terbentuknya warna merah karena penambahan H2SO4. Uji Saponin. Sebanyak 0.1 gram ekstrak jawer kotok ditambahkan 5 mL akuades lalu dipanaskan selama 5 menit. Kemudian dikocok selama 5 menit. Uji saponin menunjukkan hasil positif jika terbentuk busa setinggi kurang lebih 1 cm dan tetep stabil setelah didiamkan selama 15 menit. Uji Triterpenoid dan Steroid. Sebanyak 0.1 gram ekstrak jawer kotok ditambahkan 5 mL etanol 30% lalu selama 5 menit dipanaskan dan disaring. Filtratnya diuapkan kemudian ditambahkan dengan eter. Lapisan eter ditambahkan dengan pereaksi Lieberman Burchard (3 tetes asetat anhidrida dan 1 tetes H2SO4 pekat). Warna merah atau ungu yang terbentuk menunjukkan adanya triterpenoid dan warna hijau menunujukkan adanya steroid. Uji Tanin. Ekstrak jawer kotok sebanyak 0.1 gram ditambahkan 5 mL akuades kemudian dididihkan selama 5 menit. Larutan ini disaring dan filtratnya ditambahkan dengan 5 tetes FeCl3 1% (b/v). Warna biru tua atau hitam kehijauan yang terbentuk menunjukkan adanya tanin. Uji Minyak Atsiri. Sampel ekstrak jawer kotok dilarutkan dalam alkohol lalu diuapkan hingga kering. Jika berbau aromatis yang spesifik maka sampel mengandung minyak atsiri. Penentuan Konsentrasi Hambat Tumbuh Minimum (KHTM) Penentuan konsentrasi hambat tumbuh minimum (KHTM) dilakukan setelah diketahui filtrat daun jawer kotok memilliki aktivitas antibakteri. KHTM adalah konsentrasi terendah komponen antibakteri yang menyebabkan tidak terjadinya pertumbuhan bakteri sekitar lubang pada masa inkubasi 24 jam. Metode analisis yang digunakan dalam penentuan ini adalah metode Bintang (1993) yang merupakan modifikasi dari metode perforasi. Biakan bakteri uji ditanam satu ose dalam 10 mL media cair kemudian diinkubasi dalam inkubator bergoyang selama 24 jam pada suhu 37 °C. Sebanyak 100 μL biakan bakteri dengan OD ± 0,5 dicampurkan ke dalam 20 mL media agar PYG pada suhu 45°C, lalu dibiarkan sampai memadat. Kemudian pada media agar tersebut dibuat lubang dengan diameter ± 5.5 mm menggunakan ujung pipet tetes. Sampel yang digunakan adalah ekstrak yang menunjukkan aktivitas antibakteri paling besar. Ekstrak
jawer kotok ditimbang sebanyak 1.0 g kemudian dilarutkan dalam 2 mL akuades steril. Campuran yang dihasilkan selanjutnya diencerkan sehingga diperoleh konsentrasi yang bervariasi yaitu 500, 125, 75, 30, 15, dan 10, 5, 2, 1, 0.8, 0.5, 0.3, 0.2, 0.1, 0.05 mg/mL. Sampel dengan konsentrasi ini kemudian akan diuji pada lubang media PYG yang telah diinkubasi dengan bakteri uji. Masing-masing sampel dengan konsentrasi di atas dimasukkan ke dalam lubang sebanyak 50 µL. Kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 oC. Aktivitas antibakteri diperoleh dengan mengukur zona hambat, yaitu zona atau daerah bening yang menunjukkan bakteri tidak tumbuh di sekitar filtrat tersebut. Zona bening diukur dengan menggunakan jangka sorong sebanyak empat kali pengukuran diagonal dan nilainya dirata-ratakan. Analisis Statistik Analisis statistik yang digunakan adalah rancangan percobaan dua faktor dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL). Model rancangannya: Yij = µ + τi + εij Yij = Diameter zona hambat pada dosis ke-i dan ulangan ke-j µ = Pengaruh rataan umum τ = Pengaruh dosis ke-i ε =Pengaruh acak pada dosis ke-i ulangan ke-j dengan i: 1 = 500 mg/mL 2 = 250 mg/mL 3 = 125 mg/mL 4 = 75 mg/mL 5 = 30 mg/mL 6 = 15 mg/mL 7 = 10 mg/mL 8 = 5 mg/mL 9 = 2 mg/mL 10 = 1 mg/mL 11= 0.8 mg/mL 12= 0.5 mg/mL 13= 0.2 mg/mL 14= 0.1 mg/mL 15= 0.05 mg/mL J: 1,2. Rancangan ini digunakan pada uji antibakteri penentuan KHTM menggunakan cara perforasi metode Bintang. Data yang diperoleh dianalisis dengan ANOVA (analysis of variance) pada tingkat kepercayaan 95% dan taraf α 0.05. Uji lanjut yang digunakan adalah uji Tukey. Semua data dianalisis dengan program SPSS 12.0.
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kadar Air dan Ekstraksi Sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini sebelumnya diukur kadar airnya. Menurut Harjadi (1993) penentuan kadar air
berguna untuk menyatakan kandungan zat dalam tumbuhan sebagai % bahan kering, dan juga untuk mengetahui ketahanan suatu bahan dalam penyimpanan. Sampel yang baik untuk disimpan dalam jangka waktu panjang adalah sampel dengan kadar air kurang dari 10%. Pada kadar ini kemungkinan rusak terkena jamur saat penyimpanan sangat kecil (Tiagarna 2004). Kadar air yang diperoleh dari daun jawer kotok sebesar 89.30%. Karena kadar airnya tinggi maka ekstraksi daun jawer kotok menggunakan daun kering agar bisa disimpan dalam jangka waktu yang lama. Alasan lain dipilihnya daun kering untuk proses ekstraksi adalah agar rendemen yang diperoleh lebih banyak. Sebelum ekstraksi dilakukan perlu dilakukan beberapa perlakuan khusus. Daun jawer kotok yang baru dipetik dikeringudarakan terlebih dahulu. Hal ini bertujuan untuk mematikan enzim guna mencegah terjadinya oksidasi enzimatik atau hidrolisis senyawaan yang akan diisolasi. Proses penyeleksian dilakukan untuk mendapatkan hanya bagian daun saja dari tanaman jawer kotok yang selanjutnya akan diolah. Selain itu, penyeleksian ini juga bertujuan untuk menghindari pencemaran oleh tanaman jawer kotok yang busuk (rusak) oleh organisme atau tanaman lainnya. Hal ini harus dilakukan dengan cermat untuk menghindari terjadinya penyimpangan data analisis yang disebabkan oleh terekstraknya senyawa dari bahan pencemar tersebut (Harborne 1987). Ekstraksi daun jawer kotok menggunakan teknik maserasi. Maserasi digunakan untuk mengekstrak sampel yang relatif tidak tahan panas. Teknik ini digunakan karena relatif sederhana tapi menghasilkan produk yang baik (Meloan 1999). Maserasi ini dilakukan dengan merendam daun kering jawer kotok dengan pelarut selama 3x24 jam dengan mengganti pelarut setiap 24 jam. Hal ini dilakukan untuk memperoleh hasil ekstrak yang maksimal. Perbandingan bahan dan pelarut dapat mempengaruhi hasil ekstraksi. Menurut Melawati (2006) perbandingan yang baik antara pelarut dan bahan adalah 1:10. Oleh karena itu, pada penelitian ini digunakan perbandingan tersebut Pelarut yang digunakan untuk maserasi pada penelitian ini adalah heksana, air, dan aseton. Pemilihan pelarut berdasarkan prinsip kelarutan yaitu ”like disolve like” artinya pelarut polar akan melarutkan senyawa polar, demikian juga sebaliknya pelarut nonpolar akan melarutkan senyawa nonpolar, pelarut organik akan melarutkan senyawa organik
(Khopkar 1990). Penggunaan berbagai jenis pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda-beda ini bertujuan agar senyawa yang belum diketahui jenisnya dapat terekstrak secara optimal, baik secara kualitatif maupun kuantitatif pada salah satu jenis pelarut yang digunakan (Murni 1998). Ketiga ekstrak yang diperoleh kemudian dipekatkan untuk mengetahui persen rendeman. Pemekatan dilakukan dengan menggunakan rotary evaporator pada suhu untuk mencegah kemungkinan 40oC terjadinya kerusakan komponen yang terkandung dalam ekstrak. Ekstrak yang dihasilkan dihitung nilai rendemennya. Rendemen paling tinggi diperoleh dari ekstraksi dengan menggunakan air yaitu sebesar 25.94%. Ekstraksi dengan menggunakan aseton dan heksana menghasilkan rendemen masing-masing sebesar 11.19% dan 6.37%. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa senyawa yang terdapat pada daun jawer kotok cenderung bersifat polar berdasarkan jumlah ekstrak dari jenis pelarut yang menghasilkan rendemen terbesar. Nilai rendemen yang diperoleh cukup tinggi untuk tanaman yang mengandung air seperti jawer kotok. Tanaman lain yang kandungan airnya cukup tinggi adalah cocor bebek. Gani (2007) dalam penelitiannya mendapatkan ekstrak heksana dari cocor bebek sebesar 2.09%. Hasiul ini lebih rendah dibandingkan hasil rendemen yang diperoleh oleh peneliti.
Aktivitas Antibakteri Filtrat Daun Jawer Kotok Penelitian pendahuluan yang dilakukan adalah pengujian aktivitas antibakteri filtrat daun jawer kotok terhadap bakteri uji dengan menggunakan metode Bintang. Filtrat yang digunakan adalah filtrat daun muda dan daun tua tanaman jawer kotok. Penelitian pendahuluan ini bertujuan untuk membandingkan aktivitas antibakteri daun muda dan daun tua. Daun yang memiliki aktivitas antibakteri lebih besar akan digunakan untuk proses ekstraksi. Gambar 2 menunjukkan bahwa daun muda dan daun tua memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri uji. Ini ditunjukkan dengan adanya zona bening disekitar lubang yang telah diisi oleh filtrat daun jawer kotok. Zona hambat bakteri yang dihasilkan oleh filtrat daun muda dan daun tua berbeda-beda terhadap keempat bakteri uji.
Tabel 3 Aktivitas antibakteri menurut David Stout 16
Aktivitas Antibakteri Lemah Sedang Kuat Sangat kuat
14 12 10 zona hambat8 (mm) 6 4 2 0 B. subtilis S.aureus
E. coli P. aeruginosa
bakteri uji
Gambar 2 Aktivitas antibakteri filtrat daun muda ( ) dan daun tua ( ) tanaman jawer kotok. Aktivitas antibakteri daun muda dan daun tua sama dalam menghambat bakteri S. aureus. Zona hambat yang dihasilkan daun muda dan daun tua terhadap bakteri ini masing-masing sebesar 14.4583 mm. Daun muda memiliki aktivitas antibakteri yang lebih besar dibandingkan daun tua dalam menghambat bakteri B. subtilis Zona hambat yang dihasilkan oleh daun muda dan daun tua masing-masing sebesar 10.3750 mm dan 9.8333 mm. Berbeda halnya dengan bakteri E. coli dan P. aeruginosa, aktivitas antibakteri daun tua lebih besar dibandingkan daun muda. Zona hambat daun tua dan daun muda terhadap E. coli masing-masing sebesar 14.5833 mm dan 13.5833 mm sedangkan terhadap P. aeruginosa masing-masing sebesar 13.5 mm dan 13.125 mm. Pembagian aktivitas antibakteri menggunakan metode David Stout berdasarkan atas ukuran diameter zona hambat (Suryawiria 1978). Pembagiannya dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan metode David Stout, aktivitas antibakteri filtrat daun jawer kotok terhadap bakteri uji dapat dilihat pada Tabel 4 dan 5. Pada bakteri B. subtilis, filtrat daun tua tanaman jawer kotok menghasilkan zona hambat 5-10 mm maka filtrat daun tua jawer kotok tersebut termasuk ke dalam antibakteri berkekuatan sedang, sedangkan daun jawer kotok muda memiliki zona hambat 10-20 mm sehingga bersifat antibakteri dengan kekuatan kuat. Filtrat daun muda maupun daun tua pada ketiga jenis bakter uji lainnya yaitu S. aureus, E. coli, dan P. aeruginosa memiliki zona hambat antara 10-20 mm sehingga termasuk ke dalam antibakteri kuat.
Diameter Zona Hambat (mm) <5 5-10 10-20 >20
Tabel 4 Aktivitas antibakteri filtrat daun tua tanaman jawer kotok Bakteri uji B. subtilis S. aureus E .coli P. aeruginosa Tabel 5
Diameter zona hambat (mm) 9,8333 14,4583 14,5833 13,5000
Aktivitas Antibakteri Sedang Kuat Kuat Kuat
Aktivitas antibakteri filtrat daun muda tanaman jawer kotok
Bakteri uji B. subtilis S. aureus E .coli P. aeruginosa
Diameter zona hambat (mm) 10,3750 14,4583 13,5833 13,1250
Aktivitas Antibakteri Sedang Kuat Kuat Kuat
Daun tua selanjutnya digunakan untuk proses ekstraksi karena secara umum aktivitas antibakteri daun tua lebih besar dibandingkan daun muda terhadap bakteri uji terutama P. aeruginosa. Bakteri ini merupakan bakteri yang paling patogen dibandingkan bakteri uji yang lain. Alasan lain dipilihnya daun tua karena daun tua lebih banyak tersedia daripada daun muda. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kasar Daun Jawer Kotok Ekstrak heksana, aseton, dan akuades daun jawer kotok kering yang diperoleh dari proses maserasi diuji aktivitas antibakterinya terhadap bakteri uji. Ekstrak yang memiliki aktivitas antibakteri paling besar akan digunakan untuk uji selanjutnya yaitu uji Konsentrasi Hambat Tumbuh Minimum (KHTM) dan analisis fitokimia. Gambar 3 menunjukkan bahwa ekstrak aseton memiliki aktivitas antibakteri yang paling besar terhadap keempat jenis bakteri uji yang digunakan.
20 18 16 14 12 zona hambat 10 (mm) 8 6 4 2 0 B. subtilis
S.aureus
E. coli
P. aeruginosa
bakteri uji
Gambar 3 Aktivitas antibakteri ekstrak aseton ( ), heksana ( ), dan akuades ( ) daun jawer kotok 0.2 g/mL. Diameter zona hambat ekstrak aseton 0.2 g/mL terhadap bakteri B. subtilis, S. aureus, E. coli, dan P. aeruginosa berturut-turut adalah 20, 19.0833, 18.2083, dan 17.2333 mm. Diameter zona hambat ekstrak air 0.2 g/mL terhadap terhadap bakteri B. subtilis, S. aureus, E. coli, dan P. aeruginosa berturutturut adalah 11.25, 10.8333, 10.5417, dan 10.2083 mm. Sedangkan zona hambat untuk heksana paling kecil dibandingkan kedua ekstrak lainnya. Diameter zona hambat ekstrak heksana terhadap B. subtilis, S. aureus, E. coli, dan P. aeruginosa masingmasing adalah 9.5417, 10.1667, 9.9167, dan 7.2917 mm. Ekstrak aseton dan akuades memiliki kekuatan antibakteri yang kuat terhadap bakteri B. subtilis, S. aureus, E. coli, dan P. aeruginosa karena memiliki diameter zona hambat antara 10-20 mm. Ekstrak heksana memiliki kekuatan antibakteri sedang terhadap bakteri B. subtilis karena memiliki zona hambat antara 5-10 mm. Ekstrak ini berkekuatan kuat terhadap bakteri S. aureus, E. coli, dan P. aeruginosa. Analisis Fitokimia Ekstrak Aseton Daun Jawer Kotok Analisis fitokimia dilakukan pada ekstrak aseton daun jawer kotok kering. Analisis fitokimia merupakan salah satu cara untuk mengetahui kandungan metabolit pada suatu tanaman secara kualitatif. Uji fitokimia bertujuan untuk mengetahui adanya senyawa metabolit yang diharapkan dapat berperan sebagai antibakteri. Senyawa-senyawa yang diuji antara lain alkaloid, saponin, flavonoid, triterpenoid, steroid, tanin, dan minyak atsiri. Hasil analisis fitokimia dapat dilihat pada Tabel 5. Hasil analisis menunjukkan bahwa ekstrak aseton daun jawer kotok mengandung senyawa alkaloid dan steroid. Pada uji
alkaloid hasil positif ditunjukkan dengan terbentuknya endapan coklat dengan pereaksi Wagner, terbentuk endapan putih dengan pereaksi Mayer, dan adanya endapan merah dengan pereaksi Dragendorf. Adanya steroid ditunjukkan dengan terbentuknya warna hijau. Kedua senyawa ini diduga sebagai senyawa antibakteri pada ekstrak aseton daun jawer kotok.Hasil analisis fitokimia ini sesuai dengan Asiamaya (2000) yang menyatakan bahwa daun jawer kotok mengandung minyak atsiri (karvakrol, eugenol, dan etil salisilat), zat-zat alkaloida, mineral serta sedikit lendir. Namun analisis fitokimia pada penelitian ini tidak menunjukkan adanya minyak atsiri. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh sifat minyak atsiri yang mudah menguap sehingga senyawa ini kemungkinan menguap karena pemanasan pada saat pengeringan daun. Alkaloid merupakan golongan terbesar dari senyawaan hasil metabolit sekunder pada tumbuhan Alkaloid dapat ditemukan dalam berbagai bagian tanaman seperti biji, daun, ranting, dan kulit kayu. Alkaloid umumnya dinyatakan sebagai senyawa basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, yang biasanya merupakan bagian dari sistem siklik (Suradikusumah 1989) Alkaloid adalah senyawa turunan asam amino dan dibagi berdasarkan kerangka asam amino yang menyusunnya. Alkaloid dianggap turunan asam amino diindikasikan dengan terdapatnya atom nitrogen di dalam kerangka suatu senyawa. Atom nitrogen merupakan donor elektron (kelebihan 1 pasang elektron) dan bersifat basa atau alkali. Sehingga senyawa-senyawa golongan ini disebut alkaloid (Saefudin 2006). Alkaloid dapat beracun bagi manusia dan banyak mempunyai kegiatan fisiologis yang menonjol sehingga dapat digunakan secara luas dalam bidang pengobatan. Alkaloid biasanya tidak berwarna, bersifat optis aktif, berbentuk kristal dan hanya sedikit yang berupa cairan pada suhu kamar (Harborne 1987). Tabel 5
Hasil analisis fitokimia ekstrak aseton daun jawer kotok
Senyawa Alkaloid Saponin Flavonoid Triterpenoid Steroid Tanin Minyak Atsiri
Hasil + + -
Alkaloid diterpenoid yang diisolasi dari tanaman memiliki sifat antimikrob (Naim 2004). Mekanisme penghambatan senyawa alkaloid terhadap bakteri belum jelas. Namun Robinson (1998) menyatakan bahwa alkaloid dapat mengganggu terbentuknya jembatan seberang silang komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel. Sterol pada umumnya dianggap hanya ada pada binatang sebagai hormon seks, asam empedu dan sebagainya. Akhir-akhir ini semakin bertambah jumlah senyawa sterol yang terdapat dalam jaringan tumbuhan. Sterol tersebut dinamakan sebagai fitosterol. Tiga fitosterol yang banyak terdapat dalam tumbuhan tingkat tinggi adalah sitosterol, stigmasterol, dan kampesterol. Sterol adalah triterpen yang bentuk dasarnya sistem cincin siklopentana perhidrofenantren, fitosterol berbeda secara struktural dengan sterol binatang. Perbedaannya dengan kolesterol terutama adalah adanya substitusi gugus metil, etil, atau etiliden pada atom C24 (Suradikusumah 1989). Menurut Zhu et al. (2000) dan Varricchio et.al (1967) steroid dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif. Penentuan Konsentrasi Hambat Tumbuh Minimum Konsentrasi Hambat Tumbuh Minimum (KHTM) adalah konsentrasi terendah suatu antibiotik atau antimikrobial yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri tertentu. Nilai KHTM akan spesifik untuk setiap kombinasi dari antibiotik dan mikroba. KHTM sebuah antibiotik terhadap mikroba digunakan untuk mengetahui sensitivitas mikroba terhadap antibiotik. Nilai KHTM berlawanan dengan sensitivitas mikroba yang diuji. Semakin rendah nilai KHTM dari sebuah antibiotik, maka sensitivitas dari bakteri akan semakin besar. Menurut Wattimena (1991) suatu antibakteri dikatakan mempunyai aktivitas yang tinggi bila KHTM terjadi pada kadar antibiotik yang rendah tapi mempunyai daya bunuh/daya hambat yang besar. Konsentrasi yang digunakan untuk uji KHTM bervariasi antara 0.05 mg/mL sampai 500 mg/mL. Zona hambat yang dihasilkan oleh ekstrak daun jawer kotok dengan berbagai konsentrasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.
25 20 zona hambat 15 (mm) 10 5 0 B. subtilis S.aureus
E. coli
P. aeruginosa
bakteri uji
Gambar 4 Daya hambat ekstrak aseton daun jawer kotok pada berbagai konsentrasi. 500 125 75 30 15 10 5 2 1 0.8 0.5 0.3 0.2 0.1 0.05 Variasi konsentrasi yang digunakan menghasilkan aktivitas antibakteri yang berbeda-beda terhadap keempat bakteri uji. Konsentrasi 500 mg/mL memiliki zona hambat yang paling besar. Konsentrasi ini memiliki kekuatan aktivitas antibakteri yang sangat kuat karena diameter zona hambatnya lebih dari 20 mm. Zona hambat ekstrak ini terhadap bakteri B. subtilis, S. aureus, E. coli, dan P. aeruginosa berturut-turut adalah 21.2875, 23.1375, 20.8875, dan 20.7188 mm. Konsentrasi 0.1 mg/mL merupakan konsentrasi paling rendah yang dapat menghambat pertumbuhan keempat bakteri uji. Konsentrasi ini memiliki kekuatan aktivitas antibakteri yang sedang karena memiliki diameter zona hambat 5-10 mm. Diameter zona hambat yang dihasilkan terhadap bakteri B. subtilis, S. aureus, E. coli, dan P. aeruginosa berturut-turut adalah 6.6438, 6.5, 6.8062, dan 6.6188 mm. Diameter zona hambat bakteri P. aeruginosa paling kecil dibandingkan ketiga bakteri uji lainnya. Hal ini mungkin disebabkan karena P. aeruginosa merupakan bakteri Gram negatif yang lebih tahan terhadap berbagai jenis antibakteri karena struktur dinding selnya yang lebih kompleks. Menurut Lay & Hastowo (1992) infeksi oleh bakteri ini tidak selalu bisa disembuhkan dengan obat. Selain memiliki enzim β-laktamase, bakteri ini juga memiliki berbagai protein pada membran luar yang berperan dalam pertahanan terhadap molekul berbahaya termasuk antibakteri.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa pada keempat bakteri uji terdapat korelasi positif antara konsentrasi ekstrak dengan aktivitas antibakteri, yaitu semakin besar konsentrasi ekstrak yang ditambahkan maka aktivitas antibakteri semakin besar pula yang ditunjukkan dengan semakin besarnya diameter zona hambat Hasil uji statistik juga menunjukkan bahwa aktivitas antibibakteri ekstrak dengan konsentrasi 500 mg/mL ternyata tidak berbeda nyata dengan ekstrak 125 mg/mL terhadap keempat bakteri uji. Sedangkan konsentrasi lainnya memiliki diameter zona hambat yang berbeda nyata. Perbandingan Penghambatan Ekstrak Daun Jawer Kotok Terhadap Ampisilin Kontrol positif yang digunakan pada penelitian ini adalah ampisilin 0.4 mg/mL. Ampisilin digunakan sebagai kontrol positif dalam penentuan aktivitas antibakteri daun jawer kotok karena ampisilin merupakan turunan dari penisilin yang mempunyai spektrum antibakteri yang luas. Gambar 5 menunjukkan zona hambat ampisilin konsentrasi 0.4 mg/mL terhadap bakteri uji. Zona hambat ampisilin terhadap B. subtilis, S. aureus, E. coli, dan P. aeruginosa masingmasing sebesar 26.2, 25.6042, 24.7708, dan 25.5292 mm. Diameter zona hambat yang dihasilkan oleh ekstrak aseton daun jawer kotok pada semua konsentrasi (0.05-500 mg/mL) terhadap keempat bakteri uji belum sebanding dengan dengan ampisilin 0.4 mg/mL. Zona hambat dari ampisilin sebagai kontrol mempunyai diameter zona hambat yang lebih besar jika dibandingkan dengan ekstrak daun jawer kotok walaupun konsentrasi kontrol jauh lebih rendah dari konsentrasi ekstrak. Hal ini dapat disebabkan ekstrak daun jawer kotok merupakan ekstrak kasar yang masih mengandung bahan organik lain selain senyawa antibakteri Perbandingan diameter zona bening ampisilin dan ekstrak daun jawer kotok dapat dilihat pada Gambar 6. 26.5 26 zona hambat (mm)
25.5 25 24.5 24 B. subtilis
S.aureus
E. coli
P. aeruginosa
bakteru uji
Gambar 5
Daya hambat ampisilin 0.4 mg/mL.
30 25 20 zona hambat 15 10 5 0 500
30
5
0.8
0.2
Ampisilin
konsentrasi (mg/mL)
Gambar 6 Perbandingan daya hambat ekstrak aseton daun jawer kotok terhadap ampisilin 0.4 mg/mL. ( ) B. subtilis,( ) S. aureus ( )E. coli ( ) P. aeruginosa Hasil penelitian ini secara umum menunjukkan bahwa bakteri Gram positif (B. subtilis dan S. aureus) lebih mudah dihambat oleh ekstrak daun jawer kotok. Hal ini disebabkan oleh struktur dinding sel bakteri Gram positif yang relatif sederhana sehingga memudahkan senyawa antibakteri untuk masuk ke dalam sel dan menemukan sasaran untuk bekerja. Sedangkan struktur dinding sel bakteri Gram negatif lebih kompleks, berlapis tiga yaitu lapisan luar yang berupa lipoprotein, lapisan tengah yang berupa lipopolisakarida, dan lapisan dalam berupa peptidoglikan (Pelczar & Chan 1986). Membran terluar bakteri Gram negatif dapat menghalangi penembusan senyawa antibakteri (Siswandono & Soekardjo 1995)
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Daun jawer kotok (Coleus scutellaroides (L.) Benth. ) dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif (Bacillus subtilis dan Staphylococcus aureus) dan bakteri Gram negatif (Escherichia coli dan Pseudomonas aeruginosa). Aktivitas filtrat daun tua lebih besar jika dibandingkan dengan filtrat daun muda. Ekstrak aseton memiliki aktivitas antibakteri yang paling besar dibandingkan dengan ekstrak air dan heksana. Uji fitokimia menunjukkan ekstrak aseton daun jawer kotok mengandung alkaloid dan steroid. Konsentrasi ekstrak berbanding lurus dengan zona hambat yang dihasilkan. Semakin tinggi konsentrasi maka zona hambat yang dihasilkan lebih besar pula. Konsentrasi Hambat Tumbuh Minimum (KHTM) bakteri