UJI KERENTANAN Anopheles nigerrimus (GILES) TERHADAP INFEKSI PERCOBAAN MIKROFILARIA Wuchereria bancrofti (COBBOLD)
Lilis Puspa Friliansari1, Ridad Agoes2, Sadeli Masria3 1 Prodi Analis Kesehatan, STIKes Jenderal Achmad Yani 2 Jurusan Parasitologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjaran 3 Departemen Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjaran * Email:
[email protected]
ABSTRAK Anopheles nigerrimus termasuk grup An. hyrcanus yang tidak memiliki organ cibarial dan pharyngeal armature, sehingga diperkirakan dapat mengembangkan mikrofilaria menjadi larva infektif (L-3). Tujuan penelitian ini untuk menganalisis perkembangan dan pematangan (efisiensi) L-3 Wuchereria bancrofti pada An. nigerrimus (non-vektor W. bancrofti), yang kemudian dibandingkan dengan Culex quinquefasciatus (vektor aktual W. bancrofti). Penelitian ini merupakan studi eksperimental laboratorium melalui infeksi nyamuk An. nigerrimus dan Cx. quinquefasciatus secara per os dengan menggunakan gerbil (Meriones unguiculatus) sebagai model hewan coba untuk sumber infeksi. Pengamatan perkembangan larva filaria pada An. nigerrimus dilakukan melalui pembedahan (section) nyamuk yang telah kenyang (full feed) masing-masing 60 ekor pada 1 jam pasca infeksi, 3, 6, 9, 12, 15 dan 17 hari pasca infeksi. Untuk mengetahui waktu perkembangan L-1, L-2, dan L-3 dan efisiensi pematangan L-3 kemudian dibandingkan dengan Cx. quinquefasciatus sebagai kontrol positif.Hasil penelitian menunjukkan An. nigerrimus memiliki kemampuan mengembangkan mikrofilaria W. bancrofti menjadi L-3 dan tingkat efisiensi pematangan L-3 (0,58 dan 0,59) pada An. nigerrimus tidak ada perbedaan yang bermakna dengan Cx. quinquefasciatus (p>0,05).Keberhasilan An. nigerrimus mengembangkan mikrofilaria menjadi stadium infektif (L-3), menyebabkan An. nigerrimus dapat dikategorikan sebagai vektor potensial bagi W. bancrofti. Kata Kunci : An. nigerrimus, (susceptibility), Efisiensi.
Cx.
quinquefasciatus,
W.
bancrofti,
Kerentanan
F. PENDAHULUAN Filariasis adalah suatu penyakit yang merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang pada stadium lanjut dapat menyebabkan cacat fisik permanen (Depkes RI, 2005). Filariasis tersebar luas di daerah tropik dan subtropik. Filariasis limfatik global terutama disebabkan oleh filaria limfatik spesies Wuchereria bancrofti yang tersebar luas hampir di seluruh negara di dunia terutama negara yang beriklim tropik namun dapat pula ditemukan di negara beriklim subtropik (Depkes RI, 2002). Penyebaran filariasis terjadi akibat gigitan nyamuk vektor yang mengandung larva infektif (larva stadium 3) cacing filaria (Bockarie dkk, 2009). Nyamuk dari genus Culex, Anopheles, Aedes, Mansonia dan Armigeres telah dilaporkan menjadi vektor filariasis
bankrofti (Depkes RI, 2010). Penularan filariasis hanya dapat terjadi jika di daerah tersebut ditemukan nyamuk yang rentan (Kazura, 1999). Kerentanan nyamuk dalam menularkan filariasis bergantung pada berbagai faktor, antara lain ada tidaknya organ cibarial dan pharyngeal armature yaitu suatu alat pencernaan yang terdapat pada bagian depan usus nyamuk (Chadee, Beier, & Martinez, 1996). Pada Anopheles nigerrimus yang termasuk grup An. hyrcanus bagian usus depan tidak mempunyai cibarial dan pharyngeal armature, sehingga dapat mengembangkan mikrofilaria menjadi larva (Linley, Yap, Damar, 1995). Di Indonesia keberadaan An. nigerrimus memiliki populasi yang cukup tinggi. Misalnya dari hasil penangkapan (sweeping) yang dilakukan oleh Bagian Entomologi FKUI pada tahun 1997. Dari hasil penangkapan tersebut telah ditemukan spesies An. nigerrimus sebanyak 18% (Depkes RI, 2004). Dalam daftar vektor filariasis, di Indonesia An. nigerrimus secara alami belum pernah dilaporkan sebagai penular filariasis bankrofti. Namun, menurut laporan An. nigerrimus dapat berperan sebagai vektor potensial B. malayi di Sumatera dan Sulawesi (Depkes RI, 2010, O'Connor, 1980). Di Cina, Jepang, Hongkong, Malaysia dan Shanghai,
An.
nigerrimus dilaporkan sebagai vektor W. bancrofti, sedangkan di Korea nyamuk tersebut berperan sebagai vektor filariasis malayi (Chadee, Beier, & Martinez, 1996, Leopoldo dkk, 2007). G. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimental. Sampel yang digunakan adalah strain mikrofilaria W. bancrofti yang diperoleh dari darah gerbil yang dikembangkan di Bagian Parasitologi FKUI Jakarta. Telur nyamuk yang dipergunakan untuk penelitian adalah An. nigerrimus dan Cx. quinquefasciatus yang diperoleh dari Loka Litbang Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang (P2B2) Kemenkes RI Ciamis. Teknik infeksi mikrofilaria W. bancrofti ke dalam tubuh An. nigerrimus dan Cx. quinquefasciatus dilakukan per os, yaitu dengan cara menggigitkan nyamuk ke gerbil (Meriones unguiculatus) sebagai model hewan coba untuk sumber infeksi. Pengamatan perkembangan larva filaria pada An. nigerrimus dilakukan melalui pembedahan (section) nyamuk yang telah kenyang (full feed) masing-masing 60 ekor pada 1 jam pasca infeksi, 3, 6, 9, 12, 15 dan 17 hari pasca infeksi. Untuk mengetahui waktu perkembangan L-1, L2, dan L-3 dan efisiensi pematangan L-3 kemudian dibandingkan dengan Cx. quinquefasciatus sebagai kontrol positif. Pengolahan data dilakukan dengan pengujian distribusi data menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov.
Selanjutnya
untuk
masing-masing
variabel
yang
diamati,
menggunakan uji Mann Whitney (distribusi data tidak normal) untuk melihat ada tidaknya perbedaan antar kelompok. Kemaknaan hasil uji dinyatakan dengan p<0,05. Analisis data menggunakan software SPSS 20.0. . H. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Angka infeksi mikrofilaria W. bancrofti pada An. nigerrimus dan Cx. quinquefasciatus Hasil pemeriksaan nyamuk An. nigerrimus dan Cx. quinquefasciatus yang diinfeksi mikrofilaria W. bancrofti setelah mengisap darah sumber infeksi dengan densitas 8-12 mikrofilaria/20µl, tampak pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Perbandingan Angka Infeksi Mikrofilaria W. bancrofti pada An. nigerrimus dan Cx. quinquefasciatus
Jenis nyamuk
Jumlah nyamuk + mf
An. Nigerrimus
Cx. quinquefasciatus
Jumlah nyamuk
- mf
diperiksa
50
19
60
(83,3%)
(16,7%)
(100%)
35
25
60
(58,3%)
(41,7%)
(100%)
Keterangan : + mf = nyamuk mengandung mikrofilaria - mf = nyamuk tidak mengandung mikrofilaria 25 20 15 10 5 0
An. nigerrimus
Cx. quinquefasciatus
Gambar 4.1 Grafik perbandingan rata-rata jumlah (densitas) mikrofilaria pada setiap kelompok
Angka infeksi An. nigerrimus setelah 1 jam mengisap darah gerbil yang mengalami mikrofilaremia lebih besar
(83,3,3%) dibandingkan angka infeksi pada
Cx.
quinquefasciatus (58,3%). Hasil uji beda non-parametrik Mann Whitney, menunjukkan nilai p (sig) sebesar 0,002 (p<0,05) terhadap besarnya angka infeksi pada kedua kelompok nyamuk tersebut dan diperoleh p<0,05. Hal ini menunjukkan, bahwa angka infeksi mikrofilaria W. bancrofti pada An. nigerrimus dan Cx. quinquefasciatus memiliki perbedaan yang bermakna. Perbedaan ini memiliki nilai 0,002, yang berarti hanya memiliki tingkat kesamaan 0,2% dari kedua kelompok nyamuk tersebut. Perbedaan angka infeksi yang terjadi pada kedua kelompok tersebut terjadi akibat adanya perbedaan jumlah mikrofilaria yang masuk ke dalam tubuh nyamuk. Pada umumnya nyamuk mampu mengisap 3 - 4 mikrofilaria/µl (Vanamail, Ramaiah, & Das, 2002). Kemampuan rata-rata pengisapan mikrofilaria oleh nyamuk An. nigerrimus dan Cx. quinquefasciatus termasuk kategori rendah (1,25 ekor/25µl). Densitas mikrofilaria pada nyamuk antara 1-10 ekor/µl termasuk tingkatan yang rendah. Walaupun demikian, nyamuk dengan kandungan mikrofilaria yang rendah masih dapat berperan sebagai sumber infeksi (Farid dkk, 2003).
2. Perkembangan larva filaria W. bancrofti pada An. nigerrimus dan Cx. quinquifasciatus Hasil pengamatan perkembangan larva filaria ditandai dengan adanya perubahan stadium dan densitas larva (L-1, L-2 dan L-3) pada hari ke 3, 6, 9, 12, 15, dan 17 pasca infeksi. a. Perkembangan larva W. bancrofti hari ke 3 pasca infeksi pada An. nigerrimus dan Cx. quinquefasciatus Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan dan perkembangan larva filaria pada hari ke 3 pasca infeksi tampak pada Tabel 4.2. Tabel 4.2 Perkembangan Larva W. bancrofti Hari ke 3 Pasca Infeksi pada An. nigerrimus dan Cx. quinquefasciatus Jenis nyamuk
An. nigerrimus
Σ nyamu k
Σ nyamu k+ larva
Σ nyamu klarva
60
35
60
28
Σ
L-1
L-2
L-3
25
65 (100%)
0 (0%)
0 (0%)
65 (100%)
32
46 (100%)
0 (0%)
0 (0%)
46 (100%)
Cx. quinquefasciatus
Σ dan stadium larva
Keterangan : Σ
= jumlah
Σ nyamuk + larva
= jumlah nyamuk mengandung larva
Σ nyamuk – larva
= jumlah nyamuk tidak mengandung larva
12. 10.0 7.5 5.0 2.5 0.0
An.
Cx.
Gambar 4.2 Grafik perbandingan densitas L-1 pada An. nigerrimus dan Cx. quinquefasciatus Hari ke 3 pascainfeksi, mikrofilaria yang terisap An. nigerrimus dan Cx. quinquefasciatus telah berkembang menjadi L-1 muda (100%) pada otot toraks kedua nyamuk tersebut, berarti kedua nyamuk ini bukan kategori strain yang bersifat refractory, karena secara normal kedua nyamuk ini dapat mengembangkan L-1 dengan baik (Lai dkk, 2001). Kedua nyamuk ini mempunyai kerentanan yang serupa untuk mengembangkan mikrofilaria W. bancrofti menjadi L-1 muda. Uji beda non-parametrik Mann Whitney pada kedua kelompok nyamuk tersebut diperoleh nilai p (sig) adalah 0.477 (p>0.05), ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok tersebut. Nilai kesamaan kedua kelompok nyamuk tersebut adalah 0,477, artinya kedua kelompok nyamuk tersebut mempunyai kesamaan sebesar 47,7%. Kesaaman yang terjadi pada An. nigerrimus dan Cx. quinquefasciatus tersebut disebabkan karena tidak adanya faktor penghambat (respon imun, koagulasi darah, sistem humoral dan gen) yang berarti dalam proses perkembangan mikrofilaria menjadi larva filaria tersebut dalam tubuh nyamuk (Erickson dkk, 2009, O’Connor, 1980, Lai dkk, 2001). Pada nyamuk yang memiliki cibarial armature namun tidak berkembang dengan baik (Cx. quinquefasciatus) dan yang tidak mempunyai cibarial armature (Ae.
aegypti) dapat mematikan larva W. bancrofti hanya sebanyak 5% (Erickson dkk, 2010). b. Perkembangan harva W. bancrofti hari ke 6 pasca infeksi pada An. nigerrimus dan Cx. quinquefasciatus Hasil pengamatan terhadap perkembangan larva filaria pada hari ke 6 setelah infeksi terlihat pada Tabel 4.3. Tabel 4.3 Perkembangan Larva W. bancrofti Hari ke 6 Pasca Infeksi pada An. nigerrimus dan Cx. quinquefasciatus Σ
Σ
nyamu
nyamu
k+
k–
larva
larva
60
20
40
60
30
30
Σ Jenis nyamuk
nyamu k
An. nigerrimus Cx. quinquefasciatus
Σ dan stadium larva Σ
L-1
L-2
L-3
26
18
0
44
(59,1%)
(40,9%)
(0%)
(100%)
19
39
0
58
(32,8%)
(67,2%)
(0%)
(100%)
Keterangan : Σ
= jumlah
Σ nyamuk + larva
= jumlah nyamuk mengandung larva
Σ nyamuk – larva
= jumlah nyamuk tidak mengandung larva
Gambar 4.3 Grafik perbandingan densitas L-1 dan L-2 pada hari ke-6 An. nigerrimus dan Cx. quinquefasciatus (kiri: L-1 dan kanan L-2)
Hasil uji Mann Whitney pada An. nigerrimus dan Cx. quinquefasciatus terlihat (lampiran) nilai p (sig) adalah 0,781 (p<0,05). Hal ini menunjukkan, bahwa kedua kelompok nyamuk tersebut tidak memiliki perbedaan yang bermakna, bahkan cenderung memiliki tingkat kesamaan sebesar 71,8%.
Kesamaan yang terjadi
pada kedua kelompok nyamuk ini karena larva W. bancrofti sudah dapat menyesuaikan diri pada organ toraks nyamuk, karena kedua nyamuk ini rentan dan peka terhadap perkembangan larva filaria tersebut. Larva filaria yang dapat melewati dinding usus depan nyamuk, selanjutnya dapat mencapai toraks (Chadee, Beier, & Martinez, 1996). Pada nyamuk yang rentan, mikrofilaria akan berkembang menjadi L-2. Nyamuk yang rentan berarti peka terhadap perkembangan larva yang dikandungnya, dan kerentanan ini juga bergantung dari jenis nyamuk itu sendiri (Erickson dkk, 2009).
c. Perkembangan larva W. bancrofti hari ke 9 pasca infeksi pada An. nigerrimus dan Cx. quinquefasciatus Hasil pengamatan terhadap perkembangan larva filaria pada hari ke 9 setelah infeksi, terlihat pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4 Perkembangan Larva W. bancrofti Hari Ke 9 Pasca Infeksi pada An. nigerrimus dan Cx. quinquefasciatus Σ Jenis nyamuk
nyamu k
Σ
Σ
nyamu
nyamu
k+
k-
larva
larva
An. Nigerrimus
60
25
35
Cx. Quinquefasciatus
60
36
24
Σ dan stadium larva Σ
L-1
L-2
L-3
0
50
0
50
(0%)
(100%)
(0%)
(100%)
0
73
0
73
(0%)
(100%)
(0%)
(100%)
Keterangan : Σ
= jumlah
Σ nyamuk + larva
= jumlah nyamuk mengandung larva
Σ nyamuk – larva
= jumlah nyamuk tidak mengandung larva
20
15
10
5
0
An. nigerrimus
Cx. quinquefasciatus
Gambar 4.4 Grafik perbandingan densitas L-2 pada hari ke-9 An. nigerrimus dan Cx. quinquefasciatus Hari ke 9 pascainfeksi seluruh L-1 pada An. nigerrimus dan Cx. quinquefasciatus sudah berkembang menjadi L-2
(100%) dan belum terbentuk L-3 muda (0%).
Hasil uji hubungan antara kedua kelompok nyamuk tersebut dengan uji Mann Whitney (lampiran 8) dengan nilai p (sig) adalah 0,195 (p<0,05). Hal ini menunjukkan, bahwa kedua kelompok nyamuk tersebut tidak memiliki perbedaan yang bermakna bahkan mempunyai kesamaan sebesar 19,5%. Kesamaan kemampuan kedua nyamuk tersebut disebabkan karena perkembangan L-1 menjadi L-2 masih dalam keadaan yang memungkinkan, karena umur kedua nyamuk tersebut masih memberikan potensi untuk mengembangkan larva tersebut. d. Perkembangan larva W. bancrofti hari ke 12 pasca infeksi pada An. nigerrimus dan Cx. quinquefasciatus Hasil pengamatan perkembangan larva W. bancrofti hari ke 12 pasca infeksi pada An. nigerrimus dan Cx. quinquefasciatus dapat terlhat pada Tabel 4.5. Tabel 4.5 Perkembangan Larva W. bancrofti Hari Ke 12 Pasca Infeksi pada An. nigerrimus dan Cx. quinquefasciatus
Σ Jenis nyamuk
nyamu k
An. Nigerrimus
60
Cx. quinquefasciatus
Σ
Σ
nyamu
nyamu
k+
k-
larva
larva
19
60
27
Σ dan stadium larva
41
33
L-1
L-2
L-3
0
28
5
(0%)
(84,8%)
(15,2%)
0
30
16
(0%)
(65,2%)
(34,8%)
Σ
33 (100% ) 46 (100% )
Keterangan : Σ
= jumlah
Σ nyamuk + larva
= jumlah nyamuk mengandung larva
Σ nyamuk – larva
= jumlah nyamuk tidak mengandung larva
8 8
6
6 4 4 2 2 0
An. nigerrimus
Cx. quinquefasciatus
0
An. nigerrimus
Cx. quinquefasciatus
Gambar 4.5 Grafik perbandingan densitas L-2 dan L-3 pada hari ke-12 An. nigerrimus dan Cx. quinquefasciatus (kiri: L-2 dan kanan L-3) Hari ke 12 pascainfeksi pada An. nigerrimus dan Cx. quinquefasciatus sudah terbentuk L-3, tetapi jumlahnya lebih sedikit jika dibandingkan dengan L-2. L-3 muda pada Cx. quinquefasciatus terbentuk dalam jumlah yang lebih banyak (34,8%) jika dibandingkan pada An. nigerrimus (15,2%). Hasil uji Mann Whitney antara kedua kelompok nyamuk tersebut pada tingkat densitas keberadaan L-2 dan L-3 pada tubuh nyamuk, menunjukkan nilai p (sig) adalah 0,526 dan 0,36 (p<0,05). Hal ini karena kedua kelompok nyamuk tersebut
tidak memiliki perbedaan yang bermakna, tetapi memiliki kesamaan masing-masing sebesar 52, 6% dan 36,4%. Kesamaan antara kedua kelompok nyamuk ini dikarenakan An. nigerrimus dan Cx. quinquefasciatus mempuyai tingkat kerentanan (susceptibility) relatif sama. Pada nyamuk yang rentan L-2 yang telah berkembang pada bagian toraks selanjutnya akan berkembang menjadi L-3 (Jinrapa dkk, 2008). e. Perkembangan larva W. bancrofti hari ke 15 pasca infeksi pada An. nigerrimus dan Cx. quinquefasciatus Hasil pengamatan perkembangan larva W. bancrofti hari ke 15 pasca infeksi pada An. nigerrimus dan Cx. quinquefasciatus dapat dilihat pada Tabel 4.6. Tabel 4.6 Perkembangan Larva W. bancrofti Hari Ke 15 Pasca Infeksi pada An. nigerrimus dan Cx. quinquefasciatus
Σ Jenis nyamuk
nyamu k
Σ
Σ
nyamu
nyamu
k+
k-
larva
larva
An. nigerrimus
60
22
36
Cx. quinquefasciatus
60
20
38
Σ dan stadium larva Σ
L-1
L-2
L-3
0
32
18
50
(0%)
(64%)
(36%)
(100%)
0
0
56
56
(0%)
(0%)
(100%)
(100%)
Keterangan : Σ
= jumlah
Σ nyamuk + larva
= jumlah nyamuk mengandung larva
Σ nyamuk – larva
= jumlah nyamuk tidak mengandung larva
Gambar 4.7 Grafik perbandingan densitas L-3 pada hari ke-15 An. nigerrimus dan Cx. quinquefasciatus Hari ke 15 pascainfeksi, pada An. nigerrimus masih ditemukan L-2 dewasa lanjut (64%), sedangkan L-3 dewasa sudah terbentuk tetapi jumlahnya lebih sedikit jika dibandingkan dengan L-2 dewasa (36%). Adanya L-2 dan L-3 pada An. nigerrimus menunjukkan adanya kepekaan komulatif, sedangkan pada Cx. quinquefasciatus L3 dewasa sudah terbentuk seluruhnya (100%), sehingga sudah terjadi kerentanan lengkap. Jadi waktu yang dipergunakan untuk pertumbuhan L-3 W. bancrofti pada Cx. quinquefasciatus lebih cepat, karena nyamuk ini secara alami lebih peka terhadap perkembangan L-3. Hasil uji hubungan dengan menggunakan uji Mann Whitney antara kedua kelompok nyamuk tersebut terlihat nilai p (sig) adalah 0.304 (p<0.05). Hal ini menunjukkan, bahwa kedua sampel tersebut tidak memiliki perbedaan yang bermakna namun memiliki kesamaan sebesar 30.4 %.
f. Perkembangan larva W. bancrofti hari ke 17 pasca infeksi pada An. nigerrimus Hasil pengamatan hari ke 17 terlihat pada Tabel 4.7. Disini seluruh larva filaria pada An nigerrimus seluruhnya telah berkembang menjadi L-3 (100%). Tabel 4.7 Perkembangan Larva W. bancrofti Hari Ke 17 Pasca Infeksi pada An. nigerrimus
Jenis nyamuk
Σ
Σ
Σ
Σ dan stadium larva
Σ
nyamu
nyamu
nyamu
k
k+
k-
larva
larva
30
30
An. nigerrimus
60
L-1
L-2
L-3
0
0
55
55
(0%)
(0%)
(100%)
(100%)
Keterangan : Σ
= jumlah
Σ nyamuk + larva
= jumlah nyamuk mengandung larva
Σ nyamuk – larva
= jumlah nyamuk tidak mengandung larva
Gambar 4.8 Grafik L-3 pada hari ke-17 pada An. nigerrimus Perkembangan L-3 pada An. nigerrimus yang terjadi pada hari ke 17, berarti proses perkembangan ini lebih lambat jika dibandingkan dengan perkembangan pada Cx. quinquefasciatus yang sudah terjadi pada hari ke 15. Pada beberapa hasil penelitian didapatkan, bahwa pertumbuhan dan perkembangan larva filaria dalam otot toraks nyamuk dipengaruhi oleh faktor intrinsik yang berada dalam nyamuk tersebut, misalnya respon imun nyamuk, faktor ekstrinsik seperti densitas mikrofilaria yang terisap oleh nyamuk, suhu, fotoperiodik, dan nutrient (Townson, 1997). Terjadinya perkembangan L-3 pada An. nigerrimus berarti hipotesis yang diajukan diterima. Hal ini menunjukkan, bahwa nyamuk ini dapat menjadi vektor potensial W. bancrofti (dapat mengembangkan L-3 di laboratorium). Kemungkinan An. nigerrimus menjadi vektor W. bancrofti didukung oleh terjadinya efektivitas
pengisapan mikrofilaria, dan disini tidak tampak adanya kerusakan mikrofilaria saat berada di usus kecil. g. Efisiensi pematangan L-3 W. bancrofti pada An. nigerrimus dan Cx. quinquefasciatus Perbandingan efisiensi An. nigerrimus dengan Cx. quinquefasciatus dalam mengembangkan larva W. bancrofti tampak pada Tabel 4.8. Tabel 4.8 Efisiensi Pematangan L-3 An. nigerrimus dan Cx. Quinquefasciatus terhadap Larva Filaria W. bancrofti
Jenis nyamuk
An. Nigerrimus Cx. Quinquefasciatus
% angka infeksi Mf
L-3
83,3%
56,7%
58,3%
40,0%
Efisiensi
0,68 (68%) 0,69 (69%)
Keterangan : mf
= mikrofilaria
L-3 = larva stadium 3 Efisiensi pada Cx. quinquefasciatus terbentuk di hari ke 15, sedangkan pada An. nigerrimus terbentuk di hari ke 17. Untuk melihat perbedaan efisiensi kedua kelompok nyamuk tersebut, selanjutnya diuji dengan menggunkana uji normalitas Kolmogorov-Smirnov pada data hari ke 15 untuk Cx. quinquefasciatus dan hari ke 17 untuk An. nigerrimus (lampiran 8). Disini menunjukkan nilai p (sig) uji normalitas Kolmogorov-Smirnov untuk efisiensi An. nigerrimus adalah 0.008 dan Cx. quinquefasciatus adalah 0.013 (p<0.05), sehingga kedua sampel tersebut di atas memiliki data yang tidak terdistribusi secara normal. Karena data tersebut tidak terdistribusi secara normal, maka dilakukan uji Mann Whitney untuk melihat hubungan antara kedua sampel tersebut. Hasil uji Mann Whitney pada efisiensi kedua kelompok nyamuk tersebut menunjukkan nilai p (sig) adalah 0.739 (p<0.05). Disini kedua sampel tersebut tidak memiliki perbedaan yang bermakna.
I. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan a. An. nigerrimus mampu mengembangkan mikrofilaria W. bancrofti dengan angka infeksi yang lebih tinggi (83,3%) dibandingkan pada Cx. quinquefasciatus. b. An. nigerrimus rentan terhadap mikrofilaria W. bancrofti dengan efisiensi sebesar 68%. waktu yang digunakan untuk kelangsungan pertumbuhan dan perkembangan larva W. bancrofti
menjadi lebih lama (17 hari) dibandingkan pada Cx.
quinquefasciatus. 2. Saran a. Berdasarkan hasil penelitian, An. nigerrimus dapat menjadi vektor potensial di laboratorium, maka perlu dilakukan penelitian lanjutan di lapangan, agar peran nyamuk ini sebagai vector aktual (alami) dapat diketahui. b. An. nigerrimus termasuk grup An. hyrcanus yang populasi anggotanya banyak dijumpai di Indonesia, maka perlu dilakukan penelitian terhadap anggota An. hyrcanus yang lain.
J. DAFTAR PUSTAKA
Bockarie M, Pedersen E, White G, Michael E. Role of vector control in the global program to eliminate lymphatic filariasis. Annu Rev entomol. 2009; 54: 469-487. Chadee DD, Beier JC, Martinez R. The effect of the cibarial armature on blood meal haemolysis of four anopheline mosquitoes. Bulletin of Entomological Research. 1996; 86: 351-354. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Epidemiologi filariasis. Jakarta: Direktorat Jenderal PPM dan PL. 2005. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman pemberantasan filariasis. Jakarta: Direktorat Jenderal PPM dan PL. 2002. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Rencana nasional program akselerasi eliminasi filariasis. Subdit Filariasis dan Schistomiasis. Jakarta: Direktorat P2B2, Ditjen PP dan PL. 2010. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman ekologi dan aspek perilaku vektor. Jakarta: Direktorat Jenderal PPM dan PL. 2004. Erickson SM, Xi Z, Mayhew GF, Ramirez JL, Aliota MT. Mosquitoes Infection responses to developing Filarial Worm. Plos Negl Trop Dis. 2009; 3(10): 1-11.
Erickson SM, Michalski M, Bartholomay LC, Christensen BM. Midgut barrier impacts selective resistance to filarial worm infection in Culex pipiens pipiens. Plos Negl Trop Dis. 2010; 4(10): e875.Leopoldo MR, Tongyan Z, Yajun MA, Qi Gao, Zhu Guo Ding, Benjawan K, Jetsumon S, et al. Updated distribution records of the Anopheles (Anopheles) hyrcanus species-group (Diptera: Culicidae) in China. Zootaxa. 2007; 407: 43-55. Farid HA, Hammad RE, Soliman DA, El Setouhy MA, Ramzy RM, Weil GJ. Relationship between Wuchereria bancrofti microfilariae counts in human blood and parasite uptake and maturation in Culex pipiens, with observations on the effect of diethylcarbamazine treatment on these parameters. Am J Trop Med Hyg. 2003. 68:286-293. Jinrapa P, Bangs M, Boonplueang R, Chareonviriyaphap T. Susceptibility of various mosquitoes of Thailand to nocturnal subperiodik Wuchereria bancrofti. Journal of Vector Ecology. 2008; 33(2): 313-320. Kazura JW. Filariasis In: Guerrant R, Walker D, Weller P, editors. Tropical Infectious Diseases. 1999. Philadelphia: Churchill Livingston. pp. 852-860. Lai C, Tung K, Ooi K dan Wang J. Susceptibility of mosquitoes in central Taiwan to natural infection of Dirofilaria immitis. Medical and veterinary entomology. 2001; 15: 64-67. Linley JR, Yap YH, Damar TB. The egg of four species of Anopheles Hyrcanus Group in Malaysia (Diptera: Culicidae). Mosquitoes Systematics. 1995; 27 (1): 43-71. O'Connor CT. The Anopheles Hyrcanus Group in Indonesia. Mosq. Syst. 1980; 12: 293– 305. Townson, H. 1997. Infection of mosquitoes with filaria. In Beard, J. M. and C. Louis, editors. (eds). The Molecular Biology of Insect Disease Vectors: A Methods Manual. London Chapman & Hall. Vanamail P, Ramaiah KD, Das PK. Risk of infection of Wuchereria bancrofti to humans by Culex quinquefasciatus in Pondicherry and its relationship with micofilaria prevalence. Acta Tropica. 2002; 55(4): 237-247.