UJI AKTIVITAS INSEKTISIDA NABATI FRAKSI METANOL, ETIL ASETAT DAN N-HEKSAN DARI EKSTRAK METANOL BUNGA PIRETRUM [Chrysanthemum cinerariifolium (Trevir.) Vis] TERHADAP NYAMUK Aedes aegypti L. Biologycal insecticide activity assay fraction methanol, ethyl acetate and n-hexane from methanol extract of pyrethrum flower [Chrysanthemum cinerariifolium (Trevir.) Vis] on Aedes aegypti L. mosquito Amrih Prayogo, Priyo Wahyudi dan Hadi Sunaryo Fakultas Farmasi Dan Sains Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Abstrak Pada penelitian sebelumnya, ekstrak metanol bunga piretrum memiliki aktivitas insektisida terhadap larva Aedes aegypti dengan nilai LC50 21,70 ppm. Berdasarkan hal tersebut dan potensi dari bunga piretrum, penelitian ini dilakukan untuk menguji aktivitas insektisida bunga piretrum terhadap nyamuk Aedes aegypti L. Larutan uji dibuat 6 konsentrasi, pada fraksi metanol yaitu 8; 11; 15; 20; 27; 36 ppm, fraksi etil asetat yaitu 3; 5; 8; 13; 21; 34 ppm, dan fraksi n-heksan yaitu 7; 10; 14; 20; 29; 42 ppm. Pengujian dilakukan terhadap 10 ekor nyamuk Aedes aegypti selama 6 jam pengamatan dan dilakukan 3 pengulangan. Nilai persentase kematian masing-masing fraksi dianalisa menggunakan probit untuk memperoleh nilai LC50. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fraksi metanol, etil asetat dan n-heksan bunga piretrum memiliki aktivitas insektisida terhadap nyamuk Aedes aegypti. Diperoleh nilai LC50 fraksi metanol yaitu 12,5806 ppm, fraksi etil asetat yaitu 7,2744 ppm, dan fraksi nheksan yaitu 10,1531 ppm. Kata kunci : piretrum, insektisida, Aedes aegypti Abstract In a previous research methanol extract of pyrethrum flower have insecticide activity against Aedes aegypti larva with LC50 values 21,70 ppm. According to and the potential of pyrethrum flower, this research aimed at knowing insecticide activity of the fraction of methanol, ethyl acetate and n-hexane of pyrethrum flowers on Aedes aegypti L. mosquito. Six concentrations for the assay solution, the methanol fraction was 8; 11; 15; 20; 27; 36 ppm, ethyl acetate fraction was 3, 5; 8; 13; 21; 34 ppm, and the fraction of n-hexane was 7, 10; 14; 20; 29; 42 ppm. Tests conducted on 10 Aedes aegypti mosquitoes for 6 hours of observation and a 3 repetitions. Mortality percentage values of each fraction was analyzed using probit to obtain LC50 values. The results showed that the fraction of methanol, ethyl acetate and n-hexane pyrethrum flowers have insecticide activity against Aedes aegypti mosquito. LC50 values obtained are 12.5806 ppm methanol fraction, the fraction is 7.2744 ppm of ethyl acetate and n-hexane fraction is 10.1531 ppm. Key words : pyrethrum, insecticide, Aedes aegypti
PENDAHULUAN Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus dengue, yang masuk ke peredaran darah manusia melalui gigitan nyamuk dari genus Aedes, misalnya Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Penyakit demam berdarah ditemukan di daerah tropis dan subtropis di berbagai belahan dunia, terutama di musim hujan yang lembab. Peranan nyamuk sebagai vektor penyakit merupakan penyebab timbulnya wabah dari suatu penyakit. Kenyataan ini memberikan petunjuk bahwa masalah nyamuk harus mendapatkan perhatian seksama. Penyakit ini disebabkan oleh virus dengue dan penularannya melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor utama dan Aedes albopictus sebagai vektor sekunder, kemampuan Aedes albopictus menularkan virus demam berdarah sama dengan kemampuan Aedes aegypti (Gandahusada, S, 1992). Beberapa usaha pencegahan dan pengendalian populasi nyamuk sebagai vektor penyakit telah banyak dilakukan, tetapi tidak akan berjalan efektif jika tidak dilakukan secara terus-menerus dan terpadu. Usaha-usaha pencegahan dan pengendalian yang biasa dilakukan antara lain dengan menggunakan lotion, penggunaan insektisida sintetis, pemasangan kelambu dan menggunakan makhluk hidup yang berperan sebagai pemangsa, misalnya ikan. Penggunaan pestisida sintetis di Indonesia telah memusnahkan 55% hama dan 72% agen pengendali hayati. Mengingat semakin meningkatnya kesadaran masyarakat atas dampak yang diakibatkan oleh penggunaan pestisida sintetis yang dapat merusak lingkungan, maka diperlukan pengganti pestisida yang ramah lingkungan. Salah satu alternatif yang aman yaitu dengan menggunakan bahan alami dari tumbuhan (Kardinan, 2003). Indonesia memiliki sumber keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, termasuk jenis tumbuhan yang mempunyai
bahan aktif untuk dikembangkan sebagai pestisida nabati, salah satunya adalah bunga piretrum. Bunga piretrum [Chrysanthemum cinerariifolium (Trevir.) Vis] mengandung senyawa aktif piretrin yang berperan sebagai insektisida. Tanaman piretrum diketahui memiliki sifat cepat bereaksi terhadap serangga (rapid in action). Daya racun bunga piretrum terhadap hewan berdarah panas sangat kecil, sehingga aman bagi manusia dan hewan peliharaan. Terlebih lagi bunga piretrum tidak menyebabkan toleransi pada serangga (Kardinan, 2003). Ekstrak metanol bunga piretrum telah dilaporkan memiliki aktivitas insektisida terhadap larva Aedes aegypti dengan nilai LC50 sebesar 21,70 µg/ml (Awali, 2006). METODOLOGI PENELITIAN Alat Alat- alat yang digunakan meliputi : toples kaca, timbangan analitik, gelas ukur, rotary evoporator, batang pengaduk, oven, tabung reaksi, alumunium foil, kertas saring, ayakan mesh 20, botol timbang, botol kaca, beaker glass, labu ukur, cawan petri, sangkar pemeliharaan nyamuk, toples plastik (untuk pemeliharaan larva dan pupa), pipet (untuk memindahkan larva dan pupa), aspirator (untuk memindahkan nyamuk), kapas (untuk wadah pakan nyamuk jantan), kandang pengujian nyamuk, penyemprot nyamuk. Bahan Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah bunga piretrum, nyamuk Aedes aegypti, gula, darah marmut, metanol, etil asetat, n-heksan, DMSO dan aquadest. Prosedur 1. Ekstraksi bunga piretrum dengan pelarut metanol Simplisia yang sudah kering kemudian diserbukkan dengan blender dan diayak dengan pengayak mesh 20 sehingga didapat serbuk bunga piretrum yang kemudian ditimbang.
Serbuk simplisia dimasukkan sebanyak 800 g kedalam toples kaca besar dan setelah itu dilakukan maserasi dengan cara menuangkan metanol sampai seluruh simplisia terendam dan pelarut dilebihkan 2 cm diatas permukaan serbuk simplisia kedalam toples kaca besar. Maserasi dilakukan sekurangnya selama 3 hari dan selama perendaman dilakukan pengadukan beberapa kali agar senyawa-senyawa yang terkandung didalam bunga piretrum dapat lebih larut. Kemudian disaring dan ampasnya direndam kembali sehingga filtrat hampir tidak berwarna agar simplisia terekstraksi sempurna. Setelah disaring, semua pelarut dalam filtrat (maserat) diuapkan dan dipekatkan dalam rotary evaporator hingga diperoleh ekstrak kental yang masih dapat dituang. Kemudian timbang dan catat hasil yang diperoleh (Direktorat Jendral POM. 2000). 2. Proses Fraksinasi Ekstrak kental yang diperoleh dilarutkan dengan pelarut metanol, kemudian difraksinasi dengan pelarut n-Heksan dengan perbandingan (1:1) di dalam corong pisah, kocok selama ± 15 menit. Setelah didiamkan beberapa lama terbentuk 2 lapisan, yaitu lapisan n-Heksan dengan lapisan metanol. Lapisan n-Heksan (bagian atas) dipisahkan dengan membuka kran (corong pisah) sampai lapisan metanol habis. Diambil lapisan nHeksan kemudian dipisahkan sebagai fraksi n-heksan. Lapisan metanol kemudian difraksinasi kembali dengan pelarut etil asetat dengan perbandingan (1:1), kocok selama ± 15 menit. Setelah didiamkan beberapa lama terbentuk 2 lapisan, yaitu lapisan fraksi etil asetat dan lapisan fraksi metanol. Masing-masing fraksi dipekatkan dengan rotary evaporator hingga diperoleh fraksi kental yang masih dapat dituang, kemudian hasil pemekatan dikeringkan di dalam oven dengan suhu 40oC. Diperoleh fraksi
3.
4.
5.
6.
kental n-heksan, etil asetat dan metanol dari ekstrak metanol (Departemen Kesehatan RI. 1986). Penyiapan larutan uji Larutan sediaan uji dibuat dengan cara melarutkan fraksi metanol dan etil asetat dengan menggunakan aquadest dan fraksi n-heksan dengan menggunakan DMSO. Larutan sediaan uji diorientasikan langsung terhadap hewan uji, konsentrasi terendah akan dijadikan acuan sebagai nilai LC10 dan konsentrasi tertinggi akan dijadikan acuan sebagai nilai LC90. Dari data tersebut dibuat range konsentrasi untuk diujikan terhadap hewan uji. Penyiapan hewan uji Nyamuk Aedes aegypti yang diperoleh dengan cara ditangkap menggunakan jaring nyamuk yang kemudian dikembangbiakan dalam kandang yang di dalamnya telah disediakan toples berwarna gelap dan diisi air bersih serta kertas untuk bertelur. Uji pendahuluan Uji pendahuluan dilakukan untuk memperoleh konsentrasi yang menyebabkan kematian seluruhnya yang akan digunakan pada uji insektisida. Konsentrasi yang digunakan dalam fraksi metanol adalah 25, 17, 9, 6 dan 4 ppm, pada fraksi etil asetat 22, 18, 9, 5 dan 2 ppm dan pada fraksi n-heksan sebesar 21, 13, 7, 5 dan 3 ppm. Dalam uji pendahuluan tidak dilakukan pengulangan, jumlah nyamuk pada masing-masing konsentrasi yaitu 10 ekor, lalu disemprotkan dengan jarak semprotan 20 cm sebanyak 5 kali yaitu sisi kanan, kiri, depan, belakang dan sisi atas, lalu dilakukan pengamatan selama 6 jam. Didapat konsentrasi yang mematikan 10% dan 90% hewan uji. Uji insektisida Penetapan konsentrasi larutan uji insektisida diperoleh berdasarkan konsentrasi yang menyebabkan
kematian 10% (n), pada fraksi metanol 6 ppm, etil asetat 2 ppm, dan n-heksan 5 ppm. Yang menyebabkan kematian 90% (N) pada fraksi metanol 25 ppm, etil asetat 22 ppm, dan n-heksan 21 ppm. Untuk mengetahui konsentrasi uji insektisida dapat dihitung dengan menggunakan rumus penentuan konsentrasi (Priyanto, 2007). Log N = k Log a n n Dari rumus diatas, maka diperoleh 6 konsentrasi. Pada fraksi metanol yaitu 8, 11, 15, 20, 27, dan 36 ppm, pada fraksi etil asetat 3, 5, 8, 13, 21, dan 34 ppm dan pada fraksi n-heksan yaitu 7, 10, 14, 20, 29, dan 42 ppm Selanjutnya membuat 6 konsentrasi dari fraksi metanol, etil asetat dan nheksan masing-masing konsentrasi fraksi kemudian dimasukkan ke dalam alat semprot dan diberi label. Kemudian nyamuk Aedes aegypti dimasukkan ke dalam kurungan nyamuk sebanyak 10 ekor dan disemprotkan dengan jarak semprotan 20 cm sebanyak 5 kali yaitu sisi kiri, kanan, depan, belakang dan sisi atas, lalu dilakukan pengamatan selama 6 jam. Dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali, untuk uji blanko hanya menggunakan pelarut. 7. Pengamatan Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah nyamuk yang mati selama 6 jam pengamatan dari total nyamuk yang digunakan pada proses pengujian. Jumlah nyamuk yang mati dihitung untuk mengetahui persentase kematian, dihitung dengan menggunakan rumus: HASIL DAN PEMBAHASAN
Ekstrak kental bunga piretrum yang diperoleh sebesar 225,3158 gram memiliki bau khas, rasa pahit dan warna hijau kehitaman. Pada proses fraksinasi diperoleh fraksi kental metanol sebesar 44,7967 gram memiliki bau khas, rasa
pahit dan warna cokelat tua serta memiliki rendemen sebesar 5,5996% dan susut pengeringan sebesar 8,9794%. Pada fraksi kental etil asetat sebesar 11,9755 gram memiliki bau khas, rasa pahit dan warna cokelat tua serta memiliki rendemen sebesar 1,4969% dan susut pengeringan sebesar 4,5634%. Dan pada fraksi kental n-heksan sebesar 17,1056 gram memiliki bau khas, rasa pahit dan warna hijau kecoklatan serta memiliki rendemen sebesar 2,1382% dan susut pengeringan sebesar 6,3096%. Pada penelitian ini tanaman yang digunakan adalah bunga piretrum segar yang diperoleh dari wilayah Bandungan kabupaten Semarang dan di determinasi di Herbarium Bogoriense, Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi - LIPI Cibinong. Determinasi merupakan langkah awal dalam penelitian untuk mendapatkan identitas yang benar dari tanaman yang akan diteliti, sehingga dapat memberikan kepastian tentang kebenaran tanaman tersebut. Bunga piretrum diekstraksi dengan cara maserasi dengan menggunakan pelarut metanol. Dipilih metode ini dalam proses ekstraksi karena cara ini merupakan cara yang paling mudah dan sederhana serta dapat digunakan untuk bahan yang tidak tahan pemanasan, sehingga dapat mencegah rusaknya zat aktif yang terkandung dalam simplisia. Sedangkan penggunaan metanol sebagai pelarut karena ekstrak yang didapat menjadi tidak mudah ditumbuhi kapang dan lebih mudah menguap sehingga waktu yang dibutuhkan untuk pemekatan dan pengeringan menjadi lebih singkat. Seluruh maserat yang diperoleh kemudian dipekatkan dengan menggunakan rotary evaporator pada tekanan rendah dan suhu ± 50oC guna mencegah kerusakan zat aktif akibat pemanasan tinggi, sehingga diperoleh ekstrak yang kental namun masih dapat dituang, kemudian ekstrak kental tersebut ditimbang dan dihitung persentase rendemen ekstraknya.
% kematian
100 50 0 0
10
20
30
40
50
konsentrasi (ppm ) fraksi metanol
fraksi etil asetat
fraksi n-heksan
Gambar 1. Grafik hubungan konsentrasi fraksi metanol, etil asetat dan n-heksan h d k d
probit
Setelah didapat ekstrak kental dari bunga piretrum kemudian dilakukan fraksinasi dengan tujuan untuk memisahkan komponen senyawa kimia berkhasiat insektisida berdasarkan sifat polaritasnya. Fraksinasi dilakukan dengan mengocok ekstrak bunga piretrum didalam corong pisah dengan menggunakan pelarut metanol, etil asetat, dan n-heksan. Penggunaan pelarut ini dianggap cukup untuk mewakili adanya perbedaan polaritas, sehingga dapat menarik senyawa aktif dari berbagai sifat kepolaran yang terdapat dalam ekstrak bunga piretrum. Hasil fraksi yang telah terpisah berdasarkan polaritasnya tersebut lalu dipekatkan menggunakan rotary evaporator kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 40oC sampai fraksi menjadi kental. Setelah itu fraksi kental yang didapat dilakukan pengenceran dengan berbagai konsentrasi untuk dilakukan pengujian aktivitas insektisida. Uji aktivitas insektisida fraksi metanol, etil asetat dan n-heksan bunga piretrum terhadap nyamuk Aedes aegypti dilakukan dengan metode semprot karena diharapkan insektisida masuk melalui kulit nyamuk ke dalam tubuh nyamuk yang berukuran kecil hingga mencapai sistem saraf pusat yang mengakibatkan kematian pada nyamuk. Penyemprotan larutan uji dilakukan sebanyak 5 kali pada kelima sisi kurungan dengan jarak 20 cm dan dilakukan pengamatan selama 6 jam. Pada penelitian ini diperoleh nilai LC50 pada fraksi metanol sebesar 12,5806 ppm, fraksi etil asetat sebesar 7,2744 ppm, dan fraksi n-heksan sebesar 10,1531 ppm. Berdasarkan nilai LC50 yang diperoleh menunjukkan bahwa ketiga memiliki aktivitas insektisida yang sangat kuat. Hal ini disebabkan karena masih adanya senyawa alkaloid yaitu piretrin yang tertarik oleh fraksi metanol dan etil asetat sehingga ketiga fraksi ini memiliki aktivitas insektisida dengan tingkat toksisitas ekstrim tinggi.
9 8.5 8 7.5 7 6.5 6 5.5 5 4.5 4 3.5 3 0
0.5
1
1.5
2
log konsentrasi fraksi metanol
fraksi etil asetat
fraksin-heksan
Gambar 2. Grafik hubungan log konsentrasi dengan probit fraksi metanol, etil asetat dan n-heksan biji sirsak
KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa fraksi metanol, etil asetat, dan n-heksan bunga piretrum memiliki aktivitas insektisida terhadap nyamuk Aedes aegypti dengan nilai LC50 fraksi metanol 12,5806 ppm, fraksi etil asetat 7,2744 ppm, dan fraksi n-heksan 10,1531 ppm yang termasuk klasifikasi ekstrim tinggi. DAFTAR PUSTAKA Gandahusada, S., H. D. Ilahude, W. Pribadi. 1998. Parasitologi Kedokteran Ed III. FKUI, Jakarta. Hal. 235, 248 – 250. Anonim. 2001. Inventaris Tanaman Obat Indonesia V. Depkes RI. Balitbangkes. Jakarta. Kardinan. A. 2003. Tanaman Pengusir dan Pembasmi Nyamuk.
Agromedia Pustaka. Hal. 1 – 4, 34 – 39. Fransisca, E. Y. 2006. Uji Aktivitas Ekstrak Metanol Bunga Piretrum [Chrysanthemum cinerariifolium (Trev.) Vis] sebagai larvasida Aedes albopictus. Skripsi. UHAMKA. Jakarta. Awali, A. N. 2006. Uji Aktivitas Ekstrak Metanol Bunga Piretrum [Chrysanthemum cinerariifolium (Trev.) Vis] sebagai larvasida Aedes aegypti. Skripsi. UHAMKA. Jakarta. Setiawati, W. 2008. Tumbuhan Bahan Pestisida Nabati dan Cara Pembuatannya Untuk Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT). Prima Tani Balitsa, Bandung. Hal. 47. Soedarta. 1989. Entomologi Kedokteran. Penerbit: Buku kedokteran EGC. Surabaya. Hal. 58-64. Afidah, U. 2011. Efektifitas Serbuk Biji Srikaya (Annona squamosa L) Terhadap Kematian Larva Aedes aegypti. Dalam : Skripsi. Fakultas Analis. UNIMUS. Semarang. Hal. 5 – 10. Anonim. 2007. Mengusir Nyamuk dengan Tanaman Hias. Dalam: Mediakita. Jakarta. Hal. 12-14. Anonim. 2005. Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta. Hal. 1-7. Brown, H. W. 1979. Dasar Parasitologi Klinis ed III. PT. Gramedia : Jakarta. Hal. 419 – 431. Desni, I. D. 2010. Efikasi Ekstrak Daun Kumis Kucing (Ortosiphon spp) Terhadap Larva Aedes aegypti. Dalam : Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat. UNIMUS. Semarang. Hal. 9. Ginanjar, G. 2008. Demam Berdarah. Bfirst, Yogyakarta. Hal. 19-23, 67.
Sunkar, S. 2007. Pemberantasan Demam Berdarah Dengue, Majalah Kedokteran Indonesia. Departemen Parasitologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia vol. 57 no. 6. Jakarta. Hal. 32-36. Hastuti, O. 2008. Demam Berdarah Dengue. Kanisius, Yogyakarta. Hal. 23-26. Eiras, A. 1960. Responses of female Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) to host odours and convection using an olfactometer bioassay. Hal. 207-211. Priyanto. 2007. Toksisitas: Obat, Zat Kimia dan Terapi Antidotum. Leskonfi, Jakarta. Hal. 108-128. Direktorat Jendral POM. 2000. Buku Panduan Teknologi Ekstrak. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Hal 1, 6-7, 8-9, 13-14. Departemen Kesehatan RI. 1986. Sediaan Galenik. Departemen Kesehatan RI, Jakarta. Hal. 1-17. Direktorat Jendral POM. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 14. Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia. Penuntun Cara Modern Menganalisa Tumbuhan, Terjemahan: K. Padmawinata, dan I. Soediro. ITB, Bandung. Hal. 1-8. Departemen Kesehatan RI. 1989. Materia Medika Indonesia Jilid V. Departemen Kesehatan RI, Jakarta. Hal. 523-555. Anonim. 1987. Pemberantasan Vektor dan Cara-cara Evaluasinya. Direktorat Jendral PPM dan PLP. Depkes Jakarta.