UNIVERSITAS INDONESIA
“VALUE-IN-USE” SEBAGAI PENGGERAK PERILAKU PARTISIPATIF SERTA IMPLIKASINYA PADA LOYALITAS MEREK: SUATU PENELITIAN PADA KOMUNITAS MEREK VIRTUAL DI INDONESIA
DISERTASI
WHONY ROFIANTO 0906599073
FAKULTAS EKONOMI PROGRAM PASCASARJANA ILMU MANAJEMEN DEPOK JANUARI 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
“VALUE-IN-USE” SEBAGAI PENGGERAK PERILAKU PARTISIPATIF SERTA IMPLIKASINYA PADA LOYALITAS MEREK: SUATU PENELITIAN PADA KOMUNITAS MEREK VIRTUAL DI INDONESIA
DISERTASI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor dalam Ilmu Manajemen
WHONY ROFIANTO 0906599073
HALAMAN JUDUL FAKULTAS EKONOMI PROGRAM PASCASARJANA ILMU MANAJEMEN KEKHUSUSAN PEMASARAN DEPOK JANUARI 2014
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur, saya panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat, hidayah dan perkenan-Nya sehingga proses penulisan disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi ini merupakan suatu upaya untuk memberikan kontribusi pada disiplin serta praktik pemasaran khususnya pada bahasan komunitas merek virtual. Proses penyelesaian disertasi ini merupakan bagian dari proses penulis untuk mencapai gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, yang dalam perjalanannya banyak sekali mendapatkan bantuan serta dukungan dari berbagai pihak. Disertasi ini saya dedikasikan untuk kedua orang tua saya, H. Imam Suwardi dan Hj. Suhartati atas seluruh kasih sayang, doa dan dukungan yang tiada henti selama ini. Kepada istri tercinta, Anna Riana Putriya, atas segenap cinta, serta dukungan moril dan materil yang telah diberikan selama ini, semoga disertasi ini dapat menjadi inspirasi guna segera menempuh perjalanan serupa. Kepada putri tercinta, Aisya Zafira, atas senyum dan tingkah laku yang senantiasa menjadi oase semangat selama proses penulisan, semoga disertasi ini dapat menjadi dorongan di kemudian hari untuk menciptakan karya yang lebih besar. Ucapan terima kasih pertama-tama saya sampaikan kepada Bapak Dr. Adi Zakaria Afiff selaku promotor, serta Ibu Dr. T. Ezni Balqiah dan Bapak Prof. Teddy Pawitra, Ph.D. selaku ko-promotor atas seluruh curahan waktu, pikiran, tenaga, dan dorongan semangat yang telah diberikan selama ini. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Sofjan Assauri selaku ketua tim penguji, serta Bapak Prof. Agus W. Soehadi, Ph.D., Bapak Dr. Bambang Wiharto, Ibu Gita Gayatri, Ph.D., dan Bapak Dr. Rizal Edy Halim selaku tim penguji atas segala masukan demi menyempurnakan penulisan disertasi ini. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada segenap dosen Program Studi Ilmu Manajemen yang selama ini telah memandu proses pembelajaran penulis selama menempuh studi doktoral. Kepada Ibu Devi, Ibu Era, Bapak Syarif, Bapak Herman dan seluruh staff Program Studi Ilmu Manajemen, terima kasih atas segenap bantuan dan dukungannya selama ini. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Bapak Dr. Siswanto dan Bapak Nugroho Endropranoto SE., M.B.A., yang telah menginisiasi penugasan studi lanjut. Terima kasih kepada YPPI atas dukungan sebagian pendanaan studi serta kepada Ibu Dr. Siti Sundari dan Bapak Subarjo Joyosumarto, Ph.D., atas izin penyelesaian studi doktoral bagi penulis. Kepada Ibu Evi, Bapak Ramses, Ibu Ami, Bapak Adri, Ibu Nuri, Ibu Mira, Ibu Hetty, Ibu Miharni, Bapak Riza, Bapak Andang dan rekan-rekan studi doktoral Ilmu Manajemen, terima kasih atas persahabatan ii Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
dan diskusi yang hangat selama ini. Ucapan terima kasih yang tidak kalah besar saya sampaikan kepada Bapak Ahmad, Ibu Rina, Bapak Fajar, Bapak Wasi, Ibu Ira, Ibu Filda atas persahabatannya selama ini serta seluruh rekan dosen dan civitas akademika Indonesia Banking School dan berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Sebagai penutup, semoga Allah SWT membalas kebaikan dari segenap pihak yang telah membantu dan mendukung terselesaikannya penulisan disertasi ini. Disertasi ini merupakan hasil curahan segenap pemikiran dan upaya penulis selama beberapa tahun terakhir. Terlepas dari sejumlah limitasi yang dimiliki oleh disertasi ini, penulis berharap disertasi ini dapat turut memberikan kontribusi bagi perkembangan disiplin pemasaran serta dapat memberikan kontribusi positif bagi praktik pemasaran khususnya di Indonesia.
Depok, 24 Januari 2014
Whony Rofianto
iii Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
ABSTRAK
Nama : Whony Rofianto Program Studi : Ilmu Manajemen Judul : “Value-in-use” Sebagai Penggerak Perilaku Partisipatif serta Implikasinya pada Loyalitas Merek: Suatu Penelitian pada Komunitas Merek Virtual di Indonesia
Pada kebanyakan komunitas virtual, termasuk komunitas merek virtual, intensitas perilaku partisipatif lurking selalu lebih tinggi dari intensitas perilaku partisipatif posting. Namun demikian, sebagian besar penelitian selalu berfokus pada perilaku partisipatif posting dan mengabaikan peran perilaku partisipatif lurking. Faktanya, dalam konteks komunitas merek virtual pada perspektif pemasaran, perilaku partisipatif lurking perlu mendapatkan perhatian khusus. Penelitian ini mencoba untuk menelaah bagaimana value-in-use mendorong perilaku partisipatif posting dan lurking serta implikasinya pada loyalitas merek. Penelitian dilakukan pada beberapa komunitas merek virtual di Indonesia. Data dikumpulkan melalui survei online dan dianalisis melalui Structural Equation Model. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa value-in-use fungsional mendorong perilaku partisipatif posting maupun lurking, sementara tidak cukup bukti akan adanya dorongan valuein-use sosial. Di sisi lain, perilaku partisipatif posting dan lurking menunjukkan dampak positif pada loyalitas merek attitudinal. Sementara itu, hanya perilaku partisipatif lurking yang menunjukkan dampak positif pada loyalitas merek behavioral. Kata kunci: Komunitas merek virtual, value-in-use, nilai, perilaku partisipatif, posting, lurking, loyalitas merek, consumer culture theory, online game, penerbit.
iv Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
ABSTRACT
Name : Whony Rofianto Study Program : Management Title : "Value-in-use" As the Driver of Participative Behavior and the Implications on Brand Loyalty: A Research on the Virtual Brand Communities in Indonesia
In the majority of virtual communities, including the virtual brand community, the intensity of lurking participative behavior is always higher than the posting participative behavior intensity. However, most researches have always focused the discussion on the posting participative behavior and ignoring the role of the lurking participative behavior. In fact, in the context of the virtual brand community on a marketing perspective, lurking participative behavior needs critical attention. This study tries to examine how the value-in-use drive posting and lurking participative behavior and also the implications on brand loyalty. The study was conducted on several virtual brand communities in Indonesia. Data were collected through an online survey and analyzed through Structural Equation Model. Results of this study indicate that functional value-in-use drives posting and lurking participative behavior while there is not enough evidence on social value-in-use. In the other side, posting and lurking participative behavior shows a positive impact on attitudinal brand loyalty. Meanwhile, only lurking participative behavior that shows positive impact on behavioral brand loyalty.
Key words: Virtual brand communities, value-in-use, value, participative behavior, posting, lurking, brand loyalty, consumer culture theory, online game, publisher.
v Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii ABSTRAK ............................................................................................................. iv ABSTRACT ............................................................................................................ v DAFTAR ISI .......................................................................................................... vi DAFTAR TABEL ................................................................................................ viii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... viii 1. PENDAHULUAN .............................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1 1.2 Penelitian Terdahulu .................................................................................... 5 1.3 Masalah dan Pertanyaan Penelitian .............................................................. 5 1.4 Kesenjangan Penelitian ................................................................................ 7 1.5 Tujuan Penelitian.......................................................................................... 8 1.6 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................................ 8 2. TINJAUAN KEPUSTAKAAN ...................................................................... 11 2.1 Consumer Culture Theory sebagai Landasan Teoritis Model Penelitian ... 11 2.2 Konsep dan Cakupan Komunitas Merek Virtual ....................................... 12 2.2.1 Komunitas Merek Virtual sebagai Wahana E-marketing .................. 12 2.2.2 Elemen Komunitas Merek Virtual ..................................................... 14 2.2.3 Klasifikasi Komunitas Merek Virtual................................................ 16 2.3 Value-in-use pada Komunitas Merek Virtual ............................................. 17 2.4 Perilaku Partisipatif pada Komunitas Merek Virtual ................................. 19 2.5 Loyalitas Merek .......................................................................................... 20 3. MODEL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS .............. 22 3.1 Model Penelitian ........................................................................................ 22 3.2 Pengembangan Hipotesis ........................................................................... 23 3.2.1 Pengaruh Value-in-use Fungsional Terhadap Perilaku Partisipatif Posting dan Lurking........................................................................... 23 3.2.2 Pengaruh Value-in-use Sosial Terhadap Perilaku Partisipatif Posting dan Lurking........................................................................... 24 3.2.3 Pengaruh Perilaku Partisipatif Posting terhadap Loyalitas Merek Attitudinal dan Behavioral................................................................. 25 3.2.4 Pengaruh Perilaku Partisipatif Lurking terhadap Loyalitas Merek Attitudinal dan Behavioral................................................................. 26 4. METODOLOGI PENELITIAN .................................................................... 27 4.1 Desain Penelitian ........................................................................................ 27 4.2 Populasi, Unit Analisis dan Sampel Penelitian .......................................... 27 4.3 Teknik Penghimpunan Data ....................................................................... 27 4.4. Operasionalisasi Variabel .......................................................................... 28 4.5 Teknik Analisis Data .................................................................................. 29 4.5.1 Analisis Validitas dan Reliabilitas ..................................................... 30 4.5.2 Structural Equation Modelling .......................................................... 30 5. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................... 31 vi Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
5.1 Profil Responden ........................................................................................ 31 5.2 Model Pengukuran ..................................................................................... 31 5.3 Model Struktural ........................................................................................ 34 5.3.1 Model Loyalitas Terhadap Publisher (LTP) ..................................... 35 5.3.2 Model Loyalitas Terhadap Game (LTG) ........................................... 36 5.4 Content Analysis Pada Sampel Komunitas Merek Virtual......................... 38 5.5 Pembahasan ................................................................................................ 40 5.5.1 Pengaruh Value-in-use Fungsional Terhadap Perilaku Partisipatif ... 40 5.5.2 Pengaruh Value-in-use Sosial Terhadap Perilaku Partisipatif ........... 40 5.5.3 Pengaruh Perilaku Partisipatif Posting terhadap Loyalitas Merek .... 42 5.5.4 Pengaruh Perilaku Partisipatif Lurking terhadap Loyalitas Merek ... 43 6. KONTRIBUSI DAN IMPLIKASI HASIL PENELITIAN ......................... 44 6.1 Kontribusi Hasil Penelitian ........................................................................ 44 6.1.1 Value-in-use dan CCT pada Konteks Marketplace culture ............... 44 6.1.2 Dorongan Value-in-use terhadap Perilaku Partisipatif dalam Marketplace culture ........................................................................... 46 6.1.3 Urgensi Perilaku Partisipatif Lurking pada Marketplace culture ...... 47 6.1.4 Loyalitas Attitudinal-Behavioral pada Marketplace culture ............. 48 6.1.5 Dual Community pada Konteks Produk Game Online MMORPG ... 49 6.2 Implikasi terhadap Miskonseptualisasi Penelitian CCT ............................. 51 6.3 Implikasi Pada Praktek Manajemen Pemasaran ......................................... 52 6.3.1 Implikasi bagi Pengelolaan Komunitas Merek Virtual ..................... 52 6.3.1.1 Urgensi Selektif Wahana Pemasaran Komunitas Merek Virtual .................................................................................. 52 6.3.1.2 Indikator Kinerja Komunitas Merek Virtual ......................... 53 6.3.1.3 Value Co-creation dan Value-in-use dalam Komunitas Merek Virtual ....................................................................... 54 6.3.2 Implikasi bagi Publisher MMORPG di Indonesia ............................ 55 6.3.3 Implikasi pada Konteks Produk Pendidikan dan Teknologi ............. 56 7. PENUTUP ........................................................................................................ 59 7.1 Kesimpulan................................................................................................. 59 7.2 Limitasi dan Saran Penelitian Lanjut ......................................................... 60 DAFTAR KEPUSTAKAAN ................................................................................ 62 CURRICULUM VITAE ...................................................................................... 71
vii Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1. Operasionalisasi Variabel Penelitian ................................................... 28 Tabel 5.1. Ringkasan Uji Hipotesis Model Loyalitas Terhadap Publisher .......... 36 Tabel 5.2. Ringkasan Uji Hipotesis Model Loyalitas Terhadap Game ................ 37
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. CCT Sebagai Landasan Teoritis Model Penelitian ......................... 11 Gambar 2.2. Jejaring sosial (Kiri) dan Komunitas (Kanan) ................................ 13 Gambar 2.3. Offline vs Virtual Community dan Brand Community .................. 14 Gambar 2.4. Jenis Komunitas Merek Virtual ...................................................... 16 Gambar 2.5. Pergeseran Embedded Value menjadi Value-in-use ....................... 18 Gambar 2.6. Praktek-praktek dalam komunitas merek yang menciptakan value 19 Gambar 2.7. Rerangka Attitude-Behavior Loyalty ............................................. 21 Gambar 3.1. Model Penelitian ............................................................................. 23 Gambar 5.1. Path diagram keluaran Model struktural LTP ............................... 35 Gambar 5.2. Path diagram keluaran model struktural LTG ............................... 37 Gambar 5.3. Irisan in-game community dengan out-of-game community ........... 41 Gambar 6.1. Proses penciptaan value pada komunitas merek virtual ................. 45
viii Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
BBAB 11.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Proliferasi dan kemajuan yang sangat cepat pada sistem komunikasi berbasis teknologi, khususnya yang terkait dengan komputer dan internet telah membawa perubahan mendasar pada bagaimana perusahaan dan konsumen berinteraksi (Parasuraman & Zinkan, 2002; Laroche, 2009; Muniz & Schau 2011). Komunikasi tradisional yang bersifat satu arah “one-to-many” telah bergeser ke arah interaksi “many-to-many” dengan adanya media baru yang dimediasi oleh komputer atau sering disebut dengan world wide web (Hoffman & Novak, 1996; Yadav & Varadarajan, 2005; Sheth & Sisodia, 2006). Keberadaan media komunikasi baru tersebut memberikan dampak perubahan pada perilaku konsumen. Semakin banyak konsumen memanfaatkan mediasi komputer untuk memperoleh informasi dan melakukan transaksi di samping tetap memanfaatkan media tradisional (Verhoef, Neslin & Vroomen, 2007; Casalo, Flavián & Guinalíu, 2010; Hernández, Jimenez & Martin, 2010). Hal ini disebabkan oleh nilai 6C yang dapat diciptakan melalui media internet yaitu convenience, cost, choice, customization, communication dan control (Berkowitz, Kerin, Hartley & Rudelius, 2000). Sebagai dampak lanjutannya konsumen berevolusi menjadi konsumen digital dengan beberapa karakteristik kunci yaitu banyak menuntut, menginginkan banyak hal secara instan, nyaman dengan media internet, memegang kendali, mudah berpaling, mencari pengalaman, serta vokal (Baker, 2003; Ryan & Jones, 2009). Persaingan yang semakin ketat, fragmentasi media, meningkatnya biaya pemasaran, konsumen yang semakin pandai dan daur hidup teknologi yang semakin pendek peran pemasaran relasional menjadi semakin penting (Andersen, 2005; Keller, 2008). Terkait dengan kondisi tersebut komunitas merek dinilai sebagai salah satu wahana pemasaran yang dapat dipergunakan untuk membangun dan memelihara hubungan relasional antara pemasar dengan pelanggan (Hoffman & Novak 1996; Cova 1997; Muñiz & O’Guinn, 2001, Merz, He, & Vargo, 2009). Interaksi yang terjadi antara pelanggan dengan pelanggan lainnya dan pemasar dalam komunitas merek dalam jangka panjang dapat memperkuat hubungan relasional pelanggan dengan sesama pelanggan, produk, merek dan juga pemasar (McAlexander, Schouten, & Koenig, 2002; McAlexander, Kim & Roberts, 2003). Komunitas merek (brand community) dapat didefinisikan sebagai sebagai komunitas khusus yang terikat secara non-geografis atas dasar seperangkat hubungan sosial terstruktur antar para pengagum suatu merek (Muniz & O’Guinn, 2001). Komunitas merek banyak dibahas dalam telaah marketplace culture, satu dari empat ranah penelitian dalam consumer culture theory (CCT) sebagai suatu rumpun penelitian yang membahas aspek sosiocultural, experiential, symbolic dan ideologi dari konsumsi (Arnould & Thomson, 2005). Dewasa ini peneliti CCT 1 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
berupaya untuk memahami dan menjelaskan fenomena value co-creation pada komunitas merek virtual, mediasi komunitas merek virtual, serta implikasinya bagi tercapainya tujuan-tujuan pemasaran (Arnould & Thompson, 2007). Pembahasan CCT mencakup berbagai aspek dalam komunitas merek virtual mulai dari value yang tercipta di dalamnya, dampaknya pada perilaku anggotanya, serta implikasinya pada pemasaran. Oleh karena itu, untuk selanjutnya CCT digunakan sebagai landasan teori utama dalam penelitian ini. Dengan keberadaan teknologi komunikasi berbasis internet, konsep komunitas merek kemudian diperluas dengan keberadaan komunitas merek virtual yang merupakan kumpulan individu dengan ketertarikan yang sama akan suatu hal, terpisah secara geografis namun terkait satu dengan yang lain dalam suatu jaringan hubungan relasional yang dinamis tanpa adanya kontak secara fisik (Kozinets, 1999; Dholakia, Bagozzi & Pearo, 2004; Sicilia & Palazon, 2008). Komunitas merek virtual berbeda dengan komuitas merek tradisional dengan adanya mediasi komunikasi elektronik yang meminimumkan kendala ruang dan waktu (Slabeva & Schmid, 2001). Mediasi komunikasi tersebut juga berdampak pada perluasan bentuk perilaku partisipasi anggota komunitas dari partisipasi offline melalui keikutsertaan pada parade di jalan, camp atau kegiatan offline lainnya (Schouten & McAlexander, 1995; McAlexander, Schouten, & Koenig, 2002; McAlexander, Kim & Roberts, 2003) kemudian mengakomodasi perilaku partisipasi melalui diskusi, menulis atau membaca pesan digital pada media komunitas merek virtual (Dholakia et al., 2004; Casaló, Flavián & Guinalíu, 2007; Nonnecke & Preece, 1999; Preece, Nonnecke & Andrews, 2004). Perilaku partisipasi dengan menulis pesan dan berdiskusi dikenal dengan istilah posting, sementara itu perilaku partisipasi membaca pesan digital pada media komunitas virtual dikenal dengan istilah lurking (Nonnecke & Preece, 1999; Preece, Nonnecke & Andrews, 2004). Berdasarkan kecenderungan bentuk partisipasinya, posting ataukah lurking, anggota komunitas merek virtual kemudian dapat dikelompokkan dalam dikotomi poster lurker. Poster merupakan anggota komunitas virtual yang selain membaca pesan dan mencari informasi juga berpartisipasi dengan menulis pesan, sementara lurker merupakan anggota komunitas virtual yang membaca pesan dan mencari informasi namun jarang atau tidak pernah menuliskan pesan (Nonnecke & Preece, 1999). Dalam prakteknya, tidak mudah untuk mengklasifikasikan seorang anggota komunitas sebagai poster atau lurker. Ada definisi yang secara tegas menyatakan bahwa lurker merupakan anggota komunitas virtual yang tidak pernah menuliskan pesan (Nonnecke, Preece & Andrews, 2004). Sementara itu definisi yang lain menyatakan bahwa lurker adalah anggota komunitas virtual yang rutin mengunjungi komunitasnya namun sangat jarang menuliskan pesan (Rafaeli, Ravid & Soroka, 2004). Lebih jauh lagi, tipe poster/lurker bersifat dinamis. Poster dapat berlaku sebagai lurker dan juga sebaliknya pada waktu dan situasi tertentu. Lurker dapat berubah menjadi poster jika merasa aman dan perlu untuk berinteraksi dalam komunitas merek virtual. Seseorang yang menjadi anggota pada beberapa komunitas virtual dapat berperilaku sebagai poster pada satu komunitas virtual dan berperilaku sebagai lurker pada komunitas virtual yang lain karena adanya kendala seperti keterbatasan sumber daya berupa waktu dan tenaga (Nonnecke & Preece, 1999; Preece, Nonnecke & Andrews, 2004; Schlutz & Beach, 2004).
2 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
Bertolak dari tidak mudahnya mengklasifikasikan anggota komunitas virtual dalam kategori poster/lurker dan adanya dinamika tipe anggota, penelitian ini akan difokuskan pada perilaku partisipasi posting dan lurking yang dimiliki oleh poster maupun lurker dengan perbedaan pada kecenderungan atau intensitasnya. Untuk selanjutnya dalam penelitian ini perilaku menulis pesan, komentar atau berdiskusi dalam komunitas virtual akan disebut sebagai perilaku partisipatif posting. Sementara itu, perilaku membaca pesan atau mencari informasi dalam komunitas virtual akan disebut sebagai perilaku partisipatif lurking. Perubahan lingkungan pemasaran akibat adanya teknologi komunikasi berbasis internet terjadi secara global, termasuk di Indonesia. Meskipun tingkat penetrasi internet di Indonesia baru mencapai 16,1% dari total jumlah penduduknya, namun demikian tingkat pertumbuhannya selama periode tahun 2000-2011 mencapai 1.880% yang berarti jauh lebih tinggi dibandingkan dengan data agregat Asia dan dunia (data www.internetworldstats.com bulan Maret 2011). Seiring pertumbuhan pengguna internet di Indonesia yang cukup tinggi, komunitas merek virtual juga mengalami pertumbuhan. Hal yang cukup menarik berdasarkan hasil observasi peneliti atas sejumlah komunitas virtual di Indonesia adalah bahwa salah satu komunitas merek virtual dari produk game online yaitu forum Gemscool memiliki anggota yang cukup banyak bahkan mendekati jumlah anggota www.kaskus.com, komunitas virtual umum yang sering disebut sebagai komunitas virtual terbesar di Indonesia dengan jumlah anggota lebih dari 3 juta dan lebih dari 370 juta posting per bulan juli 2011. Makin meningkatnya internetisasi dalam perekonomian, serta makin maraknya penggunaan teknologi media sosial termasuk komunitas merek virtual sebagai salah satu bagiannya, menimbulkan kebutuhan akan adanya pemahaman tentang pola dasar dari interaksi dan komunikasi dalam komunitas merek virtual. Dalam penelitian ini, pola dasar tersebut akan ditelaah melalui konstruk perilaku partisipatif, termasuk faktor penggerak serta implikasi pemasarannya. Terkait dengan hal tersebut peneliti menggarisbawahi beberapa urgensi dari topik penelitian ini. Pertama, masih perlu dilakukan penelitian yang mencakup perilaku partisipatif lurking pada komunitas merek virtual. Pada penelitian tentang komunitas virtual, partisipasi merupakan salah satu konstruk yang sering dibahas karena dinilai sebagai faktor penting guna menjamin kelangsungan hidup komunitas (Koh & Kim, 2004, Dholakia et al., 2004; Casaló, Flavián & Guinalíu, 2007; Lin, 2008; Thompson & Sinha, 2008). Namun demikian, penelitian yang dilakukan masih terbatas pada pembahasan perilaku partisipatif posting sementara perilaku partisipatif lurking masih jarang mendapatkan perhatian (Nonnecke & Preece, 1999; Preece, Nonnecke & Andrews, 2004; Rafaeli, Ravid & Soroka, 2004; Shang et al., 2006). Padahal, rasio jumlah lurker terhadap poster misalnya pada komunitas virtual terbuka seperti AOL dan MSN dapat mencapai 98% (Katz, 1998). Hal ini mengindikasikan masih terbukanya peluang penelitian lebih lanjut tentang faktor penggerak, perilaku lurking pada komunitas merek virtual, serta implikasinya bagi pemasaran. Kedua, perlu dilakukan penelitian yang menelaah value-in-use sebagai penggerak perilaku partisipatif dalam komunitas merek virtual di tengah penelitian yang cenderung mengarah pada value-in-exchange. Pergeseran paradigma “goodsdominant” logic menjadi “service-dominant” logic termasuk konsep “value-in3 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
exchange” menjadi “value-in-use” (Vargo & Lusch, 2004; Lusch, vargo & Wessels, 2008) telah diakomodasi dalam CCT (Arnould & Thomson, 2005; Arnould, 2007). Pada penelitian sebelumnya dikemukakan bahwa faktor penggerak partisipasi anggota dalam komunitas virtual, antara lain adalah motivasi (Dholakia et. al, 2004; Riding & Gefen, 2004), kualitas informasi dan sistem (Lin, 2008), brand involvement (Shang et. al, 2006). Namun demikian, belum ditemukan penelitian yang secara spesifik menelaah value-in-use sebagai penggerak perilaku partisipatif dalam komunitas merek virtual. Oleh karena itu, masih perlu diteliti bagaimana peran value-in-use sebagai penggerak perilaku partisipatif anggota komunitas merek virtual mengingat value yang tumbuh pada komunitas merek virtual merupakan hasil co-creation para anggotanya dengan pengelola atau produsen. Ketiga, masih perlu melakukan penelitian pada loyalitas merek sebagai implikasi dari perilaku partisipatif dalam komunitas merek virtual dengan meninjau aspek attitudinal dan behavioral. Pada sejumlah penelitian komunitas merek virtual, loyalitas merek dinilai sebagai hal yang penting untuk ditelaah sebagai bentuk implikasi pemasaran dari perilaku partisipatif anggota komunitas merek virtual (McAlexander, Kim; & Roberts, 2003; Algesheimer, Dholakia & Herrmann, 2005; Shang et al., 2006). Loyalitas pelanggan memberikan berbagai dampak positif bagi pemasar seperti sensitivitas harga yang lebih rendah (Lynch & Ariely, 2000), word-of-mouth positif (Dick & Basu, 1994; Hagel & Amstrong (1997), kemungkinan berpaling pada pesaing lebih rendah (Yi & La, 2004; Thompson & Sinha 2008), profitabilitas perusahaan (Zeithaml, Berry, & Parasuraman, 1996; Srinivasan, Anderson & Ponnavolu, 2002; Bowman, & Narayandas, 2004), serta customer equity (Venkatesan & Kumar, 2004; Berger, Eechambadi, George, Lehmann, Rizley, & Venkatesan, 2006; Gupta, Hanssens, Hardie, Kahn, Kumar, Lin, & Sriram, 2006). Sejumlah peneliti meninjau loyalitas dari aspek attitudinal (Shang et al., 2006; Casaló, Flavián & Guinalíu, 2007; Zhou, Zhang, Su & Zhou, 2011), sementara itu sejumlah peneliti lain meninjau loyalitas dari aspek behavioral (McAlexander, Kim & Roberts 2003; Thompson & Sinha 2008). Loyalitas attitudinal didefinisikan sebagai tingkat komitmen konsumen terhadap suatu merek, sementara loyalitas behavioral didefinisikan sebagai loyalitas yang diindikasikan dengan perilaku nyata seperti pembelian ulang (Chaudhuri & Holbrook, 2001). Berdasarkan pendapat akan perlunya untuk menggunakan kedua aspek tersebut dalam mengukur loyalitas merek (Dick & Basu; 1994; Oliver 1999; Chaudhuri & Holbrook, 2001), maka dalam penelitian ini akan diadopsi konsep loyalitas merek yang mencakup loyalitas attitudinal dan behavioral sebagai implikasi pemasaran dari perilaku partisipatif anggota komunitas merek virtual. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan masih perlu untuk melakukan suatu penelitian tentang “value-in-use” sebagai faktor penggerak perilaku partisipatif posting maupun lurking serta implikasinya pada loyalitas merek, pada konteks komunitas merek virtual di Indonesia. Penelitian ini sejalan dengan CCT yang menilai perlunya meneliti komunitas merek virtual untuk memahami dan menjelaskan value co-creation, termasuk value-in-use, juga mediasi perilaku partisipatif dalam komunitas merek virtual serta implikasi bagi tercapainya tujuan pemasaran yaitu loyalitas merek (Arnould & Thompson, 2007).
4 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
1.2 Penelitian Terdahulu Berdasarkan telaah pada literatur yang ada, penulis menyimpulkan adanya upaya peneliti pemasaran untuk mengadakan perubahan pada konten maupun batasan disiplin pemasaran sebagai respon atas perubahan yang terjadi pada lingkungan pemasaran (Brown, 2005). Konsep interactivity muncul dengan adanya teknologi informasi dan komunikasi yang semakin maju (Yadav & Varadarajan, 2005). Kondisi tersebut kemudian memberikan dampak perubahan pada perilaku konsumen yang kini berada di lingkungan multimedia dan multichannel (Dholakia, Kahn, Reeves, Rindfleisch, Stewart & Taylor, 2010). Perubahan juga terjadi pada pemasar yang berupaya untuk memanfaatkan teknologi interaktif pada konteks ritel (Varadarajan, Srinivasan, Vadakkepatt, Yadav, Pavlou, Krishnamurthy & Tom Krause, 2010), serta berupaya menerapkan strategi komunikasi pada media network (Kozinets, Valck, Wojnicki & Wilner, 2010). Paradigma pemasaran telah bergeser ke arah konsep pemasaran relasional (Morgan & Hunt, 1994; Andersen, 2005). Salah satu pembahasan yang muncul terkait dengan paradigma baru tersebut adalah komunitas merek yang kemudian diperluas menjadi komunitas merek virtual (Muniz & O’guin, 2001; McAlexander, Schouten, & Koenig, 2002; Schau, Muniz & Arnould 2009; Szmigin & Reppel 2001). Pembahasan ini merupakan salah satu topik bahasan pada CCT sebagai kelompok penelitian yang membahas aspek sosiocultural, experiential, symbolic dan ideologi dari konsumsi (Arnould & Thomson, 2005). Berbagai penelitian juga telah dilakukan untuk membahas perilaku partisipatif sebagai konstruk penting pada komunitas merek virtual (Nonnecke & Preece, 1999; Preece, Nonnecke & Andrews, 2004; Rafaeli, Ravid & Soroka, 2004; Valck, Bruggen & Wierenga, 2009), faktor penggeraknya (Dholakia, Bagozzi, & Pearo, 2004; Casaló, Flavián & Guinalíu, 2007; Kim, Park & Jin, 2008; Sicilia & Palazon, 2008; Lin, 2008; Ridings & Gefen, 2004; Casaló, Flavián & Guinalíu, 2010), serta dampaknya pada loyalitas merek (Kim, Lee & Hiemstra, 2003; Shang, Chen & Liao, 2006; Casaló, Flavián & Guinalíu, 2007; Thompson & Sinha, 2008). Hal yang masih terbuka untuk diteliti adalah konsep value-in-use sebagai konsep penting dalam pemasaran (Vargo & Lusch, 2004; Lusch, Vargo & Wessels, 2008; Macdonald, Wilson, Martinez & Toossi, 2011) sebagai faktor penggerak perilaku partisipatif pada komunitas merek virtual. Penyertaan perilaku partisipatif lurking yang selama ini masih jarang mendapat perhatian dalam penelitian komunitas merek virtual (Nonnecke & Preece, 1999; Preece, Nonnecke & Andrews, 2004; Rafaeli, Ravid & Soroka, 2004; Schlutz & Beach, 2004), serta implikasi perilaku partisipatif terhadap loyalitas merek baik attitudinal maupun behavioral secara integratif (Dick & Basu 1994, Baldinger & Rubinson, 1996; Oliver, 1999; Chaudhuri & Holbrook, 2001).
1.3 Masalah dan Pertanyaan Penelitian Peneliti mencoba menggali fenomena nyata perilaku partisipatif, value-inuse dan loyalitas pada komunitas merek virtual di Indonesia melalui interview pada tiga orang anggota komunitas game online Gemscool dan satu orang anggota komunitas Megaxus. Komunitas game online dipilih sebagai tempat penggalian
5 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
awal fenomena karena jumlah anggotanya yang relatif lebih besar dibandingkan dengan komunitas merek virtual pada kategori yang lain. Berdasarkan hasil interview tersebut diperoleh sejumlah informasi lapangan. Manfaat utama yang diperoleh anggota melalui komunitas merek virtual adalah mencari atau berbagi informasi seputar penggunaan merek. Sebagian anggota komunitas merek virtual game online lebih sering melakukan aktivitas pencarian informasi saja (menunjukkan perilaku partisipatif lurking) sementara sebagian yang lain di samping mencari informasi juga melakukan aktivitas berbagi informasi, berdiskusi atau merespon pertanyaan dari anggota lain (menunjukkan perilaku partisipatif posting). Anggota komunitas merek virtual game online menunjukkan adanya loyalitas terhadap merek yang diindikasikan melalui telah lamanya menggunakan game online dengan intensitas yang cukup tinggi, kebanyakan hanya memainkan satu game online saja, melakukan pembelian fasilitas pada game online secara teratur serta merekomendasikan game online yang dimainkannya kepada orang lain. Hasil interview juga mengindikasikan keberadaaan tiga fenomena menyangkut komunitas merek virtual di Indonesia. Pertama, ada manfaat yang mendorong anggota untuk berpartisipasi dalam komunitas merek virtual. Kedua, variasi perilaku partisipatif posting maupun lurking terjadi pada komunitas merek virtual di Indonesia. Ketiga, anggota komunitas merek virtual di Indonesia menunjukkan adanya indikasi loyalitas terhadap merek terkait. Berdasarkan hasil kajian penelitian terdahulu, observasi di lapangan serta in-depth interview pada sampel anggota komunitas merek virtual dirumuskan masalah yang akan diteliti. Masalah penelitian ini menyangkut pengkajian fenomena value-in-use sebagai penggerak perilaku partisipatif posting dan lurking serta implikasinya pada loyalitas merek. Untuk selanjutnya masalah penelitian tersebut dijabarkan dalam sejumlah pertanyaan penelitian. Adapun pertanyaan penelitian yang diajukan dapat diuraikan sebagai berikut. 1. Apakah value-in-use fungsional berpengaruh pada intensitas perilaku partisipatif posting dalam komunitas merek virtual? 2. Apakah value-in-use fungsional berpengaruh pada intensitas perilaku partisipatif lurking dalam komunitas merek virtual 3. Apakah value-in-use sosial berpengaruh pada intensitas perilaku partisipatif posting dalam komunitas merek virtual 4. Apakah value-in-use sosial berpengaruh pada intensitas perilaku partisipatif lurking dalam komunitas merek virtual 5. Apakah perilaku partisipatif posting berpengaruh pada loyalitas attitudinal terhadap merek yang dibahas dalam komunitas merek virtual 6. Apakah perilaku partisipatif posting berpengaruh pada loyalitas behavioral terhadap merek yang dibahas dalam komunitas merek virtual 7. Apakah perilaku partisipatif lurking berpengaruh pada loyalitas attitudinal terhadap merek yang dibahas dalam komunitas merek virtual 8. Apakah perilaku partisipatif lurking berpengaruh pada loyalitas behavioral terhadap merek yang dibahas dalam komunitas merek virtual.
6 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
1.4 Kesenjangan Penelitian Berdasarkan telaah pada penelitian terdahulu tentang komunitas merek virtual sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, dapat diidentifikasi tiga kesenjangan yang akan menjadi kontribusi penelitian ini. Pertama mengenai kesenjangan teoritis, yang kedua merupakan kesenjangan penelitian dan ketiga berupa kesenjangan kontekstual. Penelitian ini juga diharapkan memberikan kontribusi praktis dalam praktek pemasaran khususnya melalui wahana komunitas merek virtual. Kesenjangan pertama, perlunya perluasan teori CCT dalam aplikasi komunitas merek virtual yang tidak hanya mencakup perilaku partisipatif posting tetapi juga mencakup perilaku partisipatif lurking, juga perlunya ditelaah peran value-in-use sebagai penggerak kedua perilaku partisipatif tersebut. Dengan demikian, pembahasan komunitas merek virtual sebagai salah satu perspektif dalam CCT menjadi lebih realistik dan sesuai dengan perkembangan disiplin pemasaran. Kesenjangan kedua, perlunya memperluas telaah loyalitas merek sebagai implikasi perilaku partisipatif dengan mencakup baik aspek attitudinal maupun behavioral. Loyalitas dipandang sebagai implikasi penting perilaku partisipatif anggota komunitas merek virtual bagi pemasar (McAlexander, Kim & Roberts, 2003; Algesheimer, Dholakia & Herrmann, 2005; Shang, Chen & Liao, 2006; Thompson & Sinha, 2008). Sebagian dari penelitian tersebut menggunakan konstruk attitudinal loyalty sementara sebagian lainnya menggunakan konstrrak behavioral loyalty. Sementara itu beberapa peneliti pemasaran menyarankan untuk memandang loyalitas merek dari kedua sisi, baik attitudinal maupun behavioral (Dick & Basu, 1994; Baldinger & Rubinson, 1996; Chaudhuri & Holbrook, 2001). Kesenjangan ketiga, masih sedikitnya penelitian komunitas merek virtual pada konteks Indonesia sehingga masih perlu dilakukan penelitian yang mengkaji fenomena komunitas merek virtual di Indonesia. Sejumlah penelitian terdahulu dilakukan pada konteks beberapa negara lain seperti Spanyol (Casalo et al., 2007; 2010; Sicilia & Palazon, 2008), Taiwan (Lin, 2008), dan Korea Selatan (Kim, Park & Jin, 2008). Sementara itu, penelitian sejenis masih jarang dilakukan pada konteks Indonesia. Penelitian terkait komunitas pada konteks Indonesia di antaranya adalah potensi komunitas merek di kalangan siswa SMA (Nasution & Radiatni, 2009), motivasi atas partisipasi pada komunitas merek (Sukoco & Wu, 2010), motivasi atas knowledge sharing pada komunitas merek virtual (Wu & Sukoco, 2010), dampak nilai informasi dan sosial terhadap co-consumption dan co-production pada komunitas virtual (Sukoco & Aditya, 2011), serta motivasi atas knowledge sharing pada jaringan pertemanan sosial (Anandya, 2010). Penelitian ini lebih menitikberatkan pada value, khususnya value-in-use sebagai faktor penggerak partisipasi secara lebih luas dengan mengakomodasi perilaku partisipatif posting dan lurking, serta implikasinya pada loyalitas merek baik attitudinal maupun behavioral pada konteks komunitas merek virtual yang diinisiasi oleh pihak pemasar. Selain berupaya memberikan kontribusi terhadap tiga kesenjangan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, penelitian ini juga dimaksudkan untuk memberikan kontribusi praktis pada praktek pemasaran melalui wahana komunitas merek virtual khususnya di Indonesia. Melalui penelitian ini diharapkan dapat
7 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
diidentifikasi value-in-use seperti apa yang dapat mendorong perilaku partisipatif anggota komunitas merek virtual khususnya pada komunitas merek virtual penunjang layanan game online berikut implikasinya terhadap loyalitas merek. Hal itu diharapkan dapat menjadi informasi tambahan bagi pemasar dalam menciptakan value proposition bagi anggota komunitas merek virtual. Hasil penelitian ini tentunya juga memiliki potensi untuk diperluas pemanfaatannya pada komunitas merek virtual untuk produk lain yang memiliki karakteristik serupa yaitu memiliki tingkat kompleksitas tertentu dan juga menimbulkan pengalaman tertentu pada penggunanya sehingga memicu adanya keperluan untuk mencari dan saling berbagi informasi antar pengguna juga dengan penyedia layanan. Sebagai contoh, hasil penelitian ini dapat diperluas pemanfaatannya pada pada konteks produk pendidikan, serta produk teknologi seperti software atau gadget.
1.5 Tujuan Penelitian Berdasarkan masalah penelitian dan kesenjangan penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya, maka tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Menganalisis dan menjabarkan value-in-use fungsional sebagai penggerak perilaku partisipatif posting dan lurking pada komunitas merek virtual 2. Menganalisis dan menjabarkan value-in-use sosial sebagai penggerak perilaku partisipatif posting dan lurking pada komunitas merek virtual 3. Menganalisis dan menjabarkan implikasi perilaku partisipatif posting pada komunitas merek virtual terhadap loyalitas merek attitudinal dan behavioral 4. Menganalisis dan menjabarkan implikasi perilaku partisipatif lurking pada komunitas merek virtual terhadap loyalitas merek attitudinal dan behavioral
1.6 Ruang Lingkup Penelitian Mempertimbangkan luasnya bahasan disiplin pemasaran termasuk marketplace culture dalam CCT, maka dilakukan pembatasan pada ruang lingkup penelitian ini dengan meneliti value-in-use sebagai penggerak dan loyalitas merek sebagai implikasi pemasaran dari perilaku partisipatif pada konteks komunitas merek virtual, serta membatasi research setting pada komunitas merek virtual yang diinisiasi oleh publisher game online di Indonesia. Pada penelitian komunitas virtual, partisipasi merupakan konstruk yang sering dibahas karena dinilai sebagai faktor penting guna menjamin kelangsungan hidup komunitas (Koh & Kim, 2004, Dholakia et al., 2004; Casaló, Flavián & Guinalíu, 2007; Lin, 2008; Thompson & Sinha, 2008). Namun demikian, penelitian yang dilakukan masih terbatas pada pembahasan perilaku partisipatif posting yang dinilai sebagai indikator kesuksesan komunitas virtual, sementara perilaku partisipatif lurking jarang mendapatkan perhatian karena hanya dianggap sebagai perilaku free-rider (Nonnecke & Preece, 1999; Preece, Nonnecke & Andrews, 2004; Rafaeli, Ravid & Soroka, 2004; Shang et al., 2006). Penelitian ini mengangkat perilaku partisipatif sebagai konstruk utama dengan penekanan pada akomodasi kedua jenis perilaku partisipatif dalam perspektif pemasaran. 8 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
Sejumlah penelitian terdahulu telah berupaya menelaah faktor-faktor yang dianggap sebagai penggerak perilaku partisipatif, antara lain estetika, usability, (Franco & Cataluña, 2010), kualitas informasi dan sistem (Lin, 2008), involvement (Shang et al., 2006) serta value (Dholakia et al., 2004; Riding & Gefen, 2004). Gruen, Osmonbekov & Czaplewski (2006) juga melakukan telaah pada partisipasi aktif spesifik yang disebut know-how exchange dengan motivation, opportunity dan ability sebagai penggeraknya. Pada penelitian ini, know-how exchange dapat dipandang sebagai bagian kegiatan dari perilaku partisipatif posting. Pada konteks komunitas merek virtual, opportunity dan ability merupakan faktor yang berada pada ranah individu anggota komunitas yang tidak mudah dimanipulasi oleh pemasar. Penelitian ini lebih difokuskan pada pembahasan value sebagai faktor yang memotivasi anggota komunitas merek virtual untuk melakukan perilaku partisipatif posting atau lurking. Pada disiplin pemasaran, value merupakan konstruk yang sangat penting bagi tercapainya tujuan-tujuan pemasaran (Sweeney & Soutar 2001; Khalifa, 2004; Pawitra, 2005). Dalam perkembangan disiplin pemasaran terjadi pergeseran paradigma goods-dominant logic menjadi service-dominant logic, termasuk di dalamnya terjadi pergeseran konsep value, dari “value-in-exchange” menjadi “value-in-use,” (Vargo & Lusch, 2004; Lusch, vargo & Wessels, 2008). Pada pembahasan CCT dikenal konsep meaning making (Arnould, 2007) yang sejalan dengan konsep value-in-use. Dengan demikian, dalam penelitian ini konsep valuein-use lebih cocok digunakan untuk merepresentasikan value sebagai penggerak perilaku partisipatif. Pada produk game online khususnya yang berjenis Massively Multiplayer Online Games (MMOG) seperti yang banyak dipasarkan oleh publisher di Indonesia dapat terbentuk dua komunitas yaitu komunitas in-game, biasanya berbentuk guild atau clan dan komunitas out-of-game, biasanya berbentuk message board (Ang, Zaphiris, & Wilson, 2005). Perlu digarisbawahi, komunitas merek virtual game online yang dimaksud dalam penelitian ini adalah komunitas out-ofgame dalam bentuk message board yang disediakan oleh publisher game online sebagai fasilitas penunjang dari layanan game online yang diberikan. Dengan demikian untuk selanjutnya istilah komunitas merek virtual mengacu pada komunitas out-of-game yang biasanya berbentuk message boards atau sering pula disebut sebagai online forum sebagai penunjang dari layanan game online yang diberikan oleh publisher. Value pada konteks komunitas virtual dapat diklasifikasikan menjadi fungsional, sosial (Kim, Park & Jin, 2008) atau fungsional, sosial dan entertainment (Sicilia & Palazon, 2008). Aspek entertainment tidak diikutsertakan sebagai dimensi value-in-use dalam penelitian ini karena pada umumnya komunitas merek virtual berbentuk message boards yang merupakan suatu interface yang dapat memfasilitasi komunikasi asynchronous berbasis text antar anggota termasuk penyimpanan, kategorisasi dan fungsi pencarian. Sistem message boards tidak dilengkapi dengan fitur seperti game mini pada sejumlah website merek (Sicilia & Palazon, 2008). Hal ini mengindikasikan bahwa aspek entertainment tidak menonjol pada message boards. Di samping itu, penelitian ini mengambil konteks komunitas merek virtual game online yang berarti dimensi entertainment lebih
9 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
menonjol pada value-in-use di dalam penggunaan game, bukan pada aktivitas dalam komunitas merek virtual yang terbentuk di luar game. Hirarki tujuan pemasaran dimulai dari penciptaan superior customer value (SCV) yang mendorong kepuasan konsumen dan sustainable competitive advantage (SCA) yang memiliki efek berantai pada terciptanya loyalitas pelanggan, customer equity, sales volume, shareholder value dan firm value (Srivastava, Shervani, & Fahey, 1998; Pawitra, 2005; Ramaswami, Srivastava & Bhargava, 2009; Kumar & Shah, 2009). Loyalitas pelanggan merupakan salah satu tujuan utama yang ingin dicapai oleh pelanggan (Andreassen, 1999; Casalo et al. 2010; Woisetschlager, Lentz & Evanschitzky, 2011). Loyalitas pelanggan memberikan berbagai dampak positif bagi pemasar seperti sensitivitas harga yang lebih rendah (Lynch & Ariely, 2000), word-of-mouth positif (Dick & Basu, 1994; Hagel & Amstrong (1997), kemungkinan berpaling pada pesaing lebih rendah (Yi & La, 2004; Thompson & Sinha 2008), profitabilitas perusahaan (Zeithaml, Berry, & Parasuraman, 1996; Srinivasan, Anderson & Ponnavolu, 2002; Bowman, & Narayandas, 2004), serta customer equity (Venkatesan & Kumar, 2004; Berger et al., 2006; Gupta, et al., 2006). Singkatnya, loyalitas pelanggan merupakan prasyarat akan tercapainya tujuan-tujuan pemasaran yang lain. Oleh karena itu, pada penelitian ini loyalitas merek dipilih sebagai implikasi pemasaran yang ditelaah. Berdasarkan observasi personal yang dilakukan peneliti pada tiga komunitas merek virtual game online terbesar di Indonesia yakni Gemscool, Megaxus dan Lyto, diperoleh beberapa hal yang menjadikan komunitas game online di Indonesia menarik untuk dijadikan sebagai research setting. Pertama, dewasa ini game online merupakan jenis layanan yang memiliki potensi pasar relatif besar dan berpotensi memiliki pelanggan loyal untuk durasi tertentu. Kedua, game online terutama yang termasuk dalam kategori role playing game (permainan peran) memiliki sistem permainan yang rumit dan kompleks sehingga cukup sulit bagi pemain untuk dapat mempelajari sendiri semua hal dalam permainan jika hanya mengandalkan informasi dari website. Komunitas merek virtual dapat memfasilitasi pertukaran informasi dan pengalaman antar pemain sehingga dapat mempermudah, memperkaya dan mempercepat proses belajar pemain akan selukbeluk permainan yang berarti menjadi suatu wahana pemasaran penting pada tipe layanan tersebut. Ketiga, meskipun telah dilakukan sejumlah penelitian tentang komunitas merek virtual (Andersen, 2005; Shang et al., 2006; Casalo et al., 2007); Sicilia & Palazon, 2008) dan penelitian tentang game online (Hsu & Lu, 2004; 2007; Koo, 2008), namun demikian masih sulit ditemui penelitian yang membahas pemanfaatan komunitas merek virtual sebagai wahana pemasaran pada konteks layanan game online terlebih yang mengabil setting di Indonesia. Berdasarkan alasan tersebut, penelitian ini dilakukan pada konteks komunitas merek virtual game online di Indonesia, dengan sampel dari dari tiga publisher game online Indonesia dengan anggota terbanyak yaitu Gemscool, Megaxus dan Lyto. Lebih jauh lagi, pada konteks publisher game online terdapat dua entitas merek yang dapat menjadi objek loyalitas pelanggan yaitu merek publisher sebagai tujuan jangka panjang dan merek game online sebagai tujuan antara. Pada penelitian ini loyalitas terhadap publisher adalah implikasi utama dari perilaku partisipatif yang diteliti, sementara itu loyalitas terhadap game juga ditelaah sebagai penjelasan pendamping. 10 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
BAB 2 2. TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Consumer Culture Theory sebagai Landasan Teoritis Model Penelitian Penelitian ini membahas fenomena value-in-use sebagai penggerak perilaku partisipatif posting dan lurking serta implikasinya pada loyalitas merek. Pembahasan Consumer Culture Theory atau sering disingkat sebagai CCT, khususnya pada telaah marketplace culture mencakup berbagai aspek dalam komunitas merek virtual mulai dari value yang tercipta di dalamnya, dampaknya pada perilaku anggotanya, serta implikasinya pada loyalitas merek (Arnould & Thompson, 2007). Oleh karena itu, untuk selanjutnya CCT digunakan sebagai landasan teori utama dalam penelitian ini. Cakupan CCT pada konstruk-konstruk utama penelitian secara lebih rinci diilustrasikan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1. CCT Sebagai Landasan Teoritis Model Penelitian Peneliti CCT berupaya untuk menelaah aspek kontekstual, simbolis dan eksperiensial dari konsumsi pada siklus konsumsi yang terdiri atas proses akuisisi, konsumsi dan kepemilikan, serta disposisi (Belk, 1988; Belk, Wallendorf & Sherry 1989; Holbrook, 1987). Proses tersebut menggambarkan proses perilaku konsumen (Schiffman & Kanuk, 2007; Solomon, 2009). Agenda telaah tersebut kemudian 11 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
diklasifikasikan menjadi empat program penelitian dalam CCT, yaitu (1) consumer identity project, (2) marketplace culture, (3) the sociohistoric patterning of consumption dan (4) mass-mediated marketplace ideologies and consumers’ interpretative strategies (Arnould & Thomson, 2005; Ozanne & Dobscha, 2006). Terkait dengan pergeseran paradigma dalam pemasaran dari GoodDominant Logic ke arah Service-Dominant Logic (Vargo & Lusch, 2004; 2008; Lusch, vargo & Malter 2006), sebagian ide proposisi yang diajukan pada ServiceDominan Logic telah dikenal oleh peneliti CCT (Arnould & Thompson, 2005). Lebih jauh lagi, penelitian CCT perlu diselaraskan dengan perkembangan teori, praktik dan metode yang ada termasuk menelaah kemungkinan sinergi CCT dengan perkembangan Service-Dominant Logic guna memperoleh legitimasi di masa depan (Arnould, 2007). Penelitian komunitas merek dapat diklasifikasikan ke dalam domain program penelitian CCT yang kedua yaitu marketplace cultures. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa penelitian marketplace cultures pada CCT mencakup telaah pada bagaimana konsumen menempa rasa solidaritas sosial dan menciptakan dunia kultural yang berbeda, terfragmentasi, self-selected, dan terkadang bersifat sementara melalui ketertarikan akan konsumsi yang sama (Schouten & McAlexander, 1995; Belk & Costa 1998; Kozinets 2001; Kozinets 2002). Dalam penelitian CCT, komunitas merek dan komunitas merek virtual sebagai elemen mediasi sering ditinjau dari perilaku partisipatif sebagai konstruk utama dalam pembahasan komunitas virtual (Kozinet, 1999; Muniz & O’guinn, 2001, McAlexander et al., 2002; Kim, Lee & Hiemstra, 2003; Shang, Chen & Liao, 2006; Casaló, Flavián & Guinalíu, 2007; Thompson & Sinha, 2008). Khusus pada pembahasan komunitas merek virtual sebagai salah satu bentuk komunitas virtual perilaku partisipatif kemudian dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu perilaku partisipatif posting dan lurking (Nonnecke & Preece, 1999; Preece, Nonnecke & Andrews, 2004; Rafaeli, Ravid & Soroka, 2004). Berdasarkan fakta tersebut perilaku partisipatif posting dan lurking dipilih sebagai konstruk utama dalam penelitian ini. Sementara itu, sebagai ujung teori dapat ditinjau loyalitas merek sebagai salah satu implikasi pemasaran dari perilaku partisipatif konsumen yang ditelaah dalam CCT (Fournier, 1998; Muniz & O’guinn, 2001, McAlexander et al., 2002; Casalo, Flavian & Guinaliu, 2010). 2.2 Konsep dan Cakupan Komunitas Merek Virtual 2.2.1 Komunitas Merek Virtual sebagai Wahana E-marketing Suatu komunitas biasaya dicirikan dengan adanya interaksi atau keterkaitan sosial yang mengikat individu dalam suatu kelompok tertentu. Keterkaitan tersebut dapat didasarkan pada alasan geografis atau alasan relasional yang melibatkan hubungan antar individu tanpa merujuk pada suatu lokasi tertentu, contohnya komunitas hobi, keagamaan, atau fan club. Dengan keberadaan internet sebagai media baru dalam berkomunikasi dan berinteraksi konteks komunitas tradisional kemudian diperluas pada komunitas virtual yang cenderung lebih dekat kepada komunitas relasional karena tidak adanya batasan secara fisik (Koh & Kim, 2003). Komunitas virtual merupakan salah satu dari dua tipe utama sosial media bersama dengan jejaring sosial (social network). Jejaring sosial seperti Facebook 12 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
dan Friendster merupakan wahana yang memfasilitasi hubungan interpersonal antar individu yang sudah ada sebelumnya, misalnya keluarga, teman, atau rekan bisnis. Tujuan seseorang bergabung dalam situs jejaring sosial adalah untuk memelihara hubungan yang telah ada dan memperluas jejaring dengan membentuk hubunganhubungan baru. Sementara itu, komunitas merupakan kelompok individu yang didasarkan pada ketertarikan yang sama pada suatu hal tanpa perlu ada hubungan interpersonal sebelumnya (Wu, 2011). Setiap individu dapat menjadi bagian dari beberapa komunitas sekaligus dalam satu waktu yang sama. Perbedaaan antara jejaring sosial dan komunitas diilustrasikans secara grafis pada gambar 2.2.
Gambar 2.2. Jejaring sosial (Kiri) dan Komunitas (Kanan) Sumber: Wu (2011)
Dengan adanya penggunaan media digital dalam berkomunikasi dan berinteraksi komunitas virtual memiliki perbedaan dengan komunitas tradisional/offline (Slabeva & Schmid, 2001), yaitu:
Technological mediation – anggota komunitas terhubungn melalui media digital yang berarti meniadakan batasan fisik dan geografis dalam berinteraksi satu sama lain
Ubiquity – dengan adanya karakteristik interactivity dan ubiquity (dapat hadir di mana saja) media digital pembentuk komunitas dimungkinkan tanpa adanya kendala ruang dan waktu, hal ini berarti memungkinkan komunikasi dilakukan kapan saja dan dapat terjadi secara instan
Replacement of physical presence with an “online identity”, memungkinkan seseorang memiliki identitas khusus di dunia virtual (misalnya melalui nick name atau avatar) bahkan memungkinkan seseorang tampil dengan personality yang berbeda.
Komunitas virtual merupakan kumpulan individu dengan ketertarikan yang sama akan suatu hal, terpisah secara geografis namun terkait satu dengan yang lain dalam suatu jaringan hubungan relasional yang dinamis tanpa adanya kontak secara 13 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
fisik (Dholakia et al., 2004; Sicilia & Palazon, 2008). Banyak diantara komunitas virtual tersebut yang didasarkan atas ketertarikan atas suatu konsumsi yang sama (Kozinets, 1999; Andersen 2005; Shang et al., 2006; Thompson & Sinha 2008; Muniz & Schau 2011) yang kemudian dikenal sebagai komunitas merek virtual. Keterkaitan antara komunitas, komunitas merek, komunitas virtual dan komunitas merek virtual dapat diilustrasikan melalui gambar berikut.
Gambar 2.3. Offline vs Virtual Community dan Brand Community Sumber: Sicilia & Palazon, 2008
2.2.2 Elemen Komunitas Merek Virtual Seperangkat hubungan antar pengagum suatu merek dapat disebut sebagai suatu bentuk komunitas merek jika memiliki tiga komponen komunitas yaitu consciousness of kind, rituals and traditions, dan sense of moral responsibility (Muniz & Oguin 2001). Komunitas merek virtual sebagai perluasan dari komunitas merek memiliki elemen pembentuk yang mirip dengan komunitas merek tradisional (Whittaker, Issacs and O’Day, 1997), yaitu:
Tujuan dan ketertarikan yang serupa. Pada komunitas merek virtual hal yang menjadi pemersatu di kalangan anggotanya adalah ketertarikan yang sama atas suatu merek. Hal ini biasanya dapat dengan mudah dikenali melalui pemilihan nama komunitas merek yang dibentuk, misalnya MacClubIndonesia (komunitas merek virtual yang dibentuk oleh para pengguna merek Mac di Indonesia). Forum Gemscool sebagai salah satu sampel komunitas yang ditelaah dalam penelitian ini merupakan komunitas merek virtual yang dibentuk dan difasilitasi Gemscool, salah satu publisher game online di Indonesia. Komunitas ini beranggotakan para pemain game online yang sama-sama memainkan online game di bawah publisher Gemscool. Mereka bergabung dan berpartisipasi dalam komunitas tersebut untuk menggali dan berbagi informasi maupun
14 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
pengalaman dalam mengkonsumsi layanan online game dari publisher Gemscool.
Partisipasi, interaksi, ikatan emosional, dan aktivitas bersama di kalangan anggota. Dalam komunitas merek virtual anggota difasilitasi untuk dapat berpartisipasi misalnya dengan menuliskan pengalamannya, berinteraksi dan saling memberikan dukungan melalui kegiatan percakapan atau diskusi dengan sesama anggota, serta melakukan aktivitas bersama secara online yang kadang kala ditambah dengan aktivitas offline seperti gathering (sering disebut sebagai kopdar atau kopi-darat) anggota secara berkala. Interaksi tersebut yang menjadi salah satu faktor pemerkuat ikatan emosional anggota komunitas merek virtual. Pada konteks penelitian ini, komunitas out-of-game layanan online game menjadi wahana untuk berinteraksi dan berdiskusi bersama melalui aktivitas berbalas pesan yang dalam jangka waktu lama akan memperkuat ikatan emosional di antara anggotanya.
Akses pada sumber daya bersama dan ketentuan akan akses sumber daya tersebut. Salah satu manfaat yang ditawarkan oleh komunitas merek virtual adalah akumulasi sumber daya informasi yang dihimpun secara kontinyu dari kontribusi para angotanya melalui penulisan pengalaman penggunaan merek, perluasan penggunaan atau pemecahan permasalahan terkait dengan merek yang dikonsumsi. Sumber daya tersebut kemudian dapat diakses oleh anggotanya dan pada kondisi tertentu dan pada derajat tertentu oleh pengunjung di luar anggota. Sumber daya komunitas merek virtual juga dapat berbentuk sebagai himpunan keahlian, layanan atau fasilitas transaksi yang diupayakan bersama oleh anggota komunitas. Pada konteks penelitian ini, komunitas outof-game layanan online game menjadi wahana penyimpanan informasi dari dan untuk anggota, serta menjadi wahana untuk meminta bantuan kepada sesama anggota komunitas merek virtual yang memiliki keahlian-keahlian tertentu terkait dengan layanan online game yang dimainkan.
Kebiasaan, bahasa, dan aturan yang disepakati bersama. Sebagaimana layaknya komunitas dalam komunitas merek virtual juga lazim ditemukan adanya kebiasaan, bahasa dan aturan khusus yang disepakati bersama. Misalnya tatacara posting dan kategorisasi anggota berdasarkan jumlah posting dan reputasinya. Pada konteks penelitian ini, komunitas out-of-game layanan online game juga memiliki kebiasaan-kebiasaan dan bahasa spesifik, misalnya panggilan “Atlantian” kepada para pemain online game Atlantica Online.
Pada konteks produk game online, komunitas merek virtual merupakan wahana yang memiliki peran penting dalam proses penciptaan nilai bagi pelanggan. Pelanggan pada awalnya berinteraksi dengan produk atau merek game online dalam suatu proses konsumsi yang menciptakan value-in-use bagi mereka. Kemudian pelanggan terlibat dalam suatu proses interaksi lebih lanjut dengan merek, penyedia layanan (publisher dan pengelola komunitas merek virtual) serta sesama anggota komunitas dalam komunitas merek virtual melalui media komunikasi dan interaksi online. Interaksi tersebut dalam teori konsumunitas (Ardianto & Soehadi, 2013) juga merupakan proses konsumsi, dalam hal ini penikmatan atas suatu makna peristiwa, yang juga akan menciptakan value-in-use lebih jauh bagi pelanggan. Pengalaman akibat interaksi dengan merek serta interaksi dalam komunitas tersebut pada akhirnya akan memberikan dampak positif bagi pemasar dalam bentuk 15 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
kepuasan, loyalitas, empowerment, ikatan emosional, trust serta komitmen (Brodie et al., 2013). 2.2.3 Klasifikasi Komunitas Merek Virtual Berdasarkan struktur sosialnya (longgar atau ketat), dan fokus kelompoknya (pertukaran informasi atau interaksi sosial), komunitas merek virtual dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis yaitu boards, rings and lists, rooms dan dungeons, sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 2.4 (Kozinets, 1999). Pemahaman akan adanya klasifikasi ini dapat membantu pemasar dalam melakukan segmentasi dan perumusan upaya pemasaran yang sesuai.
Gambar 2.4. Jenis Komunitas Merek Virtual Sumber: Kozinets (1999)
Boards merupakan komunitas virtual yang terbentuk atas ketertarikan khusus akan konsumsi dalam bentuk bulletin boards elektronik. Anggota boards dapat membaca dan menulis pesan yang disusun berdasarkan judul dan tanggal atau memberikan respon pada suatu topik diskusi. Boards memiliki pengaruh dan cakupan yang lebih luas karena dapat diakses pula oleh penggunjung yang bukan merupakan anggota dan hanya bertujuan mencari informasi berdasarkan pesanpesan yang ada dalam boards. Boards berpusat pada suatu aktivitas konsumsi, sehingga memiliki segmentasi yang relatif jelas. Boards cenderung bersifat lebih besar dan umum tidak seintim rooms dan lists. Oleh karenanya lebih memungkinkan bagi pemasar untuk melakukan aktivitas pemasarannya tanpa kesan yang mengganggu. Kebanyakan komunitas merek virtual termasuk di Indonesia berbentuk sebagai boards atau sering disebut sebagai online forum, contohnya macclubindonesia.com, www.blackberryforums.com, dan forum.gemscool.com. Board pada umumnya menyediakan fasilitas penulisan pesan, pencarian pesan, interaksi, informasi statistik dan kategorisasi anggota yang terstruktur dan mudah untuk digunakan. Berdasarkan fakta tersebut komunitas merek virtual dalam 16 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
penelitian didefinisikan sebagai komunitas merek virtual dengan bentuk boards yang pada prakteknya sering pula disebut sebagai online forum. 2.3 Value-in-use pada Komunitas Merek Virtual Strategi pemasaran yang didasarkan atau berfokus pada value diyakini sebagai suatu perspektif yang akan meningkatkan tingkat keberhasilan organisasi (Khalifa, 2004). Penciptaan superior customer value dipandang sebagai elemen kunci keberhasilan perusahaan (Treacy & Wiersema, 1993; Christopher, 1996; Porter, 1996; Woodruff, 1997). Hal ini dikarenakan penghantaran produk atau jasa yang memberikan superior value kepada pelanggan akan mendorong kepada terciptanya loyalitas pelanggan sebagai penggerak dari performa finansial (Reichheld, 1993; Heskett, Jones, Loveman, Sasser, & Schlesinger, 1994; Reichheld, Markey, & Hopton, 2000). Dengan meningkatkan jumlah pelanggan loyal sebesar 5% perusahaan dapat meningkatkan profitnya hingga hampir 100% (Reichheld & Sasser, 1990). Pada literatur manajemen, value dapat dipandang dari tiga sudut pandang, yaitu shareholder value, customer value dan stakeholder value (Khalifa, 2004). Namun demikian, customer value merupakan sumber dari value yang lain (Heskett et al., 1994; Lemon, Rust & Zeithaml, 2001; Rust, Lemon & Zeithaml, 2004). Shareholder value merupakan hasil dari hubungan relasional dengan pelanggan (Gronroos, 2000). Shareholder value merupakan hasil dari sustainable competitive advantage (Kaplan & Norton, 1996). Dalam penelitian ini value dipandang dari sudut pandang kedua yaitu customer value atau sering juga disebut sebagai customer perceived value. Seiring dengan perkembangan disiplin pemasaran, khususnya pergeseran paradigma dari “goods-dominant” logic menjadi “service-dominant” logic pandangan terhadap customer perceived value juga mengalami pergeseran dari value-in-exchange atau embedded value menjadi value-in-use. Pergeseran pandangan terhadap customer value ini dapat diilustrasikan pada Gambar 2.5. Pada “goods-dominant” logic customer value cenderung dipandang sebagai embedded value yaitu atibut produk/jasa atau performanya yang siap dibayar oleh pelanggan (Macdonald, Martinez, & Wilson, 2009). Contoh pandangan ini adalah adanya pengukuran kualitas layanan seperti SERVQUAL (Parasuraman, Zeithaml, & Berry, 1988). Pandangan tersebut kemudaian mulai bergeser ke arah value-inuse. Sebagai contoh Woodruff (1997) memandang customer value sebagai persepsi preferensi dan evaluasi pelanggan terhadap atribut produk, performa atribut dan konsekuensinya dalam memfasilitasi atau menghalangi tujuan pelanggan setelah mengkonsumsinya. Pada definisi ini terdapat dua sudut pandang akan customer value. Jika customer value dipandang dari persepsi akan atribut produk dan performa produk maka customer value dipandang sebagai embedded value. Sementara itu jika customer value dipandang sebagai konsekuensi yang muncul terkait dengan tujuan pelanggan setelah mengkonsumsi produk/jasa, maka customer value dipandang sebagai value-in-use.
17 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
Gambar 2.5. Pergeseran Embedded Value menjadi Value-in-use Sumber: Macdonald, Martinez, & Wilson (2009)
Sejumlah peneliti mencoba membuat kategorisasi value agar lebih bermanfaat dan mudah untuk digunakan, seperti fungsional, sosial, emosional, epistemic dan kondisional (Sheth, Newman & Gross, 1991), performa, sosial dan emosional (Sheth & Mittal, 2004), phychic value dan utility value (Khalifa, 2004). Sementara itu, pada beberapa penelitian dengan konteks komunitas merek virtual, nilai dikelompokkan menjadi fungsional (functional value), sosial (social value) dan hiburan atau entertainment value (Kim, Park & Jin, 2008; Sicilia & Palazon, 2008; Kim, Gupta & Koh, 2011). Peneliti CCT memandang aktivitas cocreation dalam suatu komunitas merek menciptakan value kolektif yang pada akhirnya konsumen melalui partisipasi dalam komunitas merek baik secara offline maupun online merasakan value-in-use sosial dan hedonik di samping benefit yang diberikan oleh perusahaan (Schau, Muniz & Arnould, 2009). Dalam komunitas merek virtual terjadi proses cocreation oleh pemasar dan pelanggan yang menciptaan value kolektif. Sebagai
18 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
contoh, praktek documenting menciptakan value dengan membangun basis informasi dalam komunitas, evangelizing menciptakan value dengan memperbesar komunitas dan meningkatkan persepsi merek, praktek empathizing menciptakan value dengan menyediakan sumber daya afektif dalam komunitas, customizing menciptakan value dengan menawarkan solusi yang unik namun dapat direproduksi atas tantangan yang dihadapi pengguna merek, serta milestoning dan badging menciptakan value dengan membangun makna merek.
Gambar 2.6. Praktek-praktek dalam komunitas merek yang menciptakan value Sumber: Schau, Muniz & Arnould (2009)
Value kolektif sebagaimana telah diuraikan, pada akhirnya dapat menciptakan value-in-use yang spesifik sesuai dengan kebutuhan dan tujuan masing-masing anggota komunitas merek virtual. Value-in-use dapat diungkapkan oleh pelanggan sebagaimana mereka mengungkapkan kualitas layanan setelah menggunakannya (Macdonald et al., 2011). Pada komunitas merek virtual hal ini berarti value-in-use merupakan hasil penilaian anggota komunitas setelah mereka berpartisipasi dalam suatu komunitas merek virtual. 2.4 Perilaku Partisipatif pada Komunitas Merek Virtual Masing-masing individu dapat berangkat dari motivasi yang berbeda-beda sebagai alasan untuk bergabung dalam suatu komunitas virtual. Motivasi yang berbeda tersebut akan berdampak pada menjadi tipe anggota seperti apa mereka nantinya yang berarti mencerminkan pula perilaku partisipatifnya di dalam komunitas (Kozinets, 1999; Akkinen, 2005). Pengakses komunitas virtual dapat merupakan anggota, atau bukan anggota dari komunitas virtual, khususnya pada komunitas virtual terbuka (memungkinkan selain anggota dapat mengakses 19 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
sebagian fungsi dari komunitas virtual). Hasil penelitian membuktikan bahwa untuk website komunitas ritel rata-rata jumlah anggotanya berada pada kisaran 1/3 dari total pengaksesnya, namun mereka berkontribusi pada 2/3 dari angka penjualan online (Brown et al., 2001). Anggota komunitas virtual kemudian diklasifikasikan lagi menjadi dua kategori yaitu berdasarkan perilaku partisipatifnya yang menonjol yaitu "lurker" dan “poster” (Nonnecke & Preece, 1999; Preece, Nonnecke & Andrews, 2004; Rafaeli, Ravid & Soroka, 2004). Lurking dapat dinilai sebagai masalah ataupun bukan, bergantung dari kondisi komunitas dan tujuan penilaiannya. Jika pada suatu komunitas merek virtual hanya ada sedikit atau bahkan tidak ada posting, maka lurking merupakan permasalahan yang akan mengancam kelangsungan hidup komunitas tersebut. Namun demikian, pada komunitas merek virtual yang memiliki aktivitas posting memadai, terlebih pada komunitas virtual yang besar dan sangat aktif, memiliki anggota yang berperilaku sebagai lurker tidak perlu dipandang sebagai permasalahan (Preece et. al 2004). Lebih jauh lagi, jika ditinjau dari perspektif pemasaran komunitas merek virtual dipandang sebagai suatu alternatif wahana pemasaran melalui media internet. Jika komunitas merek virtual dipandang sebagai wahana pemasaran, maka tujuan utamanya sepatutnya bukan kelangsungan hidup komunitas merek virtual semata, namun lebih jauh lagi tercapainya tujuan pemasaran seperti loyalitas merek. Dalam perspektif ini, tentunya baik poster maupun lurker sebagai pengguna merek perlu mendapatkan perhatian yang sama melalui penciptaan value proposition tertentu yang pada akhirnya akan dipandang sebagai value-in-use bagi anggota melalui interaksinya di dalam komunitas merek virtual. Nonnecke & Preece (2001) membagi alasan mengapa anggota komunitas virtual memilih untuk menjadi lurker ke dalam empat kategori yaitu karakteristik anggota, karakteristik komunitas, tahapan keanggotaan, dan kendala eksternal. Selain adanya keberagaman alasan seorang anggota komunitas virtual untuk cenderung berperilaku lurking, perilaku partisipatif sendiri bersifat dinamis. Poster dapat berlaku sebagai lurker dan juga sebaliknya pada waktu dan situasi yang berbeda. Seseorang yang masih berada pada fasa pengenalan terhadap suatu komunitas virtual mungkin akan cenderung berperilaku partisipatif lurking untuk lebih mengenal dan membiasakan diri dengan komunitasnya (Nonnecke & Preece, 2001). Pada kasus seseorang yang memiliki keanggotaan ganda yaitu menjadi anggota pada beberapa komunitas virtual dapat berperilaku sebagai poster pada satu komunitas virtual dan berperilaku sebagai lurker pada komunitas virtual yang lain dengan alasan keterbatasan sumber daya berupa waktu dan tenaga (Nonnecke & Preece, 1999; Preece, Nonnecke & Andrews, 2004; Schlutz & Beach, 2004). 2.5 Loyalitas Merek Tujuan pemasaran bergerak dari penciptaan superior customer value (SCV) yang mendorong kepuasan konsumen dan sustainable competitive advantage (SCA) yang memiliki efek berantai pada terciptanya loyalitas pelanggan, customer equity, sales volume dan pada akhirnya shareholder value (Pawitra, 2005). Sejumlah penelitian menekankan pentingnya shareholder value sebagai tujuan akhir dari kegiatan pemasaran (Srivastava, Shervani, & Fahey, 1998; Ramaswami, Srivastava & Bhargava, 2009; Kumar & Shah 2009). Namun demikian tetap tidak
20 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
dapat dikesampingkan bahwa loyalitas pelanggan merupakan prasyarat akan tujuan-tujuan pemasaran setelahnya termasuk shareholder value (Venkatesan & Kumar, 2004; Gupta, Hanssens, Hardie, Kahn, Kumar, Lin, & Sriram, 2006; Berger, Eechambadi, George, Lehmann, Rizley, & Venkatesan, 2006). Oleh karena itu, implikasi pemasaran dalam penelitian ini dibatasi pada loyalitas merek. Loyalitas merek dapat didefinisikan sebagai komitmen yang tinggi untuk melakukan pembelian ulang atau berlangganan suatu produk/jasa secara konsisten di masa mendatang, sehingga menyebabkan pembelian berulang terhadap suatu merek yang sama, meskipun pengaruh situasional dan upaya pemasaran masih memiliki potensi untuk menyebabkan pergeseran merek (Oliver, 1999). Penting bagi pemasar untuk membangun dan mempertahankan hubungan dengan konsumen secara terus-menerus terutama konsumen yang menguntungkan (Pawitra, 2005). Konsumen yang loyal menunjukkan perilaku lebih tidak sensitif terhadap harga daripada konsumen yang tidak loyal (Krishnamurthi & Rajan, 1991). Pada penelitian lain juga dindikasikan bahwa loyalitas berkaitan dengan angka penjualan di masa mendatang (Vogel, Evanschitzky & Ramaseshan, 2008) . Ada perbedaan opini yang muncul dalam pembahasan loyalitas. Apakah sikap (attitudinal) dan perilaku (behavioral) yang penting dalam menggambarkan loyalitas (Casalo, Flavian & Guinaliu, 2010). Sebagian peneliti menggunakan perilaku sebagai ukuran loyalitas (Bayus, 1992; Fornell 1992; Anderson & Sullivan 1993; Thompson & Sinha, 2008). Sebagaian peneliti lainnya menilai pembelian ulang sebagai salah satu bentuk perilaku loyal tidak cukup menggambarkan loyalitas merek (Dick & Basu 1994). Atas dasar pentingnya untuk mengikutsertakan aspek attitudinal dan behavioral dalam mengukur loyalitas merek (Dick & Basu; 1994; Oliver 1999; Chaudhuri & Holbrook, 2001), maka dalam penelitian ini akan diadopsi konsep loyalitas merek yang mencakup loyalitas attitudinal dan behavioral. Implementasi konsep attitudinal-behavioral dalam pengukuran loyalitas merek juga memungkinkan klasifikasi loyalitas merek menjadi empat kondisi, yaitu no loyalty, spurious loyalty, latent loyalty dan loyalty.
Gambar 2.7. Rerangka Attitude-Behavior Loyalty Sumber: Dick & Basu (1994)
21 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
BAB 3 3. MODEL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
3.1 Model Penelitian Penganut CCT menilai perlunya meneliti komunitas merek virtual untuk memahami dan menjelaskan fenomena value co-creation, termasuk value-in-use, juga mediasi perilaku partisipatif dalam komunitas merek virtual serta implikasi bagi tercapainya tujuan pemasaran yaitu loyalitas merek (Arnould & Thompson, 2007). Di dalam CCT penelitian komunitas merek tercakup dalam bahasan marketplace culture yang melibatkan terbentuknya solidaritas sosial yang menciptakan dunia kultural yang berbeda, terfragmentasi, self-selected, dan terkadang bersifat sementara melalui ketertarikan akan konsumsi yang sama (Arnould & Thompson, 2005). Oleh karena itu, CCT dinilai sesuai untuk digunakan sebagai dasar teori pada pengembangan model dalam penelitian ini. Tiga konstruk utama dalam penelitian ini yaitu value-in-use, perilaku partisipatif dan loyalitas merek tercakup dalam CCT. Pada penelitian terdahulu di luar disiplin pemasaran telah ditelaah beberapa faktor penggerak perilaku partisipatif dalam komunitas virtual seperti estetika, usability, (Franco & Cataluña, 2010), kualitas informasi dan sistem (Lin, 2008), keterlibatan (Shang et al., 2006). Sementara itu dalam perspektif pemasaran value diniliai sebagai syarat awal tercapainya tujuan-tujuan pemasaran (Sweeney & Soutar 2001; Khalifa, 2004; Pawitra, 2005). Oleh karena itu, pada penelitian ini value-in-use ditempatkan sebagai pemicu perilaku partisipatif konsumen pada komunitas merek virtual. Komunitas merek virtual sebagai mediator ditinjau dari konstruk perilaku partisipatif sebagai konstruk utama dalam pembahasan komunitas virtual (Kim, Lee & Hiemstra, 2003; Shang, Chen & Liao, 2006; Casaló, Flavián & Guinalíu, 2007; Thompson & Sinha, 2008). Sementara itu, sebagai implikasi ditinjau loyalitas merek sebagai salah satu implikasi penting pemasaran yang ditelaah dalam CCT (Fournier, 1998; Muniz & O’guinn, 2001, McAlexander et al., 2002; Casalo, Flavian & Guinaliu, 2010). Telaah marketplace culture sebagai salah satu dari empat pokok bahasan dalam CCT mencakup proses bagaimana konsumen secara sukarela menempa rasa solidaritas sosial dan penciptaan dunia kultural yang unik, terfragmentasi, dan kandang bersifat sementara melalui perilaku partisipatifnya dalam komunitas merek (Schouten & McAlexander 1995; Belk & Costa 1998; Kozinets 2001). Telaah tersebut juga meneliti faktor penggerak perilaku partisipatif serta implikasinya bagi pemasaran. Secara sederhana, penelitian ini mencoba untuk meneliti apakah jika seorang anggota merasakan manfaat dari komunitas merek virtual mereka kemudian akan senantiasa berpartisipasi dalam komunitas bahkan dengan intensitas yang lebih tinggi guna tetap menggali manfaat tersebut. Jika seorang anggota berpartisipasi dengan intensitas yang tinggi pada komunitas merek virtual yang berarti semakin intens bersentuhan dengan pengguna merek, merek dan komunikasi seputar merek apakah kemudian menjadikan loyalitasnya terhadap merek menjadi lebih tinggi. Berdasarkan uraian tentang value-in-use sebagai 22 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
penggerak perilaku partisipatif, serta implikasinya pada loyalitas merek, maka dalam penelitian ini diajukan model penelitian sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 3.1.
Gambar 3.1. Model Penelitian 3.2 Pengembangan Hipotesis Sesuai dengan masalah dan pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan pada bagian awal, serta didasarkan pada CCT khususnya bahasan marketplace culture terkait komunitas merek virtual, dalam penelitian ini dikembangkan delapan hipotesis penelitian. Pengujian terhadap hipotesis tersebut digunakan sebagai dasar pengembangan teori tentang keterkaitan value-in-use sebagai penggerak perilaku partisipatif, serta implikasinya terhadap loyalitas merek. Pengujian hipotesis akan didasarkan pada fakta empiris. 3.2.1 Pengaruh Value-in-use Fungsional Terhadap Perilaku Partisipatif Posting dan Lurking Seperti halnya komunitas tradisional, interaksi antar anggota dan praktek yang terjadi dalam komunitas dapat menciptakan nilai bagi anggotanya. Pada komunitas merek tradisional nilai tercipta melalui praktek social networking (welcoming, empathizing, governing), community engagement (Documenting, badging, milestoning, stalking), impression management (evangelizing, justifying) serta brand use (customizing, grooming, commoditizing) sebagaimana diungkapkan dalam Schau, Muniz & Arnould (2009). Hal yang membedakan adalah bentuk komunikasi dan interaksinya yang dipermudah dengan keberadaan teknologi komunikasi dan informasi. Dalam penelitian ini ditinjau dua dimensi nilai yaitu fungsional dan sosial. Nilai fungsional mencakup aspek seperti saran, informasi dan keahlian (Kim, Park & Jin, 2008; Sicilia & Palazon, 2008; Kim, Gupta & Koh, 2011). Sejumlah penelitian mengindikasikan adanya pengaruh positif meskipun secara tidak 23 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
langsung elemen-elemen nilai fungsional terhadap perilaku partisipatif posting (Dholakia et al., 2004; Lin, 2008). Di sisi lain, informasi merupakan manfaat utama yang juga ingin dicari termasuk pada kalangan lurker dan menjadi pendorong mereka untuk berpartisipasi dalam komunitas virtual (Nonnecke & preece,1999; 2001; Nonnecke et al., 2004). Semakin besar manfaat yang dipersepsikan atau ingin didapat oleh seorang anggota dari komunitas merek virtualnya akan mendorong tingkat pencarian informasi melalui perilaku partisipatif lurking yang lebih tinggi. Berdasarkan uraian tersebut, diajukan hipotesis tentang value-in-use fungsional sebagai penggerak perilaku partisipatif posting maupun lurking. H1 : Semakin tinggi value-in-use fungsional yang dipersepsikan, semakin tinggi intensitas perilaku partisipatif posting pada komunitas merek virtual H2 : Semakin tinggi value-in-use fungsional yang dipersepsikan, semakin tinggi intensitas perilaku partisipatif lurking pada komunitas merek virtual 3.2.2 Pengaruh Value-in-use Sosial Terhadap Perilaku Partisipatif Posting dan Lurking Nilai sosial mencakup aspek seperti pertemanan, dukungan sosial, kebanggaan, status sosial dan social enhancement (Kim, Park & Jin, 2008; Sicilia & Palazon, 2008; Kim, Gupta & Koh, 2011). Sejumlah penelitian mengindikasikan adanya pengaruh secara tidak langsung elemen-elemen nilai sosial terhadap perilaku partisipatif posting (Dholakia et al., 2004; Lin, 2008). Melalui perilaku partisipatif posting seorang anggota komunitas merek virtual dapat memperoleh manfaat seperti mendapatkan banyak teman, berdiskusi dengan orang lain, membanggakan diri, atau dapat meminimalkan rasa kesepian (Flanagin & Metzger, 2001). Sementara itu di sisi lain, sejumlah penelitian lain mengindikasikan bahwa perilaku partisipatif bersifat dinamis. Seorang anggota komunitas merek virtual bisa saja menilai nilai sosial yang diperoleh melalui komunitasnya adalah besar, namun demikian belum merasa aman dan nyaman untuk menunjukkan perilaku partisipatif posting, sehingga yang dilakukan adalah berusaha lebih mengenal dan lebih merasa nyaman dengan melakukan aktivitas lurking (Nonnecke & Preece, 1999; Preece, Nonnecke & Andrews, 2004; Schlutz & Beach, 2004). Kemungkinan lain yang bisa terjadi adalah seorang anggota komunitas merek virtual mungkin saja memanfaatkan komunitasnya guna mencari teman, namun demikian karena media komunikasi berbasis internet memiliki banyak alternatif saluran komunikasi maka dia tidak melakukan aktivitas komunikasi melalui perilaku partisipatif posting namun dengan cara lain misalnya melalui private message atau Short Message Service (SMS). Pada kondisi ini yang akan terlihat pada komunitas hanya perilaku partisipatif lurking saja sementara itu perilaku partisipatif posting tidak menonjol. Berdasarkan uraian tersebut, dalam penelitian ini diajukan dugaan akan adanya pengaruh positif value-in-use sosial terhadap perilaku partisipatif posting maupun perilaku partisipatif lurking. Berdasarkan uraian tersebut, diajukan hipotesis tentang value-in-use sosial sebagai penggerak perilaku partisipatif posting maupun lurking. 24 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
H3 : Semakin tinggi value-in-use sosial yang dipersepsikan, semakin tinggi intensitas perilaku partisipatif posting pada komunitas merek virtual H4 : Semakin tinggi value-in-use sosial yang dipersepsikan, semakin tinggi intensitas perilaku partisipatif lurking pada komunitas merek virtual 3.2.3 Pengaruh Perilaku Partisipatif Posting terhadap Loyalitas Merek Attitudinal dan Behavioral Sejumlah penelitian terdahulu telah membuktikan adanya dampak positif partisipasi dalam komunitas merek tradisional terhadap loyalitas seorang anggota komunitas merek terhadap merek terkait komunitas merek tersebut (Andersen, 2005; Algesheimer et al., 2005; Shang et al., 2006). Tingkat partisipasi seorang anggota dalam suatu komunitas bervariasi mulai dari sympathizer (tingkatan partisipasi terendah), active members, practitioners hingga devotees yang memiliki tingkat keterlibatan dan keterikatan emosional yang tinggi (Cova & Cova, 2002). Pada konteks komunitas merek, anggota dengan tingkat partisipasi yang tinggi dalam komunitas cenderung memiliki tingkat identifikasi dan ikatan emosional yang tinggi terhadap merek terkait (Algesheimer et al., 2005). Identifikasi dan ikatan emosional tersebut pada akhirnya berdampak pada tingkat loyalitas yang lebih tinggi terhadap merek (McAlexander et al. 2002). Penjelasan tersebut juga berlaku pada komunitas merek virtual sebagai perluasan dari komunitas merek (Andersen, 2005; Casalo et al., 2010) dengan penyesuaian definisi partisipasi sebagai perilaku partisipatif posting dan lurking. Aktivitas menuliskan pesan atau berdiskusi dengan sesama anggota komunitas merek virtual (posting) memerlukan usaha yang lebih tinggi daripada hanya melakukan perilaku partisipatif lurking (Nonnecke & preece, 2001). Usaha yang besar tersebut kemudian berdampak pada kecenderungan untuk lebih loyal terhadap merek guna menghindari timbulnya masalah cognitive dissonance (Shang et al., 2006). Pada kondisi ini cognitive dissonance atau rasa tidak nyaman timbul karena terjadinya dua hal yang berlawanan dalam diri seorang anggota komunitas merek virtual. Di satu sisi, poster telah mengelurakan banyak sumber daya untuk menuliskan pesan positif terkait merek namun di sisi lain dia tidak menunjukkan sikap atau perilaku loyal terhadap merek tersebut. Hal ini merupakan penjelasan spesifik dari sudut pandang lain akan keterkaitan perilaku partisipatif posting dengan loyalitas merek attitudinal. Penelitian lain menunjukkan fakta bahwa poster sangat memperhatikan persepsi yang mungkin timbul di benak sesama anggota komunitas dalam berperilaku (Schlosser, 2005). Hal ini berarti jika poster cenderung menuliskan informasi positif terhadap merek dalam suatu komunitas merek virtual, maka dia juga akan menunjukkan perilaku yang positif terhadap merek untuk menghindari persepsi ketidakkonsistenan di benak anggota yang lain. Hal ini memberikan argumentasi akan adanya keterkaitan antara perilaku partisipatif posting dengan loyalitas merek behavioral. Sejumlah penelitian terkait komunitas merek virtual telah mengindikasikan adanya pengaruh positif perilaku partisipatif posting terhadap loyalitas merek 25 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
attitudinal dan behavioral secara silo dengan hanya menitikberatkan pada salah satu aspek loyalitas saja (McAlexander, Kim & Roberts 2003; Shang, Chen & Liao, 2006; Casaló, Flavián & Guinalíu, 2007; Thompson & Sinha 2008; Zhou, Zhang, Su & Zhou, 2011). Dalam penelitian ini, loyalitas akan ditinjau dari kedua aspek yaitu attitudinal dan behavioral (Dick & Basu; 1994; Oliver 1999; Chaudhuri & Holbrook, 2001). Berdasarkan argumentasi yang telah diuraikan, diajukan dua hipotesis tentang implikasi perilaku partisipatif posting terhadap loyalitas merek. H5 : Semakin tinggi intensitas perilaku partisipatif posting, semakin tinggi loyalitas attitudinal terhadap merek dalam komunitas virtual H6 : Semakin tinggi intensitas perilaku partisipatif posting, semakin tinggi loyalitas behavioral terhadap merek dalam komunitas virtual 3.2.4 Pengaruh Perilaku Partisipatif Lurking terhadap Loyalitas Merek Attitudinal dan Behavioral Sebelumnya telah diuraikan argumentasi akan adanya keterkaitan antara perilaku partisipatif dengan loyalitas merek virtual sebagai dampak dari adanya identifikasi dan ikatan emosional (McAlexander et al. 2002; Andersen, 2005; Casalo et al., 2010). Dampak perilaku partisipatif posting terhadap loyalitas merek telah dibahas pada paragraf sebelumnya. Penjelasan yang sama sebagai argumentasi utama juga berlaku pada perilaku partisipatif lurking khususnya pada tingkat partisipasi yang tinggi. Salah satu alasan penting mengapa seseorang bergabung dalam suatu komunitas merek virtual adalah guna mendapatkan akses pada informasi dan ahli (Dholakia et. al, 2004; Riding & Gefen, 2004; Nonnecke et al., 2004; Lin, 2008). Sebagian besar anggota komunitas merek virtual kemudian menunjukkan perilaku partisipatif lurking, jarang sekali atau tidak pernah menuliskan pesan, karena berbagai alasan seperti rasa malu, privasi, keamanan, kendala waktu, kendala mekanisme dan tidak merasa perlu (Nonnecke & preece,1999; 2001; Nonnecke et al., 2004). Melalui proses pencarian informasi tersebut pemahaman seorang anggota komunitas merek terhadap produk/merek akan cenderung meningkat. Sebagai dampkanya, ekspektasi terhadap produk/merek akan mendekati performa aktualnya dan kondisi ini kemudian dapat memperkuat loyalitasnya terhadap merek (Shang et al., 2006). Sesuai dengan permasalahan penelitian yang telah dirumuskan sebelumnya, loyalitas merek dalam penelitian ini akan ditinjau baik dari sisi attitudinal maupun behavioral (Dick & Basu, 1994; Oliver 1999; Chaudhuri & Holbrook, 2001). Berdasarkan uraian tersebut, diajukan dua hipotesis tentang implikasi perilaku partisipatif lurking terhadap loyalitas merek attitudinal dan loyalitas merek behavioral. H7 : Semakin tinggi intensitas perilaku partisipatif lurking, semakin tinggi loyalitas attitudinal terhadap merek dalam komunitas virtual H8 : Semakin tinggi intensitas perilaku partisipatif lurking, semakin tinggi loyalitas behavioral terhadap merek dalam komunitas virtual
26 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
BAB 4 4. METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yaitu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan karakteristik populasi atau menggambarkan hubungan antar variabel penelitian (Cooper & Schindler, 2011). Pengambilan informasi dari sampel dilakukan hanya sekali, hal ini berarti penelitian ini menggunakan desain crosssectional yang lebih sering digunakan pada penelitian deskriptif dibandingkan dengan desain longitudinal (Maholtra, 2007). Pengujian hipotesis akan didasarkan pada analisis terhadap data primer sebagai data yang dihimpun secara khusus untuk suatu tujuan penelitian (Aaker, Kumar, Day & Leone, 2011). Data tersebut dihimpun melalui survei, suatu metode untuk memperoleh informasi dari responden melalui kuesioner atau interview (Malhotra, 2007).
4.2 Populasi, Unit Analisis dan Sampel Penelitian Pada kebanyakan penelitian, tidak dimungkinkan untuk mengikutsertakan keseluruhan anggota populasi. Oleh karena itu, sampel sebagai bagian dari populasi kemudian dipilih untuk mewakili populasi dalam suatu penelitian (Meyers, Gamst & Guarino, 2006). Sesuai dengan ruang lingkup penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, penelitian ini dibatasi pada komunitas merek virtual dari tiga publisher game online dengan anggota terbanyak di Indonesia yaitu Gemscool, Megaxus dan Lyto. Dengan demikian populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anggota komunitas merek virtual dari ketiga publisher game online Indonesia tersebut. Unit analisis dalam penelitian ini adalah sampel anggota komunitas merek virtual, khususnya dari tiga komunitas game online Indonesia yang telah dipilih. Karakteristik internet sampling yang bersifat voluntary menjadi alasan teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini diklasifikasikan pada teknik convenience sampling (Zikmund et al., 2010). Analisis SEM dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan Maximum Likelihood (ML) yang membutuhkan jumlah sampel minimal 5 kali jumlah variabel teramati (Wijanto, 2008). Untuk mengakomodasi kecukupan data minimal yang disarankan sebesar 150 sampel (Hair et al., 2006; Wijanto, 2008) maka dalam penelitian ini digunakan jumlah sampel sebanyak 162 yang merupakan 6 kali jumlah variabel teramati (sebesar 27 variabel).
4.3 Teknik Penghimpunan Data Instrumen pengukuran yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner online interaktif dengan link yang disebarkan melalui website komunitas merek virtual. Kuesioner berbasis web bersifat self-administered yang berarti 27 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
responden bebas menjawab pertanyaan dalam kuesioner kapanpun tanpa campur tangan peneliti (Cooper & Schindler, 2011). Kuesioner online dibuat dan diadministrasi dengan bantuan fasilitas dari GoogleDocs (http://docs.google.com). Berdasarkan respon yang diterima dipilih 162 respon pertama dengan jawaban yang lengkap.
4.4. Operasionalisasi Variabel Sesuai dengan model penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, penelitian ini melibatkan tiga konstruk penelitian yaitu value-in-use, perilaku partisipatif dan loyalitas merek diwakili oleh enam variabel penelitian. Variabel tersebut meliputi value-in-use fungsional, value-in-use sosial, perilaku partisipatif posting, perilaku partisipatif lurking, loyalitas merek attitudinal dan loyalitas merek behavioral. Tabel 4.1. Operasionalisasi Variabel Penelitian Variabel
Deskripsi
value-inuse fungsiona l (VIUF)
Merupakan manfaat yang dipersepsikan pelanggan setelah mengkonsumsi produk atau jasa, berdasarkan performa fungsional, utilitarian, atau fisik (Sheth, Newman & Gross, 1991; Sheth & Mittal, 2004; Gronroos, 2007)
value-inuse sosial (VIUS)
Merupakan manfaat yang dipersepsikan pelanggan setelah mengkonsumsi produk atau jasa, dikaitkan dengan suatu kelompok sosial tertentu (Sheth, Newman & Gross, 1991; Sheth & Mittal, 2004; Gronroos, 2007)
Indikator -
Manfaat memperoleh informasi (VIUF1) Manfaat mempelajari hal baru (VIUF2) Manfaat memperoleh ide (VIUF3) Manfaat dapat memberikan kontribusi informasi pada komunitas (VIUF4) - Manfaat meminta bantuan (VIUF5) - Manfaat untuk bertransaksi (VIUF6) - Manfaat memecahkan permasalahan (VIUF7) - Manfaat lebih memahami diri sendiri (VIUF8) - Manfaat dapat lebih memahami orang lain (VIUF9) - Manfaat dapat menyampaikan keluhan (VIUF10) - Manfaat membagi informasi pada orang lain (VIUF11) (Flanagin & Metzger, 2001) - Manfaat menjadi tidak kesepian (VIUS1) - Manfaat mendapatkan banyak teman (VIUS2) - Manfaat dapat berdiskusi dengan orang lain (VIUS3) - Manfaat dapat membanggakan diri (VIUS4) - Manfaat dapat menjadi orang yang penting (VIUS5) (Flanagin & Metzger, 2001)
Skala Likert Skala 1-7 Tidak setujusetuju
28 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
Tabel 4.1. Operasionalisiasi Variabel Penelitian (Lanjutan) Variabel
Deskripsi
perilaku partisipatif posting (PPP)
Merupakan perilaku aktif menulis pesan, komentar atau berdiskusi dalam komunitas virtual (Nonnecke et al., 2004) perilaku Merupakan perilaku pasif partisipatif dengan hanya membaca lurking pesan namun jarang sekali (PPL) atau tidak pernah menuliskan pesan dalam komunitas (Nonnecke, Preece & Andrews, 2004) loyalitas Merupakan tingkat komitmen merek konsumen terhadap suatu attitudinal merek (Chaudhuri & (LATP) dan Holbrook, 2001) (LATG)
loyalitas merek behavioral (LBTP) dan (LBTG)
Loyalitas yang diindikasikan dengan perilaku nyata seperti pembelian ulang atau kunjungan ulang (Chaudhuri & Holbrook, 2001) (Nilsson & Olsen 1995)
Indikator
Skala
- Jumlah rata-rata thread yang dibuat per bulan - Jumlah rata-rata tanggapan (reply) terhadap pesan (posting) yang dibuat orang lain per bulan (Shang et al., 2006, disesuaikan)
Skala rasio melalui open ended question Skala rasio melalui open ended question
- Jumlah rata-rata jam yang digunakan untuk membaca pesan (posting) anggota komunitas per bulan - Jumlah rata-rata kunjungan untuk membaca informasi yang disampaikan oleh publisher Gemscool/Lyto/Megaxus per bulan (Shang et al., 2006, disesuaikan) - Di masa mendatang, akan loyal pada Gemscool/Lyto/Megaxus - Masih akan memainkan game-game online dari Gemscool/Lyto/Megaxus - Game dari Gemscool/Lyto/Megaxus akan menjadi pilihan pertama di masa mendatang - Tidak akan memilih game online publisher lain jika masih ada game online dari Gemscool/Lyto/Megaxus - Akan menyarankan game online dari Gemscool/Lyto/Megaxus pada orang lain (Yoo & Donthu, 2001; Brakus et al., 2009) - Jumlah jam yang dialokasikan untuk bermain game online Gemscool/Lyto/Megaxus dibagi jumlah jam yang dialokasikan untuk online per bulan - Jumlah rupiah yang dibelanjakan untuk membeli GCash/Koin/Mi-Cash dibagi jumlah rupiah yang dibelanjakan untuk keperluan hiburan per bulan (Nilsson & Olsen, 1995)
Likert Skala 1-7 Tidak setujusetuju
Skala rasio melalui open ended question
Catatan: Untuk variabel LATG dan LBTG objek Gemscool/Lyto/Megaxus diganti dengan merek game online yang paling sering dimainkan saat ini
4.5 Teknik Analisis Data Model dan hipotesis penelitian dalam studi ini dianalisis dengan model Structural Equation Modeling (SEM) berdasarkan data empiris yang dihimpun. Data yang digunakan merupakan data primer yang dihimpun melalui survei menggunakan kuesioner online. Untuk pengolahan data, digunakan bantuan perangkat lunak AMOS versi 18.
29 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
4.5.1 Analisis Validitas dan Reliabilitas Validitas menggambarkan seberapa baik suatu pengukuran dapat mengukur sesuatu yang hendak diukur (Bollen, K. A. 1989; Zikmund et al., 2010, Cooper & Schindler, 2011). Dalam penelitian ini dipergunakan ukuran validitas face validity, content validity dan construct validity. Face validity merupakan evaluasi subjektif atas baik tidaknya secara logis skala pengukuran merepresentasikan konsep yang hendak diukur. Content validity merupakan ukuran seberapa baik alat ukur yang dipergunakan mencakup ranah konsep yang hendak diukur. Sementara itu, construct validity merupakan ukuran seberapa baik suatu alat ukur dalam merepresentasikan suatu konstruk (Zikmund et al., 2010). Face validity dan content validity dalam penelitian ini didasarkan pada kesesuaian alat ukur dengan teori dan penelitian yang sudah ada sebelumnya ditambah dengan evaluasi dari tim promotor sebagai ahli dalam bidang pemasaran. Sementara itu, construct validity diuji secara statistik dengan CFA (Confirmatory Factor Analysis). Construct validity dalam SEM dapat ditentukan melalui kriteria berikut (Wijanto, 2008): -
Nilai t muatan faktor (loading factors) lebih besar dari nilai kritis (1.96)
-
Muatan faktor standar (standardized loading factors) lebih besar dari 0.7 atau setidaknya di atas 0.5 (Igbaria, Zinatelli, Cragg, & Cavaye, 1997).
Reliabilitas merupakan indikator konsistensi dari suatu alat ukur. Suatu alat ukur dikatakan reliabel jika pada pengukuran secara berulang menunjukkan hasil yang serupa (Zikmund, Babin, Carr & Griffin, 2010). Pada analisis data menggunakan SEM reliabilitas dapat diukur dengan composite reliability dan average variance extracted (Wijanto, 2008). Hair et al. (2006) menyatakan bahwa konstruk memiliki reliabilitas yang baik jika nilai CR ≥ 0.7 dan nilai VE ≥ 0.5.
4.5.2 Structural Equation Modelling Structural Equation Modeling (SEM) dipilih sebagai alat analisis dalam penelitian ini berdasarkan beberapa alasan. Pertama, SEM dapat menguji derajat kecocokan secara umum atau goodness of fit (GOF) antara data dengan model yang diajukan (Wijanto, 2008). Kedua, dapat mengestimasi hubungan antar vaiabel terikat yang saling terkait secara simultan melalui model struktural. Ketiga, dapat merepresentasikan konsep laten (unobserved) dan melakukan koreksi atas measurement error (Hair et al., 2006). Keempat, prosedur SEM dapat melibatkan variabel latent (unobserved) dan variabel observed (Byrne, 1998).
30 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
BAB 5 5. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Profil Responden Data demografi online gaming pada akhir tahun 2010 mengindikasikan bahwa perbandingan jumlah pemain pria dan wanita di dunia adalah 58% berbanding 42% (www.buzzingup.com). Pada penelitian ini ditemukan fakta yang berbeda. Perbandingan antara anggota komunitas merek virtual game online yang tentunya merupakan pemain game online antara pria dan wanita adalah 94% berbanding 6%. Penjelasan atas perbedaan fakta ini adalah bahwa tiga komunitas virtual game online yang diamati pada penelitian ini dibuat oleh tiga publisher yang menyediakan game dengan tipe kebanyakan berjenis RPG (role playing game). Biasanya tipe game seperti ini lebih disukai oleh gamer pria dibandingkan dengan gamer wanita yang biasanya menyukai tipe game yang lebih simpel dan sederhana. Berdasarkan data yang dihimpun terlihat adanya penyebaran umur yang relatif merata pada anggota komunitas merek virtual game online. Pada anak-anak dan remaja yang secara alami biasanya masih gemar bermain, dewasa ini sudah relatif murahnya perlengkapan komputer, jaringan internet dan menjamurnya penyedia fasilitas game center mendorong mereka untuk kemudian menyalurkan kebutuhan bermainnya dengan bermain game online. Di sisi lain, pada kalangan yang relatif lebih dewasa ternyata masih menjadikan game online sebagai salah satu alternatif hiburan yang mudah dan murah untuk dilakukan. Berdasarkan olahan data yang dihimpun dapat dilihat penyebaran pembelanjaan per bulan anggota komunitas merek virtual game online pada game online yang paling sering dimainkan. Hanya sekitar 15% pemain yang tidak pernah membelanjakan uangnya pada game online yang dimainkan karena pada dasarnya game online yang disediakan oleh ketiga publisher yang diteliti (Gemscool, Megaxus dan Lyto) merupakan game yang free to play, dapat diunduh dan dimainkan secara gratis. Sementara itu 75% pemain membelanjakan sejumlah dana pada game online yang dimainkan. Biasanya pemain akan membelanjakan sejumlah dana untuk memperoleh fasilitas-fasilitas khusus dalam game (seperti teleportasi, peningkatan kualitas tempur atau perolehan experience), membeli perlengkapan tempur dalam permainan (seperti senjata atau baju tempur), atau membeli perlengkapan yang bersifat dekoratif (seperti pakaian atau kendaraan di dalam game). Fakta ini sekaligus menunjukkan adanya potensi pasar yang besar pada industri game online termasuk di Indonesia.
5.2 Model Pengukuran Berdasarkan hasil analisis terhadap data pretest telah diantisipasi bahwa ada kemungkinan indikator value-in-use, khususnya fungsional dapat mengelompok membentuk sejumlah dimensi jika diperhatikan dari asal sintesisnya yang terhimpun dari kelompok-kelompok kecil dari sejumlah penelitian (Flanagin & Metzger, 2001).
31 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
Oleh karena itu, peneliti memutuskan untuk terlebih dahulu melakukan exploratory factor analysis (EFA) untuk melihat kemungkinan pengelompokan indikator menjadi sejumlah dimensi dan memodelkan value-in-use fungsional menjadi second order latent variable guna memperoleh nilai validitas yang lebih baik. Mengingat indikator pada variabel value-in-use fungsional dan sosial diidentifikasi berdasarkan suatu definisi tertentu, maka jika terjadi pengelompokan indikator di masing-masing variabel menjadi sejumlah dimensi sangat mungkin terjadi korelasi antar individu. Oleh karena itu, dipilih metode oblique (direct oblimin) pada saat melakukan rotasi faktor (Ho, 2006). Berdasarkan hasil exploratory factor analysis (EFA) terhadap 162 data sampel terlihat adanya pengelompokan indikator value-in-use fungsional ke dalam tiga kelompok. Kelompok pertama pada value-in-use fungsional terdiri atas indikator value memperoleh informasi, mempelajari hal baru dan memperoleh ide. Pengelompokan ini mirip dengan dimensi informational value, value yang diperoleh anggota komunitas merek virtual terkait dengan kebutuhannya atas informasi (Flanagin & Metzger, 2001, Dholakia et. al. 2004). Kelompok kedua, terdiri atas indikator manfaat dapat memberikan kontribusi informasi pada komunitas, manfaat meminta bantuan, manfaat untuk bertransaksi, manfaat memecahkan permasalahan, manfaat dapat menyampaikan keluhan dan manfaat membagi informasi pada orang lain. Pengelompokan ini mirip dengan dimensi instrumental value, value yang diperoleh oleh anggota komunitas terkait dengan tugas tertentu (Flanagin & Metzger, 2001, Dholakia et. al. 2004). Kelompok ketiga, terdiri atas indikator value lebih memahami diri sendiri dan lebih memahami orang lain. Kelompok ini mirip dengan dimensi selfdiscovery value (Flanagin & Metzger, 2001, Dholakia et. al. 2004). Berdasarkan hasil exploratory factor analysis tersebut untuk selanjutnya value-in-use fungsional dimodelkan sebagai second-order latent variable dengan tiga dimensi yaitu informational value (INFO), instrumental value (INST) dan self-discovery value (SELF). Sementara itu, indikator value-in-use sosial hanya membentuk satu faktor yang terdiri atas value menjadi tidak kesepian, mendapat banyak teman, berdiskusi dengan orang lain, dapat membanggakan diri dan menjadi orang yang penting bagi orang lain. Dengan demikian, indikator-indikator tersebut sesuai dengan desain awal digunakan untuk mengukur value-in-use sosial (VIUS). Langkah selanjutnya dilakukan estimasi model pengukuran dengan bantuan software AMOS 18. Dalam penelitian ini digunakan pendekatan two-step approach dalam melakukan analisis terhadap model penelitian (Anderson & Gerbing, 1988). Tahap pertama adalah melakukan analisis terhadap model pengukuran dalam sebuah model CFA (Confirmatory Factor Analysis). Tahap ini dilakukan dengan tujuan untuk menguji apakan model pengukuran memiliki validitas dan reliabilitas yang baik pada data sampel yang digunakan. Tahap kedua adalah menambahkan lintasan atau jalur struktural sesuai dengan hipotesis pada model pengukuran untuk menghasilkan model hybrid. Melalui model inilah dianalisis kecocokan model secara keseluruhan serta evaluasi terhadap hubungan-hubungan struktural yang telah diajukan sebelumnya dalam perumusan hipotesis. Mengingat implikasi perilaku partisipatif yang ditinjau dalam penelitian ini melibatkan dua entitas yaitu publisher dan game, maka tinjauan loyalitas dilakukan baik pada loyalitas terhadap publisher maupun loyalitas terhadap game. Sebagai 32 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
dampaknya, analisis dilakukan melalui dua model yaitu model loyalitas terhadap publisher dan model loyalitas terhadap game. Berangkat dari kondisi tersebut, model pengukuran juga ditinjau pada dua model pengukuran, yaitu model pengukuran loyalitas terhadap publisher (untuk selanjutnya disebut model LTP) dan model pengukuran loyalitas terhadap game (untuk selanjutnya disebut model LTG). Untuk menentukan validitas indikator dari masing-masing variabel laten digunakan acuan standardized loading minimum 0.5 (Igbaria et al., 1997). Berdasarkan nilai standardized loading factor yang dihasilkan serta memperhitungan AVE dan CR yang muncul, peneliti memutuskan untuk mengeluarkan indikator VIUF6 dan VIUF10 agar model pengukuran yang digunakan memenuhi kriteria minimum baik di sisi validitas maupun reliabilitas. Berdasarkan hasil estimasi ulang dapat disimpulkan bahwa pada model LTP secara umum seluruh variabel pengukuran memiliki indikator dengan standardized loading di atas batas minimum 0.5. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seluruh indikator yang dipergunakan pada model pengukuran LTP yaitu VIUF, VIUS, PPP, PPL, LATP dan LBTP pada model LTP adalah valid. Seluruh variabel tersebut memiliki nilai CR ≥ 0.7 dan AVE ≥ 0.5, dengan demikian dapat dikatakan keenam variabel pengukuran tersebut memiliki reliabilitas yang baik. Estimasi dilakukan sekali lagi untuk model pengukuran loyalitas terhadap game (LTG) dengan path diagram yang sama namun dengan mengganti dua variabel laten yaitu LATP dan LBTP dengan LATG dan LBTG. Pada model kedua dilakukan perlakuan yang sama yaitu mengeluarkan indikator VIUF6 dan VIUF10. Hasil estimasi menunjukkan bahwa pada model LTG secara umum seluruh variabel pengukuran memiliki indikator dengan standardized loading factor di atas batas minimum 0.5. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seluruh indikator yang dipergunakan pada model pengukuran pada model LTG yaitu VIUF, VIUS, PPP, PPL, LATP dan LBTP setelah mengeluarkan indikator VIUF6 dan VIUF10 adalah valid. Variabel VIUF, VIUS, PPP, PPL, LATG dan LBTG memiliki nilai CR ≥ 0.7 dan AVE ≥ 0.5, dengan demikian dapat dikatakan keenam variabel pengukuran tersebut memiliki reliabilitas yang baik. Setelah validitas dan reliabilitas dapat dibuktikan pada tingkat yang baik analisis dilanjutkan pada model struktural dengan terlebih dahulu memperhatikan tingkat kecocokan model pengukuran. Model pengukuran LTP memiliki nilai Normed chi-square = 2.732 (good fit), RMSEA = 0.104 (poor fit) dan CFI = 0.717 (poor fit). Sementara itu, model pengukuran LTG memiliki nilai Normed chi-square = 2.974 (good fit), RMSEA = 0.111 (poor fit) dan CFI = 0.636 (poor fit). Mengingat tingkat kecocokan data masih dinilai rendah, peneliti mencoba melakukan respesifikasi model pengukuran untuk meningkatkan nilai kecocokan model pengukuran. Pada model pengukuran LTP, berdasarkan keluaran modification indices pada AMOS, diidentifikasi dua saran respesifikasi berupa penambahan correlated error pada pasangan indikator pengukuran yang memiliki alasan secara konseptual (Kenny, 2012) yang memberikan dampak cukup besar pada nilai kecocokan model. Saran tersebut adalah mengkorelasikan error e7 dengan e11 dan e15 dengan e16. Pemilihan korelasi error tidak hanya didasarkan pada dampaknya pada kecocokan model, namun juga memperhatikan kepatutannya secara konseptual, yaitu hanya mengkorelasikan error pada indikator dalam satu variabel laten yang sama. Jika ditelusuri dari literatur terdahulu indikator VIUF7 (e7) dengan VIUF11 (e11) dapat dikaitkan melalui konsep 33 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
purposive value (Dholakia et. al. 2004), sementara itu, VIUS4 (e15) dan VIUS5 (e16) terkait dengan konsep status enhancement (Flanangin & Metzger, 2001). Saran respesifikasi lainnya tidak diimplementasikan dalam penelitian ini karena tidak memiliki landasan konseptual yang kuat (Hooper et al., 2008) atau tidak memberikan dampak yang berarti pada peningkatan kecocokan model. Hasil estimasi respesifikasi menghasilkan nilai Normed chi-square = 2.352 (good fit), RMSEA = 0.092 (mediocre fit), serta CFI = 0.783 (poor fit). Hasil tersebut lebih baik dari hasil estimasi sebelumnya dan hanya satu dari tiga parameter kecocokan yang digunakan yang berada pada kategori poor fit. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa model pengukuran LTP secara umum memenuhi syarat kecocokan marginal dan diputuskan untuk maju pada langkah berikutnya yaitu estimasi model struktural. Pada model pengukuran LTG, berdasarkan keluaran modification indices pada AMOS diidentifikasi tiga saran respesifikasi yang memberikan dampak cukup besar pada nilai kecocokan model yaitu saran mengkorelasikan error e7 dengan e11, error e15 dengan e16 serta error e24 dengan e25. Dua correlated error pertama mengacu pada argumentasi konseptual yang sama dengan model LTP yaitu indikator VIUF7 (e7) dengan VIUF11 (e11) berasal dari konsep purposive value (Dholakia et. al. 2004), dan VIUS4 (e15) dengan VIUS5 (e16) terkait dengan konsep status enhancement (Flanangin & Metzger, 2001). Sementara itu LATG4 (e24) dengan LATG5 (e25) merupakan indikator pengukur loyalitas attitudinal (Yoo & Donthu, 2001; Brakus et al., 2009). Saran respesifikasi lainnya tidak diimplementasikan dalam penelitian ini karena tidak memiliki landasan konseptual yang kuat atau tidak memberikan dampak yang berarti pada peningkatan kecocokan model. Hasil estimasi respesifikasi model pengukuran LTG menunjukkan nilai Normed chi-square = 2.443 (good fit), RMSEA = 0.095 (mediocre fit), serta CFI = 0.741 (poor fit). Hasil tersebut lebih baik dari hasil estimasi model pengukuran LTG sebelumnya dan hanya satu dari tiga parameter kecocokan yang digunakan yang berada pada kategori poor fit. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa model pengukuran LTG secara umum memenuhi syarat kecocokan marginal dan diputuskan untuk maju pada langkah berikutnya yaitu estimasi model struktural.
5.3 Model Struktural Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, dalam penelitian ini ada dua entitas merek yang ditinjau loyalitas pelanggannya yaitu merek publisher (Gemscool, Megaxus dan Lyto) dan merek game online (seperti Atlantica Online, Counter Strike atau Point Blank). Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan analisis pada dua model struktural untuk menguji hipotesis penelitian yang diajukan. Model pertama meninjau loyalitas anggota komunitas merek virtual terhadap publisher game online yang mereka mainkan. Seperti telah diuraikan sebelumnya, model ini disebut sebagai model loyalitas terhadap publisher (LTP). Model ini meninjau value-in-use sebagai penggerak perilaku partisipatif serta implikasinya pada Loyalitas Attitudinal Terhadap Publisher (LATP) dan Loyalitas Behavioral Terhadap Publisher (LBTP). Model kedua (LTG) meninjau meninjau loyalitas anggota komunitas merek virtual terhadap game online yang mereka mainkan saat ini. Model ini meninjau value-in-use sebagai penggerak perilaku partisipatif serta implikasinya pada Loyalitas Attitudinal Terhadap Game (LATG) dan Loyalitas Behavioral Terhadap Game (LBTG).
34 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
5.3.1 Model Loyalitas Terhadap Publisher (LTP) Estimasi model struktural pertama dilakukan pada model Loyalitas Terhadap Publisher (LTP). Model LTP dibangun dari variabel dan indikator berdasarkan pengujian model pengukuran yang telah dilakukan sebelumnya dengan penambahan sejumlah lintasan struktural sesuai dengan hipotesis penelitian. Pada Gambar 5.1 disajikan path diagram hasil estimasi model LTP berdasarkan keluaran AMOS 18. Gambar tersebut mengilustrasikan path diagram model LTP, untuk meninjau valuein-use sebagai penggerak perilaku partisipatif serta implikasinya pada Loyalitas Terhadap Publisher.
Gambar 5.1. Path diagram keluaran Model struktural LTP
Pada penelitian ini kecocokan data dengan model (goodness of fit) ditinjau dari tiga parameter yaitu Normed chi-square (2/df), RMSEA, dan CFI sebagaimana diuraikan pada BAB 4. Hasil estimasi pada model struktural LTP menunjukkan nilai Normed chi-square = 2.473 (good fit), RMSEA = 0.096 (mediocre fit), serta CFI = 0.757 (poor fit). Hanya satu dari tiga parameter kecocokan yang digunakan yang berada pada kategori poor fit. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa model struktural LTP secara umum memenuhi syarat kecocokan marginal dan diputuskan untuk maju pada langkah berikutnya yaitu interpretasi hasil estimasi. Tabel 5.1 menyajikan ringkasan nilai standardized coefficient, p-value dan tvalue untuk menguji hipotesis penelitian yang diajukan pada model Loyalitas Terhadap Publisher. Hipotesis yang didukung data diindikasikan dengan nilai p-value 35 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
yang lebih kecil dari nilai tingkat signifikansi dan arah besaran standardized coefficient yang sesuai dengan dugaan. Pada penelitian ini digunakan tingkat signifikansi sebesar 0.05 yang lazim digunakan pada penelitian bisnis (Zikmund et al., 2010). Tabel 5.1. Ringkasan Uji Hipotesis Model Loyalitas Terhadap Publisher Hipotesis
Std.coef.
P value
t-value
Kesimpulan
VIUF PPP
0.26
0.020
2.335
H1 didukung data
VIUF PPL
0.21
0.039
2.062
H2 didukung data
VIUSPPP
-0.02
0.865
-0.170
H3 tidak didukung data
VIUSPPL
0.16
0.085
1.724
H4 tidak didukung data
PPP LATP
0.20
0.039
2.062
H5 didukung data
PPP LBTP
-0.31
0.010
-2.562
H6 tidak didukung data
PPL LATP
0.40
0.000
4.136
H7 didukung data
PPL LBTP
0.24
0.035
2.105
H8 didukung data
Dengan memperhatikan tanda positif atau negatif dari standardized coefficient serta besar kecilnya p-value pada tabel tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa H1, H2, , H5, H7 dan H8 didukung oleh data karena memiliki arah hubungan sebagaimana yang dihipotesiskan serta menunjukkan adanya pengaruh antar variabel yang signifikan, ditandai dengan nilai p-value yang lebih kecil dari tingkat signifikansi sebesar 0.05. H3 dan H4 memiliki nilai p-value yang lebih besar dari 0.05, mengindikasikan bahwa tidak cukup bukti untuk mendukung hipotesis. Sementara itu, jalur PPP LBTP menunjukkan adanya hubungan yang signifikan ( di bawah 0.05) namun dengan arah berkebalikan dengan hipotesis yang diajukan. Dengan demikian disimpulkan adanya fakta yang bertolak belakang dengan H6 yaitu semakin tinggi intensitas perilaku partisipatif posting justru menunjukkan dampak loyalitas behavioral terhadap publisher yang semakin rendah.
5.3.2 Model Loyalitas Terhadap Game (LTG) Model kedua yang diuji adalah value-in-use sebagai penggerak perilaku partisipatif serta implikasinya pada Loyalitas Attitudinal Terhadap Game (LATG) dan Loyalitas Behavioral Terhadap Game (LBTG). Path diagram hasil estimasi model LTG sebagai hasil analisis terhadap 162 sampel data sampel anggota komunitas merek virtual game online disajikan pada Gambar 5.2. Gambar tersebut mengilustrasikan hasil estimasi model value-in-use sebagai penggerak perilaku partisipatif serta implikasinya pada Loyalitas Terhadap Game.
36 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
Gambar 5.2. Path diagram keluaran model struktural LTG
Tabel 5.2. Ringkasan Uji Hipotesis Model Loyalitas Terhadap Game Hipotesis
Std.coef.
P value
t-value
Kesimpulan
VIUF PPP
0.30
0.012
2.502
H1 didukung data
VIUF PPL
0.21
0.049
1.968
H2 didukung data
VIUSPPP
-0.02
0.859
-0.177
H3 tidak didukung data
VIUSPPL
0.17
0.082
1.740
H4 tidak didukung data
PPP LATG
0.23
0.041
2.039
H5 didukung data
PPP LBTG
-0.34
0.012
-2.519
H6 tidak didukung data
PPL LATG
0.20
0.049
1.968
H7 didukung data
PPL LBTG
0.24
0.048
1.976
H8 didukung data
Hasil estimasi pada model struktural LTG setelah dilakukan respesifikasi menghasilkan nilai normed chi-square = 2.405 (good fit), RMSEA = 0.093 (mediocre fit), serta CFI = 0.742 (poor fit). Hanya satu dari tiga parameter kecocokan yang digunakan yang berada pada kategori poor fit. Berdasarkan hasil tersebut dapat 37 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
disimpulkan bahwa model struktiral LTG secara umum memenuhi syarat kecocokan marginal sehingga dapat dilanjutkan pada tahap interpretasi hasil estimasi. Tabel 5.2 menyajikan ringkasan nilai standardized coefficient, p-value dan tvalue untuk menguji hipotesis penelitian yang diajukan pada model Loyalitas Terhadap Game. Hipotesis yang didukung data diindikasikan dengan nilai p-value yang lebih kecil dari nilai tingkat signifikansi dan arah besaran standardized coefficient yang sesuai dengan dugaan. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, pada penelitian ini digunakan tingkat signifikansi sebesar 0.05. Dengan memperhatikan tanda positif atau negatif dari standardized coefficient serta besar kecilnya p-value pada Tabel 5.2 dapat ditarik kesimpulan bahwa H1, H2, H5, H7 dan H8 didukung oleh data karena memiliki arah hubungan sebagaimana yang dihipotesiskan serta menunjukkan adanya pengaruh antar variabel yang signifikan, ditandai dengan nilai p-value yang lebih kecil dari tingkat signifikansi sebesar 0.05. H3 dan H4 memiliki nilai p-value yang lebih besar dari 0.05, mengindikasikan bahwa tidak cukup bukti untuk mendukung hipotesis. Sementara itu, jalur PPP LBTP menunjukkan adanya hubungan yang signifikan ( di bawah 0.05) namun dengan arah berkebalikan dengan hipotesis yang diajukan. Dengan demikian disimpulkan adanya fakta yang bertolak belakang dengan H6 yaitu semakin tinggi intensitas perilaku partisipatif posting justru menunjukkan dampak loyalitas behavioral terhadap publisher yang semakin rendah. Berdasarkan analisis pada hasil estimasi model struktural LTP dan LTG dapat dilihat bahwa pengujian hipotesis pada kedua model menunjukkan hasil yang serupa. Hal ini berarti secara umum perilaku partisipatif lurking dalam jangka panjang memberikan implikasi positif pada loyalitas terhadap publisher dan perilaku partisipatif posting juga memberikan dampak positif pada loyalitas attitudinal terhadap publisher. Lebih jauh lagi, loyalitas jangka panjang terhadap publisher dapat dibangun dengan dukungan loyalitas terhadap masing-masing game yang sifatnya lebih jangka pendek. Sementara itu perilaku partisipatif posting justru menunjukkan dampak kontraproduktif terhadap loyalitas behavioral baik terhadap publisher maupun game khususnya pada indikator yang terkait dengan share of visit, dengan demikian tingkat perilaku partisipatif posting sebaiknya tidak terlalu didorong secara berlebihan. 5.4 Content Analysis Pada Sampel Komunitas Merek Virtual Untuk lebih mendapatkan pemahaman terhadap fenomena yang terjadi pada konteks penelitian, peneliti memutuskan untuk melakukan content analysis pada sampel komunitas merek virtual game online. Sebagai sampel, peneliti memilih forum Gemscool sebagai forum komunitas game online yang diinisiasi oleh pihak publisher dengan anggota terbesar di Indonesia. Mengingat banyaknya sub forum, sesuai dengan jumlah game yang disediakan oleh pihak publisher, peneliti mengambil sampel pada forum atlantica online, sebagai salah satu sub forum Gemscool teraktif yang selama ini sudah diikuti dan diamati oleh peneliti. Mengingat jumlah reply yang jauh lebih banyak dari jumlah thread, ditambah pada saat dilakukan content analysis forum gemscool menerapkan penguncian reply yang ditayangkan hanya pada halaman pertama (maksimal 10 pesan), maka tidak memungkinkan untuk melakukan content analysis terhadap reply maka content 38 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
analysis ini memiliki limitasi hanya memperhitungkan penyebaran konten berdasarkan konten pada thread yang dibuat oleh thread starter atau topic starter (biasa disingkat sebagai TS), namun tidak pada reply. Dengan adanya limitasi tersebut maka tujuan dari langkah content analysis ini difokuskan pada upaya untuk mendapatkan gambaran penyebaran value-in-use yang mendasari perilaku partisipatif posting berdasarkan konten kalimat dari thread starter. Berdasarkan pola penyebaran thread pada klasifikasi indikator value-in-use dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, mayoritas thread starter menginisiasi thread dengan alasan fungsional (menggali value-in-use fungsional). Hal ini dicerminkan dengan jumlah tread yang dapat diklasifikasikan ke dalam value-in-use fungsional berdasarkan isi kalimat pembuka thread sebesar 80.5% sedangkan yang dapat diklasifikasikan sebagai value-in-use sosial hanya sebesar 7%. Kesimpulan yang dapat ditarik dari kondisi ini adalah bahwa pada konteks penelitian ini, pada pengamatan perilaku partisipatif posting, secara relative value-in-use fungsional cenderung digali oleh anggota komunitas merek virtual dengan jalan menginisiasi thread (berperan sebagai thread starter) yang berarti menjelaskan sebagaian dari dorongan value-in-use fungsional terhadap perilaku partisipatif posting. Sementara itu value-in-use sosial kemungkinan cenderung digali oleh anggota komunitas merek virtual melalui aktivitas merespon statement (reply) atau bahkan melalui aktivitas lurking. Kedua, khusus untuk thread value-in-use fungsional ada empat indikator yang paling menonjol yaitu memecahkan masalah (39.4%), menyampaikan keluhan (13.8%), memberikan kontribusi pada komunitas (10.8%) dan memperoleh informasi (9.1%). Tiga indikator paling menonjol yang pertama merupakan bagian dari aspek instrumental value. Dengan demikian ada indikasi bahwa aspek instrumental value cenderung lebih banyak digali melalui perilaku partisipatif posting dengan membuat thread. Sementara itu untuk aspek informational value (seperti mempelajari hal baru dan memperoleh ide) serta aspek self-discovery (memahami diri sendiri, dan memahami orang lain) diduga lebih digali melalui perilaku partisipatif lurking. Untuk informational value Pada kondisi tertentu, seperti belum ada sumbangan informasi sebelumnya, atau menginginkan pemenuhan secara cepat kemudian sebagian kebutuhan tersebut dipenuhi dengan perilaku parsisipatif posting melalui pembuatan thread (ditunjukkan oleh prosentase 9.1%). Sementara itu, sisanya merupakan hal yang kurang digali pada konteks komunitas merek virtual yang diteliti, misalnya bertransaksi, dibuktikan dengan jumlah thread yang sangat kecil, padahal interaksi yang berdampak pada transaksi tidak akan terjadi tanpa didahului dengan pencetusan thread terkait. Ketiga, khusus untuk value-in-use sosial, perilaku partisipatif posting dengan menginisiasi thread utamanya didorong oleh value berdiskusi, sementara itu indikator yang lain diduga digali melalui aktivitas reply atau hanya dengan melakukan perilaku partisipatif lurking. Penjelasan lain adalah adanya kemungkinan bahwa komunitas merek virtual game online yang disediakan oleh pihak publisher sebagai out-of-game community sangat terkait dan tidak dapat dipisahkan dari in-game community-nya. Sebagai dampaknya, value-in-use sosial dimungkinkan untuk digali melalui interaksi antar anggota secara lebih banyak dalam in-game community mengingat interface yang lebih menunjang pemenuhan value-in-use sosial. Sementara itu penggalian pada outof-game community mungkin hanya diimplementasikan melalui perilaku partisipatif lurking yang tidak dapat diidentifikasi melalui content analysis yang dilakukan. 39 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
5.5 Pembahasan Berdasarkan ringkasan uji hipotesis sebagaimana ditampilkan sebelumnya secara umum diperoleh hasil yang serupa untuk model LTP dan LTG. Value-in-use Fungsional dapat dibuktikan memiliki dampak positif yang signifikan terhadap perilaku partisipatif posting maupun lurking. Sementara itu tidak diperoleh cukup bukti untuk mendukung dugaan adanya pengaruh value-in-use sosial terhadap perilaku partisipatif posting dan lurking. Pada kedua model, perilaku partisipatif posting maupun lurking terbukti memiliki dampak positif terhadap loyalitas merek attitudinal. Dampak positif perilaku partisipatif lurking terhadap loyalitas merek behavioral juga terbukti secara empiris. Hal yang spesifik ditemukan melalui pengujian terhadap H6 yang mengindikasikan adanya pengaruh yang signifikan antara perilaku partisipatif posting terhadap loyalitas merek behavioral baik terhadap publisher maupun terhadap game, namun dengan arah yang berlawanan dengan yang diajukan dalam hipotesis. Berikut akan dijabarkan penjelasan dari masing-masing hipotesis terkait dengan hasil estimasi model struktural terhadap data empiris yang telah dilakukan.
5.5.1 Pengaruh Value-in-use Fungsional Terhadap Perilaku Partisipatif Berdasarkan hasil pengujian hipotesis pada model loyalitas terhadap publisher maupun model loyalitas terhadap game diperoleh fakta empiris bahwa value-in-use fungsional merupakan penggerak perilaku partisipatif posting dan lurking. Hal ini menggambarkan kondisi bahwa untuk pemenuhan value-in-use fungsional pada konteks komunitas merek virtual, seorang anggota akan menggalinya melalui perilaku partisipartif lurking dengan membaca thread yang sudah tersimpan di dalam forum online misalnya untuk menggali informasi, mempelajari hal baru, menggali ide, serta untuk lebih memahami diri sendiri dan orang lain terkait dengan komunitas merek yang diikuti atau secara aktif melakukan perilaku partisipatif posting. Hasil content analysis yang telah dilakukan mengindikasikan bahwa hanya sebagian kecil indikator value-in-use fungsional yang diterjemahkan menjadi perilaku partisipatif posting (khususnya melalui pencetusan thread) yaitu memecahkan masalah, menyampaikan keluhan, memberikan kontribusi dan memperoleh informasi. Ada dua kemungkinan yang terjadi pada indikator value-in-use fungsional dengan jumlah thread kecil. Kemungkinan pertama, value tersebut tidak digali melalui perilaku partisipatif posting namun lebih digali melalui perilaku partisipatif lurking, atau kemungkinan kedua bahwa value tersebut memang tidak terlalu menonjol pada konteks yang diamati.
5.5.2 Pengaruh Value-in-use Sosial Terhadap Perilaku Partisipatif Berdasarkan hasil pengujian hipotesis pada model loyalitas terhadap publisher dan loyalitas terhadap game tidak diperoleh cukup bukti empiris adanya pengaruh value-in-use sosial terhadap perilaku partisipatif posting maupun lurking. Hasil content analysis menunjukkan hasil yang senada bahwa jumlah thread value-in-use sosial hanya sekitar 7% dari keseluruhan thread dalam komunitas merek virtual game online yang ditinjau dan angka ini terutama disumbang oleh value dapat berdiskusi
40 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
dengan sesama pemain. Alternatif penjelasan dari temuan pada penelitian ini adalah adanya karakteristik spesifik dari produk bahasan yaitu game online yang ditawarkan oleh ketiga publisher lokal yang kebanyakan berjenis Massively Multiplayer Online Role Playing Games (MMORPG). MMORPG merupakan tipe game online dengan suatu dunia virtual yang selalu berjalan. Pemain memainkan peran sebagai satu atau sejumlah karakter (diwakili oleh avatar di dalam game) yang berkembang kemampuannya dan dalam dunia ini. Bersama dengan banyak pemain lainnya kemudian terbentuk kelompok-kelompok sosial dalam dunia virtual pada game yang sering disebut sebagai guild atau clan (Yee, 2006). Hal ini mengindikasikan bahwa pada konteks game MMORPG terbentuk dua komunitas, yaitu komunitas virtual dalam game dan komunitas merek virtual berupa forum online yang biasanya dibentuk oleh pihak publisher game sebagai media pendukung layanan game. Komunitas ganda pada konteks produk game online yang berjenis Massively Multiplayer Online (MMOG) termasuk yang berjenis MMORPG dapat diilustrasikan melalui gambar 5.3. Komunitas pertama adalah komunitas in-game, biasanya berbentuk guild atau clan di mana sesama pemain dapat saling berbagi, berdiskusi, saling membantu dan serta beraktivitas bersama. Komunitas kedua adalah komunitas out-of-game yang menjadi konteks pada penelitian ini, biasanya berbentuk message board atau sering dikenal sebagai forum online yang kebanyakan diciptakan dan dikelola oleh pihak publisher game (Ang, Zaphiris, & Wilson, 2005).
Out-of-game community Interaksi player-player Interaksi player-game Player Computer game
In-game community
Gambar 5.3. Irisan in-game community dengan out-of-game community Sumber: Ang, Zaphiris, & Wilson (2005)
41 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
Sejumlah penelitian mengindikasikan adanya faktor keterbatasan sumber daya berupa waktu dan tenaga yang mempengaruhi perilaku partisipatif seorang anggota komunitas merek virtual (Nonnecke & Preece, 1999; Preece, Nonnecke & Andrews, 2004; Schlutz & Beach, 2004). Berdasarkan fakta tersebut, mungkin terjadi bahwa seorang anggota komunitas merek virtual sebetulnya dapat menggali value-in-use sosial yang melalui komunitas out-of-game, namun demikian keterbatasan sumber daya berupa waktu dan tenaga yang terbagi pada partisipasi di kedua tipe komunitas yang terbentuk menyebabkan penggalian value tersebut tidak direalisasikan melalui perilaku partisipatif posting ataupun lurking. Angggota komunitas merek virtual game online cenderung melakukan partisipasi aktif dalam rangka penggalian value-in-use sosial pada komunitas in-game karena interface yang lebih menunjang yaitu realtime dan interaksi antar pemain lebih menarik secara visual.
5.5.3 Pengaruh Perilaku Partisipatif Posting terhadap Loyalitas Merek Hasil pengujian hipotesis 5 pada model loyalitas terhadap publisher dan model loyalitas terhadap game mengindikasikan adanya dampak yang signifikan dan searah dengan hipotesis yang diajukan. Tingkat partisipasi yang tinggi dalam komunitas cenderung meningkatkan identifikasi dan ikatan emosional seorang anggota komunitas merek virtual terhadap merek. Sebagai dampaknya loyalitas anggota komunitas merek virtual terhadap merek juga cenderung meningkat. Selain itu, perilaku partisipatif posting melalui penulisan pesan ataupun berdiskusi dengan sesama anggota komunitas merek virtual memerlukan upaya yang besar. Upaya yang besar tersebut kemudian berdampak pada kecenderungan untuk lebih loyal terhadap merek guna menghindari timbulnya masalah cognitive dissonance (Shang et al., 2006). Aktivitas menuliskan pesan atau berdiskusi dengan sesama anggota komunitas merek virtual melalui perilaku partisipatif posting berdampak pada kecenderungan untuk bersikap lebih loyal terhadap merek guna menghindari timbulnya masalah cognitive dissonance sebagaimana dibuktikan dalam penelitian ini melalui fakta loyalitas attitudinal (pengujian H5). Di sisi lain, pada aspek yang dapat dilihat dari luar diri anggota komunitas merek virtual diduga perilaku partisipatif posting yang semakin tinggi juga berdampak pada dihindarinya persepsi negatif dari sesama anggota komunitas (Schlosser, 2005) yang dapat diindikasikan dengan semakin tingginya loyalitas behavioral anggota komunitas tersebut, sebagaimana kemudian dituangkan pada hipotesis ke enam dalam penelitian ini. Namun demikian, Penelitian ini mengungkap fakta yang berbeda. Semakin tinggi intensitas perilaku partisipatif posting seseorang, justru semakin rendah loyalitas behavioralnya terhadap merek dalam komunitas virtual. Kondisi ini dapat dikaitkan dengan masalah keterbatasan sumber daya berupa waktu dan tenaga (Nonnecke & Preece, 1999; Preece, Nonnecke & Andrews, 2004; Schlutz & Beach, 2004). Produk game online memiliki karakteristik yang unik. Indikator seseorang berperilaku loyal terhadap suatu game online bukan saja berupa share of wallet yang tinggi tapi juga share of visit yang tinggi. Hal ini lebih menonjol pada game jenis MMOG yang membutuhkan share of visit yang tinggi dari para pemainnya untuk menciptakan efek suatu tatanan dunia tersendiri yang bisa memberikan pengalaman bermain lebih baik kepada pemainnya. Di satu sisi, bermain game MMORPG menyita 42 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
waktu yang tidak sedikit bagi para pemainnya (Williams, Yee & Caplan, 2008). Di sisi lainnya, perilaku partisipatif posting juga membutuhkan waktu yang tidak sedikit bagi seorang anggota komunitas (Nonnecke & preece, 2001). Kedua aktivitas tersebut berbagi pada suatu alokasi waktu online dari seorang pemain game online yang juga merupakan anggota komunitas merek virtualnya. Pada saat alokasi waktu pada satu aktivitas ditingkatkan, dalam hal ini perilaku partisipatif posting, maka sebagai dampaknya waktu yang dialokasikan pada kegiatan bermain game online akan berkurang (Williams et al., 2008). Singkatnya, pada saat seorang pemain game online yang juga anggota komunitas merek virtual perlu membagi waktu antara berperilaku partisipatif posting dan berperilaku loyal dengan indikator share of visit yang tinggi namun dihadapkan pada kendala keterbatasan waktu maka akan terjadi trade off di antara keduanya. Semakin tinggi perilaku partisipatif posting dilakukan maka akan semakin berkurang waktu yang dapat dialokasikan untuk bermain game online yang berarti menurunkan share of visit sebagai salah satu indikator loyalitas merek behavioral.
5.5.4 Pengaruh Perilaku Partisipatif Lurking terhadap Loyalitas Merek Hasil pengujian hipotesis pada model loyalitas terhadap publisher maupun terhadap game mengindikasikan bahwa H7 dan H8 didukung data. Salah satu alasan penting mengapa seseorang bergabung dalam suatu komunitas merek virtual adalah guna mendapatkan akses pada informasi dan ahli (Dholakia et. al, 2004; Riding & Gefen, 2004; Nonnecke et al., 2004; Lin, 2008). Sebagian besar anggota komunitas merek virtual kemudaian mengeksekusi keperluan tersebut melalui perilaku partisipatif lurking, karena berabagai alasan seperti rasa malu, privasi, keamanan, kendala waktu, kendala mekanisme dan tidak merasa perlu (Nonnecke & preece,1999; 2001; Nonnecke et al., 2004). Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi intensitas perilaku partisipatif lurking, semakin tinggi tingkat loyalitas attitudinal maupun behavioral seorang anggota komunitas merek virtual terutama terhadap merek publisher. Melalui perilaku partisipatif lurking pemahaman seorang anggota komunitas merek terhadap produk/merek akan cenderung meningkat. Sebagai dampaknya, ekspektasi terhadap produk/merek akan mendekati performa aktualnya. Kondisi ini kemudian dapat memperkuat tingkat loyalitas seorang anggota komunitas merek virtual game online baik terhadap game itu sendiri maupun terhadap publisher game tersebut. Hal ini sejalan dengan temuan Shang et al., (2006). Loyalitas tersebut kemudian tercermin secara attitudinal berupa sikap positif terhadap game atau publisher atau secara behavioral berupa share of wallet dan share of visit yang lebih tinggi khususnya pada publisher.
43 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
BAB 6 6. KONTRIBUSI DAN IMPLIKASI HASIL PENELITIAN
6.1 Kontribusi Hasil Penelitian Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya dapat dijelaskan sejumlah kontribusi yang diberikan melalui penelitian ini. Kontribusi tersebut mencakup kontribusi teoritis berupa perluasan teori CCT dengan mengakomodasi konsep value-in-use sebagai pendorong perilaku partisipatif dalam pembahasan marketplace culture pada konteks komunitas merek virtual, pembuktian value-in-use khususnya fungsional sebagai penggerak perilaku partisipatif, serta pembuktian urgensi perilaku partisipatif lurking dalam pembahasan komunitas merek virtual. Hasil penelitian ini juga memberikan kontribusi penelitian berupa peluasan telaah loyalitas merek sebagai implikasi perilaku partisipatif dengan mencakup aspek attitudinal maupun behavioral secara simultan. Di sisi lain, penelitian ini juga memberikan kontribusi kontekstual berupa penjelasan marketplace culture pada konteks komunitas merek virtual yang diinisiasi oleh publisher produk game online di Indonesia.
6.1.1 Value-in-use dan CCT pada Konteks Marketplace culture Sejumlah penelitian terdahulu pada pembahasan CCT khususnya pada konteks marketplace culture telah menggali konsep penciptaan value dalam komunitas virtual dan komunitas merek virtual. Szmigin & Reppel (2004) mengajukan rerangka customer bonding triangle yang didorong oleh infrastruktur teknis, service value dan interactivity sebagai suatu proses yang dapat menciptakan value untuk semua pihak yang terlibat dalam komunitas virtual. Schau et al. (2009) mengidentifikasi 12 praktik umum dalam komunitas merek virtual yang merupakan proses penciptaan value kolektif di komunitas merek virtual. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah sebetulnya value seperti apakah yang didapatkan oleh seseorang melalui keterlibatannya dalam suatu komunitas merek virtual yang mendorong mereka untuk terus berpartisipasi dalam komunitas tersebut. Pemahaman atas hal ini dapat membantu pemasar dalam upaya meningkatkan tingkat partisipasi dalam komunitas merek virtual yang pada akhirnya berdampak pula pada kesuksesan pemasaran suatu produk atau layanan. Sejumlah penelitian mencoba mengidentifikasi value yang dapat mendorong kesuksesan komunitas virtual. Lin (2008) menelaah aspek kualitas sistem, kualitas informasi dan kegunaan sosial dalam komunitas virtual sebagai pendorong komitmen pada komunitas virtual. Penelitian lain mengidentifikasi Interaction support, Information design, navigation, access sebagai pendorong benefit (Kim et al 2008). Sejumlah tipologi value tersebut lebih mengarah pada embedded value (Macdonald et al. 2009) bukan real value yang dipersepsikan oleh pelanggan. Dalam pembahasan dan pengembangan CCT diusulkan untuk lebih mengkaitkan CCT dengan perkembangan teori pemasaran, misalnya paradigma service-dominant logic (Arnould & Thomson, 2005; Arnould, 2007). Pada paradigma service-dominant logic, embedded value yang 44 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
ditawarkan oleh produsen atau penyedia layanan berada pada provider sphere (Gronroos & Voima, 2013). Pada saat value yang ditawarkan oleh provider berinteraksi dengan anggota komunitas merek virtual terjadilah value co-creation yang kemudian dipersepsikan sebagai value-in-use oleh anggota komunitas. Salah satu kontribusi teoritis yang coba diberikan melalui penelitian ini adalah akomodasi konsep value-in-use yang sering dibahas dalam paradigma servicedominant logic pada pembahasan marketplace culture dalam CCT sebagai salah satu upaya menselaraskan CCT dengan perkembangan disiplin pemasaran secara umum, termasuk sintesis alternatif pengukuran value-in-use pada konteks komunitas merek virtual sebagai salah satu bahasan pada marketplace culture. Berdasarkan telaah literatur, peneliti mengelompokkan bahasan value pada penelitian marketplace culture dalam tiga kategori mengacu pada rerangka value creation. Kategori pertama, adalah bahasan value yang ditawarkan oleh pengelola komunitas virtual (seperti Lin, 2008; Kim et al 2008). Dalam konteks ini value cenderung berupa embedded value (Macdonald et al. 2009). Kategori kedua, adalah bahasan atas penciptaan value sebagai hasil co-creation antara pengelola dengan seluruh anggota komunitas merek. Pada konteks ini Schau et al., (2009) telah mencoba mengajukan konsep terbentuknya value dalam 12 praktek komunitas merek. Kategori ketiga, adalah bahasan akan value aktual yang dirasakan oleh anggota komunitas merek setelah mereka mengkonsumsi suatu layanan (dalam penelitian ini adalah layanan komunitas merek virtual), seperti Dholakia et al. (2004) yang lebih mengarahkan value pada konsekuensi penggunaan produk/jasa terkait dengan tujuan pelanggan (Woodruff, 1997; Macdonald et al. 2009). Ketiga kategori penjabaran value dalam konteks komunitas merek virtual tersebut dalam rerangka value creation (Gronroos & Voima, 2013) disebut sebagai provider sphere, joint sphere dan customer sphere.
Gambar 6.1. Proses penciptaan value pada komunitas merek virtual Sumber: Adopsi rerangka Gronroos & Voima (2013)
45 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
Kontribusi berikutnya dari penelitian ini adalah perumusan salah satu alternatif pengukuran value-in-use pada konteks komunitas merek virtual yang diinisiasi oleh pihak produsen mengingat selama ini value-in-use cukup sering dibahas pada tataran konsep namun masih jarang direalisasikan dalam tataran teknis pengukuran (Macdonald et al. 2009). Pengukuran value yang diusulkan dalam penelitian ini merupakan sintesis dari indikator value yang digunakan dalam Flanagin & Metzger (2001) serta Dholakia et al. (2004), ditambah dengan hasil eksplorasi lapangan pada konteks penelitian yaitu value menyampaikan komplain. Penyesuaian konteks spesifik komunitas merek virtual game online dilakukan dengan hanya mengakomodasi valuein-use fungsional dan sosial sebagaimana framework value pada konteks komunitas merek virtual yang diajukan dalam Sicilia & Palazon (2008) dengan mengeluarkan value-in-use entertainment. Sebagai hasilnya, pengukuran value-in-use pada konteks komunitas merek virtual yang diinisiasi oleh pihak publisher game online dirumuskan sebagai perangkat pengukuran value-in-use fungsional (terdiri atas 11 indikator) dan value-in-use sosial (terdiri atas 5 indikator). Hasil Exploratory Factor Analysis mengindikasikan perlunya pertimbangan untuk memodelkan value-in-use fungsional sebagai second order latent variable dengan tiga dimensi yaitu informational, instrumental dan self-discovery. Sementara itu value-in-use sosial dapat dimodelkan sebagai first order latent variable dengan lima indikator pengukuran. Hasil estimasi model pengukuran untuk variabel value-in-use fungsional dan sosial menunjukkan tingkat validitas dan reliabilitas yang baik (AVE > 0.5 dan CR > 0.7).
6.1.2 Dorongan Value-in-use terhadap Perilaku Partisipatif dalam Marketplace culture Penelitian ini mengemukakan fakta empiris atas adanya dorongan selektif value-in-use pada perilaku partisipatif posting dan lurking yang belum dapat dirumuskan secara jelas pada pengembangan hipotesis secara konseptual berdasarkan literatur marketplace culture dalam CCT. Dorongan value-in-use fungsional pada perilaku partisipatif posting dan lurking terbukti melalui data empiris. Sementara itu, pada konteks komunitas merek virtual game online yang diinisiasi oleh publisher dorongan value-in-use sosial tidak didukung oleh bukti empiris yang cukup. Fakta tersebut ditambah dengan hasil content analysis yang telah dilakukan memberikan kontribusi berupa perluasan konsep komunitas merek virtual pada literatur marketplace culture dalam CCT yang telah ada setidaknya pada empat aspek. Pertama, penelitian ini memberikan bukti empiris akan adanya hubungan antara aspek penggalian informasi dengan perilaku partisipatif lurking yang sebelumnya disimpulkan berdasarkan hasil studi eksploratif pada Nonnecke & preece (2001). Kedua, memperluas hasil penelitian Dholakia et al., (2004) akan adanya pengaruh langsung antara aspek instrumental value sebagai bagian dari value-in-use fungsional dengan perilaku partisipatif posting yang tidak dimodelkan sebelumnya. Ketiga, perluasan atas penelitian Dholakia et al. (2004) berupa adanya pengaruh langsung antara aspek self-discovery pada value-in-use fungsional terhadap perilaku partisipatif lurking yang tidak dimodelkan sebelumnya. Keempat, memberikan penjelasan pada konteks yang berbeda akan tidak ditemukannya bukti empiris yang mendukung keterkaitan antara value sosial dengan partisipasi aktif dalam komunitas virtual pada penelitian Dholakia et al., (2004).
46 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
Peneliti menduga, pola hubungan antara value-in-use dan perilaku partisipatif sebagaimana ditemukan dalam penelitian ini akan terjadi juga pada konteks lain khususnya komunitas merek virtual yang strukturnya menciptakan keanggotaan ganda pada dua komunitas yang saling terkait. Sebagai contoh, pola yang sama dapat terjadi pada komunitas merek virtual dari produk yang secara alamiah membentuk komunitas dalam konsumsinya seperti sekolah atau kampus. Pola yang sama juga diduga dapat terjadi pada komunitas merek yang memiliki tingkat aktivitas tinggi pada dua metode interaksi (online dan offline). Tentunya dugaan ini masih perlu diuji lebih lanjut melalui penelitian empiris guna membuktikan generalisasinya.
6.1.3 Urgensi Perilaku Partisipatif Lurking pada Marketplace culture Sejumlah penelitian terdahulu pada ranah marketplace culture telah menggarisbawahi pentingnya perilaku partisipatif bagi kelangsungan hidup suatu komunitas merek virtual (Dholakia et al., 2004; Casaló, Flavián & Guinalíu, 2007; Lin, 2008; Thompson & Sinha, 2008). Namun demikian, sebagian besar peneliti menitikberatkan hanya pada perilaku partisipatif posting yang dianggap berkontribusi pada kelangsungan hidup komunitas merek virtual, dengan mengabaikan tinjauan pada perilaku partisipatif lurking yang dianggap hanya aktivitas free-riding yang tidak memberikan kontribusi terhadap komunitasnya (Nonnecke & Preece 1999, Schultz & Beach 2004). Penelitian ini mencoba mengusulkan sudut pandang berbeda akan pentingnya menelaah perilaku partisipatif baik posting maupun lurking dalam suatu analisis. Setidaknya ada tiga alasan mendasar atas usulan tersebut. Pertama, jika dipandang dari perspektif pemasaran, lurker maupun poster pada komunitas merek virtual merupakan bagian pelanggan merek yang menjadi target pemasaran relasional pemasar. Oleh karenanya tidaklah tepat jika pemasar hanya berupaya untuk memberikan fasilitas dan penghargaan bagi perilaku partisipatif posting. Alasan kedua, tipe keanggotaan poster/lurker yang cenderung dinamis, dengan kata lain, intensitas perilaku partisipatif posting/lurking bersifat dinamis, sehingga tidaklah realistis jika hanya memfokuskan pada upaya menelaah faktor pendorong perilaku partisipatif posting yang bukan tidak mungkin membuat ketidakpuasan pada anggota komunitas merek virtual yang di suatu saat tengah memiliki tingkat perilaku partisipatif posting rendah namun memiliki tingkat perilaku partisipatif lurking yang tinggi padahal dikemudian hari jika dia tetap merasa nyaman dalam komunitasnya suatu saat akan menunjukkan tingkat perilaku posting yang lebih baik. Alasan ketiga, hasil penelitian ini memberikan bukti empiris akan pentingnya akomodasi perilaku partisipatif lurking pada pembahasan komunitas merek virtual. Bukti tersebut berupa adanya dampak positif perilaku partisipatif lurking terhadap loyalitas merek baik attitudinal maupun behavioral. Hal ini berarti upaya penciptaan loyalitas merek yang tinggi dapat ditempuh dengan meningkatkan tingkat perilaku partisipatif lurking anggota komunitas merek virtual secara umum, yang berarti harus dimulai dengan upaya penciptaan value-in-use pendorong yang sesuai dan berarti harus dimulai dengan menyediakan value proposition yang dapat mendorong terciptanya value-in-use tersebut. Hal ini memperluas paradigma yang ada sebelumnya bahwa dalam pembahasan komunitas merek virtual hanya perlu dipertimbangkan perilaku partisipatif posting.
47 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
6.1.4 Loyalitas Attitudinal-Behavioral pada Marketplace culture Pada konteks komunitas merek sebagai suatu marketplace culture, anggota dengan tingkat partisipasi yang tinggi dalam komunitas cenderung memiliki tingkat identifikasi dan ikatan emosional yang tinggi terhadap merek terkait (Algesheimer et al., 2005). Identifikasi dan ikatan emosional tersebut pada akhirnya berdampak pada tingkat loyalitas yang lebih tinggi terhadap merek (McAlexander et al. 2002). Konsep ini juga berlaku pada komunitas merek virtual sebagai perluasan dari komunitas merek yang memiliki kesamaan pada sejumlah elemen pembentuknya (Andersen, 2005; Casalo et al., 2010) dengan penyesuaian definisi partisipasi sebagai perilaku partisipatif posting dan lurking. Sejumlah penelitian terdahulu dalam ranah marketplace culture menelaah implikasi pemasaran dari perilaku partisipatif, khususnya pada loyalitas pelanggan secara parsial. Beberapa penelitian menelaah loyalitas attitudinal sebagai implikasi pemasaran dari perilaku partisipaitf (seperti Shang et al. 2006, Casalo et al. 2007, Zhou et al. 2011). Sementara itu, ada pula yang meninjau dari sisi loyalitas behavioral (seperti Thompson & Sinha 2008). Penelitian ini mengakomodasi kedua jenis loyalitas behavioral tersebut untuk melihat implikasi pemasaran perilaku partisipatif secara lebih teliti. Penelitian ini memberikan kontribusi menambahkan generalisasi pada penelitian marketplace culture sebelumnya atas adanya dampak positif perilaku partisipatif lurking terhadap loyalitas merek attitudinal (Shang et al. 2006). Berdasarkan hasil analisis, dapat dibuktikan bahwa dampak positif perilaku partisipatif lurking terhadap loyalitas merek attitudinal juga berlaku pada konteks komunitas merek virtual game online yang diinisiasi oleh pihak pemasar dalam hal ini publisher game online. Penelitian ini juga memberikan bukti empiris bahwa perilaku partisipatif lurking berdampak positif terhadap loyalitas merek behavioral. Hasil penelitian juga menambahkan generalisasi pada peneltian sebelumnya akan adanya dampak positif perilaku partisipatif posting terhadap loyalitas merek attitudinal (Shang et al. 2006, Casalo et al. 2010). Berdasarkan temuan ini, peneliti juga menduga bahwa efek ini juga akan berlaku pada konteks komunitas merek virtual lainnya, misalnya komunitas merek virtual produk teknologi seperti komunitas android dan komunitas ponsel Samsung, atau komunitas produk otomotif seperti komunitas Nissan Livina. Pada konteks komunitas merek virtual produk teknologi dan otomotif yang memiliki karakteristik kompleksitas produk yang relatif tinggi, komunitas merek virtual memberikan wahana untuk menggali informasi, solusi, pengalaman dan ide melalui perilaku partisipatif lurking. Hal ini dapat meninkatkan kualitas konsumsi pelanggan, mereduksi ketidakpuasan, sekaligus meningkatkan integrasi pelanggan terhadap merek. Sebagai implikasinya, serupa dengan konteks layanan game online keberadaan komunitas merek virtual dapat mendorong loyalitas attitudinal dan behavioral pada tingkat yang lebih tinggi. Di sisi lain, pada konteks produk teknologi dan otomotif, komunitas merek virtual juga merupakan wahana untuk melakukan perilaku partisipatif posting, baik yang bersifat sharing atau memberi kontribusi maupun yang bersifat penggalian saran atau permintaan bantuan. Hal ini berpotensi untuk meningkatkan pengalaman atas merek dan integrasi terhadap merek. Sebagai implikasinya, serupa dengan hasil penelitian ini, memberikan dampak positif pada loyalitas attitudinal terhadap merek. Hal yang berbeda dengan hasil penelitian ini adalah, loyalitas behavioral pada konteks produk teknologi dan otomotif tidak melibatkan ukuran share of visit atau share of time sehingga diduga, sebagaimana 48 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
penelitian terdahulu, perilaku partisipatif posting akan berdampak positif pada loyalitas behavioral terhadap merek. Lebih jauh lagi, penggunaan loyalitas attitudinal-behavioral dalam penelitian ini memberikan setidaknya dua kontribusi bagi disiplin pemasaran khususnya pada bahasan marketplace culture. Pertama, penelitian ini memberikan fakta baru atas konsep marketplace culture yang telah ada sebelumnya atas dampak positif perilaku partisipatif posting terhadap loyalitas behavioral (Andersen, 2005; Schlosser, 2005). Penelitian ini memberikan bukti empiris akan adanya suatu kondisi batas, bahwa pada konteks produk yang salah satu parameter loyalitas behavioralnya adalah intensitas waktu penggunaan yang intensif seperti game online perilaku partisipatif posting justru berdampak negatif pada loyalitas behavioral. Adanya kondisi batas ini tidak dapat dipotret dan dijelaskan dengan baik jika digunakan telaah implikasi parsial hanya pada loyalitas attitudinal atau behavioral saja. Pada konteks produk game online tampak bahwa alokasi sumber daya untuk melakukan perilaku partisipatif posting relatif signifikan mengganggu alokasi waktu untuk melakukan aktivitas konsumsi yaitu menghabiskan waktu dengan bermain game online. Dalam hal ini, pelanggan game online harus melakukan trade-off alokasi waktunya pada dunia maya antara bermain game online dengan intensitasnya dalam melakukan perilaku partisipatif posting. Peneliti menduga hasil tersebut akan berlaku pada semua jenis MMORPG yang memiliki sifat intensif dan investatif dari sisi waktu. Sementara itu, pada jenis game online yang lebih santai seperti The Sims hal ini bisa saja tidak terjadi. Kedua, hasil penelitian ini juga memberikan gambaran pentingnya wahana komunitas merek virtual dalam pembentukan loyalitas terhadap merek. Perilaku partisipatif lurking berpotensi untuk membentuk true brand loyalty (Bloemer & Kasper, 1995) dengan memperbesar kecenderungan atas loyalitas attitudinal dan behavioral sekaligus. Sementara itu perilaku partisipatif posting setidaknya membentuk latent loyalty (Dick & Basu, 1994) yang pada suatu saat jika ketersediaan sumber daya waktu di sisi pelanggan lebih besar memungkinkan pula untuk terjadinya true brand loyalty. Fakta ini yang belum dapat terungkap pada sejumlah penelitian terdahulu yang hanya menggunakan salah satu tipe loyalitas dalam meneliti komunitas merek virtual.
6.1.5 Dual Community pada Konteks Produk Game Online MMORPG Komunitas merek virtual pada umumnya hanya berlangsung melalui satu bentuk interface biasanya berbentuk message boards atau dalam prakteknya dewasa ini lebih dikenal dengan sebutan online forum (seperti pada Dholakia et al., 2004; Shang et al. 2006; Casalo et al., 2010). Pada konteks komunitas merek virtual yang diinisiasi oleh publisher game online terjadi fenomena terbentuknya dual community (in-game dan out-of game) yang pada penelitian ini diindikasikan saling terkait jika ditinjau dari proses penggalian value-in-use oleh anggotanya. Oleh karena itu, pada konteks komunitas merek virtual yang diinisiasi oleh publisher game online pendefinisian komunitas virtual perlu diperluas dengan mengakomodasi adanya fenomena dual community. Komunitas merek virtual untuk produk game online berjenis MMORPG yang diinisiasi oleh pihak pemasar, dalam hal ini publisher, memiliki karakteristik yang berbeda sebagai akibat dari karakteristik dan cara mengkonsumsi layanannya yang 49 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
unik. Pelanggan MMORPG menikmati layanannya dalam suatu dunia virtual dan berinteraksi bersama dengan banyak sekali pelanggan lain. Interaksi tersebut dengan dukungan interface dan alur cerita dari masing-masing game kemudian menciptakan tatanan masyarakat virtual yang terdiri atas banyak kelompok-kelompok kecil yang sering disebut dengan clan atau guild. Kelompok-kelompok tersebut memiliki elemen sebagaimana layaknya komunitas. Hal ini yang kemudian disebut dengan in-game community (Ang et al. 2005). Di sisi lain, kompleksitas tipe permainan MMORPG kemudian disikapi oleh publisher pada umumnya dengan menciptakan komunitas merek virtual berbentuk online forum untuk menunjang layananya kepada para pemain. Komunitas ini yang kemudian disebut dengan out-of-game community (Ang et al. 2005). Penelitian ini mengindikasikan keterkaitan yang erat antara komunitas in-game dan out-of-game pada konteks MMORPG di Indonesia berupa adanya pembagian fungsi dalam proses pemenuhan kebutuhan anggota komunitas merek terkait dengan game online yang dimainkannya. Hasil anasisis hipotesis pada model struktural membuktikan bahwa value-in-use fungsional diterjemahkan menjadi perilaku partisipatif posting dan lurking. Hasil content analysis yang dilakukan memberikan penjelasan lebih dalam, bahwa aspek instrumental lebih digali melalui perilaku partisipatif posting, sementara aspek informasi dan self-discovery lebih digali melalui perilaku partisipatif lurking. Di sisi lain, value-in-use sosial yang secaara konseptual dapat digali melalui perilaku partisipatif pada komunitas out-of-game ternyata tidak serta merta diterjemahkan demikian. Faktanya, pengamatan peneliti selama menjalani hidup virtual dengan sesama pemain game online mengindikasikan bahwa mayoritas pemain ingin bermain secara bersama, bukan secara individu. Oleh karenanya, mereka kemudian bergabung dalam kelompok-kelompok kecil yang disebut sebagai guild atau clan di dalam permainan (in-game community). Lebih jauh lagi, dalam komunitas ingame juga tersedia fasilitas komunikasi antar anggota guild atau clan, dan pada konteks ini juga ada anggota kelompok yang aktif berkomunikasi (mirip dengan melakukan perilaku partisipatif posting dalam komunitas out-of-game) sementara sebagian lainnya hanya membaca isi komunikasi rekan-rekannya (mirip dengan melakukan perilaku partisipatif lurking dalam komunitas out-of-game). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seorang pemain game online (terlibat dalam komunitas in-game) yang dalam konteks penelitian ini juga sekaligus sebagai anggota komunitas merek virtual (terlibat dalam komunitas out-of-game) menggali value-in-use secara selektif dari kedua komunitas tersebut. Value-in-use fungsional dapat banyak digali melalui komunitas out-of-game, sementara value-inuse sosial lebih banyak digali melalui komunitas in-game. Sebagai implikasinya, secara teoritis konsep komunitas merek virtual pada layanan MMORPG perlu didefinisikan sebagai dual community atau komunitas ganda (in-game dan out-ofgame) yang saling terkait dalam pemenuhan kebutuhan pelanggannya. Definisi ini tidak berlaku bagi tipe game online yang tidak menyediakan wahana interaksi dan komunikasi langsung antar pemain di dalam permainannya. Sementara itu, secara praktis hal ini menunjukkan pentingnya komunitas merek virtual (komunitas out-ofgame) sebagai pendamping layanan game online (komunitas in-game) guna memberikan layanan secara utuh kepada pelanggan.
50 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
6.2 Implikasi terhadap Miskonseptualisasi Penelitian CCT Arnould & Thompson (2005) menggarisbawahi adanya tiga miskonseptualisasi berkelanjutan pada penelitian CCT yaitu: (1) peneliti CCT hanya meneliti konteks khusus, (2) Perbedaan penelitian CCT dengan research tradition pemasaran pada umumnya adalah pada metodenya dan penelitian CCT hanya mengimplementasikan metode kualitatif, (3) Penelitian CCT tidak memiliki relevansi manajerial. Terkait dengan miskonseptualisasi pertama, penelitian ini sebagaimana layaknya penelitian lain memilih suatu konteks spesifik, yaitu komunitas merek virtual game online yang diinisiasi oleh pihak publisher. Namun demikian dalam batas tertentu sebagian dari hasil penelitian ini memiliki kontribusi dan implikasi yang potensial untuk dapat digeneralisasi. Pembuktian akan pengaruh perilaku partisipatif posting dan lurking terhadap loyalitas merek attitudinal dan behavioral dengan pengecualian pada H6 menambah generalisasi atas penelitian marketplace culture sebelumnya (seperti Shang et al. 2006, Casalo et al. 2010) dan dapat digeneralisasi pada komunitas merek virtual pada konteks yang lain seperti diilustrasikan pada bagian 6.1.4. Di sisi lain, pengujian dorongan value-in-use khususnya fungsional, terhadap perilaku partisipatif posting dan lurking memberikan dukungan fakta empiris atas konsep dalam pembahasan marketplace culture (seperti Nonnecke & preece, 1999; 2001; Nonnecke et al., 2004) dan sebelum ada pembuktian sebaliknya peneliti berpendapat bahwa kondisi ini juga akan berlangsung pada komunitas merek virtual pada konteks yang lain. Sebagai ilustrasi, secara umum informasi (Nonnecke & preece, 2001) dan solusi atas permasalahan (Flanagin & Metzger, 2001) merupakan sebagian alasan bagi pelanggan untuk berpartisipasi pada komunitas merek virtual. Hal itu kemudian akan sebagiannya akan direalisasikan melalui perilaku partisipatif lurking guna mencari informasi yang dibutuhkan atau solusi atas permasalahan yang ada dengan membaca dari thread dan posting yang tersimpan pada kumunitas merek virtual. Jika tindakan tersebut belum membuahkan hasil, sebagian anggota komunitas merek virtual akan mencoba menggalinya secara aktif melalui perilaku partisipatif posting dengan bertanya atau meminta bantuan kepada sesama anggota komunitas merek virtual. Dengan adanya potensi generalisasi sebagaimana telah diuraikan, ditambah penggunaan konsep yang sejalan dengan perkembangan disiplin pemasaran dewasa ini (seperti komunitas merek virtual, value-in-use, partisipasi, serta loyalitas merek) pada penelitian CCT khususnya pada bahasan marketplace culture, penelitian ini berupaya untuk dapat menambah legitimasi CCT dalam komunitas pemasaran (Coskuner-Balli, 2013). Upaya tersebut ditujukan untuk turut memberikan kontribusi pada minimisasi miskonsepsi pertama pada penelitian CCT. Terkait dengan miskonseptualisasi kedua, peneliti setuju bahwa sebagian besar penelitian CCT dilakukan dengan metode kualitatif. Peneliti tidak menyanggah pemilihan tersebut karena pada konteks discovery pada penelitian-penelitian awal untuk mengangkat fenomena dan merumuskan penjelasan dan konsep awal akan suatu fenomena penelitian kualitatif merupakan salah satu alternatif yang baik untuk dipilih. Sementara itu, penelitian ini merupakan upaya untuk mengembangkan konsep marketplace culture yang telah ada dengan upaya untuk menutup sebagian kesenjangan yang masih ada yang dalam implementasinya selain menerapkan metode kualitatif berupa observasi melalui nentografi dan interview awal untuk mendapatkan gambaran detil mengenai konteks penelitian kemudian dilanjutkan dengan pembuktian 51 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
hipotesis secara empiris menggunakan metode kuantitatif yang cukup lazim diimplementasikan pada konteks justification. Penggunaan pendekatan kualitatif dan kuantitatif pada penelitian ini menunjukkan adanya methodological pluralism (Arnould & Thompson, 2005) sebagai upaya untuk turut berkontribusi pada minimisasi miskonseptualisasi CCT yang kedua. Terkait dengan miskonseptualisasi ketiga, penelitian ini mencoba untuk lebih mendekatkan penelitian marketplace culture dengan relevansi manajerial. Sebagaimana telah sering diuraikan pada bagian sebelumnya, sebagian besar penelitian marketplace culture hanya menitikberatkan telaah pada perilaku partisipatif posting dengan mengesampingkan perilaku partisipatif lurking. Pada lingkup tertentu, yaitu menjaga keberlangsungan komunitas virtual peneliti tidak menyanggah cara pandang ini. Namun demikian, guna mencapai relevansi manajerial khususnya dalam perspektif pemasaran, cara pandang tersebut dinilai kurang memadai. Penelitian ini menawarkan sudut pandang yang lebih relevan secara manajerial, bahwa dalam perspektif pemasaran perilaku partisipatif lurking yang dilakukan oleh anggota komunitas merek virtual juga dapat memberikan kontribusi positif secara manajerial berupa loyalitas merek yang lebih tinggi sebagai salah satu tujuan yang ingin dicapai oleh pemasar. Kontribusi tersebut menjadi lebih kritikal mengingat pada umumnya jumlah anggota yang lebih intens melakukan perilaku partisipatif lurking lebih besar dari jumlah anggota komunitas merek virtual yang melakukan perilaku partisipatif posting (Katz, 1998). Singkatnya, dengan mengangkat urgensi perilaku partisipatif lurking, penelitian ini mencoba memperluas pandangan marketplace culture yang ada sebelumnya guna meningkatkan relevansi penelitian pada implikasi manajerial pemasaran. Dengan demikian peneliti berpendapat bahwa upaya ini merupakan salah satu kontribusi untuk me minimisasi miskonseptualisasi CCT yang ketiga. Implikasi manajerial dari hasil penelitian ini, khususnya yang terkait dengan aspek pemasaran diuraikan secara lebih rinci pada bagian berikut.
6.3 Implikasi Pada Praktek Manajemen Pemasaran Sebagaimana diuraikan pada bagian pendahuluan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi penunjang bagi pemasar dalam menciptakan value proposition bagi anggota komunitas merek virtual khususnya pada layanan game online berjenis MMORPG. Hasil penelitian ini juga dapat diperluas pemanfaatannya pada komunitas merek virtual untuk produk lain yang memiliki karakteristik serupa yaitu memiliki tingkat kompleksitas tertentu dan juga menimbulkan pengalaman tertentu pada penggunanya sehingga memicu adanya keperluan untuk mencari dan saling berbagi informasi antar pengguna juga dengan penyedia layanan. Berikut diuraikan secara lebih terperinci implikasi hasil penelitian ini pada praktik pemasaran.
6.3.1 Implikasi bagi Pengelolaan Komunitas Merek Virtual 6.3.1.1 Urgensi Selektif Wahana Pemasaran Komunitas Merek Virtual Penelitian ini membuktikan adanya dampak positif perilaku partisipatif posting dan lurking terhadap loyalitas merek pada konteks produk game online. Hal ini memperkuat hasil penelitian-penelitian sebelumnya tentang pentingnya komunitas
52 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
merek virtual sebagai salah satu wahana alternatif dalam melakukan upaya pemasaran. Namun demikian, perlu dicatat bahwa mungkin tidak semua tipe produk cocok dan perlu ditunjang dengan komunitas merek virtual. Setidaknya ada empat hal yang dapat dijadikan pertimbangan perlu atau tidaknya suatu produk ditunjang oleh komunitas merek virtual. Pertama, tingkat utilisasi internet (mulai dari adopsi hingga intensitas penggunaan internet) di kalangan target market produk yang ditawarkan. Semakin tinggi tingkat adopsi dan intensitas penggunaan internet target market yang dilayani semakin memungkinkan komunitas merek virtual dijadikan sebagai salah satu wahana pemasaran. Kedua, tingkat kompleksitas produk atau layanan yang ditawarkan. Semakin tinggi tingkat kompleksitas produk dan layanan yang membuat pelanggan perlu tempat untuk mencari informasi, bertanya, dan mencari solusi permasalahan semakin perlu dibuat komunitas merek virtual sebagai penunjang dari produk atau layanan yang diberikan. Contoh dari produk atau layanan tersebut adalah produk gadget, otomotif, komputasi, software, role playing game, dan produk-produk berteknologi tinggi lainnya. Ketiga, aspek product involvement dalam mengkonsumsi produk yang terkait dengan keterlibatan konsumen dalam memilih produk serta konsekuensinya. Semakin tinggi karakteristik produk involvement suatu produk atau layanan, apalagi yang membutuhkan evaluasi berdasarakan pengalaman orang lain yang telah menggunakan, semakin perlu diciptakan komunitas merek virtual. Dalam konteks ini komunitas merek virtual dapat menjadi sarana untuk berbagi pengalaman serta menggali informasi dan pengalaman orang lain sebelum memutuskan untuk membeli produk. Sebagai contoh adalah produk tujuan wisata. Keempat, derajat kepentingan komunikasi dua arah antara pemasar-pelanggan dan pelanggan-pelanggan. Semakin tinggi derajat kepentingan komunikasi dua arah tersebut semakin perlu komunitas merek virtual diciptakan. Komunikasi pada konteks ini dapat dimaksudkan untuk berbagai kepentingan mulai dari pencarian informasi, solusi permasalahan, komplain, penggalian umpan balik hingga penggalian inovasi pengembangan produk dan layanan. Contoh dari penjelasan ini adalah produk-produk teknologi, software, rumah sakit, dan pendidikan.
6.3.1.2 Indikator Kinerja Komunitas Merek Virtual Literatur terdahulu cenderung mengedepankan perilaku partisipatif posting sebagai indikator keberhasilan komunitas merek virtual karena perilaku tersebut dinilai sebagai urat kehidupan suatu komunitas virtual. Sementara itu, perilaku partisipatif lurking condong dikesampingkan karena dinilai hanya sebagai aktivitas free riding. Hal ini tidak salah, khususnya pada konteks komunitas virtual secara umum dan dari sudut pandang keberlangsungan hidup komunitas virtual. Penelitian ini mencoba memberikan suatu alternatif cara pandang dari perspektif pemasaran. Dari perspektif pemasaran, keberhasilan komunitas merek virtual dapat dilihat setidaknya dari dua aspek utama yaitu jumlah anggota dan tingkat aktivitas dari komunitas tersebut. Jumlah anggota menandakan antusiasme pengguna merek untuk bergabung dalam komunitas merek virtual yang mencerminkan tingginya kebutuhan
53 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
akan komunitas merek virtual tersebut serta memberi gambaran seberapa besar jumlah pengguna merek. Tingkat aktivitas komunitas merek virtual menggambarkan seberapa besar manfaat yang dirasakan oleh anggotanya dan merupakan pertanda masih hidup atau tidaknya suatu komunitas merek virtual. Penelitian ini menyarankan agar definisi tingkat aktivitas komunitas merek virtual tidak dipandang secara sempit hanya pada aktivitas posting anggotanya. Perilaku partisipatif lurking sepatutnya juga dipandang sebagai aktivitas anggota yang juga mencerminkan hidupnya suatu komunitas merek virtual. Pada umumnya online forum dewasa ini dilengkapi dengan fasilitas yang menggambarkan jumlah total anggota berikut identitas virtualnya termasuk informasi kapan mereka mulai bergabung dalam komunitas virtual hingga rekaman aktivitasnya baik posting maupun lurking. Hal yang menjadi permasalahan adalah paradigma pemasar yang masih memandang indikator keberhasilan suatu komunitas merek virtual secara sempit pada perilaku partisipatif posting dibandingkan dengan perluasan cara pandang dengan mengakomodasi ukuran perilaku partisipatif lurking.
6.3.1.3 Value Co-creation dan Value-in-use dalam Komunitas Merek Virtual Penelitian ini membuktikan bahwa value-in-use fungsional dan value-in-use sosial merupakan pendorong perilaku partisipatif dengan kadar yang berbeda. Valuein-use berada pada ranah anggota komunitas yang tercipta melalui value co-creation di ranah bersama dan dapat didorong oleh value proposition penyelenggara komunitas merek virtual (dalam konteks ini adalah publisher) pada ranah provider. Sebagai implikasinya, dalam rangka meningkatkan aktivitas komunitas yang akan tercermin dari perilaku partisipatif posting dan lurking pihak pemasar harus mencoba membuat value proposition yang mendorong kedua kategori value-in-use untuk mendorong perilaku partisipatif. Jika ditinjau lebih dalam value-in-use fungsional mencakup sejumlah aspek yang lebih spesifik antara lain Informational, instrumental dan self-discovery. Pemasar dapat menempuh sejumlah upaya spesifik yang dapat mendorong ketiga aspek tersebut guna meningkatkan perilaku partisipatif anggota komunitas merek virtual. Aspek informational berupa indikator memperoleh informasi, mempelajari hal baru dan memperoleh ide. Value ini dapat didorong penciptaanya melalui praktik value cocreation (Schau et al. 2009) documenting (narasi perjalanan relasional dengan merek), grooming (prosedur atau ritual terkait konsumsi merek) dan customizing (modifikasi merek untuk mencocokkan dengan kebutuhan individu atau kelompok). Sebagai contoh, pada komunitas merek virtual game online, praktik documenting terdiri atas posting dan diskusi pengalaman, tips, pengumuman atau informasi terkait dengan game online yang dibahas. Praktik grooming terdiri atas posting dan diskusi tata cara dan prosedur elemen-elemen dalam permainan serta aturan main dalam permainan yang menjadi kesepakatan umum dunia maya game online terkait. Praktik customizing terdiri atas posting dan diskusi strategi permainan dan modifikasi karakter dalam game online. Praktik value co-creation tersebut dapat coba didorong oleh pihak pemasar dengan menyediakan value proposition berupa interface dokumentasi forum online yang handal dan memudahkan. Mencari, mendorong dan memberi penghargaan bagi poster yang produktif menginisiasi pembahasan atau memberikan kontribusi aktif 54 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
pada praktik grooming dan customizing. Jika upaya tersebut belum memadai, khususnya pada komunitas merek virtual yang masih baru atau memiliki tingkat partisipatif posting yang masih rendah maka pihak pemasar perlu menempatkan staff khusus yang bertugas untuk memberikan kontribusi informasi termasuk yang terkait dengan grooming dan customizing. Aspek instrumental terdiri atas indikator memberikan kontribusi pada komunitas, membagi informasi, meminta bantuan, memecahkan masalah, menyampaikan keluhan serta bertransaksi. Value ini dapat didorong penciptaanya melalui praktik value co-creation commoditizing (perilaku atau sikap terkait pasar yang ditujukan pada sesama anggota atau provider) dan staking (mengakomodasi variasi dan pengelompokkan di dalam komunitas merek virtual). Praktik value cocreation tersebut dapat coba didorong oleh pihak pemasar dengan menyediakan value proposition berupa pembuatan sejumlah sub-forum untuk memudahkan pengelompokkan diskusi dalam komunitas merek virtual, interface komunikasi baik umum atau pribadi yang handal dan mudah digunakan, serta penempatan perwakilan dari pihak pemasar yang memadai untuk merespon secara cepat permasalahan, komplain atau saran dari anggota komunitas merek virtual.
6.3.2 Implikasi bagi Publisher MMORPG di Indonesia Pada komunitas merek virtual game online yang diinisiasi pihak publisher di Indonesia biasanya digunakan kebijakan satu akun dapat dijadikan identitas untuk mengakses seluruh game yang disediakan termasuk komunitas merek virtualnya. Untuk akses komunitas merek virtual anggota otomatis dapat mengaksesnya pada saat mereka membuat akun di website portal publisher seperti pada forum Gemscool. Dalam pandangan pihak luar, termasuk yang berpotensi untuk kemudian menjadi anggota komunitas merek virtual, jumlah anggota merupakan sebagian indikator dari aset dan kekuatan komunitas. Oleh karena itu, bukan strategi yang salah pada konteks komunitas out-of-game layanan MMORPG untuk mengambil kebijakan aktivasi keanggotaan langsung seperti yang dilakukan forum Gemscool. Untuk menjaring pelanggan baru, dalam hal ini pemain yang membuat akun di website portal publisher dan mencoba memainkan game online yang disediakan lazimnya publisher melakukan sejumlah upaya komunikasi pemasaran. Upaya tersebut dapat berupa pemasangan iklan pada majalah remaja, majalah game, majalah anime, majalah komputer, serta website atau forum online yang terkait dengan bahasan game, anime atau komputer. Tidak jarang pula publisher membagikan DVD installer game online secara gratis kepada konsumen. Upaya lain yang dilakukan adalah penyelenggaraan event berupa expo di pusat-pusat keramaian atau lomba game online bekerja sama dengan warnet dan game center. Sementara itu, untuk mendorong konsumen yang sudah menjadi pemain agar kemudian mulai melakukan perilaku partisipatif baik posting maupun lurking pihak publisher dapat menempuh upaya menarik perhatian dan mendorong trial dengan mengadakan event komunitas out-ofgame seperti sayembara foto avatar terbaik atau pooling berhadiah yang informasinya disampaikan dalam komunitas in-game. Di samping itu pihak publisher dapat memberlakukan sistem pengumuman singkat akan update-update terbaru dalam komunitas in-game yang di hubungkan dengan halaman dalam forum online untuk informasi yang lebih detil dan lengkap. 55 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
Penelitian ini menyarankan penggunaan dua indikator sekaligus yaitu perilaku partisipatif posting dan lurking sebagai indikasi aktif tidaknya suatu komunitas merek virtual. Hal ini berbeda dari kebanyakan pendapat selama ini yang hanya menitikberatkan pada perilaku partisipatif. Apresiasi terhadap perilaku partisipatif posting sudah sering diterapkan, seperti pemberian gelar berjenjang berdasarkan jumlah posting. Yang belum mendapatkan perhatian adalah perlunya memberikan apresiasi yang seimbang pada perilaku partisipatif lurking misalnya dengan juga menciptakan gelar berjenjang berdasarkan intensitas perilaku partisipatif lurking. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa perilaku partisipatif lurking berdampak positif pada loyalitas merek baik attitudinal maupun behavioral. Hal ini berarti, upaya untuk memelihara dan meningkatkan tingkat perilaku partisipatif lurking akan memberikan dampak yang baik bagi pemasar. Aspek yang paling menonjol untuk mendorong perilaku partisipatif lurking berdasarkan penelitian ini adalah informational value-in-use. Implikasinya, pemasar perlu menawarkan value proposition yang dapat mendorong terciptanya informational value-in-use, seperti interface penyimpanan, penyortiran dan pencarian informasi yang memudahkan serta handal. Dorongan dari sisi lain dapat diupayakan misalnya dengan memberikan reward baik materi atau non materi bagi kontributor informasi, aktivis diskusi, moderator, atau dengan menempatkan secara khusus seseorang yang cakap seputar topik pembicaraan komunitas merek virtual sebagai seorang generator informasi. Pada konteks ini komunitas merek virtual berperan sebagai wahana content marketing, suatu proses pengelolaan konten guna menarik pelanggan, mempertahankan serta mengubah perilakunya (Bosomoworth, & Chaffey, 2011). Bagi pengunjung yang bukan merupakan anggota, konten informasi pada komunitas merek virtual berpotensi menarik mereka untuk mencoba memainkan game online yang dibahas. Bagi anggotanya, konten informasi komunitas merek virtual berpotensi meningkatkan kualitas layanan yang diberikan sehingga meningkatkan kecenderungan bagi anggota komunitas merek virtual untuk loyal terhadap pihak publisher. Hasil penelitian ini juga membuktikan bahwa perilaku partisipatif posting justru berdampak negatif pada loyalitas behavioral yang diindikasikan oleh jumlah jam bermain serta jumlah dana yang dibelanjakan pada produk game online. Memang temuan ini spesifik pada konteks produk MMORPG yang memiliki karakeristik penggunaan waktu yang intensif dan investatif. Implikasinya, pemasar tidak perlu mentargetkan mayoritas pemainnya untuk memiliki tingkat perilaku partisipatif posting yang tinggi dalam komunitas merek virtual karena hal ini kontraproduktif bagi tingkat loyalitas behavioral pemain.
6.3.3 Implikasi pada Konteks Produk Pendidikan dan Teknologi Komunitas merek virtual game online berjenis MMORPG yang diinisiasi oleh pihak publisher sebagai konteks penelitian berimplikasi pada adanya hasil penelitian yang berlaku spesifik pada konteks ini dan hasil penelitian yang dapat diperluas pemanfaatannya pada konteks lain. Hasil yang sangat spesifik khususnya menyangkut karakteristik indikator loyalitas merek behavioral yang melibatkan pengalokasian waktu khusus secara intensif untuk mengkonsumsi layanan pada produk game online berjenis MMORPG serta implikasinya pada hubungan antara perilaku partisipatif posting dengan loyalitas merek behavioral. Dalam hal ini, hasil penelitian berlaku 56 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
spesifik hanya pada konteks komunitas merek virtual game online berjenis MMORPG. Sementara itu, hasil penelitian menyangkut value-in-use, dampaknya pada perilaku partisipatif posting dan lurking serta implikasinya terhadap loyalitas merek khususnya attitudinal dan behavioral sebagai dampak perilaku partisipatif lurking dapat diimplementasikan pada konteks produk yang lain. Dalam hal ini akan diuraikan secara singkat implementasi pada produk perangkat smartphone dan pendidikan tinggi. Dewasa ini perangkat ponsel semakin didominasi oleh jenis smartphone dengan kelebihannya melakukan banyak fungsi dalam satu perangkat serta kemampuan kustomisasi dan personalisasi yang sangat tinggi. Sebagai dampaknya produk ponsel menjadi semakin canggih, dari sudut pandang lain berarti kompleksitasnya menjadi lebih tinggi dan memerlukan pembelajaran dan pemahaman khusus untuk mempergunakannya secara optimal. Implikasinya, pihak produsen perlu wahana alternatif yang dapat mempercepat proses belajar dan pencarian informasi bagi pelanggan, sarana penanganan masalah serta komplain pelanggan yang responsif, sarana pembentuk ikatan antar pelanggan dan antara pelanggan dengan merek maupun produsen. Kebutuhan tersebut dapat dipenuhi secara lebih baik melalui komunitas merek virtual karena sebagaian pekerjaan akan diambil alih secara suka rela oleh anggota komunitas merek virtual, seperti membagi informasi terkait produk dan pemanfaatannya, mencari solusi akan permasalahan dan komplain dari pelanggan, serta membentuk ikatan antara pelanggan, merek dan produsen. Value-in-use yang didapatkan oleh pelanggan melalui komunitas merek virtual kemudian akan diterjemahkan menjadi tingkat partisipasi yang lebih tinggi dalam komunitas dan kemudian akan berimplikasi pada loyalitasnya yang lebih baik terhadap merek sebagaimana telah dibuktikan secara empiris pada penelitian ini untuk konteks produk game online. Hasil penelitian ini juga dapat diaplikasikan pada produk pendidikan tinggi yang memenuhi empat hal yang menjadi pertimbangan urgensi komunitas merek virtual sebagaimana telah diuraikan sebelumnya yaitu tingkat utilisasi internet, kompleksitas produk, tingkat product involvement dan urgensi komunikasi dua arah. Pendidikan tinggi dikonsumsi oleh segmen yang dewasa ini memiliki tingkat utilitas internet yang tinggi, khususnya yang berada di kota-kota besar dengan infrastruktur internet yang sudah relatif memadai. Pendidikan memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi baik dari sisi layanan maupun dalam proses konsumsinya yang memakan waktu relatif lama. Produk pendidikan merupakan produk yang tidak murah dan memiliki konsekuensi serta komitmen yang tinggi setelah dipilih, oleh karenanya perlu informasi sebanyak mungkin termasuk pengalaman dari pelanggannya sebagai informasi pendukung dalam penentuan pilihan. Karena proses konsumsinya yang relatif lama dan value tercipta melalui proses value co-creation dari sejumlah pihak maka dibutuhkan wahana yang dapat memfasilitasi terjadinya komunikasi dua arah antar pelanggan, pelanggan dengan penyedia maupun dengan pihak lain yang terkait. Dalam hal ini komunitas merek virtual dapat menjadi alternatif wahana pemasaran untuk meningkatkan layanan dan tingkat loyalitas pelanggan pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi merupakan suatu layan yang kompleks, terdiri atas konten yang luas pada lingkup tertentu, diatur melalui sejumlah pola dan regulasi (misalnya kurikulum dan peraturan akademik), merupakan proses pengembangan hard skill maupun soft skill dalam kurun waktu yang tidak singkat yang merupakan hasil 57 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
kolaborasi interaktif dari banyak pelaku (mahasiswa, dosen, tenaga didik, pelaku bisnis, pihak manajemen, serta masyarakat). Konsumsi atas layanan yang kompleks dan tidak singkat tersebut membutuhkan wahana interaksi guna memenuhi kebutuhan akan informasi, solusi, ide, kontribusi, pemahaman, diskusi, pengakuan dan lain sebagainya di dalam prosesnya. Praktek interaksi tradisional yang berlangsung dalam lingkungan perguruan tinggi memang telah terbukti menjembatani pemenuhan kebutuhan tersebut. Namun demikian, perubahan lingkungan pelanggan (banyak gangguan, banyak aktivitas, kompetisi yang semakin ketat) ditambah perubahan pada pelanggan menjadi pelanggan modern memberikan tantangan baru bagi pemasar termasuk pada layanan pendidikan tinggi untuk memberikan layanan yang terbaik bagi pelanggannya. Perkembangan media komunikasi berbasis internet termasuk terciptanya komunitas merek virtual, salah satunya yang berbentuk forum online memberikan wahana alternatif untuk mendukung layanan pada pendidikan tinggi khususnya yang terkait dengan interaksi antar pelaku dan mendukung proses value co-creation. Di tengah lingkungan yang lebih sibuk, banyak gangguan dan kompetitif, ditambah perubahan pada karakteristik pelanggan modern, komunitas merek virtual dipandang dapat menjadi alternatif wahana untuk memenuhi kebutuhan akan informasi, solusi, ide, kontribusi, pemahaman, diskusi, pengakuan dan lain sebagainya. Melalui komunitas merek virtual pemenuhan kebutuhan dalam hal ini dipandang sebagai proses penciptaan value-in-use dapat dilakukan secara lebih cepat, kapan pun, dari mana pun, mudah dan nyaman. Sesuai dengan hasil penelitian ini, value-in-use yang tergali melalui komunitas merek virtual khususnya fungsional akan mendorong tingkat partisipasi yang lebih intensif baik berupa perilaku posting maupun lurking. Tingkat perilaku partisipatif posting dan lurking yang lebih tinggi kemudian berpotensi meningkatkan loyalitas pelanggan khususnya secara attitudinal karena lebih baiknya aspek penikmatan pengalaman dan integrasi yang lebih tinggi terhadap merek. Dalam hal ini definisi pelanggan utama adalah mahasiswa namun tentunya dapat diperluas penjelasannya dengan mencakup seluruh stake holder seperti dosen, tenaga didik, pihak manajemen, orang tua mahasiswa, alumni, dunia kerja serta masyarakat, tentunya yang terkait dengan pemanfaatan komunitas merek virtual tersebut. Sebagai tambahan indikator loyalitas attitudinal dan behavioral tentunya tidak dimaksudkan untuk disamakan secara mentah namun disesuaikan seperti pada loyalitas attitudinal akan tetap menjalin hubungan relasional serta menyebarkan informasi positif.
58 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
BAB 7 7. PENUTUP
7.1 Kesimpulan Penelitian ini berupaya meneliti konsep value-in-use fungsional dan sosial sebagai penggerak perilaku partisipatif posting dan lurking pada konteks komunitas merek virtual pada sampel publisher game online di Indonesia serta implikasinya pada loyalitas merek attitudinal dan behavioral baik terhadap merek game maupun merek publisher. Dalam hal ini komunitas merek virtual diinisiasi oleh publisher game online sebagai penyedia layanan, bukan oleh konsumen sebagaimana terjadi pada kebanyakan komunitas merek. Game online yang dikelola oleh publisher di Indonesia pada umumnya berjenis MMORPG dan komunitas merek virtual yang kemudian dibentuk pada umumnya berbentuk message board. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan data empiris yang dihimpun melalui survei dengan wahana kuesioner online. Unit analisis yang ditelaah adalah 162 orang responden sebagai sampel anggota komunitas merek virtual game online dari tiga publisher game online terbesar di Indonesia yaitu Gemscool, Lyto dan Megaxus. Data yang dihimpun kemudian dianalisis melalui suatu Structural Equation Model dengan bantuan software AMOS 18. Berdasarkan hasil analisis, sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan dapat disimpulkan empat hal. Pertama, value-in-use fungsional merupakan pendorong perilaku partisipatif posting maupun lurking dengan intensitas yang lebih menonjol pada perilaku partisipatif lurking. Kedua, value-in-use sosial merupakan penggerak perilaku partisipatif lurking namun tidak cukup bukti untuk membuktikannya sebagai penggerak perilaku partisipatif posting. Temuan ini dijelaskan dengan konsep terbentuknya komunitas ganda yaitu komunitas in-game dan komunitas out-of-game pada konteks komunitas merek virtual game online yang diinisiasi oleh pihak publisher yang di Indonesia mayoritas berjenis MMORPG. Ketiga, adanya dampak positif dari perilaku partisipatif posting terhadap loyalitas merek attitudinal, sementara pada loyalitas merek behavioral justru terjadi hubungan negatif, berlawanan dengan hipotesis yang diajukan. Fenomena ini dijelaskan dengan konsep keterbatasan sumber daya waktu yang membuat anggota komunitas merek virtual harus melakukan trade off alokasi waktu antara perilaku partisipatif posting dengan loyalitas merek behavioral. Keempat, dibuktikan adanya dampak positif perilaku partisipatif lurking terhadap loyalitas merek attitudinal maupun behavioral. Hal ini menegaskan pentingnya mengakomodasi perilaku partisipatif lurking dalam pembahasan komunitas merek virtual karena memberikan implikasi pemasaran yang positif. Analisis pada model LTP dan LTG menunjukkan hasil yang serupa. Hal ini berarti secara umum perilaku partisipatif lurking dalam jangka panjang memberikan implikasi positif pada loyalitas terhadap publisher baik secara attitudinal maupun behavioral. Sementara itu perilaku partisipatif posting memberikan dampak positif pada loyalitas attitudinal terhadap publisher. Lebih jauh lagi, loyalitas jangka panjang 59 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
terhadap publisher dapat dibangun dengan dukungan loyalitas terhadap masingmasing game yang sifatnya lebih jangka pendek, ditunjukkan dengan kemiripan hasil estimasi pada kedua model. Penelitian ini memberikan sejumlah kontribusi bagi perkembangan disiplin pemasaran khususnya pada telaah CCT. Kontribusi tersebut mencakup kontribusi teoritis berupa perluasan teori CCT dengan mengakomodasi konsep value-in-use sebagai pendorong perilaku partisipatif dalam pembahasan marketplace culture pada konteks komunitas merek virtual, pembuktian adanya dorongan langsung value-in-use fungsional dan sosial terhadap perilaku partisipatif posting, serta pembuktian urgensi perilaku partisipatif lurking dalam pembahasan komunitas merek virtual. Hasil penelitian ini juga memberikan kontribusi penelitian berupa demonstrasi peluasan telaah loyalitas merek sebagai implikasi perilaku partisipatif dengan mencakup aspek attitudinal maupun behavioral secara simultan. Di sisi lain, penelitian ini juga memberikan kontribusi kontekstual berupa penjelasan marketplace culture pada konteks komunitas merek virtual yang diinisiasi oleh publisher produk game online di Indonesia. Sebagai tambahan, penelitian ini juga memberikan implikasi pada upaya mereduksi adanya miskonsepsi pada penelitian CCT.
7.2 Limitasi dan Saran Penelitian Lanjut Terlepas dari kontribusi yang berusaha diberikan melalui penelitian ini, terdapat beberapa limitasi yang membuka pada alternatif penelitian lebih lanjut tentang peran komunitas merek virtual sebagai wahana pemasaran. Berikut diuraikan sejumlah limitasi penelitian ini serta alternatif penelitian lanjut yang dapat ditempuh untuk memperluas penjelasan fenomena komunitas merek virtual pada pembahasan marketplace culture. Pertama, penelitian ini difokuskan untuk menggali keberadaan dampak dari perilaku partisipatif terhadap loyalitas merek, yang berarti berfokus pada pengaruh komunitas out-of-game sebaga penunjang dari suatu layanan game online. Temuan dalam penelitian ini mengindikasikan adanya kaitan erat antara komunitas out-of-game dengan komunitas in-game sebagai komunitas ganda pada konteks produk MMORPG. Hal ini membuka peluang untuk dilakukannya penelitian lebih lanjut pada konteks produk MMORPG yang mengakomodasi komunitas out-of-game dan komunitas ingame untuk membuktikan secara empiris dugaan pembagian upaya penggalian valuein-use yang saling terkait pada komunitas ganda tersebut. Kedua, penelitian ini berupaya menggali dampak perilaku partisipatif terhadap loyalitas merek dengan mengisolasi pengamatan hanya pada dampak komunitas merek virtual. Tujuan tersebut telah tercapai melalui penelitian ini. Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan dengan memasukkan unsur persepsi akan aspek game online yang dibahas seperti kualitas grafik, alur cerita, interface permainan, dukungan interaksi antar pemain, kehandalan koneksi terhadap server guna mengetahui seberapa besar sebenarnya kontribusi yang diberikan komunitas out-of-game dibandingkan dengan kualitas beberapa aspek game online yang ditinjau. Ketiga, sejumlah indikator behavioral yaitu indikator perilaku partisipatif posting, perilaku partisipatif lurking dan loyalitas merek behavioral dalam penelitian ini diukur melalui metode self-report yang di satu sisi memiliki kelebihan berupa
60 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
kepraktisan, murah, tidak membebani serta memiliki tingkat penerimaan yang lebih tinggi namun memiliki keterbatasan di sisi validitas dan reliabilitas, khususnya yang disebabkan oleh permasalahan bias respon dan recall (Prince et al., 2008). Penelitian lanjutan, khususnya yang dapat diinisiasi bersama dengan pihak publisher akan membuka peluang untuk digunakannya metode pengukuran direct measure berdasarkan database komunitas merek virtual yang memiliki tingkat akurasi dan presisi yang lebih tinggi (Prince et al., 2008) Keempat, penelitian ini menggunakan desain penghimpunan data crosssectional yang relatif mudah dan murah untuk diimplementasikan. Pendekatan crosssectional dipandang memadai jika hubungan antar konstruk relatif kuat (Rindfleisch, Malter, Ganesan, & Moorman, 2008). Dengan mempertimbangkan karakteristik value-in-use dan perilaku partisipatif yang bersifat dinamis, maka penelitian lanjut dengan metode penghimpunan data longitudinal atau multiple cross-sectional dinilai berpotensi untuk memperluas temuan yang telah diperoleh pada penelitian ini (Louis, Robins, Dockery, Spiro, & Ware, 1986). Kelima, sebagai penelitian awal yang mendalami implementasi konsep valuein-use termasuk penterjemahannya dalam indikator pengukuran yang lebih nyata pada konteks komunitas merek virtual, penelitian ini diawali dengan rerangka konseptual value yang lebih umum cakupanya yaitu fungsional dan sosial (Sicilia & Palazón, 2008). Hasil penelitian ini menemukan adanya potensi penjelasan selektif berdasarkan aspek yang lebih mendalam khususnya akan peran value-in-use fungsional terhadap perilaku partisipatif dikaitkan dengan aspek spesifik seperti informasi, instrumental dan self-discovery. Hal ini membuka peluang penelitian lebih lanjut untuk mendetilkan pengujian dan penjelasan akan adanya pengaruh selektif value-in-use menggunakan kerangka konseptual yang lebih spesifik. Keenam, penelitian ini menggunakan konsep value-in-use dalam mendefinisikan value (Vargo & Lusch, 2004; Gronroos, 2007) dan merujuk pada (Woodruff, 1997; Macdonald et al. 2009; 2011) dalam operasionalisasinya. Sementara itu seiring dengan proses penyelesaian penelitian konsep value-in-use kemudian diperluas menjadi value-in-context yang mendefinisikan value secara lebih luas sebagai suatu konseptualisasi multi konteks mulai dari micro-context yang membingkai pertukaran layanan dyadic antar individu pelaku (actor), kemudian membentuk penjelasan meso-context yang membingkai pertukaran antar dyad sebagai suatu hubungan triad, kemudian membentuk penjelasan macro-context yang membingkai pertukaran antar triad sebagao suatu jejaring kompleks (complex networks) dan pada akhirnya pada level meta-context pertukaran antar jejaring kompleks membentuk suatu service ecosystem. Hal yang masih menjadi permasalahan adalah fenomena value-in-context yang kompleks tersebut tidak dapat diukur secara objektif Lobler & Hahn (2013). Namun demikian Lobler & Hahn (2013) menawarkan suatu skala pengukuran value-in-context berdasarkan perspektif pelaku yang terdiri dari lima dimensi yaitu IIt, It I, I You, YouI dan I (-Me). Pada batas tertentu dimensi-dimensi tersebut beririsan dengan operasionalisiasi value-in-use fungsional dan sosial dalam penelitian ini, hanya saja pengukuran value-in-context Lobler & Hahn (2013) lebih dapat berlaku umum sementara definisi value-in-use pada penelitian ini lebih bersifat konteks spesifik pada komunitas merek virtual. Terlepas dari kelebihan dan kekurangan tersebut terbuka alternatif penelitian lebih lanjut yang mengakomodasi value-in-context sebagai penggerak perilaku partisipatif. 61 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Aaker, D. A., Kumar, V., Day, G. S. & Leone, R. P. (2011). Marketing research. Hoboken, N.J: Wiley. Adjei, M. T., Noble, S. M., & Noble, C. H. (2010). The influence of C2C communications in online brand communities on customer purchase behavior. Journal of the Academy of Marketing Science, 38(5), 634-653. Akkinen, M. (2005). Conceptual Foundations of Online Communities, Helsinki School of Economics Working Papers, W-387. Algesheimer, R., Dholakia, U. M., & Herrmann, A. (2005). The Social Influence of Brand Community: Evidence from European Car Clubs. Journal of Marketing, 69, 19-34. Anandya, D. (2010). Motivation, Opportunity dan Ability (MOA) sebagai Anteseden bagi Interaksi Antar Pengguna Situs Jaringan Pertemanan Sosial dan Implikasinya bagi Persepsi Nilai Keanggotaan dan Loyalitas Anggota: Perspektif Pemasaran Internet. Desertasi pada Program Pascasarjana Ilmu Manajemen, FE-UI. Depok. Anderson, J., & Gerbing, D. (1988). Structural equation modeling in practice: A review and recommended twostep approach. Psychological bulletin, 103(3), 411–423. Andersen, P. H. (2005). Relationship marketing and brand involvement of professionals through web-enhanced brand communities: The case of Coloplast. Industrial Marketing Management, 34, 39–51. Anderson, E. W., & Sullivan, M. W. (1993). The Antecedents and Consequences of Customer Satisfaction for Firms. Marketing Science, 12, 2, 125-143. Andreassen, T. W. (1999). What drives customer loyalty with complaint resolution? Journal of Service Research, 1(4), 324–332. Ang, C. S., Zaphiris, P., & Wilson, S. (2005). Social Interaction in Game Communities and Second Language Learning. The 19th British HCI Group Annual Conference (pp. 5-6). Edinburgh, UK. Arbuckle, J. L. (2010). IBM SPSS Amos ™ 19 User’s Guide. Chicago: Amos Development Corporation. Ardianto, E., & Soehadi, A. W. (2013). Consumunity Marketing: Strategi Pemasaran Berbasis Komunitas. Jakarta: Prasetya Mulya Publishing. Arnould, E. J., & Thompson, C. J. (2005). Consumer Culture Theory (CCT): Twenty Years of Research. Journal of Consumer Research, 31(4), 868-882. Arnould, E. J. (2006), Consumer Culture Theory: Retrospect and Prospect, European Advances in Consumer Research, 7. Arnould, E. J. (2007), Service-Dominant Logic and Consumer Culture Theory: Natural Allies in an Emerging Paradigm, Research in Consumer Behavior, 11, 57-76 Arnould, E. J., & Thompson, C. J. (2007), Consumer Culture Theory (and We Really Mean Theoretics): Dilemmas and Opportunities Posed By an Academic Branding Strategy, Research in Consumer Behavior, 11, 3-24 Arnould, E. J., & Price, L. L. (1993). River Magic: Extraordinary Experience and the Extended Service Encounter. Journal of Consumer Research, 20, 1, 24-45. Arnould, E. J., & Wallendorf, M. (1994). Market-Oriented Ethnography: Interpretation Building and Marketing Strategy Formulation. Journal of Marketing Research, 31, 4, 484-504. Bagozzi, R. P., & Yi, Y. (1988). On the evaluation of structural equation models. Journal of the Academy of Marketing Science, 16(1), 74-94. Baker, S (2003). New Consumer Marketing: Managing a Living Demand System, John Wiley & Sons Baldinger, A. L., & Rubinson, J. (1996). Brand Loyalty: The Link between Attitude and Behavior. Journal of Advertising Research, 36, 6, 22. Bayus, B. L. (1992). Brand Loyalty and Marketing Strategy: An Application to Home Appliances. Marketing Science, 11(1), 21-38. Belk, R. W (1986), What Should Acr Want To Be When It Grows Up?, in Advances in Consumer Research Vol. 13, eds. Richard J. Lutz, Provo, UT : Association for Consumer Research, 423-424 Belk, R. W. (1988). Possessions and the Extended Self. Journal of Consumer Research, 15(2), 139-168. Belk, R. W., & Costa, J. A. (1998). The Mountain Man Myth: A Contemporary Consuming Fantasy. Journal of Consumer Research, 25(3), 218-240. Belk, R. W., Wallendorf, M., & Sherry, J. F. (1989). The Sacred and the Profane in Consumer Behavior: Theodicy on the Odyssey. Journal of Consumer Research, 16 (1), 1-38. Bentler, P. M., & Chou, C.-P. (1987). Practical Issues in Structural Modeling. Sociological Methods & Research, 16(1), 78–117. Berger, P. D., Eechambadi, N., George, M., Lehmann, D. R., Rizley, R., & Venkatesan, R. (2006). From Customer Lifetime Value to Shareholder Value: Theory, Empirical Evidence, and Issues for Future Research. Journal of Service Research, 9(2), 156-167. Berkowitz, E. N., Kerin, R. A., Hartley S. W. & Rudelius, W. (2000). Interactive Marketing and Electronic Commerce, McGraw-Hill.
62 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
Berry, L. L. (1995). Relationship Marketing of Services--Growing Interest, Emerging Perspectives. Journal of the Academy of Marketing Science, 23(4), 236-245. Bettany, S. (2007). The Material Semiotics Of Consumption Or Where (And What) Are The Objects In Consumer Culture Theory?. Research in Consumer Behavior, 11, 41-56. Bloemer, J. M. M., & Kasper, H. D. P. (1995). The complex relationship between consumer satisfaction and brand loyalty. Journal of Economic Psychology, 16, 2, 311. Bollen, K. A. (1989). Structural Equations with Latent Variables. New York: Wiley. Bosomoworth, D., & Chaffey, D. (2011). Content Marketing Strategy Seven Steps to Success Guide. Smart Insights Limited. Bowes, J. (2002). Building online communities for professional networks. Global Summit of Online Knowledge Networks, Adelaide, Australia, March (pp. 71-74). Bowman, D., & Narayandas, D. (2004). Linking Customer Management Effort to Customer Profitability in Business Markets. Journal of Marketing Research, 41(4), 433-447. Brakus, J. J., Schmitt, B. H., & Zarantonello, L. (2009). Brand Experience: What Is It? How Is It Measured? Does It Affect Loyalty? Journal of Marketing, 73(3), 52-68. Brodie, R. J., Ilic, A., Juric, B., & Hollebeek, L. (2013). Consumer engagement in a virtual brand community: An exploratory analysis. Journal of Business Research, 66(1), 105–114. Brown, S. L., Tilton A., & Woodside, D. M. (2002) The case for on-line communities, McKinsey Quarterly: The Online Journal of McKinsey & Company, https://www.mckinseyquarterly.com/article_print.aspx?L2=16&L3=44&a Brown, S. W. (2005). Marketing Renaissance: Opportunities and Imperatives for Improving Marketing Thought, Practice, and Infrastructure. Journal of Marketing, 69(4), 1-25 Bruhn, M. (2003). Relationship marketing: Management of customer relationships. Harlow, England: Pearson Education/Financial Times. Byrne, B. M. (1998). Structural equation modeling with LISREL, PRELIS, and SIMPLIS: Basic concepts, applications, and programming. Mahwah, N.J: L. Erlbaum Associates. Carlson, B. D., Suter, T. A., & Brown, T. J. (2008). Social versus psychological brand community: The role of psychological sense of brand community. Journal of Business Research, 61, 4, 284-291. Casaló, L., Flavián, C., & Guinalíu, M. (2007). The impact of participation in virtual brand communities on consumer trust and loyalty: The case of free software. Online Information Review, 31, 6, 775-792. Casaló, L. V., Flavián, C., & Guinalíu, M. (2010). Relationship quality, community promotion and brand loyalty in virtual communities: Evidence from free software communities. International Journal of Information Management. Casaló, L. V., Flavián, C., & Guinalíu, M. (2011). Understanding the intention to follow the advice obtained in an online travel community. Computers in Human Behavior, 27(2), 622-633. Chaffey, D., Chadwick, F. E., Johnston, K., & Mayer, R. (2006), Internet Marketing: Strategy, Implementation and Practice, Prentice Hall Chan, K.W., & S. Y. Li (2010), Understanding consumer-to-consumer interactions in virtual communities: The salience of reciprocity, Journal of Business Research Chang, H. H., & Chuang, S. S. (2011). Social capital and individual motivations on knowledge sharing: Participant involvement as a moderator. Information & Management, 48(1), 9-18. Chaudhuri, A., & Holbrook, M. B. (2001). The Chain of Effects from Brand Trust and Brand Affect to Brand Performance: The Role of Brand Loyalty. The Journal of Marketing, 65, 2, 81-93. Chen, F. F., Sousa, K. H., & West, S. G. (2005). Teacher’s Corner: Testing Measurement Invariance of SecondOrder Factor Models. Structural Equation Modeling: A Multidisciplinary Journal, 12(3), 471–492. Choi, D., & Kim, J. (2004). Why people continue to play online games: In search of critical design factors to increase customer loyalty to online contents. CyberPsychology & Behavior, 7(1), 11–24. Christensen, L. B., Johnson, B., & Turner, L. (2011). Research methods, and design, and analysis (11th ed.). Harlow: Pearson Education. Christopher, M. (1996). From brand values to customer value. Journal of Marketing Practice Applied Marketing Science, 2(1), 55-66. Cooper, D. R., & Schindler, P. S. (2011). Business research methods (11th ed.). New York: McGraw-Hill. Cooil, B., Keiningham, T. L., Aksoy, L., & Hsu, M. (2007). A Longitudinal Analysis of Customer Satisfaction and Share of Wallet: Investigating the Moderating Effect of Customer Characteristics. Journal of Marketing, 71(1), 67-83. Coskuner-Balli, G. (2013). Market practices of legitimization: Insights from Consumer Culture Theory. Marketing Theory, 13(2), 193–211. Coulter, R. A., Price, L. L., & Feick, L. (September 01, 2003). Rethinking the Origins of Involvement and Brand Commitment: Insights from Postsocialist Central Europe. Journal of Consumer Research, 30 (2), 151-169 Cova, B. (1997). Community and consumption: Towards a definition of the ‘‘linking value’’ of product or services. European Journal of Marketing, 31(3/4), 297–316. Day, G. S., & Montgomery, D. B. (1999), Charting New Directions for Marketing, Journal of Marketing, 63, 3-13.
63 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
Department of Trade and Industry of U.K. (2004) E-marketing Achieving Best Practicein Your Business Dholakia, U. M. , R. P. Bagozzia and L. K. Pearo (2004) A social influence model of consumer participation in network and small-group-based virtual communities, International Journal of Research in Marketing, 21, 241–263 Dholakia, U. M., Kahn, B. E., Reeves, R., Rindfleisch, A., Stewart, D., & Taylor, E. (2010). Consumer behavior in a multichannel, multimedia retailing environment. Journal of Interactive Marketing, 24, 2, 86-95. Dick, A., & Basu, K. (1994). Customer loyalty: Toward an integrated conceptual framework. Journal of the Academy of Marketing Science, 22, 2, 99-113. Edvardsson, B., Tronvoll, B., & Gruber, T. (2010). Expanding understanding of service exchange and value co-creation: a social construction approach. Journal of the Academy of Marketing Science, 39(2), 327-339 Ellsworth, J. H. & Ellworth, M. V. (1995). Marketing on the Internet, John Wiley & Sons. Firat, A. F., & Venkatesh, A. (1995). Liberatory Postmodernism and the Reenchantment of Consumption. Journal of Consumer Research, 22, 3, 239-267. Fischer, E., Bristor, J. & Gainer, B. (1996). Creating Or Escaping Community?: An Exploratory Study Of Internet Consumers' behaviors. in Advances in Consumer Research Volume 23, eds. Kim P. Corfman and John G. Lynch Jr., Provo, UT : Association for Consumer Research, 178-182. Flanagin, A. J. & Metzger, M. J. (2001). Internet use in the contemporary media environment. Human Communication Research, 27(1), 153-181. Fuller, Matzler, & Hoppe (2008). Brand Community Members as a Source of Innovation. The Journal of Product Innovation Management, 25, 608-619. Fournier, S. (1998). Consumers and Their Brands: Developing Relationship Theory in Consumer Research. Journal of Consumer Research, 24(4), 343-353. Fournier, S., & Avery, J. (2011). The uninvited brand. Business Horizons, 54(3), 193-207. Franco, S. M. J., & Cataluna, R. F. J. (2010). Virtual travel communities and customer loyalty: Customer purchase involvement and web site design. Electronic Commerce Research and Applications, 9(2), 171-182. Gillete, F. (2011). Kebangkitan dan Kejatuhan Myspace, Bloomberg Businessweek, 14-20 Juli. Gupta, S., & Kim, H.W. (2004), Virtual Community: Concepts, Implications, and Future Research Directions, Proceedings of the Tenth Americas Conference on Information Systems, New York. Grayson, K., & Martinec, R. (2004). Consumer Perceptions of Iconicity and Indexicality and Their Influence on Assessments of Authentic Market Offerings. Journal of Consumer Research, 3 (2), 296-312 Grayson, K., & Shulman, D. (2000). Indexicality and the Verification Function of Irreplaceable Possessions: A Semiotic Analysis. Journal of Consumer Research, 27, 1, 17-30. Grönroos, C. (1995), Relationship Marketing: The Strategy Continuum. Journal of the Academy of Marketing Science. 23 (4): 252-254. Grönroos, C. (1997). Value-driven Relational Marketing: from Products to Resources and Competencies. Journal of Marketing Management, 13, 5, 407. Grönroos, C. (2000). Service management and marketing: A customer relationship management approach. 2nd ed., Wiley, Chichester. Grönroos, C. (2007). In search of a new logic for marketing: Foundations of contemporary marketing theory. Hoboken, NJ: John Wiley & Sons. Grönroos, C., & Voima, P. (2013). Critical service logic: making sense of value creation and co-creation. Journal of the Academy of Marketing Science, 41(2), 133–150. Gruen, T., Osmonbekov, T., & Czaplewski, A. (2006). eWOM: The impact of customer-to-customer online know-how exchange on customer value and loyalty. Journal of Business Research, 59(4), 449–456. Gupta, S., Hanssens, D., Hardie, B., Kahn, W., Kumar, V., Lin, N., Ravishanker, N., & Sriram, S. (2006). Modeling Customer Lifetime Value. Journal of Service Research, 9, 2, 139-155. Gummesson, E., (1999). Total relationship marketing: From the 4Ps - product, price, promotion, place - of traditional marketing management to the 30Rs - the thirty relationships - of the new marketing paradigm. Boston, Mass: Butterworth-Heinemann. Hagel, J., & Armstrong, A. G. (1997). Net gain: Expanding markets through virtual communities. Journal of Interactive Marketing (Vol. 13, pp. 55-65). Hair, J. F., Black, W. C., Babin, B., Anderson, R. E & Tatham, R. L. (2006). Multivariate data analysis. Upper Saddle River, N.J: Pearson Prentice Hall. Hanna, R., Rohm, A., & Crittenden, V. L. (2011). We’re all connected: The power of the social media ecosystem. Business Horizons, 54(3), 265-273. Hardesty, D. M., & Bearden, W. O. (2004). The use of expert judges in scale development Implications for improving face validity of measures of unobservable constructs. Journal of Business Research, 57(2), 98-107. Hernández, B., Jiménez, J., & Martín, M. J. (2010). Customer behavior in electronic commerce: The moderating effect of e-purchasing experience. Journal of Business Research, 63, 9, 964. Heskett, J. L., Jones, T. O., Loveman, G. W., Sasser, W. E., & Schlesinger, L. A. (1994). Putting the ServiceProfit Chain to Work. Harvard Business Review, 72(2), 164-174.
64 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
Ho, R. (2006). Handbook of univariate and multivariate data analysis and interpretation with SPSS. Boca Raton: Chapman & Hall. Ho, S.-H., & Huang, C.-H. (2009). Exploring success factors of video game communities in hierarchical linear modeling: The perspectives of members and leaders. Computers in Human Behavior, 25, 3, 761-769. Hoffman, D. L., & Novak, T. P. (1996). Marketing in hypermedia Computer-Mediated environments: Conceptual foundations. Journal of Marketing, 60 (3), 50-68. Holbrook, M. B. (1987). What is Consumer Research? Journal of Consumer Research, 14(1), 128 Holt, D. B. (1995), How Consumers Consume: A Typology of Consumption Practices, Journal of Consumer Research, 22. Hooper, D., Coughlan, J., & Mullen, M. (2008). Structural equation modelling: guidelines for determining model fit. Electronic Journal of Business Research Methods, 6(1), 53–60. Hou, A. C. Y., Chern, C.-C., Chen, H.-G., & Chen, Y.-C. (2011). Migrating to a new virtual world: Exploring MMORPG switching through human migration theory. Computers in Human Behavior, 27(5) Hsu, C. L., & Lu, H. P. (2004). Why do people play on-line games? An extended TAM with social influences and flow experience. Information and Management, 41, 7, 853-868. Hsu, C.L., & Lu, H.P. (2007). Consumer behavior in online game communities: A motivational factor perspective. Computers in Human Behavior, 23, 3, 1642. Ibrahim, R.M.S (2000), Perintisan WWW di Indonesia diakses dari http://rms46.vlsm.org/00-11.html, Juli 2011. Igbaria, M., Zinatelli, N., Cragg, P., & Cavaye, A. L. M. (1997). Personal Computing Acceptance Factors in Small Firms: A Structural Equation Model. MIS Quarterly, 21, 279–305. Jang, H., Olfman, L., Ko, I., Koh, J., & Kim, K. (2008). The Influence of On-Line Brand Community Characteristics on Community Commitment and Brand Loyalty. International Journal of Electronic Commerce, 12(3), 57-80. Jeong, E., & Jang, S. S. (2011). Restaurant experiences triggering positive electronic word-of-mouth (eWOM) motivations. International Journal of Hospitality Management, 30(2), 356-366. Joe, S. W., Chiu, C. K., & Hsiao, C. Y. (2009). Understanding The Loyalty Formation of Online Games From A Perspective of Sex Role Differences. Quality and Quantity, 43(5), 731-741. Kaplan, A. M., & Haenlein, M. (2010). Users of the world, unite! The challenges and opportunities of Social Media. Business Horizons, 53(1), 59-68. Kalyanam, K. & McIntyre, S. (2002), The E-marketing Mix: A Contribution of the E-Tailing Wars, Journal of the Academy of Marketing Science, 30 (4), 487-499. Kang, J., Ko, I., & Ko, Y. (2009). The Impact of Social Support of Guild Members and Psychological Factors on Flow and Game Loyalty in MMORPG. Proceedings of the 42nd Hawaii International Conference on System Sciences. 1-9. Kaplan, R. S., & Norton, D. P. (1996). The balanced scorecard: Translating strategy into action. Boston, Mass: Harvard Business School Press. Kardes, F. R., Cline, T. W., & Cronley, M. L. (2011). Consumer behavior: Science and practice. Mason, Ohio: South-Western Cengage Learning. Karr, D. (2009). Business Misuse of Social Media Marketing, diunduh dari http://www.marketingtechblog.com/social-media-marketing/social-media-marketing/. Kates, S. (2002). The Protean Quality of Subcultural Consumption: An Ethnographic Account of Gay Consumers. Journal of Consumer Research, 29(3), 383-399. Kattiyapornpong, U. & Miller, K. E. (2009). Reasons why dissatisfied customers exhibit behavioral loyalty. Proceedings of the 25th IMP Conference: Euromed management, IMP Group, France. Katz, J. (1998). Luring the Lurkers. Retrieved from http://news.slashdot.org/article.pl?no_d2=1&sid=98/12/28/1745252 Keller, K. L. (2008). Strategic brand management: Building, measuring, and managing brand equity. Upper Saddle River, N.J: Pearson. Kenny, D. A. (2012). Measuring Model Fit. http://davidakenny.net/cm/fit.htm, diakses bulan Mei 2013. Khalifa, A. S. (2004). Customer value: a review of recent literature and an integrative configuration. Management Decision, 42(5), 645-666. Kim, H. W., Gupta, S., & Koh, J. (2011). Investigating the intention to purchase digital items in social networking communities: A customer value perspective. Information & Management, 48, 6, 228-234. Kim, H.-S., Park, J. Y., & Jin, B. (2008), Dimensions of online community attributes Examination of online communities hosted by companies in Korea, International Journal of Retail & Distribution Management, 36 (10), 812-830. Kim, J. H., Bae, Z.-T., & Kang, S. H. (2008), The Role of Online Brand Community In New Product Development: Case Studies on Digital Product Manufacturers in Korea, International Journal of Innovation Management, 12 (3), 357-376. Kim, W. G., Lee, C., & Hiemstra, S. J. (2004). Effects of an online virtual community on customer loyalty and travel product purchases. Tourism Management, 25, 3, 343-355. Keller, K. L. (2008). Strategic brand management: Building, measuring, and managing brand equity. Upper Saddle River, N.J: Prentice Hall.
65 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
Kohler, T., Fueller, J., Stieger, D., & Matzler, K. (2011). Avatar-based innovation: Consequences of the virtual co-creation experience. Computers in Human Behavior, 27(1), 160-168. Koo, D. M. (2009). The moderating role of locus of control on the links between experiential motives and intention to play online games. Computers in Human Behavior, 25, 2, 466-474. Kotler, P., Jain, D., & Suvit, M. (2002). Marketing moves: A new approach to profits, growth, and renewal. Boston, Mass: Harvard Business School Press. Kozinets, R. V. (1999) E-Tribalized Marketing?: The Strategic Implications of Virtual Communities of Consumption, European Management Journal, 17, 252–264 Kozinets, R. V. (2002), Can Consumers Escape the Market? Emancipatory Illuminations from Burning Man, Journal of Consumer Research, 29 Kozinets, R. V., De Valck, K., Wojnicki, A. C., & Wilner, S. J. S. (2010). Networked Narratives: Understanding Word-of-Mouth Marketing in Online Communities. Journal of Marketing, 74(2), 71-89. Kumar, V., & Shah, D. (2009). Expanding the role of marketing: From customer equity to market capitalization. Journal of Marketing, 73, 6, 119-136. Krishnamurthi, L., & Raj, S. P. (1991). An Empirical Analysis of the Relationship between Brand Loyalty and Consumer Price Elasticity. Marketing Science, 10(2), 172-183. Laroche, M. (2009). Advances in internet consumer behavior and marketing strategy: Introduction to the special issue. Journal of Business Research. Leão, A. L. M. S., & Mello, S. C. B. (2007). The means-end approach to understanding customer values of an on-line newspaper. Brazilian Administration Review, 4 (1). Lehmann, D. R. (1996), Presidential Address: Knowledge Generalization and the Conventions of Consumer Research; A Study in Inconsistency, in Advances in Consumer Research, Vol. 23, ed. Kim Corfman and John Lynch, Association for Consumer Research, Provo, UT: 1–5. Lemon, B. K. N., Rust, R. T., & Zeithaml, V. A. (2001). What Drives Customer Equity. Marketing Management, 10(1), 20-25. Levy, P (2011), Facebook, Linkedin and Digitas: The State of Social, Marketing News, 03.15 Lin, H. (2008). Determinants of successful virtual communities: Contributions from system characteristics and social factors. Information & Management, 45(8), 522-527. Lind, D. A., Marchal, W. G., & Wathen, S. A. (2008). Basic statistics for business & economics. Boston: McGraw-Hill /Irwin. Löbler, H. & Hahn, M. (2013). Measuring Value-in-Context from a Service-Dominant Logic’s Perspective, in Naresh K. Malhotra (ed.) Review of Marketing Research, Volume 10. Emerald Group Publishing Limited, 255-282. Louis, T., Robins, J., Dockery, D., Spiro, A., & Ware, J. H. (1986). Explaining discrepancies between longitudinal and cross-sectional models. Journal of chronic Disseases, 39(10), 831–839. Lusch, R. F., Vargo, S. L., & Malter, A. J. (2006). Marketing as Service-Exchange. Organizational Dynamics, 35(3), 264-278. Lusch, R. F., Vargo, S. L., & Tanniru, M. (2009). Service, value networks and learning. Journal of the Academy of Marketing Science, 38(1), 19-31. Lusch, R. F., Vargo, S. L., & Wessels, G. (2008). Toward a conceptual foundation for service science: Contributions from service-dominant logic. IBM Systems Journal, 47(1), 5-14. Lynch, J., & Ariely, D. (2000). Wine online: Search costs affect competition on price quality and distribution. Marketing Science, 19(1), 83–103. Macdonald, E. K., Martinez, V., & Wilson, H. (2009). Towards the Assessment of the Value-in-use of ProductService Systems: a Review. Conference Dunedin New, (c), 1-12. Performance Measurement Association. Macdonald, E. K., Wilson H., Martinez, V., & Toossi, A. (2011), Assessing value-in-use: A conceptual framework and exploratory study. Industrial Marketing Management, 40, 671–682. Malhotra, N. K. (2007). Marketing research: An applied orientation (5th ed.). Upper Saddle River, NJ: Pearson/Prentice Hall. Mäntymäki, M., & Salo, J. (2011). Teenagers in social virtual worlds: Continuous use and purchasing behavior in Habbo Hotel. Computers in Human Behavior, 27(6), 2088-2097. Mathwick, C., Malhotra, N., & Rigdon, E. (2001). Experiential value: conceptualization, measurement and application in the catalog and Internet shopping environment. Journal of Retailing, 77(1), 39-56. McAlexander, J. H., Kim, S. K., & Roberts, S. D. (2003). Loyalty: The Influences of Satisfaction and Brand Community Integration. Marketing Theory and Practice, 11(4), 1-11. McAlexander, J. H., Schouten, J. W., & Koenig, H. F. (2002). Building Brand Community. Journal of Marketing, 66(1), 38-54. McWilliam, G. (2000). Building Stronger Brands through Online Communities, Sloan Management Review. Spring, 43-54. Marchi, G., Giachetti, C., & Gennaro, P. (2011). Extending lead-user theory to online brand communities: The case of the community Ducati. Technovation, 31(8), 350-361. Merz, M. A., He, Y., & Vargo, S. L. (2009). The evolving brand logic: a service-dominant logic perspective. Journal of the Academy of Marketing Science, 37(3), 328-344.
66 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
Meyers, L. S., Gamst, G., & Guarino, A. J. (2006). Applied multivariate research: Design and interpretation. Thousand Oaks: Sage Publications. MiniWatts Marketing Group, World Internet Usage and Population Statistics www.internetworldstats.com/stats.htm Mohammed, R., Fisher, R., Jaworski, B. & Paddison, G. (2003). Internet Marketing: Building Advantage in a Networked Economy, Mc Graw Hill. Morgan, R. M., & Hunt, S. D. (1994). The Commitment-Trust Theory of Relationship Marketing. The Journal of Marketing, 58, 3, 20-38. Muniz, A. M. Jr. and O’guinn, T. C. (2001). Brand Community, Journal Of Consumer Research, 27, 412-432. Muñiz, A. M. Jr., & Schau, H. J. (2011). How to inspire value-laden collaborative consumer-generated content. Business Horizons, 54(3), 209-217. Murray, K. B., & Bellman, S. (2010). Productive play time: the effect of practice on consumer demand for hedonic experiences. Journal of the Academy of Marketing Science, 39(3), 376-391. Murray, Jeff B. & Julie L. Ozanne (1991). The Critical Imagination: Emancipatory Interests in Consumer Research, Journal of Consumer Research, 18 (2), 129–44. Nambisan, P., & Watt, J. H. (2010). Managing customer experiences in online product communities. Journal of Business Research, 64 (8), 889-895. Nasution, R. A., & Radiatni, K. (2009). Pond’s Brand Community Potentials Among High School Female Students in Bandung. Business Strategy and Marketing, 8(1). Nilsson, O., S. & Olsen, J., K. (1995). Measuring Consumer Retail Store Loyalty, in European Advances in Consumer Research Volume 2, eds. Flemming Hansen, Provo, UT: Association for Consumer Research. Nonnecke, B., & Preece, J. (1999). Shedding light on lurkers in online communities. Ethnographic Studies in Real and Virtual Environments: Inhabited Information Spaces and Connected Communities. 123– 128. Nonnecke, B., & Preece J. (2001). Why Lurkers Lurk, Americas Conference on Information Systems, 2001. Nonnecke, B., Preece, J., & Andrews, D. (2004). What lurkers and posters think of each other,. Proceedings of the 37th Hawaii International Conference on System Sciences, Hawaii, USA. Oliver R. L. (1999). Whence Consumer Loyalty, Journal of Marketing, 63, 33-44. Ouwersloot, H., & Odekerken-Schröder, G. (2008). Who’s who in brand communities – and why? European Journal of Marketing, 42(5/6), 571–585. Ozanne, Julie L. and Susan Dobscha (2006), “Transformative Consumer Culture Theory?” Advances in Consumer Research, 33 eds. Cornelia Pechmann and Linda L. Price, Association for Consumer Research, 520. Pan, Y., & Zhang, J. Q. (2011). Born Unequal: A Study of the Helpfulness of User-Generated Product Reviews. Journal of Retailing, 87(4), 598–612. López, E. P., Gidumal, J. B., Taño, D. G., & Armas, R. D. (2011). Intentions to use social media in organizing and taking vacation trips. Computers in Human Behavior, 27(2), 640–654. Parasuraman, A., Zeithaml, V. A., & Berry, L. L. (1988). SERVQUAL: A Multiple-Item Scale for Measuring Consumer Perceptions of Service Quality. Journal of Retailing, 64(1), 12-40. Parasuraman, A., & Zinkhan, G. M. (2002). Marketing to and serving customers through the internet: An overview and research agenda, Journal of the Academy of Marketing Science, 30 (4), 286-295. Patterson, A. (2012). Social-networkers of the world, unite and take over: A meta-introspective perspective on the Facebook brand. Journal of Business Research, 65(4), 527–534. Pawitra, T. (2005), Redefinisi Pemasaran, Prasetya Mulya Management Research Series, 1. Peck, H., Payne, A., Christopher, M, & Clark, M. (1999). Relationship marketing: Strategy and implementation. Oxford: Butterworth Heinemann. Pepper, D. (2009). Customer Loyalty: Is It an Attitude? Or a Behavior?. http://www.peppersandrogersgroup.com/blog/2009/10/customer-loyalty-is-it-an-atti.html. Diunduh pada bulan Juli 2011. Ping, R. A. (2004). On assuring valid measures for theoretical models using survey data. Journal of Business Research, 57(2), 125-141. Ping, R. A. (2009). "Is there any way to improve Average Variance Extracted (AVE) in a Latent Variable (LV) X (Revised)?" [on-line paper]. http://home.att.net/~rpingjr/ImprovAVE1.doc Porter, M. E. (1996). What is strategy? Harvard Business Review, 74(6), 61-78. Harvard Business School Publication Corp. Preece J., B. Nonnecke & D. Andrews (2004). The top five reasons for lurking: improving community experiences for everyone. Computers in Human Behavior, 20, 201–223. Prince, K. (2013). The Importance of Measuring Behavior. Retrieved from http://bcotb.com/the-importanceof-measuring-behavior/ Prince, S. A, Adamo, K. B., Hamel, M. E., Hardt, J., Gorber, S. C., & Tremblay, M. (2008). A comparison of direct versus self-report measures for assessing physical activity in adults: a systematic review. The international journal of behavioral nutrition and physical activity, 5, 56.
67 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
Qu, H., & Lee, H. (2011). Travelers’ social identification and membership behaviors in online travel community. Tourism Management, 32(6), 1-9. Rafaeli, S., Ravid, G., & Soroka, V. (2004). De-lurking in Virtual Communities: A Social Communication Network Approach to Measuring the Effects of Social and Cultural Capital (INPMS03). Proceedings of the Annual Hawaii International Conference on System Sciences, 203-203. Ramaswami, S. N., Srivastava, R. K., & Bhargava, M. (2009). Market-based capabilities and financial performance of firms: insights into marketing's contribution to firm value. Journal of the Academy of Marketing Science, 37, 2, 97-116. Reichheld, F., & Sasser, W. (1990). Zero defections: quality comes to services. Harvard business review, 68 (September-October), 105–111. Reichheld, F. (1993). Loyalty-Based Management. Harvard Business Review, 71(2), 64-73. Reichheld, F., Markey, R. G., & Hopton, C. (2000). The loyalty effect – the relationship between loyalty and profits. European Business Journal, 12(3), 134-139. Rheingold, H. (1993). The virtual community: Homesteading on the electronic frontier. Reading, Mass: Addison-Wesley Pub. Co. Ridings, C. M. & Gefen, D. (2004). Virtual Community Attraction: Why People Hang Out Online. Journal of Computer Mediated Communication, 10 (1). Rindfleisch, A., Malter, A. J., Ganesan, S., & Moorman, C. (2008). Cross-sectional versus longitudinal survey research: concepts, findings, and guidelines. Journal of Marketing Research, 45(3), 261–279. Rust, R. T., Lemon, K. N., & Zeithaml, V. A. (2004). Return on Marketing: Using Customer Equity to Focus Marketing Strategy. Journal of Marketing, 68(1), 109-127. Ryan, D. & Jones, C. (2009). Understanding Digital Marketing: Marketing Strategies for Engaging the Digital Generation, Kogan Page. Sachse, S. B., & Mangold, S. (2011). Brand equity dilution through negative online word-of-mouth communication. Journal of Retailing and Consumer Services, 18(1), 38-45. Schau, H. J., Muniz Jr, A. M., & Arnould, E. J. (2009). How brand community practices create value. Journal of Marketing, 73(5), 30–51. Schumacker, R. E., & Lomax, R. G. (1996). A beginnerʼs guide to structural equation modeling. Mahwah NJ. Lawrence Erlbaum. Schiffman, L. G., & Kanuk, L. L. (2007). Consumer behavior. Upper Saddle River, N.J: Pearson Prentice Hall. Schlosser, A. (2005). Posting versus lurking: Communicating in a multiple audience context. Journal of Consumer Research, 32(September), 260–265. Schouten, J. W., & Mcalexander, J. H. (1995). Subcultures of Consumption: An Ethnography of the New Bikers. Journal of Consumer Research, 22(1), 43-61. Schultz & Beach (2004) From Lurkers to Posters. Diunduh dari http://flexiblelearning.net.au/resources/lurkerstoposters.pdf Settles, C. (1995). Cybermarketing: Essentials for Success, Ziff-avis Press. Shang, R.-A., Chen, Y.-C., & Liao, H.-J. (2006). The value of participation in virtual consumer communities on brand loyalty. Internet Research, 16(4), 398–418. Sheth, J. N., & Mittal, B. (2004). Customer behavior: A managerial perspective. Mason, Ohio: Thomson/SouthWestern. Sheth, J. N., Newman, B. I. & Gross, B. L. (1991). Why we buy what we buy: A theory of consumption values. Journal of Business Research. 22(2), 159-170. Sheth, J. N., & Sisodia, R. (2006). Does marketing need reform?: Fresh perspectives on the future. Armonk, N.Y: M.E. Sharpe. Shiue, Y.-C., Chiu, C.-M., & Chang, C.-C. (2010). Exploring and mitigating social loafing in online communities. Computers in Human Behavior, 26(4), 768-777. Sicilia, M., & Palazón, M. (2008). Brand communities on the internet: A case study of Coca-Cola’s Spanish virtual community. Corporate Communications: An International Journal, 13(3), 255–270. Simonson, I., Carmon, Z., Dhar, R., Drolet, A., & Nowlis, S. M. (2001). Consumer research: in search of identity. Annual review of psychology, 52, 249–275. Sirdeshmukh, D., Singh, J., & Sabol, B. (2002). Consumer Trust, Value, and Loyalty in Relational Exchanges, The Journal of Marketing. 66, 15-37. Slabeva, K. S., & Schmid, B. F. (2001). A Typology of Online Communities and Community Supporting Platforms. Proceedings of the 34th Hawaii International Conference on System Sciences. 1–10. Solomon, M. R. (2009). Consumer behavior: Buying, having, and being. Upper Saddle River, NJ: Pearson/Prentice Hall. Sparks, B. A., & Browning, V. (2011). The impact of online reviews on hotel booking intentions and perception of trust. Tourism Management, 32(6). 1310-1323. Spaulding, T. J. (2010). How can virtual communities create value for business? Electronic Commerce Research and Applications, 9(1), 38-49. Spiggle, S. (1994). Analysis and Interpretation of Qualitative Data in Consumer Research. Journal of Consumer Research, 21, 3, 491-503.
68 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
Srinivasan, S. S., Anderson, R., & Ponnavolu, K. (2002). Customer loyalty in e-commerce: an exploration of its antecedents and consequences. Journal of Retailing, 78(1), 41-50. Srivastava, R. K., Shervani, T. A., & Fahey, L. (1998). Market-Based Assets and Shareholder Value: A Framework for Analysis. The Journal of Marketing, 62, 1, 2-18. Sterne, J. (2010). Social media metrics: How to measure and optimize your marketing investment. Hoboken, N.J: John Wiley. Stokes, R. (2009). eMarketing: The Essential Guide to Online Marketing. Quirk eMarketing Strauss, J., & Frost, R. (2009). E-marketing. Pearson Prentice Hall. Sukoco, B. M., & Aditya, M. L. (2011). Pengaruh Nilai Informasi dan Sosial pada Co-Consumption dan CoProduction antar Anggota Kaskus : Perspektif Modal Sosial. Jurnal Manajemen Teknologi, 10(3), 264–280. Sukoco, B., & Wu, W. (2010). The personal and social motivation of customers’ participation in brand community. African Journal of Business Maganement, 4(5), 614–622. Sweeney, J. C., & Soutar, G. N. (2001). Consumer perceived value: The development of a multiple item scale. Journal of Retailing, 77(2), 203-220. Szmigin, I., & Reppel, A. E. (2004). Internet community bonding: the case of macnews.de. European Journal of Marketing, 38, 626-640. Szmigin, I., Canning, L., & Reppel, A. E. (2005). Online community: enhancing the relationship marketing concept through customer bonding. International Journal of Service Industry Management, 16(5), 480–496. Takahashi, M., Fujimoto, M., & Yamasaki, N. (2003). The active lurker: influence of an in-house online community on its outside environment. In GROUP ’03: Proceedings of the 2003 international ACM SIGGROUP conference on Supporting group work (pp. 1-10). Takahashi, M., Fujimoto, M., & Yamasaki, N. (2007). Active Lurking: Enhancing the Value of In-House Online Communities through the Related Practices around the Online Communities. MIT Sloan Research Paper No 464607 CCI Working Paper No 2007006. Thompson, S., & Sinha, R. (2008). Brand communities and new product adoption: the influence and limits of oppositional loyalty. Journal of marketing, 72(November), 65–80. Treacy, M., & Wiersema, F. (1993). Customer intimacy and other value disciplines. Harvard Business Review, 71(1), 84-93. Tsai, H.-T., & Huang, H.-C. (2007). Determinants of e-repurchase intentions: An integrative model of quadruple retention drivers. Information & Management, 44(3), 231-239. Tsai, H.-T., Huang, H.-C., & Chiu, Y.-L. (2012). Brand community participation in Taiwan: Examining the roles of individual-, group-, and relationship-level antecedents. Journal of Business Research, 65(5), 676–684. Urban, G. L. (2003), Digital Marketing Strategy: Text and Cases, Prentice Hall Ulaga, W., & Eggert, A. (2005). Relationship value in business markets: the construct its dimensions. Journal of Business-to-Business Marketing, 12(1), 73–99. Valck, K., Bruggen, G. H., & Wierenga, B. (2009). Virtual communities: A marketing perspective. Decision Support Systems, 47(3), 185–203. Varadarajan, P. R. & Yadav, M. S. (2002). Marketing Strategy and the Internet: An Organizing Framework. Journal of the Academy of Marketing Science, 30 (4), 296-312. Varadarajan, R., Vadakkepatt, G. G., Yadav, M. S., Srinivasan, R., Pavlou, P. A., Krishnamurthy, S., & Krause, T. (2010). Interactive technologies and retailing strategy: A review, conceptual framework and future research directions. Journal of Interactive Marketing, 24, 2, 96-110. Vargo, S. L., & Lusch, R. F. (2004). Evolving to a New Dominant Logic for Marketing. Journal of Marketing, 68(1), 1-17. Vargo, S. L., & Lusch, R. F. (2006). Service-dominant logic: What it is, what it is not, what it might be. In R. F. Lusch, & S. L. Vargo (Eds.), The service-dominant logic of marketing: Dialog, debate, and directions (pp. 43–56). Armonk, NY: ME Sharpe. Vargo, S. L., & Lusch, R. F. (2008). Service-dominant logic: Continuing the evolution. Journal of the Academy of Marketing Science, 36, 1, 1-10. Vargo, S., Maglio, P., & Akaka, M. (2008). On value and value co-creation: A service systems and service logic perspective. European Management Journal, 26(3), 145-152. Venkatesan, R., & Kumar, V. (2004). A Customer Lifetime Value Framework for Customer Selection and Resource Allocation Strategy. Journal of Marketing, 68, 106-125. Verhoef, P. C., Neslin, S. A., & Vroomen, B. (2007). Multichannel customer management: Understanding the research-shopper phenomenon. International Journal of Research in Marketing, 24, 2, 129. Vogel, V., Evanschitzky, H., & Ramaseshan, B. (2008). Customer Equity Drivers and Future Sales. Journal of Marketing, 72(6), 98-108. Watson, R.T, Pitt, L. F., Berthon, P. & Zinkhan, G. M. (2002). U-Commerce: Expanding the Universe of Marketing, Journal of the Academy of Marketing Science, 30 (4), 333-347. Wells, W. D. (1993). Discovery-Oriented Consumer Research. Journal of Consumer Research, 19(4), 489.
69 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
Whittaker, S., Issacs, E., & O’Day, V. (1997) Widening the Net: Workshop report on the theory and practice of physical and network communities, SIGCHI Bulletin, 29, 3, 27–30. Wijanto, S. H. (2008). Structural Equation Modeling dengan LISREL 8.8: Konsep dan Tutorial. Graha Ilmu, Yogyakarta. Williams, D., Yee, N., & Caplan, S. E. (2008). Who plays, how much, and why? Debunking the stereotypical gamer profile. Journal of Computer-Mediated Communication, 13(4), 993–1018. Woisetschlager, D., Hartleb, V., & Blut, M. (2008). How to Make Brand Communities Work: Antecedents and Consequences of Consumer Participation. Journal of Relationship Marketing, 7(3), 237-256. Woisetschläger, D. M., Lentz, P., & Evanschitzky, H. (2011). How habits, social ties, and economic switching barriers affect customer loyalty in contractual service settings. Journal of Business Research, 64, 800808. Woodruff, R. B. (1997). Customer value: The next source for competitive advantage. Journal of the Academy of Marketing Science, 25(2), 139-153. Wright, P. (2002). Marketplace metacognition and social intelligence. Journal of consumer research, 28, 677– 682. Wu, S.-C., & Fang, W. (2010). The effect of consumer-to-consumer interactions on idea generation in virtual brand community relationships. Technovation, 30(11-12), 570-581. Wu, J.-J., Chen, Y.-H., & Chung, Y.-S. (2010). Trust factors influencing virtual community members: A study of transaction communities. Journal of Business Research, 63(9-10), 1025-1032. Wu, M. (2011). Community vs. Social Network. Diunduh dari http://lithosphere.lithium.com/t5/BuildingCommunity-the-Platform/Community-vs-Social-Network/ba-p/5283, 17 januari 2012. Wu, W., & Sukoco, B. (2010). Why Should I Share? Examining Consumers’motives and Trust on Knowledge Sharing. Journal of Computer Information Systems, 11–19. Yadav, M. S., & Varadarajan, R. (2005). Interactivity in the Electronic Marketplace: An Exposition of the Concept and Implications for Research. Journal of the Academy of Marketing Science, 33(4), 585603. Yang, H.-E., Wu, C.-C., & Wang, K.-C. (2009). an empirical analysis of online game service satisfaction and loyalty. Expert Systems with Applications, 36(2), 1816-1825. Ye, Q., Law, R., Gu, B., & Chen, W. (2011). The influence of user-generated content on traveler behavior: An empirical investigation on the effects of e-word-of-mouth to hotel online bookings. Computers in Human Behavior, 27(2), 634-639. Yee, N. (2006). The Psychology of Massively Multi-User Online Role-Playing Games. In R. Schroeder & A.S. Axelsson (Eds.), Avatars at work and play: Collaboration and interaction in shared virtual environments (pp. 187-207). Springer-Verlag. Yi, Y., & La, S. (2004).What influences the relationship between customer satisfaction and repurchase intention? Investigating the effects of adjusted expectations and customer loyalty. Psychology & Marketing, 21(5), 351–373. Yoo, B. & Donthu, N. (2001). Developing and validating a multidimensional consumer-based brand equity scale. Journal of Business Research, 52(1), 1-14. Zeithaml, V. A. (1988). Consumer Perceptions of Price, Quality, and Value: A Means-End Model and Synthesis of Evidence. Journal of Marketing, 52(3). Zeithaml, V. A., Berry, L. L., & Parasuraman, A. (1996). The Behavioral Consequences of Service Quality. Journal of Marketing, 60(2), 31. Zhao, F. (2008). Improve Customers’ Loyalty in Online Gaming: An Empirical Study. Journal of Computer and Information Technology, 1(3), 51-59. Zhou, Z., Jin, X.L., Vogel, D. R., Fang, Y., & Chen, X. (2011). Individual motivations and demographic differences in social virtual world uses: An exploratory investigation in Second Life. International Journal of Information Management, 31(3), 261-271. Zhu, F., & Zhang, X. M. (2010). Impact of Online Consumer Reviews on Sales: The Moderating Role of Product and Consumer Characteristics. Journal of Marketing, 74(2), 133-148. Zhou, Z., Q. Zhang, C. Su & N. Zhou (2011). How do brand communities generate brand relationships? Intermediate mechanisms, Journal of Business Research Zikmund, W. G., Babin, B. J., Carr, J. C., & Griffin, M. (2010). Business research methods (8th ed.). Mason, OH: South-Western Cengage Learning.
70 Ringkasan Disertasi Whony Rofianto Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014