BioSMART Volume 5, Nomor 2 Halaman: 81-88
ISSN: 1411-321X Oktober 2003
Uji Patogenitas Jamur Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. Isolat Magelang terhadap Aphis craccivora Koch. Pathogenetic activities of Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. from Magelang against Aphis craccivora Koch. PURIN CANDRA PURNAMA1, SRI JUNI NASTITI2, JESMANDT SITUMORANG2 1
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta 57126 2 Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 55284 Diterima: 17 Mei 2003. Disetujui: 21 Juli 2003
ABSTRACT Plant pests and diseases were a restraint factor on increasing food production program. Indonesian Leguminoceae family, e.g. kacang tolo (Vigna sinensis) was often infected by Aphis craccivora Koch. (Aphididae). This agent naturally bio-controlled by enthomophagous fungi called Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. The objectives of the research were (i) to find out pure isolate of B. bassiana from Magelang, and (ii) to test pathogenic activities of A. craccivora imago against pure isolate of B. bassiana from Magelang. The research resulted in two isolates of B. bassiana, namely Sp-1 from Leptocorisa sp and Sp-2 from Nilaparvata lugens. In this study, lab collection of B. bassiana isolates, namely Sp Lab., HA, and BD were also been used. The highest viability of B. bassiana was given by Sp Lab (86,9%), followed by HA (67,7%), Sp-1 (66,7%), BD (63,3%), and Sp-2 (19,8%). The highest sporulation of Sp-1 was given on 28th day (1,4 x 109 conidia per mm3), Sp-2 was given on 21st (2,3 x 109 conidia per mm3), Sp Lab was given on 14th day (5,2 x 109 per mm3), and HA was given on 14th day (3,6 x 109 per mm3). The highest total mortality of A. craccivora imago was given by HA (78,8%), followed by BD (54,5%), Sp-2 (51,5%), Sp-1 (48,5%), and Sp Lab (27,3%). The HA isolate of B. bassiana was killed effectively on A. craccivora. Key words: pathogenitic activities, Aphis craccivora Koch., Beauveria bassiana (Bals.) Vuill.
PENDAHULUAN Hama dan penyakit tanaman merupakan faktor pembatas dalam program peningkatan mutu dan produksi pangan, sehingga menjadi tantangan besar untuk menemukan cara pemecahannya. Salah satu tanaman pertanian yang penting di Indonesia adalah tanaman kacang-kacangan. Biji tanaman ini memiliki nilai ekonomi dan nilai gizi yang tinggi, meliputi protein nabati, lemak, mineral, dan vitamin. Namun komuditas pertanian ini tidak lepas dari serangan hama dan penyakit tanaman. Kutu daun Aphis craccivora Koch. (Aphididae; Homoptera) yang berukuran kecil dan tersebar secara kosmopolitan, merupakan salah satu hama tanaman Leguminoceae di Indonesia (Kalshoven, 1981). Serangga ini mempunyai kemampuan hidup yang tinggi karena mampu bereproduksi secara partenogenesis vivipar, serta bersifat polimorfisme (Elzinga, 1978; Metcalf dan Flint, 1962). Serangga ini berperan sebagai vektor bermacammacam virus penyebab penyakit, seperti chlorotic leaflets dan mosaic rosette. Penyakit ini dapat menurunkan kandungan lemak 21-27% dan kandungan protein 16-27% pada biji kacang-kacangan (Bernabe, 1972), dapat pula menyerang Mirabilis jalapa, Moringa oleifera, Antigonon leptopus, dan Glyricidia sepium (Nayar et al., 1982). Menurut Metcalf dan Flint (1962), tanaman yang terserang A. craccivora akan menjadi kerdil, daun mengeriting,
muncul bercak-bercak, dan warna daun menguning, diikuti kelayuan dan kematian. Dalam usaha pengendalian serangga ini, para petani lebih banyak menggunakan insektisida dibandingkan cara lain. Aplikasi insektisida merupakan cara yang praktis dan efisien, namun aplikasi yang berlebihan dapat membunuh musuh-musuh alami (predator) hama tersebut, mendorong timbulnya hama sekunder menjadi hama utama, resurgensi, serta berdampak negatif pada lingkungan, misalnya dengan terjadinya magnifikasi biologi (Untung, 1991). Penggunaan pestisida mengakibatkan menurunnya kualitas hasil pertanian, karena adanya residu bahan aktif. Untuk mencapai produksi yang mantap dengan kondisi lingkungan yang lestari, perlu dilakukan pengendalian hama secara biologi, dengan tetap memelihara keselarasan, keserasian, dan keseimbangan lingkungan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah menggunakan musuh alami hama, dalam hal ini A. craccivora, dengan memanfaatkan jamur entomophagous yang menyerang serangga tersebut, seperti Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. B. bassiana merupakan jamur imperfekti yang membentuk koloni berwarna putih seperti kapas dengan pertumbuhan tidak teratur (Barnett, 1972). Konidiofor jamur ini memiliki bagian fertil yang bercabang dengan bentuk zig-zag dan di ujungnya terbentuk konidia yang mirip bola. Konidia memiliki dinding yang licin, diameter 2-3 µm, dan bersifat hidrofob. Hifa hialin, berbentuk massa © 2003 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
82
B i o S M A R T Vol. 5, No. 2, Oktober 2003, hal. 81-88
yang berwarna putih atau kuning pucat, namun kadang berwarna merah muda atau kemerahan (Steinhaus, 1949). B. bassiana dapat melakukan penetrasi melalui kutikula dan ruas-ruas anggota badan serangga (Ferron, 1981). Mekanisme penetrasinya dimulai dengan pertumbuhan konidia pada epikutikula serangga yang terinfeksi, diikuti pembentukan badan seperti apresoria (Elzinga, 1978). Penetrasi berlangsung selama 12-24 jam dengan bantuan enzim khitinase, lipase, dan protease yang dikeluarkan hifa. Di dalam epidermis, miselia tumbuh secara radial dari pusat infeksi dan akan mencapai hemokoel dalam 1-2 hari. Selanjutnya miselia akan tumbuh ke seluruh jaringan tubuh, mengadakan penetrasi ke permukaan tubuh, dan membentuk konidia (Robert, 1981). Hifa juga menghasilkan toksin yang mengandung beauverisin, beauverolit, bassianolit, isorolit, zat warna, dan asam oksalik (Steinhaus, 1949). Kematian serangga yang teinfeksi B. bassiana disebabkan adanya toksin dan rusaknya jaringan atau organ secara mekanis. Jaringan atau organ yang dirusak jamur ini antara lain saluran pencernaan, otot, kelenjar sutra, urat saraf, lemak, dan sistem pernafasan (Cheung dan Grula, 1982 dalam Suntoro, 1991). Mengingat peran B. bassiana yang sangat besar dalam menekan populasi hama A. craccivora, maka penelitian ini bertujuan untuk: (i) mendapatkan isolat murni jamur B. bassiana dari wilayah Magelang yang bersifat patogenik terhadap A. craccivora, (ii). melaksanakan uji patogenitas terhadap imago A. craccivora dengan menggunakan isolat murni jamur B. bassiana dari wilayah Magelang. BAHAN DAN METODE Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: tabung reaksi, cawan petri, jarum inokulasi, botol vial dan botol jam dengan penutup, gelas benda dan gelas penutup, jarum preparat/jarum bundle, gunting dan pinset, kaca pembesar dan mikroskop stereo, kertas label dan sweep net, autoklaf, kayu aplikator dan bola-bola kapas, kandang kasa atau kelambu dengan ukuran (50x50x80) cm3 untuk memelihara hewan uji, serta lemari pendingin digunakan untuk menyimpan biakan jamur. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: serangga A. craccivora yang menunjukkan gejala terserang penyakit muscardine, baik yang masih hidup maupun yang telah mati, serta serangga dan nimfa yang sehat, tanaman kacang tolo (Vigna sinensis), medium SDAY (Sabourand Dextrose Agar Yeast), akuades steril, dan Tween 80. Cara kerja Koleksi A. craccivora (kutu daun) dilakukan di wilayah Magelang dan sekitarnya, baik yang hidup maupun yang mati akibat terinfeksi jamur. A. craccivora yang masih hidup dipelihara dalam kandang untuk pengujian jamur yang telah diisolasi dari lokasi. Adapun langkah yang dilaksanakan adalah sebagai berikut: Pembiakan A. craccivora. Biakan A. craccivora dikoleksi dari lapangan, terutama dari tanaman anggota familia Glyricidae, selain itu juga dilakukan pengundangan
dengan cara menanam tanaman kacang tolo (Vigna sinensis) di lingkungan terbuka yang diperkirakan menjadi habitat serangga tersebut. Setelah tanaman berumur satu minggu biasanya A. craccivora akan datang dengan sendirinya. Serangga yang terkoleksi dipelihara dalam sangkar, serangga dewasa dipisahkan dan diperlihara satu ekor untuk setiap kandang. Pemisahan dilakukan dengan mendekatkan daun tanaman anggota familia Glyricidae yang ditinggali induk dewasa pada daun tanaman Vigna sinensis sebagai lingkungan barunya. Setelah terpisah dipelihara hingga beranak, kemudian induk yang telah beranak dipisahkan. Hewan anakan dipelihara selama sepuluh hari dan siap untuk diuji. Pembutan medium Sabourand Dextrose Agar Yeast (SDAY). Sebelum jamur dibiakkan secara massal, terlebih dahulu dibuat medium SDAY. Media ini mengandung pepton, dekstrosa, agar, dan ekstrak yeast. Medium SDAY sebanyak 60 gram dilarutkan dalam akuades sebanyak 1000 ml, lalu diaduk hingga homogen sambil dimasak. Kemudian medium disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121oC dan tekanan 1 atm selama 15 menit. Sesudah medium agar bersuhu ± 45oC dituangkan ke dalam cawan petri dan tabung reaksi secara aseptis sebanyak ± 20 ml. Media yang dituang ke dalam tabung reaksi digunakan untuk pembuatan media agar miring dengan cara merebahkan tabung reaksi. Isolasi B. bassiana pada medium SDAY. Isolat B. bassiana diperoleh dari beberapa serangga uji yang terinfeksi jamur. Jamur yang menginfeksi serangga diambil dengan jarum enten, lalu dimasukkan dalam tabung reaksi berisi 9 ml akuades steril, ditambah 2 tetes Tween 80, dan divortex hingga tercampur. Dari suspensi tersebut dibuat dua seri pengenceran. Setiap seri pengenceran diambil 0,1 ml dan dimasukkan dalam cawan petri berisi media SDAY. Dengan menggunakan drigalsky, suspensi diratakan ke seluruh media. Cawan petri diberi label berisi tanggal inokulasi, kode asal, dan spesies inangnya, kemudian dibungkus kertas sampul dan disimpan dalam inkubator atau pada rak di suhu kamar. Setelah dua hari koloni jamur diamati. Apabila ada kontaminasi maka biakan dimurnikan dengan cara memindahkan koloni B. bassiana ke media baru. Hal ini dilakukan berulang kali sampai diperoleh biakan murni. Selanjutnya biakan murni ditumbuhkan dalam media agar miring. Identifikasi B. bassiana. Untuk memastikan bahwa jamur yang diperoleh adalah B. bassiana, maka dilakukan identifikasi di bawah mikroskop dengan merujuk Samson (1981). Sebelumnya dibuat preparat dengan cara meneteskan laktofenol pada gelas benda yang sudah dibersihkan dengan alkohol dan dipanaskan di atas lampu spiritus. Secara aseptis miselia jamur diletakkan pada tetesan laktofenol, diurai dengan jarum preparat, dan ditutup dengan gelas penutup. Selain identifikasi dengan menggunakan ciri-ciri morfologi, dilakukan juga pengujian dengan menumbuh-kan jamur pada pH dan suhu optimalnya, serta uji sporulasi dengan menumbuhkan jamur pada media yang terbuat dari biji dan bonggol jagung. Jamur B. bassiana akan tumbuh baik pada suhu optimal, 20-30oC. Menurut Situmorang dan Nastiti, (1985). Sporulasi B. bassiana juga akan lebih baik pada media yang terbuat dari biji dan
PURNAMA, dkk. – Patogenitas Beauveria bassiana pada Aphis craccivora
bonggol jagung dibandingkan media SDAY, karena pada media jagung tersedia cukup O2 yang dibutuhkan untuk pertumbuhan, mengingat jamur ini bersifat aerob. Pembiakan massal B. bassiana. Upaya pembiakan massal B. bassiana dilaksanakan dengan menggunakan media jagung, yang dalam setiap 100 gram-nya mengandung protein 8,7 gram, lemak 4,5 gram, karbohidrat 72,4 gram, kalsium 9 mg, fosfor 380 mg, besi 4,6 mg, vitamin A 350 SI, vitamin B 0,27 mg, air 13,1 gram, dan 361 kalori. Media jagung dibuat dengan merendam jagung yang telah dipotong kecil-kecil dan dicuci bersih dalam air mendidih selama ± 30 menit, setelah agak empuk air dibuang, ditiriskan, dan dikukus selama 15 menit hingga empuk. Selanjutnya media diisikan ke dalam erlenmeyer 250 ml sesuai kebutuhan, ditutup, dan disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121oC tekanan 1 atm selama 30 menit. Media yang sudah dingin siap untuk diinokulasi dengan B. bassiana. Biakan murni B. bassiana dipindahkan ke dalam erlenmeyer berisi media jagung dengan jarum enten yang telah dibakar di atas lampu spritus hingga steril. Selanjutnya diinkubasi pada suhu kamar selama 18-21 hari dan diamati perkembangannya setiap hari. Penentuan pH dan kadar air media jagung. Penentuan pH media jagung dilakukan dengan pH meter elektrik. Caranya: media jagung seberat 5 gram direndam dalam 10 ml akuades netral dan didiamkan selama 24 jam, lalu ditentukan besar derajat keasaman (pH) sebanyak tiga ulangan dan hasilnya dirata-rata. Penentuan kadar air media jagung dilakukan berdasarkan metode berikut: alumunium foil yang akan digunakan sebagai tempat media jagung dipanaskan pada suhu 105oC selama tiga jam hingga beratnya konstan, kemudian didinginkan dalam eksikator dan ditimbang. Lalu 1 gram media jagung diletakkan pada alumunium foil yang telah diketahui beratnya dan dimasukkan dalam oven bersuhu 105oC selama tiga jam. Setelah itu alumunium foil bersama media jagung dikeluarkan dari oven, dimasukkan dalam eksikator hingga dingin, lalu ditimbang sampai didapatkan berat konstan. Semua perlakuan dilaksanakan sebanyak tiga ulangan. Berat kering media jagung dapat diketahui dengan rumus: (b – a) – (c – a) x 100 % (b – a)
Keterangan: a = Berat kotak alumunium foil kering b = Berat bahan basah + kotak alumunium foil c = Berat bahan kering + kotak alumunium foil Pengujian sporulasi B. bassiana. Sebanyak 1 gram media jagung dimasukkan dalam erlenmeyer 50 ml dan ditutup dengan kapas, lalu disterilkan dengan autoklaf bersuhu 121oC tekanan 1 atm selama 15 menit. Selanjutnya ditunggu hingga dingin dan diinokulasi dengan B. bassiana. Biakan murni B. bassiana yang telah berumur 18-21 hari diambil dengan jarum enten steril dan dimasukkan dalam tabung reaksi berisi 5 ml larutan ringer dan 2 tetes Tween 80, lalu digojog dengan vortex hingga homogen. Untuk mendapatkan suspensi dengan konsentrasi 106 konidia per ml, maka dilakukan penghitungan jumlah konidia dengan menggunakan haemocytometer tipe double improved neubauer. Suspensi konidia sebanyak 1-2
83
tetes diletakkan pada bidang hitung haemocytometer. Setelah didiamkan 1 menit, diamati dengan mikroskop perbesaran 100 kali atau 400 kali. Jumlah konidia dihitung pada 80 bilik hitung kecil. Setelah diketahui jumlahnya, suspensi konidia ditanam pada media jagung. Selanjutnya setiap tujuh hari jumlah konidia jamur per gram media jagung ditentukan dengan rumus sebagai berikut: t.d S =
x 4 .106
n
Keterangan: S = Jumlah konidia per gram media t = Jumlah konidia yang dihitung pada bilik hitung n = Jumlah bilik hitung yang diamati (5x16= 80 kotak) d = Tingkat pengenceran 4.106 = Volume satu bilik kecil (1/4 .106) Penentuan viabilitas konidia. Viabilitas konidia ditentukan dengan metode Sudibyo (1995). Media agar SDAY steril dituangkan di atas gelas benda dan diratakan hingga terbentuk lapisan tipis, didiamkan hingga dingin dan memadat. Sebagai inokolumnya disiapkan isolat jamur yang dimasukkan ke tabung reaksi berisi larutan ringer dan digojog dengan vortex hingga homogen. Untuk mendapatkan kerapatan konidia seperti yang diharapkan, maka dilakukan pengamatan di bawah mikroskop, apabila masih terlalu padat dapat diencerkan dengan menambahkan larutan ringer ke dalam tabung reaksi. Kemudian suspensi tersebut diteteskan sebanyak 1 tetes pada gelas benda berlapis media SDAY dan diratakan. Gelas benda tersebut dimasukkan dalam cawan petri steril dan diinkubasikan selama 24 jam pada suhu kamar. Setelah itu gelas benda dikeluarkan dari cawan petri, ditetesi dengan larutan laktofenol dan ditutup dengan gelas penutup, selanjutnya diamati di bawah mikroskop dan dihitung jumlah konidia yang berkecambah dan yang tidak berkecambah. Konidia berkecambah ditandai dengan munculnya hifa pendek. Selanjutnya viabilitas konidia dihitung dengan rumus: g V =
x 100% g +u
Keterangan: V = Viabilitas konidia g = Banyaknya konidia yang berkecambah u = Banyaknya konidia yang tidak berkecambah Penentuan pertumbuhan koloni B. bassiana. Pertumbuhan koloni B. bassiana setiap isolat ditentukan dengan mengukur diameter koloni setiap hari selama sepuluh hari. Adapun cara yang digunakan adalah dengan terlebih dahulu membuat suspensi dengan konsentrasi 103 per ml yang diinokulasikan secara aseptis ke dalam media SDAY pada cawan petri steril. Kemudian biakan diinkubasi pada suhu 25oC dan setiap hari diameter koloni diukur. Uji patogenitas terhadap imago A. craccivora. Uji patogenitas dimaksudkan untuk mengetahui daya bunuh B. bassiana yang diisolasi dari beberapa serangga A. craccivora yang terinfeksi di wilayah Magelang dan sekitarnya. Biakan murni B. bassiana yang sudah berumur 20 hari ditumbuhkan pada agar miring, konidianya disuspensikan pada larutan ringer dan divortex. Kemudian di buat pengenceran 10–1 dan ditambah larutan Tween 80
B i o S M A R T Vol. 5, No. 2, Oktober 2003, hal. 81-88
84
sebanyak 2 tetes per 10 ml suspensi. Suspensi dengan pengenceran 10–1 diamati dan dihitung di bawah mikroskop dengan bantuan haemocytometer tipe double improved neaubauer, sehingga diketahui jumlah konidia per mililiter suspensi. Selanjutnya dibuat suspensi konidia sebanyak 108 per mililiter dengan penambahan larutan Tween 80 sebanyak 2 tetes/ml yang diujikan pada imago A. craccivora berumur 10 hari dengan cara diteteskan sebanyak 0,1 ml pada bagian dorsal, kemudian sisa cairan diserap dengan tissue. Pengujian dilaksanakan dengan 3 kali ulangan masing-masing 10 ekor imago dan sebagai kontrol digunakan larutan ringer yang diberikan terhadap 10 ekor imago dengan 3 kali ulangan. Imago-imago tersebut dipelihara dalam kandang bersama tanaman inangnya. Gejala sakit dan mortalitas imago akibat terinfeksi jamur diamati selama enam hari perlakuan. Data mortalitas yang diperoleh dianalisis dengan ANOVA dan dilanjutkan dengan uji DMRT untuk mengetahui letak perbedaannya. Dari hasil pengujian, isolat yang paling banyak menimbulkan kematian digunakan untuk uji patogenitas, karena diperkirakan paling virulen terhadap imago A. craccivora. Untuk mengetahui konsentrasi konidia per mililiter suspensi digunakan metode Sudibyo (1995) dengan rumus: t C =
x 4 .10
Keterangan: C = Kerapatan konidia per ml suspensi konidia t = Jumlah konidia pada kotak perhitungan n = Jumlah bilik kecil yang diamati (dalam hal ini 5 bilik besar dengan masing-masing sejumlah 16 bilik kecil, sehingga jumlah bilik kecil yang teramati sejumlah 5x16 = 80 bilik kecil) 4 x 10 6 = Volume satu bilik kecil (1/4 . 106 ml) HASIL DAN PEMBAHASAN Setelah melalui proses pencarian yang dilakukan sejak bulan Agustus 2001 hingga September 2002 akhirnya didapatkan dua isolat B. bassiana dari Magelang. Keduanya diberi nama Sp-1 dan Sp-2 untuk memudahkan penyebutan. Isolat Sp-1 diperoleh dari Leptocorisa sp mati dengan tubuh penuh miselium pada tanggal 3 Maret 2002. Sedangkan isolat Sp-2 diperoleh dari Nilaparvata lugens pada tanggal 25 Maret 2002. Menginat hanya dua sampel isolat yang berhasil ditemukan, maka digunakan pula isolat B. bassiana yang telah dikarakterisasi dan diidentifikasi dari koleksi Laboratorium Entomologi Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, yaitu isolat Sp Lab, BD, dan HA (Tabel 1). Tabel 1. Isolat B. bassiana yang digunakan dalam pengujian. Inang Leptocorisa sp Nilaparvata lugens Helicoverpa armigera Leptocorisa sp Helicoverpa armigera
Sporulasi B. bassiana Pengamatan terhadap jumlah konidia B. bassiana yang ditumbuhkan pada media jagung selama empat minggu berturut-turut menunjukkan adanya kenaikan dan penurunan jumlah konidia (Tabel 2). Dengan digunakannya media jagung diharapkan dapat memacu pertumbuhan konidia jamur dengan lebih baik dan lebih cepat karena terkandung cukup nutrien yang dibutuhkan jamur. Tabel 2. Rerata jumlah konidia B. bassiana yang ditumbuhkan pada media jagung selama dua puluh delapan hari Hari ke
6
n
Nama isolat Sp-1 Sp-2 Sp Lab BD HA
Jamur yang tumbuh pada Leptocorisa sp dan Nilaparvata lugens tersebut selanjutnya dimurnikan dengan menumbuhkannya pada media selektif SDAY, sehingga diperoleh biakan murni jamur B. bassiana (Gambar 1). Biakan murni tersebut selanjutnya ditumbuhkan pada medium SDAY miring (Gambar 2). Koloni B. bassiana berwarna putih seperti kapas dan berbentuk circulair. Pengamatan secara mikroskopis menunjukkan ciri khas B. bassiana berupa hifa panjang, berwarna putih, bersekatsekat, konidiofor berbentuk zig-zag dan pada bagian ujungnya terdapat konidia berbentuk seperti bola (Gambar 3).
Daerah asal Magelang Magelang Banyudono -
7 14 21 28
Jumlah rata-rata konidia x 107 /mm3 Sp-1 5,5 43 47,5 140
Sp-2 48,9 129,2 230 81,7
Sp Lab 150,8 347 520 190
BD 117,6 295,8 246,7 163,5
HA 176,3 356 157,3 136,7
Pengujian sporulasi diharapkan dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan dari B. bassiana menghasilkan konidia dalam setiap minggu (tujuh hari), sehingga saat produksi dan pemanenan dapat diketahui secara tepat. Dari hasil penelitian terlihat bahwa pada hari ke-14 setiap isolat mengalami kenaikan jumlah konidia menjadi dua kali lipat dan terus menanjak pada minggu-minggu selanjutnya. Pada isolat Sp-1 jumlah konidia tujuh hari pertama 5,5.107 per mm3, sedangkan pada hari ke-14 jumlahnya meningkat tajam menjadi 43.10 7 per mm3. Hal ini menunjukkan bahwa jamur mulai dapat beradaptasi terhadap kondisi tempatnya hidupnya dan menghasilkan konidia untuk berkembang dengan jumlah sangat banyak. Pada hari ke-21 jumlah konidia meningkat menjadi 47,5.107 per mm3, pada hari ke-28 jumlah konidia meningkat tajam menjadi 140.107 per mm3. Isolat Sp-1 mengalami pertumbuhan konidia secara maksimal pada hari ke-28. Isolat Sp-2, pada hari ketujuh menghasilkan konidia sebesar 48,9.107 per mm3, pada hari ke-14 meningkat tajam menjadi 129,2.107 per mm3, pada hari ke-21 meningkat menjadi 230.107 per mm3. Namun pada hari ke-28 mengalami penurunan menjadi 81,7.107 per mm3. Hal ini menunjukkan bahwa puncak produksi konidia pada isolat Sp-2 terjadi pada hari ke-21, berbeda dengan isolat Sp-1 yang jumlah konidianya mengalami peningkatan pada hari ke-28. Pada hari ke-28, konidia isolat Sp-2 yang terbentuk pada hari-hari sebelumnya kemungkinan sudah berkecambah sehingga jumlahnya menurun. Selain itu nutrien yang terkandung dalam media jagung kemungkinan sudah berkurang sehingga produksi konidianya menjadi menurun.
PURNAMA, dkk. – Patogenitas Beauveria bassiana pada Aphis craccivora
Gambar 1. Koloni B. bassiana pada media SDAY umur 7 hari.
85
Gambar 2. Koloni B. bassiana yang ditumbuhkan pada medium SDAY miring.
b
a c a Gambar 3. Morfologi B. bassiana: a. konidia; b. konidiofor; c.hifa yang bersekat
Pola pertumbuhan konidia isolat Sp Lab serupa dengan pola pertumbuhan isolat Sp-2, yaitu jumlah konidia mengalami peningkatan pada hari ke-14 (menjadi sejumlah 347.107 per mm3dari sebesar 150,8.107 per mm3 pada hari ketujuhnya) dan hari ke-21 (menjadi sebesar 520.107 per mm3), sedangkan pada hari ke-28 jumlah konidia mengalami penurunan menjadi 190.107 per mm3. Isolat BD dan HA menunjukkan pola pertumbuhan yang serupa yaitu jumlah konidia mengalami peningkatan pada hari ke-14, namun mengalami penurunan pada hari ke-21 dan ke-28. Jumlah konidia pada hari ketujuh dari isolat BD sebesar 117,6.107 per mm3, sedang pada isolat HA sebesar 176,3.107 per mm3. Jumlah tersebut mengalami peningkatan pada hari ke-14 menjadi 295,8.107 per mm3 pada isolat BD dan menjadi 356.107 per mm3 pada isolat HA. Pada hari ke-21 jumlah konidia kedua isolat secara berturut-turut mengalami penurunan menjadi 246,7.107 per mm3 dan 157,3.107 per mm3. Demikian halnya pada hari ke-28 jumlah konidia kembali mengalami penurunan secara berturut-turut sebesar 163,5.107 per mm3 dan 136,7.107 per mm3. Pada kedua isolat tersebut, konidia yang terbentuk pada hari ketujuh dan ke-14 kemungkinan telah mengalami perkecambahan pada hari ke-21 sehingga jumlahnya menurun. Pada hari ke-28 jumlah konidia kembali mennurun karena konidia yang pada hari ke-21 belum berkecambah, pada hari ke-28 mulai berkecambah.
Secara umum diketahui bahwa jumlah konidia yang dihasilkan semua isolat pada hari ketujuh masih sangat sedikit dibandingkan hari-hari selanjutnya. Hal ini diduga terjadi karena jamur sedang menyesuaikan diri terhadap media jagung sebagai lingkungan barunya sehingga proses pertumbuhannya belum maksimal. Akibatnya jumlah konidia yang dihasilkan sebagai alat perkembangbiakan belum banyak. Namun baru pada hari ke-14 jumlah konidia yang terhitung mengalami peningkatan, hal ini diduga karena jamur sudah mulai beradaptasi dan dapat menggunakan nutrien yang terkandung pada jagung dengan maksimal. Akibatnya konidia sebagai sel reproduktif jamur mulai aktif dihasilkan sehingga jumlahnya mengalami peningkatan. Berhubung B. bassiana tergolong fungi imperfekti maka konidia yang dihasilkan bersifat aseksual. Secara umum jumlah konidia mengalami peningkatan maksimal pada hari ke-21 (pada isolat Sp-1, Sp-2, dan Sp Lab), pada saat tersebut jamur memasuki fase pertumbuhan logaritmik. Sedangkan pada isolat BD dan HA jumlah konidia maksimal terjadi pada hari ke-14. Setelah memasuki fase pertumbuhan logaritmik, biasanya pertumbuhan konidia cenderung konstan dan segera memasuki fase stasioner. Hal ini dikarenakan semakin berkurangnya jumlah nutrien yang terkandung dalam media jagung serta akibat adanya peningkatan kandungan metabolit sekunder yang terakumulasi dalam media yang
B i o S M A R T Vol. 5, No. 2, Oktober 2003, hal. 81-88
berperan sebagai faktor pembatas pertumbuhan jamur, sehingga jumlah konidia yang dihasilkan jagung pada hari ke-28 mengalami penurunan. Jumlah pencapaian konidia maksimal setiap isolat dan harinya disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Rerata jumlah konidia maksimal setiap isolat B. bassiana dan hari pencapaiannya Isolat Sp-1 Sp-2 Sp Lab BD HA
Jumlah konidia maksimal (x 107/gr) 140 230 520 295 356
Hari pencapaian 28 21 21 14 14
Viabilitas konidia Untuk mengetahui kemampuan konidia B. bassiana dalam berkecambah selama kurun waktu 24 jam, maka dilaksanakan uji viabilitas. Hasil uji viabilitas tersebut disajikan pada Tabel 4. Dari hasil pengujian viabilitas diketahui bahwa isolat Sp Lab memiliki viabilitas tertinggi dibandingkan isolat lain yaitu sebesar 86,9%. Sedangkan isolat dengan nilai viabilitas terendah adalah isolat Sp-2 yaitu sebesar 19,8%. Isolat Sp-1, BD, dan HA memiliki nilai viabilitas yang hampir sama yaitu berturut-turut 66,7%, 63,3%, dan 67,7%. Data viabilitas diharapkan dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan setiap isolat dalam berkecambah sehingga diperoleh gambaran kemampuannya untuk berkecambah pada serangga yang di uji. Tabel 4. Viabilitas konidia lima isolat B. bassiana yang digunakan dalam penelitian
Sp-1 Sp-2 Sp Lab BD HA
Sp 1
15
Sp 2
10
Sp Lab BD
5
HA
0
Terdapat beberapa faktor yang berkaitan dengan sporulasi, antara lain kandungan nutrien dalam media pertumbuhan, suhu, cahaya, aerasi, serta kelembaban relatif (Benz, 1963). Tinggi rendahnya konidia yang dihasilkan menunjukkan bahwa kondisi penanaman yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan sporulasi jamur pada penelitian ini cukup optimal, di antaranya kisaran pH dan kadar air media. Besar pH media, 4,49 ± 0,023, sesuai dengan kisaran pH optimum untuk pertumbuhan jamur yaitu sebesar 4-6. Sedangkan kadar air media sebesar 58,33±0,58% juga sudah sesuai untuk pertumbuhan jamur.
Isolat
20 Diameter koloni (mm)
86
Viabilitas (%) 66,7 19,8 86,9 63,3 67,7
Pertumbuhan koloni B. bassiana Untuk mengetahui kemampuan tumbuh koloni B. bassiana, maka dilakukan pengujian pertumbuhan kelima isolat jamur. Pengujian dilakukan dengan mengukur diameter setiap koloni pada setiap hari. Koloni B. bassiana tersusun dari anyaman miselium, tediri dari kumpulan hifa yang saling terjalin. Dari data dapat diasumsikan bahwa jamur yang pertumbuhannya paling cepat, mampu membunuh serangga uji dengan tempo yang lebih cepat pula.
0
5
10
15
Hari Ke-
Gambar 4. Rerata pertumbuhan diameter koloni kelima isolat B. bassiana.
Pada hari pertama hingga hari ketiga pertumbuhan koloni B. bassiana belum terlihat. Baru pada hari keempat pertumbuhan koloni teramati. Hal ini menunjukkan bahwa sebelum hari keempat inokulum masih harus beradaptasi dengan lingkungan barunya. Kondisi ini biasanya dikenal dengan fase lag atau istirahat, pada saat itu baru terjadi transfer makanan dari medium ke dalam sel, persiapan reproduksi, sintesis DNA, dan enzim indusibel untuk pembelahan sel. Sehingga hanya terjadi peningkatan ukuran sel, belum diikuti peningkatan jumlah sel, akibatnya diameter koloni pada masa tersebut belum terukur. Memasuki hari keempat dan selanjutnya pertumbuhan koloni mulai dapat diukur dengan jelas dan senantiasa mengalami peningkatan ukuran hingga hari kesepuluh, dimana pengukuran diameter koloni sulit dilakukan karena koloni yang terbentuk memenuhi cawan petri dan berdesakan. Pada hari keempat, kelima isolat B. bassiana yang diuji memasuki fase eksponensial atau fase logaritmik. Hal ini ditandai dengan meningkatnya biomassa secara linier, reproduksi dengan kecepatan maksimal, dan bertambahnya panjang hifa yang menyusun koloni. Pada penelitian ini, rata-rata laju pertumbuhan setiap isolat hampir sama. Apabila waktu pengamatan diperpanjang, boleh jadi pertumbuhan koloni akan konstan dan stasioner, diikuti penurunan pertumbuhan koloni, karena menurunnya kandungan nutrien pada media jagung (Gambar 4). Patogenitas imago A. craccivora Uji patogenitas kelima isolat B. bassiana terhadap imago A. craccivora dengan konsentrasi 108 per mm 3 suspensi menunjukkan bahwa perlakuan hingga hari keenam setelah aplikasi mengakibatkan mortalitas total sebesar 48,5% untuk isolat Sp-1; 51,5% untuk Sp-2; 27,3% untuk isolat Sp Lab; 54,5% untuk isolat BD; 78,8% untuk isolat HA; dan 6,06% pada kontrol. Banyaknya imago A. craccivora yang mati per hari disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Mortalitas A. craccivora selama 6 hari aplikasi (%). % Mortalitas hari ke1 2 3 4 5 6
Isolat Sp-1
Sp2
Sp Lab
0a 0a 0a ab ab 18,2 24,2 9,1 ab 21,2 abc 27,3 b 12,1 ab 39,4 bcd 45,5 b 18,2 ab 45,5 cd 48,5 b 21,2 b 48,5 d 51,5 b 27,3 b
BD
HA
K
0a 3,03 a 12,1 ab 30,3 bc 48,5 c 54,5 c
0a 15,2 a 21,2 a 60,6 b 66,7 b 78,8 b
0a 0a 0a 3,03 a 3,03 a 6,06 ab
PURNAMA, dkk. – Patogenitas Beauveria bassiana pada Aphis craccivora
kelima (48,5%) dan keenam (54,5%), menandakan efek kerja toksin B. bassiana telah bekerja maksimal. Sedangkan hari pertama hingga hari ketiga tidak terdapat mortalitas yang signifikan. Analisis variansi pada taraf signifikansi 95% untuk uji mortalitas A. craccivora dengan isolat HA menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan antara perbedaan hari dengan mortalitas A. craccivora. Sedangkan hasil analisis DMRT menunjukkan adanya perbedaan tingkat mortalitas di antara lama hari. Pada hari pertama (0%) hingga hari ketiga (21,2%) terdapat mortalitas yang mortalitas, sedangkan antara hari pertama, kedua (15,2%), dan ketiga terhadap mortalitas hari keempat (60,6%), kelima (66,7%), dan keenam (78,8%) terdapat mortalitas yang signifikan. Mortalitas A. craccivora yang telah di uji dengan kelima isolat B. bassiana disajikan pada Gambar 5. 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Sp 1
% Mortalitas
Mortalitas total tertinggi A. craccivora yang terinfeksi B. bassiana terjadi pada isolat HA (78,8%). Kondisi ini menunjukkan bahwa isolat tersebut bersifat paling virulen, sehingga paling efektif untuk membunuh A. craccivora. Daya bunuh isolat HA yang tergolong tinggi ini kemungkinan didukung oleh tingginya nilai viabilitasnya, 67,7%. Uji mortalitas hingga hari terakhir tidak menunjukkan adanya kematian hingga 100%. Keadaan ini terjadi akibat tidak seragamnya daya kekebalan tubuh A. craccivora, serta adanya perbedaan virulensi toksin pada setiap isolat B. bassiana. Pengamatan terhadap imago A. craccivora yang terinfeksi B. bassiana menunjukkan bahwa setelah terinfeksi biasanya A. craccivora warna tubuh memudar, jarang bergerak (gerakannya lamban) untuk pindah tempat makan, pada akhirnya tidak mampu lagi bergerak, selang 23 hari tubuhnya mulai mengeras dan ditumbuhi miselium jamur berwarna putih. Melalui pengamatan miselium, jamur pertama terlihat pada bagian integumen torak, serta di antara caput dan torak, kemudian menyebar ke seluruh permukaan tubuh. Hal ini menunjukkan bahwa kematian serangga uji benar-benar disebabkan infeksi jamur uji. Analisis variansi dari Sp-1 pada taraf signifikansi 95% menunjukkan bahwa perbedaan lama hari berpengaruh signifikan terhadap tingkat mortalitas A. craccivora. Selain itu hasil analisis DMRT menunjukkan adanya perbedaan tingkat mortalitas di antara lama hari. Pada hari pertama (0%) hingga ketiga (21,2%) mortalitas A. craccivora tidak signifikan, sedangkan antara hari pertama (0%) dan keenam (48,5%) terdapat perbedaan yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa efek toksin B. bassiana telah bekerja maksimal. Analisis variansi pada taraf signifikansi 95% untuk uji mortalitas dengan isolat Sp-2 menunjukkan bahwa perbedaan hari berpengaruh signifikan terhadap mortalitas A. craccivora. Selain itu hasil analisis DMRT menunjukkan adanya perbedaan tingkat mortalitas di antara lama hari. Pada hari pertama (0%) dan kedua (24,2%) mortalitas A. craccivora tidak signifikan, sedangkan antara hari pertama (0%) dengan ketiga (27,3%), keempat (45,5%), kelima (48,5%), dan keenam (51,5%) terdapat mortalitas yang signifikan, menandakan efek kerja toksin B. bassiana telah bekerja maksimal. Analisis variansi mortalitas A. craccivora dengan isolat Sp Lab pada taraf signifikansi 95% menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan antara perbedaan hari dengan mortalitas A. craccivora. Selain itu hasil analisis DMRT menunjukkan adanya perbedaan tingkat mortalitas di antara lama hari. Pada hari pertama (0%) hingga keempat (18,2%) mortalitas A. craccivora tidak signifikan, sedangkan antara hari pertama dengan kelima (21,2%) dan keenam (27,3%) terdapat mortalitas yang signifikan, menandakan efek kerja toksin B. bassiana telah bekerja maksimal. Analisis variansi pada taraf signifikansi 95% untuk mortalitas A. craccivora dengan isolat BD menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan antara perbedaaan hari dengan mortalitas A. craccivora. Sedangkan hasil analisis DMRT menunjukkan adanya perbedaan tingkat mortalitas di antara lama hari. Pada hari pertama (0%) dan kedua (3,03%) terdapat mortalitas yang signifikan terhadap hari
87
Sp 2 Sp Lab BD HA
0
1
2
3 4 Hari Ke-
5
6
7
Gambar 5. Mortalitas A. craccivora. yang terjadi setelah perlakuan dengan kelima isolat B. bassiana selama 6 hari aplikasi
Proses infeksi B. bassiana terhadap serangga lebih efektif dengan konidia daripada hifanya, meskipun hifa juga dapat menimbulkan kematian terhadap serangga uji. Proses infeksi jamur entomogenous secara umum melalui empat cara, yaitu melalui integumen, saluran pencernaan, trakea, dan luka. Namun yang terpenting dan paling spesifik adalah melalui integumen secara langsung seperti halnya proses infeksi pada A. craccivora (Steinhauss, 1949). Pada umumnya proses infeksi jamur patogen pada dinding tubuh harus menembus dua lapisan integumen, yaitu epikutikula dan prokutikula. Lapisan epikutikula mengandung lilin dan senyawa lemak lain, sedangkan lapisan prokutikula mengandung protein dan khitin (Cooke, 1977; Nayar et al, 1982). Pada kondisi yang sesuai, konidia yang telah menempel pada integumen akan berkecambah dengan mengeluarkan buluh kecambah (germ tube) yang diikuti pembengkakan tabung tersebut untuk membentuk apresoria. Selanjutnya apresoria akan mengalami pembelahan sel lebih lanjut membentuk kelompok sel komplek yang merupakan ujung infeksi. Ujung infeksi ini dapat mensekresikan massa lendir yang memungkinkan konidia menempel pada integumen. Selain itu, di integumen juga terdapat rambut-rambut yang memudahkan perlekatan konidia. Setiap sel apresoria akan membentuk satu hingga beberapa titik penekanan pada epikutikula. Hal ini menyebabkan epikutikula melekuk dan mengalami histolisis, hingga menghasilkan rongga di bawahnya. Selanjutnya dinding apresoria di atas setiap rongga tersebut pecah dan menghasilkan ujung
88
B i o S M A R T Vol. 5, No. 2, Oktober 2003, hal. 81-88
penembusan yang dapat terus tumbuh mengisi rongga. Penembusan epikutikula ini berlangsung terus hingga mencapai lapisan prokutikula. Pada lapisan ini, ujung penembusan akan meluas sejajar dengan lapisan prokutikula dan membentuk lempeng cakram pipih. Lempeng tersebut akan menutup kanal-kanal prokutikula hingga terjadi penimbunan lemak di sekitarnya. Dari lempeng tersebut akan muncul hifa penembus lateral dan selanjutnya membentuk rantai-rantai di antara lapisan prokutikula bagian dalam. Proses ini berlangsung berkalikali, akhirnya beberapa hifa melepaskan diri dari prokutikula dan masuk ke dalam rongga badan. Pada saat mencapai rongga badan hifa membentuk koloni yang berbentuk stellat atau digitate. Koloni tersebut untuk sementara dapat dilokalisasikan oleh mekanisme yang berasal dari tubuh inang. Selanjutnya jamur akan menyerang jaringan yang lebih dalam dengan cara melepaskan sel-sel bebas dan kadang-kadang dengan potongan koloni. Sel-sel bebas tersebut dapat mengalami pembelahan dengan tunas pada awal kolonisasi. Fase seperti khamir ini dapat menghambat aliran darah, tetapi belum dapat menyerang organ dalam. Selama di dalam haemolymfe sel bebas tersebut dikelilingi fagosit, namun belum ada bukti bahwa ia dibunuh fagosit justru sebaliknya sel darah dibunuh oleh sel bebas. Pada stadium akhir kolonisasi sel seperti khamir tersebut akan berubah menjadi filamen. Dari semula hanya memiliki hifa pendek secara gradual berubah menjadi panjang bersamaan dengan perkembangan penyakit. Pada fase ini jamur sudah dapat mengkolonisasi jaringan internal inang (Robert, 1981). Pada umumnya penembusan berlangsung dalam waktu kurang dari 24 jam dan kematian dapat berlangsung beberapa hari kemudian. Segera setelah penembusan, terjadi perubahan perilaku inang, dimulai dengan menurunnya nafsu makan dan hilangnya respon, diikuti terjadinya kehilangan pada semua fungsi dan tubuh mulai kejang. Kondisi ini menunjukkan saat dimulainya paralisis. Perilaku inang yang tidak normal tersebut disebabkan oleh efek fisik jamur selama menyerang darah. Kematian inang lebih banyak disebabkan oleh aktifitas toksin dibandingkan penyebab lain (Burges, 1981). Toksin yang dihasilkan oleh B. bassiana antara lain beauverisin, beauverolit, dan isorolit. Toksin tersebut dapat merusak enzim serta mampu menerobos masuk ke dalam organ dan merusak jaringan atau organ hemokoel. Kerusakan yang ditimbulkan menyebabkan tidak berfungsinya organ sehingga aktivitas fisiologi terganggu. Organ yang sering dirusak oleh toksin antara lain otot, saluran pencernaan, saraf, jaringan lemak, dan saluran pernafasan. Akibatnya gerakan dan pertumbuhan serangga menjadi tidak normal (Benz, 1963; Cheung dan Grula, 1982, dalam Suntoro, 1991). Apabila inang telah mati, maka miselium akan tersebar dengan cepat memenuhi ruangan rongga tubuh, sehingga tubuh inang akan mengeras. Pada kondisi lembab dan suhu hangat (25-300C), hifa akan menembus keluar integumen dan menghasilkan konidia (Robert, 1981).
KESIMPULAN Dari koleksi di lapangan didapatkan dua isolat Beauveria bassiana, yaitu Sp-1 yang diisolasi dari Leptocorisa sp dan Sp-2 yang diisolasi dari Nilaparvata lugens. Viabilitas tertinggi dijumpai pada Sp Lab sebesar 86,9% diikuti HA sebesar 67,7%, Sp-1 sebesar 66,7%, BD sebesar 63,3%, dan terendah Sp-2 sebesar 19,8%. Sporulasi tertinggi Sp-1 terjadi pada hari ke-28 sebesar 1,4 x 109 konidia per mm3,Sp-2 sebesar 2,3 x 109 konidia per mm3 (pada hari ke-21), Sp Lab sebesar 5,2 X 109 per mm3 (pada hari ke-14), dan HA sebesar 3,6 x 109 per mm3 (pada hari ke-14). Mortalitas total imago Aphis craccivora Koch. tertinggi dicapai HA sebesar 78,8% diikuti BD sebesar 54,5%, Sp-2 sebesar 51,5%, Sp-1 sebesar 48,5%, dan terendah pada Sp Lab sebesar 27,3%. Secara keseluruhan perlakuan penyemprotan dengan HA paling efektif membunuh A. craccivora dibandingkan dengan isolat lainnya. DAFTAR PUSTAKA Barnett, H. L. 1972. Illustrated Genera of Imperfect Fungi. London: Burges Publishing Company. Benz, G. 1963. Physiologi and Histochemistry in Insect Pathology. Edited by E. A. Steinhaus. New York: Academic Press.. Bernabe, C. M. 1972. Effect of aphid infestation (Aphis craccivora Koch) on the yield of Los Banos Bush Sitao. Journal of the Philippines Entomologi 2 (3): 209-212. Burges, H.D. (ed.). 1981. Microbial Control of Pest and Plant Disease, 1970-1980. 1st ed. London: Academic Press. Cooke, R. 1977. The Biology of Symbiotic Fungi. Chichester: John Willey and Sons. Elzinga, R. J. 1978. Fundamental of Entomology. New Delhi: Prentice Hall of India Private Limited. Ferron, P., 1981. Pest Control by The Fungi Beauveria and Metarhizium. In H.D.Burges (Ed). Microbial Control of Pest and Plant Diseases 1970-1980. First ed. London: Academic Press. Kalshoven, L.E.G., 1981. The Pest of Crops in Indonesia. Translated by P.A. van der Laan. Jakarta: P.T. Ikhtiar Baru Van Hoeve.. Metcalf, C.L. and W.P. Flint. 1962. Destructive and Useful Insects Their Habit and Control. Tokyo: McGraw Hill Book Kogakusha Company. Nayar, K.K., T.N. Anantha-Krishnan, and B.V. David. 1982. General and Applied Entomology. Second Edition. New Delhi: Tata Mc Graw-Hill Publishing Company Limited. Robert, D. W. 1981. Toxins of Entomopathogenic Fungi. In H.D. Burges (ed.). Microbial Control of Pest and Plant Disease.1970-1980. First ed. London: Academic Press. Samson, R. A. 1981. Identification: Entomopathogenic Deuteromycetes. In H. D. Burges (Ed). Microbial Control of Pests and Plant Disease 1970-1980. First ed. London: Academic Press. Situmorang, J. dan S. J. Nastiti. 1985. Pembuatan Media Baru dari Bahan Jagung untuk Memproduksi Agensia Microbia Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. dan Uji Coba Patogenitasnya terhadap Helicoverpa armigera (Hubner) (Noctuidae; Lepidoptera). Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Gadjah Mada. Steinhaus, E. A. 1949. Principles of Insect Pathology. New York: McGraw Hill Book Co. Sudibyo, D. 1995. Petunjuk Praktis Pengujian Kualitas Jamur Sebagai Agensia Hayati. Malang: Balai Proteksi Tanaman Perkebunan. Suntoro. 1991. Uji Efikasi Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. Terhadap Hypothenemus hampei (Ferr.) [Tesis S2]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Untung, K. 1991. Dasar-dasar Pengelolaan Hama Terpadu. Yogyakarta: Fakultas Pertanian UGM.