TRANSKRIP DISKUSI PUBLIK TERBATAS “POLITIK UANG DALAM PILKADA” Hotel Acacia - Jakarta, 30 Juni 2005
Kaset 1A Sambutan: Frans Hendra Winarta (Anggota KHN) Para Hadirin Yth., salam sejahtera untuk kita semua. Diskusi ini merupakan salah satu dari sejumlah diskusi publik yang telah diselenggarakan KHN selama ini. Maksudnya secara umum adalah mengajak masyarakat pers, awam, maupun hukum (komunitas hukum) memperdebatkan isu-isu hukum yang penting untuk pembangunan dan pembaruan hukum dan sistem dan lembaga-lembaga hukum di Indonesia. Saat ini tengah berlangsung Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) secara langsung di Indonesia. Tentu masyarakat Indonesia berharap PILKADA langsung yang untuk pertama kali diselenggarakan ini dapat berjalan secara demokratis, jujur dan adil. Realitasnya, berbagai indikasi telah terjadinya politik uang dalam PILKADA tidak mungkin dirtutup-tutupi. Praktik politik uang (money politics), tidak hanya dapat dilihat dari sisi adanya masalah suap menyuap dengan sasaran memenangkan salah satu kandidat. Money politics dapat juga dihubungkan dengan segala macam pelanggaran menyangkut dana, seperti mendapatkan dana dari sumber terlarang serta tidak melaporkan keberadaan dana ilegal itu. Selain itu, politik uang juga tidak hanya sebatas pemberian uang, tetapi juga benda-benda lainnya, bahkan janji-janji untuk memberikan jika seorang calon terpilih. Para Hadirin Yth. Untuk pelaksanaan PILKADA ini, Indonesia memang sudah memilliki payung hukum, yaitu UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal 56 sampai dengan Pasal 116, dan selanjutnya diatur dalam PP No. 6 Tahun 2005, yang kemudian diubah dengan PP No. 17 Tahun 2005. Hanya saja, menyusul hasil uji materiil Mahkamah Konstitusi, tampaknya payung hukum yang melandasi pelaksanaan PILKADA ini masih sangat longgar untuk bisa menjerat pelanggaran politik uang dalam PILKADA. Pada UU No. 32 Tahun 2004, kewenangan dalam hal pengawasan PILKADA terhadap politik uang yang terkait dana kampanye dimiliki oleh KPUD. Tugas dan kewenangannya hampir sama dengan Panwaslu, yaitu mengawasi semua tahapan, menerima laporan pelanggaran peraturan perundangundangan yang terkait PILKADA, menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan PILKADA, dan meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi yang berwenang. Menurut PP No. 6 Tahun 2005, pelanggaran-pelanggaran yang ada, harus dilaporkan paling lama 7 hari sesudah pelanggaran terjadi. Jadi, dengan demikian masalah pelanggaran mengenai dana kampanye inipun jika diketahui harus cepat dilaporkan sehingga dapat ditangani. Dalam sejumlah kasus politik uang yang ditemukan oleh Panwaslu dalam Pemilu legislatif dan pemilihan Presiden 2004 lalu, nyaris tidak terdengar ada sanksi tegas, baik pihak yang menebar politik uang maupun pihak yang menerima. Begitu juga halnya dalam pelaksanaan PILKADA langsung, pengawasan dan penegakan hukum atas politik uang masih menjadi permasalahan. Praktik politik uang yang dilakukan secara sistematis, tersamar, melibatkan jumlah materi yang besar atau melibatkan tokohtokoh penting partai yang menduduki jabatan politis tinggi masih sangat sulit dibawa ke Pengadilan. Untuk itu, beberapa permasalahan yang diangkat dalam diskusi ini adalah: 1. Bagaimana peran pengawasan pelaksanaan PILKADA langsung di berbagai daerah, terutama dalam menentukan batasan-batasan yang mengindikasikan terjadinya politik uang? 2. Bagaimana upaya penanganan atau penyelesaian yang efektif terhadap kasus-kasus pelanggaran peraturan perundang-undangan dalam pelaksanaan PILKADA? 3. Bagaimana upaya penyempurnaan sistim pengawasan PILKADA langsung di masa mendatang? Terima kasih kepada para pemakalah yang telah menyediakan waktu untuk memberikan pemikirannya mengenai masalah tersebut di atas. Semoga diskusi ini ada manfaatnya untuk para hadirin sekalian. Terima kasih. Master of Ceremony (MC) Terima kasih Bapak Frans. Acara selanjutnya adalah diskusi dengan narasumber Bapak Didik Supriyanto (Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi), Bapak Adhy Aman (Deputi Direktur Eksekutif CETRO), Ibu Harkristuti Harkrisnowo (Anggota KHN), dengan moderator Bapak Fajrul Falaakh. Kepada narasumber dan moderator kami persilahkan. Fajrul Falaakh (Anggota KHN - Moderator) Selamat pagi para pembicara dan hadirin yang saya hormati. Pokok bahasan diskusi publik terbatas sudah jelas seperti yang disampaikan oleh Bapak Frans. Tapi saya kira kalau kita membicarakan tentang politik uang, maka tampaknya kita membicarakan sesuatu yang jelas, sekalipun mungkin jelas juga dalam perumusan UUnya, larangannya, dan sanksinya. Tapi jika ukuran-ukuran itu hendak kita terapkan di lapangan, kita dihadapkan kepada keberbagaian kenyataan yang menimbulkan silang sengketa bagi kita bersama, apakah dapat dikategorikan sebagai politik uang atau bukan. Politik uang itu sama dengan suap menyuap dengan imbalan tindakan tertentu. Atau serupa juga dengan jual beli suara. Kalau itu jual beli maka apa yang keliru di situ? Moralitas politik digadaikan? Tapi kalau ini berkaitan dengan janji-janji, sesuatu yang ........., mungkin kita masih bisa memasukkannya sebagai politik uang kalau janji-janji itu adalah kebijakan yang misalnya bersifat affirmatif, menyangkut jumlah katakanlah anggaran meskipun tidak disebut konkritnya, misalnya milih saya kalau menang sekolah gratis, apa bedanya? Kira-kira. Kalau formulasinya adalah policy. Jadi kita bisa memasuki spektrum yang begitu luas, apalagi kalau kemudian menggunakan pendekatan dari orang politik dalam tindakan-tindakan politik itu, juga ada yang namanya pertukaran. Ada pertukaran di situ dan itu yang banyak terjadi di kalangan masyarakat. Misalnya kalau saya memilih pasangan itu, apa yang akan terjadi di masyarakat kita, atau apa yang kita rasakan sebagai anggota masyarakat. Bahkan dalam beberapa pemberitaan di media massa, saya rasa kita dapati komentar-komentar dari beberapa anggota masyarakat yang di satu sisi menunjukkan katakanlah politik uang yang sebetulnya sudah merupakan bagian dari kehidupan politik pemilihan pejabat-pejabat politik di tingkat lokal, mulai dari lurah. Tapi di sisi yang lain juga menunjukkan sepertinya “ah itu sih ga ada masalah” misalnya pada bebarapa minggu yang lalu diberitakan masyarakat mengatakan, “ya kalau calon ini membagi-bagikan amplop dalam sebuah pertemuan kampanye, calon yang lain juga membagi-bagikan amplop berisi uang, saya datang di banyak tempat itu, lalu diterima, katanya mau berbuat baik, apa salahnya kita terima perbuatan baik itu, pada akhirnya pilihan terserah saya nanti di bilik suara”. Nah, kalau sudah seperti itu, masyarakat sudah melakukan rasionalisasi atas tindakan-tindakan yang di depan meja kita-kita para pengamat, analis, juga pengawas dan penegak hukum, bisa kita kategorikan sebagai politik uang. Pagi ini ada 3 pembicara di hadapan kita bersama, saudara Didik Supriyanto (Ketua Perludem). Yang kedua nanti ada saudara Adhy Aman dari CETRO, Centre for Electoral Reform, seberapa jauh ini isu dan penanganan PILKADA sebetulnya sudah masuk agenda reformasi. Tentu kita bisa katakan iya, dari sesuatu yang hendak ditolak dianggap tidak ada, sekarang menjadi ketentuan yang sudah definitif dan normatif. Tapi apakah dalam kenyataan reformasi mengundang, katakanlah electoral regulation ini sudah cukup memadai. Kemudian pembicara ketiga adalah anggota Komisi Hukum Nasional, Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo. Saya akan mempersilahkan, saya kira dari CETRO lebih dulu, observasi lapangan dari anggota masyarakat. Nanti akan disusul oleh saudara
Created
1 b y I j r s h - i n d r a j a y a r a j a g u k g uk, sh - h t t p : / / i j r s h . w o r d p r e s s . c o m
Didik Supriyanto, pengalamannya sebagai Panwas tapi juga sekarang aktif di dalam observasi lewat NGO. Saudara Adhy Aman saya persilahkan. Adhy Aman (Deputi Direktur Eksekutif CETRO) Terima kasih Mas Fajrul. Assalamu’alaikum wr. wb., salam sejahtera bagi kita semua. Terima kasih atas kesempatannya. Kami dari CETRO sudah sekian lama sebenarnya mempelajari dan mengamati maslah politk uang ini, dan kami berharap juga akan terus berupaya melakukan kegiatan-kegiatan yang bisa mengurangi masalah politik uang. Tapi sayang sekali sampai saat ini memang masih belum cukup dan memang mesti dilakukan suatu upaya dan usaha yang dilakukan seacra bersama-sama dan lebih komprehensif. Di sini saya akan mempresentasikan masalah politik uang ini dilihat sebagai suatu trend. Kemudian mungkin ada penawaran-penawaran solusi supaya trend ini bisa kita hentikan. Jadi pertanyaan kita apakah politik uang ini terjadi di PILKADA? Kalau kita amati dan kita pelajari juga pemberitaan di media massa, itu ada praktik-praktik. Dan kalau kita pergi ke daerah dari cerita-cerita orang, banyak praktik-praktik ini. Ini sebagai contoh saja saya kumpulkan. Misalnya di Depok itu ada nbagi-bagi uang pada acara Maulid Nabi. Jadi acara keagamaan pun bisa dipakai dan berani dipakai untuk melakukan praktik politik uang. Kemudian Bandar Lampung. Ini pembagian uang dan bingkisan ini dilakukan oleh 3 calon. Jadi ini menggambarkan politik uang ini merupakan praktik yang umum. Tidak hanya satu dua saja yang melakukan, bahkan di satu daerah bisa 3 calon melakukan ini. Kemudian di Semaranga da bagi-bagi uang Rp. 45.000,- oleh tim sukses. Saya ga tahu mungkin Rp. 5.000,- nya ini dipotong oleh tim suksesnya. Kemudian di Sleman ada pejabat ikut-ikutan melakukan politik uang. Ini kalau kita amati sebenarnya masa lalu kita ini cukup gelap di bidang politik uang ini. Dimana pejabat memang ikut-ikutan dan kita sama-sama tahu di sebelah kita ini ada banyak Lurah berkumpul. Dulu Lurah-lurah itu aktif mengkampanyekan suatu partai politik dengan menjanjikan berbagai keuntungan bagi masyarakat. Ini sekarangpun pejabat masih ada juga ikut serta. Di Kalimantan Selatan modusnya sama, yaitu memberikan bingkisan. Dan ini terjadi di beberapa kabupaten sekaligus. Jadi cukup luas ditemukan politik uang ini. Di Pekalongan sama ada upaya mempengaruhi publik dengan uang. Di Sumenep, ini terkenal dengan masa lalu juga, serangan fajar dilakukan dan tertangkap basah. Pagi-pagi membagi beras dan uang di desa-desa. Bahkan ada truk pengangkut beras datang dari satu calon kemudian ga lama datang lagi truk dari calon lain, beras juga. Kemudian di Sumatera Selatan ini, ......... pemilu, ada pembagian susu bubuk kepada ibu-ibu. Kalau kita lihat trendnya di sini, ini bentuk money politics yang kasat mata sebetulnya tapi suliit dijerat. Ini berupa membagi-bagikan uang dan bantuan yang cukup besar. Pertanyaan kita adakah larangannya? Ada di Pasal 82 ayat (1) UU No. 32, dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih. Sebenarnya ini sudah cukup jelas apa yang dimaksud dengan larangan ini. Cuma sanksinya bagaimana? Sanksinya setelah terbukti bersalah melalui putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, baru bisa diberikan sanksi. Nah ini kayaknya berat sekali, sulit sekali. Harus lewat pengadilan dulu dan harus menunggu sampai berkekuatan hukum tetap. Kita tahu sendiri proses itu sampai kasai juga bertahun-tahun. Dan sanksinya itu adalah pembatalan sebagai pasangan calon. PILKADAnya udah selesai kemana-kemana, ketika sudah berkekuatan hukum tetap nanti calonnya udah ga ada untuk dibatalkan. Ini kelihatan bahwa kita ini kurang serius dalam memberantas politik uang dan sanksi yang diberikna itu kurang kuat. Jadi trend masa kini. Menurut pengamatan kami ada sikap permisif terhadap praktik politik uang. Ini mungkin ada kaitannya dengan warisan masa lalu kita, karena dulu sudah menjadi kebiasaan, sekarang jangan-jangan menjadi customary .......... juga. Ini yang sangat kita khawatirkan, bahwa orang menjadi lumrah. Bahwa bagi-bagi uang untuk menag dalam suatu pemilihan itu adalah suatu hal yang biasa. Bahkan di dalam poin kedua saya, saya mengatakan jangan-jangan menjadi suatu kewajiban bagi seseorang untuk menang. Nanti mas Didik di presentasikan akan menjelaskan lebih banyak masalah pencalonan transaksi antara calon dengan partai politik untuk bisa menjadi calon. Jangan-jangan untuk menjadi calon saja dia wajib bayar. Udah main politik uang juga. Baru kemudian sudah menjadi calon dia harus membeli suara lagi dari rakyat supaya dia bisa menang. Kenapa kok ga PeDe amat. Padahal kalau dia bisa mengembangkan suatu konsep yang baik, kemudian bisa menunjukkan kepada pemilih apa keuntungannya nanti kalau dia terpilih, kan lebih baik. Cuma masalahnya kalau 1 dari 5 calon melakukan itu, 4 lainnya membeli suara, ya mau sebagus apa konsep dia ya kalah juga. Ini masalah yang komplkes, tidak bisa diselesaikan dari satu sisi saja. Menurut contoh saya barusan ini, masyarakat pun harus disadarkan. Misalnya 1 dari 5 itu ga main uang kemudian dengan konsep yang bagus itu masyarakat tidak terpengaruh dengan uang dari 4 calon yang lain, bisa dia menang. Tapi kalau masyarakat masih terpengaruh, ga ada kesempatan dia untuk menang. Kemudian trend yang berikutnya lagi, bahwa sulit dijerat. Kita lihat saja contoh-contoh saya tadi, itu kan baru indikasi. Dan kita ketahui itu banyak terjadi sebenarnya, tapi kok ga banyak yang dihukum. Ini nanti mas Didik juga yang akan menyampaikan data-data mengenai ini. Kenapa ga banyak yang dihukum? Karena memang sulit untuk dihukum. Persyaratan untuk bisa dihukum itu alat buktinya sangat berat, kemudian sanksinya itu baru belakangan bisa diterapkan. Itu menunjukkan bahwa sanksinya itu kurang serius. Sebab dari adanya trend tersebut adalah karena perlawanan kita terhadap politik uang itu masih kurang. Aturannya itu masih harus diperbaiki. Kita harus bersama-sama lebih luas lagi kelompok masyarakat dan pemerintah yang komit untuk memberantas politik uang ini. Lantas karena sanksinya tidak kuat, karena penegakan aturannya sulit atau tidak serius termasuk pengawasannya, karena dipraktikkan secara luas pada masa lalu. Inilah kenapa trend tadi bisa muncul, menurut pandangan saya. Solusinya adalah jelas aturan hukum kita mesti diperbaiki, penjatuhan sanksinya mesti dipermudah, mungkin sanksinya bisa berlapis, ada sanksi pidananya dan sanksi administratif. Dan sanksi pidana memang mau tidak mau harus diproses pidana walaupun bisa diprecepat prosesnya. Tetapi sanksi administratif seharusnya bisa lebih cepat dan lebih mudah dijalankan. Mudahnya ini bukan berarti semena-mena. Yang penting semua unsurnya itu sudah dipenuhi, ada lembaga yang diberikan wewenang untuk menjatuhkan sanksi administratif itu, maka serta merta pula sanksi itu bisa jatuh. Saya contohkan, misalnya ada yang terbukti tertangkap tangan buat orang tim suksesnya membagi-bagikan uang seperti di daerah Sleman itu ditemukan, mestinya KPUD kalau dia diberi wewenang dia sudah bisa menjatuhkan sanksi, yaitu pembatalan. Kalau memang sanksi, pertama, sanksi itu diberikan, kedua, memang wewenang itu diberikan kepada KPUD. Itu mudah saja seharusnya. Saksinya mana, buktinya apa, semua unsur terpenuhi, jatuh hukuman. Nah, pidananya nanti bisa melalui pengadilan sesuai dengan prosesnya. Jadi sanksinya itu mesti berlapis. Dengan sanksi berlapis ini jadi berat hukumannya, orang seharusnya menjadi jera, menjadi takut untuk melakukan perbuatan yang tercela ini. Kemudian yang penting juga adalah masalah laporan dana kampanye. Ini yang kita pandang juga kurang serius. Baik di PILKADA maupun di pemilu legislatif dan pilpres tahun 2004 yang lalu. KPU sekedar mengumpulkan saja, hasil auditnya tidak dibuka. Ada pelanggaran-pelanggaran di situ didiamkan saja. Sekarang PILKADA memang belum selesai ya prosesnya, tetapi indikasi-indikasi kurang kuatnya penegakan aturan ini sudah kelihatan. Misalnya dana untuk mengaudit itu hanya Rp. 30 juta. Padahal itu kansangat luas dan ada berapa calon. Kalau calonnya 5, Rp. 30 juta bagi 5, cuma Rp. 6 juta. Sangat kecil untuk hitungan biaya audit. Ini kan menunjukkan juga bahwa penegakan aturannya juga kurang serius. Ditambah algi tidak adanya keharusan bagi peserta untuk membuka pemasukan dan pengeluarannya. Maksudnya membuka sendiri, tidak harus melalui KPU. Ini semakin membuka kesempatan bagi mereka untuk main politik uang. Karena tidak jelas dana yang masuk itu berapa, dana yang keluar berapa. Kemudian dana yang masuk itu darimana, dana yang keluar itu untuk apa. Jadi bisa saja dana itu dikeluarkan untuk membagi-bagi uang itu. Tapi kalau semuanya tercatat dan harus terbuka, masa dia bilang di situ bagi-bagi uang di desa ini, ga mungkin kan. Untuk memperkatat dan mempersempit lagi praktik politik uang, dana yang dipakai untuk kampanye itu hanya yang melalui rekening khusus. Ini untuk yang pemilu legislatif dan pilpres ini sudah diatur. Sayangnya untuk yang PILKADA aturan ini entah terselip dimana. Padahal ini penting. Artinya dengan begitu kalau hanya dari satu rekening saja, ini bisa dijajaki kemana saja uang itu, berapa masuk berapa keluar. Yang berikutnya pengetatan pengawasan. Lembaga pengawas politik uang itu perlu diberdayakan. Misalnya tadi dana untuk audit itu tadi dibuat cukup, kemudian aparatnya juga mesti diberikan pengetahuan dan sumber daya yang cukup. Koordinasi antar lembaga, instansi penegak hukum itu mseti lebih baik lagi. Kemudian dipikirkan secara serius metode-metode efektif untuk mencegah dan memberantas politik uang.
Created
2 b y I j r s h - i n d r a j a y a r a j a g u k g uk, sh - h t t p : / / i j r s h . w o r d p r e s s . c o m
Misalnya harus ada pendidikan kepada masyarakat, kemudian sanksi yang harus lebih berat, kemudian proses penagakan aturannya yang lebih cepat, dan terakhir pengumpulan dan audit laporan dana kampanye dilakukan secara lebih serius. Ini berlaku baik untuk pemilu maupun untuk PILKADA sekarang ini. Kemudian yang terahkir peningkatan pemahaman masyarakat. Ini penting. Karena masyarakatlah benteng terakhir sebenarnya. Masyarakat adalah pasar dari pelaku politik uang ini. Jadi masyarakat mesti lebih ......... Didik Supriyanto (Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi) Jika politik uang diartikan sebagai pertukaran uang dengan posisi/kebijakan/ keputusan politik (yang diatasnamakan rakyat tetapi sesungguhnya untuk kepentingan pribadi/kelompok/partai), maka pemilihan kepala daerah (PILKADA) secara langsung merupakan arena terbuka bagi terjadinya politik uang. Pertama, PILKADA merupakan ajang politik untuk memperebutkan posisi politik yang paling penting di satu daerah; kedua, pasangan-pasangan calon yang tampil dalam PILKADA membutuhkan dana yang besar untuk merebut suara pemilih; ketiga, pasangan calon terpilih memiliki kuasa untuk membuat kebijakan/keputusan politik yang bisa menguntungkan siapa saja yang mampu mempengaruhinya. Berdasarkan aktor dan wilayah operasinya, politik uang dalam PILKADA bisa dibedakan menjadi empat lingkaran. Lingkaran 1 adalah transaksi antara elit ekonomi (pemilik uang) dengan pasangan calon kepala daerah yang akan menjadi pengambil kebijakan/keputusan politik pascaPILKADA; Lingkaran 2 adalah transaksi antara pasangan calon kepala daerah dengan partai politik yang mempunyai hak untuk mencalonkan; Lingkaran 3 adalah transaksi antara pasangan calon dan tim kampanye dengan petugas-petugas PILKADA yang mempunyai wewenang untuk menghitung perolehan suara; dan Lingkaran 4 adalah transaksi antara calon dan tim kampanye dengan massa pemilih (pembelian suara). Lingkaran 1: Tidak Efektif Politik uang Lingkaran 1 bentuknya berupa penggalangan dana kampanye PILKADA yang dilakukan oleh pasangan calon dan tim kampanyenya, baik yang berasal dari perorangan maupun perusahaan swasta. Dalam hal ini, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada Bagian PILKADA telah mengatur tentang pembatasan sumbangan dana kampanye: perseorangan maksimal Rp. 50 juta dan perusahaan swasta maksimal Rp. 350 juta [Pasal 83 ayat (3)]. Selain itu, undang-undang itu juga juga melarang pasangan calon dan tim kampanye untuk menerima dana dari pihak asing, penyumbang yang tak jelas identitasnya dan BUMN/BUMD [Pasal 85 ayat (1)]. Sayangnya, pembatasan dan pelarangan tersebut tidak efektif guna mencegah terjadinya politik uang pada Lingkaran 1. Pertama, partai politik yang mencalonkan dan pasangan calon tidak dikenai pembatasan dalam memberikan sumbangan dana kampanye, sehingga sumbangan-sumbangan dari pihak lain bisa disalurkan lewat kedua pihak tersebut; kedua, ketentuan pembatasan dana kampanye mudah diakali, antara lain dengan cara mengatasnamakan sumbangan kepada orang/perusahaan lain sehingga perorangan/perusahaan tetap bisa menyumbang lebih banyak dari batas maksimal; ketiga, rekening dan pembukuan kampanye tidak bisa diakses, termasuk oleh KPU dan Panwas Pemilu, sehingga aliran uang tidak bisa dikontrol; keempat, prosedur pemeriksaan laporan dana kampanye PILKADA terlalu pendek (20 hari), sehingga memaksa dilakukannya rekayasa pembukuan. Lingkaran 2: Urusan Internal Politik uang Lingkaran 2 bentuknya berupa uang tanda jadi pencalonan, dana penggerakkan mesin partai, atau dana operasional kampanye yang diklaim oleh partai atau gabungan partai. Dana ini disetor oleh orang-orang yang dicalonkan dan tim kampanyenya kepada partai atau gabungan partai yang mencalonkan. Transaksi politik antara orang-orang yang ingin menjadi calon dengan partai-partai politik terjadi, karena hanya partai atau gabungan partailah yang punya hak mencalonkan. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menutup calon independen, sama saja dengan sengaja membuka terjadinya politik uang pada Lingkaran 2 ini. Apalagi undang-undang ini sama sakali tidak membuat ketentuan yang memungkinkan untuk menjerat transaksi tersebut. Semua aktivitas pencalonan, termasuk di dalamnya transaksi pencalonan dianggap sebagai masalah internal partai. Hal ini sama keadaannya dengan pencalonan dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden. Lingkaran 3: Sanksi Ringan Politik uang Lingkaran 3 bentuknya berupa persekongkolan antara saksi-saksi dan petugas pemilu di lapangan, khususnya PPS dan PPK, untuk mengubah hasil rekapitulasi penghitungan suara. Belajar dari Pemilu Legislatif 2004, saksi-saksi dari partai peserta pemilu yang mendapat suara kecil akan memberikan suaranya kepada partai peserta pemilu yang memperoleh suara besar. Para saksi dari partai yang memperoleh suara kecil, bersikap pragmatis: daripada suara hilang percuma, maka lebih baik dijual kepada partai yang memperoleh suara besar karena kemungkinannya untuk meraih kursi juga besar. Jual beli suara ini seakan-akan sah, karena mendapat ‘persetujuan’ petugas pemilu di PPS dan PPK. Modus jual beli suara dalam pemilu legislatif ini sangat mungkin terjadi pada PILKADA, mengingat banyak daerah yang memiliki tiga pasangan calon lebih sehingga akan terjadi ketimpangan distribusinya perolehan suaranya. Apalagi, saksi-saksi dalam PILKADA dalam banyak hal tidak sebagus saksi-saksi dalam pemilu legislatif, baik karena minimnya integritas maupun karena ketrampilan teknis yang rendah. Terkait dengan politik uang Lingkaran 3 ini, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 telah membuat ketentuan pidana. Pasal 118 ayat (1) menyatakan, setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan suara seorang pemilih menjadi tidak berharga, atau menyebabkan pasangan calon tertentu mendapatkan tambahan suara atau perolehan suarannya berkurang, diancam pidana 2 bulan sampai 1 tahun dan atau denda Rp. 1 juta sampai Rp. 10 juta. Sementara, Pasal 118 ayat (4) menyatakan, setiap orang yang dengan sengaja mengubah hasil penghitungan suara dan atau berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara, diancam dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan sampai 3 tahun dan atau denda Rp. 100 juta sampai Rp. 1 miliar. Ketentuan pidana bagi pelaku pengubahan hasil penghitungan suara dalam PILKADA itu, hampir sama dengan ketentuan dalam pemilu legislatif maupun pemilu presiden. Belajar dari pemilu legislatif, ternyata tidak begitu sulit untuk menemukan, membuktikan dan memproses secara hukum pelaku-pelaku pengubahan hasil penghitungan suara, sehingga mereka banyak yang dijatuhi vonis bersalah oleh hakim. Masalahnya para hakim banyak yang memberikan sanksi penjara minimal sehingga vonis itu tidak memberikan efek jera. Mengantisipasi terjadinya pengubahan hasil penghitungan suara ini, pada pemilu presiden, KPU mewajibkan petugas pemilu (KPPS, PPS, PPK dan KPUD) untuk menempelkan salah satu salinan hasil penghitungan suara di tempat umum. Dengan cara demikian maka siapapun bisa ikut mengontrol penghitungan suara pada setiap tingkatan. Ketentuan KPU ternyata ternyata efektif untuk mencegah pengubahan hasil penghitungan suara, sehingga ketentuan itu kemudian diadopsi oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Lingkaran 4: Saksi Sulit Politik uang Lingkaran 4 biasa disebut dengan political buying, atau pembelian suara langsung kepada pemilih, bentuknya berupa pemberian ongkos transportasi kampanye, janji membagi uang/barang, pembagian sembako atau semen untuk membangun tempat ibadah, ‘serangan fajar’, dan lain-lain. Modus politik uang tersebut berlangsung dari pemilu ke pemilu, tidak terkecuali dalam PILKADA. Praktik-praktik jual beli suara ini bukan semata-mata didasari oleh kebutuhan ekonomi sebagian besar pemilih, tetapi juga karena hal tersebut sudah lama berlangsung setiap kali ada pemilihan (misalnya pemilihan kepala desa) sehingga masyarakat menganggapnya sebagai sesuatu yang lumrah, meski mereka tahu bahwa hal itu melanggar ketentuan. Apalagi mereka juga tidak pernah menyaksikan para pelaku pembelian suara ini mendapatkan sanksi hukum sesuai ketentuan. Baik undang-undang yang mengatur pemilu legislatif, pemilu presiden maupun PILKADA, samasama memberikan sanksi administratif maupun pidana buat para pelaku pembelian suara. Pasal 82 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Created
3 b y I j r s h - i n d r a j a y a r a j a g u k g uk, sh - h t t p : / / i j r s h . w o r d p r e s s . c o m
menyatakan bahwa pasangan calon dan atau tim kampanye yang terbukti menjanjikan dan atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih, dibatalkan pencalonannya oleh KPUD. Pembuktian itu dilakukan melalui proses hukum, karena Pasal 117 ayat (2) menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja memberikan atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga suarannya tidak sah, diancam dengan pidana penjara 2 bulan sampai 12 bulan, dan atau denda Rp. 1 juta sampai Rp. 10 juta. Ketentuan pidana pembelian suara dalam PILKADA ini sangat jelas dan tidak menimbulkan interpretasi macam-macam. Namun memfungsikan ketentuan tersebut di lapangan bukanlah pekerjaan yang mudah. Pada Pemilu Legislatif 2004 misalnya, media massa mewartakan maraknya politik uang dalam konteks pembelian suara ini. Namun dari sekian banyak kejadian, pengawas pemilu hanya berhasil memproses beberapa saja, karena kasuskasus yang ditemukan atau dilaporkan tidak didukung oleh bukti dan saksi. Bahkan beberapa kasus memperlihatkan, saksi tiba-tiba mencabut kesaksiannya atau menghilang sampai batas waktu penyelesaian kasus habis. Hal ini menunjukkan, bahwa ketentuan pidana pemilu yang hanya menghukum pemberi (sementara penerima tidak dinyatakan tidak bersalah), ternyata juga tidak mampu mendorong para penerima untuk melaporkan dan sekaligus menjadi saksi. Berdasarkan data penanganan kasus pidana Pemilu Legislatif 2004, terungkap dari sekian banyak kasus yang ditemukan atau dilaporkan, pengawas pemilu hanya berhasil meneruskan 50 kasus politik uang ke kepolisian. Sebagian besar ke-50 kasus tersebut adalah kasus yang ‘tertangkap tangan’ oleh pengawas pemilu, sehingga pengawas pemilu tidak mengalami kesulitan untuk menyiapkan barang bukti dan saksi. Sayangnya, jika kasus pembelian suara ini sampai divonis bersalah oleh hakim, maka sanksi yang diterima pelaku sangat ringan. Banyak hakim yang memberikan hukuman denda saja, atau hukuman penjara yang minimal. Padahal sanksi pidana pembelian suara ini jauh lebih ringan jika kita dibandingkan dengan sanksi dalam delik penyuapan di ketentuan pidana umum. PENANGANAN KASUS PEMBELIAN SUARA PEMILU LEGISLATIF 2004 Per 10 Juni 2004 No Provinsi Diteruskan Proses Dihentikan Proses Disidang Divonis Ket ke Penyidik Penyidikan Penuntutan 1 NAD 1 1 2 Sumut 7 7 3 Riau 1 1 4 Sumsel 3 3 5 Lampung 2 1 1 6 DKI 4 4 7 Jabar 1 1 8 Jateng 9 3 5 1 9 Jatim 3 2 1 10 Banten 1 1 11 Bali 2 1 1 12 Kalsel 9 2 4 3 13 Sulut 1 1 vonis bebas 14 Sulsel 6 4 1 1 Jumlah 10 20 3 7 10 JUMLAH 50 Selaku aparat pertama yang bertugas menangani kasus-kasus politik uang dalam PILKADA, maka Panwas PILKADA tak perlu menghabiskan energi untuk menghadapi kasus-kasus politik uang pada Lingkaran 1 dan Lingkaran 2, karena memang tidak disediakan jerat hukum bagi para pelakunya. Yang bisa dilakukan hanyalah memberikan rekomendasi agar politik uang yang terjadi pada Lingkaran 1 dan Lingkaran 2 benarbenar diatur dalam produk perundangan mendatang. Panwas PILKADA hendaknya fokus pada penanganan kasus-kasus yang terjadi pada Lingkaran 3 dan Lingkaran 4. Untuk itu Panwas PILKADA perlu melakukan: pertama, sosialisasi ke kalangan pemilih bahwa menerima uang dari pasangan calon dan tim kampanye, tidak terkena sanksi pidana; kedua, mengangkat kasus-kasus ke permukaan untuk menambah sanksi (moral) karena sanksi pidana ringan; ketiga menyusun petunjuk praktis buat pengawas di tingkat bawah agar bisa secara cepat bertindak menghadapi politik uang; keempat, bekerja sama dengan ormas dan pemantau untuk mengumpulkan saksi-saksi dan bukti-bukti.
Kaset 1B Harkristuti Harkrisnowo (Anggota KHN) ............ Bapak ibu yang terhormat, money politics memang menarik perhatian orang banyak. Dan saya dari awal memang sudah deg-degan dengan adanya PILKADA ini karena ciri yang paling menonjol dari PILKADA ini adalah tawurannya, yang kedua baru money politics. Itu kita lihat ada dimana-mana, laporan yang masuk ada RRI diduduki, kejaksaan kantornya ada yang diduduki, dipaksa untuk melakukan tindakan terhadap salah satu calon, ada yang kotak suara dicuri dan dihancurkan, belum lagi adanya berbagai intimidasi. Jadi ini memang nampaknya berpikir lagi kita, apakah kita sudah siap mau ikut yang bagus oke, tapi saya kira harus kita akui bahwa Indonesia itu, kalau kalah lesu, ngamuk, marah, dan ini jelek sekali. Ini banyak sekali terjadi dan salah satu fenomena yang menarik lagi dari PILKADA adalah banyak pesta-pesta tadi, undangan makan, dikasih Al-Quran yang ada gambar, kemudian dapat cinderamata, dan macam-macam. Saya kira masalah hukumnya lebih repot lagi. Tadi saya berpikir-pikir “kok kalo yang bisa bermoney politics yang kaya-kaya saja, apa kemudian orang yang kurang kaya ini tidak bisa dikasih tempat?”. Khawatirnya kalau yang dikasih yang kaya-kaya saja, ini akan tambah kaya. Tapi kalau yang miskin takutnya jabatan itu dijadikan lahan untuk jadi kaya. Lha kita mau yang mana? Dan ini berlaku juga untuk hukum. Nanti kita lihat bahwa aturan-aturan etnis menurut pandangan saya, aturan-aturan tentang pelanggaran HAM, tentang pidana itu, di satu sisi bisa juga sangat fleksibel, tapi di satu sisi juga dilihat sangat strict. Dua-duanya punya konsekuensi sendiri-sendiri. Satunya bisa dilihat sebagai mala in sich, crime in self, satunya bisa dilihat mala, kesakitan, kejahatan, karena dilarang oleh UU. Kita mulai dari definisi yang saya buat dari money politics. Ini illegal practices, praktik-praktik ilegal dalam proses pemilihan umum, so bisa di tingkat mana saja, yang memanfaatkan atau menyalahgunakan uang atau materi lainnya untuk memanipulasi hasil akhir pemilihan umum. Pokoknya memanipulasi itu jangan diartikan sebagai hasil kemudian diswitch, tapi proses inilah yang membuat hasilnya seperti itu. Tadi saya kira mas Adhy dan mas Didik sudah bicara mengenai vote buying mulai dari serangan fajar, yang masih sudah berapa ratus tahun kayaknya paling disenangi karena itu yang paling diharapkan. Kemarin Pemilu di tempat saya di Depok itu 40% orang tidak datang. Dibuka jam 7, saya jam 8 datang dan saya yang pertama. “Lho kenapa?”. “Ah ga enak Bu ga ada serangan fajar”. Artinya apa? Tadi mas Adhy sudah mengatakan bahwa mereka permisif. Bukan hanya permisif tapi mereka berharap bahwa aku diserang fajar-fajar gitu, ternyata ga ada. Terus tadi ada cinderamata, bukan hanya saat kampanye tapi saat-saat lain yang dimanfaatkan sebagai tempat kampanye dengan sembako dll. Lalu ada bribery, tadi sudah dimasukkan juga bagaimana menyuap pejabat-pejabat. Pejabat
Created
4 b y I j r s h - i n d r a j a y a r a j a g u k g uk, sh - h t t p : / / i j r s h . w o r d p r e s s . c o m
bukan berarti yang ada di negara, tetapi pejabat Panwas, pejabat yang ada di KPUD, di segala macam. Modus-modusnya tadi sudah disampaikan oleh mas Didik, itu banyak sekali. Dan yang ketiga berkaitan dengan dana kampanye. Gimana sih memberi, menerima dana kampanye yang seperti apa, memakai modus-modus yang canggih. Orang Indonesia memang sangat terkenal, begitu ada UU yang baru sudah keluar modus-modus untuk mengatasi UU yang baru itu. Memang maling selalu setahap lebih cepat daripada polisi. Lalu di dalam UU, kita sudah punya sejumlah definisi, memberi, menjanjikan uang. Dan nanti kita akan bicarakan secara spesifik bagaimana justice system, sistem peradilan kita akan menanggapinya. Sebenarnya kalau kita kembali ke sanksi pidana, sanksi kalau anda lihat di sini ada sanksi maksimal dan minimal. Tadi saya ditegur oleh Pak Djoko dari MA, “kok pakai sanksi minmal sih? Dulu janjinya Cuma tindak pidana yang serius, pelanggaran berat, terorisme, money laundering, korupsi, drugs, tapi kok tindak pidana Pemilu, kenapa lha sanksinya 1 tahun, tapi ini dibuat 2 bulan”. Tapi lalu dijawab sendiri, ”aku tahu ini gara-gara ga percaya pada kita-kita hakim-hakim”. Ya syukurlah Pak kalau tahu. Jadi ini memang diakui bahwa ini yang terjadi. Jadi ketidakpercayaan kepada lembaga-lembaga, kemudian dilemparkan ke dalam rumusan perundang-undangan. Jadi kita lihat, tadi disebutkan juga oleh mas Didik, dan/atau. Kalau kita lihat memang ini nanti akan menimbulkan masalah sendiri, karena ini kan mereka 2 bulan penjara. Lama ga ya 2 bulan penjara? Ada yang sudah pernah di penjara? Itu tadi lebih banyak kepada vote buying. Kemudian ini tentang dana kampanye, aturan-aturannya sudah ada. Dan jelas sekali bahwa ada sanksi pidana minimal. Dan kemudian aturan-aturan di sini saya katakan little bit loose, agak fleksibel, karena kita tidak bisa mengcontain pengaruh para pengusaha kepada para penguasa atau calon penguasa, dan ini yang sangat banyak terjadi. Dilaporkan, saya kira di semua daerah pasti ada, karena kontribusi para pengusaha ini saya kira tidak mungkin disia-siakan oleh para kontestan. Apalagi mereka yang sekarang sedang berkuasa. Pertanyaannya adalah “saya kan Bupati, lalu ada pemilihan, saya tahu Mei 2005 ada pemilihan, lalu saya merancang agar pembangunan jembatan, pembangunan jalan itu kira-kira mulainya sekitar Januari, jadi pembukaannya ya kira-kira bulan Mei”. Sehingga orang-orang melihat, “wah hebat sekali bapak itu, kita mendapat jembatan, mendapatkan jalan karena dia”. Jadi memanfaatkan kedudukannya dan kemudian juga fasilitas yang di bawah kuasanya. Ini yang menarik, karena “lho saya kan tidak, bukan money politics, ini pekerjaan saya sebagai Bupati”. Dengan berbagai alasan. Pengalaman masa lampau. Kita sudah cukup lama berPemilu, dan PILKADA ini saya kira juga menarik sekali, karena belum ada yurisprudensinya. Kemarinkemarin yang kita lihat itu hampir tidak ada kasus money politics siap diproses secara hukum di pengadilan, hampir tidak ada. Dibandingkan dengan sekian banyak daerah, dengan sekian banyak kasus, tadi dari mas Didik aja cuma ada 50 tahun 2004. kalau dibagi rata-rata itu satu propinsi itu ada kasusnya 1,3. Dan artinya apa? Artinya banyak dark numbers. Dan kita lihat bahwa tadi sudah disampaikan juga alat bukti untuk sampai ke persidangan, alat bukti khususnya yang berkaitan dengan para saksi. Dan saya setuju tadi tidak adanya UU perlindungan saksi, walaupun sudah ada di DPR sejak tahun 2001 RUUnya. Ini ada teman polisi di sini? Katanya kalau mau jadi saksi tiba-tiba jadi tersangka. Jangankan saksi, orang yang lapor, korban kehilangan kambing lapor polisi jadi kehilangan sapi. Kenapa? Karena ya itu tadi. Untuk bolak-balik ke polisi, “Pak ga bisa diproses.” “Kenapa?”. “Kertas saya habis, beliin dulu donk”. Mudah-mudahan ini sudah berkurang sekarang dengan adanya drop-dropan dari atas. lalu ada grey area yang dalam menentukan antara batas perilaku yang money politics ataupun bukan. Karena ini konsep yang sangat elusif dan sangat tergantung siapa yang mau menterjemahkan, menafsirkan. Anda sebagai satu tim sukses calon yang kalau dirumuskan seperti A menguntungkan anda, tapi kalau B tidak menguntungkan. Posisi anda dimana? Anda tentu saja akan selalu mengambil yang menguntungkan anda. Kalau orang lain yang melakukan, itu money politics. Kalau anda yang melakukan “lho itu kan sekedar cinderamata”. Kita masiha da di pengalaman masa lampau. Kemarin saya membaca bahwa satu laporan tentang money politics dipatahkan. “Lho, yang ngasih duit itu ga masuk tim suskes kita, di SK itu ga ada nama dia. So it’s not money politics”. Kenapa? Karena UU mengatakan bahwa pasangan calon dan/atau tim sukses yang memberikan uang dan/atau janji. Lalu saya cari-cari, emang ada rumusan tim sukses? Ga ada di UU. Orang Indonesia sangat pandai mencari lubang-lubang yang bisa dimanfaatkan supaya bisa menguntungkan dirinya sendiri. Dan kita tahu bahwa tadi UU Suap juga tidak berlaku. Menurut saya bagus-bagus saja, tapi kerepotannya adalah ini tidak membawa proses ini berjalan dengan baik, apalagi orang berpikir, kok cuma 10.000 orang suruh kena sih ya? Kok tega-teganya. Dan di sini kita lihat juga, ini yang dipandang oleh penegak hukum kita. Karena mereka menurut pandangan saya, mereka tidak menganggap pelanggaran di dalam Pemilu itu as a crime, mereka menganggap ini sebagai suatu political violation. Oleh sebab itu kita lihat sedikit sekali kasus-kasus yang maju, dan kalaupun diproses hukumannya ringan. Dan kita lihat lagi partisipasi publik sangat rendah. Saya melihat bahwa, tadi sudah disampaikan oleh mas Didik bahwa ada sejumlah faktor yang berkaitan kenapa ada money poltics. Buat saya nampaknya yang dua pokok pertama adalah pendidikan anak marakyat Indonesia, yang kedua adalah kesejahteraan. Dan ini saya kira buat mereka it’s ok. Karena buat mereka artinya Pemilu, apa artinya Pemilu mereka tidak tahu. Implikasi politisnya mereka kan tidak paham. Dan ini sangat bisa dimanfaatkan. Diharapkan tadi serangan fajar. Karena memang secara kultural memberi-menerima, give-giving, itu adalah biasa. Sehingga ketika saya berdebat dengan teman-teman ada di MA seorang ibu, “ah kita kalau dapet sesuatu setelah kasus selesai, it’s ok. Karena kan orang Indonesia biasa memberi. Ibu Tuti kan kalau anaknya lulus suka dikasih coklat ga?”. Itu sama dengan kalau hakim menerima sesuatu setelah kasus diputus. Kemudian selanjutnya kita lihat bahwa budaya partriarki masih melekat. Apa sih yang dikatakan oleh yang dianggap tua, yang dianggap berkuasa, itu di sebagian besar di Indonesia masih berjalan. Dan saya melihat juga bahwa ada semacam keinginan untuk tidak mau kalah dengan yang lainnya. Yang lainnya boleh memberikan uang, yang lainnya jalan, kenapa saya tidak. Jadi dijadikan justification yang akhirnya dilakukan oleh semuanya. Dan berkali-kali mekanisme pengawasan Pemilu belum seluruhnya berjalan efektif. Apalagi di PILKADA yang emmang sangat sedikit mendapat perhatian dari teman-teman LSM terutama yang besar-besar. Yang kecil-kecil di daerah itu biasanya suaranya tidak banyak didengar. Bagaimana peran media massa? Saya berharap bahwa media massa akan jauh lebih, karena mereka sekarang sudah punya kebebasan yang sangat tinggi, mereka bisa menjadi suatu pranata yang membuat masyarakat ini menjadi terdidik tentang apa itu Pemilu. Akan tetapi ternyata berapa sekarang media yang tidak partisan? Saya tidak tahu. Tapi harus kita cata juga bahwa media massa punya peran yang besar di sini. Mereka juga permisif. Kalau anda lihat itu kan memang tidak boleh ada iklan-iklan melebihi jangka waktu dsb, tapi kan bisa dibungkus dengan ada pertemuan persahabatan, ada olahraga dalam seksi budaya. Sampai sekarang mereka masih melakukannya. Ini sampai sekarang masih menyulitkan semua pihak. Dan kalau kita lihat bahwa panitia pengawas itu sudah mempunyai sejumlah tugas dan tadi sudah diakui oleh Pak Didik banyak sekali kekurangannya. Kalau saya jadi partai gede, mas Didik sudah 6 bulan ga dibayar, tak iming-imingi uang, membela saya. Jadi yang terjadi sehingga dipertanyakan apa ya sungguh-sungguh sih mau PILKADA? Dan kita lihat bahwa sistem peradilan sendiri memang masih sangat terbatas dalam hal ini. Tadi menurut saya awalnya adalah bahwa kenakalan ini dianggaps ebagai kenakalan-kenakalan politik. Saya berbicara dengan teman-teman kepolisian dan kejaksaan mengatakan bahwa “itu masalah kecil, ngapain sih diurusin”. Padahal kita tahu bahwa ada time limitationnya. Dan ternyata juga prosedurnya walaupun ada time limitation sebetulnya masih panjang. Dan banyak sekali kasus-kasus yang kemudian ketika diputuskan oleh pengadilan, itu tidak diekspos oleh media massa, tidak dipublish. Entah disengaja, entah tidak. Karena tidak menarik lagi untuk dibahas, sudah basi. Akhirnya orang tidak tahu apa yang terjadi. Yang peduli mungkin teman-teman yang peduli pada kasus seperti ini. Oleh sebab itu memang kita memerlukan satu ketentuan, saya tadi setuju dengan usulan-usulan dari teman-teman itu. Tapi mohon diingat bahwa dengan mengubah Uunya saja tidak akan mengubah apapun, apabila para pelaku-pelakunya tetap tidak berubah. Temanteman di penegakan hukum tidak diberikan tambahan ilmu tentang hal ini dan juga sarana untuk mengatasinya. Akhirnya yang terjadi adalah yang ditangkap yang kecil-kecil itu. Itu tadi 50 kasus itu yang kecil-kecil apa yang gede-gede? Terus yang paus-pausnya, berenang. Ini yang selalu terjadi di Indonesia. Dan ini yang membuat kita harus hati-hati kalau membuat satu ketentuan juga. Sudah tebal sekali UU No. 32 plus PP No. 6 nya, but still kita bisa menemukan di sana ada kelemahan-kelemahan. Ini harus di menurut saya memang harus segera diusulkan untuk ada revisi-revisi, supaya memang ke lapangan nanti bisa ditegakkan dengan baik. Saya kira bagian terakhir saya adalah sebenarnya ingin mengatakan bahwa kalau ingin hukum itu bisa dapat mengatasi semua masalah, katanya Hughes dulu, “mimpi kali ye”. Hukum tidak bisa
Created
5 b y I j r s h - i n d r a j a y a r a j a g u k g uk, sh - h t t p : / / i j r s h . w o r d p r e s s . c o m
memecahkan semua masalah, harus ada upaya-upaya lain. Karena hukum hanya terdiri dari aturan dan kemudian biasanya ini dilaksanakan, dan dalam hal pidana itu upaya represif. Tapi yang lain-lainnya, upaya pencegahan, upaya pengawasan, itu saya kira harus juga dilakukan, dan disitulah bekerjanya civil society. Jadi kalau kita mau bicarakan money politics, saya juga tidak mau anda melupakan bahwa banyak juga bagian dari macam kita yang mengatakan bahwa it’s ok. Masyakarat bukan dalam arti perseorangan, tapi juga lembaga-lembaga yang besar, it’s ok. Karena orang-orang Indonesia adalah orang-orang yang pengasih dan suka memberi. Nah mind set inilah yang harus kita ubah. Saya kira KPU sudah berusaha dengan yang ada di TV but that’s not enough. Saya tidak banyak mendengar tentang larangan itu. Buktinya tetangga-tetangga saya di Depok seperti itu, “kenapa tidak ada serangan fajar? Ga asyik nih”. Dan ini kebetulan tidak diengar oleh para calon, karena kita ada di tempat yang nyempil. Well hopefully kita bisa membicarakan tentang usulan-usulan konkrit. Saya kira kita bertiga sudah membahas masalahmasalah yang ada kemarin dan yang masih ada dalam menghadapi masa depan. Tapi saya berharap bahwa kita bisa memasuki diskusi dengan usulan konkrit as bagaimana sih secara lebih konkrit membicarakan masalah ini, dari pikira-pikiran kita sebagai warga negara yang baik. Terima kasih. Fajrul Falaakh Jadi kalau kriminalisasi tidak tepat, tapi sanksi politik pun juga tidak berarti, apalagi nanti kalau pembatalan sebagai calon itu menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, lalu gimana? Jadi kalau memang hukum, sanksi pidana, atau mekanisme represif yang diancamkan juga tidak cukup, kita serahkan kepada mekanisme yang lain atau berharap itu juga mendukung? Saya tidak ingin membawa percakapan itu ke sana, karena sudut pandang kita lebih ke karena ini Komisi Hukum Nasional. Tapi kita menyadari bahwa politik uang dalam Pemilihan Umum nasional maupun tingkat daerah itu adalah soal-soal politik, soal-soal electoral. Kalau dalam konteks itu maka mungkin juga pada saat yang sama kita berpikir tenatng manajemen pemilih. Membandingkan apa yang sekarang sudah dicapai mungkin dalam 5, 7 tahun dengan sebelum itu, dimana serangan fajar adalah biasa, dimana kampanye itu seluruhnya dipersiapkan oleh para pertugas, massa tinggal datang, kaos sudah disiapkan, transportasi disiapkan oleh petugasnya, dan juga bahkan makan siang. Sudah lumayan anda dikasih kaos, malah dikasih uang saku, tidak kami intimidasi, dan suara anda tidak kami pula manipulasi. That’s the practices, praktik-praktik yang sebelum itu begitu meruyak. Kalau kita meletakkan ini dalam praktik-praktik pemilihan kita, dalam konteks itu, maka kita dapat membandingkan apa yang sudah dicapai. Jauh lebih bebas. Pengelolanya jauh jelas lebih independen. Memang KPU dan KPUD tidak ada kaitannya untuk PILKADA ini, panwaslu, apalagi dengan panwas daerah, calon-calon juga jauh lebih banyak, lebih bebas dsb. Dengan kata lain saya kira lalu menempatkan isu money politics ini dalam konteks isu-isu lain yang jauh, atau paling tidak sama pentingnya dalam keseluruhan manajemen pemilihan umum. Dengan demikian mekanisme pangaturan dan sanksi-sanksi hukum yang terapkan pada soal money politics ini kita tempatkan juga dalam kaitan dengan pengaturan yang lain, isu-isu yang lain dalam keseluruhan proses PILKADA. Dengan tetap menyadari kompleksitas money politiscs ini dalam konteks yang lebih luas, budaya politik. Kan kita cuma disuruh milih. Milih orang itu kan seperti memuji, “anda baik karena itu pantas kami pilih. Anda hebat, karena itu anda pantas kami pilih. Karena itu anda ngasih kepada kami kan wajar toh”. Cuma soalnya lalu di dalam kebiasaan kita selama ini perilaku masyarakat kita bersama ini, pertukaran itu kan pertukaran yang ........... Kalau kemudian policy itulah yang kita anggap yang jauh lebih dewasa. Itu sekedar komentar saja. Kita buka termin untuk mempertajam persoalan ini, mulai dari penajaman mengenai pengertian itu, praktik-praktik yang selama ini terjadi dan bagaimana penanganannya, walaupun tadi sudah diceritakan oleh Bung Didik Supriyanto. Meruyaknya praktik money politics hari-hari ini tapi juga, sampai hari ini selesai untuk tahap pertama, kira-kira begitu. Lima propinsi 170 sekian berapa kabupaten. Pemilihan relatif aman-aman saja. Oke kita buka saja termin untuk mempertajam soal-soal yang sudah dibicarakan oleh tiga pembicara. Jum Anggriani (Universitas Tama Jagakarsa) Assalamu’alaikum wr.wb. Berbicara tentang politik uang dalam PILKADA, ini saya semangat sekali. Mungkin seperti kata Mba Tuti, kalau soal politik uang kita semangat menghadirinya. Kebetulan teman anak saya, salah satu orang tua temannya ikut pemilihan jadi walikota di Depok, anak saya yang baru kelas SD itu bilang kepada saya, “Umi kenapa Umi tidak ikut jadi walikota?”. Saya bilang, “kenapa sayang Umi harus jadi walikota?”. Katanya, “satu biar bisa menyuruh-nyuruh orang dan dua, uangnya banyak”. Jadi saya lihat di sini rupanya pendidikan itu, pendidikan korupsi dari awal sudah kacau balau. Karena saya seorang pendidik, jadi saya pikir anak saya langsung saya terkejut. Padahal dia saya masukkan ke dalam salah satu SD Islam Terpadu. Saya bilang, itu pendidikan yang bermasalah. Dari kecil, dari anak-anak kita kecil, mereka selalu dikasih bayangan bahwa menjadi pemimpin itu berarti menjadi penguasa bukan menjadi pelayan. Padahal karena kebetulan saya itu dosen HAN, itu diajari, saya mengajari mahasiswa bahwa sebagai pemimpin itu mereka itu sebagai pelayan bukan sebagai penguasa. Jadi saya pikir solusi kita untuk memberantas korupsi itu satu dari pendidikan. Mungkin kita ajarkan untuk tahun ke depan .......... Kaset 2A ................ yang ketahuan korup itu pakai kopiah dan dia malu sekali. Jadi saya pikir memang sudah budaya manusia. Jadi masalah sanksi pidana juga sudah berkurang. Kalau saya boleh usul, boleh ga sih budaya malu kita itu terangkat kembali. Seperti misalnya di daerah saya di Aceh, ada budaya dicambuk dan saya lihat orang itu lari terbirit-birit karena malu. Jadi apakah kita tambahkan sanksi itu ada hukuman yang membuat mau. Sampai kemarin saya mendapat sms dari Presiden, saya jawab begini, “Pak Pres saya usul bagaimana kalau koruptor itu digantung di Monas”. Karena apa? Sebab kalau digantung di Monas, dia takut yang lain juga akan malu. Kalau saya lihat selama ini udah ga malu lagi ya orang yang korupsi. Mungkin demikian saja. Selain itu juga emang benar ya pers itu memang kurang sekali. Saya sampai ngubek-ngubek cari berita tentang money politics memang tidak ada. Padahal itu penting juga ya. Terima kasih, assalamu’alaikum. Fajrul Falaakh Orang yang terlibat dan tahu tidak mau menjadi saksi baik karena khawatir tidak ada perlindungan yang memadai. Termasuk perlindungan sosial, tapi secara teknis disebut jaminan keamanan yang dibutuhkan oleh anggota masyarakat. Medianya juga akhirnya khawatir seperti yang dikatakan. Lalu di dalam masyarakatyang sudah seperti kita ini dimana apa yang tercetak dan terberitakan selalu dikategorikan sudah menjadi fakta, kita seperti tidak melihat apa-apa. Jadi isunya sanksi dan penerapan sanksi lebih published. Tapi kalau tadinya sanksinya itu sendiri baru punya efektivitas setelah segala sesuatunya berjalan, ini menjadi pertanyaan bagikita untuk memberikan efek jera bagi meruyaknya atau menjadi-jadinya yang namanya money politics, di luar soal pendidikan politik, soal-soal budaya yang kita sadari betul dalam percakapan ini menjadi salah satu faktor. Kedua, Pak silahkan. Nurmadjito (Kementerian Aparatur Negara) Terima kasih. Sebagai orang yang sama-sama mendalami hukum, kami usul begini Pak, ini UU ini kita kaji kembali saja. Apa dulu ini tidak melalui suatu naskah akademik. Saya tidak persis tahu. Karena ada beberapa terminologi yang kadang-kadang tidak bisa masuk di benak saya. Misalnya terminologi baru, suara menjadi tidak berharga, pengertian apa. Ini kriminil atau apa. Kira-kira ini yang mesti kita kaji kembali, sehingga ini menjadi suatu sistem hukum sendiri. Karena pengetahuan kami selama ini kalau hukum pidana ya begini.ini kan model hukum baru, politik uang dalam PILKADA masuk hukum pidana. Perumusannya itu sedemikian rupa, sehingga menyulitkan kita semua. Sehingga kalau mungkin akhirnya Pak Dididk mengatakan yang bisa tertangkap hanya 50 kasus, ya memang ini barang baru. Dan kayaknya belum tahu
Created
6 b y I j r s h - i n d r a j a y a r a j a g u k g uk, sh - h t t p : / / i j r s h . w o r d p r e s s . c o m
semua. Kayaknya di ilmu sekolah kita ga ada. Dari awal tadi kan kami juga menangkap, mungkin juga penegak hukumnya kurang serius, apa ya? Ini apa ini? Sanksi apa dan pidana apa? Mungkin ini perlu kita kaji kembali, sementara ada beberapa hal yang sulit untuk, yang mungkin memang bukan bidang kita untuk mengetahui. Terus kemudian, persoalannya kemudian, karena tadi dari para pembicara mengatakan, ini semuanya kurang jelas, kita pertegas supaya rumusan pasal-pasal pidana ini clear, semua orang bisa membaca dengan mudah. Mungkin saat ini masalah politik uang, karena masih baru, mungkin 5 tahun lagi ini sudah ga ada lagi cerita, kan gitu. Sesuatu yang juga kita pikirkan kembali. Kalau kita rumuskan sekarang, kalau perlu tahun depan kita sudah bisa rumuskan kembali dengan rumusan-rumusan yang jelas, saya pikir apa efektif kalau 5 tahun lagi tidak terpakai. Satu yang kami catat juga, begini, saya tidak ingat lagi waktu tadi seseorang yang mencoba karena kekayaannya, karena sudah melebihi jumlahnya sehingga harus melewati orang lain. Padahal orang itu kalau kita teliti dia tidak mungkin memberikan sumbangan seperti itu. Apakah kita sudah terpikir, mungkin ga terbuka nomor account seseorang? Karena kami akan mencoba mendeskripsikan bahwa dalam single indentity number itu nomor account itu menjadi bill in dalam single identity number. Jadi dalam single identity number itu ada nomor KTPnya, pokoknya nomor-nomor yang terkait dengan pribadinya dia. Di dalam chip itu nanti ada nomor KTP, nomor akte kelahiran, akte perkawinan, mungkin nomor induknya dia waktu dia jadi advokat, atau nomor induknya dia waktu dia jadi dokter, termasuk nomor accountnya dia. Jadi single identity number itu melekat pada dirinya. Dengan demikian kalau itu bisa masuk di dalam satu sistem, saya ga tahu mungkin ahli-ahli pidana kalau nomor account itu bisa dibuka oleh orang sehingga bisa mentrasir, ini belum dalam pencucian uang. Kira-kira itu aja Pak, terima kasih. Fajrul Falaakh Makanya tadi saya interupsi, nomornya saja atau isinya. Karena itu ya mungkin kalau cuma dompet saya saya kasih lihat bapak, ya ga pa pa. Soal privacy, soal harta, kenapa hanya negara yang boleh dan karena itu hanya petugasnya saja yang boleh melihat, matanya ngacak-ngacak. Jadi isunya menjadi lebih sensitif. Tapi kalau account, pin management. Jadi konstruksi pemilu sekarang kan maunya modern, maju. Padahal dari luar itu dalam tingkat tertentu masih menganggap kita baru keluar dari hutan. Tapi ya itulah yang terjadi, kita bicara money politics, suatu konsep yang luas. Larangannya cuma, calon dilarang memberikan atau menjanjikan uang. Gimana kalau organisasi keagamaan? Kan punya uang yang cukup banyak dari DAUnya atau apa sajanya itu, atau organisasi apalah itu. Lalu menyebarkan “Pilihlah orang yang jujur”. Tapi kalau kemudian organisasi keagamaan punya kewajiban kenegaraan, tetapi tidak boleh berpihak, oke, lalu membuat selebaran, spanduk, dsb, “Pilihlah calon yang rajin beribadah”, mengarahkan, itu bukan money politics?. Saya melakukan studi banding, untuk sekedar ilustrasi saja, waktu itu ada isu tentang kampanye legalisasi kasino. Dia tidak secara langsung mendukung calon tertentu. Dia hanya mengatakan, tapi kalau ada calon tertentu yang memang punya policy akan melakukan legalisasi tapi juga lokalisasi, saya setuju perjudian. Nah perusahaan perjudian ini pada saat yang sama lalu berkampanye kota ini membutuhkan kebijakan yang memungkinkan menyerap tenaga kerja, tempat perjudian kasino kami sudah menyerap tenaga kerja seperti itu. Bagaimana itu? Sama sekali tidak masuk account bapak kalau bapak calon. Jadi yang jauh lebih maju seperti itu dikategorikan money politics. Lebih dari soal yang Pasal 82 merumuskannya. Jadi sesuatu yang menjadi percakapan umum dan menjadi konsen kita sehari-hari dengan apa yang dirumuskan di dalam UU sangat terbatas sekali. Saya rasa kita masuk di soal ini, kalau hendak mempertajam pembicaraan pada siang hari ini. Silahkan Pak. Muhammad Kusman Burhan (Komisi Penyiaran Indonesia – KPI) Assalamu’alaikum wr. wb. Saya bukan ahli hukum. Karena itu saya hanya berdasarkan pengalaman saja. Ketika Pemilu Presiden dan legislatif tahun lalu, saya menjadi Ketua KPPS di komplek saya. Di situ ada semacam saya diberikan honor, di situ disebutnya uang penghargaan sebesar Rp. 50.000,-. Jadi diri saya oleh KPU hanya dihargai sebesar Rp. 50.000,-. ketika saya jadi panitia itu saya menjadi khawatir, janganjangan nanti malam ada orang-orang ke rumah saya yang sengaja ingin menyogok, baik dari pemilu legislatif maupun presiden. Tetapi alhamdulillah tidak ada, karena di komplek saya pendidikannya sudah maju, serangan fajar pun tidak ada. Tetapi di samping komplek saya itu, ini sebagai ilustrasi Bu ya, dan saya mendengar ada, setiap orang dikasih Rp. 10.000,- ada yang Rp. 20.000,-. Ini artinya bahwa masyarakat Indonesia ini, tetapi sebelumnya saya, saya selalu orang yang berbicara ke bawah, saya berteman dengan tukang ojek di komplek, tukan becak, saya bertanya kepada mereka apakah mereka mendapatkan uang seperti itu? Mereka jawab, “saya dapat Pak, tapi peduli amat, saya dikasih uang belum tentu saya milih itu”. Jadi saya melihat, saya tidak setuju bahwa masyarakat kita masih bodoh. Masyarakat kita ternyata sudah pintar. Jadi yang bodoh itu para kandidat itu sebetulnya, kalau menurut saya begitu. Inilah pengalaman yang sebetulnya apapun UUnya, tadi disampaikan sanksi apa yang harus kuat, UU harus diubah. Tentu akan, sejauh apapun UU itu dirubah tetap saja akan ada yang disiasati. Sebagai contoh, ilustrasi, ketika saya waktu itu menjadi atase penerangan di kedutaan RI, itu Jepang itu dalam UU Jepang itu melarang impor tenaga kerja di Jepang. Tapi bisa disiasati UU itu dengan adanya training-training. Maka orang-orang Indonesia untuk kerja ke Jepang ini dijamin oleh negaranya dengan satu lembaga yang resmi. Saya ingin sampaikan di sini, mungkin KHN dengan berbagai organisasi masyarakat lainnya perlu juga masuk ke sekolah-sekolah, kepada remaja, karena ini adalah masalah generasi. Saya yakin kalau Indonesia generasinya sudah terpelajar, money politics tidak akan laku, seperti halnya di komplek saya. Sebetulnya inilah peran kita masing-masing bagaimana kita mendewasakan masyarakat kita, mulai dari anak-anak kita. Kita ajari mereka bagaimana berlangsung ketatanegaraan ini. Yang kedua, ini media juga tidak mendukung dalam proses bagaimana pemilihan di negara ini. Banyak contoh-contoh proses hukum mengenai pemilihan presiden, legislatif, tidak pernah tuntas diberitakan oleh media massa, hanya satu dua mungkin yang tuntas. Tidak pernah proses itu berjalan secara rukun, runtun, sehingga masyarakat mengetahui. Jadi media juga kurang mendukung dalam proses sanksi-sanksi dalam penyalahgunaan, dimana kita sebagai bangsa dan bernegara. Saya rasa itu, terima kasih. Fajrul Falaakh Baik terima kasih dengan pertanyaannya. Saya akan memberikan kesempatan kepada para pembicara. Yang pertama tadi terkait dengan dimensi sosiologis dari persoalan hukum di seputar money politics. Oleh karena itu Ibu Tuti dipersilahkan menanggapi terlebih dahulu. Harkristuti Harkrisnowo Ibu Jum Angraini. Saya setuju bahwa opendidikan itu sangat penting dan kita tentu saja bisa mulai dari bawah, asal memang tidak membebani anak-anak kita karena ditambah lagi mata pelajarannya. Menurut informasi terakhir anak-anak pelajar itu paling berat beban sekolahnya. Jadi kalau kita masukkan ke dalam yang sudah ada saya kira setuju saja. Tentang sanksi yang membuat malu say atidak yakin akan ajlan di Indonesia. Kalau anda mengambil Aceh mungkin itu satu tempat yang agak berbeda dengan bagian-bagian di Indonesia. Di Jakarta ini misalkan orang jadi tersangka, terpidana juga ga malu. Jadi gimana. Orang-orang sudah dijatuhi hukuman saja tidak ada malunya. Mungkin sanksi yang membuat malu untuk efek jera, itu opticable, hanya untuk kalangan-kalangan di luar kota-kota besar, di kota-kota kecil, dimana hubungan masih intimate. Tapi di kota besar justru individualisme yang menonjol ini membuat mereka, kalau anak gaul ngomongnya “so what gitu loh”.dan ini yang saya kira banyak sekali mengurangi peran hukum di dalam masyarakat secara keseluruhan. Karena saya ga tahu apakah kita masih satu ......... society seperti Jepang? Saya kira ga. Di Jepang itu kalau anak buahnya nakal, bosnya itu langsung resign. Berapa banyak menteri yang resign, pimpinan yang resign karena anak buahnya melakukan kenakalan. Kalau di kita ada upaya untuk tidak terlibat dalam upaya itu. Ini yang membedakan kita dalam segi malu tadi. Jadi kalau efek jeranya diharapkan, mungkin harus secara perlahan-lahan disosialisasikan kembali bahwa Indonesia itu basicly adalah suatu masyarakat yang cukup tinggi konsep wirang, malu, jengah. Dan saya masih ingat sekali jaman
Created
7 b y I j r s h - i n d r a j a y a r a j a g u k g uk, sh - h t t p : / / i j r s h . w o r d p r e s s . c o m
dahulu kala iitu ayah saya cerita, “pada jaman dahulu Tut, kalau ada anak gadis hamil sebelum perkawinan itu orang tuanya bisa bunuh diri, eh sekarang hamil malah dipestain gede-gedean”. Sudah ada perubahan yang tentu saja memprihatinkan kita semua. Kemudian yang saya kira tadi untuk Pak Nurmadjito, saya kira ada tuh draft akademiknya. Mas Adhy terlibat ya bikin naskah akademik UU ini? O tidak. Jadi memang ini salah satu yang perlu juga didorong karena Pak Nur itu ada di birokrasi. Mbok kita ini yang di jalanan ini diajak juga bicara. Karena hanya memang dari kelompok tertenau dan kemudian dibahas di dalam departemen hukum itu oleh kelompok tertentu juga. Ketika di DPR yang dipanggil juga orang tertentu juga. Jadi membuat beberapa masukan dari publik mejadi tidak ada harganya, atau jadi tidak masuk karena tidak dipanggil. Yang dipanggil orangnya itu-itu saja. Harusnya dicari satu fresh, orang-orang yang baru, yang segar, supaya bisa melihat dengan kacamata baru. Tadi tentang account saya kira teman-teman ini akan lebih melihatnya. Tadi Pak Kusman apakah masyarakat kita makin pandai? Saya kira kalau anda menerima uang dan kemudian ndak mau memilih, itu kan kita bicara soal honesty Pak ya. Mereka saya kira bukan pandai yang kita maksudkan. Itu kan menjadi semacam cerdik, kayak kancil Pak. Jadi yang menurut saya agak berbeda dengan kepandaian. Dan ini yang justru dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu. Jadi yang diajarkan itu bagaimana minteri orang-orang yang sok pinter itu, para calon-calon kontestan itu. Kita pinteri dia bagaimana mendapatkan kekayaan sebanyak-banyaknya, tapi kan honestynya ditinggalkan. Walaupun in way saya senang juga orang-orang kecil bisa mendapatkan kesenangan dari sini, akan tetapi saya pikir tidak bagus juga mendorong mereka melakukan sesuatu yang dishonest. Karena kalau emmang terjadi ya terjadi. Saya punya tukang rumput di rumah itu, dulu dia tukang becak, ketika pemilu ke rumah saya itu ganti-ganti. Lho kenapa? “Iya ibu ini dapet dari PDIP, Golkar, dari semuanya. Lumayan Bu sekarang saya dapat sekian kaos”. Jadi mereka tidak berpikir apa itu, akan tetapi justru berpikir apa sih yang bsuia saya dapat. Jadi pandangannya masih sangat mikro. Dan tugas kita emang masih banyak untuk membuat mereka lebih pandai dalam arti yang sebenarnya. Dan saya kira ini memerlukan bukan hanya dari civil society, tapi juga parpol-parpol punya tugas besar. Dan mudah-mudahan juga banyak melakukan upaya-upaya untuk mengajak masyarakat melihat apa sih pemilu, apa sih implikasinya ke depan, bagaimana menghargai hak anda yang Cuma dikasih 1 kali dalam 5 tahun misalnya. Ini hanya terjadi di kelompok kecil tertentu dan biasanya di kalangan LSM dan akademisi. Dan ini juga kita alami, kalau rumah anda seperti saya di kampung-kampung itu, kita tidak kecipratan. Tapi kalau di jalan-jalan besar, mereka yang terekspos makin terekspos, tapi yang tidak ya tidak. Saya kira catatan saya cukup. Fajrul Falaakh Baik mungkin tadi soal di sekitar money politics. Meskipun tadi secara sekilas dua pembicara yang lain pun Didik Supriyanto maupun Adhy Aman mengatakan tidak terlibat dalam UU Pemda, tapi mungkin UU lain soal pemilu. Jadi dalam perdebatan-perdebatan atau bahkan juga misalnya pengalaman teman-teman NGO, mengusung. Karena dalam catatancatatan yang ada di kalangan NGO banyak sekali bersemangat mengusung isu money politics. Apa yang sebetulnya ada di dalam pikiran itu. Lalu kemudian katakanlah topik ini disodorkan kepada politisi dan juga birokrat drafter dari pemerintah, kira-kira responnya waktu itu apa? Sehingga dengan itu kita punya latar cerita, lalu kemudian di dalam UU Pemda rumusannya hanya semacam ini revisi UU Pemda. Kalau UU Pemda sebelumnya saya rasa sama sekali tidak dibicarakan. Artinya untuk mendapatkan cerita latar begitu di luar soal bahwa ya partai-partai juga ga mau repot banyak dikekang. Itu sudah kepentingan yang wajar. Jadi persoalannya adalah apakah semata-semata kepentingan partai-partai? Karena pada pemilu yang manapun, kecuali DPD, itu kuncinya pada partai. Jadi mereka juga tidak ingin mendapatkan kekangan. Di luar kepentingan partai apakah ada semata-mata persoalan yang ini isu baru dan kalaupun ini diintroduksikan di dalam peraturan perundang-undangan, sesuatu yang masih sangat sulit karena berhadapan dengan kebiasaan masyarakat yang tadi mengatakan itu tadi, “ya sering-sering saja pemilu”. Mungkin Bung Didik dan nanti Bung Adhy Aman memberikan ilustrasi. Atau mungkin CETRO dulu? Bung Didik mengharapkan CETRO cerita. Silahkan. Adhy Aman Pertama maslah budaya malu ini. Inilah yang saya katakan tadi, mesti ada sesuatu baik aturan, sanksi, baik sanksi hukum maupun sanksi sosial yang bisa membuat orang itu takut untuk melakukan praktik money politics. Ini sangat penting, untuk mencegah praktik money politics di hulunya. Jadi orang yang ingin melakukan jadi berpikir beribu-ribu kali untuk melakukan praktik money politics. Kemudian masalah naskah akademik ini. Memang ada Pak naskah akademik, hampir setiap RUU. Tapi apakah dibaca atau dikaji? Ini yang menjadi masalah besar. Karena menurut pengalaman kami mengikuti perdebatan kemudian perbincangan di dalam Pansus atau komisi, itu mereka langsung ke pasal-pasal saja. Dan perdebatan-perdebatannya itu sedikit sekali yang mengutip naskah akademik, atau hampir tidak ada. Jadi alhasil ya begitulah ketika menjadi UU produknya tidak seperti yang diharapkan. Nah, jadi mungkin pemerintah bisa mendorong DPR nanti di setiap pembuatan UU itu naskah akademik, kalau RUUnya diajukan oleh pemerintah, artinya kan dibuat sendiri oleh pemerintah. Cobalah itu disodorkan dan didorong pada DPR untuk dibahas naskah akademik tersebut. Sehingga aturan-aturannya itu menjadi lebih jelas, kemudian tidak tumpang tindih, sinkron, tidak saling bertentangan antara satu pasal dengan pasal lainnya. Mengenai yang Mas Fajrul katakan terakhir ini, pengalaman NGONGO itu dalam mengusulkan atau memperjuangkan aturan-aturan tertentu untuk masuk dalam UU. Ini memang ada cerita sukses dan ada cerita gagalnya juga. Cuma lebih banyak gagalnya. Suksesnya bagaimana? Ternyata kalau kita bisa mendapatkan akses dan ternyata ....................... Kaset 2B ...... isunya yang disepakati, yang diinginkan oleh pemerintah dan DPR ga bisa masuk juga di sini. Jadi ada satu poin penting di sini yaitu akses bagi kelompok masyarakat untuk menyampaikan pandangan-pandangannya. Tadi Bu Tuti sudah mengatakan bahwa yang diundang jangan yang itu-itu saja. Itu benar. Misalnya kita punya perspektif lain, itu mesti diberi kesempatan untuk disampaikan. Barangkali siapa tahu ada pandangan-pandangannya yang sama dengan mereka, atau bahkan lebih baik dari apa yang mereka pikirkan selama ini. Dan kalau mereka memang politisi maupun pemerintah yang baik, tentunya akan mengakomodasi masukan itu ke dalam UU. Jadi akese ini sangat penting. Satu hal yang sangat-sangat kami sayangkan adalah proses pembuatan UU melalui PANJA yang tertutup. Ini sudah ada aturan di mana pembuatan UU itu harus partisipatif sifatnya, tapi masih diperbolehkan adanya PANJA yang tertutup, sama juga bohong. Padahal kongkalikong dagang sapinya itu terjadi PANJA. Segala macam pengambilan keputusan yang penting itu ada di PANJA. Kemudian ada satu lagi, yaitu forum lobi. Ini adalah tempat di mana kongkalikong terjadi juga. Karena forum lobi itu sangat terbatas. Diadakan di ruangan yang kecil, kemudian yang boleh hadir di sana sangat terbatas, bahkan tidak semua fraksi boleh hadir di situ, dan di situlah keputusan-keputusan yang paling sulit diputuskan, diputuskan di situ. Jadi bagaimana kita bisa mendapatkan produk hukum yang baik, kalau prosesnya seperti ini. Saya ga mau kedengaran terlalu negatif, saya ingin menyampaikan hal-hal yang positif sekarang. Apa saja hal-hal yang positif yang masuk dalam UU No. 31 tentang Partai Politik. Pertama masalah rekening khusus tadi, dana kampanye. Itu di UU sebelumnya ga ada, sekarang masuk. Kemudian ada masalah batas sumbangan yang dipertinggi. Kenapa dipertinggi? Untuk menghindari pelanggaran-pelanggaran. Karena kalau diperlonggar aturannya, orang menjadi cenderung untuk masuk ke dalam aturan. Sedangkan kalau dipersempit sehingga tidak rasional, orang akan cenderung untuk melanggar. Kemudian ada masalah aturan audit sekarang menjadi lebih jelas. Yaitu ada audit, laporan yang telah diaudit sebelum masa kampanye, dan sekarang sesudah masa kampanye juga ada. Ditambah lagi dengan laporan keuangan partai politik yang tahunan. Tetapi sekali lagi pelaksanaannya itu yang masih kedodoran sampai saat ini. Dulu MA sudah berusaha tapi tidak didukung oleh anggaran dan SDM yang cukup, sehingga tidak bisa maksimal. Sekarang KPU sudah diberikan aturan yang jelas, SDM yang cukup, tapi dananya tetap tidak ada, tetap kurang. Ditambah pula sayangnya komitmen mereka untuk memberantas politik uang ini juga kurang. Kemudian ada transparansi laporan
Created
8 b y I j r s h - i n d r a j a y a r a j a g u k g uk, sh - h t t p : / / i j r s h . w o r d p r e s s . c o m
dana kampanye maupun dana partai politik. Ada transparansi, yaitu KPU diperintahkan oleh UU untuk membuka kepada masyarakat laporanlaporan yang telah mereka terima. Dan ini sudah kami alami bahwa ketika kita minta kepada KPU, KPU juga dengan mudah memberikan dan membukanya. Ini hal-hal positif, tetapi ternyata masih belum cukup untukmemberantas politik uang. Jadi masih perlu ada banyak upaya dari kita semua untuk memperbaiki. Dan CETRO mulai tahun ini akan memulai bersama dengan teman-teman lain, saya berharap Perludem mau bergabung dengan kami untuk memulai proses pembaharuan UU Partai Politik, Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden, dan suatu aturan PILKADA yang terpisah dari UU Pemda. Jadi semua yang berkaitan dengan proses demokrasi yang menurut pandangan kami adalah Pemilu semuanya, baik legislatif, presiden, maupun kepala daerah itu semuanya pemilu, itu dijadikan satu dalan satu UU. Kenapa? Pertama, hemat kertas. Judul itu ga lima lagi, tapi cukup satu halaman judul. Kedua, inkonsistensi menjadi lebih mudah untuk dihindari. Daripada meiihat ada 4 UU terpisah, mendingan melihat satu naskah, dilihat, dicari inkonsistensi-inkonsistensinya, kemudian diperbaiki. Dihindari suatu UU yang disahkan itu masih inkonsisten, jadi kita akan memulai itu. Mudah-mudahan pemerintah dan DPR mau mendengarkan suara-suara kami dan memberikan kami sebuah mitra informal. Pak Nur, ini yang single identity number ini apakah sama dengan yang Nomor Induk Kependudukan (NIK) itu Pak? Lain ya. Ada dua kritikan saya. Pertama, cobalah untuk tidak banyak duplikasi-duplikasi di negara ini. Jadi kalau memang mau ada single identity number sebaiknya itu sama dengan NIK. Buat apa ada single identity number yang melekat pada seseorang kalau itu berbeda dengan NIK yang sebenarnya melekat pada seseorang juga. Lain halnya dengan nomor SIM, nomor kartu pemilih. Tapi kalau dikatakan NIK mestinya dia induk dari segala induk, bukan di bawah kedudukan sebuah single identity number. Kritikan saya yang kedua, mengenai NIK tadi, PILKADA kalau kita lihat masalah yang paling dominan ternyata bukan money politics, tetapi masalah daftar pemilih yang berantakan. Daftar pemilih yang memungkinkan orang yang sudah meninggal, sudah pindah bisa memilih di daerah tersebut. Tapi yang lebih parahnya lagi, orang yang seharusnya bisa memilih di situ, justru tidak bisa memilih di situ karena namanya tidak terdaftar. Bahkan ada di suatu daerah, anggota KPPSnya sendiri tidak punya kartu pemilih. Staf kami di kantor ada juga di Depok kemarin yang ga punya kartu pemilih. Kenapa? Jauh hari kita sudah mengatakan kepada departemen dalam negeri, gunakan data P4P yang digunakan untuk Pilpres kedua, sebagai dasar untuk memperbaiki PILKADA ini. Jangan memakai daftar induk kependudukan yang ada di dinas-dinas kependudukan itu. Karena kan terbukti ini permasalahannya. Tapi yang disalahkan oleh masyarakat siapa? Bukan pemerintah tapi KPUD. Jadi KPUD telah dikorbankan oleh pemerintah. Dan ini sangat memprihatinkan. Jadi pemerintah mesti berbesar hatilah untuk mundur sedikit untuk PILKADA-PILKADA berikutnya biarkan KPUD itu dengan data Pilpres duanya memperbaiki datanya itu untuk daerah mereka masing-masing. Terakhir, Pak Kusman itu ceritanya benar sekali, kita juga pernah mengalami itu di Sumatera Utara. Tapi pertanyaan saya kalau misalnya tadi Pak Kusman mengatakan, mungkin calonnya bodoh. Kalau saya balik, bagaimana kalau calonnya pintar tapi masih melakukan. Jangan-jangan masyarakat yang kita temui itu masih minoritas. Mayoritas masih mengharapkan serangan-serangan fajar untuk diberikan kepada mereka. Jadi, kemudian kalau memang benar masyarakat kita sudah pintar, itu baru satu transaksi. Bagaimana dengan transaksi-transaksi lainnya. Partai politik yang punya kepentingan untuk mendapatkan uang. Partai-partai kecil tadi yang akhirnya pasang harga, karena mereka mau dapat uang darimana. Kemudian bagaimana dengan KPUD yang memegang hasil-hasil PILKADA itu? Itu kan masih rentan juga terhadap suap. Jadi memang masih kompleks masalahnya dan perlu penanganan yang komprehensif baik dari segi hukum, sosial masyarakat, dan juga masuk ke upaya kita untuk menjadikan demokrasi di negara kita ini berjalan dengan baik. Demikian terima kasih. Fajrul Falaakh Terima kasih. Jadi tadi Bung Didik Supriyanto meminta Adhy Aman saja menjelaskan tentang soal itu. Waktu sudah ½ 1, kita masih punya waktu? Oke langsung termin berikutnya. Kalau tidak ada mungkin Pak Djoko nanti kita minta bicara dari MA. Jadi saya persilahkan tiga orang teman tadi. Komar (Universitas Terbuka) Assalamu’alaikum wr.wb. Hal yang ingin saya tanyakan, tadi dikatakan bahwa KPUD harus diberikan kewenangan untuk memperbaiki data. Kita melihat Pak bahwa KPUD selama ini diangkat oleh KPU, kita tahu sendiri bagaimana KPU sekarang ini, bermasalah. Kalau yang mengangkat itu bermasalah, yang di bawah itu pun pasti bermasalah, KPUD itu. Apa solusinya? Yang kedua, kalau terjadi konflik penghitungan suara, itu dilakukan oleh penagdilan negeri. Pengadilan negeri selama ini tidak pernah menyelesaikan kasus yang berupa data, selalu yang uji materiil. Yang berpengalaman untuk menyelesaikan masalah data itu adalah Mahkamah Konstitusi. Itu apakah tidak akan terjadi konflik berlarut-larut Pak PILKADA itu ke depan? Terima kasih, wassalamu’alaikum wr.wb. Delta Rahmanto (FH Universitas YARSI) Ada beberapa hal kaitannya dengan PILKADA yang tadi sudah diungkapkan oleh Mas Didik, bahwa prosedur lambat dsb. Sekarang ada persoalan baru bahwa bagaimana halnya ketika kita bisa menemukan saksi money politics, in case pada kenyataannya kita tidak bisa berbuat apa-apa. Karena UUnya bicara paling lambat 7 hari setelah kejadian kita bisa melaporkan adanya keberatan. Kedua, kalau kita kaitkan dengan proses PILKADA, proses PILKADA itu tidak berakhir dengan penghitungan suara, tapi setelah pelantikan. Artinya mestinya aturan yang dibuat oleh MA dengan Perma No. 2/2005, dengan SEMA, dengan PP No. 6 yang dirubah dengan PP No. 17. Itu sudah harus dirubah kaitannya dengan terjadinya money politics. Saya ga tahu apakah ini produk-produk politik yang diciptakan oleh partai-partai besar? Karena ada statement harus berapa persen memenangkan PILKADA. Saya tidak tahu. Tapi saya lihat kuncinya kok kita ga dapat. Berikutnya bagaimana jalan tengah untuk kondisi seamcam ini? Apakah harus menguji pada tingkat UU ke MK, atau tingkat PP ke MA? Itu persoalan, jalan tengahnya bagaimana? Terutama untuk Ibu Harkristuti. Terus yang lain saya lihat kalau Panwaslu kekurangan lain, kalau Mas Didik menyebutkan kekurangan dana segala macam, saya lihat itu bukan persoalan bagi saya. Pengalaman saya, saya kebetulan pernah menjadi ketua HMI, harta pribadi saya itu habis untuk melakukan basic training. Tapi saya curahkan untuk menjadi ketua HMI. Saya lihat Panwaslu pasif hanya menunggu laporan, tidak aktif. Padahal aturannya bicara bahwa Panwaslu itu harus aktif. Kalau persoalannya dana dsb, lebih baik ga usah jadi Panwaslu, atau ditiadakan sama sekali. Ketiga, KPUD saya ga tau kepalanya dimana buntutnya dimana, sehingga selalu berdiam diri. Terakhir saya dapat informasi, saya punya data ini laporan kecurangan salah satu calon dari partai besar, dimana ketua umum partainya menghadiri kampanye salah satu pasangan. Dan ketiak ditanya wartawan apa dia bilang, “saya relaxing”. Tetapi setiap tenpat dia datang, dia ketua partai. Ini data lengkap. Mungkin kita lebih baik diskusi face to face pada Mas Adhy bahwa banyak persoalan terkait dengan PILKADA. Dari UUnya sudah bermasalah, dari PPnya sudah bermasalah. Terakhir, saya konsultasi dengan salah satu staf ahli Mahkamah Konstitusi. Saya tanyakan, “apa beda katak-kata pejabat dengan penjabat?”. Maksud UU ditulis beda kan ada artinya. Tetapi yang terjadi adalah ketika seseorang penjabat, Bupati, dia mengundurkan diri dalam kaitannya dengan PILKADA. Otomatis camat yang diangkat pada jaman dia, Kades yang diangkat, segala macam itu bersimpati kepada dia, dan itu dijadikan mesin politik. Untuk apa? Sebar-sebar uang. Saya ada buktinya, tapi waktunya sudah lewat, saya ga bisa apa-apa. Yang bisa saya lakukan mungkin saya uju ke Mahkamah Konstitusi atau MA, mungkin ada solusi lain. Terima kasih. Fajrul Falaakh Terima kasih. Lebih jelas lagi maksud saya karena kasus-kasus yang diungkap itu. Jadi ini mempertajam, katakanlah konsep atau rumusan yang digunakan dalam ketentuan UU. Yang ketiga silahkan.
Created
9 b y I j r s h - i n d r a j a y a r a j a g u k g uk, sh - h t t p : / / i j r s h . w o r d p r e s s . c o m
Agung (LP3ES) Terima kasih. Tanggal 20 Juni lalu saya sempat jalan-jalan ke Sulawesi Utara dan melakukan pengamatan sepintas terhadap pelaksanaan PILKADA di sana. Saya kebetulan melakukan pengamatan ini langsung ke kota Tomohon. Kenapa saya ke kota Tomohon ini? Karena Tomohon ini adalah sebuah kota kecil, dimana kita bisa mengontrol segala aktivitas PILKADA, karena di sana hanya ada 126 TPS. Dan kebetulan juga pada haris yang sama, proses PILKADA untuk daerah tingkat I/gubernur dilakukan. Jadi terjadi 2 pemilihan, memilih walikota dan calon gubernur. Saya mengamati secara langsung dan melihat secara nyata bagaimana calon/kandidat/tim sukses melakukan/memberikan uang/janji-janji. Yang saya maksud dengan janji adalah memberikan kuitansi atau kupon yang kalau calonnya nanti menang itu akan ditukar dengan uang. Yang ingin saya sampaikan adalah bahwa itu hanya terjadi untuk pemilihan walikota. Sementara tim sukses untuk pemilihan gubernur itu tidak terjadi. Jadi saya tidak melihat masyarakat itu sebenarnya bodoh atau pintar. Yang terjadi sebenarnya adalah bahwa kepentingan kandidat atau calon itu sangat kuat. Kalaupun kemudian ada semacam pembatasan, yang dibatasi itu bukan masyarakat yang menerima, tetapi orang yang memberi. Ini penguatan saja bahwa masyarakat kita itu. Karena kenapa? Saya melihat bahwa untuk memilih gubernur mereka cukup rasional. Kenapa, misalnya calon gubernur atau kandidat yang incomben, kemudian kalah dikalahkan oleh calon yang baru itu, karena mereka punya rasio yang dibenarkan kenapa mereka memilih calon yang menang sekarang. Saya melihat juga bahwa proses money politics itu lebih banyak pada tingkat dimana kolektivitas masyarakat itu lebih kuat. Karena daerah Tomohon saja keccil, dimana orang dekat. Jadi orang yang punya kepentingan sangat dekat. Jadi money politics itu selalu hadir pada daerah-daerah yang seperti itu. Oleh karena itu menurut saya, mungkin kalaupun dibuat pembatasan soal money politics, itu kita harus memperhatikan secara geografis hal-hal seperti ini. Yang menjadi persoalan adalah anehnya di sana itu Panwas tidak melakukan apa-apa. Setelah saya melakukan penyelidikan atau investigasi, ternyata persoalannya karena Panwas tidak punya cukup keberanian sebenarnya untuk melakukan tindakan-tindakan, padahal nyata sekali. Bayangkan saja hampir semua kandidat itu melakukan, menyediakan sarapan pagi bagi orang-orang yang dianggap sebagai potential voters. Dan di situ kemudian ada transaksi. Ada calon yang memberikan langsung uang, ada yang memberikan kupon, dst. Mereka kemudian digiring ke TPS, diharapkan memilih calon yang memberikan sarapan pagi itu. Dan setelah proses pemungutan suara, semua kandidat juga membuka semacam makan siang, siapa saja boleh datang. Dan yang datang orang yang memilih kandidat itu kan. Ketika saya menanyakan kepada salah satu tim sukses, “ini kan termasuk money politics Pak”. Dia bilang, “bukan. Ini tradisi kita di sini, orang Manado. Orang Manado suka pesta, suka makan, sedikit-sedikit makan. Kalaupun ada UU yang melarang, secara budaya kami tidak bisa menerima.” Ini sebuah perdebatanperdebatan yang menurut saya secara sosiologis harus dilihat. Bagaimana sebenarnya definisi money politics itu sendiri. Jangan-jangan nanti misalnya ketika kita membuat sebuah definisi yang jelas, apa itu money politics, justru kemudian berbentrokan dengan aspek-aspek sosiologisnya. Itu kira-kira sedikit share saya yang merupakan oleh-oleh dari kota Tomohon. Mudah-mudahan ini berguna buat kita semua. Terima kasih. Fajrul Falaakh Konsep dan terminologi hukum dalam kaitannya dengan perspektif sosiologis dan kultural. Seperti juga yang dialami dalam penegakan HAM. Saya selaku moderator ingion menggunakan kebebasan dan meminta, mungkin ada komentar dari Pak Djoko, di seputar ini, terutama melihat dari penanganan-penanganan perkara yang sudah diputus. Djoko Sarwoko (MA) Terima kasih, assalamu’alaikum wr.wb. Barangkali ini bukan merupakan pengalaman atau dalam menangani kasus perkara. Karena seingat saya belum ada kasus politik uang yang terkait dengan PILKADA ini sampai ke tingkat kasasi, belum ada. Saya barangkali hanya bisa memberikan beberapa catatan tentang UU No. 32 dan PP No. 6 yang kemudian diperbaiki dalam PP No. 17/2005. yang pertama, dalam konteks dengan politik uang penyelenggaraan PILKADA ini, dari segi perundang-undangan, dari segi mekanisme pengawasan itu sendiri kalau menurut saya kok tidak akan efektif. Mengapa demikian? Yang pertama, karena andaikata pun telah terjadi adanya politik uang dan kemudian terbukti di pengadilan, katakanlah dihukum penjara 2 bulan, minimal, dan ternyata ini sudah terlanjur mempengaruhi keputusan KPUD, dan dia dinyatakan sebagai pemenang. Permasalahannya adalah pihak yang merasa dirugikan ini hanya memiliki waktu 3 hari setelah ditetapkan siapa pemenangnya, siapa yang dapat dinyatakan sebagai memiliki suara yang terbesar. Sebab proses pidana ini, walaupun UUnya sudah mengatur sedemikian ringkas, tapi di dalam praktik selalu terdakwa ini mundur-mundur tidak datang, sehingga waktunya akan terlampaui. Demikian pula pada saat penyidikan pun ini mereka akan memperlambat kehadirannya di penyidik, sehingga dengan demikian dia akan lewat waktu. Lalu dia bebas. Hal-hal seperti ini saya melihat bahwa mekanisme pengawasan ini tentu tidak akan bisa bekerja efektif, terlebih lagi dengan ancaman pidana yang begitu ringan. Kalau tadi seserorang calon/pasangan calon yang terbukti menggunakan politik uang dan ternyata dia terpilih, pihak lawannya tidak akan bisa mengusik kembali. Karena barangkali tenggang waktu ini akan terlampaui. Karena dia memerlukan bukti yaitu putusan perkara pidana bahwa dia memang ada perkara politik uang tadi, suap menyuap. Mengapa pembentuk UU dulu dalam menciptakan UU No. 32 ini, yang sekaligus sebenarnya ingin menciptakan iklim baru dalam proses pemilihan kepala daerah, proses demokratisasi, tetapi tidak sekaligus menciptakan hukum itu sebagai sarana untuk merubah, sebagai instrumen untuk perubahan. Yang kalau dalam konteks kita memberantas tindak pidana korupsi seperti sekarang ini, nampaknya hukum itu harus bisa bekerja efektif manakala dilaksanakan secara keras. Oleh karena itu saya sebenarnya amat menyayangkan kalau sanksi-sanksi pidana ini terlalu ringan. Ini menandakan kalau hukum ini merupakan bagian daripada politik. Dicampuradukkan sehingga hukum ini lalu menjadi tersisih. Karena kalau kita bicara politik, ini yang ada adalah rekayasa. Saya ingin mendudukkan bahwa hukum itu mbo’ ya jangan dijadikan bagian dari politik. Tapi dia berjalan sejajar, yang dari aspek nilai mereka akan memiliki posisi yang berimbang. Dengan demikian nanti bekerjanya hukum itu juga akan bisa efektif. Saya kira demikian sedikit catatan dari saya, kurang lebihnya saya mohon maaf. Saya tutup, billahitaufiq walhidayah, wassalamu’alaikum wr.wb. Kaset 3A Fajrul Falaakh ........... Kalau begitu bahwa misalnya sengketa pemilu harus selesai 7 hari, itu maksudnya 7 hari efektif penanganan. Kalau efektif penanganan dalam 7 hari itu disebabkan karena keterlambatan orang lain, berarti tidak dihitung. Kalau harus 7 hari itu artinya bahwa hakimnya harus libur, salah sendiri libur, harus ganti hari lain atau percepat sebelum ahri ketujuh. Tapi itu soal lain, saya kira yang inti mungkin ditekankan saja soal pengaturan waktu penyelesaian sengketa, tapi juga ada soal kalau waktunya diperpanjangpun apakah juga pengadilan negeri punya kapasitas untuk menyelesaikan soal-soal ini. Banyak pertanyaan tadi diarahkan kepada Bung Didik karena dia pengalaman di soal-soal pengawasan. Sebagian juga kepada Bu Tuti. Mungkin nanti say aberi kesempatan terakhir. Lalu ada beberapa hal yang kaitannya, tidak secar alangsung, monitoring, tapi penting untuk mendapatkan tanggapan dari Bung Adhy Aman. Bung Didik silahkan. Didik Supriyanto Untuk yang dari Yarsi, memang kita ada pilihan dan kita juga punya pengalaman yang menjadikan kita menjadi lebih secara arif untuk membuat pilihan, tentang perlu ga limitasi penanganan pelanggaran. Kalau kita lihat pemilu legislatif, pemilu 1999, itu tidak ada limitasi pembatasan bagaimana menangani pelanggaran. Jadi kapan disampaikan ke Panwas, berapa lama Panwas harus mengkaji, berapa lama polisi harus membikin BAP, dan berapa lama jaksa dan pengadilan harus, itu tidak ada. Ini akibatnya penanganan kasus-kasus pelanggaran pidana
Created
10 b y I j r s h - i n d r a j a y a r a j a g u k g uk, sh - h t t p : / / i j r s h . w o r d p r e s s . c o m
khususnya di pemilu 1999 itu berlarut-larut. Dari sekian banyak kasus, saya mencatat dari laporannya Panwas 1999, itu ada 4192 kasus pelanggaran yang terdokumentasi oleh dia dengan baik. Sebagian besar itu adalah pelanggaran administrasi dan bisa mereka tangani. Tapi sebagian yang lain adalah pelanggaran pidana. Ada sekitar dua ratusan kira-kira, saya lupa tepatnya. Dari sekian banyak pelanggaran itu, hanya ada 4 vonis. 4 vonis pun yang satu sekarang ini masih dalam proses kasasi. Ga tau diputus atau ga itu. Yang 3 itu diputus 2 tahun setelah pemilu berlangsung. Salah satu sebabnya itu karena itu tadi, tidak ada limitasi dan diputus pidana diselesaikan memakai hukum acara pidana. Atas dasar itulah kemudian banyak pihak memberi masukan, dan di UU No. 12/2003 tentang Pemilu Legislatif dan Presiden, itu dibikin limitasi penanganan kasus pidana. Jadi ada selang 7 hari untuk melaporkan. Di luar itu dianggap kadaluarsa. Kemudian Panwas punya waktu untuk mengkaji selama 7 sampai 14 hari, polisi punya waktu untuk bikin BAP 30 hari, kejaksaan untuk bikin berkas perkara yang disampaikan ke pengadilan itu selama 14 hari, pengadilan negeri punya waktu 21 hari, kalau ada kasasi, banding waktunya 14 hari juga, dan kemudian ga ada kasasi. Semua kasus pidana pemilu legislatif itu diselesaikan di level maksimal pengadilan tinggi. Yang bisa dibanding hanyalah kasus-kasus yang ancamannya di atas 18 bulan. Di bawah 18 bulan itu harus diselesaikan di pengadilan negeri. Dari itu kalau kita lihat angkanya pemilu legislatif tahun 2004, itu terdapat 1022 vonis. Memang banyak faktor lain, tapi faktor limitasi itu menjadi salah satu yang menyebabkan kenapa Panwas dan aparat penegak keadilan ini untuk konteks pemilu legislatif, kinerjanya lebih baik. Diukur dari jumlah vonis, dulu 4 1999, tahun 2004 ada 1022 vonis, itu datanya lengkap, cuma yang kita punya berkas putusannya itu hanya 700, karena Panwasnya sudah keburu bubar, jadi ga sanggup mengumpulkan semua berkas putusan. Menarik kalau anda mau melakukan studi keputusan-keputusan pidana pemilu ini. Di pilpres itu ada sekitar 182 vonis. Memang kalau sudah lewat 7 hari ga bisa diproses. Tetapi karena ini kan kompetensi. Diharapkan kalau ada pelanggaran, kasus-kasus, itu pihak-pihak yang berkompetensi ini harus cepat mempersoalkan. Tentu Panwas harus aktif, itu tuntutannya. Tetapi Panwas tanpa keterlibatan/partisipasi para peserta pemilu itu agak susah. Karena Panwas juga orangnya sangat terbatas, Panwas kan hanya di kecamatan. Itu pun jumlahnya hanya 3 orang. Pemilu legislatif menunjukkan banyak kasus-kasus yang dibawa oleh partai menengah ke bawah, itu yang kemudian bisa diproses. Dan itu ga terjadi di PILKADA. Karena apa? Tim kampanye PILKADA masing-masing pasangan calon, itu tidak mau mempersoalkan pelanggaran yang dilakukan oleh pasangan calon lain, tapi justru dia meniru. Yang terjadi seperti itu. Kalau kita lihat dari 1022 kasus vonis itu tadi kan, rata-rata setiap kabupaten kota ada 5 vonis. Saya di beberapa tempat bersama temanteman panwas PILKADA, “oke deh kalian akan lebih bagus prestasinya anda dibandingkan dengan panwas pemilu legislatif yang lalu, kalau anda bisa mendapatkan vonis lebih dari 5. Kalau kurang dari itu ya anda maaf aja kami lebih baik”. Maksud saya untuk menantang mereka, karena dari sisi aturan juga hampir sama. Meskipun di aturan PILKADA, limitasi waktu pasca panwas untuk pidana itu ga ada. Dulu polisi punya waktu 30 hari, ga diatur. Jaksa punya waktu 14 hari, juga ga diatur. Ini jadi problem juga, karena pada akhirnya nanti kita khawatir polisi, jaksa, dan juga di pengadilan bisa memaminkan ini. Karena kalau kita lihat di buku itu kan disarankan di UU itu mengikuti mekanisme hukum acara pidana biasa. Itu kan rentang waktunya kan lama. Jadi itu satu pilihan. Saya kira jauh lebih bagus dulu, bisa efektif daripada yang mengikuti hukum acara pidana. Yang kemudian soal politik uang. Sebetulnya sama termasuk, maaf, termasuk orang yang ga begitu risau dengan pembelian suara. Artinya pasangan calon memberikan uang ke pemilih, saya ga begitu risau. Karena apa? Karena berdasarkan pemilu 1999 dan 2004, itu terbukti, mereka yang memberi uang lebih banyak itu merugi. Maaf tadi ada bapak dari Golkar. Saya pernah ngobrol dengan orang dari DPP Golkar waktu itu, kurang apa Golkar pada pemilu tahun 1999, dia punya presiden, waktu itu Habibie. Dia punya aparat jajaran birokrasi yang masih kuat dari pusat sampai daerah. Dia punya uang, tapi kalah telak pemilu 1999, karena di luar perkiraan. Dia shock. 2004 juga menunjukkan hal yang sama, PDIP kalah, Megawati kalah. Menurut perkiraan saya, uang mereka jauh lebih banyak daripada pasangan calon lain. Oleh karena itu menurut saya yang paling penting adalah memberikan pembatasan bagaimana dana kampanye itu berasal. Kan baik di UU legislatif, presiden, dan PILKADA, kan sudah ada batasan sumbangan personal, dari perusahaan. Tetapi sumbangan dari calon sendiri kan belum ada. Batasan sumbangan dari partai yang mencalonkan juga belum ada. Ini peluang untuk memutar uang ke sana. Yang kedua, mekanisme laporan dana kampanye harus lebih transparan. Kita ga tahu uang yang masuk ke dana kampanye itu dari siapa, dari siapa. Kalaupun akhirnya tahu ketika dicek, toh prosesnya sudah lewat. Seperti kita tahu di pemilu presiden kemarin, ada beberapa nama yang mencurigakan. Ini orang kelihatannya petani biasa, kok nyumbang sekian ratus juta. Kita proses, kita sampaikan ke KPU. KPUnya ada dua pilihan, menurut kita itu jelas bisa diproses, bisa dikaji sanksi administrasi kalau pidana dijalankan. Tetapi kan KPU punya pertimbangan politik lain. Kalau ini dipesoalkan, bisa-bisa dua pasangan calon ini gugur semua. Repot kan. Kenapa sampai KPU mendapatkan pilihan-pilihan sulit seperti itu? Karena aturan mainnya dari awal ga clear. Kalau aturan ini sudah clear, meskipun sudah lebih baik dari pemilu sebelumnya, saya kira kita ga akan seperti itu. Saya punya beberapa contoh di Sulawesi Selatan. Di Sulawesi Selatan itu ada 2 kasus yang menarik. Satu, bagaimana Panwas mempersoalkan status keberadaan Pak Baramuli. Yang kedua, bagaimana tim kampanyenya Pak Hatta Mahfud ditangkap karena membagi semen. Ini terjadi di awal, dan karena Panwas sejak awal strict, itu membikin calon lain mikir. Memang proses berikutnya sih ga bagus-bagus amat, ditahan di kejaksaan lah, ga disidanglah, itu ga pa pa. Tetapi sejak awal sudah strict itu, itu membuat shock teraphy buat yang lain. Siapa sih yang ga tahu, siapa Pak Baramuli, Pak Hatta Mahfud di Sulawesi Selatan? Itu yang menurut saya pengalaman menarik yang tidak terjadi di PILKADA. Di PILKADA sejak awal, semua toleran. Saksi-saksi toleran, panwasnya toleran, ya udah, pelanggaran ga tertangani pada akhirnya. Yang terakhir, soal tadi, balik ke awal, soal pers. Saya kebetulan wakil pemimpin redaksi detik.com. Memang susah kalaudiharapkan per smengikuti proses, katakanlah penanganan kasus sampai tuntas, sehingga kita semua tahu. Ga mungkin itu Bu. Karena setiap hari berita yang jauh lebih penting itu lebih banyak. Saya sempat protes sama kawan-kawan di pers. Waktu itu kita mengurusi satu kasus, perusakan surat suara di Tawaw, luar negeri, di Malaysia, di Sabah. Untuk mengurus itu Panwas, jaksa, dan polisi, karena biaya dari polisi dan biaya jaksa untuk mengurus itu juga ditanggung Panwas, lewat APBN, bukan dana taktis, itu kita sampai hampir Rp. 300 juta. Tahu ga berapa denda buat mereka? Dendanya cuma Rp. 1 juta, tidak ada sanksi pidana. Bayangkan itu, itu menyakitkan. Teman-teman media tidak mengekplor itu. Tapi karena memang waktu itu ada hal yang lebih penting. Yang terakhir sekali, kita sudah bikin laporan lengkap, bapakbapak bisa mengakses itu ke KPU, karena kita sudah serahkan ke KPU. Tadinya saya berharap KPU akan mencetak barang seribu atau dua ribu. Ternyata sampai sekarang belum tercetak. Itu lengkap, laporan pemilu legislatif itu ada 7 buku, presiden ada 7 buku, kemudian ada evaluasi panwas, lengkap bisa diakses ke KPU. Silahkan kalau berminat. Terima kasih. Fajrul Falaakh Terima kasih. Banyak yang masih harus digali sebagai pengalaman Panwas dll untuk perbaikan-perbaikan ke depan. Saya persilahkan Bung Adhy Aman. Saya kira satu dua hal saja secara spesifik yang diminta. Adhy Aman Terima kasih. Tadi laporan Panwas itu bisa diakses di perpustakaan Cetro, datang saja ke kami. Masalah KPUD dibentuk oleh KPU, ini mohon ya kita selalu menyerukan, mohon pisahkan masalah individual, kasus korupsi yang menimpa para anggota itu kami anggap kasus individual, jangan dianggap lembaganya. Itu juga tidak bisa diharapkan. Karena kita lihat pemilu tahun 2004 itu mereka bisa melaksanakannya dengan sukses. Aman, tidak banyak huru-hara di sana-sini, kemudian hasil pemilunya bisa diterima oleh semua parpol, mereka yang belum puas bisa ke MK dengan damai, dengan tentram ke sana. Tapi masalah korupsi yang dilakukan oleh anggota KPU kalau memang terbukti di pengadilan nantinya, itu bukan berarti KPUD-KPUD ini juga tidak perlu dipercaya untuk melaksanakan PILKADA. Jadi mohon dipisahkan. Kemudian masalah MK tidak menangani permasalahan PILKADA ini memang cukup disayangkan. Saya yakin MA juga tidak keberatan sebenarnya kalau ini ditangani oleh MA. Tapi judical review kami itu ditolak oleh MK sendiri, paling tidak untuk saat ini. Karena di putusan
Created
11 b y I j r s h - i n d r a j a y a r a j a g u k g uk, sh - h t t p : / / i j r s h . w o r d p r e s s . c o m
mereka untuk saat yang akan datang memang apa yang kami mohonkan itu perlu dilaksanakan. Kemudian Mas Agung, terima kasih sekali oleh-olehnya. Menang betul sekali, money politics itu sangat rentan di daerah yang geografisnya kecil. Ditambah lagi sebenarnya ada satu faktor lagi, dimana sistem pemilihan yang hanya membutuhkan suara mayoritas untuk menang, berbeda dengan sistem proporsional yang kita emban untuk pemilu legislatif, ini sangat rentan terhadap money politics. Kenapa? Dia tinggal berlomba-lomba saja siapa yang dapat suara lebih banyak, dialah yang menang, mendapatkan kursi itu seperti di PILKADA kita ini. Makanya PILKADA ini money politics itu justru lebih semarak. Jadi untuk pemilihan umum kita nanti, itu sistemnya mohon tetap proporsional. Sistem majoriterian itu salah satu cirinya adalah adanya single member district atau distrik wakil tunggal. Ini yang sudah didengung-dengungkan sejak 6 tahun yang lalu, bahwa Indonesia harus memiliki distrik-distrik yang berwakil tunggal, karena ini akan meningkatkan akuntabilitas, keterwakilan akan lebih baik. Iya betul, tetapi ada dampakdampak negatifnya yang lebih menyeramkan lagi. Pertama, masalah money politics ini. Kedua, masalah ................. Kalau sistemnya proporsional, partai politik yang mendapatkan suara 5% pun atau 10% pun itu bisa dapat bagian. Tapi kalau di single member district itu libas, semua habis. Partai politik yang hanya mendapatkan dukungan secara nasional 30% saja itu bisa meraup 80% kursi. Ini saya mendengar Bapak Menteri Dalam Negeri sekarang ingin menerapkan single memberi district. Kami ingin mengingatkan mohon dipikir lagi. Kemudian terakhir, saya ingin menanggapi masalah banyaknya kasus pencalonan dalam PILKADA ini yang maju ke PTUN. Ini saya jadi tertarik untuk mengkaji ini karena hampir semua kasus yang saya ketahui itu mengalahkan KPUD atau memenangkan sang pemohon. Ini agak aneh di mata saya. Apakah betul KPUD itu salah semua? Apakah betul pemohon itu benar semua? Ketika saya mengkaji ini ternyata kesimpulan saya sebenarnya PTUN ga punya kompetensi di dalam ini. Kompetensi ada pada Panwas. Karena apa yang disengketakan di PTUN itu merupakan sengketa yang masuk dalam kompetensi Panwas, yaitu sengketa pemilu atau sengketa PILKADA. Jadi seharusnya mereka itu pergi ke Panwas, bukan ke PTUN. Jadi mungkin MA bisa mengkaji lebih dalam Pak Djoko? Oooo..... sudah ya. Terima kasih semua. Fajrul Falaakh Kalau aparat pengadilan merasa itu wewenang kita, bisa masuk. Tapi kemudian oleh MA-nya ini ga benar, diinstruksi saja sudah. Terakhir Ibu Tuti ada yang mau disampaikan? Silahkan. Harkristuti Harkrisnowo Kembali lagi ke peran Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, ini perdebatannya masih sangat panjang. Dan beberapa teman sedang meneliti, apa sih sebenarnya paradigmanya Mahkamah Konstitusi itu? Karena itu kan sudah final and binding terus. Kemarin banyak temanteman yang tidak setuju terhadap beberapa keputusan Mahkamah Konstitusi. Jadi ini memang menurut saya, terlepas dari itu, kalau kita mau melakukan uji materiil dll, memang harus sangat hati-hati dan perlahan-lahan. Saya tidak percaya gebrakan sekali bisa memperbaiki semuanya. Tadi saya tanya kepada Mas Didik, punya ga kita asosiasi atau jaringan atau kumpulan teman-teman yang punya perhatian besar pada masalah pemilu? Kaerna kan semuanya sendiri-sendiri. Kemarin bagus waktu Pilpres dan Pileg, tapi sekarang ini memang sangat sedikit. Padahal kita melihat banyak juga masalah dalam PILKADA ini. Jadi kalau kita mau mendapat informasi dari teman-teman termasuk juga usulan, lalu kemudian bisa diwadahi. Ga tau Mas Didik apa mau? Karena banyak temannya di donor agency. Oooo.... Adhy. Nanti minta Adhy untuk pendanaannya. Karena memang harus dirangkum dalam satu academic draft yang baik itu, apa mau ke depannya. Sehingga kemudian kita bisa memperbaiki berbagai kelemahan dan kesalahan yang ada sekarang. Mungkin beberapa hal kalau Pak Djoko lalu hakimnya, mungkin bisa selesai karena pandangan sudah maju, tapi kan kita tidak bisa mengasumsikan bahwa semua hakim seperti Pak Djoko. Daemahami. Jadi memerlukan suatu kerja sama yang erat dan saya kira teman-teman bisa juga selain ke MK atau MA, bisa juga langsung ke DPR, terutama lewat Baleg. Balegnya itu juga kan saya kira senang sekali kalau mendapatkan usulan dari masyarakat. Karena nanti kan nama mereka yang muncul. Jadi alternatif lainnya adalah DPR langsung mengusulkan apa yang perlu diperbaiki dan kemudian terus dan terus mendorong agar mereka melaksanakan. Saya kira itu satu yang ditanyakan kepada saya. Saya kira yang lainnya sudah dijawab oleh teman-teman. Fajrul Falaakh Baik jadi saya kira, ini ada persoalan rumusan yang diperjelas dan dipertajam kalau itu hendak dicantumkan di dalam UU dan mempunyai atau lebih applicable, jadi jaringnya itu lebih jelas. Kalau ini dilakukan saya kira semacam mengubah kebiasaan. Karena kebiasaan untuk menjerat, misalnya tindak pidana justru rumusannya dibuat karet, banyak lubangnya. Ini justru jauh mungkin diperketat, dipertajam. Isu lain lagi yang mengemuka, atau sebetulnya salah satu persoalan, tidak sampai kita dalami adalah agaknya soal dana kampanye ini. Soal dana kampanye yang lalu kemana-mana. Dana kampanye sendiri tidak dibatasi apa-apa. Yang menyumbang, jumlah penyumbang atau penyumbang dibatasi jumlahnya. Kemudian ada persoalan dengan manajemen waktu penanganan perkara pemilu termasuk money politics sampai denagn tingkat pengadilan. Dan tentu saja dampaknya di dalam proses pemilihan umum khususnya di tingkat daerah ada persoalan integritas, keseriusan dari aparat, mudah-mudah sulit. Apalagi kalau dihadapi persoalan bagi-bagi duit yang dapat cuma Rp. 10.000,-an saja masa dipersoalkan, dsb, apalagi teman sendiri. Dan soal yang terkait dengan sanksi. Dari percakapan itu tadi di dalam kaitannya dengan money politics dinilai sanksinya tidak cukup mengancam. Jadi agak dibuat tinggi jangan diberi perumusan minimal, langsung saja dipatok. Tetapi di luar persoalan-persoalan yang banyak itu, yang dari sudut pandang hukum sudah diidentifikasi, kita tetap memahami bahwa percakapan pada siang hari ini memahami soal money politics dan juga pemilu secara umum itu, terkait dengan kemajuan politik kita. Dan kemajuan politik semua masyarakat tentu dipengaruhi juga oleh faktor-faktor sosiologis dan kultural yang menyertai. Kita tahu hanya dalam 7 tahun tentu saja kita tidak perlu berharap terlalu banyak mengubah budaya politik yang cukup mengakar dan kita awalisi sedikit ataupun banyak dari pola-pola sistem politik di masa orde baru. Pasca otoriter memang harus dilalui dalam tempo yang cukup meskipun pemilunya sendiri cuma butuh 2-3 kali pemilu, reguler itu ya sudah, lembaga-lembaga demokrasi sudah bisa berfungsi, tetapi budayanya yang memerlukan waktu lebih panjang dari itu. Dengan itu saya mengakhiri diskusi publik terbatas kita pada siang hari ini dengan ucapan terima kasih pada hadirin semuanya dan kepada para pembicara, kita tutup bersama-sama dengan applause kepada pembicara. Terima kasih dan mohon maaf jika ada kekeliruan di sana-sini. Wassalamu’alaikum wr.wb. Master of Ceremony (MC) Terima kasih kepada narasumber dan moderator. Dengan demikian selesai sudah acara kita pada hari ini. Kami mengucapkan terima kasih kepada para undangan yang telah berpartisipasi dan mohon maaf apabila terdapat banyak kekurangan. Kami telah menyiapkan makan siang di ruangan Hibiscus. Terima kasih, wassalamu’alaikum wr.wb. selamat siang. --------&&&&---------
Created
12 b y I j r s h - i n d r a j a y a r a j a g u k g uk, sh - h t t p : / / i j r s h . w o r d p r e s s . c o m