TUTURAN DAN TINDAKAN BAHASA MENURUT JOHN L. AUSTIN (SUATU ANALISIS MAKNA BAHASA SEHARI-HARI)
Purwo Husodo Universitas Andalas Padang
ABSTRACT In his research, Austin focused to daily language. Austin divided into two kinds of utterance: constative utterance and performative utterance. According to Austin, constative utterance is an utterance that can be proved by empirical observation, while performative utterance is an utterance that claimed uttering obligation to act conform to uttering expression. To differentiate two utterances, Austin proposed an analysis speech act approach. The speech act divided into three type: locution, illocution and perlocution. Locution is a speech act that uttering could say something without obligation, illocution is an implement act from locution, whereas perlocution expected to listener could do something. Key words: Tuturan, Tindak Bahasa, Konstatif, Performatif Lokusi, Ilokusi, Perlokusi
1. Pendahuluan Salah satu tema pokok pemikiran filsafat dalam abad ke-20 adalah bahasa. Tugas filsafat bahasa adalah mencari kriteria untuk membangun tuturan atau ungkapan yang bermakna. Dengan menetapkan kriteria dalam bahasa maka setiap tuturan dapat dianalisis. Oleh karena itu filsafat bahasa (philosophy of language) sering juga disebut dengan filsafat analitis (philosophy of analysis). Kadang-kadang nama untuk filsafat bahasa disebut juga filsafat linguistik (philosophy of linguistic), karena bahasa sebagai alat komunikasi mempunyai aturan permainan linguistik yaitu kosa kata dan struktur dalam membuat kalimat. Bahasa tidak hanya terdiri dari suatu perpaduan kata-kata, tetapi juga mempunyai masalah linguistik yang mengundang orang untuk meneliti masalah semiotik dan sintaksis (Lorens, 1991:94). Filsafat bahasa pertama kali muncul di Inggris pada awal abad ke-20, terutama dipelopori oleh George Edward Moore (1873-1958) dan Bertrand Russell (1872-1970). Dan kemudian di Perancis pemikiran tentang bahasa dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure (1875-1913), yang diteruskan oleh Claude Levi-Strauss (1908). Munculnya filsafat bahasa tersebut merupakan reaksi terhadap pemikiran filsafat yang berkembang di Inggris pada waktu itu yaitu, idealisme. Pemikiran filsafat ini di Inggris sering disebut dengan NeoHegelianisme. Pada saat itu, Mc. Taggart (1866-1925) dan Bradley (1846-1924) merupakan dua tokoh pendukung Neo-Hegelianisme. Menurut Moore, seorang penganut atomisme logis, cara dan gaya bahasa kaum Neo-Hegelianisme terlalu bombastis sehingga membingungkan orang yang menggunakannya. Moore tidak menolak pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh kaum Neo-
Purwo Husodo
Hegelianisme, namun tuturan-tuturan yang diucapkannya terasa kabur dan tidak jelas. Akibatnya orang yang diajak bicara tidak menangkap maksud si pembicara (Lorens, 1991:95). Dalam perkembangan selanjutnya, pemikiran filsafat bahasa terdapat empat periode penting, yaitu: periode pemula atau periode atomisme logis, kemudian periode positivisme logis dari Alfred Jules Ayer (1910), periode permainan bahasa (language game) dari Ludwig Wittgenstein (1889-1951), dimana ketiga periode ini dimasukkan ke dalam kelompok Cambridge dan dominan pada masa sebelum Perang Dunia II, dan periode filsafat bahasa biasa (ordinary language) yang dimasukkan ke dalam kelompok Oxford dan dominan pada masa setelah Perang Dunia II. Sebelum Perang Dunia II gerakan filsafat bahasa didominasi oleh kelompok Cambridge, dengan tokohnya seperti Moore, Wittgenstein dan Wisdom. Namun setelah Perang Dunia II peran mereka digantikan oleh kelompok Oxford. Salah seorang kelompok Oxford yang terkenal dan akan dibahas dalam tulisan ini adalah pemikiran dari John Langshaw Austin tentang tuturan dan tindakan bahasa dalam bukunya How to Do Things with Words. 2. Latar Belakang Pemikiran Austin John Langshaw Austin lahir pada tahun 1911, ia belajar filologi dan filsafat di Oxford. Austin memulai karirnya di bidang akademik sebagai pengajar di Magdalen Colledge, Oxford. Sewaktu Perang Dunia II, ia menjadi seorang militer pada British Intelligence Corps dan mencapai pangkat letnan kolonel. (Bertens, 1983:56). Setelah perang usai, ia kembali ke dunia akademik. Pada tahun 1952, Austin menjadi guru besar di Oxford University dan tahun 1955 di Harvard University. Pada tahun 1958, ia mengajar di California University sampai meninggal pada tahun 1960 akibat menderita sakit. Meskipun usianya masih muda ketika meninggal, namun Austin meninggalkan karya-karya yang penting bagi perkembangan dan kemajuan filsafat bahasa. Banyak karya-karya Austin yang menonjol dan diterbitkan oleh J.O. Urmson dan G.J. Warnock setelah ia meninggal.Tiga karya Austin yang paling menonjol adalah Philosophical Papers (1961), karya ini berupa kumpulan makalah yang pernah dibawakan oleh Austin di berbagai diskusi dan seminar. Karya lain adalah Sense and Sensebilian (1962), memuat kumpulan kuliah yang diberikannya di Oxford dan karya utama dari Austin adalah How to Do Things with Words, dimana tulisan ini membicarakan tentang tuturan dan tindakan bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Pemikiran Austin berbeda dengan pemikiran atomisme logis (Moore dan Russell) atau positivisme logis (Ayer), yang meneliti makna bahasa secara ideal. Austin lebih memusatkan penelitiannya pada bahasa sehari-hari. Menurutnya, bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari terdapat banyak sekali perbedaan dan nuansa atau variasi yang berkembang untuk mengungkapkan pemikiran para penuturnya. Keanekaragaman penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari ini seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai obyek penelitian para filsuf analitis. Menurut Austin, tidak sedikit masalah filosofis akan tampak dalam bentuk baru apabila didekati dengan cara-cara yang tersembunyi dalam bahasa sehari-hari. Selanjutnya, ia mengatakan bahwa penggunaan bahasa selalu berkaitan dengan situasi konkrit dimana penutur berada dan dari fenomena-fenomena yang berkembang. Pernyataan yang sering diungkapkan
198
Linguistika Kultura, Vol.02, No.03/Maret/2009
oleh Austin adalah what to say when, dimana unsur bahasa (what) dianggap sama penting dengan dunia fenomena (when). Oleh karena itulah Austin memakai istilah linguistic phenomenology sebagai teknik analisa bahasa untuk menjelaskan fenomena-fenomena melalui penyelidikan bahasa (Bertens, 1983:58). Austin tidak membuat perbedaan antara pernyataan yang dapat dipastikan benar atau salah berdasarkan pada fakta-fakta tetapi menyatakan suatu tindakan atau perbuatan dalam bahasa. Sementara penganut atomisme logis, seperti Russell mengatakan bahwa bahasa berfungsi untuk menggambarkan realitas. Oleh karena itu bahasa berhubungan erat dengan fakta-fakta. Fakta-fakta tersebut tidak dapat bersifat benar atau salah, yang dapat bersifat benar atau salah adalah pernyataan yang menggambarkan realitas. (Bertens, 1983:29). Dengan demikian Russell menyimpulkan bahwa bahasa merupakan sebatas dengan dunia. Sedangkan penganut positivisme logis, terutama Ayer menyoroti bahasa dari aspek bermakna atau tidak bermakna suatu ucapan bukan benar atau salahnya suatu ucapan. Untuk menentukan bermakna atau tidaknya suatu ucapan adalah dengan menggunakan prinsip verifikasi. Dalam prinsip verifikasi ditegaskan bahwa suatu ucapan dikatakan bermakna, jika berdasarkan pada pengamatan empiris atau setidak-tidaknya berkaitan dengan keadaan faktual. Contoh ucapan yang bermakna: “Mahasiswa yang mengikuti kuliah Filsafat Ilmu hari ini berjumlah 24 orang”. Suatu ucapan yang bermakna bisa benar atau salah; contohnya, seseorang mengatakan “Kota Dumai berada di propinsi Sumatera Barat” atau “Ibukota propinsi Sumatera Barat adalah Bukittinggi”. Ucapan ini menurut Ayer merupakan ucapan yang bermakna tetapi tidak benar karena ucapan tersebut kesalahannya dapat ditetapkan. Ucapan yang bermakna, kata Ayer juga yang berdasar pada bahasa logika dan matematika, contohnya: “Separuh dari 18 sama dengan 5 ditambah 4”. Sedangkan ucapan yang tidak bermakna adalah ucapan yang tidak dapat diverifikasi, contoh: Hari ini cuaca lebih baik dari pada di luar”. Ucapan yang tidak bermakna, sebagai konsekuensi dari prinsip verifikasi adalah ucapan yang mengandung unsur theologis, metafisis, etis dan estetis; contohnya: “Ada jin di rumah yang kosong”, “Dunia diciptakan oleh Tuhan” atau “Lukisan itu bernilai tinggi” (Bertens, 1983:36). Sama juga dengan pendahulunya, Austin juga ingin melihat kebenaran dalam bahasa. Namun ia tidak berhenti pada prinsip verifikasi yang diberikan oleh positivisme logis. Oleh karena dalam kenyataan sehari-hari kita tidak selalu dihadapkan pada kalimat yang dapat diverifikasi, ada banyak kalimat yang tidak dapat diverifikasi. Contoh, kalimat: “Saya berjanji untuk mengajar hari ini” atau kalimat “Saya mengucapkan terima kasih atas undangan dari ibu Adriyetti Amir”. Ucapan ini dianggap tidak bermakna bagi positivisme logis, karena ucapan tersebut tidak dapat diverifikasi. Oleh Austin, kalimat semacam itu disebutnya dengan kalimat performatif (performative utterance). Contoh lain kalimat performatif menurut Austin, “Saya menunjuk saudara sebagai ketua rombongan” atau “Kami mengucapkan selamat datang kepada hadirin sekalian” (Bertens, 1983:59). 3. Tuturan Konstatif dan Tuturan Performatif Austin membedakan dua jenis tuturan, yaitu tuturan konstatif (constative utterance) dan tuturan performatif (performative utterance). Kedua jenis tuturan tersebut tidak hanya berbeda dari pengucapannya tetapi juga berbeda dalam
199
Purwo Husodo
situasi dan implikasi yang ditimbulkannya. Meskipun demikian perbedaan antara tuturan performatif dengan tuturan konstatif tidak bersifat mutlak. Bahkan dalam situasi tertentu antara tuturan performatif dengan tuturan konstatif tidak selalu jelas, contoh ucapan hakim: “Saya menjatuhkan hukuman atas saudara enam bulan kurungan”. Tuturan ini tidak dapat dinyatakan benar atau tidak benar. Namun tuturan tersebut mempunyai hubungan dengan fakta-fakta yang bersifat benar atau tidak benar. Kalau hakim menjatuhkan vonis atas orang yang tidak bersalah, maka tidak dapat dikatakan bahwa vonis tersebut tidak benar namun masih ada hubungan dengan kebenaran fakta-fakta. Austin mengatakan ucapan semacam itu adalah fair or unfair to facts. Oleh karena itu perbedaan antara ucapan performatif dengan ucapan konstatif tidak bersifat mutlak, disatu sisi vonis tersebut merupakan tuturan performatif di sisi lain mengandung kebenaran fakta-fakta (Bertens, 1983:61-62). Tuturan konstatif yang digunakan oleh Austin adalah sama halnya dengan yang digunakan oleh kaum positivisme logis. Suatu pernyataan dapat dibenarkan apabila dapat dibuktikan melalui pengalaman empirik. Dengan kata lain antara pernyataan dengan kenyataan harus berkorespondensi atau berkesesuaian, sehingga kebenaran tuturan konstatif dapat diuji melalui pengamatan empirik. Ucapan seperti, “ Di rumah saya terdapat tiga ekor kucing” atau “Saya mempunyai uang lima puluh ribu rupiah”. Ucapan ini menggambarkan tentang keadaan faktual. Dalam ucapan tersebut dinyatakan ada tiga ekor kucing di rumah, jika kenyataannya saya mempunyai tiga ekor kucing maka pernyataan tersebut benar dan sebaliknya jika kenyataannya tidak mempunyai tiga ekor kucing maka pernyataan tersebut tidak benar. Austin sering memberikan contoh tuturan konstatif, seperti: “Raja Perancis botak”, “Ada kucing di atas permadani” atau “Ada tiga puluh orang di ruang sebelah”. Ketiga contoh tersebut memberikan gambaran suatu keadaan faktual dan kebenarannya dapat dibuktikan. Berbeda dengan tuturan yang mengandung unsur emotif dan etis normatif, seperti ucapan “Saya menyesal”, “Saya berjanji”, “Saya bersedia”, “Saya berterima kasih” atau “Saya menyatakan”. Ucapan tersebut tidak mengandung unsur faktual, sehingga bukan ucapan konstatif. Para filsuf bahasa sebelumnya tidak menganalisa kalimat seperti itu karena mereka menganggap kalimat tersebut tidak bermakna. Menurut Austin, kalimat sejenis itu sebenarnya mengandung suatu kekuatan yang mengkondisikan adanya suatu tindakan dari si penutur. Oleh karena itu perlu dianalisa dan untuk tuturan sejenis itu, Austin memasukkannya ke dalam tuturan performatif. Tuturan performatif, menurut Austin adalah tuturan yang menuntut kewajiban si penutur melakukan suatu tindakan sesuai dengan tuturan yang diucapkannya. Contoh tuturan yang sering diberikan Austin diantaranya: (Austin, 1962:5). (1) Saya bersedia (menerima wanita ini sebagai istri yang syah) (2) Saya menamakan kapal ini dengan “Queen Elizabeth” (3) Saya memberikan dan mewariskan jam milik saya ini kepada saudara saya. Kalimat-kalimat tersebut tidak menggambarkan suatu keadaan saja tetapi terkandung suatu kekuatan misalnya, kalimat “Saya bersedia”, kalimat tersebut diucapkan oleh mempelai pria pada saat perkawinannya. Kalimat ini mempunyai kekuatan yang menuntut si penutur mempertanggungjawabkan isi ucapan dan kelayakan mengucapkan kalimat tersebut. Penutur yang menyatakan bersedia maka ia wajib menepati janjinya untuk menerima wanita yang akan menjadi
200
Linguistika Kultura, Vol.02, No.03/Maret/2009
istrinya tersebut. Ucapan ini baru dapat dianggap benar bila ternyata ia menepati janjinya. Menurut Austin, tuturan performatif tidak dapat dinyatakan benar atau salah, karena tuturan sejenis ini tidak diperbandingkan dengan suatu fakta. Tuturan performatif hanya bisa dinilai berhasil atau gagal, berdasarkan perbuatan yang dinyatakan tersebut dilakukan atau tidak. Austin juga mengatakan bahwa kalimat performatif hanya bisa mengalami kegagalan-kegagalan (infelicities) (Bertens, 1983:60). Austin mengklasifikasikan tuturan performatif menjadi wajar atau tidak wajar, layak atau tidak layak, artinya apakah pernyataan itu diucapkan pada tempatnya atau tidak, wajar atau tidak. Tuturan “Saya bersedia menerima wanita ini sebagai istri saya yang syah” merupakan kalimat yang wajar jika diucapakan oleh seorang pria yang tidak terikat perkawinan dengan wanita lain, kecuali dalam budaya yang membolehkan poligami. Austin memberikan beberapa kriteria gramatikal tertentu untuk membedakan sebuah tuturan performatif, yaitu: the first person singular present indicative active (orang pertama, waktu sekarang, indikatif dan aktif) (Austin, 1962:56). Dengan demikian tuturan performatif harus mempunyai syarat sebagai berikut: (1) Dituturkan oleh orang pertama (the first person) (2) Dituturkan pada waktu sekarang (simple present) (3) Bersifat indikatif (indicative) (4) Penutur terlibat langsung (active) Jelaslah kalau keempat ciri tersebut diterapkan untuk menganalisa suatu kalimat, contoh kalimat “Saya bersedia menerima wanita ini sebagai istri saya yang syah” merupakan tuturan performatif. Oleh karena kalimat tersebut dituturkan oleh orang pertama (saya), dituturkan pada waktu sekarang (dituturkan saat upacara perkawinan), sifatnya indiktif (mengandung pernyataan berupa kesediaan) dan penutur terlibat langsung. Austin mengingatkan bahwa keempat ciri tersebut belumlah dapat dijadikan jaminan bahwa tuturan performatif itu layak dituturkan. Agar ucapan benar-benar bersifat performatif, beberapa syarat harus dipenuhi. Suatu ucapan performatif mempunyai aturan-aturan yang khusus bagi ucapan performatif dan tidak berlaku bagi ucapan-ucapan jenis lainnya. Dalam hal ini, Austin mengajukan prasyarat lain, yaitu: (1) Harus mengikuti tata cara prosedur umum yang berlaku di lingkungan masyarakat setempat dan mempunyai akibat tertentu pula. Contoh : Dalam suatu lingkungan masyarakat yang tidak mengakui poligami, kalimat “Saya bersedia” hanya layak dituturkan satu kali pada saat perkawinan. Apabila tuturan diucapkan dalam situasi yang tidak mengizinkan tindakan yang dituturkan itu, maka tutuaran performatif itu gagal atau tidak wajar. Di suatu lingkungan di mana poligami tidak diizinkan, seorang pria yang telah menikah mengucapkan “Saya mengambil engkau menjadi isteri saya yang syah”, kepada wanita lain, maka tuturan tersebut tidak layak atau tidak wajar. (2) Harus diucapkan oleh orang yang berkompeten dalam bidangnya. Contoh : Seorang dosen menyatakan “Saya mengangkat anda menjadi manajer personalia” dianggap tidak layak karena tidak memiliki kewenangan untuk itu. Contoh lain : “Saya menunjuk anda sebagai menteri luar negeri” yang diucapkan bukan presiden, maka tuturan tersebut tidak wajar. (3) Prosedur itu harus berlaku bagi semua orang yang terlibat dan menuntut kejujuran
201
Purwo Husodo
Contoh : ucapan “Saya bersedia” atau “Saya berjanji” harus berasal dari kesadaran diri tanpa paksaan atau maksud-maksud lain, seperti hanya sekedar formalitas. (4) Prosedur harus sesuai dengan isi pikiran, perasaan, maksud penutur dan menuntut tanggung jawab penutur atas ucapannya dalam tindakan. Contoh : “Saya bersedia” mengandung tanggung jawab yang harus ditepati oleh kedua mempelai dan wajib mereka penuhi. Apabila ada salah satu dari keempat syarat tersebut tidak terpenuhi maka akan terjadi kegagalan-kegagalan inkonsistensi atau ketidakpantasan (Austin, 1962: 14). Sebagai contoh kalimat basa-basi, “Saya turut berbahagia atas pernikahan saudara”, yang diucapkan seseorang yang sakit hati karena pacarnya diambil oleh orang yang diberi ucapan selamat, menurut Austin merupakan tuturan yang inkonsisten atau ketidakpantasan. 4. Tindakan Bahasa : Lokusi, Illokusi dan Perlokusi Dalam usahanya untuk membedakan dua macam tuturan yaitu tuturan konstatif yang mengacu pada suatu fakta dan tuturan performatif yang mengacu pada suatu tindakan, Austin mengajukan pendekatan baru, yaitu menganalisa tentang speech-acts (tindakan bahasa). Austin mencoba menjelaskan hubungan antara “tuturan dan tindakan”, Ia membedakan tindakan bahasa (speech act) dalam tiga jenis yaitu : lokusi, illokusi, dan perlokusi (Austin, 1962 :101). Analisa Austin dalam hal ini adalah mengatakan sesuatu berarti melakukan sesuatu, artinya setiap pernyataan yang sudah diucapkan harus mempunyai tanggung jawab untuk bertindak sesuai dengan isi tuturan. Lokusi merupakan tindakan bahasa, di mana si penutur mengungkapkan sesuatu tanpa adanya tanggung jawab. Lokusi dipakai untuk tindakan yang mengungkapkan sesuatu. Dalam tindakan lokusi, penutur tidak dituntut tanggung jawab untuk melaksanakan isi ucapannya tersebut. Contoh: “Ada anjing di kebun”. Penutur hanya menyampaikan isi pikirannya, Austin mencontohkan : Ia mengatakan kepada saya, “Tembaklah dia”!. Makna tuturan ini mengandung perintah yang tidak mengarah pada si penutur. Dalam arti, penutur tidak dikenai tanggung jawab untuk melakukan tindakan sesuai dengan isi tuturannya. Kata “tembaklah” mengacu pada orang ketiga bukan pada penutur. Apabila dalam tindakan lokusi, penutur menyatakan sesuatu tanpa dituntut keharusan penutur melakukan tindakan sesuai dengan isi tuturannya, maka tindakan ilokusi merupakan pelaksanaan tindakan dari lokusi (Austin, 1962: 132). Antara tuturan performatif dan tindakan ilokusi ada keterkaitannya. Menurut Austin, ketika kita menuturkan sebuah tuturan performatif maka sebenarnya kita juga melakukan tindakan illokusi (Austin, 1962: 98). Begitu pula dengan kata kerja yang digunakan dalam tuturan performatif dapat juga digunakan pada tindakan illokusi. Perbedaan antara tuturan performatif dan tindakan illokusi terletak pada akibat implikasi yang ditimbulkannya. Tuturan performatif lebih menekankan layak tidaknya atau wajar tidaknya suatu pernyataan dituturkan sedangkan pada tindakan illokusi penekanannya terletak pada kemungkinan penutur melakukan tindakan.
202
Linguistika Kultura, Vol.02, No.03/Maret/2009
Hal ini dapat dilihat dalam contoh: “Saya berjanji akan mengembalikan buku-buku yang saya pinjam dari Pak Hanafi. Sebelum menuturkan kalimat tersebut penutur telah mengkondisikan hal-hal sbb: (1) memang benar Pak Hanafi meminjamkan buku-bukunya; (2) penutur telah menerima buku-buku tersebut; (3) buku-buku yang dipinjamkan belum dikembalikan, dan (4) penutur berniat akan mengambalikan buku-buku tersebut Apabila salah satu dari kondisi tersebut tidak dipenuhi maka tindakan illokusi tidak perlu dilakukan penutur. Misalnya penutur tidak berniat mengambalikan buku-buku tersebut, analisa Austin terhadap tuturan tersebut adalah mencoba memahami apa yang ada dalam pikiran penutur. Saat penutur mengucapkan janjinya maka sebenarnya dalam kesadaran (mind) penutur terkandung muatan bahwa penutur akan menepati janjinya dan sekaligus mempertaruhkan reputasinya pada orang lain. Penutur telah mengambil resiko untuk dinilai kurang baik jika ia mengingkari janjinya tersebut. Tindakan illokusi penutur dimintai tanggung jawabnya untuk melakukan tindakan sesuai dengan isi penuturannya. Apabila dalam illokusi penutur dimintai untuk bertindak sesuai dengan isi tuturan yang disampaikannya, maka dalam perlokusi pendengar yang diharapkan bertindak. Sebagai contoh, Pak Sawirman mengatakan di depan kelas kepada mahasiswanya, bahwa “penghapusanya tidak ada”. Kalimat tersebut bukan sekedar pemberitahuan tentang keadaan faktual yang sifatnya informatif tetapi lebih dari itu mempunyai kekuatan (force) berupa efek psikologis pada pendengar. Efek yang diharapkan penutur pada kalimat tersebut adalah suatu tindakan dari mahasiswa untuk mengamblkan penghapus. 5. Kesimpulan Tema utama Austin dalam bukunya How to Do Things with Words adalah menggantikan tuturan konstatif menjadi tuturan performatif. Pembedaan yang mula-mula dilakukan adalah dengan membedakan antara tuturan yang berupa pernyataan faktual atau deskripsi dengan tuturan yang berupa tindakan. Austin memperlihatkan bahwa tuturan konstatif dapat dinyatakan benar atau tidak benar, sedangkan tuturan performatif dinyatakan dengan wajar atau tidak wajar (happy or unhappy). Pada awalnya, Austin meyakini bahwa tuturan konstatif dan tuturan performatif dapat dibedakan dengan jelas. Seolah-olah memang ada dua golongan cara pemakaian bahasa. Kemudian Austin mencoba menentukan suatu kriteria-kriteria untuk membedakan dua jenis tuturan tersebut. Akan tetapi, kriteria tersebut juga tidak mampu menjelaskan dengan memuaskan perbedaan dua jenis tuturan. Akhirnya Austin mengakui bahwa dalam situasi tertentu antara tuturan konstatif dan tuturan performatif tidak selalu jelas perbedaannya. Sebagai contoh, kalimat vonis. Ucapan hakim: “Saya jatuhkan hukuman atas saudara Ricardo Tumbuan delapan bulan kurungan.” Tidak mungkin dinyatakan benar atau tidak benar, yang pasti bahwa ucapan tersebut berhubungan dengan faktafakta yang bersifat benar atau tidak benar. Kalau hakim menjatuhkan vonis atas orang yang tidak bersalah maka vonis tersebut tidak benar dijatuhkan kepadanya. Akan tetapi suatu hukuman dijatuhkan pasti ada hubungannya dengan fakta-fakta yang memberatkan terdakwa. Jadi, disatu sisi vonis tersebut merupakan tuturan performatif disisi lain mengandung kebenaran fakta-fakta. Austin mengatakan, ucapan semacam itu merupakan ucapan “fair or unfair to
203
Purwo Husodo
fact”. Dengan alasan tersebut dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara tuturan performatif dengan tuturan konstatif tidak bersifat mutlak.
DAFTAR PUSTAKA Austin, John Langshaw; 1961, Philosophy Paper, Oxford, University Press. ______: 1962, How to Do Things with Words, Oxford, University Press. Bertens, Kees; 1983, Filsafat Barat Abad XX Inggris-Jerman, Jakarta, Gramedia. Lorens Bagus; 1991, Diktat, “Silabus Logika dan Bahasa”, Jakarta, Universitas Indonesia Purwo Husodo dan Mayang Sari; 1992, Makalah, “Tuturan sebagai Tindakan Bahasa Dalam How to Do Things with Words dari John L. Austin, Jakarta, Pascasarjana UI. Redaksi Driyarkara; 1993, “Pertautan Berkata dan Bertindak, Analisis Makna Bahasa Sehari-hari John L. Austin” dalam Majalah Filsafat Driyarkara, Tahun XIX No. 2.
204