RINGKASAN LAPORAN PENILAIAN LAPANGAN
SERTIFIKASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT LESTARI (PHBML) Unit Manajemen Hutan Rakyat Lestari
KOPERASI WANA MANUNGGAL LESTARI Lokasi Kabupaten Gunung Kidul Yogyakarta Luas areal 815,18 ha
Oleh Lembaga Sertifikasi PT. TUV RHEINLAND INDONESIA
IDENTITAS LEMBAGA SERTIFIKASI DAN PEMOHON SERTIFIKASI A. IDENTITAS LEMBAGA SERTIFIKASI 1. Nama Lembaga Sertifikasi
: PT. TÜV International Indonesia
2. Alamat
: Hero Building 12th floor, Jl. Gatot Subroto kav. 64 Jakarta 12870, Indonesia telp. (021) 83790555 , Fax (021) 83790533, e-mail :
[email protected] ,
[email protected]
3. Pengurus Lembaga Sertifikasi - Generan Manager - Project Manajer SFM
: Ir. M. Bascharul Asana, MM. : Ir. Cecep Saepullah
4. Susunan Tim Penilai Lapangan
- Ir. Dian Susanty Soeminta - Ir. Thomas Hidayat, MM - Ir. Rina Agustine
: Facilitator / Lead Asesor/ Asesor Ekologi : Asesor Produksi : Asesor Sosial
B. IDENTITAS PEMOHON SERTIFIKASI 1. Nama Perusahaan : 2. Luas : 3. Lokasi : 4. Dasar Hukum Usaha : 5. Alamat Kantor Pusat : 7. Alamat Kantor Perwakilan : 8. Lokasi Pengelolaan Hutan:
Koperasi Wana Manunggal Lestari ± 815,18 Ha Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta Dalam proses Dusun Dengok V RT 16, RW 05 Desa Dengok Kecamatan Playen Kabupaten Gunung Kidul Yogyakarta 55862 LSM ARUPA Yogyakarta 1. Desa Girisekar Kecamatan Panggang, luas 410,83 Ha 2. Desa Dengok Kecamatan Playen, luas 229,10 Ha 3. Desa Kedungkeris Kecamatan Nglipar, luas 184,25 Ha 100% Anggota Koperasi yang merupakan Pemilik Lahan di 9 Dusun
9.Pemilik/Share Holders : 10. Susunan Pengurus Koperasi
:
Susunan Pengawas - Ketua - Anggota
: Sarjono : Sudaryanto : Kamijan
Susunan Pengurus - Ketua Umum
: Sugeng S
- Ketua I - Ketua II - Sekertaris I - Sekertaris II - Bendahara I
: : : : :
Badarudin Sumarjo Wagiyo Tumino Wasno
Komisaris - Ketua - Anggota
: Supriyono : Surandal Sukimin
RINGKASAN TAHAPAN Penilaian lapangan terhadap Koperasi Wana Manunggal Lestari dilaksanakan sesuai dengan aplikasi yang diajukan oleh Pokja Hutan Rakyat Kabupaten Gunung Kidul kepada PT TUV International Indonesia pada tanggal 22 Agustus 2006. dimana penilaian yang dilakukan menggunakan standar LEI 5000-3 dan pedoman-pedomannya. Berdasarkan tahapan sertifikasi Pengelolaan Hutan Alam Berbasis masyarakat Lestari (PHBML) yang ditetapkan dalam standard LEI 5000-3 series, unit manajemen Koperasi Wana manunggal Lestari telah melewati tahapan : Pra studi lapangan berupa proses penilaian terhadap dokumen-dokumen kehutanan dan data dasarnya dilakukan pada tanggal 9-10 September 2006 oleh tim panel pakar I. Dari laporan Panel Pakar I direkomendasikan bahwa Koperasi Wana manunggal lestari lulus pada proses penapisan I dan dapat melanjutkan ke proses penilaian lapangan. Penilaian lapangan oleh tim TÜV International Indonesia dilakukan pada tanggal 13-15 September 2006 . Kegiatan Penilaian Lapangan tersebut ditujukan untuk mengumpulkan data dan informasi aktual di lapangan mengenai seluruh kondisi unit manajemen dan kegiatan pengusahaan hutan yang dilaksanakannya dengan Pedoman LEI 99-41 tentang pedoman pelaksanaan penilaian lapangan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari dan Rekomendasi Panel Pakar I. Data dan informasi hasil penilaian lapangan selanjutnya dianalisis dan dituangkan dalam bentuk Laporan Hasil Penilaian Lapangan Sertifikasi PHAPL dengan Pedoman LEI 99-42, yang akan dijadikan dasar pengambilan keputusan sertifikasi Proses penilaian lapangan dilaksanakan dengan mengacu pada Pedoman LEI 99-41 , Dokumen Unit Manajemen Hutan (UM) dan rekomendasi PP I. Hasil penilaian lapangan diolah di Jakarta dan dituangkan dalam laporan ini. Dalam proses penilaian lapangan, dilakukan juga penjaringan informasi melalui sumber-sumber independen yang diperoleh dari pertemuan dengan pihak-pihak terkait (stakeholders) yang memiliki kepedulian dengan pengelolaan hutan lestari, masyarakat lokal dan pemerintah. Penjaringan informasi tersebut dilakukan secara formal melalui forum pertemuan publik di bangsal kabupaten GunungKidul di Wonosari pada tanggal 13 September 2006 Disamping itu pengumpulan informasi tentang unit manajemen dilakukan melalui penelusuran berita di media massa dan informasi lain yang masuk ke Lembaga Sertifikasi baik melalui email, surat maupun fax.
Setiap infomasi yang didapatkan selanjutnya dikonfirmasikan dengan pihak unit manajemen ataupun pihak terkait. Jajaran pemerintah daerah kabupaten Gunung Kidul memiliki komitmen yang tinggi dalam upaya sertifikasi PHBML. Sepanjang proses penilaian lapangan, jajaran Pemda telah bekerjasama dengan baik dalam memfasilitasi penilai lapangan dalam mencari data untuk menjawab kebutuhan setiap indikator penilaian. Tidak ada upaya Unit Manajemen dalam mempengaruhi hasil penilaian dan dalam pelaksanaan penilaian lapangan, perusahaan ini telah bekerja keras untuk membantu asesor melakukan penilaian secara independen.
RESUME HASIL PENILAIAN A. Aspek produksi Indikator
Nilai (Skala Intensitas)
P1.1 Status dan batas lahan jelas -
-
-
Baik Merujuk kepada rencana tata ruang wilayah yang tercantum dalam Peta Revisi RTRWP (Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi) Kabupaten Gunung Kidul skala 1:500.000 (yang belum ditandatangani oleh Bupati Kedung Kidul dan Ketua DPRD Tingkat II), digolongkan lokasi Giri sekar ( Kawasan Lindung), Dengok (Kawasan Budidaya) dan Kedung Keris (Kawasan Budidaya) kawasan Hutan rakyat di tiga desa, telah memiliki status kepemilikkan yang jelas, telah memiliki batas-batas yang dikenali oleh pemilik, berupa batas yang memisahkan untuk setiap areal lahan, namun belum menunjukan batas antar blok dan antar dusun. Lokasi hutan rakyat telah pula dilakukan pemetaan partisiatif, namun belum dapat ditunjukan bukti bukti pengakuan berupa dokumen baik dari pemilik lahan atau dari pemerintah daerah (Kepala Desa, Kecamatan, Bupati)
P.2.1 Perubahan luas lahan yang ditumbuhi tanaman
Perubahan penutupan hutan akibat aktivitas kebakaran,bencana alam, Baik gangguan hewan tidak mengganggu keberadaan areal yang berhutan. P1.3 Manajemen pemeliharaan hutan
pada kawasan Hutan rakyat di tiga desa, pemeliharaan dilakukan sesuai Cukup kondisi iklim/mengacu kepada musim, dengan jadwal yang rinci per lokasi dengan jumlah yang dipelihara belum ada, data yang menunjukan keberhasilan penanaman belum ada, namun secara visual tersedia anakan dan tegakan yang cukup. P1.4 Sistem silvikultur sesuai daya dukung lahan
sistem silvikultur yang diterapkan masih hanya mengacu kepada kebutuhan pemilik lahan, belum ditambah mengacu kepada kelestarian hasil, kegiatan penebangan dilakukan masih hanya untuk meminimalkan kerusakan kayu belum kepada meminimalkan kerusakan anakan atau pohon lain, tidak ada data yang dapat menunjukan jumlah pohon yang ditebang secar rinci dan lengkap.
Jelek
P2.1 Penataan areal pengelolaan hutan Penataan areal pengelolaan hutan terlihat kurang lengkap di lapangan, Cukup yang ditunjukkan oleh batas-batas blok yang belum ada, identitas lahan setiap pemilik tidak ada, peta hasil pemetaan partisipatif tidak
memberikan informasi yang gayut (link/gathuk) dengan lokasi lahan serta tata letak, struktur dan komposisi tanaman non kayu yang belum dikelola. P.2.2 Kepastian Adanya Potensi Produksi untuk Dipanen Lestari
Potensi tegakan hasil inventarisasi berpotensi tidak sama dengan hasil Cukup penomoran pohon, karena kegiatan tersebut tidak dilakukan pada saat bersamaan, dengan demikian ada potensi jumah pohon yang ditebang bisa lebih dari yang dicatat pada saat inventarisasi,sedangkan rencana pengaturan penebangan per lahan pemilik belum ada. Pemeliharaan tanaman tidak dilakukan intensif P 2.3 Pengaturan hasil
kegiatan penataan areal kerja, penebangan,penanaman, pemeliharaan belum dipraktekan secara runut dan konsisten.
dan Jelek
P2.4 Efisiensi pemanfaatan hutan
limbah hasil penebangan semuanya dimanfaatkan, baik untuk keperluan Cukup sendiri atau di jual P2. 5. Keabsyahan Sistem Lacak Balak dalam hutan Kayu yang ditebang tidak dapat ditelusur ke asal kayu/tunggak dan Jelek dokumen yang ada (hasil inventarisasi, hasil penebangan, ijin tebang, SKSHH) P.2.6. Prasarana hutan ketersediaan sarana jalan telah mencukupi untuk kegiatan pengelolaan Cukup hutan rakyat P2.7 Pengaturan manfaat hasil koperasi belum mengatur dan menerapkan pemanfaatan hasil. Paguyuban berfungsi sebagai forum berkumpul dan berdiskusi belum pada mengatur manfaat hasil. Manfaat hasil sampai saat ini langsung diterima oleh pemilik lahan hutan rakyat dari pembeli
Cukup (untuk pemilik langsung dan paguyuban) Jelek (untuk koperasi)
P.3. 1. Kesehatan Usaha
menilai kesehatan usaha di level UM Koperasi belum bisa dilakukan. Cukup (pemilik Manfaat hasil sampai saat ini langsung diterima oleh pemilik lahan dari langsung) Jelek pembeli Hasil penjualan kayu untuk ditingkat petani, digunakan untuk (untuk koperasi) kebutuhan sehari hari dan langsung habis digunakan.
P.3.2 Kemampuan akses pasar
Pembeli kayu yang dari luar wilayah desa masuk umumnya lewat pengepul yang merupakan warga dusun. Akses ke pasar untuk tingkat Propinsi Jawa Tengah sudah ada, diantaranya beberapa pembeli dari Jepara, Bantul dan Semarang.
Cukup
P.3.3. Sistem Informasi Managemen (SIM) Yang mengajukan sertifikasi adalah Koperasi, namun belum ada legalitas pendirian koperasi, perangkat manajerial koperasi belum menunjukan kesiapan dan kepastian manajerial akan terjamin lancar. Rencana rencana dan dokumen yang ada belum diterapkan oleh pengurus koperasi
Jelek
P.3.4. Tersedia tenaga trampil
Keberadaan tenaga kerja pada koperasi yang meminta sertifikasi Hutan Cukup (untuk Rakyat secara umum belum memiliki pengalaman dalam pengelolaan paguyuban dan pemilik lahan) koperasi. Pola pengelolaan hutan hanya didasarkan pada kemampuan Jelek ketrampilan yang diperoleh dari pendahulu (si Mbah). (Untuk koperasi)
P.3.5. Investasi dan reinvestasi untuk pengelolaan hutan
Hasil penjualan kayu untuk ditingkat petani, digunakan untuk kebutuhan sehari hari dan langsung habis digunakan. Untuk kebutuhan penanaman kembali belum pasti dari uang hasil penjualan kayu.
Cukup
P.3.6. Kontribusi terhadap peningkatan kondisi sosial dan ekonomi setempat
menunjukan adanya semangat dan upaya menuju kesadaran Jelek pembangunan hutan rakyat, sampai saat ini tenaga kerja yang diserap masih pemilik lahan (Suami dan istri).
B. Aspek Ekologi Indikator
Nilai (Skala Intensitas)
E.1.2 Tersedianya aturan kelola produksi yang meminisasi gangguan terhadap integritas lingkungan. - Secara Tidak tertulis masyarakat sudah mengetahui cara penebangan Cukup yang tidak merusak lingkungan. - Cara Pengangkutan Kayu dilakukan dengan teknik tradisional dari blok tebang sampai jalan raya diangkut oleh tenaga manusia kemudian
diangkuta oleh kendaraan pembeli - Dengan Cara tersebut tidak ada potensi yang bisa merusak tanah. - Penebangan masih meninggalkan Tunggak E.1.3. Ketersediaan Informasi dan dokumentasi dampak kegiatan kelola produksi terhadap lingkungan
- Informasi yang didapat dari hasil wawancara. Dampak positive dari kegiatan pengelolaan hutan yaitu timbulnya sumber2 air baru terutama di 2 Desa (Desa Dengok dan Desa Kedungkeris) - Tidak pernah terjadi bencana longsor atau banjir
Cukup
- Belum terdokumentasi E.1.4. Adanya kegiatan kelola lingkungan yang efektif - Inventarisasi flora dan fauna sudah dilakukan di Desa Dengok dan desa Kedung Keris - Belum ada secara tertulis aktivitas rencana pengelolaan lingkungan yang akan diterapkan.
Cukup
C. Aspek Sosial Indikator
Nilai (Skala Intensitas)
S.1.1. Pengelola hutan/lahan adalah warga komunitas Berdasarkan verifikasi di lapangan, kondisinya sesuai dengan indikator yang disyaratkan di dalam standar LEI 5000-3 namun permasalahannya adalah sertifikat kepemilikan tanah model E yang dimiliki setiap warga Baik komunitas (petani hutan rakyat) belum sesuai dengan kondisi yang ada, seperti yang terdapat pada hasil pemetaan secara partisipatif. S.1.2. Pengelola hutan/lahan adalah pemilik lahan Berdasarkan verifikasi di lapangan, kondisinya sesuai dengan indikator yang disyaratkan di dalam standar LEI 5000-3 namun permasalahannya adalah rencana pengelolaan belum terintegrasi dengan pelaksanaannya sebagai contoh hasil inventarisasi potensi hutan rakyat belum digunakan sepenuhnya terutama pada saat pemanenan.
Baik
S.1.3. Status lahan tidak dalam sengketa dengan warga anggota komunitasnya yang lain maupun dengan pihak lain di luar komunitasnya Status lahan adalah tanah milik sendiri (bukan kawasan hutan negara) dan untuk batas-batas kepemilikan antar lahan, para petani cukup Cukup menggunakan batas yang disepakati bersama berupa tanaman pagar, pohon atau patok sederhana yang disepakati. S.1.4. Kejelasan batas-batas areal tanah/hutan yang dipergunakan Bukti-bukti fisik dari batas-batas areal hutan yang cukup jelas yaitu
Cukup
dengan menggunakan batas patok sederhana maupun dengan tanaman (kelapa, jarak atau tanaman yang disepakati bersama secara kekeluargaan) dan hampir tidak ada sengketa mengenai kepemilikan lahan pada ketiga desa yang dinilai. S.1.5. Digunakan tata cata atau mekanisme penyelesaian sengketa yang berkeadilan terhadap sengketa klaim yang terjadi Ada mekanisme penyelesaian sengketa yang terbangun secara turun temurun (kearifan lokal) tetapi mekanisme tersebut belum ada aturannya secara detail lagipula sampai saat ini, belum ada penyelesaian sengketa lahan yang berujung sampai di tingkat pengadilan, cukup menggunakan penyelesaian sengketa secara kekeluargaan.
Cukup
S.2. Terjaminnya ketahanan dan pengembangan ekonomi komunitas Meskipun KOPERASI Wana Manunggal Lestari belum mempunyai pengalaman namun modal menjalankan KOPERASI sudah terbangun di Cukup tingkat KTHR. S.2.3. Penerapan teknologi produksi dan sistem pengelolaan dapat mempertahankan tingkat penyerapan Tenaga Kerja, laki-laki maupun perempuan Penerapan teknologi tepat guna belum dapat dilihat secara jelas karena masih banyak petani yang menggunakan kearifan lokal/tradisional dalam mengelola hutan rakyat mereka, seperti : (1) penggunaan terasiring untuk kondisi topografi yang berbukit, (2) ilmu titen untuk menentukan CUKUP jadwal pemupukan dalam rangka perawatan lahan mereka, dan (3) menjalankan kehidupan sehari-hari secara gotong-royong. S.3. Terbangun pola hubungan sosial yang setara dalam proses produksi Berdasarkan verifikasi di lapangan, kondisinya tidak sesuai dengan indikator yang disyaratkan di dalam standar LEI 5000-3 , yaitu SISTEM UPAH namun pada prakteknya ada poin yang bersifat positif yaitu masih Jelek berjalan budaya gotong-royong dalam proses produksi. S.3.2. Pembagian kewenangan jelas dan demokratis dalam organisasi penyelenggaraan PHBM Pembagian tugas dan peran masih dalam cakupan kegiatan pengelolaan hutan rakyat saja sedangkan pembagian peran antar anggota KTHR – PAGUYUBAN – KOPERASI yang sifatnya kelembagaan masih belum Cukup jelas. S.4.1. Ada kompensasi atas kerugian yang diderita komunitas secara keseluruhan akibat pengelolaan hutan oleh kelompok dan disepakati seluruh warga komunitas Kebiasaan yang sering dilakukan oleh masyarakat di ketiga desa tersebut adalah mengumpulkan dana (sumbangan) yang digunakan untuk keperluan bersama, seperti jika ada yang sakit atau mengalami musibah Baik atau bila ada yang mempunyai hajatan. Saudara atau anak-anak mereka yang berdomisili di luar desa (merantau) juga dilibatkan dalam kegiatan
pengumpulan dana tersebut. Selain itu ada potensi lapangan pekerjaan yang dapat meningkatkan manfaat bagi masyarakat desa secara luas.