
4
4
2
2
2 (1P)
2 (1P)
2 (1P)
2 (1P)
20.
BPPTCC 6037
0,3125
37
31
28
28
25
8
1
1
1
0
0
0
0
0
21.
BPPTCC 6039
5
17
17
17
17
17
16
16
16
13
8
7
2
1
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
177
Lampiran II.11. (lanjutan) Kondisi pertumbuhan larva S. litura setelah uji feeding dietary No.
Kode ekstrak
22.
Konsentrasi (mg/ml)
H7
H8
H9
H10
H11
H12
H13
H14
H15
H16
H17
H19
H18
H20
BPPTCC 6039
2,5
46
40
33
28
23
18
18
18
18
13
7
3
3
2
23.
BPPTCC 6039
1,25
47
39
34
28
16
10
9
9
9
8
1
1
1
1(P)
24.
BPPTCC 6039
0,625
50
38
23
22
22
2
2
2
2
1
1
0
0
0
25.
BPPTCC 6039
0,3125
53
29
27
21
14
10
8
1
1
1
1
0
0
0
26.
Kontrol
0
20
20
20
20
19
19(2P)
18(17P)
18 (P)
18 (P)
18 (P)
(3KP)
11 KP
27.
Kontrol
0
20
20
20
20
20
20
20(1P)
20(5P)
(11P)
(18P)
(20P)
20P
19 (6P) 18(14P) 20
20
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
178
Lampiran II.11. (lanjutan) Kondisi pertumbuhan larva S. litura setelah uji feeding dietary No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Kode ekstrak
BPPTCC 6038 BPPTCC 6038 BPPTCC 6038 BPPTCC 6038 BPPTCC 6038 BPPTCC 6035 BPPTCC 6035 BPPTCC 6035 BPPTCC 6035 BPPTCC 6035 BPPTCC 6036 BPPTCC 6035 BPPTCC 6035 BPPTCC 6035 BPPTCC 6035 BPPTCC 6037 BPPTCC 6037 BPPTCC 6037 BPPTCC 6037 BPPTCC 6037
Konsentrasi (mg/ml)
H21
H22
H23
H24
H25
H26
H27
H28
H29
H30
H32
0
0
5
1
0
0
0
0
0
0
0
0
2,5
1
1
1
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1,25
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
0,625
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (KP) 1 (P)
0,3125
Keterangan MS 1 KP
1 (KP)
1 KP 1 (P)
1 (P)
TJK
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
5
1
1
1 (P)
1 (P)
1(KP) 1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
2,5
0
0
0
0
0
0
0
0
1,25
0
0
0
0
0
0
0
0
2 (1KP) 1 (P)
1(P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (KP)
1 KP
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 KP
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (KP) 1 (P)
0,625
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
0,3125
2(P)
2(P)
2(P)
2(P)
5
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
2,5
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 KP 1 KP
0
1 (KP) 0
0
MS
0
0
0
MS
1 (P)
1 KP & 1 TJK
1(KP)
1 KP
1,25
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
0,625
3 (P)
3 (P)
3 (P)
3 (P)
2 KP
0,3125
2 (P)
2 (P)
2 (P)
2 (P)
2 (P)
2 (P)
2 (P)
2 (P)
2 (P)
5
2(P)
2(P)
2(P)
2(P)
2(P)
2(P)
2(P)
2(P)
1 (P)
1 (KP)
1 KP 2 KP 7 1 TJK
2 (P)
2 (P)
TJK 1 KP & 1 TJK
2,5
0
0
0
0
0
0
0
0
1(KP) 0
0
0
MS
1,25
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
MS
0,625
2 (1P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
TJK
0,3125
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
MS
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
179
Lampiran II.11. (lanjutan) Kondisi perkembangan larva S. litura setelah uji feeding dietary Konsentrasi (mg/ml)
No.
Kode ekstrak
21.
25.
BPPTCC 6039 BPPTCC 6039 BPPTCC 6039 BPPTCC 6039 BPPTCC 6039
26.
Kontrol
0
27.
Kontrol
0
1KP
4 KP
22. 23. 24.
H21
H22
H23
H24
H25
H26
H27
H28
H29
H30
H32
Keterangan
5
1
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
TJK
2,5
2
2
2
2
2 (1P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
1 (P)
TJK
1,25
1(P)
1(P)
1(P)
1(P)
1(P)
1(P)
1(P)
1(P)
1(P)
1(P)
1(P)
TJK
0,625
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
MS
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
15 KP
16 KP
0,3125
18 KP 11KP
MS 18 KP
17KP
19 KP
19KP
Keterangan: H: hari; kode ekstrak BPPTCC 6038: E. nidulans; BPPTCC 6035: E. nidulans; BPPTCC 6036: A. flavus; BPPTCC 6037: A. tamarii; BPPTCC 6039: A. versicolor; P : Pupa, KP: kupu-kupu, TJK: tidak menjadi kupu-kupu, MS: mati semua
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.
180
Lampiran II.12. Kondisi perkembangan larva S. litura setelah uji topical application No.
Kode Ekstrak
H6
H7
H8
H9
H10
H11
1.
BPPTCC 6038
9
4
4
2
2
2.
BPPTCC 6038
6
4
4
4
3(2P)
3.
BPPTCC 6038
7
3
3
3
3
1
4.
BPPTCC 6035
8
4
4
4
4
4(P)
4(P)
4(P)
4(P)
4(P)
4(P)
4(P)
4(P)
4(P)
4(P)
5.
BPPTCC 6035
4
4
4
4
2 (P)
2 (P)
2 (P)
2 (P)
2 (P)
2 (P)
2 (P)
2 (P)
2 (P)
1 KP
6.
BPPTCC 6035
7
3
3
3
3
2 (P)
2 (P)
2 (P)
2 (P)
2 (P)
2 (P)
2 (P)
2 (P)
2 (P)
2 (P)
2 KP
TJK
7.
BPPTCC 6036
5
2
2
2
2 (1P)
1(P)
1(P)
1(P)
1(P)
1(P)
1(P)
1(P)
1(P)
1(P)
1 KP
1 KP
1 KP
8.
BPPTCC 6036
5
3
3
3
2 (1P)
1(P)
1(P)
1(P)
1(P)
1(P)
1(P)
1(P)
1(P)
1(P)
1 KP
1 KP
1 KP
9.
BPPTCC 6036
7
4
4
4
4(3P)
3 (P)
3 (P)
3 (P)
3 (P)
3 (P)
3 (P)
3 (P)
3 (P)
3 (P)
3 (P)
1 KP
1 KP; 2TJK
10.
BPPTCC 6037
9
4
4
4
3
1(P)
1(P)
1(P)
1(P)
1(P)
1(P)
1(P)
1(P)
1(P)
1(P)
1(P)
TJK
11.
BPPTCC 6037
7
3
3
3
3
3(P)
3(P)
3(P)
3(P)
3(P)
3(P)
3(P)
3(P)
3(P)
1 KP
3 KP
3 KP
12.
BPPTCC 6037
8
5
5
4
3
(1P)
3(P)
3(P)
3(P)
3(P)
3(P)
3(P)
3(P)
3(P)
3(P)
2 KP
2 KP; 1 TJK
13.
BPPTCC 6039
5
4
4
4
4
4
3(P)
3(P)
3(P)
3(P)
3(P)
3(P)
3(P)
3(P)
3(P)
3 KP
3 KP
14.
BPPTCC 6039
8
5
5
5
5
2(P)
2(P)
2(P)
2(P)
2(P)
2(P)
2(P)
2(P)
2(P)
2 KP
15.
BPPTCC 6039
3
3
3
3
3
3
3(P)
3(P)
3(P)
3(P)
3(P)
3(P)
3(P)
3(P)
3(P)
1 KP
1 KP; 2 TJK
16.
Kontrol +
6
4
4
4
4 (1P)
2(P)
2(P)
2(P)
2(P)
2(P)
2(P)
2(P)
2(P)
2(P)
1 KP
2 KP
2 KP
17.
Kontrol +
5
4
4
4
2
2(P)
2(P)
2(P)
2(P)
2(P)
2(P)
2(P)
2(P)
2(P)
2(P)
1 KP
1 KP
18.
Kontrol +
6
4
4
4
2
2(P)
2(P)
2(P)
2(P)
2(P)
2(P)
2(P)
2(P)
2(P)
2(P)
2 KP
2 KP
19.
Kontrol -
10
10
10
10
6(P)
10 (P)
10 (P)
10 (P)
10 (P)
8 (P)
2 KP
5 KP
8 KP
10 KP
20.
Kontrol -
10
10
10
9
5(P)
9(P)
9(P)
9(P)
9(P)
7(P)
2 KP
9 KP
21.
Kontrol -
10
10
10
10
3(P)
7(P)
10(P)
10(P)
10(P)
7 (P)
3 KP
7 KP
1 3(P)
2 (P)
H12 1 3(P) 1
H13
H14
H15
H16
H17
H18
H19
H20
H21
0 3(P)
Keterangan MS
3(P)
3(P)
3(P)
3(P)
3(P)
3(P)
3(P)
3(P)
0
TJK MS
3 KP
3 KP 1 KP
2 KP
10 KP 9 KP
10 KP
10 KP
Keterangan: H: hari; kode ekstrak BPPTCC 6038: E. nidulans; BPPTCC 6035: E. nidulans; BPPTCC 6036: A. flavus; BPPTCC 6037: A. tamarii; BPPTCC 6039: A. versicolor; P : Pupa, KP: kupu-kupu, TJK: tidak menjadi kupu-kupu, MS: mati semua
Universitas Indonesia
inventarisasi kapang..., Silva Abraham, FMIPA UI, 2015.