TUBUH PEREMPUAN DAN JILBAB DALAM PANDANGAN FEMINIS MUSLIM Kartika Sari 1 Abstrak Aurat merupakan obyek kajian yang sampai sekarang masih saja diperdebatkan. Perempuan sendiri menganggap aurat adalah sesuatu yang multiinterpretasi terutama ketika mereka dihadapkan pada ruang public sekarang. Perempuan bercadar menganggap bahwa aurat adalah seluruh komponen tubuh yang melekat pada dirinya sehingga semua perlu ditutupi dengan pakaian demi meminimalisir fitnah. Sementara perempuan lain menganggap aurat adalah bagian tubuh yang menimbulkan ketidaksopanan bila diperlihatkan sehingga tidak perlu memakai cadar, cukup menutupi bagian-bagian yang tidak sopan tersebut. Sementara yang lain menganggap aurat adalah bagian tubuh perempuan yang jika diperlihatkan di ruang publik akan menimbulkan rangsangan seksualitas lawan jenis. Perbedaan pandangan tersebut yang menyebabkan saat ini banyak ditemui berbagai ragam jenis dan bentuk penutup aurat (jilbab/kerudung/hijab). Pandangan bahwa perempuan dan laki-laki diciptakan setara di hadapan Allah, merupakan landasan feminis Muslim menolak stereotip yang dialamatkan kepada perempuan atas tubuh mereka yang dianggap ‘penggoda' bagi laki-laki dan karenanya penampakannya juga dianggap membahayakan. Menurut mereka, anggapan kaum konservatif yang mengharuskan perempuan menutup seluruh tubuhnya agar tidak mengundang naluri seks laki-laki adalah tidak sejalan dengan perintah al-Qur’an yang mengharuskan laki-laki Muslim untuk mengalihkan pandangan mereka jika melihat perempuan. Oleh karena itu, jilbab yang berkaitan erat dengan upaya meminimalisir daya tarik seksual tersebut dianjurkan dalam kerangka kesopanan, selama mampu meminimalisir godaan bukan kewajiban untuk menutup rapat tubuh perempuan. Kata kunci: aurat, tubuh, jilbab, feminis musilim A. Pendahuluan Ketika berbicara tentang perempuan, maka semua bagian yang ada padanya termasuk liuk-lekuk tubuhnya memiliki peranan sosial yang dapat mempengaruhi tatanan kehidupan manusia. Perempuan dapat merubah manusia ke arah yang lebih baik atau ke arah yang lebih buruk, terutama bagi kaum laki-laki. Dari helai rambutnya hingga ujung kakinya menciptakan ruang persepsi yang beraneka ragam. Perempuan itu cantik kalau rambutnya lurus, atau berombak, atau bahkan keriting. Perempuan itu sexy 1
Dosen STAIN SAS Bangka-Belitung
kalau bodinya seperti gitar spanyol atau memiliki kaki yang panjang, dan lain-lainnya. Dahulu, ketika Islam baru turun di muka bumi ini, perempuan diperbudak oleh lelaki sebagai alat pemuas kebutuhan terutama kebutuhan biologis. Perempuan dianggap sebagai kaum marginal yang bias diperlakukan sekehendak hati. Islam dating dengan memberikan porsi yang lebih untuk perempuan bergerak bebas mengikuti kemauannya dengan batasan-batasan aturan Islam itu sendiri. Demi
keselamatan
dan
kenyamanan
perempuan,
Islam
telah
mengatur
sedemikian rupa mengenai tingkah-laku dan tatacara berkehidupan termasuk dalam berpakaian.
Islam telah memahami bahwa perempuan hanya dijadikan pemuas
kebutuhan biologis karena diciptakan dengan keadaan fisik yang lebih lemah dari pada laki-laki dan juga bentuk fisik perempuan itu sendiri. Sebagai contoh saat ini, perempuan lebih banyak menjadi korban kejahatan laki-laki (pemerkosaan) karena mereka suka memperlihatkan fisiknya secara berlebihan di ruang publik. itu,
Islam
melarang
perempuan
untuk
berpakaian
minim,
terlalu
Oleh karena berlebihan
menonjolkan bentuk fisik mereka di depan umum. Islam memberikan secara jelas bagian-bagian mana saja yang boleh diperlihatkan dan bagian-bagian mana saja yang tidak boleh diperlihatkan. Dalam Islam, bagian-bagian tersebut disebut dengan istilah aurat. Istilah aurat ini sebenarnya diperentukan bukan hanya kepada perempuan saja, laki-laki juga diwajibkan untuk menutup aurat namun porsi aurat laki-laki lebih sedikit dibanding perempuan. Islam mengajarkan kepada pemeluknya tentang bagian-bagian tubuh manusia baik laki-laki maupun perempuan yang tidak boleh diperlihatkan dalam ruang publik. Istilah aurat ini menurut pandangan feminisme merupakan suatu bentuk dominasi sistem patriarki yang meletakan tubuh perempuan sebagai dasar penentuan batas-batas bagian tubuh yang tidak boleh diperlihatkan dengan dalih bahwa tubuh perempuan merupakan aurat yang dapat menimbulkan nafsu seks lawan jenisnya. Meskipun banyak faktor pemicu kejahatan, perempuan sekarang yang seringkali berpakaian minim di depan umum sedikit banyak mempengaruhi tingkat kejahatan seksual seperti pemerkosaan. Hal ini sekaligus menjadi pembenaran bahwa tubuh perempuan harus selalu dibalut dengan pakaian yang sopan agar tidak menimbulkan nafsu syahwat para lelaki. Konsep tersebut juga yang mendasari turun ayat Allah Swt tentang perintah menggunakan Jilbab.
Dalam istilah Arab, Jilbab merupakan pakaian sopan yang menutup seluruh bagian tubuh perempuan kecuali telapak tangan dan telapak kaki. Di Indonesia, jilbab lebih banyak diartikan sebagai kain penutup kepala. Sejak dua puluh tahun terakhir, jilbab semakin popular di Indonesia. Bentuk jilbabpun semakin bermacam-macam. Jika di era 70-an di Indonesia, jilbab lebih dikenal dengan istilah kerudung yang hanya berbentuk selendang dan hanya diselempangkan di kepala, kini jilbab muncul dengan beragam bentuk. Ada jilbab lebar, pendek, bahkan jilbab cadar. Suzanne Brenner menemukan fakta bahwa maraknya jilbab di Indonesia dimulai pada tahun 80-an disebabkan maraknya gerakan Islam yang saat itu terpengaruh Revolusi Iran yang meletus pada tahun 1979. 2 Nuansa pewajiban pemakaian jilbab di Iran ternyata juga ditangkap oleh sebagian masyarakat Muslim di Indonesia. Namun, pemakaian jilbab saat itu belum semarak seperti sekarang. Bahkan Brenner menyebut pemakaian jilbab saat itu lebih untuk menunjukkan sebuah konversi yang terjadi pada seorang perempuan Muslim dari masa lalunya yang buruk menuju kehidupan kedepan yang lebih baik, lebih agamis. Sementara saat ini, meskipun konversi dalam konsep Brenner masih terjadi, namun konversi tersebut telah berkembang mengikuti arus modernitas. Perkembangan mode yang salah satunya ditampilkan melalui media, televisi maupun media cetak, secara cepat diserap oleh masyarakat Indonesia sebagai sebuah bentuk modernitas. Begitu juga mode jilbab. Bentuk jilbab terbaru yang banyak ditampilkan media melalui beberapa artis banyak diikuti perempuan muslim di Indonesia saat ini. Dengan alasan kepraktisan dan mengikuti tren mode, bentuk jilbab telah berkembang dari bentuk awal yang dipakai perempuan Muslim di Indonesia, seperti model kerudung atau model jilbab pesantren, menjadi jilbab trendi, funky, atau lebih popular disebut jilbab gaul dan saat ini muncul istilah baru yaitu Hijab. Hijab dalam bahasa Arab
berarti penghalang.3 Istilah hijab ini muncul karena
kemajuan perkembangan jilbab itu sendiri. Bahkan hijab sering ditujukan pada istilah jilbab itu sendiri meskipun secara harfiah berbeda. Jika kita mengacu pada makna sebenarnya kedua istilah jilbab dan hijab, maka dapat disimpulkan bahwa setiap jilbab bisa dikategorikan hijab, namun hijab belum tentu jilbab. Suzanne Brenner, Reconstructing Self and Society: Javanese Muslim Women and and the Veil” (London: Cambridge, 1993), hlm. 67. 3 Dalam Wilkipedia dijelaskan bahwa Negara Barat merujuk istilah hijab sebagai kata yang berarti kerudung yang dipakai seorang muslimah (jilbab). Namun dalam ilmu Islam, hijab lebih meru juk kepada tatacara berpakaian yang pantas sesuai dengan tuntunan agama Islam. 2
Jilbab ataupun hijab saat ini telah beralih fungsi dari yang awalnya sebagai penutup aurat
perempuan menjadi tren atau gaya berpakaian wanita masa kini dengan
berbagai model dan bentuk, jilbab telah bermetamorfosa dari yang awalnya sebagai pakaian wajib bagi setiap muslimah, kini menjadi selembar kain penutup yang bermacam-macam bentuk disesuaikan dengan ukuran tubuh dan jenis pakaian yang dipakai penggunanya. B. Tubuh Tubuh adalah “kerangka atau struktur fisik atau material manusia atau hewan; seluruh organisme ini dilihat sebagai sebuah entitas organik.”4 Namun, tidak semua pemikir sepakat dengan definisi tubuh sebagai struktur fisik semata. Sartre menyatakan bahwa tubuh adalah diri. Santo Paulus mendefinisikan tubuh tidak hanya fisik, namun juga terdiri dari hal spiritual. Descartes merupakan pemikir yang mendukung definisi tubuh bersifat fisik. Menurutnya, tubuh tidak lebih hanyalah mesin.5 Tidak berhenti pada pemaknaan tubuh hanya sebagai fisik, Synnot menegaskan adanya pertautan secara kultural dalam pemaknaan atas tubuh. Tubuh menjadi sangat dibutuhkan untuk menjawab tentang “What is the self?” dan “What is society?”6 . Tubuh adalah pusat kehidupan dan interaksi sosial, dan juga pusat identitas personal. Membincangkan tentang tubuh juga tidak hanya berbicara tentang bagaimana tubuh diperlakukan, namun juga bagaimana kehidupan dijalani di dalamnya.7 “Beberapa orang mencintai tubuh, beberapa lagi membencinya, beberapa menyembunyikannya, sementara yang lain memamerkannya.”8 Tubuh menjadi pembahasan penting dalam antropologi karena dalam masyarakat pra modern, tubuh telah menjadi pembahasan penting untuk menunjukkan status sosial, kedudukan keluarga, afiliasi kesukuan, usia, gender, dan bahkan kondisi keagamaan seseorang. Dalam masyarakat tersebut, tubuh menjadi begitu penting bagi simbolisme publik yang salah satunnya ditunjukkan melalui perhiasan juga tato. Sementara dalam masyarakat modern, tubuh (pakaian, postur, dan kosmetik) digunakan untuk mengindikasikan kesejahteraan dan gaya hidup seseorang.9 Dalam masyarakat kontemporer, sebagaimana Garfinkel menyebut, tubuh lebih digunakan 4
Anthony Syinnot, Tubuh Sosial, terj. Yudi Santoso (Yogyakarta: Adipura, 2003), hlm. 23. Ibid., hlm. 23. 6 Ibid., hlm. 263. 7 Ibid., hlm. 262. 8 Ibid., hlm. 72. 9 Ibid., hlm. 15. 5
sebagai mekanisme untuk menunjukkan beberapa perubahan status, seperti ritual yang semakin tidak lagi dijalankan dan dianggap penting oleh masyarakat industri urban kontemporer.10 Tubuh mengalami berbagai pemaknaan dari satu tradisi dan masa ke tradisi dan masa lainnya. Pemaknaan tubuh dalam era klasik berbeda dengan pemaknaan tubuh di era modern. Ketelanjangan dan ketertutupan yang menjadi fokus akan pembahasan tubuh di era klasik, berubah dengan cepat di era modern. Tubuh tidak lagi diklasifikasikan antara telanjang dan tersembunyi sebagai klasifikasi-klasifikasi religius, namun laku di pasar atau tidak. Sejak rasionalitas menjadi ikon dalam dunia modern, entitas tubuh telah digantikan oleh pemikiran. Konstruksi-konstruksi tentang tubuh kemudian berkembang bersamaan dengan konstruksi-konstruksi ilmiah.11 Tubuh kemudian tidak lagi berkaitan dengan religiusitas atau transendensi, namun telah menjadi salah satu entitas untuk menjaga stabilitas tatanan sosial, keberadaban kehidupan publik, dan kewarasan penalaran.12 Tubuh menjadi sangat dikontrol untuk mendukung rasionalitas manusia. Karenanya, muncullah berbagai pola pendidikan dan pelatihan. Kalaupun religiusitas masih berlaku, ia digunakan sebagai pengendali agar tubuh manusia tetap dalam kendali untuk mewujudkan stabilitas tersebut. Setelah Perang Dunia Kedua, dimana kapitalisme muncul, wacana tentang tubuh kemudian berkembang, tidak saja berdasar atas ketelanjangan dan ketertutupan ataupun tubuh sebagai pendukung rasionalitas, namun tubuh telah dibentuk sedemikian rupa sebagai produk komoditas. Tubuh telah mengalami berbagai pemaknaan mengikuti arus besar pasar. Tubuh kemudian mengalami citra ideal berdasarkan keinginan untuk memuaskan publik. Gambaran yang muncul tentang tubuh ideal adalah tubuh indah, dipoles sedemikian rupa, dan mampu menarik keuntungan besar dari pasar. Tubuh ideal kemudian juga gencar dicitrakan lewat media untuk mengeruk keuntungan produsen dari produk-produk pendukung citra tubuh ideal yang mereka pasarkan. Makin tubuh mampu memperlihatkan citra ideal keindahan, makin tinggi nilai Bryan S. Turner, “Recent Developments in the Theory of the Body”, in Mike Featherstone et.al., The Body; Social Process and Cultural Theory (London: SAGE Publication), hlm. 6. Turner juga memberi contoh akan ritual tato yang telah bergeser maknanya dari aspek kultur religius atau sistim stratifikasi menjadi hanyalah bagian dari fesyen. Meskipun dalam komunitas laki-laki muda, tato juga menunjukkan akan keanggotaan social dalam sebuah komunitas urban. 11 Anthony Syinnot, Tubuh Sosial, hlm. 66. 12 I. Bambang Sugiharto, “Penjara Jiwa, Mesin Hasrat: Tubuh Sepanjang Budaya,” dalam Jurnal Kalam, edisi 15, 2000, hlm. 32. 10
komoditasnya. Sugiharto menyebut, jika dalam masyarakat religius tradisional tubuh didisiplinkan dan dikontrol agar masuk dalam interioritasnya yang terdalam, dalam masyarakat konsumsi, perilaku dan tampilan tubuh direkayasa agar eksterioritasnya lebih meningkat dan memikat.13 Namun, di sisi lain, Bryan Turner juga menyebut tubuh dalam era modern-kapitalisme ini sebagai tubuh yang mengalami proses kontradiksi. Di satu sisi, tubuh terus diproduksi dan diregulasi, namun di sisi lain juga dibebaskan untuk kenikmatan hedonistik dalam masyarakat konsumeris. Dalam masyarakat modern saat ini, terlihat bahwa tubuh yang awalnya selalu ditundukkan oleh kekuatan etika telah bergerak menjadi tubuh sebagai estetika. Jika pembagian Descartes menempatkan jiwa pada gereja dan tubuh pada ilmu, sebuah gambaran akan tubuh yang ditaklukkan oleh jiwa, maka dalam mayarakat konsumsi saat ini,
jiwa sebaliknya telah ditaklukkan oleh tubuh.
memunculkan
istilah
tubuh-tubuh
mekanis
juga
Inilah yang kemudian juga tubuh-tubuh
plastis.
Dimana
perkembangan konstruksi-konstruksi ilmiah yang bersamaan dengan perkembangan ilmu-ilmu kedokteran, tubuh telah bergeser tidak lagi menjadi sebuah ‘pemberian dari Tuhan’ namun telah menjadi tubuh plastis, tubuh yang mampu dibentuk oleh manusia. Tubuh kemudian dipahami sebagai sesuatu yang komunal dengan bagian-bagian yang dapat diganti-ganti, direkayasa dalam sebuah percobaan-percobaan ilmiah, dan dipilih dalam sebuah teknologi reproduksi baru. 14 Sebuah hal yang mampu memunculkan perdebatan bagi para fundamentalis dalam sebuah pertentangan konstruksi. C. Tubuh dalam Islam Tubuh dalam Islam sangat berkait erat dengan konsep aurat15 yang menjadi alasan utama bagi sebagian orang Islam untuk menutup seluruh tubuhnya. Islam menegaskan penutupan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki diwajibkan untuk menutup tubuhnya dari pusar hingga lututnya, sementara perempuan 13
Ibid., hlm. 33. Bandingkan juga dengan Anthony Synott, Tubuh Sosial. Anthony Syinnot, Tubuh Sosial, hlm. 66-67. 15 Dalam bahasa Inggris, kata aurat disamakan dengan ‘blemish’ yang berarti cacat; yang merujuk pada bagian tubuh perempuan yang diinterpretasikan sebagai cacat sehingga harus disembunyikan. Secara etimologis, aurat berasal dari kata ‘a-w-r. Dalam kamus Wehr Arabic-English dikatakan bahwa aurat memiliki dua makna. Sebagai kata tunggal ia bermakna cacat, ketidaksempurnaan, cela, rusak. Sementara jamaknya, berarti a) kemaluan perempuan, organ genital; b) kelemahan. Dalam alQur’an kata aurat disebut sebanyak tujuh kali yang jika semuanya ditarik dalam sebuah kesimpulan akan memberi makna “kerentanan terhadap gangguan” daripada “cacat”. Beberapa konteks yang lahir seperti organ genital (seksual) perempuan, rumah, privasi rumah tangga, privasi perempuan. Lihat Fadwa El Guindi, Jilbab, Antara Kesalehan, Kesopanan,dan Perlawanan, terj. Mujiburrahman (Jakarta: Serambi, 2003), hlm. 227-230. 14
harus menutup seluruh tubuhnya kecuali telapak tangan dan muka. Al-Qur’an surat 33: 59 adalah landasan teologis yang seringkali dijadikan landasan bagi perempuanperempuan Islam untuk menutup seluruh tubuhnya: “Wahai Nabi, sampaikanlah kepada isteri-isterimu, puteri-puterimu, dan perempuan Mukminat, agar merendahkan jalabib mereka. Yang demikian itu lebih memudahkan mereka untuk dikenal, sehingga mereka terhindar dari perlakuan buruk. Dan Allah sungguh Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang”. Dalam Islam, tubuh perempuan yang harus disembunyikan juga memiliki beberapa alasan, seperti karena tubuh perempuan merupakan sumber fitnah, gangguan bagi laki-laki dan memancing hasrat seksual laki-laki. Namun, beberapa feminis Muslim memiliki pandangan lain mengenai tubuh perempuan, untuk tidak mengatakan menolak pandangan ulama Islam konservatif. Asma Barlas mengakui perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam hal seksual, bukan jender. Dengan mendasarkan pada pandangan al-Qur’an yang mengakui keunikan seksual, tapi tidak mengasosiasikannya pada simbolisme gender, Barlas menegaskan bahwa tidak ada perbedaan mendasar pada diri laki-laki dan perempuan, kecuali hanya masalah biologis semata. 16 Di sisi lain, Wadud menandaskan bahwa tidak ada ‘konsep tentang perempuan’ dalam al-Qur’an, karena di dalamnya juga tidak ada “konsep tentang laki-laki yang bernuansa gender”. Dengan demikian, perbedaan apapun yang ada antara laki-laki dan perempuan “tidak menunjukkan nilai yang inheren.”17 Karenanya,
Wadud
tidak
sepakat dengan pandangan yang mengatakan bahwa
perempuan adalah makhluk inferior dan tidak setara dengan laki-laki. Pandangan keliru ini tidak lebih hanyalah karena adanya kekeliruan dalam interpretasi al- Qur’an yang kemudian
menyebabkan
kekeliruan
dalam
memposisikan
perempuan
dalam
masyarakat.18 Wadud menyebut terdapat dalam empat isu utama: penciptaan manusia, kapasitas dan fungsinya dalam masyarakat, aksesibilitas dalam pedoman (khususnya alQur’an), dan pembalasan di hari akhir (akhirat). Pandangan yang hampir sama juga dikemukanan Riffat Hassan, seorang feminis asal Pakistan. Ia menegaskan bahwa akar berbagai gagasan dan sikap negatif Asma Barlas, Believing Women in Islam, Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur’an (Austin: University of Texas Press, 2003), hlm. 165-166. 17 Amina Wadud, Qur’an and Women: Reading the Sacred Text from a Woman’s Perspectives, edisi kedua (Oxford: Oxford University Press, 1999), hlm. 35-36. 18 Ibid., hlm. 7. 16
menyangkut perempuan dalam masyarakat Muslim dan masyarakat lain adalah terletak pada pandangan teologis mereka, dan satu-satunya jalan adalah dengan membongkar dasar-dasar teologis tersebut dengan sikap dan pandangan yang ilmiah dan rasional. Menurutnya terdapat tiga asumsi teologis yang mengakibatkan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Pertama, bahwa ciptaan Tuhan yang utama adalah laki-laki, bukan perempuan, karena perempuan diyakini telah diciptakan dari tulang rusuk lakilaki. Karenanya, secara ontologism bersifat derivatif dan sekunder. Kedua, bahwa perempuan adalah penyebab utama dari apa yang biasanya dilukiskan sebagai kejatuhan atau pengusiran manusia dari surga Aden. Karena itu, semua anak perempuan harus dipandang dengan rasa kebencian, kecurigaan, dan penghinaan. Ketiga, bahwa perempuan diciptakan tidak saja dari laki-laki tapi juga untuk laki-laki, yang membuat eksistensinya semata-mata bersifat instrumental dan tidak
memiliki makna yang
mendasar.19 Dari sini muncullah isu penciptaan manusia, dan menurut Hasan, jika lakilaki dan perempuan telah diciptakan sama di hadapan Allah sebagai penentu nilai tertinggi, maka tidak mungkin kedua jenis makhluk itu menjadi tidak sejajar, secara esensial. Dengan demikian, ketidaksejajaran mereka dalam dunia patriarki merupakan pelanggaran terhadap rencana Tuhan. 20 Sementara Nasaruddin Umar, Feminis Muslim Indonesia, menyatakan adanya beberapa hal yang tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan, yaitu laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba, laki-laki dan perempuan sebagai khalifah di bumi,
laki-laki
dan
perempuan
menerima
perjanjian
primordial
dengan
Tuhan
menjelang lahir, Adam dan Hawa terlibat aktif dalam drama kosmis, dan laki-laki dan perempuan sama-sama berpotensi meraih prestasi.21 Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan nampaknya menjadi hal penting bagi Nasaruddin ketika memandang tentang perempuan. Kesetaraan yang mengandaikan adanya kesempatan yang sama bagi perempuan untuk mengakses peluang-peluang di ruang publik juga diceritakan Leila Ahmed dengan menukil Abbot tentang para perempuan di zaman Nabi Muhammad saw.
Riffat Hassan, “Teologi Perempuan dalam Tradisi Islam: Sejajar di Hadapan Allah?”, (terj. Wardah Hafidz), dalam Ulumul Qur’an, No. 4, Vol. I/1990, hlm. 4. 20 Riffat Hassan, Women’s and Men’s Liberation: Testimonies of Spirit (New York: Greenwood, 1991), hlm. 67-68. 21 Nasaruddin Umar, Qur’an Untuk Perempuan (Jakarta: Jaringan Islam Liberal, 2002), hlm. 524. 19
Menurutnya, di zaman nabi, perempuan diharapkan dapat berperan aktif dalam masyarakat mereka, baik dalam agama bahkan perang. Dalam ranah agama, para perempuan Muslim datang ke masjid, berperan dalam ibadah-ibadah keagamaan pada hari-hari besar,
dan mendengarkan ceramahceramah Nabi Muhammad.
Mereka
bukanlah pengikut yang pasif dan penurut, melainkan mitra bicara yang aktif dalam bidang keimanan dan juga dalam masalah-masalah lainnya. Riwayat-riwayat hadis memperlihatkan perempuanperempuan yang bertindak dan berbicara dengan aktif, berpartisipasi dalam kehidupan pemikiran dan praktek keagamaan, mengomentari secara jujur topik apapun, bahkan al-Qur’an, dengan tujuan agar pandangan-pandangan mereka didengar.22 Hadis tersebut menunjukkan bahwa Muhammad menerima hak perempuan untuk bicara dan segera menjawab komentar-komentar mereka. Namun, dalam praktek masyarakat Islam di bagian wilayah tertentu saat ini, perempuan justru mendapatkan pembatasan diri mereka untuk terlibat dalam kehidupan publik mereka. Sebagaimana yang diceritakan pemikir Muslim Pakistan Akbar S. Ahmed tentang perempuan-perempuan di bawah rezim Taliban: “Groups such as Taliban, as is by now well known, have a poor way of showing their appreciation for women. They ban women from holding jobs outside the home and even from being seen in public places. This drives an already suppressed section of the population into further subjugation, as many women—in Afghanistan, for instance—have to fend for their families after having lost their husbands in the civil wars. Women, therefore, must carry a double burden. I believe that there is a clear correlation between the treatment of women and Muslim self-perception, which bears upon the position of women in Islam. When Muslim society is confident and in a state of balance, it treats women with fairness and respect. When Muslim society is threatened and feels vulnerable, it treats women with indifference and even harshness.” 23 Titik tekan Ahmed adalah pada bahwa perempuan akan dihargai hakhaknya dan diakui kehadirannya, hanya jika masyarakat Muslim telah memiliki rasa percaya diri yang penuh dan negaranya dalam keadaan stabil. D. Tubuh dan Perempuan Persepsi akan tubuh fisik secara terus menerus berubah. Karenanya, tubuh fisik dipahami dengan berbagai macam makna. Perempuan akan memiliki definisi tentang
22
Leila Ahmad, Women and Gender in Islam (New Haven: Yale University Press, 1992), hlm.
72. 23 Akbar S. Ahmad, Islam Under Siege: Living Dangerously in a Post-Honor World (Cambridge: Polity Press, 2003), hlm. 115-116.
tubuh fisik yang berbeda dengan laki-laki. Namun, selama ini definisi akan tubuh dan kebertubuhan masih menjadi kekuasaan laki-laki.24 Dalam hal pemaknaan tubuh, tubuh didefinisikan juga dapat didefinisikan sebagai baik atau buruk, suci atau sekuler, teman atau musuh, kosmis atau mistis, bersatu dengan jiwa atau terpisah, privat atau publik, personel atau milik negara. Menjadi perempuan tidak saja menerima perempuan sebagai tubuh fisik yang berbeda dengan laki-laki. Namun juga menerima tanda-tanda yang melekat pada tubuh perempuan. Jika laki-laki dilahirkan dengan penis, maka perempuan dengan vagina. Hanya, dalam beberapa hal, perempuan memang memiliki anatomi tubuh yang berbeda. Ini dikarenakan perempuan memiliki fungsi reproduksi, seperti melahirkan dan menyusui, karenanya ia menjadi hamil, terkena menstruasi dan memiliki payudara, beberapa hal yang tidak dimiliki oleh laki-laki. Namun, perbedaan tersebut seringkali memunculkan perlakuan yang berbeda terhadap tubuh perempuan. Dalam masyarakat pra Islam di Arab misalnya, karena menstruasi dan darahnya dianggap kotor, perempuan harus ditempatkan terpisah dari keluarga, perlakuan yang sama yang dialami perempuan Hindu pada kasta-kasta atas. Dalam buku Becher, Women, Religion and Sexuality: Studies on the Impact of Religious Teachings on Women, dijelaskan bahwa dalam delapan agama; Yahudi, Hindu, Islam, Suku Akan, Budha, ortodox Rumania, Katolik, sepakat dinyatakan bahwa tubuh perempuan dipandang dalam bentuk yang negatif. Ia tidak hanya menyandang predikat tercemar dan kotor dalam tradisi tertentu, namun juga sebagai sumber godaan. Ia juga memancing ketertarikan laki-laki, dan karenanya juga menggugah nafsu laki-laki untuk bersetubuh. Godaan inilah yang kemudian bisa menimbulkan perbuatan dosa.25 Dalam Islam misalkan, meminimalisir godaan adalah dengan melakukan pengaturan terhadap perempuan melalui penyembunyian tubuh di balik jilbab. Bagi feminis radikal Perancis atau seringkali dilabeli sebagai feminis postmodern, terutama dimotori oleh Luce Irigay dan Helena Cixous, tubuh menjadi entitas mendasar yang membedakan antara perempuan dan laki-laki. Namun, perbedaan itu tidak bersifat paralel, namun lebih
24
Anthony Synnot, Tubuh Sosial, hlm. 72. Dalam buku Synnot digambarkan juga bagaimana hampir seluruh bab dalam bukunya merupakan pendapat laki-laki. Hal ini memberikan gambaran yang jelas bagaimana kekuasaan laki-laki bekerja atas pendefinisian tubuh. Begitu juga, tubuh akan didefinisikan secara berbeda dalam budaya-budaya yang lain. Di sinilah, tubuh sebagai tubuh sosial bekerja. 25 Jeanne Becher (ed.), Perempuan, Agama dan Seksualitas; Studi Tentang Pengaruh Berbagai Ajaran Agama Terhadap Perempuan, terj. Indriani Bone (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001).
bersifat superior.26 Tidak lain, karena bagi Irigay, konsep tentang tubuh perempuan selama ini masih ditentukan oleh kategori-kategori sosial yang diciptakan oleh budaya patriarki. Para ulama` atau tokoh Islam berbeda pendapat tentang aurat perempuan ini. Kaki sampai mata kaki, tangan sampai pegelangan dan wajah dari seorang wanita apakah itu termasuk aurat yang wajib di tutup atukah tidak(?) Yaitu ketika menafsirkan kata ziinah (perhiasan) bagi yang mengartikan dengan perhiasan yang khalqiyah (keidahnya tubuh) seperti kecantikan dan daya tarik seorang wanita, bagi kelompok ini termasuk Imam Al Qaffal kata
(االماظهرمنهاkecuali yang tampak darinya) diartikan
dengan anggota badan yang tampak dalam kebiasaan dan keseharian masyarakat seperti wajah dan telapak tangan karena menutup keduanya adalah dlorurat (keterpaksaan) yang bila diwajibkan akan bertentangan dengan agama Islam yang diturunkan penuh kemudahan bagi pemeluknya, oleh sebab itu tidak ada perbedaan pendapat dalam hal bolehnya membuka wajah dan telapak tangan (meski sebenarnya dalam madzhab syafi`i masih ada yang berbeda pendapat dalam hal ini, misalnya dalam kitab Azza Zawajir wajah dan telapak tangan wanita merdeka adalah aurat yang tidak boleh dibuka atau dilihat karena melihatnya bisa menimbulkan fitnah jinsiyah (godaan seksual), adapun di dalam shalat maka itu bukan aurat tetapi tetap haram untuk dibuka atau dilihat). Sedangkan yang menafsirkan kata ziinah (perhiasan) dengan perhiasan yang biasa di pakai wanita, mulai dari yang wajib dipakai seperti baju, pakaian bawah yang lain yang digunakan menutup badan waniti sampai perhiasan yang hanya boleh dipakai wanita seperti pewarna kuku, pewarna telapak tangan, pewarna kulit, kalung, gelang, anting dan lain-lain, maka mereka (mufassir) itu mengartikan kata
االماظهرمنهاdengan
perhiasan-perhiasan yang biasa tampak seperti cincin, celak mata, pewarna tangan dan yang tidak mungkin untuk ditutup seperti baju, pakaian bawah bagian luar dan jilbab atau kerudung. Adapun telapak kaki maka tidak termasuk yang boleh di buka karena keterpaksaan untuk membukanya dianggap tidak ada, namun yang lebih shahih (benar) menurut Imam Ar Rozi dalam tafsirnya hukum menampakkan cincin, gelang, pewarna tangan, kuku, dst adalah seperti hukum membuka kaki yaitu haram untuk dibuka sebab tidak ada kebutuhan yang memaksa untuk boleh membukanya menurut agama. Semua
26 Aquarini Priyatna Prabosmoro, Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra dan Buda ya Pop (Yogyakarta: Jalasutra, 2006), hlm. 41.
hal di atas adalah di luar waktu melaksanakan shalat dan selain wanita budak (wanita yang bisa dimiliki dan diperjual belikan) yaitu wanita muslimah zaman sekarang. Dalam melaksakan shalat, Madzhab Hanafi berpendapat kalau semua badan wanita adalah aurat dan termasuk di dalamnya adalah rambut yang memanjang di samping telinga kecuali telapak tangan dan bagian atas dari telapak kaki. Madzhab Syafi`i berpendapat yang sama yaitu semua anggota badan wanita ketika shalat adalah aurat yang wajib ditutup kecuali wajah telapak tangan dan telapak kaki yang dalam (yang putih). Madzhab Hambali mengecualikan wajah saja selain itu semuanya aurat termasuk
telapak
tangan
dan
kaki.
Sedangkan
ulama-ulama
madzhab
Maliki
menjelaskan bahwa dalam shalat aurat laki-laki, wanita merdeka dan budak, terbagi menjadi dua: 1. Aurat mugalladhah (berat), untuk laki-laki aurat ini adalah dua kemaluan depan dan belakang, sedangkan bagi wanita merdeka aurat ini adalah semua badan kecuali tangan, kaki, kepala dada dan sekitarnya (bagian belakangnya). 2. Aurat mukhaffafah (ringan), aurat ini untuk laki-laki adalah selain mugalladhah yang berada diantara pusar dan lutut, sedang untuk wanita merdeka adalah tangan, kaki, kepala, dada dan bagian belakangnya, dua lengan tangan, leher, kepala, dari lutut sampai akhir telapak kaki dan adapun wajah dan kedua telapak tangan (luar atau dalam) tidak termasuk aurat wanita dalam shalat baik yang mugalladhah atau yang mukhaffafah. Untuk wanita budak aurat ini adalah sebagaimana laki-laki namun di tambah pantat dan sekitarnya dan kemaluan, vulva dan bagian yang ditumbuhi rambut kemaluan itu. 3. Ulama-ulama
madzhab
Maliki juga
menjelaskan
bahwa
apabila
seorang
melakukan shalat dengan tidak menutup aurat mugalladhah meskipun hanya sedikit dan dia mampu menutupnya baik membeli kain penutup atau meminjam (tidak wajib menerima penutup aurat bila penutup aurat itu diberikan dengan cara hibah pemberian murni) maka shalat yang demikian hukumnya adalah tidak sah dan batal dan apabila dia ingat kewajiban untuk menutup aurat itu maka wajib baginya untuk mengulang shalatnya ketiak dia telah siap melaksakan shalat dengan menutup aurat mugalladhah itu. Sedangkan bila aurat mukhaffafah saja yang terbuka semua atau sebagiannya maka shalatnya tetap sah, tetapi di haramkan atau di makruhkan bila mampu untuk menutup aurat itu dengan
sempurnah dan apabila telah ada penutup aurat yang sempurnah maka dia di sunnatkan untuk mengulang shalatnya (ada perincian tetacara pengulangan shalatnya (lihat madzhibul arba`ah). E. Pandangan Tentang Tubuh Riffat Hasan merupakan salah satu feminis Islam yang secara kritis melihat kerudung atau jilbab sebagai fenomena serius dalam dunia Islam kontemporer. Hal ini berkaitan
dengan
masih
diperdebatkannya
tentang
diharuskan mengerudungi tubuh mereka seluruhnya
apakah
perempuan
Muslim
atau sebagiannya saja. Bagi
Hassan, perdebatan ini terus mengemuka karena munculnya kebutuhan untuk menerima rasionalitas dan pandangan ilmiah dari dunia modern yang menuntut perubahan dalam cara berpikir dan berperilaku. Namun, di sisi lain muncul penolakan sebagian besar orang Islam akan pembaratan yang diidentifikasikan dengan kebudayaan ‘massa barat’ yang menyebabkan kelalaian moral dan sosial. Tubuh perempuan yang kemudian melahirkan konsep jilbab juga menemukan relasinya di sini. Dalam beberapa
dekade,
para pemikir Barat masih memandang tubuh
perempuan yang ditutup dengan jilbab sebagai bentuk inferioritas bagi perempuan Islam. Beberapa peristiwa dianggap menunjukkan hal tersebut. Leila Ahmad memberi contoh akan adanya gerakan kaum konservatif di Mesir pada tahun 1951 yang melayangkan protes kepada raja akan demonstrasi kaum perempuan yang menuntut kesetaraan dalam partisipasi politik, dengan menyerukan perempuan untuk kembali di rumah dan mengenakan jilbab.27 Bukti ini memunculkan kesimpulan akan simbol jilbab bagi
perempuan
yang
secara
langsung
melahirkan
pemingitan
perempuan
dan
membatasi akses publik mereka. Akan halnya tubuh perempuan sebagai yang dianggap dapat menimbulkan kelalaian moral tersebut, Hassan menyangkalnya. Menurutnya, anggapan kaum konservatif yang mengharuskan perempuan harus menutup seluruh tubuhnya agar tidak mengundang naluri seks laki-laki, tidak sejalan dengan perintah alQur’an yang mengharuskan laki-laki Muslim untuk mengalihkan pandangan mereka jika melihat perempuan.28 Asma Barlas bahkan dengan tegas menyatakan bahwa rangkaian al-Qur’an tentang persoalan hijab bukanlah dalam bingkai daya tarik seksual tubuh perempuan, tapi lebih pada penekanan akan penampakan tubuh manusia, baik laki-laki maupun 27 28
Leila Ahmed,Women and Gender in Islam, hlm. 203. Rifat Hassan, “Perspektif Islam,” hlm. 166.
perempuan. Barlas juga menegaskan adanya penjungkirbalikan fokus utama ayat dari persoalan tentang penyimpangan perilaku seksual laki-laki jahiliah menjadi persoalan tentang tubuh perempuan Muslim dan perlunya membentengi laki-laki Muslim dari memandang
tubuh
perempuan
yang
bias
menimbulkan
bencana,
juga
tentang
penyimpangan seksual laki-laki yang hanya bisa dikendalikan dengan ‘menghilangkan’ perempuan dari pandangan mereka.29 Sementara Asghar Ali Engineer menegaskan bahwa fokus perdebatan seputar tubuh perempuan yang boleh ditampakkan yang berkisar pada kalimat al-Qur’an ma zaraha minha30 , yaitu apa yang biasa nampak sebagai sesuatu yang akan selalu bersifat budaya tertentu. Nabi juga menegaskan akan hal tersebut dalam sebuah hadis “Wahai Asma, ketika seorang mencapai usia baligh, maka tidak layak seluruh bagian tubuhnya terlihat kecuali ini, dan Nabi menunjuk muka dan tangan”. Engineer menggarisbawahi dari hadis ini bahwa perempuan boleh membiarkan muka dan tangannya (hingga siku) terbuka. Ini dianggap sangat sopan pada masyarakat Arab yang berlaku pada waktu itu. 31 Dengan menukil pendapat Maulana Muhammad Ali, Engineer juga menyatakan bahwa berdasarkan hadis tersebut, Islam tidak pernah memerintahkan bercadar atau menutup muka perempuan. 32 Sejalan dengan Engineer, Yusuf Ali juga mengartikan “yang biasa tampak” dengan “kecuali apa (yang paling umum) terlihat. Pemaknaan yang terakhir menurut Ali lebih tepat karena gagasan tentang apa yang paling umum terlihat bergantung pada budaya tertentu, dan tujuan al-Qur’an adalah memasukkan norma kesopanan pada semua budaya, bukan hanya pada budaya Arab, dan ia juga tidak bertujuan menjadikan model pakaian Arab sebagai hal yang bersifat universal. 33 Dengan demikian, menurut Engineer, teks kitab suci dibaca dalam konteks sosio-kultural seseorang. Membiarkan muka dan tangan terbuka yang disepakati banyak penafsir klasik menunjukkan bahwa dalam konteks sosio-kulturalnya, bagian tubuh tersebut memang diperbolehkan untuk ditampakkan, 29
sebagaimana Nabi menyarankan hal tersebut. Membiarkan rambut
Asma Barlas, Believing Women in Islam, hlm. 56-57. Kalimat ma zaraha minha terdapat dalam al-Qur’an surat al-Nur (24):31: “Katakanlah kepada perempuan yang beriman ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka ….” 31 Asghar Ali Engineer, Matinya Perempuan, Transformasi al-Qur’an, Perempuan, dan Masyarakat Modern, terj. Akhmad Affandi & Muhammad Ihsan (Yogyakarta: Ircisod, 2003), hlm. 113. 32 Ibid. 33 Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur’an Text, Translation and Commentary, edisi kedua (New York: TahrikeTarsile Qur’an, 1988), hlm. 904. 30
tergerai mungkin juga dianggap menarik perhatian seksual, karenanya juga tidak diperbolehkan ditampakkan.34 Suatu pandangan yang mungkin akan berbeda jika diletakkan dalam konteks sosio-kultural yang lain. Namun, Engineer mengungkapkan akan kemungkinan adanya kesamaan pandangan bagi sebagian masyarakat non kesukuan pada waktu itu akan daya tarik seksual dari dada perempuan, sehingga alQur’an memerintahkan untuk mengenakan khimar, kain yang umumnya digunakan oleh perempuan dan disampirkan di bahunya. 35 Pada dasarnya, tidak hanya perempuan yang dianjurkan untuk memperlakukan tubuhnya sedemikian rupa atas nama norma religius maupun moralitas. Asma Barlas, menukil al-Qur’an surat 24:58 menegaskan akan keharusan yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk tidak diperbolehkannya tampil merangsang. Jika perempuan dianjurkan menutup tubuhnya agar tiding merangsang laki-laki, maka tubuh laki-laki juga tidak boleh dipamerkan dalam semua keadaan, sekalipun didalam rumah sendiri. 36 Karena sebagaimana perempuan, tubuh laki-laki juga memiliki pesona seksual yang dapat memunculkan rangsangan bagi perempuan. Anjuran
al-Qur’an
untuk
menjaga
pandangan
laki-laki,
juga
perempuan
menemukan relasinya dengan anjuran berpakaian sopan bagi perempuan.37 Hal yang sama dinyatakan oleh Feminis Islam Indonesia Musdah Mulia yang menekankan adanya kewajiban bagi laki-laki dan perempuan untuk menahan pandangan dan menjaga organ seksual mereka.38 Namun, sebagaimana diakui Musdah, memang dalam prakteknya, tubuh perempuan seringkali yang lebihdituduh sebagai pembawa fitnah dan bencana. 39 Sebagaimana
pernyataan
seorang
ulama
konservatif
pakar
hadis,
Muhammad
Nasiruddin al-Albani yang tertulis dalam bukunya Hijab al Mar’ah al-Muslimah fil Kitab was-Sunnah yang menyatakan bahwa menampakkan daya tarik kewanitaan merupakan kebiasaan yang harus dihindari. Bahkan, kebiasaan ini digolongkan dengan hal-hal haram seperti politeisme, perzinahan, dan pencurian. Menampakkan daya tarik
34
Asghar Ali Engineer, Matinya Perempuan, hlm. 114-115. Ibid., hlm. 115. 36 Asma Barlas, Believing Women in Islam, hlm. 159. 37 Asghar Ali Engineer, Matinya Perempuan, hlm. 114. 38 Musdah Mulia, Muslimah Reformis, Perempuan Pembaru Keagamaan (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 484-485. 39 Ibid., hlm. 485. 35
perempuan juga akan menjadi sumber kejahatan. 40 Karenanya, dalam memahami tubuh sebagai sumber pesona seksual sebagaimana yang banyak dipahami melalui teks-teks agama, Barlas tidak menekankan pada salah satu jenis kelamin, laki-laki atau perempuan, namun berdasarkan pandangannya tentang tubuh itu sendiri sebagai sesuatu yang memiliki karakteristik seksual, bukan tentang tubuh perempuan. Yang tersirat dalam sikap al-Qur’an terhadap tubuh yang memiliki karakteristik seksual itu adalah pandangan tentang tubuh yang memiliki potensi erotis, bukan tubuh yang berpotensi merusak.41 Adapun mengenai hijab atau jilbab yang tertulis dalam al-Qur’an, Barlas menegaskan bahwa hijab dalam konteks pandangannya tentang tubuh manusia sebagai sesuatu yang berkarakteristik dan berdaya tarik seksual, bukan sebagai aurat (pudendal). Oleh karena itu, ia menolak pandangan kaum konservatif yang meletakkan kewajiban hijab dikarenakan tubuh perempuan yang penuh akan daya tarik seksual dan sumber fitnah. Al-Qur’an hanya memerintahkan perempuan dan laki-laki untuk berpenampilan sopan dan tidak menarik perhatian publik dengan penampilan seronok. 42 F. Pandangan Tentang Jilbab Dalam Islam, tubuh perempuan memang mendapat perhatian lebih daripada tubuh laki-laki. Konsep aurat sebagai sebuah konsep yang diikuti sebagai pengaturan akan tubuh perempuan, diterjemahkan beragam oleh para perempuan di Indonesia. Sebagian sebagiannya
memahami
bahwa
membiarkan
seluruh
beberapa
tubuh
bagiannya
perempuan tampak.
harus
Ketika
disembunyikan, masyarakat
kita
mengenal kata ‘jilbab’ (dalam bahasa indonesia) maka yang dimaksud adalah penutup kepala dan leher bagi wanita muslimah yang dipakai secara khusus dan dalam bentuk yang khusus pula. Al Quran memberika penjelasan mengenai jilbab dengan kosakata yang berbeda-beda tetapi maknanya hampir sama, seperti kata khumur (penutup kepala) dan hijab (penutup secara umum), lalu bagaimana kata-kata serupa dalam ayat-ayat Al Quran tersebut diterjemahkaan dipahami dalam bahasa syara` (agama) oleh para shahabat Nabi dan ulama` selanjutnya.
40 Wahiduddin Khan, Agar Perempuan Tetap Jadi Perempuan, (terj. Abdullah Ali), (Jakarta: Serambi, 2003), hlm. 285. 41 Asma Barlas, Believing Women in Islam, hlm. 159. 42 Ibid., hlm. 159-160.
Arti kata jilbab ketika Al Quran diturunkan adalah kain yang menutup dari atas sampai bawah, tutup kepala, selimut, kain yang di pakai lapisan yang kedua oleh wanita dan semua pakaian wanita, ini adalah beberapa arti jilbab seperti yang dikatakan Imam Alusiy dalam tafsirnya Ruuhul Ma`ani. Imam Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan; Jilbab berarti kain yang lebih besar ukurannya dari khimar (kerudung), sedang yang benar menurutnya jilbab adalah kain yang menutup semua badan. 43 Jilbab atau dalam budaya Arab lebih populer dengan hijab, atau dalam istilah Inggris veil adalah menunjuk pada penutup tradisional tubuh, wajah, dan kepala perempuan Timur Tengah.44 Jilbab berasal dari akar kata jalaba yang berarti menghimpun dan membawa. Dalam era Nabi Muhammad, jilbab adalah pakaian luar yang menutupi segenap anggota badan dari kepala hingga kaki perempuan dewasa. Jilbab dalam arti penutup kepala hanya dikenal di Indonesia, mulai awal tahun 1980an, yang sebelumnya lebih dikenal dengan istilah kerudung. Di beberapa negara Islam, pakaian sejenis jilbab dikenal dengan istilah chador (Iran), pardeh (India dan Pakistan), milayat (Libya), abaya (Irak), charshaf (Turki), hijab di beberapa negara Arab-Afrika seperti Mesir, Sudan, dan Yaman. Namun, pergeseran makna hijab dari semula berarti tabir menjadi pakaian penutup aurat perempuan terjadi sejak abad ke-4 H.45 Sementara hijab, sebagai istilah awal untuk jilbab, berasal dari kata h-j-b, dengan bentuk kata kerja hajaba memiliki arti “menyelubungi, memisahkan, menabiri, menyembunyikan, menutupi.” Hijab diterjemahkan sebagai “penutup, selubung, tirai, tabir, pemisah.” Selain itu, hijab juga digunakan sebagai istilah bagi azimat yang dibawa oleh seseorang (terutama seorang anak) untuk melindunginya dari mudarat. 46 Dalam pemaknaan al-Qur’an, wacana feminis awal, dan analisis antropologi, hijab dipahami sebagai pemisahan sakral antara dua dunia atau dua ruang: Tuhan dan makhluk hidup, laki-laki dan perempuan, kebaikan dan kejahatan, terang dan gelap, Mukmin dan non-Mukmin, atau bangsawan dan orang biasa. Frase min wara’ al-hijab (dari balik hijab) menekankan unsur pemisahan. 47 Jilbab ataupun hijab memiliki istilah
43
www.indojibab.com. Jilbab dalam Al-quran dan Jilbab zaman sekarang. Diakses pada tanggal 24 Mei 2015. 44 John L. Esposito (ed.), The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World (New York: Oxford University Press, 1995), hlm. 108. 45 Muhammad Said Al-Asymawi, Haqiqatul Hijab wa Hujjiyatul Hadith, terj. Jaringan Islam Liberal Kritik Atas Jilbab (Jakarta: JIL, 2003), hlm. vii. 46 John L. Esposito (ed.), The Oxford Encyclopedia, hlm. 154. 47 Ibid., hlm. 154-155.
tunggal dalam bahasa Inggris, yaitu veil. Veil yang memiliki asal kata dalam bahasa latin vela dengan bentuk jamak velum digunakan untuk menunjuk pada empat dimensi: material, ruang, komunikatif dan religius. Dimensi material meliputi pakaian dan ornamenornamen seperti jilbab dalam arti bagian dari pakaian yang menutupi kepala, bahu dan wajah; atau dalam arti hiasan yang menutup topi dan menggantung di depan mata. Dalam pengertian ini, veil tidak hanya untuk penutup wajah saja, namun dari kepala hingga kaki. Dimensi ruang memberi arti veil sebagai layar yang membagi ruang secara fisik. Sementara dimensi komunikatif menegaskan makna penyembunyian dan ketidaktampakan.48 Dimensi religius memberikan makna atas veil lebih pada pengasingan diri dari kehidupan dunia dan kebutuhan seksual (tidak kawin), sebagaimana kehidupan atau sumpah biarawati. Namun, pemaknaan veil dalam Kristen tersebut tidak popular. Veil lebih umum dirujuk sebagai tradisi perempuan Arab dan Islam, meskipun sebenarnya veil sudah ada sebelum Islam dan berada di luar budaya Arab. Khan (1994) juga menggarisbawahi bahwa sistem purdah (kerudung/jilbab) telah menjadi institusi kaum Muslimin selama sekitar kurang lebih seribu tahun. Ia berevolusi secara bertahap selama tiga abad pertama awal Islam, dan mapan secara penuh selama abad ke-10 dan ke-11 Masehi, dengan dukungan interpretasi teolog-teolog dominan zaman pemerintahan Abbasiyah. Sejak saat itu pula, purdah menjadi bagian integral dari masyarakat dan kebudayaan kaum Muslimin abad pertengahan. Akhirnya, ia dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kaum Muslimin, sedemikian rupa sehingga perempuan non-Islam bisa dipandang sebagai Muslimah hanya karena ia mengenakan purdah.49 Riffat Hassan menjelaskan bahwa pada dasarnnya jilbab diberlakukan untuk menyelamatkan dan memberi keamanan bagi perempuan dari fitnah dan gangguan. Dalam al-Qur’an surat al-Ahzab: 59 mengandung perintah memakai jilbab bagi isteri Nabi dan para Muslimah agar mereka tidak diganggu dan dikenal sebagai perempuan shalihah. Yang terjadi, dari pemahaman ayat ini malah menjadikan perempuan tidak boleh keluar rumah atau bekerja di luar rumah. Jika mereka terpaksa harus bekerja di luar rumah, mereka harus berpakaian sedemikian rupa sehingga akan dipandang dan 48
Fadwa El Guindi, Jilbab, hlm. 29-30. Mazharul-Haq Khan, Wanita Korban Patologi Sosial, terj. Luqman Hakim (Jakarta: Pustaka, 1994), hlm. 23. 49
diperlakukan
secara
baik
dan
tidak
diganggu. 50
Menurutnya,
al-Qur’an hanya
menganjurkan agar berpakaian ‘pantas’, sehingga tidak menarik perhatian yang tidak perlu (fitnah). Berangkat dari anjuran al-Qur’an ini, Hassan setuju akan sistim jilbab, namun hal ini jangan dijadikan alasan bagi perempuan untuk dilarang keluar atau bekerja di luar rumah. Purdah/jilbab yang secara bahasa diartikan sebagai ‘memencilkan atau
memisahkan’
adalah
dimaksudkan
untuk
menghindarkan
perempuan
dari
pandangan dan perhatian yang menjurus ke arah dijadikan obyek seks.51 Jadi prinsipnya adalah pakaian yang menurut kepantasan setempat menjadikan perempuan dihormati kemanusiaannya. Dengan demikian, Hasan menyatakan dengan tegas bahwa jilbab sebenarnya hanyalah kepanjangan dari prinsip segregasi sebagai mainstream yang selama ini dipahami. Hasan juga menegaskan bahwa al-Qur’an sama sekali tidak mendukung prinsip tersebut. Sesungguhnya yang ditekankan al-Qur’an adalah prinsip kesahajaan. Al-Qur’an menyatakan bahwa perempuan harus bersahaja, bukan hanya dalam berpakaian, tapi juga dalam berbicara, bertingkah laku apapun, dan harus juga diingat bahwa prinsip yang sama juga dianjurkan pada laki-laki. Al-Asymawi (2003) juga melihat jilbab bukanlah kewajiban agama. Jilbab hanyalah tradisi masyarakat yang bisa diikuti ataupun ditentang. Karenanya, masalah jilbab tidak memiliki konsekuensi iman-kafir, selama dasarnya tetap kesopanan dan kehormatan. Dalam masalah jilbab, al-Asymawi juga berusaha menjelaskannya dengan membaca ulang ayat-ayat al-Qur’an dan hadis dan mencari relasinya dengan konteks zaman ketika al-Qur’an dan hadis turun. Jilbab dalam pandangan al-Asymawi biasa dipahami dalam tiga istilah: hijab, khimar dan jilbab. Hijab52 yang secara kebahasaan berarti mengadakan penutup tertentu—dalam redaksi al-Qur’an diartikan sebagai penutup atau tirai khusus bagi isteri-isteri Nabi, menurutnya diperlukan dalam konteks
Riffat Hassan, “Teologi Perempuan dalam Tradisi Islam…” Riffat Hasan, “Feminisme dan al-Qur’an: Sebuah Percakapan dengan Riffat Hasan,” dalam Ulumul Qur’an, No. 9, Vol. II. 52 Ayat al-Qur’an yang dijadikan landasan oleh Al-Asymawi untuk menyebut hijab adalah Qur’an surat 32:53 yang berbunyi: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah engkau memasukirumah-rumah Nabi dalam suatu resepsi menunggu-nunggu waktu matangnya (makanan). Tapi bila engkau diundang, maka masuklahlm. Bila telah usai makan-makan, segeralah beranjak tanpa berlama-lama bercengkerama. Sebab, tindakan demikian itu dapat mengganggu Nabi, sehingga dia sungkan (untuk mengusir) engkau; dan Allah tidak pernah sungkah dalam hal kebenaran. Dan, bila engkau meminta sesuatu (keperluan) dari mereka (isteri -isteri Nabi), maka pintalah dari sebalik tirai. Sungguh, yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan juga mereka. Sungguh, kalian tidak pantas menyakiti (hati) Rasulullah, dan tidak pula mengawini isteri -isterinya setelah beliau wafat, dan selamanya. Yang demikian itu, sesungguhnya perkara yang sangat besar bagi Allah.” 50
51
zaman itu untuk memisahkan isteri-isteri Nabi dengan kaum mukmin umumnya agar tidak terlalu leluasa. Dengan keadaan berjilbab, baik isteri-isteri Nabi, maupun kaum mukmin umumnya tidak saling bertatap muka. 53 Sementara khimar54 adalah semacam tradisi lama perempuan Muslim ketika turunnya ayat yang gemar mengenakan kerudung penutup kepala sambil dijumbaikan ke bagian punggung, sehingga dada tetap terlihat agak transparan. Untuk meluruskan tradisi
ini,
al-Qur’an
menganjurkan
perempuan
beriman
untuk
memprioritaskan
jumbaian kerudung mereka ke bagian dada. Evaluasi al-Qur’an tersebut berguna untuk membedakan antara mereka yang perempuan beriman dengan bukan golongan perempuan
beriman.
Adapun
perintah
merendahkan
jilbab55
bertujuan
untuk
membedakan antara perempuan beriman yang merdeka, dengan budak, atau antara budak yang sopan dengan budak yang kurang sopan. Karenanya, jika argumen dasar hokum ini sudah lenyap, karena tidak ada lagi hamba sahaya di zaman kini, maka tidak ada lagi alasan untuk pewajiban implementasi hukum ini. 56 Untuk hadis Nabi tentang hijab tersebut, menurutnya merupakan hadis ahad yang hanya berfungsi sebagai pengarah dan penasehat saja. Hadis tersebut juga tergolong hadis temporal, yang berkait erat dengan kondisi tertentu; dalam situasi dimana perlunya membedakan antara perempuan beriman dengan yang bukan beriman. Sedangkan hukum yang kekal dan tidak temporal itu adalah kesopanan itu sendiri dan tidak berlebih-lebihan dalam berbusana.57 Sehingga dapat dipahami bahwa alasan etika universal-lah yang menjadi landasan pemahaman Asymawi, yakni tentang kesopanan dan kehormatan. Bahwa ukuran kesopanan dan kehormatan tidak hanya dari satu sudut pandang, yaitu yang diwakili jilbab, akan tetapi kesopanan dan kehormatan lebih kepada sikap dan bukan penampakan fisik. Dengan kata lain, pernyataan-pernyataan beberapa feminis di atas menegasikan pernyataan al-Albani yang tertulis dalam bukunya Hijab al-Mar’ah al-Muslimah fil Kitab was-Sunnah yang menyatakan adanya delapan 53
Muhammad Said Al-Asymawi, Haqiqatul Hijab, hlm. 20-21. Ayat khimar dirujuk Asymawi dari QS. 24:31: “Katakanlah (wahai Nabi) kepada perempuan mukminat agar menundukkan pandangan, menjaga kehormatan, dan tidak mempertontonkan atau memamerkan perhiasan mereja, kecuali yang (sepantasnya) tampak saja. Dan hendaklah mereka menjumbaikan kerudung khimar (kerudung) mereka ke bagian kantongkantong mereka ( dada)..” 55 Perintah tentang jilbab didasarkan pada QS. 33:59: “Wahai Nabi, sampaikanlah kepada isteriisterimu, puteri-puterimu, dan perempuan Mukminat, agar merendahkan jalabib (mantel) mereka. Yang demikian itu lebih memudahkan mereka untuk dikenal, sehing ga mereka terhindar dari perlakuan buruk. Dan Allah sungguh Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang.” 56 Ibid. 57 Ibid. 54
peraturan bagi perempuan terkait dengan jilbab yang harus dikenakan, yaitu (1) Seluruh tubuh,
selain bagian yang dikecualikan harus tertutup, (2) kain penutup yang
menimbulkan daya tarik harus dihindari, (3) Pakaian tidak boleh ketat, (4) Pakaian tidak boleh semi transparan, (5) Pakaian tidak boleh diberi wewangian, (6) Bentuk pakaian tidak boleh menyerupai laki-laki, (7) Pakaian tidak boleh merefleksikan kebesaran dunia, dan (8) Pakaian tidak boleh menyerupai orang kafir. 58 Beberapa pandangan feminis maupun ulama-ulama konservatif tentang perempuan, tubuh maupun jilbab di atas sedikit banyak juga mempengaruhi alasan beberapa perempuan di Indonesia dalam memilih model jilbab yang mereka kenakan.
58
Wahiduddin Khan, Agar Perempuan Tetap Jadi Perempuan, hlm. 281-283.
DAFTAR PUSTAKA Ahmad, Akbar S. Islam Under Siege: Living Dangerously in a Post-Honor World. Cambridge: Polity Press, 2003. Ahmad, Leila. Women and Gender in Islam. Yale: Yale University, 1992. Akhmad, Chairul. “Kasus Jilbab, STIS Berulah Lagi,” dalam Majalah SABILI, No. 20, TH. XIII, 20 April/21 Rabiul Awal 1427, 2006. Ali, Abdullah Yusuf. The Holy Qur’an Text, Translation and Commentary, edisi kedua. New York: TahrikeTarsile Qur’an, 1988. Andersen, Margaret L. Thinking About Women, Sociological Perspectives on Sex and Gender, sixth edition. Boston, 2003. Asymawi, Muhammad Said Al. Haqiqatul Hijab wa Hujjiyatul Hadith, diterjemahkan oleh Jaringan Islam Liberal Kritik Atas Jilbab. Jakarta: JIL, 2003. Barlas, Asma. Believing Women in Islam, Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur’an. Austin: University of Texas Press, 2003. Becher, Jeanne (ed.). Perempuan, Agama dan Seksualitas; Studi Tentang Pengaruh Berbagai Ajaran Agama Terhadap Perempuan, terj. Indriani Bone. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Brenner, Suzanne. “Reconstructing Self and Society: Javanese Muslim Women and the Veil.” London: Cambridge, 1993. Crawley, E. Dress, Drinks, and Drums: Further Studies of Savages and Sex, edited by Theodore Besterman. London: Methuen, 1931. Engineer, Asghar Ali. Matinya Perempuan, Transformasi al-Qur’an, Perempuan, dan Masyarakat Modern, terj. Akhmad Affandi & Muhammad Ihsan. Yogyakarta: Ircisod, 2003. Guindi, Fadwa El. Jilbab, Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan, terj. Mujiburrahman. Jakarta: Serambi, 2003. Hasan, Riffat. “Feminisme dan al-Qur’an: Sebuah Percakapan dengan Riffat Hasan,” dalam Ulumul Qur’an. No. 9, Vol. II, 1990. Hassan, Riffat. “Teologi Perempuan dalam Tradisi Islam: Sejajar di Hadapan Allah?”, terj. Wardah Hafidz, dalam Ulumul Qur’an. No.4, Vol.I, 1990. Hassan, Riffat. Women’s and Men’s Liberation: Testimonies of Spirit. New York: Greenwood, 1991. Prabosmoro, Aquarini Priyatna. Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra dan Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra, 2006. Reinharz, Shulamit. Metode-metode Feminis dalam Penelitian Sosial, terj. Lisabona Rahman dan J. Bambang Agung. Jakarta: Women Research Studies, 2005. Sugiharto, I. Bambang. “Penjara Jiwa, Mesin Hasrat: Tubuh Sepanjang Budaya,” dalam Jurnal Kalam. edisi 15, 2000. Syinnot, Anthony. Tubuh Sosial. terj. Yudi Santoso. Yogyakarta: Adipura, 2003.
Turner, Bryan S. “Recent Developments in the Theory of the Body”, in Mike Featherstone et.al., The Body; Social Process and Cultural Theory. London: SAGE Publication, 1991. Turner, Bryan S. “The Body in Western Society: Social Theory and its perspectives,” dalam Sarah Coakley, Religion and the Body. Cambridge: Cambridge University Press, 2003. Umar, Nasaruddin. Qur’an Untuk Perempuan. Jakarta: Jaringan Islam Liberal, 2002. Wadud, Amina. Qur’an and Women: Reading the Sacred Text from a Woman’s Perspectives, edisi kedua. Oxford: Oxford University Press, 1999.