PRELIMINARY STUDY PROPERTI AKUIFER TERHADAP SIMULASI NUMERIK PENURUNAN MUKA AIRTANAH DENGAN METODE BEDA HINGGA AKIBAT PEMASANGAN INCLINED DRAIN HOLE PADA LOW WALL PIT E BMO 2 PT. BC TUGAS AKHIR Disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Teknik Eksplorasi Tambang di Institut Teknologi dan Sains Bandung
Oleh:
PASCALIA VINCA ALVANDO 12213029
JURUSAN EKSPLORASI TAMBANG FAKULTAS TEKNIK DAN DESAIN INSTITUT TEKNOLOGI DAN SAINS BANDUNG 2017
LEMBAR PENGESAHAN
PRELIMINARY STUDY PROPERTI AKUIFER TERHADAP SIMULASI NUMERIK PENURUNAN MUKA AIRTANAH DENGAN METODE BEDA HINGGA AKIBAT PEMASANGAN INCLINED DRAIN HOLE PADA LOW WALL PIT E BMO 2 PT. BC TUGAS AKHIR
(Foto)
Disetujui untuk Jurusan Eksplorasi Tambang ITSB oleh:
Dr. Dasapta Erwin Irawan, S.T., M.T. Pembimbing I Pascalia Vinca Alvando
Achmad Darul Rochman, S.Pd., M.T. Pembimbing II
2
PRELIMINARY STUDY PROPERTI AKUIFER TERHADAP SIMULASI NUMERIK PENURUNAN MUKA AIRTANAH DENGAN METODE BEDA HINGGA AKIBAT PEMASANGAN INCLINED DRAIN HOLE PADA LOW WALL PIT E BMO 2 PT. BC RINGKASAN Airtanah merupakan salah satu faktor penting yang berkontribusi terhadap ketidakstabilan lereng, air akan mengisi pori tanah sehingga tekanan air pori meningkat. Pada tahun 2009 di Pit E, PT. BC khususnya low wall pernah terjadi longsor, tujuan penelitian ini untuk mengetahui besar penurunan muka airtanah (drawdown) serta melakukan simulasi dalam waktu 8 tahun kedepan setelah upaya dewatering pada tahun 2016 dengan menggunakan sistem drain hole yang dipasang secara inclined. Model konseptual daerah penelitian dibangun dengan data pengamatan muka airtanah mula-mula, curah hujan, topografi dan properti hidrogeologi yang ditentukan berdasarkan asumsi teoriritis. Simulasi numerik menggunakan metode beda hingga dilakukan dalam dua skenario yaitu pada tiga IDH aktif dan penambahan tiga IDH di luar model pada akuifer terkekang dengan variasi kedalaman 50 m dan 80 m. Drawdown hasil simulasi kemudian dikalibrasi dengan perhitungan metode Theis. Hasil studi menunjukan nilai drawdown dari perhitungan Theis lebih kecil dari hasil simulasi numerik. Outflow pada pemodelan juga menghasilkan nilai yang lebih besar dari pengamatan di lapangan. Parameter adjustment
berupa nilai konduktivitas hidraulik kemudian
dilakukan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap besar drawdown. Hasilnya menunjukan bahwa nilai konduktivitas hidraulik memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan besar drawdown. Kata kunci: drawdown, confined aquifer, inclined drain hole, dewatering
PRELIMINARY STUDY OF AQUIFER PROPERTY IN A NUMERICAL SIMULATION OF DRAWDOWN WITH FINITE DIFFERENCE METHOD DUE TO THE INSTALLATION OF INCLINED DRAIN HOLE AT LOW WALL PIT E BMO 2 PT. BC
ABSTRACT One of many factors contributing to slope failure is groundwater. Water increases the pore water pressure and decreases the shear strength. In 2009, slope failure occurred at Pit E low wall PT.BC. The aim of this study is to define the drawdown in 8 years of simulation after the installation of inclined drain hole in 2016 as the solution to stabilize the slope. Conceptual model is built by initial heads, precipitation, topography and theoretical aquifer property. The simulation was conducted within two scenarios, first was done to 3 drain holes out of 6 drain holes in total and second was done to all of the six drain holes with 50 meters and 80 meters variation in length. The aquifer system of study area is confined aquifer. Model calibration showed smaller drawdown in calculation of Theis and bigger outflow in numerical simulation. Parameter adjustment was then being carried out to see the effect of changes in hydraulic conductivity on drawdown. Apparently, it showed significance difference in results. Keywords: drawdown, confined aquifer, inclined drain hole, dewatering
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus atas anugrah-Nya, Tugas Akhir ini dapat diselesaikan tepat waktu. Tugas Akhir ini berjudul “Preliminary Study Properti Akuifer Terhadap Simulasi Numerik Penurunan Muka Airtanah dengan Metode Beda Hingga Akibat Pemasangan Inclined Drain Hole pada Low Wall Pit E BMO 2 PT. BC”. Tugas Akhir ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik Eksplorasi Tambang di Institut Teknologi dan Sains Bandung. Pengerjaan Tugas Akhir ini tidak terlepas dari bantuan serta dukungan dari beberapa pihak. Oleh sebab itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada: 1. Orang tua penulis, mama dan papa berkat kerja keras selama ini, serta doa dan dukungan dalam bentuk apapun, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi sarjananya di Institut Teknologi dan Sains Bandung. Adik penulis, Carolus Vito Alvando atas doa dan dukungan yang diberikan kepada penulis. 2. Program Studi Eksplorasi Tambang Institut Teknologi dan Sains Bandung sebagai tempat penulis menempuh studi sarjana. 3. Bapak Dr. Dasapta Erwin Irawan selaku dosen pembimbing pertama, serta Bapak Achmad Darul Rochman, M.T selaku dosen pembimbing kedua
atas
bimbingan,
semangat,
motivasi
dan
kritik
yang
membangun bagi penulis. 4. Seluruh Staf Pengajar Prodi Ekplorasi Tambang, Bapak Ir. Mulyono, M.Sc, Bapak Andyono Broto Santoso, M.T, Bapak Rian Andriansyah, M.T serta staf pengajar lainnya yang penulis tidak bisa sebutkan satu per satu atas pengajaran dan bimbingan yang diberikan selama penulis menempuh studi sarjana. 5. Bapak Yombi Wikso Gautama selaku Manajer Departemen Geoteknik dan Hidrologi PT. Berau Coal atas kesempatan yang diberikan sehingga penulis dapat melaksanakan Kerja Praktik disana.
6. Bapak Ichsan Sebastian, Bapak Ahmad Baiquni, Bapak Hanafi dan Kak Pandu Zea atas bimbingan, semangat dan bantuan yang diberikan selama penulis melaksanakan Kerja Praktik. Serta GNH Team yang tidak bisa disebutkan satu per satu. 7. Bapak Nanang N.C selaku WKTT site BMO 2 atas kesempatan serta bimbingan
yang
diberikan
kepada
penulis
selama
penulis
melaksanakan Kerja Praktik. 8. Seluruh teman-teman Ekplorasi Tambang 2013 atas canda, tawa, semangat, suka dan duka yang selama ini diberikan, terima kasih atas kenangannya. 9. Sahabat penulis, Elya Hizkia, Nikolaus Sigit Gusti, Titits Gayuh, Cindy Clara Afrisca, Cecilia Maria Erista, A la-carte family, Alberta Noven, Jessica Nathania dan Victoria Eleny atas doa dan dukungan yang diberikan kepada penulis. 10. Kepada seseorang yang sudah datang di kehidupan penulis, walau sebentar
tapi
kenangan
serta
luka
yang
ditinggalkan
begitu
mendalam. Terima kasih atas semangat, dukungan, kepercayaan dan hal lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Tugas Akhir ini masih jauh dari sempurna. Sehingga penulis memohon kritik serta saran sebagai bentuk dari pengembangan studi ini, agar kiranya Tugas Akhir ini dapat bermanfaat bagi banyak orang.
Bandung, 24 Agustus 2017
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................2
RINGKASAN.....................................................................................................3 ABSTRACT.......................................................................................................4 KATA PENGANTAR..........................................................................................5 DAFTAR ISI......................................................................................................6 DAFTAR GAMBAR...........................................................................................9 DAFTAR TABEL..............................................................................................10 BAB 1 PENDAHULUAN...................................................................................1 1.1LATAR BELAKANG..................................................................................1 1.2MAKSUD DAN TUJUAN PENELITIAN....................................................2 1.3BATASAN MASALAH...............................................................................2 1.4METODE PENELITIAN............................................................................2 1.4.1Metode pengumpulan data...............................................................2 1.4.2Metode pengolahan data..................................................................3 1.5HIPOTESIS..............................................................................................4 1.6SISTEMATIKA PENULISAN....................................................................4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................6 2.1SIKLUS HIDROLOGI...............................................................................6 2.2AKUIFER..................................................................................................7 2.2.1Jenis-jenis akuifer..............................................................................7 2.2.2Properti akuifer..................................................................................9 2.3PRINSIP ALIRAN AIRTANAH................................................................15 2.3.1Hukum Darcy...................................................................................15 2.3.2Drawdown pada akuifer terkekang.................................................15 2.4PEMODELAN DAN SIMULASI AIRTANAH...........................................17 2.4.1MODFLOW......................................................................................17 2.4.2Finite difference method..................................................................20
2.4.3Model kalibrasi................................................................................24 BAB 3 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN...........................................26 3.1LOKASI DAN KESAMPAIAN DAERAH.................................................26 3.2GEOLOGI REGIONAL...........................................................................27 3.2.1Fisiografi regional............................................................................27 3.2.2Stratigrafi regional...........................................................................28 3.3GEOLOGI DAERAH PENELITIAN........................................................31 3.3.1Morfologi..........................................................................................31 3.3.2Stratigrafi.........................................................................................32 3.3.3Model Konseptual............................................................................33 3.4CURAH HUJAN.....................................................................................35 3.5EVAPOTRANSPIRASI...........................................................................36 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN..............................................................37 4.1Perhitungan Penurunan Muka Airtanah.................................................37 4.2Simulasi Penurunan Muka Airtanah.......................................................40 4.3Kalibrasi Hasil Penurunan Muka Airtanah berdasarkan Metode Perhitungan menurut Theis (1935) dan Hasil Simulasi Numerik................44 4.3.1Parameter Adjustment.....................................................................46 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN...............................................................52 5.1KESIMPULAN........................................................................................52 5.2SARAN...................................................................................................52 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................54 LAMPIRAN.....................................................................................................56
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.0.1 Diagram Alir Penelitian..............................................................4 Gambar 2.0.2 Siklus hidrologi (Modifikasi dari Fetter 2001)............................7 Gambar 2.0.3 Akuifer Terkekang (Kruseman dan de Ridder 1994).................8 Gambar 2.0.4 Akuifer Tidak Terkekang (Kruseman dan de Ridder 1994).......8 Gambar 2.0.5 Akuifer Semi Terkekang (Kruseman dan de Ridder 1994)........9 Gambar 2.0.6 Hydraulic conductivity dan transmissivity (Modifikasi J. Patrick Powers 2007)..................................................................................................12 Gambar 2.0.7 Percobaan Darcy (Darcy’s Law).............................................15 Gambar 2.0.8 Drawdown pada Akuifer Terkekang (Fetter 2001)...................16 Gambar
2.0.9
Model
Grid
(diunduh
dari
https://pubs.usgs.gov/fs/2006/3138/pdf/fs20063138.pdf pada Agustus 2017). ........................................................................................................................21 Gambar 2.0.10 Block-centered finite-difference grid (Fetter 2001)................22 Gambar 2.0.11 Mesh-centered finite-difference grid (Fetter 2001)................22 Gambar 2.0.12 Finite-difference Grid (Fetter 2001).......................................23 Gambar 2.0.13 Notasi Komputer pada finite-difference Grid (Fetter 2001)...23
Gambar 3.0.14 Peta Daerah Penelitian (dimodifikasi dari Bakosurtanal, diunduh http://www.bakosurtanal.go.id/assets/News/peta_dinding/Kaltim.zip/,
dari pada
Juli 2017)........................................................................................................27 Gambar 3.0.15 Cekungan Tarakan Kalimantan Timur (diunduh dari http://digilib.unila.ac.id/ pada Januari 2016)...................................................28 Gambar 3.0.16 Korelasi satuan peta geologi regional Tanjung Redeb (Situmorang & Burhan 1995)..........................................................................31 Gambar 3.0.17 Peta Morfologi Daerah Penelitian.........................................32 Gambar 3.0.18 Peta Geologi Regional Daerah Penelitian............................33 Gambar 3.0.19 Peta Cekungan Air Tanah Daerah Penelitian........................34 Gambar 3.0.20 Peta Arah Aliran Airtanah pada Daerah Penelitian...............35 Gambar 3.0.21 Curah Hujan Rata-Rata Bulanan (2005-2016)......................36 Gambar 3.0.22 Evapotranspirasi Rata-Rata 10 tahun (1997-2009)..............36 Gambar 4.23 Radius Pengaruh spasi IDH terhadap Drawdown...................40 Gambar 4.24 Model Konseptual Daerah Penelitian.......................................42
Tabel 2.1 Nilai hydarulic conductivity pada material sedimen yang tidak terkonsolidasi (Domenico dan Schwartz 1990)..............................................10
Tabel 2.2. Nilai hydarulic conductivity pada material sedimen yang terkonsolidasi (Domenico dan Schwartz 1990)..............................................10 Tabel 2.3 Nilai Hydarulic conductivity pada batuan kristalin (Domenico dan Schwartz 1990)...............................................................................................11 Tabel 2.4 Nilai porositas, specific yield dan specific retention (Health 1983). ........................................................................................................................13 Tabel 2.5 Nilai specific yield (Morris dan Johnson 1967)...............................14
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1
LATAR BELAKANG
Airtanah merupakan salah satu faktor penting yang berkontribusi terhadap ketidakstabilan lereng. Air akan mengisi pori lapisan tanah sehingga tekanan air pori meningkat. Hal ini mengurangi kekuatan tanah dan mengakibatkan nilai kuat geser menurun. Untuk meningkatkan nilai kuat geser, gaya penahan harus diperbesar. Salah satu cara nya adalah dengan melakukan dewatering atau penirisan tambang. PT. Berau Coal merupakan salah satu dari 5 perusahaan batubara terbesar di Indonesia. PT. Berau Coal saat ini memiliki tiga wilayah penambangan yang aktif, salah satunya adalah wilayah penambangan Binungan (Binungan Mine Operation). Pada tahun 2009, di Pit E khususnya low wall pernah terjadi longsor. Berdasarkan kajian, longsor terjadi akibat adanya akuifer terkekang. Sistem akuifer ini memberikan tekanan yang cukup besar terhadap lereng, sehingga mengakibatkan lereng runtuh. Oleh sebab itu, untuk mengurangi tekanan hidrostatis airtanah, proses dewatering dilakukan. Kegiatan dewatering dilakukan dengan menggunakan sistem drainhole yang dipasang secara inclined. Studi tugas akhir ini ditujukan untuk mengetahui besar penurunan muka airtanah setelah dewatering dilakukan. Simulasi terhadap penurunan muka airtanah dilakukan selama 8 tahun disesuaikan dengan umur tambang pada daerah penelitian dengan dua skenario, yaitu pada skenario pertama, simulasi dilakukan terhadap tiga drainhole aktif, sedangkan skenario kedua dilakukan dengan penambahan drainhole di luar model. Besar penurunan muka airtanah didapatkan dengan melakukan perhitungan penurunan muka airtanah
berdasarkan
metode
perhitungan
Theis
(1935)
kemudian
menyimulasikannya ke dalam sistem numerik beda hingga. Output yang
diharapkan berupa perbandingan besar penurunan muka airtanah terhadap sumur pantau dari simulasi yang telah dilakukan dengan dua skenario.
1.2
MAKSUD DAN TUJUAN PENELITIAN
Maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui besar perubahan penurunan muka airtanah setelah dilakukannya dewatering terhadap instalasi drainhole.
1.3
BATASAN MASALAH
Adapun batasan masalah dalam penelitian adalah sebagai berikut: a. Simulasi penurunan muka airtanah berfokus pada low wall Pit E BMO 2 terhadap dewatering yang dilakukan melalui pemasangan drainhole. b. Kondisi recharge diambil 15% dari curah hujan dan evapotranspirasi diambil 5% dari curah hujan. (Cahyadi, 2016) c. Nilai properti akuifer dilakukan berdasarkan pendekatan teoritis menurut Morris and Johnson (1967), Domenico and Shwartz (1990) dan Health (1983). d. Simulasi penurunan muka airtanah pada sistem akuifer terkekang, isotropi dan homogen. 1.4
METODE PENELITIAN
1.4.1 Metode pengumpulan data Pada penelitian ini digunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder dengan penjelasan sebagai berikut: a. Data primer merupakan data yang diperoleh dari hasil pengukuran langsung di lapangan. Data primer pada penelitian ini adalah sebagai berikut: ● Data tinggi Muka Airtanah (MAT) yang diperoleh dari pengukuran langsung dengan Water Level Measurement dan diukur melalui Inclined drain hole (IDH) dan Vertical Drain Hole (VDH). ● Data pengukuran debit aliran dari IDH. b. Data sekunder merupakan data yang sudah tersedia pada instansi
terkait. Data sekunder pada penelitian adalah: ● Topografi permukaan dengan kondisi actual tahun 2016 yang ●
berfungsi sebagai basin hidrologi. Data penampang geologi pada
●
mengetahui litologi guna menentukan hidrostratigrafi. Data curah hujan rata-rata periode tahun 2005 - 2016 dengan
low wall berfungsi untuk
stasiun BMO 2 (Binungan Mine Operation 2), sebagai data ● ●
recharge. Data rata-rata evapotransipirasi BMO 2 tahun 2000 - 2010. Data properti hidrogeologi berupa nilai konduktivitas hidraulik dan storage coefficient melalui pendekatan teoritis menurut Domenico dan Schwartz (1990), Morris and Johnson (1967) dan Health (1983)
1.4.2
Metode pengolahan data
Pada penelitian ini, analisis mengenai penurunan muka airtanah dilakukan dengan dua metode yaitu berdasarkan metode perhitungan Theis (1935) dan simulasi numerik dengan metode beda hingga (finite difference method) pada perangkat lunak Visual Modflow 2011.1. (Trial Version). a. Hidrostratigrafi daerah penelitian mengacu pada data cross section perusahaan yang dilakukan dengan interpolasi polynomial berbasis kriging pada perangkat lunak Minescape. b. Dat a
c. muka
Simulasi penurunan muka airtanah
Pengolahan Data
airtanah
dilakukan selama 8 tahun. Melakukan kalibrasi hasil penurunan
terhadap kedua metode penelitian.
Metode Perhitungan Theis (1935)
Simulasi Numerik
Kali brasi
Diagram Parameter Adjustment
alir Unacce ptable
Er ro r
Accepta ble Calibrated
penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.1
Gambar 1.0.1 Diagram Alir Penelitian
1.5
HIPOTESIS
Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah besar penurunan muka airtanah berdasarkan metode perhitungan Theis (1935) akan mengalami penurunan sebesar 8 meter pada akhir tahun simulasi.
1.6
SISTEMATIKA PENULISAN
Penelitian diawali dengan adanya latar belakang penelitian. Kemudian maksud dan tujuan penelitian ditentukan. Untuk mencapai maksud dan tujuan, penelitian dibatasi oleh beberapa hal, lalu diikuti dengan pembuatan hipotesis awal. Penentuan metodologi dibuat sebagai bahan acuan dalam proses pengambilan dan pengolahan data penelitian.
Selanjutnya penulisan dilanjutkan dengan tinjauan pustaka yang terdiri dari 4 (empat) buku, 4 (empat) publikasi, 1 (satu) tesis yang berisikan review pustaka yang berkaitan dengan penelitian. Kondisi geologi dan hidrogeologi daerah penelitian didapatkan dari studi literature dan data sekunder. Analisis dilakukan terkait masing-masing data yang telah dituliskan pada bab sebelumnya. Kesimpulan berisikan intisari dari hasil penelitian dan pernyataan mengenai hubungan hasil penelitian dengan hipotesis, termasuk juga alasan-alasan yang menyebabkan hasil penelitian berbeda atau sama dengan hipotesis. Selain itu dalam bab ini juga dipaparkan saran untuk penelitian selanjutnya yang mungkin dapat dikembangkan terkait dengan hasil penelitian yang dilakukan.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
SIKLUS HIDROLOGI
Air mengalami evaporasi dari permukaan laut dengan jumlah yang bervariasi. Jumlah tersebut berbanding lurus dengan energi yang bekerja sebagai media evaporasi. Saat kondisi atmosfer stabil, uap air terkondensasi dan membentuk butiran air. Air tersebut kemudian turun ke laut atau daratan yang disebut sebagai presipitasi (air hujan). Air dapat tersimpan pada danau, sungai atau laut yang disebut surface water atau dapat terinfiltrasi hingga bawah permukaan (infilltration). Pada kedalaman tertentu, pori-pori tanah atau batuan tersaturasi dengan air. Bagian atas dari zona saturasi disebut water table. Air yang tersimpan pada zona saturasi disebut groundwater, yang kemudian mengalir melalui tanah atau batuan sampai menjadi discharge dalam bentuk mata air atau seepage seperti kolam, danau, sungai atau laut. Presipitasi diterima oleh vegetasi yang dapat berevaporasi. Evaporasi langsung dari groundwater dapat terjadi jika zona saturasi dekat dengan permukaan. Transpirasi dari vegetasi serta evaporasi dari daratan disebut sebagai evapotranspirasi. Siklus hidrologi ditunjukan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.0.2 Siklus hidrologi (Modifikasi dari Fetter 2001)
2.2
AKUIFER
Airtanah dapat digambarkan sebagai formasi yang mengandung material tersaturasi bersifat permeable dengan jumlah yang cukup untuk dapat menghasilkan air dari sumur atau mata air. Hal ini mengimplikasikan suatu kemampuan dalam menyimpan dan mengalirkan air, contohnya pasir dan kerikil. Sebuah akuifer memiliki lapisan dasar yaitu material yang relatif bersifat impermeable, secara stratigrafi berbatasan langsung dengan satu atau lebih akuifer disebut confining beds. Beberapa tipe confining beds adalah akuiklud, akuifug dan akuitar. Berikut pengertian dari masing-masing confining beds: a. Akuiklud merupakan material tersaturasi bersifat impermeable yang tidak menghasilkan jumlah air yang cukup besar, contohnya clay. b. Akuifug adalah formasi yang impermeabel, tidak dapat mengalirkan bahkan menyimpan air, contohnya solid granite. c. Akuitar adalah lapisan tersaturasi, memiliki sifat permeabel yang kecil dan menghambat pergerakan airtanah serta tidak menghasilkan air dalam jumlah besar namun dapat mengalirkan air; ke atau dari akuifer yang berbatasan langsung,
dengan
ketebalan
yang
dapat
membentuk
suatu
zona
penyimpanan air tanah, contohnya sandy clay. 2.2.1 Jenis-jenis akuifer Berdasarkan kemampuan suatu akuifer dalam meloloskan air, sistem akuifer dibagi menjadi akuifer terkekang, akuifer tidak terkekang dan akuifer semi terkekang. a. Akuifer terkekang atau yang biasa disebut artesian atau pressure aquifer adalah lapisan akuifer yang dibatasi akuiklud pada bagian atas dan bawahnya, jika dilihat kondisi head lebih tinggi dari atap akuifer (Gambar 2.2).
Gambar 2.0.3 Akuifer Terkekang (Kruseman dan de Ridder 1994).
b. Akuifer tidak terkekang adalah akuifer yang dibatasi oleh akuiklud di bagian bawahnya tetapi di bagian atasnya tidak ada lapisan penutup. Berdasarkan tekanan (head) nya, posisi head sama dengan atap akuifer (Gambar 2.3).
Gambar 2.0.4 Akuifer Tidak Terkekang (Kruseman dan de Ridder 1994).
c. Akuifer semi terkekang, yaitu akuifer yang dibatasi oleh akuitard di bagian atas dan di bagian bawahnya oleh akuiklud atau akuitard dan head terletak diantara akuifer terkekang dan tak terkekan (Gambar 2.4).
Gambar 2.0.5 Akuifer Semi Terkekang (Kruseman dan de Ridder 1994).
2.2.2
Properti akuifer
2.2.2.1 Hydarulic conductivity (K) dan Transmissivity (T) Hydarulic
conductivity
adalah
kemampuan
suatu
material
dalam
mentransmisikan air. Hydarulic conductivity (K) memiliki satuan cm/s atau m/s. Nilai K tidak konstan, tergantung pada media dan fluida (viskositas dan densitas fluida yang tergantung pada tekanan dan temperatur). Menurut hukum Darcy, Hydarulic conductivity dinyatakan sebagai: L Liter(volume) L L (¿¿ 2)( )=( )= L T Waktu L3 −( ) −Q T K= = ¿ dh A( ) dL Keterangan: Q adalah debit air (m3/hari) A adalah luas akuifer (m)
Menurut Domenico dan Schwartz 1990 (Tabel 2.1, 2.2, dan 2.3), nilai
representatif hydarulic conductivity pada masing-masing material seperti material sedimen yang terkonsolidasi maupun yang tidak terkonsolidasi, serta batuan kristalin dapat dijelaskan pada tabel sebagai berikut: Tabel 2.1 Nilai hydarulic conductivity pada material sedimen yang tidak terkonsolidasi (Domenico dan Schwartz 1990) Jenis Material Sedimen
Nilai Hydarulic conductivity (m/s)
Gravel
3 x 10-4 sampai 3 x 10-2
Coarse sand
9 x 10-7 sampai 6 x 10-3
Medium sand
9 x 10-7 ssampai 5 x 10-4
Fine sand
2 x 10-7 sampai 2 x 10-4
Silt, loess
1 x 10-9 sampai 2 x 10-5
Till
1 x 10-12 smpai 2 x 10-6
Clay
1 x 10-11 sampai 4,7 x 10-9
Unweathered marine clay
8 x 10-13 sampai 2 x 10-9
Tabel 2.2. Nilai hydarulic conductivity pada material sedimen yang terkonsolidasi (Domenico dan Schwartz 1990) Jenis Material Sedimen
Nilai Hydarulic conductivity (m/s)
Karst and reef limestone
1 x 10-6 sampai 2 x 10-2
Limestone, dolomite
1 x 10-9 sampai 6 x 10-6
Sandstone
3 x 10-10 sampai 6 x 10-6
Siltstone
1 x 10-11 sampai 1,4 x 10-8
Salt
1 x 10-12 sampai 1 x 10-10
Anhydrite
4 x 10-13 smpai 2 x 10-8
Shale
1 x 10-13 sampai 2 x 10-9
Tabel 2.3 Nilai Hydarulic conductivity pada batuan kristalin (Domenico dan Schwartz 1990) Jenis Material Sedimen
Nilai Hydarulic conductivity (m/s)
Permeable basalt
4 x 10-7 sampai 2 x 10-2
Fractured igneous and metamorphic
8 x 10-9 sampai 3 x 10-4
rock Weathered granite
3,3 x 10-6 sampai 5,2 x 10-5
Weathered gabbro
5,5 x 10-7 sampai 3,8 x 10-6
Basalt
2 x 10-11 sampai 4,2 x 10-7
Unfractured igneous and
3x 10-14 sampai 2 x 10-10
metamorphic rock
Transmissivity
berhubungan
dengan
ketebalan
Transmissivity memiliki rumus: T = K.b Keterangan: K merupakan hydraulic conductivity (m/s) b merupakan ketebalan akuifer (m)
dari
sebuah
akuifer.
Transmissivity merupakan salah satu faktor utama dalam kegiatan dewatering, karena nilai transmissivity menunjukkan banyaknya air yang harus dipompa dalam kegiatan dewatering (Gambar 2.5).
Gambar 2.0.6 Hydraulic conductivity dan transmissivity (Modifikasi J. Patrick Powers 2007).
2.2.2.2
Storativitas (S)
Storativitas atau storage coefficient dari sistem akuifer terkekang merupakan fungsi dari kedalaman dan ketebalan akuifer. Sehingga, storativitas didefinisikan sebagai berikut: S=S s b Keterangan, S adalah storativitas (tidak berdimensi), Ss adalah specific storage yaitu properti hidrogeologi yang berkaitan dengan kompresibilitas akuifer atau akuitar dan air: SS
= g ( + ❑e )
Keterangan: adalah densitas air (M/L3), g adalah nilai gravitasi (g = 9,8 m/sec2) (L/T2), α adalah kompresibilitas akuifer atau akuitar (T2L/M) ❑e adalah efektif porositas (tidak berdimensi), β adalah kompresibilitas air (β = 4,4 x 10-10 m.sec2/kg atau Pa-1) (T2L/M)
Nilai storativitas dari akuifer terkekang biasanya memiliki nilai dari 5 x 10 -5 sampai 5 x 10-3 (Todd 1980), sedangkan untuk akuifer tidak terkekang memiliki nilai 0.1 sampai 0.3 (Lohman 1972).
2.2.2.3
Specific yield (Sy)
Specific Yield atau efektif porositas adalah volume air yang dibebaskan dari sebuah sistem akuifer tidak terkekang untuk setiap luasan area dan satuan penurunan muka airtanah. Bear 1979 merelasikan specific yield dengan total porositas sebagai berikut: ¿ S y +S r Keterangan: adalah porositas total (tidak berdimensi) Sy
adalah specific yield (tidak berdimensi)
Sr
adalah specific retention (tidak berdimensi)
Sejumlah air ditahan oleh gaya kapiler selama proses drainase, sehingga specific yield memiliki nilai yang lebih kecil dari porositas total dari akuifer tidak terkekang (Bear 1979). Berikut nilai porositas, specific yield dan specific retention menurut Health 1983 yang akan dijelaskan melalui (table 4 dan tabel 5) sebagai berikut:
Tabel 2.4 Nilai porositas, specific yield dan specific retention (Health 1983).
Material
Porosity (%)
Specific yield (%)
Specific retention (%)
Soil
55
40
15
Clay
50
2
48
Sand
25
22
3
Gravel
20
19
1
Limestone
20
18
2
Sandstone (unconsolidated)
11
6
5
Granite
0.1
0.09
0.01
Basalt (young)
11
8
3
Sedangkan menurut Morris dan Johnson 1967, nilai representatif dari specific yield untuk berbagai jenis material geologi adalah sebagai berikut: Tabel 2.5 Nilai specific yield (Morris dan Johnson 1967).
Material
Specific Yield (%)
Gravel, fine
28
Gravel, medium
24
Sand, coarse
30
Sand, medium
32
Sand, fine
33
Sandstone, fine grained
21
Sandstone, medium grained
27
Till, predominantly silt
16
Till, predominantly sand
16
2.3
PRINSIP ALIRAN AIRTANAH
2.3.1 Hukum Darcy Laju aliran melalui media berpori berbanding lurus dengan head loss dan luas penampang, tetapi berbanding terbalik dengan panjang aliran. Hal ini dibuktikan dengan mengalirkan air pada debit tertentu Q (L 3T1) melalui suatu tabung dengan luas penampang A (L2) yang diisi oleh air dan pasir. Selisih tinggi yang terbaca pada manometer sebesar L(L), jika h1 dan h2 merupakan tinggi di atas bidang datum (Gambar 2.6).
Gambar 2.0.7 Percobaan Darcy (Darcy’s Law).
2.3.2 Drawdown pada akuifer terkekang Analisis matematis dari transient drawdown (Gambar 2.7) pertama kali dikemukakan oleh C. V. Theis (1935) dengan asumsi sebagai berikut: 1. Sistem akuifer merupakan akuifer terkekang. 2. Tidak ada recharge pada akuifer. 3. Akuifer bersifat compressible dan air dilepaskan langsung dari akuifer saat head mengalami penurunan. 4. Well dipompa pada constant rate.
Dengan persamaan:
Q=(2 πrb) K
dh dr
Keterangan: Q merupakan pumping rate (L3/ T) r merupakan jarak radial dari circular section ke well (L) b merupakan tebal akuifer (L) K merupakan hydraulic conductivity (L/T) dh/dr merupakan hydraulic gradient (tidak berdimensi)
Gambar 2.0.8 Drawdown pada Akuifer Terkekang (Fetter 2001).
Transmissivity (T) merupakan hasil dari tebal akuifer dan hydraulic conductivity, persamaannya adalah sebagai berikut: Q = 2πrT (
∂h ¿ ∂r
=r
∂h ∂r
=
Q 2 πT
Secara matematis, initial conditions pada horizontal potentiometric surface, dinyatakan dalam: h(r,0) = h0 untuk semua r
Boundary condition menandakan infinite horizontal extent tanpa drawdown di setiap waktu, yaitu:
h(∞,t) = h0 untuk semua t Sehingga dari persamaan-persamaan di atas, didapatkan persamaan: ∞
−a
Q e h0 −h= ❑ ∫ 4 πT u a
da
Keterangan u adalah: 2
r S u= 4 Tt Keterangan: Q merupakan constant pumping rate (L3/T; m3/hari atau ft3/d) h merupakan hydraulic head (L; m atau ft) h0 meripakan initial hydraulic head (L; m atau ft) ho-h merupakan drawdown (L; m atau ft) T merupakan aquifer transmissivity (L2/T; m2/hari atau ft2/d) t merupakan waktu setelah pumping dimulai (T; d) r merupakan jarak radial dari pumping well (L; m atau ft) S merupakan aquifer storativity (tidak berdimensi). 2.4
PEMODELAN DAN SIMULASI AIRTANAH
2.4.1 MODFLOW MODFLOW merupakan pemodelan modular finite difference flow milik U.S. Geological Survey, yang merupakan kode komputer untuk memecahkan persamaan
aliran
airtanah.
Program
ini
dianggap
sebagai
standar
internasional untuk menyimulasikan dan memprediksi kondisi airtanah dan interaksi air tanah / permukaan air melalui akuifer. Kode program ini adalah perangkat lunak domain publik gratis yang ditulis terutama dalam Fortran, dan dapat dioperasikan pada sistem operasi Microsoft Windows atau Unix. 2.4.1.1 Persamaan aliran airtanah Persamaan diferensial parsial pada confined aquifer yang digunakan dalam MODFLOW adalah:
Keterangan: Kxx, Kyy Kzz adalah nilai hydraulic conductivity dengan sumbu koordinat x, y, dan z h adalah nilai potensiometrik head W adalah volumetric flux per satuan volume yang mewakili sumber dimana nilai negatifnya adalah ekstraksi dan nilai positif adalah injeksi. SS adalah specific storage dari bahan berpori. t adalah waktu
Finite difference pada bentuk diferensial parsial dalam domain akuifer (yang ditunjukkan dengan menggunakan baris, kolom dan layer) adalah:
Keterangan: hmijk adalah head di sel i, j, k pada langkah waktu m CV, CR dan CC adalah konduktivitas hidraulik atau branch antara node i, j, k dan neighbor node Pi,j,k adalah jumlah koefisien head dari istilah source and sink Qi,j,k adalah jumlah konstanta dari istilah sumber dan sink, Q i,j,k < 0,0 , merupakan outflow (pumping) dan Qi,j,k > 0.0 , merupakan inflow (sumur injeksi) SSi,j,k adalah specific storage Δrj, Δci, Δvk adalah dimensi sel i, j, k, yang bila dikalikan mewakili volume sel Tm waktu pada saat m
Persamaan ini diformulasikan ke dalam sistem persamaan yang harus dipecahkan sebagai:
dimana:
Atau dalam bentuk matriks sebagai
Keterangan: A adalah matriks koefisien head untuk semua simpul aktif di grid h adalah vektor nilai head pada akhir langkah waktu m untuk semua node dalam grid q adalah vektor dari istilah konstan, RHS, untuk semua node grid 2.4.1.2
Versi pada MODFLOW
USGS telah banyak menerbitkan beberapa versi dari MODFLOW. Hingga saat ini terdapat 6 versi utama MODLFOW
yaitu
MODFLOW-84,
MODFLOW-88, MODFLOW-96, MODFLOW-2000, MODFLOW-2005, dan MODFLOW 6. Tiga kode pertama dari kode, MODFLOW-84, MODFLOW-88 dan MODFLOW-96, didasarkan pada konseptualisasi awal dari program sebagai model aliran airtanah saja. Aspek spesifik dari sistem aliran air tanah disimulasikan oleh kode ini dengan menggunakan komponen pemrograman
modular independen yang disebut "Packages", seperti Well Package and River Package. Desain modular MODFLOW dikembangkan lebih jauh dengan merilis MODFLOW-2000 dengan penambahan "Processes," yang didefinisikan sebagai bagian dari kode yang memecahkan persamaan utama atau rangkaian persamaan terkait dan terdiri dari rangkaian paket yang mendasarinya. Bagian dari kode yang memecahkan persamaan aliran airtanah menjadi the Groundwater Flow (GWF) Process. Meskipun proses tambahan telah dikembangkan untuk MODFLOW, Proses GWF tetap merupakan proses inti dimana kemampuan simulasi MODFLOW lainnya dibangun. Perubahan utama dalam MODFLOW-2005 dari MODFLOW-2000 adalah pendekatan yang digunakan oleh MODFLOW-2005 untuk mengelola data internal. 2.4.2 Finite difference method Model merupakan representasi dari kondisi aktual dalam bentuk yang lebih sederhana. Model dapat dijelaskan melalui sebuah deskripsi, gambar atau persamaan matematis. Persamaan matematis seperti pada pemodelan airtanah, salah satunya diselesaikan dengan metode finite difference method, dimana model direpresentasikan dengan sebuah grid yang tersusun atas cells dan layers (Gambar 2.8). Untuk mendefinisikan kondisi hidrogeologi pada model, beberapa data seperti nilai properti akuifer, recharge, atau litologi dimasukan pada setiap cells. Secara alamiah, air akan masuk ke dalam tanah (recharge) dan keluar sebagai discharge. Inilah yang disebut boundary condition pada model (Welch, 2006).
Gambar 2.0.9 Model Grid (diunduh dari https://pubs.usgs.gov/fs/2006/3138/pdf/fs20063138.pdf pada Agustus 2017).
Metode finite difference digunakan untuk mengetahui nilai property dari sebuah akuifer melalui setiap poin yang ada di dalam boundary. Untuk mengetahui nilai tersebut, poin-poin diselesaikan dalam grid pattern. Ada 2 macam finite-difference grid yang ditunjukkan pada (Gambar 2.9 dan 2.10), masing-masing merupakan block-centered grid dan mesh-centered grid. Yang berasosiasi dengan grid disebut node points, dimana suatu persamaan diselesaikan untuk mengetahui nilai dalam boundary. Serta yang berasosiasi dengan node points merupakan nilai yang diketahui dari suatu parameter, contohnya adalah transmissivity dan storativity. Block-centered grid merupakan node points yang terletak di bagian tengah grid, sedangkan mesh-centered grid merupakan node points yang terletak di setiap perpotongan dari grid lines. Kedua jenis finite difference digunakan berdasarkan kondisi boundary. Ada 3 jenis kondisi boundary, yaitu Dirichlet Condition, Neumann Condition dan Mixed Boundary. Dirichlet condition merupakan kondisi dimana head diketahui pada boundary. Sedangkan
Neumann condition merupakan kondisi dimana nilai flux atau specific discharge
diketahui.
Mixed
boundary
merupakan
nilai
flux
yang
diekspresikan dengan nilai head pada boundary atau constant head.
Gambar 2.0.10 Block-centered finite-difference grid (Fetter 2001)
Gambar 2.0.11 Mesh-centered finite-difference grid (Fetter 2001)
Notasi (x, y) dalam finite-difference digunakan untuk mendeskripsikan posisi dari nodes, yaitu ∆x pada jarak ke kiri atau ke kanan dan ∆y pada jarak ke atas atau ke bawah. X memiliki nilai positif ke arah kanan, dan Y positif ke arah bawah. Pada notasi komputer, nodes bernilai i dan j, jika i merepresentasikan kolom dan j merepresentasikan baris. Notasi i bernilai positif ke kanan dan j bernilai
positif ke arah bawah (Gambar 2.11). Sehingga nilai di atas baris j adalah j – 1 dan nilai di bawah baris j adalah j + 1. Begitu juga dengan nilai i, bernilai i – 1 ke arah kiri dan bernilai i + 1 ke arah kanan (Gambar 2.12).
Gambar 2.0.12 Finite-difference Grid (Fetter 2001)
Gambar 2.0.13 Notasi Komputer pada finite-difference Grid (Fetter 2001).
Transient
flow
merupakan
perubahan
head
dengan
fungsi
waktu,
diaplikasikan dalam penentuan perubahan head pada pumping well. Pada kondisi ini, persamaan yang digunakan adalah (Anderson & Woessner 1992):
(
1 )(hn +1−hni , j) ∆ t i, j
1 n+1 n +1 n+1 n+1 hni++11, j +hi−1, )( S a 2)]¿ j +hi , j+1 +hi , j−1−4 hi , j =[( T Keterangan: S adalah storativity T adalah transmissivity ∆t adalah time step a = ∆x = ∆y = dimensi dari finite-difference grid n merupakan jumlah ke-n dari time step
2.4.3 Model kalibrasi Model kalibrasi merupakan cara untuk memvalidasi hasil dari model yang sudah dibuat. Kalibrasi dikatakan berhasil jika model mampu menghasilkan nilai head atau flow (calibration values) yang hampir sama dengan nilai head atau flow dalam perhitungan (field-measured) dengan error yang kecil, (Anderson, 1992). Ada dua cara mendasar untuk mencapai kalibrasi yaitu manual trial-and-error adjustment dan automated estimation. 2.4.3.1 Trial-and-error Calibration Pada metode ini, parameter kalibrasi (head atau flow) diberikan pada setiap node dalam grid. Selama proses kalibrasi, parameter tersebut disesuaikan secara regular dalam kurun waktu dimana model disimulasikan, hingga mencapai nilai head atau flow yang menjadi target kalibrasi. Untuk mencapai kalibrasi, dibutuhkan puluhan hingga ratusan trial-and-error. Sebagai contoh, Maclay and Land (1988), harus melakukan hingga 300 simulasi untuk mencapai target kalibrasi. Namun pada beberapa model yang menghasilkan nilai akurasi yang tinggi, mungkin hanya butuh sedikit adjustment atau bahkan tidak sama sekali. Metode ini diperlukan keahlian serta good judgement dari modeler. 2.4.3.2 Automated Calibration Automated inverse modeling merupakan penyelesaian kalibrasi (codes) yang menggunakan pendekatan secara langsung atau tidak langsung. Pada
pendekatan secara langsung, parameter yang tidak diketahui (unknown parameter) berlaku sebagai variabel tidak bebas pada persamaan, sedangkan heads sebagai variabel bebas. Ini artinya bahwa heads harus diinput pada setiap nodes. Namun, metode ini cenderung tidak stabil, karena perhitungan error tidak dikenali pada metode ini. Sedangkan metode dengan pendekatan tidak langsung, penyelesaian (codes) hampir mirip dengan trialand-error calibration, sehingga forward problem diselesaikan secara berkala. Inverse code secara otomatis memeriksa head solution dan menyesuaikan parameter dengan cara yang sistematis untuk meminimalkan perbedaan antara simulated dan observed heads. Metode tidak langsung diformulasikan secara statistik bila error pada heads dan parameter lainnya diperhitungkan. Kesimpulannya adalah bahwa kedua metode dasar dalam kalibrasi model, yaitu trial-and-error calibration dan automated calibration, tidak ada yang lebih baik dalam penggunaannya. Namun memang pada automated calibration,
proses
kalibrasi
mengefisienkan waktu.
menjadi
lebih
singkat
sehingga
dapat
BAB 3 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 3.1
LOKASI DAN KESAMPAIAN DAERAH
Daerah penelitian merupakan daerah konsesi PKP2B PT. Berau Coal site Binungan. Daerah Binungan secara admisnistratif terletak di wilayah Kecamatan Sambaliung, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Secara administratf
area
Binungan
terletak
pada
koordinat
1°59'39.3"N
117°22'38.2"E, ± 36 km dari kota Tanjung Redeb. Kesampaian lokasi site Binungan dapat ditempuh dengan rute sebagai berikut: a. Dari Jakarta ke Balikpapan dapat ditempuh dengan menggunakan pesawat selama ± 2 jam. Kemudian dari Balikpapan ke Berau ditempuh kembali dengan menggunakan pesawat selama ± 1,5 jam. Setelah
sampai
di
Berau,
perjalanan
dilanjutkan
dengan
menggunakan taksi sampai Head Office PT. Berau Coal Tanjung Redeb selama ± 17 menit. b. Dari Head Office PT. Berau Coal Tanjung Redeb menuju site Binungan, pertama ditempuh menggunakan mobil atau motor selama ±
30
menit
sampai
Prapatan,
kemudian
dilanjutkan
dengan
menyebrang sungai menggunakan boat selama kurang dari satu menit. Setelah itu, perjalanan dilanjutkan menggunakan LV menuju office Binungan selama ± 30 menit.
Daerah Penelitian
Gambar 3.0.14 Peta Daerah Penelitian (dimodifikasi dari Bakosurtanal, diunduh dari http://www.bakosurtanal.go.id/assets/News/peta_dinding/Kaltim.zip/, pada Juli 2017).
3.2
GEOLOGI REGIONAL
3.2.1
Fisiografi regional
Daerah Binungan terletak pada Sub-basin Berau dari Cekungan Tarakan. Cekungan Tarakan (Gambar 3.2) merupakan cekungan sedimentasi berumur Tersier, terletak di Kalimantan. Cekungan Tarakan terbagi menjadi empat sub cekungan (sub-basin), yaitu Tarakan Sub-basin, Tidung Sub-basin, Muara Sub-basin dan Berau Sub-basin (Tossin dan Kadir, 1996; Achmad and Samuel, 1984). a. Tarakan Sub-basin terletak pada bagian tengah dan merupakan subbasin paling muda. Perkembangan paling utara kearah lepas pantai dan terisi dengan formasi Tarakan-Bunyu yang berumur Miosen Akhir. b. Berau Sub-basin terletak pada bagian selatan dan sebagian besar berkembang di daratan. Terisi oleh sedimen berumur Eosen Akhir sampai Miosen Akhir.
c. Muara
Sub-basin
merupakan
deposenter
paling
selatan
dan
perkembangan sedimennya kearah lepas pantai di utara Tinggian Mangkalihat. Dipisahkan dengan Berau Sub-basin, di utaranya oleh Suikerbrood Ridge, yaitu siatu tinggian yang berarah Barat-Timur. d. Tidung Sub-basin terletak paling utara dan untuk sebagian besar berkembang di daratan, terisi sedimen berumur Oligosen sampai Miosen Akhir. Dipisahkan dengan Berau Sub-basin di bagian selatan oleh Sekatak Ridge.
Gambar 3.0.15 Cekungan Tarakan Kalimantan Timur (diunduh dari http://digilib.unila.ac.id/ pada Januari 2016).
3.2.2
Stratigrafi regional
Berdasarkan Peta Geologi keluaran Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung pada Lembar Tanjung Redeb (1995), secara regional daerah anak cekungan terdiri dari batuan sedimen, batuan gunung api dan batuan beku dengan kisaran umur dari PraTersier (Kapur) hingga Kuarter. Anak Cekungan Berau dari yang tua ke muda terdiri dari Formasi Banggara (Kbs), Formasi Sambakung (Tes), Formasi Tabalar (Teot), Formasi Birang (Tomb), Formasi Latih (Tml), Formasi Tabul (Tmt), Formasi Labanan (Tmpl), Formasi Domaring (Tmpd), Formasi Sinjin (Tps), Formasi Sajau (TQps), dan Endapan aluvial (Qa) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.3.
a. Formasi Bangara (Kbs): Formasi ini merupakan perselingan batulempung malih, batulempung terkersikkan, batulempung hitam bersisipan serpih, dan laminasi tufa, mengandung radiolaria, satuan batuan merupakan endapan flysch dan diperkirakan berumur kapur. b. Formasi Sembakung (Tes): Formasi Sembakung tersusun dari batulempung, batulanau, dan batupasir di bagian bawah; Batupasir kuarsa, batugamping pasiran, rijang dan tufa di bagian atas; mengandung fosil Nummulites sp, Discocylclina sp, Operculina sp, Globigerina sp, Reusela sp, Nodosaria sp, Planulina sp, Amphistegina sp, dan Borelis sp. Tebal satuan batuan lebih dari 1000 m dan diendapkan dalam lingkungan laut, berumur Eosen. c. Formasi Tabalar (Toet): Formasi ini terdiri dari napal abu–abu, batupasir, serpih, sisipan batugamping dan konglomerat alas di bagian bawah, batugamping dolomit, kalkarenit, dan sisipan napal di bagian atas. Formasi ini diendapkan dalam lingkungan fluviatil-laut dangkal, tebal satuan mencapai 1000 m, berumur Eosen–Oligosen. d. Formasi Birang (Tomb): Formasi ini merupakan perselingan napal, batugamping dan tufa dibagian atas, dan perselingan rijang, napal, konglomerat, batupasir kuarsa dan batugamping di bagian bawah. Tebal satuan batuan lebih dari 110 m dan kisaran umur formasi ini adalah Oligosen–Miosen. Mengandung fosil antara lain: Lepidocylina ephicides, Spiroclypeus sp,
Miogypsina
sp,
Margionopora
vertebralis,
Operculina
sp,
Globigerina tripartita, Globoquadrina altispira, Globorotalia mayeri, Globorotalia
peripheronda,
Globigerinoides
immaturus,
Globigerinoides sacculifer, Pra Orbulina transitoria, Uvigerina sp, Cassidulina sp. e. Formasi Latih (Tml): Formasi Lati tersusun oleh batupasir kuarsa, batulempung, batulanau, dan batubara di bagian atas; bersisipan serpih pasiran dan batugamping di bagian bawah Lapisan batubara (0,2-5,5 m), berwarna hitam, coklat, tebal satuan batuan kurang lebih 600 m, diendapkan
dalam lingkungan delta, estuarin, dan laut dangkal; mengandung fosil antara lain: Pra Orbulina glomerosa, Pra Orbulina transitioria, berumur f.
Miosen Awal-Miosen Tengah. Formasi Tabul (Tmt): Formasi ini terdiri dari batupasir, batulempung konglomerat, dan sisipan batubara; mengandung fosil Operculina sp, tebal satuan kurang lebih 1050 m. Berdasarkan kedudukannya dan adanya pecahan fosil tersebut, formasi ini diperkirakan terbentuk pada Miosen
Akhir dengan lingkungan pengendapan delta sampai laut dangkal. g. Formasi Labanan (Tmpl): Formasi ini merupakan perselingan konglomerat, batupasir, batulanau, batulempung disisipi batugamping dan batubara. Terdapat lapisan batubara dengan tebal 0,2-1,5 m berwarna hitam, coklat. Tebal satuan lebih kurang 450 m, diendapkan pada lingkungan fluviatil. Berumur Miosen Akhir-Pliosen. h. Formasi Domaring (Tmpd): Formasi Domaring tersusun dari batugamping terumbu, batugamping kapuran, napal, dan sisipan batubara muda. Umur formasi ini Miosen Akhir-Pliosen i.
dan
diendapkan
dalam
lingkungan
rawa
litoral.
Ketebalan formasi mencapai 1000 m. Formasi Sinjin (Tps): Formasi ini merupakan perselingan tufa, aglomerat, lapili, lava andesit piroksen,
tufa
terkersikan,
batulempung
tufaan
dan
kaolin,
mengandung lignit, kuarsa, feldspar, dan mineral hitam. Ketebalan j.
formasi ini lebih dari 500 m. Formasi Sajau (TQps): Formasi ini merupakan perselingan
batulempung,
batulanau,
batupasir, konglomerat, disisipi batubara, mengandung moluska, kuarsit dan mika, menunjukan struktur silang siur dan laminasi. Terdapat lapisan batubara 0,2–1 m berwarna hitam, coklat. Tebal satuan batuan lebih kurang 775 m, diendapkan dalam lingkungan fluviatil dan delta k. Endapan Aluvial (Qa): Endapan Aluvial tersusun oleh lumpur, lanau, pasir, kerikil, kerakal dan gambut berwarna kelabu sampai kehitaman, tebalnya lebih dari 40 m.
Gambar 3.0.16 Korelasi satuan peta geologi regional Tanjung Redeb (Situmorang & Burhan 1995).
3.3
GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
3.3.1
Morfologi
Low wall Pit E merupakan daerah bukaan tambang dengan elevasi -123 mdpl yang memiliki luas 2x1 km 2. Daerah penelitian dikelilingi oleh bukaan tambang lainnya pada sebelah timur, barat, dan barat daya. Pada sebelah timur merupakan Pit H yang telah dibuka sampai elevasi -50 mdpl, sedangkan pada sebelah barat merupakan Pit C west yang telah dibuka sampai kedalaman 0 mdpl dan sebelah barat daya merupakan Pit C3. Pit C3 telah dibuka sampai pada kedalaman -75 mdpl. Bukaan tambang ini juga dibatasi oleh sungai Meraang pada sebelah utara Pit E. Sungai Meraang berada pada elevasi 2,5 mdpl. Sedangkan pada bagian timur dibatasi oleh sungai Inaran yang berada pada elevasi 7,5 mdpl dan pada bagian barat dibatasi oleh sungai Kelay yang berada pada elevasi 3,8 mdpl.
Gambar 3.0.17 Peta Morfologi Daerah Penelitian.
3.3.2
Stratigrafi
Daerah penelitian termasuk dalam Formasi Latih yang terdiri dari batupasir kuarsa, betulempung, batulanau dan batubara di bagian atas; bersisipan serpih pasiran dan batugamping di bagian bawah. Formasi Latih memiliki umur Miosen Awal sampai Miosen Tengah yang terdeposisikan pada lingkungan delta, estuarin dan laut dangkal (Gambar 3.5). Low wall Pit E BMO 2 sendiri tersusun atas batupasir kuarsa dan batulempung. Sesuai dengan penampang sayatan, litologi tersebut masing-masing memiliki ketebalan ± 25 m, ± 73 m dan ± 22 m, yang berdasarkan jenis-jenis akuifer, litologi ini termasuk dalam jenis akuifer terkekang (confined aquifer).
Gambar 3.0.18 Peta Geologi Regional Daerah Penelitian.
3.3.3
Model Konseptual
Daerah penelitian tidak termasuk dalam CAT (Cekungan Air Tanah). Hal ini menandakan tidak adanya daerah imbuhan dan daerah lepasan airtanah. Kondisi hidrogeologi daerah penelitian merupakan akuifer tersusun dari litologi batupasir. Batupasir memiliki nilai konduktivitas hidraulik sebesar 7x10-3 m/hari yang ditentukan berdasarkan pendekatan teoritits menurut Morris and Johnson, 1967. Batulempung serta perselingan batubara hadir sebagai lapisan akuiklud. Konduktivitas hidraulik yang didapatkan melalui pendekatan teoritis Domenico dan Schwartz, 1990 pada batulempung nilai sebesar 2x 10-7 m/hari.
Gambar 3.0.19 Peta Cekungan Air Tanah Daerah Penelitian.
Arah aliran airtanah dihasilkan dari perbedaan elevasi yang ada pada low wall. Elevasi tertinggi low wall yang terlihat pada peta yaitu -40 mdpl, sehingga air mengalir menuju elevasi terendah pada pusat pit yang memiliki elevasi sebesar -150 mdpl. Gambar 3.7 menunjukan arah aliran airtanah pada daerah penelitian. Pada penelitian ini, aliran airtanah diasumsikan bersifat isotropi.
Gambar 3.0.20 Peta Arah Aliran Airtanah pada Daerah Penelitian.
3.4
CURAH HUJAN
Daerah penelitian memiliki curah hujan rata-rata 3034 mm/tahun. Data curah hujan diperoleh dari stasiun Binungan Mine Operation (BMO). Berdasarkan pola curah hujan selama 11 tahun pada Gambar 3.8, pola curah hujan daerah studi masuk ke dalam tipe Monsun. Pola curah hujan Monsun dicirikan dengan perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan periode musim kemarau, yang dikelompokan dalam Zona Musim (ZOM). Ciri lain dari pola Monsun adalah puncak hujan bersifat unimodial, atau satu puncak musim hujan setiap tahunnya.
Curah hujan (mm)
Curah Hujan Rata-Rata Bulanan 11 tahun (2005-2016), BMO, PT.BC 21.0 20.0 19.0 18.0 17.0 16.0 15.0 14.0 13.0
bulan
Gambar 3.0.21 Curah Hujan Rata-Rata Bulanan (2005-2016).
3.5
EVAPOTRANSPIRASI
Daerah Binungan Mine Operation 7 memiliki rata-rata evapotranspirasi sebesar 1410 mm/tahun. Evapotranspirasi paling tinggi terjadi pada bulan Desember yaitu sebesar 14 mm/bulan. Sedangkan evapotranspirasi terendah terjadi pada bulan Juli sebesar 11 mm/bulan. Data evapotranspirasi didapatkan dari data tahun 1997-2009.
Evapotranspirasi (mm)
Evapotranspirasi Rata-Rata 12 tahun (1997-2009), Kalimarau 14 13.5 13 12.5 12 11.5 11 10.5 10
Bulan
Gambar 3.0.22 Evapotranspirasi Rata-Rata 10 tahun (1997-2009).
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Perhitungan Penurunan Muka Airtanah Pada hipotesis awal telah dikemukakan bahwa dengan adanya penirisan tambang atau dewatering, maka muka airtanah diprediksikan akan mengalami penurunan. Percobaan pemodelan pada studi ini bertujuan untuk mengetahui apakah dewatering yang dilakukan dapat menurunkan muka airtanah. Menurut Theis (1935), drawdown memiliki persamaan sebagai berikut: 2
r S u= 4Tt Keterangan: u = konstanta Theis r = jarak pengamatan penurunan muka airtanah (m) S = storativity, dengan nilai 0.0005 untuk akuifer terkekang (tidak berdimensi) T = transmissivity, dengan rumus K x b, K adalah hydraulic conductivity dan b adalah tebal akuifer t = waktu pengamatan penurunan muka airtanah (hari) h ₀ -h=
Q W(u) 4πT
Keterangan: h0-h = besarnya penurunan muka airtanah (m) Q = debit (m3/day) W = well function Penurunan muka airtanah diamati dari sumur pantau OBS 1 dan OBS 2. Pada skenario pertama, pengamatan dilakukan terhadap IDH 3, IDH 4 dan IDH 6. Perhitungan penurunan muka airtanah menurut Theis (1935) dibatasi dengan asumsi salah satunya adalah apabila discharge memiliki nilai yang konstan (pada model ini debit yang keluar akibat dewatering berperan
sebagai discharge). Berdasarkan pengamatan di lapangan, ketiga drainhole yaitu IDH 3, IDH 4 dan IDH 6 masing-masing memiliki discharge rate sebesar 7.9 m3/hari, 8.1 m3/hari dan 9.6 m3/hari. Pada Tabel 4.1 dikemukakan hasil perhitungan penurunan muka airtanah terhadap sumur pantau OBS 1 dan OBS 2. Tabel 4.1 Hasil Perhitungan Penurunan MAT terhadap OBS 1 dan OBS 2 Skenario 1. Time (days) 183 365 548 730 913 1095 1278 1460 1643 1825 2008 2190 2373 2555 2738 2920
IDH 3 OBS 1 OBS 2 4.6 4.2 5.4 5.0 5.9 5.5 6.2 5.8 6.5 6.1 6.7 6.3 6.9 6.5 7.0 6.6 7.1 6.8 7.3 6.9 7.4 7.0 7.5 7.1 7.6 7.2 7.7 7.3 7.8 7.4 7.8 7.5
IDH 4 OBS 1 OBS 2 5.0 4.6 5.9 5.5 6.4 6.0 6.8 6.4 7.0 6.7 7.3 6.9 7.5 7.1 7.7 7.3 7.8 7.4 7.9 7.5 8.1 7.7 8.2 7.8 8.3 7.9 8.4 8.0 8.5 8.1 8.6 8.2
IDH 6 OBS 1 OBS 2 5.8 5.3 6.8 6.3 7.4 6.9 7.8 7.4 8.2 7.7 8.4 8.0 8.7 8.2 8.9 8.4 9.0 8.6 9.2 8.7 9.3 8.9 9.5 9.0 9.6 9.1 9.7 9.2 9.8 9.3 9.9 9.4
Berdasarkan hasil perhitungan diatas, diperkirakan penurunan muka airtanah terhadap OBS 1 adalah 8 meter. Sedangkan penurunan muka airtanah terhadap OBS 2 adalah 9 meter. Pada skenario kedua, perhitungan penurunan muka airtanah dilakukan terhadap enam drainhole (tiga drainhole merupakan drainhole di luar model) dengan discharge pada masing-masing IDH imajiner yaitu IDH 1, IDH 2 dan IDH 5 yaitu sebesar 9.6 m3/hari, 7.5 m3/hari dan 7.9 m3/hari. Hasil perhitungan penurunan muka airtanah dipaparkan pada Tabel 4.2. Tabel 4.2 Hasil Perhitungan Penurunan MAT terhadap OBS 1 dan OBS 2 pada Skenario 2. Tim
IDH 1
IDH 2
IDH 3
IDH 4
IDH 5
IDH 6
e (da ys) 183 365 548 730 913 109 5 127 8 146 0 164 3 182 5 200 8 219 0 237 3 255 5 273 8 292 0
OB S1
OB S2
OB S1
OB S2
OB S1
OB S2
OB S1
OB S2
OB S1
OB S2
OB S1
OB S2
5.3 6.3 6.9 7.4 7.7
5.8 6.8 7.4 7.8 8.2
4.1 4.9 5.4 5.8 6.0
4.5 5.3 5.8 6.1 6.4
4.6 5.4 5.9 6.2 6.5
4.2 5.0 5.5 5.8 6.1
5.0 5.9 6.4 6.8 7.0
4.6 5.5 6.0 6.4 6.7
4.4 5.2 5.7 6.1 6.3
4.7 5.6 6.1 6.4 6.7
5.8 6.8 7.4 7.8 8.2
5.3 6.3 6.9 7.4 7.7
8.0
8.4
6.2
6.6
6.7
6.3
7.3
6.9
6.6
6.9
8.4
8.0
8.2
8.7
6.4
6.8
6.9
6.5
7.5
7.1
6.7
7.1
8.7
8.2
8.4
8.9
6.6
6.9
7.0
6.6
7.7
7.3
6.9
7.3
8.9
8.4
8.6
9.0
6.7
7.1
7.1
6.8
7.8
7.4
7.1
7.4
9.0
8.6
8.7
9.2
6.8
7.2
7.3
6.9
7.9
7.5
7.2
7.6
9.2
8.7
8.9
9.3
6.9
7.3
7.4
7.0
8.1
7.7
7.3
7.7
9.3
8.9
9.0
9.5
7.0
7.4
7.5
7.1
8.2
7.8
7.4
7.8
9.5
9.0
9.1
9.6
7.1
7.5
7.6
7.2
8.3
7.9
7.5
7.9
9.6
9.1
9.2
9.7
7.2
7.6
7.7
7.3
8.4
8.0
7.6
8.0
9.7
9.2
9.3
9.8
7.3
7.7
7.8
7.4
8.5
8.1
7.7
8.1
9.8
9.3
9.4
9.9
7.4
7.7
7.8
7.5
8.6
8.2
7.8
8.1
9.9
9.4
Dari perhitungan diatas, diperkiraan penurunan muka airtanah terhadap OBS 1 adalah 11 meter. Sedangkan penurunan muka airtanah terhadap OBS 2 adalah 10 meter.
Gambar 4.23 Radius Pengaruh spasi IDH terhadap Drawdown
4.2 Simulasi Penurunan Muka Airtanah Simulasi penurunan muka airtanah dilakukan dengan perangkat lunak Visual Modflow 2011.1. Pemodelan ini menggunakan metode FDM yaitu Finite Difference Method dalam menyelesaikan masalah pemodelan airtanah. Parameter yang dibutuhkan antara lain adalah data topografi, data geologi bawah permukaan (litologi daerah penelitian) dan nilai-nilai properti hidrogeologi seperti hydraulic conductivity dan storage. Selain itu data berupa curah hujan dan evapotranspirasi sebagai salah satu sumber recharge pada model. Pengamatan muka airtanah mula-mula juga perlu dilakukan sebagai distribusi muka air awal sebelum dikenakan stress (prestress head). Setelah stress diberikan pada model melalui discharge, maka perubahan pada head akan terjadi. Perubahan head inilah yang disebut sebagai penurunan muka airtanah. Atau dengan kata lain, penurunan muka
airtanah (drawdown) merupakan respon dari stress yang diberikan pada model (Reilly, 1984). Simulasi dilakukan dalam waktu 8 tahun dengan 2 periode waktu setiap tahunnya. Pemodelan ini memiliki beberapa batasan dan asumsi, yaitu: 1. Model diasumsikan homogen dan isotropi. 2. Boundary dinyatakan sebagai inactive cells (no-flow boundary) pada sebelah barat dan timur model (Gambar 4.2). 3. Dimensi grid pada perangkat lunak Visual Modflow 2011.1 berukuran 10 m x 10 m, yang merepresentasikan luas daerah penelitian pada setiap grid (Gambar 4.1). 4. Nilai konduktivitas hidraulik dan storage diasumsikan mengikuti Morris and Johnson 1967, Domenico and Schwartz 1990 dan Health 1983. Pada Tabel 4.3 dipaparkan nilai hydraulic conductivity dan storage pada masing-masing layer. Tabel 4.3 Nilai storage pada masing-masing litologi daerah penelitian
Litologi Mudstone
K (m/day)
Ss
Sy
Eff.Por
Tot.Por
2,592 x 10-5
0,0009
0,02
0,06
0,42
0,007
0,0001
0,21
0,27
0,37
2,592 x 10-5
0,0009
0,02
0,06
0,42
Sandstone Mudstone
Pada pemodelan Visual Modflow, boundary condition yang digunakan untuk simulasi
penurunan
muka
airtanah
adalah Drain
(DRN).
Drainhole
diasumsikan sebagai bidang dengan nilai conductance tertentu dalam satuan m2/hari. Nilai conductance dari drain hole didapatkan dari perhitungan: Hydraulic conductivity panjang drainhole (m)
m m2 x luas selubung drainhole ( ) hari hari
( )
Gambar 4.24 Model Konseptual Daerah Penelitian
Drainhole dipasang dengan spasi 100 m pada skenario 1 dan 200 m pada skenario 2 yang memiliki variasi panjang 80 m dan 50 m. Drainhole dipasang hingga menembus lapisan akuifer. Diameter drain hole 0,05 m. Sedangkan untuk nilai conductance dipaparkan pada Tabel 4.4. Tabel 4.4 Nilai konduktivitas drainhole
No. ID drain hole
Nilai konduktivitas (m2/hari)
IDH 1 IDH 2 IDH 3 IDH 4 IDH 5 IDH 6
1 2 2 1 1 1
A
B
No-flow boundary
A
B
Gambar 4.3 Planar View Daerah Penelitian
Pada skenario pertama, pengamatan penurunan muka airtanah dilakukan pada tiga drainhole yaitu IDH 3, IDH 4 dan IDH 6. Sedangkan pada skenario 2, pengamatan penurunan muka airtanah dilakukan terhadap semua drainhole. Besar penurunan muka airtanah skenario 1 dan skenario 2 terhadap OBS 1 dan OBS 2 dapat dilihat pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5 Hasil Simulasi Penurunan MAT terhadap OBS 1 dan OBS 2 pada Skenario 1&2. Time (days)
SKENARIO 1 OBS 1 OBS 2
SKENARIO 2 OBS 1 OBS 2
183 365 548 730 913 1095 1278 1460 1643 1825 2008 2190 2373 2555 2738 2920
5.5 8.0 9.6 10.9 11.9 12.7 13.3 13.6 13.8 13.9 13.9 13.9 13.8 13.7 13.6 13.5
7.7 10.6 12.5 14.0 15.2 16.1 16.8 17.2 17.5 17.6 17.7 17.7 17.6 17.6 17.6 17.5
4.7 7.0 8.5 9.6 10.6 11.4 12.1 12.7 13.1 13.5 13.7 13.9 14.0 14.1 14.1 14.1
6.7 9.2 10.7 11.8 12.8 13.6 14.4 14.9 15.4 15.8 16.0 16.2 16.3 16.4 16.4 16.4
Dari hasil diatas, pada skenario 1, penurunan muka airtanah terhadap OBS 1 terjadi sebesar 13 m dan terhadap OBS 2 sebesar 17 m. Sedangkan pada skenario 2, penurunan muka airtanah terhadap OBS 1 adalah 14 m dan terhadap OBS 2 adalah 16 m. Pada skenario 2, penurunan muka airtanah lebih besar dibandingkan dengan skenario 1, hal ini terjadi karena pada skenario 2 simulasi dilakukan terhadap seluruh drainhole, sedangkan pada skenario 1 simulasi dilakukan terhadap 3 drainhole yang aktif.
4.3 Kalibrasi Hasil Penurunan Muka Airtanah berdasarkan Metode Perhitungan menurut Theis (1935) dan Hasil Simulasi Numerik Hasil perhitungan penurunan muka airtanah menurut metode Theis (1935) dengan hasil simulasi menggunakan Visual Modlfow 2011, nilai penurunan muka airtanah jauh lebih kecil ketika dihitung menggunakan rumus Theis (1935). Pada (Gambar 4.3) menunjukan perbedaan besar penurunan muka airtanah terhadap perhitungan Theis (1935) dengan hasil simulasi.
Perhitungan Theis (1935) menunjukan penurunan muka airtanah rata-rata sebesar 8 m, sedangkan dari hasil simulasi penurunan muka airtanah ratarata terjadi sebesar 15 m. Rata-rata perbedaan penurunan muka airtanah diantara kedua hasil perhitungan adalah 7 m.
d rawd ow n h a si l si mu l a si d an meto d e p er h i t u n ga n t h ei s ( 1935)
drawdown in meter
simulasi 18.0 16.0 14.0 12.0 10.0 8.0 6.0 4.0 2.0 0.0
0
500
1000
1500
theis
2000
2500
3000
3500
time (days)
Gambar 4.3 Grafik Penurunan MAT Skenario 1 dari Perhitungan dan Simulasi.
Sedangkan berdasarkan hasil simulasi menggunakan Visual Modflow 2011, besar outflow rata-rata dari setiap drainhole adalah 14 m 3/hari. Nilai ini menunjukan
perbedaan
yang
cukup
besar
terhadap
outflow
pada
pengamatan di lapangan yaitu 8 m 3/hari. Gambar 4.4 menunjukan outflow yang keluar dari drainhole.
Gambar 4.4 Outflow pada Drainhole dari Hasil Simulasi Numerik
4.3.1 Parameter Adjustment Pada persamaan Theis (1935) mengenai drawdown, parameter penting yang berpengaruh terhadap hasil perhitungan adalah transmisivitas, storage, jarak well terhadap sumur pantau dan discharge. Pada (Gambar 4.5) menunjukan tiga kurva hasil perhitungan drawdown, dengan nilai transmisivitas 0.73 m/hari, storage 0.00005 dan jarak dari drainhole ke OBS 1 1000 m. Kurva pertama memiliki besar discharge 8.5 m 3/hari, kurva kedua 6 m3/hari dan kurva ketiga 4 m3/hari.
Discharge terhadap drawdown 4.5 4.0
DRAWDOWN (m)
3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0
182.5
365
547.5
730
912.5
1095 1277.5 1460 1642.5 1825 2007.5 2190 2372.5 2555 2737.5 2920
TIME (days)
8.5
6
3
Gambar 4.5 Grafik Drawdown Skenario 1 dari Hasil Perhitungan.
Gambar 4.5 menunjukan bahwa besar discharge memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap penurunan muka airtanah. Pada kurva pertama, penurunan muka airtanah rata-rata terjadi sebesar 3 m dengan besar discharge 8.5 m3/hari. Sedangkan pada kurva kedua, penurunan muka airtanah rata-rata terjadi sebesar 2 m dengan besar discharge 6 m 3/hari. Kurva ketiga menunjukan penurunan muka airtanah rata-rata terjadi sebesar 1 m dengan besar discharge 3 m3/hari. Kunkel, 1960 melakukan perhitungan penurunan muka airtanah terhadap tiga pumping well dengan rate yang berbeda yaitu 1000 gpm, 2000 gpm dan 4000 gpm yang diamati dari sumur pantau yang jaraknya 1000 feet dari pumping well. Hasilnya menunjukan bahwa untuk menurunkan muka airtanah sebesar 10 feet pada sumur pantau, membutuhkan waktu selama 22,000 hari dengan pumping rate sebesar 1000 gpm. Sedangkan dengan pumping rate sebesar 2000 gpm, penurunan muka airtanah terjadi selama
270 hari. Dan dengan pumping rate sebesar 4000 gpm, penurunan muka airtanah terjadi selama 28 hari. Pada (Gambar 4.6) menjelaskan 3 kurva dengan nilai storage 0.00005 memiliki jarak dari drainhole ke OBS 1 1000 m dengan besar rata-rata discharge 6.1 m3/hari. Kurva pertama memiliki nilai konduktivitas hidraulik 0.005 m/hari, kurva kedua memiliki nilai konduktivitas hidraulik 0.01 m/hari, dan kurva ketiga memiliki nilai konduktivitas hidraulik 0.015 m/hari.
Konduktivitas Hidraulik terhadap Drawdown 8.0 7.0
DRAWDOWN (m)
6.0 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0
TIME (days) 0.005
0.01
0.015
Gambar 4.6 Grafik Pengaruh Nilai Konduktivitas Hidraulik terhadap Drawdown pada Skenario 1.
Pada kurva pertama, penurunan muka airtanah rata-rata terjadi sebesar 6 meter terhadap sumur pantau dengan nilai konduktivitas hidraulik 0.005 m/hari. Sedangkan pada kurva kedua dengan nilai konduktivitas hidraulik sebesar 0.01 m/hari, penurunan muka airtanah rata-rata terjadi sebesar 4 meter terhadap sumur pantau. Kurva ketiga menunjukan penurunan muka
airtanah rata-rata terjadi sebesar 3 meter terhadap sumur pantau dengan nilai konduktivitas hidraulik 0.015 m/hari. . Pada perhitungan drawdown menurut Theis (1935), salah satu parameter yang memengaruhi besar drawdown adalah nilai konduktivitas hidraulik. Pada subbab 4.2 juga telah dijelaskan mengenai parameter yang memengaruhi drain conductance, salah satunya adalah nilai konduktivitas hidraulik. Pada (Gambar 4.7) menunjukan skenario 1 bila dilihat nilai konduktivitas hidraulik mempengaruhi outflow pada setiap drainhole.
Pengaruh Konduktivitas Hidraulik terhadap Outflow 80
OUTFLOW m3/day
70 60 50 40 30 20 10 0
IDH 3
IDH 4
IDH 6
Konduktivitas Hidraulik (m/day) 0.005
0.01
0.015
Gambar 4.7 Pengaruh Konduktivitas Hidraulik terhadap Outflow.
Pada IDH 3, outflow sebesar 34 m3/hari terjadi pada nilai konduktivitas hidraulik (K) 0.005 m/hari. Sedangkan pada nilai K 0.01 m/hari, outflow pada IDH 3 meningkat menjadi 52 m3/hari. Dan outflow sebesar 71 m3/hari terjadi saat nilai K 0.015 m 3/hari. Pada IDH 4, outflow sebesar 27 m3/hari terjadi pada nilai konduktivitas hidraulik (K) 0.005 m/hari. Sedangkan pada nilai K 0.01 m/hari, outflow pada IDH 4 meningkat menjadi 37 m3/hari.
Pada outflow sebesar 46 m3/hari terjadi saat nilai K 0.015 m 3/hari. Pada IDH 6, outflow sebesar 32 m3/hari terjadi pada nilai konduktivitas hidraulik (K) 0.005 m/hari. Sedangkan pada nilai K 0.01 m/hari, outflow pada IDH 6 meningkat menjadi 45 m3/hari. Dan outflow sebesar 53 m3/hari terjadi saat nilai K 0.015 m3/hari.
Outflow terhadap Drawdown 60.0
Drawdown (m)
50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0 182.5 365 547.5 730 912.5 1095 1277.5 1460 1642.5 1825 2007.5 2190 2372.5 2555 2737.5 2920
Time (days) 31 m3/day
44 m3/day
56 m3/day
Gambar 4.8 Pengaruh Outflow terhadap Drawdown.
Pada (Gambar 4.8) menjelaskan pengaruh outflow terhadap drawdown. Penurunan muka airtanah sebesar 10 meter terjadi pada tahun terakhir simulasi yaitu pada tahun kedelapan dengan outflow 31 m3/hari. Sedangkan, pada outflow sebesar 44 m3/hari, penurunan muka airtanah terjadi sebesar 19 meter. Pada outflow sebesar 56 m3/hari, penurunan muka airtanah terjadi sebesar 23 meter. Parameter adjustment merupakan salah satu cara untuk melihat pengaruh dari nilai konduktivitas hidraulik terhadap besar drawdown. Pada perhitungan
Theis, nilai konduktivitas hidraulik memengaruhi nilai transmisivitas, dimana semakin besar nilai konduktivitas hidraulik maka transmisivitas juga semakin besar. Namun, nilai transmisivitas berbanding terbalik dengan besar drawdown. Hal ini patut diperhatikan dimana pada simulasi numerik, semakin besar nilai konduktivitas hidraulik maka drawdown juga semakin besar. Analisis dalam teori perhitungan drawdown menurut Theis (1935) tidak mengasumsikan adanya recharge yang semestinya terjadi pada kondisi aktual di alam. Sedangkan pada simulasi numerik, nilai recharge dimasukan sebagai parameter dalam komputasi. Pada akuifer terkekang, air yang keluar dari storage relatif lebih kecil dibandingkan pada akuifer tidak terkekang, sehingga pada perhitungan menurut Theis (1935) diameter diasumsikan memiliki nilai yang sangat kecil dan storage dapat diabaikan. Kunkel (1960) menunjukan pada percobaannya, bahwa nilai storage berbanding terbalik dengan besar drawdown. Pada akuifer terkekang, cone of depression yang terbentuk pengaruhnya lebih besar pada akuifer dan besarnya recharge memengaruhi jumlah air pada sistem akuifer ini.
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1
KESIMPULAN
Studi Tugas Akhir ini memiliki kesimpulan yaitu: 1. Perhitungan berdasarkan metode Theis (1935) menunjukan penurunan muka airtanah terhadap sumur pantau pada skenario 1 terjadi sebesar 8 meter. Sedangkan pada skenario 2, penurunan terjadi sebesar 9 m. 2. Menurut hasil simulasi, penurunan muka airtanah pada skenario 1 terjadi sebesar 11 m, sedangkan pada pada skenario 2 sebesar 10 m. 3. Hasil penurunan muka airtanah antara metode perhitungan dengan hasil simulasi disebabkan oleh nilai property akuifer yang ditentukan berdasarkan pendekatan teoritis. 4. Selain selain terjadi perbedaan
penurunan
MAT,
outflow
pada
pengamatan dan pada hasil simulasi diasumsikan terjadi karena perbedaan asumsi dari variabel yang harus diinput dari kedua metode, seperti recharge, discharge, diameter pipa, dan kedalaman pipa. 5. Nilai properti akuifer salah satunya nilai konduktivitas hidraulik, memiliki pengaruh yang besar terhadap penurunan muka airtanah. Sehingga sangat penting untuk mengetahui nilai konduktivitas hidraulik pada daerah yang akan dilakukan dewatering, demi hasil simulasi yang lebih akurat.
5.2
SARAN
Adapun saran yang dapat diberikan dari studi Tugas Akhir ini adalah: 1. Pengujian terhadap properti akuifer sebaiknya dilakukan sebagai tahap awal sebelum dewatering dilakukan, mengingat betapa pentingnya pengaruh nilai properti akuifer terhadap penurunan muka airtanah.
2. Penurunan muka airtanah salah satunya dipengaruhi oleh diameter selubung drainhole, sehingga simulasi penggunaan drainhole dengan ukuran yang lebih besar dapat dilakukan demi tercapainya penurunan muka airtanah yang lebih optimal.
DAFTAR PUSTAKA Anderson, M. P. and Woessner, W. W., 1992. Applied Ground Water Modeling Simulation of Flow and Advective Transport. Academic Press. INC. Arif, Irwandy., 2016. Geoteknik Tambang: Mewujudkan Produksi Tambang yang Berkelanjutan dengan Menjaga Kestabilan Lereng, Gramedia Pustaka Utama. Cahyadi, T.A., Notosiswoyo, S., Widodo, L.E., Iskandar, I., and Suyono., 2016. Pengaruh Instalasi Drain Hole Terhadap Penurunan Muka Airtanah Pada Media Permeabilitas yang Berbeda (Studi Kasus Model Konseptual) https://www.researchgate.net/publication/310673215_PENGARUH_INS TALASI_DRAIN_HOLE_TERHADAP_PENURUNAN_MUKA_AIRTANA H_PADA_MEDIA_PERMEABILITAS_YANG_BERBEDA_STUDI_KASU S_MODEL_KONSEPTUAL_Conceptual_Model_of_Groundwater_Depre ssurization_in_Different_Permeabi. Diunduh pada 14 Desember 2016 Cleary B., Guiguer N., Franz T., 2010. Visual Modflow Premium 2010.1, Schlumberger Water Services, Waterloo Hydrogeologic Inc. Domenico, P.A. and F.W. Schwartz, 1990. Physical and Chemical Hydrogeology, John Wiley & Sons, New York, 824 p. Fetter, C.W., 2001. Applied Hydrogeology 4 th edition, Upper Saddle River, N.J., Prentice-Hall. Hadlock, C. H., 1998. Mathematical modeling in the environment. USA: The Mathematical Association of America. Heath, R.C., 1983, Basic ground-water hydrology: U.S. Geological Survey WaterSupply Paper 2220, 84 p. Kartika, Alfeus Yunivan., 2009. Rekonstruksi Struktur Geologi di Binungan Blok 1-2 dan Parapatan, Kecamatan Tanjungredeb, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.
http://eprints.undip.ac.id/43209/1/naskah_publikasi.pdf. Diunduh pada 26 April 2017. Kunkel, Fred., 1960. Time, Distance and Drawdown Relationship in a Pumped Ground-Water Basin. Geological Survey 433, Washington. Leech S., McGann, 2007. Open pit slope depressurization using horizontal drains – a Case Study Newmont, https://www.imwa.info/docs/imwa_2008/ IMW A2008_035_Leech.pdf. Diunduh pada 19 Maret 2017. Morris, D.A. and Johnson, A.I. (1967) Summary of Hydrologic and Physical Properties of Rock and Soil Materials, as Analyzed by the Hydrologic Laboratory of the U.S. Geological Survey, 1948-1960. USGS Water Supply Paper: 1839-D. Reilly, T.E., 1984. The Principle of Superposition and Its Application in Ground-Water Hydraulics. U.S Geological Survey. Seegmiller, Ben L., Horizontal Drains–Their Use in Open Pit Mine Dewatering, https://www.imwa.info/docs/imds_1979/IMDS1979_Seegmiller_258.pdf. Diunduh pada 3 Oktober 2016. Thomas, Larry., 1992. Handbook of Practical Coal Geology, John Wiley and Sons, New York. Todd, D.K., Mays, Larry W., 2008. Groundwater Hydrology 3 rd Edition, John Wiley & Sons, Inc. Welch, Alan H., 2006. Ground-Water Flow Modeling by the U.S. Geological Survey in Nevada: Uses and Approaches.
LAMPIRAN Lampiran 1 Data Kelembaban Udara Bulanan Rata-Rata.
Kelembaban Udara Rata-Rata / Average Air Dampness (%) No
Tahun Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Nov
Des
1
1997
90
91
91
90
87
82
85
76
83
85
88
89
2
1998
85
86
87
86
83
83
86
88
85
88
87
86
3
1999
86
88
87
86
85
89
93
87
87
86
88
88
4
2000
85
84
87
85
84
84
87
84
87
88
88
91
5
2001
87
88
87
87
81
83
83
80
85
85
86
86
6
2002
91
86
87
86
86
84
84
84
85
86
88
88
7
2003
89
89
89
86
85
85
83
83
82
85
86
89
8
2004
90
89
87
88
87
85
87
81
86
86
85
89
9
2005
89
86
87
89
88
88
86
85
84
87
81
88
10
2006
89
90
89
84
82
88
85
84
86
87
89
89
11
2007
90
90
89
88
87
89
89
84
58
84
86
90
12
2008
89
89
90
88
84
87
88
87
86
84
86
90
13
2009
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Rerata
81.54
81.23
81.31
80.23
78.38
79.00
79.69
77.15
76.46
79.31
79.85
81.77
Lampiran 2 Data Penyinaran Mata Hari Bulanan Rata-Rata.
Penyinaran (%) No
Tahun Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Nov
Des
1
1998
31
31
43
50
49
47
50
56
46
48
47
39
2
1999
31
31
43
50
49
47
50
56
46
48
47
39
3
2000
31
31
43
50
49
47
50
56
46
48
47
39
4
2001
31
31
43
50
49
47
50
56
46
48
47
39
5
2002
26
26
26
26
27
26
25
27
26
27
26
26
6
2003
18
26
41
56
31
36
68
50
38
46
52
36
7
2004
34
21
35
63
57
54
57
66
43
48
48
31
8
2005
31
23
41
53
41
61
54
72
57
45
54
39
9
2006
42
49
50
39
44
45
50
56
56
56
56
56
10
2007
31
31
43
50
49
47
50
56
56
56
56
47
11
2008
20
31
61
64
70
56
47
65
58
57
39
43
12
2009
48
40
44
52
71
53
51
55
56
66
60
51
Rerata
31.17
30.92
42.75
50.25
48.83
47.17
50.17
55.92
47.83
49.42
48.25
40.42
Lampiran 3 Data Temperatur Bulanan Rata-Rata.
Temperatur 'C No
Tahun Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Nov
Des
1
1998
26
25
26
27
27
28
28
28
27
28
27
26
2
1999
27
27
27
27
27
27
27
28
28
27
27
27
3
2000
27
26
27
27
27
27
27
27
27
27
27
27
4
2001
26
27
27
27
27
27
27
27
27
27
27
27
5
2002
26
26
27
27
28
27
27
28
27
28
27
27
6
2003
26
26
27
27
27
27
27
28
27
27
27
27
7
2004
26
26
27
27
28
27
27
28
27
27
27
26
8
2005
26
26
26
27
28
27
27
27
27
27
26
27
9
2006
27
26
27
26
27
27
27
27
28
27
28
27
10
2007
27
26
27
27
26
27
28
26
27
27
27
27
11
2008
27
27
27
26
28
26
26
27
26
28
27
27
12
2009
26
25
26
26
28
26
27
26
27
27
27
27
Rerata
26.42
26.08
26.75
26.75
27.33
26.92
27.08
27.25
27.08
27.25
27.00
26.83
Lampiran 4 Data Kecepatan Angin Bulanan Rata-Rata.
Kecepatan (m/dtk) No
Tahun Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Nov
Des
1
2000
2
2
2
2
2
2
2
3
3
3
2
2
2
2001
2
2
2
2
2
2
2
3
3
3
2
2
3
2002
2
2
2
2
3
3
3
3
3
3
3
2
4
2003
3
3
3
3
4
3
3
3
3
3
3
3
5
2004
2
2
3
2
2
2
3
3
2
2
2
2
6
2005
0
0
3
1
2
2
2
2
2
2
2
2
7
2006
2
1
2
2
2
2
3
3
2
2
2
2
8
2007
3
3
3
3
4
3
4
5
3
3
3
3
9
2008
2
4
1
1
0
0
1
4
4
3
2
1
10
2009
2
1
1
1
1
1
1
3
3
3
3
3
Rerata
2
2
2.2
1.9
2.2
2
2.4
3.2
2.8
2.7
2.4
2.2
Lampiran 5 Jumlah Hari Hujan.
Tahun
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
August
Sep
Okt
Nop
Des
Rerata
2005
9
5
9
14
13
6
4
1
6
15
16
14
9
2006
15
22
19
13
16
11
8
11
11
8
17
15
14
2007
25
18
16
18
18
15
18
12
19
12
18
27
18
2008
23
20
21
18
14
18
14
19
16
14
19
20
18
2009
20
14
17
19
17
11
12
9
5
10
25
17
15
2010
19
17
7
14
18
17
23
10
25
21
21
21
18
2011
23
21
21
21
18
14
14
14
14
23
20
21
19
2012
26
17
26
19
15
10
13
9
13
18
21
21
17
2013
26
21
12
22
24
17
16
15
22
18
19
18
19
2014
17
15
18
21
20
20
13
22
13
12
21
23
18
2015
28
19
21
13
18
14
4
15
7
12
26
18
16
2016 Rerat a
23
23
17
15
24
22
12
19
24
22
20
21
17
17
17
17
14
13
12
14
15
20
20
16.4
Sep
Okt
Nop
Des
Rerata
Lampiran 6 Durasi Hujan Bulanan.
Agus
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
(jam)
(jam)
(jam)
(jam)
(jam)
(jam)
(jam)
(jam)
(jam)
(jam)
(jam)
(jam)
(jam)
2005
55.7
9
31.8
62.5
52.7
28
14
11
16.3
100.1
114.3
92.9
49
2006
57.7
117
68.3
51.3
45.3
41.5
25.4
23.9
35.2
11.4
47
43.4
47.3
2007
183.6
49.4
52.3
56.4
79.2
39.6
75.2
28.4
30.7
23.8
59.4
104
65.1
2008
131.6
74.5
92.5
59.5
62
67.1
49.6
49
47.2
79.7
59.9
74.7
70.6
Tahun
t
2009
91.5
76.8
71.2
94.4
65.7
23.4
42.7
21.3
26.1
50.4
98.8
78.1
61.7
2010
106.4
79.6
14.2
40.6
81.4
57.6
77.3
21.9
67
68.9
54.5
92.8
63.5
2011
31.4
29.2
34.8
26.8
21
18.5
17.3
19
16.2
19.8
25.7
25
23.7
2012
126.5
82.7
167.4
58.2
82.4
37.1
36.1
38.1
48.6
82.7
79.2
100.4
78.3
2013
123.9
136.4
33
88.7
96.3
68.6
80.1
50.8
78.4
66.6
64.6
60.5
79
2014
83.6
60.3
76.1
85.3
71.1
97
46.6
61
37.5
48.4
133.5
119.6
76.7
2015
156.1
75
80.1
28.3
63.8
50.6
5.6
40.1
24.8
91.7
90.3
51.4
63.2
2016
111.57
93.09
72.99
27.2
103.5
71.95
30.19
68.51
104
72
66
59
66
48
43
33
75
77
62
Rerat a
103.67 145.68
39
58
Lampiran 7 Curah Hujan Rerata Bulanan.
Tahun
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
2005
5.2
19.7
12.5
21.1
14.4
10.8
19.2
2006
13.4
26.3
21.2
23.9
16.8
22.8
2007
31.1
15.4
19.8
12.1
21.5
2008
24.2
22.6
16
13.5
2009
15.8
26.2
10.8
2010
15.4
10.7
2011
8.8
2012 2013
Agus
Rerat
Sep
Okt
Nop
Des
105.7
10.3
14.6
18.8
17.4
22.5
22.8
8.7
18.4
13.1
12.5
17.1
18.1
12.3
15.6
19.4
19.4
21.3
26.2
17
19.3
28.1
17.4
14.8
13
18.6
31.1
16.7
16.6
19.4
16.9
15.3
14.8
12.3
9.8
9.2
19
10.6
8.5
14.1
18.9
13.2
11.1
11.4
9.2
8.4
10.4
14.2
9
7.8
11.6
10.5
18.1
13.9
13.7
8.8
6.4
17
15.8
9.9
11.3
15.9
12.5
11.8
11.3
14.6
14.5
21.9
10.5
13.4
17.3
10.1
19.7
11.7
17.3
14.5
15.6
12.9
11
9.3
9.5
13.3
10.7
8.5
10.4
13.6
8.3
10.3
11.1
t
a
2014
20.3
16.5
13.8
28.1
17.7
17.9
18.2
10.3
19.3
7.3
29.2
18.1
18.1
2015
18.8
16.9
17.8
15.8
14.9
17.5
12.1
8.5
21.7
21.4
16.5
14.5
16.4
2016
16.4
9
13.2
10.9
11.5
8.2
11.4
14.5
15.6
19.3
15.7
17.8
16.5
16.1
17.9
13.6
14.2
24.9
14
17.9
14.6
14.7
16.1
Sep
Okt
Nop
Des
Total
Rerat a
Lampiran 8 Jumlah Curah Hujan.
Agus
Tahun
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
2005
47
99
112
296
188
65
77
106
62
218
301
244
1813
2006
202
579
403
311
269
251
182
96
203
105
213
256
3066
t
2007
779
278
317
218
387
185
281
233
194
256
472
460
4055
2008
558
451
337
243
394
314
207
247
298
435
318
332
4133
2009
316
367
184
320
260
163
147
89
46
190
265
144
2492
2010
292
183
133
185
199
194
212
84
259
299
189
164
2393
2011
202
220
380
292
246
123
89
239
221
228
225
335
2801
2012
306
191
381
275
329
105
174
156
131
355
246
363
3012
2013
405
270
132
204
228
227
171
128
228
245
158
185
2582
2014
345
248
249
589
353
359
237
227
252
88
613
416
3973
2015
527
156
374
206
268
245
49
128
152
257
430
261
3050
2016
376
207
224
163
277
181
137
275
375
424
Rerata
362
276
273
285
284
203
166
157
186
243
312
287
3,033.6
2 Rerata*F K
398
304
300
314
312
223
183
173
204
268
343
316
3337
Lampiran 9 Nilai hydarulic conductivity pada material sedimen yang tidak terkonsolidasi (Domenico dan Schwartz 1990). Jenis Material Sedimen
Nilai Hydarulic conductivity (m/s)
Gravel
3 x 10-4 sampai 3 x 10-2
Coarse sand
9 x 10-7 sampai 6 x 10-3
Medium sand
9 x 10-7 ssampai 5 x 10-4
Fine sand
2 x 10-7 sampai 2 x 10-4
Silt, loess
1 x 10-9 sampai 2 x 10-5
Till
1 x 10-12 smpai 2 x 10-6
Clay
1 x 10-11 sampai 4,7 x 10-9
Unweathered marine clay
8 x 10-13 sampai 2 x 10-9
Lampiran 10 Nilai hydarulic conductivity pada material sedimen yang terkonsolidasi (Domenico dan Schwartz 1990). Jenis Material Sedimen
Nilai Hydarulic conductivity (m/s)
Karst and reef limestone
1 x 10-6 sampai 2 x 10-2
Limestone, dolomite
1 x 10-9 sampai 6 x 10-6
Sandstone
3 x 10-10 sampai 6 x 10-6
Siltstone
1 x 10-11 sampai 1,4 x 10-8
Salt
1 x 10-12 sampai 1 x 10-10
Anhydrite
4 x 10-13 smpai 2 x 10-8
1 x 10-13 sampai 2 x 10-9
Shale
Lampiran 11 Nilai Hydarulic conductivity pada batuan kristalin (Domenico dan Schwartz 1990). Jenis Material Sedimen
Nilai Hydarulic conductivity (m/s)
Permeable basalt
4 x 10-7 sampai 2 x 10-2
Fractured igneous and metamorphic rock
8 x 10-9 sampai 3 x 10-4
Weathered granite
3,3 x 10-6 sampai 5,2 x 10-5
Weathered gabbro
5,5 x 10-7 sampai 3,8 x 10-6
Basalt
2 x 10-11 sampai 4,2 x 10-7
Unfractured igneous and metamorphic rock
3x 10-14 sampai 2 x 10-10
Lampiran 12 Nilai porositas, specific yield dan specific retention (Health 1983).
Material
Porosity (%)
Specific yield (%)
Specific retention (%)
Soil
55
40
15
Clay
50
2
48
Sand
25
22
3
Gravel
20
19
1
Limestone
20
18
2
Sandstone (unconsolidated)
11
6
5
Granite
0.1
0.09
0.01
Basalt (young)
11
8
3
Lampiran 13 Nilai specific yield (Morris dan Johnson 1967).
Material
Specific Yield (%)
Gravel, fine
28
Gravel, medium
24
Sand, coarse
30
Sand, medium
32
Sand, fine
33
Sandstone, fine grained
21
Sandstone, medium grained
27
Till, predominantly silt
16
Till, predominantly sand
16
Lampiran 14 W(u) Well Function dari Theis (1935). u 1 10-1 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 10-8 10-9 10-10 10-11 10-12 10-13 10-14 10-15
1.0 0.219 1.82 4.04 6.33 8.63 10.94 13.24 15.54 17.84 20.15 22.45 24.75 27.05 29.36 31.66 33.96
2.0 0.049 1.22 3.35 5.64 7.94 10.24 12.55 14.85 17.15 19.45 21.76 24.06 26.36 28.66 30.97 33.27
3.0 0.013 0.91 2.96 5.23 7.53 9.84 12.14 14.44 16.74 19.05 21.35 23.65 25.96 28.26 30.56 32.86
4.0 0.0038 0.70 2.68 4.95 7.25 9.55 11.85 14.15 16.46 18.76 21.06 23.36 25.67 27.97 30.27 32.58
5.0 0.0011 0.56 2.47 4.73 7.02 9.33 11.63 13.93 16.23 18.54 20.84 23.14 25.44 27.75 30.05 32.35
6.0 0.00036 0.45 2.30 4.54 6.84 9.14 11.45 13.75 16.05 18.35 20.66 22.96 25.26 27.56 29.87 32.17
7.0 0.00012 0.37 2.15 4.39 6.69 8.99 11.29 13.60 15.90 18.20 20.50 22.81 25.11 27.41 29.71 32.02
8.0 0.000038 0.31 2.03 4.26 6.55 8.86 11.16 13.46 15.76 18.07 20.37 22.67 24.97 27.28 29.58 31.88
9.0 0.000012 0.26 1.92 4.14 6.44 8.74 11.04 13.34 15.65 17.95 20.25 22.55 24.86 27.16 29.46 31.76