Karakteristik Intuisi Siswa SMA dalam Memecahkan Masalah Matematika Ditinjau dari Kemampuan Matematika dan Perbedaan Gender Budi Usodo Program Studi Pendidikan Matematika, Universitas Sebelas Maret Surakarta E-mail:
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik intuisi siswa SMA dalam memecahkan masalah matematika berdasarkan langkah-langkah pemecahan masalah dari Polya ditinjau dari kemampuan matematika dan perbedaan gender. Subjek penelitian adalah siswa SMA 1 Sragen, Jawa Tengah. Hasil penelitian ini adalah: (1) dalam memahami masalah matematika; subjek laki-laki berkemampuan matematika tinggi, sedang dan rendah menggunakan intuisi afirmatori yang bersifat langsung, yaitu langsung dipahami dari teks soal, subjek perempuan berkemampuan matematika tinggi, sedang dan rendah dalam memahami masalah matematika tidak menggunakan intuisi, (2) dalam membuat rencana penyelesaian; subjek laki-laki berkemampuan matematika tinggi, sedang menggunakan intuisi antisipatori yang bersifat global, yaitu subjek menggunakan rumus barisan yang diperolehnya dari pemahaman teks soal secara langsung dan subjek tidak dapat menjelaskan secara rinci mengapa menggunakan rumus barisan, subjek laki-laki berkemampuan matematika rendah. Subjek perempuan berkemampuan matematika tinggi menggunakan intuisi antisipatori yang bersifat global dan subjek perempuan berkemampuan matematika rendah tidak menggunakan intuisi dalam membuat rencana penyelesaian, (3) dalam melaksanakan rencana penyelesaian: semua subjek penelitian tidak menggunakan intuisi dalam melaksanakan rencana penyelesaian masalah matematika, (4) dalam memeriksa jawaban masalah; subjek berkemampuan matematika tinggi dan sedang baik laki-laki dan perempuan tidak menggunakan intuisi, subjek laki-laki berkemampuan matematika rendah dalam memeriksa jawaban menggunakan intuisi antisipatori yang mempunyai karakteristik bertentangan dengan dugaan pada umumnya dan berupa pemikiran induktif. Kata Kunci : Karakteristik intuisi, masalah matematika, afirmatori, antisipator, gender
Kegiatan pembelajaran matematika tentu tidak akan terlepas dari masalah matematika. Dalam mengajarkan bagaimana memecahkan masalah, beberapa guru atau pendidik matematika mempunyai cara yang berbeda-beda. Diantaranya adalah dengan selalu memberikan contoh-contoh bagaimana memecahkan suatu masalah matematika, tanpa memberikan kesempatan banyak pada siswa untuk berusaha menemukan sendiri penyelesaiannya. Dengan cara guru mengajar seperti itu, siswa tidak banyak mempunyai inisiatif atau gagasan yang digunakan dalam memecahkan masalah. Dampak dari kondisi tersebut adalah siswa seringkali mengalami kesulitan dalam memecahkan masalah, misalnya siswa tidak tahu apa yang harus diperbuat bila diberikan permasalahan oleh guru, meskipun sebenarnya telah dimilikinya bekal yang cukup untuk memecahkan masalah tersebut. Pembelajaran matematika yang demikian dapat dikatakan pembelajaran yang tanpa makna. Matematika adalah ilmu pengetahuan yang memiliki struktur bangunan yang ketat, terdiri atas aksioma, definisi, dan teorema, dengan suatu struktur logika (Ervynck, 1991). Proses berpikir analitik dan logika memainkan peranan penting dalam merepresentasikan struktur pengetahuan matematika. Dengan demikian dalam memecahkan masalah
2
AKSIOMA, Volume 01 Nomor 01 Maret 2012
matematika memerlukan proses mental sadar yang berupa proses berpikir analitik dan logika. Namun demikian, hanya menggunakan proses berpikir analitik dan logika saja belum tentu selalu diperoleh jawaban dari masalah, karena dalam memecahkan masalah terkadang diperlukan dugaan atau klaim suatu pernyataan tanpa harus dengan membuktikan. Oleh karena itu ada aktivitas mental berbeda dari kognisi formal dalam mengoperasikan kegiatan matematika, termasuk pula dalam memecahkan masalah matematika. Aktivitas mental yang berbeda dari kognisi formal tersebut disebut intuitive cognition (kognisi intuitif), atau intuition (intuisi) (Fischbein, 1994). Kognisi formal merujuk kepada kognisi yang dikontrol oleh logika matematika dan aktivitas mental dalam membuktikan melalui induksi matematika atau deduksi (Fischbein, 1994). Kognisi formal menyediakan cara ketat memahami pengetahuan matematika. Kognisi formal juga diperlukan bagi matematikawan untuk berkomunikasi dengan sesama matematikawan dalam suatu asosiasi matematika. Namun demikian kognisi formal tidak menjelaskan setiap langkah berpikir dalam aktivitas matematika. Siswa mungkin sangat yakin akan pembuktian matematika yang ketat. Akan tetapi hanya sedikit siswa yang berhasil dengan baik dalam menggunakan pengetahuan formal mereka dan mungkin sekali menjadi kurang kreatif dalam memecahkan masalah matematika. Kognisi intuitif atau intuisi dijelaskan oleh Fischbein (1987) sebagai kognisi yang secara subjektif kebenarannya terkandung di dalamnya, dapat diterima dengan sendirinya dan secara langsung, holistik, penggiringan dan pemerkiraan. Kognisi intuitif berbeda dengan kognisi secara analitik. Penjelasan kebenaran suatu pernyataan karena harus membuktikan merupakan kognisi yang bersifat analitik, tetapi kebenaran yang munculnya secara subjektif dan diterima secara langsung (tanpa pembuktian secara formal) merupakan kognisi secara intuitif. Menurut Fiscbein (1999) tidak ada definisi intuisi yang diterima secara bersamasama oleh para ahli. Namun demikian para ahli menerima sifat-sifat implisit intuisi yaitu; self evident yang berlawanan dengan usaha secara logis dan analitis. Banyak filosof dan ahli pendidikan memandang intuisi sebagai strategi mental atau metode yang memungkinkan seseorang menyatakan esensi/intisari suatu fenomena (Spinoza, 1967). Bahkan Poincare (Tall, 1992) berargumentasi bahwa tidak ada aktivitas yang benar-benar kreatif dalam sains dan matematika tanpa intuisi. Namun demikian juga terdapat perspektif negatif mengenai penggunaan intuisi dalam konseptualisasi. Filosof dan ahli pendidikan yang berlainan kutub dengan penggunaan intuisi memandang bahwa penggunaan intuisi merupakan bentuk elementer dan primitif suatu pengetahuan. Para ahli, diantaranya, Bruner menjelaskan intuisi dengan memperbandingkan pemikiran analitik, Poincaré membandingkan intuisi dengan logika, Skemp menjelaskan intuisi dengan membandingkan pemikiran intuitif dengan pemikiran reflektif sebagai gaya aktivitas mental yang berbeda (Tall, 1980). Descartes dan Spinoza, menjelaskan intuisi sebagai sumber asli pengetahuan yang benar. Kant (Henden, 2004) membangun pengertian intuisi dengan membedakan antara pertimbangan analitik dan sintetik. Pertimbangan analitik membutuhkan konfirmasi logis serta tidak membutuhkan konfirmasi empiris untuk menjelaskan mengapa sesuatu itu benar. Sedangkan pertimbangan sintetik berelasi dengan intuisi yang membutuhkan pertimbangan empiris. Bergson membedakan antara intelegensi dan intuisi (Fischbein, 1999). Bergson (Zeev, 2002) juga berargumentasi bahwa penalaran tidak memainkan peran dalam intuisi. Pendapat para ahli tersebut memberikan gambaran bahwa intuisi tidak memerlukan suatu jastifikasi secara deduktif namun terkadang memerlukan pertimbangan empiris (induktif). Selain itu intuisi tidak bersifat analitis dan logis.
Budi Usodo, Karakteristik Intuisi Siswa SMA dalam Menyelesaikan Masalah Matematika 3
Sementara itu, Fischbein (1994) mendefinisikan intuisi sebagai immediate cognition (kognisi segera) yang disetujui secara langsung tanpa proses pembenaran. Sejalan dengan itu Piaget (Tall, 1992) memandang intuisi sebagai kognisi yang diterima langsung tanpa kebutuhan untuk menjastifikasi atau menginterpretasi secara eksplisit. Menurut Bruner (1974), intuisi adalah tindakan seseorang menggapai makna atau struktur suatu masalah, yang tidak menggantungkan secara eksplisit pada analisis dalam bidang keahliannya. Membuat dugaan dengan cepat, menghasilkan gagasan yang menarik sebelum disadari manfaatnya, dan mendapatkan akal dalam pembuktian, merupakan contoh-contoh intuisi. Intuisi dekat dengan suasana permainan, yang dapat menerima kesalahan sebagai sesuatu yang wajar. Intuisi merupakan kegiatan yang lebih menghargai proses bermatematika, yang tidak hanya menekankan pentingnya jawaban benar saja. Fischbein (1999) telah menyajikan karakteristik umum kognisi intuitif dalam matematika, yang merupakan sesuatu yang dasar dan yang sangat jelas dalam suatu kognisi intuitif. Karakteristik intuisi tersebut adalah sebagai berikut. 1. Direct, self evident cognitions (kognisi langsung, kognisi self evident) Kognisi langsung, kognisi self evident yang dimaksud adalah bahwa intuisi adalah kognisi yang diterima sebagai feeling individual tanpa membutuhkan pengecekan dan pembuktian lebih lanjut. Sebagai contoh: jarak terdekat antara dua titik adalah garis lurus. Hal tersebut adalah self evident, pernyataan yang diterima secara langsung. 2. Intrinsic certainty Kepastian kognisi intuisi biasanya dihubungkan dengan perasaan tertentu akan kepastian intrinsik. Pernyataan tentang garis lurus di atas adalah subjektif, terasa seperti sudah menjadi ketentuan. Intrinsik bermakna bahwa tidak ada pendukung eksternal yang diperlukan untuk memperoleh semacam kepastian langsung (baik secara formal atau empiris) 3. Coerciveness Intuisi mempunyai sifat menggiring kearah sesuatu yang diyakini. Hal ini berarti bahwa individu cenderung menolak interpretasi alternatif yang akan mengkontradiksi intuisinya. Biasanya siswa dan bahkan orang dewasa percaya bahwa perkalian akan menjadikan lebih besar dan pembagian akan menjadikan lebih kecil. Hal ini karena pada masa kanak-kanak terbiasa dengan mengoperasikan bilangan asli. Di kemudian hari setelah belajar bilangan rasional masih dirasa untuk memperoleh keyakinan yang sama, yang secara jelas sudah tidak sesuai lagi. 4. Extrapolativeness Sifat penting kognisi intuitif adalah kemampuan untuk meramalkan di balik suatu pendukung empiris. Sebagai contoh: pernyataan ”melalui satu titik di luar garis hanya dapat digambar satu dan hanya satu garis sejajar dengan garis tersebut” mengekspresikan kemampuan ekstrapolasi dari intuisi. Tidak ada bukti empiris dan formal yang dapat mendukung pernyataan tersebut. Walaupun demikian, hal tersebut dapat diterima secara intuitif, suatu kepastian, sebagai self evident. 5. Globality Intuisi adalah kognisi global yang berlawanan dengan kognisi yang diperoleh secara logis, berurutan dan secara analitis. Sebagai contoh: Salah satu anak berumur 4 – 5
4
AKSIOMA, Volume 01 Nomor 01 Maret 2012
tahun diberikan dua lembar kertas A dan B yang sama. Pada kertas A anak tersebut diminta menggambar titik (P1) dan selanjutnya di minta untuk menggambar titik (P2) pada kertas B yang letaknya sama persis dengan titik P1 di lembar A. Anak tersebut biasanya akan menggambar titik P2 pada lembar B kurang lebih tempatnya sama. Jika anak tersebut diminta untuk menjelaskan mengapa ia meletakkan titik tersebut di lembar B, anak tersebut tidak dapat memberikan penjelasan. Dia memecahkan masalah tersebut secara intuitif, secara langsung melalui perkiraan secara global. Menurut Fischbein (1999), intuisi dikategorikan menjadi dua, yaitu affirmatory intuition (intuisi afirmatori) dan anticipatory intuition (intuisi antisipatori). Intuisi afirmatori dapat berupa pernyataan, representasi, interpretasi, solusi yang secara individual dapat diterima secara langsung, self evident, global dan cukup secara intrinsik. Intuisi antisipatori adalah intuisi yang muncul ketika seseorang bekerja keras untuk memecahkan masalah, namun solusinya tidak segera diperoleh (tidak secara langsung). Karakteristik intuisi antisipatori adalah sebagai berikut. a) Intuisi tersebut menyajikan ide global. b) Intuisi tersebut bertentangan dengan dugaan pada umumnya, dan intuisi ini berasosiasi dengan perasaan akan kebenaran, meskipun pembenaran secara rinci atau bukti belum ditemukan. Apa yang membedakan intuisi afirmatori dan intuisi antisipatori? Melalui intuisi afirmatori, orang menerima secara self-evident suatu pernyataan atau suatu interpretasi. Pada intuisi antisipatori, fakta-fakta yang diamati, tidak dengan segera menghasilkan sebuah pernyataan atau interpretasi. Pernyataan atau interpretasi muncul sebagai sebuah penemuan, sebagai solusi masalah, atau sebagai interpretasi, atau klaim tiba-tiba dari upaya penyelesaian masalah sebelumnya. Poincare (Halsted, 1907) membagi intuisi menjadi 3 jenis, yaitu: (1) intuisi yang didasarkan pada indera dan imajinasi, (2) intuisi yang didasarkan pada generalisasi dengan induksi, seperti prosedur pada ilmu pengetahuan ekxperimental, (3) intuisi yang mengarah kepada menggunakan pemikiran matematika secara nyata, seperti intuisi dari bilangan murni yang menghasilkan aksioma yang dikenal dengan prinsip induksi matematika. Dari uraian tentang jenis-jenis intuisi yang disampaikan oleh Fischbein dan Poincare di atas, pada penelitian ini jenis-jenis intuisi siswa dalam memecahkan masalah matematika meliputi dua bagian. Bagian pertama adalah jenis intuisi berdasarkan jenis-jenis intuisi yang disampaikan oleh Fischbein, yaitu: (a) intuisi afirmatori dengan ciri-ciri sebagai berikut: langsung, self evident, pasti secara intrinsik, penggiringan, pemerkiraan atau global; dan (b) intuisi antisipatori dengan ciri-ciri antara lain, akan muncul ketika berusaha keras untuk memecahkan masalah yang berupa ide global, dan intuisi tersebut bertentangan dengan dugaan pada umumnya. Bagian kedua adalah jenis intuisi yang disampaikan oleh Poincare, yaitu: (a) intuisi yang didasarkan oleh indera dan imajinasi dengan ciri-ciri antara lain dengan mengamati, memanipulasi benda, mengukur, membayangkan; (b) intuisi yang didasarkan pada generalisasi dengan induksi, seperti prosedur pada ilmu pengetahuan eksperimental dengan ciri-ciri antara lain menggunakan pola pikir induktif, dengan coba-coba atau contohcontoh; dan (c) intuisi yang mengarah kepada menggunakan pemikiran matematika secara real, dengan ciri-ciri menggunakan ketentuan pada matematika, Penelitian ini berusaha menggunakan gabungan jenis intuisi dari dua ahli di atas, yaitu intuisi menurut pendapat Fischbein dan Poincare. Gabungan itu dilakukan karena karakteristik intuisi dari hasil penggabungan jenis intuisi dari dua ahli tersebut saling melengkapi. Jenis intuisi yang disampaikan oleh Fischbein lebih berupa bentuk intuisi
Budi Usodo, Karakteristik Intuisi Siswa SMA dalam Menyelesaikan Masalah Matematika 5
yang muncul, sedangkan jenis intuisi dari Poincare lebih pada dasar munculnya intuisi. Penggunaan gabungan jenis intuisi dari dua ahli tersebut dilakukan dengan mencermati intuisi siswa yang muncul pada saat memecahkan matematika. Bila diperhatikan, bahwa banyak siswa pandai dalam memecahkan soal matematika sering menggunakan cara-cara yang cerdas di luar dugaan dan kebiasaan, sehingga memberikan jawaban yang singkat dan akurat. Sebaliknya pada siswa-siswa yang mempunyai kemampuan matematika sedang atau rendah, cara yang digunakan untuk memecahkan soal, cenderung memberikan jawaban yang panjang lebar dan terkadang kurang akurat, bahkan banyak siswa yang kemampuan matematikanya rendah mengalami kesulitan untuk menemukan cara dalam memecahkan masalah matematika. Hal tersebut menunjukkan ada kaitan antara kemampuan matematika yang dimiliki siswa dengan intuisi yang digunakan siswa dalam memecahkan masalah matematika. Dari hasil penelitian Fischbein and Grossman (1997), intuisi selalu didasarkan pada struktur skemata tertentu. Selain itu ditemukan bahwa intuisi sebagai dugaan spontan yang merupakan fakta di balik layar skemata. Di sisi lain, perbedaan gender dalam mempelajari matematika dan sains dalam riset pendidikan di awal 1980-an menunjukkan dominasi laki-laki dalam matematika dan sains ditemukan dalam beberapa penelitian. Hal ini dilihat dari Benbow & Stanley, 1988; Halpern, 1986; Hyde, Fennema, & Lamon, 1990; Reis & Park, 2001. Setelah itu beberapa penelitian menunjukkan hasil berbeda. Dari beberapa penelitian tersebut ditemukan bahwa perbedaan gender tidak berperan dalam kesuksesan belajar, dalam arti tidak dapat disimpulkan dengan jelas apakah laki-laki atau perempuan lebih baik dalam belajar matematika (Hightower, 2003), dan fakta menunjukkan bahwa ada banyak perempuan yang sukses dalam karir matematikanya. Beberapa peneliti percaya bahwa pengaruh faktor gender (pengaruh perbedaan lakilaki-perempuan) dalam matematika adalah karena adanya perbedaan biologis dalam otak anak laki-laki dan perempuan yang diketahui melalui observasi, bahwa anak perempuan, secara umum, lebih unggul dalam bidang bahasa dan menulis, sedangkan anak laki-laki lebih unggul dalam bidang matematika karena kemampuan-kemampuan ruangnya yang lebih baik (Geary, Saults, Liu, 2000). Hasil-hasil penelitian yang diuraikan menunjukkan adanya keragaman mengenai peran gender dalam pembelajaran matematika. Beberapa hasil menunjukkan adanya faktor gender dalam pembelajaran matematika, namun pada sisi lain, beberapa penelitian mengungkapkan bahwa gender tidak berpengaruh signifikan dalam pembelajaran matematika. Oleh karena itu, cukup menarik dilakukan penelitian untuk melihat bagaimana peran gender dalam penggunaan kognisi, khususnya dalam meenggunakan kognisi intuitif atau intuisi dalam memecahkan masalah matematika. Di lain pihak, proses pemecahan masalah matematika, berkaitan erat dengan tahaptahap pemecahan masalah yang dilakukan. Polya (1973) menyusun prosedur memecahkan masalah dalam empat langkah, yaitu: (1) analyzing and understanding problem, (2) designing and planning a solution, (3) explorating solutions to difficult problems, (4) verifying a solution. Walaupun siswa menguasai langkah-langkah penyelesaian masalah, terkadang sering mengalami kesulitan dalam memecahkan masalah. Berkaitan dengan penggunaan intuisi dalam pemecahan masalah, maka keberadaan intuisi dalam proses pemecahan masalah dapat dilacak dari tahap-tahap pemecahan masalah. Oleh sebab itu pada penelitian ini akan dikaji karakteristik intuisi dalam pemecahan masalah matematika berdasarkan langkah-langkah pemecahan masalah oleh Polya. Dengan demikian pertanyaan penelitian ini adalah bagaimana karakteristik intuisi siswa SMA dalam memecahkan masalah matematika pada langkah-langkah pemecahan
6
AKSIOMA, Volume 01 Nomor 01 Maret 2012
masalah dari Polya ditinjau dari kemampuan matematika dan perbedaan gender? Berkaitan dengan pertanyaan penelitian tersebut, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik intuisi siswa SMA dalam memecahkan masalah matematika pada langkah-langkah pemecahan masalah dari Polya ditinjau dari kemampuan matematika dan perbedaan gender METODE PENELITIAN Penelitian ini mengungkap karakteristik intuisi siswa SMA dalam memecahkan pemasalahan matematika ditinjau dari kemampuan metematika dan perbedaan gender. Hakekat tersebut ditelusuri melalui suatu wawancara yang berbasis pada tugas. Oleh sebab itu jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif eksploratif. Subjek penelitian ini adalah beberapa siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Sragen. Proses pemilihan subjek diawali dengan memberikan tes prestasi belajar matematika pada siswa Kelas XI A2 dan siswa Kelas A3. Dari hasil tes prestasi belajar tersebut, siswa dikelompokkan menjadi kelompok siswa kemampuan matematika tinggi, sedang atau rendah. Pemilihan subjek juga didasarkan dari pertimbangan guru matematika yang mengajar siswa tersebut. Dari berbagai pertimbangan tersebut ditentukan 6 subjek penelitian, yang terdiri 2 subjek berkemampuan matematika tingggi, 2 subjek berkemampuan matematika sedang dan 2 subjek berkemampuan rendah yang masingmasing terdiri dari laki-laki dan perempuan Instrumen penelitian ini adalah peneliti sendiri. Selama proses penelitian, peneliti mengikuti secara aktif kegiatan subjek penelitian yang berhubungan dengan pengumpulan data melalui wawancara. Selain peneliti sebagai instrumen utama, penelitian ini menggunakan instrumen bantu yaitu: (1) tes prestasi belajar, (2) tugas pemecahan masalah dan (3) pedoman wawancara. Tes prestasi belajar matematika digunakan untuk menentukan subjek penelitian. Tugas pemecahan masalah digunakan untuk menelusuri kerakteristik intuisi siswa pada kegiatan wawancara, sedangkan pedoman wawancara digunakan untuk memandu wawancara. Untuk menentukan intuisi yang digunakan subjek dalam memecahkan masalah matematika adalah dengan melakukan wawancara berbasis tugas. Untuk memenuhi kredibilitas data, dilakukan dengan wawancara secara tekun, yaitu peneliti mewawancarai subjek dengan teliti dan rinci secara berkesinambungan dan mengadakan pengulangan pertanyaan pada waktu berbeda terhadap informasi yang tidak jelas atau berbeda. Peneliti juga mengadakan triangulasi untuk menvalidasi data, yaitu dengan triangulasi waktu. Langkah-langkah triangulasi waktu pada penelitian ini sebagai berikut: (1) melakukan wawancara berbasis tugas yang pertama pada subjek penelitian dengan menggunakan lembar tugas pemecahan masalah-1, (2) melakukan paparan data hasil wawancara-1, (3) melakukan wawancara berbasis tugas yang kedua dengan menggunakan lembar tugas pemecahan masalah-2 (setara dengan lembar tugas pemecahan masalah-1) dengan subjek penelitian yang sama dan dalam waktu yang berbeda, (4) melakukan paparan data hasil wawancara-2, (5) melakukan pembandingan hasil paparan data wawancara pertama dan kedua. (6) bila pembandingan paparan data hasil wawancara pertama dan kedua sama maka dikatakan data tersebut valid, sedangkan kalau tidak sama maka dilakukan wawancara ketiga dengan lembar tugas pemecahan masalah yang setara, dan langkah ini dilakukan sampai diperoleh dua hasil wawancara yang sama. Dalam penelitian ini, analisis data dimulai segera setelah wawancara berbasis tugas telah dilaksanakan. Analisis data hasil wawancara dilakukan dengan langkah: (1) Reduksi data yaitu kegiatan yang mengacu pada proses pemilihan, pemusatan perhatian
Budi Usodo, Karakteristik Intuisi Siswa SMA dalam Menyelesaikan Masalah Matematika 7
penyederhanaan pengabstraksian dan transformasi data mentah di lapangan, (2) pemaparan data yang meliputi pengklasifikasi dan identifikasi data, yaitu menuliskan kumpulan data yang terorganisir dan terkategori sehingga memungkinkan untuk menarik kesimpulan dari data tersebut, (3) menarik kesimpulan dari data yang telah dikumpulkan dan menverifikasi kesimpulan tersebut. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Intuisi Subjek Laki-Laki Berkemampuan Matematika Tinggi Subjek S1 (subjek laki-laki berkemampuan matematika tinggi) dalam memahami masalah aljabar adalah menerima secara langsung begitu saja apa yang ada pada teks soal. Penerimaan secara langsung dari suatu fakta yang berupa teks soal tanpa serangkaian proses berpikir dan bukan dari pengalaman dapat dikatakan suatu kognisi segera. Dengan demikian subjek S1 dalam memahami masalah menggunakan intuisi. Menurut Fischbein (1999), kognisi langsung, kognisi self evident adalah kognisi yang diterima sebagai feeling individual tanpa membutuhkan pengecekan dan pembuktian lebih lanjut. Oleh karena setelah membaca soal langsung memahami masalah, sehingga intuisi yang digunakan subjek S1 dalam memahami masalah adalah intuisi afirmatori yang bersifat langsung, yaitu memahami soal langsung dari teks soal. Dalam membuat rencana penyelesaian, subjek S1 menggunakan rumus barisan, karena melihat kata-kata pada teks soal. Karena munculnya pemikiran pada subjek S1 menggunakan rumus barisan adalah berusaha dengan mencermati informasi pada teks soal, maka dikatakan bahwa subjek S1 menggunakan kognisi segera. Berkaitan dengan apa yang dikemukakan oleh Fischbein (1999), karena munculnya intuisi setelah berusaha mengerjakan soal dengan mencermati informasi teks soal, maka dikatakan bahwa apa yang ada dalam pikirannya pada saat-saat awal merupakan ide global. Oleh sebab itu intuisi yang digunakan subjek S1 dalam membuat rencana penyelesaian adalah intuisi antisipatori yang bersifat global. Di samping itu, karena dalam membuat rencana penyelesaian subjek berpikir menggunakan rumus, maka intuisinya berupa pemikiran matematika secara real. Dalam melaksanakan rencana penyelesaian, subjek S1 langsung menulis rumus dan mengerjakan berdasarkan rumus tersebut. Pada proses penyelesaian tidak didapati suatu pemikiran dari subjek yang berupa kognisi segera. sehingga subjek S1 tidak menggunakan intuisi dalam melaksanakan rencana penyelesaian masalah matematika. Di samping itu jawaban yang diperoleh dari melaksanakan rencana yang didasarkan pada intuisi dalam membuat rencana penyelesaian yaitu berupa penggunaan rumus barisan menghasilkan jawaban yang benar. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Fischbein dan Grossman (1997) bahwa intuisi selalu didasarkan pada struktur skemata tertentu dan intuisi sebagai dugaan spontan yang merupakan fakta di balik layar skemata. Dalam memeriksa kembali jawaban, subjek S1 melakukan dengan mengulangi dalam menjawab, yaitu memeriksa jawaban langkah demi langkah. Subjek S1 tidak melakukan cara lain untuk memeriksa kebenaran jawaban. Jadi yang dilakukan subjek S1 tersebut bukan merupakan kognisi segera. Oleh karena subjek S1 dalam memeriksa jawaban tanpa menggunakan intuisi. Intuisi Subjek Perempuan Berkemampuan Matematika Tinggi Subjek S2 (subjek perempuan berkemampuan matematika tinggi) dengan melakukan upaya tertentu terlebih dahulu dengan serangkaian proses yaitu dengan membuat dan mencermati gambar. Dari hal tersebut tampak bahwa tidak ada kognisi segera yang
8
AKSIOMA, Volume 01 Nomor 01 Maret 2012
digunakan subjek dalam memahami masalah, sehingga subjek S2 dalam memahami masalah tidak menggunakan intuisi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Zheng Zhu (2007), bahwa perbedaan gender berpengaruh pada pemecahan masalah. Pengaruh tersebut berupa strategi yang digunakan yang berupa pola-pola yang berbeda dalam menyelesaikan masalah matematika. Sedangkan berdasarkan teori intuisi (Fischbein, 1999), intuisi adalah kognisi segera sehingga berkaitan dengan pemahaman yang bersifat holistik, tidak langkah demi langkah. Dengan demikian sesuai dengan hasil penelitian ini bahwa ada kecenderungan subjek perempuan tidak menggunakan intuisi dalam memahami masalah. Dalam membuat rencana subjek S2 akan menggunakan rumus karena melihat katakata pada teks soal. Pada subjek S2 dalam membuat rencana penyelesaian dengan menggunakan rumus barisan muncul setelah menginterpretasi teks soal. Karena munculnya pemikiran pada subjek S2 menggunakan rumus barisan adalah sesaat setelah mencermati informasi pada teks soal, maka dikatakan bahwa subjek S2 menggunakan kognisi segera. Dengan demikian dikatakan bahwa subjek S2 menggunakan intuisi. Dalam melaksanakan rencana penyelesaian, bahwa subjek S2 langsung menulis rumus dan mengerjakan berdasarkan rumus tersebut. Pada proses penyelesaian tidak didapati suatu pemikiran dari subjek yang berupa loncatan berpikir atau kognisi segera. Jadi yang dilakukan subjek tersebut adalah menggunakan pemikiran langsung yang berupa kognisi formal. Dari hasil tersebut disimpulkan bahwa subjek S2 tidak menggunakan intuisi dalam melaksanakan rencana penyelesaian masalah Matematika. Dalam memeriksa kembali jawaban, subjek S2 melakukan dengan mengulangi dalam menjawab, yaitu memeriksa jawaban langkah demi langkah, sehingga dapat dikatakan bahwa subjek penelitian dalam memeriksa jawaban dengan menggunakan pemikiran yang berupa kognisi formal. Oleh karena tidak ada pemikiran subjek yang menggunakan kognisi segera, sehingga dapat dikatakan bahwa subjek S2 dalam memeriksa jawaban tidak menggunakan intuisi. Intuisi Subjek Laki-Laki Berkemampuan Matematika Sedang Subjek S3 (subjek laki-laki berkemampuan mateamtika sedang) dalam memahami masalah alajabar adalah menerima begitu saja apa yang ada pada teks soal. Dengan demikian subjek S3 dalam memahami masalah menggunakan intuisi. Oleh karena subjek S3 dalam memahami masalah melakukan dengan menerima secara langsung dari suatu fakta yang berupa teks soal, maka intuisi yang digunakan subjek S3 dalam memahami masalah Matematika adalah berupa kognisi langsung yang merupakan jenis intuisi afirmatori. Dalam membuat rencana penyelesaian, subjek S3 dalam membuat rencana akan menggunakan rumus barisan karena melihat kata-kata pada teks soal, yaitu kata-kata “berulang-ulang”. Oleh karena dikatakan bahwa subjek S3 menggunakan kognisi segera, dikatakan bahwa subjek S3 menggunakan intuisi. Oleh karena munculnya intuisi setelah berusaha mengerjakan soal dengan mencermati informasi teks soal, maka dikatakan bahwa apa yang ada dalam pikirannya pada saat-saat awal merupakan ide global, representasi global untuk menuju suatu penyelesaian. Oleh sebab itu intuisi yang digunakan subjek S3 dalam membuat rencana penyelesaian adalah intuisi antisipatori yang bersifat global. Dalam melaksanakan rencana penyelesaian, subjek S3 melakukan dengan langsung menulis rumus dan mengerjakan berdasarkan rumus tersebut sampai diperoleh jawaban. Pada proses penyelesaian tidak didapati suatu pemikiran dari subjek yang berupa kognisi segera. Dengan demikian subjek S3 tidak menggunakan intuisi dalam melaksanakan rencana penyelesain. Di samping itu berdasarkan jawaban tertulis pada saat wawancara
Budi Usodo, Karakteristik Intuisi Siswa SMA dalam Menyelesaikan Masalah Matematika 9
memberikan penjelasan bahwa jawaban yang diberikan oleh subjek S3 adalah salah. Menurut Stavy, Tirosh dan Tsamir (1997) menunjukkan bahwa kebenaran yang diperoleh secara intuitif tidak mutlak. Pada pemikiran secara matematika tidak setiap yang secara intuitif benar akan selalu benar. Penelitian ini menunjukkan bahwa intuisi hanya memandu untuk beraktivitas matematika, namun hasil aktivitas matematika yang didasarkan intuisi tersebut belum tentu diperoleh suatu kebenaran. Dari hasil ini, tampak bahwa intuisi belum tentu mengasilkan jawaban yang benar. Dalam memeriksa jawaban tampak bahwa subjek S3 melakukan dengan cara mengulangi menghitung lagi. Subjek tidak memberikan alternatif lain dalam memeriksa jawaban, karena subjek S3 juga merasa yakin dengan apa yang dilakukan. Dengan demikian tidak ada pemikiran yang berupa kognisi segera yang dilakukan subjek S3 dalam memeriksa jawaban, sehingga dapat dikatakan bahwa subjek S3 dalam memeriksa jawaban tidak menggunakan intuisi. Intuisi Subjek Perempuan Berkemampuan Matematika Sedang Subjek S4 (subjek perempuan yang berkemampuan matematika sedang) melakukan serangkaian proses, yaitu dengan membuat ilustrasi gambar. Dengan demikian dapat dikatakan dikatakan tidak ada kognisi segera yang digunakan subjek dalam memahami masalah. Jadi subjek S4 dalam memahami masalah tidak menggunakan intuisi. Hal tersebut sependapat dengan Orhun (2007), bahwa siswa perempuan lebih menyukai gaya belajar konvergen. Kemampuan belajar yang dominan konvergen menggunakan konseptualisasi abstrak dengan melakukan eksperimentasi secara aktif. Menurut teori intuisi (Fischbein, 1999), intuisi adalah kognisi segera sehingga berkaitan dengan pemahaman yang bersifat holistik, tidak langkah demi langkah. Dengan demikian sesuai dengan hasil penelitian ini bahwa ada kecenderungan subjek perempuan tidak menggunakan intuisi dalam memahami masalah. Dalam membuat rencana penyelesaian subjek S4 menggunakan pembagian dengan bilangan 9. Pemikiran tersebut tidak muncul begitu saja, namun berdasarkan pemikiran bahwa banyaknya potongan yang dibawa siswa yang utuh ada 9 potongan. Dengan penjelasan tersebut maka dapat dikatakan tidak ada kognisi segera tentang pemikiran penggunaan pembagian dengan 9. Karena tidak ada kognisi segera yang digunakan subjek S4 dalam membuat rencana penyelesian, maka dikatakan tidak ada intuisi yang digunakan subjek S4 dalam membuat rencana penyelesaian. Menurut Zheng Zhu (2007) perbedaan gender berpengaruh pada pemecahan masalah. Pengaruh tersebut berupa strategi yang digunakan yang berupa pola-pola yang berbeda dalam menyelesaikan masalah matematika. Pola penyelesaian tersebut berkaitan dengan kemampuan kognitif, karakteristik psikologi dan dipengaruhi oleh pengalaman dan pendidikan. Pada hasil penelitian ini menunjukkan bahwa subjek berkemampuan matematika sedang (perempuan) tidak menggunakan intuisi dalam membuat rencana penyelesaian. Dalam melaksanakan rencana penyelesaian, subjek S4 langsung menggunakan pembagian dengan bilangan 9 sesuai dengan apa yang direncanakan. Pada proses penyelesaian tidak didapati suatu pemikiran dari semua subjek yang berupa kognisi segera. Jadi yang dilakukan subjek tersebut adalah menggunakan pemikiran langsung yang berupa kognisi formal. Jadi dapat dikatakan bahwa dalam melaksanakan rencana penyelesaian, tidak ada intuisi yang digunakan Dalam memeriksa kembali jawaban, subjek S4 melakukan dengan mengulangi dalam menjawab dan memeriksa jawaban langkah demi langkah. Karena dalam memeriksa dilakukan langkah demi langkah, sehingga dapat dikatakan bahwa subjek S4 dalam
10
AKSIOMA, Volume 01 Nomor 01 Maret 2012
memeriksa jawaban dengan menggunakan pemikiran yang berupa kognisi formal. Oleh karena tidak ada pemikiran subjek yang menggunakan kognisi segera, sehingga dapat dikatakan bahwa subjek S4 dalam memeriksa jawaban tidak menggunakan intuisi. Intuisi Subjek Laki-Laki Berkemampuan Matematika Rendah Subjek S5 (subjek laki-laki berkemampuan mateamtika rendah) dalam memahami masalah alajabar adalah menerima begitu saja apa yang ada pada teks soal.. Dengan demikian subjek S5 dalam memahami masalah menggunakan intuisi. Intuisi yang digunakan subjek S5 dalam memahami masalah Matematika adalah berupa kognisi langsung yang merupakan jenis intuisi afirmatori Dalam membuat rencana penyelesaian, subjek S5 melakukan dengan menghitung 352 -10 kemudian melakukan pembagian dengan bilangan 9. Walaupun penjelasan subjek S5 tidak begitu jelas namun rencana penyelesaian tersebut tidak muncul begitu saja. Subjek S5 berusaha menjelaskan pemikirannya bahwa potongan terakhir yang dibawa siswa adalah 10 dan banyaknya potongan yang dibawa siswa yang utuh ada 9 potongan. Dengan penjelasan tersebut maka dapat dikatakan tidak ada kognisi segera yang digunakan untuk membuat rencana menyelesaikan soal. Karena tidak ada kognisi segera yang digunakan, maka dikatakan tidak ada intuisi yang digunakan subjek S5 dalam membuat rencana penyelesaian. Dalam melaksanakan rencana penyelesaian, subjek S5 melakukan langsung menggunakan pembagian dengan bilangan 9 sesuai dengan apa yang direncanakan. Di dalam proses penyelesaian tidak didapati suatu pemikiran dari subjek yang berupa kognisi segera. Oleh karena tidak ada kognisi segera yang digunakan dalam melaksanakan rencana penyelesaian masalah, maka dapat dikatakan bahwa tidak ada intuisi yang digunakan dalam melaksanakan rencana penyelesaian. Di samping itu berdasarkan jawaban tertulis pada saat wawancara memberikan penjelasan bahwa jawaban yang diberikan oleh subjek S5 adalah salah. Dengan demikian dikatakan bahwa jawaban yang diperoleh dari melaksanakan rencana yang tidak didasarkan intuisi cenderung menghasilkan jawaban yang salah. Hal tersebut sejalan dengan apa yang disampaikan Henden (2004) bahwa pemikiran strategis (Strategic thingking) yang digunakan akan lebih berkembang jika didasarkan intuisi dibandingkan dengan analisis. Dalam memeriksa kembali jawaban, subjek S5 melakukan dengan mengulangi dalam menjawab, yaitu memeriksa jawaban langkah demi langkah. Jadi yang dilakukan subjek S5 tersebut bukan merupakan kognisi segera. Oleh karena itu subjek penelitian dalam memeriksa jawaban tidak menggunakan intuisi. Intuisi Subjek Perempuan Berkemampuan Matematika Rendah Subjek S6 (subjek perempuan berkemampuan matematika rendah) dalam memahami masalah adalah tidak langsung dari teks soal. Subjek S6 dalam memahami masalah dengan melakukan upaya tertentu terlebih dahulu dengan serangkaian proses yaitu dengan membuat dan mencermati gambar. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa subjek S6 dalam memahami masalah tidak menggunakan intuisi. Dalam membuat rencana penyelesaian, subjek S6 dalam membuat rencana penyelesaian melakukan serangkaian pemikiran, sehingga muncul ide menggunakan pembagian dengan bilangan 9. Dengan demikian tidak ada kognisi segera tentang pemikiran dalam membuat rencana penyelesaian. Karena tidak ada kognisi segera yang digunakan subjek S6 dalam membuat rencana penyelesian, maka dikatakan tidak ada intuisi yang digunakan subjek S6. Hal tersebut sejalan dengan apa yang disampaikan
Budi Usodo, Karakteristik Intuisi Siswa SMA dalam Menyelesaikan Masalah Matematika 11
Orhun (2007) bahwa siswa perempuan lebih menyukai gaya belajar konvergen. Siswa dengan gaya belajar ini lebih menyukai inquiry tipe discovery. Dari ungkapan tersebut siswa dengan gaya konvergen cenderung tidak mengawali proses pemecahan masalah dengan intuisi. Dalam melaksanakan rencana, subjek S6 melakukan langsung menggunakan pembagian dengan bilangan 9 sesuai dengan apa yang direncanakan. Didalam proses penyelesaian tidak didapati suatu pemikiran dari subjek yang berupa loncatan berpikir atau kognisi segera. Oleh karena tidak ada kognisi segera yang digunakan dalam melaksanakan rencana penyelesaian masalah, maka dapat dikatakan bahwa tidak ada intuisi yang digunakan. Dalam memeriksa kembali jawaban, subjek S6 melakukan dengan mengulangi dalam menjawab, yaitu memeriksa jawaban langkah demi langkah, sehingga dapat dikatakan bahwa subjek penelitian dalam memeriksa jawaban tidak menggunakan kognisi segera. Oleh karena tidak ada pemikiran subjek yang menggunakan kognisi segera, sehingga dapat dikatakan bahwa subjek S6 dalam memeriksa jawaban tidak menggunakan intuisi. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Dalam memahami masalah matematika; subjek laki-laki berkemampuan matematika tinggi, sedang dan rendah menggunakan intuisi afirmatori yang bersifat langsung, yaitu langsung dipahami dari teks soal, subjek perempuan berkemampuan matematika tinggi, sedang dan rendah dalam memahami masalah matematika tidak menggunakan intuisi. 2. Dalam membuat rencana penyelesaian; subjek laki-laki berkemampuan matematika tinggi, sedang menggunakan intuisi antisipatori yang bersifat global, yaitu subjek menggunakan rumus barisan yang diperolehnya dari pemahaman teks soal secara langsung dan subjek tidak dapat menjelaskan secara rinci mengapa menggunakan rumus barisan, subjek laki-laki berkemampuan matematika rendah. Subjek perempuan berkemampuan matematika tinggi menggunakan intuisi antisipatori yang bersifat global dan subjek perempuan berkemampuan matematika rendah tidak menggunakan intuisi dalam membuat rencana penyelesaian. 3. Dalam melaksanakan rencana penyelesaian: semua subjek penelitian tidak menggunakan intuisi. 4. Dalam memeriksa jawaban masalah; subjek berkemampuan matematika tinggi dan sedang baik laki-laki dan perempuan tidak menggunakan intuisi, subjek laki-laki berkemampuan matematika rendah dalam memeriksa jawaban menggunakan intuisi antisipatori yang mempunyai karakteristik bertentangan dengan dugaan pada umumnya dan berupa pemikiran induktif. Saran Saran-saran untuk perbaikan pembelajaran matematika 1. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan karakteristik siswa dalam memecahkan masalah matematika baik ditinjau dari kemampuan matematika maupun dari perbedaan gender. Oleh karena itu guru matematika dalam membelajarkan pemecahan masalah matematika perlu memperhatikan karakteristik siswa, baik itu kemampuan matematika maupun perbedaan gender. Misalnya dari hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam
12
AKSIOMA, Volume 01 Nomor 01 Maret 2012
membuat rencana pemecahan masalah, subjek berkemampuan matematika tinggi dan sedang, menggunakan intuisi antisipatori yang bersifat global dan intuisinya berupa pemikiran matematika secara real, serta intuisinya cenderung dapat digunakan untuk memecahkan masalah dengan benar. Pada subjek berkemampuan matematika rendah dalam membuat rencana penyelesaian, menggunakan intuisi antisipatori yang bersifat bertentangan pada umumnya dan intuisinya didasarkan pada indera dan imajinasi dan cenderung tidak dapat menyelesaikan masalah dengan benar. Oleh sebab itu guru perlu melatih siswa berkemampuan rendah untuk memperoleh intuisi yang dapat digunakan memecahkan masalah dengan benar. Contoh lain, dari hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa laki-laki menggunakan intuisi dalam memahami masalah, sedangkan siswa perempuan tidak menggunakan dalam memahami masalah matematika. Padahal intuisi diperlukan dalam memecahkan masalah, Oleh karena itu guru perlu melatih siswa perempuan agar dapat menggunakan intuisinya dalam memecahkan masalah matematika. 2. Dalam merancang kegiatan pembelajaran yang berorientasi pada peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika hendaknya guru memperhatikan karakteristik intuisi siswa. Misalnya dari hasil penelitian terdapat subjek dalam membuat rencana penyelesaian, menggunakan intuisi antisipatori yang bersifat bertentangan pada umumnya dan intuisinya didasarkan pada indera dan imajinasi. Karakteristik intuisi tersebut cenderung tidak dapat menyelesaikan masalah dengan benar. Oleh sebab itu guru dalam merancang kegiatan pembelajaran dapat memilih soal atau masalah matematika, yang dapat melatih siswa dengan karakteristik intuisi tersebut sehingga diperoleh intuisi yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah dengan benar. 3. Perlu pembiasaan pembelajaran pemecahan masalah dengan menggunakan tahap-tahap pemecahan masalah misalnya dengan menggunakan tahap pemecahan masalah dari Polya. Hal ini bertujuan untuk lebih mengeksplorasi intuisi siswa dalam memecahkan masalah matematika. Saran-saran untuk penelitian relevan 1. Hasil penelitian ini perlu digali lebih dalam lagi, oleh sebab itu disarankan para peneliti lanjutan untuk mepertajam fokus penelitian, misalnya hanya diteliti untuk salah satu tahap pemecahan masalah dari Polya atau intuisi siswa dalam mempelajari pada topik matematika tertentu. 2. Peneliti lanjutan hendaknya dapat menggunakan tinjauan teori intuisi selain yang disampaikan oleh Fischbein dan Poincare, sehingga diperoleh karakteristik intuisi dalam memecahkan masalah yang lebih variatif. 3. Peneliti lanjutan hendaknya dapat menggunakan tinjauan lain untuk menemukan karakteristik intuisi dalam memecahkan masalah, misalnya gaya kognitif, gaya belajar, IQ atau yang lain agar diskripsi karakteristik intuisi dalam memecahkan masalah matematika menjadi lebih lengkap. DAFTAR PUSTAKA Benbow, C.P.& Stanley, I.C. 1980. Sex Differences in Mathematical Ability: Fact or Artifact?. Science. 210, 1262-1264. Bruner, J.S. 1974. Bruner on the learning of mathematics – A process orientation. Dalam Aichele, D.B., Readings in Secondary School Mathematics. Boston : Prindle, Weber, & Schmidt.
Budi Usodo, Karakteristik Intuisi Siswa SMA dalam Menyelesaikan Masalah Matematika 13
Davis, Edward. J. Mc Killip, & William. D. 1980. Problem Solving in School Mathematics: Improving Story-Problem Solving in Elementary School Mathematic. Reston: National Council of Teachers of Mathematics Edward, Betty. (1996). The Left and Right Sides of the Brain. http://members. ozemail. com.au. Download 3 Juli 2009 Ervynck, G. 1991. Mathematical Creativity. In D. Tall (Ed.), Advanced mathematical thinking (pp. 42-53). Dordrecht : Kluwer Academic. Fischbein, E. 1983. Intuition and Analytical Thinking in Mathematics Education. International Reviews on Mathematical Education. 15, 2, 68-74. Fischbein, E. 1987. Intuition in Science and Mathematics. Dordrecht: D. Reidel. Fischbein, E. 1994. The Interaction between the Formal, the Algorithmic, and the Intuitive Components in a Mathematical Activity. In R. Biehler, R. W. Scholz, R. Sträßer, & B. Winkelmann (Eds.), Didactics of Mathematics as a Scientific Discipline (pp.231245). Dordrecht: Kluwer Academic Publishers. Fischbein, E., Grossman, A. 1997, Schemata and Intuitions in Combinatorial Reasoning, Educational Studies in Mathematics 34, 27–47 Fischbein, E. (1999). Intuitions and Schemata in Mathematical Reasoning. Educational Studies in Mathematics. 38,11–50. Geary, D.C., 2000. Sex Differences in Spatial Cognition, Computational Fluency, and Arithmetical Reasoning. Journal of Experimental Child Psychology. 77, 337-353. Halsted, G B. 1907. Intuition and Logic in mathematics as part of La valeur de la science in 1905. http://www-history.mcs.st-andrews. ac.uk/Extras/ Poincare_Intuition.html Halpern, D.F. 1986. Sex Differences in Cognitive Abilities. Hillsdale, N.J. Lawrence Erlbaum Association. Hightower, M.W. 2003. The Boy-Turn in Research on Gender and Education. Review of Educational Research. 73, 471-498. Henden, G. 2004. Intuition and Its Role in Strategic Thinking. Unpublished Dissertation. BI Norwegian School of Management. Hudojo, Herman. 1988. Mengajar Belajar matematika. Jakarta : DIKTI Hyde, J.S., Fennema, E & Lamon, S.J. 1990. Gender Differences in Mathematics Performance: A Meta-Analysis. Psychological Bulletin. 107, 139-155. Keitel, Christine. 1988. An Introduction: Social Justice and Mathematics Education: Gender, Class, Ethnicity and the Politics of Schooling. In Christine Keitel (Ed). Social Justice and Mathematics Education. Berlin Freie Universitat Berlin. Mustaji, Sugiarso. 2005. Pembelajaran Berbasis Kunstruktivistik. Surabaya : University Press UNESA Orhun, N. 2007. An Investigation into Mathematics Achievement and Attitude Toward Mathematics with Respect to Learning Style According to Gender. International Journal of Mathematics Education in Science and Technology. 38, 321-333. Pinto. 1988. Students Understanding of Real Analysis. Unpublished PhD Thesis, Warwick University.
14
AKSIOMA, Volume 01 Nomor 01 Maret 2012
Polya, G. 1973. How to Solve It. A New Aspect of Mathematical Method. Princeton and Oxford: Princeton University Press. Polya, G.1980. Problem Solving in School Mathematics: On Solving Mathematical Problems In High School. Reston: National Council of Teachers of Mathematics. Reis, S. M. & Park, S. 2001. Gender Differences in High-Achieving Students in Math and Science. Journal For Education of The Gifted. 25, 52-73. Spinoza, B. 1967. Ethics and treatise on the correction of the understanding (A. Boyle, Trans.). London: Everyman’s Library Dent Stavy, R., Tirosh, D. and Tsamir, P.1997, Intuitive Rules and Comparison Tasks: The grasp of vertical, in G. Makrides (ed.), Mathematics Education and Applications, Cyprus Pedagogical Institute, Nicosia, Cyprus, pp. 269–276. Tall, D. 1980.Mathematical Intuition, with Special Reference to Limiting rocesses, Published in Proceedings of the Fourth International Conference for the Psychology of Mathematics Education, Berkeley, 170–176. Tall, D. 1992. The transition to advanced mathematical thinking: functions, limits, infinity, and proof. In D. A. Grouws (Ed.), Handbook of research on mathematics teaching and learning (pp. 495-511). New York: Macmillan. Zeev, S. 2002. Intuitive Mathematics: Theoretical and Educational Implications. http://www. msu.edu/~jonstar/ papers/intuition.pdf. Zheng Zhu. 2007. Gender Differences in Mathematical Problem Solving. International Education Journal, 2007, 8(2), 187-203.