TRAH AIDIT DI PARIS Oleh: Martin Aleida Paris. Gerimis musim gugur terus menangis sejak tadi malam. Saya berada di kota ini tak lama setelah menjadi saksi di depan sidang International People’s Tribunal, 10-13 Oktober 2015, di Den Haag. Nasib yang baik telah mengantarkan saya ke “Restaurant Indonesia” di 12 Rue de Vaugirard. Tidak untuk menikmati rendang padang, nasi goreng, atau sate. Tak sengaja, saya dipertemukan dengan seorang wanita bertrah Aidit. Nita. Putri kedua Sobron Aidit. Ketika itu, dengan kaki terseok-seok, saya mencari Cinema Pantheon, di wilayah Universitas Sorbonne, dimana akan diputar film dokumenter “Senyap” arahan Joshua Oppenheimer di depan sejumlah mahasiswa dan dosen; dan saya diundang untuk memberikan pengantar mengenai korban keganasan militerisme di Indonesia. Sementara penggalan cerita pendek saya, “Leontin Dewangga”, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis, juga dibacakan oleh seorang gadis belia. Untuk menemukan bioskop itu, naik bus dari penginapan, saya turun di halte Luxembourg. Berjalan kaki, menikung beberapa kali, tiba-tiba mata saya tertumbuk pada papan nama “Restaurant Indonesia”. Tulisan putih di atas merah jingga. Saya merapat sambil menghindari gerimis. Menguakkan pintu kaca. Kepada seseorang yang kuduga asal Maroko atau Tunisia, berkaos hitam, kumis dan jenggot pendek membayang, saya katakan ingin bertemu dengan Nita. Lelaki muda itu masuk ke arah dalam, di mana tergantung ornamen Bali, menuruni tangga di kiri, dan dalam sekejap muncullah wanita setengah baya dalam kaos dan blus berwarna hitam. Cerah melemparkan seyum. Kulitnya kuning, tubuhnya sedang, sedikit gempal, rambutnya agak pendek, matanya hitam berbinar menawarkan sikap bersahabat. Ketika zaman kekuasaan fasistis Jenderal Suharto, bagi orang-orang Indonesia pintu dan meja-kursi restoran ini terlarang untuk disentuh, seperti ada racun dari hantu komunis dalam setiap bumbu masakan yang disajikan di situ. Staf keduataan Indonesia diancam kalau makan di situ. Siapa saja yang pernah mampir di situ, sekembalinya ke Indonesia tentu was-was kalau-kalau akan kena interogasi. Kecuali Gus Dur dan beberapa tokoh lagi yang berani dan berpikiran waras. Sobron Aidit dalam salah satu tulisannya menyebutkan pelukis dan orang penting Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), orang dekat pelukis Soedjojono dan keluarganya, yang bernama Marah Djibal, yang luas di kabarkan bermain mata dengan penguasa intelijen, pernah nongol di situ. Dia belagak
1
ramah dan menyatakan ingin ikut dan menginap di apartemen Sobron. Sandiwara itu kontan ditolak Sobron laksana ikan mentah yang busuk. “Nita …,” sapanya seraya menjulurkan tangan dengan kuku yang kelihatan dipotong pendek, menahan senyum, mendahuli saya memperkenalkan diri. Saya sebutkan nama saya. Agak panjang saya memperkenalkan diri, sementara dia mendengarkan dengan penuh minat. Saya katakan: “Pada awal tahun 1963 saya bertemu dengan Sobron Aidit di rumah kos di Jalan Godangdia Lama Dalam, Jakarta Pusat. Sobron juga pernah kos di situ sebelum dia berkeluarga. Waktu itu Sobron bilang dia akan berangkat ke Peking untuk menjadi dosen Bahasa Indonesia.” Dia kelihatan terpikat. Saya gali lagi minatnya, dan saya sambung untuk meyakinkannya: “Rumah itu beberapa tahun yang lalu sudah lenyap, menjadi bagian belakang dari gedung bertingkat dimana Wisma Aceh bertengger.” “Wah … saya lahir tahun 1964 di Peking,” sambutnya dengan sigap, senyumnya hampir tumpah menjadi tawa. Nita memanggilku Om. Lalu, dia menawarkan secangkir kopi, yang sungkan kutolak, untuk memanaskan tubuh, apalagi dia sendiri yang menyuguhkannya. Sambil menyeruput kopi dari cangkir yang mungil, kukatakan saya sedang mencari bioskop Pantheon. Akan ada acara di situ, dan saya diundang untuk hadir. Lantas, saya katakan dengan nada suara memohon bahwa saya ingin sekali mewawancarainya, kalau berkenan. Dia senyum, menyambut permintaan itu dengan hangat, asal saya meneloponnya lebih dulu. Ketika saya akan mengundurkan diri dan merogohkan tangan ke saku, dengan tangkas telapak tangan kirinya menahan gerak-gerikku. “Eee… nggak usah. Untuk Om. Saya senang sekali bertemu dengan teman ayah. Nanti, waktu pulang, kalau lewat di sini, mampir lagi, makan siang di sini, ya…,” katanya tulus menawarkan. Suaranya semarak, walau kalau kuingat tak sama derainya dengan suara ayahnya. Dingin-dingin begini, bergetar juga selera makan mendengar tawaran itu. Tapi, saya menghindar. Mungkin tuan-tuan menuduh saya munafik. Tidak! Sebab saya harus menghormati diri saya sendiri yang sudah bertekad untuk tidak pernah makan di restoran, yang sudah pasti takkan terjangkau kantongku selama pengembaraan tiga bulan mengejar, mewawancarai, orang-orang Indonesia, termasuk anak-cucu mereka, yang diharamkan pulang ke negeri sendiri oleh sebuah rezim yang berkuasa dengan bengis. Zalim. Kalau tidak beruntung diajak makan oleh mereka yang berbaik hati menjadi tuanrumah, saya mempersiapkan sarapan, makan siang dan makan malam sendiri. Pagi menyeduh
2
bubuk kopi arabica yang kubawa sendiri dari Jakarta, kubeli di Pasar Gondangdia, sebanyak tiga ons, setangkap roti, telur rebus untuk sarapan. Untuk menyenangkan pencernaan, tak lupa plum karena grahamku sudah tak kuat mengkremus apel. Pepaya langka dan mahal benar di Eropa ini. Untuk bekal makan siang dan makan malam, saya beli roti gandum yang kasar, beberapa kerat keju, sekotak susu kedele, plum atau buah anggur secukupnya. Maaf, (izinkanlah, karena ini tidak untuk mabuk-mabukan) terkadang saya jajan sekaleng bir atau sebotol kecil wine untuk menghangatkan tubuh. Maafkanlah, minuman tanpa label haram itu terutama saya kantongi di saku jaket kalau naik bus antar-kota antar-negara. Untuk bertahan hidup seharian sudah kupatok sejak meninggalkan Jakarta, tak lebih dari sepuluh Euro. Itu sudah menjadi semacam sumpah saya sebagai seorang pengembara tua, pincang pula. *** Musim semi tahun berikutnya, dengan kaki yang tetap pincang, saya kembali lagi ke Rue de Vaugirard. Tepatnya Rabu, 16 Maret 2016. Nita bersedia menerimaku pukul 15.00. Katanya, sejak pagi dia sibuk sekali mempersiapkan keperluan restoran untuk menyambut tamu sepanjang hari dan malam. Khawatir tersesat, karena blok-blok jalan di wilayah Sorbonne itu pendek-pendek, maka saya berangkat dengan naik bus agak pagi dari rumah tumpangan di Villejuif. Berdiri di satu pojok jalan, dari kejauahan saya layangkan pandang, memastikan tanda di mana letak “Restorant Indonesia” yang mereknya merah darah itu. Telepon selularku menunjukkan sekitar pukul 11. Membunuh waktu, saya ngeloyor berjalan kaki ke arah Pantheon, sekitar satu kilo jauhnya. Menyusuri etalase rupa-rupa restoran yang menawarkan makanan yang memancing air liur. Saya sempat mampir mencuci mata menguji bahasa Perancisku di toko buku. Singgah pula di toko sovenir. Kubeli satu blocknote alit berisi 360 halaman untuk cucuku, seharga Satu Euro. Dari jauh saya merangsek terus mengikuti kubah Pantheon yang mengintai di antara celah bubungan gedung. Langit tak berawan. Merpati terbang melayang-layang. Manusia bergerak dalam keteraturan. Bersandar ke pagar Pantheon ada orang tua, berjenggot memutih, memberi makan merpati yang mengerubung di ujung kakinya. Beberapa orang yang lewat, mungkin turis, atau penduduk lokal, saya tak tahu, sedikit menunduk seperti ingin menyapa orang tua itu, menyodorkan koin ke topi yang telentang di trotoar. Di seberang ada pintu masuk sebuah perguruan tinggi. Di gerbangnya yang tua namun kokoh, dengan elegan terpampang semboyan yang menggetarkan: Libertế, Ếgalite, Fraternitế, nan mengagungkan kebebasan, kesetaraan, persaudaraan itu tidak hanya di situ kutemukan di Paris ini. Terserak di mana-mana. Tapi, saya kira masih kalah jumlahnya dibandingkan dengan pekik “Jangan Buang Sampah Sembarangan” yang
3
ditemukan di mana-mana di Jakarta. Tapi, tempat sampah tetap saja kosong. “Kemerdekaan” menemukan arti yang ganjil karena kotoran di kotaku ini justru berleleran di luar tong sampah yang disediakan. Saya balik ke belakang, dari mana saya datang tadi, menyusuri trotoar menuju Le Jardin du Luxembourg. Selangkah-demi-selangkah menjauh dari Pantheon. Beberapa halte bus kulalui sebelum mendekati taman. Saya menyeberang mencari pintu gerbang taman yang luas, berpagar tinggi yang terbuat dari besi. Di bagian tengah cukup banyak orang yang berjalan berpasangan, atau sendiri-sendiri berlari-lari kecil. Saya berhenti di tepi sebuah danau. Duduk di kursi yang tersedia di situ, menikmati udara yang bersih dan langit yang biru dipuja burung-burung merpati yang menyambar kian-kemari. Kubuka ransel dan kukeluarkan bekal. Saya menikmati makan siang di tepi danau itu. Tak ada remah yang jatuh, tidak, sekalipun itu untuk merpati yang selalu mendekat. Cuaca yang nyaman kemudian mengundangku untuk mencari toilet. Di situ, yang tidak menyenangkan selama perjalanan perburuan eksil ini menghadang. Tak bisa ditawar-tawar. Harus bayar €0,60 . Selama di Eropa Barat ini cuma toilet Openbare Bibliotheek Amsterdam yang tidak mencekik, Cuma 20 sen. Selebihnya Satu Euro. Bayangkan, kalau mampir di warung tegal di Jakarta bisa nongkrong dua kali. Kalau naik bus ke luar kota, di tempat peristirahatan saya tak pernah mampir ke toilet umum, meskipun sudah kebelet. Tunggu sampai bus berangkat lagi. Lantas buru-buru masuk toilet. Tiga kali menahan pipis sudah bisa membeli sebotol wine! Atau dua lonjor panjang roti gandum dan sekerat keju! Merpati yang beterbangan melayang-layang rendah, bergerombol atau berpasangpasangan, mengingatkan saya sudah waktunya merapat ke “Restaurant Indonesia.” Tepat pukul 15.00 saya masuk. Beberapa saat kemudian, Nita bak seekor merpati yang sedang mencari sarang, sudah duduk berhadap-hadapan denganku. Saya membuka percakapan begini: Berbicara dengan Nita, saya tidak merasa ngobrol di Paris, tetapi lebih seperti di Tanah Abang atau Srengseng Sawah di Jakarta. Pernik-pernik ucapan seperti “sih”, “deh,” dan “dong” begitu enak terdengar masuknya. Tak ada hama Perancis di antara gigi-gigi Nita. Tadi malam saya bertemu dengan istri (almarhum) Umar Said, ditemani Ibarruri Sudharsono. Kami ngobrol sebentar saja di restoran Vietnam favorit Umar Said. Sebab Ibu Umar harus buru-buru menjemput cucunya. Ketika itu saya tanyakan bahasa apa yang digunakan kalau dia berbicara dengan cucunya. Ibu Umar bilang bahwa menantunya
4
membujuk dia untuk tidak menggunakan Bahasa Indonesia agar cucunya kalau masuk taman kanak-kanak tidak kesulitan dalam berkomunikasi. Bagaimana? Sejak kecil saya dan kakak saya, Wita, sudah terbiasa menggunakan dua bahasa. Di luar, dalam pergaulan ketika di Tiongkok kami berbahasa Mandarin, tapi di rumah, dengan Ibu dan Ayah kami menggunakan Bahasa Indonesia. Ayah dan Ibu bisa berbahasa Mandarin, walau tidak bagus sekali, karena lingkungan mereka juga terdiri dari orang-orang Indonesia. Mereka belajar bahasa Mandarin. Sejak masih kecil bahasa Indonesia kami diperkuatkan oleh Ibu-Ayah. Darah, tulang, kulit kami adalah Indonesia. Kalau saya berbahasa Mandarin, ayah akan menelengkan kepalanya, menghadapkan mukanya ke arah lain, tidak mau mendengarkan, sampai saya menggunakan Bahasa Indonesia. Jadi, kalau saya minta apa-apa, tak dipedulikan, membuat saya kesal, dan terpaksalah saya menggunakan Bahasa Indonesia. Kalau saya sudah menggunakan Bahasa Indonesia, barulah dia memperhatikan saya. “Nah, begitu dong,” kata ayah. “Mau apa sekarang,” ucapnya. Jadi, sejak kecil, saya dan kakak saya terpaksa menggunakan Bahasa Indonesia. Anak-anak saya semua juga berbahasa Indonesia. Jadi, tergantung pada orangtua. Waktu di Ciang Shi, di selatan Tiongkok, di rumah, selain bahasa juga diajari Ayah-Ibu kebudayaan Indonesia. Kalau di sekolah seratus persen bahasa Mandarin. Di mana pun selama di Tiongkok, di sekolah menggunakan bahasa Mandarin. Tapi, tiap hari Rabu, ada orang-orang Indonesia yang mengajari kami tarian-tarian Indonesia. Kami juga diperkenalkan pada alam Indonesia, ada pohon kelapa dan lain-lain, dalam bentuk gambar. Juga buah-buahan Indonesia. Yang mengajar di grup pendidikan itu bergantian. Kadang-kadang Ayah, Ibu, atau orang-orang Indonesia yang lain. Murid dalam satu ruangan ada belasan. Kalau di Perancis sini, para orangtua tidak berbahasa Indonesia dengan anak-anak mereka. Kesalaahan orangtua itu adalah mereka takut kalau anak-anak mereka nanti akan menghadapi kerumitan dalam berkomunikasi. Tapi, itu pikiran yang salah. Anak-anak sangat pintar dalam soal bahasa. Mereka dengan mudah bisa berpindah bahasa, menyesuaikan diri. Anak saya yang tertua, sekarang 30, yang nomor dua 20 tahun. Anak saya cuma dua. Mereka semuanya berbahasa Indonesia, dan sangat bagus. Bahasa Perancis mereka bagus. Mereka sekolah di Perancis sini. Kami pernah tinggal beberapa lama di Belanda, negara yang sangat terbuka pada bahasa asing. Karena itu di samping Belanda, bahasa Inggris mereka lebih bagus lagi. Usia berapa tahun sewaktu pindah dari Peking ke Paris?
5
Umur 16 tahun. Saya masih ingat, waktu Ibu meninggal saya berumur 14 atau 15 tahun. Jadi kami ke Paris sekitar setahun setelah Ibu meninggal. Waktu itu kontrak ayah juga diputuskan, jadi dia harus mencari pekerjaan ke mana-mana. Dia menghubungi teman-temannya. Pernah terpikir olehnya mau pindah ke Hongkong, ke Australia, ke Belanda, tetapi samasekali tak ada pikiran mau ke Perancis. Akhirnya kami dikontak oleh Pak Umar Said, yang berada di Paris jauh lebih dulu. Pak Umar mengontak Ayah. Dia datang langsung ke Peking. Minta kepada Ayah, ke Perancislah! Ke Perancis? tanya Ayah. Kenapa tidak ke Belanda? Umar Said bilang Perancis lebih cocok untuk Ayah, karena Perancis itu penuh dengan kebudayaan. Banyak universitas, banyak pusat kebudayaan. Lagipula, waktu itu Perancis membuka kesempatan kepada para pencari suaka. Lama Ayah berpikir. Akhirnya dia terima. Berangkat untuk pindah ke Paris, apakah Sobron bilang dan minta persetujuan kedua anaknya? Ceritakanlah bagaimana suasana perjalanan ketika itu. Waktu itu dia bilang, kita akan pindah ke Perancis. Tetapi, kita harus menunggu dulu untuk mempersiapkan surat-surat yang diperlukan. Dan kita harus belajar basis bahasa Perancis lebih dulu. Ada orang Indonesia yang tinggal di Peking, saya lupa namananya, dia yang mengajari kami bahasa Perancis. Kami dia ajari sekitar dua bulan. Kakak saya waktu itu tidak begitu bersemangat untuk ikut pindah. Dia merasa lebih cocok di Peking. Dia tidak srek ke Perancis, tapi dia harus ikut Ayah. Dia belum berumur duapuluh, jadi harus ikut orangtua. Belum bisa mengambil keputusan sendiri. Buat saya sendiri, ya, kita sering pindah, jadi kalau mau pindah ya, ayo pindahlah. Karena saking biasanya pindah-pindah, jadi kalau pindah lagi tak apa-apa. Kami terbang dari Peking ke Paris Desember 1981. Sesampainya di Paris, imigrasi bilang paspor kami palsu. Dan kami bertiga dibawa ke kantor pusatnya. Begitu sampai di kantor itu, Ayah langsung mengeluarkan surat, “Kami meminta suaka. Saya Sobron Aidit.” Surat itu ditulis Ayah dalam bahasa Perancis. Ayah mengatakan sudah ada yang menjemput kami. Yaitu Emil. Yang menanggung kami Pak Umar Said. Waktu itu kepala imigrasi menyatakan, “Kita menerima kalian.” Karena waktu itu tanggal 24 Desemeber 1981 lantas dia menyuguhkan wine. Minumlah kita hahaha…. Untuk saya, itu untuk pertama kali minum wine gratis. Waktu itu yang menjemput dan ikut membawa barang-barang kami adalah Emil (nama lain dari Kusni Sulang, penyair Lekra berdarah Dayak -- MA). kita langsung dibawa ke rumah Pak Umar Said.
6
Untuk saya, Paris ketika itu merupakan satu dunia yang sangat baru. Saya itu orangnya punya sikap selalu ingin tahu. Jadi, saya senang saja ketika itu. Dari segi masyarakat saya seperti berhadapan dengan tembok. Orang ngomong apa, saya nggak ngerti. Orang Perancis ngomongnya ‘kan cepat banget… Dan orang Perancis tidak mau mengerti bahasa Inggris. Padahal, Inggris saya waktu itu cukup baik, karena saya sudah belajar di Peking. Heran ya, kok hidung mancung, tapi tak mau bahasa Inggris, begitulah saya pikir ketika itu. Waktu itu saya mengalami semacam cultural shock. Tingkah-laku orang di sini kok lain ya dengan orang Asia. Waktu kami belanja, saya kaget, kok supermarketnya besar sekali. Saya benar-benar shock waktu itu. Kayaknya dari dingin langsung ke panas, ‘gitu. Tegangnya juga ada. Di antara kami bertiga ketegangan itu pasti berlainan. Ayah tentu berpikir bagaimana mendidik dua anak di negeri yang asing. Menurut saya, dia sangat tegang, tetapi tidak mau dia tunjukkan. Jadi, dia pikir okay kalian berdua harus berdikari. Sikap ingin berjuang masih ada ketika itu. Kami belajar bahasa Perancis di sebuah perumahan untuk para pencari suaka politik. Para pengungsi dipisahkan. Waktu itu ‘kan ada “boat people”. Kita dipindahkan dari Paris ke satu kota kecil di perbatasan Perancis-Swiss. Hampir satu tahun kami di situ. Kami bertempat tinggal di satu gedung. Sesudah itu kami bertiga kembali lagi ke Paris. Saya dan kakak saya, Wita, berbeda dua tahun. Kakak saya sekolah. Saya tidak. Waktu itu saya bekerja sebagai babysitter, sehari sekitar lima jam. Saya tidak canggung mengerjakan pekerjaan itu. Pagi mengantar anak-anak sekolah, sorenya menjemput dan mengurus mereka, sampai orangtua mereka datang. Minggu libur. Sabtu malam dan Minggu saya bekerja di restoran. Tak lama kemudian saya dapat pekerjaan di toko sovenir di Paris. Nita menikah di Paris ini? Ya, betul. Di sini. Waktu Sobron ke Indonesia, ikut? Waktu yang kapan? Saking seringnya dia ke Indonesia sampai saya lupa. Waktu dia meluncurkan buku di Kompas? Saya bertemu dengan dia waktu itu. Oh, saya ndak ikut. Berapa kali ke Indonesia? Empat, mungkin. Waktu membawa abu Ayah, sampai ke Belitung? Ya, sampai ke Belitung.
7
Tidak takut? Waktu itu Suharto sudah jatuh. Sudah jatuh. Bagaimana reaksi orang kampung wktu itu begitu melihat Nita. Belitung itu satu pulau yang luas dan sangat terbuka. Saya dengar ketika peristiwa 1965 terjadi, Belitung tempat yang cukup aman. Jadi, waktu itu orang-orang bilang ini keponakan Aidit. Nananana… blablabla.. Kampung Ayah itu sekitar satu jam perjalanan dengan mobil dari Pangkal Pinang. Anak saya juga ikut. Setahu saya, tak ada polisi yang datang. Setahu saya… Aman, lancar. Kepingin pulang nggak? Pulang itu apa? Pulang itu, pulang ke kampung. Itu namanya pulang. Kalau saya ke Indonesia, buat saya itu bukan pulang, tapi jalan-jalan. Beberapa kali saya ke Indonesia, bagaimana mengatakannya ya …, kayaknya nggak cocok. Tak ada sistem di sana. Saya bilang sistem bukan berarti saya berbicara tentang sistem politik. Di sana tidak ada sistem sekalipun dalam hal-hal yang kecil. Tidak ada disiplin. Di jalan tidak ada disiplin. Tidak tahu namanya antre. Jualan di tempat orang jalan. Nah, seperti itu, yang kecil-kecil saja. Yang namanya disiplin itu nggak ada di Indonesia! Sementara saya sejak kecil sampai sekarang, sudah berusia 53 tahun, selalu berada di negara yang ada disiplinnya. Ada peraturan yang dijalankan. Saya tak bisa hidup di Indonesia yang seperti itu. Tak bisa … Menyesal dengan jalan hidup seperti ini? Rasa penyesalan nggak pernah ada di kepala saya. Kalau saya melihat ke belakang, saya tidak menyesal. Kalau kita terus melihat ke belakang kita akan susah maju. Menyesal? Kayaknya saya tak pernah menyesal. Menyesal tak pernah, tapi mendekati ya … Begini, misalnya, saya melakukan sesuatu yang salah, namun, saya tidak menyesal, saya hanya sadar ada sesuatu yang kurang yang harus diperbaiki. Menyesal kayaknya nggak pernah. Kembali ke soal pulang. Kalau tidak merasa aman, akan susah hidup. Negara yang tak ada disiplin, tak ada prinsip, akan kacau. Kalau negara itu tak punya kultur juga akan kacau. Apalagi, tak ada pendidikan yang baik. Bagaimana mau hidup di negara yang seperti itu?! Bagaimana saya bisa merasa enak hidup di situ! Apalagi, saya punya sejarah bekas-bekas 1965. Karena itu, nggak mungkin saya hidup di Indonesia. Atau tepatnya lebih baik saya tidak hidup di Indonesia. Empat kali saya ke Indonnesia, (jiwa) saya tidak masuk … Tidak masuk! Juga kalau bicara dengan orang dekat, dengan Om saya misalnya, nggak bisa nyambung. Banyak hal yang tak bisa saya terima, tetapi di Indonesia itu dianggap biasa. Saya tak bisa … Hal kecil. Begini. Waktu itu ke Sumatera, naik kapal. Di atas ferry dari Merak ke Bakauheuni jelas tertulis di papan pengumuman “Dilarang buang sampah ke laut.” Eee …
8
ada bapak yang buang sampah ke laut. “Eee… Bapak, itu ada tulisannya itu!” Jawaban yang saya terima, “Semua orang juga membuang ke situ.” Dan jutaan orang yang berkelakuan seperti itu. Pulang ke Indonesia sudah tak ada ceritanya. Berkunjung ke Indonesia ya … Profesor Tuti Heraty Nurhadi pernah mengeluh kepada saya soal mutu makanan yang disajikan di sini. Katanya, di dalam novel “Pulang”, karya Leila S. Chudori, restoran ini menjadi latar, dan seakan-akan masakan di sini adalah representasi masakan Indonesia asli. Bu Tuti, katanya, pernah mampir dan makan di sini. Tapi, rasanya enggak enak. Rasanya ganjil, bukan rasa Indonesia. Saya dengar ada mismanagement. Orang-orang Indonesia digantikan oleh juru-masak dari Maroko atau Tunisia sehinggga rasa Indonesia jadi menguap. Restoran ini memang pernnah mengalami momen yang sangat susah. Kita sekarang menyesuaikan diri dengan kemauan orang banyak. Kita pilihkan menu yang paling laku. Menu Indonesia kita pertahankan. Yang paling laku di sini sate, nasi goreng. Itu nggak bisa kita kutak-katik. Harus kita pertahankan dan resepnya tak boleh berubah. Kita pertahankan itu seperti maskot kita, begitulah. Nasi goreng dan sate, itu penting sekali. Sesudah itu kita tambah dengan gulai kambing. Terus ada soto ayam. Juru-masak kita sekarang adalah Priska, asal Bandung, yang sudah bekerja selama sembilan tahun di sini. Dia insinyur lulusan Institut Teknologi Bandung. Jadi insinyur memenuhi kehedak orangtuanya. Panggilan jiwanya lain. Ingin ke Perancis sini. Ada sembilan karyawann yang saya bawahi. Selalu kita amati, kita perhatikan apa yang paling laku. Selama periode empat tahun kami perhatian kecenderungan selera pengunjung. Misalnya, dalam empat tahun mana yang paling banyak terjual. Rendang yang paling banyak. Jadi sekarang menu kita fix. Memang ada menu lain, misalnya, ada pepes ikan. Kita buatkan pepes ikan gaya sunda. Semua yang kita jual adalah makanan Indonesia, tak boleh kita menjual masakan yang bukan masakan Indonesia. Tak pernah kita meladeni permintaan makanan yang bukan Indonesia. Kalaupun ada variasi, basisnnya tetap Indonesia. Wedang jahe paling banyak yang pesan. Paling laku. Om Martin mau ..? Siapa yang pesan wedang jahe? Orang Perancis! Gulanya kita pakai gula jawa yang berbentuk gula pasir. Bukan berbentuk bongkahan. Yang berbentuk bongkahan itu juga ada. Tidak dijual di Perancis. Kami beli dari Belanda. Siapa pengunjung restoran ini? Sejak didirikan tahun 1982 pengunjung restoran ini 95% adalah orang Perancis. Lima persen Malaysia, Indonesia. Jadi, segala yang kami sajikan harus disesuaikan dengan selera orang Perancis. Kalau rendang, misalnya, kami hati-hati dengan pedasnya. Begitu
9
juga dengan gulai. Apa yang ingin dicapai dalam waktu dekat? Meneruskan restoran ini. Saya ingin memberitahukan publik disini apa yang saya ketahui tentang masakan Indonesia. Sampai sekarang tidak ada buku di sini yang menulis tentang masakan Indonesia. Di sini ada sekolah gastronomi, namanya Cordone Blue. Saya dikirimi email, mereka tanya, “Madam, apa berkenan dalam satu hari memberikan presentasi kepada kami tentang masakan Indonesia?” Saya jawab, “Mau! Kapan?” Begitulah ceritanya. Dan presentasi itu saya lakukan di depan masyarakat kuliner yang terdiri dari orang-orang Perancis. Sudah dua kali saya presentasi. April ini mereka undang lagi saya. Tapi kali ini yang akan hadir bukan hanya dari masyarakat gastronomi Paris, tetapi dari seluruh Perancis. Jadi 27 Aril ini saya akan ke sekolah itu, untuk bertemu dengan bintang-bintang masak Perancis. Saya akan presentasikan pemanfaatan daun pisang untuk makanan. Dengan begitu kita bisa saling saling-tukar pengetahuan. Dari situ saya akan mendapat Michelin Lếtoilế, pengakuan yang lebih dari sekedar reward. Untuk pertama kali Restorant Indonesia masuk dalam Michelin Lếtoilế, semacam buku petunjuk tentang masakan dan restoran di Perancis. Saya sudah mendapat bintang dari mereka. Mereka melakukan penelitian dengan diam-diam datang, makan. Tanpa memberi tahu terlebih dulu. Cita-ctia saya suatu ketika Restorant Indonesia masuk dalam Gault & Millan, buku kuliner yang sangat terpandang di seluruh dunia. Chef-chef dan restoran terkenal di seluruh dunia tercantum di situ. Semoga tercapai. Pengalaman fisik dan batin para eksil Indonesia di Eropa luarbiasa, namun tidak, atau belum, muncul dalam sastra yang menggugah jiwa. Mudah-mudahan Nita akan memberikan sumbangan untuk tanah air yang penguasanya “mendurhakaimu”. Kuliner dan sastra toh tak ada bedanya dalam memperkaya, memberi makan, sebuah bangsa. Wah, terima kasih Om… Setahun sekali akan berkunjung ke Indonesia, ke Belitung? Tidak. Tidak setahun sekali. Empat tahun sekali sudah terlalu banyak. Beberapa pengunjung terlihat memasuki dan mengambil tempat duduk. Mata Nita tak berkedip menengok ke arah pintu, menyambut tamu melalui hati. Aku tahu dengan matanya yang berbinar itu, dia ingin segera mengisi kehidupan sehari-harinya di satu pojok Paris, di mana Sobron Aidit, sang ayah, ikut membangunnya. Tatapan matanya itu kutafsirkan di dalam hatiku bahwa dengan cara seperti itulah percakapan ini ingin dia sudahi.
10
Terima kasih untuk waktu dan kopi yang kau suguhkan. Sama sama Om … Kalau ke Paris jangan lupa singgah lagi. Tidak untuk wawancara, tapi nyobain rendang kami hehehe … Dan dia tertawa lepas, membiarkanku bangkit dari kursi kayu tak beralas, melepaskan saya dari pandangannya di celah pintu masuk. Gerak-gerik tubuhnyanya adalah gestur Sobron yang kukenal. Keterbukaan dan suaranya yang enteng berderai mengingatkanku pada penyair yang riwayat hidupnya penuh ceria, cinta, juga duka nestapa, yang tak pernah dia tuliskan dengan jidat berkerut dan hati yang meraung. Dia lebih memilih yang enteng-enteng dari perjalanan hidupnya, kenangannya, yang menghibur pembacanya. Hidup romantis yang pernah kukhayalkan dalam sebuah fiksi pendek yang kutulis untuk mengenangnya. Tak lama setelah abu jenazahnya dilarung di kota-kota di mana dia pernah hidup. Di dua benua. __._,_.___
11