Udang di Balik Batu Parahita Galuh Kusumaningtyas
Jadul Village, namanya. Kala berdiri di depan gerbang, rasanya seperti ada perang. Dua unsur yang kelihatannya sama sekali berbeda mencoba mendominasi impresi pertama. Lengkung baja dan rambat hijau. Kelihatannya memang sama sekali berbeda, namun toh ketika diperhatikan lebih dekat, perang yang mereka lakukan sebenarnya bukan perseteruan hebat yang akan berujung pada kekalahan satu dari yang lain. Perang itu akan berakhir dengan gencatan senjata, dengan baik-baik, dengan damai—kemudian akan bertransformasi menjadi satu kesatuan yang harmoni.
Seperti konsep dasar transisi, gerbang itu pun mencoba memanifestasikan kesan yang sama. Meskipun ternyata hal tersebut merupakan sebuah kesalahan teknis, pada akhirnya bisa diakali dengan sangat cerdas. Kuda-kuda lengkung baja yang terlihat kaku dilawan dengan tanaman rambat yang bertugas menutupi kekakuan tersebut dan memberikan kesan alam yang lebih kuat. Mungkin memang dikarenakan hasil yang belum akhir, tetapi apa yang terlihat kala itu adalah gabungan dari dua impresi yang berbeda sebagai perantara dunia di luar gerbang yang penuh dengan kotak besi dengan dunia di dalam gerbang yang penuh dengan kekayaan alami.
Melangkah sedikit dari gerbang, elevasi tanah yang semakin lama semakin menurun membuat pemandangan yang terhampar di belakang layar terlihat dengan sangat jelas. Sementara itu, di sisi kanan, lokasi restoran dan tempat pertemuan lain, pola tanah yang berundak-undak mengimbangi turunan curam tersebut. Sawah-sawah berterasering tidak diubah dan justru serasi dengan ketinggian tanah yang berubah tersebut. Perletakkan bangunan di sisi kanan dan kiri dari jalan setapak juga rapi dan tidak bertabrakan di bagian pintu masuk. Di sisi bangunan-bangunan tersebut ditanami berbagai macam flora, seperti pakis ekor monyet. Selain berfungsi sebagai kamuflase si bangunan itu sendiri, tumbuhan yang menutupi jarak pandang dari maupun ke dalam bangunan menciptakan dinding privasi yang alami.
Secara
garis
besar,
ketika
melihatnya sekilas tanpa perlu berpikir cukup pintar, ada dua zona
utama
yang
lagi-lagi
terlihat berbeda. Area gersang dan area hijau. Area gersang diperuntukkan sebagai lahan parkir, sementara area hijau, tentu saja, sebagai area utama penginapan. Meskipun area gersang
terlihat
agak
mengganggu (mungkin karena pohon-pohon yang ditanam masih belum tumbuh cukup besar untuk menutupi kegersangan tersebut), keputusan ini harus diambil karena mau tak mau area itu harus disediakan di tempat yang terpisah agar tidak mengganggu area penginapan. Namun karena areanya begitu besar dan dominan, ketika dilihat dari elevasi yang lebih tinggi (setelah keluar gerbang, misalnya), kegersangan tersebut jadi terlihat begitu mengintimidasi.
Bergeser dari sana, sebagai substansi yang
lagi-lagi
berperan
sebagai
transisi, berdiri sebuah instalasi persis di depan lobi. Instalasi itu, secara teknis, tentu berfungsi sebagai ‘pulau’ yang memisahkan jalur kendaraan yang ingin berhenti di depan lobi atau dengan jalur kendaraan yang ingin langsung
ke
Mengesampingkan
tempat faktor
parkir. teknis
tersebut, instalasi yang merupakan perpaduan batu, kayu, serta rumput ini kembali menjadi simbol kolaborasi yang padu.
Instalasi tersebut dan bangunan lobi, sebagaimana fungsinya, mengantarkan pengunjung untuk kemudian masuk ke dalam area utama. Sebuah sentral di mana para pengunjung dari berbagai sisi bisa berkumpul di sana. Penginapan, spa, dan lobi diperantarai oleh alun-alun dengan hamparan rumput luas itu. Teknik lanskap yang digunakan juga sederhana namun unik. Jajaran kayu bekas disusun menjadi jalan setapak menuju sebuah mangkuk besar tempat pengunjung bisa menyalakan api unggun. Menurut si arsitek, langkah ini diambil sebagai pencegahan terhadap penyalaan api unggun di sembarang tempat. Hal tersebut, tentu saja, bisa merusak tanaman di sekitarnya. Oleh karena itu, dengan menjadikan masalah tersebut sebagai latar belakang, timbul solusi unik yang tidak hanya sekadar memecahkan persoalan, tetapi juga menciptakan vista lanskap yang menarik.
Tepat di seberang mangkuk raksasa tersebut, berdiri sebuah gerbang besar yang diambil dari budaya Bali. Gerbang ini sangat menarik perhatian sehingga dicurigai sebagai inti dari inti, yaitu tempat di mana mata akan berhenti sejenak untuk berorientasi nantinya. Keberadaan gerbang ini menjadi poin penting karena mudah dikenali dan berada
di
sentral,
untuk
kemudian
bisa
dimanfaatkan sebagai meeting point dan latar belakang untuk mengambil gambar kenangkenangan (sebuah faktor yang mau tidak mau harus diakui kepentingannya, karena salah satu keunggulan dari arsitektur berbasis lanskap ialah potensinya dalam membuat latar belakang yang menarik).
Arsitek yang baik adalah arsitek yang mengerti proses natural di tempatnya merancang. Ada beberapa unsur yang menjadi pecahan dari apa itu ‘proses natural’, antara lain kelembaban, suhu,
air, dan udara. Ketika pemisahan area parkir menjadi respon positif terhadap bagaimana memperlakukan aliran udara yang baik agar karbondioksida tidak sampai pada area nyaman, maka penggunaan unsur air di beberapa lokasi menjadi tanggapan terhadap keseimbangan proses natural tersebut. Di beberapa bagian seperti lobi dan spa, unsur air sangat banyak digunakan. Selain sebagai refleksi bangunan yang berdiri di atasnya, keberadaan air juga menjadikan suhu udara di sekitarnya menjadi lebih sejuk. Kolam-kolam tersebut diberikan tema yang selaras dengan tema keseluruhan Jadul Village, yaitu taman tropis dengan aksen zaman dulu. Oleh karena itu, kolam-kolam yang ada di sana juga menjadi rumah bagi tanaman-tanaman air seperti teratai.
Unsur air yang diadakan oleh si arsitek merupakan poin tambah yang signifikan. Tetapi, sebagaimana di setiap hal ada sisi baik dan sisi kurang baik, penciptaan kolam tersebut
juga
dinilai
agak
berlebihan,
terutama dari segi biaya. Terlepas dari pemilik proyek yang memang mampu dan ingin, penggalian tanah serta pemasangan beton yang dinilai cukup banyak demi menampung
air
kolam
tersebut
menimbulkan kesan ‘menciptakan lingkungan ramah dengan cara yang kurang ramah’. Meskipun pada akhirnya nanti efek positif yang diberikan setimpal, efek negatif yang ditimbulkan pada proses pembangunannya tidak boleh dilupakan.
Inti dari Jadul Village ini, seperti tujuan semula, terletak pada bagian huniannya. Blok-blok massa sederhana yang terdiri dari susunan program ruang standar berupa kamar (yang memiliki detail fungsi serupa dengan kamar hotel) dan kamar mandi. Meskipun konsep interior di dalamnya tidak bisa tidak diapresiasi, salah satu faktor yang menarik adalah bagaimana massa bangunan tersebut ditata dan dikemas. Dihitung dari jalan setapak, elevasi massa bangunan naik beberapa level anak tangga. Kenaikan ini merupakan langkah awal dalam usaha memisahkan dunia publik dengan dunia privat. Dengan perbedaan tinggi tersebut, penghuni penginapan akan merasa
sampai pada daerah yang merupakan teritorinya. Lalu, mendukung konsep privasi yang demikian, seperti apa yang dilakukan terhadap bangunan restoran dan pertemuan lain di sisi gerbang masuk, berbagai macam flora ditanam di sekitar massa bangunan sehingga menciptakan pagar yang tidak sombong. Pagar tanaman tersebut menyembunyikan sebuah tempat huni dari area luar yang bising, pun juga melindungi privasi dari jarak pandang pengunjung lain di luar pagar. Tiap-tiap kamar seperti menjadi suatu substansi terpisah yang tersembunyi di balik kearifan alam.
Langkah menyembunyikan privasi dengan tanaman juga pernah diaplikasikan di tempat lain. Seperti tempat makan Kampung Daun, misalnya. Area makan yang merupakan saung-saung kecil independen disembunyikan di balik julangan rumput-rumput serta tanaman lain serupa. Cara ini dinilai sebagai cara yang paling efektif dan ramah, karena sejatinya, memang eksistensi yang ada di alam sudah memiliki peran yang sangat krusial seperti kasus ini. Hanya saja, dengan munculnya teknologi manusia, peran ‘pembatas’ yang mulanya bisa dilakukan dengan baik oleh tanaman lantas tergantikan oleh ‘pembatas’ lain yang lebih solid dan kokoh. Memang dasar manusia, ketika sudah bosan dengan teknologinya sendiri dan tahu apa efek negatif yang ditimbulkan, baru kemudian mereka kembali pada kearifan alam dan memilih cara yang lebih organik dalam membentuk privasi.
Secara keseluruhan, Jadul Village ini seperti udang di balik batu. Bukan dalam arti peribahasa yang sebenarnya, namun lebih merupakan ‘ada sesuatu di balik sesuatu’. Jadul Village menawarkan keasrian di tengah kebisingan kota, sebagaimana visi resor pada umumnya. Dengan memberikan kejutan di setiap langkah, konsep lanskap ini mengantarkan pengunjung pada fakta bahwa di balik sesuatu, akan ada sesuatu yang lebih baik lagi. Seperti impresi awal ketika melewati gerbang, hal yang paling pertama ditangkap adalah betapa gersangnya area parkir yang luas dan terlihat mendominasi. Namun di balik itu, ketika zonasi mulai ambil bagian, ada banyak kekayaan alam dan budaya terkandung di sisi yang satunya.
Perpaduan antara arsitektur tradisonal dengan penataan lanskap dengan flora-flora tropis juga menjadi hal yang patut untuk dipelajari kemudian dicontoh. Terlepas dari gaya arsitektur bangunan yang tidak kompak dan kurang konsisten, penataan massa-massa bangunan diselesaikan dengan baik. Pemilihan tanaman sesuai fungsinya juga menjadi sebuah poin penting. Detail-detail sederhana mengenai transisi dari perkerasan ke penghijauan ditangani dengan total pula, karena mulai dari detail-detail yang kadang dinilai tidak terlalu penting itulah, muncul suasana harmoni yang didambakan.
Pada dasarnya, semua arsitektur yang berbasis lanskap tentu akan memikirkan bagaimana caranya menyeimbangkan antara yang manusiawi dengan yang alami. Menyelasarkan kedua hal tersebut, meskipun terdengar sangat mulia dan idealis, rupanya tidak semudah kelihatannya. Komposisi yang baik antara tanaman dengan massa bangunan harus benar-benar dipikirkan dan bagaimana kedua unsur tersebut berfungsi tidak hanya sesuai dengan perannya masing-masing, tetapi juga bagaimana fungsi-fungsi itu menguatkan unsur yang lain.
Contoh sederhana telah dikemukakan, yaitu ketika tanaman menjadi buffer antara yang privat dengan yang publik. Langkah ini memang terdengar mudah dan sederhana, tetapi kebijakan yang diambil sangat berpengaruh besar pada hasil desain nantinya. Di sisi lain, susunan massa bangunan yang memperkuat keberadaan tanaman juga memberikan pengalaman ruang yang berbeda.
Di balik sesuatu ada sesuatu yang lebih baik lagi, mungkin itulah kesan yang tertangkap ketika melihat bagaimana substansi lembut berupa flora dan substansi kokoh berupa bangunan bersatu menjadi satu kesatuan yang kompatibel. Udang di balik batu. Kendatipun jika melihat dari kecocokan sifat keras-lunak materialnya, lebih tepat dibilang batu di balik udang.
-----