Edisi No. 8 | Desember 2014
Kaleidoskop Perkebunan 2014
Tugas Menyelesaikan Warisan Konflik di Sektor Perkebunan Sawit
20 | Tandan Sawit, Edisi No. 8 | Desember 2014
Tandan Sawit, Edisi No. 8 | Desember 2014 | 21
LaporanUtama
Editorial
Tandan Sawit Edisi No. 8
S
ejak mula kisah konflik antar manusia telah melegenda dalam alam sadar dan bawah sadar manusia. Kisah anak-anak Adam yang saling bunuh mungkin sebuah kisah yang banyak diketahui. Mengapa konflik? Karena pihak yang satu merasa keberadaannya terancam oleh keberadaan pihak lain. Pada tataran sebuah kelompok masyarakat atau komuniti, kondisi ini diantisipasi dengan memperkuat mekanisme dan pranata pencegah atau juga pranata untuk beraksi bilamana konflik pecah dalam wujud kekerasan. Pranata itu bisa sebuah institusi, bisa pula produk-produk institusi. Dan tindakan membangun pranata itulah yang gagal dilakukan oleh Pemerintahan SBY. Pranata tersebut gagal karena dibangun hanya untuk mengelabui rakyat. Kebijakan sebagai sebuah produk dari pranata misalnya, dikeluarkan hanya untuk memfasilitasi modal, rakyat seakan dilupakan. Lihat saja kebijakan di sektor agraria secara umum, khususnya sektor perkebunan. Rakyat seperti dihilangkan dalam klausul kebijakan. Indikatornya adalah konflik yang kian marak. Jumlah konflik di sektor perkebunan sepanjang 2014 meningkat, jumlahnya mencapai 771 konflik. Peningkatan konflik terutama terjadi di provinsi-provinsi tempat perusahaan perkebunan berekspansi. Sebab, perusahaan-perusahaan itu mendapatkan izin penggunaan lahan atas lahan dalam wilayah kelola masyarakat. Dalam beberapa tahun terakhir, tercatat rata-rata perluasan lahan perkebunan sawit mencapai 500.000 hektar per tahun. Apalagi, pemerintah mendukung ekspansi dengan menghapus batasan luas lahan perkebunan besar. Sebelumnya, setiap perusahaan mengelola maksimal 100.000 hektar. Konon bahaya paling besar bagi kemanusiaan dan kelangsungan ras manusia di Bumi adalah manusia sendiri. Ceritera konflik agraria, barangkali, puluhan atau ratusan tahun ke muka akan menjadi sebuah kisah dalam kitab-kitab yang dipelajari tentang bagaimana manusia menghancurkan sesamanya melalui pengerukan besar-besaran isi perut Ibu Bumi sebelum akhirnya menghancurkan Ibu Bumi itu sendiri. Akankah kisah air bah akan terulang karena Bumi makin panas? Bukankah makin hari makin banyak industri, makin banyak sumber energi yang melepaskan panas ke angkasa dari rumah-rumah dan makin tipis pelindung Bumi? Bukan hanya hutan yang hilang sebagai pelindung, tapi tanah tempat kita berpijak dan orang-orang arif yang memandang alam sebagai syarat eksistensial manusia makin punah diterjang mesin-mesin sekelompok manusia lain yang hidup dalam ilusi akan dunia baru yang dapat diciptakannya dari kertas-kertas yang bernama uang? Tahun 2014 telah lewat, Doa panjang rakyat yang menjeritkan derita akan kembali bergaung ke langit: Tinggalah bersama kami ya Tuhan karena senjakala telah menyongsong Bumi ini. Tinggalah bersama kami. Amin.
Penanggung Jawab Jefri Gideon Saragih
Tugas Menyelesaikan Warisan Konflik di Sektor Perkebunan Sawit Mas, dan Salim Group dan perusahaan plat merah PTPN.
Pemimpin Redaksi Jopi Peranginangin Dewan Redaksi Bondan Andriyanu, Jefri Gideon Saragih, Nurhanudin Ahmad, Ratri K, Yoka Eryono, Jumadi Jaya, Y. Hadiana, Jopi Peranginangin, Ronald Siahaan, Eep Saifulloh, Harizuddin, Carlo Lumban Raja, Sukardi, Maryo Saputra Tata Letak Jopi Peranginangin Alamat Redaksi Perkumpulan Sawit Watch Bogor Baru Taman Jalan Cisangkui Blok B 6/1 Kel. Tegal Lega, Bogor Tengah, Jawa Barat - 16127 Telp: 02518352171 Fax: 02518352047 Web: www.sawitwatch.or.id Twitter: @SawitWatch
Salam Redaksi
Daftar Isi Kaleidoskop Perkebunan Sawit 2014.... Halaman 03 Ancaman Krisis Pangan di Negeri Agraris ..... Halaman 08 Sawit Primadona Dan Pangan Merana: Kondisi Pangan Indonesia Selama 2014 ..... Halaman 10 Membangkitkan Pangan Lokal Menuju Kedaulatan Pangan .... Halaman 12 Laporan Pelaksanaan Pertemuan Tahunan RSPO ke 12 di Kuala Lumpur..... Halaman 15 Kokas Dalam Lirikan Sawit ..... Halaman 18
Redaksi menerima sumbangan tulisan atau artikel yang sesuai dengan misi penerbitan. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi. Artikel atau tulisan yang dimuat bersifat sukarela dan tidak mendapatkan honor. Ketentuan ini diberlakukan karena media Tanda Sawit bukan media komersil.
2 | Tandan Sawit, Edisi No. 8 | Desember 2014
Kaleidoskop Perkebunan Sawit 2014
Penyelesaian Konflik Agraria Mutlak Segera dilakukan
L
uka akibat konflik perebutan sumber daya alam tak kunjung sembuh. Pemerintahan SBY yang sudah pensiun mewariskan luka-luka tersebut ke pemerintahan Jokowi – JK. Ribuan konflik berlangsung selama 1 dekade pemerintahan SBY. Luka-luka akibat konflik tersebut harus segera disembuhkan oleh pemerintahan baru. Potret buram pengelolaan sumber daya alam warisan SBY harus menjadi prioritas pemerintahan baru. Ada persoalan kebijakan disana yang menjadi sumber masalah penyebab konflik. Termasuk juga salah urus sektor perkebunan yang akhirnya melahirkan konflik demi konflik. Ribuan petani menjadi korban, bahkan hingga nyawa melayang. Sepanjang 2014, sektor perkebunan berkontribusi besar atas maraknya praktik-praktik pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia. Berdasarkan catatan KPA, sektor perkebunan menempati urutan kedua setelah sektor pembangunan infrastruktur dalam konflik agraria yang berlangsung selama 2014. Berdasarkan catatan Sawit Watch, konflik di sektor perkebunan mencapai tak kurang 717 konflik. Konflik ini meliputi konflik lahan, kemitraan dan lingkungan. Umumnya konflik di sektor perkebunan sawit berlangsung dengan melibatkan
perusahaan perkebunan, masyarakat adat dan lokal, aparat keamanan dan pasukan paramiliter binaan perusahaan. Trend konflik perkebunan terus meningkat. Dari data tersebut di atas, sekitar 59% dari 1.000 perusahaan kelapa sawit di seluruh Indonesia terlibat konflik dengan masyarakat terkait lahan. Sawit Watch sudah mengidentifikasi konflik itu di 22 provinsi dan 143 kabupaten. Totalnya ada sekitar 591 konflik, dengan urutan pertama banyaknya konflik ditempati Kalimantan Tengah dengan 250 kasus, disusul Sumatera Utara 101 kasus, Kalimantan Timur 78 kasus, Kalimantan Barat 77 kasus, dan Kalimantan Selatan 34 kasus. Berdasarkan data Sawit Watch, trend konflik di sektor perkebunan sawit terus meningkat bisa dilihat dari sejak 2007 dimana terjadi 514 konflik, kemudian pada 2008 terjadi 576 konflik, trus meningkat pada 2009 dimana terjadi 604 konflik, pada 2010 tercatat 608 konflik, pada 2011 ada 668 konflik, pada 2012 terjadi 679 konflik dan pada 2013 tercatat 680 konflik. Konflik-konflik di sektor perkebunan sawit melibatkan sejumlah pemain besar seperti PT Bakrie Plantation, PT Lonsum, Wilmar Group, Sinar Mas Group, Raja Garuda
Konflik Kemitraan dengan Petani Sawit Konflik di sektor perkebunan adalah salah satu konflik tertua dalam sejah konflik agraria di Nusantara. Konflik sektor perkebunan sudah berlangsung sejak masa kolonial Belanda, dan terus berlangsung hingga detik ini. Dan kini perkebunanperkebunan warisan belanda tersebut melahirkan konflik-konflik baru seperti konflik kemitraan inti plasma. Konflik yang melibatkan petani sawit umumnya berlangsung karena skema pengembangan sawit yang tidak tidak adil dan merugikan petani. Sejak 2006, pemerintah mengembangkan skema manajemen satu atap untuk petani sawit. Rujukan skema ini adalah Permentan No 33 tahun 2006 yang mengatur pola kerja sama satu manajemen. Skema manajemen 1 atap ini adalah bentuk monopoli perusahaan atas produksi petani sawit, mulai dari perawatan, pengelolaan kebun hingga aspek produksi dan manajemen dilakukan oleh perusahaan. Monopoli juga terkait dengan kredit dari bank untuk usaha perkebunan. Kredit dari bank akan dikucurkan ke perusahaan dan tidak ke petani sawit. Dalam manajemen satu atap ini, Skema bagi hasil dalam manajemen satu atap tersebut ditemukan SPKS di Sanggau. Dari hasil produksi keseluruhan petani (2 ha), 50 % dari hasil produksinya digunakan oleh perusahaan dalam melakukan pemeliharaan seperti pemeliharaan tanaman, sewa buruh dan pengangkutan TBS. Sebanyak 30 % diperuntukkan bank untuk kepentingan pembayaran utang dari kredit pembangunan kebun yang di potong secara langsung perusahaan dan petani hanya mendapatkan 20 % dari total produksinya. Jika petani plasma ingin mendapatkan penghasilan yang lebih, petani tersebut akan menjadi buruh yang direkrut oleh perusahaan. Se-
Tandan Sawit, Edisi No. 8 | Desember 2014 | 3
LaporanUtama
LaporanUtama
2.
3.
4.
cara umum, persoalan pola manajemen satu atap telah menimbulkan banyak masalah di pulau Sumatra dan Kalimantan. SPKS mereview beberapa konflik yang dipantau secara langsung oleh SPKS dimana beberapa penggunaan pola manajemen satu atap menimbulkan konflik sosial karena penggunaan monopoli yang berlebihan oleh perusahaan, tidak transparan dan pendapatan petani sangat rendah. Sistem Perbudakan Modern di Perkebunan Sawit Argumentasi bahwa ekspansi sawit akan menyerap tenaga kerja (buruh) dan mengentaskan kemiskinan di pedesaan merupakan suatu kebohongan. Asumsi hitungan pemerintah dan korporasi yang menyebutkan bahwa 20 juta hektar lahan perkebunan akan menyerap sekitar 10 juta buruh sangatlah jauh dari kenyataan. Fakta yang ditemukan di lapangan bahwa ekspansi perkebunan kepala sawit yang mencapai 13,5 juta hektar hanya mempekerjakan sekitar
7 juta orang (Sawit Watch 2014). Dari jumlah tersebut, diperkirakan sekitar 70 % merupakan buruh harian lepas (BHL). Di tengah berbagai keuntungan dan kesuksesan yang dinikmati oleh perusahaan perkebunan sawit, kondisi yang dialami buruh justru sangat memprihatinkan. Sawit Watch merekam sejumlah kasus pelanggaran yang dilakukan perusahaan perkebunan sawit terhadap buruh. Tak kurang dari 254 kasus yang terjadi sepanjang 2014, dari pelanggaran atas kebebasan berserikat hingga buruh anak. Beberapa kasus-kasus pelanggaran yang dialami buruh perkebunan diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Tidak adanya dokumentasi perikatan kerja antara buruh dengan perkebunan. Kondisi seperti ini mengaburkan pertanggungjawaban hubungan kerja antara buruh dan perkebunan. Ketiadaan dokumentasi perikatan kerja ini merupakan gejala terjadinya informalisasi hubungan kerja. Informalisasi hubungan kerja ini di-
4 | Tandan Sawit, Edisi No. 8 | Desember 2014
5.
6.
tandai dalam bentuk penggunaan buruh kontrak, buruh borongan, pelibatan anak isteri tanpa ikatan kerja yang jelas. Informalisasi tenaga kerja ini memunculkan persoalan perlindungan tenaga kerja, tidak saja dalam hal perlindungan upah, tetapi juga jaminan kerja, kesehatan dan hak-hak normatif lainnya. Massifnya buruh harian lepas (BHL) dan buruh kontrak tanpa jaminan tertulis/mekanisme formal dalam rangka peningkatan status. Upah murah berbasis target kerja. Sistem pengupahan berbasis target kerja ini menyebabkan peluang besar terjadinya reduksi upah yang sebenarnya sudah tidak layak. Minimnya perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan kerja. Potensi kecelakaan kerja di perkebunan cukup tinggi. Buruh perempuan, terutama yang bekerja dibagian pemupukan dan penyemprotan sangat rentan menderita penyakit akibat kerja. Terkena tetesan dan terhirup racun pestisida, herbisida, fungisida dan insektisida adalah resiko bagi pekerjaan yang berhubungan dengan penyemprotan. Sementara itu, bersentuhan langsung dengan pupuk tanpa alat pengaman yang layak merupakan rutinitas yang dialami buruh perempuan yang bekerja dibagian pemupukan. Investigasi yang dilakukan Sawit Watch di perkebunan sawit di Indonesia. Buruh anak direkrut langsung maupun melalui pemborong dan ditugaskan untuk mengerjakan pekerjaan sama seperti buruh dewasa. Selain itu, potret anak tanpa kewarganegaraan (stateless childrens) yang banyak ditemukan di kebunkebun di sepanjang perbatasan dengan Malaysia sebagai akibat dari pelecehan dan kekerasan seksual yang dialami oleh buruhburuh perempuan di perkebunan sawit. Kebebasan berserikat di perkebunan hanya menjadi bagian dari standar perusahaan dan
catatan diatas kertas semata. Buruh perkebunan yang mencoba membangun serikat diintimidasi, dimutasi, upah dikurangi dan diancam PHK. Kondisi buruk yang dialami buruh perkebunan sawit sepanjang 2014 mengindikasikan adanya praktek kerja paksa. Berbagai bentuk pelanggaran terhadap hak-hak buruh memperlihatkan perusahaan perkebunan sawit masih memandang buruh sebagai objek eksploitasi dalam rangka menghasilkan keuntungan maksimal. Dari berbagai data yang dikumpulkan, pelanggaran terhadap hak-hak buruh dilakukan perusahaan perkebunan diberbagai level, baik perusahaan kecil, menengah hingga perusahaan raksasa yang sudah memegang sertifikasi RSPO. Perusahaan Bakar Lahan dan Hutan, Asap Mengepung Bencana asap sepanjang 2014 mengepung warga dibeberapa wilayah di Indonesia, terutama di 3 provinsi di Sumatera yakni Sumatera Selatan, Riau dan Jambi. Perkebunan kelapa sawit berkontribusi besar atas terjadinya bencana asap ini. Skenario mendorong perkebunan sawit berkelanjutan yang ramah lingkungan melalui sertifikasi tak menyusutkan jumlah titik api di kebun sawit, sebaliknya jumlah titik api dari tahun ke tahun semakin meluas. Hasil investigasi Sawit Watch, sejak Januari sampai dengan September 2014, jumlah titik api yang tersebar diseluruh Indonesia adalah 8094 titik api. Data di bulan September sendiri, jumlah titik api yang terlihat adalah 1891 titik api, dan tersebar di seluruh Indonesia. Dari total jumlah titik api ini paling banyak terdapat di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Pulau Sumatera sendiri menyumbang lebih dari 700 titik api, Kalimantan 500 titik api dan sisanya terdapat di Sulawesi, Maluku dan Papua. Jumlah titik api yang begitu banyak ini, berdasarkan data Sawit Watch terdapat di perkebunan kelapa sawit. Data ini sejalan dengan luas perkebunan kelapa sawit yang ada di Riau mencapai lebih dari 1 juta ha, Jambi dan Sumatera Selatan lebih dari 800 ribu hektare. Sehingga tidak heran
jika kebakaran lahan yang terjadi di wilayah ini terdapat di areal perkebunan kelapa sawit. Jumlah titik api yang banyak di tiga wilayah ini seolah sudah menjadi hal biasa bagi pemerintah. Masyarakat yang terkena dampak dipaksakan untuk menerima asap sebagai bencana alam yang tidak dapat dihindarkan. Seperti yang terjadi di Riau, Jambi dan Sumatera Selatan masyarakat menjadi sasaran dari asap yang dihasilkan dari perkebunan kelapa sawit. Dampak buruk yang bisa diderita oleh masyarakat akibat dari menghirup asap akibat kebakaran lahan tidak sederhana karena dapat menyebabkan kematian. Carut Marut Kebijakan Konversi Hutan dan Lahan Pangan Menjadi Kebun Sawit Indonesia merupakan salah satu Negara yang memiliki luas hutan terbesar di dunia. Luas hutan Indonesia sampai dengan tahun 2012 mencapai 130,61 juta ha atau 68,6% dari total luas daratan. Kawasan tersebut diklasifikasi sesuai dengan fungsinya menjadi kawasan konservasi (21,17 juta ha), kawasan lindung (32,06 juta ha), kawasan produksi terbatas (22,82 juta ha), kawasan produksi (33,68 juta ha) dan kawasan produksi yang dapat dikonversi (20,88 juta ha) (Kementrian Kehutanan, 2012). Lebih lanjut berdasarkan data yang dikeluarkan Kementrian Kehutanan, tingkat kerusakan hutan di Indonesia tahun 2014 mencapai 0,45 terbagi menjadi kerusakan kawasan hutan 0,32 dan di luar kawasan hutan 0,13 per tahun. Berdasarkan data di atas, dapat dilihat bahwa kerusakan hutan masih menjadi ancaman serius yang dihadapai Indonesia pada tahun-tahun yang akan datang. Konversi hutan dan lahan pangan menjadi perkebunan sawit marak terjadi di Indonesia. Berdasarkan data laju deforestasi terkini, hutan Indonesia tergerus mencapai 1,3 juta hektar per tahun. Dan kini Indonesia memegang rekor penggundulan hutan tercepat di dunia. Laju deforestasi yang mencengangkan tersebut akibat ekspansi perkebunan sawit yang mencapai 500.000 hektar per tahun dan konversi hutan untuk Hutan Tanaman
Industri (HTI). Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air, Departemen Pertanian menunjukkan bahwa sekitar 187.720 hektar sawah beralih fungsi ke penggunaan lain setiap tahunnya, terutama di Pulau Jawa. Lebih mengkhawatirkan lagi, data dari Direktorat Penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional menggambarkan bahwa jika arahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang ada pada saat ini tidak ditinjau kembali, maka dari total lahan sawah beririgasi (7,3 juta hektar), hanya sekitar 4,2 juta hektar (57,6%) yang dapat dipertahankan fungsinya. Sisanya, yakni sekitar 3,01 juta hektar (42,4%) terancam beralih fungsi ke penggunaan lain. Pengalih fungsian lahan pangan ke lahan non pangan merupakan suatu kondisi yang seharusnya menjadi perhatian dari semua pihak terutama pemerintah. Berdasarkan beberapa klasifikasi hutan dan peruntukannya, tidak ada satu kebijakan yang menekankan pada konversi hutan untuk lahan pangan. Pertanyaannya adalah, apakah lahan pangan tidak menjadi penting untuk dikembangkan di Indonesia? Lahan pangan merupakan suatu hal penting yang seharusnya menjadi prioritas dari kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Faktanya, pemerintah malah memprioritaskan alih fungsi hutan dan lahan menjadi kebun sawit. Kelapa sawit menjadi primadona yang membuat pemerintah gelap mata dengan target ambisius yakni menargetkan membuka perkebunan sawit hingga 28 juta hektar sebelum 2020. Konversi lahan pertanian pangan menjadi perkebunan termasuk kelapa sawit bisa memicu semakin tingginya harga pangan. Pasalnya, luas lahan pertanian semakin menyusut dan berimbas terhadap penurunan produksi atau bahkan hilangnya komoditas pangan di daerah tersebut. Di Sumatra Utara, beras yang selama ini menjadi andalan, beras Ramos Leidong sudah ‘menghilang.’ Dan tidak tertutup kemungkinan akan menyusul komoditas lainnya. Dalam konteks kedaulatan pangan, kondisi ini akan mendorong masuknya produk impor untuk komo-
Tandan Sawit, Edisi No. 8 | Desember 2014 | 5
LaporanUtama
LaporanUtama
Konflik-konflik di sektor perkebunan harus segera dituntaskan
ditas pangan. Sehingga langsung atau tidak, akan berdampak pada naiknya harga kebutuhan pangan dan ketergantungan atas pangan dari luar. Masalah ketahanan pangan memang tidak bisa hanya dibebankan pada komoditas kelapa sawit atau komoditas lain perkebunan besar saja. Masalah ini selalu saja menjadi topik ‘panas’ yang menjadi pekerjaan besar pemerintah. Masalah ini lebih pada keberpihakan pemerintah pada kesejahteraan petani tanaman pangan. Bagaimana mungkin petani menanam komoditas yang tidak bisa menopang kehidupannya? Subsidi dan insentif sangat dibutuhkan pada urusan ketahanan pangan. Subsidi bukan hanya untuk pupuk, namun juga untuk stabilitas dan kepastian harga jual petani. Bantuan permodalan harus serius diselenggarakan dan bukan hanya sebatas program kerja dan pernyataan namun benar-benar terealisasi ke bawah dan dirasakan petani sebagai bentuk perhatian negara/pemerintah. Demikian juga infrastruktur yang memadai dan terus terpelihara. Insentif bagi perkebunan besar harus diberikan untuk mendorong penggunaan lahan-lahan ‘terbengkalai.’ Lahan tidur yang sulit dimanfaatkan pertanian pangan dapat diinisiasi untuk lahan perkebunan dengan membuat persyaratan yang tegas mengenai tanggungjawab lingkungan. Misalkan pembukaan perkebunan
yang mensyaratkan adanya reservoir air dan sebagainya. Insentif dapat diberikan dengan pengurangan pajak, memberikan kemudahan ijin dan perpanjangan HGU dan sebagainya yang bisa dikalkulasi secara ekonomi oleh pengusaha perkebunan. Tapi lagi-lagi perlu ditekankan konsistensi atas kebijakan ini. Dan seperti pada masalah lingkungan hidup, sinergi lagi-lagi diperlukan agar kebijakan ini bisa menjadi bagian dari strategi besar yang akan dilakukan. Jangan hari ini bicara insentif, tahun depan kenaikan pajak dan diversifikasi pajak dilakukan. Kembalinya Pasal Kriminalisasi dalam UU Perkebunan Baru Di sektor kebijakan, Sawit Watch terlibat aktif dalam melakukan advokasi kebijakan. Beberapa diantaranya adalah Uji Materiil UU P3H, UU Pangan dan yang terakhir adalah mempersiapkan amunisi untuk melakukan uji materiil terhadap UU No 39/2014 tentang Perkebunan. Pembahasan dan pengesahan UU Perkebunan ini dinilai sangat terburu-buru dan multitafsir. Ada sejumlah pasal yang masih kabur dan cenderung akan merugikan petani pada akhirnya. Persoalan pembukaan ijin lahan oleh perusahaa baru disebutkan dalam salah satu pasal dalam UU tersebut harus dilakukan dengan masyarakat lokal tetapi dengan mensyaratkan pemerintah mengatur dan menentukan tata
6 | Tandan Sawit, Edisi No. 8 | Desember 2014
kelola dan mekanismenya. UU Perkebunan kembali memasukkan ketentuan pidana. Hal ini dikhawatirkan akan menjadi legitimasi bagi upaya kriminalisasi terhadap masyarakat yang menuntut lahan yang diserobot perkebunan sawit. Masih soal pembukaan lahan, Sawit watch juga menyoroti UU ini terkait jangka waktu dan letak plasma berada. UU ini hanya menyebutkan perusahaan perkebunan membangun kebun plasma setelah mendapatkan HGU dan paling lambat dilaksanakan tiga tahun. Ini sangat rawan untuk diselewengkan sebab tak ada jangka waktu kebun plasma dibangun. Penggunaan kata “dilaksanakan” seharusnya diganti dengan “diselesaikan” termasuk dimana lokasinya apakah di luar atau di dalam HGU serta kapan petani mulai bermitra. Porsi antara perusahaan besar dengan petani yang masih dikisaran 80:20 turut menjadi perhatian. Seharusnya porsi ini dibalik dimana kepemilikan rakyat mencapai 80 persen, sementara sisanya untuk korporasi. Mengapa petani presentasinya besar? Ini terkait dengan menghidupkan kembali sokoguru perekonomian Indonesia yakni peran koperasi. Solusi Konflik Perkebunan Sawit Berbagai perjalanan konflik sepanjang 2014 pemerintahan SBY tersebut harus segera diselesaikan pemerintahan Jokowi. Pemerintahan Jokowi di awal pemerintahannya sudah mencoba menunjukkan itikad baik untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang menyelimuti sektor perkebunan sawit. Itikad baik ditunjukan dengan program blusukan Jokowi ke lokasi kebakaran lahan dan hutan di Riau. Presiden Jokowi mengunjungi area hutan terbakar yang menimbulkan kabut asap di Desa Sungai Tohor, Pulau Meranti, Kabupaten Siak, Riau, 27 November 2014. Kehadiran Presiden Jokowi blusukan untuk mencari solusi penanggulangan kebakaran lahan dan pengelolaan lahan gambut. Kesediaan Presiden Joko Widodo
(Jokowi) Blusukan Asap ke Riau melihat lokasi kebakaran lahan gambut dan hutan menumbuhkan harapan Indonesia bisa bebas tanpa asap pada tahun depan. Ini menunjukkan komitmen Presiden Jokowi menjadikan penyelesaian bencana ekologis tersebut sebagai prioritas dan agenda utama pemerintahannya. Dalam kunjungannya itu, Presiden Jokowi memberikan pernyataan tentang komitmen pemerintah melindungi lahan gambut. Selain itu, Presiden ketujuh tersebut berkomitmen untuk meninjau kembali izin perusahaan perkebunan sawit yang diduda melakukan pembakaran lahan dan hutan. Mengenai pencabutan izin perusahaan, Presiden sudah memerintahkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mengurus. Sawit watch mengusulkan beberapa rekomendasi terkait dengan penangan bencana asap ini, yakni: 1. Pembangunan dan pengembangan data dan peta ekosistemekosistem gambut yang akurat, terintegrasi, transparan, dan konsisten yang dikerjakan secara kolaboratif oleh berbagai lembaga. Data dan peta ekosistem gambut ini diharapkan disepakati oleh berbagai lembaga tersebut, serta data dan peta ekosistem gambut tersebut ditetapkan oleh badan pemerintah yang mempunyai otoritas. 2. Perlindungan terhadap ekosistem-ekosistem gambut yang tersisa, artinya perijinan perkebunan kelapa sawit di ekosistem gambut perlu ditinjau ulang dan dilarang. 3. Perbaikan terhadap berbagai kebijakan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan terutama celah-celah kebijakan yang masih ada sehingga kejadian kebakaran hutan dan lahan tidak berulang. 4. Peran serta masyarakat dalam ekosistem gambut perlu diperkuat dan dilembagakan dalam kerangka perlindungan dan pengelolaan ekosistem-ekosistem gambut. 5. Pemerintah bersama-sama pihak lain harus mencari terobosanterobosan agar terjadi penurunan ketimpangan penguasaan lahan
dan konflik-konflik agrarian dapat diselesaikan secara sistematis. 6. 6. Peta ekosistem gambut yang juga memberikan informasi daerah yang terbakar, sebagai pengingat kepada masyarakat atas wilayah yang potensi terbakar agar mudah di akses oleh publik hingga tingkat desa. Namun tak hanya itu, upaya penyelesaian konflik di sektor perkebunan sawit harus juga menyelesaikan beberapa persoalan lain seperti persoalan pangan, buruh perkebunan sawit, petani sawit dan sebagainya. Di sektor pangan, massifnya laju konversi hutan dan lahan menjadi perkebunan sawit seharusnya menjadi perhatian serius Presiden Jokowi. Janji kampanye saat pemilihan presiden tentang kedaulatan pangan hanya janji kosong belaka jika tidak menaruh perhatian serius pada upaya menghentikan laju konversi lahan pangan menjadi kebun sawit. Laju perkembangan perkebunan kelapa sawit telah banyak menghilangkan hak-hak dasar masyarakat. Tumpang tindih kebijakan hanya menguntungkan pihak pemerintah dan pemodal. Masyarakat hanya terima dampaknya saja. Terkait dengan persoalan pangan, Sawit Watch menawarkan beberapa rekomendasi untuk meminimalisir terjadinya konflik di sektor perkebunan sawit, yaitu: 1. Meningkatkan peran pemerintah yang mewakili para pemangku kepentingan didalam kebijakan pemberian izin bagi perkebunan kelapa sawit, setiap proses perijinan harus dilakukan mekanisme penilaian secara menyeluruh, penetapan tata ruang secara partisipatif dan transparan, evaluasi dan monitoring secara berkala. 2. Mengkaji ulang kebijakan pemberian izin dimana berdasarkan hasil penilaian dan evaluasi perizinan yang telah ada, dapat menginventarisir lahan-lahan yang tidak digunakan secara optimal oleh perusahaan untuk kemudian diberikan dan didistribusikan kembali kepada masyarakat untuk dimanfaatkan sebagai lahan produksi bahan pangan. 3. Menghentikanperluasan/perijinan baru untuk perkebunan besar
kelapa sawit dan mengembangkan lahanlahanpangan produkdan sumbersumber penghidupan masyarakat lokal sebagai upaya menjamin ketersedian pangan yang berkelanjutan; 4. Dalam rangka pemenuhan target pemerintah terhadap produksi minyak sawit, maka harus didorongkan sistem perkebunan yang lebih efektif dengan mengadopsi teknik dan praktek terbaik pengelolaan kebun berdasarkan prinsip-prinsip keberlanjutan; 5. Melakukan adopsi terhadap Prinsip dan kriteria RSPO sebagai sebuah standar keberlanjutan yang telah diakui secara luas dalam skema hukum nasional; 6. Menyelesaikan dan melakukan pemulihan situasi akibat konflik yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan dalam sengketa tenurial dengan pendekatan yang humanis dan berdasarkan prinsip-prinsip umum Hak Azasi Manusia; 7. Melakukan penelitian komprehensif dengan melibatkan para pihak secara partisipatif dalam melakukan perencanaan pembangunan di suatu wilayah, sehingga mampu mengidentifikasi potensi dan sumber daya lokal yang mampu dikembangkan berdasarkan kearifan lokal masyarakat. Terkait dengan buruh perkebunan, pemerintahan Jokowi harus mengubah sistem perburuhan di perkebunan kelapa sawit dengan menetapkan aturan tersendiri tentang buruh perkebunan kelapa sawit. Rekomendasi ini didasari kondisi kerja buruh perkebunan sawit dan buruh manufaktur sangat berbeda dengan buruh manufaktur. Pemerintah harus menindak tegas perusahaan perkebunan yang melanggar ketetapan perundang-undangan seperti keterlambatan pengangkatan buruh BHL menjadi buruh tetap, keterlambatan pendaftaran buruh menjadi peserta jamsostek, tiadanya jaminan K3 dan tidak adanya perlindungan terhadap buruh perempuan. Dan tentu saja, pemerintah harus segera menindak tegas perkebunan yang menggunakan buruh anak.***
Tandan Sawit, Edisi No. 8 | Desember 2014 | 7
LaporanUtama
LaporanUtama
Ancaman Krisis Pangan di Negeri Agraris S
Lahan pertanian yang terancam perkebunan sawit di Desa Nusantara
8 | Tandan Sawit, Edisi No. 8 | Desember 2014
tudi yang dilakukan oleh Sawit Watch di 7 Provinsi, yaitu di Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa telah terjadi ekspansi lahan perkebunan kelapa sawit di wilayah-wilayah pangan masyarakat baik yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit, maupun yang dilakukan oleh petani dan masyarakat sendiri. Berbagai faktor yang memicu terjadinya hal ini, mulai dari tidak adanya insentif yang diberikan oleh pemerintah kepada sektor pertanian pangan, ketidak tersediaannya fasilitas dan infrastruktur penunjang aktivitas pertanian, sampai dengan tidak adanya perlindungan dari segi kebijakan yang mampu di operasionalisasikan oleh pemerintah dari tingkat pusat sampai dengan daerah, yang mampu menjamin keberlangsungan lahan pertanian pangan masyarakat. Ekspansi besar-besaran perkebunan kelapa sawit di provinsi penghasil utama minyak kelapa sawit menyebabkan deforestasi, degradasi hutan, dampak sosial, ekonomi, budaya dan ekologi. Hutan sebagai sumber mata pencaharian dan tanah dan makanan tidak bisa digantikan dengan teknologi apapun atau dengan hal lain. Tingginya tingkat degradasi hutan alam akibat konversi menjadi perkebunan kelapa sawit yang dihasilkan kebijakan dan peraturan bentuk yang tidak menghormati ruang masyarakat untuk produksi, yang merupakan sumber makanan dan mata pencaharian. Secara umum, masyarakat lokal dan kelompok masyarakat adat bekerja sebagai petani yang sangat tergantung pada lahan yang tersedia, hutan dan sumber daya alam. Hal ini menunjukkan bahwa sumber daya alam menjadi patokan dan sumber mata pencaharian yang utama bagi masyarakat local. Kondisi ini sejalan
Peta Kebun Sawit Dan Kerawanan Pangan
dengan studi kasus yang dilakukan Sawit Watch, dimana masyarakat adat dan masyarakat lokal sangat menggantungkan hidupnya pada sumber daya alam yang tersedia. Selain itu mereka membutuhkan tanah yang luas untuk mengembangkan pertanian yang merupakan warisan turun temurun dari nenek moyang mereka. Selama bertahun-tahun, praktik investasi pengembangan perkebunan kelapa sawit telah menciptakan konflik horizontal maupun vertical. Pengambilalihan lahan pertanian tanaman pangan masyarakat dan sumber mata pencaharian yang dilakukan secara paksa dengan dalih pembangunan daerah dan untuk menyediakan pekerjaan merupakan praktek yang sering dilakukan oleh pemerintah maupun pengusaha perkebunan berskala besar. Luas perkebunan kelapa sawit secara sporadis merubah keanekaragaman hayati, dan hanya dalam waktu singkat ekosistem alam diubah menjadi ekosistem monokultur buatan, yang sangat mempengaruhi masyarakat dalam memproduksi tanaman mereka. Sumber daya alam sebagai alternatif masyarakat pendapatan langsung dan tidak langsung telah digadaikan oleh perusahaan kelapa sawit, dan sekarang mer-
eka berharap untuk hidup sejahtera dan mempertahankan kawasan lahan pangan mereka hanya menjadi mimpi belaka. Dampak Konversi Lahan Menjadi Kebun Sawit Ada dampak langsung dan tidak langsung dari konversi lahan pertanian tanaman pangan menjadi perkebunan kelapa sawit. Dampak tidak langsung meliputi lahan yang belum dibongkar akan diperuntukan untuk infrastruktur pendukung perkebunan seperti kanal dan jalan. Hal ini menyebabkan masyarakat tidak lagi mampu memanfaatkan lembah dan dataran rendah untuk pertanian karena tingkat air yang tinggi (untuk jalan), dan kekeringan karena kanal. Dampak langsung termasuk lahan yang dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Masyarakat kemudian secara otomatis tidak bisa memanfaatkan lahan yang kini dikendalikan oleh perusahaan, dan karena itu mereka kehilangan tanah mereka mengolah padi dan tanaman pangan lainnya. Karena pertanian padi dikurangi atau dihentikan di daerah penelitian, alternatif pekerjaan lain timbul bagi masyarakat untuk menyediakan bagi
keluarga mereka seperti menjadi buruh tani di perkebunan kelapa sawit dengan upah harian Rp 35,00040,000, penambang timah ilegal, atau menjadi penebang liar di kabupaten lain. Daerah dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit adalah lembah dan sungai di mana ikan masyarakat (nelayan sungai). Sebelum perkebunan beroperasi di daerah tersebut masyarakat bisa mendapatkan Rp 100.000 menjadi Rp 200.000 per hari, namun kini hanya untuk mendapatkan setengah jumlah yang sulit karena berbagai ikan telah menjadi lebih luas (karena konstruksi kanal). Di sisi lain, situs memancing telah berkurang karena pembebasan lahan untuk proyek perkebunan. Dampak sosial yang diciptakan oleh perluasan perkebunan kelapa sawit adalah konflik yang terjadi di berbagai tingkatan, seperti antara masyarakat dengan pemerintah desa, masyarakat dengan kabupaten atau pemerintah propinsi, dan masyarakat dengan perusahaan. Selain itu, ada kenaikan pekerja pertanian dan lingkungan perkotaan, di mana masyarakat pindah ke daerah lain karena rumah mereka tidak lagi mendukung kebutuhan pangan.***
Tandan Sawit, Edisi No. 8 | Desember 2014 | 9
LaporanUtama
LaporanUtama
Sawit Primadona Dan Pangan Merana Kondisi Pangan Indonesia Selama 2014
Kedaulatan Pangan Terancam Perluasan Perkebunan Sawit di Merauke
P
erluasan perkebunan kelapa sawit saat ini tak lain untuk memenuhi kebutuhan energi global yang ramah lingkungan dan terbarukan. Minyak sawit adalah bahan baku utama Biofuels untuk menggantikan ketergantungan energi dunia terhadap bahan bakar fosil. Cadangan minyak Indonesia saat ini hanya mencapai 4,4 milyar barel (peringkat ke-23) atau dalam 12 tahun kedepan akan segera habis. Dengan demikian, orientasi pengembangan perkebunan kelapa sawit kini telah bergeser, tidak lagi hanya bagi pemenuhan kebutuhan pangan, namun juga energi. Pemeritah merencanakan untuk membangun dan mengembangkan kebun sawit hingga 28 juta hektar sebelum 2020. Sawit kini menjadi primadona karena nilai ekonominya yang tinggi. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 511/Kpts/PD.310/9/2006 yang menempatkan sawit sebagai komoditi yang mendapat perhatian khusus. Dibeberapa kabupaten, kelapa sawit menjadi komoditas yang sangat menjanjikan. Perkebunan kelapa sawit dianggap akan memberikan Pendapatan Daerah baik secara lang-
sung maupun tidak langsung, melalui pajak, retribusi, serta terbukanya kesempatan dan lapangan kerja baru bagi masyarakat disekitar perkebunan, dan pada akhirnya akan menghasilkan peningkatan kesejahteraan rakyat. Ambisi besar inilah yang kemudian mendorong banyak daerah mengalokasikan lahan seluas-luasnya untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit. Beberapa daerah bahkan menghabiskan kawasan non hutan, non pemukiman dan perkotaan untuk dialokasikan sebagai kawasan perkebunan kelapa sawit. Bahkan, ada beberapa kabupaten dan provinsi yang sudah mengalokasikan kawasan hutan untuk perkebunan, yang akhirnya berimplikasi pada kebijakan penataan ruang di daerah tidak kunjung belum selesai dilakukan karena masalah konversi kawasan hutan menjadi non hutan. Sementara itu, lahan pertanian pangan rakyat tidak menjadi perhatian utama dalam kebijakan penataan ruang. Persoalan pangan ini sebenarnya telah diatur melalui UU Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan. UU Pangan ini tak hanya bicara tentang ketahanan pangan, namun juga menitik
10 | Tandan Sawit, Edisi No. 8 | Desember 2014
beratkan pada tercapainya swasembada dan kedaulatan pangan secara nasional. Bahkan pada 2013, DPR berinisiatif membentuk Badan Otoritas Pangan. DPR mengklaim bahwa pembentukan Badan otoritas bidang pangan ini sebagai amanat dari UU Pangan, dimana ketersediaan pangan haruslah ditunjang dengan seperangkat perencanaan mulai dari kebijakan sampai dengan implementornya. Badan ini akan menjadi bagian tidak terpisahkan dari badan-badan lain yang dibentuk oleh pemerintah untuk mengurusi sektor pangan. Dalam rangka memacu produktifitas dari petani dan koperasi petani, maka skema anggaran akan difasilitasi melalui mekanisme kredit dibawah koordinasi Kementrian Keuangan, melalui Peraturan Mentri Keuangan Nomor 559/KMK.06/2004. Namun semua aturan terkait pangan tersebut hanya aturan di atas kertas belaka. Dalam praktiknya, rencana dan ambisi pemerintah dalam mewujudkan kemandirian dan kedaulatan pangan dengan melakukan penyusunan berbagai regulasi di bidang pangan ternyata tidak sesuai dengan kondisi nyata yang terjadi di
lapangan. Dari studi yang dilakukan Sawit Watch tentang pangan menunjukkan perbandingan yang cukup signifikan antara luasan lahan pertanian pangan dengan lahan perkebunan sawit. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah adalah mencetak sawah baru seluas 100.000 ha pertahun dengan dana 10.000.000/ha, dan target sampai tahun 2014 adalah 300.000 ha sawah baru. Hingga berakhirnya kekuasaan Presiden SBY, program ini dapat dikatakan tidak berjalan. Karena faktanya, dari studi yang dilakukan Sawit Watch, ada wilayah yang seharusnya menjadi lahan pangan tetapi dalam RTRW dijadikan lahan non pangan (perkebunan kelapa sawit). Kebijakan pemerintah untuk pangan masih jauh dari yang diharapkan. Pemerintah hanya mencanangkan pencetakan sawah 100.000 ha pertahun sedangkan untuk perkebunan kelapa sawit lebih dari 100.000 ha pertahun. Sawit Watch mencatat laju pertumbuhan perkebunan kelapa sawit pertahun di Indonesia adalah ± 400.000 ha. Dan luas perkebunan kelapa sawit sampai dengan tahun 2014 adalah 13,5 juta ha (Sawit Watch, 2014). Krisis pangan yang melanda berbagai wilayah di Indonesia, menyebabkan melonjaknya jumlah impor pangan yang dilakukan oleh pemerintah. Penyebabnya adalah menyempitnya luas lahan pertanian pangan karena ekspansi perkebunan sawit. Berbagai kebijakan pemerintah juga mendukung terjadinya degradasi terhadap luasan hutan dan lahan pertanian pangan masyarakat. Mandat UU No 12/2012 tentang Pangan dan UU No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan tidak dijalankan oleh pemerintahan SBY. Padahal jelas mandat kedua UU tersebut adalah mengarahkan kebijakan pangan secara nasional berdasarkan pada proses produksi, penyediaan, dan kemandirian pangan secara nasional dengan mendorongkan pengembangan dan pemanfaatan sumber-sumber pangan alternatif (diversifikasi) dalam rangka mewujudkan kedaulatan pangan secara nasional. Mendorongkan terwujudnya
Lahan-Lahan Sawah Terancam Ekspansi Sawit di Parimo
kemandirian dan kedaulatan pangan tidak cukup dengan menciptakan berbagai regulasi yang memberikan proteksi terhadap lahan pangan, namun juga insentif dalam pengembangan dan produksi, serta proteksi terhadap pasar yang akan menyerap hasil produksi pertanian. Dengan demikian, diharapkan adanya sebuah kebijakan yang sinergi dan komprehensif dari hulu ke hilir, dan mampu mencerminkan visi dan misi pembangunan nasional yang merupakan pengejawantahan dari mandat konstitusi negara. Saat ini, kita tentu berharap pada pemerintahan baru untuk segera segera membenahi situasi darurat pangan yang ditinggalkan rezim sebelumnya. 10 tahun negara abai untuk memenuhi kewajiban hak atas pangan rakyatnya. Rezim baru harus berani melakukan perubahan dari tingkat kebijakan hingga praktek pangan. Janji Joko Widodo- Jusuf Kalla untuk mewujudkan kedaulatan harus dipenuhi dengan fokus pada kesejahteraan keluarga produsen pangan skala kecil. Tahun pertama Rejim pemerintahan Joko Widodo menghadapi tantangan besar dalam mewujudkan kedaulatan Pangan. Kunci untuk mewujudkan kedaulatan pangan adalah dengan berpihak pada produsen pangan skala kecil serta kebijakan pangan yang berbasis pada sumber daya lokal. Wujud paling nyata adalah meningkatkan anggaran pangan untuk membangun kemandirian pangan kita. Semua harus berbasis pada lokalitas dan produsen
pangan skala kecil kita. Jalan terjal yang ada di depan Jokowi-JK akan mudah dilalui jika mereka memprioritaskan kebijakan untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan meningkatkan ketersediaan pangan di dalam negeri, dapat menjadi langkah awal yang berarti bagi kedaulatan pangan kita. Demikian juga ditingkat konsumsi perlu segera dibenahi. Salah satu cara dengan mengembangkan industri pengolahan pangan yang dikuasai oleh industri kecil berbasis masyarakat sekitar. Ironis sekali luasan perkebunan sawit terus bertambah, sementara industri olahannya tak berkembang. Padahal kemudian Indonesia mengimpor berbagai jenis olahan berbasis sawit untuk konsumsi sehari-hari. Negeri agraris ini tidak boleh lagi bergantung dari impor. Tantangan lainnya adalah, Indonesia akan masuk dalam pasar bebas ASEAN. Alasan kelancaran perdagangan di kawasan akan bertabrakan dengan nasib para penghasil pangan skala kecil kita. Tanpa penghargaan yang layak, tanpa perlindungan, tanpa pemenuhan kebutuhan para produsen pangan skala kecil untuk dapat menghasilkan pangan yang layak bagi bangsa ini, tidak akan ada kedaulatan pangan. Ditengah situasi politik yang saling jegal dan anggaran yang telah ditetapkan, JKW JK justru perlu menegaskan kembali, bahwa Kedaulatan Pangan bukan hanya katakata saat kampanye, tetapi dasar bagi Indonesia yang Berdaulat.***
Tandan Sawit, Edisi No. 8 | Desember 2014 | 11
KedaulatanPangan
KedaulatanPangan
Membangkitkan Pangan Lokal Menuju Kedaulatan Pangan
Suasana pelaksanaan GFF 2014 di Atrium Senen, Jakarta
D
i penghujung tahun 2014, Sawit Watch kembali menggelar Green Food Festival (GFF). Berkolaborasi dengan Green radio Jakarta dan beberapa mitra lokal, GFF 2014 mengusung tema “4 Sehat kurang sempurna tanpa pangan lokal”. GFF 2014 adalah bagian dari kampanye Sawit Watch menyentil kesadaran publik tentang kekayaan pangan lokal nusantara. Ragam pangan lokal nusantara yang kian tersingkir akibat ekspansi kelapa sawit yang notabene tanaman yang berasal dari luar Indonesia, tepatnya dari Afrika Barat. “Kenapa kita harus fokus pada satu produk yang bukan asli berasal dari Indonesia, sedangkan di Indonesia masih bertaburan banyak panganan lainnya yang asli berasal dari Indonesia,” ucap bondan andriyanu. “Dalam rangkaian kegiatan GFF 2014 ini juga digelar lomba membuat resep yang menggunakan 4 bahan utama, sagu, sorgum, bambu, dan rotan, tentunya dengan syarat tidak
menggunakan minyak goreng (minyak sawit), lanjut kepala Departemen Kampanye sawit watch tersebut. Sawit watch menggelar GFF setiap tahun dengan tema yang sama setiap tahunnya. Maksudnya adalah hendak memperkenalkan kembali kepada publik bahwa di Indonesia memiliki ragam cara memasak selain menggoreng. Indonesia sangat kaya akan ragam panganan dan masakan. Cara masaknya beragam, dari mengukus, merebus, membakar hingga menumis. Menu masakan lokal warisan leluhur itu sangat sehat karena menggunakan produk dan bahan dasar lokal. Sangat baik untuk kesehatan. Tak heran jika tetua dan leluhur dahulu sangat jarang sakit dan tampak awet muda. Hal yang berbeda dengan GFF sebelumnya, pada GFF 2014 ini diselenggarakan juga GFF ditingkat provinsi yaitu Kalimantan tengah, Riau dan Sulawesi Barat. Temanya tetap sama “4 sehat kurang sempurna tanpa pangan lokal” yang intinya
12 | Tandan Sawit, Edisi No. 8 | Desember 2014
kembali kepada pangan lokal. GFF Kalimantan Tengah diadakan pada tanggal 16 – 17 Desember 2014. Lokasinya di pelataran gedung KONI Palangkaraya Kalimantan Tengah. Beberapa mitra lokal yang terlibat dalam penyelenggaran GFF di Kalteng adalah WALHI Kalteng, SOB, YBB, AMAN Kalteng, JPIC, FMN, HMPH, POKKER SHK, GMNI dan MAPALA Komodo. GFF 2014 di Kalteng berlangsung meriah. Rangkaian kegiatan diawali dengan diskusi mengenai pengelolaan SDA di Kalimantan tengah. Diskusi ini dihadiri oleh masyarakat dari 4 Kabupaten (Murung raya, barito timur, Barito Utara, dan Lamandau). Alur diskusi berlangsung menarik karena peserta sangat aktif menyampaikan pendapatnya. Dalam diskusi juga di sebutkan bagaimana upaya masyarakat mempertahankan lahannya dari ekspansi SDA seperti tambang, perkebunan sawit dan HTI yang secara besar besaran terjadi di wilayah mereka. “Kami punya satu bukit bambu di kampong kami yang sudah di kelilingi oleh HTI dan perkebunan sawit” ujar salah satu peserta diskusi yang berasal dari kabupaten Lamandau. Bambu bagi masyarakat adat dayak sangatlah penting karena masyarakat masih menggunakan bamboo dalam kehidupan sehari hari, juga untuk rangkaian upacara adat. “Lantas kalau bukit bambu itu di gusur kami mau cari bamboo kemana lagi untuk membuat lemang?” tambah peserta lainnya di sela sela diskusi. Lemang merupakan makanan khas masyarakat adat dayak yang menggunakan bambu sebagai wadah menaruh ketan untuk dimasak menggunakan perapian dari kayu. Selain diskusi, paanitia juga menggelar lomba melukis bertemakan lingkungan untuk tingkat SD. Ada sekitar 20 peserta yang ikut dalam lomba ini. Mereka sangat antusias mengikuti lomba melukis ditengah
Pelaksanaan GFF 2014 di Riau dihadiri oleh Walikota
terik matahari yang membakar kulit. GFF di palangkaraya di akhiri dengan lomba resep dan memasak menggunakan pangan lokal. Kalimantan Tengah punya pangan lokal seperti umbut rotan, umbut bambu, keladi dan umbut kelapa. Ada 6 peserta lomba dari berbagai kalangan umum dan siswa SMK juga turut serta dalam lomba memasak ini. Chef Enna Lubis hadir langsung sebagai juri untuk menilai masakan mana yang layak dijadikan jawara dalam perlombaan ini. Pemenang lomba masak adalah Ahmad Fahrul Rozi dari SMK 3 Palangkaraya dengan menu “Juhu Pucuk Inyuh” Untuk hiburan musik, panitia mendatangkan kelompok musik punk Marginal dari Jakarta. Kelompok musik ini terkenal dengan lirik-lirik lagunya yang kritis dengan musik menghentak. Lokasi lain yang menggelar rangkain GFF 2014 juga di Pekanbaru, Provinsi Riau. Kegiatan ini berlangsung di bawah jembatan Siak III, Pekan baru, Riau. Cara memasak pangan lokal dengan teknik merebus, mengkukus dan membakar diperkenalkan. Boleh menggoreng asal menggunakan minyak kelapa atau minyak non sawit lainnya. Ini adalah kampanye pendidikan publik dengan
menyasar kaum ibu dengan berawal dari dapur. GFF di Pekan baru dibuka secara resmi oleh Walikota Pekanbaru Ibu Hj. Asmita Firdaus MT. Dihadiri oleh peserta lomba masak dari 12 Kecamatan di seputaran Pekanbaru. Hasil olahan mereka dipamerkan dan di nilai oleh Chef Rudi dari Hotel Pangeran di Pekanbaru, Riau. GFF di pekanbaru ini terselenggara atas kerjasama Green Radio Pekanbaru, WALHI Riau serta Sawit Watch. Selain lomba memasak, ada juga pameran olahan ikan patin. Ikan Patin sendiri merupakan ikan khas pekanbaru yang sangat mudah ditemukan di daerah rawa gambut. Dalam GFF di Riau ini juga sebagai bentuk kampanye bahwa potensi gambut di provinsi riau tidak hanya berupa cadangan karbon yang ada didalamnya melainkan juga ada potensi pangan seperti ikan patin. Semarak GFF ini juga diramaikan dengan hadirnya komunitas masyarakat petani kelapa dari Indragiri hilir, pesisir pantai timur Provinsi Riau. Masyarakat di Indra giri hilir sudah bertani kelapa dan mengolah produk turunannya menjadi minyak kelapa secara turun temurun. “Industri olahan minyak kelapa di desa kami masih butuh perha-
tian pemerintah untuk meningkatkan produksi dan melindungi lahan pertanian kelapa kami dari industri lainnya,” ujar Juari yang turut memamerkan produk olahan minyak kelapa hasil olahan secara tradisional dari desanya. Provinsi riau adalah salah satu provinsi yang memiliki luasan perkebunan sawit terbesar di Indonesia. Dari total luas 13,5 juta hektar luas kebun sawit di Indonesiaa, Riau sendiri menyumbang angka seluas 2,9 juta Ha (Sawit Watch, 2013). Luas ini akan terus bertambah sesuai dengan rencana pemerintah untuk memperluas hingga 28 juta pada tahun 2020, akibat dari permintaan pasar dunia yang semakin tinggi akan konsumsi CPO untuk digunakan dalam berbagai produk turunannya. Di Sulawesi Barat, kegiatan GFF diselenggarakan di Desa Alu, Polewali Mandar. Kegiatan ini resmi di buka oleh camat dari kecamatan Alu sebagai tuan rumah. Sawit watch dalam GFF di Sulawesi Barat bekerja sama dengan WALHI Sulawesi Barat untuk mensukseskan kegiatan ini. Masyarkat dari polewali mandar berpartisipasi dengan menggelar panganan lokal yang berasal dan tumbuh di sekitar Polewali Mandar. Ada produk produk olahannya sebagai
Tandan Sawit, Edisi No. 8 | Desember 2014 | 13
KedaulatanPangan
RSPO
Laporan Pelaksanaan Pertemuan Tahunan RSPO ke 12 di Kuala Lumpur
Panganan lokal yang dipamerkan di GFF 2014
makan siang peserta dan panitia GFF Sulawesi Barat.Terpampang ada banyak ragam padi yang masih bisa ditemukan di kabupaten ini sebagai bentuk potensi yang perlu di kembangkan dan dilindungi keberagamannya. Dalam rangkaian kegiatan GFF Sulawesi Barat digelar diskusi mengenai upaya penyelamatan lahan pangan lokal oleh sawit watch, WALHI dan Pemerintahan Kecamatan Alu. Terangkum dalam diskusi bahwa penting dan perlu adanya kebijakan yangmelindungi pangan lokal sebagaupaya menyelamatkan lahan masyarakat dari ekspansi sumber daya alam secara besar besaran seperti HTI dan perkebunan sawit. GFF dalam rangkaiannya akan menggelar event puncaknya pada tanggal 27 Desember 2014 di Plaza Atrium, Senen, Jakarta Pusat. Kegiatan puncak ini diramaikan oleh berbagai komunitas yg mendukung panganan lokal dan berbagai produk olahan turunannya, seperti Kainara dengan produk Emping Garut, Kripik Kimpul, Tortila Jagung, Soun Ganyong. Ada juga Green Mommy dengan Produk aneka soap bar, Shampoo bar, Cleanser dll. Selain masak memasak pangan lokal, GFF di Jakarta juga diramaikan dengan panggung musik dan diskusi
interaktive mengenai kampanye pangan lokal dan perkebunan sawit. Melalui GFF 2014 ini, Sawit Watch berharap agar informasi mengenai pangan lokal dan fakta fakta perkebunan sawit dapat di terima oleh publik secara luas. Dan semuanya dimulai dari dari dapur. Masyarakat harus menyadari bahwa upaya melindungi pangan lokal dapat dimulai dari mengkonsumsi pangan lokal. Ini akan berkontribusi secara langsung terhadap penyelamatan kawasan hutan dan mewujudkabn kedaulatan pangan dimasa yang akan datang. “Tidak sekarang memang tetapi paling tidak sudah ada upaya yang kita lakukan bersama-sama,” ucap Bondan Andriyanu. “Kenapa dan ada apa dengan perkebunan sawit dan lahan pangan? Karena rata-rata setiap tahunnya 500 ribu ha kawasan hutan dilepaskan ijin untuk perkebunan sawit baru di indonesia, dimana didalamnya diperoleh melalui konversi lahan pangan,” lanjut Kepala Departemen Kampanye Sawit Watch. Menurut riset sawit watch 2012, perubahan penggunaan tanah hutan menjadi perkebunan sawit seluas 276.248 Ha itu hanya untuk studi kasus di provinsi Riau. Dan dalam data resmi lainnya juga menyebutkan bahwa dalam satu menit, satu kelu-
14 | Tandan Sawit, Edisi No. 8 | Desember 2014
arga petani pangan menghilang. “Janji kampanye Jokowi dan JK terkait kedaulatan pangan gak akan terealisasi bila konversi lahan pangan menjadi kebun kelapa sawit tidak segera dihentikan,” jelas Bondan. Salah satu cara melindungi kawasan pangan dari ekspansi sawit adalah dengan menjadikan lahan pertanian pangan berkelanjutan. UU 41 tahun 2009 memandatkan bahwa pemerintah dapat memberikan perlindungan lahan tersebut yang diiringi dengan pemberian insentif sehingga lahan pangan tersebut tidak terkonversi menjadi perkebunan sawit. Ironis sekali luasan perkebunan sawit terus bertambah dan industri olahannya tak berkembang. Indonesia harus mengimpor pangan dan berbagai jenis olahan berbasis sawit untuk konsumsi sehari-hari. Indonesia adalah negeri agraris dan kaya akan ragam pangan lokal, mengapa hanya fokus mengembangkan pada satu produk saja dan secara monokultur. Ditengah sibuknya pemerintahan JKW JK melakukan blusukan maka perlu bersama-sama kita menitipkan kepada beliau dan timnya untuk mewujudkan kedaulatan Pangan ini dan melindungi lahan pangan dari ekspansi perkebunan sawit.***
RSPO adalah sebuah forum bersama para pihak yang digagas sejak tahun 2004 untuk mempromosikan skema keberlanjutan dalam keseluruhan rantai produksi minyak sawit, dan melalui mandat yang diterima oleh Sawit Watch untuk mulai melakukan proses intervensi dan advokasi melalui mekanisme pasar dengan bergabung menjadi Anggota RSPO dan aktif sebagai Eksekutif Board sejak tahun 2006. Adapun beberapa capaian dalam proses tersebut adalah: 1. Mendorongkan terbentuknya Kelompok Kerja untuk Petani pada tahun 2006; 2. Merumuskan prinsip FPIC dan berhasil di dorongkan untuk diadopsi oleh RSPO pada tahun 2008; 3. Terlibat dalam penyusunan dan proses revisi Prinsip dan Kriteria RSPO pada tahun 2008; 4. Terlibat dalam Gugus Tugas Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi sejak tahun 2009; 5. Terlibat dalam mekanisme penyelesaian konflik (DSF) sejak tahun 2009; 6. Teribat dalam proses penyusunan masukan untuk Interpretasi Nasional Prinsip dan Kriteria RSPO pada tahun 2013-2014; 7. Mendorongkan resolusi untuk perbaikan mekanisme penyelesaian sengketa dan konflik di RSPO dan berhasil di adopsi dalam Pertemuan Majelis Umum RSPO ke 10 di Medan tahun 2013; 8. Terlibat dalam proses penyusunan perbaikan mekanisme penyelesaian sengketa di RSPO dalam Group Pengarah; 9. Terlibat dalam upaya mendorongkan pembentukan Kelompok Kerja Buruh di RSPO; Rangkaian Aktivitas Dalam pertemuan tahunan RSPO ke 12 di Malaysia, Sawit Watch berinisiatif untuk melakukan beberapa rangkaian acara untuk merespon pertemuan rutin ini. Adapun aktivitas yang dilakukan tersebut adalah: Workshop Buruh Workshop ini dilakukan di Hotel
Shah Village, Petaling Jaya, Malaysia pada 14 - 15 November 2014. Workshop buruh ini bertujuan untuk: 1). Merumuskan dokumen prinsip kerja layak bersama dengan mitra Indonesia, Malaysia dan internasional yang bekerja di isu buruh perkebunan sawit, 2). Sharing kondisi buruh perkebunan sawit dan kerja-kerja yang sudah dilakukan, khususnya di Malaysia dan Indonesia serta 3). Koordinasi strategi bersama merespon pertemuan RT 12 RSPO. Wokshop yang difasilitasi oleh Janarthani Arumugam (PANAP) ini diawali dengan 2 kali diskusi panel. Diskusi panel ini bertujuan memberikan pemahaman kepada peserta tentang kondisi buruh perkebunan sawit dan kondisi politik di Malaysia dan Indonesia. Diskusi Panel pertama menghadirkan 4 orang narasumber yakni Joe Paul (Tenaganita), Josie Fernandez (PANAP), S Arutchelvan (Malaysian Socialist Party) dan Alfred V (pakar hukum perburuhan Malaysia). Diskusi Panel kedua menghadirkan 3 orang narasumber yakni Zidane (SW), Herwin Nasution (OPPUK) dan Dani (SEPASI-Kalteng). Lokakarya kemudian dilanjutkan dengan penjelasan latar belakang penyusunan draf prinsip kerja layak ini yang disampaikan oleh Robin (RAN) dan Eric (ILRF). Dalam sesi ini peserta banyak bertanya dan memberi masukan terhadap draf rumusan. Selanjutnya peserta dibagi kedalam beberapa kelompok untuk mendiskusikan draf rumusan yang sudah ada, peranan masing-masing lembaga, kekuatan, kelemahan serta kegiatan yang bisa dilakukan untuk mendukung implementasi prinsip kerja tersebut. Adapun salah satu capaian dari workshop ini adalah berhasil merumuskan prinsip-prinsip kerja layak bagi buruh di perkebunan sawit yang dibagi dalam 6 prinsip dan 6 prinsip implementasi. Lembaga yang hadir dalam lokakarya ini diberi ruang untuk melakukan diskusi, seminar atau audensi dengan pemerintah dalam rangka memperkaya rumusan. Direncanakan, Januari 2015 rumusan
ini sudah final dan akan dilaunching. Workshop HCV dan HCS Workshop ini dilakukan di Hotel Istana, Kuala Lumpur dengan melibatkan peserta yang berasal dari berbagai pemangku kepentingan, seperti Greenpeace, Zoological Society of London, Golden Agri Resources, Asian Agri, RSPO Indonesia Liaison Office (RILO), Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Save Our Borneo, dan WALHI Kalteng. Workshop ini berusaha untuk melakukan pendalaman dan elaborasi terhadap 2 konsep besar yang diperkenalkan sebagai salah satu komitmen dari mekanisme pasar terhadap keberlanjutan dimana mendorongkan agar proses produksi minyak sawit harus dapat lebih ramah lingkungan dan ramah social. Workshop Perempuan: Workshop ini dilakukan di Hotel Istana, Kuala Lumpur dengan melibatkan peserta yang berasal dari Solidaritas Perempuan, Rainforest Action Network, Golden Agri Resources, RSPO Indonesia Liaison Office (RILO), OPPUK dll. Workshop ini terutama untuk melihat seberapa jauh RSPO dalam standarnya, yaitu yang tertuang dalam Prinsip dan Kriteria RSPO mengakui dan melindungi posisi perempuan dan kesetaraan gender dalam keseluruhan aktivitasnya. Pertemuan dalam forum RSPO Dalam pertemuan RSPO kali ini, proses pertemuan yang diikuti secara garis besar dapat dibagi menjadi 2 yakni formal dan informal. Pertemuan formal ini merupakan rangkaian acara yang telah disusun oleh RSPO sebagai bagian utama dari Pertemuan Tahunannya. DSF dan Perubahan system aduan RSPO serta Grup Pengarah Pertemuan ini untuk memberikan update terakhir atas hasil review yang dilakukan oleh Natural Justice serta BC Initiatives sebagai konsultan yang diminta RSPO untuk memberikan hasil telaah atas proses perbai-
Tandan Sawit, Edisi No. 8 | Desember 2014 | 15
RSPO kan dalam system aduan dan keluhan di RSPO. Dalam pertemuan kedua, pada tanggal 20 November 2014, yang dihadiri oleh Ravin, Amalia, Sanath Kumaran (RSPO Impact), Lanash (BC Initiatives), Holly Jonas (Natural Justice), Uki (Setara), Rudy (LINKS) dan sawit watch, disepakati beberapa hal, yaitu para pihak (proponent dari Resolusi 6F) adalah merupakan bagian inti dari Grup Pengarah; Grup pengarah ini diminta untuk membuat TOR yang akan disampaikan kepada secretariat RSPO untuk mendapatkan persetujuan; para konsultan yang terlibat dalam proses review dapat dilibatkan dalam grup pengarah jika dirasakan perlu; usulan agar ada perwakilan dari BoG dalam grup ini ditolak agar tidak ada intervensi dari dalam. Dalam bulan Februari akan dilakukan pertemuan pertama secara langsung untuk grup pengarah ini. INA HCV TF Dalam pertemuan ini dihadiri oleh pihak GAR (Peter Heng dan Richard Khan), RSPO (Asril dan Soo Chin). Dalam pertemuan ini membahas beberapa rencana lanjutan untuk memfinalkan kerja-kerja dari gugus tugas ini, dimana setelah proses penyusunan kerangka kerja hukum yang dilakukan oleh Andiko, bagian ini akan di share kepada perusahaan (growers) yang lain, serta mengundang GAPKI. Kemungkinan untuk melakukan sounding kepada Pemerintah Indonesia melalui kementrian terkait akan dilakukan secepatnya, dan diharapkan para pihak bisa memberikan nama-nama yang direkomendasikan untuk bisa di temui dalam jajaran kementrian dan badan terkait, seperti kementrian pertanian, kementrian agrarian, kementrian lingkungan hidup dan kehutanan. Human Rights Working Group Pertemuan ini dilakukan untuk mengupdate beberapa hal terkait dengan kerja-kerja dari HRWG dimana ada beberapa perkembangan mengenai: penguatan dari prinsip FPIC yang dilakukan oleh FPP; Hasil kajian dari proses sertifikasi dan auditor yang dilakukan oleh Verite; dan lain sebagainya Posisi buruh dan Perempuan dalam
RSPO RSPO Diskusi ini dilakukan dalam serial World Café dimana dihadiri oleh Oxfam, OPPUK, NBPOL, Loreal, serta beberapa perusahaan buyer dan retailer. Dalam diskusi ini diangkat kembali wacana tentang seberapa penting dari WG Buruh. Pasca diskusi tersebut dilakukan diskusi bilateral antara SW dengan Verite, dan SW dengan Oxfam. Dari pertemuan bilateral tersebut disepakati bahwa konsep WG memang lebih menjanjikan dalam kerangka buruh dan tidak cukup untuk TF. Untuk itu, diminta kepada SW dan Oppuk untuk melihat dan mencari proses untuk penyusunan kerangka pembangunan WG buruh ini. General Assembly Pertemuan ini merupakan pertemuan puncak dalam forum RSPO dimana disampaikan perkembangan dari kegiatan RSPO selama 1 tahun terakhir paska Medan, seperti Laporan mengenai kekayaan RSPO dan beberapa resolusi yang diajukan oleh anggota RSPO. Dalam resolusi kali ini, ada 2 resolusi yang keluar dari Buyers dan Retailers yang meminta agar RSPO memperkenankan pengguaan label RSPO oleh perusahaan dan pihak lain yang bukan anggota RSPO untuk mempercepat proses pengarusutamaan konsep dan mekanisme keberlanjutan ini. Dalam proses perdebatan, akhirnya para pengaju dari 2 resolusi ini menyatakan menarik kembali resolusi yang di usulkan. Pertemuan informal ini lebih ditujukan untuk melakukan proses update dan rencana tindak lanjut dari beberapa kasus yang telah dimasukkan ke RSPO oleh Sawit Watch selama ini. Adapun beberapa kasus tersebut adalah sebagai berikut: Bumitama Pertemuan ini dilakukan pada tanggal 19 november 2014 pukul 15.30 di Lemon Café, yang dihadiri oleh Agam, Hadi, Bremen, dan Lim Sian Cho dari Bumitama. Pada pertemuan ini pihak Bumitama memberikan beberapa update terkait dengan sengketa di PT. HPA dan PT BGB yang kesemuanya berlokasi di Provinsi Kalimantan Tengah. Untuk PT HPA: telah keluar Surat Keputusan Bupati Nomor 525.21/660/
16 | Tandan Sawit, Edisi No. 8 | Desember 2014
EKA.SDA/IX/2014 yang menetapkan PT Langgeng Makmur Sejahtera untuk mengganti posisi PT Hati Prima Agro dalam mengelola lahan tersebut. Dari keterangan Bumitama, sampai saat ini mereka mengetahui bahwa Langgeng Makmur Sejahtera masih dalam proses untuk melakukan pengurusan terhadap IUP nya. Posisi dari Bupati yang cenderung pasif semakin menyulitkan pihak Bumitama untuk mengambil langkah-langkah konkrit dalam masa transisi ini. Diakui bahwa dalam proses peralihan asset ini nantinya tidak akan mudah karena harus turut pula melibatkan dan sepengetahuan dari para pemegang saham yang berada di Singapura. Terkait dengan tindakan yang dilakukan oleh PT HPA selama ini yang masih melakukan pengelolaan dan perawatan terhadap kebunnya, hal ini berdasarkan atas instruksi Bupati Kotawaringin Timur, dengan mempertimbangkan posisi dan keberadaan pekerja serta petani plasma yang masih memerlukan perhatian dari perusahaan. Namun perusahaan tetap pada komitmennya untuk tidak melakukan perluasan areal tanamnya sebagaimana yang telah disebutkan oleh Bupati dalam Instruksinya. Terkait dengan hal ini, Sawit Watch meminta kepada pihak Bumitama untuk dapat mengirimkan secara resmi Instruksi dari Bupati tersebut kepada RSPO dan kepada Sawit Watch sebagai bagian dari proses transparansi dan komitmen penyelesaian sengketanya. Terkait dengan konflik horizontal yang terjadi di areal tersebut, dimana ketua Dewan Adat mendapat serangan dari pihak pengurus koperasi yang dibentuk oleh perusahaan, Bumitama mengaku tidak mengetahui perihal ini dan akan melakukan pengecekan. Kasus ini juga akan tetap menjadi perhatian dari Bumitama ketika terjadi peralihan dan pemindahan asset kepada perusahaan baru yang ditunjuk oleh Pemerintah Daerah, yaitu PT Langgeng Makmur Sejahtera. Untuk PT BGB: Bumitama telah melakukan proses identifikasi dan investigasi internal pertama untuk mengecek beberapa hal yang telah disampaikan oleh Sawit Watch, yaitu terkait dengan pelaporan atas nama Gusti Gelombang yang dilakukan oleh
Karyawan PT BGB ke Kepolisian serta terkait dengan skema kemitraan dengan koperasi yang anggota-anggotanya merupakan masyarakat di sekitar areal perkebunannya. Untuk kasus pelaporan tersebut, karyawan yang melaporkan saat ini tidak lagi bekerja untuk PT BGB sehingga menyulitkan bagi pihak perusahaan untuk melakukan proses klarifikasi terhadap yang bersangkutan. Terkait hal tersebut, Sawit Watch tetap pada posisinya, bahwa pihak perusahaan harus terlebih dahulu melakukan pencabutan laporan di Kepolisian, karena laporan tersebut dibuat oleh orang tersebut dalam posisinya sebagai karyawan perusahaan, maka PT BGB masih mempunyai kewenangan dan kemampuan untuk melakukan pencabutan agar nantinya dapat bergeser ke posisi selanjutnya untuk membicarakan skema kemitraan. Untuk isu tentang skema kemitraan, ada beberapa hal pokok yang menjadi fokus pembicaraan, pertama mengenai standar pembangunan kebun plasma dimana luasan lahan plasma tidak sesuai dengan kesepakatan awal yaitu kurang dari 2 Ha per Kepala Keluarga, dan kerapatan pohon sawitnya yang tidak memenuhi standar kelayakan kebun. Untuk luasan lahan yang kurang dari 2 Ha tersebut perusahaan akan melakukan pengecekan langsung kepada pihak Manager kebun serta bagian yang mengurus bidang kemitraan dengan masyarakat untuk mendapatkan data yang valid tentang ini. Untuk kerapatan tanam pohon, diakui oleh Pak Hadi, bahwa hal itu tergantung dengan jenis bibit sawit yang ditanam pada areal kebun tersebut, dimana ada beberapa jenis bibit sawit yang memang memungkinkan untuk ditanam dalam kerapatan tanam yang lebih dekat jika dibandingkan dengan jenis bibit sawit lainnya, dan ini dipastikan tidak akan mengganggu produktifitas bahkan hal ini dilakukan untuk memacu dan meningkatkan yield per Ha kebun sawit masyarakat sehingga memberikan nilai tambah lebih kepada petani. Terkait dengan adanya dugaan yang disampaikan bahwa ada terdapat sertifikat anggota koperasi yang telah didaftarkan di Bank, serta proses dari pembagian Sisa Hasil
Kebun (SHK) yang harus dibagikan juga kepada mereka yang sebenarnya tidak terdaftar di Bank, pihak perusahaan masih harus melakukan pengecekan di tingkat internal dan melakukan klarifikasi dokumen. Untuk itu, disepakati ada beberapa hal yang akhirnya menjadi bagian rekomendasi serta rencana tindak lanjut, yaitu: 1. Perusahaan akan melakukan proses pengecekan, verifikasi dokumen, serta hal lain yang terkait secara internal dan ini akan dilakukan secepatnya; 2. Akan digagas sebuah pertemuan untuk mengklarifikasi hasil temuan dari pihak perusahaan dengan masyarakat, dimana perusahaan dan masyarakat akan saling mempresentasikan hasil temuan dan bukti awal mereka. Selain itu, akan dilihat kemungkinan untuk sekaligus mengundang pihak Bank pemberi pinjaman untuk hadir pula dan memberikan klarifikasi terkait dengan besaran kredit dan jumlah petani yang masuk dalam list mereka. Pertemuan ini akan digagas dalam bulan Januari 2015; 3. Pihak RSPO akan dilibatkan dalam proses komunikasi dan berposisi sebagai observer, karena sampai sekarang masih belum ada keluhan secara resmi yang disampaikan kepada RSPO terkait dengan kasus ini. Lonsum Pertemuan ini dilakukan pada tanggal 20 November 2014, yang mengambil tempat di Ballroom Hotel, namun hanya antara Sawit Watch dengan Ravin dan Amalia Falah. Pihak Lonsum yang direncanakan akan hadir ternyata tidak ada, namun Ravin akan memastikan bahwa hasil pertemuan tersebut akan disampaikan secara resmi dan terbuka kepada Lonsum. Sawit Watch menyampaikan secara terbuka hasil dari beberapa kali pertemuan dengan Lonsum di Jakarta dan Medan selama 2 tahun terakhir, dimana tidak ada perkembangan dan kemajuan sama sekali. Dalam pertemuan terakhir, pihak Lonsum masih belum memberikan kepastian sama sekali tentang tawaran penyelesaian sengketa. Walaupun sampai saat ini telah ada beberapa opsi peny-
elesaian sengketa yang ditawarkan, diantaranya melalui mekanisme CSR yang dimodifikasi, dimana bentuk dan nilai besaran CSR dibuat setelah mendapatkan persetujuan dari masyarakat. Pihak Lonsum malah mengutarakan untuk kesediaannya memberikan uang lelah kepada para pihak yang berkontribusi untuk penyelesaian sengketa ini. Ravin menganggap ini bagian yang sangat tidak etis, dan segera akan menyampaikan secara terbuka melalui surat resmi kepada Lonsum. Tawaran dari Sawit Watch adalah Lonsum keluar dengan tawaran dan respon resmi dari pihak direksi terkait dengan proses penyelesaian sengketa ini supaya ada kepastian, apakah mereka masih akan mau menyelesaikan atau tidak supaya sengketa ini tidak terus menggantung. Jaya Sukses Makmur Atas permintaan dari Internal, telah diupayakan untuk menghubungi dan mencari kontak perusahaan ini apakah terdaftar dan teregistrasi sebagai peserta dalam RT 12 ini sehingga bisa ditemui, namun dari keterangan Sekretariat RSPO mereka tidak ada hadir. Namun telah disampaikan secara lisan kepada Imam (RILO) untuk menggagas dan mencari kemungkinan untuk pertemuan di Jakarta dengan perusahaan ini. First Resources Pertemuan yang sedianya dilakukan setelah pertemuan dengan Bumitama akhirnya gagal karena lamanya waktu, hampir 1 jam 30 menit, dan Frist Resource sudah ada janji untuk pertemuan yang lain. Mungkin bisa ditindaklanjuti dengan mengirimkan surat resmi langsung ke perusahaan atau langsung membuat complain ke RSPO. Evaluasi Pada tanggal 17 malam hari, dilakukan proses evaluasi internal yang dihadiri oleh Ratri, Tika, Eep, Maryo, dan Carlo. Evaluasi ini dilakukan sebagai bentuk koordinasi akhir sebelum beberapa orang dari SW yang berangkat ke Kuala Lumpur kembali. Secara teknis, semua acara yang telah direncanakan oleh SW berlangsung dengan baik.***
Tandan Sawit, Edisi No. 8 | Desember 2014 | 17
Darurat KabarWilayah
KabarWilayah Darurat
Kokas Dalam Lirikan Sawit
Willy Anselmus, buruh semprot yang bekerja di perusahaan kebun sawit di Berau
K
elapa sawit merupakan salah satu produk unggulan Indonesia setelah minyak dan gas bumi. Hal ini ditandai dengan besarnya sumbangan kelapa sawit dari ekspor hasil turunan kelapa sawit berupa CPO (crude palm oil) untuk devisa negara. Tercatat 14% disumbangkan kelapa sawit untuk menambah pendapatan domestik negara ini atau produk domestik bruto. Hal ini juga diamini oleh kementrian pertanian yang mengatakan bahwa jumlah pendapatan negara tercatat 200 triliun rupiah (sambutan Menteri Pertanian). Sehingga tidak berlebihan jika disebutkan bahwa kelapa sawit menjadi primadona baru dalam perekonomian Indonesia. Besarnya pengaruh dari sektor kelapa sawit berdampak langsung pada semakin masifnya ekspansi perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Berdasarkan data Sawit Watch tahun 2014, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini mencapai 13,5 juta ha. Sedangkan berdasarkan data pemerintah sendiri di tahun 2013, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah 9,5 juta ha. Luasan ini tentunya sangat besar jika dibandingkan dengan produk perkebunan lainnya yang tidak semasif kelapa sawit dalam pengembangannya. Rencana pemerintah untuk menambah jumlah luasan perkebunan kelapa sawit ini terdapat pada
rencana jangka panjang yang akan meningkatkan luasan perkebunan kelapa sawit mencapai 20 juta ha pada tahun 2020. Salah satu yang menjadi sasaran dari ekspansi perkebunan ini adalah Indonesia bagian timur, mulai dari Sulawesi, Maluku dan Papua. Luasan lahan perkebunan kelapa sawit ini berdampak pada semakin meningkatnya konflik dan juga hilangnya hak-hak masyarakat adat dalam mengelola lahan kelolanya. Salah satu wilayah di Papua Barat yang menjadi lahan ekspansi perkebunan kelapa sawit adalah Kabupaten FakFak. Luas perkebunan kelapa sawit di wilayah ini diperkirakan 30.595,89 Ha dengan mengambil lokasi mulai dari Kampung Otoweri, Tomage Hingga Kampung Mbima Jaya di Distrik Bomberay (Gemapala, 2013) Dari total luasan perkebunan kelapa sawit ini, salah satu distrik atau kecamatan yang menjadi sasaran ekspansi adalah distrik Kokas, meskipun sampai saat ini belum ada perusahaan perkebunan kelapa sawit yang masuk. Rencana tersebut sedikit teredam dengan kuatnya masyarakat untuk tetap mempertahankan lahan mereka dan mengembangkan perkebunan pala. Di samping itu, masyarakat Kokas juga membuka diri dengan menerima kehadiran ornop yang datang ke wilayah mereka. Terbangunnya komunikasi antara NGO dengan masyarakat Kokas ini sangat
18 | Tandan Sawit, Edisi No. 8 | Desember 2014
membantu mereka dalam mencari informasi soal dampak buruk dan baik dari kelapa sawit. Masyarakat Kokas juga mendapatkan informasi lebih detail tentang untung rugi nya apabila hutan dan kebun yang ada dikampung mereka dialihfungsikan jadi kebun sawit. Bermodal informasi yang didapatkan, masyarakat Kokas kemudian bisa menentukan sikap jika pemkab Fak Fak dan pemodal datang berinvestasi untuk buka kebun sawit di kampung mereka. Kondisi Wilayah Kokas dan Segenab Potensinya Kokas adalah sebuah distrik yang terletak di sebelah utara ibu kota kabupaten Fakfak. Untuk mencapai Kokas dibutuhkan waktu sekitar 12 jam lebih dengan kendaraan roda empat, melintasi pegunungan Fakfak. Alternatif lain adalah jalur laut memutar ke arah barat dari Kota Fakfak dan masuk ke daerah Teluk Bintuni. Distrik Kokas memiliki luas 1.786 Km2, Kampung Mandoni merupakan daerah yang terluas yaitu 318 Km2 atau 17,81 % dari total luas Distrik Kokas. Sedangkan Kampung Arguni Barat merupakan daerah terkecil yaitu 2 Km2 atau 0,11 % dari total luas Distrik Kokas. Secara umum kokas memiliki sumber daya alam yang cukup banyak. Di darat dan laut, kekayaan Kokas berlimpah. Hasil laut mereka
adalah ikan dan rumput laut. Di darat, mereka menanam pala yang menjadi komoditi andalan. Buah pala ini adalah komoditi warisan leluhur namun masih dikembangkan secara tradisional. Potensi laut dan darat tersebut masih dikembang secara tradisional. Sehingga hasilnya hanya untuk memenuhi kehidupan seharihari. Buah Pala ini adalah tanaman musiman. Ini menjadi kendala sendiri bagi masyarakat Kokas. Musim panen buah pala antara September - Oktober. Jika tak musim buah pala, masyarakat Kokas hanya mengandalkan hidupnya dari hasil laut. Adat dan Perlindungan Wilayah Kelola Masyarakat Kokas masih terikat kuat dengan norma-norma adat. Namun mereka tak menutup diri dengan budaya yang datang dari luar. Proses akulturasi budaya berjalan dinamis dan smooth. Berbagai tradisi budaya leluhur masih dijalankan seperti upacara adat kelahiran bayi, upacara panen atau pembukaan lahan baru, upacara penobatan raja atau pertuanan dan sebagainya. Pranata adat juga yang membuat masyarakat Kokas sangat menjaga kawasan hutan-nya. Bagi masyarakat Kokas, hutan adalah sumber budaya yang harus dijaga kelestariannya. Ini dibuktikan dengan penolakan mereka terhadap perkebunan sawit. Penolakan terhadap kebun sawit datang dari ketua adat. Jangan heran, jika berkunjung ke distrik Kokas, kawasan hutan masih tampak sangat lebat dan lestari. Air liur juragan-juragan sawit menetes melihat kawasan hutan di distrik Kokas. Ada berbagai macam bentuk kearifan lokal masyarakat kokas dalam menjaga dan mengelola hutan. Mereka membagi kawasan hutan dengan beberapa istilah berdasarkan peruntukannya. Untuk menjaga kawasan hutan-nya, masyarakat kokas melakukan pendidikan berbasis nilai-nilai adat. Tujuannya adalah transfer pengetahuan dan nilai-nilai adat untuk generasi muda terkait dengan pengelolaan wilayah kelola mereka. Hal lain yang dilakukan oleh masyarakat kokas dalam menjaga wilayah kelola dan hutan mereka melalui program-program kerja sama
Aktifitas warga Kokas
yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat dengan lembaga adat kokas. Hasil dari kerjasama tersebut adalah masyarakat sudah memperkuat tata kelola dalam mempertahankan sumber-sumber kehidupan serta wilayah kelola mereka secara berkelanjutan. Juragan Sawit Siap Memangsa Hutan Dan Lahan Kembali ke persoalan yang dihadapi masyarakat Kokas. Berlimpahnya potensi sumber daya alam mereka tak diikuti dengan fasilitas infrastruktur yang memadai. Sehingga segenab potensi sumber daya alam yang ada tidak bisa dimaksimalkan. Salah satu contoh adalah pelabuhan laut. Tak ada pelabuhan laut yang dapat memfasilitasi komoditi pertanian dan laut mereka. Begitu juga dengan arus informasi yang sangat sangat minim. Hal ini dikarenakan belum masuknya jaringan telekomunikasi di distrik Kokas. Padahal informasi ini sangat penting, terutama terkait dengan harga-haraga komoditi di pasar. Termasuk juga akses informasi terkait dengan budidaya tanaman pala, pasar dan sebagainya. Minimnya infrastruktur dan akses informasi tersebut yang membuat masyarakat Kokas terpaksa menjual pala melalui tengkulak. Para tengkulak ini memanfaatkan situasi buruknya sarana dan informasi tersebut dengan menjerat masyarakat lewat hutang. Para tengkulak membeli pala
dengan harga jauh dibawah pasar. Apalagi seperti diketahui bahwa buah pala adalah tanaman musiman. Saat menunggu musim panen pala, mereka hanya bersandar pada hasil laut seperti ikan dan rumput laut. Namun hasil laut tak cukup memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Jika keadaan ini terus berlangsung tanpa ada upaya meningkatkan pendapatan masyarakat kokas, dikhawatirkan mereka akan menerima godaan juragan kebun sawit untuk mengkonversi hutan dan kebun mereka menjadi kebun sawit. Lantas apa yang harus segera dilakukan? Segenab potensi alam dan adat yang dimiliki masyarakat kokas tersebut harus didorong maju dengan membentuk kelompok tani pala. Kelompok tani ini harus didorong untuk membentuk koperasi. Kemudian peningkatan kapasitas manajemen tata produksi, distribusi, pemasaran dan pengelolaan keuangan. Misalnya, jika konsolidasi kelompok tani dan koperasi ini berjalan dengan baik, bisa jadi masyarakat kokas tidak hanya menjual buah pala saja, namun sudah dalam bentuk olahan seperti sirop, manisan dll. Tentu harganya akan jauh lebih baik jika dijual dalam bentuk olahan. Dan ini tentu saja akan menguntungkan masyarakat Kokas. Selain itu, kelompok-kelompok tani pala ini bisa mendesakan tuntutan ke pemerintah agar segera membangun infrastruktur yang memadai seperti pelabuhan, jalan dll.***
Tandan Sawit, Edisi No. 8 | Desember 2014 | 19