Proceeding. Seminar Nasional PESAT 2005 Auditorium Universitas Gunadanna, Jakarta, 23-24 Agustus 2005
ISSN: 18582559
TROTOAR: ARENA PEIU:BUTAN RUANG KEHIDUPAN WARGA KOTA loko Adianto I, Meydian Sartika Dewi2
IFalrultas Teknik, Universitas Pancasila
R. Srengseng Sawah, Jaga1carsa, Jakarta Selatan, 12460
2Falrultas Teknik Sipil dan perencanaan. Universitas Gunadanna 11. Margonda Raya 100, Depok -16424
[email protected] ABSTRAK
Penelitian ini berusaha untuIc mengungkap Ironsep desain Irotoar sebagai ruang publit yang memilild Ironflik ruang warga /rota yang menggunakanya untuk berbagai /regiatan. Hasil penelitian menrinjukan bahwa selama in; perancangan dan perencanaan Irotoar lebih mengutamalran representation ofspace seperli aturan-aturan ideal doripada space ofrepresentation yang berakar dari Iratiisi, budaya dan /rebiasaan perilalat masyarakat setempat sehari-hari. Hal iniJah yang mengakibatkan Ironflik ruang di alas trotoar tidol pemah selesai. Kala Kunci: Iroloar, space ofrepresenlaion, representation ofspace dan spatial practice
1. PENDAHULUAN
Trotoar: Antara Berdagang
Berjalan
Kaki· d-an
Kota Bogor yang kini berpenduduk sekitar 850.000 jiwa sepertinya dikepung kemacetan Kota Bogor yang talmn 1970-an, masib sejuk dan nyaman, kini panas dan "sumpek". Dari tabun ke tabun, Kota Bogor semakin tambah semrawut Angkutan kota memenuhi jalan-jalan di Kota Bogor, pedagang kaki lima semakin tak terbendung. Trotoar, jembatan, dan badan jalan "diduduki" untuk menggelar dagangannya di pagi hari, sore, malam, dan subuh hingga matahari terbit. Sedangkan rumah toko dan mal tumbuh subur di sudut-sudut kota. Itu semua membuat kemacetan di mana-mana. Hal ini menyebabkan trotoar, terutama di Kawasan Kebun Raya Bogor telah beralih fungsi. Fungsinya tidak sekedar untuk berjalan kaki tetapi juga untuk berdagang atau kegiatan lainnya.
2. LANDASAN TEOm Trotoar: Sebuah Pemahaman Trotoar, merupakan sebuah penamaan jaIan yang diperuntukan bagi pejalan kaki. Jalan
AS6
(path) berasal dari bahasa Latin patha-, yang . berarti sarna dengan slreet yaitu jalan bagi manusia dan kuda. Pada awalnya, menurut Kostor, jalan memang merupakan ruang publik tetapi trotoar merupakan ruang privat. Trotoar dirancang sebagai jalan pribadi setiap individu menuju tanah kepemilikannya. Bertambahnya jumlah arus pejalan kaki di trotoar menyebabkan tempat pertukaran berkembang di sepanjang jalan bahkan melebar ke jalan-jalan sekunder. Hillier menegas:..an . hahwa pergerakan individu merupakait faktor utama perkem. bangan kota. Tanpa pergerakan individu, kota atau sebuah kawasan tidak berkembang dan tak dapat dikenali. Alhasil, hubungan emosional yang mampu rnenghasilkan identitas kawasan tidak terjadi. Lynch menambahkan bahwa hubungan emosional antara individu dengan kotanya hanya dapat dicapai jika individu tersebut berjalan kaki dan mampu menikmati kegiatan dan bentukan fisik kota dari skala manusia. Hal ini dikarenakan dengan berjalan kaki, individu dapat mengamati obyek di sekitamya secara detail dengan kecepatan yang sangat rendah. Dengan kata lain, warga kota
Trotoar: Arena Perebutan Ruang ... (Joko Adianto, Meydian Sartika Dewi)
Proceeding. Seminar Nasional PESAT 2005 Auditorium Universitas Gunadanna, Jakarta, 23-24 Agustus 2005
menjalin hubungan emosional tersebut melalui jalan pedestrian. baIam jalan kendaraan. Oleh . karena itu, jalan, dalam kacamata Lynch, tidak sekedar jalan kendaraan, tetapi juga jalan pedestrian. Whyte menambahkan bahwa jalan yang berhasil adaJah jalan yang memiliki banyak kegiatan. Dc:opn kualitas yang baik, masyarakat dapat menjalin hubungan melalui jalan pedestrian denpn kawasannya scbingga menciptakan identitas yang diharapkan. Berdasarkan pemaparan di atas kami berpendapat bahwa trotoar turut memegang peran besar dalam membentuk hubungan emosional antara kota dengan warganya. Mann menyarankan agar perancangan dan perencanaan bentukanJisik (terutama trotoar) bertitik tolak dari perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Masyarakat sebuah kotaIkawasan memiliki karakteristik dengan perk.embangan yang unik sehingga tak dapat direduksi dalam sebuah generalisasi. Dengan demikian perancang dan perencana bentukan fisik kotalkawasan selalu memperhatikan kepadatan dan keragaman berupa praktek sosio-spasial sementara di kotalkawasan tersebut. Menurut Lefebvre, space of representation merupakan roang yang dihuni melalui jejaring kehidupan manusia melalui imaji-imaji, simbol yang disepakati bersama. Menurut penerjemahan kami, roang ini merupakan ruang yang tercipta berdasarkan kondisi mental pengguna ruang aktual. Dengan demikian, roang yang terbentuk melalui space of representation berasal dari kebiasaan, tradisi dan kebutuhan manusia penggunanya. Sementara representation of space merupakan pengetahuan, kondisi ideal atau pendapat ahli mengenai sesuatu hal, dalam hal ini adalah trotoar. Spatial Practice merupakan praktek ruang yang terjadi selama kurun waktu dalam pengamatan kegiatan di trotoar Kawasan Kebun Raya Bogor.
Trotoar : Sebagai Representation ofSpace Wujud trotoar tidak lepas dari logika dan bentuk pengetahuan mengenai trotoar itu sendiri. Logika dan bentuk pengetahuan ini berkembang menjadi kode yang mengikat ke seluruh tipe yang sama, dalam hal ini trotoar.
ISSN: 18S82SS9
Selain ito, dari asal katanya, paN1IIetII (bahasa Inggris dari trotoar) yang berasaI dIri ptWire yang berarti lantai dengan bahan bam pukul. Keberadaan trotoar awalnya diperpnakan sebagai ruang pejalan kaki. KepulUSIn Menteri Perhubungan no: KM6S tahun 1993 Tentang Fasilitas Pendukung Kegiatan Lalu LiDtas dan Aogkutan Jalan juga menegaskan daIam Pasal 1 ayat 7 bahwa trotoar dipenmtukan khusus untuk pejalan kaki. Hal ini memperkuat pcmyataan peraturan daerah di atas yang ntenyIIUan bahwa kegiatan yang diperbnankan untuk berlangsung di atas trotoar hanya berjalan kaki. Seperti yang terjabarbn mengenai pengertian trotoar sebelumnya, esensi trotoar adalah ruang pejalan kaki. Berdasarbn penjabaran ini, sudah seharusnya trotoar han18 mewadahi kegiatan berjalan kaki, tanpa kegiatan lainnya. Hal ini terl ihat dati peratunn-peraturan pemerintah yang mengatur mengenai fungsi pemakaian sampai ukurannya. Pemabaman ini berlaku sampai (hampir) ke selunth trotoar yang ada di negara inil. Seperti pengertian tradisi, represenkltion of space ini merupakan perwujudan tnldisi dari esensi makna trotoar. Istilah trotoar sebagai ruang pejalan kaki yang mengiringi jalur kendaraan sudah diterapkan sejak tabun 1290. Dengan demikian, pemikiran trotoar han18 sebagai jaiur pejalan kaki sudah berlangsung berabad-abad. Pemikiran dan pengertian ini berkembang menjadi sebuah kode perencanaan dan perancangan trotoar scbagai ruang publik dan obyekkota. Hal ini scsuai dengan peraturan-peraturan pemerintah daerah setempat dan berbagai keputusan menteri yang menyatakan hal serupa. Oleh karena itu, kami berpendapat bahwa peraturan-peraturan tersebut muncul didasari oleh adanya tradisi yang terus-menerus sehingga menghasilkan sebuah pemahaman bersama bahwa trotoar adalah ruang publik yang hanya memfasilitasi kegiatan berjalan kaki. Keber-
I
Pendapat ini didasari olch pengamatan pribadi yang menyimpulkan bahwa trotoar hanyaJah dipcruntukan untuk bcrjalan kaki. Hal ini terlihat dari materi trotoar yang hanya menyediakan lantai berjalan.
Trotoar: Arena Perebutan Ruang... (Joko Adianto, Meydian Sartika Dewi)
AS7
Proceeding, Seminar Nasional PESAT 2005 Auditoriwn Universitas Gunadarma, Jakarta, 23-24 Agustus 2005
Ianjutan pemahaman ini berkcmbang menjadi sebuah habitus dan kode yang talc tergoyabkan •. Tl"Otoar : Sebagai Space ofRepresellttlJltJn Menurut Lefebvre, salah satu faktor penentu keberadaan space ofrePesenJatm adalah habitus. Habitus adaIah medan perilaku manusia yang dinamis. Kclak, habitus' inilah yang menyediakan parameter bagi individu untuk melakukan penyesuaian diri dcngan situasi baru yang dihadapi. Habitus berasal dari kata habit dari bahasa Latin yang berarti kondisi. penampakan &tau selubung yang memiliki makna dasar <memiliki &tau memegang'. Penyesuaian melalui habitus. merupakan proses pergerakan men~ manusia untuk mcmbiasakan diri dengan 'teriton. kondisi dan situasi yang terjadi. Proses ini mengarahkan manusia untuk menggunakan ruang yang tercipta dalam situasi dan kondisi yang baru. Sejalan dengan pemikiran de Certeau, proses ini merupakan bagian dari praktek spasial yang dilakukan oleh individu &tau kelompok dengan menandai roang sesuai dengan kegunaan baginya atau kelompok tersebut Rasa memiliki dan dimiliki (belonging) merupakan bagian dari kepemilikan (possession) dan kesatuan bagian (apartness). Rasa mcmiliki dan dimiliki (belonging) tersebut terjadi melalui praktek kelompok individu yang menimbulkan identitas melalui penciptaan budaya dan sejarah kelompok tersebut. Budaya dan sejarah tersebut menciptakan kebersamaan . (commonality) yang menjadi dasar dinamika proses politik dan sosial kelompok tersebut dalam sebuah roang hidup. Ruang hidup tersebut berkembang menjadrsebuah teritori kelompok tersebur. Bell menyatakan bahwa teritorialisasi berkembang seperti sebuah rhizome yang menggambarkan kesan pergerakan. Teritorialisasi merupakan wujud perhentian sementara pergerakan kelompok tersebut di tempat baru sambil menjalin hubungan dengan tempat lain. Sejalan dengan pemikiran de Certeau, proses ini merupakan bagian dari praktek spasial yang di-
2
Fortier, A-M, Re-membering Places and 'performance 0/ Belonging(s) in Bell, V(cd), Performativity and Belonging, Sage, London, UK, 1999, hal. 42,
ASS
ISSN: 18512559
Iakukan oIeh individu atau kelompok deogan menandai ruang sesuai dengan kegunaa • nya a1au Icclompok tersebut Trotoar: Sebagai SpatitlJ ~ Lefebvre menyatakan bahwa pI1lk:k:k spasial merupakan produksi dan reproduksi matai Icehidupan melalui kegiatan-kegiatan masyarakat Ruang ini merupakan roang ak.tual yang dapat diamati karena terjadi dari penpIaman hidup masyarakat secara Jangsung meIaIui simbol-simbol berupa lingkungan binaan. Oleh karena itu, praktek spasial tercipta melalui kchidupan masyarakat. Tl"Otoar: Studi· di KaWasall KebuB Ray. Bogor Lokasi penelitian di pusat kota Bogor yaitu di sekitar jalan Juanda, jalan 0tisIa dan jalan Pajajaran. Lokasi tersebut dipilih karena mempunyai dampak dari pandangan masyarakat terhadap pusat kota Bogor, yang menpnggap kota Bogor identik dengan lingkungan Kebun RayaBogor. 3. METODE PENELITIAN Tl"Otoar: Grounded-Theory dugan Peodekalan Kualitatif Berdasarkan kondisi fenomena yang hendak diteliti, kami menentukan jenis penelitian ini idalah kualitatif. Metode yang kami pilih adalah grounded-theory, karena penelitian ini bermaksud untuk mengidentikasi dan memahami terjadinya kondisi perebutan ruang di sepanjangjalan sekitar Kebun Raya Bogar. Dalam melakukan sampling responde!'; kami menerapkan sistem disproportionate random sampling. Hal ini sesuai dengan metode yang diterapkan oleh Lynch dan Suhartono yang menggunakan pendekatan dan metode penelitian yang sama, maka penelitian ini juga menggunakan pendekatan survey dengan sampling sebagai cara memperoleh data. Dalam penelitian ini, kami berhasil mengumpulkan data primer dengan bantuan 36 (tiga puluh enam) responden dengan latar belakang pendidikan, asal domisili dan jenis pekerjaan yang beragam. Kami juga mewawancarai 20 (dua puluh) pedagang kakilima di sekitar Kawasan
Trotoar: Arena Perebutan Ruang •.. (Joko Adianto, Meydian Sartika Dewi)
Proceeding, Seminar Nasional PESAT 2005 Auditorium Universitas Gunadanna, Jakarta, 23-24 Agustus 2005
ISSN: 18582559
rasa aman individu hanya dapat tercapai dengan Kebun Raya dengan berbagai motivasi berdaadanya hubungan sosial antar indiviW. gang, lama berdagang, waktu berdagang, asal Adapun motivasi terbesar mereka bersuku dan jenis komoditas. nata primer dari dagang di sepanjang trotoar Kawasan Kebun responden pedagang kakilima juga kami Raya Bogor adalah terkena Pemutusan Hubutuhkan untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai kepentingan pelaku ke- . bungan Kerja (25%) dan berdagang merupakan satu-satunya keahlian (25%). Motivasi lainnya giatan pertukaran di sepanjang trotoar Kawasan adalah membantu suami (25%). menyalurkan Kebun Raya Bogor. hasil bumi garapannya (15%), putus sekolah Dalam menguraikan perbedaan gaya-gaya (forces) ini, kami berusaha menjabarkannya da(1,5%) dan mencari tambahan penghasilan (1,5%). Sebanyak 80% responden menyatakan lam Teori Produksi Ruang yang dikemukakan bahwa kegiatan berdagang di trotoar merupakan oleh Lefebvre, yaitu space of representation, usaha memenuhi kebutuhan primer dan hanya representation ofspace dan spatial practice. 20% yang menyatakan untuk memenuhi kebu4. BASIL TEMUAN PENELITIAN tuhan sekunder. Berdasarkan basil pengumTrotoar : Arena Perebutan Ruang Kehi- pulan data di atas jelas terlihat bahwa sektor ini dupanWarga menampung jumlah tenaga kerja dalam jumlah Hasil penelitian kami mengindikasikan besar guna memenuhi kebutuhan masyarakat. bahwa lebih banyak warga kota yang berkunSelain itu, keterpaksaan untuk memenuhi kebujung ke kawasan Kebun Raya dan sekitamya tuhan juga menjadikan mereka senasib sehingga untuk melakukan kegiatan jual-beli daripada membentuk rasa kesatuan dan kebersamaan untuk berekreasi. Hal ini menunjukkan bahwa yang tinggi. ketertarikan warga kota untuk berkunjung ke Hasil penemuan data kami menunjukkan kawasan Kebun Raya dan sekitamya bukan unbahwa lama berdagang terbanyak antara 0-5 tatuk berekreasi tetapi untuk melakukan kegiatan hun dan 6-10 tabun sebesar 35%. Masing-masing hanya 15% responden yang telah berdajual-~Ii. Selain itu, kehadiran pedagang kakilima turut mendukung kegiatan masyarakat. gang di lokasi yang sama selama II-IS tabun Sebagai Kota Hujan, Kota Bogor berdasarkan dan 16-20 tabun. Selain itu, sebanyak 65% respenuturan para responden hampir setiap hari, ponden melakukan kegiatan pertukaran selama terutama pukul 16.00-18.00 diguyur hujan. 6-10 jamlhari, 30% melakukan kegiatan pertukaran selama 11-15 jam dan hanya 1,5% yang Kios-kios bertenda mmk pedagang kakilima melakukannya selama 0-5 jam. Hal ini menunselalu digunakan sebagai tempat berteduh masyarakat yang menunggu hujan, demikian jukkan bahwa kegiatan berdagang di kawasan penuturan 80% responden. ini sudah berlangsung dalam rentang waktu Bourdieu menyatakan bahwa rasa tidak yang relatif lama setiap hari sehingga para pedagang ini memiliki keterikatan antara keaman justru mampu mempererat hubungan antar individu dalam kelompok. Hubungan ini giatannya dengan .Iokasi yang didiami. tercipta agar setiap individu dapat bekerja sarna Kling4 . berpendapat bahwa masyarakat Malay-Indonesia menciptakan aturan-aturan untuk memperoleh rasa aman dalam mencapai bermasyarakat berdasar atas adat istiadat yang tujuan individual atau kelompok. Jika pendapat menjadi tradisi. Adat istiadat, yang menjadi inti ini dan Russell mengenai kekuasaan dikaitkan dengan teori hirarki kebutuhan manusia yang dikemukakan oleh Maslow, maka tingkat kebu] Pemyataan ini scjalan dengan pendapat Martindale yang tuhan ketiga berupa kebutuhan untuk menjalin mengatakan bahwa manusia terlahir scbagai makhluk sosial. hubungan sosial seharusnya berada di tingkat Artinya, manusia hanya dapat memenuhi kebutuhan hidupnya kebutuhan pertama. Pendapat Bourdieu menyimelalui hubungan sosialnya dengan manusia lainnya. Lihat Martindale, D, Op.cit, hal.37. ratkan bahwa pemenuhan. kebutuhan pokok dan ~
Trotoar: Arena Perebutan Ruang ... (Joko Adianto, Meydian Sartika Dewi)
Kling, Z, Adat: Collective Se/f-lmDge in Hitchcock, M; King, VT (eds.), ImDges of Malay-Indonesian Identity, Oxford University' Press, London, UK, 1997, hal. 48.
A59
Proceeding, Seminar Nasional PESAT 2005 Auditorium Universitas Gunadanna, Jakarta. 23-24 Agustus 2005
dari bubungan sosial masyarakat dan penyeimbang interaksi yang dinamis, sangat dibor; mati. Oleb kareila ito, sulit bagi masyarakat Malay-Indonesia untuk melak.ukan perubahan periiaku atau pola pikir karena selalu berdasar pada adat istiadat yang berlaku. Selain itu, sudab juga menjadi tradisi bagi masyakarat kita untuk melakukan kegiatan pertukaran di tepi jalan. Hasil penelitian kami juga menunjukan bahwa masyarakat relatif enggan untuk melakUkan kegiatan pertukaran pada lokasilokasi yang sulit ditempuh atau jauh jarak tempubnya. Hal inilab yang menyebabkan roang publik menjadi roang pertukaran karena terjadi pertemoan antara pedagang kakilima dan pembeli. Roang pertukaran menjadi sangat eflSien dan efektif karena dapat berlangsung dengan cepat dan mudab dengan harga yang terjangkau. Dengan demikian, melalui pemabaman dari perspektif habit dan tradisi pengguna yang terangkum dalam space of representation, trotoar sebagai ruang publik merupakan ruang pertukaran yang sangat efisien dan efektif. Trotoar sebagai roang publik, kini tidak hanya berperan sebagairoang pergerakan masyarakat, namun juga roang pertukaran. Tcntunya penambahan kegiatan dalam trotoar menyebabkan obyek kota ini harus mampu menampung berbagai kegiatan masyaraka sehingga perencanaan dan penmcangannya semakin kompleks. Setiap obyek, seperti trotoar, dapat dihubungkan melalui jejaring habitus, metode atau praktek sosial masyarakat. Walaupun tidak berhubungan langsung dengan obyek tersebut tetapi ketiga hal tersebut merupakan cara mengetahui keberadaan obyek tersebut dalam kehidupan manusia. Namun pada kenyataannya, trotoar tidak memiliki ruang-ruang untuk menampung kegiatan tersebut. Hal ini muneul karena adanya representation of space yang turut berperan besar dalam menentukan bentuk dan wujud trotoar. Hasil penelitian kami menunjukkan babwa sisi negatif bagi mayoritas pengguna jalan (sebesar 44%) menyatakan babwa keberadaan pedagang kakilima adalab mengganggu sirkulasi. Hal ini dikarenakan keberadaan pedagang
A60
ISSN: 18582559
kakilima tidak teratur (25%). Sisi negatif lainnya adalab pedagang kakilima merusak kebcrsiban (14%), menampilkan kesan kumuh sehuah kawasan (II %) dan menimbulkan bau yang tak sedap (6%). Dengan kata lain, sisi negatif pedagang kakilima adalab menimbulkan penurunan kualitas lingkungan. Namun demikian, keberadaan pedagang kakilima pun memiliki sisi positif bagi pengguna jaIan. Sisi positif terbesar adalab penyediaan kebutuhan pokok manusia dengan harga yang terjangkaulmurah (39010) dan mudab dicapai dari·lokasi kegiatan lainnya (25%). Selain ito, para pengguna jalan merasa aman saat berkegiatan di malam hari (14%) dan senang dengan cepatnya pelayanan mereka (11%) dan mampu menjalin keakraban dengan pembeli (11%). Hasil penelitian juga menunjukkan babwa salab satu faktor terjalinnya hubungan simbiosis mutualisme antara pejalan kaki dengan pedagang kakilima adalah hubungan penyediaan kebutuhan pokok oleh pedagang kakilima. Hasil pengamatan menunjukkan babwa 55% komoditas yang dipertukarkan adalab komoditas kebutuhan pokok manusia (40% makanan dan 15% minuman). Pada komoditas kelontong (sebanyak 10%) juga menyediakan makanan ringan dan minuman. Barang yang diperjualbelikan (sebanyak 10%) merupakan pemenuhan kebutuhan pokok berupa sandang. Hasit kebun (sebanyak 15%) merupakan baban mentab pcmenuhan kebutuhan pokok. Dengan demikian para pedagang kakilima turut menyediakan kebutuhan pokok bagi pejalan kaki atau individu yang berkegiatan di sekitar Kebun Raya Bogor. Pemaparan di atas menunjukkan bahwa sisi negatif keberadaan mereka didasari atas dasar penurunan kualitas Iingkungan yang mereka timbulkan. Sedangkan sisi positif keberadaan mereka menyangkut aspek keterjangkauan lokasi dan harga komoditas serta keamanan psikologis pengguna jalan. Adanya sisi negatif dan positif keberadaan pedagang kakilima di trotoar sekitar Kebun Raya Bogor menjadikan ruang keberadaan mereka paradoks.
Trotoar: Arena Perebutan Ruang ... (Joko Adianto. Meydian Sartika Dewi)
Proceeding, Seminar Nasional PESAT 2005 Auditorium Universitas Gunadanna, Jakarta, 23-24 Agustus 2005 Walaupun terjadi paradoks, mayoritas pengguna jalan (56%)menyatakan bahwa tidak seharusnya pedagang kakilima dihilangkan. Mereka menyatakan bahwa pedagang kakilima seharusnya diwadahi karena mampu menyediakan kebutuhan pokok pengguna jalan dari aspek finansial (harga murah), mudah dicapai dan terjalin rasa aman psikologis (di malam hari dan hubungan emosional). Pengguna jalan, yang menyatakan perlunya pedagang kakilima diwadabi, mengatakan bahwa mencari penghidupan yang layak adalab hak setiap orang dan penggunaan trotoar sebagai lokasi kegiatan pertukaran tersebut hanya berlangsung pada waktuwaktu tertentu saja. ,Kami mengidentifikasi praktek sosial yang berupa perebutan hak spasial di ruang publik antara pedagang kakilima, pejalan kaki dan pengendara. Kami mengidentifikasi adanya pengambilan hak spasial ruang publik antara pedagang kakilima dan pejalan kaki. Hal mengakibatkan para pejalan kaki untuk menggunakan ruang kendaraan di jalan raya. Pada gambar kedua, terlihat bagaimana terpal pedagang kakilima sampai menutupi seluruh ruang trotoar. Namun demikian, para pejalan kaki tetap dapat menggunakan ruang trotoar untuk berjalan kaki. Hal ini menarik, karena justru melindungi pejalan kaki dari hujan dan panas matahari. Pada gambar ketiga, terlihat bagaimana instansi terkait menggunakan ruang kendaraan untul: menjalankan tugasnya. Hal ini jelas mengganggu kelancaran kendaraan. Hal ini men unjukkan babwa kegiatan sirkulasi di sepanjang jalan ini terjadi hambatan-hambatankarena adanya penambahan ruang-ruang kehidupan baru. Pada gambar paling kanan terlihat bagaimana pejalan kaki yang terambil hakoya oleh pedagang kakilima, yang akhirnya mengambil hak ruang kendaraan bermotor. Berdasarkan pemaparan di atas, trotoar selalu menjadi ruang konflik. Esensi maknanya sebagai obyek menjadi hilang karena munculnya peristiwa-peristiwa tambahan yang justru mendominasi kegiatan utamanya. Padahal, trotoar adalab salah satu elemen fisik yang penting untuk menjalin hubungan emosional antara warga dengan bentukan fisik kawasan. Jika
Trotoar: Arena Perebutan Ruang ... (Joko Adianto, Meydian Sartika Dewi)
ISSN: 18582559
trotoar merupakan sebuah roang Iconflik dalam kawasan, maka sulit untuk ~pkan terciptanya hubungan emosional antara warga dengan kawasannya. Perbedaan yang terjadi dalam masyarakat memicu terjadinya konflik. Kecenderungan terjadi konflik ini disebabkan oleh adanya ruang kcinginan dan kebutuhan setiap individu yang digunakan sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhannya. Ruang-ruang tersebut saling bcrhubungan dalam sebuah rangkaian kegiatan antar individu dalan masyarakat. Hal ini memicu terjadinya konflik, yang melibatkan kuasa antar individu untuk menyatukan seluruh gaya yang terjadi dalam masyaraIcar. Praktik spasial yang didasari oleh perebutan hak ruang terjadi secara terus menerus. Perbaikan trotoar yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Bogor untuk menaikan nilai kawasan ternyata tidak mampu mengatasi masalab perebutan hak ruang publik ini. Perbaikan yang terjadi hanya sekedar perbaikan bahan bangunan trotoar yang dianggap lebih menarik daripada kondisi sebelumnya. Dengan kata lain, hanya meJakukan perubahan estetika visual yang sebenarnya sangat subyektif bukan perubahan penataan ruang yang sebenamya jauh lebih mendasar. Solusi yang selama ini diterapkan oleh Pemerintah Daerah setempat adalab melakukan operasi penertiban dengan menyita semua komoditas pedagang kakilima. Namun demikian, operasi ini tidak berlangsung secara berkelanjutan sehingga pedagang kakilima hadir kembali di lokasi-Iokasi yang serupa. Dalam peneIitian kami sebelumnya, solusi konflik jenis zero-sum seperti ini tidak pemah mampu menyelesaikan keseluruhan masalah, karena hanya bersifat sementara. Masalah utamanya yaitu perebutan hak ruang publik untuk memenuhi kebutuhan hidup tidak terselesaikan. Solusi konflik zero-sum hanya mengatasi masalah perebutan ruang publik sementara saja, bahkan tampak seolah-olah sebagai adanya hegemoni spasial di ruang publik oleh salah satu pihak , Paragraf ini merupakan rangkuman dari tahap-tahap Teori Medan. Lihat Lewin, K, Field Theory in Social Science, Harper and Brothers. NY, USA, 1944, hal. 39.
A61
Proceeding, Seminar Nasional PESAT 2005 Auditorium Universitas Gunadanna, Jakarta, 23-24 Agustus 2005
yang berkepentingan. Melalui penelitiannya, Siswandi berpendapat bahwa gagalnya operasi penertiban pedagang kakilima salah satunya dilc:arenakan para pedagang kakilima merasa memiliki hak untuk menggunabn roang publik brena turut membayar pajak setiap hari. Dari logika ini, sudah seharusnya para pedagang kakilima merasa memiliki hak roang hidup di roang publik karena telah memenuhi kewajibannya terhac:tap pem«intah daerah setempat. Pemaparan di atas secara tersirat menunjUkkan bahwa pertentangan atau munculnya factor tarik sebenamya merupakan wujud perebutan roang sebagai factor mediasi. Ruang, sebagai factor mediasi, menjadi komoditas karena memiliki aspek guna dan tukar yang tinggi. Namun faktor aspek guna dan tukar roang sebagai komoditas, juga ditentukan oleh factor-faktor eksternal seperti aspek nominalnya dan kebutuhan manusia. Hal ini yang turut mempengaruhi munculnya konflik ruang. Konflik urban yang terjadi di dunia ketiga, secara umum, terjadi karena adanya persimpangan aritara represi penguasa dan pemberontakan komunitas'. Namun demikian, secara umum persimpangan kepentingan tersebut terjadi brena adanya pertentangan kepentingan ekonomi masing-masing pihak. Peristiwa-peristiwa tambahan berupa jual-beli pada trotoar menimbulkan konflik, karena tidak ada lagi keselarasan antara ruang yang tercipta dengan peristiwa yang berlangsung. Selain itu, pergerakan dinamis tersebut bertujuan untuk menciptakan peristiwa jual-beli di lokasi yang strategis. Biasanya, para pedagang bergerak menuju simpul kawasan teramai. Dalam konsep kuasa, kuasa kohersif yang berlangsung di Iingkungan buatan berubah wujud menjadi artifak yang menguasai kehidupan sehari-hari. Kuasa ini dipergunakan oleh individu untuk 'mengamankan' Iingkungan buatan yang menjadi kapital (modal) kelompok tertentu dari gangguan individu lainnya. Lebih. lanjut, kuasa ini terepresentasikan oleh keha-
6
Walton, J, Op.ciI. Uhatjuga pcnelitian menJlCl18i kontlik urban di negara ketiga seperti Gugler, Josef (1982). The Urban CJrmacter of Contemporary RnOllilions, Studies in Comparative International Development 17(Summer): 60-73.
A62
ISSN: 18582559
diran uang yang mampu mengendalikan nilai guna obyek-obyek yang ada di sebuah lingkungan buatan seperti trotoar. Dengan adanya soIusi konflik zero-SIlm, justru malah menambah sentimen dalam kelompok pedagang kakilima seperti sikap apatis bahkan metawan aparat &tau kebijakan pemerintah daerah. Alhasil, konflik perebutan ruang publik tidak pemah selesai. S. KESIMPULAN Trotoar: Anti-Generik(?) Arsitektur harus mewakili perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Schumacher menyatakan bahwa titik tolak arsitektur bukan berawal dari ide terbaik dari fantasi, tetapi mencari nilai keindahan yang berasal dari hubungan sosial masyarakat seperti tingkat kepadatan yang tinggi, perpindahan penduduk, keragaman dan lain sebagainya. Dengan demikian, konstruksi bentukan fisik kotalkawasan dapat menghasilkan pengalaman estetika berdasarkan k.emungkinan-kemungkinan yang terjadi dalam perkembangan masyarakat kotalkawasan. Pada kenyataannya trotoar merupakan bukan sekedar ruang berjalan kaki tetapi juga ruang berdagang dan kegiatan sosial masyarakat seperti berinteraksi, menikmati pemandangan dan suasana atau sekedar mengamati orang dan kendaraan yang lalu lalang. Soja menyatakan bahwa keruangan merupakan hasil hubungan sosial masyarakat yang menjadi gaya pembentuk kehidupan sosial. Artinya, ruang sebagai produk dan medium kehidupan sosial. Flanagan menambahkan bahwa ruang tersebut bukanlah sebuah benda namun jejaring hubungan sosial yang terbentuk dan berkembang sejalan dengan praktek sosial masyarakat. Dalam ruang ini menurutnya, terjadi jalinan, bahkan konflik, antara bentukan fisiko ide ruang dan praktek sosial itu sendiri. lalinan memiliki arti aturan yang dipraktekan secara berkesinambungan, kegiatan dan strategi yang berlangsung dalam beberapa periode waktu. Sudah seharusnya order memiliki karakteristik geografis, sesuai dengan kegiatan dan aturan yang berlaku di dalam masyarakat. Foucault memandang gejala hegemoni ini sebagai sebuah usaha penyaluran kekuasaan
Trotoar: Arena Perebutan Ruang ... (Joko Adianto, Meydian Sartika Dewi)
Proceeding, Seminar Nasional PESAT 2005 Auditorium Universitas Gunadanna, Jakarta, 23-24 Agustus 2005 kelas dominan (seperti pemerintah atau pemilik modal) kepada seluruh individu dalam masyarakat dengan mengatur tingkah laku dan kegiatan kesehari-harian melalui penggunaan obyek kotalkawasan. Artinya, melalui obyek kotalkawasan, terjadi operasi penundukan akaI para individu dalam masyarakat oleh akal kelas dominan tersebut. Dengan demikian, sebuah obyek tidak lagi merepresentasikan kenyataan. hanya hasrat masyarakat yang sebenamya terbentuk oleh hegemoni dari kelas dominan masyarakat Dalam merancang atau merencanakan sebuah ruang fisiko sangat penting untuk mengakomodasi pengalaman-pengalaman pengguna roang tersebut dan mengidentifikasi kemungkinan peristiwa-peristiwa (events) yang mungkin muneul di dalamnya. Oleh karena itu, ruang harus dikonstruk untuk memenuhi kedua hal tersebut Selain itu. Rashid menyatakan bahwa saat program roang yang ditawarkan obyek kotalkawasan tidak sesuai dengan praktek spasial yang berlangsung sehari-hari, masyarakat secara otomatis meneiptakan 'arsitekturperistiwa (event-architeclure)' sebagai fasilitas kegiatan niereka. Berdasarkan pemaparan di atas, kami berpendapat bahwa ruang trotoar yang terbentuk dan berfungsi dalam kehidupan sehari-hari merupakan hasil pertemuan berbagai maeam gaya (forces) dalam masyarakat yaitu pejalan kaki, pemerintah dan pedagang kakilima. Vidler menyatakan bahwa manusia adalah penghasil gaya tersebut melalui pergerakannya. Gaya yang terjadi merupakan polaritas berlawanan yang bekerja secara paradoks, seperti sederhana-rumit, cepat-Iambat dan lain sebagainya. Gaya paradoks tersebut menghasilkan nilai-nilai yang berlainan, sehingga muneul distorsi-distorsi yang berlainan dan meneiptakan struktur yang berlainan pula. Sadar atau tidak, Deleuze menyatakan bahwa perbedaan gaya, nilai, distorsi dan struktur yang terjadi berpengaruh pada kehidupan masyarakat kota. Publik sendiri berasal dari kata Latin Kuno poplicus yang berakar kata populus, yang artinya masyarakat, yang bermakna 'terbuka untuk seluruh lapisan masyarakat'. Dengan de-
Trotoar: Arena Perebutan Ruang... (Joko Adianto, Meydian Sartika Dewi)
lSSN:llSl2S59
mikian ruang publik sudah sebarusnya dapat terakses oleh seluruh lapisan masyarakat dengan seluruh kegiatannya. Namun dengan adanya Peraturan Daerah No. 11 Tabun 1988 menyatakan bahwa penggunaan fasilitas publik oleh orang atau badan di ~ umum tanpa seizin gubemur, ruang publik tidak lagi menjadi ruang yang bebas terbub bagi masyakarat berbagai lapisan dengan bcrbagai kegiatan. Dalam Teori Produksi Ruang. peraturanperaturan yang mengikat ini menjadi ruang abstak yang membatasi kegiatan-kegiatan dan pelaku di ruang publik. Berdasarkan pemahaman 101, kami menarik kesimpulan bahwa desain trotoar tidak mengijinkan kegiatan lain untuk berlangsung selain berjalan kaki. Peraturan-peraturan yang muneul sebenamya bertujuan untuk meneiptakan keadilan roang publik agar setiap Iapisan masyarakat dapat menggunakan roang-ruang publik sesuai dengan kebutuhannya. Jalan, harus terdesain dan tacipta sesuai dengan ide sebuah jalan dan kenyataan yang terjadi di dalamnya. Hanya dengan menggunakan pendekatan ini, jalan dapat mendukung kehidupan masyarakat Masyarakat atau komunitas memiliki makna adanya pengaturan hubungan sosial secara fisik meIaIui nilai-nilai kehidupan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, bentukan disik (obyek) kota/kawasan yang terbc:ltuk dan tercipta mengandung nilai-nilai hubungan sosial masyarakat dan nilai moral tradisional setempat.
6. DAFfAR PUSTAKA [1]
A.Giddens, D. Held, Classes, Power and Conflict: Classical dan Contemporary Debates, A.Huyssen, After the Great Divide: Modernism, Mass Culture, Postmodernism, Indiana University Press, Bloomington, USA, 1986.
[2]
A.Vidler, Warped Space: Art, Architecture and Anxiety in Modern Culture, MIT Press, Massachusetts, USA, 2000.
A63
Proceeding, Seminar Nasional PESAT 2005 Auditorium Universitas Gunadanna, Jakarta, 23-24 Agustus 2005
[3]
A.K.M, Adams (eel.), The Handbook of Postmodem Biblicol Interpretation, Chalice Press, St. Louis, USA, 2001.
[4]
B. Hillier, Space is '/he Machine: A COIIfiguratiorrol Theory of Architecture, Cambridge University Press, London, UK, 1996.
[S]
B. Tschumi, Everrt-Cities: Praxi.f, MIT Press, Cambridge, UK, 1994. C. Marcus and W. Sarkissian, Housing as if People Mattered, University of California Press, Berkeley, USA, 1986.
[6]
[1] :E. Bloch, Aesthetics and Politics, Verso, London, UK, 1980.
[8]
E. Kaufman and KJ Heller, Deleuze and Guattari: New Mappings in Politics, Philosophy, and Culture, University of Minnesota Press, Minneapolis, 1998.
[9]
E. W Soja, Postmodern Geographies: The Reassertion of Space in Critical '/heory, Blackwel~ NY, USA, 1989.
[10] E. W Soja, Thirdspace: Journeys to Los Angeles and Other Real-arrd-imagined Places, Blackwell, Cambridge, UK, 1996.
[II] F. Carrera, Imagining the City-The Place of Media in City Design and Development, Deptof Urban Studies and Planning, MIT, USA, 1998. [12] Flanagan, J, Space, in Adams, AKM (ed.), The Handbook of Postmodern Biblical Interpretation, Chalice Press, St. Louis, USA, 2001, hal. 242-243. Lihat juga Soja, E, Thirdspace: Journeys to Los Angeles and Other Real-and-imagined Places, Blackwell, Cambridge, UK, 1996.
[13] Gilbert, Alan and Josef Gugler. Cities, Poverty, and Development: Urbanization in the Third World. Second .Ed. Oxford: Oxford University Press. 1992.
A64
ISSN: 18512559
[14] H. Lefebvre, The Production of Space, Blackwell, London, UK, 1991.
[IS] H. Shirvani, The Urban Design Process, Van Nostrand Reinhold Company, NY, USA, 1985.
[161 Harvey, D, Labor Capital and Class Struggle Around The Built Environment in Advanced Capitalist Societies in Giddens, A; Held, D, Classes. Puwer and Conflict: Classical dan Contemporary Debates, MacMillan, London, UK, 1982, hal. SS6-SS8. (17) I.Borden, J. Kerr, J. Rendell, J and A. Pivaro, (eds.), The Unknown City: Contesting Architecture and Social Space, MIT Press, USA, 2002. (18) J. Agnew, Geopolitics: Re-Visioning World Politics, Routledge, London, UK, 1998. [19] J. Agnew, Place and Politics, Allen & Unwin, Boston, MA, USA, 1987. [20] J. Agnew and S. Corbridge, Mastering Space, Routledge, London, UK, I99S. [21] J. Derrida. Spectres of Marx, Routledge, NY, USA, 1994. [22] J. Duncan and D. Ley (eds.), Place / Culture / Representation, Routledge, NY, USA,1993. [23] K. Lynch and G. Hack, Site Planning, MIT Press, Cambridge, Massachusetts, USA,1985. [24] K.C Bloomer, C. W Moore, Body, Memory and Architecture, New Haven, Yale University Press, 1977.
[2S] M. Foucault, Discipline and Punish, Pantheon, London, UK, 1977.
Trotoar: Arena Perebutan Ruang... (Joko Adianto, Meydian Sartika Dewi)
Proceeding, Seminar Nasional PESAT 2005 Auditorium Univcnitas Gunadarma, Jakarta, 23-24 Agustus 2005
[26] M. Gottdiener, Social Production of Urban Space, University of Texas Press, Austin, TIC, USA, 1985. [27] M.
Osman. A. Ruedig, M. Seidel, M and
L. Tilney. Perspecta 33: Mining Autonomy. Yale P. Virilio, Open Sky. Verso. London, UK, 1997. [28] P. Bourdieu. Outline of Theory of Practice, Cambridge University Press, Cambridge, UK, 1977. [29] P. Schumacher. The Dialectic of The Pragmatic And The Aesthetic: Remarks on The Aesthetic of Datascapes, Architectural Association Press, London, UK,1997.
ISSN: 18582559
[31]S. Kwinter, Archilechl1't!s of Time: Toward a Theory of the Ew:nt i1f Modernist Culture, MIT Press, London., UK, 2001. (38] S.A Moore, Place tmd Technology Austin, University of Texas Press, TX, USA,2001. [39] S.V. Arhitekti and S, Miabr. The Work of Beauty & the BetwJy of Work, Laurance King Publishing, London, UK, 2001.Smithson, P; Smithson. A, An Urban Project, Atcltiteds' Year Book, Vol. 5, 1953. [40] T. Adorno, Prisms, MIT Massachusetts, USA, 1967.
Press,
[30] P. Taylor, The Way the Modern World Works, John Wiley & Sons, NY, USA, 1996.
[41] T. Evensen, Archetypes of Urbanism: A Method for the Esthetic Design of City: Oslo, Scandinavian UnM:rsity Press, 1999.
[31] R. Harland, Superstructuralism: The Philosophy of Structuralism _to Poststructuralism, Routledge, London, UK, 1987.
[42] The Lexicon Webster Dictionary. VoU!, The English Language Institute· of America, Inc., Princeton, USA, J971.
[32] R. Shield, Lefebvre, Love and Struggle: Spatial Dialectics, Routledge, London, UK,1999.
[43] V. Bell(ed), Performativily and Belonging, Sage, London, UK, 1999, hal. 42.
[33] Rashid, K, I Want to Change the World, Universe Publishing, NY, USA, 200 I.
[44] V.T. King (eds.), Images of MalayIndonesian Identity, Oxford University Press, London, UK, 1991.
[34] S. Best and D. Kellner, Postmodern - [45] Y.A, Piliang, Posrealitas: Realitias KeTheory: Critical Interrogations, Guilford budayaan dalam Era Posmetafisilca, JalaPress, NY, USA, 1991. sutra, Yogyakarta, Indonesia, 2004. [35] S. Kaplan and R. Kaplan (eds.), Humanscape: Environments for People, Ulrich's Books, Ann Arbor, Michigan, USA, 1982. [36] S. Kostof, The City Assembled: The Elements of Urban Form Through History, Thames & Hudson, London, UK, 1992.
Trotoar: Arena Perebutan Ruang ... (Joko Adianto, Meydian Sartika Dewi)
[46] J. Mikiten, N. Salingaros, N and H-S. Yu, Pavements as Embodiments of Meaning for a Fractal Mind, Nexus Network Journal, Volume 2, Edizioni Cadmo, Italy, 2000. [41] M. Mann, Neither Nation-State nor Globalism, Environment and Planning A, 28, 1996.
A65
Proceeding, Seminar Nasional PESAT 2005 Auditorium Universitas Gunadarma, Jakarta, 23-24 Agustus 2005
ISSN: 18582559
http://www.transportwe.gov.aulconferen [48] A.Siswandi, Perlawanan Pedagang KakiceslwalkinglpdfslA It.pdf lima dalam Penertiban Pemda DKJ Ja- . karta: Stud; Kasus Perempatan Ciracas, [53] Allpsyche, Personality Synopsis: Tesis Program Pascasarjana Departemen Maslow's Hierarchy ofNeeds, 2003, Sosiologi FISIP-UI, 2003. http://allpsyche.com!personalitysynopsisl hierarchy ofueeds.html. [49] J.Adianto, Ruang Osmosis Sebagai Media Kondisi Chaos d; Kawasan Kebun [54] http://www.kompas.com/kompasRaya Bogor. Program Studi Arsitektur FT-UP,2003. cetakl0312123/metrol758812.htm [50] A.Coser, Dynamics of Social Change, ?, http://www2.pfeiffer.eduJ-lrridenerIDSS/ Marx IMARXW4.html [51] : A.Marshall, Learning To Walk: Not Always So Easy In the Contemporary City, 2003, Spotlight on the Region, of Regional Plan Association in New York,
[56] http://www.etymonlioe.comls8etym.htm. [57] http://www.gsd.harvard.edu/researchlpubl icationslhdmlbackl6books ockman.pdf.
USA,
[58] http://hjem.get2net.dklgronluod13 314 E og v3 march2002.htm.
http://www.alexmarshall.orglindex.htm?a rticleld=95
[59] http://www.etymoolioe.comlpl1.html.
[52] A.Stuck, Quality Urban Pedestrian Networks: What Criteria Should be Used to Judge Such Networks in Terms of Access and Legibility for the Mobility Impaired?, 2111 century, Perth Australia, 2001,
A66
[55] http://www.etymonline.comlp3etym.htm.
[60] http://www.etymoolioe.comlh l.html. [61] H. Ligget, City Sights!Sites ofMemories and Dreafr'oS, 1999, http://www.eng:fiu.edu.twlLiterary Criticismlpostmodernismlpostmo urbani Lefebvre.html.
Trotoar: Arena Perebutan Ruang ... (Joko Adianto, Meydian Sartika Dewi)