UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISA HUKUM TENTANG PEMBLOKIRAN REKENING BANK WAJIB PAJAK SEBAGAI SALAH SATU PELAKSANAAN SURAT PAKSA (Studi Kasus PT. HI)
TESIS
DWINDA ASTERITA PERMANASARI, S.H. 1006828054
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN SALEMBA JANUARI 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISA HUKUM TENTANG PEMBLOKIRAN REKENING BANK WAJIB PAJAK SEBAGAI SALAH SATU PELAKSANAAN SURAT PAKSA (Studi Kasus PT. HI)
TESIS Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan
DWINDA ASTERITA PERMANASARI, S.H. 1006828054
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN SALEMBA JANUARI 2013
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Dwinda Asterita Permanasari , S.H.
NPM
: 1006828054
Tanda Tangan
:
Tanggal
: 16 Januari 2013
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh
:
Nama
: Dwinda Asterita Permanasari, S.H.
NPM
: 1006828054
Program Studi
: Magister Kenotariatan
Judul Tesis
:ANALISA HUKUM TENTANG PEMBLOKIRAN REKENING BANK WAJIB PAJAK SEBAGAI SALAH SATU PELAKSANAAN SURAT PAKSA (Studi Kasus PT. HI)
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Pembimbing
: F.X. Sutardjo, S.H., M.Sc.
Penguji
: Dr. Drs. Widodo Suryandono, S.H., M.H. (…………………)
Penguji
: A.Y. Dhaniarto, S.H., LL.M
Ditetapkan di : Depok Tanggal
: 16 Januari 2013
iii
(……………………)
(…………………..)
Kata Pengantar
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan Tesis ini yang berjudul “Analisa Hukum Tentang Pemblokiran Rekening Bank Wajib Pajak Sebagai Satu Pelaksanaan Surat Paksa (Studi Kasus PT. HI)”. Adapun Tesis ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Program Magister Kenotariatan Universitas Indonesia. Dalam penyusunan Tesis ini, disadari bahwa masih terdapat kekurangan sehingga Tesis ini masih jauh dari kata sempurna. Maka oleh karenanya diharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun dalam rangka
penyempurnaan Tesis ini. 1. Saya mengucapkan terimakasih kepada Bapak F.X. Sutardjo, S.H., M.Sc, selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan penulis dalam penyusunan Tesis ini; 2. Bapak Dr. Drs. Widodo Suryandono, S.H., M.H., selaku Ketua Sub Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, sekaligus anggota Dewan Penguji; 3. Bapak A.Y. Dhaniarto, S.H., LL.M. , selaku dosen Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, sekaligus anggota Dewan Penguji; 4. Para dosen yang telah mendidik dan memberikan ilmunya kepada saya selama menjalankan perkuliahan di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia; 5. Seluruh Staf Administrasi Sekretariat di Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 6. Kedua orang tua penulis tercinta, Bapak Eriwan Sembiring dan Ibu Tri Utami, yang telah membesarkan dan mendidik penulis dengan penuh kasih sayang. Serta suami penulis Pius Petura Sinuraya dan anak penulis yang tersayang Nicholas Nathan Sinuraya yang selalu mendoakan, memberi perhatian, semangat dan dorongan kepada saya dalam menempuh pendidikan Kenotatiatan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan dalam iv
menyelesaikan perkuliahan serta penulisan Tesis ini. 7. Kedua mertua penulis, Bapak Joseph Sinuraya dan Ibu Yustina Ginting, serta Andy Oktaviano Pratama, Lili Lucia Sinuraya, Rulu Regina Sinuraya, Margarettha Sinuraya, kakak penulis yang selalu memberikan motivasi, bantuan dan dukungan moril kepada penulis selama penulis kuliah dan selama penulisan Tesis ini. 8. Teman-teman saya mbak Ika Dwi Susanti, Ibu Arlina, Bunda Septy Veronita, mbak Ade, Kak Metty, Anna, Ibu Azizah, Ibu Rita yang telah membantu saya dalam menyelesaikan Tesis ini serta Nani teman seperjuangan saya selama mengerjakan Tesis. 9. Seluruh teman-teman Salemba angkatan 2010 Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Akhir kata, penulis berharap semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan yang lebih kepada mereka semua dan semoga Tesis ini menjadi sumbangsih pada almamater. Depok, Januari 2013
Penulis
v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ============================================================= Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: Dwinda Asterita Permanasari, S.H.
NPM
: 1006828054
Program Studi
: Magister Kenotariatan
Fakultas
: Hukum
Jenis karya
: Tesis
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: “Analisa Hukum Tentang Pemblokiran Rekening Bank Wajib Pajak Sebagai Salah Satu Pelaksanaan Surat Paksa (Studi Kasus PT. HI)”.Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Nonekslusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tuga akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Depok Pada tanggal : 16 Januari 2013
Yang menyatakan
(Dwinda Asterita Permanasari, S.H)
vi
ABSTRAK Nama Program studi Judul
: Dwinda Asterita Permanasari, S.H. : Magister Kenotariatan : ANALISA HUKUM TENTANG PEMBLOKIRAN REKENING BANK WAJIB PAJAK SEBAGAI SALAH SATU PELAKSANAAN SURAT PAKSA (Studi Kasus PT. HI)
Tesis ini membahas Analisa Hukum Tentang Pemblokiran Rekening Bank Wajib Pajak. Hal ini dilatar belakangi bahwa banyak Wajib Pajak yang tidak mengerti prosedur dalam pelunasan tunggakan pajak setelah dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. Dan Jurusita Pajak melakukan penyitaan dengan pemblokiran rekening terlebih dahulu. Dalam upaya mengetahui prosedur dan keefektifitasan pemblokiran rekening bank Wajib Pajak,maka metode penelitian ini bersifat deskriptif analitis dan metode pendekatan yang dipakai adalah yuridis sosiologis. Berdasarkan penelitian penulis memperoleh jawaban atas permasalahan yang ada, bahwa prosedur pemblokiran yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak tidak sesuai dengan Undang-undang.
Kata kunci : Wajib Pajak, Surat Paksa, Pemblokiran .
vii
ABSTRACT Name Study program Title
: Dwinda Asterita Permanasari,S.H : Master Degree of Notarial :The legal analysis about the blocking of bank accounts of taxpayers as one of forced execution of the letter (case study PT.HI)
This Thesis discusses the legal analysis of the blocking of bank accounts of taxpayers. This is the reasons that many taxpayers who did not understand the procedures in the payment of tax arrears after the promulgation of decree letter less tax paid. And bailiff taxes do foreclosure with blocking of account in advance. In an attempt to find out the procedure and the efficiency of blocking taxpayer account then this research method is analytical and descriptive approach method used is the juridical sociological. Based on studies of the author answers to existing problems that the blocking procedure conducted by the Directorate General of Taxation not in accordance with the act.
Keywords: Tax Payers, Forced Letter, Blocking
viii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL …………………………………………………………………i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ……………………………………ii HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………………………iii KATA PENGANTAR ……………………………………………………….............iv LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH …………………….vi ABSTRAK ………………………………………………………………………….vii ABSTRACT ………………………………………………………………..………viii DAFTAR ISI…………………………………………………………………………ix BAB I
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang……………………………………………………1 1.2. Pokok Permasalahan ………………………………………..........8 1.3. Metode Penelitian …………………………………………...11 1.4. Sistematika Penulisan …………………………………………..12
Bab II
Analisa Hukum Tentang Pemblokiran Rekening Wajib Pajak Sebagai Salah Satu Pelaksanaan Surat Paksa……………………13 2.1
Tinjauan Umum Tentang Pajak……………………...............13 2.1.1 Pengertian Pajak…….……………………………….13 2.1.2 Landasan Filosofis Pajak…………………………….19 2.1.3 Asas Pemungutan Pajak……………………. ……….22 2.1.4 Fungsi Pajak………………………………………….24 2.1.5 Penggolongan Jenis Pajak………………….. ……….25 2.1.6 Sistem Pemungutan Pajak……………………………28 ix
2.1.7 Cara Pemungutan Utang Pajak…………………….. 30 2.1.8 Utang Pajak ………………………………………. 31 2.1.8.1 Timbulnya Utang Pajak ……………………31 2.1.8.2 Hapusnya Utang Pajak ……………………. 32 2.1.9 Hak dan Kewajiban Wajib Pajak Maupun Fiskus…..34 2.1.9.1 Hak Wajib Pajak ………………………….. 34 2.1.9.2 Kewajiban Wajib Pajak ……………………35 2.1.9.3 Hak Fiskus ………………………………... 36 2.1.9.4 Kewajiban Fiskus …………………………. 37 2.2
Penagihan Pajak …………………………………………... 37 2.2.1 Pengertian Penagihan ……………………………... 37 2.2.2 Dasar Penagihan Pajak …………………………… 49 2.2.3 Pejabat dan Jurusita Pajak ………………………… 53 2.2.4 Penagihan seketika dan sekaligus ………………… 54 2.2.5 Upaya hukum Wajib Pajak terhadap penagihan … 54 2.2.5.1 Gugatan …………………………………… 55 2.2.5.2 Pembetulan dan Pengantian ………………. 55 2.2.6 Tahapan Penagihan Pajak ………………………… 56 2.2.6.1 Surat Pemberitahuan (SPT) ………………..57 2.2.6.2 Surat Teguran ……………………………... 57 2.2.6.3 Surat Paksa ……………………………….. 58 2.2.6.4 Penyitaan ………………………………… 59 2.2.6.5 Lelang …………………………………….. 62 2.2.6.6 Pencegahan dan Penyanderaan …………… 63 x
2.3
Pemblokiran dan Penyitaan Rekening Wajib Pajak ……….65 2.3.1 Jenis Harta Wajib Pajak Pada Bank ………………. 66 2.3.2 Tahapan Pemblokiran …………………………….. 68 2.3.3 Tahapan Penyitaan ………………………………... 69 2.3.4 Pemindahbukuan ke Kas Negara …………………. 71 2.3.5 Pencabutan Pemblokiran …………………………. 71 2.3.6 Pihak-Pihak yang terkait dengan Pemblokiran Rekening………………………………………........ 73
BAB III
2.4
Kasus Posisi ………………………………………………. 72
2.5
Analisa Kasus ……………………………………………...75
Penutup …………………………………………………………... 84 3.1
Kesimpulan………………………………………………… 84
3.2
Saran……………………………………………………….. 85
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….. 86 LAMPIRAN
xi
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Untuk dapat melaksanakan penyelenggaraan Negara, diperlukan dana yang bersumber dari pajak. Peningkatan pendapatan Negara dari pajak akan memberikan kontribusi besar bagi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan
biaya
pembangunan,
termasuk
untuk
meningkatkan
kesejahteraan rakyat Indonesia. Pemaparan ini disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam salah satu bagian konferensi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).1 Sementara Soemitro menyatakan dalam bukunya bahwa pajak sebenarnya merupakan jiwa Negara, sebab tanpa pajak negara akan sukar untuk hidup, kecuali apabila Negara itu mempunyai pendapatan dari sumber-sumber alam (minyak, gas bumi, tambang emas, bijih besi, magnesium, dan sebagainya) dan atau dari perdagangan/industri-industri. Jadi pajak pada hakikatnya mengenai hidup negara secara ekonomis, bukan hidup secara manusiawi.2 Berdasarkan Pasal 23A UUD 1945, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Penjelasan Pasal 23 A UUD 1945 menyebutkan bahwa “ dalam menetapkan pendapatan dan belanja, kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat lebih kuat daripada kedudukan Pemerintah. Ini tanda kedaulatan rakyat. Penetapan belanja mengenai hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri, segala tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat seperti pajak dan lainlainnya harus ditetapkan dengan undang-undang yaitu dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.3
1
Glori K Wadrianti, 2005, Lakukan Kewajiban dengan Benar, Jakarta, KCM. Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, 2004, 1 Asas dan Dasar Perpajakan, edisi kedua (revisi) : cetakan pertama, Bandung, PT. Refika Aditama, hal. 43. 3 Perubahan Ketiga UUD 1945. 2
Universitas Indonesia
2
Pada saat ini undang-undang perpajakan yang berlaku di Indonesia (terkait dengan pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat) adalah: 1.
UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
2.
UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh).
3.
UU Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM).
4.
UU Nomor 12 tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
5.
UU Nomor 20 tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
6.
UU Nomor 13 tahun 1985 tentang Bea Materai.
7.
UU Nomor 19 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa( PPSP).
8.
UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Dalam rangka untuk lebih memberikan keadilan, meningkatkan
pelayanan kepada Wajib Pajak, meningkatkan kepastian dan penegakan hukum, serta mengantisipasi perkembangan di bidang teknologi informasi dan perubahan ketentuan material di bidang perpajakan telah dilakukan perubahan ketiga terhadap Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang KUP dengan disahkannya UU Nomor 28 Tahun 2007 pada tanggal 17 Juli 2007. Perubahan tersebut khususnya berkaitan dengan keseimbangan hak dan kewajiban bagi masyarakat Wajib Pajak agar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya lebih baik. Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2008. Falsafah dan landasan yang menjadi latar
belakang dan dasar
pembentukan undang-undang KUP tercermin dalam ketentuan-ketentuan yang mengatur sistem dan mekanisme pemungutan pajak. Sistem dan mekanisme tersebut pada gilirannya akan menjadi ciri dan corak tersendiri dalam sistem perpajakan Indonesia, karena kedudukan undang-undang ini akan menjadi “ketentuan umum” bagi peraturan perundang-undangan
Universitas Indonesia
3
perpajakan yang lain 4 . Ciri dan corak tersendiri dari sistem pemungutan pajak tersebut adalah: 1.
Bahwa pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian kewajiban dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan Negara dan pembangunan nasional;
2.
Tanggung
jawab
atas
kewajiban
pelaksanaan
pajak,
sebagai
pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat Wajib Pajak sendiri. Pemerintah, dalam hal ini aparat perpajakan
sesuai
dengan
fungsinya
berkewajiban
melakukan
pembinaan, penelitian dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan; 3.
Anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri pajak yang terhutang (self assessment), sehingga melalui system ini pelaksanaan administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan lebih rapi, terkendali, sederhana dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak. Berdasarkan ketiga prinsip pemungutan pajak tersebut, Wajib Pajak
diwajibkan menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri jumlah pajak yang seharusnya terhutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, sehingga penentuan penetapan besarnya pajak terhutang berada pada Wajib Pajak sendiri. Selain dari pada itu Wajib Pajak diwajibkan pula melaporkan secara teratur jumlah pajak yang terhutang dan telah dibayar sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Dengan sistem ini diharapkan pelaksanaan administrasi perpajakan yang berbelit-belit dan birokratis akan dihilangkan. Dengan merujuk pada pengertian menurut Webster, Bertalanffy dan Novak sebagaimana dikutip oleh Nurmantu, maka sistem perpajakan dapat 4
Penjelasan UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP
Universitas Indonesia
4
disebut sebagai metoda atau cara bagaimana mengelola utang pajak yang terutang oleh Wajib Pajak dapat mengalir ke kas Negara5. Dalam beberapa literatur, sistem pemungutan pajak dibagi menjadi tiga yaitu official assessment system, self assessment system dan withholding tax system. Dalam Self Assessment System mengandung hal yang penting, yang diharapkan ada dalam diri Wajib Pajak sebagimana disampaikan oleh Soemitro yaitu: 1.
Kesadaran Wajib Pajak (tax consciousness)
2.
Kejujuran Wajib Pajak
3.
Hasrat untuk membayar Pajak (tax mindedness)
4.
Disiplin Wajib Pajak terhadap pelaksanaan peraturan pajak-pajak, sehingga pada waktunya Wajib Pajak dengan sendirinya memenuhi kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh undangundang(tax discipline)6. Nurmantu menyatakan dalam sistem Self Assessment ini Wajib
Pajaklah yang aktif sejak dari mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak untuk mendapatkan
NPWP sampai dengan menetapkan sendiri jumlah
pajak yang terhutang dalam suatu tahun pajak melalui pengisian SPT. Peranan Fiskus dalam sistem ini adalah tut wuri handayani, yakni mengamati dan mengawasi pelaksanaannya dan bila perlu melakukan pemeriksaan dan mengenakan sanksi perpajakan sesuai dengan ketentuan perundangan perpajakan yang berlaku7. Dengan demikian dalam Self Assessment penetapan pajak terutang dientukan sendiri oleh Wajib Pajak dengan berpedoman pada ketentuan perpajakan yang berlaku. Pada dasarnya penetapan utang pajak tesebut masih bersifat “sementara” sampai dikeluarkannya ketetapan pajak oleh Fiskus. Atau dengan kata lain penetapan utang pajak tersebut bersifat “tetap”apabila Fiskus tidak melakukan pemeriksaan (koreksi fiskal) sampai jangka waktu tertentu. Wewenang yang diberikan oleh ketentuan peraturan
5 6
Safri Nurmantu, 2005, Pengantar Perpajakan, Jakarta, Granit, hal. 106. Rochmat Soemitro, 1998, Asas dan Dasar Perpajakan 2, Bandung, PT. Refika Aditama,
hal. 14. 7
Safri Nurmantu, op.cit, hal. 108.
Universitas Indonesia
5
perundang-undangan perpajakan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan koreksi fiskal tersebut dibatasi sampai dengan kurun waktu sepuluh tahun8 dan lima tahun9. Sistem hukum yang berlaku di Indonesia sekarang adalah Civil Law System atau sistem Eropa Kontinental. Dalam sistem ini hukum dibagi menjadi dua , yaitu Hukum Privat dan Hukum Publik. Pada umumnya, Hukum Pajak dimasukkan sebagai bagian dari hukum publik yang mengatur hubungan hukum antar penguasa dengan rakyatnya 10 . Hal tersebut dapat dimengerti, karena di dalam Hukum Pajak diatur mengenai hubungan antara penguasa/pemerintah dalam fungsinya selaku Fiskus (pemungut pajak) dengan rakyat dalam kapasitasnya sebagai Wajib Pajak. Hukum Pajak sendiri merupakan bagian dari Hukum Administrasi Negara, karena itu sekarang ada yang menghendaki agar Hukum Pajak itu bias berdiri sendiri. Kenyataannya, sampai saat ini Hukum Pajak sudah berdiri sendiri disamping Hukum Administrasi Negara, karena Hukum Pajak juga mempunyai tugas yang bersifat lain daripada Hukum Administrasi Negara pada umumnya, yaitu Hukum Pajak dapat dipergunakan sebagai alat untuk menentukan politik perekonomian Negara. Walaupun Hukum Pajak merupakan Hukum Publik, tetapi Hukum Pajak mempunyai Hubungan yang erat dengan Hukum Perdata (privat) dan saling bersangkutan. Hal itu karena kebanyakan Hukum Pajak mencari dasar kemungkinan pemungutannya atas kejadian-kejadian, keadaan-keadaan, dan perbuatan-perbuatan hukum yang bergerak dalam lingkungan perdata, seperti pendapatan, kekayaan, perjanjian penyerahan, pemindahan hak karena warisan, kompensasi, pembebasan utang, dan sebagai nya11. Dari uraian tersebut, maka pajak ditinjau dari segi hukum merupakan “perikatan
yang
timbul
karena
Undang-Undang
(Undang-Undang
Perpajakan) yang mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat-syarat yang 8
UU Nomor 6 Tahun 1983 s.t.d UU Nomor 16 Tahun 2000 tentang KUP, Pasal 13. UU Nomor 6 Tahun 1983 s.t.d UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang KUP, Pasal 13. 10 Mardiasmo, Perpajakan Edisi Revisi 2009,(Yogyakarta: Andi Yogyakarta,2009), hlm 10. 11 Djoko Mulyono, Ketentuan Umum Perpajakan, (Yogyakarta: Andi Yogyakarta, 2006), hlm 23 9
Universitas Indonesia
6
ditentukan oleh Undang-Undang (Tatbestand) untuk membayar sejumlah uang kepada kas Negara yang dapat dipaksakan”. Meskipun utang pajak lahir sama dengan utang pada umumnya, yakni utang pajak tidak mungkin timbul berdasarkan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam perikatan perdata, hubungan hukum terjadi diantara para pihak yang mempunyai kedudukan sama atau sederajat. Sementara dalam perikatan pajak kedudukan para pihaknya tidak sederajat. Dalam hal ini perikatan pajak melibatkan orang yang telah memenuhi syarat tertentu untuk membayar suatu jumlah tertentu kepada Negara yang dapat dipaksakan. Dari pendekatan seperti itu pajak lebih menitikberatkan pada perikatan beserta hak dan kewajiban para pihak. Dalam hal ini perikatan terjadi antara pemerintah selaku Fiskus12 dengan rakyat selaku Subjek Pajak atau Wajib Pajak. Perikatan antara Fiskus dengan Wajib Pajak tersebut memberikan posisi yang berbeda kepada para pihak. Hal tersebut mengingat dalam hal ini Fiskus dilekati oleh adanya kewenangan hukum publik untuk kepentingan Negara. Adanya hubungan hukum yang seperti itulah yang menyebabkan penempatan hukum pajak kedalam bagian lapangan hukum publik13 Perikatan Perdata Kreditur
Debitur Hak
Kewajiban
Kewajiban
Hak Fiscus
Wajib Hak
(?)
Kewajiban
Pembayaran Utang Pajak
Kewajiban
Hak Perikatan Pajak
12 13
Ali Chidir, Hukum Pajak Elementer, (Eresco Bandung, 1993), hlm 12 Santoso Brotodiharjo, 1991, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Op. cit, Hlm 1
Universitas Indonesia
7
Dalam hubungan yang ada di dalam perikatan pajak, Wajib Pajak merupakan salah satu pihak yang ada dalam perikatan itu. Perikatan Pajak yang
merupakan
perikatan
Hukum
Publik
menempatkan
aparatur
pemerintah di bidang perpajakan dalam posisi yang lebih menentukan karena dilengkapi dengan kewenangan Hukum Publik. Kewenangan tersebut menyebabkan aparatur pemerintah dapat melakukan berbagai hal dan tindakan, yang tidak dapat dilakukan oleh sembarang pihak, seperti misalnya memasuki tempat tertentu, memeriksa dokumen dan pembukuan tertentu, memeriksa dan meminta catatan dan keterangan yang dimiliki atau yang berkaitan dengan Wajib Pajak, dan sebagainya yang sangat penting mengenai diri dan kegiatan usaha Wajib Pajak. Dalam pelaksanaan pengenaan pajak di Indonesia mengacu pada sistem Self Assessment, yakni sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung,memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Untuk memberikan jaminan “kepastian hukum” (rechtzekerheid) 14 terdapat pelaksanaan sistem Self Assessment versi Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, adanya jaminan bagi Wajib Pajak ataupun aparatur perpajakan. Hal ini ditegaskan dengan adanya penetapan bahwa setiap Wajib Pajak membayar pajak yang terutang berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan dengan tidak menggantungkan pada adanya Surat Ketetapan Pajak (SKP). Surat Ketetapan pajak (Belanda = aansgblijet, Inggris= notice of assessment) adalah suatu ketetapan tertulis (istilah hukum ini adalah terjemahan dari (scriflelijke beschckking), yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang
14
Rochmat Soemitro, Makalah Tinjauan Pajak dari Segi Hukum, pada Seminar Hukum Pajak, Tanggal 15 Juli 1985, hlm. 1.
Universitas Indonesia
8
(pejabat pajak) yang menimbulkan hak dan kewajiban memuat besarnya utang pajak jenis tertentu dari tahun tertentu yang terutang oleh pajak yang sama dan alamatnya tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak itu15. Direktorat Jenderal Pajak tidak lagi berkewajiban menerbitkan Surat Ketetapan Pajak. Penerbitan Surat Ketetapan Pajak hanya terbatas pada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan antara lain oleh ketidak benaran pengisian Surat Pemberitahuan (SPT) atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak. Dalam hal ini peranan Direktorat Jenderal Pajak hanyalah mengawasi dimana Direktorat Jenderal Pajak juga melakukan penegakan hukum (Law Enforcement) administrasi dalam hukum pajak terhadap berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Penegakan hukum oleh Direktorat Jenderal Pajak juga ditegaskan melalui Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dalam pasal 12 ayat (1) “ Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan perundangundangan perpajakan dengan tidak menggantungkan pada adanya Surat Ketetapan Pajak”, Pasal 13 “Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun pajak apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan”. Pada dasarnya lahirnya Surat Ketetapan Pajak tersebut disebabkan karena berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, ternyata jumlah pajak yang pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) dalam jangka waktu tiga bulan tertulis oleh Fiskus. Surat Ketetapan Pajak (SKP) ini merupakan dasar untuk melakukan penagihan pajak apabila setelah jatuh tempo yang ditetapkan Wajib Pajak tidak melaksanakan kewajibannya dan apabila dalam perjalanannya proses pemungutan pajak 15
Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan 2, hlm. 3.
Universitas Indonesia
9
tidak berjalan dengan baik, maka pejabat pajak juga bias melakukan berbagai cara untuk bias mendapatkan piutang pajak dari Wajib Pajak, diantaranya: 1) Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis; 2) Surat Perintah Penagihan Seketika dan sekaligus; 3) Surat Paksa; 4) Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan; 5) Surat Perintah Penyanderaan; 6) Surat Pencabutan Sita; 7) Pengumuman Lelang; 8) Surat Penentuan Harga Limit; 9) Pembatalan Lelang; dan 10) Surat lain yang diperlukan untuk pelaksanaan penagihan pajak. Tata cara pelaksanaan penagihan piutang pajak, khususnya berkaitan dengan penagihan seketika dan sekaligus, dan pelaksanaan Surat paksa secara lengkap dalam Undang Undang Nomor 19 Tahun 1997 jo Undang Undang Nomor 19 tahun 2000. Hal ini dimaksudkan agar proses pemungutan pajak yang dilakukan pemerintah terhadap Wajib Pajak bisa terlaksana dengan baik berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memiliki kekuatan hukum eksekutorial, yang tentunya untuk melindungi kepentingan Negara disaat kerahasiaan Wajib Pajak tetap dijaga atau dalam artian untuk meminimalisir terjadinya piutang pajak. Salah satu tindakan penagihan yang penting dalam rangka pencairan tunggakan pajak adalah kegiatan penyitaan. Penyitaan dapat dilakukan dengan obyek sita harta kekayaan Penanggung Pajak di bank. Penyitaan ini didahului dengan proses pemblokiran terhadap rekening Wajib Pajak di bank. Tujuan akhir dari penyitaan adalah melakukan pemindahbukuan saldo rekening Wajib Pajak yang diblokir ke kas Negara untuk pembayaran tunggakan pajak, dengan tetap memperhatikan prinsip kerahasiaan bank16. Adanya pemblokiran rekening Wajib Pajak oleh bank sangat membantu tugas juru sita pajak dalam melakukan prosedur penyitaan. 16
Dikutip dari Artikel “Pajak,Rahasia Bank dan Investasi”, Indonesian Tax Review Edisi 50/2003.
Universitas Indonesia
10
Dalam mekanisme penyitaan (pemblokiran), hasil pencairan tunggakan pajak tergantung dari besar kecilnya saldo rekening yang diblokir. Oleh karena itu sangat dibutuhkan kejelian dan kecermatan dalam menemukan rekening bank potensial yang akan disita. Penulis membahas mengenai masalah Pemblokiran Rekening Bank Wajib Pajak Dalam Melunasi Utang Pajak Pajak. Hal ini dilatar belakangi bahwa negara kerap kali sulit untuk memungut pajak karena banyak Wajib Pajak yang tidak patuh dalam membayar pajak. Wajib Pajak kurang menyadari arti penting dari pajak tersebut, dimana sering melakukan tunggakan pajak sehingga utang pajaknya menjadi menumpuk.Pemerintah telah memberikan kelonggaran dengan memberikan peringatan terlebih dahulu melalui Surat Pemberitahuan Pajak (SPP) dan memberikan keringanan agar mengangsur utang pajaknya. Namun terkadang Wajib Pajak tetap saja lalai untuk membayar pajak bahkan cenderung untuk menghindari kewajiban membayar pajak. Hal ini mendorong pemerintah untuk mnciptakan suatu mekanisme yang dapat memberikan daya pemaksa bagi para Wajib Pajak yang bandel. Jurusita Pajak melakukan penyitaan terhadap barang-barang milik Wajib Pajak secara paksa. Dalam upaya mengetahui prosedur pemblokiran rekening bank Penanggung Pajak, berikut dengan upaya-upaya yang dilakukan oleh Penanggung Pajak untuk mengakhiri pemblokiran tersebut Pemasukan keuangan pembangunan melalui pembayaran pajak merupakan salah satu kebijakan pemerintah untuk menunjang pembangunan guna mencapai kesejahteraan rakyat secara merata. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penulis merasa tertarik untuk membahas dan mengkaji permasalahan tersebut dalam bentuk sebuah penelitian yang berjudul : “Analisa Hukum Tentang Pemblokiran Rekening Bank Wajib Pajak Sebagai Salah Satu Pelaksanaan Surat Paksa”(Studi kasus PT. HI)
Universitas Indonesia
11
1.2. POKOK PERMASALAHAN Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut: 1.
Apakah prosedur pemblokiran rekening bank Wajib Pajak telah memenuhi ketentuan yang berlaku?
2.
Bagaimanakah efektivitas pelaksanaan Pemblokiran Rekening Bank Wajib Pajak ditinjau dari UU KUP No. 28 tahun 2007 ?
1.3. METODE PENELITIAN Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.3.1
Jenis Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian hukum
normatif. Dikatakan “penelitian hukum normatif” atau juga disebut penelitian hukum kepustakaan, karena penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka yang mencakup penelitian terhadap azas-azas hukum, penelitian terhadap sistematik hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertical dan horizontal peraturan perundang-undangan, perbandingan hukum serta sejarah hukum serta menganalisa sumber-sumber primer berupa Undang-Undang, peraturan dan ketentuan yang mengatyr atau terkait dengan pengaturan mengenai tanggung jawab pejabat pajak terhadap prosedur pemblokiran rekening bank Wajib Pajak, serta sumber sekunder yang terdiri dari buku, makalah, kertas kerja, bahan-bahan yang dipublikasikan dan ditulis para ahli.
1.3.2 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan dara adalah melalui studi dokumen dan wawancara. Studi dokumen dilakukan terhadap sumber data sekunder berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu: 1. Bahan Hukum Primer, yaitu berupa perundang-undangan dan peraturanperaturan hukum yang berhubungan dengan kajian permasalahan dalam
Universitas Indonesia
12
penulisan ini dan dokumen-dokumen pada objek penelitian maupun hasil kajian yang diperoleh penulis secara langsung melalui observasi dan wawancara dari narasumber. 2. Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang memberikan informasi atau
hal-hal
yang
berkaitan
dengan
isi
sumber
primer
serta
implementasinya, yaitu berupa buku-buku, artikel ilmiah, laporan penelitian dan tesis 17 . Cerupa buku-buku hukum, makalah-makalah dan pendapat para ahli dengan fokus ditujukan kepada masalah perpajakan khususnya prosedur pemblokiran rekening Wajib Pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan penagihan pajak dengan Surat paksa berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2000. Sedangkan wawancara yang dilakukan terhadap Kantor Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan, praktisi hukum serta akademis hukum. Tipe wawancara adalah wawancara terarah, yaitu didalam wawancara dipergunakan suatu pedoman wawancara yang berisikan pokok-pokok yang diperlukan untuk wawancara dengan suatu daftar pertanyaan terstuktur 18 . Sedangkan tipe pertanyaan yang digunakan dalam wawancara adalah pertanyaan
klarifikasi
(clarifying
question)
dengan
tujuan
untuk
mengklarifikasi penerapan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pajak, peraturan pelaksana pajak dan pejabat pajak.
1.3.3
Teknik Analisa Data Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif
merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh sasaran penelitian yang bersangkutan secara tertulis atau lisan, dan perilaku nyata 19 . Dikatakan “kualitatif”, karena penelitian ini lebih banyak mementingkan pemahaman data daripada
17
Sri Mamuji,et.al.,Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm.31. 18 Soerjono, Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. Cet.3, (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 25. 19 Sri Mamuji,et.al.,Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 67
Universitas Indonesia
13
“kuantitas” yang memerlukan banyak data
20
. Sedangkan dikatakan
“deskriptif”, karena dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh gambaran secara menyeluruh dan sistematis mengenai masalah yang diteliti21.
1.4. SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika dari suatu penulisan merupakan suatu uraian mengenai susunan penulisan itu sendiri secara teratur rinci, sehingga didapat gambaran secara menyeluruh dan jelas dari penelitian yang dilakukan. Agar
dapat
mempermudah
penyusunan
tesis
ini,
pembahasannya
menggunakan sistematika yang terbagi dalam tiga bab, dimana masing-masing bab saling melengkapi satu sama lain dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan masing-masing bab terdiri dari beberapa sub-sub bab yang selengkapnya adalah sebagai berikut: BAB I
PENDAHULUAN. Bab ini merupakan bab awal dari tesis ini, bab ini menjelaskan latar belakang pemilihan judul serta pokok permasalahannya serta metode penelitian yang digunakan.
BAB II
ANALISA HUKUM TENTANG PEMBLOKIRAN REKENING BANK WAJIB PAJAK SEBAGAI SALAH SATU PELAKSANAAN SURAT PAKSA Membahas secara teoritis dan peraturan yang berlaku mengenai sejarah pajak, dasar hukum, hak dan kewajiban Wajib Pajak, mengenai penagihan pajak, mengenai tunggakan pajak. Menjelaskan pula tentang Pelaksanaan Pemblokiran Rekening Bank Wajib Pajak.
BAB III PENUTUP Bab ini merupakan bab penutup yang memuat tentang kesimpulan dari pembahasan pada bab sebelumnya berikut saran-saran yang dapat diberikan penulis sehubungan dengan penulisan tesis ini.
20 21
Lexi moleong., Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), hal. 3. Rianto Adi., Metodelogi Penelitian Sosial dan Hukum, ed.1, (Jakarta: Granit, 2004), hal.129
Universitas Indonesia
14
BAB II ANALISA HUKUM TENTANG PEMBLOKIRAN REKENING BANK WAJIB PAJAK SEBAGAI SALAH SATU PELAKSANAAN SURAT PAKSA (Studi Kasus PT. HI)
2.1
Tinjauan Umum Tentang Pajak
2.1.1
Pengertian Pajak Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Negara yang diberlakukan
oleh hampir seluruh Negara di dunia ini. Di setiap Negara yang memiliki pemerintah dan rakyat akan ada pajak di Negara tersebut. Oleh karena itu, dapat dikatakan hampir tidak ada Negara di dunia yang tidak memberlakukan pajak. Pembangunan nasional adalah kegiatan yang berlangsung terus menerus dan berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik material maupun spiritual22. Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa atau Negara dalam pembiayaan pembangunan yaitu menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri berupa pajak. Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan yang berguna bagi kepentingan bersama. Pemungutan pajak di Indonesia mengacu pada sistem Self Assessment. Self Assessment adalah sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. Self Assessment itu pada dasarnya sangat tergantung atas pengetahuan dari Wajib Pajaknya mengenai apa itu Self Assessment, kesadaran Wajib Pajak untuk membayar pajaknya, kejujuran dari Wajib Pajaknya untuk menghitung sendiri pajaknya sesuai dengan yang sebenarnya, pelayanan KPP itu sendiri dalam melayani Wajib Pajaknya. Meskipun KPP tersebut telah mengikuti prosedur
22
Waluyo, Perpajakan Indonesia, (Jakarta:Salemba Empat, 2008), hal. 2.
Universitas Indonesia
15
dalam penagihannya, namun apabila dalam pelayanannya tidak baik, maka tidak akan berhasil baik.
Masih menjadi anggapan dalam masyarakat bahwa pajak merupakan beban sehingga selalu dicari supaya untuk menghindari pajak. Hal ini dilakukan dengan menyembunyikan data maupun tidak melunasi pajak yang terutang tepat pada waktunya. Pada dasarnya pajak merupakan peralihan kekayaan dari masyarakat kepada Negara tanpa ada kontra prestasi (imbalan) yang langsung diperoleh oleh pembayar pajak. Hal ini tentu tidak menyenangkan dan tidak akan ada yang rela membayar pajak. Oleh karena itu, untuk dapat diterapkan, pajak harus disepakati oleh masyarakat tersebut. Kesepakatan ini dituangkan dalam bentuk undang-undang yang dibuat oleh pemerintah dan dewan legislatif yang merupakan perwujudan dari wakil masyarakat (rakyat). Dengan didasarkan pada undang-undang, pajak dapat dikatakan merupakan hasil kesepakatan anggota masyarakat untuk diberlakukan dalam masyarakat tersebut. Hal ini menjadi dasar hukum pemungutan pajak yang mengikat anggota masyarakat untuk patuh membayarnya. Dengan demikian , pemungutan pajak pada suatu Negara sangat erat kaitannya dengan hukum. Tanpa dasar hukum yang jelas dan disepakati oleh masyarakat, pajak tidak dapat diterapkan.23 Setiap orang yang hidup dalam suatu negara pasti atau harus berurusan dengan pajak, oleh karena itu masalah pajak menjadi masalah seluruh rakyat dalam negara tersebut. Dengan demikian setiap orang sebagai anggota masyarakat harus mengetahui dan mengerti segala permasalahan yang berhubungan dengan pajak, baik pengertian pajak, asas-asasnya, fungsinya, penggolongan jenis pajak yang berlaku, sistem pemungutannya serta hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Fiskus. Semua Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan berdasarkan sistem Self Assessment wajib mendaftarkan diri pada Kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk
23
Marihot P. Siahaan, Utang Pajak, Pemenuhan Kewajiban, dan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa,(Jakarta: Rajawali Pers, 2004)hlm.11-12
Universitas Indonesia
16
mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak. Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau yang diwajibkan untuk melakukan pemotongan/ pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Nomor Pokok Wajib Pajak ( NPWP) adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang digunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajibannya. Pajak merupakan penerimaan kas negara yang sangat besar, sehingga menyebabkan pajak diposisikan sebagai salah satu sumber penerimaan negara yang terpenting, karena dana yang diperoleh negara dari pajak yang dibayar oleh warga negaranya, digunakan untuk melakukan pembangunan nasional dan membiayai kegiatan-kegiatan rutin lainnya. Banyak pendapat para ahli hukum yang memberikan definisi tentang pajak, walaupun pendapat tersebut saling berbeda tetapi mempunyai inti dan tujuan yang sama. Definisi pajak menurut Prof. Edwin R. A. Seligman dalam buku Essay in Taxation yang diterbitkan di Amerika: “Tax is compulsary contribution from the person, to the government to defray the expenses incurred in the common interest of all, without reference to special benefit conferred”. Dari definisi di atas terlihat adanya kontribusi seseorang yang ditujukan kepada negara tanpa adanya manfaat yang ditujukan secara khusus pada seseorang. Memang demikian halnya bahwa pajak bagaimanapun juga pajak itu ditujukan manfaatnya kepada masyarakat24. Definisi pajak menurut Mr. Dr. NJ. Feldmann dalam buku De Over Heidsmiddelen Van Indonesia (terjemahan): “Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh terutang kepada Penguasa, (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa 24
Ibid.
Universitas Indonesia
17
adanya kontra-prestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum”25. Definisi pajak menurut Prof. Dr. PJA., yaitu: ”Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya
adalah
berhubungan
untuk
dengan
membiayai tugas
pengeluaran-pengeluaran
negara
untuk
umum
menyelenggarakan
pemerintahan”26. Definisi pajak menurut Prof. Dr. MJH. Smeeths., yaitu: ”Pajak adalah prestasi pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan, tanpa adanya kontra prestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal individu, maksudnya adalah membiayai pengeluaran pemerintah”27. Definisi pajak menurut Dr. Soeparman Soemahamidjaja dalam disertasinya yang berjudul ”Pajak Berdasarkan Asas Gotong Royong”, Universitas Padjadjaran, Bandung, 1964: ”Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum”28. Definisi pajak menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S. H. dalam bukunya “Dasardasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan”, adalah sebagai berikut: ”Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang
dapat
dipaksakan)
dengan
tidak
mendapat
jasa-timbal
(kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”29. Dengan penjelasan sebagai berikut: ”Dapat dipaksakan” artinya adalah bila hutang pajak tidak dibayar, hutang itu dapat ditagih dengan menggunakan 25
Wirawan. B. Ilyas dan Richard Burton, op.cit., hal. 5 H. Bohari, op.cit., hal. 23 27 Ibid., hal 24. 28 Ibid. 29 Ibid., hal 25. 26
Universitas Indonesia
18
kekerasan, seperti Surat Paksa dan sita, dan juga penyanderaan; terhadap pembayaran pajak, tidak dapat ditunjukkan jasa-timbal-balik tertentu, seperti halnya dengan retribusi. Berdasarkan definisi di atas, maka Pajak adalah iuran wajib kepada kas Negara (yang dapat dipaksakan), dipungut berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran rutin negara dalam menyelenggarakan pemerintahan. Dengan melihat definisi yang dikemukakan oleh para ahli tersebut, maka ”unsur-unsur” yang terdapat dalam definisi tersebut adalah: a.
Bahwa pajak itu adalah suatu iuran, atau kewajiban menyerahkan sebagian kekayaan (pendapatan) kepada negara. Dapat dikatakan bahwa pemerintah menarik sebagian daya beli rakyat untuk negara.
b.
Bahwa perpindahan atau penyerahan iuran itu adalah bersifat wajib, dalam arti bahwa bila kewajiban itu tidak dilaksanakan maka dengan sendirinya dapat dipaksakan, Artinya: hutang itu dapat ditagih dengan menggunakan kekerasan seperti surat paksa dan sita.
c.
Perpindahan ini adalah berdasarkan undang-undang atau peraturan yang dibuat oleh pemerintah yang berlaku umum. Sekiranya pemungutan pajak tidak didasarkan pada undang-undang atau peraturan, maka ini tidak sah dan dianggap sebagai perampasan hak.
d.
Tidak ada jasa timbal balik (tegen prestasi) yang dapat ditunjuk, artinya bahwa antara pembayaran pajak dengan prestasi dari negara tidak ada hubungan langsung.
e.
Uang yang dikumpulkan tadi oleh negara digunakan untuk membiayai pengeluaran umum yang berguna untuk rakyat30. Sedangkan yang dimaksud dengan Hukum Pajak adalah suatu kumpulan
peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak. 31 Dengan lain perkataan Hukum Pajak menerangkan: a.
Siapa-siapa Wajib Pajak (subjek pajak); 30 31
Ibid., hal 26. Ibid., hal 29.
Universitas Indonesia
19
b.
Objek-objek pajak;
c.
Kewajiban Wajib Pajak terhadap pemerintah;
d.
Timbul dan hapusnya hutang pajak;
e.
Cara penagihan pajak, dan:
f.
Cara mengajukan keberatan dan banding pada peradilan pajak.32 Disamping itu terdapat pula jenis pungutan selain pajak yaitu Retribusi.
Berbeda dengan pemungutan pajak yang tidak langsung memberikan balas jasa (kontraprestasi) kepada pembayar pajak, pembayaran retribusi selalu dikaitkan dengan balas jasa (kontraprestasi) yang langsung dapat dirasakan oleh pembayar retribusi untuk memperoleh fasilitas berupa: perizinan tertentu, jasa umum atau jasa usaha. Contoh retribusi yang lazim dikenal antara lain yaitu pembayaran IMB, pembayaran pembuatan KTP, pembayaran listrik, pembayaran jasa parkir ditempat parkir yang dikelola oleh pemerintah, dan pembayaran abonemen air minum. Pungutan retribusi di Indonesia didasarkan pada Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam Pasal 1 angka 26 Undang-Undang dimaksud disebutkan bahwa retribusi daerah, selanjutnya disebut retribusi, adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu khusus disediakan dan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Umumnya pungutan atas retribusi diberikan atas pembayaran berupa jasa atau pemberian izin tertentu yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah. Karena kontra-prestasinya langsung dapat dirasakan, maka dari sudut sifat paksaannya lebih mengarah pada hal yang bersifat ekonomis. Artinya, apabila seseorang atau badan tidak mau membayar retribusi, maka manfaat ekonominya langsung dapat dirasakan. Namun, apabila manfaat ekonomisnya telah dirasakan tetapi retribusinya tidak dibayar, maka secara yuridis pelunasannya dapat dipaksakan seperti halnya pajak. Lain halnya dengan pemungutan pajak yang dapat dipaksakan dapat dijelaskan bahwa unsur paksaan dalam pemungutan pajak bersifat yuridis. Artinya apabila Wajib Pajak tidak mau membayar pajak, pemerintah dapat melakukan
32
Ibid.
Universitas Indonesia
20
upaya paksa dengan mengeluarkan suatu Surat Paksa agar Wajib Pajak mau melunasi utang pajaknya. Pada tata cara pemungutannya, retribusi tidak dapat diborongkan dan retribusi dipungut dengan menggunakan Surat Ketetapan Retribusi Daerah atau dokumen yang dipersamakan. Pelaksanaan penagihannya dapat dipaksakan. Dalam hal Wajib Retribusi tertentu kepada mereka tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar, dikenakan sanksi administrasi, berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan dari retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar dan ditagih dengan menggunakan Surat Tagihan Retribusi Daerah (STRD).33
2.1.2
Landasan Filosofis Pajak Tugas negara pada prinsipnya berusaha dan bertujuan untuk menciptakan
kesejahteraan bagi rakyatnya. Itulah sebabnya maka negara harus tampil ke depan dan turut campur tangan, bergerak aktif dalam bidang kehidupan masyarakat, terutama dibidang perekonomian guna tercapainya kesejahteraan umat manusia. Untuk mencapai dan menciptakan masyarakat yang sejahtera, dibutuhkan biaya-biaya yang cukup besar. Demi berhasilnya usaha ini, negara mencari pembiayaannya dengan cara memungut pajak. Pemungutan pajak adalah suatu fungsi yang harus dilaksanakan oleh negara sebagai suatu fungsi esensial. Tanpa pemungutan pajak sudah dipastikan bahwa keuangan negara akan lumpuh lebihlebih lagi bagi negara yang sedang membangun seperti Indonesia, atau negara yang baru bebas dari belenggu kolonialis pajak merupakan darah bagi tubuh negara.34 Atas dasar uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa landasan filosofis pemungutan pajak didasarkan atas pendekatan manfaat (Benefit Approach). Pendekatan ini merupakan dasar fundamental atas dasar filosofis yang membenarkan negara melakukan pemungutan pajak sebagai pemungutan yang dapat dipaksakan dalam arti mempunyai wewenang dengan kekuatan memaksa. Pendekatan manfaat (Benefit Approach) ini mendasarkan suatu falsafah: oleh karena negara menciptakan manfaat yang dapat dinikmati oleh seluruh warga 33 34
Waluyo, op.cit., hal. 7. Ali Chidir, Hukum Pajak Elementer, (Bandung:Eresco, 1993),hal. 16.
Universitas Indonesia
21
negara yang berdiam dalam negara, maka negara berwewenang memungut pajak dari rakyat dengan cara yang dapat dipaksakan.35 Di dalam Literatur Ilmu Keuangan Negara, kita temukan teori-teori yang memberikan dasar pembenaran atau landasan filosofis daripada wewenang Negara untuk memungut pajak dengan cara yang dapat dipaksakan. Teori-teori tersebut adalah:36 a.
Teori Asuransi Menurut teori asuransi, pajak diibaratkan sebagai suatu premi asuransi yang harus dibayar oleh setiap orang karena orang mendapatkan perlindungan atas hak-haknya dari pemerintah. Teori ini menyamakan pajak dengan premi asuransi, di mana Pembayar Pajak (Wajib Pajak) disamakan dengan pembayar premi asuransi, yakni pihak tertanggung. Adapun negara disamakan dengan pihak penanggung dalam perjanjian asuransi. Dalam perjanjian asuransi, hubungan antara prestasi dan kontraprestasi itu terjadi secara langsung. Justru untuk pajak, tidak diterima suatu imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk.
b.
Teori Kepentingan Teori ini mengatakan bahwa negara mengenakan pajak terhadap rakyat karena negara telah melindungi kepentingan rakyat. Teori ini mengukur besarnya pajak sesuai dengan besarnya kepentingan Wajib Pajak yang dilindungi. Jadi semakin besar kepentingan yang dilindungi maka semakin besar pula pajak yang harus dibayar. Teori ini menunjukkan bahwa dasar pembenaran mengapa negara mengenakan pajak adalah karena Negara telah berjasa kepada rakyat selaku Wajib Pajak dimana pembayaran pajak itu besarnya setara dengan besarnya jasa yang sudah diberikan oleh Negara kepadanya.
c.
Teori Kewajiban Pajak Mutlak Teori ini sering disebut juga teori bakti. Teori tersebut didasarkan pada Orgaan Theory dari Otto Von Gierke, yang menyatakan bahwa Negara merupakan suatu kesatuan yang di dalamnya setiap warga negara terikat. 35 36
H. Bohari, op.cit., hal. 36. Y. Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak, (Yogyakarta: Peneribit Andi, 2009), hal.
38.
Universitas Indonesia
22
Tanpa ada ”organ” atau lembaga, individu tidak mungkin dapat hidup. Lembaga tersebut, oleh karena memberi hidup kepada warganya, dapat membenani setiap anggota masyarakatnya dengan kewajiban-kewajiban, antara lain kewajiban membayar pajak, kewajiban ikut mempertahankan hidup masyarakat/ negara dengan wajib militer. Dengan demikian Negara dibenarkan membebani warganya karena memang negara begitu berarti bagi warganya, sementara bagi rakyat, membayar pajak merupakan sesuatu yang menunjukkan adanya bakti kepada negara. d.
Teori Daya Beli Menurut teori ini pajak diibaratkan sebagai pompa yang menyedot daya beli seseorang/ anggota masyarakat yang kemudian dikembalikan lagi kepada masyarakat. Jadi sebenarnya uang yang berasal dari rakyat dikembalikan lagi kepada masyarakat melalui saluran lain. Pajak yang berasal dari rakyat kembali lagi kepada masyarakat tanpa dikurangi, sehingga pajak hanya berfungsi sebagai pompa, menyedot uang dari rakyat yang akhirnya dikembalikan lagi kepada masyarakat sehingga pajak pada hakikatnya tidak merugikan rakyat. Oleh sebab itu pemungutan pajak dapat dibenarkan.
e.
Teori Daya Pikul Menurut teori ini setiap orang wajib membayar pajak sesuai daya pikul masing-masing. Daya pikul menurut Prof. De Langen, sebagaimana dikutip oleh Rochmat Soemitro, adalah kekuatan seseorang untuk memikul suatu beban atas apa yang tersisa, setelah seluruh penghasilannya dikurangi dengan pengeluaran-pengeluaran yang mutlak untuk kehidupan primer diri sendiri beserta keluarga. Dari pengertian tersebut dapat dimengerti bahwa yang dimaksud daya pikul bukan hanya dilihat dari keseluruhan penghasilan yang diperoleh oleh orang yang bersangkutan, melainkan terlebih dahulu dikurangi dengan pengeluaran-pengeluaran tertentu yang memang secara mutlak harus dikeluarkan untuk memenuhi kehidupan primernya sendiri beserta keluarga yang menjadi tanggungannya.
Universitas Indonesia
23
2.1.3
Asas Pemungutan Pajak Lazimnya suatu pemungutan pajak itu harus dilandasi dengan asas-asas
yang merupakan ukuran untuk menentukan adil tidaknya suatu pemungutan pajak. Adam Smith (1723-1790) dalam bukunya Wealth of Nations mengemukakan 4 (empat) asas pemungutan pajak yang lazim dikenal dengan “Four Canons Taxation” atau sering disebut “The Four Maxims” dengan uraian sebagai berikut:37 a.
Equality and Equity, mengandung arti persamaan dan keadilan, di mana undang-undang pajak senantiasa memberi perlakuan yang sama terhadap orang-orang yang berada dalam kondisi yang sama. Dalam hal ini di dalamnya
terkandung
maksud
adanya
larangan
terhadap
perlakuan
diskriminatif. b.
Certainty, mengandung arti kepastian. Undang-undang pajak yang baik senantiasa dapat memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak mengenai kapan ia harus membayar pajak, apa hak dan kewajiban mereka, cara pembayaran pajak, dan sebagainya. Terkait dengan hal itu, undang-undang pajak tidak boleh mengandung kemungkinan penafsiran ganda (ambigius). Apabila ada ketentuan mengenai sesuatu hal yang berpotensi menimbulkan penafsiran ganda maka seyogyanya dapat diberikan penjelasan seperlunya.
c.
Convenience of Payment, adalah bahwa pajak harus dipungut pada saat yang tepat, yaitu pada saat Wajib Pajak mempunyai uang. Hal ini berkaitan dengan kemampuan Wajib Pajak. Mengenai kapan Wajib Pajak memiliki uang sehingga mampu membayar pajak sesuai kewajibannya, masing-masing Wajib Pajak tidaklah sama.
d.
Economic
of
Collection,
dalam
undang-undang
pajak
juga
harus
diperhitungkan rasio (perimbangan) antara biaya pengumpulan/ pemungutan dengan hasil pajak itu sendiri sehingga diharapkan tidak terjadi hasil pajak yang negatif di mana biaya yang dikeluarkan bagi pemungutan pajak justru lebih besar daripada jumlah pajak yang berhasil dihimpun. Dari sisi ini sebaiknya pengeluaran untuk pemungutan pajak itu dibuat efisiensi.
37
Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan, (Bandung: PT. Eresco, 1992), hal. 15.
Universitas Indonesia
24
Asas keadilan dalam prinsip perundang-undangan perpajakan maupun dalam hal pelaksanaannya harus dipegang teguh, walaupun keadilan itu sangat relatif. Asas pemungutan pajak dapat pula di bagi dalam beberapa asas, adalah sebagai berikut:38 a.
Asas Menurut Falsafah Hukum Hukum Pajak harus mendasarkan pada keadilan. Selanjutnya ini sebagai asas pemungutan pajak. Untuk menyatakan keadilan kepada hak negara untuk memungut pajak, muncul beberapa teori dasar seperti teori asuransi, teori kepentingan, teori kewajiban pajak mutlak (teori bakti), teori daya beli dan teori gaya pikul, sebagaimana telah diuraikan di atas.
b.
Asas Yuridis Untuk menyatakan suatu keadilan. Hukum Pajak harus memberikan jaminan hukum kepada negara atau warganya. Oleh karena itu, pemungutan pajak harus didasarkan pada undang-undang. Landasan hukum pajak di Indonesia adalah Pasal 23A Amandemen Undang-Undang Dasar 1945.
c.
Asas Ekonomis Seperti pada uraian sebelumnya, pajak mempunyai fungsi reguler dan fungsi budgeter. Asas ekonomi ini lebih menekankan pada pemikiran bahwa negara menghendaki agar kehidupan ekonomi masyarakat agar terus meningkat. Untuk itu, pemungutan pajak harus diupayakan tidak menghambat kelancaran ekonomi sehingga kehidupan ekonomi tidak terganggu.
d.
Asas Pemungutan Pajak Lainnya Terdapat tiga asas yang digunakan untuk memungut pajak dalam Pajak Penghasilan, yaitu: 1) Asas Tempat Tinggal Negara-negara yang mempunyai hak untuk memungut atas seluruh penghasilan Wajib Pajak berdasarkan tempat tinggal Wajib Pajak. Wajib Pajak yang bertempat tinggal di Indonesia dikenai pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh, yang berasal dari Indonesia atau berasal dari luar negeri (Pasal 4 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan). 38
Waluyo, op.cit., hal. 15.
Universitas Indonesia
25
2) Asas Kewarganegaraan Pengenaan pajak didasarkan pada kewarganegaraannya. Asas ini tidak dianut oleh Indonesia. Contohnya, seperti yang dianut oleh Amerika Serikat dan Filipina. Dimanapun warga negara Amerika Serikat dan Filipina berada, mereka dapat dikenakan pajak oleh Negara mereka. 3) Asas Sumber Negara mempunyai hak untuk memungut pajak atas penghasilan yang bersumber pada suatu negara yang memungut pajak. Dengan demikian Wajib Pajak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dikenakan pajak di Indonesia tanpa memerhatikan tempat tinggal Wajib Pajak.
2.1.4
Fungsi Pajak Berdasarkan uraian yang telah penulis bahas di atas, maka dapat dikatakan
bahwa pemerintah memungut pajak semata-mata untuk memperoleh uang atau dana. Dana tersebut akan dipergunakan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran rutin pemerintah. Pada umumnya dikenal 2 (dua) macam fungsi pajak, yaitu:39 a.
Fungsi Budgetair Fungsi Budgetair yaitu fungsi dalam mana pajak dipergunakan sebagai alat untuk memasukkan dana secara optimal ke kas negara berdasarkan UndangUndang Perpajakan yang berlaku. Fungsi ini disebut fungsi utama karena fungsi inilah yang secara historis pertama kali timbul. Berdasarkan fungsi ini, pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai berbagai kepentingan memungut pajak dari rakyatnya.
b.
Fungsi Regulerend (Fungsi Mengatur) Fungsi Regulerend yaitu fungsi dalam mana pajak dipergunakan oleh pemerintah sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu yakni untuk mengatur dan melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi. Fungsi ini disebut sebagai tambahan dari pajak karena fungsi ini merupakan pelengkap dari fungsi utama pajak yaitu Fungsi Budgetair. 39
Safri Nurmantu, Dasar-Dasar Perpajakan, (Jakarta:IND-HILL-CO Jakarta, 1994) hal.
26.
Universitas Indonesia
26
Fungsi Mengatur merupakan salah satu usaha pemerintah untuk turut campur dalam segala bidang dalam penyelenggara tujuan-tujuan yang ingin dicapai pemerintah. Fungsi mengatur banyak ditujukan kepada sektor swasta. Akhirakhir ini fungsi mengatur mempunyai peranan yang sangta penting yaitu sebagai kebijakan pemerintah dalam menyelenggarakan politik disegala bidang. Pajak sebagai sumber pendapatan negara selain memiliki fungsi anggaran (Budgetair) dan fungsi mengatur (Regulerend), pajak juga memiliki fungsi lainnya, yaitu : 1.
Fungsi Stabilitas Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan. Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.
2. Fungsi Redistribusi Pendapatan Kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.
2.1.5. Penggolongan Jenis Pajak Dalam berbagai literatur Ilmu Keuangan Negara dan Pengantar Hukum Pajak terdapat penggolongan atau pembagian pajak. Penggolongan atau pembagian tersebut didasarkan pada suatu kriteria, seperti siapa yang membayar pajak; siapa yang pada akhirnya memikul beban pajak; apakah beban pajak dapat dialihkan atau tidak; siapa yang memungut; sifat-sifat yang melekat pada pajak yang bersangkutan dan sebagainya. Penggolongan pajak dapat dilakukan berdasarkan:40 a.
Golongan Pembagian pajak berdasarkan golongan dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:
40
Mardiasmo, Perpajakan, Edisi Revisi 2009, (Jogyakarta: penerbit Andi, 2009), hal. 5.
Universitas Indonesia
27
1) Pajak Langsung Pajak Langsung adalah pajak yang bebannya harus ditanggung sendiri oleh Wajib Pajak yang bersangkutan dan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. Contoh: Pajak Penghasilan. 2) Pajak Tidak Langsung Pajak Tidak Langsung adalah pajak yang bebannya dapat dialihkan atau digeserkan kepada pihak lain sehingga sering disebut juga sebagai Pajak Tidak Langsung. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. 3) Wewenang Pemungut Pembagian pajak berdasarkan wewenang pemungutnya dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu: a) Pajak Pusat Pajak Pusat adalah pajak yang wewenang pemungutannya ada pada Pemerintah Pusat yang pelaksanaannya dilakukan oleh Departemen Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak. Pajak Pusat diatur dalam undang-undang dan hasilnya akan masuk ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pemungutan pajak ini digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Materai. b) Pajak Daerah Pajak Daerah adalah pajak yang wewenang pemungutannya ada pada Pemerintah Daerah yang pelaksanaannya dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah (DIPENDA). Pajak daerah diatur dalam undangundang dan hasilnya akan masuk ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pemungutan pajak ini digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak Daerah terdiri dari: 1) Pajak Propinsi, yang terdiri dari: (a) Pajak Kendaraan Bermotor (PKB).
Universitas Indonesia
28
(b) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) dan Kendaraan di Atas Air. (c) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB). (d) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. 2) Pajak Kabupaten/ Kota, yang terdiri dari: (a) Pajak Hotel. (b) Pajak Restoran. (c) Pajak Hiburan. (d) Pajak Reklame. (e) Pajak Penerangan Jalan. (f) Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C. (g) Pajak Parkir. 4) Sifat Pembagian pajak berdasarkan sifatnya dapat menjadi 2 (dua), yaitu: a) Pajak Subyektif Pajak Subyektif adalah jenis pajak yang pertama-tama memperhatikan kondisi/ keadaan Wajib Pajak, seperti status kawin, besarnya tanggungan keluarga, domisili subyek pajak. Dalam menentukan pajaknya harus ada alasan-alasan obyektifnya yang berhubungan erat dengan keadaan materialnya, yaitu daya pikul. Daya pikul adalah kemampuan Wajib Pajak memikul pajak setelah dikurangi biaya hidup minimum. b) Pajak Obyektif Pajak Obyektif adalah jenis pajak yang pertama-tama melihat kepada objek pajak yang dapat berupa benda, dapat juga berupa keadaan, perbuatan atau peristiwa yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar pajak, kemudian barulah dicari subyeknya (orang atau badan hukum) yang bersangkutan langsung dengan tidak mempersoalkan tempat kediaman subyek pajak, kewarganegaraan subyek pajak. Pajak akan dikenakan terhadap benda, keadaan, perbuatan atau peristiwa yang menyebabkan timbulkan kewajiban membayar pajak.
Universitas Indonesia
29
Yang dimaksud dengan:41 a. Keadaan Adalah memiliki kekayaan dalam negara, sehingga subyeknya dikenakan pajak. Contohnya: Pengenaan PBB. b. Perbuatan Adalah perbuatan mengalihkan hak atau harta kekayaan, penyerahan barang dalam suatu jual beli, memasukan barang dari luar negeri yang berakibat dikenakan PPN dan PPnBM. c. Peristiwa Contoh peristiwa memperoleh hadiah dari suatu acara (kuis) sehingga bagi si penerima hadiah dikenakan pajak.
2.1.6
Sistem Pemungutan Pajak Dalam sistem pemungutan pajak tidak hanya diatur sebatas pada masalah
waktu pungut saja, tetapi juga mengenai kewenangan dan tanggung jawab untuk menghitung serta menetapkan besarnya utang pajak. Sistem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi 4 (empat), yaitu:42 a.
Official Assessment System Merupakan suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Pemungut Pajak (Fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayar (pajak yang terutang) oleh seseorang . Dengan sistem ini masyarakat (Wajib Pajak) bersifat pasif dan menunggu dikeluarkannya suatu ketetapan pajak oleh Fiskus. Besarnya utang pajak seseorang baru diketahui setelah adanya Surat Ketetapan Pajak.
b.
Semi Self Assessment System Merupakan suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang pada Fiskus dan Wajib Pajak untuk menentukan besarnya pajak seseorang yang terutang. Dalam sistem ini setiap awal tahun Wajib Pajak menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang untuk tahun berjalan yang merupakan angsuran bagi Wajib Pajak yang harus disetor sendiri. Baru kemudian pada akhir tahun
41 42
H. bohari, op.cit., hal. 112. Wirawan.B. Ilyas dan Richard Burton, op.cit., hal. 32.
Universitas Indonesia
30
pajak Fiskus menentukan besarnya utang pajak yang sesungguhnya berdasarkan data yang dilaporkan oleh Wajib Pajak. c.
Self Assessment System Merupakan suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang penuh kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetorkan, dan melaporkan sendiri besarnya utang pajak. Dalam sistem ini Wajib Pajak yang aktif sedangkan Fiskus tidak turut campur dalam penentuan besarnya pajak yang terutang seseorang, kecuali Wajib Pajak melanggar ketentuan yang berlaku.
d.
Withholding System Merupakan suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang pada pihak ketiga untuk memotong/ memungut besarnya pajak yang terutang. Pihak ketiga yang telah ditentukan tersebut selanjutnya menyetor dan melaporkannya kepada Fiskus. Pada sistem ini Fiskus dan Wajib Pajak tidak aktif.
Fiskus
hanya
bertugas
mengawasi
saja
pelaksanaan
pemotongan/pemungutan yang dilakukan oleh pihak ketiga. Di Indonesia dari keempat sistem pemungutan di atas, pelaksanaan Official Assessment System telah berakhir pada tahun 1967, yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1967 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tata Cara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932, dan Pajak Perseroan 1925 dengan Tata Cara Menghitung Pajak Sendiri dan Menghitung Pajak Orang lain. Dalam Official Assessment System Fiskus mengeluarkan ”Surat Ketetapan Sementara” pada awal tahun yang kemudian dikeluarkan lagi ”Surat Ketetapan Pajak Rampung” pada akhir tahun pajak untuk menentukan besarnya utang pajak yang sesungguhnya terutang. Tahun 1968 sampai 1983, sistem perpajakan masih menggunakan sistem Semiself Assessment System dan Withholding System dengan tata cara yang disebut Menghitung Pajak Sendiri (MPS) dan Menghitung Pajak Orang lain (MPO). Barulah Tahun 1984 ditetapkan sistem Self Assessment System secara penuh dalam system pemungutan pajak Indonesia, yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Undang-Undang KUP) yang dimulai berjalan pada tanggal 1 Januari 1984.
Universitas Indonesia
31
2.1.7
Cara Pemungutan Utang Pajak Menurut Teori, ada 3 (tiga) cara pengenaan pajak yang dapat dilakukan,
yaitu:43 a.
Stelsel Fiksi Merupakan cara pengenaan pajak yang didasarkan atas suatu anggapan (fiksi) dan anggapan tersebut bergantung pada ketentuan bunyi undang-undang. Misalnya penghasilan seorang Wajib Pajak pada tahun berjalan dianggap sama dengan penghasilan pada tahun sebelumnya, tanpa memerhatikan kondisi yang sesungguhnya atas besarnya penghasilan pada tahun berjalan yang seharusnya menjadi dasar penetapan besarnya utang pajak pada tahun berjalan. Dengan adanya anggapan demikian, maka Fiskus dapat dengan mudah menetapkan besarnya utang pajak untuk tahun yang akan datang. Pasal 25 Undang-Undang PPh merupakan contoh cara pemajakan di depan yang dilakukan dengan suatu perhitungan tertentu.
b.
Stelsel Riil Merupakan suatu cara pengenaan pajak yang didasarkan pada keadaan yang sesungguhnya (riil) atau nyata, yang diperoleh dalam suatu tahun pajak. Karena besarnya penghasilan yang diperoleh seorang Wajib Pajak baru diketahui pada akhir tahun, maka pengenaan baru dilakukan setelah berakhirnya suatu tahun pajak. Dengan demikian, utang pajak baru akan dikenakan di belakang, yaitu sesudah berakhir tahun pajak yang bersangkutan.
c.
Stelsel Campuran Merupakan suatu cara pengenaan pajak yang mendasarkan pada kedua cara pengenaan di atas (fiksi dan riil). Pada awal tahun pajak, Fiskus akan mengenakan pajak berdasarkan anggapan yang ditentukan dalam undangundang, yang selanjutnya setelah berakhirnya tahun pajak dilakukan pengenaan pajak berdasarkan keadaan yang sesungguhnya (riil). Undangundang PPh pada prinsipnya mendasarkan pengenaan pajak dengan cara campuran ini.
43
Wirawan. B. Ilyas dan Richard Burton, op.cit., hal. 36.
Universitas Indonesia
32
2.1.8
Utang Pajak
2.1.8.1 Timbulnya Utang Pajak Membicarakan utang pajak maka harus berpikir secara analitis, yakni harus mengerti apa pajak dan apa utang. Secara yuridis mengenai utang itu harus ada dua pihak, yakni pihak kreditur yang mempunyai hak dan debitur yang mempunyai kewajiban. Kedudukan debitur dan kreditur dalam Hukum Perdata tidak sama dengan kedudukan debitur dan kreditur dalam Hukum Pajak. Ketidaksamaan utang pajak dan utang biasa dapat dilihat dalam hal:44 a.
Cara timbulnya utang.
b.
Sifat utangnya. Timbulnya utang dalam Hukum Perdata (utang biasa) disebabkan adanya
perikatan yang dikuasai oleh hukum perdata. Dalam perikatan, maka pihak yang satu berkewajiban memenuhi apa yang menjadi hak pihak lain, misalnya terjadi perjanjian jual beli, maka kewajiban penjual menyerahkan barang yang dijualnya, sedangkan si pembeli berkewajiban membayar harga yang telah ditetapkan. Sedangkan perikatan yang timbul dari undang-undang saja, misalnya adanya ”kelahiran” yaitu bila seorang anak lahir maka menurut undang-undang, orang tuanya berkewajiban mengurus dan memelihara anaknya. Utang pajak timbul karena undang-undang, dimana antara negara dan rakyat sama sekali tidak ada perikatan yang melandasi utang itu. Hak dan kewajiban antara negara dan rakyat tidak sama. Negara dapat memaksakan utang itu untuk dibayar bila seorang Wajib Pajak berutang (pajak) terhadap negara. Utang pajak timbul karena undang-undang dengan syarat adanya rangkaian perbuatan-perbuatan, keadaan-keadaan, dan peristiwa-peristiwa yang dapat menimbulkan utang pajak, sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Menurut Rochmat Sumitro, Utang pajak adalah utang yang timbul secara khusus karena negara (kreditur) terikat dan tidak dapat memilih secara bebas siapa yang akan dijadikan debiturnya, seperti dalam Hukum Perdata. Hal ini terjadi mengingat utang pajak lahir karena undang-undang.45 Ada 2 (dua) ajaran yang mengatur timbulnya utang pajak, yaitu:46 44
H. Bohari, op.cit., hal. 111. Rochmat Soemitro, op.cit., hal 2. 46 Mardiasmo, op.cit., hal. 8 45
Universitas Indonesia
33
a.
Ajaran Formil Utang pajak timbul karena dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak oleh Fiskus. Ajaran ini diterapkan pada Official Assessment System.
b. Ajaran Materiil Utang pajak timbul karena berlakunya undang-undang. Seseorang dikenai pajak karena suatu perbuatan, keadaan, dan peristiwa. Ajaran ini diterapkan pada Self Assessment System. Sistem pemungutan pajak yang digunakan di Indonesia sekarang ini adalah Self Assessment System. Oleh karena itu ajaran yang berlaku untuk mengatur timbulnya utang pajak di Indonesia adalah ajaran materiil.
2.1.8.2 Hapusnya Utang Pajak Apabila melihat timbulnya utang pajak bahwa utang pajak timbul karena Surat Ketetapan Pajak (ajaran formil), ajaran ini diterapkan oleh Official Assessment System. Perbedaan dengan ajaran materiil bahwa utang pajak timbul karena undang-undang. Ajaran ini diterapkan pada Self Assessment System. Adapun hapusnya utang pajak disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:47 a.
Pembayaran Utang pajak yang melekat pada Wajib Pajak akan dihapus karena pembayaran pajak yang dilakukan ke kas negara.
b.
Kompensasi Keputusan yang ditujukan kepada kompensasi utang pajak dengan tagihan seseorang di luar pajak tidak diperkenankan. Oleh karena itu, kompensasi terjadi apabila Wajib Pajak mempunyai tagihan berupa kelebihan pembayaran pajak. Jumlah kelebihan pembayaran pajak yang diterima Wajib Pajak sebelumnya harus dikompensasikan dengan pajak-pajak yang terutang. Kompensasi ini dikenal dengan Kompensasi Pembayaran. (Perhatikan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan).
47
Waluyo, op.cit., hal. 19.
Universitas Indonesia
34
c.
Daluwarsa Daluwarsa diartikan sebagai daluwarsa penagihan. Hak untuk melakukan penagihan pajak, daluwarsa telah lampau waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak yang bersangkutan. Hal ini untuk memberikan kepastian hukum kapan utang pajak tidak dapat ditagih lagi. Namun daluwarsa penagihan pajak tertangguhkan, antara lain dapat terjadi apabila diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa. (Pasal 13 dan 22 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan).
d.
Pembebasan Utang pajak tidak berakhir dalam arti yang semestinya, tetapi karena ditiadakan. Pembebasan umumnya tidak diberikan terhadap pokok pajaknya, tetapi terhadap sanksi administrasi.
e.
Penghapusan Penghapusan utang pajak ini sama sifatnya dengan pembebasan, tetapi diberikannya karena keadaan Wajib Pajak, seperti hal-hal sebagai berikut:48 1) Wajib Pajak meninggal dunia dengan tidak meninggalkan harta warisan dan tidak mempunyai ahli waris atau ahli waris tidak dapat ditemukan; atau 2) Wajib Pajak tidak mempunyai harta kekayaan lagi yang dibuktikan berdasarkan
surat
keterangan
dari
Pemerintah
Daerah
setempat.
Penghapusan utang pajak melalui proses penghapusan merupakan bentuk keadilan bagi Wajib Pajak yang memang benar-benar mengalami hal tersebut di atas: 3) Sebab lain, misalnya Wajib Pajak tidak dapat ditemukan lagi atau dokumen tidak dapat ditemukan lagi disebabkan keadaan yang tidak dapat dihindarkan seperti kebakaran, bencana alam, dan sebagainya.
48
Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, op.cit., hal. 38.
Universitas Indonesia
35
2.1.9. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak maupun Fiskus Dalam bidang hukum, pembicaraan mengenai hak dan kewajiban merupakan hal yang sangat penting. Perikatan pajak yang mengikat antara Fiskus dan Wajib Pajak melahirkanhak dan kewajiban di antara keduanya. Hak dan kewajiban tersebut perlu diwujudkan. Hal itu karena seringkali hak dan kewajiban saling berkaitan. Apa yang menjadi hak Fiskus, misalnya, bisa jadi berhadapan dengan kewajiban Wajib Pajak. Atau sebaliknya, apa yang menjadi kewajiban dari Fiskus juga berhadapan dengan hak Wajib Pajak. Agar hak dan kewajiban itu dapat dipenuhi secara baik dan seimbang maka kedua hal tersebut perlu diketahui. Sejak diberlakukannya sistem Self Assessment dalam Undang-undang Perpajakan Indonesia, telah diatur adanya hak dan kewajiban Wajib Pajak yang seimbang dengan hak dan kewajiban Fiskus (pegawai Direktorat Jenderal Pajak), sehingga Wajib Pajak dan Fiskus dapat melaksanakan ketentuan yang ada dengan sebaik-baiknya. Hak dan kewajiban masing-masing pihak tersebut, yaitu:49
2.1.9.1 Hak Wajib Pajak Hak-hak Wajib Pajak yang diatur dalam undang-undang perpajakan adalah: a. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pengarahan dari Fiskus. b. Hak untuk membetulkan Surat Pemberitahuan (SPT), Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007. c. Hak untuk memperpanjang waktu penyampaian SPT (Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007). d. Hak memperoleh kembali kelebihan pembayaran pajak (Pasal 11 UndangUndang Nomor 28 Tahun 2007). e. Hak mengajukan keberatan (Pasal 25 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007). f. Hak mengajukan banding (Pasal 27 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007). g. Hak mengadukan Pejabat yang membocorkan rahasia Wajib Pajak (Pasal 34 dan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007).
49
Ibid., hal. 191.
Universitas Indonesia
36
h. Hak mengajukan permohonan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak (Pasal 9 ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007). i. Hak meminta keterangan mengenai koreksi dalam penerbitan ketetapan pajak (Pasal 25 ayat (6) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007). j. Hak memberikan alasan tambahan (Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007). k. Hak mengajukan gugatan (Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007). l. Hak untuk menunda penagihan pajak (Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002). m. Hak memperoleh imbalan bunga (Pasal 27A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007). n. Hak mengajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung (Pasal 91 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002). o. Hak mengurangi Penghasilan Kena Pajak dengan biaya yang telah dikeluarkan (Pasal 6 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008). p. Hak pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), Pasal 7 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. q. Hak menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Neto (Pasal 14 UndangUndang Nomor 36 Tahun 2008). r. Hak memperoleh fasilitas perpajakan (Pasal 31A Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008). s. Hak untuk melakukan pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran (Undang-Undang 18 Tahun 2000).
2.1.9.2 Kewajiban Wajib Pajak Kewajiban Wajib Pajak yang diatur dalam undang-undang perpajakan adalah: a. Kewajiban untuk mendaftarkan diri (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007). b. Kewajiban mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT), Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.
Universitas Indonesia
37
c. Kewajiban membayar atau menyetor pajak, (Pasal 10 ayat (1) UndangUndang Nomor 28 Tahun 2007). d. Kewajiban membuat pembukuan atau pencatatan (Pasal 28 ayat (1) UndangUndang Nomor 28 Tahun 2007). e. Kewajiban mentaati pemeriksaan pajak (Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007). f. Kewajiban melakukan pemotongan atau pemungutan pajak (Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 26 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 dan ketentuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000). g. Kewajiban membuat faktur pajak (Pasal 13 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000) . h. Kewajiban melunasi Bea Materai (Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985).
2.1.9.3 Hak Fiskus Hak-hak Fiskus yang diatur dalam undang-undang perpajakan adalah: a. Hak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak atau Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak secara jabatan (Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007). b. Hak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007). c. Hak menerbitkan Surat Paksa dan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan. d. Hak melakukan pemeriksaan dan penyegelan (Pasal 29 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007). e. Hak menghapuskan atau mengurangi sanksi administrasi (Pasal 36 UndangUndang Nomor 28 Tahun 2007). f. Hak melakukan penyidikan (Pasal 44 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007). g. Hak melakukan pencegahan (Pasal 29 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000). h. Hak melakukan penyanderaan (Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000).
Universitas Indonesia
38
2.1.9.4 Kewajiban Fiskus Hak-hak Fiskus yang diatur dalam undang-undang perpajakan adalah: a. Kewajiban untuk membina Wajib Pajak. b. Kewajiban menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (Pasal 17B, Pasal 17C, dan Pasal 17C ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007). c. Kewajiban merahasiakan data Wajib Pajak (Pasal 34 dan Pasal 41 UndangUndang Nomor 28 Tahun 2007). d. Kewajiban melaksanakan putusan Pengadilan Pajak (Pasal 88 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002).
2.2
Penagihan Pajak
2.2.1
Pengertian Penagihan Salah satu kunci keberhasilan pernerimaan pajak adalah kepatuhan Wajib
Pajak dalam membayar pajak. Hanya saja, apabila Wajib Pajak tidak membayar pajak, terhadapnya tentu perlu diberikan tindakan tegas untuk dapat memaksa Wajib Pajak tersebut melunasi utang pajaknya. Hal ini diwujudkan dalam bentu penagihan pajak terhadap Wajib Pajak yang tidak atau belum melunasi utang pajaknya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Oleh karena itu, tindakan penagihan pajak merupakan hal yang sangat penting guna menunjang keberhasilan pemungutan pajak. Penagihan pajak merupakan serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur, memperingatkan, melaksanakan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita. 50 Tujuan pelaksanaan penagihan pajak adalah guna pelunasan utang pajak oleh Wajib Pajak. Oleh karena itu, rangkaian tindakan penagihan pajak oleh Fiskus harus diarahkan guna terpenuhinya tujuan tersebut. Sebelum tindakan penagihan pajak, Fiskus harus memiliki data tentang pembayaran pajak (dan juga tunggakan pajak) yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Untuk itu, Fiskus melakukan pemantauan pembayaran pajak yang dilakukan oleh 50
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, Pasal 1 Angka 9.
Universitas Indonesia
39
Wajib Pajak melalui kantor pos, atau tempat lain yang ditunjuk untuk menerima pembayaran pajak. Penagihan pajak yang bersifat aktif (sering disebut sebagai tindakan penagihan aktif) merupakan tindakan yang dilakukan oleh fiskus berdasarkan pantauan terhadap kepatuhan Wajib Pajak dalam membayar pajak. Dengan mendasar pada data Wajib Pajak yang tidak melunasi utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran pajak, Fiskus dapat melakukan tindakan penagihan aktif dengan maksud agar Wajib Pajak dimaksud segera melunasi utang pajaknya.
Dasar hukum yang dipakai dalam melakukan Penagihan Pajak adalah Surat Ketetapan Pajak yang menyatakan bahwa pajak terutang sesuai perhitungan Wajib Pajak masih kurang dari yang seharusnya, Surat Tagihan Pajak, keputusan Fiskus, dan keputusan pengadilan pajak yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak bertambah. Peran serta masyarakat Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban pembayaran pajak tentu sangat diharapkan sesuai dengan kerangka sistem Self Assessment yang dianut di Indonesia, dalam undang-undang perpajakan sejak tahun 1983. Sistem Self Assessment telah memberikan kepercayaan penuh kepada
Universitas Indonesia
40
masyarakat Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan pajaknya sendiri. Akan tetapi dalam kenyataannya terdapat cukup banyak masyarakat yang dengan sengaja atau dengan berbagai alasan tidak melaksanakan kewajibannya membayar pajak sesuai ketetapan pajak yang diterbitkan. Tidak dilunasi utang pajak tentu saja menjadi beban administrasi tunggakan pajak. Oleh karenanya, untuk mencairkan tunggakan pajak dimaksud dilakukan tindakan penagihan pajak sesuai ketentuan yang berlaku. Penagihan dilakukan apabila Wajib Pajak yang bersangkutan tidak atau kurang memenuhi kewajiban pajak yang harus dipenuhinya, Wajib Pajak itu sadar dan bahkan cenderung melanggar. Maka sebelum dilakukan tindakan penagihan, Fiskus dapat melakukan pemeriksaan terhadap pajak terutang. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan/atau kewajiban materiil serta ditemukannya data baru, maka Fiskus dapat mengeluarkan Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Keputusan Pembetulan, Surat Kebutusan Keberatan dan Putusan Banding sebagai dasar melakukan tindakan Penagihan, sebagaimana diatur Pasal 18 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Tindakan penagihan ini dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000. Undang-Undang ini menjadi dasar hukum bagi Fiskus untuk menagih utang pajak dari para Wajib Pajak yang tidak mau melunasi utang pajaknya. Tindakan penagihan berdasarkan undang-undang tersebut dilakukan baik secara persuasif maupun secara represif.51 Artinya, tindakan penagihan diawali dengan surat teguran, namun bila Wajib Pajak tidak mengindahkannya baru dilakukan tindakan secara paksa. Pajak pada prinsipnya terutang pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai pajak, tetapi untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak tersebut adalah pada suatu saat, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak ketiga, pada akhir masa, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pemberi kerja, atau yang dipungut oleh pihak lain atas kegiatan 51
Ibid., hal. 55.
Universitas Indonesia
41
usaha, atau oleh Pengusaha Kena Pajak atas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, atau pada akhir Tahun Pajak, untuk Pajak Penghasilan.52 Surat Ketetapan Pajak adalah Surat Ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (Pasal 1 huruf 15 Undang-undang KUP). Pasal 12 ayat (2) Undang-undang KUP Jumlah Pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Penjelasan Pasal 12 ayat (2) Undang-undang KUP Ketentuan ini mengatur bahwa kepada Wajib Pajak yang telah menghitung dan membayar besarnya pajak yang terutang secara benar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, serta melaporkan dalam Surat Pemberitahuan, tidak perlu diberikan Surat Ketetapan Pajak atau pun Surat Tagihan Pajak. Surat Ketetapan Pajak dapat diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak sampai dengan jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, yang disebabkan oleh:53 1. Pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar, 2. SPT tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah ditentukan dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya, 3. Pemeriksaan mengenai PPN dan PPnBM ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenakan tarif 0%, 4. Kewajiban pembukuan dan meminjamkan buku pada saat diperiksa tidak dipenuhi, sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang. 52
Penjelasan Pasal 12 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, hlm 36. 53 Djoko Muljono., Op.Cit.,hlm 115
Universitas Indonesia
42
Pasal 13 ayat (1) Undang-undang KUP Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagai berikut: a. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar; b. Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; c. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atau Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai tarif 0% (nol persen); d. Apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29 tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang; atau e. Apabila kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4a). Penjelasan Pasal 13 ayat (1) Undang-undang KUP Ketentuan ayat ini memberikan wewenang kepada Direktur Jenderal Pajak untuk dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, yang pada hakikatnya hanya terhadap kasus-kasus tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat ini. Dengan demikian, hanya terhadap Wajib Pajak yang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain tidak memenuhi kewajiban formal dan/atau kewajiban material. Keterangan lain tersebut adalah data konkret yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktur Jenderal Pajak, antara lain berupa hasil konfirmasi Faktur Pajak dan bukti pemotongan Pajak Penghasilan. Wewenang yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan kepada Direktur Jenderal Pajak
Universitas Indonesia
43
untukmelakukan koreksi fiskal tersebut dibatasi sampai dengan kurun waktu 5 (lima) tahun. Menurut ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar diterbitkan jika Wajib Pajak tidak membayar pajak sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan. Diketahuinya Wajib Pajak tidak atau kurang membayar pajak karena dilakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan dan dari hasil pemeriksaan itu diketahui bahwa Wajib Pajak tidak atau kurang membayar dari jumlah pajak yang seharusnya terutang. Pemeriksaan dapat dilakukan di tempat tinggal, tempat kedudukan, dan/atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dapat juga diterbitkan dalam hal Direktur Jenderal Pajak memiliki data lain diluar data yang disampaikan oleh Wajib Pajak itu sendiri, dari data tersebut dapat dipastikan bahwa Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban pajak sebagaimana mestinya. Untuk memastikan kebenaran data itu, terhadap Wajib Pajak dapat dilakukan pemeriksaan. Surat pemberitahuan yang tidak disampaikan pada waktunya walaupun telah ditegur secara tertulis dan tidak juga disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b membawa akibat Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar secara jabatan. Terhadap ketetapan seperti ini dikenai sanksi administrasi berupa kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Bagi Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban perpajakan di bidang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atau Barang Mewah, yang mengakibatkan pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dikenai sanksi administrasi dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar ditambah dengan kenaikan sebesar 100% (seratus persen). Bagi Wajib Pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau pada saat diperiksa tidak memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 sehingga Direktur Jenderal Pajak tidak dapat menghitung jumlah pajak yang seharusnya terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Direktur Jenderal Pajak berwenang
Universitas Indonesia
44
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan penghitungan secara jabatan, yaitu penghitungan secara jabatan, yaitu penghitungan pajak didasarkan pada data yang tidak hanya diperoleh dari Wajib Pajak saja. Pembuktian atas uraian penghitungan yang dijadikan dasar penghitungan secara jabatan oleh Diretur Jenderal Pajak dibebankan kepada Wajib Pajak. Sebagai contoh: 1. Pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 tidak lengkap sehingga penghitungan laba rugi atau peredaran tidak jelas; 2. Dokumen-dokumen pembukuan tidak lengkap sehingga angka-angka dalam pembukuan tidak dapat diuji; atau 3. Dari rangkaian pemeriksaan dan/atau fakta-fakta yang diketahui besar dugaan disembunyikan dokumen atau data pendukung lain di suatu tempat tertentu sehingga dari sikap demikian jelas Wajib Pajak telah tidak menunjukkan itikad baiknya untuk membantu kelancaran jalannya pemeriksaan. Dari hasil pemeriksaan, Surat Ketetapan Pajak dapat diterbitkan karena berdasarkan pemeriksaan atau penelitian atas data Wajib Pajak, bahwa pajak yang dihitung atau dilaporkan dalam SPT tidak benar, sehingga masih terdapat: a.
Pajak yang tidak atau kurang bayar, atau
b. Pajak yang tidak atau kurang dipotong atau dipungut. Pasal 12 ayat (3) Undang-undang KUP Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti bahwa jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, maka Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak terutang. Penjelasan Pasal 12 ayat (3) Undang-undang KUP Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang dihitung dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan yang bersangkutan tidak benar, misalnya pembebanan biaya ternyata melebihi yang sebenarnya, Direktur Jenderal Pajak menetapkan besarnya pajak yang terutang sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketetapan yang diterbitkan
Universitas Indonesia
45
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. Berbagai macam Surat Ketetapan Pajak antara lain adalah:54 1. Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda (Pasal 1 huruf 20 Undang-undang KUP). Pasal 14 ayat (1) Undang-undang KUP Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila: a. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar; b. Dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung; c. Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga; d. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak membuat Faktur Pajak atau membuat Faktur Pajak tetapi tidak tepat waktu; e. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak mengisi Faktur Pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahan, selain: 1. Identitas pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya; atau 2. Identitas pembeli serta nama dan tandatangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b dan huruf g Undangundang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, dalam hal penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran. f. Pengusaha Kena Pajak melaporkan Faktur Pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan Faktur Pajak, atau g. Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6a) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya. Pasal 14 ayat (2) Undang-undang KUP Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud 54
Ibid., hlm 116
Universitas Indonesia
46
dalam ayat (1) mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan Surat Ketetapan Pajak. Penjelasan Pasal 14 ayat (2) Undang-undang KUP Surat Tagihan Pajak menurut ayat ini dipersamakan kekuatan hukumnya dengan Surat Ketetapan Pajak, sehingga dalam hal penagihannya dapat juga dilakukan dengan Surat Paksa. Surat Tagihan Pajak dapat diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak melalui pemeriksaan atau penelitian. Surat Tagihan Pajak dapat diterbitkan pada jenis pajak berikut ini: a. Pajak Penghasilan; b. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah.
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar (Pasal 1 huruf 16 Undang-undang KUP). SKPKB diterbitkan atas dasar hasil pemeriksaan Wajib Pajak, pada kondisi seperti berikut ini: a. SKPKB pada Pajak Penghasilan, terjadi apabila: Jumlah kredit pajak lebih kecil dengan jumlah pajak yang terutang. b. SKPKB pada Pajak Pertambahan Nilai, terjadi apabila: Jumlah kredit pajak lebih kecil dengan jumlah pajak yang terutang. c. SKPKB Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, dapat terjadi apabila: Jumlah pajak yang dibayar lebih kecil dengan jumlah pajak yang terutang. 3. Surat Ketetapan Pajak Nihil Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak (Pasal 1 huruf 18 Undang-undang KUP). SKPN diterbitkan atas dasar hasil pemeriksaan Wajib Pajak, pada kondisi seperti berikut ini: a. SKPN pada Pajak Penghasilan, terjadi apabila: 1. Jumlah kredit pajak sama dengan jumlah pajak pajak yang terutang atau
Universitas Indonesia
47
2. Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. b. SKPN pada Pajak Pertambahan Nilai, terjadi apabila: 1. Jumlah kredit pajak sama dengan jumlah pajak pajak yang terutang\atau 2. Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. c. SKPN pada Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, dapat terjadi apabila: 1. Jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang atau 2. Pajak tidak terutang dan tidak ada pembayaran pajak. Apabila terdapat pajak terutang yang dipungut oleh Pemungut PPN, maka yang dimaksud dengan jumlah pajak yang terutang adalah jumlah Pajak Keluaran setelah dikurangi dengan pajak yang dipungut oleh Pemungut PPN tersebut. Pasal 17a ayat (1) Undang-undang KUP Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Nihil apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yamg terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada pembayaran pajak. Penjelasan Pasal 17a ayat (1) Undang-undang KUP Menurut ketentuan Pasal ini, Surat Ketetapan Pajak Nihil diterbitkan untuk: a. Pajak Penghasilan, apabila jumlah kredit pajak sama dengan jumlah pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak; b. Pajak Pertambahan Nilai apabila jumlah kredit pajak sama dengan jumlah pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. Jika terdapat pajak terutang yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, jumlah pajak yang terutang dihitung dengan cara jumlah Pajak Keluaran dikurangi dengan pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut; atau c. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah apabila jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada pembayaran pajak. 4. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak
Universitas Indonesia
48
karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang (Pasal 1 huruf 19 Undang-undang KUP). Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan atas dasar hasil pemeriksaan pada Wajib Pajak, didapat kondisi seperti berikut ini: a. SKPLB pada Pajak Penghasilan, terjadi apabila: 1. Jumlah kredit pajak lebih besar dengan jumlah pajak yang terutang, atau 2. Pajak tidak terutang dan terdapat kredit pajak. b. SKPLB pada Pajak Pertambahan Nilai, terjadi apabila: 1. Jumlah kredit lebih besar sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau 2. Pajak tidak terutang dan terdapat kredit pajak. c. SKPN pada Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, dapat terjadi apabila: 1. Jumlah pajak yang dibayar lebih besar dengan jumlah pajak yang terutang atau; 2. Pajak tidak terutang dan terdapat pembayaran pajak. Pasal 17 ayat (1) Undang-undang KUP Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang. Penjelasan Pasal 17 ayat (1) Undang-undang KUP Menurut ketentuan ayat ini Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan, untuk: a. Pajak Penghasilan apabila jumlah kredit pajak lebih besar dari jumlah pajak yang terutang; b. Pajak Pertambahan Nilai apabila jumlah kredit pajak lebih besar dari jumlah pajak yang terutang. Jika terdapat pajak terutang yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, jumlah pajak yang terutang dihitung dengan cara jumlah Pajak Keluaran dikurangi pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut; atau c. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah apabila jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
Universitas Indonesia
49
tersebut diterbitkan setelah dilakukan pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak yang menyatakan kurang bayar, nihil, atau lebih bayar yang tidak disertai dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Apabila Wajib Pajak setelah menerima Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dan menghendaki pengembalian kelebihan pembayaran pajak, wajib mengajukan permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2). Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar tersebut diterbitkan setelah dilakukan pemeriksaan atas SPT yang disampaikan Wajib Pajak menyatakan kurang bayar, nihil, atau lebih bayar dan tidak disertai dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak (permohonan restitusi). 5. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan (Pasal 1 huruf 17 Undang-undang KUP). SKPKBT merupakan koreksiatas ketetapan pajak sebelumnya, yang baru diterbitkan apabila telah pernah diterbitkan ketetapan pajak. Dengan perkataan lain SKPKBT tidak akan mungkin diterbitkan sebelum didahului dengan penerbitan ketetapan pajak. Penerbitan SKPKBT dilakukan dengan syarat adanya data baru (novum) dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak sebelumnya. Dalam hal masih ditemukan lagi data yang semula belum terungkap pada saat diterbitkannya SKPKBT, dan/atau data yang baru diketahui kemudian oleh Direktur Jenderal Pajak, SKPKBT masih dapat diterbitkan lagi. SKPKBT dapat diterbitkan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat pajak terutang, berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, apabila ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap yang menambah jumlah pajak yang terutang. Pasal 15 ayat (1) Undang-undang KUP Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau
Universitas Indonesia
50
berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. 2.2.2
Dasar Penagihan Pajak Sejak dilakukan reformasi di bidang perpajakan yang dimulai sejak tahun
1984 telah diperkenalkan apa yang disebut sebagai “Self Assesment”. Dalam Sistem Self Assessment tersebut diberi kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung,
memperhitungkan,
menetapkan,
membayar
dan
melaporkan
pajaknya sendiri. Landasan hukumnya diatur dalam Pasal 12 Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Sebagai tindak lanjut dari reformasi perpajakan yang telah dimulai tahun 1984 tersebut, lahirlah Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Dalam hal terjadi suatu peristiwa atau keadaan yang ”mendesak” dan untuk menjaga kemungkinan terjadinya sesuatu yang akan mengakibatkan pajak yang terutang tidak dapat ditagih, maka Pejabat diberi wewenang untuk menerbitkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus. Sedangkan salah satu tugas Jurusita Pajak adalah melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus sampai tuntas. Secara preventif dimaksud agar penerimaan negara di sektor perpajakan dapat diamankan dalam waktu yang singkat.55 Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Juru Sita Pajak Negara (JSPN) tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, Masa pajak, dan Tahun Pajak. Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus diterbitkan sebelum penerbitan Surat Paksa. Menurut Undang-undang Nomor 19 tahun 2000, Menteri Keuangan dan Kepala Daerah berwenang menunjuk Pejabat untuk Penagihan pajak pusat/daerah. Pejabat untuk penagihan pajak pusat adalah Kepala Kantor Pelayanan Pajak dan Kepala Kantor Pajak Bumi dan Bangunan. Sedangkan Pejabat untuk Penagihan 55
Mardiasmo., Op.Cit., hlm.119
Universitas Indonesia
51
Pajak Daerah adalah Kepala Kantor Dinas Pendapatan Daerah Tingkat I (Propinsi), Tingkat II (Bupati) dan Tingkat II (Kodya). Apa yang dimaksud dengan Pejabat adalah yang berwenang mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak, menerbitkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Surat Pencabutan Sita, Pengumuman Lelang, Pembatalan Lelang, Surat Perintah Penyanderaan dan surat lain yang diperlukan untuk penagihan pajak sehubungan dengan Penanggung Pajak tidak melunasi sebagian atau seluruh utang pajak menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 56 Kepala Kantor Pelayanan Pajak melaksanakan tindakan penagihan apabila pajak yang terutang sebagaiman yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, tidak atau kurang dibayar setelah lewat jatuh tempo.57 Fiskus
berwenang
melakukan
tindakan
tersebut
(Undang-undang
Nomor19/2000 Pasal 6). Dalam rangka pengamanan penerimaan negara dari sektor perpajakan apabila: a. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanyaatau berniat untuk itu; b. Penanggung Pajak menghentikan atau secara nyata mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia ataupun memindah tangankan barang yang dimiliki atau dikuasainya. c. Terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya atau berniat untuk itu; d. Badan usaha akan dibubarkan oleh negara atau; e. Terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.
56 57
Ibid., hlm.120 Djoko Muljono., Op.Cit., hlm 163
Universitas Indonesia
52
Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus sekurang-kurangnya memuat :58 a. Nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak; b. Besarnya utang pajak; c. Perintah untuk membayar; dan d. Saat pelunasan utang pajak. Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus diterbitkan sebelum penerbitan Surat Paksa. Logika hukum dari Penagihan Seketika dan Sekaligus tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 19/2000 dimaksud ialah dalam rangka pengamanan dan pengawasan penerimaan negara di sektor perpajakan. Apabila terdapat unsur-unsur yang ada pada Pasal 20 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 juncto Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 Ketentuan Umum Perpajakan, maka Pejabat segera mengeluarkan Surat Perintah Penagihan Pajak Seketika dan Sekaligus. Surat Ketetapan maupun Surat Keputusan yang menjadi dasar penagihan pajak antara lain adalah seperti berikut ini:59 a. Surat Tagihan Pajak, b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, c. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, d. Surat Keputusan Pembetulan, e. Surat Keputusan Keberatan, dan f. Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar b. bertambah besar. Prinsip-prinsip penagihannya menyimpang dalam arti c. bahwa pelaksanaannya dilakukan tanpa mempersoalkan apakah 58
Moeljo Hadi., Dasar-dasar Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa Oleh Jurusita Pajak Pusat dan Daerah, (Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada,1998)., hlm.61 59 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
Universitas Indonesia
53
d. STP/SKPKB/SKPKBT/SK. Pembetulan/SK Keberatan/Putusan Banding e. telah jatuh tempo atau belum, bahkan dapat menyimpang dari jadwal f. waktu penagihan pajak. Pasal 19 ayat (1) Undang-undang KUP Apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,
Putusan
Banding
atau
Putusan
Peninjauan
Kembali,
yang
menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar, atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar itu dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pelunasan atau tanggal diterbikannya Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. Pasal 20 ayat (1) Undang-undang KUP Atas jumlah pajak yang masih harus dibayar, yang berdasarkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, yang tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) dilaksanakan penagihan pajak dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 2.2.3
Pejabat dan Jurusita Pajak Pejabat, adalah pejabat yang berwenang mengangkat dan memberhentikan
Jurusita Pajak, menerbitkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Surat Pencabutan Sita, Pengumuman Lelang, Surat Penentuan Harga Limit, Pembatalan Lelang, Surat Perintah Penyanderaan, dan surat lain yang diperlukan untuk penagihan pajak sehubungan dengan Penanggung Pajak tidak melunasi sebagian atau seluruh
Universitas Indonesia
54
Utang Pajak menurut undang-undang yang berlaku.
60
Menteri Keuangan
berwenang menunjuk Pejabat untuk melaksanakan penagihan pajak pusat. Kepala Daerah berwenang menunjuk Pejabat untuk melaksanakan penagihan pajak daerah. Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan, dan penyanderaan.61 Dalam penagihan pajak, Jurusita Pajak bertugas: a. Melaksanakan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus; b. Memberitahukan Surat Paksa; c. Melaksanakan penyitaan atas barang Penanggung Pajak berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan; dan d. Melaksanakan penyanderaan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan. Dalam melaksanakan penyitaan, Jurusita Pajak berwenang memasuki dan memeriksa semua ruangan termasuk membuka lemari, laci, dan tempat lain untuk menemukan objek sita di tempat usaha, di tempat kedudukan, atau di tempat tinggal Penanggung Pajak, atau di tempat lain yang dapat diduga sebagai tempat penyimpanan objek sita.
2.2.4 Penagihan Seketika dan Sekaligus Dalam rangka penagihan pajak dikenal adanya penagihan seketika dan sekaligus. Penagihan seketika dan sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh Utang Pajak dari semua jenis pajak, Masa Pajak, dan Tahun Pajak, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000. Jurusita Pajak melaksanakan Penagihan Seketika dan Sekaligus berdasarkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus. Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus sekurangkurangnya memuat nama Wajib Pajak atau Penanggung Pajak, besarnya Utang Pajak, perintah untuk membayar dan saat pelunasan pajak. Surat Perintah ini diterbitkan sebelum penerbitan Surat Paksa. Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus diterbitkan bila:62 60
Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000, Pasal 1 angka 5. Ibid., Pasal 1 angka 6. 62 Mardiasmo, op.cit., hal. 120.
61
Universitas Indonesia
55
a. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu; b. Penanggung Pajak memindahkan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukan di Indonesia; c. Terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya, atau menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya; d. Badan usaha akan dibubarkan oleh Negara; atau e. Terjadinya penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.
2.2.5
Upaya Hukum Terhadap Penagihan Pajak
2.2.5.1 Gugatan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 menyatakan bahwa gugatan Penanggung Pajak terhadap Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang hanya dapat diajukan kepada Pengadilan Pajak. Dalam hal gugatan Penanggung Pajak dikabulkan, Penanggung Pajak dapat memohon pemulihan nama baik dan ganti rugi kepada Pejabat paling banyak Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah). Gugatan diajukan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang dilaksanakan.
2.2.5.2 Permohonan Pembetulan atau Penggantian Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan pembetulan atau penggantian kepada Pejabat terhadap Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis, Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Surat Perintah Penyanderaan, Pengumuman Lelang dan Surat Penentuan Harga Limit yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan atau kekeliruan, sebagaimana diatur Pasal 39 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000. Ketentuan ini menurut Penjelasan Pasal 39 Undang-
Universitas Indonesia
56
Undang Nomor 19 Tahun 2000 mengatur pembetulan atas kesalahan atau kekeliruan dalam penulisan nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, jumlah utang pajak, atau keterangan lainnya yang tercantum dalam Surat Teguran , Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Surat Perintah Penyanderaan, Pengumuman Lelang atau Surat Penentuan Harga Limit yang permohonannya diajukan oleh Penanggung Pajak kepada Pejabat. Sedangkan yang dimaksud dengan penggantian surat-surat yaitu karena hilang maupun rusak dalam bentuk salinan atau turunan lainnya yang ditanda tangani oleh Pejabat. Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak tanggal diterima permohonan tersebut, Pejabat harus memberi keputusan atas permohonan yang diajukan. Apabila dalam jangka waktu tersebut Pejabat tidak memberikan keputusan, permohonan Penanggung Pajak dianggap dikabulkan dan penagihan ditunda untuk sementara waktu. Tindakan penagihan pajak dilanjutkan setelah kesalahan atau kekeliruan dibetulkan oleh Pejabat. Dalam hal permohonan tersebut ditolak, tindakan pelaksanaan penagihan pajak dilanjutkan sesuai jangka waktu semula.
Universitas Indonesia
57
2.2.6
Tahapan Penagihan Pajak63 1. Surat Pemberitahuan (SPT) Pasal 3 Ayat (1) UU KUP
2. Penerbitan Surat Teguran (7 hari setelah jatuh tempo)
3. Surat Paksa (21 hari sejak diterbitkan surat teguran)
4. Penyitaan (2x24 jam sesudah tanggal pemberitahuan dengan pernyataan dan penyerahan surat paksa kepada wajib pajak)
5. Pemblokiran
6. Lelang
7. Pencegahan ke luar negeri
8. Penyanderaan
2.2.6.1 Surat Pemberitahuan (SPT) Menurut Pasal 3 Ayat (1) Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Nomor 28 Tahun 2007 disebutkan sebagai sarana untuk melaporkan
dan
mempertanggungjawabkan
perhitungan
jumlah
pajak
pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah. Surat Pemberitahuan tersebut diisi oleh Wajib Pajak dan disampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
63
Moeljo Hadi., Op.Cit., hlm.7
Universitas Indonesia
58
2.2.6.2 Surat Teguran Sebagaimana diketahui bahwa yang menjadi dasar Penagihan Pajak adalah adanya Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Keputusan Pembetulan,
Surat
Kebutusan
Keberatan
dan
Putusan
Banding,
yang
64
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar ditambah. Setelah dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkannya surat ketetapan sebagaimana dimaksud di atas, Wajib Pajak atau Penanggung Pajak tetap tidak melunasinya, barulah dilakukan suatu tindakan penagihan aktif dengan nama Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain sejenis yang dimaksud untuk menegur atau memperingatkan kepada Wajib Pajak atau Penanggung Pajak untuk melunasi Utang Pajaknya. Penerbitan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis merupakan tindakan awal dari pelaksanaan penagihan pajak dan pelaksanaannya harus dilakukan sebelum dilanjut dengan penerbitan Surat Paksa. Apabila Wajib Pajak/ Penanggung Pajak tidak pernah diberikan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis namun langsung diterbitkan dan diberikan Surat Paksa, maka secara yuridis Surat Paksa tersebut dianggap cacat hukum karena tidak didahului dengan pengeluaran Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis. Surat Teguran dilakukan segera setelah 7 (tujuh) hari sejak jatuh tempo pembayaran yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak. Penerbitan Surat Teguran tidak diatur secara khusus dalam satu bagian tersendiri, tetapi hanya merupakan bagian dari bab mengenai Surat Paksa, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000. Selanjutnya, Pasal 8 ayat (1) hurif c Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000, menyatakan Surat Paksa diterbitkan apabila Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak. Artinya bila Penanggung Pajak mengalami kesulitan likuiditas, atas dasar permohonan Penanggung Pajak dapat diberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak melalui 64
Wirawan. B. Ilyas dan Richard Burton, op.cit., hal. 55.
Universitas Indonesia
59
keputusan Pejabat. Dengan demikian, apabila kemudian Penanggung Pajak tidak dapat memenuhi hal tersebut, maka Surat Paksa dapat diterbitkan langsung tanpa Surat Teguran.
2.2.6.3 Surat Paksa Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang Pajak dan Biaya Pajak, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000. Surat Paksa mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, hal ini sebagimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) juncto Pasal 9 ayat (2) UndangUndang Nomor 19 Tahun 2000.65 Mengingat Surat Paksa mempunyai kekuatan eksekutorial dan kekuatan hukum yang tetap, maka pemberitahuan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak oleh Jurusita Pajak harus dilaksanakan dengan cara membacakan isi Surat Paksa dan kedua belah pihak menandatangani Berita Acara Pelaksanaan Surat Paksa sebagai pernyataan bahwa Surat Paksa telah diberitahukan. Surat Paksa yang akan disampaikan kepada Penanggung Pajak dilakukan paling lambat setelah lampau waktu 21 (duapuluh satu) hari setelah Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis diterbitkan. Apabila Surat Paksa diterbitkan kurang dari 21 (duapuluh satu) hari setelah Surat Teguran diterbitkan, maka Surat Paksa menjadi batal demi hukum. Ada 3 (tiga) hal yang menyebabkan diterbitkannya Surat Paksa, yaitu:66 a. Apabila Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo dan telah diterbitkannya Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis; b. Bahwa terhadap Penanggung Pajak telah dilakukan penagihan seketika dan sekaligus; c. Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak. Surat Paksa dalam bahasa hukum disebut sebagai parate executie atau eksekusi langsung, yang berarti bahwa penagihan pajak secara paksa dapat dilakukan tanpa 65 66
Mardiasmo, op.cit., hal. 121. Ibid.
Universitas Indonesia
60
melalui proses Pengadilan Negeri. Hal ini dimengerti karena Surat Paksa mempunyai title eksekutorial yang mempunyai kekuatan hukum pasti, dimana Fiskus dapat melakukan kewajiban dan wewenangnya untuk melaksanakan eksekusi langsung atas apa yang disebutkan dalam Surat Paksa.67 Adanya kekuatan parate executie atau eksekusi langsung yang diberikan pada Surat Paksa oleh undang-undang terlihat pada Surat Paksa yang berkepala kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Kalimat ini terdapat juga pada setiap Putusan Pengadilan, baik Pengadilan Umum, Militer, Administrasi, maupun agama; di tingkat pertama, banding, sampai dengan Mahkamah Agung. Adanya kalimat tersebut membuat Surat Paksa mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai hukum tetap.
2.2.6.4 Penyitaan Penyitaan adalah tindakan Jurusita Pajak untuk menguasai barang Penanggung Pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-undangan.68 Apabila utang pajak tidak dilunasi Penanggung Pajak dalam jangka waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam setelah Surat Paksa diberitahukan, sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000, Pejabat menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan. Penyitaan dilakukan oleh Jurusita Pajak disaksikan oleh minimal 2 (dua) orang yang telah dewasa, penduduk Indonesia, dikenal oleh Jurusita Pajak, dan dapat dipercaya. Setiap melaksanakan penyitaan, Jurusita Pajak membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita yang ditandatangani oleh Jurusita Pajak, Penanggung Pajak, dan saksi-saksi. Berita Acara Pelaksanaan Sita mempunyai kekuatan mengikat, meskipun Penanggung Pajak menolak menandatangani Barang yang disita dapat berupa:69 a. Barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai, deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, obligasi, saham, piutang, dan penyertaan modal pada perusahaan lain, dan atau; 67
Marihot P Siahaan, Ibid, hal.390 Ibid., hal. 122. 69 Ibid. 68
Universitas Indonesia
61
b. Barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, dan kapal dengan isi kotor tertentu. Sedangkan barang bergerak yang dikecualikan dari penyitaan sebagaimana diatur Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000, yaitu a. Pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannnya yang digunakan oleh Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya. b. Persediaan makanan dan minuman untuk keperluan 1 (satu) bulan beserta peralatan memasak yang ada dirumah. c. Perlengkapan Penanggung Pajak yang bersifat dinas yang diperoleh dari negara. d. Buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan Penanggung Pajak dan alat-alat yang dipergunakan untuk pendidikan, kebudayaan, dan keilmuan. e. Peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk melaksanakan perkerjaan atau usaha sehari-hari dengan jumlah seluruhnya tidak lebih dari Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). Besarnya nilai peralatan ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan atau Keputusan Kepala Daerah. f. Peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya. Penyitaan tidak dapat dilaksanakan terhadap barang yang telah disita oleh Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang. Terhadap barang yang telah disita tersebut, Jurusita Pajak menyampaikan Surat Paksa kepada Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang. Pengadilan Negeri dan instansi lain tersebut kemudian menetapkan dan menjadikan barang itu sebagai jaminan pelunasan utang pajak. Kemudian Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang menentukan pembagian hasil penjualan barang tersebut berdasarkan ketentuan hak mendahului negara untuk tagihan pajak. Berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000, terhadap barang yang telah disita Penanggung Pajak dilarang untuk melakukan hal-hal berikut: a. Memindahkan
hak,
memindahtangankan,
menyewakan,
meminjamkan,
menyembunyikan, menghilangkan, atau merusak barang yang telah disita;
Universitas Indonesia
62
b. Membebani barang tidak bergerak yang telah disita dengan Hak Tanggungan untuk pelunasan utang tertentu; c. Membebani barang bergerak yang telah disita dengan Fiducia atau diagunkan untuk pelunasan utang tertentu; d. Merusak, mencabut, atau menghilangkan segel sita atau salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita yang telah ditempel pada barang sitaan. Penanggung Pajak yang melanggar ketentuan ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah). Setiap orang yang dengan segaja tidak menturuti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang, atau dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau mengagalkan tindakan dalam melaksanakan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh Jurusita Pajak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan 2 (dua) minggu dan denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).70 Pencabutan sita dapat dilaksanakan apabila Penanggung Pajak telah melunasi biaya penagihan dan utang pajak atau berdasarkan putusan pengadilan atau putusan Pengadilan Pajak atau ditetapkan lain dengan Keputusan Menteri Keuangan atau Keputusan Kepala Daerah.
2.2.6.5 Lelang Lelang adalah setiap penjualan barang di muka umum dengan cara penawaran harga secara lisan dan atau tertulis melalui usaha pengumpulan peminat atau calon pembeli, sebagaimana diatur Pasal 1 angka 14 UndangUndang Nomor 19 Tahun 2000. Apabila utang pajak dan atau biaya penagihan pajak tidak dilunasi setelah dilaksanakan penyitaan, Pejabat berwenang melaksanakan penjualan secara lelang terhadap barang yang disita melalui Kantor Lelang. Pelaksanaan lelang berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 bertujuan untuk membantu mewujudkan penegakan hukum dalam rangka Penagihan Pajak. Sedangkan peraturan yang mengatur tentang lelang itu sendiri di Indonesia diatur dalam Vendu Reglement (Stbl. 1908 Nomor 189), Vendu 70
Ibid., hal. 127.
Universitas Indonesia
63
Instructie (Stbl. 1908 Nomor 190), dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/ PMK. 07/ 2006. Berdasarkan peraturan tersebut lelang berfungsi sebagai sarana transaksi jual beli barang yang memperlancar arus lalu lintas perdagangan barang dan menjalankan fungsi publik yaitu mendukung penegakan hukum di bidang Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum Perpajakan, dan mendukung tertib administrasi, efesiensi pada pengelolaan serta pengurusan aset yang dikuasai negara, dan terakhir untuk mengumpulkan/ mengamankan penerimaan negara dalam bentuk Bea Lelang, uang miskin, biaya administrasi, PPh 25 dan BPHTB. Penjualan secara lelang terhadap barang yang disita dilaksanakan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah pengumuman lelang melalui media masa. Pengumuman lelang dilaksanakan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah penyitaan. Pengumuman lelang untuk barang bergerak dilakukan 1 (satu) kali dan untuk barang tidak bergerak dilakukan 2 (dua) kali. Pengumuman lelang terhadap barang dengan nilai paling banyak Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) tidak harus diumumkan melalui media masa. Hasil lelang dipergunakan terlebih dahulu untuk membayar penagihan pajak yang belum dibayar, dan sisanya untuk membayar utang pajak. Karena Negara mempunyai hak mendahului untuk utang pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak. Artinya kedudukan negara sebagai kreditur preferen yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik Penanggung Pajak yang akan di lelang di muka umum. Hak mendahulu atas hasil lelang tersebut diatur dalam Pasal 21 ayat (1) juncto Penjelasan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 juncto Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000. Apabila hasil lelang sudah mencapai jumlah yang cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak, pelaksanaan lelang dihentikan oleh Pejabat walaupun barang yang akan dilelang masih ada. Sisa barang beserta kelebihan uang hasil lelang dikembalikan oleh Pejabat kepada Penanggung Pajak segera setelah pelaksanaan lelang. Lelang tidak dilaksanakan apabila Penanggung Pajak telah melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak, atau berdasarkan putusan pengadilan, atau putusan Pengadilan Pajak, atau objek lelang musnah.
Universitas Indonesia
64
2.2.6.6 Pencegahan dan Penyanderaan Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap Penanggung Pajak tertentu untuk keluar dari wilayah Republik Indonesia berdasarkan alas an tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000. Pencegahan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang mempunyai jumlah utang pajak sekurang-kurangnya sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak. Pencegahan dapat dilakukan berdasarkan keputusan pencegahan yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan atas permintaan Pejabat atau atasan Pejabat yang bersangkutan. Jangka waktu pencegahan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang selamalamanya 6 (enam) bulan. Pencegahan terhadap Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya utang pajak dan terhentinya pelaksanaan penagihan pajak. Penyanderaan adalah pengekangan sementaraan waktu kebebasan Penanggung Pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu, sebagaimana diatur Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000. Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang mempunyai jumlah utang pajak sekurang-kurangnya sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak. Penyanderaan hanya dapat dilakukan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan yang diterbitkan oleh Pejabat setelah mendapat ijin tertulis dari Menteri Keuangan atau Gubernur Kepala Daerah Propinsi. Masa penyanderaan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang selama-lamanya 6 (enam) bulan. Penyanderaan tidak boleh dilaksanakan dalam hal Penanggung Pajak sedang beribadah, atau sedang mengikuti sidang resmi, atau sedang mengikuti Pemilihan Umum. Kriteria-kriteria Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang dapat disandera diatas, kemudian dilengkapi dan dipertegas kembali di dalam ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 137 Tahun 2000, yaitu: Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang tidak melunasi utang pajak setelah lewat jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal Surat Paksa diberitahukan kepada Penanggung Pajak.
Universitas Indonesia
65
Sementara itu mengenai tempat penahanan diatur di dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan Republik Indonesia dan Kehakiman No. M-02 UM 09. 01 Tahun 2003/No: 294/KMK/03/2003 tertanggal 25 Juni 2003, sebagai berikut: 1. Tempat tinggal penyanderaan di dalam rumah tahanan Negara dipisahkan dengan tempat tahanan tersangka tindak pidana; 2. Pemisahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan berdasarkan jenis kelamin Penanggung Pajak yang disandera. Penanggung Pajak yang disandera dilepas ketika:71 a. Apabila utang pajak dan biaya penagihan pajak telah dibayar lunas, b. Apabila jangka waktu yang ditetapkan dalam surat perintah penyanderaan itu telah terpenuhi, c. Berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, d. Berdasarkan pertimbangan tertentu dari Menteri Keuangan atau Gubernur. Penanggung Pajak yang disandera dapat mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan penyanderaan hanya kepada Pengadilan Negeri. Dalam hal gugatan Penanggung Pajak dikabulkan dan putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Penanggung Pajak dapat memohon rehabilitasi nama baik dan ganti rugi atas masa penyanderaan yang telah dijalaninya. Penanggung Pajak tidak dapat mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan penyanderaan setelah masa penyanderaan berakhir. Penyanderaan terhadap Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya uang pajak dan terhentinya pelaksanaan penagihan pajak.
2.3
Pemblokiran dan Penyitaan Rekening Bank Wajib Pajak Dasar hukum yang terkait dan mengatur mengenai pemblokiran dan
penyitaan harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank dalam rangka
penagihan
pajak
adalah
Keputusan
Menteri
Keuangan
Nomor
563/KMK.04/2000 dan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER - 109/PJ./2007 yaitu Perubahan Atas Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-627/PJ/2001 71
Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000., Pasal 34 ayat (1).
Universitas Indonesia
66
tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak Yang Tersimpan Pada Bank Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan
Surat
Paksa.
Berdasarkan
peraturan
Bank
Indonesia
nomor
2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank, diatur bahwa untuk kepentingan perpajakan, pimpinan Bank Indonesia, berdasarkan permintaan tertulis dari Menteri Keuangan, berwenang mengeluarkan perintah tertulis pada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak tanpa mensyaratkan pencantuman nomor rekening dari Wajib Pajak yang dikehendaki keterangannya. Pencantuman jumlah tunggakan pajak dalam permintaan pemblokiran harta kekayaan Penangung Pajak yang tersimpan di bank, dimaksudkan agar dalam hal Penanggung Pajak memiliki lebih dari satu rekening pada bank tersebut, bank melakukan pemblokiran hanya terhadap sejumlah rekening Penanggung Pajak yang dananya cukup untuk melunasi tunggakan pajak dimaksud. Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE01/PJ.75/2005 tentang Kebijakan Penagihan Pajak Tahun 2005 disebutkan pelaksanaan penyitaan aset Wajib Pajak/Penanggung Pajak agar diprioritaskan atas kekayaan Penanggung Pajak berupa Monetary Assets seperti deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, piutang atau tagihan, obligasi, saham dan surat berharga lainnya. Khusus penyitaan atas harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank dilaksanakan dengan pemblokiran terlebih dahulu. Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak pelaksanaan sita, Penanggung Pajak tidak melunasi hutang pajak dan biaya penagihan pajak, Kepala Kantor Pelayanan Pajak/Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan segera meminta kepada pimpinan bank untuk memindah bukukan harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank ke kas Negara sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 dan Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP627/PJ./2001 tanggal 24 September 2001.
Universitas Indonesia
67
2.3.1 Jenis Harta Wajib Pajak Pada Bank Salah satu upaya paksa Kantor Pajak dalam melakukan penagihan utang pajak kepada Penanggung Pajak adalah dengan melakukan penyitaan atas harta kekayaan Penanggung Pajak. Dengan dilakukannya penyitaan maka diharapkan Penanggung Pajak mau memenuhi kewajibannya untuk membayar hutang pajak. Harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank meliputi rekening, simpanan, dan bentuk simpanan lain yang lazim dalam praktek perbankan dengan pengertian sebagai berikut: 1. Rekening adalah dana yang tersimpan pada bank dalam bentuk rekening koran. 2. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. 3. Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan pemindahbukuan. 4. Deposito Berjangka adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian Nasabah Penyimpan dengan bank. 5. Sertifikat Deposito Berjangka adalah simpanan dalam bentuk deposito yang sertifikat bukti penyimpanannya dapat dipindahtangankan. 6. Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu. Pasal 5 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 135 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyitaan Dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa mengatur bahwa penyitaan terhadap kekayaan Penanggung Pajak yang disimpan
Universitas Indonesia
68
di bank berupa deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu dilaksanakan sebagai berikut : 1. Pejabat mengajukan permintaan pemblokiran kepada bank disertai dengan penyampaian Salinan Surat Paksa dan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan; 2. Bank Wajib memblokir seketika setelah menerima permintaan pemblokiran dari Pejabat dan membuat berita acara pemblokiran serta menyampaikan salinannya kepada Pejabat dan Penanggung Pajak; 3. Jurusita Pajak setelah menerima berita acara pemblokiran dari bank memerintahkan Penanggung Pajak untuk memberi kuasa kepada bank agar memberitahukan saldo kekayaannya yang tersimpan pada bank tersebut kepada Jurusita Pajak; 4. Dalam hal Penanggung Pajak tidak memberikan kuasa kepada bank sebagaimana
dimaksud
dalam
huruf
c,
Pejabat
meminta
Bank
Indonesiamelalui Menteri Keuangan untuk memerintahkan bank untuk memberitahukan saldo kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank yang dimaksud; 5. Setelah saldo kekayaan yang tersimpan pada bank diketahui, Jurusita Pajak melaksanakan penyitaan dan membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita, dan menyampaikan salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita kepada Penanggung Pajak dan bank yang bersangkutan; 6. Pejabat mengajukan permintaan pencabutan pemblokiran kepada bank setelah Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan Pajak; Melalui mekanisme pemblokiran tersebut, hasil pencairan tunggakan pajak tergantung dari besar atau kecilnya saldo rekening yang diblokir. Dengan adanya pemblokiran tersebut Penanggung Pajak tidak dapat melakukan transaksi bisnis kepada pihak ketiga.
Universitas Indonesia
69
2.3.2 Tahapan Pemblokiran Dalam melaksanakan penagihan pajak dengan Surat Paksa, Jurusita Pajak berwenang melaksanakan pemblokiran dan penyitaan terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank. Penyitaan terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak dilaksanakan dengan pemblokiran terlebih dahulu. Pemblokiran adalah tindakan pengamanan
harta kekayaan
milik
Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank dengan tujuan agar terhadap harta kekayaan dimaksud tidak terdapat perubahan apapun, selain penambahan jumlah atau nilai. Pemblokiran diajukan oleh Pejabat kepada pimpinan bank tempat harta kekayaan Penanggung Pajak tersimpan disertai salinan Surat Paksa dan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan. Pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk wajib melaksanakan pemblokiran terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak seketika setelah menerima permintaan pemblokiran dari Pejabat. Pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk membuat berita acara pemblokiran yang akan disampaikan kepada Penanggung Pajak dan Pejabat yang meminta pemblokiran. Sebelum dilakukan penyitaan atas harta kekayaan Penanggung Pajak yang diblokir, Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Pejabat menggunakan harta yang diblokir tersebut untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak.
2.2.3 Tahapan Penyitaan Dengan Pemblokiran Rekening Bank Salah satu upaya paksa Kantor Pajak dalam melakukan penagihan utang pajak kepada Penanggung Pajak adalah dengan melakukan penyitaan atas harga kekayaan Penanggung Pajak. Dengan dilakukannya penyitaan maka diharapkan Penanggung Pajak mau memenuhi kewajibannya untuk membayar hutang pajak. Upaya yang dilakukan oleh Juru Sita Pajak adalah dengan melakukan pemblokiran dan penyitaan atas rekening-rekening milik Penanggung Pajak yang ada di bank.
Universitas Indonesia
70
Bagi Penanggung Pajak pemblokiran atas rekening giro yang disimpan di bank sangat merugikan kelangsungan usaha maupun kredibilitasnya. Dengan dilakukannya pemblokiran rekening milik Penanggung Pajak di bank maka Penanggung Pajak tidak dapat menggunakan rekening tersebut untuk satu-satunya rekening milik Penanggung Pajak yang digunakan untuk usahanya maka penyitaan akan dapat membuat Penanggung Pajak tidak dapat melakukan transaksi melalui rekening tersebut. Berdasarkan hal tersebut diatas, pemblokiran dan penyitaan rekening milik Penanggung Pajak akan berdampak psikologis yang sangat merugikan nama baik atau kredibilitas seseorang baik sebagai pribadi, apalagi selaku pelaku bisnis. Penyitaan dengan obyek sita harta kekayaan Penanggung Pajak di bank seperti deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro atau bentuk lainnya yang disamakan dengan itu, obligasi saham atau surat berharga lainnya dapat dikategorikan sebagai penyitaan terhadap harta bergerak. Berbeda dengan penyitaan pada barang bergerak lainnya, penyitaan atas harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan di bank juga tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1993. Dalam pelaksanaannya, Juru Sita Pajak harus mengetahui harta kekayaan Penanggung Pajak di bank, terutama rekening koran/giro. Data tersebut diperoleh dari berbagai sumber diantaranya Laporan Pemeriksaan Pajak dan data rekening Penanggung Pajak yang mengajukan pengembalian pajak (restitusi). Pengusaha atau perusahaan pada umumnya mempunyai simpanan uang di bank dalam bentuk giro atau rekening koran.
Universitas Indonesia
71
Namun, tidak sama rekening milik Penanggung Pajak yang ada di bank dapat disita. Rekening milik Penanggung Pajak yang merupakan rekening penampungan yang berisi hasil pencairan kredit dari bank tidak dapat disita karena pada hakekatnya uang yang berada dalam rekening tgersebut di atas bukanlah milik Penanggung Pajak akan tetapi uang milik bank yang dipinjam oleh Penanggung Pajak berdasarkan perjanjian pinjam meminjam antara bank dengan Penanggung Pajak. Dalam menjalankan usahanya bank terikat prinsip kerahasiaan bank dilarang memberikan keterangan tentang keadaan keuangan dan hal-hal lain dari nasabah penyimpanan dana yang wajib dirahasiakan oleh bank menurut kelaziman dalam dunia perbankan kecuali untuk kepentingan perpajakan. Untuk membuka rahasia bank untuk keperluan perpajakan dilakukan dengan kewenangan ini Menteri mengeluarkan perintah tertulis kepada bank (melalui Gubernur BI) agar memberikan keterangan dan memperlihatkan buktibukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah tertentu kepada pejabat pajak. Perintah tertulis itu harus menyebutkan nama pejabat pajak dan nama nasabah Wajib Pajak yang dikehendaki keterangannya.
2.3.4
Pemindahbukuan ke Kas Negara Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak penyitaan,
Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak, Pejabat segera meminta kepada pimpinan bank untuk memindahbukukan harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank ke kas negara atau kas daerah sejumlah yang tercantum dalam Berita Acara Pelaksanaan Sita. Namun sebelum jangka waktu 14 (empat belas) hari tersebut Penanggung Pajak dapat mengajukan
Universitas Indonesia
72
permohonan kepada Pejabat untuk menggunakan barang sitaan untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak.
2.3.5
Pencabutan Pemblokiran Pejabat mengajukan permintaan pencabutan pemblokiran kepada bank
setelah Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak. Kalau jumlah yang diblokir lebih besar dari yang disita maka permintaan atas sisa tersebut dapat diajukan untuk meminta pencabutan pemblokiran oleh Pejabat kepada bank. Namun apabila tunggakan belum dilunasi maka pemblokiran sampai kapanpun belum bisa dicabut. Seperti yang terurai pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 135 tahun 2000 tentang Tata Cara Penyitaan Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa pasal 5 ayat 3 huruf f yaitu “Pejabat mengajukan
permintaan pencabutan pemblokiran kepada bank setelah Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak”.
2.3.6
Pihak-Pihak Yang Terkait Dengan Pemblokiran Rekening Bank Keberhasilan Pemblokiran rekening bank Penangung Pajak tidak terlepas
dari peranan para pihak yaitu aparat pajak (Fiskus), pihak bank dan pihak Penanggung Pajak yang mengalami pemblokiran rekening, karena salah satu tindakan penagihan yang paling sulit dilaksanakna adalah penyitaan, mengingat dalam tahap ini faktor resistensi dari Penanggung Pajak cukup besar, dengan alasan menyangkut kredibilitas dan nama baik perusahaan. Peran serta pihak bank sangat besar terutama dalam menindaklanjuti permintaan pemblokiran dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak serta prosedur pemblokiran. Peranan yang lain adalah dengan memberikan saldo rekening Penanggung Pajak kepada Juru Sita Pajak setelah mendapat kuasa dari Penanggung Pajak.
Universitas Indonesia
73
Kadang-kadang Penanggung Pajak sejak awal pemblokiran tidak merespon apapun sehingga sesuai prinsip kerahasiaan bank, saldo rekeningnya dapat diberitahukan ke Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan perintah Menteri Keuangan yang diteruskan ke Gubernur Bank Indonesia. Dengan adanya pemblokiran, Penanggung Pajak bisaanya langsung bereaksi dan prosedur yang berlaku diikutinya, mengingat Penanggung Pajak berkepentingan untuk segera dicabutnya pemblokiran rekening Penanggung Pajak. Penyitaan harta kekayaan Penanggung Pajak di bank agar berhasil dengan baik diperlukan kerjasama beberapa pihak yaitu : a. Penanggung Pajak, yaitu adanya kepatuhan Penanggung Pajak dalam mengikuti prosedur dan tahap-tahap yang berlaku dalam penyitaan harta kekayaan Penanggung Pajak di bank. b. Pihak bank, yaitu adanya kerjasama pihak bank dalam prosedur penyitaan harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan di bank. c. Aparat Pajak, yaitu kinerja Juru Sita Pajak dalam melakukan penyitaan harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan di bank.
2.4
Kasus Posisi KPP Wajib Pajak Besar Dua telah melaksanakan tindakan pemblokiran
dan penyitaan harta kekayaan Penanggung Pajak adalah terhadap Wajib Pajak badan yaitu PT. HI yang beralamat di Jakarta Timur dengan NPWP 01.xxx.xxx.3092.000 yang total SKPKB Pajak Penghasilan Pasal 26 sebesar Rp. 783.262.916,53,-. PT. HI adalah perusahaan yang berdiri pada tahun 1982 dengan tiga pabrik yang terletak di Cakung, Ciawi, dan Cibadak. PT. HI memproduksi Piano Digital, Kamera, Audio Mobil, Lensa Perekam Video, Papan Kontrol
Universitas Indonesia
74
Elektronik, Kamera Standard Fuji Film, Lensa Kaca, Kamera Digital, Penguat Sinyal Televisi dan Televisi Layar Datar. Tindakan tersebut diawali dengan terbitnya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 26 Tahun Pajak 2006 dari Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Dua pada tanggal 23 Juni 2008 sebesar Rp. 783.262.916.53,dengan jatuh tempo pada tanggal 22 Juli 2008. Pada tanggal 28 Juli 2008 PT. HI mengajukan Surat Keberatan atas SKPKB PPh 26 masa pajak Januari s.d Desember 2006 Nomor 00023/xxx/xx/xxx/08 tanggal 23 Juni 2008 kepada KPP Wajib Pajak Besar Dua dengan merujuk pada Nomor 28 Tahun 2007, adapun alasan dari PT HI yaitu PT HI tidak setuju dengan koreksi pemeriksaan yang didasarkan pada hasil equalisasi dengan biaya fiskal yang merupakan objek withholding PPh 26. PT HI mempunyai perhitungan PPh 26 masa pajak Januari s.d Desember 2006 adalah sebagai berikut: Uraian
SKBKP
Wajib Pajak
Koreksi yang
(Rp)
(Rp)
seharusnya dibatalkan (Rp)
Penghasilan Kena Pajak
2.913.763.755
203.484.449
2.710.252.306
PPh Terutang
562.398.905
270.459.024
291.939.881
Kredit Pajak
20.348.444
20.348.444
0
Kurang(Lebih) Bayar
542.050.461
250.110.580
291.939.881
Sanksi Administrasi
241.212.455
0
241.212.455
PPh YMH Dibayar
783.262.916
250.110.580
533.152.336
Pada tanggal 19 September 2008, Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Dua menerbitkan Surat Paksa Nomor SP-00029/WPJ.19/KP.0204/2008 berisi Jenis Pajak PPh 26 Tahun Pajak 2006 Jumlah Tunggakan Pajak sebesar Rp. 783.262.916,53,- serta Surat Paksa Nomor SP-0032/WPJ.19/KP.0204/2008 berisi PPh 23 Jumlah Tunggakan Pajak sebesar Rp. 148.130.237,78,Pada tanggal 23 Februari 2009 Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Dua memberikan Surat Penyelesaian Tunggakan Pajak kepada PT HI dan diterima oleh PT HI pada tanggal 27 Februari 2009 didalam Surat Penyelesaian Tunggakan
Universitas Indonesia
75
tersebut diminta kepada PT HI untuk melunasi sisa tunggakan untuk menghindari penagihan pajak selanjutnya. Pada tanggal 13 Mei 2009 Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Dua mengirimkan surat kepada PT. HI bahwa Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Dua menolak Surat Keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 26 Nomor 00023/204/06/092/08 pada tanggal 23 Juni 2008 Masa/Tahun Pajak Januari s.d Desember 2006 dan Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Dua tidak terdapat cukup alasan untuk menerima permohonan Wajib Pajak yaitu PT HI, mengingat Pasal 26 A dan Pasal 26A Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007, Undang- undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan serta Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-297/PJ./2002 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-07/PJ/2008. Pada tanggal 10 September 2009 KPP Wajib Pajak Besar Dua melayangkan surat kepada PT. HI mengenai Klarifikasi Tunggakan Pajak Nomor S-1037/WPJ.19/KP.0204/2009 bahwa pertanggal 08 September 2009 PT HI masih mempunyai tunggakan pajak sebagai berikut: No
Jenis Pajak
Ketetapan
Tanggal Jatuh
Sisa
Tempo
Tunggakan
1
PPh Pasal 26
0023/204/06/092/08
23-06-08
22-07-08
783.262.916,53
2
PPh Pasal 23
0034/203/06/092/08
23-06-08
22-07-08
148.130.237,7
JUMLAH
931.393.154,30
Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Dua memberikan jatuh tempo pembayaran untuk melunasi sisa tunggakan dimaksud paling lambat 25 September 2009. Pada tanggal 28 Oktober 2009 Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Dua menerbitkan Berita Acara Pemblokiran PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk cabang Bogor Surya kencana Nomor: 5.Sp.BSK/147/2009. Selanjutnya, pada tanggal 02 Nopember 2009 PT HI memberikan Surat Kuasa memberitahukan saldo kekayaan yang tersimpan di bank PT. Bank Mandiri
Universitas Indonesia
76
KC Jakarta Pulogadung untuk memberitahukan saldo kekayaan pemberi kuasa yang tersimpan pada PT Bank Mandiri (Persero) Tbk KC Jakarta Pulogadung dengan Nomor rekening: 125-xx-xxxxx608-x kepada Jurusita Pajak Negara. Surat Kuasa ini dibuat dalam rangkap 2 (dua) yang masing-masing dibubuhi materai yang nilainya cukup dan masing-masing mempunyai kekuatan hukum yang sama. Pada tanggal yang sama, pada tanggal 02 Nopember PT HI melayangkan surat kepada Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Dua bahwa sehubungan dengan Utang Pajak PT HI yang tercantum dalam Surat Paksa Jenis Pajak PPh 26 Tahun Pajak 2006 Jumlah Tunggakan Pajak sebesar Rp. 783.262.916,53,- serta Surat Paksa Nomor SP-0032/WPJ.19/KP.0204/2008 berisi PPh 23 Jumlah Tunggakan Pajak sebesar Rp. 148.201.193,06,- PT HI menyampaikan bahwa atas Utang Pajak serta penagihan pajak tersebut akan dilunasi oleh PT HI dengan menggunakan harta kekayaan yang telah diblokir serta terlampir bukti Surat Setoran Pajak yang telah PT HI tandatangni. Pada tanggal 06 Nopember 2009 Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Dua menerbitkan surat Nomor; S-1178/WPJ.19/KP.020/2009 kepada PT HI agar memberikan Kuasa untuk memberitahukan saldo rekening atas harta yang diblokir kepada PT Bank Mandiri (Persero) Tbk cabang Bogor Surya Kencana. Surat ini diterima oleh PT HI pada tanggal 10 Nopember 2009.
2.5
Analisa Kasus Melihat dari kronologis kasus PT HI tersebut diatas dan dibandingkan
dengan ketentuan umum tata cara pelaksanaan proses penagihan aktif berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2000 dan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, maka dapat diambil beberapa analisa sebagai berikut:
2.5.1
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar PPh 26 Tahun Pajak 2006 yang diterbitkan pada tanggal 23 Juni 2008 merupakan hasil pemeriksaan oleh Direktorat Jenderal Pajak Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Dua dalam rangka melaksanakan ketentuan Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan
Universitas Indonesia
77
Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 13 Ayat (1) dan ayat (2) yang memberikan wewenang kepada Direktur Jenderal Pajak untuk dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. Pemeriksaan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak Kantor Pelayanan Pajak Besar Dua dapat terjadi karena Wajib Pajak meminta restitusi pajak atau pemeriksaan rutin yang memang dilakukan oleh petugas pajak atau ditemukan bukti awal bahwa Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban formal dan/atau kewajiban material berupa hasil konfirmasi faktur pajak dan bukti pemotongan Pajak Penghasilan. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar menentukan besarnya jumlah pokok, jumlah kredit pajak, jumlah pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan maksimum 24 bulan sesuai. Untuk memenuhi asas keadilan, maka bunga 2% (dua persen) setiap bulannya juga akan dikenakan kepada Direktorat Jenderal Pajak Kantor Pelayanan Pajak Besar Dua, apabila surat keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak dikemudian hari ternyata disetujui oleh Direktorat Jenderal Pajak seperti yang tertuang dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 27A Ayat (1). Ketentuan ini tentunya mengikat dan adil bagi Wajib Pajak serta Direktorat Jenderal Pajak karena mempunyai resiko yang sama (equality). Melihat resiko dan terpenuhinya asas keadilan dan persamaan (equality), maka sebaiknya Direktorat Jenderal Pajak sangat berhati-hati dan menyiapkan bukti-bukti yang sangat kuat sebelum mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. Ditambahkan lagi bahwa setelah Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar ini dikeluarkan, maka proses panjang akan dilalui baik oleh Wajib Pajak dan Direktorat Jenderal Pajak termasuk juga yang nantinya akan bisa saja sampai kepada Kantor Pengadilan Pajak. Proses yang panjang dan melibatkan banyak pihak juga harus dilihat mengenai asas Economy of Collection harus diperhitungkan rasio atau perimbangan antara biaya pengumpulan/pemungutan dengan hasil banyak itu sendiri sehingga diharaplkan tidak terjadi hasil pajak yang negative dimana biaya yang dikeluarkan bagi pemungutan Pajak justru lebih besar daripada jumlah Pajak yang berhasil dihimpun. Tahun Pajak Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tahun 2006, maka yang berlaku adalah Undang-Undang
Universitas Indonesia
78
Nomor 16 Tahun 2000 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang mana tidak akan menunda pelaksanaan pembayaran pajak dan penagihan pajak seperti yang tertuang didalam pasal 25 ayat (7). Apabila tahun pajak yang dipermasalahkan adalah tahun 2008 keatas, maka keberatan dari Wajib Pajak akan menangguhkan proses penagihan dan pembayaran pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 25 Ayat (7) dan Ayat (8). Walaupun demikian, komunikasi intensif antara Kantor Pelayanan Pajak Besar Dua dan PT. HI harus ditingkatkan sehingga memiliki pemahaman yang sama sehingga proses selanjutnya yang menuju kepada pemblokiran rekening bank dapat terhindarkan. Peran dari Direktorat Jenderal Pajak untuk memberikan pemahaman dan sosialisasi terhadap perubahan dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 sangatlah besar dalam rangka meminimalkan perselisihan pendapat mengenai perpajakan. Hal ini dirasakan sangat perlu dan adil bagi Wajib Pajak apabila setiap perubahan perundang-undangan diberikan waktu penyesuaian, sosialisasi yang menyeluruh oleh Direktorat Jenderal Pajak sehingga asas pemungutan Pajak untuk perihal kepastian, persamaan dan keadilan terwujud dengan baik.
2.5.2
Tanggal jatuh tempo pembayaran Tanggal jatuh tempo pelunasan terhadap Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar PPh 26 tahun pajak tahun 2006 yaitu tanggal 22 Juli 2008 tidak dipatuhi oleh PT HI. Dari data yang ada, PT. HI tidak melakukan pelunasan sesuai tanggal jatuh tempo yang tertuang didalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. Sebagai wujud keberatan dari PT. HI, 5 hari setelah tanggal jatuh tempo tersebut yaitu tanggal 28 Juli 2008, PT HI mengajukan mengajukan keberatan kepada Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Dua terhadap Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. Sebaiknya PT. HI mengajukan keberatannya sebelum tanggal jatuh tempo yaitu tanggal 22 Juli 2008 untuk menghindari fakta bahwa PT. HI tidak patuh dan juga beberapa upaya hukum dapat dilakukan PT. HI untuk mencegah pemblokiran seperti meminta penundaan pembayaran atau angsuran pembayaran.
Universitas Indonesia
79
2.5.3
Keberatan PT. HI atas jumlah perhitungan Pajak Keberatan yang diajukan oleh PT HI pada tanggal 28 Juli 2008 mengenai
perhitungan pajak PPh Pasal 26 dan PPh Pasal 23 dengan selisih sebesar Rp 533.152.336,- (lima ratus tiga puluh tiga juta seratus lima puluh dua ribu tiga ratus tiga puluh enam rupiah). PT. HI sangat merasa berat mengenai jumlah selisih perhitungan Pajak, sehingga mengajukan keberatan. Fakta menunjukkan bahwa penafsiran dan cara perhitungan Pajak antara Direktorat Jenderal Pajak Kantor Pelayanan Pajak Besar Dua dan Wajib Pajak memiliki perbedaan. Tetapi menurut Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dalam pasal 12 ayat (1) “ Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan perundangundangan perpajakan dengan tidak menggantungkan pada adanya Surat Ketetapan Pajak”. Menurut Pasal 13 ayat (1) Undang-undang KUP disebutkan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. Menurut Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 disebutkan Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan. Asas dalam pajak tentang kepastian (certainty) perlu mendapatkan perhatian. Dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak sebaiknya dapat memangil Wajib Pajak dan memberikan penjelasan sesuai data dan fakta yang ada tentang Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang dikeluarkan sehingga surat keberatan dari Wajib Pajak tidak perlu dikeluarkan. Dan akan menjadi lebih baik apabila sebelum Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dikeluarkan, Direktorat Jenderal Pajak Kantor Pelayanan Pajak Besar Dua dapat memanggil dan menjelaskan kepada Wajib Pajak perihal perbedaan perhitungan Pajak sehingga Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tidak perlu dikeluarkan dan jalan keluar sesuai Undang-Undang dapat terpenuhi tanpa masuk kepada keluarnya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
Universitas Indonesia
80
2.5.4
Surat Teguran dan Surat Paksa Surat Paksa yang dikeluarkan tanggal 19 September 2008 oleh Kantor
Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Dua adalah 57 (lima puluh tujuh) hari dari tanggal jatuh tempo, yaitu tanggal 22 Juli 2008. Sementara ketentuan menyatakan adalah 28 hari sejak tanggal jatuh tempo Surat Paksa harus dikeluarkan. Fakta juga menunjukkan bahwa Surat Teguran dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak Kantor Pelayanan Pajak Besar Dua pada tanggal 23 Februari 2009, berarti Surat Paksa dikeluarkan terlebih dahulu yang kemudian disusul dengan Surat Teguran. Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 23 Ayat (2) disebutkan bahwa Wajib Pajak dapat melakukan gugatan terhadap pelaksanaan Surat Paksa. Disamping itu format dari Surat Teguran yang dikeluarkan tidak sesuai dengan format standar yang diatur oleh Direktorat Jenderal Pajak yang harus mencantumkan waktu pelunasan setelah diterbitkan Surat Teguran dan juga kata kata Teguran tidak tercantum jelas didalam Surat Teguran tersebut. PT. HI disini tidak mengetahui Data yang ada juga menunjukkan bahwa Surat Paksa dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak Kantor Pelayanan Pajak Besar Dua tanpa didahului oleh keluarnya Surat Teguran sebagai tindakan awal dalam pelaksanaan penagihan pajak. Apabila Wajib Pajak tidak pernah diberikan Surat Teguran sebelum dikeluarkannya Surat Paksa maka secara yuridis, Surat Paksa tersebut dianggap cacat hukum. Jangka waktu yang diatur Undang-Undang antara tanggal jatuh tempo dan Surat Teguran adalah 7 (tujuh) hari.
Jangka waktu antara Surat
Teguran dan Surat Paksa adalah 21 (Dua puluh satu) hari. Berdasarkan data yang ada, maka Direktorat Jenderal Pajak Kantor Pelayanan Pajak dipandang lalai dalam menjalankan prosedur seperti yang diatur dalam Undang Nomor 19 Tahun 2000.
Hal ini tentunya sangat merugikan bagi Wajib Pajak karena tidak
diberitahukan atau ditegur terlebih dahulu tetapi langsung kepada Surat Paksa yang akan memenuhi persyaratan untuk pemblokiran rekening. Kelalaian ini seharusnya tidak hanya sebatas sanksi administratif kepada Direktorat Jenderal Pajak tetapi juga dapat membatalkan proses penagihan dan pemblokiran sehingga asas keadilan dan kepastian dalam Pajak terpenuhi.
Universitas Indonesia
81
2.5.5
Pemblokiran Rekening Surat pemblokiran rekening bank dikeluarkan pada tanggal 28 Oktober
2009 oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. Pemblokiran Rekening Bank Penanggung Pajak dilakukan oleh Bank secara seketika setelah menerima permintaan pemblokiran dari Pejabat dan hal ini diatur dalam ketentuan Nomor 563/KMK.04/2000 tentang Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan Penaggung Pajak yang Tersimpan Pada Bank Dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa Pasal 3 Ayat (2). Adapun ketentuan Nomor 563/KMK.04/2000 Pasal 3 Ayat (2) tertulis sebagai berikut: Pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk wajib melaksanakan pemblokiran terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) seketika setelah menerima menerima pemblokiran dari Pejabat. Kemudian pejabat perbankan membuat Berita Acara Pemblokiran Rekening Bank Wajib Pajak yang kemudian dirimkan kepada Penanggung Pajak dan Kantor Pelayanan Pajak Besar Dua. Dalam hal pemblokiran, pejabat Bank sesuai Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah atau Izin Tertulis Mebuka Rahasia Bank, akan melakukan pemblokiran hanya terhadap sejumlah rekening Penanggung Pajak yang dananya cukup untuk melunasi tunggakan pajak dimaksud. Pemblokiran seketika dirasakan tidak adil bagi nasabah perbankan dalam hal ini adalah PT. HI karena akan dilaksanakan tanpa ada pemberitahuan kepada pemilik rekening yang bersangkutan. Pemblokiran rekening bank ditinjaui dari perspektif Direktorat Jenderal Pajak merupakan cara yang sangat efektif mengingat harta yang diblokir mempunyai likuiditas tinggi dibandingkan harta lainnya seperti tanah, rumah, mesin dan harta lainnya. Bagi PT. HI adanya pemblokiran tentunya sangat menggangu beban keuangan dan cash-flownya, mengingat yang diblokir utamanya adalah rekening Bank PT. HI. Nama baik PT. HI dimata perbankan akibat perintah pemblokiran dari Direktorat Jenderal Pajak juga harus menjadi perhatian. Disamping itu, pemblokiran juga mengakibatkan terganggunya proses transaksi bisnis yang dilakukan oleh PT. HI dan tidak boleh mematikan usaha dari Wajib Pajak. Untuk
Universitas Indonesia
82
itu sebaiknya upaya pemblokiran rekening bank Wajib Pajak harus melalui secara hati-hati dan dengan persyaratan yang menyeluruh yang dimulai dengan terpenuhinya semua prosedur mulai dari Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sampai dengan pemblokiran rekening bank Wajib Pajak. Atau dengan kata lain, disiapkan peraturan-peraturan (rambu-rambu) yang lebih kaku sehingga proses pemblokiran rekening memenuhi asas pemungutan Pajak yaitu asas keadilan dan kepastian. Asas keadilan bagi Wajib Pajak dan Direktorat Jenderal Pajak haruslah seimbang, sehingga kedua belah pihak mempunyai kontribusi yang sama untuk mewujudkan keadilan yang dimaksud dan bukan hanya dari salah satu pihak saja. Kontribusi tersebut tertuang dalam hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Fiskus. Pemblokiran rekening sebaiknya merupakan pilihan terakhir yang ditempuh oleh Direktorat Jenderal Pajak dan demikian juga halnya dari Wajib Pajak dapat menempuh atau mengunakan fasilitas angsuran pajak atau permohonan penundaan pembayaran pajak agar terhindar dari proses pemblokiran rekening. Maka pemblokiran rekening bank Wajib Pajak dapat dihindari oleh Wajib Pajak demikian juga halnya oleh Direktorat Jenderal Pajak sepanjang Hak dan Kewajibannya dijalankan sebagaimana mestinya.
2.5.6
Batas waktu keluarnya Surat Keputusan atas keberatan Wajib Pajak Surat Keputusan mengenai keberatan PT. HI telah dikeluarkan pada
tanggal 13 Mei 2009 yang masih sesuai dengan rentang waktu yang disyaratkan oleh Undang-undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan Pasal 26 ayat (1) yang menyatakan waktu penyelesaian adalah paling lama 12 (dua belas) bulan sejak Surat Keberatan dari Wajib Pajak diterima. Mengingat Surat Keberatan Wajib Pajak diajukan kepada Direktorat Jenderal Pajak pada tanggal 28 Juli 2008. Keberatan PT. HI ditolak oleh kantor Pelayanan pajak Wajib Pajak Besar Dua karena tidak terdapat cukup alasan keberatan untuk menerima permohonan dari PT. HI.
2.5.7
Surat Keputusan atas keberatan Wajib Pajak Keberatan PT HI ditolak oleh kantor Pelayanan pajak Wajib Pajak Besar
Dua karena tidak terdapat cukup alasan keberatan untuk menerima permohonan
Universitas Indonesia
83
dari PT HI. Dengan demikian Surat Keputusannya tetap mempertahankan besaran tunggakan pajak sesuai dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang dikeluarkan oleh Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Dua pada tanggal 23 Juni 2008. Sehingga jumlah tunggakan didalam Surat Paksa pada tanggal 19 September 2008 masih berlaku dan dapat digunakan untuk mengeluarkan Surat Pemblokiran Rekening Penanggung Pajak ke bank.
2.5.8
Pelunasan oleh Wajib Pajak Sesuai ketentuan Nomor 563/KMK.04/2000 tentang Pemblokiran dan
Penyitaan Harta Kekayaan Penaggung Pajak yang Tersimpan Pada Bank Dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa Pasal 3 Ayat (3) disebutkan pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk membuat berita acara pemblokiran yang tindasannya disampaikan kepada penanggung pajak dan Pejabat yang meminta pemblokiran. Menurut data yang ada, berita acara pemblokiran rekening Wajib Pajak oleh pejabat Bank dilaksanakan pada hari rabu tanggal 28 Oktober 2009 dan direspon oleh PT. HI pada hari senin tanggal 2 Nopember 2009. PT HI pada tanggal 02 Nopember 2009 mengeluarkan surat kepada PT Bank Mandiri (Persero) Tbk untuk memberitahukan saldo kekayaan di bank dan sekaligus mengeluarkan surat kepada kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Dua yang menyatakan akan melunasi biaya penagihan dan Utang Pajak dengan menggunakan harta yang telah diblokir. Hal ini sejalan dengan ketentuan Nomor 563/KMK.04/2000 Pasal 3 Ayat (4) yaitu Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Pejabat mengunakan harta yang diblokir untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak. Sehingga Penanggung Pajak terhindar dari penyitaan. Dalam hal ini, PT. HI telah melakukan reaksi untuk mengutamakan kelangsungan bisnisnya agar pemblokiran rekening bank dapat segera dicabut serta terhindar dari penyitaan. Dan PT. HI pada kasus ini tidak mengetahui hak-haknya sebagai Wajib Pajak dan prosedur pemblokiran dengan Surat Paksa. Apabila waktu pemblokiran rekening bank yang lama dan dilanjutkan dengan proses penyitaan, maka akan sangat merugikan PT. HI karena rekening bank terkait akan sangat menganggu proses atau transaksi bisnis PT. HI seperti
Universitas Indonesia
84
penerimaan pembayaran dari pelanggan, pembayaran utang kepada pemasok dan termasuk kemungkinan dengan kewajiban perusahaan kepada karyawan seperti upah dan lain-lain. Untuk itu, Direktorat Jenderal Pajak Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Dua harus juga dengan cepat melaksanakan persetujuan dari Wajib Pajak tentang pelunasan dari rekening yang diblokir, sehingga proses pencabutan pemblokiran rekening dapat segera diproses. Lamanya waktu pemblokiran rekening bank dari Wajib Pajak juga menjadi perhatian utama bagi Direktorat Jenderal Pajak, karena semakin pendek waktu pemblokiran rekening bank Wajib Pajak merupakan keuntungan bagi Direktorat Jenderal Pajak dan Wajib Pajak. Sehingga asas keadilan dan fungsi pajak yang seharusnya memberikan manfaat kepada masyarakat dapat terwujud. Menurut penulis, seharusnya PT.HI mendatangi Konsultan Pajak agar memberikan pemecahan masalah yang dihadapi oleh PT.HI karena pemblokiran rekening bank tersebut sangat membahayakan bisnis PT.HI. Karena didalam rekening PT.HI bukan hanya untuk membayar Pajak saja. Dan seharusnya Jurusita pajak menyita barang bergerak milik PT. HI terlebih dahulu. Meskipun bagi negara lebih efisien apabila memblokir rekening Wajib Pajak tetapi bagi Wajib Pajak adalah pukulan telak bagi PT. HI. Sementara menurut Filosofi Pajak yaitu tidak boleh mendistorsi bisnis Wajib Pajak, perekonomian bisnis jika pemblokiran dilakukan maka hal tersebut mengarah kepada mematikan bisnis Wajib Pajak.
Universitas Indonesia
85
BAB III PENUTUP
3.1
Kesimpulan Bahwa dalam Pemblokiran Rekening Bank Wajib Pajak Sebagai Salah
Satu Pelaksanaan Surat Paksa dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Prosedur yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Dua dalam pemblokiran rekening Wajib Pajak memiliki cacat hukum dimana Surat Paksa dikeluarkan tanpa didahului dengan Surat Teguran. Data juga menunjukkan bahwa Surat Teguran yang dikeluarkan tidak memenuhi format standar Surat Teguran yang diatur oleh Direktorat Jenderal Pajak serta tidak mencantumkan waktu pelunasan semenjak tanggal diterbitkannya Surat Teguran. Walapun demikian, proses penagihan tidak ditangguhkan dan didalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 serta Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tidak menyebutkan bahwa kesalahan prosedur keluarnya Surat Paksa tanpa didahului Surat Teguran akan mengakibatkan terhentinya atau pembatalan dari proses penagihan. 2. Pelaksanaan Surat Paksa melalui pemblokiran rekening bank Wajib Pajak sangat efektif untuk memaksa Wajib Pajak menyelesaikan secepatnya Tunggakan Pajak dan biaya penagihannya serta terhindar dari proses penyitaan.
Hal ini mengingat pemblokiran rekening Wajib Pajak sangat
terkait keberlangsungan transaksi bisnis perusahaan seperti pembayaran kepada pemasok, menerima pembayaran dari pelanggan, membayar kewajiban kepada perbankan atau kreditor dan juga kewajiban perusahaan kepada
Universitas Indonesia
86
karyawan. Disamping itu kredibilitas dari Wajib Pajak dimata perbankan dan rekan bisnis menjadi hal yang sangat dipertimbangkan oleh Wajib Pajak.
3.2
SARAN
1. Pemblokiran rekening bank Wajib Pajak sebagai salah satu pelaksanaan dari surat paksa diusahakan menjadi pilihan terakhir dari Direktorat Jenderal Pajak mengingat akibat yang ditimbulkan bagi Penanggung Pajak sangat besar dan diharapkan tidak mematikan usaha dari Penanggung Pajak terkait. Disamping ini kredibilitas atau nama baik dari Penanggung Pajak dimata perbankan menjadi tidak baik yang tentunya akan mempengaruhi kelangsungan bisnis Penanggung Pajak. 2. Sosialisasi dan tersedianya waktu yang memadai tentang perubahan UndangUndang Nomor 16 Tahun 2000 dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 harus dilakukan secara menyeluruh sehingga Wajib Pajak dapat memahami dengan baik untuk menghindari perselisihan serta kelancaran pemungutan Pajak yang akhirnya akan memberikan kontribusi kepada pembangunan Bangsa dan Negara Indonesia. 3. Upaya peningkatan kepatuhan terutama dalam membayar kewajiban pajaknya hendaknya terus ditingkatkan melalui sosialisasi kepada Wajib Pajak dan sebaiknya fiskus memberikan pelayanan yang baik sehingga dapat mendorong partisipasi Wajib Pajak secara sungguh-sungguh dan sukarela dalam melaksanakan kewajiban sehingga langkah utama mendorong Wajib Pajak menuju masyarakat sadar dan peduli pajak.
Universitas Indonesia
86
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Bohari,H. Pengantar Hukum Pajak. Jakarta: PT.RajaGrafindo,2004 Chidir,Ali. Hukum Pajak Elementer. Bandung: PT.Eresco,1993. Brotodiharjo, Santoso. Pengantar Indonesia,1991.
Ilmu
Hukum
Pajak.
Jakarta:
Ghalia
Hadi, Moeljo. Dasar-dasar Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa Oleh Jurusita Pajak Pusat dan Daerah (Berdasarkan UU No.19 Tahun 1997). Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1998. Ilyas, B, Wirawan dan Richard Burton. Hukum Pajak Edisi Keempat. Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2008. Mamudji, Sri. Et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Mardiasmo. Perpajakan. Yogyakarta: Penerbit ANDI,2008. _________, Perpajakan Edisi Revisi. Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2009. Moleong, Lexi. Metodelogi Penelitian kualitatif, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000. Muljono, Djoko. Ketentuan Umum Perpajakan. Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2008. Nurmantu, Safri. Pengantar Perpajakan. Jakarta: Granit,2005. Siahaan,Marihot P. Utang pajak, Pemenuhan Kewajiban, dan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Jakarta: Rajawali Pers, 2004. Soemitro, Rochmat. Asas dan Dasar Perpajakan 2. Bandung: PT.Refika Aditama,1998. Soemitro, Rochmat. “Tinjauan Pajak dari Segi Hukum” Makalah disampaikan pada Seminar Hukum Pajak. Jakarta,15 Juli 1985. Soemitro, Rochmat, & Dewi Kania Sugiharti. Asas dan Dasar Perpajakan. Bandung: PT. Refika Aditama, 2004.
Universitas Indonesia
87
Pudyatmoko,Y. Sri. Pengantar Hukum Pajak. Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2009. Waluyo, Wirawan Ilyas. Perpajakan Indonesia. Jakarta: Salemba Empat, 2008. Kontan-Online. Com Artikel Pajak. B. Perundang-undangan Indonesia. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Pelaksanaan Perpajakan. ________. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Pelaksanaan Perpajakan. ________. Peraturan Pemerintah Nomor 135 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyitaan Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. ________.Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. ________.Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-627/PJ/2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak Yang Tersimpan di Bank Dalam Ranka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. ________. Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-109/PJ./2007 Perubahan atas keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-627/PJ/2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak Yang Tersimpan di Bank Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. _________. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak SE-01/PJ.75/2005 tentang Kebijakan Penagihan Pajak
Universitas Indonesia
86
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Bohari,H. Pengantar Hukum Pajak. Jakarta: PT.RajaGrafindo,2004 Chidir,Ali. Hukum Pajak Elementer. Bandung: PT.Eresco,1993. Brotodiharjo, Santoso. Pengantar Indonesia,1991.
Ilmu
Hukum
Pajak.
Jakarta:
Ghalia
Hadi, Moeljo. Dasar-dasar Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa Oleh Jurusita Pajak Pusat dan Daerah (Berdasarkan UU No.19 Tahun 1997). Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1998. Ilyas, B, Wirawan dan Richard Burton. Hukum Pajak Edisi Keempat. Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2008. Mamudji, Sri. Et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Mardiasmo. Perpajakan. Yogyakarta: Penerbit ANDI,2008. _________, Perpajakan Edisi Revisi. Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2009. Moleong, Lexi. Metodelogi Penelitian kualitatif, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000. Muljono, Djoko. Ketentuan Umum Perpajakan. Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2008. Nurmantu, Safri. Pengantar Perpajakan. Jakarta: Granit,2005. Siahaan,Marihot P. Utang pajak, Pemenuhan Kewajiban, dan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Jakarta: Rajawali Pers, 2004. Soemitro, Rochmat. Asas dan Dasar Perpajakan 2. Bandung: PT.Refika Aditama,1998. Soemitro, Rochmat. “Tinjauan Pajak dari Segi Hukum” Makalah disampaikan pada Seminar Hukum Pajak. Jakarta,15 Juli 1985. Soemitro, Rochmat, & Dewi Kania Sugiharti. Asas dan Dasar Perpajakan. Bandung: PT. Refika Aditama, 2004.
Universitas Indonesia
87
Pudyatmoko,Y. Sri. Pengantar Hukum Pajak. Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2009. Waluyo, Wirawan Ilyas. Perpajakan Indonesia. Jakarta: Salemba Empat, 2008. Kontan-Online. Com Artikel Pajak. B. Perundang-undangan Indonesia. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Pelaksanaan Perpajakan. ________. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Pelaksanaan Perpajakan. ________. Peraturan Pemerintah Nomor 135 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyitaan Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. ________.Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. ________.Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-627/PJ/2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak Yang Tersimpan di Bank Dalam Ranka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. ________. Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-109/PJ./2007 Perubahan atas keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-627/PJ/2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak Yang Tersimpan di Bank Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. _________. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak SE-01/PJ.75/2005 tentang Kebijakan Penagihan Pajak
Universitas Indonesia
LAMPIRAN