UNIT 1 Karakteristik Siswa SD dan Matematika Pendahuluan
K
arakteristik siswa Sekolah Dasar (SD) dan karakteristik mata pelajaran yang akan disampaikan merupakan 2 unsur yang mutlak diperhatikan oleh pengajar (dalam hal ini guru). Sebelum menemukan dan menerapkan model pembelajaran, syarat utama yang harus dikuasai oleh seorang pengajar adalah memahami, mengerti, dan mengenal karakteristik siswanya. Langkah berikutnya, pengajar tersebut dapat menentukan model pendekatan pembelajaran yang sesuai untuk diterapkan pada siswa yang dihadapi. Selain mengenal karakteristik siswa, hal lain yang perlu dikuasai oleh seorang pengajar adalah menguasai karakteristik mata pelajaran yang akan disampaikan sehingga pengajar tersebut dapat menjembatani jenjang antara karakteristik siswa dengan karakteristik mata pelajaran tersebut dan pengajar tersebut dapat mengajarkan mata pelajaran bersangkutan dengan penuh dinamika dan inovasi dalam proses pembelajarannya. Hal ini berlaku juga pada pembelajaran di SD terutama pada pembelajaran matematika. Menurut Piaget, siswa SD mempunyai karakteristik berada pada tahap operasional kongkret, dimana siswa memasukkan informasi melalui operasi benda-benda kongkret. Lain halnya dengan karakteristik matematika. Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan di pendidikan dasar karena matematika sangat penting digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Matematika merupakan mata pelajaran yang mempunyai sifat abstrak. Terdapat kesenjangan antara kedua karakteristik ini, sehingga pengajar matematika harus dapat memilih pendekatan pembelajaran yang sifatnya dapat menjembatani kesenjangan ini sehingga siswa SD dapat mempelajari, memahami, dan menyukai mata pelajaran matematika dengan mudah tanpa kesulitan yang berarti. Dalam memilih pendekatan pembelajaran matematika siswa, pengajar harus menyesuaikan dengan karakteristik siswa yang dihadapi dan materi matematika yang diajarkan sehingga hasil dari penerapan pendekatan pembelajaran matematika yang ditentukan dapat lebih optimal sehingga harapan akan prestasi pada mata pelajaran matematika bagus dan seimbang dibandingkan dengan prestasi pada mata pelajaran lainnya dapat terwujud. **Selamat belajar dan selalu berwawasan luas dan kreatif. Tuhan Memberkati Pelayanan Kita dalam dunia pendidikan **
Sub Unit 1 Karakteristik Siswa SD
J
ean Piaget berpendapat bahwa proses berpikir manusia sebagai suatu perkembangan yang bertahap dari berpikir intelektual konkret ke abstrak berurutan melalui empat periode. Urutan periode itu tetap bagi setiap orang, namun usia atau kronologis pada setiap orang yang memasuki setiap periode berpikir yang lebih tinggi berbeda-beda tergantung kepada masing-masing individu. Piaget adalah orang pertama yang menggunakan filsafat konstruktivis dalam proses belajar mengajar. Piaget dalam Bell (1981), berpendapat bahwa proses berpikir manusia merupakan suatu perkembangan yang bertahap dari berpikir intelektual kongkret ke abstrak berurutan melalui empat tahap perkembangan, sebagai berikut: 1. Periode Sensori Motor (0 – 2) tahun. Karateristik periode ini merupakan gerakan-gerakan sebagai akibat reaksi langsung dari rangsangan. Rangsangan itu timbul karena anak melihat dan meraba-raba objek. Anak itu belum mempunyai kesadaran adanya konsep objek yang tetap. 2. Periode Pra-operasional (2 – 7) tahun. Operasi yang dimaksud di sini adalah suatu proses berpikir atau logik, dan merupakan aktivitas mental, bukan aktivitas sensori motor. Pada periode ini anak di dalam berpikirnya tidak didasarkan kepada keputusan yang logis melainkan didasarkan kepada keputusan yang dapat dilihat seketika. Periode ini sering disebut juga periode pemberian simbol, misalnya suatu benda diberi nama (simbol). Pada periode ini anak terpaku kepada kontak langsung dengan lingkungannya, tetapi anak itu mulai memanipulasi simbol dari benda-benda sekitarnya. 3. Periode operasi kongkret (7 – 12) tahun. Dalam periode ini anak berpikirnya sudah dikatakan menjadi operasional. Periode ini disebut operasi kongkret sebab berpikir logiknya didasarkan atas manipulasi fisik dari objek-objek. Operasi kongkret hanyalah menunjukkan kenyataan adanya hubungan dengan pengalaman empirik-kongkret yang lampau dan masih mendapat kesulitan dalam mengambil kesimpulan yang logis dari pengalaman-pengamanan yang khusus. Pengerjaan-pengerjaan logika dapat dilakukan dengan berorientasi ke objekobjek
atau
peristiwa-peristiwa
yang
langsung
dialami
anak.
Anak
itu
belum
memperhitungkan semua kemungkinan dan kemudian mencoba menemukan kemungkinan
yang mana yang akan terjadi. Anak masih terikat kepada pegalaman pribadi yang masih kongkret dan belum formal. Dalam periode operasi kongkret, karateristik berpikir anak adalah sebagai berikut: a. Kombinasivitas atau klasifikasi adalah suatu operasi dua kelas atau lebih yang dikombinasikan ke dalam suatu kelas yang lebih besar. Anak dapat membentuk variasi relasi kelas dan mengerti bahwa beberapa kelas dapat dimasukkan ke kelas lain. Contohnya, anak dapat membandingkan perbedaan warna suatu benda dengan warna benda yang lain, anak dapat mengenal dan memahami kuantitas dan dapat membandingkan kuantitas satu dengan kuantitas lainnya dengan membandingkan mana yang lebih besar dan mana yang lebih kecil.
7
<
9
Tujuh lebih sedikit dibandingkan dengan sembilan, dan dapat disimbolkan dengan 7 < 9
+
8
=
+
6
=
14
b. Reversibilitas adalah operasi kebalikan. Setiap operasi logik atau matematik dapat dikerjakan dengan operasi kebalikan. Reversibilitas ini merupakan karakteristik utama untuk berpikir operasional di dalam teori Piaget. Contohnya :
+
+
=
6 + 5 = 11
=
5 + 6 = 11
6 + 5 = 5 + 6 = 11 c. Asosiasivitas adalah suatu operasi terhadap beberapa kelas yang dikombinasikan menurut sebarang urutan. Misalnya himpunan bilangan bulat, operasi ”+”, berlaku hukum asosiatif terhadap penjumlahan. d. Identitas adalah suatu operasi yang menunjukkan adanya unsur nol yang bila dikombinasikan dengan unsur atau kelas hasilnya tidak berubah e. Korespondensi satu – satu antara objek-objek dari dua kelas. Misalnya unsur dari suatu himpunan berkawan dengan satu unsur dari himpunan kedua dan sebaliknya f. Kesadaran adanya prinsip-prinsip konservasi. Konservasi berkenaan dengan kesadaran bahwa satu aspek dari benda, tetap sama sementara itu aspek lainnya berubah. Namun prinsip konservasi yang dimilikianak pada periode ini masih belum penuh. Anak pada periode ini dilandasi oleh observasi dari pengalaman dengan objek nyata, tetapi ia sudah mulai menggeneralisasi objek-objek tadi. 4. Periode Operasi Formal (> 12) tahun. Periode ini merupakan tahap terakhir dari keempat periode perkembangan intelektual. Periode operasi formal ini disebut juga disebut periode operasi hipotetik-deduktif yang merupakan tahap tertinggi dari perkembangan intelektual. Anak-anak pada periode ini sudah memberikan alasan dengan menggunakan lebih banyak simbul atau gagasan dalam cara berpikir. Anak sudah dapat mengoperasikan argumenargumen tanpa dikaitkan dengan benda-benda empirik. Ia mampu menggunakan prosedur seorang
ilmuwan,
yaitu
menggunakan
posedur
hipotetik-deduktif.
Anak
mampu
menyelesaikan masalah dengan cara yang lebih baik dan kompleks dari pada anak yang masih dalam tahap periode operasi kongkret. Konsep konservasi telah tercapai sepenuhnya. Anak sudah mampu menggunakan hubungan-hubungan di antara objek-objek apabila ternyata manipulasi objek-objek tidak memungkinkan. Anak telah mampu melihat hubunganhubungan abstrak dan menggunakan proposisi-proposisi logik-formal termasuk aksioma dan definisi-definisi verbal. Anak juga sudah dapat berpikir kombinatorik, artinya bila anak dihadapkan
kepada
suatu
masalah,
ia
dapat
mengisolasi
faktor-faktor
tersendiri/mengkombinasikan faktor-faktor itu sehingga menuju penyelesaian masalah tadi Menurut Piaget, tahap-tahap berpikir itu adalah pasti dan spontan namun umur kronologis
yang diberikan itu adalah fleksibel, terutama selama transisi dari periode yang satu ke periode berikutnya. Umur kronologis itu dapat saling tindih bergantung kepada individu. Pada bagian ini, umur siswa SD pada umumnya berkisar antara 6 atau 7 tahun sampai 12 atau 13 tahun dan menurut teori perkembangan intelektual Jean Piaget, siswa SD berada pada Akhir Tahap Pra Operasional, Tahap Periode Operasi Kongkret dan menuju Tahap Operasi Formal. Sependapat dengan hal diatas, Subarinah (2006), juga menyatakan bahwa anak usia SD sedang mengalami perkembangan dalam tingkat berpikirnya dimana tahap berpikirnya masih belum formal dan relatif masih kongkret, bahkan untuk sebagian siswa SD kelas rendah masih pada tahap pra operasional. Siswa yang berada pada tahap ini belum mengenal dan memahami hukum kekekalan sehingga sulit mengerti konsep-konsep operasi, seperti penjumlahan, pengurangan, pembagian, dan perkalian. Oleh karena itu, guru sebagai pengajar kelas rendah harus menjadi fasilitator untuk meningkatkan tahap tingkat berpikirnya. Sedangkan siswa SD yang berada pada tahap berpikir operasi kongkret dapat memahami hukum kekekalan. Untuk dapat memahami siswa mana yang tahap berpikirnya masih pra operasional atau siswa mana yang tahap berpikirnya berada pada operasi-kongkret, maka dapat digunakan belum memahami atau sudah memahami hukum kekekalan. Siswa yang telah menguasai hukum kekekalan bilangan adalah siswa yang dapat menyebutkan banyaknya suatu benda-benda adalah tetap meskipun tempatnya berbeda-beda. Contohnya, 5 buah pensil diletakkan saling berdekatan. Kemudian, kelima buah pensil tersebut diletakkan berjajar renggang kemudian kelima buah pensil tersebut diletakkan secara tidak beraturan diatas meja. Apabila pada masing-masing kasus siswa telah dapat menyebut banyaknya pensil adalah tetap, yaitu 5, maka mereka telah menguasai dan memahami hukum kekekalan bilangan sehingga mereka siap mempelajari konsep-konsep operasi bilangan. Sebaliknya, apabila jawaban siswa belum tetap, berarti mereka belum memahami hukum kekekalan bilangan sehingga mereka belum siap mempelajari konsep-konsep operasi bilangan. Hal serupa juga berlaku pada siswa SD yang berada pada kelas atas. Pada siswa ini, terdapat dua transisi tingkat berpikir siswa, yaitu sebagian sudah berada pada tahap berpikir formal sehingga siswa tersebut dapat berpikir secara deduktif, artinya siswa dapat diajak untuk berpikir dan memahami pembuktian dalil-dalil matematika, serta sebagian berada pada tahap berpikir operasi kongkret dan siswa yang berada pada tahap ini belum dapat diajak berpikir untuk pembuktian dalil-dalil matematika. Untuk mengetahui siswa mana yang berada pada tahap berpikir operasi kongkret dan mana yang berada pada tahap berpikir formal, dapat diketahui
melalui logika/penalaran matematika. Siswa yang sudah berada pada tahap formal, jika diberi suatu pernyataan maka mereka dapat menyatakan logika berpikirnya untuk alasan terjadinya pernyataan yang diberikan dan sebaliknya, siswa yang berada pada tahap berpikir operasikongkret, mereka belum dapat menyatakan alasannya dan mereka cenderung menerima ajaran dari guru tanpa berpikir logis alasan terjadinya fakta yang diberikan. Contohnya :
(segitiga 1)
(segitiga 2)
(segitiga 3)
Bagi siswa yang berada pada tahap berpikir formal, mereka akan menyatakan bahwa ketiga segitiga diatas merupakan segitiga siku-siku dan mereka dapat menyatakan alasannya melalui perbandingan sisi-sisi dan sudut-sudutnya sedangkan siswa yang berada pada tahap berpikir operasi-kongkret, mereka hanya dapat menyatakan bahwa ketiga segitiga diatas merupakan segitiga siku-siku. Menurut Ruseffendi (1992) dalam Aisyah (2007), untuk dapat mengajarkan konsep matematika pada anak dengan baik dan mudah dimengerti, maka materi yang akan disampaikan hendaknya diberikan pada anak yang sudah siap intelektualnya untuk menerima materi tersebut. Agar anak dapat mengerti materi matematika yang dipelajari, maka dia harus sudah siap menerima materi tersebut, artinya anak sudah mempunyai hukum kekekalan dari jenjang materi matematika yang dipelajari. Menurut Piaget, ada enam tahap dalam perkembangan belajar anak yang disebut dengan hukum kekekalan, sebagai berikut: 1. Hukum Kekekalan Bilangan (6 – 7 tahun) 2. Hukum Kekekalan Materi ( 7 – 8 tahun) 3. Hukum Kekekalan Panjang (8 - 9 tahun) 4. Hukum Kekekalan Luas (8 – 9 tahun) 5. Hukum Kekekalan Berat (9 – 10 tahun) 6. Hukum Kekekalan Isi (14 – 15 tahun)
Sub Unit 2 Matematika
I
stilah ”matematika” berasal dari Bahasa Yunani, ”mathein” atau ”manthenein” yang berarti mempelajari. Kata ”matematika” juga diduga erat hubungannya dengan kata dari Bahasa
Sansekerta, ”medha” atau ”widya” yang berarti kepandaian, ketahuan, atau intelegensia. Berikut beberapa pendapat para pakar atas pengertian dari matematika : 1. Menurut Jujun S (2007:190), matematika merupakan bahasa yang eksak, cermat, dan terbebas dari emosi. Matematika sebagai bahasa merupakan bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin disampaikan. 2. Menurut Sutawijaya (1997) dalam Aisyah (2007), matematika mengkaji benda abstrak (benda pikiran) yang disusun dalam suatu sistem aksiomatis dengan menggunakan simbol (lambang) dan penalaran deduktif. 3. Menurut Hudoyo (1991) dalam Aisyah (2007), matematika berkenan dengan ide (gagasangagasan), aturan-aturan, hubungan-hubungan yang diatur secara logis sehingga matematika berkaitan dengan konsep-konsep abstrak. Matematika merupakan pengetahuan yang disusun secara deduktif dan dapat digunakan untuk mendidik dan melatih untuk berpikir secara logik. 4. Menurut Ruseffendi (1989) dalam Subarinah (2006), matematika itu teroganisasikan dari unsur-unsur yang tidak didefinisikan, definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan dalil-dalil yang dibuktikan kebenarannya sehingga matematika disebut sebagai ilmu deduktif. 5. Menurut Johnson & Rising (1972) dalam Subarinah (2006), matematika merupakan telaah tentang pola dan hubungan, suatu jalan atau pola berpikir, suatu seni, suatu bahasa dan suatu alat. 6. Menurut Kline (1973) dalam Subarinah (2006), matematika bukan pengetahuan tersendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri tetapi beradanya karena untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi, dan alam. 7. Menurut Subarinah (2006), matematika merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari struktur yang abstrak dan pola hubungan yang ada didalamnya. Hal ini berarti belajar matematika pada hakekatnya adalah belajar konsep, struktur konsep dan mencari hubungan antar konsep dan strukturnya.
Berdasarkan pendapat beberapa pakar diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa matematika adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari konsep-konsep abstrak yang disusun dengan menggunakan simbol dan merupakan bahasa yang eksak, cermat, dan terbebas dari emosi. Matematika berkenaan dengan ide-ide, struktur-struktur dan hubungan-hubungannya yang diatur menurut urutan yang logis, berpola deduktif, dan berupa bahasa yang dilambangkan dengan simbol-simbol. Hal ini sesuai dengan ciri-ciri yang dimiliki matematika yang diungkapkan oleh Suharno (2004), yaitu : 1) memiliki objek kejadian yang abstrak, 2) berpola pikir deduktif dan konsisten. Subarinah (2006) juga menyatakan bahwa matematika merupakan ilmu deduktif, aksiomatik, formal, hirarkis, abstrak, bahasa simbol yang padat arti dan semacamnya adalah sebuah sistem matematika yang dapat digunakan untuk mengatasi persoalan-persoalan nyata. Matematika juga berguna untuk membentuk pola pikir orang yang mempelajarinya menjadi pola pikir matematis yang sistematis, logis, kritis dengan penuh kecermatan. Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang memberikan kontribusi positif tercapainya masyarakat yang cerdas dan bermartabat melalui sikap kritis dan berpikir logis (Suminarsih, 2007:1). Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa matematika merupakan ilmu dasar yang sudah menjadi alat untuk mempelajari ilmu-ilmu yang lain sehingga penguasaan terhadap matematika mutlak diperlukan dan konsep-konsep matematika harus dipahami dengan betul dan benar sejak dini. Berdasarkan hal tersebut maka matematika dipilih menjadi salah satu mata pelajaran yang diberikan di ketiga tingkat pendidikan di Indonesia, yaitu pendidikan dasar (Sekolah Dasar/SD dan Sekolah Menengah Pertama/SMP), pendidikan menengah (Sekolah Menengah Atas/SMA), dan pendidikan tinggi. Menurut Depdikbud yang dikutip oleh Suharno (2004), matematika yang diberikan di pendidikan tingkat dasar sampai tingkat menengah disebut juga dengan matematika sekolah. Matematika sekolah terdiri atas bagian-bagian yang dipilih untuk menumbuhkembangkan kemampuan-kemampuan dan membentuk pribadi siswa serta berpadu pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sejalan dengan itu, mata pelajaran matematika pada jenjang
pendidikan dasar menekankan pada pembentukan nalar/logika, sikap, dan keterampilan yang terkandung dalam setiap pembelajaran matematika. Matematika SD digunakan untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Tujuan matematika sekolah di SD dan Madrasah Ibtidiyah (MI) yang
telah ditetapkan oleh pemerintah dan yang dikutip Aisyah (2007 : 4), yaitu
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah. 2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. 3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. 4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. 5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Tujuan umum dan khusus yang ada di kurikulum SD/MI, merupakan pelajaran matematika di sekolah, jelas memberikan gambaran belajar tidak hanya di bidang kognitif saja, tetapi meluas pada bidang psikomotor dan afektif (Aisyah, 2007 : 4). Selama ini, matematika hanya meliputi kognitif saja dan kurang mempedulikan segi afektif dan psikomotorik. Hal ini menunjukkan, dalam mata pelajaran matematika hanya menuntut kognitifnya dan ini mencerminkan hanya hasil akhir saja yang diperhatikan. Belajar matematika berarti belajar pola dan keteraturan. Belajar pola dan keteraturan berarti belajar menghargai dan menanamkan jiwa yang selalu bersyukur kepada Tuhan karena segala ciptaan Tuhan itu sifatnya teratur dan terpola. Belajar pola dan keteraturan juga dapat menanamkan pendidikan karakter bagi siswa sehingga karakter yang bagus, mempunyai nasionalisme tinggi, mencintai ketertiban dan keteraturan maka akan menata dan menumbuhkembangkan rasa menghormati dan menghargai sesama sehingga akan tercipta Indonesia yang damai sejahtera dan maju berkembang. Hal ini akan tercipta jika setiap proses dalam mepelajari matematika dapat menanamkan nilai kehidupan yang berguna bagi siswa di masa yang akan datang.
Sub Unit 3 Pembelajaran Matematika
S
ecara umum, Gagne dan Briggs melukiskan pembelajaran sebagai ”upaya orang yang tujuannya adalah membantu orang belajar” (Gredler,1991:205), dan secara lebih terinci,
Gagne mendefinisikan pembelajaran sebagai
”seperangkat acara peristiwa eksternal yang
dirancang untuk mendukung terjadinya beberapa proses belajar yang sifatnya internal” (Gredler, 1991:205). Suatu pengertian yang hampir sama dikemukakan oleh Corey yang menyatakan bahwa pembelajaran adalah ”suatu proses dimana lingkungan seseorang secara sengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respon terhadap situasi tertentu. Pembelajaran merupakan sub-set khusus pendidikan.”(Miarso, dkk,1977,195). Menurut Depdikbud, kata pembelajaran adalah kata benda yang diartikan sebagai ”proses, cara, menjadikan orang atau makluk hidup belajar.” Kata ini berasal dari kata kerja belajar yang berarti ”berusaha untuk memperoleh kepandaian atau ilmu, berubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman.” Dari keempat pengertian pembelajaran tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran berpusat pada kegiatan siswa belajar dan bukan berpusat pada kegiatan guru mengajar (Aisyah 2007). Pembelajaran matematika pada hakikatnya adalah proses yang sengaja dirancang dengan tujuan untuk menciptakan suasana lingkungan memungkinkan seseorang (si pelajar) melaksanakan kegiatan belajar matematika, dan proses tersebut berpusat pada guru mengajar matematika. Pembelajaran matematika harus memberikan peluang kepada siswa untuk berusaha dan mencari pengalaman tentang matematika Dalam batasan pengertian pembelajaran yang dilakukan di sekolah, pembelajaran matematika dimaksudkan sebagai proses yang sengaja dirancang dengan tujuan untuk menciptakan suasana lingkungan (kelas/sekolah) yang memungkinkan kegiatan siswa belajar matematika sekolah. Dari pengertian tersebut jelas kiranya bahwa unsur pokok dalam pembelajaran matematika adalah guru sebagai salah satu perancang proses, proses yang sengaja dirancang selanjutnya disebut proses pembelajaran, siswa sebagai pelaksanaan kegiatan belajar, dan matematika sekolah sebagai objek yang dipelajari dalam hal ini sebagai salah satu bidang studi dalam pelajaran. Pembelajaran matematika meliputi 3 jenjang pendidikan, yaitu pendidikan dasar, menengah, dan tinggi dimana setiap jenjang mempunyai tujuan sendiri yang muaranya adalah mendidik siswa untuk dapat berpikir secara logis, kreatif,
dan sistematis. Pada mulanya, pembelajaran matematika menggunakan paradigma pengajaran dan dirasa hasil yang dicapai dari pembelajaran ini kurang memuaskan, maka pembelajaran matematika yang semula menggunakan paradigma pengajaran pelan-pelan beralih ke paradigma belajar. Penekanan dari pembelajaran ini yaitu yang semula guru sebagai pusat kegiatan belajar mengajar sehingga guru menjadi aktif, berubah dan beralih menjadi siswa yang menjadi pusat kegiatan belajar mengajar sehingga siswa menjadi aktif dan guru sebagai fasilitator. Untuk lebih jelasnya penjelasan dari kedua paradigma ini dapat disimak dalam penjelasan sebagai berikut : Menurut Marpaung (2003 : 2), pembelajaran matematika yang menggunakan paradigma pengajaran mempunyai 6 karakteristik, yaitu a) guru aktif dan siswa pasif; b) pembelajaran berpusat pada guru; c) guru menstransfer pengetahuan ke pikiran siswa; c) pemahaman siswa cenderung bersifat instrumental; e) pembelajaran bersifat mekanistik; dan f) siswa diam secara fisik serta penuh konsentrasi secara mental dalam memperhatikan apa yang diajarkan oleh guru. Pembelajaran yang menggunakan paradigma pengajaran ini oleh Brook & Brooks dalam Marpaung (2003 : 2) disebut dengan pembelajaran tradisional. Pembelajaran ini mayoritas menggunakan pendekatan mekanik. Brook & Brooks dalam Marpaung (2003 : 2) melukiskan pembelajaran tradisional di kelas sebagai berikut : a) kurikulum disajikan dari bagian-bagian menuju ke keseluruhan dengan menekankan keterampilan dasar; b) keterikatan yang ketat pada kurikulum yang sudah ditetapkan dinilai tinggi; c) aktivitas kurikulum bertitik berat pada buku teks dan lembar kerja; d) siswa dianggap sebagai ”kotak kosong” yang dapat diisi oleh guru dengan informasi-informasi; e) guru pada umumnya bertindak menurut didaktik yang menseminasikan informasi ke siswa; f) guru menggunakan jawaban yang benar sebagai tanda siswa belajar; g) guru pada umumnya lebih menekankan pembelajaran mekanistik dimana metode yang sering digunakan adalah ceramah, hafalan dan drill. Sebaliknya, paradigma belajar merupakan lawan dari paradigma pengajaran. Paradigma ini mempunyai karakteristik sebagai berikut : 1) siswa aktif dan guru aktif; 2) pengetahuan dikonstruksi; 3) menekankan pada proses dan produk; 4) pembelajaran luwes dan menyenangkan; 5) sinergi pikiran dan tubuh; 6) berorientasi pada siswa; 7) asesmen bersifat realistik; 8) pemahaman relasional; 9) pengetahuan konseptual, prosedural dan keterkaitannya; dan 10) kemampuan sebagai hubungan antar pengetahuan yang tersusun dalam suatu jaringan. Perubahan paradigma ini didasarkan pada beberapa teori belajar matematika seperti Bruner, Dienes, Gagne,
dan Van Hiele. Selain itu, terdapat pendekatan pembelajaran matematika seperti pendekatan pemecahan masalah matematika, realistik, konstruktivis, dan kontekstual. Adapun penjelasan dari teori belajar dan pendekatan pembelajaran tersebut akan dibahas lebih lanjut pada Bab 2.
Latihan Setelah memahami dan mempelajari Bab 1 diatas, cobalah untuk mengerjakan beberapa soal berikut : 1. Apa yang Anda ketahui tentang Teori Perkembangan Kognitif dari Piaget? 2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan matematika! 3. Mengapa matematika diajarkan di pendidikan dasar? Berikan alasannya! 4. Apa yang dimaksud dengan pembelajaran matematika? Apa tujuan dilaksanakannya pembelajaran matematika? 5. Apa
yang
Anda
ketahui
tentang
paradigma
pembelajaran
matematika?