MODEL PEMBELAJARAN KACAPI INDUNG DALAM TEMBANG SUNDA CIANJURAN
Oleh Julia Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Sumedang2010
Abstract Kacapi Indung merupakan salah satu alat kesenian tradisional Sunda yang telah banyak mendapat perhatian untuk dipelajari baik di lingkungan sendiri maupun di luar negeri. Dalam cara pengajarannya, sejak zaman dahulu dilakukan dengan metode oral tradisi tanpa menggunakan sistem notasi. Karena cara tersebut dianggap telah berhasil dalam melakukan regenerasi tabuhan kacapi indung dari generasi ke generasi. Seiring perkembangan zaman, metode pengajaran kacapi indung pun mulai mendapat perhatian khususnya dalam dunia pendidikan formal. Karena waditra (instrumen) tersebut telah menjadi salah satu waditra yang wajib dipelajari terutama dalam perguruan tinggi yang bergerak dalam bidang seni. Sehingga, berbagai metode pun dilakukan untuk mengajarkan waditra tersebut, salah satunya yang sekarang penulis tawarkan yakni sebuah model untuk pengajaran kacapi indung dalam tembang sunda cianjuran. Model yang dibuat berbeda dengan model yang telah ada. Karena biasanya pembelajaran kacapi indung menggunakan notasi Sunda tanpa menggunakan ilustrasi kawat kacapinya yang berjumlah 18 kawat. Ada juga yang menggunakan notasi barat, yakni seperti notasi untuk instrumen piano. Sehingga arah tinggi-rendahnya nada pada notasi berlawanan dengan tinggi-rendahnya nada yang terdapat dalam kacapi indung. Oleh sebab itu, penulis mencoba membuat model dengan memperhatikan kedua hal tersebut, yaitu dengan menggunakan notasi barat pada diagram kawat kacapi indung yang berjumlah 18 kawat. Sehingga terdapat kesesuaian antara arah tinggi-rendahnya nada pada notasi dan pada kacapi indung. Dengan demikian, diharapkan akan mempermudah peserta didik dalam mempelajari waditra kacapi indung. Key Words: Method , Learning Model, Instrument Kacapi Indung
A. PENGANTAR Metode merupakan cara sistematis dan terpikir secara baik untuk mencapai tujuan, prinsip, dan praktik-praktik pengajaran (KLBI, 2006:380). Dalam dunia pendidikan, metode telah menjadi sesuatu hal yang mutlak 1
diperlukan, terutama metode dalam aktivitas pembelajaran. Karena, dalam aktivitas pembelajaran, menyangkut pencarian, pembentukan, dan transfer ilmu pengetahuan, atau yang biasa disebut dengan kegiatan belajar mengajar. Sedangkan dalam kegiatan tersebut, di dalamnya melibatkan dua pihak utama, yaitu pihak pendidik dan peserta didik. Para pendidik, dalam melaksanakan tugasnya disamping menguasai bahan atau materi ajar, tentu perlu pula mengetahui bagaimana cara materi ajar itu disampaikan, serta bagaimana karakteristik peserta didik yang menerima pelajaran tersebut. Biasanya, kegagalan dalam pembelajaran terjadi apabila pendidik kurang menguasai bahan, dan yang paling parah lagi adalah pendidik tidak tahu bagaimana cara menyampaikan materi ajar dengan baik dan tepat. Sehingga, tidak memungkinkan peserta didik dapat belajar dengan suasana menyenangkan, serta materi ajar mudah dipahami dan dikuasai dalam waktu yang relatif singkat. Seperti yang dikemukakan oleh Georgi Lozanov, bahwa pemercepatan belajar dapat dilakukan dengan metode pengajaran yang memungkinkan siswa untuk belajar dengan kecepatan mengesankan, dengan upaya yang normal, dan dibarengi kegembiraan (DePorter & Hernacki, 2005:14). Oleh karena itu, dengan adanya metode pengajaran, diharapkan kegiatan belajar mengajar tersebut dapat berjalan dengan lancar, serta tujuannya dapat tercapai dengan baik. Meskipun dalam kenyataannya, tidak sedikit berbagai macam metode pengajaran yang diciptakan, kurang efektif bahkan dapat membuat peserta didik tidak dapat belajar dengan baik. Karena, peserta didik tidak merasa tertarik atau tertantang dengan pelajaran yang diberikan. Salah satunya sebagai akibat dari
2
kurang ampuhnya metode pengajaran yang digunakan. Berdasarkan permasalahan tersebut, tampaknya tepat untuk memperhatikan pandangannya Win Wenger, bahwa salah satu pemakain metode yang lebih baik adalah pada masalah, artinya bagaimana menciptakan metode-metode yang lebih baik untuk memecahkan masalah (Wenger, 2000:387). Dalam hal ini, Wenger lebih menekankan pada proses dengan sasaran membangun alat (toolbuilding). Artinya, menggunakan suatu metode atau proses khusus, untuk menciptakan alat atau sarana, metode atau proses yang baru dan lebih baik. Di sinilah perlu adanya investasi ulang metode untuk metode yang lebih baik, tidak ada batas yang jelas mengenai seberapa jauh dan seberapa tinggi batas itu. Berkaitan dengan metode pengajaran tersebut, permasalahannya tidak hanya terjadi pada pendidikan ilmu-ilmu alam atau pendidikan ilmu-ilmu sosial, akan tetapi juga terjadi pada pendidikan seni, terutama seni tradisi. Sebagai seni yang merupakan akar dan khazanah dari budaya bangsa, seni tradisi telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam dunia pendidikan. Namun dalam pendidikan seni tradisi, permasalahan metode pengajaran cenderung kurang diperhatikan, karena sampai saat ini metode yang telah ada yaitu metode oral tradisi (ngabeo), masih dianggap metode yang paling ampuh dalam hal pengajaran. Namun hal tersebut tidak terjadi pada semua cabang seni tradisi, terutama seni tradisi yang telah lama diajarkan di sekolah-sekolah atau perguruan tinggi. Seperti halnya pembelajaran gamelan degung di Jawa Barat, telah menggunakan metode-metode pengajaran yang cukup baik.
3
B. METODE ORAL TRADISI Salah satu cabang dari seni tradisi yang telah diajarkan di dunia pendidikan, khususnya di sekolah kejuruan atau perguruan tinggi yang ada di Jawa barat adalah Tembang Sunda Cianjuran. Kesenian tersebut merupakan salah satu jenis kesenian tradisi hasil karya local genius yang memiliki nilai adiluhung. Dalam penyajiannya, terdapat penembang (penyanyi) dan pamirig (pengiring). Penembang dipirig (diiringi) dengan menggunakan waditra (instrument) kacapi indung, kacapi rincik, suling atau rebab. Sedangkan yang menjadi waditra pokoknya adalah Kacapi Indung. Selama ini, pengajaran kacapi indung sebagai waditra pokok dilakukan dengan metode oral tradisi tanpa menggunakan sistem notasi atau partitur, karena waditra tersebut lebih berkembang di luar dunia pendidikan atau sekolah-sekolah. Sehingga, metode oral tradisi menjadi warisan dari generasi ke generasi. Tentu saja metode itu pun dapat diakui berhasil dalam proses pengajaran di luar dunia pendidikan, karena materi ajar kacapi indung memiliki kompleksitas tersendiri yang sangat sulit untuk dinotasikan. Akan tetapi, lain hal dengan dunia pendidikan, dimana diperlukan adanya suatu pengembangan pemikiran bahwa sesulit apapun materi ajar, harus dapat diajarkan dengan menggunakan notasi. Bahkan diharapkan, dengan pengembangan metode peserta didik dapat belajar sendiri di luar proses pengajaran meskipun akhirnya harus tetap bertatap muka demi kesempurnaan materi ajar. Kelemahan yang ditemukan dalam metode oral tradisi, pertama, memungkinkan terjadinya pengurangan dan menghilangnya karya-karya yang
4
terdahulu disebabkan tidak adanya dokumentasi yang jelas. Artinya, dengan oral tradisi hanya mengandalkan memori manusia untuk mengingatnya. Mengenai hal ini, kita dapat mengambil contoh dengan karya-karya dari barat yang dibuat pada zaman renaissance, zaman barok, zaman klasik dan zaman romantik sampai sekarang,
masih
ada
dokumentasinya
sehingga
banyak
orang
dapat
mempelajarinya, bahkan sampai mendunia. Meskipun memiliki perbedaan dalam hal sejarah dan budaya, tidak ada salahnya apabila kita pun mencoba untuk mendokumentasikan karya-karya Tembang Sunda Cianjuran, dengan cara menotasikannya yang juga digunakan untuk model pengajarannya, demi kelestarian karya-karya dalam kesenian tersebut. Kedua, metode oral tradisi dalam pelaksanaannya hanya dapat dilakukan oleh beberapa kalangan saja, sehingga waditra kacapi indung kurang diminati oleh banyak orang. Hal tersebut, merupakan salah satu hal yang telah menyebabkan waditra kacapi indung menjadi waditra yang minoritas. Padahal, dalam permainan kacapi indung terdapat keistimewaan tersendiri seperti teknikteknik yang cukup sulit dikuasai, sehingga dapat bersaing dengan instrumeninstrumen barat. Oleh karena itu, di zaman yang telah mengglobal ini, sebagai salah satu upaya pelestarian diperlukan adanya metode lain agar waditra kacapi indung dapat dipelajari oleh semua kalangan. Ketiga, metode oral tradisi juga dapat dinilai kurang efektif dan efisien. Artinya memerlukan waktu yang cukup lama untuk sampai kepada tahap peserta didik dapat memainkan waditra kacapi indung, sedangkan zaman sekarang orangorang cenderung berkeinginan untuk mempelajari instrumen secara cepat dan
5
praktis. Dalam permainan kacapi indung, tentu saja terdapat tahapan-tahapan untuk mencapai kepada tingkat yang paling tinggi, akan tetapi dalam proses pembelajaran bukan berarti harus langsung menuju tingkatan tersebut, namun proses awalnya yang sangat perlu untuk diperhatikan agar peserta didik dapat belajar secara cepat sehingga akhirnya akan mempermudah untuk mencapai tingkatan tinggi. Hal lainnya yang juga perlu diperhatikan adalah sudah saatnya pembelajaran waditra kacapi indung menggunakan sistem notasi yang dapat dipahami olah semua kalangan. Tujuannya, dengan adanya sistem notasi diharapkan waditra kacapi indung dapat lebih dikenal oleh banyak orang, tidak hanya satu daerah tapi secara nasional bahkan internasional. Seperti pengaruh musik tradisi barat yang cukup kuat di negara Indonesia, di antaranya dengan banyaknya partitur-partitur musik barat yang dapat dipelajari oleh banyak kalangan. Terakhir, dalam perkembangannya sampai sekarang, dinilai kurangnya referensi tentang metode pembelajaran waditra kacapi indung. Oleh karena itu, untuk menambah referensi tersebut maka diperlukan adanya metode-metode lain yang dapat memperkaya, mempercepat, serta membantu mempermudah pembelajaran waditra kacapi indung, khususnya di kalangan dunia pendidikan dan umumnya di semua kalangan. Setelah memperhatikan beberapa permasalahan tersebut, maka penulis mencoba untuk menggunakan metode pengajaran dengan membuat sebuah model pembelajaran kacapi indung menggunakan sistem notasi.
6
C. LANDASAN TEORETIS Dalam proses pembelajarannya, teori yang digunakan adalah teori belajar konstruktivisme, khususnya konstruktivisme radikal. Dalam hal ini, seperti yang dikemukakan oleh Von Glasersfeld, konstruktivisme radikal berpegang bahwa kita hanya dapat mengetahui apa yang dibentuk/dikonstruksi oleh pikiran kita (Suparno, 1997:26). Artinya, pembelajaran lebih menitik beratkan pada keaktifan peserta didik, dengan mengutamakan pengalaman sebagai salah satu cara untuk memperoleh atau membentuk perkembangan pengetahuannya. Oleh karena itu, dalam cara ini pengetahuan dapat lebih cepat dikonstruksi oleh penerima yang aktif, dan akan berbeda apabila ditransfer kepada penerima yang pasif. Sedangkan pendidik, merupakan mediator dalam proses mentransmisikan pengetahuan. Dalam hal ini, Jean Piaget mengemukakan, karena pendidikan merupakan suatu proses yang menghubungkan dua sisi, “di satu sisi, individu yang sedang tumbuh, dan di sisi lain, nilai sosial, intelektual, dan moral”. Maka, menjadi tanggung jawab pendidiklah untuk mendorong individu pada sisi kedua tersebut (Palmer, 2006:75). Oleh karena itu, pendidik memiliki peran yang cukup kompleks dalam proses pembelajaran. Selain sebagai pentransmisi pengetahuan, juga berperan sebagai pengubah perilaku (behaviour changes) peserta didik, dan pemelihara sistem nilai atau nilai-nilai dari pengetahuan (Makmun, 2000:23). Proses pembelajaran ini, dalam pelaksanaannya juga didasarkan pada cara belajar cepat (accelerated learning). Artinya, dalam proses pembelajaran tersebut peserta didik dituntut untuk lebih cepat memahami dan menguasai materi ajar. Seperti yang dikemukakan oleh Colin Rose & Malcolm J. Nicholl, untuk
7
menguasai perubahan yang berlangsung cepat dibutuhkan pula cara belajar cepat, yakni kemampuan menyerap dan memahami informasi baru dengan cepat, serta menguasai informasi tersebut (Rose & Nicholl, 2006:35). Dalam hal ini, pembelajaran dilakukan dengan menggunakan teknik-teknik yang cocok dengan gaya belajar para peserta didik, yaitu belajar dengan cara yang paling alamiah. Karena, belajar dengan cara yang alamiah menjadi lebih mudah, dan yang lebih mudah menjadi lebih cepat.
D. TAHAPAN PEMBELAJARAN Berkaitan dengan tahapan-tahapan pembelajaran, dalam pelaksanaannya peserta didik belajar melalui beberapa fase. Secara global, pembelajaran terbagi ke dalam tiga fase, yaitu: 1. Fase eksplorasi. 2. Fase pengenalan konsep. 3. Fase aplikasi konsep. Menurut Dimyati & Mudjiono, dalam fase eksplorasi siswa mempelajari gejala dengan bimbingan. Dalam fase pengenalan konsep, siswa mengenal konsep yang ada hubungannya dengan gejala. Sedangkan dalam aplikasi konsep, siswa menggunakan konsep untuk meneliti gejala lain lebih lanjut (Dimyanti & Mudjiono, 2006: 14). Dalam hal ini, peserta didik dituntut untuk dapat menguasai konsep, serta memiliki kepekaan dalam menemukan gejala-gejala yang terjadi dalam proses pembelajaran.
8
Sedangkan langkah-langkah pembelajarannya, penulis mencoba untuk menggunakan langkah-langkah pembelajaran yang ditawarkan oleh Piaget1, yaitu: 1. Menentukan topik yang dapat dipelajari oleh peserta didik. 2. Memilih atau mengembangkan aktivitas kelas dengan topik tersebut. 3. Mengetahui adanya kesempatan bagi pendidik untuk mengemukakan pertanyaan yang menunjang proses pemecahan masalah. 4. Menilai pelaksanaan tiap kegiatan, memperhatikan keberhasilan, dan melakukan revisi. Setelah melalui langkah-langkah tersebut, diharapkan peserta didik dapat membentuk pengetahuan secara cepat, efektif, dan efisien, serta memiliki pengalaman tersendiri, yakni pengalaman estetis. Karena, pada dasarnya dalam pendidikan seni khususnya seni musik, peserta didik dituntut agar dapat memiliki pengalaman estetis. Seperti yang dikemukakan oleh Keith Swanwick, bahwa pendidikan musik adalah pendidikan estetik, dan mendengarkan musik adalah suatu bagian dari pengalaman estetik (Ellliot, 1995:28). Oleh karena itu, pengalaman estetik merupakan suatu hal yang mutlak didapatkan oleh para peserta didik sebagai bagian dari pendidikan musik. Bahkan, Bennett Reimer berpandangan bahwa musik sama dengan kumpulan objek atau kerja seni. Ikhwal rhythm, melodi, harmoni, warna suara (termasuk dinamika), tekstur dan bentuk merupakan estetik atau elemen ekspresi dari musik (Elliot, 1995: 28).
1
Lihat Dimyanti & Mudjiono. Belajar dan Pembelajaran (2006:14).
9
E. SISTEM SOSIAL Dalam
proses
pembelajaran
yang
bertujuan
untuk
membentuk
pengetahuan, tentu saja tidak terlepas dari konteks sosial. Seperti yang diungkapkan oleh Syaiful Sagala, bahwa sistem sosial mengandung konsep eksistensi individu di masyarakat dalam hubungannya dengan kehidupan masyarakat sekitarnya (Sagala, 2006:257). Artinya, lingkungan tempat peserta didik bersosialisasi, memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kontruksi pengetahuan mereka, baik lingkungan sekolah maupun luar sekolah. Sehingga, pengetahuan yang mereka dapatkan tidak hanya sebatas apa yang diberikan di sekolah saja, tapi juga bergantung kepada lingkungan keseharian mereka di luar sekolah. Dalam hal ini Adler2 mengemukakan, bahwa lingkungan membentuk orang. Percakapan yang sangat singkat pun memiliki tenaga untuk mengikis atau memperkuat pemahaman seseorang atas dirinya sendiri (Johnson, 2006:227). Bahkan
dalam
pendidikan
musik,
kontruksi
pengetahuan
yang
mempengaruhi tindakan bermusik ditentukan oleh beberapa hal. Seperti yang dikemukakan oleh David J. Elliot, “music making is essentially a matter of prosedural knowledge” (Elliot, 1995: 53). Dalam hal ini, Elliot3 berpandangan bahwa tindakan bermusik dipengaruhi oleh empat jenis pengetahuan, yakni formal musical knowledge, informal musical knowledge, impressionistic musical knowledge, dan supervisory musical knowledge. Dari pandangan tersebut, dapat diketahui bagaimana pengetahuan seseorang diperoleh, yaitu dari berbagai lingkungan yang berbeda, baik lingkungan formal maupun nonformal. Oleh sebab 2 3
Lihat Elaine B. Johnson. Contextual Teaching & Learning. (2006:227). Lihat David J. Elliot. Music Matters. (1995:53).
10
itu, sistem sosial tidak dapat lepas dari proses kontruksi pengetahuan peserta didik. Artinya, sistem sosial berpengaruh terhadap keberhasilan dalam proses pembentukan pengetahuan. Setelah memperhatikan beberapa pandangan di atas, maka dalam proses pembelajaran kacapi indung pun, keberhasilannya juga dipengaruhi oleh lingkungan formal dan nonformal peserta didiknya. Sebagai gambarannya, peserta didik yang memiliki latar belakang serta hidup dalam dunia karawitan, tidak menutup kemungkinan akan lebih cepat mengkontruksi pengetahuan tentang kacapi indung. Apalagi, jika mereka memang memiliki ketertarikan atau kepentingan tersendiri terhadap kacapi indung. Misalnya, dalam kehidupannya kacapi indung merupakan instrumen yang dapat membantu dalam memenuhi kebutuhan hidup, atau biasa manggung dengan memainkan kacapi indung.
F. PRINSIP REAKSI Dalam hal ini, prinsip reaksi diartikan sebagai pola kegiatan yang memperlihatkan hubungan guru dan siswa dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, pola kegiatan tersebut dapat ditinjau dari beberapa aspek, seperti yang dikemukakan oleh Dimyanti & Mudjiono, yakni dilihat dari perhatian dan motivasi,
keaktifan,
keterlibatan
langsung/berpengalaman,
pengulangan,
tantangan, balikan dan penguatan, serta perbedaan individual (2006:42). 1. Perhatian dan Motivasi Perhatian merupakan bagian yang sangat penting dalam proses pembelajaran. Karena, tanpa perhatian dari peserta didik proses pembelajaran
11
akan berjalan secara semu. Artinya, materi ajar tidak akan tersampaikan dengan baik dan tuntas. Seperti yang dikemukakan oleh Stern dan dikutip oleh Bigot, pertama, perhatian adalah pemusatan tenaga/kekuatan jiwa tertuju kepada suatu objek. Kedua, perhatian adalah pendayagunaan kesadaran untuk menyertai sesuatu aktivitas yang dilakukan (Sagala, 2006:130). Oleh karena itu,, keberhasilan pembelajaran sangat dipengaruhi oleh perhatian peserta didik. Jika tidak ada perhatian, jangankan mengkontruksi pengetahuan, memahami materi ajarnya saja akan sulit. Sedangkan motivasi lebih berkaitan dengan minat peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran. Artinya, peserta didik akan lebih cepat membentuk pengetahuan jika mereka memiliki motivasi yang besar dalam mengikuti pembelajaran. Biasanya, dalam hal motivasi tergantung kepada kebutuhan, suka dan tidak suka, faktor pengajar, dan faktor lainnya yang dapat mempengaruhi psikologi peserta didik terhadap materi yang diajarkan. Dalam hal ini, Dimyanti & Mudjiono membaginya ke dalam dua motif, yaitu motif intrinsik dan motif ekstrinsik (2006:43). Motif intrinsik adalah tenaga pendorong yang sesuai dengan perbuatan yang dilakukan, sedangkan motif ekstrinsik adalah tenaga pendorong yang ada di luar perbuatan yang dilakukannya tetapi menjadi penyertanya. Sebagai cara untuk membangkitkan motivasi tersebut, maka dalam proses pembelajarannya akan mencoba menggunakan cara seperti yang ditawarkan oleh Sagala. Pertama, mempersiapkan untuk menggunakan cara atau metode dan media mengajar yang bervariasi. Kedua, merencanakan dan memilih bahan yang
12
menarik minat dan dibutuhkan siswa. Ketiga, memberikan sasaran antara, sasaran akhir belajar adalah lulus ujian atau naik kelas. Keempat, memberikan kesempatan untuk sukses, artinya materi ajar disesuaikan dengan kemampuan peserta didik yang berbeda-beda. Kelima, diciptakan suasana belajar yang menyenangkan, dengan suasana familiar. Keenam, adakan persaingan sehat, atau kompetisi sehat yang dapat membangkitkan motivasi belajar (Sagala, 2006:153). 2. Keaktifan Sesuai dengan teori belajar konstruktivisme yang menuntut adanya keaktifan dari peserta didik, maka dalam proses pembelajaran kacapi indung peserta didik dituntut untuk lebih aktif. Karena pembelajaran kacapi indung berbentuk praktek, maka keaktifan peserta didik dapat terlihat dalam mempelajari dan mempraktekan kacapi indung tersebut. Dalam hal ini, meskipun keaktifan praktek terletak pada aspek fisik, namun secara psikis juga sangat diperlukan. Seperti memecahkan masalah dalam menyatukan tangan kanan dan tangan kiri dalam bermain kacapi indung. Jika peserta didik kurang aktif dalam kedua aspek tersebut, maka proses pembelajaran akan berlangsung lebih lama. 3. Keterlibatan Langsung Maksud dari keterlibatan langsung adalah bahwa peserta didik langsung mengalami dalam hal proses pembelajaran. Karena pembelajarannya kacapi indung, maka peserta didik harus memainkan atau mempraktekan secara langsung bagaimana mempelajari dan memainkan instrumen tersebut. Seperti yang telah disebutkan, dari pengalaman inilah peserta didik mendapatkan pengalaman estetik, dan justru hal inilah yang paling penting dan mendasar
13
dalam pendidikan musik. Jadi, peserta didik tidak hanya melihat, mendengarkan, atau mengamati saja, tapi langsung ikut terlibat. 4. Pengulangan Berdasarkan pada teorinya Thordike tentang psikologi asosiasi atau koneksionisme, bahwa belajar adalah pembentukan hubungan antara stimulus dan respon, dan pengulangan terhadap pengalaman-pengalaman itu memperbesar peluang timbulnya respon yang benar. Seperti kata pepatah “latihan menjadikan sempurna” (Dimyanti & Mudjiono, 2006:46). Maka, dalam pembelajaran kacapi indung peserta didik dikondisikan untuk terus melakukan latihan dan pengulangan, agar materi yang dipelajari bertambah sempurna. Namun, hal tersebut disesuaikan dengan waktu pembelajaran yang telah direncanakan, dan yang lebih tepat untuk banyak melakukan latihan dan pengulangan adalah di luar waktu pembelajaran formal. 5. Tantangan Untuk membantu menumbuhkan motif pada peserta didik, maka diperlukan materi ajar yang menantang, namun tetap disesuaikan dengan kemampuan para peserta didik. Karena, terlalu menantang tidak baik terhadap psikologi peserta didik. Artinya, jika materi yang diberikan tidak sesuai dengan kemampuannya, maka dapat menimbulkan perasaan frustasi dalam mempelajari kacapi indung, yang akhirnya menimbulkan rasa malas. Begitupun sebaliknya, jika materi yang diberikan terlalu mudah dan statis, artinya yang diberikan hanya itu-itu saja, maka peserta didik akan merasa bosan.
14
6. Balikan dan Penguatan Dalam hal ini, balikan dan penguatan dapat menjadi dorongan bagi peserta didik. Sebagai contoh, mendapatkan hasil yang baik dalam mempelajari kacapi indung dapat menjadi balikan yang menyenangkan, dan dapat berpengaruh baik terhadap usaha belajar selanjutnya. Sedangkan penguatan, dapat berupa penguatan positif dapat juga berupa penguatan negatif. Misalnya, dengan hasil belajarnya peserta didik mampu memainkan kacapi indung dengan baik, sehingga mendapatkan nilai ujian yang bagus. Maka, nilai bagus tersebut dapat menjadi penguatan yang positif. Sebaliknya, jika mendapatkan hasil ujian yang tidak bagus, maka dapat menjadi penguatan yang negatif. Oleh karena itu, seperti yang dikatakan Dimyanti & Mudjiono, kegiatan balikan dan penguatan dapat dilakukan dengan cara tanya jawab, diskusi, eksperimen, metode penemuan, dan sebagainya (2006:49). Sehingga, peserta didik akan terdorong kembali untuk lebih giat dan bersemangat. 7. Perbedaan Individual Dalam upaya menanggulangi perbedaan kemampuan pada peserta didik, maka guru dapat memberikan tambahan atau pengayaan pelajaran bagi peserta didik yang pandai. Sedangkan untuk anak-anak yang kurang pandai, dapat dilakukan dengan memberikan bimbingan belajar, dengan demikian, mereka dapat terus terdorong untuk lebih berpikir optimis, dan tetap bersemangat dalam mempelajari kacapi indung.
15
G. SISTEM PENDUKUNG Selain
faktor
peserta
didiknya
sendiri
yang
dapat
menentukan
keberhasilan, dalam proses pembelajaran keberhasilan juga dipengaruhi oleh sistem pendukungnya. Beberapa faktor yang dapat menjadi pendukung dalam pembelajaran adalah guru, sarana dan prasarana pembelajaran, kebijakan penilaian, lingkungan sosial siswa di sekolah, dan kurikulum sekolah. 1. Guru Jika materi ajarnya adalah tentang kacapi indung, maka gurunya harus seorang yang ahli dalam bidang tersebut. Karena, proses transmisi pengetahuan yang tidak sesuai dengan keahliannya, dapat menyebabkan peserta didik tidak termotivasi, dan dapat menyebabkan kesalahan dalam penyampaian pengetahuan. Hal tersebut merupakan sebuah kesalahan yang sangat fatal dalam dunia profesional pendidikan. Bahkan, Sudarwan Danim mengemukakan, ada tiga pilar pokok yang ditujukan untuk suatu profesi, yaitu pengetahuan, keahlian, dan persiapan akademik (Danim, 2002:22). 2. Sarana dan Prasarana Pembelajaran Jika yang diajarkannya adalah instrumen kacapi indung, maka media pembelajarannya adalah harus menggunakan kacapi indung. Karena, jika instrumen yang digunakan dalam pembelajaran berbeda, misalnya dengan menggunakan kacapi kawih, maka materi ajar tidak akan tersampaikan dengan sempurna. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan secara bentuk dan karakter bunyi di antara keduanya.
16
Kemudian, pembelajaran kacapi indung lebih tepat dilakukan dalam ruangan tertutup yang jauh dari kebisingan. Karena, kacapi indung memiliki karakter bunyi yang lembut. Sehingga, apabila diajarkan dengan suasana yang bising, tentu akan sangat mengganggu, atau tidak kondusif. Oleh karena itu, ruangan belajar kacapi indung merupakan salah satu prasarana yang mutlak harus lebih diperhatikan. Selain itu, diperlukan juga peralatan elektronik audio visual sebagai media pembelajaran. Karena, pembelajaran kacapi indung memerlukan apresiasi secara audio dan visual, untuk lebih memantapkan peserta didik dalam memahami teknik-teknik, atau hal-hal yang berkaitan dengan musikalitas kacapi indung. Hal ini disebabkan pula oleh sulitnya menuliskan irama pada tabuhan kacapi indung, sehingga sangat diperlukan apresiasi secara audio visual. 3. Kebijakan Penilaian Kebijakan penilaian ada pada guru yang bersangkutan. Sedangkan yang namanya penilaian, biasanya berbeda-beda tergantung dari standar guru dalam memberikan nilai, yang juga ditentukan oleh kriteria-kriteria tertentu dari peserta didik. Oleh karena itu, di sinilah diperlukan kehati-hatian guru dalam memberikan penilaian, agar peserta didik dapat terus termotivasi dan tetap bersemangat dalam mempelajari materi ajar. Jika yang diajarkan adalah kacapi indung, maka guru kacapi indung harus berhati-hati dalam memberikan penilaiannya. 4. Lingkungan Sosial Siswa di Sekolah Menurut Dimyanti & Mudjiono, pengaruh lingkungan sosial dapat berupa hal-hal seperti berikut: Pertama, pengaruh kejiwaan yang bersifat menerima atau
17
menolak siswa, yang akan berakibat memperkuat atau memperlemah konsentrasi belajar. Kedua, lingkungan sosial mewujud dalam suasana akrab, gembira, rukun, dan damai. Namun, dapat juga sebaliknya sehingga suasana kejiwaan tersebut dapat menghambat proses belajar. Ketiga, semangat belajar juga dapat ditentukan oleh kewibawaan guru. Jika guru menegakkan kewibawaan, maka ia akan dapat mengelola kelas dengan baik. Tetapi, jika guru tak berwibawa, maka ia akan mengalami kesulitan dalam mengelola proses belajar (2006:253). 5. Kurikulum Sekolah Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, kompetensi dasar, materi standar, dan hasil belajar, serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai kompetensi dasar dan tujuan pendidikan (Mulyasa, 2006:46). Oleh karena itu, kurikulum dapat dikatakan sebagai seperangkat aturan yang harus dilaksanakan dan dipatuhi oleh seluruh komponen utama pendidikan. Perubahan kurikulum dapat berimplikasi pada terganggunya proses pembelajaran di sekolah. Seperti yang dikemukakan oleh Dimyanti & Mudjiono, pertama, perubahan kurikulum mungkin dapat merubah tujuan yang akan dicapai. Kedua, isi pendidikan berubah, maka akibatnya buku pelajaran, buku bacaan, dan sumber yang lain akan berubah. Ketiga, kegiatan belajar berubah, maka guru harus mempelajari strategi, metode, teknik, dan pendekatan mengajar yang baru. Keempat, evaluasi berubah, maka guru harus mempelajari metode dan teknik evaluasi belajar yang baru (2006:254).
18
H. MODEL PEMBELAJARAN Menginat perkembangan zaman yang begitu pesat, metode pembelajaran kacapi indung dalam tembang cianjuran memang sudah saatnya diluncurkan, disosialisasikan, serta diuji coba, terutama dalam mengantisipasi paradigma pembelajaran yang baru, yang memiliki indikasi sifat-sifatnya yang efektif dan efisien dalam prosesnya (Herdini, 2003). Oleh sebab itu, penulis mencoba membuat metode yang diharapkan memiliki efektifitas dan efisiensi waktu dalam proses pembelajarannya. Sedangkan untuk mendukung metode yang akan digunakan, maka model pembelajarannya pun harus disesuaikan dengan metode tersebut. Oleh karena itu, penulis mencoba membuat sebuah model pembelajaran kacapi indung dengan menggunakan sistem notasi. Namun, karena lagu-lagu tembang sunda cianjuran tergolong jenis lagu polymetraschemantica, maka penotasian iringannya pun sangat sulit untuk menggunakan birama. Untuk mengantisipasi hal tersebut, diperlukan media pembelajaran secara audio. Karena itu, model pembelajaran yang dibuat harus disertai dengan CD Audio. Model pembelajarannya adalah sebagai berikut:
1. Diagram Kawat Kacapi Indung Garis yang digunakan berjumlah 11 (sebelas) garis, terdiri dari dua bagian yaitu garis dan spasi. Garis dan spasi tersebut dibagi menjadi empat kelompok, dengan jumlah tiga kelompok masing-masing memiliki tiga garis dan dua spasi, satu kelompok memiliki dua garis dan satu spasi. diantara kelompok yang satu
19
dengan yang lainnya terdapat satu spasi, namun spasi tersebut tidak difungsikan hanya sebagai pembatas saja. Secara keseluruhan, tanpa menghitung spasi pembatas garis dan spasi tersebut berjumlah 18 (delapan belas). Hal ini sesuai dengan jumlah kawat Kacapi Indung yang berjumlah 18 (delapan belas). Oleh karena itu, sistem pengelompokan garis dan spasi tersebut digunakan untuk penulisan notasi pada Kacapi Indung. Cara penerapannya, setiap kelompok terdiri dari nada 1 (da), 2 (mi), 3 (na), 4 (ti) dan 5 (la), dengan dimulai dari bawah, kecuali kelompok keempat hanya sampai nada 3 (na). Secara keseluruhan nada dimulai dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah, hal ini sesuai dengan urutan nada pada Kacapi Indung. Kelompok paling bawah disebut dengan gembyang petit (nada tinggi), kelompok kedua disebut gembyang tengah, kelompok ketiga disebut gembyang bass dan kelompok keempat juga disebut gembyang bass. Untuk setelan laras, yang berubah hanya urutan nadanya saja. Contohnya, untuk surupan madenda 4 = Tugu maka nada paling tinggi (bawah) dimulai dari nada 3(Na).
20
Untuk lebih jelasnya perhatikan gambar 1: Wilayah nada
Urutan nada Ciri-Pengelompokan
Spasi batas Garis
Spasi
2. Teknik Penggunaan Jari Dalam Membaca Notasi Dalam metode pembelajaran Kacapi Indung ini, tidak menggunakan istilah Kanan (Ka) dan Kiri (Ki) untuk keterangan penggunaan jari. Tapi dengan menggunakan perbedaan warna pada not nya. Untuk tangan kanan menggunakan warna hitam, dan untuk tangan kiri menggunakan warna merah. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah dalam teknik membaca notasi. Apabila dalam satu partitur hanya terdapat not yang berwarna hitam, maka partitur tersebut hanya dimainkan oleh tangan kanan. Apabila dalam satu partitur terdapat not yang berbeda warna, maka partitur tersebut dimainkan oleh dua tangan. Perhatikan gambar 2:
21
Jika membaca partitur seperti di atas, maka hanya dibuyikan dengan tangan kanan.
Perhatikan gambar 3:
Jika membaca partitur seperti di atas, maka dibunyikan dengan menggunakan tangan kanan dan tangan kiri. Khusus untuk wanda panambih, sistem penulisan notasinya sedikit berbeda. Karena menggunakan tiga jari yaitu Jempol, Telunjuk, dan Ibu jari. Oleh karena itu, dalam penulisannya diberikan tanda J (Jempol), T (Telunjuk), dan I (Ibu jari) pada awal not, artinya tanda tersebut berlaku untuk not yang sejajar. Ketiga tanda tersebut digunakan untuk tangan kiri, sedangkan tangan kanan hanya menggunakan dua jari dengan dua tanda, yaitu J (Jempol) dan T (Telunjuk). 22
Apabila terdapat perubahan dalam penggunaan jari, maka tanda nya pun akan berubah. Untuk warna not prinsipnya tetap sama. Perhatikan gambar 4:
Tanda J (Jempol) dan T (Telunjuk) mewakili garis dan spasi selanjutnya yang sejajar. Begitu juga dengan tangan kiri, prinsip penulisan tandanya sama dengan penulisan tanda untuk tangan kanan. Hanya warna not nya yang berbeda. Perhatikan gambar 5:
Gabungan dari tangan kanan dan tangan kiri adalah seperti contoh berikut: Perhatikan gambar 6:
23
3. Contoh Bahan dalam Penerapan Model Pembelajaran (Teknik Pasieupan)
24
Tabuhan Bubuka
Laras Pelog
25
Tabuhan Gelenyu Udan Mas
Laras Sorog
Keterangan: Model pembelajaran dilengkapi dengan CD Audio
26
Bibliografi
Bakir, Suyoto & Sigit Suryanto. (2006). Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Batam: Karisma Publishing Group. DePorter, Bobbi & Mike Hernacki. (2005). Quantum Learning. Bandung: Kaifa. Dimyanti dan Mudjiono. (2006). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta. Elliot, David J. (1995). Music Matters. New York: Oxford University Press. Herdini, Heri. (2003). Metode Pembelajaran Kacapi Indung Dalam Tembang Sunda Cianjuran. Bandung: STSI Press. Johnson, Elaine B (2006). Contextual Teaching and Learning. Bandung: MLC. Makmun, Abin Syamsuddin. (2000). Psikologi Kependidikan. Bandung: Rosdakarya. Mulyasa, E. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: Rosdakarya. Palmer, Joy. A. (2006). Fifty Modern Thinkers On Education. Yogyakarta: IRCiSoD. Rose, C and Malcolm J. Nicholl. (2006). Accelerated Learning. Bandung: Nuansa. Sagala, Syaiful. (2006). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: CV Alfabeta. Sa’ud, Syaefudin dan Abin S. Makmun. (2005). Perencanaan Pendidikan. Bandung: Rosdakarya. Sudarwan, Danim. (2002). Inovasi Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia. Suparno, Paul. (1997). Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius. Wenger, Win. (2004). Beyond Teaching and Learning. Bandung: Nuansa.
27