i
PERAN DAN WEWENANG NOTARIS DALAM MEMBERIKAN PENYULUHAN HUKUM DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DAN KODE ETIK NOTARIS.
TESIS
Oleh: Nama : DAVID SANTOSA NPM : 1006 827 966
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS HUKUM PROGAM MAGISTER KENOTARIATAN SALEMBA 2013
i
PERAN DAN WEWENANG NOTARIS DALAM MEMBERIKAN PENYULUHAN HUKUM DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DAN KODE ETIK NOTARIS.
TESIS Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan
Oleh: Nama : DAVID SANTOSA NPM : 1006 827 966
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS HUKUM PROGAM MAGISTER KENOTARIATAN SALEMBA 2013
KATA PENGANTAR
Pertama-tama penulis mengucaps yukur kepada Tuhan Yesus Kristus sebagai Tuhan yang sangat baik yang telahmelimpahkan rahmat, hikmat dan karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul“Peran dan Wewenang Notaris Dalam Memberikan Penyuluhan Hukum Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris” ini dengan baik. Tugas akhir ini disusun dan diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan guna mencapai gelar Magister Kenotariatan (Mkn) pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Dari segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa penyusunan tesis ini masih terdapat banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, baik dari segi bentuk maupun isinya. Oleh karena itu, dengan segala kekurangan dalam penulisan tesis ini demi kesempurnaan yang diharapkan. Penulis menyadari bahwa tanpa dukungan, motivasi, bimbingan, masukan dan doa dari berbagai pihak, tesis ini tidak dapat terselesaikan dengan baik. Karena itu pada kesempatan ini dengan tulus dan ikhlas penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Ibu Chairunnisa Said Selenggang SH., M.Kn, selaku Pembimbing skripsi yang penuh
dengan
kesabaran, ketelitian, dan
perhatian
dalam
memberikan bimbingan, ilmu, dan meluangkan waktunya dalam membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyusun skripsi ini. 2. Bapak Dr. Drs. Widodo Suryandono S.H., M.H., selaku Ketua Program Pendidikan Notariat Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan selaku dosen penguji.. 3. Ibu Dr. Roesnastiti Prayitno, S.H., M.A selaku Dosen Penguji dan Dosen Kode etik progam Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 4. Seluruh staf-staf pengajar baik dosen dan asisten dosen, serta para karyawan pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
iv
5. Ibu Linda Herawati SH dan Ibu Lena Magdalena SH, selaku nara sumber penulis yang telah meluangkan waktunya dalam mengarahkan penulis dalam menyelesaikan tesis inidengan baik. 6. Bapak Sukiman dan Bapak Kasirselaku staf Sekretariat Progam Magister Kenotariatan (Salemba) Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang telah memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini dengan baik. 7. Seluruh staf perpustakaan Progam Magister Kenotariatan Universitas Indonesia yang telah membantu mengurus segala keperluan dalam perkuliahan, khususnya dalam penulisan tesis ini. 8. Setiapkeluarga tercinta Papa, Mama, Kakak (Iris), Adik (Jane) yang selalu memberikan dukungan dan dorongan secara moril dan materiil sertadoa yang tak ternilai kepada penulis guna menyelesaikan tesisini dengan baik. 9. My belovedCaroline, yang selalu ada di setiap waktu untuk memberikan yang terbaik bagi kemajuan penulisan tesis ini dan bagi penulis. 10. Leedermawan Chandra, Nessya Chandra, Julia Belinda, Nani Norseva, Dewi Susanti, Novi Herawati, Theodorus Suwandy, Tommy, Dimas, dan semua teman-teman satu perjuangan dalam menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (Magister Kenotariatan). 11. Adrian Oktanzah, Vina Yovita, Feli, Bagus, Deri, Randy Herjanto, Geraldo Guntur selaku temanbaik yang selalu memberikan dukungan dan doa kepada penulis. 12. Semua pihak yang telah memberikan dukungan dan doa kepada penulis, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Akhir kata penulis sangat berharap semoga Tuhan Yesus Kristus dapat membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu.Semoga tesis ini dapat memberikan manfaat, bagi pengembangan ilmu. Depok, Januari 2013
David Santosa
v
ABSTRAK Nama : David Santosa Progam Studi : Magister Kenotariatan Judul :“Peran dan Wewenang Notaris Dalam Memberikan Penyuluhan Hukum Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris” Dalam menjalankan jabatannya notaris mempunyai kewenangan untuk memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta, namun dalam kenyataannya banyak notaris yang tidak melakukan kewenangan tersebut, sehingga banyak terjadi masalah dikemudian hari.Bagaimanakah peranan dan wewenang notaris dalam memberikan penyuluhan hukum kepada klien ditinjau dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris? dan Bagaimanakah batasan-batasan bagi seorang notaris dalam peranannya memberikan penyuluhan hukum kepada klien? Penulis meneliti permasalahan tersebut dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Data penelitian memperlihatkan adanya kelalaian-kelalaian yang dilakukan beberapa notaris dalam memberikan penyuluhan hukum tersebut.Kelalaian ini mengakibatkan sengketa dan kerugian baik bagi klien dan notaris yang bersangkutan.Sebaiknyasetiap notaris agar dapat memberikan penyuluhan hukum yang baik dan benar yang sesuai dengan yang dikehendaki oleh para pihak dan harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kata Kunci: Notaris, Penyuluhan hukum
vii
Universitas Indonesia
ABSTRACT Nama : David Santosa Progam Studi : Magistry of Notary Judul : "The Role and Authority of Notary in providing Law’s Guidance seen from perspective of Law, Number 30 Year 2004, concerning the Occupation and Ethics Code of Notary"
In running his position, the notary has the authority to provide legal counseling, when producing a deed. But in reality, many notaries do not do such authority, so a lot of problems occur in the future. How does the role and authority of the notary in providing legal counseling to clients, seen from perspective of Law, No. 30 of 2004, About Occupation and Code of Ethics of Notary? And what are the limits of a Public Notary, in his role of providing legal counseling for clients? The author examines these problems by using juridical normative research methods. The research data showed omissions of those roles, made by several notaries in providing legal counseling. This omission resulted in disputes and losses for both the client and the notary involved. Any notary should provide legal counseling rightly and well, in accordance with the needs of the parties, and in accordance with the recent laws.
Keywords: notary, legal counseling
viii
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.............................................................................................i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS...............................................ii HALAMAN PENGESAHAN............................................................................ iii KATA PENGANTAR.........................................................................................iv HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI.......................vi ABSTRAK......................................................................................................... vii DAFTAR ISI.....................................................................................................viii 1.PENDAHULUAN............................................................................................1 1.
LatarBelakang................................................................................1
2.
Pokok Permasalahan.................................................................. 12
3.
Metode Penelitian....................................................................... 12
4.
Sistematika Penulisan................................................................. 14
2.PERAN DAN WEWENANG NOTARIS DALAM MEMBERIKAN PENYULUHAN
HUKUM
DITINJAU
DARI
UNDANG-UNDANG
NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DAN KODE ETIK NOTARIS 1. Sejarah Notaris...................................................................................... 15 2. Pengertian Notaris...................................................................................19 3. Dasar Hukum...................................................................................... 20 4. Notaris Sebagai Pejabat Publik...............................................................22 5. Notaris sebagai Profesi Hukum............................................................ 25 6. Hubungan Notaris dengan Para Penghadap.......................................... 28 viii
Universitas Indonesia
7. Kewenangan, Kewajiban dan Larangan Dari Seorang Notaris Dalam UUJN dan Kode Etik Notaris............................................................... 36 2.7.1 Kewenangan Umum Notaris.........................................................36 2.7.2 Kewenangan Khusus Notaris......................................................................37 1.
Kewenangan Notaris Yang Akan Ditentukan Kemudian.......... 38
2.
Kewajiban dan larangan Notaris................................................. 39
2.
Penyuluhan Hukum......................................................................43
3.
Bantuan Hukum...........................................................................47
4.
Tujuan Penyuluhan Hukum....................................................... 49
5.
Penyuluhan Hukum Notaris.........................................................49
6.
Analisa........................................................................................ 59
2.12.1 Peran dan wewenang notaris dalam memberikan penyuluhan hukum kepada klien ditinjau dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Tentang
Jabatan
Notaris
dan
Kode
Etik
Notaris.............................................................................. 59 2.12.2Batasan-batasan bagi seorang notaris dalam peranannya memberikan penyuluhan
hukum
kepada
klien................................................................................... 65 3.PENUTUP...................................................................................................... 69 3.1 Kesimpulan........................................................................................... 69 3.2 Saran...................................................................................................... 70
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 72 LAMPIRAN ix
Universitas Indonesia
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Hukum atau ilmu hukum adalah suatu sistem aturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat dan dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah atau otoritas melalui lembaga atau institusi hukum, menurut R. Soeroso hukum adalah himpunan peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya.1 Oleh karena itu hukum meliputi berbagai peraturan yang menentukan dan mengatur hubungan antara orang yang satu dengan yang lain, yakni peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan yang dinamakan kaidah hukum. Kaidah atau Norma hukum adalah peraturan yang dibuat atau yang dipositifkan secara resmi oleh penguasa masyarakat atau penguasa negara, mengikat setiap orang dan berlakunya dapat dipaksakan oleh aparat masyarakat atau aparat negara, sehingga berlakunya kaidah hukum dapat dipertahankan.2 Karena ada kaidah hukum maka hukum dapat dipandang sebagai kaidah. Hukum sebagai kaidah adalah sebagai pedoman atau patokan sikap tindak atau perikelakuan yang pantas atau diharapkan. Pada konteks ini masyarakat memandang bahwa hukum merupakan patokan-patokan atau pedoman-pedoman yang harus mereka lakukan atau tidak boleh mereka lakukan. Pada makna ini aturan-aturan kepala adat atau tetua kampung yang harus mereka patuhi bisa dianggap sebagai hukum, meskipun tidak dalam bentuk tertulis. Kebiasaan yang sudah lumrah dipatuhi dalam suatu masyarakat pun meskipun tidak secara resmi dituliskan, namun selama ia diikuti dan dipatuhi dan apabila yang mencoba melanggarnya akan 1
Putra Center, “Definisi Hukum Menurut Para Ahli” http://putracenter.net/2009/02/16/definisi-hukum-menurut-para-ahli/, diunduh 20 Agustus 2012. 2 Soerjono Soekanto, Kaidah-Kaidah Hukum , (Jakarta:Sinar Grafika, 2001) hlm. 23.
Universitas Indonesia
2
mendapat sanksi, maka kebiasaan masyarakat ini pun dianggap sebagai hukum. Ada 4 macam norma yaitu :3 1. Norma Agama adalah peraturan hidup yang berisi pengertianpengertian, perintah-perintah, larangan-larangan dan anjuran-anjuran yang berasal dari Tuhan yang merupakan tuntunan hidup ke arah atau jalan yang benar. 2. Norma Kesusilaan adalah peraturan hidup yang dianggap sebagai suara hati. Peraturan ini berisi suara batin yang diakui oleh sebagian orang sebagai pedoman dalam sikap dan perbuatannya. 3. Norma Kesopanan adalah peraturan hidup yang muncul dari hubungan sosial antar individu. Tiap golongan masyarakat tertentu dapat menetapkan peraturan tertentu mengenai kesopanan. 4. Norma Hukum adalah peraturan-peraturan hidup yang diakui oleh negara dan harus dilaksanakan di tiap-tiap daerah dalam negara tersebut. Dapat diartikan bahwa norma hukum ini mengikat tiap warganegara dalam wilayah negara tersebut. Hukum merupakan salah satu sarana untuk menjaga keserasian dan keutuhan masyarakat serta pembaharu masyarakat yang didasarkan pada moral dan agama. Karena fungsi hukum yaitu sebagai sarana pengendali sosial dan hukum merupakan alat penting untuk mencapai suatu tujuan guna membantu usaha-usaha dalam pembangunan. Selain itu fungsi hukum adalah melakukan upaya untuk menggerakan masyarakat agar berperilaku sesuai dengan apa yang telah dicita-citakan oleh hukum itu sendiri. Kesadaran hukum merupakan sikap yang perlu ditanamkan kepada seluruh warga negara, sebagai usaha pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia secara berkelanjutan. Akan tetapi usaha untuk mewujudkan masyarakat yang sadar hukum itu tidak hanya dengan suatu pernyataan saja, tetapi harus ada suatu usaha agar hukum itu dapat diketahui dan dimengerti, sehingga hukum bisa ditaati dan dihargai. Setelah masyarakat menanamkan sikap3
Ibid.
Universitas Indonesia
3
sikap tersebut di dalam diri mereka, maka rasa memiliki terhadap hukum akan menjiwai sikap dan perilaku masyarakat dalam melaksanakan kehidupan. “Masalah kesadaran hukum masyarakat sebenarnya menyangkut faktorfaktor apakah suatu ketentuan hukum tertentu diketahui, dimengerti, ditaati dan dihargai. Apabila masyarakat hanya mengetahui adanya suatu ketentuan hukum, maka taraf kesadaran hukumnya masih rendah dari pada apabila mereka memahaminya. Dengan demikian bahwa masyarakat dalam arti derajat kepatuhan hukum warga masyarakat ditentukan oleh faktor pengetahuan, mengerti, menghayati, dan mentaati (secara ikhlas dan rela). Berdasarkan pengertian di atas jelaslah bahwa hukum pada hakikatnya merupakan suatu pesan yang harus disampaikan agar warga masyarakat dan pimpinannya menjadi tahu mana yang benar dan mana yang salah, mana yang hak dan mana kewajiban, sehingga mereka sadar hukum dan berbuat sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Oleh karena itu untuk mewujudkan suatu negara yang berbudaya hukum, maksudnya suatu negara yang masyarakatnya sadar akan keberadaan hukum dan sanggup mentaati hukum diperlukan suatu pembinaan hukum seperti penanaman sikap yang bertanggungjawab terhadap hukum baik bagi penyelenggaranya maupun bagi masyarakatnya sebagai usaha penyempurnaan hukum dan usaha penegakan hukum agar dihormati, ditaati dan dipatuhi oleh seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Melihat perkembangan hukum dalam masyarakat, maka akan ditemukan bahwa peranan hukum dalam mengatur kehidupan masyarakat mengalami perubahan dan perbedaan dari suatu kurun waktu ke waktu lain. Dalam masyarakat yang sederhana, hukum berfungsi untuk menciptakan dan memelihara keamanan serta ketertiban. Fungsi ini berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat itu sendiri yang meliputi berbagai aspek kehidupan masyarakat yang bersifat dinamis yang memerlukan kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Kehidupan masyarakat
yang
Universitas Indonesia
4
memerlukan kepastian hukum, ketertiban, dan perlindungan hukum memerlukan sektor pelayanan jasa publik yang saat ini semakin berkembang seiring meningkatnya kebutuhan masyarakat atas pelayanan jasa. Sekarang telah banyak hadir lembaga hukum di tengah masyarakat seperti Advokat, Penasihat hukum, Konsultan hukum, Notaris, serta lembaga hukum lainnya. Lembaga-lembaga hukum tersebut mempunyai tugas, kewenangan, dan kewajiban masing-masing. Peran dari lembagalembaga tersebut sangat penting dirasakan kehadirannya dalam hal penyelesaian masalah-masalah hukum yang tengah terjadi maupun dalam hal pencegahannya di tengah masyarakat. Masyarakat yang memiliki kebutuhan hukum tertentu dapat meminta bantuan kepada mereka. Menurut Soertardjo Soemoatmodjo, hal-hak masyarakat terutama hak perdatanya harus mendapatkan perlindungan hukum. Hak-hak tersebut digunakan dalam kegiatan tingkah laku sebagai tindakan hukum.4 Hal ini berdampak pula pada peningkatan di bidang jasa Notaris. Peran Notaris dalam sektor pelayanan jasa adalah sebagai pejabat yang diberi wewenang oleh negara untuk melayani masyarakat dalam bidang perdata khususnya pembuatan akta otentik. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (untuk selanjutnya disebut UUJN) : “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. ” Landasan filosofis dibentuknya undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris adalah terwujudnya jaminan kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan melalui akta yang dibuatnya, Notaris harus dapat memberikan kepastian hukum kepada masyarakat pengguna jasa Notaris.5
4
Soetardjo Soemoatmodjo, Apakah: Notaris, PPAT, Pejabat Lelang, (Yogyakarta: Liberty, 1986), hlm. 1. 5 Yuli Dian Fisnanto , “Notaris dan Jaminan Kepastian Hukum”, www.wawasanhukum.blogspot.com, diunduh 3 Juli 2012.
Universitas Indonesia
5
Produk hukum yang dikeluarkan oleh Notaris adalah berupa aktaakta yang memiliki sifat otentik dan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Sebagaimana definisi akta otentik yang disebutkan dalam Pasal 1868 KUHPerdata : “ Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya. ” Mengenai bentuk akta dijelaskan oleh Pasal 38 ayat (1) UUJN bahwa setiap akta notaris terdiri dari awal akta, isi akta dan akhir akta. Pengertian pejabat umum dijelaskan oleh Pasal 1 angka 1 Undangundang Jabatan Notaris adalah notaris sebagai pejabat umum. Selanjutnya pengertian berwenang meliputi : berwenang terhadap orangnya, yaitu untuk kepentingan siapa akta itu dibuat atau dikehendaki oleh orang yang berkepentingan. Berwenang terhadap aktanya, yaitu yang berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan undang-undang atau yang dikehendaki yang bersangkutan. Serta berwenang terhadap waktunya dan berwenang terhadap tempatnya, yaitu sesuai tempat kedudukan dan wilayah jabatan notaris dan notaris menjamin kepastian waktu para penghadap yang tercantum dalam akta.6 Selain memenuhi syarat yang telah ditentukan undang-undang agar suatu akta menjadi otentik, seorang notaris dalam melaksanakan tugasnya tersebut wajib:7 Melaksanakan tugasnya dengan penuh disiplin, professional dan integritas moralnya tidak boleh diragukan. Apa yang tertuang dalam awal dan akhir akta yang menjadi tanggungjawab notaris adalah ungkapan yang mencerminkan keadaan yang sebenar-benarnya pada saat pembuatan akta. Apabila suatu akta merupakan akta otentik, maka akta tersebut akan mempunyai 3 (tiga) fungsi terhadap para pihak yang membuatnya yaitu :8 6
Habieb Adjie, Meneropong Khasanah Notaris dan PPAT Indonesia, (PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2009), hlm. 14. 7
Tan Thong Kie, Studi Notariat-Serba Serbi Praktek Notaris, (Ichtiar Baru Van Hoeve,
Jakarta, 2000), hlm. 166. 8
Salim HS, Hukum Kontrak-Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Sinar Grafika,
Jakarta, 2006), hlm. 436.
Universitas Indonesia
6
1. sebagai bukti bahwa para pihak yang bersangkutan telah mengadakan perjanjian tertentu; 2. sebagai bukti bagi para pihak bahwa apa yang tertulis dalam perjanjian adalah menjadi tujuan dan keinginan para pihak; 3. sebagai bukti kepada pihak ketiga bahwa pada tanggal tertentu kecuali jika ditentukan sebaliknya para pihak telah mengadakan perjanjian dan bahwa isi perjanjian adalah sesuai dengan kehendak para pihak. Dalam pembuatan akta Notaris harus memuat keinginan atau kehendak para pihak yang dituangkan kedalam isi perjanjian (akta) tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN: “Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. “ Akta Otentik merupakan alat bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak, ahli warisnya atau atau orang-orang yang mendapatkan hak daripadanya. Dengan kata lain, isi akta otentik dianggap benar, selama ketidakbenarannya tidak dapat dibuktikan. Akta otentik mempunyai 3 macam kekuatan pembuktian, yaitu:9 1. Kekuatan pembuktian formil Membuktikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap pada saat yang tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur yang ditentukan dalam pembuatan akta. Artinya akta otentik menjamin kebenaran mengenai : 9
G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta : Erlangga, 1983), hlm. 55.
Universitas Indonesia
7
a. Tanggal akta itu dibuat. b. Semua tandatangan yang tertera dalam akta. c. Identitas yang hadir menghadap pejabat umum (notaris) orang yang menghadap. d. Semua pihak yang menandatangani akta itu mengakui apa yang diuraikan dalam akta itu. e. Tempat dimana akta tersebut dibuat 2. Kekuatan pembuktian materiil Membuktikan antara para pihak, bahwa benar-benar peristiwa yang tersebut dalam akta telah terjadi. 3. Kekuatan pembuktian lahiriah Dengan kekuatan pembuktian lahiriah ini dimaksudkan kemampuan dari akta itu sendiri untuk membuktikan dirinya sebagai akta otentik. Kemampuan ini menurut pasal 1875 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak dapat diberikan kepada akta yang dibuat dibawah tangan. Dalam akta otentik tidak memerlukan pengakuan dari pihak yang bersangkutan agar mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna karena akta otentik sudah sesuai dengan ketentuan dalam pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan juga telah dibuat oleh pejabat yang berwenang untuk itu, yaitu dalam hal ini Notaris. Perlu diketahui bahwa tidak semua surat dapat disebut sebagai akta otentik, karena suatu akta otentik mempunyai tiga unsur esenselia yang harus dipenuhi yaitu antara lain:10 a. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang b. Dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum c. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu dan di tempat dimana akta itu dibuat.
10
Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia, (Surabaya: Arkola, 2003), hlm. 148.
Universitas Indonesia
8
Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 tahun 200411 merupakan produk hukum di bidang kenotariatan yang mengalami pembaharuan sedangkan peraturan paradigma lama yang dikenal dengan Peraturan Jabatan Notaris (Reglement op het Notarisambt Stb. 1860/3), yang mulai berlaku tanggal 1 Juli 1860. Jabatan Notaris menurut literatur yang ada dinyatakan jabatan kepercayaan (vertrouwenambt), artinya Undang-undang memberikan kepercayaan yang besar kepada seorang Notaris, sebagai seorang pejabat umum dengan mengakui atau memberikan kekuatan otentik kepada setiap akta yang di buat oleh atau dihadapan seseorang selaku Notaris, sepanjang prosedur serta syarat untuk membuat akta itu benar-benar dilakukan sesuai dengan dan menurut ketentuan hukum yang ada. Artinya sepanjang akta itu lahir menurut prosedur yang benar dan berdasarkan fakta-fakta yang benar pula. Dalam hal ini Notaris selaku pejabat umum dituntut untuk bekerja secara professional dengan menguasai seluk-beluk profesinya menjalankan tugasnya, notaris harus menyadari kewajibannya bekerja mandiri, jujur, tidak memihak, dan penuh rasa tanggung jawab serta secara profesional.12 Apabila berbicara mengenai kemampuan professional para notaris, maka mau tidak mau hal tersebut berbicara mengenai masalah mutu pelayanan jasa hukum notaris kepada masyarakat. Semakin meningkat kemampuan professional para notaris dalam melaksanakan tugasnya sebagai pejabat umum yang mempunyai fungsi mengatur hubungan hukum di antara para pihak secara tertulis dan otentik, akan semakin baik pula mutu pelayanan jasa hukum yang akan diterima masyarakat. Kemampuan professional seseorang yang menunjuk pada keahlian didukung oleh penguasaan ilmu, pengalaman dan keterampilan yang tinggi. Walaupun seorang notaris dalam menjalankan jabatannya telah memiliki kemampuan professional yang tinggi, namun demikian apabila
11
Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432. 12 C.S.T. Kansil dan Chistine S.T. Kansil, Pokok-pokok Etika Profesi Hukum, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 1996, hlm. 87-88.
Universitas Indonesia
9
dalam melaksanakan jabatannya tidak dilandasi integritas moral, keluhuran martabat dan etika profesi maka notaris tersebut bukan saja merugikan kepentingan masyarakat luas, tetapi juga akan merusak nama baik Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I) sebagai organisasi profesi. Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat maka dapat disimpulkan bahwa terdapat dua hal penting yang melekat kepada Notaris, yaitu dalam pembuatan akta otentik dan dalam memberikan penyuluhan hukum kepada masyarakat. Notaris diharapkan untuk memberikan penyuluhan hukum untuk dan atas tindakan hukum yang dilakukan notaris atas permintaan kliennya. Dalam hal melakukan tindakan hukum untuk kliennya, notaris juga tidak boleh memihak kliennya, karena tugas notaris ialah untuk mencegah terjadinya masalah. Hal ini sangat berbeda dengan pengacara atau sekarang disebut sebagai advokat, yang tugasnya adalah membela dan berpihak kepada kliennya13. Sebagian masyarakat kita masih ada yang kesulitan membedakan antara Notaris dengan Advokat. Masih ada anggapan bahwa Notaris dan Advokat memiliki tugas yang sama, hal ini terlihat dari masih adanya masyarakat yang datang ke Notaris untuk minta bantuan mendampingi penyelesaian perkaranya di pengadilan. Sedangkan
jika
dilihat
berdasarkan
undang-undang
yang
mengaturnya, antara notaris dengan advokat mempunyai banyak perbedaan. 1. Dasar hukum : Notaris
: Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 : tentang
Jabatan Notaris (UUJN). Advokat : Undang-undang Nomor 18 tahun 2003 : tentang Advokat (UU Advokat). 2. Definisi : Notaris
: Pasal 1 UUJN : Notaris adalah pejabat umum yang
berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. 13
Indonesia, Undang-Undang Advokat, UU No.18 tahun 2003, LN No. 4288.
Universitas Indonesia
10
Advokat : Pasal 1 UU Advokat : Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini. 3. Tugas/Wewenang : Notaris
: Pasal 15 UUJN : Notaris berwenang membuat akta
otentik mengenai semua perbuatan,perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta. Advokat : Pasal 1 UU Advokat : memberikan Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien. 4. Keberpihakan : Notaris
: Pasal 16 UUJN : Dalam menjalankan jabatannya,
Notaris berkewajiban, bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum; Advokat : Pasal 1 UU Advokat : memberikan Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien. Perbedaan utama antara Notaris dan Advokat adalah pada keberpihakan. Notaris tidak boleh untuk berpihak kepada salah satu pihak, Notaris harus bersikap netral. Sedangkan Advokat bertugas untuk mendampingi kepentingan kliennya atau salah satu pihak saja.
Universitas Indonesia
11
Tugas Advokat tersebut tercermin dari arti kata Advokat. Kata Advokat berasal dari bahasa latin advocare yang berarti membela. Profesi Advokat lahir sebagai bentuk penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia, karena setiap orang yang bermasalah dengan hukum hingga dituntut ke pengadilan berhak untuk didampingi Advokat, dan tidak ada yang boleh menghalangi orang untuk didampingi Advokat saat dituntut dimuka hukum. Jadi seorang Notaris hanya dapat memberikan nasihat hukum yang bersifat menghimbau, bukan membela, sehingga pihak-pihak yang berkepentingan terhindar dari permasalahan hukum dikemudian hari. Oleh karena itu Notaris berperan sebagai pencegah terjadinya permasalahan, sedangkan Advokat berperan sebagai pihak penyelesai masalah yang sedang menimpa klien mereka baik didalam maupun diluar pengadilan. Namum kedua profesi tersebut adalah para pembela hukum dimana mereka berjuang untuk mewujudkan kehidupan yang berkeadilan serta memastikan bahwa hukum selalu ditegakkan, melalui profesi mereka masing-masing. Dalam UUJN maupun Kode Etik Notaris merumuskan agar notaris memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta, seperti yang tertuang dalam Pasal 15 ayat 2 huruf e UUJN. Notaris tidak boleh menjadi konsultan untuk masalah diluar kewenangannya, hanya terkait dengan pembuatan akta saja yang ia buat. Sejauh mana batasanbatasan tentang penyuluhan hukum yang harus dilakukan oleh Notaris agar penyuluhan hukum tersebut tidak menyalahi kewenangan yang dipunyainya dan bagaimana jika ternyata penyuluhan hukum itu menyalahi kewenangan Notaris serta sanksi seperti apa yang akan diterima Notaris sebagai akibat dari perbuatannya tersebut. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan yang masih belum terjawab mengenai penyuluhan hukum yang dilakukan oleh seorang notaris. Oleh karena itu, penulis
akan meneliti
dengan judul
penelitian
“PERAN
DAN
WEWENANG NOTARIS DALAM MEMBERIKAN PENYULUHAN
Universitas Indonesia
12
HUKUM DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DAN KODE ETIK NOTARIS.”
1.2 Pokok Permasalahan Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan permasalahan yang akan dibahas sebagai berikut: 1. Bagaimanakah peran dan wewenang notaris dalam memberikan penyuluhan hukum kepada klien ditinjau dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris? 2. Bagaimanakah
batasan-batasan
bagi
seorang
notaris
dalam
peranannya memberikan penyuluhan hukum kepada klien?
1.3 Metode Penelitian Dalam metode penelitian ini penulis menggunakan bentuk penelitian yuridis normatif, yaitu suatu bentuk penelitian terhadap normanorma tertulis. Penelitian ini menerangkan ketentuan ketentuan dalam peraturan perundang undangan yang berlaku, dihubungkan dengan kenyataan yang ada di lapangan, kemudian di analisis membandingkan antara tuntutan nilai-nilai ideal yang ada dalam peraturan perundangan undangan dengan kenyataan yang ada di lapangan. Dalam penelitian ini akan digunakan tipe penelitian deskriptif analitis. Maksud dari penelitian ini adalah cara pemecahan masalah dengan memaparkan secara tepat sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekuensi suatu gejala14. Data yang digunakan dalam penulisan ini menggunakan data sekunder dan data primer. Data sekunder mencakup antara lain dokumendokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian dan seterusnya, sedangkan data primer adalah adalah data
14
Sri Mamudji et al., Metode Penelitian Dan Penulisan Hukum, (Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 4.
Universitas Indonesia
13
yang diperoleh langsung dari masyarakat15. Data yang terdapat dalam data sekunder adalah : 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan yang bersifat mengikat. Terdiri dari: a) Undang-Undang nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. b) Kode Etik Notaris c) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 2. Bahan hukum sekunder, yaitu memberikan penjelasan mengenai bahan hukum Primer, yaitu buku-buku penunjang mengenai kode etik notaris dan Peraturan Jabatan Notaris. 3. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun Penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yaitu: a) Buku tentang motode penulisan hukum. b) Kamus hukum. c) Kamus Bahasa Indonesia. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam metode penelitian ini adalah studi kepustakaan yang lazim digunakan dalam bentuk penelitian yuridis normatif dan alat pengumpulan data menggunakan wawancara yang digunakan dalam rangka menemukan data yang lebih terperici, yang dapat dilakukan terhadap responden, informan, dan narasumber. Untuk menunjang penelitian ini maka penulis akan menggunakan
data
primer,
dengan
cara
melakukan
serangkaian
wawancara dengan Notaris-notaris. Dalam analisis data, penulis menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh sasaran penelitian yang bersangkutan secara tertulis atau lisan, dan perilaku nyata.16 Selain itu cara penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah secara induktif, yaitu penelusuran hukum dari umum ke khusus. 15
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia,2008), hlm. 12. 16 Mamudji , o.p cit., hal. 67.
Universitas Indonesia
14
1.4 Sistematika Penulisan Tesis yang penulis susun berjudul. “PERAN DAN WEWENANG NOTARIS
DALAM
MEMBERIKAN
PENYULUHAN
HUKUM
DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DAN KODE ETIK NOTARIS.” Pada tesis ini dibagi dalam 3 bab dan beberapa sub bab yang kesemuanya saling berkaitan dan dalam satu kesatuan sehingga tidak dapat dilepaskan satu dengan yang lainnya. Adapun sistematika yang dimaksud adalah sebagai berikut: BAB I
: PENDAHULUAN Pada sub bab ini penulis akan menguraikan tentang latar belakang masalah, pokok permasalahan, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : ANALISIS Pada bab ini penulis akan menguraikan teori-teori yang berhubungan dengan tesis, seperti teori tentang penyuluhan hukum, kewenangan dan kewajiban notaris. Selain itu penulis juga akan menguraikan tentang data hasil penelitian yang disesuaikan dengan metode penelitian normatif, yang meliputi permasalahan dalam kasus ini, serta pendapat nara sumber yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. Serta pada bab ini penulis akan melakukan analisis permasalahan yang ada di BAB I dengan membandingkan antara teori-teori yang ada dalam BAB II. BAB V : PENUTUP Pada bab ini penulis mencoba untuk memberikan kesimpulan dan saran dari permasalahan yang ada, yang mungkin dapat memberi manfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya.
Universitas Indonesia
15
BAB II PERAN DAN WEWENANG NOTARIS DALAM MEMBERIKAN PENYULUHAN HUKUM DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DAN KODE ETIK NOTARIS 2.1. Sejarah Notaris Lembaga kemasyarakatan yang dikenal sebagai “notariat” ini timbul dari kebutuhan dalam pergaulan sesama manusia, yang menghendaki adanya alat bukti baginya mengenai hubungan hukum keperdataan yang ada dan/atau terjadi diantara mereka; suatu lembaga dengan para pengabdinya yang ditugaskan oleh kekuasaan umum untuk dimana dan apabila undang-undang mengharuskan sedemikian atau dikehendaki oleh masyarakat, membuat alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan otentik. Berbicara mengenai sejarah notariat di Indonesia, kiranya tidak dapat terlepas dari sejarah lembaga ini di negara-negara Europa pada umumnya dan di negeri Belanda pada khususnya. Dikatakan demikian oleh karena perundang-undangan Indonesia di bidang notariat berakar pada "Notariswet" dari negeri Belanda tanggal 9 Juli 1842 (Ned. Stbl. no. 20), sedang "Notariswet" itu sendiri pada gilirannya, sekalipun itu tidak merupakan terjemahan sepenuhnya, namun susunan dan isinya sebagian terbesar mengambil contoh dari undang-undang notaris Perancis dari 25 Ventose an XI (16 Maret 1803) yang dahulu pernah berlaku di negeri Belanda.17 Di dalam perkembangannya hukum Notariat yang diberlakukan di Belanda selanjutnya menjadi dasar dari peraturan
perundang-undangan
Notariat
yang
diberlakukan
di
Indonesia.18 Sejarah notariat di Italia dimulai pada abad ke 11 atau ke 12 di daerah perdagangan di Italia Utara. Di tandai dengan pengangkatan pejabat notariat oleh penguasa umum untuk kepentingan masyarakat 17 18
Lumban Tobing, o.p cit., hlm . 2. Tan Thong Kie, loc.cit, hlm. 15.
Universitas Indonesia
16
umum yang menerima honorarium dari masyarakat umum yang menggunakan jasanya. Mereka disebut dengan Latijnse Notariaat. Kemudian lembaga notariat ini mengalami perkembangan dan meluas hingga ke daratan Eropa melalui Spanyol sampai ke negara-negara Amerika Tengah dan Amerika Selatan.19 Mula-mula lembaga notaris ini dibawa ke Perancis dari Italia. Dari Perancis, pada permulaan abad ke 19, lembaga notariat meluas ke negara-negara sekelilingnya dan negara-negara lain. Nama notariat berasal dari nama pengabdinya yaitu Notarius. Dalam buku-buku hukum di Romawi klasik telah berulang kali ditemukan nama atau titel notariat untuk orang-orang yang melakukan suatu bentuk pekerjaan tulis-menulis tertentu, akan tetapi mempunyai arti yang tidak sama dengan notaris yang dikenal sekarang. Dalam abad ke 2 dan ke 3, yang dinamakan notarii adalah orang-orang yang memiliki keahlian untuk mempergunakan suatu bentuk tulisan cepat dalam menjalankan pekerjaan mereka, yang dikenal sekarang sebagai stenografen.
20
Selain pendapat tersebut di atas ada juga yang
berpendapat bahwa nama notarius itu berasal dari perkataan nota literaria yaitu yang menyatakan sesuatu perkataan.21 Pada permulaan abad ke 3 berkembang yang disebut Tabeliones, yaitu orang-orang yang ditugaskan bagi kepentingan masyarakat umum untuk mencatat akta-akta dan tulisan yang dikehendaki oleh masyarakat dan dibayar oleh pengguna jasanya. Akan tetapi jabatan atau kedudukan mereka tidak mempunyai sifat kepegawaian dan juga tidak ditunjuk dan diangkat oleh penguasa umum. Tabelionis ini dikenal pada masa pemerintahan Ulpianus, sedangkan mengenai pekerjaannya mulai diatur oleh undang-undang pada masa pemerintahan Kaisar Justisianus, walaupun belum diberikan sifat kepegawaian kepada mereka. Karena tidak adanya pengakatan dari penguasa tersebutlah, maka sifat dari 19
Lumban Tobing, o.p cit., hlm . 3. Ibid., hlm. 5. 21 Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat Di Indonesia Suatu Penjelasan, (Jakarta : 20
Raja Grafindo Perasada, 1993), hlm. 12.
Universitas Indonesia
17
akta-akta yang dibuat oleh para tabeliones adalah bersifat di bawah tangan dan tidak mempunyai kekuatan seperti akta otentik, sehingga akta-akta dan surat-surat tersebut hanya mempunyai kekuatan seperti akta yang dibuat di bawah tangan. Kekuatan pembuktian dari akta yang dibuat oleh para "tabeliones" pada hakekatnya jauh tertinggal dari yang dibuat di hadapan yang berwajib, kepada surat-surat yang disebut terakhir mana, sebagai-mana halnya dengan surat ketetapan dari badan peradilan dalam arti sempit, diberikan yang dinamakan "publics fides".22 Selain itu ada yang disebut sebagai Tabularii, adalah sekumpulan orang yang juga menguasai teknik tulis-menulis dan memberikan bantuan kepada masyarakat dalam hal pembuatan akta-akta dan suratsurat. Para tabularii ini adalah pegawai negeri yang mempunyai tugas mengadakan dan memelihara pembukuan keuangan kota-kota dan juga ditugaskan untuk melakukan pengawasan atas arsip. Mereka juga dinyatakan berwenang dalam beberapa hal tertentu membuat akta-akta. Sehingga pada zaman pemerintahan Justisianus, mereka menjadi saingan para Tabelliones dalam pembuatan akta. Kemudian pada zaman kekuasaan Longobarden, para Tabelionis diangkat menjadi pegawai kekaisaran yang bertugas mencatat akta-akta untuk kepentingan masyarakat. Setelah mengalami berbagai perkembangan, lambat laun tabellionaat dan notariat bergabung menjadi satu dan menamakan diri kollegium, yang selanjutnya disebut notarii, yang dipandang sebagai satu-satunya pejabat yang berhak untuk membuat akta-akta baik di dalam maupun di luar pengadilan. 23 Pada akhir abad ke 14 terjadilah kemerosotan di bidang notariat. Hal ini disebabkan karena para notarii sendiri. Karena mengalami kesulitan keuangan, mereka menjual jabatan-jabatan notarii mereka kepada para orang-orang, tanpa mengindahkan apakah mereka ini mempunyai cukup keahlian di bidang notariat. Lalu muncullah keluhan-
22 23
Lumban Tobing, o.p cit., hlm . 7. Ibid., hlm. 8-9.
Universitas Indonesia
18
keluhan dari kalangan masyarakat mengenai kebodohan dari para notaris dan berkurangnya kepercayaan terhadap para notaris. Demikianlah
selayang
pandang
sejarah
terjadinya
dan
perkembangan dari notariat di Europa, yang kemudian melalui negeri Belanda dibawa ke Indonesia dan yang dikenal sekarang ini sebagai lembaga notariat, dengan para notaris sebagai pengabdinya. Notariat mulai masuk ke Indonesia pada abad ke 17. Pada tanggal 27 Agustus 1620, Melchior Kerchem, Sekretaris dari College van Schepenen di Jacatra, diangkat menjadi notaris pertama di Indonesia. Kepadanya ditugaskan untuk mendaftarkan semua dokumen dan akta yang dibuatnya. Setelah 5 tahun, yaitu tepatnya pada tanggal 16 Juni 1625, setelah jabatan “notaris publik” dipisahkan dari
jabatan
“secretarius van den gerechte” dengan surat keputusan Gubernur Jenderal tanggal 12 November 1620, maka dikeluarkanlah instruksi pertama untuk para notaris di Indonesia, yang berisikan 10 pasal, diantaranya ketentuan bahwa para notaris terlebih dahulu diuji dan diambil sumpahnya. Yang mana didalam instruksi tersebut ditentukan bahwa para notaris wajib menjalankan jabatannya itu. 24 Namun pada kenyataanya para notaris pada waktu itu tidak mempunyai kebebasan didalam menjalankan jabatannya itu, oleh karena
mereka
pada
masa
itu
adalah
“pegawai”
dari
Oost
Ind.Compagnie. Bahkan pada tahun 1632, dikeluarkannya sebuah peraturan yang berisi bahwa notaris, sekretaris dan pejabat lainnya dilarang untuk membuat akta-akta transport, jual beli, surat wasiat dan lain-lain akta, jika tidak mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Gubernur Jenderal. Sejak masuknya notaris di Indonesia sampai tahun 1822 notariat hanya diatur oleh 2 buah reglemen yang sering mengalami perubahanperubahan. Selama pemerintahan dari Inggris (1795-1811) peraturanperaturan lama di bidang notariat yang berasal dari Republiek der Vereenidge Nederlanden tetap berlaku di Indonesia. Pada tahun1822 24
Ibid., hlm. 15.
Universitas Indonesia
19
dikeluarkan Instructie voor de notarissen in Indonesia. Pada tahun1860 diundangkanlah Peraturan jabatan Notaris (Notaris reglemen) yang merupakan dasar kuat bagi pelembagaan notaris di Indonesia. Pasalpasal yang terdapat dalam Peraturan Jabatan Notaris merupakan copy dari dari pasal-pasal yang terdapat dalam Notariswet yang berlaku di Belanda.25 2.2. Pengertian Notaris Berdasarkan
sejarah,
Notaris
adalah
seorang
pejabat
Negara/pejabat umum yang mendapat kewenangan dari Negara untuk melakukan sebagian tugas Negara dalam pelayanan hukum kepada masyarakat demi tercapainya kepastian hukum sebagai pejabat pembuat akta otentik dalam hal keperdataan. Pengertian Notaris dapat dilihat dalam peraturan perundang-undangan tersendiri, yakni dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang menyatakan bahwa "Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang ini." Tugas Notaris adalah mengkonstantir hubungan hukum antara para pihak dalam bentuk tertulis dan format tertentu, sehingga merupakan suatu akta otentik.26 Bahwa untuk membuat akta otentik, seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai “ pejabat umum “. Jadi dalam Pasal 1 (satu) tersebut ada hal penting yang tersirat, yaitu ketentuan dalam permulaan pasal tersebut, bahwa notaris adalah pejabat umum (openbaar ambtenaar), di mana kewenangannya atau kewajibannya yang utama ialah membuat akta‐akta otentik27, jadi notaris merupakan pejabat umum sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 1868 Kitab Undang‐Undang Hukum Perdata. Menurut Kamus Indonesia, Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya 25
Ibid., hlm. 18. Tan Thong Kie, loc.cit, hlm. 159 27 R.Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, (Jakarta: CV.Rajawali Pers, 1982), hlm. 42. 26
Universitas Indonesia
20
sebagaimana dimaksud dalam undang‐undang ini (Peraturan Jabatan Notaris). Menurut Reglement op het Notarisambt (Peraturan Jabatan Notaris) yang Ditegaskan dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris yang dimaksud dengan Notaris, adalah pejabat umum yang satu‐satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki atau dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse (salinan sah), salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.28 Menurut Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor.M.01‐HT.03.01 Tahun 2006, tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan Dan Pemindahan, dan Pemberhentian Notaris. Ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1), yang dimaksud dengan Notaris, adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang‐Undang Jabatan Notaris. 2.3. Dasar Hukum Dalam menjalankan profesinya, Notaris memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang diundangkan tanggal 6 Oktober 2004 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117. Dengan berlakunya undang-undang ini, maka Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesia / Peraturan Jabatan Notaris Di Indonesia (Stb. 1860 Nomor 3) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Keberadaan notaris pada awalnya diatur dalam rambu-rambu Burgerlijk Wetboek (BW/Kitab UU Hukum Perdata), terutama Buku Keempat dalam pasal-pasal sebelumnya, yang secara sistematis
28
Komar Andasasmita, Notaris I, Sumur Bandung, 1984, hlm. 45.
Universitas Indonesia
21
merangkum suatu pola ketentuan alat bukti berupa tulisan sebagai berikut: a. bahwa barang siapa mendalilkan peristiwa di mana ia mendasarkan suatu hak, wajib baginya membuktikan peristiwa itu; dan sebaliknya terhadap bantahan atas hak orang lain (1865 BW); b. bahwa salah satu alat bukti ialah tulisan dalam bentuk autentik dan di bawah tangan. Tulisan autentik ialah suatu akta yang dibuat sebagaimana ditentukan oleh undang-undang; dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang; di tempat mana akta itu dibuat (1866-1868 BW); c. bahwa notaris adalah pejabat umum satu-satunya yang berwenang membuat akta autentik (Pasal 1 Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesia / Peraturan Jabatan Notaris Di Indonesia, Staatsblad 1860 Nomor 3 Tahun 1860). Ketentuan tersebut menunjukkan alat bukti tertulis yang dibuat autentik oleh atau di hadapan notaris berada dalam wilayah hukum perdata (pribadi/privat). Ini berbeda dengan istilah ”barang bukti” dalam hukum pidana atau ”dokumen surat” dalam hukum administrasi negara ataupun hukum tata usaha negara yang biasa disebut dengan surat keputusan (beschikking), di mana termasuk dalam wilayah hukum publik. Alat bukti tertulis autentik yang dibuat notaris berbeda maksud tujuan dan dasar hukumnya dengan surat keputusan yang dibuat oleh badan atau pejabat tata usaha negara dalam melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah. Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004, sebagai produk hukum nasional, dan secara substantif Undang-Undang tentang Jabatan Notaris yang baru tersebut juga berorientasi kepada sebagian besar ketentuanketentuan dalam PJN (Staatsbiad 1860:3), dan karena itu kajian dalam penulisan ini tetap mengacu kepada Undang-Undang No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Universitas Indonesia
22
2.4. Notaris Sebagai Pejabat Publik Istilah Pejabat Umum merupakan terjemahan dari istilah Openbare Amtbtenaren yang terdapat dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris (PJN) dan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.29 Pasal 1 PJN menyatakan bahwa: Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai suatu perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya, dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa: “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat”. Berdasarkan pengertian tersebut di atas, bahwa notaris berwenang membuat akta sepanjang dikehendaki para pihak atau menurut aturan hukum wajib dibuat dalam bentuk akta otentik. Pembuatan akta tersebut harus berdasarkan aturan hukum yang berkaitan dengan prosedur pembuatan akta notaris, sehingga Jabatan Notaris sebagai Pejabat Umum tidak perlu lagi diberi sebutan lain yang berkaitan dengan kewenangan notaris. Jabatan notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai peristiwa hukum. Pemberian kualifikasi notaris sebagai Pejabat Umum berkaitan dengan wewenang notaris. Menurut Pasal 15 ayat (1) UUJN bahwa notaris berwenang membuat akta otentik, sepanjang pembuatan akta29
Habib Adjie, Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia dalam Kumpulan Tulisan, CV. Mandar Maju, Bandung, 2009, (Selanjutnya disebut Buku II), hlm. 15.
Universitas Indonesia
23
akta tersebut tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. Pemberian wewenang kepada pejabat atau instansi lain, seperti Kantor Catatan Sipil, tidak berarti memberikan kualifikasi sebagai Pejabat Umum tapi hanya menjalankan fungsi sebagai Pejabat Umum saja ketika membuat akta-akta yang ditentukan oleh aturan hukum, dan kedudukan mereka tetap dalam jabatannya semula sebagai Pegawai Negeri.30 Wet op het Notarisambt yang mulai berlaku tanggal 3 April 1999, Pasal 1 huruf a menyebutkan bahwa: “Notaris: de ambtenaar”, notaris tidak lagi disebut sebagai Openbaar Ambtenaar sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Wet op het Notarisambt yang lama. Notaris sekarang ini tidak dipersoalkan apakah sebagai Pejabat Umum atau bukan, dan perlu diperhatikan bahwa istilah Openbaar Ambtenaar dalam konteks ini tidak bermakna umum, tetapi publik. Ambt pada dasarnya adalah jabatan publik, sehingga jabatan notaris adalah Jabatan Publik tanpa perlu atribut Openbaar.31Apabila ketentuan dalam Wet op het Notarisambt tersebut di atas dijadikan rujukan untuk memberikan pengertian yang sama terhadap ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUJN, maka Pejabat Umum yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tersebut harus dibaca sebagai Pejabat Publik. Notaris sebagai Pejabat Publik tidak sama dengan pejabat publik dalam bidang pemerintahan yang dikategorikan sebagai Pejabat Tata Usaha Negara. Notaris sebagai Pejabat Publik produk akhirnya yaitu akta otentik, yang terikat dalam ketentuan hukum perdata terutama dalam hukum pembuktian. Akta tidak memenuhi syarat yang termaktub didalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagai Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat konkret, individual dan final, serta tidak menimbulkan akibat hukum perdata bagi seseorang atau badan hukum perdata, karena
30 31
Ibid., hlm. 17. Ibid., hlm. 20.
Universitas Indonesia
24
akta merupakan formulasi keinginan para pihak yang dituangkan dalam akta notaris yang dibuat di hadapan atau oleh notaris.32 Notaris
merupakan
suatu
Jabatan
(publik)
mempunyai
karakteristik, yaitu:33 a. Sebagai Jabatan UUJN merupakan unifikasi di bidang pengaturan Jabatan Notaris, artinya satu-satunya aturan hukum dalam bentuk undang-undang yang mengatur Jabatan Notaris di Indonesia, sehingga segala hal yang berkaitan Notaris di Indonesia harus mengacu kepada UUJN. Jabatan Notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh negara, menempatkan notaris sebagai jabatan merupakan suatu bidang pekerjaan atau tugas yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi tertentu serta bersifat berkesinambungan sebagai suatu lingkungan pekerjaan tetap. b. Notaris mempunyai kewenangan tertentu Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus ada aturan hukumnya. Sebagai batasan agar jabatannya dapat berjalan dengan baik, dan tidak bertabrakan dengan wewenang jabatan lainnya. Apabila seseorang pejabat (notaris) melakukan suatu tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar wewenang. Wewenang notaris hanya dicantumkan dalam Pasal 15 ayat (1), (2) dan (3) UUJN. c. Diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah Pasal 2 UUJN menyatakan bahwa notaris diangkat dan diberhentikan oleh menteri (pemerintah), dalam hal ini menteri yang diberi tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang kenotariatan (Pasal 1 angka 14 UUJN). Meskipun notaris secara administratif diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, tidak berarti notaris menjadi subordinasi
32
Habib Adjie, Buku II, op.cit., hlm. 21. Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No.30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), cet.2, (Bandung: Refika Aditama, 2009) (Selanjutnya disebut Buku I), hlm. 15-16. 33
Universitas Indonesia
25
(bawahan) yang mengangkatnya. Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya: 1) Bersifat mandiri (autonomous); 2) Tidak memihak siapapun (impartial), 3) Tidak tergantung kepada siapapun (independent), yang berarti dalam menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dicampuri oleh pihak yang mengangkatnya atau pihak lain. d. Tidak menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, tetapi tidak menerima gaji dan pensiun dari pemerintah. Notaris hanya menerima honorarium
atas
jasa
hukum
yang
diberikan
sesuai
dengan
kewenangannya (Pasal 36 ayat (1) UUJN). Notaris juga wajib memberikan jasa hukum di bidang kenotariatan secara cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu (Pasal 37 UUJN). Jabatan notaris bukan suatu jabatan yang digaji, notaris tidak menerima gajinya dari pemerintah sebagaimana halnya pegawai negeri, akan tetapi dari mereka yang meminta jasanya. Notaris adalah pegawai pemerintah tanpa gaji pemerintah, notaris dipensiunkan oleh pemerintah tanpa mendapat pensiun dari pemerintah.34 e. Akuntabilitas atas pekerjaannya kepada masyarakat Kehadiran notaris untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan akta otentik dalam bidang hukum perdata, sehingga notaris mempunyai tanggung jawab untuk melayani masyarakat, masyarakat dapat menggugat secara perdata notaris, dan menuntut biaya, ganti rugi dan bunga jika ternyata akta tersebut dapat dibuktikan dibuat tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, hal ini merupakan bentuk akuntabilitas notaris kepada masyarakat. 2.5.Notaris sebagai Profesi Hukum Pengembangan profesi seseorang tergantung sepenuhnya pada pribadi yang bersangkutan, sebab secara individual ia mempunyai tanggung jawab atas mutu pelayanan profesinya. Seseorang yang 34
Lumban Tobing, o.p cit., hlm . 36.
Universitas Indonesia
26
menyandang profesi hukum haruslah orang yang dapat dipercaya secara penuh dan ia tidak akan menyalahgunakan situasi dan kondisi yang ada.35 Dalam melaksanakan profesinya haruslah dilakukan secara bermatabat, karena tugas profesi merupakan tugas kemasyarakatan yang berhubungan langsung dengan nilai-nilai dasar yang merupakan harkat dan martabat.36 Oleh karena itu pelayanan profesi hukum memerlukan pengawasan dari masyarakat, namun menurut kebiasaan masyarakat tidak mempunyai kompetisi teknik untuk mengukur dan mengawasi para profesional tersebut.37 Alasannya karena tak seorangpun dari anggota masyarakat yang terlepas dari permasalahan hukum dan tentunya harus pula berhadapan dengan penyandang profesi hukum.38 Menurut Brandeis, untuk dapat disebut sebagai profesi, maka pekerjaan itu sendiri harus mencerminkan adanya hubungan berupa:39 a. Ciri-ciri pengetahuan (intellectual character); b. Diabdikan untuk kepentingan orang lain; c. Keberhasilan bukan diukur pada keuntungan finansial; d. Didukung oleh adanya organisasi (association) profesi dan oragnisasi profesi, yang antara lain memerlukan berbagai ketentuan yang merupakan kode etik, serta tanggung jawab dalam memajukan dan menyebarkan profesi yang bersangkutan. e. Adanya standar kualifikasi profesi Dari uraian singkat tersebut, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa profesi adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan persyaratan khusus, sebagaimana yang telah disebutkan oleh Brandeis di atas. Lima syarat tersebut dapat ditambahkan dengan syarat keenam, yaitu adanya pengakuan dari masyarakat.40 Syarat kedua dan ketiga merupakan 35
Abu Jusuf, Etika Jabatan Notaris Sebagai Profesi Hukum, Media Notariat, Nomor 2 Tahun 1, (Oktober, 1999), hlm. 72. 36 Ibid. 37 Ibid. 38 Ibid. 39 Shidarta, Etika Profesi Hukum Dalam Sorotannya, Era Hukum, No.9/Tahun 3 (Juli,1996), hlm. 35. 40 Ibid.
Universitas Indonesia
27
indikator utama yang membedakan suatu profesi tersebut, apakah termasuk profesi luhur (officium nobile) atau hanya profesi pada umumnya. Profesi
hukum
pada
dasarnya
mampu
memenuhi
semua
persyaratan di atas, sehingga dapat dimaksudkan dalam kategori profesi luhur. Menurut Abu Jusuf yang dimaksud dengan profesi hukum adalah segala pekerjaan yang ada kaitannya dengan masalah hukum.41 Lain halnya seperti yang dikatakan oleh Shidarta, bahwa yang dimaksud dengan profesi hukum adalah profesi yang diabdikan kepada masyarakat luas.42 Dengan demikian dalam menjalankan profesinya para penyandang profesi hukum senantiasa bersinggungan dengan nilainilai yang hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut ada yang bersifat tetap, tetapi ada pula yang mengalami perubahan, mengikuti perkembangan masyarakat pada suatu tempat dan waktu tertentu. Nilainilai yang tetap ini adalah nilai-nilai dasar, yang cenderung berubah itu adalah nilai-nilai intrumentalnya.43 Notaris sebagai profesi hukum merupakan bentuk wujud atau perwujudan dan personifikasi dari hukum, keadilan, kebenaran, bahkan merupakan jaminan adanya kepastian hukum bagi masyarakat, itulah sebabnya lembaga notariat dan lembaga kepercayaan menjadi satu. Oleh karena itu ada suatu ukuran atau standar minimal untuk dinyatakan bahwa seseorang itu “layak” disebut notaris, untuk diperkenankan memangku jabatan serta menjalankan profesi sebagai notaris.44 Syarat minimal yang harus dipenuhi oleh seorang yang hendak diangkat menjadi notaris, yaitu antara lain:45 a. Bahwa notaris yang bersangkutan tidak pernah melakukan pelanggaran hukum, termasuk ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi seorang notaris, teristimewa sebagaimana 41
Ibid. Ibid. 43 Ibid. 44 Notaris Ideal dan Profesional, Media Notariat, (April-Juni 2001). hlm. 46. 45 Ibid. 42
Universitas Indonesia
28
termaktub di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris; b. Bahwa notaris yang bersangkutan di dalam menjalankan jabatan dan profesinya senantiasa mentaati kode etik yang telah ditentukan oleh organisasi maupun etika profesi dalam peraturan perundang-undangan; c. Setia terhadap organisasi dan senantiasa turut aktif di dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh organisasi profesi; d. Memenuhi
syarat
untuk
menjalankan
jabatan
atau
profesinya secara profesional. Ada beberapa sifat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang notaris yang akan menjalankan jabatan dan profesionalnya sebagai notaris, antara lain:46 a. Berpegang teguh merupakan modal utama yang harus dimiliki oleh seorang manusia yaitu memiliki sifat jujur, tahu akan kewajiban dan senantiasa menghormati hak orang lain; b. Berangkat dari niat dan itikad baik, untuk mencapai tujuan yang baik, dan untuk mencapai tujuan itu harus dengan caracara yang baik dan benar pula; c. Mempunyai sifat, watak atau karakter dan akhlak serta kepribadian yang baik, dengan landasan iman dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa; d. Tidak akan pernah berkhianat terhadap amanat yang diemban atau dipercayakan kepadanya. Bedasarkan dari apa yang telah diuraikan bahwa dengan adanya kaitan tersebut maka dalam menjalankan fungsi dan peranannya, kehadiran dan keberadaan dari seorang notaris benar-benar dapat dirasakan manfaatnya sebagai profesi hukum dalam masyarakat. 2.6.Hubungan Notaris dengan Para Penghadap Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh mana pembuatan akta otentik tertentu tersebut tidak 46
Ibid.
Universitas Indonesia
29
dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Pembuatan akta otentik diharuskan
oleh
peraturan
perundang-undangan
dalam
rangka
menciptakan kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum. Selain itu akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan notaris, bukan saja karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena dikehendaki oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan. Notaris membuat akta otentik yang merupakan alat pembuktian terkuat dan terpenuh yang mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam setiap kehidupan masyarakat. Dalam berbagai hubungan bisnis, perbankan, kegiatan sosial, dan lain-lain, kebutuhan akan pembuktian tertulis berupa akta otentik makin meningkat sejalan dengan berkembangnya tuntutan akan kepastian hukum dalam berbagai kegiatan ekonomi dan sosial, baik pada tingkat nasional maupun internasional.
Dengan
demikian
tugas
seorang
notaris
adalah
mengkonstantir hubungan hukum antara para pihak dalam bentuk tertulis dan format tertentu, sehingga merupakan suatu akta otentik. Penghadap datang ke notaris agar tindakan atau perbuatan hukumnya diformulasikan ke dalam akta otentik sesuai dengan kewenangan notaris, kemudian notaris membuatkan akta atas permintaan atau keinginan para penghadap tersebut, maka dalam hal ini memberikan landasan kepada notaris dan para penghadap telah terjadi hubungan hukum. Notaris harus menjamin bahwa akta yang dibuat tersebut telah sesuai menurut aturan hukum yang sudah ditentukan, sehingga kepentingan yang bersangkutan terlindungi dengan akta tersebut.47 Para
penghadap
datang
dengan
kesadaran
sendiri
dan
mengutarakan keinginannya di hadapan notaris, yang kemudian dituangkan ke dalam bentuk akta notaris sesuai aturan hukum yang 47
Habib Adjie, Buku I, op.cit., hlm 16-17.
Universitas Indonesia
30
berlaku, dan suatu hal yang tidak mungkin notaris membuatkan akta tanpa ada permintaan dari siapapun. Hubungan hukum antara notaris dan penghadap merupakan hubungan hukum yang khas, dengan karakter:48 a. Tidak perlu dibuat suatu perjanjian baik lisan maupun tertulis dalam bentuk pemberian kuasa untuk membuat akta atau untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu; b. Mereka yang datang ke hadapan notaris, dengan anggapan bahwa notaris mempunyai kemampuan untuk membantu memformulasikan keinginan para pihak secara tertulis dalam bentuk akta otentik; c. Hasil akhir dari tindakan notaris berdasarkan kewenangan notaris yang berasal dari permintaan atau keinginan para pihak sendiri; d. Notaris bukan pihak dalam akta yang bersangkutan. Pasal 39 ayat (3) huruf c menyebutkan bahwa “penghadap harus dikenal oleh notaris atau diperkenalkan padanya ...”. Pengertian dikenal bukan dalam arti kenal akrab, tetapi kenal yang dimaksud dalam arti yuridis yaitu ada kesesuaian antara nama dan alamat yang disebutkan oleh yang bersangkutan di hadapan notaris dan juga dengan bukti-bukti atau identitas atas dirinya yang diperlihatkan kepada notaris. Hal lain yang harus diperhatikan ialah bahwa yang bersangkutan mempunyai wewenang untuk melakukan suatu tindakan hukum yang akan disebutkan dalam akta.49 Secara prinsip, notaris bersifat pasif melayani para pihak yang menghadap kepadanya. Notaris hanya bertugas mencatat atau menuliskan dalam akta apa-apa yang diterangkan para pihak, tidak berhak mengubah, mengurangi atau menambah apa yang diterangkan para penghadap.50 Menurut Yahya Harahap, sikap yang demikian
48
Ibid., hlm 19 Ibid., hlm 148. 50 Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: Pradnya Paramita, 1987, hlm. 27. 49
Universitas Indonesia
31
dianggap terlampau kaku, oleh karena itu pada masa sekarang muncul pendapat bahwa notaris memiliki kewenangan untuk:51 a. Mengkonstantir atau menentukan apa yang terjadi di hadapan matanya; b. Oleh karena itu, dia berhak mengkonstantir atau menentukan fakta yang diperolehnya guna meluruskan isi akta yang lebih layak. Sifat pasif ditinjau dari segi rasio tidak mutlak tetapi dilenturkan secara relatif dengan acuan penerapan bahwa pada prinsipnya notaris tidak berwenang menyelidiki kebenaran keterangan yang dikemukakan para pihak. Perihal keterangan yang disampaikan para pihak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan kesusilaan, maka notaris harus menolak membuat akta yang diminta.52 Hubungan notaris dengan para penghadap tidak dapat dipastikan atau ditentukan pada awal notaris dan para penghadap berhubungan, karena pada saat itu belum terjadi permasalahan apapun. Menentukan bentuk hubungan hukum antara notaris dengan para penghadap harus dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1869 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bahwa akta otentik terdegradasi menjadi mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dengan alasan: tidak berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan, atau tidak mampunya pejabat umum yang bersangkutan dalam membuat akta, atau cacat dalam bentuknya, atau karena akta notaris dibatalkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal ini dapat dijadikan dasar untuk menggugat notaris sebagai suatu perbuatan melawan hukum.53 Perbuatan melawan hukum dapat terjadi satu pihak merugikan pihak lain tanpa adanya suatu kesengajaan tapi menimbulkan kerugian
51
Yahya Harahap, Pengertian dan Dasar-Dasar Notaris, Jakarta: Erlangga, 2007, hlm
52
Ibid. Habib Adjie, Buku I, op.cit., hlm 19.
.573. 53
Universitas Indonesia
32
pada salah satu pihak. Notaris dalam praktiknya melakukan pekerjaan berdasarkan kewenangannya atau dalam ruang lingkup tugas jabatan sebagai notaris berdasarkan UUJN. Sepanjang notaris melaksanakan jabatannya sesuai UUJN dan telah memenuhi semua tata cara dan persyaratan dalam pembuataan akta, dan yang bersangkutan telah pula sesuai dengan para pihak yang menghadap notaris, maka tuntutan dalam bentuk perbuatan melawan hukum tidak mungkin dilakukan.54 Ditinjau dari segi pembuatan akta otentik, Pasal 1868 Kitab Undang-Undang
Hukum
Perdata
mengenal
dua
bentuk
cara
mewujudkannya:55 a. Dibuat oleh pejabat Bentuk pertama, dibuat oleh pejabat yang berwenang. Biasanya akta otentik yang dibuat oleh pejabat meliputi akta otentik di bidang hukum publik dan dibuat oleh pejabat yang bertugas di bidang eksekutif yang berwenang untuk itu, yang disebut pejabat tata usaha negara. Umumnya akta otentik dibuat oleh pejabat yang berwenang berdasarkan permohonan dari yang berkepentingan, tetapi ada juga tanpa permintaan dari yang berkepentingan. Pembuatan akta tersebut dikaitkan dengan fungsi tertentu seperti pembuatan berita acara atau putusan pengadilan, dibuat berdasar pelaksanaan fungsi penegakan hukum yang didasarkan undang-undang. b. Dibuat di hadapan pejabat Akta otentik yang dibuat di hadapan pejabat pada umumnya: a. Meliputi hal-hal yang berkenaan dalam bidang hukum perdata dan bisnis b. Biasanya berupa akta yang berisi dan melahirkan persetujuan bagi
para
pihak
yang
datang
menghadap
dan
menandatanganinya c. Para pihak yang berkepentingan datang menghadap pejabat yang berwenang, dan kepada pejabat itu mereka sampaikan 54 55
Ibid., hlm. 18. Yahya Harahap, op.cit., hlm 570-571.
Universitas Indonesia
33
keterangan serta meminta agar keterangan itu dituangkan dalam bentuk akta. Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan sumber untuk otensitas akta notaris juga merupakan dasar legalitas eksistensi akta notaris, dengan syarat-syarat sebagai berikut:56 a. Akta harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang pejabat umum; b. Akta harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undangundang; c. Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut. Akta yang dibuat oleh notaris dalam praktek notaris disebut Akta Relaas yang berisi uraian notaris yang dilihat dan disaksikan notaris sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau perbuatan para pihak yang dilakukan dituangkan ke dalam bentuk akta notaris. Akta yang dibuat dihadapan notaris, dalam praktek notaris disebut Akta Pihak, yang berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan atau diceritakan di hadapan notaris. Pembuatan akta baik akta relaas maupun akta pihak, yang menjadi dasar utama dalam pembuatan akta notaris yaitu harus ada keinginan atau kehendak dan permintaan para pihak, jika keinginan para pihak tidak ada, maka notaris tidak akan membuat akta yang dimaksud.57 Akta dibuat berdasarkan bentuk yang ditentukan oleh undangundang. Lahirnya UUJN menegaskan keberadaan akta notaris dan mendapat pengukuhan karena bentuknya ditentukan oleh undangundang, dalam hal ini ditentukan dalam Pasal 38 UUJN. Pasal 15 ayat (1) UUJN menegaskan kewenangan notaris membuat akta secara umum, dengan batasan:58
56
Adjie, Habib, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris sebagai Pejabat
Publik, Bandung: Refika Aditama, 2009 (Selanjutnya disebut Buku III), hlm 56-57. 57
Habib Adjie, Buku II, op.cit., hlm. 44.
58
Habib Adjie, Buku III, op.cit., hlm 56.
Universitas Indonesia
34
a. Tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh undang-undang. b. Menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh aturan hukum atau dikehendaki oleh yang berkepentingan. c. Mengenai subjek hukum (orang atau badan hukum) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat atau dikehendaki oleh yang berkepentingan. Notaris membuat akta untuk setiap orang, tetapi agar menjaga netralitas notaris dalam pembuatan akta, ada batasan yang ditentukan dalam Pasal 52 UUJN. d. Berwenang mengenai tempat, di mana akta itu dibuat, hal ini sesuai dengan tempat kedudukan dan wilayah jabatan notaris. e. Mengenai waktu pembuatan akta, dalam hal ini notaris harus menjamin kepastian waktu menghadap para penghadap yang tercantum dalam akta. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan karakter yuridis akta notaris yaitu:59 a. Akta notaris wajib dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan undang-undang (UUJN) b. Akta notaris dibuat karena ada permintaan para pihak dan bukan keinginan notaris. c. Meskipun dalam akta notaris tercantum nama notaris, tapi notaris tidak berkedudukan sebagai pihak bersama-sama para pihak atau penghadap yang namanya tercantum dalam akta. d. Mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Siapapun terikat dalam akta notaris serta tidak dapat ditafsirkan lain, selain yang tercantum dalam akta tersebut. e. Pembatalan daya ikat akta notaris hanya dapat dilakukan atas kesepakatan para pihak yang namanya tercantum dalam akta. Jika ada yang tidak setuju, maka pihak yang setuju harus 59
Ibid., hlm 71-72.
Universitas Indonesia
35
mengajukan permohonan ke pengadilan umum agar akta yang bersangkutan tidak mengikat lagi dengan alasan-alasan tertentu yang dapat dibuktikan. Notaris membuat akta harus sesuai dengan syarat formil dan materiil pembuatan akta, yaitu:60 a. Syarat formil: 1) Dibuat di hadapan pejabat yang berwenang, dalam hal ini notaris. 2)
Dihadiri para pihak. (Pasal 39 UUJN)
3) Kedua belah pihak dikenal atau diperkenalkan kepada notaris. (Pasal 39 ayat (2) UUJN ) 4) Dihadiri oleh dua orang saksi. (Pasal 40 ayat (1) UUJN) 5) Menyebut identitas notaris (pejabat), penghadap, dan para saksi. (Pasal 38 ayat (2), (3), dan (4) UUJN) 6) Menyebut tempat, hari, bulan dan tahun pembuatan akta. (Pasal 38 ayat (2) UUJN) 7) Notaris membacakan akta di hadapan para penghadap. (Pasal 16 ayat (1) huruf l UUJN) 8)
Ditandatangani oleh semua pihak. (Pasal 44 UUJN)
9) Penegasan pembacaan, penerjemahan dan penandatanganan pada bagian penutup akta. (Pasal 45 ayat (3) UUJN) b. Syarat materiil: 1) Berisi keterangan kesepakatan para pihak. 2) Isi keterangan perbuatan hukum. 3) Pembuatan akta sengaja dimaksudkan sebagai alat bukti. Kedudukan notaris berkaitan dengan akta yang dibuatnya, parameternya harus kepada prosedur pembuatan akta notaris, dalam hal ini UUJN.61 Apabila semua prosedur telah dilakukan (telah memenuhi syarat formil dan materil), maka akta yang bersangkutan tetap mengikat mereka yang membuatnya di hadapan notaris. Memidanakan notaris
60 61
Yahya Harahap, op.cit., hlm, 574-579. Habib Adjie, Buku II, op.cit., hlm, 69.
Universitas Indonesia
36
dengan alasan-alasan pada aspek formil, tidak akan membatalkan akta notaris yang dijadikan sebagai objek perkara pidana tersebut. Aspek materiil dari akta notaris, segala hal yang tertuang harus dinilai benar sebagai pernyataan notaris dalam akta relaas dan harus dinilai sebagai pernyataan para pihak dalam akta pihak, apa saja yang harus ada secara materiil dalam akta harus mempunyai batasan tertentu. Menentukan batasan seperti itu tergantung dari apa yang dilihat, didengar oleh notaris atau yang dinyatakan, diterangkan oleh para pihak di hadapan notaris. 2.7.Kewenangan, Kewajiban dan Larangan Dari Seorang Notaris Dalam UUJN dan Kode Etik Notaris Kewenangan notaris tersebut dalam Pasal 15 dari ayat (1) sampai dengan ayat (3) UUJN, yang dapat dibagi menjadi:62 1.
Kewenangan Umum Notaris.
2.
Kewenangan Khusus Notaris.
3.
Kewenangan notaris yang akan ditentukan kemudian.
2.7.1 Kewenangan Umum Notaris Pasal 15 ayat (1) UUJN menegaskan bahwa salah satu kewenangan notaris yaitu membuat akta secara umum. Hal ini dapat disebut sebagai Kewenangan Umum Notaris dengan batasan sepanjang : 1. Tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang telah ditetapkan oleh undang-undang. 2. Menyangkut akta yang harus dibuat adalah akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan
oleh
aturan
hukum
untuk
dibuat
atau
dikehendaki oleh yang bersangkutan. 3. Mengenai kepentingan subjek hukumnya yaitu harus jelas untuk kepentingan siapa suatu akta itu dibuat. Namun, ada juga beberapa akta otentik yang merupakan wewenang notaris dan juga menjadi wewenang pejabat atau instansi lain, yaitu :63 1. Akta pengakuan anak di luar kawin (Pasal 281 BW), 62 63
Habib Adjie, Buku I, op.cit., hlm 78. Ibid., hlm. 79.
Universitas Indonesia
37
2. Akta berita acara tentang kelalaian pejabat penyimpan hipotik (Pasal 1227 BW), 3. Akta berita acara tentang penawaran pembayaran tunai dan konsinyasi (Pasal 1405, 1406 BW), 4. Akta protes wesel dan cek (Pasal 143 dan 218 WvK), 5. Surat kuasa membebankan Hak Tanggungan (Pasal 15 ayat [1] UU No.4 Tahun 1996), 6. Membuat akta risalah lelang. Berdasarkan wewenang yang ada pada notaris sebagaimana tersebut dalam Pasal 15 UUJN dan kekuatan pembuktian dari akta notaris, maka ada 2 hal yang dapat kita pahami, yaitu : 1. Notaris
dalam
tugas
jabatannya
memformulasikan
keinginan/tindakan para pihak ke dalam akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku. 2. Akta notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti yang lainnya. Jika misalnya ada pihak yang menyatakan bahwa akta tersebut tidak benar, maka pihak yang menyatakan tidak benar inilah yang wajib membuktikan pernyataannya sesuai dengan hukum yang berlaku. 2.7.2 Kewenangan Khusus Notaris Kewenangan notaris ini dapat dilihat dalam Pasal 15 ayat (2) UUJN yang mengatur mengenai kewenangan khusus notaris untuk melakukan tindakan hukum tertentu, seperti : 1. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftarkannya di dalam suatu buku khusus ; 2. Membukukan
surat-surat
di
bawah
tangan
dengan
mendaftarkannya dalam suatu buku khusus ;
Universitas Indonesia
38
3. Membuat salinan (copy) asli dari surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan ; 4. Melakukan pengesahan kecocokan antara fotokopi dengan surat aslinya ; 5. Memberikan penyuluhan hukum
sehubungan dengan
pembuatan akta ; 6. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, atau membuat akta risalah lelang. 2.7.3 Kewenangan Notaris Yang Akan Ditentukan Kemudian Yang dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) UUJN dengan kewenangan yang akan ditentukan kemudian adalah wewenang yang berdasarkan aturan hukum lain yang akan datang kemudian (ius constituendum). Wewenang notaris yang akan ditentukan kemudian, merupakan wewenang yang akan ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Batasan mengenai apa yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan ini dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 2 UU no. 5 Tahun 1986 tetang Peradilan Tata Usaha Negara, bahwa:64 Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan dalam undang-undang ini ialah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, serta semua keputusan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah, yang juga mengikat secara umum. Berdasarkan uraian di atas, bahwa kewenangan notaris yang akan ditentukan kemudian tersebut adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh lembaga negara (Pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat) atau Pejabat Negara yang berwenang dan mengikat secara umum. Dengan batasan seperti ini, maka 64
Ibid., hlm. 82-83.
Universitas Indonesia
39
peraturan perundang-undangan yang dimaksud harus dalam bentuk undang-undang dan bukan di bawah undang-undang. 2.7.4 Kewajiban dan Larangan Notaris Notaris sebagai subjek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban sekaligus sebagai anggota dari Perkumpulan/organisasi Ikatan Notaris Indonesia memiliki kewajiban yang harus dipatuhi dan larangan yang harus dihindari dalam menjalankan tugas jabatannya. Kewajiban dan larangan notaris diatur dalam UUJN (Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 17) serta Kode Etik Notaris (Pasal 3 dan Pasal 4) sebagai berikut: Pasal 16 (1) Dalam menjalankan jabatannya, notaris berkewajiban: a. Bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan yang terkait dalam perbuatan hukum; b. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari protocol notaris; c. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta; d. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undangundang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya; e. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan
sumpah/janji
jabatan,
kecuali
undnag-undang
menentukan lain; f. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, dan mencatat jumlah minuta akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku; g. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga; h. Membuat daftar yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan;
Universitas Indonesia
40
i. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf Hak tanggungan atau daftar nihil yang berkenaan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya; j. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan; k. Mempunyai cap/stempel yang memuat lambang Negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan
nama
jabatan,
dan
tempat
kedudukan
yang
bersangkutan; l. Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan notaris; m. Menerima magang notaris. Pasal 17 Notaris dilarang: a. Menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya; b. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah; c. Merangkap sebagai pegawai negeri; d. Merangkap jabatan sebagai pejabat negara; e. Merangkap jabatan sebagai advokat; f. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah atau badan usaha swasta; g. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar wilayah jabatan notaris; h. Menjadi notaris pengganti; i. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan jabatan notaris.
Universitas Indonesia
41
Notaris sebagai anggota organisasi profesi notaris memiliki kewajiban dan larangan yang diatur dalam suatu kode etik dan memiliki sanksi atas pelanggaran yang dilakukan terhadapnya. Kewajiban notaris diatur dalam Pasal 3 Kode Etik Notaris, yaitu: Notaris dan orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris wajib: 1. Memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik. 2. Menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat Jabatan Notaris. 3. Menjaga dan membela kehormatan Perkumpulan. 4. Bertindak
jujur,
mandiri,
tidak
berpihak,
penuh
rasa
tanggungjawab, berdasarkan peraturan perundang-undangan dan isi sumpah jabatan Notaris. 5. Meningkatkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki tidak terbatas pada ilmu pengetahuan hukum dan kenotariatan. 6. Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan Negara; 7. Memberikan jasa pembuatan akta dan jasa keNotarisan lainnya untuk masyarakat yang tidak mampu tanpa memungut honorarium. 8. Menetapkan satu kantor di tempat kedudukan dan kantor tersebut merupakan satu-satunya kantor bagi Notaris yang bersangkutan dalam melaksanakan tugas jabatan sehari-hari. 9. Memasang 1 (satu) buah papan nama di depan / di lingkungan kantornya dengan pilihan ukuran yaitu 100 cm x 40 cm, 150 cm x 60 cm atau 200 cm x 80 cm , yang memuat: a. Nama lengkap dan gelar yang sah; b. Tanggal dan nomor Surat Keputusan pengangkatan yang terakhir sebagai Notaris; c. Tempat kedudukan; d. Alamat kantor dan nomor telepon/fax. Dasar papan nama berwarna putih dengan huruf berwarna hitam dan tulisan di atas
Universitas Indonesia
42
papan nama harus jelas dan mudah dibaca. Kecuali di lingkungan
kantor
tersebut
tidak
dimungkinkan
untuk
pemasangan papan nama dimaksud. 10. Hadir, mengikuti dan berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan yang
diselenggarakan
mematuhi,
oleh
melaksanakan
Perkumpulan;
setiap
dan
menghormati,
seluruh
keputusan
Perkumpulan. 11. Membayar uang iuran Perkumpulan secara tertib. 12.Membayar uang duka untuk membantu ahli waris teman sejawat yang meninggal dunia. 13.Melaksanakan
dan
mematuhi
semua
ketentuan
tentang
honorarium ditetapkan Perkumpulan. 14.Menjalankan jabatan Notaris terutama dalam pembuatan, pembacaan dan penandatanganan akta dilakukan di kantornya, kecuali karena alasan-alasan yang sah. 15.Menciptakan suasana kekeluargaan dan kebersamaan dalam melaksanakan tugas jabatan dan kegiatan sehari-hari serta saling memperlakukan rekan sejawat secara baik, saling menghormati, saling menghargai, saling membantu serta selalu berusaha menjalin komunikasi dan tali silaturahim. 16.Memperlakukan setiap klien yang datang dengan baik, tidak membedakan status ekonomi dan/atau status sosialnya. 17.Melakukan perbuatan-perbuatan yang secara umum disebut sebagai kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan antara lain namun tidak terbatas pada ketentuan yang tercantum dalam: a. UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris; b. Penjelasan Pasal 19 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris; . c. Isi Sumpah Jabatan Notaris; d. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Notaris Indonesia.
Universitas Indonesia
43
2.8.Penyuluhan Hukum Landasan utama usaha penyuluhan hukum adalah UUD 1945. Bertitik tolak dari penjelasan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa : Negara Indonesia berdasar atas hukum, tidak berdasar atas kekuasaan belaka. Pernyataan ini merupakan kesepakatan bangsa Indonesia melalui wakilnya para pembuat UUD yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Guna mewujudkan pernyataan tersebut di atas, pasal-pasal UUD 1945 telah memberikan ketentuan-ketentuan yang harus ditetapkan, salah satu yang terpenting dalam hubungannya dengan penyuluhan hukum adalah pasal 27 ayat (1) yang berbunyi : “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Ketentuan tersebut dengan tegas menetapkan tentang hak dan kewajiban terpenting bagi semua warga negara tanpa kecuali dalam negara hukum Indonesia yaitu : a.
Hak
bersamaan
kedudukannya
dalam
hukum
dan
pemerintahan b.
Kewajiban menjunjung Hukum dan Pemerintahan.
Dari ketentuan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sejak negara kita merdeka, mengatur negara dan pemerintahan sendiri, bukan hanya diperlukan adanya jaminan terhadap hak kebersamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan saja, akan tetapi harus disertai dengan kewajiban untuk menjunjung hukum dan pemerintahan itu tanpa kecuali bagi semua anggota masyarakat. Selanjutnya pada GBHN 1983 rupanya apa yang telah dilakukan oleh
pemerintah
mendapat
persetujuan
dan
pengesahan
yang
menyatakan perlu meningkatkan kesadaran hukum masyarakat, melainkan secara tegas dan kongkrit memerintahkan meningkatkan penyuluhan hukum. Adapun pernyataan GBHN 1983 adalah sebagai berikut:
Universitas Indonesia
44
“Meningkatkan penyuluhan hukum untuk mencapai kadar kesadaran hukum yang tinggi dalam masyarakat menyadari dan menghayati dan kewajibannya sebagai warga negara dalam rangka tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap rakyat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum sesuai UUD 1945.” Dari arahan Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1983 tersebut, dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Tujuan penyuluhan hukum adalah mencapai kadar kesadaran hukum yang tinggi dalam masyarakat; 2. Tercipta kesadaran hukum yang tinggi dalam masyarakat apabila setiap anggota masyarakat menyadari dan menghayati hak dan kewajibannya sebagai warga negara; 3. Pencapaian kadar kesadaran hukum yang tinggi itu adalah dalam rangka tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban, serta kepastian hukum sesuai Undang-undang Dasar 1945. Sehubungan dengan hal-hal diatas, pelaksanaan penyuluhan hukum menggunakan metode pendekatan yang disebut PEKA. Istilah pendekatan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Nomor. M.05PR.08.10 Tahun 1988 yang mendefinisikan PEKA sebagai berikut: a.
Persuasif
artinya
melaksanakan
bahwa
tugasnya
penyuluh harus
hukum
mampu
dalam
meyakinkan
masyarakat yang disuluh, sehingga mereka merasa tertarik dan menaruh perhatian serta minat terhadap hal-hal yang disampaikan oleh penyuluh. b.
Edukatif artinya bahwa penyuluh harus bersikap dan bertingkah laku sebagai pendidik yang dengan penuh kesabaran dan ketekunan membimbing masyarakat ke arah tujuan .
c.
Komunikatif artinya bahwa penyuluh hukum harus mampu berkomunikasi dan menciptakan iklim serta suasana sedemikian rupa sehingga tercipta suatu pembicaraan yang bersikap akrab, terbuka dan timbal balik.
Universitas Indonesia
45
d.
Akomodatif
artinya
bahwa
permasalahan-permasalahan penyuluh
hukum
harus
dengan
hukum
oleh
diajukannya masyarakat,
mampu mengakomodasikan,
menampung dan memberikan jalan pemecahannya dengan bahasa yang mudah dimengerti dan dipahami oleh masyarakat. Selain hal tersebut adapun pengertian penyuluhan hukum berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.01-PR.08.10 Tahun 2006 Tentang Pola Penyuluhan Hukum yaitu: “Penyuluhan Hukum adalah salah satu kegiatan penyebarluasan informasi dan pemahaman terhadap norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku guna mewujudkan dan mengembangkan kesadaran hukum masyarakat sehingga tercipta budaya hukum dalam bentuk tertib dan taat atau patuh terhadap norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku demi tegaknya supremasi hukum.” Mengenai pola dasar penyuluhan hukum dan pola operasional penyuluhan hukum dimaksudkan untuk dijadikan pedoman secara garis besar dalam merencanakan melaksanakan penyuluhan hukum secara terarah dan terpadu. Pada pokoknya pola dasar dan pola operasional penyuluhan hukum mengerahkan lima hal yaitu:65 1.Tata Laksana Dalam pelaksanaanya beberapa arahan dan ketentuan yang termuat dalam kedua pedoman tersebut dapat diterapkan dengan baik, dalam melaksanakan kegiatan yang sudah di program sekarang ini di tiap kabupaten dan kotamadya sudah terbentuk dan bertugas apa yang disebut pusat hukum masyarakat (PUSKUMMAS) diurus oleh satu kelompok kerja daerah (POKJADA) tingkat dua yang diterapkan oleh Bupati/Walikota, diketuai oleh ketua / wakil ketua pengadilan negri dengan anggota dan unsur pemerintah daerah dan perwakilan 65
“Efektifitas Penyuluhan Hukum Terhadap Peningkatan Kesadaran Hukum Masyarakat Di Kecamatan Tallo Kota Makassar” http://www.artikelbagus.com/2011/03/bab-ipendahuluan.html, diunduh 19 November 2012.
Universitas Indonesia
46
departemen
penerangan
di
daerah
kabupaten/kotamadya.
PUSKUMMAS ini berada dibawah koordinasi kantor wilayah departemen kehakiman, diurus oleh pokjada tingkat I yang ditetapkan oleh Menteri Kehakiman. 2. Materi Mengenai materi hukum yang disuluhkan kepada masyarakat, pola dasar penyuluhan hukum membedakan antara: a.
Materi hukum yang harus diketahui oleh setiap warga masyarakat.
b. Materi hukum yang hanya diperlukan oleh mereka yang berhubungan
dengan
sektor-sektor tertentu
saja
dalam
kehidupan masyarakat. 3. Penyuluh Hukum Dalam kegiatan penyuluhan hukum, unsur penyuluh hukum merupakan
faktor
yang
paling
dominan.
Karena
itu
dalam
pelaksanaannya faktor ini menjadi titik perhatian pembinaan baik kuantitas maupun kualitasnya. Untuk itu diutamakan program bimbingan teknis penyuluhan hukum yang bertujuan untuk memberikan pengetahuan tentang hukum dan teknik melakukan penyuluhan hukum saja, akan tetapi juga diharapkan terbinanya kesiapan mental dan kesatuan bahasa para penyuluh hukum untuk terjun sebagai penyuluh hukum yang tangguh, ulet dan bertanggung jawab ketengah-tengah masyarakat kita yang sedang membangun. Karena kegiatan penyuluhan hukum bukan semata-mata masalah hukum, melainkan menyangkut berbagai masalah yang perlu didukung dengan pengetahuan sosial lainnya. 4. Metode Pola
operasional
penyuluhan
hukum
merumuskan
metode
penyuluhan hukum adalah suatu rakitan antara pendekatan, teknik dan sarana/media penyuluhan hukum. Kalau dihubungkan dengan susunan organisasi direktorat penyuluhan hukum dan administrasi pembangunan di kenal dua saluran, yaitu:
Universitas Indonesia
47
a.
Penyuluhan hukum langsung adalah program penyuluhan hukum yang tidak memakai media, artinya penyuluh dengan khalayak (yang disuluhi) dapat bertatap muka dan mungkin untuk berdialog, seperti umpamanya ceramah, diskusi, simulasi, temu wicara, pameran dan pentas panggung.
b.
Penyuluhan hukum tidak langsung adalah program penyuluhan hukum yang memakai media dan antara penyuluh dengan khalayak(yang disuluhi) tidak mungkin berdialog seperti dengan media cetak (buku, brosur, liflet, selebaran, poster dan lain-lain) dan media elektronik (tv,radio,Vidio, kaset dan lain-lain).
2.9.Bantuan Hukum Bantuan hukum merupakan bantuan yang diberikan oleh para ahli, bagi warga masyarakat yang memerlukannya untuk mewujudkan hakhaknya serta juga untuk mendapatkan perlindungan yang wajar. Dalam masyarakat umumnya terdapat berbagai macam bantuan, baik yang diberikan oleh para ahli maupun oleh mereka yang terampil atau profesional. Salah satu masalah yang sering timbul adalah bagaimana mengadakan identifikasi terhadap bantuan hukum yang juga merupakan salah satu jenis bantuan hukum. Sebagai ilustrasi, seseorang yang telah menyelesaikan
pendidikan
hukum
pada
tingkat
kesarjanaan
memberikan petunjuk-petunjuk bagaimana menyusun suatu kontrak jual-beli rumah bagi seseorang. Menurut pendapat Soerjono Soekanto, bahwa:66 “Kegiatan tersebut bukan merupakan bantuan hukum, oleh karena tidak dilakukan secara berkesinambungan. Agar merupakan bantuan hukum, maka kegiatan tersebut harus merupakan kegiatan yang secara terus menerus dilakukan, dan menjadi semacam pengkhususan bagi yang melaksanakan. Selain dari itu, maka tujuannya pun harus senantiasa untuk mencapai kedamaian, melalui penyerasian antara ketertiban dengan ketentraman.” 66
Soerjono Soekanto, Beberapa Cara dan Mekanisme dalam Penyuluhan Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1986), hal 1.
Universitas Indonesia
48
Lazimnya dikenal ada lima jenis bantuan hukum, yakni:67 a. Bantuan hukum preventif yang merupakan penerangan dan penyuluhan hukum kepada warga masyarakat didalam arti yang umum dan luas. b. Bantuan hukum diagnostik yang merupakan pemberian nasihat hukum yang lazimnya dinamakan dengan konsultasi hukum. c. Bantuan hukum pengendalian konflik yang bertujuan mengatasi masalah-masalah hukum konkrit secara aktif. Biasanya didalam pembicaraan sehari-hari, jenis bantuan hukum ini disebut sebagai bantuan hukum. d. Bantuan hukum pembentukan hukum yang tujuannya adalah untuk memberikan masukan kepada pihak peradilan, supaya muncul yurisprudensi yang lebih tegas, lebih tepat dan jelas dan lebih baik. e. Bantuan hukum pembaharuan hukum yang pada dasarnya berkaitan
dengan
usaha-usaha
untuk
mengadakan
pembaharuan hukum melalui hakim untuk pembentukan perundang-undangan. Menurut pendapat Soerjono Soekanto bahwa:68 “Bantuan hukum prefentif biasanya diberikan kepada kelompokkelompok sosial maupun pribadi-pribadi hukum (seperti lembagalembaga hukum atau organisasi-organisasi). Bantuan hukum diagnostik dapat diberikan kepada pribadi kodrati dan pribadipribadi hukum. Pribadi kodrati dan pribadi hukum, biasanya berhak untuk menerima bantuan hukum pengendalian konflik, sedangkan bantuan hukum pembentukan hukum maupun pembaharuan hukum biasanya tertuju pada pribadi-pribadi hukum. Penyuluhan hukum merupakan jenis bantuan hukum tertentu, yakni bantuan hukum preventif. Penyuluhan hukum merupakan suatu kegiatan, dimana secara sengaja dan terencana diberikan bantuan 67 68
Ibid, hlm. 4. Ibid.
Universitas Indonesia
49
hukum kepada pihak-pihak tertentu melalui komunikasi, agar pihakpihak tersebut mampu mengambil suatu keputusan. 2.10.Tujuan Penyuluhan Hukum Dalam keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.06-UM.06.02 Tahun 1983 dan Nomor M.10.UM.06.02 Tahun 1983, adapun tujuan dari penyuluhan hukum adalah sebagai berikut: a. Menjadikan masyarakat paham hukum, dalam arti memahami ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam peraturan-peraturan hukum yang mengatur kehidupannya sebagai orang-perorangan; b. Membina dan meningkatkan kesadaran hukum warga masyarakat sehingga setiap warga taat pada hukum dan secara suka rela tanpa dorongan atau paksaan dari siapapun melaksanakan hak dan kewajibannya sebagaimana ditentukan oleh hukum. Tujuan utama dari penyuluhan hukum adalah supaya warga masyarakat memahami hukum yang berlaku, sehingga hukum tersebut melembaga
dan
bahkan
menjiwai
warga
masyarakat
yang
bersangkutan.69 Tujuannya bukan sekedar memberikan informasi atau keteranganketerangan mengenai hukum yang perlu diketahui, akan tetapi mengusahakan untuk membina dan meningkatkan kesadaran hukum warga, sehingga timbul kepatuhan dan ketaatan hukum, atas dasar anggapan bahwa hukum itu sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku atau yang dianutnya. 2.11.Penyuluhan Hukum Notaris Dalam upaya dan usaha meningkatkan pengabdian kepada masyarakat sekaligus juga meningkatkan kesadaran hukum masyarakat, notaris juga mempunyai fungsi dalam memberikan penyuluhan hukum, sebagaimana diatur di dalam Pasal 15 ayat 2 huruf (e) UUJN. Notaris pada waktu diminta bantuan oleh masyarakat umum juga memberikan
69
Ibid, hlm. 6.
Universitas Indonesia
50
penyuluhan hukum dan memberikan penjelasan mengenai undangundang yang berlaku.70 Hal ini dilakukan notaris oleh karena ia berdasarkan ketentuan perundang-undangan ditugaskan untuk membuat akta yang benar yang dikehendaki oleh undang-undang. Penyuluhan hukum atau penjelasan mengenai ketentuan undang-undang ini diberikan dalam rangka membantu dalam pembuatan akta yang diperlukan dan ini merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.71 Inilah salah satu faktor yang membedakan pekerjaan notaris dengan pekerjaan praktisi-praktisi hukum yang lain. Hal lain yang membedakan adalah notaris dalam mengatur hubungan-hubungan hukum yang telah disetujui antara kedua belah pihak, pada haketkatnya dibuat dalam keadaan damai. Nasihat yang harus diberikan oleh seorang notaris harus berdasarkan keyakinan dalam bidang yang dikuasai dan dalam batasbatas kemampuannya. Keahlian hukum dalam bidangnya harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturanperaturan ini merupakan pedoman apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh seorang Notaris terhadap kliennya. Notaris dalam memberikan penyuluhan hukum dalam bentuk konsultasi hukum terhadap kliennya dilarang untuk memungut bayaran seperti yang dilakukan advokat. Ketentuan tersebut mengandung nilai pelayanan, dengan mengutamakan kepentingan kliennya.72 Dalam menjalankan jabatannya, notaris memiliki dua ciri dan sifat yang essentiil yaitu ketidakberpihakan dan ketidaktergantungan (mandiri)
dalam
memberikan
bantuan
kepada
kliennya.
Kedidakberpihakan ini dapat dipenuhi dengan baik apabila kepada para pihak telah diberikan penjelasan yang menyeluruh mengenai segala
70
Roenastiti Prayitno, “Tugas dan Tanggung Jawab Notaris sebagai Pejabat Pembuat Akta”, Media Notariat, No.12-13/Tahun IV, (Oktober:1989), hlm.178. 71 Ibid. 72 C.S.T. Kansil dan Christine S.T.Kansil, o.p cit., hlm. 76.
Universitas Indonesia
51
hak, kewajiban termasuk segala akibat hukum dari perbuatan hukum yang akan dilakukan oleh para klien. 73 Pemberian penyuluhan hukum oleh notaris dapat “mempengaruhi: klien
dalam
menentukan
pilihan
untuk
menentukan
tindakan
hukumnya.74 Tergantung pada klien untuk menentukan pilihannya, sedangkan notaris menjaga rambu-rambu hukumnya. Sedangkan mengenai ketidaktergantungan atau kemandirian tersebut, notaris tidak dibawahi pihak manapun kecuali peraturan perundang-undangan, kesusilaan
dan
ketertiban
umum.
Notaris
dalam
memberikan
penyuluhan hukum dalam arti berkaitan dengan pembuatan akta otentik harus mencermikan arti hukum yaitu disamping memberikan ketertiban juga memberikan kesajateraan bagi masyarakat. Dalam kenyataannya sehari-hari ada beberapa kasus ditemukan bahwa seorang notaris dalam menjalankan jabatannya tidak melakukan penyuluhan hukum tersebut, dengan demikian muncul masalah-masalah hukum diantara para pihak yang berhubungan dengan pembuatan akta yang bersangkutan. Salah satu kasus yang ditemukan oleh penulis adalah ada beberapa orang yang hendak membuat akta-akta yang berhubungan dengan Perseroan Terbatas dihadapan Notaris, seperti Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham, Akta Jual Beli Saham, Pernyataan Keputusan Rapat, dan lain-lain, dalam hal pembuatan aktaakta tersebut notaris yang bersangkutan tidak memberikan penyuluhan hukum kepada para penghadap, seperti penjelasan mengenai harus dibuatnya akta jual beli saham jika di dalam perseroan terbatas tersebut ada salah satu pemegang sahamnya yang menjual sebagian atau seluruh dari saham yang dimilikinya. Hal ini berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UUPT) diatur mengenai syarat-syarat pemindahan hak atas saham antara lain yaitu: a) Pemindahan
hak
saham
dilakukan
dengan
AKTA
PEMINDAHAN HAK ATAS SAHAM (pasal 56 ayat 1) 73
Herlien, Asosiasi Notaris, Suatu Jalan Keluar?” Media Notariat, No.2/Tahun I, (Oktober, 1999), hlm. 62. 74 Ibid., hlm. 63.
Universitas Indonesia
52
b) Akta Pemindahan Hak Atas Saham tersebut dapat di buat dalam bentuk akta dibawah tangan atau akta otentik (akta notaris). c) Akta pemindahan hak atau salinannya disampaikan secara tertulis kepada Perseroan. ( Pasal 56 ayat 2) d) Berdasarkan Pasal 57: dalam Anggaran Dasar dapat diatur persyaratan mengenai pemindahan hak atas saham, yaitu : a. Keharusan menawarkan terlebih dahulu kepada pemegang saham klasifikasi tertentu atau pemegang saham lainnya; b. Keharusan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari Organ Perseroan; c. Keharusan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Maka akibatnya jika Pemindahan hak saham tersebut tidak dilakukan dengan akta pemindahan hak atas saham atau akta jual beli saham, maka secara hukum kepemilikan saham tersebut belum beralih kepada orang yang membelinya, dan tentunya hal ini akan sangat merugikan para pihak dalam akta tersebut. Selain kasus tersebut diatas ditemukan juga didalam suatu perseroan terbatas hanya terdapat 1 (satu) pemegang saham, hal ini dikarenakan pada saat pendirian perseroan terbatas tersebut hanya didirikan oleh 2 (dua) orang saja, dimana yang mengambil bagian saham yang telah disetor di dalam perseroan terbatas tersebut hanya 1 (satu) orang saja, sedangkan pendiri yang satu lagi hanya sebagai pengurus di dalam perseroan terbatas tersebut. Jika hal ini terjadi maka tanggung jawab pemegang saham perseroan tersebut tidak lagi menjadi terbatas, melainkan pemegang saham tersebut bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan dan kerugian perseroan, dan atas permohonan pihak yang berkepentingan, pengadilan negeri dapat membubarkan perseroan tersebut, hal ini berdasarkan Pasal 7 angka 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Universitas Indonesia
53
Dalam kasus ini seharusnya seorang notaris dapat memberikan penyuluhan hukum mengenai pemegang saham tunggal (Corporation Sole), adalah suatu perseroan terbatas di mana pemegang sahamnya hanya terdiri dari 1 (satu) orang saja. Undang-Undang Perseroan Terbatas tidak memungkinkan eksistensi perusahaan pemegang saham tunggal ini, hal ini diatur di dalam Pasal 7 ayat (5) Undang-Undang Perseroan Terbatas, yaitu: ”Setelah Perseroan memperoleh status badan hukum dan pemegang saham menjadi kurang dari 2 (dua) orang, dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak keadaan tersebut pemegang saham yang bersangkutan wajib mengalihkan sebagian sahamnya kepada orang lain atau Perseroan mengeluarkan saham baru kepada orang lain.” Pasal 7 angka 7 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas hanya memungkinkan adanya pemegang saham tunggal dalam suatu perseroan terbatas hanya dalam 2 (dua) hal sebagai berikut: 1) Persero yang seluruh sahamnya dimiliki oleh negara. 2) Perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, dan lembaga lain sebagaimana diatur dalam undangundang tentang Pasar Modal. Maka akibatnya jika seorang notaris tidak memberikan penyuluhan hukum yang baik dan benar mengenai hal tersebut diatas, maka tentunya kelalaian yang dilakukan notaris tersebut dapat merugikan para penghadapnya. Masih berkaitan dengan kasus Perseroan Terbatas tersebut diatas, ditemukan juga kasus mengenai adanya pasangan suami-istri yang berkeinginan untuk mendirikan suatu perseroan terbatas, dimana mereka dalam perkawinannya tidak membuat perjanjian kawin. Hal ini tentunya sangat dibutuhkan penyuluhan hukum atau nasihat dari seorang notaris dalam aspek hukum di bidang Perseroan Terbatas, karena jika suatu peseroan terbatas didirikan oleh sepasang suami istri
Universitas Indonesia
54
yang tidak pernah membuat perjanjian kawin, maka jika suatu hari nanti perseroan terbatas yang didirikan oleh pasangan suami istri tersebut mengalami kerugian melebihi modal yang ada didalam perseroan terbatas tersebut, maka secara tanggung renteng pasangan suami istri ini harus mengganti kerugian tersebut dengan menggunakan harta pribadi mereka.
Tentunya
akibat
dari
seorang
notaris
yang
tidak
memberitahukan atau tidak memberikan penyuluhan hukum kepada pasangan suami istri tersebut, menyebabkan para pihak yang tercantum nama-namanya tercantum didalam akta dirugikan. Berdasarkan hal-hal diatas maka penulis melakukan serangkaian wawancara dengan beberapa notaris di Jakarta, dengan tujuan hasil dari wawancara ini dapat memperkuat hasil analisis dari penulisan tesis ini. Notaris-notaris tersebut diantaranya adalah: yang pertama Ibu Lena Magdalena sebagai Notaris dan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) di daerah Jakarta Barat, beliau mengatakan seorang notaris dibenarkan memberikan penyuluhan hukum menurut peraturan perundangundangan sepanjang perbuatan itu berhubungan dengan pembuatan akta. Hal ini sesuai seperti yang diatur di dalam pasal 15 ayat 2 huruf e Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, bahwa notaris diberi kewenangan untuk melakukan penyuluhan hukum. Penyuluhan hukum adalah suatu perbuatan yang memberikan penyuluhan dalam bidang hukum. Suatu nasihat yang harus diberikan oleh seorang notaris harus bedasarkan keyakinan hukum dalam bidang yang dikuasai dan dalam batas-batas kemampuannya. Keahlian hukum dalam bidang yang dikuasainya harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan-peraturan ini merupakan suatu pedoman mengenai apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh seorang notaris terhadap kliennya. Pada saat memberikan penyuluhan hukum, seorang notaris berperan sebagai orang yang ahli dalam bidang hukum. Karena notaris di samping membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, ketetapan dan lain sebagainya untuk kepentingan para klien
Universitas Indonesia
55
yang menghadap kepadanya, notaris juga berkewajiban untuk memberikan petunjuk di bidang hukum yang dibutuhkannya dan atau yang sedang dihadapinya. Pemberian petunjuk dalam bidang hukum disini notaris bertindak memberikan penyuluhan hukum. Di samping itu juga dinyatakan bahwa memberikan penyuluhan hukum dapat disamakan dengan memberikan suatu nasihat hukum karena dalam memberikan suatu penyuluhan hukum maupun nasihat hukum, notaris dalam hal ini memberikan suatu petunjuk atau penjelasan dalam bidang hukum yang sedang dihadapi atau dibutuhkan oleh para penghadap. Dalam hal seorang notaris memberikan penyuluhan hukum kepada klien di luar tugas dan wewenangnya, dikatakan perbuatan notaris tersebut tidak dianggap bertentangan dengan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, sepanjang perbuatan itu berhubungan dan berkaitan dengan akta. Peranan notaris dalam memberikan penyuluhan hukum harus mampu menilai terlebih dahulu apa yang sesungguhnya yang dikehendaki oleh para penghadap yang datang kepadanya dan memberikan nasihat seperlunya dalam hukum dan mencari bentuk-bentuk hukum yang sesuai dan yang dikehendaki para penghadap. Setiap kewenangan yang diberikan kepada seseorang pasti menimbulkan tanggung jawab, begitu pula halnya bagi seorang notaris. Bedasarkan ketentuan undang-undang, notaris diberikan kewenangan lain selain membuat akta juga dapat memberikan suatu penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta dan itu juga menimbulkan tanggung jawab. Jika dilihat dari kewenangannya memberikan suatu penyuluhan hukum maka peranan notaris dapat disamakan dengan advokat yaitu sama-sama memberikan suatu konsultasi hukum. Hanya saja, peranan notaris dalam memberikan suatu penyuluhan hukum hanya dibatasi dengan pembuatan akta dan tidak boleh meminta imbalan kepada klien.
Universitas Indonesia
56
Jika seorang notaris dalam memberikan suatu penyuluhan hukum meminta bayaran maka ia tidak hanya melanggar ketentuan undangundang, tetapi kepada notaris yang bersangkutan dapat ditutut telah bertindak sebagai advokat. Selain itu notaris dalam melakukan pemberian suatu penyuluhan hukum selalu dalam posisi yang netral atau tidak memihak, serta penyuluhan hukum yang diberikan oleh seorang notaris biasanya di bidang penerapan hukum yang tujuannya untuk mencegah permasalahan di waktu yang akan datang atau setidaktidaknya memberikan suatu kepastian tentang kedudukan para pihak dan kejelasan mengenai apa yang pernah disepakati oleh mereka. Sedangkan kewenangan advokat dalam memberikan penyuluhan hukum tidak terbatas seperti halnya notaris yang hanya terbatas dengan pembuatan akta, dan advokat dapat meminta imbalan kepada kliennya terhadap jasa konsultasinya. Selain itu advokat dalam memberikan penyuluhan hukum tidak netral karena sudah berpihak kepada kliennya dan penyuluhan hukum yang diberikan oleh seorang advokat untuk penegakan hukum yang akhirnya dilakukan untuk menyelesaikan suatu persoalan yang telah terjadi. Yang kedua adalah Ibu Linda Herawati sebagai Notaris dan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) di daerah Jakarta Pusat, beliau mengatakan seorang notaris dibenarkan memberikan penyuluhan hukum menurut peraturan perundang-undangan sepanjang perbuatan itu berkaitan dengan pembuatan akta. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam pasal 15 ayat 2 huruf e Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang menyatakan dengan tegas bahwa notaris berwenang pula memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta. Penyuluhan hukum adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk memberikan suatu bantuan hukum berupa penjelasan mengenai ketentuan undang-undang yang dilakukan dalam rangka pembuatan akta, agar pihak-pihak tersebut mampu untuk mengambil suatu keputusan. Dengan adanya penyuluhan hukum yang diberikan oleh
Universitas Indonesia
57
notaris, diharapkan para penghadap yang memerlukan bantuannya menjadi paham dan mengerti mengenai keputusan yang terbaik yang akan diperbuatnya. Pada saat memberikan penyuluhan hukum notaris berperan sebagai pejabat yang profesional yang dapat dipercaya secara penuh dan tidak menyalahgunakan situasi dan kondisi yang ada. Sebagai seorang yang profesional,
notaris
dalam
melaksanakan
profesinya
harus
melakukannya secara bermatabat dan bertangggung jawab atas mutu pelayanan profesinya. Disamping itu juga dinyatakan bahwa memberikan penyuluhan hukum dapat disamakan dengan memberikan suatu nasihat hukum. Alasannya karena keduanya sama-sama memberikan suatu penerangan atau
penjelasan
mengenai
hukum
kepada
para
pihak
yang
membutuhkannya. Juga dinyatakan bahwa notaris mempunyai persamaan dalam pekerjaannya dengan advokat. Keduanya sama-sama menuangkan suatu kejadian dalam bentuk hukum, memberi penyuluhan hukum kepada para pihak dan menjadi orang kepercayaan bagi mereka. Diantara keduanya memiliki kesamaan seperti yang disebutkan di atas, namun antara notaris dan advokat memiliki perbedaan yang mendasar secara prinsip. Seorang notaris dalam memberikan penyuluhan hukum selalu bersikap netral dan tidak memihak dan memberikan pelayanan kepada semua pihak. Selain itu penyuluhan hukum yang diberikan oleh seorang notaris nerupakan penjelasan mengenai ketentuan undang-undang yang digunakan dalam rangka membantu pembuatan akta yang diperlukan dan ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Sedangkan seorang advokat dalam memberikan penyuluhan hukum sudah berpihak, tidak netral karena sudah merupakan tugasnya untuk membela kliennya dan penyuluhan hukum yang diberikan oleh seorang advokat lebih luas dibandingkan seorang notaris.
Universitas Indonesia
58
Peranan notaris dalam memberikan penyuluhan hukum harus memberikan suatu penjelasan mengenai keadaan hukum yang sebenarnya sesuai dengan ketentuan undang-undang, menjelaskan hak dan kewajiban masing-masing pihak, agar tercapai suatu kesadaran hukum yang tinggi dan benar dalam masyarakat, jujur, tidak berpihak, dan dengan penuh rasa tanggung jawab. Sebelum notaris memberikan penyuluhan hukum ia harus mengerti permasalahan yang dipertanyakan oleh klien, agar notaris tidak memberikan suatu penjelasan yang keliru. Jika seorang notaris memberikan penyuluhan hukum kepada klien diluar tugas dan wewenangnya, maka perbuatan itu tidak dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, sepanjang perbuatan itu berhubungan dengan hukum dan berkaitan dengan akta. Walaupun akibat dari pelaksanaan penyuluhan hukum tersebut tidak diatur, notaris yang bersangkutan juga tetap mempunyai tanggung jawabnya yaitu tanggung jawab secara moral terhadap jabatan yang diembannya. Karena notaris merupakan pejabat yang dipercaya dan dalam melaksanakan tugasnya selalu dijiwai Pancasila, sadar dan taat kepada hukum Jabatan Notaris, sumpah jabatan dan juga Kode etik notaris. Jika penghadap merasakan ada suatu ketidakpuasan atas penjelasan yang diberikan oleh notaris tersebut maka secara hukum disahkan bahwa penghadap yang bersangkutan boleh menanyakan kepada notaris lainnya. Terhadap penjelasan hukum yang diberikan notaris, para penghadap bebas untuk menentukan keputusan yang akan diambilnya. Dengan demikian penjelasan tersebut dapat diikuti oleh para penghadap atau tidak ditulis di dalam akta. Bedasarkan alasan tersebut maka jika ada kesalahan didalam akta sehingga menimbulkan kerugian bagi para pihak bukan kesalahan notaris maka notaris tersebut tidak dapat dituntut tanggung jawabnya karena apa yang tercantum di dalam akta merupakan keinginan dari para pihak sendiri sementara notaris hanya menuangkannya saja dari kehendak para pihak didalam akta
Universitas Indonesia
59
otentik, sehingga konsekuensinya ditanggung oleh penghadap sendiri. Akan tetapi jika notaris tersebut memberikan suatu penyuluhan hukum yang diikuti dengan pembuatan akta, ternyata menimbulkan suatu kerugian bagi kliennya karena kesalahan dari notaris sendiri maka menurut beliau, notaris tersebut dapat dituntut tanggung jawabnya. Sebaliknya jika kerugian yang ditimbulkan bukan kesalah notaris maka notaris tidak dapat dituntut tanggung jawabnya. Sebagai gambarannya bahwa sebelum notaris membuatkan akta yang diinginkan oleh kliennya, notaris harus terlebih dahulu memberikan suatu penjelasan mengenai keadaan hukum yang sebenarnya kepada klien, hak dan kewajiban mereka masing-masing, agar klien tersebut mengerti akan keadaan yang sebenarnya. Hal inilah yang dimaksud dengan penyuluhan hukum. Terhadap penyuluhan hukum yang diberikan dapat diikuti oleh klien atau tidak. Dengan demikian sebelum akta ditandatangani, notaris diwajibkan untuk terlebih dahulu membacakan apa yang tertuang dan tertulis didalam akta sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh klien maka setelah aktanya dibuat oleh notaris yang bersangkutan ternyata menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak maka notaris yang bersangkutan tidak dapat dituntut tanggung jawabnya. Dengan alasan bahwa jika akta telah ada, maka yang berbicara bukan para pihak lagi melainkan akta tersebut karena apa yang tertulis di dalam akta sebagai alat bukti yang otentik. 2.12.Analisa 1.
Peranan dan wewenang notaris dalam memberikan penyuluhan hukum kepada klien ditinjau dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris Peranan seorang notaris dalam memberikan penyuluhan hukum dilakukan dalam rangka membantu dalam pembuatan akta otentik dan ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam pasal 15 ayat 2 huruf e Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Universitas Indonesia
60
Jabatan Notaris yang menyatakan dengan tegas bahwa notaris berwenang pula memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta. Selain hal yang disebutkan diatas, di dalam Pasal 3 huruf a Rumusan Komisi D Bidang Kode etik Ikatan Notaris Indonesia Periode 1990-1993 bahwa anggota (notaris) wajib memberikan penyuluhan hukum kepada klien, sejauh mungkin sehingga klien itu dapat menangkap dan memahami penyuluhan tersebut, walaupun dengan diberikannya penyuluhan orang itu urung membuat akta atau urung menjadi klien dari anggota yang bersangkutan.75 Bedasarkan hasil wawancara antara penulis dengan beberapa notaris, maka penulis dapat menjelaskan bahwa wewenang notaris dalam memberikan penyuluhan hukum kepada kliennya, dapat dibagi menjadi 2 (dua) kriteria, yaitu penyuluhan hukum yang diikuti dengan pembuatan akta dan penyuluhan hukum tanpa diikuti dengan pembuatan akta. Penyuluhan
hukum
yang
diikuti
dengan
pembuatan
akta
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Hanya saja di dalam memberikan suatu penyuluhan hukum, notaris harus memberikan penjelasan mengenai keadaan hukum yang sebenarnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, menjelaskan hak dan kewajiban para pihak agar tercapai kesadaran hukum yang tinggi dalam masyarakat, jujur, tidak berpihak dan dengan penuh rasa tanggung jawab. Sebelum notaris memberikan penyuluhan hukum, ia harus mengerti dengan baik permasalahan yang dipertanyakan oleh klien kepadanya, agar notaris tersebut tidak memberikan suatu penjelasan yang keliru atau tidak sesuai bahkan melanggar ketentuan yang berlaku. Selain itu dalam memberikan penyuluhan hukum notaris harus mampu menilai terlebih dahulu apa yang sesungguhnya dikehendaki oleh para pihak yang datang kepadanya, memberikan nasihat yang sesuai dengan 75
As’ad Sungguh, 25 Etika Profesi, (Jakarta:Sinar Grafika, 2004), hlm. 43-44.
Universitas Indonesia
61
undang-undang, dan mencari bentuk-bentuk hukum yang sesuai dan dikehendaki oleh para pihak. Dalam memberikan penyuluhan hukum, notaris berperan untuk selalu bertindak jujur dan tidak berpihak, memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan yang berlaku didalam undang-undang, serta merahasiakan segala keterangan dan segala sesuatu yang diperolehnya dari para penghadap atau kliennya kepada pihak lain. Mengenai tanggung jawab notaris dalam memberikan penyuluhan hukum tersebut, tentunya sangat erat kaitannya dengan pembuatan akta otentik. Dimana berdasarkan Pasal 1867 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan istilah akta otentik dan dalam Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata memberikan batasan secara unsur yang dimaksud dengan akta otentik, yaitu: a. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undangundang. b. Akta itu harus dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum. c. Pejabat umum oleh- atau dihadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut, di tempat dimana akta tersebut dibuat. Dengan demikian akta otentik mempunyai pembuktian yang sempurna. Kesempurnaan akta notaris sebagai alat bukti, maka akta tersebut harus dilihat apa adanya, tidak perlu dinilai atau ditafsirkan lain, selain yang tertulis dalam akta tersebut. Selain penjelasan mengenai akta otentik tersebut diatas, notaris juga dalam membuat akta otentik dibagi menjadi 2 (dua) jenis akta, yaitu: akta yang dibuat oleh notaris dalam praktek notaris sering disebut akta relaas atau akta berita acara, yang berisi berupa uraian notaris yang dilihat dan disaksikan notaris sendiri atas permintaan para pihak yang dilakukan dituangkan kedalam bentuk akta notaris, dan yang kedua adalah akta yang dibuat dihadapan notaris, dalam praktek notaris disebut akta pihak, yang berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan atau yang diceritakan di hadapan notaris. Para
Universitas Indonesia
62
pihak berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan ke dalam bentuk akta notaris. Pembuatan akta notaris baik akta relaas maupun akta pihak, yang menjadi dasar utama atau inti dalam pembuatan akta notaris, yaitu harus ada keinginan atau kehendak dan permintaan dari para pihak, jika keinginan dan permintaan para pihak tidak ada, maka notaris tidak akan membuat akta yang dimaksud. Untuk memenuhi keinginan dan permintaan para pihak tersebut, notaris dalam hal ini mempunyai kewenangan untuk dapat memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta yang bersangkutan, dengan berdasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketika saran atau penyuluhan hukum dari notaris tersebut diikuti oleh para pihak dan dituangkan atau dilanjutkan dengan pembuatan aktanya, dan ternyata akta notaris tersebut dikemudian hari bermasalah atau menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak dalam akta, maka dalam hal ini notaris tidak bisa langsung dipersalahkan atau diminta pertanggung jawabannya,
karena
akta
notaris
tersebut
adalah
merupakan keinginan dan permintaan para pihak, bukan saran atau pendapat notaris, melainkan isi akta merupakan perbuatan para pihak dan
bukan
perbuatan
atau
tindakan
notaris.
Notaris
hanya
memformulasikan keinginan para pihak agar tindakannya dituangkan dalam bentuk akta otentik atau akta notaris. Pihak yang merasa dirugikan dan yang hendak menuntut notaris tersebut terlebih dahulu harus dapat membuktikan beberapa hal berikut ini: a. Adanya derita kerugian b. Antara kerugian yang diderita dan pelanggaran atau kelalaian dari notaris terdapat hubungan kausal c. Pelanggaran (perbuatan) atau kelalaian tersebut disebabkan kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada notaris yang bersangkutan. Berdasarkan uraian diatas maka pihak yang merasa dirugikan tersebut dapat mengajukan gugatan berupa tuntutan ganti rugi kepada
Universitas Indonesia
63
notaris yang bersangkutan, tetapi dengan syarat pihak tersebut harus dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut merupakan akibat langsung dari akta notaris yang bersangkutan. Dalam posisi tersebut penggugat atau pihak yang merasa dirugikan tersebut harus dapat membuktikan apa saja yang dilanggar oleh notaris, dari aspek lahiriah, aspek formal, dan aspek materiil atas akta notaris tersebut. Jika gugatan terhadap notaris tersebut diatas tidak terbukti maka akta notaris tersebut tetap berlaku dan mengikat para pihak dan pihakpihak yang terkait sepanjang tidak dibatalkan oleh para pihak sendiri atau berdasarkan putusan pengadilan, demikian pula jika gugatan tersebut terbukti , maka akta notaris terdegradasi kedudukannya dari akta otentik menjadi akta dibawah tangan, sebagai akta dibawah tangan maka nilai pembuktiannya tergantung para pihak dan hakim yang akan menilainya. Jika pendegradasian kedudukan akta tersebut ternyata merugikan pihak yang bersangutan (penggugat) dan dapat dibuktikan oleh penggugat, maka penggugat dapat menuntut ganti rugi kepada notaris yang bersangkutan. Jika notaris tidak dapat membayar ganti rugi yang dituntut tersebut, maka berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, notaris tersebut dapat dinyatakan pailit. Kepailitan notaris tersebut dapat dijadikan dasar untuk memberhentikan sementara notaris dari jabatannya, jika berada dalam proses pailit (Pasal 9 ayat 1 huruf a UUJN), dan diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya, jika dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 12 huruf a UUJN). Kriteria penyuluhan hukum yang kedua adalah penyuluhan hukum yang tidak diikuti dengan pembuatan akta. Dalam penyuluhan hukum seperti ini notaris mempunyai kewenangan untuk dapat memberikan atau tidak dapat memberikan penyuluhan hukum kepada para pihak. Pertimbangan notaris untuk memberikan penyuluhan hukum kepada para pihak, dengan syarat penyuluhan hukum tersebut masih dalam ruang lingkup kewenangan notaris yang telah diatur di dalam peraturan
Universitas Indonesia
64
perundang-undangan yang berlaku atau penyuluhan hukum tersebut tidak melanggar UUJN dan kode etik notaris. Sebagai contoh jika ada seseorang yang meminta kepada notaris untuk diberikan penyuluhan hukum atau nasehat hukum mengenai suatu akta notaris yang dibuat oleh notaris lain, maka dalam hal ini notaris harus dapat menolak permintaan dan keinginan orang tersebut, dengan cara notaris dapat memberikan penjelasan kepada orang tersebut bahwa notaris tidak mempunyai kewenangan untuk menilai atau mengomentari akta notaris dari teman sejawat notaris. Dalam hal ini notaris hanya dapat membantu orang tersebut dengan cara memberikan saran agar orang tersebut dapat meminta bantuan kepada pihak yang lebih berwenang, seperti pengacara. Selain hal tersebut jika ada orang yang meminta kepada notaris untuk diberikan saran atau nasihat hukum dalam hal pembuatan akta yang bukan kewenangan notaris, seperti contohnya membuat akta kelahiran atau akte perkawinan, maka notaris dalam hal ini dapat memberikan saran kepada orang yang bersangkutan untuk dapat meminta bantuannya kepada pejabat yang berwenang untuk itu, yaitu Pegawai Kantor Catatan Sipil. Dengan demikian mengenai tanggung jawab notaris dalam hal hanya memberikan penyuluhan hukum tanpa adanya pembuatan akta, notaris tidak dapat dituntut tanggung jawabnya karena hal tersebut merupakan suatu pendapat seseorang, antara notaris yang satu dengan notaris yang lainnya dapat saja berbeda pendapat karena mereka melihat dari sudut pandang yang berbeda. Hal ini memang sering terjadi sehingga tidak ada tanggung jawabnya karena pada realitanya seorang notaris tidak pernah dituntut tanggung jawabnya dalam pemberian suatu penyuluhan hukum. Sehingga apabila ada klien yang tidak puas dengan jawaban yang diberikan oleh seorang notaris, maka secara hukum disahkan bahwa klien tersebut boleh menanyakan kepada notaris lainnya. Bedasarkan hal tersebut klien diberi kebebasan untuk memilih sendiri sebagai perbuatan hukum yang akan dilakukannya untuk dinyatakan didalam suatu akta. Dengan demikian penjelasan yang
Universitas Indonesia
65
diberikan oleh notaris yang bersangkutan dapat diikuti oleh para penghadap atau tidak untuk dinyatakan didalam suatu akta. 2.
Batasan-batasan
bagi
seorang
notaris
dalam
peranannya
memberikan penyuluhan hukum kepada klien Berdasarkan pasal 15 ayat 2 huruf e UUJN notaris berwenang untuk memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta. Dalam hal ini UUJN memberikan kewenangan tersebut dengan tujuan agar para pihak dapat memahami hukum yang berlaku, sehingga hukum tersebut dapat melembaga dan bahkan menjiwai setiap para pihak yang bersangkutan. Tujuannya bukan sekedar memberikan informasi atau keterangan-keterangan mengenai hukum yang perlu diketahui, akan tetapi mengusahakan untuk membina dan meningkatkan kesadaran hukum para pihak yang bersangkutan, sehingga timbul kepatuhan dan ketaatan hukum, atas dasar anggapan bahwa hukum itu sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku atau yang dianutnya. Penyuluhan hukum atau penjelasan mengenai ketentuan undangundang ini diberikan dalam rangka membantu dalam pembuatan akta yang diperlukan dan ini merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Nasihat yang harus diberikan oleh seorang notaris harus berdasarkan keyakinan dalam bidang yang dikuasai dan dalam batas-batas kemampuannya. Keahlian hukum dalam bidangnya harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan adanya penyuluhan hukum yang diberikan oleh notaris, diharapkan para penghadap yang memerlukan bantuannya menjadi paham dan mengerti mengenai keputusan yang terbaik yang akan diperbuatnya dan juga sebelum notaris membuatkan akta yang diinginkan oleh kliennya, notaris harus terlebih dahulu memberikan suatu penjelasan mengenai keadaan hukum yang sebenarnya kepada klien, hak dan kewajiban mereka masing-masing, agar klien tersebut mengerti akan keadaan yang sebenarnya.
Universitas Indonesia
66
Atas dasar kewenangan tersebut, dalam menjalankan tugas dan kewajibannya notaris dituntut untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan pelayanan yang profesional. Dalam mewujudkan 2 (dua) sisi pekerjaan yang mengandung banyak resiko tersebut diperlukan pengetahuan hukum yang cukup dan ketelitian serta tanggung jawab yang tinggi. Untuk itu dalam praktek sehari-hari notaris diwajibkan untuk senantiasa menjunjung tinggi hukum dan asas negara serta bertindak sesuai dengan makna sumpah jabatan dan mengutamakan pengabdiannya kepada kepentingan masyarakat dan negara. Adanya kewajiban kepribadian yang baik dan tuntutan untuk menjunjung tinggi martabat jabatan notaris, dengan demikian dalam pelaksanaan jabatannya notaris tidak dibenarkan melakukan hal-hal dan/atau tindakan yang tidak sesuai dengan martabat dan kehormatan jabatan notaris. Dengan demikian seorang notaris dalam memberikan penyuluhan hukum kepada kliennya memiliki batasan-batasan yang harus ditaati dan junjung tinggi, yaitu: a. Penyuluhan hukum diberikan sehubungan dengan pembuatan akta (Pasal 15 ayat 2 huruf e UUJN); b. Penyuluhan hukum diberikan dengan syarat pembuatan akta yang bersangkutan tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh undang-undang (Pasal 15 ayat 1 jo Pasal 15 ayat 2 huruf e UUJN); c. Penyuluhan hukum yang diberikan harus berdasarkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. Penyuluhan hukum yang diberikan tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku; e. Dalam memberikan penyuluhan hukum notaris wajib berjiwa Pancasila, taat kepada hukum, sumpah jabatan, kode etik notaris (Kode etik Notaris);
Universitas Indonesia
67
f. Dalam memberikan penyuluhan hukum notaris wajib memiliki perilaku profesional dan menjunjung tinggi kehormatan dan martabat (Kode etik notaris); g. Notaris harus selalu meningkatkan pengetahuannya agar supaya penyuluhan hukum yang diberikan dapat selalu “up to date” dengan ketentuan yang berlaku (Kode etik notaris); h. Dalam memberikan penyuluhan hukum, notaris harus memiliki integritas moral, yang artinya menghindari sesuatu yang tidak baik walaupun imbalan jasanya tinggi, pelaksanaan tugas profesi diselaraskan dengan nilai-nilai kemasyarakatan, sopan santun dan agama (Kode etik notaris); i. Dalam memberikan penyuluhan hukum, notaris harus dapat bersikap
jujur,
tidak
semata-mata
pertimbangan
uang,
melainkan juga pengabdian, tidak membedakan antara orang yang mampu dan tidak mampu (Kode etik notaris); j. Dalam
memberikan
penyuluhan
hukum,
notaris
harus
berpegang teguh pada kode etik profesi karena didalamnya ditentukan segala perilaku yang harus dimiliki oleh notaris (Kode etik notaris);. k. Dalam
memberikan
penyuluhan
hukum,
notaris
harus
menyadari kewenangan, kewajiban, dan larangan sebagaimana yang telah diatur didalam UUJN; l. Dalam memberikan penyuluhan hukum, notaris harus bekerja sendiri, penuh rasa tanggung jawab dan tidak berpihak (UUJN); m. Dalam
memberikan
penyuluhan
hukum,
notaris
tidak
diperkenankan untuk memungut atau meminta honorarium kepada klien yang bersangkutan (Kode etik notaris); n. Memberikan penyuluhan hukum kepada masyarakat yang memerlukan
dengan
sebaik-baiknya
agar
masyarakat
menyadari hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan anggota masyarakat.
Universitas Indonesia
68
Berkaitan dengan tugas dan kewenangan notaris tersebut, maka dapat dipahami bahwa keberadaan profesi notaris merupakan profesi yang sangat penting dan dibutuhkan dalam masyarakat, mengingat kewenangan dari notaris dalam memberikan penyuluhan hukum kepada kliennya sangat penting sehubungan dengan pembuatan akta yang bersangkutan. Sebagai pejabat umum notaris hendaknya dalam melaksanakan tugasnya selalu dijiwai oleh Pancasila, sadar dan taat kepada hukum UUJN, sumpah jabatan, kode etik notaris dan berbahasa Indonesia yang baik. Dengan berperilaku profesional serta memahami pengetahuan tentang ketentuan-ketentuan hukum yang terkait dengan pekerjaan notaris yaitu dalam rangka pembuatan akta otentik, diharapkan dalam pelaksanaan tugasnya, notaris akan terhindar dari segala akibat hukum yang dapat merugikan notaris, terhadap akta-akta yang telah dan atau akan dibuatnya
Universitas Indonesia
69
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Peranan dan wewenang notaris dalam memberikan penyuluhan hukum kepada kliennya diwajibkan kepada notaris yang bersangkutan agar dapat mengerti dengan baik dan benar setiap kehendak, keinginan dan permasalahan yang dipertanyakan dan/atau diajukan oleh klien kepada notaris, dengan tujuan agar notaris tersebut tidak memberikan suatu penjelasan atau penyuluhan hukum yang keliru atau tidak sesuai bahkan melanggar ketentuan yang berlaku. Dalam kasus Perseroan terbatas yang melakukan rapat umum pemegang saham yang salah satu agendanya adalah melakukan jual beli saham maka notaris diwajibkan untuk dapat memberikan penyuluhan hukum mengenai harus dibuatnya akte jual beli saham tersebut, karena akte jual beli saham tersebut menjadi dasar atas peralihan hak atas kepemilikan saham tersebut, sedangkan untuk kasus perseoan terbatas yang hanya memiliki satu pemegang saham dan untuk kasus perseroan terbatas yang hendak didirikan oleh pasangan suami istri yang tidak membuat perjanjian kawin, hendaknya notaris sebelum membuat akte pendirian perseroan terbatas tersebut diwajibkaan untuk memberikan penyuluhan hukum mengenai syaratsyarat yang telah ditentukan dan diatur di dalam Undang-Undang No 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan terbatas dalam hal syarat pendirian Perseroan terbatas. Selain itu dalam memberikan penyuluhan hukum notaris harus mampu menilai terlebih dahulu apa yang sesungguhnya dikehendaki oleh para pihak yang datang kepadanya, memberikan nasihat yang sesuai dengan undang-undang, dan mencari bentuk-bentuk hukum yang sesuai dan dikehendaki oleh para pihak. Penjelasan terhadap penyuluhan hukum yang diberikan notaris dapat diikuti atau tidak ditulis didalam suatu akta. Oleh karena itu para penghadap diberi suatu
Universitas Indonesia
70
kebebasan untuk mencantumkan hal-hal apa saja yang diinginkan untuk ditulis didalam suatu akta, hanya saja notaris tetap menjaga agar kebebasan yang diberikan kepada para penghadap tidak melanggar batas-batas yang ditentukan oleh peraturan perundang-undang yang terkait. Bedasarkan hal tersebut maka jika terdapat kesalahan didalam akta sehingga menimbulkan kerugian bagi para pihak bukan kesalahan notaris, maka notaris tersebut tidak dapat dituntut tanggung jawabnya karena apa yang tercantum didalam akta merupakan apa yang dikehendaki dan keinginan dari para pihak sendiri, sementara notaris hanya mencatatkan apa yang dikehendaki sehingga konsekuensinya ditanggung oleh penghadap sendiri. Kecuali kesalahan notaris sendiri maka notaris tersebut dapat dituntut tanggung jawabnya. 2. Batasan-batasan bagi seorang notaris dalam memberikan penyuluhan hukum kepada kliennya notaris harus memberikan penjelasan mengenai keadaan hukum yang sebenarnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, menjelaskan hak dan kewajiban para pihak agar tercapai kesadaran hukum yang tinggi dalam masyarakat, bertindak jujur, tidak berpihak dan dengan penuh rasa tanggung jawab mentaati kentuan didalam UUJN, kode etik notaris dan sumpah jabatan. B. Saran 1.
Setiap notaris disarankan agar dapat memberikan penyuluhan hukum yang baik dan benar yang sesuai dengan yang dikehendaki oleh para pihak dan harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
karena
jika
notaris
melalaikan
kewenangan
dalam
memberikan penyuluhan hukum ini akibatnya bisa berdampak kepada sengketa dan kerugian baik bagi para pihak yang terkait maupun bagi notaris itu sendiri. Oleh karena itu setiap notaris diwajibkan untuk dapat menjalankan profesinya sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku, UUJN, Kode Etik, Sumpah Jabatan dan harus mempunyai pengetahuan dan wawasan yang baik, benar dan luas. Dalam memberikan penyuluhan hukum kepada para pihak, notaris
Universitas Indonesia
71
harus dapat bertindak jujur, mandiri, dan tidak berpihak atau bersifat netral. Bagi seorang notaris yang professional maka akan lebih baik jika memiliki sifat kehati-hatian, ketelitian dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya dalam pembuatan akta yang dimintakan oleh para pihak. Notaris dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus selalu teliti dan memeriksa kebenaran data yang diberikan oleh penghadap dan berpegang pada Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang jabatan notaris dan dalam melaksanakan jabatannya harus berpegang pada moral dan etika. Dalam bekerja tidak semata-mata karena materi atau uang semata, namun harus lebih mementingkan harkat dan martabat sebagai manusia yang bertanggungjawab penuh atas profesinya. 2.
Bagi kasus-kasus yang telah dikemukan di atas, maka disarankan kepada notaris ketika melakukan penyuluhan hukum agar dapat dilakukan di hadapan para pihak dalam akta dan saksi-saksi serta setiap penyuluhan hukum yang telah dilakukan oleh notaris dan disetujui oleh para pihak hendaknya dituliskan dalam akta, atau jika hal tersebut tidak dapat dilakukan, notaris bisa menuangkannya dalam suatu akte tersendiri, hal ini dilakukan sebagai bukti bahwa notaris tersebut
telah
melakukan
kewajibannya
dalam
memberikan
penyuluhan hukum sehubungan dengan akta yang hendak dibuat. Para pihak yang menghadap hendaknya jujur atau menceritakan yang sesungguhnya berkaitan dengan keterangan dalam pembuatan akta kepada notaris, supaya akta itu dapat dipertanggung jawabkan dan tidak merugikan kepentingan para pihak yang menyebabkan dibatalkannya akta, agar akta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, norma agama, kesusilaan atau kepatutan yang mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan notaris. Notaris diwajibkan juga agar dapat selalu hadir, mengikuti dan berpatisipasi aktif dalam setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh perkumpulan, serta menghormati, mematuhi, melaksanakan setiap dan seluruh keputusan perkumpulan.
Universitas Indonesia
72
Daftar Pustaka A. Buku Adjie, Habib, Hukum Notaris Indonesia, cet.2, Bandung: Refika Aditama, 2009. Adjie, Habieb, Meneropong Khasanah Notaris dan PPAT Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009. Adjie, Habib, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik, Bandung: Refika Aditama, 2009. Adjie, Habib, Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia dalam Kumpulan Tulisan, CV. Mandar Maju, Bandung, 2009. HS, Salim. Hukum Kontrak-Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2006. Kansil , C.S.T. dan Chistine S.T. Kansil, Pokok-pokok Etika Profesi Hukum, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 1996. Mamudji, Sri. et al. Metode Penelitian Dan Penulisan Hukum, Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 1999. Notodisoerjo, Soegondo, Hukum Notariat Di Indonesia Suatu Penjelasan, Jakarta : Raja Grafindo Perasada, 1993. Soekanto, Soerjono, Beberapa Cara dan Mekanisme dalam Penyuluhan Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1986. Soekanto, Soerjono ,Kaidah-Kaidah Hukum , Jakarta: Sinar Grafika, 2001. Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia,2008.
Universitas Indonesia
73
Soemoatmodjo, Soetardjo, Apakah: Notaris, PPAT, Pejabat Lelang, Yogyakarta: Liberty, 1986. Soerodjo, Irawan, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia, Surabaya: Arkola, 2003. Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: Pradnya Paramita, 1987. Sungguh, As’ad, 25 Etika Profesi, Jakarta:Sinar Grafika, 2004. Tan Thong Kie. Studi Notariat-Serba Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2000. Tobing, G.H.S Lumban, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta : Erlangga, 1983. B. Peraturan perundang-undangan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432). Indonesia, Undang-Undang Advokat. UU No.18 tahun 2003, LN No. 4288. C. Internet Dian Fisnanto, Yuli “Notaris dan Jaminan Kepastian Hukum”, www.wawasanhukum.blogspot.com. Diunduh 3 Juli 2012. D. Artikel Herlien, Asosiasi Notaris, Suatu Jalan Keluar? Media Notariat, No.2/Tahun I, (Oktober, 1999) Jusuf, Abu, Etika Jabatan Notaris Sebagai Profesi Hukum, Media Notariat, Nomor 2 Tahun 1, (Oktober, 1999) Notaris Ideal dan Profesional, Media Notariat, (April-Juni 2001), . 46.
Universitas Indonesia
74
Prayitno, Roenastiti, “Tugas dan Tanggung Jawab Notaris sebagai Pejabat Pembuat Akta”, Media Notariat, No.12-13/Tahun IV, (Oktober:1989),. 178. Shidarta, Etika Profesi Hukum Dalam Sorotannya, Era Hukum, No.9/Tahun 3 (Juli,1996), .35.
Universitas Indonesia