BAB I SEJARAH, VISI, MISI DAN TUJUAN KOMPETENSI DASAR/TUJUAN PEMBELAJARAN Mahasiswa dapat memahami kedudukan mata kuliah Konsep Dasar PNF dalam wujud visi,misi, tujuan dan kompetensi lulusan mahasiswa program studi PNF
URAIAN MATERI A. Sejarah Hasil dan dampak pembangunan telah terjadi kondisi perubahan sosial yang makin cepat, rumit dan dengan skala besar. Untuk menjawabnya, mutlak dibutuhkan kualitas sumber daya manusia yang harus disiapkan melalui pendidikan.
Antisipasi
pakar pendidikan mengenai
hal
tersebut dengan
mengembangkan tenaga pendidikan dan pengembangan sosial pada jurusan pendidikan masyarakat yang dibuka di FIP Unpatti Ambon tahun 1975. Dalam
perkembangan
selanjutnya
berubah
nama
menjadi
jurusan
Pendidikan Sosial. Tahun 1979 berubah nama menjadi Program Studi PLS. Perkembangan tersebut diikuti dengan pembukaan jurusan yang sejenis di LPTK lain, termasuk di Fakultas Ilmu Pendidikan yang sekarang disebut dengan nama Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Patimura Ambon.
B. Visi, Misi dan Tujuan a. Visi dan Misi Universitas Pattimura Ambon 1. Visi Universitas Pattimura Universitas
Pattimura
menjelang
2018
akan
menjadi
Universitas
kemasyarakatan yang unggul dan terdepan dalam menyelenggarakan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang berorientasi, laut pulau mendukung pembagunan
nasional,
memajukan
kehidupan
masyarakat,
dan
meningkatkan budaya bangsa. 2. Misi Universitas Pattimura Universitas Pattimura dalam melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dengan pola ilmiah pokok Bina Mulia Kelautan mengembang misi : 1).Menciptakan dan membina kehidupan akademik yang sehat dan kondusif untuk menghasilkan keluaran yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
1
Esa, bermakhluk dan berbudi luhur, berbudaya Indonesia, memiliki kemampuan akademik ilmiah dan profesional mempunyai kinerja yang tinggi pada lingkungan laut pulau. 2). Membangun tradisi ilmiah yang produktif dalam menghasilkan peneliti dan pemikir profesional dalam berbagai disiplin ilmu yang mampu memutakhirkan pengetahuan dan daya dalam penerapannya bagi kepentingan dan kemajuan masyarakat. 3). Mendesiminasi temuan penelitian sebagai pelayan kepada masyarakat dalam bentuk kaji tindak dan paket teknologi yang mendorong usaha produktif, umat
meningkatkan mutu kehidupan, dan mutu kesejahteraan
manusia
secara
berkelanjutan
dengan
mengembangkan
kelembagaan masyarakat agar mampu memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi. 4). Memberdayakan masyarakat secara aktif untuk mengangkat masyarakat dan keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan, dan kesenjangan antar wilayah pulau melalui pemanfaat ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai wujud pemerataan keadilan. 3. Tujuan Universitas Pattimura Sesuai Visi dan Misi, maka tujuan Universitas Pattimura adalah sebagai berikut : 1).Berperan sebagai lembaga
pendidikan tinggi yang unggul dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berorientasi laut pulau. 2).Mewujudkan kampus sebagai wadah
masyarakat akademik yang
profesional dan handal yang memiliki budaya ilmiah, mejunjung tinggi kebenaran, keadilan, terbuka, kritis, kreatif, inovatif, dan tanggap terhadap dinamika perubahan zaman secara regional, nasional, dan internasional. 3).Mewujudkan Universitas Pattimura sebagai Universitas kemasyarakatan (community university). 4).Mengembangkan dan memanfaatkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang relevan dengan tujuan pembagunan daerah dan nasional melalui pengembangan program-program studi,penelitian, pembinaan kelembagaan, dan pengembangan sumber daya manusia yang berdaya guna dan berhasil.
2
5).Membangun dan meningkatkan kualitas prasarana, sarana dan teknologi, mewujudkan suasana akademik yang kondusif sehingga bermanfaat bagi masyarakat sesuai misi universitas. 6).Membangun
Universitas
Pattimura
menuju
kemandirian
melalui
pengembangan usaha produktif, mengembangkan kerjasama kemitraan berbasis institusi di dalam dan di luar negeri. b. Visi, Misi dan Tujuan FKIP Universitas Pattimura 1. Visi FKIP Universitas Pattimura sebagai LPTK mengjelang tahun 2010 telah memiliki landasan yang kuat untuk menyelenggarakan pendidikan prajabatan guru bagi semua Satuan Pendidikan dan jenjang Pendidikan Tinggi, mengembangkan buadaya beroganisasi dalam lingkungan Universitas Pattimura serta menghasilkan lulusan yang memiliki kualitas kemampuan profesional ganda bagi kebutuhan pembangunan yang berorietasi laut pulau. 2. Misi FKIP Universitas Pattimura dalam melaksanakan
Tri Dharma Perguruan
Tinggi selain mengemban misi Universitas Pattimura terlebih sebagai LPTK mengemban misi: 1).Meningkatkan
keprofesionalan
dan
akuntabilitas
sebagai
pusat
pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap dan nilai berdasarkan standar nasional dan global. 2). Mengembangkan program pendidikan yang mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan akademik dan profesional serta berakhlak terpuji. 3).Menciptakan dan membina budaya beroganisasi dalam mendukung pengembangan kemampuan akademik FKIP dalam lingkungan Universitas Pattimura. 4).Meniciptakan keakrapan dalam memberdayakan peranserta masyarakat, sekolah industri dan universitas
untuk menyelenggarakan pendidikan
dan penelitian berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. 5).Mendesiminasi temuan-temuan ilmiah hasil penelitian dan pengabdian kepada masyarakat melalui sarana komunikasi ilmiah yang terakreditasi
3
demi percepatan penguasaan informasi dan pemutahiran pengetahuan untuk kepentingan pembangunan dan kemajuan masyarakat. 3. Tujuan FKIP Universitas Pattimura FKIP Universitas Pattimura Ambon bertujuan menghasilkan lulusan : 1).Unggul dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya (IPTEKSBUD) sehingga mampu berkompetisi baik di bidang kependidikan maupun dibidang non kependidikan. 2).Dapat mengembangkan berbagai aspek pendidikan,
penilitian dan
pengabdian kepada masyarakat. 3).Memelihara
dan
mengembangkan
kepribadian
dan
sikap
positif,
berintegritas tinggi, bertanggung jawab, dan berdedikasi tinggi. 4).Pengembangankemampuan akademik FKIP sesuai dengan persyaratan yangdiperlukan untuk menghasilkan lulusan yang dibekali dengan seperangkat kemampuan untuk memasuki pasar kerja yang lebih beragam, disamping menghasilkan guru yang baik. 5).Berfungsi
sebagai anggota
masyarakat yang
kreatif, inovatif, dan
berorientasi ke masa depan. c. Visi, Misi dan Tujuan Program Studi Pendidikan Nonformal 1). Visi Menjadi
Program
Studi
Pendidikan
Nonformal
yang
tangguh
dalam
mempersiapkan sumberdaya manusia berkualitas unggulan sebagai manusia pembelajar menghadapi masa depan berdasarkan prinsip pendidikan untuk semua dan belajar sepanjang hayat. 2). Misi Menjadi progran sutudi Pendidikan Nonformal yang mampu mempersiapkan sumberdaya manusia profesional agar
dapat bersaing di pasar lokal dan
internasional dalam bidang: a. Mendisain program – program pemberdayaan masyarakat b. Penelitian dalam pengkajian dinamika pemberdayaan masyarakat c. Pendidik dan Pelatih - Fasilitator sumberdaya manusia d. Mengevaluasi program aksi pendidikan dan pemberdayaan masyarakat e. Konsultasi pendidikan dan pemberdayaan masyarakat
4
3). Tujuan Program studi Pensdidikan Luar Sekolah jenjang S-1 bertujuan untuk menghasilkan tenaga akademis yang profesional ganda di bidang PLS sebagai : a. Disainer program – program pemberdayaan masyarakat b. Peneliti dalam pengkajian dinamika pemberdayaan masyarakat c. Pendidik dan Pelatih - Fasilitator sumberdaya manusia d. Evaluator program aksi pendidikan dan pemberdayaan masyarakat e. Konsultan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat 4). Kompetensi Lulusan PLS (Berdasarkan Standar
Kompetensi Lulusan)
Lulusan Program Sudi Pendidikan Nonformal jenjang S-1 memiliki kompetensi standar, yaitu: 1). Penguasaan bidang keahlian Pemahaman karakteristik dan substansi ilmu yang melandasi, pemahaman disiplin ilmu yang bersangkutan dalam konteks yang lebih luas, penggunaan metodologi ilmu yang bersangkutan untuk memverifikasikan dan memantapkan pemahaman konsep, dan penyesuaian substansi ilmu yang bersangkutan dengan tuntunan dinamika dan perkembangannya 2). Pemahaman tentang Peserta Didik Pemahaman berbagai karakteristik peserta didik dan kebutuhan belajar, pemahaman tahap-tahap perkembangan peserta didik dalam berbagai aspek dan penerapannya 3) Pengelolaan Satuan Pendidikan Pemahaman konsep dan cara perencanaan pendirian satuan Pendidikan Nonformal, pengelolaan program pendidikan, supervisi, monitoring, dan evaluasi program pendidikan pada satuan Pendidikan Nonformal, serta pemahaman tentang pembinaan dan pengembangan 4).Penguasaan Pembelajaran yang Mendidik Pemahaman konsep dasar serta proses pendidikan dan pembelajaran, dan penerapannya dalam pelaksanaan dan pengembangan proses pembelajaran yang mendidik 5). Pengembangan Kepribadian dan Keprofesionalan
5
Pengembangan intuisi keagamaan dan kebangsaan yang religius dan berkepribadian, pemilikan sikap dan kemampuan mengaktualisasi diri, serta pemilikan sikap dan kemampuan mengembangkan profesionalisme kependidikan. Berdasarkan standar kompetensi lulusan tersebut, maka dielaborasikan kemampuan lulusan, yaitu sebagai : 1. Pengelola
lembaga
mengidentifikasi mengembangkan,
berbagai
kebutuhan
satuan dan
merancang,
PLS
sumber
dengan belajar
mengorganisasi,
kemampuan di
:
masyarakat,
menyelenggarakan,
mengendalikan dan mengevaluasi berbagai kegiatan lembaga satuan PLS; 2. Fasilitator
Pembelajaran,
dengan
kemampuan
mendiagnosis
dan
menganalisis kebutuhan belajar, menentukan strategi, pendekatan dan metode pembelajaran yang tepat, merencanakan kegiatan belajar sesuai kebutuhan belajar peserta didik, menciptakan kondisi belajar yang efektif, menyediakan sumber bahan dan media belajar serta mengevaluasi kegiatan belajar; 3. Programer, bertugas mendiagnosis dan menganalisis kebutuhan belajar individu/ lembaga/masyarakat baik terhadap individu, kelompok, kelas, maupun massa, merumuskan tujuan, merancang,
menyelenggarakan,
mengendalikan dan mengevaluasi program pembelajaran; 4. Tenaga Ahli, memiliki kemampuan mengembangkan strategi, metode dan teknik pembelajaran, mendiagnosis, menganalisis mengevaluasi, melakukan penelitian dan pengembangan di bidang Pendidikan Nonformal. Lulusan
Program
Studi
Pendidikan
Nonformal
jenjang
S-1
memiliki
kemampuan khusus, yaitu mahasiswa dapat memilih satu di antara 6 (enam) kompetensi keahlian khusus yang disediakan adalah : 1. Lembaga pengembangan keswadayaan Masyarakat (LPSM), PKBM dan Koperasi 2. Pendidikan Anak Usia Dini ( PAUD) 3. Pelatihan 4. Kursus /Pendidikan Bekelanjutan 5. Penyuluhan Pembangunan 6. Guru Mata Pelajaran Sosiologi di SMA dan Paket C.
6
Dalam program pilihan keahlian Pengembangan keswadayaan masyarakat, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dan Koperasi, diharapkan lulusan Program S-1 PLS memiliki kompetensi dalam : 1. Mengelola
organisasi/kelembagaan
pengembangan
keswadayaan
masyarakat, PKBM dan Koperasi 2. Menerapkan berbagai pendekatan, metode dan teknik dalam melakukan pendampingan dan pemberdayaan masyarakat 3. Melakukan
evaluasi,
penelitian
dan
pengembangan
kelembagaan
keswadayaan masyarakat, PKBM dan Koperasi. Dalam program pilihan keahlian Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD)
diharapkan lulusan program S-1 PLS memiliki kompetensi dalam : 1. Mengelola lembaga penyelenggara PAUD; 2. Merancang dan mengembangkan kurikulum, bahan dan media belajar PAUD serta menerapkan berbagai pendekatan, metode dan teknik pembelajaran PAUD 3. Melakukan evalusi, penelitian dan pengembangan kelembagaan PAUD. Dalam program pilihan keahlian Pelatihan, diharapkan lulusan program S1 PLS memiliki kompetensi dalam : 1. Mengelola Unit/Balai Pendidikan dan Pelatihan (DIKLAT) baik Diklat Kedinasan dari instansi/lembaga pemerintah maupun perusahaan/ lembaga bisnis; 2. Mengidentifikasi kebutuhan dan daya dukung pelatihan; 3. Merancang dan mengembangkan berbagai model pelatihan; 4. Menerapkan berbagai pendekatan, metode dan teknik pelatihan, dan 5. Melakukan
evaluasi,
penelitian
dan
pengembangan
kelembagaan
pelatihan. Dalam program pilihan keahlian
Kursus/ Pendidikan Berkelanjutan
diharapkan lulusan program S-1 PLS memiliki kompetensi dalam : 1. Mengelola lembaga kursus/ Pendidikan Berkelanjutan; 2. Mengidentifikasi kebutuhan untuk kursus/ Pendidikan Berkelanjutan; 3. Merancang dan mengembangkan berbagai jenis kursus/Pendidikan Berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan peluang yang ada; 4. Menerapkan berbagai pendekatan, metode dan teknik pembelajaran dalam kursus/Pendidikan Berkelanjutan; dan
7
5. Melakukan
evaluasi,
penelitian
dan
pengembangan
kelembagaan
kursus/Pendidikan Berkelanjutan. Dalam program pilihan keahlian PenyuluhanPembangunan diharapkan lulusan program S-1 PLS memiliki kompetensi dalam : 1. Mengelola lembaga penyelenggara kegiatan Penyuluhan Pembangunan; 2. Mengidentifikasi kebutuhan untuk penyuluhan pembangunan; 3. Merancang
dan
mengembangkan
berbagai
jenis
penyuluhan
pembangunan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan peluang yang ada; 4. Menerapkan berbagai pendekatan, metode dan teknik pembelajaran dalam penyuluhan pembangunan; 5. Melakukan
evaluasi,
penelitian
dan
pengembangan
kelembagaan
penyuluhan pembangunan.
TUGAS/SOAL LATIHAN Tulislah analisis Saudara terhadap visi, misi dan tujuan program studi PLS dan kaitkan dengan kondisi pembangunan saat ini dan yang akan datang.
REFERENSI/RUJUKAN 1. Silabi program studi PLS 2011 2. Laporan penelitian employabiliti PLS,1995 3. Sujana, D (2004). PLS, Wawasan, Sejarah, Asas; Bandung. Nusantara Press.
8
BAB II KEMAMPUAN PROFESIONAL TENAGA PENDIDIKAN NONFORMAL TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah
mempelajari
pokok
bahasan
ini,
dapat
menjelaskan
kemampuan
profesional tenaga Pendidikan Nonformal
URAIAN MATERI
A. Profesi
a. Pengertian profesi adalah suatu pekerjaan yang menuntut kemampuan akademis dan pengabdian. b. Ciri profesi. 1) Memiliki kemampuan akademis berkenaan dengan pekerjaannya. 2) Memiliki prosedur deskripsi pekerjaan yang tegas. 3) Memiliki persyaratan minimal dalam kualifikasi pelaksanaan pekerjaan (leveling). 4) Memiliki kode etik yang mengikat. 5) Memiliki ikatan organisasi. 6) Memiliki standar pekerjaan ekonomis.
B. Kompetensi PLS a. Mampu mengidentifikasi masalah dan kebutuhan belajar masyarakat. b. Mampu mengidentifikasi potensi dan sumber belajar. c. Mampu merencanakan kegiatan belajar. d. Mampu menyusun bahan belajar. e. Mampu memproduksi media belajar. f. Mampu membuat alat dan Media. g. Mampu melaksanakan pembelajaran PLS. h. Mampu melaksanakan pelatihan. i.
Mampu melaksanakan penyuluhan.
j.
Mampu menggerakkan kelompok sasaran.
k. Mampu melaksanakan program satuan PLS. l.
Mampu mendinamisasi kelompok belajar.
9
m. Mampu memantau proses pelaksanaan program PLS. n. Mampu mengevaluasi program PLS. o. Mampu dalam supervisi program PLS. p. Mampu membuat laporan. q. Mampu membuat rencana penelitian. r. Mampu melaksanakan penelitian s. Mampu menganalisis data. t. Mampu menyusun laporan penelitian. u. Mampu mengaplikasikan hasil penelitian.
TUGAS/ SOAL LATIHAN
Bagaimana tanggapan saudara tentang profesi PLS dalam kaitannya dengan jaminan kehidupan yang layak bagi penyandang profesi PLS.
REFERENSI/ RUJUKAN
Sujana, D (2004). PLS, Wawasan, Sejarah, Asas; Bandung. Nusantara Press.
10
BAB III KONSEP DAN PERKEMBANGAN PNF
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari pokok bahasan ini, mahasiswa dapat menjelaskan konsep dan perkembangan Pendidikan Nonformal (PNF).
URAIAN MATERI
A. Konsep Dasar Pendidikan Nonformal Dalam bagian ini dibahas mengenai Pendidikan Nonformal (PNF) dengan variasi konsep dan penamaannya. Konotasi yang timbul dari berbagai konsep dan pengertian itu memberikan tekanan bahwa pendidikan itu tidak satu-satunya yang diselenggarakan di lingkungan sekolah, sebagaimana masih banyak orang yang menganggapnya. Dalam hal ini, sama pentingnya pendidikan dalam dunia kehidupan nyata di masyarakat, keluarga, lingkungan kerja, dan lingkungan lainnya.
Dalam kaitannya
dengan pembangunan di
negara-negara
sedang
berkembang yang prioritasnya ialah pembangunan sosial-ekonomi, pendidik luar sekolah lebih banyak orientasinya pada dunia kerja, lapangan usaha dan wiraswasta.
Sedangkan
dalam
makna
yang
luas,
Pendidikan
Nonformal
menjangkau semua aspek kehidupan manusia yang di dalam program-programnya nampak ciri selektif, orientasi pada kebutuhan dan sumber-sumber setempat. Pendidikan Nonformal sebagai komunikasi yang terorganisasi yang padanya terdapat kesengajaan dari kedua fihak, dapat dibedaka satu sama lain berdasarkan tujuan, waktu, isi program, proses belajar mengajar dan pengawasan.
Pendidikan Nonformal mencakup semua aktivitas pendidikan atau program pembelajaran yang terorganisasi di luar jalur pendidikan formal, siapa pun penyeleng-garanya, apa pun tujuannya, dan siapa pun peserta didiknya. Itu sejalan dengan pendapat Rogers yang menyatakan "Non-formal education has been defined as all education provided outside of the formal system, whatever its purposes, target groups and providers" (Rogers, 1993: 25). Apakah yang dimaksud "semua pendidikan yang diberikan di luar sistem persekolahan" sebagaimana yang disebutkan Rogers tadi? Jawaban singkatnya
11
adalah "semua pembelajaran terencana yang diselenggarakan di luar jalur pendidikan formal". Hal tersebut sejalan dengan definisi umum pendidikan sebagai usaha yang dilakukan secara sengaja (terencana dan bertujuan) untuk mengembangkan kemampuan dan kepribadian manusia. Karenanya, dengan definisi singkat di atas, apa yang disebut "pendidikan" terkandung tiga unsur utama, yaitu (1) ada pihak yang merencanakan dan memberikan layanan pembelajaran, (2) ada pihak pembelajar atau warga belajar yang menerima dan mendapatkan layanan pembelajaran, dan (3) ada tujuan pembelajaran yang mau dicapai, yaitu untuk menghasilkan perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, wawasan, keterampilan, nilai, sikap, dan perilaku subyek didik itu sendiri (Rogers, 1993: 20-21). Atas dasar itu, pendidikan dalam arti sesungguhnya lebih menunjuk pada proses membantu peserta didik belajar. Pada proses (pembelajaran) itu sendirilah terletak makna sebenarnya dari apa yang disebut "pendidikan". Mereka yang bersekolah, misalnya, adalah untuk mendapatkan pendidikan. Sekolah itu sendiri bukanlah pendidikan. la, sekolah, hanyalah tempat dan sistem bagi proses pendidikan yang diselenggarakan. Karenanya, pendidikan juga mungkin berlangsung di luar sistem persekolahan, dengan tempat dan "sistem" tersendiri. Yang disebutkan terakhir itulah yang dimainkan oleh pendidikan nonformal. Memaknakan pendidikan sebagai suatu proses menempatkan belajar itu sendiri sebagai jantungnya pendidikan. Belajar tersebut berlangsung dalam diri masing-masing orang,di sepanjang pengalaman hidupnya, yaitu sebagai akibat interaksi
dengan
lingkungannya.
Dengan
pengalaman
bermain-main
di
hamparan pasir, misalnya, anak-anak menjadi tahu bahwa pasir yang menempel di badan atau pakaian gampang disingkirkan; melempar pasir ke arah mata seseorang merupakan tindakan berbahaya (bisa masuk ke bagian dalam mata), dan karenanya, tak bijak melakukannya; hamparan pasir yang tak dicemari sampah menyenangkan untuk tempat berjemur, bermain-main, dan sebagainya. Di situ terjadi belajar, mendapat pengalaman belajar, yang membuat mereka menjadi tahu tentang sesuatu. Melalui pendidikan, program belajar diselenggarakan secara terencana (organized learning program} guna memenuhi kebutuhan belajar yang dihajatkan warga belajar.
12
Oleh sebab itu, penggunaan istilah pembelajaran terasa lebih cocok ketimbang istilah mengajar (teaching") atau pengajarari (instruction}. Dalam dunia pendidikan nonformal, mengajar dan pengajaran (dipandang) hanyalah salah satu cara dalam proses pembelajaran/ pendidikan. Penyediaan taman bacaan di tengah masyarakat, misalnya, juga tergolong organized learning program; ia direncanakan dan diniatkan untuk memperkaya khasanah pengetahuan warga masyarakat yang menghajatkan ketersediaan bahan bacaan di lingkungannya; mereka yang memanfaatkan taman bacaan tersebut juga karena berniat memperluas pengetahuan dan wawasannya. Pada program pembelajaran melalui taman bacaan tersebut tak mengenal proses teaching and instruction sebagaimana yang lazim dalam pendidikan formal. Hal tersebut juga tercermin dalam pandangan Rogers yang menyatakan " 'education' I do not mean the formal system of 'schooling' but all forms of planned learning by which one person directly (face to face) or indirectly (by distance education methods) helps another person(s) learn something (Rogers, 1993:5). Program pembelajaran yang terorganisasi dalam pendidikan nonformal memang memiliki sifat atau karakteristik tersendiri, yang umumnya diilhami oleh prinsip-prinsip belajar orang dewasa. Dia, pendidikan nonformal, berbeda secara berarti dibandingkan dengan pendidikan formal maupun "pendidikan informal". Di manakah letak sifat atau karakteristiknya yang tersendiri tersebut? Jawaban kuncinya dapat dikembalikan pada sifat keterorganisasian dari program layanan pendidikan nonformal itu sendiri. Aktivitas pendidikan atau layanan pendidikan yang berlangsung melalui pendidikan nonformal senantiasa dilakukan secara sengaja untuk tujuan pendidikan. la tergolong organized learning program. Berbeda jauh dengan apa yang disebut "pendidikan informal", sebab pada "pendidikan informal" relatif tak teroganisasi dan tidak sistematis (Coombs, 1973: 11). Yang disebut "pendidikan informal" memang bukanlah suatu program yang secara sengaja dan terancang untuk tujuan pendidikan. Dia bukanlah organized learning program. Tetapi, lebih merupakan peristiwa
belajar
pada
diri
seseorang,
yang
karena
interaksi
dengan
lingkungannya membuat orang bersangkutan menjadi berubah pengetahuan, keterampilan, nilai, sikap dan perilakunya.
13
Tergolong organized learning program hanyalah pada pendidikan formal dan
pendidikan
nonformal.
Bedanya,
dalam
pendidikan
formal
keterorganisasian programnya dapat disebut sangat kuat dan ketat. Sedangkan pada pendidikan nonformal, keterorganisasian programnya relatif longgar dan luwes (Kleis et al, 1973: 6). Coombs (1973: 11) menyebutkan keterorganisasian program pendidikan nonformal berada di tengah-tengah antara pendidikan informal dan pendidikan formal. Dikatakan demikian, karena pendidikan informal relatif tak terorganisasi dan tak sistematis. Sementara pendidikan formal
terorganisasi
sedemikian
rupa
sebagai
sistem
pendidikan
yang
terstruktur secara hirarkis, berjenjang secara kronologis, mulai dari jenjang pendidikan dasar hingga ke jenjang pendidikan tinggi. Pendidikan nonformal bukanlah seperti pendidikan informal yang relatif tak terorganisasi dan tak sistematis.
Juga,
bukan
seperti
pendidikan
formal
yang
terorganisasi
berjenjang secara (ketat) hirarakis-kronologis. Sehubungan dengan yang disebutkan terakhir itu, Rogers menyatakan: Non-formal education is open to anyone, irrespective of their former educational level, whereas formal education is highly selective, dependent on prior success in educational terms, rejecting the many and selecting the few to continue their studies further. Because of this, formal education is strongly organized; we can speak of a formal education system. Non-formal education on the other hand has no clear pattern, no structure; we can only speak of non-formal education programmes (1993: 26).
Mengapa keterorganisasian program pendidikan nonformal bersifat relatif longgar dan luwes? Apakah hal tersebut menandakan suatu kelemahan bagi pendidikan nonformal? Jawaban atas pertanyaan yang disebutkan terakhir itu adalah "tidak". Malah, pada kelonggaran dan keluwesan pengorganisasian itulah letak keunikan, dan sekaligus keunggulan pendidikan nonformal (Rogers, 1993: 25). Mengapa demikian? Gagasan utama apakah yang berada di baliknya? Kehadiran pendidikan nonformal sebagai suatu fungsi tersendiri guna melayani kebutuhan pendidikan dalam masyarakat adalah dikarenakan keterbatasan pendidikan formal itu sendiri yang tak memungkinkan untuk menjawab aneka ragam kebutuhan pendidikan yang hidup, tumbuh, dan
14
berkembang di masyarakat, terutama yang menjadi kebutuhan orang dewasa. Hal tersebut tak terlepas dari sifat atau karakteristik keter-organisian program pendidikan yang melekat pada diri pendidikan formal itu sendiri, yaitu bersifat ketat terstruktur secara hirarkis dan berjenjang secara kronologis. Dengan
karakteristik
demikian
itu,
kebutuhan
pendidikan
dalam
masyarakat yang menghajatkan pelayanan segera, mendesak, dan memerlukan pengorganisasian longgar dan luwes menjadi tak mungkin terlayani melalui jalur pendidikan formal. Karenanya, diperlukan program layanan alternatif yang dapat menutup keterbatasan-keterbatasan yang melekat pada pendidikan formal. Program layanan alternatif yang terorganisasi secara lebih longgar dan luwes itulah letak "ruang kerja" tempat berkiprahnya pendidikan nonformal. Layanan alternatif yang diprogramkan pendidikan nonformal tersebut mungkin berfungsi sebagai komplemen, suplemen, dan/atau pengganti pendidikan formal. Fungsi atau peran yang disebutkan terakhir itu dimainkan oleh program pendidikan kesetaraan; di Indonesia berupa program Paket A (setara SD), Paket B (setara SLIP), dan Paket C (setara SLTA), yang ijazahnya berlaku untuk meneruskan kejenjang pendidikan berikutnya. Sejumlah pakar dan didukung temuan sejumlah penelitian di beberapa negara (Biting, 1975: 21-56) mengisyaratkan bahwa dengan pengorganisasian program yang bersifat longgar dan luwes (yang diadopsi berdasarkan prinsipprinsip belajar orang dewasa) akan memungkinkan pendidikan nonformal menjadi: Pertama, lebih tanggap pada masalah, kebutuhan, kesempatan, dan aspirasi warga belajar (learners-centred}. Ke dua, isi atau konten pendidikan dapat lebih mendarat pada tuntutan kehidupan nyata dan mendesak, akomodatif terhadap isu-isu riil mutakhir yang berkembang, dan maupun secara konstan berubah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru yang berkembang (life-related}. Ke tiga, pendayagunaan sumber-sumber lokal yang tersedia dapat lebih optimum, apakah menyangkut sumber belajar, fasilitas belajar, ataukah komponen-komponen organisasional yang lain. Ke empat, pola hubungan horizontal (horizontal relationship] bisa lebih berkembang secara optimal, baik hubungan tutor/fasilitator dengan warga belajar maupun hubungan antarsesama warga belajar sehingga program belajar beserta proses belajar menjadi lebih asyik, menyenangkan, demokratis, dan menjawab kebutuhan. Ke lima, pemaknaan terhadap pendidikan maupun berkembang ke
15
arah yang lebih substansial, yaitu untuk meningkatkan kompetensi sesuai dengan yang dihajatkan warga belajar itu sendiri; bukan untuk mendapatkan "tanda keanggotaan kelas sosial baru" yang ditandai oleh ijazah atau sertifikat kelulusan. Keseluruhan dari apa yang telah dipaparkan di muka memperlihatkan watak dasar dan sekaligus konsep dasar pendidikan nonformal. Di tingkat praktikal, layanan pendidikan nonformal dilakukan oleh beraneka ragam penyelenggara (agencies atau providers}. Tujuan beserta pesertanya juga beraneka
ragam
(Apps,
1979:
89-101;
1989:
275-286)).
Mengenai
penyelenggara, salah satunya adalah lembaga atau instansi pemerintah. Setiap lembaga atau instansi pemerintah yang terlibat mengorganisasi program penyuluhan,
kursus,
pelatihan,
pemberdayaan
masyarakat,
dan
yang
semacamnya, adalah termasuk dalam barisan penyelenggara pendidikan nonformal, apa pun tujuan, dan siapa pun peserta didiknya. Pihak lain (non pemerintah) yang melakukannya, juga tergolong penyelenggara pendidikan nonformal, apakah mereka itu tergolong LSM, lembaga penyelenggara kursus, PKBM, organisasi massa, organisasi politik, organisasi bisnis, dan sebagainya. Patut dicatat, lembaga pendidikan formal juga merupakan salah satu provider yang selama ini juga terlibat menyelenggarakan berbagai macam layanan pendidikan nonformal, terutama lembaga pendidikan tinggi, yaitu melalui berbagai rupa pelatihan, penyuluhan, kursus singkat, dan sebagainya. Mengenai peserta didik, layanan pendidikan nonformal mencakup segenap usia, dan dilayani untuk tujuan-tujuan yang mereka hajatkan masingmasing. Peserta didik pendidikan nonformal mungkin anak-anak, remaja, dan orang dewasa, termasuk juga mereka yang berusia lanjut. Mereka yang menjalani pendidikan formal di jenjang apa pun, juga dapat menjadi peserta didik pendidikan nonformal, dan selama ini tak terbilang jumlah pelajar maupun mahasiswa yang mengikuti berbagai ragam pendidikan nonformal seperti program bimbingan belajar, kursus, pelatihan, penyuluhan, dan sanggar.
Walaupun
demikian,
pendidikan
nonformal
relatif
dominan
diselenggarakan dalam kerangka pendidikan orang dewasa. Di dalam realitas pendidikan nonformal, tujuan spesifikyang mau dicapai juga beraneka ragam. Tujuan dimaksud dapat bersumber dari kebutuhan individual yang memang menghajatkan program belajar tertentu bagi dirinya
16
(individual goals} seperti keinginan untuk menguasai sesuatu keterampilan bagi kepentingan kerja, keinginan untuk mengembangkan bakat yang dipunyai secara
optimal,
pengetahuan mendalami
di
keinginanan bidang
ajaran
yang
agama
untuk
memutakhirkan
digelutinya
yang
dianut,
sehari-hari, keinginan
perbendaharaan keinginan
untuk
untuk
memahirkan
kemampun berbahasa asing tertentu, dan sebagainya. Pendidikan nonformal yang bertujuan untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan individual itulah yang dominan menjadi karakteristik pendidikan nonformal di negara-negara maju. Sedangkan di negara-negara sedang berkembang (Dunia Ke tiga), pendidikan nonformal tidak sekedar bertujuan untuk melayani kebutuhan individual seperti di negara-negara maju Barat, tetapi juga untuk memenuhi tujuan-tujuan sosial (social goals] sesuai dengan misi pembangunan nasional masing-masing negara, termasuk di dalamnya misi pemberantasan buta aksara, pemberdayaan kaum perempuan, pemberdayaan masyarakat daerah tertinggal, dan sebagainya. Kesertaan menjadi warga belajar pada pendidikan nonformal yang dimaksudkan untuk memenuhi tujuan individual lazimnya atas pilihan sukarela, yaitu mengikuti suatu program atas kehendak dan pilihannya sendiri. Sedangkan kesertaan sebagai warga belajar pada program pendidikan nonformal yang tergolong bertujuan sosial (untuk memenuhi social goals} umumnya atas dasar suatu kewajiban sosial guna menyukseskan cita-cita bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Rogers, 1993: 1-2). Apa pun tujuan spesifik dari aneka ragam program pendidikan nonformal, apakah tergolong individual goals ataukah social goals, kesemuanya bermuara untuk membantu mereka yang tertinggal secara absolut maupun relatif. Juga, untuk membantu mereka yang terpinggirkan, termarjinalisasikan, atau tertindas (Faisal, 2006: 1-6). Ke arah itulah program-program pendidikan nonformal ditujukan, dan di situlah letak kemuliaan pendidikan nonformal. It is there the glory of nonformal education. Karena itu, dibutuhkan panggilan jiwa untuk melakukannya. Juga, dibutuhkan kecakapan untuk menerapkan konsep dasar pendidikan nonformal selaku program pendidikan yang terorganisasi secara longgar dan luwes. Sifat longgar dan luwes yang disebutkan terakhir itu, perlu dipandang sebagai kekuatan potensial dan terobosan sangat inovatif yang dipunyai
17
pendidikan nonformal. Bila para praktisi benar-benar cakap dan sungguhsungguh
menerapkannya
niscaya
dapat
lebih
menjamin
keberhasilan
pendidikan nonformal dalam mengentaskan kaum tertinggal maupun kaum terpinggirkan. Oleh karena itu, dunia pendidikan nonformal sudah seharusnya terbebas dari kecenderungan mengisi "anggur lama di botol baru" ("against of old
wine
in
new
bottle"}:
artinya,
jangan
sampai
berkecenderungan
memindahkan sistem pendidikan formal ke dalam program pendidikan nonformal, atau tidak "memindahkan sekolah ke pendidikan luar sekolah". Keterorganisasian program layanan pendidikan nonformal yang bersifat longgar dan luwes sudah sepatutnya dipegang sebagai jatidiri dan sekaligus acuan bertindak di dalam merencanakan dan melaksanakan program-program pendidikan nonformal. Dengan begitu, "anggur lama di botol baru" tidak terjadi di kawasan garapan pendidikan nonformal, siapa pun penyelenggaranya, apa pun tujuan programnya, dan siapa pun pesertanya. Hal tersebut patut menjadi kepedulian semua komponen yang terlibat dalam pengembangan pendidikan nonformal ke depan. Selain itu, rasa terpanggil untuk memberikan layanan terbaik bagi kebaikan
peserta
didik
atau
klien
pendidikan
nonformal
juga
sangat
diperlukan. Hal tersebut sudah seharusnya menjadi bagian dari karakteristik tanggungjawab sosial ("dimensi dari sikap profesional") segenap komponen yang terlibat selaku penyelenggara dan praktisi pendidikan nonformal. Lebih-lebih pada diri mereka yang tergolong tenaga profesional di dunia pendidikan nonformal. Segi panggilan jiwa tersebut, dan juga segi kecakapan teknikal dalam menerapkan perhatian
konsep
dalam
dasar
pendidikan
pembinaan
nonformal
kelembagaan
dan
perlu
menjadi
ketenagaan
pusat
pendidikan
nonformal ke depan. Kedua segi tersebut selayaknya ditempatkan sebagai salah satu prioritas dalam kebijakan pengembangan pendidikan nonformal ke depan sehingga sosok pendidikan nonformal mampu tumbuh dan berkembang semakin profesional dan akuntabel, dengan tetap mempertahankan jati dirinya selaku program layanan pendidikan "bersistem" tersendiri yang relatif longgar dan luwes keterorganisasian program layanannya.
18
Pendidikan Nonformal memiliki wawasan yang lebih luas karena padanya termasuk pula komunikasi yang terjadi dengan kesengajaan dari salah satu fihak, pendidik atau anak didik. Pendidikan Nasional memiliki dua subsistim yaitu subsistim
Pendidikan
Persekolahan
dan
subsistim
Pendidikan
Nonformal.
Subsistim pertama meliputi program-program pendidikan formal dengan berbagai bentuk dan jenjang. Secara umum dapat dikemukakan jenjang sejak sekolah taman Kanak-kanak sampai dengan Perguruan Tinggi. Subsistim kedua mencakup program-program pendidikan non-formal dan juga pendidikan informal. Dari kedua pengertian subsistim dan program-programnya akan terlihat persamaan dan perbedaan satu sama lain disamping saling hubungannya. Keharusan dan kewajaran pengembangan subsistim dan program-programnya itu adalah sebagai konsekuensi
logis
dari
Tripusat
atau
Trikondisi
Pendidikan
dan
falsafah
pendidikan Pancasila. Konsekuensi itu dalam wujud adanya keseimbangan pengembangan pendidikan di lingkungan sekolah, masyarakat dan keluarga.
TUGAS / SOAL LATIHAN
Apakah kontribusi yang dapat diberikan oleh PLS dalam rangka pembangunan secara menyeluruh dan disertai contohnya.
REFERENSI / RUJUKAN
Sujana, D (2004). PLS, Wawasan, Sejarah, Asas; Bandung. Nusantara Press.
19
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan sejarah Pendidikan Nonformal
URAIAN MATERI
B. Perkembangan Pendidikan Nonformal
Bagian ini menguraikan tentang asal-usul dan sejarah perkembangan pendidikan nonformal. Asal-usul Pendidikan Nonformal berakar dari agama dan tradisi yang hidup di masyarakat. Dari asal-usulnya dapat diketahui bahwa Pendidikan Nonformal telah mampu mewujudkan kreatifitas masyarakat dalam hasil yang dapat dikagumi di dunia ini. Penemuan-penemuan yang dilakukan oleh bangsa Mesir kuno sampai penemuan-penemuan lainnya di beberapa bagian di dunia ini terjadi sebelum pendidikan formal hadir ke tengah-tengah masyarakat adalah sebagai salah satu sumbangan adanya Pendidikan Nonformal. Agama dan tradisi menampakkan jalur pemberi arah yang positif. Sejarah perkembangan selanjutnya dari Pendidikan Nonformal di dunia ini ditopang oleh tiga faktor yaitu para pelaksana atau praktisi pendidikan di masyarakat, para pengritik terhadap kelemahan-kelemahan pendidikan formal, dan para perencana pendidikan untuk pembangunan di tingkat internasional. Para praktisi di masyarakat tidak mendasarkan kegiatannya pada landasan-landasan teoritis melainkan pada umumnya memusatkan usaha-usaha untuk memberikan kesempatan pendidikan dalam arti luas kepada mereka yang membutuhkan dan yang kurang beruntung memperoleh kesempatan pendidikan. Usaha-usahanya bercorak ragam, sejak dari pemberantasan tuna aksara, pendidikan keterampilan sampai dengan pendidikan kewarganegaraan.
Para
pengritik
pendidikan
formal
menganggap
bahwa
pendidikan ini tidak mampu memecahkan masalah-masalah pendidikan di dunia sekarang ini, serta memandang bahwa pendidikan formal bukan satu-satunya program untuk memberikan kesempatan pendidikan kepada semua fihak baik kuantitatif maupun kualitatif. Menurut mereka Pendidikan Nonformal adalah alternatif
yang
perlu
dikembangkan
untuk
memecahkan
masalah-masalah
pendidikan itu. Dari sekian banyak pengritik, tokoh-tokoh yang disinggung pendapatnya dalam bagian ini adalah Ivan Illich dan Paulo Freire. Tokoh lain
20
diantaranya yang diulas pendapatnya disini ialah Sylvia Aston Warner, Carl Rogers, Abraham H. Maslov, Jerome S. Bruner, Skiner, dan Malcolm S. Knowles. Alternatif pemecahan masalah pendidikan dengan masalah Pendidikan Nonformal itu bervariasi penerapannya dalam prinsip-prinsip yang dianut, falsafah, proses pendidikan,
hasil
pembangunan
dan
pengaruhnya.
memusatkan
Para
perhatiannya
perencana
pada
pendidikan
pengembangan
untuk
model-model
pendidikan yang cocok dan erat relevansinya dengan pembangunan. Model pendidikan
yang
menunjang
pembangunan.
Proyek-proyek
percobaan
dan
percontohan dilakukan di seluruh dunia terutama di negara-negara yang sedang berkembang. Kasus-kasus percobaan dan pengembangan program dihimpun sebagai contoh dari kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin. Banyak badan-badan internasional dan universitas-universitas terlibat dalam usaha-usaha ini. Dimensidimensi Pendidikan Nonformal banyak dimunculkan sebagai hasil pengalaman lapangan dalam proyek-proyek itu. Arah yang jelas adalah Pendidikan Nonformal sebagai bagian penting dan pendekatan dasar dalam pembangunan. Dari sejarah perkembangannya,
faktor
perkembangan
Pendidikan
Nonformal
yaitu
para
perencana banyak dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman para praktisi dan para pengritik terhadap pendidikan formal.
C. Pelajaran Berharga tentang Pendidikan Nonformal dari Negara Maju dan Berkembang
Membicarakan pendidikan nonformal bukan berarti hanya membahas pendidikan
nonformal sebagai sebuah pendidikan alternatif bagi masyarakat,
akan tetapi berbicara pendidikan nonformal adalah berbicara tentang konsep, teori dan kaidah-kaidah pendidikan yang utuh yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan kehidupan masyarakat. Karena pendidikan nonformal adalah sebuah layanan pendidikan yang tidak dibatasi oleh waktu, usia, jenis kelamin, ras, suku, keturunan, kondisi sosial-budaya, ekonomi, agama, dan lain sebagainya. Meskipun pendidikan formal merupakan jalur pendidikan yang penting dalam pendidikan sepanjang hayat, namun peran pendidikan nonformal dalam rangka pelayanan pendidikan sepanjang hayat bagi masyarakat tertentu sangat dibutuhkan saat ini dan di masa depan. Pendidikan nonformal menjadi bagian dari pembicaraan internasional terutama berkaitan dengan berbagai kebijakan tentang pendidikan pada era sebelum tahun 1960 dan akhir tahun 1970-an. Hal tersebut
21
dapat dilihat kaitan antara konsep pendidikan berkelanjutan dengan konsep pendidikan sepanjang hayat. Tight (1996: 68) mengajukan konsep tentang penyatuan pendidikan ekstension dan belajar sepanjang hayat secara utuh dan menyeluruh, sehingga untuk menyatukan itu pendidikan nonformal dianggap memiliki peran dalam menekankan kembali pentingnya pendidikan, belajar dan pelatihan yang berlangsung di luar lembaga pendidikan yang dikenal selama ini (acknowledging the importance of education, learning and training which takes place outside recognized educational institutions}. Begitu pula dengan yang diungkapkan Fordham (1993), bahwa sejak tahun 1970an, ada empat karakteristikdasaryang berkaitan dengan peran pendidikan nonformal di masyarakat, yaitu: a) relevan dengan kebutuhan kelompok masyarakat yang tidak beruntung, b) ditujukan dan memiliki perhatian khusus pada kategori sasaran-sasaran tertentu, c) terfokus pada
program
yang
sesuai
dengan
kebutuhan,
dan
d)
fleksibel
dalam
pengorganisasian dan dalam metode pembelajaran. Dalam banyak negara pembicaraan tentang masalah pendidikan nonformal juga menjadi topik-topik khusus, dan dianggap sebagai pendidikan yang mampu memberikan jalan serta pemecahan bagi persoalan-persoalan layanan pendidikan masyarakat, terutama masyarakat yang tidak terlayani pendidikan formal. Alan Rogers dalam satu bukunya menyatakan bahwa: There is a renewed interest in nonformal education (NFE) today. And it is significant that this interest comes not so much from the so-called "Third World' (I use this term to refer to poor countries in receipt of aid from rich countries, because many other persons use it as a short-hand). The assembly recognizes that formal educational systems alone cannot respond to chalange of modern society and therefore welcomes to reinforcement by nonformal education. (Alan Rogers, 2004). Terdapat minat yang mening-kat pada pendidikan nonformal saat ini, dimana tidak terbatas pada negara maju akan tetapi lebih pada ketidakmampuan pendidikan formal untuk melakukan berbagai tanggapan pada perubahan dan masyarakat modern sedangkan pendidikan nonformal dinilai memiliki kekuatan untuk memberikan tanggapan. Namun dalam membahas pendidikan nonformal selayaknya tidak terlepas dari konsep yang mendasari bagaimana pendidikan nonformal berkembang dengan utuh sesuai dengan prinsipprinsip dasarnya, oleh karena itu keterkaitan analisis antara pendidikan nonformal dengan masyarakat belajar (community learning), pendidikan informal (informal education), dan pedagogik sosial (social pedagogy) merupakan sesuatu hal yang tetap harus manjadi acuan.
22
Pembahasan secara original tentang konsep pendidikan nonformal muncul pada tahun 1968 (Coombs 1968), dan perkembangan pendidikan nonformal begitu pesat terutama ketika pendidikan dirasakan masih banyak kekurangan(Illich 1973). Hal tersebutdirasakan tidak hanyadinegara-negara berkembang tetapi merambah sampai ke belahan dunia Barat (Western} juga sampai ke belahan dunia Utara (Northern) sebagaimana dikemukakan Bowles dan Gintis 1976 dan kawankawan. Di belahan dunia Barat, reformasi pendidikan bergerak melalui berbagai perbedaan format, akan tetapi dalam semua rencana dan kebijakan yang diambil sangat berkaitan erat dengan pendidikan yang diperlukan bagi negara-negara berkembang mulai tahun 1968 sampai tahun 1986. Pada saat itu pendidikan nonformal dirasakan sebagai obat mujarab untuk semua penyakit pendidikan yang dirasakan di tengah-tengah masyarakat (Freire 1972 dan kawan-kawan). Berbagai lembaga pendidikan nonformal dan lembaga lain di bidang pendidikan melakukan intervensi kuatserta mendorong terjadinya perubahan di bidang pendidikan khususnya di negara-negara Barat termasuk Amerika Serikat. Di Amerika Serikat perubahan pendidikan dilakukan pada hal-hal yang berkaitan dengan masalah akademik, di pusat-pusat penelitian, tempat konsultasi, publikasi dan laporanlaporan lainnya. Pada banyak hal pendidikan nonformal dirasakan sebagai sebuah formula yang
sangat ideal
serta
lebih memiliki keperdulian dibandingkan dengan
pendidikan formal. Namun kita tetap harus merasa bahwa pendidikan nonformal tetap merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional yang keberadaannya tidak dapat terpisahkan dengan pendidikan formal apalagi dalam konteks pendidikan sepanjang hayat. Dengan demikian tidak dirasakan, bahwa pendidikan nonformal lebih hebat dari pendidikan formal, atau pendidikan nonformal lebih rendah dari pendidikan formal. Namun itu harus tetap menjadi catatan penting agar pendidikan formal tidak dirasakan sebagai sesuatu yang menakutkan bagi masyarakat. Pigozzi, menganggap bahwa pendidikan formal demikian menakutkan dalam suasana krisis dan karena itu perlu ditinggalkan: It could even be described as a temporary "necessary evil' in situations of crisis until formal schooling could be restored (Pigozzi, 1999). Membicarakan pendidikan nonformal seperti halnya membicarakan salah satu bagian dunia yang terbagi dua secara dikotomis. Salah satu bagian tentang pendidikan formal dan pada bagian lainnya adalah pendidikan nonformal. Namun ketika membicarakan pendidikan nonformal harus sangat hati-hati, karena ada
23
sebagian negara yang menerjemahkan pendidikan nonformal sesuai dengan kebijakannya
masing-masing.
Seperti
halnya
di
negara
Jepang,
secara
implementatif pendidikan nonformal tidak terlalu dikenal secara utuh, baikoleh pemerintah maupun oleh masyarakat. Masyarakat dan pemerintah Jepang menganggap bahwa pendidikan sosial (social education) itu adalah pendidikan nonformal, karena program-program yang dikembangkan dalam pendidikan sosial samadengan program-program yang dikembangkan pendidikan nonformal, seperti pendidikan untuk orang dewasa, pendidikan keterampilan, dan pendidikan untuk masyarakat pada umumnya melalui Kominkan atau Pusat Belajar Budaya Masyarakat (Community Cultural Learning Centre). Di negara-negara lain pun program-program pendidikan, seperti halnya pengembangansekolah
dan
perguruantinggi,diselenggarakan
oleh
menteri
pendidikan termasuk di dalamnya program (kelas) pendidikan keaksaraan bagi orang dewasa. Ada negara yang mengembangkan pendidikan oleh lembaga non pemerintah (NGOs), ada yang mengembangkan pendidikan sekolah dan kegiatankegiatan pelatihan oleh berbagai kementerian seperti kementerian dan departemen (pemberdayaan perempuan, kesehatan, tenaga kerja, pemuda dan olah raga serta kebudayaan). Ada juga sebagian negara yang mengembangkan pendidikan nonformal, dalam bentuk pembelajaran individual, kelompok belajar, kelompok belajar khusus perempuan, dan kelompok-kelompok bimbingan khusus, di mana kegiatan-kegiatan tersebut dikembangkan oleh lembaga-lembaga swasta, LSM, lembaga
komersial,
serta
berbagai
lembaga
sosial
lainnya
dalam
bidang
keagamaan, organisasi kemasyarakatan, dan gerakan sosial lainnya. Ada yang lebih ekstrim yaitu mengartikan bahwa semua kegiatan pendidikan merupakan bagian dari sekolah dan universitas termasuk di dalamnya penyiaran radio, program televisi, koran, majalah dan berbagai kegiatan yang menurut anggapan sebagian negara termasuk dalam bagian pendidikan nonformal. Sejak tahun 1986 diskusi dan debat tentang masalah pendidikan nonformal dikategorikan sebagai bagian dari sejarah panjang tentang pendidikan. Akan tetapi mulai penghujung abad XX pembicaraan tentang dikotomi pendidikan nonformal sudah mulai berkurang baik dalam jurnal-jurnal, surat kabar maupun majalah pendidikan lainnya, sejalan dengan sudah meningkatnya pemahaman dan kebutuhan akan pendidikan nonformal di tengah-tengah masyarakat. Hal ini terjadi terutama sejak pesatnya penyelenggaraan program pendidikan nonformal bagi negara-negara berkembang.
24
Sejak
Konperensi
Jomtien
tahun
1990
diskusi
tentang
pendidikan
nonformal lebih diarahkan pada masalah pendidikan untuk semua (education for all], terutama menyangkut kebijakan dan rencana pengembangan pendidikan untuksemua bagi negara-negara berkembang, khususnya mengenai pelayanan pendidikan bagi anak-anak. Melalui konsep pendidikan untuk semua, pendidikan nonformal diharapkan mampu melayani pendidikan mulai tingkat dasar termasuk pendidikan untuk
anak-anak
usia
sekolah sampai pada program-program
alternatif untuk melayani pendidikan para pemuda, terutama dikonsentrasikan bagi para pemuda yang tidak sekolah (drop ot/t/putus sekolah) dan tidak berada pada usia sekolah formal. Dengan digulirkannya pendidikan untuk semua maka pendidikan nonformal memiliki program yang sangat luas, tidak hanya melayani pendidikan orang dewasa akan tetapi juga pemuda dan anak-anak yang tidak terlayani oleh pendidikan formal. Pendidikan nonformal lahir dari pemikiran tentang konsep masyarakat belajar (learning society) dan konsep belajar sepanjang hayat (lifelong learning). Learning society lahir dan berkembang sejalan dengan lahirnya peradaban dan pemahaman tentang nilai-nilai pengalaman (pendidikan), nilai-nilai pengetahuan, dan nilai-nilai kehidupan sebagai landasan hidup dan kehidupan individu, keluarga dan masyarakat. Pada proses itulah masyarakat saling mengenai, saling belajar, saling berkomunikasi, dan saling menghargai di antara sesamanya. Djudju Sudjana menjelaskan dalam bukunya Pendidikan Luar Sekolah: "....istilah pendidikan luar sekolah" telah hadir di dunia ini sama tuanya dengan kehadiran manusia yang berinteraksi dengan lingkungan di muka bumi ini. Setelah jumlah manusia makin berkembang, situasi pendidikan ini muncul dalam kehidupan kelompok dan masyarakat. Kegiatan pendidikan dalam kelompok dan masyarakat telah dilakukan oleh umat manusia jauh sebelum pendidikan sekolah lahir di dalam kehidupan masyarakat. (Djudju Sudjana 2000:63). Pada konteks pemikiran bagaimana pengorganisasian dan pengelolaan pengetahuan, pengalaman sebagai sebuah standar kehidupan bermasyarakat yang lebih original dan dapat diikuti serta menjadi nilai dan norma seluruh lapisan masyarakat, maka di situlah pendidikan nonformal diperlukan. Pendidikan nonformal mampu menyatukan proses masyarakat belajar dan belajar sepanjang hayat ke dalam sebuah sistem yang terstruktur, terorganisasi dan menjadi standar dalam pemahaman dan penyampaian pengetahuan, keterampilan atau pengalaman dari individu yang satu kepada individu yang lain atau dari masyarakat yang satu
25
kepada masyarakat lainnya di luar konteks pendidikan formal. Dengan demikian masyarakat belajar dan belajar sepanjang hayat dalam konsep sejarah pendidikan nonformal dijadikan prinsip dasar dan landasan dalam proses pembelajaran dan pengembangannya. Sebagai sebuah contoh tentang lahirnya pondok pesantren, sebagai sebuah lembaga yang berdasar pada pemikiran regenerasi umat Islam, bagaimana pengetahuan tentang kelslaman diturunkan dan disebarluaskan ke seluruh lapisan masyarakat melalui media da'wah atau media lainnya. Begitu pula dengan lahirnya konsep social education atau Kominkan di masyarakat Jepang. Pendidikan nonformal sebagai sebuah format pendidikan yang utuh (original) lahir melalui berbagai gerakan pembaharuan pendidikan baik di negara-negara Amerika, Eropa, Asia maupun di Afrika. Terutama ketika orang mempertanyakan keberadaan pendidikan formal yang tidak mampu melayani semua lapisan masyarakat yang membutuhkan, seperti halnya berbagai kegiatan dalam rangka pemberantasan
buta
huruf
(keaksaraan),
pemberantasan
kemiskinan,
pemberdayaan perempuan, pelatihan masyarakat desa, pendidikan keterampilan bagi orang dewasa dan lain sebagainya. Untuk itulah pendidikan nonformal lahir dari sebuah pemikiran yang tidak hanya diperuntukkan dalam rangka menjawab persoalan masyarakat miskin dan terbelakang yang kebanyakan terdapat di negara-negara miskin (negara terbelakang dan negara berkembang), akan tetapi pendidikan nonformal juga mampu menjawab tantangan dan pembaharuan pendidikan yang terjadi di negara-negara maju/modern. Berikut ini daftar para pemikir dan pencetus lahirnya konsep pendidikan nonformal baik perorangan maupun lembaga:
26
Tabel. 1 Daftar pemikir dan pencetus gerakan Pendidikan Nonformal.
Nama
Konsep dan Pemikiran yang dikembangkan
Paulo Freire
Pendidikan Non Formal adalah obat mujarap bagi seluruh
1921-1997
penyakit pendidikan di masyarakat. Pemikiran dan konsepkonsepnya memberikan keleluasaan kepada pendidikan Non Formal untuk tumbuh dan berkembang dalam melayani masyarakat, dan sebagai pendidikan alternatif di luar pendidikan formal. Konsep pemikiran yang paling terkenal dilahirkan freire adalah tentang penyadaran, dikenal dengan istilah “ conscientization”. Konsep ini menggambarkan tentang penyadaran diri masyarakat terhadap lingkungannya, kesadaran diri menurutnya hanya bisa dilakukan melalui pendidikan “ pembebasan”. Gagasan yang sangat progresif dan praktis. Pedagogy of the Oppressed merupakan konsep yang sangat diperhitungkan saat ini. Thinking about progressive practice. His pedagogy of the Oppressed is currently one of the most quoted educational texts.
Ivan Illich
Descooling Sosciety (1971), pemikiranya telah memberikan
1926-2002
jalan bagi pembaharuan pendidikan khususnya terhadap perubahan belajar (learning
revolution) di
lingkungan
masyarakat agar terjadi perubahan budaya. Salah satu konsep tentang jaringan belajar (creation of lerning web) dapat dilakukan melalui peer-matching system (sistem pengelompokan
teman
sejawat).
Konsep-konsepnya
membangkitkan pemikiran untuk melahirkan pendidikan yang lebih inovatif, kreatif, partisipatif dan demokratis. UNESCO
Dalam
1972
learning
laporanya To
konsepnya
Be
telah
melahirkan
gagasan
(belajar dalam kehidupan),
diambil
dari
pemahaman
tentang di
tentang
mana belajar
sepanjang hayat dan masyarakat belajar, sehingga belajar sepanjang
hayat
menjadi
konsep
utama
dalam
27
pengembangan
sistem
pendidikan
dan
khususnya
pengembangan konsep pendidikan nonformal. Phillip Coombs
Pemikiran dan konsepnya telah melahirkan strategi-strategi
dan
baru dalam meningkatkan ketrampilan dan pemahaman
Manzzor Ahmed
bagi masyarakat miskin di pedesaan dalam meningkatkan
(1974)
kehidupan (khususnya dalam bidang ekonomi). Konsep dasar pemikiran Coombs telah melahirkan konsep tentang pendidikan nonformal, informal dan formal, yang sampai saat ini menjadi acuan utama para ahli pendidikan khususnya ahli pendidikan nonformal. Salah satu judul buku yang
terkenal Memberantas
Kemiskinan melaui
Pendidikan Nonformal. Juga beberapa tulisan lain yang berhubungan dengan peran pendidikan nonformal di masyarakat. Simkins (1976)
Tipe
ideal
pendidikan
nonformal.
Pemikiran
simkins
melahirkan konsep ideal tentang bagaimana membangun dan menyiapkan pendidikan nonformal sesuai dengan kebutuhan warga belajar, mulai dari penyiapan kurikulum, tujuan pembelajaran, waktu, materi pembelajaran, sistem pembelajaran
dan
kontrol
(pengawasan)
bagi
penyelenggaraan pendidikan nonformal yang lebih maju. Di samping itu pula simkins melahirkan tentang negotiated curriculum
(flexible
curriculum)
antara
formal
dan
nonformal (continuum) ICED (The
Dalam laporanya telah melahirkan gagasan tentang
International
kelompokprogram pendidikan nonformal yang diarahkan
Council for
bagi daerah pedesaan “ Education of rural Development”.
Educational
Kelompok program tersebut diarahkan sesuai dengantujuan
Development)
belajar, warga belajar, dan jenis program : 1) pendidikan
1977
pemberantasan buta aksara, 2) pendidikan berorientasi dunia kerja, 3) pendidikan keluarga, 4) latihan usaha tani bagi pemuda dan orang dewasa, 5) latihan produktif di luar sektor pertanian, 6) latihan kewirausahaan, 7) latihan kepemimpinan bagi kepala daerah dll.
Suzanne
Proses pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan
28
Kindervatter
pendidikan. Suzanne melahirkan 4 pendekatan dalam
(1983)
pemberdayaan perempuan melalui pendidikan informal dan nonformal. 1. Pengorganisasian masyarakat (Community Organization), ialah karekteristik yang mengarah pada tujuan untuk mengaktifkan masyarakat dalam usaha meningkatkan dan mengubah keadaan sosialekonomi mereka. 2. Manajemen diri dan kerjasama (self management and Collaboration), yaitu, pendekatan dengan sistem penyamarataan atau pembagian wewenang di dalam hubungan kerja atau di dalam kegiatan. Karena itu perlu adanya struktur organisasi yang mendukung dan memperkecil adanya perbedaan status, serta perlu adanya pembagian peranan. 3. Pendekatan partisipatif (Participatory Approaches), yaitu pendekatan yang menekankan pada keterlibatan setiap anggota (warga belajar) dalam keseluruhan kegiatan, perlunya melibatkan para pemimpin serta tenaga-tenaga ahli setempat. 4. Pendidikan untuk keadilan (Education for Justice), yaitu pendekatan yeng menekankan pada terciptanya situasi yang memungkinkan warga belajar tumbuh dan berkembang analisisnya serta memiliki motivasi untuk ikut berperan.
D. Kondisi Pendidikan Nonformal dan Kualitas Sumberdaya Manusia Saat Ini 1. Kondisi Pendidikan Nonformal Saat Ini Kondisi pengembangan pendidikan nonformal saat ini sesuai dengan tuntutan Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, komitmen internasional mengenai pendidikan nonformal, dan capaian yang telah diwujudkan serta hambatan dalam pencapaiannya.
29
Sebagai suatu subsistem pendidikan nasional, pendidikan nonformal harus memberikan urunan yang simultan dan saling menunjang dengan dua subsistem lainnya, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, sesuai dengan sifat dan kekuatan masing-masing. Pendidikan nonformal yang memiliki keeratan dengan masyarakat, sesuai dengan fungsinya lebih banyak memberikan sumbangan pada peningkatan kemampuan individu dalam mengisi peran dalam masyarakatnya. Hal ini tertuang dalam Pasal 26; ayat 2, 3, 4, yang menyatakan bahwa: (2) pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional, (3) pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik, dan (4) satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim serta satuan pendidikan yang sejenis. Merujuk pada ketentuan yang terdapat pada UU tersebut satuan dan program pendidikan nonformal sebagai subsistem pendidikan nasional mencakup semua kegiatan dalam lingkup pendidikan nasional dan kegiatan lintas departemen serta sektoral yang memiliki urunan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional dalam rangka peningkatan kecerdasan bangsa. Pengembangan ketentuan nasional ini sesuai dengan komitmen internasional di mana Indonesia termasuk salah satu penandatangan ketentuan Deklarasi Dakar tentang Pendidikan Untuk Semua. Pada ketentuan ini dinyatakan secara eksplisit: (a) memperluasdan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak dini usia, terutama bagi anak-anak yang sangat rawan dan kurang beruntung; (b) menjamin
bahwa
menjelang
tahun
2015
semua
anak,
khususnya
anak
perempuan, anak-anak dalam keadaan sulit dan mereka yang termasuk minoritas etnik, mempunyai akses dan menyelesaikan pendidikan dasar yang bebas dan wajib dengan kualitas baik; (c) menjamin bahwa kebutuhan belajar semua manusia muda dan orang dewasa terpenuhi melalui akses yang adil pada programprogram belajar dan kecakapan hidup (life skills) yang sesuai; (d) mencapai perbaikan 50% pada tingkat keniraksaraan orang dewasa menjelang tahun 2015,
30
terutama bagi kaum perempuan, dan akses yang adil pada pendidikan dasar dan berkelanjutan bagi semua orang dewasa; (e) menghapus disparitas gender dalam pendidikan dasar dan menengah menjelang tahun 2005 dan mencapai persamaan gender dalam pendidikan menjelang tahun 2015 dengan suatu fokus jaminan bagi perempuan atas akses penuh dan sama pada prestasi dalam pendidikan dasar dengan kualitas yang baik; dan (f) memperbaiki semua aspek kualitas pendidikan dan menjamin keunggulannya, sehingga hasil-hasil belajar yang diakui dan terukur dapat diraih oleh semua, terutama dalam keaksaraan, angka dan kecakapan hidup (life skills). Dalam upaya mencapai target internasional maupun memenuhi ketentuan perundang undangan telah ditetapkan kebijakan strategis tahun 2005-2009, yang meliputi pilar pemerataan dan perluasan akses, mutu-relevansi dan daya saing serta tatakelola. Pada pilar pemerataan dan perluasan akses ditetapkan: (a) menurunkan penyandang buta aksara usia 15 tahun ke atas menjadi kurang dari 5% pada akhir tahun 2009 baik laki-laki maupun perempuan. Kebijakan yang sangat mendasar yaitu diterbitkannya Inpres No 5 tahun 2005 mengenai Gerakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar dan Pendidikan Keaksaraan; (b) meningkatkan akses PAUD bagi kelompok usia 2-4 tahun hingga 35% pada akhir tahun 2009 dengan mutu yang baik; (c) meningkatkan akses pendidikan kesetaraan (Paket A dan B) untuk menunjang suksesnya Wajar Dikdas 9 tahun dengan jangkauan pelayanan 25% dari DO SD/MI kelas 4, 5 dan 6 dan 50% dari siswa lulus SD tidak lanjut dan putus SMP/MTs dengan mutu yang baik serta ektensifikasi Paket C; (c) meningkatkan akses pendidikan kecakapan hidup dengan mutu yang baik bagi penduduk usia produktif tidak sekolah dan tidak bekerja yang berasal dari keluarga miskin dengan menjangkau sekitar 1,5 juta orang pada tahun 2009; dan (d) meningkatkan akses dan mutu Lembaga Kursus serta UPT/UPTD dan Satuan PNF lainnya melalui pemenuhan kebutuhan jumlah dan mutu tenaga, sarana dan prasarana dan penjaminan mutu sesuai dengan Standar Nasional yang ditetapkan. Adapun mengenai peningkatan mutu-relevansi dan daya saing ditetapkan sebagai berikut: (a) menjamin mutu lembaga, pendidik, dan peserta didik program PNF: 20% lembaga dan program PNF telah terstandarisasi pada tahun 2009; (b) mengembangkan model-model unggulan lembaga PNF sesuai dengan keunggulan lokal masing-masing daerah: 25% kabupaten/ kota memiliki model PNF dengan keunggulan lokal pada tahun 2009; (c) membangun kemitraan baik antarlembaga PNF maupun antara lembaga PNF dengan dunia usaha dan dunia industri (DUDI);
31
ditetapkannya 10 jenis program Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH) untuk mendukung upaya peningkatan ekspor nasional pada tahun 2006; dan (d) memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk pembelajaran dan evaluasi program-program PNF pada tahun 2006. Sedangkan tentang tata kelola penyelenggaraan pendidikan, akuntabilitas, dan pencitraan publik, target yang ditetapkan yaitu: (a) memperkuat kapasitas kelembagaan PNF baik pusat maupun daerah: 4 direktorat dan 5 BP-PLSP memperoleh sertifikat ISO-9001 pada akhir tahun 2009; (b) memanfaatkan Tik dalam pengelolaan program-program dan sistem informasi PLS mulai tahun 2006; dan (c) menetapkan skema kerjasama antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka pemberdayaan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pada tahun 2006. Adapun gambaran terinci mengenai kondisi pendidikan nonformal adalah sebagai berikut:
Relevansi dan daya saing masih diperlukan peningkatan. Rendahnya tingkat pencapaian memiliki kaitan dengan isu dan tantangan yang berkembang.
2. Kondisi Kualitas Sumber Daya Manusia Saat Ini
Pengembangan sumberdaya manusia berangkatdari kondisi rendahnya kualitas manusia dan masyarakatnya. Tujuan yang ingin dicapai oleh pengembangan sumber daya manusia dan masyarakat adalah kualitas manusia dan masyarakat yang tinggi.
32
Kualitas manusia dan masyarakat diukur atas dasar ukuran-ukuran yang telah disepakati bersama. Salah satu ukuran yang disepakati dan dipakai secara internasional adalah indeks pembangunan manusia (human development indexs) yang mengukur kualitas manusia dari tiga dimensi penting yaitu (a) harapan hidup dengan indikator yang dipergunakan adalah harapan hidup bayi yang mewakili dimensi hidup sehat dan panjang, (b) pendidikan dengan indikator angka melek huruf dan rata-rata sekolah yang mewakili dimensi pengetahuan, dan (c) pendapatan dengan indikator yang dipergunakan adalah pengeluaran per kapita harga yang berlaku untuk mewakili dimensi standar hidup wajar (BPS, Bappenas, UNDP, 2004). Melengkapi
indeks
pembangunan
manusia
(HDI),
alat
ukur
lain
yang
digunakan.untuk melihat kualitas manusia di negara sedang berkembang adalah indeks kemiskinan manusia atau human poverty index (HPI) atau indeks kemiskinan yang juga mengukur tiga dimensi yaitu hidup sehat dan panjang', pengetahuan, dan standar hidup wajar. Indikator yang dipergunakan untuk masing-masing dimensi itu adalah peluang hidup sampai usia 40 tahun, tingkat melek huruf orang dewasa, persentase penduduk tanpa akses air bersih, persentase penduduk tanpa akses fasilitas kesehatan, dan persentase bayi di bawah lima tahun kurang gizi. Tiga yang terakhir ini merupakan pengukuran untuk melihat deprivasi dari standar hidup normal. Ukuran lain yaitu Genderrelated Development Index (GDI) dipergunakan juga untuk melihat kualitas manusia dan masyarakat. Sama seperti HDI dan HPI, GDI mengukur tiga dimensi penting usia harapan hidup, pengetahuan, dan hidup standar tetapi membandingkan antara wanita dan laki-laki. Pengukuran kualitas manusia dan masyarakat dapat juga menggunakan ukuran yang ke empat yaitu Gender Empowerment Measure (GEM) yaitu suatu indeks komposit yang terdiri dari variabel-variabel yang dikembangkan untuk mengukur tingkat partisipasi perempuan. Suatu indeks terpadu dengan menggabungkan sejumlah variabel untuk mengukur kemampuan membuat keputusan kelompok perempuan dalam kegiatan politik dan ekonomi. GEM terdiri dari tiga indikator yaitu persentase yang terpilih di parlemen dari kelompok perempuan, persentase kelompok teknisi profesional dan pegawai serta manajer senior perempuan serta pendapatan persentase (percentase). TUGAS / SOAL LATIHAN Jelaskan bagaimana asal-usul PLS! REFERENSI / RUJUKAN Sujana, D (2004). PLS, Wawasan, Sejarah, Asas; Bandung. Nusantara Press.
33
BAB IV LANDASAN PENDIDIKAN NONFORMAL
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan landasan Pendidikan Nonformal.
URAIAN MATERI
A. Latar Belakang Pengembangan Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan nasional pemerintah telah menetapkan delapan standard nasional pendidikan. Salah satu standard nasional pendidikan yang dinilai paling berperang terhadap peningkatan mutu pendidikan adalah berstandar pendidik dan tenaga kependidikan. Standard pendidik dan tenaga kependidikan mencakup pendidik dan tenaga kependidikan pada jalur pendidikan formal serta Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan nonformal dan Informal (PTK PAUD NI). Pendidik pada jalur Pendidikan Nonformal terdiri atas pendidik PAUD, tutor, instruktur, pamong, widyaswara,fasilitator, pembimbing, pelatih, penguji dan tenaga pendidikan nonformal lainya. Pendidik harus memiliki kualifilkasi akademik dan kompotensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan Nasional. Kualifikasi akademik adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai dengan ketentuan perundang – undangan yang berlaku. Dalam konteks itu Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 telah menetapkan kualifikasi akademik pendidik, berpendididkan minimum diploma empat ( D-IV ) atau sarjana(S1). Pada sisi lain PTK PAUD NI yang tidak memiliki ijazah dan / atau sertifikasi keahlian tetapi memiliki ketrampilan khusus yang diakui dan diperlukan belum mengikutin uji kelayakan dan kesetaraan. Kenyataan keberadaan ketenagaan di lapangan, khususnya di lingkungan pendididikan nonformal menunjukkan fenomena sebagai berikut : 1. Sebagian besar PTK PAUD NI belum berkualifikasi akademik pendidikan minimum sarjana
34
( S1) atau diploma ( D – IV ). 2. Sebagian besar PTK PAUD NI bekerja tidak sesuai dengan bidang keahlian dan kompetensinya. 3. Jumlah pendidik yang ada pada satuan pendidikan nonformal belum memadai sesuai kebutuhan. 4. Belum
adanya
sistem
penyelenggaraan
peningkatan
kualifikasi
dan
kompetensi PTK PAUD NI. 5. Belum adanya prosedur dan mekanisme pengakuan karya nyata PTK AUD NI sebagai bagian dari program peningkatan kualifikasi akademik. 6. Belum semua jenis PTK PAUD NI memiliki standard kualifikasi dan kompetensi. 7. Belum adanya payung hukum tersendiri berupa peraturan pemerintah tentang PTK PAUD NI. 8. Koordinasi dengan perguruan tinggi dan pembentukan perguruan tinggi belum berjalan dengan baik. Memperhatikan kenyataan empirik serta diberlakukannya standard nasional pendidikan khususnya standar pendidik dan tenaga kependidikan sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005, maka dipandang perlu adanya pengembangan kualifikasi dan kompetensi PTK PAUD NI.
Tujuan Pengembangan kualifikasi dan kompetensi PTK PAUD NI pada pendidikan nonformal secara umum bertujuan agar pendidik dan tenaga kependidikan nonformal tersebut memiliki kualifikasi akademik ( berpendidikan ) minimal diploma empat atau sarjanaserta memiliki standar kompetensi yang telah ditentukan. Sedangkan secara khusus tujuan penyusunan standar akademik pengembangan kuliafikasi dan kompetensi PTK PAUD NI adalah : 1. Menyediakan pedoman bagi para pengelola pendidikan nonformal dalam menyusun berbagai kebijakan dan program peningkatan kualifikasi dan kompetensi PTK PAUD NI. 2. Menyediakan acuan bagi Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan ( LPTK ) dalam rangka menyusun dan melaksanakan program peningkatan kualifikasi dan kompetensi PTK PAUD NI. 3. Menyediakan acuan bagi lenmbaga pendidikan dan pelatihan dalam menyusun dan melaksanakan program diklat PTK PAUD NI.
35
4. Menyediakn acuan dan pedoman bagi dinas pendidikan kabupaten/kota dalam meningkatkan kualifikasi dan kompetensi PTK PAUD NI. 5. Membantu lembaga yang terkait dan bertanggungjawab atas keberhasilan mutu pendidkan pada pendidikan nonformal. Manfaat,
Naskah
akademik
pengenbangan
kualifikasi
akademik
dan
kompetensi PTK PAUD NI akan bermanfaat bagi pihak – pihak tertentu antara lain : 1. LPTK dalam rangka menyiapkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi PTK PAUD NI. 2. Dinas pendidikan provinsi, kabupaten/kota dalam meningkatkan kualifikasi dan kompetensi PTK PAUD NI. 3. Pemerintah pusat dan daerah dalam merumuskan kebijakan dan program peningkatan kualifikasi dan kompetensi PTK PAUD NI. 4. Masyarakat luas sebagai pemangkau kepentingan pendidikan nonformal dalam menilai mutu layanan pendidikan nonformal B. Landasan Pengembangan PLS 1. Landasan Filosofis Pendidikan nonformal yang bermutu merupakan investasi masa depan banghsa dalam mewujudkan warga Negara seutuhnya yang terdidik dan cerdas, dalam serta mempertahankan eksistensi dan kemajuan bangsa. Pendidikan
nonformal
yang
bermutu
dilandasi
oleh
filsafat
yang
mencakup tujuh hakikat. Pertama, hakikat kehidupan manusia yang baik, yang menjadi tujuan pendidkan, yaitu adanya interaksi edukasi antaramanusia baik secara individu maupun kelompok, sebagai makhluk paling sempurna ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Kedua, hakikat masyarakat Indonesia, dimana pendidikan
nonformal
diselenggarakan,
adalah
kelompok
individu
yang
mengamalkan nilai – nilai Pancasila dalam mewujudkan masyarakat madani dengan ciri penghargaan terhadap
hak asasi
manusia,
keekaan dalam
kebhinekaan bangsa, pelestarian lingkungtan hidup danm kesetaraan gender. Ketiga,hakikat peserta didik adalah individu, sebagai anggota masyarakat, mempunyai potensi untuk tumbuh dan berkembang melalui proses pendidkan formal dan/atau pendidikan nonformal. Keempat, hakikat pendidk pendidkan nonformal adalah agen pembelajaran dan pembaharuan untuk membudayakan manusia dalam mewujudkan tujuan pendidikan. Kelima, hakikat proses pendidikan adalah bantuan pendidik terhadap peserta didik dalam bentuk
36
bimbingan, arahan, motivasi, pembelajaran, dan pelatihan yang dilakukan secara sadar dan terencana. Keenam, hakikat kebenaran, yang menjadi kepedulian pendidik dan peserta didik, adalah realitas yang didasarkan pada rasio, pengalaman, manfaat, dan pilihanm nilai. Ketujuh,hakekat pengembangan pendidik dan tenaga kependidikan pendidkan nonformal dilakukan melalui pendidikan, pelatihan, konversi dan sertifikasi secara sistematik, terdiri dari komponen, proses, keluaran dan pengaruh bagi pengembangan diri dan kemampuan
melaksanakan
tugas
dan
kewajiban
pendidik
dan
tenaga
kependidkan pendidikan nonformal. Sejalan dengan ketujuh hakikat tersebut, proses pengembangan PTK–PNF memerlukan tersedianya sistem dan sumber daya yang mampu mengembangkan kompetensi PTK–PNF melalui olah qolbu, olah cipta, olah karsa, olah karya, olah rasa dan olah raga. Semua ini diperlukan guna memingkatkan kesadaran dan wawasan akan peran, hak, dan kewajiban dalam pelaksanaan tugas pelayanan pendidikan
nonformal,
agar
dapat
memenuhi
tuntutan
kehidupan
bermasyarakat menuju terbentuknya masyarakat Pancasila yang madani. Karakteristik masyarakat tersebut adalah menerapkan prinsip belajar sepanjang hayat,
penguasaan
ketrampilan
fungsional,
pemerataan
kesempatan
memperoleh pendidikan, penghargaan terhadap hak asasi manusia, kepekaan dalam kebinekaan bangsa, pelestarian lingkungan hidup, dan kesetaraan gender.
2. Landasan Yuridis 1. Undang – Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional a. Pasal 20 ayat 3 : perguruan tinggi
(PT) dapat menyelenggarakan
pendidikan akademik, profesi dan atau vokasi b. Perguruan Tinggi yang memenuhi persyaratan pendirian dan dinyatakan berhak
menyelenggarakan
program
pendidikan
tertentu
dapat
memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi sesuai dengan program pendidikan yang diselenggarakan. c. Pasal 26 ayat 3 : pendidkan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan ketrampilan
perempuan,
dan
pelatihan
pendidikan kerja,
keaksaraan,
pendidikan
pendidikan
kesetaraan,
serta
37
pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. d. Pasal 26 ayat 4 : satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat dan majelis taklim serta satuan pendidikan yang sejenis. e. Pasal 26 ayat 5 : kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, ketrampilan, kecakapan hidup dan sikap untuk mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan jenjang lebih tinggi. f. Pasal 26 ayat 6 : hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk pemerintah daerah dengan mengacu pada standard nasional pendidikan. g. Pasal 29 ayat 3 pendidikan kedidasan diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal dan nonformal h. Pasal 40 ayat (1) menyatakan PTK berhak memperoleh pembinaan karir sesuai dengan tuntutanpengembangan kualitas i.
Pasal 42 ayat (1) Pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
j.
Pasal 61 ayat (1) Sertifikat berbentuk ijazah dan sertifikat kompetensi, serta ayat (3) Sertifikat Kompetensi diberikan sebagai pengakuan setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan atau lembaga sertifikasi.
2. Peraturan pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional pendidikan (a) Pasal
28
ayat
(2)
kualifikasi
akademik
pendidik
adalah
tingkat
pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dan ijazah dan/ atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan perundang- undangan yang berlaku. (b) Pasal 28 ayat (3) kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi : 1. Kompetensi Pedagogik
38
2. Kompetensi Kepribadian 3. Kompetensi Profesional, dan 4. Kompetensi Sosial (c) Pasal 28 ayat 4 : Seorang yang tidak memiliki ijazah dan / atau sertifikat keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetapi memiliki keahlian khusus yang diakui dan diperlukan dapat diangkat menjadi pendidik setelah melewati uji kelayakan dan kesetaraan. Pasal 28 ayat (5) kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran
dikembangkan
oleh
BNSP
dan
ditetapkan
dengan
Peraturan Menteri. (d) Pasal 33 ayat (1) menyatakan bahwa pendidik di lembaga kursus dan lembaga
pelatihan
ketrampilan
harus
memiliki
kualifikasi
dan
kompetensi minimum yang dipersyaratkan (e) Pasalm 33 ayat (2) menyatakan bahwa kualifiaksi dan kompetensi minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan oleh BNSP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri. (f) Pasal 37 ayat (1) menyatakan bahwa tenaga kependidikan dilembaga kursus dan pelatihan harus memiliki kualifikasi dan kompetensi minimum yang dipersyaratkan. (g) Pasal 37 ayat (2) menyatakan bahwa tenaga kependidikan dilembaga kursus dan pelatihan harus memiliki kualitas dan kompetensi minimum yang dipersyaratkan.
3. Landasan Konseptual Pendidikan nonformal ( PNF) merupakan bagian dalam
mengembangkan
kompetensinya.
Beberapa
dari aktifitas manusia proposisi
para
ahlib
menegaskan bahwa semakin berkembang dan maju masyarakat, kebutuhan akan pendidikan nonformal juga menjadi meningkat. PNF merupakan proses pemberdayaan dalam pembangunan, memiliki krakteristik pendidikan yang khas sebagai upaya meningkatkan kualitas sumber daya insani. Peningkatan ini seiring dengan tuntutan profesionalisme dalam melaksanakan suatu profesi. Kemajuan saat ini identik dengan kebutuhan masyarakat terhadap penguasaan kompetensi dari profesi yang digelutinya. Kompetensi suatu profesi selalu
39
berkembang sejalan de3ngan perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dan seni. Keberhasilan program atau lembaga pendidikan nonformal dalam memenuhi tuntutan kompetensi profesi di tentukan oleh kualitas PTK – PNF yang menanganinya. Di samping, perlunya sarana dan prasarana serta suasana pendidikan yang mendukungnya. Kualitas PTK PAUD NI dapat dilihat dari kualifikasi pendidikan formal yang telah ditempuh dan kompetensi yang dimilikinya. Peningkatan kualifikasi pendidikan formal diikuti melalui jenjang pendidikan dasar,
pendidkan menegah dan pendidikan tinggi.
Namun,
pengembangan kompetensi juga dapat di tempuh melalui berbagai program pelatihan, magang dan lain sejenisnya. Peningkatan kualifikasi dan pengembangan kompetensi melalui pelatihan saat ini berjalan dengan cara yang seragam. Sementara ini, tuntutan akan keduanya belum terfasilitasi dalam suatu system yang terintegrasi. Keaneka ragaman
pengembangan kompetensi melalui jalur pelatihan, magang dan
sejenisnya. Hal ini belum dapat memenuhi kualifikasi jenjang pendidikan sebagaimana dipersyaratkan oleh peraturan perundang – undangan yang berlaku. Keterbatasan lembaga pendidikan nonformal dan ekonomi masyarakat membatasi PTK PAUD NI mengikuti jenjang kualifikasi pendidikan formal. program konversi dapat disetarakan pelatihan kompetensi dengan tingkat pendidikan tertentu dan dilanjutkan dengan program sertifikasi profesi. Peningkatan kualifikasi dan pengembangan PTK PAUD NI melalui program konversi harus melibatkan perguruan tinggi pada program studi di LPTK maupun program studi lainnya yang Dibutuhkan PTK PAUD NI. Kewenangan kualifikasi akademik diploma/sarjana dan lanjutannya berada pada perguruan tinggi. Di samping itu juga melalui pendidikan kedinasan yang harus dikembangkan berdasarkan kebutuhan dan tuntutan masa depan. Hal ini semakin terbuka peluang PTK PAUD NI menjadi tenaga profesionalisme sebagai harapan semua lapisan masyarakat yang membutuhkannya. 4. Landasan Empiris Hingga saat ini masih banyak PTK PAUD NI yang belum memiliki kualifikasi dan kompetensi sesuai dengan standar yang ditetapkan. Sampai tahun 2004, pamong belajar di seluruh tanah air berjumlah 3.432 orang. Pamong belajar yang berada di lima UPT pusat, yaitu Balai Pengenbangan Pendidikan Nonformal dan
40
Pemuda ( BPPLSP ) berjumlah 541 orang dan pamong belajar yang berada di 22 UPTD Balai Pengembangan Kegiatan Belajar ( BPKB ) berjumlah 443 orang. Pamong belajar yang berada di UPTD Sanggar Kegiatan Belajar ( SKB ) kabupaten/kota berjumlah 2448 orang. Jumlah tersebut sangat tidak memadai dibandingkan dengan besarnya sasaran dan luas jangkauan program PNF. Dilihat dari kualifikasinya, pamong belajar yang berpendidikan Diploma sebanyak 175 orang, S-1 sebanyak 2047 orang, dan berpendidikan S-2 sebanyak 210 orang, yang lainnya masih berpendidikan sekolah menengah atau lebih rendah. Dari seluruh pamong belajar balai pengembangan, sebanyak 75% menguasai program PNF, maksimal 45% menguasai program PNF dan 30% menguasai tugas peningkatan mutu sumberdaya manusia. Sedangkan pamong belajar SKB yang memiliki jenjang pendidikan S-1 baru sebanyak 621 orang. Tugas pamong belajar SKB adalah melaksanakan percontohan dan pengendalian mutu program PNF. Tugas ini baru di kuasai 65% dari jumlah pamong belajar SKB. Kemapuan lain yang harus dikuasai oleh pamong belajar SKB adalah memberikan bimbingan, pendampingan dan pemotivasian kepada masyarakat. Tugas ini baru dikuasai 45% dari jumlah pamong belajar yang ada di SKB. Tenaga Fungsional lain di lingkungan pendidkan non
- formal adalah
penilik. Penilik di seluruh Indonesia sampai dengan tahun 2004 dan telah diimpassing berjumlah 6.651 orang. Penilik yang memiliki jenjang S-1 baru 2.345 orang. Tugas penilik sebagai pengendali program PNF baru dikuasai oleh 35%dari jumlah penilik yang ada. Tugas lain yang belum dikuasai secara baik oleh penilik adalah penguasaan program dan kepenilikan PNF. Pada sisi lain, kebijakan strategi PNF harus di dukung dengan kebijakan strategis di bidang PTK PAUD NI. Target pemerintah di bidang PNF adalah menurunkan angka penduduk buta aksara sebesar 5% pada akhir tahun 2010, memerlukan tutor dan penyelenggara program keaksaraan dalam jumlah yang cukup besar. Target pemerintah selanjutnya adalah memberikan layanan Wajar Diknas 9 tahun 25% putus Sekolah Dasar dan 50% lulus SD tidak melanjutkan dan 50% putus SMP tidak melanjutkan. Target penyelenggaraan program paket C sebanyak
kurang
lebih
200.000
orang,
serta
target
peserta
pendidikan
berkelanjutan usia 15 Tahun keatas yang di garap melalui aneka program yang dikhususkan untuk itu. Jika jumlah tutor yang ada saat ini sebanyak14.259 orang. Pada tahun 2010 jumlah tutor yang di butuhkan sebanyak 32.552 orang untuk mencapai target
41
penurunan buta aksara. Tutor Paket B dibutuhkan sebanyak 305.422 orang, sedangkan untuk Tutor Paket C dibutuhkan sebanyak 15.349 orang, dan untuk instruktur kursus dibutuhkan sebanyak 255.134 orang. Disamping itu, target pemerintah untuk menaikkan APK-PAUD sebesar 35% pada akhir tahun 2010, memerlukan pamong dan pengelola PAUD dalam jumlah yang cukup besar yaitu sebanyak 359.000 orang. Pengembangan program PNF yang membutuhkan model – model percontohan program PNF sesuai ciri masing – masing lokasi merupakan tugas pamong belajar. Untuk memberikan jaminan terlaksananya penyediaan model – model percontohan di butuhkan jumlah Pamong Belajar yang cukup besar pula. Jumlah Pamong Belajar tahun 2010 dibutuhkan sebanyak 4.775 0rang. Agar tercapainya kualitas program PNF tahun 2010 dibutuhkan penilik yang bertugas sebagai penjamin mutu pelaksanaan program PNF sebanyak 13.800 orang. Tenaga fungsional lain di lingkungan PNF adalah penilik. Penilik di seluruh Indonesia sampai dengan tahuin 2004 dan telah diimpasing berjumlah 6.651 orang. Penilik yang memilki jenjang pendidikan S-1 baru 2.345 orang. Tugas penilik sebagai pengendali program PNF baru dikuasai oleh 35% dari jumlah penilik yang ada. Tugas lain yang belum dikuasai secara baik oleh penilik adalah penguasaan program PNF dan kepenilikan PNF.
42
PTK PAUD NI pada tahun 2005 disajikan pada table 1 berikut ini. Tabel 1. Jumlah PTK PAUD NI Tahun 2005 No 1
Jenis Tenaga Pamong Belajar
Dibutuhkan
Ada
4.775
3.432
2
Penilik
13.800
6.651
3
Tutor KF
14.259
14.259
4
Tutor Paket Setara SD
A
7.177
5
Tutor Paket Setara SMP
B
103.336
6
Tutor Paket Setara SMA
C
5.412
5.412
7
Fasilitator Intensif
Desa
1.582
1.492
8
Tenaga Dikmas
10.184
5.048
9
Pendidik PAUD
359.235
48.207
10
Instruktur Kursus
55.000
33.021*
569.790
146.643
Lapangan
Jumlah
7.146 21.975
Sumber : Direktorat Tenaga Teknis, 2005 Berdasarkan data pada Tabel 1 di atas, hingga saat ini jumlah PTK PAUD NI yang ada belum mencukupi kebutuhan. Sampai dengan tahun 2005 , secara keseluruhan masih terdapat kekurangan 569.790 orang PTK PAUD NI. Disamping itu, tenaga yang ada sekarang untuk sebagian belum memenuhi kriteria kualifikasi dan kompetensi yang diperlukan untuk menjalankan tugas pokok dan fungsi PTK PAUD NI. Pada sisi lain, PTK PAUD NI harus mampu menjalankan berbagai program PNF yang dikembang secara nasional. Dalam Renstra Depdiknas 2006 – 2009 dirumuskan berbagai program PNF, yaitu : (1) Pendidikan Kesetaraan yang diarahkan pada anak usia Wajar Diknas 9 Tahun untuk mendukung suksesnya wajar Diknas beserta tindaklanjutnya ( setara SMA ), (2) Pendidikan Keaksaraan yang diarahkan pada pendidikan keaksaraan pada akhir tahun 2010, (3) Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), agar peserta didik dapat berkembang sesuai dengan tingkat usianya dan berdampak pada kesiapan anak usia sekolah masuk sekolah, (4) Peningkatan Pembina Kursus Dan Pelatihan untuk memenuhi kebutuhan belajar masyarakat diberbagai bidang ketrampilan yang dibutuhkan, (5)
43
Pendidikan Kecakapan Hidup, yang dapat diintegrasikan dalam berbagai program PNF sebagai upaya agar peserta didik hidup mandiri, (6) Pendidikan Pemberdayaan Perempuan
yang
diarahkan
pada
peningkatan
kecakapan
hidup
dan
pengarusutamaan gender di bidang pendidikan, (7) Peningkatan Budaya Baca Masyarakat sebagai upaya untuk memelihara keaksaraan peserta didik yang telah bebas buta aksara melalui penyediaan Taman Baca Masyarakat. Dan (8) Memperkuat Unit Pelaksanaan Teknis dan Daerah sebagai tempat pengembangan model program PNF. Disamping hal – hal di atas, PNF juga akan melaksanakan berbagai komitmen dunia seperti Pendidikan Untuk Semua, pengarusutamaan gender, perawatan dan pendidikan pada anak – anak yang tergolong tidak beruntung. Berbagai langkah kegiatan untuk memperluas akses PTK PAUD NI adalah : (a) peninkatan sosialisasi dan promosi melalui berbagai media mengenai pentingnya PTK PAUD NI dalam memberikan pelayanan pendidikan kepada masyarakat dari usia dini hingga lanjut usia, yang disertai menu – menu program yang dapat menggugah, menarik, dan membangkitkan semangat untuk belajar dan / atau berperan dalam penyelenggaraan PNF, (b) mendorong dan memberdayakan masyarakat melalui berbagai Organisasi Sosial Masyarakat (Orsosmas) dan Lembaga Swadaya Masyarakat ) yang berorientasi pada kegiatan sosial, ekonomi, budaya serta kelompok masyarakat terdidik, untuk dapat berperan dalam menyelenggarakan PNF, (c) Memberikan bantuan fasilitasi untuk memberdayakan pentingnya
PTK
PAUD
NI
sampai
pada
kabupaten/kota,
meningkatkan
pemahaman tentang pentingnya PTK PAUD NI bagi Pemda Kabupaten/Kota, sehingga terdorong untuk menyediakan anggaran bagti PTK PAUD NI secara memadai melalui APBD; (d) mendorong terbentuknya berbagai organisasi profesi PNF
di
berbagai
tingkatan
yang
dapat
berperan
sebagai
mitra
dalam
pengembangan PTK PAUD NI; (e) memperluas kerjasama dengan instansi terkait untuk
mengoptimalkan
penyaluran
bolckgrants
kinerja yang
PTK-PNF;
dilaksanakan
(f)
penyediaan,
secara
pemberian
transparan
dan
dan dapat
dipertanggungjawabkan kepada pihak-pihak yang berperan untuk meningkatkan kompetensi PTK PAUD NI; dan (g) menjalin kemitraan dengan lembaga-lembaga luar negeri yang terkait dengan peningkatan dan pengembangan PTK PAUD NI. Peningkatan kualifikasi dan kompetensi PTK PAUD NI dimaksudkan untuk mendorong peningkatan daya saing lulusan satuan PNF. Upaya peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing perlu dilakukan secara terus-menerus. Salah satu
44
program yang dirancang untuk ini adalah pengembangan PTK PAUD NI sebagai profesi. Sebagai tenaga profesional, PTK PAUD NI harus memiliki asosiasi yang dapat melakukan perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, PTK PAUD NI tidak mungkin bekerja secara efektif dan efisien tanpa adanya peran atau partisipasi masyarakat dan lembaga terkait. Dalam dihadapkan
lima pada
tahun berbagai
mendatang,
pembangunan
tantanganm
serius,
pendidikan
terutama
nasional
dalam
upaya
meningkatkan kinerja dan ouput yang mencakup : (i) pemerataan dan perluasan akses; (ii) peningkatan mutu, relevansi dan daya saing; (iii) penataan dan tata kelola, akuntabilitras dan pencitraan publik. Pendidikan nonformal merupakan salah satu jalur pendidikan di Indonesia. Permasalahan yang dihadapi dalam rangka meningkatkan output PNF untuk meningkatkan daya saing dipengaruhi oleh beberapa komponen. Komponen output secara signifikan dipengaruhi oleh tenaga pendidik dan tenaga kependidikan PNF, dengan kata lain penetrasi program PNF diikuti dengan penyediaan PTK PAUD NI yang seimbang. Untuk meningkatkan mutu layanan PTK PAUD NI dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu faktor kritis tentang pendidik dan tenaga kependidikan PNF yaitu formulasi dan implementasi sistem penghargaan, perlindungan dan kesejahteraan PTK PAUD NI. Pembangunan PNF hingga tahun 2010 dititik beratkan kepada programprogram strategis yaitu : pelaksanaan gerakan nasional pemberantasan buta aksara, perluasan anggaran PAUD, perluasan paket A dan paket B untuk menunjang wajib belajar 9 tahun, ekstensifikasi paket C, perluasan pendidikan berkelanjutan, kursus dan pendidikan ketrampilan yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat akan kecakapan hidup dan ketrampilan. Secara umum, program yang ditangani oleh Direktorat PTK PAUD NI mencakup 4 (empat) bidang yaitu : bidang PAUD, bidang Keaksaraan, bidang Kesetaraan, dan bidang Kursus dan
pelatihan
Ketrampilan.
Untuk
bidang
keaksaraan
data
tahun
2004
menunjukkan pada kelompok usia 15 – 24 tahun jumlah penduduk yang buta aksara masih sekitar 4 juta orang, pada usia 25-44 tahun berjumlah 3 juta orang, pada usia 45 tahun berjumlah 10 juta orang. Pencapaian 5 persen buta aksara secara signifikan dari sekitar 14,5 juta pada tahun 2005 mencapai 7,5 juta pada tahun 2009. Untuk bidang kursus dan pelatihan, data tahun 2002 menunjukkan jumlah lembaga kursus dan pelatihan tercatat 22 ribu lembaga kursus dan pelatihan tercatat 22 ribu lembaga, kemudian pada tahun 2005 menurun menjadi
45
sekitar 12 ribu lembaga. Jenis kursus dan pelatihan yang diselenggarakan berjumlah 167, diantaranya disajikan pada Tabel 2. Jenis-Jenis Kursus Menurut Persentase
Jenis Kursus
Persentase
1
Komputer
24,40
2
Bahasa Inggris
22,20
3
Menjahit
8,70
4
Bimbingan Belajar
5,40
5
Tata Kecantikan Rambut
4,30
6
Menjahit Pakaian
3,40
7
Akuntansi
3,00
8
Tata Rias Pengantin
2,80
9
Tata Kecantikan Kulit
2,00
Aritmatika
1,70
Total
100,00
10
Untuk memberikan layanan PNF diatas, diperlukan dukungan pendidik dan tenaga kependidikan yang handal. Dari aspek kuantitas, ketersediaan tenaga PNF masih belum mencukupi. Tenaga PNF yang dibutuhkan sekitar 744,790 orang dan yang tersedia 233,622 orang, sehingga masih kekurangan 521.168 orang terdiri dari Pamong PAUD 311.028 orang dan Instruktur Kursus 115.000 orang. Dari aspek kualitas, sekitar 30% PTK PAUD NI belum memenuhi kualifikasi minimal sesuai Standar Nasional Pendidikan dan sekitar 60% PTK PAUD NI belum memiliki kompetensi sesuai tuntutan program. Kenyataan di atas membuktikan bahwa hingga saat ini sebagian besar PTK PAUD NI, khususnya pendidik pada satuan PNF belum memiliki kualifikasi dan kompetensi yang dipersyaratkan. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi dan kompetensi mereka melalui multijalur, seperti pelatihan, pendidikan kedinasan, dan konversi. Di sinilah esensi perlunya kerjasama antara lembaga-lembaga pelatihan dengan Perguruan Tinggi yang relevan. Disinilah esensi perlunya kerjasama antara lembaga-lembaga pelatihan dengan Perguruan Tinggi dalam rangka kualifikasi dan kompetensi PTK PAUD NI, terutama PTK PAUD NI.
46
5. Pengertian Pendidik Nonformal, dan Pendidik Pendidikan Nonformal 1. Pendidik nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. 2. Pendidik pendidikan nonformal adalah anggota masyarakat yang memiliki tugas dan kewenangan dalam merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan. 3. Tenaga kependidikan pendidikan nonformal adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan
nonformal
yang
bertugas
melaksanakan
administrasi
pengelolaan, pengembangan, pengawasan dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada sarana pendidikan nonformal.
TUGAS / SOAL LATIHAN
Kemukakan pokok pikiran yang menunjang pengembangan PLS menurut UU No. 20 Th.2003.
REFERENSI / RUJUKAN
UU No. 20 Th.2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
47
BAB V ASAS PENDIDIKAN NONFORMAL TUJUAN PEMBELAJARAN Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan konsep kebutuhan URAIAN MATERI A. Asas Kebutuhan Pendidikan Nonformal Asas
kebutuhan
telah
memantapkan
Pendidikan
Nonformal
sehingga
program-programnya berpusat pada kepentingan masyarakat, berpusat pada warga belajar, partisipasi yang optimal dari warga belajar serta bertumpu pada pengalaman mereka. Dengan pendekatan dari, dalam, oleh dan untuk masyarakat, maka Pendidikan Nonformal ditumbuhkan di atas sikap pemilikan dan tanggung jawab bersama. Konsekuensinya program-program dirancang dan dilaksanakan bersama pula. Warga belajar dan masyarakat ikut serta dalam perencanaan, pelaksanaan, penilaian dan tindak lanjut program. Kebutuhan dasar hidup manusia meliputi kebutuhan fisiologis (jasmaniah), kebutuhan rasa aman, kebutuhan bermasyarakat, kebutuhan pengakuan dan kebutuhan mengaktualisasi diri. Dalam membicarakan kebutuhan pendidikan dihubungkan pula dengan kebutuhan belajar. Kebutuhan pendidikan mengarah kepada pentingnya usaha untuk mengisi jurang perbedaan kualitas pendidikan seseorang atau kelompok pada suatu saat dengan keadaan yang seharusnya ia atau mereka berada. Kebutuhan belajar menyangkut kebutuhan pengetahuan, keterampilan atau sikap tertentu yang diperlukan oleh anak didik atau warga belajar dan ingin segera dipenuhi melalui kegiatan belajar. Kebutuhan belajar tidak saja dikemukakan oleh anak didik atau warga belajar secara perorangan, melainkan pula diidentifikasi dari lembaga-lembaga dan masyarakat yang menjadi tempat atau lingkungan anak didik itu berada atau melaksanakan kegiatan. Sangat jelas bahwa kebutuhan dasar hidup manusia, kebutuhan pendidikan dan kebutuhan belajar itu mempunyai hubungan yang erat dalam program-program Pendidikan Nonformal. TUGAS / SOAL LATIHAN Jelaskan apa yang dimaksud dengan asas kebutuhan! REFERENSI / RUJUKAN Sujana, D (2004). PLS, Wawasan, Sejarah, Asas; Bandung. Nusantara Press.
48
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari pokok bahasan ini dapat menjelaskan hakekat pendidikan sepanjang hayat
URAIAN MATERI
B. Asas Pendidikan Sepanjang Hayat
Asas pendidikan sepanjang hayat memberi arah pada kegiatan belajar yang sejalan dengan pemenuhan kebutuhan dasar hidup manusia dari kebutuhan fisiologis ke arah kebutuhan mengaktualisasi diri. Pendidikan ini adalah alur pendidikan sepanjang jaga yang dilakukan dalam dunia kehidupan nyata yang tidak vacum sosial. Arah lebih jauh ialah pengembangan potensi-potensi manusia untuk mendewasa. Manusia yang mendewasa ialah yang mengembangkan dirinya ke arah yang lebih baik pada setiap kesempatan komunikasi. Pengembangan ini dilakukan mengenai kegiatan belajar. Baginya hidup adalah belajar dan belajar menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hidupnya. Pada dasarnya asas kebutuhan dan pendidikan sepanjang hayat melekat pada diri warga belajar dalam masyarakat dan lingkungan lain tempat warga belajar itu berada. Asas pendidikan sepanjang hayat memberi arti pada pendidikan bahwa pendidikan itu hanya berakhir tatkala seorang insan meninggalkan dunia fana ini. Arah dari pendidikan sepanjang hayat ialah agar manusia menemukan sendiri kepuasan diri melalui aktualisasi dirinya. Pendidikan sepanjang hayat mempunyai makna yang tersendiri dalam pengembangan manusia yang mendewasa, bukan terbatas pada “untuk menjadikan manusia dewasa”. Dimensi-dimensi orang yang mendewasa
berimplikasi
pada
Pendidikan
Nonformal
ialah
pentingnya
menciptakan situasi yang wajar agar kegiatan belajar pada setiap komunikasi itu mengarah pada semua dimensi mendewasa serta kegiatan pendidikan itu berpusat pada anak didik/ warga belajar. TUGAS / SOAL LATIHAN Jelaskan hakekat pendidikan sepanjang hayat dan implikasinya pada PLS! REFERENSI / RUJUKAN Sujana, D (2004). PLS, Wawasan, Sejarah, Asas; Bandung. Nusantara Press.
49
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari pokok bahasan ini Mahasiswa dapat menjelaskan asas relevansi PLS
URAIAN MATERI
C.
Asas Relevansi PLS
Asas relevansi dengan pengembangan masyarakat memberi tekanan pada pentingnya
program-program
PLS
yang
dikaitkan
secara
erat
dengan
pembangunan masyarakat. Pembangunan ini dalam satu kesatuan wilayah baik di pedesaan maupun di perkotaan. Pengembangan masyarakat sebagai sistim dan sebagai proses memberi arah ganda pada PLS. Pengembangan masyarakat sebagai sistim mengundang kehadiran program-program PLS sebagai bagian penting dari padanya. Sebagai proses, PLS berperan sebagai pendekatan dasar programprogram lain dari pengembangan masyarakat. Situasi yang perlu diciptakan dengan pendekatan dasar ini terjelmanya masyarakat yang gemar belajar dan gemar berusaha untuk peningkatan taraf hidup dan kehidupannya. Lebih jau jangkauan PLS ialah untuk terjadinya perubahan yang positif pada warga belajar dan lebih penting lagi perubahan masyarakat secara keseluruhan setelah memperoleh
pengaruh
dari
program-program
PLS.
Asas
relevansi
dengan
pengembangan masyarakat, meliputi multi dimensi, sesuai dengan prioritasnya maka relevansi Pendidikan Nonformal dengan pengembangan sosial-ekonomi akan menjadi titik sorotan dalam kegiatan masyarakat. Di bidang ekonomi akan terlihat peranan Pendidikan Nonformal dalam fungsi-fungsi yang berhubungan dengan kemampuan masyarakat dalam penyediaan, berproduksi dan pemasaran hasil. Dalam segi sosial kaitan Pendidikan Nonformal dengan kemampuan penampilan diri, pemeliharaan kesehatan, hidup berkeluarga dan bermasyarakat, serta kesempatan kegiatan belajar. Pendekatan yang terlihat dalam program-program Pendidikan Nonformal di dalam pengembangan masyarakat ini antara lain ialah pengakuan,
penghargaan
dan
pemanfaatan
potensi-potensi
yang
ada
di
masyarakat sebagai titik awal kegiatan. Disamping itu penghargaan terhadap nilainilai budaya setempat, pemanfaatan lembaga-lembaga di masyarakat dan orientasi Pendidikan Nonformal pada kebutuhan masyarakat. Pendidikan Nonformal dengan
50
program apapun yang ada padanya diarahkan untuk menunjang pengembangan masyarakat dan sebagai bagian dari program pengembangan masyarakat.
TUGAS / SOAL LATIHAN
Jelaskan permasalahan pengembangan masyarakat dalam kaitannya dengan pendidikan
REFERENSI / RUJUKAN
Sujana, D (2004). PLS, Wawasan, Sejarah, Asas; Bandung. Nusantara Press.
51
BUKU AJAR KONSEP DASAR PENDIDIKAN NONFORMAL
Oleh Drs. W. Papilaya, M.Pd
Dibiayai Dana Belanja Non Operasional lainnya Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Univarsitas Pattimura 2015
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH JURUSAN ILMU PENDIDIKAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PATIMURA AMBON 2015
52
53