Seminar Panineungan Uking Sukri, STSI Bandung, 2 April 2005
Uking Sukri, seorang guru yang tahu batas kemampuannya, dunia pamirig dan perkembangan Tembang Sunda Cianjuran oleh Wim van Zanten, Universitas Leiden
Pengantar
Saya berterima kasih kepada panitia seminar ‘Eksistensi pamirig dalam pekembangan seni Tembang Sunda Cianjuran’ ini untuk kesempatan berbicara mengenai guru saya, yaitu Pa Uking Sukri, dan dunia pamirig. Sebelumnya saya minta maaf untuk kekurangan saya dalam bahasa Indonesia. Dengan beberapa contoh saya akan menggambarkan peranan Pa Uking dalam dunia Tembang Sunda Cianjuran; suatu peranan yang penting, menurut saya. Jelas, itu disebabkan oleh keahlian Pa Uking dalam bidang Tembang Sunda Cianjuran bersama kebetulan yang terikat dengan waktu dan tempat kehidupannya. Akan tetapi, karakter Pa Uking Sukri juga merupakan satu faktor yang penting. Dalam judul ceramah ini, ‘Uking Sukri, seorang guru yang tahu batas kemampuannya’, dicoba untuk mencerminkan suatu sifat Pa Uking yang menonjol: pengetahuannya luas, tetapi dia tidak menjadi sombong. Pa Uking mengerti dengan baik-baik keterbatasan pengetahuan sindiri. Dia terus-menerus mencoba perbaikan seninya dan belajar yang baru. Uking Sukri hidup untuk seninya, tidak untuk mencari uang besar atau status tinggi. Uking Sukri bertapa di nagara. Dengan demikian dia menjadi guru yang baik untuk kita semua. Pa Uking menghadapi orang lain secara terbuka dan dia bersedia untuk memberi pengetahuannya kepada orang lain. Dia mengetahui batas kemampuannya sendiri, seperti disebut dalam judul ceramah ini. Sebenarnya, ini merupakan terjemahan dari perkataan sastrawan Jerman, yaitu Goethe: ‘In der Beschränkung zeigt sich der Meister’, orang yang tahu batas kemampuan sendiri membuktikan dia betul-betul mengerti, yaitu menjadi guru untuk kita semua.
Wim van Zanten: Uking Sukri, seorang guru yang tahu batas kemampuannya; versi 2 April 2005
1
Dalam ceramah ini saya ingin menguraikan bagaimana kita bisa mengembangkan Tembang Sunda Cianjuran dengan menggunakan contoh seniman Uking Sukri. Dengan demikian saya akan menguraikan sedikit mengenai hal seperti, misalnya: 1. Kalau ingin tahu mengenai struktur musikal dalam Cianjuran, bicaralah pertama-tama dengan pemain kacapi indung; 2. Dokumentasi, khususnya dokumentasi rekaman musik Cianjuran yang historis, perlu dipilihara, supaya arah perkembangan Cianjuran dapat dipilih dengan baik-baik; 3. Tembang Sunda Cianjuran sudah diketahui dan digemari di luar Indonesia dan dengan demikian sudah merupakan warisan dunia ini, bukan warisan Sunda saja; 4. Suatu pasanggiri pamirig pada tingkat Jawa Barat yang diselenggarakan setiap 2-3 tahun akan merangsang discours, atau pertarungan wacana, dan dengan demikian merupakan kesempatan yang baik untuk perkembangan Tembang Sunda Cianjuran. Terlebih dahulu sebuah anekdot.
1. Pertemuan di jalan Pada bulan Desember 1980 saya datang di Indonesia dari Belanda untuk menyelesaikan cetakan buku yang berjudul ‘Statistika untuk ilmu-ilmu sosial’ di Jakarta. Pada tiga minggu itu masih ada waktu beberapa hari yang dimanfaatkan untuk persiapan penelitian S-3 mengenai Tembang Sunda Cianjuran. Jadi, pada suatu hari saya berjalan di Bandung dekat Jalan Mohamad Toha untuk mencari rumah Pa Dadang Sulaeman, almarhum. Kemudian saya bertemu seorang yang bertanya apakah dia bisa membantu. Saya menjelaskan bahwa rumah Pa Dadang Sulaeman dicari, dan jawaban bapak itu: ‘Saya tahu rumahnya dan kebetulan saya juga ingin bertemu dengan Pa Dadang Sulaeman.’ Sebenarnya, saya tidak percaya bapak itu juga mau ke Dadang Sulaeman; saya menduga dia cuma senang berbicara dengan seorang asing. Malahan, saya lebih curiga kalau dia mengatakan bahwa dalam beberapa bulan (Pebruari 1981) dia mau ke negara saya, Belanda. Siapa bapak ini? Pasti omong kosong! Tetapi, sebenarnya bapak itu kelihatannya sungguh-sungguh dan pembicaraannya masuk akal. Jadi, kemudian saya minta: ‘Bapak, siapa namanya?’ Jawabannya: ‘Uking Sukri’! Pada waktu itu Uking Sukri sudah termasuk daftar orang yang dicari dengan prioritas, jadi saya gembira sekali kami bertemu di jalan secara kebetulan. Kemudian, pada bulan Wim van Zanten: Uking Sukri, seorang guru yang tahu batas kemampuannya; versi 2 April 2005
2
Pebruari 1981 Pa Uking datang di Belanda dengan Burhan Sukarma dan Pa Dacep Eddi untuk pertunjukan kacapi-suling di Den Haag dan tempat lain. Pa Uking sering menceritakan, bahwa pada waktu itu mereka makan nasi dan sambal yang betul di rumah saya! Saya diundang untuk tinggal di rumah Pa Uking kalau penelitian Tembang Sunda Cianjuran dimulai, yaitu pada bulan Juli 1981. Dengan senang hati tawaran ini diterima saya dan dengan demikian Pa Uking menjadi guru saya. Sejak waktu itu, kalau saya datang di Bandung, di Ujungberung berada kamar tersedia untuk saya. Saya belajar kacapi indung, berbicara mengenai struktur musikal dan sénggol mamaos, ikut Pa Uking ke RRI dan berbicara banyak mengenai persoalan Cianjuran secara lahir dan batin. Saya melihat Néngnéng Fitri belajar mamaos pada umur 6-7 tahun, dan dalam disertasi saya ada sebuah foto di mana Néng Fitri bernyani, diiringi oleh ayahnya pada kacapi indung. Pertemuan di jalan ini berhasil dengan disertasi saya pada tahun 1987. Kerja sama dengan Pa Uking kemudian dilanjutkan. Pada musim dingin 1987-88, Pa Uking datang ke Belanda atas undangan saya, selama hampir setengah tahun. Bersama kami membuat suatu metode praktis untuk belajar Tembang Sunda Cianjuran yang masih dipakai di Leiden. Dari awal direncanakan metode itu akan mengandung pelajaran dari kaset audio dengan transkripsi musik. Jadi, pertama permainan kacapi indung direkam dan kemudian mamaos, suling atau rincik ditambah dengan proses dubbing. Itu mencerminkan pelajaran yang holistic, yaitu dengan memperhatikan keseluruhan musik: misalnya, mamaos atau suling dipelajari dari kaset dengan sekaligus mendengar suara kacapi indung. Sebenarnya, kedua suara dimasukkan jalur tersendiri dalam pita, jadi dapat didengarkan sendiri-sendiri juga, kalau perlu. Suara nyanyi ditranskripsi dengan semacam notasi cacing yang dibakukan berdasar analisa komputer. Kemudian ditambah notasi angka Sunda dan notasi balok. Transkripsi partai kacapi dilakukan dengan memakai notasi tabulatur, yaitu dengan gambar 18 kawat (kacapi indung) atau 15 kawat (kacapi rincik) dan memakai tanda yang mempertunjukkan jari yang mana harus dipakai untuk petikan kawat. Notasi tabulatur itu bermanfaat, khususnya pada tahap-tahap pertama, karena dekat dengan praktek permainan. Pada waktu itu metode ini digunakan untuk mengajar dua kelompok: satu kelompok murid di Museum Antropologi di Leiden, dan satu di Topenmuseum di Amsterdam. Pada tahun-tahun kemudian banyak bahan ditambah. Misalnya, pada tahun 1999 Yus Wiradiredja tinggal di Leiden selama 2 bulan, khususnya untuk meneliti ornamen-ornamen mamaos. Sampai sekarang metode pelajaran Cianjuran ini belum selesai dan saya berada di sini untuk mengumpulkan data-data terakhir untuk menyelesaikan metode ini, yang akan Wim van Zanten: Uking Sukri, seorang guru yang tahu batas kemampuannya; versi 2 April 2005
3
terdiri dari buku dengan audio CD dan transkripsi music, bersama VCD atau DVD. Warisan Pa Uking itu perlu diterbitkan.
2. Struktur musikal Cianjuran berada dalam permainan kacapi indung Pada tahun 1980, waktu saya mulai dengan penelitian Cianjuran, sudah ada beberapa tulisan yang baik mengenai Cianjuran, misalnya oleh Satjadibrata, Apung Wiratmadja, Enip Sukanda, dan lain-lain. Kebanyakan buku itu mempersoalkan rumpaka dan sejarah Tembang Sunda Cianjuran. Tulisan mengenai sifat-sifat musikal belum begitu banyak. Jaap Kunst menulis sedikit mengenai Sunda dan Cianjuran dalam artikel-artikel dan bukunya ‘De toonkunst van Java’ yang diterbitkan pada tahun 1930-an dan kemudian dicetak lagi dalam bahasa Inggeris (The music of Java). Kemudian ada artikel yang bagus mengenai sifat musikal dalam majalah Budaya Jaya pada tahun 1976. Artikel itu ditulis oleh beberapa orang, yaitu Apung S. Wiratmadja, Atik Supandi, Wahyu Wibisana dan Uking Sukri. Dalam penelitian saya direncanakan untuk menulis lebih luas mengenai struktur musikal dalam Cianjuran. Kalau seorang ingin belajar mengenai struktur musikal Tembang Sunda Cianjuran, sebaiknya ia mulai dengan kacapi indung, bukan mamaos. Jadi, saya memutuskan untuk pertama-tama belajar kacapi indung. Jelas, kalau pemain kacapi indung ingin mengiringi mamaos, ia juga harus tahu mengenai mamaos. Pemain kacapi indung tidak usah pandai menyanyi semua ornamen dengan baik-baik, tetapi garis besar dari arkuh lagu, ornamen dan rumpaka harus diketahui. Kalau tidak, iringannya tidak akan berhasil dengan baik. Sebaliknya, seorang juru mamaos bisa nyanyi dengan baik-baik, tanpa mengetahui banyak mengenai struktur musikal. Oleh karena itu, dan juga sebab juru mamaos mempunyai prestige yang lebih tinggi daripada pemain waditra, ada banyak juru mamaos yang hampir tidak tahu, dan juga tidak ingin tahu, mengenai struktur musikal Cianjuran. Pada waktu saya melakukan penelitian pada tahun 1981 pernah ada seorang yang diwawancarai saya dan yang merendahkan pengetahuan pemain waditra: mereka tidak mengerti Cianjuran secara mendalam. Saya kurang senang dengan perkataan itu dan mulai berbicara tentang pancer, goong, pancer hiasan, dan hal teknis yang lain yang saya belajar dari pemain waditra. Pembicaraan teknis itu merupakan bahasa asing untuk orang yang bersangkutan. Untung, tidak semua juru mamaos begitu. Kebanyakan juru mamaos megetahui: Cianjuran tidak jadi
Wim van Zanten: Uking Sukri, seorang guru yang tahu batas kemampuannya; versi 2 April 2005
4
kalau tidak ada - sekurang-kurangnya - kacapi indung untuk mengiringi juru mamaos. Keduaduanya perlu, bersama suling, rebab dan kacapi rincik. Jadi, untuk mengetahui struktur musikal Cianjuran, kita harus meneliti peranan kacapi indung. Jelas, tidak semua pemain kacapi indung mempunyai pengetahuan seluas pengetahuan Pa Uking. Pa Uking masih belajar Cianjuran dari praktek dan secara holistic, yaitu, dia bisa mamaos dan main semua waditra. Kemudian, dia masuk RRI dan di sana belajar dari seniman lain, seperti Ibu Saodah, O. Tarya, Ono Sukarna, dan lain-lain. Walaupun Uking Sukri sekarang khususnya diketahui sebagai pemain kacapi indung, saya yakin bahwa pengaruhnya kepada perkembangan permainan kacapi rincik juga besar. Pa Uking yang menjadi pemain kacapi rincik RRI pada waktu repertoir rincik betul-betul dikembangkan, yaitu tahun 1950-an. Saya kira ini belum diteliti secara mendalam. Pendekatan yang holistic ini juga dicerminkan dalam kemampuannya pada bidang pengarangan lagu; Pa Uking mengarang kira-kira 15 lagu mamaos dan 25 lagu Panambih. Dalam bagian berikut saya ingin berbicara mengenai peranan Pa Uking dalam perkembangan Tembang Sunda Cianjuran.
3. Perkembangan Tembang Sunda Cianjuran Suatu seni yang tidak berubah akan mati; perkembangannya perlu. Kalau sama sekali tidak ada perobahan, penonton akan bosan dan tidak ada discours, atau pertarungan wacana, lagi mengenai inti sari atau dangiang seni yang bersangkutan. Perkembangan tidak berarti bahwa setiap unsur bisa dirobah saja. Biasanya perobahan ini baru berhasil kalau garis besar struktur musikal yang sudah berada tidak dirobah dan hanya sebagian dari unsur-unsur musikal dirobah. Perobahan yang besar bisa saja terjadi, tetapi dengan demikian dibuat kreasi baru. Mungkin saja dengan demikian juga seni yang asli bisa dimatikan. Dalam dunia Cianjuran Pa Uking biasanya dikenal sebagai seorang yang konservatif, yaitu seseorang yang tidak ingin berobah terlalu banyak. Saya merasa itu betul dalam arti, dia sadar bahwa perobahan yang cepat dan besar tidak akan berhasil. Tetapi Pa Uking juga terbuka terhadap perkembangan yang baru, dan dia sendiri mencoba menginovasi Cianjuran. Jelas, Pa Uking tidak menerima sumua perubahan dengan senang hati, tetapi itu wajar saja, karena selera kita berbeda. Pada tahun 1989 Pa Uking kerja sama dengan pemain piano jazz Bubi Chen. Kelompok kacapi-suling digabungkan dengan piano akustik. Diselenggarakan pertunjukan di Wim van Zanten: Uking Sukri, seorang guru yang tahu batas kemampuannya; versi 2 April 2005
5
Jakarta dan kemudian itu direkam dalam kaset Kedamaian. Secara pribadi, saya senang sekali dengan rekaman ini. Sebagai peneliti kesenian, yang harus mengobservasi dan menulis secara value-free, yaitu tanpa mengevaluasi suatu seni sebagai ‘baik’ atau ‘buruk’, saya melihat bahwa kaset Kedamaian ini tidak betul-betul laku. Minggu yang lalu saya bertemu dengan Pa Bill Firmansjah dari Hidayat dan dia mengatakan kaset Kedamaian masih dijual, walaupun tidak terlalu banyak: biasa saja. Sebenarnya, Pa Firmansjah sudah membuat kaset jazz lebih dahulu daripada kaset Cianjuran. Kalau tidak salah Pa Firmansjah mengusul kombinasi kacapi-indung dengan piano akustik ini. Kebanyakan kaset Pa Uking bersama teman-temannya diproduksikan oleh Hidayat. Dalam hal ini saya kira Pa Uking beruntung, karena pada tahun 1970-an dan awal delapanpuluhan kualitas kaset Hidayat bermutu, kalau dibandingkan dengan kaset yang lain. Itu berlaku untuk kualitas rekaman dan juga untuk informasi yang diberikan mengenai rekaman tersebut. Kita harus berterima kasih dengan Pa Firmansjah, yang begitu mengabdi kepada rekaman Cianjuran. Itu bukan perkerjaan pokoknya, cuma pekerjaan bakti. Kegiatannya berhasil dan sekarang kita mempunyai dokumentasi yang baik mengenai periode itu. Menurut saya dokumentasi semacam ini tidak cukup diperhatikan di Indonesia. Bagaimana ingin mengembangkan Tembang Sunda Cianjuran, kalau sejarah belum diketahui dengan betul-betul? Di mana ada rekaman Ibu Emeh Salamah, atau Ibu Haji Siti Rokayah? Mungkin saja, kebanyakan rekaman ini berada di rumah orang pribadi. Seharusnya bahan rekaman semacam itu dikumpulkan secara sistematis dan dimasukkan suatu institut untuk dokumentasi seni Sunda yang dipilihara dengan baik-baik. Yang penting ialah bahwa berada jaminan kontinuitas dan bahan-bahan itu harus tersedia untuk semua orang yang mencari data. Sebaiknya itu dilepaskan dari kegiatan orang pribadi. Jelas, initiatif orang pribadi perlu, tetapi kegiatan semacam ini harus terikat dengan instansi, supaya jelas: ini bukan sesuatu yang penting untuk cuma satu keluarga atau satu orang, ini merupakan suatu hal yang penting untuk kita semua. Mungkin saja harus dipertimbangkan apakah diminta bantuan UNESCO dalam rangka proyek mengenai Digital memory of the world. Sejak tahun 1950-an RRI Bandung menggunakan beberapa kelompok seniman – sebagian sebagai pegawai negeri – yang main setiap minggu dalam siaran hidup. Menurut saya, pada 50 tahun terakhir ini peranan RRI Bandung penting sekali untuk beberapa macam kesenian, termasuk Cianjuran. Akan tetapi, di mana ada dokumentasi rekaman dari dulu? Kalau kita ingin mengetahui sejarah karawitan, dokumentasi rekaman itu perlu, khususnya dalam tradisi-tradisi seni lisan ini.
Wim van Zanten: Uking Sukri, seorang guru yang tahu batas kemampuannya; versi 2 April 2005
6
Kebetulan, minggu yang lalu saya mendapat kopi rekaman RRI dari tahun 1960-an dengan rekaman Euis Kartini. Kemudian, saya juga mendapat rekaman kacapi-suling dari tahun 1992(?). Rekaman kacapi-suling ini menarik, karena mangandung lagu yang dimainkan dengan gaya Jepang. Saya ingat, Pa Uking pernah membicarakan mengenai itu: surupan sorog mirip dengan suatu surupan Jepang, dan dia pernah main lagu Jepang yang dipelajari dari orang Jepang pada tahun empat-puluhan. Di sini ada beberapa contoh dari rekaman RRI sekitar 1992. Pemain indung: Dede Suparman, pemain suling: Ade Suwandi, pemain rincik 1: Bu Rohayani, dan pemain rincik 2: Ade Suwandi. Minggu ini Dede Suparman menjelaskan dia belajar lagu Jepang dari Pa Nano S. Lagu-lagu ini kemudian dipakai untuk siaran kacapi-suling yang eksperimental ini. Katanya mereka tidak mempunyai banyak waktu untuk latihan, jadi improvisasi termasuk. Surupan yang dipakai adalah sorog yang tinggi, yaitu ukuran 52-531, yang sama dengan Mandalungan atau pelog tinggi. Contoh rekaman RRI ca. 1992: kacapi-suling secara Jepang #1 (2m01s) Permainan suling hampir tanpa ornamen Sunda #3 (1m14s) Permainan suling sudah memakai lebih banyak ornamen Sunda #5 (46s) Awal dengan ‘sorolok’ gitar pada kacapi indung #6 (1m05s) Awal mirip dengan lagu degung. Contoh-contoh semacam ini perlu dikumpulkan dan dipilihara dengan baik-baik. Penelitian data yang berada di RRI Bandung dan di tempat lain dibutuhkan untuk mengerti sejarah Tembang Sunda Cianjuran. Kalau kita ingin ‘nyukcruk parung’, yaitu mencari inti sari Cianjuran, kita akan dibantu oleh rekaman semacam ini. Sebaiknya hasil penelitian rekaman historis dari 1950-1970 juga diterbitkan dalam bentuk CD bersama informasi latarbelakangnya dan akan tersedia untuk semua: penggemar, seniman dan peneliti. Contohcontoh auditif ini merupakan sumber data untuk mengerti perkembangan Cianjuran dan peranan senimannya. Saya percaya, kalau kita mempunyai rekaman-rekaman dari dulu, kita tidak akan menarik kesimpulan bahwa Pa Uking konservatif, atau tertutup, terhadap eksperimen-ekperimen dalam dunia Tembang Sunda Cianjuran. Dengan gembira saya melihat bahwa sekarang lagu-lagu Cianjuran, Panambih maupun lagu mamaos, sudah dipakai dalam repertoir kacapi-suling. Sudah ada beberapa CD atau kaset
1
Menurut Ade Suwandi, suling yang dipakai adalah suling dengan ukuran ca. 61 dengan lobang ke-7 di belakang. Lihat buku saya (1989) mengenai system surupan-surupan ini. Wim van Zanten: Uking Sukri, seorang guru yang tahu batas kemampuannya; versi 2 April 2005
7
yang dijual di toko-toko. 2 Percobaan semacam itu membuka pintu untuk perkembangan Cianjuran yang baik. Dengan demikian pemain waditra mendapat kemungkinan untuk mencari bentuk-bentuk yang baru, yang mungkin saja dapat diterapkan pada waktu mengiringi juru mamaos. Sebenarnya, dalam bidang karawitan daerah Sunda kaya dengan ekperimen yang menggunakan kacapi dan suling, misalnya: Zithermania, SambaSunda, ath Thawaf dari Yus Wiradiredja, Katem dari Pa Nano S., dan dulu lagu-lagu Kacapian dari Mang Koko. Saya yakin, bahwa dalam tahun-tahun depan eksperimen itu dapat dimanfaatkan dalam perkembangan Tembang Sunda Cianjuran. Menurut saya itu tidak berarti penerapan yang langsung, tetapi penerapan yang bijaksana, yaitu yang tidak akan merusakkan Cianjuran.
4. Duta-duta besar Cianjuran dan diversitas budaya Selama 30 tahun terakhir ini Cianjuran juga dipertunjukkan di negara asing. Misalnya Ida Widawati, Imas Permas, dan juga Pa Uking Sukri membawa kelompok Cianjuran dan kacapisuling ke Europa. Sekarang Cianjuran juga telah dipertunjukkan di Amerika Serikat, Australia, Jepang, Timur Tengah, dan tempat lain. Hatur nuhun kepada duta-duta besar Dayeuh Pajajaran ini, yang menyanyi mengenai alam Parahiangan, persoalan manusiawih umum, dan khususnya cinta di tatar Sunda. Pa Uking membawa kelompok Cianjuran pertama ke Perancis pada tahun 1976, dan kemudian ke negara lain, termasuk Belanda, Belgia dan Inggris. Oleh karena dalam grupnya tidak ada orang yang bisa berbahasa Inggris, Pa Uking mulai belajar bahasa Inggeris. Kemampuannya mengenai bahasa Inggeris terbatas, tetapi cukup untuk perjalanan. Sebenarnya seninya, yaitu Cianjuran dan Kacapi-suling, merupakan paspor Pa Uking. Dia cukup percaya diri dalam bidang seni dan dengan demikian dia cukup berani dalam persoalan komunikasi melalui bahasa asing. 2
1. Kacapi-suling Hajatan (Jakarta: Dian Records, 20340-23 CD, tahun 2003). Grup ‘Sulanjana’, dengan Dede Suparman (indung), Achmad Suwandi (suling), Iik Setiawan (rincik) dan Agus AQ (biola) [CD, juga dalam bentuk kaset]; 2. Génjlong (Jakarta: Dian Pramudita Kusuma Records 20335-202, distribution/ Bandung: Laras Record, production, 2004). Grup ‘Malati’, dengan Dede Suparman (indung), Iik Setiawan (rincik) dan Iwan S. (suling); 3. Mangari (Jakarta: Dian Records, 2004?). Group ‘Timbanganten’, led by Barman Syahyana, Dede Suparman (indung), Ade S. (=Achmad Suwandi, rincik and suling); 4. one song on Nimang [CD + same cassette tape + booklet] (Bandung: Kancana Sari/ Endang Sukandar, 2004). Group ‘Kancana Sari’, led by Endang Sukandar dengan Mamat Rupiandi (indung), Galih (rincik), Yani (rincik 2), Endang Sukandar (suling).
Wim van Zanten: Uking Sukri, seorang guru yang tahu batas kemampuannya; versi 2 April 2005
8
Dengan pertunjukan berulang kali di beberapa negara asing, boleh dikatakan bahwa Tembang Sunda Cianjuran merupakan seni yang digemari di dunia yang lebih luas daripada Sunda saja. Cianjuran telah menjadi bagian kebudayaan kita semua. Dengan demikian, kita semua – melalui instansi-instansi seperti UNESCO – menjadi bertanggung-jawab untuk memelihara warisan manusiawih itu. Jelas, pertama-tama orang Sunda sendiri yang bertanggung-jawab untuk seni yang dilahirkan di Parahiangan. Tetapi kita semua harus memelihara Tembang Sunda Cianjuran, supaya diversitas kebudayaan tidak akan hilang. Sudah cukup banyak pemimpin di dunia ini diyakinkan bahwa diversitas secara biologis perlu dipilihara supaya manusia bisa hidup dengan baik di dunia ini. Sayangnya, belum ada begitu banyak orang yang khwatir bahwa kehilangan bahasa-bahasa, kesenian, dan pengetahuan mengenai alam merupakan sesuatu yang berbahaya untuk dunia ini. Kita perlu diversitas budaya (cultural diversity) itu, karena itu merupakan semacam kehormatan dan penghargaan kepada manusia dan kreativitasnya. Kreativitas ini diperlukan sekali dalam dunia ini. Kita membutuhkan pemikiran yang lebih luas daripada pemikiran yang sempitekonomis saja. Banyak persoalan yang perlu dihadapi dan diselesaikan, seperti kemiskinan, kesehatan, keadilan sosial, dan sebagainya. Pendidikan dan kesenian merupakan lapangan untuk mendidik anak-anak, dan kita semua, untuk memikir secara mendalam, atau ‘bertapa di nagara’. Dalam 15 tahun terakhir ini, itu tidak cukup diperhatikan di dunia ini. Kembali ke Sunda dan dunia Cianjuran. Saya menghormati Pa Uking Sukri oleh karena dia hidup untuk seninya, bukan untuk uang besar atau prestige sendiri. Pa Uking sabar dengan kelompok ibu-ibu maupun mahasiswa STSI yang tidak begitu mampu dalam bidang Cianjuran. Dia mengerti bahwa hasil secara ekonomis, secara diploma, dan sebagainya, merupakan cuma satu sisi dari uang logam. Yang lain adalah investasi dalam manusia, yang tidak dapat diukur dengan mudah secara ekonomis. Menurut saya, Cianjuran masih hidup sekali sekarang. Masih ada banyak individu, instansi pemerintah dan yayasan yang merasa bertanggung-jawab untuk warisan ini. Akan tetapi kita tidak bisa duduk saja, tanpa membuat apa-apa. Setiap generasi harus berjuang, supaya warisan kebudayaannya diadaptasi kepada zaman yang baru. Untuk ini, kontinuitas diperlukan. Dalam hal ini peranan RRI Bandung untuk kesenian Sunda pada 50 tahun terakhir ini penting sekali. Mudah-mudahan itu akan diteruskan, misalnya kalau RRI Bandung akan menjadi institut yang swasta. Kontinuitas juga dijaga dengan baik-baik oleh DAMAS, dengan pasanggiri yang sudah berlangsung selama kurang-lebih 40 tahun dan dengan demikian memberi kesempatan untuk diskusi persoalan lahir dan batin dalam dunia Cianjuran.
Wim van Zanten: Uking Sukri, seorang guru yang tahu batas kemampuannya; versi 2 April 2005
9
5. Penutup: Pasanggiri pamirig Kalau tidak salah, pada tahun 1978 pasanggiri pamirig se-Jawa Barat yang pertama diselenggarakan oleh Mimitran Tembang Sunda. Pada tahun 1991 ada pasanggiri pamirig di RRI. Kemudian pada tingkat propinsi Nénéng Fitri dan kawan-kawan mengatur Pasanggiri pamirig Panineungan Uking Sukri pada tahun 2001, dan tahun ini passanggiri pamirig kedua akan diselenggarakan. Saya mengharap bahwa pasanggiri pamirig ini akan diselenggarakan setiap 2 atau 3 tahun, seperti passanggiri DAMAS untuk juru mamaos. Kontinuitas itu penting, dan dalam zaman ini pasanggiri pamirig perlu diselenggarakan, dengan maksud: diperoleh lebih banyak pamirig yang bermutu. Sudah dijelaskan bahwa struktur musikal berada dalam kacapi indung dan untuk Cianjuran juru mamaos tidak cukup. Malahan, pada zaman globalisasi ini perlu juga diperhatikan bahwa di luarnegeri seringkali justru karawitan instrumental, seperti kacapisuling, disuakai. Manager-manager hotel di Bandung sudah mengerti persoalan ini. Lagi, itu tidak berarti kita akan ikut permintaan pasar saja. Jangan berada pemikiran yang sempitekonomis itu. Kesenian dan pendidikan diperlukan, supaya kreativitas warga-warga negara dan seniman dapat dimanfaatkan pada zaman yang akan datang. Itu bukan persoalan untuk hari-hari besok, tetapi untuk generasi-generasi yang akan datang. Jadi, pemain waditra perlu dididik dan dipilihara. Penyelenggaraan pasanggiri pamirig merupakan salah-satu kemungkinan untuk menyelesaikan tugas itu. Saya mengharap kita semua di sini yakin tentang hal ini. Sekarang tugas kita untuk meyakinkan orang politik, orang kaya dan perusahan yang kaya bahwa investasi ini juga penting untuk mereka. Saya menghormati initiatif Nénéng Fitri, Gan-Gan Garmana, Dian Hendrayani, Agus Hilman, Deni Hermawan dan kawan-kawannya. Saya mengharap instansi (seperti STSI sekarang), purusahan dan yayasan lain (seperti Bandung Spirit sekarang) akan ikut membantu, karena pasanggiri pamirig itu bukan suatu hal yang cuma penting untuk keluarga Uking Sukri. Hal ini penting untuk kita semua, termasuk dunia luar negeri. Saya yakin karuhun kita akan setuju. Semoga Pasanggiri Pamirig Panineungan Uking Sukri hidup dengan panjang! Bukan sebagai penghormatan untuk Uking Sukri saja, tetapi juga untuk pemain waditra yang lain, seperti Uce, Siti Rokayah, O.Tarya, Ono Sukarna, Bakang Abubakar dan Dacep Eddi. Terima kasih. ***
Wim van Zanten: Uking Sukri, seorang guru yang tahu batas kemampuannya; versi 2 April 2005
10