TRADISI PENYELESAIAN WARIS DESA TUNGGUL KECAMATAN PACIRAN KABUPATEN LAMONGAN Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh: MOH. KHOIRUDDIN NIM. 106044101421
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/ 2011 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi dengan judul “TRADISI PENYELESAIAN WARIS DESA TUNGGUL KECAMATAN PACIRAN KABUPATEN LAMONGAN”, telah diujikan dalam munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada hari Rabu tanggal 08 Desember 2010, skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana (S1) pada Program Studi Ahwal AlSyakhshiyah Konsentrasi Peradilan Agama.
Jakarta, 08 Desember 2010 Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhamad Amin Suma, SH, M.A, MM NIP: 195505051982031012
PANITIA UJIAN 1. Ketua Drs. H. A. Basiq Djalil, SH. MA NIP. 195003061976031001 2. Sekretaris Kamarusdiana, S.Ag, MH NIP. 197407252001121003 3. Pembimbing Skripsi 1 Prof.Dr.Hj.Zaitunah Subhan,MA NIP . 195010101967122001
4. Pembimbing Skripsi II Drs. Abu Tamrin, SH. M. Hum NIP. 196509081995031001 5. Penguji I Dr. JM. Muslimin, M.A., P.Hd NIP. 150295489 6. Penguji II Dr. K. H. A. Djuwaini Syukri, Lcs. MA NIP. 195507061992031001
(………………….)
(………………….)
(……………………)
(………………….)
(………………….)
(……………........)
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar S.1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta,
November 2010
Moh. Khoiruddin .
TRADISI PENYELESAIAN WARIS DESA TUNGGUL KECAMATAN PACIRAN KABUPATEN LAMONGAN
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh:
MOH. KHOIRUDDIN NIM: 106044101421
Di bawah Bimbingan Pembimbing I
Pembimbing II
Prof.Dr.Hj.Zaitunah Subhan,MA NIP : 195010101967122001
Drs. Abu Thamrin,SH.M.Hum NIP : 196509081995031001
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1431 H / 2010 M
KATA PENGANTAR ﺑﺴﻢ اﷲ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﯿﻢ Puja dan puji kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, serta kekuatan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai bagian dari akademis di konsentrasi Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, beserta keluarganya, para sahabatnya, tabi’in dan tabi’at hingga sampailah kepada kita yang mengikuti risalahnya sampai akhir zaman. Skripsi yang berjudul “Tradisi Penyelesaian Waris Desa Tunggul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan” akhirnya dapat terselesaikan sesuai dengan harapan penulis. Kebahagiaan yang tak ternilai bagi penulis secara pribadi adalah dapat mempersembahkan yang terbaik kepada orang tua, seluruh keluarga dan pihak-pihak yang telah ikut andil dalam mensukseskan harapan penulis. Sebagai bahan yang berharga ini perkenankan penulis menuangkan dalam bentuk ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang banyak memberikan nasihat-nasihat yang berharga demi meningkatkan kualitas spiritual dan intelektual kepada mahasiswa/I Fakultas Syariah dan Hukum.
i
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. Dan Bapak Kamarusdiana, S.Ag., MH. Ketua program studi dan sekretaris program studi Ahwal Al-Syakhisiyyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Prof. Dr. Hj. Zaitunah Subhan, MA. Dan Bapak Drs. Abu Tamrin, SH., M.Hum. Selaku dosen pembimbing terima kasih atas kesabaran dan keikhlasannya dalam memberikan bimbingan kepada penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini dan terima kasih atas ilmu-ilmu yang bermanfaat sekali buat penulis. 4. Segenap bapak dan ibu dosen program studi ahwal al-syakhsiyyah, khususnya pada konsentrasi Peradilan Agama (PA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan memberikan ilmunya kepada penulis baik langsung maupun tidak langsung. 5. Segenap jajaran karyawan akademik Fakultas Syariah dan Hukum dan Universitas berikut jajaran karyawan perpustakaan Fakultas dan Universitas. 6. Rasa Ta’zhim dan terima kasih yang sangat mendalam kepada ayahanda dan ibunda tercinta yang telah memberikan banyak motivasi dan biaya pendidikan selama ini sampai ke jenjang Perguruan Tinggi atas dukungan moril dan materil, kesabaran, keikhlasan, perhatian serta kasih sayangnya yang tak pernah habis bahkan doa munajatnya yang tak henti-henti kepada Allah SWT senantiasa agar penulis mendapatkan kesuksesan dalam menyelesaikan studi dan juga atas perjuangan mereka yang telah mendidik dan mengajarkan arti kehidupan. Penulis persembahkan skripsi ini.
ii
7. Cak Millah yang telah meluangkan waktunya untuk membantu mengoreksi skripsi penulis sampai selesai, juga tidak terlupakan seluruh kawan-kawan keluarga besar alumni Pondok Pesantren Tarbiatut Tholabah (WASIAT). 8. Sahabat-sahabat perjuangan di kelas PA B angkatan 2006 yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah bersama-sama berjuang dalam menuntut ilmu baik dalam suasana suka maupun duka di Fakultas Syariah dan Hukum yang tercinta dan atas persahabatan yang selama ini dibangun tak akan tergantikan kapan dan dimanapun itu tetap akan dikenang tak akan terlupakan oleh penulis. Semoga amal yang telah diberikan kepada penulis dapat dibalas oleh Allah SWT dengan pahala yang berlipat ganda. Demi kesempurnaan skripsi ini di masa mendatang penulis menerima saran dan kritik yang konstruktif dari para pembaca yang budiman. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi setiap langkah kita amin. Demikian sepatah kata dari penulis, semoga skripsi ini bermanfaat untuk kita semuanya. Fastabiqul khoirot. Jakarta,
Penulis
iii
November 2010
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ………………………………………………………………..
i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………….
iv
Bab I
PENDAHULUAN ........................................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ...........................................................................
1
B. Pembahasan dan Perumusan Masalah.......................................................
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................
8
D. Metode Penelitian ....................................................................................
9
E. Tinjuan Studi Terdahulu ..........................................................................
13
F. Sistematika Penulisan ..............................................................................
15
KONSEP KEWARISAN DALAM HUKUM ISLAM ..................................
17
A. Pengertian Tentang Waris ........................................................................
17
B. Rukun dan Syarat Waris...........................................................................
19
C. Dasar-dasar Hukum Waris dalam Islam ...................................................
22
D. Sebab-sebab Menerima Warisan dan Penghalang Menerima Warisan ......
25
Bab II
E. Orang-orang Yang Berhak Menerima Warisan dan Bagian Masing-masing.............................................................................
29
F. Asas-asas Kewarisan Islam ......................................................................
41
Bab III POTRET MASYARAKAT DESA TUNGGUL KECAMATAN PACIRAN KABUPATEN LAMONGAN ......................................................................
49
A. Letak dan Kondisi Geografis ....................................................................
49
B. Demografis Masyarakat ...........................................................................
51
iv
1. Penduduk ............................................................................................
51
2. Pendidikan ..........................................................................................
51
3. Sosial Ekonomi ...................................................................................
53
4. Keagamaan..........................................................................................
54
Bab VI TRADISI PENYELESAIAN WARIS DI DESA TUNGGUL KECAMATAN PACIRAN KABUPATEN LAMONGAN.....................................................
56
A. Sebab Menyelesaikan Waris Menurut Hukum Adat .................................
56
B. Implementasi Pembagian Waris Menurut Hukum Adat ............................
58
1. Sistem Pembagian Harta Waris ...........................................................
59
2. Ahli Waris Yang Berhak Menerima Harta Waris .................................
62
3. Alasan-alasan Tetap Memakai Hukum Adat…………………………... 66 C. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penyelesaian Waris Menurut Hukum Adat ..............................................................................
68
D. Analisis Penulis .......................................................................................
82
Bab V Penutup ........................................................................................................
87
A. Kesimpulan .............................................................................................
87
B. Saran-saran ..............................................................................................
89
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................
90
LAMPIRAN-LAMPIRAN
v
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap kehidupan dari suatu persekutuan hukum, baik dalam bentuk besar seperti Negara, atau dalam bentuk yang lebih kecil seperti suku, mempunyai identitas diri yang memberikan suatu corak yang berbeda dengan Negara atau dengan suku yang lain. Identitas itu timbul karena adanya unsur yang menjelma dan mencerminkan suatu kepribadian dan jiwa dari Negara (bangsa) atau suku itu sendiri. Corak yang demikian itu dikenal dengan istilah adat. Di dalam Negara Republik Indonesia ini, adat yang dimiliki daerahdaerah dan suku-suku bangsa adalah berbeda, meskipun dasar atau sifatnya adalah satu yaitu keindonesiaan. Oleh karena itu adat bangsa Indonesia dikatakan merupakan “Bhineka” (berbeda-beda di daerah suku-suku bangsanya) dan “Tunggal Ika” (tetapi tetap satu juga, yaitu dasar dan sifat keindonesianya).1 Keberadaan suatu suku atau suatu daerah tidak hanya ditentukan oleh adat atau kebiasaan yang berlaku, namun juga ditentukan oleh sesuatu yang dapat mempengaruhi tindakan dari pada anggota suku tersebut, misalnya agama yang diakuinya itu sendiri. 1
Soerojo Wignyo Dipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung, 1995, h. 13
1
2
Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia. Islam adalah agama yang tidak sulit. Allah Azza wa Jalla menghendaki kemudahan kepada umat manusia dan tidak menghendaki kesusahan kepada mereka. Allah Azza wa Jalla mengutus Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat. Semua perintah dalam Islam mengandung banyak manfaat. Sebaliknya, semua larangan dalam Islam mengandung banyak manfaat. Karena itu, umat Islam berkewajiban memegang teguh syariat Islam dan mengamalkanya dalam kehidupan seharihari. Allah menjanjikan kemenangan kepada setiap orang yang berpegang teguh kepada ajaran agamanya dengan baik. Selain itu, setiap orang juga meyakini keesaan Allah, menjauhkan segala perbuatan syirik, mendalami ilmu agama dan mengamalkannya. Seperti masyarakat Desa Tunggul misalnya Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan. Mayoritas penduduknya beragama Islam dan taat menjalankan syari’at agama. Hal itu dibuktikan dengan hidupnya kegiatan keagamaan serta banyak berdirinya tempat-tempat ibadah. Di desa di pesisir pantai utara Lamongan ini juga banyak lembaga pendidikan Islam dan organisasi sosial kemasyarakatan yang berbasis agama. Namun, masyarakat dan tokoh Islam di desa ini punya hukum tersendiri dalam hal-hal tertentu berdasarkan adat masyarakat yang telah dilakukan secara turun temurun dari nenek moyangnya. Hukum berdasarkan
3
adat ini bahkan telah menjadi keyakinan mereka dalam kehidupan bermasyarakat, salah satu soal hukum dan tata cara membagi harta warisan. Umat Islam di Desa Tunggul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan ini lebih mengutamakan penerapan Hukum Adat dari pada Hukum Islam dalam pembagian harta warisan. Hal itu terjadi bukan karena pemahaman masyarakat terhadap hukum Islam yang kurang, termasuk ilmu fara’idh, tapi karena keyakinan masyarakat bahwa adat itu bisa menjadi hukum. Perlu diketahui, sebagian besar penduduk desa pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren. Bahkan, di daerah ini banyak berdiri pondok pesantren tua dan bersejarah perkembangan Islam di pantai utara Jawa Timur. Dalam Hukum Waris Adat dikenal beberapa sistem, diantaranya: sistem keturunan, sistem pewarisan individual, sistem pewarisan kolektif, dan sistem pewarisan mayorat.2 Berdasarkan penelitian penulis, penyelesaian pembagian harta waris di desa ini menggunakan sistem individual, yakni setiap ahli waris mendapatkan harta warisan menurut bagian masing-masing. Menurut Hilman Hadi Kusuma, sistem pewarisan individual, adalah sistem pewarisan yang setiap ahli waris mendapatkan bagian untuk dapat menguasai dan memiliki harta warisan itu diadakan pembagian. Masing-masing ahli waris dapat menguasai dan memiliki bagian harta warisannya untuk diusahakan, dinikmati, atau dialihkan
2
Soerjono Soekanto dan Sulaiman B. Taneko, Hukum Adat Di Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1986, h. 85
4
kepada sesama waris, anggota kerabat, tetangga atau orang lain.3 Sistem individual yang berlaku di Desa Tunggul tersebut sesuai dengan sistem kekerabatan parental, yakni sistem keturunan yang ditarik menurut garis orang tua atau menurut garis dua sisi, yaitu bapak-ibu. Tradisi pewarisan masyarakat Desa Tunggul dalam pembagian harta warisan tidak membedakan anak laki-laki dan perempuan,
mereka
mendapatkan bagian yang sama. Anak merupakan pewaris utama yang berhak mendapatkan seluruh harta waris orang tuanya. Oleh karena itu apabila anak mewarisi bersama ahli waris lain, ahli waris tersebut menjadi mahjub. Ada dua kemungkinan dalam pembagian harta waris, yaitu: 1. Dilakukan sesudah lama pewaris meninggal dunia, yakni anaknya sesudah mentas (mandiri). 2. Terkadang harta warisan dibagikan semasa pewaris masih hidup. Kewarisan merupakan salah satu masalah pokok yang banyak dibicarakan dalam Al-Qur’an sendiri, kewarisan pada dasarnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hukum, sedang hukum adalah bagian dari aspek ajaran Islam yang pokok, ketika seseorang ingin mengkaji sistem kekeluargaan atau keturunan dalam masyarakat pastilah ia harus mempelajari sistem perkawinan yang ada dalam masyarakat itu, sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh seorang pakar hukum Islam, menurut Hazairin. “Hukum menentukan bentuk masyarakat. Masyarakat yang belum dikenal dapat dicoba 3 Hilman Hadi Kusuma, Hukum waris Adat, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1990, h. 24
5
mengenalnya pada pokok-pokoknya dengan mempelajari hukum yang berlaku dalam masyarakat itu. Seiring perkembangan pemikiran umat Islam dan juga relisasinya tentang kewarisan yang telah diatur oleh Al-Qur’an ternyata amat beragam.4 Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam dan merupakan wahyu Allah yang sengaja diturunkan kepada manusia yang dibawa oleh utusannya agar dijadikan sebagai petunjuk dan pedoman hidup, sebagaimana yang dinyatakan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah 2: 1: (1: )اﻟﺒﻘﺮة.
Artinya: “Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan didalamnya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”.5 Ayat tersebut menjelaskan bahwa setiap manusia yang menyatakan beriman kepada ajaran Allah harus merasa terikat pada seluruh aturan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an. Untuk itu, setiap manusia yang menyatakan beriman kepada kitab Allah berkewajiban mentaati dan melaksanakan perintahnya serta menjauhi larangannya. Salah satu segi hukum yang terdapat dalam al-Qur’an adalah tentang kewarisan sebagaimana yang tercantum dalam surat al-Nisa’ 4:7:
4
Al yasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah. Kajian Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fiqih Mazhab (Jakarta: INIS, 1998) h. 17 5
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahanya, h. 8
6
(7 : )اﻟﻨﺴﺎء.
Artinya:”Bagi orang -laki laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabat-kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang ditetapkan”. 6 Disamping surat al-Nisa’ ayat 7 terdapat juga pada ayat 11, 12, dan 176. Dan terdapat pula dalam hadits Shahih Bukhari, yakni: ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﮭﻤﺎ ﻋﻦ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ اﻟﺤﻘﻮا اﻟﻔﺮاﺋﺾ ﺑﺄھﻠﮭﺎ ﻓﻤﺎ ﺑﻘﻲ .ﻓﮭﻮ ﻵوﻟﻰ رﺟﻞ ذﻛﺮ Artinya: “Dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata: Rasulullah SAW, bersabda: “serahkanlah warisan-warisan itu kepada ahlinya, adapun sisanya bagi ahli waris laki-laki yang terdekat”.7 Hadits itu menjelaskan tentang sisa harta warisan setelah adanya pembagian yang diterima oleh furud al-muqaddarah. Tata aturan membagi warisan antara pewaris merupakan manifestasi dari pengakuan adanya hak milik perorangan, baik terhadap harta bergerak maupun harta tidak bergerak, dan suatu manifestasi pula, bahwa harta milik seseorang setelah meninggal berpindah kepada ahli waris dan harus dibagi secara adil, baik laki-laki maupun perempuan, baik kecil maupun besar. Islam memang punya ketentuan dalam pembagian harta warisan. Namun, ajaran Islam tidak kaku. Artinya situasi, kondisi dan adat masyarakat juga bisa diakomodir. Terkait pembagian harta warisan, diantara masyarakat banyak yang menggunakan cara adat dari pada cara Islam. Salah satunya 6
Ibid, h. 116
7
Abi Abdillah Muhammad Bin Ismail Al-Bukhari, Shahih al-Buhkari, juz VIII, h. 5
7
terjadi di desa Tunggul. Cara adat diyakini masyarakat lebih menjamin rasa keadilan bagi sesama ahli waris dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh sebab itu, penulis memandang perlu untuk meneliti pelaksanaan “TRADISI PENYELESAIAN WARIS DESA TUNGGUL KECAMATAN PACIRAN KABUPATEN LAMONGAN”, yang nantinya dituangkan dalam bentuk skripsi. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Agar pembahasan ini lebih fokus dan terarah, maka penulis perlu memberikan pembatasan. Penelitian ini hanya terfokus pada Adat Kebiasaan Pembagian Harta Waris Di Desa Tunggul pada sepuluh tahun terakhir, yaitu 2000 - 2010. Yang dimaksud disini adalah tradisi, adat istiadat atau budaya di desa tersebut dalam hal menyelesaikan warisan berdasarkan Hukum Adat para pewarisnya. 2. Rumusan Masalah Pembagian harta warisan salah satunya dijelaskan oleh Al-Quran dalam surat An-Nisa ayat 11 dan 12. Bahwa bagian laki-laki berbeda dengan perempuan. Ketentuannya, bagian laki-laki adalah dua kali lipat bagian perempuan. Namun, dalam kenyataanya berbeda yang dilakukan oleh masyarakat Desa Tunggul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan, yang mana bagian laki-laki dan perempuan sama. Maka, penulis
8
merumuskan masalah dengan merincikan beberapa pertanyaan, sebagai berikut: 1. Apa saja faktor yang menyebabkan masyarakat Desa Tunggul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan menyelesaikan pembagian warisan menurut Sistem Hukum Adat? 2. Bagaimana
implementasi
pembagian
waris
di
Desa
Tunggul
Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan? 3. Bagaimana tinjauan Hukum Islam terhadap pembagian harta waris menurut Sistem Hukum Adat di Desa Tunggul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan ? C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian A. Tujuan Penelitian 1. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab masyarakat Desa Tunggul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan menyelesaikan pembagian harta warisan menurut Sistem Hukum Adat. 3. Untuk mendiskripsikan implementasi pembagian harta waris menurut Sistem Hukum Adat di Desa Tunggul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan.
9
4. Untuk menjelaskan pelaksanaan pembagian harta waris menurut Sistem Hukum Adat yang dilakukan oleh masyarakat Desa Tunggul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan sesuai dengan Hukum Islam. B. Manfaat Penelitian Dengan adanya penulisan skripsi ini diharapkan dapat membawa manfaat dan kegunaan sebagai berikut: 1. Dapat menambah wawasan dan pengetahuan yang lebih mendalam tentang masalah penyelesaian pembagian harta waris menurut Sistem Hukum Adat. 2. Dapat mengetahui motivasi dan tujuan masyarakat tersebut dalam hal penyelesaian pembagian harta waris masyarakat yang ada di Desa Tunggul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan. 3. Bagi dunia pustaka, hasil penelitian ini diharapkan sebagai sumbangan yang berguna dalam memperkaya koleksi dalam ruang lingkup karyakarya penelitian lapangan. D. Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan untuk memperoleh data yang valid dalam penelitian ini meliputi: 1.
Pendekatan dan jenis penelitian
10
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif yang memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia. 8 Adapun jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti yakni jenis penelitian antropoligi hukum, yaitu penelitian yang mempelajari garis perilaku
yang
terjadi secara
berulang-ulang dan
terus
menerus
dilaksanakan, karena perilaku itulah yang merupakan sesuatu yang menjadi kebiasaan dan menjadi hukum dalam masyarakat bersangkutan.9 Kemudian, studi kasus yaitu penelitian yang pada umumnya bertujuan untuk mempelajari secara mendalam suatu individu, kelompok, institusi, atau masyarakat tertentu tentang latar belakang, keadaan/kondisi, faktorfaktor atau interaksi-interaksi (sosial) yang ada didalamnya. Studi kasus merupakan suatu gambaran hasil penelitian yang mendalam dan lengkap, sehingga dalam informasi yang disampaikan tampak hidup sebagaimana adanya dan pelaku-pelaku mendapat tempat untuk memainkan peranannya. Metode studi kasus memberikan beberapa keuntungan. Keuntungan utama kita bisa melakukan penelitian lebih mendalam. 10 Dengan menggali lebih mendalam seluruh kepribadian seseorang yakni dengan memperhatikan
keadaannya
sekarang,
pengalamanya
masa
8
Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), h. 20
9
Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 1986). h. 27.
10
Bambang Sunggono, Methodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada: 2009)cet. Ke-10, h. 36
11
lampau, latar belakang dan lingkungannya. Namun demikian juga studi kasus menampilkan beberapa kelemahan kepada kita. Studi yang mendalam berarti kajiannya kurang luas. Umumnya penemuan-penemuan kita sulit digeneralisasikan dengan keadaan yang berlaku umum, karena hasil penemuannya hanya diperoleh dari keadaan tertentu saja.11 2. Sumber Data Dalam Penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan dua jenis sumber data yaitu: a. Data Primer Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari responden melalui wawancara dengan masyarakat setempat, yang berkaitan dengan skripsi ini. b. Data Sekunder Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari literaturliteratur kepustakaan.12 Seperti buku-buku, kitab-kitab serta sumbersumber yang berkaitan dengan skripsi ini. 3. Teknik Pengumpulan Data
11
Conselo G, Sevilla, dkk, Metode Penelitian Hukum Penerjemah Alimudin Tuwu (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1993), h. 74 12
Soerjono Soekanto, Pengantar penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986), h. 51
12
Dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan, digunakan metode sebagai berikut: a. Metode observasi Metode observasi bertujuan mendiskripsikan setting, kegiatan yang terjadi, orang yang terlibat didalam kegiatan, waktu kegiatan, dan makna yang diberikan oleh para pelaku yang diamati pada peristiwa
yang
bersangkutan.
Metode
ini
digunakan
untuk
mengungkapkan data yang berkaitan dengan pihak-pihak, waktu terjadinya, dan hal yang berhubungan dengan tradisi waris pada masyarakat tersebut. b. Metode wawancara Metode wawancara atau metode interview, mencakup cara seseorang untuk mendapatkan keterangan secara lisan dari seorang responden.13 Maka dari itu, metode ini digunakan untuk memperoleh informasi tentang tradisi dari waris, yakni wawancara dengan tokoh masyarakat yang ada di desa tersebut. c. Metode dokumenter
13
Koentjaningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta, tahun 1997, h. 129
13
Dalam penelitian ini, metode dokumenter digunakan untuk mencari dan menggunakan data-data yang belum diperoleh dari observasi dan interview. d.
Analisis Data Dalam
penelitian
ini,
teknik
menganalisa
data,
penulis
menggunakan metode diskriptif kualitatif. Teknik analisis deskriptif digunakan untuk menuturkan, menafsirkan, serta menguraikan data yang
bersifat
kuantitatif
yang
diperoleh
dari
hasil
wawancara/interview, observasi, dan dokumenter. Adapun teknik penulisan skripsi mengacu kepada buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007. E. Tinjauan Review Studi Terdahulu Adapun hasil review studi terdahulu, penelitian ini sekilas mempunyai kesamaan dengan skripsi: Pertama. Arif Rahman, fakultas Syariah dan Hukum jurusan Peradilan Agama yang berjudul “Tradisi Pembagian Waris Di lingkungan Masyarakat Arab (Studi kasus di kampung Arab Tegal)” tahun 2008. Pada skripsi tersebut dijelaskan bahwa pembagian harta waris yang dilakukan oleh masyarakat Arab di Tegal adalah pembagian waris dengan sistem perdamaian yang mana bagian antara laki-laki dan perempuan sama,
14
yakni dengan memanggil semua anggota keluarga yang dipimpin oleh anak yang tertua, kemudian dibagikan dengan menggunakan cara Agama atau dengan Dirgama. Penyelesaian dengan Agama sudah jelas diatur dalam surat An-Nisa’ sebagaimana disebutkan bagian ahli waris masing-masing, dengan memanggil ulama setempat yang paham dengan fara’id guna mendapatkan bagian yang pasti, sedangkan cara Dirgama yakni seluruh harta dibagikan secara ketentuan fara’id kemudian harta ditumpuk kembali dan kemudian dibagikan atas dasar kesepakatan bersama. Jadi dapat disimpulkan dalam skripsi ini masyarakat Arab membagikan warisannya dengan dua cara tersebut (Agama/Dirgama), tapi apabila dengan Dirgama, harta warisannya itu masih dengan pembagian fara’id, lalu ditumpuk, kemudian dibagikan dengan kesepakatan bersama. Kedua. Siti Azizah, fakultas Syariah dan Hukum jurusan Peradilan Agama, yang berjudul “Pembagian Waris Masyarakat Betawi Ditinjau Dari Hukum Islam (Studi Kasus Pada Masyarakat Kel. Lebak Bulus Kec. Cilandak, Jakarta Selatan)”, Tahun 2009. Pada Skripsi tersebut menjelaskan bahwa pelaksanaan hukum waris Betawi, yang mana ada kelompok masyarakat Betawi melakukan pembagian secara rata antara laki-laki dan perempuan. Namun,
ada juga yang melakukan sama dengan hukum Islam yang mana
bagian laki-laki lebih besar. Ketiga. Saudari Fatehah binti Zulkafli, fakultas Syariah dan Hukum jurusan Peradilan Agama, yang berjudul “Pembagian Harta Pusaka Menurut
15
Kewarisan Islam dan Kewarisan Adat Parpatih Di Daerah Rembau Propinsi Negeri Sembilan Malaysia”, Tahun 2008. Pada skripsi tersebut menjelaskan bahwa pembagian harta pusaka pada masyarakat Rembau yang menggunakan adat Parpatih, pembagian pusakanya yakni lebih mengikuti nasab ibu, semua harta jatuh kepada anak perempuan dalam keluarga tersebut. Perbedaan skripsi di atas dengan skripsi yang akan penulis bahas dan teliti adalah adat pembagian waris pada masyarakat Desa Tunggul yang merupakan hukum adat, implementasi pembagian serta pandangan hukum Islam. Budaya yang ada di desa tersebut membagikan harta warisannya rata-rata kebanyakan lebih menggunakan sistem hukum adat dari pada hukum Islam, pembagiannya itu tidak menggunakan sistem yang ada di atas, langsung dibagikan, tidak ditumpuk, tidak dengan ketentuan fara’id, dan juga tidak mengikuti nasab ke ibu, jadi langsung menjadi hak milik yang menerima warisan tersebut setelah warisan itu dibagikan, dan pembagian laki-laki dan perempuan itu sama dalam hal kewarisan yang dipakai oleh desa tersebut, karena mencerminkan ada rasa perdamaian, tolong menolong, rasa keadilan diantara para ahli warisnya dan tidak terlalu lama prosesnya. F. Sistematika penulisan Untuk memudahkan dalam memahami skripsi ini, penulis ingin membagi pembahasan dalam lima bab, yaitu: Bab I
Pendahuluan, yang terdiri atas uraian latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah,
tujuan dan manfaat
16
penelitian, metode penelitian, tinjuan review (studi) terdahulu, serta sistematika penulisan. Bab II
Berisi konsep kewarisan dalam hukum Islam. Kewarisan menurut hukum Islam meliputi pengertian waris, rukun dan syarat waris, dasar-dasar hukum waris Islam, sebab-sebab menerima warisan, dan bagian masing-masing dan asas-asas kewarisan Islam.
Bab III
Potret masyarakat Desa Tunggul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan. Bab ini terdiri atas letak dan kondisi geografis dan demografis masyarakat yang terdiri atas penduduk, pendidikan, sosial ekonomi, dan keagamaan.
Bab IV Tradisi penyelesaian waris Desa Tunggul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan. Bab ini terdiri atas sebab menyelesaikan waris menurut hukum adat, implementasi pembagian waris menurut hukum adat yang terdiri atas ahli waris yang berhak menerima harta waris dan sistem pembagian harta waris, tinjauan hukum Islam terhadap penyelesaian waris menurut sistem hukum adat, dan analisis penulis. Bab V
Penutup terdiri atas kesimpulan dan saran-saran.
BAB II KONSEP KEWARISAN DALAM HUKUM ISLAM A. Kewarisan Menurut Hukum Islam 1. Pengertian waris Mawaris secara etimologi adalah bentuk jamak dari kata tunggal al-mirats. Kata “al-mirats” dalam bahasa arab merupakan bentuk masdar dari kata waratsa-yaritsu-irtsan-waamiiraatsan.1 Seperti yang digunakan dalam kalimat “Si fulan mewarisi harta kerabatnya dan mewarisi harta ayahnya.2 Pengertian “Mirats” menurut bahasa adalah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari suatu kaum lain ( sesuatu yang bersifat umum), bisa bersifat harta atau ilmu keluhuran.3 Allah SWT, berfirman dalam QS. An-Naml (27):16 (16 : 27/ ) اﻟﻨﻤﻞ
Artinya: “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud dan dia berkata : “Hai manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan
1
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhor, Kamus Kontemporer, ( Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum, 1992) h. 2009 2
Syeh Muhammad Ali Al-Sabuni, Hukum Waris Menurut al-Quran dan Hadis, (Bandung, Trigendakarya, 1995) h. 39 3
M. Ali Ash Shabuny, Hukum Waris Islam, (Surabaya-Indonesia: Al-Ikhlas). h. 1
17
18
kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar satu karunia yang nyata”.4 Sedangkan menurut istilah, waris adalah berpindahnya hak milik dari mayit kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta, kebun, atau hak-hak syar’iyah.5 Ilmu mawaris atau ilmu fara’id, menurut para fuqaha yaitu ilmu untuk mengetahui orang yang berhak mendapatkan pusaka, orang yang tidak berhak mendapatkan pusaka, kadar yang diterima oleh tiap-tiap waris dan cara pembagianya.6 Secara umum hukum kewarisan Islam mengatur tentang peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup. Hukum kewarisan Islam adalah seperangkat peraturan tertulis berdasarkan wahyu Allah dan sunnah nabi tentang hal ihwal peralihan harta atau berujud harta dari yang telah mati kepada yang masih hidup, yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikuti yang beragama Islam.7 Dengan demikian, hukum kewarisan Islam tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta benda.
4
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahanya, h. 595
5
M.Ali Ash sabuny, Hukum Waris Islam, (Surabaya-Indonesia: Al-Ikhlas). h.1
6
Teungku Muhammad Hasbi ash-shiddiqy, (edt.) Fuad Hasbi ash-Shiddiqy, Hukum Waris Islam, ( Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999) h. 6 7
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, ( Jakarta: Kencana, 2004) h. 6
19
B. Rukun dan syarat-syarat waris a. Rukun waris Rukun merupakan bagian yang tak terpisahkan dari suatu perbuataan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya sesuatu itu. 8 Maka dari itu, terjadinya peristiwa hubungan saling waris mewarisi itu apabila terpenuhinya rukun-rukun kewarisan, adapun rukun kewarisan ada tiga: 1. Al-Mawaris atau pewaris yaitu seseorang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan harta yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup. 9 Hal ini secara umum dijelaskan dalam QS. An-Nisa’ (4):7. (7 :4/ ) اﻟﻨﺴﺎء
Artinya: “Ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”. Dan dalam QS. An-Nisa’ (4):33.
8
Abdul Azizi Dahlan...(et.al), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,1999), h. 1510 9
Amir Starifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta, Kencana, 2004) h. 204
20
(33 :4/ )اﻟﻨﺴﺎء
Artinya: “bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagianya. Sesunggunya Allah menyaksikan segala sesuatu”. 2. Al-waris atau ahli waris, yaitu orang yang akan mewarisi atau menerima harta peninggalan.10 Yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal.11 3. Al-Maurus atau a-mirats, yaitu harta peninggalan si mayit setelah dikurangi biaya perawatan jenajah, pelunasan hutang, dan pelaksanaan wasiat.12 b. Syarat-syarat waris Syarat adalah suatu sifat yang keberadaanya sangat menentukan keberadaan hukum syar’i dan ketiadaan sifat itu membawa kepada ketiadaan hukum, tetapi ia berada diluar hukum syar’i itu
sendiri
dan
keberadaanya
itu
tidak
senantiasa
menyebabkan adanya hukum. 13 Oleh karena itu, apabila tidak ada
10
R. Otje Salman, dkk, Hukum Waris Islam, (Bandung: PT Rafika Aditama, 2006) cet, ke 2. h.
11
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta, Kencana, 2004) h. 211
4
12
Umar Said, Hukum Islam di Indonesia Tentang Waris, wasiat,Hibah, (Surabaya: Cempaka, 1997) h. 17-18 13
Abdul Azizi Dahlan...(et.al), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Hoeve,1999), h. 1691
21
syarat-syarat waris, maka tidak ada pembagian waris. Yang menjadi syarat-syarat waris adalah sebagai berikut: 1. Meninggalkan seorang pewaris baik secara hakiki maupun secara hukmi (dianggap telah meninggal). 2. Hidupnya orang-orang yang berhak mendapat warisan harus jelas disaat meninggalnya muwarris. 3. Mengetahui
status
ahli
waris,
kedudukan
ahli
waris
berdasarkan hubungan dengan pewaris harus diketahui secara jelas sehingga memudahkan dalam menentukan pembagian warisan.14 Sebelum harta diadakan pembagian diantara ahli waris, terlebih dahulu harus dikeluarkan hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalkan si mayit, yang terdiri atas: 1. Biaya penyelenggaraan jenazah Yang termasuk didalam penyelenggaraan jenajah adalah biaya untuk memandikan, mengkafani, dan biaya penguburan jenajah. 2. Kewajiban membayar zakat
14
M. Ali Ash sabuny, Hukum Waris Islam, (Surabaya-Indonesia: Al-Ikhlas). h. 48
22
Kewajiban zakat haruslah ditunaikan, kalau harta tersebut sudah memenuhi syarat-syarat untuk dikeluarkan zakatnya berdasarkan zakat. 3. Melaksanakan wasiatnya dan melunasi hutang-hutangnya. Wasiat yaitu pemberian hak kepada seseorang atau badan untuk memiliki atau memanfaatkan sesuatu yang pemberian hak tersebut ditangguhkan setelah pemilik hak telah meninggal dunia.15Dan itu diberikan kepada selain ahli waris, tanpa menunggu izin seseorang. Hal ini dilakukan setelah mengurus si mayyit dan hutanghutangnya. C. Dasar Hukum Kewarisan Dasar hukum kewarisan Islam menurut jumhur ulama ada 3 (tiga) yaitu, al-Quran, al-Hadits, dan ijma’:16 1. Al-Qur’an Sumber hukum pertama yaitu Al-Quran ada beberapa ayat yang memuat tentang hukum waris, diantaranya: Firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 7 dan 11: 15
Moh. Anwar, Faraid Hukum Waris Dalam Islam Dan Masalah-Masalahnya, (Surabaya; AlIkhlas Indonesia, 1981) h. 13-17 16
Ashari Abta dan Djuanidi Abd. Syakur, Ilmu Waris Al-Faraidh Deskripsi Berdasar Hukum Islam Praktis dan Terapan (Yogyakarta: Pustaka Hikmah Perdana, 2005). H. 4
23
(7 :4/ )اﻟﻨﺴﺎء
Artinya: “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan karib kerabat, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian-bagian yang telah ditetapkan”.17 Dalam ayat di atas merupakan salah satu sumber hukum darihukum waris yang menjelaskan seorang anak pasti akan memperoleh hak dari harta peninggalan yang dijadikan Allah (sebagai hak yang telah ditetapkan) artinya hak yang pasti yang harus diserahkan kepada mereka dari kedua orang tuanya baik lakilaki maupun perempuan. Dalam ayat yang lainnya pun menjelaskan tentang bagian hak waris. Allah berfirman: (11 :4/ )اﻟﻨﺴﺎء
Artinya: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua 17
Mochtar Naim, Kompendium Himpunan Ayat-ayat Al-Quran Yang Berkaiatan Dengan Hukum, (Jakarta: Hasanah, 2001). h. 52
24
pertiga dari harta yang ditinggalkan, jika anakperempuan itu seorang saja, maka ia mendapatkan separo harta, dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari dari harta yang ditinggalkan, jika yang ditinggal itu mempunyai anak. Jika orang yang meninggal itu tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapatkan sepertiga, jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara maka ibunya mendapatkan seperenam, (pembagian-pembagian tersebut) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana”.(QS:An-Nisa’ayat 11). 18 Selain ayat-ayat tersebut, juga ada hadis-hadis Rasulullah SAW. Yang mengatur tentang kewarisan, antara lain sebagai berikut: اﻟﺤﻘﻮا اﻟﻔﺮاﺋﺾ ﺑﺎھﻠﮭﺎ ﻓﻤﺎ ﺑﻘﻰ ﻓﮭﻮ: ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ:ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس ﻗﺎل (ﻻوﻟﻰ رﺟﻞ ذﻛﺮ ) رواه اﻟﺒﺨﺎ رى
Artinya: “Dari ibnu Abbas ra. Ia berkata; telah bersabda Rasulullah SAW.: berikanlah bagian-bagian kepada ahli-ahlinya. Dan apapun yang masih tersisa harus diberikan kepada kerabat laki-laki dari pewaris (orang yang mewariskan)”.(HR. AlBukhari) Ayat dan hadis tersebut merupakan sumber hukum yang harus dijadikan pedoman bagi umat Islam dalam menyelesaikan pembagian harta waris, sebab menyelesaikan pembagian harta waris menurut ketentuan syariat Islam adalah suatu bentuk kewajiban yang harus dilaksanakan.
18
Ibid,. h. 53-54
25
Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Rasulullah SAW. Bersabda: . رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ اﻗﺴﻤﻮ اﻟﻤﺎل ﺑﯿﻦ اھﻞ اﻟﻔﺮاﺋﺾ ﻋﻠﻰ ﻛﺘﺎب اﷲ:ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس ﻗﺎل
“Bagikanlah harta kitabullah”.19
waris
diantara
ahli
waris
menurut
Dari uraian tersebut, dapat dipahami bahwa hukum melaksanakan dan mengamalkan pembagian warisan yang sesuai dengan syariat Islam adalah wajib bagi setiap muslim.20 D. Sebab-sebab menerima warisan dan penghalang menerima warisan Sebab-sebab terjadinya kewarisan dalam al-Quran faktornya ada tiga, yaitu hubungan perkawinan, hubungan nasab, dan hubungan wala’.21 a. Hubungan perkawinan Hubungan perkawinan adalah suami istri saling mewarisi karena mereka telah melakukan akad perkawinan secara sah. Dalam surat an-Nisa ayat 12 di sebutkan:
(12 :4/ )اﻟﻨﺴﺎء 19
.........
Al-Imam Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi, Sahih Muslim, juz III, (Beirut, tt). h.
1234 20
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama,1997). h. 15-16 21
Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995). h. 62
26
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu...”(QS:An-Nisa’ ayat 12).22 b. Hubungan nasab Hubungan kerabat yang hakiki seperti kedua orang tua, paman dan seterusnya, berdasarkan firman Allah SWT dalam surat alAnfaal ayat 75 di sebutkan: (75 : 8 / ) اﻟﻨﻔﺎل.... ….
“ Orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagainya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat).....”(QS:Al-Anfaal ayat 75).23 c. Hubungan memerdekakan budak (wala’) Yang dimaksud dengan hubungan wala’ adalah seseorang yang menjadi waris karena ia telah memerdekakan budaknya. 24 Dari beberapa faktor tersebut seseorang dapat menerima warisan. Namun, ada juga hal-hal yang menyebabkan seseorang terhalang untuk menerima warisan yaitu sebagai berikut: 1. Budak Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak waris dan tidak pula mewariskan harta bagi ahli warisnya,
22
Depaq RI., Al-Quran... h. 117
23
Ibid., h. 274
24
Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Quran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995). h. 68
27
dan tidak menghajab/menghalangi hak waris untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya.25 2. Pembunuhan Apabila seseorang ahli waris membunuh pewaris (misalnya seorang anak membunuh ayahnya), maka ia tidak berhak mendapatkan warisan atau harta peninggalan. Dalam hal ini Nabi SAW bersabda: (ﻻ ﯾﺮث اﻟﻘﺎﺗﻞ ﺷﯿﺌﺎ )رواه اﺑﻮ داود Artinya : “Tidak ada pusaka bagi si pembunuh”.(HR. Abu Daud)26 (ﻋﻦ اﺑﻲ ھﺮﯾﺮة ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ اﻟﻘﺎﺗﻞ ﻻ ﯾﺮث )اﺑﻦ ﻣﺠﮫ SAW. Dalam sabdanya: Artinya : “Seorang pembunuh tidak dapat menerima warisan”. (HR. Ibnu Majah) 27 3. Perbedaan agama Seorang muslim tidak boleh saling mewarisi dengan non muslim. Hal ini ditegaskan Rasulullah ﻋﻦ اﺳﺎﻣﺔ ﺑﻦ زﯾﺪ ان اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻻ ﯾﺮث اﻟﻤﺴﻠﻢ اﻟﻜﺎﻓﺮو ﻻ ()رواه ﻣﺴﻠﻢ.ﯾﺮث اﻟﻜﺎﻓﺮ اﻟﻤﺴﻠﻢ 25
Abu Zakariya Al-Atsary, “Penuntun Ringkas Ilmu Mawaris/Faraidh”,(Pustaka Daar ElSalam, Bekasi, 2008). h. 47 26
Muhammad bin Muhammad As-Syaukani, Nailul Al-Athar Syarah Muntaqal Akhbar, ( Kairo: Al-Akhirah) juz 6. h. 84 27
Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al Qazwani, Sunnah Ibnu Majjah, juz II, (Daarul Fikri,tt). h. 86
28
“Orang Islam tidak mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi orang muslim”. (HR. Muslim)28 Hukum ini merupakan ketetapan banyak ulama ahli fiqh sebagai pengalaman dari keumuman hadits di atas. Bila seorang mati meninggalkan anak-anak laki-laki yang kafir dan pamannya muslim,
niscaya harta peninggalan si mayit
diberikan semua kepada paman, sehingga anak laki-laki itu tidak mendapatkan harta warisan apa-apa dari ayahnya. Contoh lainya adalah bila seorang mati meninggalkan istri kitabiyyah (ahli kitab) dan seorang anak laki-laki semua harta yang ditinggalkan si mayit diberikan kepada anak laki-lakinya.29 Namun sebagian ulama ahli fiqh berpendapat bahwa orang islam dapat mewarisi harta peninggalan orang kafir dan tidak sebaliknya. Berdasarkan pendapat tersebut jika seorang istri kitabiyyah (ahli kitab) mati meninggalkan suami muslim maka sang suami dapat mewarisi dari harta sang istrinya tapi tidak sebaliknya. Beberapa alasan yang dijadikan argumen pada kasus diatas yaitu: a. Berdasarkan hadist Nabi SAW, “Islam itu terus bertambah dan tidak berkurang”. 28
Al-Imam Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi, Sahih Muslim, juz III, (Beirut, tt). h.
1233 29
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum waris Islam. Penerjemah H. Addys Al-Dizar dan H. Fathurrahman (Jakarta: Senayan Abadi Publising, 2004) h. 48
29
b. Dalam melihat hadis ini mereka berpendapat hak mewarisi seorang muslim dari seorang kafir merupakan suatu tambahan, sedangkan tidak adanya hak mewarisi bagi muslim terhadap orang kafir adalah suatu kekurangan. Mereka juga beragumen dengan hadits “Islam itu tinggi dan ketinggiannya tidak dapat diungguli”. Dengan hadits ini mereka berpendapat makna ketinggian adalah seorang muslim bisa mewarisi harta peninggalan orang kafir, sedangkan orang kafir tidak bisa mewarisi harta orang muslim.30 c. Mereka berdalih dengan menganalogikan nikah dengan memperoleh harta rampasan perang yakni kita sebagai orang muslim dapat mewarisi harta orang kafir sebagaimana kita menikahi wanita-wanita muslimah. Kita bisa memperoleh harta rampasan perang yang dilakukan bersama mereka, namun tidak sebaliknya.31 E. Orang yang berhak menerima warisan dan bagian masing-masing Orang-orang yang berhak mendapatkan atau menerima harta waris jika dipandang dari hak dan bagianya adalah sebagai berikut:
30
Ibid., h. 48
31
Ibid., h. 48
30
1) Dzawil furud, yakni ahli waris yang berhak mendapatkan bagian tertentu dari harta peninggalan. a) Ahli waris yang mendapat ½ 1. Seorang suami mendapatkan bagian ½ jika almarhumah istrinya tidak meninggalkan anak atau cucu laki-laki atau perempuan seorang atau lebih, baik dari suaminya terdahulu maupun dari dia sendiri sebagai suami terakhir. Firman Allah SWT: (12 :4/ )اﻟﻨﺴﺎء.....
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak ……”.(QS. An-Nisa’ :12).32 2. Anak perempuan tunggal Allah berfirman: (11 :4/ )اﻟﻨﺴﺎء.... .......
“….. Jika anak perempuan hanya seorang saja, maka ia mendapatkan seperdua (½) harta warisan …..”.(QS. AnNisa’ :11).33 3. Cucu perempuan, bila ia sendirian dan si mayit tidak meninggalkan anak laki-laki atau perempuan atau cucu laki-laki, diqiyaskan dengan kepada anak perempuan. 32
33
Depaq RI., Al-Quran... h. 117 Ibid., h. 116
31
4. Saudara perempuan tunggal yang sekandung dan saudara perempuan
tunggal
yang
sebapak
apabila
saudara
perempuan yang sekandung tidak ada dengan ketentuan si mayit tidak meninggalkan anak atau cucu, baik lakilaki/perempuan atau tidak ada ayah, kakek, atau saudara laki-laki kandung. Allah berfirman: (176 :4/ )اﻟﻨﺴﺎء...... …….
“…. Dan baginya (orang yang meninggal) seorang saudara perempuan maka dia mendapat seperdua harta yang ditinggalkan oleh saudaranya yang laki-laki ….”.(QS. An-Nisa’:176).34 b) Ahli waris yang mendapat ¼ 1. Suami memperoleh bagian ¼ jika almarhum istrinya meninggalkan anak/cucu laki-laki maupun perempuan. Allah berfirman: …. (12 :4/ )اﻟﻨﺴﺎء.....
“…. Jika istri-istrimu ada mempunyai anak, maka untuk kamu seperempat dari harta peninggalan mereka sesudah dibayar wasiat yang diwasiatkan ataupun sesudah dibayar hutangnya ….”.(QS. An-Nisa’:12).35
34
Ibid., h. 153
35
Ibid., h. 117
32
2. Istri (seorang atau lebih) ia memperoleh bagian ¼, jika almarhum suaminya tidak meninggalkan anak atau cucu baik laki-laki seorang atau lebih maupun perempuan berapapun rendahnya ke bawah. Allah berfirman: (12 :4/ )اﻟﻨﺴﺎء...... ….
“…. Dan untuk istri-istrimu seperempat dari harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak meninggalkan anak ….”.(QS. An-Nisa’ :12).36 c) Anak waris yang mendapatkan 1/8 Bagian seperdelapan (1/8) ini, hanya bagi seorang saja, atau beberapa orang istri apabila suami ( yang meninggal dunia) mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki. Allah berfirman: (12 :4/ )اﻟﻨﺴﺎء..... ….
“…. Maka jika kamu ada mempunyai anak, maka untuk istriistrimu itu seperdelapan (1/8) dari harta ….”.(QS. An-Nisa’ :12).37 d) Ahli waris yang mendapatkan 2/3 1. Dua anak perempuan atau lebih memperoleh 2/3 dibagi sama rata apabila tidak ada anak laki-laki. Allah berfirman: (11 :4/ )اﻟﻨﺴﺎء..... ….
36
Ibid.,
37
Ibid.,
33
“…. Maka jika anak perempuan lebih dari dua orang, untuk mereka (2/3) dari waktu yang ditinggalkan oleh bapak mereka ….”.(QS. An-Nisa’:11). 38 2. Dua orang cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki mereka mendapatkan dua pertiga (2/3) apabila anak/cucu baiklaki-laki atau perempuan tidak ada (disamakan dengan anak perempuan).39 3. Dua saudara perempuan atau lebih yang sekandung dengan syarat si mati tidak meninggalkan anak atau cucu baiklakilaki atau perempuan atau tidak ada ayah, kakek atau saudara laki-laki kandung. Allah berfirman: (176 :4/ )اﻟﻨﺴﺎء...... ….
“…. Jika ada dua orang saudara perempuan dari yang meninggal, maka untuk keduanya (2/3) bagian dari harta yang ditinggalkanya ….”.(QS. An-Nisa’: 176).40 4. Dua saudara perempuan atau lebih yang sebapak diqiyaskan dengan surat An-Nisa’ ayat 176. e) Ahli waris yang mendapatkan 1/3 1. Ibu mendapat 1/3, bila si mayit tidak meninggalkan anak/cucu dan tidak pula meninggalkan beberapa saudara
38
Ibid.,
39
Moh. Ali Hasan, Hukum Warisan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996). h. 39
40
Depaq RI., Al-Quran... h. 117
34
baik saudara sekandung, seayah, atau seibu laki-laki atau perempuan. Allah berfirman: (11 :4/ )اﻟﻨﺴﺎء....... ….
“…. Jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja) maka ibunya mendapatkan sepertiga ….”.(QS. An-Nisa’:11)41 2. Dua saudara atau lebih (laki-laki atau perempuan) yang seibu. Allah berfirman: (12 :4/ )اﻟﻨﺴﺎء...... ….
“…. Jika saudara seibu lebih dari seorang, maka mereka berserikat pada yang sepertiga (1/3) itu ….”.(QS. AnNisa’: 12)42 f)
Ahli waris yang mendapatkan 1/6 1. Ibu mendapat 1/6 apabila bersama dengan anak atau cucu dari anak laki-laki atau dua saudara atau lebih, baik sekandung atau sebapak atau seibu saja. Firman Allah: (11 :4/ )اﻟﻨﺴﺎء.... ….
“…. Dan untuk kedua orang ibu bapaknya masing-masing mendapatkan (1/6) bagian dari harta yang ditinggalkan, jika ia mempunyai anak ….”.(QS. An-Nisa’:11)43 Selanjutnya Allah berfirman:
41
Ibid.,
42
Ibid.,
43
Ibid.,
35
(11 :4/ )اﻟﻨﺴﺎء....... ….
“…. Jika si mayit mempunyai saudara (laki-laki atau perempuan yang sekandung yang sebapak atau seibu), maka untuk ibu seperenam (1/6) bagian ….”.(QS. AnNisa’:11) 2. Bapak mendapatkan (1/6) apabila mayit mempunyai anak atau cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak laki-laki. Sebagai dalilnya yaitu surat an-Nisa’ ayat 11. Bapak selain mendapatkan bagian (1/6) juga mendapat asabah, jika waris bersama anak perempuan dengan syarat tidak ada anak laki-laki atau cucu laki-laki. Seperti disebutkan dalam hadits di bawah ini: ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﮭﻤﺎ ان اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ اﻟﺤﻘﻮ ()رواه ﺑﺨﺎرى.اﻟﻔﺮاﺋﺾ ﺑﺎھﻠﮭﺎ ﻓﻤﺎ ﺑﻘﻰ ﻓﻼ وﻟﻰ رﺟﻞ ذﻛﺮ “Berikanlah harta pusaka kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu, sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama”.(HR. Bukhari)44 3. Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari bapak) mendapat 1/6 apabila tidak meninggalkan ibu, jika lebih dari satu orang maka 1/6 dibagi sama rata. Dasarnya: ﻋﻦ ﺑﺮﯾﺪة ان اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﺟﻌﻞ ﻟﻠﺠﺪة اﻟﺴﺪس اذا ﻟﻢ ﺗﻜﻦ دو ﻧﮭﺎ ()رواه اﺑﻮا داود.ام 44
Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, sahih Bukhari, juz VIII, h. 5
36
“Dari Buraidah ra. Bahwa Rasulullah SAW. Menetapkan bagian untuk nenek seperenam, jika mayit tidak meninggalkan ibu”.(HR. Abu Dawud)45 4. Cucu perempuan (seorang atau lebih) dari anak laki-laki mendapatkan bagian 1/6 bila bersama dengan seorang anak perempuan, tetapi apabila anak perempuan lebih dari seorang maka cucu perempuan tidak mendapatkan apa-apa. Bagian cucu
perempuan 1/6
adalah sebagai
penyempurna bagian anak perempuan 2/3, sebagaimana kata Ibnu Mas’ud dalam hadits Rasulullah SAW: ﻗﻀﻰ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻻ ﺑﻨﺔ اﻟﻨﺼﻒ واﺑﻨﺔ اﻻﺑﻦ اﻟﺴﺪس ﺗﻜﻤﻠﺔ ()رواه ﺑﺨﺎرى.اﻟﺜﻠﺜﯿﻦ وﻣﺎ ﺑﻘﻰ ﻓﻠﻼﺧﺖ “Nabi Muhammad SAW. Memutuskan untuk anak perempuan separoh, cucu perempuan pancar laki-laki seperenam sebagai penyempurna dua pertiga dan sisanya untuk saudari”.(HR. Bukhari)46 5. Seorang saudara (laki-laki atau perempuan) yang seibu, sedang si mayit tidak meninggalkan ahli waris muzakkar (ayah atau kakek), maka ia mendapatkan bagian 1/6. Allah berfirman: ….
45
Abi Daud Sulaiman bin as Sajistani, Sunan Abi Daud II, h. 12
46
Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Sahih Bukhari, juz VIII, h. 6
37
(12 :4/ )اﻟﻨﺴﺎء.....
“…. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja) maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta ….”.(QS.AnNisa’:12)47 6. Saudara perempuan yang sebapak (seorang atau lebih) mendapat 1/6, bila bersama dengan saudari kandung. Ketentuan bagian ini sebagai taklimatus tsulutsain bagian saudara kandung dan saudara sebapak menjadi 2/3, tetapi apabila saudara kandungnya ada dua atau lebih, maka saudara sebapak tidak mendapat bagian (berdasarkan ijma’ ulama)48 7. Kakek -
Kakek mendapatkan 1/6 apabila orang yang meninggal ada mempunyai far al waris mudzakar dan far al waris muannas
(anak/cucu
laki-laki
atau
perempuan)
betapapun rendahnya serta tidak ada ayah. -
Kakek mendapat 1/6 ditambah sisa, jika mayit hanya meninggalkan far al muanas serta tidak ada ayah, dan
47
48
Depaq RI., Al-Quran... h. 117
Akhmad Mukarram, fiqh Mawaris II, (Surabaya: Biro Penerbitan Dan Pengembangan Perpustakaan Fakultas Syariah, 1992). h. 24
38
-
Apabila kakek tidak bersama far al muzdakar dan far al muanas serta ayah, maka ia menjadi asabah binafsih, dan bila ia bersana saudara kandung atau sebapak, baik laki-laki atau
perempuan,
maka
ulama
berbeda
pendapat dan dibahas dalam bab muqasamah.49 g) Asabah artinya menghabisi harta. Menurut pengertian fara’id ialah orang yang boleh mengambil harta pusaka seluruhnya bila ia hanya sendirian saja dan yang boleh mengambil kelebihan atau sisa harta warisan, bila orang-orang yang mempunyai bagian telah mengambil bagianya.50Asabah dapat dibagi menjadi: a) Asabah bin nafsi artinya asabahnya itu bukan karena ditarik oleh ahli waris lain, tetapi karena mereka sendiri. Mereka berjumlah 12 orang yaitu: 1. Anak laki-laki 2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki 3. Bapak 4. Kakak
49
50
Ibid., h. 18
Moh. Anwar, Faraidh Hukum Waris dalam Islam Dan Masalah-masalahnya, (Surabaya: Al-Ikhlas Indonesia, 1981). h. 74
39
5. Saudara laki-laki kandung 6. Saudara laki-laki sebapak 7. Anak saudara laki-laki kandung 8. Anak saudara laki-laki sebapak 9. Paman yang sekandung dengan bapak 10. Paman yang sebapak dengan bapak 11. Anak laki-laki paman yang sekandung dengan bapak 12. Anak laki-laki paman yang sebapak dengan bapak51 b) Asabah bil ghair yaitu asabah ahli waris yang mendapat asabah karena ditarik oleh ahli waris asabah yang lain, misalnya anak perempuan ditarik oleh anak laki-laki, cucu perempuan ditarik cucu laki-laki, saudara perempuan sekandung ditarik saudara laki-laki sekandung, saudara perempuan seayah ditarik saudara laki-laki seayah dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuat. c) Asabah ma’al ghair yaitu ahli waris yang mendapat asabah karena bersama-sama dengan ahli waris yang lain, misalnya:
51
M. Ali Hasan, Hukum Warisan Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996). h. 46
40
saudara perempuan sebapak sebanding bersama seorang atau lebih anakperempuan atau cucu perempuan.52 h) Dzawil arham adalah orang-orang yang tidak mempunyai bagian tertentu dalam al-Quran dan juga tidak termasuk dalam kelompok asabah (laki-laki yang dekat kepada si mayit dari pihak laki-laki yang tidak di selingi oleh pihak perempuan). Yang termasuk ahli waris dzawil arham adalah: a. Anak-anak lelaki dari anakperempuan (banul banat) b. Anak-anak perempuan dari saudara-saudara lelaki (banaatul ikhwah) c. Anak-anak lelaki dari saudara-saudara perempuan (banul akhawat) d. Anak-anak perempuan dari paman lelaki (banatul a’mam) e. Paman seibu yaitu saudara dari ayah yang seibu saja (alamm akhul abil um) f. Anak-anak lelaki dari saudara-saudara lelaki seibu(banul ikhwah lil umm) g. Bibi/saudara-saudara perempuan seayah (al-ammat) h. Bibi saudara-saudara perempuan seibu (al-khalat) 52
Ibid., h. 46-49
41
i. Paman-paman saudara-saudara lelaki ibu (al-akhwal)53 Mereka dalam Al-Quran tidak memperoleh kesempatan disebut secara tegas dan jelas sehingga para sahabat Rasulullah SAW, sepakat meletakannya sebagai dzawil arham. F. Asas-asas kewarisan Islam Hukum kewarisan Islam merupakan sub sistem dari keseluruhan hukum Islam yang khusus mengatur peralihan harta seorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup, suatu sistem adalah kumpulan asas-asas yang terpadu yang merupakan landasan, dimana dibangun tertib hukum. Adapun asas-asas hukum kewarisan islam dapat digali dari keseluruhan ayat-ayat hukum yang terkandung dalam Al-Quran dan as-sunnah yang terjelma dalam Kompilasi Hukum Islam. Asas-asas itu adalah: a. Asas Ijbari yaitu peralihan harta seseorang yang meninggal kepada yang masih hidup berlaku dengan sendirinya ( secara ijbari) menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris maupun ahli warisnya. Unsur ijbari ini dapat dilihat dari surat An-Nisa’ ayat 7 yang menjelaskan bahwa bagi laki-laki maupun perempuan ada hak bagian harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya. Dari makna ayat ini, pasal 171 huruf a dan b kompilasi menetapkan hak ijbari dalam kewarisan islam sesuai 53
Ibnu Rusyd, Terjemahan Bidayatul Mujtahid, jilid 5, (Jakarta: Pustaka Amani, 1995). h. 19
42
dengan prinsip bahwa peralihan harta warisan bersifat memaksa dalam arti sejak warisan terbuka untuk dibagikan kepada ahli waris yang berhak dan pembagian itu berpatokan pada ketentuan yang telah pasti. b. Asas Bilateral berarti bahwa seseorang menerima hak dan kewarisan dari kedua belah pihak, yaitu garis keturunan laki-laki maupun garis keturunan perempuan. Asas ini dapat dilihat dalam surat an-Nisa ayat 7,11,12, dan 176. c. Asas Individual adalah setiap ahli waris (secara individu) berhak atas bagian yang didapatnya tanpa terikat oleh ahli waris lainya. Ketentuan asas ini dapat dijumpai dalam ketentuan al-Quran surat an-Nisa ayat 7 yang mengemukakan bagian masing-masing. d. Asas keadilan berimbang adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Dasar hukum asas ini dapat dijumpai dalam surat an-Nisa’ ayat 7,11, dan 176. e. Kewarisan semata akibat kematian Hukum waris Islam memandang bahwa terjadinya peralihan harta semata-mata disebabkan adanya kematian. Dengan perkataan lain harta seseorang tidak dapat beralih (dengan pewarisan) seandainya dia masih
43
hidup.54 Dengan demikian, hukum Islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan, yaitu warisan akibat kematian. Selain memiliki sistem kewarisan, Islam juga memiliki sistem hibah dan sistem wasiat. Di dalam syara’ hibah berarti akad yang pokok persoalanya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain di waktu ia masih hidup tanpa adanya imbalan. Allah telah mensyariatkan hibah, karena hibah itu menjinakkan hati dan meneguhkan kecintaan diantara manusia. Hal ini disebutkan dalam hadis Nabi: . ﺗﮭﺎدوا ﺗﺤﺎﺑﻮا: ﻋﻦ اﺑﻰ ھﺮﯾﺮة رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﮫ ﯾﻘﻮل اﻟﺮﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ Artinya: Dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rasullah saw, bersabda: “Saling memberi hadiahlah, maka kamu akan saling mencintai”. 55 Pelaksanaan hibah dipandang sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat-syarat hibah: a. Rukun Hibah Yang menjadi rukun hibah adalah:56
54
Suhrawardi K. Lubis, Komes Simanjuntak, Hukum Waris Islam,(Jakarta: Sinar Grafika,1995) h. 36-38 55
Abi Abdillah Muhammad Bin Ismail al-Bukhari, Sahih Bukhari, juz VII, Daarul Fikri, tt. h.
20 56
Umar Said, Hukum Islam Di Indonesia, Waris, Wasiat, Hibah, dan Wakaf, (Surabaya: Cempaka, 1997). h. 129
44
1) Ijab dan qabul 2) Orang yang menghibahkan 3) Orang yang menerima hibah 4) pemberianya b. syarat-syarat hibah Untuk sahnya hibah, harus memenuhi beberapa syarat baik dari penghibah, orang yang menerima hibah, maupun pemberianya (barang yang dihibahkan). Syarat-syarat tersebut antara lain: 1) Penghibah memeliki apa yang dihibahkan 2) Penghibah harus dewasa dan berakalsehar 3) Penghibah itu tidak dipaksa atau dengan kehendak sendiri 4) Benar-benar ada waktu diberi hibah 5) Harta yang bernilai 6) Dapat memiliki zatnya 7) Penghibah dilaksanakan semasa hidup, demikian juga barang yang dihibahkan. 57
57
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 14, (bandung: PT. Maarif, 1987). h. 179
45
Dalam pemberian hibah kepada anak-anaknya hendaknya orang tua berlaku adil dan merata. Sebgaimana petunjuk Rasulullah saw: “Jika anak-anakmu yang lain tidak engkau beri dengan pemberian yang sama, maka tarik kembali”. 58 Sedangkan bentuk pemberian yang berlaku setelah pewaris meninggal disebut dengan wasiat. Kata wasiat (wasiyah) diambil dari kata wasaitu Asy-Syaia, wusiihi, artinya ausathuhu (aku menyampaikan sesuatu). Maka muusi (orang yang berwasiat) adalah orang yang menyampaikan pesan diwaktu ia masih hidup untuk dilaksanakan sesudah dia mati.59 Dalam istilah syara’ wasiat itu adalah pemberian seseorang kepada orang lain berupa barang, piutang atau manfaat untuk dimiliki oleh orang lain yang berwasiat sesudah orang yang berwasiat meninggal. Wasiat itu disyariatkan melalui kitab, sunnah, ijma’. Di dalam Al-quran Allah berfirman:
58
Umar Said, Hukum Islam Di Indonesia, Waris, Wasiat, Hibah, dan Wakaf, (Surabaya: Cempaka, 1997). h. 157 59
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 14, (bandung: PT. Maarif, 1987). h. 230
46
(180 :2 / )اﻟﺒﻘﺮة
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.(QS. Al-Baqarah. 180). 60 Tentang hukum wasiat, para ulama berbeda pendapat, mayoritas ulama berpendapat bahwa wasiat itu tidak fardhu ‘ain, baik kepada orang tua atau kerabat yang sudah menerima warisan. Alasanya, pertama, andai kata wasiat diwajibkan niscaya Nabi saw, menjelaskanya. Kedua, para sahabat dalam prakteknya juga tidak melakukan wasiat. Ketiga, wasiat adalah pemberian hak yang tidak wajib diserahkan pada waktu yang berwasiat meninggal dunia. Seperti halnya hibah, wasiat juga dipandang sah apabila memenuhi rukun dan syarat-syaratnya: a. Rukun wasiat
60
1)
Ijab dan qabul
2)
Pewasiat
3)
Penerima wasiat
4)
Benda yang diwasiatkan
Depaq RI., Al-Quran... h. 230
47
Wasiat itu tidak menjadi hak orang yang diberinya, kecuali setelah pemberianya meninggal dan melunasi hutang-hutangnya, sebagaimana firman Allah SWT: (12 :4/ )اﻟﻨﺴﺎء...... ….
Artinya: “… Sesudah dipenuhi wasiat yang dia buat, atau sesudah dibayar hutangnya …”.(QS. An-Nisa’ :12).61 b. Syarat-syarat wasiat Yang menjadi syarat wasiat adalah; 1. Disyaratkan agar orang yang memberi wasiat itu mempunyai kecakapan 2. Tidak ada unsur paksaan dari pihak manapun 3. Usia dewasa 4. Merdeka 5. Dia bukan ahli waris dari orang yang memberi wasiat 6. Hanya dapat memiliki setelah pewasiat meninggal 7. Disyaratkan agar orang-orang yang diberi wasiat tidak membunuh orang yang memberinya 8. Harta yang diwasiatkan harus bernilai dan tahan lama.62
61
Ibid., h. 44
48
Dengan adanya
syarat-syarat di
atas,
maka
wasiat
dipandang batal atau tidak sah jika menghilangkan salah satu syarat tersebut. Sedangkan wasiat yang diperlukan adalah wasiat sepertiga harta dan tidak diperbolehkan wasiat yang melebihi sepertiga.
62
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 14, (bandung: PT. Maarif, 1987). h. 242
BAB III POTRET MASYARAKAT DESA TUNGGUL KECAMATAN PACIRAN KABUPATEN LAMONGAN
A. Letak dan Kondisi Geografis Desa Tunggul adalah merupakan salah satu dari 17 desa di Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Jawa Timur. Desa ini terletak tepat di pesisir laut yang mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani dan nelayan. Harta kekayaan masyarakat desa ini kebanyakan berupa tanah dan binatang ternak. Namun, seiring perkembangan zaman, masyarakat desa ini juga banyak yang gemar manabung di Bank. Pada zaman Wali Songo, daerah ini dikenal dengan daerah basis penyebaran agama Islam. Hal itu bisa dilihat dari adanya makam Sunan Drajat di Desa Drajat atau hanya 3 kilo meter dari Desa Tunggul. Selain itu, tidak jauh dari Desa Tunggul ini, tepatnya di Desa Kranji, terdapat pondok pesantren Tarbiyatut Tholabah yang merupakan pesantren terbesar dan tertua di Kabupaten Lamongan. Pesantren berdiri pada tahun 1898. Di Kecamatan Paciran ini juga terdapat pondok pesantren Sunan Drajat yang juga merupakan pesantren besar. Santri dua pesantren tersebut tidak hanya berasal dari daerah Lamongan saja, tapi juga berasal dari Jateng dan Jawa Barat, serta wilayah Indonesia lainnya.
49
50
Dengan demikian, masyarakat
santri.
penduduk Desa Tunggul sebenarnya
Sebagian besar
penduduknya
pernah
adalah
mengenyam
pendidikan pesantren. Bahkan, di desa ini banyak ulama dan tokoh agama yang lahir dari pesantren. Desa Tunggul inilah tempat penelitian penulis. Desa ini mempunyai luas 325 Ha, termasuk di dalamnya wilayah yang digunakan untuk: 1. Pemukiman penduduk
:37,28 Ha
2. Perkantoran
:0,50 Ha
3. Sekolah/Madrasah
: 2,80 Ha
4. Pelabuhan
:4,50 Ha
5. Tanah kas desa
: 4,53 Ha
6. Tanah makam
:1,82 Ha
7. Tanah GG
: 4,00 Ha
8. Masjid dan mushalla
: 1,20 Ha
9. Sawah dan tegalan
: 268,89 Ha
Batas Desa Tunggul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan berbatasan disebelah utara Laut Jawa, sebelah selatan Desa Sendang Agung, sebelah barat Desa Paciran, sebelah timur Desa Kranji. Desa ini terdiri atas tiga dusun yaitu: Desa Sekrikil, Desa Genting, Desa Ngebrak. Dan Desa
51
tunggul terbagi wilayah menjadi beberapa RT dan RW dengan jumlah penduduk 4505 jiwa. B. Demografi Masyarakat Dalam sub bab ini, penulis akan menguraikan tentang demografi masyarakat Desa Tunggul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan yang terdiri dari penduduk, pendidikan, sosial ekonomi, dan keagamaan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut: 1. Penduduk Penduduk yang mendiami Desa Tunggul adalah 4505 jiwa. Yang terdiri atas laki-laki 2235 jiwa, sedangkan perempuan 2270 jiwa. Untuk jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin1
No 1 2
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah
Jumlah 2235 Jiwa 2270 Jiwa 4505 Jiwa
2. Pendidikan Tabel II Tingkat Pendidikan Desa Tunggul2 No 1
Tingkat satuan Pendidikan Tidak tamat SD
Jumlah 171 Orang
1
Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Desa (LPPD) Kepala Desa Tahun Anggaran 2009.
2
Ibid.
52
2 3 4
Tamat SD dan SMP Tamat SLTA Tamat Perguruan Tinggi S-1 Tamat Perguruan Tinggi S-2 Tamat Perguruan Tinggi S-3
5 6
760 209 143
Orang Orang Orang
6
Orang
2
Orang
Dari tabel di atas, dapat diketahui pendidikan yang ada di Desa Tunggul adalah cukup baik, dan hal ini terbukti dengan adanya beberapa sarana pendidikan formal yaitu: TK, SDN, MI, SMP, dan SMA. Adapun yang non formal adalah pondok pesantren, madrasah diniyah, dan TPQ yang didirikan atas motifasi dan kesadaran tentang ilmu yang diberikan oleh para tokoh masyarakat Desa Tunggul. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel III Jumlah Sarana Pendidikan Desa Tunggul3 No 1 2 3 4 4 5 6 7
Sarana Pendidikan TK MI SDN SMP SMA Madrasah Diniyah TPQ Ponpes Jumlah
Sarana 3 2 1 2 1 1 3 2 15
Dengan dibuktikan tabel di atas, bahwa dari 15 lembaga pendidikan diantaranya ada pendidikan keagamaan yang mana sangat 3
Ibid.
53
penting dan besar kepedulian masyarakat setempat terhadap pendidikan keagamaan dan semua lembaga tersebut dikelola oleh pihak swasta (warga setempat) dan pemuka agama. Sedangkan untuk perguruan tinggi kebanyakan masyarakat desa mencari ke daerah lain, hal ini terbukti dengan adanya lulusan sarjana dari berbagai universitas baik dalam negeri maupun luar negeri. 3. Sosial Ekonomi Kondisi perekonomian penduduk Desa Tunggul bisa dikatakan cukup baik, walaupun dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari tidak sama sebagian besarnya. Masyarakat Desa Tunggul mayoritas bekerja sebagai petani, buruh tani, dan selainya ada yang bekerja menjadi PNS, Nelayan, Pertukangan, dan lain-lain. Oleh karena itu, masyarakat Desa Tunggul dapat digolongkan pada tingkat menengah ke atas. Hal ini dibuktikan pada tabel dibawah ini. Tabel IV Tingkat Pekerjaan Desa Tunggul4 No 1 2 3 4 5 6 7
4
Ibid.
Sarana Pendidikan Pertanian Nelayan Perdagangan Pertukangan Industri PNS Jasa
Sarana 881 Orang 254 Orang 54 Orang 41 Orang 6 Orang 48 Orang 48 Orang
54
4. Keagamaan Desa Tunggul mayoritas masyarakatnya adalah pemeluk agama Islam. Sebagaimana tabel yan ada dibawah ini. Tabel V Jumlah Penduduk Menurut Pemeluk Agama5 No 1 2 3 4 5 6
Nama Agama Islam Kristen Katolek Hindu Budha Konghucu Jumlah
Jumlah 4505 4505
Prosentase 100 % 100 %
Rutinitas keagamaan yang ada di Desa Tunggul sangat baik, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya beberapa sarana tempat ibadah, lembaga-lembaga keagamaan, organisasi-organisasi dan kajian Islam masyarakat yang hidup ditengah masyarakat yang bertujuan untuk mempertahankan dan melestarikan ajaran-ajaran dan tradisi Islam. Adapun organisasi maupun kajian Islam yang hidup ditengah masyarakat itu adalah jama’ah tahlilan oleh ibu-ibu Fatayat NU, Muslimat NU. Jama’ah Istighasah oleh bapak-bapak. Jama’ah Diba’iyah oleh (IPNU, IPPNU, Fatayat, Muslimat, Ansor). Kajian tersebut didukung dengan adanya beberapa sarana ibadah dan tokoh-tokoh masyarakat Desa Tunggul yang menpunyai 5
Ibid.
55
peranan yang sangat penting dalam membentuk manusia muslim yang benar-benar berkualitas agamanya, untuk mengetahui lebih jelas, dapat dibuktikan dalam tabel berikut. Tabel VI Jumlah Sarana Tempat Ibadah Desa Tunggul 6 No 1
6
Ibid.
Jenis Sarana Ibadah Masjid
Jumlah 2
2
Mushalla
11
3
Ponpes Jumlah
2 15
Tempat a. 1 di Desa Tunggul b. 1 di Desa Sekrikil a. 7 di Desa Tunggul b. 2 di Desa Genting c. 2 di Desa Ngebrak Desa Tunggul 15
Bab IV TRADISI PENYELESAIAN WARIS DESA TUNGGUL KECAMATAN PACIRAN KABUPATEN LAMONGAN
A. Sebab Menyelesaikan Waris Menurut Hukum Adat Berdasarkan bukti tabel pada bab III di atas menunjukan bahwa masyarakat Desa Tunggul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan adalah mayoritas beragama Islam dan taat menjalankan ibadah. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya lembaga-lembaga pendidikan Islam, baik formal maupun non formal, sarana beribadatan dan organisasi-organisasi masyarakat Islam. Walaupun begitu, masyarakat desa Tunggul mempunyai budaya hukum tersendiri yang mana sudah menjadi keyakinan mereka dan kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. Diantara budaya hukum tersebut yang utama adalah dalam hal kewarisan. Setiap daerah di Indonesia ini mempunyai keunikan budaya yang berbeda-beda, yang mana setiap daerah yang satu dengan yang lain berbeda caranya maupun pelaksanaannya. Khususnya pada masyarakat di Desa Tunggul, mayoritas masyarakatnya beragama Islam yang mempunyai kebiasaan membagikan warisan dengan mengumpulkan keluarga dengan bermusyawarah. Biasanya musyawarah dipimpin oleh anak yang paling tua,
56
57
sehingga dalam pembagian tersebut nampak suasana persaudaraan dengan penuh kehangatan dan keakraban, sehingga mudah diambil kesepakatan. Di dalam pelaksanaannya, masyarakat Desa Tunggul mempunyai adat membagi harta kekayaannya dengan dua cara, yakni pembagian harta kekayaan ketika pewaris masih hidup dan pembagian harta kekayaan setelah pewaris meninggal dunia. Pihak yang berhak menjadi ahli waris utama adalah anak, saudara-saudara, baik laki-laki maupun perempuan. Untuk lebih jelasnya dapat diketahui pada pembahasan pembagian berikutnya tentang pelaksanaan adat kewarisan di desa Tunggul. Seperti fakta yang ada di atas, bahwa dapat diketahui masyarakat Desa Tunggul mayoritas beragama Islam yang taat menjalankan perintah agama. Namun, mereka tetap menggunakan adat dalam membagi warisan. Awalnya, pembagian warisan di desa ini mengikuti cara yang diajarkan para kiai atau para tokoh agama dengan istilah “Sepikul dan Segendong”. Bagi para ahli waris laki-laki mendapat “Sepikul”, karena kelak laki-laki lah yang menjadi kepala keluarga. Ia bertanggung jawab mencari nafkah untuk kehidupan istri dan anak-anaknya. Sedangkan ahli waris perempuan mendapat “Segendong”. Sebab, tanggung jawab perempuan tidak sebesar laki-laki. Karena alasan itulah, bagian laki-laki lebih besar dari perempuan. Namun, seiring perkembangan jaman, tata cara itu tidak digunakan lagi. Sebab baik laki-laki
58
maupun perempuan saat ini sama-sama bekerja mencari nafkah untuk kehidupan keluarga dan anak-anak.1 Lebih jelasnya, masyarakat desa Tunggul sebenarnya mengerti tentang cara pembagian harta warisan menurut hukum Islam atau fara’id sebagaimana diterangkan dalam bab II. Namun, dalam membagikan harta kekayaan dari orang tua, masyarakat ini lebih memilih menggunakan cara adat dalam menyelesaikan waris. Cara adat digunakan karena telah berlaku sejak jaman dahulu kala. Cara itu diwariskan oleh para tokoh-tokoh adat dan tetap membudaya hingga kini. Bahkan, cara adat telah diyakini lebih mencerminkan rasa persaudaraan, kehangatan, keakraban, perdamaian, keadilan dan saling tolong-menolong antar sesama ahli waris.2 B. Implementasi Pembagian Waris Menurut Hukum Adat Di dalam pelaksanaan hukum adat pewarisan di desa Tunggul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan merupakan suatu kebiasaan dalam melaksanakan warisnya, yakni sebagaimana yang terjadi pada masyarakat tersebut. Hal ini tidak lepas dari pengaruh lingkungan dan atas dasar faktorfaktor tertentu yang sudah menjadi kebiasaan oleh masyarakat terdahulu. Dalam pelaksanaan pembagian harta waris yang ada di Desa Tunggul Kecamatan Paciaran Kabupaten Lamongan memiliki sebuah tradisi turun 1
Wawancara Pribadi dengan Bapak Kasmiin. Tunggul, 07 Juli 2010.
2
Wawancara Pribadi dengan Bapak Abdul Mu’in. Tunggul, 25 Juli 2010.
59
temurun dan tetap membudaya hingga saat ini, dan itu adalah kewarisan. Dari tradisi tersebut mempunyai kebiasaan dalam membagi harta kekayaan ketika orang tua masih hidup dan membagi harta kekayaan setelah orang tua meninggal dunia, mengumpulkan ahli waris dengan cara bermusyawarah dan memprioritaskan anak sebagai ahli waris yang paling utama, dan yang akan mendapatkan seluruh harta warisan dari orang tuanya. 1. Sistem Membagi Harta Waris Adapun kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Tunggul dalam membagikan harta waris adalah: a. Pembagian Harta Waris Ketika Pewaris Masih Hidup Pelaksanaan pembagian harta kekayaan ketika orang tua masih hidup itu berdasarkan keputusan orang tua yang menganggap anaknya sudah cukup umur atau dewasa. Biasanya hal itu dilakukan apabila si anak
sudah
menikah
atau
berkeluarga
guna
untuk
membantu
kelangsungan hidup rumah tangga mereka. Sedangkan bagi anak yang belum cukup umur atau belum menikah, jatah warisan tidak langsung diberikan. Sebelum si anak belum pantas menerima warisan, jatahnya dikelola terlebih dahulu oleh orang tua atau pewaris. Jika bagian warisan itu berupa tanah, maka lahan tanah itu dirawat terlebih dahulu oleh pewaris .3
3
Wawancara Pribadi dengan Bapak Kasmi’in. Tunggul, 07 Juli 2010.
60
Pembagian harta waris ketika orang tua masih hidup itu bersifat mengikat. Artinya jatah yang telah dibagikan orang tua ke anak-anaknya sekaligus menjadi harta waris, ketika orang tua meninggal dunia. Namun, jika orang tua atau pewaris meninggal dan masih ada sisa harta kekeyaan, maka akan ada pembagian lagi secara merata. Pembagian harta kekayaan orang tua kepada anak-anaknya dilakukan secara merata dan adil dengan jumlah yang sama. Seperti yang terjadi pada keluarga bapak H. Kasrup (suami) dan ibu Hj. Akimah (Istri). Dari perkawinannya dikaruniai empat orang anak yang terdiri dari Kastiyah, Muhaimin, Abdul Ali, dan Abdur Rahman. Kekayaan yang dimiliki oleh bapak H. Kasrup berupa tanah kebun seluas 1500 m x 1200 m dibagi lima bagian. Empat jatah untuk keempatnya dan I jatah untuk dirinya sendiri sebegai bekal hidup pada masa tua. Dengan demikian, masing-masing mendapat tanah kebun dengan luas 300 m x 240 m. Dalam hal ini orang tua masih memegang 1 jatah harta untuk kehidupan masa tuanya. Sisa jatah itu akan dibagi secara merata lagi, jika orang tua telah meninggal. H Kasrup memutuskan membagi hartanya kepada keempat anaknya karena sudah dewasa dan sudah berkeluarga.4 Dari contoh fakta tersebut di atas, pemberian harta kekayaan yang dimiliki oleh bapak H. Kasrup membagikan kepada anak-anaknya 4
Wawancara Pribadi dengan Bapak H. Kasrup. Tunggul, 01 Juli 2010.
61
sangatlah adil, baik dari jumlah maupun kualitasnya, mereka menerima apa yang telah diberikan oleh orang tua kepadanya, karena pemberian tersebut sudah merupakan ketentuan dari orang tua sebelum meninggal dunia. Dengan demikian, maka yang menjadi alasan masyarakat desa Tunggul membagi warisan ketika orang tua masih hidup adalah menjaga agar tidak ada sengketa diantara para ahli warisnya. Umumnya orang tua khawatir ahli waris tidak dapat berlaku adil, sehingga hartanya harus dibagi sebelum meninggal. Orang tua juga langsung bertindak sebagai juri dalam pelaksanaan pembagian harta waris itu. Dengan demikian, anak-anak diharapkan patuh menerima apa yang diberikan oleh orang tua kepadanya. Maklum, manusia mempunyai akal dan nafsu yang kadang di dalam hati ahli waris.5 Desa
Tunggul
Kecamatan
Paciran
Kabupaten
Lamongan
membagikan harta waris ketika orang tua masih hidup dilaksanakan dengan cara pengalihan dan penunjukan. Dengan cara pengalihan, harta yang dikasih dari orang tua kepada anak-anaknya dapat dikuasai harta tersebut tanpa harus menunggu pewaris meninggal dunia atau wafat, sedangkan dengan cara penunjukan, harta dari orang tua tersebut dapat dikuasai secara penuh oleh ahli waris setelah pewaris meninggal dunia.
5
Wawancara Pribadi dengan Bapak H. Kasrup. Tunggul, 01 Juli 2010.
62
b. Pembagian Harta Waris Setelah Orang Tua Meninggal Dunia. Meskipun masyarakat desa Tunggul memiliki adat membagi hartanya sebelum meninggal, kadang terjadi kejadian yang di luar dugaan. Belum sempat hartanya dibagikan ke semua ahli waris, ternyata orang tua meninggal terlebih dahulu, sehingga pembagian harta waris terpaksa dilakukan setelah orang tua meninggal. Pembagian harta waris setelah orang tua meninggal dunia, biasanya dilaksanakan setelah upacara selamatan 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan seribu hari pewaris meninggal. Namun mayoritas masyarakat melaksanakan pembagian harta penunggalan orang tua setelah selamatan seribu hari semenjak pewaris meninggal dunia.6 2. Ahli Waris Yang Berhak Menerima Harta Waris Adapun ahli waris yang berhak menerima harta waris dari orang tua yang berlaku di desa Tunggul menurut adat setempat adalah sebagai berikut: 1. Anak dari orang tua yang meninggal. 2. Saudara-saudara dari orang yang meninggal dunia, jika tidak mempunyai anak.7 Dari macam-macam ahli waris di atas, anak merupakan ahli waris yang paling utama yang akan mendapatkan harta kekayaan dari orang 6
7
Wawancara Pribadi dengan Bapak H. Kasrup. Tunggul, 01 Juli 2010. Wawancara Pribadi dengan Bapak Abdul Mu’in. Tunggul, 25 Juli 2010.
63
tuanya. Namun, jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak, maka ahli warisnya yaitu saudara-saudaranya baik laki-laki maupun perempuan. Seperti pembagian harta warisan yang terjadi pada keluarga bapak Kusnan. Bapak Kusnan menikah dengan ibu Kusmiati puluhan tahun, namun tidak dikaruniai anak. Lalu karena suatu penyakit, Ibu Kusmiyati meninggal dunia, kemudian bapak Kusnan menikah lagi dengan ibu Kaminah dan tidak dikaruniai anak. Pada tahun 2006 lalu, bapak Kusnan meninggal dunia. Karena bapak Kusnan tidak punya keturunan, maka ahli warisnya adalah saudara dari bapak Kusnan. Ia punya lima saudara, yakni Ibu Kasri, bapak Sa’i, bapak Asykuri, ibu Hj. Akimah, dan bapak Hasan. Peninggalan bapak Kusnan berupa rumah beserta tanah, tanah kebun 200 m x 100 m. Jadi ahli waris dari bapak Kusnan perorang mendapat jatah warisan tanah kebun masing-masing 40 m x 20 m. Sedangkan rumah beserta tanahnya diberikan kepada istrinya.8 Anak sebagai ahli waris utama ada dua yaitu anak kandung dan anak angkat. a. Anak kandung Adat yang ada di desa Tunggul dalam membagikan harta waris yang menjadi ahli waris yang utama adalah anak kandung, dalam hal ini anak tersebut mempunyai bagian penuh atas warisan harta dari orang
8
Wawancara Pribadi dengan Bapak H. Kasrup. Tunggul, 01 Juli 2010.
64
tuanya baik itu laki-laki maupun perempuan. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan bapak H. Kasrup pada 01 Juli 2010 bahwa masyarakat Desa Tunggul mempunyai kebiasaan membagi harta waris yang tidak membedakan antara bagian laki-laki dan perempuan, mereka mendapatkan bagian yang sama, tidak dibeda-bedakan, sebagaimana kasus yang terjadi pada keluarga bapak H. Kasrup di atas. b. Anak angkat Anak angkat atau dalam istilah jawa adalah anak pupon yakni anak yang diambil dari orang lain untuk dijadikan sebagai anggota keluarga, maksudnya yakni suatu perbuatan mengambil anak orang lain ke dalam keluarga sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul hubungan kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dan anak kandungnya. Karena dalam hukum adat jawa mengenal asas “ngangsu sumur loro” untuk kewarisan anak angkat, kata “ngangsu” berarti mencari atau memperoleh, “sumur” berarti tempat mengambil air atau perigi, “loro” berarti dua. Asas itu bermakna bahwa seorang anak angkat memperoleh warisan dari dua sumber yaitu dari orang tua kandung dan orang tua angkatnya. Pengangkatan anak (adopsi) yang terjadi di desa Tunggul disebabkan karena dalam rumah tangga tidak dikaruniai anak, maka jalan satu-satunya yakni dengan mengangkat seorang anak, biasanya
65
anak yang diambil masih ada hubungan keluarga atau anak kerabat sendiri. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada keluarga bapak Kasram dan ibu Tonah. Dalam mengarungi rumah tangga, bapak Kasram tidak dikaruniai seorang anak, maka bapak Kasram mengangkat seorang anak perempuan yang diambil dari cucu keponakan dari ibu Tonah yang bernama Inayah. Pada tahun 2005, istri dari bapak Kasram meninggal dunia, kemudian pada tahun 2007 bapak Kasram meninggal dunia. Karena bapak Kasram tidak mempunyai ahli waris utama yakni anak kandung, maka ahli warisnya yang kedua yakni saudara. Harta milik bapak Kasram berupa rumah beserta tanah, tanah kebun dengan luas 240 m x 100 m dibagikan kepada empat saudaranya, yakni bapak Kasdam, ibu Kaspuah, bapak H. Kasrup, dan ibu kasiyem. Harta yang dibagikan itu harta milik bapak Kasram sendiri dan bukan harta yang dihasilkan setelah menikah. Setiap ahli waris bapak Kasram mendapatkan tanah kebun dengan luas 60 m x 25 m. Sedangkan anak angkatnya diberi sebuah rumah beserta tanahnya. Itu sebagai imbalan atau hadiah, karena semasa hidup telah merawat orang tua angkatnya.9
9
Wawancara Pribadi dengan Bapak H. Kasrup. Tunggul, 01 Juli 2010.
66
3. Alasan-alasan tetap memakai hukum adat Negara Indonesia dikenal kaya dengan beragan adat dan keunikan budayannya. Adat yang dimiliki setiap daerah dan suku yang satu dengan yang lain berbeda-beda baik dalam caranya maupun pelaksanaannya, meskipun dasar atau sifatnya adalah satu yaitu keindonesiaan, sehingga adat bangsa Indonesia ini dikatakan merupakan “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya berbeda-beda di daerah suku-suku bangsannya tetapi tetapi satu juga yaitu dasar dan sifat keindonesiaannya. Seperti halnya pada masyarakat Jawa yang mempunyai beragam adat yang berbeda-beda yang dilakukan oleh para tokoh-tokoh adat jaman dahulu dan sampai sekarang tetap digunakan. Khususnya pada masyarakat yang ada di desa Tunggul, walaupun mayoritas beragama Islam, tetapi desa Tunggul mempunyai budaya hukum tersendiri yang mana sudah menjadi keyakinan mereka dalam kehidupan berkeluarga maupun bermasyarakat, diantara budaya hukum tersebut yang diwariskan oleh tokoh-tokoh adat jaman dahulu yang utama adalah dalam hal kewarisan. Kewarisan masyarakat di Desa Tunggul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan mengerti tentang cara pembagian harta warisan menurut hukum Islam yakni ilmu fara’idh, sebagaimana yang diterangkan dalam bab II. Namun, dalam membagikan harta warisan atau kekayaan dari orang
tua,
masyarakat
menyelesaikan kewarisan.
ini
lebih
menggunakan
cara
adat
dalam
67
Pada awalnya, pembagian warisan di desa Tunggul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan mengikuti cara yang diajarkan oleh para kiayi atau para tokoh-tokoh agama dengan istilah “ Sepikul Segindong ”, bagi ahli waris laki-laki mendapatkan “ Sepikul ”, karena laki-laki lah yang akan menjadi kepala rumah tangga yang bertanggung jawab mencari nafkah untuk kehidupan dan kebahagiaan anak dan istrinya. Sedangkan ahli waris perempuan mendepatkan “ Segindong ”,karena tanggung jawab seorang perempuan tidak sebesar laki-laki, karena dengan alasan itulah, bagian antara laki-laki lebih besar dari perempuan. Namun, seiring perkembangan jaman, tata cara seperti itu tidak digunakan lagi, dan itu disebabkan karena laki-laki dan perempuan saat ini sama-sama bekerja mencari nafkah untuk kehidupan keluarga dan anaknya, oleh sebab itu pembagian kewarisan di desa Tunggul tidak membedakan bagian antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, mereka mendapatkan bagian yang sama rata. Sebagaimana pendapat Kepala Desa Tunggul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan mengatakan bahwa 99 % penduduk masyarakat desa Tunggul menyelesaikan pembagian warisan menurut hukum adat, dan anak merupakan ahli waris utama, sedangkan hanya 1 % masyarakat desa Tunggul menyelesaikanya dengan menggunakan menurut hukum Islam yakni fara’idh, biasannya dilakukan oleh kerabat atau keluarga kiayi , begitu juga dikalangan organisasi masyarakat desa Tunggul yakni Nahdhatul
68
Ulama dan Muhamadiyah. Kedua organisasi masyarakat ini dalam menyelesaikan harta warisan sama menggunakan adat setempat.10 Jadi, jika dilihat dari alasan-alasan dan pendapat masyarakat desa Tunggul yang ada, maka bisa dikatakan bahwa cara adat yang digunakan oleh masyarakat desa Tunggul itu disebabkan karena telah berlaku sejak jaman dahulu kala, cara ini diwariskan oleh para tokoh-tokoh adat dan tetap membudaya hingga kini, sehingga sudah menjadi kebiasaan dan keyakinan mereka dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. Bahkan, cara adat telah diyakini oleh masyarakat desa Tunggul lebih mencerminkan rasa persaudaraan, keakraban, kehangatan, perdamaian, dan keadilan, serta tolong-menolong antar sesama ahli waris. C. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penyelesaian Waris Menurut Hukum Adat. A. Sebab menyelesaikan waris menurut hukum adat Seperti yang telah dipaparkan dalam pembahasan hasil penelitian penulis sebelumnya, bahwa Desa Tunggul memiliki adat kewarisan yang sudah menjadi tradisi turun temurun dan menjadi keyakinan mereka dalam hidup berkeluarga dan bermasyarakat. Di dalam hukum adat tidak mengenal cara pembagian dengan perhitungan ilmu fara’id, tetapi didasarkan atas pertimbangan hukum adat,
10
Wawancara Pribadi dengan Bapak Drs. M. Yasin. Tunggul, 28 September 2010.
69
mengingat wujud benda dan kebutuhan waris yang bersangkutan.11 Seperti halnya adat kewarisan yang ada di masyarakat desa Tunggul, disana juga tidak mengenal pembagian secara fara’id, tetapi selalu didasarkan pada pertimbangan dengan cara mengumpulkan keluarga dan bermusyawarah. Sedangkan proses pelaksanaan pengalihan harta tersebut dilakukan ketika pewaris masih hidup dan memprioritaskan anak sebagai ahli waris yang utama. Di desa Tunggul sendiri, ada dua organisasi masyarakat yaitu Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhamadiyah. Kedua organisasi masyarakat ini
baik
dari
Nahdhatul
Ulama
maupun
Muhamadiyah
dalam
menyelesaikan pembagian harta warisan sama, yakni menggunakan hukum adat setempat.12 Berdasarkan pada tabel yang ada pada bab III diketahui bahwa mayoritas masyarakat desa Tunggul adalah beragama Islam dan berpendidikan yang berbasis keagamaan. Namun dalam hal kewarisan mereka tetap menggunakan hukum adat setempat. Hal inilah yang mendorong penulis untuk menganalisis dengan hukum Islam. Seperti yang telah dijelaskan pada bab II, bahwa membagi harta waris dengan hukum kewarisan Islam adalah suatu bentuk kewajiban (fardhu ‘ain) sebagaimana yang terdapat dalam hadis Rasulullah saw : 11
Hilman Hadi Kusuma, Hukum Waris Adat, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1990. h. 105
12
Wawancara Pribadi dengan Bapak Abdul Mu’in. Tunggul, 25 Juli 2010.
70
رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ اﻗﺴﻤﻮ اﻟﻤﺎل ﺑﯿﻦ اھﻞ اﻟﻔﺮاﺋﺾ:ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس ﻗﺎل .ﻋﻠﻰ ﻛﺘﺎب اﷲ Artinya: “Bagikanlah harta waris di antara ahli waris menurut kitabullah”.13 Begitu juga yang belum mengerti, suatu bentuk kewajiban seorang muslim untuk mempelajarinya. Adapun perintah belajar dan mengajarkan hukum waris Islam dijumpai dalam teks hadis Rasulallah saw : ﺗﻌﻠﻤﻮا اﻟﻔﺮاﺋﺾ وﻋﻠﻤﻮھﺎ ﻓﺎﻧﮫ ﻧﺼﻒ:وأن أﺑﻰ ھﺮﯾﺮةان اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ .اﻟﻌﻠﻢ وھﻮ ﯾﻨﺴﻰ وھﻮ أول ﺷﻲء ﯾﺘﺮع ﻣﻦ أﻣﺘﻲ Artinya : Dari Abu Harairah, bahwa Nabi saw, bersabda: “Pelajarilah fara’idh dan ajarkan kepada manusia, karena fara’idh adalah sejarah dari ilmu dan akan dilupakan, fara’idhlah ilmu yang pertama kali dicabut dari umatku”.14 Perintah tersebut berisi perintah wajib. Hanya saja kewajiban belajar dan mengajarkanya itu gugur, apabila sebagian orang yang telah melaksanakanya. Akan tetapi, jika tidak ada seorangpun yang mau melaksanakanya, semua orang Islam akan menanggung dosa. Sebagaimana hasil penelitian penulis pada penjelasan sebelumnya, bahwa yang menyebabkan masyarakat Islam desa Tunggul menyelesaikan pembagian harta waris menurut hukum adat, karena adat tersebut sudah menjadi tradisi turun temurun dan tetap membudaya sampai sekarang, mencerminkan tolong menolong, perdamaian, dan keadilan. 13
Al-Imam Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi, Sahih Muslim, juz III, (Beirut, tt). h.
1234 14
Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwaini, Sunnah Ibnu Majah, juz II, Daarul Fikri, tt. h. 107
71
Hukum Islam adalah fiqh yakni hasil daya upaya para fuqaha dalam menerapkan syari’at Islam yang bersumber pada al-Quran, alSunnah, Ijma’ para sahabat dan tabiin.15 Hukum fara’idh merupakan hukum yang sudah jelas ketentuannya dalam al-Quran dan juga hadis dan merupakan bentuk kewajiban bagi kaum muslimin untuk melaksanakanya. Akan tetapi, hukum Islam mempunyai beberapa keistimewaan dan keunggulan yang menyebabkan hukum Islam menjadi hukum yang paling kaya dan paling dapat memenuhi hajat masyarakat, serta menjamin ketenangan dan kebahagiaan masyarakat. Di antara keunggulan hukum Islam adalah : hukum Islam itu mudah, jauh dari sulit dan sempit, segala hukumnya dapat berjalan dengan seiring dengan fitrah manusia. Dalam hal ini, hukum Islam mempunyai kaedah : ﻣﺎﺿﺎق ﺷﯿﺊ اﻻ اﺗﺴﻊ Artinya : “Tidaklah sempit, karena ia menjadi luas”. Banyak ayat al-Qur’an yang menandaskan bahwa hukum Islam adalah yang mudah dipikul manusia. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT: (185 :2 / )اﻟﺒﻘﺮة...... ….
15
Teungku Muhammad Hasbi Ali Ash-Shiddiqy, Falsafat Hukum Islam, Semarang, Pustaka Rizki Putra, 2001. h. 29
72
Artinya: “ …. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan dia tidak menghendaki kesulitan bagi kalian ….”. (al-Baqarah: 185). Dalam hal kewarisan, masyarakat Islam desa Tunggul lebih memilih adat dalam menyelesaikan pembagian harta waris. Sedangkan, adat merupakan kebiasaan yang dapat ditarik suatu hukum. Hal ini sesuai dengan kaedah fiqh: “ اﻟﻌ ﺎدة ﻣﺤﻜﻤ ﺔAdat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”.16 Adat dianggap sebagai hukum, apabila sudah menjadi kebiasaan yang sering dilakukan oleh manusia terus menerus, dari generasi ke generasi baik berupa perkataan maupun perbuatan. Sedangkan adat yang berlawanan dengan nash atau jiwa syariat yang oleh karenanya tidak boleh dijadikan sumber hukum, di antaranya adalah adat yang menghilangkan hak waris anak wanita, adat yang membolehkan mengawini bekas istri ayah (ibu tiri) dan sebagainya.17 Adat kewarisan yang dilakukan oleh masyarakat Islam desa Tunggul seperti yang dipaparkan di atas, sebagai hasil dari penelitian, maka dapat dianalisis bahwa masyarakat Islam dalam hal kewarisan menyamakan dengan muamalah, karena Islam mendasarkan muamalah atas dasar rela sama rela. Dan hukum Islam tentang muamalah bersifat fleksibel dan dinamis. Hal ini sesuai dengan kaedah fiqh: 16
Muslih Usman, Kaedah-Kaedah Ushuliyah Dan Kaedah Fiqhiyah, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1997. h. 140 17
Miftahul Arifin, Faisal Haq, Ushul Fiqh II, Surabaya, Biro Penerbitan Dan Pengembangan Perpustakaan, 1996. h. 94-95
73
.اﻷﺻﻞ ﻓﻲ اﻟﻌﻘﻮد واﻟﻤﻌﺎﻣﻼت اﻟﺼﺤﺔ ﺣﺘﻰ ﯾﻘﻮم دﻟﯿﻞ ﻋﻠﻰ اﻟﺒﻄﻼن واﻟﺘﺤﺮﯾﻢ Artinya: “Kebolehan kita menyusun, mengatur, dan mengerjakan segala apa yang kita kehendaki selama belum lagi datang (kita peroleh) larangan yang mencegahnya atau mengharamkanya”. 18 Dalam hal ini, berarti masyarakat Islam desa Tunggul memandang bahwa ketentuan pembagian harta waris yang ada dalam al-Qur’an dan alHadis sifatnya hanya mengatur, tidak memaksa. Sehingga, jika dipandang dari alasan-alasan dan kaedah-kaedah fiqh yang ada, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa masyarakat Islam Desa Tunggul dalam menyelesaikan pembagian harta waris tidak bertentangan dengan syariat Islam, walaupun sudah ada ketentuan sendiri tentang pembagian harta waris dalam al-Qur’an . B. Implementasi Pembagian Waris Menurut Hukum Adat Tingkat peradapan, maupun cara penghidupan yang modern, ternyata tidak mampu menghilangkan adat kebiasaan yang hidup dalam masyarakat. Paling yang terlihat dalam kemajuan jaman adalah bahwa adat tersebut menjadi kekal dan tetap segar.19 Demikian pula yang terjadi pada masyarakat Islam desa Tunggul bahwa harta yang dimiliki orang tua beralih kepada anaknya dengan cara
18
Hasbi Ash-Shidiqqiey, Pengantar Hukum Islam Jilid II, semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 2001. h. 355 19
Soerojo Wignyo Dipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung, 1995, h. 13
74
mengumpulkan keluarga (ahli waris) dan sudah menjadi tradisi yang tetap membudaya sampai sekarang. Sejauh penulis ketahui walaupun proses pengalihan harta orang tua kepada anaknya dilakukan dengan cara musyawarah, namun musyawarah merupakan anjuran agama untuk memecahkan persoalan hidup, mencari titik temu kebenaran dan untuk mencapai mufakat seperti yang tersurat dalam firman Allah SWT yang berbunyi:
(159 : 3 /… ) ال ﻋﻤﺮان. ......
Artinya : “…. Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu (urusan dunia)”(QS:Al-Imran ayat 159).20 Di dalam masalah waris, memang musyawarah untuk mencapai mufakat dapat diterapkan, walaupun dalam al-Qur’an sudah jelas bagian masing-masing ahli waris. Disini kita hanya dapat mengambil kearifan. 1. Sistem Pembagian Harta Waris Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, bahwa sistem pembagian harta waris desa Tunggul dilakukan ketika orang tua masih hidup. Selain itu, pembagian harta waris juga ketika orang tua sudah meninggal dunia, jika ketika masih hidup orang tua belum sempat membagikan hartanya.
20
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahanya, h. 103
75
Di dalam hukum kewarisan, Islam memandang bahwa terjadinya peralihan harta hanya semata-mata disebabkan karena adanya akibat kematian. Dengan perkataan lain, harta seseorang tidak akan beralih dengan pewarisan, jika dibagi ketika orang tua masih hidup. Oleh karena itu, dalam hukum Islam dijelaskan bahwa terjadinya pemberian harta warisan milik seseorang kepada orang lain ketika ia masih hidup tidaklah dinamakan dengan kewarisan, tetapi disebut hibah. Dalam hal ini sangatlah berbeda dengan kebiasaan yang terjadi di desa Tunggul, bahwa pengalihan harta ketika orang tua masih hidup bukan lagi dinamakan dengan hibah, tetapi sudah termasuk harta waris. Sebab, kalau orang tua sudah meninggal dunia, anak-anak yang sudah diberi harta tersebut semasa hidupnya tidak mendapatkan apa-apa lagi atau bagiannya dikurangi ketika pembagian harta waris. Dari penjelasan di atas, maka penulis dapat menganalisis bahwa adat pembagian harta waris ketika orang tua masih hidup yang dilakukan oleh masyarakat desa Tunggul, berdasarkan landasan teori yang ada pada bab II, maka pengalihan harta kekayaan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai proses kewarisan, tetapi hibah. Sebab kewarisan hanya dapat terjadi berdasarkan atas kematian.
76
Jika dilihat dari syarat-syarat hibah yang ada di bab II, maka pembagian hibah haruslah adil dan merata. Oleh karena itu, pelaksanaan hibah di Desa Tunggul belum memenuhi syarat-syarat hibah. Pembagian harta kekayaan ketika orang tua masih hidup dapat dilakukan dengan cara pengalihan dan penunjukan. Dengan cara pengalihan, ahli waris dapat menguasai harta tersebut tanpa harus menunggu
pewaris meninggal dunia. Sedangkan dengan cara
penunjukan harta dapat dikuasai secara penuh oleh ahli waris setelah pewaris meninggal dunia. Dengan demikian, maka pelaksanaan pembagian harta waris ketika pewaris masih hidup di desa Tunggul tersebut, tidak semuannya dikatakan sebagai hibah, akan tetapi pembagian yang dilaksanakan dengan penunjukan disebut dengan wasiat. Karena harta tersebut baru dapat dimiliki setelah pewaris meninggal dunia sebagaimana yang dijelaskan pada bab II. Disini dapat diketahui dengan jelas bahwa antara hibah dan wasiat adalah berbeda. Dalam hal ini, perbedaannya terdapat pada proses pengalihan barang tersebut. Disebut hibah, jika barang yang dapat dimiliki sebelum pemberi meninggal. Disebut wasiat, jika barang dapat dimiliki sesudah pemberi meninggal dunia.
77
Pelaksanaan pembagian harta
kekayaan setelah pewaris
meninggal dunia yaitu harta dibagi setelah upacara selametan yang ke 40 hari, 100 hari, dan seribu hari pewaris meninggal dunia dengan alasan bahwa pada hari itu ahli waris masih berkumpul, suasana duka sudah berkurang dan agar tidak terkesan mengharapkan kematian pewaris. Walaupun dengan alasan yang rasional, namun jika berangkat dari konsep kewarisan Islam pada bab II, maka hal ini tidak sesuai dengan hukum Islam terutama pada asas ijbari, yaitu dalam hal hukum waris, berarti terjadinya peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia terjadi dengan sendirinya tanpa adanya pernyataan kehendak dari pewaris dan hukum Islam menghendaki harta waris untuk segera dibagi tanpa harus ditangguhkan. 2. Ahli Waris Yang Berhak Menerima Harta Waris. Yang dimaksud dengan ahli waris di Desa Tunggul adalah orang yang berhak menerima harta waris yang disebabkan karena adanya hubungan nasab. Dan orang yang berhak menerima harta waris itu adalah: 1. Anak-anak dari oarng tua yang meninggal dunia. 2. Saudara-saudara (bapak-ibu) baik laki-laki maupun perempuan dari orang yang meninggal dunia.
78
Dari kenyataan-kenyataan tersebut, maka dapat dianalisis bahwa ahli waris yang berhak menerima harta waris tidaklah sesuai dengan hukum Islam, karena pada bab II menjelaskan bahwa yang menyebabkan saling mewarisi adalah karrena adanya hubungan nasab, perkawinan dan wala’. Dengan demikian, anak bukan merupakan ahli waris yang paling utama, karena orang tua juga merupakan ahli waris yang tidak dapat dihijab oleh siapapun, ia hanya dapat dihijab nuqson oleh anak perempuan / cucu perempuan dan anak laki-laki atau cucu laki-laki. a. Anak kandung Anak kandung adalah anak yang lahir dari kandungan orang tuanya. Anak kandung mempunyai bagian penuh atas harta dari orang tuanya, baik laki-laki maupun perempuan. Masyarakat desa Tunggul mempunyai adat membagi harta waris tidak membedakan bagian anak laki-laki dan anak perempuan, mereka lebih mengutamakan persamaan hak. Jadi ditinjau dari segi hukum Islam, maka hal ini bertentangan dengan firman Allah SWT:
(11 :4 / ) اﻟﻨﺴﺎء......
Artinya :“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu yaitu: bagian anak laki-laki sama
79
dengan bagian dua orang anak perempuan ….”(QS:An-Nisa’ ayat 11).21 Adat kebiasaan masyarakat di Desa Tunggul tidak hanya menyamakan bagian anak laki-laki dan bagian anak perempuan, bahkan suatu saat bagian diantara keduannya ada yang lebih banyak bagiannya, karena mereka yang telah merawat orang tua semasa hidup sampai meninggal dunia. Model seperti ini dalam hukum Islam tidak dikenal. Akan tetapi, hal ini dapat membawa kemaslahatan terutama orang tua serta anak dengan rasa keadilan yang merupakan subtansi ajaran Islam. Dengan demikian, maka penulis dapat menganalisis tentang adat
pembagian
harta
waris
di
desa
Tunggul
yaitu
memprioritaskan anak yang merawat orang tua baik itu laki-laki maupun perempuan, sehingga bagian di antara saudara-saudara yang lain lebih besar bagiannya terhadap warisan tersebut. Dan itu bukan merupakan bagian yang dilarang oleh agama Islam. Akan tetapi, itu merupakan ongkos konpensasi atau jerih payah anak yang telah merawat orang tua. Hal ini tidaklah menyalahi aturan yang didasarkan pada asas kewarisan yaitu asas keadilan berimbang. Asas keadilan berimbang dalam hukum kewarisan adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban, keseimbangan antara 21
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahanya, h. 116
80
yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Sebagaimana pada bab II (landasan teori). b. Anak angkat Anak angkat atau dalam istilah jawa anak pupon adalah yang diambil dari orang lain untuk dijadikan anggota keluarga atau suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang di pungut itu timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri. Pengangkatan anak yang terjadi di desa Tunggul dilakukan atas dasar karena mereka tidak mempunyai keturunan, sehingga mereka khawatir tidak ada yang mengurus atau merawatnya dikemudian hari. Jika ditinjau dengan hukum Islam pengangkatan anak dalam bahasa Arab di kenal dengan istilah “Tabanni” yang artinya mengambil anak angkat atau menjadikanya seseorang sebagai anak.22 Atau bisa juga yang bersumber pada Al-Quran dan sunnah serta hasil ijtihad yang berlaku yang diformalisasikan dalam berbagai produk pemikiran hukum Islam, baikdalam bentuk fikih, 22
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Juga Kamus Munjid, Dalam Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dengan Tiga Sistem Hukum, (Jakarta, Sinar Grafika, 2002. Cet. Ke 4. h. 17-18.
81
fatwa,
putusan
pengadilan,
maupun
peraturan
perundang-
undangan.23 Termasuk didalamnya Kompilasi Hukum Islam. Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai pedoman hukum yang materiil Peradilan Agama memberikan pengertian anak angkat dalam pasal 171 huruf (h) bahwa anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawab dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan pengadilan.24 Ketentuan pasal tersebut secara implisit menegaskan bahwa terjadinya pengangkatan anak berakibat pada beralihnya tanggung jawab dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya dalam hal pemeliharaan untuk hidup sehari-hari, biaya pendidikan, dan sebagainya. Sedangkan hubungan nasab, wali nikah bagi anak angkat perempuan dan hak saling mewarisi dengan orang tua kandungnya tidak terputus.25 Maka dapat dianalisis bahwa pengangkatan anak tidak menyebabkan seseorang untuk saling mewarisi, karena prinsip pokok hukum kewarisan Islam adalah adanya hubungan darah, 23
Mukti Arto, Garis Batas Kekuasaan Pengadilan Agama Dan Pengadilan Negeri, Dalam Varia Peradilan Tahun XXI No. 52, MA RI, Jakarta, 2006. 24
UU-RI No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan KHI, Penerbit “Citra Umbara” Bandung. h. 290-291 25
Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari (Terj) H. Zainudin Hamidy, dkk, (Jakarta, widjaya, tt) Jilid I. Juz. IV, h. 50
82
perkawinan, dan wala’. Jadi menurut hukum Islam anak angkat hanya dapat saling mewarisi dengan ibu kandungnya saja. Oleh karena itu, anak angkat hanya dapat menerima harta sebagai hibah atau wasiat ketika orang tua angkat masih hidup. Hal ini dimaksudkan sebagai balas jasa karena telah merawat orang tua angkat semasa hidupnya. Jadi, pelaksanaan pembagian harta waris untuk anak angkat di desa Tunggul tidak sesuai dengan konsep kewarisan Islam sebagaimana yang ada pada bab II. D. Analisis Penulis. Desa Tunggul adalah salah satu desa dari 17 desa dari berbagai wilayah kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan yang mana masyarakat jawa yang mayoritas beragama Islam, hal ini terbukti pada tabel V di bab III. Desa Tunggul sendiri mempunyai warisan budaya dari nenek moyang dahulu serta sudah menjadi keyakinan dalam berkeluarga dan bermasyarakat, diantara budaya yang diwariskan dan digunakan oleh masyarakat sampai sekarang yakni dalam bidang kewarisan. Tradisi pewarisan masyarakat Desa Tunggul dalam menyelesaikan pembagian harta kekayaan orang tua untuk ahli warisnya, dalam hal ini tidak membedakan bagian antara
anak laki-laki dan perempuan,
mereka
mendapatkan bagian yang sama dari harta orang tuanya. Dengan alasan,
83
mereka tidak memasalahkan gender, laki-laki dan perempuan sama-sama bekerja mencari nafkah untuk kehidupan mereka dan anak-anak mereka. Hal
yang
menyebabkan
masyarakat
Islam
desa
Tunggul
menyelesaikan pembagian harta waris menurut hukum adat, karena dengan adat tersebut sudah menjadi adat istiadat, tradisi turun temurun, dan tetap membudaya sampai sekarang, mencerminkan kehangatan, keakraban sesama ahli waris dan yang paling penting adalah keadilan, perdamaian dan kesepakatan diantara mereka. Kemudian yang menjadi kebiasaan masyarakat desa Tunggul dalam menyelesaikan
pembagian
harta
kekayaan
dari
orang
tua
dengan
menggunakan hukum adat tidaklah bertentangan, hanya saja berbeda cara pembagiannya. Dalam hukum Islam sendiri dikenal tidak menyusahkan umatnya melainkan dapat memenuhi hajat orang banyak, serta Islam itu mudah, jauh dari sulit dan sempit, seiring dengan fitrah manusia. Seperti dalam kaedah: ﻣﺎ ﺿﺎق ﺷﯿﺊ اﻻ اﺗﺴﻊ Artinya: “ Tidak sempit, karena ia menjadi luas.” Dan dalam Al-Quran surat al-baqarah ayat 185, dan surat alam Nasyrah ayat 5-6.
(185 :2 / … )اﻟﺒﻘﺮة.. ….
Artinya : “…. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan dia tidak menghendaki kesulitan bagi kalian ….”. (QS. Al-Baqarah: 185).
84
Artinya: “karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”. (QS. Alam Nasyrah: 56). Sedangkan proses pembagiannya, harta orang tua kepada anaknya dilakukan dengan cara musyawarah untuk mengambil suatu mufakat atau kesepakatan diantara ahli waris yang dipimpin oleh anak yang paling tua. Sistem pembagian yang ada di desa Tunggul sendiri ada dua macam yakni dibagikan ketika orang tua masih hidup dan dibagikan setelah meninggal dunia, dan kebanyakan dibagikan saat orang tua masih hidup. Juri dari pembagiannya adalah orang tua sendiri, supaya adil dan merata dalam pembagianya masing-masing. Dalam hukum kewarisan Islam, terjadinya peralihan harta disebabkan adanya kematian, dan pemberian harta milik orang tua kepada ahli warisnya ketika masih hidup tidaklah dinamakan kewarisan, akan tetapi, disebut dengan hibah, tetapi faktanya yang dilakukan oleh masyarakat desa Tunggul sangatlah berbeda, bahwa pengalihan harta dari orang tua masih hidup bukanlah dinamakan dengan hibah tetapi sudah termasuk harta waris, sebab kalau orang tua sudah meninggal anak-anak yang sudah diberi harta tersebut semasa hidupnya tidak mendapatkan apa-apa atau bagianya dikurangi ketika pembagian harta waris. Harapan dari orang tua menjaga keharmonisan dalam keluarga, menjauhkan dari rasa kedengkian antara anak dan orang tua.
85
Sedangkan syarat-syarat hibah pada bab II, salah satu syarat tersebut menyebutkan penghibah haruslah adil dan merata, maksudnya orang tua memberikan harta kepada anaknya harus adil dan tidak boleh melebihkan bagianya, harus sama, agar tidak menimbulkan permasalahan diantara para saudara-saudara lain, oleh karena itu, pelaksanaan hibah di desa Tunggul tidak memenuhi syarat-syarat hibah. Sebab orang tua sendiri masih memegang harta untuk kehidupanya, dan kalau sudah meninggal harta yang dipegang oleh orang tua dibagikan kepada anak yang telah merawatnya semasa hidup. Harta kekayaan dilakukan dengan cara pengalihan dan penunjukan, kalau pengalihan harta tersebut langsung bisa digunakan, sedangkan penunjukan dapat dikuasai secara penuh setelah pewaris meninggal dunia. Kemudian, pembagian harta kekayaan setelah pewaris meninggal dunia, harta dibagi setelah upacara selametan yang ke 40 hari, 100 hari dan seribu hari pewaris meninggal dunia, walaupun dengan alasan di atas, konsep kewarisan Islam pada bab II, maka tidaklah sesuai dengan hukum Islam, terutama pada asas ijbari yaitu peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia terjadi dengan sendirinya tanpa adanya pernyataan kehendak dari pewaris. Kemudian ahli waris yang berhak menerima harta waris dari orang tua yang berlaku di desa Tunggul menurut adat setempat adalah: 1. Anak dari orang tua yang meninggal dunia. 2. Saudara-saudara dari orang yang meninggal dunia, jika tidak mempunyai anak.
86
Jika dianalisis, ahli waris yang ada di atas tidaklah sesuai dengan hukum Islam, karena anak tidaklah ahli waris utama, sedangkan orang tua tidak dapat terhijab oleh anak perempuan atau cucu perempuan dan anak lakilaki maupun cucu laki-laki. Lalu anak yang lahir dari kandungan orang tuanya mempunyai bagian penuh atas harta dari orang tuanya, baik laki-laki maupun perempuan. Adat desa Tunggul membagi waris tidak membedakan jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Mereka mendapatkan bagian yang sama. Contoh seperti ini tidak ada di dalam hukum Islam. Cara adat digunakan untuk menjaga keutuhan antara orang tua dan anak, agar tidak ada pertengkaran, serta untuk menjamin rasa keadilan yang merupakan subtansi ajaran Islam. Sedangkan anak angkat tidak menyebabkan seseorang untuk saling mewarisi. Karena menurut hukum Islam anak angkat hanya dapat saling mewarisi dengan ibu kandungnya saja, bukan dari orang tua angkatnya, hanya saja apabila dikasih bagian, itu merupakan hadiah atas jerih payah anak angkat tersebut, selama ia ikut dalam keluarga yang telah mengangkatnya sebagai seorang anak. Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa, dalam penyelesaian harta warisan diharuskan menggunakan hukum Islam. Karena itu, bagi yang menggunakan hukum selain Islam, bisa digolongkan ke dalam orang-orang yang kafir, dhalim, dan munafik. Hal ini telah dijelaskan dalam al-Qur’an pada surat AlMaidah ayat 44, 45, 47, dan 50 yang berbunyi:
87
(44 :5/ ) اﻟﻤﺎﺋﺪة …. Artinya : “…. Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang ditirunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. (QS. AlMaaidah: 44) (45 :5 / ) اﻟﻤﺎﺋﺪة …. Artinya: “…. Dan barang siapa yang tidak menghukum dengan hukum yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”. (QS. Al-Maaidah: 45) (47 :5/ ) اﻟﻤﺎﺋﺪة …. Artinya: “…. Dan barang siapa yang tidak menghukum dengan hukum yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang fasiq”. (QS. AlMaaidah: 47) Menurut Zahir, kata man (barang siapa) pada kalimat ( ) وﻣﻦ ﻟﻢ ﯾﺤﻜﻢ mengandung arti untuk umum. Maksudnya
tidak ditentukan untuk satu
golongan saja. Maka jelaslah, bahwa ayat ini tidak hanya ditujukan kepada satu golongan, melainkan semua golongan, termasuk kepada orang Islam yang meyakini kebenaran al-Qur’an yang diturunkan kepada mereka.26 Sebagiam Ulama mengatakan, bahwa hakim yang tidak menghukum dengan hukum Islam, karena menganggap hukum Islam itu tidak sempurna atau menganggapnya rendah dan berkekurangan, maka dia telah menjadi kafir. Ada juga yang mentafsirkan “kafir” dalam ayat ini bukan kafir dalam arti berpindah agama, tetapi kafir nikmat. Demikian yang telah dikeluarkan oleh Said bin Mansyur, Ibnu Munzir, Ibnu Abi Hatim, Hakim dan dikatakan sahih. Begitu juga Baihaqi dalam sunnahnya dari Ibnu Abbas. 26
Syekh H. Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, Jakarta: Kencana. 2006. h. 379-380
88
Abdullah bin Hamid, Ibnu Munzir dari Atha’ bin Ribah tentang firman Allah mengenai “orang yang zalim”, “orang yang kafir”, dan “orang yang fasiq” itu. Dia berkata, kafirnya kurang dari kafir, zalimnya kurang dari zalim, dan fasiqnya kurang dari fasiq.27 Selanjutnya ayat 50 yang berbunyi:
(50 :5 / ) اﻟﻤﺎﺋﺪة Artinya: “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ? (QS. Al-Maaidah : 50) Selanjutnya, karena yang ada hanya hukum Allah, serta hukum yang bertentangan dengannya, dan hukum yang bertentangan dengannya adalah hukum yang dinamai hukum jahiliyyah, maka ayat ini mengecam mereka dalam bentuk pertanyaan: Apakah hukum jahiliyah, yakni hukum yang didasarkan oleh hawa nafsu, kepentingan sementara, serta kepicikan pandangan yang mereka kehendaki dan jika demikian, siapakah yang lebih sesat dari mereka? Selanjutnya, karena kesempurnaan serta baiknya suatu hukum adalah akibat kesempurnaan pembuatannya, sedang Allah adalah wujud yang paling sempurna dan siapakah yang lebih baik dari pada Allah yang maha mengetahui itu dalam menetapkan hukum dan dalam hal-hal yang lain bagi kaum yang yakin, yakni yang ingin mantap kepercayaannya? Tidak ada…!! Setelah melihat keterangan di atas, penulis menyimpulkan, meskipun sebagian umat Islam pada akhirnya melaksanakan pembagian harta waris
27
Ibid.,
89
sesuai hukum adat, cara hukum Islam harus didahulukan. Artinya, sebelum cara adat digunakan, pembagian harta warisan secara hukum Islam harus dilakukan. Selanjutnya, jika para ahli ahli waris berkeinginan membagi sama rata, maka pembagian yang dilakukan yaitu 2 : 1. Bagi yang mendapatkan harta waris 2 bagian yaitu laki-laki ( ) اﻟﺮ ﺟﺎ لdia boleh memberikan dengan suka rela kepada saudara kandungnya yang perempuan sesuai dia yang mau walaupun pada akhirnya bila dihitung-hitung kemungkinan besar laki-laki 1 bagian dan perempuan 1 bagian atau justru karena saudara laki-laki tersebut sudah kaya raya lalu dia memberikan seluruh harta bagian warisnya yang 2 bagian diperuntukan kepada saudara perempuannya, atau mungkin saudara laki-laki tersebut membagikan bagian dari hartanya sendiri dengan kerelaannya karena sifat membantu kepada saudara perempuan kandungnya.
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan uraian
atas
pokok permasalahanya,
maka
dapat
disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Faktor yang menyebabkan masyarakat Desa Tunggul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan dalam menyelesaikan pembagian warisan menurut sistem hukum adat adalah karena dengan menggunakan hukum adat tersebut sudah menjadi kebiasaan masyarakat Desa Tunggul sejak jaman dahulu yang diwariskan oleh para tokoh-tokoh adat dan tetap membudaya hingga
kini,
dengan
mencerminkan
rasa
kehangatan,
keakraban,
perdamaian serta keadilan dan tolong menolong sesame ahli waris dan tidak terlalu lama proses penyelesainya. Dalam hukum Islam, kebiasaan masyarakat Desa Tunggul tersebut tidaklah berbeda dari syariat Islam, karena mereka dalam menyelesaikan pembagian harta waris dengan prinsip mu’amalah, yakni saling rela ( ) ﻋ ﻦ ﺗ ﺮاض. Begitu juga di kalangan organisasi masyarakat desa Tunggul yakni Nahdhatul Ulama dan Muhamadiyah. Kedua organisasi masyarakat ini dalam menyelesaikan harta warisan sama menggunakan adat setempat. 2. Dalam implementasi pembagian waris menurut hukum adat di Desa Tunggul yaitu dengan cara mengumpulkan keluarga dan bermusyawarah untuk mengambil mufakat atau kesepakatan agar supaya adil dalam menyelesaikan pembagian. Harta dibagi ketika pewaris masih hidup dan
90
91
setelah pewaris meninggal. Anak merupakan ahli waris utama, baik anak kandung maupun anak angkat, tanpa membedakan bagian anak laki-laki dan anak perempuan. Bahkan, suatu saat diantara anak tersebut mendapatkan bagian lebih banyak, karena ia yang telah merawat orang tua selama masih hidup. Harta yang dibagi ketika orang tua masih hidup dilakukan dengan dua cara, yaitu pengalihan dan penunjukan. Harta waris dibagi setelah seratus hari atau seribu hari setelah pewaris meninggal dunia. 3. Tinjauan hukum Islam terhadap pembagian harta waris yang dilakukan oleh masyarakat desa Tunggul dengan cara mengumpulkan keluarga dan bermusyawarah adalah tidak sesuai dengan konsep kewarisan Islam terutama pada asas ijbari. Akan tetapi, jika masalah waris ini dikatagorikan dalam bidang mu’amalah, maka dibolehkan dengan prinsip antaradhin (saling rela). Harta waris dibagi ketika pewaris masih hidup, jika ditinjau dengan hukum Islam disebut dengan hibah, sedangkan pembagian yang dilakukan dengan cara penunjukan disebur dengan wasiat. Anak sebagai ahli waris utama, jika ditinjau dengan hukum Islam adalah berbeda dengan syariat Islam, begitu juga dengan tidak membedakan bagian anak laki-laki dan anak perempuan. Tinjauan hukum Islam terhadap melebihkan bagian anak yang telah merawat orang tua semasa hidup adalah diperbolehkan oleh Islam karena sesuai dengan asas keadilan berimbang. Anak angkat tidak termasuk ahli waris dalam hukum Islam. Harta waris dibagi setelah seratus hari atau seribu hari pewaris meninggal dunia, jika ditinjau dalam
91
hukum Islam adalah tidak sesuai dengan konsep kewarisan Islam yang menghendaki untuk segera membagi harta waris tanpa ditangguhkan. B. Saran-saran Berkaitan dengan penulisan skripsi ini, penulis merasa perlu memberikan saran-saran kepada pihak-pihak yang terkait, yaitu: 1. Masyarakat desa Tunggul kecamatan Paciran kabupaten Lamongan, hendaklah meningkatkan ilmu pengetahuan dalam bidang apapun, baik dari bidang umum maupun dalam bidang Agama, khususnya mengenai hukum kewarisan Islam 2. Khususnya kepada pihah-pihak yang terkait yakni para tokoh agama yang mengerti atau faham tentang ilmu agama, hendaklah merasa terpanggil untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan masyarakat desa Tunggul kecamatan Paciran kabupaten Lamongan. 3. Mengenai masalah kewarisan hendaklah di selesaikan dengan secara cermat, bijak, dan adil, karena masalah warisan adalah masalah keluarga dengan keluarga. Maka apabila tidak di selesaikan dengan cermat, bijak, dan adil, di khawatirkan akan menimbulkan perpecahan diantara para ahli waris.
DAFTAR PUSTAKA
As-Syabuni, Moh. Ali, Hukum Waris Menurut al-Quran dan Hadis, Bandung, Trigendakariyah, 1995. Anwar, Moh. Fara’id Hukum Waris dalam Islam dan Masalah-Masalahnya, Surabaya, AlIkhlas Indonesia, 1981. Ash Shiddieqy, Hasby, Fiqh Al-Mawaris, Bandung: Bulan Bintang, 1973. Arief, H. Saifuddin, SH., Hukum Waris Islam dan Praktek Pembagian Harta Peninggalan, Jakarta: Darunnajah Production House, 2007. Ali Ad-Addaruqutni, Sunnah Ad-Daruqutni, Kairo: Dar al-Fikri. Abi Abdillah, Imam, Shahih Bukhari, Semarang: PT Toha Putra, juz 8, 1997. Ali, Atabik, dan Zuhdi, Ahmad Muhdhor, Kamus Kontemporer, (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum, 1992). Ashofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: rineka Cipta, 2004). Bukhari, Al-, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail, Sahih Al-Bukhari, juz VIII, Daarul Fiqri,tt Departemen Agama RI, Al-Qur’an al-Karim dan Terjemahan, Semarang, CV. Thaha Putra, 1989. Departeman Agama, Kompilasi Hukum Islam, Direktorat pembinaan Badan Peradilan Agama Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Islam departemen Agama Republik Indonesia, 2000. Hazairin, Prof., SH., Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Quran dan Hadis, Jakarta: Tintamas Indonesia, 1982. Hasan, Moh. Ali, Hukum Waris dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1996. Kusuma, Hilman Hadi, Hukum Waris Adat, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1990. Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta,1997. Mukarram, Ahmad, Fiqh Mawaris II, Surabaya, Biro Penerbitan dan Pengembangan Perpustakaan Fakultas Syari’ah, 1992. Muhammad, Abu Bakar, Terjemah subulus Salam III, Surabaya, Al-Ikhlas, 1995. Masitoh, Siti, Posisi Hukum Waris Adat dan Hukum Waris Islam dalam Masyarakat, Jakarta, Universitas Indonesia, 1998.
90
91
Notopuro, Hardjito, Masalah-Masalah dalam Hukum Waris Di Indonesia, Jakarta, TP, 1971. Parman, Ali, Kewarisan dalam Al-Qur’an, Jakarta, Raja Grafindo Persada,1995. Rahman, Fathur, Ilmu Waris, Bandung, PT, Al-Ma’arif, 1994. Rusyd, Ibnu, Terjemahan Bidayatul Mujtahid, jilid 5, Jakarta, Pustaka Amani, 1995. Sudiyat, Imam, Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Yogyakarta, Liberty, 1991. __________, Pembagian Waris Menurut Islam, Jakarta, Gema Insani Press, 1995. Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah 14, Bandung, PT. Al-Ma’arif, 1987. Syarifuddin, Amir, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta, Kencana, 2005 Suparman, Eman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, Jakarta, PT Rafika Aditama, 2005. Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta, Rajawali, 1980 Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada: 2003). Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986). Soekanto, Soerjono, Soleman B. Taneko, Hukum Adat Di Indonesia, Jakarta, Rajawali, 1986. Sevilla, G, Conselo, dkk, Metode Penelitian Hukum Penerjemah Alimuddin Tuwu (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1993. Usman, Mukhlis, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1997. Wignjodipuero, Soerojo, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta, Gunung Agung, 1995.
WAWANCARA Nama: Bpk H. Kasrup Umur: 70 thn 1. Sepengetahuan bapak dari mana hukum waris adat itu berasal? Jawab: hukum waris adat berassal dari para kyai dahulu yang mana pada waktu pembagianya menggunakan “sepikul segendong” bagi para ahli warisnya (anak), yakni istilah sepikul buat anak laki-laki, segendong untuk perempuan, tapi pada jaman sekarang tidak lagi menggunakan sepikul segendong dikarenakan dua-duanya ikut bekerja. 2. Menurut bapak, kenapa tidak menggunakan hukum Islam dalam pembagian waris? Jawab: karena pada jaman sekarang laki-laki dan perempuan sama-sama bekerja mencari nafkah untuk kehidupan mereka dan anak-anak mereka. 3. Apa yang menyebabkan bapak cenderung menggunakan hukum waris adat? Jawab: yang menyebabkan cenderung menggunakan hukum waris adat adalah adanya suatu keadilan, tenggang rasa, perdamaian, di antara ahli warisnya. 4. Siapa saja yang berhak mendapatkan harta waris? Jawab: yang berhak menjadi ahli waris yakni anak. 5. Kemudian, siapa yang paling diutamakan dalam pembagian harta warisan ini? Jawab: yang diutamakan adalah tetap anak. 6. Apakah ada persamaan atau perbedaan antara bagian anak laki-laki dan anak perempuan? Jawab: tidak ada perbedaan bagian antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yakni sama rata dalam hal kewarisan. 7. Apakah anak angkat mendapatkan harta waris dari orang tua angkat? Jawab: dapat bagian, karena dalam semasa hidup orang tua angkatnya ikut bekerja, menemaninya dan sudah dianggap menjadi bagian dalam keluarganya, oleh karena itu anak angkat mendapatkan bagian harta dari orang tua angkatnya. 8. Bagaimana proses pembagian waris dikeluarga bapak? Jawab: proses pembagiannya yakni dengan cara musyawarah yang dipimpin oleh anak yang paling tua. 9. Kapan harta kekayaan itu dibagikan?
Jawab: yakni dibagikan ketika anak sudah dewasa atau sudah menikah, lalu dibagikan bagianya untuk modal dalam hidup rumah tangganya. 10. Apa yang menyebabkan dikeluarga bapak membagi harta kekayaan ketika masih hidup? Jawab: yang menyebabkan membagi harta kekayaan ketika masih hidup dikeluarga saya adalah untuk menjaga perdamaian antara ahli waris. 11. Apakah pembagian harta waris setelah pewaris meninggal dunia, pembagian harta pada waktu pewaris masih hidup diperhitungan? Jawab: tidak, karena orang tua sendiri sudah membagikan bagianya masing-masing untuk anaknya, dan orang tua sendiri dalam membagikannya dengan adil kepada ahli warisnya, dan bagian orang tua sendiri itu akan dibagikan kepada aanknya yang merawatnya semasa hidup.
Tunggul, 1 Juli 2010 TTD
(H. Kasrup)
WAWANCARA Nama: Bpk Kasmi’in Umur: 50 thn 1. Sepengetahuan bapak dari mana hukum waris adat itu berasal? Jawab: kalau dari mana asal usul hukum waris adat itu berasal, sudah lama sekali, pada jaman dulu para tokoh agama atau kyai yang menerapkan “sepikul segendong” dalam pembagian waris, yang mana “sepikul” untuk laki-laki, sedangkan “segendong” untuk anak perempuan, karena laki-laki yang mencari nafkah atau yang bekerja, sedangkan yang perempuan tugasnya tiga M (macak, masak, manak). Tapi dijaman sekarang istilah itu tidak diterapkan lagi, karena sudah tidak sesuai yang ada di atas, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama bekerja mencari nafkah. 2. Menurut bapak, kenapa tidak menggunakan hukum Islam dalam pembagian waris? Jawab: menurut saya tidak adil kalau pembagian waris tidak sama pada para ahli waris, disebabkan semua keluarga baik itu ahli waris maupun orang tua bekerja samasama, jadi dalam pembagianya harus adil dan rata. 3. Apa yang menyebabkan bapak cenderung menggunakan hukum waris adat? Jawab: yang menyebabkan adalah yang mana pembagian waris dengan menggunakan hukum waris adat itu ada unsur rasa keadilan, mempererat saudara (ahli waris), dan yang paling penting adalah tidak menimbulkan rasa dengki pada para ahli waris. 4. Siapa saja yang berhak mendapatkan harta waris? Jawab: yang berhak penuh yakni anak, kalau tidak ada anak baru para saudara dari pewaris. 5. Kemudian, siapa yang paling diutamakan dalam pembagian harta warisan ini? Jawab: yang diutamakan adalah tetap anak. 6. Apakah ada persamaan atau perbedaan antara bagian anak laki-laki dan anak perempuan? Jawab: tidak ada perbedaan, yang ada persamaan bagian antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam hal kewarisan. 7. Apakah anak angkat mendapatkan harta waris dari orang tua angkat? Jawab: kalau anaka angkat dapat bagian, soalnya anak angkat ikut bekerja mencari nafkah, jadi kalau orang tua angkat meninggal dunia , anak tersebut dapat bagian atau balas jasa karena telah menemaninya semasa hidup. 8. Bagaimana proses pembagian waris dikeluarga bapak?
Jawab: pelaksanaannya yakni sama, biasanya masyarakat jawa melakukanya dengan cara musyawarah yang dihadiri oleh para ahli waris yang dipimpin leh anak yang paling tua. 9. Kapan harta kekayaan itu dibagikan? Jawab: yakni dibagikan biasanya ketika anak sudah dewasa, cakap, matang atau sudah menikah, lalu dibagikan bagianya untuk modal dalam hidup rumah tangganya. 10. Apa yang menyebabkan dikeluarga bapak membagi harta kekayaan ketika masih hidup? Jawab: karena supaya tidak timbul masalah atau pertengkaran diantara para ahli warisnya, dan itu juga tidak diinginkan oleh orang tua 11. Apakah pembagian harta waris setelah pewaris meninggal dunia, pembagian harta pada waktu pewaris masih hidup diperhitungan? Jawab: tidak, biasanya orang tua sudah ada pembagianya masing-masing untuk anaknya dan bagian orang tua semasa hidup di berikan kepada anak yang merawatnya.
Tunggul, 1 Juli 2010 TTD
(Kasmiin)
WAWANCARA Nama: Bpk Abdul Mu’in Umur: 65 thn 1. Apa yang menyebabkan masyarakat desaTunggul dalam menyelesaikan waris cenderung menggunakan hukum waris adat? Jawab: karena dengan menggunakan hukum waris adat, di antara orang tua menginginkan timbulnya rasa perdamaian, kerelaan, keadilan, keakraban, dan tolong menolong pada sesama ahli waris, tidak ada madharat yang bisa memecah atau merusak diantara ahli waris dan dalam Islam sendiri tidak diperbolehkan bertengkar sesama saudaranya, jadi memilih kebaikan lebih diutamakan dari pada madharat yang bisa memecah semua pihak. 2. Sepengetahuan bapak dari mana hukum waris adat berasal? Jawab: mengenai asal usulnya, setahu saya pada jaman dulu para tokoh masyarakat menggunakan istilah “sepikul segendong”, dan pada jaman sekarang istilah itu tidak digunakan lagi, karena merasa tidak adil kalau pembagianya tidak sama pada para ahli waris. 3. Kemudian, siapa yang berhak mendapatkan harta waris? Jawab: kalau ahli waris yang berhak adalah anak yang diutamakan, jika tidak ada anak, dilihat dulu yang meninggal siapa. Jadi, seumpama yang laki-laki yang berhak mendapatkan warisan saudaranya laki-laki tersebut, begitu juga sebaliknya, kalau perempuan yang berhak yang mendapatkan warisan saudaranya perempuan, asalkan harta si pewaris sendiri sebelum menikah bukan setelah menikah. 4. Apakah ada persamaan atau perbedaan antara anak laki-laki maupun anak perempuan? Jawab: tidak ada perbedaan diantara bagian laki-laki maupun perempuan yakni sama bagianya. 5. Lalu, bagaimana dengan anak angkat, apakah mendapatkan bagian dari orang tuanya? Jawab: dapat bagian, karena anak tersebut sudah dianggap anaknya sendiri, sudah menjadi tanggung jawab orang tua angkatnya, serta ikut juga dalam mencari nafkah atau harta, jadi apabila orang tua angkat wafat, anak tersebut berhak mendapatkan warisan dari orang tua angkatnya dan itu sebagai upah atau hadiah semasa hidup bersama orang tua angkatnya. 6. Bagaimana pelaksanaan atau proses pembagian waris di desaTunggul? Jawab: pelaksanaanya yakni dengan cara musyawarah untuk mengambil kesepakatan yang dipimpin oleh anakyang paling tua, langkah pertama yakni aturan, kemudian yang kedua tatanan.
7. Biasanya, kapan harta kekayaan itu dibagikan kepada ahli warisnya? Jawab: biasanya masyarakat desa Tunggul kebanyakan membaginya ketika masih hidup, karena keinginan orang tua sendiri dalam hidupnya merasakan hidup yang tenang, bahagia, tidak ada pertengkaran di antara ahli waris. 8. Apa yang menyebabkan masyarakat desa Tunggul membagikan harta kekayaan ketika masih hidup? Jawab: supaya tidak menimbulkan pertengkaran di dalam keluarga, maka dari itu orang tua membaginya ketika masih hidup dan waktu membaginya ketika anaknya sudah dewasa atau matang. 9. Apakah ada pengecualian bagian ahli waris yang telah merawat orang tua semasa hidup? Jawab: biasanya anak yang telah merawat orang tuanya sampai wafat, bagian harta yang di pegang orang tuanya semasa hidup untuk pegangan orangtua sendiri diwariskan kepada anak yang telah merawatnya. 10. Apakah ada perbedaan antara golongan Nahdhatul Ulama dengan Muhammadiyah dalam menyelesaikan pembagian waris? Jawab: dalam hal ini baik dari golongan Nahdhatul Ulama dengan Muhammadiyah sama, tidak ada bedanya. Kedua golongan ini tetap menggunakan hukum waris adat dalam menyelesaikan pembagian warisan.
Tunggul, 25 Juli 2010 TTD
(Abdul Mu’in)
WAWANCARA Nama :Abdur Rahman, S.Pd Umur : 28 thn 1. Apa yang menyebabkan masyarakat desa Tunggul dalam menyelesaikan waris cendrung menggunakan hukum waris adat? Jawab: Karena desa Tunggul masih menggunakan tradisional dan mayoritas masyarakatnya pekerjaannya adalah petani. Maka mereka menggunakan tradisi adat dalam kewarisan, sehingga nantinnya ahli waris akan mendapatkan bagian harta dari orang tuanya, mereka nantinya mendapatkan bagian sama rata walaupun dahulu mengenal istilah “sepikul segendong”, tapi dirasakan tidak adil sehingga tidak ada prinsip keadilan, karena dilapangan laki-laki dan perempuan sama-sama bekerja mencari nafkah maka dari inilah menjadi suatu ukuran masyarakat desa Tunggul menggunakan asas sama rata. 2. Sepengetahuan bapak dari mana hukum waris adat berasal? Jawab: Asal-usul adat ini sudah ada pada jaman dahulu, artinya masyarakat desa Tunggul sudah melaksanakan hukum adat ini yang diwariskan oleh nenek moyangnya dahulu. 3. Kemudian, siapa saja yang berhak mendapatkan harta waris ? Jawab: Otomatis anak-anaknya tanpa kecuali, walaupun nantinya tidak persis sama tapi nantinya sama, seperti contohnya orang tua yang mempunyai ladang/tanah di suatu tempat tidak mungkin semua mendapatkan bagian pada satu tempat itu, tapi nantinya mendapatkan tempat yang lain, yang ukuranya dan harganya sama dengan anak yang lain. 4. Apakah ada persamaan atau perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan dalam hal pembagian? Jawab: Seperti saya katakana dari awal pada saat ini laki-laki dan perempuan samasama berkerja mencari nafkah untuk kehidupan keluarganya. 5. Bagaiman dengan anak angkat, apakah mendapatkan bagian dari orang tua angkat? Jawab: Kalau anak angkat tetap mendapatkan bagian tapi kebanyakan tidak sama mungkin anak angkat lebih sedikit dari pada anak kandung di sebabkan karena samasama membantu orang tua angkatnya, bisa juga dikatakan sebagai hadiah karena sudah membantu orang tua angkatnya. 6. Biasanya kapan harta itu dibagikan kepada ahli waris?
Jawab: Kebanyakan dalam tradisi masyarakat desa Tunggul pembagian harta warisan dibagikan sebelum orang tua meninngal dunia, ini dikarenakan orang tua khawatir kalau ahli waris tidak bias berlaku adil. 7. Apa yang menyebabkan masyarakat desa Tunggul membagikan harta kekayaan ketika masih hidup? Jawab: untuk menghindari penguasaan sepihak, bias saja anak yang paling tua mintak harta lebih banyak, begitu juga sebaliknya, walaupun nantinya orang tua biasanya ikut pada anak yang paling tua dan mendapatkan bagian yang paling banyak, di sebabkan karena dialah yang mengurusi/merawat orang tuannya semasa hidup. 8. Apakah ada perbedaan antara golongan Nahdhatul Ulama maupun muhamadiyah dalam menyelesaikan pembagian waris? Jawab: Organisasi Islam yang ada di desa Tunggul baik dari golongan Nahdhatul Ulama maupun Muhamadiyah dalam menyelesaikan pembagian warisan kedua golongna ini sama yakni menggunakan hokum waris adat.
Tunggul, 27 Juli 2010 TTD
(Abdur Rahman, S.Pd)
WAWANCARA Nama :Drs. M. Yasin Umur :46 thn 1. Bagaiman pelaksanaan pembagian harta waris di Desa Tunggul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan? Jawab: Kebiasaan masyarakat desa Tunggul dalam pelaksanaan pembagian harta waris kebanyakan dilakukan dengan cara musyawarah, supaya mendapatkan hasil kesepakatan diantara para ahli waris. 2. Dalam masalah warisan, masyarakat desa tunggul cenderung memilih hukum adat atau hukum Islam dalam menyelesaikan warisan ? Jawab: Masyarakat desa Tunggul dalam membagikan harta kekayaan orang tua yakni warisan kebanyakan 99 % penduduk desa Tunggul menggunakan hukum adat dalam menyelesaikan warisan, dan 1 % yang melaksanakan hukum Islam, biasanya dilakukan oleh keluarga kiayi. 3. Apakah ada perbedaan antara golongan Nahdhatul Ulama dan Muhamadiyah dalam menyelesaikan pembagian warisan? Jawab: Dalam organisasi Islam yang ada di desa Tunggul yakni baik dari Nahdhatul Ulama maupun Muhamadiyah yang mana kedua golongan ini sama menyelesaikannya dalam hal kewarisan yakni menggunakan dengan hukum adat. 4. Biasannya kapan harta itu dibagikan kepada ahli warisnya? Jawab: Kebanyakan masyarakat desa Tunggul khususnya orang tua dalam membagikan harta kekayaan untuk ahli warisnya ketika orang tua masih hidup dan jarang sekali harta tersebut dibagikan setelah pewaris meninggal dunia. 5. Siapa saja ahli waris yang berhak menerima harta warisan yang ada di desa Tunggul? Jawab: Yang berhak menerima harta waris di desa Tunggul adalah anak yang paling utama. 6. Apakah ada persamaan atau perbedaan antara bagian seorang laki-laki maupun seoarang perempuan? Jawab: Dalam hal ini, tidak ada perbedaan dalam bagian seorang laki-laki maupun seorang perempuan, mereka mendapatkan bagian yang sama. 7. Lalu, alasan apa yang menyebabkan masyarakat desa Tunggul masih tetap menggunakan hukum waris adat?
Jawab: Diantara alasan-alasan masyarakat desa Tunggul adalah karena dengan hokum adat tersebut lebih mengayomi dan juga mencerminkan rasa persaudaraan, keakraban, dan keadilan serta tolong-menolong sesama ahli waris.
Tunggul. 28 September 2010 TTD
(Drs. M. Yasin)
WAWANCARA Nama : Bpk Hasan Arif Umur : 33 thn 1. Seperti kita ketahui, masyarakat Islam desa Tunggul memilih hukum adat sebagai penyelesaian warisan, apakah tidak bertentangan dengan hukum Islam? Jawab: Hukum Islam merupakan hukum yang paling kaya raya dan mempunyai keistimewaan yang begitu banyak, hukum yang bisa mengayomi penganutnya/umatnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa apa yang menjadi kebiasaan masyarakat desa Tunggul memakai hukum adat tidaklah bertentangan dengan hukum Islam seperti dalam kaedah fiqh: “ اﻟﻌﺎدة ﻣﺤﻜﻤﺔAdat kebiasaan ditetapkan sebagai hukum”. 2. Apakah ada dalil yang bisa menguatkan bahwa hukum Islam itu mudah, yang paling kaya raya, dan lain-lain? Jawab: Sebenarnya banyak ayat al-Qur’an maupun hadits shahih yang menjelaskan tentang hukum Islam itu mudah, paling kaya raya, mengayomi umatnya, dan lain-lain. Seperti dalam al-Qur’an surat Alam Nasyrah ayat 5-6 dan masih banyak ayat lainya yang menjelaskan tentang itu. 3. Apakah ada persamaan atau perbedaan antara golongan Nahdhatul Ulama maupun Muhamadiyah dalam menyelesaikan kewarisan? Jawab: Tidak ada perbedaan diantara golongan Nahdhatul Ulama maupun Muhamadiyah, mereka memakai hukum adat dalam menyelesaikan kewarisan.
Tunggul, 23 Agustus 2010 TTD
(Hasan Arif)