UJI PERMEASI IN VITRO GEL ETOSOM VITAMIN C 1
2
Nur Illiyyin Akib , Latifah Rahman , dan Marianti A. Manggau 1
2
Jurusan Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Haluoleo, Kendari Email : nurilliyyin@ymail.com 2 Fakultas Farmasi, Universitas Hasanuddin, Makassar ABSTRAK Vitamin C merupakan senyawa hidrofilik sukar berpenetrasi ke dalam lapisan kulit. Salah satu sistem penghantar bentuk vesikel adalah etosom yang dapat meningkatkan penetrasi senyawa-senyawa hidrofilik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui permeasi formula gel etosom vitamin C dan memperoleh sediaan gel etosom vitamin C untuk penggunaan transdermal. Penelitian ini diformulasikan untuk memasukkan vitamin C sebagai zat aktif ke dalam etosom menggunakan metode dingin. Perbandingan fosfatidilkolin dan etanol dipilih berdasarkan formula yang paling banyak menjerap vitamin C. Optimasi penjerapan dilakukan dengan menaikkan konsentrasi vitamin C hingga diperoleh penjerapan optimum. Pengujian permeasi dilakukan terhadap sediaan gel etosom vitamin C dengan basis karbopol dan menggunakan kulit manusia secara in vitro. Hasil penelitian menunjukkan etosom dengan bentuk Large Unilamellar Vesicles (LUV) dengan ukuran 0,82 – 1,58 µm. Formula dengan perbandingan b/b fosfatidilkolin:etanol (2:20) dapat menjerap vitamin C sebesar 99,99%. Uji permeasi menunjukkan formulasi gel etosom dapat meningkatkan laju penetrasi vitamin C melintasi membran sebesar 77,3% dalam waktu 360 menit dengan kecepatan 2,25 mg/menit.cm2. Kata kunci : Etosom, Vitamin C, Transdermal, Uji Permeasi
PENDAHULUAN
bran vesikel, maka vesikel dapat dengan mudah menembus stratum korneum (3). Vitamin C merupakan senyawa hidrofilik sehingga kemampuan penetrasinya ke dalam lapisan kulit sangat rendah. Formulasi sediaan transdermal dengan peningkat penetrasi vesikel etosom akan membawa vitamin C melintasi lapisan kulit. Biaya penyiapan etosom relatif lebih murah serta dapat dilakukan tanpa pemanasan (metode dingin) sehingga stabilitas vitamin C tetap terjaga. Metode dingin akan menghasilkan bentuk vesikel lapis tunggal sehingga diharapkan lebih banyak vitamin C yang terjerap dalam kompartemen air yang bersifat polar. Vitamin C juga terlindung dari oksidasi karena dienkapsulasi oleh vesikel etosom. Selain itu penggunaan vitamin C secara topikal menghindarkan efek samping nyeri lambung pada penderita gangguan saluran pencernaan. Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian formulasi dan pengujian permeasi in vitro sediaan gel etosom vitamin C yang diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan dalam pengembangan produk kosmetika vitamin C yang aman, efektif,dan ekonomis serta menjadi dasar pengembangan penelitian di bidang cosmeceutical.
Absorbsi perkutan senyawa hidrofilik membutuhkan peningkat penetrasi (enhancer), antara lain adalah sistem penghantar berbentuk vesikel. Liposom merupakan vesikel berbentuk gelembung yang tersusun oleh fosfolipid di dalam media air. Penggunaan liposom mampu meningkatkan bioavailabilitas obat di kulit dan memperbaiki rasio resiko manfaat. Liposom akan berpenetrasi pada sawar epidermis yang terganggu (1). Alternatif vesikel adalah etosom yaitu pembawa jenis vesikel halus dan lunak yang tersusun atas fosfolipid, alkohol konsentrasi yang tinggi, dan air. Komposisi yang tepat dapat menghantarkan zat aktif hidrofilik dalam konsentrasi tinggi secara transport pasif ke dalam lapisan kulit hingga mencapai sirkulasi sistemik (2). Etosom merupakan sistem peningkat penetrasi jenis vesikel (vesicular enhancher) yang banyak dikaji dalam beberapa tahun terakhir ini. Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, etosom terbukti mampu menembus kulit dan memungkinkan penghantaran senyawa kimia dari permukaan kulit ke dalam berbagai stratum kulit, bahkan sirkulasi sistemik. Kemampuan etosom menghantarkan berbagai bahan aktif merupakan faktor penting dalam formulasi sistem penghantar pada sediaan obat, baik untuk penggunaan topikal maupun tujuan sistemik. Konsentrasi etanol yang tinggi akan menyebabkan gangguan pada lapisan lemak di kulit. Ketika terjadi integrasi lemak di kulit dengan mem-
METODE PENELITIAN Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan meliputi alat-alat gelas, lumpang dan alu, mikroskop optik (Cite),
1
2
Majalah Farmasi dan Farmakologi, Vol. 16, No. 1 – Maret 2012, hlm. 1 – 6
pengaduk magnetik (Wiggen Hauser), sel difusi statis (modifikasi), sonikator (Soniclean), spektrofotometer UV (Shimadzu UV-160), tabung eppendorf, termometer, timbangan analitik (Sartorius TE2101), dan ultrasentrifus (Tomy MC-150). Bahan kimia meliputi air suling, asam oksalat (E.Merck), benzalkonium klorida, etanol 96%, kalium dihidrogen fosfat (Wako), karbopol, L-άFosfatidilkolin (Sigma Aldrich), natrium hidroksida (E.Merck), propilen glikol, trietanolamin, vitamin C (Kalbe Farma), vitamin C baku pembanding (E.Merck), 2,6-diklorofenol indofenol (E.Merck). Kulit uji yang digunakan adalah kulit anak usia 710 tahun. Pembuatan Etosom dengan Metode Dingin (2) Fosfatidilkolin didispersikan dengan dalam o air suling 30 C di dalam wadah tertutup. Vitamin C dimasukkan ke dalam fase lipid dan dihomogenkan dengan pengaduk magnetik pada kecepatan 750 rpm selama 5 menit dan membentuk sistem koloidal. Propilen glikol dan etanol 96% dipanaskan hingga 30oC dalam wadah terpisah lalu dimasukkan ke dalam sistem koloidal, diaduk selama 5 menit hingga terbentuk suspensi vesikel etosom-vitamin C. Ukuran vesikel etosom diperkecil dengan sonikasi selama 15 menit. Tabel 1. Formula etosom-vitamin C (2) Komposisi dan jumlah bahan (gram) tiap 100 gram formula Kode Formula Fosfatidil Propilen Vitamin Etanol kolin glikol c Et-1 1 10 1 10 Et-2 2 10 1 10 Et-3 1 20 1 10 Et-4 2 20 1 10 Et-5 1 20 1 15 Et-6 2 20 1 15 Et-7 3 20 1 15
kan, dan Qs adalah jumlah vitamin C yang terdeteksi di supernatan (vitamin C yang tidak terjerap). Pengamatan Morfologi dan Ukuran Vesikel (5) Suspensi etosom disebarkan di atas kaca objek. Bentuk dan ukuran vesikel diamati dengan mikroskop optik. Pembuatan Gel Etosom Vitamin C Etosom-vitamin C ditimbang setara 3 gram vitamin C. Karbopol didispersikan dalam air suling dan didiamkan semalam. Benzalkonium klorida, propilen glikol, dan trietanolamin ditambahkan ke dalam dispersi karbopol. Suspensi etosom-vitamin C ditambahkan ke dalam dispersi karbopol sambil diaduk di dalam lumpang hingga membentuk massa gel, pH diatur dengan menggunakan NaOH 1% hingga pH 3-4, lalu ditempatkan dalam wadah plastik yang terlindung dari cahaya. Tabel 2. Formula (b/b) 30 gram gel etosom-vitamin C Jumlah bahan (gram) dalam tiap 30 gram formula Bahan G1 G2 G3 Karbopol 1,0 1,5 2,0 Trietanolamin 0,5 0,5 0,5 Propilen glikol 10,0 10,0 10,0 Benzalkoniumklorida 0,01 0,01 0,01 Air suling 88,49 87,99 87,49
Air 78 77 68 67 63 62 61
Pengujian Viskositas Gel Etosom-Vitamin C Sejumlah 100 gram gel etosom vitamin C ditempatkan di dalam gelas beker dan viskositasnya diukur dengan viskometer yang menggunakan spindle 6. Penyiapan Kulit Uji (6,7)
Penentuan Efisiensi Penjerapan (4) Suspensi vesikel etosom-vitamin C disimpan dalam lemari pendingin selama satu malam, lalu disentrifus selama 2 jam dengan kecepatan 15.000 rpm. Supernatan diambil untuk mengukur kadar vitamin C yang tidak terjerap, dengan cara memipet sejumlah 1 ml dan dicukupkan volumenya dengan larutan 2,6-diklorofenol indofenol 0,04% hingga 10 ml, kemudian diukur pada panjang gelombang 517 nm menggunakan blanko larutan asam oksalat 0,4%. Persentase jerapan vitamin C dihitung dari rumus berikut: EE =
x 100%
EE adalah efisiensi penjerapan (entrapment efficiency), Qt adalah jumlah vitamin C yang ditambah-
Kulit manusia bagian penis dibilas dengan air suling dan disimpan pada suhu beku jika belum digunakan. Pengujian Permeasi In Vitro Menggunakan Sel Difusi (6,8) Kompartemen reseptor diisi dengan larutan dapar fosfat pH 7,4 dan suhu dipertahankan o 2 pada kisaran 32 ± 1 C. Kulit uji ukuran 1x1 cm diletakkan pada kompartemen donor dan disetimbangkan dengan cairan reseptor selama 10 menit. Permukaan kulit dikeringkan dan diolesi sediaan gel etosom vitamin C sebanyak 150 mg (mengandung 15 mg vitamin C). Cairan reseptor dicuplik sejumlah 2 ml pada menit ke-30, 60, 120, 180, 240, 300, dan 360, untuk mendapatkan larutan uji. Cairan reseptor yang dicuplik segera digantikan dengan volume dan suhu yang sama. Perlakuan yang sama dilakukan terhadap kontrol (sediaan gel vitamin C tanpa formulasi etosom)
Nur Illiyyin Akib, dkk., Uji Permeasi In Vitro Gel Etosom Vitamin C
Penentuan Kadar Vitamin C Cairan Reseptor Volume masing-masing larutan uji dicukupkan hingga 5 ml dengan larutan dapar fosfat pH 7,4, lalu diukur pada panjang gelombang 267,5 nm dibandingkan dengan blanko larutan dapar fosfat pH 7,4. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Bentuk dan Ukuran Vesikel
3
Permeasi In Vitro Gel Etosom Vitamin C
14 Permeasi Vitamin C (mg) 12 10 8 6 4 2 0 30 60 120
Sediaan Uji
Sediaan Kontrol
180
240
300
360
Waktu (menit)
Gambar 2. Grafik perbandingan Permeasi Vitamin C antara sediaan uji dan kontrol Vesikel Etosom
Gambar 1. Vesikel Etosom Perbesaran 1.000x
Bentuk etosom yang dihasilkan adalah vesikel besar lapis tunggal atau large unilamellar vesicles (LUV). Sedangkan ukurannya bervariasi antara 0,82 hingga 1,58 µm. Efisiensi Penjerapan (EE) Jumlah vitamin C yang terjerap di dalam vesikel etosom bervariasi pada berbagai formula seperti dalam tabel 3. Tabel 3. Efisiensi Penjerapan (%EE) Vitamin C dalam Vesikel Etosom (% b/b) Komposisi dan jumlah bahan (gram) tiap 100 gram formula Kode Vit.C Formula FosfatidilEE Vit.C Etanol bebas Kolin (%) (ppm) Et-1 1 10 10 4.126,1 95,87 Et-2 1 20 10 4.102,6 95,89 Et-3 2 10 10 1.532,8 98,47 Et-4 2 20 10 35,9 99,96 Et-5 2 20 12,5 20,3 99,98 Et-6 2 20 15 16,9 99,99 Et-7 2 20 17,5 -
Formula Et-6 dengan komposisi % b/b fosfatidilkolin:etanol (2:20) dapat menjerap 99,99% dari 15 gram vitamin C dalam 100 gram suspensi etosom.
Pembahasan Penelitian ini menghasilkan etosom yang berbentuk vesikel besar lapis tunggal atau Large Unilamellar Vesicles (LUV). Bentuk vesikel ditentukan dengan metode pembuatan yang dipilih. Vitamin C yang merupakan bahan larut air atau hidrofilik, akan terjerap di bagian inti vesikel yang mengandung air. Menurut Ashis, metode dingin sering digunakan untuk menjerap obat yang bersifat hidrofilik karena mampu menjerap lebih banyak obat ke dalam komparteman hidrofilik vesikel (9). Guna memperkecil ukuran vasikel maka dilakukan sonikasi yaitu penerapan energi ultrasonik untuk memperkecil ukuran partikel dan memisahkan partikel-partikel yang saling menempel. Sonikasi bekerja dengan mekanisme pengubahan sinyal listrik menjadi getaran mekanis yang diarahkan menuju suatu zat untuk memecahkan ikatan antar molekul. Ukuran vesikel yang diperoleh bervariasi antara 0,82 hingga 1,58 µm. Pembentukan vesikel terjadi pada saat fosfolipid terhidrasi dalam medium berair. Lapisan lipid ganda akan melekuk dengan sendirinya membentuk gelembung yang tertutup dan fase air akan terperangkap di bagian tangahnya (10). Hidrasi akan mengembangkan atau memperbesar vesikel semaksimal mungkin sehingga mengoptimalkan penjerapan obat. Penjerapan obat dalam vesikel etosom dipengaruhi oleh komposisi fosfatidilkolin dan etanol yang digunakan serta metode pembuatannya. Fosfolipid merupakan komponen utama pembentuk vesikel yang akan menjerap obat. Sedangkan etanol akan mempengaruhi vesikel, yaitu menjadikan struktur vesikel kurang rapat sehingga obat mudah masuk ke dalam lipid bilayer. Berdasarkan hasil pengukuran kadar vitamin C yang terjerap dalam vesikel etosom, diperoleh bahwa peningkatan konsentrasi fosfolipid yang digunakan berpengaruh terhadap peningkatan penjerapan vitamin C. Jumlah vitamin C yang ditambahkan adalah 10% atau 10 gram. Konsentrasi fosfatidilkolin yang digunakan adalah 1% dan 2 %. Formula Et-1 dengan perbandingan bobot fosfat-
4
Majalah Farmasi dan Farmakologi, Vol. 16, No. 1 – Maret 2012, hlm. 1 – 6
idilkolin:etanol (1:10) menjerap 95,87% vitamin C. Sedangkan Formula Et-3 dengan perbandingan bobot fosfatidilkolin:etanol (2:10) menjerap 98,47% vitamin C. Fosfolipid adalah elemen utama pembentuk vesikel. Semakin tinggi fosfolipid yang digunakan maka semakin banyak vesikel yang terbentuk, sehingga penjerapan obat juga diharapkan semakin optimal. (5,11). Data yang diperoleh menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi fosfatidilkolin yang digunakan maka semakin besar efisiensi penjerapan vitamin C oleh vesikel etosom. Alkohol juga mempengaruhi efisiensi penjerapan vitamin C di dalam vesikel. Jumlah vitamin C yang ditambahkan adalah 10% atau 10 gram. Konsentrasi etanol yang digunakan adalah 10% dan 20 %. Formula Et-1 dengan perbandingan bobot fosfatidilkolin:etanol (1:10) menjerap 95,87% vitamin C. Sedangkan Formula Et-2 dengan perbandingan bobot fosfatidilkolin:etanol (1:20) menjerap 95,89% vitamin C. Etanol akan menyebabkan struktur vesikel kurang rapat atau renggang sehingga diharapkan semakin banyak vitamin C yang masuk melewati celah pada lipid lapis ganda. Namun jika konsentrasi etanol terlalu tinggi akan meningkatkan fluiditas lipid vesikel sehingga menjadi lebih permeabel yang mengakibatkan menurunnya efisiensi penjerapan (11). Data yang diperoleh menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi etanol yang digunakan maka semakin besar efisiensi penjerapan vesikel etosom. Selanjutnya dirumuskan pula formula Et-4 dengan memilih perbandingan bobot fosfatidilkolin dan etanol yang tertinggi yaitu (2:20) dan vitamin C yang ditambahkan sebesar 10% atau 10 gram. Formula tersebut mampu menjerap 99,96% vitamin C. Guna memperoleh bobot etosom yang minimum dengan kandungan vitamin C yang optimum, maka dilakukan optimasi kadar vitamin C terhadap Formula Et-4. Jumlah vitamin C yang ditambahkan pada Formula Et-5 adalah 12,5% atau 12,5 gram, diperoleh efisiensi penjerapannya sebesar 99,98%. Sedangkan Formula Et-6 ditambah vitamin C sebesar 15% atau 15 gram, diperoleh efisiensi penjerapannya sebesar 99,99%. Adapun terhadap Formula Et-7 tidak dilakukan pengukuran karena suspensi etosomnya terdegradasi setelah penyimpanan satu malam pada lemari pendingin. Tingginya kadar vitamin C yang terjerap dalam vesikel etosom akan meningkatkan pencapaian terapetiknya. Penjerapan yang diperoleh hampir mencapai 100%. Hal tersebut disebabkan oleh sifat hidrofilik vitamin C. Vitamin C terpartisi seluruhnya ke dalam bagian polar yaitu air. Vitamin C masuk ke dalam vesikel ketika vesikel tersebut dihidrasi oleh air yang mengandung vitamin C. Pada penelitian ini ditambahkan propilen glikol ke dalam formulasi etosom guna meningkatkan permeabilitas membran (kulit uji) saat dilalui oleh vesikel melalui efek sinergis dengan etanol dalam formula vesikel tersebut (5).
Sediaan gel etosom vitamin C dibuat dengan menggunakan etosom Formula Et-6 yang memiliki penjerapan terbesar. Gel dibuat dengan berbagai variasi basis karbopol yang dinetralkan dengan trietanolamin 0,5% untuk menstabilkan sediaan gel. Adapun pengawet yang digunakan adalah benzalkonium klorida 0,01%. Selain itu digunakan pula pula humektan yaitu propilen glikol dengan konsentrasi 3%. Berdasarkan pengujian organoleptis diperoleh formula G-3 memiliki tekstur yang lebih baik dibandingkan formula G-1 dan G-2. Lalu dilakukan pengujian viskositas pada formula G-3 dan diperoleh nilai viskositas 6.600 cps. Uji permeasi dilakukan dengan alat sel difusi, terdiri atas kompartemen donor yang berisi sediaan uji serta kompartemen reseptor yang berisi cairan reseptor dan celah untuk mencuplik cairan reseptor. Kulit uji diletakkan di antara kompartemen donor dan reseptor. Pada penelitian ini digunakan sel difusi model statis yang dimodifikasi. Cairan reseptor yang digunakan adalah dapar fosfat pH 7,4 yang biasa digunakan untuk pengujian bahan-bahan hidrofilik (6). Volume cairan reseptornya sebanyak 35 ml dan diharapkan tidak membatasi absorbsi dermal dari bahan uji. Adapun sediaan yang diujikan adalah sediaan formula G-3. Kondisi oklusi pada penelitian ini adalah teroklusi sebagian. Kondisi teroklusi akan menyebabkan hidrasi kulit berlebihan sehingga dikhawatirkan akan merusak integritas kulit dan mempengaruhi hasil pengujian. Sebenarnya untuk meniru kondisi eksposur normal, permukaan kulit sebaiknya tidak teroklusi (6). Namun kondisi tidak teroklusi memungkinkan terjadinya oksidasi vitamin C pada sediaan kontrol. Sistem penghantaran obat etosom memiliki kemampuan penjerapan obat yang tinggi. Konsentrasi lipid penyusunnya juga rendah sehingga akan membentuk vesikel dengan ukuran yang lebih kecil. Hal tersebut memungkinkan permeasi lintas membran yang lebih baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan etosom dapat meningkatkan permeasi zat aktif pada sediaan gel vitamin C. Terlihat pada sediaan uji memiliki kemampuan permeasi yang jauh lebih baik dibanding dengan sediaan kontrol (tanpa etosom). Pada sediaan gel etosom, permeasi vitamin C sebesar 11,59 mg atau 77,3% dalam waktu 360 menit. Vitamin C yang terjerap dalam vesikel etosom akan melintasi stratum kulit dengan mudah karena efek sinergis antara etanol dan lipid penyusun vesikel. Etanol menyebabkan membran lipid vesikel etosom menjadi kurang rapat dibandingkan dengan vesikel konvensional. Etanol juga berinteraksi dengan molekul lipid di stratum korneum sehingga lipid menjadi lebih lunak. Karenanya vesikel etosom akan lebih mudah menembus celah yang telah tercipta akibat gangguan alkohol terhadap stratum korneum. Lalu diikuti oleh efek etosom berupa penetrasi antar lipid dan permeasi dengan
Nur Illiyyin Akib, dkk., Uji Permeasi In Vitro Gel Etosom Vitamin C
cara membuka jalur baru akibat kelenturan dan fusi lipid etosom dengan lipid di kulit (12,13,14). Hasilnya adalah pelepasan vitamin C ke dalam lapisan kulit. Sedangkan pada sediaan kontrol tanpa etosom, permeasi vitamin C sebesar 3,13 mg atau 20,9% dalam waktu 360 menit. Senyawa hidrofilik dapat menembus stratum korneum melalui kelenjar keringat, folikel rambut, dan kelenjar minyak atau jalur appandagel (Aiache, 1993). Vitamin C masuk melalui pori-pori di permukaan stratum korneum hingga mencapai cairan reseptor. Jumlah zat aktif yang melintasi membran (mg/cm2) di-plot-kan pada grafik versus waktu. Nilai slope dari persamaan garis regresi menunjukkan kecepatan lintas membran zat aktif (15). Kecepatan lintas membran vitamin C pada sediaan uji adalah 2,25 mg/menit.cm 2. Sedangkan pada se2 diaan kontrol adalah 1,51 mg/menit.cm . Permeasi vitamin C ke dalam cairan reseptor dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: 1. Bobot molekul yang ideal untuk sistem penghantaran obat transdermal yaitu tidak lebih dari 400 (16). Bobot molekul vitamin C adalah 176,13 sehingga tepat diaplikasikan melalui jalur transdermal. 2. Koefisien partisi zat aktif (16). Vitamin C, meskipun larut air, namun sistem pembawa etosom dapat mengubah koefisien partisi vitamin C. Akibatnya, laju perpindahan lintas membran menjadi lebih besar. 3. Hidrasi oleh komposisi sistem pembawa baik etosom maupun basis gel yang mengandung air (14). Permeabilitas stratum korneum ditingkatkan oleh air yang menyebabkan hidrasi dan perubahan struktur lipid. Akibatnya vitamin C lebih mudah melintasi membran lipid kulit. 4. Adanya efek depot pada stratum korneum, sehingga terjadi ikatan yang bersifat irreversibel dan dapat memodifikasi permeabilitas kulit kulit terhadap vitamin C. 5. Peningkatan suhu kulit menyebabkan perubahan difusi yang disebabkan oleh peningkatan kelarutan obat (16). Namun dalam penelitian ini tidak divariasikan, yaitu 32 ± 1oC (6). 6. Waktu kontak obat dengan kulit (17). Semakin lama waktu kontak sediaan dengan kulit maka jumlah vitamin C yang diabsorbsi akan meningkat. 7. Luas permukaan aplikasi (17). Semakin besar luas permukaan kontak yang efektif maka jumlah vitamin C yang berpenetrasi akan meningkat. Namun dalam penelitian ini tidak divariasi2 kan, yaitu hanya 1 cm . 8. Ketebalan membran uji (17). Dalam penelitian ini ketebalan membran diperkirakan sama yaitu kulit full-thickness dengan ketebalan sekitar 0,5 hingga 1,0 mm karena fungsi sawar kulit terletak pada stratum korneum. 9. Konsentrasi sediaan yang diaplikasikan (17). Semakin tinggi konsentrasi sediaan yang diaplikasikan, maka semakin besar jumlah zat aktif
5
yang berpenetrasi. Namun dalam penelitian ini tidak divariasikan, yaitu 10% vitamin C dalam 150 mg gel. Sediaan gel transdermal vitamin C ini merupakan cosmeceutical atau kosmetika medik, yaitu kosmetika dengan tambahan zat aktif pada konsentrasi tertentu yang dapat mempengaruhi struktur dan fungsi kulit. Kosmetika medik memberikan efek profilaksis maupun memperbaiki kondisi patologis pada kulit (18). Sediaan ini merupakan diindikasikan sebagai antioksidan, antiaging, dan skin lightening. Penggunaan antioksidan di kulit mampu melawan cedera oksidatif strukutur lipid dan protein pada sel kulit (19). Meskipun kulit telah memiliki sistem antioksidan endogen, namun dalam kondisi tertentu jumlah oksidan lebih besar daripada antioksidan endogen maka kulit mengalami stress oksidatif. Stres oksidatif merupakan salah satu penyebab kanker kulit dan photoaging (20). Oleh karena itu, kulit memerlukan tambahan antioksidan baik suplementasi oral maupun penggunaan topikal. Selain itu vitamin C juga merangsang sintesis kolagen dalam fibroblast di lapisan dermis dan berperan dalam pembentukan sawar lemak di epidermis. Vitamin C akan menghambat biosintesis elastin yang berperan pada penuaan kulit dan mengurangi pembentukan pigmen pada kulit dengan menghambat tirosinase (20). Hasil pengujian permeasi sediaan gel vitamin C yang menggunakan karbopol sebagai basis gel menunjukkan bahwa permeasi sediaan gel vitamin C yang menggunakan vesicular enhancher jenis etosom jauh lebih baik dibanding dengan penetrasi sediaan gel vitamin C yang tidak menggunakan etosom sebagai peningkat penetrasi. KESIMPULAN 1. Bentuk vesikel etosom adalah Large Unilamellar Vesicles (LUV) dengan ukuran bervariasi antara 0,82 hingga 1,58 µm. 2. Vesikel etosom dapat menjerap vitamin C sebesar 99,99% dari jumlah yang ditambahkan. 3. Sebanyak 77,3% vitamin C melintasi membran dalam waktu 360 menit dengan kecepatan lintas membran 2,25 mg/menit cm 2. DAFTAR PUSTAKA 1. Korting, H.C., 1991, A Topical Liposome Drugs to Come: What The Patent Literature Tell Us, American Academik Dermatology, dalam Gilman, A.G, Goodman and Gilman’s The Pharmacological Basic of Therapeutics, tanpa tahun, Ed.10, diterjemahkan oleh Amalia Hanif, dkk., Penerbit EGC, Jakarta, 2008.
6
Majalah Farmasi dan Farmakologi, Vol. 16, No. 1 – Maret 2012, hlm. 1 – 6
2. Touitou, E., 1996, Composition of Applying Active Substance to or Through The Skin, United Stated Patent No. 5.540.934. 3. Touitou, E., and Godin, B., 2000, Enhanced Delivery Into and Across The Skin by Ethosomal Carries, Drug Development Research, 50: 406415, dalam Deny, F., dkk, 2006, Penggunaan Vitamin E dan Vitamin C Topikal dalam Bidang Kosmetik, Majalah Kedokteran Andalas, No. 2 Vol. 30: 40. 4. Sentjurc, 1999, Liposomes As a Topical Delivery System: The Role of Size on Transport Studied by the EPR Imaging Method. J Control Rel, (Online), (www.unvpublication.org, diakses 20 Juni 2010). 5. Dave, V., et al., 2010, Ethosome for Enhanced Transdermal Drug Delivery of Aceclofenac, International Journal of Drug Delivery 2, No.81-92 6. OECD, 2004, Guidance Document for The Conduct of Skin Absorption Studies OECD Series on Testing and Assessment, No. 28, Joint Meeting, Organisation for Economic Cooperation and Develompment, Paris. 7. Mahmoud, A., et al.,2008, Reconstructed Epidermis and Full-Thickness Skin for Absorption Testing: Influence of the Vehicles Used on Steroid Permeation, ATLA, No. 36, 441-452, Berlin. 8. Taylor. R.M., dan D.J. Wilson, 1994, Ascorbic Acid Composition and Transdermal Administration Method, United Stated Patent No. 5. 308, 621. 9. Ashis, R., 2010, Ethosomes: Novel Approach in Transdermal Drug Delivery System, Research Journal of Pharmaceutical Dosage Form and Techqnology, (Online), Vol. 02, No. 01, (www.unvpublication.org, diakses 20 Juni 2010) 10. Sharma, V.K., Misra D.N., dan Srivastava B., 2010, Liposom Present Prospective and Future Challenges, International Journal of Current Pharmaceutical Review And Research, (www.ijcpr.com, diakses pada tanggal 24 Juli 2011)
11. Maurya, S.D., et al., 2011, Enhancement of Transdermal Permeation Indinavir Sulfate via Ethosome Vesicles, The African Journal of Pharmaceutical Sciences and Pharmacy, (Online), Vol. 2, No. 1, (www.ajpsp.html, diakses 10 April 2011). 12. Akiladevi, D., Sachinandan Basak, 2010, Ethosomes A Noninvasive Approach for Transdermal Drug Delivery, International Journal of Current Pharmaceutical Research, Vol. 2, No. 4. 13. Anitha, P., et al., 2011, Ethosomes A Noninvasive Vesicular Carrier for Transdermal Drug Delivery, International Juornal of review in Life Sciences, (Online), Vol. 1, No. 1, (www.ijrls.pharmascope.org, diakses 27 Agustus 2011) 14. Benson, H.A.E, 2005, Transdermal Drug Delivery : Penetration Enhancement Techniques, Current Drug Delivery, Volume 2, Bentham Science Publishers Ltd., Perth. 15. Esponito, E., E. Menegatti, dan R. Cortesi, 2004, Ethosomes and Liposomes as Topical Vehicles for Azelaic Acid, Journal of Cosmetology and Science, No. 55, University of Ferrara, Ferrara. 16. Agoes, G., 2006, Pengembangan Sediaan Farmasi, Penerbit ITB, Bandung. 17. Walters, K..A, 2002, Dermatological and Transdermal Formulation, Marcel Dekker Inc., New York. 18. Draelos, Z.D., L.A. Thaman, 2006, Cosmetics Formulation of skin Care Products, Taylor and Francis Co., New York. 19. Thiele, J., dan P. Elsner, 2001, Oxidants and Antioxidants in Cutaneous Biology, Karger, Basel. 20. Barel A.O., M. Paye, dan H.I. Maibach, 2011, Handbook of Cosmetics Sciences and Technology, ed.2, Marcel Dekker inc., New York