TUGAS AKHIR
MINYAK CENGKEH TERENKAPSULASI DENGAN TAPIOKA (Manihot esculenta ) DAN GUM ARABIKA DAN PERKIRAAN UMUR SIMPANNYA
Oleh : INDI LOANITA F252060095
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ini adalah karya saya sendiri dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS dan Dr. Ir. Feri Kusnandar, Msc, belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang dihasilkan dan literatur dikutip dari karya
yang telah
diterbitkan dan dihasilkan oleh penulis lainnya dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian tugas akhir ini.
Bogor, Januari 2011
Indi Loanita F252060095
ABSTRACT
Indi Loanita. F 252060095. Clove oil encapsulated by tapioka (Manihot esculenta) and gum Arabica and prediction of it shelflife . Under supervision of Prof. Dr. Ir. Rizal syarief, DESS as a team leader and Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc as a team. This experiment was aimed to study about characteristic of tapioca and gum Arabica as an encapsulant agent and prediction its shelf life. Beside the result of this experiment able to give alternative source of raw material in encapsulant agent matter. Unlike other starch sources, such as corn, rice and wheat, tapioca roots contain high starch content and a very low quantity of impurities. Tapioca is an excellent material for starch production with respect to its availability, raw material cost and ease of starch extraction. The micro encapsulation is generally performed by forming a polymeric matrix around particular compounds to protect its biological activity and enhance physical chemical stability. Arabic gum have been encapsulating agent for many years, but the source was a bit difficult to find and quite expensive. The step of this research was divided into two parts. The first part is to observe characteristic of encapsulation clove oil from several parameters such as moisture content, bulk density, solubility, percentage of yield, free flowing and organoleptic test. Various percentages of tapioca and gum Arabic was conducted and based on evaluation from those parameters then composition appointed to be determined shelf life by sorpsi isotherms curve method. Based on experiment, it was concluded that percentage appointed for the next experiment was tapioca: gum arabica with composition 50 : 50 % is the best combination. Based on further experiment, we obtained result for moisture content is 3.79%, balance water content is 17.55 % and critical water content is 11.76 %. All value obtained, calculated by Labuza formulation so we can determine of shelf life with aluminum foil bag and HDPE as packaging material. The result was 25.56 months for aluminum foil bag and 3.40 months for HDPE packaging.
RINGKASAN
Indi Loanita. F 252060095. Minyak cengkeh terenkapsulasi dengan tapioka (Manihot esculenta) dan gum arabika dan perkiraan umur simpannya. Dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Rizal syarief, DESS sebagai Ketua dan Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc sebagai anggota. Penelitian ini bertujuan mempelajari karakteristik tapioka dan gum arabika sebagai bahan enkapsulan dan memprediksikan umur simpannya. Selain itu hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternative penggunaan bahan enkapsulasi. Tidak seperti sumber starch lainnya seperti tepung jagung , tepung beras, dan gandum, tapioka memiliki nilai starch yang tinggi dan sangat rendah kandungan kotorannya. Tapioka merupakan sumber material yang luar biasa dalam memproduksi pati dengan memperhitungkan kemudahan ketersediannya, perhitungan harga dan proses ekstraksinya. Secara umum proses mikroenkapsulasi telah banyak dikenal sebagai salah satu proses untuk mempertahankan kerusakan biologi dan kimiawi suatu bahan pangan. Gum arabika telah lama dikenal sebagai bahan enkapsulasi, namun pengadaan/sumber nya tidak selalu ada dan harganya juga mahal. Tahapan penelitian ini dibagi dua tahap. Pada tahap awal adalah karakterisasi minyak cengkeh terenkapsulasi dari berbagai macam parameter analisa seperti kadar air, densitas kamba, kelarutan , rendemen, daya mawur dan organoleptik test. Penelitian dilakukan pada berbagai macam perbandingan untuk tapioka dan gum arabika telah dilakukan berdasarkan pada parameter diatas, kemudian komposisi terbaik dipilih untuk dilanjutkan pada penentuan umur simpannya. Hasil penelitian disimpulkan bahwa pemilihan kombinasi bahan pengisi yang dipilih adalah tapioka : gum arabika dengan konsentrasi 50:50%, kemudian penelitian dilanjutkan dengan penentuan umur simpan dengan motode kurva sorpsi isothermis. Dari penelitian lanjutan didapatkan nilai kadar air awal adalah 3.79%, kadar air kesetimbangan adalah 17.55 %, kadar air kritis adalah 11.76%, kemudian nilai-nilai tersebut dimasukkan kedalam persamaan Labuza diperoleh hasil perhitungan umur simpan adalah 25.56 bulan untuk kemasan alumunium foil sedangkan untuk kemasan HDPE hanya menghasilkan umur simpan 3.4 bulan.
TUGAS AKHIR
MINYAK CENGKEH TERENKAPSULASI DENGAN TAPIOKA (Manihot esculenta ) DAN GUM ARABIKA DAN PERKIRAAN UMUR SIMPANNYA
Indi Loanita Tugas Akhir sebagai salah satu syarat untuk melakukan penyelesaian tugas pada Magister Profesi Teknologi Pangan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tugas Akhir : Dr. Ir. Yadi Haryadi, MSc
Judul Tugas Akhir
: Minyak Cengkeh Terenkapsulasi dengan Tapioka (Manihot esculenta) dan Gum Arabika dan Perkiraan Umur Simpannya.
Nama Mahasiswa
: Indi Loanita
NRP
: F 252060095
Program Studi
: Teknologi Pangan
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS Ketua
Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Magíster Profesi Teknologi Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Lilis Nuraida, MSc
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 29 November 2010
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di kota Subang , pada tanggal 7 Agustus 1976. Penulis menyelesaikan studi Sekolah Dasar No.VIII pada tahun 1986 , Sekolah Menengah Pertama No. II di Subang pada tahun 1989, menyelesaikan Sekolah Menengah Atas No. III di Bogor, kemudian penulis melanjutkan pendidikan diploma tiga di Kimia Analisis Bogor pada tahun 1993 dan melanjutkan pendidikan sarjana Strata 1 di Universitas Sahid Jakarta,Fakultas Teknologi Pangan , lulus pada tahun 1999. Penulis bekerja di Orang Tua Group sebagai Quality Control pada tahun 1998, kemudian berpindah ke perusahaan Indosentra Pelangi (Indofood Group) sebagai Product Development pada tahun 1999, kemudian berpindah kembali ke PT Simba Indo Snack pada tahun 2004 sebagai Research & Development dan pada tahun yang sama sampai dengan sekarang penulis bekerja di PT KH Roberts Indonesia sebagai Technical Manager.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI………………………………………………………….
i
DAFTAR TABEL ……………………………………………………
iii
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………
iv
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………
v
PENDAHULUAN……………………………………………………
1
Latar Belakang……….……………………………………….
1
Tujuan dan Manfaat…………………………………………..
4
TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………
5
Karakteristik Tapioka ………………………………………..
5
Karakteristik Minyak Cengkeh ………………………………
7
Karakteristik Gum ……………………………………………
9
Enkapsulasi Flavor ……………………………………………
11
METODE PENELITIAN ……………………………………………
29
Tempat dan Waktu ……………………………………………
29
Bahan dan Alat ………………………………………………
29
Tahapan Penelitian ……………………………………………
29
Karakterisasi Enkapsulasi Minyak Cengkeh ……………….
30
Penentuan Umur Simpan ……………………………………
32
HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………………
40
Karakterisasi Enkapsulasi Minyak Cengkeh …………………
40
Penentuan Umur Simpan …………………………………….
50
SIMPULAN DAN SARAN …………………………………………
57
Simpulan …………………………………………………….
57
Saran …………………………………………………………
58
i
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………
59
LAMPIRAN ………………………………………………………….
64
ii
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Perkembangan ekspor komoditi tapioka dunia tahun 1999 – 2004 ............
2
2 Spesifikasi Tapioka .......................................................................................
6
3 Larutan garam januh yang digunakan dalam menentukan kadar air ………
25
4 Kondisi proses experimental perbandingan bahan pengisi …………………
30
5 Perhitungan laju transmisi uap air, permeabilitas kemasan ……………….
53
6 Hasil analisa korelasi antara kadar air kesetimbangan dan RH…………….
55
7 Penentuan umur simpan dengan metode Labuza …………………………..
56
iii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Share perkembangan ekspor tepung tapioka tahun 1999 – 2000…
3
2 Tahapan proses spray drying ………………………………
14
3 Dua jenis struktur utama mikroenkapsulasi ………………………….
16
4 Perubahan kadar air sampai menjadi kadar air kritis…………………
24
5 Skema proses spray dryer minyak cengkeh…………………………
31
6 Hasil analisa kadar air pada kombinasi bahan pengisi………………
41
7 Hasil analisa densitas kamba pada kombinasi bahan……………….
42
8 Hasil analisa daya kelarutan pada kombinasi bahan………………..
44
9 Hasil analisa rendemen pada kombinasi bahan…………………….
46
10 Hasil analisa daya mawur cengkeh powder…………………………
47
11 Uji organoleptik aroma spicy cengkeh powder ……………………
48
12 Uji organoleptik aroma sweet cengkeh powder …………………..
49
13 Uji organoleptik warna cengkeh powder ……………………………
50
14 Kurva isotermis sorpsi air cengkeh powder …………………………
54
iv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1
Daftar bahan kimia untuk pengenalan dasar panelis……………
64
2
Hasil seleksi panelis…………………………………………….
65
3
Lembar pengujian panelis terhadap intensitas cengkeh…………
64
4
Form organoleptik uji kesukaan cengkeh powder………………
67
5
Hasil perhitungan rendemen cengkeh powder …………………
68
6
Hasil perhitungan kelarutan minyak cengkeh …………………
69
7
Hasil perhitungan kadar air cengkeh powder……………………
70
8
Hasil perhitungan densitas kamba cengkeh powder………………
71
9
Hasil uji organoleptik panelis …………………………………….
72
10
Data analisa statistik ………………………………………………
74
v
I. PENDAHULUAN Latar Belakang Secara umum, banyak dari komponen flavor yang sangat mudah menguap dan secara kimiawi
mudah mengalami perubahan atau tidak stabil karena adanya
pengaruh udara, sinar matahari, kadar air dan panas (Bhandari et al 1992). Teknik mikroenkapsulasi menjadi sangat popular untuk meminimalkan problem kerusakan/ hilangnya komponen perisa makanan pada saat penyimpanan (Reineccius 1989). Berbagai macam teknik telah dikembangkan untuk mengenkapsulasi bahan pangan, pewarna, vitamin, flavor dan berbagai macam sensitif ingredien dengan tujuan untuk meningkatkan umur simpannya, salah satu diantaranya adalah dengan teknik metode pengeringan semprot (Onwulata 2005). Didalam pembuatan perisa bubuk dengan metode pengeringan semprot, tahap awal yang harus dikerjakan adalah pemilihan bahan pengisi yang sesuai. Syarat untuk bahan pengisi yang digunakan adalah mampu membentuk emulsi, membentuk film yang baik, viskositas rendah pada tingkat padatan tinggi, menghambat kelembaban yang rendah, tidak atau sedikit memiliki rasa, stabil dan memproteksi flavor dengan baik (Onwulata 2005). Beberapa jenis dari pati dari golongan natural polymer seperti gum arabika, agar, pati (modified/native), wax, paraffin, kasein, gelatin, kitosan, protein kedelai, karagenan dan dekstrin dapat digunakan sebagai bahan pengisi ataupun dinding pelindung dalam mikroenkapsulasi bahan (Apriyantono 2001).
2
Gum arabika dan pati termodifikasi telah banyak digunakan sebagai bahan pengisi dalam proses metode pengeringan semprot ini, namun penggunaannya kurang ekonomis dan ketersediaan bahan baku yang terbatas (Bertolini 2001). Pati alami terutama tapioka sudah dimanfaatkan untuk keperluan aplikasi industri
pangan seperti glukosa, fruktosa, aplikasi pembuatan mie dan kue kue
tradisional lainnya. Untuk itu pengembangan aplikasi penggunaan pati alami sebagai bahan baku untuk keperluan aplikasi industri perlu dikembangkan lagi sehingga hasil produksi yang tinggi dapat dimanfaatkan. Balagopalan (1988) dalam penelitiannya yang mempelajari rheologi dari tapioka menyatakan bahwa tapioka memiliki shear stress dan viskoistas/ nilai kekentalan yang paling tinggi dibandingkan dengan sweet potato dan tepung maizena. Tabel 1
Perkembangan Ekspor Komoditi Tapioka Dunia Tahun 1999 - 2004
Tapioka Exports - Qty (Mt)
Year 1999
2000
2001
2002
2003
2004
Brazil
766
990
979
1,077
1,186
1,399
Ghana
0
0
0
61
43
9
Indonesia
48,273
5,443
8,946
9,738
5,828
29,426
Thailand
15,861
15,921
18,737
22,612
23,881
26,742
Others World
12,515
15,463
19,130
21,742
31,875
30,771
77,415
37,817
47,792
55,230
62,813
88,347
Total Sumber : FAO
Tabel 1 menjelaskan mengenai peningkatan ekspor tapioka pada periode tahun 1999 – 2004 yang terbesar terjadi di negara Brazil (82,64%) yang diikuti oleh
3
negara Thailand (68,60%) dan besarnya peningkatan ekspor di Indonesia adalah sebesar 39,04% (Biro Pusat Statistik 2004) Untuk komoditi tapioka, kontribusi terbesar adalah konstribusi dari negara Thailand sebesar 34%, diikuti dengan Indonesia dengan konstribusi sebesar 29%, Brazil 2%, dan sisanya oleh negara – negara lainnya seperti yang terlihat pada Gambar 1 (Central Bureau of Statistic, 2004).
Ghana 0%
Brazil 2% Indonesia 29%
Others 35%
Thailand 34%
Gambar 1 Share Perkembangan Ekspor Komoditi Tapioka Dunia, Tahun 1999 – 2004 Tapioka memiliki karakter sifat fisik dan kimia sebagai bahan pengisi, untuk itu penelitian ini dilakukan untuk mempelajari keefektifan dari tapioka sebagai bahan pengisi dibandingkan dengan standar pembanding penggunaan gum arabika yang sudah dikenal memilki daya enkapsulan yang baik (Onwulata 2005). Penelitian ini juga mempelajari perkiraan umur simpan dari hasil enkapsulasi menggunakan pati tapioka dibandingkan dengan gum arabika.
4
TUJUAN DAN MANFAAT Tujuan Penelitian Tujuan dari tugas akhir yang akan dilakukan adalah untuk mempelajari karakteristik tapioka dan gum arabika sebagai bahan enkapsulasi minyak cengkeh dan memperkirakan umur simpannya. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai cara memanfaatkan tepung tapioka
sebagai bahan enkapsulasi dengan metode
pengeringan semprot. Dengan pemanfaatan kualitas yang tinggi dari pati alami akan menambah alternatif penggunaan bahan pengisi dalam proses teknologi pengeringan semprot dengan mempertimbangkan keefektif biaya bahan baku yang digunakan.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
KARAKTERISTIK TAPIOKA Tapioka (Manihot esculenta ) dikenal dengan berbagai macam nama tergantung pada asal negaranya. Nama “Tapioka” dikenal di Asia, “Manioc” dikenal di Afrika dan “ Manioca”,”Yucca” dan “mandioca” dikenal di wilayah selatan Amerika (Balagopalan 1988). Dibandingkan dengan sumber pati yang lainnya seperti jagung, beras dan gandum, tapioka memiliki kandungan strach yang tinggi dan sangat rendah kandungan kotorannya. Oleh sebab itu tapioka merupakan material yang luar biasa dalam memproduksi pati dengan mempertimbangkan kemudahan ketersediaannya (availability), harga bahan dasarnya dan kemudahan proses ekstraksinya. Karakteristik yang terpenting dari tapioka adalah sebagai berikut (1) Tapioka memiliki warna putih, (2) Tidak memiliki bau / aroma yang khas seperti pati pada umumnya sehingga banyak diaplikasikan untuk produk pangan dan kosmetik, (3) Secara organoleptik, tapioka tidak menimbulkan after taste seperti tepung jagung dan proses pembuatan tapioka sangat cocok diaplikasikan untuk produk dengan berbagai perisa seperti pudding dan isi dari pie, (4) Pada saat dimasak tapioka memiliki kejernihan (paste clarity) sehingga bisa dikombinasikan dengan bahan pewarna, (5) Memiliki perbandingan kandungan amilopektin : amilosa 80 : 20, tapioka mempunyai nilai viskositas yang tinggi, yang sangat berguna untuk berbagai aplikasi produk pangan (Raja 1990). Beberapa karakteristik penting dari tapioka dapat dilihat pada Tabel 2.
6
Tabel 2
Spesifikasi tapioka
Parameter / Kualifikasi Moisture (% bk maksimum) Starch ( % minimum by Polarimetric Method) pH Pulp ( Maximum cm3) Ash ( % Maximum) Color Viscocity (cp) (www.tapiocathai.org)
Spesifikasi 13 85 5–7 0.2 0.2 White 550
Menurut Radiyati dan Agusto (1990), kualitas tapioka sangat ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu : (1) Warna tepung; tepung tapioka yang baik berwarna putih, (2) Kandungan air; tepung harus dijemur sampai kering benar sehingga kandungan airnya rendah, (3) Banyaknya serat dan kotoran; usahakan agar banyaknya serat dan kayu yang digunakan harus yang umurnya kurang dari 1 tahun karena serat dan zat kayunya masih sedikit dan zat patinya masih banyak, (4) Tingkat kekentalan; usahakan daya rekat tapioka tetap tinggi dan juga untuk menghindari penggunaan air yang berlebih dalam proses produksi. Tepung tapioka banyak digunakan untuk aplikasi pada produk pangan seperti produk bakery , beverage dan confectionery. Tepung tapioka juga banyak digunakan untuk keperluan pengental (thickening) , bahan pengikat/ perekat (binding), memberi bentuk produk pangan ( texturizing) dan sebagai bahan penstabil (stabilizing agent). Tapioka juga banyak digunakan sebagai filler /bahan pengisi pada produk perisa makanan, pemanis / sweetener dan bahan pengganti lemak /fat replacement pada berbagai produk pangan termasuk dalam bentuk canned, produk pangan beku, dry
7
mixes, makanan ringan/snacks, dressings, soups, saus, produk susu, produk daging dan ikan. Pati tapioka diaplikasikan pada berbagai produk confectionery untuk berbagai macam kegunaan sebagai gelling, pengental / thickening, penstabil tekstur / texture stabilizing, foam strengthening, mencegah pengkristalan/ crystallization inhibition, adhesi / adhesion dan glazing. Karena tapioka memiliki tingkat kekentalan yang rendah maka tapioka juga dipergunakan secara luas untuk pembuatan jelly dan buble gums /permen karet.
KARAKTERISTIK MINYAK CENGKEH / CLOVE OIL Indonesia merupakan negara produsen dan sekaligus konsumen cengkeh terbesar di dunia karena sebagian besar cengkeh yang diproduksi adalah untuk memenuhi kebutuhan bahan baku pabrik rokok kretek. Tanaman cengkeh (Syzygium aromaticum) di Indonesia lebih kurang 95% diusahakan oleh rakyat dalam bentuk perkebunan rakyat tersebar di seluruh propinsi. Cengkeh merupakan tanaman rempah yang termasuk komoditas sektor perkebunan yang mempunyai peranan cukup penting antara lain dalam menyumbang pendapatan petani dan sebagai sarana untuk pemerataan wilayah pembangunan serta turut serta dalam pelestarian sumber daya alam dan lingkungan (Ruchnayat 1997). Sejak zaman dahulu cengkeh sudah banyak digunakan untuk berbagai keperluan yaitu sebagai bahan obat-obatan, penambah rasa dan aroma pada makanan ataupun minuman, kemudian berkembang menjadi bahan baku rokok kretek.
8
Indonesia merupakan penghasil cengkeh terbesar didunia setelah Madagaskar (Nurdjannah 1997). Hasil utama tanaman cengkeh yaitu bunga dan daunnya sangat berfluktuasi dari tahun ke tahun sehingga dikenal dengan adanya musim panen besar dan kecil yang perbedaannya hingga mencapai 60%. Hal ini menyebabkan pengadaan cengkeh dipasaran tidak stabil sedangkan penggunaan cengkeh untuk makanan, minuman dan obat-obatan relatif tetap. Untuk mengantisipasi keadaan tersebut perlu adanya suatu teknik penganekaragaman hasil tanaman cengkeh agar ketersediaanya di pasaran tidak terhambat dan tidak merusak mutu hasil olahan cengkeh tersebut selama penyimpanan (Nurdjannah 1997). Pengolahan cengkeh dilakukan dengan cara ekstraksi. Ekstraksi minyak dilakukan pada bagian bunga, tangkai bunga dan daunnya.
Dari ketiga bagian
tersebut yang paling ekonomis adalah ekstrak bagian daunnya. Oleh karena itu jenis minyak cengkeh yang umum diperjual belikan adalah minyak daun cengkeh ( clove leaf oil ) (Nurdjannah et al. 1990). Minyak daun cengkeh biasa diperoleh dari daun cengkeh yang sudah gugur. Komposisi minyak yang dihasilkan bervariasi tergantung dari keadaan daun serta cara destilasinya, minyak yang dihasilkan mengandung eugenol antara 80 – 88% dengan kadar eugenol asetat yang rendah tetapi kadar coryophyllene yang tinggi. Penyulingan daun dengan kadar air sekitar 7 – 12% yang dilakukan dalam tanki stainless steel volume 100 liter selama 8 jam, menghasilkan minyak dengan rendemen 3.5% dan total eugenol 76.8% (Nurdjannah et al. 1990).
9
Sumber ekstraksi minyak cengkeh diantaranya yaitu : (1) Bud oil berasal dari pucuk bunga dari S.aromaticum, terdiri dari 60-90% eugenol, eugenyl acetate, caryphyllene dan komponen lainnya dalam jumlah kecil, (2) Leaf oil berasal dari daun S.aromaticum, terdiri dari 82-88% eugenol, tidak terdeteksi adanya eugenyl acetate dan komponen lainnya dalam jumlah kecil, (3) Stem oil berasal dari ranting S.aromaticum, terdiri dari 90-95% eugenol dan beberapa komponen lainnya dalam jumlah kecil (Weiss 1997). Cengkeh digunakan untuk keperluan sehari – hari rumah tangga sebagai penambah rasa dan aroma khususnya untuk memasak,
produk makanan yang
menggunakan cengkeh diantaranya adalah bumbu kare (curry powder), saus dan makanan yang dipanggang (baked foods) (Nurdjanah 1997). Cengkeh dalam indutri rokok berguna untuk memberikan aroma pada kretek , memberikan rasa panas dan sifat mengkretek juga memberikan rasa menggigit, langu dan pahit. Cengkeh juga digunakan dalam industri obat karena cengkeh memiliki efek farmakologi, antimetik, antiseptik dan antipasmodik (Perry dan Metzger 1990).
KARAKTERISTIK GUM Gum diklasifikasikan ke dalam tiga golongan besar yaitu gum alamiah, gum termodifikasi dan gum sintetik. Gum alamiah adalah gum yang merupakan hasil sekresi dari bagian kulit atau batang tanaman (Plant Exudation), berupa cairan yang kental dan akan menjadi padat jika dibiarkan dingin. Cairan ini akan keluar apabila kulit batang tanaman terluka, untuk mecegah terjadinya pengeringan pada jaringan dibawahnya. Gum yang diekstrak dari tanaman yang termasuk dalam genus Acacia,
10
antara lain adalah gum arabika (Acacia arabica) dan gum senegal (Acacia senegal) (Reineccius 1995). Gum arabika merupakan polisakarida netral atau sedikit asam, biasanya terdapat dalam bentuk garam Ca, Mg dan K. Gum juga merupakan senyawa yang tidak dapat dicerna dan dapat digolongkan berdasarkan kelarutannya menjadi dua golongan besar yaitu gum yang larut air (hidrofilik) dan gum yang tidak larut air (hidrofobik). Gum yang hidrofilik dapat dilarutkan atau didispersikan dalam air panas atau air dingin untuk meningkatkan viskositas larutan (Bertolini 2001). Gum arabika dapat digunakan untuk memperbaiki viskositas, tekstur dan bentuk dari makanan. Selain itu gum arabika dapat mempertahankan flavor dari makanan yang dikeringkan dengan menggunakan pengering semprot (spray drier). Hal ini disebabkan gum arabika dapat membentuk lapisan yang dapat melapisi partikel flavor, sehingga melindungi partikel flavor tersebut dari oksidasi, evaporasi dan absorpsi air dari udara terutama untuk produk produk yang higroskopis (Reineccius 2002). Gum arabika merupakan senyawa kompleks hetero polisakarida yang terdiri dari L-arabinosa, L-rhamnosa, D-galaktosa dan D-asam glukoronat serta mengandung ion kalsium, magnesium dan kalium. Struktur utama molekulnya adalah unit unit1,3 galaktopiranosa dengan rantai cabang 1,6 galaktopiranosa sebagai pangkal bagi asam glukoronat atau 4-0-metil glukoronat (Krishnan et al. 2005). Dalam industri pangan, gum arabika digunakan sebagai penstabil busa dalam minuman berkarbonasi, pengikat aroma dan juga sebagai penstabil dan pengemulsi dalam pembuatan es krim . Gum arabika termasuk dalam golongan GRAS (Generally
11
Recoqnized As Safe), tidak beracun dan tidak berbahaya untuk dikomsumsi manusia (Reineccius 2002).
ENKAPSULASI FLAVOR Flavor didefinisikan oleh Dordland et al ( 1977), sebagai sensasi dari makanan minuman dan seasoning yang dihasilkan dari ransangan terhadap indra pada saat makanan masuk ke dalam saluran makanan dan pernafasan, terutama untuk atribut rasa dan bau. Pohborn dan Rusell ( 1977), menyatakan bahwa perisa makanan merupakan kombinasi dari rasa, bau dan perasaan (taste, smell and mouthfeel). Hall (1968) menambahkan bahwa perisa makanan merupakan salah satu pertimbangan utama dari masyarakat untuk menerima suatu produk pangan, disamping penampakan dan teksturnya. Sedangkan menurut Lindsay (1985), perisa makanan didefinikan sebagai gabungan perpsepsi yang diterima oleh indra kita yaitu bau, rasa , penampakan, sentuhan dan bunyi saat kita mengkomsumsi makanan. Tiga sensasi yang ditimbulkan perisa makanan pada indra kita adalah rasa, bau dan tekstur. Menurut Burdock (1991), klasifikasi perisa makanan berdasarkan legal status adalah : 1.
Natural merupakan senyawa –senyawa yang diekstrak dari bahan – bahan yang terdapat dialam. Contohnya : vanilin , orange oil dan celery oil.
2.
Natural Identical merupakan senyawa – senyawa yang dapat diekstrak atau terdapat di alam, tetapi pada prosesnya dibuat secara kimia. Umumnya flavor yang dibuat dari bahan alam ini lebih murah dibandingkan dengan Natural. Suatu bahan disebut Natural Identical bila prosesnya dilakukan secara sintetis
12
kimiawi dan sedikitnya 99% sama dengan bahan aslinya. Contohnya : etil asetat dan lakton. 3.
Artificial merupakan senyawa yang tidak terdapat di alam dan hanya dapat dibuat melalui proses sintesis tetapi dapat memberikan efek flavor tertentu. Contohnya senyawa articial adalah ethyl vanillin yang mempunyai struktur dan perisa makanan yang hampir sama dengan vanilin tetapi sampai saat ini belum ditemukan secara alami. Menurut Chee-Teck Tan (1995), bahan-bahan dasar perisa makanan biasanya
mempunyai satu atau lebih sifat – sifat berikut (1) mempunyai konsentrasi tinggi (2) sangat volatil (3) dapat larut atau berinteraksi dengan air (4) mudah teroksidasi. Bahan – bahan penyusun perisa makanan biasanya dilarutkan dalam pelarut netral untuk memudahkan penggunaannya. Pelarut yang umumnya digunakan adalah air, triacetin, etanol, minyak, propilen glikol, gliserol dan isopropanol. Berdasarkan bentuk fisiknya perisa dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelas yaitu bentuk cair (liquid flavourings), bentuk emulsi (emulsions), bentuk pasta atau padat (paste atau solid flavourings) dan bentuk powder kering (Winarno 2002). Menurut Chee-Teck Tan (1995), teknologi yang banyak terlibat dalam pembuatan flavor untuk digunakan pada produk pangan antara lain (1) Pencampuran / compounding (2) Emulsi / mikroenkapsulasi (3) Mikro emulsi (4) Spray dring (5) Spray chilling (6) Ekstruksi (7) Adsorpsi (8) Molecular inclusion (9) Coacervation (10) Co-crystallization (11) Pembentukan liposom. Pengeringan Semprot merupakan metode yang paling populer untuk membuat produk flavor bubuk dari flavor cair dan mengenkaspulasi flavor untuk mengontrol
13
pelepasannya. Pengeringan semprot melibatkan tiga tahapan : (1) Persiapan carrier atau matriks pelindung, (2) Mencampur flavour ke dalam larutan carrier dan dihomogenisasi untuk membuat emulsi dan (3) Atomisasi emulsi ke dalam ruang pengering untuk menguapkan air dari fase air pada butiran emulsi (Winarno 2002). Menurut Master (1979), pengeringan semprot adalah proses perubahan bahan dari bentuk cair ke bentuk partikel kering oleh suatu proses penyemprotan bahan kedalam medium kering dan panas. Sedangkan menurut Greenwald dan King (1981), produk kering yang dihasilkan dapat berupa tepung, butiran atau gumpalan, tergantung sifat fisik dan kimia bahan yang dikeringkan. Menurut Onwulata (2005), tahapan-tahapan dalam pengeringan semprot adalah : (1) Persiapan larutan matriks pelindung (2) Pencampuran perisa pada larutan dan dibuat emulsi dengan proses homogenisasi (3) Proses atomisasi perisa emulsi dalam dry chamber untuk menguapkan air dari fase air pada droplet emulsi. Prinsip kerja pengeringan semprot adalah bahan dipompa ke dalam atomizer, proses ini mengasilkan partikel bahan berukuran kecil dan seragam. Partikel-partikel tersebut dikeringkan oleh udara pemanas yang berasal dari heater electric. Dalam chamber pengering partikel mengalami proses pemanasan secara mendadak dan cepat sehingga dihasilkan bahan yang berbentuk bubuk, selanjutnya aliran udara panas akan membawa bubuk tersebut ke cyclon. Produk terpisah dari udara karena adanya gaya sentrifugal yang bekerja pada gerakan produk di cyclon, seperti terangkum pada Gambar 2 .
14
Tahap atomisasi Tahap : Pemisahan produk dari udara kering Tahap 2 : kontak partikel udara Scrubber R. Pengering Siklon
Produk
Tahap :Evaporasi
Gambar 2
Tahapan proses pengeringan semprot
Teknik enkapsulasi dengan metode pengeringan semprot ditujukan untuk mengkonversikan perisa cair atau produk cair menjadi perisa padat atau bubuk sekaligus mencegah kerusakan komponen perisa. Kerusakan komponen perisa dapat terjadi karena penguapan, oksidasi cahaya dan oksigen. Kerusakan ini pada akhirnya dapat menyebabkan off flavor. Enkaspulasi diharapkan dapat mencegah kerusakan perisa (Reinecius 1989).
15
Menurut Food Science and Technology Comittee (2005), metode pengeringan semprot meliputi pendispersian bahan yang akan dilapisi ke dalam larutan pelapis dan penyemprotan larutan tersebut ke dalam udara panas. Saat terjadi kontak dengan udara panas, pelarut yang umumnya berupa air akan dilepaskan sehingga pemadatan pelapis dapat terjadi dengan pelapis atau penyalut atau bahan pelindung dapat dipecah dengan adanya panas, tekanan, proses pengadukan ataupun dengan melarutkannya dengan pelarut yang cocok sehingga kandungan bahan didalamnya akan terlepaskan (Takeoka 2001). Selama proses enkapsulasi, setiap komponen perisa memiliki partikel emulsi yang berbeda serta memiliki perbedaan tekanan, titik didih , panas laten atau evaporasi, panas spesifik cairan dan tekanan. Beberapa komponen perisa dapat membentuk azeotrop dengan air pada emulsi. Karena komponen yang berbeda secara fisik, komponen perisa akan hilang beberapa derajat selama proses pengeringan semprot. Hal inilah yang menyebabkan produk hasil pengeringan semprot memiliki sedikit karakter aroma yang sedikit berbeda/ lebih lemah dibandingkan perisa aslinya (Winarno 2002). Bahan pengisi seringkali dikombinasikan agar didapatkan semua sifat yang dibutuhkan dan lebih ekonomis. Kombinasi yang sering digunakan adalah antara gum arab dan maltodekstrin. Gum arabika adalah bahan pengisi yang memiliki viskositas yang tinggi. Gum arabika sering digunakan karena memiliki kemampuan emulsifikasinya dan kemampuan membentuk filmnya baik (Bhandari et al., 1992). Bahan pengisi atau pelapis disebut juga sebagai kulit, dinding atau membran, dapat berasal dari film forming (pembuat lapisan tipis) polimer natural atau sintesis.
16
Memilih pelapis harus berdasarkan pada sifat kimia maupun fisik bahan aktif, bahan pelapis harus tidak larut dan tidak bereaksi dengan zat aktif. Ide dasar dari mikroenkaspulasi berasal dari sel, yaitu permeabilitas selektif membran sel memberikan perlindungan tehadap inti sel dari kondisi lingkungan yang berubahubah dan berperan dalam pengaturan metabolisme sel (Reineccius
2002).
Mikroenkapsulasi yang berkembang saat ini menggunakan prinsip yang sama untuk melindungi bahan aktif dari kondisi lingkungan yang tidak mendukung. Dua jenis struktur utama dari mikroenkapsulasi adalah satu inti (single core) dan banyak inti (multiple core) pada bagian dindingnya seperti telihat pada Gambar 3. Mikroenkapsulasi dengan satu inti biasanaya diproduksi dengan cara coacervation, droplet co-extrusion dan pemasukan molekul.
Mikroenkapsulasi dengan struktur
banyak inti dibagian dindingnya umumnya diproduksi dengan menggunakan teknik pengeringan semprot. Bahan inti tersebar secara merata di bagian dinding dan bagian tengah mikrokapsul biasanya berupa rongga kosong yang dihasilkan dari pemuaian selama tahap –tahap pengeringan akhir ( Reineccius 2002).
Gambar 3.
Dua jenis struktur utama mikroenkapsulasi
17
Keuntungan pembuatan perisa powder terenkapsulasi yang dilanjutkan dengan pengeringan menggunakan pengering semprot adalah sebagai berikut: (1) Kekuatan dan kualitas perisa bertahan cukup lama selama penyimpanan, (2) Bersifat tidak mudah menguap karena material perisa berada dalam lapisan tertutup yang melindunginya dari penguapan dan perubahan oksidatif, (3) Ketika dilakukan pencampuran dengan air, kapsul menjadi pecah dan membebaskan perisa dalam bentuk awan mikrokospik , (4) Memiliki Aw yang rendah (0.2 – 0.3), (5) Produk menjadi kering tanpa menyentuh permukaan logamyang panas, suhu produk akhir rendah walaupun udara pengering yang digunakan relatif tinggi, (6) Mempermudah penanganan /handling dan transportasi dan (7) Waktu pengeringan yang singkat sehingga cocok diterapkan pada bahan yang mudah rusak apabila dipanaskan dalam waktu yang relative lama (Onwulata 1996). Kriteria keberhasilan suatu bahan yang diproses dengan metode pengeringan semprot tersebut adalah mempunyai rasa, bau dan penampakan yang sebanding dengan produk segar atau produk- produk yang telah diolah dengan cara lain, dapat direkonstruksi dengan mudah, masih mempunyai nilai gizi yang tinggi dan harus mempunyai stabilitas penyimpanan yang baik (Suratmi 1993). Selain keuntungan diatas pengeringan semprot juga mempunyai kekurangan yaitu biaya operasi yang cukup tinggi dibandingkan dengan alat pengeringan yang lain dan produk hasil pangan semprot ini cenderung bersifat higroskopis yang akan menurunkan mutu selama penyimpanan jika proses pengemasan kurang baik (Onwulata 1996).
18
UMUR SIMPAN Umur simpan atau masa kadaluwarsa (shelf life) didefinisikan oleh Ellis (1994) sebagai waktu antara saat produk di produksi dan dikemas, sampai saat produk tidak dapat diterima lagi pada kondisi lingkungan dimana produk tersebut digunakan. Menurut Syarief dan Halid (1993), hasil atau akibat dari berbagai reaksi kimiawi yang terjadi dalam produk pangan bersifat akumulatif dan irreversible (tidak dapat dipulihkan kembali) selama penyimpanan, sehingga pada saat tertentu hasil rekasi tersebut mengakibatkan mutu makanan tidak dapat diterima disebut sebagai jangka waktu kadaluarsa. Selanjutnya ditambahkan bahwa pangan disebut rusak apabila bahan pangan tersebut telah kadaluarsa, yaitu telah melampui masa simpan optimumnya dan pada umumnya makanan tersebut menurun mutu gizinya meskipun penampakannya masih bagus. Menurut Institute of Food of Technology seperti dikutip Arpah (2001), umur simpan produk pangan adalah selang waktu antara saat produksi hingga saat komsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur dan nilai gizi. Menurut Arpah (2001), umur simpan adalah waktu hingga produk mengalami penurunan mutu.
Penyimpangan suatu
produk dari mutu awalnya disebut deteriosas /penurunan mutu. Reaksi deteriosasi merupakan suatu reaksi kimia, oleh karena itu mekanisme deteriosasi dapat dianalisa secara matematika. Dengan analisa tersebut, waktu produk pangan mulai rusak dapat diketahui sehingga umur simpan produk pangan dapat ditentukan.
19
Menurut Labuza (1982), seharusnya konsumen memperoleh informasi tentang umur simpan dari produk yang dikomsumsinya. Informasi tersebut dapat berupa tanggal pada saat produk diproduksi (pack date), tanggal apda saat produk diletakan di toko (display date), tanggal terakhir yang dianjurkan bagi konsumen untuk membeli produk tersebut sehingga masih mempunyai jangka waktu untuk mengkomsumsinya, tanpa produk tersebut mulai mengalami kerusakan (pull date atau sell by date) atau tanggal pada saat kualitas produk sudah tidak dapat diterima lagi oleh konsumen ( use by date atau expiration date). Dibeberapa negara maju telah ditetapkan peraturan bahwa produk makanan harus menetapkan tanggal minimum yang menunjukan produk tersebut mulai rusak. The best before merupakan tanggal yang menunjukan jangka waktu minimum dari produk diproduksi sampai produk sudah tidak dapat diterima lagi secara fisik dan kualitasnya. Sedangkan use by merupakan tanggal yang menunjukan jangka waktu minimum dari produk diproduksi sampai mengalami kerusakan mikrobiologis yang berbahaya bagi kesehatan (Ellis 1994). Syarief dan Halid (1993), menyatakan bahwa perubahan mutu makanan terutama dapat diketahui dari perubahan faktor mutu tersebut, oleh karenanya dalam menentukan daya simpan suatu produk perlu dilakukan pengukuran terhadap atribut mutu produk tersebut. Menurut Syarief et al. (1989) faktor –faktor yang mempengaruhi umur simpan bahan pangan yang dikemas adalah sebagai berikut : 1. Keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen dan kemungkinan terjadinya perubahan kimia internal dan fisik.
20
2. Ukuran kemasan dalam hubungannya dengan volume. 3. Kondisi atmosfir (terutama suhu dan kelembaban) dimana kemasan dapat bertahan selama masa transit dan sebelum digunakan. 4. Kemasan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas dan bau, termasuk perekatan, penutupan dan bagian-bagian yang terlipat. Penentuan umur simpan produk pangan merupakan suatu jaminan mutu industri pangan bahwa produk pangan yang bermutu baik saja yang didistribusikan ke konsumen.
Menurut Floros (1993), umur simpan produk pangan dapat diduga
kemudian ditetapkan waktu kadaluarsanya dengan menggunakan dua konsep studi penyimpanan produk pangan yaitu dengan Extended Storage Studies (ESS) atau metode konvesional dan Accelerated Storage Studies (AAS) atau metode akselerasi. Penentuan umur simpan secara konvensional membutuhkan waktu yang lama karena dilakukan dengan cara menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan penurunan mutunya. Metode akselerasi diterapkan pada produk pangan dengan memvariasikan kondisi kelembaban relative (RH), suhu, atau intensitas cahaya, baik secara sendiri- sendiri maupun gabungannya. Keuntungan metode ini adalah memerlukan waktu yang relative singkat, tetapi tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang tinggi (Floros 1993).
PERKIRAAN UMUR SIMPAN BERDASARKAN PERUBAHAN KADAR AIR. Kerusakan produk pangan dapat disebabkan oleh adanya penyerapan air oleh produk pangan selama penyimpanan. Produk pangan yang dapat mengalami
21
kerusakan seperti ini diantaranya adalah produk kering seperti makanan ringan, biskuit, krupuk, permen dan sebagainya. Kerusakan produk dapat diamati dari penurunan kekerasan dan kerenyahan dan/atau peningkatan kelengketan atau penggumpalan (Kusnandar 2010). Produk pangan yang mengandung kadar sukrosa tinggi seperti permen, umumnya bersifat higrokopis dan mudah mengalami penurunan mutu selama penyimpanan yang disebabkan oleh terjadinya penyerapan air. Umur simpan produk seperti ini akan ditentukan oleh seberapa mudah uap air dapat bermigrasi ke dalam produk selama penyimpanan dengan menembus kemasan. Semakin besar perbedaan antara kelembaban relatif lingkungan penyimpanan dibandingkan dengan kadar air produk pangan, maka air akan semakin mudah bermigrasi (Hariyadi 2004). Laju penyerapan air oleh produk pangan selama penyimpanan dipengaruhi oleh tekanan uap air murni pada suhu udara tertentu, permeabilitas uap air, dan luasan kemasan yang diguanakan, kadar air awal produk, berat kering awal produk , kadar air kritis, kadar air kesetimbangan pada RH penyimpanan dan slope kurva isotermis sorpsi air. Faktor - faktor tersebut diformulasikan oleh Labuza dan Schmidl (1985) menjadi model matematika seperti pada persamaan matematika dan digunakan sebagai model untuk menduga umur simpan. Model matematika ini dapat diterapkan khususnya untuk produk pangan kering yang memiliki kurva isoterm sorpsi air (ISA) berbentuk sigmoid (Kusnandar 2010). Menurut Labuza dan Schmidl (1985), pengujian akselerasi dapat diaplikasikan pada produk kering jika secara berkesinambunagn kadar air produk berubah selama penyimpanan dan jika kecepata kerusakan hanya tergantung pada kadar air dan suhu.
22
Metode ini didasarkan kepada kecepatan kerusakan dengan perlakuan produk pada kelembaban relatif (RH) dan suhu tinggi. Untuk melakukan percobaan dengan benar, perkiraan kriteria mutu produk harus cocok dan mewakili secara keseluruhan. Peningkatan kadar air pada produk kering dapat menyebabkan beberapa tipe kerusakan dinatarnya kehilangan kerenyahan, pengerasan dan penggumpalan. Selanjutnya Labuza dan Schmidl (1985), menambahkan bahwa penelitian tentang umur simpan dapat dilakukan pada kondisi dipercepat (akselerasi), yang selanjutnya dapat digunakan untuk memperkirakan umur simpan pada suhu rendah. Kondisi akselerasi dapat dilakukan dengan mengkondisikan bahan pada suhu dan RH yang tinggi sehingga kadar air kritis lebih cepat tercapai daripada kondisi normal atau kondisi penyimpanan pada suhu rendah. Metode akselerasi ini dilakukan hanya untuk mempercepat proses perkiraan umur simpan sedangkan pengamatan pada kondisi normal tetap dilakukan sebagai kontrol. Labuza (1982), menyatakan bahwa pertambahan atau kehilangan air dari suatu bahan pangan pada suhu dan kelembaban (RH) yang konstan dapat dihitung dengan persamaan berikut : Dw/ Dθ
= k A (Pout – P in) x
Keterangan : dW / dθ = jumlah air yang bertambah atau berkurang per hari (g) k = Permeabilitas kemasan (g H 2 O/hari,mmHg) A = Luas Permukaan kemasan (m) P out = Tekanan uap air diluar kemasan (mmHg) P in = Tekanan uap air dalam kemasan (mmHg)
23
Lebih lanjut Labuza (1982), menambahkan bahwa dengan meningkatnya suhu dan kelembaban udara pada kondisi penyimpanan bahan pangan kering yang disimpan dalam kemasan, dapat mengakibatkan meningkatnya kadar air pada bahan pangan tersebut sampai mencapai kondisi yang tidak diinginkan. Kondisi suhu dan kelembaban udara yang tinggi dapat digunakan untuk mempersingkat waktu perkiraan umur simpan suatu produk pangan atau disebut dengan metode akselerasi. Faktor – faktor yang dibutuhkan untuk memperkirakan umur simpan suatu bahan pangan kering yang dikemas adalah sebagai berikut : 1. Kurva isoterm sorpsi air Kurva sorpsi isothermis ini diasumsikan sebagai garis linier dengan persamaan sebagai berikut : m = ba + c Keterangan : m = Kadar air bahan (%bk) a = aktivitas air b = slope kurva c = intersep kurva Secara alami, produk pangan ada yang bersifat mneyerap air atau melepaskan air, yang dapat digambarkan dalam kurva isotermis, yaitu kurva yang menunjukan hubungan antara kadar air bahan pangan (Me) dengan kelembaban relatif kesetimbangan ruang penyimpanan (RHs) atau aktivitas air pada suhu tertentu. Istilah sorpsi air dipakai untuk penggabungan air ke dalam bahan pangan, sedangkan apabila proses dimulai dengan bahan basah disebut desorpsi (Syarief dan Halid 1993).
24
2.
Permeabilitas kemasan (k/x) k = konstanta permeabilitas
3.
g H2O . Ketebalan (X) hari.area.tekanan uap
Rasio Luas Kemasan (A) dengan berat kering produk (Ws) A/Ws (m2/g padatan)
4.
Kadar air awal produk dan kadar air kritis produk. Dari Gambar 4. Dapat dilihat bahwa kondisi III merupakan kondisi yang
sebenarnya untuk bahan pangan , kemasan dan lingkungannya, kemudian kondisi I merupakan kondisi akselerasi yang dapat mempersingkat waktu untuk mencapai kadar air kritis. Kondisi akselerasi ini dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain menggunakan kemasan dengan permeabilitas uap air atau oksigen yang besar, meningkatkan tekanan uap jenuh, memperkecil ukuran kemasan, meningkatkan suhu dan kelembaban.
Labuza (1982) menggambarkan pertambahan kadar air pada
kondisi akselerasi tergambar pada Gambar 4. Ln Me – Mi Me – Mc
Kadar Air
I 1
II 2
Gambar 4
III 3
4
5
mc untuk RH RH
Perubahan kadar air sampai menjadi kadar air kritis.
25
5.
Kadar air kesetimbangan. Untuk mengontrol a w atau RH ruang penyimpanan, digunakan berbagai jenis
larutan garam jenuh, yaitu garam yang mengandung kelebihan kristal yang tidak larut (Labuza 1982). Berbagai jenis garam yang digunakan untuk mengontrol aktivitas air adalah MgCl 2 , NaBr, KI, NaCl, KCl, KNO 3 digunakan sebagai kalibrasinya karena stabil pada berbagai suhu seperti terlihat pada Tabel 3. NaCl stabil pada berbagai suhu ruang sehingga digunakan sebagai kalibrasinya ( Syarief dan Halid 1989). Tabel 3 Larutan garam jenuh yang digunakan dalam menentukan kadar air kesetimbangan. (Syarief dan Halid 1989). No 1 2
Garam Jenuh NaOH LiCl
RH (%), T 280C 6,9 11,2
3
CH 3 COOK
22,6
4 5
MgCl 2 NaI
32,4 36,3
6
K 2 CO 3
43,0
7 8
Mg(NO 3 ) 2 NaBr
51,3 57,5
9 10
NaNO 2 KI
64,0 69,0
11
SrCl 2
71,0
12 13 14 15
NaNO 3 NaCl * KBr KCl
73,8 75,5 80,7 84,0
16
K 2 Cr 2 O 4
85,9
17
Na 2 SO 4
86,4
18
BaCl 2
90,3
19
NH 4 H 2 PO 4
92,7
20
KNO 3
93,0
21
K 2 SO 4
97,0
26
Pengemasan dan Penyimpanan Mutu produk pangan akan mengalami perubahan (penurunan) selama proses penyimpanan. Umur simpan produk pangan dapat diperpanjang apabila dikathui faktor-faktor yang mempengaruhi masa simpan produk. Upaya memperpanjang masa simpan dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu, meningkatkan nilai mutu dan memperlambat laju penurunan mutu (Hariyadi 2004). Peningkatan nilai mutu awal produk dapat dilakukan dengan memilih dan menggunakan bahan baku yang bermutu baik sedangkan memperlambat laju penurunan mutu produk dapat dilakukan dengan memperbaiki kemasan, faktor penyimpanan, faktor penanganan distribusi atau faktor penanganan lainnya sehingga masa kadaluwarsa produk menjadi lebih lama ( Andarwulan 2004). Pengemasan merupakan parameter yang sangat penting bagi daya kestabilan flavor. Biasanya kemasan alumunium foil bag merupakan yang terbaik bagi berbagai senyawa flavor, tetapi jenis kemasan tersebut tergolong mahal. Pengemasan dan penyimpanan tidak dapat dipisahkan dari proses dalam industri pangan dan merupakan satu kesatuan. Kedua hal ini juga menentukan dalam perkiraaan umur simpannya. Bucle et al (1987) menyatakan, kemasan yang dapat digunakan sebagai wadah
penyimpanan
harus
memenuhi
beberapa
persyaratan
yakni
dapat
memepertahankan mutu produk supaya tetap bersih serta mampu memberi perlindungan terhadap produk dari kotoran, pencemaran dan kerusakan fisik, serta dapat menahan perpindahan gas dan uap air. Pengemasan merupakan teknik dalam industri dan pemasaran untuk mengisi, melindungi, mengidentifikasi dan memudahkan distribusi dari produk yang
27
bersangkutan. Menurut perusahaan kemasan di inggris, pengemasan adalah suatu sistem terkoordinasi dari produk atau barang selama transportasi, distribusi, penyimpanan dan penjualan secara eceran, mengirim secara aman suatu produk kepada konsumen dengan biaya yang minimum dan gabungan antara fungsi teknologi dan ekonomi yang bertujuan untuk meminimalkan harga dan menaikkan penjualan (Rudolf 1986). Menurut Reily and Man (1994), salah satu fungsi penting dari kemasan adalah untuk melindungi produk dari faktor-faktor lingkungan seperti sinar, uap air, gas dan bau. Produk pangan dalam bentuk powder dapat dikemas dengan menggunakan kemasan struktur lapis banyak (multilayer) misalnya polipropilen/alufo atau lapis tunggal seperti LDPE, HDPE dan OPP. Jenis kemasan lain adalah kemasan yang bagian dalamnya dilaminasi dengan foil dan bagian luarnya menggunakan karton, sehingga melindungi dari oksigen dan penyerapan air, sinar serta kerusakan mekanis. Polimer dapat digunakan baik sendiri maupun dengan bahan lain seperti kertas, karton, alumunium foil sesuai dengan bahan pangannya. Alumunium foil bag, film selulosa kuning transparan merupakan kemasan yang sangat bermanfaat. HDPE (High Density Polyethylene) merupakan salah satu jenis film yang lebih kaku dibandingkan LDPE (Low Density Polyethylene), tahan minyak, melindungi produk dari uap air, permeabilitas gasnya kurang bagus apabila dibandingkan dengan LDPE, penampakannya opak. Ketebalan film berkisar 10-12 μm (Rudolf 1986). Kerusakan atau penurunan mutu produk yang dikemas sangat berhubungan dengan transfer masa dan panas (pindah masa dan panas) melalui kemasan. Pada
28
transfer masa, pertukaran uap air dan gas dengan lingkungan sekitar mendapat perhatian utama, disamping migrasi volatil dari atau menuju produk pangan. Perbedaan tekanan parsial sekitar kemasan mengontrol laju permeasi, selain itu adanya lubang, kerusakan dan retaknya kemasan juga akan mempengaruhi reaksi kerusakan (Rudolf 1986).
29
III. METODELOGI
Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di laboratorium PT KH Roberts Indonesia dan laboratorium program studi ilmu pangan di Bogor. Pelaksanan penelitian dilakukan selama 6 bulan dari bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2009. Bahan dan Alat Bahan baku clove oil atau minyak cengkeh (kandungan eugenol 85%) diperoleh dari PT Djasula Wangi, pati tapioka dari National Starch dan gum arabika dari CpKelco, alumunium foil bag, plastik HDPE (High Density Polyethylene), gula , asam sitrat, garam MgCl 2 , NaBr, KI, NaCl, KCl, KNO 3 . Alat yang digunakan adalah oven untuk analisis kadar air, kertas saring whatman 42,desikator, neraca analitik, sealer, penangas listrik, pengaduk magnet, pinggan / cawan, desikator, spray dryer tipe ” Niro Atomizer ”, homogenizer dan alat alat gelas. Tahapan Penelitian Penelitian dilakukan dengan dua tahap, yaitu mempelajari karakteristik minyak cengkeh powder (hasil enkapsulasi) berdasarkan penentuan perbandingan konsentrasi antara bahan pengisi gum arabika dan tapioka pada enkapsulasi minyak berdasarkan pada parameter fisik, kimia dan organoleptik kemudian
dilanjutkan
dengan penentuan umur simpannya menggunakan berbagai kemasan dengan menggunakan metode akselerasi.
30
1.
Karakterisasi Enkapsulasi Minyak Cengkeh.
Pemilihan kombinasi dan jumlah bahan pengisi Menurut Etzel dan King dalam Bhandari et al. (1992) menyatakan jenis dan kombinasi bahan pengisi berkaitan erat dengan kemampuan memerangkap flavor. Kondisi proses experimental perbandingan komposisi bahan pengisi dan kombinasi suhu dijelaskan pada Tabel 4. Perbandingan tapioka dan gum arabika yang akan dikombinasikan adalah 100:0 ; 75:25; 50:50; 25 : 75 dan 0:100 dan jumlah bahan pengisi yang digunakan sebanyak 50 % (May 1996). Jumlah dan kombinasi bahan pengisi
menentukan
kekentalan
adonan
yang
akan
disemprotkan
dan
bertanggungjawab terhadap pembentukan kabut dalam ruang pengering (Bhandari et al., 1992). Tabel 4
Kondisi proses experimental perbandingan bahan pengisi dan kombinasi suhu. Proses
Faktor
Spesifikasi
Formulasi
Bahan enkapsulasi
Tapioka : Gum Arabika 100 : 0 75 : 25 50 : 50 25 : 75 0 : 100 0 180 C
Drying
Suhu Udara Inlet Suhu Udara Outlet
Konsentrasi (% w/w) 50 %
100 0 C
Suhu udara masuk pada alat pengering semprot diatur pada suhu 1800C, sedangkan suhu udara outlet adalah 1000C.
Jumlah bahan
pengisi yang
ditambahkan pada minyak cengkeh adalah jumlah dan kombinasi bahan pengisi
31
optimum. Proses enkapsulasi minyak cengkeh dengan menggunakan kondisi bahan pengisi yang optimum dapat dilihat pada Gambar 4.
Bahan Premix Cair ( Gum arabika ; tapioka ; minyak cengkeh)
Homogenizer ( Gum arabika; tapioka; minyak cengkeh ; rpm 200)
Atomizer ( T inlet 180 0 C )
Chamber ( T outlet 1000 C)
Heater Electric (Gaya sentrifugal)
Cyclon
Gambar 5
Skema proses pengeringan semprot minyak cengkeh
32
Analisa fisik, kimia dan organoleptik produk hasil akhir enkapsulasi. Pengamatan dilakukan dengan melakukan analisis terhadap produk untuk melihat pengaruh jenis bahan pengisi terhadap mutu minyak cengkeh flavor powder. Analisis yang dilakukan meliputi sifat fisik (rendemen, densitas kamba, kelarutan, daya mawur) sifat kimia (kadar air) dan organoleptik (kesukaan terhadap aroma dan warna). 2.
Penentuan umur simpan Penelitian dilakukan untuk memperkirakan umur simpan dari cengkeh powder
yang dienkaspulasi dengan tapioka dan gum arabika yang dikemas dengan menggunakan plastik HDPE dan Alumunium foil bag dengan menggunakan metode akselerasi pendekatan kurva sorpsi isotermis dan disimpan pada suhu 300C dengan RH 30%, 50%, 60%, 70%, 80% dan 90%. Prinsip utama dari pendekatan ini adalah menentukan kadar air kesetimbangan (Me) tapioka yang disimpan pada berbagai nilai RH tempat penyimpanan cengkeh powder sehingga pada akhirnya dapat dibuat kurva sorpsi isotermisnya. Kurva ini akan digunakan untuk mengetahui pola penyerapan uap air sehingga umur simpan cengkeh powder dapat ditentukan. Nilai kadar air kesetimbangan diperkirakan sebagai waktu pada saat kadar air produk sama dengan kadar air kritis. Kadar air kritis merupakan kadar air produk pada saat penampakannya sudah menggumpal. Kondisi suhu dan kelembaban relatif yang cukup tinggi digunakan untuk mempercepat tercapainya kadar air kritis.
33
Pengamatan yang dilakukan berdasarkan tahapan kegiatan sebagai berikut : 1. Penentuan kadar air awal (Mi) minyak cengkeh powder. 2. Penentuan kadar air kesteimbangan (Me) cengkeh powder. 3. Penentuan kadar air kritis (Mc) cengkeh powder. 4. Penentuan variabel pendukung umur simpan seperti permeabilitas kemasan, luas kemasan dan berat solid perkemasan cengkeh powder. 5. Perhitungan dan penentuan umur simpan cengkeh powder.
Metoda Analisa
1. Penentuan karakteristik awal cengkeh powder Uji Organoleptik, uji kesukaan (Rahayu 1994) Untuk mendapatkan panelis terlatih dalam uji organoleptik untuk aroma, maka dilakukan seleksi dengan menggunakan metode uji ambang bau. Penelis dilatih penciumannya dengan memberikan aroma kimia standar yang menjadi karakteristik minyak cengkeh yang baik sehingga panelis terbiasa dengan aroma standar dari flavor cengkeh. Uji ambang bau dilakukan dengan menambahkan sejumlah bahan kimia ke dalam larutan gula asam sederhana. Larutan gula – asam dibuat dengan melarutkan larutan gula 65
0
Brix sebanyak 10% ke dalam air, kemudian timbang asam sitrat
sebanyak 0.05 %. Larutan gula 65
0
Brix dapat dibuat dengan melarutkan 650 gram
gula pasir ke dalam 380 gram air (Firmenich
1995).
Contoh flavor yang
ditambahkan ke dalam larutan adalah sebanyak 0% ; 0.05 % dan 0.1%. Penyajian
34
dilakukan mulai dari konsentrasi rendah ke tinggi dan panelis diminta mendeteksi ada tidaknya flavor pada setiap contoh. Uji organoleptik menggunakan 10 panelis yang terlatih dan atribut yang diuji adalah daya mawur, warna dan aroma. Skala uji kesukaam yang digunakan adalah 7 skala, yaitu : nilai untuk sangat tidak suka ; nilai 2 untuk tidak suka ; nilai 3 untuk agak tidak suka ; nilai 4 untuk biasa (netral) ; nilai 5 untuk agak suka ; nilai 6 untuk suka ; nilai 7 untuk sangat suka.
Rendemen (Pomeranz 1978) Rendemen diukur berdasarkan perbandingan minyak cengkeh flavor powder yang dihasilkan terhadap berat minyak cengkeh ditambah berat bahan pengisi. Rendemen (%) = a x 100 % b Keterangan : a = berat flavor powder yang dihasilkan (gram) b = berat flavor powder minyak cengkeh + bahan pengisi (gram)
Kelarutan Besarnya kelarutan flavor powder dapat dihitung dengan cara gravimetri biasa dan dinyatakan dalam persentase berat residu yang tidak dapat melalui kertas saring whatman 42. Sebanyak 5 gram tepung dilarutkan dalam 100 ml aquades dan disaring dalam pompa vakum (sebelum digunakan kertas saring dikeringkan dahulu dalam oven 1050 C selama 30 menit, kemudian ditimbang). Setelah disaring, kertas saring beserta residu dikeringkan dalam oven 1050C selama 3 jam, lalu ditimbang.
35
(a – b) Kelarutan (%) = 100
(100 - %KA) x c 100
a = berat kertas dan residu b = berat kertas saring c = berat contoh yang digunakan KA = kadar air contoh (%bk)
Densitas Kamba (Pomeranz 1978) Sampel ditimbang sekitar 10 gram, kemudian dimasukan dalam gelas ukur 15 ml. Selanjutnya, diratakan permukaannya dan dibaca volume yang terukur. b Densitas Kamba = V Keterangan : b = berat flavor powder (gram) V = volume yang terukur (ml) Daya Mawur / Free Flowing ( KH Roberts 2010) Sampel ditimbang sebanyak 50 gram , kemudian dimasukan kedalam tabung berbentuk seperti jam pasir, kemudian bagian atasnya ditutup. Tabung diputar 1800 , kemudian stop watch dalam posisi on, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk mengalirkan sampel dari sisi tabung yang satu ke sisi tabung yang lain dapat dihitung. Waktu tercepat yang dihasilkan berkorelasi dengan karakteristik produk berpartikel halus, rata dan kering.
36
Analisis kadar air / penentuan kadar air awal (Mi) cengkeh
powder (AOAC
1995). Prinsipnya adalah air dan zat-zat menguap dihilangkan melalui pemanasan pada suhu 95 -1000C. Mengeringkan cawan logam dan tutupnya dalam oven pada suhu (98-1000C) selama 30 menit dan mendinginkannya dalam desikator sampai mencapai suhu ruang, kemudian menimbang cawan tersebut (A). Sampel sebanyak 2 gram dimasukkan kedalam wadah yang telah dikeringkan tersebut dan dilakukan penimbangan sampel bersama wadah (B).
Masukkan ke
dalam oven, wadah yang berisi sampel sampai mencapai berat konstan suhu 1050 C. Setelah mencapai berat konstan, wadah berisi sampel diletakkan dalam desikator sampai mencapai suhu ruang (sekitar 10 menit). Dilakukan penimbangan kembali (C). (B - C) % Kadar Air =
x 100% (B – A)
Penentuan kadar air kiritis ( Labuza 1982) Penentuan kadar air kritis dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menyimpan cengkeh powder pada ruang terbuka dengan RH 80 -90 % dan suhu ruangan 300 C. Kemudian dilakukan uji hedonik terhadap daya free flowing/ daya mawur flavor powder tersebut pada 0, 1, 2, 3, 4 hari dst. Jika sample tidak dapat diterima lagi oleh panelis, karena penampakannya yang sudah menggumpal dan tidak berbentuk bubuk, maka dikatakan bahwa flavor tersebut telah mencapai kadar air kritisnya. Hasil uji hedonik yang sudah dilakukan dapat dijadikan acuan untuk
37
menentukan lama waktu penyimpanan sampel berikutnya. Uji organoleptik yang digunakan adalah uji hedonik kepada 10 orang panelis terlatih, skor hedonik untuk cengkeh powder yaitu 1 (sangat tidak suka) sampai 7 (sangat suka).
Penentuan kadar air kesetimbangan (Labuza 1982) Sebanyak 5 gram cengkeh powder diletakan pada cawan kosong yang telah diketahui beratnya. Kemudian cawan yang berisi flavor bubuk tersebut diletakan dalam desikator yang berisi larutan garam jenuh MgCl 2 , NaBr, KI, NaCl, KCl dan KNO 3 dengan suhu yang konstan 300 C. Flavor powder dalam desikator ditimbang beratnya sampai diperoleh berat yang konstan. Setelah diperoleh berat yang konstan kemudian kadar air dari flavor bubuk tersebut diukur (%bk). Dalam pembuatan larutan garam jenuh, dilakukan penambahan air terdestilasi secara perlahan sambil diaduk, sehingga setengah dari garam tersebut tidak larut. Desikator yang digunakan merupakan desikator gelas dengan ketinggian cairan kira – kira 5 cm diatas garam yang tidak larut. Penentuan permeabilitas kemasan Film dikondisikan terlebih dahulu selama 24 jam kemudian dipotong dalam bentuk lingkaran dengan diameter kurang lebih 6.5 cm dan diameter alumunium bagian dalam adalah 6 cm. Kemudian cawan alumunium dimana didalamnya terdapat cawan gelas yang berisi kalsium klorida kering yang hampir penuh. Posisi sampel film tepat diatas cawan gelas dan bagian pinggir sampel direkatkan dengan menggunakan lilin.
38
Cawan yang telah lengkap dimasukkan ke dalam desikator kedap udara dengan RH 90% dan disimpan pada suhu 400 C. Pengukuran berat cawan sebelum dan selam disimpan dalam oven dilakukan setiap 3 jam pada hari pertama dan 6 jam pada hari berikutnya hingga diperoleh selisih berat per jam yang relatif konstan. Ratarata selisih pertambahan berat cawan per jam merupakan laju transmisi uap air. Perhitungan WVTR atau MVTR dan permeabilitas : WVTR = gH 2 O/luas x Waktu Permeabilitas Kemasan = WVTR / beda tekanan Penentuan berat kering per kemasan dan luas kemasan Berat produk awal dalam satu kemasan ditimbang dan dikoreksi dengan kadar air awalnya dan selanjutnya dinyatakan sebagai berat kering produk per kemasan (Ws). Luas kemasan primer (A) dihitung dengan mengalikan panjang dan lebar kemasan dan dinyatakan dalam m2. Luasan yang dihitung adalah bagian yang menyentuh produk saja. Kurva sorpsi isotermis (Syarief dan Halid 1993) Kurva isotermis dibuat dengan cara memplotkan kadar air kesetimbangan sebagai ordinat terhadap kelembaban relatif (RHs) atau aktivitas air (Aw) sebagai absis pada suhu konstan. Kemudian dari nilai nilai diatas umur simpan (θ) dapat ditentukan dengan persamaan sebagai berikut :
θ gain
Ln Me – Mi Me - Mc = k A Po x Ws b
39
Keterangan : θ gain me mi mc Ws A k/x Po b
waktu perkiraan umur simpan (hari) : kadar air kesetimbangan (%bk) : kadar air awal (%bk) : kadar air kritis (%bk) : berat kering bahan (g) : luas permukaan kemasan (m2) : permeabilitas uap air kemasan (g/m2 . hari. mmHg) : tekanan uap jenuh (mmHg) : slope kurva sorpsi isothermis :
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakterisasi Enkapsulasi Minyak Cengkeh Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan perbandingan konsentrasi yang optimum untuk gum arabika dan tapioka yang kemudian umur simpannya akan ditentukan pada penelitian utama. Kombinasi dan jumlah bahan pengisi Menurut Reinecius (1989), jumlah bahan pengisi adalah faktor yang sangat penting dalam enkapsulasi flavor. Etzel dan King (1984) dalam Bhandari et al (1992) menyatakan jenis dan kombinasi bahan pengisi berkaitan erat dengan kemampuan memerangkap flavor. Penilaian terhadap masing-masing komposisi dengan menggunakan suhu pengeringan outlet 1800C dan inlet 100 0C dinilai melalui parameter kadar air, rendemen, densitas kamba , daya kelarutan dan organoleptik . Jika suhu pengeringan dinaikkan atau terlalu tinggi maka produk yang dihasilkan banyak yang gosong, sedangkan jika suhu yang digunakan di bawah 1800C, maka akan menghasilkan powder yang masih basah, membentuk gumpalan – gumpalan sehingga menyulitkan dalam penanganan selanjutnya. Mutu fisik dan kimia cengkeh powder 1.
Kadar air Kadar air dari cengkeh powder merupakan salah satu faktor yang menentukan
tingkat kekeringan dan secara tidak langsung berhubungan dengan tingkat keawetan produk. Pada Gambar 6. Dapat dilihat nilai kadar air yang dihasilkan cukup rendah yaitu sekitar 3.79 – 7.15 %.
41
Hal ini mencerminkan bahwa cengkeh powder tersebut cukup kering. Dengan kadar air yang cukup rendah produk yang dihasilkan dari proses pengeringan ini relatif tahan terhadap kerusakan mikrobiologis, sehingga apabila disimpan pada kondisi penyimpanan yang cukup baik, produk ini akan mempunyai stabilitas penyimpanan yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan dalam proses pengolahannya, produk dipanaskan (dikeringkan) pada suhu 180 0C, sehingga dapat membunuh mikroba – mikroba patogen yang tidak tahan suhu tinggi.
Gambar 6 Hasil analisa kadar air pada kombinasi jumlah bahan pengisi Pada Gambar 6. Kadar air terlihat bahwa semakin tinggi rasio tapioka pada perbandingan komposisi antara gum arabika dan tapioka maka kadar air yang dihasilkan juga semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil dari Bhandari et al. (1992) yang menyatakan semakin tinggi viskositas adonan, kadar air produk akan semakin tinggi. Hasil analisa anova single faktor pada tingkat kepercayaan 95%,
42
menunjukan bahwa variasi nilai kadar air dari berbagai kombinasi dan jumlah bahan pengisi tidak berbeda nyata. 2.
Densitas Kamba Densitas kamba merupakan salah satu karakteristik fisik produk dalam bentuk
tepung – tepungan yang sering digunakan untuk merencanakan luas atau volume bahan pengemas produk tersebut. Densitas kamba dipengaruhi oleh jenis bahan, kadar air, bentuk dan ukuran bahan (Suratmi 1993). Semakin tinggi kadar air, maka gaya tarik menarik antar partikel akan semakin kuat, sehingga ruang kosong antar partikel makin kecil (porositas rendah), akibatnya densitas kamba akan semakin besar (Aula 1987).
Gambar 7 Hasil analisa densitas kamba pada kombinasi jumlah bahan pengisi
43
Semakin tinggi kadar air, porositas makin rendah, sehingga pada berat yang sama cengkeh powder mempunyai volume yang lebih kecil, akibatnya densitas kamba akan meningkat. Gambar 7. Menunjukan perbandingan gum arabika : tapioka 100:0 memiliki densitas kamba yang paling kecil, hal ini disebabkan oleh ukuran partikel produk dengan menggunakan gum arabika 100% menghasilkan produk yang sangat halus, sehingga ruang kosong antar partikel sedikit sehingga volume produk menjadi lebih besar. Hasil analisa anova single faktor pada tingkat kepercayaan 95%, menunjukan bahwa variasi nilai berat jenis dari berbagai kombinasi dan jumlah bahan pengisi tidak berbeda nyata. 3.
Daya kelarutan Daya kelarutan dari cengkeh powder menentukan daya terima produk. Pada Gambar 8. Terlihat bahwa daya kelarutan menurun sejalan dengan meningkatnya komposisi dari tapioka. Penurunan daya kelarutan ini berkaitan dengan peningkatan kadar air dan densitas kamba, tidak terdapat masalah pada kelarutan karena kelarutan rata – rata diatas 98%. Menurut Master (1979), pada produk yang berbentuk tepung konsentrat maka makin tinggi kadar air produk maka daya kelarutan akan semakin berkurang, karena cenderung membentuk butiran yang besar tetapi tidak berpori (porous). Semakin kecil porositas produk maka densitas kamba akan semakin meningkat sehingga makin sulit produk tersebut didispersikan kedalam air. Selain itu peningkatan kadar air menyebabkan powder akan makin banyak diselubungi oleh cairan dan menahan udara di dalamnya, sehingga tegangan permukaan makin tinggi, akibatnya tepung menjadi
44
sukar larut (Winarno 1992).
Hasil analisa anova single faktor pada tingkat
kepercayaan 95%, menunjukan bahwa variasi nilai kelarutan dari berbagai kombinasi dan jumlah bahan pengisi tidak berbeda nyata.
Gambar 8
Hasil analisa daya kelarutan pada kombinasi jumlah bahan pengisi
Menurut Master (1979), pada produk yang berbentuk tepung konsentrat maka makin tinggi kadar air produk maka daya kelarutan akan semakin berkurang, karena cenderung membentuk butiran yang besar tetapi tidak berpori (porous). Semakin kecil porositas produk maka densitas kamba akan semakin meningkat sehingga makin sulit produk tersebut didispersikan kedalam air. Selain itu peningkatan kadar air menyebabkan powder akan makin banyak diselubungi oleh cairan dan menahan udara di dalamnya, sehingga tegangan permukaan makin tinggi, akibatnya tepung menjadi sukar larut (Winarno 1992).
Hasil analisa anova single faktor pada tingkat
kepercayaan 95%, menunjukan bahwa variasi nilai kelarutan dari berbagai kombinasi dan jumlah bahan pengisi tidak berbeda nyata.
45
4.
Rendemen Rendemen merupakan presentase berat produk yang dihasilkan dari bahan yang
diolah. Dengan demikian rendemen merupakan parameter penting dalam pengolahan terutama untuk melakukan perhitungan ekonomi. Rendemen minyak cengkeh dipengaruhi oleh kadar air atau makin kering produk tersebut, maka rendemen produk akan semakin tinggi.
Semakin tinggi
konsentrasi bahan pengisi yang ditambahkan , makin tinggi berat tepung yang dihasilkan. Hasil analisa anova single faktor pada tingkat kepercayaan 95%, menunjukan bahwa variasi nilai rendemen dari berbagai kombinasi dan jumlah bahan pengisi tidak berbeda nyata. Dari hasil pengukuran rendemen yang disajikan pada Gambar 9.
Terlihat
bahwa pembuatan cengkeh powder dengan perbandingan konsentrasi gum arabika 100% dan tapioka 100% memiliki rendemen yang rendah. Hal ini disebabkan penambahan 100% ke dalam formula hanya akan meningkatkan kekentalan namun tidak memberikan pengaruh terhadap peningkatan total padatan, demikian juga dengan penambahan tapioka 100 %, hanya meningkatkan kekentalan, sehingga pada saat pemanasan dalam pengeringan semprot, partikel – partikel tepung yang terbentuk tidak bisa kering seluruhnya, bahkan banyak ditemukan bagian dalamnya masih basah.
Apabila pemanasan diteruskan, maka bagian tengah akan kering tetapi
permukaannya gosong.
46
Gambar 9
Hasil analisa rendemen pada kombinasi jumlah bahan pengisi
Menurut bhandari et al.(1992), total padatan yang tinggi dan rasio antara pati tapioka dan gum arab yang tinggi akan berpengaruh terhadap kekentalan adonan. Adonan yang viskous akan menghasilkan partikel yang besar. Partikel yang besar akan memakan waktu lebih lama saat pengeringan, akibatnya terjadi akumulasi partikel yang tidak kering pada dinding ruang pengering. Hal ini menjelaskan mengapa total padatan tinggi rendemen justru rendah. 5. Daya mawur / free flowing Hasil analisa anova single faktor pada tingkat kepercayaan 95%, menunjukan bahwa variasi waktu dari daya mawur yang dihasilkan dari berbagai kombinasi dan jumlah bahan pengisi adalah berbeda nyata terutama untuk komposisi gum arabika : tapioka 25 :75 dan 0:100 terhadap 50:50 dan 100:0. Pada perbandingan komposisi gum arabika : tapioka 0 : 100 dihasilkan waktu alir terlama dibandingkan waktu alir komposisi yang lain, hal ini disebabkan butiran / partikel produk tidak rata, sehingga
47
pada bagian sempit tabung alir menjadi tidak bergerak dan butiran agak basah karena viskositas larutan sebelum proses pengeringan semprot cukup tinggi.
Gambar 10
Hasil analisa daya mawur pada kombinasi bahan pengisi
6. Uji Organoleptik Panelis merupakan alat ukur dalam uji organoleptik. Seperti halnya instrumen analitik, panelis harus dapat memberikan data yang objektif, tepat dan cocok dengan keseluruhan data pendukungnya. Kemampuan tersebut dapat dimiliki oleh panelis terlatih. Sejumlah kecil panelis terlatih akan memberikan data yang lebih akurat dan konsisten dibandingkan dengan panelis yang banyak namun tidak terlatih. Kelompok panelis seperti ini memiliki variasi respon yang kecil (Poste at al. 1991). Tim panelis beranggotakan 10 – 15 orang dari berbagai latar belakang dan perlu mengetahui pengetahuan mengenai parameter produk yang diuji dan memilki kepekaan yang tinggi terhadap aroma dan bau (Heath 1991).
48
Panelis yang dapat memenuhi persyaratan yang tercantum dalam lampiran 1 berjumlah 10 orang panelis. Panelis dilatih agar terbiasa dengan flavor cengkeh dengan memberikannya latihan penciuman menggunakan komponen kimia utama yang terdapat pada cengkeh. Para panelis ini tidak perlu orang yang telah terbiasa dengan produk yang diuji, tetapi melalui pengalaman, pelatihan dan kepekaan terhadap produk dapat terus ditingkatkan.
Kelompok panelis seperti ini memiliki variasi respon yang kecil,
walaupun demikian, kelompok panelis ini terlalu kecil jumlahnya untuk dapat mewakili konsumen (Durr 1994).
Gambar 11
Uji organoleptik untuk aroma spicy cengkeh powder
Pada Gambar 11. Menunjukan hasil organoleptik untuk aroma spicy cengkeh powder, nilai yang diperoleh adalah 4.9 – 5.1, artinya panelis berada pada posisi biasa/netral sampai agak suka pada saat melakukan penilaian terhadap cengkeh powder.
49
Pada Gambar 12. Menunjukan hasil organoleptik untuk aroma manis cengkeh powder, nilai yang diperoleh adalah 5 – 5.3, artinya panelis berada pada posisi penerimaan agak suka pada saat melakukan penilaian terhadap cengkeh powder. Aroma manis lebih berkarakter dibandingkan dengan aroma spicy, hal ini bisa dilihat dengan membandingkan penerimaan panelis terhadap
aroma manis dan spicy,
meskipun nilainya tidak berbeda jauh.
Gambar 12 Uji organoleptik untuk aroma sweet cengkeh powder Pada Gambar 13.
Menunjukan hasil organoleptik untuk warna cengkeh
powder, nilai yang diperoleh adalah 4.8 – 5.1, artinya panelis berada pada posisi biasa/netral sampai agak suka pada saat melakukan penilaian warna cengkeh.
terhadap
50
Gambar 13 Uji organoleptik untuk warna cengkeh powder Hasil penilaian terhadap warna untuk komposisi tapioka 100 % memiliki nilai yang paling rendah dibandingkan komposisi lainnya, hal ini disebabkan karena warna cengkeh powder yang dihasilkan agak kecoklatan sedangkan sampel lainnya bewarna off white sampai kekuningan.
B.
Penentuan Umur Simpan Pemilihan komposisi terbaik dari kombinasi bahan pengisi ditentukan dari hasil
pengamatan karakterisasi cengkeh powder dan perhitungan ekonomi. Kombinasi bahan pengisi yang dipilih untuk ditentukan umur simpannya adalah perbandingan gum arabika dan tapioka 50 : 50.
Pendekatan model yang digunakan dalam
menentukan umur simpan pada penelitian ini adalah model kurva sorspsi isotermis. Model ini banyak digunakan untuk menentukan umur simpan produk pangan kering.
51
1. Kadar air awal (Mi) cengkeh powder. Nilai kadar air awal di peroleh dari hasil penelitian pendahuluan untuk cengkeh powder konsentrasi tapioka : gum arabik 50:50 % dengan menggunakan metoda oven. Nilai yang diperoleh untuk cengkeh powder formula 50 : 50 % adalah 3.79%. 2. Kadar air kesetimbangan (Me) cengkeh powder. Kadar air kesetimbangan yang diperlukan untuk membuat kurva sorpsi isotermis produk cengkeh powder diperoleh dengan mengkondisikan cengkeh powder dalam beberapa jenis larutan garam jenuh dengan kelembaban relatif yang berbeda-beda. Menurut Duckworth (1975), metode tersebut tergolong dalam metode statis. Metode statis dilakukan dengan cara meletakan bahan pangan pada suatu tempat dengan RH dan suhu yang terkontrol. Menurut Arpah (2001), kurva yang menggambarkan hubungan antara aktivitas air atau kelembaban relatif seimbang ruang penyimpanan (ERH) dengan kandungan air per gram suatu bahan pangan disebut kurva sorpsi isotermis. Kurva sorpsi isotermis dalam penelitian ini menggunakan nilai kadar air terukur untuk menyesuaikan dengan kondisi penyimpanan cengkeh powder selama percobaan dalam menentukan kadar air kesetimbangan cengkeh powder. Keseimbangan tercapai untuk semua larutan sekitar kurang lebih dua sampai tiga minggu dengan nilai berkisar antara 5.65 – 20.88%. Keseimbangan tercapai karena tekanan uap air di bahan sama dengan tekanan uap air lingkungan sekitar.
3. Kadar air kritis (Mc) cengkeh powder. Pada tabung dengan larutan garam jenuh sekitar RH 84 sampai RH 93 %, sampel menjadi lembab, kemudian minyak dalam enkapsulasi keluar, sekitar hari ke 7
52
sampai ke 10, namun kerusakan belum terlalu parah sebagian sampel masih dalam keadaan baik dan dapat diterima oleh panelis. Kondisi penyimpanan pada RH 84 – 93%
diharapkan akan memberikan
kelembaban lingkunganyang lebih tinggi dari lingkungan sebenarnya, dimana kondisi aktual di kota bogor sekitar (75 – 78%). Dengan menggunakan pengamatan selama beberapa hari pada beberapa desikator yang berisi larutan garam jenuh, setelah hari ke 21, diperoleh bahwa pada desikator berisi KCl, produk sudah mengalami penolakan yaitu berupa terbentuknya gumpalan gumpalan kecil dan minyak sudah keluar dari produk powder tersebut sehingga diperoleh kadar air kritis (Mc) adalah pada RH 84% yaitu 11.76 (%bk). Kerusakan terjadi karena pada saat masuk ke tabung garam jenuh pertama kali, kadar air bahan berada sekitar kurang dari 3.79 % sehingga terdapat ikatan hidrogen dan ikatan Van Der Wall antar matrik molekul yang ada dan ikatannya demikian kuat. Pada saat penyimpanan dalam larutan garam jenuh selama beberapa hari, ikatan hidrogen dari bahan mengikat air berkurang sehingga terjadi penyerpan air selama penyimpan konstnan dan akan berhenti apabila sudah dicapai berat konstan. Pada RH min 84%, tekstur cengkeh powder mengalami perubahan yang signifikan.
4.
Permeabilitas kemasan, luas kemasan dan berat solid perkemasan cengkeh powder. Permeabilitas uap air merupakan kecepatan atau laju transmisi uap air melalui
suatu unit luas bahan yang permukaannya rata dengan ketebalan tertentu sebagai
53
akibat perbedaan suatu unit tekanan uap antara dua permukaan tertentu pada suhu dan kelembaban tertentu. Menurut ASTM E 96-80, permeabilitas uap air adalah kecepatan atau laju transmisi uap air melalui suatu unit luasan bahan yang permukaannnya rata dengan ketebalan tertentu, sebagai akibat perbedaan unit tekanan uap antara dua permukaan tertentu pada suhu dan kelembaban tertentu. Tabel 5
Perhitungan laju transmisi uap air, permeabilitas dan luas kemasan
flexible
Film Kemasan
WVTR
Permeabilitas
Luas Kemasan
g/m2/hari
g/m2.hari.mmHg
10 -2m2
Alufo / LDPE
0.2
0.012829
1.00
HDPE
1.1
0.070558
1.00
Dari Tabel 5 dapat dilihat kedua nilai WVTR, maka laminasi film kemasan dengan kantong Alumunium foil memberikan nilai yang rendah, hal ini dipengaruhi oleh karakteristik Alumunium foil yang mempunyai barrier terhadap uap air dan cahaya cukup baik, sehingga diharapkan memberikan umur simpan yang paling lama, tetapi mengingat jenis film ini mempunyai nilai ekonomi yang tinggi Permeabilitas didapat dari nilai WVTR dibagi dengan daya penggerak (perbedaan tekanan) (Labuza 1982) : ∆ P = Po – P1 Keterangan : P1
:
Tekanan uap air dalam kemasan / tekanan uap air dari makanan
54
P o : Tekanan uap air di luar kemasan, yaitu tekanan pada suhu 28 0C. Sesuai Labuza (1982), Po = 28.35 mmHg
Menurut Labuza (1982), P 1 = P o x a w, maka : P 1 = 28.35 mmHg x 0.45 = 12.76 mmHg ∆ P = (28.35 mmHg – 12.76 mmHg) = 15.59 mmHg 5. Umur simpan cengkeh powder. Yang dimaksud dengan kurva isotermis sorpsi air adalah kurva yang menunjukan hubungan antara kadar air kesetimbangan dengan RH ruang penyimpanan atau aktivitas airnya.
Pada Gambar 14, terlihat bahwa kurva
mempunyai bentuk sigmoid (bentuk huruf S), meskipun tidak sigmoid sempurna.
Gambar 14
Kurva isotermis sorpsi air dari cengkeh powder
Nilai slope kurva isothermis (b) ditentukan pada daerah liniar (Arpah 2001). Menurut Labuza (1982), daerah linier untuk menentukan slope kurva
55
sorpsi isotermis diambil antara daerah kdar air awal dan kadar air kritis. Nilai slope yang didapat dapat dilihat pada Tabel 6 . Tabel 6
Hasil analisa korelasi antara kadar air kestimbangan dengan RH
Garam
RH (%)
MgCl2
32.4
Kadar Air Slope Kesetimbangan 5.65 0.257586
NaBr
57.5
7.12
KI
69
10.98
NaCl
75.5
13.47
KCl
84
17.55
KNO3
93
20.88
Intersep -5.05348
Perhitungan analisa umur simpan berdasarkan persamaan Labuza dan perhitungan pembanding untuk semua kemasan yang diuji coba adalah sebagai berikut :
Ln Me – Mi θ gain
Me - Mc = k A Po x Ws b
Keterangan : θ gain me mi mc Ws A k/x Po b
waktu perkiraan umur simpan (hari) kadar air kesetimbangan (%bk) : kadar air awal (%bk) : kadar air kritis (%bk) : berat kering bahan (g) : luas permukaan kemasan (m2) : permeabilitas uap air kemasan (g/m2 . hari. mmHg) : tekanan uap jenuh (mmHg) : slope kurva sorpsi isothermis :
:
56
Rangkuman nilai faktor –faktor pendukung untuk menentukan umur simpan, dirangkum dalam Tabel 7 Tabel 7 Penentuan Umur Simpan dengan Metode Labuza Menggunakan 2 Jenis Film Kemanasan untuk Minyak Cengkeh Powder (Labuza 1982). Parameter
Alumunium Foil
HDPE
Mi (%bk)
3.79
3.79
Me (%bk)
17.55
17.55
Mc (%bk)
11.76
11.76
k/x (g/m2.hari.mmHg)
0.012829
0.070558
A (m2)
2 . 1.00. 10-2
2 . 1.00. 10-2
Ws (gram)
25
25
Po (mmHg)
28.35
28.35
Slope (b)
0.257586
0.257586
Umur Simpan (bulan)
25.56
3.40
57
V.
SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN 1. Berdasarkan penelitian pendahuluan penentuan karakterisasi enkapsulasi minyak cengkeh maka pati alami tapioka dapat digunakan sebagai bahan enkapsulan pada proses pembuatan cengkeh powder dengan metode pengeringan semprot pada perbandingan tapioka : gum arabika 50 :50%, suhu udara inlet 1800 C dan suhu udara outlet 1000 C.
Penentuan komposisi
tersebut berdasarkan nilai kadar air, rendemen, daya kelarutan, densitas kamba dan uji organoleptik yang dihasilkan. 2. Kadar air awal produk dengan komposisi pati tapioka : gum arabika 50 :50% adalah 3.79 %. Nilai tersebut cukup rendah untuk kriteria produk powder hasil pengeringan semprot dan nilai tersebut mencerminkan bahwa cengkeh powder tersebut cukup kering. 3. Nilai kadar air kesetimbangan diperoleh antara 6.82 (%bk) - 17.88 (%bk) pada kondisi penyimpanan RH 32.4 -93.0% selama 14 hari. 4. Nilai kadar air kritis diperoleh dari penyimpanan cengkeh powder pada RH 84% (garam KCl) dengan nilai 11.76%. Penolakan pada produk terjadi pada hari ke 21 pada
RH 84% - 93% , kondisi tersebut diharapkan dapat
memberikan gambaran /perwakilan untuk lingkungan RH yang tinggi selama proses pendistribusian ataupun penyimpanan di gudang.
58
5. Hasil penelitian penentuan umur simpan dengan metode pendekatan kurva isothermis dengan data – data tersebut diatas dan dengan menggunakan kemasan alumunium foil dan plastik HDPE diperoleh bahwa umur simpan cengkeh powder dengan kemasan Alumunium foil bag adalah 25.56 bulan sedangkan untuk plastik HDPE adalah 3.40 bulan. B. SARAN 1
Penelitian selanjutnya diharapkan dapat mengamati kemampuan tapioka memproteksi flavour secara kuantitatif dibandingkan dengan gum arabika.
2
Penelitian selanjutnya diharapkan dapat memverifikasi penentuan umur simpan cengkeh powder hasil enkapsulasi dengan menggunakan beberapa metode seperti model kadar air termodifikasi atau model Archenius.
3
Penelitian selanjutnya diharapkan dapat mengaplikasikan penyimpanan dengan menggunakan beberapa alternatif kemasan yang dipakai sehingga dicapai keefektifan dari segi ekonomis.
59
DAFTAR PUSTAKA
Adawiyah,D.R. 2006. Hubungan Sorpsi Air, Suhu Transisi Gelas dan Mobilitas Air Serta Pengaruhnya Terhadap Stabilitas Produk Pada Model pangan. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor. Andarwulan, N dan P. Hariyadi. 2004. PerubahanMutu (fisik, kimia, mikrobiologi) Produk Pangan selama Pengolahan dan Penyimpanan Produk Pangan. Pelatihan Pendugaan Waktu kadaluwarsa (Shelf Life). Bogor, 1-2 Desember 2004. Pusat Studi Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Anonymous. 1993. Majalah Warta Pertanian. Bo. 126 Th. X (8-13). OktoberNovember 2006. Penerbit Biro Humas Departemen Pertanian RI, Jakarta. Apriyantono, A. 2001. Aplikasi Flavour Dalam Produk Pangan. Workshop Sehari. Kerjasama antara Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian dan PT. Quest International Indonesia. Arpah. 2001. Penentuan Kadaluwarsa Produk pangan. Progam Studi Ilmu Pangan. Institut Pertanian Bogor. AOAC. 1984. Official Methods of Analysis. Association of Official Analytical Chemist, Inc. Arlington, Virginia. AOAC. 1995. Official of Analysis of The Association of Official Analytical Chemist. AOAC Inc, Arlington. Aula, H. 1987. Pembuatan Tepung Sari Buah Nanas. Fateta IPB. Bogor.
Balagopalan C, Padmaja G, Nanda S K and Moorthy S N. 1988. Cassava in Food. CRC Press Inc. Florida Bertolini, A. C., Siani, A. C., & Grosso, C. R. 2001. Stability of Monoterpenes Encapsulation in Gum Arabic by Spray Drying. Journal of Aglicultural and Food Chemistry, 49, 780 – 785. Bhandari, B.R., E.D. Dumoulin, H.M.J. Richard, I. Noleau, and A.M. Lebert. 1992. Flavour Encapsulation by Spray Drying : Apllication to citral dan Linalyl Acetate. Jof food Science. 57. Page 27-36. Bruner, F. 1993. Enviromental Analysis. VCH Punlisher. New York.
60
Bucle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet and M. Woofon. 1987. Ilmu Pangan. UI Press. Jakarta. Burdock, G. A. 1991. Flavour and Fragrance Materials. Allured Publishing Co., New York. Chee-Teck Tan. 1995. Physical chemistry in Flavor Products Preparation. Dalam Chi Tang Ho,(ed). Chee-Teck Tan (ed) dan Chao Hsiang Tong (ed). Physical Chemistry, Modification and Process, American Chemical Society, Washington, D.C. Dorland, W. E. dan Rogers, J.S. 1977. The Fregrance and Flavour Industry. Wayne E. Dorland Co., New York. Durr. 1994. Understanding Natural Flavour dalam J. Piggot. A. Peterson (ed). Sensory Analysis of Flavours. Blackie AC and Prof., London. Ellis, M. J. 1994. The Methodology of Shelf Life Determination. Di dalam : Shelf Life Evaluation of Foods. C.M.D. Man dan A.A. Jones (ed). Hal 27. Blackie Academic & Professional. London. Floros, J.D. and V. Gnanasekharan. 1993. Shelflife Prediction of Packaged Foods : Chemical, Biological, hysical and Nutritional Aspects. Charalambous (Ed.). Elsevier Publ. London. Food Science and Technology Committee. 2005. Foods. CRC Press, New York: 300-465.
Encapsulated and Powdered
Heath, H.B. 1978. Flavor Technology. AVI Publishing Company Inc., Westport Connecticut. Heath, H.B dan G. Reineccius. 1986. Flavour Chemistry and Technology AVI. Book-New York. Hariyadi, P. 2004. Prinsip –Prinsip Pendugaan Masa Kadaluwarsa dengan Metode Accelerated Shelf Life Test. Pelatihan Pendugaan waktu Kadaluwarsa (Shelf Life). Bogor, 1 – 2 Desember 2001. Pusat Studi Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Heiss, R. and E. Eichner. 1971. Manufacture 46(6):37-42.
Moisture Content
and Shelf Life.
Heath, H.B. 1981. Source Book of Flavor. AVI PUBI. Co., New York.
Food
61
Institute of Food Science & Technology. 2005. Shelflife of Food. J. Food Sci. P 861 – 865. Kusnandar, F., 2010. Metode Pendugaan Umur Simpan Model Kadar Air Kritis. Food Review Indonesia. Bogor. Krishnan,S., Kshrisagar, A.C. & Singhal, R.S. 2005. The Use of Gum Arabic of Modified Starch in the Microeencapsulation of a Food Flavouring Agent. Carbonhydrate Polymer, 62, 309 – 315. Lindsay, R.C. 1985. Flavour. Di dalam : Food Chemistry. Fennema, O.R (ed). Marcel Dekker Inc., New York. Labuza,T.P. 1982. Shelf Life Dating of Foods. Food and Nutrition. Press Inc., Westport, Connecticut. Labuza, T.P. 1984. Moisture Sorption: Practical aspect of isotherm measurement and use. Am. Assoc. Cereal Chem., St. Paul Minnesota. Labuza, T.P and Schmidl, M.K. 1985. Accelerated Shelf Life Testing of Foods. Food Technology, 39 (9), 57 – 62, 64 , 134. Master, K. 1979. Spray Dtying Handbook. John willey and Sons. New York. May, C.G. 1991. Process Flavours, di dalam Reineccius, G.A. (ed). Source Book of Flavours. Chapman & Hall, New York. Moyler, D. 1991. Oleoresins, tinctures and extracts dalam Ashurst, P.R. (ed). Food Flavouring. Blackie, Glasgow. Nurdjannah, N dan K. Kadarisma. 1988. Pengeringan Bunga Cengkeh Menggunakan Kamar Pengering Energi Surya dan Udara Panas. Prosiding Seminar Penelitian Pascapanen Pertanian (Buku 1). Bogor. Nurdjannah N, S. Rusli dan A. Vianna. 1990. Pengaruh Bobot dan Waktu Penyulingan tangkai Cengkeh Terhadap Mutu dan Rendemen Minyak Cengkeh. Pemberitaan Littri. 15(4) : 153 – 157. Nurdjannah, N, S. Yulianni dan L. Yanti. 1997. Pengolahan dan Diversifikasi Hasil Cengkeh. Monograf Tanaman Cengkeh. Balai Penilitian Tanaman Rempah dan Obat. Hal 118 – 130. Onwulata, C.I., Smith, P.W., Cooke, P., and Holsingre, V.H. 2005. Particle Structured of Encapsulated Milk Fat Powder. Lebensm Technology 29 : 163 172.
62
Perry, L.M And Metzger. 1990. Medical Plant of East And Shouteast Asia. The MIT Press. London. Page 285. Purseglove, J.W, E.B. Brown, C.L Green. 1981. Spices. Vol 1. Longman London and New York. Page 229 – 285. Potter, N.N. 1980. Food Science. The AVI Publ. Co. Inc., Wesport. Connecticut. Pomeranz, Y. 1978. Food Analysis. The AVI Publ. Co. Inc. Wesport. Connecticut. Rahayu, W.P. 1994. Penuntun Praktikum Organoleptik. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Reineccius, G.A. 1994. Souce of Book of flavor. 2 nd edition. Chapman & Hall. New York. Reineccius, G. A., Ward, F. M., Whorton, C., & Andon, S. A. 1995. Development in Gum Acacias for Encapsulation Flavors. In S. J. Risch, & G. A. Reineccius (Eds). Encapusulation and Controlled Release of Food Ingredients. ACS Symp. Ser. No. , Vol. 5. , page 161 - 168. Reineccius, G.A. 2002. Spray drying of Food Flavor. Symposium Series No. 370 on Flavour Encapsulation. Washinton D.C. Page 66 – 72. Ruchnayat, A. 1997. Flutuasi Hasil Cengkeh. Monograf Tanaman Cengkeh. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Hal 50 – 53. Rudolf, F.B. 1986. Prediction of Shelf Life of Package Water Sensitive Foods. Lebenm Wiss. Tecnol. 20(1):19-21. Tan C.T. 1995 Flavour Technology. Ho, C. T. TanC.T. dan Tong, C.H. (eds_. Symphosium of The American Chemical Society. 21-25 Agustus 1994. American Chemical Society. Washington D.C. Takeoka, G.R. et al . 2001. Chemistry and Sensory Properties. Oxford University Press.
Soekarto, S. T. dan M. Hubeis. 1992. Metodelogi Penelitian Organoleptik. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bogor.
63
Suratmi. 1993. Pengaruh Jenis Bahan Pengisi dan Penambahan Natrium Metabisulfit terhadapa Mutu Tepung Sari Buah Sirsak Selama Penyimpanan. Fateta IPB. Bogor. Syarief, R. dan H. Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Kerjasama dengan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB. Bogor. Syarief,R. dan A. Irawati. 1989. Pengetahuan Bahan untuk Industri Pertanian. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta. Weiss, E.A. 1997. Essential Oil Corps. CAB International, Wallingford Oxon. United Kingdom. Page. 235 – 259. Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia. Jakarta.Wong, K.C., C.L. Lim dan L.L. Wong. 1992. Volatile Flavor constituents of Cempedak and Jack Fruit from Malaysia. Flavor and Fragrance J., 7: 307-311. Winarno, F.G. 2002. Flavour Bagi Industri Pangan. Mbrio Press. Cetakan 1. Bogor. Wood Roger et al. 2000. Analytical methods for food additives. CRC Press. New York.
Lampiran 1. Daftar Bahan Kimia untuk Pengenalan Dasar Panelis Daftar Bahan Kimia
Deskripsi Produk
Eugenol
Spicy ( clove, cinnamon like)
Trans iso eugenol
Spicy, woody, terpene note
Eugenyl actetate
Clove like, balsamic sweet
1.8 cineole
Fresh ( eucalyptus – like)
Methyl salicilate
Minty, sweet , spicy
Caryophyllene
Spicy woody, terpene note
Daftar penilaian jumlah minimum yang benar untuk seleksi panelis terlatih uji organoleptik dalam menrangking uji bau minyak cengkeh powder Jumlah Percobaan
Jumlah benar minimum agar panelis diterima
10
7
15
11
20
15
25
18
30
22
64
Lampiran 2. Lampiran Hasil Seleksi Panelis
Panelis ke
Total Percobaan
Jawaban Benar
1
10
7
2
10
7
3
10
7
4
10
7
5
10
7
6
10
7
7
10
7
8
10
7
9
10
7
10
10
7
65
Lampiran 3. Lembar Pengujian Panelis Terhadap Intensitas Minyak Cengkeh Jenis Produk : Minyak Cengkeh Powder Nama
:
Tanggal
:
Petujuk
: Berilah angka 1 -3 berdasarkan intensitas penciuman aroma minyak cengkeh pada sample dibawah ini.
Percobaan 1
Kode
Rate
Kode
1
ABC
DEF
GHI
2
DBA
EFG
IHG
3
JHI
KLM
DGH
4
UBC
KLO
HKL
5
BNM
MHJ
PKL
6
HNK
TGH
UJD
7
JKU
KFC
WEH
8
JGS
HJU
GTF
9
CBN
DEK
YGB
10
HJK
BGU
OKS
66
Rate
Kode
Rate
Lampiran 4. Form Organoleptik Uji Kesukaan pada Minyak Cengkeh Powder Jenis Produk
: Minyak Cengkeh Powder
Nama
:
Tanggal
:
Petunjuk
: Dihadapan anda terdapat beberapa sample minyak cengkeh powder, mohon dapat memberikan rate 1 – 7 berdasarkan kesukaan terhadap parameter – parameter yang di berikan.
Parameter Uji
AGF
HKL
MGP
Aroma Minthy Aroma Spicy Aroma Sweet Uji Daya Mawur Warna
Keterangan : 1 2 3 4 5 6 7
: Sangat Tidak Suka : Tidak Suka : Agak Tidak Suka : Biasa : Agak Suka : Suka : Sangat Suka
67
DPT
BRS
Lampiran 5 . Hasil Perhitungan Rendemen Minyak Cengkeh Powder
Percobaan 1 : gum Arabic : native starch = 100 : 0 Rendemen (%) = 28.560 x 100 30.000
= 95.20 %
Percobaan 2 : gum Arabic : native starch = 75 : 25 Rendemen (%) = 28. 480 x 100 30.000
= 94.96 %
Percobaan 3 : gum Arabic ; native starch = 50 : 50 Rendemen (%) = 28.510 x 100
= 95.03 %
30.000 Percobaan 4 : gum Arabic : native starch = 25 : 75 Rendemen (%) = 28.490 x 100 30.000
= 94.96 %
Percobaan 5 : gum Arabic ; native starch = 0 : 100 Rendemen (%) = 28.380 x 100 30.000
=
94.60 %
68
Lampiran 6.
Hasil Perhitungan Kelarutan Minyak Cengkeh
Percobaan 1 : gum Arabic : native starch = 100 : 0 Kelarutan (%) = 100
- ( 0.9 - 0.7) (100 – 4.18) X 5 100
= 99.96 % Percobaan 2 : gum Arabic : native starch = 25 : 75 Kelarutan (%) = 100
- ( 0.9 - 0.7) (100 – 5.12) X 5 100
= 99.96 % Percobaan 3 : gum Arabic : native starch = 50 : 50 Kelarutan (%) = 100
- ( 0.9 - 0.7) (100 – 3.79 ) X 5 100
= 99.96 % Percobaan 4 : gum arabic : native starch = 25 : 75 Kelarutan (%) = 100
- ( 0.9 - 0.7) (100 – 5.79 ) X 5 100
= 99.96% Percobaan 5 : gum arabic : native starch = 0 : 100 Kelarutan (%) = 100
- ( 0.9 - 0.7) (100 – 7.15 ) X 5 100
= 99.96% 69
Lampiran 7.
Hasil Perhitungan Kadar Air Minyak Cengkeh
Percobaan 1 : gum Arabic : native starch = 100 : 0 Kadar Air (%) =
( 9 – 8.9022) X 100 ( 9 – 7)
= 4.89 % Percobaan 2 : gum Arabic : native starch = 25 : 75 Kadar Air (%) = ( 9 – 8.8976) X 100 ( 9 – 7) = 5.12 %
Percobaan 3 : gum Arabic : native starch = 50 : 50 Kadar Air (%) =
( 9 – 8.9242) X 100 ( 9 – 7)
= 3.79 %
Percobaan 4 : gum arabic : native starch = 25 : 75 Kadar Air (%) =
( 9 – 8.8842) X 100 ( 9 – 7)
= 5.79% Percobaan 5 : gum arabic : native starch = 0 : 10 0 Kadar Air (%) =
( 9 – 8.8570) X 100 ( 9 – 7)
= 7.15 %
70
Lampiran 8. Hasil Perhitungan Densitas Kamba Minyak Cengkeh Powder Percobaan 1 : gum Arabic : native starch = 100 : 0 Berat Jenis (gr/ml) = 10 15 = 0.67 Percobaan 2 : gum Arabic : native starch = 75 : 25 Berat Jenis (gr/ml) =
10 14.2
= 0.70
Percobaan 3 : gum Arabic : native starch = 50 : 50 Berat Jenis (gr/ml) =
10 13.4
= 0. 75
Percobaan 4 : gum arabic : native starch = 25 : 75 Berat Jenis (gr/ml) =
10 12.4
= 0. 81
Percobaan 5 : gum arabic : native starch = 0 : 10 0 Berat Jenis (gr/ml) =
10 11.8
= 0. 85
71
Lampiran 9. Hasil Uji Organoleptik Panelis.
1. Uji Aroma Spicy Panelis
DBE
CDA
TGP
GHI
HKL
1
5
5
4
5
5
2
6
5
5
6
4
3
6
5
4
4
4
4
6
6
6
6
6
5
5
6
5
4
5
6
4
6
5
6
4
7
5
5
5
5
6
8
4
5
6
4
5
9
5
5
6
5
5
5
4
5
5
5
5.10
5.20
5.10
5.00
4.90
10 Rata rata
2. Uji Aroma Sweet Panelis
DBE
CDA
TGP
GHI
HKL
1
5
5
4
5
5
2
5
5
6
5
5
3
5
6
6
4
5
4
6
5
5
6
5
5
6
5
5
5
5
6
6
5
6
5
5
7
5
6
5
6
5
8
5
6
6
6
5
9
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5.30
5.30
5.30
5.20
5.00
10 Rata rata
72
3.
Uji Warna Panelis
DBE
CDA
TGP
GHI
HKL
1
5
5
5
4
5
2
5
5
5
5
5
3
5
5
5
5
5
4
6
5
5
5
5
5
5
4
5
5
5
6
5
4
5
5
5
7
5
5
5
5
5
8
5
6
6
6
5
9
5
5
5
5
4
5
5
5
5
4
5.10
4.90
5.10
5.00
4.80
10 Rata rata
73
Lampiran 10.
Data Analisa Statistik
On e -S a m p le S ta tis tic s N rendemen
4
Mean 94.8725
Std. Deviation .39475
Std. Error Mean .19737
On e -S a m p le Te s t Test Value = 94.6 95% Confidence Interval of the Difference
rendemen
t 1.381
df
Sig. (2-tailed) .261
3
Mean Difference .27250
Lower -.3556
Upper .9006
kesimpulan : tidak ada perbedaan rendemen
On e -S a m p le S ta tis tic s N Daya Mawur
4
Mean .7325
Std. Deviation .06131
Std. Error Mean .03065
On e -S a m p le Te s t Test Value = 362.4 95% Confidence Interval of the Difference
Daya Mawur
t -3.833
df 3
Sig. (2-tailed) .031
kesimpulan : ada perbedaan daya mawur
74
Mean Difference -.11750
Lower -.2151
Upper -.0199
On e -S a m p le S ta tis tic s N kelarutan
Mean 99.9600
4
Std. Error Mean .00000
Std. Deviation .00000
On e -S a m p le Te s t Test Value = 99.96 95% Confidence Interval of the Difference t kelarutan
df .000
Mean Difference .00000
Sig. (2-tailed) 1.000
3
Lower .0000
Upper .0000
kesimpulan : tidak ada perbedaan kelarutan
On e -S a m p le S ta tis tic s N kadarair
4
Mean 5.4250
Std. Deviation 1.74910
Std. Error Mean .87455
On e -S a m p le Te s t Test Value = 7.15 95% Confidence Interval of the Difference
kadarair
t -1.972
df 3
Sig. (2-tailed) .143
kesimpulan : tidak ada perbedaan kadar air
75
Mean Difference -1.72500
Lower -4.5082
Upper 1.0582
On e -S a m p le S ta tis tic s N Densitas Kamba
Mean 99.9600
4
Std. Error Mean .00000
Std. Deviation .00000
On e -S a m p le S ta tis tic s N Densitas Kamba
4
Mean .7325
Std. Deviation .06131
Std. Error Mean .03065
On e -S a m p le Te s t Test Value = 0.85 95% Confidence Interval of the Difference
Densitas Kamba
t -3.833
df 3
Sig. (2-tailed) .031
kesimpulan : Tidak ada perbedaan densitas kamba
76
Mean Difference -.11750
Lower -.2151
Upper -.0199
64