Lesmana: Undang-Undang
Pers Sebagai Lex Specialis
UNDANG-UNDANG PERS SEBAGAI LEX SPECIALIS Tjipta Lesmana
ABSTRACT Indonesia press enjoy optimal freedom following the down fall of Soeharto regime. The press now is free to criticize, even to condemn government officials, including the President. However, That freedom which is liberal in nature might results negative in impacts. People are conscious that too much freedom for the press could inflict disorder, or instability in society. The alternative to restrain liberal type of press freedom is by bringing the press to the court for its publicity. There has been more than 10 press law suits for the past 5 years. Mostly the press are weak in legal position. They criticize the judges for using penal code (KUHP) in trying the press. They urge the application of Press Law (Law No 40/1999), under the principle of "Lex Specialis derogat legi generali". However, most of legal experts opinion are that our current Press Law could not be labeled as Lex Specialis.
Pendahuluan Pers Indonesia, setelah "dibelenggu" 30 tahun lebih, memasuki era baru bersamaan waktunya dengan jatuhnya regime Soeharto. Pers kembali memperlihatkan wajahnya yang liberal seperti yang kita alami pada dekade 50an. Bahkan kebebasan pers pada era reformasi ini oleh sementara pihak diberikan label "kebablasan". Akibatnya, sepak terjang pers kerap menghadapi resistensi dari masyarakat. 93
Hal ini, antara lain, ditandai dengan maraknya kasus pers yang masuk ke pengadilan. Beberapa kasus delik pers yang sedang diadili, atau yang sudah diputus oleh pengadilan, misalnya: a.
Karim Paputungan selaku Pemimpin Redaksi "Rakyat Merdeka" dihukum lima bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun oleh Pengadilan Negeri
Law Review. Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan. Vol. IV. No.2, November 2004
Lesmana: Undang-Undang Pers Sebagai Lex Special is
Jakarta Selatan, karena dinilai terbukti melakukan tindak pidana pencemaran nama terhadap Akbar Tandjung, Ketua Umum Partai Golkar, melalui pemuatan parodi/karikatur di harian ltu. b.
Supratman, Redaktur Eksekutif "Rakyat Merdeka" dihukum lima
c.
d.
membayar ganti rugi immatenil sebesar Rp 500 juta kepada Tomy Winata karena berita berjudul "Ada Tomy di Tenabang?" yang dimuat majalah itu edisi 3-9 Maret 2003 dinyatakan secara sah terbukti menghina Tomy. e.
Berita majalah Tempo edisi 3-9
bulan penjara dengan masa
Maret 2003 berjudul "Ada Tomy
percobaan satu tahun oleh
di Tenabang?" juga menimbulkan
Pengadilan
Jakarta
gugatan pidana oleh pihak Tony
Selatan, karena dinilai terbukti
Winata. Di Pengadilan Negeri
menghina Presiden R.I. melalui
Jakarta Pusat, Pemimpin Redaksi
beberapa pemberitaannya.
Tempo dan dua orang wartawan-
Negeri
"Koran Tempo" oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 20 April 2004 divonis, antara lain, membayar ganti rugi US$ 1 juta kepada Tomy Winata, karena berita berjudul "Ali Mazi Bantah Tomy Winata Buka Usaha Judi" yang dimuat di harian tsb. edisi 6 Februari 2003 dinyatakan terbukti telah mencemarkan nama baik dan martabat pengusaha tersebut, keputusanini dianulirolehputusan Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 4 September 2004. Majalah Tempo oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 18 Maret 2004 dihukum untuk
nya dinyatakan terbukti bersalah mencemarkan martabat Tomy Winata. Bambang dihukum satu tahun penjara, sedang dua rekannya dibebaskan. Namun, di tingkat banding (Pengadilan Tinggi Jakarta), putusan Pengadilan Negeri
Jakarta
Pusat
itu
dibatalkan. Yang menank, hampir semua kuasa hukum Tergugat/Terdakwa dalam pembelaannya mengecam hakim yang masih menggunakan ketentuan hukum dalam KUHP atau KUHPer ketika mengadili pers. Mereka menuntut dasar hukum yang dipakai adalah Undang-Undang No 4
Law Review, Fakuilas Hukum Universitas Pelita Harapan. Vol. IV, No.2. November 2004
94
Lesmana: Undang-Undang
Pers Sebagai Lex Specialis
tahun 1999 tentang Pers (selanjutnya disebut UU Pers), bukan KUHP atau KUHPer, sebab UU tentang Pers adalah Lex Specialis. Dengan demikian berlakulah prinsip "Lex Specialis derogat legi generali" (undangundang khusus meniadakan undangundang umum).
Kontroversi pendapat Trimoelja Soerjadi, S.H. ketika tampil sebagai kuasa hukum Karim Paputungan, Pemimpin Redaksi "Rakyat Merdeka" mempertanyakan apa alasan Majelis Hakim tidak menggunakan UU tentang Pers. "Apa mereka tidak tahu ada UU Pers?" (Koran Tempo, 10-9-2003). Aliansi Jumalis Indonesia (AJI) mengecam penerapan pasal-pasal KUHP dalam kasus "Rakyat Merdeka". Ketenruan itu dinilai produk pemerintah kolonial yang masuk dalam kategori "sedition laws". Padahal, menurut AJI, aparat hukum mestinya menggunakan UU Pers sebagai landasan dalam menangani delik pers (Sinar Harapan, 11-9-2003). Dewan Pers secara resmi pada 18 Februari 204 menyampaikan petisi kepada Mahkamah Agung, agar Mahkamah Agung secepatnya
95
mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) soal penggunaan Undang-Undang Pers dalam perkara-perkara yang terkait dengan pemberitaan pers. Ketika menyampaikan petisi itu, Dewan Pers pimpinan Prof. Ichlasul Amal, antara Iain, didampingi oleh RH Siregar, Amir Siregar, Hinca Panjaitan dan Leo Batubara (Kompas, 20-2-2004). Hinca Panjaitan, salah seorang anggota Dewan Pers dalam sebuah buku yang ditulisnya dengan tegas mengatakan "UndangUndang Pers adalah Lex Specialis". Namun, di sisi lain, tidak sedikit ahli hukum yang berpendapat bahwa UU Pers yang ada sekarang tidak bisa dikatakan Lex Specialis, karena tidak memenuhi syarat formal dan materiil mengenai doktrin hukum khusus. Menurut Prof. Bagir Manan, Ketua Mahkamah Agung (Kompas, 15-92004), hukum pers dan hukum pidana tidak berada dalam wilayah hukum yang sama. Asas UU Pers saat ini (UU No 4 tahun 1999) hanya bersifat umum, sehingga belum memadai untuk dinyatakan sebagai undang-undang yang dapat diberlakukan secara specialis (khusus).
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol IV, No.2, November 2004
Lesmana: Undang-Undang
Pers Sebagai Lex Specialis
Bagaimana pendapat hakim sendiri? Dalam perkara Tomy Winata lawan Bambang Harymurti (Tempo), Majelis Hakim mendukung pendapat yang mengatakan UU Pers belum bisa dikategorikan Lex Specialis dengan mensitir pendapat Prof. DR. Loby Loqman, seorang Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, "Dalam hal adanya pemberitaan tentang mencemarkan nama baik ataupun adanya pemberitaan bohong, dapat dilakukan proses yang umum, yaitu melalui KUHP/KUHAP, kalau hal tersebut. tidak diatur di dalam UU tentang Pers". (Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No 307/Pdt.G/ 2003/PN.Jak.Sel tanggal 20 Januari 2004). Dalam peradilan banding Tomy Winata lawan Koran Tempo, Majelis Hakim Banding Pengadilan Tinggi Jakarta mengemukakan bahwa "bahwa selain Undang-Undang tentang Pers (Undang-Undang No 40 tahun 1999) tidak mengatur mekanisme atau hukum acara penyelesaian sengketa pers, adalah hak setiap orang in casu Tergugat Rekonpensi/Penggugat Konpensi/
Terbanding untuk menuntut atau mempertahankan haknya dari orang lain (in casu Penggugat Rekonpensiergugat I Konpensi/Pembanding) dengan mengajukan gugatan perdata di depan pengadilan" (Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No 358/Pdt/ 2004/PT.DKI, hal. 12). Pertimbangan Majelis Hakim Banding ini, secara implisit, sebetulnya merupakan pengakuan bahwa UU Pers belum dapat menyelesaikan setiap sengketa hukum yang ditimbulkan oleh pemberitaan pers dan oleh karena itu UU Pers belum bisa dikatakan sebuah Lex Spesialis. Zoeber Djajadi, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengadili perkara Tomy Winata lawan Koran Tempo berpendapat bahwa "Dalam masalah pencemaran nama baik, Undang-Undang Pers bukanlah Lex Specialis. Sejak dulu saya selalu mengatakan itu. Pengamat pun bilangbegitu!" (Majalah Tempo, No 48/ XXXD726 Januari - 01 Februari 2004).
Doktrin hukum Bab VI KUHP mengatur ketentuan mengenai gabungan tindak pidana. Pasal 63 dalam Bab VI berbunyi
Law Review, Fakultas Hukum Universilas Pelita Harapan, Vol IV No.2. November 2004
96
Lesmana: Undang-Undang
Pers Sebagai Lex Specialis
(KUHP R. Sugandhi, S.H.): 1). Kalau sesuatu perbuatan termasuk dalam lebih dari satu ketentuan pidana, maka hanyalah satu saja dari ketentuan-ketentuan itu yang dipakai; jika pidana berlainan, maka yang dipakai ialah ketentuan yang terberat pidana pokoknya. 2). Kalau bagi sesuatu perbuatan yang
yang berisikan unsur-unsur dari undang-undang umum ditambah dengan sesuatu lagi yang lain. Misalnya Pasal 363 berasal dari Pasal 362 yang dikhususkan. Kedua pasal ini memuat semua unsur tindak kejahatan pencurian, tetapi pasal 363 ditambah dengan beberapa unsur lainnya". Maka, Pasal 363 yang seyogyanya didahulukan penggunaannya.
dapat dipidana karena ketentuan pidana umum, ada ketentan khusus, maka ketentuan khusus itu sajalah yang digunakan Kalangan pers, juga sementara praktisi hukum, tampaknya, keliru dalam menginterpretasikan ketentuan ayat 2 Pasal 63 KUHP di atas. Seolaholah jika suatu perbuatan pidana diatur dalam dua ketentuan hukum, maka ketentuan hukum khusus yang otomatis diberlakukan. Karena UU No 4 tahun 1999 khusus mengatur permasalahan seputar pers, maka semua delikpers yang ditimbulkan oleh pemberitaan pers seharusnya diadili dengan UU tersebut. Apa arti undang-undang khusus? R. Sughandi (hal.80) memberikan penjelasan sebagai berikut: "Undangundang khusus ialah undang-undang
97
Jika kita membaca KUHP karangan R. Soesilo (1990), lebih jelas lagi apa sesungguhnya makna prinsip "Lex Specialis derogat legi generali". Menurut Soesilo (1990:8081), "Sesuatu yang khusus harus memuat semua unsur-unsur dari yang umum, ditambah dengan sesuatu lagi yang lain, misalnya, pembunuhan dengan direncanakan (Pasal 340) adalah pengkhususan dari pembunuhan (Pasal 339). Kedua pasal ini berisi semua unsur dari pembunuhan, tetapi Pasal 340 ditambah lagi dengan unsur "dengan direncanakan lebih dahulu". Pembunuhan anak (pasal 341) adalah pengkhususan dari pembunuhan (Pasal 339), ditambah lagi dengan unsur "seorang ibu bertindak terhadap anaknya, karena takut ketahuan bahwa ia sudah melahirkan anak".
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. IV, No.2, November 2004
Lesmana
Undang-Undang
Pers Sebagai Lex Specialis
Undang-Undang Pers
(Pasal 134 KUHP), penghinaan
Bagaimana dengan Undang-Undang Pers kita, UndangUndang No 40 tahun 1999?
terhadap kepala Negara sahabat atau
Yang dimaksud dengan delik pers adalah suatu pengumuman buah pikiran atau perasaan, isinya mengandung suatu tmdakan yang diancam dengan pidana, yang ditujukan kepada umum dengan menggunakan barang-barang cetakan, dan dengan pengumuman itu delik sudah sempurna (Kanter, 1982:383-384). Dari definisi ini, unsurunsur delik pers terdiri atas: a.
Ada pengumuman buah pikiran atau perasaan;
b.
Isi pengumuman mengandung suatu tindakan yang diancam dengan pidana;
c.
Pengumuman ditujukan kepada umum;
d.
Pengumuman dilakukan dengan barang cetakan;
e.
Dengan pengumuman itu delik sudah sempurna.
Berdasarkan definisi dan unsurunsur di atas, tindakan yang dapat dikualifir delik pers antara lain: penghinaan terhadap kepala Negara
yang mewakilinya (Pasal 142, 144 KUHP), penodaan bendera RI (Pasal 154), penghinaan (Pasal 310-316)), penghinaan kepada penguasa/badan umum (Pasal 207) dan penghasutan (Pasal 160). Tindak penyebaran permusuhan atau kebencian yang dikenal dengan istilah
hatzaai
artikelen (Pasal 155, 156) sudah dihapus. Pertanyaan kita: Apakah delikdelikpers di atas, semua, sudah diatur di dalam UU Pers? Ternyata belum. UU No 4 Tahun 1999 tentang Pers hanya mengatur 3 (tiga) jenis tindak pidana yang dilakukan oleh pers, yaitu pelanggaran terhadap norma agama, norma kesusilaan masyarakat dan asas praduga tak bersalah (Pasal 5 ayat 1). Memang ayat (2) dan (3) Pasal yang sama mengatakan "pers wajib melayani hak jawab" dan "pers wajib melayani hak koreksi".Tapi, pelanggaran atas kedua kewajiban itu sifatnya hanya diatur dalam kode etik jurnalistik, bukan dalam KUHP. Perhatikan juga Penjelasan UU Pers yang berbunyi: "Untuk menghindari pengaturan yang tumpang tindih,
Law Review. Fakullas Hukum Universilas Pelila Harapan, Vol. IV, No.2. November 2004
98
Lesmana:
Undang-Undang
Pers Sebagai Lex
undang-undang ini tidak mengatur ketentuan yang sudah diatur dengan ketentuan peraturan perundangundangan lainnya" (PWI, 2001:95). Dari bunyi penjelasan ini, jelas, bahwa para penyusun UU Pers, sejak awal, tidak mempunyai maksud untuk menjadikannya sebagai Lex Specialis. UU ini sifatnya tidak lebih sebagai pelengkap dari ketentuan perundangundangan yang sudah ada yang mengatur delik pers, terutama KUHP. Hampir semua delik pers yang diatur dalam KUHP tidak "diambil-over" oleh penyusun UU Pers, sehingga menimbulkan interpretasi bahwa segala peraturan perundang-undangan tentang pers yang sudah diatur dalam KUHP atau KUHPer, biarkan saja dan tetap berlaku sebagaimana adanya. Hal ini berlaku bila menganggap UU Pers adalah bukan sebagai Lex Specialis. Tetapi bila menganggap UU Pers adalah Lex Specialis maka jelas bahwa delik pers yang ada diundang-undang lain (bukan undang-undang pers) adalah bukan lagi sebagai delik pers sesuai dengan ketentuan UU Pers. Masalahnya sekarang bagaimanakah "politik" yang dianut oleh para hakim? Apakah dengan menganggap bahwa UU Pers sebagai bukan Lex Specialis 99
Specialis
lalu dapat memaki delik pers dan undang-undang lainnya, apakah ini telah memenuhi rasa keadilan masyarakat? Hakim harus memutus perkara Jika ketentuan hukum dalam KUHP mengenai delik pers tidak boleh diterapkan dalam perkara yang melibatkan penerbitan pers atau wartawan dengan alasan UU Pers adalah Lex Specialis, lalu apa yang harus dilakukan oleh hakim dalam memutus perkara tersebut? Hal ini berarti bahwa delik pers dalam KUHP tidak dapat diberlakukan sesuai dengan ketentuan dalam UU Pers itu sendiri. Memang doktrin hukum mengatakan hakim tidak dapat tidak memutus perkara hanya karena alasan belum ada ketentuan hukumnya. Tetapi hakim dapat memutus perkara dengan berdasar bahwa karena tidak ada delik pers dalam UU Pers yang serupa dalam KUHP maka wartawan atau penerbitan pers itu harus dibebaskan. Hal ini berarti bahwa delik pers Hakim harus pandai-pandai mencari dasardasar hukum, Hakim harus memutus sesuai dengan rasa keadilan bukan saja yang bersifat yuridis, tetapi juga
Law Review. Fakullas Hukum Universilas Pelila Harapan, Vol. IV. No. 2, November 2004
Lesmana: Undang-Undang
Pers Sebagai Lex Specuilis
sosiologis dan filosofis. Maka, tepat sekali apa yang dikatakan oleh hakim Zoeber Djajadi: "undang-undang ltu (maksudnya, UU ten tang Pers, pen.) bukan lex specialis. Sejak dulu saya selalu mengatakan itu!" (majalah Tempo, 26 Januari - 01 Februari 2004). Kesimpulan Undang-Undang No 40 tahun 1999 tentang Pers, dan aspek substansi, memang mengalami banyak kemajuan dibandingkan dengan undang-undang pers sebelumnya yang sangat restriktif. Namun, apakah UU No 40 tahun 1999 tetap tidak bisa diberlakukan sebagai Lex Specialis, karena masih begitu banyak ketentuan mengenai delik pers yang belum diatur di sana? Kesimpulan ini rasanya kurang tepat, sebab ketentuan mengenai delik pers belum diatur dalam UU Pers, tidaklah menyebabkan UU Pers itu bukan Lex Specialis. Tetapi bila menganggap bahwa UU Pers adalah Lex Specialis maka delik pers itu harus sesuai dengan yang diatur dalam UU Pers tersebut, yaitu bahwa delik di luar UU Pers tidak berlaku lagi. Jadi tergantung rasa keadilan apakah yang dianut, baru menentukan
apakah delik di luar UU Pers itu berlaku atau tidak. Jika kalangan pers menganggap bahwa adalah lebih adil bila delik di luar UU Pers tidak diberlakukan lagi maka UU Pers merupakan Lex Specialis. Tetapi bila semua ketentuan delik pers yang selama ini diatur dalam KUHP dan peraturan perundang-undangan lainnya masih dianggap sesuai dengan rasa keadilan maka UU Pers itu bukanlah Lex Specialis. Selama
delik pers di luar
ketentuan UU Pers itu belum disepakati bersama apakah masih memenuhi rasa keadilan atau tidak lagi maka apakah UU Pers No 40 tahun 1999
Lex Specialis atau bukan
niscaya akan tetap terus dalam perdebatan. Bagaimanakah rasa keadilan masyarakat Indonesia sekarang apakah masih menganggap delik pers di luar UU Pers itu adil atau tidak lagi? Hal inilah yang harusnya jadi pertimbangan hakim inituk menentukan apakah UU Pers No. 40 tahun 1999 ini Lex Specialis atau bukan.
Law Review. Fakultas Hukum llniversitas Pelita Harapan. Vol. IV No.2. November 2004
100
Lesmana: Undang-Undang
Pers Sebagai Lex Specialis
Daftar Pustaka Kanter, E.Y. dan S.R. Sianturi, AsasAsas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, 1982. Lesmana, Tjipta,"Kebebasan Pers Dilihat Dan Perspektif Konflik Antara Kebebasan dan Tertib Sosial. Sebuah Analisis Kritis tentang Kebebasan Pers di Indonesia", orasi ilmiah Sekolah Tinggu Ilmu Hukum, 2004. Mueller, Dennis, Constitutional Democracy, 1996. Panjaitan, Hinca IP, Undang-Undang Pers Lex Specialis, 2004. Persatuan Wartawan Indonesia, Menegakkan Profesionalisme & Etika Pers di Era Multimedia, 2001. Soesilo, R. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 1990. Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Wolff, Robert Paul (ed), The Rule of Law, 1971 Yunas, Didi Nazmi, Konsepsi Negara Hukum, 1992.
101
Law Review, hakullas Hukum Universilas Pelita Harapan. Vol IV. No.2. Novemher 2004