UNITED NATIONS DEVELOPMENT PROGRAMME ACEH GOVERNMENT TRANSFORMATION PROJECT (AGTP) IMPACT ASSESSMENT
TRANSLATION EXECUTIVE SUMMARY October 2012
A report by
ANU Enterprise Pty Ltd Building 95, Fulton Muir Building Corner Barry Drive & North Road The Australian National University Canberra ACT 0200 Australia ACN 008 548 650
PEMERINTAHAN DAN PEMBANGUNAN KAPASITAS PASCA KRISIS DI ACEH
Laporan oleh ANU Enterprise Pty Limited Catatan Pandangan yang diungkapkan disini adalah pandangan penulis sendiri dan tidak selalu harus sama dengan Pemerintah Indonesia maupun Dana Bantuan Bersama ataupun Persatuan Bangsa-Bangsa Edisi Kedua Cetakan Pertama: April 2012
UCAPAN TERIMA KASIH Ini adalah penelitian tentang Kepemerintahan dan Pembangunan Kapasitas di Aceh pasca krisis, yang disponsori oleh United Nations Development Program di Jakarta dan Aceh, dan dengan dukungan dari ANU Enterprise di Canberra. Penelitian seperti ini tentu membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Sejumlah besar rekanan Indonesia – di Aceh, Jakarta, Canberra dan berbagai tempat lainnya – telah menyumbangkan waktu dan dengan murah hati membagi pandangan mereka tentang berbagai hal yang didiskusikan dalam penelitian ini. Sebagai tambahannya, banyak pihak baik dari UNDP, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan berbagai lembaga dan perusahaan konsultasi multilateral, bilateral, memberikan kritik dan saran. Rekan-rekan akademis dari Australian National University di Canberra juga mendiskusikan berbagai isu dalam penelitian ini dengan kami dan telah membantu memperbaiki kualitas pembahasan. Diantara begitu banyaknya pihak yang telah membantu, kami terutama sekali ingin berterima kasih kepada pihak-pihak berikut ini atas upaya khusus yang telah mereka berikan dalam memberikan ulasan untuk rancangan-rancangan naskah sebelumnya dan membantu mengatur pertemuan untuk diskusi proyek ini di Jakarta: Denika Blacklock, Budiati Prasetiamartati, Hugh Evans, Fakri Karim, Irman G. Lanti, Dr Islahuddin dari Universitas Syiah Kuala, Elisabeth Maria Mersin, Siprianus Bate Soro, Irfani Darma, Ilarius Wibisono, dan Profesor Sofian Effendi dari Universitas Gadjah Mada. Juga, Stephen Sherlock memainkan peranan utama diawal penelitian ini namun harus mengundurkan diri berhubung ada komitmen lainnya. Kami juga memberikan catatan khusus atas bimbingan adiwarna yang di berikan dari awal sampai akhir oleh Ibu Karen Fominas kepada kami atas nama ANU Enterprise di Canberra. Juga, kami menerima dukungan penuh dari Ibu Jamilah Usman dari kantor UNDP di Aceh dan Ardian Alhadath dari ANU. Ditulis atas nama ANU Enterprise oleh: Edward Aspinall Ben Hillman Peter McCawley (Ketua Tim)
Ringkasan Eksekutif Kata Pengantar Saat ini Aceh sedang melalui masa transisi. Selama tiga dekade, terutama sekali dalam tujuh tahun terakhir, provinsi ini melalui periode yang penuh kesulitan dan ketidakpastian. Namun, untuk pertama kalinya dalam tiga puluh tahun, prospek perdamaian dan pembangunan berkelanjutan di Aceh cukup menjanjikan. Penelitian ini mendiskusikan masalah-masalah transisi di Aceh. Tujuannya adalah, pertama, untuk menjadikan hal-hal yang dialami di Aceh sebagai studi kasus yang dapat memberikan kontribusi terhadap ilmu yang sedang berkembang tentang hal-hal yang dihadapi pemerintahan dalam transisi, dan yang kedua, untuk menilai efektivitas Program Transformasi Tata Pemerintahan Aceh (Aceh Government Transformation Programme atau AGTP) dari UNDP yang didesain untuk membantu proses pemerintahan di Aceh selama masa transisi. Dua peristiwa penting menjadi kunci sejarah masa kini di Aceh: megabencana tsunami di bulan Desember 2004, dan perjanjian perdamaian untuk Aceh yang ditandatangani di bulan Agustus 2005. Peristiwa tsunami ini telah mengambil lebih kurang 170.000 korban jiwa. Bencana tersebut mendatangkan program bantuan dengan jumlah besar di Aceh yang kurang lebih diperkirakan sebesar $7.5 milyar selama lima tahun. Pada tingkatan yang paling luas, Aceh sedang menghadapi berbagai tantangan pembangunan. Selain dari prioritas internal manajemen yang harus dipertimbangkan oleh pemerintahan tingkat provinsi dan kabupaten/kotamadya di Aceh, penelitian ini mengidentifikasi empat isu strategis yang saat ini membutuhkan perhatian para pembuat kebijakan di Aceh. Keempat isu ini adalah:
Meluasnya kemiskinan dan perlunya mendorong pembangunan Kebijakan pedesaan Diskusi tentang berbagai isu tata pemerintahan Pemekaran pemerintahan diseluruh provinsi.
Penelitian ini mempertimbangkan hal-hal yang tersebut diatas kedalam konteks literatur LRRD (Linking Relief, Rehabilitiation and Development) yang membahas langkah-langkah yang menghubungkan tanggap darurat, rehabilitasi dan pembangunan pada saat terjadinya bencana dahsyat. Dengan latar belakang inilah, penelitian ini memberikan saran-saran bagi upaya peningkatan kapasitas di masa depan untuk Aceh dan menawarkan penilaian terhadap aktivitas kegiatan AGTP di provinsi ini.
Rekomendasi Rekomendasi 1.1 Pemerintah Aceh harus terus bekerja untuk mendefinisikan strategi pembangunan keseluruhan yang jelas bagi provinsi Aceh di masa yang akan datang. Strategi ini perlu (a) bersifat konsisten dengan strategi pembangunan nasional Indonesia, dan terutama sekali dengan Rancangan Utama (Masterplan) MP3EI, begitu juga (b) untuk mendefinisikan prioritas pembangunan provinsi dengan jelas. Rekomendasi 1.2 Strategi pembangunan provinsi Aceh untuk masa lima tahun kedepan harus memfokuskan prioritas-prioritas ini:
Mengutamakan pembangunan ekonomi, terutama dengan cara yang pro-pekerjaan dan yang mendukung aktivitas perolehan pendapatan sektor informal berskala kecil, terutama di daerah pedesaan, dan Mengkonversi sumber keuangan pemerintah yang diperoleh dari sumber daya alam dan sumber pendapatan lainnya menjadi barang publik seperti jalan, persediaan air bersih, listrik, kesehatan, pendidikan yang menjadi pasokan bagi kebanyakan penduduk.
Rekomendasi 1.3 Sebagai bagian dari pendefinisian strategi pembangunan di provinsi, Pemerintah Aceh sebaiknya mempertimbangkan terbitnya laporan tahunan tentang kemiskinan di Aceh. Dokumen ini dapat dipersiapkan oleh tim independen kecil dan didanai atas bantuan organisasi donor internasional.
Manajemen dan pembangunan sumber daya manusia Manajemen sumber daya manusia (MSDM) dan pembangunan sumber daya manusia (PSDM) pada masa pasca krisis di Aceh, dan pendekatan yang diadopsi Pemerintah Provinsi Aceh untuk masalah di sektor ini, merupakan bagian penting dari respon terhadap tantangan proses transisi. Bantuan pihak donor atas upaya pemerintah daerah mengembangkan dan memperkuat manajemen sumber daya manusia adalah penting dalam mendukung upaya-upaya mempromosikan reformasi saat ini. Support untuk MSDM dan PSDM dan HRD juga merupakan tujuan kunci Program Transformasi Tata Pemerintahan Aceh. Meskipun tantangan MSDM dan PSDM yang dihadapi Aceh sama dengan yang dialami oleh daerah-daerah lain di Indonesia, di Aceh hal ini dipersulit dengan adanya warisan konflik dan kerusakan yang ditimbulkan oleh tsunami. Walaupun kerangka otonomi khusus untuk provinsi ini menyediakan lingkungan yang kondusif untuk memulai perubahan, kompleksitas politik pasca-krisis dan tuntutan atas hal ini bagi para pembuat kebijakan telah membuat reformasi birokasi menjadi tujuan yang tidak realistis untuk jangka waktu pendek dan menengah. Tidak mengherankan, upaya untuk memperkuat MSDM dan PSDM ternyata menjadi tantangan besar pelaksanaan AGTP. Tujuan untuk mengubah Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) menjadi perguruan tinggi modern untuk pelayanan sipil tidak akan terwujud dalam masa berjalannya proyek ini dan mungkin juga tidak dalam satu dekade. Walaupun ruang lingkup untuk inisiatif lokal telah disediakan dengan adanya desentralisasi dan otonomi khusus, tampak jelas bahwa perubahan berarti untuk MSDM
dan PSDM hanya akan berlangsung secara bertahap dan dalam periode yang lebih lama. Momentum reformasi telah melambat di Aceh dan tidak besar permintaan publik untuk melakukan reformasi birokrasi. Reformasi lebih lanjut kemungkinannya akan didorong oleh inisiatif pada tingkat pusat seperti rancangan UU Aparatus Sipil Negara yang akan diajukan ke DPR di Jakarta pada akhir 2011.
Rekomendasi Rekomendasi 2.1 Tinjauan mengenai Jasa Publik harus dilakukan dengan mempertimbangkan permasalahan yang dihadapi, dan proposal-proposal untuk reformasi (termasuk juga proposal yang diterima dari masyarakat). Rekomendasi 2.2 Pemerintah Aceh harus mengembangkan strategi jangka panjang untuk reformasi sektor publik. Rekomendasi 2.3 Model bisnis baru untuk Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) harus dikembangkan sehingga lembaga ini relevan dan responsif terhadap kebutuhan pelatihan pemerintah. Rekomendasi 2.4 Semua pegawai negeri tingkat menengah dan tinggi di pemerintahan daerah maupun kabupaten/kotamadya harus didorong untuk melakukan pelatihan kemampuan manajemen. Rekomendasi 2.5 Harus diciptakan strategi untuk merekrut lebih banyak perempuan menjadi pegawai negeri, terutama untuk jabatan senior.
Sumber daya keuangan dan proses anggaran Pengambil kebijakan di bidang ekonomi dan keuangan di Aceh saat ini menghadapi tantangan beragam, mulai dari permasalahan yang bersifat umum sampai ke masalah yang melibati manajemen keuangan tingkat provinsi. Pada tingkat yang paling luas, perekonomian di Aceh ditandai oleh dua bentuk dualisme antara:
bagian yang kaya sumber daya alam (minyak dan gas) dan sektor bukan sumber daya alam; dan di sektor bukan sumber daya alam, dualisme pembangunan di daerah perkotaan tertentu (terutama di Banda Aceh) dan daerah lainnya, terutama di pedesaan.
Sumber daya dari daerah kantong minyak dan gas yang memiliki produktivitas dan penanaman modal yang tinggi dapat membantu mendorong pembangunan dengan syarat sumber daya ini digunakan secara efektif. Tantangannya adalah bagaimana mengkonversi aliran sumber daya keuangan yang cukup besar dari daerah kantong menjadi sumber daya nyata yang memberikan manfaat bagi warga Aceh biasa. Di banyak perekonomian di Aceh, hampir semua aktivitas berjalan dalam bentuk usaha mikro di bidang pertanian dan
jasa. Oleh karena itu, salah satu tujuan utama kebijakan adalah agar dapat meningkatkan produktivitas dan produksi dari berbagai usaha dan pertanian kecil di sektor pertanian dan jasa ini. Pola pertumbuhan umum ekonomi di Aceh bervariasi di tahun-tahun belakangan ini. Tiga tren yang terlihat jelas adalah:
Di sektor minyak dan gas bumi, pengurangan produksi yang besar dan terusmenerus di tahun-tahun terakhir ini berpengaruh besar terhadap pertumbuhan provinsi secara keseluruhan. Bantuan tsunami berperan besar terhadap aktivitas di sektor bukan minyak bumi dan gas alam, terutama di tahun 2006 dan 2007. Namun, semakin berkurangnya bantuan sepertinya telah berkontribusi terhadap melambatnya tingkat pertumbuhan melalui dampak multiplikasi negatif. Telah terjadi pertumbuhan signifikan namun tidak besar di sektor ekonomi nonekstratif selama tujuh tahun hingga tahun 2009 (dengan rata-rata sekitar 4% per tahun).
Di masa depan, prioritas kunci bagi para pengambil kebijakan ekonomi di Aceh adalah mendorong percepatan pertumbuhan di sektor non migas. Selain permasalahan strategi ekonomi secara umum, pembuat kebijakan di Aceh harus memberikan perhatian serius terhadap beberapa masalah utama pengelolaan pemerintahan dalam beberapa tahun kedepan. Satu set tantangan berhubungan dengan pengelolaan anggaran pemerintah. Kesimpulan umum yang dapat diambil dari beberapa penelitian terakhir tentang tata kelola keuangan di Aceh adalah bahwa banyak sistem yang digunakan di provinsi ini tidak dapat beroperasi dengan baik. Khususnya, terlihat keterlambatan dalam proses penyetujuan anggaran dan implementasi program-program yang ada. Ada resiko bahwa masalah-masalah seperti ini akan semakin buruk di tahun-tahun mendatang dengan masuknya arus pendapatan yang besar dari Dana Otonomi Khusus (Dana Otsus) dan dari Dana Migas. Masalah utama kedua dari pengelolaan keuangan berhubungan dengan transfer sejumlah besar aset-aset tsunami yang selama ini dikontrol pemerintah pusat ke pemerintah daerah di Aceh. Walaupun sepertinya hal ini mudah dilakukan, dalam prakteknya proses ini sangatlah sulit. Masalah transfer aset-aset tsunami butuh disepakati oleh kedua belah pihak sebagai prioritas utama, untuk mengakhiri usaha-usaha di masa yang lampau dan untuk memungkinkan penggunaan yang terbaik bagi aset-aset berharga ini di masa depan.
Rekomendasi Rekomendasi 3.1 Suatu program reformasi tata kelola keuangan publik harus diperkenalkan baik pada tingkat kabupaten maupun provinsi. Strategi ganda akan sangat bermanfaat jika berfokus pada langkah-langkah untuk mencapai hasil-hasil jangka pendek, maupun juga tindakan jangka panjang yang sama pentingnya dalam melakukan perubahan struktural proses anggaran. Rekomendasi 3.2 Sebagai bagian dari pendekatan perencanaan pembangunan tingkat provinsi dan tata
kelola keuangan yang lebih baik, strategi penggunaan arus pendapatan yang diharapkan diperoleh dari sektor migas harus diterbitkan setiap tahun. Rekomendasi 3.3 Rencana pembangunan daerah untuk Aceh harus menjawab permasalahan struktural tertentu yang berkenaan dengan pola pembangunan. Yang termasuk dalam permasalahan ini adalah kuatnya sifat dualisme perekonomian, mempersiapkan evaluasi yang realistis mengenai prospek pertumbuhan sektor-sektor yang berbeda (termasuk industri-industri kunci yang mandiri didalam sektor tersebut) dan implikasi dari fenomena mengenai kecilnya bentuk berbagai usaha mikro di beragam perekonomian di Aceh termasuk mempersiapkan strategi pertumbuhan ekonomi yang berpihak pada sektor informal. Rekomendasi 3.4 Permasalahan yang berkenaan dengan penyaluran sejumlah besar aset-aset pasca tsunami harus diselesaikan secepat mungkin; semua pihak yang terlibat proses negosiasi, baik di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten harus mencari jalan keluar terhadap semua permasalahan yang tertinggal secepat mungkin, sehingga aset-aset ini dapat digunakan sebaik mungkin di masa mendatang. Keputusan baru-baru ini untuk memperpanjang kerja AGTP dengan memasukkan tambahan output tertentu didalam program dan tambahan dana $3 juta merupakan langkah awal untuk menangani tantangan kunci proses transisi pasca tsunami ini. Rekomendasi 3.5 Proposal-proposal untuk menciptakan Dana Abadi Pembangunan Aceh (Aceh Development Trust Fund atau ADTF) untuk membantu menangani lancarnya arus dana bantuan dan rencana penggunaannya yang efektif adalah sesuatu yang sangat baik dan berhak mendapat dukungan dari donor international dan perusahaan-perusahaan manca negara yang beroperasi di Aceh.
Otonomi khusus, jalur otoritas dan akses terhadap sumber daya Kerangka otonomi khusus yang diadopsi sebagai bagian dari usaha pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan konflik di Aceh merupakan faktor kunci yang menambah kompleksitas berlangsungnya pemerintahan di Aceh. Undang-undang Pemerintahan Aceh (atau UU 11/2006), yang disahkan sebagai hasil perundingan antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, ditempatkan diatas kerangka hukum yang ada sebelumnya yang mengaplikasikan desentralisasi di seluruh Indonesia. Ketika UUPA mengkabulkan otonomi khusus terhadap provinsi Aceh, kerangka hukum yang ada sebelumnya tetap berlaku di tingkat kabupaten dan kotamadya. Sebagai akibat dari kedua perubahan ini, pemerintah lokal tidak hanya harus beradaptasi terhadap tanggung jawab yang baru dan diperluas, namun penggambaran yang tepat antara kewenangan pemerintah nasional, provinsi dan kabupaten/kotamadya di Aceh sering tidak jelas. Ketidakpastian yang ada serta proses belajar yang melingkungi otonomi khusus yang baru ini merupakan tantangan besar bagi pemerintahan dan pembangunan di Aceh. Dari awalnya, terjadi ambiguitas serius dalam undang-undang yang sebagian dikarenakan besarnya jumlah kepentingan yang mesti diakomodasi ke dalam proses politik yang sulit ketika merancang UUPA. Dalam hal ini, diantara berbagai tingkatan pemerintahan telah lama berlangsung negosiasi mengenai dualisme ini semenjak UUPA disahkan di tahun
2006. Bahkan lima tahun setelah undang-undang ini disahkan, berbagai pelaku terus memegang interpretasi yang berbeda mengenai arti otonomi khusus dan mengenai cakupan otoritas yang dipegang oleh berbagai tingkatan pemerintahan. Negosiasi mengenai permasalahan ini – yang untuk beberapa kasus telah berlangsung bertahuntahun melewati batas waktu yang diamanatkan undang-undang – tanpa putus telah menyuntikan kebingungan besar bagi pemerintah Aceh. Tiga studi kasus yang menggambarkan ketidakpastian dan ketegangan yang ditimbulkan akibat tidak jelasnya batas otoritas antara pemerintah pusat, provinsi dan tingkat dua dibawah kerangka otonomi khusus ada dibawah ini.
Satu studi kasus adalah mengenai alokasi dan pengelolaan dana otsus. Ada ketegangan yang terjadi antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kotamadya mengenai penggunaan dana ini. Pengelolaan dana ini telah menjadi sumber penyebab rasa marah terus menerus diantara pejabat daerah tingkat dua yang menuduh pemerintah provinsi tidak efektif dan memonopoli dana yang ada. Pejabat provinsi, pada gilirannya, berpendapat bahwa peran provinsilah yang membedakan otonomi khusus Aceh dengan otonomi daerah di provinsi lainnya.
Studi kasus yang lain membeberkan rincian permasalahan sulit yang timbul dalam sengketa sumber daya alam di lepas pantai Aceh Timur dimana pemerintah provinsi dan kabupatan bersaing dalam memperebutkan kontrol.
Studi kasus ketiga – yang berkenaan dengan institusi “Wali Nanggroe” (diterjemahkan secara bebas sebagai Wali Negara) – menggambarkan dalamnya sifat politis otonomi khusus dan bagaimana berbagai aktor masih memiliki pemahaman yang sangat berbeda tentang artinya. Anggota DPRD tingkat provinsi, terutama yang berafiliasi dengan gerakan separatis yang dulu, telah mencoba menciptakan institusi Wali Nanggroe yang memiliki hak prerogatif politik yang kuat. Hal ini mengakibatkan konflik dengan pemerintah provinsi Aceh.
Secara keseluruhan, studi kasus ini menunjukkan bahwa otonomi khusus tetap menjadi konsep yang sangat diperdebatkan di Aceh. Prospek sekarang adalah bahwa akan memakan waktu bertahun-tahun sebelum ada aturan dan institusi yang dapat diterima secara luas di provinsi ini. Sementara itu, pertarungan yang terus berjalan mengenai bentuk dan arti otonomi di Aceh akan memberikan konsekuensi yang berakibat buruk terhadap pembangunan dan pemerintahan. Pihak donor dan lembaga internasional telah menyadari peran penting otonomi khusus bagi pemulihan sosial dan pemerintahan di Aceh dan mendukung kerja pemerintah provinsi dalam meningkatkan perancangan hukum dan advokasi. Namun, lima tahun setelah pengesahan UUPA, berbagai regulasi pelaksanaan kunci belum dikeluarkan, baik di tingkat nasional dan provinsi. Banyak ketidakpastian dan perselisihan yang terus berlangsung diantara berbagai tingkat pemerintahan. Dukungan donor akan terus menjadi penting bagi otonomi khusus untuk mewujudkan potensi kerangka baru yang menjadi fondasi transformasi dan pembangunan jangka panjang di Aceh.
Rekomendasi Rekomendasi 4.1 Baik pemerintah Aceh maupun Pemerintah Indonesia harus menyadari bahwa finalisasi peraturan-peraturan yang merupakan turunan dari Undang Undang Pemerintahan Aceh
tahun 2006 (UUPA) adalah hal yang mendesak. Peraturan-peraturan ini harus dikeluarkan sesegera mungkin. Rekomendasi 4.2 Pemerintah Aceh butuh mempersiapkan dengan serius fase implementasi otonomi khusus berikutnya, dan menyiapkan sumber daya yang ada. Rekomendasi 4.3 Pengelolaan dana otonomi khusus harus ditinjau dan diulas kembali untuk menjajaki kemungkinan agar pemerintahan kabupaten/kotamadya lebih berdaya lagi dalam mengelola dana ini. Rekomendasi 4.4 Jika kita memperhatikan masalah perdamaian dan stabilitas di provinsi ini, masalah yang berkenaan dengan urusan pertanahan perlu diberikan perhatian khusus.
Pengambilan kebijakan paska krisis di Aceh Banyak tulisan mengenai penguatan pemerintahan pada saat bencana seperti di Aceh berkaitan dengan pengembalian atau penguatan pelayanan dan fungsi tata kelola pemerintahan. Namun seringkali perhatian kepada kapasitas pemerintah untuk mengembangkan kebijakan kurang diberikan, yang didefinisikan sebagai 'persiapan profesional untuk pilihan, analisa dan rekomendasi untuk mengambil pilihan dan melakukan musyawarah politik'. Kemampuan untuk memformulasikan kebijakan merupakan fungsi kritis pemerintahan di mana saja. Kapasitas untuk melakukan ini terutama menjadi penting setelah terjadinya krisis seperti yang dialami di Aceh. Pemulihan yang kuat dari kehancuran akibat tsunami dan konflik sipil yang berlarut-larut membutuhkan tanggapan kebijakan canggih dari pemerintahan provinsi. Dimasa depan, infrastruktur pembuatan kebijakan menyusul terjadinya tsunami di Samudra Hindia dan penyelesaian konflik antara pasukan keamanan di Indonesian dan Gerakan Aceh Merdeka harus bersifat efektif untuk dapat mempromosikan pembangunan di provinsi tersebut. Namun infrastruktur pembuatan kebijakan di Aceh, yaitu proses dan mekanisme yang memfasilitasi persiapan professional untuk memilih dan melakukan musyawarah politik, masih terbelakang. Hal ini merupakan kelemahan kritis mengingat bahwa pengeluaran pemerintah sekarang menjadi salah satu mesin utama pertumbuhan, yang besarnya diperkirakan sebesar 29% dari PDRB tahun 2008. Pengalaman AGTP dalam memberikan dukungan kebijakan, yang berfokus pada peran tim asistensi, didirikan untuk membantu transisi tanggung jawab pemulihan dari BRR kepada pemerintah provinsi, juga telah menjadi penting dalam proses pembuatan kebijakan di Aceh. Walaupun tim asistensi memberikan kontribusi penting bagi bisnis pemerintahan dan dimaksudkan untuk melayani selama jangka waktu terbatas, kesempatan berharga untuk memberikan dampak berjangka pada proses pengambilan kebijakan telah terlewatkan. Bantuan donor untuk pembangunan kapasitas pengambilan keputusan pemerintah provinsi biasanya memang dalam bentuk pemberian saran kebijakan. Pelajaran yang diperoleh dari intervensi pemerintahan di Aceh menunjukkan bahwa donor harus memberi perhatian lebih terhadap proses kebijakan yang mendukung, dan terutama
membantu otoritas lokal untuk dapat menyerap saran kebijakan yang diterima dan menterjemahkannya kedalam program-program dan strategi yang layak.
Rekomendasi Rekomendasi 5.1 Harus direncanakan aturan-aturan untuk membangun infrastuktur kebijakan yang lebih kuat di tingkat senior pemerintahan di Aceh. Rekomendasi 5.2 Harus dibentuk unit kebijakan ekonomi khusus di dalam kantor Gubernur. Rekomendasi 5.3 Harus diambil langkah-langkah untuk memperkuat peran DPRA dalam pengambilan kebijakan dan juga kapasitasnya dalam mengambil kebijakan. Rekomendasi 5.4 Perbaikan aturan koordinasi kebijakan harus diperkenalkan di seluruh pemerintahan daerah dan diantara pemerintah provinsi dan daerah tingkat dua.
Produksi, implementasi kebijakan dan penyediaan pelayanan Survey pendapat di Aceh menunjukkan bahwa masyarakat Aceh merujuk ke pemerintah dalam urusan perdamaian dan kesejahteraan, dan untuk efisiensi penyediaan barang publik seperti kesehatan, pendidikan, layanan infrastuktur (air dan listrik), dan tunjangan pembangunan pertanian dan usaha. Dalam prinsipnya, di berbagai dokumen dan pernyataan publik, pemerintah Aceh telah berjanji untuk memperbaiki penyediaan pelayanan publik. Karena janji ini terpampang dengan jelas, dapat dikatakan bahwa prioritas utama bagi terselenggaranya dengan efektif pemerintahan yang baik di Aceh adalah implementasi kebijakan yang efektif, bukan lagi mengenai pendefinisian kebijakan yang rinci. Namun kapasitas pemerintah untuk memberikan apa yang diharapkan dari mereka sering terbatas. Pemerintah dimanapun, termasuk di Aceh, memiliki kekuatan untuk tidak hanya memanfaatkan tetapi juga menghadapi tantangan implementasi. Kekuatan pemerintahan di Aceh di tahun 2011 cukup besar. Dalam berbagai cara yang penting, pemerintah Aceh berada di tempat yang baik manakala aktivitas di seluruh provinsi kembali ke fase normal. Ini merupakan suatu kekuatan yang dapat digunakan sebagai aset politik, keuangan dan sosial yang penting di provinsi ini. Namun juga ada tantangan besar lainnya. Ada beberapa tantangan yang bersifat internal pemerintahan di provinsi. Yang lainnya merefleksikan faktor-faktor eksternal yang merupakan hambatan bagi kemampuan pemerintah untuk mengimplementasikan program-program yang ada selama beberapa tahun-tahun ke depan. Latar belakang tumbuhnya kesadaran inilah yang mendasari bahwa dibutuhkan perhatian yang meningkat baik untuk formulasi kebijakan dan implementasinya sehingga Program Transformasi Tata Pemerintahan Aceh (Aceh Government Transformation Programme atau AGTP) dimulai pada tahun 2006 dan 2007. Proyek ini dirancang untuk menghasilkan tiga hal utama. Yaitu untuk membantu:
Eksekutif provinsi Aceh, terutama Gubernur.
Lembaga pelaksana pemerintah tertentu Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan (BKKP) provinsi Aceh
AGTP merupakan suatu proyek inovasi dikarenakan proses pemerintahan di Aceh diawal masa transisi tahun 2008-2009 menjadi sasaran banyak perdebatan didalam provinsi ini sendiri. Secara keseluruhan, AGTP menyediakan sokongan yang kuat untuk proses transisi di Aceh. Tetapi, tugas yang mesti dijalankan tetap bersifat ambisius. Ada tuntutan yang besar terhadap AGTP dari pemerintah provinsi. Dengan anggaran awal terbatas yang berjumlah sekitar $14 juta, sumber daya yang tersedia bagi AGTP sangat sedikit. Namun demikian, ada dukungan yang kuat dari masyarakat donor untuk membantu menyokong kerja penting proyek ini. Tambahan dana sebesar $3 juta yang disediakan pada akhir tahun 2011 untuk memungkinkan AGTP menyediakan bantuan terfokus untuk memfasilitasi transfer aset-aset pasca tsunami untuk Aceh telah berjasa memungkinkan perpanjangan usaha proyek ini hingga tahun 2012. Dalam konteks transisi di Aceh dimana AGTP dirancang untuk membantu, ada tekanan terhadap pemerintah provinsi untuk meningkatkan pelayanan. Studi kasus di tiga sektor: pedesaan, kesehatan dan pengolahan limbah, menunjukkan bahwa tantangan pengadaan pelayanan bervariasi diantara sektor-sektor ini:
Di sektor pedesaan, baik kebijaksaan dan implementasi program harus diperkuat; strategi permintaan dan penawaran harus saling berhubungan untuk mendorong pertumbuhan yang sangat dibutuhkan di daerah pedesaan. Di sektor kesehatan, dibutuhkan perhatian untuk hal-hal utama yang berkenaan dengan peran pemerintah dan peran sektor swasta yang beroperasi melalui pasar dalam pelayanan kesehatan. Di sektor pengolahan limbah, manfaat yang cukup besar dapat diperoleh jika pendekatan bekerja-untuk-uang-tunai diadaptasi, namun pada saat yang bersamaan, masalah arus keuangan dan pemeliharaan perlu ditangani agar kegiatan ini dapat berlanjut untuk jangka panjang.
Agar pemerintahan di Aceh dapat menjadi lebih efektif, pemerintah perlu mendefinisikan peran mereka dengan seksama. Khususnya, mengingat kapasitas mereka yang cukup terbatas, pemerintahan di Aceh mesti memutuskan pelayanan mana yang dapat diberikan langsung oleh instansi pemerintah, dan mana yang secara tidak langsung dapat dilakukan oleh penyedia jasa di sektor swasta. Dalam setiap kasus, peran pemerintah dan instansi pemerintah sangat berbeda. Melihat masa depan di Aceh, tampaknya tidak terelakkan bahwa pemerintah tingkat provinsi dan kabupaten/kotamadya perlu berusaha memperkuat sektor swasta di seluruh provinsi, dan juga kapasitas internal pemerintah untuk mengatur dan memperkuat pasar lokal. Reformasi ke arah ini membutuhkan peningkatan keterampilan dalam pemerintahan yang berfokus pada pembinaan sektor swasta dan juga penyediakan lingkungan peraturan yang tepat bagi sektor swasta untuk dapat berkembang. Dalam arti luas, pendekatan seperti ini menunjukkan bahwa perubahan ke arah model pemerintahan yang berbasis kinerja di Aceh akan memberikan keuntungan yang lebih. Penguatan mekanisme 'keluar' dan 'suara' akan konsisten dengan strategi ini dan akan membantu rakyat Aceh berpartisipasi penuh dalam pembangunan masyarakat Aceh.
Rekomendasi Utama Rekomendasi 6.1 Untuk dapat memperbaiki penyediaan layanan publik di setiap tingkatan, Pemerintah Aceh harus memulai dialog publik tentang peran pemerintah dan tentang sektor publik di Aceh. Indikasi-indikasi yang ada menunjukkan bahwa permintaan atas sumber daya kepemerintahan di Aceh jauh melebihi persediaan yang ada; ini berarti, sektor pemerintah di Aceh mencoba melakukan terlalu banyak dengan sumber daya yang terlalu sedikit. Langkah-langkah untuk merampingkan pemerintah dan usaha menuju agenda 'Pemerintahan yang cukup bagus' tampaknya merupakan cara yang dapat menjembatani celah yang ada antara permintaan dan penawaran di sektor pemerintahan. Rekomendasi 6.2 Peningkatan perhatian perlu diberikan terhadap implementasi kebijakan yang efektif dalam pemerintahan Aceh. Pegawai negeri seharusnya dinilai berdasarkan atas keefektifan hasil kerja mereka. Pegawai negeri harus dihargai berdasar efektivitas mereka dalam menjalankan kebijakan. Rekomendasi 6.3 Konsisten dengan meningkatnya perhatian terhadap implementasi program pemerintah, dibutuhkan penekanan yang kuat atas evaluasi kinerja pemerintah yang berfokus akan 'hasil'. Yaitu, kontrol yang dijalankan terhadap pegawai negeri lebih baik dialihkan dari upaya untuk menetapkan perincian diawal tahun kepada evaluasi hasil di akhir tahun. Perlu diperkuat penggunaan indikator kinerja utama yang mengukur hasil. Rekomendasi 6.4 Konsisten dengan usaha mengurangi resiko manajemen mikro dalam pemerintahan, akan lebih tepat jika perubahan dilakukan dengan memakai prinsip 'biarkan manajer yang mengelola'. Jika Indikator Kinerja Utama telah mapan, dan jika sumber daya yang tepat telah dialokasikan sejalan dengan IKP, maka tanggungjawab untuk pencapaian IKP dapat didelegasikan ke pegawai negeri setingkat manajer. Rekomendasi 6.5 Suatu sistem Piagam Warga perlu diperkenalkan di Aceh. Sebagai langkah pertama, Piagam Warga perlu disusun untuk mungkin lima kelompok lembaga, seperti kantor-kantor pusat pemerintahan (kantor Gubernur dan kantor-kantor Bupati serta Walikota), lembaga pertanahan dan perijinan, perusahaan transportasi, dan perbankan.
Pembangunan daerah dalam situasi pasca krisis Telah banyak literatur yang membahas hal-hal yang dapat dipelajari dari pemberian bantuan menyusul terjadinya bencana. Beberapa pelajaran utama yang dapat ditarik adalah bahwa koordinasi efektif sangat dibutuhkan dan bahwa lembaga-lembaga bantuan perlu menyadari bahwa bentuk bantuan yang paling pas setelah bencana akan berubah seiring dengan waktu. AGTP dirancang untuk memberikan bantuan di Aceh manakala usaha utama pertolongan paska tsunami mulai berkurang. Tujuannya adalah untuk memfasilitasi transisi pemerintahan dalam fase kembali-ke-normal dan menyokong pembangunan provinsi di jangka panjang. Pengalaman dalam pembangunan kapasitas selama Program Transformasi Tata
Pemerintahan Aceh (AGTP) merupakan pengalaman berharga yang menunjukkan terus perlunya program pembangunan kapasitas di provinsi ini di tahun-tahun mendatang. Program-program ini dibutuhkan untuk membangun kapasitas daerah di tingkat provinsi Secara umum, kebutuhan akan pembangunan kapasitas di Aceh berhubungan dengan perbaikan kemampuan untuk mengelola aset-aset fisik, para personil yang ada, dan institusi (melalui pembangunan institusi). Dalam ketiga kategori ini, cara yang tepat untuk program pembangunan kapasitas di Aceh di periode yang akan datang adalah dengan melakukan pelatihan dan dukungan lainnya dalam hal-hal ini:
Tata kelola publik yang baru Hal-hal yang berkenaan dengan hukum Tata pemerintahan Tata kelola keuangan Program-program sektoral Aktivitas di sektor-sektor non-pemerintahan
Pada tingkat pemerintahan yang lebih luas, tantangan utama untuk tahun-tahun mendatang di Aceh adalah bagaimana mencari jalan untuk memperkuat daerah, baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten atau kotamadya. Sebagai tambahan, peran daerah, serta hubungan antara daerah dan masyarakat yang lebih luas lagi, perlu dirawat dengan hati-hati. Strategi yang tepat untuk kepemerintahan dan pembangunan kapasitas di Aceh adalah strategi yang dapat menunjukkan jalan ke depan, sekaligus, memperkuat masyarakat dan daerahnya dengan membiarkan pertumbuhan di setiap sektor menunjang pertumbuhan di sektor lainnya.
Rekomendasi Rekomendasi 7.1 Strategi pembangunan tingkat provinsi di Aceh harus menekankan betapa pentingnya memperkuat pemerintahan, swasta dan masyarakat sipil di Aceh. Rekomendasi 7.2 Masyarakat donor internasional harus mendukung proses peningkatan kapasitas baik bagi pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil di Aceh. Rekomendasi 7.3 Masyarakat internasional juga harus terus mendukung serangkaian luas kegiatan terpadu yang dilaksanakan selama Program Transformasi Pemerintah Aceh. Rekomendasi 7.4 Sejumlah unsur penting harus dimasukan dalam mendesain proyek kegiatan peningkatan kapasitas sektor pemerintahan di Aceh: yang didalamnya meliputi (a) fleksibilitas, (b) cakrawala waktu yang cukup, dan (c) berbagai kegiatan yang sesuai lingkup proyek.